Panji Wulung Karya Opa Bagian 9
serangan, tubuhnya bergerak, mendadak menghilang dari
depan mata lawannya.
Kelincahan dan kecepatannya bergerak, sesungguhnya
sangat mengherankan, sehingga Touw Liong sendiri yang
sudah termasuk seorang tokoh kuat pada masa itu, juga
tidak tahu ilmu apa yang digunakan oleh adik
seperguruannya itu.
Bagi It-tim sendiri, yang dengan mendadak kehilangan
jejak lawannya, bukan kepalang terkejutnya. Buru-buru
memutar kaki dan menarik kembali serangannya, dan
ketika ia berpaling, sesaat menjadi kesima, karena lawannya
tadi sudah berdiri di belakang dirinya sambil memondong
pedang dalam pelukannya tanpa bergerak sedikitpun juga.
Seandainya gadis itu mau bertindak, barangkali ia sudah
terluka di tangannya.
Memikirkan itu, keringat dingin lantas mengucur keluar
membasahi sekujur badannya.
"Nonamu tetap menghendaki pedangmu itu, lebih baik
kau serahkan saja, atau kalau kau tidak mau, biar aku nanti
yang turun tangan sendiri?" berkata Kim Yan dengan nada
suaranya yang masih tetap dingin.
Wajah It-tim sebentar merah sebentar pucat. Ia berdiri
terpaku di tempatnya, tidak bisa membuka mulut.
Ia tahu hari itu ia menemukan lawan yang justeru
mengerti juga ilmu pedangnya. Tetapi sebagai ketua dari
salah satu partai besar, bagaimana harus menyerahkan
pedangnya begitu saja kepada orang lain" Apalagi, selama
hidupnya ia selalu menyombongkan kepandaiannya sendiri,
dianggapnya bahwa ilmu pedangnya yang dinamakan
Thay-it-sin-kiam itu sudah tidak ada orang lain yang
mengerti. Matanya berputaran, satu akal licik terlintas dalam
otaknya, maka lalu berkata:
"Tidak susah nona ingin mendapatkan pedang pinto ini,
jikalau nona berani menyambuti serangan pinto sampai
sepuluh jurus, tetapi dalam sepuluh jurus ini, nona tidak
boleh melakukan gerakan atau serangan pembalasan.
Sepuluh jurus sudah habis, pinto nanti akan menyerahkan
pedang pusaka ini dalam tangan nona."
"Kau berani pegang betul janjimu ini?" bertanya Kim
Yan dengan suara bengis.
"Pasti!"
Kim Yan menganggukkan kepala, katanya:
"Nah, kau boleh mulai!"
It-tim yang sudah memiliki kepandaian dan kekuatan
sangat tinggi, apalagi harus menjaga nama baiknya, maka
buru-buru memusatkan pikiran dan kekuatan tenaganya,
dari tujuh puluh dua jurus gerak tipu dalam ilmu
pedangnya, ia memilih gerakan-gerakan yang paling ganas,
digunakan untuk menyerang lawannya.
Sepuluh jurus serangan It-tim dengan cepat sudah habis,
tidak peduli bagaimana ganas dan hebat serangannya, selalu
dapat dielakkan dengan baik oleh Kim Yan.
Dari semula hingga akhir, tidak peduli menggunakan
gerak tipu apa, tetapi serangan It-tim itu seolah-olah sudah
diketahui lebih dulu oleh Kim Yan, maka dapat
dielakkannya dengan sangat baik.
Selesai sepuluh jurus, dua-duanya lompat mundur.
Dengan wajah dingin Kim Yan mengulurkan tangannya
minta pedang dari tangan It-tim, katanya:
"Serahkan pedangmu!"
Tetapi It-tim nampaknya masih keberatanm enggan
menyerahkan. Katanya:
"Sayang! Sayang! Barang pusaka simpanan Bu-tong
secepat kilat sudah pindah tangan!"
Ucapan itu diulanginya beberapa kali, kemudian dengan
tiba-tiba alisnya berdiri, dengan nada suara dingin ia
berkata pula: "Nona, kalau kau menginginkan pedang ini, harap kau
ikut pinto ke puncak gunung Bu-tong, nanti setelah pinto
melakukan upacara sembahyang kepada arwah para ketua
golongan Bu-tong yang terdahulu, barulah kuakan serahkan
kepadamu."
"Jangan kau mengimpi! Hari ini, biar bagaimana kau
tak akan lolos dari tangan nonamu, sebaiknya kau serahkan
secara baik pedang itu kepadaku!" berkata Kim Yan dengan
nada suara dingin. It-tim terkejut, matanya melirik ke arah
tepi seberang, dengan tiba-tiba lompat melesat, sementara
mulutnya berkata:
"Tidak susah untuk mendapatkan pedang ini, ikutlah
aku!" Sehabis mengucapkan demikian, pedang di tangannya
dilemparkan ke tengah-tengah sungai.
Bersamaan dengan itu, badannya bergerak dengan cepat
lompat ke tengah sungai.
Saat itu, di permukaan air sungai tampak mengambang
sepotong kayu sepanjang tiga kaki. Touw Liong waktu itu
baru tahu bahwa kayu yang mengambang di permukaan air
itu ternyata dilemparkan oleh delapan anggota golongan
Bu-tong yang mengenakan pakaian warna hijau.
Terjadinya perubahan yang tak diduga-duga itu,
sesungguhnya mengejutkan padanya, maka ia segera
berseru: "Tunggu dulu!"
Setelah itu ia juga bergerak melesat ke arah sungai.
Tujuannya itu sudah tentu hendak mengejar dan
menyergap It-tim, di luar dugaannya selagi badannya
bergerak, tiba-tiba terdengar suara Kim Yan, lantas tampak
berkelebat bayangan merah, suatu kekuatan tenaga yang
cukup hebat melayang ke arahnya.
Touw Liong tahu benda apa yang melayang ke dirinya
itu, maka ia segera menyambutinya, bersamaan dengan itu
ia juga meluncur turun lagi ke tanah, dan berada di tempat
semula lagi. Benda yang disambut tadi adalah pedangnya Khun-ngokiam
yang disambitkan oleh Kim Yan. Kini ia sudah
berada lagi di tepi sungai, dan pandangan matanya
ditujukan pada bayangan tadi. Saat itu bayangan merah
tadi melayang ke tengah-tengah sungai. It-tim yang
mengenakan jubah warna hijau, yang tadi bergerak lebih
dahulu, sebaliknya kini berada di belakang bayangan
merah. Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong, sesaat
kemudian, bayangan merah itu sudah menginjak kayu yang
mengambang di permukaan air, tangannya mencabut
pedang yang menancap di atas kayu itu, dengan tangannya
yang lain ia balik menyambut bayangan It-tim yang tiba
belakangan. Serangan Kim Yan mengenakan dengan tepat hingga Ittim
terpukul dan jatuh di dalam sungai.
Gerakan Kim Yan itu sungguh hebat, setelah jatuh It-tim
ke dalam sungai, sepasang kakinya menginjak kayu yang
mengambang di permukaan air, dan ketika ia bergerak
untuk kedua kalinya sudah melesat ke tepi seberang.
Ketika badannya masih berada di tengah udara,
pedangnya sudah bergerak mendahului, dimana sinar
pedang itu berkelebatan, di situ darah pada berhamburan.
Delapan imam berbaju hijau semua terluka di ujung
pedangnya dalam keadaan kutung tangan dan kaki.
Kim Yan mengeluarkan suara siulan panjang, tanpa
menoleh lantas bergerak menuju ke puncak gunung Butong.
"Celaka! Kali ini ia naik ke gunung Bu-tong dalam
keadaan marah, markas besar Bu-tong barangkali akan
mengalami nasib buruk!" berkata Touw Liong sambil
menggebrukkan kakinya.
Pada saat itu, suara yang merdu dan halus terdengar di
samping telinganya:
"Touw tayhiap, mari kita kejar ....."
Touw Liong waktu itu baru sadar, bahwa di sampingnya
masih ada Lo Bi Im.
Ia menerima baik permintaan Lo Bi In, lalu mencari
sepotong kayu, dua orang itu dengan sepotong kayu
menyeberangi sungai. Oleh karena merasa kasihan kepada
delapan imam yang terkutung kaki dan tangannya, Touw
Liong menotok jalan darah mereka untuk menghentikan
mengalirnya darah, barulah melanjutkan perjalanannya
naik ke atas gunung.
Dalam perjalanan Touw Liong merasa sangsi terhadap
ilmu pedang Thay-it-sin-kiam adik seperguruannya, maka ia
bertanya kepada Lo Bi In:
"Nona, dengan sumoy sudah bergaul banyak hari,
tentunya mengetahui sedikit hal-hal yang mengenai diri
sumoyku itu, aku merasa sedikit kurang mengerti mengenai
kepandaian ilmu silatnya, sebab di dalam dunia rimba
persilatan, kitab yang memuat pelajaran pedang Thay-it-sinkiam
hanya ada sejilid saja, kalau kudengar dari keterangan
It-tim, jelas bahwa kitab ilmu pedang itu pada dua puluh
tahun berselang sudah terjatuh di tangannya, dengan cara
bagaimana sumoyku juga mengerti ilmu pedang itu?"
Lo Bi In tertawa geli sambil menutup mulutnya sendiri,
katanya: "Touw tayhiap salah lihat, sumoymu sama sekali tidak
mengerti ilmu pedang itu."
"Tidak mengerti" ...." mengulang Touw Liong terheranheran,
kemudian balas bertanya:
"Nona kata bahwa sumoyku tidak mengerti ilmu pedang
itu, mengapa terhadap ilmu pedang Thay-it-sin-kiam ia bisa
menghapalkan demikian lancar?"
Lo Bi In kembali tertawa dan berkata:
"Meskipun dia tak paham ilmu pedang itu, tetapi
terhadap hapalannya tujuh puluh dua gerakan ilmu pedang
itu sudah hapal betul."
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Aku masih belum mengerti, kalau mau dikata bahwa
sumoyku tidak mengerti ilmu pedang itu, akan tetapi tadi
ketika ia menggunakan pedangnya memunahkan sepuluh
kali serangan It-tim, mengapa demikian sempurna?"
"Memang, apa yang Touw tayhiap katakan ini,
sedikitpun tidak salah, sumoymu betul-betul tidak mengerti
ilmu pedang itu, tetapi dia pernah belajar delapan gerak tipu
yang khusus untuk memunahkan serangan ilmu pedang
itu." "Ow!"
"Aku tidak tahu, apakah Touw tayhiap tadi ada ambil
perhatian atau tidak, ketika sumoymu menyambuti sepuluh
kali serangan dari It-tim, hanya menyambut tetapi tidak
balas menyerang" Sedangkan ilmu pedang yang digunakan
untuk memunahkan serangan It-tim bukanlah jurus-jurus
dari ilmu pedang Thay-it-sin-kiam!"
"Aku mengerti, ia telah menggunakan berulang-ulang
delapan gerakan gerak tipu yang dia pelajari itu."
Lo Bi In menganggukkan kepala.
Touw Liong bertanya pula:
"Tahukah nona di dalam rimba persilatan ada seorang
bernama Kang Kie?"
Lo Bi In mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak,
kemudian menjawab sambil menggelengkan kepala:
"Aku tidak kenal, juga belum pernah dengar orang
menyebutkan nama itu."
"Apakah pada waktu belakangan ini nona pernah
melihat encimu?"
Lo Bi In menggelengkan kepala, tiba-tiba ia balas
menanya: "Kang Kie itu orang bagaimana?"
"Sahabat encimu!"
"Manusia tidak berbudi itu selain mencuri hati enci juga
menimpa benda pusaka warisan kami," berkata Lo Bi In
sambil menggertek gigi.
"Maksud nona apakah tentang batu Khun-ngo-giok?"
Lo Bi In mengiakan.
Dari atas punggungnya Touw Liong menurunkan
pedang Khun-ngo-kiam seraya berkata:
"Pedang ini terbuat dari bahan batu Khun-ngo-giok,
sekarang kukembalikan kepadamu, karena pedang ini
terbuat dari batu itu, maka seharusnya menjadi milik
nona." Dengan perasaan terkejut dan terheran-heran Lo Bi In
menerima pedang itu, lama diperhatikannya, baru menanya
dengan suara sedih:
"Siapakah yang membuat pedang ini?"
"Suhu Kang Kie."
Lo Bi In berpikir sejenak, kemudian menggelengkan
kepala dan berkata:
"Touw tayhiap mendapatkan pedang ini secara tidak
mudah, bahkan benda tajam yang termasuk barang sakti ini
tidak tepat berada di tanganku, karena akan menarik
perhatian banyak orang. Sebaiknya Touw tayhiap berikan
saja nanti kepada enci!"
Touw Liong tahu bahwa apa yang diucapkan oleh Lo Bi
Im itu memang sesungguhnya, maka ia juga tidak menolak,
dimasukkan lagi pedang itu ke dalam sarungnya.
Selama berbicara, kuil Sam-ceng-tian sudah tampak tidak
jauh di hadapan mata mereka. Touw Liong lalu memberi
isyarat dengan pandangan mata kepada Lo Bi Im, katanya:
"Celaka! Sumoyku sudah mulai bergebrak dengan Hianhian
locianpwe!"
Kiranya waktu itu, di tanah lapang depan kuil tampak
berkelebatnya sinar pedang dan bayangan orang. Dua
sosok bayangan orang hijau dan kuning sedang bertempur
sengit. Di luar lapangan, terdapat banyak orang yang menonton.
Ketika dua orang itu berjalan mendekati medan
pertempuran, Touw Liong lalu membentak dengan suara
keras: "Harap berhenti dulu!"
Dua orang yang bertempur ketika mendengar suara itu
lantas pada lompat mundur. Touw Liong lantas berjalan
masuk ke dalam lapangan ketika Hian-hian menampak
kedatangan Touw Liong lalu bertanya kepadanya sambil
menunjuk pedang di tangan Kim Yan:
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Touw tayhiap, dalam tangan sumoymu ada
menggenggam pedang kuno simpanan partai Bu-tong,
sekarang bagaimana tayhiap hendak memberi penjelasan
kepada pinto?"
Touw Liong lompat maju ke hadapan Hian-hian
Totiang, berkata dengan sejujurnya:
"Pedang itu dapat direbut dari tangan It-tim Totiang
yang tadi bertanding dengan sumoy, karena dikalahkan
oleh sumoy hingga pedang itu pindah ke tangan sumoy."
Imam tua itu tampak gemetaran tubuhnya, dari
mulutnya tercetus perkataan sengit: "Anak durhaka!"
kemudian ia bertanya lagi:
"Sekarang kemana ia pergi?"
Selagi Touw Liong hendak menceritakan kemana
perginya It-tiem, Kim Yan sudah mendahului, dengan nada
suara dingin ia berkata:
"Sudah kupukul dan terjatuh ke dalam sungai!"
Hawa amarah imam tua itu mulai reda, katanya:
"Seharusnya kalau dia mendapat ganjaran itu!"
Touw Liong berkata:
"It-tiem Totiang belum mati, boanpwee melihat dengan
mata kepala sendiri, ketika ia terjatuh ke dalam sungai,
sudah berhasil menjambret sepotong kayu yang ada di
permukaan air, yang mengalir ke bawah dengan mengikuti
aliran air, mungkin tidak sampai mati."
Hian-hiang Totiang dengan masih marah-marah berkata:
"Anak durhaka itu telah lancang menggunakan pedang
pusaka simpanan partai kita, dan meninggalkan kuil Samcengtian secara gegabah, dosa itu merupakan suatu dosa
yang tidak dapat diampuni, dan kini ia telah terkalahkan
lagi oleh orang lain, hal itu sangat memalukan dan
menodakan nama baik golongan kami."
Touw Liong sebetulnya ingin menceritakan halnya Ittiem
Totiang yang memiliki kepandaian ilmu silat luar
biasa, tetapi setelah dipikirnya, akhirnya ia tak jadi
menceritakan. Karena ia tidak mengeluarkan maksudnya,
maka Kim Yan lalu berkata dengan nada suara tetap dingin:
"Apa yang dibuat malu" Ini adalah suatu kehormatan
bagi golonganmu."
"Kehormatan?" bertanya Hian-hian Totiang sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang kau maksudkan dengan kehormatan itu?"
Kim Yan tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Enam puluh tahu berselang, tujuh pahlawan dari kalian
partai Bu-tong oleh karena berebut kitab Thay-it-cin-keng
bersama Tiga Garuda dari golongan Pak-bong, sehingga
harus bertempur mati-matian. Golongan Pak-bong lantaran
itu talah mengalami kehancuran total, sedangkan orangorang
dari pihak partai Bu-tong juga pada luka-luka dan ada
yang mati, akhirnya orang pada mati dan harta juga ludes.
Sedangkan kitab Thay-it-cin-keng yang dibuat rebutan itu
hingga kinipun tidak dapat direbut oleh orang-orang dari
kedua pihak!"
"Itu merupakan suatu kemaluan besar bagi orang-orang
golongan Bu-tong, karena Thay-it-cin-keng yang sudah
didapatkan hilang lagi," berkata Hian-hiang Totiang.
Kim Yan menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Tidak benar! Partai kalian telah mendapatkan sejilid
kitab ilmu pedang Thay-it-sin-kiam!"
"Kitab ilmu pedang!" bertanya Hian-hiang Totiang
kaget. "Partaimu bukan saja sudah mendapatkan ilmu pedang,
bahkan sudah ada orang yang berhasil mempelajarinya,"
berkata Kim Yan sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Siapa?" bertanya Hian-hian Totiang dengan suara
keras. "Ketuamu sendiri."
"It-tim?" bertanya Hian-hian Totiang sambil berpaling
dan memandang kepada Touw Liong.
Touw Liong menganggukkan kepala, ini merupakan
suatu jawaban bahwa apa yang dikatakan oleh Kim Yan itu
benar adanya. Hian-hian Totiang menggumam sendiri, kemudian
memberi hormat kepada Touw Liong dan bertanya:
"Sudikah Touw tayhiap memandang muka pinto, untuk
mengembalikan pedang kuno yang menjadi barang pusaka
golongan kami?"
Touw Liong unjukkan senyum getir, ia tidak tahu, harus
menerima baik permintaan itu ataukah menolak" Sebab
kalau menerima baik, ia takut akan kebentrok dengan
sumoynya sendiri, dan kalau menolak ia merasa tidak enak
terhadap Hian-hian Totiang, lagi pula ia tadi sudah pernah
berkata di hadapan orang-orang Bu-tong-pay bahwa ia
adalah ketua generasi kedua dari golongan Kiu-hwa,
apabila ia menerima baik, tetapi sang sumoy sebaliknya tak
mau mengembalikan, bagaimana ia harus menaruh
mukanya sendiri?"
Permintaan Hian-hian Totiang itu sesungguhnya
menyulitkan kedudukan Touw Liong. Tetapi ia adalah
seorang yang sangat cerdik, setelah berpikir sebentar, lantas
mendapatkan satu akal. Ia lalu menurunkan pedang Khunngokiam dari atas punggungnya, diberikan kepada Kim
Yan dan berkata dengan suara lemah lembut:
"Kau bawa pedang ini untuk melakukan tugasmu, dan
pedang itu berikan kepadaku."
"Berikan padamu?" bertanya Kim Yan sambil menatap
wajah Touw Liong, lalu menganggukkan kepala dan
berkata pula: "Baiklah! Ambillah!"
Setelah itu ia memberikan pedang itu kepada Touw
Liong. Touw Liong merasa sangat gembira dan lega
hatinya. Dengan sinar mata berterima kasih ia memandang
kepada sumoynya sejenak. Akan tetapi Kim Yan tidak mau
menerima pedang yang diberikan oleh suhengnya, ia hanya
menggelengkan kepala saja.
Touw Liong menyimpan kembali pedang Khun-ngokiamnya,
dengan kedua tangannya ia memberikan pedang
kuno kepada Hian-hiang Totiang.
Hian-hian Totiang menyambuti pedang tersebut,
kemudian berlutut dan menghadap ke kuil untuk
menjalankan upacara peradatan besar. Ia berdoa kemakkemik
sendiri dan membalikkan diri, dan pedang itu
diangkat tinggi melalui kepalanya, kemudian berkata
dengan suara nyaring:
"Kamu semua dengar perintah!"
Beberapa ratus imam yang ada di tengah lapang semua
pada berlutut dan bersedia menerima perintah.
Hian-hian Totiang menyapu semua anggota golongan
Bu-tong sejenak, kembali berkata dengan suara nyaring:
"It-tiem telah melanggar peraturan partai, pinto mewakili
cosu, mengumumkan dia diusir keluar dari golongan Butong,
untuk selama-lamanya tak diperbolehkan kembali
lagi." Begitu perintah itu keluar, kembali terdengar sambutan
riuh dari semua anggota Bu-tong-pay, sementara itu imam
tua itu kembali mengumumkan tindakan yang kedua:
"Sejak berdirinya kuil Sam-ceng-to-kwan hingga kini,
untuk menghormat kepada orang-orang yang berjasa
kepada partai kita, maka jika ketua golongan Kiu Hwa
datang berkunjung ke kuil, harus disambut dengan
kehormatan besar, dan ketua dari Kiu-hwa masih tetap
diperbolehkan naik ke gunung Bu-tong dengan membawa
pedang." Pengumuman itu kembali disambut oleh semua anggota
dengan suara riuh.
Selanjutnya adalah pengumuman yang ketiga, dari
seorang imam Hian-hian Totiang memilih seorang imam
tua yang berusia enam puluh tahun ke atas, katanya:
"Pinto melakukan tugas cosu telah memilih Ceng-sim
untuk menjabat kedudukan ketua generasi ke tiga belas dari
partai Bu-tong."
Touw Liong menarik napas lega, ia mengawasi Hianhian
Totiang yang dengan sikap sangat menghormat
menyerahkan pedang pusaka itu kepada Ceng-tim, ia
mengerti bahwa orang-orang golongan Bu-tong anggap
pedang pusaka itu sebagai barang pusaka yang sangat
berharga bagi mereka, pedang itu sudah dipandang sebagai
barang kepercayaan untuk ketua mereka. Pantas golongan
Bu-tong-pay dengan penghormatan demikian besar
memperlakukan dirinya.
Setelah upacara penyerahan kedudukan ketua itu selesai,
orang-orang juga perlahan-lahan mulai bubar. Hian-hian
Totiang mengundang Touw Liong, Kim Yan dan Lo Bi Im
bertiga masuk ke dalam kuil, pertama Hian-hian-cu
bertanya kepada Touw Liong:
"Touw tayhiap, maksud dan tujuan tayhiap kali ini
berkunjung ke gunung, bolehkah kiranya pinto
mendapatkan sedikit keterangan?"
Bab 35 Touw Liong mengawasi Kim Yan, tampak sang sumoy
itu tidak memberikan reaksi apa-apa, barulah berkata
sambil menghela napas panjang:
"Ketika suhu mangkat, boanpwee sedang ada urusan
pergi ke gunung Pak-bong-san sehingga tidak keburu
kembali untuk mengantarkan sendiri ...."
Berkata sampai di situ, matanya agak merah, ia
memandang kepada Kim Yan tetapi Kim Yan
menundukkan kepala dan menghapus ujung matanya
dengan sapu tangan.
Touw Liong melanjutkan ucapannya:
"Ketika boanpwee pulang ke gunung, jenasah suhu
sudah dikubur beberapa hari lamanya!"
"Siapakah yang mengubur?" bertanya Kim Yan dengan
suara duka. "Kang Kie!"
"Siapakah Kang Kie itu?" bertanya Kim Yan.
Touw Liong lalu menceritakan halnya Kang Kie dan
golongan Pak-bong pada dewasa ini.
Hian-hian Totiang memuji nama Budda, kemudian
berkata: "Apakah Touw tayhiap anggap bahwa kematian suhumu
itu sangat mencurigakan?"
Touw Liong menganggukkan kepala, kemudian berkata:
"Keadaan suhu waktu itu sangat baik, andaikata
mendapat penyakit keras sebelum suhu wafat pasti bisa
menunggu sampai kita suheng dan sumoy pulang ke Kiuhwa,
tetapi suhu tidak menantikan boanpwee pulang ke
gunung dan sudah menutup mata, suatu bukti bahwa suhu
pasti menjumpai suatu kecelakaan mendadak."
"Pada dewasa ini, orang yang memiliki kekuatan dan
kepandaian seperti suhumu jumlahnya dapat dihitung
dengan jari, siapakah yang sanggup" .... Gak ...?" berkata
Hian-hian Totiang sambil mengkerutkan alisnya.
Touw Liong menganggukkan kepala, katanya:
"Ngo-gak-sin-kun merupakan salah satu di antara orangorang
yang memiliki kepandaian berimbang dengan suhu,
yang lainnya mungkin adalah itu orang yang mengenakan
kerudung muka dan menyebut dirinya sebagai Panji
Wulung, tetapi orang itu adalah seorang wanita tua."
Kim Yan pandang suhengnya dengan mata mendelik,
mulutnya terbuka, seolah-olah hendak mengucapkan
sesuatu, tetapi Lo Bi Im sudah mendahului, katanya sambil
menggelengkan kepala:
"Tidak mungkin kalau Panji Wulung locianpwee!"
Touw Liong memandang dengan penuh perhatian
kepadanya, lalu bertanya sambil memberi isyarat dengan
mata: "Sebabnya?"
"Dua bulan terakhir ini aku dengan sumoyku bersamasama
pergi ke gunung Tiam-cong-san mempelajari
semacam ilmu, dengan diberi petunjuk oleh Panji Wulung
locianpwee sendiri, ia belum pernah meninggalkan kita
barang setapak, tidak mungkin bisa berada di tempat ribuan
pal jauhnya untuk melakukan perbuatan terkutuk itu."
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata:
"Aku teringat kepada seorang lain lagi!"
"Siapa?" bertanya Hian-hian Totiang.
"Ilmu pedang Thay-it-sin-kiam yang terdiri dari tujuh
puluh dua jurus!"
Hian-hian Totiang terkejut, ia balas menanya:
"Maksud Touw tayhiap, apakah kau anggap perbuatan
itu dilakukan oleh It-tiem murid durhaka golongan kami
itu?" Touw Liong menghela napas dan berkata dengan suara
sedih: "Dalam pertempuran hari ini, aku semakin percaya
bahwa di dalam rimba persilatan ini ada dua macam ilmu
pedang yang dapat menangkan ilmu pedang Kiu-hwa-kiamhoat
suhu, yang satu adalah ilmu pedang Taylo-kim-kongkiam
yang dahulu dimiliki oleh Liu tayhiap dan yang
namanya pernah menggemparkan rimba persilatan, dan
yang lain adalah ilmu pedang Tahy-it-sin-kiam."
"Kalau benar perbuatan itu dilakukan oleh murid
durhaka It-tiem, pinto benar-benar merasa sangat malu
sekali. Hanya ... selama satu bulan belakangan ini It-tiem
setiap hari setiap malam selalu datang menanyakan
kewarasanku belum pernah terputus. Oleh karena itu,
tentang persoalan kematian suhumu ini, kemungkinannya
dilakukan oleh murid durhaka itu sedikit sekali," berkata
Hian-hian Totiang, ia berhenti sejenak kemudian berkata
pula: "Coba kau pikir lagi, di antara orang-orang seperti Pek
Thian Hiong, Hui Eng, dan Kang Kie."
"Mereka tidak mungkin membagi waktunya untuk pergi
ke gunung Kiu-hwa," menjawab Touw Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Hian-hian Totiang terbenam dalam pikirannya. Lama
sekali ia baru menggeleng-gelengkan kepalanya dan
menghela napas panjang.
Touw Liong bertanya pula:
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahukah cianpwee pada delapan belas tahun berselang,
di antara murid golongan Bu-tong, apakah ada salah
seorang yang pernah terjadi perselisihan paham dengan
seorang she Touw atau she Kang."
Hian-hian Totiang mengerutkan alisnya, berpikir agak
lama. Kemudian baru berkata:
"Ada, waktu itu adalah suhengku Giok-ceng-cu yang
pegang pimpinan sewaktu It-tiem ada urusan pergi ke kota
Kong-ciu, kabarnya dia dan sepuluh tokoh kuat telah
berkumpul di telaga Tong-teng-ouw pada malaman Te-ongciu,
di situ ia melakukan suatu perbuatan yang merupakan
suatu pahala bagi mereka."
Touw Liong terperanjat, dengan isyarat matanya ia
bertanya kepada imam tua itu:
Imam tua itu menarik napas panjang dan berkata:
"Beginilah duduk perkaranya, kabarnya kitab Thay-itcinkeng itu berada di tangan seorang she Kang, yang
dilindungi oleh seorang she Touw, dua orang itu ketika
berjalan melalui kota Gak-yang, telah diketahui oleh tokohtokoh
dari sepuluh partai, demikianlah orang-orang kedua
pihak itu telah bertempur di loteng rumah makan Gakyanglauw." "Bagaimana kesudahannya?" bertanya Touw Liong.
"Di samping dua pemuda she Kang dan she Touw itu,
masih ada lagi seorang wanita muda yang berjalan bersama
mereka, semua binasa di tangan tokoh-tokoh sepuluh partai
itu." "Apakah mereka yang binasa itu tak mempunyai
keturunan?"
"Ada, sebelum menutup mata, wanita muda itu telah
melemparkan dua anak laki-lakinya yang baru berusia
setahun keluar jendela, dan kecebur di dalam air?"
"Lalu?"
"Kemudian" Oh! Tokoh-tokoh sepuluh partai itu
sehabis membunuh tiga orang itu pada turun dan mencari
dua anak kecil tadi di dalam danau, tetapi sepasang anak
tadi sudah kehilangan jejaknya."
"O! ....."
"Menurut dugaan pinto, dua anak itu mungkin masih
hidup di dalam dunia."
"Satu diantaranya mungkin adalah boanpwee sendiri,
dan yang lain mungkin adalah Kang Kie," berkata Touw
Liong sambil mengucurkan air mata.
Imam tua itu mengangguk-anggukkan kepala, tidak
mengucapkan sesuatu, hanya memandang Touw Liong
dengan sinar mata penuh simpati. Kim Yan sesalkan Touw
Liong: "Mengapa kau tadi tidak menanyakan kepada It-tiem?"
"Musuh orang tua adalah musuh yang terbesar.
Walaupun ke ujung langit, aku juga akan mencari mereka
untuk membuat perhitungan," berkata Touw Liong.
"Tokoh dari sepuluh partai yang terbinasa di danau
Thian-tie kali ini, tiada satupun yang dahulu turut campur
tangan dalam peristiwa di kota Gak-yang tiu," berkata
Hian-hian Totiang sedih.
"Apakah mereka masih hidup" Tahukah locianpwee
orang-orang itu?" bertanya Touw Liong sambil menangis.
"Asal dapat menemukan It-tim dan menanyakan
kepadanya, tidak susah untuk mengetahui siapa adanya
orang itu," berkata Hian-hian Totiang sambil
menggelengkan kepala.
Touw Liong lalu bangkit dan memberi hormat, seraya
berkata: "Musuh besar sudah kuketahui, kini boanpwee mohon
diri." "Harap Touw tayhiap jangan terlalu bersedih, biarlah
dari pihak pinto sini nanti akan kirim orang turun gunung
untuk mencari jejak pengkhianat It-tim itu, apabila berhasil
dapat menangkapnya, pinto akan beritahukan kepada Touw
tayhiap lagi."
Touw Liong berpaling dan memandang Kim Yan lalu
bertanya padanya:
"Kau belum mau pergi?"
Kim Yan geleng-gelengkan kepala.
Touw Liong pergi seorang diri! Tetapi baru saja tiba di
kaki gunung Bu-tong-san, Kim Yan dan Lo Bi Im sudah
muncul. Touw Liong lalu bertanya dengan suara heran:
'"Mengapa kau juga menyusul?"
"Aku telah meminjam sebuah barang Hian-hian Totiang,
dengan adanya kau di sana aku merasa tidak enak untuk
membuka mulut, setelah kau pergi aku baru minta
padanya," menjawab Kim Yan.
"Apa yang kau minta?"
"Pil Kiu-hwan-tan, salah satu dari tiga barang pusaka
milik Bu-tong."
"Apa dia sudah memberikan padamu?"
Kim Yan menganggukkan kepala.
Touw Liong menghela napas dan berkata:
"Tidak kecewa Hian-hian Totiang menjadi seorang
beribadat yang bijaksana, benda berharga yang melebihi
jiwanya sendiri, dia juga rela untuk memberikan kepadamu,
kita bisa mengetahui betapa agungnya jiwa imam tua itu."
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala dan berkata:
"Semua itu lantaran memandang mukamu, karena ia
masih mengingat budimu yang mengembalikan pedang
kuno itu kepadanya."
"Tidak peduli bagaimana, bagaimanapun juga ia sudah
memberikan padamu obat yang khasiatnya bisa
menghidupkan kembali orang yang sudah hampir mati, itu
adalah suatu kenyataan! Oh, untuk apa sebetulnya kau
minta obat pil Kie-hoan-tan?"
"Panji Wulung telah mempelajari semacam ilmu luar
biasa, lantaran kurang hati-hati telah membawa akibat tidak
baik bagi dirinya, dan perlu disembuhkan dengan pil ini,"
menjawab Kim Yan sambil mengerutkan alisnya.
"Ilmu luar biasa apa sebetulnya?"
"Ilmu itu dinamakan ilmu Hek-hong Im-kang."
"Ilmu Hek-hong Im-kang?" bertanya Touw Liong
terkejut. Sebab, ilmu yang terlalu ganas itu, pada beberapa
ratus tahun berselang pernah terdengar di kalangan kangouw,
tetapi belum pernah muncul dan sekarang telah
mendapat keterangan dari mulut sumoynya sendiri, sudah
tentu bukanlah bohong.
Dahulu, sewaktu Kiu-hwa Lojin menceritakan ilmu-ilmu
dalam rimba persilatan pernah berkata: "Ilmu yang
dinamakan Hek-hong Im-kang itu terlalu ganas sekali,
apabila seseorang berhasil memiliki ilmu itu, dan kekuatan
tenaganya sudah mencapai ke taraf sempurna, ilmu yang
dilancarkan kepada diri orang lain, perangai sang korban
bisa berubah dengan segera, dalam waktu sekejap mata bisa
melupakan asal-usul dirinya sendiri."
Touw Liong kini baru mengerti, mengapa Panji Wulung
wanita itu pernah omong besar. Ia mengatakan bahwa Kim
Yan di kemudian hari apabila berjumpa lagi dengan Touw
Liong tidak akan mengenali Touw Liong lagi, bahkan bisa
berbalik muka terhadapnya.
Ia diam-diam mengucapkan syukur karena Kim Yan
masih belum kemasukan racun dari Hek-hong Im-kang itu
hingga sifatnya yang asli belum hilang.
Meskipun Touw Liong tahu, tetapi dia pura-pura tidak
mengerti, maka balas menanya kepada Kim Yan:
"Sumoy! Sejak kau denganku berpisahan di kapel Caplietiang-teng, jejakmu sangat mengherankan, seolah-olah
bayangan yang bisa dilihat tidak bisa dipegang. Kemudian,
beberapa kali kau melihat aku, tetapi kau tidak
menghiraukan sama sekali!"
Kim Yan semula diam saja, kemudian menatap wajah
Touw Liong dan berkata:
"Sudah tentu aku mempunyai kesulitan sendiri."
"Apakah dipengaruhi oleh Panji Wulung wanita itu?"
Kim Yan mengangguk-anggukkan kepala, matanya
memandang sinar matahari yang sudah hampir silam,
katanya: "Jikalau aku tidak dengar katanya, dia akan ....."
"Dia akan bertindak yang tidak menguntungkan
bagimu?" "Tidak!" menjawab Kim Yan sambil menggelengkan
kepala, "jikalau aku tidak dengar kutanya, pertama, dia
akan pergi ke gunung Kiu-hwa dan mengambil tindakan
terhadap suhu; kedua, dia akan membinasakan dirimu, atau
memusnahkan kepandaian ilmu silatmu."
"Oleh karena itu maka kau rela terkekang olehnya?"
bertanya Touw Liong sambil menghela napas.
Wajah Kim Yan menunjukkan perasaan sedihnya,
hingga Touw Liong yang menyaksikan itu sampai
menggeleng-gelengkan kepalanya:
"Tahukah kau bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan?"
Kim Yan merasa bingung, ia menggeleng-gelengkan
kepala. Touw Liong lalu menceritakan, bagaimana Panji
Wulung wanita itu telah memusnahkan kepandaian silatnya
ketika keduanya berjumpa di puncak Sim-lie-hong di
gunung Bu-san. Sepasang alis Kim Yan berdiri, katanya sambil
menggertek gigi:
"Tak kuduga ia telah mengingkari janjinya sendiri."
Selanjutnya, ia menangis dengan sendirinya, dan kemudian
dengan suara terisak-isak memanggil: "Suheng ...."
Touw Liong menghiburinya, lalu menceritakan betapa
ganasnya ilmu Hek-hong Im-kang yang sedang dipelajari
oleh Panji Wulung wanita itu. Kim Yan yang mendengar
penuturan itu wajahnya seketika berubah, katanya sambil
menggertek gigi:
"Aku tidak akan pergi lagi ke gunung Tiam-cong!"
"Baik juga! Biarlah ia menderita batin untuk sementara!
Sekarang ini yang penting kita lekas mencari keterangan
sebab-sebab kematian suhu kita."
Tiga hari kemudian, Touw Liong bersama Kim Yan
pulang ke gunung Kiu-hwa. Kim Yan setelah berziarah di
hadapan kuburan Kiu-hwa Lojin bersama Touw Liong
berkabung di atas gunung Kiu-hwa, setapakpun tidak
meninggalkan gubuknya.
Lo Bi Im dengan seorang diri pulang ke gunung Kun-lunsan.
Dalam masa berkabung itu, Touw Liong dapat memikir
sebaik-baiknya. Ia merasa bahwa kematian suhunya itu
sangat mencurigakan, sedang musuh ayah bundanya juga
tak dapat dibandingkan dengan orang Kng-ouw biasa.
Ia bersama Kim Yan tiqap hari berlatih ilmu silat dan
melakukan semedi. Ilmunya Tay-lo-kim-kong-kiam dan
Thay-it-sing-kang, dipelajarinya dengan tekun, dengan
penghidupan secara demikian, setengah tahun dilewati
tanpa dirasa. Kini Touw Liong sudah memahami betul ilmu
pedangnya Tay-lo-kim-kong-kiam, sedangkan Kim Yan
juga sudah berhasil mempelajari ilmunya Thay-it-sin-kang.
Dua orang itu kini benar-benar sudah terhitung salah satu
dari barisan orang terkuat dari rimba persilatan, setelah
Touw Liong juga berhasil mempelajari ilmunya Thay-it-sinkang,
hingga kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai ke
taraf tiada taranya.
Kim Yan sudah berhasil melaksanakan pelajarannya
delapan jurus ilmu pedang terampuh yang dinamakan ilmu
pedang thay-it-sin-kiam, dan Touw Liong di bawah
petunjuknya juga sudah berhasil mempelajari delapan jurus
ilmu pedang itu.
Setelah selesai dalam pelajarannya itu, kedua-duanya
bersembahyang di hadapan kuburan Kiu-hwa Lojin, lalu
turun gunung. Dua orang itu dengan tujuan yang sama,
hendak menyelidiki jejak musuh mereka.
Begitu turun dari gunung Kiu-hwa, lantas mendengar
peristiwa besar yang sangat mengejutkan...., Hian-hian
Totiang dari partai Bu-tong sudah meninggal dunia!
It-tim Totiang kembali memegang tampuk pimpinan
partai Bu-tong.
Ceng-tim Totiang kedapatan mati, tidak diketahui apa
sebabnya! Semua peristiwa itu telah terjadi pada belum lama
berselang. Berita itu bagaikan geledek di siang hari bolong, benarbenar
sangat mengejutkan Touw Liong dan Kim Yan.
Kini mereka tujukan arahnya ke gunung Bu-tong dengan
melakukan perjalanan siang hari malam tanpa mengaso.
Dalam waktu beberaapa hari saja, mereka sudah tiba di
bawah kaki gunung Bu-tong. Tempat itu masih tetap
seperti sediakalam namun orang-orang yang di atas gunung
itu sudah berlainan wajahnya. Dua orang itu baru tiba di
tempat yang dinamakan tempat untuk menanggalkan
pedang, dari kuil sudah terdengar suara bergeraknya orang,
dan sesaat kemudian tampak enam belas imam berpakaian
hitam yang segera merintangi perjalanan Touw Liong
berdua. Touw Liong melihat enam belas imam itu usianya semua
di sekitar empat puluh tahunan. Wajah dan sikap mereka
menunjukkan bahwa para imam itu terdiri dari orang-orang
yang bersifat buruk. Begitu berhadapan dengan Touw
Liong lantas menghunus pedangnya, dan dengan gerakan
yang sangat lincah sekali mengurung Touw Liong dan Kim
Yan, sikapnya sangat jumawa.
Touw Liong coba mengawasi setiap orang, tetapi tak
seorangpun yang dikenalinya. Enam belas imam itu
agaknya juga merasa asing terhadap Touw Liong dan Kim
Yan. Sementara itu dalam hati Touw Liong berpikir: imam
dari partai Bu-tong, tiada seorangpun yang tak kukenali,
entah dari mana It-tim mendapatkan kambrat imam-imam
ini. Satu diantara imam itu yang perawakannya tinggi kekar,
berjalan menghampiri Touw Liong dan membentaknya
sambil menudingkan jari telunjuk tangannya:
"Apa kerjamu?"
"Mendaki gunung!" menjawab Kim Yan dingin.
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Imam itu masih tetap dengan sikap jumawa,
mengulurkan tangannya dan berkata:
"Keluarkan kartu namamu!"
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata:
"Kita datang tergesa-gesa hingga tidak mengadakan
persiapan. Tolong totiang katakan saja bahwa Touw Liong
dari Kiu-hwa datang untuk menghadap kepada Hian-hian
Totiang!" "Kiu-hwa"! Heh!" berkata imam itu dengan sikap
menghina, "kedatanganmu sangat kebetulan, ketua kami
justeru pikir hendak mengadakan perhubungan dengan
kamu ...."
Berkata sampai di situ, dengan-tiba-tiba ia memperkeras
suaranya, katanya:
"Sungguh sial! Imam tua Hian-hian itu sudah lama pergi
melaporkan diri kepada Giam-lo-ong di akherat."
Touw Liong memperdengarkan suara dari hidung,
sedang Kim Yan tampak marah, alisnya berdiri, bentaknya
dengan nada suara dingin:
"Tutup mulut! Lekas beritahukan kepada It-tim, katakan
bahwa kita datang mencari dia!"
Imam itu mengacungkan ibu jarinya seraya berkata:
"Hebat! Hebat! Perjalanan kami benar-benar tidak siasia,
hanya dengan keberanianmu ini, sudah cukup
mengagumkan. Baiklah! Tidak susah bagi kalian hendak
menemui ketua, lebih dulu harus melewati pos penjagaan
kami." Sehabis berkata demikian ia mengacungkan pedangnya,
enam belas imam itu sesaat itu lantas terpisah menjadi dua
lapis, mengurung Touw Liong berdua rapat-rapat.
Dari nada suaranya imam tadi, jelas bahwa imam itu
belum lama datang di gunung Bu-tong.
Touw Liong mengeluarkan suara siulan panjang, pedang
Khun-ngo-kiamnya sudah keluar dari sarungnya, sedangkan
Kim Yan lebih dulu melompat maju dan berkata:
"Jangan tergesa-gesa! Biarlah aku yang mencoba lebih
dulu! Jikalau aku tidak sanggup, barulah kau yang
menggantikan aku."
Touw Liong menjejakkan kakinya, melesat lima tombak.
Di tengah udara ia berputaran, lantas meluncur ke arah
batu tempat menanggalkan pedang yang tingginya
setombak lebih.
Delapan imam yang menjaga di lapis kedua, semuanya
juga bergerak dengan pedang terhunus mengepng batu
tempat menanggalkan pedang itu.
Delapan imam yang mengepung Kim Yan, semuanya
menggerakkan pedangnya tatkala dua kakinya bergerak dan
mulai membuka serangannya, ternyata pembukaan itu
adalah gerakan dari ilmu pedang Thay-it-sin-kiam.
Touw Liong diam-diam merasa heran, ia bertanya
kepada diri sendiri: "Kawanan imam ini ternyata sudah
mempelajari ilmu pedang Thay-ti-sin-kiam!"
Sementara itu gerakan pedang delapan imam itu telah
menimbulkan desiran angin, delapan pedang itu semuanya
menikam ke arah Kim Yan sedangkan kekuatan tenaga
yang disalurkan kedelapan bilah pedang itu semua
merupakan kekuatan tenaga dalam dari golongan orang
kelas satu. Tapi yang mengherankan ialah delapan imam
yang mengepung Kim Yan itu gerak tipunya masing-masing
yang digunakan satu sama lain sangat berlainan, tetapi
semuanya adalah gerak tipu yang paling hebat dalam ilmu
pedang Thay-it-sin-kiam. Ini juga berarti bahwa Kim Yan
dalam waktu yang bersamaan telah dikepung dengan
serangan delapan orang yang semuanya sangat pandai ilmu
pedang Thay-it-sin-kiam, sehingga Touw Liong yang
menyaksikan itu merasa marah.
Kim Yan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya ke
dalam pedang di tangannya, dengan menggunakan delapan
macam gerak tipu dari ilmu pedang terampuh, dengan
mudah sekali berhasil memunahkan serangan delapan
imam itu. Tetapi delapan imam itu bukanlah orang-orang dari
golongan sembarangan. Delapan pedang mereka setelah
terpencar, tetapi sebentar lagi telah bergabung kembali,
sesaat selagi menggabungkan diri, hembusan angin yang
keluar dari delapan bilah pedang dengan dibarengi oleh
serangan yang hebat, mendesak Kim Yan lagi.
Kim Yan mengeluarkan suara siulan panjang, pedang
panjangnya diputar demikian rupa, untuk kedua kalinya ia
berhasil memunahkan serangan dari delapan bilah pedang
tersebut. Delapan imam itu kembali memencar dan kemudian
tergabung lagi, kali ini delapan bilah pedang itu tidak
terburu nafsu mengeluarkan serangan, lebih dulu dua bilah
pedang yang melakukan serangan, saling menyusul. Tetapi
sesaat serangan itu meluncur, dan baru di tengah jalan,
serangan pedang dari kanan dan kiri menyambung dengan
tiba-tiba, serangan itu menggunakan dua macam gerak tipu
yang mematikan, dan selagi serangan dari pedang kanan
dan kiri menjalankan tugasnya, dari kanan depan dan kiri
bagian depan juga sudah menyusul melancarkan serangan.
Serangan pedang dari kanan dan kiri itu merupakan
serangan tipuan belaka, bukan serangan yang sungguhsungguh,
sedangkan bagian depan kanan dan bagian kiri
belakang tiga pedang melancarkan serangan dengan
beruntun. Delapan pedang itu mengarahkan serangan saling
menyusul, menjadi empat gelombang, terbagi delapan arah
yang berlainan, hingga sesaat itu, Kim Yan merasa repot
juga, sebab kalau ia berhasil menahan serangan dari depan,
tetapi tidak bisa menjaga serangan dari belakang, kalau ia
berhasil mengelakkan serangan dari kiri, di bagian kanan
lantas terbuka luang, hingga sesaat selanjutnya keadaannya
sangat berbahaya.
Touw Liong yang menyaksikan itu merasa khawatir,
sambil menenteng pedangnya ia lompat melesat dan
menyerbu ke tengah-tengah medan pertempuran.
Sebelum orangnya tiba, pedangnya sudah melancarkan
serangannya lebih dahulu, dengan pedang pusakanya yang
luar biasa itu, secepat kilat sudah berhasil memapas kutung
empat bilah pedang di tangan empat imam.
Tempat dimana Touw Liong turun, ada di samping Kim
Yan, dengan demikian mereka berdua lantas berdiri
berdampingan, sama-sama melawan musuhnya.
Delapan imam itu pada lompat mundur, tetapi delapan
imam yang lain sudah maju turut bertempur.
Sementara itu dari kuil sudah ada orang yang
mengantarkan empat bilah pedang panjang untuk
menggantikan empat pedang yang terpapas kutung oleh
Touw Liong. Beberapa imam yang lainnya juga sudah
dikerahkan, namun tidak ikut turun tangan.
Kim Yan kini dapat menarik napas lega, dengan lengan
bajunya menghapus keringat yang membasahi jidatnya. Ia
lalu berkata kepada Touw Liong dengan suara pelahan:
"Suheng, sungguh berbahaya!"
Touw Liong memandangnya sambil tertawa getir, dan
menghela napas panjang. Kim Yan tiba-tiba mengerutkan
alisnya, sudah menemukan suatu akal, di telinga Touw
Liong ia mengatakan beberapa patah kata dengan suara
amat pelahan. Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata:
"Baiklah, kita berbuat begitu saja."
Enam belas imam itu terbagi menjadi dua lapis, pedang
mereka silih berganti melancarkan serangan, kali ini mereka
melakukan gerakannya yang tidak sama dengan yang
duluan. Meskipun masih tetap melancarkan serangan
dengan dua bilah pedang secara berbareng, tetapi dua lapis
imam yang melancarkan serangan silih berganti bisa bekerja
sangat baik sekali. Enam belas bilah pedang bergulunggulung,
hingga menimbulkan desiran angin hebat
mengurung dua orang itu.
Mata Touw Liong berputaran, kekuatan tenaga
dikerahkan kepada lengan tangannya, pedangnya
digunakan untuk memapaki setiap serangan musuh yang
hampir mengenai dirinya, sedangkan kekuatan tenaga di
tangan kirinya dikerahkan kepada lima jari tangannya, dari
jarak jauh melancarkan serangannya Thay-it-sin-jiauw.
Sesaat kemudian terdengar suara jeritan ngeri, imam yang
mundur ke belakang lantas rubuh jatuh di tanah, hanya
sebentar saja ia menggeliat, lantas tak berkutik lagi.
Bab 36 Kim Yan yang melihat suhengnya sudah berhasil
membinasakan satu lawan, dalam hatinya merasa girang, ia
juga melancarkan serangan, kembali terdengar dua kali
suara jeritan ngeri, dari enam belas imam yang buas-buas
itu, tiga orang kembali terbinasa di tangannya.
Imam yang bertindak sebagai kepala rombongan dari
enam belas imam tersebut, ketika melihat gelagat tidak
beres lantas memerintahkan orangnya sendiri mundur.
Tiga belas imam yang masih hidup, bagaikan daun
kering tersapu angin pada mundur bersimpang-siur.
Meskipun mereka sudah mundur jauh-jauh, tetapi tiga
orang itu masih mencoba berusaha untuk mengurung dua
orang lawannya lagi.
Touw Liong mengeluarkan suara tertawa terbahakbahak,
imam yang bertindak sebagai kepala rombongan itu
juga tertawa menyeringai, tangannya menggapai ke arah
kuil, dari dalam kuil segera terdengar suara genta yang
sangat ramai. Imam itu berkata sambil tertawa dingin:
"Bocah she Touw, kau jangan merasa bangga dulu,
sebentar lagi, ketua kita akan datang sendiri untuk melayani
kau." Touw Liong tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"It-tim adalah setan gentanyangan di bawah pedang
kami. Aku si orang she Touw yakin masih sanggup
menyambuti serangannya yang ganas."
Imam itu kembali perdengarkan suara ketawa dinginnya,
setelah itu ia berkata pula:
"Keadaan sudah berubah, ketua kita sudah tidak seperti
dahulu lagi, waktu itu sebab belum berhasil menyelesaikan
pelajarannya delapan gerak tipu terampuh dalam ilmu
pedang Thay-it-sin-kiam, sehingga dirugikan oleh kalian;
akan tetapi sekarang ilmu pedang itu sudah dipelajari
seluruhnya, di dalam dunia ini, orang yang bisa menandingi
ilmu pedangnya barangkali bisa dihitung dengan jari."
Touw Liong yang mendengar ucapan itu diam-diam juga
terkejut, namun dia masih belum percaya seluruhnya,
sedangkan Kim Yan perdengarkan suara dingin, kemudian
berkata: "Di dalam dunia ini, orang yang bisa menggunakan
delapan macam gerakan terampuh dari ilmu pedang Thayitsin-kiam, kecuali si nenek yang menyebut dirinya sebagai
Panji Wulung, tidak ada orang lagi yang mengerti ilmu
pedang terampuh itu, kau kata bahwa It-tim sudah berhasil
mempelajari delapan gerakan terampuh itu, bukankah
sangat lucu sekali?"
Imam itu menganggukkan kepala dan berkata:
"Benar! Dalam dunia ini orang yang mengerti delapan
macam gerak tipu terampuh itu hanyalah Panji Wulung
locianpwee seorang, tetapi kau mungkin mengimpipun tak
akan menduga bahwa delapan gerak tipu terampuh yang
dipelajari oleh ketua kita itu dari Panji Wulung locianpwee
sendiri." "Aneh!" berkata Kim Yan heran.
Sementara itu Touw Liong berkata sendiri dengan
terheran-heran:
"Diantara mereka tidak ada hubungan satu sama lain!"
Imam itu tertawa besar, katanya:
"Dalam segala hal tak bisa terlepas dari soal jodoh, oleh
karena jodoh, hal apa dalam dunia ini yang tidak bisa
berhasil" Dengan cara bagaimana ketua kami bisa
mengadakan perhubungan dengan Panji Wulung, bagi
orang luar, sedikit sekali yang tahu, sebentar lagi, kalian
boleh tanya sendiri!"
"Hmmm!" demikian Touw Liong menyahut lalu
terbenam dalam alam pikirannya sendiri.
Sementara itu Kim Yan berkata:
"Jikalau benar dua orang itu tergabung menjadi satu,
maka rimba persilatan barangkali tidak akan aman lagi."
"Bocah she Kim, kata-katamu ini seperti kata-kata orang
mengimpi, ketua kita bukan saja sudah mengadakan
perhubungan dengan Panji Wulung, bahkan .... he, he!
Sepuluh tokoh kuat dari sepuluh partai, kini berkumpul di
markas besar partai Bu-tong, hendak melakukan suatu
pekerjaan besar yang akan menggemparkan dunia
persilatan, hal ini juga hanya menunggu sang waktu saja."
Touw Liong yang mendengar ucapan itu bertanya
dengan suara marah:
"Sepuluh tokoh dari sepuluh partai yang kau katakan
tadi, apakah bukan sepuluh penjahat yang dahulu terlibat
dalam peristiwa di kota Gak-yang?"
"Mereka turut ambil bagian atau tidak, aku tak bisa
mengatakan, bagaimanapun juga orang yang bisa
berhubungan dengan ketua kami, juga bukanlah orangorang
dari golongan sembarangan," berkata imam tadi
pura-pura berlaku misteri.
"Jikalau betul mereka sepuluh orang itu, ini merupakan
suatu kesempatan bagiku untuk melaksanakan tugasku!
Kuakan bunuh mereka satu persatu kalau aku sampai
meloloskan satu saja, aku tidak mau menjadi orang she
Touw lagi!"
"Kalau kau ingin penjelasan tanya saja kepada .... Oh,
itu dia pemimpin kami sudah datang!" berkata imam itu
dingin. Touw Liong mengikuti arah yang ditunjuk oleh imam
tadi. Benar saja, tampak It-tim dengan diiring oleh delapan
imam jubah hijau yang dahulu dikutung tangan dan
kakinya oleh Kim Yan, sedang berjalan mendatangi.
Delapan imam yang sudah bercacat itu ketika tiba di
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan Touw Liong semua mengawasi Kim Yan dengan
sinar mata penuh kemarahan.
It-tim dengan pedang pusaka di tangan melirik kepada
Kim Yan sejenak, lalu berkata kepada Touw Liong:
"Di sorga ada jalan, kalian tidak mau ke sana sebaliknya
datang kemari mencari mati. Baik juga, aku baru saja
membuka pintu neraka, kalau kalian mau, silahkan masuk!"
"It-tim, kau ini manusia terkutuk yang berani melawan
Cowsu sendiri dan berkhianat terhadap partai, kalau aku
tidak membelah dadamu dan mengeluarkan hatimu, benarbenar
tidak percaya kau bisa melakukan perbuatan durhaka
yang terkutuk oleh dewa-dewa itu!" berkata Touw Liong
dengan tidak kalah pedasnya.
"Orang yang bernyali kecil bukanlah kesatria, orang
yang tidak berhati kejam bukanlah seorang jantan. Aku
sebetulnya memang ketua partai Bu-tong, siapa suruh
mereka berani melawan perintah secara terang-terangan?"
"Dosamu bukan hanya itu saja, sembilan belas tahun
berselang, perbuatan di Gak-yang-lauw terhadap ayah
bundaku ...." berkata Touw Liong dengan mata merah.
It-tim terkejut, ia mundur selangkah, matanya menatap
Touw Liong, tanyanya:
"Kau adalah ...."
"Siapa aku" Ha ..."
"Apa kau keturunan salah satu dari antara tiga bangsat
itu" Oh ya! Kau tentunya sudah dibawa dan ditolong oleh
setan tua Kiu-hwa Lojin ...." berkata It-tim sambil
menuding Touw Liong. Kemudian tertawa terbahak-bahak
dan berkata pula dengan sangat bangga:
"Memang benar orang she Touw itu adalah aku sendiri
yang bereskan. Kau datang mencari aku, itu tidak salah
alamat!" Meskipun darah Touw Liong mendidih, tetapi ia masih
kendalikan perasaannya.
Ia mendongakkan kepala dan berdoa kepada arwah ayah
bundanya, supaya diberi restu untuk membinasakan musuh
besarnya dengan tangan sendiri.
Sehabis berdoa, selagi hendak bergerak, dengan tiba-tiba
Kim Yan maju dan berkata padanya dengan suara lemah
lembut: "Suheng sabar dulu, aku hendak tanya kepada imam
keparat ini."
Touw Liong terpaksa membatalkan maksudnya,
sementara itu dengan sikapnya yang tenang Kim Yan
bertanya: "It-tim, ada permusuhan apa kau dengan ayah bunda
Touw Liong sehingga demikian tega hati kau membunuh
mereka?" "Sebetulnya tidak ada permusuhan apa-apa, hanya
kepentingan masing-masing yang bertentangan satu sama
lain, sehingga timbul bentrokan."
JILID 14 Kim Yan pandang It-tim marah tetapi It-tim tidak
menghiraukan, katanya pula,
"Sebetulnya hanya soal kitab Thay-it Cin-keng. Sepuluh
tahun berselang, seperti apa yang sudah diketahui oleh
semua orang rimba persilatan lantaran kitab tersebut telah
menimbulkan bentrokan hebat dengan golongan Pak-bong
akhirnya, kedua pihak jatuh banyak korban jiwa dan kitab
itu sendiri juga lenyap. Sejak waktu itu suhu lalu
mengeluarkan perintah untuk mencari kembali kitab yang
hilang itu dengan cara apa saja. Apa mau kitab Thay-it
Kiam-pho yang merupakan satu bagian dari kitab Thay-it
Cing-keng telah terjatuh di tangan Hong-tim-sam-kiat (Tiga
Jago Pengembara)."
"Hong-tim-sam-kiat?" bertanya Kim Yan dengan mulut
menganga sambil memandang Touw Liong.
"Ayah mungkin adalah orang yang waktu itu mendapat
julukan Touw Giok Khun. Tangan Besi Menggetarkan
daerah Tiga Sungai," berkata Touw Liong.
It-tim berkata sambil menganggukkan kepala.
"Kitab ilmu pedang itu memang terjatuh di tangan Touw
Giok Khun, waktu aku berjumpa dengannya di daerah
Kow-sow aku minta dengan secara baik, tetapi mereka tidak
mau menyerahkan, hingga akhirnya terjadi bentrokan.
Kala itu aku terpukul oleh orang she Touw itu, tetapi yang
paling menggenaskan adalah sikap Kang In Hui yang
sangat jumawa, setelah aku terluka di tangan Touw Giok
Khun ia malah sesumbar, kitab ilmu pedang itu memang
betul berada dalam tangan mereka tetapi jangan harap bisa
diserahkan, sekalipun mengerahkan tokoh-tokoh terkuat
dari sepuluh partai besar pada waktu itu, juga tidak takut!!
Pada masa itu usia tiga jago itu semua belum cukup dua
puluh lima tahun, terutama isteri Touw Giok Khun, Kok
Gin Hong, yang mempunyai julukan San-hoa-sian-cu,
bukan saja ilmu pedangnya tidak di bawah Kang In Hui,
tetapi juga mahir sekali menggunakan senjata rahasia jarum
Bwee-hoa-ciam. Tiga orang itu karena memiliki
kepandaian tinggi, dalam usia demikian muda namanya
sudah menggemparkan rimba persilatan, maka lantas
menjadi sombong."
Waktu itu, It-tim telah menetapkan suatu perjanjian. Ittim
hendak mengadakan pertandingan pada tanggal 9 bulan
sembilan. Ia tidak lantas kembali ke gunung Bu-tong, dengan
kedudukan sebagai murid Bu-tong-pay, berkunjung kepada
tokoh-tokoh dan jago-jago pedang dari sembilan partai
besar. Pada malam hari tanggal sembilan, bulan sembilan, hari
yang sudah ditetapkan perjanjiannya dengan tiga jago itu,
tokoh-tokoh kuat dari sepuluh partai besar telah berkumpul
di kota Gak-yang. Hong-tim-sam-kiat juga tiba di rumah
makan Gak-yang-lauw pada waktu yang tepat, serta
menampak tokoh-tokoh kuat dari sepuluh partai besar
benar saja semua pada berkumpul. Touw Giok Khun
suami isteri tampak terkejut, sedangkan Kang In Hui hanya
memandangnya dengan senyum simpul.
Touw Giok Khun bukannya takut kepada sepuluh orang
kuat dari sepuluh partai, apa yang dikhawatirkan oleh
mereka ialah pada saat itu ia sedang membawa sepasang
anak kembarnya yang baru berusia satu tahun, apabila
terjadi pertempuran, bagaimana harus membagi
perhatiannya kepada sepasang anak itu, apabila kurang
hati-hati, sangat berbahaya bagi anaknya yang masih belum
mengerti apa-apa.
Dua orang itu selagi hendak memberi keterangan kepada
sepuluh tokoh kuat dengan kata-kata yang manis, minta
supaya diadakan perjanjian di lain waktu lagi, ..... tak
disangka Kang In Hui yang turut campur bicara, sudah
bentrok dengan It-tim, keduanya sudah mulai bertempur.
Kang In Hui dengan pedangnya berhasil melukai It-tim
sedang kata-katanya juga membangkitkan amarah sembilan
tokoh partai besar, sehingga selanjutnya terjadilah suatu
pertempuran hebat.
Kesudahan dari pertempuran hebat itu, Hong-tim-samkiat
mengalami nasib sial, kehilangan nyawa mereka dari
sepuluh tokoh kuat dari sepuluh partai besar.
Hok In Hong dalam keadaan yang sangat kritis telah
melemparkan sepasang anak kembarnya ke danau Tongsanouw, waktu itu dalam alam pikirannya tidak
mengharapkan kedua anaknya itu mendapat pertolongan,
tetapi siapa sangka bahwa dua anak itu akhirnya telah
mendapat pertolongan dari tangan orang pandai.
It-tim dengan ringkas menceritakan semua kejadian itu,
dan Kim Yan yang mendengarkan sejak tadi, lantas
bertanya dengan suara marah,
"Hong-tim-sam-kiat terbinasa dalam komplotan kalian
sepuluh orang, mengapa di dunia Kang-ouw belum pernah
terdengar berita itu?"
"Touw Giok Khun dalam rimba persilatan mempunyai
nama baik, sedangkan tokoh-tokoh yang turut ambil bagian
waktu itu semua merupakan tokoh-tokoh dari sepuluh
partai besar golongan baik-baik. Apabila peristiwa itu
tersiar keluar, tidak baik akibatnya bagi nama baik sepuluh
partai maka kematian tiga jago itu sudah sengaja ditutup
rapat jangan sampai tersiar keluar."
"Di mana jenasah tiga jago itu dikubur?"
"Di daerah Kho-kho-tay."
Touw Liong yang mendengar itu air matanya
bercucuran, pedangnya diangkat tinggi dan bertanya kepada
It-tim. "Sembilan tokoh dari sembilan partai besar itu, siapasiapa
saja orangnya?"
"Satu laki-laki yang sudah berani berbuat harus berani
bertanggung jawab. Dalam urusan ini kau boleh minta
perhitungan dengan pinto seorang saja!" menjawab It-tim,
sambil menepuk dadanya.
Touw Liong dengan tiba-tiba menyeka kering air
matanya, dari mulutnya keluar suara geram hebat, katanya,
"Bagus! Aku hendak membereskan kau lebih dulu,
barulah mencari mereka untuk membuat perhitungan.
Angkat, serahkan lehermu, ataukan tuan mudamu harus
turun tangan sendiri?"
It-tim sambil tertawa menyeringai dan menggoyanggoyangkan
kepalanya berkata,
"Sabar dulu! Sabar dulu! Pinto sekarang sudah menjadi
ketua dari salah satu partai besar, bagaimana boleh turun
tangan sembarangan" Kau lawan dulu dengan delapan
muridku ini, jika kau sudah mengalahkan mereka, pinto
sudah tentu akan mengiringi kehendakmu ...."
Mengingat perbuatan keji terhadap ayah bundanya,
meskipun Touw Liong waktu itu sudah hampir tak dapat
mengendalikan hawa amarahnya, namun ia masih tetap
menghargai dirinya sebagai seorang ksatria, maka ia
terpaksa mengendalikan perasaannya, katanya,
"Hutang gurunya, muridnya harus membayar, ini adalah
suatu hal yang wajar, hari ini kalau kau mati, hutang darah
ini sudah tentu akan memperhitungkan kepada anak
muridmu. Kalau kau belum mati, aku mencari mereka
untuk menagih hutang, ini rasanya kurang tepat. Kita
jangan banyak bicara, ayolah mulai!"
It-tim terpaksa bungkam.
Touw Liong menggerakkan pedangnya, pedang itu
memancarkan sinarnya berkilauan serta menghembuskan
angin hebat, dengan suatu bentakan keras secepat kilat
pedang itu sudah menyerang kepada It-tim.
Selagi It-tim masih berada dalam jarak tiga tombak,
begitu melihat Touw Liong bertindak dengan geram, dalam
hati merasa terkejut, cepat-cepat ia menggeser kakinya,
menyingkir jarak tiga tombak, sedangkan pedang di
tangannya diacungkan untuk memberi tanda, delapan
muridnya lalu maju berbareng, dengan pedang terhunus
murid It-tim itu telah merintangi Touw Liong.
Touw Liong yang sudah benar-benar marah, gerakan
pedangnya dirubah, empat jurus dari gerak tipu Kim-kongkiam
dilancarkan dengan beruntun, dalam waktu sekejap
mata terdengar suara bentrokan senjata tajam, delapan
pedang dari delapan imam itu telah terbabat kutung
sehingga menjadi berkeping-keping semuanya!
Ini masih untung ia masih tidak bertindak keterlaluan,
dan tidak kandung maksud untuk melukai orangnya. Maka
gerak tipunya itu dikerahkan seluruhnya.
Delapan imam itu semua terpaksa lompat mundur,
sedangkan Touw Liong waktu itu dengan gagahnya
melompat maju menghadapi It-tim, katanya,
"Mari! Mari! Di tempat ini meskipun hanya satu
tombak luasnya, tetapi sudah cukup bagi kita untuk
bertempur!"
It-tim menganggukkan kepala dan berkata:
"Kalau dalam hal ilmu pedang, kita berdua barangkali
siapapun tak dapat mengalahkan. Tetapi dalam soal
kekuatan tenaga dalam, rasanya juga berimbang, tentang
pedangnya, pedang di tanganku ini adalah pedang kuno,
dan sebagai pusaka partai Bu-tong. Dengan pedangmu juga
tidak berbeda jauh. Di atas batu penanggal pedang ini, kita
tak bisa bergerak leluasa, jangan kau anggap bahwa aku
takut padamu. Kalau kau berani, marilah kita turun dan
bertanding di bawah saja!"
Touw Liong tidak berkata apa-apa, kakinya bergerak dan
melayang turun lebih dahulu.
Dua orang itu merupakan musuh besar. Sudah tentu
Touw Liong tidak berlaku sungkan lagi. Dengan
kepandaiannya yang ada, menggerakkan pedangnya dalam
waktu sebentar saja It-tim sudah terkurung di bawah sinar
pedang Touw Liong.
It-tim juga tidak tinggal diam, ia mengeluarkan ilmu
pedangnya Thay-it-ceng-kiam, setiap serangan Touw Liong
sedapat mungkin dielakkan sebaik-baiknya. Pertempuran
itu berlangsung dengan hebatnya, orang hanya mendengar
mengaungnya suara pedang, namun tidak kelihatan
bayangan orangnya sehingga dua puluh satu imam yang
menyaksikan pertempuran itu, semua pada berdiri kesima.
Dua macam ilmu pedang yang digunakan mereka itu,
benar-benar merupakan ilmu pedang yang jarang ada di
dalam dunia, apalagi digunakan oleh dua ahli pedang
kenamaan seperti mereka, sudah tentu jauh lebih hebat.
Kim Yan sendiri yang menyaksikan dari samping, diamdiam
juga menghela nafas dan berkata kepada diri sendiri,
"Beberapa bulan tidak melihat, kepandaian It-tim ternyata
sudah mendapat banyak kemajuan. Apakah Panji Wulung
Wanita yang mempelajari ilmu silat di gunungTiam-congsan
itu sudah memberikan padanya ilmu apa-apa?"
Begitu teringat kepada Panji Wulung wanita, wajah Kim
Yan lantas menunjukkan perubahan sikap aneh, diam-diam
berkata kepada diri sendiri, "Ah .... celaka!"
Dengan tiba-tiba ia ingat sesuatu. Panji Wulung wanita
itu telah tersesat jalan dalam mempelajari ilmunya, dalam
dunia ini hanya pil Kiu-hwan-tan dari partai Bu-tong yang
dapat menyembuhkan lukanya, It-tim yang terpukul jatuh
dan kecebur dalam sungai oleh Kim Yan, tetapi ia berhasil
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menolong dirinya dengan kayu yang mengambang, setelah
melarikan diri, ada kemungkinan besar ia pergi ke gunung
Tiam-cong-san, dan di situ juga ia telah bertemu dengan
Panji Wulung. It-tim sebagai ketua partai Bu-tong,
badannya pasti membawa pil pusaka itu. Dan mungkin
juga It-tim memberikan kepada Panji Wulung. Kekuatan
tenaga dalam It-tim bertambah dan juga mendapat
kemajuan pesat, sudah tentu sebagai hadiah dari Panji
Wulung yang sudah diberi obat pil Kiu-hwan-tan. Jika
mengingat apabila ilmu Hek-hong Im-kang yang dipelajari
oleh Panji Wulung itu berhasil, di kemudian hari, bagi Kim
Yan merupakan suatu ancaman besar, sudah tentu ketika ia
ingat akan itu, jadi ketakutan sendiri.
Kim Yan kini alihkan perhatiannya ke medan
pertempuran, di wajahnya segera menunjukkan perasaan
gembira karena saat itu Touw Liong dengan pedang Khunngokiamnya di tangan menunjuk It-tim yang berdiri sejarak
tiga tombak dengannya, dengan keadaan marah, waktu itu
Touw Liong sedang membentak It-tim dengan katakatanya:
"Hari ini kau sudah terluka, ini masih belum berarti apaapa.
Menurut kebiasaanku, selamanya tidak akan turun
tangan terhadap orang yang sudah terluka. Bagaimanapun
juga hari ini kau tak akan terlepas dari tanganku, lebih baik
kau mengambil keputusan sendiri!"
Maksudnya ialah mengawasi It-tim, tergeraklah hatinya
karena lengan baju It-tim telah berlubang sepanjang
setengah kaki, dari situ tampak darah merah mengalir
keluar membasahi tanah.
Dengan tiba-tiba ia ingat bahwa It-tim adalah seorang
licik dan banyak akalnya, dengan cara bagaimana ia mau
turun tangan sendiri melawan Touw Liong, apakah benarbenar
bersedia memberikan kepalanya kepada Touw Liong"
Karena menampak It-tim matanya berputaran tak hentihentinya,
maka ia buru-buru menghampiri Suhengnya, dan
memberi isyarat mata kepadanya.
Touw Liong tahu bahwa perbuatan itu pasti
mengandung maksud apa-apa, tetapi ia masih
menggelengkan kepala sambil tersenyum getir, sebagai
tanda ia meskipun menghadapi musuh besarnya juga harus
berlaku ksatria, tidak boleh bertindak terhadap musuh yang
sudah terluka. Sementara dalam hati Touw Liong masih menantikan
reaksi It-tim selanjutnya, dengan tiba-tiba It-tim
menggerakkan pedangnya, dan tiga belas imam yang tadi
berdiri sebagai penonton, secepat kilat sudah mengurung
Touw Liong dan Kim Yan.
Di samping itu, delapan imam yang kutung kaki dan
tangannya, dengan cepat sudah bergerak menuju ke kuil.
Sedang It-tim sendiri juga lantas lompat mundur dari
kalangan, dan berkata kepada Touw Liong sambil
mengacungkan pedangnya:
"Toyamu meskipun sudah mendapat luka di tanganmu,
aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya menyesalkan
kepandaianku sendiri yang masih kurang sempurna. Tetapi
setengah tahun kemudian, jikalau kau bisa menjatuhkan
aku, aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku akan
menyerahkan batok kepalaku, tak usah kau turun tangan
lagi." Touw Liong memandang Kim Yan, tapi Kim Yan
menggeleng-gelengkan kepala. Pada saat itu, dari kuil
tampak berkelebatan beberapa bilah sinar pedang delapan
murid masing-masing membawa pedang baru lari ke arah
mereka. Setelah itu Touw Liong berada dalam kesulitan.
Karena dia sebagai seorang jago dan ketua dari salah satu
partai besar, walaupun menghadapi musuh terbesarnya,
tetapi menurut peraturan dunia Kang-ouw, apabila
lawannya sudah minta perjanjian waktu lagi, dia juga tidak
boleh menolak tanpa sebab.
Dalam hati merasa sulit, alisnya dikerutkan, akhirnya ia
menjawab juga: "permusuhan antara kau dan aku, merupakan suatu
permusuhan yang terbesar, dan menurut aturan, aku boleh
tak perlu mentaati tata tertib dunia Kang-ouw, apalagi kau
merupakan seorang yang berkhianat kepada partaimu Butong
sendiri, perbuatanmu itu sudah menodai nama baik
partai Bu-tong-pay, sedangkan partaiku dengan Bu-tong
mempunyai hubungan sangat baik, sekarang ini Bu-tongpay
sudah tak ada seorang sesepuh yang bisa membereskan
urusan dalam partai, maka tugas itu wajib aku pikul. Aku
sebetulnya boleh berbuat sesukaku, mengingat kau hanya
minta kelonggaran setengah tahun, maka aku juga tak akan
berbuat keterlaluan, asalkan menerima baik permintaanku
satu hal saja, aku bersedia memberi kelonggaran padamu."
It-tim tertawa terbahak-bahak, di samping itu ia memberi
isyarat kepada delapan anak muridnya. Anak muridnya itu
segera maju sambil menghunus pedangnya untuk turut
mengepung Touw Liong. Hingga keadaan pada saat itu,
dua puluh satu imam yang turut mengambil bagian
mengepung Touw Liong dan Kim Yan.
Touw Liong masih tetap berdiri tegak, matanya
menyapu para imam yang mengurung dirinya, katanya
dengan nada suara dingin:
"Apa kau kira dengan kepandaian yang tidak berarti ini,
juga mampun mengurung diriku?"
Sebaliknya dengan Kim Yan, di mukanya menunjukkan
rasa agak kesal.
It-tim bertanya dengan nada suara dingin:
"Kau masih ada persoalan apa?"
"Kau sebutkan nama-nama sembilan bawahan bangsat
yang dahulu turut ambil bagian dalam peristiwa di kota
Gak-yang, maka aku akan menerima baik permintaanmu,"
berkata Touw Liong.
"Dendam permusuhan ayah-bundamu sudah lama
dibereskan, antara kita sudah tidak ada permusuhan yang
dapat kukatakan," menjawab It-tim yang maksudnya ialah
sepuluh kepala manusia yang diletakkan di permukaan
danau Thian-tie.
"Selama biang keladinya belum disingkirkan,
permusuhan itu masih tetap ada."
"Anak muridku yang sekarang ada disini apakah belum
cukup untuk membayar hutang itu?"
Touw Liong menggelengkan kepala.
"Baiklah! Toyamu hari ini akan mengiringi kehendakmu
yang hendak melaksanakan tugas sebagai anak, gunung Butongsan ini adalah tempat untuk mengubur dirimu,"
berkata It-tim, lalu mengacungkan pedang di tangannya.
Kim Yan melirik kepada Suhengnya, sambil menghela
nafas. "It-tim, apa kau kira dengan mengandalkan anak
buahmu yang tidak berguna ini kau dapat mengurung
diriku?" berkata Touw Liong sambil menggertek gigi.
Dengan penuh keyakinan It-tim menjawab sambil
tertawa: "Bukan hanya mengepung saja, mereka bahkan akan
mengubur bangkaimu."
"Kau tahu bahwa ilmu pedangku Tay-lo-sin-kiam luar
biasa hebatnya, jikalau kukeluarkan darah dan daging akan
berterbangan di udara. Ini berarti akan mengantarkan
nyawa secara cuma-cuma."
It-tim tertawa dingin, sambil menunjuk kawanan imam
yang mengurung Touw Liong ia berkata:
"Dua puluh satu bilah pedang ini, setiap bilah
menggunakan gerakan dari gerak ilmu pedang Thay-it-sinkiam,
bahkan setiap jurus yang digunakan menggunakan
jurus-jurus yang terampuh, ditambah dengan aku sendiri,
he, he, .... Kalian dua orang hari ini pasti akan binasa di
tempat ini!"
Ia berhenti sejenak, kemudian memberi tambahan
keterangan: "Apalagi, mereka sudah lama kulatih dengan tekun,
dengan adanya aku sendiri yang memimpin serangan ini,
kulihat sekalipun kau mempunyai sayap, juga tidak bisa
terbang turun dari gunung Bu-tong!"
Wajah Touw Liong nampak merah padam dan Kim Yan
kembali memperdengarkan suara helaan nafas. Pedangnya
bergerak, menyerang para imam yang mengurung dirinya.
Bab 37 Dua puluh satu imam itu mungkin karena It-tim sendiri
yang memimpin, semangatnya dengan sendirinya berkobarkobar.
Maka begitu Kim Yan bergerak, dua puluh satu
pedang juga lantas bergerak, menjadi tiga lapis gelombang
sinar pedang, dan mengeluarkan serangan bertubi-tubi
kepada Touw Liong dan Kim Yan.
Touw Liong tahu bahwa serangan mereka itu bukanlah
serangan biasa. Ia juga tahu bahwa duapuluh satu imam itu
semuanya adalah orang-orang yang sangat jahat dan ganas.
Jika tidak mengeluarkan serangan pembalasan yang
terampuh nampaknya benar-benar ia tak akan bisa keluar
dari kepungan mereka.
Tanpa banyak pikir lagi, pedang Khun-ngo-kiamnya
digerakkan, ilmunya dikerahkan ke ujung pedang, hingga
kalau pedang itu bergerak, mengeluarkan suara mengaung
yang sangat hebat. Tujuh bilah pedang yang berada di
bagian dalam sebentar sudah pada terkurung.
Pedang di tangan Kim Yan adalah pedang biasa tetapi
karena ia turun tangan dalam keadaan marah, dan para
imam itu menyerang secara hebat, maka untuk sesaat ia
agak repot, dan benar saja tidak bisa menahan serangan
musuh-musuhnya.
Ia menyaksikan kejadian itu sangat marah, pedang di
tangannya bergerak dengan beruntung, sedang tangan
kanan menggunakan ilmunya Thay-it sin-jiauw, sesaat
kemudian suara jeritan terdengar mengerikan, duapuluh
satu imam yang mengurung dirinya sudah ada tiga orang
yang jatuh binasa.
Kim Yan juga tidak mau berayal lagi, dengan pedang di
tangan kanan dan tangan kiri menggunakan ilmunya Thayit
sin-jiauw menyerang dengan hebat, maka kembali dua
orang telah menjadi korban.
It-tim seketika tampak kejadian itu, pucat wajahnya,
terpaksa ia turun tangan sendiri, di samping menyerang
Touw Liong dengan pedangnya, ia juga memerintahkan
mundur kawanan imam yang terkutung kakinya.
Dengan demikian imam-imam yang mengurung Touw
Liong dan Kim Yan kini tinggal enam belas orang saja,
yang kutung pedangnya diganti dengan pedang baru dan
mulai bertempur lagi, dan setelah It-tim turut ambil bagian,
keadaan lantas berubah, tak ada orang lagi yang binasa.
Sebaliknya, Kim Yan tampak semakin repot, beberapa kali
berada dalam keadaan bahaya.
Touw Liong sangat khawatir, sambil menyerang musuhmusuhnya
dengan sekuat tenaga, ia memikirkan caranya
untuk meloloskan diri dari kepungan. Ia mengerti, jika
bertahan lebih lama, apabila Kim Yan terluka di tangan
musuh, urusan akan menjadi runyam.
Usaha paling penting saat itu ialah menangkap diri It-tim
yang sebagai kepala rombongan. It-tim sudah terluka,
keadaan pasti akan berubah. It-tim bukanlah orang
sembarangan. Kalau keadaan berlangsung seperti itu terus, keadaan
Kim Yan semakin berbahaya, terutama pada saat itu sudah
tiba di puncak yang tak dapat diperpanjang lagi, sebab
bagian yang paling luar, delapan anak buah It-tim saat itu
agaknya sedang akan berusaha menggantikan lapisan
bagian dalam. Delapan pedang di tangan mereka hampir
tidak terlepas dari tujuannya, ialah diri Kim Yan!
Jelas sekali bahwa delapan imam itu bertempur matimatian
tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Mereka
agaknya sudah bertekad bahwa hari itu hendak
membinasakan Kim Yan di bawah pedang mereka, untuk
membalas sakit hati pada beberapa bulan berselang, yang
mereka pernah dilumpuhkan oleh Kim Yan.
Kim Yan sudah mandi keringat, maka It-tim lalu tertawa
dengan ejekannya:
"Kalian jangan harap bisa keluar dari gunung Bu-tong
dalam keadaan hidup. Sekarang kalian hendak keluar dari
sini sudah terlambat! Jikalau kalian bisa keluar dari barisan
pedang ini. Silahkan, kalian boleh melarikan diri. Tetapi
jikalau tidak sanggup! Hm, hm ....! Kalian pasti akan
terbinasa di bawah pedang mereka, dengan demikian
keadaan kalian semakin menggenaskan!"
Touw Liong yang mendengarkan itu juga terkejut,
karena ia mengerti bahwa apa yang diucapkan oleh It-tim
itu memang keadaan yang sebenarnya, maka sesaat itu
hatinya tergoncang juga. Ia terpaksa melawan mati-matian
sambil menggertek gigi, gerak tipunya dirubah. Ilmu Thayitsin-kangnya dikerahkan sampai sepuluh bagian, setiap
serangan dari musuhnya dapat dielakkan atau dipukul
mundur, pedang Khun-ngo-kiamnya menggunakan
kesempatan itu menghajar lawan-lawannya, ketika
mendapat satu kesempatan baik, selagi It-tim agak lengah,
pedangnya ditujukan ke ulu hati It-tim.
Serangan itu disusul oleh serangan tangan kanan, dan
serangan itu ia menggunakan ilmunya Thay-it sin-jiauw.
It-tim mengeluarkan suara bentakan keras:
"Heh! Bagus sekali perbuatanmu!" Setelah itu kedua
kakinya bergerak, dan buru-buru lompat keluar dari barisan
pedang. Kini Touw Liong telah dapat menyaksikan bahwa
lengan kanan It-tim yang memegang pedang sudah penuh
darah, maka ia sambil mengeluarkan siulan panjang lantas
pergi mengejar It-tim setelah mengeluarkan jeritan tertahan,
lantas kabur sambil menenteng pedangnya, ia lari menuju
ke kuil. Touw Liong yang mengejar sampai tiga tombak jauhnya
tiba-tiba berhenti. Ia berpaling, saat itu enam belas pedang
yang sudah terpencar telah kumpul lagi mengurung Kim
Yan. Touw Liong diam-diam mengeluh, dan lantas putar
balik menyerang lagi barisan pedang. Tidak ampun lagi,
pedangnya yang luar biasa tajamnya telah membabat enam
belas pedang yang mengurung Kim Yan.
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Serangan Touw Liong yang dilakukan secara kalap tanpa
mengenal belas kasihan telah menimbulkan kacau barisan
pedang itu. Suara jeritan terdengar berulang-ulang,
keadaan barisan pedang itu telah mengalami perubahan
besar. Diantara enam belas imam itu sebagian besar
pedangnya terpapas kutung, sedang sebagian kecil terpapas
kutung berikut tangannya. Hingga enam belas imam itu
keadaannya menjadi kalut dan pada lari serabutan untuk
menyelamatkan dirinya masing-masing.
Setelah enam belas imam yang mengurung Kim Yan itu
sudah lari semua, ia buru-buru menghampiri sumoynya.
Saat itu ia baru mengetahui bahwa tangan kiri Kim Yan
juga sedikit luka.
Ia hanya belum tahu luka sumoynya itu parah atau tidak,
tetapi dari keadaannya, barangkali lukanya itu juga tidak
ringan. Touw Liong menghampiri Sumoynya, bertanya dengan
lemah lembut: "Sumoy, bagaimana dengan lukamu?"
Sumoynya tidak menjawab, hanya mengerutkan alisnya.
Touw Liong buru-buru mengobati lukanya dan
membungkus tangannya yang terluka.
Touw Liong mengerutkan alisnya, dengan sinar mata
beringas ia mengawasi keadaan di sekitarnya, namun tak
seorangpun yang tampak lagi. Maka ia berkata dengan
suara gusar: "Satu hari kelak, aku nanti akan bakar ludes kali ini."
Setelah itu ia menotok bagian jalan darah di pundak Kim
Yan, hingga mengalirnya darah mulai berhenti.
"Lekas! Kau masih mempunyai sebutir pil Kiu-hwan-tan
yang diberikan oleh Hian-hian totiang, maka lekas kau telan
saja!" Kim Yan menurut, pil itu ditelannya. Touw Liong
mengawasi keadaan di tengah gunung. It-im saat itu sudah
tidak tampak bayangannya.
Ia menarik nafas dan berkata:
"Dosa kawanan imam jahat itu barangkali masih belum
sampai waktunya, biarlah kita berikan kepadanya waktu
hidup beberapa hari lagi."
Sambil membimbing Sumoynya, Touw Liong berkata
dengan suara perlahan:
"Mari kita pergi! Sumoy, kita mencari suatu tempat
untuk beristirahat dulu, kau pikir bagaimana?"
Ketika menjelang senja, mereka tiba di suatu tempat di
bawah bukit yang terdapat air sungai. Di tepi sungai itu ada
sebuah pohon Yang-liu dan di situ terdapat sebuah batu
besar. Touw Liong dan Kim Yan menggunakan tempat itu
untuk beristirahat. Mereka berdua duduk berdampingan di
atas batu. Kim Yan yang sudah makan pil kiu-hwan-tan
tampaknya sudah segar lagi, barangkali luka di tangannya
juga sudah sembuh, dua orang itu bercakap-cakap dengan
mesra agaknya sudah melupakan keadaan sakitnya.
Kim Yan tiba-tiba angkat muka dan berkata dengan
suara perlahan:
"Siaomoy sedang pikir, suhu pernah berkata dalam
waktu tiga puluh tahun berselang mengapa suhu bisa berada
di kota Gak-yang menolong kau dibawa ke gunung Kiuhwa.
Ini rasanya suatu hal yang tidak mungkin."
Touw Liong menganggukkan kepala dan berkata:
"Maka aku sendiri masih merasa sangsi, siapakah
sebetulnya yang menolong aku dari kota Gak-yang dan
dibawa ke gunung Kiu-hwa?"
Kim Yan berpikir lama, setelah itu baru berkata:
"Soalnya bukannya hanya satu saja, masih ada lagi.
Musuh yang membinasakan ayah-bundamu itu adalah
musuh yang terbesar. It-tim itu juga bukanlah seorang baik,
sungguh sayang suhu sedikitpun tidak mau menyebutkan
atau meninggalkan kata-kata bagi kita, agaknya tidak ingin
Suheng menuntut balas dendam."
"Eh!" berseru Touw Liong sambil menganggukkan
kepala dan berkata keras. Lama sekali, dengan tiba-tiba ia
angkat muka dan berkata:
"Sumoy, kupikir malam ini akan naik ke gunung Butong.
Bagaimanapun juga aku akan membuat terang sebabmusabab
peristiwa itu."
Kim Yan juga angkat muka dan berkata:
"Boleh juga! Aku sejak makan pil Kiu-hwan-tan,
lukanya sudah sembuh dan sekarang sudah tak menjadi
halangan lagi. Malam ini mari kita pergi ke gunung Butong
untuk menyerbu mereka!"
Touw Liong bangkit dari tempat duduknya, pandangan
matanya ditujukan ke barat, katanya dengan suara murung:
"Jikalau ingin mendapat keterangan dua urusan itu, pada
dewasa ini barangkali hanya perlu minta keterangan satu
orang saja yang mungkin mengerti keadaan yang
sebenarnya."
"Siapa?" bertanya Kim Yan.
"Hian-hian Totiang locianpwee."
Kim Yan menarik nafas dan berkata:
"Sayang, imam tua itu sudah meninggal dunia!"
Touw Liong tidak berkata apa-apa, agaknya sedang
berpikir keras. Tak lama kemudian ia berdiri di atas batu,
sambil menghadap ke barat, ia berkata dan menggelengkan
kepala: "Hian-hiang Totiang locianpwee barangkali belum
binasa. Mungkin masih di dalam dunia."
"Bagaimana suheng bisa menduga demikian?" bertanya
Kim Yan. "Betapapun kejam dan jahatnya It-tim, juga tidak mau
melanggar pantangan untuk membunuh sesepuh
golongannya sendiri, karena ia takut menghadapi amarah
umum dari rimba persilatan sehingga berakibat semua
orang rimba persilatan akan turut campur tangan urusan
Bu-tong." "Jadi maksudmu kau sudah menduga pasti bahwa Hianhiang
locianpwee masih ada di dalam dunia?" bertanya
Kim Yan sambil mengawasi suhengnya.
Touw Liong menganggukkan kepala.
"Tetapi imam tua itu barangkali sedang menderita
siksaan oleh perbuatan It-tim!"
"Sekarang ini kemungkinan ia sudah dimusnahkan
kepandaian ilmu silatnya oleh it-tim, dan sedang disiksa
hebat, kemudian hari .... ada kemungkinan akan diminta
oleh It-tim supaya membantu membereskan keadaan dalam
partai." Kim Yan tidak mengerti maksud ucapan Touw Liong,
maka menggeleng-gelengkan kepala.
Touw Liong lalu memberi penjelasan:
"Kau lupa bahwa Panji Wulung wanita itu, apabila
benar sudah berhasil ilmunya Hek-hong Im-kang, dan ilmu
itu kalau diarahkan kepada badan orang lain, orang itu
sifatnya akan berubah, dan melupakan asal-usul dirinya
sendiri. It-tim asal meminta bantuan Panji Wulung, dan
minta supaya ilmunya itu dimasukkan ke dalam tubuh
Hian-hian Totiang, maka Hian-hian Totiang akan
melupakan dirinya dengan segera. Waktu It-tim minta ia
keluar lagi untuk membereskan keadaan dalam partai,
dengan demikian ia bisa diperalat olehnya, bukankah ia bisa
duduk enak di atas kursi ketua dan berbuat sesukasukanya?"
Kim Yan baru sadar, tapi katanya dengan perasaan
cemas: "Kalau begitu kita harus lekas berangkat, sebab kalau
terlambat mungkin akan menjadikan penyesalan besar bagi
kita." Malam harinya, ketika kentongan berbunyi tiga kali, di
bagian belakang gunung Bu-tong tampak berkelebat dua
bayangan orang. Mereka itu adalah Touw Liong dan Kim
Yan. Mereka tidak langsung menuju ke kuil Sam-cing-tian,
melainkan lari menuju ke kuil kuno yang letaknya di
belakang gunung.
Menurut kebiasaan partai Bu-tong, kuil tua di belakang
gunung itu semua murid, baik dari tingkatan atas maupun
dari tingkatan bawah, jika tidak mendapat perintah, tidak
boleh mendekati kuil tua itu, sebab daerah sekitar kuil tua
itu dijadikan daerah terlarang. Jadi merupakan satu tempat
yang digunakan bagi para sesepuh untuk bertapa atau
beristirahat. Jadi kecuali ketua partai sendiri yang setiap
pagi atau malam harus menengok para sesepuh, murid
lainnya tiada seorang yang berani mendekati tempat itu.
Malam itu, rembulan terang, udara cerah, keadaan di
sekitar tempat kuil tua itu tampak sunyi, tiada terdapat sinar
lampu. Touw Liong dan Kim Yan yang berjalan mendekati
kuil tua itu lantas berhenti, mereka saling berpandangan
sejenak. Kim Yan menggunakan ilmunya menyampaikan
suara ke dalam telinga, berkata kepada suhengnya:
"Suheng, mengapa tempat ini satu bayangan orang pun
tidak tampak?"
Touw Liong juga menjawab juga menggunakan ilmunya
menyampaikan suara ke dalam telinga:
"Jangan pandang remeh kuil tua yang tampaknya sunyi
sepi ini, di tempat yang gelap itu, entah ada berapa banyak
orang kuat yang sedang mengawasi gerak-gerik kita,
sebaiknya kita berlaku hati-hati, jangan bertindak gegabah."
Kim Yan menganggukkan kepala, dan Touw Liong
berkata pula: "Kau diam di sini untuk berjaga-jaga, biarlah aku masuk
ke dalam untuk melihat keadaannya."
Kim Yan menganggukkan kepala, dan Touw Liong
lantas melesat ke atas pohon untuk sembunyikan diri,
dengan perlindungan daun pohon yang rindang perlahanlahan
meluncur ke dalam kuil.
Gerak badan Touw Liong sangat ringan sekali, maka
ketika melayang masuk ke dalam kuil, sedikitpun tak
menimbulkan suara, tetapi ia sendiri juga tak menemukan
bayangan seorangpun juga, hingga dalam hatinya merasa
curiga. Kembali ia gerakkan kakinya dan mengitari kuil tua
itu. Benar saja, kuil tua itu tak terdapat bayangan
seorangpun juga. Touw Liong buru-buru menarik dirinya
dan kembali ke tempat Kim Yan sembunyikan diri, dan
memberikan isyarat dengan mata kepada sumoynya itu.
Kim Yan lalu bertanya kepadanya dengan perasaan
heran: "Kau menemukan apa?"
"Hanya batu kuil mati," menjawab Touw Liong sambil
menggelengkan kepala.
"Hiam-hian Locianpwee mungkin disekap dimana lagi?"
bertanya Kim Yan sambil mengerutkan alisnya.
Touw Liong berpikir keras tidak menjawab, tak lama
kemudian, ia baru berkata seorang diri.
"Tempat keramat di gunung Bu-tong-san ini dimanamana
terdapat gua-gua kuno dan aneh-aneh, jika It-tim
menyembunyikan Hian-hian Totiang di salah satu gua di
mana saja yang ia suka, sekalipun kita mencari tiga hari tiga
malam, barangkali juga belum bisa menemukan."
"Kalau begitu, mari kita pergi ke kuil Sam-ceng-tian
menangkap satu orang saja untuk diminta keterangannya."
"Tindakan demikina itu kurang tepat, sebab itu berarti
kita mengeprak rumput mengejutkan ular, kejadian mudah
berubah menjadi runyam, urusan ini kita harus lakukan
secara rahasia, tidak boleh bertindak terang-terangan."
Kim Yan diam, dan Touw Liong berkata lagi,
"Ah, kini aku teringat pada salah satu tempat."
"Tempat apa?"
Touw Liong berbisik-bisik di telinganya:
"Dahulu aku sering dengar suhu kata, bahwa gua Congcintong partai Bu-tong dengan rangon penyimpan kitab
partai Siao lim-pay, sama-sama terkenalnya di kalangan
rimba persilatan, gua Cong-cin-tong itu merupakan tempat
sangat penting bagi partai Bu-tong, penjagaannya pasti
sangat kuat sekali; dengan lain perkataan Hian-hinan
Totiang locianpwee apabila disekap di dalam gua itu, It-tim
pasti menganggap aman, kemungkinan disimpan di situ
besar sekali."
"Alasanmu itu cukup kuat, kalau begitu mari kita pergi
mengadakan penyelidikan di gua itu."
Kim Yan dapat menyetujui pikiran Touw Liong. Letak
gua itu dalam waktu pertama kali Touw Liong mendaki
gunung Bu-tong, dari pembicaraan dengan Hian-hian
Totiang ia sudah mengetahui sedikit. Letaknya kira-kira di
belakang kuil Sam-ceng-tian.
Suheng dan sumoy itu bergerak menuju ke belakang kuil
Sam-ceng-tian yang dinamakan Kim-peng-yam, dari jauh,
benar saja tampak gerakan beberapa bayangan orang,
penjagaan sangat kuat. Touw Liong memberi isyarat
dengan tangannya kepada Kim Yan, dua orang itu masingmasing
mengambil ranting pohon cemara, kemudian
berjalan dengan sangat hati-hati ke gua Tong-cin-tong.
Touw Liong tujukan matanya kepada imam-imam yang
melakukan penjagaan, dengan ilmunya "Menebar bintang
dari langit", dari tangannya mengeluarkan beberapa puluh
biji buah, semuanya ditujukan kepada enam imam yang
menjaga di situ.
Serangan itu mengena dengan tepat. Enam imam
berpakaian hitam satu persatu rubuh di tanah tanpa
mengeluarkan suara. Kim Yan yang menjaga di luar gua,
sedangkan Touw Liong diam-diam menyusup ke dalam.
Ketika Touw Liong masuk ke mulut gua tampak obor
api, jalanan yang panjang rupanya terus menembus ke
dalam perut gunung.
Touw Liong dengan mengikuti jalanan di dalam gua
terus maju kira-kira setengah pal, kembali telah terhalang
oleh pintu batu. Di luar pintu, ada dua imam yang menjaga
dengan pedang terhunus, dengan sikapnya yang garang dan
sinar matanya yang tajam ditujukan keluar gua.
Tangan Touw Liong kembali menggenggam buah-buah
yang didapat di luar gua, tangan itu digerak-gerakkan
kepada dua imam yang maju menghampiri dirinya.
Imam itu membentak dengan suaranya yang bengis:
"Perlu apa" Berhenti!"
Wajah dua imam itu masih asing bagi Touw Liong,
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
satupun tidak dikenalnya.
Touw Liong tidak menghiraukan dua imam yang
menghampiri dirinya, ia menunggu sampai mereka berada
di dekatnya, barulah secepat kilat menyerang dengan buahbuah
di tangannya. Dua imam itu mundur terhuyung-huyung, mulutnya
mengeluarkan suara kaget, dan lalu jatuh rubuh ke tanah.
Touw liong dengan sangat hati-hati maju ke depan pntu,
ia memeriksa dengan seksama, setelah tidak tampak bahwa
di dalam pintu itu ada bersembunyi orang yang menjaga,
sebaliknya di depan pintu batu itu ditempel dua lembar
kertas merah, Touw Liong lalu membukanya, dengan
kekuatan tenaga dalamnya yang disalurkan ke dua
tangannya ia mendorong sekuat tenaga, namun keadaan
dalam itu tampak samar-samar saja. Di atas gua dalam
kamar itu terpancang sebutir mutiara yang bersinar terang.
Di lain bagian dalam gua itu terdapat banyak barangbarang
pusaka yang sudah lama disimpan dan kitab-kitab
yang tak terhitung jumlahnya.
Di tengah-tengah gua, di atas sebuah kursi panjang,
tampak berbaring tapi dalam keadaan setengah duduk,
seorang imam yang rambut dan jenggotnya sudah putih
seluruhnya, imam itu tangannya menggenggam sejilid kitab
kuno yang tipis, diletakkan di lututnya, namun orangnya
sedang tidur nyenyak.
Ia perhatikan sikap dan keadaan imam itu, tampaknya
sangat buruk keadaannya, Touw Liong menjerit kaget,
katanya, "Bukankah Hian-hian locianpwee?"
Tubuh imam tua itu kurus kering, sekalipun suara Touw
Liong itu sudah cukup keras, tetapi imam itu agaknya tidak
dengar sama sekali. Touw Liong lalu maju menghampiri ke
depan imam itu, dengan mata memandang kepada imam
yang sedang tidur nyenyak, ia berkata sambil menghela
nafas: "Siapa bisa mengenali imam tua yang keadaannya
demikian mengenaskan ini adalah salah seorang dari tujuh
pahlawan Bu-tong yang dahulu namanya pernah
menggetarkan rimba persilatan?"
Touw Liong sekali lagi memeriksa keadaan sekitarnya, di
samping Hian-hiang Totiang tampak sebuah keranjang,
dalam keranjang itu terdapat makanan kering, di samping
keranjang ada sebuah poci air teh, di dalam poci itu masih
tinggal setengah poci air putih.
Touw Liong ingin membangunkan padanya, tetapi ia
masih merasa tidak tega, ia hanya menarik kitab yang
berada di tangan imam tua itu. Ia ingin melihat, buku apa
yang sedang dibaca oleh Hian-hian Totiang. Tak disangkasangkanya,
ketika tangannya baru menyentuh kitab tua itu,
tangan Hian-hian Totiang bergerak, dan tangannya yang
menggenggam kitab itu ditariknya kembali, orangnya juga
lantas mendusin, ia membuka sepasang matanya yang
sudah lamur, memandang Touw Liong sekian lama. Touw
Liong berlutut di tanah dan memberi hormat kepadanya.
Bibir Hian-hian Totiang tampak bergerak-gerak dengan
matanya yang lamur memandang Touw Liong seraya
bertanya: "Kau .... Kau ... Kau siapa?"
"Boanpwee Touw Liong," demikian Touw Liong
menjawab sambil menghormat.
"Touw Liong?" berkata Hian-hian Totiang lantas duduk.
Ia mengulurkan tangannya yang kurus dan gemetaran,
mengusap-usap kepala Touw Liong yang masih berlutut di
bawahnya, katanya dengan suara pilu:
"anak, akhirnya aku dapat melihat kau lagi."
Touw Liong lalu bangkit dan menjawab dengan sangat
hormat. "Mari, boanpwee bimbing Totiang keluar dari tempat
ini." Hian-hian Totiang menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata, "Kepandaian ilmu silatku sudah dimusnahkan,
keadaanku sudah seperti orang biasa, aku sudah merupakan
seorang yang sudah mendekati liang kubur, kemana harus
pergi lagi" Sungguh tidak beruntung perguruan kami telah
mengeluarkan murid pengkhianat dan pemberontak,
seorang yang menjadi murid golongan Bu-tong, seharusnya
mengorbankan diri untuk partainya, kalau pinto bisa
mengubur diri di tempa suci ini juga terhitung suatu
kehormatan bagi pinto. Anak, kau jangan capaikan hati
lagi, sebaliknya aku ingin minta kau melakukan sesuatu
hal." Touw Liong kembali menjura dan berkata:
"Asal locianpwee memberi perintah, sekalipun terjun ke
jurang, boanpwee juga tidak akan menolak."
"Kalau kau berkata demikian, ini tidak mengecewakan
pengharapanku," berkata Hian-hiang Totiang. Ia berhenti
sejenak kemudian berkata lagi:
"anak murid Bu-tong-pay sekarang ini, sebagian adalah
It-tim yang kali ini membawa dari luar, anak murid Bu-tong
yang semula sebagian besar sudah disekap di dalam gua lain
oleh It-tim."
"Apkah Ceng Ti Totiang masih hidup?" bertanya Touw
Liong. "Dia juga ada di dalam," berkata Hian-hian Totiang
sambil menganggukkan kepala.
"Maksud locianpwee apakah suruh aku menolong Cengtin
Totiang?" "Dengan meminjam tenagamu, bantulah ia supaya
menduduki kedudukan ketua lagi," berkata Hian-hian
Totiang sambil menganggukkan kepala.
Touw Liong menerima baik permintaan itu. Hian-hian
Totiang lalu memberikan kitab kuno itu kepada Touw
Liong, katanya:
"Kitab ini juga salah satu dari kitab kuno dan merupakan
salah satu kitab rahasia golongan kami, Touw tayhiap boleh
bawa, di kemudian hari mungkin ada gunanya."
Touw Liong bukanlah seorang tamak, karena ia tak
mempunyai rencana lain, maka tidak sungkan lagi untuk
menyambuti kitab kuno itu, dimasukkan ke dalam sakunya,
setelah itu ia mengeluarkan sebutir pil Kiu-hwan-tay yang
didapat dari Kim Yan. Dengan sepasang tangan ia berikan
kepada Hian-hian Totiang, katanya:
"Locianpwee, makanlah ini. Ini adalah pil Kiu-hwantan
yang locianpwee berikan dulu."
"Aaa!" Hian-hian Totiang terkejut dan menghela nafas,
lalu berkata: "Tak kuduga pikiranku waktu itu yang ingin
berbuat baik, sekarang malah untuk menolong diriku
sendiri." Hian-hiang Totiang menelan pil Kiu-hwan-tan, ia
bertanya kepada Touw Liong,
"Anak, kau masih ada keperluan apa" Jikalau tidak ada
sebaiknya lekas berlalu dari sini."
Bab 38 Hian-hian Totiang menarik nafas panjang, saat itu
cahaya matanya sudah terang kembali. Ia memandang
Touw Liong sejenak, lalu mendongakkan kepala
mengawasi sinar mutiara, berkata lapat-lapat:
"Sudah dua puluh tahun! Dua puluh tahun berselang
...." kembali ia memandang Touw Liong.
Imam tua itu sejak menelan pil Kiu-hwan-tan,
semangatnya terbangun, lalu melanjutkan ucapannya:
"Dua puluh tahun berselang kau masih mulai belajar
mengomong. Usiamu kira-kira baru setahun, aku secara
kebetulan dalam perjalanan ke kota Gak-yang yang ingin
mencegah terjadinya peristiwa yang sangat tragis itu, apa
mau kedatanganku itu sudah agak terlambat. Kebetulan
selagi aku berada di bawah loteng, nampak dari atas loteng
dilemparkan dua anak kecil. Dengan kedua tanganku aku
menyambuti satu tangan satu."
Baru berkata sampai di situ, Touw Liong sudah tidak
sanggup kendalikan rasa sedihnya, dengan air mata
bercucuran, ia berlutut di hadapan Hian-hian Totiang
sambil berseru: "Locianpwee!"
Hian-hian Totiang mengelus-elus kepalanya, berkata
pula sambil menghela nafas:
"Aku sudah menolong dirimu dan diri Kang Kie, dengan
terbirit-birit aku meninggalkan kota Gak-yang. Waktu itu
aku tahu bahwa keadaan di atas loteng tidak mungkin
dibereskan secara baik. Maka aku pikir hendak
meninggalkan keturunan bagi tiga jago itu, aku bawa kalian
berdua meninggalkan kota Gak-yang. Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh, aku pergi ke kota
Bu-ciang. Di situ aku telah berjumpa dengan musuh
bebuyutanku, ia adalah salah seorang dari Tiga Garuda.
Kita kemudian bertempur sengit di gunung Coa-san, dalam
seratus jurus masih berimbang."
Touw Liong yang mendengarkan penuturan itu nampak
tercengang, air matanya bercucuran memandang Hianhiang
Totiang. Imam tua itu menghela nafas panjang,
melanjutkan penuturannya.
Dalam pertempuran itu, kita tetap tak ada yang menang
atau kalah. Ketika Hui Eng melihatmu dengan tiba-tiba
mendapat pikiran jahat. Ia mengusulkan kepadaku supaya
satu orang membawa satu anak, masing-masing
membesarkan dan mendidik. Dan dua puluh tahun
kemudian, pertandingan ini biar diputuskan oleh kamu
berdua setelah menjadi dewasa. Aku sendiri merasa berat
apabila It-tim melihat kamu berdua kubawa pulang ke
gunung Bu-tong untuk dibesarkan, pasti akan dibinasakan
olehnya. Maka aku menerima baik usulnya, dan dengan
demikian Hui Eng lantas membawa pergi Kang KIe.
Waktu itu aku pikir, karena Kang In Hui tidak mempunyai
keturunan maka aku lantas memberitahukan kepada Hui
Eng, bahwa anak yang di tangannya itu adalah keturunan
Kang In Hui. Dengan sebetulnya, anak yang dibawa pergi
oleh Hui Eng itu adalah saudara tuamu sendiri ...."
Touw Liong yang mendengarkan penuturan itu sikapnya
sangat sedih. Sambil mengucurkan air mata, berkata
dengan suara pelahan:
"Aku sudah lama memang mempunyai perasaan
demikian, bahwa Kang Kie adalah saudara tuaku."
Imam tua itu menghela nafas panjang. Katanya pula:
"Sejak Hui Eng berlalu, aku memondong kau sekian
lama dalam keadaan sangat bingung, aku tak dapat
memikirkan dengan cara bagaimana harus merawat dirimu"
Jikalau kau kubawa pulang ke gunung Bu-tong, It-tim pasti
tak bisa tinggal diam terhadap dirimu. Tetapi kalau tak
kubawa pulang ke Bu-tong, kemana aku harus bawa kau"
Apakah harus membiarkan kau dewasa sendiri, dan
membiarkan Kang Kie pergi ke Bu-tong mencarimu?"
Dengan wajah murung Touw Liong memandang kepada
Hian-hian Totiang, sementara itu imam tua itu tampak
tersenyum getir, katanya pula:
"Kasihan orang-orang yang menjadi ibu bapamu.
Karena kesalahan berpikir pinto pada waktu itu yang
membela It-tim si murid durhaka itu, sehingga terjadi
peristiwa yang menyedihkan itu. Selama aku berpikir,
akhirnya aku telah mengambil keputusan untuk
mengantarkan kau ke gunung Kiu-hwa, aku serahkan
dirimu kepada Kiu-hwa Lojin, ialah yang akhirnya menjadi
suhumu. Aku minta dia jangan menceritakan asal-usul
dirimu, supaya di kemudian hari kalau kau dewasa, kau
tidak akan memusuhi sepuluh partai besar. Bagimu, itu
merupakan suatu bahaya yang sangat besar. Bagi Bu-tong,
aku telah menanam bibit permusuhan untuk partaiku
sendiri. Hal ini agaknya kurang tepat. Apalagi waktu itu
kalau ditinjau persoalannya, It-tim bertindak demikian
karena atas perintah partainya. Maka perbuatannya itu
sesungguhnya masih boleh dimaafkan. Apalagi Kang In
Hui waktu itu adatnya agak berangasan dan agak sombong
sedikit, sehingga mendapatkan malapetaka bagi dirinya
sendiri. Hai! Kesalahan pinto waktu itu ialah setelah It-tim
pulang ke Bu-tong, aku tidak memberitahukan sepak terjang
It-tim di kota Gak-yang kepada Ciangbun suhengku, aku
hanya diam-diam menasehati murid durhaka itu, tak
kusangka-sangka perbuatanku itu telah membawa akibat
demikian fatal, sehingga partai Bu-tong kini terjerumus di
tangannya, ini juga merupakan kesalahan pinto sendiri."
Hian-hian Totiang sehabis berkata demikian, menghela
nafas berulang-ulang, air mata mengucur deras, seolah-olah
merasa menyesal atas perbuatannya di masa lampau.
Touw Liong mengertak gigi dan bersikap marah, katanya
dengan suara gemas:
"Sepuluh tokoh kuat dari sepuluh partai yang waktu itu
turut mengepung ayah ibuku di loteng Gak-yang-lauw,
bagaimanapun juga aku akan berusaha untuk mencari satu
persatu, aku nanti akan bunuh satu persatu pula untuk
membalas dendam sakit hati ayah-ibuku."
Hian-hian Totiang yang mendengar ucapan Touw Liong
itu matanya bergerak-gerak dan menghela nafas panjang
kemudian berkata:
"Tuhan selalu welas asih kepada umatnya, jika kau
masih bisa mengampuni, ampunilah. Orang-orang jahat
dan sudah berdosa memang seharusnya dihukum berat,
tetapi orang-orang yang tidak mengerti duduk perkara yang
sebenarnya, hanya mengikut-ikut saja karena terdesak atau
oleh karena keadaan yang memaksa, menurut pikiran pinto,
sebaiknya diberi peringatan saja sudah cukup."
Touw Liong agaknya mau mengerti nasihat imam tua
itu, ia menganggukkan kepala dan berkata dengan suara
pelahan: "Boanpwee akan menuruti maksud locianpwee."
Hian-hiang Totiang menunjukkan senyum puas, katanya
sambil mengulapkan tangannya:
"Anak, kau pergilah! Jangan lupa, beberapa urusan yang
kupesan padamu."
Touw Liong menerima baik dan minta diri. Ketika
keluar dari jalanan terowongan itu, bukan kepalang
terkejutnya. Di luar gua, It-tim dan delapan imam yang
sudah bercacad, satu persatu mengawasi dirinya dengan
Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mata yang merah membara, dengan pedang terhunus
mereka mengurung mulut gua, sedangkan Kim Yan waktu
itu sudah tak tampak lagi bayangannya. Terkejutnya Touw
Liong waktu itu benar-benar susah digambarkan. Ia berkata
sambil menunjuk It-tim dengan suara marah:
"Di mana sumoyku?"
"Sudah pergi ke gunung Tiam-cong!"
"Ke Tiam-cong-san?" balas tanya Touw Liong yang
agaknya tidak percaya.
It-tim menganggukkan kepala, jawabnya dengan nada
suara dingin: "Panji Wulung locianpwee yang mengajaknya pergi."
"Apakah ucapanmu ini benar semua?" bertanya Touw
Liong marah. "Siapa perlu menipu kau?"
Dengan langkah lebar Touw Liong berjalan keluar,
terhadap It-tim dan delapan anak buahnya yang mengurung
di luar gua, sedikitpun tidak pandang mata, dalam hatinya
waktu itu sedang berpikir, Kim Yan yang belum lama
dibawa pergi oleh Panji Wulung, kalau sekarang dikejar
rasanya masih keburu.
It-tim menggerakkan pedang ditangannya merintangi
perjalanan Touw Liong, katanya:
"Bocah she Touw, kau sesungguhnya terlalu menghina
kepada kami partai Bu-tong-pay! Kau tidak pikir, gua ini
tempat apa" Apa kau boleh pergi dan datang seenak
perutmu sendiri?"
Touw Liong terperanjat, lantas menghunus pedangnya
dan berkata: "Kau mau apa?"
"Tidak apa-apa, sederhana sekali. Aku tahu kau ada
urusan penting, perlu menolong Kim Yan, kau terlambat
selangkah, maka Panji Wulung locianpwee jikalau
menggunakan ilmunya Hek-hong-in-kang, hanya tiga atau
lima jam saja Kim Yan sudah berubah menjadi anak murid
yang akan mewarisi kepandaian Panji Wulung locianpwee.
Haa! Aku seharusnya mengucapkan selamat kepadanya."
Touw Liong yang mendengarkan ucapan itu dadanya
hampir meledak, katanya dengan nada marah:
"It-tim, inilah yang dinamakan kau sengaja mencari
kematianmu sendiri. Hari ini tak perlu kau banyak bicara,
barang siapa yang berani merintangi maksudku akan
kubunuh mati, dan barang siapa yang melepaskan diriku,
aku akan membiarkan dia hidup." Berkata sampai di situ,
pedang Khun-ngo-kiam di tangannya sudah bergerak
hendak menyerang.
Namun It-tim tiba-tiba menggoyang-goyangkan
tangannya dan berkata:
"Sabar dulu! Kita tidak akan menghalangi kau, asal kau
berdiri di situ tidak bergerak, dan membiarkan kita
menggeledah dirimu, kau dari dalam gua sebetulnya ada
mencuri kitab penting kita atau tidak?"
"Menggeledah", ucapan itu merupakan suatu hinaan
bagi Touw Liong. Jangankan Touw Liong yang benarbenar
ada sejilid kitab pemberian Hian-hian Totiang,
sekalipun tidak ada kitab kuno itu, di dalam sakunya itu
masih menyimpan empat jilid kitab wasiat pemberian dari
Hui Eng. Bagaimanapun juga tak akan membiarkan
dirinya digeledah oleh It-tim.
"Tutup mulut! Kau rupanya memang sengaja mencari
onar dengan aku, kalau kau memang mau menggeledah, itu
tidak susah, asal saja dia ini tidak keberatan," berkata Touw
Liong sambil menunjuk pedangnya.
It-tim mengacungkan pedangnya, delapan muridnya lalu
mulai mengepung. Ketika kedua kalinya ia menggerakkan
pedangnya, sembilan bilah pedang dengan serentak
bergerak hendak menyerang Touw Liong.
Touw Liong melihat gelagat tidak baik, tidak menunggu
musuh bergerak lebih dahulu, pedang di tangannya sudah
digerakkan, sedang tangan yang lain dengan menggunakan
ilmu Thay-it-sin-jiauw bergerak secepat kilat, dalam waktu
sekejap mata sudah mengambil tiga korban, hingga tiga di
antara delapan anak murid It-tim sudah terbinasa di
tangannya. It-tim maju menyerang dengan pedangnya, meskipun ia
berhasil menyambut serangan Touw Liong yang sangat
hebat, tetapi juga tak berhasil menolong tiga anak buahnya
yang sudah menjadi korban serangan tangan Touw Liong.
Pertempuran hebat tidak dapat dielakkan lagi, di bawah
sinar rembulan hanya tampak berkelebatnya sinar pedang
yang berkilauan, selagi It-tim bertempur dengan Touw
Liong, lima anak buah It-tim berdiri jauh-jauh, sedikitpun
Kitab Pusaka 10 Pendekar Kembar Karya Gan K L Seruling Samber Nyawa 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama