Ceritasilat Novel Online

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 6

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 6


sesudah mana ia lalu keluar dari kuil. Ia ada bawa kuda, ia naik atas kudanya itu. Agaknya ia berniat pulang
kehotelnya. Ia jalan ke Utata belum ada dua lie, tiba-tiba ia dengar suaranya kaki kuda disebelah blakangnya, kapan ia menoleh, ia lihat dua orang tadi dipagoda satu pemuda dan satu pemudi, serta sebuah kereta, mendatangi dengan cepat.
Sama sekali ia tidak inginkan persetorian, dengan sikap agung-agungan ia bersenyum sendirinya, lantas ia larikan kudanya.
Dua ekor kuda dibelakang, dengan melewati kereta
menyusul dengan cepat. Ah Loan menyusul dengan satu
maksud. Ia percaya betul orang itu mengerti bugee, dan ia duga, orang datang dari lain propinsi, barangkali untuk satrukan orang-orang Kun Lun Pay. Karena ini, ia ingin tahu dimana orang tinggal.
Siau Kong menyusul dengan hatinya digoda cemburuan
atau iri-hati. Ia mau percaya Ah Loan tertarik kepada
pemuda itu dan jadi tergila-gila sendirinya. Ia ada bawa goloknya, ia jadi tidak kuatir. Ia larikan kuda hitam dengan keras, hingga kemudian ia dapat candak pemuda itu.
"Binatang, tahan!" ia berseru.
Lie Hong Kiat tahu, dialah yang dimaksudkan, maka ia
lekas tahan kudanya, ia putar tubuhnya. Sekarang kelihatan tampangnya besemu merah.
"Perlu apa kau tahan aku?" ia balik menegor.
Kat Siau Kong kepal tangannya, kedua alisnya berdiri.
"Di mataku, binatang, kau tiada mirip-miripnya orang
baik-baik." ia jawab dengan bentakannya.
Lie Hong Kiat mendongkol tetapi ia mencobanya
menahan sabar, ia keprik kudanya untuk dikasi lari pula.
Siau Kong larikan kudanya menyusul hingga kedua kuda
jadi berendeng. Ia lantas ulur sebelah tangannya dengan maksud menjambak orang itu, buat dibetot dari kudanya. Ia hanya tidak sangka, ketika tangannya sampai, Lie Hong
Kiat egos tubuhnya, berbareng sebelah tangannya menolak, ia menyusul mana "bruk!" Siau Kong telah terguling dari kudanya, hinga ia mesti pegang tanah. Ia jadi gusar ia gulingkan tubuhnya untuk berlompat bangun, ia lari
mengudak kudanya untuk ditahan, hingga ia bisa cabut
goloknya. Dengan golok itu ia serang Hong Kiat.
Sementara itu si "kutu buku" sudah loncat turun dari
kudanya, ia sudah hunus pedangnya yang berkilanan
dibawah sinarnya matahari. Dia sudah siap, maka ia bisa lantas menangkis, sesudah mana, ia terus putar pedangnya hingga cahayanya jadi berkeredepan, menyebabkan mata
jadi silau dan kabur. Karena itu, Siau Kong jadi gelagapan.
"Celaka," berseru Ah Loan selagi kudanya mendatangi
dekat. "Jangan berkelahi!" Thia Giok Go-pun berseru ketika
keretanya mendatangi.
Akan tetapi percuma-cuma saja segala seruan itu, Kat
Siau Kong sudab terluka, ia rubuh tengkurap ditanah,
sedang lawannya, yang sudah simpan pedangnya, sudah
loncat naik atas kudanya yang terus diberi lari. Kuda itu berbulu putih, kaburnya seperti salju terbang saja.
Menampak demikian, Ah Loan jadi gusar, tidak
perdulikan Siau Kong terluka parah atau tidak, ia lalu keprak kudanya menguber pemuda itu. Ia berteriak-teriak pada orang-orang yang berlalu-lintas disebelah depan :
"Tahan! Tahan penunggang kuda putih itu! Dia ada satu
pembunuh!"
Namun orang-orang itu, tidak ada satu diantaranya yang berani cegat penunggang kuda putih itu, mereka cuma
menoleh dan mengawasi.
Ah Loan tidak dapat menyandak, ia hanya bisa
mengawasi orang memasuki kota See-an. Terpaka ia tahan kudanya napasnya sengal-sengal kemudian ia lari balik akan tengok Siau Kong.
Giok Go sudah turun dari keretanya, ia numprah
disamping suaminya sambil menangis.
Lukanya Siau Kong ada hebat, sebelah lengannya
menjadi kurban, ia rebah dengan tidak sadar akan dirinya, darah berlepotan pada seluruh tubuhnya.
Ah Loan gusar berbareng berduka.
"Naikkan siauya keatas kereta!" ia kata pada tukang
kereta. Tukang kereta itu kerutkan dahi. "Seorang diri masa aku kuat angkat tubuh siuwya?" ia bilang. "Ia-pun terluka
parah. Aku kuatir, kalau tubuhnya bergerak nanti dia ... "
"Kalau begitu, lekas kau antar pulang dahulu pada
siau.nay-nay," Ah Loan kata pula. "Kau lekas minta
dikirim orang. Aku nanti menunggui disini ..."
Dengan golok ditangan, goloknya Siau Kong nona ini
kelihatannya keren sekali.
Giok Go dengan air matanya mengalir, pandang Ah
Loan, ia besarkan matanya, lantas dengan dibantu
bujangnya ia naik kekeretanya.
Selagi Ah Loan hendak titahkan kusir segera berangkat, ia lihat dari jurusan Utara lari mendatangi dua penunggang kuda, sebentar kemudian sudah dikenali, mereka itu adalah Lou Cie Tiong dan Lau Cie Wan.
"Lekas, lekas!" ia berseru-seru. "Kat Suko sudah terluka!
Musuhnya sudah kabur!"
Cie Tiong adalah yang sampai paling dulu.
"Apa?" tanya ia, "Dia kenapa" Siapa musuhnya?"
Dengan cepat dan ringkas, Ah Loan beritahukan halnya
Lie Hong Kiat. "Baru dua-tiga jurus saja, Kat Suko telah terluka. Sayang aku tidak bawa golokku," si nona tambahkan.
Cie Tiong loncat turun dari kudanya, juga Cie Wan,
yang menyusul deagan lekas.
"Aku sudah duga hari ini bakal terbit onar," kemudian
Cie Tiong kata pada Cie Wan, agaknya ia menyesal.
"Seharusnya kita datang sedari tadi ... Sekaang lekas kau pulang buat minta kereta dan orang!"
Dia-pun perintah kusirnya Giok Go lekas ajak si nyonya pulang.
Setelah dua orang itu sudah pergi. Tiong minta Ah Loan menjelaskan tentang kejadian itu.
Siau Kong sadar tidak lama kemudian ia lantas teraduhaduh, ia merintih.
"Lou Su-siok," katanya, kapan ia lihat Cie Tiong, "susiok, tolong balaskan sakit hatiku! Orang tadi ada Lamkiong Lie Hong Kiat"
Cie Tiong tidak jawab keponakan itu, ia hanya
mengawasi Ah Loan, alisnya terus rapat satu dengan lain.
"Di itu hari yang nona sampai disini aku-pun segera
sampai juga," katanya. "Aku dapat susul kau tetapi aku tidak berani pergi kemana-mana, aku juga tidak ketemui kau. Sejak itu, aku ada berkuatir bukan main, aku dapat firasat, tidak lama bakal terjadi onar. keadaan sekarang ini tidak dapat disamakan dengan keadaan dari belasan tahun yang lampau, ketika itu, di Kwan-tiong dan Han-tioug, kita kaum Kun Lun Pay boleh mundar-mandir dengan merdeka
kita boleh menjagoi, tetapi sekarang tdak! Sekarang ini, diluar propinsi sudah muncul banyak pemuda yang gagah
perkasa." Ah Loan tidak tunggu sampai paman itu bicara habis, ia sudah memotong.
"Lou Susiok, kau jangan perdulikan aku, kau tak dapat
kuasai diriku!" kata ia dengan sengit. Ia cekal terus
goloknya, ia loncat naik atas kudanya. Ia-pun mengawasi sang paman dengan mata melotot. "Yaya yang perintahaku mengembara, siapa jua tak dapat melarang aku! Sekarang su-siok tunggu disini, aku hendak pergi ke kota buat cari orang she Lie itu! Aka nanti bunuh dia untuk balaskan sakit hatinya su-ko!"
Setelah kata begitu, si nona larikan kudanya.
Cie Tiong mati daya, ia berduka dan berkuatir, hingga ia banting-banting kaki dan menghela napas.
Ah Loan larikan terus kudanya, ia berpapasan dengan
Cie Wan yang kembali bersama sebuah kereta dan beberapa kawan untuk tolongi Siau Kong.
"Nona Loan, bagaimana lukanya Siau Kong?" Cie Wan
tanya. "Aku tidak tahu!" sahut si nona yang uring-uringan, ia larikan terus kudanya.
Cie Wan terpaksa teruskan perjalanannya.
Tidak lama Ah Loan sampai di pautiam dimana ia
disambut oleh sekalian suioknya ialah Biau Cie Eng. Wan Cie Hiap Kim Cie Yong dan Tio Cie Liong. Meereka ini
pada menanyakan.
"Celaka benar!" kata Ah Loan dengan sengit. Tapi ia
tuturkan apa yang sudah terjadi. "Sekarang lekas kirim beberapa orang untuk cari Lie Hong Kiat. Kudaku mesti
disiapkan terus!"
Kemudian ia letaki golok dan masuk ke dalam.
Cie-sie sedang menangis, Giok Go-pun menangis tetapi
dia tidak berani kata apa-apa. Ah Loan dengar nyonya itu
berkata. "Siau Kong ada anakku satu-satunya. Dia pernah iringi piatiau, dia tidak kurang suatu apa, sekarang karena datangnya satu ... "
Mendengar itu Ah Loan jadi mendongkol. Ia mengarti
nyonya itu sesali ia. Ia sebenarnya niat menyahuti, tetapi kapan ia ingat nyonya itu adalah su-cimnya, sedang Cie Kiang bukannya susiok sembarangan, ia tahan sabar. Ia
terus pergi ke kamarnya akan ambil goloknya sendiri,
kemudian ia keluar pula dengan tuntun kudanya. Maka
dilain saat, duduk atas kudanya itu ia sudah memutari kota empat peujuru, akan cari Lie Hong Kiat.
Biau Cie Eng semua tidak dapat cegah nona ini, terpaksa mereka kirim dua pegawai untuk mengikuti saja.
Itu hari Ciang Kiang pergi ke Hu-peng untuk satu
urusan, karena itu, dengan tidak adanya dia, onar itu
membikin semun orang jadi sibuk dan sibuk. Kemudian
orang jadi bingung dan kuatir kapan Cie Tiong dan Cie
Wan kembali bersama Siau Kong yang lukanya berbahaya,
hingga dikuatirkan jiwanya tidak ketolongan. Cie Eng
lantas saja naik kudanya, kabur ke Hu-peng untuk susul Cie Kiang.
Cie Tiong berdaya akan cegah kekuatiranny orang
bauyak. "Semua mesti tenang dan sabar" ia kata.
"Tindakan kita sekarang adalah tunggu pulangnya Kat
Suko. Ah Loan sudah pergi cari Si penyerang, tidak ada orang yang bisa halangi dia. Sekarang mari kita tolong Siau Kong."
Lantas orang diperitihkan undang thabib yang paling
pandai. Onar itu lantas tersiar, maka tidak lama ada datang
orang-orang yang menyambangi Siau Kong, kebanyakan
golongan piausu dan guru silat, diantara siapa ada yang
merasa tidak puas dan penasaran. malah ada yang terus saja bantu cari Lie Hong kiat.
Sampai sore, baru Cie Kiang pulang. Ia banting-banting kaki kapan ia saksikan keadaan anaknya itu.
Ah Loan pulang tidak lama kemudian. Ia pulang dengan
tangan kosong, tak perduli ia telah cari ubek-ubekan.
"Ilmu pedangnya orang itu tak dapat dicela," kata ia.
"Bisa jadi ia adalah Kie Kong Kiat. cucunya Long Bun
Hiap. Dia datang kemari dan terbitkan onar, boleh jadi dia terus kabur pulang ke Hoolam. Biar besok aku susul dia ke Timur!"
"Kalau benar. dia ada Kie Kong Kiat tidak nanti dia
kabur," kata Cie Kiang sambil bersenyum ewa. "Kita
bersabar dahulu, akan cari dia diseluruh See-an sampai beberapa hari lamanya. Kalaui dia tetap tidak dapat dicari, dia mesti ada orang muda dari kalangan kang-ou yang
bugeenya kebetulan ada terlebih tinggi sedikit dari pada Siau Kong. Hanya kalau ia sudah kabur, benar-benar ada berabe untuk cari padanya ..."
"Siapa kau duga itu anak muda, saudara?" tanya Cie
Tiong dan lain-lain.
Cie Kang mulai jadi sabar, ia menghela napas.
"Kau barangkali belum tahu?" sahutnya. "Sekarang ini
Kang-lam sudah muncul satu hiapkek muda. Orang duga
dia ada Kang Siau Hoo, tapi menurut keterangan orang
yang datang dari Kanglam yang aku dengar sendiri, dia ada orang she Lie asal dan Titlee. Umpama Lie Hong Kiat ini adalah itu hiapkek dari Kanglam, keadaan ada sulit sekali."
"Memang, selama ini kita harus sabar," kata Cie Tiong
setelah dengar keterangani itu.
"Sekali-pun demikian, Lou Sutee, lukanya anakku ada
hebat sekali," kata Cie Kiang. "Siapa tahu kalau anakku menutup mata malam ini" Tidak perduli siapa yang salah, sakit hati ini mesti dibalas. Umpama kata kita gagal, tidak saja piautiamku ini tak dapat diusahakan pula, kita semua juga sukar untuk menumpang hidup pula didunia kang-ou.
Kata-kata ini membuat Cie Eng semua jadi panas
hatinya, antaranya ada yang bilang, biar dia sendiri yang pergi cari Lie Hong Kiat itu.
Selagi rombongan ini bicara satu pada lain akan umbar
napsu amarahnya, kesitu ada datang beberapa piausu dan lain-lain piautiam, ialah Nio Cin dan Tay Hok Pau Tiam, Han Pa dari Kwan Tiong Piau Tiam, serta Lau Toa dari
hotel Kit Siang di Say-kwan, kota Barat. Bersama mereka ini juga datang Thia Hong San dari Hong Lao Piau Tiam.
"Dia sudah dapat diketemukan," kata Hong San
kemudian. "Orang she Lie itu justeru numpang di hotelnya Lau Toa ini."
Mendengar itu Ah Loan, dengan golok di tangan segera
tarik si kuasa hotel.
"Mari antar aku!" ia mengajak.
"Sabar!" Cie Kiang cegah nona itu. "Kita harus tanya
dulu tentang orang itu."
"Dia ada seorang asing aku tidak tahu asal-usulnya."
berkata Lau Toa. "Dia aku dirinya orang she Lie, sudah empat hari ia tinggal dihotelku, setiap hari dia keluar pesiar, setiap kali pulang dia terus membaca buku. Tadi dia keluar pagi-pagi, tengah hari, dia pulang selaujutnya belum pernah dia keluar pula dari kamarnya."
"Tentu dia keram diri karena ia insaf bahayanya
keonaran yang ia terbitkan," kata Cie Hiap beramai. "Mari sekarang kita tengok padanya!"
"Kelihatannya dia tidak ketakutan sama sekali," Lau
Toa jelaskan. "Ketika tadi dia pulang, dia lantas membaca buku dan menulis surat, waktu orang sajikan dia barang makanan, dia tak sempat dahar itu. Aku rasa dia ada satu kutu buku. Dia cuma bawa satu buntalan, sebungkus buku, sebatang pedang serta seekor kuda putih. Kelihatannya dia orang baik-baik, melihat gerak-geriknya ia tidak mirip-miripnya dengan orang yang mengarti ilmu silat."
"Tidak salah, itulah dia!" kata Ah Loan. "Lau Ciangkui, hayo antar aku!"
Cie Kiang masih bersangsi, tapi Cie Hiap semua lantas
cari senjata mereka. maka Cie Tiong terus menghalau
dipintu. tangannya digoyang berulang-ulang.
"Jangan sembrono," ia kata pada semua saudaranya itu.
"Penasaran mesti dilampiaskan akan tetapi kita mesti
berpikir dulu bagaimana baiknya. Aku ingat betul pesan guru, didalam kalangan kang-ou ada dua macam orang
yang tidak boleh dipandang enteng, kesatu ialah orangorang suci dan kedun golongan sustrawan yang alim,
karena orang-orang dari kedua golongan itu. apabila
mereka mengarti bugee, bugee mereka ada dari lain
kalangan, dari itu kalu kita sembrono, kita bisa dapat malu.."
"Lou Suheng terlalu berhati-hati!" kata Cie Hiap semua,
"Justeru sekarang Lie Hong Kiat belum kabur, kita mesti lekas bekuk padanya. Apakah bisa jadi dia sanggup layani kita semua" Kalau kita antap dan besuk dia angkat kaki, apa kita tdak bakal dapat malu" Dibelakang hari, siapa juga boleh permainkan kita kaum Kun Lun Pay! ..."
Mendengar begitu, Kat Cie Kiang lantas ambil putusan.
"Berangkatlah!" kata ia.
Cie Hiap lantas dorong Cie Tiong kesamping, mereka
pergi ambil senjata masing-masing. kemudian mereka ikuti Cie Kiang dan Ah Loan, jumlah mereka dua puluh lebih.
Dengan lekas mereka menuju ke Say-kwan.
Ketika itu pintu kota baru ditutup sebelah, Cie Kiang
ketemui pembesar yang jaga pintu kota itu, buat minta pintu kota dipentang separuh sampai mereka kembali.
Piausu ini ada terkenal sekali, permintaaanya diluluskan.
Maka itu dengan hati mantap, mereka menuju ke hotel Kit Siang.
"Hanya, Kat Toaya." Lau Toa lantas minta, "aku minta
jangan sampai kena rembet-rembet lain tamu, karena bila kejadian demikian itu akan menyulitkan aku untuk
membuka hotel pula!"
"Jangan kuatir!" Cie Kiang beri kepastian. Dan terus ia pesan agar semua saudara dan orangnya jangan sembrono.
Ah Loan sudah mendahului memasuki hotel.
"Dikamar mana ia tinggal?" Cie Kang tanya.
"Disana," sahut Lau Toa seraya menunjuk kesebuah
kamar disudut Barat-selatan, "Toaya lihat sendiri,
bukankah dia berada dalam kamarnya itu?"
Kat Cie Kiang memandang kejendela, dari mana
kelihatan sinar terang dan bayangan dari satu orang.
"Jangan sembrono!" ia pesan pula sekalian saudaranya,
kemudin ia bertindak ke pintu kamar, pintu mana segera ia tarik dan pentang, ia segera bertindak masuk.
Lie Kong Kiat sedang duduk membaca kitab, disamping
bukunya ada terletak sebatang pedang yang mengkilap,
karena pedang jantan itu sudah dikeluarkan dari
serangkaya. Ia lihat ada orang masuk, ia samber
pedangnya, terus ia berbangkit mengawasi.
Kat Cie kiang ada sedang murka akan tetapi ia masih
bisa kendalikan diri ia goyang-goyang tangannya.
"Sahabat, sabar!" ia berkata. "Aku ingin bicara dahulu kepadamu!"
Lie Hong Kiat mengawasi dengan tenang.
"Baik, bicaralah," ia jawab. "Kita tidak kenal satu pada lain, dengan bawa-bawa golok kau lancang masuk kedalam kamarku, apa kau niat bikin?"
Ah Loan turut masuk selagi orang bicara, lantas saja ia gebrak meja dengan goloknya ia juga pentang lebar
matanya, ia hunjuk kemurkaannya.
"Kau masih berlaga pilon?" ia menegur. "Bukankah tadi
siang kau yang serang orang di Tay Gao Tah?"
Nona ini geraki goloknya hendak menyerang.
Cie Kiang cegah keponakan ini, tetapi si nona sambil
melotot, tolak ujung goloknya pada tuan rumah.
Lie Hong Kiat tidak mengelakkan tubuh, ia malah
bersenyum dan manggut.
"Benar," ia menyambut dengan tenang. "Tadi diluar
Lam-mui aku lukai satu orang, tetapi orang itu cari lukanya sendiri! Tidak sebab-musabab dia cegat aku, dia mencaci menghina aku, lantas dia mendului membacok padaku ... "
"Sudah, jangan ngaco!" Ah Loan memotong. "Sekarang
kau mesti ganti jiwa!"
Dengan tidak dapat dicegah lagi, nona ini membacok.
Lie Hong Kiat menangkisnya. "Trang!" suara beradunya
kedua senjata. Mendengar suara beradunya senjata, dua puluh orang
diluar lantas turun tangan, ada yang merangsek kepintu, ada yang menusuk diantara jendela, hingga senjata mereka merusaki kertas jendela, dari mana-pun ada yang loncat masuk.
Lie Hong Kiat mundur beberapa tindak, pedangnya
dilintangkan di depan dadanya, ia tertawa.
"Oh kau datang bukan dengan jumlah yang sedikit!"
berkata ia. "Aia orang-orang lelaki, ada orang perempuan!
Sungguh, kau pandai sekali berkelahi!"
Ucapan ini ditutup bersama gerakan tubuhnya yang
maju dua tindak, ujung pedang dipakai menyabet.
Ah Loan menangkis, hingga lagi-lagi senjata mereka
beradu dengan keras.
Selagi orang mulai bergerak, Cie Kiang nyelak disama
tengah. "Tunggu dulu!" ia kata pula, pada Ah Loan. "Habis
bicara, baru kita bertempur! Dia toh tidak bakalan mampu lari!"
"Apa lagi yang hendak dibicarakan?" kata Hong Kiat
sambil terawa. "Kau toh ada sekumpulan orang-orang lelaki dan perempuan tidak tahu malu! Kau hendak rebut
kemenangan dengan andalkan jumlah yang banyak!


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh memalukan bagi semua orang yang yakinkan ilmu
silat!" Cie Kiang malu berbareng mendongkol.
"Semua keluar!" ia berseru, "Biar aku sendiri yang bicara kepadanya! Jangan kasi sebab untuk dia menghina kita
kaum Kun Lun Pay!"
Cie Hiap, yang baru noogol. lantas tarik pula dirinya.
Yang lain-lain-pun meneladnya. Maka didalam kamar itu
tingal Cie Kiang berdua Ah Loan.
Walau suasana berubah-ubah, Lie Hong Kiat tetap
tenang-tenteram.
"Kau she apa, tuan," ia mulai tanya.
"Aku Kat Cie Kang dari Lie Sun Piau Tiam," Cie Kiang
jawab. "Aku ada murid dari Kun Lun Pay."
Lie Hong Kiat tidak jadi kuncup karena dengar nama
orang dan golongannya.
"Kun Lun Pay?" sebaliknya ia tanya dengan agak
keheranan. "Sudah beberapa tahun aku merantau, belum
pernah aku dengar hal Kun Lun Pay ... "
Ah Loan panas hatinya mendengar kata-kata sebagai
ejekan untuk kaumnya, ia tak dapat kendalikan diri lagi, ia membacok.
"Kau berani pandang tak mata kepada Kun Lun Pay?"
berbareng ia serukan.
Dengan pedangnya Lie Hong Kiat tangkis tusukan itu.
Melibat demikian Kat Cie Kiang geraki goloknya.
Lie Hong Kiat lihat sikap musuh, dengan gesit ia loncat naik keatas mejanya, dimana ia dupak lampu hingga
terbalik, lalu dengan pedangnya ia singkirkan kedua golok musuh. Suara beradunya tiga senjata segera terdengar
berulang-ulang.
Orang diluar-pun jadi riuh, terutama ketika jendela
diserang dan orang-pun mencoba mendesak masuk.
Lie Hong Kiat bikin perlawanan seru. Diantara suara
nyaring dan beradunya suara senjata-senjata, ada juga
jeritan dan kesakitan, kerena beberapa musuh telah dibikin terluka, sesudah itu, Lie-Hong Kiat loncat keluar dari jendela.
Ah Loan bersama Cie Kiang sudah lantas lompat
menyusul. "Lihatlah biar nyata!" demikian ada satu teriakan
peringatan, karena ketika itu ruangan ada gelap, orang ada banyak, hingga bisa terjadi kawan serang kawan.
-ooo0dw0ooo- Jilid 10 PERTEMPURAN dilanjutkan diluar kamar, didalam
pekarangan, Lie Hong Kiat dikurung, tetapi selang belasan jurus kemudian, tiba-tiba satu tubuh orang mencelat naik keatas genteng.
"Dia kabur! Dia kabur!" begitu seruannya Cie Kiang.
Atas ini, beberapa orang turut mencelat naik keatas
genteng, sedang yang lain-lain segera memburu kepintu, untuk lari keluar hotel.
Dijalan besar ada berkumpul banyak orang, diantaranya
ada tamu-tamu hotel yang pada menyingkir keluar.
"Ke Barat, dia kabur ke Barat!" begitu suara orang
memberi keterangan.
Mirip sebagai pemimpin, Ah Loan lari mengejar kearah
Barat belasan kawannya mengikuti. Tapi Cie Kiang masuk
kembali kehotel, terus kedalam kamar. Ia telah minta api untuk menyuluhi kamar. Tidak ada Hong Kiat disitu, hanya ada enam orang yang rubuh terluka, diantaranya ada Biau Cie Eng yang dadanya tembus, darahnya meleleh keluar,
napasnya sudah berhenti jalan.
Tak dapat dicegah lagi, Cie Kiang menangis melihat
kebinasaannya sutee itu.
Cie Wan juga turut menangis, ketika ia susul saudaranya itu masuk dan lihat mayatnya Cie Eng, tetapi ia masih bisa kuati hati, untuk bujuki Cie Kiang.
Korban-korban lainnya ada orang-orang piautiam, yang
lukanya tidak sampai meminta jiwa.
Cie Kiang banting-banting kaki, air matanya terus
menetes keluar.
"Sungguh tidak dinyana," kata dia ini, yang sangat
menyesal, "tadi Biau Sutee susul aku ke Hu-peng, sekarang dia binasa secara begini kecewa. Sakit hati ini mesti
dibalas!" Beberapa pegawai tidak ikut Ah Loan, mereka ini lantas diperintah cari kereta buat angkut semua saudara yang luka itu serta mayatnya Cie Eng juga, dibawa pulang lebih
dahulu. Tidak antara lama Ah Loan kembali bersama Wan Cie
Hiap, Kim Cie Yong, Thio Cie Liong dan yang lain-lain.
Mereka telah mengejar, sehingga belasan lie, namun
mereka gagal, entah dimana sembunyinya musuh itu.
Kapan mereka dengar hal kematiannya Cie Eng, ada yang
menangis, ada yang bacoki tanah, bahna sengitnya, ada
yang sumpah akan akan menuntut balas.
Ah Loan dalam mendongkolnya sesalkan orang banyak.
"Dasar kau semua!" katanya. "Mengapa kau meluruk
tidak keruan" Kalau siang orang banyak ada harganya,
tetapi diwaktu malam, cuma-cuma menambah kekalutan.
Kalau tadi biarkan aku tempur dia satu sama satu, aku
percaya dia tak akan dapat kabur meloloskan diri!"
"Sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut pula," kata Cie Wan sambil menghela napas. "Mari kita periksa pula, orang she Lie itu ada tinggalkan apa dalam kamarnya ..."
Cie Wan bawa lentera, ia masuk bersama Cie Liong.
Lie Hong Kiat kena bikin ketinggalan bungkusannya
yang terisi banyak uang, uang perak dan uang kertas,
jumlahnya semua seratus tail lebih. Yang lainnya ada
beberapa potong pakaian, pit, bak dan bak-hie, juga
serangka pedang serta beberapa jilid kitab serta segulung syair.
Cie Liong mengerti surat, ia balik-balik beberapa kitab dan segulung syair itu.
"Aku tahu sekarang!" ia berkata. "ia bernama Lie Hong
Kiat, asal dari Lamkiong, Tit-lee. Sekarang ia baru berumur dua-puluh tahun, ia ada siucay yang kejeblos ditengah jalan.
Gurunya adalah Tong ... aya! ... Siok Tiong Liong! Lihat syairnya ini, syair perpisahan dengan gurunya dikota raja, dipermulaannya ada ditulis ... "Dahulu di See Siok ada rebah Go Liong ..."
Mendengar itu, Kat Cie Kiang ternganga, tapi lekas ia
manggut-manggut, katanya : "Siok Tiong Liong, si Naga
Sucoan, adalah Tong Ceng Gan. Aku dengar kabar dia
sudah meninggal dunia, kenapa dia bisa ada dikota raja"
Kenapa dia dapatkan murid semacam ini" ... "
"Siapa itu Siok Tiong Liong?" Ah Loan tanya.
Cie Kiang menghela napas pula, ia ada sangat berduka.
"Siok Tiong Liong Tong Ceng Gan ada satu hiap-kek
dari tigapuluh tahun yang lampau," ia beri keterangan.
"Bersama Liong Bun Hiap Kie Kun Ie, dialah yang
dinamakan Lam Pak Jie Liong, Dua Naga dan Selatan dan
Utara, atau Lam Pak Jie Ciat. Dua Orang Luar Biasa dari Selatan dan Utara."
Ah Loan lantas saja tertawa dingin.
"Sudah, jangan perdulikan dia ada murid siapa!" kata
nona ini. "Sekarang aku hendak berdiam dihotel ini buat tunggui dia. Jikalau dia berani datang, aku akan bunuh padanya! Jikalau dia tidak datang, besok aku cari dia
diempat penjuru, atau kalau dalam tempo tiga hari dia tetap tidak dapat diketemukan, aku hendak susul dia dirumahnya di Lam-kiong, Tit-lee!"
Cie Kiang setujui pikinannya keponakan perempuan ini.
"Baiklah," katanya, yang terus tinggalkan Wan Cie Hiap dan Tio Cie Liong serta sepuluh pegawai piautiam, ia
sendiri bersama yang lainnya lantas pulang kekota.
Malam itu, kecuali dihotel Kit Siang itu, diluar dan
didalam kota tidak ada terjadi onar lainnya. Hanya
besoknya siang, seluruh kota See-an jadi gempar, disana-sini tersiar ceritera sebagai beriikut :
"Kota See-an telah kedatangan muridny Siok Tiong
Liong yang bernama Lie Hong Kiat, Kun Lun Pay lantas
nampak kerugian! Kat Cie Kiang berikut cucu perempuan
dari Pau Loo-kausu semua telah dibikin tidak berdaya!
Seorang diri pemuda she Lie itu sudah tempur dua-puluh orang lebih, diantaranya ada beberapa yang kena dibikin rubuh, tetapi pemuda itu dapat angkat kaki dengan
merdeka." Dalam satu hari saja, di tempat sekitarnya seratus lie, tidak ada orang yang tidak dengar kejadian yang
menggemparkan itu, terutama dikalangan piau-tiam, maka dari kalangan ini lantas ada orang-orang yang sambangi Biau Cie Eng, untuk sampaikan hormat penghabisan, buat sekalian nyatakan apabila perlu, mereka suka berikan
bantuannya. Namun sebenarnya mereka sendiri jerih, tidak ada yang berani tanam bibit permusuhan dengan Lie Hong Kiat.
Jenazahnya Biau Cie Eng telah dikirim dikuil Tay Pie
Sie didalam kota.
Ah Loan dan rombongannya tetap menantikan dihotel
Kit Siang. Kat Cie Kiang ada berduka dan berdongkol setiap hari,
ia kirim orang kesegala penjuru guna cari Lie Hong Kiat, dia-pun kirim kabar ke Han-tiong, ke Tin-pa dan ke Cieyang.
Dihari ketiga, didalam kuil Tay Pie Sie dibikin upacara sembahyang untuk rohnya Biau Cie Eng, itu waktu ada
datang banyak tamu dari Kwan-tiong guru-guru silat dan piausu. Selagi upacara berjalan, Kat Cie Kiang sudah
angkat bicara, "Orang-orang Kun Lun Pay telah hidup
dikalangan kang-ou lamanya tiga-atau empat puluh tahun, selama itu belum pernah kita kena orang hinakan, tetapi sekarang telah terjadi hal ini, kita tidak bisa bilang suatu apa kecuali, biar bagaimana kita akan cari dan bekuk Lie Hong Kiat itu, guna balaskan orang yang telah dibinasakan
olehnya! Dalam hal ini kita tidak akan hiraukan Lie Hong Kiat ada orang dari golongan mana atau-pun murid siapa juga! Saudara-saudara adalah sahabat-sahabatku dari
banyak tahun, walau kita bukan dari satu kalangan, maka itu sekarang aku mohon bantuan saudara-saudara sekalian
untuk lenyapkan penasaran dari kita orang-orang yang
meyakinkan ilmu silat!"
Mendengar itu, semua tamu telah janjkan bantuannya,
diantaranya ada yang sambil angkat sumpah.
Kemudian upacata dilanjutkan, sehingga pendetapendeta telah selesai liamkeng, barulah tamu-tamu bubaran.
Kat Cie Kiang telah minum beberapa cawan arak, ia
merasakan tubuhnya panas, hingga hatinya jadi panas juga.
Ia bertindak keluar dari kuil, ia naik keretanya. Ia-pun berpikir: "Kapan aku, Kian-too Gin pian Tiat Pa Ong
pernah dapat kehinaan semacam ini" Sudah sepuluh tahun sehingga kini, aku yakinkan sungguh-sungguh ilmu silat untuk hadapi Kang Siau Hoo, tak di sangka selagi Kang
Siau Hoo tidak datang, Kie Kong Kiat juga tidak kelihatan.
Sekarang muncul Lie Hong Kiat ini! Kalau dalam kalangan kang-ou orang antap manusia rendah ini menjagoi, sunguh kaum Kun Lun Pay menjadi, tidak berdaya! Maka aku
sumpah akan lampiaskan penasaran ini!"
Cie Kiang naik kereta yang ditarik keledai, dimalam
yang gelap itu ia melihat beberapa gang kecil, sesudah sekian lama barulah ia sampai dipiau-tiamnya. Begitu ia bertindak masuk, Cie Tiong keluar memapaki.
"Liok Su-ko, mari masuk!" kata sutee she Lou itu.
Cie Kiang bertindak masuk kekantornya.
"Cin Tek Gok dan Hoa Ciu Piau Tiam tadi datang
kemari," Lou Cie Tiong beri tahu, "sekarang dia berdiam dihotel Thio Kee Tiam. Dia kata bahwa Kie Kong Kiat
sudah sampai didistrik Leng-po. Dia itu benar ada satu pemuda cakap dam gagah, Bugeenya liehay. Maka itu,
Suko, kenapa kita tidak mau kinim orang mengundang
padanya supaya ia bantu kita?"
Mendengar demikian, Kat Cie Kiang menggeleng kepala.
"Sutee, dalam Kun Lun Pay kita sekarang ini, adalah
melainkan kau dan aku serta peraudaraan Liong yang
menjadi kesayangannya suhu, maka kenapa kau mendadak
jadi berhati kecil sebagai ini?"
"Bukannya aku berhati kecil, Suko," Cie Liong
terangkan. "Hanya aku merasa, murid-muridnya Siok
Tiong Liong dan Liong Bun hiap bukanlah tandingan kita kaum Kun Lun Pay ..."
Tetapi Kat Cie Kiang jadi mendongkol.
"Walau-pun kita bukan tandingan mereka, kita toh mesti berkelahi, secara mati-matian!" kata ia dengan sengit.
"Kalau tidak demikian, murid-murid dan cucu murid Kun
Lun Pay semua jangan harap akan dapat hidup pula dalam kalangan kangouw!"
Bahna mendongkolnya, Cie Kiang lantas ngeloyor keluar
dari kantornya, akan pergi kepekarangan dalam dimana ada tiga buah kamar, yang Barat ada kamar anak dan
mantunya, karena waktu itu jadi terang dengan cahaya api.
Kamarnya sendiri adalah kamar Timur. Sudah sejak dua
puluh tahun ia tidur misah dari anak dan iterinya, maka itu, selama ia tidak ada didalam kamarnya, siapa juga tidak berani memasuki kamarnya itu. Dengan masih mendongkol
Cie Kiang menuju kekamarnya itu. Baru saja ia ulur
tangannya menarik daun pintu, tiba-tiba ia dengar suara didalam kamar, hingga ia terkejut sekali. Segera ia mundur tiga empat tindak.
"Siapa?" ia menegur.
Jawaban pertama yang terdengar adalah suara tertawa
yang pelahan, kemudian menyusul suara penyahutan :
"Aku adalah Lie Hong Kiat!"
Cie Kiang bertambah kaget dan heran. Karena ini,
seketika juga lenyaplah pengaruh air kata-kata dari
kepalanya Ia segera lari kekamar Utara untuk ambil
goloknya, kemudian ia lari balik.
Itu waktu, Lie Hong Kiat sudah berdiri diatas rumah, ia perdengarkan tertawa menghina.
"Sahabat, kau jangan pergi dahulu!" membentak Kat Cie
Kiang sambil dengan goloknya ia menuding.
"Baik, aku tidak nanti pergi!" sahut Lie Hong Kiat,
kembali sambil tertawa. "Kau ada mempunyai urusan
apa?" "Sahabat, apakah kau berani turun kemari?" Cie Kiang
tanya. "Turun ya turun!" sahut Hong Kiat, yang benar-benar
sudah lantas loncat turun. Di depan dadanya ada cahaya berkeredepan, itu adalah pedangnya untuk melindungi
dirinya. Cie Kiang mundur beberapa tindak.
"Kita belum kenal satu pada lain, kita juga tidak pernah bermusuhan, kenapa kau terlalu menghina aku?" Cie Kiang menegur.
"Belum pernah aku hinakan kau, adalah pihakmu yang
tanpa sebab telah menghina aku!" Lie Hong Kiat
membaliki. "Di Tay Gan Tah anakmu sudah permainkan
aku dengan tantangannya, karena itu aku telah lukai
padanya." "Kau sebenarnya siapa, sahabat?"
"Tak perlu kau tanya itu," Hong Kiat jawab, "Kita
bukannya sahabat satu degan lain, tak ada perlunya aku beritahukan hal ikhwalku kepadamu ..."
Cie Kiang tertawa menyindir.
"Tetapi ... " kata ia, yang terus maju satu tindak,
sikapnya jadi sangat jumawa, "Kau saharusnya dengardengar tentang namaku Kat Cie Kiang, perihal pengaruh
kita kaum Kun Lun Pay! Dan guruku, Pau Cin Hui, sampai sekarang masih ada dalam dunia! Pada beberapa tahun
yang lalu, orang gagah nomor satu dari Sucoan Utara, yaitu Long Tong Hiap Cie Kie, telah rubuh ditangannya guruku!
Bugeemu memang tidak dapat dicela, akan tetapi apakah
kau dapat dibandingkan dengan Long Tiong Hiap" Apa
yang terjadi disegera akan sampai dikupingnya guruku itu, apabila dia sudah mendapat tahu, pasti dia akan jadi sangat gusar. Sekarang mari kita omong terus terang. Aku tidak ingin tanan bibit permusuhan orang-orang kang-ou, maka itu, sekali-pun kau telah lukai anakku dan binasakan juga tidak niat celakai padamu! Sekarang aku nasihatkan, lekas kau berlalu dari sini dan selanjutnya, jangan kau datang pula ke Kwan-tiong!"
"Tutup mulutmu!" berseru Lie Hong Kiat. "Dengan
omongan besar kau hendak gertak aku" Hm! Dimataku
tidak ada Pau Cin Hui, tidak ada Kun Lun Pay! Jikalau kau hendak bertempur, mari kita bertempur, aku Lie Hong Kiat pasti tidak akan menampik! Aku datang kemari untuk
pesiar, selama aku masih belum niat berlalui dari sini, siapa juga tak dapat mengusir aku!"
Cie Kiang menjadi meluap kemurkaannya.
"Oh! oh!" ia berseru, "Aku telah berikan satu jalan hidup bagimu, bukannya kau menyingkir, sebaliknya kau berani menghina guruku?"
Setelah berkata begitu, Cie Kiang maju dengan
bacokannya. Lie Hong Kiat tangkis bacokan itu, hingga golok dan
pedang jadi beradu degnan keras dan menerbitkan suara
yang nyaring dan berisik.
Sebentar saja mereka telah berhantam empat-lima
gebrak. Justeru itu dari depan lari masuk satu orang, siapa dengan goloknya, sudah tahan gerakan pedangnya si orang she Lie sambil berseru. "Tahan! Jangan bertempur dulu!"
Lie Hong Kiat tahan pedangnya. "Kau siapa?" tanya ia.
"Aku Lou Cie Tiong!" sahut orang itu, "Aku-pun ada
orang dari lain tempat yang datang kemari! Kau berdua
jangan bertarung dulu, mari kita bicara dengan sabar!"
Cie Kiang ada sangat gusar hingga ia berjingkrak.
"Sutee, apakah yang hendak dibicarakan lagi?" ia tanya dengan seruannya. "Aku telah berkan dia satu jalan hidup, supaya dia angkat laki dari Kwan-tiong, tetapi dia tidak mau pergi! Sudah terang dia hendak jadi musuh dari pihak Kun Lun Pay kita!"
"Ya, kau inginkan aku berlalu dari sini, supaya terhadap orang banyak kau boleh sesumbar bahwa aku Lie Hong
Kiat jerih akan pegaruhmu!" kata ia, "Dengan begitu kau hendak lindungi muka terangmu. Tapi hal tidak sedemikian gampang! Hal itu baru terjadi jikalau diantara kau disini ada yang mampu layani pedang ditanganku ini!"
Kat Cie Kiang banting-banting
kaki saking mendongkolnya. "Baik!" dia berseru dan segera ia menyerang.
Hong Kiat-pun melayaninya.
Baru satu gebrakan, Cie Tiong sudah nyelak pula.
"Sabar!" kata orang she Lou in. "Sekali-pun piebu, itu tak dapat dilakukan diwaktu malam gelap-petang seperti
ini! Baiklah dipilih suatu hari diwaktu mana-pun ada
diundang sahabat-sahabat dari kedua pihak
untuk menyaksikan!"
"Aku setuju dengan usulmu!" sahut Lie Hong Kiat.
"Terapi disini aku tidak punya sahabat, aku tak
membutuhkan itu! Perihal harinya kau ada merdeka untuk memilihnya sendiri!"
"Bagaimana kalau besok?" Cie Tiong tanya.
"Akur! Dimana dilakukannya?" tanya Hong Kiat.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dikota Timur, dua puluh lie, dijembatan sehabisnya
bersantap pagi!" terangkan Lou Cie Tiong. "Kau setuju?"
"Baik!" jawab Lie Hong Kiat. "Sesukamu berapa banyak
orang kau hendak bawa, mereka boleh nonton saja atau
membantui! Aku hanya berdua dengan pedangku ini!"
Setelah mengucap demikian, dengan gagah Lie Hong
Kiat bertindak keluar.
Kat Cie Kiang masih panas, ia hendak menyusul, tapi
Cie Tiong mencegahnya.
"Sabar, suheng!" kata sutee ini, yang terus melemparkan goloknya, kemudian ia antar Lie Hong Kiat keluar, tapi sampai dipintu ia kata pada temannya yang istimewa itu;
"Saudara Lie, aku ingin bicara pula sedikit denganmu ..."
Lie Hong Kiat balik tubuhnya, dengan begitu ia lihat
orang tidak bersenjata. Ia lantas saja masukkan pedangnya kedalam sarungnya.
"Sekali-pun kau telah lukai dan binasakan saudara kita, karena perkara ada sebab musababnya pada kedua pihak,
janganlah ini menyebabkan permusuhan yang terlebih
hebat," Cie Tiong berkata. "Karena itu, kalau besok kita
piebu di Pa Kio, aku minta kau, saudara Lie, suka
memandang sedikit ..."
Lie Hong Kiat bersenyum.
"Didalam hal ini, lihat saja sikapya mereka besok," ia menahut. "Aku Lie Hong Kiat tidak nanti berlaku
keterlaluan!"
Dipunggungnya Hong Kiat sekarang ada tergendol pula
buntalannya, yang baru tadi ia ambil pulang dan kamarnya Kat Cie Kiang. Ia menuju ke Utara.
Lou Cie Tiong-pun kembali pula. Ia lihat cahaya api
dikamar Timur dimana Cie Kiang sedang duduk dalam
kemurkaan. "Kenapa kau biarkan Lie Hong Kiat pergi?" suheng ini
menegur. "Apakah bisa jadi dua golok kita tidak mampu
lawan sebilah pedang daripadanya?"
Cie Tiong hunjuk kesabaran luar biasa ketika ia jawab
suheng itu: "Didalam hotel Kit Tiang di Say-kwan, belasan orang masih bukannya tandingannya, maka sekarang apa
kita berdua bisa kalahkan padanya" Suheng juga perlu
ingat, kita berada dirumah kita, ada jelek sekali apabila kita menyebabkan orang-orang perempuan kaget dan ketakutan.
Apalagi kalau dia dapat kalahkan kita, itu akan memalukan kita, dan apabila kita dapat rubuhkan dia, akibatnya kita bisa mengagetkan pembesar negeri ..."
"Aku tidak takut pembesar negeri campur perkara ini!"
kata Cie Kiang dalam sengitnya.
"Tetapi ingat, suheng, kita tak membutuhkau pengaruhnya pembesar negeri untuk menghina seorang
asing," Ce Tiong jelaskan pula. "Tentang piebu besok,
suheng jangan campur tahu, teruama kau tidak boleh
beritahukan pada Ah Loan. Besok aku akan pergi seorang
diri ke Pa Kio, disana aku nanti angkat derajatnya kita kaum Kun Lun Pay!"
"Lebih baik kita undang terlebih dulu banyak sahabat,"
kata Cie Kiang. "Biarlah aku turun tangan terlebih dahulu, kalau sudah ternyata aku tidak berdaya, lalu kau yang
gantikan aku!"
Setelah berkata begitu, Cie Kiang menghela napas
panjang untuk melegakan hatinya.
Cie Tiong tidak mau adu bicara, ia tingggalkan suheng
itu, siapa terus tutup pintu dan naik tidur.
Besoknya pagi Cie Kiang segera bersiap. Disatu pihak ia kirim berbagai undangan dan guru silat, dilam pihak ia perintah lekas sajikan barang-barang hidangan guna satu perjamuan.
Tidak selang lama datanglah Nio Cin dan Tay Hok Piau
Tiam, Thia Hong San dan Tiong San Piau Tiam, Han Pa
dari Kwan Tiong Piau Tiam, Cin Tek Giok dari Hoa Ciu
Piau Tiam dan guru silat Hay loohou Thio Pat si Harimau Buta dari Pat-kwa-kun Bang Im. Lou Cie Tiong telah
datang bersama Kim Cie Yong.
Cie Kiang buka perjamuan dengan tuturkan kedatangannya Lie Hong Kiat semalam hinga diadakan
perjanjian piebu sebentar di Pa Kio, jembatan diluar kola Timur.
"Mari kita pergi semua!" kata Thia Hong San sambil
gebrak meja. "Aku ingin sekali lihat dia itu orang macam apa! Kita mesti bikin dia mampus! Luka saja, apa pula luka enteng, tidak ada artinya! Kalau terjadi perkara jiwa, biar aku yang tanggung!"
Hayloo-hou Thio Pat lompat berjingkrak.
"Sebentar dangan cu-wie turun tangan lebih dulu," kata ia ... "Biar aku sendiri yang layani padanya! Baru tadi malam aku pulang dari disrik Bu-kong, maksudku yang
terutama adalah untuk tandingi binatang itu guna
melampiaskan kemendongkolannya saudara-saudara kita di Kwantiong ini!"
Tapi Lou Cie Tiong ulap-ulapkan tangannya.
"Sabar, saudara-saudara, jangan sampai kita bertindak
demikian," katanya. "Tadi malam kita janji untuk piebu sampai hanya kita dapat rubuhkan padanya hingga dia
menyerah kalah, tidak usah kita membinasakannya, untuk menghindarkan dendam terlebih hebat. Aku dengar dia ada muridnya Siok Tiong Liong."
"Saudara-saudara, apa yang Lou Toako katakan benar
semua adanya," Cin Tek Giok dari Hon Ciu Piau Tiam
turut bicara. "Sekarang ini kita kaum piausu dari
Kwantiong jangan coba terbitkan permusuhan-permusuhan
baru dengan orang lain daerah. Kie Kong Kiat sudah
sampai di Leng-po, mungkin dua atau tiga hari lagi dia akan sudah smpai di Kwan-tiong. Menurut pendengaran
diluaran, dia katanya sangat tidak puas terhadap kita kaum piausu dari Kwan-tiong, katanya kita sudah menjagoi
sorang diri dikalangan kang-ou, bahwa kita sudah perhina orang-orang dari lain propinsi. Maka umpama sehenar kita dapat lukai Lie Hong Kiat di Pa Kio, siapa tahu Ke Kong Kiat nanti datang untuk tuduh kita dan ia lantas menjadi pembela dari ketidak-adilan" Yang satu muridnya Siok
Tiong Liong, yang lain ada cucunya Liong Bun Hiap,
mereka berdua tentunya kenal satu sama lain!"
Kata-kata Cin Tek Giok ini menyebabkan Cie Kiang
menjadi lemas, maka tidak usah disebutkan lagi yang lain-lainnya, kecuali si Harimau Buta Thio Pat, yang agaknya tidak jerih, dengan jebikan bibir dia kata: "Apa sih Kiat"
Tidak perduli siapa yang datang, aku nanti bacok dia,
sehingga kutung dua!"
Meski begitu, perjamuan terus berlanjut, sampai Cie
Kiang tutup itu, sesudah mana, orang semua keluar dari piautiam hingga mereka memenuhi jalan besar di depan
piautiam itu, karena mereka ada yang naik kereta, ada yang tunggang kuda.
Kat Cie Kiang naik atas kuda hitamnya yang besar, dan
Lou Cie Tiong atas kuda putihnya, untuk jalan yang
terdepan. Kim Cie Yong turut dalam rombongan ini tetapi waktu
ia keluar dan pintu, lebih dahulu ia kisiki satu pegawai piautiam.
Demikian rombongan itu menuju ke Timur.
Orang banyak telah menyksikan dipinggir jalan,
umumnya mereka lantas dapat tahu bahwa "Kat Liok-ya,
dengan undang banyak piausu dan guru silat yang
kenamaan hendak pergi piebu di Pak Kio."
Rombongan itu keluar dari pintu kota Timur, setelah
lewat Sip-lie-pou, lagi selang sepuluh lie lantas mereka sudah sampai di Pa Kio, Kwaa-tiong punya salah satu
tempat yang tersohor indah. Disitu ada melintang sungai Pa Hoo yang lebar, airnya tidak dalam tetapi bening sekali, menarik hati untuk dipandang. Dikedua tepi dimana ada
gili atau galengan ada ditanam pohon-pohon yangliu
dengan daunnya yang hijau, yang menambah keindahan.
Ditengh kali itu melintang jembatan yang lebar dan panjang beberapa puluh tumbak. Dikedua ujung jembatan, Timur
dan Barat, ada dipasangi masing-masing sebuah pay yang tinggi dan besar. Dikedua gili-gili, kecuali rumah-rumah penduduk, ada sawah ladang. Pusat penduduk, adanya
disebelah timur, yang dipanggil Pa-kio-tin.
Didalam rombongan. Lou Cie Tong adalah yang maju
dimuka, terpisahnya dengan rombongannya kira-kira
setengah lie. Ketika ia sampai dikepala jembatan, Lie Hong Kiat sudah menantikan sambil mencekal pedangnya. Ia
lantas turun dari kudanya, sesudah tambat binatang itu disebuah pohon yangliu, ia maju menghampiri, dengan
kedua tangan dirangkap dan diangkat kedadanya, ia terus saja hunjuk hormat.
"Kau telah sampai terlebih dahulu, saudara Lie," ia
menegur. Lie Hong Kiat balas hormat itu lalu ia memandang
kearah rombongan.
"Jumlah yang bukan sedikit!" kata ia sambil bersenyum.
"Sekali-pun
jumlah mereka banyak, yang akan bertempur kepadamu adalah aku sendiri, saudara Lie," Cie Tiong terangkan. "Sahabat-sahabatku itu datang untuk
menyaksikan saja. Yang kita maksudkan sekarang ini ada kepandaian aseli, bugee sejati bukannya segala ilmu-ilmu licin atau senjata-senjata rahasia untuk mencelakai satu dengan lain ..."
"Belum pernah aku gunakan senjata rahasia, melainkan
pedangku ini," Lie Hong Kiat beri kepastian.
Selagi mereka ini bicara, rombongan telah datang
semakin dekat. Cin Tek Giok loncat turun dari kudanya, ia datang
menghampirkan, ia terus beri hormat pada Lie Kong Kiat.
"Apakah saudara yang bernama Lie Hong Kiat?" tanya
dia. Hong Kiat membatas homat secara manggut.
"Kau sendiri, saudara, apa she dan namamu yang
mulia?" ia balik tanya.
"Aku Cin Tek Giok," sahut piausu itu. "Lie Cin Hap dan Hoa-ciu adalah ayah-mertuaku. Maksudku datang kemari
ada untuk coba damaikan kedua pihak. Oleh karena kita
sama-sama ada orang kangouw, hal apa juga aku harap bisa diurus dengan kata-kata, tak usah itu mesti menyebabkan pertempuran yang memutuskan, hingga kesudahannya
melainkan tertanamkan bibit permusuhan yang besar ..."
Rombongannya Kat Cie Kiang-pun telah sampai.
"Sekarang aku mohon sahabat-sahabat dan ke dua pihak
suka berikan muka padaku!" Cin Tek Giok segera berkata, dengan suara nyaring. Ia-pun angkat tinggi tangannya.
"Aku minta supaya kedua pihak tidak lantas geraki senjata, karena ilmu silat sejati adalah kaki dan tangan! Tempat disini ada luas, sangat cocok sekali. Aku ingin
menyaksikan, siapa tidak berlaku jujur, dia bukanlah
sahabat kita, dia bukannya satu laki-laki."
Han Pa dan Nio Cin setuju usul ini, tetapi tidak
demikian dengan Thia Hong San dan Thio Pat, mereka ini sudah hunus senjatanya, mendengar demikian, mereka jadi tidak puas.
Lou Cie Tiong tidak sia-siakan tempo, segera ia
perdengarkan suaranya.
"Bagus, bagus," ia menyatakan. "Tadi malam akulah
yang janji kepada saudara Lie untuk piebu disini, maka sekarang akulah yang minta ia suka berikan pengajaran
lebih dahulu. Sementara itu da"ri sebelah Timur jembantan ada datang sejumlah petani dan orang-orang yang hendak menonton.
Lie Hong Kiat terima baik tantangan itu, ia letaki
pedangnya, ia gulung tangan bajunya. Cie Tiong juga lantas bersiap.
Sesudah itu, kedua pihak lain jalan berputar satu
putaran, setelah mana, Lie Hong Kiat mulai maju dengan serangannya.
Lou Cie Tiong egoskan tubuh, sebelah tangannya
menangkis, guna lindungkan diri, sebelah kakinya maju, disusul oleh jotosannya selaku pembalasan.
Dengan tangan kirinya Lie Hong Kiat tangkis serangan
pembalasan itu berbareng dengan itu ia loncat kesamping orang, buat terus hajar punggungnya lawan.
Lou Cie Tiong ulur tangan kirinya sambil putar sedikit tubuhnya, ia sambuti serangan itu, pula mencoba
menyekalnya lengan lawan yang kanan, sesudah mana ia
menarik dengan keras.
Lie Hong Kiat seperti biarkan tangan kanannya itu
ditarik, kedua kakinya berdiri tegak, tubuhnya tidak
bergeming, walau-pun demikian, dengan gesit ia lekas tarik pulang tangannya itu, untuk dilain saat ia-pun balas
menyerang. Secara demikian, kedua pihak jadi saling serang.
Beberapa kali mereka terpisah, akan jalan putar-putaran pula.
Segera juga Lou Cie Tiong dapat kenyataan, ilmu
silatnya Lie Hong Kiat adalah dari pihak Lwee-kee, ahli dalam, yang utamakan kelemasan tubuh, yang tenaganya
kebanyakan ada tenaga pinjaman dari lawan, karena ini ia jadi berhati-hati lebih banyak berkelit dan mundur, meskipun sewaktu-waktu ia-pun balas menyerang dengan tiputipu silat Kun Lun Pay.
Cie Tiong masih saja mundur sampai mendekati tepi
kali, dibawah pohon yangliu. Lie Hong Kiat sebaliknya
mendesak, satu tindak dengan satu tindak. Muridnya Siok Tiong Liong ini hunjuk sikap mantap.
Thia Hong San sudah menyaksikan pertempuran itu
sekian lama, ia merasa sangat tidak puas dengan sikapnya Lou Cie Tiong.
"Sungguh Lou Cie Tiong bikin Kun Lun Pay malu?"
kata ia, yang terus saja lemparkan goloknya dan lompat, akan maju menghampirkan kawannya itu.
Ketika itu Lie Hong Kiat sudah mendesak sangat dekat,
hingga ia bisa turunkan kepalan kirinya yang berat akan hajar kepala lawan. Tetapi Lou Cie Tiong bisa berkelit dengan sebat, akan loloskan diri, ia menyingkir kesebelah kanan, sambil mendek diri sebelah kakinya menyapu. ini gerakan yang liehay, yang berbahaya untuk musuh.
Lie Hong Kiat lihat gerakan musuh. Ia angkat kedua
kakinya, akan kasih lewat sapuan itu, tapi disebelah itu kedua
tangannya merupakan kepalan, yang terus menyerang musuh.
Ce Tiong lihat bahaya, ia angkat kedua tangannya
mengelakkan dua kepalan itu. Ia berhasil mencekal kedua tangan lawannya.
"Bagus!"
bersera Cin Tek Giok, yang kagum menyaksikan pertandingan itu.
Justeru itu Thia Hong San sudah datang dekat, ia anggap ini ada ketika paling baik selagi kedua tangan musuh
pegang memegang dengan Cie Tiong. Tidak tempo lagi ia
angkat sebelah kakinya dan dupak orang she Lie itu, yang belakangnya menghadapi dia.
Lie Hong Kiat lihat orang maju, ia loloskan tangan
kanannya, buat berbalik cekal lengan kanan Cie Tiong,
justeru tendangannya Hong San sampai, ia egos tubuhnya, hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.
Lou Cie Tiong lihat kawannya maju membokong, ia jadi
sangat sengit. "Minggir!" ia membentak.
Sementara itu, Lie Hong Kiat yang licin sudah bisa
lepaskan juga tangannya yang kiri, hingga dengan kedua tangannya yang-pun pandai meminjam tenaga musuh, ia
bisa angkat tubuhnya Cie Tiong dilemparkan sampai
jauhnya dua tindak. Meski-pun demikian, orang she Lou itu tidak jatuh rubuh.
Melihat demikian, Hong Kiat lompat maju, akan
mendesak pula, kedua kepalannya menyerang dengan cepat saling susul, karena mana, selagi CieTiong repot
membetulkan diri, kepalan kanan lawan telah mengenai
tubuhnya, sampai ia mesti mundur dua tindak syukur ia
cuma sempoyongan dan tidak rubuh terguling.
Tatkala itu Hong San maju pula, maka sekarang Lie
Hong Kiat dapat ketika akan layani pembokong ini. Ia tidak ambil tempo lama akan presen satu tinju pada dadanya
piausu itu, yang umurnya sudah lanjut. hingga serangan itu kontan membuat ia rubuh terjengkang.
Cie Kiang sementara itu sudah maju, malah ia telah
lompat tubruk Hong Kiat hingga keduanya jadi bergulung, hingga untuk sesaat lupalah mereka dengan ilmu silat
mereka. Selagi mereka berguling sampai ditepi kali, Hong Kiat
dapat menolak tubuh lawannya dan sebelum Cie Kiang
dapat tetapkan badannya, tendangannya Hong Kiat bikin ia
terpental rubuh, tubuhnya terus bergulingan kecebur keair di pinggir kali.
Menyusul Bang Im dan Kim Cie Yong menerjang
dengan golok mereka.
Lie Hong Kiat bertangan kosong, namun ia tidak
menjadi bingung, dengan hunjukkan kegesitan tubuhnya ia layani dua penyerang ini. Setiap kali ia egos tubuh atau berkelit dengan cepat sekali, dan setiap kali ada suatu lowong, kepalannya juga menyamber. Dua lawan ini
berlaku cerdik, mereka coba mengurung, dari depan dan
belakang. Kat Cie Kiang yang kuyup basah telah merayap bangun
dari muka air, ia naik ke gili-gili, akan serang pula Lie Hong Kiat. Sekarang ia gunai goloknya.
Hay-loo-hou Thio Pat, meski matanya buta sebelah
tetapi cerdik, ia jemput pedangnya Lie Hong Kiat, ia maju mengepung, tetapi sambil berjingkrakan, ia menganjurkan kawannya: "Bunuh! Bunuh Bunuh padanya!"
Itu waktu Lie Hong Kiat dengan jotosannya berhasil
merubuhkan Bang Im, golok siapa ia dapat rampas, maka
ketika Cie Kiang serang ia, bisalah ia lawan senjata dengan senjata. Ia tidak jerih sekali-pun ia dikepung berdua Cie Yong.
Tiga batang golok menyamber-nyamber, beberapa kali
mereka kebentur satu dengan lain. Pertempuran terus
berjalan sampai belasan gebrak. Dengan rupa-rupa tipu
golok Kun Lun Pay, Cie Kiang tidak mampu rubuhkan
lawannya itu. Disebelah itu Kim Cie Yong kelihatan


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keteter. "Datang! datang!" sekonyong-konyong Lie Hong Kiat
dengar selagi ia layani dna musuhnya. Karena semua orang
pada menoleh ke Barat, ia-pun ambil ketika akan berpaling ke arah itu, hingga ia tampak satu kuda merah kabur
mendatangi, diatasnya ada nona dengan baju merah dan
celana putih. Ia segera kenali si nona yang ilmu gooknya ada sempurna, yang tempur ia di hotel Kit Siang.
Kim Cie Yong lari meninggalkan musuhnya, ia lari
kepinggir. "Lekas, lekas!" ia memanggil-manggil si nona.
Ah Loan segera juga sampai, ia hunus goloknya, ia
loncat turun dari kudanya.
"Kat Su-siok, minggir!" ia teriaki paman gurunya.
Cie Kiang memang sedang sibuk, permainan goloknya
sudah mulai kacau, maka melihat si nona lekss ia lompat mundur, buat minggir jauh-jauh.
Lie Hong Kiat tidak kejar musuhnya itu, ia hanya
tertawa. Kemudian ia pandang si nona, serangan siapa ia nantikan.
Ah Loan sudah lantas maju dengan serangannya, maka
Hong Kiat tangkis bacokan itu. Sekarang, ditepi kali. Di bawah pohon yangliu. sepasang pemuda pemudi bertarung
mengadu kepandaian. Tidak kelihatan ada salah satu yang berniat undurkan diri, hingga golok mereka beradu
berulang-ulang, menerbitkan suara berisik.
Pertarungan ini berjalan dengan seru dan ulet,
mengambil tempo sampai duapuluh jurus lebih, menampak
mana, Cie Kiat jadi kuatir keponakan itu nanti lakukan tindakan yang keliru, maka dengan bawa goloknya
keduanya maju, untuk membantui. Dengan begitu, Lie
Hong Kiat sekarang kena dikepung bertiga, oleh musuhmusuh tak sembarangan.
Sesudah melayani lagi lima atau enatn jurus, Hong Kiat kembali main mundur.
Han Pa dipihak lawan gatel untuk tidak turun tangan, ia maju dengan tumbaknya, setelah sudah datang dekat, ia
menusuk dengan tiba-tiba.
Lie Hong Kiat loncat mundur, sambil tertawa.
"Sungguh tidak kecewa kau sekalian menjadi enghiong
dari Kwan-tiong!" ia perdengarkan ejekannya. Tapi
berbareng dengan itu, ia putar tubuhnya untuk lari.
Kim Cie Yong bersama Thia Hong San lari kekepala
jembatan untuk mencegat, dan disebelah Barat ada Bang Im bersama Thio Pat dan Cin Tek Giok. Mereka berteriak-teriak: "Jangan beri dia lolos!"
Lie Hong Kiat tidak perdulikan musuh-musuh yang
mencegatnya, dia lari ke Barat mendekati rombongannya
Bang Im. Begitu datang dekat Thio Pat, ia menggertak,
selagi orang angkat tangan akan menangkis, ia teruskan membacok, hingga sambil berteriak si Hariniau Buta lantas rubuh, pemuda ini dapat rampas kembali pedangnya yang si buta ambil tadi. Ia lempar golok rampasannya, ia sekarang mainkan pedangnya itu, hingga ia ada umpama "harimau
tumbuh sayap" atau "naga mendapat air." Dengan sinar
pedangnya yang berkilau-kilau ia lawan musuh-musuh yang menyusul dia. Sekali ini suara beradunya senjata terdengar terlebih nyaring, dan sering, karena Hong Kiat tidak
bersangsi sedikit juga untuk adu pedangnya yang berat.
Melihat musuh ada demikian tangkas, kawannya Hong
San semuanya kena terdesak, karena juga Hong Kiat
bergerak sambil loncat sana dan loncat sini, disatu pihak untuk berkelit, dilain pihak untuk menyerang. Leluasa
sekali ia geraki pedangnya, hingga ia bikin orang sukar mendekati padanya.
Segera juga ternyata, melainkan Lou Cie Tiong dan
Loan yang masih bisa tandingi pemuda ini, yang lainnya semua sudah tak punya guna ...
Diantara jeritan dan kesakitan, segera orang lihat Kim Cie Yong dan Thia Hong San terluka. Setelah itu Hong
Kiat loncat membabat Han Pa. Dia ini menangkis dengan
tumbaknya, tetapi diantara suara nyaring tumbak itu kena terbabat kutung!
Han Pa kaget dan ketakutan, segera ia putar tubuhnya
hendak singkirkan diri, akan tetapi Hong Kiat dibelakangnya mencelat cepat luar biasa. piausu dari Kwan Tiong Piau Tiam segera menjerit keras dan tubuhnya rubuh, darahnya mancur.
"Celaka, ada yang mati!" orang-orang yang menonton
pada berteriak.
"Jangan kau lari!" membentak Ah Loan, yang lari
memburu, dan selagi pemuda itu membaliki belakang, ia
membacok. Lie Hong Kiat dengar suara orang memburu padanya, ia
balikkan badannya, justru golok musuh sampai ia segera menangkis dengan keras, atas mana, karena beradunya dua senjata. Nona Pau rasakan tangannya gemetar dan ngilu.
Meski-pun demikian, ia ada sangat berani, ia ulur
tangannya kiri, menjambak si pemuda, sedang dengan
goloknya ia susuli dengan satu bacokan pula. Dalam hal ini ia ada sangat gesit.
Lie Hong Kiat lihat datangnya dua macam serangan,
sambil egos dirinya ia menyabet dengan pedangnya, guna sampok golok musuh, tapi sementara itu dengan atur
kekuatan ditangan, ujung pedangnya terus dipakai
menyodok, menikam, kearah dada si nona.
Ini adalah suatu tipu silat yang liehay sekali, tangkisan yang sangat berbahaya, yang biasanya suka meminta
kurban. Disaat ujung pedang pemuda ini mengenai sasarannya,
dijembatan ada orang keluarkan seruan, mendengar mana, Hong Kiat tarik pulang pedangnya, ia lompat mundur, terus ia menoleh kearah jembatan.
Diatas jembatan ada satu pemuda yang menunggang
kuda putih, dialah yang berseru sambil larikan kudanya menghampiri, maka itu Hong Kiat kemudian maju akan
papaki penunggang kuda putih itu.
Sambil teriaki akan Ah Loan bertiga Cie Tiong dan Cie
Kiang mundur, penunggang kuda itu serang Hong Kiat. Ke dua pedang bersinar berkelebatan.
Mereka lantas bertempur dengan seru, mereka sama
gesitnya, mereka loncat sana dan loncat sini, maka lamalama mereka sudah pisahkan diri diluar seratus tindak dari rombongannya Ah Loan semua, siapa seperti penonton-penonton lainnya, mengawasi dengan kekaguman. Ah
Loan kuatir orang kabur, ia hendak memburu, akan tetapi Cie Tiong cegah ia.
Pertempuran diantara dua orang itu berlanjut sampai tiga puluh jurus lebih, sekarang kelihatannya Lie Hong Kiat mundur ke Selatan, lawannya terus mendesak padanya.
Lagi belasan jurus kemudian, diantara berkelebatnya
sinar pedang kelihatan Lie Hong Kiat rubuh terduduk
ditanah, pedangnya dipalangkan di depannya untuk
menangkis bacokan lawan, pedang siapa dari atas turun
kebawah, hanya sekejab kemudian pedang lawannya itu
berbalik menikam dada.
Hong Kiat gulingkan tubuhnya, ia kelit tikaman itu. Atas ini, pemuda itu lompat maju membabat pinggangnya Hong
Kiat, tetapi waktu pedang hampir mengenai sasaran, orang itu hanya tepuk pinggangnya Hong Kiat.
Lie Hong Kiat segera lompat bangun berdiri.
Ah Loan bersama Cie Tiong semua memburu, ketika
mereka hampir sampai, mereka lihat mukanya Lie Hong
Kiat ada merah, dengan bawa pedangnya dia ini turun
kekali, buat sebrangi kali yang airnya sedalam batas lutut, untuk sampai di lain tepi.
Si pemuda lihat orang memburu, goyang-goyang
tangannya. "Biarkan dia pergi!" dia berseru. "Dia insaf bahwa dia sudah kalah!"
Ah Loan tidak perdulikan cegahan itu, ia lari kekudanya, ia berniat akan kejar Lie Hong Kiat.
Melihat sikap itu, pemuda ini lari memburu si nona,
dengan sebelah tangan cekal pedangnya, dengan tangan
yang lain ia tarik lengannya nona itu.
"Nona, buat apa kau susul dia?" kata ia sambil ketawa.
"Aku berani tanggung, sesudah di seberangi kali,
selanjutnya dia tidak akan berani datang pula kejembatan sebelah barat sini!"
Dengan muka merah, saking gusar dan likat, Ah Loan
berontak, akan lepaskan lengannya. Ia-pun banting-banting kaki.
"Apakah dia mesti dibiarkan kabur dan lolos sedang dia sudah binasakan orang?" ia berseru.
Pemuda itu bersenyum.
"Sebenarnya adalah pihakmu yang salah sudah kepung
dia seorang diri!" kata ia.
Cia Tek Giok menghampiri akan bujuki si nona.
Lou Cie Tiong hampirkan pemuda itu, untuk mengasi
hormat. "Saudara, apa she dan namamu yang besar?" dia tanya.
"Aku she Kie," sahut pemuda itu.
Cin Tek Giok terkejut. segera ia tegaa kan: "Apakah
saudara bukannya Kie Kong Kiat?"
Pemuda itu mengangguk, ia tersenyum.
Mendengar pemuda itu ada cucunya Liong Bun Hiap,
Kat Cie Kiang semua menghampirkan, untuk memberi
hormat. "Sudah lama kita dengar namamu yang besar, saudara,"
antaranya ada yang kata.
Kie Kong Kiat membalas hormat, ia ucapkan kata-kata
merendah. Ah Loan juga perhatikan pemuda ini. Ia insaf
kepandaiannya pemuda ini ada diatas kepandaiannya Le
Hong Kiat, disebelah mengaguminya, ia ada sedikit
mendongkol buat sifatnya pemuda ini, Yang ia anggap agak lancang, sedikit ceriwis. Ia lihat Kie Kong Kiat berumur diantara duapuluh empat atau duapuluh lima tahun,
sikapnya gagah, tubuhnya kate dan kecil tetapi gesit,
mukanya sedikit hitam, pakaiannya biru, sedang pedangnya ada dikasi ronce merah.
Kat Cie Kiang dan Lou Cie Tiong lantas saja bekerja,
disatu pihak mereka perintah naikkan orang-orang yang
terluka ke atas kereta, dilain pihak mereka undang Kie
Kong Kiat datang ke Lie Sun Piau Tiam untuk beristirahat dan pasang omong lebih jauh.
"Aku datang kekota ini untuk sambangi pamanku,"
berkata Kie Kong Kiat, "maka itu, sedikitnya aku akan
berdiam disini dua tiga bulan, masih banyak hari untuk kita duduk berkumpul. Lain hari saja aku ganggu kau dengan
kunjunganku!"
Setelah berkata begitu, Kie Kong Kiat pergi kejembatan dimana ada satu bujang memegangi dua ekor kuda putih.
Ia-pun sudah lantas masukkan pedangnya kedalam
serangkanya. Kat Cie Kiang, Lou Cie Tiong dan Cin Tek Giok
kembali menghampirkan. Mereka menanyakan, didalam
kota digang mana tinggalnya paman dari pemuda ini.
"Sanakku itu tingal di Jalan Yam-tiam-kay, merek
tokonya Kong Ek Hok Cian Chong." Kie Kong kiat beri
tahu, ia loncat naik atas kudanya, ia memberi hormat
dengan rangkap kedua tangannya. "Sampai ketemu pula!"
ia tambahkan. Kudanya segera diberi lari, yang-pun lantas diikuti oleh bujangnya. Pergi belum jauh ia menoleh dan memberi hormat pula.
Orang-orang yang terluka ialah Thia Hong San, Kim Cie
Yong dan Thio Pat telah diangkat naik keatas kereta.
Mayatnya Han Pa yang lukanya hebat, juga telah digotong kekereta. Cie Kiang menghela napas, ia menepas air mata menampak kebinasaannya sahabat ini.
Ketika itu ada datang dua hamba negara dari kota, akan tetapi Kat Cie Kiang kata pada orang-orang polisi ini:
"Penjahat sudah kabur. Tentang ini tidak usah kau laporkan kepada seatasanmu."
Cie Kiang juga serahkan uang sepuluh tail pada kedua
opas itu, buat minta tolong mereka ini bagikan antara
banyak penonton itu dengan disertai permintaan agar
mereka itu jangan menceritakan pula kejadian itu pada lain-lain orang. Diakhirnya ia naik atas kudanya, akan iringi kereta pulang kekota.
"Nama wangi puluhan tahun dari kita kaum Kun Lun
Pay habislah hari ini!" kata Cie Kiang tengah perjalanan, kembali ia menghela napas. "Satu Lie Hong Kiat saja telah bisa labrak kita hingga dalam dua kali gebrakan, kita mesti dapat kerugian tujuh atau delapan orang-pun ada yang
terbinasa. Sebaliknya, dengan datangnya Kie Kong Kiat
seorang, lantas Lie Hong Kiat dapat dikalahkan hinga
menyerah! Adakah ini tidak sangat memalukan" Bagaimana kita masih bisa usahakan piautiam" Bagaimana kita bisa merantau" Maka aku angap baik kita semua pulang akan
menemui suhu, akan menangis di depannya, sesudah itu
kita tutup piautiam kita, kita berhenti berusaha.
Sementara itu, pakaian basah dari Cie Kiang telah kering keanginan dan kejemur matahari, tetapi toh tetap romannya ada tak keruan.
Cie Tiong dan yang lain-lain, diatas kudanya, pada
tunduki kepala, semua bungkam.
Hanya Ah Loan seorang yang ada panas bukan
kepalang, mukanya jadi merah.
"Kenapa piautiam kita mesti ditutup?" berseru dia.
"Jikalau kau tidak mau, nanti aku yang usahakan! Bukan saja aku hendak menjagoi dikalangan Kangouw, malah lagi dua hari aku hendak cari Kie Kong Kiat buat adu
kepandaian! Kemudian, selang lagi beberapa hari aku nanti susul Lie Hong Kiat guna menuntut balas! Kalau tadi kita semua antap aku sendiri yang layani dia, aku tanggung dia
tidak bakal lolos! Tapi kau datang mengadu-biru, hingga aku tidak merdeka geraki golokku!"
Mendenaar penyesalan itu, Cie Kiang semua tutup
mulut. *** Bab 08 SESAMPATNYA DI KOTA, Cie Kiang lantas perintah
orang antarkan semua kurban ke masing-masing rumahnya
untuk segera ditolong atau dirawat, ia sendiri terus pulang kepiautiam beristirahat, tetapi ia ada berduka bukan main.
Ak Loan juga pulang ke kamarnya bagaikan orang kalap,
karena tetap ia ada sangat mendongkol. Ia mencaci pulang-pergi, ia tepuk-tepuk meja, ia banting-banting kaki.
Yang lain-lain-pun semua berduka dan lesu, tidak ada
yang perlihatkan roman garang seperti biasanya.
Cie Tiong berdiam dikamarnya Cie Kiang, sekian lama
ia bungkam saja. Ia lawan kedukaannya dengan tutup
mulut, sambil berpikir dengan tenang. Ia akhirnya kata:
"Percuma kita berduka tak keruan. Orang punya bugee
memang ada yang tinggi ada yang rendah didalam
pertempuran mesti ada yang kalah dan yang menang, inilah sudah umum. Sekarang. piautiam kita mesti kita tetap buka, dan merantau mesti kita merantau terus. Disebelah itu sakit hati kita ini memang mesti balas. Umpama Kang Siau Hoo datang, kita-pun tetap harus lawan padanya!"
"Kalau benar Kang Siau Hoo datang aku juga tidak
takut." kata Cie Kiang. "Hanya sekarang, sekarang aku
malu ke luar pintu akan menemui orang ... "
"Aku anggap ancaman bencana kelak adalah Kang Siau
Hoo," kata Cie Tiong pula: "Tapi sekarang baik kita jangan
sebut-sebut dia pula. Mari kita bicara hal di depan mata.
Hari ini barulah kita lihat bugeenya Kie Kong Kiat. Ia bukan saja ada terlebih lihay daripada kita-pun ada diatasan Lie Hong Kiat, maka tidaklah kecewa dia menjadi cucunya Liong Bun Hiap, nama besarnya cocok dengan kenyataan.
kita beramai kepung musuh seorang. memang benar kitalah yang bersalah. Namun Kie Kong Kiat. telah bantu kita,
yang dapat mengusir Lie Hong Kiat, itu menyatakan dia
hargakan kita kaum Kun Lun Pay. Dia ada ramah tamah,
dia berusia masih sangat muda, baiklah kita ikat
persahabatan kepadanya. Dengan persahabatan ini, ke satu kita bisa bersedia kalau-kalau Lie Hong Kiat datang pula, ke dua kitapun sudah siap umpama benar Kang Siau Hoo
datang satroni kita."
Cie Kiang tidak tunggu sampai sutee itu berhenti bicara, dia sudah menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita orang Kun Lun Pay sendiri sudah tak punya guna,
lantas kita minta cucunya Liong Bun Hiap bantu kita,
dengan begitu nama besar dari suhu selama tigapuluh
tahun-pun turut jadi ludas!" kata ia.
"Tidak demikian, suheng," kata Cie Tiong. "Aku
percaya, suhu pasti akur dengan pikiranku ini. Ketika itu huri Suheng Chio Cie Yau antar Ah Loan sampai di Taysan-kwan, dia telah beritahukan aku bahwa merantaunya
Ah Loan ini bukan untuk mencari pengalaman dan bukan
pemandangan belaka, tetapi juga untuk cari pasangan pula.
Diwaktu mereka mau berangkat, suhu telah pesan pada
Chio Suheng, tidak perduli dimana asal pemuda cakap dan gagah yang bugeenya diatasan Ah Loan, pemuda itu boleh diamproki dengan Ah Loan."
Cie Kiang tertarik oleh keterangan itu, hingga ia bangun sambil berjingkrak.
"Memang Kie Kong Kiat ada muda dan cakap!" ia
berseru. "Dan bugeenya, jangankan Ah Loan, walau suhu
sendiri-pun barangkali tidak sanggup menangkan padanya!
Dan bicara tentang keluarga, dia adalah cucunya Liong Bun Hiap Kie Kun Ye yang ternama!"
"Benar, itu adalah jodoh yang sembabat sekali," Cie
Tiong bilang. "Ketika yang baik ini kita tidak boleh beri lewat. Kebetulan Chio Suheng sudah pulang untuk minta
Toasuheng datang kemari?"
"Umpama Toasuheng tidak datang, kita-pun berhak
untuk rekoki jodoh mereka," Cie Kiang kata.
Sampai disitu, Cie Kiang pesan akan suteenya jaga baik pada Ah Loan, supaya keponakannya itu tidak kelayapan
keluar, lalu segera ia pergi ke kamar utara untuk salin pakaian, berbareng dengan mana ia perintah siapkan kereta.
Ketika sebentar kemudian ia keluar pula dengan
pakaiannya bersih rapi, ia beda sekali dari pada waktu ia merayap naik dari kali! Ia ajak satu bujang buat pergi ke Jalan Yam-tam kay, akan kunjungi Kie Kong Kiat yang
tinggal di rumah pamannya itu.
Pamannya Kie Kong Kiat bernama Tio Po Hok. Dia
buka perusahaan bank Kong Ek Hok Cian Cong, berkongsi
dengan seorang lain, perusahaannya itu tidak terlalu besar.
Dikantor dari alamat itu Cie Kiang dapat bertemu Kie
Kong Kiat, siapa sambut ia dengan baik.
Mulanya mereka membicarakan tentang hal-hal dikalangan kang-ou, lalu kemudian Kat Cie Kiang
menanyakan orang punya keluarga.
"Ayahku menutup mata mendahului engkong," Kie


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kong Kiat beri tahu. "Engkong telah tawar hatinya
mengenai urusan kangouw semasa ayah masih hidup
hingga ia lepaskan peryakinan ilmu silat dan tukar itu
dengan ilmu surat, apamau dalam kalangan yang belakang ini ia mandek setengah jalan, ia melainkan sanggup
menempuh sebagai siu-cay. Ayah-pun yakinkan ilmu surat, dalam umur limabelas tahun dia sudah jadi siucay.
Terhadap ayah engkong tidak mau turunkan ilmu silatnya.
Sebaliknya aku diharuskan pelajarkan itu dengan berbareng.
Engkong harap, bila aku gagal dalam ilmu surat, biar aku hidup karena ilmu silat. Selang sepuluh tahun, engkong juga telah tinggalkan aku, hingga di rumahku sekarang
tinggal ibu yang janda bersama kakakku cintong dan enso.
Aku gagal dalam ujian ilmu surat, karena itu aku pergi merantau untuk cari pengalaman. Selama di Kanglam aku
berhasil peroleh beberapa sahabat. Dari Kanglam aku
menuju ke Kwan-tiong sini. untuk tengok bou-ku, adik dari ibuku. Pikirku, sesudah dua-tiga bulan, aku hendak pergi kekota raja akan coba cari pekerjaan disana."
Kat Cie Kiang girang dengar ketetangan itu.
"Saudara Kie, baiklah kau pesiar lamaan disini, jangan segera kau berangkat pula," berkata ia. "Aku harap kau tidak kesusu pergi ke Pakkhia. Kita baru ketemu satu
dengan lain tetapi kita sudah seperti sahabat kekal saja. Lagi beberapa hari barangkali guruku, Pau Kun Lun, akan
datang kemari, dia memang ada kagumi kau ..."
Cie Kiang tidak tunggu sampai orang menjawab, ia
tambahkan : "Tadi, kalau tidak kau datang mengalahkan
Lie Hong Kiat, pasti habislah nama baik kita kaum Kun
Lun Pay ... Aku hendak adakan perjamuan dipiautiam akan hunjuk
syukurnya kita kepadamu. Keponakanku perempuan juga telah lihat kau, saudara. Dia adalah
cucunya guruku, dia masih helum menikah, dia memujimuji padamu, kemudian dia minta aku jadi perantara untuk ajar kenal satu pada lain, karena ia ingin minta pengajaran silat darimu .."
Kie Kong Kiat bersenyum, ia manggut.
"Baiklah, sebentar sore aku datang kesana," kata ia
dengan manis. "Disana kita dapat bicara lebih banyak pula.
Lihat disini, ruangan kantor ada demikian sempit, orang yang bekerja ada banyak, banyak yang keluar masuk, tidak leluasa untuk kita bercakap-cakap disini."
Kat Cie Kiang bisa mengerti alasan itu, maka setelah
bicara pula sedikit, ia lalu pamitan. Ia tidak terus pulang, ia pergi ke rumahaya Han Pa akan hiburkan keluarganya.
kemudian ia pergi ke rumahnya, mereka yang terluka. Ia sangat masgul. Hiburan satu-satunya bagi ia adalah Kie Kong Kiat suka bergaul kepadanya, ia harapkan pemuda itu suka bantu melindungi kaumnya. Apa pula kalau Kong
Kiat jadi menikah dengan Ah Loan, pasti mereka akan jadi
"orang sendiri ..."
Sepulangnya ke piautiam, Cie Kiang perintah siapkan
perjamuan untuk sebentar sore.
Sebuah kamar di depan kantoran telah dibikin bersih dan diperlengkapi.
Hari itu Cie Kiang terima kunjungannya beberapa piausu yang
jadi sahabatnya, yang menanyakan tentang pertempuran tadi pagi, terpaksa dengan menebalkan muka ia jawab mereka: "Kita telah berhasil pukul pergi Lie Hong Kiat. Akan tetapi karena ia ada muridnya Siok Tiong Liong dan bugeenya liehay sekali, dia telah berhasil melukainya Han Piausu, Thia Piau sit, Thio Pat dan suteeku Kim Cie Yong, malah yang terhebat, Han Piausu telah terbinasa
karenanya ..."
Mendengar ini, sahabat-sahabat itu hiburkan Piausu ini.
Kemudian orang tanyakan tentang Kie Kong Kiat.
Mengenai ini, Cie Kiang mengebul.
"Kie Kong Kiat itu memang aku telah kenal lama.
Guruku dan engkongnya adalah sahabat-sahabat kekal.
Tadi dia ada dalam perjalanan kekota, selagi lewat di Pa Kio, dia saksikan pertempuran kita. Lie Hong Kiat sudah terkepung, dia tinggal dibikin habis jiwanya. Menampak demikian Kie Kong Kiat datang memisahkan, maka
kesudahannya kita lepas Lie Hong Kiat, beri dia angkat kaki."
Beberapa sahabat itu puji Kie Kong Kiat. Tapi
sebenarnya mereka sudah tahu kejadian yang sebetulnya
tadi pagi, mereka tidak mau buka rahasia, setelah itu
mereka lantas pamitan.
Seberlalunya sahabat-sahabat itu, Cie Kiang merasa
malu sendirinya. Ia terus masuk kedalam akan tengok
anaknya. Luka siapa ada berat sekali, hingga ia jadi
bertambah duka. isterinya beritahukan padanya bahwa Ah Loan hendak keluar, Cie Tiong mencegahnya, hampir saja si nona dan pamannya itu kebentrok. Ia jadi bertambah-tambah masgul. Maka ia lantas pergi kekamarnya si nona.
"Nona, kau sabarlah," kata ia. "Benar Lie Hong Kiat
sudah kabur, tetapi dia toh bakal kena kita tangkap, untuk membalas sakit hati kepadanya! Tadi ada datang orang dari Han-tiong, katanya ayahmu akan berangkat kemari, lagi
empat atau lima hari dia pasti akan sampai disini. Disebelah itu aku telah minta pertolongan satu sahabatku pergi ke Tinpa, akan minta engkongmu juga datang kemari. Sudah
banyak tahun suhu tidak pernah keluar, tetapi sekarang, menghadapi musuh besar, tak dapat tidak dia mesti keluar juga."
Ah Loan percaya keterangan itu, sedikit saja kesangsiannya, dan itu walau-pun ia masih panas hatinya dan mendongkol, namun ia mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Nanti bersama engkong, aku pergi
cari Lie Hong Kiat. Tidak perlu ada lain orang membantu aku!"
"Dimana tinggalnya Kie Kong Kiat?" ia tanya.
"Bukankah orang bilang dia tadinya hendak satrukan kita kaum Kun Lun Pay?"
Cie Kiang geleng kepala, ia tertawa.
"Itu kabar yang disiarkan orang secara keliru," ia bilang.
"Yang benar, dia dan kita ada orang sendiri. Buktinya tadi pagi di Pa Kio dia telah bantu kita melawan Lie Hong Kiat, sehingga orang she Lie itu angkat kaki! Kie Kong Kiat ada satu pemuda cakap dan gagah, umurnya baru duapuluh
lima tahun, dia belum berumah tangga. Dia datang kesini untuk sambangi pamannya. Aku memikir hendak ajak dia
tiuggal beberapa hari dengan kita disini, agar kita bisa sekalian minta dia ajarkan kita beberapa tipu silat kaum Liong Bun Pay. Aka sudah undang dia buat sebentar
malam berjamu disini, dia telah janji akan datang. Aku harap sebentar nonapun suka ketemui dia ..."
Tapi Ah Loan menggeleng kepala, nampaknya ia gusar.
"Aku tidak sudi ketemui dia!" ia kata dengan sengit.
"Nona, jangan gusar," Cie Kiang membujuk. "Umpama
kau di rumahmu sendiri, siapa-pun yang datang, aku tidak bisa minta kau keluar untuk menemui dia, tetapi sekarang kau tengah merantau, jangan kukuh adat-istiadat. Dalam perantauan-pun kau perlu dengan perkenalan, sedang Kie Kong Kiat dan pihak Kun Lun Pay kita ada hubungannya,
dan itu kau dan dia bisalah dibilang ada seperti saudara angkat saja, hingga tidak ada halangannya untuk kau
berdua bertemu satu dengan lain. ketahuilah, ketika tadi aku kunjungi dia, yang pertama dia tanya adalah : Siapa si nona yang tadi bertempur dengan Lie Hong Kiat di Pa Kio"
Aku lantas beri tahu bahwa kau adalah cucunya guruku.
Atas itu ia segera nyatakan: "Pantas kepandaannya ada
demikian lihay!"
Mendengar ini, Ah Loan merasa sedikit girang. Tapi
setelah berpikir sebentar, kembali ia geleng kepala.
-ooo0dw0ooo- Jilid 11 "AKU tidak mau ketemukan dia," dia nyatakan.
"Umpama dia memikir untuk adu kepandaian dengan aku,
itu ada lain. Kat Susiok, kalau sebentar dia datang, tolong kau tanyakan dia perihal asal-usulnya Lie Hong Kiat dan tanya juga kemana Hong Kiat sudah lari. Tadi dia lepaskan Lie Hong Kiat, aku percaya mereka berdua kenal satu pada lain, atau mungkin mereka ada suheng dan sutee. Kenapa mereka justru bernama Kiat pada akhir namanya "!"
"Itulah bukan, nona!" Cie Kiang tertawa. Mereka tidak
kenal satu pada lain! Kalan tidak, kenapa Kong Kiat bantu kita?"
Hal 12 dan 13 hilang ...
... dia. Barangkali dia ada satu siucu jebol. Dia mengaku sebagai muridnya Siok Tiong Liong, benar tidaknya sukar dipastikan, tetapi ilmu silat pedangnya benar tidak dapat dicela. Selama satu-dua tahun ini, ia sudah lakukan
sejumlah perbuatan-perbuatan mulia di Kanglam, karena
itu tadi aku melainkan bikin ia menyerah, aku tidak ganggu jiwanya. Ini ada untuk pertama kali, umpama kelak ia
kebentrok pula padaku, tidak nanti aku suka mengasi
ampun pula."
Cie Kiang manggut-manggut.
"Saudara Kie," kata ia kemudian, dengan sengit, "kau
tidak hendak lukai dia, kau lepas padanya, tetapi tidak demikian dengan aku, sebab sakit hati kita kepadanya tidak gampang-gampang dibikin lenyap. Dalam tempo sepuluh
hari, dia sudah lukai anakku, dia telah binasakan suteeku Biau Cie Eng, dan tadi dia lukai beherapa orang, ia
binasakan satu piausu sahabat ku. Jika kami lepaskan Lie Hong Kiat, itu membuktikan kaum Kun Lun Pay dan
piausu-piausu serta guru-guru silat di Kwan-tiong benar-benar tak punya guna! Maka itu aku sudah kirim undangan kepada sahabat-sahabat di banyak tempat, kami hendak
pergi berpencaran akan cari Lie Hong Kiat. Benar belum tentu aku akan minta jiwanya, namun sudah pasti sakit hati ini mesti dilampiaskan!"
"Bila sudah tiba waktunya pasti aku akan membantunya," Kie Kong Kiat berikan janjinya. "Tadi di Pa Kio aku berbuat murah hati, tetapi Lie Hong Kiat tentu tidak puas, besok atau lusa dia pasti mencari aku untuk menuntut balas. Sama sekali aku tidak takut. Jangankan dia muridnya Siok Tiong Liong, ataupun Siok Tiong Liong
sendiri jikalau dia masih hidup aku pasti akan lawan
padanya!" Cie Kiang semua girang bukan main mendengar janji itu.
"Saudara Kie," kemudian Lou Cie Tiong tanya, "kau
tahu atau tidak didalam kalangan kangouw ada seorang
bernama Kang Siau Hoo?"
Orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Aku belum pernah dengar nama itu," jawabnya.
"Orang itu asal dari mana" Di mana saudara Lou kenal
dia?" "Dia ada satu bubeng siaupwee!" Cie Kiang gantikan
saudaranya menjawab. Ia ada sangat sengit, hingga ia sebut
Siau Hoo "bu beng siau pwee" (orang tingkatan bawah dan tak ternama). "Dia adalah musuh besar kami kaum Kun
Lun Pay! Gurunya pun didalam kalangan kangouw tiada
ternama!" "Kalau begitu ia tak usah dibuat kuatir," Kie Kong Kiat kata seraya goyang tangan. "Selama kira-kira seratus tahun, sehingga kini diantara orang-orang ternama dalam kalangan kangouw kecuali engkongku, Liong Bun Hiap, lainnya
adalah Siok Tiong liong. Tapi sekarang sudah terbukti, muridnya Siok Kong Liong, ialah Lie Hong Kiat,
melainkan demikian saja kepandandainnya. Lain orang
mana bisa keluarkan murid-murid yang liehay?"
"Kau benar, saudara Kie!" kata Cin Tek Giok dengan
mengangguk-angguk.
Cie Kiang isikan penuh cawannya Kie Kong Kiat, yang
ia terus angsurkan.
Sambil tertawa Kie Kong Kiat sambuti cawannya itu,
ketika dia baru angkat itu kemulutnya tiba-tiba sepotong genteng melayang turun, menyamber satu piring diatas
meja, sehingga hancur.
Semua orang menjadi kaget.
"Padamkan api!" Kong Kiat segera berikan perintahnya.
Sekejab saja semua lampu dan lilin telah tidak menyala.
Cie Kiang senina sudah lantas ambil masing-masing
senjatanya, dan Kie Kong Kiat ambil pedang dari
pengikutnya. "Jangan bingung!" Kong Kiat pesan semua orang.
"Inilah tentu Lie Hong Kiat. Biar aku bekuk dia ..."
Sebelum jago muda ini tutup mulutnya, diatas genteng
sudah terdengar suara pertempuran, terdengar tegas suara
beradunya senjata. Maka Kong Kiat segera lari keluar,
diturut oleh Cie Kiang semua.
Segera dari atas genteng sebelah Timur terdengar suara nyaring dan seorang perempuan: "Aku larang siapa juga
membantui aku! Bila bantu aku, aku nanti bacok padanya!"
Mendengar ancaman itu, Kie Kong Kiat bersenyum. Ia
tidak perdulikan ancaman itu, dengan bawa pedangnya ia loncat naik keatas genteng. Tapi begitu ia sampai diatas, perempuan tadi ayun goloknya dan menegur : "Kau siapa?"
Kie Kong Kiat tetap tidak menjawab, ia berkelit dari
bacokan, ia loncat kepada Lie Hong Kiat siapa sementara itu gunai, ketika itu loncat ke genteng tetangga, dari mana ia perdengarkan suara tertawanya.
Kong Kiat jadi gusar, ia loncat menguber, tetapi Lie
Hong Kiat tidak mau melayani, dia lari dan lompat diatas genteng sebagai ditanah datar, malah sebentar kemudian ia lenyap bersama bayangannya.
Kong Kiat menguber dengan tindakan
kakinya menerbitkan suara berisik, hingga penghuni-penghuni
didalamnya jadi kaget, semua lantas berteriak-teriak. "Ada maling! Ada maling!" Ketika ia dengar ini, ia berhenti mengejar, dengan mendongkol ia balik kembali.
Cie Kiang dan Cie Tiong sudah dapat bujuki Ah Loan
turun dari genteng, nona ini dapat dicegah mengejar Kong Kiat atau Lie Hong Kiat, karena ini cucunya Pau kun Lun jadi seperti kalap, dia mencaci kalang kabutan, dia bubat babitkan goloknya berulang-ulang.
"Sabar, su-titlie," kata Cie Tiong, yang rampas golokya nona itu. "buat apa kelabakan tidak keruan" Musuh berada ditempat gelap, kita berada ditempat terang, cara
bagaimana kita bisa kejar dia" Apabila terjadi sesuatu yang
tidak diingini, mana kita ada punya muka akan menemui
suhu yang beberapa hari lagi akan datang kemari?"
Ah Loan banting-banting kaki.
"Dasar kau terlalu ketakutan!" ia membentak. "Dasar
kau terlalu lemah! Kenapa dia seorang diri saja bisa
dibiarkan menghina kita kaum Kun Lun Pay" Kenapa kau
tidak mau berlaku nekad?"
Justeru itu Kie Kong Kiat loncat turun dari atas genteng.
"Kau sabarlah nona," berkata ia dengan mengulapkan
tangan: "Lie Hong Kiat telah cari aku, itulah bagus! Aku percaya dia tidak akan lekas angkat kaki dari sini, maka besok aku tentu bisa cari dia, buat ringkus dan gusur
padanya kemari!"
Ah Loan masih saja gusar.
"Tapi ini ada urusan aku!" ia berseru. "Hak apa kau ada punya untuk mencampurinya" Apa bisa menjadi, jikalau
tidak ada kau si orang she Kie, lantas kami tidak mampu bekuk Lie Hong Kiat?"
Kie kong Kiat tidak gusar akan ucapannya si nona itu, ia bersenyum seperti biasa.
Tatkala ini penerangan semua sudah dinyalakan pula.
"Mari, nona, mari kita minum arak!" Kong Kiat
mengundang. "Aku menduga sebentar Lie Hong Kiat akan
datang pula. Umpama dia benar datang, kita semua tidak akan turun tangan, biar nona sendiri yang layani dia
bertempur!"
Setelah berkata begitu, Kong Kiat tertawa dan lantas
mendahului bertindak masuk, ke kamar Barat, pedangnya
ia serahkan pula pada kacung dan dia sendiri terus duduk
atas kursinya ia bawa sikap merdeka atau agung-agungan.
Ia tuang sendiri araknya, sendirian juga ia tenggak itu.
Ah Loan turut Cie Tiong masuk, tetapi ia tidak mau
minum ia hanya duduk sendirian dibangku kecil.
Tangannya tetap memegangi goloknys matanya terus
mengawasi keluar. Dia seperti harap sangat datangnya Lie Hong Kiat kembali.
Kie kiong Kiat berlaku tenang pula, ia temani Cie Kiang bertiga bercakap-cakap dan minum, hanya kadang-kadang
saja ia lirik Nona Pau.
Beda dan pada tamunya Cie kiang ada mendongkol
hatinya tidak tenteram dan berkuatir, hanya dengan
tahankan hati ia bisa paksa terus menemani tamunya itu.
Sebelum arak dan hidangan habis, hari sudah jadi larut malam.
Kong Kiat terkena Pengaruhnya arak, ia sekarang lebih
sering lirik Si nona.
"Bugeenya si nona benar-benar tinggi!" satu kali ia
memuji dengan suara keras. "Aku takluk! Sekarang ini
memang sangat jarang ada liehiap perempuan gagah dalam kalangan kangouw!"
Ah Loan tiada perhatikan kepada Kong Kiat, ia tidak
mau bicara kepada pemuda itu, maka juga terus ia
berbangkit, dengan bawa goloknya ia bertindak keluar. Ia loncat naik keatas genteng, untuk memeriksa.
Ketika perjamuan ditutup Cie Kiang minta Kong Kiat
tidur dikamar yang sudah disediakan, dan Cin Tek Giok
mengaso dikamar kantor.
Ah Loan terus tidak mau tidur, ia meronda diatas, di
depan dan dibelakang, tidak pernah dia lepaskan goloknya.
Cie Kiang dan Cie Tiong tidak turut meronda. tetapi
mereka juga tidak tidur sekejappun, mereka rebahkan diri dengan mata melek.
Syukur malam itu selanjutnya lewat dengan tak kurang
suatu apa. Esoknya pagi Kie Kong Kiat perintah kacungnya pergi
ke Kong Ek Hok Cian Chong buat ambil pauhoknya,
karena untuk selanjutnya ia akan tinggal sama Cie Kiang.
Siangnya ia-pun keluar pesiar dengan membekal pedang. ia seperti jajah kota See-an, ia datangi dan masuki hampir semua rumah makan, warung teh dan rumah-rumah
penginapan. Sia-sia saja ia mengubek mencari Lie Hong
Kiat. Sorenya ia pulang dengan tingkah agul-agulan.
Malam itu kenbali Cie Kiang jamu Kong Kiat dikamar
Barat, siap dengan masing-masing senjatanya, pintu kamar dipentang
lebar-lebar. Mereka sengaja menunggui munculnya Lie Hong Kiat.
Ah Loan dengan goloknya tetap menantikan, sedang tadi
siangnya dengan naik kuda ia pesiar berbareng mencari
pemuda she Lie itu.
Malam itu Hong Kiat tidak muncul, ini menyebabkan
orang sibuk sendirinya. Dan ia tetap tidak perlihatkan diri sehingga lewat hari kedua dan hari ketiga, melihat demikian Kong Kiat-pun habis sabarnya. Maka ia lantas minta kertas, pit, bak dan bakhie, lalu ia menulis belasan pemberitahuan, yang bunyinya:
Dicari Lie Hong Kiat Penjahat Lie Hong Kiat kemarin ini sudah bunuh dan lukai beberapa piausu dan pegawal Piautiam kita, dia bernyali kecil, dia ketakutan, dia lari dan umpatkan diri.
Siapa ketahui halnya penjahat itu, dan datang mengabarkan ke Lie Sun Piau Tiam, dia akan dapat upah dua-puluh tail perak.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita tidak akan salah janji.
Cie Kiang masuk ke dalam selagi tamunya menulis
pemberitahuan itu, ia kerutkan dahi.
"Aku kuatir tindakan ini-pun sia-sia saja," nyatakan ia.
"Lie Hong Kiat sangat licin, bila orang beri kisikan pada kita, sebelum kita datangi padanya, pasti dia sudah kabur lebih dahulu!"
"Kau jangan pedulikan itu," kata Kie Kong Kiat sambil
bersenyum. "Daya-upaya ku ini mesti ada hasilnya,
sebentar malam tentu kita bisa tawan Lie Hong Kiat."
Lantas beberapa pegawal diperintah tempel pemberitahuan itu diluar kota, dijalan-jalan atau tempat yang hidup, hingga sebentar saja banyak orang berkerumun membacanya, kota lantas jadi gempar.
Cie Kiang pergi keberbagai kantor untuk jelaskan
tindakannya itu, untuk minta bantuan juga.
Ah Loan tidak mau mengerti, ia masih saja pergi
mencari putar-putaran. Tidak demikian dengan Kie Kong
Kiat, yang sekarang diam menantikan didalam piautiam.
Hanya, setelah maghrib tidak ada datang kabar apa-apa
mengenai Lie Hong Kiat, ia sibuk juga. Dengan tidak pakai thungsha, sambil bawa pedang telanjang, ia pergi keluar, ia jalan antara orang banyak untuk mencari, hingga banyak orang mengawasi dan perhatikan padanya, karena sikapnya yang luar biasa itu. Ia tidak perhatikan itu. Akhirnya ia masuk dalam sebuah restoran, ia minta arak akan minum
seorang diri. Karena ia sedang masgul, ia minum banyak juga barulah kemudian ia berangkat pulang.
Tatkala itu sudah jam dua, dijalan besar orang sudah
mulai jarang. Bulan dan bintang-bintang ada terang
cahayanya. Ketika Kie Kiong Kiat medekati Lie Sun Piau Tiam,
tiba-tiba ada suatu barang menyambar pinggangnya bagian belakang. Ia kaget hingga lantas lenyap pengaruhnya air kata-kata dari kepalanya. Ia melompat akan putar tubuh, buat segera membacok.
Melihat bacokan itu, orang yang dibelakang itu segera
menyambut dengan pedangnya, dengan begitu, kedua
senjata jadi beradu, malah beradu terus ketika Kong Kiat membacok, membabat lari menikam berulang-ulang.
Selama ini, orang ini tapinya bertempur sambil mundur.
Adalah kemudian ia pendengarkan suaranya sebagai
pemuda Lie Hong Kiat.
"Tahan! Tahan!" katanya, sambil bersenyum.
Kie Kong Kiat tertawa dingin.
"Apakah kau takut?" tanya dia, seraya dia maju pula,
kali ini ujung pedangnya menikam kearah dada, dengan
tipu pukulan Tok coa coan sun", atau "Ular berbisa
menembusi hati".
Satu suara "Trang!" segera terdengar, karena Lie Hong
Kiat sampok tikaman itu.
Atas itu, Kong Kiat kembali menikam pula, tetapi juga
Lie Hong Kiat cepat gunai pedangnya menekan. Sementara itu keduanya telah majukan sebelah kakinya masing-masing, mereka jadi sama-sama pasang kuda-kuda dan
kedua tangan sama-sama dikeraskan. Hingga mereka jadi
seperti adu tenaga.
"Jikalau aku takut kepadamu, mustahil aku datang pula
cari kau?" kata Lie Hong Kiat sambil tertawa pelahan,
berbareng dengan mana ia kumpul tenaga di kakinya.
Kong Kiat segera mundur setindak, pedangnya ditarik,
tetapi bukan buat terus ditarik pulang, hanya untuk berbalik
tekan pedang lawan. Kakinya dimajukan lagi, pedangnya
digerakan terus, agaknya ia hendak menikam. Berbareng
dengan itu, tangan kirinya maju menjamdak dada musuh.
Hong Kiat tidak tunggu sampai kena ditikam, ia-pun
bergerak dengan cepat untuk mendahului ia tarik
pedangnya, ia ubah gerakannya menghindarkan diri dari
jambakan, lalu cepat sekali ia balas mengancam dengan
tikamannya, kakinya yang kanan maju ke depan.
Kong Kiat lompat kesamping sambil mendek, membarengi mana, pedangnya menyamber tusukan musuh,
maka untuk kesekan kalinya kedua senjata kembali bentrok dengan nyaring.
Hong Kiat mundur, ia tertawa gelak-gelak. "Sungguh
aku kagum, sungguh aku kagum!" kata ia berulang-ulang.
"Sayang tempat ini sempit, kita tak dapat mainkan pedang dengan leluasa!"
"Jangan ngobrol!" Kong kiat membentak. Ia mendongkol karena terang ia sedang dipermainkan. Nyata ia kalah sabar. "Hari ini aku kehendaki jiwamu, muridnya Siok Tiong Liong!"
Bentakan ini disusul dengan tikaman hebat.
Lie Hong kiat masih tertawa waktu ia tangkis serangan
itu. Selama itu ada orang dari Lie Sun Piau Tiam yang lihat pertempuran tersebut, dia lari kedalam untuk mengasi
kabar. Sampai disitu Hong Kiat tarik pulang pedangnya, ia
mundur, terus ia putar tubuh dan lari.
Kie Kong Kiat penasaran, ia lompat mengejar.
Lie Hong Kiat lari kejalan bio Tay Siang Cu, sebelah
gang yang gelap. Tetapi tak perduli tempat ada gelap, Kie Kong Kiat mengejar terus. Ketika dikejar sampai hendak keluar dari ujung gang, mendadak Hong Kiat balik
tubuhnya, lalu sambil litangkan pedang di depannya, ia kata:
"Orang she Kie, kau jangan keterlaluan! Kemarin ini
ditepi kali dikirinya jembatan Pa Kio aku telah layani banyak sekali musuh, yang kepung aku dengan bergantian, justeru itu kau datang membantui mereka, hingga kau bisa kalahkan aku. Akan tetapi jikalau kita berkelahi satu sama satu, dengan sama-sama segarnya, masih belum ketahuan
yang mana yang akan terbinasa ditangan siapa! Disini-pun tidak leluasa untuk kita bertempur terusan, karena tempat sempit, pula koncomu terlalu banyak!"
Dituduh demikian, Kie Kong Kiat geleng kepala.
"Mereka itu bukanlah kawan-kawanku," ia sangkal.
"Aku juga bukannya hendak menuntut balas untuk mereka
itu. Aku hanya tidak puas kau menggunakan pedang
mensatrukan pedangku, kau lempar pedangmu dan tukar
itu dengan golok, pasti sekali aku suka mengasi ampun
padamu!" Tapi Lie Hong Kiat tertawa.
"Sungguh jumawa!" kata ia. "Apakah pedang melainkan
boleh dipakai oleh kau sendiri keluarga Kie dari liong-bun.
Sekarang sudah malam, dengan kita bertempur terus, sukar dapat dilihat permainan siapa yang jelek dan siapa yang bagus. Tempat ini tidak terpisah jauh dari tempat
kediamanku, marilah pergi ketempatku itu untuk kita bicara sebentar agar kia bisa pilih dan tetapkan tempat dimana kita bisa piebu pedang. Aku tidak kehendaki orang lain
mendapat tahu, sampai pada waktunya kita mesti berada
berdua saja. Kita jua mesti tetapkan, pertempuran mesti berakhir salah satu menang atau kalah. Kau jangan kuatir, di tempat kediamanku itu tidak ada perangkap."
Kie Kong Kiat tertawa dingin.
"Apakah kau sangka aku jerih umpama kau membacok?" berkata ia. "Hayo jalan!"
Ketika itu orang-orang dari Lie Sun Piau Tiam sudah
memburu sampai dimulut gang.
"Lekas!" berseru Kong Kiat pada lawannya.
Keduanya tidak bertempur lagi, dengan masing-masing
tenteng pedangnya mereka berlari-lari dengan berendeng.
Mereka mesti lewati beberapa gang yang gelap, baru mereka tiba di tempat kediamannya Lie Hong Kiat, sebuah rumah tingal.
Hong Kiat menghampiri pintu yang ia segera ketok.
Sebentar saja pintu lantas dibuka.
Kie Kong Kiat lihat, pembuka piatu ia ada seorang
perempuan tua. Lie Hong Kiat persilahkan lawannya masuk, atas mana,
perempuan tua itu kunci pintu pula.
Pekarangan dan rumah itu ada sunyi. Cuma dikamar
Utara ada sinar api. Kedalam kamar itu Hong Kiat undang lawannya masuk.
Kong Kiat bertindak masuk, ternyata kamar itu kosong,
hanya diempat penjuru tembok ada terdapat pigura-pigura dan berbagai tulisan atau huruf-huruf aneka macam atau buku-buku dirak. Diatas meja-pun ada terletak beberapa jilid buku.
"Tempat apakah ini?" orang she Kie ini lantas menanya.
"Ini ada rumahnya satu sahabatku," Lie Hong Kiat
jawab. "Ketika kemarin ini aku pulang dari Pa Kio, aku nginap disini. Kalau nanti kau pulang, aku minta kau
jangan beri tahu siapa juga tentang tempat kediamanku
ini." "Kau terlalu pandang Kie Kong Kiat bukan sebagai satu
enghiong!" kata Kie Kong Kiat sambil tertawa. Lantas ia jatuhkan diri dikursi, tangan kanannya masih pegangi
pedang, tangan kirinya meraba sejlid buku, ialah Sin Tong Sie, buku tentang kerajaan Tong yang baru, dalam mana
ada terselip selernbar syair karangannya Lie Hong Kiat sendiri, sebagaimana dibawah itu ada tanda-tangan dari orang she Lie itu. Ia-pun baca : "Di sungai Kang Sui
diwaktu malam yang dingin membikin kaget pedang
pualam, digunung Kwa San disuatu sore musim semi
melepas kuda pilihan balap."
Membaca syair itu, Kie Kong Kiat menjadi kagum,
hingga ia ucapkan pujiannya.
Sementara itu Lie Hong Kiat telah letakkan pedangnya
diatas meja, ia guntingi sumbu lilin, kemudian ia pandang tamunya dan tertawa.
"Kau lihat," kata dia, "aku si bangsat bisa menulis syair, maka itu upahmu duapuluh tail untuk tangkap aku apa
tidak terlalu sedikit?"
Mukanya Kong Kiat menjadi merah karena ejekan atau
godaan itu. "Aku tidak tahu bahwa kau adalah orang semacam ini,"
ia kata. "Lagi-pun dengan membikin surat-surat pemberitahuan itu dan menempelnya diberbagai tempat,
aku melulu hendak membangkitkan kegusaranmu, supaya
kau tampakkan diri. sama sekali bukan maksudku yang
sebenarnya guna bekuk padamu."
Lie Hong Kiat tertawa pula, secara dingin.
"Taruh kata kau benar-benar hendak menawan aku, aku
kuatir aku bukan seperti lain-lain penjahat yang mudah untuk ditangkapnya!" ia kata.
Mendengar demikian, Kong Kiat lempar buku yang ia
sedang cekal, ia berbangkit, lalu dengan pedangnya, yang ia masih pegangi, ia bersikap hendak menyerang.
Hong Kiat goyang-goyang tangannya, ia terawa.
"Disini bukannya tempat bertarung," kata ia, yang sabar luar biasa. "Sahabatku di rumah ini ada bernyali sangat kecil, dan itu jangan kita bikin dia kaget. Disebelah itu, dengan baik hati aku undang kau datang kemari, maka
sudah selayaknya jikalau kau berlaku, sedikit seeji. Aku-pun dengar yang kau ada seorang terpelajar ... "
Kie Kong Kiat letaki pedangnya, tapi ia masih terus
mengawasi tuau rumah itu.
"Kau berusia begini muda," katanya, "kau jua pandai
ilmu surat dan ilmu silat, kenapa kau tidak berdaya mencari pekerjaan untuk angkat nama, hanya kau justeru lakukan pekerjaaa semacam ini?"
"Apakah yang aku lakukan?" tanya Lie Hong Kiat
sambil tertawa menghina. "Apakah benar-benar kau
percaya aku telah menjadi penjahat seperti tuduhanmu?"
Berkata sampai disitu Hong Kiat nampaknya gusar. Tapi
segea ia tambahkan: "Kie Kong Kiat, engkongnu dan
guruku ada sama-sama orang kaum Bu Tong Pay, malah
dahulu mereka menjadi sahabat satu dengan lain, maka
turut pantas kita tidak dapat saling bermusuhan. Sekarang kau tuduh aku jadi bangsat, dengan begitu. kau telah terlalu menghina aku! Disini ada itu orang-orang Kun Lun Pay
tukang mengadu-biru, karena itu aku tidak ingin layani kau
bertempur. Kalau kau mempunyai nyali, besok kita boleh bikin pertemuan di Tong-kwan."
"Bertemu di Tong-kwan, itulah baik sekali," sahut Kie
Kong kiat, yang terima tantangan. "Apakah pasti kau akan pergi kesana?"
"Tentu saja!" Lie Hong Kiat pastikan. "Diantara kita,
siapa juga tidak boleh membawa pembantu! Besok kita
akan bertemu diwaktu lohor, kita adu kepandaian sampai ada keputusan, siapa lebih pandai dan siapa lebih rendah, umpama mesti binasa, jangan ada yang menyesal!"
"Baik, demikian kita tetapkan," kata Kie Kong Kiat,
yang-pun berikan kepastiannya. "Sekarang kita sudah dapat kepastian, nah, aku pergi!"
Kong Kiat bertindak keluar dengan bawa pedangnya,
diluar ia mencelat naik kegenteng.
Lie Hong Kiat antap tamu itu pergi, ia tidak
mengantarkan keluar.
Dari rumah sebelah utara, Kie Kong Kiat jalan memutar
kesebelah Timur, ia menoleh ke kamarnya Lie Hong Kiat, ia lihat cahaya api masih ada dan bayangannya pemuda she Lie itu tertampak sedang duduk membaca buku.
Menampak demikian, kembali ia jadi kagum, hingga ia
berpikir pemuda ini ada terpelajar dan gagah, sayang sekali diluar keinginanku, kita jadi berdiri berhadapan sebagai lawan satu ke pada lain ... "
Di Lie Sun Piau Tiam orang masih sedang sibuk dan
kacau, Cie Kiang semua sedang berdiri dimuka pintu
dengan mata melihat sana dan melihat sini. Maka itu,
mereka jadi bernapsu kapan mereka lihat pulangnya Kong Kiat.
"Apakah kembail kau lepaskan kabur Lie Hong Kiat
itu?" mereka tanya.
Kie Kong Kiat goyang tangannya.
"Dia bukannya Lie Hong Kiat, dia ada satu sahabatku,"
ia jawab. "Sesudah kita main-main sebentar dengan
pedang, aku telah pergi kerumahnya untuk bercakap-cakap sebentaran ..."
Cie Kiang semua heran, mereka mengawasi sahabat baru
itu deugna rasa curiga.
Justeru itu Ah Loan-pun kembali. Lantas saja ia hunjuk pula sifatnya yang tidak sabaran.
"Bagaimanakah sebenarnya urusanmu ini?" ia segera
tanya Kong Kiat. "Apakah kau bersekongkol dengan Lie
Hong Kiat untuk ganggu kita?"
"Nona, kau bikin aku penasaran!" Kong Kiat jawab.
"Bagaimana
kau bisa menuduh demikian" Untuk mengganggu kau, bukankah dia seorang diri sudah cukup"
Kenapa aku mesti turut ambil bagian?"
Ah Loan masih penasaran, ia masih hendak buka
mulutnya, akan tetapi Cie Tiong segera ajak ia masuk.
Seberlalunya si nona, Kie Kong Kiat menghela napas.
"Tadi aku telah dapat keterangan dari sahabatku tentang Lie Hong Kiat," ia kata pada Cie Kiang. "Hong Kiat benar ada muridnya Siok Tiong Liong, ia pandai ilmusilat dan surat berbareng. Seharusnya aku bersahabat kepadanya,
tetapi karena urusanmu ini, aku jadi kebentrok dengan dia.
Karena perselisihan ini, dalam satu atau dua hari,
barangkali aku bakal lakukan pertempuran mati-hidup
dengan dia nya!"
Setelah mengucap demikian, ia lantas pergi kekamarnya, tapi masih saja ia masgul, hingga ia tidak dapat tidur.
Pada jam tiga Piautiam telah ditutup, semua pengawalnya Kat Cie Kiang lantas pada tidur.
Oleh karena ia tak dapat tidur, Kong Kiat sering dapat dengar diluar kamarnya atau diatas geneng suara tindakan kaki yang pelahan. Mendenar suara itu, diam-diam ia
tersenyum sendirinya, karena ia anggap itu ada lucu. Ia telah dapat duga siapa yang lerbitkan semua suara itu.
Kemudian, dengan hawa pedangnya, Kong Kiat keluar
dari kamarnya. "Siapa?" demikian teguran nyaring dari atas genteng,
teguran dari seorang perempuan.
"Aku!" Kong Kiat jawab sambil tertawa.
Suaranya si nona tidak terdengar pula, menurut suara
tindakan kakinya, ia telah pergi kelain bagian dari
wuwungan. Kie Kong Kiat melihat kesekitarnya. Semua kamar
sudah padamkan api, nampak segalanya dalam kesepian, ia loncat naik ke atas genteng. Ia tidak timbulkan suara apa juga, ia berlaku sangat hati-hati, ia entengi tubuh. Ia letaki pedangnya digenteng, ia merayap maju kebelakang.


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu itu Ah Loan, yang tadi pergi ke belakang sudah
loncat turun ke pekarangan dalam rumah dimana ia jalan mundar-mandir sekian lama, nampaknya ia ada sangat lesu, kemudian ia pergi kesebuah kamar di rungan Barat didalam mana ada sinar api.
Kie Kong Kiat loncat turun dengan berindap-indap ia
hampiri jendela kamarnya si nona itu, ia mengintip, ia
menahan napas ketika ia gunai lidahnya untuk pecahkan
kertas tutup jendela.
Ah Loan didalam sedang buka kancing bajunya, ia
rupanya hendak salin pakaian, atau ia hendak tidur.
Tidak tempo lagi Kong Kiat menghampiri pintu dan
tarik daunnya hingga terbuka, ia bertindak masuk.
Bukan main kagetnya Ah Loan sampai ia menjerit, tetapi ia segera samber goloknya.
"Sabar, nona," Kong Kiat kata, tangannya diulapulapkan, "Aku hendak bicara kepadamu."
Mukanya Ah Loan menjadi merah karena jengah, akan
kemudian berubah jadi merah padam, matanya-pun
mendelik. "Sekarang tengah malam buta-rata, ada urusan apa kau
lancang masuk ke kamarku?" ia menegur.
Kie Kong Kiat bersenyum.
"Sebenarnya tadi aku telah ketemu Lie Hong Kiat," ia
kata. "ia telah janjikan tempat dan jamnya untuk piebu esok hari. Jikalau kau hendak menyaksikan, esok aku dapat
mengajaknya. Hanya tentang itu, tidak ada lain orang lagi yang boleh mendapat tahu!"
Keterangan ini membuat si nona ketarik.
"Dimana piebu itu akan dibikin?" ia tanya dengan
bernapsu. "Aku hendak pergi menyaksikan!"
"Bicara pelahan, nona," Kong Kiat minta sambil
menggoyangkan tangan pula, "Tadi aku ketemu Lie Hong
Kiat, dia sindirkan sangat pada kita, katanya Kun Lun Pay musuhkan dia karena Kun Lun Pay andalkan jumlah yang
banyak, bahwa tapinya jumlah banyak itu tidak ada
harganya."
"Memang banyak orang menyebabkan permainan silat
jadi kacau." Ah Loan aku. "Itu-pun sebabnya, beberap kali dia menang diatas angin. Mengenai piebu besok, kita baik jangan omong kepada siapa juga, malah pada waktunya,
kau-pun baik tidak usah pergi, biar aku yang pergi sendiri.
Kau beri aku tahu dimana tempatnya dan jam berapa
waktunya perjanjian piebu itu."
"Itulah tak bisa terjadi, nona!" kata Kong Kiat sambil bersenyum pula. "Yang dia janjikan adalah aku, maka
kalau nona yang pergi, pasti dia tidak sudi melayani, malah mungkin dia berdaya akan menjauhkan diri, hingga akan
sukar kita cari padanya. Sekarang begini saja, besok pagi-pagi kau naik kuda pergi ke Pa Kio. Disana nanti bertemu, akan sama-sama cari Lie Hong Kiat. Di waktu kita
bertanding, jangan sekali kau bantui aku, supaya dia tidak menertawai kita. Bila kemudian ternyata aku tidak sanggup menangkan padanya, itu waktu barulah nona boleh turun
tangan akan bekuk padanya!"
Kembali Kong Kiat bersenyum, dengan matanya yang
tajam ia awasi nona ini.
Ah Loan rupanya setuju, ia lantas manggut-manggut.
"Besok pasti kita akan bertemu di Pa Kio! Nah, pergilah kau!" kata ia.
Kong Kiat bersenyum pula.
"Harap nona ingat baik-baik agar lain orang tidak
ketahui hal ini," kata ia, yang terus keluar dari kamar itu, selagi Ah Loan tutup pintu kamar. Ia loncat naik kegenteng ia pergi ke depan akan ambil pedangnya, dari situ ia lompat turun, terirs masuk ke kamarnya sendiri. Ia tutup pintu, ia naik kepembaringannya. Namun ia tidak bisa tidur. Kali ini ia ingat Ah Loan yang elok, yang sukar dapat dicari
keduanya didalam kalangn kangouw.
Keesoknya pagi ketika Kong Kiat keluar dari kamarnya,
ia lihat Ah Loan sudah siap dengan bawa golok dan tuntun kudanya ke luar. Maka diam-diam ia bersenyum sendirinya.
Ia-pun terus dandan dengan tenang, selama itu, ia perintah pegawai piautiam singkirkan semua pemberitahuan yang
kemarin ditempel di berbagai tempat.
Tida lama, Cie Kiang datang.
"Menghitung
harinya, sahabat-sahabat
kita yang diundang mestinya akan sudah datang berkumpul," kata
piasu ini pada tamunya, sahabat baru. "Hari ini tentu akan datang orang dari Han-tiong. Umpama Lie Hong Kiat
buron kelain propinsi, kita tetap akan cari dia. Saudara Kie aku minta kau suka berdiam lamaan disini, sampai kita
sudah beres dengan urusan kita ini. Aku harap dibelakang hari semua orang Kun Lun Pay bisa menyebut kau sebagai satu sahabat yang baik ... "
Kong Kiat mengangguk.
"Pasti aku membantunya sehingga urusan selesai," kata
ia. "Sekarang-pun aku hendak pergi keluar kota buat cari Lie Hong Kiat."
Cie Kiang mengucap terima kasih, ia lantas keluar.
Kong Kiat lantas perintah orang siapkan kudanya, ia
keluar dari pintu kota Tirnur. Disini ia beri kudanya lari.
Waktu masih pagi akan tetapi hawa udara sudah panas
sekali, maka ketika kemudian ia sampai di Pa Kio, ia telah bermandikan keringat. Ia lihat kudanya Ah Loan yang
merah. Nona itu pakai baju putih dengan celana hijau daun, dia berdiri dibawah pohon, cambuk ditangannya diangkat kejurusan pemuda itu.
Sambil bersenyum, Kie Kong Kiat menghampiri.
Sementara itu, Ah Loan telah loloskan tambatan
kudanya, siap untuk lompat naik.
"Hawa udara sangat panas, baik kita mengaso dahulu
sebentaran," kata Kong Kiat.
"Buat apa ngaso?" sahut si nona, "Kita cari Lie Hong
Kiat lebih dahulu, sesudah bekuk dia baru kita pulang, masih ada tempo untuk beristirahat!"
Nona ini loncat naik atas kudanya, yang terus ia beri lari melintasi jembatan,
Melihat demikian, terpaksa Kie Kong Kiat mengikuti.
"Pertemuan dengan Lie Hong Kiat jadi nanti diwaktu
lohor,"ia berkata, "Maka itu, umpama kita peroleh
kemenangan, masih tidak keburu buat kita kembali pulang
..." "Dimana kau berdua telah berjanji untuk bertemu?"
"Dikota Tong-kwan, yang terpisah dari sini ada dua
ratus tujuh puluh lie lebih."
"Itu toh tidak jauh," kata si nona. "Hayo lekas!"
Sembari kata begitu, Ah Loan keprak kudanya diberi
kabur. Kie Kong Kiat larikan pula kudanya, setiap kali ia ayun cambuknya ia awasi si nona, yang potongannya menarik
hati, Walau sudah berkeringatan, nona itu seperti lupa akan teriknya matahari. Ia ngelamun.
"Nona ini tentu masih merdeka, demikian lamunannya.
"Semua orang Kun Lun Pay sangat hormati aku, kalau aku bicara kepada Cie Tiong atau Cie Kiang, supaya mereka
suka jadi orang perantara, pasti maksudku akan terkabul.
Aku ada turunannya Liong Bun Hiap, keluargaku bukan
keluarga rendah, mustahil keluarga Pau tidak penuju
kepadaku" Bila sudah jadi pasangan, berdua aku sama-sama merantau, siapa tidak akan kagumi kita sebagai pasangan yang gagah?"
Ngelamun demikian macam, bukan main gembiranya
Kie Kong Kiat, hingga ia larikan kudanya melewati si nona, kemudian ia berpaing kebelakang.
"Bugeemu liehay sekali, nona," kata ia sambil ketawa.
"Aku percaya bahwa engkongmu turunkan pelajaran
berlaku berat sebelah, jikalau tidak kenapa kau bisa
melebihi semua susiokmu"
Berapa sahabatku tidak percaya dijaman kita ini ada Liehiap (nona gagah), maka itu dibelakang hari aku ingin ajak nona menemui mereka itu, supaya mereka dapat tahu dan
kaget! Dengan sebenarnya aku sangat kagumi bugeemu,
nona," pemuda ini tambahkan. "Ini-pun sebabnya kenapa
hari ini aku justeru aku minta bantuanmu seorang."
Ah Loan bersenyum atas pujiannya itu.
"Bugeemu juga tidak ada kecelanya," katanya, suaranya
menarik hati. "Pantas belum lama masuk dalam dunia
kangouw kau sudah lantas dapat nama ..."
Setelah berkata begitu, mukanya si nona menjadi merah
sendirinya. Akan tetapi, seperti tiba-tiba ingat sesuatu, kembali romannya balik pada asalnya, seera ia cambuk
kudanya. "Mari lekas, lekas!" ia kata. "Kita jangan ngobr?l saja!"
Kie Kong Kiat ada sedang bergembira. ia larikan
kudanya, yang ia tetap beri berada disebelah depan si nona.
Debu mengepul naik karena kerasnya kuda mereka lari.
Hawa udara juga bukan main panasnya, apapula waktu itu sudah mendekati tengah hari, di tengah jalan ada sedikit orang yang berlalu lintas.
Selagi mereka mendekati distrik Wielam, tiba-tiba Kong Kiat lihat tidak jauh di sebelah depan ada seorang yang menunggang kuda putih, orang mana ada berpakaian biru, yang setiap kali berpaling kejurusannya. Ternyata orang itu adalah Lie Hong Kiat, kepala siapa dibungkus dengan
saputangan hijau.
"Bagus!" ia berseru. "Tidak usah sampai di Tong-kwan,
kita sudah bertemu disini! Lebih siang piebu diselesaikan, lebih baik lagi!"
Ah Loan juga sudah lantas lihat musuh itu.
"Lie Hong Kiat!" ia berterak. "Jangan kau harap bisa lari lagi!"
"Sabar, nona, sabar!" Kong Kiat berpaling pada
kawannya itu. "Biar aku tempur dahulu padanya, kemudian baru kau! Kalau tidak, dia akan tertawakan kita!"
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 7 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Pendekar Sakti Suling Pualam 3

Cari Blog Ini