Ceritasilat Novel Online

Han Bu Kong 2

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 2


memang juga dirasakannya peti ini sangat mungkin adalah satu orang.
Yang membuatnya tidak percaya adalah tindak-tanduk gurunya selama hidup
terkenal gilang-gemilang, tidak ada sesuatu perbuatan sang guru yang perlu
dirahasiakan, tidak ada sesuatu tindakannya yang merugikan orang.
Sebab itulah ia tetap tidak percaya kepada ucapan si Tojin, jawabnya,
"Memangnya peti ini terisi seorang?"
Tojin itu tertawa dingin, katanya, "Di dunia persilatan terkenal "pemberani
nomor satu, Put-si-sin-liong, membawa peti mati untuk mencari kalah" hal ini
selama beberapa puluh tahun telah menjadi buah bibir orang Kangouw,
sekarang Put-si-sin-liong telah mati, apakah cerita ini akan dapat turuntemurun
di tengah khalayak ramai belum lagi diketahui, namun ......."
Sampai di sini mendadak ia menengadah dan tertawa keras, lalu melanjutkan,
"Padahal duduk perkara yang benar siapa yang tahu?"
Suara tertawanya itu penuh rasa ejek dan menghina, hal ini membuat
Lamkiong Peng kurang senang, dengan lantang ia tanya, "Duduk perkara
apa?" "Hm, memangnya kau kira Put-si-sin-liong selalu membawa peti dalam
perjalanan benar-benar cuma bertujuan mencari lawan untuk bertanding,
supaya dia sekali tempo mengalami kekalahan dan ingin mati" Huh, peti mati
ini dibawanya kian kemari tidak lain adalah karena di dalam peti mati ini
tersembunyi satu orang!"
"Orang apa?" tanya Lamkiong Peng dengan air muka berubah.
"Orang apa"...... Hahahaha!" kembali si Tojin bergelak tertawa keras.
"Seorang perempuan! Ya, seorang perempuan! Seorang perempuan
mahajahat, perempuan jalang, tapi juga secantik bidadari!"
Seketika hati Lamkiong Peng tergetar, dadanya serasa digodam orang dengan
keras, dengan mendelik ia membentak, "Apa katamu?"
"Apa kataku?" si Tojin menegas dengan tertawa latah. "Kubilang gurumu Putsisin-liong Liong Po-si meski mendapat nama kehormatan sebagai jago nomor
satu yang membawa peti mati untuk mencari kalah, yang benar perbuatannya
itu hanya karena membela seorang perempuan jalang!"
Suara tertawanya tambah keras, ucapannya juga tambah lantang, seketika
kumandang suara bergema dari berbagai penjuru lembah gunung dan
bergemuruh kata "perempuan jalang..... perempuan jalang."
Gema suara yang menusuk telinga itu serupa sebilah belati tajam menikam
hati Lamkiong Peng. Maklum, hal ini menyangkut orang yang paling
dihormatinya. Meski sedapatnya ia menahan perasaannya, namun darah panas yang
bergejolak sukar ditahan, mukanya yang putih berubah menjadi merah padam,
mendadak ia berteriak, "Diam! Berani kau singgung lagi kehormatan guruku
segera ku ...."
"Hahaha, kehormatan gurumu?" potong si Tojin dengan menjengek. "Hm, apa
yang kukatakan tadi justru berdasarkan fakta, semuanya kejadian nyata. Jika
engkau tidak percaya, boleh coba kau buka dan periksa peti itu, segera akan
kau ketahui sesungguhnya siapa yang tersembunyi di situ."
"Memangnya siapa?" tanya Lamkiong Peng.
"Meski usiamu masih muda, tapi sebagai orang persilatan tentu pernah kau
dengar nama ...." si Tojin merandek, lalu sekata demi sekata menyebut,
"Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat!"
Seketika Lamkiong Peng merinding dan tidak bersuara.
Didengarnya si Tojin berucap pula seperti orang berpantun, "Segala makhluk
di dunia ini mana yang paling berbisa, ialah Kong-jiok Huicu- empedu si merak
...." Suaranya menjadi lemah dan terputus, air mukanya juga pucat dan tampak
berkerut-kerut penuh derita.
Dengan suara berat Lamkiong Peng bertanya. "Kong-jiok Huicu apakah sama
orangnya dengan Leng-hiat Huicu?"
Si Tojin mendengus, tanpa memandangnya ia menyambung lagi ucapannya
tadi, "Seratus burung sama menyembah Tan-hong, cuma sang merak sendiri
tetap jaya ...."
Dengan mendongkol Lamkiong Peng memotong, "Apakah tidak kau dengar
pertanyaanku?"
Namun si Tojin tetap menengadah dan berdendang pula, "Kong-jiok Huicu
darahnya sudah dingin (Leng-hiat), si cantik berdarah dingin tidak diketahui
orang, saking marah naga sakti turun ke bumi, terjadilah pertempuran sengit
di Hoa-san, naga sakti terkenal tak termatikan, seratus kali tempur seratus
kali menang, betapa pun sayap sang ratu merak tak terbentang lagi, sejak itu
hilanglah bisul dunia persilatan, naga sakti semakin tangkas tak termatikan!"
Selesai mendengarkan dendang si Tojin, Lamkiong Peng menegas, "Jika
begitu, jadi Kong-jiok Huicu memang sama dengan Leng-hiat Huicu?"
Dengan sorot mata tajam si Tojin menjawab "Betul, Bwe Kim-soat memang
sama dengan Bwe Leng-hiat."
Mendadak ia menengadah dan tertawa dingin pula, katanya, "Hm, Kim-soat,
Leng-hiat! Hehe, indah benar namamu! Aku Kong ... aku sungguh penasaran."
"Kong apa katamu?" tanya Lamkiong Peng.
"Untuk apa kau tanya, peduli apa denganmu?" jawab si Tojin ketus.
"Hm, jika engkau sengaja main sembunyi kepala unjuk ekor dan tidak mau
memberitahukan namamu yang sebenarnya, huh, aku pun tidak sudi
bertanya," jengek Lamkiong Peng.
Kembali si Tojin cuma mendengus dan memandang ke langit.
Dengan suara bengis Lamkiong Peng berteriak, "Tadi kau bilang seorang
disembunyikan di dalam peti dan orang ini ialah Kong-jiok Huicu Bwe Kimsoat,
begitu bukan?"
"Ya, ada apa?" jengek si Tojin.
"Lalu kau dendangkan pantun yang dahulu tersiar di dunia Kangouw, masakah
engkau tidak tahu kisah yang terkandung di dalam pantun itu?"
"Masa aku tidak tahu?"
"Jika tahu, kenapa kau hina guruku dengan macam-macam perkataanmu tadi"
Padahal dahulu Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat malang-melintang di dunia
Kangouw, dengan kungfunya yang tinggi dan kecerdasan dan kecantikannya,
entah betapa banyak orang persilatan yang telah menjadi korbannya sehingga
orangnya mati dan keluarga berantakan, akan tetapi toh tetap tidak sedikit
orang yang terpikat oleh kecantikannya dan berlutut di bawah kakinya."
"Hm, ternyata kau pun tahu kisahnya!" jengek si Tojin.
Lamkiong Peng melototinya sekejap, lalu menyambung, "Meski orang
persilatan sama benci padanya, tapi juga terpikat oleh kecantikannya dan jeri
terhadap Kungfunya sehingga tidak ada yang berani bertindak padanya.
Guruku menjadi gusar dan tampil ke muka untuk menyelesaikan urusan ini, di
puncak Hoa-san terjadi pertempuran selama tiga hari, akhirnya dengan ilmu
pedang yang tidak ada taranya guruku berhasil menumpasnya. Tatkala mana
tidak sedikit jago persilatan sama menanti kabar di kaki gunung, ketika
melihat guruku turun sendirian tanpa cedera, semua orang bersorak gembira,
betapa senang mereka waktu itu sampai belasan li jauhnya dapat mendengar
suara sorak-sorai mereka."
Ia berhenti sejenak, wajahnya menampilkan rasa kagum dan juga bangga, lalu
menghela napas dan berkata, "Cuma sayang waktu itu aku belum masuk ke
perguruan Suhu sehingga tidak dapat ikut menyaksikan adegan berjaya itu.
Namun kejadian ini cukup diketahui setiap orang persilatan, meski guruku
tidak pernah bercerita, dapat juga kudengar kisah ini dari orang lain. Tapi
sekarang engkau justru bilang Kong-jiok Huicu Bwe Kim-soat belum mati,
malahan mengatakan dia bersembunyi di dalam peti mati ini, sesungguhnya
apa maksud tujuanmu" Hm, kalau tidak kau jelaskan sekarang juga, jangan
menyesal bila terpaksa aku harus bertindak."
Si Tojin mendengarkan dengan diam, wajahnya menampilkan sikap menghina.
Setelah Lamkiong Peng selesai bicara barulah ia menanggapi dengan gelak
tertawa, "Hah, murid membual bagi sang guru, wahai Liong Po-si, jika kau
tahu di alam baka tentu kau pun akan merasa malu."
Alis Lamkiong Peng menegak, bentuknya, "Kau bilang apa?"
Segera ia putar pedangnya dan siap menusuk.
Namun si Tojin tetap tenang saja tanpa gentar, ucapnya, "Tampaknya engkau
sedemikian kagum dan hormat kepada gurumu, biarpun kuceritakan lagi
seratus kali juga tidak ada gunanya."
"Ya, engkau memang tidak perlu lagi putar lidah ...."
"Tapi meski tidak kau percayai keteranganku, mengapa tidak coba kau buka
peti mati itu, lihatlah apakah yang tersembunyi di situ bukan Bwe Kim-soat,
perempuan jalang yang diludahi setiap orang persilatan itu," teriak pula si
Tojin dengan gemas.
Mau tak mau hati Lamkiong Peng menjadi goyah, ia pikir orang bicara secara
begini, apakah mungkin dia berdusta" Tapi lantas terpikir bila orang tidak
berdusta, kan hal itu berarti gurunya memang benar telah menyembunyikan
Kong-jiok Huicu yang terkutuk itu di dalam peti mati untuk mengelabui mata
telinga orang persilatan. Padahal tindak tanduk sang guru selama hidup selalu
gilang-gemilang, mana mungkin melakukan hal tercela begini"
Begitulah mulai timbul pertentangan batin anak muda itu. Didengarnya si Tojin
berkata pula, "Asalkan kau mau membuka tutup peti itu, bilamana isinya
bukan Leng-hiat Huicu, segera aku akan membunuh diri, mati pun aku
sukarela dan takkan menyesali dirimu."
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, ia menunduk dan berpikir menahan
pertentangan batin. Jika dia membuka tutup peti berarti dia tidak lagi
mempercayai sang guru yang biasanya sangat dihormatinya itu. Tapi kalau
peti tidak dibuka, rasanya sukar menghilangkan rasa curiga sendiri.
Melihat air muka Lamkiong Peng yang tampak serbasusah itu, si Tojin
mendengus pula, "Jika engkau tidak berani membuka peti itu, hal ini pun
menandakan engkau tidak percaya sepenuhnya terhadap pribadi gurumu."
"Tutup mulut!" bentak Lamkiong Peng dengan gusar.
Si Tojin anggap tidak mendengar dan tetap bicara, "Kalau peti itu kosong
umpamanya, gurumu kan juga tidak pernah melarang engkau membuka peti
ini. Lantas apa sebabnya engkau tidak berani membukanya?"
Diam-diam Lamkiong Peng merasa ragu, dengan kereng ia berteriak pula,
"Kalau di dalam peti tidak tersembunyi orang, apakah betul engkau akan ...."
"Ya, seketika juga aku akan membunuh diri di depanmu, pasti takkan kujilat
ludahku sendiri," seru si Tojin tegas.
"Baik,"! bentak Lamkiong Peng mendadak sambil membalik ke sana
menghadapi peti mati yang tergeletak di tanah itu.
Tojin itu lantas melompat maju ke samping peti, ucapnya, "Engkau yang
membukanya atau aku?"
Lamkiong Peng ragu dan berpikir, "Jika benar peti ini terisi orang, tentu dia
telah mendengar percakapan kami, mana mungkin sejauh ini tidak
memperlihatkan sesuatu gerak-gerik."
Karena pikiran ini, dia tambah yakin pada pendirian sendiri, dengan lantang ia
menjawab, "Barang tinggalan guruku mana boleh dikotori oleh tanganmu,
dengan sendirinya harus aku yang membukanya."
"Jika begitu, tidak perlu banyak omong lagi, lekas buka!" seru si Tojin sambil
memandangi peti itu tanpa berkedip, nadanya juga penuh yakin pada apa
yang dikatakannya, seakan-akan begitu peti terbuka segera akan terlihat
Leng-hiat Huicu membujur di dalam peti dalam keadaan hidup, padahal di
dunia Kangouw perempuan jalang itu disiarkan sudah lama mati.
Perlahan Lamkiong Peng mengangkat pedang hijau untuk dimasukkan ke
sarungnya, gemerdep sinar pedang mengingatkan dia sarung pedang itu telah
dihilangkan olehnya, segera pula terlihat olehnya pada pangkal pedang terikat
sepotong kain sutera kuning muda, maka teringat lagi olehnya ucapan Yap
Man-jing tentu inilah pesan tinggalan sang guru yang khusus ditujukan
kepadanya. Maklumlah, bukan dia pelupa, soalnya kejadian seharian ini benar-benar
membuat pikirannya kusut sehingga hal ini terlupakan seketika. Maka buruburu
ia melepaskan kain kuning itu dan disimpan di dalam baju
Selesai pedang dimasukkan ke dalam sarung, perlahan Lamkiong Peng
memegang ujung peti mati dan diam-diam mengerahkan tenaga.
Dengan mata melotot si Tojin bergumam, "Wahai Bwe Kim-soat, betapa pun
kini dapat kulihat dirimu pula ...."
Dilihatnya Lamkiong Peng telah mengangkat tutup peti, ujung peti terangkat
dua-tiga kaki ke atas, tapi tutup tidak terbuka melainkan tetap lengket dengan
bagian bawah peti.
Lamkiong Peng melengak dan menaruh kembali peti itu, ucapnya perlahan,
"Peti ini sudah dipantek, sukar terbuka!"
"Hm, ini suatu bukti lagi, jika peti kosong, kenapa mesti dipantek" jengek si
Tojin, lalu dia mengitari peti itu dengan perlahan sambil mengawasi dengan
teliti. Tiba-tiba ia mengangkat telapak tangan kanan terus menabok pangkal peti
mati. "Tahan!" bentak Lamkiong Peng cepat, pedang dilolos terus menebas ke kuduk
si Tojin, jika orang tidak menarik tangan dan menghindar, kepalanya pasti
akan terpenggal.
Terpaksa si Tojin mendak ke bawah sambil menggeser ke samping, pedang
menyambar lewat hampir menebas sanggulnya. Dengan gusar ia mendamprat,
"Huh, menyerang dari belakang, terhitung kesatria macam apa?"
"Peti pusaka guruku mana boleh sembarangan dikotori oleh tanganmu!"
jengek Lamkiong Peng.
Muka si Tojin sebentar merah sebentar pucat, ia melototi Lamkiong Peng
sekejap, mendadak ia melengos dan mendengus, "Hm, kau tahu apa" Kedua
biji mata naga yang terukir di pangkal peti itulah merupakan kunci untuk
membuka peti!"
Walaupun tidak percaya, tidak urung Lamkiong Peng mengamat-amati juga
bagian peti yang disebut itu, dilihatnya memang benar kedua biji mata naga
yang terukir di atas peti itu tampak sangat meneolok, meski peti ini terbuat
dari kaya cendana yang sangat mahal tapi karena kehujanan dan kepanasan
sekian lama, peliturnya sudah luntur sehingga peti kelihatan tua, hanya biji
mata naga ini masih mengilat, hal ini menandakan bagian ini sering dipegang
dan diraba. Diam-diam Lamkiong merasa gegetun, pengamatan sendiri memang kalah
teliti dibandingkan orang lain. Perlahan ia lantas menjulurkan tangan untuk
memegang biji mata naga dan diputar.
Terdengarlah suara krcekk, nyata bagian putaran sudah bekerja.
"Coba angkat lagi!" kata si Tojin.
Kedua orang saling pandang dengan tegang, jantung mereka sama berdebar.
Tangan Lamkiong Peng agak gemetar, mendadak ia membentak, "Naik! ...."
Dan......... Han Bu Kong 03 Begitu tutup peti mati terbuka, seketika kedua orang berdiri melongo seperti
patung. Butiran keringat tampak berketes dari dahi si Tojin, dengan muka pucat ia
bergumam, "Ini ... ini ... dia ... dia ...."
Kiranya peti mati itu kosong melompong tiada terisi sesuatu.
Muka Lamkiong Peng berubah pucat, mendadak ia membentak, "Kau berani
main gila ...."
Ia putar pedangnya terus menusuk si Tojin.
Saat itu si Tojin lagi memandangi peti kosong dengan linglung, tusukan
Lamkiong Peng seolah-olah tidak dilihatnya, tertampak bibirnya bergerak
seperti mau bicara, tapi hanya sempat terucapkan, "Peti ini tentu ...." tahutahu
dada kiri sudah tertusuk oleh pedang Lamkiong Peng.
Dada kiri tepat di atas jantung, bagian yang mematikan, keruan darah lantas
munerat membasahi jubah pertapaannya. Tojin itu tampak melongo kaget, ia
mengerang dan meraih batang pedang, tubuh bergoyang, dengan sinar mata
buram ia pandang Lamkiong Peng, dengan suara terputus-putus ia berucap,
"Suatu ... suatu hari kelak kau pasti akan ... akan menyesal ...."
Suaranya serak, pedih dan penuh rasa penasaran, tapi lemah dan akhirnya
roboh terkulai.
"Bluk", tutup peti juga menutup kembali terlepas dari pegangan Lamkiong
Peng, ia pandang jenazah yang menggeletak tak bergerak itu, lalu
memandang pedang yang dipegangnya dengan terkesima, tetes darah terakhir
pada ujung pedang baru saja menitik.
Karena guncangan emosinya, hampir saja ia lemparkan pedang itu ke jurang,
ia berdiri termenung dan bergumam, "Akhirnya aku ... aku membunuh orang
...." Untuk pertama kalinya ia membunuh orang, sungguh tidak enak perasaannya.
Padahal Tojin ini baru saja bertemu dengan dia, bahkan nama masing-masing
saja tidak tahu, namun jiwa orang yang tak dikenalnya ini sekarang telah
melayang di bawah pedangnya.
Dengan bimbang ia angkat peti mati itu dan melangkah ke arah datangnya


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi, kembali ke puncak Jong-liong-nia, tiba-tiba teringat olehnya, "Seyogianya
kukubur mayat Tojin itu ...."
Cepat ia berlari lagi ke sana. Tapi aneh, darah masih kelihatan berceceran di
tanah, namun jenazah si Tojin yang malang itu sudah menghilang entah ke
mana. Suasana sunyi senyap, angin meniup kencang, gumpalan awan mengambang
di udara, Lamkiong Peng berdiri bingung di situ, ia memandang ke jurang yang
tak terkirakan dalamnya itu, ia mengira mayat si Tojin mungkin tertiup angin
ke dalam jurang, diam-diam ia berdoa semoga roh si Tojin mendapatkan
tempat yang lapang di alam baka.
Entah berapa lama lagi, akhirnya ia merasakan hawa tambah dingin, ia angkat
peti mati dan menuruni puncak gunung itu, setiba di pinggang gunung, angin
dingin rada mereda, suasana lereng pegunungan semakin sunyi.
Pikiran Lamkiong Peng juga tambah kusut, selain rasa penyesalannya terhadap
si Tojin yang terbunuh olehnya itu, dalam hati juga penuh tanda tanya yang
belum terpecahkan.
Yang aneh dan membingungkannya adalah peti mati kayu cendana yang
dibawanya ini sesungguhnya mengandung rahasia apa sehingga mendiang
sang guru perlu memberi tugas khusus kepadanya untuk menjaga peti mati
ini. Ia mencari tempat sepi di bawah pohon yang rindang, perlahan ia menaruh
peti mati itu di atas tanah rumput yang mulai layu. Ia coba menyingkap lagi
tutup peti, jelas kosong tanpa sesuatu isi apa pun. Ia coba meneliti lagi, ia
merasakan dipandang dari luar peti ini cukup besar, namun bagian dalam peti
ternyata sangat dangkal dan sempit. Pada papan peti yang berwarna gelap itu
seperti ada beberapa titik noda minyak, kalau tidak diperiksa dengan cermat
sukar mengetahuinya. Namun tetap tidak ditemukannya sesuatu tanda
mencurigakan pada peti mati itu.
Ia duduk di bawah pohon dan mengelamun dengan bertopang dagu, sukar
baginya memecahkan tanda-tanda tanya ini, ia sampai lupa mencari tahu
sebab apa para saudara seperguruannya sampai saat ini belum kelihatan
menyusulnya. Ia coba mengeluarkan kain kuning tinggalan sang guru, ikut terogoh keluar
bangkai burung yang mati menumbuk dinding tebing dan hampir menimpanya
itu. Kain sutera kuning itu dibentangnya, tertampaklah tulisan tangan yang sudah
dikenalnya dengan baik, yaitu tulisan sang guru, ia coba membacanya.
"Selama hidupku memang tidak sedikit kubunuh orang, namun orang yang
kubunuh itu adalah orang yang pantas dibunuh, sebab itulah hidupku boleh
dikatakan tidak ada yang perlu disesalkan ...."
Tulisan sang guru ini mengingatkan Lamkiong Peng kepada si Tojin yang
dibunuhnya itu, pikirnya, "Apakah aku pun tidak perlu menyesal setelah
membunuh Tojin itu?"
Lalu teringat juga oleh uraian si Tojin tentang pribadi gurunya, jika hidup sang
guru tidak ada sesuatu yang perlu disesalkan, apa yang dikatakan si Tojin
pasti tidak betul.
Maka dengan penuh keyakinan ia membaca lagi, "Namun selama hidupku toh
ada juga sesuatu yang membuatku menyesal ...."
Terkesiap Lamkiong Peng, segera ia membaca lebih lanjut, "Belasan tahun
yang lalu, di dunia persilatan tersiar berita tentang kelakuan buruk seorang,
sudah cukup lama kubenci kepadanya, kebetulan seorang kawanku dicederai
olehnya aku lantas mencarinya dan kubinasakan dia di bawah pedangku.
Namun setelah kejadian ini barulah kutahu kesalahan sebenarnya terletak
pada diri sahabatku, sebaliknya orang yang biasanya banyak melakukan
kejahatan itu justru tidak bersalah, sebab itulah aku ...."
Tulisan selanjutnya mendadak sukar terbaca karena tertutup oleh darah
bangkai burung.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng mendongkol karena bagian yang penting itu
tak terbaca, namun darah burung sudah kering, umpama dicuci juga tulisan itu
tetap sukar dibacanya, ia coba membaca bagian bawah yang tertulis, "Maka
kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau jaga dia dengan baik ...."
Bekerenyit kening Lamkiong Peng gumamnya heran, "Dia" .... Dia siapa?"
Setelah termenung sejenak, ia membaca pula, "Karena terburu-buru harus
berangkat sehingga tidak sempat kuberi tahukan urusan ini kepadamu, namun
pada suatu hari kelak pasti dapat kau ketahui duduk perkara yang sebenarnya.
Selama ini tidak ada sesuatu kebaikanku terhadapmu, hal ini pun membuatku
menyesal. Semoga selanjutnya engkau berusaha maju dan menjadi manusia
berguna sehingga tidak mengecewakan harapanku atas dirimu."
Lamkiong Peng membaca ulang beberapa baris terakhir ini dengan terharu, air
mata pun berlinang-linang.
"Apakah ... apakah benar Suhu sudah meninggal" .... Pada suatu hari kelak
pasti akan tahu duduk perkara yang sebenarnya ...." selain duka Lamkiong
Peng jadi tambah curiga.
Dengan bimbang ia menggali sebuah lubang kecil, lalu bangkai burung
ditanamnya, gumamnya pula, "Betapa pun antara kita ada jodoh juga. Dunia
seluas ini, mengapa engkau justru jatuh menimpa diriku" Hendaknya kau pun
dapat istirahat dengan tenang di liang yang kecil ini ...."
Ia menghela napas menyesal ketika teringat pula Tojin yang terbunuh olehnya
mungkin mayatnya takkan terkubur selamanya di dasar jurang sana.
Ia memejamkan mata, ia inginkan ketenangan, kelelahan pun terasa menjalari
sekujur badannya. Karena harus menghadapi pertarungan pagi tadi, setiap
anak murid Ci-hau-san-ceng hampir semalam suntuk tidak tidur, apalagi
Lamkiong Peng harus menempur lagi si Tojin sehingga hampir seluruh
tenaganya terkuras.
Kelelahan fisik membuat ketegangan batinnya agak mengendur, lamat-lamat
ia tenggelam dalam kantuknya ....
Sisa cahaya senja menyinari pucuk pepohonan, hari sudah hampir gelap.
Mendadak di tengah pepohonan rindang terdengar suara "krekk", terjadi
sesuatu pada peti mati kayu cendana yang misterius itu, tutup peti mati
perlahan terbuka ke atas.
Meski suara ini sangat lirih, namun di tengah pegunungan yang sunyi cukup
membuat jantung Lamkiong Peng berdetak, mendadak ia membuka matanya
dan kebetulan dapat melihat adegan yang mengejutkan itu. Tutup peti mati
kosong itu diangkat oleh sebuah tangan yang putih halus.
Lenyap seketika rasa kantuk Lamkiong Peng, dilihatnya makin tinggi tutup peti
mati itu terangkat. Menyusul lantas tertampak sebuah wajah yang putih pucat
dengan rambut hitam panjang terurai.
Betapa tabahnya Lamkiong Peng, mengirik juga melihat kejadian luar biasa ini,
dengan suara gemetar ia menegur, "Sia ... siapa kau?"
Saat itu si cantik telah mulai menegakkan tubuhnya dari dalam peti mati,
perawakan yang menggiurkan itu terbungkus oleh jubah putih bersih serupa
wajahnya itu. Perlahan si cantik melangkah keluar dari peti mati dan mendekati Lamkiong
Peng, air mukanya tidak ada senyuman sedikit pun, juga tidak ada warna
darah, sampai bibirnya yang mungil juga putih pucat. Melihat dia di
pegunungan sunyi ini secara mendadak, siapa pun akan menyangka dia
datang dari alam halus.
Lamkiong Peng mengepal tinjunya erat-erat, tangan sendiri terasa dingin, ia
coba membentak lagi, "Siapa kau?"
Selagi Lamkiong Peng hendak melompat bangun, sekonyong-konyong si cantik
dari peti mati itu tertawa dan berkata dengan lembut, "Kau takut apa"
Memangnya kau sangka aku ini ...." mendadak ia tidak meneruskan kecuali
cuma tersenyum saja.
Suaranya begitu lembut serupa sepoi angin musim semi, senyumnya begitu
menggiurkan dan dapat merontokkan perasaan seorang yang berhati baja.
Rasa seram yang dibawanya ketika keluar dari peti mati itu seketika lenyap
oleh suara tertawa dan kelembutan ucapnya itu.
Lamkiong Peng melenggong, ia merasa senyum si cantik dari peti mati ini
terlebih menggiurkan daripada Yap Man-jing, senyum yang lebih mendebarkan
bagi siapa pun yang melihatnya.
Segera Lamkiong Peng berbangkit dan berdiri berhadapan dengan si cantik,
dapat dilihatnya dengan jelas wajah orang, pulih kembali rasa percaya atas diri
sendiri, kembali ia menegur, "Siapa kau?"
Si cantik memandangnya dua kejap, mendadak tertawa geli dan berucap,
"Meski usiamu masih muda belia, tapi ada bagian tertentu memang lain
daripada yang lain, pantas Liong-loyacu menyerahkan diriku di bawah
perlindunganmu tanpa merasa khawatir."
Lamkiong Peng lantas teringat kepada tulisan pada kain sutera kuning yang
antara berbunyi, "Maka kuserahkan orang ini kepadamu, hendaknya kau jaga
dengan baik ...."
Sekarang dapat diketahuinya bahwa "si dia" yang dimaksudkan itu tidak lain
ialah si mahacantik berwajah pucat dan berbaju putih mulus yang berdiri di
hadapannya ini.
Namun tanda tanya yang lain tetap belum terjawab, diam-diam ia merasa
menyesal mengapa setiap urusan terkadang bisa begini kebetulan, mengapa
bagian yang penting dari tulisan gurunya itu bisa kebetulan dikotori oleh darah
burung sehingga tidak terbaca.
Dilihatnya si cantik dari peti mati ini mengulet kemalasan, lalu berduduk di
sebelah Lamkiong Peng dengan gaya yang mempesona, lalu menengadah
memandang langit dan bergumam, "Sang waktu sudah berlalu dengan cepat,
malam sudah hampir tiba pula, padahal hidup manusia bukankah berlalu
dengan cepat, sejak dahulu kala hingga kini siapa yang dapat mencegah makin
meningkatnya usia."
Nada ucapannya seperti menyesali kehidupan sendiri, mestinya tidak pantas
seorang perempuan muda secantik bidadari bicara demikian melainkan lebih
mirip suara seorang janda atau perawan tua yang menyesali nasibnya yang
terlampaui secara sia-sia.
Memandangi profil si cantik yang memesona itu, tanpa terasa Lamkiong Peng
bertanya, "Apakah nona .... O, nyonya ...."
Tiba-tiba si cantik tertawa dan menukas, "Masakah tak dapat kau bedakan
diriku ini nona atau nyonya" Sungguh aneh juga."
Lamkiong Peng tergagap, "Tapi aku ... aku tidak kenal ...."
"Jika Liong-loyacu telah menyerahkan diriku di bawah perlindunganmu, masa
beliau tidak pernah berbicara denganmu mengenai diriku?"
Kening Lamkiong Peng bekerenyit pula, benaknya terbayang kembali apa yang
telah dibacanya, diam-diam ia membatin, "Mungkinkah dia ini Leng-hiat Huicu
yang disebut-sebut si Tojin itu" Tapi Leng-hiat Huicu alias Kong-jiok Huicu itu
konon sudah terkenal pada belasan tahun yang lalu, jika begitu usianya
sekarang sedikitnya kan di atas 30, mengapa dia ...."
Waktu ia berpaling, dilihatnya si cantik dari peti mati ini lagi menatapnya
dengan kerlingan mata yang memikat, wajahnya putih halus, kalau ditaksir
usianya paling-paling juga baru 20-an saja.
"Bagaimana, kenapa tidak kau jawab pertanyaanku?" kata si cantik dengan
tertawa sambil membelai rambutnya yang hitam panjang terurai sebatas
pinggang itu. Lalu menambahkan. "Ah, tentu ada yang sedang kau pikirkan
mengenai diriku, apalagi kau sangsi mengenai umurku?"
Muka Lamkiong Peng menjadi merah, ia menunduk dan menjawab, "Ya,
memang sedang kupikirkan usiamu."
"Tentang usiaku, lebih baik jangan kau terka saja," ujar si cantik dari peti mati
sambil menghela napas hampa.
Selagi Lamkiong Peng tercengang, terdengar si cantik telah menyambung lagi,
"Orang seusia diriku sesungguhnya tidak ingin orang berbicara lagi mengenai
umurku." Lamkiong Peng tidak berani menatapnya lagi, dalam hati ia heran mengapa
nada ucapan si cantik serupa seorang nenek saja. Tanpa terasa ia berkata
pula, "Tapi engkau kan masih muda belia, mengapa ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak si cantik berbangkit sambil meraba wajah
sendiri dan berucap dengan heran, "Kau bilang aku masih muda belia?"
"Masa muda adalah masa bahagia orang hidup, mengapa engkau tampak kesal
dan tidak bergairah hidup, jangan-jangan dalam hatimu menanggung
kesedihan sesuatu urusan yang sukar diatasi ...." Lamkiong Peng berhenti
sejenak, lalu berucap pula dengan serius, "Jika guruku telah menugaskanku
untuk menjaga nona, maka sudilah nona memberitahukan kesedihan hatimu
kepadaku, mungkin akan dapat kubekerja sesuatu bagimu."
Hati Lamkiong Peng suci murni, walaupun dia tidak mengerti sebab apa
gurunya menyerahkan seorang nona muda jelita di bawah perlindungannya,
tapi sekali menerima amanat sang guru yang demikian itu, biarpun dia disuruh
terjun ke lautan api juga takkan ditolaknya.
Tak tersangka, mendadak si cantik berucap pula perlahan, "Apa betul begitu"
...." dan segera ia membalik tubuh dan berlari pergi dengan cepat.
Keruan Lamkiong Peng terkesiap, teriaknya, "Hei, mau ke mana kau?"
Tapi si cantik seperti tidak mendengar seruannya, tanpa berpaling ia terus
berlari ke depan secepat terbang, dalam sekejap orangnya sudah melayang
jauh, sungguh luar biasa Ginkangnya.
Meski heran dan sangsi, terpaksa Lamkiong Peng tidak sempat memikirkannya
lagi, sampai peti mati itu pun tidak dihiraukan, segera ia ikut berdiri ke sana
sambil berseru, "Suhu sudah menyerahkan dirimu kepadaku, kalau ada urusan
...." Namun cuma sekejap saja bayangan si cantik sudah menghilang, ia coba
mencari lagi lebih jauh ke depan dan tetap tidak terlihat bayangan orang.
"Wah, kalau dia pergi begitu saja, lalu bagaimana aku harus bertanggung
jawab terhadap pesan Suhu?" demikian ia membatin dengan gegetun.
Pegunungan sunyi, malam sudah hampir tiba, ke mana lagi akan dapat
menemukan s nona misterius tadi"
Terpaksa Lamkiong Peng cuma berlari melintasi lereng gunung itu, nama
orang saja tak diketahuinya, tentu saja ia tidak dapat bersuara memanggilnya.
Di tengah desir angin tiba-tiba didengarnya gemereik air, dia memang merasa
haus, segera ia mencari dan menuju ke arah suara air,
Dilihatnya sebuah sungai kecil mengalir dari sana, di bawah remang cahaya
bulan yang baru menongol sungai itu serupa tali perak. Setelah menyusuri
hutan, sungai itu sudah kelihatan membentang di depan. Cepat ia memburu ke
sana, begitu tiba di tepi sungai, segera ia meraup air untuk diminum.
Tapi baru saja ia minum dua teguk, tiba-tiba didengarnya dari hulu sana
berkumandang suara ngikik tawa orang perempuan.
Terbangkit semangat Lamkiong Peng, cepat ia menyusul ke hulu sana
mengikuti tepi sungai, tidak jauh terlihatlah sesosok bayangan putih sedang
berjongkok di tepi sungai, seperti lagi memandangi air sungai, seperti juga
sedang bercermin pada air sungai.
Tanpa ragu Lamkiong Peng mendekatinya dilihatnya si cantik tadi masih
berjongkok tanpa bergerak dengan tertawa, lalu bergumam, "Hah, ternyata
memang benar, ternyata memang betul! ...."
Meski Lamkiong Peng sudah berada di sampingnya si cantik masih juga belum
tahu, masih tetap memandangi air sungai dengan terkesima.
Sungguh tak terpikir oleh Lamkiong Peng bahwa nona misterius ini berlari ke
sini hanya untuk mengelamun memandangi air sungai, ia jadi melenggong
juga, ia berdiri di samping si nona, ketika ia pun melongok permukaan air
sungai, tertampaklah bayangan wajah seorang bidadari yang mahacantik
serupa lukisan saja.
Bayangan dalam air sungai dari seorang berubah menjadi dua, hal ini tidak
dirasakan oleh si cantik dari peti mati itu, dalam pandangannya saat ini kecuali
bayangannya sendiri agaknya tidak ada barang lain yang diperhatikan olehnya.
Berulang-ulang ia meraba raut wajah sendiri dengan tangannya yang putih
halus sambil bergumam, "Ternyata sungguh, ternyata benar aku masih
semuda ini ...." lalu dia tertawa keras, tertawa senang, serunya. "Hah, untung
memang sukar diraih dan malang sukar ditolak, siapa tahu tanpa sengaja aku
telah mendapatkan ilmu awet muda yang sukar dicari dan diimpi-impikan
setiap orang perempuan di dunia ini."
Mendadak ia berbangkit dan berputar-putar sambil mengebaskan lengan
bajunya sehingga rambutnya yang panjang ikut bertebaran di udara, rupanya
saking gembiranya ia sampai menari-nari.
"Haha, sejak kini siapa lagi yang dapat mengenali aku, siapa pula yang dapat
menerka aku inilah Kong-jiok Huicu ...."
Terkesiap Lamkiong Peng, tegurnya, "Hei, jadi engkau benar Bwe Kim-soat?"
Si cantik yang sedang menari itu mendadak menggeser dan berhenti di depan
anak muda itu dan menjawab, "Betul!"
Lamkiong Peng melenggong sejenak, katanya kemudian dengan menyesal, "Ai,
tak tersangka keterangan Tojin itu ternyata benar, aku ... sungguh aku pantas
mampus!" Melihat anak muda itu merasa menyesal dan sedih, Kong-jiok Huicu Bwe Kimsoat
tersenyum, perlahan ia pegang pundak Lamkiong Peng dan bertanya


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan suara halus, "Jadi kau kenal namaku?"
"Ya, kukenal namamu," sahut Lamkiong Peng dengan pikiran kusut.
"Jika begitu, apakah kau tahu orang macam apakah aku ini?"
"Ya, kutahu," Lamkiong Peng mengangguk. "Suhu telah memberi pesan agar
kujaga dirimu baik-baik, dengan sendirinya akan kulaksanakan perintah beliau.
Siapa yang hendak mengganggumu harus berhadapan dulu denganku.
Kupercaya penuh terhadap Suhu, apa yang dikatakan dan diperbuat beliau
pasti tidak salah."
Bwe Kim-soat termenung sejenak, katanya kemudian dengan menghela napas,
"Ai, Liong-loyacu sungguh teramat baik kepadaku."
Tangannya yang memegangi pundak Lamkiong Peng itu dari putih tadi telah
berubah agak kehijauan dan kini kembali berubah putih lagi dan ditarik
kembali. Anak muda itu tidak menyadari bahwa dalam waktu singkat itu
sesungguhnya dia telah lolos dari bahaya maut.
Ia pandang orang dengan bimbang dan tidak tahu apa yang harus dibicarakan
pula. "Tampaknya engkau masih sangsi terhadap diriku," kata Bwe Kim-soat dengan
tersenyum. "Apakah gurumu hanya menyerahkan peti cendana kepadamu
tanpa menceritakan hubungannya denganku?"
"Tidak, hanya ini saja ...." Lamkiong Peng mengeluarkan kain sutera kuning
itu, "Boleh kau baca sendiri."
Dengan kuning bekerenyit Bwe Kim-soat menerima kain kuning itu dan
dipandangnya sekejap, tiba-tiba ia tanya, "Bekas darah siapakah ini?"
"Darah burung mati!" tutur Lamkiong Peng.
"Burung mati apa?" melengak juga Bwe Kim-soat.
Lamkiong Peng menceritakan apa yang dialaminya secara ringkas.
"O, kiranya begitu, semula kusangka darah gurumu," ujar si cantik dengan
tertawa. Dengan agak emosi Lamkiong Peng merampas kembali kain sutera itu dan
berucap dengan mendongkol, "Aku pun ingin tanya padamu, sampai ajalnya
guruku tetap memikirkan kepentingan dirimu, maka dia memberi pesan
padaku agar menjaga dirimu dengan baik. Sebaliknya kau, setelah mengetahui
nasib malang guruku engkau sama sekali tidak berdukacita bagi beliau,
sungguh terlalu ...."
Bwe Kim-soat memandangnya beberapa kejap seperti melihat sesuatu yang
lucu, mendadak ia bergelak tertawa pula dan berkata, "Duka" Apa artinya
duka! Selama hidupku belum pernah berduka bagi apa dan siapa pun,
memangnya kau minta aku berduka untuk menipu dirimu dan diriku sendiri?"
Lalu dia tertawa terkial-kial lagi.
Mata Lamkiong Peng menjadi merah, tidak kepalang rasa gemasnya, tapi
segera teringat olehnya akan julukan orang.
Leng-hiat Huicu, si putri berdarah dingin!
Akhirnya Lamkiong Peng menghela napas, pikirnya, "Ya, pantas orang
Kangouw menyebutnya si putri darah dingin, kiranya dia tidak kenal apa
artinya berduka segala ...."
Teringat untuk selanjutnya entah berapa lama dirinya masih harus
mendampingi perempuan cantik berdarah dingin ini, ia jadi sedih.
Tiba-tiba Bwe Kim-soat berkata pula, "Jangan kau kira aku sengaja tidak
menghiraukan kematian gurumu, malahan seharusnya aku gembira bagi
kematiannya itu."
Gusar sekali Lamkiong Peng oleh ucapan orang yang keji itu, dampratnya,
"Kalau saja guruku tidak menyuruhku menjaga dirimu, bisa jadi akan ku ...."
"Hm, apakah kau tahu sebab apa gurumu menyuruhmu menjaga diriku?"
jengek Bwe Kim-soat.
"Apa pun juga, yang jelas Suhu telah salah menilai orang," jawab Lamkiong
Peng dengan mendongkol, "jika beliau memiara seekor kucing atau seekor
anjing akan lebih baik ...."
"Hm, kau tahu apa?" jengek Bwe Kim-soat pula. "Sebabnya gurumu berbuat
demikian padaku adalah karena dia ingin menebus dosa, ingin membalas budi.
Tapi biarpun begitu dia tetap bersalah padaku, maka dia mengharuskan
muridnya ikut menebus dosanya yang belum lunas itu, untuk membalas budi
yang belum sempat dilakukannya."
Lamkiong Peng jadi tercengang, mendadak ia balas mendengus, "Hm,
menebus dosa dan membalas budi apa segala" Memangnya guruku bisa ...."
Tapi lantas teringat olehnya tulisan pada kain kuning itu antara berbunyi
"urusan ini memang salahku ....", seketika ia urung bicara lebih lanjut,
pikirnya, "Jangan-jangan Suhu memang berbuat sesuatu kesalahan terhadap
dia." "Hm, kenapa engkau tidak bicara lagi?" jengek Bwe Kim-soat. "Agaknya kau
pun dapat merasakan dosa yang diperbuat gurumu, bukan?"
Lamkiong Peng menunduk, mendadak ia mengangkat kepala pula dan berseru,
"Barang siapa bicara kasar terhadap guruku, tentu takkan kuampuni ...."
"Huh, jangankan di depanmu, sekalipun di depan Put-si-sin-liong juga aku
berani bicara demikian, sebab aku berhak!"
"Hak apa?" teriak Lamkiong Peng saking tak tahan. "Meski guruku
menyuruhku menjaga dirimu, tapi engkau tidak berhak bicara sesukamu di
depanku." "Aku berhak bicara, sebab tanpa berdosa nama baikku telah dicemarkan
olehnya dan tubuhku dilukainya. Aku berhak bicara, sebab Kungfu yang kulatih
dengan susah payah telah dipunahkan olehnya dengan sekali pukul. Aku
berhak bicara karena kebodohan dan kebandelannya telah mengorbankan
masa remajaku, telah menyia-nyiakan sepuluh tahun masa hidupku yang
paling indah, akibatnya setiap hari, siang dan malam, senantiasa berbaring di
dalam peti mati yang terisolir dari dunia luar, hidup tersiksa melebihi orang
hukuman ...."
Makin bicara makin emosi, nadanya yang semula dingin kini berubah menjadi
teriakan serak.
Tanpa terasa Lamkiong Peng jadi ngeri, tubuh yang semula tegak menjadi
agak lemas dan tidak berani bersikap keras lagi.
Mendadak Bwe Kim-soat menarik tangan Lamkiong Peng terus dibawa lari
secepat terbang ke sana.
Ilmu silat Lamkiong Peng mestinya tidak lemah, Ginkangnya juga sangat
tinggi, tapi sekarang tanpa berdaya tangannya seperti terisaps oleh semacam
tenaga mahakuat dan ikut lari terlebih cepat daripada Ginkang sendiri.
Selagi ia bermaksud meronta untuk melepaskan diri, dilihatnya lari orang
sudah mulai mengendur, tempat yang dituju ternyata hutan tadi, di situ peti
mati masih tertinggal.
Begitu tiba di depan peti mati, segera Bwe Kim-soat membuka tutup peti dan
berteriak, "Nah, di dalam peti inilah kuhidup selama sepuluh tahun. Kecuali
pada malam hari gurumu mengangkatku keluar untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia yang perlu, boleh dikatakan tidak pernah kukeluar dari sini."
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Nah, boleh coba kau bayangkan,
kehidupan macam apakah selama sepuluh tahun ini, bagimu mungkin sepuluh
hari saja tidak tahan, apa lagi sepuluh tahun ...."
Lamkiong Peng memandang ruang peti yang sempit dan gelap itu, lalu
bergumam seperti mengigau, "Sepuluh ... sepuluh tahun ...."
Tanpa terasa ia bergidik.
Cahaya bintang yang redup menyinari wajah Bwe Kim-soat yang pucat, ia
menarik napas panjang, lalu berucap pula dengan hampa, "Yang kuharap
selama mengeram di dalam peti adalah datangnya malam, saat kebebasanku
yang tidak panjang itu, walaupun cuma sebentar saja gurumu membawaku ke
ruang yang tidak berlampu, namun bagiku saat itu serupa hidup di surga."
Tergerak pikiran Lamkiong Peng, "Pantas kamar tidur Suhu terletak pada pojok
perkampungan yang paling terpencil. Pantas juga pada malam hari beliau tidak
suka memasang lampu, kamarnya juga tanpa jendela. Pantaslah setiap malam
Suhu membawa peti mati ini masuk kamarnya dan ditaruh di samping tempat
tidurnya ...."
Ia menghela napas panjang dan tidak berani memikirnya lebih lanjut.
Sorot mata Bwe Kim-soat bergeser di antara remang cahaya bintang dan
kegelapan hutan itu seperti lagi membayangkan penderitaannya dahulu, lalu
bertutur pula, "Untunglah setiap hari datang harapanku serupa itu, kalau tidak,
lebih baik kumati daripada hidup tersiksa cara begini. Dan harapan dan
menanti itu sendiri pun menimbulkan derita yang tak terhingga. Pernah satu
hari tanpa sengaja gurumu membuka pintu kamar sehingga ada cahaya bulan
menembus masuk ke kamar, sungguh girangku tak terkatakan. Tapi di bawah
sinar bulan kulihat keadaan gurumu yang semakin tua, aku menjadi sedih,
sang waktu terus berlalu, kupikir aku sendiri tentu juga tambah tua ...."
Suaranya berubah menjadi lembut dan rawan, tanpa terasa Lamkiong Peng
juga ikut terharu kepada sifatnya yang berdarah dingin dan mulai menaruh
simpati terhadap nasibnya yang malang, ia menghela napas dan berkata,
"Yang sudah lalu biarlah lalu, jangan kau ...."
"Sudah lalu" .... mendadak Bwe Kim-soat bergelak tertawa pula. "Put-si-sinliong
sudah mati, secara ajaib aku tetap awet muda, aku tidak perlu terkurung
lagi di dalam peti mati. Malahan orang di dunia tidak ada yang tahu asalusulku
yang sebenarnya ... kecuali kau!"
"Secara ajaib engkau telah bertahan awet muda, secara ajaib pula telah pulih
kehidupanmu yang bebas, untuk itu seharusnya engkau bersyukur dan
berterima kasih dan bukan merasa dendam, meski aku ...."
"Aku berterima kasih apa?" jengek Bwe Kim-soat.
"Berterima kasih kepada Thian yang maha pengasih," jawab Lamkiong Peng.
"Hmk!" dengus Bwe Kim-soat sambil mengebaskan lengan baju dan
melangkah ke sana.
Seperti orang linglung Lamkiong Peng memandangi bayangan punggung orang
yang ramping dengan gayanya yang memesona itu, ketika bayangan orang
hampir menghilang di kegelapan sana, cepat ia memburu maju dan menegur,
"Nona Bwe, engkau hendak ke mana?"
Mendadak Bwe Kim-soat berpaling dan berkata kepadanya dengan dingin,
"Kau tahu, orang bodoh di dunia ini sangat banyak, tapi tidak ada yang lebih
bodoh daripadamu."
Dengan bingung Lamkiong Peng menjawab dengan gelagapan, "Iy ... iya ...."
Sorot mata Bwe Kim-soat yang dingin itu tiba-tiba timbul secercah cahaya
kelembutan, namun di mulut dia tetap bicara dengan ketus, "Jika engkau
bukan orang bodoh, tadi waktu kubilang 'kecuali kau', seharusnya kau lari
segera!" "Tapi mana boleh kutinggalkan dirimu?" jawab Lamkiong Peng tegas. "Suhu
telah menyerahkan dirimu di bawah penjagaanku, jika kutinggal pergi, lalu
cara bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap beliau?"
"Tanggung jawab apa" Put-si-sin-liong kan sudah mati"!" jengek Kim soat.
Lamkiong Peng menarik muka, jawabnya tegas, "Tidak peduli beliau sudah
meninggal atau tidak tetap tidak dapat kulanggar amanat tinggalan beliau."
"Lantas cara bagaimana akan kau jaga diriku?" tanya Bwe Kim-soat.
Bibir Lamkiong Peng bergerak, namun sukar untuk menjawab.
Bwe Kim-soat membetulkan rambutnya yang terurai di depan dadanya ke
belakang punggung, lalu mendengus, "Hm, jika engkau tidak mau pergi dan
tetap ingin 'menjaga' diriku, apakah selanjutnya engkau akan selalu mengikuti
aku?" "Ya, memang begitulah perintah guruku," jawab Lamkiong Peng.
"Sungguh begitu?" Bwe Kim-soat menegas dengan tertawa.
Lamkiong Peng tidak berani memandang tertawa orang yang menggiurkan itu,
dengan prihatin ia menjawab, "Menurut pesan Suhu, aku diharuskan menjaga
peti mati dan tidak boleh meninggalkannya, maksud beliau dengan sendirinya
aku diharuskan menjaga dirimu setiap saat."
Setelah bicara demikian, diam-diam timbul juga rasa sangsinya, "Ilmu silatnya
kan jauh lebih tinggi daripadaku, mengapa Suhu menugaskanku menjaga dia"
Jika Kungfunya begitu tinggi, setiap saat mestinya dia dapat membobol peti
mati dan pergi sesukanya, mengapa hal ini tidak dilakukannya?"
Selagi dia merasa heran, terdengar Bwe Kim-soat berkata pula dengan
tertawa, "Jika demikian, bolehlah kau ikut diriku, ke mana pun kupergi boleh
kau ikut."
Habis berkata ia lantas melangkah ke depan.
Jantung Lamkiong Peng berdetak dan entah bagaimana rasanya, pikirnya,
"Apa benar harus kuikut dia ke mana pun juga?"
Tapi tidak urung kakinya ikut melangkah ke sana, katanya, "Demi
melaksanakan amanat guru, biarpun kau pergi ke ujung langit juga akan
kuikuti." "Ujung langit ...." perlahan Bwe Kim-soat mengulang kata itu dengan
tersenyum. Tanpa terasa muka Lamkiong Peng menjadi merah.
Perasaan kedua orang itu sungguh sukar diraba oleh siapa pun juga, hubungan
mereka yang aneh juga sukar dilukiskan. Bwe Kim-soat berjalan di depan dan
Lamkiong Peng ikut di belakang, berulang Bwe Kim-soat membelai rambutnya
yang panjang, agaknya dia juga banyak menanggung pikiran.
Malam tambah larut, di suatu sudut yang paling gelap di tengah hutan sana
mendadak melayang keluar sesosok bayangan orang berbaju hitam tanpa
suara, dia memondong seorang pula yang agaknya terluka parah.
Dalam kegelapan wajah orang itu tidak terlihat jelas, juga tidak jelas siapa
orang terluka yang dibawanya itu, hanya terdengar dia membisiki telinga yang
terluka, "Apakah engkau merasa agak baikan?"
Yang luka itu menjawab lemah, "Ya, sudah baikan, kalau bukan Anda ...."
"Sungguh aku tidak mampu membawamu turun dari Hoa-san sini," potong
orang berbaju hitam itu, "dalam keadaan terluka parah engkau juga tidak
dapat ditinggalkan di tengah pegunungan sunyi ini. Terpaksa engkau harus
menahan sakit dan jangan bersuara, minumlah obat yang kutaruh di dalam
bajumu itu menurut waktunya, dalam beberapa hari saja kesehatan tentu akan
pulih, tatkala mana engkau tentu sudah berada di bawah gunung dan dapat
mencari kesempatan untuk melarikan diri."
Dengan mengertak gigi orang yang luka itu merintih kesakitan, lalu berkata
dengan lemah, "Budi pertolonganmu pasti akan ...."
"Sudahlah, jangan banyak bicara lagi," potong si baju hitam. "Saat ini mereka
pasti takkan membuka lagi peti mati ini, Bwe Kim-soat juga pasti tak mau
masuk lagi ke dalam peti. Asalkan dapat kau tahan rasa sakit pada saat tubuh
berguncang, tentu engkau dapat mencapai kaki gunung dengan aman."
Sembari bicara ia lantas membuka tutup peti cendana itu, orang luka itu
dimasukkannya dengan perlahan, lalu berkata pula, "Obatku ini selain dapat
menyembuhkan luka, juga dapat membuatmu tahan lapar, maka jangan
khawatir!"
Si luka yang sudah berbaring di dalam peti bertanya, "Bila tidak keberatan,
sudilah memberitahukan nama Anda ...."
"Namaku tentu akan kau ketahui kelak," si baju hitam memberi tanda supaya
jangan bicara lagi, perlahan tutup peti lantas dirapatkannya kembali. Setelah
menyapu pandang sekejap sekeliling situ lalu membalik tubuh dan berlari
cepat ke arah Jong-liong-nia.
Saat itu Bwe Kim-soat dan Lamkiong Peng sedang melangkah tanpa tujuan
serupa orang mimpi menjalan.
Setelah berjalan sekian lama, mendadak Bwe Kim-soat berkata, "Engkau
berasal dari keluarga terhormat dan perguruan ternama, jika engkau berjalan
bersamaku seperti ini, apakah tidak takut menimbulkan desas-desus umum
yang mencemarkan namamu?"
Dia bicara tanpa berpaling sehingga tidak diketahui bagaimana air mukanya.
Langkah Lamkiong Peng agak merandek, jawabnya dengan tegas, "Asalkan
hati kita tidak merasa berdosa, pula semua ini atas amanat guruku, hanya
desas-desus orang iseng saja takkan menjadi soal bagiku, apalagi ...."
Ia berdehem dan tidak melanjutkan.
"Apalagi usiaku sedikitnya belasan tahun lebih tua daripadamu sehingga pada
hakikatnya tidak perlu khawatir dicurigai orang, begitu bukan maksudmu?"
tanya Bwe Kim-soat mendadak sambil berpaling.
Lamkiong Peng melenggong sejenak, jawabnya kemudian dengan menunduk,
"Ya, begitulah."
"Jika demikian, harus kau terima suatu syaratku," kata Kim-soat pula.
"Syarat" ...."
"Ya, yaitu tidak boleh kau katakan nama asliku terhadap siapa pun."
"Sebab apa?"
"Jika namaku diketahui orang bahwa aku masih hidup segar bugar di dunia
persilatan, sekalipun gurumu sendiri tidak mampu melindungi diriku apalagi
engkau?" "Oo," melengak Lamkiong Peng. Pikirnya, "Dia pasti banyak musuh di dunia
persilatan, bilamana musuhnya mengetahui dia belum mati pasti akan mencari
dia dan menuntut balas padanya."
Seketika seperti terngiang pula di tepi telinganya kata-kata si Tojin, "...
Perempuan jalang, perempuan jahat ...."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak timbul pertentangan batinnya, masakah dirinya harus membela
seorang perempuan semacam ini" Tapi lantas teringat lagi, "Jika Suhu sendiri
membelanya, tugas ini lalu diserahkan lagi kepadaku, kuyakin tindakan beliau
pasti benar, mana boleh kulanggar amanat guru?"
Selagi terjadi pergolakan pikirannya, didengarnya Bwe Kim-soat bertanya pula,
"Kau terima syaratku?"
"Ya," jawab Lamkiong Peng segera.
Bwe Kim-soat memandangnya sekejap sambil tertawa lembut, katanya, "Meski
di mulut kau terima dengan baik, tapi di dalam hati enggan, betul tidak?"
Waktu Lamkiong Peng mengangkat kepalanya, di bawah malam tertampak
wajah Bwe Kim-soat yang cantik laksana bidadari itu, seketika hatinya
bergetar, pikirnya, "Perempuan secantik ini mengapa bisa berbuat jahat dan
jalang?" "Betul tidak?" kembali Bwe Kim-soat menegas sambil mendekati anak muda
itu. "Apa yang kuucapkan sama dengan apa yang kupikirkan," jawab Lamkiong
Peng sambil menunduk, terendus bau harum semerbak, tahulah dia orang
telah berada di sampingnya.
Didengarnya Bwe Kim-soat bicara pula dengan lembut, "Kutahu sekali kau
terima syaratku, selamanya tentu akan kau pegang teguh. Akan tetapi perlu
kuberi tahukan pula bahwa perangaiku sangat aneh, terkadang bisa
membikinmu tidak tahan, dalam keadaan begitu lantas bagaimana
tindakanmu?"
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, "Asalkan engkau tidak berbuat sesuatu
yang membikin susah orang, urusan lain aku pasti tahan."
Tiba-tiba dirasakannya bila dirinya terus mendampinginya cara begini, kecuali
melaksanakan amanat sang guru dapat juga setiap saat mencegahnya berbuat
sesuatu yang tidak baik. Jangan-jangan maksud tujuan amanat sang guru
yang menugaskan dia menjaganya justru demikianlah adanya"
Berpikir sampai di sini, mendadak dadanya terasa lapang, apa alangannya
mengalami sedikit hinaan asalkan dapat memperbaiki watak seorang jahat
menuju ke jalan yang benar"
Segera ia angkat kepala dan memandang orang dengan ikhlas.
"Sudah malam, tentu kita tidak dapat tinggal di sini," kata Bwe Kim-soat
dengan tersenyum lembut.
"Ya, kita turun saja ke bawah," kata Lamkiong Peng.
Tapi belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba Lamkiong Peng berseru, "Nanti
dulu, nona Bwe!"
"Ada apa?" tanya Bwe Kim-soat sambil berpaling.
"Harap nona menunggu sebentar, ada urusan yang perlu ku ...."
"Ah, tentu mengenai peti mati itu, bukan?" tukas Bwe Kim-soat.
"Ya, kecuali itu, beberapa saudara seperguruanku juga masih ketinggalan di
atas gunung dan entah sudah pergi atau belum, betapa pun harus kutunggu
mereka." "Jika saudara seperguruanmu melihat dirimu selalu mendampingiku, lantas
apa yang akan mereka katakan" Apalagi sudah sekian lamanya, kukira mereka
sudah lama meninggalkan gunung ini," ujar Kim-soat. "Mengenai peti mati itu,
kukira sekarang tidak ada gunanya lagi, buat apa mesti kau bawa kian kemari
pula. Lebih baik kita mencari suatu tempat istirahat yang tenang, nanti akan
kuceritakan berbagai hal yang belum kau ketahui."
"Tapi ... tapi peti itu adalah barang tinggalan guruku, betapa pun harus
kubawa pergi," setelah berhenti sejenak, dengan tegas ia menyambung pula,
"Dan mengenai saudara seperguruanku, apa pun juga perlu kutunggu mereka
dulu sekadar memenuhi kewajibanku sebagai sesama saudara seperguruan."
"Ah, apa yang kukatakan tampaknya tidak kau turut sama sekali," omel Bwe
Kim-soat sambil memandangi anak muda itu dengan lembut seolah-olah
dengan sorot matanya yang hangat itu ingin mencairkan hati Lamkiong Peng
yang keras. Kedua orang kembali beradu pandang, sampai lama sekali keduanya tidak
berkedip dan tetap bertahan, entah di antara mereka siapa yang lebih kuat.
Kerlip bintang di langit bertambah terang, sebaliknya malam bertambah larut.
Di bawah cahaya bintang dan suasana malam yang sama, apa yang dihadapi
Liong Hui saat itu juga pandangan yang sama lembut dan sama hangatnya.
Saat itu dia sedang berjalan di balik lereng Hoa-san sana, di antara batu padas
yang terjal dan pepohonan yang rimbun serta malam yang tambah kelam.
Tangan Kwe Giok-he yang halus memegangi lengan sang suami yang kekar,
tubuh Giok-he yang kecil mungil juga setengah menggelendot di bahu sang
suami, meski Ginkangnya terlebih tinggi daripada suaminya, Kungfunya juga
tidak lebih lemah, tapi sikapnya yang manja itu seakan-akan kalau tidak ada
perlindungan sang suami akan sukar bergerak di lereng gunung ini.
Yang ikut di belakang mereka adalah Ong So-so yang cantik itu, dia malah
tidak menghendaki bantuan Ciok Tim meski wajahnya sudah dihiasi butiran
keringat. Terpaksa Ciok Tim ikut berjalan di belakangnya dengan hati-hati.
Mereka berempat sudah hampir menjelajahi seluruh pegunungan ini, namun
tidak menemukan sesuatu bekas tinggalan sang guru.
Di tengah kesunyian perjalanan, akhirnya Kwe Giok-he berucap, "Rupanya
tiada sesuatu yang dapat kita temukan."
"Ya," sahut Liong Hui sambil berpaling.
Ong So-so mengangguk perlahan, Ciok Tim juga menghela napas dan berkata,
"Ya, tidak menemukan apa pun."
"Ayolah kita pulang saja," kata Giok-he pula dengan menyesal.
"Ya, pulang saja," kata Ciok Tim.
"Tapi ... tapi mungkin dia sedang mencari atau menunggu kita," kata So-so
tiba-tiba. Air muka Ciok Tim agak berubah, sebab ia tahu "si dia" yang dimaksudkan Soso,
yaitu Lamkiong Peng, Sute mereka yang termuda.
"Tanjakan di depan sana tampak lebih curam, kita sudah mencari sampai di
sini, marilah kita coba periksa sana sekalian," ajak Giok-he.
Tidak ada yang membantah, dengan menunduk So-so ikut berjalan ke depan.
Liong Hui agak bingung melihat kelakuan anak dara itu.
Makin ke depan langkah mereka bertambah lambat karena terjalnya tempat.
Maklumlah, puncak selatan Hoa-san ini juga disebut Lok-gan-hong atau
puncak menjatuhkan burung belibis, puncak tertinggi pegunungan Hoa,
biasanya sangat jarang didatangi manusia, burung saja sering menubruk
tebing yang tinggi ini, keadaan di sini sangat sepi, apalagi di malam yang sunyi
ini. Kwe Giok-he menggelendot terlebih erat di bahu Liong Hui, sebaliknya So-so
semakin jauh jaraknya dengan Ciok Tim.
Pembawaan seorang gadis yang lemah tentu saja berharap akan dibantu dan
dibela oleh seorang yang gagah dan kuat, tapi hasrat ini hanya disembunyikan
di dalam batin saja oleh So-so. Kecuali "dia", rasanya tidak mau menerima
cinta orang lain lagi. Tapi di manakah si dia sekarang"
Makin dipikir makin sedih, tanpa terasa air mata pun berlinang-linang. Tapi ia
tidak berani mengusapnya, sebab ia tidak mau Ciok Tim melihat kesedihannya.
Sekonyong-konyong So-so berhenti melangkah sambil menjerit.
Cepat Liong Hui dan Giok-he berpaling, Ciok Tim juga lantas memburu maju
sambil berseru, "Ada apa?"
Di tengah remang malam terlihat wajah Ong So-so yang terkejut dan air mata
berlinang lagi memandang permukaan tanah dengan tercengang.
Permukaan tanah yang kelam, tampaknya tiada sesuatu yang mengherankan.
Ketika Giok-he dan lain-lain ikut memandang ke tempat yang membuat So-so
tercengang itu, ternyata di atas batu di situ ada bekas kaki yang mendekuk
cukup dalam. Serentak mereka pun berseru kaget.
Tanah berbatu di sini sangat keras, orang biasa biarpun menggunakan senjata
tajam juga sukar membuat bekas kaki sedalam ini, akan tetapi orang ini cuma
menginjak begitu saja lantas meninggalkan tapak kaki sedalam ini.
Bekas kaki itu tidak lurus, tapi miring ke kiri, ujung kaki tepat mengarah
sebuah jalan simpang yang membelok ke kiri.
So-so memandangnya dengan tercengang, sekian lama baru dia berkata
dengan tergegap, "Bekas ... bekas kaki ini apakah mirip dengan kaki ... kaki
Suhu" ...."
Kemudian Giok-he menjawab, "Bekas kaki ini bukan kaki Suhu! Hanya
tampaknya memang mirip ...."
"Ya, bukan saja besar-kecilnya sama, sampai bentuk sepatunya juga sama,"
tukas So-so. "Saat ini orang persilatan sudah jarang yang memakai sepatu bersol tebal
semacam sepatu Suhu ini," kata Ciok Tim.
Supaya diketahui, orang Kangouw umumnya suka memakai sepatu tipis ringan
untuk memudahkan gerak-gerik mereka, jarang yang mau menggunakan
sepatu bersol tebal seperti yang biasa dipakai kaum pembesar negeri. Apalagi
kalau digunakan menempuh perjalanan di tanah pegunungan, jelas sepatu
tebal ini tidak cocok.
Perlahan Giok-he mengangguk, katanya, "Memang benar jarang ada orang
Kangouw yang mau memakai sepatu tebal begini. Tapi di dunia Kangouw
sekarang siapa pula yang memiliki tenaga dalam sehebat ini ...."
"Betul juga, bekas kaki yang ditinggalkan beliau pasti untuk menunjukkan ke
arah mana beliau pergi," tukas Liong Hui.
"Ya, kukira begitu," kata So-so berbareng dengan Ciok Tim.
"Tapi kalian sama melupakan sesuatu," jengek Giok-he mendadak.
"Sesuatu apa?" tanya Ciok Tim heran.
"Meski bekas kaki ini mirip kaki Suhu, dipandang dari dekukan sedalam ini
juga cuma Suhu saja yang mampu, akan tetapi bekas kaki ini pasti bukan
ditinggalkan oleh Suhu, sebab ...." Giok-he sengaja merandek, lalu
menyambung sekata demi sekata, "Sebab saat ini Suhu tidak lagi mempunyai
tenaga dalam sekuat ini."
Liong Hui, Ciok Tim dan So-so sama melengak, tapi segera mereka pun sadar
persoalannya dan berseru serentak, "Ya, betul!"
Liong Hui lantas menambahkan, "Suhu sudah melemahkan tenaga sendiri
tujuh bagian untuk memenuhi tuntutan gadis she Yap itu, kekuatannya
sekarang tidak lebih hanya sebanding dengan kita, mana beliau sanggup
meninggalkan bekas kaki sedalam ini di atas batu."
Ia pandang Giok-he dengan penuh rasa kagum, lalu bergumam pula, "Hal ini
sama diketahui kita, tapi mengapa cuma engkau saja yang mengingatnya."
"Soalnya kalian sudah lelah, lapar dan juga tegang, dalam keadaan demikian
orang memang sering melupakan sesuatu," ujar Giok-he dengan tersenyum.
Mendadak So-so mengangkat kepala dan berkata pula, "Tapi kalau bekas kaki
ini bukan bekas kaki Suhu, lantas bekas kaki siapa" Di dunia Kangouw zaman
ini, kecuali Suhu siapa pula yang memakai sepatu model begini dan berjalan di
lereng pegunungan yang curam dan sepi ini" Siapa pula yang memiliki
Lwekang setinggi ini?"
Seperti telah diceritakan, sejak pertemuan Hoa-san dahulu, hampir segenap
inti kekuatan dunia persilatan telah gugur bersama, selama ini belum
terdengar di dunia persilatan ada tokoh yang berkuatan sebanding dengan
Tan-hong dan Sin-liong, sebab itulah pertanyaan So-so ini benar-benar sangat
tepat. Mereka saling pandang dengan bingung sampai sekian lamanya, akhirnya
Liong Hui bergumam, "Jangan-jangan di dunia persilatan sekarang telah
muncul tokoh kelas tinggi baru."
"Jangan-jangan Suhu ...." mendadak Ciok Tim urung meneruskan ucapannya.
"Suhu kenapa?" tanya Liong Hui dengan gelisah.
Ciok Tim memandang kiri-kanan, dilihatnya Giok-he dan So-so juga sedang
memandangnya seperti ingin tahu lanjutan ucapannya itu.
Akhirnya ia berdehem dan berkata pula, "Kukira bisa jadi ... bisa jadi bekas
kaki itu di ... ditinggalkan Suhu waktu ... waktu ...."
"Maksudmu mengkhawatirkan Suhu mengalami luka parah setelah bertanding
dengan orang dan bekas kaki ini ditinggalkan beliau waktu buyarnya Lwekang
sebelum ajal?" tukas Giok-he tak sabar.
"Ya ... ya, kukhawatir begitulah adanya," sahut Ciok Tim dengan menunduk.
"Hah, apakah benar Suhu ... Suhu telah meninggal?" teriak Liong Hui dengan
cemas. Hendaknya maklum, orang yang menguasai Lwekang tinggi, pada sebelum
ajalnya setiap jurus yang dikeluarkannya dengan sepenuh tenaga pasti lihai
luar biasa. Begitu pula bila tenaga dalam itu dibuyarkan pada waktu
menghadapi ajal, setiap gerakan kaki atau tangan tentu luar biasa kuatnya.
Sejak kecil Liong Hui telah belajar silat dengan guru ternama, dengan
sendirinya ia cukup paham dalil ini, maka dia pula yang paling berduka, tanpa
terasa air mata lantas berlinang.
"Mungkin itu cuma dugaanku saja, hendaknya Toako jangan ...." ucap Ciok
Tim dengan gelagapan.
"Betul, ucapanmu memang ngawur," kata Giok-he tiba-tiba.
"Masa ucapannya tidak berdasar?" tanya Liong Hui sambil mengusap air mata.
"Kusangsikan bila betul ini bekas kaki Suhu, mengapa di sekitar sini tidak ada
sesuatu tanda waktu dia bertempur dengan lawan?" ujar Giok-he. "Selain itu
pesan yang ditinggalkan Suhu apakah mungkin ditulis di sini?"
"Betul, bila betul Suhu membuyarkan Lwekangnya menghadapi ajalnya, mana
beliau dapat meninggalkan pesan sejelas itu?" seru Liong Hui.
"Habis bekas kaki siapakah ini?" kata So-so dengan gegetun.
Giok-he memandang anak dara itu dengan tersenyum, mendadak ia berkata
dengan suara lantang, "Siapa yang meninggalkan bekas kaki ini sekarang
belum dapat diketahui, yang jelas orang yang meninggalkan bekas kaki ini
pasti ada hubungannya dengan Suhu ...."
"Apa dasarnya?" tanya Liong Hui.
Giok-he memandang sang suami sekejap, lalu menyambung malah, "Dan pasti
juga mengisyaratkan sesuatu rahasia."
Liong Hui tambah bingung, "Kenapa kau bilang bekas kaki ini ada sangkut
pautnya dengan Suhu?"
"Sebab kalau bukan urusan yang menyangkut Tan-hong dan Sin-liong, mana
bisa ada tokoh Bu-lim kelas tinggi berkeliaran di pegunungan Hoa yang sunyi
ini," tutur Giok-he.
"Kau bilang bekas kaki ini mengisyaratkan sesuatu rahasia, kalau begitu
bolehlah kita tunggu saja di sini, coba lihat sesungguhnya apa persoalannya?"
ujar Liong Hui.
Tiba-tiba Ciok Tim menanggapi, "Kukira Toaso tidak bermaksud menghendaki
kita tinggal di sini, cuma aku pun tidak tahu apa yang harus kita lakukan."
"Jika begitu, lebih baik kita ... kita pulang saja," tukas So-so.
"Tampaknya Simoay telah merindukan rumah," Giok-he berseloroh. "padahal
kita tentu juga ingin cepat pulang. Cuma kebetulan dapat kita temukan
petunjuk yang menyangkut diri Suhu, mana boleh kita tinggalkan begini saja.
Saat ini memang belum diketahui sesungguhnya apa arti bekas kaki ini serta
rahasia apa yang terkandung di dalamnya, tapi dapat kupastikan satu hal,
yakni arah yang ditunjuk ujung kakinya ini pasti arah kepergian Suhu."
"Jika begitu, marilah kita mengikuti arah yang ditunjuk," kata Ciok Tim.
"Setuju!" seru Liong Hui.
Giok-he tersenyum, segera Liong Hui mendahului membelok ke arah kiri.
Pegunungan Hoa memang sunyi dan kelam, jalan setapak ini terlebih curam
dan sukar dilalui, jika mereka tidak menguasai Ginkang yang tinggi tentu satu
langkah saja sulit meneruskan perjalanan.
"Alangkah baiknya jika membawa obor," gumam Ciok Tim.
Kening Ong So-so tetap bekerenyit, ia berjalan dengan lesu. Mendadak ia
mengertak gigi terus melompat maju dan malah mendahului di depan Liong
Hui. "Simoay memang tidak mau kalah, coba lihat dia ...."
Belum lanjut ucapan Giok-he, tiba-tiba So-so berseru terkejut lagi. Menyusul
Giok-he bertiga juga bersuara kaget.
Kiranya tidak jauh di depan So-so sana mendadak ada cahaya api, di tengah
pegunungan sepi ini, nyala api ini jelas buatan manusia.
Dengan terkejut mereka coba mengawasi depan sana, tertampak di depan
sebuah tebing menegak mengadang jalan mereka. Karena nyala api itu
dirasakan seperti timbul mendadak, maka dinding tebing itu seakan-akan juga
muncul secara ajaib.
Dinding tebing itu ternyata halus licin, sama sekali tidak ada tumbuhan apa
pun. Waktu mereka melongok ke atas, karena tidak tercapai oleh cahaya api,
bagian atas tebing kelihatan gelap gulita sehingga sukar diraba betapa
tingginya. Angin mendesir, sinar api bergoyang menambah seramnya keadaan.
Setelah tertegun dan ragu sejenak akhirnya So-so mendekati tempat obor itu
diikuti oleh Liong Hui bertiga.
Jarak obor yang tidak jauh ini dirasakan oleh mereka makan waktu sekian
lamanya baru dapat dicapai. Sesudah dekat baru terlihat jelas obor itu terbuat


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari empat tangkai kayu cemara yang terikat menjadi satu.
Terkesiap Ciok Tim, "Hah, obor, ternyata ada obor!"
Tadi dia menggerundel alangkah baiknya jika ada obor, sekarang obor yang
disebutnya benar-benar muncul.
Liong Hui saling pandang sekejap dengan Giok-he dengan melenggong.
"Jangan-jangan gerak-gerik kita telah ... telah diawasi orang"!" kata Liong Hui.
Giok-he berpikir sejenak, katanya kemudian, "Urusan ini memang aneh,
memangnya siapakah yang mampu mengikuti kita secara diam-diam tanpa
ketahuan. Sesungguhnya apa maksud tujuannya, kawan atau lawan" ...."
Ucapannya terhenti ketika ia memandang ke arah dinding tebing yang licin itu,
sebab mendadak ditemukan sebaris tulisan yang sangat mengejutkan di
dinding tebing itu.
Semua orang ikut memandang ke sana dan sama terkejut. Ternyata tulisan itu
berbunyi: "Liong Po-si, bagus sekali kedatanganmu! Di ketinggian tebing sana
ada tulisan yang ingin kau baca, apakah kau berani naik ke sana?"
Tulisan yang bernada menantang, gaya tulisan yang kuat!
Memangnya siapa yang berani menantang terhadap Put-si-sin-liong yang
namanya menggetarkan dunia persilatan itu" Siapa yang memiliki Lwekang
selihai ini sehingga sanggup meninggalkan ukiran tulisan di dinding batu yang
keras ini"
Liong Hui menarik napas dingin, ia coba melompat maju untuk mengamati
ukiran tulisan yang luar biasa itu.
Sedangkan pandangan Kwe Giok-he lagi tertarik oleh bagian lain daripada
dinding tebing, yaitu suatu tempat bersih agak jauh di sebelah sana, ia
termangu-mangu sejenak, tiba-tiba bergumam perlahan, "Ucapanmu memang
betul, Gote, Suhu ... Suhu memang benar tidak meninggal!"
Nadanya ternyata lebih banyak mengandung rasa kecewa daripada rasa
gembira, memangnya dia kecewa akan urusan apa" Karena iri terhadap
kecerdikan Lamkiong Peng atau urusan lain" Tapi apa pun juga dalam keadaan
dan di tempat begini tentu saja tidak ada orang yang memerhatikan maksud
yang terkandung dalam ucapannya itu.
Serentak Liong Hui bertanya dengan gembira dan bersemangat, "Hah, kau
bilang ucapan Gote benar dan Suhu tidak meninggal dunia?"
Giok-he mengangguk sambil menuding bagian batu gunung yang agak bersih
sana, katanya, "Ya, Suhu tidak meninggal, setiba di sini beliau melihat tulisan
ini, segera beliau menggunakan Ginkang dan naik ke atas."
Dia bicara dengan mantap seakan-akan melihat sendiri apa yang terjadi,
katanya pula, "Jika tulisan yang terukir ini ditujukan kepada Suhu, dengan
sendirinya orang yang meninggalkan tulisan ini sudah memperhitungkan Suhu
pasti akan datang kemari, dan kalau dipandang pada bagian tebing ini, orang
yang naik ke atas pasti tidak menggunakan Kungfu sebangsa 'cecak merayap
dinding' segala, sebab Kungfu ini harus dilakukan dengan merayap ke atas
dengan punggung menempel dinding. Tapi dari bekas telapak tangan yang
terlihat di sini jelas orang naik ke atas dengan muka menghadap dinding.
Kalian sama tahu, di kolong langit ini hanya Kungfu 'Sui-hun-hu' (mengapung
mengikuti awan) dari Sin-liong-bun kita yang merupakan Ginkang mahahebat
untuk merayap ke atas dengan muka menghadap dinding. Berdasarkan semua
ini, orang yang mendaki ke atas siapa lagi kalau bukan Suhu"!"
Serentak Liong Hui bersorak gembira, "Ya, Suhu tidak meninggal ...."
Ciok Tim juga bergirang.
"O, Suhu tidak ..." saking girangnya So-so lantas menangis malah.
Sebaliknya Giok-he lantas menghela napas menyesal.
"Jika Suhu jelas tidak meninggal, apa yang kau sesalkan?" tanya Liong Hui.
"Kau tahu apa?" sahut Giok-he sambil memandang lagi tulisan tadi, "Setiba di
sini Suhu memang tidak mengalami sesuatu, tapi setelah beliau naik ke atas
berarti akan menghadapi bahaya, masakah tidak kau lihat bahwa semua mi
pada hakikatnya cuma sebuah perangkap."
"Perangkap?" Liong Hui menegas.
"Ya, perangkap," kata Giok-he. "Lebih dulu orang menjangkitkan emosi
dengan kata-katanya yang menantang, lalu menyusutkan Lwekang Suhu,
kemudian memancingnya ke sini. Ketiga hal ini satu per satu telah diatur
dengan sangat rapi ...." ia menghela napas pula dan menyambung, "Pantaslah
Suhu lantas terjebak."
Seketika rasa girang Liong Hui bertiga berubah menjadi khawatir lagi.
Dengan prihatin Ciok Tim berkata, "Jika demikian, jadi keterangan nona she
Yap yang mengatakan Tan-hong sudah mati mungkin juga dusta belaka."
"Ya, sangat mungkin," ujar Giok-he sambil mengangguk. "Dengan alasan ini
dia minta Suhu menyusutkan Lwekangnya, juga berdasarkan ini melemahkan
pengaruh Suhu sehingga beliau terpencil sendirian lalu dipancing lagi ke sini.
Ai, setiba di sini, menuruti watak beliau yang keras, biarpun di depan sana
sudah menanti gunung golok dan lautan minyak mendidih juga akan
diterjangnya. Maka ... maka beliau pun terjebak!"
Belum habis ucapannya, mendadak So-so melompat ke kaki dinding tebing
terus merayap ke atas dengan cepat. Dipandang dari bawah, bajunya
mengembung perlahan ke atas sehingga mirip gumpalan awan yang
mengapung. "Simoay, biarkan aku saja yang naik ke sana!" seru Ciok Tim sambil menyusul
ke sana. Namun So-so sudah cukup tinggi merayap ke atas.
Giok-he lantas mencegah Ciok Tim, katanya, "Tempat belasan tombak
tingginya mungkin tidak menjadi soal bagi Simoay, jangan khawatir. Biarkan
Simoay melihat apa yang tertulis di atas!"
Ciok Tim tidak membantah lagi, ia mendongak ke atas dengan rasa khawatir.
Semakin tinggi semakin gelap, gerak tubuh So-so juga mulai lamban.
"Sudah kau lihat sesuatu, Simoay?" seru Giok-he sambil menengadah.
"Ya, dapat kulihat dengan jelas," jawab So-so.
"Hati-hati, Simoay!" seru Ciok Tim.
So-so tidak menjawab.
"Setelah membaca lekas turun kemari," seru Giok-he pula.
Belum lenyap suaranya, dilihatnya So-so malah merayap perlahan ke atas lagi.
"Ha, Simoay, untuk apa naik ke atas lagi" teriak Liong Hui. Sampai di sini
mendadak ia menjerit khawatir, "Wah, celaka!"
Tertampaklah tubuh So-so baru merayap sedikit ke atas lantas tidak tahan lagi
dan segera merosot ke bawah.
Dengan khawatir Ciok Tim berlari maju dan siap di bawah.
Liong Hui dan Giok-he juga berteriak, "Awas, Simoay!"
Sementara itu tubuh So-so sudah jatuh ke bawah, meski dia berusaha
mengimbangi dengan Ginkangnya, tapi terperosot dari tempat setinggi itu
tetap sangat berbahaya.
Dengan memasang kuda-kuda yang kuat, sepenuh tenaga Ciok Tim menahan
tubuh So-so yang anjlok ke bawah itu, ia tergetar mundur sempoyongan,
akhirnya dapat berdiri tegak lagi.
Siapa tahu begitu kaki menyentuh tanah, So-so lantas mendorongnya
sehingga Ciok Tim tertolak dua-tiga tindak lagi, keruan ia melenggong, di
bawah cahaya obor kelihatan mukanya sebentar merah sebentar pucat, jelas
sangat tidak enak perasaannya.
So-so memandangnya sekejap, mendadak menghela napas dan menunduk,
ucapnya perlahan, "Maaf, terima kasih atas pertolonganmu!"
Hatinya bajik dan tidak suka melukai perasaan orang lain, apalagi tindakan
Ciok Tim itu adalah karena ingin menolongnya, dengan sendirinya ia merasa
tidak enak juga.
Giok-he memandang kedua muda-mudi itu, sedangkan Liong Hui sama sekali
tidak memerhatikan persoalan pelik antara anak muda itu, ia lantas bertanya,
"Simoay, apa yang tertulis di atas, kan sudah kau lihat dengan jelas?"
"Ya, sudah kulihat dengan jelas," jawab So-so lirih sambil mengangkat kepala,
tampaknya sangat kesal.
"Apa yang tertulis di sana?" tanya Liong Hui tak sabar.
Perlahan So-so lantas menguraikan apa yang dibacanya tadi, "Liong Po-si,
engkau jadi naik ke sini" Jika demikian jelaslah Kungfumu tidak telantar.
Turunlah kembali lurus ke bawah, lalu melangkah tujuh belas tindak ke kiri, di
kaki tebing ada tetumbuhan akar-akaran, singkap tetumbuhan itu akan terlihat
celah-celah yang cukup diterobos tubuh seorang, langsung masuk ke sana,
setiba di ujung dapatlah kau lihat diriku! ...."
So-so berhenti sejenak, tapi Liong Hui lantas melangkah ke sebelah kiri sana
sambil berhitung, "Satu, dua, tiga ...."
Cepat So-so memanggilnya, "Nanti dulu, Toako, masih ada ...."
"Ada apa" Maksudmu belum-habis tulisan yang kau baca itu?" tanya Liong Hui
sambil menoleh.
So-so mengangguk, "Ya, masih ada satu baris yang berbunyi: Dan bila engkau
masih ada sisa tenaga, naik lima tombak lagi ke atas, di situ juga ada tulisan,
apakah kau ingin tahu?"
"Menuruti watak Suhu, biarpun mengadu jiwa juga pasti akan naik ke atas,"
ujar Giok-he dengan gegetun.
"Tapi ... tapi aku tidak sanggup lagi naik ke atas!" ucap So-so dengan
menunduk, tampaknya sangat kecewa.
Liong Hui tertegun, katanya kemudian, "Ginkang Simoay jauh lebih hebat
daripadaku, jika dia tidak mampu naik ke atas apalagi aku."
"Biar kucoba," seru Ciok Tim.
"Ginkang Toaso lebih bagus daripadamu, biarkan dia saja yang naik ke atas,"
ujar Liong Hui.
Han Bu Kong 04 "Tidak perlu dicoba lagi," sela So-so, "Toaso juga takkan mampu naik ke atas.
Setelah mencapai ketinggian sana, untuk merayap sejengkal lagi rasanya
terlebih sulit daripada merayap setombak dari bawah sini, kalau ingin mendaki
lima tombak yang disebutkan itu, biarpun kulatih sepuluh tahun lagi juga tidak
sanggup." "Ya, dapat kupahami keteranganmu ini," kata Giok-he sambil mengangguk.
Hendaknya diketahui, Ginkang sebagai "cecak merayap" dan "awan
mengapung" segala itu pada dasarnya cuma dorongan tenaga yang dikerahkan
seketika. Bilamana sudah mencapai ketinggian dari tenaga yang dikerahkan,
untuk naik lebih tinggi lagi jelas sangat sulit.
Dengan sendirinya Liong Hui dan Ciok Tim juga dapat memahami dalil ini.
"Lantas bagaimana?" tanya Liong Hui kemudian.
"Jika tidak ada jalan lain, betapa pun harus kucoba!" ujar Ciok Tim.
"Bila tidak ada jalan lain, biarpun kau coba juga percuma," kata Giok-he.
"Lebih baik kita periksa celah-celah di sebelah kiri yang disebutnya itu."
"Betul, harus kita periksa sesungguhnya siapakah yang meninggalkan tulisan
itu," seru Liong Hui.
Giok-he tersenyum, "Tanpa melihatnya juga kutahu siapa dia."
"Oo, memangnya siapa?" tanya Liong Hui.
"Kecuali Tan-hong Yap Jiu-pek masakah ada orang lain" Selain Yap Jiu-pek
masakah ada orang berani bicara seketus itu terhadap Suhu?"
"Tapi ... bukankah Yap Jiu-pek sudah mati?" Liong Hui merasa sangsi.
"Kan sudah kukatakan sejak tadi bahwa semua ini cuma perangkap saja," kata
Giok-he. "Cuma di mana letak ujung tali jeratan ini sejauh ini belum kita
ketahui, kecuali ... kecuali dapat kulihat sebenarnya apa yang tertulis di
tempat paling atas sana."
Belum lenyap suaranya sekonyong-konyong dari ketinggian tebing yang tak
terlihat jelas itu terjulur seutas tali panjang.
Keruan So-so berempat berteriak kaget mereka memandangi tali yang terjulur
di depan mereka ini dengan melongo dan tak dapat bersuara sampai sekian
lamanya. Keempat orang itu saling pandang dengan sangsi dan ngeri. Ternyata di atas
tebing yang tak terlihat jelas itu terdapat jejak manusia.
Dengan suara tertahan akhirnya Ciok Tim berkata, "Yang melemparkan tali ke
bawah ini entah apakah juga orang yang menyalakan obor ini?"
Giok-he mengangguk, "Ya, kukira orang yang sama."
Kening Ciok Tim bekerenyit rapat, katanya pula, "Tapi orang ini sebenarnya
kawan atau lawan, sungguh sukar untuk diraba. Jika maksud orang ini tidak
jahat, dengan sendirinya boleh kita naik ke atas dengan memanjat tali, kalau
sebaliknya ... wah, keadaan kita saat ini sungguh sangat berbahaya."
Giok-he tersenyum dan menggeleng, "Jika dipandang dari kelihaian orang ini,
jika dia bermaksud membikin susah kita, untuk apa membuang tenaga
percuma cara begini?"
"Jika begitu biarlah kucoba naik dulu ke atas," sela So-so.
"Biar kutemanimu naik ke atas, jika terjadi apa-apa jadi dapat saling
membantu," tukas Ciok Tim, agaknya dia telah melupakan kemungkinan
bahaya. "Bukankah kau bilang berbahaya?" kata So-so, tiba-tiba ia menyesal karena
ucapannya terlalu menyinggung perasaan, maka cepat ia menyambung, "Jika
ada bahaya kan lebih baik dihadapi seorang saja."
Ciok Tim menunduk kikuk.
Giok-he lantas menyambung, "Simoay sudah naik satu kali, sekali ini biar aku
saja yang naik ke atas."
"Betul, sekali ini giliran kita," tukas Liong Hui.
Mendadak Ciok Tim membusungkan dada dan berseru, "Biar kutemani Toaso
ke atas!" Agar kelihatan gagah berani di depan orang yang dirindukannya, biarpun
sekarang di atas sana terpasang perangkap maut juga tak terpikir lagi
olehnya. "Boleh juga Site ikut bersamaku," ucap Giok-he.
Segera ia melompat ke atas setinggi dua tiga tombak, diraihnya tali itu dengan
kuat lalu ia berpaling ke bawah dan berseru, "Toako, bila aku jatuh harus kau
tangkap diriku dengan baik!"
"Jangan khawatir," segera Liong Hui siap memasang kuda-kuda di bawah.
Waktu Ciok Tim ikut melompat ke atas, akhirnya So-so berucap juga, "Hatihati!"
Mesti lirih suaranya, namun cukup jelas didengar Ciok Tim, seketika ia
berbesar hati dan semangat terbangkit, serunya, "Jangan khawatir!"
Di tengah remang malam kelihatan bayangannya semakin cepat naik ke atas,
hanya sebentar saja lantas menghilang dalam kegelapan.
Liong Hui mendongak sampai sekian lama, mendadak ia berkata, "Apakah
tidak ada sesuatu bahaya di atas?"
"Bukankah Toaso sudah bilang, kepandaian orang itu jauh di atas kita, jika dia
mau membikin susah kita buat apa dia bersusah payah menjebak kita," ujar
So-so. "Tapi sudah sekian lama mereka tidak kelihatan," kata Liong Hui, segera ia
berteriak, "Hei, adakah kalian menemukan sesuatu."
Namun suasana sunyi senyap tiada sesuatu suara jawaban.
Bekerenyit kening Liong Hui, gumamnya, "Wah, masakah mereka tidak
mendengar suaraku?"
Sekali ini dia berteriak terlebih keras sehingga anak telinga So-so yang berdiri
di sampingnya ikut mendengung. Namun puncak karang di atas tetap sunyi
tanpa sesuatu jawaban, hanya desir angin yang mengumandangkan suara
Liong Hui itu ke empat penjuru.
So-so juga mulai gelisah, ia sangsi, biarpun puncak tebing ini sangat tinggi dan
menjulang ke tengah awan, namun sekeliling tiada barang pengalang lain,
masakah suara teriakan mereka tidak terdengar.
Diam-diam ia berkhawatir bagi mereka, tapi tidak berani diutarakannya. Ia
coba melirik Liong Hui, di bawah cahaya obor yang redup air muka Liong Hui
kelihatan juga berubah.
"Coba, kau bilang Toaso berdua takkan menemukan bahaya, tapi ... tapi
mengapa mereka tidak menjawab suaraku?" kata Liong Hui kemudian.
So-so tidak tahu cara bagaimana harus menjawab, sampai sekian lama baru ia
menghela napas perlahan dan berucap, "Jika ada bahaya seharusnya mereka
juga bersuara memberitahukan kepada kita, tapi sampai sekarang tetap tiada
sesuatu gerak-gerik apa pun di atas, sungguh sangat aneh ...."
"Ya, sungguh aneh," tukas Liong Hui sambil memegang tali panjang yang
terjulur itu, mendadak ia melenggong, tangan pun agak gemetar.
So-so menjadi heran, "He, Toako, ada apa?"
Liong Hui berpaling dengan wajah penuh rasa kejut dan khawatir, "Coba kau
lihat!" Berbareng tangannya bergerak, tali yang terjulur itu dapat diayunnya hingga
jauh seperti tidak dibebani sesuatu.
Cepat So-so ikut memegang tali itu dan digoyangkan dua-tiga kali, betul juga,
di atas tidak terasa diganduli sesuatu, dengan gugup ia menyurut mundur dan
mendongak ke atas, ucapnya dengan suara gemetar, "Ya, mengapa tali ini
bebas lepas, ke ... ke manakah mereka?"
"Bukankah kau bilang tidak ada bahaya"!" seru Liong Hui dengan air muka
kelam. So-so tertegun, mendadak ia mengertak gigi dan meloncat ke atas, dengan


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat ia pun merambat ke atas ....
Kiranya tadi Ciok Tim terus ikut Giok-he merambat ke atas dengan cepat dan
gesit, hatinya terasa hangat ketika mendengar pesan So-so kepadanya agar
hati-hati, ia pikir, "Betapa pun dia tetap memerhatikan diriku."
Karena itulah caranya merambat pun bertambah semangat dan juga tambah
cepat, ketika mencapai belasan tombak tingginya, tiba-tiba terdengar Kwe
Giok-he berkata di atas, "Tulisan inilah yang dilihat Simoay tadi. Ai, daya
ingatnya sungguh sangat kuat, dia dapat menghafalkan tanpa kurang satu
huruf pun."
"Ya, daya ingatnya memang hebat," sahut Ciok Tim,
Sekilas ia baca tulisan yang dimaksud di dinding tebing, lalu merambat lagi ke
atas dan diam-diam membatin pula, "Betapa pun Simoay tetap memerhatikan
diriku. Mesti terkadang dia suka bersikap kasar padaku, hal itu hanya karena
keangkuhan seorang gadis saja. Apa pun juga sudah lima tahunan kami
tinggal bersama, mustahil dia tidak menaruh sesuatu perasaan padaku?"
Berpikir demikian, tersembul juga senyuman pada ujung mulutnya.
Selagi dia tenggelam dalam perasaan bahagia, mendadak dahinya menyentuh
sesuatu, ia terkejut dan mendongak, kiranya kaki Kwe Giok-he.
Kaki yang bersepatu kain sutera hijau bersulam bunga ungu kecil, indah dan
serasi membungkus kakinya yang putih, ujung sepatu yang agak mencuat ke
atas itu dihiasi sebiji mutiara mengilat.
Sekarang kedua biji mutiara itu tepat berada di depan mata Ciok Tim,
semacam bau harum yang sukar dilukiskan sayup-sayup terbawa angin
tereium oleh hidung Ciok Tim.
Lebih ke atas lagi adalah ujung kaki celana yang juga bersulam bunga kecil
menutupi permukaan kaki.
Seketika sorot mata Ciok Tim terhenti di situ. Baru sekarang ia tahu sebab apa
sang Toaso yang kecantikannya termasyhur di dunia Kangouw ini tidak suka
memakai sepatu bersol tipis yang biasanya digunakan orang perempuan
kalangan Kangouw atau sejenis sepatu yang bagian bawahnya tersembunyi
senjata tajam. Hal ini serupa kebiasaan guru mereka yang tetap suka memaki
sepatu sol tebal yang biasa dipakai kaum pembesar negeri itu. Hal ini
disebabkan sepatu sol tinggi dapat melambangkan kebesaran dan
kewibawaannya dan jelas-jelas menggariskan perbedaannya dengan orang
persilatan umumnya.
Hanya sepatu bersol tipis yang ringan inilah dapat menonjolkan keindahan kaki
seorang perempuan.
Melihat sepatu bagus dengan kaki yang indah ini, seketika Ciok Tim jadi
terkesima. Tiba-tiba terdengar Giok-he menegur dengan tertawa, "Apa yang kau lihat?"
Muka Ciok Tim menjadi merah.
"Lekas naik kemari dan bacalah tulisan di sini," terdengar Giok-he berseru lagi
sambil merambat ke atas.
Waktu Ciok Tim menengadah, dilihatnya di tengah keremangan wajah yang
cantik itu sedang tersenyum kepadanya, dengan kikuk ia berdehem dan
menjawab, "Apa ... apa yang tertulis di situ?"
"Naiklah dan baca sendiri," kata Giok-he sambil merapatkan tubuhnya ke
dinding tebing,
Dengan begitu ada tempat luang untuk Ciok Tim naik ke situ.
Segera Ciok Tim ikut merambat ke atas, ia tidak berani memandang langsung
kepada Giok-he, tapi lantas membaca tulisan yang terukir di dinding, di situ
tertulis: "Liong Po-si, akhirnya kau datang juga ke sini. Bagus sekali.
Kungfumu memang tidak telantar, kini jika kau naik lagi sedikit dan berjalan
lima belas langkah ke kanan juga terdapat sebuah celah-celah, jalan tembus
ini terlebih dekat, cuma lebih sulit dilalui, namun bila engkau mendaki tujuh
tombak lagi ke atas akan kau temukan sebuah jalan yang terlebih dekat, cuma
engkau jangan memaksakan kemauanmu untuk menempuh jalan yang sukar
ditempuh, ambil saja jalan yang mudah dilalui, akhirnya kan tetap dapat
berjumpa denganku."
Meski keadaan cukup kelam namun dapatlah Ciok Tim membaca jelas dan
cepat tulisan di dinding itu. Malahan berbareng dengan itu dirasakan bau
harum pun semakin menusuk hidung.
Tanpa terasa terkenang olehnya kejadian masa lampau. Waktu itu dia baru
masuk perguruan Sin-liong, baru berumur sepuluh, usia Kwe Giok-he lebih tua
dua-tiga tahun. Pada masa emas anak-anak mereka itu, meski berada di
bawah asuhan guru yang keras, mereka pun pernah bermain-main
sebagaimana layaknya anak-anak umumnya.
Karena pergaulan dekat dan teman bermain setiap hari itu, diam-diam ia
mencintai kakak seperguruan yang lebih pintar dan juga lebih tua dua tahun
daripadanya itu. Cuma cinta itu boleh dikatakan cinta suci murni anak-anak,
cinta antara kakak dan adik, suci bersih tanpa noda, sampai dia sudah agak
lebih besar rasa cinta itu tetap disimpannya di dalam hati.
Pada waktu dia berumur 15 barulah Ong So-so juga masuk perguruan. Itulah
suatu hari yang cerah, biarpun kejadian itu sudah lima tahun berselang,
namun Ciok Tim masih ingat betapa cemerlang cahaya bintang pada malam
itu. Malam itu Put-si-sin-liong Liong Po-si mengadakan beberapa meja pesta dan
mengumumkan dua peristiwa menggembirakan, pertama ialah diterimanya
seorang murid perempuan baru, kedua sekaligus diumumkan perjodohan
murid utamanya, yaitu Liong Hui dengan murid kedua, Kwe Giok-he.
Pada malam itu juga diam-diam Ciok Tim mengucurkan air mata di kamarnya
sendiri. Sejak itu sedapatnya dia ingin melupakan cintanya yang suci murni
itu, sebab si dia sudah dipersunting oleh Toasuheng yang dihormat dan
diseganinya itu, selanjutnya si dia telah menjadi Toaso (kakak ipar) dan bukan
lagi Suci (kakak guru) kecilnya, dia terpaksa harus melupakan perasaannya
itu. Maka sedapatnya ia berusaha menjauhi si dia serta menghindari bicara dengan
mereka, karena itulah lambat-laun Ciok Tim berubah menjadi pendiam dan
suka menyendiri.
Pada suatu pagi hari ketika mereka bertemu di lapangan latihan, kebetulan
Ciok Tim bertemu sendirian dengan Giok-he, ia ingin menghindarinya, tapi
Giok-he sempat memanggilnya dan menegur, "Mengapa akhir-akhir ini engkau
selalu menghindari diriku, memangnya aku bukan lagi Suci cilikmu?"
Ciok Tim hanya menggeleng saja tanpa bicara dan orang lain pun keburu
datang. Untuk seterusnya mereka pun tidak pernah bertemu berduaan lagi,
sampai kini ....
Kini peristiwa lampau seakan-akan terbayang kembali dalam benak Ciok Tim,
rasanya Kwe Giok-he seperti menggelendot di sampingnya dengan baunya
yang harum itu dan membuatnya lupa si dia adalah "Toaso"-nya.
Ketika ia berpaling, kedua orang beradu pandang, tanpa terasa ia menghela
napas dan memanggil perlahan, "Siausuci ...."
Panggilan ini sangat perlahan, namun serupa sepotong batu raksasa dilempar
ke tengah laut dan menimbulkan gelombang dalam hati Kwe Giok-he yang
tenang itu. Giok-he mengerling sayu wajah Ciok Tim dan entah apa yang terpikir olehnya,
ia cuma perlahan meraba sekali muka Ciok Tim dan berkata, "Engkau agak
kurus!" Bergolak juga hati Ciok Tim, namun di luarnya sedapatnya ia berlagak tenang,
katanya, "Suhu ... Suhu tentu naik ke atas!"
Ia tidak berani memandangnya lagi, tapi lantas mendahului merambat tali ke
atas. Jarak yang tidak sampai sepuluh tombak itu dengan cepat dapat dicapainya. Di
atas memang sudah sampai ujungnya, tanpa pikir ia melompat ke atas,
puncak tebing ini sungguh sangat aneh, lapang, datar, serupa ditabas oleh
senjata tajam. Selagi Ciok Tim merasa heran, tiba-tiba dari belakang sudah berjangkit bisikan
Giok-he yang perlahan, mana Ciok Tim berani menoleh, meski timbul juga
hasratnya, namun dia tetap memandang lurus ke depan.
Angin meniup menerbangkan rambut di pelipis Giok-he ke tepi telinga dan
bawah dagu Ciok Tim, terdengar keluhan Giok-he perlahan, "Kutahu sejak
kuikut Toakomu, senantiasa engkau lantas menghindari diriku. Hari itu waktu
kita bertemu di tempat latihan, bahkan engkau tidak berani bicara padaku,
mengapa engkau tidak berani bicara padaku, mengapa engkau tidak serupa
dulu ...."
Pada saat itulah terdengar gema suara Liong Hui dari bawah, "Adakah melihat
sesuatu di atas"!"
Ciok Tim terkesiap dan berpaling, seketika bibirnya menyentuh ujung mulut
Giok-he yang manis dan hangat.
Keduanya tidak bersuara, juga tidak bergerak lagi, keduanya tidak ada yang
menjawab suara Liong Hui itu.
Giok-he mengembus napas panjang dan berbisik pula, "Apakah masih ingat
waktu di bawah pohon mangga di belakang perkampungan dahulu ...."
Ciok Tim mengangguk, "Ya, waktu itu ku ... kupeluk dirimu dan minta engkau
bermain pengantin baru denganku ...."
"Kau minta aku menjadi mempelai perempuan dan masuk kamar pengantin
bersamamu, tapi aku tidak mau ...."
"Ya kau bilang usiamu lebih tua daripadaku, hanya dapat menjadi Ciciku dan
tidak dapat menjadi pengantinku ...."
"Dan lantas kau peluk diriku, kau paksa dan .... dan aku ...."
Sekonyong-konyong terdengar lagi bentakan dari bawah, "Hei, kalian
mendengar suaraku tidak?"
Hati Ciok Tim terkesiap pula, mendadak dirasakan bibir yang hangat
menyentuh bibirnya .... Lalu terdengar Giok-he berkata pula perlahan, "Waktu
itu serupa sekarang ini, engkau telah mencium aku ...."
"Namun kemudian engkau menikah dengan Toako dan menjadi Toaso ...." ia
tidak bergerak, sebab pergolakan darah panas anak muda membuatnya
hampir tidak tahan.
"Meski kunikah dengan Toakomu, tapi .... masakah engkau tidak tahu hatiku?"
"Hati ... hatimu ...."
"Dalam hal apa aku tidak membelamu" Terkadang aku pun ikut bicara bagimu
bila ucapan Simoay terlalu keras padamu, masakah engkau tidak tahu sebab
apa aku berbuat demikian?"
"Jika ... jika begitu, mengapa engkau mau menikah dengan Toako?" tanya
Ciok Tim. Giok-he mengerling sendu, ucapnya lirih, "Usiaku lebih tua, juga Sucimu,
sekalipun aku mau menikah denganmu juga takkan diluluskan oleh Suhu."
"Semula kukira engkau ingin menjadi istri murid pewaris Sin-liong-bun, karena
ingin berkuasa mewarisi Ci-hau-san-ceng kelak, maka engkau menikah dengan
Toako, sebab ... sebab kutahu benar watakmu sama sekali berbeda daripada
pribadi Toako yang keras itu."
Air muka Giok-he tampak berubah, seperti isi hatinya tepat kena diungkap
orang, serupa juga orang yang merasa penasaran, ia menghela napas panjang
dan bertanya, "Apa benar semula engkau berpikir demikian."
"Ya, tapi sekarang kutahu pikiranku itu keliru," jawab Ciok Tim sambil
mengangguk. Giok-he tersenyum, mendadak ia berbisik lagi, "Meski kita tidak dapat menjadi
suami-istri, tapi ... tapi selanjutnya kalau setiap saat kita masih dapat ber ...
bertemu, kan sama saja."
Terguncang juga perasaan Ciok Tim, ia pandang orang dengan termangu,
sampai sekian lama napas pun seakan-akan terhenti.
Mendadak terdengar lagi kumandang suara di bawah, "Simoay, mungkin ada
bahaya di atas, biarlah aku naik dulu!"
Ciok Tim terkejut, cepat ia melompat mundur dan berdiri di samping sepotong
batu karang di tepi puncak tebing itu.
Hampir pada saat yang sama bayangan Ong So-so yang ramping pun
melayang ke atas, menyusul tubuh Liong Hui yang kekar juga melompat tiba.
Di bawah cahaya bintang sorot mata keempat orang saling pandang sekejap,
masing-masing sama mengunjuk rasa tercengang. Dengan sendirinya pada
sorot mata Ciok Tim juga tertampil rasa kikuk dan takut.
Liong Hui dan So-so sama bersuara heran, "Kiranya kalian baik-baik saja di
atas"!" ucap Liong Hui.
Ketika dilihatnya Ciok Tim berdiri di sana dengan sikap kikuk, betapa pun
lugasnya Liong Hui timbul juga rasa curiganya, "Ada apa kalian?"
Giok-he lantas menarik muka, "Aneh pertanyaaanmu ini, memangnya kau kira
ada apa?" "Seruanku dari ... dari bawah tadi masa tidak kalian dengar?" tanya Liong Hui
dengan agak tergegap.
"Tentu saja dengar," jawab Giok-he.
"Jika dengar mengapa tidak menjawab, bikin cemas orang saja," keluh Liong
Hui dengan menyesal.
"Huh, kau linglung, masakah orang lain harus ikut linglung?" jengek Giok-he.
"Aku linglung apa?" tanya Liong Hui dengan melongo.
"Masa kau lupa betapa bahaya keadaan kita, musuh di tempat gelap dan kita
di tempat yang terang, tapi engkau sengaja gembar-gembor, memangnya kau
khawatir musuh tidak tahu tempat kita berada dan sengaja memberitahukan
padanya" Huh masih berani kau tegur, kami segala?"
Liong Hui tercengang, akhirnya menunduk.
"Ai, memang pikiran Toaso jauh lebih cermat daripada kita," ucap So-so
dengan gegetun.
Rasa gugup Ciok Tim tadi sudah mulai tenang kembali, namun air mukanya
lantas bertambah kecut. Terhadap Giok-he selain kagum juga timbul rasa
takutnya. Sungguh tak terpikir olehnya seorang sudah berbuat dosa malah
berani mengomeli orang lain.
Terhadap Liong Hui timbul juga rasa kasihan dan juga malunya, dilihatnya
Liong Hui menunduk sejenak, mendadak mendekatinya dan tepuk-tepuk
bahunya sambil berucap, "Maafkan kesalahanku."
Berdetak hati Ciok Tim, sahutnya dengan gelagapan, "Meng ... mengapa Toako
minta maaf padaku" ...."
"Tadi aku salah mengomelimu," ujar Liong Hui dengan menyesal. "Meski tidak
kukatakan terus terang, sebenarnya dalam hatiku agak curiga. Ai, aku pantas
mampus, masakah mencurigaimu."
Ciok Tim terkesima, darah panas bergolak hebat dalam rongga dadanya,
menghadapi lelaki yang tulus, jujur dan berjiwa terbuka ini, sungguh ia
merayakan dirinya sendiri sedemikian kecilnya, sedemikian kotor, dengan
gelagapan ia menjawab, "O, Toako ... aku ... aku yang ...."
Belum lanjut ucapannya, mendadak Giok-he melompat maju dan berseru, "Di
antara saudara sendiri, jika terjadi salah paham, asal sudah jelas
persoalannya, apa pula yang perlu dikatakan lagi."
"Betul aku takkan banyak omong lagi," kata Liong Hui sambil memegang
pundak Ciok Tim, tapi mendadak ia berteriak pula sambil memandang ke
belakang Ciok Tim dengan tercengang, "Hei, apa ini?"
Dengan kaget Ciok Tim berpaling, maka terlihatlah pada batu karang di
belakangnya itu terukir gambar seorang perempuan berdandan sebagai
pendeta To, rambutnya disanggul tinggi di atas kepala dan pakai tusuk kundai
hitam, berdiri tegak dengan tangan kiri lurus ke bawah dan jari tengah dan
telunjuk agak menjengkat ke atas. Sedangkan tangan kanan memegang
pedang dengan ujung pedang agak serong ke bawah, mukanya jelas serupa
hidup, pakaiannya dilukiskan berkibar serupa sedang menari. Dipandang di
tengah remang malam seperti perempuan hidup berdiri di depanmu.
Di samping gambar terdapat pula beberapa baris tulisan, waktu diamati,
tulisan itu berbunyi: "Liong Po-si, Kungfumu bertambah maju lagi. Akan tetapi
dapatkah kau patahkan juru seranganku ini" Kalau dapat, maju lebih lanjut,
jika tidak mampu, segera kembali?"
Liong Hui mengawasi gambar itu sekian lama, mendadak ia mendengus, "Huh,
aku saja mampu mematahkan jurus serangan ini, apalagi Suhu?"
"Nada tulisan ini sedemikian angkuh, tapi jurus yang diperlihatkan ini
tampaknya tiada sesuatu yang luar biasa, jangan-jangan ada keajaiban di balik
tulisan ini," ujar Ciok Tim.
Tiba-tiba So-so menukas, "Jurus serangan yang kelihatan biasa ini pasti
mengandung keajaiban yang tidak dipahami kita."
"Ya, setiap jurus serangan yang kelihatan biasa saja sesungguhnya semakin
lihai dan sukar diduga," kata Giok-he, ia merandek sejenak lalu menyambung
dengan tersenyum, "Sudah sekian lama kalian memandangnya, adakah kalian
melihat sesuatu keistimewaan pada gambar ini?"
Liong Hui memandang lagi beberapa kejap, katanya, "Pedang terhunus dan
siap menyerang, seharusnya kaki pasang kuda-kuda yang tepat, tapi kedua
kaki Tokoh (pendeta perempuan agama To) ini berdiri dengan ujung kaki
menatap di depan, sungguh janggal kuda-kudanya ini."
"Betul, inilah salah satu keistimewaannya," kata Giok-he.
Dada Liong Hui membusung terlebih tinggi, wajah pun berseri-seri,


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambungnya lagi, "Dia berdandan sebagai Tokoh, tapi sepatu yang dipakainya
serupa sepatu orang lelaki, ini pun sangat janggal."
"Dandanan tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu pedang, ini tidak masuk
hitungan," ujar Giok-he dengan tertawa.
"Mengapa tidak masuk hitungan, dandanan yang tidak benar menandakan
jiwanya tidak baik, ilmu pedangnya juga pasti tidak murni, ilmu pedang yang
tidak bersih mana dapat memperlihatkan keampuhan dan mengalahkan
musuh," kata Liong Hui dengan serius.
"Baik, baik, boleh juga dihitung ...."
"Dengan sendirinya harus dihitung," kata Liong Hui dengan mantap. So-so
juga mengangguk, "Ya, ilmu pedang yang tidak bersih, biarpun dapat
menjagoi dunia seketika juga tidak tercatat dalam sejarah. Ucapan Toako
memang beralasan."
"Memang betul," sambung Ciok Tim. "sejak dulu hingga kini sudah banyak
juga contohnya. Lihat saja ilmu pedang perguruan Siau-lim dan Bu-tong yang
turun-temurun entah sudah berapa angkatan dan sampai sekarang masih
tetap dipuji. Sebaliknya berbagai macam ilmu pedang yang pernah menjagoi
dunia persilatan karena kekejian dan keganasannya, sampai sekarang hanya
namanya saja masih dikenal, namun bekasnya sudah menghilang, ucapan
Simoay sungguh ...."
"Sudah cukup bicaramu?" mendadak Giok-he memotong dengan kurang
senang. Ciok Tim melengak.
Maka Giok-he menyambung lagi, "Sungguh aku tidak mengerti dalam keadaan
demikian dan di tempat begini kalian bisa mengobrol iseng, kalau mau
mengobrol selanjutnya kan masih banyak waktu, kenapa kalian mesti terburuburu."
Muka So-so menjadi merah juga dan tanpa terasa menunduk.
Dengan tersenyum lalu Giok-he berkata lagi, "Kecuali kedua segi yang
disebutkan Toako tadi ...."
"Tiga segi," sela Liong Hui.
"Baik, kecuali ketiga segi ini, apa lagi yang kalian lihat?" tukas Giok-he dengan
tertawa. Ciok Tim mengangkat kepala, meski memandang ke arah gambar, padahal
pandangannya kabur tidak melihat sesuatu.
Perlahan So-so bicara, "Kulihat titik yang paling aneh terletak pada matanya,
mata perempuan ini terukir terpejam, padahal mana bisa jadi memejamkan
mata pada waktu bertempur dengan orang?"
Dia bicara tanpa mengangkat kepala, mungkin karena hal ini sudah dilihatinya
sejak tadi, hanya sejauh ini belum dikemukakannya.
"Betapa pun memang Simoay lebih cermat," ujar Liong Hui dengan gegetun.
"Betul juga." kata Giok-he. "Semula aku pun menganggap hal ini sangat aneh,
tapi setelah kupikirkan lagi, kurasa sebabnya dia memejamkan mata sangat
beralasan, bahkan merupakan titik paling lihai daripada jurus serangannya
ini." "Mengapa begitu?" tanya Liong Hui dan Ciok Tim berbareng.
"Jurus serangannya ini mengutamakan ketenangan, sebaliknya setiap orang
persilatan tahu Thian-liong-cap-jit-sik (tujuh belas gerakan naga langit)
perguruan kita mengutamakan kedahsyatan serangan, terutama empat jurus
terakhir, banyak gerak perubahannya sehingga lawan sukar menahannya. Tapi
gambar orang perempuan ini hanya meluruskan pedangnya ...."
"Karena pedangnya cuma bergerak lurus sehingga lawan pun sukar
mengetahui bagaimana gerak lanjutannya," tukas So-so. "Sama halnya orang
menulis, jika pensilnya cuma menggores satu garis, siapa pun tidak tahu apa
yang akan ditulisnya, tapi bila dia menggores melingkar atau sesuatu awalan
huruf, orang lantas tahu huruf apa yang akan ditulisnya."
"Haha, meski sejak mula kutahu dalil ini, tapi sukar untuk kujelaskan, setelah
diuraikan Simoay, semuanya menjadi jelas, perumpamaan Simoay dengan
menulis memang sangat tepat," kata Liong Hui dengan tertawa.
"Ya, Simoay memang lebih pintar daripada kalian," ujar Giok-he.
"Ah, Toaso ...." So-so menunduk malu.
"Tapi ingin kutanya padamu, adakah kau lihat bagaimana gerak lanjutan dari
pada pedangnya ini?" tanya Giok-he.
So-so berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Meski tidak banyak
pengetahuanku, tapi menurut hematku, gerak pedangnya ini dapat
menimbulkan tujuh gerak perubahan."
"Ketujuh gerak perubahan apa?" tanya Giok-he. Ciok Tim dari Liong Hui juga
sama pasang telinga.
"Jurus serangannya ini tak jelas berasal dari ilmu pedang aliran mana," kata
So-so, "Tapi jelas dapat berubah menjadi jurus Gan-loh-peng-sah (burung
belibis hinggap di rawa) dari ilmu pedang Bu-tong-pay."
"Betul, asal ujung pedangnya berputar ke kiri akan jadilah jurus Gan-loh-pangsah,"
tukas Giok-he. Kening Liong Hui bekerenyit rapat, dan mengangguk.
Lalu So-so menyambung lagi, "Dan bila ujung pedangnya menyontek ke atas,
akan jadi jurus Liu-ji-ging-hong (ranting pohon menyongsong angin) dari
Tiam-jong-pay. Kalau pergelangan tangannya berputar ke bawah, jadilah jurus
Kong-jiok-kay-peng (burung merak membentang sayap) dari Go-bi-pay."
Bertutur sampai di sini, nadanya mulai emosional.
Giok-he tersenyum dan berkata, "Bicaralah perlahan, tidak perlu tergesa."
So-so menarik napas, lalu menyambung, "Kecuali itu, dapat juga berubah
menjadi ... menjadi jurus ...."
Di bawah cahaya bintang yang suram kelihatan wajah Ong So-so berkerutkerut,
meringis kesakitan.
"He, Simoay, ken ... kenapa?" tanya Ciok Tim kaget.
Dada So-so tampak berjumbul naik-turun, setelah menarik napas, air mukanya
mulai tenang kembali, katanya, "O, tidak ... tidak apa-apa, cuma ... cuma
dada agak sakit, sekarang sudah baik."
"Dan apa keempat gerak perubahan yang lain?" tanya Giok-he dengan
tersenyum. "Jurus perubahan lain adalah Koay-hun-loan-moa (memotong tali kusut
dengan cepat) dari Thian-san-pay, Giok-tiang-hun-po (pentung kemala
menembus ombak) dari Kun-lun-pay, Lip-coan-im-yang (memutar balik gelap
menjadi terang) dari Siau-lim-pay dan jurus Tho-li-ceng-jun (dua saudara
berebut rezeki) dari Sam-hoa-kiam-hoat tinggalan pendekar pedang Sam-hoakiamkhek dahulu."
Air mukanya sudah tenang kembali, namun sorot matanya masih menampilkan
rasa sakit, seperti enggan bertutur pula, tapi terpaksa melanjutkan.
Liong Hui menghela napas, katanya, "Simoay, sungguh tidak nyana
pengetahuan ilmu silatmu seluas ini, mungkin sebelum masuk perguruan kita
engkau sudah banyak belajar Kungfu perguruan lain?"
"Ah, mana ... tidak ...." sahut So-so dengan gelagapan.
"Mara tidak, aku tidak percaya," ujar Liong Hui. Ia memandang sang istri dan
berkata pula, "Aku justru tidak melihat ada gerak perubahan-begitu, apakah
kau lihat?"
"Aku juga tidak," sahut Giok-he sambil menggeleng, "aku cuma tahu
kemungkinan akan berubah menjadi jurus Gan-loh-peng-sah dari Bu-tong-pay
dan Lip-coan-im-yang dari Siau-lim-pay, selebihnya aku tidak dapat
melihatnya. Maklumlah, aku sendiri tidak pernah lihat Sam-hoa-kiam-hoat dan
juga ilmu pedang dari Thian-san-pay dan Tiam-jong-pay, dengan sendirinya
tidak tahu kemungkinan akan berubah pada jurus serangan ilmu pedang
tersebut."
Liong Hui menarik muka, dengan sorot mata tajam ia tanya So-so, "Dari mana
kau belajar ilmu pedang sebanyak itu?"
"Ya, aku pun rada heran," sambung Giok-he.
Ciok Tim juga memandang So-so dengan penuh tanda tanya. Wajah So-so
kelihatan rada pucat dengan sinar mata gemerdep seperti menyembunyikan
sesuatu rahasia.
Maka Giok-he berkata pula, "Pada waktu Simoay mengangkat guru aku sudah
merasa heran. Coba Toako, apakah ingat siapa yang memasukkan Simoay ke
perguruan kita?"
"Ya, kutahu, yang memasukkan dia ialah Suma Tiong-thian, pemimpin umum
Ang-ki-piaukiok (perusahaan mengawal panji merah) yang terkenal dengan
tombak besi dan panji merah menggetar Tiongeiu (negeri tengah) itu," jawab
Liong Hui. "Betul," kata Giok-he. "Namun Suma-congpiauthau juga tidak menjelaskan
asal-usulnya, Suhu hanya diberi tahu bahwa Simoay adalah putri seorang
sahabatnya. Suhu adalah orang jujur dan percaya penuh kepada sahabat
sendiri, maka tidak pernah bertanya tentang asal-usul Simoay"
Meski senyuman tetap menghias wajahnya, namun senyuman yang tidak
bermaksud baik, sorot matanya juga terkadang melirik Ciok Tim dan lain saat
melirik So-so. Air muka So-so kelihatan pucat, jari tangan pun rada gemetar.
Dengan tersenyum Giok-he bicara pula, "Sekian tahun kita berkumpul,
hubungan kita laksana saudara sekandung, akan tetapi terhadap keadaan
Simoay sekarang mau tak mau aku ...."
"Meski aku tidak dapat menikah denganmu, asalkan selanjutnya kita dapat
bertemu setiap saat kan sama saja," mendadak So-so menukasnya seperti
bergumam. Serentak berubah air muka Giok-he dan Ciok Tim, tanpa terasa Ciok Tim
menyurut mundur selangkah.
"Apa katamu, Simoay?" tanya Liong Hui dengan bingung,
"Oo, tidak ... aku omong tanpa sengaja ...." jawab So-so dengan tergegap.
"Dia tidak omong apa-apa," sambung Giok-he dengan tertawa sambil
melangkah maju. Segera So-so menyurut mundur.
Tentu saja Liong Hui sangat heran, "Sebenarnya ada apa?"
Mendadak Giok-he berkata dengan tertawa, "Ai, kita memang terlalu,
pekerjaan penting tidak kita urus, sebaliknya mengobrol iseng di sini. Tentang
asal-usul Simoay, kalau Suhu tidak tanya dan tidak khawatir, kenapa kita
mesti merisaukannya. Kan banyak murid Sin-liong-bun yang belajar dengan
membekal kepandaian, Kungfu apa yang pernah dilatih Simoay sebelum
masuk perguruan kan tidak menjadi soal?"
"Aku kan tidak bilang ada soal, cuma ...." Liong Hui tambah bingung.
"Ai, untuk apa kau bicara lagi," omel Giok-he. "Jika asal-usul Simoay kurang
beres, berdasarkan kehormatan pribadi Suma-congpiauthau pun jauh lebih
dari cukup untuk dipercayai."
"Namun ...."
"Namun apalagi" Ayolah kita mencari Suhu!" seru Giok-he sambil menarik
tangan So-so dan diajak menuju ke balik batu karang sana.
Diam-diam Ciok Tim kebat-kebit, tidak kepalang kusut pikirannya. Sekarang
diketahuinya bahwa apa yang dibicarakannya dengan Kwe Giok-he tadi telah
didengar oleh So-so. Keruan pikirannya tertekan dan memandangi bayangan
punggung si nona yang baru menghilang di balik batu karang sana.
Hanya Liong Hui saja yang berwatak jujur dan serbaterbuka, sama sekali ia
tidak melihat perbuatan jahat di dalam urusan ini. Ia cuma melenggong saja
dan coba bertanya, "Samte, sesungguhnya ada apa?"
"Aku pun tidak tahu," Ciok Tim menunduk, sungguh ia merasa malu bertatap
muka dengan sang Suheng yang jujur dan suka terus terang ini.
Setelah tercengang sejenak, mendadak Liong Hui bergelak tertawa, "Haha,
urusan anak perempuan sungguh sangat membingungkan. Sudahlah, aku pun
tidak mau pusing mengurusnya."
Lalu berpaling kepada Ciok Tim dan berkata pula, "Samte, ingin kukatakan
padamu, betapa pun memang lebih tenteram dan bebas hidup bujangan.
Sekali engkau tersangkut urusan orang perempuan, bisa pusing kepalamu."
Kagum, hormat dan juga malu Ciok Tim terhadap Suheng yang polos ini, ia
tahu biarpun ada rasa curiga dalam benak lelaki yang lugu ini sekarang pun
sudah lenyap terbawa oleh gelak tertawanya itu.
Meski hati merasa lega, namun diam-diam Ciok Tim tampak malu diri.
Saat itu Giok-he dan So-so telah membelok ke balik batu besar sana,
mendadak Giok-he berhenti.
"Ai, ada apa, Toaso?" tanya So-so.
"Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu permainanmu," jengek Giok-he.
"Apa yang Toaso maksudkan, sungguh aku tidak tahu?" jawab So-so dengan
agak keder juga terhadap sang Toaso yang berwibawa ini.
Bola mata Giok-he berputar, ucapnya, "Sesudah turun nanti, bila mereka
sudah tidur aku akan bicara denganmu."
"Boleh," sahut So-so.
Tiba-tiba terlihat Liong Hui dan Ciok Tim menyusul tiba.
Sesudah dekat, Liong Hui bersuara heran, "He, apa yang kalian lakukan di
sini?" "Memangnya kau kira kami datang ke sini untuk mencari angin?" ujar Giok-he
dengan tersenyum.
Belum habis ucapannya tiba-tiba Liong Hui berseru pula, "Hah, kiranya di sini
juga ada tulisan."
Kiranya di situ tertulis: "Liong Po-si, jika cuma tujuh gerak perubahan ini yang
dapat kau lihat, lebih baik lekas kau pulang saja."
Setelah membaca tulisan itu, Liong Hui jadi melenggong. Kiranya perubahan
jurus ini tidak cuma tujuh macam saja.
Dalam pada itu Ciok Tim juga sudah mendekat, katanya sambil menatap
tulisan di dinding itu, "Gan-loh-peng-sah, Lip-coan-im-yang .... Hah, ketujuh
serak perubahan yang disebut Simoay tadi ternyata cocok dengan tulisan di
sini." "Sungguh sukar dipercaya hanya sejurus yang sederhana ini bisa membawa
gerak perubahan lebih dari tujuh macam," gerutu Liong Hui.
Tiba-tiba terlihat di samping tulisan ini masih ada beberapa huruf lagi, cuma
ukiran ini lebih cetek, juga kurang teratur, bila tidak diperhatikan sukar
menemukannya. "He, bukankah ini tulisan tangan Suhu?" seru Giok-he.
"Betul," tukas So-so.
Serentak keempat orang berkerumun lebih dekat, tertampak di situ tertulis,
"Dengan pedang sebagai senjata utama, dibantu dengan kaki, ilmu pedang
sakti, tendangan negeri asing, untuk mematahkan jurus serangan ini, cara
yang tepat adalah lain daripada cara biasa."
Kecuali tulisan tersebut, ada lagi tulisan lain yang lebih kasar lagi dan
berbunyi, "Kebagusan jurus seranganmu ini terletak pada lengan kirimu yang
merapat pada tubuhmu serta sepatu aneh yang kau pakai ini, memangnya kau
kira aku tidak tahu. Hahaha ...."
"Haha, coba lihat, kehebatan jurus serangan ini justru terletak pada sepatunya
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 8 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Pedang Darah Bunga Iblis 10

Cari Blog Ini