Ceritasilat Novel Online

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 1

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 1


Seri 4 Pentalogi Wang Du Lu
Go Houw Chong Liong
Harimau Mendekam Naga Sembunyi atau
Crouching Tiger Hidden Dragon
Lanjutan Kie Kiam Tjoe Kong
Karya : Wang Du Lu
DJVU : TAH di dimhad
Editor : Raharga
Final edit & Ebook oleh : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Tiga tahun telah lewat sejak Lie Bouw Pek hadiahkan
pedang mustika pada Tiat siauw-pweelek dan nona Yo Lee
Hong ditunangkan dengan Bun Hiong, putera sulung dari
Tek Siauw Hong, dan ia sendiri bersama Jie Siu Lian telah pergi ke Kiuhoa San akan tinggal di gunung itu untuk
meyakinkan ilmu silat terlebih jauh terutama ilmu menotok jalannya darah atau Tianhiat hoat. Dengan lewatnya sang
waktu itu, sekarang nona Yo telah menjadi isterinya Bun
Hiong, ia telah lepas ikatan kakinya dan dandan sebagai
orang Boan, atau seterusnya menjadi Tek Siauwnaynay. Ia
telah jadi satu nona mantu yang elok, manis dan gembira.
Oleh karena ia telah kehilangan ayah dan ibu, engkong dan engko, juga telah mesti berpisah dari encie-nya, ada
waktunya ia meneteskan air mata, sebaliknya di waktu
bergembira, ada kalanya ia berjingkrakan, hingga ia tak
mirip dengan prilakunya satu nona mantu. Buat ini, Tek
Toanaynay antap nona mantu itu bawa kemerdekaannya.
Sebagai nyonya yang baik budi ia malah senang lihat si
nona mantu bersenda gurau. Memang ia pandang Lee
Hong sebagai puteri sendiri.
Itu waktu, Sinchio Yo Kian Tong, piauwsu tersohor dari
Yankeng, sudah pindah ke Pakkhia di mana ia tetap
mengepalai piauwtiam yang memakai merek "Coan Hin".
Ia telah ajak beberapa muridnya sebagai pembantupembantunya. Maksud khusus pembukaan piauwtiam itu
ialah untuk tinggal berdekatan dengan Tek Siauw Hong,
keselamatan siapa ia hendak lindungkan, Siauw Hong
benar sekarang tinggal nganggur dan tenteram, tetapi ia toh tetap kuatirkan ancaman bahaya dari pihaknya Thio Giok
Kin atau Biauw Cin San sekalian, maka di sebelah adanya
Yo Kian Tong, ia tidak pernah alpakan "tangan pasir besi"
Tiatsee ciang-nya. Anaknya pun ia perintah tetap yakinkan ilmu golok, yang Siu Lian ajarkan pada mereka, sedang Yo Kian Tong setiap 3 hari tentu datang menilik dan mendidik
pelajaran tombak mereka. Tempat pelajarannya adalah di
rumah bekas Jie Siu Lian. Di situ Yo Kian Tong jarang
tandingannya. Seperti sudah diketahui, Ginchio Ciangkun
Khu Kong Ciauw, itu orang bangsawan (graaf), ada
muridnya. Ia ada utamakan Leehoa chio, yang dengan lain
nama disebut "Yokee chio", atau pelajaran tombak kaum keluarga Yo.
Di jaman Song ada satu panglima ternama Lie Coan
yang dapat julukan "Lie Tiatchio". Ia ini punya isteri, Yo-sie, justru pandai Leehoa chio, pelajaran tombak yang halus dan cocok untuk wanita. Demikian, terus menerus
pelajaran itu turun pada keluarga Yo. Maka kebetulan
sekali, Yo Kian Ciang dan Tek Siauwnaynay ada orang she
Yo begitupun gurunya orang she Yo juga. Malah guru ini ia angkat jadi ayah pungut.
Belajar belum berapa lama nona Yo sudah maju pesat,
sampai melombai Bun Hiong, suaminya, yang cita-citanya
ada di kalangan ilmu surat, sedang tubuhnya pun
memangnya lemah. Kalau Bun Hiong terus yakin ilmu silat, itulah sebab ia mengerti pentingnya itu untuk membela diri.
Di bulan ke-10, hawa udara di Pakkhia sudah mulai
dingin, tetapi Yo Kian Tong yang sudah biasa dengan hawa demikian masih suka pakai pakaian tipis. Demikian itu hari, waktu ia berkumpul dengan murid-muridnya.
"Cagaknya ini tombak ada untuk menjaga diri, guna
singkirkan serangan senjata pihak lawan," demikian ini guru silat menerangkan pada Bun Hiong dan isteri. "Coba kau lihat!"
Lantas guru ini mempertunjukkan silat tombaknya,
hingga ia bikin kagum murid-muridnya itu, tetapi justru itu ada seorang lain yang tepuk-tepuk tangan seraya memuji
tinggi: "Bagus, bagus! Sungguh Sinchio Yo Kian Tong ada melebihi Ong Gan Ciang di jaman dahulu!"
Kian Tong lantas berhentikan permainannya dan
tertawa. "Kembali kau datang?" ia menegur.
Bun Hiong dan isterinya segera samperi orang itu.
"Lauw Jiecek, apa kau sudah dahar?" mereka tanya.
"Baru saja!" sahut orang itu sambil bersenyum.
"Siauwya, siauwnaynay, hayo berlatih terus, jangan kau menunda karena kedatanganku!"
Orang ini bertubuh kecil dan kate tetapi dadanya lebar,
gerakannya gesit. Ia pun ada pakai pakaian tipis, dengan dilapis baju luar yang tak dikancing, hingga pinggangnya kelihatan nyata dililit dengan angkin hijau muda, dan
kuncirnya dikepang kendor. Iapunya muka ada bersih dan
pada muka itu selalu tertampak senyuman gembira.
Usianya baru tigapuluh lebih.
Baru satu atau dua tahun berselang orang ini telah
mendapat nama di kota raja. Ia ada Lauw Tay Po gelar Itto Lianhoa atau Setangkai Bunga Teratai. Ia ada orang Yankeng dan adik misan dari Yo Kian Tong. Ia pernah ikut
engko misannya belajar tombak, pernah jadi piauwsu buat
tiga hari setengah ... Ia gemar minum dan berjudi, suka
bergaul dengan golongan rendah, maka ia pernah curi
uangnya Yo Kian Tong, hingga kesudahannya ia kena
diusir. Belasan tahun ia telah menghilang, dan kemudian ia muncul di kota raja kira-kira dua tahun yang baru
berselang. Ia nampaknya tahu "aturan", maka paling dahulu ia kunjungi Tek Siauw Hong dan kemudian Khu Kong
Ciauw. Ia kata di waktu bicara, ia kasih tahu bahwa ia
"sengaja datang ke Pakkhia untuk kunjungi Lie Bouw Pek
buat piebu", Karena Bouw Pek tidak ada, tidak ada orang yang ladeni ia, hingga belakangan ia tuntut penghidupan
luntang-lantung dan suka berkelahi, sampai Yo Kian Tong
lihat padanya, ia terus dipanggil ke piauwtiam buat dikasih kerjaan, karena ternyata ilmu silatnya ada baik. Cuma ia tidak ketarik dengan kerjaan piauwsu, masih saja ia suka pesiar.
Pada suatu hari dengan sengaja Lauw Tay Po tempur
belasan buaya darat, yang ia kasih hajaran. Ketika itu ia kena bentur jolinya Tiat siauw-pweelek, sebab permainan
silatnya bagus, pangeran Boan itu panggil ia dan diajak ke istana di mana ditanyakan keterangannya, ketika ia
terangkan bahwa ia ada saudara misan dari Yo Kian Tong,
ia terus diambil dan diangkat jadi guru silat atau kauwsu. Ia pun menerangkan bahwa ia hendak tempur Lie Bouw Pek.
Mendengar itu, Tiat siauw-pweelek melainkan bersenyum.
Berhubung sudah memangku pangkat, Tiat siauwpweelek tidak lagi gemar meyakinkan ilmu silat sebagai
dulu-dulu, dari itu Lauw Tay Po dengan sendirinya jadi
sangat nganggur, hingga dapat dikatakan ia makan gaji
buta. Dengan dandanannya yang rapi dan mewah ia biasa
keluar masuk rumah-rumah makan atau warung-warung
arak. Ia tetap masih suka usilan atau belai pihak yang
lemah. Maka itu, belum dua tahun rata-rata penduduk
Pakkhia tahu itu nama "Itto Lianhoa". Karena mengerti silat, lantaran ada guru dari istana pweelek, orang jadi malui ia.
Saban ketemu tanggal-tanggal ganjil 3,6 dan 9, Lauw
Tay Po tentu suka datang pada engko (kakak) misannya,
akan saksikan saudara itu mengajar silat, demikian juga itu hari. Ia datang dengan diam-diam, maka ia bisa saksikan
selagi engko-nya bersilat tombak secara istimewa.
"Lihat boleh lihat, tetapi mesti dari pinggiran dan tak
boleh banyak mulut!" YoKian Tong pegat adik misan itu.
Lauw Tay Po bersenyum.
Bun Hiong dan isterinya tak mampu tutup mulut
mereka, mereka mesti tertawa atau bersenyum, karena ini
susiok ada lucu sekali, setiap ia datang, ia tentu bikin orang j adi gembira.
Yo Kian Tong lanjutkan pelajaran tombaknya supaya
murid-muridnya saksikan dan perhatikan.
Lauw Tay Po sudah dilarang banyak mulut, tetapi terus
saja nyerocos: "Bagus, bagus! Benar-benar liehay!"
Kian Tong tidak gubris si jail itu.
"Coba kau jalankan," ia kata pada murid-muridnya.
Bun Hiong dan isterinya masih saja tertawa, sampai
mereka seperti tak kuat angkat tombaknya.
"Pergi kau, batok kepala monyet!" Yo Kian Tong gebrik adiknya, kepala siapa ia hendak ketok dengan ujung
tombak. "Lihat, mereka sampai tidak mampu berlatih! ... "
Tetapi Yo Kian Tong mengancam dengan ujung tombak,
hingga ia mesti mundur dan mundur, hanya sesampai di
pintu, sebelum ia melangkah mendadakan dari luar ada
beberapa orang perempuan hendak masuk, maka Yo Kian
Tong lekas-lekas tarik pulang tombaknya sedang Lauw Tay
Po lekas menyingkir ke kaki tembok samping.
Bun Hiong dan isterinya, yang tertawa terpingkalpingkal, mendadakan berhenti tertawa dan lantas berdiri
dengan tegar. Nyata orang yang masuk itu yang pertama ada Tek
Toanaynay diikut oleh satu nona yang ada diiring oleh dua budak perempuan berpakaian bersih dan rapi.
Yo Kian Tong sudah lantas unjuk hormat pada itu
nyonya, yang telah balas hormatnya, tapi setelah itu, sambil tunjuk si nona, nyonya Siauw Hong kata pada itu piauwsu:
"Ini ada Sam kohnio dari Giok tayjin, ia ingin lihat anak-anak belajar silat ... "
Ketika Lauw Tay Po dengar si nona ada puterinya Giok
tayjin, dalam hatinya ia berkata: "Hm, ini hari aku ketemu orang besar ... Giok tayjin adalah Kiubun Teetok Cengtong yang baru, seorang yang berpangkat tinggi ... " Kemudian, ketika ia pandang si nona, ia pikir pula, seharusnya aku menyingkir diri sini ... " Ia dapat kenyataan nona itu ada laksana bidadari saja.
Umurnya baru enam atau tujuhbelas tahun, nona Giok
mempunyai tubuh yang tinggi dan kecil langsing, dan
memakai mantel yang indah, entah terbikin dari bahan apa.
Pakaian dalamnya ada kiepauw sulam warna merah.
Sepatunya ada ditabur hingga bergemerlapan. Rambutnya
rupanya ada dikepang tetapi itu waktu tak tertampak nyata, cuma kelihatan rambut sampingnya ada perhiasan
burungan hong yang lagi patuk mutiara. Mukanya ada
potongan biji kwaci, hidungnya tinggi dan bangir, kedua
matanya, besar dan jeli, sepasang alisnya lentik.
Menurut Lauw Tay Po, nona Giok itu ada lebih cantik
dari bunga bouwtan, atau kalau hendak dipadu dengan
burung hong, burung hongnya ia belum pernah lihat. Maka
ia hanya memikir bidadari. Tapi meski demikian, ia tidak berani mengawasi langsung pada nona itu.
Yo Kian Tong manggut pada si nona, kemudian ia lekas
ambil baju luarnya untuk dipakai.
Ketika Bun Hiong dan isterinya unjuk hormat pada nona
Giok, mereka berdua berlutut sampai tak berani angkat
muka. Lantas - setelah itu - terdengar suaranya Tek Toanaynay, kepada anak-mantunya:
"Sam kohnio dengar kau belajar silat di sini, ia jadi ketarik hati dan ingin melihat, dari itu aku ajak ia datang kemari. Coba kaujalankan beberapa jurus." Kemudian
sembari ketawa ia kata pada si nona: "Mari kita masuk ke dalam sana, kita boleh menyaksikan dari antara jendela.
Hawa di sini ada terlalu dingin ..."
Tetapi puterinya Giok tayjin geleng kepala.
'Tidak apa, tidak usah masuk ke dalam," ia kata sambil bersenyum. "Biar aku berdiri di sini saja asal jauhan menyaksikannya."
Ia lantas saja mundur. Dari satu budaknya, ia ambil kim
chiulouw, ialah perapian kecil, untuk membikin hangat
tangannya. Ia melirik juga pada Lauw Tay Po yang
mengkeret kedinginan.
"Apa jadinya dengan aku?" pikir ini jago muda dari Pakkhia. "Bagaimana aku berhak mengawasi nona agung itu" ... "
Tapi itu waktu, dengan Bun Hiong berdiri di pinggir, Yo
Lee Hong sudah siap dengan tombaknya, nampaknya
gagah, Rambutnya ada disisir menjadi kuncir yang panjang.
Ia pakai baju dan celana model Han yang ringkas. Kakinya sudah merdeka tapi toh masih cukup kecil. Kemudian,
setelah mengunjuk hormat, ia mulai bersilat. Ia benar
mempunyai gerakan yang gesit.
Lauw Tay Po pun memperhatikan gerakannya Lee
Hong. "Nona ini benar gesit, sayang tenaganya kurang ... " ia pikir, ketika Yo Lee Hong kemudian selesai mainkan
sejurus, napasnya tidak memburu. "Dasar orang perempuan
..." Nona Giok nampaknya ngeri, ia sampai mundur ke
belakang budak pelayannya.
"Aduh, mataku kabur ... " ia kata. "Apakah kau tidak capai" ia tanya Lee Hong.
Nyonya Bun Hiong telah lepas tombaknya dan
menghampiri sambil bersenyum.
"Tidak," ia menyahut sembari goyang kepala.
"Berapa lama kau sudah belajar?"
"Baru setengah tahun."
"Benar hebat! Buat aku, tombaknya saja aku tak kuat angkat ... "
"Dan aku, meraba tombaknya saja aku takut," turut
bicara nyonya Tek sambil tertawa. "Nyonya mantuku ini, sejak di rumah orang tuanya, memang sudah meyakinkan
ilmu silat. Kau tentu belum pernah lihat nona Jie Siu Lian, yang dahulu tinggal di rumah ini. Nona Jie itu barulah
liehay serta orangnya pun cantik! Li pegang sepasang golok, ia pandai loncat tinggi dan lari di atas rumah, ia pandai menunggang kuda! Banyak penjahat bukan tandingannya!
Walau caranya bicara dan bergerak ada merdeka, akan
tetapi tidak sebagai kebanyakan nona-nona lainnya."
Nona tetamu itu bersenyum.
"Aku pikir kemudian hari ingin juga belajar silat ... " ia kata.
"Ah untuk apa kau belajar silat?" kata nyonya Siauw Hong, "Lain halnya pihak kita, kita terpaksa ... Kau tentu ketahui, kita terpaksa belajar silat untuk menjaga diri! ... "
Tek Toanaynay tutup ucapannya dengan terus ajak si
nona masuk, akan pasang omong sambil minum teh.
Baru setelah itu, dengan berindap-indap, Lauw Tay Po
bertindak ke pintu, untuk angkat kaki, tetapi baru ia keluar, atau ia dengar:
"Tay Po!" Kapan ia menoleh ia lihat Yo Kian Tong
mendatangi dengan roman gusar.
"Aku tidak suruh kau kemari, mengapa kau datang!"
menegur kanda misan itu. "Kau lihat, apa jadinya sekarang"
Buat aku, tidak apa, sebab aku telah berusia hampir
limapuluh dan aku pun menjadi cinkee angkat dari Tek
Toanaynay ... Tapi kau, yang baru berusia kira-kira
tigapuluh! Justru hari ini datang siocia dari Teetok
Cengtong, satu nona yang mulia! ... "
"Maaf, koko, tetapi bukannya aku yang sengaja hendak lihat nona itu," kata adik ini. "Mengapa kita justru bersomplokan" Mengapa di sini tidak ada pintu belakang,
hingga aku tak mampu lari menyingkir?"
"Selanjutnya baiklah kau jangan sering-sering datang kemari!" Yo Kian Tong kata. "jangan kau anggap Tek
Siauw Hong sedang ngang-gur tetapi pergaulannya dengan
orang-orang atas masih berjalan seperti biasa, maka kalau lagi sekali kejadian seperti ini, sungguh jelek, Siauw Hong bisa tidak kata apa-apa, tetapi siapa tahu hatinya?"
Mendengar teguran itu, Tay Po nampaknya tak puas.
"Aku memang tahu pergaulannya Tek ngoya ada luas!"
ia kata dengan sengit. "Tapi harus diketahui juga, Itto Lianhoa Lauw Tay Po bukan orang yang kekurangan
nama!" "Kau" Kau ada punya nama apa?" Yo Kian Tong
mengejek. "Buaya-buaya darat di jalan besar kenal
namamu, tetapi di antara orang-orang besar, siapa yang
kenal padamu?"
Lauw Tay Po tepuk-tepuk dada.
"Aku ada guru silat dari istana pweelek!" ia kata dengan jumawa.
Yo Kian Tong pun jadi tidak puas.
"Aku nasehati kau dengan maksud baik," ia kata, dengan ngambul. "Terserah padamu, kau suka dengar nasehatku atau tidak! jangan kau merasa puas karena guru silat pun tetap orang sebawahan! Di istana pweelek, dengan Tek Lok saja kau tak dapat dibandingkan, bagaimana kau masih
mau anggap dirimu tinggi" Jikalau di waktu ketemu dengan nona-nona mulia kau tidak singkirkan diri, aku kuatir satu waktu akan terbit gara-gara ... "
Selama itu, mereka bicara sambil jalan, waktu mereka
telah keluar dari Samtiauw liotong, Yo Kian Tong lantas
saja berjalan terus pulang ke piauwtiam-nya.
Tinggal Lauw Tay Po, yang mendongkol sendirinya
berjalan terus.
"Celaka benar!" ia menggerutu. "Lain orang mewah, kenapa aku kecewa" Lihatlah nona tadi, ia cuma elok, kalau aku mesti tempur ia biarpun seratus orang, aku tidak takut!
Toh, terhadap ia, Yo Kian Tong bilang aku mesti
menyingkir! Sepatunya saja ada lebih berharga daripada
nasibku. Mengapa dunia ada begini pincang" Nona itu
nanti juga akan menikah, tapi tentu tidak dengan aku, dan asal ia kawin, aku nanti bunuh suaminya, supaya ia
menjadi janda seumur hidupnya ... "
Tay Po jadi uring-uringan, sang engko yang bikin ia
mendongkol, tetapi kemendongkolan itu ia tumplekkan atas nona Giok.
Kemudian guru silat ini ingat tentang dirinya, yang
dalam umur tigapuluh dua tahun masih belum menikah, ia
masih hidup nganggur saja.
"Ah, aku kalah dengan Lie Bouw Pek ..." ia mengeluh.
"Bouw Pek ada beruntung, karena ia punya nona Jie yang pandai mainkan siangtoo! Aku, sekalipun satu nenek-nenek, yang mukanya kuning, yang kerjanya hanya potong
sayuran, aku tak punya! ... "
Dengan pikiran kusut, Tay Po jalan terus. Kelika ia
sampai di Paksin Kio, tiba-tiba kupingnya tangkap suara
gembreng yang riuh, kapan ia angkat kepalanya, ia tampak di sebelah depan berkumpul serombongan orang, yang


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya semua mengawasi ke dalam kalangan dari mana
suara gembreng datang.
"Tentu pertunjukan tukang kuntauw atau tukang monyet
... ?" ia menduga duga dalam hatinya. Tadinya ia mau jalan terus tapi waktu ia dengar suara pujian orang banyak itu, hatinya jadi tertarik.
Dari dalam kalangan, ia lihai sepasang peluru besi
sebesar buah apel bergerak-gerak naik turun. Itulah liuseng-twie, yang pun bisa digunakan sebagai senjata. Tidak
sembarang tukang silat dapat mainkan senjata itu. Saking ketarik, Tay Po lantas menghampiri dan nyelak di antara
orang banyak. Orang yang mainkan peluru itu berusia empatpuluh
lebih, tubuhnya kekar. Pelurunya diikat dengan tambang
"urat menjangan". Peluru itu bergerak ke kiri kanan, ke depan dan belakang cepat sekali, sampai tambangnya tak
kelihatan lagi, peluru merupakan titiran saja ...
"Bagus!" memuji Lauw Tay Po.
Kemudian ia menoleh pada tukang gembreng dan
menjadi tercengang karena ia lihat satu nona, yang
tubuhnya kecil langsing sebagai batang yangliu, umurnya
baru lima atau enam belas tahun. Kulit mukanya hitam tapi manis, rambutnya dikonde, tetapi penuh debu. Ia pakai baju merah dan celana hijau yang ringkas, tetapi pun kotor, sang kakinya mungil, sayang sepatunya sudah pada besot.
Dengan menabuh gembreng, si nona tambahkan
kegembiraannya si tukang silat, yang rupanya ada ayahnya.
Tak lama kemudian si tukang silat berhenti dengan
pertunjukannya dan si nona siap dengan kewajibannya,
untuk meminta bantuan.
"Sekalian looya, sekalian suhu dari berbagai-bagai
golongan," kata si tukang silat pada para penonton, sambil ia rangkap kedua tangannya. "Dengan terpaksa kita ayah dan anak memohon saweran ... "
"Ya, terpaksa," si nona ulangi perkataan ayahnya. "Kita adalah korban-korban banjir," kata pula tukang silat itu.
"Kasihan ibunya anakku ini, ia telah mati kelelap maka aku terpaksa ajak anakku ini pergi mengembara, mencari uang
dengan menjual pertunjukan, hingga kita mirip dengan
pengemis-pengemis ... " Kembali si nona ulangi perkataan terakhir dari ayahnya itu.
Tay Po merasa kasihan, ia rogoh sakunya dan
menyawer. "Terima kasih, looya," kata si nona.
Kemudian Lauw Tay Po berlalu, di sepanjang jalan, ia
masih pikiri itu nona.
"Kasihan, ia mesti turut ayahnya merantau ... Romannya tidak tercela ... "
Selagi kauwsu ini ngelamun, dari selatan ia dengar suara roda-roda kereta keledai. Ia berpaling dengan lekas. Dua
buah kereta, yang memakai tenda, sedang mendatangi,
keretanya besar, keledainya besar juga. Di kereta yang
belakangan duduk dua bujang perempuan.
"Itulah dua budak di rumahnya Tek ngoya tadi," pikir kauwsu ini, yang ingatannya tajam, "maka yang duduk di depan tentu puteri Gioktayjin ... "
Tapi ia tidak dapat lihat si nona itu, karena tenda kereta telah diturunkan.
Selewatnya kereta itu, Tay Po menuju langsung ke
Anteng-mui pulang ke istananya Tiat pweelek. Ia masih
saja mendongkol, maka untuk hiburkan diri, ia tenggak
arak, ia berlatih silat dengan golok, setelah pusing dan lelah, ia lonjorkan diri di atas pembaringannya. Adalah setelah ia mendusin kemudian, ia ambil keputusan untuk selanjutnya
tidak mau pergi lagi ke rumahnya Tek Siauw Hong dan tak
hendak ketemui pula engko misannya.
Belasan hari telah lewat.
Pada Cap-it-gwee Jie-pee, selagi hawa udara dingin, di
Pweelek-hu diadakan pesta untuk merayakan hari ulang
yang keempatpuluh dari Tiat siauw-pweelek. Di luar
pekarangan berkumpul banyak kuda dan kereta, di dalam
banyak tetamu yang hadir, dari pangkat tinggi sampai yang rendahan. Wayang toa-pan-hie main di dalam, meskipun
suara tambur dan gembreng berisik, namun di luar tak
terdengar ... Di luar, di satu ruangan, kumpul hamba
sekalian tetamu, yang turut berpesta pora, sedang tukang-tukang kereta repot dengan perjudiannya ...
Melainkan Lauw Tay Po yang itu waktu merasai
kedudukannya yang sulit. Ia bukannya budak, ia bukannya
tetamu. Ke dalam ia tidak berani, menonton wayang tak
mungkin. Ia pun tak menerima uang persenan. Ia juga, tak dapat berlatih silat, karena pekarangan dipakai. Dan ketika
ia pergi ke ruangan bujang-bujang, di sana tidak ada orang yang gubris ia ...
Ketika Tay Po ngeloyor keluar, ia jemu melihat
tingkahnya tukang-tukang kereta dengan suaranya yang
berisik, sedang di antaranya ada yang mengutuk dan
murang-muring, karena uangnya habis dipakai berjudi ...
"Celaka duabelas!" kauwsu ini mengutuk seorang diri.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang membentakbentak, mengusir orang-orang yang berlalu lintas, sedang tukang-tukang kereta yang sedang berjudi repot kantongi
uang mereka dan sembunyikan dadu, untuk turut
menyingkir ke tempat sedikit jauh. Dari dalam, berapa
bujang lari keluar, untuk menyambut tetamu.
Dengan heran, Lauw Tay Po mengawasi ke jurusan
barat, dari mana suara tadi datang. Ia lihat lima
penunggang kuda dengan semua kudanya tinggi besar.
"Pembesar pangkat apa itu?" kata Lauw Tay Po. "Lauw suhu, lekas masuk, lekas masuk!" kata dua bujang pada kauwsu ini.
Meski ia heran, Tay Po masuk ke kamar pengawalpengawal. "Giok tayjin datang!" demikian ia dengar beberapa orang kata.
Baru sekarang Tay Po tahu, tetamu itu ialah teetok yang
baru. "Baru satu cengtong!" ia kata. 'Mustahil kedudukannya melebihi kemuliaannya satu pweelek atau satu lweekok
tayhaksu" ... "
"Eh, kau tak tahu!" kata seorang. "Cengtong tinggal cengtong tetapi kalau satu menteri besar perlu ditangkap,
cengtong adalah yang nanti bekuk dan periksa perkaranya!
Memang pangkat cengtong tidak seberapa mulia, hanya
kekuasaannya yang besar luar biasa!..
Beberapa hamba sudah lantas mengintip di jendela.
"Kauorang aneh," kata Lauw Tay Po pada mereka itu.
"Teetok toh tetap ada satu tua bangka, apa sih yang mesti ditonton" Ia toh bukannya bapak kau orang ... "
Tapi perkataan ini tidak ada yang gubris, orang
merubung ke jendela.
Lie Tiang Siu, salah satu bujang, orangnya kate dan suka bersenda gurau, dengan Lauw Tay Po melihat sikapnya si
guru silat, lantas tepuk pundaknya.
"Eh, Itto Lianhoa, apa kau tak mau lihat si cantik jelita?"
ia tanya. "Si cantik jelita dari mana?" kata Tay Po. "Jangan kau goda aku eh!"
"Goda kau, sahabatku" Tidak!" Lie Tiang Siu baliki.
"Apa kau belum tahu tentang Pakkhia punya Tee-it biejin, atau nona elok satu-satunya" Ia malah boleh disebut nona paling cantik di kolong langit! Ia toh ada sam-siocia dari Giok tayjin! ... "
Tay Po terperanjat, tapi toh ia jebikan bibir.
"Ia?" ia kata. "Buat ia, lihat pun aku tak sudi! ... "
Meski begitu, ia samperi jendela dan coba pentang kedua
tangannya membuka jalan, hingga ia dapat turut melihat ke jendela. Ia gunai jari tangannya menotok kertas jendela, hingga ia dapai mengintip keluar.
Jalan besar sekarang sepi, tidak ada orang kecuali empat hamba polisi yang bersenjata lengkap, sikapnya garang.
Terang mereka ini ada orangnya teetok. Teetok sendiri
tidak kelihatan, rupanya ia sudah masuk ke dalam, untuk
beri selamat panjang umur pada pweelek-ya. Tapi empat
hamba itu masih menunggu, menunggu kereta atau jolinya
nyonya teetok dan puteri.
"Celaka betul!" Lauw Tay Po menggerutu. "Kenapa ia masih belum juga muncul" Aku ingin lihat ia sekali lagi!"
Segera juga orang saling berdesakan, tetapi Tay Po tidak kasih dirinya ketolak.
Akhir-akhirnya toh datang juga kereta yang membawa
nyonya teetok serta nona besar. Dua budak perempuan
memimpin turun satu nyonya umur limapuluh lebih,
dandanannya mewah, di depannya berdiri satu budak lain
tukang bawa tempolong ludah. Di belakang ia ini adalah si bidadari, Giok sam-siocia yang budak-budak kagumi,
sampai mereka ini menahan napas melihat bidadari turun
dari kayangan ...
Lauw Tay Po tidak dapat lihat mukanya, karena di
depan ia menghalang kepala orang, maka itu ia hanya lihat pakaiannya yang indah. Di antara suara tetabuhan, nyonya dan nona itu bertindak masuk ke dalam. Karena di luar
keadaan sunyi, sekali ini suara tetabuhan kedengaran juga
... "Sungguh cantik!" satu orang memuji.
"Kalah gambar lukisan!" memuji yang lain.
"Ia mirip dengan dewi!" kata yang lain.
"Jadinya nona itu puterinya Giok tayjin?" kata Tay Po.
"Bukan hanya puterinya, malah puteri satu-satunya! Ia mempunyai dua engko, yang satu di Anhui, yang satu pula
di Sucoan, dua-duanya menjadi tiehu. Nona ini baru tiga
bulan datang di Pakkhia ini, tadinya ia turut ayahnya yang
pangku pangkat di Sinkiang. Semua nona di sini harus
tunduk terhadap keelokannya! Ia tidak melainkan cantik, ia pun pandai ilmu surat, katanya pintar sekali ... "
"Kalau begitu, hanya satu conggoan bisa nikah
padanya!" kata Lauw Tay Po dengan mendeluh.
"Conggoan" Biar conggoan naik jadi tayhaksu, ia belum tentu bisa nikah nona itu!"
Pembicaraan berhenti, karena empat hamba teetok telah
masuk ke situ, untuk minum teh. Tidak ada orang yang
berani bicara tentang teetok itu dan keluarganya.
Di dalam pertunjukan wayang berlangsung terus, sabansaban ganti lelakon, mengiringi kehendak tiap-tiap tetamu yang gemar wayang.
Kecuali wayang, ada sesuatu lainnya yang menarik
perhatian orang banyak itu, ialah Giok sam-siocia. Semua orang tahu ia berumur delapanbelas, shio Liong, maka ia
diberi nama Giok Kiauw Liong, yang berarti "naga yang ayu dan manis." Di matanya orang-orang tua, nona itu
kelihatan toapan dan alim, di matanya orang-orang usia
pertengahan cantik dan lemah lembut, dan di matanya
nona-nona sepantarannya, ia mendatangkan rasa kagum,
hingga hadirnya ia di pesta itu kementerengan bagi tuan
rumah. Pada jam empat lohor, menurut kehendak ibunya, nona
Kiauw Liong undurkan diri terlebih dahulu dari medan
pesta. Ketika ia pamitan, semua mata ditujukan kepadanya, semua orang seperti merasai kehilangan apa-apa.
Sampai magrib baru pertunjukan berakhir dan semua
tamu dengan beruntun bergantian pamitan pulang.
Di dalam istana, lentera dan lampu telah mulai dipasang, semua hamba repot berbenah dan semua nyonya atau
Hokchin hujin pada kembali ke kamar mereka, untuk salin
pakaian dan beristirahat.
Di ruangan barat masih ada beberapa tetamu lelaki yang
pangkatnya tinggi, belum pulang, di antara siapa ada Giok tayjin, teetok dari kota raja.
Tiat pweelek telah damaikan apa-apa dengan beberapa
rekannya, kemudian mereka pasang omong tentang hal-hal
di kota raja, sampai pada bangsa piauwsu yang gemar
berkelahi. "Mereka semua makhluk-makhluk menjemukan!" kata Giok cengtong sambil urut-urut kumisnya. "Mereka
kebanyakan berasal penjahat, dan meski sekarang mereka
jadi piauwsu dan berkelakuan baik, toh setiap waktu
mereka mungkin pulang asal. Aku akan awasi mereka, asal
mereka tersesat, aku akan tangkap dan berikan hajaran
keras pada mereka!"
"Tetapi tidak boleh dikatakan bahwa semua busuk,"
berkata tuan rumah sambil bersenyum. "Di antara mereka ada orang-orang gagah sejati, yang kepandaiannya benar-benar tinggi, hingga jikalau Pemerintah Agung dapat pakai mereka, mereka akan menjadi orang-orang yang berarti ... "
Tiba-tiba pangeran Boan ini ingat Lie Bouw Pek, hingga
ia diam. "Aku ada punya serupa barang yang tuan-tuan tentu
belum pernah lihat," kata ia kemudian. Lantas ia menoleh pada Tek Lok, yang senantiasa berada di sampingnya.
"Coba kau ambil itu pedang ... "
Tiat pweelek mempunyai banyak pedang, tetapi Tek Lok
segera mengerti apa yang dimaksudkan itu tentu pedang
hadiah dari Lie Bouw Pek, maka ia manggut dan terus
pergi. Ia lewati tiga pekarangan dalam dan menuju ke
ruangan barat, terus ke kamar di mana Tiat pweelek dahulu biasa sambut kedatangannya Lie Bouw Pek. Kamar ini
tertutup rapi, di situ Tiat pweelek simpan barang-barangnya yang beraneka warna, dari barang-barang kuno sampai
kitab-kitab. Kunci kamar itu disimpan oleh Tek Lok, maka dengan ajak satu kacung yang membawa api, ia dapat
lantas masuk ke dalam kamar itu, untuk mengambil
pedang, yang digantung di tembok.
Ketika hendak balik, mendadak satu orang samperi
orang kepercayaannya Tiat pweelek ini.
"Apa itu" Pedang" Mari aku lihat!" demikian kata orang itu, yang terus saja sambar pedang itu dari tangannya si kacung.
Tek Lok segera kenalkan orang itu, ialah Lauw Tay Po.
"Pweelek-ya menunggu, mari!" ia kata.
Tay Po sudah lantas hunus pedang itu, baru ia menarik
separuh, ia sudah terperanjat, karena sinarnya yang
berkilauan. Ia menduga, pedang itu tentunya pedang
mustika. Tek Lok tidak beri ia kesempatan untuk berpikir lebih lama, ia sudah lantas rampas pulang pedang itu dan bawa pergi.
Tiat pweelek sambuti pedang dari orangnya, ia periksa
dahulu, kemudian ia perlihatkan itu bergantian pada
sekalian tamunya.
Kebanyakan tamu ada dari pihak sipil, mereka tidak
mengerti tentang senjata mustika, dari itu mereka cuma
kagum dan memuji: "Bagus!" Tapi ketika datang gilirannya Giok tayjin ia ini melihat dengan teliti sampai ia sentil-sentil hingga pedang itu memperdengarkan suara nyaring dan
mengaung, hingga ia terperanjat. Ia dekati lampu, untuk
memeriksa lebih jauh.
"Ini pedang dapat dipakai menabas kutung tembaga atau besi!" kata ia akhirnya. Habis kata begitu, ia menoleh dan awasi tuan rumah.
Sambil bersenyum, Tiat pweelek berbangkit.
Di sampingnya ada satu para-para kayu merah di atas
mana berdiri sebuah hiolouw perunggu, tidak besar dan
tidak kecil, tetapi mengkilap, hiolouw itu ia perintah ambil, dan pindahkan ke atas meja, di depan mereka.
"Aku akan coba pedang ini," ia berkata.
Semua tamu lantas berbangkit.
Dari tangannya Giok tayjin, Tiat pweelek sambut pedang
mustika itu, setelah cekal roncenya dari sutera putih,
dengan tiba-tiba ia bacok hiolouw itu, yang lantas saja
terbelah dua sambil menerbitkan suara nyaring
"Sungguh pedang yang tajam!" memuji sekalian tetamu, di antara siapa ada yang melongo kesima.
Sambil bersenyum, Tiat
pweelek serahkan
pula pedangnya pada Giok tayjin untuk diperiksa, pedang itu
gompal atau tidak.
"Benar-benar pedang mustika!" kata teetok itu dengan kekagumannya. "Apakah namanya pedang ini Tamlouw
atau Kiekoat?"
"Tentang namanya, aku sendiri tidak tahu," Tiat pweelek mengaku. "Aku hanya dapat menduga bahwa pedang ini
mestinya telah berusia tiga ratus tahun atau lebih. Aku
dapatkan pedang ini secara kebetulan saja sejak tiga tahun yang lalu, lantaran repot, aku jadi tidak dapat buat main ...
" "Coba di sini ada orang yang pandai menggunai pedang ini, tentu akan menarik hati dilihatnya!" kata satu tetamu.
Mendengar ini, Tiat pweelek ingat lagi pada Bouw Pek
orang muda yang gagah dan pintar itu, yang jarang ada
timpalannya, maka sayang sebab membunuh OeyKie Pok,
pemuda itu kabur sebagai pemburon, hingga mereka tak
dapat bertemu pula, malah tidak tahu, ke mana pemuda itu sekarang berada ...
Dengan tidak merasa, pangeran ini unjuk roman lesu,
maka sekalian tetamunya lantas pamitan satu persatu,
untuk tidak ganggu padanya lebih jauh. Melainkan Giok
tayjin seorang yang masih saja pegangi pedang itu yang ia kagumi ... Ia sampai tidak merasa yang api lilin telah
sambar beberapa lembar jenggotnya yang berubanan ...
Tiat pweelek duduk sedikit jauh, hirup tehnya. Pangeran
ini malah menguap ...
Masih saja Giok tayjin pegangi pedang itu, sampai
akhirnya, dengan merasa berat, ia letaki itu di atas meja.
"Pie-cit punya dua jilid kitab tentang pedang," kata ia kemudian, "di sana ditulis lengkap tentang ukuran dan tanda-tandanya. Besok pie-cit kirim kitab itu kemari untuk pweelek-ya periksa, barangkali pedang ini akan ketahuan
namanya, begitupun tahun pembikinannya. Jikalau pie-cit
tidak salah, ini pedang ialah Cheebeng kiam, pusaka dari Sun Koan dari Tong Gouw di jaman Sam Kok ... "
"Baik, Giok tayjin," sahut tuan rumah. "Besok tolong kau bawa kitab itu nanti kita periksa bersama-sama."
Sampai di situ barulah tamu ini pamitan pulang.
Tiat pweelek lantas masuk ke kamarnya, untuk
beristirahat. Selagi lain-lain hamba berbenah Tek Lok bawa pedang
kembali ke kamar tulis untuk disimpan pula. Tempo ia
sampai di depan pintu, di situ berdiri menantikan Itto
Lianhoa. "Lok-ya, sekarang aku tentu boleh lihat pedang itu, bukan?" ia kata sambil tertawa. "Sudah sekian lama aku menantikan di sini ... "
Sembari kata begitu, ia ulur tangannya untuk sambut
pedang itu. Tek Lok sudah lantas mundur.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhu, kenapa kau tak tahu aturan?" kata orang kepercayaan dari Tiat pweelek itu. "Barangnya pweelek-ya cara bagaimana kita boleh sembarang pegang?"
"Buat dilihat sebentar saja, apa halangannya," kata guru silat ini, yang nampaknya tidak puas. "Toh itu hanya sepotong besi! Lok-ya, kau terlalu tidak ingat persahabatan
?" "Di sini tidak ada hal persahabatan, Lauw suhu," Tek Lok peringatkan. "Ini barang kepunyaan pweelek-ya, ia perintah simpan, maka kewajiban itu aku mesti lekas
lakukan, aku tidak boleh lalai ... "
Ia terus buka pintu dan gantung pedang itu.
Lauw Tay Po mendongkol.
"Dasar budak!" ia menggerutu seraya terus pergi. Ia balik ke kamarnya, sebuah rumah dengan dua ruangan di
samping istal. Di situ ia tinggal bersama-sama Lie Tiang Siu, siapa itu waktu sudah tidur, karena tadi ia banyak kerja dan telah minum sampai sinting, hingga kendati ia pulas
nyenyak, ia memberikan bau arak.
"Dasar celaka!" Lauw Tay Po mengutuk, tapi toh ia rebahkan diri, tubuhnya ia selimuti. Ia rebah belum lama lantas ia merosot turun pula sambil tepuk-tepuk dada, ia
ngoceh sendirian: "Pedang itu disimpan sebagai mustika, sampai aku tak boleh lihat! Tidak, aku ada Itto Lianhoa, dan mesti dapat lihat itu, biar kepalaku copot!"
Ia lantas bertindak keluar, ia tutup pintu dan berdiri di depan jendela. Ia lihat langit penuh bintang. Ia celingukan, laksana seorang pencuri. Dengan angin utara meniup keras, hawa dingin sekali.
Tukang ronda bunyikan kentongan dua kali, lantas
mereka diam sebagai mereka telah mati kedinginan ...
Istana begitu luas, tadi siang begitu ramai, sekarang
menjadi sunyi senyap ...
Lama juga Lauw Tay Po berdiri di depan jendela, lantas
ia masuk ke dalam. Ia buka baju kulit kambing, lemparkan itu sampai menutupi kepalanya Lie Tiang Siu, tetapi ia ini tidur tenis. Ia gulung tangan bajunya, buka sepatunya
kemudian ia keluar dari kamar.
Dengan tindakan perlahan, Lauw Tay Po menuju ke
barat. Di sebelah depan, ia dengar suara berisik, dari
hamba-hamba istana yang sedang berjudi. Ia pergi ke
bagian yang sepi.
"Orang belum tidur, di sana tentu masih ada orang yang mondar-mandir," ia pikir, "kalau aku pergi ke kamar tulis, orang akan pergoki aku hingga aku bakal dicurigai, jikalau aku dituduh sebagai pencuri pedang, tentu aku akan digusur ke depan teetok, ayahnya si bidadari ... Tidak, Itto Lianhoa masih sayang batok kepalanya ... "
Maka ia kembali ke kamarnya, lalu pakai pula baju
luarnya. Di sini ia menunggu lewat jam tiga, pada kira-kira jam empat, baru ia keluar pula. Ini kali ia tidak lihat sinar api, ia dapati keadaan sunyi, tidak ada lagi suara berisik dari mereka yang adu peruntungan.
Selagi menuju ke kamar tulis, Lauw Tay Po telah pikir,
kalau pedang hanya pedang biasa, ia mau lihat dan
kembalikan lagi, tapi kalau itu benar pedang mustika, ia hendak bawa kabur, supaya ia dapat cari Lie Bouw Pek dan coba tempur jago kenamaan itu.
Lekas juga guru silat ini telah sampai di kamar tulis barat itu, di depan pintu ia raba kuncinya dengan kedua
tangannya, tapi ia kaget tidak terkira, hampir ia menjerit, sebab kunci itu lenyap! Maka, menduga bahwa kamar telah
dibuka dan orang telah dahului ia, ia lekas-lekas mundur dan loncat ke atas genteng. Ia tadinya hendak menjerit
memberi tanda ada pencuri, tetapi ia batalkan kapan ia
ingat, bahwa kecewa ia sebagai kauwsu bikin ribut tidak
keruan. "Baik aku tunggu di sini, kapan si penjahat keluar, aku nanti hajar padanya," dengan demikian ia ambil putusan, sedang
tangannya lantas meraba genteng, untuk menyiapkan dua lembar, setelah pasang kuda-kudanya, ia
memanggil ke dalam kamar tulis: "Sahabat baik di dalam kamar, silahkan kau keluar! Jangan kau malu-malu, Lauw
Thayya-mu tidak akan ganggu kau, paling juga aku akan
bikin kau belajar kenal sama Itto ... "
Ucapan itu belum lagi diucapkan ketika Lauw Tay Po
rasakan kempolannya ada yang dupak, hingga tidak tempo
lagi, ia jatuh ngusruk dari atas genteng, kedua lembar
gentengnya jatuh dan pecah, hancuran genteng mengenai
mukanya, sampai ia merasa sakit, tetapi tubuhnya sendiri tidak terbanting keras, karena ia keburu geraki kedua tangan dan kakinya, hingga ia tidak sampai jatuh tengkurap. Lekas juga ia kembali mencelat ke atas genteng sambil berseru:
"Binatang ... "
Tapi di atas genteng sunyi, tidak ada satu manusia atau
bayangan. Ia naik ke wuwungan dan lari ke empal penjuru, tetap ia
tidak menemui siapa juga, ia tidak melihat apa-apa hingga ia jadi sangat heran, menyesal, mendongkol dan kecele ... ia pun tetap tidak berani bersuara, tapi ia berlaku sebat, ia lekas loncat turun, lari ke kamarnya pakai sepatunya dan dandan, kemudian sambil bawa goloknya, ia lari keluar
pula. Baru sekarang ia berani berteriak-teriak: "Ada maling!
Ada maling!"
Teriakan itu segera menerbitkan kegaduhan. Paling
dahulu datang sambutan dari orang-orang ronda, yang
repot dengan kentongannya yang berisik, kemudian
menyusul rombongan cinteng dan bujang. Tay Po sendiri
kembali sudah berada di atas genteng, kapan ia lihat banyak orang datang, ia terus berkata: "Barusan aku keluar untuk buang air kecil, aku lihat orang di atas genteng, aku lantas lari ambil golokku, tapi sementara itu, orang itu sudah
kabur. Coba bikin peperiksaan, ada barang yang hilang atau tidak ... "
Suara orang jadi sangat berisik, mereka itu bawa senjata dan tengloleng. Malah kemudian, suara berisik disambut
dengan kentongan atau gembrengnya orang-orang ronda
umum yang sedang jalankan kewajiban di jalan-jalan besar, karena mereka ini telah dengar kentongan di dalam istana.
Tidak lama pula datang pembesar polisi serta belasan
anggautanya. Kapan siewie dari istana pweelek muncul, ia segera
cegah orang bikin ribut, kuatir Tiat pweelek menjadi kaget, sedang kemudian datang Tek Lok, yang pun melarang
orang bikin kacau, kemudian ia tambahkan: "Pweelek-ya telah mendusin, ia tanya telah terjadi apa. Lekas bikin
peperiksaan ... "
Sampai di situ, suara menjadi sirap, lantas dalam satu
rombongan besar, orang mulai membikin peperiksaan.
Kedua siewie bersama Tek Lok, kepalai rombongan bujangbujang, dan pembesar polisi serta orang-orangnya. Lauw
Tay Po pun turut dalam rombongan itu.
Segala pelosok pekarangan, semua samar telah diperiksa,
di semua tempat itu tidak kedapatan orang jahat atau
barang lenyap, hanya di kamar tulis, kuncinya telah rusak, dan dari situ telah hilang pedang mustika, ialah Cheebeng kiam.
Tek Lok kerutkan alis, semua orang jadi tercengang.
Ketika orang kepercayaan dari pweelek memandang
Lauw Tay Po, ia heran. Ia dapatkan mukanya kauwsu itu
borboran darah dan bengkak ... Ia jadi tertegun.
"Bagaimana sekarang?" kata ia kemudian. "Itu ada pedang mustika, yang pweelek-ya paling sayang! Baru tadi pweelek-ya pertontonkan itu pada orang banyak, sedang
Teetok Cengtong Giok tayjin berniat membawa kitab
tentang pedang, guna cari tahu namanya pedang itu ...
Siapa sanggup ganti pedang itu?"
Ia tetap awasi si guru silat, hingga hatinya Lauw-Tay Po jadi berdebaran, karena ia insyaf, ia memang harus
dicurigai. Tapi ia tabah, ia bawa aksi.
"Lok-ya, percuma kau sibuk saja!" ia kata. "Sekarang pergi kau pada pweelek-ya, beritahukan kehilangan itu dan katakan juga, aku minta tempo sepuluh hari untuk cari
pedang itu dan bekuk pencurinya. Jikalau aku gagal, aku
suka serahkan batok kepalaku! ... "
Suara itu mengandung kegusaran, hingga semua mata
memandang kauwsu ini. Kedua siewie memandang dengan
mendongkol. Coba yang bicara satu bujang, mereka tentu
sudah menegur. Akhirnya mereka minta pembesar polisi
pergi di luar, mereka sendiri masuk ke dalam untuk
melaporkan pada Tiat pweelek. Kamar tulis dijaga oleh dua bujang dengan satu lentera.
Selama itu, tidak ada orang yang ajak Lauw Tay Po
bicara, sebaliknya, semua mata memandang ia dengan
kecurigaan, maka akhirnya ia ngeloyor seorang diri. Ketika ia sampai di depan, ia dapati orang-orang polisi berkumpul sambil minum teh.
Ia coba dekati jendela, untuk pasang kuping, tetapi ia
tidak dengar nyata pembicaraan mereka itu.
"Tidak salah lagi, tentu mereka ini sangka aku! ... " kata ia dalam hatinya dengan sengit. "Aku mesti adu jiwa dan bikin terang perkara ini. Tidak boleh orang curigai dan
sangka aku!"
Sekian lama Tay Po berdiri, dengan hati mendongkol.
Malam itu gelap, angin masih meniup keras. Itu waktu
sudah jam empat. Tay Po lihat Tek Lok keluar pula dengan satu kacung yang membawa lentera.
"Bagaimana?" ia tanya sambil menghampiri hambanya Tiat pweelek itu. "Apa kau telah sampaikan pernyataanku"
Jikalau aku diijinkan bekerja, besok aku akan mulai!
Perkara ini tak usah dilaporkan ke kantor teetok ... "
Tek Lok goyang-goyang tangannya, ia nampaknya uringuringan. "Kau tidak usah kata apa-apa, pergilah tidur!" demikian sahutnya. Ia jalan terus dan masuk ke dalam.
Tay Po tertawa menghina, ia tetap berdiri, memasang
kupingnya di jendela. Ia lantas dengar suaranya Tek Lok:
"Tuan-tuan silahkan pulang. Pweelek-ya kata, hilangnya sebatang pedang tidak berarti, itu hanya perkara kecil, dan ia tidak ingin tarik panjang ... "
Mendengar itu, Tay Po menjadi heran berbareng kagum.
"Sungguh murah hatinya pweelek-ya ... " ia pikir.
"Hilangnya sebatang pedang mustika ia tidak sesali, ia tak bergusar atau berduka, jarang ada orang sebagai ia ... Maka dahulu, entah bagaimana baik ia telah perlakukan pada Lie Bouw Pek ... Sejak aku datang kemari, nampaknya ia
kurang perhatikan aku, maka sekaranglah ketikanya buat
aku unjuk kepandaianku, dengan aku cari sampai dapat
pedang itu! Aku pun tidak boleh kasih hati pada si pencuri, ia tidak saja telah bikin malu aku, ia pun telah dupak aku, sampai aku roboh dengan muka babak belur! Dengan
dapati pulang pedang itu, pweelek-ya tentu akan beri persen padaku, sedang sangkaan orang banyak bakal lenyap
sendirinya ... "
Sehabis berpikir demikian Tay Po lantas pergi ke
kamarnya. Lie Tiang Siu masih tidur menggeros, kendati di luar sangat berisik.
Untuk dapat mengaso, Tay Po lantas rebahkan diri dan
meringkuk dengan tubuh tertutup selimut, goloknya ia
letaki di sampingnya. Ia tidak tidur lama, karena pada kira-kira jam enam, ia sudah mendusin dan bangun, lalu
berdandan. Ia sampai tak cuci muka lagi. Dengan bekal
uang dan bawa goloknya, ia ngeloyor keluar. Ia telah ambil putusan untuk menjadi polisi rahasia. Demikian ia sampai di jalan besar di Anteng-mui. Ia tak pedulikan rasa sakit pada mukanya.
Tidak lama Lauw Tay Po telah sampai di "See Tay Ih", warung teh paling terkenal di Pakshia atau Kota Barat. Di situ, kecuali teh dan kue, orang pun dapat pesan barang
santapan. Ruangan yang besar cukup untuk empat sampai
lima ratus tetamu. Setiap pagi di situ biasa berkumpul
banyak orang pengangguran atau buaya darat.
Begitu masuk ke dalam ruangan, Tay Po merasa gerah,
maka ia buka baju luarnya, dan lampirkan itu di lengannya.
Ia melihat ke sekitarnya. Di lankan ia lihat banyak
kurungan burung dengan burungnya, kepunyaan tetamutetamu yang gemar piara burung. Suaranya burung-burung
itu cukup berisik.
"Lauw-ya, mari duduk, mari! Pagi sekali Lauw-ya sudah datang," demikian beberapa orang menanya ketika mereka lihat kauwsu ini. Mereka mengundang sambil berbangkit.
Tay Po manggut pada mereka itu, ia bersenyum.
"Ya, masih pagi, ya?" ia kata. "Baru hampir jam tujuh
..." "Mari, Lauw-ya, mari duduk di sini!" kata seorang, yang menghampiri dan tarik padanya.
Tay Po menoleh, hingga ia lihat seorang dengan kepala
botak, dan baju hijau, dengan hidung ditutupi pieyan. Ia ini ialah Toh Tauw Eng, si Garuda Botak, satu buaya darat
yang hidup dari rumah judi, yang paling doyan berkelahi
dan berbuat sewenang-wenang, hingga orang takut
padanya, tetapi Tay Po pernah hajar ia, hingga ia takluk pada ini kauwsu, yang ia jadikan sahabat.
"Eh, Loo Toh, ada apa?" ia tanya.
"Mari ada satu warta untuk kau!" sahut si buaya darat.
"Kabar apa?" Tay Po tertawa. "Tentu tentang si nona memiara anak ... "
Toh Tauw Eng tarik terus ke mejanya sahabat itu. Ia
tuang pieyan ke dalam satu cawan kecil, usap itu ke
mukanya, ia tuangi teh untuk sahabatnya.
"Aku dengar semalam di Istanamu telah terjadi apaapa?" kemudian ia tanya dengan suara perlahan, matanya melirik ke sekitarnya. "Mau atau tidak, Lauw Tay Po unjuk roman heran.
"Kupingmu benar panjang!" ia kata.
"St, perlahan!" Toh Tauw Eng memberi tanda, matanya dilirikkan.
Tay Po menoleh, maka ia lihat dua orang polisi, dengan
baju pendek tapi mewah, sedang bicara dengan seorang
lain. "Mereka itu ada Thio Pat dan Bang Kiu," Toh Tauw Eng beritahukan, "keduanya pantauw dari Teetok Geemui.
Tidak biasanya mereka berada di sini, maka mereka tentu
datang untuk kejadian di Pweelek-hu ... "
Kemendongkolan Tay Po timbul pula dengan mendadak.
"Gila!" ia justru berseru, "Pweelek-ya sendiri tidak tarik panjang perkara itu, apa perlunya mereka campur tangan?"
"Hus!" Toh Tauw Eng memperingatkan, seraya tarik tangan orang. "Jangan cari perkara, sahabatku! Pweelek-ya boleh berdiam tetapi mereka dari Geemui, mana mereka
dapat diam saja" Masih untung baru kejadian pencurian
pedang, coba ada orang bawa pedang dan menyerbu,
apakah itu bukannya onar" Dalam kejadian ini, pembesar
negeri harus ambil tindakan keras ... "
Lauw Tay Po ketok-ketok meja.
"Peduli apa!" ia berseru. "Kalau ada orang curigai aku, hm, aku akan kutungi batang lehernya!"
"Tapi benar, Lauw-ya, benar ada orang curigai kau ... "
Toh Tauw Eng berbisik.
Tay Po berbangkit, tangannya menjambak kawannya itu,
yang ia awasi dengan bengis.
"Katakan, siapa yang curigai aku! Aku akan segera pergi padanya!" ia berseru.
Toh Tauw Eng tarik sahabat itu, disuruh duduk pula. Ia
bersenyum. "Sabar, sobat!" ia membujuki. "Dengan sebenarnya dugaan mesti menjurus ke situ. Pikir saja, kau menjadi guru silat di sana dan di sana terjadi pencurian itu! Untuk nama baikmu, kejadian itu merugikan. Maka menurut aku, kau
justru mesti pergi ke Lammui untuk membikin penyelidikan di rumah-rumah penginapan, di berbagai-bagai piauwtiam,
buat mencari tahu ada atau tidak kangouw enghiong yang
baru datang ... "
Tapi Tay Po tertawa.
"Jangan kata enghiong, anjing dan biruang pun tak ada!"
ia kata secara menghina. "Aku Itto Lianhoa, aku tidak mau bertindak sembarangan ... Tapi ... " dan ia lalu berbisik,
"apakah kau tahu bahwa selama ini Pakkhia kedatangan satu ayah dan gadisnya dan si ayah pandai mainkan
liuseng-twie" ... "
"Dan yang perempuan main injak tambang?" Toh Tauw
Eng tambahkan. "Aku belum pernah lihat itu nona main tambang. Apa
sekarang mereka masih belum berlalu dari sini?"
"Belum ... " sahabat itu tertawa. "Kemarin mereka buka pertunjukan di Kouwlauw Barat dan aku telah menonton
sekian lama. Dalam beberapa hari ini, bukan sedikit mereka
telah keduk uang ... Romannya nona itu boleh juga, malah kakinya sangat mungil, hanya karena biasa merantau, kulit mukanya agak hitam, coba ia pakai sedikit pupur, harganya akan naik beberapa chie lagi ... Lauwko pikir bagaimana"
Apakah kau hendak serep-serepi tentang mereka itu?"
Tay Po berdiam, ia agaknya berpikir.
"Baik lauwko jangan capaikan hati tentang mereka itu,"
Toh Tauw Eng lanjuti. "Penunjukan mereka hanya
pertunjukan biasa saja, nona itu benar pandai jalan di atas tambang, tapi buat suruh ia naik ke atas genteng, jangan kira ia mampu! Pakkhia memang sering kedatangan orang-orang pengembaraan sebagai mereka, untuk cari sedikit
uang. Pada tahun yang lalu datang satu pemudi berumur
kira-kira duapuluh tahun serta isterinya umur tujuh atau delapanbelas tahun, yang mainkan duabelas batang golok,
sesudah ngamen di sini tiga bulan, mereka berlalu dengan diam-diam ... Kalau lauwko curigai itu ayah dan gadisnya, kau akan cari pusing sendiri ... "
Tay Po goyang kepala, ia bersenyum, tetapi ia bungkam.
Ia hirup tehnya.
"Lauw Toh," kata ia kemudian, "lambatnya sepuluh hari, atau secepatnya tiga hari, aku nanti buktikan! Lauw Tay Po mau bekerja tak dengan bantuan pembesar negeri! Lihat
saja nanti!"
Sembari kata begitu, ia buka kancing bajunya dan
perlihatkan dadanya. Di situ, sebesar cangkir, terlihat
cacahan bunga teratai. Di bawah ini terlukis selembar daun teratai, hanya daunnya bukan cacahan, warnanya hitam,
seperti bekas kebakar besi panas.
"Mengapa aku dipanggil Itto Lianhoa?" kata ia
kemudian, seraya tunjukkan cacahan bunga teratai itu.
"Kau mengerti sekarang, bukan" Ini kejadian lima tahun
yang lalu. Itu waktu aku bekerja di suatu tempat, aku telah berhasil bekuk berandal besar Ciauw Hek Ku dan obrak-abrik sarang berandal di Tamcu San. Seorang diri aku
pernah masuki sarang berandal di mana orang telah cap
dadaku dengan besi panas. Ketika itu, aku berjengit pun
tidak! Sesudah lukanya sembuh, lantas ketinggalan tanda
ini seperti daun teratai, maka supaya jadi bagus, aku
teruskan cacah dengan bunga teratainya!"
Selagi sahabat itu melongok, Tay Po kancing pula
bajunya, kemudian ia berbangkit.
"Aku mau pergi," ia berkata. "Aku beritahu padamu, jangan kau buka rahasia tentang niatanku ini, nanti
penjahat kaget dan buron." Ia bersenyum. "Awas jikalau kau bocor mulut, aku potong hidungmu hingga kau tak
dapat lagi cium pieyan ... "
"Jangan kuatir, jangan takut," teman itu kata berulang-ulang. "Pasti mulutku rapat, aku tak akan beber rahasia.
Tapi, di mana aku harus cari kau, lauwko, andaikata aku
hendak bawa kabar padamu" Aku suka bekerja untuk kau ."
Lauw Tay Po tertawa.
"Ya, aku seperti si pemburu rase," ia kata, "aku tak boleh tak mempunyai anjing ... "
Sesudah kata begitu, ia melirik ke jurusan opas tadi, ia bersenyum ewah, tanda menghina, kemudian ia berbangkit
dan ngeloyor keluar. Selagi ia lewat, beberapa orang
menegur ia secara hormat. Ia pulang terus ke Pweelek-hu
untuk bersantap. Sehabis tukar pakaian, ia keluar pula pergi ke Kouwlauw.
Itu waktu baru tengah hari lewat sedikit.
Waktu Tay Po samperi satu tukang gelar untuk minta
keterangan, tukang gelar itu jawab padanya: "Orang yang
buka pertunjukan bandring itu akan datang kira-kira lagi satu jam. Selama dua hari ini mereka terus buka
penunjukan di depan gedung Giok tayjin di barat sana ..."
Mendengar disebutnya Giok tayjin Tay Po jadi berpikir.
"Apakah aku keliru menduga?" pikir ia. "Jikalau mereka betul si penjahat, mustahil mereka berani buka pertunjukan di gedung teetok?"
Ia jalan terus, ke Kauwlauw Barat, ketika ia hampir
sampai di Tekseng-mui, ia kembali. Ia lihat banyak gedung di sebelah barat tapi ia tidak tahu yang mana gedungnya


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok tayjin. "Kalau aku dapat melihat pula si bidadari, barulah aku beruntung!" ia ngelamun.
Sesudah sekian lama menunggu, Tay Po lihat dari
jurusan barat, si tukang main liuseng-twie dan gadisnya
sedang mendatangi. Ayah itu pakai pakaian tua dan
tambalan, kecuali liuseng-twie ia bawa juga sepasang
tombak hoachio, yang bikinannya istimewa, dengan gagang
besi dan dua batang tombak dengan empat cagak. Ini ialah tombak yang dipanggil siangchio atau tombak sepasang.
Senjata macam ini Tay Po belum pernah lihat orang
gunakan atau yakinkan, hanya ia pernah nonton dalam
wayang. Si nona dandan serba merah, hanya angkin-nya
berwarna putih. Rambut dikonde dua, hitam mengkilap,
dan ditancapi bunga mawar sutera. Ia pun pakai pupur dan yancie, bibirnya merah, dan kupingnya dihiasi sepasang
anting-anting. Ia bertindak dengan elok, dengan kedua
tangan menyekal gembreng dan tambang.
Tay Po jalan melewati ayah dan anak itu, kemudian ia
balik lagi, dan mengikuti mereka, yang menuju ke timur.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar, yang pintu
pekarangannya berada di tempat tinggi dan di depannya
tumbuh pohon-pohon hoay yang besar serta belasan pelatok di mana untuk menambat kuda.
Pintu pekarangan baru dicat, dan ditulis huruf-huruf
pujian, sedang tembok di sebelah dalam diukir indah, begitu pun tiang dan pilarnya.
"Ini tentu gedungnya Giok tayjin ... " pikir Tay Po. "Jadi si bidadari tinggal di sini ... Gedung ini merupakan istana ...
Pantas itu hari engko misanku tegur aku waktu aku
kesomplok si bidadari di rumahnya Tek ngoya ... "
Beberapa bujang telah muncul, mereka semua mengawasi si nona tukang dangsu.
"Sudah ditang! Sudah datang!" kata beberapa antaranya.
"Ya, baru datang!" sahut si tukang dangsu tua. "Burung hong menclok di tempat istimewa tapi kita tidak berani
bandingkan diri kita dengan burung hong, kila hanya si
puyuh tua dengan si puyuh anak ... Ini hari kita akan
pertunjukkan lagi liuseng-twie menginjak tambang yang
istimewa ..."
"Hayo tabuh gembreng!" ia kata pada anaknya.
Cepat sekali, orang merubung, berikut bujang-bujang
dari gedung itu juga Lauw Tay Po. Orang-orang yang
berlalu lintas, semua pada mandek ...
Si nona letaki tambangnya dan gulung tangan bajunya,
lantas ia palu gembrengnya.
Ayahnya kiongchiu pada orang banyak. "Kita ayah dan anak merantau ke kota raja ini ... " ia kata.
"Kota raja yang indah permai!" si nona tambahkan. "Di mana ada berkumpul malaikat-malaikat uang ... " kata pula si ayah.
"Malaikat-malaikat
yang beruntung!"
si nona menyambung pula.
Demikian ayah dan anak angkat bicara, dengan si anak
saban-saban bunyikan gembrengnya, selaras dengan
kebiasaan tukang silat yang hendak buka pertunjukan.
Nona itu pun berani, ia tidak takut bujang-bujang pada
lirik atau implang padanya, ia tidak likat atau jengah.
Si tua sudah lantas bersilat dengan bandringnya, tapi
penonton tujukan matanya pada si nona hitam manis, yang
kakinya mungil.
"Aku telah mainkan bandring, sekarang gilirannya
anakku jalan di tambang," kata si tua kemudian. Ia terus ambil sepasang tombaknya, dan tancap itu jauh di kiri dan kanan, merupakan tiang, tambang itu lantas dipasang.
"Sekarang kita boleh mulai," ia kata pula dan terus sambuti gembreng dari si nona.
Nona itu lantas maju ke depan, geraki kaki dan
tangannya, dan putar tubuhnya ke kiri dan kanan.
Gerakannya sangat gesit.
Sambil memukul gembreng, ayahnya terus ngoceh,
kemudian ia berkata: " ... Thio Ko Loo naik keledai jalan di atas tambang ... " Mendadak tubuhnya nona itu melejit naik ke atas tambangnya di mana ia terus berdiri bergerak-gerak, laksana mencloknya kupu-kupu yang tak dapat berdiri
diam, kemudian dengan tolak pinggang, ia terus maju dan
mundur. Sekalian penonton bersorak, Tay Po menjadi kagum.
Biasanya tukang dangsu lain jalan di atas tambang dengan pegang galah atau barang lain, sebagai imbangan, tetapi
nona ini tidak.
"Han Siang Cu meniup suling sungguh merdu ... " kata si ayah pula.
Dan anaknya keluarkan suling dari pinggangnya lalu
meniupnya, dengan kakinya tetap bergerak maju mundur.
"Na Cay Hoo mempersembahkan bunga!" mengulangi si ayah.
Lantas si nona putar tubuhnya, dengan tangan ke atas,
kepala ke bawah, hingga ia jadi ngelenggak. Sambil berbuat demikian, ia jalan beberapa tindak.
"Bagus, bagus!" berseru orang banyak.
"Bagus!" Tay Po turut memuji.
Di antara suara gembreng yang riuh, si ayah ngoceh
terus: "Holouw-nya Tiat Koay Lie unjuk pengaruhnya!
Tamburnya Co Kok Kiu berbunyi nyaring! Kipasnya Han
Siang Coe menyampok menderu-deru. Ya, Lu Tong Pin
memetik setangkai teratai! ... "
"Salah, salah!" balas si nona dari atas tambang. "Lu Tong Pin bersenjata pedang! Yang petik bunga teratai adalah Hoo Sian Kouw!."
"Ya, ya, Lu Tong Pin mainkan pedang!" ayahnya
membenarkan, gembrengnya ia palu semakin seru. "Ya, Lu Tong Pin mainkan pedang!"
Tapi segera juga ia berkata lagi: "Dan sekarang Hoo Sian Kouw unjuk kegagahannya!"
Anaknya selalu turuti perkataannya ayah itu. Ia pentang
kedua tangannya, taruh itu di depan dadanya, kemudian
berbareng dengan gerakan kakinya, kedua tangan itu
digerak-gerakkan pula dan bersilat di atas tambang itu.
Tiba-tiba si ayah palu gembrengnya dengan keras, lalu ia tekap itu, hingga suaranya berhenti dengan segera,
berbareng dengan mana, nona itu pun berhentikan semua
gerakannya, dengan satu enjotan tubuhnya melayang turun
"kedua kaki teratainya" sampai di tanah dengan tidak menerbitkan suara.
"Bagus, bagus!" berteriak orang banyak, dengan berulang-ulang. Ayah dan anak itu manggut pada orang
banyak untuk terus memohon saweran.
Lauw Tay Po turut menyawer, ia lemparkan serenceng
uang, hingga uang itu menerbitkan suara berisik waktu
jatuh di tengah kalangan, hingga tidak saja si nona dan
ayahnya pun lain-lain penonton menoleh padanya dan
mengawasi. Kedua tukang dangsu menghaturkan terima kasihnya
pada semua penonton, kemudian mereka mulai mengumpulkan uang sawerannya, setelah mana, sang ayah
mainkan pula bandringannya.
Bujang-bujang dari teetok sudah lantas undurkan diri
tetapi lain-lain penonton masih banyak.
Tidak antara lama sekalian penonton itu kalut dan lari
serabutan, hingga Lauw Tay Po pun turut minggir ke pojok tembok sebelah selatan.
Nyata ada datang dua hamba polisi, yang dengan pecut
usir orang banyak.
Kedua tukang dangsu pun repot dan buru-buru angkat
kaki, tetapi mereka dikejar oleh hamba wet itu.
Menampak demikian, Lauw Tay Po tidak puas. Ia keluar
dari tempatnya dan mencegat dua hamba wet itu.
"Mereka membuka pertunjukan untuk mencari uang,
kenapa jiewie usir mereka?" ia tanya.
Dua hamba wet itu menoleh dan mengawasi ia.
"Kau siapa?" tanya yang satu, dengan suara sengit.
"Aku orang she Lauw, kauwsu dari Pweelek-hu!" sahut Tay Po. "Aku adalah satu di antara sekalian penonton ... "
Mendengar demikian, dua hamba wet itu lantas
bersenyum. "Lauw-ya tentu tidak ketahui sebabnya," salah satu lalu menerangkan. "Kita berdua dari Teetok Geemui. Dan itu gedungnya Giok tayjin. Tayjin punya aturan keras, ia suka dengan kesunyian, hingga segala pedagang keliling ia larang berteriak-teriak di depan gedungnya. Tapi ini dua tukang dangsu tiap hari buka pertunjukan di sini, mereka selalu membikin berisik. Kemarin ini malah siocia pun turut
keluar dan menyaksikan, maka mereka ini jadi ketagihan
lantas setiap hari datang kemari. Tentu saja ini tidak boleh, apa pula sekarang tayjin sedang tidak senang hati! ... "
"Nah, sudahlah," kata Latiw Tay Po, "mereka sudah angkat kaki, baik mereka jangan dikejar lebih jauh."
"Baiklah," sahut itu dua orang, yang terus manggut dan berlalu.
Ayah dan gadis tadi masih berlari-lari ke jurusan timur, beberapa kali mereka menoleh ke belakang.
Lauw Tay Po susul tukang dangsu itu, sampai di
Kouwlauw, di belakang mana terletak satu pekarangan
kosong dan lebar, maka di sini itu ayah dan anak berhenti untuk mulai buka pertunjukan lagi.
Penonton sudah lantas datang, dengan cepat mereka
merupakan satu gerombolan.
Lauw Tay Po menyaksikan pula sekian lama, lantas ia
pergi ke warung nasi yang berdekatan untuk tangsel
perutnya. "Aku berani bertaruh, itu ayah dan anak mesti orang-orang jahat ... " kemudian ia berpikir. Ia telah tenggak arak dan habiskan dua mangkok mie. "Mereka pandai silat, tubuh mereka enteng dan gesit! Apa mungkin mereka hidup
tetap sebagai sekarang! Inilah aku sangsikan! Mungkin
mereka pencuri! Jangan-jangan si tukang dangsu yang telah dupak aku rubuh dari atas genteng dan sekarang pedang
mustika itu berada di tangan mereka. Rupanya mereka
sengaja buka pertunjukan di depan gedung Giok tayjin
untuk menyerep-nyerepi kabar ... "
Habis dahar, Tay Po kemudian nyelip pula di antara
orang banyak. Sekali ini ia lihat, berdiri di atas tambang, anak perempuan tadi sedang mainkan bandring, malah
dengan terlebih menarik daripada permainan ayahnya.
Semua penonton menjadi kagum, hingga mereka
mengawasi dengan tercengang, kemudian mereka bersorak
dan memberi uang.
Tay Po mendengar pula, hanya setelah itu, ia pergi ke
pinggir. Ia menunggu sampai magrib, sampai ayah dan
anak berhenti dengan pertunjukannya dan semua penonton
bubaran. Mereka ini lantas berbenah dan kemudian
ngeloyor pergi.
Dengan diam-diam, Lauw Tay Po kuntit dua orang itu,
yang menuju ke barat, rupanya mereka lelah, mereka jalan dengan perlahan-lahan. Sinar matahari sore telah soroti
baju merah nona itu dan bunga merah di kondenya ...
Sejarak duapuluh tindak lebih, Tay Po terus bayangi dua
orang itu. Ayah dan anak itu jalan di jalan besar dari Kouwlauw
Barat, ketika mereka lewat di depan gedung Giok tayjin, si ayah menoleh dan mengawasi ke gedung. Diam-diam Lauw
Tay Po bersenyum mengejek.
Masih saja tukang dangsu itu jalan terus, melewati
jembatan Tekseng Kio, terus ke arah barat ...
Di depan mereka tertampak pemandangan dari musim
dingin, karena telaga yang besar dan lebar, airnya telah menjadi beku. Di tepi telaga tumbuh puluhan pohon
yangliu tua, yang tak berdaun lagi, malah cabang-cabang
kecil pun tidak, hanya cabang-cabang besar saja dan batang atau bongkotnya yang ketinggalan.
Di tengah-tengah telaga, di bagian barat, ada sebuah
bukit yang merupakan pulau, di atas itu tumbuh banyak
pepohonan. Di situ kelihatan tembok merah dari sebuah
rumah berhala. Di empat penjuru telaga ini berdiri banyak rumah-rumah
besar dan indah, dengan liang dan lauwteng-nya yang
terukir atau terlukis indah, sebab itu kebanyakan vila-vila kepunyaan orang hartawan.
Hanya sedikit tertampak rumah-rumah atau gubuk
orang-orang miskin.
Di waktu magrib itu, dengan angin meniup keras, hawa
telah menjadi dingin luar biasa.
Di atas cabang-cabang gundul, burung-burung gowak
berisik dengan suaranya yang tak enak didengar ...
Di musim panas, Lauw Tay Po pernah datang ke tempat
ini, maka ia tahu, ini adalah tempat yang terkenal dari
Pakkhia, yang oleh golongan sastrawan dinamai Cenggiap
Ouw, Telaga Kebersihan, sementara di antara orang banyak terkenal dengan nama Ceksui Tha, Tempat Berkumpulnya
Air ... Tukang dangsu tadi jalan terus di sepanjang tepi timur
menuju ke utara, dan gadisnya mengikuti di belakangnya,
maka itu Tay Po berada di belakangnya si nona hitam
manis itu. Ayahnya jalan terus, dengan tak menoleh sedikitpun,
tetapi gadisnya, mendadakan putar tubuhnya yang langsing ke belakang, hingga ia dapat lihat kauwsu itu, hanya ia tak kata apa-apa, ia melainkan mengawasi dengan matanya
yang tajam, lalu ia bersenyum. Ia pindahkan gembreng dan tambang ke sebelah tangan, dan dengan tangannya yang
lain ia ambil sapu tangan di pinggangnya dan susut
jidatnya, kemudian ia bersenyum pula, ia putar lagi
tubuhnya dan terus bertindak menyusul ayahnya ...
"Itu tandanya main mata dengan aku ... " pikir Tay Po.
"Oh, nona, jangan kau bersikap begini terhadap Lauw tayya-mu, karena tayya ada satu loohan besi yang tidak
dapat digoda oleh siluman rase ... "
Tay Po menguntit terus, sampai di sebelah utara ia lihat sebuah rumah tua dan sudah rusak, atapnya dari rumput
ketutupan lempung, bata temboknya sudah kelihatan
susunannya, dan di pintu depannya banyak tumbuh pohon
duri ... Si tukang dangsu masuk ke dalam rumah itu. Sebelum
anaknya susul ayahnya masuk, ia menoleh pula, ia
bersenyum, sapu tangannya diulap-ulapkan.
Mau atau tidak, Tay Po tertawa kepada nona itu.
"Adikku, di sini aku tunggui kau! ..." ia kata dalam hatinya. "Adikku, lekas kau serahkan itu pedang mustika padaku ... "
Sampai mereka sudah masuk ke dalam, Tay Po masih
jalan mundar-mandir di dekat rumah itu dan ketika cuaca
mulai gelap, pengaruh air kata-kata pun telah lenyap, maka ia segera merasai hawa dingin.
"Baik aku main-main di es sebentaran ... " kata ia dalam hatinya. "Kemudian aku pergi minum pula di Tekseng Kio
... " Apa mau, baru saja ia loncat di atas air beku itu, ia
terpeleset, hingga ia tengkurap di atas es itu!
Berbareng dengan itu, di tepi telaga ia dengar suara
orang perempuan tertawa cekikikan!
Lekas-lekas Tay Po merayap bangun, ia berundak ke
darat, ketika ia mengawasi, ia kenali orang yang tertawa itu ialah nona tukang dangsu tadi, si hitam manis! Tidak tempo lagi, ia hampirkan itu nona, untuk terus dicekal tangannya.
"Adikku, kau tertawai aku?" ia kata. "Berapa banyak aku telah menyawer pada kau, kau tahu" Dan kalau tidak ada
aku, tadi kau tentu rasai cambuknya hamba-hamba dari
teetok tayjin! ... "
Si nona tertawa.
"Awas, jangan tarik aku!" ia kata. "Awas, mangkokku nanti pecah! ... "
Tay Po lihat, si nona benar sedang pegangi mangkok.
"Kau hendak beli apa?" ia tanya.
"Aku mau beli kecap," sahut si nona itu. "Aku hendak masak nasi. Sebentar sehabisnya bersantap, ayah baru pergi
ke warung teh dengari tukang cerita, maka sebentar, toaya, kau boleh datang padaku ... "
"Apakah benar?" Tay Po tegasi, sambil tertawa.
"Kenapa tidak benar?" si nona baliki, "Tadi, begitu lekas aku lihat kau, aku lantas menduga bahwa kau memangku
pangkat, bahwa kau punya banyak uang, malah kau pun
berhati murah ... "
Tay Po lantas lepaskan cekalannya, ia tepuk pundaknya
nona itu ... "Kau lagi umpak-umpak aku!" ia berkata. "Sekarang lekas kau beli kecap dan pergi masak, supaya ayahmu lekas dahar dan pergi dengari cerita! Sebentar sebelum jam
delapan, tentu aku bakal datang! Tanda kita ialah tepukan tangan ... "
"Baik," ia kasih kepastian. "Nah, pergilah kau pulang dahulu dan makan rumput! ... "
Lantas ia lari ke selatan, beberapa kali ia menoleh dan
tertawa, tingkahnya lucu dan menarik.
Tay Po berdiri melongo, semangatnya seperti terbang
pergi, hingga ia seperti tak merasakan angin yang dingin. Ia masih berdiri diam ketika dari jurusan selatan nona tukang dangsu tadi kembali sehabis belanja.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Adik, tunggu dulu!" ia lalu berkata, sambil memberi tanda. "Aku hendak tanya kau, kau sebenarnya orang she apa ... "
Ia ulur tangannya cekal tangan si nona ...
Nona itu mengegos ke samping dan ia terus lari,
gerakannya cepat dan gesit, ketika Tay Po kejar padanya, ia lari terus, sambil tertawa cekikikan. Ia pandai lari keras, sebentar saja ia sudah sampai di pintu rumah.
Tay Po tidak dapat menyandak, ia mengintip ke dalam,
ia lihat cahaya api, lantas ia berjalan pergi. Ketika ia sampai di Tekseng Kio, ia periksa uangnya lalu masuk ke dalam
warung nasi. Ia minta arak, untuk tenangkan diri dan
lewatkan tempo ...
Sekarang guru silat ini tak dapat melupakan muka hitam
manis itu, yang senantiasa terbayang di depan matanya. Ia lihat sepasang mata yang jeli, muka yang berseri-seri. Itu konde dua, baju dan celana merah, sepatu merah juga,
bersama sapu tangan putih yang melambai-lambai ... Ia
seperti lihat tubuhnya yang langsing dan gesit ...
Kemudian ia ingat pedang mustika, yang ia lagi cari.
"Pasti aku bakal berhasil! ... " akhirnya ia berpikir.
"Bukan saja aku akan dapatkan kembali pedang itu, malah juga setangkai bunga teratai ... "
Lalu ia keringkan cawan air kata-kata yang ada di
depannya. Dengan jalan itu, Tay Po tunggu waktu. Ia tidak pulang
lagi. Kira-kira jam delapan, ia bayar uang makan dan
bertindak keluar. Ia lawan serangannya angin utara. Karena ia telah minum banyak juga, ia rasakan kepalanya sedikit pusing dan tubuhnya seperti terbawa angin. Ia merasa
dirinya sebagai pengantin hendak masuk ke dalam kamar.
Maka, karena masih sadar, ia coba kendalikan diri.
"Aku tak boleh lupa bahwa sekarang aku sedang selidiki perkara!" demikian ia kata dalam hatinya. "Sekarang aku bukannya pergi pelesir! Jikalau aku lupa akan diriku,
pedang tak akan didapat kembali, sebaliknya, kehormatannya Itto Lianhoa akan turun! ... "
Demikian ia menuju ke Ceksui Tha, sampai ia lihat
rumah rusak itu dan mana cahaya api menyorot keluar, tapi sekelebatan saja, cahaya itu lenyap.
"Bagaimana, eh?" ia berpikir. "Si nona pergi ke belakang atau ia hendak mengintai jangkrik" ... "
Lantas ia lari hingga dengan cepat ia sampai di rumah
itu. Ia bertindak ke dalam pekarangan, ia samperi jendela kamar yang dipakai oleh si tukang dangsu dan gadisnya. Ia lihat sinar api guram tetapi ia lidak dengar suara orang.
Dengan berani, ia tepuk tangan dua kali, kemudian sambil mundur, ia menepuk pula, juga dua kali.
Di tempat sunyi sebagai itu, suara tepukan tangan
terdengar nyata sekali. Tapi Tay Po menunggu sekian lama dengan sia-sia, pintu tidak terbuka. Maka akhirnya, ia
menepuk pula, sampai tiga kali, suaranya lebih keras. Ini kali juga ridak ada jawaban.
"Ha, tentu bocah itu main gila, ia pedayakan aku! ... " ia lantas menduga. Ia tepuk pula tangannya sembari
menyanyi-nyanyi:
"Baik, pintu menjeblak terbuka!
Waktu dilihat, Thiosiucay yang datang!
Ya, Thiosiucay ... "
Tiba-tiba Tay Po berhenti, karena sepotong batu kecil
sambar batok kepalanya, ia kaget dan loncat minggir,
kepalanya sedikit sakit. Tapi dari belakang ia, dari sebuah pohon, ia dengar suara cekikikan.
"Ha, kau permainkan aku!" berseru si kauwsu, yang kenalkan suara orang. Ia memburu ke pohon.
Si nona berhenti tertawa, ia lantas sesalkan Tay Po!
"Kau bikin apa, eh" Mengapa mesti nyanyi-nyanyi"
Ayahku baru saja pergi dan di jalanan masih ada orang ...
Apa kata orang kalau mereka dengar?"
"Siapa suruh kau tidak sambuti tepukan tanganku?" Tay Po pun menyesalkan.
Si nona tertawa.
"Tepuk tangan toh cukup dengan satu kali!" ia kata.
' Kenapa kau justru menepuk beruntun-runtun" Itu toh
menyebalkan! Maka kendati aku dengar, aku antap saja ... "
Tay Po raba batok kepalanya, ia tertawa.
"Timpukan kau keras, sampai kepalaku ini bertelur kecil
... Baiknya kau yang timpuk aku, coba lain orang, mana
Lauw toaya mau mengerti ... "
"Aha, Lauw toaya!" nona itu tertawa. "Ya, ya, aku sampai lupa menanyakan she dan namamu! Lauw toaya, di
kantor mana kau bekerja?"
"Sudah, jangan tanya dahulu tentang aku!" Tay Po memotong. "Lebih dahulu aku yang mesti tanya kau punya she! Kau punya nama atau tidak?"
Nona itu tidak tertawa lagi, ia tunduk, agaknya ia
berpikir. "Aku Coa Siang Moay ... " akhirnya ia menyahut, dengan malu-malu
"Siang Moay! Satu nama yang bagus!" Tay Po memuji.
"Dan nama ayahmu?"
"Ayah tidak punya nama tetapi orang panggil ia Coa Kiu
... " "Ayahmu pergi mendengari tukang cerita?"
"Kalau ayah belum pergi, mana aku dapat bertemu
dengan kau" ... "
"Bagus!" Tay Po manggut. "Di sini hawanya dingin, mari kita masuk ke dalam ... "
"Mari ikut aku, jangan bicara keras-keras, nanti orang dengar," nona itu kata.
"Peduli apa orang luar!" kata Tay Po.
Siang Moay tidak kata apa-apa, ia hanya bertindak.
Nona itu buka pintu rumah dan ketika Tay Po mau
masuk, daun pintu ia rapati, hingga pemuda ini mesti
miringi tubuhnya. Apa mau, bajunya kesangkut pagar dan
berbunyi "Wek!"
"Ah, pintumu jahat!" kata anak muda ini, yang
mendongkol, tetapi ia tidak marah.
"Mari," kata Siang Moay sembari tertawakan ia.
Tay Po masuk terus.
Rumah itu memperlihatkan tanda kemiskinan. Kertas
tempelnya seperti kertas pungutan di tengah jalan. Mejanya meja butut, di atasnya terletak mangkok dan sumpit kasar.
Dari empat penjuru tembok angin menembus masuk. Anglo
hanya dari lempung putih dengan masih ada sisa bara, yang hampir padam. Pelita, yang apinya kelak-kelik, ditaruh di jendela. Pembaringan tanah berada di pojok utara, di atas tikarnya terletak sepasang tombak bandring, tambang dan
gembreng, dan juga buntalan serta satu peti kecil tetapi dikunci, sehingga Lauw Tay Po jadi perhatikan peti itu,
karena ia ingat pedang mustikanya Tiat pweelek.
"Sungguh dingin ... " kata guru silat ini. "Uang saweran yang kau dapat kenapa tidak dipakai beli arang dan untuk betulkan tembok?"
"Berapakah kau kira pendapatan itu?" kata Siang Moay.
"Hanya dalam dua hari ini, hasilnya boleh juga, tadinya lima ratus chie pun sukar didapat! Aku tidak sangka
penduduk Pakkhia begitu muris, mau nonton dengan tak
membayar. Kamar ini kamar sewaan, bagaimana kita dapat
memperbaikinya" Kita justru mau menunggu, apabila
keadaan tetap jelek, kita mau pergi ke lain tempat. Bukan sebagai kau, toaya, kau mempunyai kamar yang hangat,
maka juga, baru kau masuk kemari, kau sudah berasa
dingin! Baiklah kau beri kita beberapa ratus kati arang, untuk menghangati tubuh kita ... "
Nona itu bicara dengan lancar, sambil tersenyum. Sama
sekali ia tak merasa likat berhadapan dengan guru silat yang baru dikenal itu.
Mau atau tidak, semangatnya Tay Po terbetot.
"Baiklah," ia kata, "besok aku belikan kau duaratus kati arang, begitupun mie dan minyak untuk pasang pelita ... "
"Bagus, toaya!" berseru Coa Siang Moay. "Kita sebagai juga ketemu malaikat uang! Selanjutnya kita boleh tak usah berkeliaran lagi! ... "
Ia tambahkan arang dan duduk di atas pembaringannya,
tangannya menyambar sepatu dan jarum yang ada
benangnya. "Lauw toaya, sebenarnya apa namamu?" ia tanya. "Di mana toaya bekerja?"
"Jangan kau panggil aku toaya," Tay Po menyahut. "Aku ini anak yang kedua ... ,"
"Jadinya Lauw jieya ... ' kata nona itu.
"Jieya pun masih belum cocok," Tay Po kata pula. "Aku ini, di atas tidak bekerja di kantor negara, di bawah tidak
menjadi si tukang luntang-lantung, aku tidak punya rumah, tidak punya kerjaan, aku suka jalan-jalan, toh uang aku
punya, setiap waktu aku bisa dapatkan itu! Aku juga tidak punya sanak atau kenalan hartawan, tetapi di mana saja,
orang suka bantu aku!"
Coa Siang Moay angkat kepalanya. "Sebenarnya kau
kerja apa?" ia tanya pula.
"Aku" Tentang aku, kau tentu tidak akan mengerti,"
sahut Tay Po. "Yang menghargai aku, sebut aku hoohan, tapi yang tak menghormati aku, ia namai aku buaya darat, si malas, si tukang luntang-lantung!"
Lauw Tay Po mengawasi Siang Moay, yang nampaknya
tak mengerti, hingga ia lihat kembang di dua kondenya
yang menarik hati. Lantas ia mendekati dan duduk di
pembaringan, tetapi tidak di sebelahnya.
"Jangan kau tak menghargai aku," ia lalu terangkan lebih jauh. "Meski aku Lauw Jie, di Pakkhia ini aku toh punya nama. Di Sunthian hu, di Touwcat ih, di Teetok Geemui,
dari atas sampai di bawah, semua orang kenal aku, malah
dari Touwcat Giesu sampai Teetok Cengtong, semua
pembesar bun dan bu, tak ada yang tak bahasakan aku
saudara! ... "
Coa Siang Moay tertawa.
"Jangan kau ngebul lebih jauh di depanku!" ia kata.
"Memang kau bukan orang yang tak ada ujung pangkalnya!
Lihat saja tadi ketika kita diusir oleh orangnya teetok dan kau bicara dengan mereka, sebentar saja, mereka lantas
pergi. Malah aku lihat mereka tertawa terhadap kau! Tapi sekarang aku hendak bicara dengan sungguh-sungguh. Aku
hendak minta sedikit bantuanmu. Apakah kau benar kenal
Giok tayjin, atau kuasanya tayjin."
Tay Po heran mendengar pertanyaan itu.
"Giok tayjin itu sahabatku," ia menyahut. "Kalau tayjin sedang duduk dalam joli, ia tak perhatikan aku, tetapi bila di hari tahun baru aku beri selamat padanya, ia lekas-lekas memimpin bangun padaku seraya bahasakan aku lauwtee.
Sekarang ini tayjin berkuasa atas sembilan kota, tetapi bila tak ada aku, yang bantu padanya, ia tak akan mampu
bekerja! Tiap penjahat dari propinsi mana pun jika datang kemari dan aku suruh tangkap, ia tentu bekuk, dan bila aku kata lepas, pasti ia merdekakan! Dengan adanya aku,
buaya-buaya darat tak berani sembarang main gila di muka umum, sebab mereka semua sebawahanku, dan bila ada
aku, sia-sia saja, tak ada faedahnya, andaikata di sana ada limaratus opas polisi atau tujuh ribu sersi! Kau hendak
minta bantuanku dalam hal apa" Hayo katakan!"
Siang Moay mendengar ucapan itu dengan tak mengerti
betul. Ia agaknya sangsi kawan ini bicara sesungguhnya
atau main-main.
"Apa yang aku minta bukannya urusan sukar," kata ia kemudian. "Aku mengharap penghasilan terlebih besar.
Kita berdua asal Kamsiok, kita hidup bertani, dan hidup
lumayan, apa mau pada tahun yang baru silam, kita
ditimpa bahaya air bah, sampai rumah kita kerendam
sebatas wuwungan, hingga ibuku mati kelelap. Kita berdua keburu naik di pohon. Hanya kapan air surut, ladang telah ludas, kita tak punya makanan, tak punya uang, tak punya rumah, hingga terpaksa, ayah ajak aku mengembara. Ayah
pandai silat, ia telah ajarkan aku jalan di atas lambang."
"Apa pelajaran itu dapat disempurnakan dalam satu
tahun?" "Tentu saja! Pelajaran ini hanya meminta keentengan dan kegesitan tubuh, bukan seperti belajar surat, harus
belasan tahun."
Lauw Tay Po manggut-manggut.
"Sesudah aku pandai jalan di atas tambang, ayah mulai ajak aku mengembara. Begitulah kita merantau ke Shoasay, Siamsay, Hoolam dan Titlee, baru pada setengah bulan
yang lalu kita sampai di kota ini. Kita hidup dari hasil pertunjukan, yang tidak menghasilkan banyak, kecuali
selama dua hari ini, ketika kita buka penunjukan di depan gedung Giok tayjin. Kemarin sam-siocia pun turut nonton, dan ia persen kita lima tail. Ia tanya usiaku dan aku jawab enambelas. Ia tanya mengapa kakiku kecil, aku jawab sebab kakiku diikat sedari aku masih kecil. Aku lihat sam-siocia suka padaku, sebagaimana aku pun tertarik padanya. Ia
sangat elok! Aku ingin jual diriku kepada sam-siocia,
supaya aku dapat menjadi budaknya ... "
Tay Po terperanjat mendengar keinginan itu, tapi ia lekas tenangkan diri, ia malah tertawa.
"Dengan kerjaan jalan di tambang, kau merdeka!" ia kata. Ke mana saja kau dapat pergi! Dengan menjadi budak orang, kau akan bersengsara, kau akan lebih bercelaka
daripada kuda dan kerbau! Jangan kau tertarik dengan
pakaian budak-budak itu, mereka kalah merdeka denganmu!"
Coa Siang Moay goyang kepala berulang-ulang, ia
nampaknya berduka.
"Tapi aku suka pakaian mentereng!" ia kata. "Aku suka tinggal di gedung dengan lauwteng yang tinggi! Untuk
hidup melarat sebagai ini, seumur hidupku, aku sungguh
tak tahan. Pun dengan mengikuti ayah, ayah jadi tidak
merdeka, aku merupakan bandulan! Coba tidak ada aku, ia
dapat masuk tentara, barangkali sekarang ia sudah pangku pangkat ... Dari itu aku ingin dapati orang perantaraan, untuk aku jual diri ke gedung Giok tayjin. Dan aku lebih suka umpama aku menjadi budaknya sam-siocia sendiri.
Dalam hal ini, aku ingin ayahku tak mengetahuinya, aku
akan memberitahukannya jika cita-cita itu terwujud, ia
tentu setuju. Dengan begitu, ayah jadi merdeka ... "
Tay Po berpikir. Tapi kemudian ia tertawa.
"Ini gampang," ia katakan. "Buat jadi budak di gedung Giok tayjin, asal aku buka mulut, tentu beres! Kau sabar, tunggu besok atau lusa, aku nanti bicara dengan Giok
tayjin. Hanya aku tidak mau kau dipandang atau
diperlakukan sebagai lain-lain budak ... "
"Itulah terlebih baik lagi!" Siang Moay bersenyum.
"Dengan itu jalan aku akan keluar dari kalanganku ini.
Coba pikirkan, apa aku harus tetap ikut ayahku seumur
hidup menjadi tukang dangsu?"
"Sebenarnya, jikalau kau berniat mencari tempat untuk berdiri sendiri, tidak perlu menjadi budak orang. Kau lihat aku! Sekarang aku baru berusia tigapuluh dua tahun, aku
belum beristeri, maka kau bicara dengan ayahmu, supaya
ayahmu nikahkan kau dengan aku. Dengan menjadi
isteriku, aku tanggung kau akan hidup lebih mewah dan
lebih senang daripada menjadi budak di gedung keluarga
Giok ... "
Tiba-tiba Siang Moay menyampok dengan sepatunya.
"Kau bukan orang baik-baik! Inikah harapanmu" Kau
pergilah!"
Tay Po tertawa.
"Aku bicara dengan sebenarnya," ia jawab. "Apa kau ingin menjadi budak seumur hidup dan tidak ingin
menikah?" "Aku belum pikir untuk menikah, aku masih terlalu
muda ... " sahut si nona yang lirik orang di sampingnya. Ia nampaknya sedikit likat. "Ayah tentu gusar kalau sekarang ia diminta nikahkan aku ... Sebaliknya ia akan menjadi
girang sekali apabila ia mendapat tahu aku menjadi budak di dalam gedungnya Giok tayjin! Baiklah kau sabar, tunggu sampai aku sudah bekerja beberapa lama pada Giok tayjin, baru kau datang menyambut aku ... "
"Ini sedikit sukar, aku kenal Giok tayjin, maka kalau aku mesti ambil budak dari dalam gedungnya, budak itu tentu
harus menjadi gundikku, sebab kalau aku ambil budak
untuk isteri, aku malu ... "
"Buat aku, gundik atau bukan, tidak menjadi soal! Sudah cukup pembicaraan kita, sekarang silahkan kau pergi, lekas sedikit. Kalau ayah keburu pulang dan ia pergoki kita, ia akan marahi aku. Kau lekas pergi dan atur permintaanku
itu, besok malam kau boleh datang pula. Ingat, kau perlu tepuk tangan satu kali saja, jangan sekali-kali kau
menyanyi-nyanyi pula seperti tadi!"
Tay Po tidak mau berlalu, tetapi si nona turun dari
pembaringan dan dorong ia. Maka terpaksa ia menurut.
Ketika ia bertindak, ia incar pula peti kayu tadi. Begitu ia melangkah pintu, daun pintu digabruki dan di kunci.
"Jangan lupa!" nona itu kata dengan perlahan
"Wujudkanlah permintaanku. Bila aku dapat bekerja di gedung Giok tayjin, walaupun hanya setengah tahun, kalau nanti aku keluar dan sana, lantas aku jadi orangmu."
Begitu berada di luar, Tay Po merasai serangannya hawa
dingin. "Baiklah," ia jawab. "Besok aku datang pula, dengan membawakan beberapa rupa barang perhiasan. Kau pergi
ke gedung Giok tayjin selaku budak, maka harus punya
pakaian, kalau tidak, lain-lain budak akan tidak pandang mata padamu!"
Ia tidak dapat jawaban lagi, maka ia lantas pergi.
"Heran, Siang Moay tetap mau menjadi budak di
gedungnya Giok tayjin!" demikian ia berpikir. "Apa ia niat mencuri barang-barang berharga atau ia berniat tak baik
terhadap Giok tayjin sendiri" Ia bukannya orang
sembarangan! Coba ia tak lihat pengaruhku terhadap dua
hambanya Giok tayjin, tidak nanti ia sudi layani aku secara begini. Terang ia mengandung maksud! Baik aku bersiaga
... " Itu waktu kira-kira jam dua, di jalan besar masih ada
toko yang belum tutup pintu.
Ketika Tay Po sampai di depan Pweelek-hu, ia lihat
pintu pekarangan sudah ditutup dan keadaannya gelap.
Tiba-tiba di sebelah kiri ia, ia lihat bayangan berkelebat.
Dengan satu loncatan jauh, ia melesat ke bayangan itu,
yang ia segera cekuk.
"Tuan, ampun." demikian
suaranya satu bocah pengemis. Ia ini pegang perapian kecil, perapian itu jatuh dan hancur.
"Kurang ajar!" Tay Po membentak. "Apa perlunya kau mendekam di sini" Kau bermaksud jahat?"
"Bukan, tuan," sahut bocah itu dengan ketakutan. "Satu toaya di rumah makan perintah aku sampaikan surat
kepada pweelek-ya ... "
"Surat?" tanya Tay Po, dengan heran. "Surat apa" Mari berikan padaku!"
Dari dalam sakunya bocah itu keluarkan dan serahkan
suratnya. Tapi di situ tidak ada api dan api perapian tadi hampir padam, maka Tay Po tidak dapat baca surat itu.
"Siapa suruh kau antarkan surat ini?" ia tanya pula.
"Satu toaya muda yang minum arak di rumah makan,"
bocah itu menyahut. "Tadi aku sedang berdiri minta-minta di luar rumah makan, toaya itu datang padaku dan perintah aku membawa surat ini kemari. Ia memberi aku sepotong
uang. Tetapi sesampainya aku di sini, pintu sudah dikunci
... "

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau beruntung, bocah!" kata Lauw Tay Po. "Cuma diperintah antarkan surat kemari, kau dipersen sepotong
perak. Sekarang toaya itu sudah pergi atau belum?"
"Begitu ia berikan uang padaku, ia lantas pergi ke
selatan." "Ia pakai pakaian apa?"
"Ia pakai pakaian hitam."
"Kopiahnya?"
"Kopiah kulit hitam."
"Berapa tinggi tubuhnya" Ia bicara dengan lidah apa?"
"Tubuhnya tidak tinggi. Laku bicaranya seperti orang sini."
"Ia kurus atau gemuk?" Tay Po tanya pula, setelah
berpikir sesaat. "Ia bermuka putih atau hitam?"
"Badannya sedang, mukanya tidak putih dan tidak hitam
... " sahut pula bocah itu.
Sesudah mendapat keterangan itu Tay Po mengusir dan
mendupak hingga pengemis itu terguling, tapi ia merayap
bangun dan kabur.
Tay Po masukkan suratnya ke dalam sakunya, ia lalu
mengetok pintu. Ia mesti menunggu lama, baru pintu
samping dibuka oleh dua bujang dari Pweelek-hu, di
belakangnya ada empat hamba polisi, satu di antaranya
memegang lentera.
"Kau bikin apa?" tanya satu hamba polisi seraya cabut goloknya. "Mau apa tengah malam kau ketok pintu?"
Tapi satu bujang lantas maju.
"Ia ini kauwsu di sini." Kemudian ia tanya Tay Po:
"Lauw-ya, kenapa begini hari kau baru pulang" Apa kau tidak tahu keadaan di sini genting" Giok tayjin sekarang masih ada di sini!"
"Aku tidak tahu," sahut Tay Po sambil bersenyum. "Aku datang dari rumah sahabatku, sampai aku melupakan
waktu." Sikapnya empat hamba polisi itu lantas berubah.
"Selama keadaan genting, baiklah kau jangan terlalu sering keluar," kata satu di antaranya.
"Aku mengerti,"sahut Lauw Tay Po. "Lain kali aku tak akan keluar malam ... "
Ia bertindak ke dalam. Ia lihat kuda jauh terlebih banyak daripada biasanya, maka ia menduga Giok tayjin tentu
datang dengan ajak banyak pengawal.
Inilah apa yang dikatakan: "Penjahat sudah lari, pintu baru ditutup. Apakah perlunya itu?"
"Tidak begitu dengan aku," pikir Tay Po. "Sekali aku keluar, aku lantas dapat endusan. Pertama-tama aku
ketemu Coa Siang Moay, dan kedua aku dapatkan surat ini.
Tentu semua ini ada hubungannya dengan perkara yang
aku sedang selidiki ?"
Ia lantas masuk ke kamarnya. Lie Tiang Siu kebetulan
tak ada. Tay Po lekas kunci pintu lalu dikeluarkan surat yang ia
lipat dari bocah pengemis tadi. Ia lihat surat itu untuk pweelek-ya sendiri, Ketika ia buka surat itu, ia lihat tulisan yang bagus dan rapi, di atas sepotong kertas sobekan yang indah. Bunyinya surat itu ialah :
"Surat ini dihaturkan kepada Tiat-kong! Pedang adalah aku ambil, untuk dipinjam buat sementara waktu.
Kira-kira buat lima tahun aku akan kembalikan itu. Aku
bersyukur dengan kabar bahwa paduka tak berniat menarik
panjang perihal pedang itu. Sebenarnya aku ..."
"Inilah tidak beres." Kata Lauw Tay Po, dengan masgul.
Surat itu gelap bagi ia, ia simpan surat itu dalam sakunya.
Ia buka pula pintu kamarnya Ia jalan mundar-mandir
didalam kamar pikirannya ruwet.
"Ini bukan suratnya Coa Siang Moay atau ayahnya," ia berpikir. "Tidak nanti mereka mampu menulis sebagus ini.
Si pencuri pedang mesti seorang lain. Tetapi siapa" Siang Moay dan ayahnya tidak punya sangkutan, aku mesti
mencari ke lain jurusan."
Akhirnya ia naik ke atas pembaringan, Ia terus berpikir.
Berbayang di hadapannya si hitam manis ...
Tidak lama kemudian. Lie Tiang Siu masuk.
"Eh, Lauw-ya, kau tidur siang-siang?" kata teman ini.
"Mengapa kau tidak adu peruntungan" Malam ini sangat ramai, di sini telah datang duapuluh lebih orangnya teetok tayjin. Mereka main paykiu dan lakkauw ... "
Tay Po berpura-pura tidur nyenyak.
Tiang Siu tidak mengganggu lebih jauh dari peti kayu ia
ambil uang lantas ia keluar pula. Tak lama kemudian Tay
Po dapat tidur pulas.
Esok paginya Tay Po pergi pula ke Su Tay Ih untuk
pasang omong dengan Toh Tauw Eng. Di sini ia duduk
sampai ia dahar tengah hari. Karena ia tak peroleh endusan, ia terus ke jalan Bwee-sie-kay di luar Cianmui, ke Coanhin Piauwtiam tempat engko misannya.
"Aku justru hendak cari kau!" Yo Kian Tong terima saudara ini.
Engko misan ini ajak adiknya kekantornya. Ia suruh
semua orangnya pergi.
"Apakah yang kau telah lakukan?" Ia tanya dengan tiba-tiba. Tay Po melengak.
"Oh, toako, aku berbuat apakah?" ia balik tanya.
"Kau mesti mengerti perbuatanmu!" kata pula sang engko.
"Di depanku, kau tidak boleh berpura-pura. Di
gedungmu telah terjadi pencurian pedang!" engko itu lanjutkan. "Di semua sembilan lapis kota, tak ada orang yang tak ketahui pencurian itu! Sekarang teetok tayjin telah lepas.orang ke segala penjuru untuk mencari si pencuri!
Kau tahu atau tidak riwayatnya pedang itu" Itu adalah
pedang yang pweelek-ya dapat sebagai hadiah dari Lie
Bouw Pek! Sekarang Lie Bouw Pek berada di Kiuhoa San,
jikalau ia dengar tentang ini pencurian, pasti sekali ia bakal turun gunung akan bantu pweelek-ya mencari pedang itu.
Apakah kau bisa pandang enteng bugee-nya Lie Bouw
Pek?" Mau atau tidak Lauw Tay Po jadi mendongkol.
"Sungguh gila. Aku toh bukannya si pencuri pedang"
Peduli apa Lie Bouw Pek dan teetok tayjin" Apa perlunya
toako tanya aku?"
"Apa perlunya?" engko misan itu balas, "Sampaipun aku, aku mau percaya pedang itu adalah kau yang curi!"
Mukanya Lauw Tay Po menjadi merah padam,
tangannya ia kepal keras. Coba orang di depannya bukan
Yo Kian Tong, niscaya ia sudah pukul!"
"Terang ini perbuatannya Tek Lok!" ia kata dengan sengit. "Jikalau bukannya Tek Lok, siapa juga tak nanti
menyangka aku! Baiklah, aku nanti cari Tek Lok! Aku tidak mau banyak omong, aku nanti masukkan golok putih dan
keluarkan golok merah!"
"Apa kau sudah tidak sayang jiwamu?" tanya Yo Kian Tong sambil menyindir. "Kalau begitu pergilah terbitkan onar. Kau bukannya saudara kandung, kau hanya saudara
misan, kau tak akan rembet-rembet aku!"
Lauw Tay Po banting-banting kaki, ia mendelu bukan
main. "Toako, cara bagaimana kau dapat menyangka aku?" ia berseru. "Dulu aku berani curi uangmu, itulah benar tetapi untuk curi pedang pweelek-ya, bagaimana aku berani"
Kemarin begitu aku ketahui lenyapnya pedang, aku mencari seharian lamanya! Aku pun ingin cuci bersih namaku!
Mula-mula aku telah dapat endusan, apa mau belakangan
endusan itu nyata sesat juntrungannya! ... "
Yo Kian Tong awasi gerak-gerik orang, ia menjadi sangsi
apakah Lauw Tay Po yang curi pedang itu, maka ia lantas
duduk, dengan alis mengkerut, pikirannya kerja keras.
"Benar-benar kau mesti berdaya cuci bersih dirimu,"
kemudian ini engko misan berkata: "Tek Lok seorang yang jujur, kendati ia menyangka kau, tentang sangkaan itu ia tak beritahukan pada lain orang, cuma kemarin ia pergi pada
Tek ngoya dan minta Tek ngoya nasehatkan kau untuk kau
pulangkan pedang itu. Ia anggap asal pedang sudah
kembali, urusan sudah beres ... "
"Biar jiwaku diambil, pedang itu aku tak mampu
kembalikan!" Tay Po kata dengan sengit. "Pedang itu aku melainkan baru lihat sekelebatan, lainnya tidak!"
"Jikalau begitu," berkata Yo Kian Tong, "terang ada penjahat besar yang bersarang di kota raja ini! Pweelek-ya sendiri percaya si pencuri ada satu hiapkek, oleh karenanya, ia tak mau menarik panjang. Tetapi Giok tayjin ada sangat murka berhubung dengan kejadian ini, sampaikan ia kasih
tempo tiga hari untuk orang-orangnya dapat bekuk si
pencuri atau dapat ambil pulang pedang itu! Menurut aku, meski sampai tigapuluh hari, belum tentu pedang itu bisa didapat kembali! Sekarang kau sedang nganggur, baik kau
berdaya akan bantu cari si penjahat, aku sendiri akan
membantunya dengan minta bantuan pula lain piauwsu ... "
Lauw Tay Po tepuk-tepuk dadanya.
"Aku telah bersumpah bahwa jikalau aku tidak mampu
dapati pulang pedang itu akan bukan lagi si orang she
Lauw!" ia kata dengan sengit dan nyaring. "Baik, toako!
Karena kau suka membantu aku, baik kita bekerja dengan
berpisahan. Tolong kau sampaikan pada Tek ngoya dan
Tek Lok bahwa Itto Lianhoa bukannya si pencuri pedang.
Dalam tempo sepuluh hari, aku akan coba bekuk si pencuri untuk hadapkan ia di muka pengadilan!"
"Jangan sebut-sebut tentang waktu," Yo Kian Tong peringatkan adik itu. "Yang utama adalah kita mencarinya dengan sungguh-sungguh!"
Lauw Tay Po berbangkit dengan napas memburu.
"Baiklah," ia kata. "Sekarang aku mau pergi untuk melakukan penyelidikan, andaikata ini hari aku tak
berhasil, aku tidak mau pulang untuk bersantap!"
Ia lantas berlalu dari Coanhin Piau tiam. Setengah
harian ia mundar-mandir di jalan besar di Cianmui,
kemudian ia masuk ke dalam kota. Ia pun mutar di Kota
Barat. Dengan tak merasa, ia sampai di Kouwlauw, di
sebelah barat, depan gedung Giok tayjin yang kembali ada berkerumun banyak orang.
"Tidak bisa jadi Siang Moay dan ayahnya ada si penjahat pedang," kata ini kauwsu. "Terang sekali mereka tak akan mampu menulis seperti itu surat sobekan ... "
Tetapi agaknya ada suatu pengaruh yang membetot ia, ia
toh bertindak ke itu rombongan, Maka segera ia lihat Coa Kiu sedang putar bandring dan si nona asyik memalu
gembrengnya. Matanya si nona ada liehay ia segera dapat lihai itu guru silat, hingga mata mereka jadi kebentrok. Tay Po
bersenyum, tetapi si nona diam saja, cuma tangannya
gencar menabuh gembrengnya.
Coa Kiu masih terputar-putar ketika ada dua hamba dari
Giok tayjin masuk ke dalam kalangan.
"Tahan, tahan dahulu!" mereka berkata.
Coa Kiu tahan liuseng-twie-nya, ia menjura pada dua
hamba itu. "Anakku masih mesti jalan di atas tambang," ia berkata,
"sehabis itu aku pun hendak berbenah. Sekarang
pendapatan kita masih belum cukup untuk kita membeli
nasi dan membayar sewa kamar ... "
"Tapi kita bukannya hendak larang kau membuka
pertunjukan," kata dua hamba itu. "Siocia kita justru hendak lihat pertunjukannya gadismu jalan di atas
tambang!" "Oh, begitu," kata Coa Kiu sambil tertawa. "Sungguh siocia baik sekali! Aku nanti pesan anakku supaya ia
mempertunjukkan dengan sungguh-sungguh!"
"Kasih penunjukannya di dalam atau di luar?" Siang Moay tanya.
"Di dalam ada banyak batu, itulah berbahaya bagimu,"
sahut si hamba. "Kau main di sini saja."
Hamba itu lantas usir orang banyak bagaikan mengusir
anjing agaknya.
"Minggir! Minggir! Nonton dari jauh saja!" demikian suara mereka yang keren.
Lauw Tay Po ada jadi korban pertama dari usiran itu,
sampai ia kena didorong, hingga tentu saja ia menjadi tidak senang.
"Binatang, buka matamu!" ia membentak. "Lihat, jangan main dorong saja!"
"Apa?" tanya itu dua hamba. "Kau berani melawan"
Lekas pergi!"
Tay Po gulung tangan bajunya.
"Terhadap ayahmu, kenapa kau bicara kurang ajar?" ia kata. "Binatang, buka matamu! Kau lihat, siapa aku ini?"
"Aku tak peduli siapa! Kau juga mesti lekas mundur!"
Lauw Tay Po tidak mau hilang muka, karena ia lihat
Coa Kiu dan Siang Moay sedang mengawasi padanya. Ia
lantas tepuk-tepuk dada.
Ketika itu semua penonton lain sudah pada mundur,
maka Tay Po tinggal sendirian. Karena ini, ia jadi ambil putusan tidak akan mundur.
Dari gedung, yang berada di tingkatan tangga, ada dua
hamba mendatangi.
"Lihat, koanjin datang!" kata dua hamba itu. "Aku mau lihat, kau masih membandel atau tidak" Kau nanti
dihadapkan di muka kantor!"
Tay Po sibuk juga, karena kalau sampai dua koanjin itu
main gila terhadap ia, ia akan dapat malu besar.
Itu waktu, dua koanjin tersebut telah berteriak: "Tukang dangsu, lekas siap, siocia segera akan keluar!"
Tay Po jadi semakin sibuk. Bukankah di depan Siang
Moay ia telah ngebul bahwa ia kenal puterinya teetok" Tapi ia tidak kekurangan akal. Selagi si koanjin menghampiri, ia samperi mereka.
"Apa jiewie sudah dahar?" ia kata. Ia bicara sambil tertawa dengan angkat kedua tangannya. "Pertunjukan tukang dangsu ini benar-benar bagus! Jadi siocia ingin
menyaksikan" Siocia memang gemar segala apa yang
berhubungan dengan ilmu silat. Beberapa hari yang lalu aku lihat siocia pun saksikan anak mantunya Tek ngoya yang
sedang belajar silat tombak ... "
Kedua koanjin itu bersikap garang, tetapi, kapan mereka
lihat kelakuannya Lauw Tay Po, mereka lantas berubah jadi sabar.
"Ya," sahut satu di antaranya. "Silahkan kau berdiri di sebelah timur sana! Siocia akan lekas, keluar ... "
"Baik," jawab Lauw Tay Po. Kemudian dengan sikap tenang, ia bertindak mundur ke timur, dengan begitu ia jadi tak hilang muka. Di situ ia berdiri seraya memandang Coa Siang Moay dan bersenyum.
Tapi si nona tukang dangsu bawa sikap seperti tak kenal
ia. Dua hambanya teetok serta kedua koanjin tadi berdiri
sama-sama, mereka mengawasi Tay Po dan bicara satu
sama lain, agaknya mereka tidak sanggup membade, Tay
Po itu ada orang macam apa.
Tatkala itu Coa Kiu sudah tancap kedua tombak
cagaknya, menyusul tambangnya dipasang rapi.
Di muka gedung sudah lantas tertampak beberapa bujang
perempuan. Siang Moay singkap rambutnya, ia rapikan pakaiannya.
Ia pun benarkan angkin putihnya.
Di depan gedung sekarang telah muncul puterinya Giok
tayjin, sam-siocia Giok Kiauw Liong.
Tay Po berdiri di tempat yang letaknya bagus, dari situ ia bisa memandang dengan leluasa kepada si cantik manis itu.
Nona Giok tidak berkerebong mantel, bajunya hijau,
tangannya dimasukkan ke dalam sarung bulu binatang,
ketika Siang Moay dari bawah tangga manggut padanya, ia
bersenyum dan berkata dengan suaranya yang nyaring
tetapi halus: "Kau boleh mulai!"
Tidak ayal lagi, Siang Moay enjot kedua kakinya loncat
naik ke atas tambang.
Beda daripada biasanya, Coa Kiu tidak pukul gembreng,
ia hanya nyingkir ke pinggiran. Maka itu, anaknya mesti
main sendirian. Tapi kegembiraan dari si nona tak
berkurang karena tak adanya gembreng, ia jalan dengan
cepat, maju dan mundur, bulak dan balik atau loncat,
tangannya turut bergerak-gerak. Ia telah unjuk kegesitannya tubuh dan kesehatan.
Tay Po bukannya menonton SiangMoay, hanya
mendelong mengawasi si nona Giok. Ia pandang bahwa
nona itu ada terlalu elok, terlalu mentereng. Teristimewa tampang mukanya yang berseri-seri, laksana kembang
bouwtan yang hendak mekar ... Itulah ada tertawa yang
Siang Moay tak sanggup lawan ...
Sesudah puas memandang Giok Kiauw liong, Tay Po
lalu awasi Coa Siang Moay, nona dengan siapa tadi malam
ia bercakapan. Juga, nona ini ada pirnya roman yang cukup menggiurkan ...
Dalam sesaat itu lupalah Tay Po dengan kewajibannya
buat cari pedang atau pencurinya, ia menjadi kesemsem.
Maka bukan main kagetnya apabila ia dengar jeritan yang
tiba-tiba, karena dengan tiba-tiba kakinya Siang Moay
terpeleset, tubuhnya jatuh ke tanah terus rebah pingsan tak bergerak lagi.
Coa Kiu lari memburu, demikian juga orang-orangnya
teetok. Dengan hati bimbang, Tay Po juga lari menghampiri.
Si nona tukang dangsu rebah celentang di tanah, kedua
matanya tertutup, mukanya pucat sebagai kertas. Syukur ia tidak terluka, karena ia jatuh celentang, rupanya kepalanya terbanting dan ia jadi tak sadar akan dirinya.
Coa Kiu lantas banting-banting kaki dan menangis.
"Aku celaka ... " ia mengeluh. "Aku justru andalkan anakku ini ... "
"Jangan putus asa!" tiba-tiba Tay Po berseru. "Lihat, matanya bisa bergerak! ... "
Benar juga, Siang Moay bisa buka matanya, tetapi ia
terus menangis, air matanya keluar.
Coa Kiu lantas menjura pada orang-orangnya teetok:
"Tuan-tuan, berlakulah murah hati," ia kata. "Rumah kita jauh, anakku terluka parah, ia tidak bisa rebah saja di jalan besar ini, maka tolonglah berikan ia tempat, di dalam istal pun boleh, agar ia bisa beristirahat ... bila nanti keadaannya sudah mendingan, aku hendak ajak ia pulang
... " "Itu benar," kata satu hamba, "nanti aku minta ijin dari sam-siocia. Kau jangan kuatir, aku pun akan mintakan air jahe ... "
Habis berkata begitu, ia lantas lari ke dalam, karena itu waktu sam-siocia sudah masuk. Ia pergi sekian lama, lantas ia kembali dengan tangan membawa satu bungkusan kertas.
"Siocia bilang kasihan yang anakmu telah jatuh dan
terluka parah," ia bilang pada Coa Kiu, "meski begitu, ia tak ijinkan kau dapat tempat di sini karena ini gedung tak bisa terima masuknya sembarang orang. Siocia telah berikan ini uang dua puluh tail perak dan perintah kita siapkan kereta untuk antar kamu berdua pulang ke pondokanmu, ini uang
ada untuk kau berobat."
Lauw Tay Po tidak puas apabila ia dengar jawaban itu.
"Bagaimana aneh sikapnya nonamu!" ia kata. "Ia senang lihat orang buka pertunjukan, sebaliknya ia kejam terhadap
orang yang bercelaka! Toh si nona main dangsu atas
permintaannya untuk bikin senang hatinya! ... "


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di istal pun boleh," Coa Kiu lalu memohon pula.
"Sebab pondokan kita di luar Cianmui, terlalu jauh! Biar pun anakku diantar dengan kereta, ia bisa binasa di tengah jalan ... "
Tay Po heran mendengar kata-katanya si tukang dangsu
itu. "Inilah aneh," ia berpikir. "Terang-terangan ia tinggal di Ceksui Tha, tidak jauh dari sini, kenapa sekarang ia
mengaku tinggal di luar Cianmui" Pasti sekali Coa Kiu
ingin gadisnya dirawat di dalam ini gedung. Apakah
maksudnya?"
"Tidak, tidak bisa!" berkata orangnya teetok seraya goyang-goyang kepala. "Siocia tidak mengijinkan, sekarang tak ada daya lagi! ... "
Wajahnya Coa Kiu menjadi guram.
"Baiklah!" ia kata, "jikalau benar siocia tidak berkasihan terhadap orang yang bercelaka, aku pun tidak bisa bilang apa-apa lagi. Tapi aku tak mau yang anakku naik kereta, itu berbahaya, maka tuan-tuan tidak usah antar aku, aku nanti ajak ia pulang dengan digendong ... "
Ia terima uang pemberian itu, yang bersama bandring
dan gembrengnya, ia libat di pinggangnya, kemudian dan
tanah, ia angkat tubuh anaknya dan digendong, kemudian
dengan air muka masih guram, tanda dari kemurkaan yang
tertahan, ia ngeloyor pergi. Ia menuju ke barat. Lengan
kirinya ada menjepit sepasang tombak cagaknya.
Selagi ayahnya jalan dengan cepat sekali, Coa Siang
Moay rebah di punggung ayahnya itu, kepalanya seperti
teklok, maka siapa pandang ia, tentu akan merasa kasihan,
karena terang ia telah menjadi korban pertunjukannya,
pertunjukan untuk cari sesuap nasi.
"Tadi ia ada begitu sebat dan gesit ... " kata satu penonton. "Sekarang ia dapat celaka! Jangan-jangan ia tak akan mampu injak tambang pula ... " kata yang lain.
"Kelihatannya sam-siocia kejam," kata orang ketiga. "Si tukang dangsu ada satu nona, ada apa halangannya
andaikata ia dibawa ke kamar bujang perempuan untuk
beristirahat atau berobat" ... "
Tay Po dengar suara orang banyak itu, tetapi ia kurang
perhatian. Perhatiannya berupa kecurigaan. Ia curigai
sikapnya Coa Kiu! Ia tak lihat tanda darah di tanah di mana si nona jatuh. Bagaimana si nona bisa pingsan"
Ketika ia menoleh kepada Coa Kiu, nyata tukang dangsu
itu sudah jalan jauh, maka ia buka tindakannya lebih lebar untuk menyusul.
Coa Kiu menuju langsung ke barat, ke Ceksui Tha.
Tatkala itu, sudah magrib, keadaan ada sunyi sekali, tak ada orang yang berlalu-lintas.
Coa Kiu celingukan, kemudian ia turunkan gadisnya.
Tay Po heran lihat sikapnya tukang dangsu itu, lekaslekas ia sembunyikan diri di belakang satu pohon yang
besar, dari mana ia terus pasang mata.
Lekas juga kelihatan Coa Siang Moay bangun dan
berduduk, bersama-sama ayahnya, ia melihat ke sekitarnya, apabila mereka dapat kenyataan di situ tidak ada orang, si nona berbangku, akan terus bertindak mengikuti ayahnya,
yang jalan dengan cepat, hingga ia pun perlu gancangi
tindakannya! Siang Moay telah bantu ayahnya membawa tombak.
"Bagus, sungguh bagus!" Lauw Tay Po tertawa seorang diri, apabila ia telah saksikan peranan istimewa dari ayah dan anak itu, yang telah terus pulang ke pondoknya yang
butut. "Biar aku tunggui ia di sini, sebentar ia tentu keluar pula akan beli kecap atau lainnya ... "
Ia lalu jalan mundar-mandir, otaknya bekerja akan
menduga-duga maksud tujuan orang itu. Beberapa kah ia
mendekati pekarangan mengintip ke dalam, di mana sudah
ada cahaya api, akan tetapi ayah dan anak itu tak
tertampak, suara mereka juga tak terdengar.
Dengan tak merasa, sang waktu telah berjalan terus, dan
Tay Po dapatkan sang malam sebagai gantinya sang sore. Ia tetap tak nampak Siang Moay keluar, ia tidak lihat Coa Kiu keluar pintu, maka akhirnya, ia menepuk tangan, dua kali.
Dari dalam tidak ada jawaban tepukan tangan, pun tidak
ada timpukan batu sebagai kemarinnya ...
"Tidak beres ... " pikir Tay Po, yang perutnya sudah mulai ngerikik.
"Aku mesti pulang dahulu buat bersantap, sebentar
bagaimana lagi," akhirnya ia pikir, setelah mana ia putar tubuhnya ngeloyor pergi. Ia pergi ke Tekseng Kio dan
masuk ke kedai nasi yang kemarin, untuk minum dan
tangsal perutnya.
Di sebelahnya rumah makan ada tempat tukang cerita,
maka sehabisnya dahai, Tay Po pergi ke sebelah di mana ia dengar orang sedang berceritera lelakonnya Phc Kong. Di
situ sudah berkumpul duapuluh orang lebih, tetapi di
antaranya tak tertampak Coa Kiu. Maka itu, sebentar saja, Tay Po sudah bertindak pergi, menuju ke tepi telaga.
Dari kejauhan terdengar kentongan dua kali. Langit ada
sangat gelap. Angin dingin juga meniup keras sekali.
Kapan ia sudah sampai di luar pekarangan, Tay Po
lantas pasang kuping, kemudian, dalam kesunyian, ia
mengintip ke dalam. Cahaya api tidak ada. Lantas ia
menepuk tangan dua kali. Atas ini, ia tak dapat jawaban.
Segera ia mundur beberapa tindak ...
"Biak, pintu menjeblak terbuka! ... "
Dengan tiba-tiba, Tay Po menyanyi, tetapi baru satu
rintasan, ia sudah berhenti dengan secara tiba-tiba.
"Aku tidak boleh tarik perhatian orang," ia berpikir.
"Aku mesti tunggu lagi sekian lama, lantas aku mesti masuk ke dalam pekarangan, akan intai mereka ... "
Ia mundur lebih jauh dan jalan bulak-balik, berjongkok
dan berdiri diam. Dengan ini jalan ia tungkuli diri, ia kasih sang waktu lewat.
Kecuali suara angin, malam itu ada sunyi senyap.
Dalam kegelapan, tiba-tiba Tay Po dengar suara pintu
dibuka, kemudian berkelebat satu bayangan. Ia loncat ke
belakang pohon, akan sembunyikan diri dan pasang mata.
Maka ia, segera kenali Coa Kiu, ayah si nona, yang
bertindak ke timur.
"Heran!" pikir ini guru silat. "Sekarang sudah jam tiga lewat, ke mana ini tukang dangsu hendak pergi?"
Ia tunggu sampai Coa Kiu sudah lewatkan ia belasan
tindak, ia lantas bertindak juga untuk menguntit. Ia ingin tahu tukang dangsu itu hendak pergi ke mana selagi cuaca gelap dan hawa dingin.
Coa Kiu jalan dengan cepat, meninggalkan daerah
telaga, sampai di jalan besar dari Tekseng-mui, dari mana ia menuju ke utara, akan kemudian belok ke timur. Ia ambil
jalan barat dari Kouwlauw.
"Hm, aku tahu ke mana ia mau pergi ... " pikir Tay Po.
Ia cepatkan tindakannya, akan datang lebih dekat pada
tukang dangsu itu.
Sebentar kemudian, Coa Kiu sudah sampai di depan
gedungnya Giok tayjin, naik ke latar yang tinggi.
"Bagus, dugaanku tidak meleset!" tertawa Tay Po di dalam hati. Ia lalu turut naik dengan hati-hati, agar orang tidak lihat padanya.
Perjodohan Busur Kumala 4 Pendekar Cacad Karya Gu Long Peristiwa Bulu Merak 7

Cari Blog Ini