Ceritasilat Novel Online

Istana Kumala Putih 6

Istana Kumala Putih Karya O P A Bagian 6


Baru habis ucapannya Tiong Ciu Khek, di depan matanya tiba-tiba nampak terang. Di bawah
sebuah batu cadas, tertampak nenek yang parasnya kuning keriputan dan badannya kurus kering.
Nenek itu tangannya membawa sebatang tongkat, di rambutnya tersunting setangkai bunga warna
kuning, dandanannya tak keruan macam, benar-benar seperti kuntilanak. Wajahnya yang kempot
keriputan, kelihatannya seperti gusar tapi juga seperti sedang tertawa. Sekalipun orang-orang
gagah dan bernyali besar, juga akan merasa jeri melihatnya.
Dengan tongkat ditangan, nenek itu berjalan sempoyongan di dalam barisan batu. Sepasang
matanya berputaran mengawasi wajah setiap orang. Ketika menatap wajah Kim Houw, nenek itu
memandang agak lama, kemudian lalu memandang Tiong Ciu Khek.
Lama sekali baru kedengaran ia membuka mulut: "Kau bocah ini siapa namamu" Beraniberani
kau memandang enteng Ceng-kee-cee" Siapa gurumu?"
Tiong Ciu Khek orang golongan tua dari rimba persilatan, sejak kapan pernah dipandang
rendah orang" Nenek itu telah memanggil padanya bocah, bahkan berani menanyakan gurunya
maka seketika itu lantas naik darahnya.
"Iblis tua, kau berani pandang rendah aku Tiong Ciu Khek...?" jawabnya gusar.
Belum sampai habis ucapannya Tiong Ciu Khek, sudah dipotong oleh si nenek sembari
perdengarkan suara ketawanya yang seram: "Bocah tidak tahu adat, kau bernai-berani mengaku
namanya Tiong Ciu Khek untuk bikin onar di sini, aku nanti suruh kau mampus tidak keruan
tempatnya."
Tiong Ciu Khek sudah lama namanya terkenal di dunia Kangouw, tapi oleh karena nenek itu
sudah beberapa tahun mengasingkan diri, maka belum pernah bertemu. Ia tidak nyana bahwa
orang yang namanya menggetarkan jagat itu ternyata masih begitu muda paling banter usianya
baru empat puluh tahun, juga nampaknya seperti anak sekolah yang lemah. Maka ia katakan
Tiong Ciu Khek mengaku-ngaku saja nama orang yang tersohor.
Tiong Ciu Khek makin gusar.
"Jangan kau anggap bahwa Ceng-kee-cee itu sebagai tempat yang keramat?" bentaknya
keras dan menghunus pedangnya. "Buat apa aku Tiong Ciu Khek harus mengaku-ngaku nama
orang lain" Biarlah kau nanti belajar kenal dengan ilmu pedang Tiong Ciu Khek yang membuat
namanya terkenal..."
Si nenek matanya mendelik, tapi masih bisa unjukkan ketawanya yang ngejek.
"Hm! Kau bocah kemarin sore juga berani bertempur dengan aku" Aku juga nanti suruh kau
membuka mata..."
Belum habis ucapannya si nenek, pedang Tiong Ciu Khek sudah mengancam dirinya.
Serangan pedangnya Tiong Ciu Khek itu sangat mantap tapi agak ganas, lantas si nenek mengerti
bahwa orang yang dianggap bocah itu ternyata lihay. Ia tidak berani memandang ringan lagi.
Badannya agak dimiringkan tongkatnya menyampok tumpukan batu disamping badannya,
sehingga batu-batu itu lantas berhamburan terbang melalui badan dan atas kepala Tiong Ciu
Khek. Batu-batu itu tidak ada yang mengenakan dirinya Tiong Ciu Khek, tapi ketika batu-batu itu
pada berbenturan di udara, pecahnya pada muncrat menyambar Tiong Ciu Khek.
Tiong Ciu Khek gusar, pedang Ceng hong kiam berkelebat di udara, dengan cepat
menggunakan tipu serangannya yang luar biasa anehnya mengarah mata, hidung, mulut dan
telinga serta beberapa bagian jalan darah di dada si nenek.
Si nenek dengan menggetarkan tangan, tongkatnya menindih hebat, gerakannya itu cepat dan
gesit. Jika Tiong Ciu Khek tidak tarik kembali pedangnya serta membalikan dirinya pasti
senjatanya dibikin terlepas dari tangannya.
Tiong Ciu Khek merasa kaget dan gusar, sambil memutar ia menyerang dengan pedang,
melancarkan ilmu pedangnya Cu-liong-kiam yang membuatnya terkenal. Ilmu pedang itu luar
biasa cepat dan anehnya.
"Kau bisa lolos dari bawah tongkatku boleh dikata sudah beruntung, apa masih mau jual lagi?"
kata si nenek tertawa mengejek.
Tiong Ciu Khek yang sudah gusar terus menyerang dengan ganas, sebentar saja sudah
sembilan belas jurus lebih. Meski setiap serangannya demikian hebat dan ganas, tapi dapat
dipecahkan oleh si nenek.
"Hmm! Mempunyai ilmu pedang demikian untuk dewasa ini, boleh terhitung tokoh kelas satu.
Cuma rasanya belum cukup kuat untuk berlaku sesukanya di Ceng-kee-cee!" mengejek si nenek.
Selama mengucapkan perkataannya itu, tongkat si nenek telah balas menyerang dengan
beruntun, sehingga Tiong Ciu Khek terdesak. Setelah mengitari beberapa gundukan batu, lamalama
pedangnya tidak bisa bergerak menurut kemauan hatinya!.
Mendadak dua benda kuning terbang melayang dengan menyerang belakang geger si nenek.
Tapi nenek itu di belakangnya seperti ada matanya, dengan tanpa menoleh, ia balikkan tangannya
untuk menyambuti benda kuning itu.
Ketika dua benda kuning itu berada dalam tangannya, si nenek agak tercengang. Sebab
benda kuning itu ternyata sangat lemas, tapi kekuatan serangannya ada demikian hebat hingga
hampir terlepas dari tangannya.
Ia kaget bercampur gusar, dengan hebat ia mendesak mundur Tiong Ciu Khek, kemudian
memeriksa apa sebetulnya benda kuning tadi, ternyata itu cuma sepasang sepatu rumput butut.
Dalam hari bercekat, kemudian matanya menyapu, setelah perdengarkan pekikannya yang tajam
dan seram, baru berkata: "Aku kira siapa, ternyata ada Pangcu dan Hu-pangcu dari partai Sepatu
Rumput yang namanya menggetarkan Kanglam dan Kangpak yang datang berkunjung. Maafkan
aku Oey Hoa Kui-bo karena sudah lamur maka menyambut terlambat"
Sin Hoa Tok Kai ketawa bergelak-gelak. "Aku si pengemis tua sudah menduga kalau kau, tapi
aku tidak tahu kau mempunyai hubungan apa dengan Cen-Kee-cee perbuatan kali ini agak
keterlaluan...."
Tidak menunggu habis ucapannya Tok Kai, Oey Hoa Kui-bo sudah memotong.
"Partai Sepatu Rumput meski namanya menggetarkan dunia Kangouw, tapi masih belum
cukup untuk membuat takut Oey Hoa Kui-bo. Urusanku si nenek rasanya masih belum waktunya
untuk kau turut campur tahu."
Setelah mengucap demikian, ia lantas remas-remas sepatu rumput itu sehingga hancur
menjadi berkeping-keping, kemudian dilemparkan ke tanah.
Tok Kai ketawa bergelak-gelak, dari dalam sakunya kembali mengeluarkan sepasang sepatu
rumput yang juga butut dan kotor, lalu dimasukkan pada kakinya.
Pada saat itu, Tiong Ciu Khek dengan pedang yang berkilauan kembali menyerang Oey Hoa
Kui-bo. Kali ini Tiong Ciu Khek yang berhasil merebut posisi yang agak baik, pedang dapat
dimainkan begitu rapat, sehingga sukar ditembus.
Oey Hoa Kui-bo coba balas menyerang berulang ulang, masih belum berhasil pukul mundur
Tiong Ciu Khek. Ia merasa malu dan gusar, kembali perdengarkan pekikannya yang nyaring dan
menyeramkan. Setelah suara pekikan itu berhenti, dari sekitar gundukan batu telah muncul beberapa puluh
wanita yang masing-masing pada membawa bendera kecil segi tiga. Bendera-bendera kecil itu
setiap kali dikebutkan, lantas timbul angin dingin.
Sebentar saja keadaan disekitarnya lantas berubah dari dalam barisan batu.
"Kalau telah mengandalkan kekuatan menyerang Ceng-kee-cee, kalau lebih dulu mampu
menembus barisanku Im-hong Pat-kua-tin ini, sudah tentu aku bisa mengijinkan kalian masuk
Ceng-kee-cee. Tapi kalau tidak mampu... hm..."
Belum selesai ia berkata, Kim Houw sudah memotong: "Im-hong Pat-kua-tin berarti apa"
Sedang Istana Kumala Putih bersama rimbanya yang keramat toh masih belum mampu
menyulitkan aku!"
Berbareng, ia lantas mengeluarkan pedang Ngo heng-kiam yang memancarkan sinar
berkilauan beraneka warna, hingga sekejap saja sinar pedangnya itu telah menerangi keadaan
dalam barisan batu yang gelap gulita itu.
Dengan pedang pusaka ditangan, Kim Houw telah membuka jalan lebih dulu, ia menerobos ke
kanan dan ke kiri dalam gundukkan batu-batu itu.
Rimba keramat di gunung Tiang-pek-san telah mengurung banyak tokoh-tokoh rimba
persilatan bertahun-tahun lamanya, tapi Kim Houw dengan dua potong gambar peta yang tidak
utuh, telah berhasil keluar dari rimba tersebut. Gundukan batu yang begitu kecil, apa artinya bagi
dia" Sebentar Kim Houw bersama kawannya lari berputaran dalam barisan batu, mendadak di
depan muncul cahaya terang. Justru Kim Houw tengah hendak melompat keluar dari dalam
barisan batu, tiba-tiba merasakan samberan angin kuat menyambar di atas kepalanya. Dalam
keadaan kritis seperti itu, Kim Houw tidak pikir akan berkelit, sebaliknya telah menyambuti
serangan itu dengan ilmu Han-bun-coa-khie disertai kekuatan penuh.
Suara keras terdengar hebat, Kim Houw berhenti sejenak, tapi masih bisa lompat keluar dari
barisan batu. Berbareng dengan itu, dari tengah udara telah melayang jatuh sesosok tubuh yang
barusan terkena serangannya Kim Houw. Orang itu bukan lain dari pada San-hoa-sian-li, ibunya
Bwee Peng. Kim Houw sangat terperanjat. Ia sungguh tidak nyana bahwa San-hoa-sian-li yang telah
menyerang dirinya. Dengan cepat ia berjongkok untuk memeriksa keadaannya, tapi ternyata
sudah payah sekali. Dengan air mata berlinangan San-hoa-sian-li memandang Kim Houw lama
sekali baru membuka tangan kanannya, ditengah-tengah telapak tangannya ternyata ada tiga titik
hitam. Kim Houw yang tidak mengerti sebab-sebabnya, lantas menanya dengan cemas: "Bibi Bwee...
bibi Bwee... kau... kau..."
Belum sampai melampiaskan omongannya kembali sambaran angin keras datang menyerang.
Kim Houw kuatir akan melukai orang lagi, kali ini ia tidak berani menyambuti dengan ilmu yang
ampuh. Dengan gerakan sangat gesit ia melompat untuk menghindarkan serangan tersebut.
Ketika ia berpaling, orang yang menyerang padanya itu ternyata adalah Lui Kong, ayahnya Sunhoasian-li. "Lao Lui Kong, apa artinya ini?" tiba-tiba Kim Coa Nio-nio berseru.
Lui Kong tidak berkata apa-apa, ia lalu memondong putrinya yang menggeletak di tanah. Tapi
keadaan Sun-hoa-sian-li sudah sangat payah, tidak lama ia berada dalam pondongan, jiwanya
sudah melayang menyusul putrinya di alam baka.
Dengan mata mendelik Lui Kong mengawasi Kim Houw.
"Bocah, bagus perbuatanmu!" katanya gemas. "Kau turunkan tangan begitu kejam, sehingga
mencelakakan jiwa anakku. Kau sudah mencelakakan jiwa cucu perempuanku, dan ini anakku!
Aku Lui Kong tidak nanti mau mengerti, tunggulah saja aku akan minta kau ganti jiwa mereka!"
Sehabis berkata, ia lantas lompat melalui orang banyak, keluar dari barisan batu.
Kim Houw berdiri bengong kesima.
Ia benar telah melukai diri Sun-hoa-sian-li, tapi itu bukan disengaja. Kematiannya Bwee Peng
sudah cukup memilukan hatinya, apa mau orang lain masih menimpakan dosanya di atas
pundaknya. "Dalam telapak tangannya Sun-hoa-sian-li ada tiga titik hitam, ini suatu tanda bahwa ia sudah
terkena serangan tangan jahat San-im-ciu, pantas saja kalau ia nekad menghabiskan jiwanya
sendiri. Orang yang terkena Sam-im-ciu, setiap tengah hari dan tengah malam, harus merasakan
penderitaan sakit yang luar biasa, cuma tidak seharusnya ia meminjam tangan Kim-tiancu. Lui
Kong pada beberapa puluh tahun berselang adalah seorang iblis, dan jika ia kembali muncul lagi,
tidak dapat dibayangkan bagaimana sepak terjangnya nanti." demikian tiba-tiba Kim Coa Nio-nio
berkata. Kim Houw tadi tidak mengerti apa maksudnya San Hoa Sian-li memperlihatkan telapak
tangannya pada dirinya, kini setelah mendengar keterangan Kim Coa Nio-nio, ia baru mengerti.
Mengenai ilmu serangan Sam-im-ciu ini, dalam buku Kao-jin Kiesu telah ditulis dengan jelas.
Pada saat itu, semua orang sudah keluar dari barisan batu.
Suara kentongan tiba-tiba terdengar amat riuh, lalu disusul oleh suara tambur yang amat
nyaring. Kim Houw memandang keadaan di sekitarnya, sekarang mereka berada ditengah-tengah
antara dua buah gunung, sedang di depannya terhalang oleh sebuah rimba yang lebat.
"Rimba itu tidak terlalu dalam dan jauh. Setelah melalui rimba itu lantas dapat kita lihat danau
Siao-ceng-ouw ditengah-tengah Ceng-kee-cee. Cuma, dalam rimba itu dipelihara binatang labalaba
beracun yang besar dan banyak jumlahnya dan bukan main lihainya. Harap kalian suka
waspada terutama dua bocah ini...." berkata Kim Coa Nio-nio sambil menunjuk pada si botak dan
Sun Cu-hoa. "Manusia masih tidak ditakuti, masa takut pada binatang kecil?" kata Tok Kai sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Sekarang sudah dekat waktunya Ceng-kee-cee melakukan upacara sembahyang, kalau kau
telantarkan urusan penting ini, aku mau lihat, apa kau si pengemis busuk nanti merasa enak hati
terhadap kawan-kawan?" Kim Coa Nio-nio pelototi Tok Kai.
"Aku justru tidak percaya segala ilmu jahat demikian, lihat aku yang buka jalan bagi kalian!"
jawab Tok Kai yang masih tetap tertawa besar.
Tiba-tiba Cu Su turut bicara :" Kim Coa Nio-nio kau lupa binatang laba-laba beracun demikian
kecil, bagaimana bisa melukai dirinya" Kim Coa Nio-nio harap kau tenang dan pimpin perjalanan
kita!" Kim Houw maju menghampiri si botak dan Sun Cu Hoa.
"Cu-cianpwe", katanya pada Cu Su, "Si botak biarlah aku yang melihat-lihat, sebaiknya kita
lekas berangkat!"
Kim Houw tidak menyebut Sun Cu Hoa bukan karena Sun Cu Hoa mampu melindungi dirinya
sendiri dari serangan laba-laba beracun itu, ini disebabkan Sun Cu Hoa beradat keras dan rasa
benci terhadap dirinya masih belum lenyap sama sekali. Ia tidak suka menyakiti hati anak muda itu
lagi, maka sengaja tidak menyebut namanya.
Sun Cu Hoa dengar Kim Houw cuma hendak melindungi si botak, meski dimulutnya tidak
mengatakan apa-apa, tapi tubuhnya sudah lompat melesat mengikuti jejak Kim Coa Nio-nio masuk
ke dalam rimba.
Kim Houw tidak enak mengikuti jejak Sun Cu Hoa, lalu memberi isyarat kepada Kim Lo Han. Ia
ini lantas mengerti maksud Kim Houw, dan dengan tanpa bicara ia lantas mengikuti di belakang
Sun Cu Hoa. "Kim-siauhiap harap jangan kecil hati, bocah itu sangat keterlaluan......" Cu Su berkata sambil
menghela napas.
Kim Houw cepat menghiburnya :" Tidak apa-apa," katanya, "Cu-cianpwee boleh legakan hati,
aku pasti berusaha untuk melenyapkan perasaan benci dan kesalah-pahamannya terhadap
diriku!" Tidak lama kemudian mereka sudah mulai memasuki rimba yang banyak terdapat laba-laba
beracunnya itu.
Kim Houw menggandeng tangan si botak, tiba-tiba terdengar suara mengaung yang amat
nyaring. Ia hendak hentikan langkahnya dan tidak jalan terus, sebaiknya ambil jalan mengitar di
bawah kaki gunung. Oleh karena larinya yang pesat, meski di tangannya menggandeng si botak,
ia tidak usah takut ketinggalan kawan-kawannya. Siapa tahu begitu keluar dari rimba, apa yang
telah dilihat di depan matanya......?"
Di depan ramai suara kentongan, tambur dan gembreng, tapi kawan-kawannya tidak satupun
yang kelihatan muncul dari dalam rimba. Buat Kim Houw, saat ini sudah tidak mempunyai waktu
untuk menyelidiki keadaan kawan-kawannya didalam rimba, seluruh perhatiannya telah ketarik
oleh seorang nona baju merah yang terikat di atas undakan batu yang tingginya beberapa tombak.
Nona itu berdiri membelakanginya.
Di atas batu undakan itu juga duduk sepasang suami istri yang sudah lanjut usianya, diujung
empat penjuru batu undakan itu terdapat dua pasang muda-mudi dengan pakaian seragam
ringkas. Tangan mereka memegang pedang panjang, kantong piauw menempel dibadan masingmasing.
Nona baju merah itu diikat pada sebuah tiang ditengah-tengah batu undakan dan di depannya
berdiri ibunya Siao Pek Sin, Ceng Niocu. Sedang tangannya tampak memegang sebilah pisau
kecil yang berkilauan, sepasang matanya mengawasi langit seolah-olah sedang menantikan
waktu. Disekitar batu undakan, telah dikurung oleh ratusan laki-laki yang berbadan kekar, tangan
mereka membawa tombak atau golok. Tempat tersebut boleh dikatakan telah dikurung sangat
rapat. Nampaknya mereka berdiri dengan tidak teratur, tapi nyatanya disiplin.
Kim Houw cuma dapat melihat punggung nona itu, namun ia sudah dapat memastikan bahwa
nona baju merah itu tentu Peng Peng. Sayang, tempat dimana ia berdiri berada jauh sekali
terpisahnya dengan batu undakan itu. Seandainya ia hendak lompat menerjang, sukar untuk
mencapai tujuannya. Mau tidak mau ia harus melalui rintangan sekawanan orang-orang yang
menjaga di sekitarnya, barulah ia bisa mencapai batu undakan itu.
Pada saat mana tiba-tiba terdengar suara bunyi burung yang menyeramkan, suara itu agak
lain dari burung biasa. Tapi Kim Houw pernah mendengar suara burung itu, cuma belum pernah
melihat rupanya.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, ia melihat seekor burung hitam dengan patuk dan
kukunya yang putih, sedang beterbangan sambil berbunyi di atas batu undakan. Karena suaranya
yang aneh, kadang-kadang tinggi melengking dan kadang-kadang rendah, semua orang pada
tujukan perhatiannya pada burung itu.
Si nenek yang duduk di atas batu undakan itu tiba-tiba gerakkan tongkatnya, sebuah senjata
rahasia yang warnanya hitam jengat telah meluncur ke atas menyerang burung aneh itu. Tapi si
burung aneh ketika melihat dirinya diserang dengan senjata rahasia, bukan saja tidak takut bahkan
menukik ke bawah, sambil miringkan sayapnya, hendak menyambuti senjata rahasia tadi dengan
sayapnya. Senjata si nenek yang sedang meluncur dengan kerasnya itu, sebentar saja sudah dibikin
jatuh oleh sayapnya.
Burung itu lantas mengeluarkan pula suaranya yang aneh, agaknya sedang membanggakan
hasil pekerjaannya. Ia terbang berputaran lagi kemudian lantas menukik ke tengah batu undakan.
Terpisah kira-kira satu tombak lebih tingginya, nenek itu kembali gerakkan tongkatnya, dengan
beruntun melancarkan serangan senjata rahasianya ke arah burung itu.
Rupanya burung itu sudah terdidik dan terlatih dengan baik, sehingga terhadap serangan
senjata rahasia itu sedikitpun ia tidak takut.
Maka ia menunggu hingga senjata rahasia itu dekat, barulah menerjang dengan kedua
sayapnya yang terpentang lebar, kemudian badannya berbalik sehingga senjata-senjata rahasia
itu terbang melewati bawah perutnya, berbarengan dengan itu, burung tersebut dengan kecepatan
seperti peluru menyambar kepala Ceng Niocu.
Siapapun tidak akan menduga bahwa burung yang begitu kecil berani menyerang manusia.
Ceng Niocu dalam gugupnya cuma bisa mengangkat tangannya sambil ayunkan pisau kecilnya.
Tapi baru saja bergerak, mulutnya sudah menjerit, pisaunya terlepas dan tangannya mendekap
kedua matanya sambil berjongkok di atas batu undakan.
Sepasang mata Ceng Niocu ternyata sudah dipatuk oleh burung aneh itu, sehingga menjadi
buta. Di atas batu undakan itu seketika terjadi kekalutan. Senjata-senjata rahasia yang bermacammacam
bentuknya beterbangan menyerang burung aneh itu.
Sang burung bisa menukik begitu cepat, naiknya juga gesit. Orang-orang cuma melihat
bergerak sayapnya saja, tahu-tahu ia sudah melesat ke angkasa.
Orang-orang di atas dan di bawah batu undakan itu, semua telah dibikin kalang kabut oleh


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor burung kecil. Kim Houw yang menyaksikan dari jauh, dalam hati lantas berpikir, ini adalah
kesempatan yang paling baik, kalau tidak lekas bertindak, menunggu kapan lagi"
Ia berpaling pada si botak dan berkata: "Botak, kau di sini menunggu suhumu....."
Belum selesai memberikan pesannya, di atas batu undakan itu kelihatan semakin kalut, suara
makian dan bentakan silih berganti, maka Kim Houw lantas berpaling kearah undakan.
Ternyata ada orang yang turun tangan lebih dulu dari padanya. Sedang si burung aneh
sebentar naik tinggi, sebentar menukik ke bawah, ternyata ia juga sedang melakukan
pertempuran. Kim Houw semula mengira itu adalah kawanan Kim Coa Nio-nio yang memimpin kawankawannya
dan melakukan penyerangan dari samping, tapi ketika ia mengawasi, ternyata tidak ada
seorangpun yang dikenalinya.
Yang lebih mengherankan adalah si nona baju merah yang tadinya diikat pada tiang, sekarang
sudah lenyap, hingga membuat ia menjadi gugup.
"Kim-siangkong di sana, itu dia!" tiba-tiba si botak berseru sambil menunjuk ke satu arah.
Kim Houw tunjukkan matanya ke arah yang ditunjukkan si botak. Dilihatnya ada seorang bocah
berpakaian hijau sedang menggendong si nona baju merah, sedang lari menuju ke atas gunung.
Di belakangnya ada seorang wanita setengah tua yang mengikuti sambil memutar senjata seruling
batu giok, untuk menangkis serangan orang-orang yang mengejar.
Kim Houw heran. Kalau dilihat kenyataannya orang-orang itu seperti sedang menolong si nona
baju merah, tapi juga mirip dengan perbuatan orang yang sedang melakukan perampokan.
Menolong ataukah merampok" Kim Houw masih belum jelas.
Ia sudah tidak ada tempo lagi untuk memikirkan persoalan itu, ia tidak dapat membiarkan Peng
Peng dibawa pergi di depan matanya. Setelah meninggalkan pesan lagi pada si botak, tubuhnya
melesat mengejar orang-orang yang membawa kabur si nona.
Sebentar saja, seolah-olah seekor burung garuda terbang, Kim Houw sudah melayang ke
bawah puncak gunung. Pada saat itu, si anak baju hijau dengan menggendong si nona baju
merah, sudah menghilang ke belakang puncak gunung.
Kim Houw mengawasi wanita setengah tua itu, yang sedang memutar seruling di tangannya
seperti ular perak. Ilmu silatnya tinggi sekali, dengan senjata serulingnya ia hajar semua orang
yang mengejar sampai kalang kabut.
Kim Houw tidak ingin terlibat dalam pertempuran itu, tapi seandainya terpaksa, tentunya ia
akan membantu pihak wanita itu. Melihat nyonya itu sudah lebih dari cukup untuk memukul
mundur orang-orang yang mengejar, maka pikirnya ia hendak berlalu melewati samping si nyonya.
Siapa sangka baru saja badannya bergerak, tiba-tiba ia melihat nyonya itu sudah menghadang
di depannya. "Siao Pek Sin, kau harus mengerti! Jika kau benar-benar tidak mau berhenti, jangan sesalkan
aku Hui-ie-ciam turun tangan dengan kejam. Kau harus pikir-pikir dulu, apakah kau mampu
menyambuti jarum Hui-ie-ciam ku atau tidak?" demikian bentaknya.
Kim Houw tahu nyonya itu sudah salah mengerti lagi terhadap dirinya, tapi ia tidak mempunyai
waktu untuk memberi penjelasan.
"Tolong tanya, mengapa kalian merampas diri nona baju merah itu?" Ia menanya.
Si nyonya alisnya berdiri, menjawab dengan suara bengis: "Kita merampas" Hmm! Kau
ternyata lancang mulut. Sekarang aku hendak menanya hak, Ceng-kee-cee setiap tahun
melakukan upacara sembahyangan menggunakan binatang kerbau, mengapa tahun ini
menggunakan manusia" Jawablah!"
Apa yang harus dijawab" Bagaimana ia harus menjawab" Ia tidak tahu orang-orang
sebetulnya ada hubungan apa dengan Peng Peng" Ia memberi hormat kepada si nyonya dan
menanya: "Numpang tanya, siapa sebenarnya Cianpwe" Ada hubungan apa dengan nona yang
ditolongnya?"
Tapi nyonya itu ketika melihat Kim Houw memberi hormat padanya, buru-buru mundur
beberapa tindak.
"Jangan pura-pura merendah," katanya, "Aku ada seorang yang tidak gampang menyerah baik
dengan kelakuan keras atau lunak. Apa hubungan aku dengan si nona, apa kau juga berhak untuk
menanya?" Jawaban wanita itu telah membikin pusing kepala Kim Houw, ia tidak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh si nyonya, hanya kata-katanya yang terakhir yang ia dapat tangkap artinya.
Kim Houw tidak berani menjawab sembarangan, karena belum memahami maksud orang.
"Cianpwe, sebab aku dengan nona baju merah itu ada mempunyai hubungan baik, aku ingin
bertemu padanya, untuk bicara sepatah dua patah saja. Harap Cianpwe suka memberi ijin padaku!
Hanya sepatah dua patah saja."
"Wanita itu mendengar keterangan Kim Houw bahwa pemuda itu dengan nona baju merah
mempunyai hubungan baik, mendadak tambah gusar.
"Apa" Kau dengan nona itu mempunyai hubungan baik" Kau bajingan!" dengan kalap si
nyonya menotok dada Kim Houw.
Kim Houw makin bingung, sadarnya tidak ingin ia meladeni dan hendak meninggalkan
padanya, untuk mengejar cianpwe. Tapi, ucapan terakhir dari wanita itu telah membikin meluap
darahnya. Menampak wanita itu menotok padanya sengaja ia tidak mengegos atau berkelit, malah ulur
tangannya untuk merampas seruling orang. Kegesitan gerak tangannya Kim Houw, masa itu
dalam dunia Kangouw sudah tidak ada tandingannya. Wanita masih belum tahu tegas bagaimana
Kim Houw bergerak, tahu-tahu senjatanya sudah pindah tangan.
Wanita itu mendadak tertawa dingin dan berkata: "Ini adalah kau sendiri yang mencari
mampus, jangan kau sesalkan aku nyonya Teng."
Berbareng itu, suara berbunyi. Kim Houw terkejut, cepat ia lemparkan itu memuntahkan
segumpal jarum perak tersebut di tanah.
Kim Houw jadi ketika berhasil merampas senjata si nyonya sebetulnya bisa menggunakan
ilmunya Han-bun-cao-khi! Untuk membikin remuk seruling itu. Apa mau mendadak ingat jika
nyonya itu benar ada mempunyai hubungan apa-apa dengan Peng Peng, tidak enak baginya
kalau sampai berbuat dosa lagi. Untuk Peng Peng saja, ia sudah kesalahan melukai banyak
orang. Kematian ibunya Bwe Peng, ada merupakan suatu kemenyesalan besar yang sukar
dilupakan olehnya.
Justru karena keragu-raguannya itu, hampir saja membuat dirinya celaka.
Kim Houw mendongkol sekali, dengan cepat tangannya mendorong. Ia hanya menggunakan
lima puluh persen ilmunya Han bun-coa-kie, namun sudah cukup bagi lawannya.
Menampak senjata rahasianya jarum Hui-ciam tidak bisa melukai dirinya si anak muda, dalam
hari si nyonya diam-diam merasa heran, kemudian melihat Kim Houw keluarkan tangannya
dengan tangan kosong. Ia anggap Kim Houw meski tinggi ilmu silatnya, tapi lweekangnya belum
tentu dapat menandingi dirinya. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, ia lantas pasang tangannya untuk
menyambuti serangan tangan Kim Houw.
Ketika kekuatan tangan kedua pihak benturkan, si nyonya baru merasa kaget. Lwekang anak
muda itu ternyata lebih kuat dari apa yang ia duga semula, mengalir terus tidak putusnya, bahkan
mengandung hawa dingin yang luar biasa.
Dalam kagetnya, si nyonya hendak menarik kembali tangannya dan segera mundur teratur,
tapi ternyata sudah terlambat.
Suara "Bluk!" terdengar nyaring, badannya si nyonya dibikin terpental dua tombak lebih
jauhnya. Ketika jatuh di tanah, badannya menggigil kedinginan tidak bisa berbangkit lagi.
Mendadak terdengar suara pekikan nyaring melengking dan seram ! Kim Houw terperanjat,
entah siapa orangnya yang mempunyai lwekang demikian" Kim Houw tanpa dirinya sendiri.
Belum sempat berpaling, di depannya muncul seorang laki-laki setengah tua yang mempunyai
wajah cakap ganteng. Matanya memandang Kim Houw dengan tidak berkedip, kemudian sambil
unjukkan senyuman riang gembira berkata pada Kim Houw: "Adik kecil, sungguh hebat
kepandaianmu! Tidak kecewa kau menjadi tiancu dari istana Kumala Putih !"
Kim Houw tadi melihat si nona berbaju merah digendong si bocah memutar ke belakang
puncak gunung, kini ternyata sudah tidak kelihatan bayangannya.
Kuatir akan terjadi apa-apa lagi, maka ketika mendengar ucapan laki-laki setengah tua tadi
yang nampaknya tidak mengandung maksud permusuhan, lantas menjawab secara sopan:
"Bolehkah aku tahu mana tuan yang terhormat. Aku yang rendah bukan Siao Pek Sin, Tiancu dari
Istana Kumala Putih, melainkan seorang kecil yang tidak terkenal bernama Kim Houw."
Mendengar keterangan Kim Houw bahwa dirinya bukan Siao Pek Sin, wajah orang tua itu
mendadak berubah pucat pasi, alisnya berdiri, senyumnya lantas lenyap tanpa meninggalkan
bekas. "Anak busuk! Kau bukannya Sioa Pek Sin" mengapa berani mati turut campur dalam urusan
lain orang?" demikian orang tua itu membentak.
Kim Houw yang menyaksikan laki-laki cakap itu begitu mudah berubah sikapnya, diam-diam
merasa heran. Mengapa seorang yang nampaknya ramah tamah dalam sekejap saja bisa berubah
demikian bengis dan jahat.
Selagi masih terbenam dalam keheranan, orang itu sudah melancarkan serangan aneh, tidak
menimbulkan suara apa-apa, juga tidak kelihatan ada sambaran anginnya, seolah-olah serangan
kosong yang tidak bertenaga.
Tapi, Kim Houw yang sudah mempelajari kitab Kao-jin selama dua tahun, sudah lantas
mengenali bahwa serangan yang dilontarkan oleh orang itu adalah ilmu serangan bu-hong peklekciang atau tangan geledek tidak berangin.
Pukulan Bu-hong Pek-lek-ciang ini ada sangat ganas. Oleh karena tidak menimbulkan angin
atau suara apa-apa, orang yang diserang tidak tahu dan tidak menduga kalau serangan itu ada
hebat. Sesudah mengenakan sasarannya, kekuatan lweekangnya lantas timbul dengan
mendadak. Seolah-olah sambaran geledek. Kapan orang yang diserang mengetahui dan hendak
melawan dengan kekuatannya, saat itu sudah terlambat.
Karena Kim Houw kenal sifatnya serang geledek ini, maka ia tidak takut. Apa lagi ilmunya Hanbuncao-kwie sudah dapat digunakan menurut kehendak hatinya, ilmu bu-hong Pek-lek-ciang
baginya tidak berarti apa-apa.
Kim Houw nampaknya enak-enakan saja, ia seperti acuh tak acuh, seolah-olah tidak pandang
mata atas serangan itu.
Laki-laki itu menggeram hebat, serangan geledek yang terdengar menggelegar tapi Kim Houw
masih tetap berdiri di tempatnya, bergerak pun tidak , sebaliknya laki-laki itu sendiri yang terpental
mundur sampai dua-tiga tindak.
"Anak busuk! kiranya kau juga mengerti ilmu gaib. Mari, mari, sambuti seranganku sekali lagi.
Memang kalau kau tidak dikasih rasa sedikit kelihaianku, kau anggap aku benar-benar tidak punya
guna!" kata orang itu yang segera menggosok kedua tangannya, sebentar saja telapak tangannya
kelihatan merah membara.
Kim Houw terkejut, ia kenali itu adalah ilmu Tok-see-siang atau tangan pasir beracun, yang
hampir sama dengan ilmu Sam-im cu, tapi ia lebih lihay dan lebih ganas.
Kim Houw diam-diam merasa geli, sebab ilmu Han-bun-cao-khie, justru merupakan senjata
yang paling ampuh untuk memunahkan panasnya ilmu itu. Tapi untuk mempermainkan laki-laki
sombong itu, Kim Houw hanya miringkan sedikit badannya, ia berlagak unjukkan kelemahannya,
sebaliknya telah melakukan serangannya Han-bun-cao-khie dari samping.
Tapi belum sampai serangannya berwujud, orang itu tiba-tiba ketawa bergelak gelak.
"Kim-siauhiap." katanya. "Kepandaian ilmu silatmu benar-benar sangat lihay, aku si orang tua
sungguh kagum. Hanya aku merasa sedikit heran, apa sebabnya Kim-siauhiap keluarkan tenaga
membantu Ceng-kee-cee memusuhi keluarga Teng ?"
Kim Houw sebetulnya sudah siap melancarkan serangannya, tapi ketika mendengar pihak
lawannya ketawa dan bicara padanya, ia buru-buru tarik kembali serangannya, lawannya
membarengi menyerang hebat, hingga Kim Houw terpaksa mundur satu tombak.
Kim Houw tidak menduga bahwa orang itu ada begitu licik dan jahat. Kalau bukan karena Hanbuncao-khie ilmu yang paling ampuh untuk menundukkan ilmunya Tok-see-ciang, Kim Houw pasti
sudah rubuh terluka atau binasa.
Orang itu mengira serangannya pasti dapat melukai Kim Houw, tapi tidak tahunya pemuda itu
cuma terpental mundur saja beberapa tindak dan tidak terluka apa-apa. dalam hatinya diam-diam
merasa sangat heran.
Ia menoleh dan mengawasi si nyonya yang jatuh pingsan, yang kini ternyata sudah siluman
kembali. Sedang pada saat itu ditengah lapangan Ceng kee-cee sudah terjadi pertempuran kalang
kabut. Ia melihat gelagat tidak menguntungkan lalu timbul pikiran hendak menyingkir.
"Bocah, aku Teng Goan Piauw sudah menerima pelajaranmu, lain waktu kita bertemu lagi",
demikian ia berkata kepada Kim Houw, kemudian menghampiri istrinya.
Mereka sambil bergandengan tangan menghilang di atas puncak gunung.
Bersambung jilid 12
Jilid 12 Dengan kepandaiannya untuk mengejar mereka bukan soal apa-apa, tapi untuk kepentingan
Peng Peng, Kim Houw pikir tidak perlu meladeni segala manusia begituan. Maka ia sengaja
mengejar dengan tindakan perlahan. Ia kuatir sedikit terlambat, Peng Peng entah sudah dibawa
kemana oleh anak baju hijau tadi. Dan untuk mengetahui dimana beradanya Peng Peng, terpaksa
ia menguntit mereka berdua.
Dari jarak agak jauh Kim Houw terus mengikuti Teng Goan Piaw dengan istrinya. Setelah
melalui dua bukit, di depan matanya terbentang rimba yang sangat liar dan gelap, seolah-olah
tidak pernah didatangi oleh manusia.
Rimba lebat Kim Houw sudah lihat banyak. Rimba keramat di gunung Tian-pek-san begitu
terkenal di dunia rimba persilatan, bagaimana sekarang ia takuti rimba begituan" Ketika ia lihat
dua orang itu masuk ke dalam rimba, ia juga ikut menyusup dari samping.
Karena kuatir dipergoki oleh mereka, Kim Houw mengikuti jejak mereka dengan mereka
sangat hati-hati sekali.
Mendadak ia mendengar suara jeritan ngeri. Dalam rimba begitu gelap. Meski Kim Houw
mempunyai pandangan tajam, tapi oleh karena terhalang oleh pepohonan, ia tidak bisa melihat
jauh. Belum lenyap suara jeritan tadi, sudah disusul oleh suara ketawa yang amat seram.
Kim Houw adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi dan bernyali besar, tapi ketika
mendengar suara ketawa yang menyeramkan itu, hatinya bergoncang juga.
Terhalang oleh suara-suara tadi, kini Kim Houw telah kehilangan bayangannya suami istri tadi.
Ia coba menyelidiki dengan telinganya, juga sia-sia saja.
Tiba-tiba ia menjadi kaget ketika menginsyafi dirinya mungkin masuk dalam jebakan suami istri
itu. Belum lenyap kesangsiannya, suara ketawa yang menyeramkan itu terdengar pula.
Tapi untuk kepentingannya Peng Peng, sekalipun Kim Houw tahu di depan matanya
menghalang banyak rintangan yang sangat berbahaya, ia masih keraskan kepala untuk menerjang
masuk. Dari jauh tiba-tiba ia dapat lihat sinar seperti sinar binatang kunang-kunang. Ia lalu maju
menghampiri ternyata itu ada sebuah papan batu besar yang diatasnya ada ditaburi butiran batu
permata warna hijau dan perak, sinar tadi adalah batu-batu itu yang memancarkannya.
Ditengah-tengah batu itu ada terdapat tiga huruf Im Hong Ciong, dikedua sisinya ada delapan
huruf HUD HOAT BU PIN SIN KANG KAI SEE. Yang maksudnya, "Pengetahuan Buddha tidak
terbatas, kepandaian ilmu meliputi jagat.
Kim Houw merasa geli, sungguh suatu kenyataan yang sombong. Hari itu kalau tidak karena
hendak menolong jiwa Peng Peng, ia pasti hendak menguji kepandaian orang itu orang yang
menjadi majikan "IM HONG CIONG" ini.
Tiba-tiba ia mendengar pula suara ketawa seram itu, Kim Houw mendongkol dan amat gusar.
Ia memandang batu-batu permata yang memancarkan sinar hijau itu, di dalam suasana gelap
seperti itu, sinar itu tampaknya semakin menyolok.
Kim Houw lalu berpikir: "Kalau aku bikin rusak batumu ini, pasti kau akan keluar untuk
tunjukkan dirimu."
Begitu berpikir, ia lantas bertindak. Dengan satu tangan ia menghajar batu itu tapi heran, ia
tidak dengar suara hancurnya batu, sebaliknya suara per yang mengaung.
Kim Houw pentang matanya, batu itu ternyata sudah rubuh ke belakang, tapi tidak kelihatan
bayangannya, mungkin di bawahnya batu itu ada dipasangi pesawat rahasia.
Kim Houw tersenyum. Pikirnya, tidak mempunyai kesempatan untuk melayani segala batu
begitupun. Siapa nyana, baru saja ia memutar tubuhnya, di belakangnya memancar sinar yang
seperti kunang-kunang tadi.
Kemudian disusul oleh suara ketawa dingin, seolah-olah sedang mentertawakan Kim Houw
yang tidak mampu melayani sebuah batu saja, dan toh masih berani memasuki rimba.
Kim Houw gusar, lalu ia keluarkan senjatanya yang istimewa Bak-tha Liong-kin untuk
membabat batu itu. Senjata itu merupakan senjata ampuh dan luar biasa. Jangan kata cuma
sebuah batu, sekalipun besi atau baja, di bawah serangan Kim Houw yang sedang gusar, mungkin
juga bisa hancur lebur.
Tapi selagi senjata itu hampir mengenai sasarannya, mendadak batu itu seperti merekah dan
batu permata yang menghiasinya berbareng keluar menyambar, seolah-olah bintang yang jatuh
berhamburan dari langit, mengurung diri Kim Houw.
Serangan yang secara mendadak itu, apalagi menyambarnya begitu cepat dan jaraknya pun
begitu dekat jika mengenakan sasarannya niscaya si korban akan ditembusi banyak lobang.
Kim Houw urung menghancurkan batu, sebaliknya lompat melesat setinggi tiga tombak.
Saking cepat gerakannya, bajunya banyak robek keserempet cabang pohon yang ada di
belakangnya. Baru saja Kim Houw meluncur turun, kembali terdengar suara ketawa dingin menyeramkan,
bahkan kali ini disusul oleh suara orang, katanya: "Bangsat cilik dari mana berani-berani mencuri
batu permataku" Im-hong-ciong selama beberapa puluh tahun hanya bisa dimasuki tanpa bisa
keluar lagi. Kau bersedia menyerah" Atau antarkan jiwa" Di sini tidak ada seorang pun yang bisa
keluar dalam keadaan hidup. Kau boleh pikir...!"
"Siau-yaya sudah berani memasuki rimba," kata Kim Houw dingin, "sudah tentu tidak
memikirkan untuk keluar. Kalau kau mempunyai nyali boleh unjukkan diri untuk kita bertanding!
Dengan menggunakan akal, muslihat seperti ini, apakah kau masih menganggap dirimu seorang
yang gagah?"
"Kau! kau benar-benar sombong! Apa lantaran senjata rahasia tidak mampu melukai kau,
lantas kau anggap dirimu adalah seorang jago tanpa tandingan" Kini kau benar-benar telah masuk
ke dalam neraka! Baiklah, aku nanti antarkan kau menghadap raja akhirat!"
Suara itu dibarengi oleh meniupnya angin dingin yang keluar dari depan batu besar itu, lalu
muncul seorang imam tua berbadan kate kecil. Di belakang punggungnya menggemblok sebilah
pedang panjang, tangannya membawa kebutan (hud-tin). Pakaiannya cukup rapi, cuma sayang
sedikit wajahnya terlalu jelek, panjang tirus, sepasang matanya besar dan bundar, persis seperti
monyet. Kim Houw ketika menyaksikan wajah yang aneh dari si imam tua, dalam hati sudah kepingin
ketawa. Baru Kim Houw hendak membuka mulutnya, si imam sudah pelototkan matanya, kebutan
di tangannya bergerak cepat menotok padanya.


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebutan biasanya terbuat dari bulu kuda, lemas dan ulet, orang yang menggunakan senjata
semacam itu harus mempunyai kekuatan lwekang yang sudah cukup sempurna, barulah bisa
menggunakan menurut kemauan hati. Tapi kebutan imam itu, ketika diputar mengeluarkan suara
menderu hebat, bisa diduga tentu bukan terbuat dari bulu kuda biasa.
Kim Houw melihat si imam sudah mengeluarkan senjata, bahkan sudah melakukan serangan
tanpa memberi peringatan terlebih dahulu. Ia mengerti kalau si imam itu tentu seorang yang
ganas. Maka ia tidak berani menyambut dengan tangan kosong, sebaliknya ia menyapu dengan
senjata Bak-tha Liong-kin nya.
Liong-kin dan kebutan, keduanya merupakan senjata lemas dan ulet, begitu bentrok lantas
saling melibat sehingga untuk sementara sukar untuk dipisahkan.
Si imam lalu mengeluarkan suara tawa dingin, cepat sekali ia menghunus pedang panjangnya
dan menikam Kim Houw.
Menurut semestinya, Kim Houw yang mempunyai kekuatan lwekang luar biasa serta ilmu Hanbuncao-khie, asal ilmunya itu disalurkan pada senjata Liong-kinnya, si imam pasti tidak akan
tahan dan senjatanya akan terlepas dari tangannya.
Tapi imam tua itu sudah mendahului menghunus pedangnya dan menikam, Kim Houw belum
sempat mengeluarkan ilmunya, atas tekanan si imam, Kim Houw segera memiringkan sedikit
badannya, lalu dengan cepat iapun mengeluarkan pedang pendeknya Ngo-heng-kiam untuk
membabat pedang panjang si imam.
Si imam begitu melihat pedang Ngo-heng-kiam, bukan kepalang kagetnya. Ia buru-buru
menarik kembali pedangnya, tapi kebutannya yang terlibat kencang oleh senjata Liong-kin tidak
ampun lagi lantas terpapas kutung.
Senjata kebutan imam itu terbuat dari bulu binatang monyet berbulu emas dan rambut
manusia, bagi pedang biasa jangan harap dapat memapas kutung. Dengan senjata kebutannya
itu, si imam entah sudah menjatuhkan berapa banyak jago-jago dalam dunia Kangouw. Tapi hari
ini, telah ketemu batunya dan rusak ditangan seorang bocah saja.
Si imam tidak menduga bahwa Kim Houw yang sedang mempertahankan kedudukannya
masih bisa memapas senjatanya. Ia cemas karena kehilangan senjata yang paling disayanginya
itu. Tidak heran kalau ia semakin gusar dan gemas terhadap Kim Houw.
"Hari ini, kalau aku tidak bisa mencincang tubuhmu menjadi beberapa potong, betul-betul tidak
akan terlampiaskan kegusaran Toyamu!" katanya dengan kertak gigi.
Tangannya kelihatan digetarkan, ujung pedangnya lantas menggetar seolah-olah kembang
yang sedang mekar dan mengancam dada Kim Houw.
Kim Houw kelitkan tubuhnya. "Kalau aku menggunakan senjata untuk melukai dirimu, kau pasti
masih penasaran, biarlah aku...." belum habis perkataan Kim Houw, si imam bersiul nyaring.
Meski orangnya kecil dan kurus kering, tapi suaranya sangat nyaring, sehingga menggema
jauh. "Bangsat cilik, kau berlagak jumawa! Kalau tidak menggunakan senjata pusaka, siang-siang
kau sudah enyah dari sini," kata si imam.
Kim Houw tertawa tergelak-gelak, lalu menyimpan kembali pedang Ngo-heng-kiam nya.
"Tua bangka! Dengan Bak-tha Liong-kin ini saja kalau aku tidak mampu bikin kau terjungkal di
tanganku, selanjutnya aku tidak mau menduduki kedudukan Tiancu di Istana Kumala Putih lagi,"
demikian jawab Kim Houw.
Si imam cuma ganda tertawa dan tidak berkata apa-apa lagi. Terus ia membuka serangan
dengan ujung pedangnya yang mencecar Kim Houw laksana jatuhnya air hujan.
Ceceran dengan pedang ini, kadang-kadang diselingi dengan serangan telapak tangannya
yang tidak mengeluarkan suara, sehingga sukar dijaga.
Kim Houw mengeluarkan ilmu mengentengkan tubuhnya yang luar biasa, ia berkelit diantara
sambaran ujung pedang. Ia ingin melihat ilmu pedang golongan apa yang digunakan oleh imam
tua itu. Ketika imam itu menggunakan serangan tangan kosong. Kim Houw mengenalinya sebagai
ilmu serangan Bu-hong Pek-lek-ciang. Tidak salah lagi, sepasang suami istri tadi pasti ada
hubungannya dengan imam tua ini.
Tanpa banyak rewel lagi Kim Houw lantas keluarkan ilmu Hiang-liong-lie-pian. Hanya dalam
tiga-lima jurus saja, serangan pedang si imam tua sudah dibikin kalang kabut tidak karuan.
Si imam tua yang berdiam didalam rimba dan setiap hari melatih kepandaian ilmu silatnya
seorang diri, tidak seharusnya hanya dalam tiga jurus saja sudah dibikin kucar-kacir oleh serangan
Kim Houw. Sebabnya adalah waktu Kim Houw melancarkan ilmu pecutnya Hiang-liong-lie-pian, Kim Houw
sengaja membiarkan si imam melancarkan serangan Bu-hong Pek-lek-ciang. Si imam ini
menganggap ilmu Bu-hong Pek-lek-ciang ini merupakan ilmu silat paling ampuh di dunia, maka ia
telah menyerang Kim Houw sebanyak dua kali, tapi ia tidak menyangka kalau Kim Houw sudah
siap dan hanya memancingnya saja.
Kim Houw yang telah menguasai ilmu Han-bun-cau-khie yang ampuh tiada taranya, dan sudah
dilatihnya dengan matang, maka asal sudah siap begitu ada tekanan dari luar otomatis ilmu itu
menunjukkan kedahsyatannya.
Serangan yang pertama, jarak si imam dengan Kim Houw belum cukup dekat, meski
menggunakan tenaga sepenuhnya, juga tidak dapat melukai lawan. Iapun tidak tahu, bahwa dalam
diri Kim Houw tersembunyi ilmu yang sangat lihai.
Serangan yang kedua, Kim Houw memberi kesempatan, jarak si imam dengan dirinya sudah
cukup dekat. Si imam sudah bertekad bulat hendak merubuhkan Kim Houw dengan serangan
yang dilancarkannya, namun suatu kekuatan serangan membalik yang luar biasa hebatnya telah
membuat sekujur badannya bergetar. Akhirnya ia tidak mampu mempertahankan kedudukannya,
ia limbung dan sebelah tangannya dirasakan sakit seperti patah.
Karena lengannya terluka, maka ilmu pedangnya menjadi kalut. Ia mengerti telah terjebak oleh
akalnya Kim Houw, tapi menyesalpun sudah terlambat.
Ilmu pecut Kim Houw, suatu ilmu pecut paling dahsyat masa itu. Sekali dilancarkan, terus
menerus menekan lawannya, jangan harap terlolos dari tangannya.
Untung Kim Houw bukan seorang yang berhati kejam, ia hanya merasa panas hatinya oleh
ucapan tekebur dari si imam tua yang dahsyat itu dan sekedar untuk memberi pelajaran kepada si
imam tua itu. Dari ilmunya Bu-hong Pek-lek-ciang, Kim Houw tahu imam tentu ada hubungannya dengan
suami istri yang ia kuntit, maka ia ingin mendengar dari mulutnya si imam tentang diri Peng Peng.
Saat itu si imam sudah mulai keteter, ia hanya bisa terus mundur dan sukar melayani serangan
Kim Houw. Kim Houw juga tidak terlalu mendesak, ia ingin menjauhi pertempuran, maka ia lalu bertanya :"
Tua bangka! Kau ingin mati, tapi aku justru tidak menginginkan jiwamu. Aku masuk rimba ini
karena ingin mencari seseorang, kalau kau mau menjawab pertanyaanku, aku bersedia minta
maaf kepadamu, bagaimana?"
Ucapan Kim Houw yang terakhir ini sudah sangat merendah. Namun ucapan "Tua bangka"
diawal ucapannya malah membuat si imam makin mendongkol.
"Bangsat cilik, kalau kau mempunyai kepandaian kau boleh bunuh aku. Aku tidak kuatir nanti
tidak ada orang untuk menuntut balas bagiku, apa perlunya kau mengucapkan perkataan yang
tidak ada gunanya itu" jangan kata cuma minta maaf, sekalipun kau mau menjadi cucuku, aku
juga tidak sudi terima," si imam umbar kekesalannya.
Kemudian si imam mengerang dan menerjang dengan pedangnya dengan kalap.
Perbuatannya itu tidak bedanya dengan orang yang hendak mengadu jiwa. Mungkin hari ia
terlalu sakit hati, hingga ia berniat mati bersama dengan musuhnya.
Kim Houw yang menyaksikan perbuatan nekat tersebut, dalam hati tidak setuju. Ia lalu
memutar tubuhnya mengelakkan serangan. Karena ia anggap dengan imam tua itu ia tidak
mempunyai ganjalan atau permusuhan. Tidak perlu ia menghendaki jiwanya, terlebih-lebih tidak
ada gunanya membiarkan dirinya terluka bersama-sama.
Tapi, selagi Kim Houw memutar tubuh, dari belakangnya tiba-tiba terdengar suara "ser, ser,
ser," kiranya ada sambaran senjata-senjata rahasia yang sangat halus. Dalam kagetnya, Kim
Houw lantas melompat melesat ke tengah udara. Di luar dugaannya, seolah-olah mempunyai
mata, senjata rahasia itu terus mengejar dirinya. Kim Houw terpaksa meluncur lurus dan ketika
kakinya menginjak tanah ia lalu memutar senjatanya Bak-tha Liong-kin untuk melindungi diri.
Diam-diam Kim Houw mengawasi, siapa orang yang melancarkan serangan senjata rahasia
tadi. Di suatu tempat sejarak kira-kira tiga tombak jauhnya, berdirilah Teng Goan Piauw yang
wajahnya cakap dan si bocah baju hijau. Bocah itu tengah mengawasi dirinya dengan tertawa
nyengir. Di tangannya masih membawa seruling batu kumala, kedua tangannya agaknya sedang
repot mengisi senjata rahasia ke dalam serulingnya.
Kim Houw segera mengerti, kedatangan kedua orang itu pasti karena mendengar siulan si
imam tua tadi. Tapi ia tidak takut, sebaliknya dengan munculnya si bocah baju hijau itu, tentunya
Peng Peng berada tidak jauh dari situ.
Tiba-tiba Teng Coan Piauw bertanya sambil tertawa dingin.
"Saudara memasuki Im-hong-ciong ini apa perlunya" Apa hanya ingin pesiar saja" Melihat
kepandaian ilmu silatmu, gurumu pasti salah seorang pandai dari tingkatan Locianpwe. Apakah
gurumu tidak pernah memberitahukan tentang Im-hong-ciong ini, yang menembus ke akhirat?"
Kata-kata itu meski diucapkan dengan ketawa dingin, tapi nada suaranya masih lunak, maka
Kim Houw juga menjawab dengan suara lunak, katanya: "Kedatanganku kemari, hanya untuk
mengejar seseorang. Kalau kalian mau mengizinkan aku menemui orang itu, agar aku bisa bicara
sepatah dua patah kata, aku nanti segera berlalu dari sini. Tapi, jangan sekali-kali kalian hendak
menipu aku, sebab dia kenal aku dan aku juga kenal dia. Hanya mendengar suaranya saja aku
sudah dapat mengenalinya."
"Apa kedatanganmu ini hanya mengejar seorang saja" Siapa orangnya yang kau kejar itu"
Katakanlah!"
"Orang yang ingin aku temui adalah si nona baju merah yang oleh saudara kecil ini digendong
dari Ceng-kee-cee!"
"Apa" Kau ingin menemuinya" dia kenal kau" Kau juga mengenalinya" Oh! Kalian...."
"Ya! Orang yang ingin aku temui adalah dia. Kita sejak beberapa tahun berselang sudah saling
kenal. kali ini aku dengan menempuh perjalanan sangat jauh, perlunya hanya hendak menolong
dia," Kim Houw memotong.
Coan Piauw melihat sikap Kim Houw serta kata-katanya yang penuh rasa duka, dalam hati
diam-diam merasa heran dan kaget.
"Baiklah, kalau kau ingin ketemui dia, mari ikut aku!" katanya.
Setelah berkata ia lalu menggandeng tangannya si bocah baju hijau dan berlalu.
Kim Houw berpaling pada si imam tua, hendak mengatakan sepatah dua patah permintaan
maaf, tapi imam itu ternyata sudah tidak kelihatan batang hidungnya. Terpaksa ia mengikuti di
belakangnya Goan Piauw dan si bocah.
Mereka berjalan cepat sekali, sebentar saja sudah tiba di salah satu puncak gunung.
Betapapun cepatnya mereka berjalan, mereka tidak mampu meninggalkan Kim Houw yang
menguntil dengan waspada, kuatir mereka berdua kabur.
Selama itu, si bocah acap kali berpaling dan mengawasi Kim Houw dengan sorot mata kejam.
Kim Houw tercekat, dalam hati diam-diam berpikir, apa sebabnya mereka memusuhi aku" Aku
hanya ingin menemui Peng Peng, apa salahnya" Ada hubungan apa Peng Peng dengan mereka"
Serentetan pertanyaan ini belum terjawab. Goan Piauw dan si bocah berhenti melangkah, Kim
Houw mengawasi, kiranya pada tempat dimana mereka berdiri terdapat sebuah goa.
Di depan mulut goa itu keadaannya sama dengan apa yang Kim Houw pernah saksikan di
depan rimba ketika ia tiba, ialah tiga huruf "Im-hong-ciong" dengan di sisinya ada dua baris huruf
yang agak kecil.
Belum lagi Kim Houw mengajukan pertanyaan, dari dalam goa tiba-tiba terdengar suara isak
tangis, hingga Kim Houw terperanjat.
Kim Houw tidak tahu betapa lihainya tempat yang dinamakan Im-hong-ciong ini, hanya dari
mulutnya Goan Piauw ia dengar bahwa goa ini bisa menembus ke akhirat.
Keadaannya menyeramkan, hingga Kim Houw ragu-ragu kelihatannya.
Tiba-tiba ia dengar suara laki-laki yang penuh dengan kebencian: "Bagaimana" Takut" Orang
yang hendak kau temui ada didalamnya."
Lantas ia ajak si bocah baju hijau berlalu dari situ.
Kim Houw berpikir, meski ia tahu bahwa tempat ini mudah dimasuki tapi sukar untuk
keluarnya, ia sudah tiba di situ, biar bagaimanapun ia harus masuk ke dalam. Ia toh tidak bisa
membiarkan Peng Peng berdiam sendiri dalam goa itu. Apalagi keadaan dalam goa itu toh belum
tentu begitu menyeramkan seperti apa yang dikatakan oleh laki-laki itu tadi.
Mungkin juga Peng Peng hanya hendak menguji hatinya. Meski Peng Peng belum menjadi
istrinya, tapi si nona sudah banyak melepas budi pada dirinya, hal mana tak boleh diabaikan
begitu saja. Berpikir sampai di situ, suara isak tangis dari dalam goa itu terdengar pula, seolah-olah
mendesak dirinya supaya lekas masuk ke dalam. Tanpa banyak pikir lagi, Kim Houw lantas lompat
masuk. Goa itu tidak luas, memutar dua kali putaran dan membelok lagi beberapa putaran masih itu-itu
juga. Cuma sekarang ia sudah dapat merasakan angin dingin yang menghembus dari dalam goa
itu. Berjalan kira-kira beberapa tombak lagi, di atas dinding goa itu terlihat beberapa buah kamar
yang terbuat dari batu, pada setiap kamar terdapat beberapa buah patung malaikat yang berkuasa
di akhirat. Patung-patung itu terbuat dari batu tapi tampaknya seperti orang hidup.
Kim Houw bernyali besar, tapi waktu pertama menyaksikan pemandangan di situ rada kaget
juga. Setelah mengetahui bahwa patung-patung itu cuma terbuat dari batu ia merasa geli sendiri.
Di salah satu tikungan, keadaannya tiba-tiba menjadi terang benderang. Kiranya di situ
terdapat ruangan yang luas. Ditengah-tengah ruangan ada sebuah patung Giam Lo ong (raja
akhirat). Di depan patung ada sebuah meja yang cukup lebar, diatasnya ada sebuah tempat abu
sembahyang. Dan ada api yang sedang menyala, entah apa yang sedang dimasak dalam kuali itu.
Justru api yang berkobar inilah yang membuat keadaan dalam ruangan itu menjadi terang
benderang. Kim Houw segera pasang matanya, untuk mencari suara tangisan tadi, karena ruangan itu
dianggapnya sudah merupakan titik akhir dari gua tersebut. Seandainya Peng Peng berada
didalam ruangan ini, tentu tidak bisa keluar.
Benar saja, Kim Houw tidak kecele. Disamping kuali besar itu yang apinya sedang berkobarkobar.
Ia melihat si nona baju merah sedang berjongkok dan menangis sambil menutupi mukanya
dengan kedua tangannya. Melihat keadaan itu, Kim Houw segera melompat maju dan berseru :"
Peng Peng! Peng Peng! Oh, kau banyak menderita!"
Nona baju merah itu tiba-tiba dongakkan kepalanya, Kim Houw melihat wajahnya sudah basah
dengan air mata. Tapi begitu melihatnya, Kim Houw lantas mengenali bahwa nona baju merah itu
bukanlah Peng Peng yang telah ia kejar siang dan malam.
Kim Houw berdiri bengong dengan hati cemas. Apa artinya ini"
Pada saat itu, berturut-turut terdengar suara ledakan hebat, seolah-olah gunung meletus,
hingga dalam goa itu terasa bergoncang hebat. Kim Houw yang sedang berdiri, lantas bisa tancap
kakinya dengan kuat, sehingga tidak sampai rubuh. Tapi, wanita baju merah yang sedang
berjongkok itu, telah terpental dan menggelinding ke dalam api yang sedang menyala.
Melihat keadaan demikian, bukan main kagetnya Kim Houw. Meski si nona bukan Peng Peng,
tapi biar bagaimanapun nona itu tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Kim Houw yang berhati
mulia, tidak dapat berpeluk tangan begitu saja.
Dalam keadaan demikian. Kim Houw sudah tidak perlu memikirkan peraturan yang membatasi
hubungan pria dan wanita. Dengan cepat ia lompat, kemudian menyambar pinggang si nona. Baju
lengan si nona sudah pada terbakar, Kim Houw dengan cepat memadamkan apinya. Untung
belum sampai membakar kulit, namun cukup membuat nona itu pingsan.
Getaran tanah itu akhirnya berhenti sendiri. Kim Houw letakkan si nona ke tanah dan
memeriksa pernapasannya, ternyata ia masih bernapas, maka Kim Houw diam saja sendiri dan
duduk termenung memikirkan persoalannya, tapi berpikir sampai setengah harian ia masih belum
mengerti duduk perkaranya.
Nona baju merah itu perlahan-lahan telah siuman kembali, begitu ia membuka mata ia lantas
menangis lagi. "Nona sudikah kau menjawab pertanyaanku?" tanya Kim Houw.
Si nona mendadak berhenti menangis, sepasang matanya menatap mata Kim Houw dengan
tidak berkedip.
"Kau telah mencelakakan diriku sampai begini rupa, masih mau tanya apa lagi" Apa yang
harus aku jawab?" jawab nona itu dan kemudian ia menangis lagi.
Mendengar jawaban demikian, Kim Houw tercengang. Bagaimana ia dituduh mencelakakan
diri si nona"
"Nona harap kau jangan menangis." kata Kim Houw, "Kita harus jelaskan duduk perkaranya.
Kau beri tahu dulu kesulitanmu, nanti kita pikirkan untuk mencari jalan keluarnya. Menangis apa
gunanya" Kalau kau masih terus menangis, terpaksa aku tinggal kau pergi."
Si nona akhirnya hentikan tangisannya.
"Hm! Kau pikir hendak pergi, kau mimpi!" si nona tertawa dingin.
Kim Houw tidak mengerti. Pikirnya, mengapa tidak bisa pergi" apa kau tahu aku masih banyak
urusan yang belum diselesaikan" Siapa yang sudi menungguimu terus di sini"
Meski dalam hatinya berpikir demikian, tapi mulutnya tidak mengucapkan.
"Aku sebetulnya bisa keluar, hanya lantaran kau dengan tanpa sebab telah mengejar aku
terus-terusan, untuk selanjutnya aku sudah tidak ada harapan bisa keluar lagi!" jawab si nona
sambil mengusap air matanya.
"Nona aku bukannya tanpa sebab mengejar dirimu, hanya aku kesalahan mengejar orang.
Orang yang aku kejar sebetulnya..."
"Oh, kiranya yang kau kejar adalah si "dia" , aku hanya menjadi penggantinya saja."
Kim Houw mengerti yang dimaksudkan si "dia" oleh si nona adalah Peng Peng, maka buruburu
ia bertanya: "Nona! Nona! Si "dia" yang kau sebut tadi sekarang berada dimana" Bolehkah
kau memberitahukannya padaku" Ia sungguh harus dikasihani, aku mesti segera menolongnya!"
Melihat Kim Houw mengucapkan kata-katanya itu dengan sungguh-sungguh dan nampaknya
begitu gelisah, hati si nona lantas tergerak. Ia monyongkan mulutnya, lalu menjawab :" Tentu saja
kau kasihan padanya, karena dia adalah kekasihmu. Hanya aku yang karena kau kejar-kejar,
sehingga menimbulkan kesalah-pahaman dari keluargaku dan harus menjalani siksaan seumur
hidup, sedikitpun kau tidak menaruh perhatian, kau tanyakanlah kepada orang lain!"
Kim Houw tambah cemas mendengar jawaban si nona.
"Nona bagaimana kau katakan aku telah mencelakaimu" Cobalah ceritakan!"
Si nona nampaknya mulai lega pikirannya, ia dapat bicara dengan suara yang lunak: "Tahukah
kau aku she apa" dan bernama siapa?"
Kim Houw gelengkan kepalanya.
Wajah si nona tiba-tiba menjadi merah kemalu-maluan, ia berkata pula dengan suara perlahan:
"Aku bernama Teng Ceng Ceng, Teng Goan Piauw adalah ayahku, imam tua itu adalah sute ayah
julukannya Leng Liong Cu. Ibuku bernama Kong sun-toanio, dan aku masih mempunyai seorang


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adik laki-laki yang bernama Teng Peng Jin, kita berlima tinggal didalam Im-hong-ciong ini......"
Kim Houw ketika mendengar Im-hong-ciong lalu ingat batu permata warna hijau yang dipakai
untuk namanya tempat tersebut, maka ia lantas bertanya: "Nona, siapakah majikan yang
sebenarnya dari Im-hong-ciong ini?"
"Majikan yang sebenarnya" Siapa yang berani mengaku-ngaku menjadi majikan dari Im-hongciong?"
jawab si nona. Kim Houw mengerti bahwa si nona salah paham, maka ia lantas menjelaskan: "Bukan itu yang
aku maksudkan, memang benar siapa orangnya yang berani mengaku-ngaku. Aku hanya merasa,
orang-orang yang aku temukan, semuanya masih belum pantas menjadi majikan tempat ini. Entah
ucapanku ini salah atau tidak?"
Teng Ceng Ceng tersenyum, agaknya sangat mengagumi kata-kata anak muda itu. Ia lalu
cerita, bagaimana sampai ia dijadikan gantinya Peng Peng. "Perkataanmu sedikitpun tidak salah.
Majikan dari Im-hong-ciong adalah kakekku Teng Kie Liang. Dulu dalam dunia Kangouw ada
empat raja iblis, mereka itu masing-masing bergelar Hong, Ie, Lui dan Tian. Kakekku adalah Hong
Mo-ong. Kali ini kakekku sedang keluar mencari sahabatnya yang belum kembali. Kalau kakekku
sudah ada, aku tidak akan sampai menerima penderitaan seperti ini."
"Pada suatu hari aku sedang berburu seekor anak kijang, aku telah keluar dari Im-hong-ciong,
kebetulan berpapasan dengan seorang wanita cantik setengah tua. Aku melihat dia, dia juga
mengawasiku. Kemudian aku baru tahu bahwa wanita itu bernama Ceng Nio-cu."
"Aku tahu bahwa wanita itu orang Ceng-kee-cee, meski merupakan tetangga Im-hong-ciong,
dilarang sekali membuat perhubungan, juga tidak pernah mempunyai ganjalan apa-apa."
"Siapa sangka selagi aku tidak ambil perhatian, dia lantas menotok jalan darahku dan
kemudian menangkap aku. Aku tidak habis pikir, apa sebabnya Ceng Nio-cu menangkapku?"
"Setelah dia membawaku ke Ceng-kee-cee, aku baru tahu kiranya ada seorang nona yang
namanya Peng Peng yang hendak digunakan korban upacara sembahyang kepada dewa-dewa
tidak jadi dibawa ke Ceng-kee-cee, tapi dikirim ke Pek-liong-po, karena Siao Pek Sin mengubah
rencananya ditengah jalan."
"Untuk keperluan menggantikan kedudukannya si nona, Ceng Nio-cu lantas menangkapku dan
merias diriku seperti nona Peng Peng, maksudnya ialah hendak menipu orang-orang yang hendak
menolong nona itu."
"Akhirnya orang-orang yang mau menolong tidak datang, malah ayah, ibu, susiok dan adikku
telah berhasil merebut kembali diriku dari tangan mereka."
"Tapi, peraturan dalam rumah tanggaku sangat keras, dengan adanya kau mengejar terus
terusan, keadaanku lantas sangat menyedihkan, ditambah lagi kau pernah berkata tidak karuan di
hadapan mereka, sehingga membuat mereka gusar."
"Ayah dan ibu yang ingin mendapat bukti bahwa aku tidak berdosa, lantas suruh aku masuk ke
ruangan ini untuk menyatakan penyesalan. Tidak disangka kau masih mengejar sampai di sini
juga. Sekarang, kita berdua sudah tamat......"
Kim Houw terkejut :" Mengapa" Mengapa tamat?"
Teng Ceng Ceng melirik Kim Houw sejenak. "Kau benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak
tahu?" "Apa perlunya aku pura-pura tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu!"
Teng Ceng Ceng menghela napas, "Namanya Im-hong-ciong meski belum cukup untuk
menggetarkan dunia, tapi sudah cukup membuat keder atau kuncup nyali orang-orang dunia
persilatan. Didalamnya terdapat perlengkapan alat rahasia yang sangat lihai. Barusan suara
ledakan dan getaran, juga merupakan alat rahasia yang paling lihai di Im-hong-ciong ini, namanya
Kui-to Kui-bun-koan. Dari mulut goa sampai di sini, ada sembilan buah pintu batu besar yang jatuh
menutupi jalanan, sekarang kalau mau keluar dari dalam goa sudah sangat sukar sekali, bukankah
berarti riwayat kita tamat di goa ini" Sekalipun tidak mati kedinginan, juga akan mampus
kelaparan!"
Mendengar itu, Kim Houw wajahnya berubah seketika. Dengan cepat ia putar tubuhnya, baru
saja tiba dimulut tikungan, ia telah terhalang oleh sebuah pintu batu yang sangat besar dan licin,
bukan seperti batu biasa.
Kim Houw lalu menghajar dengan tangannya, meski ia sudah menggunakan delapan puluh
persen tenaganya tapi pintu itu tidak bergerak sedikitpun.
Bukan kepalang kagetnya Kim Houw, ia tidak sangka bahwa tindakannya yang terlalu
gegabah, bukan saja sudah mencelakakan dirinya sendiri, tapi juga akan mencelakakan orang
lain. Kalau benar-benar ia tidak bisa keluar dari dalam goa ini, hal itu akan menjadikan suatu
penyesalan seumur hidupnya.
Kim Houw mendadak keluarkan senjata Bak-tha Liong-kin dan Ngo-heng-kiam, ia gunakan
berbareng untuk menggempur pintu yang kokoh kekar itu.
Di bawah gempuran senjata pusaka itu, nampak bubuk batu pada berhamburan. tapi setelah
Kim houw memeriksa dengan teliti, bekas yang digempur Bak-tha Liong-kin hanya berlobang
sebesar kepalan tangan, sedang bekas pedang Ngo-heng-kiam meski amblas ke dalam, tapi batu
sukar dibikin bergerak.
Untuk kepentingan supaya bisa lekas keluar dari gua itu, kini setelah mendapatkan sedikit
harapan, Kim Houw tidak pikirkan lagi apa artinya susah. Ia menggunakan pedang lebih dahulu
dengan tenaga sepenuhnya, ia membuat lingkaran kecil di atas batu lalu digempur dengan
menggunakan Bak-tha Liong-kin.
Sedikit demi sedikit batu itu telah digempur hancur. tapi, ada berapa tebalnya pintu batu itu, ia
sendiri juga tidak tahu. Pedang Ngo-heng-kiam yang tidak cukup satu kaki panjangnya, ia harus
menggunakan waktu berapa lama baru bisa menembusi pintu itu, masih merupakan suatu
pertanyaan besar.
Tiba-tiba ia dengar suara Teng Ceng Ceng yang berkata padanya: "Kau akan buang-buang
tenaga secara percuma saja! Pintu batu itu tebalnya satu tombak lebih, meski kau mempunyai
pedang dan senjata pusaka, dalam waktu satu hari juga tidak mampu menembusi pintu itu"
Kim Houw tidak mau ambil pusing, ia terus menggempur dengan senjatanya.
"Apa kita harus menantikan kematian kita di sini sambil berpeluk tangan?" demikian
jawabannya. Kim Houw mendadak ingat, pintu besi itu sukar ditembus. Tapi batu cadas dipinggirannya,
tentu tidak begitu keras seperti pintu itu.
Ia lalu menghentikan gerakannya, senjatanya dialihkan tujuannya, kini ia menggempur
pinggirnya. Di luar dugaan Kim Houw, batu cadas itu ternyata empuk sekali" melihat keadaan demikian,
semangat Kim Houw bertambah besar, maka ia lantas berpaling dan berkata kepada nona Teng.
"Kali ini kau boleh lega, dalam satu hari saja, aku nanti akan tembusi pintu batu semuanya, imhongciong ternyata cuma begitu saja."
Tepi Ceng Ceng sedikitpun tidak menunjukkan sikap girang, sebaliknya malah mengeluarkan
tawa dingin. "Kau terlalu pandang enteng Im-hong-ciong. aku sudah berkeputusan mati dalam goa ini,
cepat atau lambat sama saja. untuk sementara aku tidak perlu beritahukan padamu, biar kau tahu
sendiri saja," berkata Teng Ceng Ceng dan segera berjalan menuju ke ruangan.
Kim Houw tidak mau perduli, sebelum mendapat tahu keadaan sebenarnya, biar
bagaimanapun ia tidak mau melepaskan keinginannya untuk keluar dari situ. Maka, ia terus
melancarkan rencananya.
Sebentar saja, ia sudah menggempur sampai tujuh-delapan kaki dalamnya.
Sedang ia menyingkirkan hancuran batu, tiba-tiba dibagian bawah dirasakannya agak basah,
lalu diikuti oleh mengalirnya air yang keluar dari sela-sela lubang.
Kim Houw terkejut, pikirnya: jika dalam goa ini terdapat simpanan air, maka bagian yang
berlubang itu pasti akan menimbulkan bencana yang hebat.
Belum lenyap pikirannya itu, dinding di sebelahnya telah terbelah, dari dalam menyemburlah
air laksana bendungan bobol. Kim Houw yang tidak sempat menyingkir langsung terseret sampai
jauh. Air itu dengan cepat mengalir ke seluruh ruangan, Kim Houw yang menyaksikan keadaan
demikian cuma bisa memandang dengan mulut ternganga.
Sekejap saja, air itu sudah memenuhi seluruh ruangan dan sedikit demi sedikit mulai naik
tinggi. Teng Ceng Ceng menghampiri Kim Houw. "Bagaimana?" kata si nona dingin.
"Apa kau kira Im-hong-ciong begitu gampang untuk kau gempur" Cuma saja, lekas mati
rasanya lebih baik daripada tersiksa karena kelaparan atau direndam air!"
Kim Houw telah dibikin kaget oleh sikap si nona yang memandang kematian begitu sepi. Tapi
ia sendiri masih belum kepingin mati, apalagi mati secara konyol. Ia harus berusaha keluar dari
goa neraka ini.
Tapi air masuk makin deras, sebentar saja sudah naik sampai sebatas lutut.
Air dan api, sama-sama merupakan bencana alam yang menakutkan dan tidak kenal kasihan.
Kim Houw yang terkurung air didalam goa Im-hong-ciong, meski ia seorang yang bernyali
besar dan berkepandaian tinggi, tidak urung juga merasa putus asa, apalagi ketika melihat air itu
makin meluap tidak kenal batas. Air itu mula-mula cuma merendam kakinya, kemudian sampai
batas lutut, lalu naik ke pinggang dan terus mencapai dada....
Tiba-tiba Teng Ceng Ceng menjerit dan melompat dari dalam air sedang kedua tangannya
memeluk Kim Houw.
"Hai,.........aku takut, aku takut.........." ia berkata dengan gugup.
"Kejadian sudah begini rupa, apa yang mesti ditakuti" Apakah kau pandai berenang?"
"Apa kau kira aku takut mati" Cuma dinginnya air ini yang aku tidak tahan. Tentang berenang"
Akukan wanita, bagaimana mengerti permainan itu," jawabnya menggigil.
Kim Houw melihat wajah si nona yang pucat pasi dan menggigil semakin keras, ia mengerti
bahwa ucapan Teng Ceng Ceng barusan memang ada benarnya. maka ia lantas mendekap
kencang si nona, tangannya diam-diam menyalurkan lwekang kedalam tubuh Ceng Ceng.
"Nona tidak mengerti berenang tidak apa-apa, sudah cukup asalkan menutup pernapasan,
supaya air tidak masuk ke perutmu. Kejadian sudah begini rupa, kita terpaksa serahkan nasib kita
ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa," Kim Houw menghibur.
Ceng Ceng menjatuhkan dirinya ke dada Kim Houw yang kekar dan bidang, ia cuma bisa
mengangguk. Pada saat itu, air sudah naik sebatas leher, Kim Houw dengan menggendong si nona meloncat
ke atas meja sembahyang. Teng Ceng Ceng melepaskan dirinya dari pelukan Kim Houw,
kemudian berseru: "Apa" aku benar-benar bodoh, mengapa aku tidak memikirkan ada meja batu,
tempat abu sembahyang, patung besar.....,sekalipun air naik tinggi lagi juga tidak bisa membuat
aku mati. Juga tidak sampai kedinginan begini rupa!"
Meski suara Ceng Ceng cukup nyaring, tapi sepatahpun tidak masuk ke dalam telinga Kim
Houw. Hatinya sedang risau, ia tidak seperti Ceng Ceng yang masih kekanak-kanakan, sebentar
mengatakan tidak takut mati tapi tak lama kemudian menunjukkan ketakutannya.
Kematian memang kadang-kadang boleh dianggap ringan seperti ringannya bulu, tetapi
kadang-kadang harus dipandang berat laksana gunung. Apakah Kim Houw benar-benar seorang
yang takut mati" Ia hanya tidak sudi mati konyol seperti sekarang ini.
Semut saja masih sayang jiwanya, apalagi manusia"
Kim Houw kini memeras otaknya yang cerdas untuk mencari jalan keluar dari dalam bahaya
yang tengah mengancam jiwanya.
Pikirnya air adalah benda cair yang gampang menyusup kemana-mana, asal ada sedikit
lubang saja tentu bisa mengalir keluar.
Tapi, air itu justru seperti air bah yang mengalir dari sungai yang bobol bendungannya, terus
mengalir tanpa henti.
Dalam goa itu sebetulnya ada sinar terang lampu lilin, tapi sejak air masuk ke dalam ruangan
itu, semua api padam hingga keadaan dalam goa menjadi gelap gulita. Kim Houw mempunyai
kepandaian untuk tetap dapat melihat dalam keadaan gelap sehingga ia tidak merasa takut.
Namun tidak demikian halnya dengan Ceng Ceng. Meski ia sudah lepaskan diri dari pelukan Kim
Houw, tapi ia masih memerlukan bantuan anak muda itu barulah bisa lompat naik.
Dari atas meja batu mereka pindah ke atas tempat abu sembahyang, lalu loncat lagi ke pundak
patung dan ke atas kepalanya. Tapi air terus naik tidak putus-putusnya, mereka sudah tidak
mempunyai jalan mundur lagi.
Ceng Ceng mulai ketakutan, Kim Houw mulai tidak tenang. Dalam ruangan goa yang begitu
luas sudah tergenangi air seluruhnya.
Tiba-tiba Kim Houw ingat soal gua ini, jika tidak ada lubang udara, bagaimana air bisa mengalir
begitu deras" Dan kini setelah air menggenangi hampir sampai bagian atas, Kim Houw menduga
pasti terdapat lubang udara dibagian atas, tapi nampaknya air masih bergerak terus.
Dengan matanya yang tajam ia mulai memeriksa keadaan sebelah atas, Pertama-tama ia
memperhatikan apakah di situ terdapat sesuatu yang janggal"
Bagian atas sudah diperiksa semuanya, tapi tidak ditemukannya bagian yang mencurigakan.
Sesaat sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, di atas dinding yang terdiri dari
batu cadas yang tidak rata, tiba-tiba ia melihat gambar seperti peta, sayang gambar itu tidak utuh
keadaannya, sebagian besar bahkan sudah terendam air.
Saat itu air sudah memenuhi seluruh goa.
Patung besar juga sudah terendam. Kim Houw dan Ceng Ceng yang berdiri di atas patung itu,
kakinya juga sudah ikut terendam.
Kim Houw yang berdiri di kepala patung, terpisah dengan atap goa cuma kira-kira delapan kaki
tingginya. Terdesak oleh keinginan untuk tetap hidup, Kim Houw tiba-tiba melesat ke atas, ujung
jarinya ditancapkan ke atas batu pada atap gua itu.
Pikirnya, mungkin jika ia tidak terpisah cukup jauh dari atap gua maka akan bisa menemukan
lubang udara, sebab kalau berada dekat dirinya tentu sudah diketahuinya sejak tadi. Maka ia
lantas mengambil tindakan tiba-tiba itu. Tidak disangka, baru saja tangannya menancap dalam
dinding gua, tiba-tiba terdengar jeritan Ceng Ceng : "Hei! Hei! Kau jangan tinggalkan aku
sendirian......."
Kasihan Ceng Ceng, hingga saat ini, ia masih belum tahu nama Kim Houw, maka ia cuma bisa
berteriak "Hei! Hei! saja untuk memanggil Kim Houw. Tidak nyana belum habis ucapannya, tibatiba
terdengar suara orang yang kecemplung dalam air. Ia tidak perlu lihat dan memang ia juga
tidak bisa melihat, sebab keadaannya gelap gulita. Ia hanya dapat mengira bahwa yang jatuh
kecemplung itu pastilah Kim Houw. Maka ia lantas berseru memanggil :" Hei! Hei! Kau kenapa?"
Tapi di luar dugaan, Kim Houw tahu-tahu sudah berada disampingnya lagi, badannya basah
kuyup, tapi ia tidak dapat melihat dengan nyata.
Ceng Ceng agaknya kelewat kaget sehingga dengan tanpa malu-malu lagi ia lantas ulur
tangannya merangkul Kim Houw, mulutnya masih mengoceh sendirian: "Benar-benar
mengagetkan aku!"
Mendadak ia dengar suara Kim Houw: "Lepaskan tanganmu! Jangan ribut-ribut, kau lihat kita
sekarang tertolong!"
Ceng Ceng yang mendengar kata-kata Kim Houw agak ketus, merasa tidak puas, percuma
saja perhatiannya atas anak muda tadi. Pikirnya, meski sampai pada saat itu antara mereka masih
belum ada perasaan suka, namun dalam keadaan bahaya sudah selayaknya kalau saling
memperhatikan nasib kawannya. Mengapa Kim Houw bersikap begitu ketus"
Tapi ketika mendengar kata-kata Kim Houw terakhir, bahwa mereka akan tertolong, dalam
hatinya kegirangan. Segera ia lepaskan pegangannya.
Kiranya pada atap gua itu ada sebuah lubang, itu adalah bekas jatuhnya sepotong batu cadas.
Tadi, ketika jari tangan Kim Houw menusuk batu cadas itu, maksudnya ialah untuk mendapat
pegangan supaya badannya tidak jatuh, hingga bisa memeriksa keadaan pada atap gua tersebut.
Suara jeritan Ceng Ceng telah mengejutkan badannya.
Dari atas ia menoleh ke bawah dengan tiba-tiba tapi Kim Houw lantas mengerti duduk perkara,
meluncur turun bersama potongan batu. Setelah kecebur dalam air, Kim Houw segera loncat naik
lagi dan kembali ke sampingnya Ceng Ceng.
Dalam kejadian sepintas lalu itu, ia dapat kenyataan bahwa pada tempat bekas pegangannya
tadi ternyata ada satu lubang, bahkan ada sedikit sinar terang muncul dari situ.
Kim Houw yang sudah pernah melihat banyak macamnya barang pusaka, mendengar
perkataan Teng Ceng Ceng yang menyebutkan adanya goa rahasia, segera membayangkan
adanya benda-benda pusaka yang tersimpan didalam goa rahasia itu. Tapi benda-benda pusaka
baginya tidak menarik, yang penting baginya ialah lekas-lekas dapat keluar dari dalam goa neraka
itu. Mendadak ia dengar suara gemuruh, kemudian disusul oleh suara seperti guntur yang
berbunyi tidak henti-hentinya.
Pada saat itu juga, air yang menggenang dalam goa itu tiba-tiba lantas surut dengan cepat.
Teng Ceng Ceng meski tidak dapat melihat, tapi bisa merasakan. Dalam kegirangannya ia lantas
menarik tangan Kim Houw sambil berseru : "Aaa, air sudah surut ! air sudah surut !"
"Memang betul air sudah surut ! Ini benar-benar aneh, mengapa tanpa sebab air bisa surut
sendiri" Bahkan begitu cepat surutnya !" jawab Kim Houw sambil ketawa getir.
Sebentar saja, air sudah turun sampai di bawah patung, kemudian dibawah meja!
Mendadak mata Kim Houw yang tajam telah lihat sebuah batu dalam tempat abu sembahyang,
pada mana terdapat tanda lima jari tangan dengan nyata. Kim Houw terkejut, tiba-tiba terbuka
pikirannya: Mungkinkah dalam tempat abu sembahyang ini ada tersimpan pesawat rahasia "
Air sudah surut dan bagaimana surutnya bisa begitu cepat" Kiranya di empat penjuru goa
telah muncul empat pintu, air itu keluar dengan cepat melalui pintu itu.
Karena air sudah surut, Kim Houw tidak usah memikirkan untuk keluar menoblos ke atas.
Apalagi tempat simpanan barang pusaka lain orang, lebih-lebih tidak dimasuki. Meskipun tempat ia
sendiri yang menemukan, tapi barang disitu bukan haknya, ia sama sekali tidak memikirkan.
Ketika ia sembari menggandeng tangan Teng Ceng Ceng lompat turun dari atas patung, pada
pintu sebelah timur tiba-tiba ada sinar terang, dari situ muncul seorang tua muka merah yang
masuk ke dalam goa dengan ngerobok air.
Melihat orang tua itu, Teng Ceng Ceng segera tinggalkan Kim Houw lari menghampiri sambil
berseru : "Yaya! Yaya!" ia mau menubruk orang tua itu.
Tapi belum sampai Teng Ceng Ceng menubruknya, orang tua itu sudah menggeram dengan
suaranya yang seperti mengguntur. Teng Ceng Ceng terperanjat, lalu hentikan kakinya dan lantas
berlutut dihadapannya.
"Yaya! Ini bukan salahku, aku tidak pernah melakukan suatu perbuatan yang membikin noda
nama baik keluarga Teng!" demikian ia meratap.
Orang tua muka merah yang dipanggil "Yaya." oleh Teng Ceng Ceng, bukan lain adalah Huithian
Go-kang Teng Kie Liang, majikan dari Im-hong-ciong.
"Siapa yang berani memecahkan pesawatku dalam Im-hong-ciong ?" bentak orang tua
"Boanpwe Kim Houw, lantaran hendak menolong jiwa orang, dalam tergesa-gesa telah
kesalahan masuk kedalam Im-hong-ciong. Dan kemudian dengan tidak sengaja telah kesalahan
menyentuh pesawat dalam goa. Semua itu telah terjadi secara kebetulan, kalau tidak, pesawat
rahasia dalam goa yang begitu hebat, jangankan cuma satu Kim Houw, sekalipun ada sepuluh
Kim Houw, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Maka boanpwe mohon Locianpwe supaya suka
memberi maaf sebanyak-banyaknya."
Kim Houw mengucapkan kata-katanya dengan sikap yang sangat hormat dan merendah
sekali, terutama ketika mengatakan hebatnya pesawat rahasia dalam goa. Maka hawa amarah


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tua mendadak seketika itu telah lumer, tapi suaranya masih galak.
"Kabarnya Kim-siauhiap mempunyai banyak kepandaian ilmu silat yang luar biasa." katanya.
"Tinggi sekali kekuatan tenaga lwekangnya dan tidak memandang mata kepada semua orang dari
Im-hong-ciong, serta kemudian merusak papan batu Im-hong-ciong, apakah semua ini ada benar
?" Menampak orang tua itu gusarnya belum lenyap betul, Kim Houw lantas menjawab dengan
sikapnya yang rendah: "Soal inipun bukan disengaja, itu hanya kesalahan paham. Kalau
locianpwe mau percaya, harap locianpwe beri petunjuk kepada boanpwe jalan keluar dari goa ini,
karena boanpwe masih ada urusan penting yang hendak dilakukan. Menolong orang seumpama
menolong kebakaran...."
Hui-thian Go-kang tiba-tiba buka lebar matanya. "Menolong orang" Apakah kau ada satu jalan
dengan rombongan si pengemis tua Tok-kai" Mereka sekarang mungkin sudah binasa semua!
Masih ada satu hwesio berbadan tinggi tegap, si Sepatu Dewa Cu Su dan Kim Coa Nio-nio si
nenek tua..... barangkali juga tidak terlolos dari bencana kematian."
Kim Houw tiba-tiba membentak dengan keras: "Apa kau kata?"
Teng Kie Liang tertawa terbahak-bahak.
"Aku Teng Kie Liang sungguh tidak nyana kalau demikian mudah telah dapat menuntut balas
permusuhan yang sudah berlangsung beberapa puluh tahun lamanya!"
Kim Houw yang mendengar jawaban orang tidak ada hubungannya dengan pertanyaannya,
lalu gerakkan badannya, memutar melalui dirinya si orang tua, maksudnya hendak keluar melalui
belakang Hui-thian Go-kang. Sebab orang tua itu masuk dari pintu tersebut, sudah tentu ada jalan
untuk keluar, pikirnya.
Hui-thian Go-kang tiba-tiba tarik mundur dirinya persis seperti menutupi pintu jalan.
"Kemana?" bentaknya.
Kemana " Sungguh suatu pertanyaan yang amat aneh. Kemana lagi kalau bukannya keluar.
"Sampai disini saja dulu, boanpwe hendak minta diri !" jawab Kim Houw.
"Enak benar kau bicara. Kau sudah berani memasuki Im-hong-ciong, kalau tidak unjukkan
sedikit kepandaianmu, apa kau kira bisa keluar dengan gampang " Lagi pula Teng Ceng Ceng ini
sudah cukup kau bikin susah, apa kau hendak tinggalkan begitu saja?" kata Hui-thian Go-kang
dengan suara dingin.
Mula-mula Kim Houw masih tenang saja, tapi perkataan Teng Kie Liang yang terakhir
membuat ia terperanjat. Wajahnya merah padam, hatinya berdebaran. Mereka telah timpahkan
semua kesalahan di atas pundaknya.
Kenyataannya, memang Kim Houw tidak bisa angkat pundak begitu saja. Teng Ceng Ceng
yang terbawa-bawa olehnya, kalau ia tidak salah faham, anggap nona itu ada Peng Peng,
sehingga dikejar terus-terusan. Tidak nanti sampai Teng Ceng Ceng dipersalahkan oleh ayah, ibu
dan yayanya. Teng Ceng Ceng saat itu masih berlutut dalam ketakutan, sepatahpun tidak berani keluar
perkataannya, tapi ketika mendengar ucapan yayanya itu, ia lantas menangis dengan amat
sedihnya. Kim Houw mendengar suara tangisan diam-diam mengeluh. Segala apa ia tidak takut, hanya
suara tangisan wanita yang membuat ia lemas.
Tapi otaknya tiba-tiba teringat pada Kim Lo Han dan kawan-kawannya. Menurut
keterangannya Hui-thian Go-kang mereka sudah meninggal semuanya. Tapi Kim Houw tidak mau
percaya bahwa keterangan itu benar, mungkin mereka percaya bahwa keterangan itu mereka
dalam kesulitan atau bahaya, seharusnya segera ditolong.
Kenapa oleh karena tangisan seorang wanita saja ia melupakan kawan-kawannya dalam
bahaya begitu saja, maka tangisan Ceng-ceng ia lantas anggap sepi.....
Hui-thian Go kang berkata lagi padanya sambil ketawa dingin: "Sekarang aku hendak uji
kepandaian ilmu silatmu dulu, hal yang lain nanti kita bicarakan lagi. Aku hendak lihat kau
sebetulnya mempunyai kepandaian sampai dimana sehingga berani menggempur batu Im-hongciongku?"
Tanpa beri peringatan lagi, ia lantas ulur tangan menyambar diri Kim Houw.
Sampai di situ, Kim Houw anggap sudah tidak perlu sungkan - sungkan lagi. Apa gunanya
banyak bicara" Kalau tidak unjukkan sedikit kepandaiannya, barang kali benar-benar ia tidak bisa
keluar dari goa itu. Ketika disambar oleh Hui-thian Go-kang dengan tiba-tiba dengan gesit ia
mengegos menghindarkan cekalan tangan si orang tua.
"Cianpwe benar-benar hendak menguji boanpwe, terpaksa boanpwe meringis, tapi boanpwe
tidak berani berlaku lancang, biarlah boanpwe mengalah tiga jurus...." kata Kim Houw.
Belum menutup mulut, Hui-thian Go-kang kembali sudah menyerang dengan hebatnya.
Melihat sambarannya tadi mengenakan tempat kosong, ia sudah tidak mau mengerti, apalagi kini
dengar Kim Houw memberikan kelonggaran tiga jurus kepadanya, hatinya semakin panas! Diamdiam
hatinya mengutuk bocah busuk, kau berani tidak pandang mata padaku"
Dalam tiga jurus, kalau aku tidak mampu paksa kau turun tangan, kedudukan majikan Imhongciong ini terpaksa aku serahkan padamu!
Masih untung, Hui-thian Go-kang tidak berani sombongkan dirinya, hanya di dalam hatinya
saja ia berkata. Kalau pikirannya itu ia keluarkan dari mulutnya, entah kemana ia hendak taruh
mukanya" Sebab, Kim Houw bukan saja sudah memberi kelonggaran padanya sampai tiga jurus, malah
terhadap semua serangannya si kakek selama dalam tiga jurus itu, ia belum pernah
menghindarkan diri sampai lebih dari satu tombak. Jangan kata Hui-thian Go-kang mampu paksa
padanya turun tangan, sedangkan segala gerakan dan caranya menghindarkan diri dari si anak
muda itu, ia masih belum dapat tahu ilmu sialt Kim Houw sebetulnya dari golongan mana.
Seliwatnya tiga jurus, Kim Houw lantas membuka mulut: "Kini boanpwe terpaksa hendak
berlaku kurang ajar!"
Hui-thian Go-kang diam-diam mengeluh, tapi mulutnya masih menyahut: "Hanya
mengandalkan ilmu mengentengi tubuh saja belum dapat dianggap kepandaian yang sejati,
sekarang coba kau sambuti serangan tanganku!"
Dengan demikian, Hui-thian Go-kang telah berhasil mendahului Kim Houw melakukan
serangannya. Dari ilmunya mengentengi tubuh, Teng Kie Liang tahu bahwa Kim Houw benarbenar
mempunyai kepandaian, maka ia tidak berani memandang ringan lagi!
Kini Kim Houw tidak perlu malu-malu lagi, ia lantas ulur tangannya menyambuti serangan Huithian
Go-kang, hanya ia tidak menggunakan kekuatan tangannya, kemudian ia akan melayani
menurut kekuatan yang digunakan oleh Hui-thian Go-kang, sebab pikirnya dengan orang tua itu ia
tidak mempunyai permusuhan apa-apa.
Siapa tahu selagi tangan kedua pihak hendak saling menempel, Hui-thian Go-kang tiba-tiba
ulur tangan kirinya menotok jalan darah Kie-bun-hiat di ketiak kanan Kim Houw.
Kie-bun-hiat merupakan salah satu jalan darah terpenting dalam anggota badan manusia,
kalau kena tertotok, tubuh lantas lemas seketika dan tidak ampun lagi lantas rubuh. Melihat
perbuatan orang tua itu, Kim Houw diam-diam mengutuk perbuatan yang sangat licik itu.
Kim Houw mempunyai ilmu Han-bun-cao-khie yang tidak ada taranya, bagaimana ia takut
segala ilmu totokan demikian" Si orang tua itu ternyata berani berbuat demikian tidak tahu malu,
maka ia juga tidak perlu merendahkan diri lagi. Dengan cepat ia tambah kekuatan di tangannya,
seolah-olah tidak mau ambil pusing, totokannya Teng Kie Liang.
Tiba-tiba Teng Kie Liang merasakan daging bagian yang ditotok olehnya seperti melesak ke
dalam kemudian membal dengan mendadak, hingga kekuatan dari jari tangannya meleset keluar.
Ia belum pernah menemukan kejadian yang demikian itu, tidak heran kalau ia amat kaget.
Sampai di sini Hui-thian Go-kang geleng kepala dan akui anak muda itu tulen mempunyai
kepandaian yang tidak ada taranya, sampai ia bisa menutup seluruh jalan darah di anggota
badannya menurut kehendak hatinya, mana bisa ia menjatuhkannya"
Maka ia lantas ketawa bergelak-gelak dan berkata: "Sudah! Benar-benar memang hebat, kita
tidak perlu bertanding lagi. Sekarang tiba gilirannya untuk membicarakan soalnya kamu berdua!
Teng Ceng-ceng si budak ini, oleh karena gara-gara kau telah mengalami banyak penderitaan,
sekarang aku hendak jodohkan padamu!"
Kim Houw masih belum dengar jelas Ceng Ceng sudah berseru, kemudian lompat menubruk
kakeknya. "Yaya! Yaya! Ceng ji tidak Ceng ji tidak!"
Hanya itu saja yang ia mampu ucapkan kepalanya lalu direbahkan di dadanya Hui-thian Gokang.
Hui-thian Go-kang ketawa sambil mengelus-elus rambut cucunya.
Bersambung ke jilid 13
Jilid 13 "Jangan ribut-ribut, anak laki maupun perempuan kalau sudah dewasa seharusnya kawin! Kau
lihat, orang pilihan yayamu toh tidak jelek" Bukannya lekas berlutut di depan yayamu?"
Orang tua itu belum paham maksud cucunya, maka ia masih bisa berkata-kata sambil ketawatawa.
Kim Houw sekarang baru mengerti, bukan kepalang rasa kagetnya, tapi bukan cuma kaget
saja, iapun merasa gusar.
Pikirnya, kematian adik Bwee Peng yang kucintai masih belum mampu aku menuntut balas
sedang Peng Peng yang berada dalam bahaya sampai kini masih belum dapat diketahui dimana
adanya, bagaimana bisa sembarangan kawin dengan nona ini"
Ia faham, bahwa di dalam keadaan demikian, makin banyak bicara semakin ruwet, maka ada
baiknya kalau ia cepat-cepat bisa keluar dari situ. Jika sudah meninggalkan goa itu pasti mereka
tidak akan tebalkan muka untuk memaksa ia kawin.
Tanpa ayal lagi, Kim Houw lantas lompat melesat. Maksudnya dengan melalui kedua orang itu,
menerobos keluar dari pintu mana si orang tua tadi masuk.
Siapa tahu Hui-thian Go-kang ada seorang licin, ketika tadi Kim Houw tengah memikirkan daya
upaya untuk keluar, ia agaknya sudah dapat menduga maksud si anak muda. Maka sebelum Kim
Houw berhasil meloloskan dirinya, ia sudah ayun tangannya, segera terdengar suara gemuruh di
empat penjuru dan pintu-pintu yang terdiri dari batu-batu besar itu lantas menutup semua.
Hui-thian Go-kang tertawa bergelak-gelak.
"Kau sudah bikin susah diri cucuku," ia kata. "Apa dengan kabur begitu saja sudah habis
perkara" Kalau tidak terima baik perkawinan ini, jangan harap kau bisa keluar dari Soa-im-hongciong!"
"Dimana ada aturan mengawinkan cucu perempuan dengan cara paksa demikian rupa" Dalam
hal ini benar-benar aku tidak mau terima baik. Apa itu Im-hong-ciong" Benarkah mampu
mengurung aku" Lihat saja!"
Berbareng Kim Houw sudah melesat tinggi, tancapkan jarinya kelobang pada atap tadi, sambil
bergelantungan ia berkata: "Locianpwe, di sini masih ada jalan keluar!" ia ketawa gelak-gelak dan
hendak molos melalui lubang itu.
Hui-thian Go-kang terkejut. Adanya goa rahasia dalam Im hong-ciong itu sudah lama ia tahu,
namun beberapa puluh tahun lamanya ia menyelidiki secara diam-diam masih belum bisa
menemukannya. Dan kini, dengan tidak sengaja telah ditemukan oleh Kim Houw, bagaimana ia
tidak girang" Maka ia lantas berseru memanggil Kim Houw.
"Kim siauhiap! Kim siauhiap! Harap kau suka turun dulu, aku nanti pasti antar kau keluar dari
dalam goa ini, aku si tua bangka belum pernah mengingkari janji..."
Ia dorong ke pinggir diri Teng Ceng Ceng dengan cepat ia berjalan menuju ke depan meja
besar, di bawah kaki tempat abu sembahyang ia memutar suatu alat dengan kuat!
Sebentar lalu terdengar suara menggesernya empat pintu batu yang semula tertutup kini telah
terbuka dengan perlahan-lahan, kiranya tempat abu sembahyang yang terbuat dari batu itu adalah
pesawat rahasia pembuka pintu goa itu.
Kim Houw tahu, goa rahasia itu pasti ada tempat simpanan benda pusaka yang seperti Teng
Ceng Ceng ucapkan tadi. Bagi Kim Houw sedikitpun tidak mempunyai keinginan untuk merampas
barang-barang pusaka itu, keinginan satu-satunya ialah lekas-lekas keluar dari dalam goa.
Setelah mengetahui pintu terbuka pula, ia juga tidak perlu keluar melalui lubang tersebut. Lagi
pula, dari sini ke mulut goa paling jauh barangkali cuma ada kira-kira beberapa tombak, sekejap
saja sudah bisa keluar dari dalam goa, hingga tidak perlu takut si kakek akan laku curang. Ia
lantas lepaskan tangannya melayang turun.
"Untuk haturkan terima kasihku kepada locianpwe yang telah sudi membebaskan diriku dari
dalam goa ini, aku beritahukan keistimewaannya dalam goa. Di atas goa ada terdapat sebuah
gambar lingkaran besar, rupa-rupanya seperti gambar peta rahasia, jika kita mau periksa dengan
teliti, mungkin akan mendapatkan suatu penemuan baru!" demikian Kim Houw berkata setelah
berhadapan pula dengan Hui-thian Go kang.
Mendengar keterangan itu, Hui-thian Go kang terkejut. Ia mendongak ke atas, lama sekali ia
mencari cari, baru dapat melihat tanda-tanda seperti apa yang Kim Houw katakan.
Mungkin karena rasa terima kasih yang timbul dalam hatinya, orang tua itu lantas memberi
hormat sembari menjura dalam-dalam.
"Kim-siauhiap!" katanya, "Kali ini kalau benar-benar bisa menemukan barang peninggalan
leluhur kami, semua ini adalah jasa siauhiap, di kemudian hari pasti kami tidak bisa melupakan
budi ini. Kini siauhiap hendak keluar gua, tidak semudah yang siauhiap kira, karena dimulut gua
masih terdapat banyak rintangan. Biarlah aku nanti panggilkan burung piaraanku untuk mengantar
siauhiap keluar, agar tidak mendapat banyak kesulitan!"
Setelah itu ia lantas bersuit nyaring.
Tak lama kemudian seekor burung berbulu hitam dengan patuknya yang putih laksana perak
terbang masuk ke dalam gua.
Begitu tiba didalam gua, burung itu mengeluarkan suaranya lantas hinggap diatas lengan Huithian
Go-kong yang disodorkan.
"Tiauw-ji, kau antar Kim-siauhiap ini keluar gua. Beritahukan kepada mereka supaya jangan
berlaku tidak sopan terhadap Kim-siauhiap. Kau antar Kim Siauhiap sampai keluar dari rimba
barulah kembali," berkata Hui-thian Go-kang kepada burungnya sambil menunjuk Kim Houw.
Burung itu seperti paham maksud majikannya, ia anggukkan kepalanya berulang-ulang. Lalu ia
berbunyi dan terbang berputaran di atas kepala Kim Houw.
Dengan adanya burung hitam sebagai penunjuk jalan, maka Kim Houw tidak perlu repot. Ia
haturkan terima kasih kepada Hui-thian Go-kang, kemudian mengikuti burung itu keluar dari gua.
Sepanjang jalan, burung itu mengeluarkan suara kwak, kwak,...seolah-olah sedang memberi
perintah menyampaikan pesan majikannya.
Dengan demikian Kim Houw telah berhasil keluar dari dalam gua dan rimba yang
memusingkan kepalanya itu tanpa rintangan.
Keluar dari rimba gelap itu, Kim Houw lari ke belakang gunung Ceng-kee-cee. Dari puncak
gunung memandang ke dalam Ceng-kee-cee, ia dapat melihat orang-orang sedang sibuk
melakukan persiapan untuk makan malam.
Kim Houw mendongak melihat keadaan cuaca, ia terkurung dalam gua Im-hong-ciong ternyata
sudah satu hari satu malam. Melihat mengepulnya asap dapur, ia baru ingat kalau perutnya telah
kosong, dan rasa lapar mulai menggangu pikirannya.
Tapi, lapar adalah masalah kecil, sedang nasib Kim Lo Han dan kawan-kawannya adalah
masalah yang besar. Sekalipun hebat rasa laparnya, ia juga harus mencari tahu dulu keadaan
kawan-kawannya itu, kemana perginya, entah masih hidup ataukah benar sudah menemukan
bahaya" Tiba-tiba ia tampar kepalanya sendiri, ia sesalkan dirinya mengapa tadi berlaku alpa, sehingga
tidak menanyakan dengan jelas kepada Hui-thian Go-kang, Teng Kie Liang. Jika dilihat dari sikap
orang tua itu terhadap dirinya yang begitu hormat, ia percaya pasti orang tua itu mau menjelaskan
keadaan sebenarnya.
Sekarang kalau mau kembali lagi ke dalam gua, waktunya sudah terlambat. Keadaan dalam
Ceng-kee-cee nampaknya tenang-tenang saja, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Jika
dibandingkan dengan keadaannya satu hari berselang, perbedaan itu antara langit dan bumi.
Sekalipun demikian, Kim Houw tidak bisa pergi begitu saja, sedikitnya ia harus mencari
keterangan lebih dahulu. Maka ia lantas turun dari atas puncak dan masuk ke Ceng-kee-cee. Ia
tiba di depan sebuah rumah batu.
Ia lalu melompat ke dalam rumah itu dan ternyata didalamnya tidak ada orang, hanya terdapat
anak-anak yang sedang main pedang-pedangan dengan pedang dan golok kayu.
"Adik kecil, apa ayah ibumu ada dirumah?" tanya Kim Houw sambil tertawa.
Dua anak itu lantas berhenti bermain, mungkin karena takut terhadap Kim Houw yang masih
asing bagi mereka, maka bukannya menjawab, sebaliknya malah menangis dan lari masuk ke
dalam rumah. Dari dalam segera terdengar suara wanita, entah apa yang dikatakannya, Kim Houw sama
sekali tidak mengerti. diam-diam ia mengeluh, karena bahasanya tidak dimengerti, bagaimana bisa
minta keterangan padanya"
Pada saat itu, seorang wanita sambil menggandeng tangan kedua anaknya keluar dari dalam,
tapi ketika melihat Kim Houw, seperti juga anaknya iapun menjerit dan masuk lagi kedalam.
Suara jeritan itu segera menimbulkan kepanikan para tetangganya, semua pada keluar dari
rumah masing-masing, cuma sayang orang-orang itu semuanya terdiri dari kaum wanita, hingga
Kim Houw kikuk untuk bicara.
Kim Houw merasa serba salah, apalagi wanita itu lantas pada kasak-kusuk entah apa yang
dibicarakan" Kim Houw sepatahpun tidak mengerti.
Untungnya dari sebuah rumah batu muncullah seorang laki-laki tua yang sudah bungkuk,
dengan membawa tongkat orang tua itu berjalan menghampiri Kim Houw.
Melihat kedatangan orang tua itu, Kim Houw sangat girang, ia buru-buru menyambut dan
memberi hormat sambil bertanya: "Lopek, apa kau mengerti perkataanku?"
Orang tua itu geleng-gelengkan kepalanya. Kim Houw mendelu, ternyata si kakek juga
rupanya tidak mengerti bahasanya. Percuma saja ia menanya.
Tiba-tiba orang tua itu bertanya: "Kau ini datang ada keperluan apa" Aku seorang yang sudah
buta lagi tuli, bicaralah sedikit keras! Kau darimana dan hendak kemana?"
Mendengar ucapan si kakek, Kim Houw girang, kiranya tadi ia tidak mendengar perkataannya,
maka hanya gelengkan kepalanya saja.
"Lopek, aku hendak mencari orang! Numpang tanya......." kata Kim Houw dengan suara keras.
Tapi belum habis ucapannya, kakek itu sudah berkata dengan suaranya yang nyaring :" Apa"
Siapa mencuri barangmu" Si An Peng toh sudah lama binasa, kau cari saja di akhirat! Sehabis
berkata kakek itu lantas pergi.
Kim Houw tidak berdaya, ia buru-buru menarik tangannya dan berkata pula: "Lopek, kau salah
mengerti, aku cuma ingin tanya."
Tapi orang tua itu masih kurang jelas menangkap pertanyaannya, terpaksa Kim Houw bicara
lebih keras: "Lopek, perkataanku tadi kau belum dengar jelas, aku hendak tanya orang-orang yang
kemarin bertempur di sini, sekarang pada kemana" dan dimana Lo ceecu?"
Orang tua itu kini baru bisa mendengar jelas, maka lantas menjawab :" Ha! Kiranya kau
mencari Lo ceecu kami" Dia kemarin bertempur satu harian, petangnya baru mengajak orangorangnya
pergi ke lembah! Tapi entah apa yang dilakukan di sana, sehingga sekarang masih
belum kembali!" sehabis memberi keterangannya, ia lantas menunjuk ke arah selatan yang
dimaksudkan mungkin adalah lembah yang disebut kakek tadi.
Kim Houw setelah mengetahui sedikit duduk perkaranya, lantas mengucapkan terima kasih
kepada orang tua itu, kemudian menuju ke lembah yang ditunjuk si kakek.
"Engko kecil, kalau kau hendak berangkat sekarang, belum sampai di sana sudah keburu
gelap!" berkata si kakek sambil menghela napas.
Kim Houw cuma ganda tertawa, kemudian menghilang dari depannya.
Sekejap saja Kim Houw sudah melalui dua puncak gunung, tapi tidak mendapat apa-apa.


Istana Kumala Putih Karya O P A di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam ia mulai heran, apakah si kakek tadi berlagak tuli untuk menipu dirinya"
Dengan perasaan curiga ia kembali melalui dua puncak gunung lagi, masih tetap tidak
mendapat kabar apa-apa. Sekarang cuaca sudah mulai gelap, perutnya keroncongan. Oleh
karena itu ia pikir hendak menangkap binatang kelinci untuk tangsal perut, tapi ia tidak membawa
bekal batu api, maka urungkan maksudnya dan terpaksa mencari buah-buahan untuk mengisi
perutnya. Pada saat itu, di atas pohon ia dapat melihat gambar kepala tengkorak manusia sebesar
kepalan tangan, mulutnya menggigit sebatang anak panah sedang ujung anak panahnya
menunjuk ke arah yang justru sedang ia tuju.
Melihat gambar tengkorak itu, Kim Houw terkejut. Karena gambar itu masih baru, entah
golongan orang Kangouw mana yang menggunakan tanda demikian.
Dengan adanya penemuannya ini, Kim Houw tidak mau membuang-buang waktu lagi, maka
dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya.
Belum sampai melewati satu puncak, kembali ia menemukan dua gambar tengkorak itu, ujung
anak panahnya tetap menunjuk ke selatan.
Tengah ia berlari, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki yang amat riuh, agaknya ada
banyak orang yang lari menuju ke arahnya. Dari gerak kaki mereka, Kim Houw segera tahu bahwa
rombongan itu ternyata kepandaiannya biasa saja. Diam-diam ia merasa heran, darimana
datangnya begitu banyak orang ke hutan belukar ini"
Tak lama kemudian, dari sebuah tikungan puncak gunung datanglah beberapa ratus laki-laki,
Kim Houw melihat mereka, segera mengetahui bahwa orang-orang itu adalah orang-orang Cengkeecee, maka ia lantas menghadang ditengah jalan untuk merintangi mereka.
"Tuan-tuan, numpang tanya, Lo ceecu dari Ceng-kee-cee sekarang ada dimana?" ia tanya
dengan suara nyaring.
Rombongan anak buah Ceng-kee-cee itu lantas berhenti, dari dalam rombongan itu lalu keluar
seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, lama ia menatap Kim Houw, barulah ia
bertanya :" Tuan siapa" Ada urusan apa mencari Lo ceecu?"
Kim Houw diawasi sekian lamanya oleh laki-laki tadi, lantas melirik kepada dirinya sendiri. Saat
itu ia baru tahu kalau dirinya benar-benar sudah tidak keruan pakaiannya, baju panjangnya sudah
robek tidak keruan.
Semula ia memang menyaru sebagai pengemis, tapi sejak berjalan bersama dengan Kie Yong
Yong, karung goni dipunggungnya sudah dibuang, rambutnya juga tidak awut-awutan lagi, begitu
pula sepatu bututnya, hanya baju panjangnya yang belum ditukar.
Sekarang, meski sepatunya tidak butut lagi, rambutnya sudah rapi, tapi pakaiannya tidak
karuan macamnya, lebih buruk keadaannya daripada selagi ia menyamar sebagai pengemis.
Atas pertanyaan laki-laki itu, ia lantas menjawab: "Aku yang rendah bernama Kim Houw,
karena ada urusan penting, maka hendak mencari Lo ceecu...."
Sayang belum habis ucapannya, laki-laki itu sudah keluarkan bentakan: "Kura-kura...." yang
tidak dimengerti oleh Kim Houw.
Tapi sekejap saja rombongan itu lantas mengeluarkan suara gemuruh, dan masing-masing
mengeluarkan senjatanya, bahkan ada beberapa orang dari samping mengambil sikap mengurung
Kim Houw. Laki-laki itu setelah memberikan perintahnya sekian lama, barulah berkata kepada Kim Houw:
"Kiranya tuan adalah Kim Houw si biang keladi yang namanya begitu terkenal, ha ha, ke surga kau
tidak mau pergi, sebaliknya hendak masuk ke neraka! Lo ceecu tidak berhasil menemukan kau
dan sekarang kau terjatuh ke tangan kami. Saudara-saudara, bentuk barisan untuk mengurung
dia, sekali-kali jangan kasih dia lolos, supaya Lo ceecu juga tahu bahwa kita juga mempunyai
kepandaian yang berarti!"
Sehabis berkata, orang itu juga mengeluarkan senjata pecutnya, lalu acungkan ke atas yang
disambut suara gemuruh dari segala penjuru.
Menyaksikan kelakuan orang-orang itu, Kim Houw merasa geli dalam hatinya. Meski jumlah
mereka banyak, tapi apa gunanya"
Ia berlagak bodoh dalam kepungan mereka, seolah-olah tidak mengerti kalau dirinya sedang
berada dalam bahaya.
Laki-laki tadi tiba-tiba berseru pula, beberapa puluh orang yang sedang mengepung Kim Houw
segera bergerak semuanya, mereka berputar-putar mengelilingi Kim Houw, makin lama
putarannya makin cepat.
Kim Houw yang berdiri tegak ditengah lingkaran mereka itu, sedikitpun ia tidak bergeser dari
tempatnya, sedang dalam hatinya diam-diam berpikir: kalau dari orang-orang ini masih belum
dapat informasi dimana adanya Kim Lo Han dan kawan-kawannya, benar-benar repot!
Orang-orang yang lari berputaran itu, gerak kakinya benar-benar lihai, sebentar saja sudah
tidak kelihatan bayangannya. Cuma, sebegitu jauh masih belum mengambil tindakan apa-apa
terhadap Kim Houw.
Anak muda itu masih tetap berdiri seperti patung, meskipun di sekitarnya begitu ribut namun
tidak mempengaruhi pikirannya. Jika orang lain, mungkin sudah dibikin senewen oleh gerakan
mereka yang seperti orang gila itu.
Lewat lagi sekian lamanya, orang-orang itu masih tetap mengitari korbannya, tapi masih tetap
belum turun tangan, sebaliknya Kim Houw dapat memeriksa satu-persatu keadaan orang-orang
tersebut. Kini ia sudah dapat melihat bahwa mereka sudah pada mandi keringat, hingga diamdiam
hatinya merasa girang. Pikirnya, dengan bergerak secara demikian, mereka akhirnya tentu
akan lelah sendiri.
Gerakan semacam ini ini dinamai Kui-goan-in salah satu gerakan barisan Ceng-kee-cee yang
khusus untuk menghadapi musuh-musuh yang berkepandaian terlalu tinggi. Yang ditugaskan
melakukan serangan terdiri dari enam belas orang, terbagi menjadi empat rombongan, tiap
orangnya membawa sebilah golok dan gerakan mereka pun serupa. Seolah-olah lari berantai,
mereka mengurung musuhnya sambil berlarian mengitari. jika musuh yang dikurung coba balas
menyerang kepada salah seorang saja, yang lain akan segera maju menyerang dengan serentak.
Kalau bukan mereka yang menghentikan serangannya, si korban yang diserang akhirnya tentu
kehabisan tenaga dan binasa.
Oleh karena mereka terpecah menjadi empat rombongan, setiap empat orang melakukan
pertempuran secara bergiliran, sehingga mereka mempunyai banyak waktu untuk istirahat, sedang
lawannya harus memberi perlawanan terus dari awal sampai akhir. Kalau bukan orang-orang
gagah yang berkepandaian tinggi, dari sepuluh orang ada sembilan orang yang terbinasa atau
terluka oleh barisan tersebut.
Tapi barisan Kui-goan-tin ini juga ada cacatnya, yaitu karena barisan ini selalu berada dalam
keadaan bergerak dan tidak mampu melakukan serangan jika tidak diserang.
Oleh karena Kim Houw tidak pandang mata pada mereka, ia tidak mau turun tangan lebih dulu.
Dengan sendirinya tanpa disengaja ia telah melumpuhkan daya serang barisan tersebut.
Pada saat itu, beberapa puluh orang yang lari berputaran perlahan-lahan mulai kendor
gerakannya. Orang yang jadi kepala dan berdiri disamping, tidak henti-hentinya acungkan
pecutnya dan berteriak-teriak.
Salah seorang yang berbadan pendek kecil diantara enam belas orang itu, tiba-tiba menabas
pundak Kim Houw dengan goloknya, serangannya itu demikian kuat dan gesit.
Siapa nyana perbuatannya itu justru telah berakibat kocar-kacirnya barisan itu.
Kim Houw sudah mengetahui ciri-ciri dari barisan tersebut. Orang-orang itu setelah berlari-lari
sekian lama, akhirnya tampak tanda-tanda kelelahannya, kalau dibiarkan mereka itu lari terus
menerus, pasti mereka akan rubuh satu persatu.
Mengingat nasib anak-anak dan kaum wanita yang ditinggalkan oleh mereka di Ceng-kee-cee,
dalam hati Kim Houw merasa tidak tega. Selagi dalam keragu-raguan, seorang yang pendek kecil
telah melakukan serangan, namun Kim Houw hanya berkelit dengan mudah. Beberapa gebrakan
saja, cukup membuat keadaan berobah terbalik. Puluhan orang itu tampak pada berdiri tanpa
bergerak dalam keadaan yang sangat aneh. Kecuali sepasang matanya yang masih bisa berkedip,
bagian tubuh lainnya tidak bisa bergerak sama sekali.
Ternyata mereka semua sudah kena totok oleh Kim Houw. Hanya sang kepalanya saja yang
masih tetap bebas.
Karena Kim Houw anggap orang itu merupakan kepala rombongan, mungkin lebih baik dan
lebih banyak tahu rahasia Ceng-kee-cee daripada yang lainnya, maka ia ingin mengorek
keterangan tentang keadaan kawan-kawannya.
Tepat pada saat Kim Houw selesai menotok mereka, orang itu sudah datang menghampiri lalu
berlutut di hadapan Kim Houw, seraya meratap:
"Kim Siauhiap, aku mohon belas kasihan siauhiap dan suka mengampuni kesalahanku. aku
Ceng Phwee sangat menyesal, benar-benar punya mata tapi buta, tidak kenal siauhiap seorang
yang gagah. Ceng Phwee disini minta maaf padamu, jika kau anggap aku salah, sekalipun kau
bunuh mati aku juga tidak sesalkan kau, aku hanya minta supaya kau suka membebaskan
mereka, karena beberapa ratus jiwa dalam Ceng-kee-cee penghidupannya masih mengandalkan
dari mereka........."
Belum habis ucapan Ceng Phwee, Kim Houw sudah ulurkan tangannya mengangkat tinggi
kepada orang yang mengaku bernama Ceng Phwee ini.
Apa sebabnya Ceng Phwee yang semula begitu sombong mendadak bersikap begitu
menghormat" Sebagai anak buah Lo ceecu dari Ceng-kee-cee, Ceng Phwee sebetulnya juga
bukanlah seorang yang lemah. Senjata pecutnya sudah pernah menjatuhkan beberapa jago di
kalangan Kangouw.
Tapi ia telah dibikin terkesima dan kagum dengan ilmu mengentengkan tubuh yang
diperlihatkan Kim Houw. Ia belum pernah menemukan orang gagah yang mempunyai kepandaian
Pedang Berkarat Pena Beraksara 11 Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Tujuh Pedang Tiga Ruyung 18

Cari Blog Ini