Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
bukanlah pemburu, tentu kurang pengalaman, dan kurang perlengkapan untuk memanggang daging
binatang buruan. Kami membawa bekal bumbu yang lengkap dan kami sudah terbiasa membuat daging
binatang hutan menjadi hidangan lezat. Kalau ji-wi suka kami akan membantu ji-wi, menguliti hasil buruan itu, memberi bumbu dan memanggang dagingnya, dan ji-wi tinggal menikmatinya saja."
Bi Moli sekarang memandang kepada si brewok dan bibir yang selalu dihias senyum itu kini melebar, matanya mencorong. "Kalian bertiga adalah pemburu-pemburu yang sama sekali tidak kami kenal.
Mengapa kalian bersikap baik dan manis kepada kami?"
Si brewok itu juga tersenyum. "Toanio tentu mencurigai kami dan ingin mengetahui pamrih dari kami"
Memang ada pamrihnya. Pertama, kami juga sudah lapar, sejak malam tadi tidak makan apapun, dan
kedua, tidak mungkin ji-wi dapat menghabiskan semua daging ini, maka selain mengharapkan dapat ikut makan, kamipun mengharapkan mendapat sisa daging untuk kami jadikan dendeng dan kami bawa
pulang." Kini Bi Moli dan Ling Ay saling pandang, lalu tertawa. Bagaimanapun juga, menguliti dan memanggang daging di tempat itu tanpa perlengkapan memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Daging itu tidak akan enak kalau hanya dipanggang dan diberi garam saja, satu-satunya bumbu yang mereka bawa
sebagai bekal dari rumah tadi.
"Baiklah, kami memang tidak suka ditolong orang tanpa imbalan. Nah, kalian panggangkan daging-daging itu dan semua sisanya boleh kalian ambil." kata Ling Ay. Iapun mencari tempat yang bersih untuk duduk, tak jauh dari gurunya. Mereka hanya duduk dan melihat kesibukan tiga orang itu. Mereka itu menguliti kijang dan dua ekor kelinci, membuang isi perutnya, membuat api, mengeluarkan bumbu yang lengkap, dan ada yang mencari air dengan panci yang memang sudah mereka bawa sebagai
perlengkapan. Mereka dapat bekerja cepat dan nampak jelas bahwa ke tiga orang itu memang sudah
terbiasa menyiapkan makanan dalam hutan.
Sambil memanggang daging yang mengeluarkan aroma sedap karena diberi bumbu yang lengkap, tiga
orang itu tiada hentinya menceritakan keadaan mereka sebagai pemburu-pemburu yang miskin dan
tinggal jauh di dusun yang terletak di pegunungan sebelah barat Nan-king. Mereka juga memuji-muji pemerintahan dari kerajaan Chi, dan seperti sambil lalu mereka juga menanyakan kedudukan dua orang wanita itu di dalam istana kaisar. Karena sikap mereka yang biasa ramah dan tidak mencurigakan, Ling Ay menceritakan dengan sejujurnya bahwa baru beberapa bulan saja gurunya bekerja menjadi pelatih silat di istana, dan ia sendiri menjadi seorang perwira pengawal permaisuri.
Setelah panggang daging itu matang, tiga orang pemburu menghidangkan bagian-bagian yang paling
lunak dan lezat kepada Ling Ay dan gurunya, dan merekapun mengeluarkan seguci besar anggur yang
baunya harum sekali. Tentu saja guru dan murid itu menjadi gembira, dan mereka tidak menolak ketika disuguhi anggur di dalam cawan-cawan bersih yang memang sudah dipersiapkan tiga orang pemburu
itu. Bi Moli sendiri tidak menaruh curiga karena tiga orang itu pun minum anggur dari guci yang sama.
Kalau anggur itu diberi racun, tentu tiga orang itu akan roboh lebih dahulu karena mereka yang lebih dulu minum.
Tiga orang itu tidak membual. Panggang daging itu sungguh lezat sekali. Lunak dan ada rasa bumbu asing yang aneh, namun yang membuat daging itu sedap. Guru dan murid itu makan sampai kenyang
dan mereka masing-masing menghabiskan tiga cawan anggur.
"Hemm, kalian memang pandai sekali memasak," kata Bi Moli dengan senang dan ia menyusut bibirnya dengan saputangan. "Semua sisa dagingnya boleh kalian ambil, kami tidak memerlukan lagi. Ling Ay, mari kita kembali, matahari sudah naik tinggi."
"Baik, subo," kata Ling Ay sambil bangkit berdiri dan menghampiri dua ekor kuda mereka yang masih makan rumput. Akan tetapi, tiba-tiba pandang matanya berkunang dan sekelilingnya seperti berputar.
Ling Ay mengeluh dan menggunakan tangan untuk memegang kepalanya, namun ia terhuyung. Ia masih
sampat melihat betapa subonya meloncat berdiri dan gurunya itu membuat gerakan untuk menyerang
tiga orang pemburu tadi, akan tetapi gurunya mengeluh dan terguling roboh. Ling Ay tak dapat
menahan kemarahannya karena ia dapat menduga bahwa ia dan gurunya telah keracunan.
"Kalian ...!" Ia melompat untuk menyerang, namun iapun terguling karena pening dan roboh di dekat gurunya. Ia masih sempat melihat munculnya belasan orang yang berpakaian serba hitam di tempat itu, lalu semua menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apalagi.
Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman luas.
Kalau tadi ia sampai terkecoh dan minum anggur yang sudah dicampuri obat bius adalah karena ia
menaruh kepercayaan melihat tiga orang pemburu itu juga minum anggur dari guci yang sama. Tentu
saja ia tidak menduga bahwa tiga orang itu mempersiapkan segalanya, dan sebelum minum anggur,
sudah lebih dahulu minum obat penawar racun atau pembius itu sehingga mereka tidak terpengaruh.
Begitu ia bangkit dan merasa pening, ia pun maklum bahwa ia dan muridnya keracunan, maka ia hendak menyerang tiga orang itu. Akan tetapi, ia segera teringat bahwa gerakan yang mengerahkan sin-kang akan membuat racun di dalam perutnya bekerja lebih cepat, maka iapun sengaja membuat dirinya
terpelanting roboh. Diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti dalam perutnya, dan menggunakan
telunjuknya untuk dimasukkan ke dalam mulut, menyentuh kerongkongannya. Seketika ia muntahmuntah, dan dengan penambahan dorongan tenaga sin-kang, maka tenaga muntahan itu menjadi
senakin kuat dan semua yang berada di dalam pencernaannya tertuang keluar melalui mulutnya! Juga anggur yang mengandung obat pembius itu.
Yang tinggal di dalam perutnya hanya sedikit dan yang sedikit itu tidak lagi mempengaruhi tubuhnya yang sudah terlatih dan kuat.
Ia melihat betapa muncul belasan oraag yang berpakaian hitam-hitam maka iapun menanti sampai
mereka bergerak mendekatinya. Tiba-tiba ia meloncat dan mengeluarkan suara melengking panjang,
membuat belasan orang berpakaian hitam-hitam dan tiga orang pemburu tadi terkejut setengah mati
karena di dalam lengkingan itu terkandung getaran yang membuat mereka semua tergetar seperti
lumpuh! Agaknya, belasan orang itu bukan orang-orang sembarangan. Terdengar seruan seorang di antara
mereka, "Sumbat telinga dan tangkap ia! Ia menggunakan tenaga sihir!"
Belasan orang itu menggunakan alat kecil penyumbat telinga, agaknya mereka memang sudah
mempersiapkan segala kemungkinan, dan kini mengepung Bi Moli Kwan Hwe Li dan dari gerakan dan
sikap mereka, datuk wanita ini maklum bahwa mereka bukanlah orang-orang lemah. Melihat ia
dikepung belasan orang laki-laki yang berpakaian serba hitam, Bi Moli Kwan Hwe Li segera
menggerakkan pedangnya. Ia tidak merasa perlu untuk bicara lagi karena mereka semua telah
menyumbat telinga mereka sehingga mereka tidak akan mendengar apa yang ia katakan. Dengan marah
ia memutar pedangnya dan para pengepungnya terkejut sekali melihat gulungan sinar pedang yang
menyelimuti tubuh wanita cantik itu. Mereka memperlebar kepungan dan mengeroyok dari
sekelilingnya sehingga Bi Moli terpaksa harus melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang, tanpa mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Ternyata bahwa belasan orang itu rata-rata memiliki
ilmu silat yang cukup tangguh.
Ketika seorang di antara mereka memberi isarat dengan mengeluarkan sebuah benda seperti gulungan kain, yang lain juga segera mengeluarkan benda yang sama. Tiba-tiba, seorang yang berdiri di
belakangnya menggerakkan benda itu ke atas dan benda itu ternyata sehelai jaring hitam yang
menyambar dan menubruk ke arah Bi Moli. Wanita ini cepat mengelak ke samping dan biarpun ia dapat menghindarkan diri dari terkaman jaring itu, ia disambut sambaran jaring lain. Ia mengelak dan
menggerakkan pedang untuk menangkis, akan tetapi akhirnya, sehelai jaring menerkamnya dari
belakang atas. Bi Moli mengerahkan tenaga menggerakkan pedangnya. Ternyata jaring itu terbuat dari bahan yang kuat dan ulet, yang tidak menjadi putus oleh sabetan pedangnya. Ketika Bi Moli bagaikan seekor ikan terjaring, menggerakkan tenaga meronta-ronta dan tangan kirinya yang menangkap jaring itu berhasil merenggut putus beberapa helai tali jaring, jaring kedua sudah menerkam di atas jaring pertama!
Bi Moli terkejut, maklum bahwa kalau banyak jaring menimpanya, ia tidak akan mampu lolos lagi. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara mengaung-ngaung dan dua orang pengeroyok
terpelanting dan jaring-jaring itu ditarik kembali, hanya tinggal dua helai yang masih menyelimuti dirinya. Akan tetapi karena dua orang pemegang tali jaring itu diserang oleh seorang pemuda yang memegang sebatang pedang sehingga mereka terdesak mundur dan dengan mudah Bi Moli lalu
meronta melepaskan diri dari dua helai jaring itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Dari
pakaiannya yang ringkas saja dapat diduga bahwa dia seorang pemuda kang-ouw yang perkasa. Pedang di tangannya diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.
Melihat ini, Bi Moli menjadi gembira dan cepat iapun memutar pedangnya menerjang para pengeroyok.
Agaknya para pengepung maklum bahwa pemuda itu seorang yang lihai. Apalagi dua orang di antara
mereka telah roboh oleh pedang di tangan pemuda itu. Mereka mengangkat dua orang kawan mereka
yang terluka. dan melarikan diri menghilang ke dalam hutan.
Bi Moli tidak mengejar, dan pemuda itupun tidak melakukan pengejaran. Mereka berdiri saling
berhadapan dan berpandangan dengan penuh selidik. Bi Moli tersenyum, memandang kagum karena
pemuda itu memang gagah perkasa dan tampan.
"Aih, kalau aku tidak salah duga, bukankah engkau ini putera atau murid dari Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman?"
Pemuda itu memberi hormat. Dia memang benar Ouwyang Toan, putera tunggal Bu-eng-kim (Pedang
Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek. Dia meninggalkan Lembah Bukit Siluman dalam perjalanannya mencari
Tiauw Hui Hong, murid atau anak tiri ayahnya yang pergi meninggalkan lembah untuk mencari ayah
kandungnya. Ouwyang Toan ini jatuh cinta kepada adik seperguruan atau adik tirinya sendiri dan dia bertekad untuk memperisteri Hui Hong. Dalam perjalanannya nenuju ke kota raja Nan-king dalam usaha mencari Hui Hong, dia melihat betapa Bi Moli dikeroyok oleh belasan orang, maka diapun segera
memberi bantuan. Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang pria dan keadaannya terancam, tentu dia tidak dapat membiarkannya begitu saja. Apalagi wanita itu demikian cantiknya, dan ada seorang nona cantik lain rebah pingsan di atas rumput.
"Toanio (nyonya) sungguh lihai dan bermata tajam, memang benar dugaan toanio, aku bernama
Ouwyang Toan dan ayahku adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Ayahku pernah bercerita tentang seorang
datuk wanita yang lihai dan selalu nampak cantik dan muda, juga ia seorang ahli sihir. Tadi toanio menggunakan kekuatan sihir, apakah toanio yang bernama Bi Moli Kwan Hwe Li?"
Bi Moli tertawa girang. "Aih, engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi putera Bueng-kiam! Engkau gagah perkasa, tampan dan cerdik."
"Bibi Kwan terlalu memuji," kata Ouwyang Toan merendah, kini tanpa ragu lagi menyebut bibi karena ayahnya mengatakan bahwa ayahnya mengenal baik wanita yang dianggap setingkat dan segolongan
dengan ayahnya itu. "Akan tetapi, siapakah nona yang masih tak sadar itu, bibi?"
"Aih, aku sampai lupa! Ia adalah muridku dan tadi kami tertipu oleh tiga orang pemburu yang mencampurkan racun pembius dalam anggur yang mereka suguhkan." Bi Moli menghampiri muridnya
yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan, diikuti oleh Ouwyang Toan yang diam-diam
memandang kagum kepada wanita muda yang cantik itu.
"Bibi, aku mempunyai obat penawar segala macam racun. Kalau boleh, biarkan aku yang
menyadarkannya," kata Ouwyang Toan. Bi Moli memandang wajah pemuda itu dan mengangguk sambil
tersenyum! Sebagai seorang wanita berpengalaman, ia tahu bahwa pemuda putera datuk dari Lembah
Bukit Siluman ini tertarik kepada muridnya. Mengapa tidak, pikirnya! Kalau muridnya dapat menjadi mantu Ouwyang Sek, berarti ia mempunyai sekutu yang amat kuat.
Setelah mendapatkan persetujuan Bi Moli Ouwyang Toan dengan girang lalu berlutut di dekat tubuh
yang terlentang itu. Jantungnya berdebar keras karena dengan berlutut di dekat tubuh itu, dia dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh yang ramping padat itu, wajah yang cantik manis. Dia bukan seorang yang ber watak mata keranjang, akan tetapi Ling Ay memang memiliki kecantikan yang mampu menarik hati pria yang pendiam sekalipun!
Ouwyang Toan mengambil dua butir pel merah dari sebuah bungkusan, lalu menghancurkan dua butir
pel itu ke dalam secawan arak. Setelah itu, dia menotok jalan darah di kedua pundak dan tengkuk Ling Ay. Gadis itu belum siuman, akan tetapi sudah mengeluh dan dapat bergerak tanpa membuka mata
karena masih dipengaruhi racun pembius. Karena ia sudah mampu bergerak, Ouwyang Toan
merangkulnya dengan lengan kiri, membantunya bangkit duduk, lalu memaksanya minum obat penawar
racun dari cawan. Biarpun tidak mudah, namun setelah Ouwyang Toan meniup ke hidung Ling Ay,
wanita ini gelagapan dan terpaksa dapat menelan semua isi cawan. Ouwyang Toan merebahkannya
kembali dan dengan jari-jari tangan penuh gairah, dia memijit-mijit pundak dan tengkuk Ling Ay, merasa betapa lembut kulit itu, betapa hangat dan berisi.
Tak lama kemudian, Ling Ay mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat ada seorang laki-laki berlutut di dekatnya dan laki-laki itu meraba-raba dan memijit-mijit tengkuk dan pundaknya, ia mengeluarkan seruan nyaring dan sambil meloncat berdiri, ia mengirim pukulan ke arah muka laki-laki itu,
"Wuuuuttt ... plakkk!" Ouwyang Toan menangkis tamparan yang amat kuat itu dan diapun melompat
berdiri. Ling Ay sudah siap untuk melanjutkan serangannya, akan tetapi gurunya segera melangkah maju dan
menangkap lengannya.
"Tenanglah, Ling Ay dan jangan salah mengerti. Pemuda ini tidak berniat buruk, bahkan dia yang telah mengobatimu dan menyadarkanmu dari pengaruh racun pembius." kata Bi Moli kepada muridnya.
Mendengar ini, Ling Ay terkejut dan mundur dua langkah, memandang kepada pemuda itu dan kedua
pipinya berubah kemerahan.
"Ahhh ... maafkan aku ... " katanya gagap dan malu telah menyerang orang tanpa bertanya dulu sehingga hampir ia memukul penolongnya!
"Tidak mengapa, nona. "kata Ouwang Toan.
"Ling Ay, dia adalah Ouwyang Toan, putera dari Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Kalau dia tidak datang, tentu akupun tadi akan terancam bahaya dari tangan orang-orang berpakaian hitam itu. Ouwyang Toan,
kenalkan, muridku ini bernama Cia Ling Ay."
Ling Ay yang menyadari kesalahannya tadi, segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut
dan ramah, "Terima kasih atas bantuan Ouwyang Tai-hiap."
Ouwyang Toan tersenyum. "Ahhh, harap nona jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)!"
Bi Moli tertawa. "Engkau sendiri menyebut Ling Ay nona. Ketahuilah, ia bukan nona, melainkan nyonya muda, ia sudah janda tanpa anak ... "
"Subo ... " kata Ling Ay dan mukanya berubah kemerahan. Ia menganggap memalukan untuk
memperkenalkan dirinya sebagai seorang janda muda tanpa anak.
"Aihh, Ling Ay. Ouwyang Toan ini adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang kuanggap sebagai segolongan dan sahabat sendiri, maka diapun dapat kita anggap orang serdiri. Engkau tidak perlu
sungkan dan sebut saja dia toako, dan engkau menyebut siauw-moi kepada Ling Ay, Ouwyang Toan."
Kedua orang muda itu kembali saling pandang dan dengan sikap malu-malu karena mata pemuda itu
menjelajahi seluruh tubuhnya, Ling Ay berkata, "Ouwyang toako!"
"Cia-moi, di antara kita memang tidak perlu sungkan seperti apa yang dikatakan bibi Kwan."
"Kulihat Bibi Kwan dan Adik Ling Ay berpakaian seperti perwira kerajaan. Benarkah dugaanku ini?"
"Tidak salah, Ouwyang Toan. Aku bekerja di istana sebagai guru silat yang melatih para perwira dan para puteri, sedangkan Ling Ay bekerja sebagai perwira pasukan pengawal permaisuri."
"Ah, kiranya bibi dan adik telah menjadi orang-orang penting di istana! Sungguh mengagumkan sekali!"
"Tidak perlu memuji, Ouwyang Toan. Kami hanya perwira-perwira kecil. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan ayahmu di Lembah Bukit Siluman?"
"Terima kasih, bibi. Ayah baik-baik saja. Dan aku sendiri sedang mencari ... adikku yang pergi dari rumah."
"Siapakah adikmu itu" Dan, kalau tidak salah, Bu-eng kiam mempunyai seorang anak perempuan. itukah yang kaumaksudkan" Siapalagi namanya, aku sudah lupa."
"Benar, bibi. Namanya Hui Hong ... eh, ada apakah, adik Ling Ay" Kenalkah engkau dengan adikku, atau apakah engkau melihat ia di kota raja !"
Ling Ay menggeleng kepala. "Aku ... rasanya aku pernah melihatnya dan mendengar namanya, yaitu kurang lebih empat tahun yang lalu ... "
"Sebelum engkau menjadi muridku?" tanya gurunya.
Ling Ay sudah dapat menenangkan hatinya. ia ingat bahwa gadis bernama Hui Hong itu adalah gadis
yang membuat hatinya merasa tidak enak dan cemburu karena gadis itu datang bersama Bun Houw dan
mereka nampak demikian akrab, ia merasa tidak perlu bicara tentang itu dan iapun berkata tenang,
"Akan tetapi, sejak empat tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melihatnya."
"Mari ikut bersama kami, Ouwyang Toan. Kami akan membantu mencari keterangan. Kalau memang
benar adikmu berada di kota raja, kami tentu akan dapat menemukannya. Kami harus cepat kembali ke kota raja untuk melaporkan tentang adanya gerombolan berpakaian hitam yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi itu. Mereka harus cepat dibasmi dan kami akan minta kepada panglima pasukan
keamanan untuk menggerebek mereka di hutan ini."
Ouwyang Toan merasa girang, bukan saja karena akan mendapat bantuan menemukan Hui Hong,
melainkan juga karena dia akan berdekatan dengan Ling Ay yang cantik manis, dan juga Bi Moli yang biarpun usianya sudah setengah abad, masih nampak jelita itu. Mereka lalu berangkat ke Nan-king. Bi Moli berboncengan satu kuda dengan muridnya dan kuda yang seekor lagi diberikan kepada Ouwyang
Toan ...!"
Karena yang membawanya Bi Moli dan Ling Ay, tentu saja Ouwyang Toan tidak dilarang memasuki
istana dan dia mendapatkan sebuah kamar dalam sebuah gedung di samping agak terpisah dari gedung induk, yaitu gedung yeng memang disediakan bagi para tamu istana. Bi Mo-li sendiri segera
menghubungi panglima pasukan keamanan yang mengirim pasukan untuk menggerebek gerombolan
berpakaian hitam yang tadi mengeroyok Bi Moli. Akan tetapi, pasukan itu tidak menemukan apa-apa.
Pasukan itu tidak menemukan seorang pun anggauta gerombolan walaupun di tengah hutan didapatkan
pondok-pondok darurat dan ada tanda-tanda bahwa baru saja banyak orang meninggalkan tempat itu.
Memenuhi janjinya, Bi Moli juga menyebar penyelidik untuk mencari seorang gadis bernama Ouwyang
Hui Hong, namun sampai beberapa hari lamanya, pencarian mereka itu tidak berhasil menemukan gadis yang dicari. Sementara itu, Ouwyang Toan tinggal sebagai tamu terhormat di lingkungan istana, dan walaupun tempat itu dijaga para pengawal dan dia tidak dapat berkeliaran di dalam istana, namun di sekeliling gedung tamu itu terdapat taman yang luas dan indah sehingga membuat pemuda ini merasa betah tinggal di situ. Apalagi di waktu malam, seringkili Bi Moli dan Ling Ay datang berkunjung dan hubungan mereka telah akrab.
Karena sikap Ouwyang Toan memang baik terhadap dirinya, dan ia tahu bahwa pemuda itu seorang
yang berkepandaian tinggi, maka ketika gurunya menyindirkan bahwa pemuda itu akan menjadi
jodohnya yang baik, Ling Ay tersipu dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Ling Ay, pemuda itu seorang yang baik dan akan sukarlah mencari seorang calon suami yang melebihi dia. Dia lihai, tampan, gagah, putera seorang tokoh besar ... "
"Subo! Subo tahu bahwa aku seorang janda, dan aku ... aku hanya mencinta seorang ... "
"Bodoh! Jangan engkau meniru sikap hidupku yang membuat aku merana sampai setua ini! Apa artinya mencinta seorang pria mati-matian, padahal pria itu sendiri tidak mencintamu" Engkau akan menderita!
Aku sudah bersikap bodoh ketika muda. Sebetulnya tidak seharusnya aku bersikap seperti itu,
mengharapkan seorang pria menjadi jodohku sampai aku harus mengorbankan diri, bersetia sampai
puluhan tahun, pada hal pria itu tidak mau menjadi jodohku! Seharusnya kita menempuh dua jalan,
pertama, kita harus menggunakan segala daya upaya untuk mendapatkan pria yang kita cinta itu, baik secara halus maupun kasar. Kalau itu gagal, kita mencari pria lain dan melupakan yang pertama! Nah, untuk apa engkau mengharapkan kekasih pertamamu itu. padahal dia tidak mencintamu lagi, bahkan
engkau pernah menikah dengan orang lain" Sekarang ada Ouwyang Toan, dan kurasa dia tidak kalah
dibandingkan dengan pria manapun."
"Subo, dia serdiri belum tentu mau denganku. Aku hanya seorang janda, dan dia putera seorang datuk dan ... "
"Aku yakin dia pasti mau memperisteri dirimu."
"Bagaimana mungkin subo tahu?"
Bi Moli tersenyum. "Aku dapat melihat bahwa dia tertarik padamu, Ling Ay, baik dari pandang matanya dan sikapnya kalau bicara denganmu."
"Aih, subo hanya menduga-duga saja."
Demikianlah, sejak percakapan itu, Ling Ay semakin memperhatikan Ouwyang Toan bahkan kalau kini
berhadapan dengan pemuda itu, ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan ia merasa sungkan
dan tersipu. Pada suatu sore, beberapa hari setelah Ouwyang Toan tinggal di lingkungan istana sebagai tamu, Ling Ay mencari gurunya. Ketika mendengar dari pelayan gurunya bahwa Bi Moli sejak tadi pergi, Ling Ay menduga bahwa tentu subonya pergi mengunjungi Ouwyang Toan, seperti yang dilakukannya
setiap hari setiap kali ada kesempatan. Iapun pergi menyusul. Pada waktu itu, gedung tempat
penginapan tamu itu kebetulan kosong dan hanya ada sedikit saja tamu yang menginap di situ. Kamar Ouwyang Toan berada di bagian belakang dan Ling Ay langsung saja menuju ke kamar pemuda itu. Para penjaga di depan gedung itu tentu saja mengenal Ling Ay, dan mereka memberi hormat ketika perwira pengawal wanita itu masuk.
Tentu saja Ling Ay tidak berani mengetuk kamar pemuda itu. Hal itu tidak sopan. Bahkan belum pernah ia datang berkunjung sendirian saja, selalu bersama subonya. Kinipun ia bukan bermaksud datang
berkunjung, melainkan menyusul dan mencari subonya. Maka, iapun menghampiri kamar itu dengan
langkah ringan dan tidak menimbulkan suara sedikitpun. Tiba tiba, ketika ia berada di luar jendela, ia menghentikan langkahnya. Ada suara percakapan berbisik-bisik keluar dari jendela itu dan ia mengenal suara subonya! Subonya berada di dalam kamar seorang diri saja bersama pemuda itu, dan mereka
bicara berbisik-bisik, diselingi tawa lirih gurunya, tawa aneh karena terdengar genit! Iapun menahan napas dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya, menangkap percakapan bisik-bisik itu.
"Bibi, kita telah berjanji, kuharap kelak engkau tidak akan melanggar janjimu kepadaku," terdengar suara Ouwyang Toan berbisik.
"Ihh, anak bandel! Kaukira Bi Moli tukang bohong" Akan tetapi kau juga harus selalu ingat. Biarpun Ling Ay telah menjadi milikmu, engkau harus tidak pernah menyia-nyiakan diriku. Kalau kelak engkau
melupakan aku, maka aku pasti akan membunuh engkau dan Ling Ay!"
Tentu saja Ling Ay yang mendengarkan dari luar, seketika menjadi pucat wajahnya dan matanya
terbelalak. Ingin ia meloncat dan pergi, akan tetapi kedua kakinya seperti lumpuh dan ia ingin
mendengarkan lagi, ingin tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan, "Aku melupakanmu" Ah,
engkau begini cantik, begini pandai menyenangkan hatiku, sampai matipun aku tidak akan
melupakanmu, bibi yang manis. Akan tetapi kalau engkau melanggar janji, tidak mengusahakan agar ia menjadi milikku, aku akan meninggalkanmu dan mengadu kepada ayah dan kami akan memusuhimu."
"Jangan khawatir, laki-laki ganteng. Aku tidak begitu pelit untuk membagi dirimu dengan muridku sendiri."
"Akan tetapi, ia kelihatan begitu pendiam dan angkuh. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk berhasil merayu dan memikatnya, bibi. Aku tidak pandai merayu."
"Apa sih sukarnya" Aku dapat mempergunakan kekuatan sihirku untuk menundukkannya."
"Dan aku mempunyai obat pembius dan racun perangsang untuk membantu kalau-kalau kekuatan
sihirmu kurang berhasil." Lalu terdengar kedua orang itu cekikikan menahan tawa. Ling Ay bergidik.
Ingin ia menjerit dan memaki, wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan ia lalu memaksa diri untuk berlari meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya, mengambil pakaian dan sore hari itu juga
meninggalkan istana. Ketika ia berlari, karena ia marah sekali. ia kurang hati-hati dan kakinya
menimbulkan suara yang tentu saja mengejutkan dua orang yang, sedang berbuat mesum di dalam
kamar itu. Ling Ay mendengar suaranya dipanggil, akan tetapi ia tidak perduli dan setelah berhasil membawa
buntalan pakaian, iapun keluar dari dalam istana, terus menuju ke pintu gerbang kota raja untuk
melarikan diri. Ia tidak akan sanggup melawan gurunya dan Ouwyang Toan, dan kalau ia tidak melarikan diri. tentu ia akan menjadi korban niat yang hina dan kotor dari kedua orang itu. Lebih baik ia mati dari pada menyerah kepada mereka!
Setelah keluar dari pintu gerbang bagian barat kota raja, Ling Ay terus melarikan diri secepatnya menuju ke barat, ke arah sungai Yang-ce-kiang karena ia bermaksud melarikan diri dengan menyewa perahu
agar tidak mudah dapat dikejar dan ditangkap gurunya yang pasti akan melakukan pengejaran.
Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya ia tiba di tepi sungai Yang-ce. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak ada tukang perahu, bahkan tidak ada perahu di sungai yang dekat, semua yang nampak
adalah perahu-perahu nelayan yang jauh dari tepi itu. Akan tetapi tiba-tiba meluncur sebuah perahu yang ditumpangi seorang laki-laki yang muka dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Perahu itu berhenti di sebuah belokan yang teduh dan laki-laki itu melempar kailnya.
Pada saat itu terdengar suara gurunya memanggilnya! Gurunya belum nampak, akan tetapi suaranya
sudah sampai di situ, tanda bahwa gurunya berteriak dengan kekuatan khi kang. Wajah Ling Ay menjadi pucat. Kalau sampai ia terlihat gurunya, tidak akan ada harapan lagi!
"Paman tukang perahu ...!" teriaknya ke arah tukang perahu yang bercaping lebar dan sedang memancing ikan itu. "Tolonglah aku, tukang perahu! Tolong seberangkan aku ke sana ... cepat, tolonglah aku ...!!"
Akan tetapi, tukang perahu yang sedang memancing ikan itu agaknya tidak mendengarnya, atau
memang tidak perduli atau mungkin juga dia bukan tukang perahu yang suka menyeberangkan orang
melainkan seorang yang mempunyai kesenangan mengail.
"Tukang perahu ...!" Ling Ay berteriak lagi, akan tetapi terlambat. Tukang perahu itu tidak bergerak, dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan subonya Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah
berdiri di depannya! Pemuda itu tersenyum mengejek, dan Bi Moli memandang dengan mata
mencorong marah.
"Ling Ay, apa yang kaulakukan ini" Engkau minggat, pergi meninggalkan istana tanpa pamit" Apa yang kau kehendaki?" tanya Bi Moli dengan nada suara marah ... .
Ling Ay terkenang apa yang didengarnya dalam kamar tadi, maka ia bergidik. "Subo biarkan aku pergi, aku tidak akan mengganggu kalian, akan tetapi harap kalian juga jangan menggangguku." kata Ling Ay, suaranya gemetar.
"Ling Ay, gilakah engkau" Kenapa engkau hendak meninggalkan aku" Hayo kembali bersamaku!"
"Tidak, subo, aku tidak mau kembali. Harap subo jangan memaksaku untuk menjadi permainan
Ouwyang Toan!"
"Kau ... ?"
"Subo, aku sudah mendengar semua. Kalian hendak memaksaku, Ouwyang Toan hendak menggunakan
racun pembius dan perangsang, subo sendiri hendak mempengaruhi aku dengan sihir. Tidak, lebih baik aku mati dari pada menuruti kemauan kalian yang kotor dan hina!" Kini Ling Ay marah, teringat betapa subonya, orang yang selama ini dihormati dan disayangnya, ternyata telah berubah menjadi iblis betina yang akan menjerumuskan murid sendiri, ia merasa heran mengapa subonya yang berdarah bangsawan
dan biasanya angkuh itu, bahkan yang selama ini setia mempertahankan cintanya kepada Tiauw Sun
Ong, telah berubah seperti itu!
"Ling Ay, engkau berani mengintai dan mendengar percakapan kami" Sungguh engkau murid durhaka!"
bentak Bi Moli, marah sekali karena merasa malu membayangkan betapa muridnya telah mengetahui
semua rahasianya dengan Ouwyang Toan.
Melihat kemarahan Bi Moli, Ouwyanng Toan berkata, "Bibi, kiranya tidak perlu ribut-ribut di sini. Kita tangkap saja dan membawanya kembali ke istana. Biar kutangkap ia untukmu, bibi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Toan sudah menerjang ke depan, kedua lengannya dikembangkan, bagaikan seekor
biruang yang hendak menangkap kelinci.
Dengan marah Ling Ay mengelak dengan loncatan ke samping dan menggerakkan kakinya menendang
ke arah pusar pemuda itu. Tendangan itu cukup berbahaya, maka terpaksa Ouwyang Toan
menghindarkan diri dari tendangan itu dengan elakan ke belakang. Bi Moli marah melihat muridnya
melawan, maka iapun menerjang dari samping dan tangannya menyambar. Ling Ay berusaha mengelak,
akan tetapi pundaknya terkena sentuhan jari tangan gurunya dan iapun terpelanting! Akan tetapi,
kiranya gurunya hanya hendak menakut-nakutinya saja dan tidak melukainya maka iapun bangkit lagi, mukanya pucat saking marahnya.
"Singg ...!!" Ling Ay mencabut pedangnya dan menghadapi kedua orang itu. "Subo, sudah kukatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada harus kembali ke sana. Dan terpaksa aku akan melawan mati-matian mempertahankan kehormatanku!" Ia mengangkat pedangnya, melintang di depan dada!
"Tahan pedangnya, biar aku merobohkan dan menangkapnya!" kata Bi Moli kepada Ouwyang Toan.
"Bibi, jangan bunuh Ling Ay ... " kata Ouwyang Toan. "Aku terlalu sayang padanya!"
"Aku tidak akan membunuhnya, melukai pun tidak asal engkau dapat menahan pedangnya dan
memberi kesempatan kepadaku untuk merobohkannya."
Ouwyang Toan mencabut pedangnya dan, diapun menyerang dengan putaran pedangnya cepat sekali.
Terpaksa Ling Ay menggerakkan pedang pula untuk membela diri. Ia berusaha untuk lebih banyak
mengelak sambil memutar pedang karena maklum bahwa sedikit saja ada lowongan karena ia harus
menghadapi pedang Ouwyang Toan, maka gurunya akan dengan mudah merobohkannya dengan
totokan. "Trangg ...!" Kembali ia menangkis ketika pedang Ouwyang Toan membacok dari atas, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya melekat pada pedang pemuda itu, tidak dapat dilepaskan kembali.
Tentu saja ia dalam keadaan terbuka dan gurunya tentu akan mudah merobohkannya.
Bi Moli mergeluarkan suara tawa mengejek dan sudah bergerak ke depan, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan dan sebuah caping menyambar sambil berputar seperti gasing, menyambar ke arah Bi Moli.
Tentu saja iblis betina yang cantik ini terkejut bukan main dan ia sudah mengurungkan totokannya kepada muridnya, melainkan membalik dan menghantam ke arah caping yang menyambarnya dari
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
samping itu. "Prakkk !" Caping itu hancur berkeping-keping, akan tetapi Bi Moli merasa betapa tangannya perih, tanda bahwa caping itu dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Kini di depannya telah berdiri seorang pemuda. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, wajahnya
tampan namun sederhana, tidak pesolek, bahkan pakaiannya juga bersahaja. Demikian pula sikapnya, nampak ramah namun wajar bahkan agak acuh. Ling Ay terkejut dan juga wajahnya berubah
kemerahan. Kiranya ini adalah tukang perahu yang tidak menanggapi seruannya tadi, dan setelah tidak bercaping lagi, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Kwa Bun Houw!
Memang pemuda itu adalah Kwa Bun Houw, pemuda yatim piatu yang menjadi murid Tiauw Sun Ong.
Pemuda yang berbakat baik ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Tiauw Sun Ong. akan tetapi kini tingkat ilmu kepandaiannya bahkan melebihi gurunya karena secara kebetulan dia telah makan Akar Bunga
Gurun Pasir, obat mujijat yang pernah diperebutkan semua tokoh dunia persilatan. Obat mujijat itu yang membuat tubuhnya menjadi kuat sekali. Baru pengaruh daya obat luar biasa itu saja sudah
mendatangkan kemajuan hebat dalam diri Bun Houw, apalagi secara kebetulan pula dia berhasil
mempelajari dan menguasai ilmu langka yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. maka dia memperoleh
kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat. Kini Bun Houw sedang dalam perjalanan yang membawa dua
macam tugas yang diberikan gurunya kepadanya. Pertama, dia mencari Tiauw Hui Hong, puteri gurunya yang tadinya menjadi anak yang diakui sebagai anak sendiri oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dia tidak tahu ke mana Hui Hong pergi, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang gadis tanpa
diketahui ke mana perginya. Adapun tugas kedua dari gurunya adalah agar dia mengamati dan meneliti bagaimana perkembangan keadaan setelah kerajaan Lui-sung jatuh dan kaisarnya diganti kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi.
Dia sedang menuju ke Nan-king dengan perahu dan pada sore hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Ling Ay terancam oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan.
Tentu saja dia segera mengenal Ling Ay ketika wanita itu tadi memanggilnya sebagai tukang perahu. Dia mengenal suara Ling Ay, dan ketika dia mengerling dan mengintai dari bawah capingnya, dia mengenal benar wajah wanita yang pernah menjadi kekasih dan tunangannya itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak perduli. Pertama, dia tidak ingin Ling Ay tahu bahwa dialah tukang perahu itu, dan ke dua, dia merasa heran dan ingin melihat apa yang terjadi sehingga Ling Ay berada di tepi sungai itu dengan sikap yang ketakutan. Ketika dia melihat Ouwyang Toan, dia terkejut, apalagi melihat sikap Ouwyang Toan dan wanita cantik itu terhadap Ling Ay dan mendengar percakapan mereka. Dari percakapan itu dia tahu bahwa wanita cantik itu guru Ling Ay yang kini mendadak saja menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat. Bagaimana mungkin seorang guru hendak memaksa muridnya menjadi
permainan Ouwyang Toan seperti dikatakan Ling Ay tadi" Bun Houw sudah siap siaga, akan tetapi dia masih ingin melihat perkembangannya dan mempertimbangkan apakah dia perlu melindungi dan
membantu Ling Ay.
Baru setelah dia melihat Ling Ay terancam dan nyaris dirobohkan, dia melempar capingnya untuk
menggagalkan serangan Bi Moli dan dia sendiri meloncat ke darat dan kini dia sudah berhadapan
dengan Bi Moli.
"Kakak Bun Houw ... !" Ling Ay tak dapat menahan mulutnya menyebut nama bekas tunangannya itu.
"Adik Ling Ay, tenanglah, biar aku menghadapi mereka." kata Bun Houw.
"Kwa Bun Houw, engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Ouwyang Toan marah sekali.
Andaikan dia seorang diri harus menghadapi Bun Houw, tentu dia merasa gentar karena dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi pemuda itu. Akan tetapi di situ terdapat Bi Moli Kwan Hwe Li yang lihai, maka tentu saja dia menjadi berani.
"Hemm, Ouwyang Toan, agaknya di mana-mana engkau hendak menyebar benih busuk dengan
perbuatanmu!" Berkata demikian, Bun Houw melangkah maju dan otomatis Ling Ay cepat mundur dan berdiri di belakang bekas tunangan itu.
"Bibi, ini adalah Kwa Bun Houw, murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh ...!" Bi Moli tertegun. Tak disangkanya dia bertemu dengan seorang pemuda yang pernah disebut-sebut muridnya sebagai bekas kekasih dan tunangan muridnya, juga yang menjadi murid Tiauw Sun Ong, bekas kekasihnya.
"Bibi, dia musuh besarku sejak dahulu, bahkan dia mengajak gurunya untuk memusuhi ayahku. Bantulah aku untuk membunuhnya, bibi. Baru kita dapat menangkap Ling Ay." kata pula Ouwyang Toan.
Mendengar bahwa pemuda itu murid bekas kekasihnya, hati Bi Moli merasa kurang enak. "Orang muda, sebaiknya engkau tidak mencampuri urusan kami. Ini merupakan urusan, guru dan murid. Ling Ay adalah muridku dan engkau sebagai orang luar tidak berhak mencampurinya. Ling Ay, hayo engkau ikut
enganku!" "Tidak, subo. Sampai mati aku tidak akan suka ikut subo kembali ke istana!" kata Ling Ay berkeras, "Subo telah bersekongkol dengan Ouwyang Toan untuk mempermainkan aku. Aku tidak sudi!"
"Locianpwe, saya tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, sudah menjadi tugas saya untuk mencampuri urusan yang menyangkut kejahatan yang menindas siapa saja, sudah menjadi
tugas saya untuk membela yang benar dan menentang yang salah. Adik Cia Ling Ay ini sudah jelas
menyatakan bahwa ia tidak mau ikut lo-cianpwe karena hendak dipaksa menjadi permainan Ouwyang
Toan. Kalau lo-cianpwe dan Ouwyang Toan hendak memaksanya, sudah tentu saya akan membelanya!"
kata Bun Houw dengan tegas.
Bi Moli tersenyum mengejek, "Engkau hanya murid Tiauw Sun Ong, berani bersikap begini kepadaku"
Berani engkau menentangku" Menentang aku sama saja dengan menentang gurumu sendiri!"
"Maaf, lo-cianpwe. Menurut pelajaran yang saya terima dari suhu, yang ditentang bukanlah orangnya, melainkan perbuatannya yang keliru. Bahkan guru sendiri atau orang tua sendiripun kalau melakukan perbuatan yang jahat, pernuatan itu harus ditentang, pelakunya harus disadarkan dari kesesatannya."
"Bocah sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa perbuatanku sesat?" bentak Bi Moli marah.
"Kalau lo-cian-pwe hendak memaksa Ling Ay untuk dipermainkan Ouwyang Toan di luar kehendaknya, sudah jelas perbuatan itu sesat dan harus ditentang."
"Jahanam! Engkau tidak tahu siapa aku! Lihat baik-baik Kwa Bun Houw, aku adalah seorang yang harus kau muliakan dan kau sembah. Berlututlah engkau!" Suaranya terdengar menggetar penuh wibawa dan mata itu mencorong seperti menembus di dahi Bun Houw antara kedua alisnya.
Seketika Bun Houw merasa tubuhnya menggetar hebat dan ada tenaga yang amat kuat dalam suara itu
yang memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bun Houw cepat mengerahkan tenaga
sin-kangnya yang kini menjadi amat kuat setelah dia makan obat Akar Bunga Gurun Pasir, dan
mengerahkan tenaga itu dari pusar ke atas sesuai dengan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
dikuasainya. Hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya sampai ke ubun-ubun dan dorongan
tenaga aneh yang memaksanya untuk berlutut tadi, lenyap bagaikan kabut ditimpa sinar matahari.
"Maaf kalau saya mengecewakan lo-cian-pwe, saya tidak akan pernah tunduk terhadap kejahatan.
Sebaliknya lo-cianpwe dan Ouwyang Toan segera meninggalkan adik Ling Ay dan jangan
mengganggunya lagi."
Bi Moli Kwan Hwee Li menjadi semakin marah karena merasa penasaran dan malu bahwa kekuatan
sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda iru. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan
tubuhnya sudah ke depan dan ia mengirim pukulan dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada
Bun Houw. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Bun Houw yang maklum akan datangnya serangan
dahsyat itu maka diapun dengan jurus Im-yang Bu-tek Cin-keng menekuk kedua lututnya, kedua tangan di rangkap depan dada seperti menyembah, lalu kedua tangan itu didorongkan ke depan dengan telapak tangan di muka untuk menyambut serangan lawan.
"Wuunuttt ... dessss ...!" Dua pasang telapak tangan itu belum saling sentuh, akan tetapi di antara mereka seperti ada angin kuat yang saling bertumbukan dan membuat keduanya terpental kebelakang.
Akan tetapi kalau Bun Houw terpental hanya mundur dua langkah, sebaliknya Bi Moli Kwan Hwe Li
terhuyung dan hampir roboh telentang kalau saja Ouwyang Toan tidak cepat menahannya dari
belakang. Bi Moli merasa terkejut dan malu, membuatnya marah dan ia menepaskan tangan Ouwyang
Toan yang menyangga punggung dan pinggulnya.
"Kwa Bun Houw, kalau aku menandingimu, sama dengan aku menghina gurumu. Baik akan kulaporkan
kelakuanmu yang kurang ajar kepadaku ini kepada Tiauw Sun Ong!" Setelah berkata demikian, Bi Moli memberi isarat kepada Ouwyang Toan untuk meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Toan tentu saja merasa terkejut dan heran. Dia memang tahu bahwa Bun Houw amat lihai.
Bahkan ayahnya pernah kalah oleh pemuda itu. Akan tetapi tadi di tidak melihat Bi Moli sudah
dikalahkan, hanya terhuyung ke belakang, kenapa wanita sakti yang menjadi datuk persilatan ini
nampak jerih untuk melanjutkan perlawanannya terhadap Kwa Bun Houw" Baru dia tahu setelah
mereka tiba diluar pintu gerbang kota raja dan melihat Bi Moli muntahkan sedikit darah, bahwa datuk itu ternyata telah menderita luka dalam akibat adu tenaga sin-kang jarak jauh tadi! Tentu saja dia terkejut, akan tetapi tidak berani bertanya-tanya.
Biarpun dalam hati ia marah dan membenci Ling Ay, akan tetapi pada lahirnya Bi Moli Kwan Hwe Li
terpaksa menghadap Permaisuri dan mohon maaf bahwa muridnya Cia Ling Ay pergi meninggalkan
istana tanpa pamit karena mendengar bahwa seorang pamannya meninggal dunia dan pengawal itu
malam-malam harus pergi meninggalkan kota raja dan tidak sempat mohon diri dari Permaisuri. Karena yang mintakan maaf dan melaporkan adalah Bi Moli Kwan Hwe Li, guru silat istana dan juga guru diri Ling Ay, maka Permaisuri menerima permintaan maaf itu dan tidak terjadi keributan apapun di dalam istana. Bi Moli terpaksa menghadap permaisuri demi dirinya sendiri karena kalau Kaisar dan keluarganya memarahi Ling Ay, ia sebagai gurunya tentu akan terlibat juga.
Atas permintaan Ouwyang Toan, Bi Moli akhirnya berhasil memperkenalkan Ouwyang Toan sebagai
murid keponakannya dan setelah melalui ujian ilmu silat, Ouwyang Toan diterima sebagai seorang
perwira pengawal pasukan penjaga keamanan istana. Dengan kedudukan ini. mereka berdua dapat
bekerjasama dan dapat selalu berhubungan, dan Ouwyang Toan mempergunakan kesempatan itu untuk
menyebar anak buahnya untuk mencari Hui Hong!
*** Mereka berdua, Bun Houw dan Ling Ay duduk di perahu kecil yang dibiarkan hanyut terbawa arus sungai oleh Bun Houw yang menggunakan dayung untuk mengemudikan perahu yang meluncur perlahan-lahan
sambil bercakap-cakap dengan Ling Ay.
"Houw-ko, kalau tidak ada engkau yang menolong, tentu sekarang aku sudah mati membunuh diri karena tidak mungkin aku mampu menandingi mereka dan aku tidak sudi dipaksa menjadi isteri
Ouwyang Toan." Ling Ay berkata dengan terharu sambil menatap wajah bekas tunangannya.
Bun Houw menghela napas panjang, "Orang yang benar dan baik akan selalu dilindungi Tuhan, Ay-moi.
Betapa cepatnya waktu meluncur lewat. Rasanya baru kemarin dulu kita saling jumpa dalam peristiwa di Nan-king itu dan sekarang, tahu-tahu engkau telah menjadi seorang ahli silat tangguh, murid Bi Moli!"
"Aih, nasib telah mempermainkan diriku sedemikian rupa, Hou-ko, bahkan sampai saat ini akupun masih selalu dirundung nasib yang malang."
"Adik Ling Ay, aku sudah mendengarkan malapetaka yang menimpa ayah ibumu. Ketika aku
meninggalkan rumah kalian untuk mencari Hui Hong, aku tidak dapat menemukan jejaknya dan ketika
aku kembali ke Nan-king, aku mendengar betapa ayah ibumu telah terbunuh oleh utusan pemberontak.
Aku mendengar pula bahwa engkau diculik penjahat yang berjuluk Hek-coa, akan tetapi engkau ditolong oleh Bi Moli, semua keterangan itu kudapatkan dari Souw Ciangkun, panglima di Nan-king yang
kemudian menangkapi para pemberontak."
Ling Ay menghela napas panjang, "Ya, siapa tahu akan nasib kita" Akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa guruku yang selamanya begitu baik kepadaku, menolongku dari penjahat yang
menculikku, kernudian melihat aku telah kehilangan segalanya lalu mengajakku merantau dan
mengambil aku sebagai murid, mengajarku ilmu dengan sungguh-sungguh, mendadak berubah sama
sekali setelah ia bertemu dengah Ouwyang Toan." Ling Ay lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang percakapan antara Bi Moli dan Ouwyang Toan yang melakukan hubungan gelap dan yang
merencanakan untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan sehingan ia melarikan diri dan dikejar sampai ke tepi-sungai.
"Hemm, akupun heran mengapa Ouwyang Toan ingin memperisterimu setelah dia menjadi kekasih Bi Moli. Padahal, Ouwyang Toan juga agaknya ingin memaksa Hui Hong yang tadinya menjadi adik tirinya, juga adik seperguruan, untuk menjadi isterinya. Mereka memang jahat sekali. Ouwyang Sek, ayahnya, dahulu menolong ibu Hui Hong dalam perjalanan pembuangan, akan tetapi hanya untuk dipaksa untuk
menjadi isterinya. Untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya, wanita itu terpaksa mau menjadi
isteri Ouwyang Sek. Ahh, para datuk itu agaknya terlalu mabok akan kekuatan sendiri sehingga mereka menjadi sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka.
Sekarang, setelah engkau meninggalkan pekerjaanmu di istana, bahkan tidak berani kembali lagi ke kota raja, lalu engkau akan pergi ke mana, Ay-moi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba saja Ling Ay menangis. Ia sendiri merasa heran dengan tangisnya. Sejak ia menjadi murid Bi Moli, ia tidak pernah menangis. Gurunya menganggap pantang untuk menangis,
karena tangis hanya kebiasaan orang-orang lemah. Akan tetapi kini, di depan Bun Houw, ia merasa
lemah sekali, lemah dan perasa sehingga begitu ditanya ke mana ia akan pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan tersedu-sedu.
Bun Houw tertegun. Dia sudah mengarahkan perahunya ke seberang. Tidak akan mudah dikejar dan
dicari orang, kalau-kalau Bi Moli mengerahkan pasukan mengejarnya, ia lalu minggirkan perahunya dan menghentikan perahu itu di pinggir dengan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon. Tempat itu
sunyi. Mereka duduk di dalam perahu dan dia membiarkan Ling Ay menumpahkan semua perasaan
dukanya keluar melalui air matanya.
Setelah melihat wanita itu mereda tangisnya, dengan hati-hati Bun Houw bertanya, "Ling Ay, kenapa engkau menangis" Apakah engkau tidak ingin kembali ke Nan-ping, ke kampung halamanmu?"
Wanita itu sudah berhenti menangis dan mendengar pertanyaan itu, ia mengangkat muka dan
memandang wajah pemuda itu dengan kedua mata basah. "Houw-ko, apakah engkau juga akan pulang ke Nan-ping?" dalam ucapannya terkandung harapan yang memancar pula dari pandang matanya.
Bun Houw menggeleng kepala. "Aku masih harus melaksanakan tugas yang diberikan suhu kepadaku.
Akan tetapi kalau engkau ingin pulang ke Nan-ping, biar aku akan mengantarmu sampai ke sana
sebelum aku melanjutkan tugasku."
Kini sepasang mata itu seperti bergantung kepada mata Bun Houw, penuh harapan. "Kalau begitu, biar aku menemanimu melaksanakan tugasmu, Houw-ko. Aku akan membantumu sekuat tenagaku! Ijinkan
aku ikut denganmu, Houw-ko!"
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Maaf, Ay-moi. Tugasku ini merupakan urusan pribadi, tidak dapat dibantu oleh siapapun. Aku tidak dapat membawamu bersamaku, adik Ling Ay."
Hening sejenak. Bun Houw sebetulnya merasa iba sekali kepada bekas tunanganya ini, akan tetapi dia tahu bahwa memang tidak mungkin dia mengajak Ling Ay, maka dia memutar tubuh membelakanginya
agar tidak melihat wajah cantik yang nampak amat berduka itu.
"Bunga itu kekeringan dan hampir layu," terdengar Ling Ay berkata lirih, "ia merindukan datangnya embun yang akan membawa sedikit kesejukan, yang akan dapat menghidupkannya ... Houw-ko, aku ...
aku selalu mengharapkan uluran tangan dan hatimu, apakah ... apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan tidak teringat akan ... cinta kasih antara kita dahulu ...?" Ia sudah memberanikan diri sekuat hatinya, mengenyahkan semua perasaan rikuh, sungkan dan malu. Ia telah menjadi seorang wanita yang tidak
tahu malu lagi, seperti membujuk agar pemuda itu mau menerimanya kembali sebagai kekasihnya!
"Adik Ling Ay, engkau masih muda, cantik, pandai, dan bahkan kini memiliki ilmu silat yang tinggi.
Engkau memang berhak untuk membentuk rumah tangga kembali, menemukan seorang suami yang
baik, akan tetapi ... bukan aku, Ay-moi. Sebaiknya aku berterus terang kepadamu. Aku telah dijodohkan oleh suhuku dengan puteri suhu sendiri yaitu adik Tiauw Hui Hong dan kami berdua sudah saling
mencinta."
Bun Houw mengeluarkan ucapan lirih itu tanpa memutar tubuhnya, dan ia mendengar keluhan lirih dari wanita itu.
"Adik Ling Ay, maafkanlah aku, agaknya memang kita tidak berjodoh ... " Akan tetapi dia mendengar gadis itu meloncat pergi. Dia menoleh dan benar saja Ling Ay sudah lari meninggalkannya dengan cepat sekali dan masih tertinggal suara isakan yang dibawa pergi. Dia merasa iba sekali, akan tetapi hanya memandang dan menahan dirinya agar tidak memanggilnya. Memang beginilah yang terbaik, pikirnya.
Harus dia akui bahwa perasaan kasihnya terhadap Ling Ay tidak pernah lenyap, akan tetapi tidak
mungkin dia menuruti perasaan itu karena dia sudah terikat lahir batin dengan Hui Hong. Ikatan batin yang timbul karena dia saling mencinta dengan gadis itu, dan ikatan lahirnya adalah karena dia sudah menerima keputusan gurunya agar dia berjodoh dengan gadis itu.
*** Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk golongan sesat yang menjadi majikan dari Bukit Bayangan Setan, dengan girang sekali menerima berita dari puteranya bahwa puteranya kini telah berhasil
menghambakan diri kepada bekas kaisar Cang Bu, bahkan di jodohkan dengan adik perempuan kaisar
atau bekas kaisar itu yang kini sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan oleh kerajaan baru Chi. Dia segera datang berkunjung ke perkampungan di
lembah Yang-ce, tak jauh dari kota Kui-cu yang menjadi markas bekas kaisar itu menyusun kekuatan.
Suma Koan diterima dengan penuh penghormatan dan mulai saat itu, Suma Koan dan puteranya, Suma
Hok, bukan saja menjadi pembantu-pembantu utama bekas kaisar itu, melainkan juga menjadi anggauta keluarga, karena Suma Hok segera menikah dengan Liu Kiok Lan, bekas puteri yang menganggap dirinya telah diperkosa oleh mendiang Pouw Cin! Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa yang
memperkosanya adalah laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
Suma Koan menyarankan kepada bekas kaisar Cang Bu yang kini menggunakan nama samaran Siauw
Tek, agar suka bersekongkol dengan kerajaan Wei di utara yang sejak lama memusuhi kerajaan di
selatan. "Ah, bagaimana paman Suma Koan mengusulkan hal seperti itu" Sejak puluhan tahun sejak kerajaan Liu-sung berdiri, kerajaan Wei selalu menjadi musuh utama kami! Kerajaan Wei yang merupakan musuh
besar, musuh bebuyutan sejak dahulu, bagaimana mungkin kini kita ajak bekerja sama" Ini merupakan suatu pengkhianatan cita-cita para pendahuluku!" Siauw Tek memrotes. Kalau mendiang Jenderal Pauw Cin masih hidup, tentu panglima tua itupun akan memrotes keras.
Suma Koan tersenyum. Kakek yang kecil kurus ini lalu berkata dengan tenang, "Harap kongcu
pertimbangkan pendapatku ini," Dia menyebut kongcu sesuai dengan kehendak bekas kaisar itu yang sedang menyamar, dan memang sudah menjadi watak datuk sesat ini untuk tidak memperdulikan
segala macam adat sopan santun maka diapun enak saja bersikap kasar kepada bekas kaisar itu. "Kita haruslah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Di waktu kita kuat, kita dapat mengandalkan
kekuatan kita untuk menundukkan musuh. Akan tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan, kalau kita
kalah kuat, kita harus dapat mempergunakan daya lain, kita harus memakai kecerdikan untuk
memperoleh kemenangan. Kongcu hendak melawan sebuah kerajaan yang memiliki balatentara besar
dan kuat, kalau kita menggunakan pasukan, aku khawatir kita akan gagal. Karena itu, kita harus cerdik dan kalau kita dapat bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, besar kemungkinan usaha kongcu akan berhasil."
Bekas kaisar itu mengerutkan alisnya dan dia dapat melihat kebenaran ucapan itu. "Akan tetapi, kerajaan Wei selama aku menjadi kaisar, adalah musuhku, bagaima mungkin mereka itu kini mau
bersekutu dengan kita?"
"Setiap kerajaan akan selalu mendasari gerakan mereka dengan perhitungan rugi untung. Kalau sekarang bersekutu dengan kongcu untuk menentang kerajaan baru Chi dianggap menguntungkan
kerajaan Wei, kenapa mereka tidak akan mau" Kalau kita bersekutu dengan Wei, maka kedua pihak
akan mendapat untung. Kongcu harus cerdik."
"Hemm ... memang usulmu baik sekali. Akan tetapi, kalau kelak pasukan kerajaan Wei bersama
pasukanku berhasil menumbangkan kerajaan Chi, lalu mereka tidak mau kembali ke utara dan hendak
menguasai pula kerajaanku, bagaimana?"
"Harus diadakan dulu perjanjian yang menguntungkan mereka, kongcu. Selama ini, daerah yang luas antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce merupakan daerah tak bertuan yang selalu menjadi
perebutan dan medan pertempuran. Kalau kongcu menjanjikan bahwa kalau persekutuan ini berhasil
menumbangkan kerajaan Chi, dan kerajaan Liu-sung dapat dibangun kembali, aku akan menyerahkan
daerah itu kepada Wei, tentu mereka akan menerimanya dengan girang sekali."
"Tapi, bagaimana kalau mereka menolak dan mencurigai kita" Bagaimana kita akan dapat mengadakan kontak dengan mereka" Belum apa-apa mereka tentu akan mencurigai kita."
"Harap kongcu jangan khawatir." kata Si Suling Setan. "Aku mengenal tokoh-tokoh kerajaan Wei dan kalau kongcu memberi surat dengan tanda cap kekuasaan kongcu, aku yang akan menghubungi
mereka." Bekas kaisar itu girang sekali dan ternyata Suma Koan tidak membual. Setelah membawa surat bekas kaisar itu, dia segera melakukan perjalanan ke utara, memasuki daerah tak bertuan yang berbahaya itu.
Di daerah antara Huang-ho dan Yang-ce, dua batang sungai terbesar dan terpanjang di Cina, terdapat kehidupan yang aneh. Daerah tak bertuan ini merupakan daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan utara dan selatan, bahkan menjadi daerah pertempuran dan daerah di mana para mata-mata
ke dua pihak, para penjahat buruan, saling bersaing. Memang terdapat dusun-dusun di daerah ini, akan tetapi di dusun-dusun inipun berlaku hukum rimba. Tidak ada pejabat pemerintah manapun yang duduk sebagai pemimpin di dusun-dusun itu. Yang ada hanyalah para jagoan yang hidup sebagai raja kecil!
Karena kekuasaan yang didapat ini merupakan kekuasaan dari kekuatan badan, maka sering kali terjadi perebutan kekuasaan, bentrokan dan perkelahian. Kepala dusun silih berganti, yang kalah tunduk atau mati, yang menang menjadi pemimpin baru. Namun, karena para jagoan yang menjadi pemimpin ini
juga membutuhkan adanya penduduk, mereka tidak membunuhi para penduduk dusun. Apa artinya
berkuasa di sebuah dusun yang tidak ada penduduknya" Karena itu, mereka yang berkuasa bahkan
melindungi penduduk agar dia dapat memperoleh dukungan.
Dusun Tai-bun adalah sebuah di antara dusun-dusun yang berada di dalam wilayah tak bertuan itu. Tai-bun berada di sebelah selatan, lebih dekat di perbatasan wilayah kerajaan Chi, dan dusun ini cukup ramai karena Tai-bun merupakan satu di antara dusun-dusun yang penduduknya suka berkunjung ke
wilayah Chi untuk berdagang. Akan tetapi pada suatu pagi, serombongan orang yang jumlahnya dua
puluh orang lebih memasuki dusun itu. Yang menyolok pada dua puluh orang lebih ini adalah pakaian mereka yang kesemuanya serba hitam! Dan yang lebih menggemparkan lagi adalah perbuatan mereka,
karena begitu memasuki dusun itu, mereka segera membunuh siapa saja yang mereka jumpai! Cara
mereka membunuh menunjukkan bahwa mereka terdiri dari orang-orang lihai. Sekali mereka
menggerakkan tangan, tentu seorang penduduk yang bertemu dengan mereka, roboh dan tewas
seketika! Gegerlah dusun yang penduduknya hanya sekitar dua ratus orang itu. Para jagoan yang memimpin
dusun itu segera mengerahkan tenaga dan puluhan orang lalu mengeroyok para penyerbu pakaian
hitam itu. Akan tetapi, mereka yang melakukan penyerbuan itu amat lihai dan sebentar saja, orang-orang yang mempertahankan dusun mereka bergelimpangan, banyak yang tewas, ada yang luka-luka
dan tidak sampai dua jam kemudian, dusun itu telah kosong, ditinggal lari mengungsi mereka yang
belum menjadi korban! Dan sejak hari itu, dusun Tai-bun telah dikuasai kelompok orang yang
berpakaian serba hitam dan setelah mereka semua datang, jumlah mereka ada kurang lebih seratus
orang. Gerombolan berpakaian hitam yang menguasai dusun Tai-bun ini bukan lain adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, perkumpulan baru yang didirikan oleh Bu-tek Sam-kwi dan yang bertugas menimbulkan
kekacauan di kerajaan Chi yang baru. Mereka membutuhkan perkampungan yang dapat menjadi pusat
gerakan mereka ke selatan dan setelah memilih-milih, dusun Tai-bun mereka rebut untuk di jadikan markas besar mereka. Dusun ini amat baik untuk di jadikan perkampungan mereka karena merupakan
dusun terdekat dengan daerah musuh yang tidak berada dalam kekuasaan kerajaan Chi, melainkan
wilayah daerah tak bertuan.
Serbuan yang menewaskan hampir seratus orang penduduk Tai-bun, dan mengalahkan para jagoan yang
memimpin di situ, segera tersiar ke seluruh daerah tak bertuan itu dan semua orang tahu bahwa di situ kini berkuasa gerombolan yang menamakan diri mereka perkumpulan Thian-te Kui-pang. Ada beberapa
orang pemimpin gerombolan lain yang mencoba untuk merebut perkampungan itu namun satu demi
satu mereka dikalahkan oleh Thian-te Kui-pang sehingga akhirnya tak seorangpun berani mengganggu gerombolan berpakaian hitam itu.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu siang, para anggauta Thian-te Kui-pang yang melakukan
penjagaan di pintu gerbang dusun Tai-bun, menghadang dan menghentikan seorang laki-laki yang
hendak memasuki dusun itu. Semenjak dusun itu dikuasai Thian-te Kui-pang, tak seorangpun bukan
anggauta diperbolehkan memasukinya dan siang malam pintu gerbang dusun dijaga ketat. Dusun itu
berubah seperti sebuah benteng saja!
(Bersambung jilid 16)
Jilid 16 "BERHENTI! Harap melapor dulu siapa engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki dusun kami."
kata kepala jaga dan sepuluh orang penjaga sudah mengepung pemuda itu dengan sikap yang galak.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, sikapnya
lembut, pakaiannya indah dan mewah seperti seorang pemuda hartawan. Dia bersikap tenang dan
tersenyum melihat sikap galak sepuluh orang itu.
"Kalian laporkan kepada Bu-tek Sam-kui bahwa Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun) Suma Hok
mewakili ayahnya, Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Setan) Suma Koan, ingin bertemu dengan
mereka bertiga."
Mendengar ucapan pemuda itu, sepuluh orang anggauta Thian-te Kui-pang terkejut dan sikap mereka
segera berubah sama sekali.
"Harap kongcu suka menanti sebentar." kata kepala jaga dan para anak buahnya mempersilakan pemuda itu duduk di dalam gardu penjagaan, sementara menanti kepala jaga yang berlari masuk untuk membuat laporan.
Tak lama kemudian, muncul ah tiga orang pimpinan Thian-te Kui-pang, yaitu tiga orang kakak beradik seperguruan yang disebut Bu-tek Sam-kui (Tiga Setan Tanpa Tanding) dengan sikap ramah. Tiga orang ini adalah Pek-thian-kui yang bertubuh gendut bulat, Huang-ho-kui yang tinggi kurus, dan Toat-beng-kui yang paling muda, berusia empat puluhan tahun dan wajahnya tampan.
"Kiranya Suma Kongcu yang datang, maafkan karena tidak tahu, kami terlambat menyambut."
Melihat sikap pimpinan mereka, para penjaga itupun berdiri tegak dengan sikap hormat. Suma Hok
tersenyum dan membalas penghormatan mereka.
"Ayahku mewakilkan kepadaku sebagai utusan Kaisar kami untuk membicarakan urusan kita."
"Silakan, kongcu, mari kita bicara di dalam." Bu-tek Sam-kui mempersilakan pemuda itu memasuki dusun dan mereka segera mengadakan pembicaraan yang serius di dalam sebuah ruangan tertutup.
Sebelum Suma Hok, berkunjung ke dusun yang menjadi sarang Thian-te Kui-pang, sudah lebih dulu
ayahnya, Suma Koan, menghubungi Bu-tek Sam-kui dan dengan perantaraan Bu-tek Sam-kui, Suma
Koan menyampaikan uluran tangan bekas Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajaan Wei di
utara. Kaisar Cang Bu yang sudah terguling tahtanya itu minta bintuan kerajaan Wei untuk menyerang ke selatan dan merebut kembali tahta kerajaannya dari Kaiasar Siauw Bian Ong yang mendirikan
kerajaan Chi, dengan janji kalau berhasil akan menyerahkan daerah tak bertuan antara Huang-ho dan Yang-ce-kiang kepada kerajaan Wei. Kaisar Thai Wu dari kerajian Wei menerima baik uluran tangan itu dan akan memberi keputusan setelah itu diperbincangkan dahulu dengan para pembantunya. Dan hari
itu, Suma Hok ditugaskan ayahnya untuk mewakilinya minta berita keputusan Kaisir Thai Wu, sekalian membicarakan rencana kerja bersama itu. "Paman bertiga tentu sudah maklum apa maksud
kunjunganku ini," kata Suma Hok setelah menerima hidangan selamat datang dari Bu-tek Sam-kui. "Atas nama Sribaginda Kasar Cang Bu, ayah mengharapkan keputusan dari kerajaan Wei, dan juga ingin
mendengar rencana siasat yang akan kita atur bersama."
"Kami gembira sekali. Suma Kongcu," kata Pek-thian-kui. "Semula, kami membentuk Thian-te Kui-pang untuk melaksanakan tugas mengacau kerajaan baru Chi di selatan. Ketika kaisar kami menerima surat uluran tangan Kaisar Cang Bu, beliau merasa gembira dan menyatakan setuju. Ini kami membawa surat dari kaisar kami untuk Kaisar Cang Bu mengenai persetujuan kerja sama itu."
Dengan girang Suma Hok menerima surat itu dan menyimpan di balik jubahnya. "Terima kasih, paman.
Nah, sekarang kita bicarakan tenting usaha kerja sama itu. Kami telah mempersiapkan sekitar lima ribu orang pasukan yang siap tempur. Kaisar Cang Bu mengharapkan agar secepatnya kerajaan Wei
mengirim pasukan untuk minta bantuan pasukan kami menggempur Nan-ping."
Toat beng-kui, orang termuda dari Bu-tek Sam-kui, tersenyum dan dia yang menjawab, "Wah, tidak semudah itu, kongcu! Apa artinya pasukan yang hanya lima ribu orang banyaknya" Kalau menyerang
kerajaan Chi begitu saja dengan kekuatan pasukan, maka akan terjadi perang besar yang menimbulkan banyak kerugian di pihak kerajaan kami karena kami yang menjadi penyerang dari tempat jauh, pada hal kekuatan antara kedua kerajaan berimbang. Belum tentu kita akan menang."
Suma Hok mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, apa artinya persekutuan ini" Apa yang
direncanakan oleh Kaisar Wei Tay Wu untuk membantu kami?"
"Kongcu, kaisar kami telah menyerahkan kerja sama dengan Kaisar Cang Bu kepada kami. Kami yang akan mengatur semua rencana, dan kami hanya akan mengacaukan kerajaan baru Chi dari dalam. Kalau perlu, kami dapat membunuh kaisar dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada pangeran yang
tertinggal. Dengan keadaan yang kacau, kerajaan Chi akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan
dikalahkan. Selain mencoba membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dan keluarga serta sekutunya, kitapun
harus dapat menguasai dunia kang-ouw sehingga kalau saatnya yang baik tiba, kita dapat mengerahkan tenaga mereka untuk membantu kita. Bagaimana pendapat Suma Kongcu?"
Suma Hok mengangguk-angguk. Ayahnya sendiri sudah berpendapat bahwa kekuatan yang dihimpun
bekas Kaisar Cang Bu masih terlalu lemah untuk dapat merebut kembali tahta kerajaan, oleh karena itu ayahnya menganjurkan Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajian Wei di utara.
"Rencana itu baik sekali," katanya. "Dan tentang penguasaan dunia kang-ouw di daerah selatan, harap jangan khawatir. Ayahku telah melakukan usaha itu dan sudah menghubungi banyak tokoh kang-ouw.
Bahkan kini Datuk wanita Kwan Im Sianli telah menjadi sahabat baik ayahku."
"Bagaimana dengan datuk yang menjadi majikan Lembah Bukit Siluman?" tanya Huang-ho-kui, orang ke dua Bu-tek Sam-kui.
Suma Hok mengerutkan alisnya. Dia telah mendengar berita tentang datuk yang tadinya akan menjadi ayah mertuanya, ketika dia mengharapkan Hui Hong, puteri angkat datuk itu, menjadi isterinya. Bahkan sampai sekarangpun dia masih merindukan gadis itu. Akan tetapi, berita yang diterimanya sungguh
amat tidak menyenangkan, yaitu bahwa kini Ouwyang Toan, putera datuk itu, telah menjadi pengawal anggauta pasukan keamanan di istana Kaisar Siauw Bian Ong, bersama Bi Moli yang telah menjadi
pengawal permaisuri kaisar itu. Dengan sendirinya Ouwyang Sek tentu akan berpihak kepada puteranya, berarti berpihak kepada kerajaan Chi yang baru itu.
"Ah, sukar mengharapkan kerja sama dengan dia," katanya. "Puteranya, Ouwyang Toan, kini telah menjadi pengawal kerajaan Chi, bersama Bi Moli Kwan Hwe Li. Dari kedua orang datuk itu, Bi Moli (Iblis Betina Cantik) Kwan Hwe Li dan juga dari Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek kita tidak dapat mengharapkan kerja sama, bahkan mereka akan menjadi penghalang karena mereka berpihak
kepada Kaisar Siauw Bian Ong."
Bu-tek Sam-kui tertawa dan Suma Hok memandang heran, juga penasaran. "Kenapa paman bertiga
malah tertawa?"
"Kenapa kongcu tidak dapat melihat kesempatan yang teramat baik ini" Kita harus dapat memanfaatkan segala macam keadaan demi keuntungan kita! Kami juga sudah mendengar tentang Bi Moli dan
Kisah Si Pedang Kilat Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ouwyang Toan bekerja di istana Kaisar Siauw Bian Ong. Dan itu justeru bagus sekali! Kami mengenal dua orang datuk itu. Bi Moli dan Bu-eng-kiam, mereka bukanlah orang yang suka dianggap pahlawan atau pendekar. Mereka akan bertindak demi keuntungan, mereka bukan orang bodoh. Kalau kita
menawarkan keuntungan yang lebih besar, kedudukan yang lebih baik, mustahil mereka akan memilih
menjadi pengawal kerajaan Chi saja. Ha-haha ha!" Pek-thian-kui tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak seperti hidup.
Kembali Suma Hok mengangguk-angguk setuju. "Baiklah, aku akan melaporkan hasil pertemuan kita ini kepada ayah dan Sribaginda Kaisar Cang Bu. Sebaiknya kita membagi tugas. Paman bertiga yang
menghubungi Paman Ouwyang Sek dan Bi Moli Kwan Hwe Li, sedangkan kami akan menghubungi Kwan
Im Sianli dan tokoh-tokoh lain di daerah barat. Kami akan mengerahkan kepada para tokoh kang-ouw di daerah kerajaan selatan agar mengadakan pemilihan seorang beng-cu (pemimpin rakyat) dunia kangouw. Kalau beng-cu itu dapat kita kuasai, dan berpihak kepada kita, tentu mudah mengerahkan para tokoh kang-ouw membantu kita kelak."
"Bagus Sekali!" Pek-thian-kui berkata girang, "Selain tugas itu, juga kami akan menyuruh orang-orang kami untuk menundukkan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw di wilayah Chi bagian utara ini,
sedangkan untuk menguasai begian selatan, kami serahkan kepadamu, kongcu. Sebaiknya kalau mareka itu semua dapat dibujuk, kalau ada yang menentang, sebaiknya ditundukkan dengan kekerasan. Paling lama dalam waktu setengah tahun, kita harus sudah berhasil membasmi kaisar Siauw Bian Ong
sekeluarganya dan termasuk semua sekutunya, lalu mengepung Nan-king dan membasmi pasukan yang
mempertahankan kerajaan Chi."
Setelah berunding matang dan bermalam semalam di dusun Tai-bun, pada keesokan harinya Suma Hok
meninggalkan tempat itu untuk kembali ke daerah Kui-cu, di lembah sungai di mana bekas kaisar Cang Bu bersama adiknya tinggal.
Sebuah persekutuan telah diatur, persekutuan yang merupakan ancaman bahaya bagi kerajaan Chi,
karena persekutuan itu amat kuat. Di satu pihak bekas kaisar Cang Bu yang dibantu adik iparnya, Suma Hok dan datuk sesat Suma Koan, telah menghimpun pasukan yang berjumlah lima ribu orang. Di lain
pihak ada kerajaan Wei di utara yang mau bekerja sama dan telah menyerahkan kerja sama itu kepada Bu-tek Sam-kui yang membentuk pasukan Thian-te Kui-pang yang terdiri diri orang-orang
berkepandaian tinggi. Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat membujuk Bi Moli dan
Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya memang
terancam bahaya maut, karena dua orang tokoh kang-ouw ini sekarang telih menduduki jabatan
pengawal dalam istana! "
Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-pang. Tuan rumah, ketua Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya sederhana dan ringkas seperti pakaian seorang pesilat, Wajahnya terhias brewok yang
membuat dia nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah,
bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan. Akan tetapi dia bukanlah seorang pengemis tua biasa, karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di
wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya adalah Hek-tung
Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya
kurus dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang dapat menduga
bahwa dia bukanlah orang biasa.
"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk menaluk kepada
mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk sesat" Sekarang, setelah kerajaan Liu-sung jatuh dan Kaisar Cang melarikan diri, dia berpura-pura muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."
"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga mereka ancam. Akan tetapi kami tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang. "Kita semua melihat betapa bijaksananya Kaisar Siauw Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja yang akan membantu pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan memakmurkan kehidupan
rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita tentang" Dan
mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya mengejar kesenangan itu ke atas tahta"
Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya
sendiri dengan memperalat bekas kaisar muda itu."
"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan
beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini ikut pula bekerja di dalam istana?"
Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada pencemis tua. "Lokai, siapa yang engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."
"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan matanya. "Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu adalah seorang puteri bangsawan, bahkan kini ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana kaisar. Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman" Hemmm, ini
berbahaya sekali!"
"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup
tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong" Tiga hari lagi dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."
"Takut apa, Lo-kai" Kalau dia memaksa kita melawan untuk mempertahankan nama dan kehormatan."
kata ketua Thian-beng-pang itu.
"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu" Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang
takluk padanya dan mau bekerja sama."
"Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.
Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah mengumpulkan anak buahnya sebanyak dua ratus orang lebih. Thian beng-pangcu Ciu Tek menyambut
sahabatnya itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma Koan.
Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang biarpun di situ
berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. Baik Hek-tung Lo-kai Kam Cu maupun Thianbeng-pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini
merupakan urusan mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau
sampai minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua anak buah kedua
perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-ber g-pang yang berdiri di tereng sebuah bukit. Dari tereng itu. kini nampak serombongan orang tidak begitu besar jumlahnya, hanya sekitar tiga puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak Suma Hok puteranya, dan seorang yang bertubuh gendut bulat. Yang ke tiga itu adalah Pak-thian-kui, orang
pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat rombongan Suma Koan karena mereka sudah
mendengar bahwa perkumpulan Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak
membangkang terhadap perintah mereka.
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak buahnya, didampingan Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak buahnya, dengan golok besar siap di
pinggang. Suma Koan tersenyum mengejek setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua itu. "Selamat pagi, Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut kami. Langsung saja kami ingin mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami sampaikan tiga hari yang lalu."
"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan langkah sendiri!" kata pula Hek-tung Lo-kai.
"Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap kami musuh. Kalau begitu, permusuhan ini kita selesaikan secara laki-laki sejati. Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu.
Beranikah kalian menyambut tantangan kami, ataukah kalian begitu pengecut untuk mengerahkan anak buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju mendampingi Suma Koan.
"Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju untuk membela ketua mereka,
akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar mereka mundur.
"Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan nyawapun, kami adalah laki-laki sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan satu lawan satu," kata mereka.
"Ha-ha-ha, bagus! Majulah kalian berdua dan bersiaplah untuk mati!" Kata Suma Koan sambil mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.
"Tahan ...!!!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ, di sebelah kanan kedua orang ketua itu, telah berdiri seorang pemuda, yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Melihat pemuda itu, Suma Koan dan Suma Hok terkejut, bahkan wajah Suma Hok berubah
agak pucat. "Kau...! Kwa Bun Houw, apakah engkau tidak tahu malu mencampuri urusan kami" Kami hanya
berurusan dengan Thian-beng-pang dan Kek-tung Kai-pang, dan engkau tidak ada sangkut pautnya
dengan mereka atau kami! Hei , Kam-pangcu dan Ciu-pangcu, apakah kalian sudah begitu pengecut
untuk mengundang jagoan dari luar perkumpulan kalian untuk melindungi kalian?"
Disudutkan seperti itu, tentu saja kedua orang ketua itu merasa kehormatan mereka tersinggung. "Kui-siauw Giam-ong, jangan sembarangan menuduh!" bentak Thian-bengcu Ciu Tek, "Kami sama sekali tidak mengenal pemuda ini dan tidak mengundangnya untuk membantu kami!"
Sementara itu, Hek-tung Lo-kai sudah menghadapi Bun Houw dan dia memberi hormat. "Orang muda yang gagah, harap engkau tidak mencampuri urusan kami. Kami ditantang oleh mereka, kami harus
menghadapi secara jantan!"
Bun Houw melangkah maju. "Ji-wi pang-cu, harap dengarkan sebentar, dan semua saudara anggauta Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang, harap ikut dengarkan apa yang kukatakan. Ketahuilah bahwa kedua pang-cu ini telah terjebak oleh kecurangan dan kelicikan Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!
Karena persekutuan itu tidak berhasil membujuk kedua orang pang-cu untuk bekerja sama, maka kini mereka datang dan menantang, dengan perhitungan bahwa mereka pasti menang. Kalau kedua pang-cu
melawan dengan alasan menjaga kehormatan karena ditantang, maka berarti mereka terkena jebakan.
Mereka tentu akan tewas seperti banyak dialami oleh para pimpinan perkumpulan yang bernasib sama.
Karena itu, tidak semestinya kalau tantangan itu dilayani, bahkan sebaiknya kalau seluruh anggauta kedua perkumpulan bergerak mengusir pengacau brengsek ini dari tempat ini, dan aku akan membantu kalian menghadapi Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!"
Mendengar seruan ini, para anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang yang memang sejak tadi sudah marah kepada para penyerbu, bersorak penuh semangat.
Pek-thian-kui, orang pertama di Bu-tek Sam-kui yang belum mengenal Bun Houw, memandang rendah
pemuda itu. "Bocah pengacau ini biar kusingkirkan lebih dulu!" bentaknya dan tubuhnya yang bulat itu seperti sebuah bola besar menggelinding ke arah Bun Houw dan ternyata dia telah mengirim pukulan jarak jauh dengan kedua tangan didorongkan ke arah pemuda itu dan angin dahsyat menyambar ke arah Bun Houw.
Pemuda ini sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek gendut itu lihai sekali, maka diapun sudah
mengerahkan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, mendorong pula dengan kedua tangan terbuka untuk
menyambut serangan yang sepenuhnya mengandalkan hawa sin-kang (tenaga sakti) itu.
"Wuuuuttt ... desas ...!!" Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh yang gendut bundar itu terlempar ke belakang dan bergulingan! Akan tetapi, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini memang kebal dan kuat. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan sudah meloncat berdiri. Mukanya menjadi merah sekali saking marahnya. Dia, orang pertama dari Tiga Setan Tanpa Tanding, sekali mengadu
tenaga, dalam segebrakan saja sudah terguling-guling oleh seorang pemuda tak ternama!
"Singg ...!!" Diapun sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam. "Bocah keparat, pedangku akan minum darahmu!"
Akan tetapi Bun Houw tersenyum. "Bukankah engkau ini Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui. Aku mendengar bahwa kok-su (guru negara) dari kerajaan Wei yang berjuluk Thian-te Seng-jin amat lihai dan bahwa di antara para muridnya terdapat Bu-tek Sam-kui. Sebaiknya kalau engkau kembali saja ke utara, tidak membuat kekacauan di daerah selatan sini!"
"Bocah sombong, majulah. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Si gendut yang merasa malu karena kekalahannya tadi, menantang untuk mengangkat kembali namanya yang tentu akan jatuh
karena di depan banyak orang dia dikalahkan dalam segebrakan! "Baik, aku menyambut tantanganmu.
Pek-thian-kui!" Dan begitu tangan kanan Bun Houw bergerak, nampak kilat menyambar dan semua orang menjadi silau oleh sinar pedang Lui-kong-kiam!
Pek-thian-kui terbelalak, akan tetapi dia sudah menerjang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Bun Houw mengerahkan tenaga lagi dan menggerakkan Lui-kong-kiam, menangkis dan sengaja mengadu
tenaga lewat pedang.
"Trakkk ...!" terdengar suara nyaring dan si gendut kembali meloncat ke belakang dengan muka pucat memandang pedang hitamnya yang sudah buntung, patah ketika bertemu dengan pedang di tangan Bun
Houw. Kini dia tidak ragu lagi.
"Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) ...!!" serunya gentar. Dahulu, pedang itu pernah menjadi rebutan para tokoh persilatan, akan tetapi akhirnya terjatuh ke tangan Tiauw Sun Ong pendekar buta yang amat lihai.
Bun Houw tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya. "Apakah engkau masih ingin melanjutkan
perkelahian, Pek-thian-kui" Atau engkau yang akan maju, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan" Dan
bagaimana dengan engkau, Suma Hok?" Bun Houw sengaja menantang untuk membikin panas hati ayah
dan anak itu. Sementara itu, kedua orang pangcu hanya menonton dengan hati penuh kagum dan diam-diam
bersukur bahwa ada bintang penolong datang. Kalau tidak, mungkin mereka berdua akan tewas di
tangan masuh. Suma Hok memandang dengan muka merah, akan tetapi tidak berani menyambut tantangan itu,
sedangkan Suma Koan yang melihat betapa mudahnya orang pertama Bu-tek Sam-kui dikalahkan Bun
Houw, juga menjadi ragu. Dia sendiri gentar terhadap Tiauw Sun Ong, akan tetapi tadinya masih
memandang remeh murid Tiauw Sun Ong ini. Setelah tadi dia melihat betapa Bun Houw dengan mudah
mengalahkan Pek-thian-kui, dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat.
"Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang telah mengundang murid hekas pangeran Tiauw Sun Ong, mulai sekarang, kalian adalah musuh-musuh kami. Lain kali kami akan datang membikin perhitungan!"
satelah berkala demikian, Suma Koan memberi isarat dan bersama Suma Hok dan Pek-thian-kui yang
merasa tidak akan mampu menang, dia meninggalkan tempat itu, diikuti semua anak buah mereka yang juga sudah merasa gentar melihat demikian banyaknya anak buah kedua perkumpulan itu yang agaknya sudah dipanaskan hatinya oleh ucapan Bun Houw tadi.
Sebetulnya, tiga puluh orang anak buah penyerbu itu adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, dan mereka terdiri dari orang-orang yang lihai dan mereka tidak akan gentar melawan anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang. Akan tetapi menyaksikan kelihaian Si Pedang Kilat, mereka menjadi gentar juga.
Pemimpin mereka saja, yang juga merupakan guru mereka, dalam segebrakan dikalahkan pemuda itu,
apa lagi mereka!
"Kejar mereka! Banuh!" Terdengar teriakan-teriakan anak buah kedua perkumpulan, akan tetapi Bun Houw mengangkat tangan. "Jangan! Biarkan mereka pergi!"
Juga ketua dari dua perkumpulan itu mencegah anak buah mereka untuk melakukan pengejaran. Kara
Cu dan Ciu Tek maklum bahwa tanpa bantuan Kwa Bun Houw, mereka berdua bersama anak buah
mereka tidak akan mampu mengalahkan rombongan penyerbu itu. Keduanya lalu menghadapi Bun
Houw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
'Terima kasih atas bantuan tai-hiap." kata Hek-tung Lo-kai.
"Kalau tidak tai-hiap yang muncul, pasti kami berdua telah tewas dan entah bagaimana jadinya dengan perkumpulan kami." kata pula Thian-beng-pang Ciu Tek.
"Sudahlah, ji-wi pang-cu (ketua berdua) telah kena dijebak oleh Suma Koan. Dia memang licik sekali.
Kalau ji-wi tidak menghadapi tantangan mereka, akan tetapi mengerahkan semua anak buah ji-wi,
kiranya tidak, akan mudah bagi mereka untuk menggertak. Juga, kalau ji-wi menghubungi pasukan
keamanan, tentu akan mendapatkan bantuan karena pasukan keamanan pemerintah kini amat
memperhatikan keamanan daerahnya."
"Tai-hiap, mari kita bicara di dalam. Kami merasa kagum kepada tai-hiap yang masih begini muda telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas sekali julukan Si Pedang Kilat bagi tai-hiap." kata pula tuan rumah, ketua Thian-beng-pang.
"Benar, silakan tai-hiap. Kami juga ingin sekali mendengar tentang keadaan sekarang ini dan apa pula yang mendorong tindakan mereka tadi," kata Hek-tung Lo-kai.
Bun Houw merasa tidak enak untuk menolak dan diapun mengikuti mereka berdua memasuki pusat
perkumpulan Thian-beng-pang itu. Diam-diam dia tersenyum dalam hatinya. Kedua orang ketua ini tadi mendengar seruan Pek-thian-kui nama pedangnya yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan menganggap
bahwa itu adalah nama julukannya. Akan tetapi dia diam saja dan tidak menyangkal. Apa salahnya kalau dia dikenal sebagai Si Pedang Kilat"
Setelah mereka memasuki rumah Thian-beng-pangcu Ciu Tek, mereka lalu bercakap-cakap sambil
menikmati hidangan yang dikeluarkan tuan rumah untuk menyambut pemuda itu.
"Dapatkah Kwa-taihiap menerangkan mengapa seorang datuk seperti Suma Koan, tiba-tiba saja
menaklukkan banyak perkumpulan, bahkan memaksa mereka takluk kalau tidak mau dibujuk" Apa yang
tersembunyi di balik tindakannya itu?" tanya Ciu Tek.
"Tadinya aku menganggap bahwa dia hanya ingin mengangkat diri menjadi beng-cu di dunia persilatan, akan tetapi setelah tadi aku melihat dia muncul bersama Pek-thian-kui, aku merasa curiga sekali.
Ketahuilah, ji-wi pangcu. sekarang Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, membantu bekas kaisar Cang Bu yang bersiap-siap untuk merampas kembali tahta kerajaan."
"Ahhh ...!!" kedua orang pang-cu itu berseru kaget. Bun Houw menghela napas panjang. "Sebetulnya, orang-orang seperti kita ini yang hanya berkewajiban mempertahankan kebenaran dan keadilan,
membela rakyat kecil yang tertindas, tidak perlu mencampurkan diri ke dalam perebutan kekuasaan itu.
Adalah hak bekas kaisar Cang Bu untuk mencoba merampas kembali tahta kerajaan. Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu, berarti terjadi lagi perang dan kembali rakyat yang akan menderita sebagai akibat perang. Apalagi mengingat betapa dahulu, ketika kaisar Cang Bu masih berkuasa, dia terlalu lemah sehingga hampir semua pejabat menyelewengkan kekuasaan masing-masing dengan tindakan korupsi
dan kesewenang-wenangan, dan sekarang kita melihat sendiri betapa baiknya kaisar yang baru
memegang pemerintahan, tegas, adil dan juga memperhatikan nasib rakyat jelata. Aku sendiri tidak ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, akan tetapi sekarang aku melihat gejala yang amat tidak haik. Munculnya Suma Koan bersama Pek-Thian-kui sungguh mencurigakan. Pek-thian-kui adalah orang pertama dari Bu-tek Sam-kui, yang merupakan tokoh-tokoh dan jagoan dari istana kerajaan Wei di
utara, sedangkan Suma Koan jelas membantu bekas kaisar Cang Bu. Besar kemungkinannya, bekas
kaisar Cang Bu agaknya kini bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mereka bermaksud menguasai dunia kang-ouw untuk persiapan perang mereka terhadap kerajaan Chi yang baru."
"Ah, kalau begitu berbahaya sekali, taihiap!" kata Ciu Tek ketua Thian-beng-pai. "Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk mencegah terjadinya hal itu?"
"Tidak ada jalan lain, kita harus menentang mereka menguasai dunia persilatan. Sebaiknya kalau ji-wi mengusahakan agar dapat berhubungan dengan para ketua perkumpulan persilatan lain yang tidak mau mereka peralat dan kita bersama mendirikan kubu yang kuat. Kalau perlu, kita mengadakan pemilihan beng-cu tandingan."
"Bagus sekali itu !" kata Hek-tung Kai-pang. "Aku akan menghubungi seluruh kai-pang di negeri ini agar mendukung Si Pedang Kilat untuk menjadi bengcu!"
"Benar, kamipun mendukung Kwa-taihiap menjadi bengcu!" kata pula Ciu Tek.
Bun Houw mengangkat tangan ke atas. "Harap ji-wi tidak salah duga. Aku sama sekali tidak ingin menjadi beng-cu. Aku hanya ingin menentang dan menjaga agar kedudukan beng-cu tidak dipegang
orang yang dapat diperalat persekutuan antara bekas kaisar Cang Bu dan kerajaan Wei. Kalau kerajaan Wei dari utara hendak menyerang selatan, bagaimanapun juga kita harus menentangnya!"
"Kami akan mengerjakan usul taihiap. Akan tetapi, bagaimana caranya kalau kami hendak menghubungi taihiap" Kalau muncul suatu persoalan dan kami ingin minta petunjuk tai-hiap, bagaimana kami dapat menghubungimu?"
"Aku yang akan datang ke sini, pang-cu. Aku akan berada di sekitar Nan-king dan kalau, ada keperluan mendadak, mungkin aku bertemu dengan anak buah Hek-tung Kai-pang dan melalui mereka pang-cu
dapat menghubungiku."
Selagi mereka bercakap-cakap, seorang anggauta Thian-beng-pang mengetuk pintu ruangan itu. Ketika dia disuruh masuk, dia memberi hormat, "Maafkan gangguan saya, pang-cu. Akan tetapi di luar datang seorang tamu yang katanya mempunyai keperluan penting untuk Hek-tung Kai-pangcu."
"Hemm, siapakah dia dan dari mana?" tanya ketua perkumpulan pengemis itu.
"Mengatakan datang dari kota raja, diutus oleh Thai-kam (Sida-sida) Koan." jawab anggauta Thian-beng-pang itu.
Mendengar ini, ketua Hek-tung Kai-pang nampak bergairah. "Ah. kalau begitu, minta dia masuk sekarang juga!" Setelah orang itu pergi, dia memberitahu kepada Ciu Tek dan Bun Houw, "Thai-kam Koan adalah sahabatku yang bekerja di istana kaisar. Dari dialah aku dapat mengetahui semua keadaan dalam istana, dan kini dia mengutus seseorang datang kepadaku, tentu ada berita penting dari istana."
Mendengar itu, sahabatnya, ketua Thian-beng-pang, mengangguk-angguk, Bun Houw juga kagum.
Kiranya Kam Cu, biarpun hanya pemimpin para pengemis, mempunyai hubungan yang luas sampai
dapat mengetahui keadaan dalam istana kaisar Siauw Bian Ong. Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki tua yang pakaiannya seperti seorang buruh kecil, sederhana dan bahkan butut. Dia memberi hormat kepada tiga orang itu.
"Harap memaafkan kalau saya mengganggu sam-wi. Saya perlu bertemu dengan Hek-tung Lo-kai ... "
"A-sin, ada kepentingan apakah sampai engkau menyusulku ke sini?" tanya Hek-tung Lo-kai yang sudah mengenal orang itu.
"Maaf, pang-cu. Tadi aku pergi ke markas Hek-tung-kaipang, di sana kosong dan aku, mendengar bahwa pangcu berada di sini, maka aku langsung menyusul ke sini karena Koan-thaikam memesan agar
suratnya dapat secepat mungkin kuserahkan kepada pang-cu." Dia mengeluarkan segulung surat dari
dalam saku bajunya dan menyerahkannya kepada ketua Hek-tung Kai-pang itu. Ketua itu menerimanya
dan membuka gulungan, lalu membacanya. Alisnya berkerut dan matanya terbelalak lalu tanpa banyak cakap dia menyerahkan surat itu kepada Ciu Tek.
Ketua Thian-beng-pang inipun membacanya dan wajahnya berubah pucat.
"Tai-hiap, silakan baca surat ini. Penting sekali!" katanya dan Kam Cu mengangguk menyetujui.
Bun Houw yang tadinya tidak memperhatikan karena mengira bahwa surat itu merupakan urusan
pribadi, menyambut dan membaca surat itu. Dalam surat itu, secara ringkas dikabarkan bahwa Kwan
Hwe Li dan Ouwyang Toan telah mengundang Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ke istana dan bahkan diterima
oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Akan tetapi bukan itu yang terpenting, melainkan bahwa mereka bertiga itu membentuk persekutuan dengan orang-orang dari kerajaan Wei. mengadakan persekongkolan untuk
membunuh Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarga berikut para pembantu yang setia kepada kaisar baru ini!
Dan bahwa Koan-thaikam mengharapkan bantuan sahabatnya, Hek-tung Lo-kai untuk membantu dan
menyelamatkan kaisar dari ancaman bahaya itu.
"Hemm, kiranya keluarga Ouwyang telah dapat pula menyelundup ke istana?" kata Bun Houw, mengerutkan alisnya karena kalau ayah dan anak itu di sana, berarti memang ancaman bahaya bagi
keselamatan kaisar.
"Bukan mereka saja, akan tetapi juga Kwan Hwe Li bekerja di sana sebagai pengawal permaisuri," kata Hek-tung Lo-kai. "Memang di istana terdapat banyak jagoan istana yang tangguh, akan tetapi kalau mereka itu terlalu dekat dengan kaisar, tentu akan sulit untuk menjamin keselamatan kaisar. Jalan satu-satunya adalah mengharapkan bantuanmu Kwa-taihiap!"
"Hemm, aku siap menghadapi kejahatan mereka. Akan tetapi bagaimana aku dapat melindungi kaisar?"
tanya pemuda ini ragu.
"Kalau tai-hiap muncul seperti biasa dan persekutuan itu mengetahui, tentu mereka akan menjadi waspada dan keadaan menjadi semakin berbahaya. Sebaiknya thai-hiap menyamar dan biar oleh Koan-thaikam dihadapkan sribaginda agar thai-hiap dapat diterima menjadi pengawal pribadi. Tentang
penyamaran, harap jangan khawatir karena kami mempunyai ahli-ahli penyamaran yang akan dapat
menyulap tai-hiap menjadi orang lain." kata-Hek-tung Lo-kai.
Demikianlah, pada hari itu juga Hek-tung Lo-kai memberi kabar kepada Koan-thaikam melalui A-sin agar thaikam itu dapat membuat persiapan menyambut Bun Houw di istana. Setelah semua siap, Bun Houw
dipertemukan dengan Koan thaikam dan diajak masuk istana. Kini tak seorangpun akan dapat mengenal Bun Houw karena wajahnya telah berubah sama sekali. Muka yang biasanya halus tampan itu berubah
menjadi muka yang ternoda bopeng (bekas cacar), juga bentuk hidung dan matanya berubah. Orang
yang terdekat sekalipun dengan Bun Houw, akan sukar dapat mengenalnya.
Sebelumnya. Koan-thaikam telah memberi tahu kepada Kaisar bahwa dia mempunyai seorang
keponakan yang memiliki ilmu silat tinggi dan dapat diandalkan untuk menjadi pengawal pribadi kaisar, atau menambah lagi pasukan pengawal pribadi. Kaisar amat percaya kepada Koan-thaikam yang
memang amat setia kepadanya itu, maka pada hari itu, kaisar berjanji akan menerima keponakan Koan-thaikam yang bernama Koan Jin itu.
Ketika pada pagi hari itu Koan-thaikam menghadapkan seorang pemuda yang wajahnya bopeng dan
tidak mengesankan, kaisar menerimanya dengan alis berkerut dan nampak kecewa. Keponakan Thaikam kepercayaannya itu sungguh tidak mengesankan, selain mukanya tidak menarik juga
penampilannya tidak dapat membayangkan seorang yang kuat. Bahkan pasukan pengawal yang berjaga
di ruangan itu, yang dipimpin Ouwyang Toan sebagai perwira pasukan pengawal, melirik dengan
senyum mengejek. Mereka sudah mendengar dari para thai-kam bahwa Koan-thaikam akan
memasukkan keponakannya sebagai calon anggauta pengawal pribadi kaisar! Pada hal selama Ouwyang
Toan berada di situ, dialah yang sudah memasukkan enam orang pengawal baru yang telah diuji
kepandaiannya dan kini menjadi anak buah pasukan pengawal istana. Biarpun hatinya merasa panas
karena ada thaikam berani mengajukan keponakannya sendiri sebagai calon pengawal, akan tetapi
Ouwyang Toan tidak berani memperlihatkan ketidaksenangan hatinya. Dia tahu bahwa Koan-thaikam
adalah seorang thaikam kepercayaan kaisar, sedangkan dia sendiri adalah seorang perwira pengawal yang masih baru. Akan tetapi dia sudah bersepakat dengan anak buahnya untuk menggagalkan
keponakan thaikam itu menjadi pengawal, dan dalam ujian ilmu silat, mereka dapat membuat
keponakan thaikam itu dan Koan-thaikam sendiri mendapat malu. Apalagi ketika melihat calon
pengawal itu masuk dengan sikap takut-takut dari dusun, mereka saling pandang dan tersenyum
mengejek. Setelah mengamati sejenak pemuda yang nampak tidak mengesankan itu, Sribaginda Kaisar Siauw Bian Ong, yang juga merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh, karena ketika dia masih bernama
Souw Hui! Kong, dia adalah seorang petualang yang telah mempelajari banyak ilmu sehingga akhirnya dia berhasil menumbangkan kerajaan Liu-sung yang telah menjadi lemah dan mendirikan kerajaan Chi, berkata kepada thaikam kepercayaannya dengan nada menegur, "Koan thaikam, tidak kelirukah
permohonanmu untuk memasukkan keponakanmu ini sebagai seorang pengawal istana" Engkau tentu
tahu bahwa seorang pengawal istana harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi sebagai pengawal pribadi kami yang melindungi keselamatan kami, haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan
sakti." "Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak keliru, karena keponakan hamba ini, Koan Ji, sejak kecil telah berguru kepada ratusan orang guru silat yang pandai dan kini dia telah memiliki ilmu kepandaian silat yang ampuh."
Kembali para anggauta pasukan pengawal tersenyum simpul dan kebetulan Kaisar memandang kepada
mereka sehingga tanpa disengaja kaisar melihat mereka bersenyum simpul mengejek. Hal ini membuat kaisar merasa tidak senang kepada mereka.
"Koen-thaikam, apakah keponakanmu ini siap untuk diuji kepandaiannya?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Dia sudah siap untuk menghadapi ujian."
Kembali kaisar memandang kepada Bun Houw. Wajah yang tidak meyakinkan dan tidak menarik. Akan
tetapi, hal ini malah menguntungkan. Sebaiknya memang pasukan pengawal istana terdiri dari laki-laki yang wajahnya buruk dan tidak menarik bagi wanita untuk mencegah terjadinya hal-hal yang akan
menodai nama dan kehormatan istana kalau sampai ada wanita istana jatuh cinta kepada seorang
anggauta pasukan pengawal. Untuk mencegah perjinaan seperti itulah maka semua petugas istana yang pria diharuskan menjadi sida-sida, karena seorang thai-kam sudah bukan pria normal lagi, tidak dapat lagi berjina dengan wanita.
"Koan Ji, beranikah engkau kami suruh melawan seorang di antara para perajurit pengawal itu?" Dia menuding ke arah para pengawal yang berdiri tegak dalam barisan di, bagian luar ruangan itu.
Koan Ji yang berlutut itu memberi hormat. "Siapa saja yang mengancam keamanan paduka dan seisi istana, pasti akan hamba lawan mati-matian, Yang Mulia!" kata Kwa-Bun Houw dengan sikap seperti
seorang dusun. Kaisar Siauw Bian Ong tertawa. "Ha-ha. maksud kami bukan melawan sebagai musuh. Mereka adalah anggauta pasukan pengawal dan mereka semua sudah lulus ujian ketangkasan. Engkau akan kami uji
dengan bertanding ilmu silat melawan seorang di antara mereka. Yang mana kaupilih?"
Bun Houw menoleh ke arah selusin perajurit pengawal yang dikepalai Ouwyang Toan, lalu dia memberi hormat lagi, "Yang mana pun akan hamba hadapi, Yang Mulia."
"Bagus! Ouwyang-ciangkun pilihkan seorang di antara anak buahmu untuk menguji apakah keponakan Koan-thaikam ini pantas menjadi pengawal pribadi kami."
"Maaf, Yang Mulia. Untuk menjadi anggauta pasukan pengawal istana, memang cukup dapat
menandingi seorang di antara anak buah hamba. Akan tetapi untuk menjadi pengawal pribadi paduka, dia haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sedikitnya memiliki tingkat kepandaian dua kali lipat dari tingkat seorang perajurit pengawal istana. Karena itu, sebaiknya kalau calon ini dapat menghadapi dan menandingi pengeroyokan dua atau tiga orang perajurit pengawal." kata Ouwyang Toan.
Kaisar itu mengangguk-angguk dan kembali berkata kepada Bun Houw yang maklum bahwa Ouwyang
Toan jelas tidak menghendaki ada pengawal pribadi kaisar yang baru. "Bagaimana, Koan Ji. Beranikah engkau melawan dua atau tiga orang perajuril pengawal istana" Kalau engkau merasa tidak sanggup, katakan saja. Kami tidak ingin bersikap sewenang-wenang, hanya ingin menguji kemampuanmu."
"Kalau paduka memerintahkan, biar menghadapi berapa saja lawan, hamba siap untuk menandinginya, Yang Mulia." kata Bun Houw dengan sikap bersahaja.
Kaisar Siauw Bian Ong kembali tertawa gembira.
"Ha-ha ha, baru semangatmu saja sudah menyenangkan hati kami, Koan Ji. Nah, Ouwyang-ciangkun, engkau sudah mendengar sendiri. Calon pengawal pribadi ini berani menghadapi pengeroyokan tiga
orang anak buahmu."
"Baik, Yang Mulia. Hamba akan memilih tiga orang di antara mereka."
Ouwyang Toan memilih tiga orang anak buahnya yang paling jagoan. Tiga orang ini bukan sembarangan orang. Mereka adalah jagoan-jagoan dari Thian-te Kui pang dan tingkat kepandaian masing-masing
hanya sedikit di bawah tingkat Ouwyang Toan! Biar Ouwyang Toan sendiri, agaknya tidak akan mungkin menang menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahnya ini dan kini dia mengajukan mereka untuk
Riwayat Lie Bouw Pek 9 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Persekutuan Pedang Sakti 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama