Ceritasilat Novel Online

Misteri Lukisan Tengkorak 6

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 6


kesempatan emas untuk menghilangkan duri dalam kulit, tapi
mengapa Li Ok-lay melepaskannya begitu saja"
Li Hok serta Li Hui adalah anak angkat Li Ok-lay,
kepandaian silat yang mereka pun merupakan hasil didikan Li
Ok-lay langsung, dalam istana keluarga Li, walaupun kungfu
yang dimiliki Ni Jian-ciu terhitung paling tinggi, namun orang
yang paling dipercayainya adalah Li Hok serta Li Hui, setelah
itu baru giliran dua bersaudara Yan serta Gi Yang-si.
Tiba-tiba terdengar Li Ok-lay bertanya dari balik tandu,
"Bukankah kalian merasa heran bukan" Kenapa aku
melepaskan peluang emas begitu saja?"
Li Hok maupun Li Hui saling bertukar pandang sekejap,
mereka tak menyangka Li Ok-lay bisa membaca suara hati
mereka berdua. "Sebenarnya aku pun ingin membunuhnya," kata Li Ok-lay
sambil menghela napas panjang, "tapi sayang, ketika aku
sedang memegang pedangnya tadi, tiba-tiba si kakek setan
penyakitan yang ada di sisinya telah mengeluarkan cahaya
tajam yang jauh lebih menakutkan daripada hawa pedang!"
Li Hok maupun Li Hui merasa amat terperanjat, mereka
tidak menyangka kakek rudin yang mengenakan pakaian
compang-camping itu ternyata mampu menciptakan tenaga
ancaman yang begitu menakutkan.
"Sekalipun aku bisa membunuh Leng-hiat dalam sekali
serangan, tapi aku tidak yakin bisa menghadapi serangan
gabungan mereka berdua," kata Li Ok-lay lagi dengan
perasaan kecewa, "aku tak pernah mau melakukan perbuatan
yang tidak yakin pasti berhasil, aku harus menunggu
kesempatan lain, menunggu sampai datangnya kesempatan
dimana aku yakin pasti berhasil, kecuali... kecuali keadaan
sudah terpaksa ... tentu saja aku berharap keadaan terpaksa
tak pernah hadir dalam hidupku."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Padahal
'tua, menengah, muda' yang diutus kemari hanya bertanggung
jawab dalam pengawalan lukisan tengkorak, atasan telah
mengirim seseorang yang lain, dan orang itulah baru
merupakan musuh bebuyutan dari empat opas."
Nada suara Li Ok-lay terdengar sedikit bergetar, jelas ia
perasaannya sedang bergolak, "Kecuali mendapat perintah
membunuh semua penjahat dan pemberontak, bila perlu
orang itupun diberi wewenang untuk melenyapkan empat
opas dari muka bumi."
"Raja opas?" seru Li Hok tertahan.
"Li Hian-ih?" sambung Li Hui.
"Benar, orang itu adalah Raja opas Li Hian-ih. Menurut
laporan, Raja opas Li sudah berada di seputar sini"
Nada suaranya makin lama semakin bertambah rendah dan
lirih, sedemikian lirih sehingga hanya Li Hok dan Li Hui saja
yang mendengar.
"Padahal aku tak ingin turun tangan waktu itu, karena
orang yang kubawa kelewat banyak, aku kuatir ada yang
membocorkan rahasia pembunuhan ini. Jika Leng-hiat mati di
tanganku, bukan saja aku harus siap menerima teguran dari
berbagai pihak, bahkan bisa memancing kecurigaan Cukatsianseng
terhadap tuan perdana menteri sehingga
meningkatkan kewaspadaannya, tindakan semacam ini sama
artinya dengan gara-gara urusan kecil masalah besar jadi
terbengkalai."
"Tapi bukankah mereka adalah orang-orang yang amat
setia kepada Thayjin?" tanya Li Hok.
"Siapa saja yang mencurigakan, katakan saja Thayjin"
sambung Li Hui, "kami berdua segera akan membereskan dulu
manusia cecunguk itu!"
"Aku sendiri pun tidak tahu siapa pengkhianatnya, tapi jelas
pasti ada mata-mata yang menyusup ke dalam rombongan
kita. Bukankah kita pun telah menyusupkan orang-orang kita
ke dalam kelompok Cukat-sianseng" Dengan kecerdasan dan
kelihaian Cukat-sianseng, mustahil dia tidak melakukan hal
serupa. Oleh sebab itu bila ingin melakukan sesuatu kita mesti
lakukan secara diam-diam, kita bertiga saja yang melakukan,
kalau tidak, meski berhasil melenyapkan salah satu anak
buahnya, justru kita sendiri yang akan jatuh ke mulut
harimau, kita bakal rugi besar."
Dengan kemampuan yang dimiliki Li Ok-lay beserta kedua
orang kepercayaannya, tidak sulit bagi mereka untuk berbicara
tanpa terdengar pihak keempat, sekalipun ada pihak keempat
pun, belum tentu mereka berani mendengarkan.
Li Hok dan Li Hui merasa kagum bercampur hormat,
serentak mereka berseru, "Baik!"
Dalam pikiran mereka berdua, saat ini persaingan politik
sedang berlangsung gencar, tapi dengan dukungan Li-thayjin
dan petunjuk perdana menteri Hu, masa depan mereka
berdua bakal cemerlang, saat menduduki posisi tinggi pun
tinggal menunggu waktu.
Sebaliknya dalam hati kecil Li Ok-lay sedang berkecamuk
berbagai pertanyaan, siapakah setan penyakitan itu" Siapa
sebenarnya setan penyakitan yang berilmu tinggi itu"
ooOOOoo 24. Opas Kenamaan Dan Raja Opas.
Leng-hiat dan kakek itu sudah berjalan sangat jauh, suara
kokok ayam dan jeritan itik sudah terdengar di kejauhan sana,
suara yang bercampur aduk dengan gonggongan anjing
membuat orang terbayang keheningan sebuah dusun,
mendatangkan pula rasa kantuk dan lelah.
"Kita akan segera tiba di kota Cing-thian," kata kakek itu
sambil terbatuk, dari sakunya dia mengeluarkan sebungkus
kue kering, pemberian penduduk desa tadi, "kau merasa
lapar" Ayo kita makan bersama."
Siapa tahu begitu pembungkus dibuka, kue kering itu telah
remuk menjadi bubuk hingga tersebar kemana-mana, agaknya
kakek itu tidak menduga.
"Aaai, tak nyana kue kering ini sudah remuk, sayang."
"Bukan masalah roti yang remuk," sahut Leng-hiat hambar,
"barusan kau telah menghimpun tenaga dalam untuk
memukul mundur Li Ok-lay, tentu saja roti kering itu tak tahan
dengan gempuran hawa murnimu."
"Ooh, benarkah begitu" Kenapa aku sendiri tidak
merasakannya...." gumam si kakek sambil terbatuk-batuk.
Kemudian seakan di luar dugaan ia menemukan sebuah
warung teh di tepi jalan, serunya girang, "Ayo, kita minum teh
dulu sebelum melanjutkan perjalanan."
Walaupun sudah tengah hari, namun suasana di warung
teh itu amat sepi, tamu yang jajan pun tak banyak.
Setelah Leng-hiat dan kakek itu duduk, si kakek masih saja
terbatuk-batuk, maka Leng-hiat pun bertanya kepada sang
pelayan, "Ada hidangan apa di sini?"
Pelayan itu menyebutkan beberapa jenis makanan,
semuanya terbuat dari kedelai, maka Leng-hiat pun berkata,
"Kalau begitu siapkan sepiring ca tauge, dua mangkuk arak,
sepiring kacang, dua mangkuk bakmi ... ada daging asap atau
daging asin?"
"Tuan, di sekitar sini tak ada daging, darimana kami bisa
menyediakan masakan daging" Bagaimana kalau kue saja?"
"Baiklah," baru saja pelayan itu berlalu, kembali Leng-hiat
berseru, "Siapkan dua mangkuk arak Kao-liang!"
"Tuan, darimana datangnya arak Kao-liang?" sekali lagi
kata pelayan itu menyesal.
"Baik, baiklah, kalau begitu arak putih saja."
Sementara itu si kakek berbicara sambil terbatuk-batuk,
"Kita makan seadanya saja, makan seadanya saja."
Di meja lain terlihat bebeberapa orang sedang bersantap,
seorang di antaranya duduk dengan wajah murung, seorang
lagi berkeluh-kesah, hanya seorang cebol yang masih duduk
sambil tertawa lebar, seakan tak ada yang menjadi beban
pikirannya, bila ditinjau dari dandanannya, jelas mereka
adalah penduduk desa sekitar.
Terdengar orang itu berkeluh, "Tampaknya kalian berasal
dari luar daerah, jadi tidak tahu kalau wilayah sini sedang
dilanda kemiskinan, kami sebagai rakyat kecil hanya diperah
seperti kerbau, sudah menyetor uang pajak harus membayar
lagi, aaai... masih mending jadi seekor kuda"
"Ssstt, hati-hati kalau bicara," rekannya segera
memperingatkan, "penyakit masuknya dari mulut, bencana
keluarnya dari perkataan."
"Kalian tak usah kuatir," segera Leng-hiat menyela, "aku
bukan petugas yang datang memungut pajak, bagaimana sih
ceritanya hingga kalian ditarik pajak ganda?"
"Aaai, hidup di sini bertambah susah," kembali orang itu
berkeluh, "lebih banyak memelihara seekor ayam berarti lebih
banyak membayar pajak. Lebih banyak menanam sebatang
pohon berarti bertambah beban pajaknya, oleh sebab itu kami
lebih rela memotong semua ayam dan menebang semua
pohon ketimbang dibebani pajak yang besar."
"Bukankah kalian sudah membayar pajak?" tanya Lenghiat.
"Kau sangka begitu gampang membayar uang pajak" Ada
beberapa ratus ribu orang yang tak sanggup membayar pajak,
sekarang kalau bukan mati, anggota badan mereka tak utuh,
atau menunggu kematian dalam penjara, atau dikirim ke
perbatasan jadi orang buangan."
"Kurangjar, ada kejadian seperti ini" Siapa yang melakukan
perbuatan biadab ini?" seru Leng-hiat gusar.
"Hahaha, masa kau tak tahu?" seru orang itu sambil
tertawa sinis, "tentu saja para pejabat kerajaan, tentu saja
orang-orang pemerintahan!"
"Memangnya di sini tak ada hukum...." gumam kakek itu
lirih. "Yang berlaku di sini adalah hukum rimba, apa itu hukum"
Apa itu peraturan negara?"
"Apakah kau sudah membayar uang pajak?" tanya kakek
itu kemudian. Orang itu tertawa getir. "Kami sekeluarga lima orang,
setelah banting tulang kerja keras selama satu tahun, hasil
yang bisa dikumpulkan paling tiga sampai lima tahil perak,
padahal uang pajak yang harus disetor tahun ini adalah enam
tahil, bayangkan, aku harus mencari kekurangannya dimana"
Kalau pajak sudah kubayar, memangnya aku mesti bermuram
durja." "Bagaimana pula dengan kau?" tanya si kakek sambil
berpaling ke arah lelaki di sampingnya.
"Aku tiga generasi hidup sebagai buruh tani, jangankan
tanah sehektar, secukil pun tidak kumiliki, dari muda sampai
tua hanya bekerja sebagai buruh tani orang, tapi entah
bagaimana cara menghitungnya, ternyata pihak pemerintah
menuduh aku punya sawah tujuh bahu, bahkan tak mau tahu
alasanku, mereka tetap memaksaku membayar pajak"
Berbicara sampai di sini, ia benar-benar mulai menangis,
"Coba bayangkan, kemana aku harus mencari uang untuk
membayar pajak?"
Terpaksa Leng-hiat menghiburnya dengan kata-kata manis,
kemudian ia berpaling ke orang ketiga, tanyanya, "Bagaimana
dengan kau?"
"Baru saja kujual istriku keluar propinsi guna membayar
pajak tahunan, siapa sangka uang pajak dirampok orang
hingga mesti menyetor kembali, sekarang apa lagi yang bisa
kujual untuk membayar pajak itu?"
Leng-hiat tertawa getir, ketika dilihatnya sisa orang terakhir
masih duduk sambil cengengesan, timbul secercah harapan
dalam hatinya, dia pun bertanya, "Setiap orang bermuram
durja dan berkeluh-kesah, kenapa kau malah tertawa berseri,
apakah..."
Orang itu memandang ke arah Leng-hiat, senyuman masih
menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya nampak kosong.
"Aaai, dia sudah gila karena tak mampu menyetor uang
pajak, mana mungkin sanggup menjawab pertanyaanmu!"
kata rekannya. "Betul," si muram durja menambahkan, "setelah selesai
mengajaknya makan kali ini, kami akan melepas dia untuk
hidup bebas, sebab kami sendiri pun sudah tak mampu
mengurusi diri sendiri."
"Ya, aku justru merasa iri kepadanya, seluruh anggota
keluarganya, yang mati sudah mati, yang edan sudah edan,
babi tak punya, atap rumah pun tak punya, dia sudah tak
perlu memikirkan uang pajak lagi."
Leng-hiat amat gusar sehabis mendengar perkataan itu,
ketika hidangan disajikan, dia merasa tak ada selera untuk
menelannya, berbeda dengan si kakek, dia menikmati dengan
lahapnya. Sekali teguk Leng-hiat habiskan isi cawannya, lalu berkata.
"Tak nyana sistim pajak yang berlaku di sini begitu semenamena."
"Sebetulnya sistim pajak dimana pun sama saja," kata si
kakek hambar, "hanya tergantung pada oknumnya, apakah
dia melaksanakan dengan disiplin dan pakai aturan, atau
korupsi sebesar-besarnya lalu menindas rakyat."
"Kalau cara ini dibiarkan berlangsung terus, bukankah
lama-kelamaan rakyat akan memberontak?"
Waktu itu si kakek sedang menghabiskan potongan kue
yang terakhir, ketika mendengar perkataan itu, ia segera
mendongakkan kepalanya, sambil menatap dengan sorot mata
tajam katanya, "Bila perkataanmu itu sampai terdengar orang
lain dan dilaporkan kepada petugas, seluruh anggota
keluargamu bisa dihukum pancung!"
"Mau hukum pancung silakan, mau menghabisi keluargaku
silakan," jengek Leng-hiat sambil tertawa dingin, "toh aku tak
punya keluarga, tak punya rumah"
Sebenarnya ia tak pandai minum arak, tapi terdorong oleh
gejolak emosinya dia minum semakin banyak, ketika poci
mulai kosong, dia pun berteriak, "Pelayan, tambah arak!"
"Toaya, arak yang tersedia di sini hanya itu, biar ingin
minum lagi pun tak ada," jawab sang pelayan kemalasmalasan.
Tampaknya Leng-hiat sudah hilang seleranya untuk
bersantap, segera ia bangkit berdiri sambil membayar
rekening. Kakek itu segera berseru, "Yang kumakan, biar aku bayar
sendiri." "Seharusnya kau memberi muka kepadaku, biarlah aku
yang bayar."
"Tidak bisa, biar aku bayar sendiri, biar aku bayar sendiri."
"Aaah, hanya urusan kecil, tak perlu diperdebatkan!" Lenghiat
menggoyangkan tangannya berulang kali.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan membayar sendiri apa yang telah kumakan,"
ujar kakek itu serius.
Sekarang Leng-hiat baru memperhatikan kekukuhan hati
kakek itu, dia melengak sejenak kemudian ujarnya, "Tapi ...
toh hanya uang kecil, apa artinya?"
"Aku tidak terbiasa ditraktir orang, aku selalu membayar
rekeningku dengan uang hasil keringat sendiri, aku tak mau
mentraktir orang, aku pun tak sudi ditraktir orang."
Bicara sampai di situ lagi-lagi ia terbatuk keras, malah
batuknya kali ini sangat hebat sehingga nyaris memuntahkan
juga paru-parunya.
"Baiklah," segera Leng-hiat berkata, "kau bayar sendiri, kau
bayar sendiri, kau saja yang mentraktirku."
"Tidak, aku tak akan mentraktirmu," kakek itu menarik
napas panjang, "terus terang, aku tak mampu mentraktirmu."
Dari sakunya dia mengeluarkan sejumlah potongan perak,
tapi setelah dihitung-hitung ternyata jumlahnya tak mencapai
satu tahil perak, seraya tertawa getir kembali kakek itu
berkata, "Terus terang, gajiku dalam setahun hanya empat
tahil perak, terpaksa aku harus irit, tak boleh digunakan
secara sembarangan."
Leng-hiat merasa tak tega setelah mendengar perkataan
itu, selanya, "Kau bekerja begitu keras tapi hasil tahunan
begitu sedikit, bagaimana...."
Kakek itu segera menukas, senyum kepuasan terlintas di
wajahnya yang penuh berkeriput, "Aku menyukai pekerjaanku,
uang sedikit atau banyak bukan masalah, apalagi aku sudah
bekerja tiga puluhan tahun, tak terlintas dalam benakku untuk
berganti haluan."
Leng-hiat pun tidak melanjutkan kembali kata-katanya,
namun pandangan matanya masih menatap potongan uang
perak yang berada dalam genggaman kakek itu. Kelihatannya
sulit bagi sang pemilik kedai untuk mencari uang kembalian
dari rekening sebesar lima ketip itu.
Si kakek masih mengawasi potongan peraknya dengan
pandangan serba salah, sedang si pemilik kedai dengan wajah
pahit berseru, "Tuan, bila kau membayar dengan potongan
perak itu, kami pun kesulitan mencari uang kembaliannya."
Belum selesai dia berkata, mendadak "Pleetak!", dengan
jari telunjuk dan ibu jarinya si kakek telah memotong
potongan perak itu seberat lima ketip, lalu diserahkan ke
tangan pemilik kedai itu.
Sang pemilik kedai berdiri terbelalak, dia seakan tidak
percaya dengan apa yang barusan disaksikan.
Leng-hiat sendiri pun sangat terkejut, dia tahu kalau kakek
itu memiliki kepandaian silat yang luar biasa, tapi tidak tahu
kalau tenaga dalamnya telah mencapai tingkatan yang begitu
sempurna. Padahal potongan perak itu hanya sebesar kuku tangan,
untuk memotong benda sekecil itu dengan jari tangan jelas
merupakan satu pekerjaan yang amat sulit, bahkan Leng-hiat
sendiri pun sadar kalau dia tak sanggup melakukannya.
Kehebatan kungfu yang dimiliki kakek itu benar-benar di luar
perkiraan Leng-hiat.
Waktu itu si kakek sedang menimang sisa perak yang ada
di tangannya, ketika ia merasa potongannya sudah sesuai,
dengan perasaan puas dia mengangguk dan bangkit berdiri.
"Ayo kita berangkat!"
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan menelusuri
jalan negara, lambat-laun suasana di sekeliling pun bertambah
ramai, rumah penduduk semakin banyak dijumpai.
Mendadak mereka lihat ada beberapa ekor kuda sedang
berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar bambu,
beberapa orang sedang ribut di depan pintu rumah.
Tampak seseorang berdandan Suya dengan membawa
buku kuning yang tebal sedang membolak-balik halaman
bukunya, di tangan lain memegang sebuah pit, dia seakan
sedang memeriksa isi catatan di kitab tebalnya itu.
Sementara di sisinya berdiri dua orang opas, yang kurus
sedang membawa bak tinta, melayani sang Suya menulis,
sementara yang kekar dengan sebelah tangan menggenggam
gagang golok, tangan yang lain mengayun cambuknya
berulang kali sambil membentak, "Uang pajak kalian mau
dibayar tidak!"
Seorang kakek dengan membawa sebuah tongkat nyaris
berlutut ketika mendengar bentakan itu, rengeknya, "Tuan
opas, beri kami waktu, berilah waktu lagi kepada kami"
Di samping kakek itu berdiri seorang lelaki dan seorang
wanita, kelihatannya mereka adalah anak dan menantunya.
Terdengar sang Suya mendengus dingin, lalu berkata,
"Seng-siu Lotia, apa maksudmu minta waktu lagi" Kami
sedang melaksanakan tugas yang diperintahkan Yang mulia,
memangnya gampang melepaskan kalian begitu saia" Kau
anggap kami punya berapa banyak batok kepala untuk
ditebas?" "Suya," mohon kakek Seng-siu dengan air mata
bercucuran, "berilah waktu beberapa hari lagi."
Putranya yang ada di sisinya mulai naik darah, mendadak
serunya penuh amarah, "Kalian pakai aturan tidak" Keluarga
kami hanya memelihara seekor babi, kenapa harus membayar
pajak seekor kerbau, apa-apaan kau ini?"
Dengan penuh kemarahan ketiga orang itu menatap wajah
para petugas tanpa berkedip.
Saat itulah terdengar suara tangisan bayi dari dalam
rumah, segera sang wanita berlari masuk ke dalam rumah.
Tampaknya sang Suya baru memperhatikan wanita itu
setelah melihat ia berlari masuk ke rumah, sambil tertawa
cabul ia bertanya, "Apakah wanita itu menantumu?"
"Mau apa kau?" bentak sang lelaki gusar.
"Tidak mau apa-apa," jawab sang Suya sambil tertawa licik,
ia berpaling lagi ke arah kakek Seng-siu, kemudian
menambahkan, "Mau membayar pajak seekor kerbau atau
pajak seekor babi, itu tergantung apa yang akan kutulis dalam
kitab ini."
"Tolonglah Suya, tulislah yang benar, tulislah yang benar,"
pinta sang kakek lagi.
Suya itu segera mendorong tubuh si kakek berulang kali,
dengan gusar lelaki itu memayangnya.
"Tulis yang benar" Apa itu tulis yang benar?" jengek sang
Suya sambil tertawa dingin, "siapa tahu justru kalian
memelihara tujuh delapan ekor sapi di belakang rumah sana."
"Mau apa kau?" bentak lelaki itu sambil maju ke depan.
Sang Suya tidak menanggapi pertanyaan itu, sambil
mengerling penuh arti dia balik bertanya, "Bagaimana dengan
menantumu?"
Lelaki itu bertambah berang, dia maju mendekati Suya itu,
tapi belum selangkah, opas kekar itu sudah maju sambil
menampar wajah lelaki itu dengan kuat.
Kontan wajah lelaki itu merah bengkak hingga tak sanggup
berkata-kata, kembali opas itu menjejakkan kakinya, lelaki itu
segera jatuh terduduk ke tanah.
"Mau ... mau apa kau...." teriak kakek Seng-siu kaget.
Sang Suya mendengus dingin. "Hmm! Putramu berkomplot
dengan penjahat, dia amat berdosa, pengawal...."
Dua orang opas itu segera menyahut, dengan wajah penuh
rasa bangga sang Suya melanjutkan perintahnya, "Borgol
orang ini dan gusur dia ke penjara!"
Waktu itu sang wanita sudah muncul kembali, mendengar
perintah itu segera ia dan sang kakek segera menjatuhkan diri
berlutut. Sementara itu kedua orang opas tadi sudah mulai memukul
dan menghajar lelaki itu.
"Seng-siu!" ujar sang Suya sambil tertawa, "makin tua
nampaknya kau makin bodoh, masa apa yang menjadi
keinginan Ong-suya juga tidak kau pahami"
Dia segera mengangkat bahunya seolah urusan itu tak ada
hubungan dengan dirinya, lalu sambil mengawasi opasnya
yang sedang menghajar lelaki itu, ia menambahkan, "Kau bisa
menyelamatkan putramu tapi tak bisa menyelamatkan
menantumu!"
Bicara sampai di situ Ong Mia-kun, Ong Suya mulai tertawa
kegirangan, "Waah, perempuan ini putih mulus, lembut bagai
sekuntum bunga yang baru mekar, sama sekali tak kelihatan
kasar macam perempuan dusun, tampaknya aku segera akan
menikmati kehangatan tubuhnya yang bahenol"
Mendadak dua orang manusia telah muncul di depan mata.
Kemunculan kedua orang itu sangat tiba-tiba dan sama
sekali tak menimbulkan suara, seketika hatinya terkejut.
"He, apakah kalian petugas keamanan?" terdengar sang
pemuda menegur sambil menatapnya tajam.
Ong-suya segera teringat posisinya sebagai seorang Suya
di wilayah itu, tiada alasan baginya untuk takut menghadapi
dua orang tamu asing.
"Manusia busuk darimana kau ini?" tegurnya sambil
membusungkan dada, diam-diam ia memberi kode agar kedua
orang opas itu maju mendekat.
"Aku pun petugas yang makan nasi negara!" kata Leng-hiat
kemudian. Melihat sang opas sudah berada di sisinya, Suya itu
bertambah berani, dia tertawa sinis, "Ooh, kau pun petugas
negara" Hmmm, yang kau makan justru muntahanku,
manusia macam kau pun ingin sejajar dengan posisiku!"
"Justru karena dalam pemerintahan terdapat manusia
macam kalian, maka rakyat jadi hidup sengsara, tertindas,
banyak yang mati kelaparan."
"Sialan! Maknya! Kau tahu, aku adalah Suya kesayangan
Lu-thayjin, aku ingin berbuat apa, itu hakku dan sesukaku,
kau tak usah mencampuri urusanku."
Leng-hiat menggelengkan kepala berulang kali, "Aku tak
ingin membunuhmu!"
Sementara sang Suya melengak, opas yang kurus sudah
mengepal tinjunya sambil maju ke depan.
"Apa katamu?"
Opas yang bertubuh kekar pun ikut menghampiri sambil
bersiap menghajar musuhnya.
Leng-hiat tetap menggelengkan kepala berulang kait
"Sebetulnya aku tak ingin membunuhmu!"
Habis berkata, opas kurus itu hanya melihat cahaya petir
menyambar lewat, tahu-tahu sebuah serangan sudah
mengancam kening Suya itu.
Jika dilihat dari situasi saat itu, jelas sang Suya bakal
mampus, tapi si kakek yang berada di sisi arena tiba-tiba
mengayunkan tangannya.
Tiga kali cahaya pedang berkelebat, tiga kali kakek itu
mengayunkan tangannya.
Opas kurus yang berada di tengah arena hanya berdiri
melongo, ia dapat melihat Leng-hiat telah melancarkan
tusukan, tapi dia merasa tak mampu menghadapinya,
menghindar pun tak sanggup, bahkan hingga sekarang dia
masih belum sempat melihat dengan jelas cahaya dingin itu
sebetulnya cahaya pedang atau cahaya petir, tusukan itu
ditujukan kepadanya atau sedang menusuk sang Suya"
Tapi Leng-hiat Sahu dengan jelas, andaikata si kakek tidak
menyambut ketiga tusukan pedangnya, paling tidak Suya itu
sudah mampus sembilan kali.
"Kenapa kau tidak membiarkan aku membunuhnya?" tanya
Leng-hiat sambil menarik kembali pedangnya.
Kakek itu menggeleng, seakan gelengan kepalanya bukan
tertuju pada satu orang melainkan menggeleng untuk seluruh
umat manusia di dunia ini. "Dosa kesalahannya belum cukup
dijatuhi hukuman mati," katanya.
"Hmm! Manusia macam dia hanya menindas rakyat,
menyengsarakan orang banyak, apakah perbuatan semacam
ini tidak pantas untuk dihukum mati" Orang ini bernama Ong
Mia-kun, dialah salah satu orang yang mengkhianati Pek-hoathuangjin (manusia latah berambut putih) di masa lalu hingga
membuat Ni Jian-ciu nyaris terjerumus ke jalan sesat, apakah
manusia semacam inipun tidak pantas untuk dibunuh?"
Kakek itu menghela napas panjang, "Sekalipun harus
dihukum mati, kita mesti menunggu keputusan dari atasan
atau paling tidak aturan hukum mesti dilaksanakan. Kau
maupun aku tak lebih hanya seorang opas, tidak berhak
menentukan mati hidup orang, kalau tidak, kita sama saja
akan dikenai hukuman karena perbuatan itu."
Berkilat sepasang mata Leng-hiat, kali ini dia tidak bicara
lagi. Suya itu segera tahu kalau kedua orang itu mempunyai
asal-usul yang luar biasa, apalagi bisa mengenali identitasnya
secara tepat, segera dia mengeluarkan jurus andalannya
sebagai seorang Suya, serunya cepat, "Saudara berdua, kalau
tidak berkelahi maka tak akan saling mengenal, air bah
menerjang di kuil raja naga, rupanya kita berasal satu aliran,
lebih baik "Percuma," tukas kakek itu cepat, "dia tak bakalan
menerima caramu itu."
"Jadi Toako ini adalah...." dengan sangat hati-hati Suya itu
mencari tahu. "Dia adalah salah satu anggota empat opas kenamaan di
kolong langit, orang menyebutnya Leng Ling-ci, julukannya
adalah Leng-hiat, si Darah dingin."
Hampir saja Suya itu jatuh semaput saking kagetnya.
Kedua orang opas itu tidak menunjukkan sikap kaget,
karena mereka memang tak pernah mendengar nama itu, tapi
melihat paras muka Suya mereka berubah pucat bagai kertas,
mereka segera sadar kalau kedua orang itu punya asal-usul
yang luar biasa, karena itu sikap mereka pun berubah sangat
menaruh hormat.
Di dalam keputus asaan, tiba-tiba Suya itu teringat di
hadapannya masih hadir seorang kakek yang tampaknya
berulang kali telah menyelamatkan jiwanya, segera dia
memohon dengan penuh belas kasihan, "Toaya, tolong
katakan bebeberapa patah kata, mohon ... Leng-ya sudi
memaafkan kami kali ini saja ... padahal kami pun hanya
menjalankan tugas!"
Kakek itu menggeleng berulang kali. "Memaksa rakyat
untuk membayar pajak yang bukan menjadi bebannya,
memanfaatkan jabatan untuk berbuat cabul, itukah yang kau
maksud sebagai urusan dinas" Kau telah melanggar hukum,
siapa pun tak akan mengampuni jiwamu."
Tampaknya Suya itu tak mau menyerah, kembali dia


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merengek, "Tolonglah berbuat kebajikan ... aku pasti tak akan
melupakan budi kebaikanmu"
"Percuma saja kau memohon kepadanya," tiba-tiba Lenghiat
berkata, "dia... dia tak bakal menyanggupi
permintaanmu."
"Siapa pula dia itu?" tanya opas bertubuh kekar itu dengan
suara lantang. "Siapakah dia?" Leng-hiat tertawa dingin, "dialah nenek
moyangmu, dialah orang paling berkuasa, raja diraja kaum
opas, si Raja opas Li Hian-ih!"
oooOOOooo 25. Opas Ketiga.
Kali ini bukan hanya sang Suya saja, kedua orang opas
itupun berdiri dengan wajah pucat pasi, badan gemetar keras
dan mimik mukanya menunjukkan mau menangis tak bisa,
mau tertawa pun sungkan.
Tentu saja mereka pernah mendengar tentang sepak
terjang tokoh sakti ini, bukan saja ilmu silatnya tinggi,
wataknya jujur, pemberani dan adil dalam setiap
keputusannya, bahkan semua orang yang jatuh ke tangannya,
baik dia perampok yang membunuh orang tanpa berkedip
maupun tokoh persilatan yang termashur namanya, semuanya
ditangkap hidup-hidup dan dikirim ke pengadilan untuk diadili,
belum pernah ada orang bisa lolos dari cengkeramannya.
Perlu diketahui, bila seorang opas ingin membunuh orang
maka hal ini lebih mudah dia lakukan ketimbang menangkap
orang, apalagi jika tawanannya adalah seorang tokoh sakti
dunia persilatan.
Terkadang mereka ditangkap di wilayah Tibet dan mesti
dibawa ke propinsi Ouwlam, sepanjang ribuan li bukan saja
harus mencegah tawanannya kabur, bahkan harus selalu
waspada menghadapi sergapan komplotannya.
Tapi jika tertangkap oleh si Raja opas Li Hian-ih, biasanya
semua tawanan akan menurut saja ketika digelandang dan
dengan tenang menunggu keputusan hukuman.
Dalam hal yang satu ini, kecuali Raja opas Li Hian-ih,
sekalipun empat opas ataupun Opas sakti, tak ada yang
sanggup menandinginya.
Ong-suya mulai merintih, ia merasa dirinya seolah-olah
telah bertemu setan pada hari ini.
Dia rela bertemu setan ketimbang bertemu seorang opas
kenamaan, apalagi bertemu Raja opas.
"Tidak mungkin aku membebaskan dirimu," terdengar Raja
opas Li Hian-ih berkata, "tapi aku bisa memberi satu
kesempatan kepada kalian."
Mendengar ada secercah harapan hidup, segera Suya itu
berseru, "Terima kasih Li-toaya, terima kasih Li-toaya...."
"Aku akan memberi kesempatan kepada kalian untuk
menyerahkan diri," kata Raja opas Li Hian-ih lagi sambil
tertawa. Paras muka Suya serta kedua orang opas itu berubah
seketika. Belum sempat mereka berkata, kembali Raja opas Li Hianih
berkata lagi, "Kalian tak usah bermain akal-akalan, sebab
bila kalian tidak segera menyerahkan diri, cepat atau lambat
kalian bakal kutangkap dan sampai waktunya akan kulipat
gandakan hukuman kalian."
"Baik, baik, kami pasti akan menyerahkan diri, kami pasti
akan menyerahkan diri," segera Suya itu berseru.
"Kalian pun jangan harap mencari perlindungan dari para
pejabat," Raja opas bicara lebih jauh, "terlebih bersekongkol
dengan tidak diadakan pengadilan, kalau sampai aku tahu,
semua pejabat yang terlibat akan kulibas semua!"
"Baik, baik...." sahut Suya itu dengan badan gemetar keras,
wajahnya pucat melebihi kertas.
"Kenapa belum segera pergi?" tanya Raja opas.
Sambil mundur ke belakang, Suya itu membungkukkan
badannya berulang kali seraya berseru, "Baik, segera pergi,
segera pergi"
Bersama kedua orang petugas keamanan, mereka mundur
sejauh tiga empat puluh langkah baru naik ke atas kudanya,
mungkin lantaran kelewat gugup, baru naik Suya itu sudah
terjatuh kembali ke bawah, segera kedua orang rekannya
datang membantu.
Tak selang beberapa saat kemudian ketiga orang itu sudah
lenyap dari pandangan.
"Menurut pandanganmu, mungkinkah mereka pergi
menyerahkan diri?" tanya Leng-hiat kemudian sambil tertawa.
"Aku rasa tidak mungkin," sahut Raja opas.
"Lantas kenapa tidak kita bunuh saja orang-orang itu?"
"Sudah kukatakan, kita tak punya wewenang untuk
membunuh."
"Sekalipun tidak dibunuh, paling tidak seharusnya kita
potong sebuah lengannya atau mengiris telinganya sebagai
hukuman." "Sama seperti yang kukatakan, kita pun tak punya
wewenang untuk berbuat begitu."
Setelah tertawa, dia menepuk bahu Leng-hiat sambil
memperingatkan, "Kau mesti lebih berhati-hati, seandainya
kulihat kau melakukan pembunuhan atau melukai orang, sama
saja, kau punya dosa."
Berkilat sepasang mata Leng-hiat. "Apakah membunuh
manusia laknat yang telah melakukan kejahatan dan
kebengisan pun dianggap berdosa?"
Raja opas menghela napas panjang. "Sesungguhnya
bersalah atau tidak bersalah hanya bisa kita putuskan dalam
hati, tak mungkin orang awam bisa memutuskan dengan
sesuka hati, kita sebagai petugas hanya punya wewenang
menangkap orang demi ditegakkannya hukum dan keadilan.
Jika kuatir repot atau untuk menghemat waktu kita segera
menghabisi orang itu, bukankah perbuatan kita yang
melanggar hukum terlebih dahulu, mana mungkin orang lain
mau mentaati peraturan?"
Leng-hiat membungkam.
Sementara itu kakek Seng-siu dan keluarganya telah
menghampiri mereka untuk menyampaikan rasa terima
kasihnya, Raja opas Li Hian-ih pun meninggalkan obat untuk
mengobati luka lelaki desa itu, kemudian setelah bertanya
arah jalan, mereka tinggalkan rumah pedesaan itu.
Di tengah jalan tiba-tiba Leng-hiat bertanya, "Maksud
tujuan kedatanganmu adalah...."
"Untuk menangkap orang," jawab Raja opas.
"Siapa yang akan kau tangkap?"
"Menangkap Kokcu dari perusahaan ekspedisi Sin-wi-piaukiok,
Ko Hong-liang, Tong Keng serta pentolan penyamun
wanita dari Bu-su-bun, Ting Tong-ih."
"Kenapa mereka harus ditangkap?"
"Karena orang-orang Sin-wi-piau-kiok melarikan barang
yang semestinya harus dikawal, sementara orang-orang Busubun merencanakan pemberontakan!"
"Aku tidak percaya kalau orang-orang Sin-wi-piau-kiok
merampok barang kawalannya, sedangkan anggota Bu-su-bun
pun tidak punya rencana untuk menjadi pemberontak!"
Mendadak Raja opas menghentikan langkahnya dan
menatap Leng-hiat, katanya, "Sekalipun apa yang kau katakan
benar, dan meski aku percaya dengan perkataanmu, tapi
kenyataan Tong Keng dari Sin-wi-piau-kiok telah membunuh Li
Wan-tiong, Ko Hong-liang dengan berkerudung muka telah
menolong narapidana penting, apalagi melukai petugas
negara, jelas dia telah melakukan kesalahan besar, selain itu
Ting Tong-ih dengan mengajak anak buahnya telah menyerbu
penjara, membunuh dan melukai para sipir dan petugas
keamanan, perbuatan semacam inipun merupakan satu
pelanggaran besar."
"Tapi siapa yang memaksa mereka melakukan perbuatan
ini?" seru Leng-hiat sedikit emosi, "Li Wan-tiong kejam,
dengan alat siksaan yang tak berperi kemanusiaan dia telah
menguliti manusia hidup-hidup, mencelakai Kwan Hui-tok
dengan cara licik sehingga berakibat Ting Tong-ih menyerbu
ke penjara, Tong Keng melakukan pembunuhan dan memaksa
Ko Hong-liang menyelamatkan mereka semua, jika
perampokan uang pajak bukan dilakukan pihak Sin-wi-piaukiok,
bukankah perintah penangkapan yang diturunkan pihak
pejabat memaksa mereka harus naik ke bukit Liang-san dan
menjadi begal?"
"Bila setiap orang menggunakan alasan itu untuk membela
diri, darimana datangnya ketaatan rakyat terhadap hukum"
Darimana datangnya ketenteraman dan keamanan bagi
negara?" Leng-hiat tertawa dingin. "Lantas, apakah mereka harus
menerima tuduhan itu" Harus menelan semua fitnahan dan
tunduk pada hukum?"
Mendadak si Raja opas batuk sekeras-kerasnya.
Lama sekali Leng-hiat menatap rekannya, kemudian baru ia
berkata, "Tahu aku sekarang"
"Tahu apa?"
"Tak mungkin kasus sekecil ini bisa menarik perhatian Li
Hian-ih yang bernama besar dan tersohor di Seantero jagad,
kau datang karena diutus perdana menteri Hu!"
Dengan susah payah Raja opas menarik napas, seakanakan
kalau ia berhenti berusaha maka napasnya seketika akan
berhenti. "Benar, aku memang diutus perdana menteri Hu untuk
menangkap buronan, tapi apa salahnya" Mereka memang
melanggar hukum, lagi pula sudah menjadi buronan, menjadi
tugas dan tanggung jawabku untuk menangkap mereka dan
menggelandangnya ke pengadilan!"
"Tugas dan tanggung jawab?" Leng-hiat tertawa dingin,
"Perdana menteri Hu punya jabatan yang sangat tinggi dan
kaya raya, orang yang menjual nyawa untuknya rata-rata kaya
dan terhormat, apakah mereka boleh membunuh orang
semaunya", membakar milik rakyat seenaknya" Apa gunanya
kau bicara sok demi keadilan?"
Raja opas mengurut dada sambil mengatur pernapasan,
untuk pertama kalinya api kemarahan memancar dari balik
matanya. "Betul, perdana menteri Hu memang pejabat tinggi dalam
kerajaan bahkan berambisi besar, tapi aku tak pernah
membonceng kepopulerannya, aku pun tak pernah menerima
sepeser uang pelicinnya, hingga detik ini aku tak pernah
melakukan perbuatan yang dianggap mengingkari liangsim
(hati nurani)!"
Dia membuka pakaiannya, memperlihatkan dada dan
perutnya, di situ tampak bekas bacokan golok, tusukan
pedang, luka senjata rahasia maupun luka bekas pukulan.
"Sekujur tubuhku dipenuhi luka, luka yang ini dibuat oleh si
Tosu panjang umur dengan ilmu kebutan tulang besinya, yang
ini karena pukulan martil emas milik Kim Gin-san dari Kiu-ciu,
yang ini terluka oleh pukulan tenaga lunak jagoan keluarga
Lui, dan ini terluka oleh senjata rahasia keluarga Tong,
kemudian ada lagi luka oleh orang-orang kuil setan, jagoan
dari negeri Hu-siang, tenggorokanku pernah terluka karena
dipaksa minum racun empedu burung merak, Hok-teng-hong
serta Bi-siang yang sangat ganas sewaktu menangkap menteri
korup Koan Ciu-in, peduli terhadap siapa pun, aku akan
menangkapnya satu per satu, aku berjuang dengan
kemampuanku sendiri, berusaha dengan caraku sendiri, tak
pernah aku membonceng kejayaan Hu-thayjin, bukan orang
tak mau memberi kepadaku, karena aku memang tidak
membutuhkannya!"
Dengan sepasang mata berkilat dia melanjutkan, "Aku
sudah makan gaji negara, setiap tahun beberapa tahil perak
sudah cukup bagi kebutuhanku, biaya yang kukeluarkan
sepanjang memburu buronan pun selalu kuperhitungkan
dengan pihak keuangan kantor kejaksaan, kecuali itu aku tak
pernah meminta uang jasa apapun. Aku sebagai petugas
penegak kebenaran harus memberi contoh yang benar kepada
semua orang, bersikap adil, jujur dan tegas dalam mentaati
peraturan, bukankah begitu?"
Kemudian setelah tertawa gusar, terusnya, "Seandainya Ko
Hong-liang, Ting Tong-ih dan Tong Keng tidak melanggar
hukum, biarpun Hu-thayjin menurunkan perintah kepadaku,
tak nanti aku pergi menangkap mereka! Kalau mereka
memang tidak bersalah, kenapa mesti takut diadili?"
Leng-hiat tahu apa yang dia ucapkan memang merupakan
perkataan yang sejujurnya.
Kecuali terhadap Cukat-sianseng, jarang sekali Leng-hiat
menaruh rasa hormat kepada orang lain, tapi kini mau tak
mau dia harus menaruh rasa hormat dan salutnya kepada
orang ini. Sebab dia tahu, semua perkataan Li Hian-ih memang benar
dan merupakan kenyataan.
Sepanjang perjalanan Li Hian-ih banyak bergaul dengan
orang, kendatipun ia menderita luka dalam yang cukup parah,
meski harus terbatuk-batuk hebat, namun urusan dinas tetap
dilaksanakan secara baik dan disiplin, pengejaran yang harus
dilakukan ribuan li dilaksanakan tanpa mengeluh, gaji tahunan
yang begitu sedikit digunakan secara hemat dan dipakai
bilamana perlu saja.
Tapi ia tak pernah mengeluh, bahkan tak pernah
mengandalkan posisi serta nama besarnya untuk ditukar
dengan banyak kemudahan.
Dengan mata kepala sendiri ia saksikan Li Ok-lay mengutus
orang untuk menyambut kedatangannya di pintu kota,
penyambutan secara besar-besaran, tapi dia tak pernah
menerima penyambutan itu, malah secara diam-diam
menyelinap untuk melakukan perburuan.
Bagaimanapun Li Ok-lay adalah seorang pembesar negeri
yang suka dengan segala penyambutan yang berlebihan, dia
seakan tidak memahami tabiat Li Hian-ih, dia tetap menggelar
upacara penyambutan secara besar-besaran.
Besar kemungkinan hingga kini Li Ok-lay belum tahu kalau
Li Hian-ih sudah melewati pintu gerbang itu dan menghindar
untuk bertemu dengannya.
Hu Tiong-su sang perdana menteri tak pernah memberi
posisi tinggi kepadanya, tidak pula memberi uang atau harta
yang berlimpah, dia hanya diberi kekuasaan besar untuk
menentukan mati hidup seseorang, diberi tugas dan tanggung
jawab yang besar, tapi Li Hian-ih menyelesaikannya secara
tuntas, bahkan tanpa mengeluh maupun menggerutu.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malah dalam soal makan pun Li Hian-ih begitu perhitungan,
tak mau ditraktir juga tak mau mentraktir orang, hidupnya
sangat hemat. Leng-hiat menarik napas panjang, katanya, "Jika kau
berhasil menangkap mereka dan menggelandangnya ke kantor
pengadilan, kemudian tutup mata terhadap keadaan mereka,
tak ambil peduli kalau mereka difitnah orang, dapat dipastikan
Ko Hong-liang, Ting Tong-ih serta Tong Keng akan mati
konyol." Raja opas mengernyitkan dahinya, untuk sesaat dia tak
mampu menjawab, hanya terbatuk terus tiada hentinya.
Batuknya kali ini jauh lebih hebat daripada batuknya semula,
batuk terus sampai tumpah darah.
Dalam pada itu awan gelap telah menyelimuti seluruh
angkasa, angin mulai berhembus kencang, kelihatannya hujan
segera akan turun dengan derasnya.
"Aah, sebentar lagi akan turun hujan," gumam Raja opas.
Sekonyong-konyong dari arah depan sana muncul satu
pasukan prajurit, ada yang menunggang kuda, ada yang
berlarian, di tangan mereka selain membawa senjata tajam,
ada pula yang membawa borgol kayu besar, ternyata mereka
adalah sekelompok petugas keamanan.
"Inilah akibat dari kau melepaskan orang," kata Leng-hiat
cepat. "Blaaam...!", suara guntur yang keras menggelegar
memecah keheningan, suara gemuruh yang bercampur
dengan helaan napas si Raja opas.
Leng-hiat sendiri pun merasa tenggorokannya seakan
tersumbat, ia sadar perkataannya barusan kelewat keras dan
kasar. Dalam waktu singkat kawanan pasukan keamanan sudah
bergerak mendekat, seorang opas yang berada paling depan
sudah mulai menuding sambil mencaci maki, "He, bajingan
sialan! Kalian berani amat membegal Suya kami" Cepat
serahkan dirimu!"
"Aku adalah...." kata Raja opas.
"Maknya, kentut busukmu!" tukas seorang petugas
keamanan nyaring, "cepat serahkan diri dan ikut kami balik ke
kantor! Gara-gara urusan kalian, bisa jadi kami ikut basah
kuyup karena kehujanan!"
Sambil mengumpat tiada hentinya, bersama beberapa
orang petugas yang lain segera maju mendekat untuk
melakukan penangkapan.
"Tampaknya kalau tidak memukul mundur mereka dengan
kekerasan, percuma saja kita bersilat lidah!" kata Leng-hiat
sambil tertawa dingin.
"Ya, rasanya memang hanya ada cara itu," sahut Raja opas
sambil tertawa getir.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kawanan
petugas keamanan itu sudah merangsek maju, hujan batu
kerikil pun mulai berhamburan mengarah tubuh mereka
berdua. Tiba-tiba Leng-hiat membungkukkan badan dengan tangan
meraba gagang pedang, ia malah menerjang maju ke muka.
Gerakan tubuhnya sewaktu menyerbu ke depan, menerjang
hujan, menerkam kawanan petugas keamanan itu persis
seperti seekor macan tutul yang sedang kelaparan.
Diiringi bentakan gusar bercampur teriakan kaget, kawanan
petugas keamanan itu menyambut terjangannya dengan
bacokan senjata.
"Addduh!"
"Ampun!"
"Ahhhh!"
Teriakan demi teriakan berkumandang di angkasa, dimana
tubuh Leng-hiat menerjang, kawanan petugas keamanan itu
mencelat sejauh tujuh-delapan depa, terbanting ke atas tanah
dengan keras dan tak mampu merangkak bangun lagi.
"Aaai, seranganmu kelewat berat," keluh Raja opas sambil
menghela napas.
"Tapi serangan mereka semua tertuju ke bagian tubuhku
yang mematikan, mereka menginginkan nyawaku!" sahut
Leng-hiat sambil melanjutkan terjangannya.
Tiba-tiba Raja opas membentak keras, bentakan itu
sedemikian kerasnya sehingga bukan saja membuat kawanan
petugas keamanan itu tertegun, kuda-kuda pun ikut meringkik
sambil mengangkat tinggi kedua kaki depannya, bahkan Lenghiat
sendiri pun ikut melengak hingga menghentikan gerakan
tubuhnya. Tatkala kawanan petugas keamanan itu menengok ke
arahnya, tampak selapis asap tipis mengepul keluar dari
seluruh tubuh kakek berpakaian rombeng itu, ketika butiran
air hujan jatuh di atas kepala kakek itu, seakan tertahan oleh
selapis jaring tak berwujud, air hujan itu tak mampu jatuh ke
bawah. Baru saja semua orang tersentak kaget, Raja opas sudah
membentak sambil mengayunkan sepasang tangannya
bergantian, butiran air hujan yang tertahan tadi segera
menyebar dan menyambar ke tubuh kawanan petugas
keamanan itu bagaikan serangan senjata rahasia.
Bagaimana mungkin kawanan petugas keamanan itu
mampu menghindar dari serangan senjata rahasia yang begitu
rapat" Ada yang tersambar matanya, ada yang tersambar
wajahnya, orang mulai tunggang-langgang dibuatnya, jeritan
kaget, teriakan ngeri bergema silih berganti, tak selang
beberapa saat kemudian kawanan petugas itu sudah kocarkacir
dan melarikan diri terbirit-birit.
Menyaksikan kejadian itu Leng-hiat hanya bisa
menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya, "Kawanan
petugas itu betul-betul hanya sekelompok sampah, untung
bukan lagi menghadapi pertempuran, coba kalau berada di
medan laga, tak bisa dibayangkan bagaimana akibatnya ...
mereka benar-benar sudah rusak karena kelewat dimanjakan
komandannya."
Mereka berdua berjalan menuju ke dalam sebuah gardu,
mengawasi hujan yang semakin deras di luar sana, perasaan
mereka berdua terasa berat dan murung.
Tiba-tiba dari sudut gardu terlihat ada sebatang hio, meski
sudah padam karena tertimpa air hujan, namun asap biru
masih mengepul tipis.
Leng-hiat tahu baru saja Ting Tong-ih melewati tempat itu,
entah mengapa tiba-tiba muncul satu perasaan aneh dalam
hati kecilnya. Terdengar Raja opas menghela napas panjang, katanya,
"Orang bilang ketika kekacauan mulai melanda seluruh dunia,
setan iblis pasti akan bermunculan, coba kau lihat semangat
kawanan petugas keamanan itu, aaai! Mungkinkah kolong
langit kembali akan kacau?"
Leng-hiat mendengus dingin. "Hmmm! Anak buah Li Ok-lay
dan Lu Bun-chang merampok, membegal dan memperkosa
dimana-mana, perbuatan mereka jauh lebih bejad ketimbang
perbuatan kaum begal, bagaimana mungkin keadaan ini tidak
membangkitkan keinginan rakyat untuk memberontak?"
Sekali lagi Raja opas terbatuk-batuk hebat, darah segar
kembali dimuntahkan dari mulutnya.
Sampai lama kemudian baru ia berkata lagi, "Seandainya
kolong langit akan kacau, mungkin aku ... aku sudah tak
berkesempatan untuk melihatnya lagi."
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Leng-hiat,
seolah mendapat firasat jelek, serunya tak tertahan, "Jadi
paru-parumu..."
"Aku sudah tak punya paru-paru," tukas Raja opas sambil
menyeka darah di bibirnya, "kedua paru-paruku sudah
membusuk dan rusak."
"Demi kesejahteraan negara kau mesti menjaga
kesehatanmu baik-baik, kau harus beristirahat dulu."
Raja opas tertawa getir. "Seandainya kolong langit aman,
tenteram dan penuh damai, biarpun harus beristirahat untuk
selamanya pun aku tak akan banyak pikiran," katanya.
Agak terenyuh Leng-hiat mendengar perkataan itu, dia
merasa Cukat-sianseng pun pernah berkeluh demikian
sewaktu hujan di tengah malam.
Tanpa terasa dia pun membayangkan kembali bagaimana
Cukat-sianseng mendidik mereka hingga dewasa, bukan saja
telah mewariskan ilmu silat yang hebat, bahkan selalu
mencukupi semua kebutuhan mereka sehingga dalam hal ini
mereka tak pernah merisaukannya lagi.
Bila dibandingkan dengan Raja opas yang mesti berjuang
dari pangkat yang paling rendah, dari gaji yang sedikit, jelas
perbedaan di antara mereka bagai langit dan bumi.
Timbul perasaan menghormat di hati kecilnya.
"Aaai, lagi-lagi ada yang datang!" mendadak Raja opas
berbisik. Di tengah hujan yang sangat deras terlihat seseorang
berdandan petugas keamanan, dengan membawa sebilah
golok, selangkah demi selangkah berjalan mendekat.
Langkah kaki orang itu tidak terlalu cepat, tapi dia seolaholah
tak akan menghentikan langkahnya sebelum tiba di
tempat tujuan. Orang itu masih sangat muda, air hujan membuat rambut
dan wajahnya basah kuyup, membuat alis matanya yang tebal
nyaris menempel di atas jidatnya.
Dia berjalan mendekat sambil memegang goloknya, sama
sekali tak terlintas rasa jeri atau takut di wajahnya.
Dari dandanan yang dikenakan, Leng-hiat tahu orang ini
hanya seorang opas kelas tiga dalam kantor pengadilan.
Dalam bidang opas pun terbagi dalam banyak jabatan, ada
opas yang mempunyai kekuasaan sangat besar hingga dia
memiliki wewenang untuk mendatangkan pasukan negara,
tapi ada pula opas dengan jabatan sangat kecil, yang
tugasnya hanya mengambilkan air teh atau mengantar
makanan untuk petugas opas lainnya.
Tentu saja opas seperti Leng-hiat dan Li Hian-ih sudah
bukan opas lagi, mereka sudah merupakan semacam simbol,
semacam idola, semacam panutan bagi opas lain, begitu tinggi
dan terhormat posisinya sehingga pembesar negeri pun harus
menaruh hormat kepada mereka.
Opas yang barusan muncul merupakan seorang opas
dengan wewenang kecil, hingga patut dikasihani, biasanya
mereka hanya kebagian tugas mengurusi orang-orang yang
makan gratis di rumah makan, mengurusi orang mabuk yang
membuat keributan atau urusan kecil yang sama sekali tak
ada artinya, bukan saja mereka harus mengajukan izin setiap
kali hendak membawa senjata, bahkan izin yang diajukan
bersusah payah selama sepuluh hari hanya berlaku untuk satu
hari saja. Opas semacam inilah yang sekarang sedang berjalan
menghampiri mereka berdua.
Opas itu menghentikan langkahnya setelah berada sepuluh
langkah dari gardu itu, teriaknya, "Maaf saudara berdua, boleh
aku mengajukan satu pertanyaan?"
Leng-hiat memandang ke arah Raja opas, sementara Raja
opas pun balik memandang Leng-hiat.
Terdengar opas itu berteriak lagi, "Apakah kalian berdua
yang telah menghalangi Ong-suya melaksanakan tugas
dinasnya dua jam berselang?"
Leng-hiat memandang Raja opas sekejap, lalu menjawab,
"Benar!"
"Kalian juga yang telah melukai dua belas orang petugas
keamanan pada setengah jam berselang?" kembali opas itu
bertanya. Kali ini Raja opas yang memandang Leng-hiat sekejap
sambil menjawab, "Benar!"
"Bagus!" dari sakunya opas muda itu mengeluarkan sebuah
lencana, lalu sambil ditunjukkan serunya, "Kalian telah
menghalangi petugas negara melaksanakan tugasnya bahkan
melukai alat negara, aku akan menangkap kalian berdua."
Setelah berhenti sejenak, lanjurnya, "Aku adalah Kwan
Siau-ci, opas kelas empat dari kota Cing-thian, aku hendak
menangkap kalian berdua."
26. Selamat Tinggal Sin-wi.
Walaupun hujan turun dengan derasnya, bahkan disertai
hembusan angin yang sangat dingin, meski pakaian yang
dikenakan opas muda itu sudah basah kuyup bahkan kelihatan
mulai kedinginan, namun ia tetap menahan diri sambil berdiri
tegap. "He, anak muda, kenapa tidak berteduh dulu dari terpaan
air hujan?" seru Raja opas lembut.
"Terima kasih," jawab Kwan Siau-ci, si opas muda itu cepat,
"Aku sedang menjalankan tugas, selesai bertugas kita bicara
lagi." "Kalau tak mau masuk kemari, cepatlah pulang!" kata Raja
opas lagi sambil tertawa.
"Kalian berdua ikut aku pulang ke kantor."
Raja opas tertawa. Tiba-tiba ia menggerakkan tangannya,
mencabut pedang milik Leng-hiat yang tersoreng di pinggang
lalu ... "Sreet, sreet, sreeet", setelah mengebasnya tiga kali,
pedang itu sudah tersoreng kembali di pinggang Leng-hiat.
Dalam waktu singkat dia sudah melepaskan tiga bacokan
kilat menembus asap tipis di atas hio, tampak asap masih
mengepul ke angkasa, meskipun baru saja dilalui tiga bacokan
kilat, asap itu seolah sama sekali tak goyang, sama sekali tak
terputus. Serangan pedang yang dilancarkan Li Hian-ih seakan tidak
disertai desingan angin bahkan cepatnya tak terlukiskan
dengan kata. Hal ini membuat Leng-hiat sendiri pun terkesiap, pikirnya,
"Jika serangan Li Hian-ih itu tertuju ke tubuhku, mampukah
aku menerima ketiga jurus serangannya?"
Dalam pada itu Raja opas sambil tersenyum sedang
mengawasi opas muda itu.
Terlihat paras muka opas muda itu berubah hebat.
Dia hanya tahu datang ke situ untuk menangkap dua orang
tawanan. Sejak menyaksikan ketujuh delapan belas orang
petugas keamanan itu mundur sambil lari terbirit birit, dia pun
tahu lawannya bukan seseorang yang gampang dihadapi, tapi
dia tidak menyangka kalau salah satu di antaranya memiliki
kepandaian silat yang sedemikian hebatnya.
"Ilmu pedang yang hebat!" terpaksa dia manggut-manggut
perlahan.

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang pulanglah!" bujuk Raja opas lagi lembut.
"Sreett!", mendadak opas muda itu melolos goloknya,
sambil dilintangkan di depan dada serunya lagi, "Kalian harus
ikut aku balik ke kantor!"
Leng-hiat kembali saling bertukar pandang dengan Raja
opas, kedua orang ini mulai kehabisan daya untuk
menghadapi pemuda yang keras kepala ini.
Leng-hiat segera melejit ke udara, sebuah serangan
dilancarkan ke atas golok yang berada dalam genggaman
opas muda itu. Siapa sangka tiba-tiba opas itu melejit pula ke tengah
udara lalu dari atas menuju ke bawah secara beruntun dia
melancarkan tiga buah bacokan kilat, semuanya tertuju ke
sepasang bahu lawannya.
Leng-hiat berseru tertahan, ia melolos pedangnya.
Begitu Leng-hiat mencabut pedangnya, serangan yang
dilancarkan opas muda itupun seketika buyar, tapi bukannya
mundur, opas itu malah merangsek maju, sambil menerobos
ke balik cahaya pedang, ia berniat menangkap lawannya.
Leng-hiat tak ingin membunuh opas muda ini, dia pun tak
ingin melukainya, untuk sesaat dia menjadi bingung dan tak
tahu bagaimana mesti menghadapi opas muda itu, empat
jurus berlalu dengan cepat.
Akhirnya dengan menggunakan gagang pedangnya Lenghiat
menyodok lambung opas muda itu dengan keras, opas itu
menjerit kesakitan, jatuh terduduk ke tanah dan mulai
muntah-muntah. "Kembalilah," kata Leng-hiat kemudian, "kau masih bukan
tandingan kami."
Sambil mengertak gigi opas muda itu merangkak bangun,
sambil mengayunkan kepalan dan kakinya kembali dia
melancarkan serangan.
Leng-hiat tidak menyangka kalau orang itu begitu keras
kepala, sambil berkelit hardiknya, "Jangan paksa aku
membunuhmu!"
"Aku tahu bukan tandinganmu, tapi aku tetap akan
menangkapmu!" tanpa merasa takut atau jeri sedikitpun opas
muda itu menerjang lebih nekad, "bila aku mati, akan muncul
beribu orang opas lain menangkapmu!"
Leng-hiat menghela napas panjang, gumamnya, "Aaai,
seandainya semua opas bersemangat macam kau, keadaan
pasti akan aman sentosa."
Dan sorot mata opas Tiuda itu tiba-tiba ia teringat sepak
terjang sendiri di masa muda dulu.
"Kwan Siau-ci!" tiba-tiba Raja opas berkata, "kalau kami
tidak bersalah, mau apa kau menangkap kami berdua?"
Walaupun dia berbicara dengan lemah lembut, namun di
tengah deru angin dan hujan yang deras, setiap patah katanya
dapat terdengar oleh Kwan Siau-ci dengan jelas.
Tampak Kwan Siau-ci melengak, sambil menghentikan
serangannya dia berseru, "Jadi kalian bukan orang yang
melukai petugas keamanan?"
Raja opas tertawa. "Kau punya lencana, aku pun punya!"
katanya sambil memperlihatkan lencana emasnya.
Begitu membaca tulisan yang tertera di atas lencana emas
itu, Kwan Siau-ci nampak sangat kaget, jeritnya tertahan,
"Jadi... kau adalah Li... Li...."
"Aku bukan bernama Li Li, namaku Li Hian-ih!"
Seketika itu juga semua keberanian dan kejantanan yang
dimiliki Kwan Siau-ci lenyap, seakan sedang memandang
idolanya, ia bergumam, "Kau sangat termashur!"
"Di kemudian hari kau pun akan termashur juga!" jawab
Raja opas hambar, kemudian sambil menuding ke arah Lenghiat,
lanjutnya, "Dia jauh lebih tersohor, Leng-hiat, salah satu
anggota empat opas kenamaan adalah dia."
Kwan Siau-ci jadi gelagapan sendiri, "Kau ... kau ... dia ...
dia ... aku tidak tahu kalau kalian berdua adalah..."
"Kami pun hanya manusia biasa," tukas Leng-hiat, "kami
tetap harus taat pada hukum dan peraturan, tapi dalam
peristiwa ini, Ong-suya telah melanggar hukum, maka kami
pun memberi sedikit pelajaran kepadanya."
"Sekarang kau sudah tahu duduk masalahnya," sambung
Raja opas sambil tertawa, "saudara cilik, bersediakah kau
melepaskan kami berdua?"
"Boleh, boleh...." sahut Kwan Siau-ci cepat begitu teringat
status sendiri, katanya lagi dengan serius, "Terus terang saja,
andai kalian berdua benar-benar telah melanggar hukum,
sekalipun aku bukan tandingan kalian berdua, aku tetap akan
mengadu jiwa membekuk kalian, cuma ... aku percaya penuh
dengan apa yang kalian ucapkan."
Raja opas saling bertukar pandang dengan Leng-hiat sambil
tertawa, ujar Leng-hiat kemudian, "Setelah hujan berhenti
nanti, aku ingin minta tolong engkoh cilik untuk menjadi
petunjuk jalan, aku hendak menyelidiki sebuah kasus."
"Kalian ingin kemana?" tanya Kwan Siau-ci sambil garukgaruk
kepala. "Perusahaan Sin-wi-piau-kiok!"
"Sin-wi-piau-kiok?" seru Kwan Siau-ci seperti terperanjat.
"Hahaha ... bagus, bagus, akhirnya Thian membuka matanya
juga!" "Ada apa?" tanya Raja opas tercengang.
"Akhirnya kalian muncul juga untuk membersihkan nama
Sin-wi-piau-kiok dari tuduhan, fitnahan dan korban kambing
hitam orang lain!"
"Fitnah" Korban kambing hitam?" Raja opas saling bertukar
pandang sekejap dengan Leng-hiat.
"Benar!" kata Kwan Siau-ci kegirangan, "Sin-wi-piau-kiok
dituduh membegal barang kawalannya hingga seluruh
anggota perusahaan dijebloskan ke dalam penjara, masakah
ini bukan fitnah?"
"Hubunganmu dengan ... Sin-wi-piau-kiok ...?" tanya Lenghiat.
Sambil membusungkan dada sahut Kwan Siau-ci, "Hidup
sebagai anggota Sin-wi, mati pun sebagai setan Sin-wi,
walaupun aku hanya petugas rendahan dalam perusahaan,
tapi budi yang diberikan Sin-wi-piau-kiok kepadaku lebih berat
dari bukit karang, selama hidup aku tak akan melupakannya!"
"Jadi kau ... kau masuk Lak-san-bun setelah kantor Sin-wipiaukiok disegel pemerintah?" selidik Raja opas.
"Benar!" jawab Kwan Siau-ci dengan suara lantang, "jika
Sin-wi-piau-kiok masih ada, buat apa aku keluar dari
perusahaan" Ko-kokcu, Tong-piauthau, ayahku ... mereka
semua mengenaskan..."
Bicara sampai di sini, seakan teringat sesuatu serunya,
"Kalian ... kalian bukan datang untuk menangkap orang
bukan?" "Kami datang untuk ... untuk menyelidiki kasus ini," jawab
Leng-hiat sambil membasahi bibirnya yang kering.
Kwan Siau-ci segera berpaling ke arah Raja opas. Usia Raja
opas yang sudah lanjut membuat ia merasa lebih dapat
dipercaya. Raja opas berdehem beberapa kali, kemudian katanya,
"Dalam kasus ini ... aku harus melakukan penyelidikan lagi,
ayahmu adalah..."
"Apa lagi yang harus diselidiki?" teriak Kwan Siau-ci sambil
mencak-mencak, "sudah jelas ini fitnah! Sudah jelas ada orang
mengkambing hitamkan mereka, apa lagi yang perlu dilacak"
Apalagi yang perlu diselidiki" Kalian ... kalian datang untuk
mencelakai Sin-wi-piau-kiok!"
"Jangan bilang begitu," bentak Leng-hiat cepat, "aku mau
menerima tugas menyelidiki kasus ini, alasan yang utama
adalah karena mendapat perintah dari Cukat-sianseng untuk
menyelidiki kejadian yang benar! Cukat-sianseng adalah
sahabat karib Sik Hong-sian, Sik-thayjin, sementara Sik-thayjin
punya hubungan akrab dengan Ko Jut-sik, Lokokcu
perusahaan Sin-wi-piau-kiok, kau sebagai orang Sin-wi,
tentunya sudah pernah mendengar kejadian ini bukan!"
Kena dihardik, Kwan Siau-ci berdiri tertegun, lama
kemudian baru ia bergumam, "Benar juga perkataanmu,
tapi..." "Tak perlu tapi-tapian!" tukas Leng-hiat lagi, "untuk
membersihkan nama dari segala tuduhan dibutuhkan bukti
dan fakta yang jelas, cepat bawa kami ke sana, dengan begitu
kita baru bisa menyingkap kejadian yang sebenarnya!"
Kwan Siau-ci membelalakkan matanya lebar-lebar,
mendadak ia menjatuhkan diri berlutut.
Segera Leng-hiat membangunkan dirinya, tapi Kwan Siau-ci
menolak untuk berdiri, katanya lagi, "Aku menjadi opas bukan
lantaran ingin naik pangkat atau menjadi kaya, aku hanya
berharap suatu saat fitnah yang dialamatkan ke Sin-wi-piaukiok
bisa dicuci bersih ... Toaya berdua, kalian adalah idola
setiap opas di kolong langit, semoga kalian bisa meneliti
kembali kasus ini serta memutuskan secara bijaksana, hamba
merasa berterima kasih sekali, terima kasih sekali bila kalian
bisa menuntaskan kejadian ini"
Raja opas menghela napas panjang. "Aaai, seandainya
benar-benar difitnah orang dan dijadikan kambing hitam, kami
pasti akan menegakkan keadilan dan kebenaran"
Sambil menggendong tangan dia mengawasi air hujan yang
masih turun dengan derasnya, lanjutnya, "Siapa membunuh
orang, dia harus membayar dengan nyawanya, siapa
berhutang, dia harus membayar dengan uang, bila ada yang
mencelakai nyawa mereka, aku pun akan membalaskan
dendam...."
Butiran air mulai muncul di ujung matanya, entah air mata,
entah air hujan"
Tentu saja Kwan Siau-ci tidak mengerti apa yang dia
maksudkan. Leng-hiat sendiri pun tidak mengerti.
Dia hanya merasa di balik perkataan si Raja opas terselip
arti lain, masalah apa artinya dia tak tahu, dia sama sekali tak
bisa membongkar simpul tali kecurigaan itu.
Ting Tong-ih, Tong Keng maupun Ko Hong-liang
melanjutkan perjalanan dengan menyaru.
Mereka telah terbiasa melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan. Ting Tong-ih yang bergabung dalam sindikat Busubun memang sudah terbiasa menyamar, baginya
penyamaran bukan sesuatu yang aneh. Sementara Ko Hongliang
serta Tong Keng pun seringkah menerima order
melindungi 'barang rahasia', jadi bagi mereka berdua
menyamar bukan sesuatu yang aneh.
Kali ini Ting Tong-ih menyamar menjadi seorang Tokou
(tosu wanita). Ko Hong-liang menyamar jadi petani, topi caping bambunya
dikenakan rendah sehingga menutupi separoh bagian
wajahnya. Yang paling hebat adalah Tong Keng, atas saran Ting
Tong-ih, dia menyamar menjadi seorang wanita desa yang
sedang hamil tua.
Sewaktu membantunya menyaru, Ting Tong-ih tertawa
tiada hentinya, begitu selesai membantu, kembali perempuan
itu tertawa cekikikan, lama kelamaan Tong Keng jadi
mendongkol, teriaknya jengkel, "Sudah, aku tak mau
menyamar lagi!"
"Penyamaran pun sudah selesai, mana mungkin kau bisa
berubah pikiran?" jawab Ting Tong-ih sambil tertawa.
"Kenapa kau selalu menertawakan orang!" protes Tong
Keng makin jengkel.
Mendengar itu, Ting Tong-ih tertawa makin terpingkal,
serunya, "Coba kau lihat, tak perlu menyamar pun cara
bicaramu sudah mirip"
Tong Keng semakin jengkel, Ting Tong-ih tahu dia tak
boleh menertawakan lebih jauh, maka sambil menahan rasa
gelinya dia berkata, "Padahal penyamaranmu semakin mirip,
keselamatan kita semua makin aman, kenapa kau malah
mendongkol."
"Sudah, jangan bergurau lagi," tukas Ko Hong-liang
kemudian, "sebentar hujan akan turun, ayo kita berangkat,
aku berharap sebelum hujan turun sudah tiba di kantor
perusahaan."
Mendengar itu, dengan berat hati terpaksa Tong Keng
bangkit berdiri, kembali Ting Tong-ih menyerahkan sebuah
saputangan, katanya sambil menahan tertawa, "Ikatkan di
atas lehermu, supaya orang tidak melihat bijimu itu...."
Kata bijimu! tak sanggup diucapkan lagi, sebab dia sudah
keburu tertawa cekikikan.
Tong Keng menerima saputangan itu dengan jengkel,
padahal dalam hati kecilnya dia sama sekali tak marah.
Walaupun ia mengenakan pakaian agak kasar, namun di
balik baju itu dia memakai pakaian dalam milik Ting Tong-ih
yang terbuat dari sutera, nyaman sekali ketika dikenakan.
Apalagi sewaktu terbayang bagaimana pakaian dalam itu
pernah dikenakan Ting Tong-ih, satu ingatan aneh segera
melintas dalam benaknya.
Tak lama setelah mereka meninggalkan gardu, hujan pun
turun dengan derasnya.
Padahal tak lama setelah hujan turun, Li Hian-ih dan Lenghiat
baru tiba di gardu itu.
Kehidupan manusia terkadang memang begitu, hanya
terlambat satu langkah, segalanya bisa berubah.
Hujan turun sangat deras, bangunan gedung Sin-wi-piaukiok
yang di masa lalu tampak mentereng dan megah, kini
terasa sepi, kusam dan kotor.
Mengawasi pintu gerbang perusahaannya, sepasang mata
Ko Hong-liang berubah merah.
Di tempat itu bukan saja merupakan tempat tinggalnya, di
situlah kehidupannya berkembang, dia telah mengorbankan
seluruh pikiran dan tenaganya untuk perkembangan
perusahaan, tapi pada akhirnya bukan kehormatan yang
diperoleh, melainkan penghinaan dan kenistaan.
Tak heran hatinya bergolak setelah muncul di depan
rumah, ia merasa darah dalam tubuhnya bergelora, dia
seakan-akan terbayang kembali masa jayanya di waktu silam.
Begitu pula dengan Tong Keng.
Semua peristiwa, semua kejadian yang pernah dialaminya
di tempat itu satu per satu melintas kembali dalam benaknya,
semua kegembiraan, kesedihan, rasa bangga berkecamuk
menjadi satu....
Mendadak seseorang menarik tubuh mereka berdua,
ternyata Ting Tong-ih yang menarik mereka.
"Tempat ini kelewat sepi," bisik Ting Tong-ih sambil


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggeleng kepala.
Suasana di sekeliling Sin-wi-piau-kiok memang terasa
hening dan sepi, kecuali suara hujan, gonggongan anjing pun
tak terdengar. Saat itu mereka bersembunyi di balik sebuah dinding rumah
di ujung jalan.
"Bukan cuma suasana piaukiok yang sepi, seluruh jalanan
ini seakan jalanan mati saja, sesosok bayangan manusia pun
tidak nampak," sambung Tong Keng.
"Setelah tahu begini, kau masih tetap akan ke sana!" kata
Ting Tong-ih sambil menatapnya dengan menggunakan
sepasang matanya yang jeli.
"Kalau memang seluruh kota berada dalam keadaan hening
dan bukan cuma kantor piaukiok saja yang sepi, apa lagi yang
mesti kita takuti!"
"Setelah bersusah payah melarikan diri dari dalam penjara,
memangnya kau ingin ditangkap kembali?"
Tiba-tiba Tong Keng terbayang kembali masa kehidupannya
sewaktu berada dalam penjara, masa yang susah, begitu
tersiksa bagai hidup dalam neraka.
Lama sekali dia termenung, kemudian baru bertanya,
"Maksudmu di sekitar sini ada jebakan?"
"Kemungkinan besar."
Tong Keng segera tertawa dingin. "Masa pihak pejabat
negara telah mengosongkan daerah seluas tiga empat buah
jalanan hanya untuk menghadapi kita bertiga?"
"Memangnya tidak mungkin?" Ting Tong-ih balik bertanya
sambil menatapnya tajam.
Ketika merasa tempat yang paling ingin disinggahi ternyata
berada dalam pengawasan pihak lawan, timbul perasaan
gusar bercampur mendongkol dalam hati Tong Keng, katanya
lagi, "Masa di tengah hujan sederas inipun ada orang yang
mengawasi tempat ini?"
"Seandainya kau sebagai mereka, dalam keadaan seperti ini
kau pergi tidur atau justru meningkatkan kewaspadaan dan
penjagaan?"
"Tidur, maknya anjing!" umpat Tong Keng gusar, "aku tidak
takut pada mereka, aku akan ke sana, bila kau takut, tunggu
saja di sini!"
Ting Tong-ih sama sekali tidak gusar, ia hanya mencibirkan
bibir sambil tertawa dingin.
"Apa yang dikatakan nona Ting tepat sekali!" tiba-tiba Ko
Hong-liang ikut menyela.
Tong Keng melengak, ia segera menyadari akan
kecerobohan serta kekasaran sikapnya barusan, dengan
perasaan menyesal diliriknya Ting Tong-ih sekejap, tampak
paras muka perempuan itu putih dan sangat pucat, wajahnya
nampak sangat murung.
Tiba-tiba muncul sesuatu perasaan di dalam hati Tong
Keng, suatu perasaan yang sangat aneh.
Perasaan itu memang aneh sekali ... perasaan aneh yang
pernah dirasakan ketika pada suatu malam yang dingin,
berada di sebuah dusun kecil dan sepi, membuat api unggun
sambil menghangatkan sepoci arak.
Tong Keng agak tersipu, bisiknya tergagap, "Nona Ting,
aku ... aku... barusan..."
Waktu itu mereka bertiga bersembunyi di sebuah lekukan
dinding tembok rumah yang sempit sehingga tubuh mereka
saling berdempetan.
Ting Tong-ih tertawa, dengan tangannya yang halus ia
betulkan letak saputangan yang menutupi jakunnya,
membetulkan topi lebar yang dikenakan Ko Hong-liang sambil
berbisik, "Tak ada salahnya untuk lebih berhati-hati bukan."
Meskipun apa yang dilakukan perempuan itu barusan tak
lebih hanya membetulkan dandanan mereka, namun bagi
Tong Keng hal itu justru membuatnya terharu, hampir saja ia
tak mampu mengendalikan diri.
"Sekalipun harus berhati-hati, toh kita tak bisa berdiri
menderita terus menerus di bawah curahan hujan deras!" kata
Ko Hong-liang. "Tentu saja tak akan menderita selama hidup," Ting Tongih
tersenyum, "aku yakin dan percaya kalian tak bakal ketimpa
kemalangan."
"Kau punya akal?" bisik Ko Hong-liang ketika menyaksikan
wajah murung perempuan itu.
"Kalian berdua tetap nekad pulang meski tahu di sini ada
ancaman bahaya besar, yang satu demi menengok rumah,
yang lain demi mengatur anggota keluarganya, dua tujuan
yang sangat mulia, dengan membawa perasaan semacam ini,
mana mungkin kalian tertimpa bencana?"
Tong Keng merasa hatinya amat lega setelah mendengar
perkataan itu, dia mengangguk berulang kali.
Sementara Ko Hong-liang merasa berterima kasih sekali
atas dukungan perempuan itu, pikirnya, "Tapi bagaimana pula
dengan Kwan Hui-tok" Bukankah Kwan-toako pun berjuang
demi kebenaran dan keadilan" Bahkan selain cerdas,
kungfunya sangat hebat, tapi ... bukankah pada akhirnya dia
pun tertimpa nasib malang?"
Dengan penuh rasa terharu Tong Keng mengawasi wajah
Ting Tong-ih. Dalam pada itu Ko Hong-liang telah bergumam, "Hujan
telah berhenti, rasanya semakin sulit menyusup ke dalam.
Nona Ting, mungkin gara-gara urusan ini kami menyeret
dirimu ke dalam keadaan yang serba tak pasti"
"Kedatangan ku toh bukan melulu ingin menemani kalian,"
sela Ting Tong-ih sambil tertawa, "aku pun sedang mencari
seseorang"
"Siapa yang sedang kau cari?"
"Sebenarnya di kota ini terdapat berapa banyak perusahaan
ekspedisi?" tanya Ting Tong-ih dengan kening berkerut.
Sebelum Ko Hong-liang sempat menjawab pertanyaan itu,
mendadak terdengar Tong Keng berseru, "Aaah, aku punya
akal! Aku punya akal"
oooOOooo 27. Hujan Membasahi Daun Pisang.
Baru saja Tong Keng berteriak setengah jalan, Ko Hongliang
telah menutupi mulutnya dengan tangan, lalu sambil
berkerut kening tegurnya, "Apa-apaan ini" Kenapa berkoarkoar
dengan suara keras" Memangnya mau mengundang
perhatian lawan" Kalau sampai ketahuan, biar kau punya akal
pun percuma."
Sesaat kemudian baru ia menarik kembali tangannya yang
menyumbat mulut rekannya itu.
Tersipu-sipu Tong Keng berbisik, "Maaf ... maafkan aku"
"Apa akalmu?" tanya Ting Tong-ih kemudian.
"Teringat aku sekarang, dulu ketika sedang bermain
dengan Siau-sim dan Siau-tan-kong (ketapel cilik), kami
pernah minta bantuan paman kedua Seng Ji-siok untuk
membuatkan sebuah lubang besar, rencananya ingin
digunakan untuk bersembunyi selama beberapa hari sambil
menakut-nakuti orang dewasa, kemudian secara diam-diam
kami melanjutkan penggalian gua itu hingga berhubungan
dengan sumur kering di belakang gunung-gunungan halaman
belakang rumah"
Bicara sampai di situ ia berhenti sejenak, kemudian dengan
penuh semangat lanjutnya, "Asal kita bisa menyusup ke
belakang dan masuk ke dalam kebun pohon pisang, maka
secara diam-diam kita bisa masuk ke halaman belakang
piaukiok!"
"Bagaimana ceritanya" Kenapa secara tiba-tiba kau teringat
akan hal ini?" tanya Ting Tong-ih sambil berpaling.
"Ketika memandang wajahmu tadi, aku jadi teringat akan
dirinya..." tiba-tiba ia menutup mulut dan menghentikan
perkataannya. Rupanya sewaktu Tong Keng menyaksikan raut muka Ting
Tong-ih yang basah oleh air hujan, tanpa terasa dia terbayang
kembali kenangannya di masa lalu.
Waktu itupun hujan sedang turun dengan derasnya,
selewat dua hari dia akan mengikuti Kokcu pergi mengawal
barang. Siau-sim sambil memainkan kuncirnya tiba-tiba bertanya,
"Engkoh Tong, setelah kepergianmu, apakah kau akan selalu
teringat akan diriku?"
Sejak kecil Tong Keng bermain bersama Siau-sim, dia tak
menyangka akan menghadapi pertanyaan seperti itu, maka
sahutnya sambil tertawa, "Tentu saja akan selalu teringat,
bahkan teringat setengah mati!"
"Sekarang saja kau belum pergi, darimana tahu kalau
sepanjang jalan masih akan teringat diriku?"
Tong Keng tertegun, dia sudah terbiasa bermain dengan
gadis ini sehingga kurang begitu paham apa yang menjadi
pikiran gadis itu, katanya kemudian, "Siau-sim, aku selalu
menganggap kau sebagai adik kandungku sendiri, tentu saja
aku akan selalu merindukan dirimu."
Siau-sim segera melepaskan tangannya, dengan uringuringan
dia berseru, "Aku bukan adik kandungmu, aku tak
mau kau hanya menganggap aku sebagai adikmu saja"
Siapa tahu perkataan itu benar-benar telah melukai
perasaan Tong Keng, sebab sejak kecil dia memang hidup
menumpang dalam perusahaan Sin-wi-piau-kiok, meskipun
saat ini jabatannya sudah naik menjadi seorang piauthau,
namun ia selalu merasa rendah diri, merasa status dan
posisinya tidak sebanding dengan status putri seorang Kokcu,
tidak pantas mengangkat saudara dengan putri
kesayangannya. Karena itu setelah mendengar perkataan itu, jawabnya
cepat, "Aku tahu, aku memang tak sesuai untuk menjadi
saudaramu, lain kali kau tak perlu datang mencariku lagi."
Dengan gelisah bercampur cemas Siau-sim segera
menghentakkan kakinya sambil berseru, "Aduuh ... kenapa sih
orang ini?"
Ia segera berputar ke hadapan Tong Keng, dengan wajah
bersemu merah katanya lagi, "Usia kita berdua sudah tidak
kecil lagi ..."
Bisikannya semakin lirih dan akhirnya tenggelam ditelan
suara hujan. Tong Keng semakin tak senang. "Ya, betul, usia kita
memang sudah tak muda lagi, aku memang tidak sepantasnya
berkumpul terus denganmu."
Dengan semakin jengkel Siau-sim mendepakkan kakinya ke
tanah, keningnya berkerut kencang. "Bagaimana sih kamu ini,
aku kan cuma bertanya kepadamu, kenapa kau malah
bersikap kasar kepadaku?"
"Tapi aku toh bersikap sangat baik kepadamu!" seru Tong
Keng tidak habis mengerti.
"Kenapa kau tidak mencari ayahku dan bicara terus terang
dengannya," bisik Siau-sim kemudian dengan setengah
berbisik. "Bicara" Apa yang dibicarakan?" Tong Keng semakin
termangu. "Katakan saja apa yang ingin kau sampaikan!" seru Siausim
sambil mengerling sekejap ke arahnya.
Seakan baru menyadari akan sesuatu. Tong Keng segera
berseru, "Ooh, kau maksudkan persoalan itu..."
Setelah berhenti sejenak, ujarnya lagi, "Tapi ayahmu sudah
tahu kalau hubungan kita lebih akrab daripada hubungan
persaudaraan."
"Dasar bodoh"
"Aku memang bodoh, tapi aku..." sambil menggeleng
kepala berulang kali Tong Keng akhirnya bertanya,
"sebenarnya kau suruh aku membicarakan masalah apa
dengan Kokcu?"
Siau-sim menghela napas sedih, gadis ini selalu bersikap
gembira dan lincah, ketika melihat secara tiba-tiba nona itu
menghela napas sedih, Tong Keng merasa hatinya makin
tercekat, tapi rasa bingungnya juga semakin bertambah.
Akhirnya sambil menunjuk ke halaman bagian belakang,
Siau-sim berkata lagi, "Di sana ada sebuah gua yang tembus
ke dunia luar, gua itu kita gali bersama"
"Si ketapel kecil juga turut ambil bagian sela Tong Keng
cepat. Kembali Siau-sim mengerling sekejap ke arahnya sambil
menghela napas sedih, saat itulah Tong Keng ikut merasakan
hatinya tercekat.
"Jika kau jahat kepadaku, melupakan aku, tanah itu akan
mengubur tubuhku seorang, aku akan terkubur selamanya di
situ." Selesai berkata dia pun beranjak pergi meninggalkan Tong
Keng yang masih berdiri termangu.
Sejak hari itu Tong Keng tak pernah berjumpa lagi dengan
Siau-sim. Suatu saat ia mendengar istri Kokcu berkata kepada
Seng Yong, paman Seng, "Entah kenapa belakangan ini Siausim
selalu bersembunyi di dalam kamarnya sambil menangis?"
Mendengar pembicaraan itu dia semakin tak berani mencari
gadis itu lagi, namun perasaannya terasa masgul, murung dan
sangat tersiksa.
Dan sekarang setelah menyaksikan wajah Ting Tong-ih
yang putih, melihat hujan yang turun dengan derasnya, tanpa
terasa ia teringat akan Siau-sim dan dia pun teringat dengan
gua bawah tanah itu.
Dalam pada itu Ting Tong-ih hanya membungkam,
wajahnya masih senyum tak senyum sehingga sukar untuk
menilai apakah ia sedang bergembira atau tidak.
"Mari kita coba melalui lubang gua itu," terdengar Ko Hongliang
berkata kemudian.
Dengan menerjang hujan deras, ketiga orang itu
menerobos ke dalam kebun pisang yang berada di kebun
bagian belakang.
Ketika air hujan jatuh menimpa di atas daun pisang,
bergemalah suara dentingan nyaring, bila didengarkan dengan
seksama, suara itu mirip sekali dengan sebuah irama lagu
yang merdu. "Merdu amat suaranya," tiba-tiba Ting Tong-ih berbisik.
"Dulu aku pun seringkah menikmati suara ini," sahut Tong
Keng tanpa sadar.
"Menikmati bersama siapa?"
Tong Keng terperanjat, dia tak menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu, segera dia berpaling memandang
wajah Ting Tong-ih, untung perempuan itu tidak menunjukkan
perasaan gusar.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada dimana gua itu?" terdengar Ko Hong-liang bertanya
pula. "Ada di sana!" sahut Tong Keng sambil menunjuk ke depan
sana. Beruntung gua itu meski banyak yang sudah runtuh namun
masih bisa dilalui, kecuali beberapa ekor cacing, di sana tak
nampak bayangan apapun, jangan kan manusia, tikus tanah
pun tak ada yang kelihatan.
Setelah merangkak di dalam gua yang lembab, akhirnya
mereka bertiga muncul di sebuah sumur kering, di atas sumur
terdapat sebuah penutup.
Baru saja mereka bertiga menyingkirkan penutup sumur itu
dan berusaha merangkak keluar, mendadak tampak seseorang
berdiri di tepi sumur sambil mengangkat kapaknya dan siap
dibacokkan ke bawah.
Orang itu mengawasi mereka dengan mata melotot besar,
seolah-olah baru saja melihat setan.
Sementara mata kapaknya bagaikan selapis awan hitam
menyelimuti angkasa, membuat orang susah untuk
menghindar. Di antara ketiga orang itu, ilmu silat dari Ko Hong-liang
terhitung paling tangguh, dia pula yang pertama kali muncul
di mulut sumur kering itu.
Tatkala orang itu mengayunkan kapaknya melancarkan
bacokan, dengan cepat ia sambar sebiji batu bata dari
samping sumur dan menangkisnya.
"Kraaaak!", batu bata itu terbelah menjadi dua sedang
mata kapak masih melanjutkan bacokannya ke bawah.
Ko Hong-liang segera menggerakkan potongan batu bata
yang ada di tangan kiri dan kanannya untuk menangkis sekuat
tenaga, batu bata itu segera menyelinap melalui kedua sisi
mata kapak kemudian menjepitnya dengan kuat.
Begitu mata kapak terjepit, senjata itu tak sanggup
digerakkan lagi.
Terdengar orang itu membentak gusar, dari pinggangnya
kembali ia melolos sebilah kapak yang lain dan siap
dibacokkan ke bawah.
Dalam pada itu Tong Keng sudah melihat jelas siapa
penyerang itu, segera teriaknya tertahan, "Paman Yong!"
Agaknya orang itupun telah melihat jelas siapa yang
datang, segera gumamnya, "Setan?"
"Kami bukan setan," kata Ko Hong-liang sambil
menghembuskan napas panjang, "Yong-sute, aku yang
datang." Sambil merintih tertahan Yong Seng membuang kapaknya
ke tanah dan mulai mengucurkan air mata, air mata yang
berbaur dengan air hujan, dia peluk Ko Hong-liang,
memeluknya erat-erat dan mulai terisak dengan suara keras.
Di bawah bimbingan Yong Seng, Ko Hong-liang sekalian
memasuki sebuah ruang samping untuk bertukar pakaian,
sepanjang jalan Yong Seng pun menceritakan kisah
perusahaan Sin-wi-piau-kiok sepeninggal mereka.
"Setelah terjadi peristiwa itu, ada sebagian anggota yang
meninggalkan perusahaan karena kuatir terlibat, kemudian
setelah pihak petugas keamanan datang memeriksa serta
menyegel perusahaan, lagi-lagi ada sebagian orang yang
mengundurkan diri."
"Mereka tak bisa disalahkan," kata Ko Hong-liang sambil
menghela napas, "bencana ini datang secara mendadak, siapa
sih yang mau terlibat dalam musibah semacam ini?"
"Puluhan hari kemudian, sekawanan piausu setia pun mau
tak mau harus pergi meninggalkan perusahaan, mereka
didesak oleh kebutuhan kehidupan sehingga mesti berusaha
mencari pekerjaan lain. Yang paling keparat adalah Lipiauthau,
dia menghubungi sisa anak buah kita, merampok
uang simpanan yang tersisa dalam perusahaan, kemudian
dengan menyandang nama Hau-wi-piau-kiok, dia mulai
membuka usaha ekspedisi di lain tempat, selain itu dia pun
mulai menyiarkan fitnah, katanya kau ... katanya kau..."
"Dia mengatakan aku kenapa?" Ko Hong-liang tertawa
getir, "sudahlah, dia suka bicara apa, biarkan saja dia bicara
sepuasnya."
"Dia bilang kau adalah orang yang suka mencari
menangnya sendiri, tak bisa diajak bicara, keras kepala dan
semau gue, dia pun menuduh kau hidung bangor, suka main
perempuan, suka berjudi bahkan bersekongkol dengan kaum
bandit untuk melakukan kejahatan"
Mendengar sampai di sini Ko Hong-liang tak kuasa
menahan diri lagi, serunya, "Aku adalah penanggung jawab
perusahaan ini, kenapa aku tak boleh mengambil keputusan
sepihak jika menghadapi urusan penting" Untuk keperluan
negosiasi dengan orang, demi menjalin hubungan dengan
langganan, apa salahnya aku menjamu mereka dengan segala
macam hiburan" Kalau hanya berdasarkan beberapa hal ini
lantas menuduh aku adalah manusia berdosa, hmmm"
"Maka dari itu anggota perusahaan pun ada yang pergi,
ada pula yang membubarkan diri"
"Mana hujin" Bagaimana dengan Siau-sim dan Sin-pak"
tanya Ko Hong-liang tegang.
"Mereka semua sehat-sehat saja," bisik Yong Seng lirih.
Begitu mendengar jawaban itu, Ko Hong-liang serta Tong
Keng segera merasa sangat lega.
"Bagaimana dengan si ketapel cilik?" tanya Tong Keng
kemudian. Yong Seng mendengus dingin. "Bajingan ini benar-benar
tak tahu diri," katanya, "dalam keadaan seperti ini, dia malah
justru bekerja sebagai seorang petugas keamanan
pengadilan."
Sekilas perasaan kecewa segera melintasi wajah Tong
Keng. Segera Ko Hong-liang berkata, "Setiap orang punya
cita-cita dan tujuan hidup yang berbeda, kita tak boleh
memaksakan kehendak, biarkan saja dia menentukan pilihan
sendiri." Walau begitu tak urung muncul juga perasaan kehilangan
dalam hati kecilnya. Sebab dia pun menyukai pemuda yang
bernama 'ketapel cilik' ini, bahkan berniat menjodohkan
putrinya kepada orang itu.
Tiba-tiba terdengar Ting Tong-ih menyela, "Sewaktu
melihat kemunculan kami pertama kali tadi, kenapa sikapmu
macam bertemu dengan setan saja?"
Yong Seng memperhatikan sekejap wajah ketiga orang itu,
kemudian sahutnya sambil tertawa getir, "Beberapa hari
belakangan, di luaran sana tersiar berita yang mengatakan
kalian ... kalian sudah mati terbunuh di dalam penjara"
Seseorang yang dikabarkan telah mati terbunuh secara
tiba-tiba muncul di halaman yang sepi, di tengah hujan yang
sangat lebat, bahkan muncul dari bawah sumur kering,
bayangkan sendiri, siapa yang tak terperanjat dibuatnya"
"Dalam beberapa hari belakangan, Li-piausu dengan
membawa tiga empat orang datang membuat keonaran,
mereka makan minum semaunya sendiri di sini, Oh-piautau
coba membujuk mereka, bukan saja bujukannya tak digubris,
dia malah mati terbunuh secara mengenaskan, selain itu Siaukim,
dia ..." "Kenapa dengan Siau-kim?" tanya Tong Keng cemas. Siaukim
adalah teman bermain Siau-sim ketika masih kecil dulu.
"Dia ... dia telah dinodai oleh beberapa orang manusia
berhati binatang itu," kata Yong Seng sedih.
"Binatang!" bentak Ko Hong-liang penuh amarah.
"Sstt, jangan keras-keras" cegah Yong Seng cepat, "saat ini
mereka masih berada dalam ruang loteng sebelah timur."
"Mau apa dia datang kemari?" tanya Ko Hong-liang gusar.
"Dia memaksa Hujin untuk menyerahkan Sin-wi-piau-kiok
kepadanya, selain itu dia pun memaksa Hujin untuk
mengawinkan Siau-sim dengannya, dia bilang dengan begitu
nama perusahaan Sin-wi-piau-kiok pasti akan berjaya kembali
seperti sedia kala"
"Dia berani!"
"Tentu saja dia berani. Selama ini dia memang selalu
berbuat begitu. Bahkan dia memaksa Hujin untuk
menyerahkan suatu benda kepadanya"
"Benda apa?"
"Aku sendiri pun kurang jelas," sahut Yong Seng dengan
wajah tak mengerti, "kelihatannya mereka sedang mencari...
mencari selembar kain, selembar kain pembungkus mayat."
"Kain pembungkus mayat?" Ko Hong-liang ikut bingung
dibuatnya. "Kelihatannya seperti kain pembungkus jenazah Suhu."
Perlu diketahui, Yong Seng dan Ko Hong-liang berasal dari
satu perguruan yang sama, Suhu mereka tentu saja adalah
pendiri perusahaan ekspedisi Sin-wi-piau-kiok, Ko Hway-sik.
"Mereka ... buat apa mereka mencari kain pembungkus
mayat itu?" tanya Ko Hong-liang keheranan.
"Aku sendiri pun kurang tahu, cuma ... kelihatannya
mereka sangat tergesa-gesa ingin mendapatkannya, bahkan
tanpa segan menggunakan segala cara untuk mencari dan
menggeledah, bukan hanya lemari saja yang dibongkar, tanah
pun ikut digali, konon mereka bersumpah tak akan berhenti
mencari sebelum menemukan kain itu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, tanyanya, "Sebenarnya
terdapat rahasia apa sih dalam kain pembungkus mayat Suhu"
Kenapa Li Siau-hong dan para petugas keamanan mencarinya
dengan serius?"
"Aku sendiri pun kurang tahu."
"Jadi ada pihak pembesar yang datang menanyakan soal
kain pembungkus mayat itu?" tiba-tiba Ting Tong-ih bertanya.
Yong Seng mengangguk membenarkan.
"Setiap kali pertanyaan itu selalu diajukan oleh pembesar
negara, kemudian datang seseorang bermarga Lu, konon dia
adalah pembesar karesidenan, dia mulai memeriksa orang
dengan menggunakan alat siksaan, tapi kami semua memang
tak tahu, bagaimana mungkin bisa menjawab" Terakhir
kelihatannya dia percaya kalau kami memang tidak tahu dan
membebaskan kami semua."
"Kenapa di luaran sana kelihatan amat sepi macam kuburan
saja, seorang manusia pun tak terlihat?" kembali Ting Tong-ih
bertanya. "Padahal di luar sana selalu dijaga orang secara ketat,
biasanya mereka bersembunyi di suatu tempat yang sangat
rahasia sehingga sulit diketahui orang lain, mengenai anggota
yang lain"
Dia tertawa sedih, setelah menarik napas panjang
lanjutnya, "Besok adalah saat menyerahkan uang pajak untuk
kedua kalinya, dari sepuluh rumah ada sembilan di antaranya
yang tak sanggup membayar pajak, bagaimana mungkin
suasana tidak sepi" Penduduk kota mulai melimpahkan semua
kekesalannya kepada perusahaan kita, mereka menuduh garagara
ulah kita maka semua orang tertimpa sial. Maka begitu
kami muncul di jalan, orang-orang pun mulai menimpuk kami
dengan batu Sekali lagi" Ko Hong-liang menghela napas
panjang. Yong Seng memandangnya sekejap, lalu ujarnya lagi, "Tadi
Li Siau-hong masih berada dalam ruang utama, dia sedang
memaksa Hujin untuk mengawinkan Siau-sim dengan
dirinya" "Kau ... kenapa tidak kau katakan sejak tadi?" seru Ko
Hong-liang sambil mencengkeram kerah bajunya.
Yong Seng sama sekali tidak meronta, dia pun tak nampak
emosi atau melakukan sesuatu.
Perlahan-lahan Ko Hong-liang mengendorkan kembali
tangannya, ia berkata, "Jisute, kau sudah berubah!"
Yong Seng hanya tertawa, dia sama sekali tidak
menyangkal maupun membantah.
"Dulu kau adalah orang yang paling setia, paling emosi dan
berangasan," kata Ko Hong-liang sedih, "tapi sekarang kau
berubah jadi dingin, hambar dan sama sekali tanpa emosi."
"Tapi aku tetap tinggal di sini, sama sekali tidak
mengkhianati dirimu," kata Yong Seng hambar, "ketika kau
diburu pasukan keamanan, kemudian tersiar berita tentang
kematianmu, banyak saudara kita yang putus asa dan pergi
meninggalkan perusahaan, tapi aku tetap tinggal di sini,
dibandingkan dengan mereka aku toh tetap jauh lebih baik"
"Aku tahu," Ko Hong-liang menundukkan kepala, "sekarang
kita sudah tak mungkin berjaya lagi seperti dulu, tiada
kebanggaan, tiada kehormatan ... sekarang ... sekarang aku
tak lebih hanya seorang narapidana yang sudah divonis
hukuman mati!"
Tiba-tiba Yong Seng menggenggam tangannya erat-erat,
sepatah demi sepatah ujarnya, "Toasuheng, selama beberapa
hari belakangan, betul aku memang sangat kecewa, sangat
putus asa, tapi aku tak pernah melepaskan niatku, tak pernah
melepaskan harapanku, itulah sebabnya aku masih tetap
bertahan di sini menanti kedatanganmu, aku tahu tak ada
gunanya hanya mengandalkan kekuatanku seorang, tapi
paling tidak masih bisa membuat Li Siau-hong, Lu Bun-chang
merasa keder, merasa ragu berulah semau sendiri!"
Setiap patah katanya dia ucapkan dengan tulus dan jujur,
dari situ bisa dilihat betapa setianya orang ini pada
perusahaan. Dengan sangat terharu Ko Hong-liang mengawasinya, air
matanya kembali jatuh berlinang.
"Sudah saatnya kita tengok keadaan Ko-hujin," bisik Ting
Tong-ih tiba-tiba.
Ko Hong-liang dan Yong Seng segera tersentak kaget dan
menuju ke ruang tengah.
Tong Keng mengikut di belakangnya, sinar tajam
memancar keluar dari matanya, setajam sinar bintang di
teneah malam. Sahabat, hanya di saat bersama mereka baru merasa
gembira, merasa bersemangat, lalu kenapa terkadang harus
berpisah, harus berselisih paham"
oooOOooo Bab VII. TEKA-TEKI KAIN PEMBUNGKUS MAYAT.
28. Kain Pembungkus Mayat.
Li Siau-hong tidak pendek tapi sangat gemuk, keningnya
menonjol tinggi, dagunya maju ke depan membuat hidungnya
kelihatan pesek dan amblas ke dalam, persis seperti manisan
yang menempel di atas kue gepeng.
Biarpun hidungnya tidak mancung, namun di saat sedang
bangga, sedang gembira, dia akan menganggap hidungnya


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mancung sekali.
Saat itu dia sedang berbicara dengan penuh semangat,
penuh kebanggaan.
"Enso, kalau kau berusaha menghindar terus dengan
berbagai alasan, jangan salahkan kalau aku tak berlaku
sungkan lagi kepadamu. Kalau bukan aku yang mengurusi
tempat ini, siapa yang bakal mengurusinya" Aku sangat hapal
dan kenal baik dengan para pejabat negara, selama beberapa
tahun terakhir pun sudah mengawal berpuluh kali barang
berharga, semua kepandaian yang dimiliki Ko-kokcu sudah
kupelajari, bila kau menyerahkan perusahaan ini kepadaku,
paling tidak kau masih bisa menikmati kehidupan yang aman,
nyaman dan tenteram selama beberapa tahun."
"Sayangnya aku tak berani mengambil keputusan," jawab
Ko-hujin dengan air mata bercucuran, "aku mesti menunggu
sampai Ko Hong-liang balik."
"Ko Hong-liang?" Li Siau-hong tertawa dingin, "dia sudah
mampus, kau masih ingin menunggunya" Hmmm, hmmm,
untuk menikahkan putrimu kau bilang harus menunggunya,
menyerahkan perusahaan Sin-wi-piau-kiok kepadaku juga
dibilang menunggunya, kelihatannya kau memang sengaja
hendak mempermainkan aku?"
"Li-susiok, jangan bicara kasar kepada ibuku," sela Ko Siausim
yang ada di sisi ibunya gusar, "dulu ... dulu kau tak berani
berbuat begitu!"
"Dulu" Itu cerita dulu!" ujar Li Siau-hong sambil tertawa,
"waktu itu aku ... aku hanya seorang piausu tak bernama di
bawah perintah Ko-kokcu, mana mungkin aku punya
kesempatan untuk bicara" Tapi sekarang ... asal kau menikah
denganku, ibumu berarti ibu mertuaku, tentu saja aku akan
bersikap baik kepadanya, aku akan melakukan apapun sesuai
keinginannya, bagaimana menurut kau?"
Saking jengkelnya Ko Siau-sim sampai tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun.
Di meja lain duduk dua orang lelaki kekar, salah seorang di
antaranya segera berseru, "Lo-li, tak usah membuang banyak
waktu dan tenaga, untuk menghadapi seorang cewek kenapa
mesti repot-repot" Mending kau naiki dulu badannya, kalau
nasi sudah jadi bubur masa dia tak akan menurut?"
Seorang rekannya yang lain tertawa tergelak, serunya pula
dengan suara yang menyebalkan, "Mendingan tua muda
disikat semuanya, terus terang yang muda masih kenyal, yang
tua pun masih mulus kulitnya, kalau kau tak mau, biar aku
Tan Lui yang menyikat keduanya!"
Dalam ruang tengah hadir seorang pelayan tua, saat itu
dengan mata merah padam menerkam ke depan sambil
berteriak keras, "Kalian semua memang telur busuk sialan!
Jaga mulut kalian ... aku... aku..."
Sambil menerkam maju, dia mengayunkan kepalannya
memukul kedua orang itu.
"Sin-pek!" jerit Ko-hujin.
Sebenarnya kungfu yang dimiliki Sin-pek terhitung cukup
tangguh, namun baru maju beberapa langkah, ia sudah disapu
Li Siau-hong hingga jatuh terjerembab.
Dua orang petugas yang lain segera menerkam ke muka
sambil mengayunkan kepalan dan kakinya, menghajar pelayan
itu habis-habisan.
"Dasar keparat!" umpat salah seorang lelaki itu sambil
mencabut senjatanya, "kau ingin cari mampus!"
Senjata itu siap ditusukkan ke bawah.
"Sin-pek!" jerit Ko Siau-sim sambil mencabut pedangnya
dan maju ke depan.
"Traaang!", tusukan itu segera ditangkis.
Lelaki itu menyeringai licik, tiba-tiba dia mengegos ke
samping, lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk meremas
payudara sang nona.
Merah padam wajah Siau-sim lantaran jengah, dengan
gusar dia mundur ke belakang, sedemikian mendongkolnya
gadis itu hingga ujung pedangnya kelihatan gemetar keras.
"Nyo Beng-hoa, apa-apaan kau?" bentak Li Siau-hong tak
senang. "Ada apa" Meremasnya sebentar juga tak boleh?" sahut
lelaki itu sambil tertawa.
"Kau berani!"
"Hahaha!" Nyo Beng-hoa tertawa cabul, "kau tak perlu
berlagak sok suci, masih ingat beberapa hari berselang"
Bukankah kau pun ikut menaiki badan Siau-kim, si budak cilik
itu?" Paras muka Li Siau-hong sebentar memerah sebentar
memucat, untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata.
Dalam pada itu Tan Lui, lelaki yang lain sudah mendekati
Ko-hujin, kelihatannya dia pun bermaksud kurangajar. Kohujin
yang tak mengerti ilmu silat segera mundur ketakutan,
segera Siau-sim melintangkan pedangnya menghadang.
"Jelas ini berbeda!" teriak Li Siau-hong kemudian.
"Aaah, semuanya toh perempuan, apa bedanya?" kata Tan
Lui sambil tertawa, "kalau dinaiki, rasanya juga sama saja ...
hahaha ... mungkin ada sedikit perbedaan, tapi kita mesti
menjajal dulu satu per satu"
"Tidak bisa!" hardik Li Siau-hong marah. "Meskipun selama
berada di piaukiok Ko Hong-liang tak pernah menghargaiku,
namun berulang kali Ko-hujin mempromosikan aku, apalagi...
Siau-sim pun pernah menaruh perhatian kepadaku, suatu saat
ketika aku sedang sakit, ia pernah mengambilkan obat dan
mengganti perban di lukaku"
Bagi seorang lelaki kangouw yang terbiasa hidup diujung
senjata, dia akan merasa sangat berhutang budi bila ada
orang mau menaruh perhatian kepadanya, dan biasanya orang
semacam ini tak akan melupakan budi kebaikan itu kendati
hubungan mereka berada dalam kondisi terjelek pun.
Tan Lui saling bertukar pandangan sekejap dengan Nyo
Beng-hoa, kemudian sambil mengangkat tangannya mereka
berkata, "Yaa sudahlah, bila kau ingin melindungi mereka,
kami sebagai orang yang diutus atasan untuk mengikuti
perintahmu juga tak bisa berbuat apa-apa. Cuma ingat, bila
kau telah berhasil mendapatkan orang dan hartanya, kain
pembungkus mayat itu mesti secepatnya ditemukan dan
diserahkan kepada Thayjin!"
"Benar, kalau tidak ... jangan harap kau bisa hidup dengan
hati tenang!"
Butiran peluh mulai bercucuran membasahi ujung hidung Li
siau-hong, kepada Ko-hujin segera tanyanya, "Kain
pembungkus jenazah Ko Hway-sik sebenarnya kalian
sembunyikan dimana?"
"Peti mati pun sudah kalian bongkar, darimana aku bisa
tahu?" sahut Ko-hujin sengit.
"Masalah ini merupakan sebuah masalah yang amat serius,
masalah yang menyangkut mati hidup kita semua, bila kau
tahu lebih baik cepat katakan."
"Aku tidak tahu, darimana bisa menjawab?" Ko-hujin
tertawa pedih. "Kau betul-betul tidak tahu?" hardik Li Siau-hong dengan
mata mendelik. Dengan perasaan gugup Ko-hujin menggeleng.
Menyaksikan mimik mukanya, Li Siau-hong tahu dia tidak
sedang berbohong, tanpa terasa gumamnya, "Tidak mungkin,
mana bisa begini" Tempo hari sewaktu kami bongkar peti
matinya, Ko Hway-sik hanya tinggal seonggok tulang yang
bau, jelas di tubuhnya tidak ditemukan kain pembungkus
mayat." "Waah, bisa celaka kali ini," sambung Nyo Beng-hoa,
"seandainya mayat Ko Hway-sik sudah dirusak oleh air tanah
dan lumpur sehingga dasar peti mati rusak dan jenazahnya
membusuk, biar ada kain pembungkus mayat pun bisa jadi
sudah ikut hancur berantakan, mana mungkin bisa ditemukan
bekas-bekasnya."
"Bekas apa?" tanya Tan Lui.
"Aku sendiri pun tidak jelas," Nyo Beng-hoa mengangkat
bahunya, "atasan hanya berpesan supaya kain pembungkus
mayat dari keluarga Ko disembunyikan di dalam peti mati batu
lapisan ketiga, di dalamnya sudah diberi obat anti
pembusukan sehingga menurut aturan tak bakal rusak atau
membusuk dalam jangka waktu dua tiga puluh tahun, karena
itu kita diperintahkan untuk mengambilnya. Tapi ketika kita
bongkar kuburan itu, dasar peti mati sudah hancur, bukan
saja lapisan pertama dan kedua hancur, lapisan ketiga pun
ikut hancur, isinya sudah hancur berantakan, busuk dan tidak
dijumpai kain pembungkus mayat, tentang tanda-tanda
bekas..." Bicara sampai di situ sorot matanya segera dialihkan ke
wajah Li Siau-hong.
Hijau membesi wajah Li Siau-hong, serunya, "Pesan yang
disampaikan atasan kepadaku merupakan perintah rahasia,
aku tidak perlu menjelaskan kepada kalian!"
Begitu Li Siau-hong membentak, Tan Lui dan Nyo Beng-hoa
segera menyahut, "Baik!"
Namun dalam hati mereka merasa sangat tidak puas,
pikirnya, "Kau menggunakan bulu ayam sebagai lencana
perintah, hmm, akan kulihat bagaimana cara matimu bila
sampai saatnya kau tetap tak berhasil menemukan kain
pembungkus mayat itu!"
Li Siau-hong sendiri pun merasa hatinya sangat kalut, dia
tahu jika kain pembungkus mayat tak berhasil ditemukan,
maka dirinya pun akan tertimpa nasib malang.
Setelah berpikir sesaat, ujarnya kemudian, "Enso Ko, aku
selalu menghormatimu, aku tak ingin menggunakan
kekerasan, bila kau tidak segera menjawab pertanyaanku,
jangan sampai kesabaranku habis."
"Tapi aku benar-benar tidak tahu kain pembungkus mayat
itu berada dimana," seru Ko-hujin sambil menangis, suaranya
gemetar, "Ketika jenazah Loya dimasukkan ke dalam peti
mati, aku tidak tahu betapa pentingnya kain putih yang ada di
situ, aku tak pernah menaruh perhatian"
"Kalau begitu, malam ini juga aku akan meniduri Siau-sim!"
tukas Li Siau-hong habis kesabarannya.
"Terlambat sudah!" mendadak terdengar seseorang
menimpali, "hari ini aku datang untuk mencabut nyawa
anjingmu!"
Li Siau-hong merasa sangat mengenal suara itu, dengan
terperanjat ia berpaling, tampak empat sosok bayangan
manusia telah menerjang masuk ke dalam, lalu dengan gerak
serangan yang luar biasa cepatnya menghabisi nyawa Nyo
Beng-hoa serta Tan Lui yang masih berdiri tertegun.
Baru saja Li Siau-hong hendak melarikan diri, keempat
orang itu sudah mengepungnya dari empat penjuru.
"Hong-liang!" teriak Ko-hujin kegirangan.
Ko Siau-sim pun berteriak dengan nada terkejut bercampur
gembira, "Engkoh Tong!"
Rasa gembira yang menyelimuti perasaan Ko-hujin serta Ko
Siau-sim benar-benar tak terlukiskan, bahkan untuk
ditampilkan pada mimik mukanya pun susah.
Rasa gembira bercampur kaget yang mereka rasakan saat
ini boleh dibilang merupakan luapan perasaan yang luar biasa.
Biarpun sejak awal Ko Hong-liang serta Tong Keng sudah
membuat persiapan, tak urung mereka ikut terharu atas
perjumpaan ini, dengan cepat Ko Hong-liang memeluk istri
serta putrinya, sedangkan Tong Keng segera membangunkan
Sin-pek yang terkapar di tanah.
Menggunakan kesempatan itu, sekuat tenaga Li Siau-hong
melarikan diri!
Dia tahu, kepandaian silat yang dimiliki Yong Seng hampir
seimbang dengan kemampuannya, tapi semenjak terluka
parah tempo hari, kemampuan silat Yong Seng sudah
mengalami kemunduran, dia termasuk orang yang tak berani
mencari gara-gara, apalagi terhadap orang yang punya
dukungan pejabat negara.
Dia pun tahu, bila berhasil menerobos keluar ruang utama,
maka kelima orang jago lihai yang dikirim Li-thayjin dan saat
ini sedang beristirahat di ruang depan tentu akan turun
tangan bersama, bila sudah begitu dia tak perlu takut lagi
menghadapi Ko Hong-liang.
Maka dia pun mengincar sisi samping Tong Keng dan
menerobos keluar.
Dengan satu gerakan cepat Yong Seng menerobos dari
samping seraya melakukan penghadangan.
Kaitan kanan Li Siau-hong diayunkan untuk membuka jalan,
sementara kaitan sebelah kiri dibacokkan ke tubuh Yong Seng.
Sepasang kapak Yong Seng segera dibacokkan ke depan,
menghantam persis di atas kaitan lawan.
"Traaang!", diiringi percikan bunga api, dentingan nyaring
bergema memecah keheningan.
Menggunakan peluang itu Li Siau-hong menjejakkan
kakinya dan menerobos keluar dengan menjebol jendela.
Sayang dia melupakan sesuatu, dia lupa masih ada Ting
Tong-ih. Walaupun Ting Tong-ih adalah seorang wanita cantik,
namun dia tak tahu kalau ada sementara wanita justru
memiliki kehebatan ilmu silat yang tak boleh dipandang
enteng. Baru saja dia menerobos jendela sambil bersiap minta
tolong, tiba-tiba selapis awan berkelebat, awan berwarna
ungu, warna ungu yang memancarkan cahaya kilat.
Biarpun dia sudah menghindar cukup cepat, tak urung
tubuhnya tersambar juga oleh sambaran cahaya kilat itu, tak
ampun kaitan di tangan kanannya terjatuh ke tanah.
Tergopoh-gopoh Li Siau-hong mengayunkan kaitan di
tangan kirinya untuk membendung datangnya sambaran
mantel ungu lawan, tapi saat itulah ayunan kapak Yong Seng
telah menyambar tiba.
Dalam gugup dan terdesaknya, tak ada kesempatan lagi
bagi Li Siau-hong untuk berteriak minta tolong.
Sementara itu Tong Keng sudah terjun pula ke dalam arena
pertarungan. Li Siau-hong merasa tenaga tekanan yang menghimpit
tubuhnya semakin bertambah kuat, dia makin tercecar hebat,
sebuah tendangan Yong Seng yang bersarang telak di
lambungnya membuat ia mundur dengan sempoyongan.
Baru beberapa langkah dia mundur, sesosok bayangan
manusia kembali berkelebat di hadapannya, sebilah golok
raksasa langsung dibacokkan ke atas kepalanya.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak terlukiskan rasa kaget, ngeri dan takut yang mencekam
perasaannya, serasa nyawa meninggalkan raga lekas dia
melakukan tangkisan.
"Traaang!", kembali terjadi benturan nyaring, kaitannya
segera mencelat ke udara.
Yong Seng merangsek maju, melihat musuhnya terhuyung,
dia segera melepaskan satu tendangan kilat yang persis
menghajar tulang pinggulnya, tak ampun tubuhnya segera
jatuh terkapar di atas tanah.
Pada saat bersamaan golok besar itu sudah menempel di
atas keningnya.
Hati Li Siau-hong serasa tenggelam, air mata bercucuran
membasahi pipinya, tak tahan dia menjerit, "Jangan bunuh
aku, kumohon, jangan bunuh aku!"
Ternyata orang yang memegang golok besar itu tak lain
adalah Ko Hong-liang.
Dengan sorot mata setajam sembilu Ko Hong-liang
mengawasinya, lalu teriaknya pedih, "Jawab! Kenapa kau
harus berbuat begini?"
Li Siau-hong termangu, lalu sahutnya sambil tertawa pedih,
"Aku tak punya pilihan lain, Li-thayjin yang menyuruh aku
menuduh kalian sebagai perampok uang pajak itu, bukan
keinginanku sendiri!"
Ko Hong-liang ikut tertegun, dia tak menyangka akan
mengetahui rahasia besar ini, sebuah rahasia yang luar biasa
pentingnya, saking tertegunnya, untuk sesaat dia lupa untuk
bertanya lebih jauh.
Ting Tong-ih segera menghardik, "Kalau begitu siapa yang
sebenarnya yang membegal uang pajak itu?"
"Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu," seru Li Siauhong
ketakutan, "Li-thayjin minta aku jangan mencampuri
urusan ini, katanya sampai waktunya nanti ada orang yang
akan membegal uang pajak itu."
Ko Hong-liang saling bertukar pandang sekejap dengan
Tong Keng, rasa kaget dan tercengang yang mencekam
perasaan mereka tak terlukiskan dengan kata.
Kisah Pendekar Bongkok 14 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Pendekar Sadis 6

Cari Blog Ini