Ceritasilat Novel Online

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 1

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Bagian 1


"Hay Tong Kok
Karya : Ceng Ceng Yin/Zheng Zheng Yin (The Ceng
In) Diceritakan oleh : OKT (1959)
Pertempuran di Lembah "Bunga Hay Tong" - Hay Tong
Kok OKT. (Oey Kim Tiang
I "Cuncu, ke dalam daerah kita ada masuk sebuah
perahu asing," demikian laporan satu penduduk pada
ketuanya, Tan Tay Yong. "Perahu itu datangnya tadi
siang, penumpangnya ada satu nona umur tujuh atau
delapan belas tahun. Kita tadinya tidak terlalu perhatikan
kendaraan itu, sampai sudah jauh lewat lohor, ia masih
belum mau berlalu, maka itu, aku datang melaporkan."
"Jikalau penumpang perahu itu tidak ada orang
lelakinya, ia barangkali tidak ketahui aturan kita di sini,"
berkata si ketua. "Sekarang kau jangan ganggu padanya
atau bertindak sembarangan, hanya pasang mata saja
malam ini, besok kita nanti lihat lebih jauh. Larang siapa
juga hampiri atau naiki perahu asing itu, kita semua ada
laki-laki sejati, jaga jangan sampai orang bilang kita
menghina orang perempuan. Kita dapati dusun kita ini
mengandal sama tenaga kita, dari itu, kita mesti jaga
nama baik kita. Aku ingin laranganku ini diturut, jikalau
tidak, hati-hati, jangan nanti sesalkan aku keterlaluan!"
"Baik, cuncu," berkata penduduk itu yang segera
undurkan diri. Tan Tay Yong adalah ketua dari Giokliong-giam
Hiecun, dusun perikanan dari lembah Giokliong-giam.
Dusun ini berada di bawahan, di sebelah ilir dari sungai
Englok-kang. Sungai ini berada dalam daerah Losiauwsan,
di Oulam. Di sebelah udik, di atasan Englok-kang,
ada berdiam rombongan penduduk lainnya, begitu pun di
sebelah bawahan dusun perikanan ini, ada lagi lain-lain
penduduk. Hiecun tidak punya perhubungan dengan
tetangga-tetangganya; malah dengan rombongan dari
Englok-kang udik mereka berselisih, sebab merekalah
yang dimusuhi. Hiecun ada satu daerah yang bagus, indah
pemandangan alamnya, sungainya banyak ikannya,
daratannya ada sawah kebunnya, hingga di air mereka
bisa tangkap ikan, di darat mereka dapat potong padi
dan pungut hasil tanaman lainnya. Maka dalam semua
musim mereka dapat hidup dalam kecukupan, apapula
memang mereka semua hidup sederhana, makan
pakainya hemat, malah bahan pakaian pun mereka tenun
sendiri. Di bawah anjurannya Tan Tay Yong juga mereka
semua mempunyai simpanan uang, hingga umpama kata
mesti nganggur sekian waktu, mereka tidak akan
kekurangan belanja. Keadaan ada lain bagi pihak
penduduk Englok-kang udik: mereka tidak bersawah
kebun, tidak bercocok tanam, kalau musim paceklik
mereka nampak kesukaran, sedang di musim pasang,
mereka kebanjiran.
Giokliong-giam Hiecun ada punya aturan sendiri yang
diadakan untuk keselamatan diri sendiri, yaitu melarang
orang lain tempat datang menangkap ikan dalam
daerahnya, melarang orang lain kampung datang tinggal
di dusunnya, malah orang tidak boleh bermalam di situ.
Untuk pesiar, orang diberi ketika juga, tetapi tidak dalam
rombongan-rombongan. Larangan ini diikuti kekerasan,
ialah andaikata ada yang melanggarnya, orang yang
melanggar itu lantas diusir, kalau perlu dengan paksa.
Satu kali telah terbit bentrokan antara pihak Hiecun
dan pihak Englok-kang udik. Sebabnya ialah
serombongan penduduk Englok-kang datang menangkap
ikan. ketika dilarang, mereka melawan, hingga kedua
pihak jadi bertempur Kesudahannya pihak Englok-kang
kalah dengan kerusakan.
Pihak Englok-kang juga penasaran, karena mereka
anggap pihak Hiecun sudah rampas daerah yang makmur
itu, yang mereka anggap ada termasuk dalam daerah
mereka, sedang dengan dirampasnya dusun itu, mereka
jadi kehilangan daerah air yang banyak ikannya
Pihak Tan Tay Yong adalah pengungsi dari daerah
sungai Hucun-kang. Tadinya, dalam satu rombongan
mereka datang ke Hiecun untuk menangkap ikan, dari
hanya bermondok, lantas mereka berumah tangga,
hingga tempat itu merupakan satu kampung kecil.
Jumlah mereka ada kira-kira tujuh puluh keluarga. Tapi,
meski kecil jumlah mereka, namun mereka sangat ragem
dan kuat. Memang mereka ada asal rombongan nelayan
yang berani. Sebenarnya pihak Hiecun ada dari rombongan Kiushe
Hiekee, yaitu rombongan Nelayan Sembilan She dari
Hucun-kang. Rombongan ini ada mempunyai orangorang
yang gagah, paling belakang masih ketinggalan
dua tetuanya yang lie-hay, yaitu Hiejin Tan Ceng Po dari
Tonglouw dan Lim Siauw Chong dari Liongyu. Berdua
mereka jarang muncul, kalau mereka atau salah satunya
datang, tentu untuk urusan penting, yaitu Hiecun berada
dalam bahaya atau ada salah satu anggota keluarga
yang main gila dan perlu dikendalikan. Mereka lakukan
penilikan secara diam-diam pada anak cucunya. Pihak
mereka tidak bergaul dengan pihak lain tapi mereka juga
tidak mau ganggu lain orang. Maka itu, Tan Tay Yong
selalu berjaga-jaga, supaya daerahnya tidak ada orang
yang datangi. Begitulah lantas ada datang laporan berhubung
kedatangannya perahu asing itu.
Perahu asing itu muncul di harian yang indah dari
musim Cui dari siang sampai sore ia tidak berlalu lagi,
tidak heran kalau penduduk Hiecun jadi bercuriga,
hingga mereka pasang-mata. Meski begitu, Tan Tay Yong
hendak berlaku hati-hati.
Besoknya, sampai terang tanah, perahu asing itu tetap
masih belum berlalu. Sekarang diketahui, kecuali si nona
sebagai penumpang, ada lagi satu orang perempuan,
satu nyonya setengah tua. Berhubung dengan ini, Tan
Tay Yong telah menerima laporan yang kedua kali. Tapi,
meski demikian, ia belum mau ambil tindakan. Ia tidak
percaya bahwa orang mau tinggal menetap.
Kemudian datang laporan yang ketiga, kali ini adalah
halnya perahu asing itu telah pergi, entah ke mana
Tan Tay Yong segera pergi memeriksa, ia dapati
laporan itu benar adanya
"Bagus!" pikir Tan Tay Yong. "Memang lebih baik ia
pergi siang-siang, kita jadi tidak usah pusing kepala!
Syukur aku tidak bertindak sembrono...."
Tapi, selagi ia memandang jauh ke sungai, tiba-tiba
matanya melihat sebuah perahu kecil sedang
mendatangi. Perahu itu memakai layar, lajunya pesat
laksana anak panah. Cepat sekali perahu itu sudah mulai
masuk ke dalam daerah Hiecun.
Layar sudah lantas diturunkan, tapi perahu maju
terus, sekarang karena pengaruhnya penggayuh.
Ketua Tan melihat di kepala perahu ada satu nona dan
di belakangnya ada satu nyonya yang menggayuh
perahu. Perahu itu telah dikepinggirkan ke tempat yang
kemarin. Si nona pandang Tan Tay Yong sekian lama, lantas ia
singkap papan perahu akan keluarkan satu rantang
penuh makanan, dengan membawa itu ia masuk ke
dalam gubuk perahu.
Tay Yong bertindak maju sampai dekat ke muka
perahu yang ia awasi dengan teliti. Ia dapat kenyataan,
kendaraan itu bukan kepunyaan pihak Englok-kang. Ia
tadinya hendak menanya mereka itu orang dari mana
dan bermaksud apa datang ke Hiecun, tapi ia harus
batalkan niatannya, karena kedua orang perempuan itu
selanjutnya tidak muncul pula. Terpaksa ia ngeloyor
pulang dengan anggapan, karena mereka ada orangorang
perempuan, seharusnya mereka bukan orang jahat
atau dari pihak musuh.
Di lain harinya lalu ternyata bahwa dua perempuan itu
tidak niat berlalu dari Hiecun yang terlarang itu. Mereka
telah mendarat dan menempati sebuah gubuk tertutup
papan yang mencii sendirian di tepi sungai. Itu ada
gubuknya satu familie nelayan yang datang ke situ pada
dua tahun berselang, tetapi mereka telah diusir oleh
pihak Hiecun dan berlalu dengan tinggalkan gubuknya itu
yang mereka tidak bikin rusak atau bongkar. Karena
telah lama tidak diisi, gubuk itu rusak di sana-sini. Tapi
gubuk itu diperbaiki oleh si nyonya dan nona, hingga
tidak lagi ada yang bocor atau berlubang.
Lagi-lagi Tan Tay Yong menerima laporan.
"Sekarang ini tidak bisa lain, mereka itu harus diusir,"
demikian penduduk kampung itu. "Kita tidak bisa ijinkan
orang asing tinggal nyelak di antara kita!"
"Sabar," berkata ketua itu. "Jangan kita bertindak
sembarangan atau ganggu mereka. Mereka ada orangorang
perempuan, kita tidak boleh berlaku kasar.
Tunggulah, aku tahu bagaimana harus bertindak. Siapa
tidak dengar aku, akan dihukum menurut aturan kita!"
Penduduk itu terpaksa menurut. Mereka hanya
menaruh perhatian saja.
Kuatir penduduknya main gila, pada suatu sore
dengan diam-diam Tan Tay Yong pergi ke gubuk tua itu.
la berniat menanyakan keterangan pada kedua orang
asing itu. Di tepi sungai tertambat perahu kecil itu. Dari
dalam gubuk, sinar api molos keluar. Jendela yang
terbikin dari bambu telah ditempelkan kertas.
Menghampiri pintu, Tan Tay Yong sengaja batuk-batuk
selaku tanda. "Nyonya dan nona, aku sengaja datang berkunjung!"
ia berkata. "Ada suatu urusan yang aku hendak
bicarakan kepadamu berdua!"
Daun pintu segera terpentang dan si nona muncul di
muka pintu, ia manggut pada si ketua.
"Ibu, cuncu datang berkunjung!" ia berkata pada
ibunya. "Rumah kita begini macam, cara bagaimana
dapat kita sambut tamu di sini?"
Sambil berkata demikian, si nona tetap berdiri di
tengah pintu, rupanya ia seperti kuatir ketua Tan akan
menyerbu masuk....
Lantas dari dalam terdengar suaranya si nyonya
setengah tua, 'Cuncu unjuk muka terang pada kita, cara
bagaimana kita bisa tidak sambut padanya" Silakan
cuncu masuk!"
Si nona lekas-lekas berdiri nyam-ping, ia menjura pada
Tan Tay Yong. 'Cuncu, silakan masuk!" ia mengundang. "Silakan
duduk di dalam!"
Tan Tay Yong terima undangan itu, ia bertindak
masuk. Si nyonya telah muncul, ia terus unjuk hormat pada
tamunya 'Cuncu, sudikah kau maafkan kami," berkata ia.
"Sebenarnya begitu lekas kami datang ke Giokliong-giam,
kami harus kunjungi kau, tak disangka sekarang cuncu
adalah yang mendahului kami. Sungguh kami merasa
kurang enak. Kami ada ibu dan anak yang terlunta-lunta
hingga hidup mirip sebagai pengemis, maka itu, dengan
kebaikan cuncu, kami hendak tinggal di sini untuk
sementara waktu saja Kami tidak mempunyai apa-apa di
sini, sampai pun kursi tidak ada, kecuali bangku tua ini.
Silakan duduk!"
Memang juga Tan Tay Yong tidak lihat perabotan
lainnya dalam ruangan itu, malah pembaringan terbikin
dari dua lembar papan pintu tua, yang hanya diganjal
bawahnya. Apa yang aneh, demikian miskin
perlengkapannya rumah, tapi segala apa ada sangat
bersih, begitu juga bersihnya pakaian dari ibu dan anak
itu, meskipun pakaian mereka ada dari bahan cita yang
murah. Bangku kecil ada di dekat jendela, di situ Tay Yong
duduk. Nyonya rumah duduk di pembaringan, di samping
berdiri gadisnya. "Aku belum ketahui she dan namamu,
nyonya," Tay Yong kemudian tanya. "Nyonya berdua
sebenarnya ada asal mana?"
"Kami ada dari kaum keluarga Yan," sahut si nyonya,
"kami asal Ciantong di Ciatkang tetapi sudah satu tahun
lebih kami mengembara di Sucoan. Di kampung kami,
kami tidak mempunyai sanak keluarga pula, kami
sekarang tinggal berdua saja. Karena sejak muda hidup
di atas air, kini pun kami terpaksa main di perahu saja.
Cuncu telah kunjungi kami, mungkinkah ada suatu
urusan penting?"
Tay Yong heran. Kenapa nyonya itu dan anaknya
ketahui ia ada ketua Hiecun" Bukankah mereka ini baru
datang dan tidak pernah bicara pada salah satu
penduduk, malah sebaliknya penduduk rata-rata niat usir
mereka" Kenapa si nyonya nampaknya tidak puas
terhadap kunjungannya ini" Mau tidak mau, ia lalu bicara
dengan sikap sungguh-sungguhkan toanio," berkata ia,
"aku datang kemari karena desakannya penduduk
nelayan dari dusunku ini. Baiklah aku berikan
keterangan. Giokliong-giam Hiecun ini dibuka oleh kami,
kami tidak punya perhubungan dengan pihak mana juga,
kami hidup mengandel tempat dan tenaga sendiri. Oleh
karena kami hidup menyendiri, kami pun telah adakan
aturan istimewa, ialah melarang lain orang yang bukan
sekaum atau segolongan tinggal di dalam daerah ini. Kau
berdua telah datang secara mendadak dan lantas tinggal
di rumah ini, perbuatanmu ini ada bertentangan dengan
aturan kami. Nyonya berdua biasa hidup di atas air,
nyonya niscaya ketahui sifatnya kaum nelayan. Mereka


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berniat minta nyonya berdua lekas keluar dari daerah
ini, tetapi aku cegah tindakan lancang dari mereka. Kau
berdua sebagai orang-orang perempuan, kami tidak ingin
menghina, maka itu, aku telah datang dengan maksud
baik. Ini ada keteranganku yang sebenarnya, nyonya.
Dusun kami ini ada aman dan makmur sekalipun di
musim paceklik, kami masih tidak kekurangan suatu apa.
Pribahasa kata, satu keluarga hidup senang, lain keluarga
penasaran. Ini sudah terjadi dengan kami. Kami yang
hidup cukup dan senang, telah membuat pihak Englokkang
udik menjadi jelus dan berdengki, malah mereka
niat merampas daerah ikan kami. Karena ini, kami
pernah bentrok satu kali, dengan demikian kami selalu
berjaga-jaga, sebab kami kuatirkan serangan yang
kedua, yang mestinya ada terlebih hebat. Oleh karena
itulah kami tidak bisa ijinkan orang asing tinggal di dalam
dusun kami. Sekarang kami minta nyonya dan anakmu
suka berdaya, lebih lekas lebih baik, karena benar-benar
kamu berdua tidak dapat tinggal di sini. Diumpamakan
anak-anak muda kami bertindak lancang, terang dengan
begitu kami jadi menghina pada nyonya berdua.
Tidakkah nyonya pun ada berpikir demikian?"
Baru saja Tan Tay Yong tutup mulutnya, atau nyonya
itu sudah bersenyum tawar.
"Inilah aneh!" katanya. "Kami berdua hidup di atas
perahu butut sejak banyak tahun, di tempat mana saja
yang ada ikannya, kami selalu singgah untuk menangkap
ikan, sampai sebegitu jauh kami ada merdeka. Tan
cuncu, kau ada orang dari kaum Sungai Telaga, kau
niscaya ketahui bahwa sungai ada kepunyaan orang
banyak dan 'Su hay wie kee' " empat penjuru lautan
adalah rumah kita! Kau bilang, daerah ini kau yang buka,
hasilnya semua kau yang punya, hingga kau larang lain
orang turut mengecap. Tapi di sebelah itu aku ketahui,
negeri adalah kepunyaan pemerintah agung,
sebagaimana Giokliong-giam Hiecun ini pun tidak
menjadi kecuali! Cuncu, apakah bisa jadi, daerah ini kau
telah beli semua" Kami telah datang kemari, kami berdua
adalah orang-orang perempuan dan pula melarat,
melihat keadaan kami, kami memang tahu gampang
orang memandang hina pada kami. Karena itu, kita tahu
diri! Kami hidup dari hasil sungai, tetapi kami tidak berani
tangkap ikan di dalam kalangan ini, maka untuk
menangkap ikan, kami pergi keluar daerah. Begitupun
untuk tinggal, kami tidak berani masuk ke Hiecun, kita
hanya pilih gubuk ini di mulut muara, gubuk yang kosong
dan rusak. Dengan tinggal di gubuk reyot ini, kami sama
saja dengan orang yang dirikan gubuk saung, melulu
untuk lindungi diri dari serangannya angin dan hujan.
Tapi cuncu, kau larang kami menumpang di sini, apakah
maksudmu yang sebenarnya" Undang-undang negeri
memang keras, meski begitu, tidak nanti negeri tutup
semua sungai, telaga dan laut! Kami tinggal di sini,
cuncu, tetapi tidak nanti kami ganggu pihakmu. Anakku
ini adalah yang biasa tangkap ikan, ia mempunyai
kebisaan sendiri. Kalau pihakmu sedang menangkap
ikan, kami akan menyingkir jauh-jauh, bukankah itu tidak
mengrecoki" Kami sekarang sudah tinggal di sini untuk
sementara waktu, kami tidak bisa lantas pindah, maka,
cuncu, harap kau suka berlaku murah...."
Tan Tay Yong tercengang, itulah jawaban yang ia
tidak sangka-sang-ka. Dan jawaban itu sangat beralasan,
hingga ia tidak dapat jalan untuk membantahnya. Tapi di
sebelah itu, ia juga merasa tidak puas mendengar lagu
suara yang menantang itu.
"Yan toanio, aku sebenarnya datang dengan maksud
baik," ia berkata, dengan mencoba berlaku sabar.
"Menurut katamu, nyonya, sudah terang kau tidak niat
berlalu dari sini, meski demikian, aku masih hendak pakai
aturan. Aku hendak berdamai nyonya, kenapa kau
artikan secara keliru" Jikalau kau tetap tinggal di sini,
bagimu bahayanya ada banyak, andaikata orang-orang
muda dari kampung ini tidak mau mengerti dan mereka
ambil tindakan yang tidak pantas, yang tidak
menguntungi kau, aku benar-benar tidak dapat
bertanggung jawab. Karena benar-benar aku tidak
sanggup kendalikan lagi mereka itu. Dalam hal ini, aku
minta nyonya tidak sesalkan aku...."
Air mukanya Yan Toa Nio tidak berubah meski ketua
Hiecun telah menyatakan demikian.
"Aku tidak berdaya, cuncu," katanya. "Sekarang baik
cuncu jangan pedulikan lagi pada kami, ibu janda, anak
piatu. Apakah kami sudah ditakdirkan berperuntungan
buruk! Kami terima. Tetapi aku bisa terangkan, kami
berdua belum pernah lakukan apa-apa yang
bertentangan dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan,
maka aku percaya kami akhirnya tidak akan ketemui
orang yang mengandung maksud jahat terhadap kami.
Andaikata penduduk Hiecun hendak mengganggu kami,
apa boleh buat. Kami berdua telah merasa beruntung
masih bisa hidup sampai sekarang, apa yang akan terjadi
selanjutnya, kami tidak pikirkan.... Kami anggap jiwa
kami sebagai benda yang tidak ada harganya...."
Tan Tay Yong jadi bertambah mendongkol. Nyonya itu
bicara dengan sabar, tetapi kata-katanya sangat tajam
menusuk hatinya. Ia datang dengan maksud baik, siapa
nyana, orang telah salah mengerti. Lantas, sambil
tertawa dingin, ia berbangkit.
"Yan toanio, aku mesti sesalkan diriku yang usilan,"
katanya, yang masih coba kendalikan diri. "Aku telah
menjadi nelayan duapuluh tahun lamanya dan hidup di
muka air, selama itu aku selalu bawa sikap terus terang,
aku menjunjung pri-kemanusiaan. Kau telah datang ke
tempat ini, aku tidak niat menghina kau dan tidak pernah
pikir untuk mengganggu, inilah sebabnya aku datang
sendiri padamu. Aku merasa bahwa sebagai ketua aku
ada lemah, tetapi tidak pernah berlaku kurang hormat
pada orang luar yang datang kemari, dan itu menyesal
aku telah menyebabkan toanio jadi tidak puas. Maaf, aku
telah gerecoki kau berdua. Sampai lain hari!" Lantas ia
berbangkit. Yan Toa Nio juga berbangkit dan berkata,
"Jangan mengucap begitu, cuncu. Kau tidak gerecoki
kami. Biasanya saja kalau orang mengurus satu pada
lain. Malah aku berterima kasih untuk sikapmu ini. Tapi
kita berada dalam kesukaran, andaikata mesti berlalu
dari sini, barangkali tidak ada lain tempat di mana kami
bisa tumpangkan diri. Cara bagaimana kami bisa pindah
lagi" Cuncu, maafkan kita..."
Tan Tay Yong dalam kemendongkolannya tidak ingin
menyahuti nyonya itu.
"In-jie, antarkan cuncu," sang nyonya berkata pula.
"Kau sudah besar, cuncu datang untuk unjuk
kebaikannya, kenapa kau berdiam saja"...."
Si nona tidak jawab ibunya, ia hanya pergi antarkan
tamu yang tidak diundang itu.
Selagi tadi ia masuk, Tan Tay Yong kurang perhatikan
di sekitarnya, tetapi sekarang, ia heran melihat di dalam
pekarangan ada lima buah batu besar sekali, setiap batu
barangkali beratnya ada tiga atau empatpuluh kati,
ditaruh berbaris rapi. Ia tahu, batu sebesar itu tidak
terdapat di sekitar mulut muara, hanya di kaki bukit
Giokliong-giam. Tapi ibu dan anak itu baru saja sampai,
cara bagaimana mereka bisa datangkan semua batu itu"
Meski hatinya bersangsi, Tan Tay Yong berjalan terus.
"Maaf, cuncu, aku tidak mengantar lebih jauh!"
berkata si nona, sesampainya ketua ini di luar pagar
pekarangan. "Kalau ada tempo, sudilah kau datang pula
ke sini untuk pasang omong...."
"Silakan kembali, nona," sahut Tay Yong, sambil putar
tubuhnya. Dengan tidak sungkan-sungkan, si nona tutup pintu
pagar. Baru saja Tan Tay Yong jalan tiga tindak segera ia
dengar suara tertutupnya pintu gubuk, hingga ia menjadi
heran. "Begitu cepat jalannya," pikir ia. Tanpa merasa ia
merandek, balik ke pintu pagar dan mengintip ke dalam.
Benar saja, si nona telah menghilang ke dalam
rumahnya! Lantas dari dalam rumah terdengar suara
tertawa, disusul dengan ucapan, "Pasti ia mendongkol
bukan main!"
"Eh, In-jie, apa kau bilang?" terdengar tegurannya si
nyonya tua. "Tamu kita itu tentu belum pergi jauh...."
Tan Tay Yong coba mendengari, akan tetapi rumah itu
jadi sunyi sirep, maka dengan masgul, ia lanjuti
perjalanannya pulang. Terang nyonya dan anaknya itu
mencurigai, ia menduga-duga. Ada luar biasa, sebagai
orang-orang perempuan, mereka hidup berduaan saja di
muka air untuk bergaul dengan orang laki-laki dari segala
macam tingkatan. Katanya mereka ada nelayan, tetapi
roman dan keadaan mereka tidak menunjuki sebagai
orang-orang kasar yang biasa hidup melarat dan
bersengsara. Tidak bisa jadi mereka ada nelayan tulen.
Tetapi, kenapa perlengkapan rumah mereka ada
demikian miskinnya"
"Anehnya, mereka tidak takuti aku?" cuncu ini pikir
lebih jauh. "Dengan maksud baik aku minta mereka
pindah, kenapa mereka membelar" Aku seorang yang
banyak pengalaman, tetapi tidak mampu menduga ibu
dan anak itu ada dari golongan mana...."
Tay Yong pergi dengan tidak diketahui oleh penduduk
kampung, tetapi toh ada orang yang dapat lihat ia pergi
ke gubuk itu. Kendati mereka ini tidak berani mengikuti,
tetapi mereka toh menunggui di muka kampung.
"Kapan mereka ingin pergi?" demikian pertanyaan
mereka. "Ibu dan anak itu tidak punya andalan," Tay Tong
sengaja simpangi, "dan mereka telah dihinakan oleh
pihak Englok-kang udik, maka itu, mereka telah
menyingkir kemari, katanya untuk sementara waktu saja.
Di sini mereka merasa lebih aman. Aku minta kamu
jangan melakukan apa-apa yang tidak pantas terhadap
mereka itu."
Keterangan ini dipercaya oleh beberapa penduduk
kampung itu, mereka lantas bubaran.
Tay Yong pulang terus ke rumahnya. Keluarganya
hidup sederhana, la tinggal bersama isteri dan anak
gadisnya, Giok Kouw, yang baru berusia enambelas
tahun. Anak ini ia ajarkan silat dan berenang. Giok Kouw
sering bersama-sama kawan sepantarannya, berlomba
kemudikan perahu. Ia berotak terang, maka oleh
ayahnya ia suka diajak berdamai, sedang isterinya, Tay
Yong seperti kesampingkan.
Malam itu Tay Yong pulang dengan masgul, ia minum
beberapa cangkir arak menghibur dirinya. Setelah itu, ia
terus naik ke pembaringan akan tidur. Sejak pulang ia
tidak mengucapkan sepatah kata.
Giok Kouw melihat sikap ayahnya, ia tidak berani
menanyakan, tetapi besoknya, justru hawa udara jelek
dan nelayan-nelayan tidak ada yang pergi tangkap ikan,
ia samper-kan ayahnya.
"Kau nampaknya tidak gembira, ayah, kenapakah?" ia
bertanya. "Kenapa ayah tidak ingin bicara dengan
anakmu?" "Sebenarnya aku bukan tidak bergembira," Tay Yong
jawab. "Sejak dari Hucun-kang kita pindah kemari, aku
berterima kasih pada Thian, yang tidak ingin musnahkan
pihak Kiushe Hiekee. Tahun ketemu tahun, hidup kita di
sini ada dalam kecukupan dan aman sentausa, hingga
aku merasa sangat puas....."
"Tetapi, ayah, kenapa semalam kau pulang dengan
masgul?" Giok Kouw mendesak. "Kenapa kau diam saja"
Apakah segala makhluk-makhluk menjemukan di tengah
sungai itu ingin mengganggu kita dari Giokliong-giam?"
"Mereka benar tidak puas terhadap kita, akan tetapi
aku tidak pedulikan mereka!" kata Tay Yong dengan
bersemangat. "Jika mereka berani datang pula, aku nanti
sambut mereka dengan labrakan. Melainkan satu hal
kecil kadang-kadang bisa mendatangkau pikiran. Apakah
kau tidak ketahui halnya sebuah perahu kecil itu?"
"Ya, aku ketahui halnya perahu itu," sahut si nona.
"Malahan aku pun pernah lihat sendiri perahu itu! Tetapi
ayah telah melarang orang dekati kendaraan air itu,
bagaimana aku berani melanggar laranganmu"
Sebenarnya, ayah, mereka ada gelap bagi kita! Apakah
mereka ada dari pihak Englok-kang udik?"
"Inilah aku tidak berani pastikan," sang ayah
menyahut. "Aku pernah menduga demikian, tetapi aku
masih sangsi bahwa mereka datang dengan maksud
jelek. Sikapnya ibu dan anaknya itu terlalu bersifat
menyerang...."
Lantas Tay Yong tuturkan pengalamannya waktu ia
kunjungi Yan Toa Nio dan gadisnya itu, ia telah pikirkan
ucapannya si nona Yan tapi tidak dapat membade.
"Apa yang sudah pasti, ibu dan anak itu bukannya
sembarang nelayan," kemudian Tay Yong tambahkan.
"Aku sekarang masgul, karena tidak tahu tindakan apa
aku harus ambil terhadap dua orang itu. Kita tidak
ketahui mereka siapa, mereka belum berbuat jahat, cara
bagaimana kita bisa keraskan mereka" Di samping itu,
sebagai ketua, aku bertanggung jawab untuk dusun kita
dan semua penduduknya, karena andaikata terhadap
mereka ada terjadi suatu bencana, berapa susahnya
untuk membuka lagi satu dusun perikanan seperti ini?"
Giok Kouw tertawa dengan mendadak apabila ia
dengar pernyataan ayahnya itu.
"Ayah," berkata ia, "sekalipun kau tidak berdaya
menghadapi hal ini, kau tidak usah bersusah hati" Baik
hal ini kau serahkan pada anakmu, aku yang nanti urus!"
Tay Yong tertawa melihat kelakuan anaknya.


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan banyak tingkah di depan ayahmu!" ia
menegur sambil main-main. "Mustahil aku kalah
pengalaman terhadap kau" Coba bilang, kau mempunyai
daya apa?"
"Ayah, jangan kau pandang enteng padaku!" sang
gadis pun tertawa. "Adakalanya, seorang yang banyak
pengalaman masih kalah terhadap seorang yang
dikatakan masih hijau! Tidak, ayah, sekarang aku tidak
ingin bicara dulu, aku hendak cari tahu hal ikhwalnya ibu
dan anak itu, setelah itu, ayah akan ketahui apa yang
aku telah lakukan guna lenyapkan kemasgulanmu!"
Tay Yong kenal adat anaknya, ia tidak menanyakan
lebih jauh. la pun telah bisa bikin hatinya menjadi lega
Selama itu, tiga hari telah lewat. Hiecun ada aman dan
tenang seperti biasa, dan ibu dan anak itu, tamu-tamu
yang dicurigai, juga tidak melakukan apa-apa yang
menarik perhatian.
Hari itu ada terang dan hawa nyaman, Giok Kouw ajak
satu kawan yang bernama Siauw Hong pergi ke sungai
untuk main perahu. Mereka masing-masing menggayuh
sebuah kendaraan untuk dipakai berlomba, seperti telah
sering terjadi. Siauw Hong pandai berenang dan
menggayuh seperti lain-lain nona kaumnya Giok Kouw
dididik sebagai anak laki-laki, ia pandai main di air,
berenang, selulup dan kemudikan perahu. Tapi juga
Siauw Hong tidak mau kalah. Demikian mereka berdua
puas-puasan main di air, yang luasnya belasan lie.
Tatkala itu matahari sudah mau turun, maka
pemandangan alam di muka sungai ada indah dan
menarik hati. Kedua perahu seperti main petak di muka
air yang luas, yang bergelombang, tinggi dan rendah.
Kedua nona juga sering tertawa satu dengan lain. Giok
Kouw sangat gembira, karena ia dapati Siauw Hong tidak
mampu menangkan padanya, nampaknya ia sangat
bersemangat. "Adik Siauw Hong, tenagamu telah habis," Giok Kouw
berkata, apabila ia melihat perahunya ada di depan,
terpisah dari perahunya Siauw Hong kira-kira tujuh atau
delapan tombak. "Apakah tetap kau masih belum
menyerah" Apa kau ingin aku bikin kau menjadi telah
setengah mati"...."
"Aku tidak percaya kau mampu bikin aku lelah
setengah mati!" menyahut Siauw Hong sambil tertawa.
Dan ia gunakan antero tenaganya untuk susul kawan itu,
perahu siapa tetap laju dengan pesat sekali.
Adalah di waktu itu, mendadak di muka air, sedikit
jauh di sebelah belakang mereka, ada muncul sebuah
perahu lain yang pesat lajunya, dan dalam sekejap saja
telah potong dan lewati kedua perahunya, nona-nona
dari Hiecun itu.
"Ah!" berseru Giok Kouw dan Siauw Hong dengan
berbareng. Segera juga nona-nona Tan kenalkan bahwa itu
adalah perahunya si orang asing, dari penumpangnya
adalah si nona she Yan sendiri yang kelakuannya
mencurigai. Ia heran, kenapa perahu bisa muncul secara
demikian mendadak. Karena penasaran, ia lantas gayuh
perahunya dan niat menyusul. Perbuatannya ini ditelad
oleh Siauw Hong, sebab kawan ini juga telah mendapat
tahu hal adanya perahu asing serta sikap aneh dari dua
penumpangnya " yang dua-duanya ada orang-orang
perempuan. Dalam sekejap mata, kedua pihak sudah lantas saling
susul, seperti juga mereka sedang berlomba. Si orang
asing di depan, Giok Kouw di tengah dan Siauw Hong
paling belakang.
Perahu kecil di depan terus laju dengan pesat,
tujuannya ada mulut muara, akan tetapi segera juga
kepalanya terputar, untuk kembali ke muka sungai yang
luas, menerjang ombak yang naik dan turun.
Giok Kouw dan Siauw Hong telah gunai tenaganya
akan berkuasa atas perahu mereka masing-masing, apa
mau mereka tidak sanggup candak perahu di depannya,
mereka senantiasa ketinggalan di belakang kira-kira
tujuh atau delapan tombak.
Nona asing di depan tidak pernah menoleh ke
belakang, ia agaknya tidak ketahui bahwa di belakangnya
ada orang yang hendak menyusul atau kuntit padanya.
Sekarang barulah Giok Kouw menjadi heran. Biasanya
nelayan dari Hiecun paling terkenal pandai mengendarai
perahu, lain-lain golongan tunduk terhadap mereka. Ia
sendiri, di bawah pimpinan ayahnya, telah menjagoi di
dalam dusunnya"ia sudah belajar hampir sepuluh
tahun" siapa nyana, sekarang ada orang yang
melebihinya! Ia jadi penasaran, karena sifat dan adatnya
sebagai orang laki-laki.
"Ia tentu sengaja pertontonkan kepandaiannya di
depanku," ia pikir dengan sengit. Tapi sia-sia saja ia coba
menyusul, ia tidak berhasil....
Siauw Hong telah mandi keringat, ia bukan basah
karena air sungai.
Cuaca telah mulai berobah menjadi suram, tanda dari
sang sore. Saking penasaran, Siauw Hong pun menjadi panas.
"Aku mesti kasih rasa padanya!" pikirnya. Ia hendak
potong jalan dan terjang perahu si nona asing, supaya
perahu itu apabila tidak terbalik dan tenggelam,
sedikitnya akan minum air sampai setengah perahu.
Perahu asing itu dapat disamperi semakin dekat.
Jalannya kedua kendaraan tetap ada pesat sekali. Kapan
ia rasa sudah datang cukup dekat, mendadak Siauw
Hong gunai tenaganya, akan bikin perahunya melesat
dan tubruk perahu asing itu, yang ia'pandang sebagai
musuh. Di luar dugaan, mendadak perahu asing itu belok
dengan patah, lolos dari tubrukan, tubuhnya, agak
berendeng satu dengan lain. Karena perahunya Siauw
Hong melesat, ia mendului dan mendekati si nona tidak
dikenal itu. Justru itu, mendadak Yan Leng yang
menggayuh, sampok penggayuhnya Siauw Hong, atas
mana, perahunya Siauw Hong jadi hilang imbangannya
dan miring ke kiri, hingga hampir terbalik. Syukur ia
dapat mengimbangi tubuhnya sendiri.
Tatkala perahunya Giok Kouw tiba, perahunya nona
Yan telah melesat jauh lagi.
Siauw Hong mendongkol bukan main, mukanya
menjadi pucat. Giok Kouw tahu keadaan kawannya, ia menghibur.
"Jangan gusar, ia memang hendak permainkan kita,"
katanya. "Mari kita susul terus padanya!"
Sekarang, dengan berendeng mereka mengejar.
Perahu di depan agaknya tidak digayuh pesat,
semakin lama, mereka dapat samperi semakin dekat,
hingga terpisah hanya empat tombak satu dengan lain.
"Adik Hong, hayo keluarkan tenagamu!" Giok Kouw
menganjurkan, sedang ia sendiri segera putar kepala
perahunya untuk mencegat dan memotong jalan.
Tenaganya Giok Kouw lebih kuat dari kawannya,
perahunya bisa menyusul dengan cepat.
Kelihatannya perahunya Leng ln akan kecandak dan
ketubruk, tetapi luar biasa, kapan dua penggayuhnya
dikasih bekerja dengan cepat, perahunya segera melesat
seperti loncat, dan kapan ia gerakkan dua penggayuhnya
secara hebat, air muncrat di belakangnya, perahu itu
berhenti secara mendadak! Dan dua perahu "musuh"
yang tubruk tempat kosong, berada empat tombak di
belakangnya! Hampir Giok Kouw dan Siauw Hong saling
terjang.... "Sungguh nona-nona nelayan yang liehay!" untuk
pertama kali nona Yan buka mulutnya. "Jadinya semua
perahu dari Giokliong-giam Hiecun ada begini liehay"
Nona-nona, kenapa kamu begini mendesak" Baiklah,
besok kita orang bertemu pula!"
Giok Kouw dan Siauw Hong berdua mandi keringat,
napasnya memburu, baru saja mereka hendak
menyahuti, atau dari kejauhan ada terdengar suara
suitan bambu yang berbunyi berulang-ulang. Mereka
tahu, itu adalah tanda yang cuncu sedang mendatangi.
Leng In juga dengar tanda suitan itu, sambil putar
perahunya ia bersenyum.
"Jiewie ciecie, kamu sangat lelah! Nah, sampai kita
orang bertemu pula!" ia berkata, serta segera
menggayuh perahunya menggleser menuju ke mulut
muara. "Encie, kita roboh kali ini!" kata Siauw Hong pada
kawannya. "Tidak apa!" sahut Giok Kouw dengan sengit. "Asal ia
tidak kabur dan tidak tinggalkan Gioklionggiam, masih
banyak ketika untuk kita orang ketemukan pula padanya!
Mari kita pulang, cuncu telah datang mencari kita...."
Benar-benar segera tertampak sebuah perahu yang
lajunya pesat. Tan Tay Yong kelihatan di perahu itu.
"Giok Kouw, kau main gila!" demikian tegurannya ayah
itu. "Sekarang ini sudah jam berapa" Kenapa kau masih
tidak ingin lekas-lekas pulang?"
Giok Kouw dan Siauw Hong geraki perahu mereka
akan papaki ayah atau ketua itu.
"Ayah," memanggil yang satu.
"Cuncu," memanggil yang lain. Tapi napas mereka
masih saja jalan dengan keras.
"Kita berdua telah loloskan seekor ikan besar!" Giok
Kouw kemudian berkata sambil tertawa. "Jika ayah tidak
datang, kita tentu masih tidak ingin pulang!...."
Romannya Tan Tay Yong ada gusar
"Hm, nona sudah begini besar masih saja bengal!"
katanya. "Hayo lekas pulang, barang santapan telah
sedia!" Lantas cuncu ini perintah dua perahu itu jalan lebih
dulu dan perahunya jalan belakangan.
Ketika itu langit sudah gelap. Di dalam muara, di atas
perahu-perahu nelayan, orang telah pasang pelita. Asap
mengepul dari sana-sini, karena waktu itu penduduk
Hiecun sedang masak nasi.
Selagi berjalan pulang, Giok Kouw dan Siauw Hong
menoleh ke rumah gubuk di tepi sungai, dari dalam
rumah itu bersorot keluar sinar api.
Siauw Hong pulang sendirian ke rumahnya, Giok Kouw
ikut ayahnya. Sesampainya di rumah, Tay Yong segera
tegur gadisnya, yang selanjutnya ia larang bertindak
dengan turuti suaranya hati. Ia unjuk bahayanya main di
air, terutama di waktu malam, karena ombak tidak
mengenal kasihan. Sekalipun siang, bahayanya masih
tidak kurang. "Kau jangan anggap dirimu telah pandai berenang,
tetapi yang binasa di air justru kebanyakan orang yang
bisa berenang," demikian ayah itu tegaskan. "Kalau kau
tidak dengar perkataanku, kau bukan anakku yang
baik!...."
Giok Kouw bersenyum saja atas tegurannya ayah itu,
ia dahar nasinya.
"Ayah, kau masih belum ketahui duduknya perkara,"
kemudian ia berkata. "Aku bukannya orang gila akan
tidak mengenal bahaya, tetapi aku terpaksa...."
Dan ia tuturkan pengalamannya bersama Siauw Hong,
bagaimana Lcng In permainkan mereka.
"Terang mereka bukan nelayan sembarangan, ayah
baik perhatikan mereka," kata anak ini akhirnya
Tay Yong berpikir. Ia memang sudah curiga,
berhubung dengan pengalamannya sendiri.
"Aku percaya mereka bukannya orang-orang jahat.
Apa bisa jadi mereka ada dari kaum kita yang tidak bisa
tancap kaki di lain tempat dan terpaksa ingin
menumpang dengan kita" Atau mereka lagi menyingkir
dari jaringnya wet" Kenapa mereka mesti umpeti diri?"
"Biar bagaimana, ayah, aku nanti selidiki mereka!"
Giok Kouw berkata dengan tetap. "Mereka mesti ada
simpan rahasia, entah apa adanya itu...."
"Mereka tinggal di luar muara, bagi kita tidak
berbahaya. Tapi karena kita mempunyai musuh-musuh,
tidak jahatnyajika kita berlaku hati-hati. Kecuali jika
mereka telah buktikan kejahatannya, kita tidak harus
melakukan apa juga yang dapat menghina mereka."
Giow Kouw manggut, ia setujui ayahnya itu.
Besok malamnya, selagi seluruh desa terbenam dalam
kesunyian dan orang di rumahnya sudah tidur, diamdiam
Giok Kouw dandan dan keluar dari rumahnya,
menuju ke gubuk di tepi kali di mana Yan Toa Nio dan
anaknya mondok. Ia tidak nampak rintangan, sedang
rembulan ada terang. Memang di dusunnya itu tidak ada
penjagaan orang ronda, kecuali dua perahu, yang bikin
peninjauan di muka air. Hiecun tidak menjaga malam,
karena sebegitu jauh mereka ada aman sentausa.
Keluar malam di waktu terang bulan ada menarik hati.
Air sungai yang bergemerlap memberikan pemandangan
alam yang indah. Di darat ada bukit Giokliong-giam yang
permai, puncaknya tinggi, pepohonannya lebat.
Selagi berjalan, tiba-tiba Giok Kouw merandek dan
terus sembunyi di bawahnya pohon yangliu. Di puncak
bukit mendadak kelihatan satu bayangan yang berlari-lari
dengan pesat, cepat sekali melewati dua puncak yang
lebih rendah. "Apa itu?" nona ini menduga-duga. "Di sini tidak ada
binatang liar, sebulan tiga kali, ayahku tentu ajak orang
pergi memburu, karena ia tidak ingin binatang jahat
bersarang di daerah kita ini. Apa itu ada bayangan
manusia?" Giok Kouw pasang mata terus. Lekas sekali bayangan
itu sudah lari turun, menuju ke mulut muara, akan
kemudian berada dekat dengan ia" terpisah satu
dengan lain hanya belasan tombak. Orang tidak lihat


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya, karena ia sembunyikan diri. Bayangan itu benar
ada bayangan manusia, tangannya menyekal seikat
bambu panjangnya empat, atau lima kaki, tujuannya
adalah rumah gubuk. Larinya bayangan itu ada pesat
sekali. "Tidak bisa salah lagi, ibu dan anak itu ada orangorang
luar biasa," berpikir Giok Kouw.
Oleh karena penasaran dan ingin tahu, dengan berani
nona Tan menuju ke gubuk itu. Banyak pohon-pohon
telah mengalingi tubuhnya, la hampirkan pagar dan
melihat cahaya api molos dari jendela. Selagi mendekati,
kupingnya dapat tangkap suara nyaring seperti bambu
dibelah. Lantas dari sela-sela pagar, ia mengintip ke
dalam pekarangan dan segera ia tampak pemandangan
yang bikin ia celangap bahna tercengang.
Satu orang " tentu salah satu dari ibu dan anak itu,
karena Giok Kouw tidak dapat lihat dengan tegas "
sedang melakukan suatu latihan istimewa. Di tanah,
dengan teratur ada menggletak bambu bulat, yang telah
terpotong-potong pendek, rupanya setiap batas buku.
Dan orang itu bertindak di atas potongan bambu yang
diinjak dengan keras, saban kakinya bertindak, bambu itu
tentu pecah dan menerbitkan suara keras!
Nona Tan tahu dengan baik bambu itu, apapula yang
baru dipetik, ada ulet seperti kayu, maka luar biasalah
orang itu yang dapat menginjak hingga jadi pecah. Itu
adalah tanda bahwa tenaga menginjaknya ada besar luar
biasa. "Ayah ada gagah, tetapi ayah belum tentu mampu
berbuat seperti ini...." Giok Kouw pikir.
Sekarang nona Tan bisa kenalkan yang mana ibu dan
yang mana anak di antara dua tamu asing yang luar
biasa itu. Cahaya rembulan telah membantu matanya! Ia
duga potongan bambu ada dari jumlah empat sampai
limapuluh potong.
"ln-jie, bambu yang barusan kau ambil, pergi kau
letaki di bawah jendela untuk dijemur sampai setengah
harian, agar sarinya menjadi setengah kering," terdengar
suaranya Yan Toa Nio. "Mari kita lekas berlatih, supaya
kita dapat beristirahat. Tadi kau telah buang tempo
terlalu lama di atas bukit Giokliong-giam."
"Bulan ada begini indah, ibu, kenapa sih mesti
terburu-buru ingin masuk tidur?" terdengar suara
anaknya. "Kita jangan sia-siakan ketika yang bagus
seperti ini.... Apa tidak baik kita berlatih Enghoan Tiauwkieciang dan Toasui Paychiu?"
"In-jie, jangan kau terlalu turuti kegembiraanmu," kata
orang tua itu yang mencegahnya. "Permainan bambu
barusan telah sangat meminta tenagamu, sedang tadi di
atas bukit memetik bambu, kau telah gunakan tenaga
lenganmu. Kau mesti mengerti, kalau tenagamu
terganggu, pelajaranmu bisa terganggu semuanya...."
"Kau selamanya memang berlaku terlalu hati-hati,
ibu," membandel si anak. "Apakah artinya memetik
bambu seikat" Mustahil karena itu, lenganku bisa rusak"
Dasar ibu yang lagi tidak gembira, maka ibu tidak mau
layani aku.... Tidak, ibu, sebelumnya kau temani aku, aku
tidak ijinkan kau pergi tidur!"
"Kurang ajar!" kata sang ibu. "Kau berani paksa
ibumu" Baik, kau mesti dikasih rasa, supaya kau
mengerti! Kalau kau tidak mampu menyambuti, awas,
jangan kau kucurkan airmatamu....."
"Jangan omong besar dulu, ibu, jangan kau pandang
terlalu rendah pada anakmu," sahut si nona. "Mari kita
mulai, andaikata aku tidak sanggup menyambuti, baik
selanjutnya aku berhenti berlatih!"
"Ah, anak, jangan kau jumawa!" ibu itu menegur.
"Tapi malam ini aku benar-benar lagi tidak gembira,
maka mari kita berlatih sebentar, lantas kita masuk tidur.
Kau tahu, di dalam dusun orang telah curigai kita,
apapula kemarin kau telah pertontonkan kepandaianmu."
"Sudah, ibu, jangan kau sebut-sebut kejadian
kemarin," anak itu berkata, suaranya tercampur
kemendongkolan. "Aku tidak ganggu mereka, tetapi
mereka seperti hendak hinakan aku, aku mana bisa
antapi saja" Mereka itu telah dapat bagiannya...."
"Sudah cukup!" Yan Toa Nio mencegah. "Mari kita
mulai!" Leng In turut ibunya, ia lantas undurkan diri,
sebagaimana ibunya pun mundur, hingga mereka berdiri
berhadapan jauh satu dengan lain.
Lantas keduanya gerakkan kaki dan tangan mereka,
dalam serupa aksi, sesudah itu mereka berlari-lari
dengan cepat, terputar-putar di dalam pekarangan itu,
akan kemudian mereka lari balik.
Kembali Giok Kouw jadi tercengang melihat kegesitan
tubuh mereka Ia telah belajar di bawah pimpinan
ayahnya, ia merasa dirinya gesit sekali, tetapi sekarang ia
tampak dua orang yang kegesitannya jauh melebihi ia! Ia
jadi ketarik, ia terus pasang matanya, ia ingin melihat
pertunjukan apa lagi ia bakal saksikan.
Entah kapan bergeraknya, sekarang tertampak
tangannya Leng In menyekal satu batu besar, sambil
bawa itu, ia lari mengubar ibunya, yang kabur di sebelah
depannya Mendadak Yan Toa Nio lompat melesat ke sebelah
timur. Melihat begitu, Leng In yang sedang mengejar di
sebelah barat, turut lompat serta berseru, "Ibu,
sambutlah ini!"
Dan tangannya segera menimpuk dengan batu.
Anehnya, ia seperti menimpuk dengan bola yang
enteng. Batu itu menyambar Yan Toa Nio, selagi pundaknya
hampir kena, ia berkelit ke kiri serta putar tubuhnya,
berbareng dengan itu, dua tangannya diangkat,
kelihatannya seperti hendak menangkap batu itu, tidak
tahunya, batu itu disampok kembali hingga berbalik
menyambar ke jurusan penyerangnya
Baru saja Leng ini menimpuk, ia telah pungut batu
yang kedua, maka selagi batu pertama balik ke
jurusannya, ia sudah bisa menimpuk pula serta berseru,
"Nah, terimalah ini satu lagi!"
Sekarang ia mengarah dada ibunya yang sedang
menghadap padanya. Tapi berbareng dengan itu, ia jadi
repot sendirinya, karena batu pertama sudah datang
dekat padanya, tidak tempo lagi, ia ambil sikap seperti
ibunya, dengan dua tangan ia papaki batu itu untuk
disampok balik pula!
Giok Kouw tercengang bukan buatan, hingga ia
melongo. Benar-benar ia tidak sangka, ibu dan anak itu
mempunyai tenaga begitu besar, kecelian mata dan
kepandaian untuk saling sambuti batu besar itu!
Toa Nio sedang mau lari tatkala batu yang kedua
menyambar padanya, dadanya yang diarah, karena ia
sudah mulai bergerak, batu itu sekarang menuju iga
kanannya "Kurang ajar!" ia berseru serta egos sedikit tubuhnya
untuk angkat kedua tangannya Kendati demikian, ia
bukannya sampok balik batu itu seperti tadi dengan dua
tangan, hanya dengan sebelah tangan kanan!
Hampir berbareng, kedua batu yang disampok pulang
balik, telah bentrok satu dengan lain hingga menerbitkan
suara keras, dan karena bentroknya hebat sekali, lelatu
api dan pecahan batu telah menyambar dan melesat
berhamburan. Kedua batu itu telah jatuh ke tanah
dengan terbelah, boleh dikata hancur.
Setelah menyampok, Yan Toa Nio lompat akan lari
pula. Leng In penasaran, ia jumput batu yang ketiga,
dengan cekal batu itu di kedua tangannya, ia kejar
ibunya pula. Ia bisa mendekati ibunya, kira-kira satu
tombak lebih terpisah dari ibunya, ia menimpuk pula.
Sekali ini ia tidak berseru, hanya diam-diam saja. Karena
mereka berada dekat, tidak heran bila datangnya batu
ada cepat luar biasa.
Yan Toa Nio lari terus, ia seperti tidak ketahui bahwa
anaknya telah menimpuk, ia baru bergerak kapan ia rasai
samberan angin dari batu itu. Secara mendadak ia
lompat jumpalitan, tangannya mcnyambcr ke jurusan
batu yang segera ia tanggapi. Ia masih belum berdiri
betul ketika batu itu sudah tersampok pula, hanya dari
mulutnya terdengar seruan, "Anak nakal! Terima baru ini
kembali!" Cepat luar biasa, batu itu balik menyambar ke jurusan
dadanya si nona.
Lekas-lekas Leng In mundur dengan kaki kanan, yang
ia tekuk sedikit, tubuhnya ikut mendek, kedua tangannya
ia angkat, kapan batu itu sampai, dengan dua tangannya
ia menyampok, hingga batu kembali pula pada ibunya.
Boleh jadi karena tenaga yang dipakai ada kurang, waktu
sampai di dekat Toa Nio, batu itu melayang turun ke
bawah tanah, tapi justru itu, Toa Nio lompat
menghampirkan untuk memapaki dengan dua
tangannya, ia cegah batu itu jatuh ke tanah, hanya ia
terus lempar ke jurusan pagar. Demikian baru batu itu
jatuh ke tanah, menyebabkan pasir dan tanah muncrat
berhamburan! Dari tercengang, Giok Kouw menjadi kaget, syukur
batu itu tidak sampai ke pagar, kalau tidak, ia bisa jadi
celaka, karena batu justru menjurus pada tempat di
mana ia sedang mengintip. Ia bergidik kalau ingat
bahaya yang barusan mengancam itu.
"Nah, anak, sekarang kau tidak boleh buka mulut
besar pula!" segera terdengar suaranya sang ibu.
"Sekarang ternyata, pelajaran Enghoan Tiauwkie-ciang
dan Toasui Pay-chiu tidak lagi kau boleh pandang
enteng. Pelajaran itu meminta beryakinan belasan tahun
baru bisa didapati dengan sempurna...."
Airmatanya Leng In mengucur, ia berkata, "Ibu, kau
telah piara satu anak yang tak berguna.... Aku tidak
mempunyai harapan lagi, selanjutnya aku tidak mau
yakinkan pula ilmu menimpuk dan menyambut batu...."
Mendengar begitu, si ibu yang tadi bersenyum, sudah
lantas lari menghampiri anaknya, yang ia segera rangkul,
seperti juga gadis itu ada satu bocah cilik.
"In-jie," katanya, sambil tepuk-tepuk pundak gadisnya,
"kau sudah begini besar, kenapa masih kekurangan
semangat" Kenapa sih kau tidak sanggup tahan sedikit
kekalahan" Kalau kau betul begini lemah, percuma aku
telah piara kau belasan tahun! Aku bukannya ingin
mengumpak, kebisaanmu sebenarnya tidak lemah! Satu
anak perempuan berkepandaian seperti kau, itulah
bukannya gampang. Sudah, anak, kau jangan berduka.
Kau harus ketahui, aku mempunyai kepandaian sesudah
belajar di bawah pimpinan engkong luarmu sejak umur
delapan tahun. Dan ilmu menimpuk dan menyanggap
batu besar ini, baru aku yakinkan sempurna pada tiga
tahun yang lalu. Bukankah dulu aku masih tidak mampu"
Jangan putus asa, anak, jangan kau bikin hatiku menjadi
tawar. Lebih dulu maksud hati kita harus kesampaian,
baru kita boleh alpakan ilmu silat kita, pada waktu itu
aku nanti tuntut penghidupan suci. Sekarang kau mesti
pusatkan perhatianmu, empos semangatmu untuk
berlatih lebih jauh! Anak, kau ada satu anak yang cerdik,
kau tentunya telah insyaf sendiri! Melulu untuk kau, aku
mesti hidup sampai sekarang ini, kalau tidak ada aku,
apa kau kira dirimu masih hidup dalam dunia ini" Sudah,
jangan berduka, untuk dapatkan kepandaian sempurna,
kau harus berlatih keras. Ilmu silat tidak bisa didapati
dalam tempo yang pendek. Apa yang kita harapkan
sekarang adalah kita bisa panjang umur, biarlah kita
lawan penderitaan hidup. Mustahil Thian akan antapi kita
binasa dengan penasaran"...."
Leng In susut airmatanya, lantas saja ia tertawa.
"Ibu, kau paling bisa justakan anakmu!" ia berkata.
"Tadi kau hinakan aku, sekarang kau angkat! Baiklah
selanjutnya aku akan belajar dengan sungguh-sungguh.
Sekarang mari kita masuk tidur!"
Anak ini tarik tangan ibunya untuk diajak masuk.
Giok Kouw menghela napas lega, ia bangun berdiriSedari tadi ia berdongko saja, mengintip mereka Tapi
justru ia berdiri, dengan tidak disengaja, ia kasih dirinya
kelihatan oleh Leng In, yang kebetulan menoleh ke
jurusannya, karena nona ini balik tubuh, akan pegang
tangan ibunya "Siapa itu di luar?" nona Yan segera menegur. "Kau
datang kemari, kenapa kau umpeti diri" Silakan masuk,
kita berdua bukannya tukang makan orang...."
Giok Kouw jadi malu, tapi sudah terlanjur, ia tidak bisa
singkirkan diri.
"Aku, orang dari dalam dusun," ia menyahut. "Aku
jalan-jalan kemari, melihat gubuk ini ada orang, aku
melongok. Maaf, sampai besok!"
Tapi Leng In telah tolak ibunya dan tertawa.
"Aku kira siapa, kiranya kau, encie!" ia berkata. "Kita
sudah kenal satu dengan lain! Kau sudah datang, jika
kau tidak masuk dan duduk dulu, terang kita berlaku
tidak hormat!"
Sembari kata begitu, nona Yan lari ke pagar untuk
buka pintu. Giok Kouw tidak bisa menyingkir lagi. Dengan
anggapan, mengintip saja bukannya satu kesalahan atau
perbuatan jahat, ia lantas balik tubuhnya akan terima
undangan itu. Ia bertindak masuk.
Di bawah terangnya rembulan, Leng In lihat mukanya
Giok Kouw bersenyum, tidak bengis seperti di sungai,
maka ia menghampiri untuk jabat tangan orang.
"Encie, aku masih belum ketahui she dan namamu...."
katanya.

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ada orang she Tan," Giok Kouw menyahut.
"Cuncu dari Giokliong-giam Hiecun adalah ayahku. Aku
bernama Giok Kouw. Aku minta maaf untuk kelakuanku
kemarin." "Jangan haturkan maaf, encie!" Leng In tertawa.
"Dengan tidak kebentrok dulu, kita orang tidak nanti bisa
berkenalan. Kita ada sama-sama orang perempuan,
bukankah" Silakan masuk!"
Ia tarik tangan orang untuk diajak masuk.
Yan Toa Nio berdiri menantikan. Leng In berkata pada
ibunya, "Ibu, ini adalah nona Giok Kouw, puterinya Tan
cuncu! Rumah kita ada begini buruk dan kita harus
sambut satu tamu agung!"
Giok Kouw girang melihat orang berlaku demikian
manis terhadap ia, ia pun jadi tidak likat-hkat lagi. la
samperkan nyonya rumah serta berkata, "Yan pehbo,
aku ada satu anak dusun. Tengah malam aku datang
kemari mengganggu kau, aku minta maaf...."
Nyonya Yan pandang nona itu sambil bersenyum.
"Jangan bilang begitu, nona," katanya. "Kita lancang
datang kemari dan tidak mau pergi lagi, dalam hal ini kita
mengharap kemurahan hati dari cuncu. Kita pun
mengharap maaf padamu, nona!"
Mendengar begitu, Giok Kouw malu sendirinya, hingga
ia jadi jengah.
"Nona, mari masuk ke dalam," Yan Toa Nio
mengundang. "Terima kasih, pehbo," sahut Giok Kouw yang lantas
bertindak masuk, si nyonya mendului ia, si nona
dampingi padanya.
Benar seperti kata ayahnya. Giok Kouw dapati sebuah
gubuk yang kosong melongpong, tidak ada
perabotannya, malah tidak ada kursinya. Maka itu Leng
In minta ia duduk di bangku, sedang ibunya di
pembaringannya.
"Nona, mari kau duduk dengan aku di sini," Toa Nio
memanggil. Nona Tan berbangkit, menghampiri nyonya rumah dan
duduk di sampingnya.
Toa Nio pegang tangannya Giok Kouw, ia awasi
mukanya "Nona, berapa usiamu tahun ini?" ia tanya
"Aku berumur enambelas, pehbo."
"Kalau begitu, kau seumur dengan In-jie!" berseru
nyonya itu. "Nona, kau pasti pernah yakinkan ilmu silat,
kalau tidak, tak nanti kau tonton kita dengan asyik!...."
Giok Kouw terperanjat dalam hatinya.
"Rupanya orang telah pergoki aku...." pikirnya.
"Sungguh berbahaya...." Tapi ia lalu bersenyum. "Aku
hanya berlatih beberapa jurus di bawah pimpinan ayah,
itulah sebabnya kenapa tubuhku sehat. Ayah sendiri tidak
mengerti banyak, ia hanya mengerti sedikit ilmu silat dari
pihaknya keluarga Chung." Toa Nio tertawa. "Mengerti
silat sedikit dan tubuh sehat, itulah sudah cukup," ia
bilang. "Kau toh tidak ingin mengembara untuk jual silat,
bukan" Apa perlunya untuk belajar sampai pandai betul?"
Di dalam hatinya, Giok Kouw tertawai nyonya ini.
"Kau pandai bicara putar balik, nyonya," pikirnya. "Kau
bilang pelajaranku sudah cukup tapi kau sendiri dan
anakmu masih belum puas...."
Kendati ia pikir demikian Giok Kouw toh tidak berani
menyeng-gapi. "Maafkan aku, pehbo, tetapi aku ingin sekali ketahui,
pehbo berdua ada asal mana?" kemudian ia tanya. "Apa
pehbo berniat tinggal tetap di sini" Kemarin ini, karena
desakan penduduk kampung, ayah telah datang kemari,
hingga ia sudah omong lebih banyak dari semestinya.
Syukur penduduk kita tidak datang sendiri. Aku kagum
melihat kepandaian encie In kendalikan perahu, aku ingin
menjadi sobatnya Jika pehbo niat tinggal lama di sini,
aku hendak ajak pehbo dan encie datang ke dalam
kampung kita, supaya kita orang bisa tinggal sama-sama.
Tidakkah ini baik?"
Toa Nio pandang gadisnya, ia tertawa.
"Terima kasih untuk kebaikanmu, nona," ia menyahut.
"Untuk kita memang tidak niat berlalu dari sini tetapi itu
bukannya berarti kita mau tinggal tetap untuk selamalamanya.
Barangkali bakal membikin berabe saja untuk
kita pindah tinggal ke dalam dusun. Dengan tinggal di
mulut muara ini, kita ada merdeka, kapan kita suka, kita
bisa lantas berangkat pergi. Tidakkah benar begitu,
nona?" Giok Kouw tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia
tidak kemarakan perasaan hatinya itu.
"Apakah kepandaian encie Yan, pehbo yang ajarkan
sendiri?" menanya Giok Kouw.
"Kepandaian apa sih yang ia punyakan" Aku sendiri
tidak punya guna, apa yang aku bisa ajarkan padanya?"
Dasarnya satu nona, Giok Kouw tidak bisa kendalikan
hatinya. Jawaban ini membikin ia tidak puas.
"Yan pehbo, di dusun kita ini tidak ada orang asing!"
katanya dengan nyaring. "Semua penduduk dusun ada
saudara-saudara dan keponakan, sedikitnya ada saudarasaudara
angkat, maka itu, bisa dimengerti yang
penduduk di sini tidak bisa awasi saja pehbo hendak
memaksa berdiam di sini. Ayah sebagai cuncu
berkewajiban untuk campur tahu urusan pehbo. Aturan
kita, kita mesti pegang. Coba terhadap lain orang,
tindakan keras mestinya sudah diambil. Tapi pehbo
berdua sebagai orang perempuan, maka kita jadi berlaku
sungkan, tentang ini aku minta pehbo sudi mengerti.
Sebagaimana pehbo lihat sendiri, aku telah datang
kemari, aku telah saksikan kepandaian pehbo berdua,
kenapa sekarang pehbo masih menyangkal bahwa pehbo
tidak mempunyai kepandaian" Aku tidak mengerti,
kenapa pehbo perlakukan aku sebagai bocah cilik"
Apakah itu disebabkan pihak kita sudah berlaku tidak
pantas terhadap pehbo berdua" Benar-benar pehbo, aku
tidak mengerti kenapa kau menyangkal...."
Yan Toa Nio pandang nona itu, ia lalu bicara dengan
sungguh-sungguh.
"Nona, meski benar kita mempunyai kepandaian, kalau
kita bicarakan itu padamu, kau niscaya tidak akan
mengerti," demikian katanya. "Apa yang kita bisa adalah
latihan biasa saja untuk setiap malam. Mana bisa
diartikan kepandaian sejati?"
Giok Kouw benar-benar jadi tidak senang.
"Pehbo, kau sudah ada umur, tidak pantas aku berlaku
kurang ajar terhadapmu," ia berkata pula. "Tapi dari
kelakuan dan sikapmu ini, terang kau pandang di dusun
kita ini tidak ada orang yang berharga. Pehbo, apa yang
barusan kau berdua latihkan, adalah kepandaian sejati,
aku tidak mempunyai guru yang pandai, tetapi sedikitnya
aku pernah dengar orang bicara tentang bugee. Pehbo
keliru apabila kau anggap kita dari Hiecun ada tukang
gega-res melulu. Ayah telah berbuat sebisanya akan
kendalikan penduduk kita, supaya mereka tak berbuat
tidak selayaknya terhadap kalian berdua, siapa tahu,
pehbo sebaliknya berlaku keterlaluan pada kita ayah dan
anak. Kalau tetap kau berpendirian demikian, pehbo,
baiklah, kita ayah dan anak tidak bisa campur lagi
urusanmu, andaikata ada nelayan yang berlaku tidak
pantas, kita lepas tangan!"
Setelah kata begitu, Giok Kouw berbangkit akan awasi
ibu dan anak itu, tapi mereka saling pandang sambil
bersenyum, hingga ia jadi mendongkol sekali. Dengan
tidak pamitan lagi, ia bertindak pergi.
"Encie Giok, mari!" Leng In memanggil selagi orang
bertindak. "Jangan gusar, encie. Ibu sudah ada umur,
apa yang ia bilang ada hal yang benar, tetapi karena ia
hidup di atas air, maka pergaulannya kurang. Encie,
apakah kau tidak dapat memaafkannya?"
"Aku ada seorang kasar," Giok Kouw jawab sambil
menoleh. "Aku selamanya berlaku terus terang, maka itu,
aku tidak bisa melihat orang bicara putar balik. Sudahlah,
sampai lain kali saja!"
Ia tolak daun pintu, ia terus bertindak ke luar.
Toa Nio dan Leng In mengikuti. "Nona Giok, tunggu
sebentar," berkata nyonya itu. "Aku si nelayan
perempuan yang menjemukan memang biasanya tidak
bisa bicara dengan manis, juga sebabnya kenapa aku
jadi tidak punya sanak dan kadang, tidak punya senderan
atau andalan, tetapi kendati demikian, mustahil kami
tidak mengerti maksud baik dari kau, ayah dan anak.
Nona, aku minta kau jangan pandang aku sebagai si
perempuan gila yang ngaco belo. Kalau sebentar kau
pulang, pergi kau sampaikan pada ayahmu, bahwa aku
telah ketemu orang berilmu, yang telah ajarkan aku
sedikit ilmu, hingga aku mengerti juga perihal hongsui.
Kau lihat Hiecun di waktu malam terang bulan seperti ini!
Tidakkah desa ini mirip dengan Tohhoa-goan, daerah
dari sumber bunga-bunga toh dalam kenang-kenangan"
Di luar tahunya kau orang, desa yang begini indah,
sekarang telah mulai tertawung dengan awan kedukaan
dan halimun kesedihan. Jikalau mataku tidak lamur, kirakira
dalam tempo sepuluh hari ini, aku kuatir bakal
terjadi suatu bencana besar, begitu besar hingga aku
kuatir juga meskipun kita jaga belum tentu bencana itu
dapat diluputkan! Tinggal dengan tenang tetapi toh tetap
memikirkan dan bersiaga terhadap mara bahaya itu
adalah ujar-ujamya rasul dan nabi, untuk kita orang
menjaga dan pelihara diri. Cuncu ada satu orang
berpengalaman dari kalangan Sungai Telaga, ia mestinya
mengerti ini. Bukankah kau tinggal di Hiecun secara
mengungsi" Rumah tanggamu, rumah tangga asli dan
asalnya, di manakah adanya" Bukankah kamu sama saja
dengan kami yang sedang merantau" Tempat ada begini
bagus dan aman, apakah tidak sayang andaikata tempat
ini mesti dipasrahkan pada lain orang" Nona aku telah
bicara, sekarang, percaya atau tidak, terserah pada
orang-orangmu! Aku hendak utarakan rasa syukurku
pada kau-orang, ayah dan anak, yang sudah tidak segera
mengusir kami dari sini. Dengan sebenarnya kami masih
ingin tinggal lamaan sedikit di tempat ini.... Di bawahnya
sarang yang terbalik, tidak akan ada telur yang utuh,
maka itu, sebagai tuan rumah, kamu tidak mampu bela
diri, apalagi kami, orang-orang tumpangan, tamu yang
tidak diundang" Tapi mudah-mudahan, ketemu bahaya,
bahaya itu dapat berobah menjadi keselamatan, ketemu
kesukaran, kesukaran itu dapat menjadi kebaikan,
dengan begitu, itu berarti keberuntungan dari aku si
perempuan nelayan tua yang tak berguna!...."
Giok Kouw tercengang mendengarkan ucapan yang
panjang lebar, ia bisa lihat ucapan diutarakan dengan
suara dan roman sungguh-sungguh, tetapi semua itu
tidak masuk pada otaknya. Ia anggap nyonya ini benarbenar
sedang ngaco belo!
"Ia telah berlaku tidak semestinya pada kita tetapi
sekarang ia hendak bujuki kita," demikian ia pikir,
"apakah ia kira kita ada bocah-bocah cilik, yang boleh
dilagui?" Karena memikir demikian, nona Tan tertawa.
"Pehbo, kau bukan saja pandai di muka air, tapi kau
nyata ada seperti separoh dewi!" kata ia dengan
mengejek. "Karena kau berilmu, cara bagaimana aku
berani tidak percaya kau" Baiklah, sebentar aku nanti
sampaikan ucapanmu pada ayahku, aku akan anjurkan
supaya ayah lekas-lekas ajak semua penduduk dari
Hiecun pergi menyingkirkan diri, supaya kalau nanti
ancaman bahaya telah datang, mereka tidak menjadi
menyesal dan penasaran! Kita orang tadinya tinggal
dengan aman dan senang di tempat yang indah ini,
sekarang ternyata kita orang tidak punya rejeki untuk
tinggal tetap di tempat yang indah dan makmur ini.
Inilah yang dibilang, orang yang tidak punya hokkie
mesti mengalah pada orang yang hokkie-nya besar!
Dengan angkat kaki, kita jadi bisa serahkan tempat kita
pada orang yang kehendaki ini, apakah itu bukannya
takdir?" Setelah kata begitu, dengan bersenyum sindir, Giok
Kouw lantas angkat kakinya untuk berlalu dari rumah
gubuk itu. Yan Toa Nio dan gadisnya berdiri di depan pintu,
mereka mengawasi terus pada si nona tamu, mereka
seperti tidak mau masuk ke dalam gubuknya. Giok Kouw
ketahui kelakuan orang itu, ia berpura-pura tidak tahu
dan jalan terus, di bawahnya sinar bulan yang permai itu.
Sebab jagat ada sunyi, ia dengar nyata ucapannya Yan
Toa Nio yang terakhir, katanya, "Bocah perempuan ini
tidak mau percaya perkataanku, sayang.... Nanti,
sesudah bencana besar datang menimpa, barulah ia
percaya...."
Giok Kouw tidak gubris ocehan itu, malahan ia lekaslekas
jalan pulang ke kampungnya...
--ooo0dw0ooo-- II Tatkala itu seluruh dusun sudah sunyi sekali, tandanya
semua penduduk sudah pada tidur nyenyak, tetapi ketika
Giok Kouw sampai di rumahnya dan menolak pintu
pekarangan, ia dapati ayahnya sedang berdiri di latar,
lagi jalan mundar-mandir. Dan ayah ini bersenyum
apabila ia dapat lihat puterinya pulang.
"Anak nakal, kau benar bernyali besar!" ayah ini
menegur sambil tertawa "Kau jadinya sudah pergi pada
ibu dan anak itu di mulut muara! Bukankah kau telah
berhasil memperoleh keterangan jelas perihal mereka
berdua?" Ditegur begitu, mukanya Giok Kouw menjadi merah
dengan mendadak. Ia keluar di luar tahunya siapa juga,
ia ingin ayahnya tidak ketahui kepergiannya, siapa


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyana, ayah itu pergoki perbuatannya Tapi karena ia
pulang dengan tangan kosong, dan dengan menahan
kemendongkolan, ia jadi mungsang-mangsing.
"Ayah, apakah kau kira kita berdua masih bisa tinggal
di sini lebih lama?" demikian ia kata pada orang tua itu.
"Tidak bisa tidak, kita harus segera usir ibu dan anak itu,
mereka tidak boleh tinggal lebih lama lagi di desa Hiecun
ini, tidak juga di daerah Giokliong-giam! Mereka ternyata
telah pandang kita sebagai nelayan yang kebanyakan,
yang kasar dan bodoh! Ayah, tidak saja mereka berani
hinakan kau, juga aku, mereka berani permainkan!
Mereka pandang kita penduduk Hiecun tidak berharga
semuanya, mereka mesti segera diusir pergi! Kalau tidak,
kecewa kita dari pihak Kiushe Hiekee!"
Tan Tay Yong tidak menjadi heran melihat sikap
gadisnya ini, yang menjadi uring-uringan, karena ia
lantas menduga, mestinya anak ini tidak dapat sambutan
manis dari mereka. Ia tidak mau menggoda lebih jauh,
malah ia manggut-manggut, ketika ia jawab gadis itu,
"Baik! Kita orang mesti kasih rasa pada dua orang itu,
supaya mereka tidak lagi tidak pandang mata pada kita
dari pihak Hiecun! Tapi, bagaimana ibu dan anak itu
perlakukan kau" Mari kita duduk di dalam, supaya kau
bisa menutur dengan jelas, supaya aku bisa pikir,
tindakan apa aku mesti ambil...."
Giok Kouw turut ayahnya, maka mereka lantas masuk,
begitu lekas sudah berduduk, ia lantas ceritakan hal
penyelidikannya bagaimana bermula ia saksikan
kepandaian dari anak dara dan ibunya itu, sampai
kemudian ia bicara dengan mereka mulai dari manis, dan
akhirnya kita jadi seperti kebentrok, karena ia tidak dapat
dengarkan "ocehannya" Yan Toa Nio itu.
Tan Tay Yong terperanjat mendengar Yan Toa Nio dan
gadisnya mengerti Enghoan Tiauwkie-ciang dan Toasui
Paychiu, dua macam ilmu menimpuk dan menyambut
timpukan batu, yang berhubungan satu dengan lain. Itu
ada salah satu ilmu dari "ahli dalam" (lweekeh) yang
liehay. Malahan ia belum pernah dengar, ada orang
perempuan yang yakinkan ilmu itu, yang meminta tenaga
besar luar biasa.
"Kenapa mereka mengerti dua macam ilmu itu?"
demikian ia pikir. "Terang sekali, asal-usulnya ibu dan
anak itu tidak sembarangan. Perlu aku selidiki mereka
dengan teliti. Di pihak Kiushe Hiekee adalah ketua Tan
Ceng Po dan Lim Siauw Chong yang mengerti kedua
macam ilmu itu...."
"Selanjutnya kau baik jangan coba pergi pula pada
mereka," akhirnya ia pesan anaknya. Kita tidak boleh
kasih alasan hingga mereka curigai kita. Aku nanti
berdaya akan selidiki mereka lebih jauh."
Demikian, besoknya, diam-diam Tan cuncu telah kasih
perintah pada penduduk Hiecun akan mereka intip gerakgeriknya
dua tamu perempuan itu, tetapi mereka dipesan
supaya jangan kasih kentara hal pengintipannya itu.
Meski demikian "ganjelan" toh telah mengambil tempat.
Empat buah perahu telah ditambat di mulut muara,
dekat gubuknya Yan Toa Nio dan anaknya. Kewajiban
perahu-perahu ini adalah untuk setiap waktu, siang dan
malam, pasang mata atas nyonya dan nona itu. Yan Toa
Nio berdua tidak bisa larang orang dekati mereka, meski
sebenarnya mereka tidak puas. Mereka menumpang dan
tidak punya hak apa-apa, dan rombongan pengintip juga
tidak ganggu mereka. Adalah selang tiga empat hari,
baru ganjelan tercipta.
Empat nelayan muda tidak mempunyai cukup
kesabaran, tidak saja mereka tidak berlaku hati-hati,
malahan mereka sengaja goda ibu dan anak itu. Kalau
Yan Toa Nio keluar menangkap ikan, mereka menguntit,
mereka sengaja datang dekat-dekat, dan apabila orang
sedang menebar jala, mereka sengaja majukan
perahunya, hingga ikan jadi kaget dan lari. Meski mereka
tidak kata apa, tapi terang ini berupa gangguan.
Pada suatu hari, Leng In keluar sendirian, justru ia
hendak lepas jalanya, ia diganggu oleh empat pemuda
nelayan, hingga ia jadi mendelu. Batal menangkap ikan,
ia angkat jalanya, perahunya dilajukan dengan pesat,
dengan tidak menoleh lagi pada mereka itu, ia berseru
sebagai juga pada dirinya sendiri, "Kawanan kerbau
dungkul, apakah kau orang mau adu kepandaian dengan
nona Yan! Nyatalah pihakmu sendiri yang berniat pesiar
ke dalam istananya si Raja Naga!"
Empat pemuda itu tertawa berkakakan melihat orang
pergi dengan belum dapat barang seekor ikan, hampir
dengan berbareng, mereka geraki penggayuhnya untuk
kasih perahu mereka menyusul. Mereka berniat terjang
perahunya si nona hingga terbalik. Mereka tidak puas
terhadap ketua mereka, yang dikatai bersikap terlalu
lemah pada dua tamu perempuan itu, sekarang mereka
mau umbar kemendongkolannya itu.
Sebenarnya Leng In ada terlebih pandai dalam
menggunakan penggayuhnya, perahunya laju pesat luar
biasa, apamau sekarang ia hadapi perahu yang
menggunakan empat penggayuh dan yang geraki
pengga-yuh pun ada orang-orang muda, yang bertenaga
besar, yang semangatnya sedang berkobar-kobar, tidak
heran, belum terlalu lama, perahunya sudah dapat
didekati, tapi karena ia pandai kemudikan perahunya itu,
ia tidak sampai bikin perahunya kena kebentur. Tapi ini
melulu bikin empat nelayan itu jadi gusar, saking
penasaran karena berulang-ulang maksud mereka selalu
kacau, mereka telah mandi keringat, mereka jadi malu
sendirinya Lalu, dengan mengincar, mereka coba lagi
sekali akan tabrak si nona
Leng In tidak mau kasih perahunya diterjang, meski
demikian dengan sendirinya ia bikin kendaraannya
terbalik dan karam begitu lekas ia sudah bisa menyingkir
dari tubrukan yang hebat itu, dari itu ia jadi tercebur dan
hilang dari muka air.
"Hura!" berteriak empat anak muda itu berulangulang.
Mereka puas sekali melihat perahu orang kelebuh
dan si nona mandi terpaksa Tapi baru saja mereka
berhenti berteriak-teriak, atau mereka sekarang pada
menjerit, "Eh, eh, celaka! la tentu ganggu kita!...."
Itulah sebab perahu mereka mendadak bergoncang.
Perahu itu memang tidak laju lagi begitu lekas mereka
tungkulan bersorak-sorak hingga mereka alpakan
penggayuhnya Mereka kaget tidak lama atau kaget itu sampai di
puncaknya! Mendadak perahu mereka terbalik, hingga
dengan tidak berdaya, mereka mesti pada terjun ke air,
mengantapi perahu mereka itu kelebuh. Dua di
antaranya, saking kaget, sudah kena telan air, sampai
mereka gelagapan. Syukur mereka semua pandai
berenang, dari itu berdua mereka tidak sampai kelelap.
Sekarang mereka mesti muncul di muka air sambil
berenang. Leng In sudah muncul duluan, dengan sebat ia telah
bisa bikin perahunya terbalik pula, buang airnya dan
lompat naik atas perahu itu, untuk terus digayuh Ia
sengaja tujukan kepala perahu pada empat nelayan itu,
hingga mereka ini mesti lekas selulup supaya tidak
sampai kena kebentur! Dan ketika mereka timbul pula,
mereka lihat si nona telah lajukan perahunya menuju ke
muka muara! Empat pemuda ini menjadi masgul berbareng
mendongkol, sia-sia saja mereka gunakan tenaganya,
siapa tahu kesudahannya mereka kecele, mereka sendiri
yang dibikin keok dan malu. Dengan lesu mereka
perbaiki perahu mereka dan gayuh pulang....
Adalah sejak kejadian ini, anak-anak muda itu jadi
tidak berani lagi bertindak sembarangan.
Dua hari lewat sejak kejadian tersebut, mendadak di
mulut muara ada muncul dua rombongan coan-pang
atau perahu, yang nyata ada kepunyaannya pihak
Englok-kang udik. Maka tidak heran, rombongan perahu
itu seperti telah memenuhkan atau menutup mulut
muara Di mana pihak Hiecun memang ada punya perahuperahu
penilik di sebelahnya mereka yang biasa keluar
masuk hampir tidak putusnya, tidak heran apabila
datangnya rombongan perahu-perahu asing ini segera
dapat diketahui. Laporan segera sampai pada Tan Tay
Yong, begitu juga laporan dari empat pemuda nelayan
yang diwajibkan mengintai ibu dan gadis itu, malahan
mereka menyangka, ibu dan anak itu ada konconya pihak
Englok-kang udik itu, hingga dua orang perempuan itu
jadi semangkin dicurigai.
Untuk membikin penyelidikan sendiri, dengan
menyamar, Tan Tay Yong keluar dengan sebuah perahu
kecil. Ia telah berlayar memutar, kemudian ia balik, ke
dekat gubuknya Yan Toa Nio. Sampai begitu jauh, ia pun
sudah lantas bercuriga, karena ia lihat, dua rombongan
perahu itu bukannya perahu-perahu mayang yang sering
tertampak dari lain-lain rombongan nelayan.
Di sepanjang dua tepi mulut muara ada berbaris tidak
kurang dari tigapuluh buah perahu. Anehnya tidak ada di
antara perahu itu yang memuat penumpang perempuan.
Pun kelihatan, kecuali tiga orang tua, usia di atas
limapuluh tahun, yang lain kebanyakan ada pemudapemuda
umur dua sampai tigapuluh tahun. Ia lihat
segala perabot keperluan nelayan, akan tetapi di mata
yang tajam dari Hiecun cuncu, mereka mestinya bukan
bermaksud menangkap ikan melulu.
Sesudah menyelidiki sekian lama, Tay Yong kembali ke
dalam muara. Pihak Hiecun memang larang orang menangkap ikan
di daerahnya, dilarang juga orang asing dan perahunya
bermalam di daerah dusun perikanan ini, akan tetapi
terhadap dua rombongan ini mereka tidak dapat segera
mengusir, karena mereka sedang singgah dan
singgahnya juga di luar mulut muara. Untuk mengusir,
mereka tidak dapati alasan.
Sesampainya di dalam dusun, Tay Yong kasih perintah
bunyikan suitan bambu, untuk kumpulkan semua
penduduk Hiecun. Maka semua nelayan menjadi repot,
lekas sekali mereka siap dengan layarnya. Mereka heran
juga selagi air pasang dan bukan waktunya untuk keluar
bekerja, mereka mesti dengar pertandaan itu.
Dengan dikepalai oleh perahunya Tay Yong, semua
perahu nelayan segera bergerak. Dalam satu rombongan
besar atau lerotan panjang, mereka menuju ke satu
tempat jauhnya lebih daripada satu lie dari Hiecun. Di
sini mereka bisa berkumpul dengan leluasa Tapi karena
mereka kumpul di sini, baru semua nelayan ketahui yang
mereka keluar bukannya untuk menangkap ikan.
Oleh karena mereka semua sudah terlatih, mereka
telah atur rapi barisan perahu mereka masing-masing,
kemudian yang menjadi kepala rombongan, yang
dipanggil tauwbak, dengan satu tanda datang berkumpul
bersama ketua mereka "Kita orang sekarang berkumpul
di sini, karena satu bahaya sedang mengancam kita,"
berkata Tan Tay Yong dengan langsung. "Kita orang
mesti berkumpul untuk berunding supaya kita orang jaga
saja diri kita baik-baik, tegasnya, aku ingin kita orang
bersiap, untuk membela diri."
Tay Yong telah dapat sambutan yang hangat, karena
semua nelayan sudah mengerti keadaan mereka, hingga
mereka tidak bersangsi sedikit juga akan berikan
janjinya, janji tenaga dan jiwa. Mereka nyatakan bersedia
akan turut segala titah atau pengaturannya ketua ini.
Untuk sementara, Tay Yong hendak pecah semua
penduduk dalam dua rombongan, untuk menjaga siang
dan malam dengan bergiliran. Kecuali mulut muara yang
dijaga keras, di atas Giokliong-giam juga hendak
dipasang pengawasan di empat penjuru, supaya dari
jauh-jauh mereka sudah bisa dapat lihat apabila ada
gerakan apa-apa dari pihak penyerang.
"Juga yang giliran menjaga siang tidak boleh alpa,"
Tay Yong minta. "Aku tidak bilang musuh akan serang
kita malam ini, akan tetapi mereka pasti bisa serang kita
setiap waktu. Mereka telah datang dari tempat jauh,
mestinya mereka sudah siap betul-betul. Andaikata
musuh menyerang, selainnya menangkis, tindakan
pertama adalah mengasih tanda, supaya semua pihak
kita bisa lantas sedia akan sambut mereka. Terutama
mulut muara mesti dijaga keras. Panah kita mesti sedia
banyak. Musuh tidak boleh diijinkan melintasi mulut
muara." Tan Tay Yong juga sediakan dua-puluh orang,
teristimewa untuk menjaga pihaknya Yan Toa Nio yang
mesti dikurung.
"Mereka itu liehay sekali, panah saja mereka dari
jauh," ia pesan. "Jangan dekati mereka, meskipun kamu
mengerti silat, itulah percuma. Aku pun nanti coba tindas
mereka terlebih dulu, agar mereka tidak jadi penyambut
bagi pihak musuh."
Kemudian Tay Yong kasih tahu, ini ada tindakan
pertama, dan tindakan kedua ia akan pikir lebih jauh.
Tindakan kedua ia maksudkan sebagai daya akan
selamati Hiecun untuk selama-lamanya.
Semua nelayan buktikan semangat mereka, mereka
tidak senang dan bersedia untuk bergulat.
"Cuncu jangan kuatir," kata satu nelayan yang
bernama Lim Siong Su. "Tidak nanti kita tinggalkan
Hiecun, kita akan hidup atau musnah bersama-sama
dusun kita ini. Kalau terpaksa, aku akan bikin karam
semua perahu kita, supaya musuh tidak dapat
punyakan!"
Lim Siong Su ini ada tauwbak keempatnya Tan Tay
Yong. Sama sekali ada empat tauwbak, yang setiap hari


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pegang pimpinan, mewakilkan cuncu, apabila sedang
keluar menangkap ikan. Semua nelayan mesti tunduk
pada mereka. Tauwbak pertama ada An Sam Siu, yang kedua Yap A
Tiong dan yang ketiga Ho Jin. Mereka semua masih
muda, pandai berenang di air. Di antaranya adalah Siong
Siu, yang mengerti ilmu silat cukup baik, adatnya pun
paling keras. "Kau benar, saudara Lim," kata Wan Sam Siu. Kita dari
pihak Kiushe Hiekee, ke mana saja kita pergi, jangan
biarkan orang pandang enteng pada kita, biar musuh ada
punya tiga kepala dan enam tangan kita toh mesti lawan
padanya!" "Jikalau kau semua sudah insyaf, itu bagus," kata Tay
Yong pada dua orang kepercayaannya itu. "Memang,
berhasilnya kita melindungi Hiecun berarti juga kita
pegang kekal pamornya Kiushe Hiekee. Sekarang, karena
gentingnya keadaan dan karena kau orang telah
mengangkat aku sebagai cuncu, aku minta kau orang
semua dengar aku! Siapa saja, ia mesti turut
perkataanku! Umpama kata ada orang yang bandel dan
bantah aku, aku tidak mau hukum padanya, tetapi aku
harap kedudukanku diganti oleh lain orang! Bukankah di
antara kita tidak ada orang luar?"
"Kau keliru, cuncu," Yap A Tiong berkata. "Kita telah
angkat kau menjadi cuncu, sudah tentu kita akan dengar
perkataanmu! Aturan kita, siapa bersalah, cuncu mesti
jalankan aturan terhadap orang itu! Bukankah kita
sekarang tidak bisa lagi angkat kaki dari Hiecun, melulu
untuk hidup sendiri?"
"Perkataanmu, saudara, menyatakan kecintaanmu
atas diriku!" Tay Yong bilang.
Kemudian Ho Jin nyatakan, apa tidak terlebih baik
mereka turun tangan terlebih dulu terhadap Yan Toa Nio
dan anaknya. "Tidak," Tay Yong jawab. "Kita curigai mereka tetapi
buktinya kita belum ada, sebagai laki-laki, aku malu
menghina orang perempuan! Sekarang kita perlu awasi
saja sepak terjang mereka."
"Kalau begitu, kasihlah aku yang ajak saudara-saudara
pergi mengawasi mereka," Ho Jin minta tanggung jawab.
"Apabila benar mereka main gila, aku ingin sekali
buktikan, bagaimana sih liehaynya mereka!"
Tan Tay Yong terima baik permintaan itu.
"Tapi ingat kehormatan kita, aku minta jangan kau
sembrono," ia pesan, la lantas tetapkan kewajibannya
tauwbak itu. Kemudian ia kata pada Siong Siu, "Silakan
bawa semua perahumu pergi menjaga mulut muara.
Jaga supaya jangan ada perahu kita yang sembarangan
keluar batas. Sebelumnya musuh unjuk bukti bahwa
mereka hendak menyerang, kita pun jangan kentarakan
suatu apa. Aku berikan kau duapuluh saudara, mereka
mesti sembunyi di mulut muara, di pepohonan, di
tanjakan, sedialah panah, apabila musuh merangsek,
lantas gencet dan serang mereka. Di waktu bertempur,
kita tidak boleh bersangsi lagi akan turun tangan.
Sekarang sudah tiba saatnya untuk kita jual jiwa kita!"
"Benar, cuncu!" sahut Lim Siong Siu, yang terima
kewajiban itu. Setelah itu, Tan Tay Yong perintahkan Wan Sam Siu
dan Yap A Tiong.
"Kamu berdua boleh kepalai masing-masing
rombongan seperti biasa. Sam Siu, kau boleh menjaga di
depan Hiecun. Kau A Tiong, boleh pecah-pecah
rombonganmu itu, begitu sang malam datang, lantas kau
rondai seluruh daerah kita. Sekalipun tempat yang buntu,
kau mesti perhatikan, maka itu, kirimlah dua perahu
dengan dua saudara, menjaga di kaki Giokliong-giam,
asal ada gerakan apa-apa, mereka ini mesti segera
memberi tanda."
"Cuncu nampaknya terlalu berhati-hati," A Tiong
bilang. "Bukankah dari atas Giokliong-giam tidak ada
jalanan sama sekali" Dari pihak bukit, kita sebenarnya
tidak ada hubungan sama pihak luar yang mana saja...."
"Bukannya begitu, saudara Yap. Kita lebih baik
berhati-hati daripada beralpa. Bukankah penjagaan itu
tidak ada ruginya bagi kita" Mari, silakan kau pergi
bekerja!" A Tiong tidak membantah, ia pun terima baik
kewajibannya. Kemudian Tay Yong berikan lain-lain titah lagi,
sesudah mana ia ajak semua nelayan berangkat pulang
untuk mereka itu lantas bekerja.
Giok Kouw sambut ayahnya waktu ayah itu pulang, ia
lantas tanya apa yang ayah itu atur.
Tay Yong tuturkan segala apa pada anaknya itu,
terhadap siapa ia tidak simpan rahasia.
"Hiecun ada daerah yang bagus, aku percaya, biarpun
ia liehay, musuh rasanya tidak akan mampu celakai kita,"
Giok Kouw nyatakan. "Apa yang aku harap adalah
rombongan di muka muara kita itu bukannya dari pihak
Englok-kang udik, yang telah menjadi musuh kita.
Tentang mereka perlu dicari tahu, supaya kita tahu pasti
mereka ada dari golongan mana."
"Kau benar, anak. Turut penyelidikanku, mereka pasti
bukannya penduduk Englok-kang yang berdekatan
dengan kita, aku percaya sebagian di antaranya ada dari
Englok-kang udik, sisa dari musuh-musuh yang telah
menjadi pecundang kita. Rupanya mereka datang
dengan tenaga baru. Kalau aku tidak salah, mereka ada
rombongan Yo Ban Hoo, hanya, apa yang aneh, di antara
mereka tidak ada hui-hiecun, perahu-perahu istimewa
dari rombongan itu."
"Kalau begitu, kita perlu bikin penyelidikan lebih jauh,"
Giok Kouw nyatakan.
"Aku pun berpikir begitu. Kalau sebentar tidak ada
perobahan apa-apa, aku hendak ajak beberapa saudara
yang pandai berenang dan selulup, akan hampirkan
perahu-perahu mereka"
"Ayah benar, malah lebih lekas lebih baik."
Boleh dibilang hampir tidak mengaso lagi, Tan Tay
Yong lantas keluar pula, sekarang guna tilik semua
nelayan, akan lihat pekerjaan mereka itu sebagaimana
tadi telah diatur, kesudahannya ia merasa puas. Semua
orang telah bekerja betul dan malahan mereka itu
nampaknya siap sungguhan, seperti juga bahaya sudah
pasti bakal mengancam mereka.
Hatinya Tan cuncu jadi tenteram sekali, karena ia
percaya, dengan beragam dan bersungguh-sungguh,
andaikata ada bahaya tentu dapat dihindarkan. Karena
ini ia lalu tetapkan niatannya akan lakukan penyelidikan
ke perahu asing. Tapi, sebelumnya pulang, ia pergi ke
mulut muara, akan tilik rombongan perahu-perahu yang
dicurigakan itu. Untuk keheranannya, selama itu pihak
asing telah dapat tambahan lebih daripada duapuluh
perahu lagi, semuanya perahu-perahu kecil yang lajunya
pesat. Meski demikian, penumpang-penumpang perahu
itu tenang semuanya, mereka bicara dan pasang omong
dengan sewajarnya, pada mereka tidak tertampak
gerakan apa-apa yang mendatangkan kecurigaan orang.
"Benar luar biasa," pikir Tan Tay Yong.
Dalam perjalanan pulang, ketua Hiecun ini coba
melongok gubuknya Yan Toa Nio, ia lihat ibu dan anak
dengan tenang sedang bekerja membikin bale atau
pembaringan bambu, mereka sama sekali tidak bersikap
luar biasa. Pemandangan ini menambah kelegaan
hatinya. Selagi lewat di tempat di mana berada rombongan
perahunya Lim Siong Siu " barisan keempat " Tay Yong
lihat tauwbak-nya sedang jalan mundar-mandir di gili-gili,
melihat padanya, tauwbak itu menegur. Tiba-tiba ia ingat
suatu hal, ia lantas gapein tauwbak itu.
"Aku ingin kau lakukan suatu pekerjaan," kata ketua
ini, sesudah Siong Siu samperi ia. "Apa kau bisa pilih
beberapa orang di antara orang-orangmu yang terpandai
untuk berenang dan selulup?"
"Aku dapat sediakan orang-orang itu," Siong Siu
jawab. "Duapuluh tahun berada dalam latihan bersama,
saudara-saudaraku semua sudah boleh diandalkan. Apa
cuncu berniat bokong musuh?"
Ditanya begitu, Tay Yong tertawa.
"Saudara, kau ngaco!" ia kata. "Orangmu cuma
duapuluh lebih dan perahu-perahu di sana sekarang
telah berjumlah empat atau limapuluh lebih, satu tanda
jumlah jiwa penumpangnya ada banyak, maka itu, cara
bagaimana kau bisa pikir untuk serang mereka dengan
diam-diam" Aku tidak pikir demikian, saudara, aku hanya
ingin bikin penyelidikan untuk dapati kepastian, mereka
sebenarnya datang dari mana dan dari golongan apa.
Jika kita telah mengetahui jelas tentang mereka berarti
ada lebih gampang untuk kita hadapi mereka itu.
Maksudku adalah kirim beberapa perenang
menghampirkan perahu-perahu mereka, akan selidiki
mereka dari dekat."
Setelah mengetahui maksud ketuanya, Lim Siong Siu
bersenyum. "Aku kira pekerjaan bagaimana, tidak tahunya hanya
penyelidikan," berkata ia. "Itulah tidak berarti banyak!
Cuncu serahkan pekerjaan itu padaku, cuncu harap
sediakan saja buku jasa untuk catat nama rombongan
kita!" "Saudara, jangan kau pandang pekerjaan ini seperti
permainan anak-anak," Tay Yong mengasih ingat.
"Bukankah pepatah berbunyi: kenal diri sendiri, kenal
musuh, baru seratus kali berperang kita bisa seratus kali
menang" Tapi aku tidak mengharap begitu, buat aku,
cukup asal Kiushe Hiekee bisa lindungi pamornya. Di
kalangan kita, kau memang terkenal gagah, tetapi di
kalangan Sungai Telaga, kau mengerti, orang pandai
bukannya sedikit. Kalau kita alpa dan memandang
enteng semua orang, gampang sekali kita dibikin gagal.
Kalau kita pergi bekerja, jangan lantas kita harapi pahala,
sudah cukup asal kita jangan bekerja salah. Kita mesti
jaga, kita pergi buat berhasil, tetapi jangan kita pergi
untuk orang bikin kita kecele dan malu...."
Tan Tay Yong tahu tauwbak itu beradat tinggi dan
berhati keras, maka itu, ia telah bicara dengan tandes.
Lim Siong Siu tidak berani adu bicara sama ketuanya,
meski ia tidak setujui nasehat ketua itu.
"Baiklah, cuncu, aku nanti pergi, aku tidak akan bikin
gagal!" katanya Meski demikian, pada air mukanya
tertampak nyata, bahwa ia kurang puas.
Melihat sikap orang itu, hatinya Tay Yong tidak
tenteram, akan tetapi karena ia tahu, tidak ada lain
rombongan nelayan yang terlebih pandai daripada
barisan keempat ini, ia terpaksa percayakan kewajiban
penting itu pada tauwbak ini.
"Baiklah," ia kata. la terus kasih tahu, bagaimana
penyelidikan mesti dilakukan, kemudian lagi sekali ia
pesan wanti-wanti supaya tauwbak ini berlaku hati-hati.
Sesudah itu, ia terus pulang.
Kapan sang malam sampai, pihak Hiecun telah siap
dengan penjagaannya. Rombongan keempat ini telah
siap, untuk jalankan kewajiban yang dipasrahkan oleh
ketua mereka. Dalam gelap gelita, Siong Siu pimpin
pasukannya. Setiap satu tombak jauhnya, dua buah
perahu, setiap perahu ada muat dua nelayan dengan dua
tempuling dan dua panah berikut banyak anak panahnya.
Dandanan mereka ada celana pendek, baju ringkas dan
kepala di-bungkus. Mereka tidak bawa pelita atau obor.
Tapi mereka tidak maju terus, hanya menantikan waktu.
Di kiri kanan dan mulut muara yang tinggi merupakan
bukit, ada masing-masing sepuluh nelayan yang
membikin penjagaan. Perhatian mereka ditujukan
terutama ke jurusan gubuknya Yan Toa Nio. Mereka ini
termasuk pula rombongan dari pasukan ketiga dari
tauwbak Ho Hong, yang membawa delapan perahu untuk
pengawasan. Barisannya Yap A Tiong, enam-belas buah perahu
rombongan kedua, tersebar di muka air untuk meronda.
Setiap perahu membawa alat tanda, untuk memberi tahu
ada bahaya atau untuk kumpulkan kawan.
Tan Tay Yong sendiri, bersama empat nelayan sebagai
pengikutnya, menilik semua, guna lihat orang bekerja
sungguh-sungguh atau tidak. Persiapan malam dan siang
memang ada bedanya
Lebih kurang jam satu, Lim Siong Siu mendarat, naik
ke puncak di mulut muara. Dari sini ia bisa melihat jauh
ke jurusan pihak asing yang disangka musuh. Di sana
keadaan tenang. Hanya cahaya terang tertampak.
"Sedari mulai gelap tadi, sampai sekarang mereka itu
tidak bikin gerakan apa juga," begitu keterangannya satu
nelayan, yang pasang mata
"Baik, kau jagalah seperti biasa," berkata Siong Siu,
yang lantas kembali ke perahunya.
Sekarang tauwbak ini panggil empat saudaranya, yang
ia ajak pergi melakukan penyelidikan, lajelaskan pada
mereka hal tugas yang cuncu serahkan padanya, ia unjuk
bahwa ia telah omong besar, maka ia minta empat
kawan itu suka bekerja sama-sama ia dengan sungguhsungguh.
Ia kata, ia malu pulang ke Hiecun andaikata
mereka gagal. "Bagus! Sekarang hayo kita mulai bekerja!" kata Siong
Siu dengan girang.
Empat kawan itu dengan hampir berbareng, lantas
terjun ke air, untuk berenang sambil selulup, Siong Siu
sendiri menyusul paling belakang, la benar liehay,
dengan lekas ia telah bisa susul empat kawan itu. Cepat
sekali mereka sudah sampai di luar mulut muara. Di sini
mereka timbul sebentar, akan menyedot hawa, akan


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat jurusan.
"Kita mesti pecah dua," Siong Siu kata. "Kau berdua
maju dari kanan, aku bertiga dari kiri. Harap kau berlaku
hati-hati."
Dua nelayan yang jalan di kanan itu ada Cio Liong dan
Cian Siu Gie. Dua, yang turut tauwbak ini, ada Thia Toa
Yu dan Ie A Po.
Dengan berenang dan selulup bergantian, berlima
mereka meng-hampirkan perahu-perahu asing. Mereka
bisa datang dekat dengan tidak nampak rintangan.
Dengan tanda, Siong Siu minta kawan-kawan itu jangan
lantas dekati perahu, hanya mereka mesti memutar dulu,
guna lihat apakah musuh pasang pengawas atau tidak.
Sendirian saja, Siong Siu berenang ke sebuah perahu
besar di mana ada cahaya api. Perahu ini berlabuh di
tengah-tengah dari yang lain-lain. la angkat kepalanya
tinggi-tinggi setelah ia sudah datang dekat. Sekarang ia
dapat buktikan kebenarannya dugaan dari Tan Tay Yong.
Perahu besar ini ada dari Kangsan-pang. Dan perahu
macam itu ada tujuh, berlabuhnya bercampuran dengan
lebih daripada tigapuluh perahu lainnya, hingga dari jauh
sangat sukar untuk mengenali dengan segera.
Siong Siu berlaku hati-hati sekali. Ketika itu ia berada
di belakangnya perahu besar itu. Ia cabut golok, yang ia
soren di pinggangnya. Ia kuatir musuh pasang jaring
atau gaetan. Dalam gelap gelita, biar bagaimana juga,
orang tidak bisa bergerak leluasa seperti di waktu siang.
Jala bisa meringkus orang tetapi gaetan adalah
pertandaan. Memegang perahu dengan hati-hati sekali, Siong Siu
gunakan tenaganya guna angkat tubuhnya, dengan
begitu ia bisa melihat ke dalam kendaraan itu di bagian
belakang. Ia lihat satu perapian besar. Di dekat situ ada
rebah seorang tua usia lima atau enampuluh tahun,
rupanya empe-empe itu tidur kepulasan, karena kipasnya
" kipas daun paim"menggeletak di pahanya. Api di
perapian sudah hampir padam, tetapi tekonya telah kasih
dengar suara air yang bergolak-golak.
Percaya tukang perahu itu sedang tidur nyenyak,
Siong Siu lalu melapay ke sebelah kiri. Di sini, dengan
berani, ia lompat naik ke atas perahu, segera ia
hampirkan jendela dari gubuk perahu. Ia dengar suara
dua orang bicara, karena daun jendela tertutup rapat, ia
tidak bisa memandang ke dalam.
"Kita tidak boleh pandang terlalu enteng pada daerah
berharga yang seperti mustika ini," demikian ia dengar
satu suara. "Kita hendak buka jalan hidup untuk saudarasaudara
kita, untuk itu kita mesti gunakan antero tenaga
kita. Aku percaya mereka tidak menjaga sejaga-jaganya
saja, mereka mestinya ada atur daya upaya lainnya yang
sempurna."
"Sebagai orang terhormat, kita tidak harus berlaku
curang!" kata suara yang kedua, yang nyaring. "Kita
sudah berkumpul di sini, itu tandanya kita telah berlaku
terus terang. Mereka ada satu rombongan kecil, apa
terhadap mereka kita perlu kirim surat tantangan
perang?" Siong Siu menjadi ketarik, ia ingin sekali lihat
macamnya dua orang itu. Sekarang ia dapat lagi bukti,
bukti yang memastikan, bahwa Giokliong-giam Hiecun
benar-benar sedang hadapi musuh " musuh untuk hidup
dan mati. Baru saja ia bergerak, dengan niatan melewati
jendela itu, atau mendadak di dalam gubuk perahu ada
orang tertawa terbahak-bahak serta terus berkata, "Aku
tidak percaya segala anak kucing dan anak anjing berani
molos kemari!...."
Ucapan itu sudah lantas disusul dengan suara
disingkapnya kere.
Siong Siu terperanjat, hingga di dalam hatinya ia
berseru, "Celaka!...." Tidak buang tempo lagi, ia pegangi
pinggiran perahu dan terjun ke air.
Berbareng dengan itu, di kepala perahu ada terdengar
suara orang berseru kaget disusul dengan suara berisik.
Dengan tidak pedulikan itu semua, Siong Siu selulup
terus ke kepala perahu, sampai ia terpisah satu tombak
lebih. Di muka air, segala apa ada gelap, di perahu
sebaliknya ada cahaya terang. Mendadak kelihatan
seekor ikan, yang panjangnya tiga kaki lebih, telah
lompat meletik ke kepala perahu, hingga di sana orang
jadi berseru bahna kagetnya. Karena itu, semua orang di
dalam perahu lantas memburu keluar.
"Han suhu, ada apa?" demikian orang menanya.
Orang di kepala perahu itu segera menyahut, katanya,
"Kelihatannya usaha kita bakal berhasil! Aku dengar
suara, tadinya aku menyangka pada kucing dan anjing,
yang berniat main gila di sini, tidak tahunya seekor ikan
besar sudah meletik naik ke dalam perahu kita! Ini ada
suatu alamat baik, kita bakal dapat untung!"
Orang yang dipanggil Han suhu itu lantas unjuki
seekor ikan. "Lauw Ho, Lauw Ho!" ia lalu memanggil-manggil.
Dari dalam lantas muncul satu orang yang matanya
kesap-kesip. Di kepala perahu sekarang berkumpul lima orang, si
Han suhu adalah yang romannya paling bengis.
"Bawa ikan ini!" ia memerintah.
Lauw Ho, atau si Ho Tua sudah lantas angkat ikan itu
untuk dibawa pergi.
Siong Siu mengerti bahwa orang telah pergoki ia,
baiknya ada sang ikan, yang rupanya kaget karena ia
terjun, sudah lompat meletik ke atas, naik ke perahu,
hingga perhatian orang jadi ditujukan pada ikan itu. Ia
tidak takut, tetapi orang di perahu terlalu banyak, untuk
ia layani, sedang tujuannya adalah bikin penyelidikan di
luar tahu musuh. Tapi ia belum peroleh hasil yang
memuaskan, apabila suara sudah mulai sirap, ia
menghampirkan ke sebelah kanan perahu itu. Ia masih
ingin lihat dua orang tadi. Kali ini ia berhasil.
Dua orang itu dandanannya bukan sebagai nelayan,
yang satu berusia kurang lebih enampuluh tahun,
tubuhnya tinggi besar, mukanya merah, berkumis dan
berewokan hitam, bajunya ada baju panjang warna biru.
Orang yang satunya lagi berusia lebih tua, ditaksir
umurnya tujuhpuluh tahun lebih, kumisnya jarang,
mukanya kurus, tetapi sepasang matanya tajam betul,
sampai bersinar. Mestinya aki-aki ini ada seorang yang
liehay. Selagi Siong Siu mengawasi terus, mendadak si
brewok hitam tertawa dan kata, "Cui loosu, inilah yang
dibilang, rejeki tidak datang bareng, bahaya tidak jalan
sendirian! Yang tadi itu adalah penipuan belaka! Lihat
malam ini dua rupa kegirangan datang berbareng! Lihat,
lusu, ikan yang belakangan ini ada terlebih besar
daripada yang ditangkap tadi!"
Sembari berkata begitu, empe ini gerakkan tangannya,
menuding ke air, berbareng dengan itu sebuah senjata
seperti paku perak, melesat menyambar ke jurusan
tauwbak dari Hiecun.
Siong Siu mengawasi orang dengan tubuh tengkurep
di air, kedua tangannya dipakai menahan dirinya, supaya
bisa berdiam terus, ia tidak sangka bahwa ia bakal
diserang secara demikian mendadak, meski ia gesit,
sukar untuk ia tolong dirinya, justru ia mau bergerak
dengan menyangka ia ada bagian mampus, tiba-tiba ia
rasai kedua kakinya ada yang sambar dan betot begitu
keras, hingga ketika senjata rahasia sampai, senjata itu
lewat tepat di atas kepalanya. Kemudian ia telah dibetot
terus, masuk ke dalam air, sampai di bawahnya perahu
besar itu, sedang kupingnya masih dengar secara lapatlapat
suara tiga orang terjun ke air, rupanya untuk cari
ia. Malahan tiga orang itu semuanya cerdik, karena
mereka telah berpencaran salah satu di antaranya, sudah
menuju ke dasar perahu.
Oleh karena ia telah dibetot secara mendadak, kendati
ia pandai berenang dan selulup, saking kagetnya, Lim
Siong Siu telah kena juga tenggak air, hingga ia
gelagapan, syukur untuk ia, pikirannya masih sadar,
meski ia lelah, ia toh berdaya akan singkirkan diri. Ia
melesat ke samping, kedua kakinya digerakkan, atas
mana, tubuhnya lantas mencelat ke atas. Satu kali
kepalanya nongol di muka air, ia bisa buang dan menarik
napas. Tapi ia tidak bisa sia-siakan tempo, la merasa ada
orang susul ia, lekas-lekas ia hunus goloknya.
Pihak pengejar rupanya ada pandai sekali, ia bisa
menyusul dengan lekas, tangannya sudah lantas
menjambret. Dengan egos diri ke kiri, Siong Siu
menyabet dengan goloknya Untuk tolong diri, penyerang
itu segera selulup.
Adalah di waktu itu, muncul Thoa Toa Yu dan le Pa
Po. Mereka juga sudah kena dipergoki oleh musuh,
mereka telah diserang. Pihak musuh ada bertiga.
Kemudian di pihak musuh datang si brewokan, yang
ternyata ada liehay. Dengan bantuannya dia ini, dua
nelayan dari Hiecun itu dengan gampang kena ditangkap,
lantas mereka dilelepkan pergi datang sampai keadaan
mereka setengah mati.
Siong Siu telah dapat lihat dua kawannya digaet naik
ke perahu, ia ada mendongkol berbareng kuatir dan
malu. la telah buka mulut besar, sekarang ia gagal. Ia
malu untuk pulang. Tapi, kalau tidak pulang, lidak
bisajadi. Ia perlu pulang untuk memberi laporan. Di lain
pihak, sekarang ia dikepung oleh tiga orang!....
Dalam keadaan seperti itu, tauwbak ini menjadi nekat.
Ia ingin bisa bacok salah satu penyerangnya, supaya ia
sedikitnya tidak hilang muka, atau ia tidak nanti binasa
secara kecewa. Sayang untuk ia, kendati ia pandai
berenang dan selulup, ilmu silatnya rendah, sedang tiga
musuhnya ternyata mengepung ia dengan maksud
separoh menilik padanya. Beberapa kali ia ditubruk,
beberapa kali ia bisa egoskan dirinya.
Akhirnya si brewokan hitam jadi penasaran.
"Kalau kita tidak bisa bekuk dia ini, orang tentu tidak
akan pandang mata pada kita!" demikian ia berseru.
"Silakan kau minggir, nanti aku layani sendiri padanya!
Aku mau lihat, ia sebenarnya ada orang liehay macam
bagaimana!"
Lantas saja orang tua ini selulup. Siong Siu mengerti
yang ia lagi hadapi musuh tangguh kendati benar musuh
ini bicara terlalu takabur, untuk bikin perlawanan, tidak
alpa akan ambil kepastian. Ia lihat lowongan di jurusan
barat utara, ia segera berenang ke sana, lantas ia
selulup, baru saja mengenjot tiga kali, ia sudah pisahkan
diri jauhnya dua tombak lebih. Dengan cara begini, ia
bisa jauhkan diri dari dua musuh, yang sedang awasi ia
Kapan ia timbul, ia kehilangan si orang tua brewokan
hitam, yang telah selulup sedari tadi.
Untuk cari musuh, Siong Siu celingukan, tatkala
mendadak ia rasai kedua kakinya membentur suatu apa.
Ia kaget, ia segera menahas ke jurusan kakinya. Baru
saja ia membacok, atau bebokongnya ada yang sambar,
ia segera dibetot. Ia menahan napas, ia coba
pertahankan diri, tetapi justru itu, ia merasa tubuhnya
segera ditolak, sampai ia terdorong jauh, hingga ia
muncul di muka air. Ketika ini ia pakai untuk membuang
napas, akan sedot hawa udara baru.
Di depannya, ia lihat air bergelombang, apabila ia
awasi, ia lihat romannya si empe brewokan hitam.
Berbareng dengan itu, di lain jurusan ia tampak air
bergelombang, hanya dalam gelap gelita, ia tidak
sanggup melihat tegas. Ia menjadi heran, hingga karena
bersangsi, ia tidak ingat akan lekas undurkan diri. Ia
sedang bengong tatkala dengan mendadak di
belakangnya terdengar teguran, "Manusia tidak tahu
malu! Apakah kau lagi tunggui kematianmu" Kenapa kau
tidak lekas menyingkir, lari pulang?"
Siong Siu kaget, ia menoleh dengan lekas, tetapi ia
tidak lihat orang yang menegur ia. Tapi sekarang ia
insyaf, maka ia tidak berayal untuk melarikan diri.
Lantas di muka air ia dengar seruan, "Han loosu,
malam ini kita bisa roboh! Kita tidak boleh sudahi saja,
kita mesti cari padanya!"
Siong Siu tidak peduli musuh, ia lari terus. Di tengah
jalan ia ketemu dengan Cian Siu Gie, yang berada di
kanannya, bersama-sama Cio Liong. Mereka lari terus
sampai di mulut muara, baru mereka merasa lega.
Tauwbak itu diam saja, ia berduka dan malu. Ia telah
kehilangan dua kawannya.
Di mulut muara mereka naik atas perahu mereka dan
lantas salin pakaian yang basah, susuti tubuh mereka
juga. "Aku roboh," akhirnya kata Siong Siu dengan
mengelah napas panjang. "Aku malu buat tinggal lebih
lama di Giokliong-giam."
"Lim suhu, kenapa kau berpikiran begitu cupet?" Cian
Siu Gie kata. "Terang orang telah bersiaga. Kita berdua
telah samperkan beberapa perahu, saban-saban kita
tidak mampu datang dekat sekali, kita juga mesti dengar
ucapan-ucapan pedas, yang berupa jengekan terhadap
kita. Orang pun telah sengaja siram kita dengan air
kotor. Karena ini kita segera mengerti yang musuh
sedang permainkan kita, tetapi karena terpaksa, kita
sabar saja, sampai akhirnya kita mundur sendiri."
Siong Siu jadi tambah berduka, ia tidak kata apa-apa
pada dua orang itu, tapi mukanya merah dan suram,
maka Siu Gie lalu ajak Cio Liong undurkan diri ke perahu
mereka. Mereka tahu tauwbak itu sedang mendongkol.
Siong Siu tetap dalam kemendongkolan dan
kesangsian. Ia sangat malu, terutama karena ia tahu di
Hiecun rata-rata orang hargakan ia, karena


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaiannya main di air dan ilmu silatnya. Baru
sekarang ia mengerti betul, siapa berada di tempat
tinggi, jatuhnya parah. Karena malu, ia kertak gigi.
"Biar bagaimana, aku mesti kembali pada musuh, akan
cari Toa Yu dan A Po, untuk tolong mereka!" demikian
akhirnya ia pikir. "Kalau aku berhasil, syukur, kalau tidak,
tidak nanti aku kembali kemari. Kiushe Hiekee melarang
orang meninggalkan golongannya sendiri, tetapi aku
terpaksa mesti menyingkir dari sini, aku baik pulang dulu
ke Hucun-kang, akan asingkan diri di sana"
Setelah ambil putusan, Lim Siong Siu lantas ambil
uang, yang ia gubet di pinggangnya, sesudah itu ia pakai
bajunya Adalah di waktu itu, ia dengar orang ketok
jendelanya sambil berkata-kata, "Lim Siong Siu, kau tidak
tahu diri! Kenapa kau bikin turun derajatnya leluhurmu"
Kenapa sekarang kau niat lakukan lain kedosaan lagi"
Kalau sampai kau terjatuh di tangan musuh, kau bikin
aku jatuh merk juga! Kenapa kau tidak mau diam saja,
bantu menjaga mulut sungai ini" Cucu yang tidak
berguna awas, aku nanti terlebih dulu bereskan
padamu!" Siong Siu kaget, hingga bajunya yang baru dipakai
separah ia sudah tunda dengan tercengang. Ia tadinya
menyangka pada Tan cuncu, yang menegur ia, tidak
tahunya, suara itu bukan suaranya Tay Yong.
"Siapa?" ia menegur, serta buka pula bajunya. Ia
sembat goloknya, dengan tidak tunggu jawaban, ia lari
keluar gubuk perahunya. Tapi di perahunya itu tidak ada
orang, muka air tenang seperti biasa Salah satu dari
sebuah perahu rombongannya berada di sebelah depan
perahunya. "Lie Hong," ia tanya, "apa kau lihat orang di perahuku
ini?" "Tidak," jawab Lie Hong, orang yang ditanya itu, ialah
nelayan dari perahu itu.
Mau tidak mau, Siong Siu menjadi heran bukan main,
hingga lagi-lagi ia mengawasi muka air, yang tetap
tenang, tidak ada tanda-tandanya bekas orang berenang
di situ. Ia menjadi masgul, ia kerutkan alis. Akhirnya,
dengan lesu, ia bertindak masuk pula ke dalam
perahunya, goloknya ia lemparkan. Ia duduk dengan
jatuhkan diri. Di kupingnya masih berdengung suara tadi.
"Terang ia dari pihak Kiushe Hiekee," ia berpikir. "Ia
juga katakan aku cucu yang tidak berguna. Di sini aku
benar paling muda, sebaliknya dari golongan tua, hanya
ada empe dan encek, maka itu ada siapakah yang
panggil aku cucu" Kalau ia dari pihak luar, kenapa ia
panggil aku cucu" Lagian, dengan penjagaan begini kuat,
cara bagaimana musuh bisa datang kemari dengan tidak
diketahui atau mendapat rintangan" Jikalau benar musuh
bisa masuk dengan diam-diam, oh, benar-benar kita
berada dalam bahaya besar!.... Dan tadi, di dalam air,
siapa orang itu, yang telah tolong aku dari ancaman
bahaya" Terang ia berkepandaian sangat tinggi, orang
dengan kepandaian semacam itu, aku belum pernah
lihat...."
Mendadak Siong Siu ingat apa-apa.
"Apakah ia bukannya salah satu dari leluhur kita, Tan
Ceng Po atau Lim Siauw Chong?" demikian dugaannya.
"Lim couwhu ada eng-kongku dari turunan langsung
tetapi ia telah jauhkan diri dari kita, tidak ketahuan ia
tinggal di mana, malahan pihak kita di Hucun-kang tidak
pernah ada yang ketahui padanya, cara bagaimana
sekarang ia bisa ketahui yang anak cucunya telah
merantau sampai di sini" Malahan ia ketahui juga kita
sedang terancam bahaya besar dan telah datang pada
saat yang berbahaya ini" Tidak, inilah tidak bisa
terjadi!...."
Memikir lebih jauh, Siong Siu sekarang insyaf, bahwa
ia masih muda dan kurang pengalaman, kepandaiannya
pun masih banyak cacatnya, hingga belum waktunya
untuk ia masuk dalam kalangan Sungai Telaga. Oleh
karena ini, ia jadi bersangsi dan duduk diam saja, karena
ia bersangsi, apakah ia pergi atau jangan untuk tolong
dua kawannya....
Meski ia rebahkan diri, tauwbak ini tidak bisa pulas,
pikirannya masih terus bekerja. Adalah di waktu itu
mendadak perahunya bergon-cang keras, di kepala
perahunya ia dengar suara menjubiar dua kali, tanda
bahwa ada orang terjun ke air atau dilemparkan ke
sungai. Dengan kaget ia lompat bangun dan sembat
goloknya, lupai segala bahaya, ia lari ke luar, kapan baru
saja ia melongok di mulut pintu, ia jadi tercengang,
matanya melotot....
Di atas perahu ada rebah dua orang, yang rupanya
baru saja diangkat naik dari air, dua-duanya tidak
bergerak, seperti mayat.
Siong Siu kerutkan alisnya, ia beranikan hati. Ia
hampirkan dua orang itu dan segera ia berseru, "Oh,
kiranya kamu berdua!"
Mereka itu memang Thia Toa Yu dan le A Po, yang
tadi tertawan musuh, sekarang pulang entah siapa yang
antarkan! Dengan lantas Siong Siu raba dada mereka, ia rasakan
jantungnya masih memukul, karena tenggak terlalu
banyak air, maka dua nelayan itu jadi pingsan dan rebah
sebagai mayat. Siong Siu segera teriaki kawan-kawannya dari perahu
tetangga, beberapa orang segera datang, apabila mereka
lihat keadaannya Toa Yu dan A Po, lantas mereka turun
tangan akan menolong dan sadarkan dua saudara itu.
Tidak lama setelah air di perutnya dikuras dan mereka
dicekoki air jahe hangat, Toa Yu dan A Po lantas sadar,
mereka buka kedua matanya, segera mereka berseru
bahna heran. Tapi ini justru bikin lega hatinya Siong Siu,
begitupun yang lain.
"Ajak mereka ke dalam," Siong Siu kata
Beberapa orang lantas dukung dua saudara ini,
dengan dipepayang dibawa ke dalam perahu dan terus
direbahkan separoh nyender. Mereka sudah sedar, tetapi
untuk ingat betul beberapa ketika mesti dikasih lewat.
Itulah sebabnya mereka terlalu lemah. Mereka irup lagi
air jahe, baru kemudian mereka bisa bicara.
"Siunia, malam ini kita orang jatuh merk," akhirnya
mereka kata pada Siong Siu. "Kami bisa lolos dari tangan
musuh, ini adalah di luar dugaan kita...."
"Saudara-saudara, aku menyesal sekali atas kejadian
ini," berkata Siong Siu, sang pemimpin atau siunia.
"Kamu telah terjatuh di tangan musuh, aku niat
menolong, sayang tenagaku tidak ada. Aku malu sekali.
Aku sampai di rumah dengan merasa sangat malu.. Aku
terangkan padamu, bahwa aku tidak punya muka untuk
hidup lebih lama pula. Katakan padaku, siapa telah
tolong kamu berdua?"
"Begitu kena ditangkap, kita lantas tidak ingat suatu
apa," Toa Yu jawab. "Kelihatan musuh tidak mau celakai
kita mereka taruh kita di kepala perahu, ditengkurupi,
sampai air di perut kita sendiri keluar. Ketika kita sedar,
jangan kata lari, geraki tubuh saja kita tidak mampu. Kita
diam saja, bersedia akan terima binasa. Sembari rebah,
kita dengar suara orang bicara di dalam gubuk perahu,
rupanya mereka sedang berebut pikiran. Karena kita
ketulian, kita tidak bisa dengar perkataan mereka. Adalah
waktu itu, dari perahu sebelah mendadak lompat dua
orang yang tubuhnya sangat enteng dan gerakannya
gesit sekali. Mereka pakai pakaian mandi dan kepala
dibungkus. Kita lihat mereka ada orang-orang
perempuan, malah mirip dengan Yan Toa Nio dan
gadisnya. Dalam keadaan seperti itu, gelap dan mata
masih seperti lamur, kami tidak mampu menegasi. Lantas
dua orang itu samber kita masing-masing dan dibawa
terjun ke sungai, kelihatannya kita mau dibawa pulang,
tetapi kita tidak ketahui betul, karena begitu lekas masuk
di air, lekas juga kita pingsan lagi, sebab percuma saja
kita menahan karena kita masih sangat lemah. Sejak
pingsan, kita tidak tahu apa-apa lagi!"
Siong Siu goyang-goyang kepala, la bingung dan tidak
mampu berpikir.
"Kenapa justru mereka yang datang menolong,
sedang mereka yang kita curigai?" demikian ia paksa
asah olaknya. Syukur Siong Siu, ia tidak usah putar otak terlebih
jauh. Sebuah perahu mendatangi, lantas ternyata, itu
ada perahunya cuncu Tan Tay Yong yang diiringi oleh
empat nelayan. Mereka melakukan penilikan. Terpaksa ia
menahan malu dan sambut ketua itu.
Begitu lekas Tay Yong telah berada di perahunya,
Siong Siu tuturkan tentang perjalanan dan
pengalamannya yang luar biasa itu. Ia utarakan
menyesalnya untuk kegagalan itu. Ia pun tuturkan
pengalaman dari Toa Yu dan A Po.
"Apa yang aneh, mereka bilang bahwa yang tolong
mereka adalah ibu dan anak yang kita curigai itu," ia
tambahkan akhirnya. "Aku tadinya hendak beri laporan
pada cuncu, tetapi sekarang cuncu telah datang lebih
dulu. Sekarang aku minta cuncu angkat lain orang untuk
ambil tempatku, kemudian cuncu boleh hukum aku
menurut aturan kita, aku akan terima segala hukuman.
Aku malu sekali, sebelumnya bertempur dengan musuh,
aku telah bikin turun pamor kita...."
Mendengar begitu, Tay Yong goyangi tangan
berulang-ulang.
"Jangan kata begitu," ia bilang. "Titah saja untuk
membikin penyelidikan sudah berarti bahaya, apapula
dijalankannya itu. Janganlah kau anggap bahwa
kegagalanmu itu menurunkan pamor, kau mesti insyaf
pentingnya perkara. Sekarang mari kau ikut aku."
Siong Siu diam saja, ia ikut diajak ke perahunya ketua
itu. Di sini ia disuruh duduk. Ia menurut.
"Aku tahu, Siong Siu, mengenai urusan kita, kau selalu
bersungguh-sungguh," kemudian kata ketua ini. "Aku
juga tahu, kau memang beradat keras dan selamanya
ingin menang sendiri. Kita sebenarnya bukan bangsa
nelayan sembarangan, kita ada dari Kiushe Hiekee dan
telah wariskan sifatnya leluhur kita. Buat kita, hidup atau
mati, senang atau terhina, mesti sama-sama. Kau
anggap dirimu malu, tetapi ke mana kau hendak pergi"
Pendekar Kidal 12 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Dendam Iblis Seribu Wajah 19

Cari Blog Ini