Ceritasilat Novel Online

Sepak Terjang Hui Sing 2

Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 2


"Sepertinya, kau sudah tidak percaya lagi terhadap pemerintah Majapahit, Ramya?"
"Romo meninggalkan ingar bingar Majapahit karena sadar, tidak ada lagi rasa tepo sliro (saling menghargai) dan kebersamaan di sana. Orang-orang saling sikut demi kepentingan pribadi. Sekarang, kata-kata romo terbukti."
Suasana hening. Hui Sing mencoba memahami porak-porandanya perasaan Ni Ramya. "Ramya, bagaimana jika kau ikut kami ke Majapahit?"
Ramya tersenyum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Romo menitipkan Simongan kepadaku. Aku harus tinggal di sini, Hui Sing!"
"Paling tidak, kau bisa bertemu dengan rajamu untuk membicarakan hal ini."
"Romo mengajariku untuk tidak menjadi penjilat."
Hui Sing mengalihkan pandangannya. Ia lalu mengambil sesuatu dari balik baju panjangnya. Sebuah patung burung merak dari batu giok berwarna hijau seukuran genggaman tangan.
"Armada sudah siap berangkat malam ini, Ramya. Kami meninggalkan satu kapal untuk Paman Wang jika dia sudah sembuh agar bisa menyusul ke Majapahit. Jika engkau berubah pikiran, kau bisa berangkat bersama Paman Wang."
Hui Sing lalu mengangsurkan patung burung merak itu kepada Ni Ramya.
"Ini benda kesayanganku, Ramya. Simpanlah sebagai tanda persahabatan kita."
Ramya menerima benda pemberian Hui Sing tanpa berkata-kata. Beberapa saat dia sibuk mengamati patung kecil yang luar biasa cantik itu sambil terkagum-kagum. Karena masih dalam suasana berkabung, Ramya tak memperlihatkan kegembiraan yang berlebihan. Dia hanya menggengam patung itu erat-erat.
"Aku berjanji akan menyimpannya baik-baik, Hui Sing. Aku juga akan berdoa, semoga misi perdamaian kalian berjalan lancar."
Hui Sing langsung memeluk Ramya karena terharu.
Matanya berkaca-kaca menahan rasa sedih karena perpisahan itu.
"Kami titip Paman Wang selama beliau masih tinggal di Gua Gedong Batu untuk penyembuhan."
Ramya mengangguk-anggukan kepala sambil mengusap air matanya yang meleleh. Keduanya lalu bangkit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Tunggulah di pelabuhan. Aku segera menyusul ke sana untuk melepas kepergian kalian."
Hui Sing mengiyakan kalimat Ramya. Setelah itu, dia pamit kembali ke pelabuhan, mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan ke Majapahit.
Pelabuhan Simongan kembali riuh. Kali ini, penduduk Simongan berdiri berjajar di pinggir pantai dengan sedih.
Tamu dari seberang lautan, armada Kerajaan Ming yang dipimpin Laksamana Cheng Ho segera meninggalkan Simongan. Layar-layar kapal yang berjumlah ratusan sudah berkembang. Dari jauh, terlihat para ping-se berdiri di atas geladak kapal sambil melambaikan tangan mereka.
Laksamana Cheng Ho dan ketiga muridnya juga berada di atas geladak sambil melambai-lambaikan tangan. Hari mulai gelap. Malam mulai membentang dan mengubah kapal-kapal raksasa itu menjadi bayangan-bayangan hitam yang mulai bergerak menjauhi pantai.
Air laut tak banyak berombak. Angin berembus cukup kuat menghantar kapal-kapal raksasa itu membelah samudra siang dan malam. Serasa waktu bergerak teramat lamban. Dalam kesedihan yang sangat, para awak kapal armada Kerajaan Ming seolah kehilangan semangat untuk terus mengarungi samudra, melanjutkan misi damai yang mereka emban dari sang Kaisar.
Meskipun 170 ping-se yang tewas oleh serangan pasukan Turonggo Petak adalah jumlah yang sedikit dibandingkan ribuan ping-se yang ikut dalam pelayaran itu, ikatan persaudaraan membuat mereka begitu kehilangan. Geladak-geladak kapal menjadi sepi dari gurauan para ping-se atau siulan Jenaka mereka.
Di kapal pusaka, suasana terlihat sama. Sepi. Meskipun para awak kapal tetap bertugas seperti biasa, namun sedikit sekali terdengar suara. Di ujung geladak kapal raksasa itu, Hui Sing berdiri mematung. Menatap lepas ke samudra yang tampak biru.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pelabuhan Gresik sudah jauh tertinggal. Seharusnya, menepinya rombongan bahari Kerajaan Ming di Gresik juga membawa gegap gempita seperti ketika mereka tiba di Simongan. Namun, karena suasana berkabung yang belum pudar, persinggahan itu pun terasa tak bernyawa.
Sekarang, armada yang dipimpin bahariawan besar, Laksamana Cheng Ho, segera menuju Surabaya, pelabuhan terakhir yang mereka tuju, sebelum melakukan perjalanan di air tawar, menuju Cangkir. Dari Cangkir, perjalanan darat selama satu setengah hari harus ditempuh untuk sampai di Mojokerto, kota raja Majapahit.
"Hui Sing, guru menyuruh kita berkumpul. Beliau ingin membicarakan sesuatu hal penting!"
Hui Sing menoleh ke arah datangnya suara. Pikirannya yang tenggelam di alam lamunan membuatnya tak waspada dan tak sadar bahwa seseorang sedang mendatanginya.
"Kakak Sieng Feng, hal apa yang ingin dibicarakan guru?"
"Aku tidak tahu. Sekarang, kakak Juen Sui sudah berada di ruangan guru. Mereka menunggu kita."
"Baiklah. Ayo, kita ke sana!" Hui Sing dan Sien Feng pun bergegas beranjak dari geladak menuju ruangan Laksamana Cheng Ho.
Sampai di sana, Cheng Ho dan Juen Sui sudah duduk di kursi bulat di depan pembaringan. Hari ini, Cheng Ho tak menebar senyum seperti biasa. Dia duduk tegap dan mempersilakan kedua muridnya duduk dengan suara yang datar.
"Aku ingin berbicara hal yang sangat penting kepada kalian."
Cheng Ho memandang ketiga muridnya dengan tatapan penuh selidik. Ia lalu mendesah dengan napas yang terdengar berat. Baik Juen Sui, Sien Feng, maupun Hui Sing tak berani bersuara. Biasanya, gurunya memang tak pernah bersikap seperti itu. Terkesan angker dan tak ramah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kalian murid-murid kepercayaanku. Mengikutiku sejak lama, dan aku anggap sebagai anakku sendiri. Rasanya, sungkan untuk mengatakan hal ini. Tapi, aku tak punya pilihan lain,"
Sien Feng menahan napas sejenak. Penasaran dengan sikap gurunya yang penuh misteri. Hatinya berdebar-debar menunggu kalimat-kalimat selanjutnya.
"Apa yang kalian tahu tentang jurus kutub beku?"
Tak satu pun di antara ketiga murid Cheng Ho yang segera menjawab. "Hui Sing?"
"Setahu saya, jurus itu merupakan puncak thifan pokhan yang melancarkan dath dingin. Guru telah mengajarkan dasar-dasarnya kepada kami."
Cheng Ho mengangguk-angguk.
" Juen Sui?"
"Saya tak lebih tahu dibandingkan adik Hui Sing, Guru.
Kutub Beku adalah jurus yang sangat hebat. Membuat siapa pun yang terkena merasakan dingin yang luar biasa, tulang ngilu, otak mencekat, bahkan darah menjadi beku."
"Sieng Feng?"
"Saya kira, semua yang saya tahu sudah dikatakan Adik Hui Sing dan Kakak Juen Sui, Guru!"
Tatapan mata Cheng Ho menajam. Ketiga muridnya semakin salah tingkah. Mereka lalu menundukkan kepala karena segan.
"Kitab Kutub Beku yang memuat 99 jurus inti penyempurnaan dath dingin, merupakan kitab yang berumur ratusan tahun. Lima belas tahun lalu, kitab itu diwariskan kakek guru kalian kepadaku. Dan suatu saat nanti, kitab itu harus aku wariskan kepada salah seorang muridku yang memiliki dath yang sesuai."
Cheng Ho menghentikan kalimatnya sejenak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kitab itu selalu aku bawa, ke mana pun aku pergi, termasuk dalam pelayaran ke Samudra Barat sekarang ini.
Aku menyimpannya di tempat yang sangat rahasia di ruangan ini."
Hui Sing mengangkat wajahnya, menduga-duga.
"Kau sudah tahu arah pembicaraanku, Hui Sing?"
"Saya tidak berani, Guru."
"Tapi kau benar. Kitab itu hilang. Aku baru menyadarinya hari ini."
Meskipun sudah menduganya, tak urung Hui Sing tersentak. Apalagi Juen Sui dan Sien Feng, yang sejak awal terlihat tak menyangka bahwa gurunya akan menyampaikan hal itu.
"Bagaimana mungkin" Sedangkan tak satu pun awak kapal yang berani menyentuh tangga menuju ruangan ini, Guru?"
Cheng Ho tersenyum. Ia berdiri, lalu menghampiri jendela yang membawa pandangan lepas ke samudra tak berbatas.
"Juen Sui, kau lupa ada tiga orang yang bebas keluar masuk ruangan ini?"
Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing berpandangan dengan mata terbelalak.
"Maksud Guru, salah satu di antara kami pencurinya?"
Cheng Ho tak langsung menjawab. Dia masih berdiri di tempat yang sama sambil mengangsurkan kedua tangannya ke belakang, seperti kebiasaannya.
"Sepuluh hari aku dan Hui Sing berada di daratan Simongan, bagaimana keadaan ruangan ini?"
"Saya berani bersumpah, Guru, tak satu pun awak kapal yang berani menginjak lantai ini. Saya dan Kakak Juen Sui selalu melakukan pengawasan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Jadi, bagaimana pencuri itu bisa masuk?"
"Apa tidak mungkin ketika terjadi serangan dari pasukan Majapahit, pencuri itu masuk ke ruangan ini, Guru" Karena, hampir semua awak kapal turun ke darat, termasuk saya dan adik Sien Feng."
Suara berat Juen Sui terdengar agak bergetar.
"Kalau begitu, pencuri itu begitu cerdas. Dia bisa langsung tahu di mana aku menyimpan kitab itu, tanpa meninggalkan jejak sama sekali."
Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing terdiam. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Jika saja kita tidak sedang dalam urusan mendesak, pasti aku akan menyelidiki siapa pencuri itu secepatnya. Namun, karena kita sebentar lagi sampai di Pelabuhan Surabaya, urusan bertemu dengan Raja Majapahit jauh lebih penting.
Begitu permasalahan dengan Majapahit menemui titik penyelesaian, aku akan mencari tahu pengkhianat itu."
Hui Sing merasakan wajahnya memanas karena penasaran. Tapi, dia sama sekali tidak berani berkata apa pun.
"Setibanya di Pelabuhan Surabaya, hanya sedikit orang yang bisa ikut ke kota raja Majapahit. Juen Sui, siapkan lima puluh ping-se terbaik. Bawalah aneka cendera mata yang sudah disiapkan untuk Raja Majapahit. Kalian bertiga juga harus ikut. Kepemimpinan armada biarlah ada di tangan perwira yang aku tunjuk, sambil menunggu Wang Jing Hong.
Jika saudara Wang sudah sembuh dan menyusul dari Simongan, dialah yang akan bertanggung jawab terhadap keseluruhan armada." "Baik, Guru."
Juen Sui tak banyak berkata. Setelah gurunya menyelesaikan kalimat perintah itu, dia meminta diri untuk meninggalkan ruangan. Demikian juga dengan Sien Feng dan Hui Sing yang kemudian menyusul kakak seperguruannya itu keluar dari ruangan gurunya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho masih berdiri di tempatnya semula. Matanya sayu menahan sedih. Setelah terpukul dengan peristiwa penyerangan armadanya yang menyebabkan 170 ping-se tewas, kini dia dihadapkan pada peristiwa yang lebih menggoncang. Sebuah pengkhianatan.
Meskipun belum bisa memastikan siapa yang mencuri Kitab Kutub Beku itu, Cheng Ho yakin benar, pelakunya bukan orang luar. Sebab, hanya ketiga muridnya yang paham seluk beluk ruangan itu.
Mereka pula yang paham bahwa kitab yang berisi 99 jurus penyempurnaan itu sangat berharga. Di luar itu, orang ini pasti punya rencana susulan yang lebih berbahaya dibandingkan sekadar mencuri Kitab Kutub Beku.
Mengingat ketiga muridnya adalah orang-orang yang paling dekat dengannya, tentu saja Cheng Ho merasa sangat terpukul. Otaknya pun mulai mereka-reka, mengumpulkan kembali ingatan-ingatan untuk menduga-duga, siapa sebenarnya pencuri itu. Cheng Ho masih berharap menemukan satu nama di luar ketiga muridnya yang pantas untuk dicurigai sebagai pelaku pencurian itu. Tapi dia gagal.
Semua serba terencana. Cheng Ho yakin itu. Lelaki gagah itu menghela napas panjang, lalu menutup jendela kamarnya.
Dia mendekati pembaringan, lalu duduk di sana, sambil terus berpikir.
Sementara itu, Hui Sing dan Sien Feng berdiri kikuk di atas geladak.
"Aku hampir tidak percaya, pencuri itu adalah satu di antara kita."
"Hui Sing, kenapa kau begitu yakin" Masih banyak kemungkinan. Aku sepakat dengan Kakak Juen Sui. Siapa tahu ketika terjadi penyerangan oleh prajurit Majapahit, ada seseorang berilmu tinggi yang masuk ke ruangan guru, lalu mengambil kitab itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aku punya keyakinan lain tentang siapa pencuri itu.
Pertama, orang itu harus orang dalam karena dia bisa masuk ke dalam ruangan guru tanpa merusak apa pun. Dia juga bisa mengetahui letak kitab itu tanpa harus mengobrak-abrik isi ruangan."
Sien Feng memicingkan mata. Angin laut memainkan rambut panjangnya yang berkilau dikepang dengan kain hijau muda.
"Kedua, dia harus orang yang bisa berbahasa Chung-Kuo."
"Tapi, bisa saja dia hanya orang suruhan."
"Lalu, bagaimana dia bisa memilih dengan jitu, satu di antara sekian banyak kitab berbahasa Chung-Kuo yang berada di ruangan guru?"
Sien Feng terdiam.
"Tapi jika dia orang dalam, bukankah dia bisa berpura-pura mengobrak-abrik isi ruang guru untuk meninggalkan jejak, seolah-olah pencurian itu dilakukan oleh orang luar?"
Ternyata, Juen Sui sudah berada di situ. Dari tadi, murid tertua Laksamana Cheng Ho itu menyimak pembicaraan kedua adik seperguruannya.
Begitu selesai dengan perintah gurunya menyiapkan lima puluh ping-se, dia mendekati Sien Feng dan Hui Sing yang asyik berbincang.
"Itu semakin membuktikan bahwa pelakunya adalah satu di antara kita."
Sien Feng dan Juen Sui mengerutkan dahi.
"Jika pencuri itu sengaja mengobrak-abrik kamar guru, kakak berdualah yang pertama kali harus mempertanggungjawabkannya kepada guru. Bukankah kalian yang diberi tugas menjaga ruangan guru" Bagaimana bisa begitu ceroboh"
Hukuman yang akan ditimpakan guru pasti akan sangat berat.
Tidak akan ada yang bisa lolos. Karena itulah, si pencuri ini Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sengaja tidak meninggalkan jejak seperti itu, agar guru ragu-ragu kepada kalian."
"Hui Sing, kau menuduh kami?"
Hui Sing tak langsung menjawab. Tatapan matanya menajam. Ia lalu membuang muka.
"Siapa pun pencuri itu, aku akan membuat perhitungan dengannya. Mengkhianati guru adalah kesalahan yang tak terampunkan."
Wajah Sien Feng memerah. Wajah ramahnya lenyap seketika. Matanya yang bening berubah menjadi merah karena marah.
"Hui Sing, kau sungguh tega! Sepertinya kita bukan saudara seperguruan yang telah bersama-sama selama bertahun-tahun. Bagaimana dengan dirimu sendiri" Saat pasukan Majapahit menyerang, bukankah kau tidak ada di antara para ping-se yang bertempur?"
"Kau ...!"
Wajah Hui Sing berubah menjadi merah menyala. Matanya melebar dengan urat-urat berwarna merah, sedikit terlihat di bagian putih bola matanya yang berkaca-kaca.
"Aku menjaga Paman Wang Jing Hong di Gua Gedong Batu. Kau bisa tanyakan kepada sepuluh ping-se yang ada di sana."
"Hei, sudahlah! Kenapa begitu marah" Kenapa tidak berpikir bahwa benar ada orang lain yang memanfaatkan kelengahan kita untuk mencuri kitab itu?"
Juen Sui berusaha menengahi.
"Kakak Juen Sui, kenapa kau tiba-tiba menjadi peduli"
Bukankah biasanya kau menjaga jarak dengan kami?"
"Sien Feng, bicara apa kau?"
"Guru saja sudah begitu yakin bahwa pencuri kitab pusaka itu adalah satu di antara kita, bagaimana aku bisa ragu"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Karena aku yakin bahwa aku bukanlah pencurinya, sedangkan Hui Sing berada di daratan selama guru tidak ada di ruangannya, siapa lagi yang harus aku curigai?"
"Lancang!"
Tangan kiri Juen Sui bergerak menampar dengan tenaga dalam yang berat. Sien Feng bergerak tanggap. Dia langsung melengkungkan badannya dengan sikap kayang menghindari serangan itu.
Gagal dengan serangan pertama, Juen Sui langsung menggerakkan toya di tangan kanannya. Toya baja berwana hitam legam itu adalah senjata andalan Juen Sui. Mirip dengan orang-orang Shaolin, Juen Sui sangat lihai menggunakan tongkat dengan dua ujung tumpul itu.
Wuuuttt! Tongkat sepanjang dua lengan orang dewasa itu segera menjadi bayangan yang bergerak kilat menyodok ke arah Sien Feng. Tak mau mati konyol, Sien Feng segera menghunus pedang hitamnya. Bunyi logam bertemu pun menjadi riuh.
Percikan api tampak setiap toya Juen Sui dan pedang hitam Sien Feng bertemu.
Para awak kapal yang tadinya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, menghentikan kegiatannya. Mereka mengira, Juen Sui dan Sien Feng sedang berlatih ilmu bela diri.
Hui Sing melihat gelagat yang berbahaya. Bagaimanapun, sebelum gurunya menemukan bukti pelaku pencuri kitab itu, tidak boleh bertindak gegabah.
Wuuus! Suara angin bersuit terdengar bersamaan dengan meluncurnya sinar perak yang pangkalnya ada di genggaman tangan Hui Sing. Gadis itu telah melolos sabuk baja peraknya.
Gulungan sinar perak segera terlihat menyilaukan. Hui Sing mengarahkan serangan sabuknya ke arah pertemuan toya dan pedang milik Juen Sui dan Sien Feng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Trang!!!
Benturan keras antara pedang, toya, dan sabuk baja menimbulkan suara yang nyaring. Namun, bagi tiga orang seperguruan itu, tentu saja benturan tenaga dalam antara ketiganya terasa begitu hebat. Ketiganya terpental ke belakang. Namun, baik Juen Sui, Sien Feng, maupun Hui Sing berhasil mendarat di lantai geladak dengan sangat baik.
"Kenapa jadi bodoh begini" Sudahlah. Aku bersalah karena terlalu memojokkan kalian. Lebih baik kita menunggu keputusan guru saja."
Usai mengatakan hal itu, Hui Sing membalikkan tubuhnya meninggalkan geladak, menuju ruang pribadinya di kabin bawah. Sementara itu, Sien Feng dan Juen Sui masih berdiri dengan wajah merah padam.
"Hui Sing benar, kita tak boleh gegabah. Masih banyak kemungkinan lain. Sudahlah."
Sien Feng lalu memasukkan pedang hitam ke sarungnya.
Pemuda itu lalu berjalan menuju ke arah yang sama dengan Hui Sing. Ruang pribadinya memang berada di lantai kabin yang sama dengan Hui Sing.
Juen Sui terdiam. Dia menatap laut lepas dengan pandangan sayu. Menikmati belaian angin sepoi sambil memejamkan mata.
Akhirnya, armada Kerajaan Ming tiba di Pelabuhan Surabaya. Pelabuhan ini lebih besar dibandingkan Simongan karena ramai oleh kapal-kapal pedagang dari berbagai kerajaan, dari dalam dan luar Nusantara. Kehadiran rombongan besar bahariawan asal Kerajaan Ming itu semakin membuat pelabuhan riuh rendah.
Laksamana Cheng Ho, ketiga muridnya, beserta lima puluh ping-se pilihan kemudian menggunakan kapal-kapal kecil untuk mencapai daratan. Melewati jalur sungai yang terlalu kecil untuk kapal-kapal raksasa mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sepanjang perjalanan dengan kapal-kapal kecil itu, rombongan Cheng Ho dibuat takjub oleh jajaran gunung yang tinggi menjulang dan pemandangan yang indah permai.
Di lereng-lereng gunung, tumbuh subur pohon yanfu (Chinese sumac) dan nanmu (phoeher nanmu). Pada gunung-gunung tersebut terdapat goa-goa yang besar dan dalam.
Konon, saking besar dan dalamnya goa itu, dua puluh ribu orang bisa masuk secara bersamaan.
Surabaya merupakan perkampungan dengan seribu keluarga di pusat kota, berjarak dua puluh li dari pelabuhan.
Rumah-rumah penduduk tertata rapi dengan keakraban para penduduk yang begitu khas.
Meskipun tergesa-gesa untuk segera tiba di Mojokerto, rombongan Cheng Ho menyempatkan diri untuk mampir sejenak di Surabaya. Di antara seribu keluarga di Surabaya, tidak sedikit yang merupakan perantau dari berbagai daerah, termasuk Tiongkok. Karena itu, Cheng Ho merasa perlu bertemu dengan para perantau itu sekaligus dengan para penduduk asli Surabaya. Udara yang terasa menyengat tak menghambat rombongan Cheng Ho untuk menyampaikan pesan perdamaian dari Kerajaan Ming.
"Tuan Ho, lebih lamalah tinggal di sini. Tentunya, Tuan ingin lebih mengenal alam Surabaya dan para warganya."
Cheng Ho tersenyum sambil berusaha menikmati pinang dan kapur yang dibungkus dengan daun sirih di mulutnya.
Adat Jawa waktu itu mengharuskan seorang tuan rumah untuk menyuguhkan sirih kepada para tamunya, bukan teh layaknya orang Tiongkok.
Sambil masih mengunyah, Cheng Ho memandang Ki Singo Ireng, Demang Surabaya yang menyambut hangat rombongannya begitu tiba di pelabuhan.
Singo Ireng seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan dengan berewok yang rata di wajahnya. Kulitnya legam, tubuhnya kekar, meskipun tak begitu tinggi. Ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengenakan surjan panjang dipadu dengan kain sampai batas betis.
"Maafkan kami, Ki. Tentu saja kami juga sangat ingin berlama-lama di sini. Hanya, janji bertemu dengan Prabu Wikramawardhana tidak bisa kami ulur. Barangkali nanti, sekembalinya kami dari Majapahit, kami akan mampir ke sini."
Ki Singo Ireng mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Kapan saja Tuan berkehendak untuk singgah, kami dengan senang hati menyambut."
Keduanya tersenyum ramah. Sementara Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing berusaha keras mengatasi rasa tidak nyaman di mulut mereka karena rasa aneh dari campuran daun sirih, kapur, dan buah pinang yang mereka kunyah.
Hari itu tepat hari Jumat, menurut penanggalan Hijriah.
Sebelum beramah-tamah dengan Ki Singo Ireng dan warga lainnya, Cheng Ho sempat memimpin shalat wajib Jumat di masjid sederhana yang didirikan puluhan warga Surabaya keturunan dan pribumi penganut I-se-lan.
Usai menyampaikan khotbah dan menjadi imam, Cheng Ho berkeliling di Perkampungan Surabaya. Bersama para ping-se, Cheng Ho menghadiri perjamuan yang digelar oleh Ki Singo Ireng. Orang-orang duduk bersila di atas tikar pandan membentuk lingkaran-lingkaran kecil.
Di depan mereka sudah tersedia piring-piring dari tanah liat berisi nasi putih yang sangat lunak dan lezat. Nasi itu sudah disiram dengan sup dan sayur mayur. Tentu saja bagi orang Tiongkok yang terbiasa menggunakan sumpit setiap makan, menikmati hidangan dengan tangan sangatlah canggung.
Namun, demi menghormati tuan rumah, Cheng Ho dan rombongannya belajar untuk makan tanpa sumpit. Bagi Cheng Ho dan Hui Sing, tentu saja hal itu tidak terlalu baru. Sebab, sewaktu di Simongan, mereka pun makan tanpa menggunakan sumpit. Meskipun kemudian, setelah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menemukan rumpun bambu di pinggir Hutan Gedong Batu, Cheng Ho menyuruh para ping-se untuk membuat sumpit.
Sekarang, setelah hidangan nasi telah dilahap habis, tuan rumah menyuguhkan daun sirih sebagai teman ngobrol di antara mereka.
"Tuan Ho, saya mendengar tentang salah paham pasukan Turonggo Petak yang mengorbankan ratusan tentara Tuan. Itu benar-benar sebuah kesalahan besar!"
Air muka Cheng Ho langsung berubah. Dia cukup kaget karena kabar itu demikian cepat tersebar.
"Ki Legowo sangat terkenal pada masa mudanya dulu. Dia seorang abdi raja yang sangat setia dan berilmu tinggi," lanjut Singo Ireng.
"Saya juga berpendapat demikian. Karena itulah, kami harus segera bertemu dengan sang prabu untuk membicarakan hal ini."
Lalu, Cheng Ho memutus pembicaraan tentang hal itu karena tak mau permasalahan mengembang dan menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat Majapahit. Ia mengalihkan pembicaraan pada berbagai hal yang berhubungan dengan alam Surabaya. Tentang aneka hasil bumi yang berlimpah, dan kekayaan alam Surabaya lainnya.
Esok harinya, Cheng Ho menegaskan keinginannya untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Mojokerto. Akhirnya, Ki Singo Ireng tak bisa lagi mencegahnya. Rombongan Cheng Ho pun kembali ke sungai, menaiki kapal-kapal kecil dan melakukan perjalanan ke Cangkir, yang jaraknya tujuh puluh li dari Surabaya.
Sepanjang perjalanan air itu, rombongan kembali dibuat takjub oleh alam Jawa Dwipa yang elok. Aneka burung dengan warna yang beragam berlompatan di dahan pohon.
Sesekali binatang hutan pun terlihat sedang minum air di pinggir sungai. Air sungai jernih berkilau seperti perak mengalir tenang. Hari hampir gelap ketika rombongan Cheng Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ho tiba di daerah Cangkir. Para ping-se segera menyiapkan diri untuk perjalanan darat.
Karena hari gelap, Cheng Ho memutuskan untuk beristirahat, menunggu terang. Pagi harinya, barulah mereka bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Hanya tersedia empat ekor kuda untuk ditunggangi Cheng Ho dan ketiga muridnya, sedangkan para ping-se bersiap untuk berjalan kaki di belakang keempat kuda yang berjalan perlahan.
Sesuai dengan petunjuk Ki Singo Ireng, Cheng Ho memimpin rombongannya ke arah barat daya. Sepanjang perjalanan, meskipun alam begitu menyenangkan untuk dinikmati, namun suasana begitu suram. Cheng Ho seperti tak berselera untuk memulai sebuah percakapan akrab, sebagaimana biasa dia lakukan dengan ketiga muridnya.
Dia hanya berbicara sekadarnya. Bahkan, ketika memerintahkan rombongan berhenti ketika matahari persis berada di atas kepala, ia pun hanya bicara seperlunya.
"Waktunya untuk mendirikan sembahyang. Hui Sing, siapkan dirimu. Dan kau, Juen Sui, perintahkan para ping-se penganut I-se-ian untuk bersiap."
"Baik, Guru!"
Juen Sui dan Hui Sing pun tak berani berbicara banyak.
Mereka hanya menjawab apa-apa yang ditanyakan gurunya.
Sama sekali tak berusaha mencairkan suasana dengan gurauan di antara mereka.
Sien Feng tak jauh berbeda. Dia pun merasa canggung dengan keadaan itu. Namun, tentu saja dia memaklumi sikap gurunya yang kecewa dengan hilangnya Kitab Kutub Beku miliknya.
Petang menjelang ketika rombongan itu memasuki Mojokerto. Perumahan penduduk mulai tampak berjajar.
Permukiman penduduk di Mojokerto kebanyakan berupa pondok-pondok sederhana dari kajang atau ilalang. Namun, semakin masuk ke dalam kota raja, semakin terlihat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi keberagaman penduduk dengan aneka jenis rumah, dari yang paling sederhana hingga yang megah dengan tiang-tiang jati dan genteng dari papan yang kokoh.
Penduduk Mojokerto saat itu terdiri dari beberapa golongan. Penduduk asli yang menganut agama Hindu, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibu kota, dan orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama Islam.
Semakin dekat, semakin nyata kesibukan kota raja. Orang-orang berlalu-lalang dengan aneka kegiatan. Lelaki dan perempuan hampir semua mengenakan konde. Namun, tak sedikit juga laki-laki Mojokerto yang membiarkan rambutnya terurai. Rata-rata panjang rambut mereka sampai sebahu.
Mereka sibuk memikul berbagai barang dagangan, berkuda, atau sekadar berjalan-jalan santai. Para laki-laki ini banyak yang bertelanjang dada dan mengenakan kain yang diikat di pinggang dan ujungnya jatuh hingga betis. Tapi, tak sedikit dari para lelaki itu mengenakan baju panjang dengan aneka gambar yang indah. Sementara para perempuan mengenakan kemben yang menutup bagian dada mereka, dipadu dengan kain panjang hingga mata kaki. Namun, ada juga yang melengkapi kemben itu dengan ke-baya yang indah.
Kaum laki-laki di antara mereka semua membawa-bawa keris.
Senjata yang berlekuk-lekuk itu terbuat dari besi terbaik dengan gagang dari emas, cula badak, atau gading gajah yang diukir indah.
Ketika rombongan Cheng Ho mendekat, penduduk Mojokerto langsung terkesima. Mereka menghentikan kesibukannya, lalu berdiri dengan pandangan takjub.
Di tengah perjalanan, beberapa saat kemudian, Cheng Ho menghentikan rombongannya ketika melihat barisan prajurit Majapahit yang duduk di atas kuda gagah. Kini, rombongan Cheng Ho berhadapan dengan prajurit Majapahit itu dalam jarak beberapa tombak saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Delapan orang bertubuh tegap berada di barisan paling depan, tampak berbeda dari yang lain. Mereka semua menebar senyum hangat, sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada, seperti menyembah.
"Laksamana Cheng Ho, sungguh berbangga kami berkesempatan menyambut tamu Majapahit yang agung."
Sang Laksamana menyambut salam penghormatan para penyambutnya dengan menjura dan menebarkan senyum.
"Kenapa jadi begini sungkan" Saya hanyalah utusan Kaisar Ming yang ingin menyampaikan pesan perdamaian."
Satu di antara delapan orang bertubuh tegap itu kemudian menghela kudanya agar maju beberapa langkah. Dia adalah pemuda berkulit sawo matang yang usianya belumlah genap 25 tahun. Tubuhnya sungguh tegap berisi. Baju lengan panjang bergaris dipadu dengan kain sepanjang lutut yang membungkus celana panjang hitam, membuatnya terlihat rupawan.
Rahang lelaki muda itu tampak kokoh dengan wajah yang tampak berwibawa. Matanya menyorot tajam, dengan alis tebal, namun rapi. Hidungnya mancung dan kukuh. Dagunya seperti terbelah. Bibirnya yang selalu tersenyum menimbulkan lesung pipit di kedua pipinya.
Rambutnya panjang hingga ke bahu, halus, dan hitam legam. Sama seperti tujuh orang di belakangnya, ia mengenakan ikat kepala yang menjaga agar rambutnya tak awut-awutan.
"Saya Sad Respati, kepala bhayangkari, pasukan khusus Prabu Wikramawardhana. Tujuh orang yang berada di barisan terdepan ini adalah pasukan inti bhayangkari. Mereka adalah Danurdara, Danu-maya, Daniswara, Sasmaya, Harimurti, Harsaya, dan Hartaka."
Sad Respati memperkenalkan satu-satu para anggota bhayangkari yang menemaninya. Setiap ia menyebutkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi nama, si empunya menganggukkan kepala sambil memberi hormat.
"Alangkah berlebihan sambutan ini. Pasukan bhayangkari bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan raja.
Bagaimana bisa meninggalkan istana dan menyambut kami di sini?"
"Bhayangkari utama terdiri dari lima belas orang. Selain kami, masih ada tujuh orang yang kini menjaga Prabu Wikramawardhana. Tuan Ho, raja kami justru ingin menyambut rombongan Tuan langsung di Pelabuhan Surabaya. Sayangnya, paduka tidak bisa melakukannya.
Karena itu, kami menggantikan prabu untuk melakukan penyambutan ini,"
"Baiklah. Lalu, kapan kami bisa bertemu dengan sang prabu?"
"Kami telah mempersiapkan tempat peristirahatan untuk Tuan dan rombongan di dalam istana. Setelah beristirahat cukup, tentu saja Tuan tak perlu berlama-lama untuk menemui paduka raja."
Cheng Ho mengangguk-anggukan kepala. Ia lalu memerintahkan ketiga muridnya untuk mengikuti anjuran Sad Respati. Lima puluh orang ping-se yang berjalan di belakang mereka pun melangkah berderap ke arah yang dipandu Sad Respati dan pasukannya.
"Tuan Respati, ini ketiga muridku, Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing. Di antara mereka bertiga, baru Hui Sing yang mampu berbicara dalam bahasa Tuan dengan cukup fasih."
"Oya" Sungguh pandai murid Tuan. Masih belia, namun sudah memiliki kemampuan yang luar biasa."
Hui Sing mengangguk tanpa bersuara.
"Hui Sing masih butuh banyak belajar, Tuan. Tentunya selama di Mojokerto ini, kami bisa banyak belajar dari orang-orang di negeri Tuan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Tentu saja, Tuan Ho. Dengan senang hati."
Respati hanya sejenak menatap Hui Sing, lalu sibuk berbincang dengan Cheng Ho sepanjang perjalanan menuju gerbang istana. Selama itu pula, dia tak sekali pun bersikap berlebihan, misalnya mencuri-curi pandang terhadap dara jelita itu. Sementara itu, Hui Sing pun tampak tak peduli. Ia sibuk menoleh ke kanan dan kiri, menyaksikan kesibukan di kota raja Majapahit.
Namun, mereka tidak sadar, ada sepasang mata yang mengamati setiap gerak tubuh keduanya. Dengan jantung yang berdegup kencang penuh rasa khawatir, ia menatap dengan sinar mata berkilat ketika Hui Sing tersenyum menerima pujian dari Respati. Juga memandang tajam ke arah orang nomor satu di jajaran bhayangkari itu. Menanti saat ketika pemuda itu mencuri pandang ke arah Hui Sing. Namun, apa yang diduganya tidak terjadi.
Tiba juga waktunya rombongan Cheng Ho bertemu dengan Prabu Wikramawardhana. Setelah beristirahat semalam di wisma tamu, Cheng Ho, ketiga muridnya, dan beberapa orang kepercayaannya, diantar untuk bertemu dengan Raja Majapahit itu.
Langkah yang tak tergesa mulai memasuki kawasan istana raja yang megah dan asri. Istana sang raja tampak gagah dikelilingi tembok batu-bata yang tingginya mencapai tiga zhang dan lingkarannya lebih dari dua ratus kaki. Pintu masuk ke bangunan utama dibatasi pintu gerbang yang besar dan berat.
Beberapa prajurit harus beramai-ramai mendorong daun pintu raksasa itu agar para tamu bisa masuk ke bangunan utama istana raja. Bangunan utama istana itu tingginya tiga sampai empat zhang. Di dalam istana, terpasang papan yang di atasnya terbentang tikar rotan, tempat orang bersila.
Genteng istana terbuat dari papan kayu keras yang bercelah-celah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kini, rombongan Cheng Ho telah masuk ke paseban agung dan disambut oleh bhayangkari.
"Silakan Tuan Ho duduk. Sebentar lagi, sang prabu akan menemui Tuan," ujar Sad Respati sambil mengangsurkan tangan kanannya dengan ibu jari yang menunjuk, sedangkan empat jari lainnya dilipat.
Sambil tersenyum, Cheng Ho menuju salah satu kursi kayu berukir dengan lapis warna kuning emas yang elok di pinggir tikar rotan. Begitu juga dengan anggota rombongan lain yang memilih tempat duduknya sendiri-sendiri.
"Gusti Prabu Wikramawardhana rawuh"
Seorang prajurit berteriak lantang dari pendopo istana.
Semua mata tertuju ke arah pintu istana yang menghubungkan ruang pertemuan dengan kompleks keraton yang tertutup.
Sosok yang penuh wibawa berjalan tegap. Lelaki separuh baya itu mengenakan mahkota berhias kembang emas di kepalanya. Badan tegapnya dibungkus kain yang dijelujur dengan benang sutra. Pada pinggangnya terselip dua bilah keris.
Cheng Ho segera berdiri diikuti anggota rombongan lain untuk memberi hormat, sedangkan anggota bhayangkari dan para prajurit utama istana langsung berjongkok dan menyembah.
"Laksamana Ho, sungguh kami memperoleh kehormatan luar biasa karena kedatangan seorang utusan Kerajaan Ming yang termasyhur," ujar sang Prabu begitu ia duduk di atas singgasananya yang gemerlap.
Di sisi kanannya, seorang lelaki setengah baya berdiri dengan kepala tegak sedikit angker. Dialah Mahapatih Sadana, orang kepercayaan sekaligus penasihat utama sang Prabu Wikramawardhana.
Prabu Wirakramawardhana terlihat memaksakan diri tersenyum. Menutup rasa gundah yang terlihat pada garis-garis wajahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Justru kami yang merasa tersanjung dengan segala penyambutan sang Prabu yang begitu mulia." Cheng Ho sudah kembali duduk di kursi seperti semula. Setelah berbasa-basi tentang kesannya seputar alam Majapahit dan penduduknya, Cheng Ho mulai mengemukakan maksud utamanya datang ke Majapahit.
"Sebenarnya, tanpa adanya tragedi berdarah di Simongan pun, saya diutus oleh Kaisar Ming untuk menghadap sang Prabu. Namun, setelah kejadian itu, sekarang saya memiliki dua keperluan bertemu dengan sang Prabu," ujar Cheng Ho dengan nada suara yang sedang, tapi berwibawa.
Wikramawardhana mengerutkan dahi. Kini tangan kanannya menopang dagu dan bersiap untuk mendengarkan setiap kata-kata Cheng Ho dengan saksama.
"Baginda Prabu, mewakili Kerajaan Ming, saya ingin menanyakan, bagaimana mungkin pasukan Majapahit yang terkenal gagah berani dan teliti, membantai ratusan ping-se Kerajaan Ming hanya karena sebuah kesalahpahaman?"
"Laksamana, saya pun sangat marah mendengar laporan itu. Hubungan Majapahit dengan Tiongkok sudah terjalin sangat baik sejak zaman Majapahit berdiri. Tentu saja, kejadian itu sangat memalukan dan menyedihkan."
Wikramawardhana tampak begitu murung. Dia diam sejenak. Matanya menerawang.
"Kemenangan terhadap Blambangan pun sebenarnya bukan sesuatu yang menyenangkan buat saya. Bagaimanapun, Bre Wirabumi masih bagian dari Majapahit. Perang saudara berkepanjangan telah membuat sinar Majapahit semakin meredup."
Suasana menjadi hening. Cheng Ho sengaja membiarkan sang prabu menyelam dalam renungannya, sesaat. Dia mencari celah waktu paling tepat untuk memecahkan kekakuan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Laksamana, Turonggo Petak, pemimpin pasukan Majapahit yang secara tidak sengaja menyerang pasukan Tuan telah saya beri hukuman. Selain dicabut gelar keprajuritannya, dia telah diasingkan. Apa lagi yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan ini?"
Cheng Ho menghela napas. Sebenarnya, dia ingin Turonggo Petak dihukum lebih dari itu. Namun, tentu saja, dia merasa tak berhak ikut campur terlalu jauh terhadap keputusan raja.
"Baginda, tentang kebijakan Kaisar Ming, tentu saja saya tak berwenang memutuskannya. Karena itu, sebaiknya Baginda mengirim utusan ke Tiongkok untuk memberitahukan seluruh kejadian ini. Biarlah nanti Kaisar Ming yang akan menentukan, ganti rugi apa yang harus dipenuhi oleh Majapahit."
Wikramawardhana tertegun. Meskipun tak berarti tunduk terhadap kekuasaan Kaisar Tiongkok, sebagai negeri yang bersahabat, tentu saja kesalahan yang terjadi dalam tragedi Simongan harus ditebus. Ide Cheng Ho untuk mengirim utusan ke Tingkok menjadi hal yang paling masuk akal.
Dia lalu menoleh ke arah Patih Sadana. Keduanya lalu berbicara dengan nada suara yang rendah, merundingkan hal tersebut. Air muka sang prabu beberapa kali berubah.
Beberapa saat kemudian.
"Baiklah, Laksamana, saya akan mengirimkan utusan ke Kaisar Ming. Sambil menunggu keputusan dari kaisar, Tuan dan rombongan tinggallah di Majapahit. Saya kira, jalinan persahabatan antara Majapahit dan Kerajaan Ming bisa lebih akrab jika Tuan mau tinggal beberapa waktu di Majapahit, saling bertukar budaya dan pengetahuan."
Cheng Ho mengangguk-angguk sambil melebarkan senyumnya.
"Baiklah, jika Baginda menghendaki. Sejak awal, kedatangan kami ke Jawa Dwipa memang mengemban tugas Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi untuk menyampaikan pesan perdamaian dari Kaisar Ming.
Dengan senang hati, kami akan tinggal di Majapahit untuk beberapa waktu."
Suasana ruang pertemuan itu menjadi cair. Sang prabu kemudian bertitah, agar para dayang menyuguhkan aneka hidangan istimewa. Obrolan santai pun mengalir tanpa canggung. Cheng Ho merasa lega karena satu masalah besar telah ditemukan jalan keluarnya. Keputusannya untuk tak membabi buta, melakukan serangan balasan kepada Majapahit, membuahkan hasil yang diinginkan.
Bahkan, Raja Majapahit rela menekan rasa, hingga mau mengirimkan utusan ke Kerajaan Ming agar masalah ini tak berujung pada pertumpahan darah.
Padahal, Cheng Ho sempat waswas, tragedi Singosari bakal terulang. Ketika itu, utusan Tiongkok pulang dengan telinga putus akibat ulah Jayanegara. Beberapa tahun kemudian, ratusan ribu pasukan Tiongkok datang ke Jawa Dwipa menghancurkan Singosari dibantu oleh Raden Wijaya, yang kemudian mendirikan Majapahit.
Sekarang, Cheng Ho tinggal memikirkan masalah pribadinya. Apalagi kalau bukan hilangnya Kitab Kutub Beku yang tak ternilai itu.
Kompleks wisma tamu Keraton Majapahit lengang.
Puluhan tamu dari Kerajaan Ming seperti biasa, memilih keluar kompleks Keraton untuk membaur dengan warga Majapahit.
Sepekan setelah kedatangan mereka diterima Raja Wikramawardhana, rombongan Cheng Ho mulai menyebarkan bibit persaudaraan dengan warga Majapahit.
Selain saling tukar cendera mata dan berdagang, mereka juga asyik belajar banyak hal mengenai adat istiadat masyarakat Majapahit. Tak sedikit para ahli yang dibawa Cheng Ho mulai dari sejarawan, tabib, dan pemilik kemampuan lain berbagi pengetahuan dengan warga Majapahit. Tak heran jika siang itu, tinggal beberapa orang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi ping-se yang terlihat sibuk membersihkan ruang tempat mereka tinggal.
Sementara itu, di kursi taman yang dikelilingi kolam jernih dengan puluhan ikan warna-warni, Hui Sing duduk anteng.
Pakaian serbasutra biru laut yang ia kenakan, sesekali berkibar terkena angin sepoi yang menyejukkan. Tatapan mata gadis belia itu tak berujung. Rambutnya yang disanggul rapi kadangkala berkilau diterpa cahaya matahari yang tak terlalu terik.
Setelah peristiwa terungkapnya pencurian kitab pusaka gurunya, Hui Sing memang berubah menjadi gadis yang pendiam. Dia juga tak bisa lagi akrab dengan kedua kakak seperguruannya, Juen Sui dan Sien Feng. Dan, tentu saja itu sangat mengganggunya.
"Nini Hui Sing, apakah tidak sayang, hari yang begini cerah dihabiskan dengan melamun?"
Setengah tersentak, Hui Sing menoleh ke arah datangnya suara berat dan agak serak yang menegurnya itu. Rupanya, Sad Respati, kepala bhayangkari kepercayaan Prabu Wikramawardhana, sudah berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
Dia berdiri tegap dengan senyum akrab memperlihatkan barisan giginya yang putih bersih. Lesung pipit di kedua pipi mempertegas sikap ramah yang diperlihatkannya.
"Tuan Respati."
Hui Sing tak segera menjawab pertanyaan Respati. Dia hanya tersenyum sambil mencari-cari jawaban yang paling masuk akal.
"Banyak hal yang bisa Nini lihat di Majapahit.
Saya dengar, Nini menyukai ilmu bela diri. Di Majapahit, banyak padepokan silat yang bisa Nini kunjungi. Boleh saya duduk, Nini?"
"Ah, tentu saja, Tuan. Saya hanya tamu di sini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing masih belum menjawab pertanyaan Respati.
Bahkan, setelah pemuda itu duduk di kursi taman, persis di hadapannya, dan menatap lurus kepadanya.
"Tentang seni budaya tanah Jawa, siapa yang meragukan.
Saya pun sangat kagum dibuatnya, Tuan Respati."
"Lalu, apa yang menahan Nini untuk mengisi hari yang cerah dengan berkeliling keraton atau keluar istana?"
"Sebenarnya, beberapa hari ini saya mendampingi guru untuk mengunjungi warga di luar kota raja. Guru bertukar ilmu cocok tanam dengan mereka. Hanya hari ini, saya merasa agak lelah."
"O, rupanya saya yang kurang jeli."
Keduanya tersenyum, tanpa saling menatap satu sama lain.
"Jika Nini tidak keberatan, saya ingin menanyakan sesuatu,"
"Kenapa mesti sungkan, Tuan" Silakan Tuan bertanya."
Respati diam sejenak. Rupanya, pemuda itu berusaha menyusun kata-kata paling tepat untuk menyampaikan isi hatinya.
"Beberapa waktu lalu, saya pergi ke Tuban. Di sana, saya bertemu dengan sekelompok pedagang asing yang selain berniaga, juga membawa ajaran baru. Mereka mengajak untuk menyembah Dewa lima kali sehari semalam dalam sebuah ritual yang asing. Mengucapkan mantra-mantra berbahasa asing yang tidak saya pahami. Setelah bertemu dengan rombongan Laksamana Cheng Ho, saya melihat, ada beberapa anggota rombongan yang melakukan ritual yang sama." Kening Respati berkerut. "Apakah anggota rombongan Nini ada yang menganut keyakinan baru itu?"
Hui Sing tersenyum. Dia membiarkan Respati memeras habis segala yang ingin ia ungkapkan mengenai dugaan-dugaan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Dugaan Tuan tak salah. Kami penganut I-se-lan, ajaran Thian yang dibawa utusan bernama Muhammad dari A-la pe-kuo (arab)."
Respati mendengarkan dengan saksama.
"Ajaran itu diturunkan hampir seribu tahun lalu. Mengajak manusia keluar dari kegelapan, menuju cahaya yang terang benderang. Menyembah Thian, melatih diri dengan menahan segala nafsu, dan menyantuni orang miskin
"Thian?"
Respati memotong kalimat Hui Sing.
"Penganut I-se-lan menyebutnya Allah, Thian penguasa alam semesta. Seperti halnya Brahma dalam kepercayaan yang Tuan anut."
"Allah sama dengan Dewa?"
"Sang pencipta, penguasa segala-galanya."
"Nini, seperti apa orang I-se-lan memahami Allah?"
"Allah adalah Thian yang Esa. Dia tempat bergantung segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Dia tak berputra dan tidak dilahirkan oleh sesuatu. Dan tidak ada yang setara dengan-Nya."
Respati mengalihkan pandangannya ke arah kolam taman yang riuh oleh moncong-moncong ikan berebut udara. Diam sejenak, berusaha keras memahami kata-kata Hui Sing.
"Saya selalu tertarik untuk mempelajari hal-hal baru. Saya juga pernah berbincang dengan biksu untuk bertukar pengetahuan. Tak disangka, di dalam keraton pun saya bisa bertemu dengan orang yang berpengetahuan luas seperti Nini."
"Tuan terlalu berlebihan. Tapi, rupanya kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga sangat menyukai hal-hal baru."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati dan Hui Sing tersenyum, lalu saling memuji pengetahuan masing-masing.
"Jika Nini tak lagi merasa lelah, saya ingin memperlihatkan sesuatu kepada Nini."
"Hal menarik apakah itu?"
"Di keputren, tempat para putri istana Majapahit tinggal, banyak sekali yang bisa Nini lihat. Nini pernah melihat orang membatik?"
"Membatik?"
"Ya, menghiasi selembar kain dengan lukisan warna yang khas dan bernilai tinggi. Saya yakin, Nini akan tertarik."
"Bagaimana Tuan bisa begitu yakin, saya akan tertarik?"
"Bukankah Nini sendiri yang mengatakan bahwa kita memiliki banyak kesamaan?"
Hui Sing merasa kehabisan akal. Senyumnya
mengembang. Ia lalu bangkit dari duduknya dan mengikuti langkah Respati keluar dari wisma tamu. Mereka berjalan beriringan meninggalkan gapura wisma tamu.
"Apa pendapat Tuan tentang seorang abdi yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk sebuah kesetiaan, namun akhir hidupnya justru dihinakan oleh orang yang diabdi" Tidakkah menurut Tuan itu sangat tidak adil?"
Hui Sing tak mau waktu menguap begitu saja. Sambil tak melepas pandangan dari kesibukan para abdi di kompleks keraton, dia mengajak Respati berbincang.
"Belum tentu. Bisa jadi itu adalah karma yang harus dipikul orang tersebut."
Respati memilih jeda. Ia menyempatkan diri untuk menganggukkan kepala saat sekelompok prajurit yang berjalan dari arah berlawanan berhenti sejenak, lalu memberi hormat dengan menangkupkan telapak tangan mereka.
"Karma?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing menunggu sampai prajurit-prajurit itu berlalu, sebelum menggenapkan keingintahuannya tentang kata asing yang baru pertama kali ia dengar itu.
"Kami percaya adanya suatu hukum sebab akibat yang disebut Karma Pala. Hukum usaha dan hasil yang berlaku untuk seluruh alam semesta.
Suatu kejadian adalah akibat dari suatu peristiwa yang saling berkaitan. Setiap ada suatu peristiwa atau kejadian, pasti melalui suatu tahapan."
"Bukankah dengan demikian, orang beramal baik akan mendapatkan balasan yang baik pula?"
Respati tersenyum lebar. Dua lesung pipitnya terlihat nyata.
"Nini benar-benar selalu ingin tahu. Nini, kami yakin kelahiran manusia adalah suatu punarbawa. Punar artinya kembali dan bawa artinya lahir. Jadi, punarbawa adalah suatu kelahiran yang berulang. Kelahiran yang biasa disebut dengan penitisan atau samsara. Kalau ada kelahiran berulang-ulang, berarti ada kematian yang berulang-ulang atau hidup yang berulang-ulang,"
Respati menyatukan telapak tangannya ke belakang pinggang sambil melanjutkan kata-katanya.
"Melalui atman sebagai percikan brahman, makhluk dapat menikmati kehidupan. Akibat atman, maka ada kehidupan di dunia ini dan atman dalam tahap menghidupkan akan berpindah-pindah dan berulang-ulang dengan menggunakan badan yang berbeda-beda melalui punarbawa, yaitu penjelmaan kembali sebagai makhluk."
Hui Sing mengerutkan kening. Tangannya asyik memainkan ujung rambutnya yang terurai panjang.
"Saya tidak paham apa itu atman."
"Hubungan antara atman dengan badan adalah seperti kita memakai baju, kita adalah atman dan baju adalah badan kita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Apabila baju telah usang, baju tersebut akan dicampakkan dan kita sebagai atman akan mencari pengganti baju baru ini. Ini yang disebut dengan purnabawa."
"Lalu, bagaimana hukum karma berlaku kepada abdi yang saya sebut tadi?"
"Nini, sebenarnya saya hanya mengetahui sedikit mengenai hal ini dari membaca kitab. Jika Nini ingin betul-betul memahami keyakinan ini, saya bisa mempertemukan Nini dengan seorang guru."
Hui Sing tersenyum tanpa langsung menjawab. "Itu bisa nanti saja. Menurut Tuan, apa yang tertulis dalam kitab yang Tuan baca tentang abdi yang malang itu?"
"Di antara banyak karma, kami mengenal san-cita karma, yaitu perbuatan yang dilakukan sekarang di dunia ini, yang hasilnya akan diterima pada kelahiran yang akan datang di dunia ini."
Keasyikan obrolan antara Respati dan Hui Sing membuat perjalanan mereka terasa sangat singkat. Gapura keputren sudah di depan mata.
"Pada saat purnabawa, manusia akan membawa karmanya terdahulu, apakah karmanya baik atau buruk.
Sebab, atman yang ada dalam kandungan dibungkus dengan karma terdahulu masih melekat, dibawa sampai lahir, dan selama hidup di dunia."
"Sampai kapan itu akan berlangsung?"
"Purnabawa dan hukum karma saling berkaitan dan berhubungan. Purnabawa pasti akan membawa hukum karma.
Selama hukum karma masih melekat pada atman, purnabawa akan terus berulang. Kecuali bila hukum karma sudah habis, atman akan menyatu dengan Brahman. Ini yang disebut dengan moksa (menyatu dengan Tuhan)."
Hui Sing mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya, ia banyak bertanya tentang karma itu karena masih tak mengerti, mengapa Ki Legowo mengalami nasib yang demikian naas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Seumur hidup mengabdi demi kepentingan Raja Majapahit, namun akhir hidupnya begitu tragis, tewas dibantai oleh prajurit Majapahit karena dianggap memberontak.
Bukan tak tanggap dengan keingintahuan Hui Sing, Respati memang sengaja tak menanyakan alasan kenapa tamunya itu menanyakan hal tersebut. Awal pertanyaan Hui Sing pun sudah dipahami betul oleh Respati bahwa perempuan cerdas itu memancingnya untuk membicarakan kematian Ki Legowo, mantan bhayangkari kenamaan itu.
Hanya karena persoalan itu demikian rumit, dan menyangkut Raja Majapahit, Respati enggan membicarakannya. Sementara Hui Sing masih bergelayut dalam lamunannya, Respati memberi tanda kepada prajurit penjaga gapura agar diperbolehkan masuk ke keputren. Keduanya lalu memasuki lingkungan keputren yang terlihat asri dan tertata apik.
Kesan hijau mengental karena aneka tumbuhan sengaja ditanam di setiap sudut. Semakin ke dalam, nuansa warna semakin kaya. Aneka bunga dan tumbuhan berwarna-warni membuat pandangan mata begitu nyaman dan takjub.
"Indah sekali, Tuan Respati."
Sad Respati menjawab tanpa kata-kata. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Sesaat tidak ada obrolan di antara mereka. Hui Sing begitu menikmati keberadaannya di tempat itu. Beberapa kali dia menjawab salam sambil tersenyum ketika para dayang berkemben berpapasan dengan mereka.
Beberapa saat kemudian, denting bunyi-bunyian yang asing namun terdengar nyaman menyelusup di gendang telinga Hui Sing. Pasti bunyi-bunyian itu keluar dari berbagai benda. Sebab, Hui Sing menangkap tak hanya dua atau tiga jenis bunyi yang terdengar.
"Kami menyebutnya gamelan, Nini Hui Sing."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing seperti terbangun dari keterpanaan-nya. Sambil mengangguk, ia mengikuti langkah Respati menuju sebuah bangunan luas tanpa dinding. Tiang-tiang kayu berukir menyangga bangunan berlantai marmer itu. Atapnya berupa papan-papan kayu yang tertata rapi.
Di dalam bangunan itu, belasan perempuan setengah baya berkemben dan berkonde besar, duduk timpuh di belakang alat-alat tetabuhan berupa lempengan logam yang ditata memanjang. Lempengan-lempengan logam itu dikaitkan dengan tali dan diletakkan pada kayu yang berbentuk seperti meja berukir.
Para perempuan itu masing-masing memegang alat tabuh di tangan kanan. Bentuknya seperti palu yang terbuat dari kayu, sedangkan tangan kiri mereka memegang ujung lempengan logam setiap kali tangan kanannya mengayun memukul pelan lempengan itu.
Ada dua orang perempuan yang tidak menghadapi alat tetabuhan seperti yang lain. Mereka hanya duduk timpuh sambil bernyanyi dengan suara melengking merdu. Hui Sing benar-benar terpana. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke barisan belakang. Di sana ada beberapa laki-laki yang cukup tua memainkan kecapi. Ada juga yang duduk menghadap benda logam besar yang hanya beberapa kali dipukul dengan suara yang menggaung.
Sementara itu, di bagian tengah bangunan pendopo, lima perempuan muda menari dengan lemah gemulai mengikuti denting bebunyian itu. Satu orang yang ada di bagian paling depan begitu menarik perhatian. Gerakannya gemulai.
Kelihatan betul larut dalam lakon tari yang ia bawakan.
Pandangan matanya sayu, tak jelas apa yang dipandang.
Perempuan belia itu betul-betul mewakili kecantikan seorang putri keraton. Kulitnya kuning langsat dan bercahaya.
Wajahnya lembut sekaligus berwibawa. Rambut hitamnya digelung bertabur melati. Ia mengenakan kemben yang ditutup baju sutra cokelat polos, disambung dengan kain panjang bergambar. Dia memimpin empat perempuan lain di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi belakangnya melakukan gerakan tari yang gemulai dengan serempak.
Gerakan tari yang pelan sambung-menyambung penuh emosi, tertata, dan terjaga. Sampai suatu puncak yang ditunggu, pukulan gong menggema bersama ujung gerakan tari itu.
Hui Sing berdiri tertegun. Dia tak berkata apa-apa, matanya pun tak menjelaskan apa pun. Seperti bocah yang baru pertama kali melihat keramaian kota raja. "Cantik sekali Respati tersenyum mendengar Hui Sing bergumam takjub.
"Namanya Dewi Anindita, putri Mahapatih Sadhana."
"Pantas jika Tuan begitu kerasan berada di lingkungan keputren. Para putri demikian jelita dan pandai menari."
"Ikutlah dengan saya. Akan saya perkenalkan Nini dengan mereka."
Hui Sing tersenyum, lalu mengikuti langkah Respati ke pendopo. Begitu sampai di bangunan berlantai marmer itu, orang-orang yang berada di sana memberi hormat dengan takjim. Begitu pula dengan para putri yang tadi menari.
"Kakang Respati, ada angin apa hingga Kakang berkenan mengunjungi keputren?"
Suara halus setengah lirih keluar dari bibir Anindita, perempuan gemulai yang oleh Respati disebut sebagai putri Patih Sadhana itu.
"Nimas, Kakang ingin memperkenalkan Nimas dengan Nini Hui Sing, murid Laksamana Cheng Ho, tamu agung Prabu Wikramawardhana,"
Pandangan mata Anindita beralih ke Hui Sing. Ia tersenyum tulus.
"Nini Hui Sing, sungguh sebuah kehormatan bagi saya karena hari ini bertemu dengan Nini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing tersenyum pula sambil menangkupkan kedua telapak tangannya.
"Sayalah yang merasa tersanjung, Putri. Bertemu dengan putri keraton dan menyaksikan tahan yang demikian indah, tentulah pengalaman yang tak dialami semua orang." Anindita tersipu.
"Nimas, Nini Hui Sing ingin mengetahui tata cara membatik. Jika Nimas tidak sibuk, barangkali bisa menemani tamu kita ini."
"Tentu saja, Kakang. Nini Hui Sing, kapan pun Nini ingin mempelajari seni batik, saya akan menemani Nini."
Hui Sing terkesan dengan sikap ramah dan lemah lembut perempuan di depannya. Untuk pertama kali, ia merasa tak sebanding jika disejajarkan dengan perempuan seperti Anindita. Setiap gerakannya seperti mewakili kesempurnaan perempuan. Begitu tertata, penuh perhitungan, penuh tata krama, dan gemulai.
"Tentunya akan sangat merepotkan Anda, Putri."
"Panggil saja Anindita." Hui Sing tersenyum sambil mengangguk sepakat.
"Kalau demikian, kau pun cukup memanggilku Hui Sing."
Respati tersenyum lega. Bahkan, pemuda itu tak tahu alasan apa yang membuatnya harus merasa lega.
"Kalau begitu, saya kembali ke griya bhayangkari. Jika Nini Hui Sing butuh sesuatu, silakan bicara dengan Anindita."
"Terima kasih sekali, Tuan Respati."
Respati kemudian membalikkan badannya dan berjalan menuju gerbang keputren. Dia melangkah gagah tanpa keraguan. Sebilah keris yang ia kenakan di punggung menambah pekat wibawanya. Pusaka itu memang sangat berbeda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ukurannya saja sudah sangat berlainan dengan keris yang dimiliki para prajurit Majapahit. Meskipun bentuknya serupa, keris bergagang gading kokoh itu memiliki panjang nyaris satu lengan orang dewasa. Beda dengan keris kebanyakan yang rata-rata berpanjang tak sampai setengahnya.
Nama pusaka itu, Angga Cuwiri. Meskipun wujudnya masih bersembunyi di balik warangka baja yang diukir indah, tapi aura pusaka itu sudah menyebar dan membuat setiap orang yang menatapnya langsung terpesona.
Setelah sosok Respati menghilang dari gerbang keputren, Anindita mengajak Hui Sing masuk ke salah satu bangunan di kompleks keputren. Di salah satu ruangan bangunan beratap papan kokoh itu, Anindita mempersilakan Hui Sing duduk di atas tikar pandan yang bersih.
Anindita yang sempat berpamitan, beberapa saat kemudian kembali ke ruangan itu dengan membawa selembar kain yang sangat indah. "Inilah yang dinamakan batik, Hui Sing."
Anindita membiarkan Hui Sing meraba lukisan di atas kain elok itu. Dengan saksama, Hui Sing meneliti gambar yang tampak hidup. Ada burung-burung berlompatan di atas dahan-dahan pohon yang rindang. Juga ikan yang berenang di dalam kolam. Hui Sing takjub dibuatnya.
"Kau pasti akan kesulitan menemukan kain seperti ini di luar keraton, Hui Sing."
Hui Sing sedikit mendongakkan kepalanya, ingin tahu.
"Di luar istana, orang masih menggunakan daun kajang sebagai sarana untuk membuat gambar-gambar. Membatik di atas kain baru dilakukan oleh sedikit orang di dalam keraton."
"Sangat sulitkah?"
"Hanya ahli yang bisa melukisnya dengan baik. Lagi pula, butuh waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan selembar kain batik."
"Kau bisa melakukannya, Anindita" Bagaimana caranya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Anindita tersenyum ayu.
"Aku sedikit bisa, tapi tak ahli. Akan kutunjukkan caranya padamu."
Anindita bangkit dari duduknya, lalu kembali menyelinap ke balik pintu bangunan itu. Tak lama, dia kembali membawa kain putih polos di tangan kanannya. Di belakangnya, seorang perempuan abdi membawa seperangkat alat yang sama sekali tak dikenal oleh Hui Sing.
"Kami menamakan alat ini canting. Alat ini digunakan untuk menyimpan cairan tinta yang dipanaskan terlebih dulu."
Hui Sing enggan berkomentar. Dia memperhatikan betul, bagaimana luwesnya Anindita menjaga api di dalam tungku mungil di sebelahnya agar menyala sedang. Sementara, perem-puan abdi yang umurnya pasti sudah lebih dari lima puluh tahun itu kemudian meletakkan sebuah benda dari besi berbentuk cekung yang ukurannya pun begitu mungil, di atas api yang menyala.
Di atas lempengan berbentuk cekung itu, Anindita meletakkan gumpalan-gumpalan benda warna cokelat yang cepat mencair begitu bersentuhan dengan besi yang telah panas oleh api.
Masih dalam sikap duduk timpuh, Anindita menggerakkan canting ke lempengan besi cekung. Benda yang disebut canting, rupanya digunakan layaknya gayung. Dengan alat itu, Anindita mengambil cairan mendidih di atas besi cekung tadi.
Setelah meniup-niupnya beberapa saat, Anindita mulai membuat pola-pola di atas kain putih. Selain memiliki cekungan untuk tempat cairan panas, canting juga memiliki moncong kecil panjang yang digunakan membentuk pola-pola yang rapi dan teliti.
Cairan tinta panas di dalam cekung canting pelan-pelan digunakan untuk membuat pola dan lukisan di atas kain melalui moncongnya. Sekali lagi Hui Sing takjub. Dia betul-betul tak tertarik untuk berbicara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Matanya telaten memperhatikan setiap gerakan kecil yang dilakukan Anindita saat melukis. Sambil menebak-nebak gambar apa yang tengah dibuat oleh Anindita, Hui Sing tak berhenti mengagumi keluwesan Anindita melakukan pekerjaannya.
Hui Sing melihat aura ketenangan dan kesabaran dalam setiap goresan tangan Anindita. Ketabahan yang demikian tinggi pada sorot mata perempuan yang saksama menjaga setiap coretan tangannya agar tak melenceng.
"Kira-kira seperti ini. Maaf, saya tak bisa melakukan dengan lebih baik."
Hui Sing sampai tak bisa berkata-kata. Dia masih terlalu kagum untuk menjawab basa-basi Anindita. Dia serta-merta menerima kain putih yang kini salah satu sudutnya sudah dilukisi gambar kupu-kupu.
"Bicara apa kau, Anindita" Ini sungguh sudah luar biasa bagiku."
Hui Sing lalu meneliti setiap titik pada gambar sepasang kupu-kupu yang sedang bercengkerama di atas tangkai bunga.
"Jika ini adalah kamu, lalu siapakah kupu-kupu satunya?"
Anindita tersipu tanpa menjawab kalimat Hui Sing.
"Maaf kalau saya terlalu sembrono. Tapi lukisanmu sungguh hidup, Anindita. Kalau kau tak berkeberatan, aku ingin belajar darimu."
"Dengan senang hati, Hui Sing." Rentang waktu hingga menjelang siang dimanfaatkan betul oleh Hui Sing untuk belajar membatik. Darahnya berdesir ketika meyakini, melatih kesabaran dalam membatik sama saja menempa setiap jurus thifan pokhan. Sama-sama membutuhkan kesungguhan total dan ketekunan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Meskipun tidak langsung bisa membuat pola-pola sempurna, toh Hui Sing mampu membuat Anindita kagum oleh kecepatannya belajar.
"Jika sudah jadi, digunakan untuk apa kain batik ini, Anindita?"
"Di keraton, batik menjadi bagian dari tatanan busana yang terkait erat dengan adat dan sopan santun."
Hui Sing semakin tertarik. Dia memperbaiki sikap duduknya sambil menajamkan pendengarannya.
"Pemakaian kain batik sebagai busana kebesaran harus menaati segala peraturan yang berlaku. Misalnya, pemakaian kain batik untuk kalangan perempuan harus menutupi mata kaki. Kalau memakai kain batik jauh lebih tinggi dari mata kaki, hal itu bisa diartikan bahwa wanita tersebut tidak paham adat, serta kurang paham kesopanan."
Anindita kagum dengan kesungguhan Hui Sing menyimak setiap kata-katanya. Ia tersenyum.
"Untuk perempuan, pemakaian lembaran kain batik dimulai dari ujungnya masuk ke sebelah kiri pinggang pemakainya, dan ujung kain batik lainnya melingkari tubuh ke arah kanan.
Sehingga ujung kain batik yang di-wiru (lipatan pada kain) berada paling atas dan ke arah kanan pinggang pemakainya."
"Apa itu wiru?" Anindita sedikit mengangkat lipatan bertumpuk pada ujung kain yang ia kenakan. Lipatan bertumpuk itu mengunci kain batik yang ia kenakan.
"Inilah yang kami sebut wiru."
"Indah sekali. Aku pikir, wiru inilah yang ketika engkau menari menambah anggun gerakanmu. Tapi, kenapa seperti ada perbedaan cara memakai kain batik antara kaum perempuan dan kaum pria, Anindita" Waktu aku bertemu dengan Prabu Wikramawardhana, beliau juga mengenakan kain ber-wiru, hanya seingatku ada yang sedikit berbeda."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau sungguh jeli, Hui Sing. Memang ada kekhususan pada cara pemakaian kain batik bagi kaum pria. Cara pemakaiannya dengan memasukkan ujung kain batik ke bagian kanan pinggang, lalu ditutupi kain batik yang melingkari pinggang memutar ke kanan, lalu ke kiri sehingga ujung kain batik yang di-wiru berada di tengah menghadap ke kiri."
Anindita bangkit dari duduk. "Mbok, tolong ambilkan epek dan beting."
Setelah mengiyakan, perempuan abdi itu kemudian menghilang di balik pintu yang menghubungkan ruang itu dengan kamar pribadi Anindita. Tak mesti menunggu lama, perempuan sepuh itu sudah muncul dengan barang yang dipesan Anindita.
Sambil tersenyum dan berterima kasih, Anindita mulai mengenakan kain batik setengah jadi yang tadi ia lukisi sepasang kupu-kupu riang. Setelah melakukan tahap yang ia katakan sebelumnya, ia lalu mengikat bagian atas kain batik dengan ikat pinggang khusus yang ia sebut epek, serta kain pengikat pinggang yang panjang.
Ia lalu menutup bagian itu dengan kain beting, ikat pinggang panjang yang terbuat dari kain beludru bergambar kembang-kembang.
"Untuk pria, biasanya pemakaian kain batik ini dilengkapi dengan baju bernama beskap. Dengan mengenakan busana Jawi lengkap termasuk sebilah keris yang terselip di lipatan ikat pinggang dan kepala ditutup kuluk, terasalah kebesaran jiwa."
Hui Sing mengangguk-angguk. Rasanya, hari itu akan habis oleh obrolan-obrolan tentang batik yang membuat ketertarikan Hui Sing demikian tersedot. Namun, begitu sadar matahari sudah bergeser dari garis lurus bayangan manusia, Hui Sing bergegas pamit kembali ke wisma tamu dan berjanji akan datang sewaktu-waktu untuk belajar lebih banyak lagi.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Sien Feng, apakah kedatanganku mengganggu?"
Sien Feng menggelengkan kepala, lalu menggeser duduknya, memberi kesempatan kepada Juen Sui untuk ikut menikmati suasana petang di taman wisma tamu keraton Majapahit itu. Dia sedang melamun, ketika kakak seperguruannya itu muncul.
Begitu duduk di bangku taman, Juen Sui melepas napas panjang, sambil mengedarkan pandangannya ke pelosok taman. Tak ada percakapan hingga beberapa saat.
"Tidakkah kau merindukan kebersamaan kita dulu, Adik Feng" Bertiga dengan Hui Sing, kita terbiasa menghabiskan waktu dengan bercengkerama dan berlatih thifan. Rasanya, sudah lama sekali saat-saat menyenangkan itu berlalu."
Sien Feng belum mengalihkan pandangannya dari serombongan kupu-kupu yang terbang kagok di antara rumpun bunga di taman itu. Gerakan mereka malu-malu.
"Kakak, sejak awal, aku sangat tidak ingin hal ini terjadi.
Tentang hilangnya Kitab Kutub Beku milik guru pun, aku yakin orang lain yang mencurinya. Tapi keadaan ini sungguh tak bisa dihindarkan."
Sekarang Sien Feng menatap langsung Juen Sui, menunggu komentar.
"Kau betul. Sejak awal, aku pun sangat yakin ada seseorang yang memanfaatkan kelengahan kita untuk memecah belah perguruan."
Juen Sui memejamkan mata, menahan beban rasa yang demikian berat.
"Aku memikirkan guru dan Hui Sing. Mereka begitu yakin bahwa pencuri kitab itu adalah satu di antara kita. Bagaimana mungkin sekeji itu?"
"Kakak, aku rasa kita harus berkepala dingin. Paling tidak, sementara ini kita jangan memperkeruh suasana, sambil tetap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menyelidiki siapa yang bar-tanggung jawab terhadap kejadian ini."
"Aku setuju, Adik Feng. Kau sendiri kapan terakhir berbicara dengan Hui Sing?"
"Waktu di kapal itu. Sudah sangat lama. Sekarang, kelihatan sekali dia enggan berbicara kepadaku."
"Aku merasakan hal yang sama, Adik Feng. Apalagi sekarang Hui Sing telah punya teman baru."
"Teman baru?"
"Apakah kau tak memperhatikan" Hui Sing demikian akrab dengan Sad Respati, kepala bhayangkari Majapahit."
"Ya, aku pun sering melihat mereka berdua. Tapi aku kira itu wajar karena Hui Sing memahami bahasa orang Majapahit dengan baik. Tentunya jika kita menguasainya, kita pun melakukan hal yang sama."
Juen Sui mengangguk-angguk.
Sementara Sien Feng merasa heran sekaligus lega. Kini, justru Juen Sui bisa bicara demikian terbuka dengannya.
Sebab dulu, meskipun bersama-sama dalam setiap latihan yang diberikan gurunya, Juen Sui jarang sekali berbicara panjang lebar dengannya. Setiap peristiwa seburuk apa pun itu, selalu meninggalkan perubahan yang baik, jika dipahami dengan arif.
0oo0 Pagi yang cerah ...
Kelopak mata Hui Sing sesekali mengerjap. Inginnya dia terus menatap kelincahan Empu Prabaswara membakar lalu memukul baja hitam yang akan dijadikan sebilah keris itu secara bergantian.
"Empu Prabaswara adalah satu di antara sedikit empu berkemampuan mumpuni di Mojokerto."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati memahami kekaguman Hui Sing dan berusaha memberikan pengertian sejelas-jelasnya kepada perempuan yang selalu ingin tahu itu.
Ruang pembuatan keris itu sebenarnya sangat jarang menarik perhatian perempuan. Segala yang ada di ruangan itu berbau kasar dan kotor. Besi-besi berserakan, warna legam di mana-mana, dan percikan api yang membuat waswas tentu tak membuat nyaman.
Tapi bagi Hui Sing yang selalu menggebu setiap melihat hal-hal baru, kenyataan itu sama sekali tak mengganggu.
Meskipun demikian, Respati tak mau membiarkan Hui Sing berlama-lama di ruangan itu hingga wajahnya yang mulus jadi menghitam. Ia mengajak gadis itu keluar dari ruang pembuatan keris. Respati lalu mengajaknya ke pendopo padepokan Empu Prabaswara. Mereka duduk berhadapan.
"Banyak sekali hal baru yang saya temui di sini, Tuan Respati. Cara pembuatan keris itu juga begitu mengagumkan."
"Nini Hui Sing, Nini sudah tak sungkan lagi dengan Anindita. Bisakah Nini bersikap sama terhadap saya" Saya canggung dengan kata tuan yang Nini ucapkan."
Hui Sing tersenyum sambil menebak-nebak arah bicara Respati.
"Lalu, kenapa Tuan masih memanggil saya dengan sebutan Nini?"
"Oh, baiklah. Kalau begitu, aku akan memanggilmu Hui Sing, agar tak sungkan lagi."
"Begitu lebih baik. Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Karena kau jauh lebih muda dibandingkan aku, kenapa tak kau panggil aku Kakang saja?"


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa tidak, Kakang Respati" Nah, sekarang aku ingin menanyakan kebenaran tentang kedahsyatan pusaka Angga Cuwiri milikmu, Kakang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Dari mana kau mendengar hal yang terlalu dilebih-lebihkan itu, Hui Sing" Memang Angga Cuwiri adalah pusaka warisan keluarga yang sangat aku jaga. Namun, kehebatan yang banyak dibicarakan orang terlalu dilebih-lebihkan."
"Tak akan ada asap tanpa api. Aku kira, tanpa ada keagungan di belakang pusaka itu, mustahil orang-orang demikian mengaguminya."
Respati tersenyum. Dia merasa kalah dan terjebak. Tanpa diminta, ia lalu melepaskan Angga Cuwiri dari simpul tali di punggungnya. Hui Sing berdecak kagum melihat ukiran elok dan halus pada warangka keris yang berukuran istimewa itu.
Menuntaskan rasa penasaran Hui Sing, Respati mengeluarkan keris itu dari warangkanya dengan perlahan.
Bertambah takjublah Hui Sing sekarang. Baja hitam berpamor biru kering menyebar aura yang pekat. Sembilan lekukan mulai pangkal keris hingga ujung yang meruncing jelas merupakan hasil dari tempaan seorang ahli yang mumpuni dan paham betul akan keindahan.
"Keris ini usianya hampir satu abad. Pembuatnya adalah Empu Angga Cuwiri yang sangat terkenal di Majapahit. Ini karyanya yang terakhir."
"Mengapa ukurannya begitu berbeda dengan keris yang lain, Kakang?"
"Empu Angga Cuwiri sengaja membuat keris ini untuk seorang sahabat karibnya bernama Pranawa. Ia ingin membuat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Untuk menyelesaikan keris ini, ia membutuhkan waktu lima tahun."
"Begitu lama?"
"Ya, karena Empu Angga ingin karyanya sempurna.
Bahkan untuk mendapatkan logam sebagai bahan dasar kerisnya pun, dia rela menjelajah Nusantara selama bertahun-tahun."
"Orang bernama Pranawa itu demikian istimewa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Persahabatan mereka lebih murni dibandingkan ketaatan hamba kepada rajanya."
"Lalu, bagaimana keris itu bisa berada di tangan Kakang?"
Respati kembali tersenyum sambil memasukkan kembali keris Angga Cuwiri ke dalam warangkanya.
"Pranawa adalah seorang bhayangkari kerajaan Majapahit pada zaman Ratu Tribuwanatung-gadewi. Dia kakek buyutku."
Hui Sing mengangguk maklum.
"Aku sudah menunjukkan benda paling berharga yang kumiliki. Bagaimana denganmu, Hui Sing" Aku dengar, kau pun memiliki sebuah senjata yang sangat menakjubkan."
"Ya, kata-kata. Apakah Kakang tak merasa kata-kataku merupakan senjata yang mematikan?"
"Maksudku, senjata untuk melindungi diri. Senjata untuk melumpuhkan musuh."
Kini, Hui Sing tak bisa lagi bersilat lidah.
"Baiklah."
Itu saja yang dikatakan Hui Sing. Ia lalu bangkit dan berjalan menuju halaman padepokan. Respati masih belum beranjak dari duduknya. Ia keheranan.
"Katanya, Kakang ingin melihat senjata andalanku. Apa lagi yang ditunggu?"
Respati tersenyum masygul. Dia mulai menangkap jiwa periang yang cenderung seenaknya dalam diri Hui Sing.
Sesuatu yang tabu dalam pandangan masyarakat Jawa yang penuh tatanan, tapi justru mengundang rasa penasaran di dada Respati.
"Aku sudah di sini, mana pusaka ampuhmu itu?" Respati berdiri tegak lima tombak di depan Hui Sing yang masih berdiri tenang. "Ini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati buru-buru memalingkan wajah untuk
menyelamatkan pandangan matanya dari sinar menyilaukan yang keluar dari lubang lengan Hui Sing. Tapi untuk tetap berdiri tegak di sana jelas keputusan yang salah. Apalagi ia merasakan desakan angin yang menderu ke arahnya.
Pemuda cakap itu langsung melakukan salto ke belakang, tanpa tahu, sinar apa yang kini terus memburunya. Sementara itu, Hui Sing terus memburu Respati dengan sabuk peraknya yang istimewa itu. Sabuk lembek seperti beludru namun kuat seperti baja itu, membentuk lingkaran-lingkaran maut yang terus berubah-ubah.
Hui Sing terus mengubah-ubah serangannya sambil bergerak lincah seperti putri yang sedang menari. Setelah lewat lima jurus, Respati yang terus-menerus menghindar baru menyadari bahwa sinar menyilaukan itu berasal dari sabuk perak yang memantulkan cahaya matahari.
Pemuda itu masih mereka-reka arah serangan Hui Sing sambil menunggu titik lemah jurus itu. Namun, ternyata hal itu sama sekali tidak mudah. Hui Sing terus memburunya dengan serangan yang jauh lebih berbahaya. Ujung sabuk itu kini memburu kepala Respati sepenuh hati.
Respati kerepotan setengah mati menghindari ujung sabuk yang diyakininya bisa menghancurkan benda sekeras batu sekali pun. Beberapa kali ia mesti menjatuhkan diri ke tanah dan berguling-guling.
"Aku akan memaksa kau mencabut kerismu, Kakang!"
Hui Sing berteriak lantang tanpa mengendurkan serangannya yang kian gencar. Respati tahu betul Hui Sing ingin tahu kehebatan Angga Cuwiri. Namun, ia pun bukan pendekar kelas coro yang gampang terpancing. Dia akan berusaha keras untuk menundukan serangan Hui Sing tanpa harus menggunakan senjata andalannya.
"Hup!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati melompat ke udara sambil menangkap sabuk perak. Tapi dia keheranan bukan main ketika dengan sangat mudah, Hui Sing meloloskan sabuknya dari genggaman erat tangannya. Sabuk itu selicin belut. Bahkan setelah Respati mengerahkan tenaga dalam untuk menahannya dalam genggaman, tak ada hasilnya sama sekali.
Dalam sekejap, justru ujung sabuk itu kembali menukik ke arahnya. Sreng!
Tak ada pilihan. Respati akhirnya mencabut keris Angga Cuwiri dari warangkanya. Hui Sing girang bukan main karena bisa memaksa pemuda itu melakukan hal yang diinginkannya.
Dia seperti mendapat tambahan tenaga untuk menyerbu Respati dengan jurus-jurus mautnya.
Kini, sinar perak menyilaukan dari sabuk Hui Sing menggulung sinar biru yang keluar dari pamor keris Angga Cuwiri di tangan Respati. Keduanya memutar otak untuk mengakhiri adu kekuatan itu dengan kemenangan.
Tapi nyatanya, mereka sama-sama tak menemukan jalan pintas. Apalagi, Hui Sing dan Respati sama-sama tak ingin sungguh-sungguh melukai lawannya.
"Cukup, Hui Sing!"
Tubuh Respati melenting ke arah belakang, lalu mendarat ke tanah dalam keadaan siap siaga. Sementara, Hui Sing menyentakkan sabuknya kembali ke genggamannya.
"Kalau diteruskan, salah satu di antara kita pasti terluka."
Hui Sing mengangguk sambil mengatur napasnya yang sempat kacau.
"Angga Cuwiri benar-benar hebat, Kakang."
Respati menghampiri Hui Sing setelah memasukkan kembali Angga Cuwiri ke warangkanya.
"Senjatamu juga istimewa. Di tanah Jawa Dwipa, ada juga perempuan pendekar yang menggunakan selendang sebagai Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi senjata. Namun, aku belum pernah bertemu senjata sejenis itu yang memiliki kelenturan dan keistimewaan seperti sabukmu."
"Sabukku ini terbuat dari benang istimewa. Guru memesannya kepada seorang ahli di Tiongkok. Meskipun bentuknya sabuk, namun kuatnya tak kalah dengan baja dan kelembutannya tak kalah oleh beludru."
"Sinarnya juga sangat menyilaukan. Apalagi tenaga dalammu juga sudah begitu baik. Aku hampir kalah tadi."
"Kurasa Kakang terlalu merendah. Lain kali mungkin kita bisa berlatih lagi."
Respati mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu mengajak Hui Sing kembali ke pendopo untuk menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan oleh pengurus padepokan.
"Malam ini purnama penuh. Aku dan dan calon istrimu berjanji untuk berjalan-jalan keluar keraton dan meneruskan pelajaran membatik."
"Calon istriku?"
"Ya. Dewi Anindita. Apa Kakang lupa akan hal itu?"
"Rupanya sudah demikian jauh obrolan kalian, ya?"
"Kakang sangat beruntung bisa memperistri perempuan seperti Anindita. Dia sosok perempuan sempurna."
Respati memilih duduk di depan meja kecil di pendopo, sedangkan Hui Sing bersila di hadapannya. "Sempurna?"
"Ya. Anindita begitu lembut, tahu segala hal. Mewarisi darah biru, dan tentu saja jelita."
"Itukah kesempurnaan seorang perempuan?"
Hu Sing mengerutkan dahi. "Memangnya, seperti apa Kakang memahami seorang perempuan yang layak dicintai?"
"Tentu saja yang hatinya rupawan."
"Anindita pun memilikinya, bukan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Ia mengalihkan pandangannya sambil sedikit tersenyum.
"Ya, tentu saja. Anindita memiliki hati yang rupawan,"
ujarnya lirih. "Bagaimana rasanya memiliki hati yang berdebar-debar menunggu pernikahan, Kakang?"
Respati tak menjawab. Sepertinya ia tak mendengar karena pikirannya tenggelam dalam lamunan.
"Kakang Respati"
"Apa" Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu."
"Ah, tentunya tentang pernikahan kalian bulan depan, ya?"
Respati lagi-lagi tersenyum setengah tersipu.
"Ya, aku memikirkan pernikahan kami."
"Prabu Wikramawardhana begitu mengistimewakanmu, Kakang. Sampai putri terelok di keputren pun dipilihkannya untuk menjadi istrimu."
"Jadi, kau sudah tahu semuanya. Alangkah cepatnya."
Hui Sing tergelak pendek melihat cara Respati mengatakan kalimat itu. Seperti orang yang kebingungan karena gagal memberikan kejutan.
"Jadi, Kakang belum sadar dengan siapa berhadapan?"
Keduanya pun tertawa kecil. Saling memahami kelucuan yang bagi orang lain bisa jadi tak patut ditertawakan.
"Kalau kau lahir sebagai putri Jawa Dwipa, pasti namamu Samita."
Hui Sing mengerutkan dahi.
"Samita artinya bintang. Matamu bersinar seperti bintang."
Hui Sing tak menjawab. Dia hanya mendehem kecil.
Kebetulan sekali, kata hui sing pun artinya bintang. Bintang berekor.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kakang, aku sangat penasaran dengan jurus-jurus yang engkau gunakan. Sulit menggambarkan. Tapi, aku memahaminya lebih dari sekadar gerakan silat."
Respati mulai terbiasa dengan sikap tak peduli Hui Sing.
Gadis itu seenaknya mengganti bahan pembicaraan.
"Seumur hidupku, aku hanya berlatih jurus Hanacaraka.
Tapi sampai saat ini, aku belum bisa memahaminya dengan sempurna."
"Bukankah itu nama huruf yang digunakan di Jawa Dwipa?"
"Kau benar, Hui Sing. Bagi kami, ilmu kanuragan tak sekadar ilmu luar yang mengabaikan rasa manusia dan pencipta. Sebab, semua saling berkaitan."
Hui Sing menggelengkan kepala sambil tersenyum tak mengerti.
"Kau yakin ingin mendengarkannya?"
"Jika Kakang cukup punya waktu."
Respati memperbaiki sikap duduknya. Dia tampak berhati-hati memulai pembicaraan itu.
"Jurus Hanacaraka terdiri dari dua puluh inti gerakan tubuh, sesuai dengan jumlah huruf Jawa yang engkau kenal.
Setiap kata mengandung pemahaman tersendiri yang menggerakkan jiwa dan raga pendekar."
"Sepertinya aku butuh contoh, Kakang."
"Baiklah. Lima kata pertama adalah tahap meditasi, pengaturan napas untuk menghasilkan tenaga dalam murni.
Huruf ha, hana hurip wening suci, adanya hidup adalah kehendak dari yang Mahasuci."
Respati memejamkan mata, sementara kedua tangannya terangkat ke atas.
"Huruf na, nur candra (bulan), pengharapan manusia tersandar pada sinar Gusti Ingkang Murbheng Dumadi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kini, kedua telapak tangan Respati menyatu di depan dada. Matanya masih terpejam rapat.
"Huruf ca, cipta wening, satu arah dan tujuan pada Yang Mahatungal. Huruf ra, rasaingsun han-duiusih, rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani."
Pemuda itu menghirup udara begitu dalam. "Huruf ka, karsaningsun memayuhayuning bawaria, hasrat diarahkan untuk kesejahteraan alam."
Respati membuka kelopak matanya perlahan sambil mengembuskan napasnya khidmat.
"Jangan kau suruh aku berkomentar, Kakang. Kata-kataku habis. Ini terlalu agung."
"Belasan tahun aku mempelajari jurus andalan Mahapatih Gajahmada ini. Tapi seujung kuku pun, aku tak bisa dibandingkan dengannya."
"Guruku sering sekali menyebut nama Mahapatih Gajahmada. Diakah pemersatu Nusantara yang digdaya itu?"
"Kau tak salah, Hui Sing. Jika saja aku memiliki jiwa yang murni, mungkin aku bisa menguasai ilmu ini dan panji-panji Majapahit akan kembali berkibar di penjuru nusantara seperti dulu."
"Maksud Kakang, memahami Hanacaraka, tak cukup menghafal gerakan silatnya saja?"
Respati mengangguk-angguk.
"Dari dua puluh huruf itu, setiap lima huruf, ketika digabungkan menjadi satu memiliki pemahaman yang mendalam. Hanacaraka berarti ada utusan. Utusan hidup, berupa napas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Artinya ada yang memercayakan, ada yang dipercaya, dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Gusti, manusia, dan kewajiban manusia sebagai ciptaan."
"Jadi, kunci semuanya adalah kesejatian hidup?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Dahinya berkerut.
"Berapa lama aku mengenalmu, Hui Sing?"
"Maksud Kakang?"
"Bagaimana mungkin kau demikian cepat memahami setiap kata yang kuucapkan, melebihi le-satan anak panah"
Seolah-olah kita adalah teman lama yang sudah demikian saling mengerti."
Kulit pipi Hui Sing memerah. "Apa Kakang tidak sedang memuji diri sendiri karena demikian mudah memberi pemahaman kepada orang lain?"
Untuk kesekian kali, Respati kembali tersenyum. Ia semakin paham, ada yang membuat mereka berdua saling memahami. Sebab, tak ada yang kebetulan di jagad raya.
"Lalu, kenapa Kakang melafalkan rahasia jurus-jurus itu kepadaku" Bukankah ini sama saja kakang membocorkan inti ilmu kepada orang lain?"
"Jika saat ini kau ingin aku membeberkan semua kata dan makna tersirat dalam jurus Hanacaraka, kau kira aku akan berkeberatan, Hui Sing?"
Hui Sing sedikit menggerakkan kepalanya. Menatap Respati dengan kesan heran. Ia lalu bertanya dengan nada datar, "Kenapa begitu" Tidakkah itu sebuah tindakan sembrono?"
"Seperti yang kau katakan, inti ilmu ini adalah kesejatian hidup. Jika seseorang mampu menghafal semua mantra di dalamnya dan melatih semua gerakannya, itu tak akan berarti apa-apa. Kecuali dia benar-benar memahami makna hidup."
"Tetapi tanpa kesempurnaan pemahaman itu pun, orang bisa melatih jurus ini, Kakang. Bukankah Kakang juga merasa tak sempurna memahami hakikat ilmunya" Tapi coba lihatlah.
Sekarang pun, Kakang sudah menjadi pendekar pilih tanding.
Bagaimana jika orang tak berwatak pendekar yang memintamu melafalkan mantra itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam. Senyumnya masih tertahan. Ia menatap Hui Sing dengan pandangan dalam.
"Kalaupun aku mengatakannya kepadamu, semua itu karena aku percaya kepadamu, Hui Sing. Aku yakin kau berwatak kesatria."
Hui Sing merasakan wajahnya memanas. Dia pun sadar, Respati dapat menangkap kesan itu dari kulit pipinya yang memerah seketika. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya keluar pendopo.
"Sudah siang. Aku harus segera kembali ke wisma."
"Begitu terburu-buru, Hui Sing. O, aku baru ingat. Ini waktunya untuk sembahyang, bukan?"
Hui Sing mengangguk.
"Aku kagum melihat semangatmu menyembah sembahan-mu, Hui Sing."
Kini, senyum Hui Sing mengembang. Warna merah di pipinya telah pudar.
"Aku menikmati setiap pertemuanku dengan Thian."
"Kau memaknainya demikian dalam?" Hui Sing berdiri.
"Manusia penuh noda. Setiap hari tak jemu membuat kesalahan. Jika tak lagi hirau untuk mengadu kepada Sang Pencipta, apalah jadinya?"
Respati menyusul bangkit dari duduknya.
"Kau benar. Aku sepakat dengan itu. Sebelum kembali ke wisma, sebaiknya kita berpamitan lebih dulu dengan Empu Prabaswara."
Lagi-lagi, Hui Sing mengangguk lemah. Ia lalu mengikuti langkah Respati masuk ke ruangan penampaan keris.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Menjelang petang, Laksamana Cheng Ho yang baru saja kembali berkeliling dari beberapa desa di luar Kota Raja memanggil tiga murid utamanya. Kini, Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing telah berkumpul di ruang peristirahatan gurunya di bagian tengah wisma tamu Keraton Majapahit.
Cheng Ho berdiri sambil menatap ketiga muridnya tanpa berkedip.
"Wang Jing Hong telah pulih. Sekarang ia memegang tanggung jawab armada di Pelabuhan Surabaya."
Tak ada yang menyela. Semua diam dan mendengarkan dengan khidmat.
"Kita tak bisa terlalu lama tinggal di Majapahit. Sepekan lagi, kita berangkat ke Pelabuhan Surabaya."
Masih hening. "Kalian tak ingin tahu kenapa kita harus segera meninggalkan Majapahit?"
Ketiga murid Cheng Ho menggerakkan tubuh mereka dengan canggung. Tetap tanpa kata-kata.
"Chen Zhuyi, bramacorah dari Chaozhou itu membuat ulah di P'o-lin-pang (Palembang), bekas Kerajaan San-fo-chi (Sriwijaya). Dia mengangkat diri sebagai gembong bajak laut dan berbuat sewenang-wenang. Bahkan dia berani merompak kapal-kapal pedagang yang melewati Kieu Kiang (Pelabuhan Lama, nama lain Palembang)."
Cheng Ho bergerak ke jendela besar kamar yang menghadap ke taman wisma itu.
"Liang Daoming, wakil Kaisar Ming yang melindungi ribuan warga Tiongkok perantauan di P'o-lin-pang minta bantuan kita untuk mengusir Chen Zhuyi."
"Kapan kita berangkat, Guru?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suara halus Hui Sing akhirnya terdengar juga. Dia tak mendongakkan kepalanya yang tertunduk ketika menanyakan hal itu.
"Siapkan diri kalian. Dalam beberapa hari ini, aku akan memastikan perjanjian dengan raja Majapahit berjalan dengan baik sehingga kita bisa meninggalkan Majapahit tanpa ragu."
Ada yang berdesir dalam diri Hui Sing. Perasaan yang bergejolak namun sulit terbaca. Dia juga merasakan matanya memanas. Sore itu, Cheng Ho sama sekali tak menyinggung perihal kitab Kutub Beku-nya yang raib. Entah karena begitu banyak hal yang dipikirkan di benaknya atau orang kepercayaan Kaisar Ming itu memiliki rencana lain.
"Jika tak ada pertanyaan lagi, kalian boleh keluar untuk bersiap-siap."
Suara Cheng Ho tak pekat emosi. Datar saja. Tapi itu cukup membuat orang yang berhadapan dengannya tak berkutik. Termasuk ketiga murid kesayangannya.
"Hui Sing!"
Begitu keluar dari ruang pribadi gurunya, Juen Sui, Sien Feng, dan Hui Sing berjalan tanpa kata-kata. Mereka seperti mayat hidup yang bergerak tanpa gairah.
Juen Sui mendekati Hui Sing dengan langkah hati-hati.
"Hui Sing, tidakkah kau punya sedikit waktu" Kami ingin bicara."
Hui Sing menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?"
"Sekadar keramahan. Seperti dulu, kita duduk dan berbicara."
"Apakah kita pernah seperti itu" Aku hampir tak ingat."
"Atau memang ingatanmu sudah tertutup oleh ketampanan Sad Respati."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing membalikkan tubuhnya. Matanya menajam. Sien Feng berdiri di belakang Juen Sui tanpa suara.
"Itu saja yang hendak kalian sampaikan" Berarti aku memang tak punya waktu untuk segala omong kosong ini."
"Hui Sing, tunggu!"
Sien Feng mengejar langkah Hui Sing yang ter-gesa. Dulu mereka sangat dekat. Jauh lebih dekat dibandingkan hubungan mereka dengan Juen Sui. Mempertimbangkan itu, Hui Sing kembali menghentikan langkahnya.
"Kami ingin engkau seperti dulu lagi, Hui Sing."
Mata Hui Sing berkaca-kaca. Tapi tentu saja dia menahannya agar tak terlihat dua orang yang dulu begitu dekat dengannya, lalu demikian jauh jadinya.
"Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama ketika di atas kapal. Tolong, biarkan aku sendiri."
Selesai mengatakan itu, Hui Sing kembali melangkah bergegas menuju ruang istirahatnya. Sementara Sien Feng berdiri termangu, ketika Juen Sui berjalan mendekatinya.
"Dia sudah sangat berubah, Sien Feng."
"Kakak benar. Biarkan saja dia seperti itu sampai dia menyadari kekeliruannya menilai kita."
Juen Sui mengangguk. Keduanya tersenyum masygul, lalu beranjak dari tempat itu menuju kamar mereka masing-masing. Pada saat yang sama, di Griya Bhayangkari, Sad Respati tengah duduk dan berbicara dengan Danurdara, orang nomor dua di jajaran bhayangkari Majapahit.
Griya Bhayangkari adalah kompleks khusus yang menempel di sisi kanan Siti hinggih (tempat pertemuan raja dan bawahannya) keraton. Di tempat tersebut, tinggal para bhayangkari dan calon bhayangkari yang tengah menjalani pendidikan. Setiap tahun, diadakan pertandingan untuk menentukan lima belas orang yang pantas menjadi pengawal utama raja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Mereka yang dikukuhkan sebagai bhayangkari inti berhak menempati satu rumah besar di kompleks tersebut dengan segala keistimewaan yang diberikan raja. Setiap bhayangkari harus meletakkan raja di atas nyawanya sendiri, apa pun yang terjadi.
Karena itu, ketika ada di antara mereka yang menikah, biasanya bhayangkari tersebut mengundurkan diri. Jika beruntung, justru diberi jabatan pengganti oleh raja.
"Kakang Respati, menurut Kakang, apa yang akan dilakukan Raja Ming begitu mendengar tragedi Simongan itu?"
"Sebenarnya, aku masih tak yakin apa yang akan terjadi.
Hanya, jika melihat pribadi Laksamana Cheng Ho dan segala yang ia lakukan di Majapahit, aku yakin Kerajaan Ming tak akan gegabah memandang masalah ini."
"Apakah benar laksamana itu memiliki ilmu kanuragan yang sangat tinggi?"
"Tadinya aku masih ragu. Tapi kini aku sangat percaya."
"Rupanya, kedekatan Kakang dengan murid Tuan Ho penyebabnya." Respati tersenyum.
"Barangkali demikian. Kami pernah menjajal ilmu kanuragan dan dia berhasil memaksaku menghunus Angga Cuwiri."
Danurdara terhenyak meskipun tak begitu ketara.
"Begitu mumpunikah perempuan muda itu?"
"Jika melihat kemampuan Hui Sing, aku bisa membayangkan sehebat apa kedua kakak seperguruannya itu. Apalagi Tuan Ho sebagai gurunya."
Hening sejenak. Danurdara tampak merenungkan sesuatu.
Pemuda itu sekitar satu atau dua tahun lebih muda dibandingkan Respati. Sebagai orang nomor dua di pasukan Bhayangkari, tentu saja Danurdara memiliki kecakapan yang tinggi. Dalam ilmu bela diri pun dia tak kalah dibandingkan Respati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bahkan, dia biasa memainkan banyak senjata dibandingkan Respati yang setia dengan Angga Cuwiri-nya. Danurdara terkenal dengan kemampuan memanah yang tak ada duanya.
Dia juga pemain pedang yang sangat baik. Tak heran jika banyak yang menduga, Danurdara akan menggantikan Respati begitu Respati menikah dengan Dewi Anindita.
Dari parasnya pun, Danurdara tak kalah tampan dibandingkan Respati. Otot-otot di tubuhnya mengeras karena latihan berbagai senjata yang dilakukannya sejak anak-anak. Dia juga memiliki paras yang ramah meskipun tak setegas garis wajah Respati.
"Kakang yakin menilainya secara benar" Apakah karena Kakang begitu dekat dengan murid Tuan Ho itu, lalu mengambil kesimpulan yang terburu-buru?"
Mata elang Respati menajam. Mencengkeram Danurdara yang kehilangan kesadarannya sendiri ketika mengucapkan pertanyaan itu. Sontak Respati tertawa lantang tanpa ditahan-tahan. Bahunya sampai tersentak-sentak olehnya. Bahkan, ketika tertawa pun wibawa itu memancar. Karenanya, Danurdara memilih menunggu.
"Danurdara, pikiranmu demikian jauh. Bulan depan aku akan menikahi Anindita. Apakah kau pikir aku masih punya cukup waktu untuk jatuh hati?"
"Kakang, kau salah mengerti, maksudku."
Respati kembali tergelak, meskipun kini tawanya tak selantang sebelumnya.
"Justru kau yang dalam bahaya, Danurdara. Ketika aku meninggalkan Griya Bhayangkari, kaulah yang akan menggantikan kedudukanku. Bagaimana jadinya jika pikiranmu bercabang?"
"Kakang, aku tak mengerti maksudmu."
Danurdara menelan ludah. Ia merasa berada di waktu dan tempat yang salah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Sudahlah. Mungkin aku keterlaluan kepadamu. Agar kau tahu, aku memang merasa sangat nyaman setiap bersama-sama Hui Sing, murid termuda Tuan Ho. Dia cerdas, akalnya tak pernah mati, dan memiliki pemahaman hidup yang sangat dalam. Padahal dia masih sangat muda."
Danurdara tak mengeluarkan satu patah kata pun. Dia tak ingin terjebak untuk kedua kalinya.
"Kau tak perlu khawatir, Danurdara. Bahkan, Anindita berteman baik dengannya. Mereka cocok satu sama lain.
Mereka berteman dengan sangat baik."
"Baiklah, aku kira tak perlu diperpanjang, Kakang.
Sekarang aku justru ingin tahu, apa rencana Kakang setelah meninggalkan Griya Bhayangkari?"
"Aku belum tahu. Baginda pun belum memberikan tanda apa pun. Aku cukup mengerti bahwa saat ini keadaan demikian keruh. Tentu ini saat yang sulit bagi baginda prabu."
"Aku kira jabatan rakryan rangga atau rakryan tumenggung sudah ada di tanganmu, Kakang."
"Kau pikir sang prabu akan menyingkirkan Abya-sa dan Sadali?"
"Bukankah waktu satu windu sudah cukup lama bagi keduanya untuk tetap dipertahankan" Lagi pula, kepiawaian mereka pun semakin diragukan setelah berbagai pemberontakan datang susul menyusul menghabiskan banyak harta kerajaan."
"Ngono ya ngono, ning aja ngono."
"Maksud Kakang?"
"Sebagai pemuda, aku sama juga seperti kau, juga yang lain. Terus ingin mendaki kejayaan. Tapi, aku berusaha untuk selalu ingat kata-kata guru, untuk tidak berlebihan dalam segala hal. Pandai-pandai mengendalikan diri dan tidak memilih segala jalan untuk memenangkan diri sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Danurdara menatap Respati dengan sinar kagum. Inilah yang selalu membuatnya merasa tertinggal oleh Respati.
Dalam hal ilmu kanuragan, dia berani bertanding. Begitu juga dalam hal ketampanan, dia cukup percaya diri untuk bersaing.
Namun, sisi pemahaman hidup Respati yang begitu luas dan dalam, membuatnya merasa bukan siapa-siapa.
0oo0 Hari Tumpak, Bulan Asadha. Purnama penuh bercahaya sempurna.
Langit terang benderang. Penduduk bumi Majapahit bergembira ria. Melupakan penderitaan batin usai Perang Paregreg. Orang-orang keluar rumah dengan wajah cerah.
Sama cerahnya dengan selaksa bintang yang berkedip menemani purnama.
Sekelompok perempuan berkemben berjumlah dua puluh atau tiga puluh orang berjalan dalam baris yang rapi. Satu di antara mereka ada di depan memberikan aba-aba. Dia menyanyikan satu bait syair indah, lalu disambut kor para perempuan yang ia pimpin dengan nyanyian pula.
Mereka kemudian berjalan serempak sambil bernyanyi.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika melihat sebuah rumah besar di pinggir kota, mereka berhenti di depannya. Dengan penuh semangat, mereka kembali bernyanyi.
Tak berapa lama, pintu rumah megah itu terbuka. Para penghuninya keluar dengan senyum mengembang. Mereka menikmati nyanyian-nyanyian itu sambil menggerak-gerakkan kepala mengikuti irama.
Selesai itu, salah seorang penghuni rumah menghampiri pemimpin kelompok, lalu mengangsurkan uang kepingan dan beberapa lembar kain. Nyanyian mereka semakin gembira.
Seperti api unggun ketika ditambahkan kayu bakar. Semua senang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah memberi hormat, rombongan perempuan itu meninggalkan halaman rumah besar itu dan mencari rumah-rumah yang lain. Tak berapa lama, mereka sudah kembali bernyanyi dengan harmoni di hadapan dua perempuan yang mengenakan pakaian bagus dan kerudung penutup kepala.
Dua perempuan itu memakai kain kebaya mewah yang tampaknya khusus didatangkan dari luar Jawa Dwipa. Kain bawahnya pun begitu elok. Tidak polos seperti yang dikenakan para perempuan yang bernyanyi itu. Keduanya memakai kain dengan gambar-gambar yang elok dan lipatan yang rapi di bagian depan.
Satu di antara perempuan itu kemudian memberikan uang kepengan banyak sekali. Satu kantong penuh. Setengah menjerit, pemimpin kelompok penyanyi itu gembira bukan kepalang melihat uang kepengan begitu banyak. Ia lalu memimpin para perempuan itu untuk membuat lingkaran penuh, mengitari dua perempuan dermawan tadi.
Nyanyian bernada puji-pujian dilantunkan. Lengkap dengan tarian-tarian serempak, nyaman untuk disimak.
Setelah puas meluapkan kegembiraan mereka, perempuan-perempuan tadi perlahan mundur dan kembali membuat barisan yang rapi dan meninggalkan kedua perempuan dermawan tadi masih dengan bernyanyi penuh gembira.
"Anindita, ternyata kau juga seorang dermawan."
"Sekadar rasa syukur, Hui Sing. Aku jarang sekali melihat keramaian di luar keraton. Sekali ini, aku merasa bebas dan gembira."
"Bukankah sepuluh orang prajurit ada di belakang kita untuk mengawasi setiap gerak-gerikmu?"
"Ya. Tapi paling tidak, aku bisa menghirup udara di luar keraton yang mulai terasa pengap."
"Malam ini ramai sekali. Di setiap sudut ada kesibukan orang-orang yang sedang bersenang-senang. Ada perayaan apa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ini hari kelima belas bulan Ashada. Penduduk Majapahit biasa menggelar pesta bersenang-senang di bawah bulan purnama. Semua orang bergembira dengan ragam hiburan."
Hui Sing menganggukkan kepala.
"Di depan sana ada pertunjukan wayang beber. Kau pasti tertarik melihatnya, Hui Sing."
Kedua dara itu lalu melangkah pelan menuju keramaian lain di sudut Kota Raja. Mereka berhenti di antara kerumuman orang yang duduk bersila. Tampaknya semua orang berkumpul di sana. Orang tua sampai anak-anak duduk khidmat ke arah sebuah gambar yang dipancang pada dua tiang setinggi orang dewasa.
Gambar itu seperti bercerita. Ada manusia, burung, binatang laut, dan gambar-gambar lain. Semua gambar itu dilukis halus di atas selembar daun kajang. Seorang laki-laki duduk membelakangi orang-orang, persis di depan gambar pancang itu.
Dia membeberkan suatu kisah berdasarkan gambar yang dipancang itu dengan suara lantang. Dia dibantu beberapa orang yang mengganti daun kajang setiap alur ceritanya berubah. Laki-laki itu pandai sekali berkisah. Orang-orang yang menyimak setiap penuturannya kelihatan asyik dan masuk ke dalam kisah yang ia paparkan.
Ketika melihat gambar lucu yang dipertegas dengan cara bercerita yang pas dari lelaki itu, orang-orang tertawa geli.
Beberapa di antaranya bahkan tak sungkan hingga terbahak-bahak. Sebaliknya, giliran kisah sedih yang dipaparkan, semua kepala ikut tertunduk. Bahkan beberapa perempuan yang ikut menonton terisak karena haru.
"Di negeri kami, pertunjukan seperti ini disebut Ping Hua."
Hui Sing tak begitu larut oleh cerita dalam pertunjukan itu.
Ia lebih tertarik melihat reaksi orang-orang yang menyaksikannya dan mengagumi betapa halusnya lukisan daun kajang yang menjadi pengantar kisah itu. Lagi pula, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bahasa pengantar pertunjukan itu tampak bercampur. Bahasa orang Majapahit memiliki tingkatan yang sangat banyak, sedangkan Hui Sing hanya mendalami bahasa keseharian.
"Benarkah" Jadi, memang kebiasaan masyarakat di tempat kita memiliki banyak persamaan." Hui Sing mengiyakan.
"Hui Sing, aku perhatikan, sejak awal kita keluar keraton, wajahmu tak memperlihatkan keceriaan. Adakah sesuatu yang mengganggu hatimu?"
Suara Anindita terdengar begitu santun. Ditambah bahasa yang memang sangat halus memancarkan kepribadian yang berbudi dalam setiap kata yang terucap.
"Kau begitu teliti, Anindita. Benar, aku sedang memikirkan keberangkatan kami ke P'o-lin-pang, bekas Kerajaan San-fo-chi."
"Maksudmu Kang Lama, bekas kerajaan Sriwijaya di Swarna Dwipai (Sumatra)?"
"Kau benar, Anindita. Kami harus segera berangkat ke sana untuk mengusir bajak laut Hokkian yang membuat kacau."
Anindita terdiam. Kesan wajahnya sendu.
"Artinya, tak akan ada lagi pembicaraan mengenai batik?"
Hui Sing tak menjawab. Dia pun merasa nyaman berteman dengan Anindita. Sebagaimana dia merasa cocok berbicara tentang banyak hal bersama Sad Respati.
"Kami hanyalah duta, Anindita. Apa pun titah kaisar, kami harus melaksanakannya dengan patuh."
"Aku memahaminya, Hui Sing. Sudahlah, kalau memang demikian, untuk apa kita membuang waktu dengan sendu sedan. Lebih baik sebelum engkau berangkat, sebanyak-banyaknya waktu kita pergunakan untuk berbincang. Toh, bukankah esok pagi kau meninggalkan Majapahit?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hui Sing tersenyum. Ia sepakat dengan cara Anindita mengusir rasa gundah karena segera akan berpisah itu.
Keduanya pun kembali larut dalam kegembiraan pertunjukan wayang beber. Malam belum terlalu larut ketika keduanya memutuskan untuk kembali ke keraton.
Beda dari biasanya, Anindita mengajak Hui Sing berkunjung ke keputren malam itu. Rupanya, dia mempunyai sebuah rencana untuk Hui Sing. Lampu-lampu obor kompleks keputren masih menyala terang benderang ketika keduanya berjalan menuju bangunan pribadi tempat tinggal Anindita.
Para prajurit yang mengawal mereka petang tadi sudah kembali ke posnya. Kini Anindita dan Hui Sing duduk di ruang depan bangunan pribadi Anindita.
"Aku yakin engkau akan menyukai kitab ini." Anindita menyodorkan lembar-lembar daun kajang yang disusun bertumpuk.
"Kitab apa ini?"
"Bacalah!"
Hui Sing membuka lembar pertama kitab itu dengan cermat. Dia lalu menggeser duduknya mendekati lampu obor di pinggir meja.
Pada tahun Saka tautan dasa bulan, ada raja perwira yuda.
Putera Girinata, konon kabarnya, lahir di dunia tanpa ibu.
Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda bakti. Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
Daerah luas sebelah timur Gunung Kawi terkenal subur makmur Di situlah tempat putra sang Girinata menunaikan darmanya. Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat, meneguhkan negara. Ibu negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
Pukulan Naga Sakti 7 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Anak Berandalan 7

Cari Blog Ini