Ceritasilat Novel Online

Sepak Terjang Hui Sing 4

Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 4


"Pembicaraan macam apa ini"! Aku sekadar lewat, lalu kedua iblis itu menangkapku dan membawaku kemari.
Sekarang, tiba-tiba saja kau memaksaku untuk menjadi istrimu. Apakah kau sudah kehilangan akal pikiranmu"!"
Bukannya berang, Kesusra kembali terkekeh. Rupany, dia semakin suka dengan Ramya yang tak mampu lagi membendung emosinya.
"Aku sangat suka perempuan sepertimu, Nini. Sungguh suka. Semakin galak, semakin suka."
"Lepaskan ikatan tangan ini, lalu kita bertarung sampai mati!"
"Bertarung" Siapa yang ingin bertarung" Nini, kau sungguh keterlaluan. Kepada lelaki yang begitu memujamu, kau berlaku kejam. Ayolah, jangan menolak cinta yang telah ditanamkan Dewata ke dalam hatiku."
"Cih! Tutup mulut busukmu! Berani kau menyentuh sehelai rambutku, aku akan membunuhmu!"
"Ho-ho ... aku takut. Aku sungguh takut. Tapi aku suka."
Ramya berteriak tertahan, ketika sebuah hentakan kecil mendarat di bahunya, membuatnya kaku tak berdaya. Kesusra ternyata berilmu kanuragan cukup tinggi. Dia mampu menotok Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi jalan darah Ramya sehingga gadis itu sama sekali tak mampu menentang kehendaknya.
Sementara itu, di luar sana, alam seperti marah. Hujan besar datang tiba-tiba. Suara petir menggelegar sambung-menyambung. Seperti memberi peringatan kepada manusia.
Jauhilah kejahatan karena kematian akan selalu mengintai.
Tapi, peringatan itu tak sampai ke bilik mewah milik Kesusra.
Di sana hanya tinggal setan-setan bertanduk yang tertawa dan berpesta dengan mulut yang berdarah-darah.
Kesusra menjadi salah satu setan itu. Dan, Ramya hanyalah patung mati yang bahkan tak mampu menggerakkan ujung jarinya sekali pun. Yang ada hanya perihnya hati dan jiwa yang semakin kosong. Dua bulir air mata menitik dari sudut mata Ramya. Itu saja. Karena, gadis itu segera menutup matanya, lalu mengasingkan diri dalam kegelapan dirinya sendiri.
0oo0 Brakkk! Jendela kamar mewah milik Kesusra terbuka paksa. Hari sudah terang ketika sesosok bayangan melompat masuk ke ruangan itu. Dia seorang pemuda yang langsung terpaku dengan mata terbelalak menatap pemandangan di depannya.
Serta-merta pemuda yang tak lain adalah Windriya itu meraih secarik kain dari pinggir pembaringan, lalu menghambur ke tubuh Ramya yang mengenakan pakaian koyak di sana-sini.
Windriya bergerak cepat memutus dua tali yang mengikat kuat pergelangan tangan Ramya. Dia lalu membebaskan totokan di tubuh Ramya. Tadinya, Windriya mengira Ramya akan berteriak sejadinya dan menghambur ke pelukannya sambil tersedu.
Tapi ternyata tidak. Gadis itu tetap terdiam di atas pembaringan dengan mata yang terbuka. Pancaran matanya menatap kosong. Sementara kedua tangannya lunglai.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ramya, kita harus segera pergi dari tempat ini. Saat yang paling berbahaya adalah saat paling aman. Semua penjaga tak akan mengira aku datang pada siang hari. Kita pasti akan lolos."
Tak ada jawaban. Ramya tetap diam. Tak ingin membuang waktu, Windriya lalu bergerak ke pembaringan hendak memondong tubuh Ramya. Namun, tiba-tiba dia terhuyung ke belakang ketika nyeri di bahu kanannya kembali menyergap.
Sebenarnya, ia merasa sakit bukan kepalang. Namun, melihat keadaan Ramya, Windriya melupakan sakit itu. Ia lalu perlahan mengangkat tubuh Ramya sambil meringis menahan sakit yang luar biasa di bahunya. Bahkan, Windriya sendiri tak begitu paham, bagaimana mungkin dia masih mampu melakukannya.
Pemuda itu hanya mengikuti kata hati ketika ia menggendong tubuh Ramya yang cukup berat untuk kembali melompati jendela, lalu mengendap menuju dinding batu yang melingkari kediaman Kesusra. Sekali lompat, Windriya berhasil melewati rintangan itu, meskipun kemudian jatuh berdebam di tanah berumput di luar dinding batu.
Meskipun jatuh, Windriya berhasil menahan tubuh Ramya agar tak terguling. Sebagai gantinya, Windriya lagi-lagi harus merasakan sakit yang luar biasa menggigit bahu kanannya.
Tanpa peduli, Windriya lalu mengangkat lagi tubuh Ramya dan berjalan terhuyung menembus perkebunan di belakang rumah Rakryan Kesusra.
Dia menjumpai seekor kuda yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kuda itu ditambatkan pada sebuah pohon jati. Dengan tergesa, Windriya menaikkan tubuh Ramya yang setelah bersusah payah, akhirnya mau duduk tanpa tenaga di atas kuda itu. Windriya lalu menyusul naik ke atas kuda dan duduk di belakang Ramya.
Ia lalu menyentak tali kekang kuda dan memacunya menuju hutan belantara Medangkamulan. Tanpa memedulikan apa pun, Windriya terus memacu kudanya. Beruntung tak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi seorang pun prajurit yang ia temui di sepanjang jalan.
Windriya menghentikan kudanya di pinggir hutan, lalu kembali menggendong tubuh Ramya menelusup ke tengah hutan dengan berjalan kaki.
Sudah tak terhitung berapa langkah mereka lewati.
Windriya terus menguras tenaganya yang masih tersisa. Rasa sakit di bahu kanannya semakin mencekat. Tapi, pemuda itu sudah bertekad untuk sejauh-jauhnya lari ke dalam hutan, menghindari kejaran orang-orang Kesusra.
Hingga sore menjelang, Windriya benar-benar kehabisan tenaga. Dia jatuh terduduk di pinggir hutan perbatasan Medangkamulan dan Demak. Tubuh Ramya ia senderkan pada sebatang pohon beringin yang rindang daunnya.
Ia sendiri lalu duduk bersila mengatur pernapasan dan berusaha mengurangi rasa sakit pada bahu kanannya.
Beberapa saat kemudian, Windriya membuka matanya. Ia menatap pilu ke arah Ramya yang belum juga mengubah kesan wajahnya.
Gadis itu tetap saja membuka matanya dengan tatapan yang tak jelas. Tak ada senyum. Bibirnya seolah mengambang tanpa nyawa. Ramya benar-benar seperti mayat hidup. Tanpa ada keinginan untuk melakukan apa pun. Kedua mata Windriya mulai berkaca-kaca.
"Ramya, jangan khawatir. Aku tak akan meninggalkanmu.
Aku akan tetap di sini. Menjagamu."
Tak ada jawaban. Windriya tersenyum, sementara air mata hangat meluncur dari dua sudut matanya.
"Kau tetaplah di sini. Aku akan mencarikan buah-buahan untukmu. Tenanglah."
Windriya tersenyum, lalu mengelus rambut Ramya, sebelum kemudian bangkit dan berjalan sempoyongan masuk ke hutan. Hari segera sore. Hati Windriya bersorak girang ketika dia menemukan pohon jambu batu berbuah lebat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Susah payah, pemuda itu memanjat pohon itu dan memetik beberapa buahnya.
Sangat pelan, menjaga agar luka di bahunya tak kian parah, Windriya menuruni batang pohon yang lumayan licin itu. Dengan wajah berseri, dia lalu berjalan setengah berjingkrak menuju ke tempat Ramya tadi.
Sontak Windriya kaget. Buah jambu batu di tangannya jatuh menggelinding entah ke mana. Jantungnya berdetak jauh lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin merembes dari dahinya. Wajah pemuda itu memucat. Ramya tidak ada!
"Ramya!!!"
Kalap, Windriya berteriak lantang sambil berlari. Dia berusaha menemukan jejak Ramya. Tidak ada bekas pertempuran, berarti Ramya tak sedang diculik. Windriya mencari petunjuk lain dan mendapatkannya.
Jejak kaki Ramya bisa ditemukan di antara batang ilalang yang patah terinjak. Itu pasti Ramya, pikir Windriya. Penuh harap, pemuda itu mengikuti arah patahan batang ilalang itu dengan saksama. Jejak itu membawa Windriya ke pinggir sebuah tebing dengan jurang yang menganga dan tak terlihat dasarnya.
"Ramyaaa! Apa yang akan kau lakukan"!"
Napas Windriya terasa terhenti. Matanya membelalak melihat Ramya berdiri canggung di ujung tebing. Sosoknya yang semampai terlihat ringkih dan kapan saja bisa terhempas angin yang keras bergerak di tebing itu. Kain lebar yang tadi dipakai Windriya untuk menutupi tubuh Ramya melambai-lambai tertiup angin. Begitu juga dengan rambut panjangnya yang kini tak lagi diikat tali.
"Ramya, ini bukan dirimu! Kau perempuan gagah yang tak kenal kata menyerah!"
Tak ada jawaban. Windriya merasa berbicara dengan batu.
Perlahan dia berusaha mendekati Ramya tanpa membuat gadis itu kaget. Perlahan sekali. Hingga suatu titik waktu, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Windriya merasa kakinya tak lagi menapak bumi. Matanya terbelalak sejadinya. Tubuhnya lemas tanpa tenaga. Saat itulah, tubuh Ramya sedikit terangkat ke udara, sebelum akhirnya melayang jatuh ke dalam jurang yang tak jelas dasarnya itu.
"Ramyaaa ...!"
Beberapa kali Windriya menguras sisa suaranya untuk meneriakkan suara itu. Sekeras-kerasnya, hingga puaslah hatinya. Windriya terus berteriak tanpa henti, hingga suaranya betul-betul habis. Bahkan, tak tersisa untuk sekadar menjerit kesakitan ketika rasa nyeri kembali menyergap bahu kanannya.
Saat itulah, gendang telinga Windriya menangkap sebuah suara. Sayup, tapi benar-benar ada. Suara kecapi yang dipetik dengan nada yang tertata. Juga suara kidung yang ditembangkan oleh seorang perempuan. Indah, tapi menyakitkan. Nyatakah suara itu"
Windriya tak sempat lagi memastikannya. Sebab, tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya melambung ke udara tanpa kehendak hatinya. Dia hanya merasa tubuhnya seperti ditarik oleh sesuatu.
Sekejap dia sempat merasakan benda semacam sabuk yang mengikat perutnya. Lalu, tenaga yang hebat menariknya ke belakang tanpa kuasa ia menolak.
Sesaat kemudian, dia merasakan ada seseorang yang memaksanya duduk bersila. Orang itu berada di belakang tubuhnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Windriya. Lalu, perlahan namun pasti, pemuda itu merasakan aliran hawa murni bergerak ke dalam tubuhnya.
Krek! Tak sempat lagi Windriya berteriak kesakitan ketika orang di belakangnya membetulkan tulang bahunya yang patah hanya dengan satu hentakan. Begitu yakin bahwa orang itu tak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bermaksud jahat, pemuda itu lalu memejamkan mata untuk mengatur pernapasannya kembali.
"Seberat apa pun persoalan manusia di dunia, bunuh diri bukanlah penyelesaian."
Suara yang halus dan menyejukkan. Windriya tak menyangka bahwa orang yang menariknya dari tebing, lalu menyembuhkan letak tulangnya yang patah, sekaligus mengalirkan hawa murni ke dalam tubuhnya adalah seorang perempuan.
"Terima kasih Nini telah berbaik hati menolong saya. Tapi, Nini salah mengerti jika menganggap saya hendak bunuh diri."
Windriya membuka matanya dan langsung menatap sosok seorang perempuan belia yang berdiri sambil menatap ke arah tebing tempat Ramya melompat ke dalam jurang.
Perempuan penolong itu lalu menatap Windriya dengan saksama. Dia tersenyum dengan kesan wajah bertanya-tanya.
"Benarkah" Rupanya saya kurang jeli. Tapi, apakah ini sebuah kebetulan, ketika Kisanak meneriakkan nama Ramya sambil berjalan ke arah pinggir jurang."
Raut muka Windriya sontak berubah. Pemuda itu lantas murung.
"Ramya seorang perempuan hebat. Dia teman saya yang terlalu banyak menderita. Tapi, saya masih belum mengerti mengapa dia memilih mengakhiri hidupnya dengan melompat ke dalam jurang."
"Kau ...!?"
Windriya merasakan napasnya nyaris putus. Lehernya kini terbelit oleh selembar sabuk perak yang sangat kuat.
"Apakah yang kau maksud adalah Ni Ramya dari Simongan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Windriya tak lantas panik. Meskipun wajahnya memucat karena pembuluh otaknya kehabisan udara, tak lantas dia mengiba-iba memohon agar belitan di lehernya dilepaskan.
"Bagaimana aku menjelaskannya kepadamu, sementara leherku tercekik?"
"Maaf!"
Sekali sentak, sabuk perak itu lolos dari leher Windriya dan menyisakan penyesalan di garis wajah gadis belia itu.
"Nini pasti Hui Sing!"
"Bagaimana Kisanak tahu?"
"Ramya banyak bercerita kepada saya."
"Jadi, benar Ramya yang kau kenal adalah sahabatku?"
Setengah tak percaya, Hui Sing berlari kencang ke ujung tebing. Di sana, dia termangu berusaha melihat ke dasar jurang yang memang tak kelihatan.
"Ramya tak akan mati!"
Hui Sing menoleh ke arah Windriya yang kini telah berdiri di dekat tebing. Raut wajahnya memperlihatkan keyakinan.
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Saya tadi sempat mendengar suara kecapi dan perempuan nembang (menyanyi dengan cengkok khusus khas Jawa) dari dasar jurang. Beberapa puluh tahun lalu, pernah ada seorang perempuan pendekar kenamaan di tanah Jawa Dwipa yang memiliki kesaktian tinggi. Julukannya "Dewi Kecapi Maut". Dia telah lama mengundurkan diri dari dunia persilatan. Saya yakin, suaranyalah yang tadi terdengar."
"Kau coba menghiburku?"
Hui Sing menghampiri Windriya dengan mata berkaca-kaca.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aku sangat yakin, Nini. Jelas butuh kemampuan yang luar biasa untuk bisa mengeluarkan suara dan bunyi kecapi dari dasar jurang hingga bisa terdengar sampai di sini."
"Apa hubungannya dengan Ramya?"
"Saya yakin, orang yang memainkan kecapi itu tak akan tinggal diam melihat tubuh Ramya yang melayang jatuh ke jurang."
"Ramya adalah perempuan berhati teguh. Mana mungkin dia bertindak sebodoh itu!"
Hui Sing mengalihkan pembicaraan. Ia masih tak memercayai keyakinan Windriya. Windriya melepas napas panjang memahami ketidakpercayaan gadis di hadapannya.
Dia mulai menceritakan awal kejadian yang kemudian memukul batin Ramya sedemikian keras. Mulai pertemuan mereka malam itu, hingga Windriya menemukan tubuh Ramya tergeletak tak berdaya di bilik mewah milik Kesusra.
Mata Hui Sing memerah karena amarah. Dia
mendengarkan cerita Windriya dengan napas yang terburu.
Bibirnya bergetar, sementara matanya semakin berkaca-kaca.
"Ramya, aku akan membalaskan dendammu!"
Setelah mengatakan itu, Hui Sing menoleh sejenak ke arah tebing, lalu membalikkan tubuhnya berjalan ke arah Medangkamulan. Tapi baru beberapa langkah, dia berhenti.
"Kau tak ingin ikut, Windriya?"
"Aku akan menunggu Ramya di sini."
Hui Sing membalikkan badan. Menatap Windriya dengan pancaran mata tak mengerti.
"Jangan kau buat gila dirimu sendiri, Windriya. Kematian Ramya akan tak berarti apa-apa jika kau yang ditinggalkan menjadi begini bodoh dan putus asa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Windriya tersenyum. Jelas ada kesan pedih yang mendalam pada raut wajahnya. Tapi, pemuda itu tetap saja tersenyum.
"Hui Sing, aku sama sekali tidak putus asa. Aku justru punya harapan yang meluap-luap. Ramya tidak mati. Dia ada di bawah jurang sana. Dia pasti akan kembali suatu saat. Dan aku akan menunggunya sampai kapan pun. Tak peduli berapa tahun."
Hui Sing kehabisan kata-kata. Dia hanya menatap Windriya dengan tatapan takjub sekaligus tak mengerti.
Hingga pemuda itu berjalan pelan ke arah pinggir tebing dan duduk bersila di sana.
"Hati-hati, Hui Sing. Aku tahu kemampuanmu sangat tinggi.
Tapi, Dua Iblis Laut Kidul itu sangat licik. Kau harus berhati-hati."
Tanpa menunggu jawaban Hui Sing, Windriya lalu membetulkan sikap duduknya, kemudian mengeluarkan seruling dari balik baju kumalnya. Pemuda itu memejamkan kedua matanya rapat-rapat ketika alunan seruling yang mengantar lagu sendu mulai mendayu-dayu.
Hui Sing masih berdiri di tempatnya semula. Ia mengangguk-angguk sambil mengeraskan hati supaya air matanya tak jatuh.
"Ya, aku akan berhati-hati."
Ia berujar lirih dan tak berharap akan didengar oleh Windriya. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan langkah mantap ke arah Medangkamulan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 7. Dasar Jurang
Medangkamulan Semua yang ada di pelataran candi tanpa nama itu seperti gelisah. Angin berisik memindahkan daun-daun kering.
Binatang-binatang mungil bergerak cepat mencari tempat sembunyi. Kupu-kupu terbang menjauh. Di undak-undakan batu pertama candi itu, Hui Sing duduk bersila. Matanya memejam.
Rambut panjangnya disentak-sentak angin yang tak kerasan bergerak pelan. Hui Sing sedang menunggu. Rumah kediaman Rakryan Kesusra baru saja dihantam huru-hara. Hui Sing datang dan mengamuk menghancurkan semua benda yang ada di hadapannya. Banyak prajurit yang terluka, meskipun tak ada yang kehilangan nyawa.
Gadis itu berteman kemarahan yang menyembul di ubun-ubun, memburu Kesusra yang tak ada di rumahnya ketika Hui Sing ingin menantangnya bertarung. Juga Dua Iblis Laut Kidul, seperti sengaja hengkang dari Griya Rakryan.
Karena itu, setelah membuat onar sejadi-jadinya, setelah meninggalkan jejak kehancuran yang menyakitkan, Hui Sing menantang duel Kesusra dan para pengawalnya di candi tanpa nama itu.
Kini, Hui Sing tengah menunggu. Sontak membahana tawa bersahut-sahutan. Suaranya sungguh mencabik-cabik gendang telinga. Karena Hui Sing memahami ilmu pernapasan yang benar, suara itu sama sekali tak mengganggunya.
"Macam bocah kecil saja! Hanya ini kemampuan kalian"
Kalau begitu, cepat bersujud meminta ampun. Barangkali aku masih berbelas kasihan."
Hui Sing bergeming dari tempat duduknya. Matanya pun masih terpejam. Sedangkan suaranya terdengar nyaring mengusik, padahal diucapkan dengan gerakan bibir yang lirih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tiga bayangan berkelebat cepat. Dalam sekejap, mereka sudah berdiri di hadapan Hui Sing. Dua lelaki kumal berpakaian serbahitam dan seorang lelaki tiga puluhan berpakaian necis.
"Inikah perempuan galak yang telah membikin onar tempat tinggalku?"
Hui Sing membuka matanya perlahan. Dia menyisir satu-satu calon lawan duelnya yang berdiri congkak.
"Itu belum seberapa dibanding kehinaan yang ingin kutumpahkan kepadamu, Kesusra!"
Lelaki cabul itu tersenyum. Ia lalu menyedekapkan kedua belah tangannya.
"Lihatlah, Lowo Ijo dan kau, Kolo Ireng. Betapa kondangnya aku ini. Bahkan, gadis secantik ini pun mengenalku dengan baik."
Hui Sing bangkit, lalu menatap ketiga orang itu tanpa memperlihatkan rasa takutnya. Kedua tangannya menyatu ke belakang.
"Jadi, siapa yang pertama di antara kalian yang ingin kuberi pelajaran!"
Tawa dua iblis dari selatan meledak.
"Lihat, Kakang Kolo Ireng! Bocah ayu ini sungguh bermulut besar. Lebih jumawa dibandingkan gadis yang kemarin."
"Maksudmu Ramya"!"
Tatapan mata Hui Sing menyorot kedua iblis itu dengan ketajaman pedang. Sekejap tanpa kata-kata, kebencian Hui Sing yang meluap-luap terwakili oleh tatapan itu.
"Tak perlu bicara lagi. Siapa di antara kalian yang ingin segera kutumpas. Atau kalian ingin maju bersama. Sama sekali bukan masalah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kolo Ireng baru saja hendak melangkah maju, ketika Kesusra mengangkat tangannya, mematikan langkah terakhir iblis berpedang besar itu.
"Kolo Ireng, biarkan kali ini aku yang bersenang-senang.
Tampaknya, nini yang satu ini begitu mengasyikan untuk diajak bermain."
"Baik, Ki!"
"Sudah cukup basa-basinya."
Hui Sing menyentak tanpa menunggu jawaban Kesusra.
Tubuhnya mencelat ringan menghambur ke arah Kesusra dengan angin serangan yang ganas. Kesusra yang sudah menyiapkan dirinya dengan baik, menyambut datangnya serangan Hui Sing dengan memiringkan tubuhnya.
Tamparan tangan yang gagal mengenai sasaran tak menghabiskan semangat Hui Sing. Tangan kirinya segera menerjang ke arah tenggorokkan Kesusra dengan jari telunjuk dan jari tengah yang menonjol. Diburu sedemikian rupa, Kesusra mengambil langkah mundur tanpa membalikkan tubuhnya.
Tangan kanannya bergerak menangkis, namun keburu menebas ruang kosong karena lengan Hui Sing meliuk mengikuti garis sikutnya, lalu berubah menyerang ulu hati.
Kesusra baru sadar bahwa gadis yang ia hadapi sama sekali bukan pendekar kacangan yang bisa dianggap enteng.
Segera dia membantingkan tubuhnya ke kanan, berguling di lantai candi, sambil menghunus keris. Dia lalu melompat bangkit dengan gerakan katak.
"Kau yang memaksaku!"
Hui Sing merundukkan tubuhnya, membiarkan kaki kirinya menekuk jadi tumpuan, sedangkan kaki kanannya lurus ke samping. Saat itu seperti tak ada peluang buat Hui Sing untuk menghindar. Kesusra sudah melayang di udara dan siap menghujamkan kerisnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tapi, pertarungan tak selesai dengan semudah itu. Tiba-tiba dari lengan Hui Sing meluncur sinar menyilaukan yang menghentak menyerang kepala Kesusra. Kaget bukan main, Kesusra mengurungkan serangannya dan membanting tubuh ke kiri. Tapi, sinar itu terus memburunya.
Hui Sing sudah menggenggam sabuk peraknya yang memantulkan cahaya siang dengan sempurna.
Segera sabuk panjang itu membentuk lingkaran-lingkaran maut yang siap menjerat kaki Kesusra, mencekik lehernya, menghantam kepalanya, atau menotok aliran darah rakryan berhati bejat itu.
Segera setelah itu, keadaan berbalik sama sekali. Kesusra hanya bisa terus-menerus menghindar tanpa mampu membalas sekali pun. Terlalu malu untuk memanggil dua pengawalnya, Kesusra masih mencoba bertahan.
Ruang gerak Kukesra semakin habis terkurung sabuk maut yang terus mengepungnya. Ia hanya bisa mengibaskan kerisnya, sesekali melompat mencari peluang, tapi lebih sering berlari mundur.
Tempat pertarungan pun tak lagi di pelataran candi itu.
Sambil terus berkejar-kejaran, mereka makin menjauh dari candi hingga nyaris ke ujung tebing yang beberapa tombak saja jaraknya dari jurang yang menganga.
Shuuut... Tar.'
Sebongkah batu sebesar orang dewasa hancur berantakan kena gempur ujung sabuk Hui Sing. Kini, dara itu seperti tengah memegang cambuk untuk menjinakkan harimau liar.
Bunyi lecutan-lecutan terdengar semakin sering. Ini menandakan bahwa sewaktu-waktu ujung sabuk itu bisa saja menghantam salah satu bagian tubuh Kesusra. Hanya karena si empunya yang belum berkehendak, Kesusra pun masih bisa melanjutkan napasnya dan terus berjumpalitan menghindar.
"Ini untuk semua kepedihan Ramya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah berteriak, Hui Sing meluncurkan sabuknya hingga demikian lurus seperti melesatnya anak panah dari busurnya.
"Lancang benar kau tak memandangku, Bocah!"
Sesosok bayangan melesat cepat menengahi pertarungan.
Sekejap kemudian, ujung sabuk Hui Sing yang seharusnya sudah menghajar dada Kesusra membelit di ujung tongkat ular Kolo Ireng.
Suara bersuit terdengar lagi. Hui Sing menghentakkan sabuknya hingga lepas dari tongkat Kolo Ireng.
"Kau menyusul!"
Seperti enggan membuang waktu, Hui Sing kembali menggerakkan sabuk mautnya. Kini, sabuk yang liat seperti belut dan kuat layaknya baja itu meliuk seperti ular sendok yang hendak mematok mangsanya.
Kolo Ireng tak kehilangan ketenangannya. Dia memutar tongkat berkepala ular di tangan kanannya, menyongsong serangan Hui Sing. Maklum bahwa lawannya adalah jago kanuragan yang sudah lama malang melintang dalam berbagai pertarungan, Hui Sing memilih untuk berhati-hati.
Meskipun tak ada persentuhan antara tongkat Kolo Ireng dan sabuk Hui Sing, angin serangan keduanya saling bertumbukan dan membuat desakan angin yang hebat. Kolo Ireng menarik tongkatnya, sedangkan Hui Sing kembali membuat lingkaran-lingkaran yang mengalihkan hentakan udara yang bertumbukkan itu.
Ia bahkan melakukan gerakan kayang hingga rambutnya nyaris menyentuh tanah, sementara tangan kanannya terus mengendalikan sabuk yang tak henti bergerak, membuat lingkaran indah di atas badannya.
Begitu kembali berdiri sempurna, Hui Sing kembali melabrak lawannya dengan kekuatan penuh. Sementara Kolo Ireng pun tak berdiri diam dan menunggu serangan. Dia menyambut Hui Sing dengan gurat keyakinan yang rata di wajahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ujung sabuk Hui Sing kini mengincar ulu hati lawan. Dia menerapkan jurus Noiht ze wa (Petik bunga anggrek) yang memungkinkannya menyerang mantap meskipun ada dalam jarak tempur yang tidak sangat dekat.
Namun, yang dihadapi Hui Sing kini adalah Kolo Ireng, iblis tertua dari '"Sepasang Iblis Laut Kidul" yang masyhur dengan kekejiannya. Meskipun Kolo Ireng juga masih menerka-nerka arah gerakan Hui Sing yang sangat asing baginya, hal itu tak lantas membuat serangan dan pertahanannya jadi tak bergigi.
Sebaliknya, Kolo Ireng cepat sekali mempelajari arah gerakan Hui Sing dan mulai bisa masuk ke lingkar pertahanan Hui Sing. Sadar lawannya begitu tangguh, Hui Sing pun mengubah gaya bertarungnya dengan lebih sering menyerang tanpa mengurangi kesigapannya mempertahankan diri.
Bagaimanapun, menyerang adalah pertahanan yang paling kokoh.
Tapi lama-kelamaan, langkah ini pun terpatahkan oleh gerakan Kolo Ireng yang makin menggila. Tongkat di tangannya tak lagi sekadar berputar, namun juga menyodok dengan ganas. Beberapa kali, nyaris saja Hui Sing dihantam oleh kepala tongkat yang menyerupai kepala ular bersisik itu.
Tangan kiri Kolo Ireng yang menganggur mulai mengeluarkan asap tipis. Ini tanda bahwa iblis itu tengah merapal Ajian Segoro Wiso (Samudra Racun), ilmu andalan Gua Jerangkong, tempat asal Kolo Ireng dan Lowo Ijo.
Hui Sing kini terdesak hebat, meskipun tak kelihatan bakal roboh. Gadis itu memilih gerakan menangkis dan menyerang.
Bersalto lalu melepas Po Nyir menangkis serangan tongkat dengan sabuk yang bergerak mematah.
Hui Sing memutar tubuhnya sedemikian rupa, lalu menggerakkan Po Ung'r dengan tangan kirinya, menghalau tapak kiri Kolo Ireng yang mulai mengancam. Lalu, ia memiringkan tubuhnya dengan Po Khe, terus berputar menangkis dan menyerang dengan Po'r re, kembali melompat lalu, melakukan Po ets po, serangan mendadak yang cukup Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengagetkan Kolo Ireng sehingga kepala tongkat ularnya kini terbelit sabuk Hui Sing.
Hui Sing sempat bernapas lega sekejap karena tadinya tak yakin bisa melakukan hal itu. Segala gerakan menangkis dan menyerang yang ia tahu, sudah dikerahkan. Namun, Kolo Ireng justru terlihat semakin kuat.
Gerakan terakhir dengan memanfaatkan pantulan sinar matahari pada sabuk itu membuat Kolo Ireng lengah sejenak, hingga tongkatnya kena jerat. Tapi, kelegaan itu tak berarti apa-apa karena
Hui Sing hanya bisa menjerat tanpa berhasil memaksa Kolo Ireng melepaskan tongkatnya.
Padahal, jika itu bisa ia lakukan, sama saja dia telah memenangkan pertarungan secara kesatria. Meskipun dalam pertarungan hidup dan mati, aturan main seperti itu kadang tak berlaku.
Kini, dua orang itu berdiri kaku mengerahkan tenaga dalam masing-masing. Hui Sing habis-habisan berusaha menyentakkan sabuknya. Inginnya membuat tongkat itu terlepas dari tangan Kolo Ireng. Atau paling tidak, ia berhasil menarik kembali sabuknya dan memulai pertarungan baru.
Namun, kini yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan, untuk menarik kembali sabuknya pun, Hui Sing harus berjuang mati-matian. Keringat mulai menetes dari kening gadis itu. Mukanya memerah, sedangkan bibirnya bergetar. Sementara Kolo Ireng seperti tak sedang melakukan pekerjaan berat apa pun.
Matanya menyorot tajam ke arah Hui Sing yang masih berdiri tegap meskipun tak bisa dijamin berapa lama gadis yang baru memiliki sepertiga usianya itu mampu bertahan.
"Aku bantu kau, Kolo Ireng!"
Sekonyong-konyong Kesusra menyergap Hui Sing dengan keris terhunus. Lelaki beringas itu rupanya penasaran karena sempat dibuat tak berdaya oleh Hui Sing. Kini, dia ada di atas angin. Melihat serangan yang berbahaya itu, Hui Sing Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi langsung melompat ke samping tanpa melepas genggamannya pada sabuk bajanya yang kini terbelit pada tongkat Kolo Ireng.
Kesusra yang tak punya malu itu terus memburu Hui Sing dengan serangan yang makin berbahaya. Tiba-tiba belitan sabuk Hui Sing di tongkat Kolo Ireng lepas. Dengan sengaja, Kolo Ireng mengempaskan sabuk itu sambil mendorong Hui Sing dengan tenaganya sendiri. Tanpa harus mengeluarkan keringat, Kolo Ireng pikir bisa membuat Hui Sing terpelanting karena terdorong oleh tenaga dalamnya sendiri.
Tapi, nalar Hui Sing yang melaju cepat membuat gadis itu tak gagap melakukan tindakan penyelamatan. Segera dia memutar sabuknya hingga meliuk-liuk, lalu menyerbu Kesusra dengan tenaga yang berlebih. Hui Sing melentingkan tubuhnya agar tak terempas keras oleh desakan tenaga dalamnya sendiri.
Kesusra yang tadinya mengira akan segera bisa melumpuhkan Hui Sing, kaget bukan main. Gadis itu kembali berubah menjadi dewi maut yang bersemangat sekali untuk mencabut nyawanya. Kesusra melawan sebisanya. Namun, kali ini Hui Sing betul-betul tak memberinya ampun.
Sabuk peraknya bergerak cepat dan menghempaskan keris di tangan Kesusra.
"Segara Wisaaa!"
Pikiran Hui Sing bercabang. Dia urung menghabiskan serangannya terhadap Kesusra dan memalingkan tubuhnya menyambut serangan Kolo Ireng yang gila-gilaan. Hui Sing merasakan betul hawa membunuh dan beracun dari tapak kiri Kolo Ireng yang sesaat lagi menghantam tubuhnya.
Tak mungkin lagi menghindar, Hui Sing menyambut serangnya itu dengan mengepalkan tinju kirinya, melepaskan dath "Kutub Beku" yang baru seujung kuku dipelajarinya.
Tubuh Hui Sing sontak terpental ke belakang akibat benturan tenaga dalam itu. Ia masih berhasil mendarat dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi baik dan berdiri meskipun terhuyung-huyung. Hui Sing merasa matanya berkunang-kunang.
"Segara Wisaaaa!"
Belum hilang pening di kepala Hui Sing, Lowo Ijo yang sejak awal tak ikut berlaga, tiba-tiba saja sudah melayang di udara dan segera mengirimkan serangan maut. Hui Sing sadar betul posisinya demikian terdesak. Namun, jiwa kesatrianya tak membolehkannya menyerah begitu saja.
Dia menyentakkan sabuk di tangannya dan membentuk pusaran perak menyambut serangan Lowo Ijo. Tangan kanan Lowo Ijo yang menggenggam pedang besar mengayun deras menghalau pertahanan sabuk Hui Sing. Meskipun tak sanggup memotong sabuk itu menjadi serpihan, tenaga dalam yang menyertainya memaksa pusaran sabuk yang rapat itu memudar.
Pertahanan Hui Sing terbuka, dan tapak kiri Lowo Ijo menyeruak, menghantam dadanya. Hui Sing merasa napasnya terhenti. Tubuhnya lalu melayang seringan kapas.
Dadanya sesak bukan main. Sementara, tak setitik tenaga pun yang tersisa. Hui Sing seperti melihat tubuhnya sendiri melayang ringan tanpa berat.
Hui Sing melambung dari tebing tempatnya bertempur mati-matian lalu meluncur ke jurang yang entah ada apa di dasarnya. Ia benar-benar mati rasa. Bayangan-bayangan cepat sekali bergerak dalam benaknya. Semua wajah yang ia kenal terpampang. Gurunya, kakak seperguruannya, Ramya, Sad Respati, bahkan Windriya.
Suara yang sangat berisik. Hui Sing merasakan tubuhnya menghantam sesuatu. Tapi entah apa. Sebab, yang tampak kemudian adalah gelap. Sementara itu, jauh di atas tebing, Lowo Ijo, Kolo Ireng, dan Kesusra berdiri termangu.
"Kenapa kalian turun tangan"! Aku pun masih sanggup menaklukannya."
Wajah Kolo Ireng bersungut-sungut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Apa kata orang persilatan ketika tahu kita harus turun tangan bertiga hanya untuk membunuh seorang gadis ingusan?"
"Sudahlah, aku yang terlalu bernafsu. Aku percaya kau masih bisa mengalahkannya."
Kesusra memandang ke arah jurang dengan wajah menyesal.
"Gadis itu cantik sekali. Sayang, dia harus mati begitu saja."
Lowo Ijo memandang ke arah Kolo Ireng, lalu mengedipkan matanya. Dia tahu benar apa yang ada di kepala Kesusra. Seperti halnya ketika majikannya itu melihat Ramya tempo hari.
Kolo Ireng membuang muka, tak menanggapi adik seperguruannya itu. Rupanya, dia kecewa betul karena pestanya diganggu.
0oo0 Napas Hui Sing tersentak. Ia terbatuk-batuk dengan wajah membiru. Tubuh gadis itu tersangkut sulur tetumbuhan di tebing tempatnya jatuh. Dadanya terasa sesak dan sakit yang semakin menggila. Hui Sing mencoba menggerakkan badannya. Gerakan kecil itu cukup membuat belitan sulur yang tak begitu kencang lolos.
"Aaargh ...!"
Tubuh Hui Sing merosot ke bawah, bergulingan, lalu terjerembap di tanah liat yang basah. Di dasar jurang yang menganga itu, tenyata ada sebuah sungai kecil. Hui Sing tengkurap di pinggir sungai dengan belulang patah dan pukulan beracun yang bersarang di dadanya. Gadis malang itu pingsan lagi.
Ketika kelopak matanya terbuka, seluruh tubuh Hui Sing basah kuyup oleh air hujan yang begitu ramai. Suara kodok Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bersahut-sahutan menyambut pagi. Bibir Hui Sing bergetar hebat. Begitu juga dengan seluruh tubuhnya. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya ketika rasa sakit menghunjam di lengan kirinya yang patah.
Hui Sing menjerit sejadinya sambil mengangkat lehernya.
Menengadah ke langit menantang hujan. Matanya terpejam.
Aku tak boleh mati sekarang!
Gadis berhati baja itu lalu mengeraskan hati berusaha keras untuk duduk bersila. Susah payah, dengan wajah yang meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, Hui Sing akhirnya berhasil duduk bersila di atas tanah yang sudah demikian lembek oleh air hujan.
Pakaian serbasutra berwarna putih yang ia kenakan, nyaris tak menyisakan warna aslinya. Hampir semuanya berlumur lumpur. Hui Sing tak peduli. Ia lalu memejamkan mata dan memusatkan pikirannya untuk mengolah dath dalam dirinya.
Lengan kirinya diangsurkan ke depan. Ia lalu menyibak lengan baju kirinya. Ada yang menyembul di siku-siku lengannya. Kembali memejam, Hui Sing lalu mengelus lengan kirinya dengan tangan kanannya. Pelan, telapak tangan kanannya bergeser ke pergelangan tangan kiri. Lalu, berhenti di sana.
Kreeek. "Aaargh ...!"
Tonjolan tulang itu sudah tidak ada lagi. Hui Sing lalu menggunakan sabuk perak untuk membalut lengan kirinya agar tulang patah yang sudah diluruskan tak bergeser lagi.
Napas Hui Sing tersengal-sengal. Tidak teratur. Ia lalu menyeret tubuhnya perlahan ke bibir sungai. Sesak di dadanya menjadi-jadi, tapi gadis itu mengabaikannya. Hujan masih deras mengguyur.
Begitu menyentuh air sungai yang tak begitu jernih, Hui Sing mengulurkan lengan kanannya. Membasuh kedua telapak tangannya dengan khidmat dan perlahan. Lalu, ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengambil air dengan telapak tangan kanannya yang dirapatkan untuk berkumur. Dia melakukannya tiga kali.
Air matanya mulai meleleh. Rasa sakit di dada akibat pukulan beracun berbaur dengan nelangsa yang pekat, membuat badannya terguncang-guncang oleh tangis tanpa suara. Tapi, gadis tabah itu meneruskan pekerjaannya. Ia kembali mengambil air, lalu membasuh muka dan hidungnya perlahan.
Napas Hui Sing kian tersendat ketika ia membasuh kedua lengannya. Dan, tubuhnya semakin berguncang ketika batuknya mulai menyentak-nyentak. Tapi, Hui Sing tak peduli.
Dia mengumpulkan sisa tenaganya, lalu membasuh kening dan kedua kakinya.
Selesai itu, Hui Sing merogoh lipatan bajunya dan mengeluarkan selembar kain hijau cukup lebar berbahan sangat lunak. Gemetar tangannya makin hebat saat ia menutupi kepalanya dengan kain itu. Sebelumnya, Hui Sing merapikan rambutnya, lalu memasukkannya ke dalam lipatan kain di lehernya. Ketika ia mengenakan kain itu, tak sehelai rambut pun yang terlihat.
Kemudian, perempuan malang itu mengikatkan ujung sabuk peraknya ke bahu, sehingga lengan kirinya yang dibalut rapat menggantung sejajar dengan perut dan tak bergerak.
Usai menutupi kepalanya, Hui Sing duduk tim-puh dengan sikap sangat khidmat. Mulutnya berkomat-kamit. Ia mengangkat tangan kanannya sejajar dengan telinga, lalu ditaruh perlahan di dadanya. Ia seperti merapal mantra. Untuk beberapa waktu, tak sekali pun batuknya menyentak. Bahkan, air matanya yang semakin deras, mengucur tanpa dibarengi isak tangis. Hanya badannya yang bergetar hebat. Suatu saat, Hui Sing merundukkan punggungnya hingga ujung hidung dan keningnya menyentuh permukaan tanah becek di depannya. Ia diam dalam keadaan seperti itu, cukup lama dan berkali-kali.
Semuanya tuntas setelah Hui Sing menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri. Hujan mereda, sinar awal hari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mulai rata di cakrawala. Hui Sing menatap haru ke luas langit yang tersisa sebatas mulut jurang di atasnya.
Gadis itu kemudian menenangkan dirinya. Kembali mengatur dath dan mengumpulkannya di dalam dada.
Matanya terpejam dengan air muka yang berubah-ubah.
Ketika jarum-jarum cahaya datang membarengi datangnya pagi, Hui Sing menyentakkan dath-nya dan darah hitam kental menyembur dari mulutnya berkali-kali.
Hui Sing menjatuhkan tubuhnya ke samping kanan, lemas.
Sebagian besar racun akibat pukulan "Segara Wisa" sudah ia keluarkan. Namun, untuk itu, Hui Sing harus memeras tenaganya yang tersisa. Kini, dia benar-benar kehabisan daya.
Berbaring miring di atas tanah lumpur dengan mata yang semakin sayup. Tepat ketika hari benar-benar terang, Hui Sing kembali pingsan.
0oo0 Nyanyian burung yang bercuit-cuit membuyarkan ketidaksadaran Hui Sing. Ia siuman dengan tubuh yang panas karena demam. Badannya masih tergeletak di tanah, dengan kepala yang tetap tertutup kain hijau berbahan lunak itu. Hui Sing lalu menempelkan punggung tangan kanan di pipinya.
Benar-benar panas. Panas itu kini rata di sekujur tubuhnya hingga ke perut. Panas yang dibarengi rasa melilit.
Hui Sing mengingat-ingat kapan terakhir ia mengisi perut.
Kini, ia benar-benar lapar. Dengan badan bergetar, basah kuyup, dan mata sayu, Hui Sing mencoba bangkit dengan lengan kanannya sebagai penyangga. Setelah duduk beberapa saat, ia mengerahkan segala dayanya untuk berdiri.
Dengan susah payah, ia berhasil juga melakukannya.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya yang sempoyongan mulai tertatih-tatih menuju dinding jurang. Hui Sing mencari-cari sesuatu untuk mengisi perutnya. Tadinya dia berharap menemukan buah-buahan sekadar pengganjal lapar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Namun, dasar jurang itu hanya diisi tetumbuhan menjalar saja. Kalaupun ada pohon, buahnya tak enak untuk dimakan.
Hui Sing jatuh tersimpuh. Matanya kembali berkaca-kaca.
Nelangsa. Meskipun yatim piatu sejak lahir, namun berada di sisi Laksamana Cheng Ho membuat Hui Sing tak pernah kekurangan apa pun. Apalagi sekadar makanan.
Kini, tak sebiji anggur pun yang bisa ia telan. Hui Sing menoleh ke arah sungai. Dia menggelengkan kepala. Sadar, tak cukup tenaga yang ia miliki untuk bisa menangkap binatang sungai. Hui Sing lalu menengadah ke atas. Betul-betul hanya tetumbuhan menjalar yang memenuhi dinding jurang.
Hui Sing merasakan perutnya kian panas dan beberapa kali mengeluarkan bunyi. Gadis itu lalu mengulurkan tangannya meraih beberapa helai daun tumbuhan menjalar itu.
Entah daun apa. Hui Sing mendekatkan permukaan daun itu ke hidungnya. Tak tercium aroma racun.
Sambil memejamkan matanya rapat-rapat, Hui Sing membuka mulutnya. Daun itu dikunyahnya. Hanya beberapa kali, karena ia buru-buru menelannya. Tak ia nikmati seperti apa rasanya. Dengan napas memburu, Hui Sing mengulangnya beberapa kali. Ia mencabuti daun-daun tumbuhan menjalar itu, lalu cepat-cepat mengunyah dan menelannya.
Beberapa saat kemudian, tubuh Hui Sing merosot. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding jurang. Gadis itu mengusap air matanya, lalu mengeraskan hati, sekeras-kerasnya. Ia tersenyum. Benar-benar tersenyum.
"Belumlah seseorang itu dikatakan tunduk dan mencintai Thian, kecuali dia telah diuji."
Hui Sing seperti mendengarkan suara gurunya menggema di pelosok jurang.
"Thian tak akan menguji hambanya lebih dari kemampuan yang diberikan-Nya kepada hambanya itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Benar-benar jelas. Hui Sing tersenyum, sementara matanya kembali berkaca-kaca.
"Guru."
Ingatan tentang gurunya mendorong tenaga baru yang berlipat-lipat dalam diri Hui Sing. Matanya berbinar, ketika mengingat sesuatu. Tergesa, Hui Sing lalu merogoh lipatan bajunya. Jemarinya mencari-cari. Berdebar ia ketika perlahan mengeluarkan sebuah kitab yang lembarannya terbuat dari kulit kambing.
Hui Sing tersenyum sambil tergagap. Sejak kitab "Kutub Beku" diserahkan, Hui Sing belum sekali pun membacanya.
Kini dengan jantung yang berdebar kencang, ia membuka lembar demi lembar kitab tak ternilai itu.
Hui Sing mencari bab pengobatan luka dalam dan ia segera menemukannya. Wajah gadis itu seperti berpijar. Dia lalu membenarkan duduknya. Setelah menaruh kitab itu di depannya, Hui Sing mulai mengatur napasnya sesuai petunjuk dalam kitab itu. Wajahnya cerah, benar-benar cerah. Senyum itu sudah kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 8. Bunga Bermarga Shi
Berlayar dengan angin buritan, P'o-lin-pang bisa ditempuh selama delapan hari delapan malam dari Jawa Dwipa. Daerah ini dulunya masuk wilayah Kerajaan Sriwijaya. Letaknya di sebelah timur Malaka. Wilayahnya diapit gunung tinggi dan laut luas di sebelah selatan dan utara.
Sebagian besar wilayah P'o-lin-pang adalah air. Tanahnya sedikit. Orang-orang kaya tinggal di rumah-rumah besar di daratan, sedangkan orang biasa tinggal di atas rakit yang ditambat pada tonggak di pantai.
Dua kali, setiap pagi dan malam, permukaan air laut pasang. Orang-orang rakit itu sudah terbiasa dengan keadaan itu. Mereka tetap tinggal nyaman di rumah-rumah rakitnya.
Orang-orang itu masyhur karena pandai bertempur di dalam air.
Di P'o-lin-pang, banyak tinggal perantau dari Provinsi Guangdong dan Quanzhou, daerah Fujian Selatan, Tiongkok.
Tahun Masehi menunjuk angka 1377 ketika Hayam Wuruk, Raja Majapahit menyerang Sriwijaya. Menjelang runtuhnya kerajaan itu, ribuan keluarga perantauan dari Tiongkok yang tinggal di sana mengangkat Liang Daoming sebagai kepala daerah mereka.
Ke sanalah armada Laksamana Cheng Ho kini berlayar.
Ratusan kapal yang membawa puluhan ribu anggota pelayaran Kerajaan Ming segera tiba di Pelabuhan P'o-lin-pang. Para ping-se mulai bersiap. Pengalaman pahit di Pantai Simongan tak ingin mereka ulangi. Kehilangan seratus ping-se dalam pertempuran di Simongan sudah cukup meninggalkan luka mendalam.
Meskipun belum pulih benar, Cheng Ho dan Juen Sui berada di ujung geladak kapal pusaka untuk memimpin langsung ketika kapal-kapal raksasa itu melabuh.
"Siapa sebenarnya Chen Zhuyi itu, Guru?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wajah Juen Sui belum terlalu bugar. Matanya memancar lemah, meskipun luka dalamnya sudah mulai sembuh. Namun, demi menghitung bahaya yang harus dihadapi armada Ming, ia memaksakan diri untuk tetap berada di baris depan.
"Dia seorang pelarian. Bramacorah yang melanggar aturan kaisar, lalu lari minta perlindungan kepada Raja Sriwijaya.
Sebelum diruntuhkan Majapahit, Zhuyi bekerja untuk Raja Sriwijaya. Setelah sang raja mangkat, dia mengangkat dirinya sebagai gembong bajak laut dan berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk dan para pedagang."
"Apakah kekuasaan Liang Daoming tak cukup untuk meredamnya?"
"Komplotan Zhuyi jumlahnya sangat banyak dan berperilaku keji. Liang tak memiliki kekuatan cukup."
"Tapi, bukankah P'o-lin-pang masuk wilayah Majapahit"
Mengapa Raja Majapahit tidak mengirimkan pasukan tempurnya untuk mengusir bajak laut itu?"
Kelompok camar terbang dengan suara mereka yang khas.
"Juen Sui, Majapahit sedang dirundung berbagai persoalan gawat. Bahkan, sekadar mempertahankan kesatuan daerah bawahannya pun sangat sukar. Perang saudara terjadi terus-menerus. Sang prabu tak sempat lagi berpikir untuk mengamankan wilayah kekuasaannya yang demikian jauh."
Juen Sui merekam semua pembicaraan itu.
Memahaminya, lalu melepaskan napas perlahan.
"Apa yang akan kita lakukan terhadap para bajak laut itu, Guru?"
"Sesuai titah kaisar, kita akan memaksa Zhuyi untuk menyerah dan bertaubat."
Juen Sui menatap lurus ke garis pantai. Beberapa burung laut menukik cekatan, menculik ikan-ikan kecil yang sedang sial. Paruh kokohnya menjepit licin tubuh ikan yang terus berontak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Jika Zhuyi menolak, Guru?"
"Kita membawa puluhan ribu ping-se dan peralatan perang yang memadai untuk menaklukan mereka dalam pertempuran."
Pandangan Juen Sui mengambang. Dia sudah terbiasa dengan perubahan penekanan suara gurunya setiap membahas permasalahan yang berbeda.
Cheng Ho bisa sangat lembut karena memang hatinya demikian perasa. Namun di saat lain, dia bisa sangat tegas sekeras batu ketika menghadapi musuh yang aniaya.
"Pada akhirnya, perang hanya meninggalkan kehancuran."
Cheng Ho menatap lekat murid tertuanya. Dia tersenyum arif.
"Perang harus dilakukan ketika memang sudah tidak ada pilihan, Juen Sui."
Kini, Juen Sui menatap wajah gurunya. Pandangan mereka bertemu.
"Ketika dunia ini diisi oleh begitu banyak manusia berhati bobrok, Thian akan menghancurleburkan mereka dan menggantikannya dengan generasi yang lebih baik."
Juen Sui mengangguk paham.
"Aku akan turun ke darat menemui Liang Daoming dan Zhuyi untuk menawarkan jalan damai. Tapi, kau harus bersiap bersama Saudara Wang untuk menjaga segala kemungkinan.
Kalian tetap berada di atas kapal, sampai ada perintah dariku."
Juen Sui mengiyakan kalimat gurunya. Cheng Ho lalu kembali ke ruangan pribadinya untuk bersiap. Menjelang petang, sampai juga kapal-kapal Kerajaan Ming itu di lepas pantai P'o-iin-pang. Jangkar-jangkar raksasa kembali dilemparkan, agar kapal-kapal itu tertambat dan tak dibawa ombak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho dan belasan ping-se kemudian turun ke kapal-kapal kecil menuju daratan. Pantai Po-lin-pang tak seriuh ketika masih dalam kekuasaan
Sriwijaya dulu. Kawasan ini tadinya demikian ramai sebelum gerombolan bajak laut Zhuyi merajalela. Kini, kapal-kapal dagang dari berbagai negeri berpikir dua kali untuk mampir di kawasan yang juga terkenal dengan nama Kang Lama itu.
Ketika kapal-kapal kecil rombongan Cheng Ho segera sampai ke bibir pelabuhan, sedikit sekali kapal-kapal dagang yang terlihat. Itu pun jelas berasal dari daerah-daerah dekat.
Bendera - bendera yang dikibarkan di kapal-kapal itu menandakan mereka bukan berasal dari negeri yang jauh.
Di pelabuhan, penduduk setempat membangun banyak sekali menara dari batu bata. Menara-menara itu digunakan untuk menambatkan kapal-kapal dengan tali yang kokoh.
Rombongan Cheng Ho bergerak cepat. Setelah menambatkan kapal-kapal itu, Cheng Ho segera memimpin para ping-se mencari kediaman Liang Daoming.
0oo0 "Saya sudah tak bisa memikirkan jalan keluar lain, Laksamana."
Seorang lelaki berusia tiga puluhan duduk di depan Cheng Ho. Badannya tak terlalu tinggi, lagi kurus. Matanya yang sipit tampak tenang seperti danau. Dia kelihatan berwawasan luas dan bijak. Tutur katanya santun dan berhati-hati. Dialah Shi Jinqing, pengganti Liang Daoming, penguasa P'o-iin-pang yang sedang dipanggil pulang oleh
Kaisar Ming ke Tiongkok.
Selama Liang tak ada, Shi dipercaya untuk memimpin rakyat P'o-Lin-Pang. Cheng Ho yang tadinya hendak menemui Liang Daoming, akhirnya membahas permasalahan bajak laut itu dengan Shi Jinqing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Tuan Shi, apakah Tuan sudah berusaha untuk berunding dengan gerombolan Zhuyi?"
Setengah ragu Shi Jinqing mengangkat mukanya.
"Sudah tak terhitung berapa kali, Laksamana. Dia memang berkeinginan keji untuk menguasai Po-lin-pang seorang diri. Menjadi penguasa tanpa terbagi."
Cheng Ho tampak sedang berpikir. Dahinya berkerut. Ia melirik keluar pintu ruang tamu rumah Shi Jinqing yang besar.
Di luar ruangan itu dibangun taman mungil yang asri.
Beberapa perempuan pelayan mondar-mandir melakukan berbagai pekerjaan.
"Tunjukkan kepadaku tempat tinggal Zhuyi. Aku akan mencoba berunding dengannya."
Shi mengangguk. Ia lalu memanggil beberapa orang pengawal untuk menemaninya mengantar Cheng Ho menuju perkampungan bajak laut yang dibangun khusus oleh Zhuyi.
Letaknya tak jauh dari pelabuhan. Dengan mengendarai kuda, rombongan Cheng Ho tak butuh waktu lama untuk sampai di sana.
Cheng Ho meratakan pandangannya ke segala arah.
Perkampungan bajak laut itu nyatanya tak seseram yang dibayangkan. Seperti perkampungan biasa, tempat itu terdiri dari rumah-rumah penduduk yang tertata rapi. Kesibukan di dalamnya pun tak banyak berbeda.
Para perempuan terlihat sibuk melakukan berbagai kegiatan. Di antara mereka, ada yang sedang menjemur ikan-ikan yang dikeringkan. Ada juga yang menampi beras atau bersenda gurau dengan anak-anak kecil.
Perkampungan ini dilingkari pagar bambu yang tinggi.
Memang, di depan gerbang kampung, beberapa orang bermuka seram berdiri congkak dengan golok di bahu. Mereka sempat menanyakan keperluan rombongan Cheng Ho datang ke perkampungan itu. Begitu tahu bahwa lelaki gagah itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi adalah pemimpin armada bahari Kerajaan Ming, para penjaga gerbang itu mempersilakan mereka masuk.
"Kenapa begini sepi?"
Cheng Ho menjalankan kudanya dengan perlahan begitu masuk ke perkampungan itu. Ketipak kaki kuda terdengar ramai. Cheng Ho keheranan karena perkampungan ramai itu lebih banyak dihuni oleh perempuan dan anak-anak.
"Tentu saja. Para lelaki sedang berada di laut, Tuan Ho.
Mereka tak setiap hari pulang ke perkampungan ini."
Kuda yang ditunggangi Shi menjejeri langkah kuda Cheng Ho. Ia lalu menerangkan seluk beluk perkampungan bajak laut itu. Misalnya, bagaimana komplotan pembajak yang jumlahnya ribuan bisa berhari-hari berada di laut tanpa menengok keluarganya. Mereka baru pulang ketika membawa aneka hasil jarahan.
"Lihatlah, bahkan para bajak laut pun sebenarnya punya mimpi yang sama dengan kita. Menumpuk harta sebanyak-banyaknya untuk membahagiakan anak dan istri mereka. Tapi, mereka menempuh cara yang salah. Manusia sungguh lemah."
Shi hanya mengangguk tanpa menjawab. Beberapa saat kemudian, dia mengacungkan jari telunjuknya. Memberi tahu Cheng Ho letak rumah yang ditinggali Zhuyi, gembong bajak laut yang namanya membuat gentar penduduk daratan dan lautan.
Sebuah rumah dengan ukuran besar berdiri kokoh di tengah perkampungan. Bentuknya masih kental dengan khas bangunan Tiongkok. Warna merah di mana-mana dengan patung naga di muka rumah. Belasan lelaki berwajah tak menyenangkan duduk santai di kursi-kursi kecil yang diletakkan di pekarangan rumah.
Wajah mereka tidak seram, namun tak enak dipandang.
Tidak ada senyum, tidak ada keramahan. Begitu melihat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi rombongan Cheng Ho, mereka segera berdiri dengan congkaknya.
"Ketua Zhuyi sedang bersiap, silakan Tuan menunggu."
Seorang lelaki berbadan tinggi besar dengan ikat kepala bergambar tengkorak maju ke hadapan Cheng Ho. Wajahnya terbentuk oleh tulang-tulang yang menonjol. Kelopak matanya cekung dan sipit.
"Kami akan tunggu."
Cheng Ho memberi tanda kepada orang-orang di belakangnya supaya turun dari kuda mereka. Setelah itu, belasan orang ping-se ditambah pengawal Shi, duduk berkelompok di depan pekarangan rumah itu.
"Tuan, lihat betapa tidak sopannya Zhuyi."
Shi mendekatkan kepalanya dan berkata lirih kepada Cheng Ho. Mereka duduk di depan meja yang sama.
"Setelah hari ini, dia tak berhak lagi untuk bersikap sombong."
Garis muka Cheng Ho begitu yakin. Sorot matanya menajam. Seperti ada api yang ujung merah kuningnya menjilat-jilat di bola mata sang laksamana. Para lelaki penjaga rumah Zhuyi berdiri tegak seperti patung di muka pintu rumah besar itu. Wajah-wajah mereka tak semua berkulit kuning dan bermata sipit.
Ada juga yang berkulit sawo matang dan wajah seperti orang-orang Malaka. Tak lama kemudian, dari dalam rumah, keluar sesosok lelaki bertubuh pendek. Lebih pendek dari Shi.
Tidak ada kesan seram apalagi angker di wajahnya. Kumisnya melintang, jarang-jarang. Begitu juga dengan jenggotnya yang seolah-olah jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Lelaki berumur tiga puluhan itu tersenyum culas.
"Laksamana Cheng Ho, sungguh suatu kehormatan, Zhuyi yang hina dina ini dikunjungi oleh duta utama Kaisar Ming.
Maaf jika penyambutan kami begini sederhana."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho mengangkat keduanya tangannya seraya menjura, membalas apa yang dilakukan Zhuyi.
"Tuan Zhuyi, nama Anda demikian mashyur, namun baru kali ini kita bertemu. Sungguh gambaran tentang Tuan begitu berbeda daripada yang saya dengar."
Zhuyi tertawa pendek. Ia lalu menyilakan Cheng Ho kembali duduk. Suasana awal pertemuan itu tak setegang yang dibayangkan sebelumnya.
"Kaisar Ming begitu perhatian hingga mengirimkan Tuan ke P'o-lin-pang,"
Setelah Cheng Ho menerangkan ikhwal kedatangannya ke Kang Lama, Zhuyi masih juga berbasa-basi menjawabnya.
"Tuan Ho, apakah Tuan tak melihat bagaimana damainya kehidupan di perkampungan kami" Perkampungan yang disebut sarang bajak laut ini?"
"Saya tak menampiknya."
"Itulah alasan saya untuk mengumpulkan kekuatan besar di P'o-lin-pang. Rakyat butuh kepemimpinan yang kuat untuk mengayomi. Bagaimana rakyat bisa hidup tenang jika pemimpinnya lemah tanpa wibawa?"
Zhuyi melirik ke arah Shi saat mengatakan hal itu. Shi sengaja tak mau menumbukkan pandangannya dengan Zhuyi.
Dia menyimak perubahan air muka Cheng Ho dengan saksama.
"Semulia apa pun tujuannya, jika ditempuh dengan cara yang melanggar kebenaran, di manakah keadilan?"
Cheng Ho melekatkan pandangannya ke wajah Zhuyi.
Menjelajahi sejauh mana wibawa orang kerdil di hadapannya itu. Beberapa saat, Zhuyi sempat kuat menentang sorot mata Cheng Ho. Tapi tak berapa lama, dia mengalihkan pandangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Saya justru berpikir sebaliknya, Tuan Ho. Demi kesejahteraan rakyat, apa pun harus dilakukan. Cara apa pun harus dicoba."
"Termasuk merugikan banyak orang lain di luar lingkaran rakyat yang Tuan maksud?"
Wajah Zhuyi memerah. Dia kembali menentang sorot mata Cheng Ho.
"Kenapa tidak?"
"Atas nama rakyat yang mana Tuan melakukan semua ini?"
Zhuyi tak bisa menjawab.
"Apakah rakyat yang Tuan maksud adalah orang-orang yang mau tunduk di bawah telapak kaki Tuan, sedangkan selain itu pantas untuk ditumpas?"
Gigi geligi Zhuyi bergemerutuk. Tapi, dia masih tak melakukan apa pun. Hanya duduk diam dengan hati bergemuruh. Cheng Ho lalu berdiri gagah. Dia berjalan ke tengah pekarangan, memilih titik terbaik, lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah gulungan kain bercorak mewah.
"Aku Laksamana Cheng Ho membawa titah Kaisar Ming!"
Suara Cheng Ho lantang menyerang. Tidak satu pun orang yang ada di tempat itu tak bisa mendengarnya. Serentak mereka bersimpuh di tanah tempat mereka duduk dengan kepala tertunduk. Semuanya, kecuali Zhuyi dan orang-orangnya.
"Chen Zhuyi, kau tak tunduk kepada titah kaisar?"
Mata Zhuyi membelalak. Beberapa saat dia tak melakukan apa pun.
"ZHUYI!!!"
Suara Cheng Ho dua kali lipat lebih keras dari sebelumnya.
Zhuyi tersentak. Dengan badan bergetar antara marah dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi segan, dia menjatuhkan dirinya ke tanah. Kepalanya menunduk dalam-dalam. Beberapa saat kemudian, seluruh anak buahnya melakukan hal yang sama.
"Kaisar Ming, Zhu Di memerintahkan kepada Chen Zhuyi untuk segera bertobat dan berhenti membajak kapal-kapal yang berlabuh di P'o-lin-pang. Jika tunduk, segala kesalahan di masa lalu dihapus. Jika memberontak, Zhuyi harus diringkus dan dibawa ke hadapan kaisar untuk mendapatkan hukuman."
Selesai membaca isi titah itu, Cheng Ho menggulungnya kembali dan memasukannya lagi ke kantong bajunya.
"Bagaimana, apakah kau menerima titah ini, Zhuyi?" "
Hening sejenak.
"Sa ... sa ... saya menerima. Saya bertobat dan tak akan lagi melakukan pembajakan."
Cheng Ho tersenyum.
"Bagus. Dengan begitu, tak perlu ada pertumpahan darah.
Aku akan segera membawa kabar ini kepada kaisar. Buatmu, inilah saat untuk membuka lembaran hidup yang lebih baik."
Zhuyi mengangguk dengan sungguh-sungguh. Keningnya sampai terantuk-antuk ke tanah. Cheng Ho menghampiri, lalu menepuk bahunya. Ia membimbing Zhuyi berdiri. Gembong bajak laut itu seperti kehilangan wibawanya. Tak menjawab apa pun dan tak berkata apa pun. Masih menunduk dengan pandangan menghunjam ke bumi.
"Saudara Zhuyi, sudahlah. Setiap orang pasti sempat melakukan kesalahan. Hal terpenting, kau telah menyadarinya. Saatnya menebus kesalahan dengan perbuatan berbudi."
Zhuyi mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. Cairlah suasana. Zhuyi lalu memohon kepada Cheng Ho untuk mau tinggal sejenak menikmati hidangan. Cheng Ho tak menolak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bersama rombongannya, Cheng Ho berlama-lama di perkampungan itu untuk beramah-tamah.
Setelah matahari sudah melewati garis lurus ke bumi, Cheng Ho berpamitan untuk kembali ke kediaman Shi Jinqing.
Ia meninggalkan perkampungan penyamun itu dengan hati yang tersenyum lega.
0oo0 "Guru, ada tamu yang hendak bertemu!"
Juen Sui mengetuk pelan pintu kamar Cheng Ho. Setelah menyelesaikan perundingan dengan Chen Zhuyi, Ceng Ho memang bergegas kembali ke kapal pusaka. Dia tak ingin membuang waktu untuk segera melanjutkan pelayaran pulang ke Tiongkok.
"Persilakan masuk. Aku tak mengunci pintu."
Bunyi berderak terdengar ringan, ketika Juen Sui membuka pintu kamar Cheng Ho penuh hati-hati. Di samping Juen Sui, berdiri seorang pemuda berumur dua puluhan. Wajahnya putih bersih tanpa noda. Tubuhnya sedikit lebih pendek dibandingkan Juen Sui dan agak kurus. Matanya sipit dan terkesan teduh.
"Guru, tuan ini bernama Shi Jisun, putra Shi Jinqing."
Shi Jisun menjura, disambut hangat oleh Cheng Ho dengan cara yang sama.
"Ada hal penting apa hingga Tuan Muda Shi berkenan datang ke kapal ini?"
Setelah menyilakan keduanya duduk, Cheng Ho langsung menanyakan keperluan Shi Jisun. Dia sudah mengendus ada hal yang sangat penting dan harus segera dibahas.
"Ini tentang Chen Zhuyi, Tuan Ho."
Dahi Cheng Ho berkerut. Matanya menatap saksama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Dia berulah lagi?"
"Tuan Ho, Chen Zhuyi orang yang sangat licik. Dia sebenarnya menyimpan rencana lain saat menyatakan menyerah kepada titah kaisar. Zhuyi ingin Tuan lengah, lalu menyerang armada untuk merampas semua harta benda armada."
Cheng Ho tampak berpikir.
"Dari mana Tuan Shi yakin?"
"Orang kepercayaan ayah saya menelusup ke dalam kelompok pembajak itu. Dia menyamar sebagai anak buah Zhuyi untuk mengamati gerak-geriknya. Hari ini, mata-mata itu melapor bahwa Zhuyi sedang menyiapkan gerombolannya untuk menyerang armada Tuan."
Cheng Ho tersenyum. Tak ada perubahan berarti di air mukanya.
"Sejak awal, aku pun ragu terhadap kesungguhan Zhuyi.
Ternyata dugaanku benar. Tuan Shi tahu berapa kekuatan mereka?"
"Paling tidak, Zhuyi memiliki lima ribu pengikut. Armada lautnya terdiri dari tujuh belas kapal besar dan puluhan kapal kecil."
"Lancang. Dia terlalu meremehkan armada Ming. Juen Sui, siapkan kapal meriam. Kita habisi bajak laut itu malam ini juga."
"Baik, Guru."
Pembicaraan itu berlanjut dengan membahas taktik penumpasan gerombolan Zhuyi. Juen Sui lalu keluar ruangan untuk melaksanakan perintah gurunya. Sedangkan Shi Jisun terus diajak berunding oleh Cheng Ho untuk menghitung kekuatan lawan. Hingga siang, pembicaraan itu berlangsung sungguh-sungguh. Lewat tengah hari, barulah Shi Jisun keluar dari ruang pribadi Cheng Ho.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Alam sama sekali tak ramah
Tak satu pun benda langit yang muncul dari balik selimut gelap angkasa malam itu. Angin begitu ribut. Mendung menggulung, sepertinya sebentar lagi memuntahkan hujan yang dahsyat. Kapal-kapal armada Kerajaan Ming mengapung dengan pasrah. Gelap gulita. Tak satu pun lampu kapal yang menyala.
Ratusan kapal itu tak lebih dari benda yang mengambang dan mati. Bunyi berderak-derak dari gesekan tiang-tiang kapal yang tak lagi mengibarkan layar. Tak satu orang ping-se pun tampak berjaga-jaga. Ombak menghempas-hempas di dinding kapal menimbulkan suara ngeri.
Pada saat yang sama, belasan kapal bergerak cepat ke arah armada Ming. Bendera bergambar tengkorak berkibar ribut.
"Ketua, apakah ini bukan perangkap?"
Chen Zhuyi berdiri sombong di lambung kapal terdepan. Di sampingnya Ma Vi Dong, pengawal setia Zhuyi, membujuk agar tuannya memikirkan kembali rencana penyerbuan terhadap armada Ming.
"Ma Yi, tidakkah kau tahu, armada yang dibawa Cheng Ho hanyalah para ping-se kelas rendah, tabib, sastrawan, pedagang dan orang-orang tak berguna lainnya. Mereka tak tahu cara bertempur. Kapal-kapal itu hanya membawa barang-barang berharga. Tak ada senjata berbahaya."
"Tapi, Ketua, suasana laut begini kacau-balau, sedangkan para penghuni kapal itu justru tenang-tenang saja. Apakah itu tidak mencurigakan?"
"Persetan! Kita membawa lima ribu orang yang siap bertempur. Apakah kau masih takut dan tidak percaya diri, Ma Yi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ma Yi terdiam. Dia tak mendebat lagi apa kata Zhuyi.
Kapal-kapal bajak laut itu meluncur semakin dekat ke armada yang dipimpin Cheng Ho. Pada titik waktu tertentu, serta-merta hening laut malam itu pecah berantakan.
Nyala api seperti ratusan bintang berekor meluncur ke arah kapal-kapal bajak laut itu. Sebelumnya, meledak suara berdentum-dentum dari kapal-kapal armada Ming. Rupanya, puluhan kapal armada Ming yang dilengkapi dengan perlengkapan perang meluncurkan peluru meriam mereka.
Zhuyi tersentak dan terpaku di tempatnya berdiri tanpa berbuat apa pun. Sementara satu per satu kelompok kapal yang ia pimpin, terbakar. Seperti kejatuhan batu sebesar gunung, suara berdebam menghantam lambung kapal itu hingga porak-poranda. Rasanya, seluruh permukaan laut ikut bergetar. Seolah-olah bumi akan terbelah.
Menyusul kemudian, nyala api dari bubuk mesiu meriam yang membakar badan kapal dan tiang-tiang penyangga, sampai layar-layarnya. Lolongan awak kapal tak tergambarkan lagi seperti apa ngerinya. Sahut-menyahut tanpa habis.
Mereka lari kocar-kacir tanpa arah.
Tak terkira lagi berapa yang mencebur ke laut menghindari amukan api yang menggila. Dalam sekejap, tujuh kapal besar bajak laut habis terbakar dan tenggelam. Awak kapal yang jumlahnya ribuan tewas terpanggang. Mereka yang bernasib baik mencebur ke laut.
Tapi, itu pun bukan kesempatan untuk meman-jangan napas mereka. Sebab, perlahan kapal-kapal Armada Ming merapat ke arah mereka dengan para ping-se siap tempur.
"Ketua, apa yang harus kita lakukan?"
Wajah Ma Yi pucat pasi. Dia berdiri gemetaran di samping Zhuyi yang tak kalah takut. Keduanya menjadi bayangan hitam dengan latar belakang nyala api yang terang benderang saat melalap tujuh kapal besar milik bajak laut itu.
"Lawan sampai mati!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Zhuyi berteriak tanpa paham betul apa yang ia katakan.
Toh, Ma Yi cukup maklum dengan perintah itu. Ia lalu memerintahkan anak buahnya untuk meniup terompet sebagai tanda pertempuran habis-habisan.
Dimulailah pertumpahan darah itu. Kapal perang armada Ming yang jumlahnya puluhan memisahkan diri dari kelompok besar kapal-kapal pimpinan Laksamana Cheng Ho yang jumlahnya ratusan.
Begitu kapal-kapal merapat, ratusan ping-se menyeberang ke kapal-kapal bajak laut dengan pedang terhunus di tangan kanan, dan obor terang benderang di tangan kiri. Suara pedang beradu mulai rata, gegap gempita, meludeskan sunyi malam sebelumnya. Huru-hara di tengah laut yang gulita.
Obor-obor yang jumlahnya ribuan seperti kunang-kunang yang sedang berpesta. Meliuk-liuk sangat semarak.
Pada saat yang sama, jeritan menyayat semakin membahana saat para ping-se ataupun anggota bajak laut yang tersisa ambruk bersimbah darah.
Di antara hiruk pikuk itu, sebuah bayangan ringan berkelebat. Para bajak laut yang coba menahannya langsung terjungkal dengan nyawa tak lagi terkandung badan. Seperti pedang menyibak arus air. Para penentang berjungkalan.
Bayangan itu terus merangsek ke depan.
"Zhu Yi menyerahlah dan nyawamu akan tertahan hingga ke hadapan kaisar!"
Bayangan yang tak lain Laksamana Cheng Ho itu seperti harimau terluka. Setiap gerak tubuhnya mendatangkan maut bagi siapa pun yang mencoba menghalangi. Zhuyi yang mendengar teriakan itu semakin ketakutan saja.
Diam-diam, dia hendak menyelinap keluar pertempuran ketika tubuhnya tiba-tiba melambung ringan dan terhempas begitu saja ke lantai geladak. Tulang belulangnya terasa ngilu tercekat dingin yang luar biasa. Seperti ditusuk ribuan pedang.
Dia menggeletak dengan mata membelalak dan tak berkutik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Bajak Laut Zhuyi! Ketua kalian telah kutawan! Hentikan perlawanan atau kalian semua akan mati terbantai!"
Suara lantang Cheng Ho disambut sorak-sorai ribuan ping-se di kapal-kapal armada Ming. Gegap gempita membahana di seluruh penjuru pantai. Bersamaan dengan itu, bunyi berdenting senjata tajam para bajak laut berjatuhan di lantai kapal tanda mereka telah menyerah. Para ping-se pun segera meringkus mereka dan mengikatnya dengan tali.
Akhir yang melegakan. Cheng Ho menyuruh anak buahnya untuk mengikat kuat Zhuyi yang tadi ditundukkannya dengan sekali gebrak. Hampir pagi ketika semua anggota komplotan bajak laut itu digiring ke dalam satu kapal yang dipilih sebagai tempat tahanan. Sedangkan Chen Zhuyi dibawa ke daratan.
0oo0 Juen Sui merasakan ketenangan batin yang sangat dalam.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia duduk di atas salah satu rumah rakit yang mengapung, berdesak-desakan dengan ratusan rumah rakit lain di pantai P'o-lin-pang. Juen Sui merapatkan kelopak matanya, lalu mengisi paru-paru dengan udara segar. Aroma laut terasa benar. Sedikit amis, tapi menenangkan. Suara burung laut yang bersahut-sahutan saling mengisi dengan deburan ombak di bagian pantai yang lain.
Juen Sui mengedarkan pandangannya, melihat kesibukan orang-orang rakit yang begitu penuh. Mereka saling bertukar barang. Mulai dari sayur-mayur, ikan segar, dan barang-barang lain. Ada juga yang sedang bersantai di beranda rakit.
Anak-anak bermain ceria di air. Berkecipak saling serang dengan teman-temannya.
Kesibukan lain hampir sama di setiap rumah mengapung itu. Ada beberapa perempuan yang sedang menjahit baju, sedangkan suaminya sibuk mengasah golok untuk memotong ikan. Tidak sedikit juga yang sedang memperbaiki jala dengan saksama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pandangan mata Juen Sui lalu tertumbuk pada sesosok perempuan bergaun panjang warna merah yang tampak sibuk dengan kotak di depannya. Rambutnya digelung ringkas. Ia duduk di atas rakit yang terpisah tujuh sampai sepuluh rakit dari tempat Juen Sui memandangnya.
Tangan gadis itu cekatan mengeluarkan beberapa benda dari kotak itu. Di hadapannya, seorang bocah duduk lemas di pangkuan seorang perempuan setengah baya. Mungkin ibunya.
Perempuan muda yang usianya tak akan melebihi dua puluh tahun itu memeriksa tangan mungil si bocah. Berbicara kepada ibunya dengan kesan muka yang sungguh-sungguh, lalu mengajak bocah itu berbincang dengan air muka yang ceria. Juen Sui memandang takjub.
Gadis itu sepertinya seorang tabib. Seorang tabib yang tahu benar dengan siapa dia berhadapan. Dia bisa mengubah kesan wajahnya ketika berbicara dengan sang ibu, berbeda ketika dia mengajak berbincang si bocah. Sementara, tangannya sama sekali tak canggung mengambil berbagai barang dari kotak itu. Sungguh lihai.
"Siapa gadis itu, Tuan?"
Juen Sui gagal menahan rasa ingin tahunya. Ia mendekati pemilik rakit yang ia sewa. Si empunya rakit yang dilengkapi dengan bangunan rumah sekadarnya itu adalah seorang lelaki ceking berumur lima puluhan. Dia memakai tudung di kepalanya untuk menghalau panas. Laki-laki itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Juen Sui.
Dia lalu tersenyum.
"Dia tabib Shi Tay Nio. Sangat terkenal di Kampung Rakit.
Tiga kali dalam sepekan dia datang untuk memeriksa kesehatan warga Kampung Rakit."
Juen Sui tertegun sambil menganggukkan kepala.
"Hatinya sungguh mulia. Dia tidak pernah mengambil upah untuk pekerjaannya itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Juen Sui makin takjub. Ia masih saja melihat jemari lentik Shi Tay Nio yang masih sibuk memeriksa bocah itu. Wajah gadis itu mulai tampak mengkilap oleh keringat.
Kulitnya yang putih bersih memerah terpanggang sinar matahari dan udara laut. Beberapa helai rambut yang lepas dari gelungannya menjatuhi mukanya hingga tampak betul kesungguhannya saat bekerja. Sesekali ia mengusapkan punggung tangannya untuk mengelap keringat di dahinya.
"Terima kasih."
Juen Sui kembali ke tempat duduknya. Namun, ia masih saja tak mampu mengalihkan pandangannya dari perempuan muda itu. Beberapa lama kemudian, Shi Tay Nio sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah berpamitan dengan membungkukkan badannya di depan perempuan setengah baya tadi, perlahan dia menyeberang ke rakit yang lain.
Ia kemudian berbicara sejenak dengan seorang pemuda yang tampaknya sangat menaruh hormat kepadanya.
Beberapa saat kemudian, pemuda itu masuk ke bilik di atas rakit itu lalu keluar lagi sambil menggendong seorang perempuan tua ke beranda rakit agar bisa diperiksa dengan leluasa.
Shi Tay Nio segera tenggelam dengan kesibukan barunya.
Hingga lewat tengah hari, Juen Sui masih mengikuti gerak-gerik tabib muda itu dengan saksama. Semakin terpesona.
Lalu, dengan penuh hati-hati, dia mengikuti langkah Shi Tay Nio yang kini tampak bergegas menyeberang dari satu rakit ke rakit yang lain menuju daratan. Tangan kanannya memeluk kotak yang rupanya berisi obat-obatan itu, sedangkan tangan kirinya menjadi tumpuan untuk memudahkan pergerakannya dari rakit ke rakit.
Gadis itu sampai juga ke daratan. Kakinya menginjak pasir pantai yang putih bersih. Dia segera beranjak meninggalkan pantai. Baru saja dia hendak berlalu dari kelompok pohon kelapa yang tak jauh dari pantai, terdengar suara berisik dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bergemuruh dari arah belakang. Dua orang lelaki muncul dengan pedang terhunus.
Keduanya melompat tinggi dan langsung mengepung Shi Tay Nio. Gadis itu tersentak, meskipun tak lantas kaget. Di berdiri menghadapi dua orang itu dengan sorot mata yang tegas. Sikap tubuhnya tenang.
"Apa yang kalian inginkan?"
Satu di antara dua orang itu memain-mainkan pedangnya sambil menyeringai.
"Menghabisi semua orang bermarga Shi!"
Shi Tay Nio tersenyum tanpa beban.
"Apa keuntunganmu membunuhku?"
"Tentu saja kepuasan. Teman-teman kami yang terbunuh karena ayahmu dan mereka yang ditahan pasti akan berterima kasih kepada kami."
"Membunuhku bagi kalian tak akan lebih sulit dibandingkan membunuh semut. Tapi, apakah kalian sempat berpikir tentang orang-orang yang akan membutuhkanku kelak?"
Dua orang itu tergelak dengan keras. Rupanya, dua orang ini adalah anggota bajak laut Zhuyi yang berhasil lolos saat kapal-kapal mereka dihancurkan oleh Cheng Ho.
"Maksudmu, orang-orang miskin yang tinggal di atas rakit itu?"
Lagi-lagi mereka tertawa seperti orang gila.
"Mana kami peduli tentang hal itu" Lebih baik kau menyerah saja. Agar kami bisa menyanderamu dan menukar dengan ketua."
"Aku tak pernah peduli dengan bajak laut atau siapa pun.
Aku seorang tabib yang akan menolong siapa saja yang membutuhkan. Bahkan jika kalian yang terluka, aku akan tetap turun tangan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kedua orang itu menyeringai. Gigi-gigi mereka terlihat mengerikan. Apalagi keduanya memiliki jambang lebat dan tak terawat. Dalam hati, Shi Tay Nio tetap saja merasakan waswas.
"Maaf, kami sama sekali tak tersentuh!"
Dua lelaki itu melompat ke arah Tay Nio dengan beringas.
Gadis itu memejamkan matanya pasrah. Dia memang memiliki kekerasan hati, namun tak menguasai ilmu kanuragan sama sekali.
Dalam sekejap, sudah pasti gadis itu berada dalam genggaman dua penjahat itu, kalau saja tak ada sekelebat sosok yang meloncat dan menghadang laju mereka. Dia Juen Sui yang sejak tadi memang mengikuti langkah Tay Nio.
Sekali meloncat, dia sudah berdiri di muka Tay Nio dan menghadang dua orang penjahat itu. Tubuhnya bergerak cepat menyambut serangan pedang itu. Tangan kanannya menepis pedang salah satu penyerang itu dan langsung mematahkannya. Pergelangan tangannya lalu berputar setengah lingkaran dan menyodok ke dada si penyerang hingga terpental ke belakang.
Pada saat yang sama, tangan kirinya bergerak kilat menghantam pergelangan tangan laki-laki satunya. Pedang itu mental ke tanah, sedangkan pemiliknya terhuyung-huyung ke belakang. Juen Sui tak memberi kesempatan keduanya untuk bernapas. Dia menyerbu ke arah dua lelaki itu dan siap melayangkan pukulan untuk memecahkan kepala dua bramacorah itu.
"Jangan dibunuh!"
Gerakan tangan Juen Sui yang berbau maut itu terhenti. Ia lalu menghunjamkan totokan kuat, agar mereka tak berkutik.
"Kenapa Nona masih mengampuninya, sedangkan mereka hendak mencelakai Nona?"
Juen Sui membalikkan tubuhnya dan menatap Tay Nio.
Sebenarnya, dia pun tak hendak membunuh dua orang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Selain hatinya tak sekeji itu, ia memang bermaksud membawa mereka kepada Shi Jinqing dan gurunya.
"Itulah kenapa saya tak suka ilmu kanuragan. Begitu mudah mengambil nyawa seseorang. Padahal, untuk menyelamatkan satu jiwa begitu sukar."
Juen Sui tertegun sejenak. Dia menatap gadis itu dengan pandangan kagum, kebaikan harus menumpas kejahatan?"
Tay Nio tersenyum. Dagunya tambah runcing karenanya.
"Apakah tidak lebih indah jika kejahatan itu diberi cahaya agar berubah menjadi kebaikan?"
Juen Sui tak mampu menjawab lagi.
"Tuan, terima kasih atas pertolongan Tuan. Semoga Thian membalas budi baik Tuan hari ini."
Setelah mengucapkan itu, Tay Nio berbalik lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Juen Sui masih terpaku di tempatnya. Sejenak kemudian, dia menghampiri dua orang bramacorah tadi. Ia membebaskan totokannya, lalu menggiring keduanya untuk berjalan menuju kediaman Shi Jinqing.
"Tuan Shi, kemunculan dua anggota bajak laut itu menunjukkan tak sedikit anggota mereka yang lolos."
Cheng Ho terlibat pembicaraan serius dengan Shi Jinqing, Juen Sui yang baru saja tiba dan Shi Jisun ada juga di ruangan itu. Setelah berhasil menumpas gerombolan bajak laut Chen Zhuyi, Cheng Ho memang memutuskan untuk tinggal beberapa hari di P'o-iin-pang sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke Tiongkok. Ini dilakukan untuk menjaga kemungkinan aksi balas dendam anak buah Zhuyi yang berhasil meloloskan diri. Kini hal itu terbukti.
"Hari ini, saya berencana menyisir P'o-iin-pang dan memastikan agar tak ada lagi anak buah Zhuyi yang membuat onar, Tuan Ho."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Saya kira itu langkah sangat baik, Tuan Shi. Dengan begitu, rakyat segera merasakan ketenteraman. Armada Ming juga mesti segera melanjutkan perjalanan ke Tiongkok."
Shi Jinqing melepas napasnya perlahan.
"Kapan Tuan Ho berencana kembali berlayar?"
"Secepat mungkin. Bahkan jika tak ada rintangan, dua-tiga hari ini kami akan berangkat."
"Begitu cepat?"
Cheng Ho tersenyum kalem.
"P'o-iin-pang sudah tenang. Tak ada yang mesti dikhawatirkan. Apalagi Tuan Shi bersama putra Tuan cukup punya wibawa di sini. Pihak Majapahit pun sangat percaya kepada Tuan."
Shi Jinqing kini tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.
"Tuan Ho terlalu memuji. Tuan, sebenarnya saya juga ingin mengenalkan putri pertama saya. Setiap Tuan datang ke sini, dia selalu tidak ada. Hari ini kebetulan sekali dia pulang agak cepat, jadi saya bisa memperkenalkannya kepada Tuan berdua."
"Oya" Maksud Tuan Shi, putri Tuan yang pandai dalam hal obat-obatan itu?"
Shi Jinqing menyuruh Jisun untuk memanggil adik perempuannya. Mereka lalu kembali mengobrol tentang hal-hal ringan. Pembicaraan itu terhenti ketika Jisun kembali ke ruangan itu.
"Tuan Ho, Tuan Juen Sui, inilah putri pertama saya. Adik Ji Sun. Namanya Shi Tay Nio."
Cheng Ho tersenyum sambil berdiri menjura. Gadis itu melakukan hal yang sama.
"Saya sudah mendengar kehebatan Tuan Ho. Saya sungguh ingin belajar dari Tuan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho tersenyum.
"Jangan terlalu sungkan, Nona."
Beda lagi dengan Juen Sui yang sangat terpana. Gadis di depannya ini adalah tabib muda yang sempat ia tolong siang tadi. Ternyata dia adalah putri pemimpin P'o-lin-pang yang terkenal.
"Nona Shi, ternyata Anda!"
Shi Jinqing bergantian memandang ke arah Juen Sui dan Tay Nio.
"Tuan Juen Sui sudah mengenal anak saya?"
"Pagi tadi, Tuan Shi. Nona Shi adalah perempuan yang saya sebut saat menceritakan penangkapan dua anak buah Zhuyi yang muncul di Kampung Rakit."
"Oh, rupanya begitu. Saya kira ini jodoh. Kalau begitu, ini benar-benar hari yang baik. Patut jika kita rayakan. Tay Nio baru saja memasak hidangan istimewa hari ini. Bukankah semua sudah siap, Nio?"
"Ya, Ayah. Semuanya sudah siap."
Mereka lalu menuju ruang makan keluarga Shi dengan wajah berseri-seri. Keluarga ini memang selalu hidup rukun.
Apalagi setelah istri Shi Jinqing meninggal, Tay Nio berusaha mengganti perannya mendidik adik-adiknya dengan baik.
Selain Shi Jisun kakaknya, Tay Nio masih memiliki dua orang adik yang masih kanak-kanak.
Siang itu, seluruh keluarga berkumpul menyantap hidangan istimewa. Kelegaan setelah berhasil menumpas gerombolan Zhuyi semakin lengkap.
0o0 "Sayang kita tak tak memiliki banyak waktu untuk saling belajar, Nona Shi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sore itu, Juen Sui dan Shi Tay Nio berbincang berdua di kebun belakang keluarga Shi. Halaman belakang itu begitu luas. Sebagian ditanami aneka sayuran, sebagian lagi dipagari anyaman bambu tinggi berkerangka kayu kokoh. Di dalamnya terdapat banyak binatang piaraan. Tay Nio membawa sekeranjang makanan untuk binatang piaraannya di tangan kanan. Ia dan Juen Sui kini berada di depan kandang burung buceros. Tangan Tay Nio sesekali melemparkan makanan serupa bubuk itu ke dalam kandang.
"Tuan Juen Sui, terkadang pemahaman seseorang terhadap sesuatu tak bergantung pada waktu, tapi kesungguhan."
Juen Sui mengalihkan pandangannya ke burung-burung bucerus yang kini tengah berebut makanan. Burung itu besarnya tak melebihi bebek, bulunya hitam, lehernya panjang, dan paruhnya meruncing. Tengkoraknya terlihat tebal. Bagian atas tengkoraknya berwarna merah di luar, sedangkan bagian dalamnya berwarna kuning. Sedap betul dipandang mata.
"Dulu saya pernah mengenal seorang teman yang mirip Nona."
Tay Nio menghentikan pekerjaannya.
"Itu alasan Tuan ingin tahu banyak tentang saya?"
"Bukan. Bukan begitu, Nona. Saya tak hendak menyamakan Nona dengan teman saya tadi. Saya tiba-tiba ingat begitu saja."
Tay Nio lalu mengajak Juen Sui untuk meneruskan langkah. Juen Sui terkagum-kagum oleh berbagai binatang piaraan keluarga Shi yang kelihatan sangat terawat dan gemuk-gemuk.
"Apa nama binatang serupa kalkun itu, Nona Shi?"
"Kasuari. Itu binatang kesayangan ayah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Juen Sui mendekati kandang binatang ajaib itu. Besarnya hampir sama dengan bangau. Badannya berbentuk bundar dengan leher yang lebih panjang dibandingkan bangau. Ia memiliki jengger berwarna merah yang terlihat lembut.
Bentuknya seperti topi merah yang dikenakan di kepala.
Paruhnya runcing dengan bulu agak jarang tapi panjang seperti bulu domba. Hanya warnanya kebiru-biruan.
"Binatang ini bisa berbahaya, Tuan Juen Sui."
Tay Nio meneburkan makanan tumbuk dari keranjang yang langsung disambut dengan langkah berderap oleh tiga ekor kasuari di kandang itu.
"Oya?"
"Cakarnya tajam sekali. Sekali sabet, usus seseorang bisa berantakan kena tendang."
Juen Sui mengangguk-angguk paham.
"Tuan belum selesai cerita tadi. Di mana teman Tuan yang istimewa itu?"
"Barangkali sekarang dia ada di Majapahit."
"Dia putri keraton?"
"Bukan. Dia orang hwa kiau (Orang-orang Tionghoa yang hidup dalam perantauan) seperti kita. Dia juga menganut I-selan seperti keluarga Nona."
Tay Nio tersenyum. Sekarang ia paham apa maksud Juen Sui mengait-ngaitkan dirinya dengan perempuan yang Juen Sui kenang dengan sungguh-sungguh itu.
"Anda sedang membicarakan Nona Hui Sing, Tuan?"
Juen Sui terhenyak. Ia menatap Tay Nio dengan pandangan heran.
"Saya banyak berbincang dengan Tuan Ho kemarin. Beliau sempat bercerita tentang Nona Hui Sing. Saya semakin kagum dengan guru Tuan. Pandangannya luas, ilmu agamanya dalam."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kungfunya juga hebat!" Juen Sui memotong kalimat Tay Nio.
"Itu saja yang tak membuat saya tertarik. Sejak kecil, saya tak suka melihat perkelahian."
Tay Nio kembali meneburkan makanan tumbuk itu kuat-kuat. Ia sebar ke beberapa titik sehingga kasuari di dalam kandang itu tak lagi berebutan.
"Bukankah Anda butuh sesuatu untuk melindungi diri, Nona?"
"Thian melindungi saya, Tuan. Saya yakin itu. Semua yang bergerak di langit dan bumi sudah demikian teratur. Tak akan ada yang salah. Jika saya mati hari ini, itu pun sudah menjadi rencana langit."
Juen Sui tak ingin berdebat. Dia meminta izin ikut menebarkan makanan itu ke dalam kandang kasuari. Tay Nio mengiyakan. Obrolan itu mengalir deras. Juen Sui beberapa kali menegaskan rasa sesalnya karena tak punya waktu lama untuk tinggal di P'o-iin-pang. Kebersamaan mereka tak berumur lama. Sehari kemudian, Cheng Ho benar-benar mengajak seluruh armada untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Tiongkok.
Berangkatlah armada raksasa itu kembali membelah samudra. Juen Sui semakin tak banyak bicara setelah mereka meninggalkan P'o-iin-pang. Ingatannya kini terbagi habis.
Setengah di Majapahit, setengah lagi di Kampung Rakit, tempat pertama ketika dia bertemu dengan Shi Tay Nio.
0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi PADHAJAYANYA
9. Pewaris Blambangan
P'o-lin-pang terang benderang. Setelah penghancuran bajak laut pimpinan Chen Zhuyi, kehidupan rakyat kembali damai. Shi Jinqing dianugerahi jabatan Duta Xuan Wei oleh Kaisar Ming karena jasanya membantu Cheng Ho saat menggulung komplotan bajak laut itu.
Bergelar Xuan Wei Shi, Shi Jinqing menjadi pemimpin hwa kiauw yang sah di P'o-lin-pang. Meskipun demikian, Shi juga tetap tunduk kepada Majapahit. Oleh Raja Wikramawardhana, Shi dipercaya untuk mengurus keagamaan dan segala macam urusan warga P'o-lin-pang.
Pada tahun Yong Le keenam atau 1408 penanggalan Masehi, dua tahun setelah pelayaran megahnya yang perdana, Laksamana Cheng Ho kembali mengunjungi Majapahit untuk mengambil denda peristiwa Simongan dari Raja Wikramawardhana.
Saat itu, Majapahit menyerahkan sepuluh ribu tail emas.
Masih jauh dari denda yang disepakati,
yaitu sebanyak enam puluh ribu tail emas. Tapi akhirnya, Kaisar Ming yang baru, Cheng Zu, menghapus segala utang itu untuk menjaga hubungan baik dengan Majapahit. Cheng Ho kembali ke Tiongkok dengan hati gelisah.
Janji dengan Hui Sing untuk bertemu dua tahun setelah perpisahan itu tak terkabul. Orang-orang Majapahit pun tak pernah mendengar kabar tentang murid kesayangannya itu.
Sementara sepeninggalan Cheng Ho pada pelayarannya yang perdana, peristiwa-peristiwa besar juga terjadi di Majapahit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Perkawinan megah Rakryan Rangga Sad Respati dan Dewi Anindita menjadi kegembiraan seluruh negeri. Pesta tujuh hari tujuh malam memeriahkan keraton Majapahit.
Rakyat pun ikut berpesta pora.
Pada saat yang sama, pemberontakan-pemberontakan kecil terus berlangsung meskipun dapat segera ditumpas.
Kelompok-kelompok penentang Wikramawardhana terus bergerak. Barisan paling berbahaya adalah kelompok pengikut setia Bre Wirabumi dari Blambangan yang konon hendak menuntut balas atas kehancuran kekuasaan Blambangan saat digilas Majapahit.
Tersiar kabar, kelompok berbahaya yang mengancam kekuasaan raja itu kini ada di Demak. Daerah itu memang terus tumbuh menjadi pusat keramaian. Dalam jangka waktu dua tahun, kawasan ini sudah bersaing dengan daerah tetangganya, Medangkamulan. Para pengembara dari Barat yang bermata biru dan berambut pirang tumpah ruah di sana.
Semakin banyak juga para hwa kiauw beragama I-se-ian yang berdagang sekaligus menyebarkan kepercayaan baru mereka di sana. Demak akan segera menjadi besar.
Siang itu, Demak dinaungi mendung. Raja siang tak bersinar kejam. Suasana teduh dan menyenangkan. Orang-orang keluar rumah untuk melakukan berbagai hal. Para wanita berbelanja di pasar-pasar yang ramai. Para lelaki membawa hasil bumi mereka untuk ditukar dengan aneka kebutuhan.
Anak-anak diapit orangtuanya berjalan-jalan melihat keramaian. Rumah makan-rumah makan penuh orang.
Pertunjukan-pertunjukan di tengah jalan dijejali penonton. Ada pertunjukan monyet menari, pertunjukan kekebalan tubuh, sampai pertunjukan ilmu kanuragan, begitu ramai ditonton.
Orang-orang berdiri melingkar agar semua bisa menyaksikannya.
Kebanyakan orang-orang memakai pakaian bagus. Tidak sedikit di antara mereka memakai kain sutra yang dibawa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pedagang dari Tiongkok. Sepertinya, kehidupan demikian menyenangkan.
Di sela kesibukan orang-orang dengan senyum lebar mereka, sesosok kurus berjalan terhuyung-huyung di tengah keramaian. Dia seorang perempuan muda dengan pakaian lusuh. Seperti tak pernah ganti selama bertahun-tahun. Seperti ada keremajaan yang tercerabut dari wajahnya yang tirus.
Bibirnya bergetar tertahan, sedangkan sorot matanya layu.
Rambut panjangnya tergerai. Kelihatan kering meskipun tak awut-awutan. Beberapa kali ia mendekati para penjual makanan. Berbicara sebentar, lalu beranjak pergi dengan wajah muram.
"Kisanak, saya bisa bekerja apa saja. Kisanak tak perlu memberi upah. Bisa makan sehari dua kali pun saya sudah sangat berterima kasih."
Perempuan muda itu kini berdiri di depan penjual penganan keliling. Lelaki tua penjual penganan itu menggelengkan kepala.
"Nini, untuk makan kami sekeluarga saja, saya harus membanting tulang. Kalau Nini mau, Nini bisa makan dagangan saya untuk sekadar mengganjal perut."
Perempuan muda itu menggelengkan kepala. "Terima kasih, saya tak ingin memberatkan Kisanak."
Ia lalu membalikkan badannya dan kembali melangkah terhuyung menembus kerumuman orang. Mendung di atas Demak semakin gelap. Gerimis pun turun. Makin lama makin deras.
Gadis itu menyeret langkah gontainya menuju sebuah gubuk kosong di pinggir jalan besar pusat Kota Demak.
Sepertinya gubuk itu biasa dipakai untuk berjualan. Hanya hari itu sedang kosong. Begitu gadis itu masuk ke gubuk dan duduk di bilah-bilah bambu yang memang disiapkan untuk me-ngaso (istirahat), halilintar membahana, hujan pun turun dengan galak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kerumunan-kerumunan orang tersebut akhirnya bubar.
Mereka kembali ke rumah masing-masing atau mencari tempat berteduh sambil bersantap dirumah makan-rumah makan yang banyak terdapat di pinggir jalan.
Gadis itu beberapa kali menggeser letak duduknya karena atap kajang di atas gubuk itu tak mampu menahan hantaman air hujan. Dia merapat di pinggir gubuk sambil melipat lengannya menahan dingin.
Sekarang, gadis itu menatap hujan dengan sinar mata nelangsa. Ia menikmati irama perutnya yang mulai bersuara.
Panas dan ribut. Sesekali dia membetulkan letak sebagian rambut yang mengganggu pandangan matanya karena diterpa angin.
Wajahnya yang tirus sebenarnya tidak mampu menyembunyikan sinar cemerlang pada kedua bola matanya.
Seperti bintang. Berbinar-binar penuh keinginan untuk hidup.
Bibirnya yang mungil semakin bergetar. Menahan dingin dan lapar yang semakin meraja. Gadis itu lupa kapan terakhir memasukkan makanan yang layak ke dalam perutnya.
Mungkin tiga atau empat hari lalu. Saat itu dia sempat makan besar ketika berhasil menangkap seekor ayam hutan dan memanggangnya. Setelah itu, perutnya hampir tak pernah puas meremas makanan yang ia telan. Paling hanya satu-dua buah-buahan hutan yang rasanya pun tak lezat.
Ketika hujan belum juga memperlihatkan tanda-tanda hendak berhenti, sesosok manusia berpayung patahan daun pisang tergopoh-gopoh menuju gubuk tempat gadis itu berlindung. Dia seorang perempuan tua berwajah tenang yang mengenakan kebaya hitam dan kain bergambar.
Rambutnya yang digelung dipenuhi dengan uban. Ia tersenyum begitu melihat gadis yang tadi duduk tepekur di sudut gubuk itu.
"Nini, maaf saya ikut berteduh."
"Tentu saja, Nyai. Gubuk ini bukan milik saya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Gadis itu bangkit dari duduknya dan menyambut perempuan tua tadi. Tanpa canggung, dia membantu perempuan tua itu menurunkan bakul bawaannya. Si gadis kembali duduk. Perempuan tua itu berjongkok, lalu membuka kain penutup bakul dan menata lagi barang-barang di dalamnya.
Rupanya, dia baru saja berbelanja. Bermacam sayuran lengkap di dalam bakul yang ia bawa. Tomat yang merah merona, mentimun yang terlihat segar, juga sayuran hijau segar. Gadis itu menelan ludah. Perutnya lagi-lagi bersuara.
Kali ini cukup keras.
"Nini pasti belum makan. Saya tadi beli lemper (nasi dikepal berbentuk bulat panjang), lumayan untuk mengganjal perut."
Sambil tersenyum, perempuan tua itu lalu membuka-buka barang belanjaannya. Kemudian, ia mengambil lemper yang cukup besar dari tumpukan belanjaannya.
"Makanlah, Nini."
"Ah, Nyai tidak perlu repot. Saya tidak apa-apa."
Perempuan tua itu tersenyum sambil menatap trenyuh.
Tangan kanannya masih mengangsurkan lemper itu.
"Tak perlu sungkan. Saya punya dua. Kita makan bersama, ya."
Dengan agak canggung, si gadis tak menolak tawaran itu lagi. Dia mengulurkan tangannya menerima pemberian si nyai.
Sambil tersenyum, keduanya lalu membuka lipatan daun pisang yang membungkus makanan dari beras berisi keratan daging ayam itu.
Perempuan tua itu takjub melihat cara makan gadis di depannya. Terlihat sekali dia sangat menikmatinya. Seperti sudah sangat lama tak makan menu yang lezat. Kini, dia malah tak lagi memedulikan lemper di tangannya. Dia menatap gadis itu dengan penuh perasaan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Penantian panjang."
Gadis itu berhenti makan, lalu menatap wanita tua di hadapannya.
"Ya, Nyai?"
Wanita tua itu mengubah air mukanya yang sendu dengan tersenyum.
"Ah, tidak. Saya hanya bergumam. Boleh saya tahu nama Nini?"
Perempuan muda itu terdiam sesaat. Berpikir, seperti lupa namanya sendiri.
"Samita. Nama saya Samita."
Senyum perempuan tua itu semakin lebar. Keriput di wajahnya menambah kesan bijak yang mendalam.
"Indah sekali. Samita artinya bintang. Mata Nini berbinar seperti bintang."
Samita. Nama itu muncul mendadak di benak gadis itu.
Sebuah nama yang pernah terucap oleh seseorang di masa lalu. Kata-kata kesatria Majapahit, yang sempat tenggelam oleh perjalanan waktu dan penderitaan yang bertubi-tubi.
Gadis ini seperti sengaja menutup masa lalunya rapat-rapat dan melahirkan dirinya yang baru.
Perempuan muda bermata bintang ini tak lain Hui Sing, murid kesayangan Laksamana Cheng Ho yang terkurung selama dua tahun di dasar jurang perbatasan Medangkamulan dan Demak. Niatnya masih sama ketika dia turun dari Kapal Pusaka armada Ming, datang ke Majapahit untuk membongkar kedok Dewi Anindita.
"Nama Nyai sendiri?"
Samita masih tersipu ketika balas bertanya kepada perempuan tua itu.
"Rukmi. Nini panggil saja saya Mbok Rukmi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita mengangguk lalu meneruskan makannya yang sempat tertunda. Begitu juga dengan Rukmi. Perempuan tua itu sedikit-sedikit mengunyah lemper. Tampak sedikit dipaksakan.
"Nini ini mau ke mana?"
Samita tak langsung menjawab. Setelah beberapa kali mengunyah dan menelan makanan di mulutnya, gadis itu merapikan daun pisang pembungkus lemper, lalu meletakkannya di pinggir tempat duduknya.
"Saya hendak ke Majapahit."
Rukmi berhenti mengunyah. Ia kembali menatap Samita dalam-dalam.
"Kota Raja jauh sekali dari Demak, Nini."
"Saya tahu."
"Jika Nini mengendarai kuda, mungkin akan jauh lebih cepat sampai ke sana."
Samita mengangguk tanpa suara.
"Begitu pentingkah urusan Nini di Kota Raja?"
"Saya tidak tahu. Dua tahun lalu barangkali masih sangat penting. Entah apakah sekarang masih penting atau tidak."
Rukmi menatap Samita dengan air muka heran.
"Nini, menurut saya, lebih baik Nini tinggal dulu di Demak.
Menyehatkan tubuh dan mengumpulkan uang untuk membeli kuda."
Samita mendengarkan kata-kata Rukmi dengan saksama.
"Keadaan sekarang sedang kacau-balau. Kejahatan di mana-mana. Tanpa badan yang sehat dan kendaraan yang baik, Nini akan sangat kesulitan untuk pergi ke Majapahit."
"Tapi, tinggal di Demak pun saya tak tahu harus berbuat apa."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi tersenyum. Dia menggeser letak duduknya mendekati Samita.
"Saya bekerja di rumah makan milik seorang kaya bernama Nyai Laksita. Sekarang kami sedang mencari tambahan orang untuk membantu di dapur. Kalau Nini mau, Nini bisa bekerja di tempat kami untuk mengumpulkan uang."
Samita menatap Rukmi lekat-lekat.
"Simbok bersungguh-sungguh?"
Rukmi menganggukkan kepalanya berulang-ulang sambil tersenyum tulus. Samita pun berkali-kali mengatakan terima kasih atas ajakan itu. Hujan tak ramai lagi. Jalan-jalan masih becek. Matahari mulai menusukkan jarum-jarum cahaya lagi.
Meskipun tak seterik siang karena hari mulai sore.
Rukmi dan Samita keluar dari gubuk, lalu berjalan penuh hati-hati menyusuri jalan kota yang mulai riuh lagi oleh orang-orang yang berlalu-lalang.
0oo0 "Aku ini pedagang. Apa saja kulakukan asal memang menguntungkan. Kalau sekarang kau ingin bekerja di tempatku, keuntungan apa yang akan kuperoleh?"
Perempuan matang itu duduk di atas kursi dengan melintangkan kaki kirinya santai. Secangkir teh hangat mengeluarkan asap tipis menantang, diletakkan di atas meja, persis di samping kanannya. Sekarang dia mengangkat cangkir dari tanah berwarna cokelat itu ke pinggir bibirnya yang bergincu merah menyala.
Matanya tetap menatap Samita yang duduk kikuk di depannya. Ketika satu teguk teh menghangatkan tenggorokannya, ada kesan genit di sudut matanya yang bulat.
"Samita bisa membantu saya di dapur, Nyai. Dia bisa mencuci dan membersihkan ruang dapur."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi menggantikan Samita menjawab pertanyaan Laksita. Dia berkata dengan sangat hati-hati. Tertata dan tidak sembrono.
"Apakah gadis ini tidak bisa menjawab untuk dirinya sendiri?"
Laksita menaruh kembali cangkir teh itu ke atas tatakannya. Raut muka judes belum hilang dari wajahnya.
Sebenarnya dia tak cukup pantas dipanggil nyai. Selain umurnya yang baru dua puluhan, dia pun belum menikah.
Hanya, majikan rumah makan Nawa Rawi yang teramai di Demak itu memang menginginkan panggilan nyai. Dia pun merias wajahnya sedemikian rupa agar kelihatan lebih matang dibandingkan usia yang sebenarnya.
Pilihan warna pakaian yang ia kenakan juga serbatua. Tak seperti pilihan gadis-gadis yang lebih suka dengan warna-warna cerah.
"Saya bisa memasak makanan Tiongkok, Nyai. Saya juga bisa memanggang ayam dengan bumbu khusus."
Samita akhirnya angkat suara. Tanpa suara mengiba, dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang ahli.
"Itu baru namanya punya harga jual. Baik. Satu pekan ini, kau bantu Mbok Rukmi di dapur. Membersihkan segala benda di dapur dan bertanggung jawab menyediakan semua bahan baku untuk memasak. Kau harus rajin belanja. Kau boleh tinggal di ruangan belakang. Setelah satu pekan, baru aku pikir lagi, apakah kau layak dipertahankan atau tidak." '
Samita menganggukkan kepala sambil berterima kasih.
Laksita mengiyakannya lalu menyuruh gadis itu untuk segera memulai pekerjaannya di dapur.
"Temui Sudarga. Dia yang nanti akan memberimu arahan."
Samita lagi-lagi mengangguk, lalu ia bangkit dari duduknya untuk pergi ke dapur. Rukmi pun lantas berdiri menyusul Samita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Mbok, kau tetap di sini."
Langkah Rukmi terhenti. Dia membalikkan tubuhnya, lalu kembali duduk di tempat semula.
"Ya, Nyai?"
"Apa yang kau lihat dari mata Samita?"
"Ss ... saya ...."
"Mbok, aku yakin kau melihat sesuatu yang lain pada diri Samita. Seperti halnya ketika kau meramalkan masa depanku.
Apa yang kau lihat di masa depan Samita?"
Rukmi tak buru-buru menjawab. Dia malah kelihatan bingung. Dua matanya mencari-cari. Sementara jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Bibirnya bergumam tak jelas.
"Mbok ...?"
"Eh ... anu, Nyai. Saya melihat Majapahit akan mengalami peristiwa menggemparkan di masa depan. Samita ada di sana."
Laksita mengangkat dagunya.
"Itu saja?" '
"Ss ... saya juga melihat Samita akan menjalani masa penantian cinta yang sangat lama."
"Penantian apa?"
"Tidak begitu jelas, Nyai."
"Majapahit. Peristiwa yang menggemparkan. Menarik juga.
Baiklah, dia boleh tinggal bersama kita."
Rukmi tersenyum lega. Setelah beberapa kali mengucapkan terima kasih, dia lalu pamitan kepada majikannya itu. Laksita menganggukkan kepalanya tanpa kata-kata. Lalu, ia kembali menyeruput tehnya yang mulai dingin. Tatapan matanya melambung tanpa batas. Ada ambisi di sinar matanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita makin asyik dengan pekerjaannya. Ini bilasan terakhir sebelum piring-piring dari tanah liat itu dikeringkan dan kemudian siap digunakan. Tak ada beban pada wajah dara itu.
Ini hari kelima Samita bekerja di rumah makan milik Laksita dan dia masih melakukan pekerjannya dengan sungguh-sungguh. Sesekali dia menyeka keringat di dahinya.
Sejak pagi dia sibuk di depan sumur di belakang rumah makan. Sebelum mencuci, dia mesti menimba air untuk mengisi gentong besar yang diletakkan di dekat sumur. Wajah gadis itu memang jauh lebih cerah dibandingkan saat pertama bertemu dengan Rukmi beberapa hari lampau.
Dia mulai merawat tubuhnya kembali agar kelihatan segar dan bertenaga. Dia membeli beberapa lembar kain dan menjahitnya sendiri menjadi baju-baju berukuran longgar.
Tadinya memang dia mencoba memakai pakaian seperti halnya yang dikenakan perempuan Jawa lainnya. Hanya karena tak terbiasa dengan kebaya yang melekat pas dengan tubuh, Samita tak nyaman berlama-lama mengenakannya.
Makanya, dia lalu meminjam beberapa kepeng uang kepada Rukmi untuk membeli kain murahan. Setiap ada waktu luang, dia akan sibuk menjahit. Mengenakan pakaian yang nyaman membuatnya bebas bergerak saat melakukan berbagai kegiatan. Termasuk saban hari ketika dia mencuci piring di sumur belakang rumah makan majikan barunya.
Sebentar kemudian, pekerjaan mencuci piring itu purna.
Samita lalu mengangkat tumpukan piring ke dapur. Kesibukan di dapur semakin menjadi, ketika Samita pelan-pelan meletakkan satu per satu piring itu ke atas meja untuk dikeringkan.
Ia lalu mengambil kain lap dan mulai menghilangkan jejak air pada piring-piring itu. Sementara pendengarannya menangkap suara dag dug dari tempat pencacahan daging.
Beberapa hari ini, Samita merasa sangat tertarik dengan cara Sudarga melakukan pekerjaannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dia orang kepercayaan Laksita yang bertugas mencacah daging sapi dan daging kambing di dapur. Meskipun bukan pekerjaan yang luar biasa, Samita yakin Sudarga bukan orang sembarangan. Caranya menggerakkan golok saat menguliti kambing atau ketika mencacah daging sapi sungguh lihai.
Setiap selesai dengan pekerjaannya, Samita lalu mendekati meja tempat Sudarga bekerja. Meskipun bau tak sedap daging sapi atau daging kambing menyeruak, Samita tak lantas enggan. Biasanya sambil menebar senyum, Samita mengajak Sudarga untuk membicarakan apa saja.
"Berapa lama waktu yang aku butuhkan agar bisa selihai kau, Darga?"
Pemuda berotot itu malah tersenyum. Lengannya yang besar masih terus mengayun, mencacah potongan daging besar menjadi serpihan dalam sekejap mata. Paras pemuda itu biasa saja. Hidungnya tak begitu mancung. Rahangnya kokoh, membentuk wajah yang nyaris kotak.
Tapi ada yang istimewa dari pemuda ini. Kesungguhan dan ketundukannya terhadap sang majikan begitu besar. Seperti kesetiaan abdi terhadap raja.
"Ini kelima kalinya kau menanyakan hal itu, Samita."
"Benar. Tapi jawabanmu tak pernah membuatku puas."
Sudarga menyetop ayunan lengannya. Ia menatap Samita dengan kesan wajah kalem dan bersahabat.
"Buat apa kau belajar pekerjaan kasar seperti ini" Kau lebih pantas melakukan pekerjaan para putri keraton."
"Jawaban itu lagi. Kenapa kau begitu yakin aku tak akan pernah mampu melakukan pekerjaanmu?"
"Pekerjaan yang harus kau lakukan jauh lebih besar."
Samita menatap Sudarga dengan kesan wajah heran.
"Apa maksudmu, Darga?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sudarga tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.
Samita tambah penasaran namun tak meneruskan kata-katanya.
"Hari sudah siang. Bukankah biasanya kau akan melakukan sembahyang pada waktu seperti ini?"
Samita tersenyum tanpa berkata-kata. Dia mulai terbiasa dengan Sudarga yang paling pandai mengubah inti pembicaraan tanpa memberi peluang lawan bicaranya untuk menjawab.
Setelah berterima kasih, Samita pun menuju sumur untuk bersiap sebelum melakukan sembahyang. Tak berapa lama, dia sudah duduk bertimpuh di lantai kamar kecil dekat dapur.
Renjana Pendekar 1 Anak Harimau Karya Siau Siau Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10

Cari Blog Ini