Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 5
Setiap hari Samita tidur di ruangan itu, berbagi dengan Rukmi.
Sekarang Samita tampak khusyuk dengan bibir berkomat-kamit.
Tak sehelai rambut pun tampak karena ia menutupinya dengan kain lebar berwana hijau yang selalu ia bawa ke mana-mana. Setiap berada dalam keadaan itu, Samita selalu tampak lain. Dia terkesan sangat berhati-hati. Sikapnya sempurna dan tertata. Setiap gerakannya tidak main-main.
Dia biasanya berbicara sendiri setiap usai melakukan sembahyang. Mengeluhkan segala macam kesulitan dan memaparkan harapan-harapan masa depan. Memuntahkan rasa syukur, lalu menguras air mata meminta kebersamaan dengan sesembahannya.
Orang-orang di sekitar Samita pun mulai terbiasa dengan hal itu. Mereka bahkan sudah hafal dengan kebiasaan Samita dari menjelang fajar hingga larut malam. Kadang, ketika Samita tak juga bangun ketika ayam jantan mulai berkoar-koar,
Rukmi sengaja membangunkannya untuk segera melakukan sembahyang fajar.
Segala hal ketika dinikmati memang akan selalu terasa berjalan cepat. Seperti juga Samita yang tak lagi sempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menghitung berapa lama keberadaannya di rumah makan itu.
Mungkin sudah satu atau dua bulan. Dia sudah terbiasa dengan kesibukan setiap hari di dapur.
Sesekali dia pun membantu para pelayan membawakan pesanan para tamu rumah makan. Ia juga mulai dipercaya oleh sang majikan untuk membantu tukang masak meramu menu-menu baru. Sungguh menyenangkan. Bahkan, Samita mulai lupa dengan keinginannya untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, lalu secepatnya membeli kuda dan melanjutkan perjalanan ke Kota Raja Majapahit.
Sebaliknya, kebersamaan dengan orang-orang di rumah makan itu mengikatnya demikian kuat. Sudah seperti keluarga sendiri. Meskipun sikap Nyai Laksita sang majikan tetap tak berubah. Masih tetap angkuh dan tak ramah terhadap pegawainya, namun Samita tak merasa terganggu.
Ia justru yakin bahwa sang majikan itu memiliki hati yang mulia. Hanya memang ada sesuatu yang menyelimuti hatinya hingga tak berbekas pada wajahnya segala kebaikan hatinya itu.
Rukmi pun semakin memanjakan Samita seperti anaknya sendiri. Meskipun sering heran dengan sikap Rukmi yang kadang dianggapnya berlebihan, Samita pun tak lantas menampik kebaikan orang tua itu.
Ia bahkan membalas kasih sayang Rukmi seperti layaknya anak berbudi. Menerima kasih sayang yang begitu tulus acap kali membuat Samita terharu. Tentu saja karena sejak lahir dia tak pernah mendapatkannya, kecuali dari gurunya yang kini sudah tak ada lagi di dekatnya.
Malam itu, Samita kembali mengulas keberadaannya di tempat itu dalam benaknya sendiri. Menghitung kemungkinan-kemungkinan sambil membayangkan kebaikan orang-orang di sekitarnya. Rukmi belum juga kembali, sejak sore tadi dipanggil Laksita. Pikiran Samita benar-benar bebas mengembara sampai terdengar bunyi aneh dari genteng Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi bangunan rumah makan tepat di atas ruangan tempatnya beristirahat.
Samita menajamkan pendengarannya. Jelas bukan satu-dua orang. Sekelompok orang melangkah ringan di atap tanpa menimbulkan suara ribut. Pasti orang-orang berkanuragan tinggi. Samita bangkit dari dipan bambu sambil terus menyimak jejak suara itu. Semakin menjauh, lalu hilang sama sekali.
"Silakan, Tuan-tuan! Hari ini kami punya menu khusus untuk Tuan-tuan."
Dengan luwes, Laksita mempersilakan serombongan prajurit Majapahit yang baru saja muncul dari pintu rumah makan miliknya. Sebentar lagi ruangan yang cukup untuk menampung ratusan orang itu pasti penuh. Sejak pagi orang-orang keluar masuk untuk mengisi perut mereka dengan makanan khas rumah makan Nawa Rawi yang kondang lezat.
Kelompok prajurit itu lalu duduk lesehan di depan meja-meja pendek yang ditata rapi. Wajah mereka tak kelihatan seram. Atau paling tidak, saat itu mereka enggan memperlihatkan raut muka seram.
Sebaliknya, kedipan mata genit dan senda gurau bernada tak senonoh terdengar keras setiap para pelayan Nawa Rawi yang memang terkenal cantik-cantik keluar membawakan pesanan para tamu.
Saking kerasnya gurauan prajurit-prajurit itu, beberapa tamu memilih bergegas menyelesaikan makan siangnya, lalu keluar dari rumah makan.
"Tuan-tuan, apa Tuan-tuan ini sengaja hendak membuat nama Laksita jadi bahan ejekan orang-orang?"
Majikan Nawa Rawi itu sudah duduk dengan sikap manja di dekat kelompok prajurit Majapahit yang terkenal angker dan berlaku semena-mena itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Para prajurit itu terbahak-bahak. Ada juga yang mencoba merangkul Laksita, meskipun buru-buru ditepis dengan halus oleh perempuan luwes itu.
"Kenapa, wong ayu" Kok datang-datang, kamu langsung menyerbu kami dengan kata-kata ketus seperti itu?"
Salah seorang prajurit dengan berewok tebal menggeser duduknya mendekati Laksita. Perempuan itu lagi-lagi bersikap manja. Dia menegakkan lengan kanannya untuk menumpu badannya yang berisi. Senyum genit rata di bibirnya. Tak kurang matanya pun menyipit seperti kucing yang sedang kasmaran.
"Kalau Tuan-tuan datang ke Nawa Rawi lalu menakut-nakuti para tamu lain, itu kan namanya mencoreng nama baik Laksita. Apa nanti kata orang-orang" Dikiranya Laksita tak berlaku adil kepada mereka."
Tawa prajurit itu kembali membahana. Lebih keras dari sebelumnya. Cara bicara Laksita yang manja membuat mereka gemas. Apalagi ketika perempuan itu cemberut dan berpura-pura merajuk.
"Baiklah, wong ayu. Kami akan menuruti permintaanmu.
Tapi kami minta kamu sendiri yang melayani kami."
Laksita tersenyum lebar tanpa melepas sikap genitnya. Ia lalu pamit untuk menyiapkan pesanan para prajurit itu.
Sementara para prajurit itu memenuhi janjinya. Mereka tak lagi mengumbar tawa seperti sebelumnya. Mereka malah terlibat pembicaraan serius dengan suara yang lirih, setengah berbisik.
"Pekan depan, rakryan rangga tiba di Demak. Artinya, sang prabu benar-benar gerah dengan para pengacau yang kini bersembunyi di Demak."
"Atau, sang prabu tak percaya lagi dengan kemampuan kita."
Prajurit lain yang berkumis tebal menimpali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Pastinya, kita tidak bisa bersantai lagi begitu rakryan rangga tiba di Demak. Aku dengar ilmu kanuragannya sangat tinggi."
"Ya, aku juga mendengar hal itu. Dia memiliki keris pusaka bernama Angga Cuwiri."
Saking asyiknya para prajurit itu berbincang, hampir saja mereka tak sadar Laksita sudah menghampiri mereka ditemani dua orang pelayan yang membawakan pesanan para prajurit itu.
"E, e ... ternyata tidak cuma para perempuan yang suka mengobrol. Prajurit-prajurit gagah pun gemar bicara gosip."
Tanpa menunggu reaksi para prajurit itu, Laksita langsung menyuruh dua pelayannya untuk menata aneka menu di atas meja yang dikelilingi oleh para prajurit itu. Semua hidangan begitu mengundang selera.
Pepes ikan mas yang besar-besar, ayam panggang yang menggiurkan, juga cacahan daging kambing yang sudah dioles dengan sambal tomat dan rempah-rempah. Para prajurit itu langsung lupa dengan obrolan mereka sebelumnya.
Tangan dan mulut mereka sibuk menyuapkan nasi putih hangat dan lauk pauk yang begitu menggoda.
"Tuan, maaf kalau Laksita lancang. Hanya ingin tahu.
Belakangan ini kok, semakin banyak prajurit Majapahit yang berjaga-jaga."
Laksita terkesan sekedarnya saat menanyakan hal itu.
Konsentrasinya justru ada pada cangkir-cangkir tanah liat yang satu per satu ia isi dengan arak dari teko tanah liat.
"Memangnya kenapa, wong ayu" Bukankah rumah makanmu ini akan semakin ramai karenanya?"
Prajurit berewok yang sejak awal memang bersemangat menjawab pertanyaan Laksita, malah balik bertanya.
Beberapa kali kalimatnya terpotong karena mesti mengunyah nasi di mulutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Saya ini kan pedagang bodoh, Tuan. Yang saya pikirkan, ya cuma untung. Kalau Demak semakin ramai, kan saya bisa mengembangkan usaha."
Prajurit itu tertawa kecil tanpa menghentikan gumpalan nasi di tangannya menjejali mulutnya.
"Kalau selalu berpikir tentang usaha dan untung, kapan kamu kawin?"
Laksita sempat terhenyak meskipun cepat-cepat ia sembunyikan dengan mencubit lengan prajurit itu.
"Siapa yang mau dengan perempuan bodoh ini, Tuan?"
Para prajurit itu mulai ribut lagi. Masing-masing menawarkan diri untuk menjadi suami Laksita, meskipun dengan nada bercanda.
"Kalau saya pilih satu di antara Tuan, saya nanti dikatakan merusak pertemanan Tuan-tuan semua."
Laksita kembali tersenyum manja sambil mengisi beberapa cangkir yang sudah kosong dengan arak yang diramu dari perasan ketela pohon.
"Saya dengar ada pejabat penting dari Majapahit yang akan datang ke Demak, Tuan."
"Dari mana kamu tahu?"
Kali ini, wajah prajurit berewok itu tak genit lagi.
Sebaliknya, di wajahnya ada garis ketersinggungan.
"Ah, Tuan, begitu saja marah. Saya ini kan, pedagang.
Teman-teman saya menyebar di setiap kota, mulai Demak sampai Mojokerto. Masa kabar begitu penting bisa terlewat dari telinga saya."
Wajah prajurit itu sumringah lagi. Ia lalu membuang jauh-jauh kecurigaannya yang tiba-tiba menyeruak. Kabar kedatangan Rakryan Rangga Majapahit setahu dia memang baru beredar di kalangan prajurit saja. Tapi masuk akal jika para pedagang di Medangkamulan, Sumbergurit, atau Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ketemas telah mendengar adanya rombongan dari Majapahit yang sedang menuju Demak.
"Ya. Mereka akan datang ke Demak untuk menumpas para pemberontak yang menyusup di Demak."
Wajah Laksita langsung cerah.
"Ah, bagus sekali kalau begitu. Saya juga waswas dengan para pengacau itu. Setiap mengirim orang suruhan keluar kota selalu khawatir. Takut mereka mencegat di tengah jalan.
Bagus sekali jika sang prabu mengirimkan pasukan untuk menumpas mereka."
Pembicaraan itu mencair. Tak ada lagi hal-hal serius yang dibahas. Laksita mengerti betul hal-hal apa yang bisa memancing kegembiraan para prajurit yang jauh dari keluarganya itu. Sikap manja Laksita dan kemampuannya bersilat lidah membuat para prajurit itu betah berlama-lama di Nawa Rawi.
Bahkan setelah acara makan mereka selesai, obrolan itu berlanjut cukup lama. Baru setelah salah satu prajurit mengingatkan sebentar lagi giliran patroli berganti, mereka lalu bergegas membayar tagihan, kemudian buru-buru meninggalkan rumah makan paling tersohor di Demak itu.
0oo0 Hari sudah sore ketika Samita dan dua orang pegawai lainnya sampai di Nawa Rawi setelah beberapa lama berbelanja kebutuhan dapur di pasar Demak. Ia membawa banyak belanjaan untuk persediaan hari selanjutnya dalam tiga bakul besar. Setibanya di dapur, dia mengeluarkan isi bakul-bakul itu satu per satu.
Buah-buahan, telur, dan sayur-mayur hijau dipisahkan.
Begitu juga dengan bumbu-bumbu yang dibungkus dengan daun pisang. Jumlahnya banyak sekali. Tanpa kesulitan, Samita dibantu dua perempuan itu memilah-milah bumbu-bumbu itu agar tidak campur baur.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Nini sudah pulang?"
Samita membalikkan badannya dan langsung tersenyum melihat Rukmi berdiri di depannya. Tapi, dia langsung menghapus senyum itu demi melihat raut muka perempuan tua itu yang kelihatan menyimpan rasa was-was.
"Ya, Mbok. Kami baru saja datang." Samita meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. Ia lalu menghampiri Rukmi dan mengajaknya duduk di balai bambu di pojok dapur.
"Saya tahu, pasti ada sesuatu yang membuat Mbok Rukmi was-was. Ada apa, Mbok?"
Perempuan tua itu menghela napas.
"Tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan, Nini."
"Jika tidak ada, kenapa Mbok Rukmi kelihatan begitu khawatir?"
Rukmi diam sebentar. Dan lagi-lagi, ia menghela napas panjang.
"Keadaan semakin tidak aman, Nini. Raja Majapahit bahkan akan mengirim pasukan khusus ke Demak untuk menangkap orang-orang yang mereka anggap pemberontak."
"Maksud Simbok, sekelompok orang bercadar yang menyerang prajurit Majapahit di perbatasan beberapa hari lalu?"
Rukmi menganggukkan kepalanya, sementara matanya memancarkan rasa was-was yang semakin pekat.
"Kenapa Simbok mengatakan bahwa orang-orang itu hanya dianggap pemberontak" Bukankah dengan menyerang prajurit Majapahit, mereka memang pemberontak yang sesungguhnya?"
Rukmi menoleh ke arah Samita dengan kaget. Wajahnya pucat. Kerut-kerut di kulit mukanya semakin menjadi.
"Maaf, Mbok. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Saya hanya asal bicara."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi memegang punggung tangan Samita yang ada di pangkuan gadis ayu itu. Perempuan renta itu masih menatap Samita dengan bibir bergetar.
"Saya sungguh melihatnya. Semakin jelas."
Samita mengerutkan dahi sambil menggeleng pelan.
"Apa maksud Simbok?"
"Nini akan mempermalukan Raja Majapahit. Ninilah orangnya."
"Mbok, saya benar-benar tidak paham."
Hening sejenak. Perempuan tua itu lalu mengalihkan pandangannya sambil mengangkat tangannya yang keriput dari telapak tangan Samita.
"Sudahlah, Nini. Mungkin saya terlalu terbawa perasaan."
Tanpa peduli apa yang sedang berputar di benak perempuan renta itu, Samita mengulurkan tangannya lalu memeluk Rukmi erat-erat.
"Terima kasih, Mbok. Saya belum pernah bertemu dengan orang yang begitu menyayangi saya seperti Simbok."
Tanpa kalimat apa-apa, adegan itu berlanjut. Isak tertahan terdengar pelan. Rukmi pun rupanya tak mampu menahan harunya. Bahunya yang semakin kurus terguncang-guncang.
Ada lega yang terlepas. Seperti seorang pengembara yang berjalan jauh dengan berbagai barang di sekujur tubuhnya, lalu melepaskan segala beban itu begitu sampai di tempat yang ia inginkan.
0oo0 Langkah Samita setengah berjinjit. Dia seperti sengaja hendak mengagetkan Sudarga yang masih sibuk dengan sapi cincangnya. Ada yang berbeda. Gerakan pemuda itu kali ini tak sekencang biasanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ke mana perginya kecepatan tangan Sudarga yang aku kenal?"
Samita berdiri kagok di muka meja tempat pemotongan daging. Sudarga kelihatan tak peduli dengan kehadiran Samita. Dia cuma tersenyum sambil meneruskan pekerjaannya. Itu pun tampak betul dipaksakan.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
Masih tak ada suara yang keluar dari bibir Sudarga. Hanya kepalanya yang mengangguk-angguk.
"Aku sering mendengar Mbok Rukmi berkata-kata aneh.
Sangat tidak aku pahami. Dia seperti sedang meramalkan sesuatu terjadi di masa depan."
Kali ini, Sudarga menghentikan kesibukannya. Dia lalu menoleh ke arah Samita.
"Orang tua itu punya daya Iinuwih (kemampuan istimewa).
Aku tak tahu persis. Hanya aku dengar, dia memang sering mendapatkan gambaran tentang masa depan seseorang."
Samita mengangkat alisnya tanpa berkata-kata. "Apa yang ia ramalkan padamu, Samita?" Masih tak dijawab. Samita seperti sedang berpikir.
"Itu alasan kenapa kau sering mengatakan bahwa aku punya pekerjaan lebih besar dibandingkan mencacah daging, Sudarga?"
Pemuda itu tampak terhenyak. Merasa tertangkap basah.
"Kau percaya ramalan, Samita?"
"Entahlah. Bagiku tak penting untuk mengetahui seperti apa yang akan terjadi di masa depan. Aku hanya merasa wajib melakukan yang terbaik bagi hidupku. Kalau besok pagi aku mati, ya pasti mati. Tak ada yang kebetulan di muka bumi.
Bukan masalah kapan aku mati. Tapi, bagaimana aku mati."
Sudarga tertegun. Seperti bocah kemarin sore yang menyimak wejangan seorang tua. Padahal, Samita Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi mengucapkan kata-katanya tanpa penekanan di sana-sini.
Sekadar lepas dari nuraninya yang jujur. Bahkan, gadis itu tak menatap Sudarga saat mengucapkan kalimat itu. Dia malah melepas pandangannya ke langit-langit dapur.
"Apakah orang sepertimu punya pikiran yang sama, Samita?"
"Sepertiku?"
"Maksudku, orang yang punya keyakinan yang sama denganmu berpikir dengan cara yang sama denganmu?"
Samita tersenyum.
"Agamaku mengajarkan itu. Tapi bukan berarti semua penganutnya mengamalkannya. Aku kira hal yang sama berlaku pada kepercayaan selain agamaku. Nilai-nilai agama tetaplah suci. Hanya orang yang meyakininya kadang menjalaninya setengah-setengah. Celakanya, kadang suatu agama dinilai dari penganutnya. Padahal, kadang hal itu tidak tepat."
Sudarga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba mukanya beranjak pucat. Seperti menahan sakit. Tapi, ia buru-buru menyembunyikannya agar kesan itu tak tertangkap oleh kejelian mata Samita.
"Sudarga, beberapa hari lalu Mbok Rukmi sempat memberitahuku bahwa akan ada pejabat dari Majapahit yang datang ke Demak. Menurutmu, apakah keadaan akan semakin kacau?"
Sudarga tak menjawab. Dia mencoba sibuk dengan pekerjaannya. Samita yang sejak tadi tak menatap langsung wajah Sudarga menjadi penasaran. Merasa berbicara sendiri dan tak diperhatikan, Samita menoleh dan melihat perubahan raut muka Sudarga. Seperti sedang menahan sakit yang amat sangat. Gerakan tangannya juga melemah.
"Sudarga!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pemuda itu sontak melepaskan goloknya, lalu menekan dadanya. Sejurus kemudian dia mengerang, tubuhnya ambruk, berdebam ke lantai dapur dengan darah merembes dari sela bibirnya.
Samita bergerak sigap. Dia langsung memaksa Sudarga duduk. Mantap ia menghentak punggung Sudarga dengan dua telapak tangannya untuk menyalurkan hawa murni.
"Pukulan Hanacaraka. Rupanya dia."
Sudarga memejamkan matanya. Tak berpikir lagi tentang kejutan di depannya, ternyata Samita memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi. Gadis itu tak perlu lama untuk tahu jenis pukulan yang bersarang di dadanya.
Sudarga mengabaikannya. Dia hanya berkonsentrasi untuk memudahkan hawa murni kiriman Samita cepat-cepat membuka pembuluh darahnya yang tersumbat.
"Tiga tulang rusuk patah. Gumpalan darah beku membahayakan jantung."
Sudarga masih bisa mendengarkan kata-kata Samita meskipun tak merasa perlu menjawabnya.
"Hoeeegh!"
Sudarga muntah darah. Segar dan cukup banyak. Pemuda itu harus beberapa kali memaksakan diri untuk menguras semua darah kotor itu. Mukanya yang pucat mulai merah kembali. Matanya terbuka pelan.
'"Asalkan kau hati-hati menjaganya, tulang rusuk patah itu tak akan menganggumu. Di sana ada serabut otot yang membuatnya aman. Gumpalan darah kotor itu pun sudah kau muntahkan. Tak akan terjadi apa-apa."
"Siapa kau sebenarnya?"
Sudarga masih duduk bersila ketika Samita bangkit dan hendak beranjak ke ruangan pribadinya. Samita tersenyum.
Wajahnya seperti bercahaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Bukankah kau sudah tahu banyak dari ramalan Mbok Rukmi?"
Sudarga salah tingkah. Dia masih menekan dadanya.
"Sudahlah. Aku sedikit tahu tentang ilmu obat-obatan untuk menyembuhkan luka dalam. Tunggu sebentar, aku akan meraciknya untukmu."
Sudarga tak menjawab lagi. Dia perlahan bangkit, lalu mencari-cari kain tak terpakai untuk menghilangkan genangan darah segar yang tadi ia muntahkan. Samita segera membongkar bungkusan yang ia simpan di bawah dipan. Ia mengambil beberapa helai daun yang pinggirnya bergigi. Daun ini juga yang membuat ia cepat pulih ketika tulang belulangnya patah kena pukulan dua iblis dari selatan dulu.
Dia ada di sini!
Samita menghentikan gerakannya ketika ingat sesuatu.
Pukulan Hanacaraka itu jelas milik Sad Respati, orang yang paling ingin ia temui sejak turun dari Kapal Pusaka, armada Ming, dua tahun lalu. Tapi sekarang, begitu tahu bahwa orang yang ia cari ada di kota yang sama dengannya, Samita justru ragu bukan main.
Rentang dua tahun, pasti sudah mengubah banyak hal.
Samita tertegun di atas dipan. Tapi, begitu ingat kepentingannya untuk meracik obat buat Sudarga, ia bergegas mengembalikan buntalan itu dan segera keluar kamar.
0oo0 Ruang pribadi Laksita hening. Padahal, ada beberapa orang di sana. Laksita duduk di muka meja dengan raut muka sangat serius. Wajahnya kini kelihatan jauh lebih muda. Tak ada bedak tebal yang biasa menempel pada kulit mukanya yang halus. Gincu merah menyala itu juga lenyap dari bibirnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tatapan genit itu juga sudah tidak ada. Sekarang, justru sepasang mata majikan Nawa Rawi itu menerawang. Seperti menembus dinding-dinding kamar yang terbuat dari jati terbaik.
Di hadapannya, duduk tiga orang kepercayaannya. Mbok Rukmi yang kelihatan gelisah, Sudarga yang duduk dengan dahi berkerut, dan Baskara, penanggung jawab keamanan Nawa Rawi yang bersikap lebih tenang.
"Ini takdir."
Penekanan suara Laksita benar-benar beda. Datar dan berwibawa. Sama sekali berbeda dengan Laksita sehari-hari.
Pandangan matanya masih tak jelas. Sementara tangan kanannya menggenggam daun lontar yang baru saja selesai ia baca. Sebuah surat resmi berstempel pemerintah Majapahit.
"Sudarga, bagaimana lukamu?"
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Putri. Setelah minum obat, kondisi tubuh saya jauh lebih baik."
"Samita tak boleh dilibatkan dalam urusan ini. Dia sudah cukup baik mau menolongmu."
Kalimat Laksita tertahan. Matanya menatap setajam mata anak panah.
"Apakah kalian tetap setia kepadaku sampai titik darah penghabisan?"
"Nyawa pun kami berikan, Putri."
Hampir serempak Rukmi, Sudarga, dan Baskara menjawab pertanyaan Laksita. Sang majikan menarik napas dalam-dalam.
"Baskara dan kau, Sudarga, siapkan seluruh anak buah kalian yang tersisa. Kita akan tetap bertahan di Nawa Rawi sampai napas terakhir."
"Putri, maaf saya menyela. Apakah tidak sebaiknya saya dan Sudarga saja yang bertahan di sini" Putri dan Mbok Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi sebaiknya segera mencari tempat untuk menghindari orang-orang Majapahit."
"Bicara apa kau, Baskara"! Aku sudah lelah terus-menerus lari. Ini saatnya untuk melawan terang-terangan."
Tak ada yang berani bicara. Senyap lagi.
"Mbok Rukmi, kau ajaklah Samita pergi dari Nawa Rawi.
Sejauh-jauhnya. Jika nanti kau dengar kematianku, berbahagialah karena itulah tujuanku."
Rukmi tak sanggup berkata-kata. Air matanya keluar sejadi-jadinya.
"Putri akan hidup bahagia. Saya sudah mengatakannya."
"Aku tak peduli dengan ramalan. Aku hanya berpikir untuk menuntut balas. Tidak peduli bahagia atau tidak."
Rukmi tergugu di tempat duduknya. Beberapa kali ia menyeka air mata.
"Sudahlah. Kalau ingin membangkang, tetaplah tergugu di situ. Tapi jika kau patuh, segera pergi dari Nawa Rawi. Aku sudah menyiapkan bekal untuk kalian."
Pandang mata Laksita begitu tegas dan terkesan keji.
Namun, Rukmi mengabaikannya. Dia beranjak ke muka gadis itu, lalu bersimpuh sambil menangkupkan kedua tangannya.
Dia kemudian bangkit dan keluar dari ruangan itu.
Sementara pandang mata Laksita tak lagi garang. Kini justru ada air menggenang di kelopak matanya. Tak sampai jatuh karena dia segera menghentakkan suaranya lagi memberi perintah kepada dua orang anak buahnya untuk bersiap.
Menjelang petang, Laksita duduk timpuh di lantai kamar. Di depannya, abu dupa berkelok-kelok semakin tebal.
Perempuan itu duduk takzim. Di depannya, sebilah pedang panjang tergeletak di lantai.
"Ayahanda, kuatkan Ananda."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia lalu memegang gagang pedang itu. Sinar berkilat beberapa kali dari baja putih pedang itu. Laksita berdiri, menyarungkan pedangnya, lalu keluar kamar.
0oo0 "Mbok, saya masih tak paham alasan Nyai Laksita memecat kita."
Rukmi tak tertarik untuk menjawab pertanyaan Samita. Dia terus berjalan berderap meninggalkan pusat Kota Demak.
Samita menjejerinya sambil terus mencari tahu alasan Rukmi mengajaknya meninggalkan Nawa Rawi dan mengatakan bahwa mereka berdua telah dipecat.
"Bukankah Nini ingin pergi ke Majapahit?"
"Tapi tidak dengan cara ini."
Rukmi masih terus berjalan. Bakul bambu di punggungnya terguncang-guncang mengikuti irama kaki perempuan tua itu.
"Aku tak mau melanjutkan perjalanan ini kalau Simbok tak mengatakan hal sesungguhnya padaku."
Rukmi menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Samita. Mereka kini ada di jalan besar di luar pusat Kota Demak. Rumah penduduk mulai jarang. Tapi, beberapa warung kecil masih buka dan lumayan ramai pengunjung.
Perempuan tua itu menatap sayu.
"Mbok, apakah pasukan Majapahit datang ke Demak untuk menyerbu Nawa Rawi?"
Wajah perempuan itu semakin pucat saja.
"Kalau Simbok tak mau jujur, saya akan kembali ke Nawa Rawi untuk mencari tahu."
Samita berpura-pura hendak membalikkan tubuhnya kembali ke Demak. Melihat itu, Rukmi buru-buru memanggil Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi namanya. Ia lalu mengajak gadis itu beristirahat di bawah batang pohon rindang di pinggir jalan.
"Dari mana saya harus memulai, Nini?"
"Simbok bisa memberitahu saya, siapa sebenarnya Nyai Laksita?"
Rukmi masih kelihatan ragu-ragu. Dia lalu melepaskan kain yang mengikat bakul di punggungnya. Setelah meletakkan bakul tempat segala macam bekal itu di tanah, Rukmi menerawangkan pandangannya ke langit sore yang cerah. Awan putih berarak pelan. Menjadi latar belakang yang apik bagi serombongan burung yang mengepak membelah angin.
"Sebenarnya, dia adalah Bre Mataram. Namanya Dewi Suciatma. Ia putri Yang Mulia Bre Wirabumi dari Blambangan."
Samita diam. Menyimak baik-baik setiap kata yang keluar dari bibir perempuan tua itu. Ia mulai menduga-duga.
"Sejak dua tahun lalu, kami hidup berpindah-pindah untuk menghindari kejaran prajurit Majapahit."
Samita mendengar nada getir pada suara perempuan tua di sampingnya.
"Putri bertekad untuk melawan Wikramawardhana seumur hidup. Karena itu, di setiap persinggahan kami, ia memimpin sekelompok sisa prajurit Blambangan untuk membuat kacau prajurit Majapahit. Entah sudah berapa puluh kali ia terlibat pertempuran. Hingga kami pindah ke Demak setahun lalu."
"Lalu, bagaimana prajurit Majapahit mengetahui Nawa Rawi adalah markas Putri Suciatma?"
"Rakryan rangga Majapahit turun tangan langsung ke Demak. Luka Sudarga beberapa hari lalu karena kena pukulan rakryan rangga itu. Dia sangat lihai. Saya kira, dialah yang berhasil menemukan jejak sang putri."
Samita makin diam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Hari ini, rakryan rangga itu mengirimi Putri Suciatma sebuah surat dari Wikramawardhana. Raja memerintahkan rakryan rangga untuk membawa putri kami ke Majapahit."
"Putri Suciatma menampiknya?"
Rukmi menganggukkan kepalanya perlahan.
"Akan terjadi pertumpahan darah. Mbok, ikuti saranku.
Simbok akan kuantar ke salah satu rumah penduduk.
Tunggulah di sana. Aku akan kembali ke Nawa Rawi membujuk agar Putri Suciatma mau pergi."
"Nini, itu tak akan berhasil."
"Paling tidak, aku akan mencegahnya agar tak terbunuh."
Tak menunggu perdebatan itu menjadi panjang lebar, Samita lalu membimbing Rukmi pergi ke salah satu rumah penduduk. Tentu saja dia harus bersilat lidah, mengarang cerita agar pemilik rumah tak berkeberatan Rukmi menumpang semalam di tempat tinggalnya. Setelah itu, dia meminjam seekor kuda dan segera memacunya ke arah kota.
Hari mulai gelap. Rumah Makan Nawa Rawi lengang.
Sejak pagi memang sudah diumumkan bahwa rumah makan terbesar di Demak itu tutup. Meja-meja semua disingkirkan ke pinggir. Sekarang, ruangan itu tak ubahnya tanah lapang yang lega. Di tengah ruangan, Laksita duduk anteng di kursi dengan senyum dingin. Dua orang pengawalnya, Sudarga dan Baskara, berdiri dengan pedang terhunus.
Belasan anak buahnya yang lain berdiri gagah di belakang mereka. Tak lama kemudian, suara berderap semakin mendekat. Di muka pintu masuk rumah makan yang terbuka lebar, berdiri seorang gagah dengan seragam prajurit. Di belakangnya, puluhan prajurit bersenjata lengkap berjaga-jaga.
Orang gagah itu perlahan memasuki ruangan. Dia seorang lelaki muda berusia lewat 25 tahun. Badannya kelihatan sekali terlatih. Padat dan berisi. Wajahnya memancarkan wibawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dagunya seperti terbelah. Tanpa tersenyum pun, tampak dua lesung pipit di kedua belah pipinya.
"Rakryan Rangga Sad Respati menghaturkan hormat kepada Putri Suciatma."
Ia menangkupkan kedua tangannya dengan gagah. Lalu, menatap Suciatma tanpa berkedip. Sementara perempuan yang diajaknya berbicara tak sekali pun memandangnya.
"Jadi ini orangnya, sang rakryan rangga Majapahit yang demikian kesohor. Apa maumu?"
"Putri, saya membawa titah Prabu Wikramawardhana untuk mempersilakan putri menghadap sang prabu di Mojokerto."
Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maksudmu meringkusku?"
Sad Respati tak langsung menjawab.
"Tanpa kekerasan, Putri."
"Apa kata rajamu jika aku melawan?"
"Sang prabu ingin agar Putri berkenan datang ke Mojokerto untuk membahas semua permasalahan ini dengan kepala dingin."
"Maksudmu, melupakan dendam ayahandaku dan tunduk kepada Majapahit?"
Tak ada jawaban.
"Jangan harap!"
"Kami tak mungkin kembali ke Demak tanpa Putri."
"Jangan banyak bicara!"
Sekonyong-konyong Suciatma menarik gagang pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing. Pada saat itu juga, tubuhnya melenting ke atas dengan sikap membacok.
Gerakannya diikuti oleh Sudarga, Baskara, dan anak buahnya yang lain. Mereka menyerbu ke arah para prajurit yang sudah bersiap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suciatma menyergap seperti banteng luka. Gerakannya penuh tenaga dan amarah. Pedang di tangannya bergerak kilat mengincar leher Respati. Jika saja sang rakryan rangga adalah pesilat kacangan, serangan itu tentu sudah membuatnya mati kutu.
Akan tetapi, Sad Respati adalah bekas kepala bhayangkari Majapahit yang memiliki ilmu kanuragan sangat tinggi. Dengan mudah ia memutar badannya, lalu bersalto menghindari serangan pedang yang kian ganas itu. Dia tak membalas.
Tentu saja karena yang dihadapinya kali ini adalah Putri Bre Wirabumi yang hendak dihadapkan kepada Prabu Wikramawardhana. Ia bergerak dengan hati-hati. Mencari titik lemah Suciatma untuk membuatnya roboh dalam sekali gebrak. Namun, hal itu pun tak mudah.
Sementara itu, Sudarga dan Baskara mengamuk. Belasan prajurit meregang nyawa dibacok pedang mereka. Sudarga yang menggunakan pedang berukuran besar mengamuk seperti harimau lapar. Dia menyerang tanpa ampun dan haus darah. Pedang di tangannya sudah berlumuran darah para prajurit Maajapahit
Baskara yang bersenjatakan pedang panjang juga tak terkalahkan. Ia terus merangsek ke depan menumbangkan satu demi satu prajurit yang ada di depannya.
Namun, kehebatan mereka berhadapan dengan jumlah prajurit yang semakin banyak, membuat Sudarga maupun Baskara merasakan tenaganya terus berkurang.
"Kau harus membayar lunas semua darah pengawalku, Sad Respati!"
Sementara anak buahnya pun satu per satu roboh dengan luka di sekujur tubuhnya, Suciatma semakin garang. Dia tak lagi peduli kemungkinan lawan melakukan serangan balasan.
Pedang di tangannya terus berputar mencari sasaran.
Sementara setelah puluhan jurus, terasa tenaganya makin tersedot dan segera habis.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati mulai coba-coba meluncurkan serangan balasan dengan kedua belah tangannya. Tetap dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai cucu Hayam Wuruk itu.
"Putri, segera pergi dari sini!"
Seorang bercadar hijau tiba-tiba berkelebat dan menengahi pertempuran antara Respati dan Suciatma. Dia bergerak sangat cepat dan langsung membebaskan Suciatma dari arus serangan tangan kosong Respati.
Dengan mudah, orang bercadar itu menghalau serangan tangan kanan Respati hanya dengan sentilan jari bertenaga luar biasa. Sejenak Respati berdiri tertegun. Pandangan mata mereka bertemu.
"Kau!"
Tak memberi waktu Respati untuk berpikir, orang bercadar itu menyerang lagi. Tapak kanannya mengincar dada Respati.
Merasakan angin serangan yang begitu besar, Respati memilih mundur selangkah, lalu memutar tubuhnya untuk melakukan tendangan.
Orang bertopeng itu seola h tahu benar apa yang akan dilakukan Respati. Dia langsung membatalkan serangan tapaknya, lalu menyongsong serangan kaki itu dengan sambaran kaki kirinya.
Pakkk!!! Sejurus Respati gelagapan. Penyerangnya ini berkemampuan jauh lebih tinggi dari dugaannya. Terasa sekali dari getaran tenaga dalam yang menghantam pergelangan kakinya. Ia pun tak mau main-main lagi. Memang tidak boleh karena orang bertopeng itu segera menyusulkan serangan tapak kirinya dengan kilat.
Respati memiringkan tubuhnya menghindar. Namun, penyerang itu benar-benar seperti sudah hafal semua langkah Respati. Ia menyusulkan serangan bawah berupa sergapan kaki kanan untuk merobohkan kuda-kuda Respati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Putri, tinggalkan tempat ini! Saya mohon."
Sudarga sudah berada di sisi Suciatma yang masih tertegun melihat perkelahian Respati dan orang bercadar hijau yang menyelamatkannya.
"Putri, tak ada waktu lagi."
"Tidak mungkin!"
"Ampunkan saya, Putri!"
Sudarga meluncurkan tangan kanannya menotok jalan darah Suciatma. Sekejap kemudian, dia menggendong tubuh junjungannya itu menerobos barisan prajurit dan menghilang di malam yang pekat. Di belakangnya, para prajurit berupaya mengejar dengan suara-suara yang riuh.
Sudarga mengerahkan segenap tenaganya. Melentingkan tubuhnya ke atas atap rumah dan mulai berlari kencang di atas genteng-genteng penduduk. Sementara perkelahian Respati dan orang bertopeng itu semakin menjadi.
Respati heran bukan main karena hampir seluruh gerakannya ditebak dengan mudah oleh lawannya.
Sebaliknya, dia sama sekali tak paham dengan semua gerakan orang bercadar itu. Semakin lama, Respati semakin bingung.
Lewat puluhan jurus, si penyerang mulai melancarkan gerakan mematikan. Titik serangan yang dituju adalah leher dan ulu hati. Respati berusaha keras untuk melepaskan diri dari kepungan serangan itu. Tapi gagal.
Wuuus! Tangan kanan orang bertopeng itu kini menebas ganas seperti pedang. Tak mungkin lagi menghindar, Respati menghadangkan tangan kanannya untuk menangkis. Sebuah hentakan tenaga yang luar biasa. Tangan kanan Respati lunglai dan terasa kesemutan disergap hawa dingin.
Sekedipan mata, sang rakryan rangga itu berdiri kaku dengan leher terkunci oleh dua jari tangan kiri si penyerang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati menatap penyerangnya. Meskipun kain hijau yang kini tampak gelap itu menutupi wajah lawannya, namun sepasang mata itu tetap kelihatan.
Respati memandangnya dalam-dalam. Tidak ada sinar dendam. Kalau mau, leher Respati dengan sangat mudah akan tertembus oleh dua jari lentik yang kini menempel di batang lehernya. Tapi orang bercadar itu tidak melakukannya.
Mereka masih saja berdiri mematung. Sementara pertempuran di kanan-kiri mereka mulai mereda. Sebentar lagi seluruh pengawal Nawa Rawi tewas terbantai. Tinggal Baskara yang masih mengamuk dengan luka-luka di badannya.
Orang bertopeng itu lalu meliukkan jemarinya, menghentikan serangan. Sekali sentak, tubuhnya sudah melayang ke arah Baskara. Tangannya bergerak ringan untuk merobohkan beberapa prajurit yang mengepung Baskara.
Kemudian, dia mengajak pengawal utama Putri Suciatma itu menembus barisan prajurit di depan mereka untuk meloloskan diri. Seperti halnya Sudarga, mereka berdua memanfaatkan ilmu memperingan tubuh untuk melompat ke atap-atap rumah penduduk. Sekejap saja, bayangan mereka sudah lenyap ditelan gelap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 10. Setan Kecapi Bisu
Tengah malam, di hutan pinggir Demak.
Api unggun menyala. Samita tekun menata batang dan ranting kering untuk menahan agar nyala api tetap besar.
Masih ada setumpuk lagi ranting dan batang kering di sampingnya. Wajahnya memerah terkena terpaan cahaya api unggun. Berubah-ubah sesuai dengan liukan api yang bercanda dengan angin hutan.
Kain hijau menutupi kepalanya, hanya menyisakan wajahnya yang bulat telur. Artinya, belum lama Samita melakukan sembahyang seperti biasa. Sementara di bawah pohon rindang tak jauh dari tempat Samita duduk, Rukmi telaten merawat luka Baskara. Pemuda berbadan besar itu melepas bajunya agar Rukmi leluasa membalurkan ramuan obat pada luka yang rata di lengan dan punggungnya.
Ramuan obat itu dibuat oleh Samita. Hanya, untuk membalurkannya, Samita minta agar Rukmi yang melakukannya. Samita sendiri memilih asyik dengan api unggun sambil membelakangi mereka berdua.
Beberapa kali Baskara menggigit bibir menahan rasa perih ketika ramuan obat itu menyentuh luka goresan pedang di tubuhnya. Setelah menguatkan diri beberapa lama, selesailah proses pengobatan itu. Ia kembali mengenakan bajunya yang sudah compang-camping akibat sabetan pedang para prajurit Majapahit.
Begitu lolos dari kepungan prajurit Majapahit petang sebelumnya, Samita meninggalkan Baskara di hutan pinggir kota. Gadis itu lalu kembali ke rumah penduduk untuk mengembalikan kuda yang ia pinjam dan menjemput Rukmi.
Keduanya lalu menelusup ke hutan itu menemui Baskara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau sudah tahu siapa kami. Tapi, kami sama sekali buta tentang dirimu, Samita."
Baskara beringsut ke api unggun mendekati Samita. Rukmi menyusul. Bertiga kini mereka duduk berjajar di muka api unggun.
"Benar, Nini. Kami yakin Nini bukan orang sembarangan.
Jangan sampai karena kami tidak tahu siapa Nini, kami jadi salah bersikap."
Rukmi yang sejak pertama kali bertemu dengan Samita sudah penasaran dengan jati diri gadis itu menimpali ucapan Baskara. Sementara orang yang mereka ributkan cuma tersenyum.
Samita malah makin asyik memilih-milih kayu kering, kemudian meletakannya di tumpukan kayu yang terbakar.
Sebentar kemudian, kayu-kayu itu menjadi bara. Senyap sesaat. Suara kayu yang terbakar menggantikan perbincangan tiga orang itu.
Sementara, suara-suara penghuni hutan semakin nyata.
Lolongan serigala, bunyi jangkrik yang mengusik, kepak kelelawar dan suara-suara hewan melata silih berganti. Rukmi dan Baskara masih sabar menunggu.
"Aku bukan siapa-siapa."
"Samita, bagaimana mungkin seseorang yang bukan siapa-siapa bisa menguasai ilmu siluman itu?"
Samita menoleh ke arah Baskara dengan kesan wajah tak mengerti.
"Maksudku, ilmu yang sangat tinggi hingga tak terbayang olehku bagaimana engkau mempelajarinya."
"Semua ilmu ada karena dipelajari. Segala yang aku mampu pun lebih dulu aku pelajari. Bukankah kita bisa bicara juga, setelah semasa kecil belajar terbata-bata?"
"Samita, Sad Respati adalah pendekar berilmu sangat tinggi. Tidak ada tandingannya di jajaran Bhayangkari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Majapahit sekali pun. Tapi, kau berhasil membuatnya tak berkutik hanya dalam beberapa gebrakan."
Samita tersenyum. Lalu, kembali asyik memilih-milih kayu kering yang akan ia letakkan di tumpukan paling atas pada api unggun itu.
"Dua tahun lalu kami berteman. Aku sedikit tahu tentang rahasia jurus Hanacaraka-nya. Tapi, itu bukan alasan aku bisa mengalahkannya hari ini."
Baskara dan Rukmi khusyuk mendengarkan.
"Sejak pertama aku menentang serangannya, dia sudah menduga-duga siapa aku sebenarnya. Karena itu, serangannya jadi penuh keraguan. Lagi pula, dia tak menghunus keris Angga Cuwiri-nya yang begitu ampuh."
Baskara mengangguk-angguk.
"Tetap saja aku kagum dengan ilmu kanuraganmu, Samita.
Tapi, bagaimana bisa engkau berteman dengan rakryan rangga Majapahit?"
Samita merasa terjebak. Ia lalu tersenyum lebar.
"Baiklah, aku akan menceritakan siapa diriku."
Kemudian, mengalir cerita panjang dari bibir Samita. Mulai kunjungan armada Ming yang dipimpin gurunya ke Nusantara, pertemanannya dengan Ramya di Simongan, kisah serangan prajurit Majapahit yang membuat seratus lebih ping-se tewas mengenaskan, perjalanan ke Majapahit, bertemu dengan Wikramawardhana, pertemanannya dengan Sad Respati, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya. Hampir semuanya diceritakan, kecuali pencurian kitab Kutub Beku yang berakhir dengan tewasnya Sien Feng, kakak seperguruannya.
Selama mendengarkan cerita Samita, Baskara dan Rukmi kelihatan takjub. Tanpa sadar mereka mengangguk-anggukan kepalanya dengan air muka yang berubah-ubah.
"Saat prajurit Wikramawardhana menyerang armada Ming, kami pikir akan terjadi pembalasan besar-besaran dari pihak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ming. Tadinya kami sangat berharap itu terjadi. Samita, kenapa Laksamana Cheng Ho tak melakukan serangan balasan ke Majapahit?"
Samita menoleh ke Baskara, tersenyum maklum.
"Kami diutus kaisar ke Samudra Barat untuk membina hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan sahabat. Jika kami melakukan pembalasan, sudah pasti semua tujuan itu tak akan tercapai. Sebaliknya, pertumpahan darah akan terjadi di mana-mana."
Baskara semakin terdiam. Sementara Rukmi tak banyak bersuara. Ia hanya mendengarkan dengan tekun.
"Lalu, kenapa kau memisahkan diri dari armada Ming, dan kembali ke Jawa Dwipa?"
Samita tak langsung menjawab. Air mukanya berubah sama sekali.
"Kau tak perlu menjawab jika memang tak ingin."
"Tak masalah. Aku pun tak yakin, apakah pergi ke Majapahit masih penting."
Baskara dan Rukmi tampak heran.
"Sudahlah. Kami pun tak berhak mengetahui segala urusanmu, Samita. Pastinya, kami sudah cukup lega karena kini tahu siapa dirimu. Ceritamu menjawab semua keingintahuan kami selama ini."
Bertiga mereka diam. Masing-masing berpikir tanpa jelas ujung pangkalnya. Rukmi lalu mengotak-atik bakul bambu di sampingnya, kemudian mengeluarkan beberapa bungkusan.
"Lebih baik kita isi perut meskipun sedikit, agar punya cukup tenaga untuk esok hari."
Ketiganya lalu kembali sibuk dengan angan masing-masing. Di sela kunyahan mulut yang sibuk, tak ada percakapan serius.
"Entah apakah putri bisa makan seperti kita sekarang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sontak Baskara berhenti mengunyah. Dia lalu meletakkan sisa penganan di tangannya ke tanah. Seperti ada perasaan bersalah yang membayang di wajahnya. Padahal, saat mengatakan kalimat itu, Rukmi sekadar bergumam.
"Kau benar, Mbok. Mana boleh kita bersenang-senang di sini, sedangkan nasib putri, kita tak tahu."
Baskara lalu meraih pedang panjangnya yang sudah bersarang pada warangkanya.
"Aku harus mencari putri."
"Baskara, kenapa terburu-buru" Putri Suciatma tak akan apa-apa. Bukankah Sudarga bersamanya."
Samita bangkit dari duduknya karena heran dengan ketergesa-gesaan Baskara.
"Samita, kewajibanku adalah menjaga putri. Aku harus mencarinya."
"Paling tidak, tunggulah sampai fajar."
Sinar api unggun menerpa senyum Baskara yang sedikit mengembang.
"Aku tak tahu kapan putri membutuhkan tenagaku. Karena itu, aku harus segera pergi."
"Baskara!"
Pemuda itu menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang, ketika suara Rukmi lantang terdengar.
"Jika bertemu putri, sampaikan permohonan maafku karena tubuh renta ini tak bisa segera menghadap. Tapi, pasti aku akan menyusul ke mana pun putri berada."
Baskara mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Ia lalu melangkah berderap menembus pekatnya hutan dan hawa dingin. Satwa hutan kecil itu terdengar seperti sedang berpesta. Suaranya sungguh kaya dan bersahut-sahutan.
Mencekam jiwa-jiwa yang jerih. Tapi juga membuat takjub hati yang percaya cita rasa seni Sang Pencipta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kediaman Rakryan Medangkamulan, Kesusra.
Bebunyian malam menembus tembok seputar kediaman Kesusra yang raksasa. Tembok tinggi dari batu bata itu tetap tak bisa mengubah kodrat alam bahwa malam adalah pekat.
Jangkrik menyanyi riang. Berlomba dengan kawanan kodok yang berkecipak di atas air.
Di balik tembok itu, napas para prajurit jaga seperti dengus kerbau yang hendak disembelih. Gelisah bukan main, tanpa tahu benar apa penyebabnya. Udara dingin yang mencekat tak seharusnya mendatangkan gerah. Namun, beberapa di antara mereka sibuk mengelap keringat yang meluap dari pori-pori.
"Kangmas, kenapa hatiku terasa tidak enak."
"Bicara apa, Nimas. Tidak ada apa-apa. Medangkamulan begini aman. Prajurit-prajurit berjaga patuh. Kita pun punya ahli kanuragan yang ilmunya setinggi langit. Buat apa khawatir?"
Kesusra seperti tak paham kalimat apa yang ia ucapkan. Ia minta Suminten, istrinya, untuk tidak gelisah, sedangkan dia berjalan mondar-mandir di kamar mereka tanpa alasan pasti.
Suminten lalu duduk di pinggir pembaringan dengan wajah was-was. Ia mengenakan kemben yang pinggirnya dihias dengan benang emas. Kain bawahnya pun elok. Rambutnya diurai panjang.
"Rasa hatiku benar-benar tak enak, Kangmas."
Kesusra tak berkata apa-apa. Dia menghampiri jendela kamar, lalu membukanya perlahan. Bulan tak tampak.
Suasana mencekam. Langit gelap sama sekali. Obor-obor yang dipasang di tembok yang melingkari rumah besar Kesusra, satu-satunya penerangan yang sedikit menepis rasa takut akan gelap.
Setelah memastikan para prajurit masih berjaga, Kesusra kembali menutup jendela itu dan beranjak ke pembaringan.
"Mari kita tidur, Nimas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suminten tersenyum setengah dipaksakan. Dia baru saja hendak mengangkat kakinya ke atas pembaringan, ketika sayup terdengar suara kecapi yang terus mendekat. Ia menatap Kesusra dengan kesan wajah heran. Suaminya pun menatapnya dengan cara yang sama.
"Malam-malam begini, siapa yang bermain kecapi dengan nada begini seram."
Wajah Suminten memucat. Bunyi kecapi itu memang menyayat dan benar-benar nyata. Indah, tapi menebar rasa tak enak. Seperti ancaman. Lambat laun suaranya mengencang. Hingga terasa sangat dekat dengan bangunan pribadi Kesusra.
Suminten memegang erat lengan suaminya. Ia begitu ketakutan. Sementara suara kecapi itu semakin menjadi. Kini denting dawainya tak sendirian. Ada kidung. Suara seorang perempuan yang melengking menyanyikan tembang yang menyedak-nyedak.
"Apa bedanya hidup dan mati, jika kehidupan yang kau jalani tak iagi memberi napas. Seperti mayat hidup yang tak punya hati. Menyerbu maiam, mengendus darah untuk sebuah baias dendam. Bertahun-tahun memakan bangkai masa iaiu yang membusuk. Mengubah setiap hentakan jantung menjadi wajah sang durjana. Menggambarnya dalam-dalam. Menunggu waktunya baias dendam."
Sungguh mengerikan. Kidung itu dilantunkan penuh perasaan. Seperti tangisan hewan-hewan hutan. Lebih menyakitkan dibandingkan suara anak ayam yang menusuk gendang telinga. Ada nada sedih dan dendam. Suminten semakin kencang memeluk lengan suaminya.
"Ke mana para pengawal?"
Baru saja Kesusra hendak bangkit dari pembaringan, suara melengking bersahut-sahutan dari luar ruangan pribadinya.
Lolongan kematian. Nyawa prajurit jaga baru saja melayang.
"Nimas, kau tenang saja di sini. Aku akan keluar."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kangmas, itu sangat berbahaya."
Suminten melengkapi rasa takutnya dengan tangis yang tertahan. Tapi Kesusra tak peduli. Setelah melepas pelukan istrinya, dia mengambil keris pusaka yang diletakkan di atas meja. Sementara petikan kecapi itu belum berhenti. Begitu juga dengan kidung menyayat hati yang diulang-ulang oleh pelantunnya.
"Turun kau dari sana, pengacau!"
Rembulan muncul sebagian. Memberi sedikit cahaya ke bumi. Kesusra sudah berada di halaman dalam kompleks kediamannya. Dia melihat bayangan di atas genteng bangunan pribadinya. Sesosok bayangan dengan rambut berkibar. Jelas seorang perempuan. Dia mengenakan jubah yang melambai-lambai diempas angin.
Rambutnya yang panjang memberi kesan angker.
Wajahnya! Kesusra sempat terhenyak ketika melihat wajah orang itu. Sangat kasar dan buruk. Rupanya, ia mengenakan topeng kayu yang tak dibuat dengan cita rasa seni. Seperti asal jadi.
Orang misterius itu seperti sengaja tak mengabaikan teguran Kesusra. Dia tetap memainkan kecapinya dengan santai. Sementara Kesusra menoleh ke kanan-kiri. Beberapa prajurit terlihat sudah menghunus senjata mereka. Di atas rumput, belasan prajurit bergelimpangan bersimbah darah.
Takut juga hati Kesusra.
"Kau panggil Lowo Ijo dan Kolo Ireng!"
Seorang prajurit yang menerima perintah majikannya langsung menganggukkan kepala dan segera berlari meninggalkan tempat itu. Tapi beberapa langkah saja, tubuhnya keburu limbung dan ambruk ke atas rumput tanpa erangan.
Kesusra terbelalak. Dia melotot ke arah pemain kecapi di atas genteng yang masih memetik senar kecapi itu tanpa jeda, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi meskipun sekejap. Mungkinkah dia yang menyerang prajuritnya hingga tewas tanpa suara"
"Dia bukan manusia."
Kesusra berbisik tanpa bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya bergetar saking takutnya. Tiba-tiba gerakan kecapi itu terhenti sama sekali. Sosok misterius di atas genteng itu menoleh perlahan ke arah Kesusra dengan gerakan yang sangat angker. Sekali sentak, tubuhnya melayang ke arah Kesusra.
Sang rakryan Medangkamulan itu merasa tanggung untuk melarikan diri. Dengan gerakan sea-danya, dia mengacungkan kerisnya menyambut datangnya serangan. Cuma itu saja yang ia lakukan. Dalam sekedip mata, pemain kecapi yang keji itu sudah melompat lagi ke arah jendela ruang pribadi Kesusra yang di dalamnya kini tinggal Suminten seorang diri.
Sesaat, tubuh Kesusra berdiri kaku. Para prajurit yang masih tersisa membelalakkan mata mereka dengan tubuh bergetar. Tubuh Kesusra berdiri tanpa kepala. Sesaat kemudian, tubuh mati itu roboh telentang dengan darah berceceran.
Hampir bersamaan, dari ruang pribadi Kesusra, suara jeritan perempuan terdengar melolong melebihi keributan pasar Medangkamulan sekali pun. Itu suara Suminten. Istri rakryan Medangkamulan itu berdiri kaku dengan kedua tangannya mengatup mulut. Dua bola matanya seperti hendak keluar dari ceruknya.
Sekejap kemudian, ia ambruk ke lantai, pingsan. Di hadapannya, persis benda bulat yang mencecerkan cairan merah menggelinding. Itu kepala Kesusra, suaminya.
0oo0 "Setelah melewati hutan kecil di depan itu, kita akan sampai di wilayah Medangkamulan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Rukmi melangkah mantap. Samita yang men-jejerinya menikmati betul perjalanan itu. Sesekali ia menoleh ke sana kemari. Menikmati cuit-cuit suara burung yang begitu ramai.
Serbahijau di kanan-kiri jalan setapak itu menyedapkan mata.
Samita seperti kehilangan beban hidup. Udara adem yang menelusup ke dadanya menjadi anugerah paling menggembirakan pagi itu.
"Mbok, apa Simbok tak ingin istirahat sebentar?"
"Nini lelah?"
Samita menggeleng dengan senyum yang cerah. "Badan ini memang sudah renta. Tapi, masih ada sisa tenaga untuk melanjutkan perjalanan."
Samita meraih bahu Rukmi. Mereka berjalan dengan obrolan akrab diselingi tawa kecil. Samita menikmati betul perjalanan pagi itu. Wajahnya kelihatan segar setelah subuh sebelumnya mandi di sungai pinggir hutan Demak.
Seperti terlahir kembali. Kehadiran Rukmi bagi Samita memunculkan keceriaan yang menggebu. Samita merasa punya ibu. Sosok yang melimpahkan kasih sayang dan perlindungan. Menawarkan pangkuannya setiap waktu untuk menyender. Juga siap setiap saat mendengarkan keluh kesah dan menemani setiap air mata yang jatuh.
Kini, mereka masih saja telaten menyusuri jalan setapak yang menembus hutan perbatasan Demak dan
Medangkamulan itu. Menjelang siang, ketika keringat mulai meleleh di dahi dua perempuan itu, Samita lagi-lagi menawarkan kepada Rukmi untuk istirahat. Kali ini, perempuan itu tak menolak. Mereka pun memilih duduk di bawah pohon rindang dan membuka perbekalan.
Sambil berbincang, keduanya menenangkan perut yang mulai keroncongan dengan menelan pisang besar berkulit kuning. Angin sepoi-sepoi siang itu, membuat nyaman tubuh dan mengundang rasa kantuk. Samita menyenderkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi punggungnya di batang pohon besar itu sambil memejamkan mata.
Bersama angin yang berhembus dari timur, terdengar alunan seruling yang merayu. Menambah rasa kantuk yang sudah bertumpuk. Samita membuka matanya, lalu menoleh ke arah suara seruling tadi.
"Diakah" Tidak mungkin. Ini sudah dua tahun."
"Siapa, Nini?"
"Mbok, peniup seruling itu membuatku penasaran. Kita temui dia."
Tanpa membantah, Rukmi segera berkemas. Keduanya lalu berjalan setengah tergesa mengikuti perasaan, menebak-nebak arah suara seruling yang mengundang rasa penasaran.
Tak berapa lama, keduanya berada di pinggir hutan dekat sebuah tebing yang sebelahnya menganga jurang tanpa dasar. Sebuah pemandangan yang hampir tak masuk akal.
Tepat di bibir tebing itu berdiri sebuah pondok sederhana.
Kayu-kayu penyangganya tak halus dan terkesan seadanya.
Hanya berupa batang-batang pohon yang besar dan panjangnya sama.
Atapnya kajang yang sudah berumur. Dinding pondok itu terbuat dari anyaman bambu yang juga sudah kelihatan tua.
Pandangan Samita lalu menyergap sesosok laki-laki yang duduk santai di atas batu di pinggir jurang. Dia memainkan seruling dengan mata terpejam. Seorang pemuda dengan rambut terikat seperti ekor kuda. Beberapa helai dibiarkan melambai di atas telinganya, membangun kesan romantis yang pekat.
Kulit wajahnya halus, tampak timpang dengan pakaian lusuh yang ia kenakan. Memainkan seruling seperti melepaskan napas. Begitu penuh perasaan.
"Kau memenuhi janjimu untuk menunggunya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita menghampiri pemuda itu. Sementara Rukmi dimintanya untuk tetap di tempat karena tebing itu cukup berbahaya. Rukmi menatap Samita keheranan. Perempuan tua itu memilih untuk mengikuti saja apa yang terjadi tanpa bertanya apa pun.
Permainan seruling itu berhenti. Si pemuda menoleh.
Wajahnya sontak berubah kesan. Matanya melebar, sementara mulutnya meluaskan senyum hingga gigi-giginya yang putih terlihat jelas.
"Berapa nyawa yang kau punya, Hui Sing?"
"Tidakkah itu pertanyaan yang tak sopan, Windriya?"
Windriya terbahak memamerkan keceriaan bocah pada wajahnya yang polos. Ia bangkit lalu menjura di depan Samita.
"Kabar yang tersiar, kau dipukul jatuh ke jurang oleh Dua Iblis Laut Kidul, Hui Sing."
"Tapi, jiwaku ada di tangan Thian, bukan ditentukan oleh dua iblis itu."
Keduanya tersenyum. Samita lalu memanggil Rukmi yang masih termangu di bawah pohon jati. Mereka lalu beranjak ke pondok sederhana milik Windriya. Tuan rumah lalu menyuguhkan air kelapa muda, langsung dari buahnya.
"Jadi, namamu kini Samita. Indah sekali."
Samita sedikit saja bereaksi. Dia memang selalu begitu setiap menerima pujian dari siapa pun. Sebelumnya, Samita menceritakan perjalanan panjangnya setelah terjatuh ke jurang karena dikeroyok Dua Iblis Laut Kidul dan Kesusra.
Lengkap ia kisahkan pengalamannya terkurung selama dua tahun di tempat itu hingga berhasil menemukan jalan keluar dengan mengikuti aliran sungai menuju Demak.
Samita juga menceritakan kisah pertemuannya dengan Rukmi dan keterlibatannya di rumah makan Nawa Rawi.
Hanya, dia tak menyebut cerita Dewi Suciatma dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi lengkap. Apalagi kenyataan bahwa perempuan itu adalah Putri Bre Wirabumi.
"Lalu, bagaimana dengan penantianmu?"
Air muka Windriya sedikit berubah. Tak lantas menjadi muram. Hanya dua alisnya sedikit terangkat.
"Aku masih menunggunya dan rasa-rasanya dia sudah muncul."
Windriya mengatakannya tanpa beban. Seperti itulah Windriya sebenarnya. Sedikit tak peduli dan seenaknya.
Seperti anak-anak. Hanya karena tersandung asmara hingga kepribadiannya sedikit berubah. Lebih romantis dan doyan bermuram durja.
"Rasa-rasanya?" Samita tak puas dengan jawaban Windriya.
"Ya. Aku merasa dia sudah muncul, tapi tidak yakin."
"Bagaimana bisa begitu?"
Windriya seperti sedang berpikir. Diam lalu mengangkat dagu.
"Kau tahu kabar Kesusra?"
Samita menggelengkan kepala.
"Dua hari lalu, pria bejat itu tewas dengan kepala putus."
Mata Samita melebar tak percaya.
"Seseorang bertopeng datang seperti dewa pencabut nyawa. Kediaman Kesusra diobrak-abrik. Banyak prajurit tewas mengerikan. Kesusra menemui ajalnya dengan kepala menggelinding."
"Keji sekali!" Windriya menggaruk-garuk kepalanya.
"Bukankah dulu kau pun ingin menghukumnya, Samita?"
"Ya, tapi tidak dengan cara itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Orang bertopeng yang mengobrak-abrik kediaman Kesusra itu adalah orang sakti yang suka memetik kecapi maut."
Samita mereka-reka.
"Kau hendak menghubungkannya dengan suara kecapi yang kau dengar dari dasar jurang dua tahun lalu, Windriya?"
Pemuda itu menganggukkan kepala.
"Kau pikir, orang yang membunuh Kesusra itu Ramya?"
"Karena itulah, aku katakan bahwa aku tak yakin."
Samita diam. Dia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Apa yang kau alami selama dua tahun berada di tempat ini, Windriya. Apakah kau pernah mendengar suara kecapi itu?"
"Hanya sekali, ketika Ramya terjun ke jurang. Tidak pernah setelah itu."
"Lalu, bagaimana kau tetap yakin bahwa pendengaranmu tak salah?"
Windriya menggerakkan lehernya sedikit sambil tersenyum badung.
"Aku selalu yakin dengan diriku. Kalau tidak, untuk apa aku diam saja di tempat ini menunggu Ramya tanpa pergi ke mana-mana."
Samita seperti baru saja disadarkan dari lamunan. Dia kembali mengagumi keteguhan hati Windriya menunggu Ramya. Pemuda ini begini Jenaka dan masih sangat muda.
Pasti keinginannya untuk melanglang buana begitu kuat. Tapi demi sebuah penantian yang sangat ia yakini, Windriya rela memupus semua keinginan itu.
"Lalu, apa rencanamu sekarang, Windriya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pemuda itu menyentak dua tempurung lututnya yang terlipat sambil nyengir.
"Aku masih punya waktu puluhan tahun untuk menunggunya. Tidak ada masalah. Asalkan aku merasa dekat dengannya, waktu akan bergerak begitu cepat."
"Itulah keluarbiasaan cinta."
Rukmi yang sejak awal tak banyak bicara, tiba-tiba nyeletuk. Kontan Samita dan Windriya menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Rukmi mengangkat bahu sambil menenggak sisa air kelapa muda dari bulir kelapa yang disungguhkan Windriya. Ikut-ikutan sableng.
Obrolan akrab terus mengalir. Kini mereka melepaskan beban hidup dengan membahas hal-hal lucu. Windriya seperti menemukan dirinya yang sempat hilang. Cerita-cerita konyol kembali mengalir dari bibirnya.
Rukmi dan Samita beberapa kali terpingkal-pingkal karenanya. Selama dua tahun, Windriya menghabiskan waktu dengan kesendirian. Tidak ada teman untuk berbagi cerita lucu dan banyolan-banyolan segar yang sudah menumpuk dan ingin segera dimuntahkan.
Malam itu, Samita dan Rukmi memutuskan untuk menginap di pondok sederhana Windriya. Selain memang tubuh mereka terasa penat oleh perjalanan jauh, bertemu dengan Windriya memunculkan keceriaan yang menyenangkan. Bahkan, Rukmi bisa sejenak melupakan rasa was-wasnya memikirkan Putri Suciatma yang kini entah di mana.
Pagi harinya, ketika penat tubuh menguap tanpa bekas, Samita dan Rukmi pamitan. Tanpa raut muka muram durja, Windriya melepas kepergian mereka berdua.
"Setelah aku menemukan Ramya, pasti kami akan mencarimu ke Majapahit."
Samita mengangguk tanpa suara. Dalam hatinya menggores perih. Tapi, dia tak ingin memperlihatkannya.
Semua orang punya cara sendiri menyikapi kecenderungan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi hatinya. Windriya termasuk orang yang tak suka mengiba-iba.
Ia tetap yakin meskipun kemungkinan yang ada hanya sebesar lubang jarum.
Sinar matahari rata menembus dedaunan pohon-pohon hutan yang saling berhimpit ketika Samita dan Rukmi meneruskan perjalanan mereka. Setelah mendengar kabar bahwa Kesusra sudah tewas, keinginan Samita untuk mendatangi Kesusra dan membalas sakit hati Ramya sekaligus menantang Dua Iblis Laut Kidul menjadi urung.
Tapi, tetap saja mereka harus memasuki Kota Medangkamulan karena tak ada jalan lain yang bisa ditempuh dengan mudah untuk sampai ke Sumber-gurit. Menjelang sore, setelah sempat lebih dulu beristirahat untuk mengisi perut dan melakukan sembahyang, Samita dan Rukmi sampai juga di perbatasan Kota Medangkamulan.
Setelah melalui pemeriksaan prajurit jaga perbatasan, keduanya lalu meninggalkan batas kota. Pemeriksaan di perbatasan sungguh ketat. Rupanya, setelah kematian Rakryan Medangkamulan Kesusra, pengamanan dilakukan dua kali lipat lebih ketat dari biasanya.
Samita harus meyakinkan para prajurit jaga itu agar bisa diperbolehkan lewat. Rukmi pun ikut menambah-nambahkan cerita yang memperkuat bualan mereka. Begitu diizinkan lewat, Samita dan Rukmi segera meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang.
0oo0 Beberapa saat sebelum Samita dan Rukmi sampai di pintu gerbang Medangkamulan, dua ekor kuda dipacu gila-gilaan oleh pengendaranya menjauh dari tempat itu. Suara lecutan terdengar keji. Ringkikan dua kuda bernasib sial itu bisa saja berupa tangisan. Hanya karena bahasanya yang tak bisa dipahami manusia, dua orang yang duduk terguncang-guncang di atas punggungnya tak akan mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tapi kali ini, kalau pun bahasa dua binatang malang itu bisa dimengerti, tetap saja kedua penunggang kuda itu tak peduli. Sebab, mereka adalah saudara seperguruan yang terkenal keji, Kolo Ireng dan Lowo Ijo. Pesilat golongan hitam yang dijuluki Dua Iblis Laut Kidul itu rupanya ingin secepatnya meninggalkan Medangkamulan.
"Kau masih yakin orang bertopeng itu adalah Dewi Kecapi Maut, Adi Lowo Ijo?"
"Siapa lagi yang menguasai ilmu kecapi dan jurus Cakar Siluman di kolong langit ini kecuali iblis betina itu, Kakang?"
Suara tapal kuda yang beradu dengan permukaan tanah terdengar begitu ribut. Berderap dan meninggalkan debu yang mengepul pekat.
"Tapi, bukankah iblis betina itu seangkatan dengan guru"
Harusnya dia sudah menjadi nenek renta yang tak punya tenaga."
"Kakang, apakah guru kita yang usianya sudah hampir satu abad itu kurang tenaga untuk menghabisi kita dalam satu gebrakan?"
Kolo Ireng yang memang tak sepintar adik seperguruannya itu mengangguk-angguk. Hari itu, keduanya hendak secepatnya meninggalkan Medangkamulan untuk menghindari maut. Kedatangan orang misterius bersenjata kecapi itu membuat mereka ngeri.
Meskipun ilmu keduanya sangat tinggi dan beracun, munculnya nama Dewi Kecapi Maut membuat hati mereka keder juga. Kolo Ireng memang sangat yakin bahwa orang yang melabrak kediaman Kesusra, membunuh banyak prajurit, sekaligus mencabut nyawa Kesusra adalah Dewi Kecapi Maut.
Dari gurunya, Kolo Ireng sempat mendengar cerita bahwa di masa mudanya dulu, ada seorang perempuan berilmu setan yang merajai dunia persilatan. Julukannya Dewi Kecapi Maut.
Meskipun sama-sama berhati iblis dan masuk golongan pesilat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sesat, namun antara majikan Gua Tengkorak dan Dewi Kecapi Maut tak pernah ada pertemanan.
Sebaliknya, mereka selalu bertemu dalam pertarungan maut. Beberapa kali Siluman Laut Kidul, guru Lowo Ijo dan Kolo Ireng, kalah oleh perempuan berhati keji itu. Masuk akal kalau kemudian Lowo Ijo bersegera mengajak kakak seperguruannya untuk hengkang dari Medangkamulan. Kalau guru mereka saja tak mampu berbuat banyak menghadapi Dewi Kecapi Maut, bagaimana dengan mereka berdua"
"Lalu, mengapa nenek renta itu membuat kacau Medangkamulan" Apa hubungannya dengan Kesusra?"
Kolo Ireng masih penasaran. Ia menoleh sungguh-sungguh ke arah Lowo Ijo tanpa kehilangan keseimbangan ketika kudanya berlari kesetanan.
"Itu yang aku masih belum paham. Tapi, apa pun alasannya, kita tetap harus segera menghadap guru."
Setelah mengangguk mantap, Kolo Ireng meluruskan pandangannya ke depan. Keduanya benar-benar tak ingin membuang waktu meskipun sekejap. Mereka hanya butuh beberapa saat untuk melesat jauh dari garis perbatasan Medangkamulan.
Tiba-tiba kedua kuda yang mereka tunggangi mengangkat kaki setinggi-tingginya sambil meringkik dengan suara yang melengking. Sebatang pohon yang tak terlalu besar merintangi jalan setapak yang hendak mereka lalui.
Setelah berhasil menenangkan kudanya masing-masing, Kolo Ireng dan Lowo Ijo saling pandang. Suasana mendadak sepi. Ringkikan kuda terdengar sesekali. Kolo Ireng dan Lowo Ijo melihat ke sekitar dengan pandangan menyelidik. Mata mereka memicing.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara khas yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Suara kecapi yang dipetik penuh perasaan. Kuda kedua orang itu mulai gelisah ketika petikan kecapi semakin menusuk perasaan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tertawalah dunia ketika manusia mencoba lari dari kematian. Sedangkan tembok setebal apa pun, mustahil mampu menahan maut.
Menangislah manusia jika dia tahu kepengecutan adalah sebenar-benarnya kematian. Apa arti hidup dalam seribu rasa takut.
"Keluar kau, nenek tua! Kau kira ilmumu yang cetek itu akan mampu melukai kami"!"
Lowo Ijo menutupi ketakutannya dengan sumpah serapah.
Suaranya menggema oleh tenaga dalam yang tinggi, membalas suara kecapi dan kidung yang juga melengking mengerikan.
Kolo Ireng pun bersiap. Dia menggenggam erat tongkat ular sendoknya. Sama seperti Lowo Ijo yang buru-buru menghunus pedang besarnya. Mengagetkan, dari balik rerimbunan pohon hutan meluncur sesosok serbahitam yang langsung menyerang ke arah Kolo Ireng dan Lowo Ijo.
Dua Iblis Laut kidul itu langsung menyentakkan tubuhnya, melompat dari kuda menghindari serangan kilat itu. Ringkikan kuda memecah udara sejadi-jadinya disusul suara berdebam karena dua binatang naas itu roboh ke tanah. Di perut mereka menancap helaian dawai baja dari kecapi penyerang itu.
Penyerang misterius yang mengenakan jubah serba hitam itu kini berdiri tegak di hadapan Dua Iblis Laut Kidul. Tangan kanannya menenteng kecapi yang sebagian dawainya menusuk perut kuda-kuda tunggangan Kolo Ireng dan Lowo Ijo. Saat melakukan serangan sambil melompat dari atas pohon, si jubah hitam bertopeng kayu itu langsung melesatkan dawai-dawai sekecil jarum ke arah Dua Iblis Laut Kidul.
Hanya, karena dua orang itu buru-buru melompat, dua kuda itu yang jadi sasaran. Kini, orang bertopeng kayu itu belum juga menghentakkan kecapinya untuk mencabut dawai-dawai yang telah melayangkan nyawa dua kuda tunggangan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sepertinya, dia sedang menunggu sesuatu. Lowo Ijo dan Kolo Ireng masih berjaga-jaga tanpa mau lebih dulu menyerang.
"Kau bukan Dewi Kecapi Maut!"
Teriakan lantang Lowo Ijo tak membuat orang bertopeng itu bergerak sedikit pun. Dia masih saja menatap dua orang di depannya dengan tatapan angker.
"Kalau dia bukan Dewi Kecapi Maut, apa yang kita takutkan?"
Tanpa menunggu lagi, Kolo Ireng melompat dengan penuh percaya diri. Tongkat ular beracun di tangannya seolah-olah sudah mencium bau darah. Melihat lawannya mulai menyerang, orang bertopeng itu akhirnya menyentakkan kecapinya. Sekejap dawai-dawai panjang dan sangat halus itu menyambut Kolo Ijo.
"Kakang Kolo, hati-hati!"
Meskipun sudah yakin bahwa penyerangnya bukanlah Dewi Kecapi Maut, Lowo Ijo tetap tak mau gegabah.
Bagaimanapun, orang bertopeng yang jelas seorang perempuan ini berilmu tinggi. Sekilas, meskipun wajahnya tak kelihatan, hampir bisa dipastikan usianya masih belia.
Badannya yang tegak dan kulitnya yang sesekali terlihat ketika kain lengannya tersingkap, membuktikan bahwa dia masih muda. Sedangkan Dewi Kecapi Maut pastilah jika masih hidup usianya sudah hampir seratus tahun. Tentunya selain bungkuk, kulit tubuhnya juga keriput.
Kini, Lowo Ijo mengira-ngira bahwa perempuan bertopeng kayu di hadapannya adalah murid Dewi Kecapi.
Sementara Lowo Ijo berpikir keras, Kolo Ireng terus berupaya menembus pertahanan lawannya. Ia menggerakkan tongkat ularnya ke segala arah. Namun, tanpa harus bergerak dari tempatnya berdiri, perempuan bertopeng itu dengan mudah menghalau semua serangan Kolo Ireng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa suara sama sekali, dia menggerakkan kecapinya menutup semua ruang serangan yang bisa dimanfaatkan Kolo Ireng. Sementara dawai-dawai kecapi yang lepas dari kuncinya terus memburu tubuh Kolo Ireng dan sewaktu-waktu bisa menembus kulitnya.
Melihat perkembangan yang tak menyenangkan, Lowo Ijo memutuskan untuk masuk ke gelanggang. Dia melompat ke sebelah kiri lawan mencoba membelah pikiran perempuan bertopeng itu. Benar saja, kini perempuan bertopeng itu mulai menggerakkan kakinya yang dari tadi menghunjam bumi.
Ia memutar kecapi di tangannya sehingga dawai-dawai itu pun meliuk seperti belasan ular yang hendak mematuk siapa saja yang hendak mengganggunya. Karena wujudnya yang sangat halus, sekilas tak bisa tertangkap oleh pandangan mata. Karena tingkat ilmu kanuragan Kolo Ireng dan Lowo Ijo sudah demikian tinggi, tak sulit bagi mereka untuk melihat pergerakan dawai-dawai penyebar maut itu.
Namun, bisa melihat wujud dawai itu pun tak cukup karena kini seseorang berilmu seperti siluman tengah memainkannya.
Perempuan bertopeng itu tampak sangat teguh menjaga jarak tempurnya sehingga tak mudah bagi Lowo Ijo ataupun Kolo Ireng untuk mendekat dan memperlihatkan keunggulan senjata mereka.
Sekarang, gerakan perempuan itu semakin kilat, beberapa kali dia bersalto sambil menggerakkan dawai-dawai kecapinya ke segala arah. Pada titik waktu tertentu, dia seperti sengaja membuang kecapi itu dan mendorongnya dengan tenaga besar ke arah Kolo Ireng.
Kecapi itu berputar membentuk pusaran angin dan terus memburu tubuh Kolo Ireng. Pada saat yang sama, dawai-dawainya juga ikut berputar dan benar-benar sangat berbahaya. Selagi kecapi itu menyerbu Kolo Ireng, perempuan bertopeng itu melompat ke arah Lowo Ijo dengan dua telapak tangan membentuk cakar.
"Kau benar murid Dewi Kecapi Maut!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa menjawab pertanyaan Lowo Ijo, perempuan itu menyorongkan cakar kanannya. Menganggap gerakan itu terlalu gegabah, Lowo Ijo membabatkan pedangnya dan membentur pergelangan tangan perempuan itu. Tapi aneh, justru Lowo Ijo merasakan tangannya kesemutan.
Ternyata, pergelangan tangan perempuan aneh itu dilindungi semacam gelang besar yang menahan pedangnya.
Rasa kaget itu membuat Lowo Ijo lengah, cakar kiri perempuan itu sontak mengincar lehernya. Lowo Ijo segera memutar tubuhnya menghindar. Tak urung, kain lengannya sobek terkena cakar berbisa itu.
Kali ini lawannya tak meneruskan serangan. Sebaliknya, ia bergerak mundur mengejar kecapinya yang segera berhenti berputar dan jatuh ke tanah. Terlambat sekejap saja, kecapi itu tentu jatuh ke tanah dan robohlah wibawanya.
Pada saat yang tepat, perempuan bertopeng itu menangkap kecapinya sambil melancarkan serangan cakar ke arah Kolo Ireng. Menyambut serangan itu, Kolo Ireng langsung mendorong tongkatnya.
"Segara Wisa!"
Lowo Ijo tak mau membuang kesempatan. Selagi perempuan itu menghadapi tongkat Kolo Ireng, dia melompat dengan sepenuh tenaga pada kedua tapaknya. Dia tak lagi memegang pedang.
Sadar posisinya sangat tak menguntungkan, perempuan itu memutar tubuhnya. Bersamaan dengan kecapi yang menghunjam ke tanah, kedua tapaknya menyambut serangan Kolo Ireng dan Lowo Ijo,
Waktu seperti berhenti. Ketiga orang yang tengah mengadu nyawa itu berdiri ngotot dalam posisi masing-masing. Dua tangan perempuan bertopeng itu merentang.
Tangan kanannya menahan kepala tongkat Kolo Ireng, sedangkan tapak kirinya menahan tapak Lowo Ijo.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wajah Kolo Ireng dan Lowo Ijo tampak tegang. Bulir-bulir keringat berjatuhan. Rupanya mereka sedang mengerahkan tenaga dalamnya habis-habisan. Tiba-tiba perempuan bertopeng itu menarik tangannya, hingga Kolo Ireng dan Lowo Ijo terdorong ke depan. Tapi sesaat saja, karena perempuan berilmu siluman itu kembali menghentakkan tapaknya dengan kekuatan penuh.
Sontak Kolo Ireng dan Lowo Ijo terjungkal beberapa tombak. Mereka bergulingan di tanah, kalah adu tenaga dengan perempuan bertopeng itu.
Sementara orang yang mereka keroyok berdiri santai dengan dua tangan menyatu di belakang pinggangnya.
Perlahan, ia jongkok dan meraih kecapinya. Sikapnya sangat teliti ketika satu-satu dawai-dawai yang tadi sengaja dilepas dari kuncinya, ia kembalikan ke tempatnya semula.
Tak satu pun dawai yang lepas lagi. Kini, benar-benar kecapi sempurna. Setenang danau mati, perempuan itu lalu melangkah pelan mencari batu hitam di pinggir jalan. Duduk di sana, lalu mulai memetik dawai kecapinya lagi.
Kali ini, Kolo Ireng dan Lowo Ijo yang masih berusaha mengendalikan aliran darahnya yang menggejolak semakin keder. Bunyi kecapi itu kini dilambari tenaga dalam yang keji.
Mereka kemudian bergerak seperti hewan melata berusaha duduk dan bermeditasi.
Bunyi petikan kecapi itu semakin menjadi-jadi. Melengking menembus udara. Orang biasa bisa langsung kehilangan pendengarannya jika berada di tempat itu. Kolo Ireng dan Lowo Ijo saja harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan serangan tenaga dalam itu.
Entah apa yang ada di kepala Kolo Ireng. Dia menuntaskan diamnya, lalu melompat dengan muka pucat, menyerang perempuan bertopeng itu. Sementara tanpa mengubah sikapnya, perempuan bertopeng pemetik kecapi itu seolah tak peduli terhadap bahaya yang mengancam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Hingga titik waktu terakhir, baru dia menancapkan kecapinya ke tanah dan menyambut serangan Kolo Ireng dengan jemari membentuk cakar sempurna. Seperti mendapat limpahan tenaga baru, Kolo Ireng menyerang sepenuh tenaga.
Jurus Segara Wisa dia terapkan sungguh-sungguh.
Pertempuran semakin sengit. Perempuan bertopeng itu juga tak bisa serta-merta merobohkan murid tertua Majikan Gua Tengkorak itu. Beberapa kali cakarnya menerpa ruang kosong. Begitu juga dengan tapak Kolo Ireng yang juga belum mampu mengenai sasaran.
Lewat belasan jurus, belum diketahui siapa yang akan menang. Perempuan bertopeng itu sengaja mengulur waktu.
Menikmati pancaran mata takut lawannya. Dalam adu tenaga dalam tadi sudah ketahuan bahwa dia unggul. Sekarang, dia terkesan sekadar ingin bermain-main.
"Suatu saat, aku akan membalaskan dendammu, Kakang!"
Suara Lowo Ijo sudah pasti tak terdengar oleh Kolo Ireng.
Dia mengatakannya tanpa tenaga. Setengah berbisik malah.
Lalu, perlahan dia beringsut bangkit dan melangkah pelan penuh hati-hati meninggalkan tempat itu. Setelah itu, dia lari sekencang-kencangnya.
Sementara Kolo Ireng mulai merasakan tenaganya merosot. Dia semakin tak mampu menembus pertahanan tangan lawannya yang kini seolah punya puluhan lengan.
Setiap serangannya mampu dipatahkan lawan dengan mudah.
Perempuan bertopeng yang sudah sadar bahwa Lowo Ijo melarikan diri, mempercepat gerakannya.
Seperti harimau mengamuk, dua lengannya mengincar perut Kolo Ireng. Sementara kakinya pun tak diam, terus menyerang kaki Kolo Ireng yang semakin meninggalkan kuda-kuda sempurna.
"Aaaarrrrgh!"
Sebuah gerakan kilat menuntaskan perlawanan Kolo Ireng.
Cakar kiri perempuan bertopeng itu tiba-tiba menyeruak ke Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi atas dan menancap di dahi Kolo Ireng. Berikutnya, kuku-kuku tajam itu diseret terus ke bawah meninggalkan lima garis luka di wajah Kolo Ireng hingga ke leher.
Murid utama Majikan Gua Tengkorang itu langsung roboh ke tanah dengan darah hitam muncrat dari mulutnya. Cakar Siluman telah menebarkan racun dengan kilat ke seluruh tubuhnya dan mencabut nyawanya.
Kini, perempuan bertopeng itu berdiri kaku di dekat mayat Kolo Ireng. Beberapa saat ia tertegun, seperti menikmati wajah rusak Kolo Ireng yang nyaris tak berwujud. Ia lalu berjalan santai ke arah kecapinya. Setelah memungutnya kembali, dia langsung melompat ke arah yang sama dengan arah lari Lowo Ijo.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 11. Pertemuan Tak sempurna
Tak terlalu jauh dari tempat pertempuran Dua Iblis Laut Kidul dengan perempuan aneh pemetik kecapi maut, di atas padang rumput yang luas dan hijau, puluhan kemah berbendera Majapahit berdiri tegak.
Ratusan prajurit berseragam lengkap siap siaga membentuk lingkaran pelindung. Kuda-kuda yang jumlahnya tak lagi terhitung ditambat berjejer di bagian belakang perkemahan.
Di bagian depan lingkaran prajurit itu, tiba-tiba muncul keributan. Para prajurit menghunus pedangnya seperti kedatangan orang berbahaya.
"Saya abdi Rakryan Kesusra. Izinkan saya bertemu dengan Rakryan Rangga. Saya harus bertemu dengan Gusti Respati!"
Rupanya, Lowo Ijo yang membuat onar. Begitu meninggalkan Kolo Ireng yang sedang mengadu nyawa dengan pewaris Dewi Kecapi Maut itu, Lowo Ijo berlari kesetanan ke arah Timur. Tak disangka, dia menemukan rombongan Rakryan Rangga Respati yang tengah beristirahat di padang rumput di luar Kota Medangkamulan. Ia yakin bahwa pasukan besar itu dipimpin oleh Sad Respati setelah mendengar kabar keberangkatan pasukan Rakryan Rangga dari Demak.
Begitu melihat jumlah pasukan yang begitu besar dan berkibarnya panji-panji kebesaran Majapahit di antara perkemahan itu, yakinlah Lowo Ijo bahwa pemimpin pasukan besar ini adalah Rakryan Rangga Sad Respati yang kondang sakti mandraguna.
Dia pun berbesar harapan untuk bisa benar-benar selamat dari kejaran perempuan iblis itu. Jika Respati mau Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi memandang bahwa Lowo Ijo pernah mengabdi pada Kesusra, pastilah masalah itu selesai. Kesaktian Sad Respati sudah begitu masyhur. Ditambah dengan jumlah prajurit yang ratusan menjadi jaminan keselamatan jiwanya.
Sesakti-saktinya perempuan bertopeng itu, ia pasti berpikir dua kaii untuk melawan pasukan yang begitu banyak, begitu pikirnya. Tak heran jika Lowo Ijo nekat menerobos pasukan dan bersikeras untuk bertemu dengan Respati.
"Biarkan dia!"
Sesosok gagah keluar dari salah satu kemah yang berukuran paling besar. Dia mengenakan perlengkapan prajurit yang menambah dahsyat wibawa yang memancar dari matanya. Tubuhnya tegap dengan otot yang mencolok pada lengan dan kakinya.
"Gusti Respati, saya Lowo Ijo, pengawal setia mendiang Rakryan Kesusra. Mohon perlindungan Gusti!"
Respati tak langsung bereaksi. Dua tangannya menyatu di belakang pinggang. Tatap matanya menghunjam pada Lowo Ijo yang kini tersungkur sambil menyembah.
"Bukankah kau salah satu dari Dua Iblis Laut Kidul?"
Perlahan, Lowo Ijo mengangkat mukanya yang sedari tadi menunduk. Hanya sesaat dia berani bertatapan dengan sorot mata Respati. Segera setelah itu, dia menundukkan kembali kepalanya sambil mengangguk.
"Bukankah murid Majikan Gua Tengkorak terkenal berilmu kanuragan tinggi?"
"Gusti, orang yang membunuh Rakryan Kesusra adalah penerus Dewi Kecapi Maut yang sangat sakti. Dia terus mengejar hamba dan kakak seperguruan hamba hingga keluar Medangkamulan."
"Lalu, kau lari terbirit-birit seperti pengecut" Apa kau tak khawatir tindakanmu ini akan menginjak-injak nama besar gurumu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lowo Ijo tak menjawab. Tubuhnya bergetar menahan malu dan rasa terhina. Tapi saat ini, ia benar-benar tak punya pilihan sehingga memilih untuk tetap diam. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi petikan kecapi dari kejauhan.
"Itu dia, Gusti! Pasti dia sudah membunuh kakak seperguruan saya."
Tanpa diingatkan oleh Lowo Ijo pun, Respati langsung menoleh ke arah datangnya suara kecapi itu. Pandangannya memicing. Suara kecapi itu semakin nyata dan nyaring.
Kini, para prajurit yang membentuk benteng melingkar di seputar perkemahan, mulai terganggu dengan suara itu.
Mereka menutup telinga, mengurangi rasa menyayat yang timbul dari suara kecapi itu. Melihat gelagat yang pasti akan semakin memburuk, Respati memutuskan untuk memburu asal suara itu, setelah memaksa Lowo Ijo menyertainya.
Respati dan Lowo Ijo harus berlompatan di dahan-dahan pohon sebelum akhirnya menemukan perempuan bertopeng itu. Orang misterius itu tengah santai memetik dawai kecapi di salah satu dahan pohon besar di pinggir hutan yang berbatasan langsung dengan padang rumput tempat rombongan prajurit Majapahit beristirahat. Kini, Sad Respati berdiri gagah di bawah pohon tempat perempuan itu memetik kecapi. Di belakangnya, Lowo Ijo berdiri dengan was-was.
"Maaf jika tak sopan. Saya Sad Respati. Mohon kepada Pendekar untuk menghentikan suara kecapi. Sebagian besar anggota rombongan yang saya pimpin berkemampuan sekadarnya. Tak akan mampu menahan suara kecapi Pendekar."
Tidak ada jawaban.
Tinggg! Itu bunyi terakhir kecapi yang dipetik perempuan aneh itu.
Ia meluluskan permintaan Respati. Perlahan kepalanya bergerak. Bola matanya yang tampak aneh, menyorot dari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi balik lubang topeng kayu buruk itu menatap tajam ke arah Lowo Ijo. Penuh dendam.
"Jika ada masalah, alangkah lebih baik kita bicarakan."
Respati menganggap keputusan perempuan itu menghentikan permainan kecapinya sebagai permulaan yang baik. Ia pun menawarkan sebuah pembicaraan untuk berdamai. Tapi, Respati salah sangka kali ini. Ternyata, perempuan itu menghentikan permainan kecapinya karena memang dia punya rencana lain.
Ia akan menyergap Lowo Ijo. Serta-merta tubuhnya melayang, bersalto di udara hendak melewati Respati untuk memburu Lowo Ijo.
"Sangat menyesal, Lowo Ijo ada dalam perlindungan saya, Pendekar!"
Sambil mengatakan itu, Respati mencabut keris Angga Cuwiri dan mendorong tubuh Lowo Ijo ke pinggir. Keris unik dengan panjang bilahnya tak kalah dengan pedang itu, kini menyambut serangan perempuan berilmu siluman itu. Tanda bahwa Respati benar-benar tak memandang enteng lawannya.
Meskipun awalnya tak peduli dengan kehadiran Respati, perempuan bertopeng itu akhirnya mau tak mau harus menghadapinya. Dia pun meluncurkan kecapi kayunya menghadang keris Angga Cuwiri. Dibuat dari logam khusus yang konon jatuh dari langit, keris Angga Cuwiri sangatlah dahsyat. Batu karang pun hancur dengan sekali tebas. Namun kali ini, ketika menghantam badan kecapi kayu itu, keris itu seperti tak mampu mengeluarkan seluruh dayanya.
Merasa penasaran, Respati memutar kerisnya dan mulai menyerang bagian bawah lawannya. Dia kini sadar betul tenaga dalam lawannya benar-benar luar biasa dan sangat berbisa sehingga dia memilih sangat berhati-hati.
"Datasawala!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati salto ke belakang menghindari cakar perempuan aneh itu yang sekonyong-konyong menyergapnya. Gerakan itu mengawali inti kedua dari empat jurus inti Hanacaraka.
"Da. Dumadining dzat kang tanpa winangenan, menerima hidup apa adanya!" Sontak tubuh Respati berputar, lalu melompat dengan arah serangan yang tak terduga.
Lengannya seolah menjadi banyak. Keris Angga Cuwiri di tangannya menjadi benteng yang tak tertembus oleh cakar beracun itu. Pamor birunya berkelebat ke segala penjuru.
"Ta. Tatas, tutus, titis, titi ian wibawa. Mendasar, sekuat tenaga, satu pikiran, teliti memandang hidup!"
Kini, ujung keris Angga Cuwiri merangsek ke depan.
Perempuan bertopeng itu buru-buru menghindar ke belakang dengan langkah mundur yang sangat cepat. Sementara waktu, dia dibuat linglung oleh jurus Hanacaraka yang susah ditebak dan tiba-tiba. Lowo Ijo yang menyaksikan pertarungan itu dari pinggir, lega bukan main. Ternyata, kabar bahwa rakryan rangga Majapahit itu memiliki kemampuan tinggi, bukan kabar bohong. Lowo Ijo merasa tak perlu khawatir lagi.
"Sa. Sifat ingsun handuiu sifat Gusti. Membentuk kasih sayang seperti kasih Gusti!"
Jurus yang diterapkan Respati sama sekali bukan jurus yang kejam. Sebaliknya, sama dengan makna rapalannya yang begitu welas asih, jurus itu pun penuh budi pekerti dan tak sekadar memburu lawan hingga mati.
"Wa. Wujud hana tan kena kinira. Ilmu manusia sangat terbatas, penerapannya sungguh tanpa batas!"
Setelah terus-menerus terdesak mundur, perempuan bertopeng itu akhirnya bisa lolos dari kepungan jurus Hanacaraka. Sementara tangan kanannya menyorongkan kecapi ke sana kemari menghadang keris Angga Cuwiri, lengan kiri perempuan itu bergerak liar menyebar maut lewat cakaran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
" La. Lir handaya paseban jati. MengaIirkan hidup semata pada tuntunan Gusti!"
Ini jurus pelepas tenaga dalam yang sangat dahsyat.
Respati melakukan gerakan menebas sambil melepaskan tenaga dalamnya yang hebat. Kekuatan besar seperti angin ribut menerpa perempuan bertopeng itu. Tubuhnya terdorong ke belakang dengan hebat. Begitu juga dengan segala yang ada di sekitar tempat itu.
Dahan-dahan patah. Dedaunan ikut terhempas. Bahkan, satu pohon yang tak terlalu besar, tumbang berdebam.
Namun, Respati harus menarik keyakinannya bahwa jurus itu cukup ampuh untuk membuat lawannya roboh. Setelah sempat terdorong ke belakang, perempuan bertopeng itu kembali melompat menyerang.
Meskipun terbelalak, Respati bersiap untuk menahan serangan lanjutan perempuan iblis itu, yang kali ini pasti lebih dahsyat.
Wuuut! Suara bersuit disusul angin dingin yang berdesing, memapak jarak tempur antara Respati dan perempuan berilmu tinggi itu. Benda menyilaukan yang meliuk laksana ular ikut campur dan langsung menahan serangan perempuan bertopeng.
Benda berkilau perak itu adalah sabuk perak, senjata andalan Samita yang sudah lama tak beraksi. Tubuh Samita bergerak tak kalah cepat. Tangannya segera menyentak ujung sabuk hingga membentuk pusaran.
Benturan tenaga dalam yang dahsyat. Kali ini, sebatang pohon besar tumbang dengan suara yang sangat berisik. Tak terhitung dahan-dahan pohon yang patah. Dua orang perempuan berkemampuan luar biasa itu kini berdiri saling berhadapan. Meskipun akibat benturan tenaga dalam itu demikian dahsyat, keduanya seperti tak terpengaruh sama sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dari balik topengnya yang buruk, perempuan misterius itu menatap Samita dengan saksama. Seperti terpana tanpa suara. Samita pun mulai menduga-duga dengan membaca bahasa tubuh perempuan di depannya. Namun, tak satu kata pun yang ia keluarkan.
Tanpa basa-basi dan alasan pasti, perempuan aneh itu langsung balik kanan dan melompat cepat, menghilang di balik pepohonan. Seperti enggan berhadapan dengan Samita.
Atau, justru tidak ingin sama sekali bertemu dengan murid Laksamana Cheng Ho itu.
"Hui Sing! Apa kabar?"
Perlahan, Samita membalikkan badannya dengan jantung berdebar. Rasanya, seluruh darahnya bergejolak. Bahkan, dia merasa tubuhnya lemas tak bertenaga. Namun, ia segera memupus kecenderungan hati yang melemahkan itu. Dia menatap Respati dengan senyum lebar.
"Hormat saya, Rakryan Rangga Sad Respati!"
"Mengapa begitu sungkan" Bukankah kita ini teman?"
Samita mengangguk pelan tanpa membuang senyumnya.
Sejenak Respati seperti tersihir. Dua tahun waktu yang cukup lama rupanya. Dia melihat sosok Hui Sing menjelma menjadi seorang perempuan yang sangat matang. Tatapan matanya masih berbinar bak bintang, seperti dulu. Namun, kini ada sinar kedewasaan pada sinar cemerlang itu.
Begitu juga dengan bahasa tubuhnya yang lebih teratur.
Tak lagi seenaknya setengah manja seperti gadis remaja yang dulu sempat ia kenal. Kecantikan gadis cerdas itu juga makin sempurna. Pipinya masih merah seperti dulu. Rambutnya pun terurai indah dan halus berkilau.
"Ilmu kanuraganmu semakin sempurna, Hui Sing!"
"Jurus Hanacaraka Kakang juga semakin hebat!" Dua orang sahabat lama itu saling memberikan senyum terbaik mereka. Respati mempersilakan Samita untuk datang ke perkemahannya. Namun, gadis itu justru minta izin untuk lebih Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi dulu menjemput Rukmi, perempuan tua yang oleh Samita dilukiskan sebagai teman perjalanan yang menyenangkan.
Samita memang meninggalkan Rukmi di belakang begitu mendengar suara kecapi yang sangat membuatnya penasaran. Tentu saja keterangan Windriya beberapa hari lalu membuatnya penasaran, ingin tahu siapa pemetik kecapi itu.
Apalagi setelah dia menemukan mayat Kolo Ireng dan tempat yang porak-poranda bekas pertempuran dahsyat.
Karena Rukmi tak memiliki kemampuan untuk berlari cepat, akhirnya Samita meninggalkannya untuk mengejar suara kecapi itu. Setelah menyimak cerita Samita, Respati menyuruh salah seorang prajuritnya untuk meminjami Samita seekor kuda, agar bisa lebih cepat menjemput Rukmi dan segera kembali ke perkemahan.
Sementara itu, Lowo Ijo yang mengenali senjata khas Samita langsung kabur karena yakin keadaan sama sekali tidak akan menguntungkannya. Dia masih ingat bagaimana bersama Kolo Ireng dan Kesusra, dia mengeroyok Samita hingga jatuh ke jurang, dua tahun lalu.
Karena itu, di saat Samita bertempur dengan perempuan pemetik kecapi itu, Lowo Ijo kabur.
0o0 "Bukankah dia pemimpin prajurit yang hendak menangkap putri, Nini?"
"Yah. Dia juga teman baikku, Mbok. Percayalah, dia bukan orang jahat. Aku sedikit penasaran, kenapa dia memimpin pasukannya kembali ke Majapahit, seolah-olah tugasnya sudah selesai!"
"Maksud Nini, Putri Suciatma tertangkap?"
"Itulah kenapa kita harus ke sana untuk mencari tahu."
Rukmi tak membantah lagi ketika Samita mengajaknya menaiki kuda pinjaman prajurit Majapahit itu. Kuda itu segera berlari kencang menuju perkemahan prajurit Majapahit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sampai di padang rumput itu, suasana hangat menyambut Samita dan Rukmi. Para prajurit mempersilakan mereka memasuki wilayah perkemahan. Respati menyambut langsung kedatangan mereka dengan senyum yang mengembang.
"Jadi, ini teman perjalanan yang sangat menyenangkan itu?"
Respati memberi hormat kepada Rukmi. Tentu saja wanita tua itu menjadi kikuk. Selain merasa berderajat jauh di bawah Respati, dia tetap ingat bahwa sebagai abdi Blambangan, prajurit Majapahit adalah lawan sehingga dia bingung harus bersikap bagaimana.
Untungnya, kekakuan itu tak berumur panjang. Samita dan Rukmi segera dipersilakan menuju salah satu kemah utama yang ada di bagian paling depan barisan kemah-kemah dari kulit kambing yang dijahit itu. Berbagai hidangan lezat segera terhampar di atas meja. Siap disantap.
"Samita. Nama yang sangat cantik!"
Samita pura-pura tak memperhatikan kesan wajah Respati.
Gadis itu mengambil sepotong daging ayam dan mulai melahapnya. Sebelumnya, dia memang menerangkan bahwa namanya kini sudah berganti menjadi Samita. Sementara wajah Respati sejenak seperti berubah warna. Mana mungkin dia lupa bahwa gadis itu mendengar kata Samita pertama kali dari mulutnya.
"Belum ada sebulan lalu, Tuan Ho datang ke Majapahit."
"Guru."
Samita menghentikan makan besarnya. Rasa trenyuh setiap mendengar nama gurunya, mengusir rasa lapar yang tadi sempat menghebat. Sementara Rukmi yang cuma makan sedikit-sedikit tak berani menyela.
"Tuan Ho menanyakan dirimu. Beliau mengatakan bahwa dua tahun lalu kau memisahkan diri dari armada Ming dan kembali ke Majapahit."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dua pipi Samita memerah. Tentu Respati mulai menduga-duga alasan kenapa dia nekat turun dari kapal pusaka dan bersikeras untuk kembali ke Majapahit.
"Kami semua khawatir tentang dirimu, Samita. Ajaib, hari ini aku justru bertemu denganmu di sini."
Samita tak menjawab. Kesan sendu masih ada di wajahnya.
"Apakah guru baik-baik saja?"
"Terus terang, ketika mendengar bahwa tidak ada kabar tentangmu di Majapahit, Tuan Ho terlihat sangat khawatir.
Bahkan, dia menyuruh beberapa anak buahnya untuk mencarimu."
Tak ada suara. Samita merasa kehilangan tenaga.
"Dua tahun lagi, Tuan Ho berjanji untuk kembali ke Majapahit. Sebelum kembali ke Pelabuhan Surabaya, Tuan Ho sempat berpesan kepadaku agar menyimpan kabar apa saja tentangmu."
Samita masih tak bersuara.
"Sudahlah. Kau pasti akan menemui gurumu dua tahun lagi!"
"Yah, Kakang benar. Banyak hal yang akan aku lakukan di Jawa Dwipa. Pasti waktu akan berlalu tanpa terasa."
Samita mencoba menghibur diri. Dia lalu mengajak Rukmi dan Respati untuk meneruskan makan. Namun, pandangan mata Respati sempat menangkap setitik air mata yang jatuh dari kelopak mata Samita. Gadis di hadapannya seolah sedang menahan beban duka yang sangat mendalam.
"Bagaimana dengan Anindita, Kakang" Kalian sudah mempunyai anak berapa?"
Wajah Respati langsung sumringah. Dia menceritakan bahwa setelah kepergian Samita dua tahun lalu, ia dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Anindita melangsungkan pernikahan. Meskipun belum juga dikarunai putra, keduanya hidup tenang tanpa gejolak.
Samita tersenyum. Setelah mengucapkan selamat, ia tak banyak mengucap kata. Ada aura lain pada matanya. Respati paling pandai mengetahui isi hati seseorang lewat pandangan matanya. Ia menangkap kesan itu di mata Samita. Kini, ia pun menebak-nebak apa yang terjadi dengan hati gadis itu.
Hari menjelang petang ketika terdengar keributan di antara prajurit jaga. Bunyi pedang beradu begitu ribut. Samita dan Rukmi segera terbangun. Setelah berbicara banyak hal dengan Respati, keduanya dipersilakan beristirahat oleh rakryan rangga itu.
Sementara Respati keluar kemah, Samita dan Rukmi me-ngaso di dalam kemah. Namun, begitu ada suara ribut-ribut, keduanya langsung terjaga dan bergegas keluar kemah untuk melihat keadaan.
Di luar, bunyi pertempuran sudah reda. Seorang pemuda berbadan besar dengan pakaian compang-camping tersungkur bertumpu pada dua tempurung siku kakinya. Ia bersikeras mengangkat wajahnya, meskipun beberapa kali para prajurit menginjakkan kaki mereka agar pemuda itu menundukkan kepala.
Mulutnya menyeringai dengan mata merah menyala.
Respati berdiri gagah di depannya. Ia memandang lelaki itu dengan tatapan menghunjam.
"Berani sekali mengacau di sini! Di Nawa Rawi, kau kuberi kesempatan hidup. Tapi kini berani berulah."
Pemuda itu tak menjawab. Dia malah membuang ludah dengan garang. Sontak beberapa prajurit menyorongkan pedang dan tombak ke lehernya. "Baskara!"
Samita berlari mendekat sambil menatap tak percaya.
"Mohon rakryan rangga berbuat bijak. Pemuda ini teman hamba. Dia mungkin kurang sopan, tapi dia tidak bermaksud jahat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Memandang Samita, Respati menyuruh para prajurit untuk melepaskan Baskara. Pemuda itu langsung bangkit tanpa mengubah kesan wajahnya. Samita menghampirinya, disusul Rukmi yang tak mau ketinggalan.
"Kenapa kau berbuat begini nekat, Baskara?"
Samita memandang cemas. Rukmi lebih-lebih. Perempuan tua itu memeriksa luka goresan pedang yang rata di tubuh pemuda itu.
"Untuk menyelamatkan putri, apa pun akan kulakukan!"
Mata Samita melebar. Dia lalu memandang Respati dengan tatapan selidik.
"Maksudmu, Putri Suciatma ada di tempat ini?"
Giliran Baskara yang menatap Samita dengan heran.
"Kau tidak tahu, Samita?"
Samita menggeleng, lalu menatap Rukmi yang wajahnya kini sudah pucat pasi.
Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah berjanji untuk tak melukai orang-orangku!"
Teriakan lantang dari pinggir laga, memaksa semua orang menoleh. Di sana, berdiri seorang perempuan muda yang memiliki aura ningrat sangat pekat di wajahnya. Rukmi yang berdiri di sebelah Samita menatap tak percaya. Matanya membelalak, tubuhnya bergetar. "Putri ...."
Respati langsung menghormat, lalu memberi ruang untuk Suciatma yang berjalan dengan agung mendekati kericuhan itu.
"Aku sudah mengikuti keinginanmu, kenapa kau ingkar janji?"
"Sama sekali tidak, Putri. Pemuda ini tiba-tiba datang dan mengamuk. Tentu saja para prajurit harus mengamankan keadaan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati mencoba memberikan pemahaman kepada Suciatma yang menatapnya dingin. Putri Wirabumi itu lalu menatap Baskara, Rukmi, dan Samita bergantian. Ada haru di matanya. Apalagi ketika pandangannya bertemu dengan mata Rukmi yang berkaca-kaca.
Tapi, ia langsung menepis rasa hatinya yang haru biru.
"Mbok Rukmi dan kau, Baskara, kita berpisah di sini. Aku akan menemui Raja Majapahit. Kalian mulailah kehidupan yang baru."
"Putri ...."
Tak ada kata-kata lain keluar dari bibir Rukmi. Hanya air matanya yang membanjir menggantikan seluruh kata-kata yang ia punya. Sementara Baskara masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dia menatap Suciatma dengan penuh tanda tanya.
"Putri menyerah?"
"Demi membelaku, begitu banyak nyawa orang tak bersalah melayang. Jika aku masih mementingkan diriku sendiri, entah berapa banyak lagi orang yang mati."
"Putri!"
"Kau berani menentangku, Baskara?"
Baskara langsung terdiam. Kepalanya menunduk.
"Bahkan Sudarga tewas dan aku tak bisa berbuat apa-apa."
Baskara kembali mengangkat kepalanya. Matanya membelalak.
"Siapa yang membunuhnya" Izinkan saya membalas dendam, Putri!"
Suciatma tersenyum dingin. Pandangan matanya pun sama sekali tak menyiratkan kehangatan.
"Aku yang membunuhnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Baskara, Rukmi, dan Samita kaget bukan main.
"Kalau saja aku tak memaksanya ikut dalam pemberontakan ini, dia tak akan terbunuh!"
"Putri, saya mohon jangan berkata seperti itu."
Rukmi akhirnya membuka mulutnya, berbicara lantang.
Ada isak dalam kalimat yang ia ucapkan.
"Aku tak mau berdebat lagi. Cepat tinggalkan tempat ini.
Mulailah hidup yang lebih baik."
Seolah tak peduli, Suciatma lalu membalikkan tubuhnya dan berlalu dari tempat itu. Respati menyuruh para prajurit untuk membuka ruang supaya Baskara bisa leluasa pergi dari tempat itu. Tanpa berkata lagi, Baskara langsung membalikkan badannya dan berjalan tegap menjauh dari padang rumput itu. Bahkan, dia tak sempat lagi berbasa-basi dengan Rukmi atau pun Samita.
"Saya ambil perbekalan dulu. Saya juga pergi."
Tanpa menunggu persetujuan Samita, Rukmi berlari kecil menuju kemah tempat ia meninggalkan bakul perbekalan.
Samita sekilas menatap Respati, sebelum ia juga bergegas menyusul langkah Rukmi.
"Kau hendak meninggalkan perkemahan, Samita?"
Respati sudah berdiri di depan kemah tempat Samita tadi sempat beristirahat. Samita dan Rukmi baru saja keluar dari kemah dan tampak sudah siap untuk meneruskan perjalanan.
"Bukankah sudah aku katakan, Mbok Rukmi adalah teman perjalanan yang menyenangkan. Jika harus memilih, tentu saja aku memilih Mbok Rukmi."
Samita tersenyum seperti tak terjadi apa-apa. Sementara Rukmi sibuk mengikat bakul perbekalannya dengan kain panjang dan memasangnya di punggung rentanya yang mulai bungkuk.
"Tapi, bukankah kau juga akan ke Majapahit?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Yah, tapi aku lebih menikmati perjalanan yang membuatku senang."
"Berjanjilah, sesampainya di Majapahit, kau akan bertamu ke griya rakryan rangga!"
"Akan aku usahakan, Kakang."
"Paling tidak, ambillah dua ekor kuda agar perjalanan kalian lebih cepat."
Samita menggeleng sambil tersenyum. Setelah menghormat, Samita dan Rukmi lantas berjalan menuju kerumunan prajurit jaga. Tak butuh waktu lama, mereka sudah meninggalkan perkemahan, berjalan menuju jalan setapak ke arah Sumbergurit.
Respati tak melepas pandangannya dari sosok Samita hingga bayangan gadis itu semakin mengecil dan menghilang di belokan bukit yang hijau.
Sementara itu, dalam perjalanan kali ini, Rukmi merasa kurang bersemangat. Langkahnya tak semantap sebelumnya.
Samita yang mengerti beban batin perempuan itu berusaha mengimbanginya.
"Kenapa sedih, Mbok" Bukankah Mbok Rukmi yakin, Putri Suciatma akan hidup bahagia" Barangkali kejadian hari ini menjadi jalan baginya menuju kebahagiaan itu."
Samita dan Rukmi tengah beristirahat di sebuah dangau pinggir sawah yang tak lagi diolah. Lepas petang, Samita masih mengenakan penutup kepala sehabis melakukan sembahyang. Kini, dua perempuan berbeda generasi itu duduk santai menikmati suara alam.
"Saya masih yakin bahwa Putri Suciatma tengah menjemput kebahagiaannya. Hanya, rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan harus berpisah dengannya. Sejak kecil, saya mengasuhnya. Seluruh hidup saya abdikan kepada putri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita mengulurkan lengannya. Ia peluk perempuan tua yang mulai menangis itu. Meskipun tergolong perempuan berhati baja dan tahan menderita, Rukmi tak sanggup menahan rasa sedihnya setiap mengingat Suciatma. Kini, tubuhnya terguncang-guncang di pelukan Samita. Sementara suara alam semakin meraja. Kelepak kelelawar, nyanyian kodok, dan jangkrik bersahut-sahutan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 12. Batas Sebuah Dendam
Keraton Majapahit gebyar. Sisa-sisa kebesaran masa lalu masih terlihat pada bangunan megah kompleks keluarga raja.
Tembok tinggi yang mengelilingi keraton menandakan keteguhan dan kehebatan sejarah.
Pepohonan rindang menelan kesan angkuh patung-patung batu yang tersebar di penjuru keraton. Serba hijau, membangun suasana teduh dan tenteram. Kelompok-kelompok dayang acap kali berseliweran menjinjing aneka barang. Prajurit-prajurit terbaik berjaga-jaga penuh waspada.
Sungguh pagi yang cerah. Di kamar raja, Wikramawardhana tengah menatap penuh rasa ke arah Permaisuri Kusumawardhani yang duduk anggun di depan cermin besar.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5 Legenda Kematian Karya Gu Long Laron Pengisap Darah 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama