Ceritasilat Novel Online

Sepak Terjang Hui Sing 6

Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 6


Perempuan agung itu pelan menyisir rambut panjangnya yang dihias melati. Pakaian serbagemerlap membungkus tubuhnya yang mewarisi darah ningrat dan kebesaran Raja Hayam Wuruk.
Kusumawardhani sebenarnya paling berhak meneruskan tampuk pimpinan Kerajaan Majapahit setelah ayahandanya mangkat. Namun, kesederhanaan jiwanya yang tak pekat ambisi membuat Kusumawardhani menyerahkan tahta kepada sang suami. Apalagi Raja Hayam Wuruk juga begitu bangga dan percaya kepada Wikramawardhana.
Kini, setelah perjalanan panjang kepemimpinan sang suami masih juga dikoyak oleh berbagai pemberontakan, memaksa Kusumawardhani turun tangan memberi masukan-masukan berharga untuk suaminya.
"Dinda, Sad Respati sudah kembali bersama Suciatma."
Senyum agung mengembang. Wikramawardhana
menyaksikan keayuan Kusumawardhani terpantul dari cermin di hadapannya. Bukan kecantikan yang sembarangan. Darah biru yang mengalir dalam diri perempuan itu memendarkan aura wibawa dan harga diri yang sulit dikatakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Keponakanku itu sungguh malang. Berkelana dan menderita. Menghabiskan waktu mudanya dengan hati yang terjajah."
"Menurut Dinda, apa yang harus Kanda lakukan sekarang?"
Wikramawardhana bergerak ke pembaringan. Ia lalu duduk di pinggir pembaringan megah dengan kain mewah yang menutup permukaannya.
"Kanda lupa dengan pembicaraan kita beberapa waktu lalu?"
Kusumawardhani menggeser duduknya, menghadap suaminya. Pandangan matanya yang teduh menularkan ketenteraman pada jiwa Raja Majapahit itu. Wikramawardhana melukiskan rasa kasihnya dengan menatap sang permaisuri penuh syahdu.
"Apakah Kanda tak akan melukai hati Dinda?"
Kusumawardhani tersenyum, lalu meraih telapak tangan suaminya. Mengelusnya penuh kasih, lalu membelai punggung tangan sang raja dengan pipinya yang sehalus beludru.
"Menyelamatkan negara adalah bentuk cinta terbesar Dinda untuk Kanda."
Wikramawardhana merasa hatinya babak belur dihajar rasa kasih yang semakin dalam. Ia memandang Kusumawardhani dengan rasa bangga yang meluap-luap.
"Sekarang biarkan Dinda menemui Suciatma untuk membicarakan rencana kita, Kanda. Semoga dia menerimanya demi rakyat Blambangan."
Wikramawardhana mengangguk lemah. Dia lalu membimbing sang permaisuri bangkit dari duduknya.
Perempuan agung itu lalu menyempurnakan penampilannya sebelum melangkah penuh keindahan ke keputren, menemui Suciatma.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ketika Kusumawardhani sampai di gerbang keputren, seluruh prajurit jaga langsung memberikan hormat. Sang permaisuri lalu melangkah penuh anggun diiringi sepuluh orang dayang di belakangnya.
"Suciatma memberi hormat kepada Rajapadni!"
Kusumardhani segera menghampiri Suciatma yang bersimpuh di hadapannya, ketika sang permaisuri sampai di ruangan yang didiami putri Blambangan itu.
"Aku bibimu, Suciatma. Kenapa mesti sungkan?"
Suciatma disergap rasa haru yang pekat. Meskipun ia sangat memusuhi Majapahit, menghadapi sang permaisuri membuat hatinya takluk. Perempuan agung ini adalah kakak tiri ayahandanya. Sewaktu kecil, Suciatma cukup dekat dengan Kusumawardhani. Wirabumi pun sangat menghormati kakak perempuannya itu.
"Apa kabarmu, Nduk?"
Tanpa ragu, Kusumawardhani memeluk keponakannya dengan hangat. Suciatma semakin tak bisa berkata apa-apa.
Dia mengikuti arus saja.
"Bibi selalu menunggu kabar tentangmu, Suciatma."
Dua perempuan ningrat itu lalu duduk di kursi jati berukir yang ada di ruangan itu. Kusumar-wadhani lantas menyimak cerita panjang Suciatma selama dia ada di pelarian. Meskipun agak canggung karena selama ini Suciatma mendendam terhadap Majapahit, cerita tentang hidupnya yang terlunta-lunta, termasuk ketika berhadapan dengan prajurit Majapahit mengalir sampai habis.
Beberapa kali Kusumawardhani mengangguk penuh perhatian. Senyumnya sesekali mengembang tulus. Tak jarang, keningnya berkerut mencoba merasakan duka yang dialami keponakannya selama di pelarian.
"Kau sungguh tabah, Suciatma. Pantas mewarisi darah Hayam Wuruk."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Suciatma menatap bibinya dengan sinar mata takjub.
Matanya berkaca-kaca. Sambutan yang begini hangat melunturkan rasa bencinya yang selama ini menumpuk tanpa jelas arahnya. Seperti sia-sia semua perjalanan selama bertahun-tahun bergerilya, membunuhi prajurit Majapahit, dan menyemai rasa benci terhadap raja.
Selama ini, Suciatma merasa menjadi anak yang dibuang dari garis keturunan yang agung. Kenyataan bahwa ayahnya seorang anak dari seorang selir membuatnya tak begitu percaya diri untuk menyebut Hayam Wuruk sebagai kakeknya.
Tapi kini, semua perasaan itu luluh. Tinggal rasa sesal yang menimbun. Rasa bersalah kepada para pengikutnya yang rela kehilangan nyawa untuk membela dendam kesumatnya.
"Putri, bibimu ini belum juga dikaruniai putra sampai kini.
Sepertinya, Dewata punya rencana lain untuk Majapahit. "
Suciatma mencoba menebak-nebak arah pembicaraan bibinya.
"Rakyat kini tengah menderita. Rasa benci menyulut di mana-mana. Padahal mereka memiliki kesetiaan yang sama hebat terhadap junjungannya masing-masing. Karena itu, mereka rela melakukan apa saja untuk membuktikan kesetiaan mereka."
Kusumawardhani menghentikan kalimatnya sesaat.
Bahkan, saat menarik napas pun, perempuan ini terlihat begitu anggun dan agung.
"Kalau saja para pemimpin negeri ini mau mengorbankan kepentingannya sendiri dan mau merasakan kepedihan rakyat, alangkah damainya."
Kusumawardhani seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Pandangannya menerawang tak jelas ke mana mengembara. Suciatma tak berani menyela. Dia tekun mendengarkan setiap kata-kata sang permaisuri.
"Putri, maukah kau menjadi juru damai negeri ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Saya ... saya selalu memimpikan hal itu, Bibi. Hanya saya tak tahu caranya."
Kusumawardhani tersenyum.
"Jadilah ibu negeri ini. Lahirkan raja-raja pemberani."
Suciatma menatap Kusumawardhani dengan pandangan tak percaya. Bibirnya bergetar tanpa mampu berkata-kata.
Samita dan Rukmi terlihat di antara kerumunan warga Kota Raja. Hari itu tampaknya sungguh istimewa. Wajah orang-orang di jalan-jalan utama Kota Raja berseri-seri. Kemeriahan pun rata di setiap sudut. Rumbai-rumbai janur kuning menambah semarak wajah kota.
"Kita cari penginapan dulu, Mbok!"
Langkah renta Rukmi berusaha menjejeri Samita.
Sepanjang jalan menuju penginapan, keduanya sibuk menoleh ke kanan-kiri penuh heran. Tak banyak yang berubah sebenarnya di Majapahit. Dibandingkan dua tahun lalu, hanya sedikit bangunan-bangunan baru yang berdiri.
Berbeda dengan Demak yang memperlihatkan
perkembangan kota yang sangat cepat selama dua tahun terakhir, Majapahit seperti jalan di tempat. Namun, kemeriahan kota ini sungguh terasa dari kesibukan orang-orang yang berlalu-lalang. Seperti ada yang sesuatu terjadi.
Begitu sampai ke penginapan, Samita langsung menanyakannya kepada pelayan jaga.
"Nini pasti baru datang dari luar kota, ya" Seluruh kota sedang gembira karena Prabu Wikrama-wardhan hendak menikahi Putri Blambangan."
Bola mata Samita berbinar. Wajahnya sumringah meskipun masih menyisakan rasa kaget dan heran yang sangat. Terlebih lagi Rukmi yang langsung terpaku di tempatnya, berdiri tanpa suara. Telapak tangannya menutupi mulut saking kagetnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Maksud Kisanak, Putri Suciatma keturunan Bre Wirabumi?"
Lelaki pelayan itu mengangguk-angguk. Masih dengan perasaan campur aduk, Samita lalu menuntaskan pesanan kamarnya. Bersama Rukmi, ia pun segera mencari kamar yang mereka pesan.
"Apakah ini bukan lelucon, Nini?"
Rukmi duduk di amben penginapan tanpa lebih dulu menurunkan bakul tempat perbekalan. Ada rasa heran yang belum berujung.
Samita tersenyum sambil meletakkan buntalan kain bekal perjalanannya. Dia lalu duduk di sebelah Rukmi.
"Bukankah ini menegaskan bahwa ramalan Simbok benar terjadi" Putri Suciatma akan bahagia menjadi pendamping raja. Melupakan dendam dan membuat rakyat kembali hidup tenteram."
Rukmi mengangguk-anggukan kepala. Dia lalu menurunkan bakul bambu dari punggung, kemudian mengurut kakinya yang terbungkus kulit keriput untuk mengusir rasa pegal usai perjalanan panjang mereka.
Perubahan besar mengiringi peristiwa ajaib, menikahnya Raja Wikramawardhanda dengan Putri Suciatma. Dua orang yang selalu berhadapan sebagai lawan justru dipersatukan oleh takdir. Suciatma mengubur dendam lamanya dan menerima pernikahan itu sebagai sebuah perjuangan baru untuk menegakkan kedamaian di tanah Blambangan.
Bagi Prabu Wikramawardhana, menikahi Suciatma sama saja melampaui dua-tiga pulau dengan sekali merengkuh dayung. Selain menuntaskan dendam Blambangan, dia juga hendak membayar semua utangnya atas segala penderitaan yang dialami Suciatma.
Bumi Blambangan pun damai. Untuk sementara, tak ada riak pemberontakan. Meskipun begitu, di jajaran pengikut Suciatma, tak sedikit pula yang menganggap sang putri telah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berkhianat terhadap Blambangan. Mereka lalu keluar dari keramaian, menyepi di gunung-gunung untuk mengendapkan perasaan dendam.
Pesta pernikahan Wikramawardhana dan Suciatma berlangsung sederhana, tidak terlalu megah. Tidak ada kemeriahan tujuh hari tujuh malam perayaan hari besar yang serbagebyar. Tapi, pilihan kesederhanaan itu justru membuat rakyat semakin paham niat baik raja untuk membangun suasana nyaman.
Segala sesuatu segera diperbaiki. Pelayanan kepada rakyat Majapahit ditingkatkan. Hanya sikap tak tegas raja terhadap prajurit yang melenceng dari nilai-nilai kesatria menjadi titik lemah. Keti-daktegasan ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang pemikirannya berseberangan dengan Wikramawardhana untuk menggoyang kepemimpinannya.
Rakyat Majapahit pun banyak terkotak-kotak karenanya.
Sebagian tetap menjunjung tinggi nilai warisan leluhur dengan menempatkan raja sebagai wakil Dewa. Kepatuhan menjadi hal utama. Kecintaan kepada raja menjadi napas hidup.
Sementara rakyat dari kalangan terdidik mulai bersikap tak mau tahu.
Mereka menganggap kepemimpinan Wikramawardhana tak lebih dari sekadar pemerintahan yang berjalan apa adanya. Tak ada pemikiran-pemikiran cerdas yang mengiringinya. Sang Raja sekadar boneka orang-orang culas di sekelilingnya. Tak memiliki keputusan yang mandiri.
Orang-orang yang suka mengkritik ini lalu mendirikan perkumpulan-perkumpulan khusus untuk membahas permasalahan-permasalahan negara. Nasib mereka memang tak selalu bagus. Bahkan lebih sering apes. Selain suara mereka yang tak pernah sampai ke telinga sang raja, tindakan mereka memicu bahaya. Mereka ditangkapi layaknya kelompok maling kacangan. Diseret, dipermalukan, dan dicap sebagai pengkhianat negara yang hendak merongrong kekuasaan raja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kota Raja semakin ramai oleh para pengkritik.
Penangkapan terhadap sebagian dari mereka tak lantas menghentikan arus penentangan lewat akal pikiran itu.
Bahkan, para pengkritik baru terus bermunculan. Hilang satu datang selaksa.
"Nini, kapan kita memberi pelajaran perempuan culas itu?"
Samita menatap Rukmi dalam-dalam Seperti hendak memastikan, apa benar kalimat galak itu dikatakan perempuan renta yang kini menjadi bagian penting hidupnya.
"Kenapa Simbok berpikir seperti itu?"
Rukmi tersenyum memamerkan keriput-keriput di wajahnya.
"Dulu yang membuat saya selalu gelisah adalah nasib Putri Suciatma. Tapi sekarang beliau sudah bahagia menjadi pendamping raja. Tak perlu lagi saya khawatirkan."
Samita makin saksama mendengarkan kalimat Rukmi.
"Setelah lega dengan jalan hidup Putri Suciatma, saya sekarang selalu berpikir tentang masa depan Nini."
"Maksud simbok apa?"
Rukmi diam sejenak.
"Saya tahu kini Nini ragu untuk membongkar misteri kematian Rakryan Rangga Abyasa dua tahun lalu. Tapi menurut saya, hal itu akan menyiksa Nini jika tidak segera dilakukan."
"Memang saya ragu, Mbok. Kakang Respati begitu mencintai Anindita. Mbok pasti ingat betapa dia sangat bersemangat saat menceritakan perihal rumah tangganya."
"Tapi matanya jauh lebih berbinar ketika mengharap Nini untuk berkunjung ke kediamannya."
Samita terdiam. Dia mengalihkan pandangan dari Rukmi untuk berpikir. Sudah lebih dari satu pekan ia dan Rukmi tinggal di penginapan itu tanpa tahu harus melakukan apa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Jika dulu Samita begitu menggebu untuk mendatangi Respati dan membe-ritahu tentang culasnya hati Dewi Anindita istrinya, sekarang tidak lagi.
Samita merasa tak tega menghancurkan kebahagiaan Respati. Namun di sisi lain, dia merasa wajib untuk membongkar misteri pembunuhan itu. Sebab, dialah satu-satunya orang yang bisa membuktikan keterlibatan Anindita di belakang kematian Abyasa.
"Paling tidak, jika Nini tak ingin dianggap memperjuangkan perasaan hati, lakukan itu semua demi Majapahit. Nini bisa bayangkan kerusakan apa yang akan terjadi di Majapahit jika orang seperti Anindita itu tetap dibiarkan."
Samita belum menjawab. Selama ini, dia memang lebih banyak mengungkapkan permasalahan itu dengan bercerita kepada Rukmi. Sedangkan semua rencana untuk membuka kedok Anindita sama sekali tak terlaksana.
"Baiklah. Hari ini kita bertamu ke Kakang Respati. Setelah itu, baru kita bicara lagi mengenai rencana selanjutnya."
Samita membalas senyum Rukmi dengan tulus. Keduanya lalu segera bersiap-siap meninggalkan penginapan murah yang mereka tinggali. Lepas siang, mereka telah berdiri di depan kediaman Rakryan Rangga Respati.
"Oh, Nini ini Nini Samita" Silakan masuk, Nini! Sejak beberapa pekan lalu, rakryan rangga sudah menunggu kedatangan Nini."
Alis mata Samita sedikit terangkat. Ia memandang dua prajurit di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Harusnya tak semudah ini masuk ke kediaman seorang pejabat di Majapahit. Namun, rupanya dia salah sangka. Bahkan Respati telah berpesan kepada seluruh prajuritnya untuk melayani dirinya jika sewaktu-waktu datang.
Setelah mengucapkan terima kasih, Samita dan Rukmi diantar oleh seorang prajurit untuk menunggu di pendopo.
Mereka berdua lalu duduk lesehan sambil menikmati suasana Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi nyaman di sekelilingnya. Samita mengedarkan pandangannya ke tembok-tembok pelindung bangunan itu.
Ia tersenyum ketika ingat, dulu dia pernah berlompatan di atas tembok istana saat mengejar orang bertopeng pembunuh Abyasa. Senyumnya langsung sirna begitu ingat bahwa orang itu adalah Sien Feng, kakak seperguruannya.
"Kenapa baru sekarang engkau datang, Samita?"
Lamunan Samita buyar. Pandangannya lalu menyergap pemilik suara serak basah yang menyapanya. Sad Respati berdiri gagah di muka pendopo. Lelaki berwibawa itu lalu masuk ke pendopo dengan senyumnya yang khas. Entah untuk ke berapa kali, Samita harus memalingkan pandangan matanya menghindari sorot mata elang Respati.
Gadis itu benar-benar menjaga diri.
"Di mana Anindita, Kakang?"
"Oya, dia rupanya tak ingin mengecewakanmu, Samita.
Dia tengah berdandan agar tampil cantik di depanmu."
Samita tersenyum masygul. Respati lalu menyapa Rukmi dan menanyakan kesehatannya.
"Harusnya kalian berangkat bersama rombongan kami sehingga bisa lebih cepat tiba di Majapahit. Dengan begitu, kalian bisa menjadi saksi pernikahan Prabu Wikramawardhanda dengan Putri Suciatma."
"Kami telah mendengar kabar gembira itu, Kakang.
Tampaknya seluruh rakyat Majapahit bersukacita karenanya."
Seorang dayang datang membawakan minuman dan aneka buah-buahan segar. Segera setelah menatanya di atas meja, dayang itu berlalu dari pendopo.
"Hui Sing!"
Samita menoleh ke arah suara lembut itu. Pandangannya tertumbuk pada sosok cantik yang berdiri anggun. Anindita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dia masih seorang putri penuh santun seperti yang ia kenal dulu.
Samita berdiri untuk menghormati kehadiran Anindita. Tak disangka, perempuan itu menghambur ke arah Samita dan memeluknya sangat erat disertai isak haru. Sesaat Samita sama sekali tak bisa bersikap. Dia seperti patung kayu yang berdiri kaku. Tapi begitu sadar, dia membalas pelukan Anindita meskipun terasa sekadarnya bagi Anindita.
Mereka berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya Anindita duduk mendampingi suaminya dengan mata yang masih berair.
"Ketika Tuan Ho mengatakan bahwa kau turun di Pelabuhan Simongan dua tahun lalu, aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu, Hui Sing."
Seperti tak terjadi apa-apa, Anindita bertutur layaknya seorang kawan akrab yang sudah lama tak bersua. Seperti tak ada rahasia besar yang dipendamnya.
Sementara Anindita terus mengurai cerita, Samita tertegun dan tak menjawab apa-apa. Hanya memperhatikan bahasa tubuh Anindita dan gerak bibirnya agar dia bisa menemukan sebuah kepura-puraan. Tapi Samita gagal. Anindita benar-benar lihai dalam hal ini.
Justru Rukmi yang tak bisa menyembunyikan gejolak hatinya. Matanya menatap tajam penuh benci ke arah Anindita. Untungnya, hal itu tak sempat tertangkap basah oleh Respati hingga tak menimbulkan kecurigaan.
"Anindita yang aku kenal tak terlalu banyak bicara. Tapi lihatlah, begitu kau datang, Samita, dia menjadi begini ceria."
Anindita tersipu malu.
"Kami sudah lama tak bertemu. Wajar kalau aku sangat gembira. Ah, aku lupa kau telah berganti nama menjadi Samita. Nama cantik. Kau pun semakin cantik, Samita."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita hanya tersenyum. Justru dia yang kini tak banyak bicara. Lebih banyak menyimak cerita-cerita Anindita dan Respati. Juga kemesraan keduanya yang tak berusaha ditutup-tutupi.
Samita merasa terjebak di tempat dan suasana yang salah.
Dia seperti dipaksa ada di tempat itu sekadar untuk melihat pameran keceriaan sepasang suami istri muda. Meskipun mampu menutupinya dengan kesan wajah yang dipaksa gembira, Samita tak ingin berlama-lama.
Sebentar kemudian dia pamit kepada Respati dan Anindita untuk kembali ke penginapan. Dia bahkan tak bisa menjawab dengan pasti ketika Anindita menanyakan rencananya ke depan. Tak mau berlama-lama, Samita lalu bergegas mengajak Rukmi keluar dari kediaman Respati.
Malam seolah berkabung. Bintang-bintang yang penuh sesak di langit hitam tak mampu mendatangkan keceriaan di hati Samita. Gadis itu duduk di dekat jendela kamar penginapan sambil memandang langit.
Sepertinya, keceriaan alam hanya untuk orang lain, bukan buat dirinya.
"Nini, waktunya kian dekat."
Samita menoleh. Ia mendapati Rukmi berdiri dengan raut muka muram. Perempuan tua itu lalu duduk di samping Samita dan membelai punggung tangan halus gadis itu.
"Sepanjang hidup, saya tak menginginkan hal-hal muluk.
Dulu saya hanya berpikir tentang kebahagiaan Putri Suciatma.
Sekarang hal itu sudah terwujud. Tugas saya sudah selesai."
Samita mereka-reka maksud hati Rukmi tanpa kata apa pun keluar dari bibirnya.
"Saya hanya ingin Nini yakin kepada kebenaran yang Nini junjung tinggi. Jangan ragu."
Mata Rukmi berkaca-kaca. Tapi dia tersenyum. Samita merasakan aura yang sangat sedih. Tanpa alasan yang jelas, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi gadis itu merengkuh Rukmi ke dalam pelukannya. Dia menumpahkan sedih hatinya. Pertentangan dalam dirinya.
Masih tanpa kata-kata. Hanya debur jantungnya seolah membahasakan semua jerit hatinya. Ia beruntung karena Rukmi mema- haminya. Sangat paham.
Menjelang fajar, Samita tak menemukan Rukmi di pembaringan yang biasa mereka gunakan untuk beristirahat.
Tidak biasa-biasanya Rukmi pergi tanpa pamit. Tapi Samita tak terlalu memikirkannya. Dia segera melaksanakan kebiasaannya melakukan sembahyang fajar. Lalu setelah membersihkan diri, dia menunggu pagi sambil melakukan latihan ringan.
Bermeditasi untuk mengatur aliran darah dan membuat badan bugar.
Hingga hari terang, Rukmi belum juga kembali. Samita mulai gelisah, lalu keluar kamar menanyakan hal itu kepada pelayan penginapan. Pelayan itu mengaku memang melihat Rukmi yang keluar penginapan saat hari masih gelap. Tapi perempuan tua itu tak mengatakan hendak ke mana.
Mencoba untuk tak panik, Samita lalu menenangkan pikirannya, bersabar menunggu hingga petang. Tapi tak ada kabar dari Rukmi. Samita keluar dari penginapan dan mulai mencari-cari. Kepada orang-orang yang tak dikenalnya, Samita menanyakan perihal Rukmi. Para pedagang di pinggir jalan, prajurit yang sedang berpatroli, bahkan sekadar orang lewat pun ditanyainya. Tetap tak ada informasi.
Malam harinya, Samita kembali ke penginapan dengan wajah pucat penuh khawatir. Ia gelisah bukan main. Tak tenang melakukan apa pun. Terlebih untuk memejamkan mata. Setelah sembahyang malam, air mata Samita mengalir deras. Dia tersedu-sedu mohon perlindungan untuk Rukmi.
Tengah malam, Samita benar-benar tak sanggup memejamkan mata. Dia sibuk berpikir tentang kemungkinan.
Hingga terpikir olehnya untuk mendatangi Respati, minta pertolongan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pikirannya yang mengembara dihentikan oleh suara langkah di atap kamar tempatnya berandai-andai. Samita segera mendekat ke jendela. Sekali lompat, tubuhnya melompat ke atap bangunan dan mengejar bayangan hitam yang tadi mengendap-endap.
Mereka terus berkejar-kejaran hingga ke pinggir kota.
Sebuah danau tenang yang permukaan airnya berkilau tertimpa cahaya bulan. Samita sesaat tertegun. Di tempat itu, dua tahun lalu, dia berbicara dengan Respati, malam sebelum rombongan Laksamana Cheng Ho meninggalkan Majapahit.
Samita langsung membuyarkan lamunannya dan memandang sosok bercadar di depannya. Orang itu lalu melepaskan cadarnya perlahan.
"Danurdara!"
"Hui Sing, apa kabar?"
Samita memandang heran ke arah lelaki gagah di hadapannya. Dia orang terdekat Respati yang kini menjabat sebagai kepala bhayangkari menggantikan Respati. Dulu, meskipun tak dekat, Samita sempat pula berteman dengan Danurdara.
"Baik. Sangat baik. Ada apa rupanya hingga seorang kepala bhayangkari mengendap-endap di penginapan pinggir kota malam-malam begini?"
Danurdara mengajak Samita untuk masuk ke dangau di pinggir danau. Bangunan sederhana itu masih seperti dua tahun lalu. Kaki-kaki bambunya menancap ke dalam air danau. Meskipun tak terlihat kokoh, namun waktu membuktikan bahwa bangunan ini cukup kuat.
"Aku tahu kau telah datang ke Majapahit sepekan lalu.
Hanya aku ragu untuk menemuimu."
Samita mengangkat dagunya.
"Selama ini kau dekat dengan Respati. Tak terlalu mengenaliku. Apa alasanku untuk mengunjungimu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Danurdara, maaf. Aku sangat senang kau mau menemuiku. Bagaimanapun kita teman lama. Tapi malam selarut ini, rasanya tak tepat untuk melakukan pertemuan."
"Maaf. Aku terlalu berbasa-basi, Samita. Aku juga tahu kau telah mengganti namamu menjadi Samita. Ada hal penting yang ingin kusampaikan kepadamu."
Dahi Samita berkerut. Ia menunggu.
"Ini tentang perempuan tua yang selalu bersamamu."
"Mbok Rukmi. Kau tahu kabar tentang Mbok Rukmi?"
Danurdara mengangguk.
"Dia kini ditahan di kediaman rakryan rangga." "Apa"!"
"Pagi tadi, orang tua itu datang ke kediaman Kakang Respati. Dia ngotot ingin bertemu dengannya karena ingin menyampaikan berita."
Jantung Samita berdegup kencang. Dia mulai menduga-duga.
"Ketika itu, dia bertemu dengan Anindita dan langsung menyemprotnya dengan kata-kata pedas."
"Dia mengatakan bahwa Anindita bertanggung jawab atas pembunuhan Rakryan Rangga Abyasa, dua tahun lalu.
Mendengar hal itu, Anindita langsung memerintahkan kepada prajurit untuk menangkap Mbok Rukmi."
"Apakah Kakang Respati sudah mengetahuinya?"
Napas Samita memburu karena amarah. Dadanya penuh sesak oleh kesal.
"Dua hari ini, Kakang Respati dipanggil oleh Prabu Wikramawardhana untuk membahas suatu masalah. Besok baru kembali."
"Aku akan menjemput Mbok Rukmi sekarang juga."
Tanpa memedulikan Danurdara yang berteriak melarangnya, Samita segera beranjak dari dangau itu. Tapi, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tiba-tiba dia menghentikan langkah, lalu membalikkan badannya.
"Kenapa kau mengatakan semua ini padaku, Danurdara?"
Ada curiga yang menyeruak dari balik kata-kata itu.
Danurdara tercekat tanpa sanggup mengeluarkan suara. Tapi dia segera tersenyum.
"Aku hanya tak ingin melihatmu menderita, Samita."
Samita melihat ada yang lain di mata Danurdara. Hampir sama dengan yang selama ini ia temukan pada pancaran mata Respati. Namun, Samita tak ingin berlama-lama terpaku pada titik waktu itu. Dia mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan langkahnya kembali ke penginapan.
Sampai di kamarnya, Samita menimbang-nimbang. Jika menuruti rasa hatinya, dia ingin segera melabrak kediaman rakryan rangga untuk membebaskan Rukmi. Namun, karena dia masih memandang Respati dan menghitung kemungkinan lain, termasuk ketidakmengertiannya kenapa Danurdara mendatanginya, Samita mengurungkan ketergesaannya.
Ia memilih menunggu pagi sambil terus berdoa demi keselamatan Rukmi. Dia lalu mengenakan kain hijau beludru di kepala dan kembali melakukan sembahyang untuk minta ketetapan hati dan ketenteraman pikiran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 13. Perginya Pendekar Sejati
Gerbang kediaman Rakryan Rangga Majapahit dijaga lebih ketat daripada biasa. Sedikitnya dua puluh prajurit berjaga-jaga di gerbang depan. Sedangkan di dalam, belasan prajurit lain berseliweran. Seperti tengah berwaspada. Pagi masih sangat muda. Sinar matahari belum lagi menerpa. Udara masih dingin menggigit tulang. Embun-embun bergoyang-goyang di atas dedaunan, menunggu kesempatan untuk menyatu dengan bumi. "Aku ingin bertemu dengan rakryan rangga." "Maaf, Nini. Rakryan Rangga Respati sedang menghadap sang prabu."
"Kalau begitu, pertemukan aku dengan Dewi Anindita!"
"Tanpa izin dari rakryan rangga, kami tak berani ceroboh, Nini."
Samita berdiri gagah. Hari ini istimewa rupanya. Dia mengenakan setelan gaun panjang berwarna putih. Kain bawahannya pun putih. Samita memilih warna yang sama untuk tali rambutnya. Pagi itu, dia menjadi yang tercantik di antara segala yang muncul di pagi hari.
Meskipun tak ada senyum yang menghias bibirnya, wajah itu demikian segar. Matanya berbinar dan pipinya merah menahan marah. Rambut panjangnya terurai panjang, tampak bertolak belakang dengan warna bajunya. Hitam mengkilat dan jatuh.
Ia memilih helaian rambut paling pinggir di depan kedua daun telinganya untuk ditarik ke belakang. Rambut itu menyatu di sana oleh kain putih.
"Apa benar kalian menangkap perempuan tua bernama Rukmi?"
"Mulutnya lancang. Pantas untuk dihukum!" Kalimat itu telanjur keluar dari mulut prajurit muda di depan Samita.
Meskipun dia tampak sangat menyesal mengatakannya, tapi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kelopak mata Samita telanjur membesar tanda dia paham dengan apa yang harus dilakukan.
"Tunjukkan di mana majikan kalian menyekapnya."
"Nini jangan memaksa. Kami hanya menjalankan perintah.
Kami sangat bisa berbuat kasar."
Tangan Samita bergerak kilat. Tahu-tahu dua ujung jarinya telah bersarang di leher prajurit muda itu.
"Aku tak menjamin keselamatan nyawamu jika tak mau mengatakan di mana kalian menyekap Mbok Rukmi!"
"Seraaang!"
Samita memutar tubuhnya menghindar ke belakang.
Ternyata dia tak setega itu. Membunuh hanya karena pertanyaannya tak terjawab sungguh bukan sikap kesatria.
Sedangkan para pajurit itu hampir tak peduli dengan nasib temannya yang sempat disandera Samita.
Satu hal yang mereka pikir, yakni menyelesaikan permasalahan yang merusak suasana pagi itu. Permasalahan itu tentu saja kehadiran Samita. Kini, dua puluh prajurit lebih menghunus senjata mereka masing-masing. Keris, pedang, dan tombak diangsurkan ke arah Samita.
"Kalian tak mau menunjukkan di mana Mbok Rukmi. Aku akan mencarinya sendiri."
Setelah mengatakan itu, Samita berjalan dengan langkah-langkah lebar tanpa gentar sedikit pun. Tak ada tawar-menawar lagi, para prajurit itu langsung menghadang Samita.
Saat itulah, kedua lengan Samita menghentak ke bawah, keluar asap tipis putih dari gerakannya itu. Tanpa sebab yang bisa dipahami, setiap prajurit yang menghadangnya langsung terpental dan tak bisa bangkit dalam sekejap.
Samita memang tak bermaksud membunuh. Hanya melumpuhkan. Hal itu terjadi beberapa kali. Sementara Samita terus berjalan dengan langkah penuh keyakinan, para prajurit Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi berusaha mengepung dan menghadangnya. Tapi kejadian yang sama terulang.
Tubuh-tubuh mereka terpental tanpa tahu sebabnya.
Sebab, Samita pun tak kelihatan bersusah payah menghalau serangan mereka. Dia hanya menggerakkan kedua lengannya ke arah bawah, sedangkan tapaknya mengarah kepada para penyerang.
"Samita, kau telah menentang Majapahit. Apakah kau tak memikirkan hukuman raja?"
Samita menghentikan langkahnya. Dia kini tersenyum, meskipun terkesan sinis. Di hadapannya, Anindita berdiri dengan sinar mata memusuhi.
"Apakah kau datang untuk merusak kebahagiaanku, Samita" Kau tak memandang persahabatan kita di masa lalu?"
Samita kehabisan kata-kata. Ketika semua perkataan buruk dan caci maki telah ada di ujung lidah, justru tak mudah untuk memuntahkannya.
"Minggirlah, Anindita. Atau tunjukkan tempat kau menyekap Rukmi agar aku tak perlu menghancurkan setiap bangunan di tempat ini untuk mencari tahu."
"Apa salahku padamu, Samita" Kemarin, kau suruh perempuan tua itu untuk menyebar racun tudingan palsu itu.
Kini, kau datang membuat onar."
"Oya" Begitukah?"
Sambil tersenyum mengejek, tubuh Samita bergerak sangat cepat. Kini, dua ujung jarinya sudah menempel di leher Anindita, siap menembus hingga ke tenggorokan.
"Kau lihat, Anindita. Dengan atau tanpa sandiwaramu yang memuakkan ini, bagiku sangat mudah untuk mengakhiri hidupmu."
Anindita tak menyangka Samita mengalami kemajuan ilmu kanuragan yang begini pesat. Bahkan, dia tak sempat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menghindar ketika tubuhnya tertotok begitu saja. Kini, malah nyawanya ada di ujung tanduk.
"Aku pikir kau tak akan melawanku sekarang, Anindita.
Bukankah itu akan membuka kedok bahwa kau sebenarnya adalah pesilat keji yang memiliki ilmu beracun?"
Anindita tak menjawab. Dagunya terangkat karena ujung jemari Samita menyodok tenggorokannya. Sementara para prajurit membentuk lingkaran untuk memastikan Samita tak akan bisa keluar dari tempat itu.
"Sudahlah. Kau tahu aku bukan pembunuh. Sekarang, tunjukan saja di mana kau sembunyikan Rukmi." "
Anindita membisu.
"Apakah kalian tidak tahu Mbok Rukmi adalah orang kepercayaan Putri Suciatma, istri sang prabu" Jadi, siapa sebenarnya yang akan diganjar hukuman berat?"


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anindita terkesiap mendengar kata-kata Samita. Ia akhirnya menyerah. Ia lalu menunjuk ke salah satu bangunan di bagian pinggir kompleks kediaman rakryan rangga itu.
Bangunan gudang. Samita sempat tersedak emosi melihatnya.
Jemarinya pun sempat menyodok tenggorokan Anindita lebih dalam sehingga membuat perempuan itu berkeringat dingin.
Samita tak bisa menerima perlakuan Anindita terhadap Rukmi.
Perempuan renta itu ditangkap layaknya maling dan kini disekap di dalam gudang.
Tanpa memedulikan Anindita lagi, Samita lalu mendatangi bangunan gudang itu. Sementara Anindita mengangkat tangan kirinya, menahan gerakan para prajurit, sementara tangan kanannya mengelus-elus batang lehernya. Samita menyentakkan tangannya. Seketika itu juga, pintu gudang porak-poranda. Hari ini, kesannya Samita benar-benar ingin pamer kekuatan.
Kemudian, dia memasuki bangunan yang agak berdebu itu dengan hati-hati. Masih terpikir oleh Samita untuk tak gegabah. Tak ada jaminan Anindita mengatakan hal Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sesungguhnya. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruang gudang. Matanya langsung membelalak ketika melihat sosok Rukmi tergeletak di lantai dengan tangan terikat.
Ia langsung menghambur ke tubuh perempuan renta itu dan memeluknya erat-erat. Air matanya menjadi hujan.
Melelehi pipinya yang sehalus pualam.
"Mbok Rukmi
Tak ada kata-kata lain. Samita lalu memeriksa denyut nadi Rukmi. Sudah tak ada, seperti dugaannya. Air mata itu semakin menjadi. Isaknya terta-han-tahan. Samita membelai rambut Rukmi dengan kasih sayang penuh. Dia menciumi kening keriput itu dengan kesungguhan.
Di benaknya, waktu berputar ke belakang. Malam itu, Rukmi seolah-olah telah berpamitan kepadanya. Kata-kata perempuan tua itu terngiang lagi. Ingatan-ingatan kebersamaan mereka seperti nyata terpampang di depan mata. Samita semakin hanyut dalam dukanya. Betapa sebelumnya dia hanya punya Rukmi. Sekarang, perempuan welas asih itu sudah pergi.
Masih dengan wajah yang basah air mata, Samita lalu memeriksa tubuh Rukmi dengan saksama. Lalu, membuka perlahan kelopak matanya. Dugaannya terjawab. Rukmi dibunuh, bukan mati wajar. Samita lalu kembali memeluk Rukmi erat-erat.
"Tenanglah, Mbok. Tak akan ada lagi perjalanan yang melelahkan. Kau akan merasa nyaman di sana."
Bibir Samita terus berkomat-kamit dengan suara lirih. Dia mengajak bicara jasad mati Rukmi dengan sepenuh hati.
Kadang-kadang dia tersenyum ketika bicara tentang hal-hal lucu yang mereka alami. Di waktu lain, matanya beranjak sayu ketika menyinggung hal-hal yang membuat trenyuh.
"Samita!"
Tak ada jawaban. Samita masih memeluk tubuh Rukmi dengan tatapan kosong. Sementara di pintu gudang, Sad Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati berdiri gagah dan siap siaga. Di belakangnya, puluhan prajurit berbaris penuh waspada.
"Samita, apa tujuanmu sebenarnya datang ke Majapahit?"
Tetap tak ada jawaban.
"Apakah benar kau menyuruh Mbok Rukmi untuk menyebarkan kabar bohong itu?"
Bulu-bulu mata Samita bergerak-gerak, tapi dia tetap membisu.
"Samita, apakah kau sudah memperhitungkan hukuman yang akan dijatuhkan raja atas hal ini?"
Respati mencengkeram Samita dengan pandangan ragu.
Di satu sisi, dia tak tega menekan Samita yang sedang berkabung. Di sisi lain, dia pun harus berbuat tegas menegakkan hukum.
"Siapa yang membunuh Rukmi?"
Suara Samita terdengar datar tanpa emosi.
"Dia datang ke sini dengan menyebar berita yang menghasut. Sangat wajar jika Anindita memerintahkan prajurit untuk menangkapnya. Tapi tentang kematiannya, itu masih harus diselidiki. Bisa jadi dia tak kuat, lalu kehabisan tenaga."
Samita tersenyum. Perlahan dia bangkit. Lengan kirinya ditelusupkan ke belakang lutut kaki Rukmi, sedangkan lengan satunya menahan leher perempuan malang itu.
Dia membopong jasad Rukmi, lalu berjalan menuju pintu gudang. Respati terpana melihat pemandangan itu.
"Samita, kau tahu aku tak mungkin melepaskanmu begitu saja!"
Samita tak menjawab. Dia terus berjalan menuju Respati dan para prajurit jaga.
"Turunkan jasad Rukmi dan biarkan kami menguburnya.
Sedangkan kau harus ditahan untuk pemeriksaan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kata-kata Respati tersapu angin. Lenyap tanpa bekas.
Melihat tak ada celah untuk berbicara, Respati mengulurkan tangannya untuk menotok Samita. Namun, perempuan berhati baja itu dengan mudah mengelak. Senyum dingin menghiasi bibirnya. Sontak ia memutar tubuhnya, melancarkan tendangan dengan kaki kanan. Respati hendak menangkis tendangan memutar itu. Namun, begitu merasakan angin serangan yang begitu dahsyat dia langsung bersalto menghindar dan keluar dari gudang.
Samita terus maju. Kini, dia yang membopong jasad Rukmi berhadapan dengan puluhan prajurit bersenjata lengkap.
Tanpa bicara lagi, tubuh Samita melesat disambut berbagai senjata tajam para prajurit.
Tanpa kedua lengannya yang kini menjaga agar tubuh Rukmi tak jatuh, Samita lebih banyak melakukan gerakan menghindar. Hanya sesekali kakinya menendang ke sana kemari dengan tenaga penuh. Itu saja sudah cukup membuat prajurit yang ada di dekatnya terjungkal dengan senjata lepas dari tangan.
"Hentikan serangan!"
Respati melompat dan langsung menyerbu Samita dengan serangan tangan kosong. Baginya, lebih baik dia turun tangan daripada puluhan prajurit menyergap tanpa perhitungan.
Menghadapi Respati dua kali lipat lebih sulit dibandingkan merobohkan belasan prajurit. Karena itu, Samita benar-benar berhati-hati. Beban membopong jasad Rukmi saja sudah membuatnya repot. Kini, dia dihadapkan dengan serangan jurus Hana-caraka yang membuatnya semakin terdesak.
Srennnnnnggg! Sinar biru membelah udara. Dalam sekejap, keris Angga Cuwiri telah menawan Samita yang kini tak bisa berkutik lagi.
Tapi, gadis itu sama sekali tak gentar. Ia menatap Respati dengan pandangan yang mencengkeram. Untuk pertama kali sepanjang mereka kenal, Samita berani menantang sinar mata Respati dengan kilat amarah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Jadi, ini pertempuran yang kau anggap adil, Kakang?"
"Turunkan jasad itu! Lalu, serahkan dirimu agar semua permasalahan ini bisa selesai!"
Ujung keris yang panjangnya sama dengan pedang itu mengarah ke leher Samita. Respati tampaknya tak main-main.
Meskipun tak ada amarah dalam sinar matanya, namun lantang suaranya tak ragu sama sekali. Menghentak dan membuat ngeri.
"Pendekar macam apa jika orang bersalah justru dibela, sedangkan si lemah malah ditindas!"
Mata Respati melebar. Dia coba membaca arti kalimat Samita dengan saksama. Dia tahu benar, Samita perempuan cerdas yang teliti. Tak mungkin mengeluarkan kata sia-sia.
"Beri aku kalimat yang membuatku berpikir dua kali tentang tudingan kejimu itu?"
Samita tersenyum dingin.
"Dua tahun lalu, saat bertempur dengan orang bertopeng di atas keputren, aku berhasil melukainya. Dua atau tiga lempengan besi senjatanya justru melukainya sendiri. Waktu dua tahun, kukira belum bisa menghilangkan bekas luka di bawah bahunya!"
Respati tampak berpikir. Kesan wajahnya berangsur berubah sama sekali. Sedikit pucat. Lalu, perlahan keris yang ditodongkan ke leher Samita ia turunkan.
"Pergilah. Aku akan datang kepadamu untuk meminta maaf setelah kuselesaikan urusan ini."
Para prajurit yang mengepung arena laga itu terbengong-bengong. Bagaimana mungkin junjungannya begitu saja melepaskan lawan yang sudah ada di genggaman tangan hanya karena kalimat yang kedengarannya tak berarti apa-apa. Tapi, mereka tak berani menentang. Begitu Respati memberikan tanda, mereka langsung membelah barisan, agar Samita bisa keluar dari tempat itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Dengan tenang, Samita pun berjalan dengan langkah kemenangan. Matanya memperlihatkan rasa lega yang dalam.
Sementara Respati berdiri dengan kesan wajah yang sulit ditebak. Matanya menerawang tak percaya. Perlahan dia memasukkan kembali Angga Cuwiri ke dalam warangkanya.
"Bagaimana mungkin Samita tahu ada bekas luka di bawah bahumu, Anindita?"
"Jika kakang lebih percaya terhadap orang lain dan meragukan istri sendiri, buat apa aku menjawab omong kosong ini?"
"Jawab saja pertanyaanku!"
Anindita tersentak. Ini pertama kali sejak mengenal Respati hingga menjadi istrinya, ia dibentak dengan suara yang demikian galak. Wajahnya memucat. Matanya berkaca-kaca.
"Kami dulu begitu dekat. Mungkin saja suatu kali tanpa sepengetahuanku dia melihat luka itu, lalu menjadikannya sebagai alasan untuk bicara bohong."
"Seberapa dekat kalian hingga Samita bisa melihat bagian pribadimu?"
Anindita tak menjawab. Dia tergagap-gagap.
"Jawab yang benar. Sebenarnya, luka apa yang menembus tubuhmu hingga membekas begini lama?"
Anindita semakin bisu. Ia hanya memainkan ujung kain bajunya dengan gemas.
"Ketika Samita tinggal di Majapahit, aku sempat belajar beberapa gerakan silat. Dia melukaiku dengan pedang."
"Pembohong!"
Suara Respati menjadi halilintar. Seolah-olah seluruh ruangan itu hendak roboh. Sementara Anindita beringsut ke arah dinding kamar karena takut. Respati mendekatinya, lalu meraih rahangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Apa yang terjadi selama dua tahun ini" Aku menikahi perempuan yang sama sekali tidak aku kenal."
"Kakang percaya bahwa aku yang mendalangi pembunuhan Paman Abyasa?"
"Soal itu butuh sebuah pembuktian. Tapi, apa yang bisa kupercaya dari seorang istri yang membohongi suaminya selama dua tahun?"
Anindita kehabisan kata-kata. Air matanya terkuras.
Sementara Sad Respati tak peduli dengan hal itu. Ia bangkit dari pembaringan, lalu beranjak ke pintu kamar.
"Aku akan menghadap Ayahanda Sadhana."
Mata Anindita membelalak. Ia mencoba memanggil suaminya, namun tak dipedulikan. Anindita kehabisan akal, lalu membanting tubuhnya ke pembaringan. Menangis sejadinya.
Hati yang meranggas. Permukaan danau itu masih damai.
Suasana juga adem, meskipun matahari sedang terik-teriknya.
Pepohonan yang berjajar rapat di sekeliling danau mengusir rasa gerah. Namun bagi hati Samita yang demikian gersang, semua itu tak bisa mengusir gundah dan nuansa berkabung.
Ia berdiri takzim di depan pusara yang masih basah. Di pinggir Danau Tirta Kusuma, ia kuburkan jasad Rukmi dengan baik. Kini, dia menatap gundukan tanah di depannya dengan nelangsa.
"Cukup sandiwaramu, Samita. Aku akan mencabut nyawamu!"
Sebuah bayangan melesat kencang dengan pedang terhunus. Tanpa memberi kesempatan kepada Samita untuk bersiap, dia langsung memba-batkan pedangnya. Sementara Samita yang sadar akan bahaya mencelat ke udara, lalu melakukan salto ke belakang.
"Kebenaran akan selalu terkuak, Anindita!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tubuh Samita berputar membuat pusaran. Serta-merta dari lengan bajunya meluncur sabuk perak yang menyilaukan.
Anindita pernah sekali berhadapan dengan sabuk ampuh itu dua tahun lalu dan kalah. Sekarang, dia membabi buta membinasakan Samita dengan jurus-jurus beracun yang ia latih keras selama dua tahun terakhir.
Tapi, permainan sabuk Samita pun semakin matang setelah gadis itu mendalami kitab Kutub Beku di dasar jurang Medangkamulan. Serangan pedang Anindita yang ganas dan menebar racun justru terkepung oleh pusaran sinar perak dari sabuk Samita.
Lingkaran-lingkaran menyilaukan terus menyerbu Anindita dari berbagai arah. Sementara Anindita memainkan jurus pedang kejam. Selain batang pedang yang sudah dilumuri racun, tebasan pedang itu terasa betul tanpa ampun.
Membacok untuk membunuh.
Samita yang sudah berpengalaman menghadapi jurus keji itu, sengaja tak memberi kesempatan ujung pedang Anindita untuk mendekati tubuhnya. Dia memutar tubuhnya hingga pakaian bawahnya mekar seperti cendawan. Pada saat yang sama, ujung sabuknya terus mengincar dua kaki Anindita.
Suara berdesing begitu ramai. Anindita me-lucurkan senjata rahasianya berupa lempengan-lempengan besi beracun. Samita bersalto, mengelak. Saat selanjutnya, sabuk di tangannya kembali meluncur deras menyerbu Anindita.
Istri Rakryan Rangga Majapahit itu mulai kehabisan kesabaran karena serangannya belum juga berhasil menyentuh tubuh Samita. Ia lalu melompat sambil menodongkan pedangnya. Sementara kedua kakinya terangkat untuk menyentak. Serta-merta pedangnya ditebaskan ke udara, melepas tenaga dalam.
Samita yang menyadari datangnya serangan berbahaya, segera melindungi dirinya dengan jurus nuruty doty. Sabuk peraknya membentuk pusaran yang melindungi tubuhnya. Dua tenaga dalam beda kutub bertemu. Tubuh Anindita terlempar Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi ke belakang. Pedangnya terlempar dan menancap di tanah dengan gagang bergetar. Samita menggeser kakinya beberapa langkah menjaga keseimbangan tubuhnya.
Anindita merasakan seluruh tubuhnya lungkrah. Sendi-sendi tubuhnya seperti terlepas dan tercekat hawa yang dingin. Dia tak akan sanggup lagi meskipun sekadar untuk mendarat dengan tegak. Untunglah ada sepasang lengan kokoh yang menyambut tubuh Anindita sebelum terbanting ke tanah.
"Samita, tunggulah di sini. Setelah kuselesaikan masalah ini, aku akan mendatangimu!"
Begitu mendapati tubuh istrinya terkulai dalam pelukannya, Respati berlari meninggalkan tempat itu dengan kilat. Samita tertegun di tempatnya berdiri. Beberapa saat kemudian, dia menghampiri gundukan tanah kuburan jasad Rukmi. Terpekur lagi di sana tanpa suara.
"Kakang mau menemui perempuan itu?"
Anindita bersandar di pinggir pembaringan dengan dahi berkerut melihat suaminya sibuk memilih-milih pakaian dan beberapa barang yang kemudian ia masukkan ke dalam buntalan kain.
"Kakang hendak meninggalkan aku dan menemui Samita?"
"Aku baru saja menghadap sang prabu dan mengundurkan diri dari jabatan rakryan rangga." Mata Anindita membelalak.
"Aku akan pergi ke Tuban dan mungkin tak akan kembali ke Majapahit."
"Lalu, kau anggap apa pertalian suci suami istri di antara kita, Kakang?"
Respati menghentikan gerakannya. Menatap Anindita tanpa senyum.
"Apanya yang suci" Kau membohongiku sejak awal perkawinan kita."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Anindita merasa napasnya tercekat di tenggorokan.
Sementara Respati melanjutkan kesibukannya.
"Aku sudah menemui ayahanda Sadhana. Aku akan meninggalkan Majapahit dan mungkin menjadi pendeta."
Anindita yang kehabisan tenaga setelah bertempur dengan Samita, tak bisa banyak bergerak. Dia hanya menggeliat sesekali, memperlihatkan protes diri. Masih untung Samita memang tidak mengeluarkan seluruh tenaganya, hingga dia tidak terluka dalam.
"Menjadi pendeta" Bagaimana denganku, Kakang?"
"Hubungan kita tak mungkin diteruskan lagi, Anindita. Jika dipaksakan pun pasti akan menyakitkan. Sudahlah. Kita cari jalan hidup kita masing-masing."
Anindita terpaku di tempatnya. Bibirnya bergetar hebat.
Bahkan, dia tak kuat untuk mengeluarkan sumpah serapah sekali pun. Anindita menatap Respati dengan sinar mata berkilat. Ia masih tak bisa berbuat apa pun dan tak berusaha melakukan apa pun ketika Respati kemudian bergegas meninggalkan ruangan kamar mereka.
"Terima kasih. Bagaimanapun, kita pernah saling mencintai. Aku sangat menghargai caramu mencintaiku.
Hanya ini semua tak akan berhasil."
Respati segera berlalu setelah mengatakan kalimat itu.
Sementara Anindita mulai menguras air matanya tanpa suara.
Hatinya mengeraskan kebencian yang amat sangat.
"Ke Tuban?"
Respati mengangguk. Dia sekilas menatap paras Samita yang masih berkabung. Keduanya kini berdiri di dangau pinggir Danau Tirta Kusuma yang dulu menjadi tempat keduanya mengucapkan selamat tinggal. Kini, saat-saat itu terulang kembali.
"Aku pernah bertemu dengan seorang arif di sana.
Barangkali beliau mau mengangkatku menjadi murid. Mungkin Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi setelah itu, aku tak akan pernah peduli terhadap masalah dunia lagi."
Samita tak bersuara. Hanya bola matanya beberapa kali bergerak gelisah. Hari semakin sore.
"Samita, terima kasih."
Samita menoleh, lalu menatap Respati dengan pandangan tak paham.
"Aku tahu perjalanan sulit yang engkau tempuh dua tahun ini untuk mengingatkanku siapa Anindita sebenarnya.
Sungguh aku sudah merepotkanmu."
Samita mengalihkan pandangannya, menumbuk
permukaan air danau yang datar dan diam.
"Danurdara menceritakan semuanya kepadaku."
Samita kembali menoleh ke arah Respati dengan alis mata yang hampir bertaut.
"Danurdara?"
Respati mengangguk.
"Saat Mbok Rukmi mendatangi kediamanku, Danurdara ada di sana karena ingin menemuiku. Begitu Anindita memerintahkan prajurit untuk menyekap Rukmi, dia sempat menemuinya di gudang karena didorong rasa penasaran. Saat itulah, Rukmi berpesan kepada Danurdara untuk menyampaikan semua yang ia ingin katakan kepadaku."
"Pesan" Pesan apa?"
"Mbok Rukmi menceritakan dari awal kau turun dari kapal pusaka, jatuh ke jurang Medangkamulan, bekerja di rumah makan Nawa Rawi, hingga perjalanan ke Majapahit."
Pipi Samita memerah. Wajah Rukmi segera berkelebat dalam benaknya. Perempuan terkasih itu masih melakukan sesuatu untuk dirinya pada saat terakhir kehidupannya.
Sebenarnya, Samita memang ingin mengisahkan semua Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kesulitan hidup yang ia jalani untuk bisa kembali ke Majapahit dan menyadarkan Respati siapa sebenarnya Anindita.
Hanya, semangat itu serta-merta menguap ketika melihat kebahagiaan Respati bersama Anindita, hingga dia tak tega mengatakannya.
"Mbok ...."
Nada lirih keluar dari bibir Samita. Dia kembali melempar pandangannya ke gundukan tanah yang tak jauh dari tempat ia dan Respati berdiri. Di sana, jasad perempuan mulia itu terbaring untuk selamanya.
"Aku sungguh minta maaf karena telah banyak menyusahkanmu, Samita!"
Samita mengangguk tanpa menjawab apa pun. Ia pun tak sanggup menatap sepasang mata Respati yang menyimak setiap perubahan kesan pada wajahnya dengan saksama.
"Aku pamit."
Respati tersenyum pada Samita yang perlahan menoleh ke arahnya. Senyum itu begitu menghunjam dan menghabiskan nalar. Samita menatap Respati dengan bola mata berkaca-kaca. Senyum itu belum pudar. Respati seperti menikmati saat-saat tersulit itu.
Di kedua pipinya, terbentuk jurang kecil yang menambah terjajah rasa hati Samita.
Buru-buru gadis itu mengalihkan pandangannya dari Respati.
"Aku berharap Kakang menemukan kesejatian hidup yang Kakang cari."
Respati mengangguk. Ia beberapa kali mengucapkan terima kasih, sebelum perlahan meninggalkan dangau itu, menaiki kudanya, lalu memacunya menjauh. Bahkan, Respati tak sempat menanyakan rencana hidup Samita selanjutnya.
Padahal, gadis itu benar-benar hitam menatap masa depan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Setelah Rukmi tiada dan tujuannya ke Majapahit telah tercapai, apa lagi yang hendak ia lakukan"
"Apa yang salah dari caraku mendidikmu, Anindita?"
Sadhana termangu. Ia berdiri menghadap jendela kamar, membelakangi Anindita yang masih terbaring di dipan pribadinya. Lelaki setengah tua itu tak mendapat jawaban.
Tapi, dia pun rupanya tidak begitu mengharapkan jawaban dari bibir Anindita. Dia justru tenggelam dalam lamunan yang ia bangun.
Tangannya menyatu di belakang pinggang. Mahapatih Majapahit itu masih tampak agung meskipun seluruh rambutnya sudah memutih. Tapin sekarang matanya berkaca-kaca.
"Apa yang harus aku katakan kepada ibumu di alam baka, Nduk"
Anindita masih juga diam. Dia malah sibuk memainkan ujung kain selimut yang menutup tubuhnya nyaris sampai ke leher. Pandangan perempuan itu kosong.
"Apa alasanmu memilih semua ini?"
Kali ini Sadhana betul-betul butuh sebuah jawaban. Dia membalikkan tubuhnya, menghadap putri semata wayangnya itu.
"Aku melakukan semuanya untuk Ayah."
Suara serak Anindita terdengar pelan. Kata demi kata diselingi isak yang tertahan. Matanya mulai mengalirkan air mata.
"Apa katamu?"
"Paman Abyasa jelas mengincar jabatan mahapatih, Ayah.
Selama hidupnya pun, dia selalu iri terhadap ayah dan berpikir untuk menyingkirkan Ayah."
"Itu alasanmu membunuh?" Anindita membisu.
"Katakan Anindita!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Membunuh atau dibunuh."
Sadhana terkesiap. Bibirnya bergetar. Matanya membelalak. Tangannya mengayun, nyaris menghajar pipi halus Anindita. Nyaris, karena telapak tangan itu tertahan, lalu lemas.
"Kepada siapa kau belajar cara hidup hewani itu, Nduk?"
Anindita tak menjawab. Air matanya sudah kering. Kini, terpancar kebengisan di sana.
"Siapa gurumu yang engkau sembunyikan bertahun-tahun itu?"
Masih diam. Sadhana menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Baiklah, ini takdir. Sia-sia semuanya. Bagaimanapun, engkau darah dagingku, Anindita."
Sadhana kembali membalikkan tubuhnya, menghampiri jendela kamar. Sikap berdirinya persis seperti semula.
"Ayah tak sanggup membodohi diri sendiri. Ayah akan mengundurkan diri dari jabatan Mahapatih."
Giliran Anindita terkesiap. Tapi, tetap tak satu kata pun keluar dari bibirnya.
"Kau. Kau pergilah jauh-jauh dari Majapahit. Ayah bisa melindungimu, tapi tak bisa membohongi raja. Ayah akan menceritakan semuanya. Pergilah jauh-jauh. Ayah akan memohon agar sang prabu berkenan menjatuhkan hukuman kepada ayah, menggantikanmu."
"Ayah!"
Sadhana tersenyum.
"Ayah tak ingin kau terluka, tapi Ayah juga tak ingin mengkhianati sang Prabu."
Anindita tergugu di tempatnya berbaring.
"Lekaslah berkemas. Jika tak ada lagi pertemuan antara kita, Ayah harap kau bisa mengambil sisi baik dari kejadian ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pikirkanlah! Sebab Ayah pun tak paham, apa sisi baik dari semua hal yang kau lakukan."
Setelah mengatakan itu, Sadhana menoleh ke arah Anindita. Matanya sungguh berkaca-kaca. Tapi, keteguhan hati lelaki gagah itu menang. Dia melangkah penuh keyakinan menuju pintu kamar. Meninggalkan Anindita yang masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. Beberapa saat kemudian, ketika kesadaran telah terkumpul penuh pada benaknya, Anindita segera bangkit. Secepat-cepatnya dia harus pergi. Sejauh-jauhnya dia harus berlari. Membawa dendam, berbekal benci yang menjadi-jadi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 14. Kekasih Bisu
Siang itu, di Bukit Medangkamulan, maut menari. Mayat-mayat prajurit Majapahit bergelimpangan. Darah berceceran, menyinggung batang-batang ilalang dan pucuk-pucuk rumput yang menghijau. Suara erangan rata di padang yang tak terlalu luas itu. Masih ada yang hidup. Satu-dua orang yang menyeret tubuhnya untuk menghindari maut.
"Ampun, Nini. Saya hanya prajurit. Hanya melaksanakan perintah. Ampuni saya, Nini."
Bunyi angin menderu. Bersamaan dengan itu, tubuh si prajurit langsung lunglai dengan suara tercekik di lehernya, melepas nyawa. Barangkali bibir perempuan bertopeng itu menyeringai. Tak tampak memang karena topeng kayu buruk yang ia kenakan mematikan kesan apa pun di permukaan wajahnya.
Ia lalu melangkah penuh kesombongan di antara mayat-mayat prajurit Majapahit yang saling tindih. Mencari-cari rintihan dan tanda-tanda kehidupan. Lalu, segera mematikannya dengan sekali kibas.
Kecapi di tangan kanannya mengeluarkan suara tipis saat diterpa angin.
Kenyamanannya bercumbu dengan kematian terhenti ketika angin menderu memendarkan rambutnya yang panjang terurai. Begitu juga dengan jubah hitam yang ia kenakan.
Sesaat kemudian, meledak tawa dari segala arah. Menggema oleh tenaga dalam yang menyedak gendang telinga.
"Dewi Kecapi Maut. Nama yang terlalu hebat untuk ilmu yang begini cetek."
Gerakan perempuan bertopeng itu benar-benar mandek.
Dia mengumpulkan kemampuannya untuk tahu di mana lawannya kini berada. Tapi tak semudah itu. Ia memilih diam menunggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lehernya menoleh ke samping dan menemukan dua lelaki bertampang kucel berdiri dengan tangan berkacak pinggang.
Satu di antaranya sudah ia kenal. Lowo Ijo, lelaki pengecut yang kabur dari kejarannya berbulan-bulan lalu, kini telah berdiri dengan wajah mengejek.
Di sampingnya, seorang lelaki yang lebih tua juga berdiri jumawa. Seluruh rambutnya sudah putih. Menjemukan sekali wajah lelaki itu. Matanya memancarkan sinar licik. Bibirnya selalu menyeringai. Rambutnya panjang gimbal.
"Jadi, ini penerus Dewi Kecapi Maut. Cepat kau pulang ke gurumu. Suruh dia datang ke sini agar bisa kuberi pelajaran."
Sejak muncul pertama kali di kediaman Rakryan Kesusra, perempuan aneh ini tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Kecuali saat ia melengking menembangkan syair bernada satir dan mencekam. Sejak itu, dia dikenal dengan julukan Setan Kecapi Bisu yang menggegerkan dunia persilatan.
Dia pembunuh berdarah dingin yang tanpa ampun mencabut nyawa seseorang tanpa alasan yang jelas. Tak terhitung berapa prajurit Majapahit yang tewas di tangannya.
Ia seperti mendendam terhadap setiap prajurit yang belum tentu berdosa itu.
Kini, di hadapannya berdiri guru dan murid yang merajai dunia hitam. Siluman Laut Kidul dan salah seorang muridnya, Lowo Ijo.
"Pantas julukanmu setan bisu. Barangkali gurumu telah memenggal lidahmu, Bocah!"
Tetap tak ada jawaban. Lowo Ijo yang sejak tadi berdiri diam dan merasa aman di samping gurunya, maju ke depan.
Kali ini tanpa bicara apa-apa, dia langsung menghunus pedang besarnya dan memburu tubuh perempuan bertopeng buruk itu.
Suara ribut pecah ketika pedang besar dan beracun itu menabrak udara dan terus meluncur. Tadinya, Setan Kecapi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi itu tak bergerak sedikit pun. Seperti sedang mereka-reka kapan dia harus bertindak. Pada titik waktu yang pas, tubuhnya berputar dan menyambut pedang Lowo Ijo dengan badan kecapi kayunya.
Nada bising berdengung ketika dawai-dawai pada kecapi maut itu terhantam pedang. Namun, tak satu pun putus.
Padahal, Lowo Ijo telah mengerahkan tenaga yang cukup kuat.
"Ini untuk nyawa Kakang Kolo Ireng."
Lowo Ijo kesetanan. Dia memutar pedangnya dan membabat ke seluruh titik mati Setan Kecapi. Lowo Ijo seperti lupa, berbulan-bulan lalu, dia dan Kolo Ireng dibuat malu karena tak sanggup melakukan apa pun untuk merobohkan Setan Kecapi itu.
Kini, begitu gurunya ada di tempat itu, Lowo Ijo seperti mendapatkan tambahan tenaga. Namun, semangat saja tak cukup. Setan Kecapi menggerakkan badan kecapinya ke segala arah, menghalau pedang Lowo Ijo. Sementara, tangan kirinya memainkan jurus Cakar Siluman yang pernah membuat gempar para pendekar puluhan tahun lalu. Lowo Ijo tak menyerah. Dia mempertaruhkan semua jurus yang ia kuasai dan nama angkernya sebagai Iblis Laut Kidul yang sangat ditakuti. Seolah ingin membayar rasa malunya, Lowo Ijo bertarung habis-habisan.
"Segara Wisa!"
Lowo Ijo menghentakkan tangan kirinya, mencuri kelengahan Setan Kecapi. Namun, dia terlalu menganggap enteng kelihaian perempuan itu. Sekali meliukan tangan, Setan Kecapi sudah mampu mengubah posisi tangannya dan menyambut tapak berbisa dari jurus keji itu.
Tenaga dalam yang dibenturkan itu membuat kedua orang yang sedang berhadapan itu terpental. Jika Setan Kecapi langsung bisa berdiri tegak, setelah beberapa kali menggeser kakinya ke belakang, Lowo Ijo tak begitu. Lelaki itu terpental Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi jauh ke belakang dan terbanting ke tanah sambil memegangi dadanya.
"Kau pantas menjadi penerus Dewi Kecapi Maut."
Siluman Laut Kidul berdiri dengan tangan menyatu di belakang pinggang. Dia mengamati perubahan gerak Setan Kecapi yang sangat halus. Langsung mengingatkannya pada sosok Dewi Kecapi Maut yang sempat membuatnya jatuh hati sekaligus benci setengah mati, puluhan tahun lalu.
Meskipun sama-sama menjadi tokoh golongan hitam, keduanya tak pernah rukun. Sejak muda, mereka selalu bertikai. Bertemu untuk saling menjajal ilmu. Hingga sama-sama renta, keduanya tetap tak mau berdamai. Hingga dua puluh tahun lalu, Dewi Kecapi menghilang dari dunia persilatan. Kini, Siluman Laut Kidul berhadapan dengan penerus Dewi Kecapi Maut yang tak kalah aneh dibandingkan gurunya. Bahkan lebih aneh.
Kedua tangan majikan Gua Tengkorak itu mengangsur ke depan. Langsung menghentak dengan kekuatan penuh. Angin besar menerjang Setan Kecapi yang masih berdiri tenang.
Begitu sadar kekuatan lawan, perempuan itu langsung menancapkan kecapinya ke tanah, lalu menyusul lawannya menyentakkan tangannya ke depan, melepas tenaga dalam terhebat.
Lagi-lagi tumbukan tenaga dalam hebat terjadi. Kali ini, tubuh Setan Kecapi yang terlontar. Dia terseret tenaga dalam lawan hingga beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya bahkan langsung ambruk ke tanah tanpa langsung bisa berdiri. Saat itu pula, terjadi beberapa kali ledakan memekakkan telinga, disusul asap tebal yang menutup pandangan mata.
Lowo Ijo dan gurunya mengibas-ibaskan tangan untuk menghalau asap tanpa racun itu. Perlahan, asap itu menipis dan menghilang sama sekali. Setan Kecapi telah lenyap.
"Tak perlu dikejar!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lowo Ijo menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah gurunya.
"Kita tak tahu siapa yang menolongnya. Jika kesaktiannya sama dengan Setan Kecapi, kita akan kalah."
Lowo Ijo menatap gurunya tanpa berkedip.
"Tenagaku terkuras. Pukulannya sedikit meninggalkan luka dalam di dadaku. Tak perlu dikejar. Yang penting, utang malu kita terbalas."
Lowo Ijo mengangguk paham. Ia menghampiri gurunya, lalu mereka berjalan meninggalkan padang penuh mayat itu dengan hati puas.


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Windriya mengangsurkan potongan batang bambu yang sudah diisi dengan air segar. Di depannya, Setan Kecapi tengah bersila sambil mengatupkan kedua tangannya. Ia sedang berusaha mengurangi rasa sakit akibat luka dalam terkena pukulan berbisa Siluman Laut Kidul.
"Ini kecapimu!"
Windriya memang tak mengharapkan jawaban.
Dia langsung beringsut agak menjauh, lalu du- duk membelakangi Setan Kecapi. Mereka berdua kini ada di depan pondok tua Windriya.
Pemuda itu seperti tak ambil pusing dengan keadaan perempuan keji yang baru saja ia tolong itu. Peledak asap merupakan senjata rahasia Windriya yang digunakan untuk menyelamatkan diri saat terjepit keadaan genting. Nyatanya, beberapa kali senjata itu bisa menyelamatkan nyawanya.
Windriya baru saja hendak menempelkan bibirnya di lubang seruling bambu kesayangannya, ketika gerakan tangannya terhenti.
"Tidakkah kau lelah membunuh begitu banyak orang?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tak ada jawaban. Windriya nyengir, lalu belagak membersihkan serulingnya dengan ujung bajunya yang semakin ketara usang.
"Jika dendam bisa memanggil nyawa yang telanjur melayang, aku akan menyebar bibitnya di ladang yang luas.
Jika kesumat mampu mengembalikan waktu yang tertinggal, akan kuperas seluruh darahku untuk membenci."
Windriya mulai bersyair. Itulah teman hidupnya. Kata-kata yang mengalir lewat lidahnya, mewakili hati, menghibur kesendirian yang ramai. Itu pula yang ia lakukan dua tahun terakhir. Setelah memutuskan untuk tinggal di bibir jurang Medangkamulan, Windriya seorang diri saja menghabiskan waktu dari pagi kembali ke pagi.
Selain serulingnya yang mendayu-dayu, pemuda itu gemar betul bersyair, meskipun tak ada yang mendengarkan atau menikmati. Dia nyaman seorang diri. Menunggu seseorang yang ia yakini pasti datang.
Windriya lagi-lagi mengusap permukaan seruling bambunya. Setelah puas, ia kemudian mulai meniup-niup lubang seruling itu, bergantian memunculkan irama syahdu dan memanjakan pendengaran. Kedua mata pemuda itu memejam. Seperti penikmat masakan yang mencium aroma hidangan yang lezat dan istimewa.
Sampai beberapa lama, Windriya terus-menerus seperti itu. Hingga ia benar-benar puas.
"Kau suka mendengarkan seruling?"
Windriya menghentikan permainannya. Dia lalu menoleh ke arah Setan Kecapi tadi bermeditasi. Kosong. Perempuan bertopeng itu sudah lenyap. Tanpa suara, tanpa kata pamit.
Bahkan, batang bambu tempat air yang disediakan Windriya pun tak pindah dari tempat semula. Mata Windriya sayu. Ia harus menunggu lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi BAB MAGABATHANGA
15. Kakek Sableng
Perbatasan Canggu.
Tanah-tanah berdebu. Siang yang terik rasanya menguapkan semua air yang ada di dalam tubuh.
Kerongkongan tercekik rasa haus yang menghebat. Musim panas rasanya tak berujung. Dedaunan hijau tak cukup sakti untuk mengusir panas penyengat kulit.
Seorang penunggang kuda menghela tunggangannya perlahan. Tak seperti sebelumnya, ketika ia menarik kekang kuda seolah mengajak binatang itu untuk terbang tanpa menginjak bumi. Secepat-cepatnya sampai ke tujuan. Kini, kuda itu berjalan pelan seolah ingin menikmati suasana di kanan-kirinya.
Sad Respati, penunggang kuda itu, membiarkan dirinya mengikuti irama kaki tunggangannya. Ter-sentak-sentak dengan jeda waktu yang demikian teratur. Ringkik kuda sesekali memecahkan suasana yang bisu. Respati mengedarkan pandangannya. Baru sampai Canggu.
Perjalanan masih sangat jauh untuk ke Tuban, kota yang dipilihnya sebagai tempat mencari kesejatian hidup.
Pengalaman sesaat ketika dia bertemu dengan seorang arif di kota pelabuhan itu, membuat tekadnya selalu menghentak-hentak untuk membawanya kembali ke sana.
Padahal, pertemuan itu sudah dua atau tiga tahun lalu.
Nyatanya, Respati tidak kehilangan rasa itu.
Bahkan, sekarang dia rela meninggalkan gemerlapnya kehidupan seorang rakryan rangga Majapahit yang kesohor.
Dia mengundurkan diri dengan menanggung segala akibat yang ia tak mau pusing memikirkannya. Pengunduran diri Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sang rakryan rangga yang baru saja menyelesaikan tugas besar, menghadapkan Putri Suciatma ke hadapan raja sudah pasti mengundang pertanyaan besar.
Bahkan, Prabu Wikramawardhana penasaran dengan alasan Respati yang sekadar ingin mengasingkan diri ketika berpamitan di hadapan para pejabat Majapahit. Ditambah lagi dengan menghilangnya Anindita tanpa sebab pasti dari keraton.
Respati hanya mengatakan beban batinnya kepada Mahapatih Sadhana, ayah mertuanya. Tak heran jika orang nomor dua di Majapahit itu tak ikut sibuk mencari tahu alasan Respati mengundurkan diri. Namun, tetap saja dia menyuruh orang-orang kepercayaannya untuk mengikuti jejak Respati dan mencari tahu ke mana perginya Anindita, sebelum akhirnya dia pun mengundurkan diri dari jabatan Mahapatih Majapahit.
Respati pun bukan tak paham pengunduran dirinya bakal mendatangkan banyak masalah. Namun, rasa sakitnya karena merasa gagal memimpin keluarga telah membuat kepercayaan dirinya menggelepar dan sekarat. Ia kini tak lebih dari seorang laki-laki yang menyiksa diri dengan perasaan kesal dan sesal yang menggunung.
"Nora kurang wuiang wuruk Tumrape. Wong tanah Jawi Laku-lakune ngagesang. Lamun gelem angiakoni. Tegese aksara Jawa Iku guru kang sejati."
Respati betul-betul menghentikan laju kudanya. Ia dibuat penasaran oleh tembang yang dinyanyikan oleh suara lelaki tua di pinggir jalan setapak itu. Tidak terlalu merdu. Hanya syairnya yang sarat makna membuat hati terhenyak.
"Tak kurang piwulang dan ajaran. Bagi orang tanah Jawa perilaku dalam kehidupan. Jika mau menjalaninya. Makna aksara Jawa itu guru yang sejati."
Alangkah dalamnya. Respati meresapi setiap kata dalam syair itu. Ia merasa perlu untuk turun dari punggung kuda dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menghampiri seorang lelaki tua yang duduk menyender pada batang pohon di pinggir jalan berdebu itu.
Dia benar-benar kumal. Wajahnya keriput dengan rambut putih yang tak teratur. Matanya cekung, parasnya tirus.
Pakaian yang ia kenakan pun demikian kucel. Sepertinya sudah berbulan-bulan tak dicuci. Ada tambalan di sana-sini.
Tapi, kesan di matanya seperti tak pernah menerima siksaan hidup. Seperti danau yang menaungi berbagai kehidupan di dalamnya.
"Kisanak, bolehkah saya mengganggu keasyikan Kisanak?"
Lelaki tua itu memandang lekat-lekat ke arah Respati. Dia tersenyum. Semakin lebar. Gigi-giginya yang kekuningan mulai kelihatan. Semakin lebar. Dia pun kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Dunia ini sudah gila. Para pemimpin tak memikirkan rakyatnya."
Respati bengong. Dia terus saja mencermati setiap perubahan kesan wajah lelaki tua aneh yang masih saja tertawa itu. Matanya sampai berkaca-kaca karenanya. Respati membiarkannya sampai puas tertawa.
"Saya tertarik dengan syair yang Kisanak tembangkan tadi."
Respati masih berusaha santun. Padahal, hatinya mulai berpikir lain. Bisa jadi orang tua ini memang tak sempurna pikirannya. Melantunkan syair begitu sarat makna tanpa kesadaran yang penuh. Sekadar menggumamkan kata-kata yang pernah ia dengar dari orang lain.
"Semakin banyak orang tak mengenal dirinya sendiri. Kau pun begitu!"
Respati setengah tersentak. Lelaki tua itu seperti sengaja hendak mengagetkannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Tak sadar mana cinta mana benci. Mana baik mana buruk. Ragu-ragu dalam bersikap. Membiarkan diri jadi pengecut. Cih!"
Respati merasa ditelanjangi. Lelaki tua itu menyudahi kata-katanya dengan membuang ludah ke samping kanannya.
Masih untung tak ke mukanya. Gigi-gigi Respati beradu. Dia menahan emosi yang hebat. Orang tua ini bahkan sama sekali tak mengenal siapa dirinya. Bagaimana mungkin dia berani mengumbar caci maki yang demikian rendah.
Tapi, hati Respati benar-benar merasa ditelanjangi. Sebab, semua yang dikatakan lelaki tua asing itu benar. Dia coba memimpin hatinya dengan bijak. Meredamkan emosi yang menggelegak. Lalu tersenyum. Semakin tulus. Hingga benar-benar tulus.
"Saya Sad Respati dari Majapahit. Saya hendak ke Tuban untuk mencari seorang guru."
Lelaki tua itu kembali tertawa sepuas-puasnya. Seakan kata-kata yang keluar dari bibir Respati sampah adanya.
Bahunya yang terlihat ringkih terguncang-guncang. Respati semakin tak mengerti. Tapi, dia membiarkan saja pak tua di depannya menyelesaikan kesenangannya itu. Kata hati Respati merasakan ada yang istimewa pada diri lelaki tua itu.
"Zaman sudah edan. Bahkan orang bertindak saja tidak bisa jujur. Harus berpura-pura. Mengasihani diri sendiri."
Lagi-lagi Respati dibuat tersentak. Orang aneh di depannya seperti tahu betul seluk beluk otak dan semua isi hatinya. Alis mata Respati terangkat. Sontak tangannya bergerak cepat. Meluncur ke ulu hati lelaki di depannya.
Gerakan itu tertahan pada jarak setebal kuku dari dada kakek tua itu. Tak ada reaksi.
"Maaf."
Respati menarik tangannya ketika melihat kakek tua itu tak lantas menangkis serangannya. Berarti dia bukan orang jahat berkemampuan tinggi seperti yang direka-reka Respati Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sebelumnya. Atau benar, bisa jadi dia memang orang gila.
Sepakat dengan dugaannya, Respati lalu bangkit sambil memberi hormat. Dia tersenyum sendiri karena merasa bodoh telah melayani pembicaraan orang gila itu.
Ia lalu menghampiri kudanya, naik di punggungnya, dan mulai memacu kudanya ke arah utara. Pusat keramaian di Canggu tak sehebat Demak atau Medangkamulan yang kini sedang giat membangun. Canggu hanyalah sebuah wilayah pedesaan berpenduduk ratusan keluarga yang bekerja sebagai petani dan nelayan. Dulunya, ketika Majapahit dipimpin Raja Hayam Wuruk, Pelabuhan Canggu menjadi salah satu titik kekuatan niaga. Namun, perang saudara yang berlarut-larut membuat tempat itu tak seramai sebelumnya.
Penduduk pun banyak yang berpindah ke perbukitan.
Mereka hidup nyaman di punggung-punggung bukit dan dataran rendah di bawahnya. Hidup sederhana tanpa banyak tuntutan. Apa yang ada di hadapan mereka, itulah kebahagiaan hidup. Tahap-tahap hidup berputar apa adanya dan tetap seperti itu. Bayi-bayi lahir, belajar berjalan, lalu tumbuh dewasa. Mereka menjadi tenaga-tenaga baru yang menambah subur tanah Canggu dengan ayunan cangkul yang kuat.
Mereka kemudian berpasang-pasangan, melahirkan keturunan, lalu terulanglah lingkaran hidup yang tetap itu.
Respati tak menemukan alasan yang bisa menahannya untuk berlama-lama tinggal di Canggu. Setelah beristirahat sejenak, membersihkan diri, dan mengisi perbekalan, dia kembali memacu kudanya menuju Gresik.
Berhari-hari perjalanan dengan kuda terasa singkat.
Respati tak mau berleha-leha. Ia ingin secepatnya sampai ke Tuban dan memulai hidup baru. Keseharian yang jauh dari hiruk pikuk kepentingan di lingkar kekuasaan. Sambil terguncang-guncang di atas kuda, Respati semakin dalam merenungkan apa-apa yang telah ia jalani sepanjang 26 tahun kehidupannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ketidakjelasan asal-usul sudah lama ia kubur dan tak membuatnya menjadi resah. Ditemani Angga Cuwiri, keris pusaka pemberian gurunya yang konon warisan kakek buyutnya sendiri, Respati melanjutkan hidup penuh semangat.
Latihan keprajuritan sejak umur belasan mengusir semua kerinduan terhadap kebersamaan keluarga. Semakin tajam keinginannya untuk menangis, semakin keras Respati melatih diri.
Hingga akhirnya dia terpilih sebagai anggota bhayangkari pada usia tujuh belas tahun. Bertahun-tahun ditempa segala ilmu dan kepiawaian, Respati menikmati hidupnya. Meskipun acap kali hati nuraninya bertumbukan dengan tugas yang ia emban. Hati nuraninya yang basah oleh welas asih hampir selalu bertabrakan dengan tugas kerajaan yang tertanggung di pundaknya.
Seperti ketika dia harus sampai hati membabat pemberontakan di daerah-daerah ketika menjabat sebagai rakryan rangga. Batinnya begitu tersiksa setiap melihat mayat-mayat bergelimpangan. Pedang dan tombak tak punya mata.
Perempuan dan anak-anak ikut bersimbah darah dan kehilangan nyawa.
Dua tahun menjabat rakryan rangga nyaris merenggut perasaan halus yang menjadi kepribadian Respati. Karena itu, di sela kekaguman orang-orang terhadap reputasinya, Respati justru merasa tersiksa. Ia ingin segera berhenti menghirup udara. Mati terpuji.
Tapi, takdir itu tak kunjung menyapanya. Terbongkarnya kebohongan Anindita menjadi puncak segala kekecewaan Respati kepada dirinya sendiri. Selain memang sudah muak dengan keseharian di lingkungan keraton, kenyataan itu benar-benar memukul kepercayaan dirinya.
Tak berlebihan kalau kemudian Respati bertekad bulat mengundurkan diri dari jabatan penting itu. Apalagi ia juga semakin tertekan dengan kegilaan Rakryan Tumenggung Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sadali. Kebencian dan rasa iri yang pekat di kepala panglima perang itu membuat Respati semakin tak nyaman.
Puncak segala gejolak itu benar-benar terjadi. Meskipun sadar bahwa akibat keputusan itu akan mengganggu masa depannya, Respati tak lagi berpikir panjang. Kini dia merasa menjadi anak panah yang meluncur dari busurnya. Terus melesat mencari sasaran untuk menancap. Tak lagi peduli dengan masa lalu. Dia hanya berpikir tentang masa depan.
Siang menjelang, ketika derap kaki kuda yang ditunggangi Respati masuk ke Kota Pelabuhan Gresik yang tak jauh dari pelabuhan besar Surabaya. Ciri khas kota-kota yang tengah berkembang terlihat juga di sana. Orang-orang yang berlalu lalang tak hanya pribumi berkulit sawo matang.
Orang-orang Tiongkok dan mereka yang berkulit putih sesekali terlihat sibuk melakukan berbagai pekerjaan. Seperti halnya kota pelabuhan lain, kesibukan mereka berhubungan dengan laut. Respati terus menghela kudanya perlahan memasuki pusat kota.
Rasa perut yang melilit memaksa Respati untuk menghentikan langkah kudanya di depan sebuah rumah makan agak besar. Dia segera menyerahkan kudanya kepada seorang penerima tamu untuk dikandangkan. Lalu, dia segera masuk ke rumah makan itu dengan langkah gagah.
Suasana rumah makan lumayan ramai. Orang-orang duduk melingkar di depan meja-meja kecil yang menyajikan menu-menu istimewa. Kebanyakan menyantap ikan laut yang telah dimasak dengan berbagai cara.
Respati menghampiri sebuah meja kosong. Dia duduk tenang di sana, menunggu pelayan datang.
"Pesan apa, Kisanak?"
Seorang laki-laki pelayan mendatangi Respati dengan wajah sumringah dan bersahabat. Sebuah awal yang baik untuk memancing kenyamanan tamu.
"Apa saja yang istimewa dari tempat ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum, lalu segera kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan Respati. Sambil menunggu pesanannya datang, Respati menebar pandangannya ke seluruh ruangan rumah makan yang tampak sangat terawat itu.
Lingkungannya cukup bersih dengan segala peralatan yang terlihat rapi dan tertata. Respati merasa nyaman duduk di sana sambil sesekali menoleh ke arah jalanan yang tampak semakin sibuk. Dari jendela yang persis ada di belakang punggungnya, Respati bisa menyaksikan lalu-lalang orang-orang dan kesibukan para pedagang yang menggelar aneka barang di pinggir jalan.
Tepat ketika pelayan datang membawakan menu ikan laut panggang yang mengundang selera, dari pintu masuk rumah makan itu muncul lima orang laki-laki dan seorang perempuan yang sontak menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di rumah makan. Mereka yang datang terlihat menarik karena sama-sama mengenakan pakaian serba putih.
Jubah panjang putih pucat dipadu dengan celana panjang longgar berwarna sama. Keriuhan rumah makan yang tadinya rata, tiba-tiba terhenti. Semua orang seperti kehilangan hak untuk berbicara.
Sementara pelayan mengatur nasi dan lauk pauk di atas meja, Respati malah sibuk melihat sekeliling. Dia heran bukan main melihat orang-orang yang tiba-tiba bisu. Mereka terlihat ingin cepat-cepat menyelesaikan makan siangnya.
"Siapa mereka?"
Pelayan yang ditanya Respati tak menjawab. Justru wajahnya memucat dan tampak ketakutan. Respati mengangkat alisnya menunggu jawaban. Pelayan itu menggelengkan kepala, lalu buru-buru meninggalkan Respati.
Tak mendapat jawaban memuaskan, Respati lalu mulai menyantap hidangan di hadapannya. Ia sesaat tak peduli dengan keadaan sekeliling. Mulutnya terus mengunyah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lidahnya dimanjakan oleh bumbu-bumbu yang sungguh nikmat.
Para tamu rumah makan satu per satu menyelesaikan makan siangnya. Mereka kemudian beranjak dari tempat bersantap dan keluar rumah makan setelah sebelumnya membayar tagihan.
Respati melihat mereka yang keluar dengan saksama.
Kebanyakan para pengembara. Mereka membawa buntalan yang pasti berisi perbekalan di punggung mereka. Sementara orang-orang berpakaian serba putih tadi mulai menyantap hidangan yang mereka pesan sebelumnya.
Respati tak lagi peduli. Ia melenyapkan perasaan ingin tahunya tentang orang-orang aneh itu. Perjalanan masih jauh.
Jadi, ia tidak mau ambil pusing dengan segala hal yang bukan urusannya. Setelah membayar tagihan, ia pun bersegera meninggalkan rumah makan itu.
Respati menyempatkan diri berputar-putar kota sekadar melihat-lihat suasana. Setelah lama tak mengunjungi Gresik, segala perkembangan di kota ini membuat Respati berdecak kagum. Kota pelabuhan itu tampaknya akan semakin maju.
Semakin banyak kapal-kapal dari berbagai negeri yang datang. Para pedagang dari negeri-negeri yang jauh berniaga dengan tenang.
Orang-orang pribumi pun banyak belajar dan mulai mengembangkan diri. Menjelang sore, Respati menghela kudanya keluar dari Gresik. Di tepi sebuah danau yang tenang, Respati menghentikan laju kudanya dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Sambil menikmati suasana alam yang menyegarkan pikiran, Respati membuka buntalan perbekalannya. Dan, ia merasakan kesegaran ketika air dingin kendi membasahi kerongkongan. Lalu, ia memejamkan mata, menikmati desau angin.
Tapi sesaat saja. Matanya langsung terbuka ketika pendengarannya menangkap suara gaduh tak jauh dari Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tempatnya berleha-leha. Naluri keprajuritan pemuda ini sungguh tajam. Ia langsung bangkit dan mereka-reka sumber suara yang mencurigakan itu.
Setelah mencari-cari beberapa saat, Respati segera menemukan kegilaan di padang kecil yang tak terlalu jauh dari pinggir danau tempat ia beristirahat. Orang-orang sedang bertempur hebat. Rasa heran Respati ketika di rumah makan tadi terjawab.
Orang-orang berpakaian serbaputih yang ia jumpai di sana ternyata adalah kelompok pembantai sadis tanpa otak. Orang-orang pengembara yang tadi juga bersantap di rumah makan yang sama dengan Respati kini telah menjadi mayat bergelimpangan dengan darah berceceran.
Orang-orang berjubah putih dengan pedang terhunus itu lalu mulai menggeledah buntalan-buntalan perbekalan para pengembara itu. Di antara para korban itu masih ada yang hidup. Tapi tak berlangsung lama. Tangan keji orang-orang berjubah putih itu langsung beraksi, membabat leher mereka hingga putus.
"Manusia sungguh aneh. Membunuh tanpa alasan.
Padahal setiap hal pasti punya alasan."
Masih ada yang tersisa. Dia seorang lelaki muda bertampang lugu yang tengkurap di tanah dengan leher diangkat ke atas. Dia tak kelihatan takut. Matanya yang bening mencerminkan keyakinan.
Sementara itu, meskipun terlambat, Respati merasa bersalah jika mendiamkan aksi itu. Sekali sentak, ia melompat lalu berdiri menantang di hadapan enam orang pencabut nyawa itu.
"Katakan satu alasan saja, kenapa aku harus melepaskan kalian pergi tanpa lebih dulu kuhukum kalian atas perbuatan keji ini!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Enam orang berjubah putih itu menoleh ke arah Respati yang tersenyum dingin. Sama sekali tak memperlihatkan rasa takut.
"Enyahlah dari tempat ini dan kami sementara akan mengampuni nyawamu."
Respati tak menjawab. Dia malah perlahan menggenggam gagang keris Angga Cuwiri, lalu serta-merta menghunusnya dengan kecepatan kilat. Pamor biru berkilat.
Enam orang berjubah putih itu sempat terpana. Namun, mereka segera menepis kekagetan itu dengan menyiapkan pedang masing-masing. Tak mau menunda waktu, Respati langsung menyerbu dengan gerakan kilat. Enam orang lawannya berlompatan dan membuat lingkaran mengepung Respati.
Mantan rakryan rangga Majapahit itu lantas memutar kerisnya yang panjang dan elok, menyerang segala arah.
Jurus Hanacaraka yang masyhur itu langsung menampakkan kesaktiannya. Enam orang lawannya kelihatan sangat berhati-hati. Mereka tak meremehkan Respati, meskipun dia seorang diri.
"Menjala Ikan, Menebar Racun!"
Kepungan enam orang lawan tangguh itu terasa makin rapat. Teriakan salah seorang di antara mereka rupanya memberi komando perubahan gerak. Respati menyadari, dia tak mengenal cara berkelahi itu. Jadi, dia memutuskan untuk tak setengah-setengah bertempur. Akhirnya, dia bergerak cepat, berusaha lepas dari kepungan enam pedang yang terus memburunya.
Tiba-tiba dari segala penjuru meluncur jala-jala yang dilepaskan oleh enam orang aneh itu. Tak beda dengan jala yang biasa digunakan para nelayan. Senjata unik itu meluncur deras hendak meringkus tubuh Respati.
Sadar tak mungkin menghindari jurus muslihat ini, Respati menguatkan hati untuk melepaskan tenaga dalam sekuat-Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi kuatnya. Ia langsung memutar tubuhnya sambil berteriak dan melepas kekuatan bawah sadarnya ke segala arah.
Sontak enam orang yang hendak meringkusnya itu terpental ke belakang. Pedang-pedang mereka terlontar entah ke mana. Begitu juga dengan jala-jala itu. Kini, keenam-enamnya bergulingan di tanah sambil memegangi dada mereka yang terasa sesak.
Dahi Respati berkerut. Dia tak yakin telah mengalahkan enam orang itu dengan begitu mudah. Tadinya dia mengira akan ada ledakan tenaga dalam yang hebat. Kalau pun menang, Respati mengira dia akan mengalami luka dalam yang hebat. Tapi ternyata tidak. Tenaga dalamnya jauh di atas enam orang pembunuh itu.
Setelah pikirannya kembali jernih dan keyakinan dirinya kembali. Respati lalu menghampiri salah seorang dari enam pembunuh berjubah putih itu.
"Kalian bukan sekadar perampok. Katakan, dari kelompok mana kalian berasal!"
Ujung keris berpamor biru di tangan Respati itu kini mengancam leher salah satu anggota komplotan berjubah putih itu. Dia seorang lelaki berumur tak beda jauh dari Respati. Hanya mukanya terkesan dingin, tak bersahabat.
Garis wajahnya kasar dan kejam.
Dia tak menggubris kata-kata Respati.
"Kau kejam! Sungguh kejam!"
Gendang telinga Respati terdesak. Dia mendengar suara perempuan dari sisi kanan tempat ia berdiri. Kedengarannya sangat lain. Sepertinya suara itu mencengkeram pikirannya.
Respati menoleh. Ternyata satu-satunya perempuan di antara kelompok penjahat berbaju putih itu yang berteriak kencang dan membuyarkan pikiran Respati. Pemuda itu memicingkan matanya. Melihat lekat-lekat, sementara hatinya kacau-balau.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau bunuh keluargaku semua. Lihat! Kau habisi mereka semua dengan kejam!"
Respati tersentak. Seperti baru sadar dari lamunan panjang. Dia keheranan melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Respati seperti orang linglung.
Diakah yang membunuh orang-orang itu" Respati kembali menatap perempuan berjubah putih yang duduk di atas tanah sambil menekan dadanya yang tampaknya terluka.
"Kau tak percaya padaku" Lihat saja, seluruh tubuhmu bersimbah darah orang-orang yang kau bunuh!"
Respati tersentak. Matanya melotot ketika melihat seluruh pakaiannya bersimbah darah merah segar. Begitu juga dengan kerisnya. Semua serba darah.
"Harusnya kau menyesali perbuatanmu dan bunuh diri!"
Mata Respati berkaca-kaca. Hatinya tiba-tiba dicengkeram sesal dan sedih yang luar biasa. Ia merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi. Sekali lagi, ia menatap perempuan muda yang masih duduk di atas tanah itu.
Lalu, perlahan-lahan tangan kirinya bergabung dengan tangan kanannya, menggenggam gagang keris dan diacungkan ke arah dadanya sendiri.
Otaknya terasa kosong. Cuma ada rasa sesal yang menggunung. Rasa bersalah yang tak termaafkan. Tangan Respati bergetar hebat.
Tanpa ragu, ia lalu menghunjamkan keris berbilah panjang itu ke dadanya. Namun, pada saat yang sangat kritis itu, punggungnya disentak oleh pukulan seseorang dari belakang, yang membuat tubuh Respati terdorong ke depan. Keris pusaka itu jatuh ke tanah.
Respati terhenyak. Meskipun tak sampai jatuh, dia sempat sempoyongan akibat pukulan dari belakang itu. Dia lalu membalikkan tubuhnya, penasaran dengan orang yang medorongnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Orang tua sinting itu! Lelaki kumal yang ditemui Respati di perbatasan Canggu berdiri dengan dagu terangkat dan tangan bersedekap. Seolah tak peduli dengan keterperangahan Respati.
"Kisanak, kenapa Anda menyerang saya?"
"Lihat dirimu, keledai bodoh!"
Respati bertambah heran. Lelaki itu tak lagi tertawa seperti ketika keduanya bertemu pertama kali. Sekarang dia malah mengatai Respati sebagai keledai bodoh tanpa beban sama sekali.
"Maksud Kisanak?"
"Tanya saja pada pemuda dungu itu."
Respati menoleh ke arah pemuda bertampang lugu yang berdiri tak jauh darinya. Dia pemuda pengembara yang tadi nyaris dibunuh oleh komplotan berjubah putih kalau saja Respati tak datang.
Yah, di mana komplotan jubah putih berdarah dingin itu"
Ke mana puia perempuan yang menuding Respati sebagai pembunuh" Respati semakin bingung. Dia menatap pemuda di depannya dengan tatapan tak mengerti.
"Kisanak hampir bunuh diri jika kakek itu tak menepuk punggung Kisanak."
Respati tambah melongo. Dia menggelengkan kepala tak percaya. Bunuh diri" Atas dasar apa" Bahkan, tindakan itu sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran Respati.
"Namanya Ilmu Jala Sukma. Siapa pun yang menguasai ilmu itu bisa menguasai pikiran orang lain."
Respati menoleh lagi pada lelaki tua itu. Dia masih tak bersuara.
"Kau ini bagaimana" Namamu terkenal di mana-mana, tapi menghadapi ilmu picisan seperti itu saja tak becus."
"Saya ...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Percuma kau mewarisi Ilmu Hanacaraka. Melawan ilmu cetek mereka, kau tak bisa apa-apa."
Respati bengong tanpa kata-kata. Dia mulai bisa memahami mengapa ia merasa ada yang terputus dalam pikirannya. Seingatnya, dia telah mengalahkan enam penjahat berjubah putih itu. Tapi tiba-tiba saja, dia seperti terperangkap dalam keadaan yang memusingkan.
Emosinya kacau-balau dan tak berpijak pada pikiran yang jernih.
"Saya Sad Respati memang bodoh. Mohon petunjuk dari Kakek yang berilmu mumpuni."
Respati mengatupkan kedua tapak tangannya.
Dia lalu menundukkan kepalanya khidmat.
"Aaah! Aku paling benci kelakuan seperti ini. Sudah-sudah!
Kau bangkitlah. Lalu bantu aku menguburkan mayat-mayat ini."
Respati tak banyak bicara. Ia menganggukkan kepala dan mengikuti apa kata kakek tua aneh itu. Dibantu oleh Martaka, pengembara berwajah lugu yang ia selamatkan, Respati mulai membuat galian di lahan itu. Kakek tua aneh itu duduk timpuh sambil berkomat-kamit di depan jasad-jasad mati para pengembara malang itu.
Tidak ada kesan seenaknya di raut wajahnya. Benar-benar khusyuk. Sangat menghormati jasad-jasad mati itu. Setelah beberapa lubang besar selesai digali, mayat-mayat itu mulai dimasukkan ke liang tanah. Beberapa lubang mesti diisi dua sampai tiga mayat. Menjelang sore, barulah semua selesai.
Tanpa bicara apa-apa, lelaki tua itu sudah berjalan dengan sesekali berjinjit meninggalkan tempat itu. Betul-betul orang aneh. Respati menoleh ke arah Martaka. Seolah mendapat kesepakatan, keduanya lalu bangkit dan menyusul lelaki tua itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati merasa otaknya semakin ruwet. Rasa penasaran terhadap lelaki tua itu semakin menjadi. Dia dengan santainya berjalan menuju tepi danau tempat Respati menambatkan kudanya. Rupanya, dia tahu benar mana tempat paling nyaman untuk beristirahat.
"Apa yang kau siapkan untuk menjamuku?"
Setelah ketiganya duduk di bawah pohon pinggir danau itu, si kakek aneh mulai membuka percakapan. Sambil tersenyum, Respati lalu membuka buntalan perbekalannya. Ia mengeluarkan beberapa penganan, lalu disodorkan kepada kakek misterius itu. Baru setelah itu, dia menawari Martaka.
Ketiganya menyantap makanan tanpa kata-kata. Kecuali bunyi mulut kakek gila itu yang terdengar lumayan keras saat mengunyah. Betul-betul seenaknya.
"Jadi pemimpin itu harus seperti surya (matahari), memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan.
Menumbuhkan daya hidup rakyatnya untuk membangun negerinya."
Kata-kata aneh itu lagi. Keluar di sela bunyi decak setiap kakek gila itu mengunyah penganan dalam mulutnya.
Terdengar bijak. Hanya karena yang mengucapkannya adalah lelaki tua kumal dan tak tampak berpendidikan, kalimat itu seperti kata-kata tak berarti.
Toh Respati tetap mendengarkan dan tak bermaksud mendebat. Dia memperhatikan gerak-gerik lelaki tua aneh itu sambil sedikit-sedikit mencicipi penganan di tangannya.
Sementara Martaka tak begitu peduli terhadap dua orang teman barunya itu. Pemuda lugu yang umurnya belum genap dua puluh tahun itu bersemangat sekali mengisi perutnya yang sudah keroncongan setelah seharian menguras tenaga menguburkan mayat-mayat itu.
"Seorang pemimpin juga harus menjadi candra (rembulan).
Memancarkan sinar di tengah gelap malam. Dia harus mampu memberi semangat kepada rakyatnya di tengah suasana suka ataupun duka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lelaki aneh itu selesai menghabiskan penganan di tangannya. Tanpa sungkan, dia meraih kendi milik Respati dan menenggak isinya.
"Orang-orang merindukan pemimpin berjiwa kartika (bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada di tempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah. Dia harus menjadi teladan perbuatan yang baik."
Dahi Respati berkerut. Ia semakin tak mengerti apa maksud lelaki renta itu. Dia datang seperti orang gila, berhari-hari mengikutinya, menyelamatkan nyawanya, dan kini memberi wejangan panjang lebar, seolah-olah seorang guru yang tengah memberikan nasihat kepada muridnya Kakek aneh itu lalu menggeleng-gelengkan kepala.
Menatap permukaan danau dengan mata syahdu.
"Negeri ini kehilangan pemimpin berhati angkasa, luas tak terbatas. Mampu menampung apa saja yang datang padanya.
Punya ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri, menampung pendapat rakyatnya."
Respati tersenyum. Dia meraih kendi bekas kakek tua itu, lalu menenggak air sisa di dalamnya.
"Yah, sejak lama rakyat mendambakan pemimpin berjiwa maruta (angin). Ada di mana-mana tanpa membedakan tempat. Selalu mengisi semua ruang yang kosong. Dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya."
Serta-merta kakek aneh itu menoleh ke arah Respati.
Memandanginya dengan saksama tanpa berkedip. Kata-kata pemuda di hadapannya adalah lanjutan yang pas dari lima kalimat yang ia katakan lebih dulu. Ia tampak seperti menahan marah.
"Pemimpin juga harus bersemangat samudra (laut/air), betapa pun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati menaruh kembali kendi wadah air yang tadi ia tenggak isinya. Ia sempat menawarkan air segar itu kepada Martaka yang menggelengkan kepala karena memang masih sibuk mengunyah.
"Tapi, seorang pemimpin sejati juga harus memiliki sifat dahana (api). Punya kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu."
Tatapan dua orang laki-laki beda generasi itu bertumbukan. Sama-sama memicing. Kesan seenaknya yang biasanya rata pada wajah lelaki renta itu, lenyap sama sekali.
Sebaliknya, dia menatap Respati seperti elang lapar.
"Tapi kau tak boleh lupa. Pemimpin sejati juga harus berhati nurani bhumi (bumi/tanah). Kuat dan murah hati.
Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Bermurah dan tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya."
Lelaki tua itu menyeringai sinis penuh kemenangan.
Sebab, dia memperoleh giliran mengucapkan kata terakhir dari delapan sifat pemimpin sejati tanpa bisa dilanjutkan oleh Respati. Sementara pemuda di depannya itu memutar otak agar tak terjebak dalam kekalahan.
"Apakah kalian sedang membincangkan Hasta Brata"
Kakek tua dan Respati langsung memandang Martaka dengan kesan wajah yang sulit ditebak maknanya. Mereka lalu berpandangan. Diam sejenak. Sontak keduanya tertawa lepas sangat keras. Sejadi-jadinya.
"Jangan pernah menilai orang dari penampilannya."
Kalimat itu sempat juga keluar dari bibir kakek tua itu, meskipun kemudian tenggelam oleh tawa yang menjadi-jadi.
Kedua matanya mengeluarkan air mata. Sementara tawa Respati mulai melemah.
Dia kembali menguasai diri, lalu menatap Martaka saksama. Salah satu alis pemuda tanggung itu terangkat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kelihatan sekali dia masih seorang bocah yang menjelang dewasa. Masih mentah.
"Dari mana kau belajar tentang Hasta Brata, Martaka?"
Rupanya, hal inilah yang membuat kakek aneh dan Respati tepingkal-pingkal. Hasta Brata merupakan bagian dari ajaran kepemimpinan yang hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Mengetahui bahwa kakek misterius itu tahu benar tentang
Hasta Brata sudah cukup membuat Respati kaget.
Makanya, ia lantas menjajaki seberapa jauh lelaki tua itu memahami hakikat Hasta Brata. Setelah saling bersahutan, sadarlah Respati bahwa lelaki tua itu benar-benar bukan orang sembarangan.
Selain tahu makna tersirat Ilmu Hanacaraka, mementah-kan Ilmu Jala Sukma, tahu benar siapa Respati, kini kakek itu mengartikan dengan sangat tepat setiap kata dalam Hasta Brata. Tapi, kesadaran baru itu langsung disentakkan oleh kesadaran lain yang lebih segar. Kesadaran untuk tak meremehkan orang lain. Kesadaran itu muncul ketika Martaka dengan santainya menebak bahwa kedua orang di depannya sedang saling sahut melafalkan inti Hasta Brata.
Bukankah itu sebuah keluarbiasaan" Ketika Respati dan kakek itu berupaya menang satu sama lain, justru Martaka yang menjadi pemenang. Dia seperti jurus pamungkas yang hanya muncul satu kali, namun demikian menentukan. Kalimat yang dikatakan pemuda tanggung itu merupakan simpul mati yang meringkus keakuan Respati dan si Kakek yang saling tak mau mengalah.
"Bocah, dari siapa kau tahu tentang Hasta Brata?"
Martaka tetap tak menjawab. Dia meraih kendi dan menenggak sisa air di dalamnya. Ia sengaja membuat si kakek aneh dan Respati menunggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Apa hebatnya tahu rapalan Hasta Brata" Banyak orang pintar yang hafal bertumpuk-tumpuk kitab, namun tak satu kalimat pun yang digunakan untuk menolong orang lain."
Martaka tak merasakan beban apa pun saat mengatakannya. Dia tak peduli pada Respati dan kakek gila yang kini terbengong-bengong menatapnya. Sontak meledaklah tawa lelaki tua itu untuk kesekian kalinya. Sekeras sebelumnya.
"Kau benar. Otakmu ternyata tak sedungu wajahmu."
Lelaki renta itu terus tertawa. Sementara Respati menggelengkan kepalanya. Setelah tawa itu reda dan si lelaki tua itu tak punya lagi alasan untuk tertawa, Respati mencoba berbicara sungguh-sungguh.
"Kakek, bahkan kami belum mengetahui nama Kakek.
Rasanya tidak sopan bagi kami yang lebih muda berbicara tanpa menyebut nama Kakek."
"Buat apa kau pusing memikirkan namaku" Pikirkan saja nama besarmu yang cuma omong kosong itu."
Wajah Respati memerah.
"Kakek sungguh-sungguh mengenal saya?"
"Siapa tak kenal nama Sad Respati, Rakryan Rangga Majapahit yang ternyata tak sehebat namanya?"


Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Respati merasa malu sendiri. Sementara Martaka mengangkat alisnya hingga bertaut.
"Jadi, Kakang adalah rakryan rangga Majapahit?"
"Bekas. Sekarang tidak lagi." Respati merasa terjebak dan merasa kehabisan kalimat untuk berdebat. Dia melepaskan pandangan ke air danau yang tenang memantulkan cahaya sore.
"Orang di seluruh negeri membicarakanmu, Respati."
Respati kembali menoleh ke arah lelaki tua itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Orang-orang heran kenapa kau tinggalkan segala kemasyhuranmu dan memilih menjadi gelandangan tak jelas seperti sekarang."
Respati tersenyum. Akhirnya, dia bisa mendengarkan kata-kata si kakek tua itu dalam kalimat yang tak main-main.
"Banyak alasan. Tapi yang paling utama, aku sudah sangat capek melawan hati nuraniku sendiri."
"Bukankah enak menjadi seorang rakryan rangga, Kakang?"
Respati berganti menatap Martaka. Kepalanya menggeleng.
"Bagaimana kau tahu, Martaka?"
"Nama terkenal, harta berlimpah, perempuan-perempuan cantik. Apa lagi yang dicari?"
"Aku menikmati jabatan itu sebagai salah satu warna dalam hidupku. Sekarang, aku merasa harus bergerak menyambut warna lain dalam perjalanan umurku."
"Tampaknya kau sama sekali tak tertarik membicarakannya, Respati?"
Respati tersenyum dan menatap kakek tua di hadapannya.
"Kenapa tidak kita bicarakan tentang kelompok perampok berjubah putih yang hampir saja membunuh Martaka, Kakek?"
"Cih! Mereka cuma bramacorah kelas rendah. Buat apa pusing memikirkannya."
"Aku sependapat denganmu, Kek. Tenaga dalam mereka biasa saja. Bahkan, aku bisa mengalahkan mereka semua dalam satu gebrak. Tapi, ilmu aneh yang digunakan salah satu anggota kelompok itu sungguh hebat."
"Apanya yang hebat" Itu cuma ilmu tipu muslihat untuk membohongi lawan."
"Bagaimana melawannya, Kek?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kau ini bagaimana, Respati" Seingatku, gurumu tak sebodoh ini."
"Kakek mengenal guruku?"
Respati tersentak. Matanya melebar setengah tak percaya.
Senyumnya mengembang penuh harap. Sudah belasan tahun dia tak bertemu dengan gurunya.
"Sudarpa itu orang gila. Lebih sinting dibandingkan aku.
Tapi dia tak terlalu bodoh. Tidak seperti-mu."
Respati tak peduli dengan caci maki lelaki tua itu. Dia terus menatapnya dengan penuh harap.
"Kakek salah seorang temannya?"
"Kata siapa gurumu itu punya teman" Dia itu orang yang sangat bangga dengan dirinya. Tak merasa perlu teman."
Senyum Respati semakin mengembang. Dia yakin kakek aneh itu tak sedang berbohong. Sebab, sosok gurunya memang sama persis dengan gambaran yang dikatakan kakek renta itu. Ki Sudarpa, gurunya, adalah pendekar pilih tanding yang memiliki sifat sedikit angkuh meskipun hatinya baik.
"Kapan Kakek bertemu dengannya" Di mana dia sekarang?"
"Kau ini seperti bocah saja. Siapa peduli di mana gurumu sekarang. Aku hanya ingin mengatakan, dia tak sebodoh dirimu. Karena dengan pemahaman Hanacaraka yang ia miliki, ilmu picisan seperti Jala Sukma itu tak akan bisa berbuat apa-apa."
Respati menghentikan rengekannya. Dia mendengarkan kata-kata kakek aneh itu dengan sungguh-sungguh.
"Apa yang kau pahami dari huruf ca, Respati?"
"Cipta wening, cipta manduiu, cipta dadi. Satu arah dan tujuan kepada Gusti pencipta alam raya."
"Lalu, kenapa kau masih bingung ke mana kau harus menyandarkan jiwa ragamu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati terdiam.
"Melawan ilmu pengacau pikiran sejenis Jala Sukma hanya perlu meyakinkan hati terhadap kekuasaan Gusti. Jika kau yakin kekuatan Gusti mengalahkan segala-galanya, tipu muslihat itu tak akan bisa membuat otakmu rancu."
Respati makin diam. Dia merasa menjadi murid bodoh yang tengah mendengarkan wejangan gurunya. Nyatanya dia merasa masih mentah memahami hakikat jurus Hanacaraka warisan gurunya.
"Aku jadi tak paham bagaimana Sudarpa melatihmu."
Kakek bermulut pisau itu membuang muka. Seperti seorang guru yang sebal karena muridnya tak kunjung paham dengan pelajaran yang ia berikan.
"Sayalah yang bodoh."
"Kau memang bodoh. Bahkan, kalah oleh perempuan belia yang baru sehari belajar hakikat Hanacaraka."
Kening Respati berkerut hebat. Sementara kakek aneh itu menutup rapat mulutnya, seperti bocah yang menyesal karena keceplosan mengatakan sebuah rahasia.
"Perempuan muda siapa?"
"Ah, bicara apa kau ini. Setiap kata-kataku kau anggap sungguh-sungguh. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau kurang bertekad belajar Ilmu Hanacaraka."
Respati melepas napas panjang. Menekan rasa harga dirinya agar tak terbawa amarah karena merasa direndahkan.
"Respati mohon petunjuk kepada Kakek."
Tak ada kalimat yang menyahut. Lelaki tua itu malah celingukan, seperti tak peduli terhadap Respati. Sedangkan Martaka menyenderkan punggungnya di batang pohon tanpa bermaksud menyela perdebatan dua orang hebat di depannya.
Kisah Bangsa Petualang 8 Panji Wulung Karya Opa Pendekar Super Sakti 11

Cari Blog Ini