Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro Bagian 8
Pandangan mata Respati beradu dengan sinar mata perempuan bergelung rambut itu.
"Harusnya kau malu kepada dunia dengan perbuatanmu ini!"
Respati masih diam.
"Tunggu apalagi"!"
"Aku menunggu kau habiskan kata-katamu." Dua mata perempuan itu membelalak. Dia tak menyangka Ilmu Jala Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sukma yang ia lancarkan sama sekali tak mempan. Seperti membentur tembok.
"Sudah selesai. Ilmu itu hanya bisa kau gunakan untuk menakut-nakuti anak kecil. Justru jika aku jadi kau, pasti aku sudah bunuh diri karena malu!"
Perempuan itu tak lagi punya kata-kata untuk diucapkan.
Dia berdiri kaku dengan alis mata bertaut. Tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Begitu juga dengan puluhan anggota Serigala Putih lainnya yang mematung.
Respati lantas memasukkan keris Angga Cuwiri ke warangkanya, perlahan. Tanpa khawatir akan diserang dari belakang, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan santai meninggalkan tempat itu. Orang-orang Serigala Putih seperti kehilangan semangat untuk mengejarnya. Mereka lalu menghampiri Yudayana dengan harap-harap cemas.
0o0 Pelabuhan Surabaya, ketika sore dikepung langit emas.
Bagi hati yang sendiri, warna alam sore itu pasti menyempurnakan rasa terjajah. Kekuatan hilang, tinggal nelangsa yang menjadi-jadi. Langit dilukisi alam dengan warna emas dan merah yang mencolok. Sisa sinar matahari hanya cukup untuk memastikan pandangan mata agar tak ada sesuatu yang tertukar.
Burung-burung laut menukik ke permukaan laut, menjemput rezekinya pada tubuh molek ikan-ikan yang bernasib sial sore itu. Permukaan laut membentuk lembah-lembah air yang senantiasa bergerak dan berubah-ubah.
Riuh rendah suasana pantai yang semarak. Kapal-kapal dari negeri seberang tertambat rapi, berjajar seperti kawanan kuda yang siap bersantap. Respati menatap nanar pada sekelompok kapal-kapal besar yang ditambat lumayan jauh dari pantai. Lelaki muda itu seolah menyaksikan keajaiban yang belum pernah ia saksikan seumur hidupnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia kini berdiri di atas perahu kecil yang mengantarnya berlayar dari pantai menuju kapal induk, terbesar di antara kendaraan-kendaraan laut yang luar biasa itu.
"Kisanak, berapa lama kapal-kapal Tiongkok itu ada di sini?"
"Sudah sebulan lebih, Tuan. Saya dengar mereka akan segera kembali ke negeri asalnya."
Respati mengangguk sambil tersenyum, mewakili ucapan terima kasihnya kepada pemuda pemilik perahu yang sibuk mendayung. Hatinya tak habis bersyukur karena masih punya harapan untuk bisa bertemu dengan Samita. Terlambat beberapa hari saja, mungkin mereka sudah mengangkat jangkar, kembali ke tanah Tiongkok.
"Apakah mereka tak berkeberatan kita datang?"
"Sama sekali tidak, Tuan. Orang-orang dari seberang itu ramah-ramah. Mereka kan, tamu Prabu Wikramawardhana yang terkenal baik budi."
Respati manggut-manggut. Dia sama sekali tak ragu lagi.
Orang-orang di atas kapal itu benar utusan Kerajaan Ming dari Tiongkok. Jantung Respati berdegup semakin cepat ketika sebentar lagi perahu yang ia tumpangi merapat di kapal raksasa, salah satu dari puluhan kapal armada Ming.
Beberapa orang ping-se menyambut kedatangan Respati dengan senyum mengembang. Mereka lantas mempersilakan Respati naik ke kapal, bergabung dengan belasan orang pribumi yang sedang asyik beramah tamah dengan penghuni kapal.
"Saya hendak bertemu dengan Laksamana Cheng Ho."
Ping-se berperawakan ramping itu mengernyitkan dahinya.
Rupanya, kehendak tamunya kali ini berbeda dengan tamu-tamu sebelumnya. Jika biasanya para penduduk pribumi datang ke kapal-kapal itu sekadar ingin merasakan berada di atas kapal raksasa Kerajaan Ming, kali ini ada yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi menanyakan perihal bahariawan agung pemimpin armada Ming itu.
"Boleh saya tahu siapa Tuan dan apa keperluan bertemu dengan Laksamana Ho?"
"Nama saya Sad Respati dari Majapahit. Saya sekadar ingin bertemu dengan Tuan Ho."
Wajah Ping-se itu sedikit berubah. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Apakah Tuan ini rakryan rangga Majapahit yang termasyhur itu?"
"Tak perlu berlebihan, Tuan. Saya memang pernah menjabat sebagai rakryan rangga. Tapi sekarang tidak lagi."
"Ah, tentu Laksamana Ho sangat berkenan menemui Tuan.
Ikutlah dengan saya. Akan saya antar Tuan bertemu dengan Laksamana Ho."
Respati tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia lantas mengikuti langkah tegap ping-se itu menuju pintu masuk ke ruangan dalam. Mereka lalu berjalan di lorong-lorong kapal berlantai kayu yang kokoh. Setelah melewati beberapa penjagaan ping-se yang ketat, mereka berdua sampai di depan ruangan dalam kapal yang pintunya tertutup rapat. Di muka pintu itu, ada dua ping-se berdiri dengan siap siaga.
"Tuan tunggulah sebentar. Saya akan memberitahukan kedatangan Tuan kepada Laksamana Ho."
Setelah diiyakan oleh Respati, ping-se itu lalu meminta izin kepada dua ping-se jaga untuk masuk ke ruangan. Setelah berbicara beberapa saat menggunakan bahasa Chung Kuo, salah seorang ping-se jaga itu lalu masuk ke dalam ruangan.
Tak harus menunggu lama, dia keluar dengan wajah sumringah.
"Laksamana Ho menunggu Anda di dalam, Tuan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Jantung Respati berdetak lebih cepat lagi. Saat-saat mendebarkan yang jarang ia alami selama hidup. Rasanya, semua benda dan orang yang berhubungan dengan Samita membuatnya gugup. Sekarang, ia harus bertemu dengan orang paling berpengaruh dalam kehidupan Samita.
Sesaat setelah berhasil menenangkan hatinya, Respati lalu masuk ke ruangan itu ditemani salah seorang ping-se jaga. Tentu saja, sebelumnya dia sudah berterima kasih kepada ping-se yang mengantarnya dari geladak ke kabin itu.
Respati menangkap aura agung itu lagi. Seorang lelaki hebat yang sudah ia kenal sejak empat tahun lalu. Bertemu dalam perbincangan-perbincangan tak panjang lebar, namun membuat hatinya takluk. Laksamana Cheng Ho berdiri menatapnya dengan sinar mata berbinar dan senyum lebar.
Ia kini adalah seorang lelaki matang yang usianya mendekati empat puluh tahun. Tetap tegap seperti dulu.
Hanya kini dagunya dihiasi jenggot panjang hitam mengkilap menambah wibawa
"Tuan Respati, apa yang telah saya lakukan hingga begini beruntung" Sore yang istimewa, Tuan mau bertamu ke kapal kami."
Respati buru-buru menjura membalas penghormatan Cheng Ho yang ia rasa berlebihan.
"Tuan Ho, sedikit sekali penduduk Jawa Dwipa yang beruntung pernah mengenal Tuan. Saya merasa tersanjung karena termasuk di antara sedikit orang itu."
Tanpa melepas senyumnya, Cheng Ho mempersilakan Respati duduk di bangku bulat di tengah ruangan. Bahariawan itu lalu mengisi cangkir kecil yang sudah disiapkan di atas meja kecil dengan ramuan ginseng dan mempersilakan Respati untuk mencobanya.
"Sudah lebih dari dua tahun. Pasti banyak hal hebat yang Tuan alami."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati membiarkan tenggorokannya dimanjakan rasa hangat dari ramuan gingseng yang ia tenggak. Setelah itu, ia kembali meletakkan cangkir itu di atas meja.
"Jika Tuan Ho baru saja bertemu dengan sang Prabu, tentunya sudah mendengar berita pengunduran diri saya."
"Ya, Tuan benar. Tapi, itu bukan hal terhebat yang Tuan alami bukan?"
Respati diam sejenak. Berusaha mencerna maksud kata-kata Cheng Ho. Ia sadar orang di depannya memiliki pandangan luas dan mumpuni. Tak boleh sembarangan bicara.
"Saya berkelana beberapa lama, lalu menetap di Tuban.
Memang banyak hal hebat saya alami di sana."
Cheng Ho manggut-manggut dengan senyum penuh makna. Respati menebak-nebak. Tapi dia memilih berhati-hati.
Akhirnya, hingga langit benar-benar gelap, perbincangan itu menghangat oleh pembicaraan mengenai situasi negara beberapa waktu terakhir. Pemberontakan yang belum juga mati dan perkembangan daerah-daerah pesisir yang semakin ramai ketika para pendatang dari negeri jauh berdatangan.
Cheng Ho minta izin kepada Respati untuk
bersembahyang petang, ketika malam segera matang.
Beberapa lama, Respati dibiarkan menunggu di ruang pribadi Cheng Ho sambil menikmati berbagai hidangan yang disiapkan pelayan. Setelah beberapa lama, barulah Cheng Ho kembali.
"Saya kagum kepada ketaatan orang-orang Islam.
Bersembahyang lima kali sehari semalam bukanlah hal yang ringan."
Cheng Ho tersenyum, lalu menuangkan ramuan ginseng ke dalam cangkir porselen di depannya.
"Tuan Respati belum merasakannya, bagaimana bisa menilainya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Selama dua tahun di Tuban, saya tinggal di lingkungan orang-orang Islam yang taat menjalankan ibadah mereka."
"Sembahyang akan menjadi hal yang berat jika dimaknai sebagai kewajiban. Sebaliknya, akan menjadi hal ringan dan membuat tenang jika dinikmati sebagai sebuah kebutuhan."
Respati langsung teringat gurunya, Kesawa. Seperti ini juga ketika gurunya itu memberikan wejangan tentang hakikat sembahyang.
"Tuan Ho, sebenarnya ada hal lain yang ingin saya bicarakan dengan Tuan."
"Oya" Katakan saja, Tuan Respati. Tak perlu sungkan."
Respati diam sesaat. Menimbang-nimbang. "Ini tentang Samita." Dahi Cheng Ho berkerut.
"Maksud saya ... ini tentang Hui Sing, Tuan Ho."
Cheng Ho masih menunggu. "Kalau boleh, saya ingin bertemu dengan murid Tuan."
"Hui Sing ada di kapal ini, Tuan Respati?"
Respati tak segera menjawab. Dia malah melongo karena bingung harus berkata apa. Ia tatap kesan wajah Cheng Ho yang kelihatan tak sedang bergurau.
"Jadi, Tuan Ho belum bertemu dengan Hui Sing?"
Cheng Ho masih diam. Tatapannya berubah sendu.
Perlahan lelaki matang itu memindahkan pandangannya ke atas meja.
"Tuan Ho, saya mohon maaf. Saya kira Hui Sing telah sampai di kapal ini dan bertemu dengan Tuan."
"Apakah Tuan Respati pernah bertemu dengannya?"
"Sekitar dua tahun lalu di Majapahit."
"Dia baik-baik saja?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Cheng Ho menatap lekat ke arah Respati. Pemuda itu jadi serbasalah. Merasa telah mengatakan hal yang tak tepat.
"Waktu itu dia kelihatan segar bugar, Tuan Ho."
"Tuan tak pernah lagi mendengar kabar tentang Hui Sing setelah itu?"
Respati semakin merasa tak enak hati.
"Sekitar sebulan lalu, saya mendengar kabar bahwa Hui Sing pergi ke Pelabuhan Surabaya ini untuk menemui Tuan Ho."
Pandangan Cheng Ho menerawang. Dia kelihatan sangat berduka. Respati memandanginya trenyuh.
"Maafkan saya, Tuan Ho."
"Jika Tuan bertemu dengan Hui Sing, apa yang hendak Tuan katakan?"
Kali ini, Respati benar-benar tak mampu menggerakkan lidahnya untuk berkata-kata. Sebab, dia memang tak memiliki jawabannya. Benar juga. Apa yang hendak ia katakan jika bertemu dengan Hui Sing" Sejauh ini, Respati sama sekali tak pernah memikirkan hal itu.
"Ss ... saya ...."
Cheng Ho kembali menatap Respati dengan tajamnya.
Pandangannya seperti anak panah runcing yang menghunjam jantung.
"Saya ...."
Semakin nyata rasa gugup di dada Respati. Dia seperti kehilangan jati dirinya yang begitu tenang dan penuh perhitungan. Di depan Cheng Ho, Respati seperti bocah yang bingung dengan dirinya sendiri.
"Saya hendak melamarnya menjadi istri saya."
Dua alis mata Cheng Ho terangkat. Ia cukup kaget.
"Bukankah Tuan Respati sudah beristri?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kami sudah berpisah, Tuan Ho."
Cheng Ho masih terheran-heran.
"Tuan sadar betul dengan apa yang Tuan katakan?"
"Sekarang saya yakin benar, Tuan Ho. Untuk itulah, saya datang kemari menemui Tuan sebagai wali Hui Sing."
"Tapi, ada perbedaan yang tak bisa dipandang remeh antara kalian."
"Jika yang Tuan Ho maksudnya adalah soal keyakinan, saya telah memutuskan untuk memeluk Islam."
"Tuan Respati, ini bukan masalah sepele."
"Tuan Ho, bertahun-tahun saya mengagumi Islam tanpa sebab yang saya pahami. Namun, setelah saya tinggal di Tuban dan selama dua tahun mempelajarinya, saya merasa nyaman dengan agama ini."
Cheng Ho menentang sorot mata Respati yang kian yakin.
Tak ada yang menang. Keduanya bertahan.
"Tuan Respati yakin dengan keputusan ini?"
"Saya tak pernah seyakin ini sebelumnya, Tuan Ho."
Sang laksamana berpikir tekun.
"Pada akhirnya, orang yang bersangkutan yang akan menentukan. Tanyakan kepada Samita. Dia yang akan menerima atau menolak Tuan."
"Samita. Tuan tahu nama Samita?"
"Empunya nama memberitahukannya kepada saya."
"Samita ada di sini?"
"Saya tadi menanyakan hal itu kepada Tuan, bukan berarti saya menampik bahwa Samita ada di sini bukan?"
Senyum Respati melebar. Dia seperti tak lagi berpijak di bumi. Jantungnya berdegup keras. Matanya berkaca-kaca.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ini sudah larut. Tak baik lelaki dan perempuan bertemu.
Datanglah lagi besok petang. Samita akan menemui Tuan di geladak kapal."
Respati masih tak percaya dengan apa yang ia alami.
Bibirnya bergetar, tapi ia tak mengeluarkan kata apa pun. Ia memandangi wajah Cheng Ho yang seperti tengah bersinar. Ia segera menyadarkan diri, lalu bangkit dan memberi hormat kepada sang laksamana. Tanpa banyak berkata, ia berpamitan dan keluar dengan langkah mantap.
Ada kelegaan luar biasa dalam dadanya. Seperti air bah yang menjebol dinding tanggul. Bibirnya tak pernah sepi dari senyum. Ia segera kembali ke atas geladak, lalu menatap langit gelap yang dijejali bintang-bintang. Benaknya sudah membayangkan sebuah pertemuan yang syahdu di atas geladak kapal itu esok petang.
Respati segera menepis angan-angan itu dan menghardik dirinya sendiri. Alangkah lugunya ia diperlakukan oleh asmara.
Ia lalu turun dari kapal raksasa itu dan kembali menaiki perahu kecil yang disewanya sejak sore. Pemilik perahu, seorang pemuda setempat memang tetap menunggu selama Respati bertamu, karena ia dibayar untuk itu.
Ribuan lampion pada kapal-kapal raksasa armada Ming menjadi latar belakang yang cantik, ketika perlahan perahu kecil yang ditumpangi Respati bergerak ke pantai.
0o0 "Tak lelahkah kau terus-menerus membunuh?"
Sosok berjubah hitam dan bertopeng kayu dengan rambut terurai itu berdiri kaku. Tangan kanannya menjinjing kecapi, sedangkan tangan lainnya ia angsurkan ke belakang. Di sekitarnya, bergelimpangan mayat-mayat prajurit Majapahit bersimbah darah. Kini, ia seperti kehabisan tenaga untuk bergerak. Atau sengaja memanjakan diri mendengarkan kata-kata Windiriya yang begitu santun dan lemah lembut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Toh, dia tetap tak menjawab sepatah kata pun dan tetap berdiri membelakangi pemuda berwajah tak berdosa itu.
"Nini, dendam tak akan pernah membawa kebahagiaan."
Hening. Suara angin menabrak ranting-ranting pohon begitu ribut. Jubah panjang yang dikenakan Setan Kecapi Bisu juga berbunyi berisik saat diterpa udara yang bergerak.
"Tidakkah Nini rindu kampung halaman?"
Kepala Kecapi Bisu sedikit menyentak. Seperti orang yang sadar dari lamunan. Sesaat kemudian dia menyentakkan tubuhnya, berlari sekuat-kuatnya meninggalkan tempat itu dan menghilang di antara pepohonan hutan Medangkamulan.
Windriya menatap trenyuh. Hatinya perih bukan main.
Entah kali ke berapa ia melakukan ini. Mencari tahu ke mana jejak Setan Kecapi Bisu, pembunuh berdarah dingin yang beberapa tahun terakhir mencekam dunia persilatan. Nama Setan Kecapi Bisu menjadi mimpi buruk bagi siapa saja yang berurusan dengannya.
Entah sudah berapa ratus prajurit Majapahit yang nyawanya melayang di tangan iblis satu ini tanpa alasan jelas.
Setiap itu terjadi, Windriya hampir selalu ada di tempat yang sama. Pemuda itu seperti hafal kapan iblis itu akan muncul dan mengumbar maut. Maka, dia akan berusaha mencegah agar peristiwa itu tak terulang.
Namun, dia tak pernah berhasil. Pembantaian besar-besaran acap kali terjadi di depan matanya. Kalau sudah begitu, yang ia lakukan adalah mengubur satu per satu tubuh prajurit yang menjadi korban keganasan Setan Kecapi.
Jumlahnya yang kadang belasan sampai puluhan membuat Windriya harus bekerja keras. Tapi tetap saja dia melakukannya. Ia seperti hendak membayar kekejaman Setan Kecapi Bisu dengan memperlakukan jasad-jasad mati itu sebaik-baiknya.
Hari itu, Windriya mengulangi pekerjaannya. Satu demi satu, ia membuat liang kubur ukuran besar untuk menampung Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi beberapa mayat sekaligus. Untuk menguburkan mereka satu per satu jelas butuh waktu lama. Sedangkan dengan cara ini pun dia harus bekerja tanpa henti dari sore hingga fajar menyingsing.
0o0 Pemandangan sore yang sempurna.
Warna emas itu lagi. Selimut langit berwarna merah bara diseling kuning yang membuat jiwa tercekam. Namun bagi hati yang sedang dirundung asmara, pemandangan itu begitu indahnya. Bayangan hitam serombongan burung yang bergerak menembus angin memastikan bahwa pemandangan itu nyata, bukan lukisan.
Respati berdiri di pinggir geladak kapal pusaka armada Ming dengan hati berdebar. Seperti lidah-lidah ombak yang menampar lambung kapal. Ia sabar menunggu dengan hati yang sibuk merangkai-rangkai kata.
"Tuan Respati!"
Suara Cheng Ho memecah sunyi pikiran Respati. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan merasa napasnya berhenti terembus. Laksamana Cheng Ho berdiri gagah dengan jubah hijau. Namun, bukan segala atribut penambah kewibawaan sang laksamana yang membuat Resapati kehilangan kata-kata.
Sosok semampai yang ada di samping sang laksamana-lah yang membuatnya terpaku. Samita, gadis itu berdiri dengan anggun. Sementara pandangannya tunduk menatap lantai kapal. Ia mengenakan gaun sutra biru yang berkibar-kibar diterpa angin sore.
Saat perlahan dia angkat wajahnya, seperti ada sinar yang memancar. Respati semakin tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
"Kakang Respati, apa kabar?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Respati tak segera menjawab. Dia tertegun menatap Samita. Rasa terpesona yang sama ketika pertama kali ia bertemu dengan gadis itu. Juga ketika ia menemuinya di pinggir hutan Medangkamulan. Namun, kali ini ada getaran lebih dahsyat yang menghantam dadanya. Samita mendadak berubah menjadi dewi, di mata dan di hatinya.
Senyumnya yang mengembang diapit dua pipi merona menahan malu saja, sudah membuat Respati gelagapan.
Suara halus yang keluar dari bibir mungil Samita seperti mengusir akal sehat di otaknya.
"Jauh-jauh datang dari Tuban, bukankah Tuan ingin menemui Samita?"
Kalimat Cheng Ho segera menyadarkan Respati.
"Eh, benar. Saya kemari untuk menemuimu Samita."
Samita mengangkat kedua alisnya yang rapi dan meruncing pada ujung-ujungnya.
"Bukankah Kakang Respati tengah sibuk mempersiapkan pernikahan dengan putri Ketua Perguruan Kesawa di Tuban?"
"Eh, tidak. Kau salah paham. Kami tak akan menikah."
"Kabar yang beredar seperti itu."
"Yah. Itu sebuah kesalahpahaman."
"Kesalahpahaman yang menjadi pembicaraan di seluruh kota. Alangkah malangnya gadis itu jika ia sampai tahu."
"Namanya Laksmi. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dia pun tak mempermasalahkan berita tak benar itu."
Hening sejenak. Laksamana Cheng Ho tersenyum.
Sengaja dia tak ikut campur ketika muda-mudi di depannya mengurai kesalahpahaman di antara mereka.
"Hari segera gelap, apakah Tuan Respati tak ingin segera mengutarakan maksud hati Tuan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Lagi-lagi Respati merasa salah tingkah. Semua kata-kata yang ia siapkan buyar entah pergi ke mana. Dia kelihatan gugup. Barangkali ini pertama kali sepanjang hidupnya.
Namun, beberapa saat kemudian dia sanggup menenangkan diri dan berdehem untuk mengurangi rasa gugupnya.
"Saya datang untuk meminangmu, Samita."
Giliran Samita yang kini tersentak. Matanya melebar.
Pipinya memerah semakin nyata. Bibirnya bergetar. Dia tak tahu harus menjawab apa.
Cheng Ho tahu kegundahan hati murid sekaligus putri angkatnya itu. Ia lalu mengajak Samita dan Respati duduk di bangku-bangku mungil yang memang disiapkan untuk bersantai di atas geladak. Setelah ketiganya duduk tenang, Cheng Ho membuka percakapan.
"Samita, kau dengar sendiri keinginan hati Tuan Respati.
Apa jawabanmu?"
Samita sama sekali tak menjawab. Dia menundukkan kepalanya dengan berbagai perasaan yang campur aduk.
Kedatangan Respati saja sudah di luar dugaannya. Kini, ia mengutarakan maksud hati yang sama sekali tak pernah terbayangkan oleh Samita.
"Diamnya seorang gadis berarti setuju."
Kalimat Cheng Ho semakin membuat Samita merasa tak punya hak melakukan apa pun. Dia masih diam tanpa kata-kata. Sementara Cheng Ho tersenyum lebar.
"Besok pagi, datanglah lagi kemari, Respati. Jika Samita tak ragu lagi untuk menerimamu sebagai suami, ia akan mengatakan mas kawin yang harus kau penuhi."
Respati mengangguk pelan. Untuk melakukan gerakan lemah itu saja, sudah menjadi pekerjaan berat baginya saat itu. Dia berada dalam sebuah puncak perasaan yang susah diungkapkan dengan bahasa manusia. Karenanya, ketika Cheng Ho bangkit lalu membimbingnya untuk berdiri, dia menurut saja tanpa kalimat apa pun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Begitu pula ketika sang laksamana yang akan menjadi ayah mertuanya itu mengantarnya ke ujung geladak, meninggalkan Samita yang masih duduk gelisah di bangku geladak, dia masih tak berani berkata-kata.
"Respati, kau akan segera menjadi menantuku. Ada hal-hal yang mesti kau penuhi jika benar Samita menerima pinanganmu."
"Apa pun akan saya lakukan, Tuan."
"Apa pun?"
Respati berusaha menentang sorot mata Cheng Ho.
"Apa pun, asal tak menentang kebenaran."
"Bagus. Itu baru menantuku."
Keduanya tersenyum lebar. Respati segera melompat ke atas perahu kecil yang ia sewa. Pelan, perahu itu bergerak menjauhi kapal pusaka. Sementara Respati berusaha menangkap sosok Samita dengan pandangannya. Tapi tentu saja gagal. Toh, dia tetap tersenyum penuh kebahagiaan.
"Aku bangga padamu, Samita. Jika saja kau tak menjaga diri dari amukan cinta, belum tentu nasib baik ini yang akan kau raih."
Selepas kepergian Respati, Cheng Ho mengajak Samita berbincang di ruang pribadinya. Samita masih belum banyak bicara. Hal ini keluar dari kepribadiannya yang dulu dikenal Cheng Ho. Bagaimanapun, Samita kini memang seorang gadis matang berusia 21 tahun.
Selain usianya yang memang sudah cukup dewasa, pengalaman hidup yang ia alami sendiri empat tahun terakhir telah menempa kepribadiannya.
"Saya tak akan pernah melupakan nasihat Guru."
"Kenapa kau tak juga memanggil aku ayah, Samita."
Samita tersipu, masih dengan kepala tertunduk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Aku yakin, selama berada di Tuban, kau pun tahu perkembangan pengetahuan Respati tentang tata cara dalam agama kita."
"Guru, eh, Ayah, setahu saya, Kakang Respati menjadi salah seorang murid dekat Ki Kesawa. Saya kira, ia sudah mengenal betul tata cara dan inti ajaran agama kita."
"Artinya, Respati tahu benar syarat sah sebuah pernikahan dalam agama kita?"
"Insya Allah, Ayah."
"Termasuk kewajiban bersunat?"
Samita kembali tersipu. Dia tak menyangka Cheng Ho menanyakan hal yang ia anggap tabu itu.
"Ah, aku salah. Seharusnya, aku menanyakannya kepada Respati."
Cheng Ho pura-pura keseleo lidah untuk mengurangi rasa malu Samita.
"Lalu, apa mas kawin yang kau inginkan, Samita?"
Samita berpikir sejenak.
"Cukup keislaman Kakang Respati, Ayah."
Cheng Ho tersenyum lagi.
"Beruntungnya aku, punya anak dan menantu yang begini baik akhlaknya. Baiklah. Sebelum aku berangkat kembali ke Tiongkok, kalian akan menikah di kapal ini. Dengan begitu, aku akan pulang dengan hati tenang. Aku percaya Respati bisa membahagiakanmu, Samita."
Samita mengangguk dan berterima kasih. Perbincangan itu terhenti ketika salah seorang ping-se mengumandangkan ajakan sembahyang petang. Cheng Ho dan Samita lantas bergegas keluar ruangan untuk bergabung dengan awak kapal lain mendirikan kewajiban agama mereka.
0o0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita, angin laut, dan langit fajar
Perasaan gila apakah ini" Samita berdiri termangu di pinggir geladak. Rambutnya bergerak mengikuti kehendak angin. Tatapan mata gadis itu mengapung pada permukaan air laut yang berbukit-bukit. Seperti itu juga hatinya. Terapung.
Tak paham lagi apakah warnanya.
Bahagiakah" Berdebar-debar dan tak sabar menunggu.
Kadang ia tersenyum sendiri. Pertemuan dengan Respati kemarin adalah segala-galanya. Titik waktu yang demikian ia puja. Bertahun-tahun menunggu, akhirnya tiba juga. Respati berdiri di hadapannya dengan tatapan mata dan kalimat malu-malu.
Menikah! Menyatukan yang dua menjadi satu. Samita telah menempuh rintangan yang sudah tak terhitung jumlahnya dan kini dia masih tak percaya. Semua yang dia inginkan betul-betul di depan mata. Semua! Sebab, jiwanya yang sederhana memang hanya memuja seorang Respati.
Satu sosok yang telah mengalahkan semua keinginan duniawi. Samita tersipu. Ia menitipkan khayalan-khayalan masa depannya pada buih-buih di permukaan air yang terus bergerak.
Selesai semua luka. Samita mendongakkan kepalanya kini. Menantang sinar fajar menuju benderang, lalu berbisik sangat pelan, "Aku pantas bahagia."
0o0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 20. Bumi dan bulan
Pernikahan syandu di atas kapal pusaka armada Ming menyatukan Respati dan Samita berlangsung sepekan kemudian. Kegembiraan rata di antara para awak kapal. Tak ada pesta berlebihan. Semua berlangsung sederhana meskipun kemeriahan tetap terasa. Seperti sebuah perjalanan panjang yang sampai pada tujuan.
Respati sadar betul bahwa ia tengah menjelang berbagai keberuntungan hidup. Pernikahan ini begitu ia inginkan sejak lama. Hanya, takdir seperti sengaja mematangkan jiwanya terlebih dahulu dalam perjalanan waktu yang demikian lama agar tak ada penyesalan.
Kini, dia merasa sangat siap untuk memiliki dan menaungi Samita. Tak seperti empat tahun lalu, atau dua tahun lalu.
Begitu pula dengan Samita, dia menerima kehadiran Respati tanpa rasa bersalah. Tak akan seperti ini jika dia memaksakan hati empat tahun lalu atau dua tahun lalu.
Semua seperti sudah direncanakan. Keduanyapun yakin, memang ada yang merencanakannya.
"Samita lihat, bulan purnama sedang penuh."
Malam pengantin yang mendayu-dayu. Respati dan Samita berdiri di belakang jendela kamar pengantin menatap suasana malam di tengah laut yang hidup. Bulan sebesar tampah bulat sempurna dan bercahaya penuh. Permukaan laut berubah warna jadi keperakan.
"Aku sudah pernah mengatakannya kepada Kakang. Bulan memang selalu ingin datang menyinari penduduk bumi."
Respati tersenyum. Semakin erat ia dekap tubuh Samita dan membiarkan kepala istrinya menyandar di dadanya yang kokoh. Ingatannya kembali ke masa empat tahun lalu. Di sebuah dangau pinggir Danau Tirta Kusuma, kata-kata serupa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi pernah mereka ucapkan, ketika perpisahan sudah di depan mata.
"Kau ingat, Samita" Waktu itu Kakang juga mengatakan bahwa bumi akan selalu mengharapkan kehadiran bulan.
Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selalu dan selamanya."
Keduanya tersenyum ikhlas. Hati mereka juga ikhlas.
Sementara kehidupan laut berjalan seperti apa adanya.
Rombongan ikan berkecipak dengan suara yang riuh. Angin darat menyentak-nyentak tubuh kapal, ketika malam semakin larut dan diam.
Jauh dari Pantai Surabaya, di pinggir hutan Ketemas, Windriya tengah berbincang dengan beberapa orang prajurit Majapahit mengelilingi api unggun yang nyalanya kian meredup.
Sejak tadi, cerita-cerita lucu yang keluar dari mulut Windriya membuat para prajurit itu terpingkal-pingkal dibuatnya.
"Ada sepasang suami istri tinggal di pinggir Medangkamulan. Sang suami buta, sedangkan si istri buruk rupa. Suatu malam, sang istri berkata kepada suaminya,
'Suamiku, kalau saja kau bisa melihat, tentunya kau akan bangga memiliki istri secantik aku.' Mendengar kata-kata istrinya itu, si suami menjawab, 'Kalau benar kau cantik jelita, mana mungkin lelaki di desa ini membiarkanku mengawinimu.'"
Para prajurit itu sontak terbahak-bahak. Mendengarkan cerita lucu di saat malam yang mencekat seperti itu tentu saja sangat menguntungkan. Selain bisa mengusir rasa kantuk, juga mengurangi dingin yang menusuk.
"Kau masih punya cerita lucu, Windriya" Ayo keluarkan semuanya."
"Ah, nanti dulu. Masa dari tadi aku saja yang bercerita.
Bukankah Tuan-tuan ini juga sangat menguasai ilmu bercerita?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Cerita seram aku punya. Kau mau mendengarkannya?"
Salah seorang prajurit berkumis tebal nyeletuk. Tiba-tiba semua diam. Para prajurit yang berkumpul di depan api unggun itu jumlahnya sepuluh orang. Mereka adalah sebagian kecil dari puluhan prajurit Majapahit yang tengah melakukan perjalanan menuju Demak.
Windriya bertemu dengan mereka di pinggir hutan Ketemas. Pemuda itu sengaja bergabung dengan mereka dan menemani mereka beristirahat di pinggir hutan. Bahkan, ketika sebagian besar prajurit sudah terlelap, dia menemani para prajurit jaga bergadang.
"Ih, belum-belum bulu kudukku sudah berdiri. Apa tak ada cerita lain kecuali cerita seram?"
Prajurit jaga yang lain menimpali kalimat rekannya. Dia seorang prajurit muda dengan garis wajah halus, tak seperti seorang prajurit kasar. Ia duduk memeluk kakinya yang dilipat untuk mengusir rasa dingin. Pada saat bersamaan, Windriya merasakan sesuatu.
Pandangan matanya menajam. Pendengarannya disiapkan baik-baik. Wajah berserinya lenyap. Matanya bergerak-gerak.
"Sebaiknya Tuan-tuan bersiap. Prajurit lain juga harus dibangunkan."
"Bicara apa kau, Windriya?"
"Sejak siang tadi, saya sudah berusaha mengingatkan, kawasan ini tidak aman bagi prajurit Majapahit."
"Kau membicarakan Setan Kecapi Bisu, Windriya?"
Pemuda itu mengangguk.
"Saya akan coba menghadapinya untuk mengulur waktu.
Tuan-tuan sebaiknya segera meninggalkan tempat ini."
"Omong kosong. Kau anggap kami prajurit pengecut?"
"Bukan begitu, Tuan. Sudah terlalu banyak prajurit Majapahit yang dibantai di Medangkamulan dan Ketemas."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kalau begitu, kami akan menuntut balas atas kematian saudara-saudara kami!"
Kalimat si prajurit berkumis tebal itu terputus oleh denting kecapi yang menyanyat. Asal suaranya dari dalam hutan.
Irama kecapi itu benar-benar membuat jerih hati. Para prajurit segera bersiap. Mereka mencabut senjata masing-masing dengan dada berdegup. Beberapa di antara mereka lantas menyerbu ke tenda-tenda prajurit untuk membangunkan rekan-rekan mereka.
Windriya bangkit. Dia melepaskan seruling dari ikat pinggangnya, lalu menempelkan lubang paling ujung dari batang seruling itu ke bibirnya. Mengalunlah tembang sendu dengan cengkok yang khas lewat bunyi seruling itu.
Bunyi kecapi mengawini irama seruling. Menyatu dalam keharuan yang tak terkatakan. Para prajurit yang sudah siap dengan pedang di tangan tertegun. Mereka berdiri tak mengerti, mengapa Setan Kecapi Bisu tak segera datang menyerang.
Sementara percintaan alunan kecapi dan seruling itu terus berlangsung. Tambah menyayat. Windriya memejamkan matanya, menyimak benar denting kecapi yang menelusup ke gendang telinganya, tanpa kemudian membuat permainan serulingnya kacau-balau.
Beberapa lama dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba bunyi kecapi terhenti. Windriya sendiri mengembarakan nada serulingnya ke sudut-sudut hutan Ketemas. Begitu sadar, pecintaan nada itu telah terputus. Windriya membuka matanya. Tanpa kata pamit, dia melompat ke arah hutan, meninggalkan para prajurit yang kini diam terbengong-bengong.
Windriya berlari sekencang-kencangnya. Pastilah duri semak-semak telah tak terhitung berapa kali menusuk telapak kakinya. Rasa perih di kaki tak lagi merisaukannya. Di kepalanya hanya terisi kerinduan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sampai di tengah hutan, langkahnya terhenti di depan pohon besar dengan cabang-cabang raksasa. Sosok gelap berdiri mematung di atas salah satu batang itu. Windriya menatapnya dengan pandangan syahdu. Sisa sinar bulan yang mengintip dari sela dedaunan menerpa wajahnya.
"Jangan ikuti aku lagi!"
Mata Windriya membelalak. Setengah tak percaya. Iblis pembunuh itu mengeluarkan kata-kata. Ini pertama kalinya setelah bertahun-tahun orang-orang dunia persilatan menamainya sebagai Setan Kecapi Bisu.
"Ramya, tidakkah kau merindukan saat-saat dulu?"
Tak ada jawaban. Setan itu kembali bisu.
"Semua orang merindukanmu. Hui Sing mencarimu ke mana-mana. Begitu juga aku."
Setan itu tambah diam. Bahkan, hatinya pun tak bicara.
Sementara Windriya masih memohon, tubuh Setan Bisu melenting dan lenyap begitu saja. Windriya berdiri kaku.
Jiwanya terguncang. Matanya berkaca-kaca, lalu mulai melelehkan air mata.
Setengah putus asa, ia pun jatuh terduduk di tanah dengan perasaan tak keruan. Sementara rasa sakit di kaki dan bagian tubuh lain yang tertusuk duri-duri semak mulai meraja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 21. Anak Soma
Satu tahun berlalu secepat anak panah yang meluncur dari busurnya. Kehidupan rakyat Majapahit mulai tenang.
Pemerintahan Wikramawardhana tetap mengundang sikap menentang di daerah-daerah. Namun, kali ini sang prabu bersikap sangat hati-hati agar kehendak berseberangan itu tak berubah menjadi pemberontakan yang berbahaya Sikap sangat hati-hati ini pula yang mengundang ketidaknyamanan kelompok rakyat tertentu. Mereka merasa dikebiri karena kerajaan selalu membatasi ruang geraknya.
Rakyat sepertinya hanya disuruh untuk hidup membosankan tanpa semangat untuk maju. Kegiatan peribadatan dibiarkan, tapi ketika perbincangan antarpenganut menyentuh soal keadilan hidup, mereka langsung digerus.
Dianggap menentang kerajaan dan membahayakan keyakinan rakyat, tokoh-tokoh agama yang tak mau alam pikirannya terpasung itu ditangkapi dan tak jelas lagi seperti apa nasibnya kini. Perguruan-perguruan silat pun harus punya hubungan baik dengan kerajaan jika ingin tetap bertahan dan diakui.
Jika tidak, mereka akan diserbu berbagai tudingan palsu.
Salah satunya menghimpun kekuatan untuk menyerang Majapahit. Kini, salah satu perguruan yang sedang banyak diperbincangkan adalah Perguruan Hanacaraka di pesisir Surabaya. Hanya dalam waktu satu tahun, murid perguruan itu jumlahnya sudah mencapai ratusan.
Perguruan mereka tak hanya mengajarkan ilmu kanuragan, tapi juga berbagai pengetahuan yang sangat lengkap. Mulai dari ilmu berhitung, perbintangan, falsafah, sastra, sampai ilmu pertanian diajarkan di sana.
Bentuknya mirip dengan Perguruan Kesawa di Tuban.
Hanya di Perguruan Hanacaraka, ilmu bela diri cukup diutamakan. Dalam waktu sebentar saja, sudah tercetak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi murid-murid berkemampuan lumayan tinggi. Pendiri sekaligus ketua perguruan hebat itu adalah Sad Respati, mantan rakryan rangga Majapahit yang telah meninggalkan dunia kekuasaan.
Bersama istrinya, Samita, Respati bahu membahu membangun perguruan yang mengamalkan sikap hidup welas asih Hanacaraka, selain juga memperkenalkan Islam kepada masyarakat Surabaya. Pemahaman Respati yang mumpuni, ditambah kemampuan luar biasa Samita yang menguasai ilmu Islam dan hakikat Hanacaraka sekaligus, membuat perguruan itu berkembang pesat.
Nama pasangan pendekar berilmu tinggi itu dikenal luas di Surabaya dan daerah-daerah lain. Kenyataan bahwa Respati adalah seorang bekas rakyran rangga dan Samita sebagai putri Laksamana Cheng Ho, utusan agung kerajaan Ming membuat orang maklum bahwa kemampuan mereka berdua sungguh sulit dicari tandingannya.
Hari itu, hari Soma Bulan Caitra. Para penganut Islam biasa berpuasa pada bulan istimewa itu. Termasuk juga para penghuni Perguruan Hanacaraka yang memeluk Islam.
"Kakang, sayang aku tak bisa menemani Kakang untuk poso."
"Justru Kakang akan khawatir kalau kau bersikeras poso, Samita. Kita pikirkan calon jabang bayi dulu. Bukankah kau bisa mengganti amalan poso di luar Bulan Caitra"
Samita mengangguk sambil mengelus perutnya yang membesar. Usia kandungannya sudah lewat sembilan bulan.
Tak akan lama lagi, buah cintanya dengan Respati lahir ke dunia. Perempuan itu justru bertambah cantik dalam keadaan berbadan dua.
Paling tidak, Respati merasakan betul hal itu. Dia lalu mendekati istrinya yang duduk di pinggir pembaringan, lalu berjongkok di depannya. Perlahan, dia menempelkan daun telinganya ke perut Samita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Anakku, kau jangan menyusahkan ibumu. Cepatlah lahir dan menjadi pendekar berbudi."
Samita tersenyum. Ia mengelus kepala suaminya dengan penuh kasih.
"Jika dia lelaki, aku ingin kau menamainya Soma."
Kepala Respati sedikit mendongak dengan kesan wajah memohon.
"Hari ini hari Soma. Kenapa begitu istimewa bagi Kakang"
Lagi pula, Kakanglah yang nanti akan memberi nama anak kita. Kenapa mesti aku?"
Respati tak menjawab. Dia kembali menempelkan telinganya di perut istrinya. Menunggu si jabang bayi bergerak-gerak. Akhirnya Respati tersenyum puas, ketika keinginannya terwujud. Ia merasakan degup jantung di dalam perut Samita.
Juga gerakan-gerakan kecil yang mengundang keingintahuan.
Respati lalu duduk menjejeri Samita. Ia memandang takjub istrinya, seperti baru pertama kali bertemu. Samita yang hari itu menggelung rambutnya memang kelihatan sangat anggun dan keibuan. Tanpa berkata-kata, Respati lantas mencium kening Samita penuh perasaan.
"Kakang harus pergi ke pesisir, Samita. Seorang pemuka masyarakat di sana mengundang Kakang untuk membicarakan rencana melatih pemuda kampung ilmu pertanian. Barangkali Kakang baru pulang malam nanti."
"Jauhkah?"
"Kau tahu Desa Tumpak, di sisi Selatan Surabaya?"
"Tak terlalu jauh."
Respati mengangguk pelan. Setelah mendapat persetujuan dari istrinya, Respati segera bangkit dan hendak berjalan ke arah pintu kamar, ketika Samita memanggil namanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Kakang, aku dengar Majapahit semakin membabi buta menangkapi orang-orang yang dianggap menentang. Apakah Kakang pikir, perguruan kita juga diincarnya?"
Respati tersenyum. Ia tidak jadi melangkah ke pintu, tapi kembali menghampiri istrinya, lalu berjongkok di depannya.
"Kita mengajarkan kebaikan dan tak menentang siapa pun.
Kenapa mesti khawatir?"
Samita menganggukkan kepalanya dan tersenyum ikhlas, ketika suaminya benar-benar pergi. Beberapa saat kemudian, dia sibuk menulis sesuatu di atas daun lontar dengan ujung pisau kecil sebagai alat tulis. Selama menunggu masa kelahiran, Samita memang banyak menghabiskan waktu dengan menulis apa saja. Kadang dia menumpahkan perasaan hatinya yang berbunga-bunga dengan syair-syair indah.
Di saat lain, dia menulis tentang hakikat hidup dan penjabaran ilmu-ilmu agama. Seperti itu, hingga pergantian hari sungguh berlalu cepat dan tak terasa berat.
0o0 Malam sudah hampir sampai di ujung perjalanan. Samita merasa rahimnya terdesak rasa sakit yang kian menghebat.
Dia sadar, si jabang bayi akan segera lahir. Keringat dingin mulai merembes dari keningnya. Rasa mulas yang luar biasa.
Perlahan, Samita bangkit dari pembaringan. Satu hal yang ia inginkan, tak ingin sendiri.
Dengan tertatih, ia mendekati pintu ruang pribadinya.
"Mbok Usrek!"
Tangan kanan Samita memegangi perut, sedangkan tangan lainnya mulai meraih daun pintu kamar itu. Sebentar kemudian, palang pintu kayu berhasil ia angkat. Bunyi berderit cukup keras terdengar ketika pelan Samita membuka pintu kamar untuk kemudian melangkah keluar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pada saat yang sama, dari arah pintu luar kamar, seorang perempuan setengah baya tergopoh-gopoh datang.
"Aduh, Nyai ... ini sudah waktunya. Nyai mau ke mana?"
Usrek lantas membimbing Samita kembali ke
pembaringan. Perlahan dia membantu Samita kembali berbaring terlentang.
"Saya akan mencari bantuan. Nyai jangan ke mana-mana.
Saya tak akan lama."
Meskipun mengiyakan, tak urung Samita berpesan agar perempuan tua itu tak terlalu lama meninggalkannya. Sehebat-hebatnya ilmu kanuragan yang dimilikinya, Samita tetap saja perempuan biasa yang tengah menghadapi persalinan pertama seumur hidupnya. Rasa sakit yang menjadi-jadi membuat wajahnya pucat pasi.
Napas Samita semakin tak teratur. Bahkan, ketika dia memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga dalam, tak lantas rasa sakit di perutnya lenyap. Sebaliknya, dia semakin bingung harus berbuat apa. Untungnya, beberapa saat kemudian Usrek datang bersama dua orang perempuan lain yang membawa air panas dan beberapa ramuan dalam botol.
Mereka bergerak sigap berjaga-jaga. Usrek lalu meraba-raba perut Samita untuk memastikan bahwa bayi dalam kandungan Samita benar-benar hendak lahir. Setelah yakin, ia pun lantas membimbing Samita untuk mengikuti setiap perintahnya.
"Kakang Respati!"
Suara Samita lebih mirip jeritan. Dia mencoba tenang tapi tak sempurna. Sakit yang menghantam perutnya jauh lebih luar biasa dibandingkan ketika tulang belulangnya patah saat jatuh di jurang Medangkamulan lima tahun lalu.
"Saya sudah menyuruh salah seorang murid untuk menjemput suami Nyai. Jangan khawatir, dia akan segera datang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita memusatkan tenaga dalamnya di dada. Mengatur napas dengan saksama dan mulai mendorong si jabang bayi ke mulut rahim. Toh, wajahnya yang putih kian pucat. Seperti tak ada darah yang mengalir di sana. Perempuan hebat itu membentangkan kedua tangannya, lantas mencengkeramkan kedua telapak tangan, hingga sepuluh jari tangannya menghunjam di pinggir-pinggir pembaringan.
Gigi-giginya beradu menahan sakit. Bulir-bulir keringat menghambur dari seluruh pori-pori yang ada di permukaan kulitnya. Tiba-tiba Samita merasakan amarah yang luar biasa.
Amarah manusiawi ketika dia merasa kesal harus menjalani rasa sakit yang begitu hebat. Dia dengan kesendiriannya, tanpa satu pun orang untuk berbagi.
Kebencian pada suatu hal yang tak jelas. Kebencian yang kemudian dihentakkan oleh Samita hingga berujung pada tangisan bayi yang melengking sejadi-jadinya. Samita merasa tubuhnya langsung lemas. Semua tenaga seakan tercerabut dari tubuhnya. Ia masih telentang dengan tubuh tanpa kekuatan.
"Tampan sekali. Pasti dia akan menjadi pendekar ternama suatu saat kelak."
Usrek, dukun beranak yang satu bulan terakhir tinggal di Perguruan Hanacaraka itu berkata setengah teriak. Wajahnya sumringah, hingga kerut-kerut di wajahnya demikian kentara.
Ia buru-buru menyuruh dua orang perempuan di dekatnya untuk menyiapkan air hangat. Dengan telaten dan saksama, ia lantas membersihkan tubuh si jabang bayi hingga benar-benar tak bersisa noda pada kulitnya. Ia lalu melilitkan kain di tubuh bayi merah itu agar terasa hangat.
"Lihat Nyai. Putra Nyai sungguh tak sabar untuk minum air susu ibunya."
Samita tersenyum dalam kebingungan. Dia sendiri belum paham bagaimana menghadapi bayi mungil yang kelihatan begitu lemah itu. Dengan dibimbing Usrek, Samita pun melakukan tugas termulianya, menyusui buah hatinya dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi cinta kasih. Sementara kesan di mata Samita masih penuh ketidakpercayaan.
Sembilan bulan lebih menunggu, tapi begitu si jabang bayi lahir, dia masih belum percaya bahwa dirinya telah menjadi seorang ibu. Tak urung air matanya meleleh melihat si jabang bayi yang kini terdiam. Wajah damainya seperti telaga.
Matanya memejam, sementara mulutnya sibuk meminum susu dari ibunya.
"Pantas Kakang Respati ingin kau bernama Soma, Nak."
Samita memejamkan matanya penuh syukur. Beberapa lama bayi mungil itu akhirnya terlelap. Dibantu Usrek, Samita lalu membaringkan bayi itu di amben khusus di samping pembaringan orangtuanya.
Samita duduk di pinggir pembaringannya tanpa melepas pandangan matanya dari sosok suci itu. Rasa sakit selepas melahirkan tak dirasakannya lagi. Dia berkomat-kamit mengucap syukur dengan nada lirih.
"Nyai!"
Samita dan tiga perempuan renta di ruangan itu menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Usrek lalu bangkit menuju pintu kamar dan membukanya perlahan.
"Kau kenapa?"
Wajah Usrek langsung berkerut melihat pemuda tanggung yang tadi ia suruh untuk menjemput Respati berdiri di depan pintu dengan wajah pucat pasi. Kakinya menggigil, giginya bergemerutuk.
"Sa ... saya ...."
"Apa yang terjadi?"
"Murid-murid perguruan diserang oleh orang-orang bertopeng. Warga Desa Tumpak juga banyak yang tewas dibunuh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Sepasang mata tua itu membelalak. Bibirnya bergetar hebat. Kini, dia celingukan bingung harus bagaimana. Berdiri di depan pintu sambil bergantian menoleh ke arah dalam dan luar ruangan.
"Ada ada Mbok?"
"Ah tidak, Nyai. Hanya urusan kecil."
"Urusan kecil?"
Usrek kaget untuk kedua kalinya karena ternyata Samita sudah berdiri di belakangnya. Wajah perempuan ayu itu masih kelihatan pucat.
"Apa yang terjadi dengan gurumu?"
Nada suara Samita datar dan tenang. Ia paham telah terjadi sesuatu di luar pengetahuannya. Dia kini memaksa murid muda Hanacaraka itu untuk bicara.
"Orang-orang jahat menyerang Desa Tumpak, Nyai."
Samita mengangguk-angguk. "Dan. murid-murid Hanacaraka tak bisa mengusirnya?"
"Kemampuan mereka sungguh sangat tinggi, Nyai. Para murid kewalahan, penduduk desa banyak yang tewas.
Sekarang guru tengah dikeroyok oleh mereka."
Samita berusaha tetap tenang. Padahal, hatinya jelas gundah gulana. Pasti orang-orang yang menyerang Desa Tumpak bukan kelompok semba-rangan. Murid-murid Perguruan Hanacaraka tak mungkin begitu saja lumpuh oleh serangan bramacorah mana pun. Kalau kelompok bertopeng itu mampu mempecundangi mereka, berarti orang-orang itu memang berilmu tinggi.
Tersirat dalam benaknya untuk menyusul Respati, tapi hatinya langsung ragu mengingat bayi merah yang baru saja ia lahirkan. Selain itu, terlalu berbahaya memaksakan diri bertarung usai melahirkan. Tenaganya belum pulih. Luka bekas melahirkan juga masih terasa menggigit.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Mbok Usrek, jaga anakku baik-baik. Dan kau, Anak muda, beritahu semua saudara seperguruan untuk berjaga-jaga di luar. Bukan tak mungkin, orang-orang itu akan menyerang kemari."
"Nyai mau ke mana?"
Usrek menatap Samita penuh cemas.
"Kakang Respati butuh bantuanku, Mbok."
"Tapi keadaan Nyai masih sangat lemah. Terlalu berbahaya untuk bertarung."
Samita tersenyum. Ia menggenggam telapak tangan perempuan tua itu.
"Nyawa bukan berada di tangan kita, Mbok. Percayalah, aku akan baik-baik saja."
Setelah mengatakan itu, Samita menghampiri pembaringan. Mengambil secarik kain lalu membebatkannya melingkari perut. Dia menghampiri amben kecil tempat putranya pulas tertidur. Ia ciumi bayi mungil itu beberapa saat.
Napasnya terhela perlahan.
Beberapa saat kemudian, Samita telah berdiri di pelataran perguruan dengan pakaian siap tarung.
Seperti ketika dia masih gadis dulu. Hanya rambutnya yang elok kini digelung memberi kesan dewasa. Sambil menekan rasa sakit di perutnya, Samita menaiki kuda yang telah disiapkan muridnya.
Para murid yang berdiri melepas kepergiannya tampak cemas.
"Ingat, tak ada yang boleh keluar perguruan. Apa pun yang terjadi di perguruan, semua adalah tanggung jawab kalian."
Tak menunggu lama, Samita lalu memacu kudanya ke Desa Tumpak. Terguncang-guncang di atas kuda tentu saja membuat luka sehabis melahirkan tambah terasa sakit. Tapi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita bertahan. Kepalanya mulai pening, tapi dia tak mengurungkan niat.
Satu hal yang berputar di benaknya hanyalah bertempur melawan musuh di samping suaminya tercinta. Kuda terbaik yang ia naiki melesat cepat memasuki kawasan Desa Tumpak.
Desa ini dihuni oleh orang-orang yang gemar bekerja keras.
Mereka tak pernah diam, selalu berpikir untuk maju.
Sampai kemudian terpikir untuk membekali para pemuda setempat dengan ilmu pertanian. Karena Perguruan Hanacaraka juga mengajarkan ilmu pertanian, hari itu Kepala Desa Tumpak mengundang Respati untuk melatih pemuda setempat cara bertani yang baik.
Tak disangka malah hal itu menjadi awal malapetaka.
Samita tak membiarkan dugaan-dugaan buruk berputar di kepalanya. Ia ingin segera sampai ke tujuan untuk melihat keadaan suaminya. Hingga akhirnya, ia benar-benar masuk ke pintu gerbang Desa Tumpak dengan dada berdegup kencang.
Terdengar bunyi pertempuran. Samita memacu kudanya hingga tampak jelas orang-orang berjumpalitan dalam pertempuran yang dahsyat. Samita mencari-cari sosok suaminya. Dia sedikit lega ketika melihat Respati masih mati-matian menentang serangan belasan orang bercadar hitam dengan keris Angga Cuwiri-nya.
Sekali sentak, tubuh Samita melayang, menerobos kepungan orang-orang itu.
"Kakang!"
"Samita! Bagaimana anak kita?"
Samita tak sempat menjawab pertanyaan Respati. Ia langsung disibukkan oleh serangan orang-orang bertopeng itu.
Kini, belasan orang bertopeng itu terbagi dua. Sebagian mengeroyok Respati, sebagian lagi memburu Samita.
Perempuan pendekar itu lantas melolos sabuk peraknya yang kesohor. Sekali sentak, sabuk panjang itu meliuk menyebarkan maut. Tapi baru beberapa jurus, gerakan sabuk Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi yang biasanya sangat berbahaya itu melemah. Samita merasakan tenaganya merosot tajam.
Keringat dingin menghambur keluar, sementara rasa sakit di perut Samita kembali meraja. Beberapa kali Samita menghentikan serangannya untuk mengatur napas.
"Yaaah!"
Samita memaksakan diri mengeluarkan Ilmu Kutub Beku.
Memang di antara para pengeroyok itu ada yang terpental ke belakang. Namun, Samita sendiri langsung roboh. Jatuh terduduk dengan lengan menyangga tubuh.
"Samita!"
Melihat istrinya roboh, Respati jadi panik. Gerakan keris Angga Cuwiri-nya membabi buta ke segala arah. Ia ingin segera menghampiri istrinya dan menghalau orang-orang yang hendak melukainya.
Tapi, serangan para pengeroyok justru tambah hebat.
Mereka merangsek ke depan dan mengurung Respati dari segala arah dengan berbagai senjata. Luka-luka di tubuh Respati menjadi bukti betapa pendekar mumpuni itu telah berjuang mati-matian untuk bertahan.
Samita mencoba bangkit, namun gagal. Seluruh tubuhnya lemas bukan main. Dia hanya bisa menyaksikan suaminya terus terdesak hebat. Sementara orang-orang yang tadinya mengeroyok Samita seperti tak tertarik lagi untuk melukai perempuan digdaya itu. Mereka malah bergabung dengan belasan pengeroyok lain yang mengepung Respati.
Jadilah bekas rakyran rangga Majapahit itu berjuang sendiri menghadapi serangan maut belasan orang bertopeng.
Samita lagi-lagi memaksakan tubuhnya untuk bangkit.
Setiap kali berusaha bangkit, saat itulah dia gagal. Samita berusaha keras menahan tangis. Ia tahu itu tak akan berarti apa-apa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Ia kemudian berusaha mengatur tenaga dalamnya perlahan sambil terus menyaksikan perkembangan pertempuran. Sementara Respati tengah merapal jurus pamungkas Hanacaraka yang sebenarnya belum sempurna ia kuasai. Rapalan Ma Ga Ba Ta Nga yang menuntaskan keseluruhan jurus Hanacaraka belum sepenuhnya ia pahami.
Tapi, dalam keadaan genting seperti sekarang, apa pun harus dilakukan.
"Magabatanga!"
Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh-tubuh terlontar ke udara. Para pengeroyok itu menyebar ke segala arah dengan luka yang rupa-rupa. Tapi, mereka segera bisa bangkit dan bersiap untuk kembali bertempur.
Sementara Respati berdiri dengan ujung keris Angga Cuwiri menghunjam ke tanah, menopang tubuhnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya luruh, bersamaan dengan darah muncrat dari bibirnya. Tapi, dia tak membiarkan dirinya roboh begitu saja. Kaki kanannya ditekuk, sedangkan kaki kirinya lunglai ke belakang.
Tangan kanan Respati masih menggenggam gagang keris yang ujungnya menghunjam ke bumi.
Samita menyaksikan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia lantas menyeret tubuhnya perlahan. Sangat pelan karena tubuhnya pun dirajam rasa sakit yang hebat. Sementara para pengeroyok bertopeng itu tak meneruskan serangannya.
Mereka berdiri tertegun menyaksikan adegan mengharukan itu.
Sekuat tenaga Samita terus menyeret tubuhnya, sekaligus menekan rasa pedih yang berujung pada air mata. Dia tak mau menangis saat itu. Ketika akhirnya ia bisa meraih tubuh suaminya, pertama kali yang ia lakukan pun bukan tersedu-sedu. Ia menangkap tubuh gagah suaminya yang langsung roboh begitu ia sentuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Kepala pendekar perkasa itu lunglai di pangkuan istrinya.
Samita menyeka darah kental dari bibir Respati. Perlahan kemudian ia tempelkan bibirnya di kening suaminya.
"Anak kita laki-laki, Kakang. Namanya Soma. Soma Tanaya."
Respati tersenyum. Perlahan, kelopak matanya terbuka.
"Jaga anak kita, Samita."
"Pasti, Kakang."
"Ce ... ceritakan padanya, tentang kisah kita."
"Tak akan luput satu kalimat pun."
Respati terbatuk-batuk. "Kapan terakhir aku katakan cinta, Samita?"
"Kakang tak pernah mengungkapkannya dengan kata-kata."
Samita nyaris tak sanggup menahan air matanya. Sebentar lagi pasti meledak tangis yang menyayat.
"Bodohnya aku."
"Kakang tak perlu mengatakannya. Semua yang Kakang lakukan adalah cinta yang sesungguhnya."
Respati terdiam sesaat. Seperti tengah menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Aku mencintaimu, Samita."
"Aku tak pernah meragukannya, Kakang."
"Allah!"
Air mata Samita tumpah sudah. Menetesi wajah Respati yang kian memutih.
"Allah!"
Samita betul-betul kehabisan kata-kata.
"Allah!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa suara, air mata Samita bercucuran. Perlahan, ia tutup kelopak mata Respati yang tak lagi bergerak-gerak.
Lantas ia ciumi wajahnya yang masih menyisakan hangat.
Sebelum kemudian ia peluk erat tubuh Respati. Ia seperti ingin menyatu dengan suaminya tercinta.
Para pengeroyok bercadar masih ada di tempat itu. Mereka berdiri kaku. Bahkan, seperti tak sedang bernapas. Salah seorang yang berdiri paling depan tampak memperhatikan betul adegan di depannya.
Samita perlahan mengangkat kepalanya.
"Katakan kepada rajamu, satu bulan lagi, aku akan datang menemuinya. Jika dia kesatria, tunggu kedatanganku. Tapi jika dia pengecut, segeralah pergi dari Majapahit."
Orang bercadar yang berdiri paling depan tampak tersentak. Matanya mendelik kaget. Ia bahkan buru-buru membuang muka ketika sorot mata Samita menghunjam bak pedang ke arahnya. Ia lalu mengangkat tangannya, memberi perintah kepada teman-temannya untuk meninggalkan tempat itu.
Sementara Samita masih duduk timpuh di tanah, memangku kepala suaminya yang lunglai dan mulai terasa dingin. Orang kampung yang tadinya pilih bersembunyi mulai berdatangan. Jerit tangis melengking. Banyak mayat bergelimpangan, meninggalkan tangis dan rasa sedih mendalam pada keluarganya.
Dibantu beberapa murid yang masih selamat, Samita lalu mengangkat tubuh suaminya ke beranda salah satu rumah terdekat. Hanya beberapa saat. Samita lalu mengutarakan keinginannya untuk membawa pulang jasad suami dan murid-murid Perguruan Hanacaraka. Akhirnya, dibantu oleh beberapa orang penduduk, tubuh mati Respati ditandu menuju Perguruan Hanacaraka. Perjalanan tak lantas terhenti meskipun malam semakin larut.
Dicengkeram warna gelap dan suasana sunyi senyap, rombongan membawa jasad Respati dan para murid yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tewas dalam pertempuran di Desa Tumpak. Alam yang sepi dan perjalanan yang tanpa bicara. Rombongan itu sampai di depan Perguruan Hanacaraka dengan pandangan lusuh.
Membayangkan betapa kagetnya para penghuni perguruan ketika tahu guru mereka telah tewas.
Tapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Rombongan pembawa jasad-jasad mati itu justru yang kaget bukan kepalang. Pemandangan di pelataran perguruan membuat kaki-kaki mereka terasa tak lagi menginjak tanah. Samita yang tadinya duduk tenang di atas kuda segera meluncur turun dan berlari ke arah pelataran.
Mayat-mayat juga bergelimpangan di sana. Samita menutup mulutnya dengan tangan. Bibirnya bergetar hebat.
Tubuhnya terhuyung-huyung. Mayat-mayat para murid perguruan terbiar begitu saja dengan keadaan mengenaskan.
Kepala pecah, tangan buntung, dada jebol, dan luka-luka kejam lainnya.
"Anakku!"
Samita berlari sekencang-kencangnya menuju ruang pribadinya. Sekali lagi matanya membelalak. Isi kamarnya menjadi merah oleh darah yang muncrat ke mana-mana.
"Mbok Usrek!"
Samita memburu tubuh renta yang tergeletak di lantai kamar dengan kepala pecah. Darah segar itu segera membasahi pakaian Samita. Penerangan obor yang remang-remang membuat suasana bertambah seram.
Samita lalu menghambur ke arah amben kecil tempat ia meletakkan bayi yang belum lama ia lahirkan. Kosong! Samita nyaris menjerit. Tapi, suaranya tersumbat di kerongkongan.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. Harap-harap cemas, mengitari kamar dan berharap anaknya ada di sana. Tapi harapannya mesti menguap. Dia hanya mendapati tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa nyawa. Tiga perempuan renta yang membantunya bersalin, tewas dengan luka mengerikan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho Karya Tosaro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita merasa rohnya tercabut saat itu. Dia berjalan mengambang tanpa tenaga dan suara. Rasa hatinya mati. Ia seperti mendengar suara tangis bayi. Samita menghambur ke arah amben. Dia yakin anaknya ada di sana.
"Soma!"
Samita tak menemukan apa-apa, kecuali segulung daun lontar asing yang menggeletak di atas pembaringan.
Meskipun dengan suasana hati kacau-balau, Samita masih bisa berpikir bahwa gulungan lontar itu bisa jadi sebuah petunjuk. Perlahan dia membukanya dengan tangan bergetar.
"Dua puluh tahun lagi, aku akan mengirim anakmu untuk menentangmu. Saat itu dendamku akan terbayar. Dewi Anindita."
Samita langsung lemas. Daun lontar itu terjatuh dari tangannya, berbarengan dengan tubuhnya sendiri yang terempas ke pembaringan. Matanya sudah kering, tanpa air mata. Hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa suara jelas.
Matanya menerawang tanpa berkedip.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi 22. Takluknya Senja
Udara berkabut, juga hati orang-orang yang kini duduk timpuh di depan gundukan tanah di pesisir Surabaya. Samita menghela napas tanpa suara. Ia mengenakan pakaian serbaputih, tanda berkabung. Sementara wajah-wajah lain yang ada di tempat itu juga diliputi mendung.
Perlahan Samita meraih tusuk konde yang menjaga gelung rambutnya tetap rapi. Ia mencabut tusuk konde bertahta mutiara itu, hing-ga terurai rambut hitamnya.
"Kakang, tusuk konde ini akan menemani Kakang. Aku akan membiarkan rambutku tergerai hingga raja pandir itu kuberi pelajaran. Aku juga berjanji akan menghabiskan umurku untuk mencari anak kita, Kakang. Tak akan kubiarkan Anindita merusak jati diri pendekar yang engkau wariskan kepadanya. Tak akan."
Bibir Samita lalu terkatup. Tak ada air mata. Sepertinya, seluruh kepedihan yang ia alami sudah cukup membuat mati rasa. Puncak kepedihan ketika dia tak lagi sanggup untuk mengeluarkan air mata.
Sementara hari beranjak terang. Matahari segera menyebar panasnya. Orang-orang mulai beranjak dari tanah pekuburan. Sementara Samita tetap duduk timpuh di depan pusara Sad Respati, suaminya.
Jauh dari pesisir Surabaya, di balik tembok-tembok keraton yang kokoh, Wikramawardhana duduk di atas kursi indah di ruang kamarnya yang mewah. Di sampingnya sang istri tercinta, Dewi Suciatma, duduk kikuk menunggu kalimat sang raja.
"Respati adalah putra terbaik Majapahit. Kenapa semua jadi tak terkendali?"
"Kangmas, apakah memang Kangmas memerintahkan pembunuhan atas bekas rakryan rangga itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Wikramawardhana menggelengkan kepala.
"Aku hanya ingin ia diselidiki. Respati melatih pemuda pesisir berlatih ilmu kanuragan. Aku tak mau akhirnya dia menghimpun kekuatan untuk menentang Majapahit."
"Tapi itu masih dugaan, sedangkan tindakan bhayangkari sudah begitu berani."
"Sadali yang kupercaya untuk menyelesaikan masalah ini."
"Kangmas, Sadali pula yang sejak dulu menyimpan rasa tak suka terhadap Respati!"
Wikramawardhana terdiam. Kejadian kali ini mengingatkannya atas tragedi Blambangan ketika Pangeran Gajah memenggal kepala Bre Wirabumi tanpa perintah langsung darinya. Api dendam Blambangan berhasil ia redam setelah Suciatma, putri Wirabumi, ia nikahi. Lalu, apa yang kini harus ia lakukan untuk memadamkan api dendam rakyat pesisir Surabaya"
"Samita berhati baja, Kangmas. Dia pasti membuktikan janjinya."
"Aku tahu, Nimas. Dia putri Laksamana Cheng Ho yang sekian lama bersahabat dengan Majapahit. Aku tak bisa membayangkan jika masalah ini meluas nantinya. Apa yang akan dilakukan Kerajaan Ming jika putri Laksamana Ho disakiti?"
"Saya berharap masalah ini tak akan mengembang sejauh itu, Kangmas. Samita sangat dewasa. Menurut saya, lebih baik Kangmas meluluskan keinginannya untuk bertemu. Samita tak akan melakukan hal bodoh."
"Tapi, ilmu kanuragan perempuan itu sangat tinggi. Siapa bisa menjamin dia tak akan membahayakan jiwaku, Nimas?"
"Saya yang akan menjamin keselamatan Kangmas. Nyawa saya sebagai taruhannya."
Wikramawardhana tertegun. Istri termudanya ini sungguh penuh semangat. Membuatnya berapi-api untuk meneruskan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi hidup. Darah mudanya masih demikian kental dan meletup-letup. Itulah yang senantiasa membuat Wikramawardhana bersemangat untuk menata ulang Majapahit menjadi kerajaan yang dicintai rakyatnya.
0o0 Bulan Waisyaka, Hari Soma
Gerbang keraton Majapahit riuh. Para prajurit bersenjata lengkap berdiri dengan sikap siap siaga. Tombak, pedang, dan pasukan pemanah siap tempur. Mereka rupanya siap menukarkan nyawa, agar tak ada seorang pun yang bisa memasuki pintu gerbang istana.
Di depan mereka, sesosok perempuan dengan pakaian serbaputih berdiri mematung. Tak ada senyum di wajahnya.
Kesan muka yang berduka. Tapi, itu tak bisa menghapus kejelitaan yang sulit dicari tandingannya. Dialah Samita, murid utama Laksamana Cheng Ho sekaligus istri pendekar termasyhur Sad Respati.
Dia berdiri kaku dengan rambut terurai tanpa tali. Angin yang mendesau membuat helaian rambutnya berpendar-pendar. Di punggungnya terpanggul sebilah keris berukuran tak wajar yang warangkanya saja sudah menyebarkan aura kedigdayaan. Itulah keris Angga Cuwiri. Keris pusaka mendiang suaminya, Sad Respati, yang sempat menggegerkan dunia persilatan.
Kini dengan wajah tanpa takut, Samita berdiri di muka pintu gerbang Majapahit untuk membuat perhitungan. Dia tahu benar bahwa belasan orang bertopeng yang mengeroyok suaminya hingga tewas adalah lima belas bhayangkari utama Majapahit. Samita meyakininya setelah melihat cara bertempur mereka yang begitu khas.
Formasi bhayangkari sudah dihafal luar kepala oleh Samita. Tentu saja sebagai istri Sad Respati yang pernah memegang jabatan kepala Bhayangkari, Samita paham bahwa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi formasi serangan itu hanya mungkin dilakukan oleh bhayangkari Majapahit.
Tapi, untuk bisa menemui sang raja jelas bukan perkara sepele. Bahkan, sebagian besar rakyat Majapahit belum pernah melihat wajah raja mereka selama berabad-abad. Tapi Samita telah berketetapan hati. Dia tak akan membalikkan langkah, sebelum bertemu muka dengan sang raja.
"Sebulan lalu aku telah membuat janji dengan raja kalian.
Apakah sang prabu begitu takut hingga tak berani menemuiku?"
"Lancang! Kau kira siapa dirimu?"
Samita tersenyum dingin. Dia seperti tak hirau terhadap kalimat pedas salah seorang prajurit itu. Kini, rambutnya benar-benar dicandai angin. Beberapa kali pandangan matanya terganggu helaian rambut yang berkibar-kibar di depan wajahnya.
"Aku adalah seorang istri yang menuntut hak untuk tahu, kenapa raja kalian berbuat sewenang-wenang membunuh suamiku tanpa alasan?"
Para prajurit yang jumlahnya puluhan itu bukan tak tahu bahwa sosok yang kini mereka kepung adalah pendekar perempuan pilih tanding dari pesisir Surabaya. Hanya, sejak awal mereka memang sudah bersiap untuk menghadang Samita agar tak mengusik ketenteraman sang raja.
"Apa kau tahu di dalam keraton ada ribuan prajurit yang akan melumatkan tubuhmu dalam satu gebrakan?"
"Pantas saja Majapahit semakin mundur. Bahkan, prajuritnya hanya pandai bicara muluk."
"Kau!"
Tanpa hendak berunding lagi, Samita berlari cepat menyongsong para prajurit yang segera menggerakkan senjata mereka masing-masing menyambut kedatangan Samita. Sementara begitu jarak dengan para prajurit itu sudah Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi sangat dekat, Samita memutar tubuhnya sedemikian rupa, sambil mendaratkan tendangannya ke salah seorang prajurit di depannya.
Si prajurit langsung terjengkang tanpa daya. Selanjutnya, Samita melolos sabuk peraknya yang langsung mengeluarkan sinar menyilaukan. Sinar matahari yang terang benderang dipantulkan sempurna oleh sabuk istimewa itu sehingga sangat mengganggu pandangan mata siapa pun yang menatapnya.
Gerakan Samita semakin cepat. Hampir setiap pergerakan kaki atau tangannya disusul oleh suara berdebam atau jerit kesakitan para prajurit yang roboh. Samita terus mengamuk.
Sabuk di tangannya meliuk-liuk seperti ular yang memburu mangsa. Tak jarang senjata-senjata para prajurit yang disorongkan berbarengan bisa terbelit oleh sabuk itu kemudian dibetot oleh Samita dengan tenaga penuh.
Sontak para pemilik senjata itu terdorong ke depan ketika senjata-senjata mereka terampas oleh sabuk sakti itu. Saat berikutnya, berbagai senjata itu sudah meluncur balik menyerang kerumunan prajurit itu. Akibatnya bisa ditebak, beberapa prajurit segera roboh bersimbah darah ketika senjata-senjata temannya menghunjam dalam ke dada mereka.
Jumlah prajurit yang puluhan itu seperti tak pernah habis.
Teman-teman mereka yang ada di balik pintu gerbang berhamburan keluar hendak membantu teman-temannya meringkus 'harimau betina' dari pesisir Surabaya yang kini tengah mengamuk. Jumlah prajurit yang berlipat-lipat tak membuat Samita takut.
Dia malah bertambah semangat memutar sabuknya.
Gerakan tubuhnya sudah sulit ditangkap oleh pandangan mata biasa. Begitu cepat dan trengginas. Tahu-tahu, sekelompok prajurit roboh dengan mulut berdarah.
"Hentikan!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Samita bersalto sebelum akhirnya mendaratkan kakinya di atas tanah, ketika mendengar teriakan lantang yang mengandung tenaga dalam hebat. Sontak pertempuran terhenti.
"Kepala bhayangkari, sungguh tersanjung saya dengan kedatangan Tuan."
Danurdara berdiri di depan Samita dengan pandangan mata ragu. Pemuda gagah itu lebih kelihatan matang.
Bertahun-tahun tak bertemu, Samita masih sangat mengenal dirinya dengan baik.
"Bertahun-tahun tak bertemu, apa kabarmu, Samita?"
"Danurdara, entah bagaimana caramu berhitung. Kau merasa bertahun-tahun kita tak jumpa, sedangkan aku melihatmu dengan jelas sebulan lalu."
"Samita, apa maksudmu membuat onar keraton Majapahit?"
"Bukankah satu bulan lalu aku sudah katakan kepadamu, bahwa hari ini aku akan mendatangi rajamu untuk minta pertanggungjawaban atas kematian suamiku, belasan murid Perguruan Hanacaraka, dan puluhan warga Desa Tumpak yang tak berdosa?"
Danurdara tak menjawab. Bahkan, dia tak berani menentang pandangan mata Samita.
"Danurdara, dari mulut suamiku, hanya hal-hal baik saja yang ia katakan ketika bercerita tentang dirimu. Mana pernah ia menyangka, akhir hidupnya justru ada di tanganmu."
"Samita, kumohon. Hal itu sulit sekali untuk dijelaskan."
"Maksudmu, kau melakukannya dengan alasan tugas prajurit, Danurdara?"
Tak ada jawaban. Danurdara merasa salah dengan segala gerak-geriknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Lalu kau kira, kenapa Kakang Respati meninggalkan Majapahit kecuali untuk menghindari hal yang justru engkau banggakan itu."
"Kami sama sekali tidak sama, Samita."
"Kalau begitu, bersiaplah. Apa pun alasanmu, aku datang hari ini untuk membuat perhitungan dengan seluruh bhayangkari."
"Samita, kumohon. Ini tindakan bodoh. Jiwamu akan terancam."
"Apa yang kau pedulikan sebenarnya, Danurdara?"
"Tentu saja kelangsungan hidupmu, Samita."
"Jika kau benar-benar peduli, kenapa kau membunuh orang yang paling kucintai dan menyebabkan buah hati kami terpisah dari orangtuanya?"
Danurdara terkesiap. Kedua alisnya bertaut.
"Soma, bayi merah yang baru aku lahirkan dibawa lari oleh Anindita. Kau kira itu akan terjadi kalau kau tidak membantai orang-orang Desa Tumpak?"
"Samita, aku tak tahu harus bicara apa."
"Cabut pedangmu!"
"Melawanmu, Samita" Lebih baik kau membunuhku sekarang juga."
Samita tertegun. Dia tak segera bergerak. Batinnya menduga-duga. Satu lagi kebodohan di atas bumi disebabkan oleh cinta.
"Kau ingin aku iba dengan kecengenganmu, Danurdara?"
"Terserah padamu, Samita."
Samita belum juga bertindak. Ia semakin erat menggenggam sabuk perak yang setiap saat siap untuk dihentakkan. Niat itu benar-benar urung ketika dari dalam gerbang, seorang prajurit datang dengan langkah tegap penuh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi wibawa. Di belakangnya, sepasukan prajurit bersenjata lengkap mengimbanginya dengan langkah berderap.
"Sabda Raja Wikramawardhana!"
Semua orang langsung merunduk, memberi hormat.
Kecuali Samita.
Danurdara meliriknya penuh khawatir.
"Nyai Samita dari pesisir Surabaya diperkenankan menemui sang prabu jika mampu melewati rintangan bhayangkari. Jika menampik, Nyai Samita diperbolehkan meninggalkan keraton tanpa hukuman."
Senyap. Prajurit pembawa perintah raja itu lalu mendekati Samita. Sementara prajurit lain mendongakkan kepalanya.
"Bagaimana, Nyai Samita?"
"Di mana bhayangkari menungguku?"
Semua mata membelalak. Siapa pun maklum bahwa ilmu kanuragan Samita sangat tinggi. Namun, menghadapi lima belas bhayangkari Majapahit sekaligus sama juga bunuh diri.
Bahkan, Sad Respati yang dulunya merupakan kepala bhayangkari tewas saat menghadapi mereka. Sungguh tak ada orang di tempat itu yang menyangka Samita akan menerima tantangan raja.
"Samita, masih ada waktu untuk membatalkannya."
Danurdara minta perhatian Samita, namun ia tak mendapatkannya. Samita berjalan menuju pintu gerbang tanpa memedulikan Danurdara.
"Jangan khawatirkan aku. Siapkan saja dirimu untuk pertempuran nanti."
Samita melangkah yakin ke arah yang ditunjukkan prajurit pembaca perintah raja itu. Kali ini, ratusan prajurit yang tadinya menghadang Samita membuat jalan agar Samita bisa melewatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Siapa pun bakal keder sekaligus trenyuh melihat kesan wajah Samita yang demikian dingin. Sepertinya, segala kejadian beberapa waktu terakhir membuat hatinya beku. Di benaknya, hanya ada keharusan untuk memberi pelajaran kepada Raja Majapahit yang ia anggap bertindak terlalu gegabah.
Ratusan pasang mata para prajurit memandang takjub dengan sikap gagah Samita yang tanpa risau berjalan terus penuh keyakinan ke arah siti hinggii. Di pelataran muka tempat pertemuan para pejabat kerajaan dengan sang raja itu, kini telah berdiri bhayangkari utama Majapahit dalam formasi yang kukuh.
Mereka semua berjumlah empat belas orang. Kurang satu.
Tapi segera lengkap ketika Danurdara muncul dan mengisi kekosongan itu. Di antara wajah-wajah itu, ada beberapa orang yang dikenal Samita. Mereka adalah Danumaya, Daniswara, Sasmaya, Harimurti, Harsaya, dan Hartaka.
Keenamnya bhayangkari seangkatan dengan Respati dan Danurdara.
"Sad Respati datang untuk menghukum kalian yang tak tahu makna persaudaraan!"
Para bhayangkari tak langsung paham maksud omongan Samita. Mereka tetap berdiri di tempatnya masing-masing tanpa bicara. Demikian juga dengan ratusan prajurit yang kini membentuk barisan menyerupai busur, berawal dan berakhir di bangunan siti hinggii.
Samita segera menjawab tanda tanya itu. Ia meraih gagang Angga Cuwiri dan mencabutnya dengan kilat. Sinar biru berkelebat. Semua orang terkesima. Mereka seperti melihat Sad Respati berdiri di sana dan siap untuk menuntut balas.
"Nyai Samita, Angga Cuwiri adalah keris yang hanya bisa dimainkan sempurna dengan Jurus Hanacaraka. Nyai bisa terluka jika nekat menggunakannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Danurdara masih tak bisa tega. Dia memandang penuh khawatir.
"Bersiaplah kalian!"
Pandangan Samita menyelidik. Seperti tengah memilah-milah, lawan mana yang harus ia hadapi pertama kali. Formasi rajawali yang diterapkan barisan bhayangkari itu memang terlalu kokoh. Bagian kepala dikomandoi Danurdara. Dua sayap dijaga Danumaya dan Daniswara.
Bagian tubuhnya tak lepas dari kewaspadaan Sasmaya dan Harimurti. Sedangkan di bagian ekornya dipimpin Harsaya dan Hartaka. Pilihan Samita, sayap kanan. Tubuh Samita bergerak diikuti sinar biru yang menakjubkan, memburu Danumaya dan tiga orang bhayangkari yang menjaga sayap kanan rajawali.
"Da! Dumadining dzat kang tanpa winangenan! Menerima hidup apa adanya!"
Samita berteriak lantang membuat dada orang-orang bergetar. Perempuan pendekar itu menerapkan tingkat dua jurus Hanacaraka. Bahkan, Danurdara terkesiap begitu tahu Samita memahami jurus sakti itu.
Sekali hentak, keris Angga Cuwiri mematahkan senjata tangan seorang bhayangkari di sayap kanan yang dipimpin Danumaya. Ia roboh oleh hantaman tangan kiri Samita.
"Ta! Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa! Mendasar, sepenuh hati, satu pandangan, ketelitian dalam memandang hidup!"
Keris sakti di tangan Samita berputar deras menghadang laju pedang Danumaya, lalu berputar cepat mengancam ke arah dadanya. Begitu Danumaya bersalto menghindar, kaki kanan Samita meluncur deras, menghantam perut bhayangkari di belakangnya. Suara berdebam menyertai erangan. Sudah dua bhayangkari di sayap kanan roboh.
Tinggal dua lagi.
"Rajawali mengoyak angin!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Teriakan lantang Danurdara segera disambut suara berderap, ketika tiga belas bhayangkari yang tersisa mengubah posisi. Bagian kepala rajawali yang paruhnya diisi Danurdara meluncur ke arah Samita. Sedangkan sayap kanan yang telanjur diobrak-abrik Samita segera menyingkir ke samping.
"Kata siapa aku ingin buru-buru menghadapimu, Danurdara?"
Tubuh Samita melambung menghindari paruh rajawali, lalu bergerak cepat ke arah ekor.
"Sa! Sifat ingsun handuiu sifat Gusti! Membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan!"
Serangan Samita datang bak angin topan. Cepat, galak, dan sulit dibendung. Ia langsung mengincar Harsaya. Pada saat yang sama, Harsaya yang bersenjata tombak sama sekali tak menyangka Samita menyerang bagian ekor dengan begitu gencar. Bagaimanapun, dia adalah anggota bhayangkari berilmu tinggi.
Segera saja ia songsongkan mata tombaknya menyambut datangnya keris Angga Cuwiri. Samita menghindar ke samping, tanpa menghentikan gerakannya. Segera saja Angga Cuwiri di tangannya mengincar dada Haryasa yang juga tak mau mati konyol. Pemuda itu menggerakkan tombaknya ke arah belakang dengan maksud menghalau laju keris, namun gagal.
Tangan kiri Samita menghadang laju tombak. Sekali tebas, patahlah tombak itu. Sementara keris Angga Cuwiri kembali meluncur. Kini ke arah leher Haryasa. Begitu hendak menembus kerongkongan Haryasa, Samita menarik gagang kerisnya. Gantian telapak tangan kirinya yang menghantam bahu Haryasa sehingga pemuda itu terpental dan bergulingan di tanah. Tulang bahunya pasti patah.
"Wa! Wujud hana tan kena kinira! Ilmu manusia hanya terbatas, namun penerapannya tanpa batas!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tanpa jeda waktu, Samita membalikkan tubuhnya dan menghadapi Hartaka. Kali ini jauh lebih mudah. Keris Angga Cuwiri meluncur cepat tanpa bisa dibendung oleh pedang besar milik Hartaka. Pedang baja itu berkeping-keping, nyawa Hartaka di ujung tanduk.
Lagi-lagi Samita menarik kerisnya, lantas mendaratkan tendangan di perut Hartaka, hingga anggota bhayangkari itu terjungkal kesakitan.
"Rajawali memburu naga!"
Danurdara mulai panik karena sayap kanan dan ekor formasi rajawali sudah porak-poranda. Bahkan, empat orang bhayangkari telah roboh. Bagaimanapun, dia harus tetap mempertahankan formasi dan tak bisa bertempur sembarangan. Kecuali dia mau kehilangan wibawanya sebagai kepala bhayangkari.
Kini, formasi kembali bergerak. Bagian kepala lebih bebas bergerak dibandingkan sebelumnya. Danurdara rupanya benar-benar ingin segera menuntaskan pertempuran itu. Ia berpikir keras agar Samita segera bisa ditundukkan.
"Aku kabulkan permintaanmu, Danurdara."
Samita tak lagi menghindar. Ketika paruh rajawali menyongsongnya, ia langsung menghadang dengan kekuatan penuh.
"La! Lir handaya paseban jati! Mengalirkan hidup semata pada tuntunan Tuhan!"
Danurdara berlatih lama dengan Respati, ketika mereka sama-sama tinggal di Griya Bhayangkari. Makanya, jurus-jurus Hanacaraka sama sekali tak asing buatnya. Namun, apa yang dimainkan Samita terasa beda. Serupa tapi tak sama. Lebih berkekuatan dan mematikan.
Tak heran jika Danurdara benar-benar gelagapan. Pedang panjang di tangannya membuat pusaran angin untuk menghadang keris sakti di tangan Samita. Setengah hati Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi memang. Sebab, Danurdara tak ingin melukai Samita. Ini sangat menguntungkan buat lawan.
Samita menyerbu dengan keris berkelebat kilat. Bahkan, Samita tak menyangka akan semudah ini. Pedang di tangan Danurdara terpental kena sepak kaki Samita. Tahu lawannya tak sedang sungguh-sungguh, Samita tak bersemangat untuk melumpuhkannya, Dia lantas melentingkan tubuhnya menyerang bagian tubuh rajawali.
"Pa! Papan kang tanpa kiblat! Kekuasaan Gusti yang ada di segala arah!"
Seorang bhayangkari roboh.
"Dha! Dhuwur wekasane endek wiwitane! Mendaki puncak dimulai dari dasar!"
Sasmaya tersungkur.
"Ja! Jumbuhing kawula lan Gusti! Berusaha memahami kehendak Gusti!" Harimurti menyusul.
Ratusan orang yang berjejal menyaksikan pertempuran itu membelalak tak percaya. Bahkan, barisan Bhayangkari tak kuasa membendung kedahsyatan jurus Hanacaraka di tangan Samita.
"Rajawali terbang ke nirwana!"
Danurdara lebih kacau lagi. Dia sudah kehilangan kepercayaan diri sama sekali. Bagian tubuh, sayap kanan, dan ekor sudah penuh luka. Bahkan, bagian kepala pun tak lagi memiliki paruh yang mengoyak.
"Ya! Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi!
Yakin atas titah Gusti!"
Samita tak melayani tantangan Harimurti. Dia malah melompat ke arah sayap kiri.
"Nya! Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki! Memahami kodrat kehidupan!"
Daniswara terpelanting dengan mulut berdarah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Ma! Madep mantep manembah mring Gusti! Yakin, mantap dalam menyembah Gusti!"
Seorang bhayangkari menyusul.
"Ga! Guru sejati sing muruki! Belajar pada guru nurani!"
Samita kini tak perlu berpikir menundukkan formasi itu.
Sebab, memang sudah tak ada formasi. Kepala, sayap, ekor, dan tubuh sudah koyak. Kini, tinggal lima orang bhayangkari yang menyerangnya bersamaan. Tapi sebentar saja. Karena, jumlahnya segera berkurang menjadi empat. Satu di antara mereka roboh dengan belulang patah.
"Ba! Bayu sejati kang andalani! Menyelaraskan diri pada gerak alam!"
Dua orang sekaligus terpelanting dengan gigi rompal dan kaki patah.
"Tha! Tukul saka niat! Segala sesuatu tumbuh dari niat!"
Samita mendaratkan kakinya dengan santai di pelataran Siti hinggil. Ada senyum dingin di bibirnya. Suasana hening, kecuali desau angin. Bahkan, empat belas anggota bhayangkari menahan sakit tanpa suara. Tak satu pun di antara mereka yang tewas. Tapi, luka dalam yang mereka dapati juga tak bisa disepelekan.
Semua orang di pelataran siti hinggil menahan napas.
Tinggal satu orang bhayangkari yang masih berdiri. Itu pun tanpa semangat untuk menang. Danurdara berdiri limbung dengan tatapan mata kosong. Segalanya telah tercerabut dari dirinya. Kebanggaan sebagai kepala bhayangkari, cinta tak terkatakan, dan kepercayaan raja yang disembah.
"Nga! Ngracut busananing manungso! Melepaskan keakuan manusia!"
Danurdara hanya bergerak sekenanya. Dia segera jatuh terduduk dengan ujung keris Angga Cuwiri menempel di kulit lehernya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi
"Danurdara, alasan apa sebenarnya yang membuatmu mempertahankan hidup" Sahabat kau khianati! Diri sendiri tak kau bela!"
"Kau, Samita. Alasanku untuk tetap hidup hanyalah kau."
Samita tertegun. Dia tersenyum dingin, lalu menarik kerisnya perlahan. Gagah, dia lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan tanpa sungkan menuju siti hinggii. Samita tak peduli, meskipun para prajurit bersamaan mencabut senjata mereka.
Dia menyarungkan kembali Angga Cuwiri, lantas berjalan tegap menyongsong janji raja.
Ratusan prajurit merangsek ke depan dengan senjata terhunus. Tak satu orang pun yang berani mendahului menyerang. Mereka hanya berjaga-jaga. Langkah Samita tak terhenti. Telapak kakinya yang bersepatu segera menaiki tangga siti hinggii satu demi satu.
Dia segera mendapati Raja Majapahit yang duduk tenang di kursi kebesaran. Di samping kanannya, sang permaisuri, Kusumawardhani, tak kelihatan panik. Senyumnya adem dan menyejukkan. Sedangkan di samping kanan sang raja, Suciatma duduk takzim dengan kesan muka datar. Di jajaran pejabat, tampak Rakryan Tumenggung Sadali bersikap pongah.
"Saya telah merobohkan seluruh penjaga Sang Prabu.
Saatnya menagih janji,"
Wikramawardhana bergeming. Sebenarnya dia masih kaget dengan kenyataan bahwa lima belas bhayangkari terbaik Majapahit bahkan tak bisa menghentikan perempuan pendekar itu. Di hatinya tentu ada rasa was-was. Tapi sabda telanjur keluar, tak mungkin raja menjilat ludahnya sendiri.
"Apa yang kau inginkan, putri Laksamana Cheng Ho?"
Tanpa bicara, tangan Samita bergerak cepat, sabuk peraknya yang sangat lihai meluncur deras ke arah kepala Wikramawardhana. Semua orang di ruangan itu sama sekali Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi tak menyangka ini bakal terjadi. Tak seorang pun sempat mencegahnya.
Wikramawardhana menahan napas. Pasrah ketika ujung sabuk beberapa saat lagi akan menghancurkan kepalanya.
Bahkan, ia sempat merasakan ujung sabuk itu menyentuh keningnya. Tapi sekejap saja. Karena Samita kembali menyentakkan sabuknya, hingga sang raja terbebas dari maut.
Wikramawardhana tertegun. Keringat dingin keluar dari keningnya. Tapi dia masih seorang raja yang berwibawa. Tak lantas dia bereaksi berlebihan. Justru ia kini diam, berpikir keras, apa maksud Samita melakukan hal ganjil itu. Dia bertambah heran ketika tanpa berkata apa pun, Samita membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan langkah gontai keluar bangunan siti hinggii.
"Prabu, ini penghinaan terhadap kerajaan. Mohon Prabu izinkan saya menghukum perempuan itu."
Wikramawardhana bergeming. Dia masih tertegun. Ucapan Rakryan Tumenggung Sadali tak diindahkannya.
"Sadali, kau sudah cukup membuat masalah. Sekarang diamlah!"
Suara Wikramawardhana tak terlalu kencang, namun sangat tegas. Seluruh orang di ruangan itu mendengarnya.
Merah muka Sadali karenanya. Ia tertunduk lesu dengan gigi bergemerutuk.
"Biarkan dia!"
Titah sang raja segera dipatuhi. Tak satu pun prajurit yang berusaha menghadang langkah Samita. Perempuan pendekar itu berjalan perlahan namun pasti. Tak lagi berderap. Seperti ingin menikmati pergantian gerak kakinya dan mereguk nikmatnya kemenangan.
Rambutnya dimainkan angin. Begitu juga dengan pakaian yang berkibar-kibar. Seperti ada pesta dalam batin Samita.
Pesta kemenangan tanpa darah dan hilangnya nyawa. Dia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi rasakan kedua kakinya tak lagi menapak bumi. Berjalan dengan angin, ringan dan nyaman.
Langit mulai kaya warna. Di garis cakrawala, surya menjadi benda bulat utuh kemerahan. Samita menuju ke sana.
Sosoknya menjadi bayangan hitam yang menabrak merahnya matahari. Semakin kecil dan jauh, mengejar matahari. Burung-burung menjadi bayangan hitam yang menyemarakkan langit sore. Ikut berpesta dalam kesyahduan. Seperti itu, seolah untuk selamanya.
0o0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Pustaka Pendukung
Buku: 1. Basyaramil, A. Aziz Salim. Hikmah daiam Humor, Kisah dan Pepatah. Jil. 1-6. Jakarta:
2. Gema Insani Press.
3. Yuanzhi, Prof. Kong. Muslim Tionghoa Cheng Ho, Jakarta: Pustaka Populer Obor. Pepatah Lao Zi.
Situs: 1. joewono.tripod.com
2. www.jawapalace.org (sumber hanacaraka)
3. thifanpokhan.tripod.com
4. students.ukdw.acid
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Tasaro
adalah nama pena Taufiq Saptoto Rohadi yang lahir di Gunung Kidul, 1 September 1980, putra dari Bapak Muryadi dan Ibu Umi Daridjah. Tasaro menjalani pendidikan dasarnya di SDN Trowono I lulus pada 1992, kemudian melanjutkan ke SMPN 4 Yogyakarta lulus pada 1995, dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMA Mataram Yogyakarta pada 1998.
Tasaro pun pernah merasakan bangku perkuliahan pada Jurusan Jurnalistik, PPKP Universitas Negeri Yogyakarta (lulus 2000), dan pada Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hidayah, Bogor (keluar 2003/karena pindah lokasi kerja).
Penulis berbakat ini meniti karier di dunia jurnalistik dan media, mulai calon reporter harian pagi Radar Bogor (Agustus September 2000), lalu dipercaya sebagai reporter harian pagi Radar Bogor (September 2000 Agustus 2001), penanggung jawab ha-laman Radar Bogor (Agustus 2002-Januari 2003), redaktur Radar Bogor (Januari-April 2003), redaktur Radar Bandung (April 2003-April 2004), koordi-nator liputan Radar Bandung (April-Juni 2004), dan redaktur pelaksana Radar Bandung (Juni 2004-sekarang).
Dalam menjalani hidup, Tasaro begitu optimis. Hal ini tecermin dari moto hidupnya; "Terdepan, Terbaik, dan Terbeda!" Luaaar biasa!
Novel Historical Fiction SAMITA: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (DAR! Mizan, 2004) ini adalah karya perdana Tasaro yang diterbitkan DAR! Mizan di bawah Lini Sahabat Remaja Muslim. Buku-buku lainnya, kita tunggu saja karya terbaik penulis potensial ini!
Saat ini, Tasaro berdomisili di Dago, Bandung (rencananya mau pindah ke kampung pendidikan; Jatinangor). Ia ingin menikmati masa kebersamaannya dengan istri tercinta, Alit Tuti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Scan buku : Ottoy,----ebook oleh : Dewi KangZusi Bagi sahabat-sahabat pembaca DARI Mizan yang ingin berkenalan dengan penulis Samita ini, silakan menghubungi moslem@ journalist.com.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suling Emas Dan Naga Siluman 20 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Darah Bunga Iblis 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama