Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 13

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 13


gunakan pisaumu, jadikan sarung-sarung itu kain panjang. "
Jasik melakukan perintah itu. Sementara itu, terdengar
langkah mendekat dari arah bawah. Banyak Sumba
mengendap, lalu memegang salah satu dari orang-orang yang
pingsan itu. "Keluar atau kalian kami bunuh seperu tikus!" seru orang
dari luar. Banyak Sumba menyeret orang pingsan itu ke
tikungan lorong, ia berseru, "Coba naik kalau berani!"
Sambil berkata demikian, dilemparkannya orang pingsan itu
ke bawah, ke arah suara penjaga-penjaga.
"Si Iba, bawa keluar!" seru penjaga-penjaga itu, mungkin
mereka menyangka orang yang dilemparkan itu kawankawannya,
penjaga pintu kiri.
"Siapa yang mau jadi mayat pertama, naiklah!" seru
Banyak Sumba. Ia berlari ke arah Jasik, lalu berkata,
"Siap, Sik?"
"Sudah, Raden."
"Sekarang, naiklah ke pundakku, lalu melompatlah kau ke
lubang itu!"
"Lebih baik Raden yang naik ke pundak saya, saya yang
ditarik." "Tidak, Sik, saya lebih besar. Kau dapat menyangkutkan tali
itu ke satu dinding kuil."
"Baik, Raden, maaf," katanya. Jasik naik ke pundak Banyak
Sumba yang berdiri tegak. Tapi, Jasik tidak bisa mencapai
lubang itu. "Melompat!" seru Banyak Sumba. Jasik melompat dan
bergantung untuk beberapa lama. Banyak Sumba tidak segera
menolongjasik mendorong kakinya, ia berlari ke tikungan
lorong. Begitu ia tiba di sana, dilihatnya sesosok tubuh muncul
mengendap. Ia menghantamkan kakinya ke tubuh orang yang
menjerit dan bergelundung ke bawah, kc tingkat pertama kuil,
melalui tangga itu.
"Siapa lagi"!" seru Banyak Sumba sambil berlari ke arah
Jasik. Akan tetapi, dengan tangannya yang kuat, Jasik sudah
dapat naik dan mulai mengulurkan tali yang terbuat dari kain
sarung yang disambung-sambungkan.
"Sangkutkan, Sik, kalau-kalau kau tidak kuat menarik
tubuhku." "Baik, Raden."
Banyak Sumba menangkap ujung tali itu dan dengan
mudah memanjat. Ketika ia bergantung, dilihatnya sesosok
tubuh keluar dari tikungan dan menghambur kepadanya. Ia
berusaha menggunakan kakinya sambil bersiap
menghindarkan serangan yang berbahaya dari pedang yang
ada di tangan penyerang. Akan tetapi, orang itu tersandung
pada tubuh yang bergelimpangan dalam gelap. Banyak Sumba
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya dengan
memanjat lebih cepat. Penyerang baru datang. Ia bersiap
menghindar, walaupun kedudukannya sangat tidak
menguntungkan. Penyerang itu menghantamkan pedangnya,
tepat ketika Jasik menarik Banyak Sumba. Hanya suara
pedang mengenai batu yang terdengar dalam gelap. Dan,
kedua pengembara itu sekarang sudah berada di atap kuil.
"Kita lari lewat pohon," kata Banyak Sumba, "selamatkan
dirimu, kita bertemu di tempat menginap."
Sambil berkata begitu, Banyak Sumba merangkak
mendekat ke cabang pohon yang menjulur.
"Cegat! Cegat! Mereka keluar kuil! Obor! Obor!"
"Mereka lewat atap!" terdengar suara lain berseru. Banyak
Sumba melompat ke pohon, untung-untungan dalam gelap
itu. Terdengar suara ranting-ranting patah dan risik daun.
Jasik didengarnya pula mengikuti langkahnya, sementara itu di
sekeliling kuil makin banyak obor menyala. Banyak Sumba
menuruni pohon, lalu melompat ke dalam gelap, menyelinap
lalu berjalan. Ia tertegun ketika melihat beberapa orang lari ke
arahnya, ia bersiap-siap, "Ada apa ribut-ribut di kuil?" tiba-tiba
salah seorang dari pendatang itu bertanya kepadanya.
'Ada yang mencoba mencuri abu jenazah," kata Banyak
Sumba, "tapi pencuri-pencurinya sudah terkepung di dalam,"
lanjutnya setelah ragu-ragu.
Tiga orang rakyat itu berlari ke kuil. Yang seorang lari, tapi
kemudian berhenti, "Kau siapa?" orang itu bertanya sambil
mencoba melihat wajah Banyak Sumba dalam remang-remang
yang diterangi cahaya obor dari jauh itu. Banyak Sumba
tertegun, tetapi tidak ada jalan lain baginya kecuali
menyelamatkan diri. Ditendangnya ulu hati orang itu hingga
terpental dan tidak berkutik lagi. Rupanya, perbuatannya itu
dilihat orang karena tak lama kemudian, terdengarlah
teriakan-teriakan dan orang-orang berlari ke arahnya. Banyak
Sumba segera berlari kembali, menjauh dari tempat itu seraya
memanfaatkan gelap malam.
Sepanjang gelap malam itu, Banyak Sumba mengembara
dalam kota. Dicarinya jalan-jalan yang menuju arah dinding
kota sambil berhati-hati dan menghindari para jagabaya yang
meronda. Kadang-kadang didengarnya derap kaki kuda dan
seruan-seruan perintah di jalan-jalan besar. Banyak Sumba
menyadari bahwa kejadian di kuil telah diketahui jagabaya dan
mereka meningkatkan kegiatannya cepat sekali. Ketika subuh
hampir tiba, Banyak Sumba memutuskan untuk meninggalkan
kota setelah gerbang dibuka. Sambil menunggu pagi, ia
berjalan ke arah pasar karena di sana ia dapat beristirahat
dengan aman, di antara para petani yang kemalaman. Setiba
di sana, dibaringkan tubuhnya di antara tumpukan sayuran
segar. Ia berbuat demikian agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Akan tetapi, ia tidak berani tidur, betapapun ia lelah dan
mengantuk. Ia berjaga-jaga menantikan fajar. Sementara itu,
ia berdoa, mudah-mudahan Jasik selamat. Seandainya Jasik
tertangkap dan dipaksa membuka rahasia, mungkin kesukaran
akan bertambah. Walaupun demikian, ia yakin, apa pun yang
terjadi, Jasik tidak akan membocorkan rahasia. Ia tahu
tentang kesetiaan panakawan-panakawan wangsa Banyak
Citra. Ketika ia sedang berdoa, terdengarlah kokok-kokok ayam
jantan. Ia berpaling ke arah timur, langit sudah memerah. Tak
lama kemudian, terdengar satu-dua orang di antara petanipetani
yang kemalaman itu, bangun. Lalu, dari arah gerbang
kota, terdengar trompet tiram ditiup mendayu-dayu, pertanda
gerbang mulai dibuka.
Banyak Sumba bergegas bangun, lalu berangkat ke arah
gerbang kota yang cukup jauh dari pasar. Sementara itu, hari
makin terang dan Banyak Sumba melihat kesibukan kota mulai
ramai. Jagabaya-jagabaya berkuda berulang-ulang lewat di
jalan-jalan yang luas itu. Mereka mengawasi orang-orang
dengan teliti. Banyak Sumba terpaksa berulang-ulang masuk
lorong. Ia kecewa ketika di gerbang kota ia melihat orangorang
berkerumun dan jagabaya-jagabaya sibuk memeriksa
dan menggeledah mereka. Banyak Sumba segera menjauh
dari gerbang dan berjalan sambil berpikir.
Setelah beberapa lama berjalan, ia memasuki sebuah
warung dan meminta setempurung air. Kepada orang-orang
yang duduk-duduk dan sama-sama minum bersamanya, ia
bertanya, "Apakah yang terjadi hingga penjagaan dalam kota
ditingkatkan dan orang-orang yang keluar kota diperiksa?"
"Kuil penyimpanan abu jenazah diserobot orang dan
jenazah Puragabaya Jaluwuyung dicuri orang."
"Tiga orang dari pencurinya tertangkap, tapi orang malah
jadi bingung," kata laki-laki yang lain.
"Mengapa?" tanya Banyak Sumba.
"Mereka tertangkap dalam keadaan pingsan. Padahal,
menurut keterangan para penjaga, mereka tidak pernah
berkelahi dengan pencuri-pencuri itu. Justru mereka mengejar
dua orang yang melarikan diri lewat atap kuil. Mereka tidak
tahu hubungan antara pencuri yang tertangkap dengan yang
melarikan diri. Ketiga orang pencuri yang tertangkap bungkam
dan mengatakan tidak tahu-menahu tentang kawan-kawannya
yang lari. Rupanya memang ada dua kelompok pencuri, satu
kelompok tiga orang dan yang lain dua orang."
"Mengapa Saudara berpendapat demikian?" tanya Banyak
Sumba sambil meraba guci jenazah yang tersembunyi di balik
sarungnya. "Demikianlah pengakuan ketiga orang pencuri yang
tertangkap. Di samping itu, menurut kawan saya, seorang
jagabaya, ditemukan lima ekor kuda. Tiga ekor kuda jelas
milik pencuri yang tertangkap itu, sedangkan dua ekor kuda
yang dititipkan di tempat lain, belum ada yang mengambil.
Itulah sebabnya, para jagabaya beranggapan bahwa pencuri
yang dua orang lagi yang membawa lari guci tempat jenazah,
masih berada dalam kota."
Mendengar itu, Banyak Sumba cemas. Ia masih berada
dalam bahaya. Ia termenung, memikirkan bagaimana ia akan
menyembunyikan benda yang tidak ternilai harganya itu. Ia
berpikir sekeras-kerasnya.
"Saya heran, mengapa orang-orang itu berusaha mencuri
abu jenazah puragabaya itu."
"Mungkin gucinya yang mahal harganya. Menurut kabar,
Pangeran Anggadipati adalah sahabat puragabaya yang
meninggal itu dan pangeran yang budiman itu mencarikan
guci yang sangat indah untuk abu sahabatnya. Dan guci itu
didapatkan dan dikirimkan dari negeri Katai. Mungkin, guci
itulah yang diinginkan para pencuri, walaupun tidak besar."
"Menurut pendapat saya, bukan itu alasannya," kata yang
lain. "Orang tidak akan mempertaruhkan nyawanya untuk
sebuah benda berharga seperti guci itu. Ada alasan lain.
Menurut keterangan kenalan saya, itu karena dendam. Ada
orang-orang yang dendam terhadap puragabaya yang telah
meninggal itu dan bermaksud menghinakan abunya. Untuk
dendam atau perasaan tersinggung inilah, orang
mempertaruhkan nyawanya. Memang itu perbuatan gila, tapi
apa hendak dikata, orang bisa jadi buta tuli karena dendam."
Setelah minum dan mencicipi makanan paginya, Banyak
Sumba membayar, lalu meninggalkan tempat itu. Ia masuk
keluar lorong sambil berpikir, akhirnya diputuskan untuk
membeli sekeranjang besar buah pepaya. Ia kembali lagi ke
pasar. Di sana, dibelinya sekeranjang pepaya, lalu ia
membawanya dengan mengusung di pundaknya. Untuk tidak
menarik kecurigaan, dilepasnya hiasan-hiasan yang
memperlihatkan kebangsawanannya. Ia mengusutkan
pakaian-pakaiannya, lalu berjalan meninggalkan pasar. Untuk
beberapa lama, ia mengusung keranjang pepaya itu seolaholah
ia tukang dagang keliling. Beberapa orang
memanggilnya, ia menjawab bahwa pepaya itu tidak dijual. Ia
berjalan mencari bagian kota yang sepi. Setelah lama berjalan,
akhirnya ditemukanlah tempat itu.
Ia duduk di sebuah lapangan kecil, di dekat rumpun bunga.
Ia melihat ke kanan dan ke kiri, lalu mengambil pepaya yang
besar. Dibelahnya pepaya itu, sebagian isinya dikeluarkan. Ia
mengeluarkan guci yang indah itu dari balik sarungnya, lalu
memasukkannya ke pepaya. Ia merapatkan kedua belahan
pepaya itu, mengambil tali dari keranjangnya, kemudian
diikatkannya pada pepaya itu agar tidak terbuka.
Dipandangnya beberapa lama pepaya tempat
menyembunyikan abu jenazah itu. Akhirnya, ia pun menarik
napas panjang. Setelah itu, ia bangkit, berjalan kembali menuju pintu
gerbang kota. Akan tetapi, kemudian ia tertegun. Dilihatnya
tiga orang jagabaya berkuda menuntun dua ekor kuda tanpa
penunggang. Banyak Sumba segera mengenali kudanya dan
kuda Jasik. Ia segera menghindar, cemas kalau-kalau kuda itu
membauinya, lalu membuat ulah hingga ia ditemukan.
Pertemuan dengan kuda-kudanya menyebabkan ia menyadari
satu masalah lagi. Kalau ia sudah dapat lolos dari kota,
bagaimana ia akan mendapatkan kuda untuk menghindarkan
diri dari jagabaya yang banyak itu" Ia terus berjalan sambil
berpikir. Akhirnya, ia berkata dalam hatinya, asal ada seekor
kuda di dekatnya, ia akan mengambil risiko.
Sambil berjalan, ia mengusung keranjang pepaya di bahu
kirinya. Tangan kanannya memegang dua buah pepaya, yang
satu berisi guci kecil itu. Setiba di pintu gerbang yang luas, ia
berjalan dalam barisan orang-orang yang hendak
meninggalkan kota. Mereka para pedagang dan petani-petani
yang tinggal dalam kota. Ketika Banyak Sumba menyadari
tidak ada di antara mereka yang membawa buah-buahan ke
luar kota, sadarlah ia akan kecerobohannya. Bukankah
biasanya buah-buahan dibawa dari luar ke dalam kota"
Tidakkah usahanya membawa buah-buahan ke luar kota
justru akan menimbulkan kecurigaan" Ia bimbang, berulangulang
ia akan keluar dari barisan itu, tetapi orang-orang
mendesak dari belakang. Bagaimanapun, mereka tergesagesa.
Akhirnya, diputuskannya untuk mengambil risiko. Ia
menghitung jagabaya yang bertugas dan kuda-kuda yang
ditambatkan di dekat gerbang kota. Kalau keadaan gawat, ia
dapat menyerang jagabaya-jagabaya itu, lalu menghambur ke
arah kuda-kuda, memutuskan kendali dan sanggurdinya, lalu
melompat ke punggung salah satu kuda yang paling besar.
Segalanya telah disiapkan dalam hati. Ia yakin, betapapun
banyaknya pengejar, kalau tanpa sanggurdi dan harus
menyambung kendali dulu, akan terlambat. Akhirnya, tibalah
gilirannya untuk diperiksa. "Turunkan pepaya itu," kata
seorang di antara jagabaya yang menjaga paling dekat.
Banyak Sumba tidak saja menurunkan keranjangnya, tetapi
segera mengeluarkan beberapa pepaya seolah-olah membantu
jagabaya-jagabaya itu. Jagabaya yang seorang memerhatikan,
yang lain mengeluarkan pepaya itu hingga keranjang kosong.
Kemudian, ia memberi isyarat agar Banyak Sumba
memasukkan kembali pepaya-pepayanya.
"Cepat, yang lain menunggu!"
Tiba-tiba, seorang jagabaya mendekat. Ia memandang
beberapa lama, lalu berkata, "Mau di bawa ke mana pepaya
muda ini?"
"Ya?" tanya Banyak Sumba pura-pura tidak mendengar
seraya mencari jawaban yang paling baik.
"Mau dibawa ke mana?"
"Untuk makanan kuda," jawab Banyak Sumba sambil
berjalan ke luar gerbang. Sesampai di sebuah pasar di
perkampungan yang terletak tidak jauh dari gerbang, ia
mencari penjual kuda di tempat itu dan tak lama kemudian
menemukannya.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya memerlukan kuda yang baik," katanya kepada
penjual kuda. "Ini atau itu?" tanya penjual kuda.
"Berapa yang hitam ini?"
"Dua keping emas."
"Satu keping emas dan lima keping perak," kata Banyak
Sumba. Ia bukan tidak berani membeli kuda dengan harga
yang diusulkan pedagang itu, tetapi ia tidak mau dicurigai
dalam keadaan tergesa.
"Saudara tahu harga kuda, bukan" Saya tidak menjual lebih
dari harga kuda yang baik," kata pedagang itu sambil berjalan
ke arah kuda hitam.
"Kalau setuju, saya pasangkan pakaiannya."
"Kalau begitu, baiklah," kata Banyak Sumba sambil
merogoh saku bajunya.
"Saya diminta melaporkan setiap orang yang membeli
kuda, jadi tunggu sebentar. Seorangjagabaya akan memeriksa
Saudara dulu. Saudara tahu, malam tadi terjadi lagi
penyerobotan terhadap kuil penyimpanan abu jenazah, dan
pencurinya berhasil membawa lari abu jenazah puragabaya
itu." Penjelasan itu sungguh mengejutkan Banyak Sumba. Tapi,
ia tidak kehilangan akal. Ia segera berkata, "Ambillah dulu
uang ini, saya sudah kepalang mengeluarkannya."
"Nanti saja."
"Ambillah!" kata Banyak Sumba sambil menyodorkan uang
emas itu. Penjual kuda itu menerimanya, lalu melangkah
dengan tenang ke arah gerbang kota. Banyak Sumba tidak
melihat jalan lain kecuali mengambil risiko. Kuda yang telah
dibelinya itu belum berpelana. Kebetulan, ia melihat banyak
pakaian kuda bergantungan di sana, lalu dipasangnya sendiri.
Setelah pepaya yang berisi guci dimasukkan ke balik
sarungnya, ia melompat ke atas punggung kuda yang baru
dibelinya, melecutnya, lalu memacunya. Untuk beberapa lama
tak ada yang terjadi, tetapi tak lama kemudian, terdengar
teriakan-teriakan. Ia tidak berpaling, tapi terus memecut
kudanya sambil berpikir keras, mencari jalan-jalan yang paling
baik untuk melarikan diri. Ia tidak mengambil jalan besar,
tetapi segera berbelok-belok, memasuki lorong-lorong kecil
yang simpang siur di sekeliling benteng ibu kota itu. Ketika ia
berbelok, sempat diliriknya arah gerbang kota. Tampak
beberapa penunggang kuda mengejarnya. Ia mempercepat
kudanya. Berulang-ulang ia berpapasan dengan pejalanpejalan
yang melompat ke pinggir. Beberapa kereta berhenti,
kusirnya memaki-maki. Beberapa orang wanita menjerit
ketakutan. Banyak Sumba berusaha secepat-cepatnya
menjauhi ibu kota.
Akhirnya, sampailah ia ke tempatnya menginap. Setelah
menyembunyikan kudanya, ia segera masuk. Sayup-sayup
terdengar teriakan para pengejar, tapi Banyak Sumba tidak
khawatir. Ia mengganti pakaiannya, lalu keluar ke tepi jalan.
Para pengejar lewat sambil melihat ke kanan dan ke kiri
seraya bertanya-tanya, mereka tidak mengenal Banyak Sumba
yang telah mengenakan- pakaian kebangsawanannya.
RASA lega hanya sebentar ada dalam hatinya. Ia segera
sadar bahwa nasib Jasik belum diketahuinya. Ia pun tahu,Jasik
masih berada dalam benteng dan siapa tahujasik tertangkap.
Ia tahu bahwa kalaupun Jasik tertangkap, rahasianya tidak
akan terbuka. Jasik tidak akan menyebut-nyebut keluarga
Banyak Citra. Akan tetapi, ia merasa tidak berhak merelakan
Jasik menjadi korban demi kepentingan keluarganya. Banyak
Sumba mulai gelisah, la bertanya dalam hati, apa yang akan
dilakukannya" Ia termenung sebentar, kemudian kembali ke
tempatnya menginap untuk mengambil beberapa barang
pentingnya. Setelah itu, ia kembali, menghentikan sebuah
kereta yang kebetulan lewat.
"Paman, dapatkah saya ikut ke kota?" Kusir kereta itu
memandangnya. Rupanya, kusir itu segera menyadari bahwa
yang meminta tolong seorang bangsawan. Dengan hormat, ia
menjawab, "Raden, sebenarnya saya tidak mendapat izin
membawa siapa pun. Akan tetapi, kalau Raden mau
mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Ranggawesi,
beliau tidak akan keberatan dan tidak akan memarahi saya."
Tanpa pikir panjang karena pikirannya terpusat pada nasib
Jasik, Banyak Sumba segera naik.
"Terima kasih, Paman. Kalau tidak perlu, saya tidak akan
minta tolong. Saya berjanji akan menemui Pangeran Ranggawesi
setelah ada kesempatan."
"Tampaknya, Raden orang asing di ibu kota ini," kata kusir
itu setelah beberapa lama mereka berjalan.
"Ya, Paman. Saya sedang melihat-lihat ibu kota yang
banyak diceritakan orang Saya datang dari Kota Medang."
"Cerita itu akan bertambah sekarang, Raden."
"Ya" Mengapa?" tanya Banyak Sumba.
"Tadi malam, satu peristiwa yang menggemparkan terjadi.
Mungkin Raden belum mengetahui bahwa dalam kuil abu
jenazah, di antara beratus-ratus guci abu jenazah pahlawan
terdapat abu jenazah seorang puragabaya. Puragabaya ini
bernama Jaluwuyung, sahabat Pangeran Anggadipati. Sudah
lama sekali abu jenazah ini diincar oleh para pencuri. Menurut
keterangan, mereka adalah pencuri-pencuri yang disuruh oleh
bangsawan-bangsawan yang dendam terhadap si mati.
Pangeran Anggadipati berusaha melindungi abu jenazah itu, di
antaranya dengan menambah penjaga-penjaga, yaitu
pengiring-pengiring yang didatangkan dari Puri Anggadipati, di
sebelah selatan timur Kutabarang. Berulang-ulang percobaan
pencurian digagalkan. Akan tetapi, tadi malam, menurut cerita
orang-orang, datang seorang yang ketangkasan dan
keperwiraannya begitu tinggi hingga para penjaga itu
kewalahan. Orang itu seolah-olah dapat terbang dan
menghilang. Sedangkan pukulan dan tendangannya,
bayangkan! Lima orang pingsan, dua penjaga dan tiga pencuri
lain." "Wah! Bagaimana pencuri itu memukul kawan-kawannya?"
tanya Banyak Sumba, pura-pura.
"Raden, Puragabaya Jaluwuyung ini banyak sekali
musuhnya. Itulah sebabnya, yang hendak menghinakan
abunya pun banyak. Rupanya, mereka berebut abu jenazah
itu." "Bagaimana dengan tiga orang pencuri yang lain?"
"Mereka tertangkap, mereka suruhan dari Kutawaringin."
"Orang yang memukulnya, sudahkah diketahui orang, siapa
dan dari mana?"
"Itulah yang ramai dipercakapkan dan diperdebatkan
orang. Ada yang berpendapat bahwa orang itu suruhan
keluarga Jaluwuyung yang dikabarkan menghilang setelah
Jaluwuyung meninggal dunia. Yang lain berpendapat,
walaupun tidak terus terang, bahwa orang itu sebenarnya
Puragabaya Anggadipati sendiri yang dengan cerdik
mengambil abu jenazah untuk menyembunyikannya di tempat
yang tidak diketahui oleh lawan-lawan Jaluwuyung. Dengan
menyembunyikannya sendiri, Pangeran Anggadipati akan
merasa tenteram dan puas menghormati abu jenazah
sabahatnya itu. Barangkali Raden mendengar, betapa besar
cinta Pangeran Anggadipati kepada si mati. Saya pernah
melihat beliau berlinang air mata sehabis menabur bunga di
dalam kuil."
"Oh, jadi Paman sudah pernah bertemu dengan pangeran
yang terkenal itu?"
"Wah, sering sekali, Raden!"
"Di mana Paman sering bertemu dengan pangeran itu?"
"Beliau sering datang ke rumah Pangeran Ranggawesi,
majikan Paman. Ayunda beliau, Putri Ringgit Sari menikah
dengan majikan Paman, Pangeran Ranggawesi."
Banyak Sumba tertegun sejenak. Ia melirik, melihat-lihat
keadaan kereta itu. Ditatapnya tempat duduk beledu, alas kaki
berupa permadani kecil, tali kendali kulit lembut berhiaskan
bunga-bungaan dari perak, kuda berwarna gambir yang kuat
dan gagah. Dalam hatinya berkata, tentu Anggadipati, orang
yang telah begitu banyak menentukan perjalanan hidupnya,
sering duduk di tempat duduknya sekarang
"Saya akan mengucapkan terima kasih secara pribadi
kepada Pangeran Ranggawesi, Paman. Adakah Pangeran
Anggadipati sering berada dengan Pangeran Ranggawesi?"
tanyanya. "Sebelum Putra Mahkota meminta beliau tinggal dalam
istana, Pangeran Anggadipati tinggal bersama Pangeran
Ranggawesi, Raden."
"Mungkinkah saya dapat bertemu dengan beliau kalau saya
ada kesempatan mengunjungi Pangeran Ranggawesi untuk
mengucapkan terima kasih?"
"Siapa tahu, Raden," ujar kusir itu. Banyak Sumba
membayangkan pertemuan itu, tetapi ia ragu-ragu, ia tidak
tahu apa yang akan diperbuatnya kalau kesempatan itu
datang. Ia ragu-ragu, apakah benar Pangeran Anggadipati
berdosa, seperti yang diyakini oleh Ayahanda Banyak Citra"
Bukankah sekarang kisah terbunuhnya Kakanda Jante.
menjadi simpang siur, hingga ia tidak tahu lagi, siapa yang
bersalah dalam peristiwa tersebut" Di samping itu, kalau
Anggadipati membenci Kakandajante, untuk apa dia berbuat
begitu banyak untuk abu jenazah Kakandajante"
"Paman," tiba-tiba Banyak Sumba berkata, "apakah
Pangeran Anggadipati sudah menikah?"
"Belum, Raden. Begitu banyak bangsawan tinggi yang
mengingininya sebagai menantu, begitu banyak putri yang
mabuk kepayang, tetapi setelah peristiwa yang menyedihkan
itu, hatinya seolah-olah menjadi dingin. Di samping itu,
menurut yang Paman dengar dari percakapan Pangeran
Ranggawesi dengan Putri Ringgit Sari, hati Pangeran
Anggadipati tidak dapat dilepaskan lagi dari ikatannya
terhadap Putri Yuta Inten, adik Jaluwuyung yang meninggal
itu. Raden mungkin pernah mendengar bahwa Jaluwuyung itu
calon iparnya. Akan tetapi, peristiwa yang menyedihkan itu
terjadi dan Putri Yuta Inten bersama seluruh keluarganya
menghilang. Walaupun kerajaan, atas titah sang Prabu,
berusaha mencarinya, tidak ada berita tentang bangsawanbangsawan
yang menghilang itu.
"Banyak orang yang menduga bahwa seluruh keluarga
bangsawan itu dibunuh oleh bekas lawan Jante Jaluwuyung.
Raden barangkali tahu, Jante Jaluwuyung pernah membunuh
Raden Bagus Wiratanu, keluarga bangsawan yang kuat dan
besar dari Kutawaringin. Orang menduga, keluarga
Tumenggung Wiratanu dari Kutawaringin ini telah berhasil
membunuh seluruh keluarga Jante Jaluwuyung sebagai balas
dendam." "Apakah kalangan istana percaya akan kemungkinan itu?"
tanya Banyak Sumba.
"Kebanyakan percaya dan keluarga Banyak Citra umumnya
dianggap sudah musnah dari muka bumi. Sayang, padahal
keluarga itu punya sejarah yang panjang sekali dalam
kehidupan Pajajaran. Banyak anggotanya yang termasyhur,
sebagai menteri atau sebagai panglima. Hanya, ada yang tidak
mau percaya akan kemusnahan keluarga itu, yaitu Pangeran
Anggadipati. Saya pernah mendengar Pangeran Anggadipati
berkata, walaupun tidak ada bukti-bukd, hatinya seolah-olah
berkata bahwa keluarga itu masih hidup."
"Itukah sebabnya, mengapa beliau tidak mau menikah
dengan putri bangsawan Pakuan Pajajaran?"
"Bukan. Seandainya keluarga itu terbukti musnah,
Pangeran Anggadipati tidak akan menikah. Beliau sudah
berjanji tidak akan menikah kalau tidak dengan Putri Yuta
Inten. Soal itu berulang-ulang menjadi pembicaraan keluarga
beliau, termasuk majikan Paman, Pangeran Ranggawesi dan
Putri Ringgit Sari."
Mendengar cerita itu, beratlah hati Banyak Sumba, la
menyadari kalau cerita kusir itu benar. Ia harus meneliti
kembali segala pendapatnya tentang Anggadipati. Ia benarbenar
gundah .... "Raden! Raden!" terdengar suara Jasik.
"Paman, berhentilah sebentar, saya turun di sini. Itu kawan
yang saya cari," kata Banyak Sumba sambil berpaling ke arah
suara. Jasik berlari menyusul kereta itu. Kusir menghentikan
kereta. Banyak Sumba mengucapkan terima kasih, lalu
berkata, "Saya akan berusaha untuk mengucapkan terima
kasih secara pribadi kepada Pangeran Ranggawesi, Paman."
"Terima kasih kembali, Raden," ujar kusir itu. Ketika itu,
Banyak Sumba sudah memegang bahu Jasik dengan gembira.
"Betapa lega hati saya, Sik."
"Saya pun lega, Raden. Tentu Raden cemas," ujar Jasik.
"Saya benar-benar cemas, Sik," kata Banyak Sumba, "ketika
kebetulan melihat kuda kita dituntun oleh jagabaya. Saya
menyangka kau telah tertangkap. Saya agak heran, mengapa
mereka tidak mengumpankan kuda itu dan menangkap kita
ketika kita hendak mengambilnya."
"Mereka melakukan hal itu, Raden. Ketika saya sedang
menghadapi tukang tunggu penyimpan kuda, tiba-tiba saya
ditodong oleh beberapa mata tombak dari belakang dan dari
samping saya. Mula-mula saya benar-benar ketakutan, tetapi
kemudian terpikir oleh saya bahwa mereka tidak akan
membunuh saya. Pasti kerajaan memerlukan keteranganketerangan
saya tentang pencurian abu Raden Jante
Jaluwuyung. Maka, tenanglah saya. Ketika saya digiring ke
arah asrama jagabaya dan ketika kami melewati bagian kota
yang sangat ramai, saya nekat mengibaskan todongan tombak
di punggung saya dengan tiba-tiba. Saya serang kelima orang
jagabaya yang mengiring saya itu. Mereka terkejut dan tidak
dapat menyerang ketika saya melarikan diri ke tengah orang
banyak. Beberapa orang rakyat mencoba membantu jagabaya
dengan menghalangi saya. Akan tetapi, mereka harus
membayar untuk itu. Beberapa orang kena pukul dan kena
tendangan saya. Setelah memanjati beberapa benteng rendah
dan memasuki halaman orang, saya turun dijalan besar lain,
lalu berjalan tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Sang Hiang Tunggal melindungi kita, Sik."
"Ya, Raden. Di jalan besar, ketika berjalan, saya
mengucapkan syukur dan berdoa semoga tidak terjadi hal
yang tidak diharapkan terhadap Raden."
"Kita harus bergerak cepat sekarang, Sik."
"Kuda kita dirampas, Raden."


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, biarlah, Sik. Apalah artinya kuda itu dibandingkan
dengan abu jenazah yang telah kita dapat?"
"Oh, syukurlah, Raden," ujar Jasik dengan mata bersinarsinar.
Banyak Sumba menepuk bahu Jasik kembali, lalu
mereka meninggalkan bayangan benteng ibu kota Pakuan
Pajajaran. Beberapa kali mereka melihat pasukan-pasukan
jagabaya berkuda. Kesibukan jagabaya ini tampak lebih
daripada biasanya. Banyak Sumba berpaling memandangjasik.
Mereka.saling mengerti.
Tiga hari setelah itu, pada suatu subuh, kedua orang
pengembara itu sudah mengendarai kuda mereka yang baru,
menuju timur. Di atas pelana, mereka membawa kantongkantong
dari kulit, berisi obat-obatan dan perbekalan
sekadarnya. Mereka akan melakukan perjalanan jauh, menuju
daerah Medang. Perjalanan antara Pakuan Pajajaran dengan Kota Medang
akan memerlukan waktu satu minggu. Akan tetapi, perjalanan
itu akan diperlambat karena mereka berulang-ulang harus
menghindar dari jalan-jalan tertentu, tempat para jagabaya
dengan giat memeriksa perbekalan pengembara-pengembara
untuk menemukan abu jenazah yang hilang. Di samping itu,
kedua orang pengembara itu menyimpang ke arah tenggara
setelah mereka melalui Kutabarang. Mula-mula, mereka
mengunjungi Perguruan Gan Tunjung untuk menemui Arsim
yang tentu saja cemas setelah mereka pergi tanpa berita.
Setelah itu, mereka menyimpang kembali, menuju Padepokan
Sirnadirasa. Banyak Sumba menghadap Eyang Resi, mohon
restu untuk pulang ke tempat kelahirannya. Setelah itu,
berbincang-bincang dengan kawan seperguruannya, terutama
Raden Girilaya yang sangat gembira menyambut
kedatangannya. Pada liari ketiga, Banyak Sumba diiringi Jasik
memacu kuda mereka ke arah timur.
Pada hari keenam, mereka tiba di Kutawaringin. Karena
kuda-kuda mereka lelah dan perbekalan berkurang, Banyak
Sumba memutuskan untuk beristirahat sehari di kota yang
ramai itu. Kita perlu mengganti kuda dengan yang masih segar NkKita dapat menjual yang sekarang. Di samping itu, kita ?lapat
mencari keterangan tentang kota ini," katanya
Jasik mengerti maksud Banyak Sumba yang terakhir, ia
tersenyum, lalu berkata, "Orang pernah mengambil kuda
Raden di sini, siapa tahu sudah tiba saatnya orang itu
mengembalikannya sekarang, Raden."
"Akan tiba saatnya setiap orang harus menempatkan
segalanya di tempatnya semula, Sik," kata Banyak Sumba,
juga tersenyum.
Sore harinya, mereka berjalan-jalan di kota. Mereka
mencoba mendengar keterangan-keterangan tentang berbagai
hal sekitar wangsa Wiratanu. Akan tetapi, tidak ada
keterangan berharga yang didapat. Justru cerita-cerita tentang
pencurian abu jenazah itulah yang banyak tersebar. Pencuri
sakti yang dapat menghilang, dapat terbang dan pukulannya
merobohkan lima orang sampai pingsan, menjadi buah
pembicaraan yang hangat di Kutawaringin.
"Saya baru percaya bahwa kata-kata itu bersayap, Sik,"
kata Banyak Sumba setelah mendengar cerita-cerita itu.
"Saya malah akan sukar memercayai kata-kata, setelah
mendengar dusta-dusta yang hebat itu."
"Mereka tidak berdusta, Sik. Mereka menerima cerita-cerita
itu dalam bentuknya yang telah lusuh, lalu mereka terpaksa
mencelupnya lagi ke dalam khayal mereka supaya cerita
mereka itu bagus."
"Ya, barangkali mereka mendengar cerita itu dari tukang
pantun, pangeran-pangeran dari kerajaan dusta yang indah."
"Dan karenanya, kita jadi termasyhur bukan, Sik."
"Ya, Raden, dikatakan mereka bahwa saya, panakawan
kesatria hitam yang dapat terbang itu, melayang mengikuti
Raden sambil menyepak-nyepak hingga para penjaga kuil
bergelimpangan jatuh di bawah tangga."
Begitulah mereka bercakap-cakap di jalan-jalan
Kutawaringin hingga pada suatu saat, mereka tidak sengaja
mendengar berita bahwa beberapa anggota keluarga Wiratanu
baru saja dibunuh dalam suatu peristiwa perampokan.
"Dibunuh" Oleh siapa?"
Orang yang ditanya melihat ke kanan ke kiri, lalu berbisik,
"Oleh siapa lagi kalau bukan oleh si Colat?"
"Si Colat"!" tanya Banyak Sumba terkejut.
"Ssst," kata orang itu. Ia tampak ketakutan dan ketika
Banyak Sumba hendak bertanya lagi, orang itu segera
menghindar. "Sik," kata Banyak Sumba, "rupanya benar, si Colat telah
mengganas di Kutawaringin ini. Saya dengar, anggotaanggota
keluarga Wiratanu yang dibunuhnya dan bukan
anggota-anggota keluarga bangsawan lain. Saya ingin sekali
mengetahui, mengapa si Colat berbuat demikian."
"Raden, rupanya orang yang merebut kuda kita dulu itu
punya utang pula kepada si Colat," ujar Jasik. Setelah
termenung, ia berkata, "Sayang."
"Mengapa sayang Sik?" tanya Banyak Sumba agak heran.
"Kalau utangnya begitu besar kepada si Colat, hingga orang
itu harus membayar dengan nyawanya, mungkin ia tidak akan
sempat membayar dulu kepada Raden."
"Oh, Bungsu Wiratanu, Sik?"
"Ya, Raden, bangsawan berandalan itu."
"Saya sebenarnya tidak hendak berurusan dengan dia, Sik.
Saya hanya hendak berurusan dengan orang yang membunuh
atau terlibat dalam pembunuhan Kakanda Jante. Ternyata,
kita terpaksa harus berhadapan dalam banyak hal dengan
keluarga Wiratanu ini. Mula-mula ia merebut kudaku,
kemudian keluarga ini mencoba pula hendak menghinakan
abu Kakanda jante. Saya didesak untuk berurusan dengan
mereka, Sik."
"Tapi, tentu saja tidak sekarang, Raden."
"Ya, Sik. Kita harus segera bertemu dengan keluarga."
Mereka segera meninggalkan kota. Mereka pergi ke sebuah
kampung tempat mereka menitipkan kuda dan barang-barang
mereka. Dari orang tua di tempat mereka menginap, Banyak
Sumba mendapat keterangan lebih banyak tentang kisah
pembunuhan yang dilakukan terhadap anggota-anggota
Wangsa Wiratanu.
"Si Colat melakukan pembunuhan-pembunuhan itu secara
berencana. Ia tidak pernah membunuh beberapa orang
sekaligus. Ia membunuh pada tanggal-tanggal tertentu.
Biasanya, ia membunuh pada tanggal kelahirannya, ketika
bulan sabit, bulan ketujuh, kemudian pembunuhan terjadi
pada tanggal peristiwa pengeroyokan yang dilakukan
terhadapnya, yang menyebabkan si Colat luka. Kemudian,
pada tiap hari kelahiran Tumenggung Wiratanu."
Banyak Sumba tertegun mendengar cerita itu. Ia mendekat
kepada orang tua itu, lalu bertanya, "Bagaimana Bapak dapat
mengetahui hal itu" Bukankah cerita-cerita tentang si Colat
sangat berbahaya dibicarakan di Kutawaringin ini?" Orang tua
itu tertawa, lalu berkata, "Berbahaya" Setiap orang sudah
tahu cerita itu."
"Tapi, orang yang tadi menceritakan hal itu seperti takut."
"Memang, Raden. Dalam kota, orang takut menceritakan
hal itu. Akan tetapi, di luar kota, orang bebas. Di dalam kota,
banyak jagabaya dan badega Tumenggung Wiratanu atau
bangsawan berandal kawan Bungsu Wiratanu. Di luar kota,
anak-anak buah si Colat-lah yang banyak dan orang berpihak
kepada si Colat," kata orang tua itu.
"Saya tidak mengerti, Bapak?"
"Tentu saja, Raden orang asing, orang Medang," kata
orang tua itu. Ia menarik napas, lalu berkata, "Begini, Raden.
Ketika Tumenggung Wiratanu masih muda dan sedang belajar
di Kutabarang, ia jatuh cinta kepada seorang putri bangsawan
rendah di sana. Ia menikahinya, kemudian menceraikannya
kembali setelah istrinya yang berada di Kutawaringin
mengetahui. Istri yang di Kutabarang melahirkan seorang
putra laki-laki, tampan, lemah lembut, dan budiman. Akan
tetapi, ketika putranya ini telah dewasa dan memperlihatkan
bakat-bakat kebangsawanan yang tinggi, terjadilah keributan.
Raden Bagus Wiratanu, putra sulung Tumenggung Wiratanu
yang telah meninggal, beranggapan bahwa putra ayahanda
dari selir ini ingin merebut kedudukannya sebagai calon
penguasa Kota Kutawaringin. Perdamaian diadakan. Putra dari
selir itu bersumpah tidak mengingini kedudukan itu. Namun, ia
sangat disukai bangsawan-bangsawan di sini, kabarnya
mungkin karena kebu-dimanan dan ketampanannya. Atau
mungkin juga karena Raden Bagus Wiratanu tidak disukai
sebab sifat berandalnya. Raden tidak sukar untuk
membayangkan keberandalannya, dengarlah kabar-kabar
perbuatan adiknya Bungsu Wiratanu. Begitu adiknya, lebihlebih
kakaknya. Nah, karena bangsawan-bangsawan
Kutawaringin sangat suka kepada putra dari selir ini, Bagus
Wiratanu rupanya tetap takut. Pada suatu hari, didengar berita
bahwa putra dari selir itu meninggal karena dikeroyok
perampok di luar Kota Kutabarang. Setelah itu, lahirlah si
Colat. Ia adalah orang lain, masih lemah lembut, masih
tersenyum, tetapi bukan yang dulu. Kalau bertemu
dengannya, saya sering merasa sedih melihat bekas lukanya
yang memanjang dari ujung bibir ke telinga, bekas golok.
Saya masih melihat senyumnya yang manis, tetapi bulu roma
saya sering berdiri. Apakah karena melihat bekas lukanya
yang mengerikan itu atau karena hal lain, saya tidak tahu."
"Paman! Oh, Bapak!" seru Banyak Sumba menyela. 'Apakah
Bapak sering berjumpa dengan si Colat?"
"Raden, Kota Kutawaringin dan desa-desa di sekitarnya
berada di bawah kekuasaan Tumenggung Wiratanu di siang
hari, tetapi malam hari adalah kerajaan si Colat."
"Mungkinkah suatu hari nanti saya dapat bertemu dengan
si Colat?"
"Kemungkinan itu tidak terbatas, Raden. Kerajaan si Colat
pun tidak terbatas. Kampung-kampung dan hutan-hutan yang
membentang antara Kutawaringin dan Kutabarang adalah
wilayah kekuasaannya. Siapa tahu, pada suatu hari, Raden
melihat dia menunggangi kuda-kuda hitam yang terkenal,
yang dinamai si Mega Wulung. Ah, begitu tampan, tetapi
begitu menakutkan; begitu lemah lembut, tetapi begitu buas
terhadap lawan-lawannya. Sampai kini, belum terdengar dia
mengganggu rakyat. Bahkan, saya mendengar anak buahnya
yang mengganggu rakyat dihukumnya dengan berat."
Banyak Sumba termenung mendengar cerita itu. Sang
Hiang Tunggal menjalankan kehendak-Nya dengan penuh
rahasia untuk menghukum keluarga Wiratanu yang berdosa
itu. Ia tidak tahu, apakah ia harus berlega hati atau menyesal
mendengar cerita itu. Yang jelas dalam hatinya hanyalah,
Sang Hiang Tunggal akan menjalankan segala kehendak-Nya
yang hanya dimengerti oleh orang-orang bijaksana.
"Raden, kita tidak akan mencari si Colat sekarang, bukan?"
tanya Jasik yang sudah rindu dengan keluarganya. Rupanya,
ia cemas kalau-kalau Banyak Sumba mengambil kepu-tusan
lain, yaitu mencari si Colat. Jasik mengetahui bahwa kemauan
Banyak Sumba sangat keras untuk menguasai ilmu
keperwiraan. Mungkin saja Banyak Sumba memutuskan untuk
mencari si Colat dulu sebelum pulang. Akan tetapi, ketika itu
Banyak Sumba mengerti akan isi hati Jasik dan isi hatinya
sendiri. Banyak Sumba pun telah rindu untuk bertemu dengan
keluarganya. Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, mereka berangkat
menuju timur, ke arah Kota Medang.
TAK BANYAK halangan di perjalanan, selain jagabayajagabaya.
terpaksa harus dihindari agar tidak memeriksa
barang-barang mereka. Ternyata, kisah pencurian abu jenazah
Kakanda Jante itu tidak saja tersebar dari mulut ke mulut,
tetapi juga memengaruhi kegiatan para jagabaya. Mereka
menahan dan memeriksa barang-barang orang-orang yang
dicurigai. Itulah sebabnya, mengapa cerita pencurian itu
begitu cepat tersebar dan berkesan dalam hati anak negeri.
Akan tetapi, hal itu tidak menguntungkan kedua pengembara.
Mereka terpaksa menghindari jalan besar dan melalui humahuma
atau hutan-hutan. Baru setelah empat belas hari
perjalanan, mereka tiba di pinggiran wilayah Kota Medang.
Kedua orang pengembara langsung menuju Padepokan
Panyingkiran. Dengan berdebar-debar, mereka berjalan antara
semak-semak karena kuda mereka telah mereka tinggalkan di
kampung yang jauh dari sana. Makin dekat, makin tergesagesa
mereka berjalan. Akan tetapi, mereka terpukau ketika
mengetahui bahwa kampung kecil yang tersembunyi di puncak
gunung itu sudah kosong.
Untuk beberapa lama, Jasik dan Banyak Sumba
berpandangan. Jasik menunduk. Banyak Sumba tahu, Jasik
menyembunyikan air mata yang tidak tertahan meluapi
kelopak matanya. Banyak Sumba memegang bahu Jasik tanpa
berkata apa-apa. Dukacita hampir meremukkan dadanya.
Mereka bergerak, berjalan tidak tentu arah dalam kampung
yang lengang dan sunyi itu.
"Raden! Sik!" tiba-tiba dari dalam semak terdengar seruan.
Banyak Sumba melihat Iba berlari dan merangkulnya.
"Iba, di mana mereka?" tanya Banyak Sumba dan Jasik
bersama-sama. "Raden, baik-baik" Mereka di sana."
"Di sana, di mana?"
"Kita akan pergi ke sana," kata Iba.
"Kita ke sana sekarang, Iba, mari!" kata Banyak Sumba.
Mereka segera memasuki hutan menuju selatan. Sepanjang
jalan, Iba bercerita bahwa semuanya sehat, tetapi karena
sering diketahui adanya pengintai-pengintai yang mendekati
Padepokan Panyingkiran, Ayahanda akhirnya memutuskan
untuk memindahkan persembunyian mereka ke hutan yang
lebih lebat. Perjalanan untuk mencapai hutan itu, ternyata sukar dan
lama. Hutan makin lebat, harimau-harimau mengaum, badak
bergerobas di bagian hutan yang basah, monyet ingar-bingar
di atas dahan. Tapi, semuanya tidak mereka hiraukan. Hati
mereka sudah berada di tengah-tengah keluarga. Dan ketika
hari mulai sore, serta Banyak Sumba melihat pagar tinggi yang
terbuat dari batang-batang pohon sebesar paha, berlarilah
ketiga orang kawan seperjalanan itu. Sementara itu, Iba
berteriakteriak dengan gembira, memberitakan kedatangan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Ketika Banyak Sumba tiba, lapangan kecil di tengahtengah
kampung penuh oleh para gulang-gulang dan
keluarganya. Di tengah-tengah mereka, tampak Ayahanda,
Ibunda, Ayunda, dan adik-adik. Banyak Sumba bersujud di
hadapan orangtuanya, air matanya bagai hujan deras tak
tertahan. Kemudian, dirasanya Ibunda merangkulnya,
sementara Ayahanda berdiri, tapi tak sepatah kata pun
dikatakannya. Orangtua itu menekan hatinya, walaupun di
sekelilingnya para gulang-gulang dan emban-emban menangis
karena terharu dan gembira.
Malam harinya, dengan segala upacara, Banyak Sumba dan
Jasik menyerahkan guci tempat jenazah Kakanda Jante
disaksikan seluruh isi kampung pengungsian itu. Hujan air
mata berulang kembali ketika Ayahanda menyampaikan katakata
penerimaannya. "Semoga Jante Jaluwuyung tidur nyenyak karena ia tahu
bahwa ia meninggalkan adik yang berbakti."
Banyak Sumba melihat dalam cahaya obor, betapa orang
tua yang keras itu telah sangat tua oleh penderitaan. Dalam
tiga tahun itu, rambutnya menjadi putih, sementara matanya
cekung, walaupun cahayanya masih tetap menyala-nyala oleh
api dendam. Melihat akibat penderitaan yang tampak pada Ayahanda,
Ibunda, dan Ayunda, meluap kembali kemarahan dan dendam
Banyak Sumba terhadap siapa saja yang terlibat dalam
peristiwa terbunuhnya Kakanda Jante. Mereka yang ambil
bagian dalam peristiwa itu dan secara langsung atau tidak
menyebabkan terbunuhnya Kakanda Jante, harus membuat
perhitungan dengannya. Akan tetapi, berbeda dengan dahulu,
kemarahan sekarang bercampur dengan kebimbangan. Ia
menyadari bahwa siapa yang terlibat dan bagaimana
pembunuhan itu terjadi, tidaklah sederhana seperti yang
digambarkan oleh Ayahanda tujuh tahun yang lalu, sebelum
mereka meninggalkan Kota Medang.
Renungannya tidak mengganggunya ketika itu. Tidak saja
pertemuan dengan mereka kembali menyebabkan
kebahagiaan dalam dirinya, tetapi selesainya tugas pertama,
yaitu mendapatkan abu jenazah Kakandajante, menyebabkan
rasa berharga dalam dirinya.
Walaupun tidak banyak berkata, Banyak Sumba
mengetahui bahwa Ayahanda bangga akan perbuatannya.
Demikian juga para gulang-gulang, badega, dan para emban
yang ikut mengungsi. Mereka -bangga dan kagum terhadap
segala sesuatu yang telah dilakukan Banyak Sumba. Jasik pun
tak kurang pula mendapat pujian mereka. Jasik terus-menerus
dikelilingi mereka, diminta menceritakan tentang segala hal
yang mereka lihat selama mengembara, terutama tentang
perkelahian ketika merebut guci abu jenazah itu. Kepada
Banyak Sumba tak ada yang mau bertanya tentang hal itu,
kecuali adik laki-lakinya yang bernama Tohaan Angke. Sudah
berumur tiga belas tahun.
"Kakanda, berapa orang yang menjaga kuil tempat abu
jenazah itu?" tanya Angke ketika mereka berjalan-jalan di
hutan. "Aku tidak menghitungnya, Angke."
"Kata mereka, paling sedikit dua puluh orang" ujar Angke.
"Kata siapa?"
"Kata Iba dan gulang-gulang lain. Mereka sering
menanyakan tentang perkelahian itu kepada Jasik."
"Mungkin, Angke, tidak sempat kuhitung mereka. Hanya
dua orang kupukul, yang lainnya, tiga orang, suruhan dari
Kutawaringin."
"Bagaimana Kakanda memukul mereka?" tanya Angke.
"Engkau tidak akan mengerti kalau kujelaskan, Angke," ujar
Banyak Sumba. "Kata mereka, Kakanda memiliki ilmu pukulan yang luar
biasa hingga seluruh Pajajaran mengetahuinya."
"Kata siapa, Angke?" tanya Banyak Sumba, tetapi kemudian
ia menjawab pertanyaan itu dalam hatinya. Tentu gulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gulang menceritakannya. Ia mengulangi perkataannya,
"Engkau tidak akan mengerti, Angke."
"Tapi Kakanda, Ayahanda mengatakan, sebentar lagi saya
belajar kepada Kakanda," katanya.
"Ayahanda sudah mengatakan demikian?"
"Ya," jawab Angke.
"Lebih baik, kau belajar tentang kenegaraan. Menjadi
perwira cukuplah aku seorang" kata Banyak Sumba seraya
termenung Kemudian, ia berpaling kepada Angke, betapa
mirip adiknya dengan dirinya. Haruskah adiknya mengemban
tugas seperti dia" Kesedihan menyelinap ke hatinya.
"Seharusnya, engkau mempelajari ilmu kenegaraan," kata
Banyak Sumba sekali lagi, seolah-olah berkata kepada dirinya
sendiri. 'Akan tetapi, Ayahanda mengatakan, seluruh keluarga
Wiratanu dan seluruh keluarga Anggadipati harus
menanggung akibat dari kematian Kakanda Jante. Saya dan
Galih Wungu harus membantu Kakanda kalau sudah cukup
besar." "Tidak, Angke," ujar Banyak Sumba, "kalian tidak perlu
mengikuti jejakku. Masalahnya akan kuselesaikan sendiri dan
jangan takut, masalahnya akan dapat kuselesaikan sendiri
tanpa bantuan kalian." Sambil berkata demikian, Banyak
Sumba memandang adiknya. Hatinya menjadi sayu.
Dengan Ibunda, Banyak Sumba tidak pernah banyak
bercakap-cakap. Wanita yang rambutnya mulai ditaburi uban
karena derita itu memandang diam-diam dengan kasih
sayang. "Hamba akan menjaga diri hamba," demikian kata Banyak
Sumba kepada Ibunda, tanpa ditegur terlebih dahulu oleh
wanita itu. "Doaku bersamamu selalu, Sumba," ujar Ibunda.
Sementara itu, Banyak Sumba jarang berkesempatan
bercakap-cakap dengan Ayunda Yuta Inten. Kakak
perempuannya itu menyibukkan diri dalam pekerjaan
kewanitaan, meramu bumbu masakan di dapur dengan emban
pada pagi hari, siang harinya menyulam. Sementara sore dan
malam hari, gadis itu terus-menerus berdoa. Kadang-kadang,
sampai larul malam lampu minyak di ruangannya masih
berkelip-kelip.
Pada suatu kesempatan bertemu, tiba-tiba saja Ayunda
Yuta Inten berkata, "Sumba, Pangeran Anggadipati tidak
berdosa." Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Ia termenung,
bimbang. "Kalau kau bertemu dengan Pangeran Anggadipati, berilah
kesempatan kepadanya untuk menjelaskan persoalannya, kau
akan percaya atau tidak, terserah hati nuranimu."
'Ayunda," ujar Banyak Sumba, "saya pun mendengar ceritacerita
dan melihat kenyataan-kenyataan yang menyebabkan
saya bimbang."
"Kulihat amarah dan kebencian selalu menyala-nyala dari
matamu kepada orang yang tidak berdosa itu. Janganlah kau
membujuk hati kakakmu untuk melakukan pembalasan
dendam yang tanpa alasan itu."
Banyak Sumba sungguh-sungguh terpukau oleh perkataanperkataan
Ayunda Yuta Inten. Belum pernah Ayunda yang
lemah lembut berkata setegas dan sepahit itu. Banyak Sumba
merasa terdorong untuk menjelaskan sikapnya. Ia memang
memendam amarah dan dendam, tetapi amarah dan dendam
itu wajar baginya karena ia adik dari seorang yang dibunuh.
Akan tetapi, arah amarah dan dendam itu sekarang menjadi
kabur. Pangeran Anggadipati tidak lagi menjadi pusat segala
usahanya. Ia berulang-ulang bimbang. Ia ingin menyatakan
hal itu kepada Ayunda Yuta Inten, tetapi tidak dapat memulai
kalimatnya. "Ayunda, hamba pun bimbang. Hamba hanya berduka-cita
dan marah pada nasib kita yang buruk, tidak kepada siapa
pun, apalagi pada Pangeran Anggadipad. Hamba sendiri jadi
kebingungan sekarang, siapa sebenarnya yang harus
menerima hukuman karena kematian Kakanda Jante. Akan
tetapimudah-mudahan Sang Hiang Tunggal memberikan jalan
yang sebaik-baiknya untuk menjawab persoalan hamba,
persoalan kita bersama. Percayalah bahwa hamba... tidak
akan berbuat seperti orang yang tidak beradab."
Banyak Sumba tidak tahu, bagaimana ia harus
mengungkapkan isi hatinya kepada gadis yang berdukacita itu.
Mereka diam sejenak, Banyak Sumba merasakan betapa berat
keheningan di antara mereka itu. Ia harus mengatakan
sesuatu untuk meringankan suasana yang menekan itu. Ia
berkata, "Guci indah tempat abu jenazah Kakanda Jante itu,
disediakan oleh Pangeran Anggadipati. Sengaja
didatangkannya dari negeri Katai. Setiap senja, kalau tidak
Pangeran Anggadipati sendiri, selalu ada suruhannya yang
datang untuk menebarkan bunga di atas dan di sekitar guci
itu. Sering Pangeran Anggadipati datang ke kuil untuk berdoa
bagi ruh Kakanda Jante. Cerita orang kebanyakan
menyatakan, Pangeran Anggadipati tidaklah berdosa dan
Kakanda jante dicintainya. Hamba pun jadi bimbang."
Ayunda Yuta Inten tidak berkata apa-apa. Gadis itu
menunduk dan dari guncangan badannya, Banyak Sumba tahu
Ayunda Yuta Inten menangis. Tiba-tiba saja, Banyak Sumba
ingat kepada gadis yang dicintainya, nun jauh di ufuk barat, di
Pakuan Pajajaran. Ia mengerti dan dapat merasakan apa yang
dirasakan oleh Ayunda Yuta Inten karena ia pun telah
merasakan sendiri pengalaman yang dijalinnya dengan Nyai
Emas Purbamanik. Kesedihan yang dalam mengembang dalam
hatinya. Banyak Sumba menyadari bahwa perubahan yang sangat
besar terjadi dalam dirinya. Ia menyadari sekarang, berbagai
masalah yang dihadapinya tidak semudah yang
dibayangkannya semula, atau seperti digambarkan oleh
Ayahanda. Ia seorang perenung dan pembimbang sekarang.
Ia berubah. Akan tetapi, Ayahanda tetap tidak berubah. Matanya
menyala-nyala seperti dulu, sedangkan pandanganpandangannya
tentang berbagai soal tiada satu pun yang
berubah. Banyak Sumba berkata pada suatu kali kepada
Ayahanda, "Guci itu Pangeran Anggadipati yang menyediakan,
guci terindah yang hamba temukan di tempat abu jenazah
para perwira. Pangeran Anggadipati membungainya setiap
hari dan sering datang untuk berdoa atau menangisinya."
Tidak disangka-sangka, Ayahanda tertawa, "Tidak
kepalang, penjahat itu selain berhati busuk pandai juga main
sandiwara. Sumba, kewajibanmulah, walaupun misalnya tidak
ada urusan dengan dia, untuk membersihkan orang-orang
munafik seperti itu dari bumi Pajajaran."
"Akan tetapi, Ayahanda, masih ada Sumba, janganlah kau
mudah ditipu. Mereka tahu, wangsa Banyak Citra bukanlah
wangsa yang enteng, yang mudah saja diperlakukan tidak
adil. Mereka tahu, siapa wangsa Banyak Citra itu, siapa aku,
dan siapa engkau. Mereka tahu bahwa keperwiraanmu sukar
tandingnya. Mereka tahu, kalau seorang anggota wangsa
Banyak Citra mau, ia dapat menjadi negarawan yang tidak
terkalahkan atau perwira yang tidak akan dapat disentuh.
Mereka sudah tahu, kau telah menjadi perwira yang tangguh.
Mereka takut. Lalu, mereka mengadakan usaha-usaha lain
yang tidak bersifat melawan dengan kekerasan. Sumba,
tahukah engkau, Pamanmu Galih Wangi sekarang diserahi
kekuasaan untuk mengurus Kota Medang?"
"Ayahanda ...," kata Banyak Sumba keheranan. Ia tidak
tahu apa yang harus dikatakannya tentang peristiwa itu.
Seorang wangsa Banyak Citra lain, adik kandung Ayahanda
ditempatkan sebagai pengganti Ayahanda.
"Galih Wangi didudukkan di sana dengan pangkat sebagai
wakilku, demikian keterangan orang-orang kita di sana. Tapi,
hati-hati, Sumba. Mereka mau menjinakkan kita. Mereka,
orang-orang di Pakuan Pajajaran tahu bahwa kita tidak akan
berlembut hati sebelum kita mendapatkan kepala Anggadipati.
Kalau mereka tidak memberikan kepala Anggadipati di atas
baki kepada kita, kita keluarga Banyak Citra akan
mendapatkannya sendiri. Dan, itu tidak sukar bagi keluarga
kita. Sumba, ajarilah adikmu Angke ilmu keperwiraan. Paman
Wasis telah melatihnya dan sebelum kau berangkat,
berikanlah asas-asas ilmumu kepadanya."
Banyak Sumba tidak dapat berkata apa-apa mendengar
perkataan Ayahanda itu. Ia bingung, ia bersedih hati. Ia tidak
tahu apa yang harus dikatakannya, ia tidak tahu apa yang
harus diperbuatnya. Akhirnya ia berdoa dalam hatinya
memohon kepada Sang Hiang Tunggal untuk melaksanakan
kehendak Nya. Apa pun kehendak-Nya itu, ia akan
menenmanya. Bab 3 Diikuti Tak Dikenal
Waktu tidak boleh terbuang percuma, hukum Sang Hiang
Tunggal harus segera dilaksanakan, demikian ujar Ayahanda.
Dan pada permulaan bulan kedua sejak berada di tempat
pengungsian, persiapan kebe-rangkatan dilakukan Banyak
Sumba dan Jasik. Pada hari baik, diantar oleh derai air mata
dan doa, kedua anak muda itu berangkat.
Tiga hari mereka di perjalanan. Pada hari keempat,
tampaklah menara-menara jaga benteng Kutawaringin.
"Sik, kita singgah di Kutawaringin untuk berlatih," kata
Banyak Sumba melirik kepada Jasik.
"Kalau ada kesempatan, kita tagih orang yang membeli
kuda Raden dulu itu," jawab Jasik sambil tersenyum. Mereka
membelokkan kuda, lalu melecutnya. "Ha! Ha!"
"Bapak, kami kembali," kata Banyak Sumba kepada orang
tua yang menerima mereka menginap pada kunjungan
terdahulu. Orang tua itu mengenali mereka, lalu menyilakan
mereka duduk. "Bagaimana Kutawaringin, Bapak?" tanya Banyak Sumba.
"Buruk, Raden," sahut orang tua itu.
"Buruk"' kata Banyak Sumba dengan penasaran.
"Beberapa orang bangsawan ditangkap oleh penguasa
kota, mereka mencoba menjatuhkan penguasa kota. Kota
terpecah-pecah, rakyat tidak tenteram. Sewaktu-waktu dapat
saja terjadi perkelahian."
"Mengapa sampai terjadi begitu, Bapak?"
"Raden, banyak bangsawan tidak puas terhadap


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepemimpinan Tumenggung Wiratanu. Sekarang, wangsa
Wiratanu sedang mendapat kesukaran karena si Colat sedang
membalas dendam dengan teratur. Tiap ulang tahun
Tumenggung Wiratanu, diletakkan kepala seorang bangsawan
di halaman atau di tengah-tengah pendapa. Wangsa Wiratanu
berada dalam kesukaran dan bangsawan-bangsawan yang
tidak puas mulai bergerak. Wangsa Wiratanu yang terpojok
menghadapinya dengan tangan besi. Penangkapan,
pembuangan. Rakyat takut memasuki kota untuk berdagang,
pasar sepi, banyak saudagar yang mengalihkan usahanya ke
Kutabarang."
"Rupanya, keluarga ini banyak utangnya," katajasik,
menyela dengan tidak sengaja.
"Di pihak lain, rakyat pun merasa lega dengan keadaan
sekarang, asal saja tidak berlarut-larut. Telah lama mereka
diperlakukan sewenang-wenang. Bungsu Wiratanu seenaknya
saja mengambil gadis-gadis petani, bahkan gadis bangsawan
diculiknya di siang bolong. Kawan-kawannya berandal belaka."
"Bagaimana terhadap kuda orang lain, Bapak?" tanya Jasik
yang menjadi gembira mendengar keluarga Wiratanu dalam
kesukaran. "Mengenai kuda jangan dikata, bahkan kereta orang boleh
saja dimintanya. Dan orang tidak berani menolak. Daripada
kehilangan kemerdekaan atau nyawa, lebih baik kehilangan
harta. Sering terjadi, orang-orang yang berani menentang,
menghilang begitu saja."
Sore itu, ketika beristirahat di tempat mereka menginap,
Banyak Sumba berkata, "Sik, kiranya tidak ada saat yang lebih
baik bagi kita untuk menyelesaikan perhitungan dengan
keluarga Wiratanu. Sekurang-kurangnya, kita memberikan
pelajaran kepada pencuri kuda itu."
Mendengar usul yang sungguh-sungguh itu, Jasik
termenung. Setelah beberapa lama tidak ada jawaban, Banyak
Sumba berkata kembali, "Seandainya kita dapat membunuh
orang jahat itu, dua hal yang telah kita lakukan, Sik. Pertama,
kita membalaskan dendam Kakanda Jante. Kedua, kita
melaksanakan tugas Sang Hiang Tunggal, yaitu menumpas
kejahatan. Bukankah Sang Hiang Tunggal bersabda bahwa
dengan menumpas kejahatan, kita melindungi rakyat banyak"
Tidak ada saat yang paling baik daripada sekarang."
Untuk beberapa lama, Jasik tetap berdiam diri, lain
daripada biasanya. Akan tetapi, akhirnya ia berkata, "Saya
beranggapan bahwa akhirnya Bungsu Wiratanu akan menjadi
mangsa si Colat juga, Raden. Oleh karena itu, kita ddak usah
bersusah-susah menghadapi bahaya," katanya.
Banyak Sumba termenung sebentar. Ia bertanya dalam
hati, apa yang akan dikatakan Ayahanda kalau ia tidak sempat
membalas dendam terhadap keluarga Wiratanu. Kalau
keluarga Wiratanu ditumpas oleh si Colat terlebih dahulu,
tidakkah Ayahanda akan murka terhadapnya dan
menganggapnya lalai" Banyak Sumba termenung. Akhirnya, ia
beranggapan bahwa bertindak lebih baik daripada tidak. Lebih
baik ia mencoba, lepas dari berhasil atau tidak usahanya itu.
Bagaimanapun, Ayahanda akan senang kalau ia berbakti, yaitu
mencoba dan berusaha sekuat tenaga membunuh para
anggota keluarga Wiratanu.
"Begini, Sik. Bukankah kita akan berlaku curang kalau kita
mempergunakan tangan orang lain dalam membalas dendam"
Si Colat punya perhitungan sendiri, seperti juga kita. Oleh
karena itu, usaha si Colat tidak usah dihubung-hubungkan
dengan usaha kita. Kakandajante tidak akan senang kalau
adiknya menyerahkan lawan kepada orang lain," katanya.
Dalam hatinya, Banyak Sumba pun berkata bahwa Ayahanda
tidak akan senang kalau ia tidak membalas dendam dengan
tangannya sendiri.
'Akan tetapi, Raden, bagaimana kalau kita mencapai tujuan
yang terpenting dahulu, yaitu Pangeran Anggadipati?" tanya
Jasik. "Lebih baik Bungsu Wiratanu dulu, Sik. Bukankah orang ini
dapat dianggap latihan bagi kita?"
"Kalau begitu kehendak Raden, saya setuju. Tadinya saya
ingin menyatakan, lebih baik kita menghindar dari bahaya,
seandainya bahaya yang kita hadapi hanya akan sedikit
hasilnya. Lebih baik menghadapi bahaya yang lebih besar
dengan hasil yang lebih besar. Soal Bungsu Wiratanu ini soal
nomor dua."
"Kali ini, kesempatan sangat baik, Sik. Di samping itu, saya
takut si Colat mendahului kita."
Jasik tidak berkata apa-apa lagi, walaupun tampak ia belum
yakin benar. Sore itu, ketika malam hampir turun, kedua orang
pengembara keluar dengan pakaian serbahitam. Mereka
bergegas menuju gerbang kota yang dalam waktu tidak lama
lagi akan ditutup karena malam tiba dan keadaan sangat tidak
aman. Ketika mereka tiba di gerbang, para jagabaya tampak
mengawasinya dengan tajam, tetapi tidak ada yang
menghalangi mereka masuk karena Banyak Sumba dan Jasik
tidak bersenjata sama sekali.
"Sungguh keliru, Sik, kalau mereka beranggapan bahwa
orang yang tidak bersenjata adalah orang yang tidak
berbahaya."
"Ya," ujar Jasik.
"Saya yakin, si Colat membunuh tanpa mempergunakan
senjata sama sekali. Ia seekor harimau yang dengan
tangannya yang telanjang dapat mematahkan leher lawannya
dalam satu kali gerakan."
"Ya," ujar Jasik, ketegangan mulai terdengar dalam
suaranya. Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba terdengar dari
belakang mereka suara gerbang yang ditutup. Gemanya
menggetarkan udara dan juga hati Banyak Sumba. Tiba-tiba
saja Banyak Sumba menyadari bahwa mereka sekarang
terkurung di sarang lawan. Banyak Sumba melihat ke kanan
dan ke kiri dan baru disadarinya, bagaimana jagabaya yang
bersenjata lengkap banyak sekali berkeliaran dan waspada.
Kadang-kadang, lewat jagabaya berkuda, yaitu para petugas
dari Pakuan Pajajaran yang dikerahkan oleh sang Prabu untuk
melindungi penguasa-penguasa bawahannya. Banyak Sumba
tidak gentar menghadapi para jagabaya itu. Dalam hati ia
berkata, "Tak ada pekerjaan bagi Saudara-saudara karena
saya tidak akan melibatkan Saudara-saudara pada urusan
pribadi saya ini."
Sambil berbicara demikian, ia mengatur siasat. Ia harus
memanjati beberapa benteng. Itu dapat dilakukannya dengan
mempergunakan tambang. Mula-mula ia akan menaiki pundak
Jasik, lalu melompati benteng, dari seberang ia akan
melemparkan tambang dan menarik Jasik ke dalam dengan
bantuan pohon-pohon yang biasa ada di dalam taman-taman
di bagian benteng sebelah dalam. Ia telah menyediakan
tambang besar yang dipergunakannya sebagai ikat pinggang.
Seandainya ada jagabaya yang memeriksanya tadi di gerbang
kota, jagabaya itu tidak akan mencurigainya karena tidak
banyak orang yang akan menyangka bahwa ada cara yang
baik untuk melewati benteng, seperti yang akan dilakukannya.
"Raden, inilah rupanya istana," ujar Jasik tiba-tiba. Dalam
keremangan senja, tampak oleh Banyak Sumba atap
bangunan besar yang menjulang tinggi. Di sekeliling bangunan
besar itu, tampak pula cahaya obor yang banyak dipasang di
sana. Barulah Banyak Sumba menyadari bahwa memasuki
bangunan besar itu bukan suatu hal yang mudah karena para
penjaga dan badega-badega wangsa Wiratanu akan lebih
waspada. Mereka tidak akan mau menjadi mangsa si Colat di
dalam kandangnya sendiri. Itu tidak saja akan menyedihkan,
tetapi akan sangat merendahkan nama baik wangsa Wiratanu.
Banyak Sumba baru menyadari bahwa pendapat-pendapat
Jasik banyak benarnya. Akan tetapi, ia tidak boleh mundur,
bukankah ia anggota wangsa Banyak Citra yang tidak pernah
menyerah dan kata orang tidak kenal takut" Bukankah ia
anggota suatu wangsa bangsawan yang terkenal dan
disegani" Bahaya yang lebih besar berarti tantangan yang
lebih besar. Wangsa Banyak Citra senang kalau mendapat
tantangan. Demikianlah Banyak Sumba berkata-kata dalam
hatinya ketika mereka membelok dan menuju kelompok
warung-warung di dalam kota yang masih terang dan banyak
dikunjungi laki-laki.
Di depan sebuah kedai tuak, kedua orang pengembara ikut
berhenti dan Banyak Sumba berkata, "Kita mencari-cari
keterangan dulu, Sik."Jasik tidak menjawab. Mereka
melangkah dan memasuki ruangan yang cukup terang di
bawah beberapa buah lampu minyak. Mereka langsung duduk
di atas bangku yang ditilami dengan tikar-tikar. Dan begitu
mereka duduk, seorang gadis yang berpupur tebal segera
menyodorkan kendi tuak dengan dua buah cangkir tembikar
kasar. "Selamat datang dan selamat malam, Tuan-tuan," kata
gadis itu sambil tersenyum. Banyak Sumba duduk, lalu
menuangkan tuak ke dalam cangkirnya. Ia mencicipinya, tapi
tidak meminumnya. Ia tidak ingin menarik kecurigaan orang
yang banyak berkumpul di sana. Ia berlaku seolah-olah ia
bermaksud minum-minum seperti yang lain. Akan tetapi,
tampaknya orang-orang yang ada di sana tak urung tertarik
olehnya. Mereka rupanya menyadari bahwa Banyak Sumba
dan Jasik adalah orang asing. Orang-orang melihat ke arahnya
dengan penuh selidik. Banyak Sumba dan Jasik segera
meminum tuak mereka dan memakan penganan yang
disajikan oleh gadis yang berpupur tebal itu.
Mereka makan penganan diam-diam dan kalau berbicara,
terpaksa mereka berbisik.
"Sik, salah benar kita masuk ke sini. Orang-orang
tampaknya curiga," ujar Banyak Sumba.
"Tapi, mereka tidak akan berbuat sesuatu terhadap kita
dan dalam gelap seperti ini, mudah sekali kita meloloskan
diri," ujar Jasik.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini, Sik."
"Baik, Raden," katajasik sambil menyeka bibirnya dengan
selampai yang dibawanya. Akan tetapi, sebelum mereka
bangkit, dua orang laki-laki yang semula duduk di sudut,
bangkit dan berjalan ke arah mereka duduk. Kedua orang lakiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
laki itu memberi salam, lalu duduk di hadapan Banyak Sumba
dan Jasik. "Saudara, orang asing?"
Sebelum menjawab, Banyak Sumba menarik napas dulu.
Akan tetapi, tak ada jawaban lain yang dapat diberikan
kepada orang itu, kecuali "Ya". Banyak Sumba berkata, "Ya"
sementara dalam hatinya ia berkata, ia dapat memukul kedua
orang itu sampai pingsan sekaligus. Kalau mau, ia dapat
mematahkan lehernya satu per satu.
"Ada keperluan dagang?" tanya orang yang lebih tua di
antara kedua orang itu.
"Ya," Banyak Sumba menjawab, senang, karena ia diberi
peluang untuk mendapatkan dusta yang baik. Ia tidak dapat
berdusta lebih baik selain mengaku sebagai pedagang.
"Saudara penjual barang-barang perhiasan?"
"Mengapa Saudara bertanya demikian?" tanya Banyak
Sumba sambil tersenyum untuk menghapus kekasaran
pertanyaannya. "Saya melihat kulit dan tangan Saudara-saudara halus dan
bersih. Biasanya, tukang-tukang emas atau orang-orang yang
bekerja dalam ruanganlah yang bersih seperti Saudara."
"Petani pun dapat bersih kalau rajin mandi," ujar Banyak
Sumba mencoba berkelakar untuk menghilangkan
ketegangan. "Jadi, benarkah Saudara tukang emas?"
"Oh, sama sekali tidak," ujar Banyak Sumba. "Saya hendak
menagih kepada seseorang yang ... membeli kuda saya di sini,
beberapa tahun yang lalu."
Kedua orang itu berpandangan. Banyak Sumba terkejut dan
sadar bahwa ia telah mengatakan hal yang sangat berbahaya.
Ia sadar sekarang, kedua orang itu mencurigai sesuatu. Yang
lebih tua mencoba tersenyum, kemudian setelah mencari-cari
kata-kata dan tidak berhasil, ia tertawa.
"Wah, rupanya ada suatu hal lucu yang saya tidak tahu,"
kata Banyak Sumba, menutup ketegangan yang dirasakannya.
'Jawaban Saudara tadi sangat lucu."
"Mengapa?"
"Saudara mengatakan bahwa ada orang yang membeli
kuda Saudara beberapa tahun yang lalu dan sekarang akan
Saudara tagih. Bukan Saudara saja yang pernah berkata
begitu," kata orang itu.
Banyak Sumba makin curiga dan ia bersiap siaga dengan
seluruh tubuhnya. Sambil bersila ia bergeser, pasang kudakuda.
Seandainya orang-orang itu bergerak menyerangnya,
kaki kanannya akan menghantam ulu hati orang yang sebelah
kanan, yang kiri bagian orang yang sebelah kiri. Kemudian,
Banyak Sumba akan berdiri di bangku, menjambak rambut
kedua orang itu dan mengadukan kepalanya.
"Begini Saudara, jangan merasa saya permainkan. Di kota
ini, bangsawan-bangsawan muda biasa mengambil kuda yang
baik dari rakyat atau pedagang. Mereka berkata membelinya
dan akan dibayar kemudian. Tapi janganlah percaya ' lidah
mereka. Saudara rupanya orang asing yang sial, berdagang
kuda ke sarang pencuri kuda. Mudah-mudahan saja tidak
begitu dan orang yang hendak Saudara tagih itu bukan para
pencuri itu."
Seluruh ruangan terdengar tertawa dan Banyak Sumba
sadar bahwa setiap orang dalam ruangan itu memerhatikan
mereka dan mendengarkan percakapan yang mereka lakukan.
"Kebetulan bukan, kebetulan orang biasa saja yang membeli
kuda saya dulu," kata Banyak Sumba setelah sejenak
berdiam. "Untung," kata orang itu. Banyak Sumba meminum
tuaknya, tapi tidak banyak karena ia takut mabuk. Jasik
mengikutinya. Rupanya, Jasik sadar pula bahwa warung yang
mereka masuki tidaklah seaman yang disangka semula. Tak
lama kemudian, mereka bangkit dan setelah membayar,
mereka keluar. Mereka berjalan sambil berdiam diri. Banyak
Sumba termenung, mematangkan siasat yang telah
direncanakan sejak semula.
"Sik, saya akan mempergunakan pundakmu dan memasuki


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benteng Istana Wiratanu. Kau akan saya tarik dari dalam
setelah saya mengikatkan tambang pada pohon-pohonan di
sana." "Raden, lebih baik saya yang masuk, Raden yang mengikuti
saya mempergunakan tambang. Saya tidak segan
mempergunakan pundak Raden. Bahaya lebih berarti bagi
saya daripada sopan santun."
"Bukan begitu, Sik," ujar Banyak Sumba, "seorang
bangsawan tidak boleh mengorbankan anak buahnya. Itu
keluar dari sifat kesatriaan. Jadi, kita melakukan segalanya
sesuai dengan rencana semula."
"Raden!" ujar Jasik dalam bisik yang tertahan, "kita diikuti!"
"Sial!" bisik Banyak Sumba, "rupanya setiap warung diisi
dengan mata-mata di Kutawaringin!"
"Empat orang, Raden."
"Jangan takut, Sik."
"Saya tidak takut Raden. Soalnya, rencana kita akan
terganggu."
"Tapi, kita tidak boleh lari, Sik. Mungkin melarikan diri lebih
berbahaya. Saya belum hafal benar jalan-jalan di kota ini,"
lanjut Banyak Sumba. Didengarnya langkah orang mendekat
dari belakang. "Jalan perlahan Sik, nanti kita berhenti, seolah-olah ada
benda jatuh. Saya akan menunduk seolah-olah saya mencari
sesuatu, lalu kita akan menyerang."
"Baik," ujar Jasik yang segera mengerti siasat yang
direncanakan oleh tuannya. Jasik memandang Banyak Sumba
dalam gelap itu dengan penuh kekaguman. Ia selalu
mengagumi Banyak Sumba yang sangat cepat dalam mencari
siasat. Ia kagum ketika mendengar cara yang diusulkan
Banyak Sumba untuk melewati benteng. Sekarang, ia kagum
oleh rencana penyerangan yang begitu baik.
Banyak Sumba melambatkan jalannya, menunggu suara
langkah kaki yang makin mendekat dalam lorong lebar itu.
Kemudian, ia berhenti dan berkata kepada Jasik.
"Batu apiku jatuh, Sik. Gandawesiku jatuh," katanya sambil
membungkuk. Seraya membungkuk itu, Banyak Sumba
melihat bayangan empat orang mendekat. Jasik tidak berkata
apa-apa. Ia menghadap kepada Banyak Sumba. Banyak
Sumba pun merasa bahwa Jasik sudah siap.
Ketika orang-orang yang mengikuti sekira tiga langkah l.igi
dari mereka dan sambil mendekat berdeham-deham,
menghamburlah Banyak Sumba. Dengan melompat, ia
mempergunakan tendangannya ke arah ulu hati orang yang
terdepan. Orang itu terpental dan tidak bangun lagi. Jasik
mulai pula menghantam yang terdekat kepadanya yang
sempat mengelak dan mundur jauh-jauh.
"Tenang Saudara, tenang, kami bukan musuh!" kata
seseorang tiba-tiba ketika Banyak Sumba sedang memilih
mangsa baru. "Kalian mata-mata, jangan lari," ujar Banyak Sumba.
"Kami menyerah, boleh Saudara pukul atau bunuh, kalau
Saudara tidak percaya bahwa kami tidak bermaksud jahat,"
kata seorang di antara mereka sambil berjalan, mengangkat
tangan. Banyak Sumba bingung, demikian juga Jasik, yang berhenti
menyerang. "Tenang, kami tidak bermaksud jahat, kami menyerah,"
kata orang itu pula yang segera dikenal oleh Banyak Sumba
sebagai laki-laki yang mengajaknya mengobrol di warung tuak
tadi. Banyak Sumba tidak menyerang kembali walaupun tetap
siaga. "Kalian mengikuti kami," kata Banyak Sumba.
"Ya, tapi bukan untuk maksud jahat," kata orang itu,
sekarang telah menurunkan tangannya dan berdiri di depan
Banyak Sumba. "Apa maksud kalian?"
"Kami ingin tahu lebih banyak tentang Saudara. Kami tahu
Saudara bukan tukang emas atau kuda. Saudara seorang
bangsawan dan datang ke sini untuk maksud yang ingin kami
ketahui." "Saya tidak takut kepada kalian karena itu saya tidak
pernah merahasiakan sesuatu kepada kalian. Akan tetapi,
kalian harus menjelaskan dulu siapa kalian. Kalian mata-mata,
bukan?" "Kami pendatang seperti Saudara juga, dan mungkin
menanggung nasib yang sama, menderita dukacita yang
sama." Banyak Sumba tertegun mendengar penjelasan itu. Ia
berpaling kepada Jasik yang juga tampak bingung.
"Terangkan maksud kalian atau biarkan kami pergi." "Kami
mau menerangkannya, tetapi tidak di sini," kata orang itu.
Banyak Sumba tahu, betapa besar bahayanya kalau mengikuti
kehendak orang itu. Akan tetapi, ia penasaran juga. Ia ingin
tahu tentang orang-orang itu, sedangkan mengenai bahaya,
bukankah ia bisa menghadapinya sebagai latihan"
"Jangan percaya, Raden, marilah kita menghindar atau kita
hantam mereka," kata Jasik berbisik.
'Jangan, Sik, marilah kita selidiki mereka ini. Kita pukul
mereka pada saat yang tepat," bisik Banyak Sumba. Jiwa
petualangnya mengalahkan kehati-hatiannya.
"Raden, bagaimana dengan rencana kita?" kata Jasik agak
keras. Rupanya, laki-laki yang ada di depan mereka
mendengar kata itu. Ia berkata, "Saya tahu, Saudara-saudara
punya rencana. Siapa tahu rencana kita sama. Kami datang
dari Kutabarang, mungkin dengan rencana yang sama. Kita
pun berpura-pura sebagai pedagang perhiasan, siapa tahu kita
akan menagih orang yang sama."
Mendengar itu, makin penasaranlah Banyak Sumba. Ia
berkata kepada Jasik, 'Jangan takut, Sik, rencana kita akan
kita selesaikan juga pada waktunya."
Setelah mereka terdiam, Banyak Sumba berkata,
"Terangkan lebih lanjut apa yang kalian inginkan."
"Kami tidak dapat menerangkannya di sini dan kalau ada
jagabaya lewat, kita akan dicurigai," kata laki-laki itu.
Banyak Sumba menyadari kebenaran perkataan orang itu.
Ia memberi isyarat kepada Jasik untuk menuruti kehendak
orang itu. "Jalanlah duluan, kami mengikuti dari belakang," kata
Banyak Sumba. Ketiga orang asing itu berjalan dan
mengangkat kawannya yang terbaring kena tendangan
Banyak Sumba. Ternyata, orang itu pingsan.
"Angkat!" kata orang muda yang berdiri tidak jauh dari lakilaki
itu. Banyak Sumba tahu bahwa orang muda itu adalah
orang muda yang sebelumnya duduk di samping laki-laki
tersebut, ketika mereka berada di warung tuak. Kedua orang
yang belum dikenal Banyak Sumba mengangkat temannya
yang pingsan, lalu mencoba membuatnya siuman dengan
memanggil-manggil namanya. Setelah beberapa lama, baru
orang itu bergerak dan mengeluh. Banyak Sumba
memerhatikan mereka seraya merasakan kesedihan dan rasa
kasihan terhadap orang yang ditendangnya itu.
Tiba-tiba, terdengar bunyi kaki kuda yang banyak. Orangorang
itu bersiap untuk lari, juga Jasik dan Banyak Sumba.
Laki-laki yang tertua tadi berseru, 'Jangan lari, tenang!"
Mereka kemudian mencoba tenang, sementara tiga orang
asing membangunkan si pingsan. Banyak Sumba melihat
cahaya obor para jagabaya penunggang kuda dan mendengar
percakapan mereka yang keras. Beberapa orang penunggang
kuda membelok, menuju kepada mereka. "Hai, mengapa dia?"
tanya jagabaya sambil mengangkat obornya tinggi-tinggi.
"Kebanyakan minum tuak, Juragan!" kata laki-laki yang
paling tua. Para jagabaya mengawasi mereka seorang demi
seorang. Karena tampak mereka tidak bersenjata dan
berpakaian baik-baik, para jagabaya itu pun mengundurkan
diri dan memecut kuda mereka mengikuti rombongan.
Banyak Sumba menarik napas panjang karena merasa lega.
Ketika itulah, tiba-tiba ia merasakan persahabatan terhadap
keempat orang asing itu. Ketika itu pula timbul
keingintahuannya tentang orang-orang itu, dari mana mereka
datang dan apa maksud mereka. Dengan perubahan suasana
hatinya itu, Banyak Sumba mengubah sikapnya terhadap
keempat orang asing itu. Ia tidak memperiihatkan kecurigaan
lagi, ia malah mendekati mereka dan mulai bertanya tentang
orang yang pingsan itu.
"Tak apa-apa, Saudara," kata yang tertua.
"Maaf, saya hanya bermaksud mempertahankan diri."
"Kami bisa memahami tindakan Saudara," kata orang tua
itu pula. Banyak Sumba memegang bahu orang yang baru siuman
itu sambil tersenyum kepadanya. "Maaf," katanya. Orang yang
baru siuman itu mengangguk. Kemudian, rombongan yang
terdiri dari enam orang itu berjalan.
Mula-mula mereka menuju pusat keramaian malam di kota
itu, yaitu suatu jalan besar yang di kiri kanannya penuh
dengan warung minuman dan buah-buahan. Di ujung jalan itu
terdapat pula lapangan. Di suatu tempat, rombongan
sandiwara sedang bermain. Cahaya obornya yang besar
mempermainkan bayangan-bayangan orang di dinding-dinding
rumah sekitarnya, sedangkan suara tabuh-tabuhannya
bergema dengan meriah. Orang banyak sekali berkerumun di
dekat tempat itu dan di situ sukar sekali orang melangkah,
bukan hanya karena banyak orang, tetapi karena para
pedagang menebarkan dagangan yang bermacam-macam
sepanjang pinggir jalan. Akhirnya, setelah menyelinap di
tengah-tengah orang banyak, mereka sampai di sebuah
warung kecil yang diterangi lampu minyak yang berkelapkelip.
"Di sinilah kita akan mengobrol, Saudara," kata orang yang
tertua. Maka, sambil menundukkan kepala karena rendahnya
pintu warung itu, mereka masuk. Seorang perempuan
setengah baya segera menyediakan minuman dan makanan
kecil bagi mereka. Banyak Sumba dan Jasik sengaja duduk di
atas bangku di dekat pintu untuk kehati-hatian. Akan tetapi,
karena kenalan-kenalan baru mereka tidak mempedihatkan
gerak-gerik yang mencurigakan, mereka menjadi tenang juga
akhirnya. Sementara itu, salah seorang dari keempat orang
asing itu meminta kepada pemilik warung supaya menyalakan
lampu lagi. Setelah ruangan menjadi lebih terang, tampaklah
kepada Banyak Sumba bahwa orang asing yang paling tua
kira-kira sebaya dengan Paman Wasis, sementara yang
termuda, yang tampak sebagai seorang bangsawan, sebaya
dengan dia dan Jasik. Yang dua orang lagi adalah badegaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
badega biasa, bertindak sebagai pengawal bangsawan muda
itu. "Begini, Raden," tiba-tiba yang paling tua berkata kepada
Banyak Sumba, "kami yakin, Raden bukanlah pedagang kuda.
Tampaknya, Raden terlalu kaya dan terialu halus untuk
menjadi pedagang kuda. Itulah sebabnya, kami penasaran
dan tadi menyusul Raden. Kami ingin lebih mengetahui banyak
tentang Raden," katanya. Setelah itu, orang tua itu diam
sambil tersenyum memandang Banyak Sumba. Banyak Sumba
tidak berkata apa-apa. Akhirnya, orang tua itu melanjutkan
lagi kata-katanya.
"Baiklah, tentu saja Raden tidak mau membukakan hal-hal
yang Raden rahasiakan. Kami sendiri tidak berkeberatan
membuka rahasia kami karena tempat ini aman. Begini, kami
berempat sebenarnya bermaksud menagih kepada seseorang
pula di tempat ini. Ia tidak membeli tapi merampas, bukan
kuda tapi manusia. Kami harus menagihnya, bukan?"
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Orang tua itu
melanjutkan perkataannya, "Raden Sungging ini, jauh-jauh
datang dari Kutabarang untuk menagih kepada seseorang
yang mengambil orang begitu saja darinya."
'Apakah yang diambilnya itu seorang budak belian?"
"Kalau budak belian yang diambil, kami tidak usah jauhjauh
menyusul kemari."
"Seorang...?"
"Ya, seorang gadis, seorang gadis yang cantik jelita,
walaupun bukan keturunan bangsawan Kutabarang," kata
orang tua itu. Banyak Sumba sudah dapat meraba-raba tentang kisah
yang terjadi di balik kedatangan orang-orang itu ke
Kutawaringin. Gadis Raden Sungging ini rupanya direbut oleh
Bungsu Wiratanu atau oleh salah seorang pengiring Bungsu
Wiratanu yang juga tak kalah berandal dari tuannya. Banyak
Sumba melirik kepada pemuda yang duduk di samping orang
tua itu. Pemuda itu, Raden Sungging, menundukkan kepala.
"Baiklah," kata Banyak Sumba sambil menarik napas
panjang. "Sebaiknya, kita berterus terang. Saya akan berterus
terang karena saya tidak takut oleh siapa pun, kecuali oleh
pengkhianatan. Saya pun datang ke sini untuk membuat
perhi-lungan dengan seseorang, seperti Saudara-saudara."
"Syukurlah dan kita harus segera mempertemukan Saudara
dengan yang lain. Begini, bagaimana kalau besok kita bertemu
di sebelah selatan benteng" Di sana, kita akan bertemu
dengan kawan-kawan lain. Raden, bukan kita saja yang
berurusan dengan bangsawan-bangsawan Kutawaringin."
"Ya," kata Banyak Sumba, "juga si Colat."
"Ya," kata orang tua itu, "tetapi si Colat ini menyusahkan
kita. Karena pembunuhan-pembunuhan yang sembarangan,
orang yang menjadi sasaran kita jadi terjaga ketat."
"Kami tidak tahu tentang hal-hal yang berhubungan dengan
si Colat," kata Banyak Sumba berpura-pura dengan harapan
akan mendapat keterangan lebih banyak.
"Sebenarnya, si Colat ini berurusan dengan anjing tua dan
bukan dengan anjing muda. Akan tetapi, anjing muda yang
kita cari jadi terjaga dengan baik," kata orang yang tua.
Setelah berkata demikian, orang tua itu melanjutkan
pembicaraannya.
"Tapi, marilah kita kembali kepada pembicaraan pokok.
Raden, bukan hanya kita yang datang ke sini. Ada empat
rombongan datang ke sini untuk menagih, di luar si Colat yang
menagih kepada anjing tua. Sekarang, kami ingin
mendengarkan masalah Raden, siapa yang akan Raden tagih
dan berapa jumlah utang orang itu."
Banyak Sumba termenung sebelum berkata, Jasik
memberikan isyarat supaya hati-hati. Kemudian, Banyak
Sumba berkata, "Lebih baik besok, di tempat yang kita
janjikan. Saya akan menjelaskan semuanya."


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang tua itu tersenyum, lalu berkata setuju akan kehatihatian
Banyak Sumba. Mereka pun berunding untuk bertemu
keesokan harinya di sebuah kampung di sebelah selatan
benteng Kutawaringin. Orang-orang asing itu tampaknya tidak
menyadari bahwa Banyak Sumba dan Jasik mempunyai
rencana malam itu juga. Mereka menyangka bahwa Banyak
Sumba baru dalam taraf menyelidiki kota. Sangkaan macam
itu bisa dimengerti karena keempat orang itu sudah berada di
Kutawaringin empat bulan lamanya. Mereka menyelidiki kota
dan selama itu juga bertemu dengan orang-orang lain yang
datang ke sana untuk tujuan membuat perhitungan dengan
Bungsu Wiratanu. Memang tidak sukar untuk menemukan
orang-orang yang hendak membalas dendam karena ternyata
rakyat Kutawaringin sendiri membenci penguasa dan
keluarganya. Bahkan, sepanjang cerita orang tua itu,
penduduk Kutawaringin berharap agar terjadi sesuatu
terhadap keluarga penguasanya hingga wangsa Wiratanu
diganti dengan wangsa bangsawan lain yang lebih bijaksana
dan adil terhadap rakyatnya.
Mereka bercakap-cakap sambil mencicipi penganan dan
minuman. Dari luar terdengar nyanyian dan bunyi tabuhtabuhan
yang meriah dari rombongan sandiwara rakyat.
Cahaya obor berkobar-kobar dan bayangan bergerak-gerak di
dinding sebelah dalam warung. Tiba-tiba, seseorang tiba
sambil terengah-engah. Ia langsung menuju orang tua itu.
"Mereka datang, cepat menghindar," kata pendatang itu
berbisik, tetapi cukup keras untuk dapat didengar oleh seluruh
isi warung yang kecil itu.
"Sial, mari kita pergi. Raden, menghindarlah. Sampai
besok." Mereka tergesa-gesa keluar, demikian juga Banyak Sumba
dan Jasik. Setiba di luar, mereka terpencar ke segala arah.
Banyak Sumba dengan Jasik berjalan bersama-sama, tidak
tergesa-gesa dan menyelinap seperti yang lain. Mereka
berjalan menuju keramaian dan ketika mereka tiba di dekat
gelanggang tempat sandiwara itu bermain, berkatalah Jasik,
"Raden, saya merasa kita diikuti."
'Jangan takut, Sik. Kita mudah lolos di tempat keramaian
ini. Walaupun ada janji dengan orang-orang yang tadi, kita
pun akan melanjutkan rencana kita. Sebentar lagi malam
larut." Jasik tidak berkata apa-apa. Setelah sejenak menonton
pertunjukan, berjalanlah kedua orang pengembara itu menuju
ke selatan, mendekati benteng Istana Wiratanu yang tampak
lebih tinggi daripada benteng rumah-rumah bangsawan yang
lain. Makin dekat ke tempat itu, makin terang obor-obor.
Banyak Sumba tidak berkecil hati karena bayangan pohon
tanjung cukup gelap untuk menyembunyikan diri pada malam
yang gelap seperti itu.
"Raden, kita diikuti. Ketika berpaling, saya melihat orang
berkelebatan menyembunyikan diri di balik pohon sebelah kiri
jalan," bisik Jasik. Banyak Sumba tertegun, tapi ia tidak
menghentikan langkahnya.
'Jalan terus, kita cari tempat yang baik untuk melawan,"
bisik Banyak Sumba. Mereka mempercepat langkahnya. Tidak
beberapa lama kemudian, Banyak Sumba melihat bayangan
hitam berkelebat di bawah salah sebuah rumah di pinggir jalan
yang sunyi itu. Dan ketika jalan membelok, tiga orang
berpakaian hitam berdiri di hadapan mereka.
"Berhenti!" seru salah seorang di antara mereka. Banyak
Sumba tidak berhenti, ia melangkah karena menurut
perhitungannya ketiga orang itu akan mudah saja
dirobohkannya. Kemudian, ia berhenti karena dilihatnya dua
orang lagi keluar dari bawah bayangan pohon tanjung yang
tumbuh di pinggir jalan. Dari arah belakang terdengar langkah
dan ketika Banyak Sumba berpaling, tiga orang lagi datang.
Tujuh orang, pikir Banyak Sumba. Ia harus licin dan tidak
boleh memperiihatkan akan melawan. Tapi, ia cemas karena
ia tidak dapat berbisik lagi kepada Jasik untuk mengatur
siasat. Akhirnya, ia memaksakan diri berkata sebelum kesempatan
hilang. "Kita tidak bersalah, Sik, jangan melawan dulu."
"Ya, kita tidak bersalah," kata Jasik. Mungkin ia mengerti
maksud Banyak Sumba. Ketika Banyak Sumba melirik, tampak
Jasik tidak memperlihatkan sikap bersiap. Tapi, itu hanyalah
tipuan. "Berhenti, jatuhkan senjata!"
"Kami tidak membawa senjata," kata Banyak Sumba.
"Bohong!" kata orang itu, mereka mulai mengelilingi.
"Kami tidak bersalah," kata Jasik sambil berbalik,
punggungnya hampir melekat pada punggung Banyak Sumba.
Banyak Sumba gembira, Jasik begitu cerdas dan pandai
mengatur kedudukan dalam menghadapi pengeroyokan itu.
"Kami tidak bersalah," kata Jasik sekali lagi untuk
mengambil perhatian lawan.
"Bohong kalian ..."
Itulah yang ditunggu Banyak Sumba. Ketika lawan
mengajak berdebat, mereka lengah. Karena yang di hadapan
Banyak Sumba berada dalam jangkauan tendangan, dengan
teriakan Banyak Sumba menghambur diikuti oleh Jasik. Orang
yang berada di hadapan Banyak Sumba terpental, sedangkan
yang sebelah kanan segera menerima pukulan, tetapi sempat
menghindar. Kaki kiri Banyak Sumba menyambar yang di
samping kiri dan masuk perutnya. Orang itu mengaduh sambil
sempoyongan. Banyak Sumba mengejar yang sempat
menghindar, tetapi bayangan hitam menyerang dari arah
kanan. Banyak Sumba menundukkan kepalanya, menjauhi
penyerangan. Suara orangjatuh terdengar di belakangnya,
mungkin dibanting oleh Jasik. Banyak Sumba berhadapan
dengan orang yang datang dari kanan, sementara yang
sempat menghindar mulai mendekat dari sebelah kiri. Suara
kaki kuda terdengar dari jauh. Banyak Sumba sadar, keadaan
sangat gawat, apalagi ketika didengarnya salah seorang di
antara pengeroyok berteriak-teriak memanggil jagabaya.
Maka, Banyak Sumba tidak lagi menunggu serangan, ia
mendekat dan menyerang yang sebelah kanan sebagai
umpan. Dan ketika yang sebelah kiri menyerang, kaki Banyak
Sumba sebelah kiri sudah menunggunya. Orang itu mengaduh
dan mundur sambil memegang ulu hatinya. Ketika itulah,
entah dari mana datangnya, suatu benda keras menyambar
kepala Banyak Sumba dari samping kiri. Tiba-tiba obor-obor
seolah-olah padam, tanah yang dipijak seolah-olah
menghilang. Banyak Sumba lupa akan dunia sekelilingnya.
Bab 7 Tidak Jadi Digantung
Kesadarannya perlahan-lahan kembali. Yang pertama
dirasanya adalah rasa sakit yang tajam menusuk kepalanya
sebelah kiri. Banyak Sumba mengerang, setelah itu
didengarnya suara berbisik. "Raden?" Banyak Sumba hendak
menjawab, tetapi pundaknya terasa sakit. Ia diam tidak
bergerak. Dirasanya benda dingin dan berat membelit kedua
belah pergelangan kakinya. "Raden?" terdengar pula bisikan
itu. Kesadaran Banyak Sumba berusaha melawan kesakitan
dan kelemahan yang terasa menghimpit dan menggelapkan
dunia. Perlahan-lahan, dengan rasa sakit, rasa dingin di kedua
belah pergelangan kakinya, dan cahaya yang perlahan-lahan
menembus kelopak matanya, kesadarannya bertambah kuat.
Akhirnya, ia membuka matanya.
Samar-samar, tampaklah wajah seseorang yang makin
lama makin jelas baginya. "Sik?"
"Ya, Raden," kata Jasik. Banyak Sumba menutup matanya
kembali. Bagai sebuah paku besar, rasa sakit menusuk
kepalanya di bagian kiri. Ketika rasa sakit itu mereda, ia
membuka matanya kembali. Bukan wajah Jasik sekarang yang
diperhatikannya, melainkan sekeliling tempatnya berbaring.
Sadarlah Banyak Sumba bahwa dia dan Jasik berada dalam
terungku yang terbuat dari batu bata.
Banyak Sumba hendak bangkit, tetapi badannya sangat
berat. Ia melihat ke sekelilingnya, ke jeriji-jeriji besi, tembok
batu-bata yang hitam warnanya karena tua, lapangan kecil
yang berada di hadapan pintu penjara yang berjeriji itu. Suatu
hal memukau Banyak Sumba hingga ia benar-benar menjadi
sadar. Sebuah tiang gantungan berdiri di tengah-tengah
lapangan kecil, yaitu sebuah tiang kayu jati besar dan di
atasnya mengusung palang kayu lain yang kuat. Teringadah
akan peristiwa sebelumnya. Ia dikeroyok dan dikalahkan. Ia
tidak merasa apa-apa, kecuali kesedihan karena semua yang
dialaminya itu sebenarnya bukanlah tidak dapat dihindari.Jasik
lebih bijaksana dan Jasik telah memberinya peringatan.
Sekarang segalanya terjadi dan yang lebih menyedihkannya
adalah Jasik ikut menjadi korban kecerobohannya.
"Maafkan saya, Sik."
Jasik tidak segera menjawab, kemudian terdengar ia
berbisik, 'Janganlah memikirkan saya, Raden. Marilah kita
berdoa, semoga Sang Hiang Tunggal menjalankan keadilan
dan kasih sayang-Nya."
Akan tetapi, Banyak Sumba tidak dapat lagi berdoa. Ia
mengutuk dirinya sendiri. Apakah artinya doa kalau
malapetaka yang seharusnya dapat dihindari tidak ia hindari"
Orang-orang yang diterima doanya hanyalah orang-orang
yang berhati-hati, bijaksana, dan memperhitungkan segalagalanya.
Orang-orang yang ceroboh seperti anak-anak manja yang
terus-menerus meminta kepada Sang Hiang Tunggal. Sang Hiang
Tunggal sudah menyediakan berbagai malapetaka bagi
orang-orang macam ini dan Banyak Sumba salah seorang di
antara mereka, pikirnya.
"Maafkan saya yang menimpakan kesialan ini kepadamu,"
sekali lagi Banyak Sumba berkata, sementara itu ia mencoba
mengangkat tubuhnya yang berat.
"Jangan pikirkan, Raden, keluarga kami sudah bersumpah
untuk mengabdi kepada keluarga Raden karena keluarga
Raden pun dulu, pada zaman leluhur saya, telah
mengorbankan segala-galanya demi keselamatan dan
kesejahteraan keluarga kami."
"Seharusnya, saya melindungimu dari hal-hal yang tidak
perlu seperti ini," ujar Banyak Sumba.
"Raden pasti dapat melindungi kita, seandainya mereka
tidak mempergunakan pelanting."
"Ya, ketika Raden tidak dapat diserang secara kesatria,
mereka mundur dan mengambil pelanting dari sarung mereka.
Itulah yang mengenai Raden dan juga pundak saya."
"Salahku, Sik. Seandainya kita bertempur sambil lari,
mereka tidak akan berkesempatan mengenai kita secara
demikian. Soalnya, saya belum hafal benar jalan-jalan kota
ini." "Beberapa orang dari kawan-kawan kita yang berunding di
ruangan itu tertangkap pula. Mereka disimpan di penjara
sebelah. Mereka tertangkap lebih dulu. Saya melihat mereka
ketika diseret ke sini oleh para badega."
Mendengar perkataan Jasik yang terakhir, Banyak Sumba
melirik ke arah Jasik. Dilihatnya siku dan lutut Jasik berdarah,
muncul dari balik celana pangsi dan siku salontreng hitamnya.
"Jadi, kau diseret ke sini, Sik?"
"Mula-mula ya, tetapi saya berkata kepada mereka bahwa
mereka akan membayar mahal seandainya Raden mereka
cederakan." Banyak Sumba termenung mendengar perkataan
Jasik itu. "Apa maksudmu?"
"Raden pun ketika itu diseret. Saya berteriak walaupun
sudah terikat. Saya berkata, orang yang mereka seret itu
bukan sembarangan dan seluruh Pajajaran akan gempar oleh
kejadian itu. Para badega itu rupanya ketakutan, lalu
menaikkan Raden dan saya ke dalam pedati."
"Apa maksudmu dengan perkataan itu, Sik?"
"Raden, saya cuma menakut-nakuti mereka. Saya sendiri
tidak tahu, mengapa saya berkata begitu dalam keadaan yang
sangat gawat itu."
"Sang Hiang Tunggal memfasihkan lidahmu, Sik."
"Ada suatu hal penting yang perlu Raden ketahui," kata
Jasik. Sebelum melanjutkan perkataan, ia melirik ke luar jeriji,
ke arah cuaca siang hari yang terang benderang.
"Apakah itu, Sik?"
"Bungsu Wiratanu datang ke sini ketika Raden masih
pingsan. Ia berdiri di depan pintu dengan beberapa orang
ponggawa, mereka lama bercakap-cakap, berbisik-bisik. Ada
orang yang mengeluarkan kain dari dalam sakunya, seolaholah
ia meneliti Raden. Mungkin di atas kain itu ada gambar
atau huruf atau ... saya tidak tahu. Apakah kira-kiranya arti
perbuatan Bungsu Wiratanu dengan para pembantunya itu,
Raden?" "Bagaimana saya tahu, Sik" Tapi... mudah-mudahan ia
tidak tahu tentang kita. Saya akan mengatakan kepadanya
bahwa saya datang tidak bermaksud apa-apa. Saya akan
mengatakan bahwa kita melawan badega-badega Bungsu
Wiratanu karena kita menyangka mereka akan merampok kita,
Sik." "Baiklah, Raden. Saya pun kalau ditanya akan berkata
begitu." "Baik, Sik, kita akan tetap berkata begitu kalaupun disiksa."
"Ya, Raden. Oh, tapi bagaimana dengan kawan-kawan kita
yang tertangkap itu?" tanya Jasik.
"Kawan kita?" tanya Banyak Sumba.
"Maksud saya, mereka yang berkumpul di warung dengan
kita itu?"
"Mengapa?"
"Saya mendengar mereka disiksa dan yang seorang
mengaku bahwa ia bermaksud membunuh Bungsu Wiratanu
karena kekasihnya diculik."
'Apakah ia mengaku karena siksaan?"
"Tidak, Raden. Ia dengan gagah berani berteriak mengutuk
dan menantang Bungsu Wiratanu untuk perang tanding."
Mendengar itu, Banyak Sumba termenung. Rasa hormatnya
timbul terhadap orang yang gagah berani dan bersifat kesatria
itu. Ia termenung dan bertanya dalam hatinya, apakah yang
akan dilakukannya kalau badega-badega Bungsu Wiratanu
menyiksanya" Apakah ia akan berdusta sebagai pengecut atau
menghadapi hukuman yang paling berat sebagai seorang
kesatria". Ia termenung dan tidak dapat mengatakan apa-apa
kepada Jasik. Ia menggerakkan kakinya dan insaflah ia,


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakinya dihubungkan dengan rantai besar yang pendek. Ia
melirik pada kaki Jasik. Panakawannya itu juga dirantai
kakinya, rantai besar yang hanya dapat dibuka oleh pandai
besi dengan alat-alatnya yang lengkap.
"Raden!" tiba-tiba Jasik berseru dengan suara tertahan.
Dari suatu arah, berjalan rombongan kecil ke tengahtengah
lapangan. Rombongan itu terdiri dari tiga orang
badega yang mengawal seorang tawanan. Banyak Sumba
segera mengenal tawanan itu. Ia anak muda yang ditemuinya
dua kali, di warung kecil di salah satu lorong kota dan warung
tempat mereka berkumpul setelah itu. Pemuda itu dirantai
kakinya dengan rantai besar. Ia didorong oleh ketiga orang
badega itu ke tengah-tengah lapangan. Sayup-sayup
terdengar ia berkata, "Tak usah kalian dorong, saya masih
berkaki," katanya dan dengan gagah ia berjalan, menuju tiang
gantungan. Banyak Sumba dan Jasik memandangnya dengan
terpukau. Dalam waktu yang singkat sekali, peristiwa itu
terjadi. Anak muda yang dirantai tangan dan kakinya dengan
gagah naik ke panggung yang ada di bawah tiang gantungan.
Ketika badega-bade-ga mempersiapkan pelaksanaan
hukuman, berteriaklah anak muda itu, "Bungsu Wiratanu, kau
akan segera menyusulku. Badanmu akan diberikan kepada
anjing dan kepalamu sebelum teriakannya selesai, salah
seorang badega menutupkan kain hitam di kepala anak muda
itu. Banyak Sumba mendengar nama si Colat diserukan oleh
anak muda itu, kemudian peristiwa selanjutnya Banyak Sumba
tidak mau lagi melihatnya.
Segalanya berjalan dengan cepat. Sebuah pedati datang ke
tengah-tengah lapangan, seorang badega memutuskan
tambang dengan goloknya. Tubuh yang tak bernyawa lagi
diseret dan diangkat ke atas pedati. Kemudian, lapangan sepi
kembali. Banyak Sumba dan Jasik kehilangan kata-kata.
Mereka membisu.
Tiba-tiba, suara beberapa pasang langkah terdengar.
Bayangan beberapa sosok tubuh menggelapkan ruangan
penjara tempat Banyak Sumba danjasik berada. Empat orang
badega berbaju hitam membuka pintu besi yang berjeriji.
"Bangun!" kata seorang kepada Banyak Sumba danjasik.
"Yang ini," kata seorang kepada yang pertama sambil
melirik Banyak Sumba. Dengan kasar, tiba-tiba Banyak Sumba
diangkat. "Saya bisa berdiri, tidak usah diangkat," Banyak Sumba
berdiri. "Raden!" tiba-tiba Jasik berseru. Ia berdiri dengan
tangannya yang dirantai menerjang ke arah mereka yang
datang. Badega itu serempak menghantam Jasik yang dengan
mudah dijatuhkan.
"Kalian tidak tahu siapa yang akan kalian hukum! Seluruh
Pajajaran akan gempar dan kalian tidak akan dapat tidur
nyenyak lagi!" teriakan Jasik bergema. Teriakan itu
merupakan kutukan yang bercampur tangis putus asa. Banyak
Sumba terharu, tapi kesadarannya mulai memudar. Ia
membisu membeku.
Ketika orang-orang itu hendak menyeretnya ke luar, ia
berkata, "Tidak usah kalian paksa, saya dapat berjalan."
Sementara itu, didengarnya Jasik berteriak-teriak menyerunyeru namanya di antara denting kunci pintu besi itu.
Banyak Sumba tidak berani berpaling untuk mengucapkan
selamat tinggal kepada Jasik untuk selama-lamanya. Ia tahu
bahwa Jasik akan segera pulang untuk memberitahukan
nasibnya kepada seluruh keluarganya. Ia membayangkan
bagaimana adiknya, Tohaan Angke, akan mulai belajar
keperwiraan dan bagaimana Ayahanda akan bersumpah
membalas dendam. Ia melangkah di belakang seorang badega
yang sebelumnya memutuskan tambang bekas menggantung
pemuda itu menggiringnya. Di belakangnya terdengar langkah
tiga orang badega lain. Ketika berjalan menuju tiang
gantungan, ia merenungkan rantai tangan dan kakinya yang
berat. Pikirannya tiba-tiba melayang kepada suatu hal yang
aneh baginya sendiri. Seharusnya ia minta izin untuk mandi
dulu dengan air bunga-bungaan dan minta pakaian bersih.
Bukankah ia akan menghadap kepada Sang Hiang Tunggal
dan Sunan Am-bu" Ingatannya tiba-tiba meloncat kepada
Putri Purbamanik. Ia mengigit bibirnya.
Pikiran-pikiran itu segera lenyap ketika ia menaiki tangga
panggung tiang gantung. Ia memasangkan tambang ke
lehernya, tangannya yang berantai membantu badega-badega
itu sebelum tangannya diikat ke tubuhnya. Ia ingin berteriak
kepada Bungsu Wiratanu, seperti pemuda yang baru saja
meninggalkan dunia fana ini. Akan tetapi, ia tidak
melakukannya karena Jasik berteriak-teriak mengutuk seperti
orang gila dalam ruangan yang baru ditinggalkannya.
Kalaupun ia berteriak mengutuk Bungsu Wiratanu dan seluruh
wangsa Wiratanu, kutukannya tidak akan terdengar,
walaujasik berteriak sangat keras. Ia ingin berdoa dan ia pun
berdoa sambil memejamkan mata. Ia minta ampun kepada
Sang Hiang Tunggal akan segala dosanya dan memohon
kepada Sang Hiang Tunggal agar seluruh keluarganya
dilindungi.... Tambang mulai dicoba oleh badega yang bertugas. Ijuk
tambang besar itu terasa kasar di lehernya. Tapi aneh,
berulang-ulang badega-badega itu menghentikan usahanya.
Mereka berulang-ulang mengelilingi panggung kecil untuk
memeriksa persiapan-persiapan itu.
"Hai, Orang Muda! Berdoalah!" kata badega yang tertua.
"Cahaya yang kau lihat adalah cahaya dunia yang
penghabisan, berdoalah!"
Tambang perlahan-lahan ditarik dan menjadi erat. Tinggal
beberapa saat lagi ketika seorang badega mencabut papan di
bawah kakinya ....Jasik berteriak-teriak bagai gila dari arah
ruangan. Tiba-tiba, terdengar suara derap kuda dan teriakanteriakan.
Para badega berhenti. Pintu gerbang kecil yang
menuju lapangan kecil itu dibuka dengan paksa bersama
geme-rincing genta-genta kuda, masuklah Bungsu Wiratanu
dengan para pengiringnya yang berpakaian megah. Banyak
Sumba memandang wajah Bungsu Wiratanu dengan tajam.
"Berhenti! Berhenti!" seru Bungsu Wiratanu dengan keras
sambil memandang ke arah badega-badega yang hampir
melaksanakan hukuman mati itu. Rombongan Bungsu
Wiratanu yang berpakaian serba gemerlap itu hampir
memenuhi lapangan. Bungsu Wiratanu turun dari kudanya
diikuti oleh orang lain. Ia berjalan ke panggung, lalu naik
tangga tempat penggantungan. Sambil melepaskan tali
gantungan dari leher Banyak Sumba, berkatalah ia dengan
ramah, "Selamat datang di Kutawaringin, Raden Banyak
Sumba. Mohon maaf karena salah paham yang hampir saja
mendatangkan malapetaka terhadap keluarga kita berdua."
Banyak Sumba tidak dapat berkata apa-apa. Ia tercengang
mengalami peristiwa yang tiba-tiba itu. Matanya berkunangkunang
ketika badega-badega membuka ikatan rantai tangan
dan kakinya. Sementara itu, Bungsu Wiratanu memandangnya
sambil tersenyum. Banyak Sumba tidak tahu apa yang harus
dikatakan atau dilakukannya. Dan ketika ia kebingungan
seperti itu, Bungsu Wiratanu memegang tangannya, lalu
membimbingnya turun dari panggung tempat orang terhukum
itu. Ia dibimbing, lalu dibawa ke arah seekor kuda yang
tampan dan dipersilakan menungganginya. Ketika itulah,
Banyak Sumba dapat berkata.
'Jasik," katanya, suaranya gemetar.
"Oh," kata Wiratanu, lalu pangeran yang berpakaian megah
itu menepukkan tangannya. Seorang badega segera datang.
"Panakawan Raden Banyak Sumba, lepaskan dan
persalinkan. Cepat!" Bungsu Wiratanu tersenyum kepada
Banyak Sumba yang telah duduk di atas pelana kuda. Ia
memandang ke arah mata Banyak Sumba yang penuh dengan
pertanyaan. 'Jangan bertanya dahulu, Raden, segalanya akan menjadi
jelas nanti, setelah kami menghormati Raden seperti tamu
yang layak."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa. Ia memandang
pakaiannya yang kotor dan robek-robek, lalu melihat darah
pada pakaian dalamnya yang putih. Ketika seorang badega
menuntun kudanya, rasa sakit di kepalanya sebelah kiri mulai
menusuk lagi. KETIKA itu, matahari telah menjalani seperempat
perjalanannya. Udara masih sejuk, burung-burung bernyanyi
di pohon-pohon yang ada di taman dalam benteng
Kutawaringin. Cuaca terang benderang, tetapi hati Banyak
Sumba benar-benar kalang kabut. Baru saja ia menghadapi
ancaman kema-tian, tambang ijuk terasa kasar di lehernya di
panggung penggantungan itu, sekarang ia dikawal oleh orangorang
bangsawan yang berpakaian serbagemerlapan. Bungsu
Wiratanu begitu ramah dan hormat kepadanya. Apakah ia
bermimpi" Atau, mungkinkah ia bermimpi dalam kematiannya"
Apakah orang mati pernah bermimpi" Banyak Sumba meraba
tangannya sendiri, lalu menarik kendali kuda tunggangannya.
Segalanya terasa dan segalanya bukan mimpi.
Belum pertanyaan-pertanyaannya itu terjawab, rombongan
telah tiba di depan Gerbang Kesatrian, tempat Raden Bungsu
Wiratanu dengan para pengiring dan sahabat-sahabatnya
tinggal di dalam istana itu. Gerbang dibuka oleh penjaga. Dan
begitu Taman Kesatrian tampak, berjajar gadis-gadis cantik
mengelu-elukan rombongan. Bungsu Wiratanu melompat dari
atas kudanya, lalu berjalan ke arah Banyak Sumba sambil
berkata, "Selamat datang di Kesatrian Kutawaringin, tempat
Saudara dapat beristirahat dan menginap sesuka Saudara.
Silakan turun, jangan ragu-ragu, masuklah."
Banyak Sumba tidak punya pilihan lain, kecuali menurut.
Sebelum ia melangkah memasuki Taman Kesatrian, ia
berpaling mencari Jasik. Ternyata, panakawannya itu
dipersilakan pula untuk mengikutinya. Begitu Banyak Sumba
memasuki Kesatrian, gadis-gadis cantik yang bersolek
berlebih-lebihan segera menjemputnya, seorang di antara
gadis itu membawa bokor tembaga yang berisi air hangat dan
jernih. Di sampingnya membawa kain-kain tebal untuk
mengeringkan air. Setiba di tangga dan sebelum memasuki
ruangan tamu di Kesatrian, gadis-gadis itu menghentikan
Banyak Sumba dan membersihkan tangan dan kakinya dengan
air hangat, lalu mengeringkannya. Bangsawan-bangsawan
muda lain diperlakukan demikian pula. Begitu Banyak Sumba
duduk di atas bangku pendek dan lebar, di atas permadani
yang tebal, gadis lain datang menyerahkan setumpuk kain
tebal di atas baki kayu. Sambil tersenyum, gadis itu berkata,
"Pangeran dipersilakan mempergunakan kain-kain yang telah
diuapi untuk membersihkan wajah, tangan, atau apa saja."
"Terima kasih," kata Banyak Sumba. Itulah perkataan yang
pertama-tama diucapkannya setelah sekian lama membisu.
Sementara di dalam ruangan sibuk belaka, gadis-gadis
yang menjadi pelayan hilir mudik ke sana kemari. Banyak
Sumba tak melihat seorang laki-laki pun, kecuali para
bangsawan muda dan dua orang gulang-gulang yang menjaga
gerbang. Akan tetapi, betapapun cantik seorang gadis yang
ada di sana, Banyak Sumba merasa ada sesuatu yang salah
dengan mereka itu. Senyum mereka tidak seperti senyum
gadis-gadis petani atau putri-putri yang biasa ditemukannya.
Sementara itu, cara mereka berdandan sangat berlebihan.
Kalau mereka berkata, mereka mempergunakan lagak lagu
yang agak aneh bagi Banyak Sumba. Cara mereka berkata
mengingatkan Banyak Sumba pada cara berkata pemain
sandiwara keliling yang rendah mutunya. Dilayani oleh gadisgadis
akan sangat menyenangkan kalau saja itu wajar. Akan
tetapi, kewajaran itu tidak ada pada penghuni Kesatrian.
Sementara Banyak Sumba termenung, datang makanan
yang bermacam-macam jenisnya. Daging-daging bakar yang
dibumbui, ada daging kambing, menjangan, dan lain-lain.
Sayur-sayuran tak terhitungjumlahnya dan setelah nasi
tersedia, datang pula pembawa buah-buahan yang tak
terhitung jenisnya.
"Raden Banyak Sumba, sebelum persiapan makan selesai,
ingin saya perkenalkan dulu kawan-kawan ini. Yang paling
ujung itu Ginggi, Rahiyang Watu, Loring, Rangga, Aria
Sabrang, dan saya sendiri, Raden sudah mengenal saya,
bukan?" Banyak Sumba melihat berkeliling pada bangsawan muda
yang berpakaian mewah itu. Ia menganggukkan kepala sambil
tersenyum. Sementara itu, datang seorang laki-laki setengah
baya, berbadan kurus berhidung besar melengkung.
"Oh, Paman Guru. Ini Raden Banyak Sumba."
Orang tua setengah baya itu segera mendekati dan
memberi salam, kemudian sambil menggeleng-geleng kepala
berkata kepada Banyak Sumba, "Sang Hiang Tunggal sangat
kasih kepada para anggota wangsa Banyak Citra. Hampir saja
malapetaka yang menimpa kita, menimpa wangsa Banyak
Citra dan wangsa Wiratanu yang jaya. Mengapa Raden
berkunjung tanpa memberi tahu terlebih dahulu dan
berhubungan pula dengan penjahat-penjahat itu?"
"Paman Guru," kata Bungsu Wiratanu, "duduklah. Mari kita
makan dulu, nanti kita mengobrol dengan Raden Banyak
Sumba," kata Bungsu Wiratanu.
"Oh, baiklah, tapi Paman masih harus menghadap
Ayahanda. Silakan, Anak-anak Muda, Paman pergi dulu, nanti
kembali kemari," sambil berkata demikian, ia tersenyum, lalu
manggut rendah sekali dan meninggalkan ruangan.
Ketika Banyak Sumba membetulkan letak duduknya, di
hadapannya telah tersedia berbagai makanan yang sangat
mewah. Sementara itu, di samping kiri dan kanannya, dua
orang gadis bersiap-siap menunggu perintahnya.
"Marilah kita mulai," kata Bungsu Wiratanu. Bangsawanbangsawan
muda itu mulai mengambil makanan. Banyak
Sumba ragu-ragu sebentar, tetapi dengan tersenyum-senyum
gadis-gadis itu segera memotong daging berbumbu, lalu
menaruhnya di atas piring yang ada di hadapannya.
Betapapun laparnya, Banyak Sumba tak dapat menikmati
makanan itu. Di samping itu, perhatiannya terganggu pula,
gadis-gadis yang berada di kiri dan kanannya mendesakdesak,
mereka begitu ingin melayani, seolah-olah mereka
bersedia menyuapi Banyak Sumba. Pemandangan di
sekelilingnya mengganggunya. Bangsawan-bangsawan muda,
termasuk Bungsu Wiratanu, memperlakukan gadis-gadis itu
dengan cara-cara yang menurut pandangan Banyak Sumba


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak terhormat. Banyak Sumba lebih banyak menunduk
daripada memandang ke arah kejadian-kejadiar yang asing
baginya. Setelah acara makan selesai, Banyak Sumba dipersilakan
beristirahat. Dua orang gadis yang lain mengantarnya ke
ruangan tempatnya beristirahat, kemudian dengan susah
payah gadis-gadis itu dipersilakan ke luar oleh Banyak Sumba.
Akan tetapi, gadis-gadis itu sambil tertawa-tawa kecil
berusaha untuk tetap tinggal dalam kamar dengan Banyak
Sumba. "Kami mendapat tugas untuk menemani Raden," kata
mereka. "Saya harus beristirahat, terima kasih atas perhatiannya,"
kata Banyak Sumba. Ia melihat ke kanan ke kiri, mencari
perlengkapan membersihkan diri. Gadis-gadis itu rupanya
mengerti. Mereka berlomba-lomba mengambil bokor-bokor
besar, kain-kain tebal, dan pakaian bersih. Mereka, tanpa
berkata itu dan ini terlebih dahulu, segera membuka pakaian
Banyak Sumba. Banyak Sumba menolak dengan halus. Tapi,
mereka mendesak seperti dua ekor kucing yang kedinginan.
"Raden ini sangat pemalu," kata salah seorang gadis itu,
rambutnya yang tebal menutup hidung Banyak Sumba hingga
Banyak Sumba sukar bernapas. Tangan mereka pun bagai dua
pasang ular. Terpaksa Banyak Sumba mengibaskannya.
Akhirnya, kesabaran Banyak Sumba habis. Dengan agak
kasar, didorongnya kedua orang gadis itu keluar ruangan, lalu
ditutupkannya pintu dan dipalang dari dalam. Ia duduk di atas
tempat tidur yang ada dalam ruangan dan tiba-tiba ia
terkenang kepada Nyai Emas Purbamanik. Rasa rindunya
meluap. Ia menyadari, alangkah halus, lemah lembut, dan
sopan santun kekasihnya itu dibandingkan dengan gadis-gadis
di Kesatrian Wiratanu itu. Ia sadar bahwa ia telah masuk ke
tempat yang tidak baik dan memutuskan untuk secepat
mungkin meninggalkan tempat itu dan pergi ke Pakuan
Pajajaran. Ia harus bertemu dengan gadis yang dicintainya.
LAMUNANNYA terputus karena tiba-tiba pintu diketuk.
"Raden?" terdengar Jasik memanggil. Banyak Sumba
membuka pintu. Dengan keheranan, ia melihat Jasik berurai
air mata sambil merangkulnya. Sebelum Banyak Sumba dapat
bertanya, Jasik telah berkata, "Sang Hiang Tunggal telah
menunjuk kasih sayang dan keadilannya. Raden selamat."
Begitu bertumpuk pengalaman yang aneh-aneh, hingga
Banyak Sumba tidak peka menerimanya. Ia baru menyadari
bahwa ia baru saja lolos dari kematian. Ia pun baru bertanya
dalam hati mengapa ia tidak jadi dihukum gantung. Terasa
kembali tambang yang kasar pada lehernya. Ia bertanya
dalam hati apakah segala yang terjadi itu impian belaka, suatu
impian buruk" Tapi segalanya nyata. Jasik ada di hadapannya
dan menangis gembira. Mereka berada dalam suatu ruangan
yang lengkap dan mewah.
"Kita akan pergi ke kuil dan menyerahkan persembahan di
sana untuk keselamatan kita ini, Sik," kata Banyak Sumba
setelah beberapa lama termenung.
"Betapa bersyukur hati saya, Raden. Makin yakin saya
bahwa wangsa Banyak Citra dilindungi Sang Hiang Tunggal.
Begitu banyak bahaya mengepung, tapi Raden selalu dapat
mengatasinya. Dan terakhir sekali, maut sudah
mencengkeram, nyatanya Raden sekarang sehat dan segar.
Akan tetapi, saya tetap tidak mengeti, Raden, sungguh saya
tidak mengerti," kata Jasik.
"Saya pun tidak, Sik. Akan tetapi, kita akan tetap waspada
dan siaga," ujar Banyak Sumba.
"Juga ada peristiwa lain yang sungguh-sungguh
memalukan dan mengherankan, Raden," lanjut Jasik.
Banyak Sumba bertanya dengan cahaya matanya.
"Begini, Raden," kata Jasik, kemudian setelah ragu-ragu ia
Pendekar Super Sakti 2 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Lencana Pembunuh Naga 17

Cari Blog Ini