Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 16


tertawa gembira bercampur keheranan. Banyak Sumba
kembali menyadari keadaannya, lalu bersiap-siap. Ia
menetapkan siasat baru. Cara menghunjamkan pukulanlah
yang akan dilakukannya terhadap lawan. Ia ingin tahu,
bagaimana lawan akan menahan serangan itu.
Begitu mereka siap, Banyak Sumba menyerang, tapi
menghentikan serangan di tengah-tengah jalan untuk
menggetarkan dan membingungkan lawan. Lawan
menghindar jauh sekali darinya. Hal itu menerbitkan
tertawaan pada kawan-kawannya.
"Paman, ia berkelahi seperti seekor harimau, lihat bentuk
tangannya!" kata seorang calon yang muda sekali. Banyak
Sumba memang teringat kepada cara harimau yang siap
menyerang. "Ia orang liar!"
"Ia orang hutan!"
"Mungkin, ia tidak bisa bicara."
"Tapi, ia bisa tersenyum, tadi!"
Ketika itu, calon yang ditertawakan oleh kawan-kawannya
mendekat, tetapi terlalu dekat sehingga Banyak Sumba dapat
menyapu kakinya. Lawan hampir saja terjatuh kalau tidak
sempat melompat. Lompatannya yang kikuk menyebabkan
gelak kawan-kawannya. Banyak Sumba merasa bahwa ia
menang secara ruhani. Lawannya merasa malu oleh kawankawannya
karena berbuat kesalahan. Oleh karena itu,
pikirannya tidak akan bekerja dengan baik. Orang yang malu
akan berbuat yang bukan-bukan untuk menutup rasa
malunya. Ini celah jiwa yang dapat dipergunakan Banyak
Sumba. Banyak Sumba segera membuka celah, seolah ia lalai. Ia
membuka dadanya. Kemudian segera menutupnya kembali,
seolah-olah ia baru sadar. Akan tetapi, dalam menutup
dadanya itu ia berpura-pura telanjur membuka rusuknya.
Tendangan mendesing ke arah rusuknya. Dengan gerakan
membuang, ia menyerang kaki lawan dengan sikutnya.
Lawan terguncang. Ketika itulah, dengan kecepatan yang
hanya ada pada tubuh seorang yang pernah terpaksa hidup di
hutan, Banyak Sumba menyerang dan mempergunakan siasat
yang telah direncanakannya, yaitu rangkaian pukulan ke arah
tubuh lawan. Akan tetapi, ia tidak memilih sasaran yang
berbahaya karena ia lebih bermaksud mencoba lawan dan
bukan merobohkannya. Ia begitu tertarik oleh ilmu
keperwiraan itu sehingga ia lupa bahwa seharusnya ia
melarikan diri dengan segera dari tempat itu.
Beberapa pukulan masuk, demikian juga beberapa
rangkaian pukulan tidak dapat dihindarkan lawan. Sorak-sorai
terdengar, dan dalam keriuhrendahan itu, Banyak Sumba
sempat mendengar kata-kata,
"Pasti ia pernah belajar."
"Ia sudah lama mengintip di sekitar ini."
Banyak Sumba tidak memerhatikan kata-kata selanjutnya.
Ia dengan terkendali menghujani lawan dengan pukulan dan
tusukannya masuk. Akan tetapi, kemudian lawan dapat
menguasai dirinya, ia menempelkan kedua belah tangannya.
Sekarang, seperti sebuah belitan tambang, ia mengendalikan
tangan Banyak Sumba. Tak ada lagi pukulan yang bisa masuk.
Tangan lawan licin seperti belut, tapi tidak mau lepas dari
tangan Banyak Sumba. Bahkan, berulang-ulang hampir saja
Banyak Sumba tercabut dari kuda-kudanya. Mula-mula,
Banyak Sumba repot. Akan tetapi, ia cepat belajar. Ia harus
mengalihkan perhatiannya.
Tangannya masih mencoba menghantam tubuh dan kepala
lawan, tetapi perhatiannya berpindah ke kakinya. Pada suatu
saat, kaki kanannya menyapu kaki lawan. Lawan melompat
menjauh, diiringi sorakan riuh rendah.
"Luar biasa!"
"Paman, ia berbakat sekali."
"Mungkin, ia sudah lebih lama tinggal di sekitar padepokan
daripada kalian."
"Tangkap dia!"
Perkataan itu mengingatkan Banyak Sumba pada
keadaannya. Ia berada di tengah-tengah bahaya. Ia telah
melanggar satu-satunya larangan kerajaan yang paling keras,
yaitu memasuki tempat belajar para calon puragabaya. Maka,
diteguh-kanlah hatinya untuk meloloskan diri. Ia merasa
bahwa ia sudah mendapat bahan banyak sekali dari
perkelahian itu. Ia dapat merenungkannya jauh dari
padepokan. Ia harus melarikan diri.
Ketika itu, lawannya mengundurkan diri, seorang calon
yang masih segar turun ke gelanggang.
"Paman, ia tidak tampak kelelahan."
"Ia hidup dengan bermacam-macam binatang. Lihat ototototnya
yang kenyal dan indah itu!" demikian didengar
percakapan-percakapan sekelilingnya.
"Imba, tangkaplah dia!"
Tiba-tiba lawan menderu, mendesak ke arah Banyak
Sumba. Banyak Sumba tidak menangkap dan melemparkan
lawan ke samping seperti yang biasa dilakukan oleh para
calon. Ia bergerak ke samping sambil menyepak. Akan tetapi,
serangan yang tidak biasa kelihatan di padepokan ternyata
dapat dihindarkan calon itu, yang sambil melayang di udara,
memukul tangannya. Banyak Sumba tidak memberi
kesempatan, ia menghambur ke arah lawan dengan pasangan
yang tertutup rapat dan siap menghantam.
Lawan berbalik menghadap dan menampung tendangan
Banyak Sumba dengan kakinya yang menyepak ke samping.
Ini mengherankan Banyak Sumba. Akan tetapi, ia bergembira
karena telah menemukan pula cara menghindar yang sangat
bagus. Ia terus mendesak lawannya, sementara itu di
sekelilingnya terdengar sorak-sorai gembira sehingga pelatih
terpaksa berseru, "Perhatikan! Perhatikan caranya berkelahi!"
Pada saat itulah, terlintas pada diri Banyak Sumba bahwa ia
akan kelelahan kalau terus-menerus membiarkan dirinya
dijadikan bahan percobaan walaupun mempelajari cara-cara
berkelahi para calon itu. Ia merasa bahwa salah satu asas
yang sangat penting telah didapatnya, yaitu para calon dalam
perkelahian tetap sadar mempergunakan kecerdasannya.
Ini berbeda dengan prajurit atau perwira kebanyakan, yang
berkelahi secara kebiasaan dan terikat oleh cara-cara yang
mereka terima dari perguruan mereka. Itulah sebabnya
mengapa para calon sangat sukar diramalkan dalam gerakan
dan serangan-serangannya.
Sambil berpikir demikian, didesaknya lawan ke pinggir
gelanggang. Dan ketika lawan menghindar, diserangnya
seorang calon yang ada di dekatnya, kemudian Banyak Sumba
menyerang yang lain, menembus kepungan.
"Cegat! Cegat!"
Banyak Sumba melompat-lompat, lalu memanjat seperti
kera. Ia melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, semua
pengejar juga mengikutinya. Banyak Sumba turun ke semaksemak,
kadang-kadang ia membelok, menghadang pengejar.
Sekali pinggangnya ditangkap, sikutnya mengenai kepala
penangkap. Kadang-kadang ia dihadang, tetapi tubuhnya yang
tinggi besar dan kenyal itu menguntungkannya. Tak ada yang
dapat menghalanginya dengan sepenuh hati karena tidak ada
di antara calon yang cukup besar dan kuat untuk menghadapi
kekuatan Banyak Sumba yang dibentuk oleh kehidupan hutan
rimba yang keras.
Pada suatu saat, terhentilah ia berlari. Di hadapannya
jurang terbuka. Ia sadar bahwa pelatih itu telah mengatur
pengepungan begitu rupa hingga akhirnya ia digiring ke
pinggir jurang dan dikepung rapat-rapat oleh calon. Tak lama
kemudian, ketika ia membalikkan badan, para calon telah
berkeliling dari segala arah di hadapannya. Sedangkan di
belakangnya menganga jurang itu.
"Menyerahlah, Anak Muda, kami akan memperlakukanmu
dengan adil," kata pelatih itu dengan suara jujur.
Akan tetapi, Banyak Sumba tidak percaya. Dengan sudut
matanya diliriknya bibir jurang, ia melihat pohon di seberang.
Ia dapat melompat ke arah pohon itu. Soalnya, apakah ia
akan dapat menggapainya" Pikiran itu sekilas lewat di
benaknya, kemudian Banyak Sumba menyerang orang yang
paling dekat, lalu berpaling dan dengan desingan tubuhnya,
melompati jurang yang luas itu.
Terdengar teriakan-teriakan ngeri para calon. Tubuh
Banyak Sumba melayang. Tiba-tiba, di hadapannya terlihat
benda hijau. Tangan Banyak Sumba menangkap benda hijau
itu. Ia meluncur untuk beberapa lama di antara daun-daunan,
kemudian tangannya menangkap cabang, ia bergantungan.
Seperti seekor kera ia menaiki pohon, lalu seraya berpegang
pada akar-akar mendaki bibir jurang, hingga akhirnya tiba di
atasnya. Ia menarik napas panjang, lalu berpaling ke
seberang. Ia melihat para calon berdiri dengan keheranan di
seberang. Ia melambai kepada mereka sambil tersenyum.
Mereka tampak tercengang. Banyak Sumba segera lari, masuk
hutan. KETIKA ia berjalan dalam hutan itu, bertiuplah angin lirih.
Keringatnya barulah dirasakan membasahi tubuhnya. Ia
merasa lapar. Sambil berjalan, dipetiknya buah-buahan.
Banyak Sumba baru mencicipi makanan, padahal hari sudah
siang. Ia berjalan menjauh dari bibir jurang. Sambil
menunduk, dipikirnya apa yang akan dilakukannya. Teringat
akan sungai itu. Ia akan menyusuri sungai untuk kembali ke
tengah-tengah masyarakat ramai. Ia akan merenungkan ilmu
kepuragabaya-an, lalu mencari Jasik. Mereka akan pergi ke
Pakuan Pajajaran untuk menunaikan tugas, yaitu membunuh
Anggadipati. Setelah itu, ia akan pulang ke Kota Medang.
Ketika itulah, ia teringat kepada Nyai Emas Purbamanik.
Kesedihan menyelinap dalam hatinya. Ia sudah putus asa
sekarang. Tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis yang
telah begitu lama ditinggalkannya. Tidak diharapkannya
kesetiaan dari seseorang terhadap dirinya yang bernasib tidak
menentu. Sadar akan hal itu, meluaplah kebenciannya kepada
Pangeran Anggadipati. Ia akan membunuhnya. Ia akan
mempergunakan trisula kecil, senjata kepuragabayaan yang
termasyhur, untuk melawan Anggadipati. Ia akan berkelahi
habis-habisan. Untuk hidup atau mati sebagai seorang
kesatria. "Berhentilah, Anak Muda, marilah kembali ke padepokan,
kau akan diperlakukan dengan adil."
Banyak Sumba terkejut melihat pelatih para calon berdiri
beberapa langkah di mukanya. Sedangkan dari sekelilingnya
bermunculanlah para calon yang berpakaian putih. Naluri
mempertahankan dirinya timbul. Dengan teriakan,
diserangnya pelatih itu seperti angin lolos dari tangan dan
kakinya. Akan tetapi, Banyak Sumba tidak mengejar. Sambil
melompat-lompat di sela-sela pepohonan dan dalam semaksemak,
ia menyerang para calon. Beberapa kali ia mendapat
serangan, beberapa kali pula ia mengenai lawannya.
Ia berlari dan tiba-tiba jatuh karena tambang kecil
mendadak melintang antara dua batang pohon yang
melewatinya. Para calon telah mempergunakan alat-alat untuk
menangkapnya dengan tambang dan jangka. Pada suatu saat,
tiba-tiba pandangannya menjadi gelap karena seorang calon
berhasil merungkupnya dengan kain halus yang hitam
warnanya. Banyak Sumba segera melepaskan kain itu dengan
tangan kirinya, sementara kaki dan tangan kanannya
berdesingan ke segala arah, asal didengarnya desiran kaki.
Pada suatu saat, lehernya terjerat tambang kecil
kepuragabayaan. Banyak Sumba sempoyongan kehilangan
keseimbangan. Akan tetapi, secepat kilat, tangannya
mencabut belati dan memotong tambang itu. Ia berlari sambil
menendang calon yang mendekat hendak menangkapnya. Ia
tidak tahu, berapa lama ia berputar-putar di sela-sela pohon,
melompati tambang-tambang kecil yang tiba-tiba merentang
di hadapannya, atau melepaskan tambang yang membelit
tubuhnya dengan belatinya yang tajam. Tak lama kemudian,
ia merasa lelah. Napasnya berdesis dan panas di paru-paru
serta tenggorokannya. Pandangannya jadi samar-samar
karena keringat yang deras melintasi matanya.
Sementara itu, para pengepung makin dekat juga mengejar
di belakang. Langkah mereka berdesir di semak-semak. Suara
pelatih mengatur pengepungan dengan jelas terdengar.
Banyak Sumba mengerahkan tenaganya yang penghabisan.
Ia berlari dan melompat-lompat dengan sekuat tenaga untuk
mencapai tebing curam yang ada di hadapannya.
Menurut pikirannya, kalau ia dapat lebih dahulu melintasi
tebing itu, para pengejar akan takut mengejarnya karena
dengan mudah Banyak Sumba akan dapat menyerang mereka.
Akan tetapi, tiba-tiba di hadapannya sudah berdiri dua orang
calon. Banyak Sumba membelokkan langkahnya, lalu
melarikan diri ke arah hutan yang sangat lebat. Beberapa kali
calon menghadangnya, tetapi mereka menghindari serangan
yang dilakukannya dengan putus asa. Ia tahu bahwa akhirnya
para calon itu akan diperintahkan untuk mempergunakan
senjata mereka, trisula kecil yang merupakan senjata lempar
yang sangat berbahaya. Kalau ia terlambat menjauh, siapa
tahu ia akan menjadi korban senjata itu. Ia berlari, berlari, dan
terus berlari. Akan tetapi, tenaganya terbatas. Pada suatu kali,
sebatang ranting melintangi kakinya dan ia terjatuh.
Namun aneh, pengejar tidak segera memburunya. Bahkan,
mereka berseru riuh-rendah, "Kembali! Kembali! Kembali!"
Banyak Sumba kebingungan. Ia berpaling memandang para
pengejar yang berdiri di kejauhan sambil memandang
kepadanya. Banyak Sumba berlari terus, menuju hutan lebat,
walaupun langkahnya makin lama makin berat.
"Kembali! Kembali!"
Banyak Sumba berlari dengan hati terheran-heran.
Beberapa kali ia jatuh tersandung. Ia bangkit, kemudian
berjalan. Makin lama, makin jauh ia dari pengejarnya. Dan
setelah menyeret-nyeret kakinya yang berat karena kelelahan,
duduklah ia pada sebatang kayu besar yang melintang di
hadapannya. Ia terengah-engah dan dengan keheranan mulai
bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa para pengepung itu
menghentikan pengejarannya. Ia curiga, apakah ia akan
dicegat lagi ataukah sudah masuk perangkap mereka yang
menunggu kesempatan untuk menangkapnya" Sambil berpikir
demikian, ia melepaskan lelahnya. Seluruh tubuhnya gemetar
dan basah kuyup oleh keringat.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, suatu hal aneh terjadi. Hutan seolah-olah
bergerak. Banyak Sumba melihat ke sekelilingnya. Tiba-tiba, ia
terjatuh dari batang pohon yang didudukinya. Ia bangkit dan
melihat batang pohon itu bergerak menggelusur, masuk selasela
pohon besar lainnya.
Untuk beberapa lama, Banyak Sumba membeku ketika ia
sadar bahwa yang didudukinya bukanlah batang pohon yang
tumbang, melainkan seekor ular yang besar sekali. Sadarlah ia
sekarang bahwa ia sudah berada di Hutan Larangan. Ia
mengerti sekarang, mengapa pengejar berhenti mengikutinya.
Bersama kesadaran itu, kakinya yang lelah seolah-olah
mendapat tenaga kembali. Ketakutan menyebabkan badannya
menjadi ringan kembali dan ia berlari sekuat tenaga
meninggalkan tempat itu. Ia tidak tahu ke arah mana ia
berlari. Ia tidak tahu pula berapa lama ia berlari karena pada
suatu kali ia terjatuh tersandung, lalu tak ingat lagi akan dunia
sekelilingnya. KETIKA ia tersadar kembali, matanya melihat binatangbinatang
di sela-sela daun-daunan yang melindunginya.
Banyak Sumba memaksakan diri bangkit, walaupun seluruh
tubuhnya sakit-sakit dan lesu. Ia merangkak, lalu dengan
berpegang pada dahan-dahan, memanjat pohon yang tidak
jauh dari tempatnya terbaring. Karena kebiasaan dan
nalurinya, ia melindungi dirinya dari binatang buas dengan
memanjat pohon setiap malam tiba. Setelah berada di atas,
barulah ia merenungkan kembali apa-apa yang telah terjadi.
Ketika teringat pada ular besar yang dengan tidak sengaja
didudukinya, meremanglah bulu romanya dan ia menyadari
bahwa ia berada dalam Hutan Larangan yang tidak pernah
dikunjungi manusia. Bersamaan dengan datangnya kesadaran
itu, sadar pulalah ia akan suasana aneh hutan itu, suara-suara
terdengar, bukan suara-suara hutan biasa, tetapi suara yang
datang dari dunia lain yang tidak dikenalnya. Banyak Sumba
mendengar desah, tapi bukan suara angin. Banyak Sumba
mendengar suara-suara, tapi bukan suara binatang. Ia pun
dengan perasaan seram berdoa, mohon periindungan dan
ampunan kepada Sang Hiang Tunggal. Bagaimanapun,
dengan tidak sengaja ia telah memasuki daerah para
Bujangga dan para Pohaci, suatu daerah yang dikuasai para
guriang. Ketika renungannya sampai pada hal itu,
terdengarlah suara nyanyian yang merdu. Banyak Sumba
mengucapkan mantra-mantra kembali.
Tampak olehnya ada cahaya. Karena cahaya itu, hutan jadi
seperti taman. Dan, dari arah cahaya itulah terdengar suara
nyanyian diiringi kecapi. Kadang-kadang terdengar suara
percakapan, kadang-kadang suara tertawa yang merdu. Tak
syak lagi, para Bujangga dan Pohaci sedang bercengkerama di
puncak gunung yang sangat berdekatan dengan Kahi-angan.
Banyak Sumba makin khusyuk memanjatkan doa-doa. Namun
karena lelah, akhirnya ia tertidur juga.
Keesokan paginya, ia segera turun meninggalkan pohon. Ia
segera menuju ke arah yang dianggapnya akan
mengembalikan dia ke hutan biasa. Ia tidak berjalan, tetapi
berlari, menyelinap dan melompati akar-akar pohon besar.
Kadang-kadang memanjat, lalu dengan mempergunakan akarakar
gantung berayun dan melompat ke pohon lain. Setiap kali
ia tiba di sebatang pohon, beterbanganlah kupu-kupu dan
kumbang karena pohon-pohonan di Hutan Larangan itu
umumnya berbunga indah dan harum baunya.
Buah-buahan sangat banyak dan ranum-ranum, tetapi
Banyak Sumba tak berani memetiknya, walaupun rasa lapar
menusuk perutnya.
Akhirnya, dengan gembira, dilihatnya hutan-hutan yang
meranggas dan buruk tampaknya. Itu tentu hutan biasa yang
boleh dan pernah dirambah manusia. Banyak Sumba segera
turun, berlari, menyelinap, memanjat, dan melompat. Tibalah
ia di hutan itu. Ia berpaling ke arah hutan yang baru
ditinggalkannya. Hutan Larangan itu tampaknya seperti taman
yang besar, yang pohon-pohonannya seolah-olah dipelihara
oleh para juru taman yang ahli, sedangkan bunga begitu
beraneka warna dan harum baunya. Dari jarak sejauh itu, ia
masih dapat menghirup wanginya. Setelah sekali lagi
memandang hutan itu, ia berpaling, lalu menuruni tebing
landai dari tanah yang tinggi tempat ia berada.
Entah berapa lama ia berjalan, tiba-tiba ia mendengar
burung tekukur. Hatinya gembira. Ia tiba kembali di dunia
manusia. Ia beranggapan demikian karena burung tekukur
biasanya hidup di sekitar perhumaan dan perhumaan tidak
akan jauh dari perkampungan. Ia berlari ke arah datangnya
suara burung tekukur itu. Dan tiba-tiba saja, ia memasuki
hutan yang banyak sekali pohon enaunya. Tentu burung
tekukur itu bernyanyi di salah satu puncak pohon enau dan
pohon enau itu letaknya tentu yang paling berdekatan dengan
perhumaan. Banyak Sumba berlari ke arah suara burung
tekukur itu. "Hai! Hai! Rambeng!"
Tiba-tiba, Banyak Sumba mendengar suara orang. Banyak
Sumba berhenti, lalu menengok ke arah datangnya suara itu.
"Hai, sini, Ki Rambeng! Mengapa berlari-lari?"
Banyak Sumba tengadah kepada orang tua yang sedang
bertengger di pohon enau dengan tiga buah bumbung
tersandang di punggungnya. Banyak Sumba berjalan ke arah
pohon enau itu, lalu tengadah.
"Bapak memanggil saya?" tanyanya sambil tersenyum
karena gembira.
"Ya, saya panggil kau Rambeng karena pakaianmu tidak
keruan. Ada apa kau berlari-lari?"
Banyak Sumba duduk, menunggu orang tua itu turun dari
atas pohon enau. Ketika orang tua itu sudah berdiri di tanah,
ia terbelalak dan mengundurkan diri ketakutan.
'Jangan takut, Kakek, saya bukan orang jahat."
"Tidak ... tidak."
'Jangan takut, saya manusia juga, hanya sudah lama
tersesat dalam hutan, dan Kakek adalah orang pertama yang
saya jumpai. Terima kasih, Kakek. Kakek menyebabkan saya
gembira." Walaupun masih ketakutan, kakek-kakek itu tidak mundur
lagi. Ia memandang Banyak Sumba dengan penuh keheranan.
Banyak Sumba pun menceritakan bahwa ia telah bertahuntahun
tersesat dalam hutan dan akhirnya sampai di Hutan
Larangan yang ada di puncak gunung. Banyak Sumba
menunjuk ke arah puncak gunung yang membayang di atas
mereka, sebuah hutan besar yang indah seperti taman
tampaknya. "Sekarang, bawalah saya ke kampung. Saya sudah sangat
rindu untuk melihat masyarakat manusia kembali. Di samping
itu, saya butuh pakaian yang pantas karena kulit harimau ini
sudah tua dan sudah rusak."
Kakek-kakek itu dapat diyakinkan. Walaupun masih kikuk,
ia memberi isyarat kepada Banyak Sumba untuk
mengikutinya. Mereka pun berjalan menuruni tebing gunung
yang landai. Setelah hutan enau dilewati, mereka masuk ke
daerah bekas perhumaan. Akhirnya, terbentanglah humahuma
penduduk Pajajaran.
"Kakek, termasuk wilayah mana kampung-kampung ini?"
"Ke timur Kutabarang, ke barat Pakuan Pajajaran," jawab
orang tua itu. Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi.
Sambil berjalan, ia membuat rencana yang akan dilakukannya
sebelum ia berangkat ke Pakuan Pajajaran untuk mencari
Anggadipati. Ia akan beristirahat untuk beberapa lama di kampung,
mencari kuda yang baik karena kebetulan uangnya tidak
hilang dalam hutan. Kemudian, ia akan mencari keterangan
tentangjasik di Kutabarang, sekaligus menemui Kang Arsim.
Setelah itu, ia akan bertolak ke Pakuan Pajajaran. Sementara
belum mendapat kuda yang baik, ia akan beristirahat di rumah
kakek-kakek itu sambil merenungkan pengalaman yang
didapatnya dalam perkelahian dengan para calon puragabaya
itu. Setelah beberapa lama mendaki dan menuruni bukit-bukit,
sampailah mereka di tepi kampung yang berpagar tinggi.
Kakek-kakek itu berseru dan dari atas kandang jaga,
muncullah kepala anak muda yang keheranan memandang ke
arah Banyak Sumba.
"Ji, ini tamu kita, orang tersesat dalam hutan."
Lawang kori dibuka dan tak lama kemudian, Banyak Sumba
dikelilingi oleh anak-anak kecil yang sedang bermain-main di
halaman kampung. Orang-orang tua, laki-laki dan perempuan,
tidak tampak karena waktu itu adalah saat-saat mereka
bekerja di huma.
"Rambeng!" Tiba-tiba, anak kecil berseru. Banyak Sumba
tersenyum dan melihat pada pakaiannya sendiri yang tidak
keruan potongannya. Anak-anak lain tertawa. Dan ketika
Banyak Sumba mengiringkan kakek-kakek menuju rumahnya,
anak-anak itu pun mengiringkannya, ada yang berbisik-bisik,
ada yang tertawa-tawa. Tak lama kemudian, tahulah Banyak
Sumba bahwa anak-anak kampung memanggil Ki Rambeng
karena pakaian kulit harimaunya yang tidak keruan dan lusuh
itu. -ooo00dw00ooo- Bab 10 Bersepakat dengan Si Colat
Orang-orang kampung itu menerima Banyak Sumba
dengan senang hati. Bukan saja karena Banyak Sumba
bertingkah laku dan bertutur kata halus, tetapi juga karena ia
dapat menceritakan pengalaman-peng-alamannya ketika
tersesat dalam hutan. Ia menceritakan bagaimana ia harus
hidup dan bagaimana harus selalu menyelamatkan diri dari
ancaman binatang buas. Diceritakannya bagaimana ia tersesat
di Lembah Tengkorak dan bagaimana ia menemukan Gerbang
Buana Larang, tempat para siluman keluar masuk dunia.
Diceritakan pula bagaimana di Hutan Larangan yang tampak
dari kampung itu, ia pernah menduduki ular yang sangat
besar karena sebelumnya ia menyangka ular besar itu batang
pohon yang tumbang.
Banyak yang tidak diceritakannya karena banyak di antara
pengalamannya merupakan peristiwa yang sebenarnya tidak
boleh terjadi terhadap warga Kerajaan Pajajaran. Akan tetapi,
cerita-ceritanya yang aneh bagi orang-orang kampung itu
tetap menarik. Terutama anak-anak kecil, mereka selalu
meminta dia untuk bercerita dan bercerita kembali.
Karena di antara penduduk kampung itu banyak anak
remaja yang cukup besar untuk mempelajari ilmu keprajuritan,
pada suatu sore Banyak Sumba berkata kepada kakek-kakek
tempat ia menginap, "Kakek, sebagai tanda terima kasih saya
kepada keramahan dan kebaikan penduduk kampung ini, ingin
sekali saya menyumbangkan sesuatu kepada mereka. Saya
memiliki sedikit kepandaian, yaitu dalam ilmu keprajuritan. Di
sini, ada enam orang remaja yang sudah cukup besar untuk
berlatih ilmu keprajuritan. Saya kira, akan ada gunanya kalau
saya ikut mempersiapkan mereka, sebelum mereka dipanggil
oleh kerajaan untuk berlatih di Kutabarang."
Kakek-kakek itu tidak keberatan, tapi kemudian dengan
panjang lebar ia bercerita bahwa sudah beberapa tahun di
daerah-daerah antara Kutabarang dan Pakuan Pajajaran
berkeliaran orang-orang jahat, yaitu anak buah si Colat.
Kakek-kakek itu bertanya, "Tidakkah orang-orang jahat ini
akan curiga kepada kita kalau mereka mengetahui bahwa
anak-anak di sini dilatih ilmu keprajuritan" Yang Kakek
takutkan adalah mereka akan curiga dan mengganggu kita."
Banyak Sumba termenung. Pada satu pihak, ia merasa
kecewa, tetapi di lain pihak timbul pikiran bahwa ia tidak akan
dapat membalas budi atas kebaikan orang-orang kampung itu.
Di samping itu, ia tidak akan dapat melakukan percobaan
tentang ilmu yang didapatnya dari Padepokan Tajimalela dan
dari renungan-renungannya sendiri. Untunglah, ia mendapat
ilham. Ia teringat pada peristiwa yang dialaminya di Padepokan
Sirnadirasa. Si Colat sedang berada dalam pengepungan dan
pengepungan itu belum tentu dapat dilaksanakan dengan
mudah. Kalau si Colat ternyata tangguh, akan dikirim
beberapa orang puragabaya terbaik. Itu berarti bahwa
mungkin Anggadipati akan dipilih menjadi pemimpin
pengepungan itu. Jika menggabungkan diri dengan pasukan si
Colat, Banyak Sumba dapat mengambil dua keuntungan.
Pertama, ia dapat mengasah ilmunya dengan si Colat. Kedua,
ia mungkin dapat bertemu dengan Anggadipati pada peristiwa
yang cocok untuk pembalasan dendam. Ia termenung,
memikirkan hal itu dengan sungguh-sungguh. Ia hampir lupa
kepada kakek-kakek yang ada di depannya.
"Tapi, bukan tidak ada cara untuk memberikan latihan itu,
Raden," kata kakek-kakek itu kepada Banyak Sumba.
"Bagaimana, Kakek?"
"Ada ruangan besar yang dapat dipergunakan oleh anakanak
untuk berlatih. Di sana, mereka tidak akan terlihat oleh
anak buah si Colat yang kebetulan berkeliaran ke sini."
"Kalau hal itu akan mencemaskan orang-orang kampung,
lebih baik saya tidak melatih mereka, Kakek."
"Sama sekali tidak. Pada suatu ketika, orang-orang
kampung akan bangkit dan membantu pasukan kerajaan
mengepung si Colat dan begundal-begundalnya. Kalau
sekarang mereka diam, bukan berarti mereka menerima
kejahatan-kejahatan yang dilakukan si Colat dan anak
buahnya," kata kakek-kakek itu dengan kemarahan yang
terpendam. Banyak Sumba tak banyak merenungkan soal
kejahatan si Colat dan anak buahnya. Yang menjadi pusat
perhatiannya adalah tempat latihan untuk mengajar anakanak
muda kampung itu dan melakukan percobaan segala
sesuatu yang didapatnya selama ini.
Keesokan malamnya, latihan itu pun dimulainya. Dari hari
ke hari, bersamaan dengan meningkatnya kepandaian para
pemuda kampung itu, meningkat pula pengertian Banyak
Sumba terhadap ilmu keperwiraan yang selama ini
dikumpulkannya. Pada suatu kali, sadarlah ia bahwa saatnya
sudah tiba untuk meninggalkan kampung itu dan menunaikan
tugas keluarga yang selama ini diembannya.
Ia menyuruh seorang pemuda untuk mencarikan seekor
kuda yang baik, sementara itu ia membeli beberapa pasang
pakaian yang baik dari orang-orang kampung yang memiliki
beberapa pesalin. Ketika ditanyakannya di mana ia dapat


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membeli dua buah trisula kecil, kakek-kakek itu memandang
dengan curiga. "Tapi, itu senjata para puragabaya, Anak Muda."
"Saya menginginkannya karena bentuknya yang indah,
Kakek," kata Banyak Sumba.
"Tapi, biasanya orang-orang tidak berani membawanya,
Raden. Memang tidak ada larangan untuk membawanya
dalam perjalanan, tapi orang tetap tidak berani karena mereka
hendak menghormati para puragabaya."
Banyak Sumba tidak melanjutkan percakapannya karena
takut kalau-kalau kecurigaan kakek-kakek itu bertambah. Ia
pun segera mengucapkan terima kasih atas kebaikan kakekkakek
itu selama ini. Ia pun mohon diri untuk pergi keesokan
harinya. Sore itu, kepada penghuni kampung, Banyak Sumba
mengucapkan terima kasih seraya mohon diri. Kuda yang baik
telah siap ditambat dekat kandangjaga, dikelilingi oleh anakanak
kampung yang jarang melihat binatang besar itu.
Ketika ia hendak beristirahat, terdengarlah ribut-ribut di
luar lawang kori. Rasji, penduduk kampung, menyumpahnyumpah
sambil melemparkan dua buah bumbung kosong di
depan lawang kori. Orang-orang kampung berjalan ke sana,
ingin tahu apa yang terjadi. Banyak Sumba pun mengikuti
mereka. "Kakek," kata Rasji kepada kakek-kakek tempat Banyak
Sumba menginap, "mereka menghabiskan lahang saya. Kalau
para jagabaya datang, saya akan jadi penunjukjalan mereka,"
sambung Rasji. Dari percakapan selanjutnya dan dari
keterangan-keterangan Rasji, Banyak Sumba mengerti bahwa
beberapa anak buah si Colat bertemu dengan Rasji. Mereka
meminta lahang. Rasji mau tidak mau harus memberikannya.
Akan tetapi, anak buah si Colat yang kurang ajar itu tidak
menyisakan lahang Rasji dan tidak memberikan pengganti
berupa barang maupun uang. Itulah sebabnya, Rasji marah.
"Kalau kau mau jadi penunjukjalan para jagabaya, seluruh
kampung akan menjadi korban si Colat," kata nenek-nenek
yang berdiri dekat Banyak Sumba.
"Ke mana mereka pergi?" tanya Banyak Sumba kepada
Rasji. "Ke timur," ujar Rasji. Orang-orang kampung berpaling
kepada Banyak Sumba dengan penasaran. Mereka tahu bahwa
Banyak Sumba seorang perwira, bahkan tampak mereka
menyangka Banyak Sumba adalah perwira yang dikirim oleh
kerajaan untuk menangkap si Colat.
"Kalau Raden hendak menangkap mereka, janganlah dekatdekat
kampung ini," kata kakek-kakek itu, "Tangkaplah di
hutan, jangan dekat kampung, karena anak buah si Colat
mungkin saja membalas dendam secara membabi buta."
"Baiklah, Kakek," kata Banyak Sumba. Ia berjalan ke rumah
besar tempatnya menginap. Orang-orang mengikutinya
dengan pandangan mata. Kemudian, Banyak Sumba keluar
dengan perbekalan dan perlengkapannya. Ia memasang
pelana di atas kudanya, lalu menyampaikan terima kasih sekali
lagi kepada seluruh isi kampung. Ia mohon diri. Setelah
mengusap kepala anak kecil yang berada di dekatnya, ia
menaiki kudanya.
"Kami mendoakan Raden, semoga berhasil menghentikan
kegiatan si Colat dan semua anak buahnya."
Tak lama kemudian, Banyak Sumba telah memacu kudanya
dijalan kecil yang menghubungkan perkampungan itu dengan
perkampungan lain. Jalan-jalannya bersimpang siur di tengahtengah
perhumaan datar yang terdapat di daerah itu.
MALAM pertama, ia tidak menyusul anak buah si Colat itu.
Malam kedua, ketika menginap di sebuah kampung, ia
mendapat kabar dari penduduk bahwa sembilan orang
penunggang kuda bersenjata lewat pagi sebelumnya, melintasi
jalan kecil yang membatasi kampung dan perhumaan.
Harapan Banyak Sumba menjadi besar.
"Raden seorang puragabaya?" kata orang kampung yang
ditanyainya dengan ragu-ragu.
"Bukan," kata Banyak Sumba, "Mengapa Paman bertanya
begitu?" Banyak Sumba balik bertanya.
"Di Kutabarang tersebar berita bahwa para puragabaya
mulai dikerahkan untuk memburu si Colat dan anak buahnya.
Dan ... dan Raden tampaknya seperti seorang puragabaya."
Banyak Sumba tersenyum, lalu bertanya, "Apa yang
menyebabkan saya tampak seperti seorang puragabaya?"
"Potongan badan Raden dan otot-otot Raden serta ... tutur
kata Raden, dan itu, trisula kecil di balik baju Raden," kata
orang itu sambil tersenyum. Banyak Sumba menutupkan
bajunya, menyembunyikan trisula yang ditukarnya dari
seorang pandai besi pagi itu.
"Tapi trisula ini sangat buruk, sedangkan senjata
puragabaya indah-indah buatannya."
"Tentu saja Raden membawa yang buruk karena Raden
sedang menyamar," kata orang itu.
Banyak Sumba hanya tersenyum, kemudian ia bertanya,
"Betulkah puragabaya dikerahkan untuk mengepung si Colat?"
"Ya, Raden. Mula-mula, si Colat diberi peringatan untuk
menghentikan kebuasannya, tetapi ia tidak mau mendengar.
Sang Prabu sendiri memanggil kesatria gila itu, tetapi ia tidak
memiliki rasa hormat lagi. Terakhir, putra Tumenggung
Wiratanu dari Kutawaringin dibunuhnya, kepalanya dikirimkan
di atas,baki kepada ayahandanya. Itu keterlaluan."
Banyak Sumba terkejut mendengar berita itu. Untuk
beberapa lama, ia tidak dapat berkata-kata. Setelah hening
beberapa lama, dengan tergagap-gagap ia bertanya, 'Apakah
yang Paman maksud Raden Bungsu Wiratanu?"
"Ya, ia dipancing dengan seorang gadis. Ketika ia
memasuki rumah untuk mendapatkan gadis itu, di dalam
rumah itu sudah siap si Colat dengan dua orang kawannya.
Begitulah kisah yang dibisikkan dari telinga ke telinga di
Kutabarang dan seluruh kerajaan. Tidak semua orang bersedih
hati karena Bungsu Wiratanu ini sering kurang ajar pula,
menurut cerita orang."
Banyak Sumba termenung. Ia teringat akan
pengalamannya dengan Raden Bungsu Wiratanu. Ia menarik
napas panjang. "Si Colat ini memang mempunyai perhitungan
dengan keluarga Tumenggung Wiratanu. Ya, dan itu
urusannya," keluhnya.
"Sepanjang ia tidak berbuat hal-hal lain, pemerintah
kerajaan tampaknya dapat mengerti permusuhan antara si
Colat dengan keluarga Tumenggung Wiratanu ini.
Bagaimanapun, keluarga Tumenggung Wiratanu tidaklah
mempunyai nama baik," kata orang kampung itu. 'Akan
tetapi," lanjutnya, "selang beberapa waktu ini, perbuatanperbuatan
lain dilakukan pula oleh anak buahnya dimulai
dengan pencurian abu jenazah seorang puragabaya, Raden
Jante Jaluwuyung. Ini berarti, si Colat telah melibatkan
keluarga lain dalam pertentangannya dengan keluarga
Tumenggung Wiratanu, dan sang Prabu tidak dapat
membiarkannya lagi."
Banyak Sumba tertegun mendengar percakapannya yang
terakhir itu. Ia kemudian bertanya, "Apakah yang Paman
ketahui tentang abu jenazah itu?"
"Puragabaya Jante Jaluwuyung ini pernah membunuh
kakak Raden Bungsu Wiratanu yang bernama Raden Bagus
Wratanu. Keluarga Tumenggung Wiratanu dengan sendirinya
ingin menghinakan abu jenazah itu. Si Colat mendahului
mencurinya. Entah apa yang dilakukan si Colat terhadap abu
jenazah itu."
Banyak Sumba tersenyum dalam hatinya, tetapi ia pun
bingung, tak dapat menetapkan bagaimana sebenarnya duduk
persoalannya. "Apakah memang keluarga Tumenggung
Wiratanu hendak menghinakan abu jenazah Kakanda Jante
atau Anggadipati bermaksud menyembunyikannya" Begitu
simpang siur pendapat orang sekitar abujenazah Kakanda
Jante Jaluwuyung ini." Ia sendiri jadi bingung.
"Raden," kata orang kampung itu, "mereka semua
bersenjata panjang."
"Siapa?" tanya Banyak Sumba.
"Anak buah si Colat yang sedang Raden ikuti."
'Apa hubungannya dengan saya?" tanya Banyak Sumba.
Akan tetapi, ia tidak dapat menyembunyikan senyumnya.
"Raden hanya bersenjata belati dan trisula itu," kata orang
kampung itu pula, "Di samping itu, mereka ada sembilan
orang." 'Apakah Paman beranggapan saya benar-benar ada urusan
dengan mereka?" tanya Banyak Sumba sambil tersenyum
pula. "Raden dapat meminta senjata panjang dari orang-orang
kampung sekurang-kurangnya tongkat-tongkat yang
dikeraskan di atas api."
Banyak Sumba termenung sebentar, kemudian ia berkata,
"Saya membutuhkan tongkat dari waregu, Paman, bukan
untuk menghadapi sembilan orang anak buah si Colat, tetapi
untuk tongkat, kalau kebetulan saya harus berjalan di dalam
gelap." "Baiklah, Raden, besok kita akan mencarinya. Di kampung,
orang-orang biasa menyimpan tongkat waregu atau ruyungBenda-benda itu diperkenankan disimpan oleh rakyat di sini."
Keesokan harinya, sebelum Banyak Sumba meninggalkan
kampung, seorang penduduk menghadiahkan tongkat waregu
yang panjang dan indah. Ketika Banyak Sumba hendak
menggantinya dengan uang tembaga, penduduk kampung itu
menolaknya. "Seharusnya, orang kampung memberikan bekal bagi
puragabaya, dan tidak pantas bagi siapa pun menerima
pemberian puragabaya yang menyerahkan hidupnya untuk
orang-orang kampung," kata penduduk kampung itu dengan
tersenyum. "Saya bukan puragabaya, Paman," kata Banyak Sumba.
Akan tetapi, tak ada orang yang percaya akan perkataannya.
SEPANJANG hari, Banyak Sumba menyusul jejak anak buah
si Colat. Akan tetapi, rupanya ia kehilangan jejak. Bukan saja
karena jalan di kampung-kampung dan di perhumaan itu
sangat simpang siur, tetapi orang-orang kampung enggan
memberi tahu kepadanya ke mana arah para penunggang
kuda itu. Mereka masih begitu dicengkeram ketakutan akan
kemungkinan pembalasan dendam si Colat.
Akhirnya, Banyak Sumba memacu kudanya tanpa terlalu
mengharapkan akan bertemu dengan kesembilan anak buah si
Colat itu. Ia mengembara secara untung-untungan.
Seandainya tidak dapat menyusul anak buah si Colat itu, ia
akan menuju Kutabarang, mengunjungi Kang Arsim. Kalau
cukup beruntung, ia akan bertemu dengan Jasik di sana.
Ia memacu kudanya melewati perhumaan, perkampungan,
dan hutan-hutan kecil. Ia sungguh-sungguh menikmati
perjalanan di tengah-tengah masyarakat, setelah sekian tahun
berada di antara binatang-binatang buas dan bahaya lainnya.
Sering ia menghentikan kudanya untuk memerhatikan para
petani yang sedang bekerja. Sering ia berhenti di pinggir kali,
lalu ikut mandi bersama anak-anak gembala. Dengan anakanak
itu, ia ngobrol tentang itu dan ini. Kadang-kadang,
ditanyakannya tentang si Colat dan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, biasanya anak-anak membisu,
ketakutan. Pada hari keempat, ketika matahari mulai hangat, Banyak
Sumba melintasi perhumaan yang ada di antara sebuah
kampung dan hutan kecil. Seperti biasanya, untuk
menghindari serangan macan-macan tutul dari pohon di
hutan, ia memacu kudanya di sela-sela pohon-pohonan.
Pada suatu saat, tiba-tiba ia melihat seutas tambang
terentang hendak menyambar lehernya. Karena kebiasaannya
ketika di hutan dalam menghadapi hambatan ranting-ranting,
tangannya secepat kilat mencabut belati dan memutuskan
tambang itu. Akan tetapi, ia tidak melanjutkan perjalanan. Ia
menahan kudanya. Begitu ia berbalik, didengarnya derap
beberapa pasang kaki kuda.
"Setelah lima hari mengikuti jejak kaki kuda kami, Saudara
terpaksa harus menggali kuburan sendiri di sini. Jangan
berharap Saudara akan mengalami upacara pembakaran yang
pantas," kata salah seorang penunggang kuda yang keluar
dari balik pepohonan.
"Saya tidak ada urusan dengan kalian. Saya teman si
Colat," Banyak Sumba segera berkata. Hatinya gembira
bercampur waspada.
"Begitu bergairah untuk mendapat hadiah hingga kau
bersedia mati seperti seekor anjing," kata pemimpin
rombongan dengan senyum mengejek.
"Saya akan belajar kepada si Colat."
"Hahahaha!" terdengar seorang di antara mereka tertawa
seraya kuda mereka makin dekat mengelilingi kuda Banyak
Sumba. Banyak Sumba tidak melihat kemungkinan lain,
kecuali berkelahi dengan mereka. Tongkat waregunya
terpasang di muka pelana, kakinya kuat pada sanggurdi. Ia
menentukan sasaran, yaitu pemimpin rombongan itu.
"Jangan kira saya takut kepada kalian. Soalnya, sebenarnya
sia-sia kalau saya harus menghajar kalian," kata Banyak
Sumba. Perkataannya memberi pengaruh pada jiwa
pengepung. Mereka memandang Banyak Sumba dengan raguragu.
Ketika itulah, Banyak Sumba melompat ke atas,
menginjak pelana sambil mencabut tongkat waregu yang
besar. Dengan putaran yang berdesing, tongkatnya mengenai
kepala rombongan. Ia melihal golok berkelebatan tetapi
dengan cepat ia memukul ke sana kemari, sementara lawan
masih terganggu oleh guncangan kuda mereka. Dua orang
jatuh, disusul yang ketiga. Banyak Sumba melompat ke tanah,
lalu memukul orang yang terdekat dari belakang. Lawan
berlompatan ke tanah, tetapi mereka kalah lincah. Banyak
Sumba berdiri sambil menginjak dada kepala rombongan
mereka seraya berseru, "Hentikan, usaha kalian sfa-sia."
Anggota rombongan yang masih dapat berdiri, bimbang
dan melihat ke kanan ke kiri.
"Hentikan usaha kalian! Bawa saya kepada majikan kalian.
Ia akan mengenali saya."
"Baiklah," kata pemimpin rombongan yang berusaha
bangkit sambil memegang pinggangnya yang kena pukul
tongkat waregu besar itu. Tak lama kemudian, Banyak Sumba
pun telah melarikan kudanya di belakang kesembilan orang
anak buah si Colat itu.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PERJALANAN turun-naik bukit dilakukan sepanjang siang
itu. Ketika senja hampir tiba, mereka memasuki hutan bambu
berduri. "Hai!" kata suara dari atas pohon bambu.
"Hai!" seru kepala rombongan sambil mengacungkan
goloknya. Suara gemuruh terdengar. Ternyata, sebuah pintu
besar yang terdapat di celah-celah pohon bambu berduri
dibuka orang. "Jalan di muka!" kata pemimpin rombongan kepada Banyak
Sumba. Banyak Sumba menurut. Ia melewati kawan-kawan
seperjalanan yang memberi jalan. Ia melarikan kudanya
perlahan-lahan memasuki sebuah lapangan luas yang ada di
belakang barisan pohon bambu berduri itu. Ketika ia berpaling
ke belakang, tampak kawan-kawan seperjalanan menghunus
golok masing-masing. Banyak Sumba mengerti bahwa ia
sekarang diperlakukan sebagai tawanan. Akan tetapi, ia tidak
gentar karena kuda mereka tidak terlalu berdekatan.
Begitu ia tiba di tengah-tengah lapangan, bermunculanlah
beberapa orang badega, ada yang menghunus golok, ada juga
yang menyandang tombak. Mereka mengelilingi Banyak
Sumba dengan pandangan penuh pertanyaan.
"Tawanan!" seru kepala rombongan sambil tertawa. Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa karena bagaimanapun, ia tidak
dapat hidup secara lain di tengah-tengah anak buah si Colat
seperti itu, kecuali sebagai tawanan. Ia hanya melihat
berkeliling. Baru tampak olehnya bahwa di bawah dan di atas
pohon-pohonan di tempat itu terdapat rumah-rumah yang
terbuat secara rapi dan tersembunyi dengan baik.
Dengan kagum, Banyak Sumba memandang ke arah
sebuah bangunan besar yang bertengger di atas sebatang
pohon besar. Begitu ia tengadah ke atas, tampak dari lubang
pengintai wajah yang lonjong dan halus potongannya tetapi
dinodai dengan bekas luka yang mengerikan: si Colat.
Wajah itu hanya sebentar tersembul, kemudian lubang
pengintai itu ditutup. Tak lama kemudian, meluncur sesosok
tubuh yang berpakaian serbahitam dari bangunan itu. Begitu
tiba di tanah, terdengar sapanya yang halus, "Selamat datang,
Raden Banyak Sumba, lama benar kita berpisah semenjak
pertemuan dulu."
"Terima kasih, Kakanda," kata Banyak Sumba. Ia terharu
karena ternyata si Colat tidak melupakannya. Ia pun sadar
bahwa antara dia dan si Colat terdapat persamaan nasib.
Dunia telah memperiakukan mereka berdua dengan tidak adil.
Akan tetapi, kemudian dunia akan menyadari betapa salahnya
telah memperlakukan dua orang seperti mereka tidak adil.
Demikianlah pikiran Banyak Sumba.
"Tidak keberatankah kalau Raden memanjat?" ujar si Colat
sambil tersenyum.
"Saya biasa memanjat dan tidur di atas pohon seperti
Kakanda sekarang. Itu saya lakukan bertahun-tahun," ujar
Banyak Sumba. Si Colat memandangnya dengan penuh
perhatian. Kemudian, ia berjalan. Banyak Sumba
mengikutinya. "Bagaimana dengan Ayahanda?" tanya Si Colat.
Banyak Sumba tertegun sejenak. Ia bimbang, apakah ia
akan mengatakan sesuatu atau tidak. Si Colat seolah-olah
tahu sesuatu tentang Ayahanda. Hal itu terdengar dari nada
bicaranya. "Saya banyak tahu tentang rahasia Raden," katanya sambil
tersenyum, "jadi tidak usah ragu-ragu."
"Tapi, saya tidak punya rahasia yang cukup penting untuk
diketahui orang lain," kata Banyak Sumba, memancing seraya
melindungi dirinya sekaligus.
"Gan Tunjung banyak bicara tentang Raden."
"Apa yang beliau katakan?"
"Bahwa Ayahanda Raden berada dalam persembunyian dan
hanya akan muncul lagi kalau Raden telah menunaikan tugas.
Tugas itu dapat diperkirakan."
"Tapi, dari manakah Gan Tunjung mengetahui tentang hal
itu?" "Dua orang panakawan Raden ada di perguruannya dan
saya sering berkunjung ke sana. Tentu saja malam hari. Kau
yang dipercakapkan orang di sana, Raden. Engkau terkenal
secara rahasia. Engkau seorang anak muda yang prihatin.
Itulah sebabnya, mengapa kau tertarik kepadaku, barangkali,"
ujar si Colat sambil mengerling dan tersenyum.
Banyak Sumba menduga, Kang Arsim tidak terlalu rapat
memegang rahasia. Akan tetapi, ia pun yakin bahwa
rahasianya tidak seluruhnya terbuka kepada si Colat itu. Ia
segera melupakannya.
"Semua itu tidak penting, Kakanda," kata Banyak Sumba
untuk mengalihkan percakapan.
Si Colat berhenti berjalan, lalu berpaling, "Saya tahu, yang
terpenting bagimu adalah belajar ilmu keperwiraan. Rupanya,
kau tergila-gila pada ilmu sial itu, Raden."
"Itulah sebabnya, mengapa setelah bertahun-tahun, saya
masih mencari-cari Kakanda," ujar Banyak Sumba.
"Baiklah, engkau dapat belajar bersama-sama dengan
anakku. Oh, kau masih ingat kepada anakku, Jimat, bukan?"
"Tentu saja, Kakanda."
"Ia sudah besar sekarang, hampir tiga belas tahun
umurnya." Ketika itu, si Colat mulai memegang tambang besar yang
menghubungkan tanah dengan bangunan di atas pohon.
Seperti seekor kera besar, ia memanjat tambang itu dengan
cepat, lalu menghilang di lubang yang tidak kelihatan dari
bawah pohon itu.
Banyak Sumba segera menirunya dengan cepat pula. Ketika
ia tiba di lubang yang tidak kelihatan dari bawah, tampak si
Colat heran melihat kecepatan Banyak Sumba.
Ruangan dalam bangunan di atas pohon itu ternyata luas
sekali. Di sana terdapat dua buah bangku lebar yang di
atasnya dilapisi jerami. Di atas jerami itu, dihamparkan kulit
harimau yang lebar-lebar dan indah-indah. Di sekeliling
ruangan tergantung bermacam-macam senjata: panah,
tombak, geraham banteng yang merupakan senjata yang
menyeramkan, tanduk rusa, cula badak, dan sebagainya.
Berbagai macam pedang, golok, dan pisau tergantung pula,
melekat pada kain-kain yang indah tenunannya.
Banyak Sumba dipersilakan duduk di atas bangku. Setelah
si Colat bertepuk tangan, muncullah dari salah satu ruangan
seorang pembantunya, laki-laki setengah baya yang gemuk
perawakannya. "Makanan dan minuman, Obeh, kita menerima tamu," kata
si Colat. Setelah berkata demikian, mulailah mereka bercakapcakap.
Banyak Sumba menceritakan pengalamannya dengan
menutupi bagian-bagian yang dianggapnya tidak baik dikemukakan.
Akhirnya, ia mengatakan bahwa kedatangannya, tidak
lain, hanyalah untuk melaksanakan kehendaknya yang telah
disampaikan beberapa tahun sebelumnya, yaitu belajar ilmu
keperwiraan. "Raden mengetahui bahwa hidup dengan rombonganku
bukanlah bertamasya. Kami sudah lama diburu orang dan
harga kepala saya ini ternyata mahal sekali. Banyak
bangsavvan muda yang haus akan kemasyhuran dan sekaligus
ingin mendapat hadiah harta dengan memimpikan kepala saya
ini. Lucu sekali."
"Saya telah memikirkan segala-galanya. Kakanda. Ilmu
yang Kakanda miliki dan dapat saya pelajari, lebih berharga
daripada jerih payah yang dapat saya lakukan."
Ketika itu, orang yang dipanggil Obeh kembali dengan
membawa air buah-buahan dan buah-buahan yang
ranumranum di atas baki kayu. Matahari sudah condong ke
barat, cahayanya yang merah menembus celah-celah dinding
yang terjalin dari rotan.
"Baiklah, Raden akan berlatih dengan anakku, Jimat.
Lawanlah Jimat dalam latihan-latihan karena ilmu yang
kumiliki sudah hampir seluruhnya dia miliki."
"Tapi, saya miskin sekarang, Kakanda, berbeda dengan
beberapa tahun yang lalu. Ini perlu saya sampaikan,
betapapun kasar dan tidak senonoh kedengarannya," ujar
Banyak Sumba. "Yang tidak senonoh adalah yang keluar dari hati yang
tidak jujur, Raden. Tapi, saya mendengar, Raden orang yang
lurus. Di samping itu, apakah kau anggap saya membutuhkan
harta benda, Raden?"
"Maksud saya, saya tidak akan dapat mengembalikan
kebaikan Kakanda," kata Banyak Sumba.
"Tidak perlu pembalasan budi, Raden. Kita senasib.
Demikian kalau tidak salah pendengaranku. Kita ini samasama
diperlakukan tidak adil oleh masyarakat. Kita dinasibkan
untuk bersatu, bukan?" kata si Colat sambil tersenyum.
Banyak Sumba merasa terharu. Ia pun dapat menduga
bahwa pengetahuan si Colat tentang dirinya sudah cukup
banyak. "Saya akan mendampingi Kakanda menghadapi bangsawan
muda yang ingin terkenal dan rakus akan kekayaan itu," kata
Banyak Sumba sambil tersenyum.
"Haha! Itu baik untuk latihanmu, Raden," kata si Colat.
Dari percakapan itu, keakraban mulai tumbuh. Si Colat
dengan leluasa membaringkan dirinya di atas balai-balai yang
dihampari kulit harimau yang indah.
"Silakan beristirahat," katanya, "Sudah lama saya tidak
mendapat kawan mengobrol."
Tiba-tiba, dari bawah terdengar suara orang-orang sangat
berisik. "Mereka datang," kata si Colat. "Anakku baru kembali
berburu harimau dan binatang buruan lainnya," katanya.
Banyak Sumba bangkit, lalu berjalan ke arah lubang
pengintai. Dari sana, tampaklah rombongan yang terdiri dari,
kira-kira, lima belas orang memasuki lapangan yang dikelilingi
bangunan. Paling depan berjalan seorang pemuda, bertubuh tinggi
dan besar meskipun masih muda. Pemuda itu sangat tampan,
rambutnya yang hitam kelam berombak ditiup angin senja.
Raden Jimat, pikir Banyak Sumba sambil memandangi pemuda
itu dengan penuh perhatian. Di belakang pemuda itu berjalan
badega-badega mengusung binatang perburuan yang besarbesar,
rusa dan babi hutan. Di antara binatang yang diusung
terdapat kulit harimau yang indah. Kulit harimau itu segera
dibentangkan di antara dua batang tonggak. Raden Jimat
memandang kulit harimau itu dengan rasa puas.
"Ayah, lebih lebar dari yang dulu!" serunya. Ketika ia
tengadah ke arah lubang persembunyian, pandangannya
bertemu dengan pandangan Banyak Sumba. Banyak Sumba
mengangguk seraya tersenyum kepadanya. Raden Jimat
tampak termenung.
"Tamu!" kata seseorang. Raden Jimat pun tersenyum
dengan hormat seraya menundukkan kepalanya.
Malam itu, tukang pantun memetik kecapi dan menyanyi,
sedangkan anak buah si Colat duduk berkeliling, mengelilingi
daging binatang buruan yang telah dibakar. Baki-baki penuh
dengan berbagai buah terletak di dekat mereka. Banyak
Sumba memandang mereka dengan penuh perhatian. Di
tengah-tengah nyanyian dan gemeletup api unggun besar,
mereka makan, minum tuak, dan bersenda gurau. Si Colat
tidak turun dari kamarnya. Yang duduk di antara anak
buahnya adalah Raden Jimat, ditemani Banyak Sumba.
Malam itu, Banyak Sumba tidur di ruangan besar bersama
si Colat dan Raden Jimat. Karena lelah akibat perjalanan
sebelumnya dan karena mereka mengobrol sampai larut
malam, Banyak Sumba tidur nyenyak sekali. Ia tidak akan
terjaga seandainya pagi-pagi di bawah tidak terdengar
kegaduhan. Banyak Sumba bangun dan bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
"Tenanglah, Raden, mereka sedang berlatih," kata si Colat
yang sudah berpakaian lengkap dan tampak sudah bersih.
Banyak Sumba malu karena kesiangan. Ia berdiri, lalu berjalan
ke arah lubang pengintai. Semua anak buah si Colat tampak
duduk berkeliling, di tengah-tengah lapangan ada dua orang
berhadapan, siap untuk saling menyerang.
-ooo00dw00ooo- Bab 11 Penyesalan Mula-mula, Banyak Sumba tertarik. Akan tetapi, setelah
mereka saling menyerang, tampaklah kepadanya bahwa
perkelahian mereka rendah sekali mutunya. Ia mengundurkan
diri dari lubang pengintai itu, lalu berjalan ke tengah-tengah
ruangan. Si Colat yang duduk di atas bangku sambil
menghadapi hidangan pagi berkata, "Perkelahian monyet.
Raden. Tapi, karena para jagabaya itu monyet-monyet yang
bodoh, mereka lebih sering menang daripada kalah," katanya.
"Tapi, saya pernah melihat monyet yang berkelahi dengan
cara lebih baik, Kakanda," kata Banyak Sumba dengan nada
bersenda gurau.
"Ya, harimau pun berkelahi lebih baik daripada seseorang
yang tidak pernah belajar ilmu keprajuritan. Akan tetapi,
manusia dapat mengubah cara berkelahi dari waktu ke waktu.
Dari abad ke abad, monyet atau harimau berkelahi dengan
cara yang sama. Manusia tidak, di sinilah perbedaannya.
Manusia memiliki akal dan dari akal ini, lahirlah ilmu
keperwiraan yang makin lama makin disempurnakan dan
diperluas. Perguruan-perguruan ilmu keperwiraan didirikan.
Ada Padepokan Sirnadirasa, ada Padepokan Tajimalela.
"Nah, itulah sebabnya, kita selalu melihat kemungkinankemungkinan
maju pada manusia. Prajurit yang berkelahi di
bawah tadi adalah orang-orang baru. Dalam sebulan, dengan
latihan setiap pagi, mereka akan lebih baik daripada umumnya
para jagabaya kerajaan."
"Apakah mereka itu orang-orang baru?"
"Ya, Raden, rupanya keluarga si Colat ini makin lama makin
bertambah besar juga. Dulu beberapa puluh orang, sekarang
beberapa ratus. Engkau anggota keluarga baru," ujar si Colat
sambil mulai makan. Obeh masuk dengan air pencuci tangan
baru dan kain pengering. Si Colat mempersilakan Banyak
Sumba makan. Banyak Sumba menolak karena ia tertarik oleh
kegaduhan di luar, di samping itu ia belum mandi.
"Makanlah nanti bersama-sama dengan Jimat," ujar si
Colat.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Banyak Sumba pun mohon izin untuk ke luar, lalu turun,
ikut menggabungkan-diri dengan anak buah si Colat. Raden
Jimat menyambutnya seraya mengucap sampurasun. Banyak
Sumba berdiri di samping anak yang tampan dan lemah
lembut itu. Sementara itu, pasangan yang berkelahi telah berganti.
Kadang-kadang Raden Jimat berseru, menghentikan mereka
yang sedang berlatih, lalu membetulkan cara-cara yang tidak
tepat. Banyak Sumba sadar bahwa betapapun mudanya Raden
Jimat, pengetahuannya tentang ilmu keperwiraan sangat
tinggi. Kesadaran ini bertambah juga ketika Raden Jimat turun
ke gelanggang menghadapi salah seorang prajurit. Dengan
tangkas dan indah, diseranglah lawannya sehingga tidak dapat
berkutik. Gaya berkelahinya telah begitu dikenal oleh Banyak
Sumba, yaitu gaya berkelahi yang dilihatnya di Padepokan
Tajimalela. Yakinlah Banyak Sumba sekarang bahwa si Colat
benar-benar telah menguasai ilmu kepuragabayaan.
"Coba hadapi aku oleh tiga orang!" tiba-tiba Raden Jimat
berseru. Tiga orang masuk gelanggang dan bersiap mengepung
Raden Jimat. Akan tetapi, dengan cepat Raden Jimat
melompat ke sana kemari, mengacaukan kepungan lawanlawannya
dengan tendangan dan pukulan. Makin kagum juga
Banyak Sumba kepadanya.
"Jimat, lawan Raden Banyak Sumba!" tiba-tiba terdengar si
Colat berseru dari lubang pengintai. Orang-orang bersorak dan
Raden Jimat memandang kepada Banyak Sumba sambil
tersenyum-senyum.
"Raden, dalam latihan pukulan penuh, hanya boleh
dilepaskan ke bagian badan yang tidak berbahaya. Sedangkan
ke arah bagian yang lemah hanya peringatan," sambung si
Colat kepada Banyak Sumba. Banyak Sumba sadar bahwa si
Colat sangat sayang kepada putranya. Oleh karena itu, ia
merasa perlu untuk memberikan peringatan agar putranya
tidak terancam bahaya.
"Baiklah, Kakanda. Tapi, barangkali sayalah yang akan
banyak kemasukan pukulan," kata Banyak Sumba sambil
tersenyum bersenda gurau. Setelah berkata demikian,
masuklah ia ke dalam gelanggang bertepatan dengan
keluarnya lawan-lawan Raden Jimat yang tiga orang. Tak lama
kemudian, mereka pun berhadapan.
Berbeda dengan perkelahian sebelumnya, biasanya
gerakan-gerakan segera dilakukan, Raden Jimat maupun
Banyak Sumba tidak cepat-cepat menyerang.
Keduanya mencari celah pada kuda-kuda masing-masing.
Untuk itu, biasanya memancing dengan celah-celah yang
dibuat pada kuda-kuda sendiri atau dengan gerakan yang
memindahkan perhatian. Lama sekali Banyak Sumba mencari
jalan untuk membuka serangan, tetapi Raden Jimat begitu
baik menutup dirinya.
Sementara itu, seluruh gelanggang sepi semata. Hanya
suara angin yang lewat di daun-daun yang terdengar. Orangorang
tidak lagi bersorak-sorai. Dengan tegang, mereka
memerhatikan gerak-gerik kecil dan lembut pada Banyak
Sumba dan Raden Jimat.
Banyak Sumba berpikir keras. Ia lebih besar dan lebih
tinggi sedikit daripada Raden Jimat. Ia mendapat keuntungan
dalam perkelahian jarak dekat. Dengan sendirinya, Raden
Jimat akan mempergunakan siasat memukul, kemudian
menjauh. Ia harus segera membendung siasat Raden Jimat
ini, yaitu dengan menyudutkannya ke pinggir gelanggang. Ini
harus dilakukannya dengan dua siasat.
Pertama, untuk menghadapi siasat serang lari, ia tidak
boleh tinggal di tempat. Kemudian, untuk menyudutkan Raden
Jimat, ia tidak boleh menyerang secara lurus tetapi harus
melebar. Sementara itu, walaupun otot-ototnya kuat, ia tidak
boleh memberi kesempatan untuk dipukul. Pukulan-pukulan
Raden Jimat terhadap para prajurit tadi tampak begitu
berbahaya sehingga umumnya mereka itu tidak dapat berbuat
banyak setelah satu kali terpukul. Dengan pikiran seperti
itulah, Banyak Sumba dengan tenang maju mendekat ke arah
Raden Jimat. Dengan tidak disangka-sangka, Raden Jimat maju pula,
seolah-olah ia tidak memperhitungkan tinggi dan besar tubuh
Banyak Sumba. Ini membingungkan Banyak Sumba. Dan
ketika ia belum dapat menetapkan siasat baru, Raden Jimat
telah menyerangnya.
Serangan itu pun tidak disangka-sangka. Dengan keras,
Raden Jimat memukul tangan Banyak Sumba yang paling
dekat. Secara naluriah, kalau mendapat serangan, Banyak Sumba
segera maju. Sekarang, apa yang diduganya terjadi. Raden
Jimat menjauh, menghindar ke samping sambil menyepak ke
arah perut Banyak Sumba. Akan tetapi, kakinya dapat
dikibaskan, bukan karena diperhitungkan, melainkan karena
kebetulan saja. Banyak Sumba berpendapat bahwa ia dapat
mulai menerapkan siasatnya, yaitu dengan menyudutkan
Raden Jimat ke pinggir gelanggang. Akan tetapi, Raden Jimat
maju kembali dan tanpa memperhitungkan jangkauan tangan
Banyak Sumba yang lebih panjang dan berat badan Banyak
Sumba yang lebih besar, ia melakukan serangan jarak dekat.
Tangannya menempel ke kedua tangan Banyak Sumba.
Tangan itu tidak melawan tenaga tangan Banyak Sumba,
tetapi menyerah pun tidak. Banyak Sumba merasa bahwa
tangannya dibelit oleh ular yang licin, yang sewaktu-waktu
kepalanya dapat mematuk ke arah tubuhnya. Banyak Sumba
berusaha menghindarkan beberapa tusukan tanpa dapat
mengembalikan serangan Raden Jimat. Untung ia tidak
terpesona oleh serangan tangan itu. Kakinya dengan sigap
menyapu kaki Raden Jimat. Radenjimat hampir terjatuh, tapi
dengan tangkas ia memindahkan berat badannya, lalu
menjauh. Suara bergumam terdengar dari tepi gelanggang. Pada saat
itu, Banyak Sumba membalas menyerang dengan langkah
tidak lurus. Dengan gerakan melebar ke kanan dan ke kiri, ia
berusaha mengepung Radenjimat. Sedangkan Radenjimat
berulang-ulang mencoba menembus kepungan itu dengan
serangan-serangan keras, terutama ke arah perut Banyak
Sumba. Akan tetapi, tangan Banyak Sumba terlalu cepat
sehingga semua serangan itu dapat dikibaskan. Akhirnya, ia
makin mundur ke tepi gelanggang.
Banyak Sumba siap-siap untuk menangkap dan
melemparnya. Akan tetapi, siasat baru yang tidak dikenal oleh
Banyak Sumba dilancarkan oleh Radenjimat. Ia melakukan
serangan jarak dekat, mengeraskan kedua tangannya
menempel ke arah tangan Banyak Sumba. Ini mengundang
bantingan, demikian pikir Banyak Sumba sambil membanting
Radenjimat ke samping. Radenjimat memutar tubuhnya dan
berpusing menuju ke tengah. Sekarang, Banyak Sumba-lah
yang berada di tepi gelanggang, sedangkan Radenjimat yang
diburunya, dengan tersenyum sudah lolos dan berdiri di
tengah-tengah gelanggang. Ia terengah-engah, demikian juga
Radenjimat. "Satu-satu," tiba-tiba terdengar si Colat berseru dari atas.
Banyak Sumba tengadah. "Sapuan kakimu bagus sekali,
Raden. Kalau bukan Jimat, sudah terbanting rata di rumput
itu. Ia lebih ringan, jadi mudah memindahkan berat
badannya."
Pertandingan antara mereka selesai. Para prajurit turun ke
gelanggang, bertarung satu sama lain. Sementara itu, Banyak
Sumba berjalan dengan Radenjimat ke arah sungai yang
terletak tidak jauh dari hutan bambu itu. Mereka bercakapcakap
tentang ilmu keperwiraan. Banyak Sumba merasa
gembira telah mendapatkan kawan berlatih yang begitu
tangguh dan begitu cerdas.
"Sejak kapan Ayahanda mengajar Raden?" tanya Banyak
Sumba pada suatu ketika.
"Sejak berumur delapan tahun. Saya belajar dengan tangan
kosong setiap hari selama dua tahun, kadang-kadang
sepanjang hari. Kemudian, dengan berbagai senjata saya pelTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ajari tiga tahun. Yang lebih berat belajar dengan tangan
kosong," katanya.
"Siasat tangan kosong Raden bagus sekali," kata Banyak
Sumba dengan penuh kekaguman.
"Yang penting, kita tidak kehilangan akal, tidak bingung,
apalagi marah. Itulah yang selalu diajarkan kepada saya oleh
Ayahanda. Saya pernah bertanya kepada Ayahanda, apakah
ada orang yang dapat mengalahkannya" Ayahanda menjawab,
setiap orang dapat mengalahkannya kalau beliau sedang
kehilangan akal sehatnya. Tapi dalam keadaan biasa, beliau
tidak takut oleh siapa pun, juga oleh Pangeran Anggadipati
yang termasyhur atau Jante jaluwuyung yang sudah tidak ada
itu." Banyak Sumba termenung.
"Rupanya, Ayahanda banyak mengenal para puragabaya
itu," katanya.
"Ayahanda belajar bersama mereka," kata Raden Jimat.
Banyak Sumba tidak mengerti, ia berpaling kepada Raden
Jimat. Raden Jimat yang mengetahui Banyak Sumba
kebingungan menjelaskan, "Karena dukacita, Ayahanda
membuang diri ke dalam hutan. Beliau memasuki Hutan
Larangan, menyerahkan diri pada binatang buas. Akan tetapi,
para guriang melindunginya dan beliau diperkenankan
memasuki wilayah Padepokan Tajimalela. Secara sembunyisembunyi,
beliau mempelajari ilmu kepuragabayaan
bertepatan dengan saat-saat Pangeran Anggadipati dan Raden
Jante Jaluwuyung nun jadi siswa di sana."
Mendengar penjelasan itu, termenunglah Banyak Sumba. Ia
makin sadar, betapa banyak persamaan nasibnya dengan
nasib si Colat. Ia diperlakukan tidak adil. Ia terpaksa harus
berpisah dengan putri yang dicintainya. Ia mempelajari ilmu
kepuragabayaan secara sembunyi-sembunyi.
"Pamanda Banyak Sumba," kata Radenjimat. "Sebenarnya
tidak sukar untuk mencapai Padepokan Tajimalela kalau orang
berani menembus Hutan Larangan yang mengelilinginya,"
demikian keterangan Radenjimat. Kemudian, ia tertegun.
"Sudahkah Pamanda ke sana" Dari gaya berkelahi
Pamanda, saya melihat gaya Padepokan Tajimalela."
"Saya pernah melihat calon puragabaya berkelahi," kata
Banyak Sumba menyembunyikan kenyataan.
Setelah tubuh mereka dingin, mereka bersama-sama
membersihkan diri di sungai jernih yang mengalir dekat
persembunyian si Colat. Dan semenjak itu, setiap pagi mereka
berlatih, mengobrol, mandi, dan makan bersama-sama. Makin
hari, makin haluslah ilmu keperwiraan Banyak Sumba.
TERNYATA, tempat itu hanyalah salah satu persembunyian
si Colat. Banyak Sumba hanya beberapa hari tinggal di hutan
bambu itu. Pada suatu hari, ia diberi tahu bahwa besok
mereka akan berpindah tempat. Pada keesokan harinya,
ketika matahari terbenam, berangkatlah sekitar lima puluh
orang penghuni hutan itu menuju persembunyian lain.
Sepanjang jalan, berulang-ulang para anggota rombongan
tertentu memisahkan diri untuk kemudian kembali dengan
membawa tambahan perbekalan. Akhirnya, Banyak Sumba
mengerti bahwa perbekalan itu diambil dari kampungkampung
karena orang-orang kampung yang ketakutan jauh
sebelumnya sudah diberi tahu dan diharuskan menyediakan
upeti mereka, terutama garam dan beras bagi pasukan si
Colat. Pada suatu kali, rombongan yang terdiri enam orang,
kembali ke induk pasukan dengan tangan hampa. Bahkan, di
antara mereka membawa anak panah tertancap di
punggungnya. "Apa yang terjadi?" tanya si Colat. Walaupun tenang,
terdengar suaranya agak lain. la marah melihat anak buahnya
yang tcrluka itu.
"Ketika kami berseru-seru, dari dalam kampung tak ada
jawaban. Kami segera mengundurkan diri karena merasa
curiga. Untuk menyelidiki, pasukan disebar mengelilingi
kampung itu. Seseorang melepaskan panah, diikuti oleh yang
lain." "Berapa besar kampung itu?" tanya si Colat.
"Kira-kira dua puluh lima keluarga, tapi tidak perlu ada
yang ditakutkan," kata pemimpin rombongan yang enam
orang itu. Si Colat termenung, sedangkan orang yang luka itu diurus.
Anak panah dicabut dan lukanya dibebat setelah diberi obat
penawar racun. Setelah beberapa lama terdiam, si Colat
berkata, "Dua puluh lima orang laki-laki dewasa bukanlah
persoalan, tetapi tentu ada jagabaya di dalam kampung itu.
Tak mungkin mereka berani menolak tuntutan kita kalau tidak
ada jagabaya di sana. Kita harus kembali dengan pasukan
yang lebih besar. Kita urus nanti," kata si Colat. Kemudian, ia
memberi isyarat kepada rombongan untuk melanjutkan
perjalanan. Sepanjang jalan, Banyak Sumba melarikan kudanya tidak
jauh dari si Colat dan Raden Jimat. Kalau jalan kebetulan
besar dan mereka dapat mengendarai kuda berdampingan,
kadang-kadang mereka berbicara tentang itu dan ini. Karena
kepenasarannya, pada suatu kali Banyak Sumba bertanya,
"Apakah memang ada kampung yang berani menolak?"
"Baru satu kampung itulah di daerah barat ini," ujar si
Colat. "Tapi hanya sementara, mereka akan tahu risiko
perbuatan mereka itu dalam waktu dekat," kata si Colat. Nada
suaranya memperlihatkan kemarahan.
"Mereka akan tahu arti perbuatan mereka sendiri," tiba-tiba
si Colat berkata kembali. Entah apa sebabnya, perkataan si
Colat itu meremangkan bulu roma Banyak Sumba.
-ooo00dw00ooo- Bab 12 Malakal Maut Seperti juga yang pertama, persembunyian si Colat , yang
kedua tidak disangka-sangka letaknya. Hutan kecil itu tidak
berapa jauh letaknya dari jalan besar kerajaan. Bukan saja
orang tidak mudah menyangka bahwa si Colat tinggal di
tempat itu, tetapi letaknya yang dekat dengan jalan besar
memudahkan si Colat untuk bergerak dan berhubungan
dengan anak buahnya yang tersebar dalam hutan-hutan
antara wilayah Kutabarang dan Pakuan Pajajaran.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setiba di tempat persembunyian yang kedua ini, kehidupan
sehari-hari Banyak Sumba tidak banyak berbeda dengan
ketika dalam persembunyian yang pertama. Ia berlatih setiap
pagi. Agar tidak membuang-buang waktu, ia membantu
mengurus kuda pasukan, yaitu sebagai pemeriksa karena
pengurus kuda pasukan si Colat kurang ahli dalam hal itu.
Banyak Sumba sebagai seorang putra bangsawan yang
sejak kecil bergaul dengan kuda, jauh lebih ahli dalam
memelihara dan menjinakkan kuda. Tampaknya, si Colat
senang dengan pekerjaan yang dilakukan Banyak Sumba.
Pernah ia meminta kepada Banyak Sumba agar mengajari
Raden jimat dalam mengenal watak binatang yang berguna
itu. Banyak Sumba sendiri, setelah beberapa lama tinggal
dengan si Colat, menyadari bahwa ilmunya tidak akan
bertambah lagi kalau ia tidak mencari guru lain. Tidak dapat
disangkal bahwa si Colat perwira yang sukar tandingannya.
Raden Jimat sendiri walaupun masih anak-anak sudah
demikian tangguh, apalagi si Colat sebagai orang dewasa,
yang di samping kecerdasannya telah pula mendapat
pengalaman dari perkelahian-perkelahian yang
mempertaruhkan nyawa. Ini sangat jelas kalau sewaktu-waktu
ia berkenan memberikan petunjuk kepada Banyak Sumba saat
berlatih dengan Raden Jimat. Namun, akhirnya dorongannya
untuk pergi timbul juga dalam hati Banyak Sumba.
Pertama, ia harus segera melaksanakan tugasnya, yaitu
membalas dendam terhadap Anggadipati dan mengangkat
kembali nama keluarga Banyak Citra. Kedua, ia ingin segera
dapat bertemu dengan keluarganya. Ketiga, sudah rindu pula
ia kepadaJasik, dan keempat... walaupun dalam kabut
keraguan, ia teringat kepada Nyai Emas Purbamanik. Maka,
direncanakannya akan minta diri kepada si Colat untuk pergi
ke Kutabarang. Dari sana, dengan Jasik, ia akan pergi ke Pakuan Pajajaran
tempat Anggadipati berada. Ia akan memasuki asrama kesatriaannya
dan menantangnya sebagai laki-laki. Kalau ia gugur,
Jasik akan pulang sendirian ke Kota Medang. Kalau dia yang
menang, mereka akan pulang bersama, dan siapa tahu
Banyak Sumba dapat bertemu dan mengetahui bagaimana
keadaan Nyai Emas Purbamanik sejak gadis itu ditinggalkannya. Ia
yakin, si Golat tidak akan keberatan, bahkan siapa tahu si
Colat akan memberinya beberapa orang pengawal.
Ia menangguhkan niatnya karena saat yang baik untuk
menyampaikan maksudnya belum tiba. Belakangan, si Colat
merasa tidak senang karena beberapa kampung berani
menolak permintaan upeti yang dituntutnya. Bahkan, para
jagabaya dikabarkan tampak di hutan-hutan mendirikan
asrama darurat. Belum lagi terhitung yang menginap di
kampung-kampung. Beberapa belas anak buah si Colat
dikabarkan hilang pula.
"Kita harus menghajar mereka," suatu kali si Colat berkata.
Tapi, ancaman itu tidak dilaksanakannya hingga pada suatu
kali, berita buruk diterima di tempat persembunyiannya.
Ketika itu, hari masih pagi, embun masih meliputi puncak
gunung. Burung-burung belum begitu ramai bernyanyi. Di
bawah embun, dari arah lembah, muncullah kira-kira sepuluh
penunggang kuda. Lawang kori dibuka dan kesepuluh
pendatang masuk. Pemimpin segera menghadap si Colat di
ruangannya. Dalam ruangan itu, si Colat ditemani Banyak Sumba dan
Raden Jimat. Kepala rombongan menghadap dengan kepala
menunduk. "Celaka, Juragan!" badega itu berkata dengan sedih.
"Apa yang terjadi?"
"Seperti biasa, kami meminta upeti dari Kampung Murugul.
Mereka mempersilakan kami dengan membuka lawang kori
lebar-lebar. Ini mencurigakan sebagian dari kami. Wasji, Anda,
Rawi, Waskir, dan Jagoi masuk. Orang-orang kampung
mempersilakan kami masuk, tapi kami menunggu di luar.
Sebagian dari kami bertindak begitu karena curiga, sebagian
lagi karena bernasib baik. Tiba-tiba, dari arah hutan-hutan
sekitar kampung, keluarlah para jagabaya"ada yang
menunggang kuda, ada yang berjalan kaki. Sedangkan dari
arah kandangjaga dan pohon-pohonan yang memagari
kampung, hujan anak panah menyembur kami. Kami segera
melawan dan menyerang jagabaya itu. Kami membunuh
beberapa orang dan melukai banyak di antara mereka.
Juragan bisa melihat senjata kami yang berdarah. Akan tetapi,
yang memasuki kampung tidak dapat keluar lagi. Lawang kori
segera ditutup oleh orang-orang kampung Kami tidak tahu
bagaimana nasib mereka."
Mendengar berita buruk itu, si Colat termenung sejenak,
kemudian memanggil Obeh. Obeh keluar kembali, tak lama
kemudian tiga orang badega yang sudah agak lanjut usia
masuk ruangan. "Panggil tiga pasukan yang paling dekat. Perintahkan
mereka mempersenjatai diri. Suruh yang lain membuat
sejumlah obor kecil, sediakan kain-kain bekas atau rumput
kering, dan minyak kelapa sebanyak-banyaknya."
Para badega itu segera keluar setelah memberikan hormat.
Sementara itu, yang membawa berita ditahan dulu untuk
tinggal di dalam ruangan. Si Colat meminta keterangan lebih
banyak tentang kampung yang dijadikan perangkap oleh para
jagabaya itu. Setelah lama mengorek keterangan tambahan
dari yang membawa laporan, si Colat menyuruhnya
beristirahat, lalu ia berkata kepada Banyak Sumba, "Sekurangkurangnya,
tiga kampung yang berdekatan dengan kampung
itu harus dibakar dalam dua-tiga hari ini. Para jagabaya akan
menahan diri untuk bertindak lebih jauh."
"Tapi, kampung-kampung lain mungkin tidak mengizinkan
para jagabaya untuk menjadikannya perangkap, Kakanda.
Mereka mungkin tetap setia kepada Kakanda. Sekurangkurangnya,
pada saat ini mereka belum berbuat salah," ujar
Banyak Sumba. "Raden, saya dibacok di dalam gelap oleh beberapa orang
begundal, apakah saya harus berbuat salah terlebih dulu"
Ayahanda Raden pun dijatuhkan dari takhtanya, apakah beliau
sudah berbuat salah" Raden sekarang kesatria yang
mengembara dan menderita keprihatinan, apakah harus
berbuat salah terlebih dulu" Apakah seseorang menderita
setelah berbuat salah dulu" Tidak, Raden Banyak Sumba.
Siapa pun boleh menderita, bahkan tewas, tanpa berbuat
salah terlebih dahulu. Itulah sebabnya, kampung-kampung
sekitar kampung perangkap itu harus menderita, tanpa ada
syarat mereka berbuat salah terlebih dahulu kepada kita."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa, pertama karena
masalah itu belum pernah dipikirkannya, kedua karena ia tahu
pikiran si Colat sedang kalut.
Walaupun begitu, ia tetap merasa bahwa keputusan si
Colat itu tidak adil. Ia yakin ada sesuatu yang salah walaupun
tidak dapat menjelaskan bagaimana persoalan sebenarnya
dengan tiga kampung yang akan dirusak pasukan si Colat itu.
Ia tidak memecahkan masalah itu. Ketika malam kedua tiba
setelah datangnya peristiwa buruk itu, pada suatu subuh, ia
dibangunkan oleh langkah-langkah kaki. Ia melihat dari
tingkap ruangan di sebelah selatan tampak langit menjadi
kemerah-merahan. Bukan hutan terbakar, tapi kebakaran
besar lain telah terjadi.
Keesokan harinya, laporan tiba. Dan si Colat berkata
kepada Banyak Sumba sambil tersenyum, "Mereka telah
mengerjakan tugas dengan baik sekali. Tidak hanya kampung
yang mereka bakar, tapi juga huma. Para jagabaya itu tentu
akan berpikir dua kali sebelum mereka memasang perangkap
lagi." Banyak Sumba tidak berkata apa-apa mendengar berita itu.
Ia sebenarnya ingin bertanya, apakah penduduk kampung itu
diselamatkan dulu atau tidak. Akan tetapi, ia segera sadar
bahwa si Colat akan memberi jawaban yang sama, "Haruskah
orang menderita karena sebelumnya berbuat salah?" Menurut
pengalaman si Colat, orang dapat menderita dan bahkan
meninggal tidak perlu disebabkan oleh perbuatannya. Segala
perbuatannya yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh hati
nurani Banyak Sumba, telah dipertanggungjawabkan secara
demikian. AKAN tetapi, kendatipun tiga kampung telah terbakar
musnah sebagai peringatan, para jagabaya dengan bantuan
rakyat tampaknya tidak gentar. Peristiwa penolakan
membayar upeti oleh kampung-kampung disusul dengan
penghadangan oleh para jagabaya. Korban berjatuhan hingga
akhirnya, si Colat mengumpulkan para pembantunya dari
semua daerah. Setelah mengadakan perundingan, si Colat memutuskan
beberapa hal yang mencerminkan gawatnya keadaan bagi
mereka. Pertama, tindakan keras harus dilakukan terhadap
kampung yang ternyata tidak mau memberikan upeti atau
mencurigakan. Penculikan terhadap kepala kampung yang
mencurigakan harus mulai dilakukan, kehati-hatian
ditingkatkan, dan tempat persembunyian harus dipindahpindah
lebih sering. Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa kesabaran
pihak kerajaan sudah habis dan sekarang para jagabaya telah
dikerahkan untuk menghentikan kegiatan si Colat. Hal ini
menimbulkan kebimbangan pada Banyak Sumba Akankah ia
tinggal bersama si Colat sambil menanti pasukan yang
mungkin dipimpin oleh Pangeran Anggadipati atau langsung
menyerang Pangeran Anggadipati di tempatnya, Pakuan
Pajajaran"
Mula-mula, Banyak Sumba tak berani menyampaikan
niatnya untuk pergi dari rombongan si Colat. Ia takut si Colat
menganggapnya penakut dan tidak punya rasa setia kawan.
Akan tetapi, pada suatu kali, si Colat berkata kepadanya.
"Raden Banyak Sumba, dari keterangan yang diterima,
pemimpin pasukan yang dikerahkan untuk menghadapi kita ini
adalah Pangeran Anggadipati. Ia dilihat oleh anak buah saya
di Kutabarang beberapa waktu yang lalu. Di sana, ia
mengadakan perundingan dengan penguasa kota. Mungkin
sekali kita mem-binasakannya. Pertama, tentu saja gerakan
akan berhenti untuk beberapa lama hingga kita dapat
menyerangnya di Kuta-barang. Kalau kita dapat
membinasakan dia, banyak keuntungan yang kita peroleh.
Pertama, tentu saja gerakan akan berhenti untuk beberapa
lama, hingga kita dapat bernapas dan memperkuat diri.
Kedua, gerakan rahasia yang dilaksanakan di Kutabarang akan
merupakan penghematan pasukan."
Uraian si Colat tentang hal itu sungguh menggembirakan
hati Banyak Sumba. Ia dapat meninggalkan si Colat yang
tindakan-tindakannya tidak disetujuinya. Lagi pula, dia dapat
menunaikan tugasnya. Maka, ia pun berkata, "Seandainya
Kakanda memutuskan akan melaksanakan gerakan rahasia itu,
saya bersedia serta di dalamnya," katanya.
"Engkau pantas menjadi pemimpin gerakan itu, Raden.
Engkau seorang puragabaya dengan segala kepandaian yang
kaumiliki itu. Seorang puragabaya harus dihadapi oleh
puragabaya lagi. Tetapi, saya tidak, mau melibatkan kau
dalam persoalan ini. Ini urusan saya," kata si Colat
"Tapi, saya pun punya urusan dan perhitungan dengan dia,
Kakanda," kata Banyak Sumba. Si Colat memandangnya
dengan penuh pertanyaan, kemudian berkata, "Pernahkah ada
silang sengketa antara dia dan kau, Raden?"
"Ia membunuh kakak saya," ujar Banyak Sumba. Mereka
berpandangan. Mendengar penjelasan itu, berbisiklah si Colat,
"Tidak salah dugaanku, engkau putra Pangeran Banyak Citra
yang menghilang itu. Mula-mula, kusangka engkau hanyalah
putra bangsawan biasa, yang karena iri hati orang lain,
dijatuhkan dari kedudukannya. Engkau putra wangsa yang
sangat terkenal dan tidak pantas prihatin seperti sekarang.
Pajajaran akan menerima hukumannya seandainya berani
menghinakan putra-putra terbaiknya," katanya sambil tetap
memandang Banyak Sumba.
"Saya, saya laki-laki terbesar di antara para putra Ayahanda
Banyak Citra."
"Kalau begitu, kita akan menyerang dia bersama-sama.
Sekarang, marilah kita atur penyerangan itu. Kita menarik
perhatian isi Istana Kutabarang dengan membuat keributan di
pinggir kota. Kita dengan anggota pasukan pilihan akan
menyelinap dalam gelap memasuki istana. Saya akan
menghadapi Anggadipati. Engkau, Raden, bersama dengan
pasukan pilihan, menghadapi para calon puragabaya yang
menjadi pengiring Anggadipati."
"Sayalah yang akan menghadapi dia, Kakanda, karena
sayalah yang punya urusan pribadi dengan dia," kata Banyak
Sumba. Si Colat memandangnya, lalu berkata, "Anggadipati
bukan puragabaya biasa, Raden."
"Saya tahu hal itu, Kakanda."
"Saya bukan tidak percaya kepadamu Raden, tapi Si Colat
termenung, lalu berkata, "Begini saja, Raden. Siapa yang lebih
dahulu bertemu dengan dia akan lebih dahulu
menghadapinya."
"Baiklah, Kakanda," kata Banyak Sumba. Sebenarnya, dia
kurang senang dengan keputusan itu.
Ia tidak setuju dengan tindakan-tindakan si Colat. Kalau
serangan itu dilakukan bersama, seolah-olah ia anak buah si
Colat yang melakukan penyerangan di bawah perinlah si Colat.
Ia sungguh gelisah, tetapi segera menenangkan diri dengan
berdoa kepada Sang Hiang Tunggal untuk mendapatkan
petunjuk. Di samping kesibukan sehari-hari, di tempat persembunyian
itu terlihat pula kesibukan lain. Si Colat melakukan
perundingan dengan para pembantu utamanya dalam rangka
melakukan penyerangan terhadap Istana Kutabarang.
"Saya akan datang malam hari dan kalian telah menyiapkan
segalanya," demikian kata terakhir, setelah segala rencana
siap. TETAPI, rencana yang sudah siap itu tidak dapat
dilaksanakan pada saat yang telah ditetapkan, karena begitu
perundingan selesai dan baru saja para pemimpin pasukan
meninggalkan ruangan perundingan, seorang mata-mata
datang bermandi keringat.
"Sepasukan besar jagabaya bergerak ke sini," katanya.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berapa banyak?" tanya Si Colat.
"Kira-kira seratus lima puluh orang, bersenjata berat."
"Kita terpaksa mengundurkan diri karena di sini hanya ada
tiga puluh lima orang, Raden."
Gerakan pengunduran diri pun dilakukan dengan cepat. Si
Colat menetapkan tempat persembunyian sementara. Sepuluh
orang anggota pasukan disebar untuk menghubungi pasukan
lain dan memanggil mereka agar berkumpul di suatu tempat
yang telah ditetapkan. Dari tempat itu, mereka'akan mengatur
penghadangan terhadap pasukan kerajaan yang berjumlah
seratus lima puluh orang itu. Setelah segalanya ditetapkan,
pengunduran diri dimulai.
Dua puluh lima orang penunggang kuda, termasuk si Colat,
Radenjimat, dan Banyak Sumba memacu kuda masing-masing
melintasi perhumaan dan hutan-hutan kecil. Perkampungan
dihindari. Dalam perjalanan itu, suatu hal yang menyedihkan
terjadi. Seorang petani sedang bekerja. Ketika mendengar
mereka lewat, ia berdiri. Petani memerhatikan pasukan yang
lewat. Seorang prajurit si Colat memberi tahu adanya petani
itu, "Bereskan sendiri, jangan sampai dia menjadi sebab
malapetaka bagi kita semua," kata si Colat.
Pasukan jalan terus, hingga Banyak Sumba mendengar
teriakan yang mengerikan. Ketika dia berpaling, tampaklah
dua orang prajurit sedang membunuh petani itu. Ia tidak
dapat berkata apa-apa melihat kejadian itu. Hatinya
bertambah gelisah. Ia tidak betah lagi duduk di atas kudanya
di samping si Colat, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia
hanya berdoa dalam hati agar Sang Hiang Tunggal
menunjukkan jalan baginya dalam mengemban tugas
keluarganya. Sementara itu, perjalanan dilanjutkan, hingga matahari
condong ke barat. Ketika itulah, si Colat memerintahkan agar
pasukan berhenti untuk beristirahat. Pasukan pun memasuki
hutan kecil dan membuka perbekalan. Sementara itu, para
pemimpin berkumpul.
"Kita bermalam di sebuah kampung," kata si Colat.
'Apakah itu tidak terlalu berbahaya?" tanya salah seorang
pembantu utama yang namanya tidak diketahui oleh Banyak
Sumba. "Tidak. Pasukan jagabaya sedang mengatur pengepungan
tempat persembunyian kita yang kosong. Mereka akan cukup
lama mencari jejak kita sebelum besok. Di samping itu, kalau
mereka dapat mengejar kita, kita punya sandera, yaitu isi
seluruh kampung, dan kawan-kawan akan segera tiba."
"Mengapa tidak menginap di hutan?" tanya yang lain.
"Kita harus menyelidiki sikap orang-orang kampung ini,"
kata si Colat, "Di samping itu, hutan lebih terbuka dari
pengepungan, sedangkan kampung berpagar tinggi dan hanya
orang-orang seperti anak buah kita yang tahu bagaimana
menembusnya. Para jagabaya dengan senjata berat akan
menjadi sasaran yang bagus bagi anak panah dari atas
kandang jaga," kata si Colat.
Yang lain tidak berbicara apa-apa. Setelah kuda cukup
mengaso, mereka pun menuju suatu kampung yang letaknya
diketahui oleh anak buah si Colat. Ternyata, pikiran si Colat itu
penuh dengan perhitungan. Dari kampung itu, mereka
mendapat bahan makanan, di samping tempat berlindung.
Malam itu, Banyak Sumba tak dapat tidur nyenyak.
Bukanlah karena ia takut diserang tiba-tiba oleh para
jagabaya, tetapi karena pengalamannya yang lalu, serta
percakapannya dengan si Colat. Betapapun tidak adilnya
kehidupan terhadap dirinya, ia tidak akan bertindak seperti si
Colat, pikirnya. Akan tetapi, ketetapan hatinya itu tidak
sanggup menenangkannya. Sepanjang malam itu, ia gelisah
dan diganggu oleh impian-impian buruk. Berulang-ulang
terbayang juga pemandangan pembunuhan yang dilakukan
oleh dua orang prajurit si Colat terhadap petani yang malang
dan tidak tahu apa-apa itu.
Keesokan harinya, setelah mengurus seluruh persediaan
beras dan garam dari kampung yang didudukinya, pasukan
berangkat menuju tempat persembunyian baru yang telah
ditetapkan. Di suatu persimpangan jalan, sepasukan berkuda
yang terdiri dari lima belas orang telah menunggu. Ternyata,
mereka anak buah si Colat yang datang dari daerah lain.
Mereka membawa dua ekor kuda yang tidak bcrpenunggang.
"Kita kehilangan dua orang," kata pemimpin rombongan
baru itu dengan sedih.
"Ditangkap?" tanya si Colat. Kemarahan tampak pada air
muka yang tiba-tiba berubah.
"Kami dihujani anak panah ketika mendekati kampung di
utara Bukit Saninten itu. Mereka bangkit bersama-sama. Juga
penduduk kampung-kampung sebelah utara. Kami mendengar
berita itu dari penyelidik kami yang sekarang masih
menghubungi kawan-kawan lain."
"Mereka akan belajar nanti," kata si Colat seperti berkata
kepada dirinya sendiri.
Perjalanan pun dilanjutkan, masuk hutan keluar hutan,
melintasi perhumaan, menyeberangi sungai atau padang
alang-alang. Pada sore itu, rombongan melihat sebuah bukit
gundul yang penuh dengan batu-batu runcing berserakan
pada tebingnya yang curam. Ke atas bukit itulah rombongan
berjalan. Ketika matahari hampir terbenam, mereka dengan
susah payah mencapai puncak bukit itu.
Di sana sudah menunggu kurang lebih lima puluh orang
anak buah si Colat lagi yang datang dari tempat lain. Tak lama
kemudian, datang pula pasukan lain dalam jumlah yang sama.
Maka, puncak bukit yang luas dan merupakan benteng alam
itu pun dalam sekejap sudah merupakan sebuah benteng yang
siap menghadapi dan menghalau serangan. Sungguh cerdik si
Colat yang telah menemukan dan mempergunakan puncak
bukit batu sebagai tempat persembunyian. Bagaimanapun,
pasukan jagabaya yang mencoba datang ke tempat itu tentu
kelelahan sebelum mencapainya. Di samping itu, tanpa
membawa perbekalan, pengepungan terhadap benteng alam
itu tidak mungkin dilakukan karena daerah sekitarnya tandus
belaka. Sebelumnya, benteng itu merupakan anugerah alam yang
luar biasa bagi siapa saja yang menggunakannya. Tebing bukit
itu sangat curam, tetapi dengan melalui celah, mudah didaki.
Pihak yang menguasai benteng ini dengan mudah menjaga
celah atau menutupnya dengan batu besar, agar lawan tidak
dapat masuk. Sementara itu, tanah di sekeliling benteng alam
itu tidak menguntungkan bagi pihak penyerang. Tanah di
bawahnya gundul dan rata, sehingga sukar bagi penyerang
untuk mendapatkan perlindungan dari hujan anak panah.
Sedangkan batu dalam ukuran yang tepat untuk pelanting
sangat banyak di puncak, hingga tidak perlu dikumpulkan dari
tempat lain. "Sungguh benteng yang tidak mungkin dikalahkan," kata
Banyak Sumba kepada si Colat yang berdiri di sampingnya. Ia
sedang memberikan perintah kepada anak buahnya untuk
mendirikan beberapa gubuk dan membereskan tempat-tempat
hingga menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal.
"Kita tidak akan menjadikan tempat ini sebagai tempat
bertempur, Raden. Betapapun kuatnya benteng ini, dengan
pengepungan panjang yang dilakukan seribu jagabaya,
akhirnya akan jatuh juga. Kita bukan saja melawan jagabaya,
tetapi juga melawan kelaparan. Kalau sekarang kita berada di
sini, itu hanyalah agar kita lebih tenteram mengatur siasat
bagi medan pertempuran yang akan kita buka di mana-mana,
di bagian kerajaan sebelah sini. Bahkan, kita akan berusaha
agar lawan tidak dapat mendekati tempat ini. Dan hal itu
mudah dilakukan. Pertama dengan menghancurkan mereka di
perjalanan kalau jumlah mereka cukup kecil. Kedua dengan
memancing mereka untuk mengejar pasukan kita ke tempat
lain." "Tetapi, seandainya lawan sampai ke tempat ini, mereka
benar-benar tidak beruntung," kata Banyak Sumba.
"Ya," ujar si Colat sambil melayangkan pandangan ke
sekelilingnya, ke hutan-hutan kelam yang tampak dari atas
benteng alam itu.
Ketika itu, dari bawah tampak pula serombongan
penunggang kuda yang berjalan menuju celah satu-satunya ke
puncak bukit itu.
"Mereka datang dari utara," kata si Colat. "Kita akan
mendapat kabar keadaan Kutabarang, Raden," sambungnya.
Banyak Sumba berjalan bersama si Colat menyambut
kedatangan pasukan baru yang berjumlah kira-kira dua puluh
orang. Mereka turun dari kuda masing-masing. Dalam cahaya
obor, tampak wajah mereka yang berkeringat dan berdebu.
"Kami tidak berhasil mendapat perbekalan sesuai dengan
permintaan yang tercantum dalam surat Juragan," kata
pemimpin rombongan. Si Colat tidak berkata apa-apa,
pandangan matanya bertanya kepada orang itu.
"Orang-orang kampung mulai melawan, hanya beberapa
kampung yang menyediakan upeti. Yang lain tidak membuka
lawang kori, bahkan ada yang menghujani kami dengan anak
panah atau batu pelanting."
Si Colat menundukkan mukanya ke tanah untuk beberapa
lama, kemudian ia mengangkat mukanya lagi, berkata,
"Baiklah, soal perbekalan kita urus nanti, soal sikap orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang kampung itu lebih penting. Kita harus mengurusnya
terlebih dulu."
Setelah itu, ia tidak banyak berkata. Dengan Banyak
Sumba, ia berkeliling mengawasi pengaturan tempat di atas
bukit itu. Tak lama kemudian, gubuk-gubuk telah berdiri, juga
kandang kuda. Gudang besar terbuat pula untuk tempat
perbekalan. Perbekalan yang sudah ada segera dimasukkan
gudang itu. Akan tetapi, baru sedikit yang tersedia sehingga
gudang besar itu sangat kosong. Untuk beberapa lama, si
Colat memandang ke dalam gudang yang masih kosong itu.
Kemudian, bersama Banyak Sumba, ia berjalan ke arah celah
yang merupakan satu-satunya gerbang ke atas bukit itu.
"Kita akan membuat pintu besar dari kayu, yang dapat
ditutup dan dibuka," kata si Colat sambil memeriksa cadas di
kedua belah celah. Ia memandang pula ke atas, ke tempat
beberapa orang anak buahnya berdiri, menjaga.
"Hanya puragabaya yang dapat menyelinap. Tapi sebelum
dapat mencapai dinding benteng, puragabaya pun akan
menghadapi bahaya yang sukar dihindarkan," sambungnya
pula. "Mungkinkah kerajaan mengerahkan para puragabaya?"
"Mungkin saja, Raden," ujar si Colat, "Sekurang-kurangnya,
para calon akan diikutsertakan sebagai pembantu pemimpin
pasukan jagabaya. Mereka akan menjadi penasihat dalam hal
siasat atau penunjukjalan. Kalau ada kesempatan, mereka
akan bertindak pula sebagai pengintai dan penyerang gelap.
Pernah seorang pembantu saya tewas dengan cara yang
aneh. Ia ditemukan mati di gubuknya. Ini pekerjaan calon
puragabaya yang diperbantukan pada pasukan jagabaya yang
menyerang pasukan anak buah saya itu. Tentu saja pasukan
yang kehilangan kepala ini kalang kabut. Banyak yang mati,
banyak pula yang tertawan. Tapi, kita tidak mau diserang
secara demikian untuk kedua kali. Kami harus lebih cerdik,
lebih banyak bergerak. Jangan mau diserang, lebih baik
menyerang, lalu menghilang. Semenjak itulah saya berpindahpindah."
Setelah pembicaraan itu, mereka kembali ke gubuk yang
telah disediakan oleh anak buah si Colat. Malam itu juga,
sambil makan si Colat dan para pembantunya melakukan
perundingan. Kemudian, ditetapkan bahwa dua hal yang
penting harus dilakukan dalam seminggu. Pertama,
mengumpulkan perbekalan sebanyak-banyaknya dan
menghancurkan pasukan-pasukan jagabaya yang dikirimkan
kerajaan ke daerah itu. Kedua, usaha itu harus dilakukan
bersama-sama untuk mencapai tiga hal, yaitu untuk
mendapatkan bekal, untuk mengubah sikap rakyat, dan untuk
memberikan waktu kepada pasukan si Colat menciptakan
siasat lain setelah pasukan-pasukan jagabaya dihancurkan.
Dalam rangka siasat yang besar, diatur pula siasat-siasat
kecil, di antaranya bertujuan untuk menyembunyikan tempat
induk pasukan. Untuk itu, kampung-kampung yang terlalu
dekat dengan benteng alam tidak boleh diganggu. Di samping
itu, kekacauan-kekacauan akan dilaksanakan di dekat kotakota,
hingga balatentara kerajaan akan beranggapan bahwa
gerakan si Colat berpindah mendekati kota-kota setelah
mereka mengirim pasukan ke kampung-kampung. Hal itu akan
membingungkan lawan.
Keesokan harinya, usaha itu mulai dijalankan. Pasukan
dibagi dalam kelompok-kelompok dan berangkat menuju
tempat-tempat yang ditentukan sebelumnya. Akan tetapi,
suatu pasukan besar berangkat ke arah lain, yaitu untuk
menghadang jagabaya yang dikabarkan mendatangi wilayah
itu. Si Colat tinggal di puncak bukit itu. Ia menerima laporan
setiap hari dari para penunggang kuda yang datang berduadua
dari segala jurusan.
Pada suatu pagi, si Colat berkunjung ke gubuk yang khusus
disediakan untuk Banyak Sumba.
"Raden, pasukan jagabaya yang seratus lima puluh orang
itu sudah berada di sekitar Kampung Murugul. Pasukanpasukan
kita sudah siap di sekitarnya. Saya harus berangkat
ke tempat itu untuk memimpin penyerangan. Karena di sini
tidak ada pemimpin sama sekali dan Raden satu-satunya
orang yang dapat saya percaya, terpaksa saya meminta
kepadamu untuk tinggal di sini dan mengawasi pengaturan
serta menerima berita dari daerah-daerah."
"Berapa jauh Kampung Murugul dari sini, Kakanda?"
"Dua hari perjalanan Raden, jadi saya akan berada kembali
di sini dalam waktu lima hari," kata si Colat. Mendengar
perkataan si Colat itu, sebenarnya Banyak Sumba merasa
lega. Bagaimanapun, ia tidak bermaksud bertempur melawan
para jagabaya yang tidak punya persoalan dengan dia. Ia
hanya bermaksud berkelahi melawan Anggadipati. Dan
kalaupun saat itu ia bersama si Colat, hal itu dilakukan dengan
harapan pada suatu hari Anggadipati terpaksa akan diperintah
mengatur penyerangan terhadapsi Colat. Ketika itulah ia
menghadapi Anggadipati.
"Kalau memang tidak ada orang lain yang dapat Kakanda


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tugaskan di sini, apa boleh buat," kata Banyak Sumba.
Si Colat memandang Banyak Sumba untuk beberapa saat,
kemudian berkata, "Di samping itu, saya pun tak hendak
melibatkan kau dengan persoalan saya ini, Raden. Kau tidak
punya kewajiban untuk ikut menghadapi mereka itu."
Banyak Sumba tidak tahu bagaimana ia harus berkata.
Kemudian, ia segera mengisi keheningan, "Baiklah, jadi saya
akan mengurus di sini dan menerima berita-berita dengan
Raden jimat."
"Tapi, Jimat mau ikut, Raden."
"Kakanda, bukankah itu sangat berbahaya?" tanya Banyak
Sumba. Ia gelisah. Kalau Raden jimat ikut, tentu ia sendiri
akan malu kalau tidak ikut.
"Tidak, Raden. Ia akan bersama saya tinggal di puncak
bukit, di tempat mengatur siasat. Kalau ada sesuatu yang
terjadi, dan itu tidak mungkin, kami sudah mempunyai jalanjalan
dan cara-cara meloloskan diri."
Banyak Sumba merasa lega karena hal itu berarti bahwa
kepergian si Colat ke medan perang bukan untuk bertempur,
tetapi untuk mengatur pertempuran. Ia segera berkata,
"Baiklah, Kakanda. Saya akan menunggu Kakanda di sini
hingga tiba kesempatan saya untuk bertempur, nanti di
Kutabarang."
"Ya, Raden," kata si Colat sambil tersenyum. Setelah itu,
pembicaraan hanya mengenai soal-soal kecil, kemudian
mereka pun berpisah. Si Colat bersiap-siap untuk berangkat,
sementara Banyak Sumba menghubungi anak buah si Colat
yang tidak berangkat untuk menyampaikan perintah.
KETIKA si Colat tidak ada di tempat, tak banyak pekerjaan
yang harus dilakukan. Banyak Sumba hanya berpindah
tempat, yaitu ke gubuk terbesar. Di sana, ia menerima para
penyelidik yang berdatangan dari waktu ke waktu untuk
menyampaikan laporan. Semua laporan umumnya hampir
sama, yaitu mengenai bertambah sukarnya mendapat
perbekalan karena kampung-kampung mulai diduduki oleh
jagabaya. "Harap disampaikan kepada Juragan bahwa kampungkampung
sekarang merupakan benteng yang bukan saja tidak
lagi menjadi sumber perbekalan pasukan, tetapi juga menjadi
benteng yang disebarkan lawan untuk mengepung kita."
Dari laporan-laporan yang diterimanya itu, Banyak Sumba
dapat membayangkan keadaan yang dihadapi si Colat. Karena
keangkuhannya, akhirnya kerajaan memutuskan untuk
memberinya pelajaran. Si Colat benar-benar dikepung, tidak
hanya diancam. Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa tidaklah tepat
untuk melawan kerajaan dengan mempergunakan pasukan
yang besar. Untuk menghantam kerajaan, akan lebih
bijaksana kalau mempergunakan sepuluh orang puragabaya
yang paling baik. Tapi, tentu saja mempergunakan
puragabaya tidak mungkin karena para puragabaya adalah
mereka yang menyerahkan hidupnya untuk kerajaan. Jadi,
sebaiknya si Colat mempergunakan orang-orang yang dididik
dalam keperwiraan hingga mencapai tingkat kepuragabayaan.
Demikianlah pikiran Banyak Sumba menerawang selagi ia
duduk di tengah-tengah gubuk besar, seraya menanti anak
buah si Colat yang datang dari waktu ke waktu membawa
berita. Tiba-tiba, bertanyalah ia dalam hati, "Mengapa si Colat
melakukan suatu hal yang tidak bijaksana, yaitu dengan
membina suatu pasukan besar?" Pertanyaan yang muncul
dengan tiba-tiba itu mengherankan dirinya sendiri.
Bagaimanapun, tindakan si Colat dengan membuat pasukan
yang besar benar-benar tidak bijaksana, kalaupun tidak dapat
dikatakan sia-sia. Yang jelas, tidak ada gunanya kalau hanya
untuk membalas dendam terhadap keluarga Tumenggung
Wiratanu. Apakah si Colat memiliki tujuan lain" Banyak Sumba
mulai curiga. Sementara ia masih termenung demikian, datanglah
penunggang kuda dua orang, yang langsung dibawa oleh
penjaganya. "Kami dari wilayah barat, Juragan," kata kedua orang
penunggang kuda itu.
"Laporankanlah segalanya, nanti saya sampaikan kepada
majikan kalian," sambut Banyak Sumba seraya mengeluarkan
beberapa helai lontar dari kotaknya, kemudian mulai bersiap
untuk menulis. Kedua penunggang kuda itu secara saling
melengkapi menerangkan keadaan yang dihadapi pasukan si
Colat di daerah barat.
Ternyata, keadaan di dekat Pakuan Pajajaran tidaklah
seburuk di tempat-tempat lain. Kampung-kampung
pegunungan yang sukar dicapai oleh para jagabaya terpaksa
masih memberikan makanan kepada pasukan si Colat. Sikap
melawan tidak tampak di sana. Rupanya, orang-orang Pakuan
Pajajaran sudah mengetahui bahwa si Colat masih jauh.
Pengepungan lebih tepat dilakukan di tempat yang benarbenar
berada di sekitar persembunyian si Colat.
"Baiklah," kata Banyak Sumba, "tidak ada lagi?"
Sebelum kedua penunggang kuda itu menjawab, di luar
terdengar ribut-ribut. Banyak Sumba mengangkat kepalanya,
seorang badega masuk, lalu berkata, 'Juragan Anom, ada
utusan yang hendak melapor, tapi ia luka. Ia hampir
meninggal dan tidak mungkin di bawa ke sini."
Banyak Sumba memberi isyarat kepada kedua tamunya,
lalu ia bangkit dan bergegas ke luar.
Dibaringkan di atas helai kulit kambing, seorang anak buah
si Colat yang sudah berumur, sedang berjuang melawan
malakal maut. Dari pakaian yang basah, Banyak Sumba tahu bahwa ia
luka parah. "Seorang penduduk kampung melemparkan tombak
kepadanya ketika ia lewat dijalan di bawah bayangan
pagarnya," kata temannya yang lebih muda.
"Mengapa tidak dibawa ke dalam ruangan agar diurus?"
tanya Banyak Sumba. "Laporan dapat ditangguhkan dulu,"
sambungnya. "Ia mau menyampaikan sesuatu kepada Juragan Colat.
Ketika diberi tahu Juragan Colat tidak ada, ia meminta Juragan
Anom." Banyak Sumba berlutut, lalu berkata kepada orang tua itu,
"Paman, saya wakil Juragan Colat."
Orang tua itu membuka matanya, memandangnya dengan
teliti, lalu berusaha berkata, tetapi kemudian matanya
dipejamkan kembali. Sambil terpejam ia berkata, "Saya sudah
katakan dulu adanya
Banyak Sumba dengan sabar menunggu lanjutan kata-kata
itu. Orang tua itu membuka matanya, kemudian berkata, lagi,
"... kalau keluarga Tumenggung Wiratanu sudah habis,
sudahlah. Kerajaan terlalu kuat untuk direbut... dan sang
Prabu adalah pilihan Sang Hiang Tunggal... katakan
kepadanya."
"Ya," kata Banyak Sumba, walaupun ia tidak yakin akan
apa yang ditangkapnya dari kata-kata orang yang menghadapi
kematian itu. Setelah itu, orang tua tersebut tidak berkata apa-apa lagi.
Banyak Sumba memerintahkan agar orang yang terluka itu
dibawa ke gubuk terdekat. Ia sendiri berdiri untuk beberapa
lama, memandang ke arah para badega yang menggotong
orang itu dengan hati-hati.
Waktu Banyak Sumba sudah berada kembali dalam gubuk
besar, seorang badega datang memberi tahu bahwa orang
terluka itu sudah meninggal. Banyak Sumba pun segera
mengurus hal-hal yang berhubungan dengan upacara
pembakaran jenazahnya.
Malam itu, setelah larut sekali, Banyak Sumba baru dapat
tidur. Tetapi, ia terbangun subuh-subuh benar. Sekeliling
tempat itu sepi sekali, hanya kadang-kadang dari arah hutan
rimba terdengar aum harimau atau teriakan binatang lain.
Banyak Sumba mencoba tidur kembali, tetapi pikirannya
melayang ke arah peristiwa siang harinya.
'Juragan,Juragan," tiba-tiba terdengar orang memanggil
dari luar. Banyak Sumba membuka pintu, lalu memandang
kepada dua orang badega yang berdiri dalam remang-remang
subuh. "Ada apa?"
"Tewas, Juragan Anom."
"Apa?"
"Raden Jimat gugur."
"Raden Jimat"!" tiba-tiba Banyak Sumba berseru. Berita itu
datang bagaikan sebuah tinju besar menghantam kepalanya.
"Ya, kena anak panah."
"Apakah ia ikut bertempur?" tanya Banyak Sumba.
"Tidak. Pertempuran berjalan dengan baik, kita membunuh
dan menawan anggota-anggota pasukan jagabaya itu."
"Lalu?"
"Ketika pasukan kita pulang, kami lewat di sebuah
kampung. Ketika itu, Juragan Colat ingin mengetahui
kesetiaan kampung itu dan menyuruh sebagian pasukan
mendekatinya. Tiba-tiba, dari atas pohon-pohonan anak panah
datang bagaikan hujan. Salah satu menyelusup di sela-sela
baju zirah Radenjimat dan mengenai paru-parunya.
Radenjimat meninggal tidak lama kemudian."
"Saya akan pergi ke sana sekarang juga!" kata Banyak
Sumba. Kesedihan mendesak dalam kalbunya.
"Kami diperintahkan untuk mengambil pakaian dan semua
senjata Raden jimat. Upacara pembakaran mayat akan
dilakukan di kampung itu juga."
Banyak Sumba membantu kedua utusan itu mengambil
pakaian dari senjata Raden jimat. Sambil memegang pakaian
anak itu, air matanya menitik tidak tertahankan. Segala
kenangan dengan anak itu terungkap kembali ketika helai
demi helai pakaiannya diambil dari dalam peti. Ia dapat
membayangkan betapa remuk hati si Colat oleh peristiwa itu.
Setelah menyerahkan tugas kepada badega yang tertua
dan menitipkan berbagai pesan, bersama sepuluh orang
anggota pasukan, Banyak Sumba berangkat menuju tempat
akan dilaksanakan upacara pembakaran. Sepanjang hari,
Banyak Sumba dengan pengiringnya memacu kuda mereka.
Ternyata, kampung itu berada sehari perjalanan dari bukit
persembunyian mereka.
Ketika matahari turun, barulah mereka sampai. Untung
ketika itu upacara penyucian jenazah baru selesai dilakukan
dan orang sedang membungkuskan kain putih sebagai baju
kematian Radenjimat.
Banyak Sumba menyentuh jenazah sambil tidak dapat
menahan air matanya. Ia tidak berani melihat ke arah si Colat
yang berdiri dekat jenazahnya bagaikan sebuah patung. Ia
ikut membantu para badega dan seorang pendeta yang
memanjatkan doa. Setelah jenazah selesai dipersalinkan,
segala miliknya yang berupa perhiasan dan senjata diletakkan
di sampingnya. Jenazah pun diusung di atas keranda yang
dihias dengan indah ke lapangan yang terletak tidak jauh dari
kampung. Sepanjang jalan, sambil berdoa, Banyak Sumba melihat
mayat laki-laki bergelimpangan. Ia menyadari bahwa kampung
itu direbut dengan pertumpahan darah. Kemudian, perhatian
Banyak Sumba tertarik oleh unggun pembakaran jenazah yang
disusun tinggi-tinggi di lapangan kecil dekat kampung itu.
Dalam remang-remang senja, tampak susunan unggun seperti
sanggar pemujaan.
Pasukan berkeliling sekitar unggun, kira-kira jarak sepuluh
langkah darinya. Jenazah diusung oleh empat orang badega
dibawa ke arah unggun. Di depan jenazah, berjalan pendeta
menabur-naburkan bunga seraya menyanyikan doa. Di
sekeliling tempat itu hening belaka.
Tiba-tiba, Banyak Sumba melihat sesuatu yang aneh dalam
remang-remang cahaya sore itu. Beberapa bagian unggun itu
bergerak-gerak. Ketika Banyak Sumba menajamkan
pandangannya, tampaklah sesuatu yang mengejutkan dan
menyeramkan bulu ramanya.
Ternyata, berselang-selang dengan kayu samida sebagai
kayu pembakaran itu, terdapat pula manusia yang diikat satu
sama lain, seperti juga kayu bakar. Segera Banyak Sumba
menyadari bahwa mereka itu adalah penduduk kampung yang
menyebabkan kematian Raden Jimat. Menyadari hal itu,
gemetarlah seluruh tubuh Banyak Sumba. Ia makin
menajamkan matanya. Ia ragu-ragu, apakah manusia yang
bercampur dengan kayu bakar itu semua laki-laki atau juga
termasuk perempuan. Ini pikiran dan dendam orang gila, pikir
Banyak Sumba. Ini tidak boleh terjadi. Sang Hiang Tunggal
akan mengutuk seluruh Pajajaran, termasuk dirinya, kalau
peristiwa yang buas itu terjadi. Betapapun hatinya merontaronta,
kakinya seolah-olah terpaku pada tanah. Ia hanya
gemetar dan tidak dapat berbuat apa-apa. Juga ketika
seorang badega berjalan dengan obor besar, menuju
tumpukan kayu samida dan manusia yang telah disirami
dengan minyak kelapa itu. Tubuh Banyak Sumba berguncang,
hatinya berontak, tetapi badannya seperti membeku di
tengah-tengah keheningan itu.
Tiba-tiba, sesuatu terjadi. Dari arah tumpukan kayu dan
manusia itu, terdengar suara kecil. Mula-mula tidak jelas,
kemudian makin lama makin keras. Tangisan bayi. Tangisan
bayi itu makin lama makin keras. Banyak Sumba
mendengarnya dan tiba-tiba ia menyadari bahwa itu tangisan
bayi manusia yang mewakili seluruh kemanusiaan yang
hendak diperiakukan dengan buas. Mendengar tangisan bayi
di dalam tumpukan kayu bakar itu, berkunang-kunanglah
mata Banyak Sumba.
Ia melihat badega yang membawa obor besar berjalan dan
hendak menyulut unggun besar itu. Tiba-tiba, tangisan bayi itu
melengking bertambah nyaring. Hati banyak Sumba berontak,
melonjak, dan tercabutlah kakinya dari bumi. Ia menghambur
ke depan, ke arah pembawa obor itu.
"Tidak. Tidak. Jangan!" katanya sambil berlari. Ia
menangkap obor itu, lalu membantingnya ke tanah dan
memijak-mijak nyalanya hingga padam. Ia berpaling kepada si
Colat, hendak mengatakan sesuatu, "Kakanda!" serunya
tersendat. Yang dilihatnya adalah ujung-ujung tombak menuju
dadanya.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan, mari kuhabisi," kata si Colat kepada anak buahnya
yang menodongkan tombak kepada Banyak Sumba.
Secepat kilat, si Colat mencabut trisula yang tersembunyi di
balik ikat pinggang kain lebar. Ia melangkah menuju Banyak
Sumba. Banyak Sumba mundur, "Kakanda," katanya berbisik.
Ia melihat mata si Colat memandang kepadanya dengan
cahaya lain. Banyak Sumba mundur. Tapi karena kebiasaan
sebagai perwira, ia menangkap gerak kedua kaki si Colat. Ia
mundur, tapi ia pun meraba kedua trisulanya yang juga
terselip di bawah ikat pinggang kulit harimau tutulnya. Ia
mundur dan tiba-tiba si Colat menghambur.
Banyak Sumba melihat obor. Ia menyangka obor itu obor
lain untuk menyalakan api unggun pembakaran. Ia mengambil
risiko. Ia mencegat gerakan si Colat dengan melanggar kaidah
perkelahian puragabaya.
Ia mencegat gerakan si Colat itu dan menyusul dengan
serangan putus asa karena ingin segera melepaskan diri dari
perkelahian dan mencegah orang memulai pembakaran
jenazah itu. Suara daging robek dan tulang yang patah
terdengar, kemudian dia dan si Colat sama-sama terpelanting.
Rasa sakit yang amat sangat menusuk seluruh tubuh Banyak
Sumba. Dengan pandangan berkunang-kunang, ia melihat si
Colat terhuyung menuju kepadanya dengan kedua trisula di
tangannya. Banyak Sumba bersiap dan ketika mereka
bertubrukan, tiba-tiba pandangan Banyak Sumba menjadi
gelap. Ia hanya mendengar teriakan-teriakan, kemudian
segalanya gelap dan sunyi.
-ooo00dw00ooo- Bab 13 Jasik Setelah waktu yang ditetapkan tiba, dan Banyak Sumba
tidak muncul dari arah Padepokan Sirnadirasa, Jasik
mengambil kesimpulan Banyak Sumba meloloskan diri ke arah
lain. Ia tidak percaya kalau majikannya dapat dikalahkan calon
puragabaya yang akan dipancingnya untuk berkelahi. Ia pun
tidak percaya kalau Banyak Sumba sampai tertangkap oleh
para siswa Padepokan Sirnadirasa. Pertama, karena bagi Jasik,
Banyak Sumba seorang perwira yang tidak mungkin
dikalahkan, bahkan oleh seorang puragabaya sekalipun.
Kedua, karena berulang-ulang Banyak Sumba mengatakan
kepadanya bahwa ilmu keperwiraan di Padepokan Sirnadirasa
itu tidak lengkap, walaupun sangat ampuh.
Oleh karena itu, ketika Banyak Sumba tidak muncul juga di
tempat yang sudah dijanjikan, Jasik tidak cemas. Ia
berlindung di dalam hutan di tepi jalan bercabang itu. Ia
menyembunyikan diri dengan dua ekor kuda yang dibawany.i,
yang seekor kudanya sendiri, yang lain kuda Banyak Sumba
Akan tetapi, sampai hari panas, majikannya tidak d.u.mg
juga. Ia mulai gelisah. Berulang-ulang ia berpaling ke aroli
jalan yang datang dari Padepokan Sirnadirasa. Tiba-tiba, lam
paklah olehnya tiga orang penunggang kuda yang masih mite
l.i muda. Jelas, mereka para siswa Padepokan Sirnadirasa. Jas
i k mengundurkan diri ke dalam semak-semak sambil
mengintip mereka. Mereka melarikan kudanya cepat-cepat
seraya bercakap-cakap. Terdengar olehjasik, salah seorang
berkata, "la lari ke dalam hutan ke puncak gunung itu. Ia
masuk Hutan Larangan setelah beberapa orang dipukulnya.
Tapi, tangannya terkilir juga. Mungkin ia akan keluar dari
Hutan Larangan itu, kemudian merayap ke jalan besar. Kita
perlu mencarinya di Kutabarang."
Jasik tertawa mendengar percakapan para penunggang
kuda itu. Ia membayangkan bagaimana majikannya memukul
dan menyepak para siswa Padepokan Sirnadirasa itu. Akan
tetapi, ia cemas juga ketika ia mendengar Banyak Sumba
terkilir tangannya. Kemudian, Jasik berpikir. Ia tahu bahwa
Banyak Sumba sangat cerdik. Ia akan masuk kampung,
membeli kuda, lalu berangkat ke Kutabarang. Jadi, Jasik tidak
usah menunggunya karena seperti diceritakan oleh
penunggang kuda dari Padepokan Sirnadirasa itu, majikannya
masuk Hutan Larangan. Dan, itu sebelah barat Padepokan
Hikmah Pedang Hijau 8 Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Persekutuan Pedang Sakti 3

Cari Blog Ini