Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 15

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 15


Siapa tahu ia akan dibunuh. Itulah sebabnya, ia harus berlari.
Akhirnya, pohon-pohon tinggi mulai tampak. Ia makin
mempercepat larinya.
Ketika ia mulai masuk hutan, hatinya mengucapkan doa
syukur kepada Sang Hiang Tunggal yang telah melindunginya.
Dalam hutan itu, ia akan lebih mudah meloloskan diri. Ia
memperlambat larinya, sambil mengurut-urut pergelangan
tangan kirinya yang mulai membengkak. Ia terus beriari,
makin lama hutan makin lebat dan udara makin sejuk.
Akhirnya, ia berjalan, walaupun telinganya terus-menerus
mendengarkan setiap suara, waspada terhadap kemungkinan
adanya pengejar yang membuntuti. Akhirnya, karena
segalanya sunyi, kecuali suara beberapa ekor burung yang
bernyanyi di atas dahan-dahan kayu yang tinggi dan rindang,
ia pun menjatuhkan diri di atas daun-daun kering di sela-sela
semak. Ia hampir kehabisan napas, keringatnya membasahi
seluruh tubuhnya, sementara itu pergelangan tangan kirinya
makin berdenyut juga. Ia menarik tangannya itu. Ketika rasa
sakitnya menusuk, teringatlah ia kepada Jasik. Seandainya
Jasik ada di dekatnya, panakawannya yang setia dan sayang
kepadanya itu akan mengurutnya. Dalam waktu singkat, akan
pulihlah tangannya itu. Ia ingat bahwa berulang-ulang ia
terkilir dan Paman Wasis dengan mudah membetulkan tulangtulang
atau urat-uratnya yang salah tempat. Akan tetapi,
karena biasa menggantungkan diri pada pertolongan Jasik,
sekarang ia tidak tahu bagaimana harus membetulkan
tangannya sendiri. Ia hanya merasakan sakit amat sangat
yang hampir menghentikan napasnya.
Tiba-tiba, suara berisik terdengar. Ia segera bangkit dan
lari merunduk-runduk menjauhi suara itu sambil makin dalam
memasuki hutan belantara. Setelah merasa aman, ia berhenti
dan duduk di akar sebatang pohon yang besar. Kembali ia
mencoba mengurut-urut tangannya sambil mengerang-erang.
Kemudian, terpikir olehnya bahwa tulang pergelangan tangan
kirinya yang bengkak itu tidak tepat letaknya, tidak seperti
yang kanan. Ia mencoba mengubah kedudukan tulang
tangannya yang tidak tepat itu. Ketika rasa sakitnya amat
sangat, ia mengaduh dengan keras. Dari arah bawah
terdengar suara berisik ke arahnya. Ia bangkit dan berlari
dengan cepat, tetapi berusaha tidak menimbulkan suara.
Tiba-tiba, kakinya kehilangan pijaknya. Ia tidak melihat
bahwa di samping kanannya terdapat jurang. Ia terjatuh dan
berusaha secara naluriah menangkap pegangan. Tangan
kanannya menggapai, tangan kirinya yang sakit menangkap
cabang semak. Bersamaan dengan tubuhnya yang mulai
bergantung, berbunyilah pergelangan tangannya itu. Rasa
sakit menusuk seluruh tubuhnya. Banyak Sumba memejamkan
mata sambil menangkap cabang lain dengan tangan
kanannya. Air matanya keluar karena kesakitan yang amat
sangat. Akan tetapi, terasa olehnya bahwa betapapun masih
sakit, tangan kirinya mulai mereda sakitnya. Ia melihat ke
tangan kirinya. Di bawah bengkaknya, ia dapat menduga
bahwa tulang-tulangnya sudah kembali pada tempatnya
semula. "Terus, ke atas!" terdengar suara di bibir jurang.
"Saya lihat ia kemari."
"Tapi ia tidak ada di sini, tentu di tempat lain," kata
temannya. "Ini ada bekasnya."
Banyak Sumba menahan napasnya sambil berdoa. Kalau
saja ada orang yang melihat ke dalam jurang, siapa tahu ia
akan ditemukan. Dan membunuh orang yang berada di dalam
kedudukan seperti dia tidaklah sukar. Lemparkanlah batu yang
cukup besar dan ia akan jatuh bersama batu itu ke dalam
jurang. Itulah sebabnya, ia berdoa, memohon lindungan Sang
Hiang Tunggal. Suara-suara makin menjauh. Setelah segalanya sunyi
kembali, Banyak Sumba bergerak, melihat ke dalam jurang.
Ternyata, jurang itu dalam sekali. Dasarnya tidak kelihatan
karena ditutupi pohon-pohon yang besar. Ia memejamkan
matanya, lalu mulai mempergunakan tangan kanan dan kedua
belah kakinya untuk menaiki tebing itu. Kadang-kadang, ia
mempergunakan giginya untuk berpegangan. Kalau keadaan
sangat berbahaya, ia terpaksa mempergunakan tangan
kirinya, walaupun sambil mengerang-erang kesakitan. Kalau di
atas terdengar berisik, ia menghentikan usahanya sambil
menahan napasnya.
Ketika sunyi mulai menguasai hutan, ia mulai lagi
merangkak ke atas. Akhirnya, tiba juga ia di bibir jurang,
walaupun seluruh tenaganya terasa telah meninggalkan
tubuhnya. Maka, berbaringlah ia di sana untuk beberapa lama.
Setelah napasnya pulih kembali, ia bangkit. Sambil
mengendap-endap, ia berjalan tak tentu arah.
Entah sudah berapa lama ia berjalan. Ia tidak dapat
mengira-ngira panjangnya waktu. Matahari sudah berada di
puncak langit, dahaga mulai membakar dadanya. Ia duduk di
bawah sebatang pohon sambil mengurut-urut tangan kirinya
yang bengkak, "Saudara Sumba, menyerahlah!" tiba-tiba
terdengar suara Raden Girilaya. Banyak Sumba segera berdiri
dan bersiap untuk berlari. Ternyata, di sekelilingnya sudah
berdiri para siswa padepokan.
"Saya sungguh-sungguh prihatin dan bersedih hati karena
perbuatan Saudara yang tidak saya mengerti. Sungguh saya
tidak mengerti," kata Raden Girilaya, "Saudara saya hormati,
saya jadikan teladan, tetapi ternyata Saudara berjiwa kerdil.
Sekarang, menyerahlah. Kami akan memperlakukan Saudara
baik-baik," katanya, pada wajahnya terbayang kesedihan dan
kebingungan. Hampir saja Banyak Sumba menyerahkan diri
ketika ia melihat kesedihan terbayang di wajah yang
mengingatkannya kepada Nyai Emas Purbamanik. Akan tetapi,
tiba-tiba terngiang dalam hatinya pelajaran Paman Wasis,
"Kalau dikeroyok, berusahalah supaya lawan tidak mengurung
Raden. Rencanakanlah ke mana Raden akan melarikan diri
atau mencari kedudukan lain yang lebih baik. Seranglah lawan
yang Raden anggap paling kuat!"
Kenangan pada pengajaran Paman Wasis menyalakan
matanya kembali. Sifat keras hatinya tumbuh lagi, keberanian
berkobar. Ia berdiri tegak, lalu berkata, "Saya sudah
meramalkan bahwa Saudara-saudara akan menyesali
perbuatan saya. Akan tetapi, saya tidak menyesal karena
perbuatan itu saya lakukan untuk tujuan mulia yang tidak
dapat saya jelaskan kepada Saudara-saudara. Sebagai
seorang kesatria, saya tidak boleh menyerah karena dengan
demikian, berarti saya tidak yakin lagi kemuliaan cita-cita yang
saya junjung. Oleh karena itu, tangkaplah saya," kata Banyak
Sumba. "Saudara Sumba, Saudara telah melanggar kesatriaan
Saudara, yaitu dengan menyerang calon puragabaya. Saudara
hanya dapat mempertahankan kesatriaan Saudara dengan
mengakui kesalahan Saudara. Pengakuan kesalahan itu hanya
dapat Saudara lakukan dengan perbuatan, yaitu dengan
menyerahkan diri dan meminta maaf serta bersedia dihukum,"
kata Raden Girilaya dengan nada sedih yang keluar dari lubuk
hatinya. "Saudara Sumba, bacalah mantra-mantra, sadarlah" ujar
Raden Girilaya dengan sedih.
"Pikiran saya jernih, saya tidak gila. Kakanda.." ia akan
mengatakan bahwa Kakanda Jante Jaluwuyung juga disebut
gila sebelum dibunuh dan ia tidak mau diperlakukan demikian.
Ia tidak berkata lagi, ia bergerak, bersiap siaga. Para
pengurung bergerak mengecilkan kurungannya, kecuali di
belakang Banyak Sumba yang terhalang oleh sebatang pohon
besar. "Saudara Sumba.."
Banyak Sumba maju, mendekat ke arah Ginggi yang
terdekat. Itu hanyalah pancingan. Ia tahu bahwa yang terkuat
di antara mereka adalah Raden Girilaya, tetapi ia harus
menipu mereka. Kurungan makin ketat. Banyak Sumba
merasa, tangan kirinya berdenyut perlahan-lahan. Ia tahu
bahwa ia akan repot sekali dengan mempergunakan tangan
itu. Ia harus memercayakan nasibnya terutama pada kedua
belah kakinya. Ia menghambur ke arah Ginggi yang segera
menghindar. Tanpa mempergunakan matanya, Banyak Sumba dapat
meramaikan bahwa Raden Girilaya bergerak ke depan hendak
menangkapnya, ketika ia berpura-pura menyerang Ginggi.
Banyak Sumba mendengar suara gerakan itu. Tanpa
membalikkan badannya, ia menendang dengan kaki kirinya ke
arah suara itu. Tendangan yang keras menemukan sasaran
yang tidak menduga. Gedebuk suara tendangan diikuti dengan
suara tubuh jatuh di atas semak-semak. Sambil berteriak,
Banyak Sumba melompat ke arah tempat lowong yang
ditinggalkan oleh Raden Girilaya yang terbaring di dalam
semak dan mencoba bangkit. Dua orang mencoba
mencegatnya, tetapi tangan kanan dan kaki kiri Banyak
Sumba berdesing ke arah mereka.
Banyak Sumba berlari berbelok-belok, menyelinap
mengendap. Tiba-tiba, Kunten sudah berdiri di hadapannya
sambil berteriak-teriak, "Di sini! Di sini!"
Banyak Sumba pura-pura kembali melarikan diri. Akan
tetapi, ketika didengarnya suara Kunten mengejarnya, ia
segera berbalik mengirimkan tendangan ke muka Kunten yang
kurang waspada. Kunten jatuh ke samping, ke semak. Banyak
Sumba berbelok. Di sekelilingnya ia melihat semak-semak
bergerak dan pakaian hitam berkelebatan. Tiba-tiba, dari
dalam semak, melompatlah seseorang dan melibat kakinya.
Banyak Sumba jatuh berjungkir. Akan tetapi, karena ia
melindungi tangan kirinya, tangannya itu tidak tertindih.
Begitu ia bangkit dengan mempergunakan tangan kanannya,
sebuah tendangan menuju mukanya. Ia sempat menghindar
dan menjatuhkan diri bergelundung ke bawah lereng Ketika ia
berdiri, sebuah tinju mendesing dan mengenai pundak
kanannya. Ia mempergunakan kaki kanan untuk merobohkan
penyerang yang kemudian terpental dan berguling-guling di
lereng yang semaknya pendek itu.
Banyak Sumba berbalik karena kalau turun dari gunung, ia
akan menuju padepokan. Dari atas, seseorang berlari
memburunya. Banyak Sumba membelok ke sebelah timur.
Semak-semak bergerak sekelilingnya. Mereka mencegat,
pikirnya. Ia membelok mendaki. Galih berdiri di hadapannya,
siap. Banyak Sumba membelokkan badannya seolah-olah akan
berlari ke kiri. Galih melompat ke sebelah kiri, hendak
mencegatnya. Banyak Sumba menyepak dengan kaki kirinya
ke arah itu. Galih menghindar, tetapi karena kakinya
tersangkut akar, walaupun tidak kena tendangan, Galih
terjatuh berguling-guling ke bawah.
Tiba-tiba, orang mencegatnya dari kiri dan kanan,
serempak keluar dari dalam semak. Banyak Sumba yang
sudah kelelahan menyerusuk ke sebelah kanan sambil
memukul dengan pinggir tangan kanannya. Pukulan itu
tertangkis, tetapi berat badan Banyak Sumba melanggar orang
itu. Ketika mereka jatuh, seseorang menangkap pinggang
Banyak Sumba. Banyak Sumba mengibaskan tubuhnya yang
besar dan berat, lalu menggelundungkan diri ke bawah.
Sementara itu, tangan kanannya mencari-cari jari orang yang
memegang pinggangnya. Ia membuka sebuah jari
penangkapnya, lalu berusaha berdiri, tetapi kakinya ditangkap
lawan. Ia mempergunakan kaki kiri menyepak pundak lawan
yang berada di tempat yang lebih rendah di lereng bersemak
itu. Ia bangkit dan sadar, para pemburu telah mengurungnya.
Ia hampir berputus asa karena ia sudah telalu lelah.
Dengan keputusasaannya itu, timbullah keberanian yang
nekat. Dengan teriakan, ia berlari menuju salah seorang
penge-pung yang berdiri di sebelah kirinya. Tampak Hariang
yang ditujunya gentar, ia berpaling ke kiri dan ke kanan.
Ketika itulah, Banyak Sumba membelok, menyerang orang
yang berdiri di samping Hariang, beberapa langkah di dekat
pengepung itu. Pukulan tangan kanan yang dipelajarinya dari
si Gojin menghantam pengepung itu yang kemudian tidak
bangkit lagi. Banyak Sumba berlari terus menuju ke timur, ke
hutan lebat. -ooo00dw00ooo- Bab 8 Hampir Tersesat
Matahari telah miring ke barat ketika napasnya seolah-olah
hampir menyumbat tenggorokannya. Ketika itulah, ia
menghentikan larinya, lalu sekali lagi menjatuhkan diri dalam
semak-semak. Telinganya mendengarkan, kalau-kalau suara
pengejar itu mendekat, walaupun ia tahu, tidak akan dapat lari
lagi seandainya mereka mengejarnya. Ia berbaring saja,
seluruh tubuhnya gemetar karena kelelahan. Akan tetapi, tidak
didengarnya suara apa-apa, selain suara angin dan burungburung.
Itulah sebabnya, ia berbaring berdiam diri,
merentangkan badan seenak-enaknya untuk mengembalikan
tenaga. Entah berapa lama ia berbaring demikian, kemudian ia
merasa sangat dahaga dan lapar. Banyak Sumba duduk, lalu
melihat ke atas pohon, mencari buah-buahan yang mungkin
dapat dimakannya. Akan tetapi, pohon-pohonan di tempatnya
berhenti itu umumnya tidak berbuah. Ia bangkit dan dengan
hati-hati mengawasi sekelilingnya, kemudian berjalan sambil
merunduk. Tiba-tiba, didengarnya suara burung kutilang. Ia
merasa gembira karena adanya burung-burung itu berarti ada
buah-buahan. Ia terus berjalan menuju suara burung-burung kutilang dan
kucica yang makin ramai terdengar. Tak lama kemudian,
terlihat olehnya bagian hutan yang terbuka, yang ditumbuhi
semak-semak harendong, pohon-pohon duwet, dan pohon
buah-buahan kecil lainnya. Ia sadar bahwa daerah itu pernah
didatangi orang-orang yang berhuma, itulah sebabnya ia
harus berhati-hati. Dengan melihat ke kiri ke kanan dan
sekelilingnya, ia mulai memetik buah-buahan yang ranum, lalu
memakannya. Banyak Sumba tersenyum sendiri, teringat akan
masa kanak-kanaknya di wilayah Medang. Ketika itu, ia sering
naik si Dawuk pergi ke luar tembok kota, mengembara di
padang-padang dan semak-semak, untuk menikmati buahbuahan
kecil yang sekarang dimakannya sebagai makanan
utama.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, ia tertegun. Ia teringat bahwa Jasik akan
menunggunya. Apakah Jasik sudah melarikan diri atau
ditangkap" Banyak Sumba termenung sejenak, kemudian
diputuskannya agar pada hari itu juga, ia menemui Jasik. Akan
tetapi, jalan mana yang harus ia lalui" Ia yakin bahwa segala
jalan menuju ke Kutabarang dan Kutawaringin timur akan
tertutup oleh para siswa yang mengepungnya. Mungkin,
sekarang para jagabaya telah diberi tahu dan diminta untuk
menangkapnya. Banyak Sumba termenung. Akhirnya,
diputuskannya untuk mencoba menerobos para pengepung,
lalu menemui Jasik. Ia kembali memasuki hutan yang baru
ditinggalkannya, terus berjalan. Hutan makin lama makin
lebat. Ia kembali mencari buah-buahan kecil, tetapi suara
burung kutilang tidak didengarnya. Makin lama, hutan yang
dimasukinya makin tidak dikenalnya. Ia mencoba melihat
matahari, tetapi tidak dapat memastikan dari arah mana ia
dapat melihat matahari. Ia mengira akan menemukan arah
kembali kalau matahari telah berada di atas bukit. Akan tetapi,
hal itu berarti bahwa ia akan kemalaman. Itulah sebabnya, ia
berjalan terus. Kemudian, hutan bertambah lebat. Matahari
tidak dilihatnya lagi, ternyata ia tersesat. Ketika kakinya sudah
tidak mau dilangkahkan lagi, ia duduk termenung.
Manakah yang lebih sial, ditangkap oleh para siswa
padepokan atau tersesat di dalam hutan yang belum pernah
diinjak manusia" Tapi bukan itu masalahnya, yang penting ia
harus menemukan jalan keluar. Ia pun bangkit dan kembali
berjalan. Matahari bertambah condong. Akan tetapi, ia tidak
dapat melihatnya, di bawah kerindangan pohon yang besarbesar
itu. Banyak Sumba hanya dapat melihat cahaya, tetapi
ia tidak tahu dari mana sumber cahaya itu. Ia sering tidak
dapat melihat cahaya sama sekali, hutan yang lebat itu
remang-remang belaka. Karena terasa perjalanan semakin
berat, kakinya sudah tidak dapat dilangkahkan lagi. Akhirnya,
ia memutuskan untuk mencari Jasik keesokan harinya.
Ia pun mencari tempat beristirahat. Ia tengadah, mencari
pohon yang dapat dijadikannya tempat menginap malam itu.
Setelah dilihatnya sebatang yang agak berjauhan letaknya
dengan yang lain, ia mulai memanjat pohon itu. Akan, tetapi,
perbuatan itu tidak mudah dilakukannya. Tangan kirinya
hampir tidak dapat dipergunakannya, setiap pergelangan itu
meregang, rasa sakit menusuk hingga ke pundaknya. Akan
tetapi, dengan susah payah, akhirnya dicapainya juga dahan
yang dapat dijadikannya tempat beristirahat. Ia duduk di atas
dahan itu seperti di atas punggung kuda, kepalanya
diletakkan, seperti meletakkan kepala di leher kuda, di atas
surainya. Sementara itu, ikat pinggangnya yang terdiri dari
kain hitam yang panjang dibelitkan ke batang pohon dan
diikatkannya ke pinggangnya agar kalau tertidur, ia tidak
jatuh. Karena lelahnya, tak lama kemudian, ia pun tertidur.
Ia baru terbangun ketika didengarnya suara seperti guntur
yang menggetarkan isi hutan itu. Ia membuka matanya,
terkejut. Sekelilingnya sudah gelap dan ketika ia melihat ke
bawah, berpasang-pasang mata berwarna hijau
memandangnya, sedangkan tubuh-tubuh yang besar dan
belang, membayang kehitaman di malam remang-remang itu.
Ia bersyukur telah memilih pohon yang tinggi dan kecil,
hingga raja-raja hutan itu tidak dapat mencapainya.
Tiba-tiba, ia terkejut karena terdengar jeritan babi hutan
tidak jauh dari tempat itu. Mendengar jeritan babi hutan itu,
raja-raja hutan sebagian menyelinap, meninggalkan tempat
itu, sebagian lagi tetap berdiri seraya memandang seolah-olah
menunggu ia turun. Akhirnya, Banyak Sumba tidak peduli. Ia
memejamkan matanya kembali, setelah mempererat ikat
pinggangnya. Malam pun berlalu dan ia hanya beberapa kali
terbangun karena jeritan binatang yang menjadi mangsa
binatang buas atau karena aum binatang-binatang buas yang
sedang membunuh mangsanya.
KEESOKAN harinya, ia terbangun di saat fajar, waktu
burung-burung mulai bernyanyi. Begitu ia tersadar, begitu
dilepaskannya ikal pinggangnya, lalu ia menuruni pohon
tempatnya bermalam. Ia bergegas dengan tekad mencari
jalan untuk mengunjungi tempat Jasik seharusnya menunggu.
Berulang-ulang didengarnya gemersik daun-daun semak,
berulang-ulang ia berhenti dan mendengarkan suara itu
dengan penuh kecurigaan. Mungkinkah ia masih dikejar para
siswa padepokan"
Ia berjalan terus, tetapi tidak tenang seperti saat-saat
sebelumnya. Hutan makin lama makin lebat juga, pohonpohon
makin lama makin besar. Bahkan, mulai tampak pohonpohon
yang batangnya sebesar-besar tubuh kerbau. Tak lama
kemudian, tampak pohon yang lebih besar dan lebih tinggi.
Sementara itu, semak-semak di bawahnya mulai rapat hingga
Banyak Sumba tidak lagi dapat menembusnya. Akhirnya,
Banyak Sumba berhenti berjalan, kemudian beristirahat sambil
berpikir, "Walaupun menuju ke utara, kalau hutan bertambah
lebat, berarti menjauhi dunia manusia dan mulai memasuki
dunia binatang-binatang buas dan para siluman," demikian
bisik hati Banyak Sumba. Ia memutuskan untuk kembali. Agar
cepat menuju tempat semula, ia bermaksud menuruti jalanjalan
binatang yang banyak bersimpang siur dalam semaksemak.
Sewaktu beristirahat itu, terpikir pula olehnya untuk
memiliki senjata, untuk melindungi dirinya terhadap binatangbinatang
yang menyerangnya. Badik yang tersisip dalam ikat
pinggangnya terlalu kecil untuk melawan babi hutan, apalagi
harimau yang mungkin mencegatnya. Itulah sebabnya, ia
mencari dahan-dahan kayu yang cukup besar. Dengan
kekuatan yang ada padanya, dipatahkannya sebatang dahan
kaliage, kemudian dibuatnya senjata untuk menghadapi
binatang buas. Setelah senjatanya itu siap, berjalanlah Banyak Sumba,
menuju arah yang menurut dugaannya selatan. Tak lama
kemudian, ditemukannya jalan yang biasa dilalui binatang. Di
sana, ia melihat banyak sekali bekas kaki menjangan dan babi
hutan. Ia menuruti jalan binatangku, selama tidak membelok
ke arah yang bertentangan dengan yang dianggapnya selatan.
Ia akan sampai ke tempat yang ditinggalkannya pagi-pagi,
demikian pikirnya.
Makin lama, ternyata lebat hutan makin berkurang, bahkan
terdapat semak-semak rendah yang rupanya bekas-bekas
huma yang sudah lama ditinggalkan. Itulah sebabnya, Banyak
Sumba berjalan lebih cepat lagi. Ketika ia berjalan dengan
tergesa-gesa, sayup-sayup terdengar olehnya jeritan binatang.
Banyak Sumba terhenti, lalu mendengarkan dengan lebih teliti.
Segalanya sunyi, kecuali angin. Akan tetapi, ia melangkah
lebih lanjut, jeritan binatang itu dengan keras terdengar
kembali. Kemudian, ingar-bingar suara aum dan jeritan
binatang terdengar, diiringi oleh tangisan binatang yang
memilukan. Lalu, sepi kembali.
Banyak Sumba melangkah, tetapi tidak secepat
sebelumnya. Ia harus waspada, pikirnya. Ia pun berjalan
dengan gada siap di tangan. Setelah beberapa lama berjalan,
tahulah ia apa yang telah terjadi. Rupanya, segerombolan babi
hutan telah diserang harimau karena di suatu tempat terlihat
titik-titik darah. Di sekitar tempat itu terdapat bekas-bekas
perkelahian. Darah makin banyak berceceran. Dari suatu
tempat, Banyak Sumba melihat bagian semak yang roboh
seakan-akan ada benda berat yang diseret lewat di sana. Tibatiba,
detak jantungnya seakan-akan terhenti karena tidak jauh
darinya dua ekor harimau besar sedang menggerogoti bangkai
babi hutan yang besar. Ketika ia tiba di sana, tampak kedua
ekor binatang itu memandangnya, tapi tidak bergerak. Banyak
Sumba terpaku sejenak. Setelah ketenangannya kembali, ia
mundur perlahan-lahan tanpa mengeluarkan bunyi. Setelah
merasa cukup jauh, barulah ia bergerak dengan lebih cepat.
Sementara berjalan itu, ia bersyukur kepada Sang Hiang
Tunggal. Seandainya tidak didahului oleh gerombolan babi
hutan itu, mungkin ia yang dihadang oleh kedua ekor harimau
itu. Ia berjalan dengan cepat. Senjata siap di tangan dan tetap
waspada. Ia harus berada dekat dengan gerombolan babi
hutan yang akan menjadi pelindung di depan. Ia berlari
sepanjang jalan binatang itu, kadang-kadang melalui semaksemak
yang pendek. Sekali-sekali melalui semak-semak yang
bercampur dengan pohon-pohon yang agak tinggi tapi jarang.
Di sana sini terdapat pohon besar yang daunnya sangat
rimbun. Banyak Sumba terus berlari.
Ketika ia sedang berlari dan memandang ke muka, tiba-tiba
dilihatnya seolah-olah ada cabang pohon besar yang jatuh ke
arah jalan binatang itu. Akan tetapi, tidak terdengar suara
berdebum, yang terdengar adalah jerit seekor babi hutan.
Banyak Sumba terus berlari karena disangkanya memang ada
cabang pohon besar yang jatuh menimpa babi hutan. Ketika ia
makin dekat ke arah pohon itu, dilihatnya cabang pohon itu
bergerak-gerak. Banyak Sumba berhenti berlari dan berdiri
tidak jauh dari pohon itu. Suatu pemandangan yang
menyipratkan darah disaksikannya dengan mata terbelalak.
Seekor ular sanca besar, hampir sebesar pohon kelapa,
dengan setengah badannya bergantung"ekor di atas dan
kepala di bawah"sedang mengangkat seekor babi hutan ke
atas pohon. Babi hutan itu masih bergerak-gerak, tetapi
karena besarnya, ular itu dengan tenang mengangkatnya. Tak
lama kemudian, seluruh badan ular itu menghilang di balik
daun pohon besar yang gelap karena rimbunnya. Kadangkadang
saja tampak pohon besar itu bergerak-gerak karena
dihuni oleh makhluk yang besar dan berat.
Setelah beberapa lama terpaku dan seolah-olah membeku
karena terkejut dan ketakutan, barulah Banyak Sumba dapat
bergerak. Sambil mengucapkan syukur kepada Sang Hiang
Tunggal yang telah dua kali menyelamatkannya, ia mulai lagi
berlari, tapi tidak mengikuti jalan binatang itu. Ia menyimpang
merambah semak-semak yang pendek. Arah tidak lagi
dipersoalkannya. Yang penting baginya adalah ia segera
menjauhi tempat binatang yang tidak terkalahkan oleh apa
pun itu. Semenjak dua kejadian itu, ia lebih berhati-hati, tidak
pernah berlari lagi. Berulang-ulang ia berhenti, mengawasi
daerah yang akan dilaluinya. Ia tidak berani lewat di bawah
pohon-pohon besar atau terlalu rimbun hingga dapat
menyembunyikan binatang-binatang buas. Ia pun mulai
berusaha tidak menuju suatu tempat dengan mengikuti arah
angin. Ia berusaha supaya selalu menentang arah angin agar
bau tubuhnya tidak tercium oleh binatang-binatang buas.
Dengan begitu, berarti ia tidak dapat mengikuti arah yang
dikehendaki dengan leluasa. Pada hari kedua itu, ia tidak
menemukan hutan-hutan yang dikenalnya. Akhirnya, ia pun
memutuskan untuk menginap kembali di dalam hutan.
Dipilihnya tempat yang dianggapnya paling aman, yaitu
sebatang pohon yang berada di tengah-tengah semak-semak
pendek yang terbuka.
Di sanalah ia menginap, duduk di atas cabang pohon dan
mengikat diri agar tidak jatuh kalau tertidur. Akan tetapi,
semua pengalaman pada hari sebelumnya yang menakutkan
itu tidak mengizinkannya tidur nyenyak. Di samping itu, makin
gelap hutan, makin ramai dengan suara dan bunyi kaki
binatang. Aum harimau, salak ajag, teriakan-teriakan yang
me-remangkan bulu roma, mungkin teriakan siluman,
meramaikan hutan yang remang-remang di bawah cahaya
bintang. HARI ketiga, keempat, kelima, keenam ... akhirnya hari-hari
tidak terhitung lagi. Dengan sedih, disadarinya bahwa ia
tersesat di dalam hutan yang tidak pernah diinjak kaki
manusia. Mula-mula, ia tidak mengerti mengapa sampai
tersesat. Akan tetapi, setelah diingat-ingat kembali bagaimana
harus berjalan, sadarlah ia bahwa karena terlalu banyak
menyimpang untuk menghindari bahaya, makin lama makin
menyimpang dari arahnya sehingga akhirnya memasuki hutan
itu. Hutan itu tidak begitu lebat karena tanahnya tidak subur
dan sebagian terdiri dari cadas dan batu. Pohon-pohonan tidak
terlalu tinggi pula. Di samping itu, semak-semaknya pun tidak
segelap di hutan yang pernah dikunjunginya. Buah-buahan
cukup banyak, yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Itulah
sebabnya, burung dan binatang pemakan buah-buahan sangat
banyak di sana. Monyet dan lutung meramaikan pohonpohonan.
Di dalam semak-semak itu pun terdapat pula silang
jalan-jalan binatang lain, seperti babi hutan, rusa, dan
binatang-binatang lain yang bekas kakinya tidak dikenalnya.
Di hutan itulah Banyak Sumba tinggal, entah berapa bulan.
Ia tidak lagi dapat menghitung hari-harinya. Pakaiannya sudah
mulai robek-robek, bukan saja karena tua, tetapi juga karena
sering tersangkut duri selagi ia mengembara di hutan itu.
Untuk menghilangkan laparnya, ia memungut atau memetik
buah-buahan, kemudian memanjat pohon yang tinggi.
Kadang-kadang, dijeratnya binatang menggunakan rotan atau
kulit kayu yang dianyamnya menjadi tambang. Kadangkadang,
binatang itu dikejarnya, lalu dipukul dengan gadanya.
Di saat-saat beristirahat, bila sudah terlalu lelah mencari
jalan keluar dari hutan itu, ia sering termenung memikirkan
segala kemungkinan dalam ilmu keperwiraannya. Pada
saatsaat seperti itu, Jasik, panakawannya yang baik dan setia
itu, sering terkenang olehnya. Alangkah akan lebih baiknya
kalau ia tersesat bersama Jasik. Ia akan dapat terus-menerus
berlatih dan mengadakan percobaan-percobaan dengan hasil
renungan-renungannya itu.
Ia pun berulang-ulang teringat keluarganya. Dalam
keadaan demikian, kadang-kadang tidak tertahan air matanya.
Berulang-ulang pula ia teringat kepada Nyai Emas
Purbamanik. Akan tetapi, harapannya untuk mendapat gadis
yang dicintainya itu makin lama makin menipis. Bukan saja
karena ia tidak tahu lagi bagaimana sikap gadis itu sekarang,
setelah begitu lama mereka berpisah. Lebih-lebih, karena
perbuatannya belakangan ini dianggapnya makin menjauhkan
dia dari gadis itu. Ia harus menunaikan tugasnya. Gadis itu
belum tentu mengerti segala perbuatan yang sebenarnya
tugas keluarga.
Kalau kesedihan menusuk hatinya, ia segera mengalihkan
renungan ke masalah-masalah ilmu keperwiraan. Karena
heningnya hutan itu dan karena ia terpaksa harus berpikir
untuk menghindari kesunyian dan kesedihannya, hasil dari
renungan-renungannya cukup banyak. Yang menjadi


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persoalannya adalah bagaimana membuktikan kebenaran apaapa
yang ditemukannya itu. Ia harus punya teman berlatih,
tapi Jasik hanya ada dalam kenangannya. Itulah sebabnya,
Banyak Sumba hanya dapat berlatih seorang diri. Oleh karena
itu, ia tidak dapat membuktikan, apakah hasil-hasil
renungannya tentang ilmu keperwiraannya itu benar atau
tidak. Hatinya gemas belaka kalau ia merasa mendapatkan
suatu kesimpulan tentang renungan-renungannya.
Pada suatu senja, ketika ia sedang berjalan mencari pohon
yang baik untuk bermalam, tiba-tiba terdengar raung harimau
tidak jauh darinya. Banyak Sumba mula-mula bermaksud
melarikan diri dari tempat itu dan segera mencari pohon
terdekat. Akan tetapi, dari balik semak-semak terlihat olehnya
dua ekor harimau besar sedang berkelahi. Sebagai seorang
yang sedang mempelajari ilmu keperwiraan, akhirnya rasa
ingin tahu dan hasrat menyelidiki mengalahkan rasa takut dan
gentarnya. Banyak Sumba mendekati tempat terdengarnya
geram dan raung kedua ekor makhluk perkasa yang berkelahi
itu, serta semak-semak yang belingsatan ke sana kemari.
Makin dekat ke tempat pertarungan itu, semak-semak seolaholah
sedang diamuk angin puting beliung. Banyak Sumba
gentar sejenak, ketika raungan yang sangat keras seolah-olah
mengguncangkan bumi. Rasa penasaran mendorong dia untuk
melanjutkan niatnya. Ia berlari-lari, kemudian memanjat
sebuah pohon kecil. Karena setiap hari ia harus memanjat,
pekerjaan itu dilakukan seperti ia berjalan di tanah. Dalam
sekejap mata, seperti seekor monyet, ia telah mencapai
puncak pohon itu. Dengan jelas, ia dapat melihat dua ekor
harimau yang sedang berhadapan.
Dengan mata yang tidak berkedip, Banyak Sumba
memerhatikan kedua ekor binatang itu saKng mengintip,
saling menunggu kesempatan. Dengan raungnya yang
dahsyat, keduanya menghambur. Masing-masing berusaha
membinasakan lawannya dengan dua belah kaki kanannya
yang kuat dan berkuku tajam itu. Kemudian, mereka berpisah
karena yang seekor menolak lawannya. Dengan kaki
belakangnya yang kuat, keduanya berhadapan kembali.
Banyak Sumba memerhatikan bagaimana sikap kaki depan
dan kaki belakang serta sikap tubuh kedua ekor binatang itu.
Ia pun memerhatikan setiap perubahan, bagaimana sikap
yang satu diikuti lawannya. Tiba-tiba, mata Banyak Sumba
menyala-nyala karena apa-apa yang pernah direnungkannya
dapat dilihatnya dari kedua ekor binatang buas yang sudah
biasa berkelahi itu.
Setiap kali yang seekor menempati kedudukan serangan
dapat dilakukan, lawannya segera memindahkan
kedudukannya, sambil mencari kedudukan ia dapat
menyerang dengan leluasa. Akan tetapi, baru saja ia bergerak,
lawannya sudah bergerak kembali, mengambil kedudukan lain.
Karena keduanya tidak menemukan celah kelemahan pada
sikap lawan, kecepatanlah yang dipergunakan. Seekor di
antara harimau itu begerak, mengubah sikap. Ketika lawannya
akan menyesuaikan diri pada sikapnya, melompatlah ia
dengan raungnya yang hebat. Kedua ekor binatang itu mulai
saling cakar dan saling desak, seraya kedua-duanya bersiapsiap
dengan taringnya kalau-kalau ada kesempatan
membenamkan senjata yang hebat itu ke leher atau tengkuk
lawannya. Pergumulan berlangsung beberapa saat. Selama itu,
Banyak Sumba mempelajarinya dengan melupakan alam
sekelilingnya. Ia memerhatikan bagaimana binatang-binatang
itu mempergunakan tenaga, bagaimana melaksanakan
serangan dengan kaki depan atau kaki belakang. Hingga
akhirnya, geraham yang seekor berhasil menangkap kaki
depan lawannya, lalu dengan gertakan yang keras, menerkam
dan mematahkannya. Raungnya yang meremangkan bulu
roma terdengar. Kemudian, lawan yang kalah melompat
menjauhi, lari terpin-cang-pincang dikejar lawannya. Tapi,
pemenang yang kelelahan tidak dapat mengejarnya. Ia
berhenti, berdiri sambil meraung-raung dan memandang ke
arah semak-semak tempat lawannya menghilang.
SETIAP pagi, bersama dengan terbitnya matahari, Banyak
Sumba turun dari pohon tempatnya bermalam. Ia langsung
berjalan seraya memetik buah-buahan sebagai makanan pagi,
Kalau kebetulan ditemukannya telaga kecil, ia mandi dan
minum sepuas-puasnya untuk kemudian berjalan kembali
dengan selalu bersiap siaga menghadapi segala bahaya,
terutama dengan mengandalkan gada kayunya yang berduriduri
itu. Jalannya tidak selalu laju. Sebentar-sebentar ia
berhenti, merasakan angin atau mendengus-dengus, mencoba
membaui udara, kalau-kalau ada bau yang mencurigakan yang
harus dihindarinya. Bau kemenyan datang dari harimau,
sedangkan bau pesing dari ular sanca. Kedua binatang buas
itulah yang dihindarinya, sedangkan banteng, badak, dan babi
hutan, apalagi rusa, tidak dihiraukannya. Bukan saja karena
mereka tidak memakan daging, tetapi biasanya mereka tidak
mengganggu kalau tidak diusik.
Sering sekali Banyak Sumba berhenti berjalan, kemudian
dengan sigap berlari menuju pohon terdekat dan
memanjatnya seperti seekor kera kalau dirasanya bahaya
sedang mendekat. Perasaannya yang menjadi tajam berulangulang
menyelamatkannya. Berulang-ulang binatang buas yang
menghadangnya tidak berhasil mencelakakan karena Banyak
Sumba telah waspada terlebih dahulu. Gerakan kecil dalam
semak bisa menghentikan langkahnya. Bau yang
mencurigakan menyebabkan ia lari terbirit-birit mendekati
pohon untuk sewaktu-waktu dipanjatnya seandainya bahaya
memang benar-benar mengancamnya. Akan tetapi,
seandainya tertambat menyelamatkan diri dengan lari, ia
mempunyai kemampuan lain untuk mempertahankan dirinya,
yaitu kepandaiannya dalam ilmu keperwiraan dan senjatanya
yang berbahaya, yaitu gada kayunya yang sebesar betisnya
serta berduri-duri.
Dari hari ke hari, Banyak Sumba berjalan dengan tujuan
untuk menemukan jalan ke dunia yang dihuni manusia.
Hidupnya tidak teratur lagi. Kadang-kadang, berhari-hari ia
tidak menemukan air. Kadang-kadang, berhari-hari pula ia
tidak menemukan buah-buahan. Kalau keadaan demikian, ia
terpaksa memburu binatang dengan mengintainya,
menjeratnya dengan rotan atau melemparnya. Kadangkadang,
mengejar dan memukulnya dengan gada. Ia
menyalakan api dengan jalan menggosokkan dua batang
ranting kering yang dilekati daun kering pula. Di atas api
unggun yang dibuatnya itulah, ia membakar daging binatang.
Begitulah ia hidup, mengembara dalam hutan belantara itu
dengan sedih mencari-cari jalan keluar. Kadang-kadang, ia
begitu sedihnya dan sangat mencekam rasa kesepiannya
hingga air matanya tidak tertahan lagi. Sering ia menangis,
tetapi kemudian ia meredakan dukacitanya dengan berdoa,
Sang Hiang Tunggal Yang Mahaadil tidak akan menghukum
orang yang tidak berdosa. Ia merasa yakin bahwa tak ada
kesalahan yang dilakukannya dengan sadar. Kalau ia bersalah,
pikirnya, hal itu karena mencintai Ayahanda, Ibunda, dan
keluarganya. Mencintai keluarga adalah perintah Sang Hiang
Tunggal juga. Demikianlah, ia berjalan, memanjat pohon kalau
malam tiba, termenung memikirkan ilmu keperwiraannya, dan
menangisi nasibnya. Iajuga membayangkan wajah Nyai Emas
Purbamanik. Akhirnya, ia mengenangkan dunia yang dihuni
manusia dengan kerinduannya.
Akan tetapi, bukanlah watak Banyak Sumba untuk selalu
merenungkan nasibnya. Setiap kali kemurungan menyerbu ke
dalam hatinya, cepat-cepat ia merenungkan ilmu keperwiraan.
Ilmu keperwiraanlah yang dijadikannya obat untuk melupakan
apa-apa yang dideritanya. Dengan ilmu keperwiraan yang
selalu di pikirannya itulah, ia mengusir keprihatinan,
kerinduan, dan kesepiannya. Tanpa disadarinya, ilmunya
makin lama makin bertambah juga. Banyak hal baru yang
selama ia berada di tengah-tengah masyarakat tidak sempat
dipikirkannya. Sekarang, ketika hari-hari lewat tanpa
kesibukan, ia dapat memikirkannya. Banyak masalah ilmu
keperwiraan yang sebelumnya tidak terpikirkan
penyelesaiannya, dalam kesepian hutan itu dapat
dipecahkannya. Keheningan hutan, udara yang bersih, dan
langit yang membiru di sela-sela daun menjernihkan
pikirannya. PADA suatu sore, ketika ia mencari pohon untuk dijadikan
penginapan malam itu, terlintaslah suatu pemecahan masalah
yang selama ini menjadi bahan pemikirannya. Ia terhenti
berjalan, cahaya matanya menyala-nyala seperti biasanya
kalau ia menemukan ilham. Ia tersenyum seorang diri seraya
bergegas ke arah pohon kecil yang hendak dijadikannya
tempat menginap malam itu. Sepanjang malam, ia terus
merenungkan ilhamnya. Ia merasa gembira karena suatu
masalah yang bertahun-tahun jadi buah renungannya telah
ditemukan jawabannya. Akan tetapi, ia tertegun, tidak dapat
membuktikan apakah pendapatnya itu benar atau tidak. Ia
teringat kepada Jasik yang entah berapa bulan tidak
dilihatnya. Karena yakin bahwa ilhamnya itu benar, tetapi tidak ada
cara dan kawan untuk membuktikan kebenaran
penemuannya, hatinya pun jadi gelisah. Ia kehabisan, akal
bagaimana akan mencobakan ilmunya itu. Masyarakat entah
kapan dimasukinya kembali. Sebagai seorang yang baru
menemukan sesuatu yang telah bertahun-tahun dicarinya, ia
tidak cukup sabar untuk tidak segera mencoba penemuannya
itu. "Bagaimana kalau dicoba terhadap binatang buas?"
tanyanya dalam hati. Bagaimana kalau ia menghadang
beruang atau harimau" Itu akan baik sekali, tetapi tentu saja
besar bahayanya. Bagaimana kalau ia dikalahkan, bukankah ia
harus menyelesaikan tugasnya dan tidak boleh menyianyiakan
hidup secara sembarangan dengan menentang maut
demi penemuannya yang belum tentu benar" Banyak Sumba
terus merenung, kemudian karena kantuknya, akhirnya ia
tertidur. Baru ketika matahari panas keesokan harinya, ia terjaga,
lalu turun. Selama berjalan, penemuan malam sebelumnya
terus-menerus mengganggu pikirannya. Penemuannya itu
akan dicoba terhadap binatang buas ataukah lebih baik
bersabar hingga ia memasuki masyarakat kembali" Berulangulang
ia memutuskan untuk tidak mencoba ilmu itu terhadap
binatang buas, untuk tidak menghadapi bahaya yang terlalu
besar. Akan tetapi, berulang-ulang hatinya berkata bahwa
penemuan itu harus segera dibuktikan. Maka, terombangambinglah
pikirannya dan ia tidak dapat mengambil
keputusan. Suatu ketika, Banyak Sumba merasa lapar. Setelah
beberapa lama berjalan, ternyata di sana tidak ada pohon
buah-buahan. Umumnya, pohon-pohonnya jarang diselangseling
dengan semak-semak. Di beberapa tempat, Banyak
Sumba menemukan tanah lembap. Untuk beberapa lama,
Banyak Sumba berdiri termenung. Ia harus berburu, pikirnya.
Kemudian, ia berjalan. Dengan tangannya yang kuat,
dipatahkannya cabang-cabang pohon yang cukup besar dan
lurus. Setelah mendapat beberapa batang, dibuanglah daundaunannya,
lalu pangkalnya yang besar diruncingkan. Tak
beberapa lama kemudian, Banyak Sumba telah bersenjatakan
beberapa batang tombak di samping gada yang dijinjing di
tangan kirinya.
Ia mulai mendengus-dengus, membaui udara, kemudian ia
berjalan. Di suatu tempat, ia menunduk, memeriksa jejak
binatang. Ia berjalan kembali sambil berulang-ulang
menunduk. Kadang-kadang, ia berlutut, lalu berjalan lagi.
Tiba-tiba, ia menjatuhkan diri, lalu merangkak. Tak berapa
jauh darinya terdapat sebuah telaga kecil. Di tepi telaga itu
biasanya terdapat banyak binatang. Itulah sebabnya, ia
mengendap-endap dan merangkak bagai seekor harimau.
Sangkaannya tidaklah meleset karena setelah beberapa lama
merangkak, dari jauh, di tepi telaga di seberang yang
bertentangan dengan tempatnya bersembunyi, tampaklah
sekelompok besar menjangan. Binatang-binatang tersebut
sebagian sedang minum, sementara yang lain berjaga-jaga,
menghadap ke semak-semak yang ada di sekeliling tempat
terbuka. Melihat kelompok binatang itu, senanglah hati Banyak
Sumba; ia merasa mujur pula karena ia menentang angin.
Maka, ia menyelinap kembali dan sambil mempergunakan
loncatan melambung, mendekati tempat binatang-binatang
tersebut. Karena pekerjaan seperti itu sudah biasa dilakukannya, ia
bergerak hampir tidak mengeluarkan bunyi. Di samping itu,
pancaindranya sekarang menjadi tajam sekali.
Ia dapat membaui binatang-binatang itu, sedangkan suara
yang selemah-lemahnya, dapat ia bedakan dari suara
gemerisik daun-daunan. Pancaindranya tidak saja terasah
karena ia perlu mendapat binatang buruan untuk hidupnya,
tetapi karena di hutan itu banyak binatang buas. Ia pun sering
merasa menjadi binatang buruan. Itulah sebabnya,
pancaindranya selalu siap siaga. Suara sekecil-kecilnya, gerakgerik
selemah-lemahnya, bau asing yang menyentuh
hidungnya harus ditangkapnya. Kalau tidak, ia akan kelaparan
atau akan menjadi mangsa binatang buas. Dengan ketajaman
pancaindranya itu, bertambah kuat pula tubuhnya. Ia jadi
terbiasa hidup secara liar di alam terbuka. Otot-ototnya
menjadi kenyal dan kuat, anggota badannya yang terusmenerus
dipergunakan secara teratur dan sesuai dengan
kehendak alam, menjadi lebih lincah dan lebih terampil
kerjanya. Ia sekarang dapat bergerak tanpa mengeluarkan
bunyi seperti seekor harimau atau seekor ular. Ia dapat
memanjat dengan cepat dan lincah seperti seekor monyet,
melompat dari dahan ke dahan tanpa takut dan ragu-ragu.
Dengan kelincahan dan keterampilannya itu, ia tidak saja
dapat menyelamatkan diri dari bahaya, tetapi dapat hidup
dengan berkecukupan makanan.
Sementara itu, tak ada binatang yang dapat
mengalahkannya karena sebagai manusia, ia dianugerahi
suatu hal yang tidak ada taranya oleh Sang Hiang Tunggal,
yaitu akal yang cerdas. Karena akalnya itulah, ia dengan
mudah dapat menangkap menjangan-menjangan.
Ia membuat perangkap, banderingan dari rotan yang
ujungnya diikatkan pada bongkah-bongkah cadas. Untuk


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menakut-nakuti harimau, ia dapat menyalakan api.
Kemampuannya sebagai manusia dan keampuhan barunya
karena lama hidup di dalam hutan adalah modal yang luar
biasa baginya. Karena modal itulah, ia merasa leluasa
bergerak di hutan, seperti sebelumnya ia merasa leluasa
bergerak di tengah-tengah masyarakat di wilayah Kerajaan
Pajajaran. Dengan segala kemampuannya itulah, ia bergerak
mendekati rombongan menjangan itu. Makin lama, makin
dekat ia ke tempat binatang berkumpul di pinggir telaga itu.
Setelah beberapa puluh langkah lagi, ia muncul dari semak,
lalu berteriak dengan keras. Binatang-binatang itu terkejut dan
lari dengan cerai-berai. Banyak Sumba mengawasi seekor rusa
jantan, lalu melemparkan tombak kayunya ke arah binatang
itu. Karena pekerjaan itu biasa dilakukannya, dengan tepat
paha belakang rusa itu dikenainya. Akan tetapi, karena jarak
antara Banyak Sumba dan binatang itu cukup jauh, sedangkan
tombak kayu itu ujungnya tidak terlalu tajam karena belum
sempat dibakar, binatang itu tidak roboh. Rusa jantan yang
kuat itu walaupun timpang terus lari. Banyak Sumba tertawa
karena ia merasa ditantang untuk mengadu kekuatan. Ia
berlari mengejar binatang itu. Tiga buah tombak kayu
dibuangnya, tinggal gadanya yang ia acung-acungkan di udara
sambil berteriak-teriak kegirangan seperti anak-anak.
Binatang itu menerobos semak-semak. Banyak Sumba
dengan lincah melompat-lompat atau menyelinap antara
semak-semak, makin lama makin dekat ke arah binatang itu.
Kemudian, di depan binatang itu terdapat tempat yang sedikit
terbuka, di antara semak-semak gelagah yang tinggi. Banyak
Sumba mempercepat larinya karena di tempat terbuka itulah
ia bermaksud menghabisi binatang itu.
Suatu kejadian yang tidak disangka-sangkanya terjadi
dengan cepat sekali. Ketika binatang itu berada di tengahtengah
tanah terbuka dan ketika Banyak Sumba melompati
semak terakhir memasuki pinggiran tanah lapang kecil itu, dari
sebuah semak di sebelah kiri binatang itu melompatlah seekor
harimau. Dengan secepat kilat, harimau mematahkan leher
rusa itu dan membantingnya ke tanah.
Banyak Sumba dengan cepat menghentikan larinya. Kalau
tidak, ia akan menubruk kedua ekor binatang yang masih
bergumul di tanah itu dan akan tersandung serta jatuh. Ia
berdiri, gada siap di tangan kanannya. Tak lama kemudian,
rusa itu tidak bergerak-gerak lagi dan harimau itu sudah
berdiri di atasnya, memandang ke arah Banyak Sumba dengan
curiga dan bersiap-siap untuk menyerang.
Banyak Sumba menghentikan napasnya. Ia tidak bergerak
karena tahu, begitu ia bergerak, binatang buas itu akan
langsung menyerang. Secepat kilat, terlintas dalam hatinya
bahwa ketika itulah ia akan mencoba penemuan tentang ilmu
keperwiraan. Ia memandang harimau itu, memerhatikan letak
kaki muka dan kaki belakangnya. Ia meramalkan bahwa kalau
harimau itu menyerang, berat badannya terutama akan
tumpah ke sebelah kiri dan ia akan membelok ke sebelah
kanan. Jadi, Banyak Sumba harus memukulkan gadanya ke
sebelah kiri. Ia pun tidak boleh menentang tenaga lawan yang
langsung tumpah ke arahnya. Kalau begitu, ia yang lebih
ringan daripada harimau itu akan dirobohkan. Itulah
sebabnya, Banyak Sumba harus memukul harimau itu dari
samping, kalau perlu terus melompat. Pikiran itu secepat kilat
bergerak dalam otaknya. Sementara itu, ia berpandangan
dengan binatang buas itu dalam jarak beberapa langkah saja.
Keduanya sama-sama menunggu. Harimau itu akan
bergerak kalau saja Banyak Sumba menggerakkan ujung
jarinya atau mengejapkan matanya. Harimau itu pun tidak
menggeram. Ia memendam suaranya seperti ia memendam
tenaga yang akan dicurahkannya pada saat menyerang
Banyak Sumba. Begitu mereka berdiri berhadapan, tak ada
suara maupun gerakan antara mereka.
Banyak Sumba memindahkan letak gadanya ke sebelah
kanan dan pancingan itu dijawab harimau itu dengan
serangan yang dibarengi auman yang mengguncangkan
seluruh hutan. Banyak Sumba mengerahkan seluruh
tenaganya untuk memukul ke samping kiri dari arah harimau
datang. Betapapun kukuh kuda-kudanya, ketika gada itu
mengenai tubuh harimau, ia terguncang juga. Begitu pukulan
mengena, ia menghambur menuju tubuh harimau yang
menyeleweng karena pukulan. Ia tidak memberikan
kesempatan kepada binatang itu. Ia memberikan pukulan
yang kedua ke arah kepala harimau itu. Akan tetapi, dengan
cepat dan tepat, gada itu ditangkis oleh binatang itu seraya
menghambur ke depan mencengkeram kaki kanannya ke arah
Banyak Sumba. Banyak Sumba menghindar sambil memukul,
kemudian maju lagi dengan gada berdesing-desing. Beberapa
pukulan mengenai kepala dan tubuh harimau, beberapa
pukulan mengenai pula tubuh Banyak Sumba.
Kemudian, harimau itu tidak selincah semula. Mereka
berhadapan sejenak. Banyak Sumba menghambur menyerang.
Harimau itu menghindar. Akan tetapi, dari sikapnya sudah
diramalkan Banyak Sumba, dari arah mana binatang itu akan
menyerang. Itulah sebabnya, harimau itu menghindar. Derak
tulang dan auman yang keras terdengar serentak, kemudian
harimau itu roboh, berputar-putar di tanah. Banyak Sumba
mengangkat gadanya tinggi-tinggi, kemudian dengan
dengusan, dihantamnya kepala harimau itu. Ia terjatuh
menimpa tubuh harimau yang gemetar dan panas.
Banyak Sumba terduduk, entah berapa lama ia terengahengah.
Berulang-ulang ia melihat harimau yang dibunuhnya.
Badan binatang itu hampir dua kali lebih besar daripada tubuhnya.
Sementara itu, Banyak Sumba menyadari pula bahwa
harimau itu masih muda, justru sedang berada di puncak
kekuatannya. Ia merasa lega, bukan karena telah selamat dari
bahaya maut, tetapi pendapat-pendapat yang ditemukan
dalam renungannya tentang ilmu perkelahian ternyata benar.
Semua pendapat itu dapat dibuktikannya dan bukti yang
paling baik adalah binatang yang lebih besar dan lebih hebat
senjatanya itu dapat dilumpuhkannya.
Tiba-tiba, Banyak Sumba merasa tusukan pedih di rusuk
kirinya. Ia melihat ke bawah, tampaklah bajunya yang sudah
lusuh tidak keruan, tercabik-cabik oleh jambretan kuku
harimau itu. Di beberapa tempat, kain yang tercabik-cabik itu
basah. Ketika Banyak Sumba membuka kain itu, tampaklah
luka-luka yang mengerikan di beberapa bagian tubuhnya.
Untung luka-luka itu tidak dalam. Akan tetapi, Banyak Sumba
cemas juga karena luka akibat serangan harimau sering
membunuh karena racunnya. Ia segera berdiri, lalu berpikir.
Kemudian, ia mencabut belatinya, menguliti harimau itu.
Karena pekerjaan itu sering dilakukannya, dalam sekejap kulit
harimau itu telah terkelupas. Ia mengambil hati harimau itu,
kemudian menggarap pekerjaan yang lain, yaitu menguliti
rusa yang terbaring tidak jauh dari tempat itu. Diambilnya hati
dan jantung serta kedua paha binatang itu. Setelah itu, dinyalakannya
api. Ia memasang cabang-cabang pohon yang
bercagak di atas api. Daging dan hati itu dipanggangnya di
atas api unggun yang dibuatnya. Sementara itu, ia mengambil
daun-daunan tertentu yang dijadikannya obat luka. Tak lama
kemudian, terciumlah bau sedap dari arah api. Daging dan
hati binatang itu sudah masak.
Banyak Sumba duduk sambil memakan daging yang tidak
digarami. Pikirannya melayang kembali ke arah pengalaman
yang baru saja dilaluinya. Tiba-tiba, hatinya berkata bahwa ia
tidak takut kepada siapa pun, kepada binatang maupun
manusia. Ia telah menemukan suatu rahasia yang sangat
berharga di bidang ilmu keperwiraan. Ia dapat meramalkan
gerakan lawan dan oleh karena itu, ke mana pun.lawan
bergerak, ia sudah siap siaga. Ia teringat kepada Jasik, ia
membayangkan bagaimana Jasik akan menggeleng-gelengkan
kepalanya karena kagum kepadanya.
Selesai makan, Banyak Sumba membersihkan diri di telaga
yang tidak jauh letaknya dari tempat ia menyalakan api
unggun. Ia mengobati lukanya, kemudian kembali ke
jemurannya, kulit harimau yang indah. Ia bermaksud
membuat baju dari kulit harimau itu karena bajunya sudah
hancur. Ketika ia membersihkan kulit harimau itu, matahari
menggelincir ke barat.
DARI hari ke bulan, dari bulan ke tahun, Banyak Sumba
tidak tahu lagi sudah berapa lama ia tersesat dan
mengembara mencari jalan keluar dari hutan belantara itu. Ia
disiksa oleh kesedihan dan kesunyiannya, dikepung oleh
bahaya dari saat ke saat. Akan tetapi, penderitaannya itu
ditahannya dengan tabah. Pertama, karena menyadari bahwa
ia menderita untuk tujuan yang mulia. Oleh karena itu, ia pun
yakin bahwa suatu hari ia dapat keluar dari hutan belantara
itu. Kedua, setiap kali kesedihan dan kesepian menghimpit
jiwanya, ia segera mengalihkan perhatiannya pada masalahmasalah
ilmu keperwiraan. Di samping itu, ia terus-menerus
berusaha mencari jalan ke luar hutan itu.
Ia tidak pernah tinggal diam di suatu tempat di hutan. Ia
terus berjalan, mendaki gunung-gunung, menuruni lembah,
menyeberangi sungai. Pada suatu kali, tibalah ia di sebuah
hutan yang ajaib. Hutan itu terletak di atas gunung yang
sangat tinggi. Kabut tidak pernah jauh dari atas kepala Banyak
Sumba. Oleh karena itu, angkasa selalu suram. Banyak Sumba
terus mendaki gunung yang berhutan lebat itu. Ia berharap,
semoga ia dapat melihat ke arah dunia manusia dari puncak
gunung itu. Itulah sebabnya, ia berjalan terus, walaupun
kadang-kadang pendakian sangat terjal hingga ia harus
merayap bagai seekor cecak, berpegang pada akar pohonpohonan.
Ketika habis merayap itulah, tiba-tiba ia berdiri di tepi
hutan yang aneh. Pohon-pohon di hutan itu tampak tidak
subur, bahkan semak-semaknya sedikit sekali. Seolah-olah,
hutan itu sebuah borok besar di tengah-tengah hutan-hutan
lain yang sehat. Di samping itu, Banyak Sumba mendengar
suara-suara yang aneh, sayup-sayup kadang-kadang seperti
jauh, kadang-kadang dekat sekali. Melihat pohon-pohonan
yang dalam remang seperti rangka-rangka yang hitam
terbakar dan mendengar suara yang aneh-aneh, yang
mendekati suara manusia, meremanglah bulu roma Banyak
Sumba. Akan tetapi, ia tidak mundur. Ia melangkah terus
dengan gada siap menghadapi segala kemungkinan. Ia
berjalan, angin bertiup dari arah mukanya. Angin sangat
dingin, tetapi baju kulit harimaunya cukup tebal untuk
melindungi kulitnya. Ia melangkah terus dengan tujuan tetap,
yaitu mendaki gunung itu lebih tinggi lagi agar mencapai
puncaknya. Dari sana diharapkannya akan melihat dunia
manusia. Tiba-tiba, ia melihat kabut yang tebal sekali merendah ke
arah gunung itu. Bagai lidah besar, kabut itu menjilat
beberapa bagian hutan yang aneh itu. Mula-mula, Banyak
Sumba tidak acuh saja. Kemudian, angin bertiup ke arahnya.
Banyak Sumba terkejut karena tiba-tiba ia sudah terkurung
oleh kabut yang sangat tebal sehingga pemandangannya
remang-remang belaka. Dalam keremang-remangan itu,
pohon-pohonan makin menyeramkan.
Banyak Sumba tidak peduli, ia terus berjalan ke arah
puncak gunung yang tinggi yang pernah dilihatnya itu. Akan
tetapi, makin lama kabut makin tebal juga. Akhirnya, ia hanya
melihat tabir kumal yang membentang di hadapannya. Ia tidak
dapat melihat apa-apa. Ia berdiri dan dengan kesal menunggu
kabut itu pergi. Tiba-tiba, dekat sekali di sampingnya, ia
mendengar teriakan seorang perempuan yang keras, lalu
tertawa cekikikan. Bulu roma Banyak Sumba meremang. Ia
tahu bahwa yang tertawa itu bukanlah manusia, melainkan
makhluk yang ditakuti manusia. Banyak Sumba bersiap-siap
dengan gadanya dan melihat ke sekelilingnya. Selintas, dia
seolah-olah melihat seorang perempuan beriari, rambutnya
terurai, tubuhnya tidak ditutup oleh sehelai benang pun. Aneh,
perempuan itu berlari cepat sekali di dalam kabut yang tebal
itu. Makin yakin Banyak Sumba bahwa ia berada di wilayah
kerajaan Siluman. Ia membaca mantra-mantra, mohon
perlindungan kepada Sang Hiang Tunggal dan Sunan Ambu,
sementara tangannya erat-erat memegang gada.
Suara jeritan terdengar dari dalam semak yang ada di
dekatnya. Ia mendengar orang dipukuli, tangisan, jeritan, dan
caci maki bergalau dalam keributan itu. Banyak Sumba mulamula
hendak bergerak mendekati semak itu, tetapi ia segera
sadar bahwa hal itu tidak boleh dilakukannya. Ia selalu akan
digoda oleh makhluk-makhluk terkutuk itu. Itulah sebabnya, ia
mengurungkan maksudnya untuk mendekati tempat itu,
walaupun suara orang yang disiksa dan bunyi tindakantindakan
penyiksaan berjalan terus, balikan makin lama makin
hebat terdengar.
Kemudian, terdengar suara tangis bayi dari suatu arah.
Terdengar pula geram harimau. Hampir saja Banyak Sumba
bergerak ke arah suara bayi itu, tetapi ia pun segera sadar
dan terus membaca mantra-mantra. Ia tahu bahwa ia sedang
digoda agar jatuh ke dalam malapetaka. Ia berdoa, mudahmudahan
kabut segera pergi dan matahari bersinar kembali.
Ternyata, doanya tidak segera dijawab. Lama sekali kabut itu
bergayut di sana, sedangkan angin bertiup lemah sekali.
Maka, ia pun terpaksa menulikan telinganya terhadap suarasuara
yang meremangkan bulu romanya itu. Ia pun tidak
peduli pada pemandangan yang aneh-aneh yang berkelebatan
di sekelilingnya. Ia siap dengan gadanya. Apa pun yang
mendekati, akan dipukul dengan senjatanya yang ampuh itu.
Kabut menipis, tetapi pemandangan hanya remangremang.
Banyak Sumba mulai berjalan. Ia sadar bahwa
tempat dari arah suara bayi terdengar tadi adalah sebuah
jurang yang dalam sekali. Seandainya bergerak ke sana,
niscaya ia sudah terbaring remuk di dasar jurang itu. Ia
mengucap syukur atas keselamatannya.
Setelah beberapa lama ia berjalan, kabut pun menjadi tipis
sekali. Ia bergegas, meninggalkan hutan yang menakutkan
itu. Ia siap dengan gadanya. Tibalah ia di tepi sebuah jurang.
Banyak Sumba tertegun. Dari dalam jurang, keluar asap yang
berbau busuk. Dan ketika Banyak Sumba melihat ke bawah,
tampak sebuah lubang besar yang berasap. Banyak Sumba
mundur. Ia berkata dalam hatinya, barangkali lubang itu
adalah salah satu gerbang yang menuju ke Buana Larang,
tempat Ratu Siluman bersemayam. Ia segera meninggalkan
lubang yang berasap busuk itu.


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hutan menjadi jarang pohon-pohonannya. Makin lama,
hutan makin jarang. Akhirnya, ia tiba di tempat yang tidak
berpohon sama sekali. Ia berjalan terus di sepanjang lembah
gundul. Ia heran, mengapa di atas puncak gunung ada bagian
tanah yang begitu kering dan gersang.
Tiba-tiba, ia tertegun. Di bagian lembah yang dalam, ia
melihat pemandangan yang mengerikan. Berpuluh-puluh
tengkorak berserakan. Di antara tengkorak-tengkorak
tersebut, terdapat pula mayat yang masih utuh dan setengah
utuh. Di antara tengkorak manusia, terdapat pula tengkorak
binatang, dari menjangan hingga babi hutan. Bahkan, ada
tengkorak yang besar dan panjang sekali, yaitu tengkorak ular
sanca yang terbentang, di hadapannya terbaring tengkorak
seekor menjangan besar. Suatu kisah tergambar di belakang
pemandangan itu.
Banyak Sumba melangkah ke belakang. Ia teringat kepada
dongeng orang-orang tua yang pernah tersesat di lembah
seperti itu. Ia pun tersesat di Lembah Tengkorak yang
terkenal tapi jarang dilihat orang. Ia salah seorang di antara
yang cukup malang sehingga tersesat di lembah berbahaya
itu. Siapa pun yang berani melintasi lembah itu akan menjadi
mayat belaka karena lembah itu terkutuk, dan siluman
berkuasa di sana. Banyak Sumba mundur seraya membaca
mantra tidak henti-hentinya.
Dengan tergesa-gesa, Banyak Sumba menghindar dari
daerah yang menakutkan itu. Ia berjalan terus, mendaki,
menuju ke arah hutan hijau yang membayang di balik kabut
tipis. Ia mulai kelelahan, keringatnya membasahi seluruh
tubuhnya, walaupun udara di tempat itu sangat sejuk.
Akhirnya, ia sampai juga di bagian hutan yang lebat. Begitu
menginjakkan kaki di sana, ia menyadari bahwa ia telah keluar
dari daerah yang bukan daerah manusia atau binatang. Ia
merasa lega, lalu beristirahat. Dibukanya kantong besar yang
terbuat dari kulit menjangan, dikeluarkannya buah-buahan
yang dipetiknya di hutan-hutan di kaki gunung yang tinggi itu.
Ia pun mengeluarkan beberapa potong dendeng menjangan
dan harimau. Ia menyalakan api, lalu memanggang daging itu
di atas api unggun yang terbuat dari ranting-ranting.
Walaupun daging itu berbau asap, karena lapar, ia
memakannya dengan lahapjuga.
TERNYATA, walaupun ia telah mengelilingi puncak gunung
itu dan dari sana melihat ke sekelilingnya, ia tidak berhasil
melihat dunia manusia. Ke mana pun ia berpaling, hutan yang
hijau kelabu belaka yang dilihatnya. Akhirnya, ia berputus asa
dan menganggap bahwa usahanya yang penuh dengan
godaan dan bahaya itu sia-sia belaka. Berhari-hari, ia
berkeliling di hutan itu. Ia sadar bahwa di puncak gunung itu
tidak ada binatang perburuan karena daerah itu terlalu tinggi.
Buah-buahan sedikit sekali di sana sehingga mungkin saja ia
dapat mati kelaparan.
Pada suatu pagi, ia bergerak turun. Ia menghindari hutan
yang menakutkan dan Lembah Tengkorak itu. Dicarinya jalan
lain. Ia terus turun hingga akhirnya tiba di tebing yang curam.
Ia menarik napas panjang. Terpikir olehnya, kecuali dengan
melalui Hutan Siluman dan Lembah Tengkorak itu, ia tidak
akan dapat menuruni tebing yang curam itu.
Ia tertegun, apakah ia akan kembali melalui hutan berkabut
yang penuh dengan pemandangan dan suara-suara yang
meremangkan bulu roma itu" Mungkinkah ia dapat selamat
untuk kedua kalinya dalam melewati hutan yang gelap dan
penuh dengan jurang menganga yang tidak kelihatan
dasarnya itu" Ia melihat ke dalam jurang yang ada di
depannya. Tampak hutan yang lebat di dasarnya. Ia
memutuskan untuk menuruni jurang yang sangat curam itu
karena selama hidup di dalam hutan itu, ia sudah terampil
seperti seekor kera. Apa salahnya ia mempergunakan
kepandaiannya itu untuk menuruni tebing"
Banyak Sumba mengeratkan kantong besar yang
disandangnya. Ia pun menyisipkan gadanya pada ikat
pinggang yang terbuat dari kulit harimau. Ia mulai memegang
ranting semak-semak, lalu merayap ke bawah. Entah berapa
lama ia merayap, ketika pada suatu kali, dilihatnya benda
yang bergerak di bawahnya. Ia berhenti, lalu memandang ke
bawah. Tiba-tiba napasnya terhenti.
Di bawahnya, di dalam jurang itu, di balik hutan yang lebat,
terdapat sebuah jalan kecil. Kalau matanya tidak salah
tangkap dan ia tidak bermimpi, ia melihat tiga orang
penunggang kuda. Dua orang dewasa menunggang kuda di
depan dan di belakang, sedangkan seorang anak melarikan
kudanya di antara kedua orang tua itu. Banyak Sumba hampir
saja berteriak karena kegirangan, la ingin memanggil manusia
pertama yang ditemukannya. Akan tetapi, tiba-tiba terlintas
dalam hatinya bahwa mungkin orang-orang yang lewat di
dasar jurang itu para anggota Padepokan Tajimalela.
Kegembiraannya hampir meledakkan dadanya demi terpikirnya
hal itu. Ia sadar bahwa ketiga orang penunggang kuda itu
berbaju putih. Baju putih adalah pakaian penghuni Padepokan
Tajimalela. Padepokan Tajimalela berada di dalam hutan rahasia,
dilingkungi bahaya yang menghadang siapa saja yang ingin
mengunjunginya. Bukankah ia hampir jadi korban Hutan Kabut
dan Lembah Tengkorak" Bukankah menurut cerita, Hutan
Siluman dan Lembah Tengkorak itu dekat sekali letaknya
dengan padepokan para pahlawan Pajajaran yang perkasa itu"
Dalam kegembiraan itu, Banyak Sumba tergesa-gesa turun
hingga berulang-ulang ia hampir terjatuh. Akhirnya, tibalah ia
di dasar lembah. Benar, ia melihat banyak sekali jejak kuda di
lembah yang sempit itu. Di sana terdapat jalan setapak, yang
tentu akan menuju ke padepokan yang terkenal tetapi tidak
diketahui letaknya itu. Banyak Sumba berlari-lari mengikuti
jejak kuda yang masih baru itu. Ia berlari secepat-cepatnya.
Akan tetapi, betapapun cepatnya, ia tidak dapat menyusul
kuda yang lari. Pada suatu tempat, ia kehilangan jejak. Ia
kelelahan dan duduk di atas rumput di dalam semak.
Tiba-tiba, keraguan timbul bersama kecemasan dalam
hatinya. Mungkinkah ia disesatkan oleh siluman" Mungkinkah
ketiga orang penunggang kuda itu siluman yang menyamar,
yang memberi harapan, kemudian menyesatkannya ke
tempat-tempat yang lebih berbahaya" Banyak Sumba bangkit,
lalu mencari-cari jejak kuda di sekitar hutan itu.
Ia mulai menyesal, mengapa ia tidak berseru memanggil
para penunggang kuda itu. Alangkah sialnya, pikirnya.
Ataukah ia beruntung" Ia tidak tahu, apa yang akan terjadi
kalau ia memanggil ketiga orang penunggang kuda itu.
Mungkinkah ia dibunuh karena memasuki daerah padepokan
itu memang terlarang" Atau mungkinkah ketiga penunggang
kuda itu bukan manusia, hanya siluman yang menggoda dan
menyesatkan" Ataukah itu para guriang yang kembali dari
pengembaraan di dunia manusia"
Seraya pikirannya kacau-balau seperti itu, Banyak Sumba
terus-menerus mencari jejak-jejak kuda itu. Setelah demikian
lama tidak juga ditemukannya, akhirnya ia berhenti sambil
terengah-engah kelelahan. Dan ketika ia beristirahat itu, hari
pun senja. Bab 9 Kesasar Ke Padepokan Tajimalela
Keesokan harinya, panas matahari menyengat pundak
Banyak Sumba yang tidak tertutup oleh kulit harimau. Ketika
ia sedang berjalan di semak-semak, terdengariah suara
gemuruh. Apakah itu" tanyanya dalam hati. Banyak Sumba
berhenti dan mendengarkan suara itu dengan telinganya yang
tajam. 'Air terjun!" serunya di dalam hati. Ia berlari ke arah
asal suara itu. Ia menyadari bahwa dengan menyusuri sungai,
akhirnya ia akan tiba ke laut, dunia manusia! Dan kalau ia
menyusuri sungai, ia akan bertemu dengan kota-kota
manusia, dan bukankah Pakuan Pajajaran berada di tepi
sungai" Banyak Sumba berlari ke arah datangnya suara itu.
Akhirnya, tibalah ia di tepi sungai kecil yang arusnya deras
sekali di dalam hutan itu. Sungai itu mengalir di atas tanah
bercadas-cadas, airnya yang jernih menjadi putih seperti
kapas karena berbusa. Di atas sungai itu melingkarlah pelangipelangi
kecil di bawah sinar surya tengah hari.
Tanpa banyak berpikir, Banyak Sumba membuka pakaian
kulit harimaunya, lalu mandi di dalam air yang jernih itu.
Setelah merasa segar, ia melanjutkan perjalanan, menyusuri
sungai kecil itu arah ke hilir. Kadang-kadang hutan lebat
sekali, kadang-kadang tebing-tebing curam sekali, tetapi
Banyak Sumba sudah terbiasa hidup dalam hutan. Seperti
seekor kera atau harimau tutul, ia melompat-lompat atau
dengan cepat memanjati pohon-pohonan, dan menuruninya
kembali. Ia terus menuruni puncak gunung yang tinggi.
Di satu tempat, ia berhenti karena ketika melintas sungai
itu, ia melihat jejak-jejak yang mendebarkan hatinya. Apakah
itu jejak binatang hutan yang besar, seperti banteng dan
rusa" Ataukah itu jejak kuda" Banyak Sumba menundukkan
kepalanya, memeriksa jejak-jejak itu dengan saksama.
Debarjantung-nya menghebat. Jejak kuda! Ia bangkit,
berpaling ke seberang sungai yang sempit. Di antara semaksemak,
ia melihat jalan setapak. Ia menemukan kembali jejak
ketiga orang penunggang kuda yang dicarinya dua hari
belakangan ini. Ia dapat membayangkan bahwa ketiga orang
penunggang kuda itu pernah melompati bagian sungai di
tempat itu. Tanpa berpikir panjang, Banyak Sumba melompati sungai
kecil, lalu berlari mengikuti jejak kuda itu. Akan tetapi, di
tengah-tengah jalan, ia berhenti. Mungkinkah siluman hendak
menyesatkannya kembali setelah ia menemukan jalan untuk
kembali ke dunia manusia" Munginkah ia sedang dipancing
oleh siluman untuk kembali tersesat ke dalam hutan belantara
dan tidak dapat kembali untuk selama-lamanya ke dalam
masyarakat yang beradab" Atau mungkinkah Sang Hiang
Tunggal begitu kasih kepadanya sehingga ia diberi jalan untuk
dapat mengunjungi Padepokan Tajimalela dan mempelajari
ilmu kepuragabayaan untuk mengalahkan Anggadipati"
Banyak Sumba tertegun, ia kebingungan. Akhirnya ia
berdoa, kemudian melangkah kembali, mengikuti jejak kuda
itu. Ia akan mengikuti jejak kuda itu. Agar tidak tersesat, ia
akan membuat tanda pada pohon-pohonan. Ia pun
mengeluarkan belatinya, lalu dipotongnya cabang-cabang
pohon dari saat ke saat. Kadang-kadang, ditorehnya batangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
batang pohon, kemudian akan dijadikannya petunjukjalan
kalau ia akan kembali menuju sungai yang ditemukannya itu.
Begitu ia berjalan, kadang-kadangjejak kuda itu hilang
dalam semak-semak, tetapi umumnya ia dapat mengikuti jalan
setapak. Walaupun samar-samar, tetapi ia yakin bahwa itu
jalan setapak yang biasa dipergunakan para penunggang
kuda. Dan, ia pun yakin pula bahwa jalan setapak itu menuju
suatu tempat, kalau tidak kampung manusia tentu Padepokan
Tajimalela. Sebelum senja tiba dan ketika ia sudah kelelahan,
ia mendengar sesuatu. Ia mempercepat jalannya sambil
mengendap-endap. Pada suatu ketika, tibalah ia di bibir
jurang. Ia berdiri sejenak, kemudian menjatuhkan diri dengan
hatinya mengucap syukur kepada Sang Hiang Tunggal. Ia
merayap di bibir jurang itu.
Ia melihat ke bawah, sebidang lapangan luas yang bersemaksemak rendah dan berbunga-bunga. Ia menyadari
bahwa ia berada di pinggir sebuah kawah mati. Dan ia hampir
tidak percaya pada matanya sendiri ketika dilihatnya beberapa
bangunan berupa kuil di dasar kawah itu. Ia bertanya-tanya
dalam hati, tidakkah ia bermimpi" Belum hatinya jernih, ia
sudah menghadapi peristiwa yang baru. Tiba-tiba, dari arah
hutan di bibir kawah sebelah timur, datanglah suara gemuruh.
Dari arah itu, muncullah sekira tiga puluh orang pemuda.
Semua berpakaian putih. Mereka berlari, berbaris ke arah
lapangan yang berada di dekat kuil. Seraya berbaris dan
berlari, mereka berseru-seru atau bernyanyi.
Karena kebiasaan, Banyak Sumba menyelinap
menyembunyikan diri di balik semak-semak. Ia terus
bertanya-tanya, apakah ia telah memasuki daerah para
guriang" Apakah para pemuda yang tampan-tampan dan
berpakaian putih itu manusia atau makhluk Kahiangan"
Apakah mereka itu para Bujangga" Ataukah mereka itu
siluman" Tapi, kalau siluman, tentu akan menimbulkan
suasana lain dalam hati Banyak Sumba. Ia tidak merasa seram
atau ngeri. Ia merasa kagum dan bahkan gembira melihat
para pemuda yang tampan-tampan, kuat-kuat, dan halushalus
gerak-geriknya itu. Atau mungkinkah ia sudah tiba di
Padepokan Tajimalela yang termasyhur itu" Apakah pemudapemuda
itu para calon puragabaya"
Demikianlah ia bertanya-tanya sambil mengintip.
Sementara itu, para pemuda duduk berkeliling di lapangan
yang berpasir putih. Seorang di antara mereka yang tampak
sudah berumur, berdiri di tengah-tengah, lalu berbicara. Akan
tetapi, karena jauh dan angin bertiup ke arah lain, Banyak
Sumba tidak mendengar apa yang dikatakan orang itu. Orang
yang berdiri di tengah lingkaran itu melakukan gerakangerakan
tertentu seperti menari, kemudian berbicara kembali.
Banyak Sumba tiba-tiba menjadi yakin dan gembira, bahwa ia
telah tersesat ke daerah yang memang dicari-carinya. Ia
sekarang berada di Padepokan Tajimalela. Ia meletakkan
kedua telapak tangan di depan dadanya sambil mengucapkan
doa syukur kepada Sang Hiang Tunggal.
"Yang Mahakasih, hamba-Mu mengucap syukur kepa-da-Mu
karena telah membawa hamba-Mu ke tempat hamba-Mu akan
mempelajari ilmu yang sangat ampuh, untuk membalaskan
dendam keluarga," demikian di antaranya bisik Banyak
Sumba. Kemudian, ia merangkak agar dapat lebih dekat ke
arah orang-orang muda yang duduk berkeliling itu. Selagi
merangkak, ia merasakan arah angin. Ia sadar, ia harus
berhati-hati karena yang memasuki daerah itu tanpa izin akan
ditangkap dan bahkan dibunuh. Daerah padepokan yang
sangat termasyhur itu terlarang bagi sembarang orang.
Tanpa disadarinya, matahari menyurukkan kepala ke dalam
hutan lebat dan, seperti tiba-tiba, hari menjadi senja. Banyak
Sumba melihat para pemuda itu bangkit, lalu sambil
menyanyikan doa-doa yang indah bunyinya, mereka berjalan
memasuki kuil. Dari pintu kuil, muncul seorang tua yang
agung dengan janggut putih yang bergerai-gerai ditiup angin


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senja. Orang tua itu berdiri di gerbang kuil, memandangi para
pemuda yang sambil berbaris memasuki kuil. Tak lama
kemudian, lapangan itu menjadi sunyi kembali karena semua
orang telah masuk kuil. Mereka akan bersembahyang senja,
kata Banyak Sumba dalam hati. Mereka bukan siluman, juga
bukan Bujangga atau guriang. Mereka adalah manusia.
Banyak Sumba merasa yakin akan hal itu. Sambil menarik
napas panjang, ia membuat rencana untuk mengadakan
penyelidikan lebih lanjut seraya memandang ke arah
bangunan-bangunan yang ada di dasar kawah mati itu.
Sementara itu, malam pun tiba dan beberapa obor
dinyalakan orang di sekitar bangunan-bangunan itu. Ternyata,
kesibukan di tempat itu masih juga ramai walaupun hari telah
gelap. Dalam remang-remang cahaya obor, Banyak Sumba
melihat baju-baju putih berkelebatan, terdengar pula suara
orang bercakap-cakap sayup-sayup. Dari dalam kuil terdengar
doa bersama. Kadang-kadang terdengar orang berbicar.i, *<
perti memberikan wejangan.
Banyak Sumba ingin sekali menyelidiki, tetapi ia belum
berani turun dari bibir kawah itu. Baru setelah tampak
kesibukan berkurang dan beberapa obor di lapangan
dipadamkan, Banyak Sumba berani bergerak dan merangkak
ke bawah. Ia berusaha tidak mengeluarkan suara.
Ia berjalan mengendap-endap dan menyelinap dari satu
bayangan pohon ke bayangan pohon yang lain. Kemudian, ia
bergerak menuju ruangan besar, tempat para pemuda itu
masuk pada waktu senja. Lama sekali ia mengendap-endap
karena berulang-ulang ia melihat bayangan putih pada malam
gelap itu. Ia sadar, tentu saja ada penjaga yang bertugas
malam, sekurang-kurangnya untuk menghindarkan kuda dari
serangan binatang buas. Ia tahu bahwa di tempat itu disimpan
beberapa ekor kuda karena sayup-sayup ia pernah mendengar
ringkiknya. Betapapun lambat dan hati-hatinya, akhirnya sampai juga
ia di salah satu bangunan di dasar kawah mati itu. Ia merabaraba
dinding bangunan yang terdiri dari kayu dan batu. Ia
berkeliling, mencari celah untuk mengintip ke dalam.
Sementara itu ia berhati-hati, jangan-jangan ada peronda
yang memergokinya. Ternyata, bangunan besar itu sangat
baik dindingnya sehingga tidak ada satu celah pun yang dapat
dipergunakannya untuk mengintai. Dan ketika ia sedang
meraba-raba dinding itu, tiba-tiba didengarnya langkah
mendekat. Ia melekatkan dirinya rapat-rapat ke dinding. Tak
lama kemudian, ia melihat bayangan putih berjalan, berhenti,
mendengus-dengus udara, kemudian berjalan lagi, lalu
berhenti. . Banyak Sumba sadar bahwa kehadirannya diketahui oleh
penjaga itu. Ia baru menyadari bahwa para puragabaya
memiliki penciuman yang tajam sekali. Ia terlambat untuk
menghindari bahaya karena sudah berada dalam jangkauan
penciuman penjaga itu. Ia hanya berdoa, mudah-mudahan
angin bertiup bertentangan arah. Kemudian, dilihatnya
penjaga itu menjauh, pakaian putihnya mengabur dalam gelap
malam. Banyak Sumba segera menyelinap, menghindar,
menuju semak-semak di tepi kawah mati itu.
Di sana, ia termenung untuk beberapa lama, memikirkan
bagaimana cara yang sebaik-baiknya agar dia dapat
mengetahui lebih banyak tentang padepokan itu dengan risiko
sekecil-kecilnya. Terpikir olehnya, bagaimana kalau ia
memasuki loteng ruangan tempat para calon puragabaya
belajar. Akan tetapi, hal itu bukannya tidak mengandung risiko
yang besar. Pertama, kalau ditemukan, ia akan sukar sekali
melarikan diri dari kepungan para calon puragabaya itu.
Kedua, untuk memasuki loteng itu, ia harus mengangkat atap
ijuk yang entah telah berapa ratus tahun umurnya. Ia melihat
kesukaran dan bahaya yang besar, tetapi itulah satu-satunya
cara. Ia menarik napas panjang, ditetapkan untuk dicobanya.
Setelah melihat ke segala arah, Banyak Sumba merangkak
keluar dari semak persembunyiannya. Berulang-ulang ia
melompat dari bayangan ke bayangan di lapangan berpasir
yang memisahkan semak-semak dengan ruangan belajar para
calon itu. Ketika memasuki bayangan dinding bangunan kecil
yang terletak beberapa langkah dari ruangan belajar para
calon, ia menyentuh sebatang pohon kecil secara tidak
sengaja. Daun gemerisik dan sesuatu jatuh dari pohon itu.
Tiba-tiba, dari arah bangunan kecil itu terdengarlah suara,
"Da!"
Terhenti rasanya detak jantung Banyak Sumba. Ia terpaku
di tanah, tidak bergerak. Suara itu kemudian terdengar lagi.
"Da!"
Banyak Sumba menjawab, "Ya."
Dari dalam ruangan tidak terdengar lagi suara. Banyak
Sumba menghindar, mengendap-endap.
Memanjat dinding bangunan tempat belajar para puragabaya
tidaklah sukar. Ia sudah hidup seperti seekor kera
atau macan tutul dalam hutan. Tak lama kemudian, ia sudah
berada di atap bangunan yang besar dan panjang. Merayaprayap
dalam gelap seraya berusaha tidak mengeluarkan suara,
sungguh merupakan perbuatan yang berat. Baru saja
beberapa saat, keringatnya sudah membasahi tubuhnya,
padahal malam sangat dingin ketika itu. Banyak Sumba tidak
berputus asa. Ia terus mencari-cari celah ijuk yang dapat
diangkatnya. Ternyata, atap ruangan itu dibuat secara
sempurna. Banyak Sumba akhirnya memutuskan untuk
menggagalkan niatnya. Ia akan turun dan memikirkan cara
lain di tempat yang lebih aman. Namun, ketika ia turun,
didengarnya suara agak nyaring datang dari dalam ruangan.
Ketika ia berpaling ke arah datangnya suara itu, dilihatnya
dalam remang malam lubang udara yang besar. Banyak
Sumba segera merayap mendekati lubang udara yang
memasuki loteng. Ia pun memasukinya dengan mudah dan
tak lama kemudian, ia telah berada dalam loteng ruangan
besar itu. Setelah merayap-rayap dalam gelap tanpa
mengeluarkan suara, tibalah ia di suatu tempat. Di sana, ia
dapat mendengar pembicaraan orang-orang yang ada di
bawah. Sesuai dengan yang diharapkannya, pembicaraan yang
terdengar dari bawah tempat persembunyiannya adalah
mengenai masalah ilmu keperwiraan. Walaupun begitu,
Banyak Sumba tidak mudah mengerti dan menangkap isi
percakapan orang-orang yang diintipnya karena banyak istilah
yang tidak dikenalnya.
Kadang-kadang terdengar nama-nama jurus yang
dikenalnya diucapkan orang, tetapi lebih sering didengar
istilah seperti batas gerak, titik berat, tenaga bendung, tenaga
alir, dan tenaga ledak. Banyak Sumba mencoba mendugaduga,
apa yang dimaksud istilah itu, tetapi tidak merasa puas
dengan menduga-duga. Itulah sebabnya, ia berusaha
menoreh dinding loteng dengan pisau belatinya. Hal itu
dikerjakannya dengan perlahan-lahan sekali. Akhirnya, suatu
celah dapat dibuatnya. Melalui celah itu, tampaklah para
pemuda yang gagah dan tampan dengan khidmat duduk
dalam bentuk lingkaran. Salah seorang yang duduk bersama
mereka tampak menjadi pengajar mereka.
"Tempatkan titik berat badanmu ke salah satu tumit
kakimu, jangan di kedua belah kaki. Kalau ditempatkan di
kedua belah kaki, kau akan sukar bergerak. Kelincahanmu
akan jauh berkurang, sedangkan lawan akan dengan mudah
menyapu kakimu yang satu atau yang lain."
Orang setengah baya itu melihat ke sekelilingnya, ke wajah
para pemuda yang tampan dan halus itu. Tampak bahwa
orang itu mengharapkan pertanyaan. Tak lama kemudian,
salah seorang di antara pemuda itu mengacungkan tangan,
lalu bertanya, "Lawan yang baik akan melihat di mana berat
badan kita berada. Dengan demikian, ia dapat meramalkan
gerakan yang akan kita ambil dan serangan yang paling
ampuh yang dapat dilaksanakan. Bukankah dengan titik berat
badan kita di satu tumit, lawan akan mudah melihat dan
meramalkan kemungkinan-kemungkinan serangan kita?"
"Itu pertanyaan yang bagus sekali," ujar orang setengah
baya itu. Setelah berkata demikian, berdirilah ia, lalu berjalan
ke tengah lingkaran. Ia berdiri, satu kakinya menganjur ke
depan, yang lain berada di bawah badannya. Ia bertanya, "Di
manakah berat badan Paman?" tanya orang itu.
"Di kaki belakang," kata beberapa orang siswa.
Laki-laki setengah baya itu mengubah kedudukannya,
setelah itu bertanya pula, "Sekarang, di mana titik berat badan
Paman?" Para siswa termenung sejenak, kemudian ada yang
mengatakan di kaki kiri, ada pula yang mengatakan di kaki
kanan. Kemudian, orang setengah baya itu menjelaskan
bahwa cara menyembunyikan titik berat badan adalah salah
satu bagian ilmu yang sangat penting dan harus dikuasai oleh
setiap pura-gabaya. Mendengar perkataan "puragabaya" itu,
bergembiralah Banyak Sumba. Tidak ada lagi keraguan dalam
hatinya bahwa ia telah tersesat ke tempat yang diinginkannya.
Tidak ada keraguan lagi akan keyakinannya selama ini bahwa
Sang Hiang Tunggal sangat kasih kepada wangsa Banyak
Citra. Sementara itu, perhatiannya tidak lepas dari semua yang
dilakukan oleh pelatih dan para calon puragabaya. Ia
menyadari bahwa segala yang didengarnya adalah suatu hal
yang baru baginya. Pertama, ternyata, pelatih calon
puragabaya tampaknya tidak pernah berpikir dengan
mempergunakan seperti jurus kuda-kuda, sikap, dan
sebagainya. Ia lebih banyak berpikir dengan mempergunakan
istilah-istilah titik berat badan, kemungkinan-kemungkinan
gerak, peraturan tenaga, dan kekuatan serta kelemahan
tubuh. Mendengar penjelasan pelatih calon puragabaya itu,
sadarlah Banyak Sumba bahwa selama ini, cara berpikir yang
demikianlah yang dibutuhkannya. Ia merasa tidak puas
dengan pengertian yang biasa dipergunakan sebelumnya.
Sudah lama ia berpendapat bahwa semua jurus berguna. Yang
menjadi persoalan baginya, bagaimana agar setiap jurus dapat
dipergunakan pada saat dan keadaan yang tepat. Dan,
persoalan ini hanya dapat dijawab dengan mudah kalau ia
mempergunakan cara berpikir lain. Cara berpikir demikian,
ternyata dipergunakan oleh pelatih puragabaya itu.
Setelah para siswa itu selesai belajar dan meninggalkan
ruangan, Banyak Sumba turun dari atap bangunan, lalu
dengan mengendap-endap masuk hutan, mencari pohon
untuk menginap. Karena lelah, ia segera tertidur. Karena
sudah biasa, ia tidak perlu lagi mengikatkan dirinya pada
dahan-dahan. Walaupun tidur, ia tetap mengendalikan berat
badannya. Keesokan harinya, subuh-subuh ia terbangun oleh nyanyian
para siswa. Banyak Sumba memanjat lebih tinggi lagi. Di balik
kerimbunan daun-daun, ia menyaksikan cara mereka berlatih.
Ia kadang-kadang tersenyum kalau sadar bahwa apa-apa
yang dilakukan oleh para siswa secara sengaja, telah
dilakukannya secara terpaksa selama ia berada di hutan
belantara. Ia merasa lega karena ia pun menyadari, banyak
hal yang berguna telah dikuasainya selama ia tersesat dan
menderita di hutan rimba itu.
Namun, sering pula hatinya menjadi kecil kalau
menyaksikan cara-cara latihan yang belum pernah dilihatnya.
Sering ia ingin menggabungkan diri dengan para siswa dan
mencoba kemampuannya melakukan apa-apa yang
diperintahkan oleh pelatih para siswa itu. Akan tetapi, ia hanya
dapat lebih menajamkan pandangan matanya dan mencoba
mengerti apa maksud dan makna latihan para siswa
puragabaya itu. Kadang-kadang ia tidak mengerti sama sekali,
dan walaupun mencobanya seorang diri, bentuk latihan itu
tetap gelap baginya. Maka, sepanjang hari, ia memikirkan apa
yang dilihatnya itu. Kemudian, ia mencari buah-buahan atau
mencoba menangkap binatang untuk makanannya.
Malam hari, seperti biasa, ia menyelinap dan memasuki
loteng tempat belajar para calon. Banyak hal mengenai keperwiraan
dipelajari dari pengintipan itu dan ilmu kepuragabayaan
makin lama makin menjadi terang baginya, walaupun
masih banyak hal kecil yang tidak dimengertinya.
Di samping hal-hal mengenai ilmu keperwiraan yang
diberikan oleh para pelatih yang terdiri dari beberapa orang,
Banyak Sumba pun sempat ikut mempelajari cara-cara
pengobatan yang diajarkan kepada para calon puragabaya itu.
Para calon puragabaya diharuskan mengetahui bagian-bagian
badan manusia, yang di luar maupun yang di dalam. Selain
berguna untuk melumpuhkan lawan dengan mudah dan cepat,
pengetahuan itu sangat berguna untuk menyembuhkan siapa
saja yang memerlukan pertolongan. Cara-cara pengobatan itu
ada yang hanya mempergunakan tangan, tapi ada pula yang
mempergunakan daun-daunan dan akar-akaran.
Banyak Sumba dengan tekun ikut memerhatikan apa-apa
yang dijelaskan oleh seorang pelatih yang bernama Paman
Minda. Paman Minda ini, selain ikut melatih, tugas utamanya
menjaga dan merawat para calon yang mendapat kecelakaan
dalam latihan. Tidak jarang, dalam latihan-latihan itu, ada
calon puragabaya kena pukulan, terkilir atau terjatuh, luka
atau memar. Paman Minda-lah yang mengurus mereka.
Kadang-kadang, Resi Tajimalela hadir di tempat belajar
untuk memberikan wejangan tentang keagamaan. Banyak
pula hal mengenai keagamaan dan kesatriaan yang dipelajari
oleh Banyak Sumba. Tidak disadarinya, setelah beberapa
bulan berada di sekitar Padepokan Tajimalela dan hidup
seperti seekor musang, pengetahuannya tentang ilmu
keperwiraan bertambah, sementara jiwanya jadi penuh
dengan persoalan.
Satu persoalan yang sangat menggelisahkan hati Banyak
Sumba, yaitu mengenai hubungan antara manusia. Pada suatu
malam, ketika Resi Tajimalela selesai memberikan wejangan
dan memberikan kesempatan kepada para siswa untuk
bertanya, berkatalah seorang pemuda, "Eyang Resi, tadi
Eyang mengatakan bahwa sebagai seorang puragabaya, kami
harus melepaskan kepentingan pribadi demi kepentingan
sesama manusia, khususnya sesama anak negeri Pajajaran.
Sudilah Eyang Resi menjelaskan kepada kami dengan contoh."
"Baiklah, Anakku," sabda Eyang Resi sambil menganggukangguk.
Wajahnya yang kurus dihiasi dengan dua bola mata
jernih yang gemerlapan tetapi sangat lembut. Setelah


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdeham, Eyang Resi Tajimalela melanjutkan wejangannya,
"Kalau engkau merasa bersalah, engkau bukan saja harus
bersedia mendapat hukuman, tetapi harus meminta dihukum.
Mengapa" Karena keadilan milik bersama, sedangkan dirimu
milikmu sendiri. Kalau milikmu musnah, Pajajaran dapat
berlangsung terus, tetapi kalau keadilan rusak, hilang
lenyaplah Pajajaran."
Ruangan hening untuk beberapa lama, kemudian sambil
tersenyum, bersabda pulalah Eyang Resi Tajimalela,
"Masihkah kurang jelas?"
'Jelas, Eyang," kata siswa yang bertanya terlebih dahulu.
"Kalau begitu, Eyang, hubungan keluarga itu tidak ada artinya
sama sekali karena anggota keluarga kami tidak boleh lebih
dipentingkan daripada siapa pun," kata seorang siswa lain.
"Benar, Anakku," ujar Eyang Tajimalela, lalu melanjutkan
penjelasannya, "Ketika kalian diserahkan untuk belajar di sini,
orangtua kalian menyerahkan kalian menjadi anak negara.
Kalian anak setiap warga Pajajaran dan bukan anak keluarga
kalian lagi. Memang, hubungan darah dan hubungan cinta
kasih kalian dengan orangtua dan saudara akan tetap lebih
mesra dibandingkan dengan kasih kalian kepada orang lain.
Akan tetapi, satu hal harus kalian sadari bahwa di dalam
keadilan, keluarga kalian tidak boleh diistimewakan.
Seandainya seorang anggota keluarga kalian bersalah,
kalianlah yang seharusnya paling dulu menghukumnya karena
kalian menyadari bahwa perbuatan dosa bukan saja
merusakkan orang yang menjadi korban, tetapi sebenarnya
merugikan seluruh anak negeri Pajajaran. Kalau kalian kasih
kepada sanak keluarga, hendaknya itu berarti bahwa kalian
menjaga mereka agar selalu hidup dalam keadilan dan kasih
terhadap sesamanya. Orang yang melindungi saudaranya
berbuat tidak adil, bukanlah menyayangi saudaranya, tetapi
justru menjerumuskannya.
"Anak-anakku, bandingkanlah hidup kita dalam kerajaan ini
dengan hidup di dalam sebuah telaga besar yang airnya
jernih. Kalau seorang berbuat tidak adil, itu berarti dia
mengotori air telaga itu. Yang kena kotornya bukan dia
sendiri, tetapi kita semua. Itulah sebabnya, tugas kalian yang
pertama adalah menghukum diri sendiri kalau sadar telah
berbuat salah atau tidak adil. Kemudian, hukumlah saudarasaudaramu
kalau mereka berbuat tidak adil. Baru kalian
menghukum orang lain sesuai dengan peraturan dan undangundang
kerajaan."
Apa yang menggelisahkan Banyak Sumba adalah pendapat
bahwa keluarga seseorang itu hanya berharga sejauh hidup
dalam keadilan. Dengan demikian, kebanggaan keluarga,
seperti kebanggaan Banyak Sumba sebagai keturunan wangsa
Banyak Citra, merupakan hal yang sia-sia bagi Eyang Resi
Tajimalela. Ketika larut malam, ia merayap meninggalkan atap ruangan
yang sunyi itu, pikirannya tetap gelisah. Pada suatu saat,
berkatalah ia kepada dirinya sendiri, "Barangkali, Eyang Resi
dapat berkata demikian karena ia sudah tidak punya keluarga
lagi." Perkataannya itu tetap tidak menenangkan pikirannya.
Bagaimanapun, pendapat Eyang Resi Tajimalela itu adalah
pendapat yang mulia. Hanya dengan bersikap demikian,
seorang kesatria berhak mendapat gelar kesatria. Akan tetapi,
bagaimana dengan kasih sayang antara anggota keluarga"
Kakanda Jantejaluwuyung dibunuh dengan keji. Kalau ia
membelanya, tidakkah itu berarti bahwa ia membela keadilan
juga" Tapi, bagaimana kalau yang dibunuh itu bukan Kakanda
Jante Jaluwuyung" Mungkinkah ia bersedia menderita segala
kesengsaraan untuk menegakkan keadilan" Banyak Sumba
tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia gelisah sepanjang
malam. Ia hidup sebagai binatang malam di sekitar padepokan itu.
Makin hari, makin bertambah pengetahuannya tentang ilmu
keperwiraan maupun tentang ilmu pengobatan dan
keagamaan. Akan tetapi, kegelisahannya pun makin lama
makin bertambah. Ia menyadari bahwa ia adalah orang yang
sungguh-sungguh menempati kedudukan yang bertentangan
dengan para siswa kepuragabayaan itu. Kalau ia menyerahkan
hidupnya untuk keluarganya dan untuk wangsa Banyak Citra,
para siswa kepuragabayaan sebaliknya. Mereka menyerahkan
hidupnya untuk sesama manusia, dan anggota keluarga
mereka berada dalam kasih sayang mereka selama tidak
memusuhi sesama manusia. Manakah sikap yang benar"
Masalah itu masih tetap menjadi bahan renungannya ketika
pada suatu pagi ia melihat suatu hal yang tidak biasa di
kalangan para siswa. Ketika yang lain melakukan latihan dan
Banyak Sumba memandangnya dengan penuh perhatian serta
pengertian, beberapa orang siswa di bawah pimpinan seorang
pelatih memisahkan diri, lalu merunduk-runduk seolah-olah
sedang mencari-cari sesuatu di atas pasir dan rumput.
Darah Banyak Sumba tersirap ketika ia menyadari bahwa
mereka telah menemukan dan mencurigai jejaknya. Sadar
akan hal itu, Banyak Sumba meluncur seperti seekor ular, lalu
menyelinap ke dalam semak dan menjauh dari daerah
Padepokan Tajimalela. Ia berpikir keras, bagaimana agar ia
tidak ditemukan. Kesimpulan yang diambilnya adalah ia harus
menghindar dan bersembunyi untuk beberapa lama di tempat
yang agak jauh dari padepokan. Ia sadar bahwa hal itu akan
sangat merugikannya, tetapi itu adalah jalan satu-satunya.
Selama tiga hari, ia tidak berani mendekati Padepokan
Tajimalela. Ia berkelana di hutan yang jauh dari padepokan
dan pada hari keempat, ketika malam mulai gelap, barulah ia
berani kembali. Langsung ia menyelinap dan naik ke atap
ruangan besar tempat para calon puragabaya mendapat
wejang-an-wejangan tentang ilmu keperwiraan dan ilmu
keagamaan. Apa-apa yang didengarnya tentang ilmu keagamaan selalu
menggelisahkannya. Terakhir ia mendengar penjelasan Eyang
Resi Tajimalela tentang sejarah manusia. Di antara wejangan
itu, Eyang Resi Tajimalela menjelaskan bahwa manusia yang
rendah di zaman biadab, mula-mula hanya mementingkan
dirinya sendiri. Dalam keadaan gawat, kadang-kadang
manusia biadab membunuh dan memakan anaknya sendiri.
Kemudian, dengan mempergunakan akal budinya, manusia
makin lama makin halus. Rasa kasih sayang dan rasa kasih
tumbuh. Maka, manusia yang telah meningkat ini tidak terlalu
mementingkan dirinya lagi, tetapi ia mementingkan juga
keluarganya. Ia membela mati-matian anak istrinya terhadap
gangguan binatang buas ataupun orang-orang lain. Setelah
itu, manusia lebih maju lagi. Ia tidak hanya mempertahankan
dan membela keluarganya, tetapi juga anggota kelompoknya.
Mulailah sering terjadi peperangan antara kelompok-kelompok
manusia untuk memperebutkan harta atau hanya karena
berebut daerah perburuan atau perhumaan.
Setelah kelompok-kelompok itu berdamai, terbentuklah
bangsa dan kerajaan seperti Pajajaran. Ini adalah tingkatan
yang sangat tinggi. Para puragabaya menjadi pelopor dalam
perkembangan kemanusiaan yang tinggi itu.
"Di Pajajaran," demikian Eyang Resi Tajimalela, "masih ada
orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, keluarga,
atau kelompoknya. Secara berangsur-angsur, mereka harus
dididik agar Pajajaran menjadi suatu kerajaan yang kuat dan
padu. Dan contoh yang menjadi teladan bagi masyarakat
adalah para puragabaya. Mereka ini manusia-manusia baru,
manusia-manusia masa depan yang gilang-gemilang."
Penjelasan Eyang Resi Tajimalela menjadi bahan renungan
yang sangat mengganggu ketenteraman hatinya. Ia bimbang,
karena dengan penjelasan-penjelasan itu, ia merasa
ditempatkan sebagai manusia yang rendah. Ia mementingkan
keluarga dan tidak mementingkan kerajaan secara
keseluruhan. Hal itu merupakan cacat baginya, demikian
menurut pendapat Eyang Resi Tajimalela. "Apakah itu benar?"
tanya Banyak Sumba dalam hati. Ia berusaha menjawab
pertanyaan itu dan kepalanya menjadi pening karenanya.
Ilmu keperwiraan yang diajarkan-dalam ruangan besar itu,
serta pelaksanaan latihan-latihan yang dilakukan oleh para
calon puragabaya, sangat merangsang pikirannya. Berulangulang,
ia ingat kepada Jasik karena tiadanya panakawan itu
sangat merugikan baginya. Ia tidak dapat mencoba segala
pelajaran yang dicurinya dari atas atap atau didapatnya dari
renungan-renungan. Kadang-kadang, dorongannya untuk
mencoba ilmu barunya terhadap para calon puragabaya
hampir tidak tertahan, kalau saja ia tidak sadar bahwa hal itu
akan berarti bunuh diri.
Dengan ilmu yang didapat dari Padepokan Tajimalela itu, ia
sadar bahwa ia sekarang sudah dapat mengerti mengapa
dengan mudah ia dikalahkan oleh Raden Madea, ketika ia
mencoba kemampuan ilmu calon puragabaya itu di Padepokan
Sirnadirasa dulu. Ia sekarang yakin bahwa ia akan dapat
mengalahkan Raden Madea, atau sekurang-kurangnya ia tidak
akan dapat dirobohkan seperti dulu sehingga pergelangan
tangannya terkilir. Demikian ia termenung hingga para calon
meninggalkan ruangan dan ia menyelinap ke luar setelah
semuanya sunyi.
Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja terbit, seperti
biasa, Banyak Sumba merayap atau melompat dari pohon ke
pohon menuju daerah padepokan. Ia duduk di atas dahan,
pada sebatang pohon yang berdaun rindang. Ia memandang
ke arah lapangan tempat para calon puragabaya berlatih.
Akan tetapi, tidak seperti biasanya, lapangan sepi belaka.
Maka, melompatlah ia, seperti seekor kera besar, menuju
pinggir kawah mati sebelah selatan, ke tempat latihan
memanjat tebing. Akan tetapi, di sana pun para calon tidak
ada. Banyak Sumba turun dari pohon, lalu menyelinap di antara
semak-semak, mendekati pinggir kawah mati. Ketika ia
mencoba lebih mendekati bangunan-bangunan itu, terdengar
olehnya teriakan-teriakan sayup-sayup. Karena telinganya
sangat tajam, ia segera mengetahui dari mana datangnya
teriakan-teriakan itu. la segera menuju tepi kawah bagian
utara, kemudian menuruni tebing-tebing. Didengarnya bunyi
air terjun yang gemuruh. Dengan penasaran Banyak Sumba
mendekat, lalu memanjati pohon yang sangat tinggi. Ia heran
melihat bagaimana para calon dengan mempergunakan
tambang, dimasukkan ke dalam pusaran air besar yang
menyeramkan yang telah dikenalnya.
Seorang demi seorang calon itu diturunkan, lalu ditarik
kembali setelah beberapa lama. Umumnya, mereka terbaring
kelelahan setelah berada di atas kembali. Yang mengherankan
Banyak Sumba adalah calon dapat keluar dari pusaran air itu.
Sepanjang pengetahuan Banyak Sumba, air jeram itu berputar
sangat keras dalam suatu lubang besar, lalu mencebur ke
dalam sungai. Barang siapa yang masuk ke dalam pusaran itu
akan dibanting air ke batu-batu dan cadas di sana, dan akan
masuk sungai sebagai mayat. Akan tetapi, para calon dapat
keluar dengan selamat.
Ingin sekali Banyak Sumba mengetahui, apa yang
dilakukan oleh para pelatih terhadap calon puragabaya itu. Ia
melompat ke pohon lain sambil berusaha tidak menimbulkan
suara atau gerakan. Makin lama, makin dekat ia ke arah para
calon yang mengelilingi lubang yang dibuat oleh air terjun itu.
Sekarang, Banyak Sumba dapat melihat bahwa di dalam
pusaran air yang gemuruh itu, para calon harus dapat
mempertahankan diri sehingga tidak terbanting ke cadas.
Setiap kali ada calon yang diturunkan, berdebar-debar hati
Banyak Sumba. Dan, setiap kali mereka diangkat dengan
selamat, lega pula hatinya. Bagaimanapun, setelah beberapa
bulan tinggal di hutan sekitar padepokan, ia sudah mengenal
para calon itu satu per satu. Ia merasa sayang kepada
mereka, para pemuda yang tampan dan halus perangainya
itu. Akan tetapi, sedih sekali Banyak Sumba seandainya salah
seorang di antara mereka ada yang menjadi korban latihan
berat itu. "Turun!" tiba-tiba terdengar seseorang berseru. Terhenti
rasanya denyut jantung Banyak Sumba.
Ketika melihat ke bawah, ia sadar bahwa pohon tempatnya
bersembunyi telah dikelilingi oleh dua orang pelatih dan
beberapa orang calon yang telah selesai berlatih. Banyak
Sumba melihat ke arah pohon-pohon sekelilingnya. Ia menarik
napas, lalu melompat ke dahan terdekat, kemudian ke pohon
yang lain. Tiba-tiba, ia melihat bahwa semak-semak bergerak
di bawahnya. Ternyata, ia telah dikepung ketika ia asyik memerhatikan
para calon yang sedang berlatih. Banyak Sumba melihat pula
beberapa orang calon telah menaiki pohon-pohon yang akan
dilompatinya. Dengan sedih, ia menyadari bahwa para calon
itu sangat tangkas, tangkas seperti dia sendiri. Maka, dengan
secepat-cepatnya, Banyak Sumba melompat dari dahan ke
dahan, dari pohon ke pohon bagaikan seekor kera besar. Para
calon seraya berteriak-teriak mengepung, ada yang berlari di
antara semak-semak, ada pula yang mengejar dia dari pohon
ke pohon. Pada suatu kali, Banyak Sumba berlari di atas dahan besar.
Tiba-tiba, seseorang melompat dari pohon lain dan berdiri di
ujung dahan besar itu pada arah yang bertentangan. Tak ada
jalan lain, kecuali menyerang calon puragabaya itu. Secepat
kilat, terpikir oleh Banyak Sumba bahwa itu adalah
kesempatan yang baik untuk mencoba ilmunya. Secepat kilat
pula, ia beranggapan, alangkah anehnya kalau ia berpikiran
begitu waktu dikepung bahaya. Adapun yang terpikir olehnya,
ia tetap bergerak menuju calon itu. Calon itu bersiap, ia pun
bersiap, berhadapan di atas cabang besar itu. Selangkah demi
selangkah, keduanya maju. Teriakan-teriakan terdengar dari
bawah. Di antara teriakan-teriakan itu terdengar teriakan
pelatih. 'Jangan dikeroyok, lawan sebagai seorang kesatria!"
Tiba-tiba, calon itu menyerang, menangkap tangan Banyak
Sumba, dan mencoba merusak keseimbangan agar Banyak
Sumba jatuh. Akan tetapi, Banyak Sumba dapat
mengendalikan berat badannya dan menarik calon itu ke
kedudukan yang tidak seimbang. Banyak Sumba
melangkahkan kakinya ke depan dan calon yang telah berdiri
miring terjatuh, tetapi tidak langsung ke tanah. Tangannya
yang cekatan menangkap dahan dan bergantunglah ia,
kemudian melompat kembali mengejarnya.
Banyak Sumba segera meninggalkan pohon itu, ia


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanjati batang yang tinggi. Terdengar di belakang gerisik
daun-daunan dan getaran batang pohon yang disebabkan oleh
berat badan pengejar. Banyak Sumba berhenti, lalu ketika
muka pengejar tampak, ia menginjaknya. Akan tetapi, begitu
cepat calon puragabaya itu mengibas sehingga tumit Banyak
Sumba menyerang angin. Banyak Sumba tidak melanjutkan
serangannya. Ia segera melompat kembali. Beberapa pohon
dilompatinya, kemudian tampaklah semak-semak yang tidak
ada pohon besarnya.
Banyak Sumba segera menuruni pohonnya. Ketika ia
menginjakkan kakinya di tanah, dari beberapa arah datanglah
bayangan-bayangan putih mengepungnya. Kaki Banyak
Sumba berdesing ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada yang
dikenalnya karena seperti serangan kucing-kucing hutan, para
calon berloncatan ke kiri dan ke kanan atau mundur. Banyak
Sumba berlari terus. Tanpa diketahuinya terlebih dahulu,
seorang calon datang dari sampingnya dan langsung
melompat menangkap pinggangnya. Banyak Sumba memukul
tangan calon puragabaya itu dan sambil mempergunakan
berat badan lawan, melemparkannya ke samping kanan. Calon
itu berguling di semak, kemudian berdiri, kembali mengejar.
Banyak Sumba berlari terus hingga pada suatu kali, ia
membelok karena di hadapannya tampak dua orang
mencegatnya. Akan tetapi, langkahnya terhenti karena dari
depan tampak juga seorang telah bersiap-siap, sementara
tidak jauh dari calon itu berdiri pula yang lain. Banyak Sumba
membelok ke arah lain, tetapi ia terhenti pula. Ia telah
dikelilingi lawannya.
"Menyerahlah, Anak Muda," kata pelatih yangjuga hadir di
antara pengepung. Sementara itu, dari balik semak-semak
bermunculanlah para calon. Dengan pandangannya, Banyak
Sumba merencanakan arah-arah yang akan dipergunakannya
untuk melarikan diri. Ia harus melarikan diri ke arah hutan
kembali karena hutan lebih menguntungkan baginya. Ia
menyadari sekarang bahwa kalau ia terkepung, itu adalah
akibat siasat para pengepung yang mengiring dia ke arah
tanah terbuka, hanya terdapat semak-semak.
"Menyerahlah, Anak Muda. Kami akan memperlakukanmu
secara adil," kata pelatih itu pula seraya kepungan bertambah
kecil. Banyak Sumba berbisik dalam hatinya bahwa dia tidak akan
mau dibunuh dengan mudah karena memasuki daerah
terlarang itu. Ia mendengarkan desir langkah pengepungyang
ada di belakangnya karena merekalah yang akan diserangnya.
Makin lama, para pengepung makin mendekat. Banyak Sumba
berpura-pura mencari sasaran yang ada di depannya dan
berulang-ulang berpaling ke arah yang bertentangan dengan
hutan. Itu adalah siasat, karena ketika itu, para pengepung
telah berada dalam jangkauan lompatan.
Banyak Sumba berbalik dan melompat ke belakang.
Bayangan putih yang langsung ada di depannya diserangnya
dengan kaki. Akan tetapi, calon itu dengan sigap menghindar
dan di belakangnya muncul dua orang bersiap-siap. Banyak
Sumba berpaling, tapi juga terhalang oleh dua orang. Ia sadar
sekarang bahwa ia hanya akan melarikan diri kalau
merobohkan orang-orang yang menghadangnya dan tidak
hanya menakut-nakuti mereka.
Dengan pikiran itu, Banyak Sumba menarik napas panjang.
Ia tidak berlari atau melompat. Ia berjalan menuju lawan
terdekat. "Yang lain mundur!" seru pelatih.
Banyak Sumba merasa bahwa ia akan menjadi percobaan
untuk menguji ketangkasan para calon itu. Ia tidak terlalu
bersedih karena ia pun tahu bahwa saat itulah ia akan dapat
menguji kepandaiannya. Maka, sambil berdoa, ia maju. Tak
lama kemudian, mereka telah berada dalam daerah serang.
Banyak Sumba yang sudah hafal akan cara-cara penyerangan
yang biasa dilakukan oleh para calon, dengan mudah
meramalkan gerakan-gerakan yang akan dilakukan lawan.
Itulah sebabnya, ia menutupnya. Dan karena ia lebih tinggi
dan lebih besar daripada lawannya, dengan juluran tangan, ia
sudah cukup dapat menghindarkan bahaya tendangan lawan.
Sebaliknya, lawan yang berbadan ramping dan kecil, lebih
terbatas kemungkinannya dalam melindungi diri. Banyak
Sumba tidak menyia-nyiakan keuntungan yang ada padanya.
Dengan segera, ia menyerang ke arah lawannya. Itu hanya
tipuan belaka karena Banyak Sumba sudah menduga bahwa
dari sikap kaki dan tangannya serta dari condong badan
lawan, lawan akan bergerak ke arah kirinya. Karena ia merasa
bahwa dugaannya tidak meleset, dilepaskannya tendangan
yang terkendali ke arah tempat kosong itu. Tetapi pada saat
yang diduga, lawan menghindar ke arah itu. Serangan yang
terkendali tidak akan dapat dihindari lagi oleh calon itu. Akan
tetapi, dengan sangat mengherankan, Banyak Sumba tidak
mengalami apa yang diharapkannya. Memang tendangannya
kena, tetapi tendangan itu tidak telak.
Banyak Sumba seolah-olah menendang sebuah benda yang
ringan yang kemudian mengikuti arah tendangannya. Lebih
dari itu, tiba-tiba kaki Banyak Sumba tertarik ke arah lawan
dan ia kehilangan keseimbangan. Untung ia segera dapat
bertindak, yaitu dengan melompat menubruk ke arah lawan.
Lawan menghindar sambil melemparkan badan Banyak Sumba
karenanya sempoyongan.
Banyak Sumba hampir jatuh, untung dilihatnya bayangan
putih di dekatnya. Ditendangnya bayangan putih itu, dan ia
seolah-olah tertahan oleh badan calon yang malang itu.
Ternyata,' calon itu pun tidak roboh, tetapi kembali
melemparkan Banyak Sumba ke dalam gelanggang di tempat
calon melemparkannya tadi menunggu. Dari pengalaman yang
secepat kilat itu, Banyak Sumba mengambil kesimpulan bahwa
salah satu cara calon-calon menghindarkan kekuatan serangan
adalah dengan menerima serangan itu secara lembut.
Dua orang calon yang diserang dan dikenai, tidak pernah
menahan serangan itu. Kalau tidak sempat menghindar,
mereka memberikan sasaran yang diserang untuk dikenai,
tidak diberikan secara mudak, tetapi diikutkan dengan gerakan
serangan lawan. Ketika daya serang lawan hampir habis,
anggota badan lawan yang menjadi senjata serangan
dikembalikan dengan keras. Itulah yang menyebabkan Banyak
Sumba sempoyongan.
Sadar akan hal itu, Banyak Sumba memutuskan untuk tidak
menyerang mereka pada jarak jauh. Hal itu terlalu berbahaya.
Dalam kedudukan yang kurang menguntungkan, Banyak
Sumba dengan mudah akan dapat dirobohkan, walaupun ia
berbadan tinggi besar dibandingkan dengan para calon itu.
Maka, ditetapkannya untuk menghadapi calon yang di
hadapannya dalam jarak dekat.
Banyak Sumba berjalan, menyodorkan kedua belah
tangannya ke depan. Dengan tidak disangka-sangka, tangan
yang disodorkan ditendang oleh calon itu. Ketika Banyak
Sumba masih kesemutan di tangannya, calon itu sudah
menyeruduk ke arahnya. Banyak Sumba mengukuhkan kudakudanya
karena tahu bahwa calon itu akan mental atau masuk
perangkap lipatan tangannya yang kuat-kuat. Akan tetapi,
serangan itu hanyalah tipuan belaka. Calon itu berhenti pada
jarak yang dekat sekali, kemudian menendang ke arah ulu hati
Banyak Sumba, lalu melompat menjauh. Untung Banyak
Sumba sempat mengibaskan tubuhnya sehingga tendangan
itu mengenai otot dadanya yang kuat. Rasa sakit menusuk
ototnya, tetapi Banyak Sumba bersyukur bahwa ia tidak roboh
oleh serangan yang bagus itu.
"Bagus!" kata pelatih kepada calon itu. Kawan-kawan calon
itu pun bergumam, puas dengan serangan kawannya yang
bagus itu. Banyak Sumba segera menyadari bahwa salah satu
kepandaian para calon itu adalah kecepatan membaca
gerakan yang tergerak dalam pikiran lawan. Banyak Sumba
telah melakukan serangan jarak jauh dan tidak berhasil.
Lawan segera membaca bahwa Banyak Sumba akan mencoba
serangan jarak pendek. Lawan berbalik menyerangnya dengan
jarak jauh. Dan ketika Banyak Sumba masih kebingungan,
serangan yang baik dan terkendali diarahkan dengan tepat
dan cepat. Sekarang, mereka berhadapan kembali. Banyak Sumba
memutuskan untuk mempergunakan cara lain. Keuntungannya
sebagai seorang yang berbadan tinggi dan besar,
kecepatannya yang dibentuk oleh hidupnya sebagai binatang
hutan, dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia mempergunakan
kecepatan ini, tetapi disembunyikannya pada awal
penyerangan. Ia bergerak dengan lembut, berganti-ganti
kedudukan, sesuai dengan kuda-kuda lawan. Ia berlaku
seolah-olah menunggu serangan dan bersikap
mempertahankan diri. Ini memberikan keuntungan lain
kepadanya. Lawan menyangka bahwa tendangan yang mengenai
dadanya cukup mendekati sasaran, sehingga Banyak Sumba
menjadi lamban. Tampak lawan mengambil prakarsa untuk
menyerang. Ia mencari celah-celah pada kedudukan dan
pasangan Banyak Sumba.
Ketika itulah, dengan kecepatan yang hanya dimiliki oleh
tubuh yang biasa mengejar kijang atau menghindarkan diri
dari serangan harimau, Banyak Sumba menghambur ke
depan. Lawan melompat ke samping dengan arah yang sudah
diramalkan oleh Banyak Sumba. Dengan kaki kanannya yang
panjang, Banyak Sumba mencegat lawan yang dengan cepat
melompat dan berjungkir, lalu bergelundung.
Banyak Sumba berbalik mengejar. Begitu lawan berdiri dan
hendak berpaling, pinggangnya ditangkap oleh Banyak
Sumba. Tubuh calon itu diangkat hendak dilemparkannya ke
tepi gelanggang, ke arah kawan-kawannya. Akan tetapi,
seperti bergetah, tubuh calon itu melekat. Dengan segera,
Banyak Sumba menyadari bahwa tangan kanannya terkunci,
sedangkan beberapa bagian tubuhnya mendapat serangan
kecil-kecil tapi tajam. Ternyata, calon itu seperti seekor
kucing, ketika hendak dilempar, bergantung dengan jari-jari
yang dikeraskan hingga dapat merobek otot. Banyak Sumba
menggagalkan niatnya, lalu mencoba melepaskan tangannya
yang dikunci. Ketika itulah, dengan cepat calon
membantingnya dan Banyak Sumba pun bergelundung di
rumput. Banyak Sumba segera bangkit dalam sorak-sorai kawankawan
calon yang bergembira menyaksikan kepandaian
kawannya itu. Tapi, Banyak Sumba pun bergembira. Ia
menyadari sesuatu. Ketika lawan mengunci tangan kanannya,
lawan sebenarnya tidak menyerang, tetapi hanya untuk
menarik perhatiannya. Demikian juga permainan sikutnya
yang cepat dan tajam menghantam rusuknya. Serangan lawan
ditujukan terhadap kuda-kuda Banyak Sumba. Karena tergoda
oleh serangan-serangan kecil, kuda-kuda itu terlupakan.
Makin sadar Banyak Sumba bahwa pertarungan itu
bukanlah"terutama"didasarkan pada kekuatan otot atau
kecepatan gerak anggota badan, tetapi kepada kesadaran dan
kecerdasannya. Banyak Sumba bertekad untuk tidak tertarik
dan tergoda oleh serangan-serangan yang tidak
membahayakan itu. Ia akan menyerahkan bagian badannya
yang diserang lawan, sepanjang itu tidak berbahaya. Ia akan
menukar bagian badan nya yang diserang dengan bagian
badan atau kedudukan lawan yang lebih berbahaya.
Ia pasang kuda-kuda lagi, tetapi lawannya dipanggil oleh
pelatih dan mengundurkan diri dari gelanggang, sementara itu
calon lain masuk menghadapinya. Banyak Sumba tersenyum
karena ia sadar akan belajar banyak dari Padepokan
Tajimalela itu. Ia melupakan bahaya karena pikiran-pikirannya
itu. "Hai! Ia tersenyum!" seru salah seorang di antara para
pengepung yang berdiri melingkarinya. Terdengar yang lain
Kisah Pedang Bersatu Padu 17 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Laron Pengisap Darah 9

Cari Blog Ini