Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen Bagian 4
Kelainan itu pula yang menyebabkan sang pemuda mengalami ketidaksadaran sehingga perlu untuk diberi ramuan. Akan tetapi ramuan itu belum untuk menyembuhkan, melainkan untuk menyadarkan saja. Sebelum tahu sebabnya, suatu penyakit sulit untuk disembuhkan.
Setelah diberi obat dan dibelai-belai dengan syang oleh Xyra, Lantang pun merasa nyaman dan dapat tidur. Tak lupa Xyra menyelimuti dirinya dan menunggu di sisinya. Tak dihiraukan orang tua yang meletakkan makanan di hadapannya. Sebelum Lantang sehat, tak ingin Xyra bersantap. Undinen memilik tubuh yang berbeda dengan manusia. Mereka dapat bertahan lama dalam air dan bahkan tanpa makanan. Oleh sebab itu ia lebih berkonsentrasi pada kesembuhan Lantang ketimbang dirinya sendiri.
Pagi pun datang menjelang. Lantang telah merasa sehat kembali. Ia bangun dan melihat Xyra tampak tertidur di sisinya dengan masih memegang kain yang digunakan kemarin untuk menyeka keringat di dahinya. Ia tampak tertidur dengan nyenyak. Entah sampai kapan Undinen itu berjaga untuk Lantang. Diambilnya selimutnya untuk ditutupkan pada tubuh Xyra, walapun mereka lebih tahan dingin ketimbang dirinya.
Tak dilihatnya orang tua yang memberinya obat. Akan tetapi ditemuinya sebuah mangkok besar berisi rempah-rempah dan ubi yang berisikan pesan agar ia memakan makanan itu. Makanan yang telah dibubuhi obat-obatan untuk kesembuhannya.
Bagian 3.5 -- (+dikit)
Bertarungan pun berjalan dengan seru. Keenam orang perampok itu tidak bisa berbuat banyak terhadap kedua orang guru dan murid itu. Pertahanan mereka rapat dan saling melindungi. Bahkan kadang-kadang pedang panjang keduanya colak-colek tubuh mereka sehingga lepasnya nyawa tinggal berbeda beberapa jari saja.
Ada hal yang masih meragukan Walinggih untuk turun tangan menamatkan riwayat orang-orang jahat itu. Entah apa.
"Kamu ingat gerakan yang pernah engkau coba untuk mengalahkan Telaga?" tanya Walinggih pada muridnya Sarini.
Sarini hanya mengangguk.
"Cobalah pada mereka, jatuhkan pedangmu! Mereka pasti berpikir bahwa lebih mudah mengalahkanmu tanpa pedang...," usul gurunya. Ia ingin melihat hasil latihan muridnya dalam situasi sebenarnya. Menghadapi Telaga, Sarini telah berhasil memanfaatkan hasil latihannya. Akan tetapi sekarang lain. Dulu Telaga boleh dikatakan orang yang tidak akan menjatuhkan tangan jahat kepada orang yang tidak dikenalnya. Tidak demikian dengan orang-orang ini. Orang-orang yang memang kegiatan sehari-harinya adalah berbuat jahat. Menjatuhkan tangan kejam bukan pantangan bagi mereka.
Menghadapi suatu pertempuran yang menentukan hidup atau mati memerlukan ketenangan. Walinggih ingin melihat sejauh mana muridnya dapat mengendalikan ketenangannya. Semakin baik orang dapat mengotrol dirinya, semakin besar kemungkinannya untuk menang. Bahkan dalam berbagai situasi.
Setelah gurunya memberikan sedikit petunjuk mengenai kekuatan dan kelemahan lawan-lawannya, Sarini pun maju sambil berkata dengan lantang, "Saudara-saudara perampok, bagaimana bila kita main-main tanpa senjata" Dan satu lawan satu?"
Tercengang juga beberapa orang perampok yang mendengar usul yang diutarakan oleh dara itu. Sudah ada senjata di tangan malah ingin dilepaskan. Akibatnya beberapa di antara mereka saling menoleh seakan-akan minta pendapat.
Seorang dari mereka akhirnya berkata, "Hehehe, mungkin ia ingin berlama-lama bermain dengan kita. Ikuti saja maunya, toh enak juga colak-colek sedikit" Ia mengatakan itu sambil menyeringai, membuat wajahnya yang sudah mengerikan sebagai perampok menjadi bertambah mengerikan.
Terbahak-bahak rekan-rekannya mendengar komentar yang miring itu. Segera mereka menyarungkan kembali senjatanya dan sebagian dari mereka mengambil tempat untuk melihat pertarungan yang akan berlangsung.
Seorang dari para perampok tersebut, Rakrakrak, bertubuh gembul dan berkulit agak gelap. Tingginya kira-kira sama dengan Sarini. Rambutnya yang kaku menghiasi berdiri kepalanya. Mirip durian. Ia menyeringai saat mengajukan dirinya sebagai orang pertama yang akan menghadapi Sarini. Ia sudah membayangkan akan memegang-megang dara cantik yang menjadi lawannya itu. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Nafsu telah menguasainya. Kelembutan tubuh Sarini dan lekuk-lekuk tubunya telah memenuhi ruang otaknya. Kelembutan yang akan segera mengisi kedua tangannya yang besar-besar.
Sarini sedikit mengernyitkan hidungnya melihat orang yang menjadi lawannya. Orang dengan tenaga kasar yang besar. Repot juga pikirnya. Orang seperti ini harus ditemukan dulu jarak serangnya dan juga sudut mati serangannya, sehingga ia bisa membuatnya tak mampu mengeluarkan gerakan yang mematikan.
*** "Petani ompong she Gu, jangan petantang-petenteng di depan kami!" bentak seorang dari empat orang yang berhadapan dengan seorang tua yang sedang senyam-senyum itu.
Keempat orang tersebut terlihat berwajah garang, bertubuh kekar tinggi dan beperawakan kasar. Sebilah golok tampak tergantung pada pinggang masing-masing dari mereka. Sedangkan si kakek sendiri tampak lemah dan kurus. Bajunya sederhana tapi bersih. Sedikit tambalan tampak di sana-sini.
"Kalian Su-Mo (Empat Setan), apa maunya menghadangku di sini?" alih-alih takut seperti kebanyakan orang bila bertemu denga Su-Mo, si Petani Ompong she Gu tampak tenang-tenang saja. Malah senyumnya semakin berkembang dengan melihat semakin gelapnya wajah keempat Su-Mo yang berusaha menahan marah.
"Orang she Gu, jangan banyak omong! Engkau tau sudah apa kesalahanmu. Engkau sudah mengasut para petani di desa sebelah timur sehingga tak mau lagi menurut dan membayar pajak kepada kami," ucap seorang lain dari mereka. Kali ini yang berbicara adalah seorang yang berwajah paling putih dari Su-Mo. Mereka, Su-Mo terdiri dari empat orang yang dinamai dengan warna wajah masing-masing, Pek-Mo, Hek-Mo, Huang-Mo dan Ceng-Mo.
"Engkau tentu Pek-Mo," ucap kakek Gu itu, "wabis wajahmu putih pucat mirip mayat!"
"Grrrhhg!" terdengar dengus marah Hek-Mo. Ia adalah seorang dari Su-Mo yang paling tidak sabaran. Mendengar saudaranya dihina, ia pun mendengus marah dan membuka serangan. Dibacoknya kakek Gu itu dengan golok yang tadi bertengger dipinggangnya. "Wuttt!"
Saat ia melakukan serangan itu ketiga saudaranya tertawa-tawa membayangkan tubuh kakek Gu yang akan terbelah dua terbabat oleh golok Hek-Mo. Tapi sayangnya perkiraan mereka keliru. Bukannya kakek Gu yang terbelah, malah Hek-Mo yang tampak terpincang-pincang memegangi telapak kakinya yg tampak biru legam.
Rupanya saat dengan yakinnya Hek-Mo membacok kakek Gu tadi, ia tidak memperhatikan pertahanan tubuhnya. Kakek Gu dengan santainya mengelak dari serangan golok tersebut, memutar tubuhnya dan mejatuhkan tumitnya dengan tenaga penuh ke atas telapak kaki Hek-Mo. Walaupun memakai alas kaki, akan tetapi dengan kuatnya putaran tubuh dan juga tenaga yang disalurkan, tendangan cangkul kakek Gu memberikan hasil yang telak.
"Bangsat, orang she Gu! Kubunuh engkau sekarang!!" erang garang Hek-Mo. Tampak ia masih berusaha menahan rasa sakit dari telapak kakinya yang dirasakan hampir remuk tersebut. Senut-senut rasanya.
Huang-Mo sebagai orang paling tua dari Su-Mo segera tangap bahwa si kakek Gu bukanlah orang sembarangan. "Zahnloserbauer (Petani Ompong) mari kita main-main sebentar!" Ia pun mengisyaratkan pada ketiga saudaranya untuk segera mengepung Zahnloserbauer dari keempat penjuru.
"Hehehe, baru sekarang kudengar lagi orang menyebut Zahnloserbauer," ucap kakek Gu, tapi sekarang nada suaranya berubah keren. Tidak lagi cengangas-cengeges seperti tadi. Tampak bahwa sikap tadi bukanlah sikap kebanyakan dari pembawaannya.
"Su-Mo, bukanlah pembawaanku mencampuri urusan orang, tapi kejadian kemarin dulu di desa sebelah timur sudah mengusik rasa geramku." Tampak bahwa kali ini kakek Gu atau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer agak menahan amarahnya. Lalu lanjutnya, "orang-orang yang sudah susah itu masih kalian haruskan untuk membayar pajak tinggi kepada kalian, dengan alasan keamanan."
"Zahnloserbauer, apa urusanmu" Memang ada di antara orang-orang di desa sebelah timur itu adalah sanak saudaramu" Jika ada tunjuk yang mana, tidak akan kami tarik pajak dari mereka," ucap Huang-Mo agak mengalah. Ia pernah mendengar kehebatan Zahnloserbauer di suatu wilayah Alemania (Jerman), di mana ia mengalahkan beberapa orang Ritter (Ksatria Berbaju Besi) di sana. Giginya yang ompong itu juga akibat ulahnya yang menantang orang-orang untuk mengadu kekuatan mengangkat beban berat dengan gigi. Walaupun berhasil, akan tetapi tak lama setelah itu beberapa gigi mukanya tanggal. Meskipun demikian para Ritter tak berani lagi berlaku sembarangn dengannya. Di sana julukannya adalah Ritter Zahnloserbauer.
Gu Ming adalah nama kakek Gu sebenarnya. Keluarganya berasal dari Jiangxi. Ia yang tidak suka keadaan pada saat itu kemudian merantau ke mana-mana dan beguru pada banyak orang. Kemampuan silatnya yang campur-campur menjadi ciri khasnya. Selain itu banyak pula pengetahuan tentang luasnya dunia ini, yang memicunya untuk merantau, diperoleh dari saudara tuanya, Gu Long, seorang pengujar terkenal pada jaman itu.
Panjang ceritanya sampai ia tiba di Tlatah Antara (Nusantara). Berasal dari daerah sekitar Tlatat Tengah (Tiongkok) merantau sampai ke Tlatah Langit (Himalaya), melampui Tlatah Barat (Alemania) dan sekitarnya, akhirnya sampai ke Tlatah Antara. Tadinya ia pernah mendengar jauh di selatan terdapat Tlatah Gurun (Osetralia) dan Tlatah Kebekuan (Artika). Tapi melihat kehidupan di Tlatah Antara, kakek Gu pun jatuh cinta dan memutuskan untuk menetap.
Selagi mencari-cari tempat yang akan didiaminya untuk menghabiskan hari tua, kakek Gu tiba desa sebelah timur yang menjadi pokok pembicaraan mereka itu. Di sana kakek Gu melihat bahwa orang-orang hidup dengan sangat sederhana bahkan cenderung miskin. Padahal alam sekitarnya kaya akan keanekaragaman hayati. Karena ingin tahu ia pun mulai berdiam di sana. Baru seminggu di sana ia mulai mengenal bahwa kesederhanaan dan kemiskinan para penghuni desa adalah akibat adanya tekanan, bahwa mereka harus menyetor pajak kepada para penjaga keamanan di sana.
Namanya saja penjaga keamanan, sebenarnya mereka itu adalah pemeras. Orang-orang yang memeras para penduduk desa sebelah timur dan juga desa-desa lain di sekitar tempat itu, dipimpin oleh Su-Mo. Akan tetapi penduduk desa hampir tidak pernah melihat Su-Mo, mereka hanya bisa merasakan pukulan dan tendangan para kaki-tangannya saja, apabila telat membayar.
Naluri kependekaran kakek Gu pun bangkit, ia mendatangi para petani dan menganjurkan agar mereka tak usah lagi membayar pajak kepada Su-Mo. Tapi seperti kebanyakan rakyat yang berada dalam tekanan, mereka takut. Mereka tidak mau mengikuti anjuran kakek Gu, walaupun itu untuk kebaikan mereka sendiri.
Akhirnya karena jengkel kakek Gu pun merampok pajak yang seyogyanya diberikan kepada kaki-tangan Su-Mo dan menunggu seorang diri kedatangan mereka. Sementara semua penduduk desa bersembunyi dengan ketakukan dalam rumahnya masing-masing.
Kaki tangan Su-Mo bukanlah sesuatu kekuatan yang berarti bagi kakek Gu. Mereka semua tunggang-langgang dibuatnya. Terkencing-kencing dalam celana selagi berlari pulang.
Walaupun telah diselamatkan uangnya, para penduduk masih was-was akan pembalasan yang akan tiba dari Su-Mo dan tukang pukul-tukang pukul lainnya. Kakek Gu akhirnya menyanggupi untuk melindungi mereka untuk berhadapan dengan Su-Mo. Dengan jaminan itu para penduduk berani untuk dua masa penarikan pajak berikutnya tidak memberikan bayaran, melainkan mereka simpan untuk diri mereka sendiri.
Su-Mo yang saat itu sedang berada di Tlatah Tengah tidak tahu-menahu mengenai kejadian itu. Saat mereka kembali ke Tlatah Antara, berang wajah mereka mendengar ada ketidak-beresan pada daerah kekuasaan mereka. Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu. Su-Mo sendiri memiliki hak menarik pajak karena dukungan dari Pemerintah Pusat, yang tidak peduli pada nasib rakyatnya. Seseorang atau sekelompok orang yang dapat menjanjikan akan menyetor pajak sejumlah tertentu dari suatu daerah, akan diberikan hak untuk menarik pajak. Begitulah sistem pada masa itu.
Setelah mendapat informasi cukup dari para tukang pukulnya yang babak-belur dipukul balik berulang-ulang oleh kakek Gu dan juga informasi dari pemerintah bahwa kakek Gu itu sebenarnya adalah seorang perantau yang dikenal sebagai Zahnloserbauer, masih saudara dari seorang pengujar terkenal, akhirnya Su-Mo pun berniat untuk bertemu dengannya. Jika mungkin mengajak kakek Gu menjadi rekanan mereka. Seorang dengan kemampuan beladiri seperti kakek Gu sudah tentu banyak gunanya.
Tapi bukanlah kakek Gu jika dengan mudah dapat dibujuk. Jabatan dan pembagian hasil keuntungan yang awalnya ditawarkan oleh Su-Mo melalui utusannya ditampik mentah-mentah. Sudah tentu ini membuat darah Su-Mo mendidih.
Akhirnya diputuskan bersama bahwa mereka akan bertemu hari itu di suatu padang rumput yang luas untuk 'menyelesaikan' permasalah itu.
Su-Mo merasa tidak ada lagi gunanya untuk membujuk kakek Gu, mereka saling melirik satu sama lain. Kebersamaan yang telah puluhan tahun dilewati, membuat pengertian tanpa kata-kata dapat dengan mudah terjadi. Keempatnya kemudian bergerak mengurung. Mengelilingi kakek Gu dari keempat penjuru angin.
Hek-Mo tampak telah dapat bergerak normal kembali. Ceng-Mo tadi telah membubuhkan obat dan juga mengurut-urut kakinya sedikit. Rupanya kakek Gu belum menurunkan kaki kejam sehingga Hek-Mo masih dapat berjalan dan menggunakan kakinya. Hanya mengkalnya hati masih dapat terlihat pada wajah Hek-Mo. Ia yang hari-hari ditakuti orang, hari ini dapat segebrakan dipacul kakinya oleh tumit kakek Gu. Hampir saja remuk atas telapak kakinya.
"Begini lebih baik," kata kakek Gu, "langsung bak-buk-bak-buk. Lebih jelas dan tegas!" Walaupun tampaknya masih tenang-tenang, kakek Gu sudah mulai menimbang-nimbang, siapa yang akan menjadi konsentrasi serangannya nanti. Ia pernah mendengar bahwa Su-Mo telah menciptakan semacam serangan bersama. Jika mereka menggunakan barisan serangan itu, bisa repot dirinya. Ia harus cepat memecah belah mereka, sebelum tenaganya habis terkuras.
Bagai dikomando, Su-Mo berempat mencabut golok masing-masing dan mulai menyerang. Kakek Gu dengan santainya menari-nari di tengah-tengah hujan golok yang riuh-rendah itu. Sesekali perlu juga ia menepis tangan atau kaki dari Su-Mo yang ingin mencicipi tubuhnya. Selebihnya, ia hanya perlu bergeser, depan belakang kiri kanan. Langkah-langkah ajaib, Langkah-langkah Kering di Bawah Hujan.
Sepeminum kopi dan sepenghisap rokok telah lewat, tapi tetap saja Su-Mo belum pernah mencapai seujung kulit pun kakek Gu. Akan tetapi pakaiannya sudah sering tersambar angin sabetan golok. Terlihat semakin compang-camping saja pakaian yang dikenakannya.
Tidak seperti melawan Hek-Mo tadi, kakek Gu terlihat agak kewalahan. Ia terkejut juga bahwa serangan berempat Su-Mo ini benar-benar rapat. Saling mengisi dan melindungi. Satu menyerang, yang lain menangkis. Satu kosong, yang lain mengisinya. Dengan cara itu ia hanya punya peluang terbesar untuk mengelak ketimbang menyerang balik. Su-Mo pun tidak terlalu berani menyerang dengan kekuatan penuh, mengingat kepandaian kakek Gu dalam serangan balik. Jadi sampai saat itu kedua pihak masih melihat-lihat kesempatan untuk memberikan pukulan maut.
Untung pertarungan jangka panjang faktor usia mulai menunjukkan perannya. Su-Mo yang masing-masing baru berumur tiga puluhan tahun menang stamina atas kakek Gu yang telah berusia hampir enam puluh tahun. Napasnya mulai kembang-kempis dan bajunya yang sobek sana-sini tampak telah benar-benar basah mandi keringat.
Senyum-senyum mulai mengembang di wajah keempat orang lawannya. Su-Mo telah merasa yakin bahwa tak lama lagi kemenangan akan singgah di tangan mereka. Tinggal masalah waktu saja untuk menunggu salah satu golok mereka singgah di tubuh kakek Gu. Bila terjadi sudah dipastikan cairan merah akan memuncrat. Darah.
Berputar pula dengan keras pikiran kakek Gu. Ia harus menemukan akal agar dapat lolos dari situasi ini. Tadinya dipikir bahwa menghadapi Su-Mo seorang diri tidaklah terlalu sulit. Tetapi ternyata hal ini diluar perkiraannya semula. Jika satu per satu, ia dapat dengan yakin dapat mengalahkan Su-Mo, seperti tadi ia menghadapi Hek-Mo. Akan tetapi dengan maju berbareng, Su-Mo menciptakan suatu barisan yang saling bekerja sama sehingga seakan-akan kekuatan serang mereka menjadi berlipat-lipat.
Pada saat-saat genting seperti itu tiba-tiba terdengar ucapan seseorang, "Wah-wah, betapa tak tahu malu ini, empat orang mengeroyok seorang kakek tua!"
Ucapan yang disertai pengerahan tenaga dalam ini sontak membuat kelima orang yang sedang bertarung itu meloncat mundur dan menghentikan kegiatannya. Masing-masing pihak masih menebak-nebak siapa yang barusan mengeluarkan perkataan tersebut.
Tak lama sang pengucap pun tiba. Seorang pemuda dengan wajah yang tampan dan berperawakan bagus. Pakaiannya sederhana dan berwarna cerah. Jalannya ringan seringan pembawaannya yang terlihat riang.
Mendadak kakek Gu mendapat ide yang tiba-tiba terlintas dalam kepalanya, lalu katanya, "Anak Yo, ayo bantu paman usir begal-begal ini!" Terkejut pemuda itu dan apalagi Su-Mo. Mereka belum tahu kepandaian pemuda itu, tapi dengan kakek Gu saja mereka telah seimbang, bisa runyam apabila ditambah dengan adanya pemuda itu.
Gelengan kepala dan tangan yang dilakukan pemuda itu dengan cepat dibuyarkan oleh kakek Gu yang terus menyerocos, "Bagus kamu cepat datang anak Yo, ayo kita pukul pantat keempat setan ini! Gunakan jurusmu, Menendang Pantat Setan, Usir ke Seberang Lautan!" Sebenarnya ucapan yang terakhir ini hanya untuk menakut-nakuti Su-Mo belaka. Ia sendiri juga belum tahu kemampuan pemuda itu. Hanya saja ia yakin akan sesuatu bahwa pemuda itu bukanlah dari golongan begal, paling tidak orang-orang yang tidak akan memihak golongan hitam.
Untung saja tebakan kakek Gu tidak meleset. Melihat bahwa pemuda itu adalah keponakan atau memiliki hubungan dengan kakek Gu, Pek-Mo dan Hek-Mo tidak mau buang banyak waktu, mereka langsung menyerang pemuda yang dipanggil anak Yo oleh kakek Gu dengan serangan maut mereka. Jika bisa dituntaskan dengan cepat, pertarungan akan kembali seimbang seperti semula. Sementara itu Huang-Mo dan Ceng-Mo masih menanti pergerakan kakek Gu sebelum mereka membuka serangan kembali.
"Anak Yo, hati-hati!" ucap kakek Gu yang kuatir pula melihat bahwa serangan pembuka yang dihambur oleh Pek-Mo dan Hek-Mo adalah serangan maut. Serangan satu tindak cabut nyawa, suatu jenis serangan tanpa basa-basi dan belas kasihan.
Tapi bukan pemuda itu kalau ia diam saja dan menantikan kedua golok yang datang menyilang itu membasuh keduanya dengan daging dan darahnya. Dengan tenang sang pemuda mengesek kakinya, memiringkan tubuhnya, lalu dengan menggunakan hawa dalam tubuhnya yang bisa memanipulasi gravitasi, ia melayang miring condong. Menyelinap tubuh pemuda itu dengan cantik di antara sabetan diagonal golok-golok Hek-Mo dan Pek-Mo.
Dan tidak hanya sampai di sana, setelah kedua golok itu yang hanya berjarak sejari di atas dan bawah tubuhnya lewat, ia mendaratkan kembali tubuhnya yang tadi berlevetasi dengan empuk di atas tanah. Setelah mengeramkan kakinya sehingga berakar di atas tanah ia kemudian mendorong-dorong kedua tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-Mo yang masih tampak terkejut karena serangan mereka dapat dengan mudahnya dihindari oleh pemuda itu.
Sebelum Hek-Mo dan Pek-Mo sadar apa yang dilakukan oleh pemuda itu, semacam kabut yang terbuat dari debu dan pasir yang ada di sekitar situ mulai terbentuk. Mengambang kecoklatan dan perlahan makin pekat warnanya.
"Jarum Terbang Debu Pasir, awas!!!" ucapan Huang-Mo, orang yang paling banyak makan asam garam di antara keempat Hek-Mo, datang terlambat. Elakan dari Hek-Mo dan Pek-Mo tidak sempat menyelamatkan seluruh tubuh mereka. Pinggang ke bawah tampak bertitik-titik merah meneteskan darah. Kabut debu dan pasir yang tadi terbentuk dihentakkan oleh pemuda itu dengan kibasan tangannya ke arah Hek-Mo dan Pek-Mo. Dalam perjalanannya debu dan pasir tersebut berurut-urut membentuk semacam garis. Mirip seperti jarum-jarum yang terbang.
Benar-benar ilmu yang menggiriskan. Sekujur tubuh Pek-Mo dan Hek-Mo bagian bawah tampak terluka parah. Bolong-bolong mirip saringan. Sempat mereka memiringkan tubuh sehingga bagian sensitif dari seorang lelaki yang mereka miliki tidak sempat terhujani jarum-jarum debu dan pasir itu. Jika tidak, maut sudah dijelang keduanya.
Tanpa banyak cakap lagi, Huang-Mo dan Ceng-Mo segera bergerak. Huang-Mo mengambil Pek-Mo dan Ceng-Mo mengambil Hek-Mo. Mereka bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Satu serangan pemuda itu telah cukup membuktikan ketangguhannya. Belum lagi di sana masih ada kekek Gu, si Zahnloserbauer. Urusan lain bisa diselesaikan lain hari, yang penting hari ini adalah menyelamatkan kedua saudara mereka.
Untung saja keempat penjahat itu telah lama lalu dari sana, karena jika mereka tahu, mereka mungkin masih dapat meraih kesempatan.
Pemuda yang tadi dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, setelah melepaskan serangan tampak masih berdiri dalam posisi semula. Wajahnya yang kemerahan tiba-tiba memucat dan tampak darah mengalir dari pinggiran mulut dan juga lubang mata, telinga dan hidungnya. Kakek Gu yang berada di sampingnya dapat dengan jelas melihatnya.
"Nak, engkau kenapa...?" sebelum pertanyaannya diselesaikan, pemuda itu terhuyung bagai layangan putus tanpa angin, ia melorot jatuh. Bila kakek Gu tidak bergegas menangkapnya sudah terhempas tubuh pemuda itu di atas tanah.
"Hmm, ilmu sesat. Benar-benar mengacaukan jalan darah yang merapalnya," gumam kakek Gu sambil memeriksa denyut nadi pemuda yang dipanggilnya anak Yo itu. Menggeleng-geleng kepalanya melihat kekacauan jalan darah sang pemuda. Untung saja pemuda itu telah memiliki dasar yang kuat sehingga luka dalamnya tidak terlalu parah ketimbang seorang pemula yang merapat Jarum Terbang Debu Pasir. Bergegas kakek Gu membopong pemuda itu. Urusan para petani bisa ditunda, pun dua orang dari Su-Mo juga sama-sama terluka. Untuk beberapa saat mereka pasti tidak akan berani melakukan gerakan apa-apa.
Saat membuka matanya, pemuda itu tampak agak bingung. Hal terakhir yang diingatnya adalah saat ia sedang menyerang dua orang jahat menggunakan suatu ilmu yang baru saja dipelajarinya dari kitab-kitab yang dibawanya. Jarum Terbang Debu Pasir, adalah salah satu penggunaan Tenaga Tanah yang memanipulasi gerakan debu dan pasir sehingga dengan pengerahan hawa tenaga dalam bisa diarah sesuka pikiran. Tetapi terdapat pula kelemahan dari ilmu tersebut, yaitu perlu pencurahan tenaga dan pikiran yang cukup besar, sehingga kadang dapat membuat pengguanya kehabisan tenaga. Dan bila sampai pingsan atau tak sadarkan diri, si perapal bisa bertambah parah dengan kekacauan jalan darah yang belum sempat diselaraskan setelah merapal gerakan tersebut. Suatu ilmu yang benar-benar memerlukan penguasaan tingkat tinggi.
Ia melihat dirinya berbaring di dalam suatu pondok kayu yang sederhana. Ia rebah di atas suatu dipan kayu yang dialasi kain berwarna coklat tua agak kasar. Dengan bau-bau khas kayu dan tumbuh-tumbuhan hutan, rumah itu dipenuhi oleh pernah-pernik dari kayu. Berbotol-botol potongan-potongan daun tampak menghiasi sebuah rak yang terletak tak jauh dari tempatnya berbaring. Hanya itu yang bisa dilihatnya dari posisinya sekarang.
Dicobanya untuk bangkit, tapi tubuhnya masih melawan. Dunia menjadi berputar dan terbalik-balik saat dicobanya duduk. Akhirnya pemuda itu menyerah dan membiarkan waktu berlalu agar tubuhnya dapat sembuh dengan sendirinya, sebelum berusaha untuk bangkit kembali.
"Kreeekk!!" tiba-tiba pintu pondok itu terbuka. Pemuda itu tak dapat melihatnya karena terhalang sebuah meja besar yang di atasnya bertumpukkan buku-buku dan segala macam benda, benda-benda pengobatan agaknya.
"Kakek Gu, untung kau bawa pemuda itu cepat ke mari. Jika terlambat, bisa putus nyawanya," ucap seorang wanita. Dari getar suaranya terlihat bahwa wanita itu sudah cukup tua, akan tetapi suaranya masih cukup nyaring dan jelas.
"Nenek Po, tolong kau sembuhkan anak itu! Ia telah menyelamatkan hidupku ini. Aku akan amat berhutang budi padamu..," ucap lawan bicaranya.
"Tak usah ucap-ucap hutang budi, kakek Gu! Kita orang, orang-orang di akhir hidup, buat apa membawa-bawa pikiran nanti ke liang kubur. Apa yang bisa dikerjakan, kita kerjakan. Setelah itu pasrahkan kepada Sang Pencipta," jawab suara yang pertama tadi.
Lalu terdengar seperti sebuah bungkusan besar dijatuhkan berdebam di atas lantai pondok itu. Perempuan tua itu kemudian menginstruksikan agar rekannya mengambil ini dan itu, sebanyak sekian dan sekian. Mencampurkannya dalam sebuah belanga hitam yang diletakkannya dengan kasar di atas meja.
Tak lama kemudian tercium bau harum mengembang di udara, terbawa angin dan menyebar ke mana-mana, termasuk menggelitik hidung pemuda yang masih berbaring di atas dipan kayu itu. Tak dapat dicegah, perutnya pun berkerotak, berkukuruyuk meminta diisi.
"Hehehe, kakek Gu, lihat anak sudah siuman! Bahkan perutnya sudah minta diisi..," terkekeh-kekeh perempuan tua yang dipanggil nenek Po menghampiri pembaringan sang pemuda.
Semburat merah tampak menyebar pelan di atas wajah pucat sang pemuda. Ya, ia merasa malu sekali atas ketidaksopanan perutnya yang tanpa tedeng aling-aling meminta untuk segera diisi.
Seakan-akan tahu akan pikiran sang pemuda, kakek Gu pun berkata, "Jangan kuatir anak Yo, nenek Po ini memang suka menggoda orang. Tapi walaupun demikian sup buatannya tak ada tandingannya di daerah tiga empat sungai dari sini."
Berseri wajah nenek Po mendengar pujian kakek Gu akan makanannya. Sudah menjadi suatu kekurangan pada manusia bahwa kadang mereka suka dipuji. Sebenarnya hal itu tidaklah salah, asalkan tidak berlebihan dan menjadi melakukan segala sesuatu karena ingin memperoleh pujian.
Bergegas nenek Po kemudian mengambil sup yang sejak tadi sudah tercium keharumannya. Diambilnya semangkok besar. Porsi dua orang. Lalu ia kemudian kembali ke dekat tempat sang pemuda berbaring dan menotok beberapa jalan darah dan juga mengambil beberapa jarum halus yang tadinya ditusukkan di beberapa titik di kepala sang pemuda.
"Bangunlan dan coba makan..," ucapnya.
Sang pemuda tampak ragu-ragu mengingat tadi ia hampir terjatuh saat mencoba bangun.
"Tak usah takut, tadi engkau pusing saat bangun karena beberapa jalan darahmu sedang diarahkan ke tempat lain, agar mempercepat kesembuhanmu. Setelah dipindahkan kembali engkau tidak akan kehilangan keseimbangan saat bangun," jelas nenek Po yang ternyata mengetahui bahwa sang pemuda telah mencoba bangun tadi.
Dengan malu-malu karena kembali pikirannya dapat ditebak orang, sang pemuda mencoba duduk. Pertama-tama perlahan-lahan, karena ia masih kuatir akan pusing dan kehilangan keseimbangan seperti tadi saat ia mencoba duduk. Setelah merasa yakin dengan sedikit mengangkat tubuhnya bahwa ia tidak lagi pusing, ia pun mendudukkan dirinya di atas tempat ia tadi berbaring.
Saat ia masih ragu-ragu untuk menggapai mangkuk sup yang dibuat oleh nenek Po itu, kakek Gu dengan sigap mengambilkannya dan meletakkannya di atas tangan pemuda itu. "Makanlah pelan-pelan.., jika mampu habiskan. Ini mengandung banyak obat-obatan dan ramuan untuk kesembuhanmu."
Pemuda itu mengangguk dan mulai mencoba menyuap makanan yang disiapkan untuknya itu. Dimasukkannya perlahan sesuap sup yang masih mengepul panas itu. Harumnya yang merebak memacu gemuruh perutnya semakin kerap. Rasa hangat pun mulai menyebar dalam tubuh sesaat sesuap demi sesuap sup buatan nenek Po memasuki tubuhnya. Tak terasa sudah setengah isi dari mangkok ukuran jumbo itu pindah ke perutnya.
Saat sang pemuda menyantap makanan itu, kedua orang tua dihadapannya tak habis-habisnya memperhatikan dirinya. Mau tak mau terasa pula jengahnya, seakan-akan ada yang salah pada wajah atau dirinya. Ia sampai mencari-cari dengan jarinya apa ada sisa-sisa sayur dalam sup yang nyangkut di gigi atau nempel dekat pipinya akibat giatnya ia menyantap sup itu setelah isi mangkuknya kurang dari setengahnya.
Melihat kekikukkannya itu, kedua orang tua itu tertawa hampir berbarengan. Ketawa yang ramah dan hangat. "Kakek Gu, kita tinggalkan dulu anak Yo-mu ini. Tak tertelan nanti kalau kita pelototi terus-menerus," seraya nenek Po beranjak dari situ untuk mengerjakan sesuatu di sudut ruang sana.
Kakek Gu pun beranjak dari sana ia mengambil tempat di seberang tempat pemuda itu duduk dan mengasolah ia. Cepat, tak lama, ia pun segera tertidur. Napasnya yang keluar masuk dengan teratur menandakan ia sudah lelap. Lelah setelah bertempur dengan Su-Mo dan juga memanggul pemuda itu serta mencari bahan-bahan untuk mengobatinya.
Setelah habis semangkut sup yang lezat dan juga berkasiat itu, pemuda yang terus saja dipanggil anak Yo oleh kakek Gu, merasa dirinya lebih enekan. Ia kemudian mencoba untuk merebahkan dirinya. Tak terasa ia pun terlelap. Menyusul Kakek Gu yang telah pergi lebih dahulu ke dunia mimpi.
*** "Hiaattt!! Haahh!" begitu bentakan Sarini saat ia membacok Rakrakrak, perambok bertubuh subur dan berkulit gelap itu. Walaupun cukup gemuk, Rakrakrak dapat dengan lincah meloncat sana-sini untuk menghindari tangan Sarini. Tak lupa celoteh ganjen dan centil dilontarkan Rakrakrak untuk menggoda Sarini yang makin lama makin merah bagai kepiting rebus pipinya itu.
"Duh, dada yang ranum, mari sini ke dalam dekapanku!!" ucapnya sambil kembali menyerang Sarini dengan kepalan tangannya yang besar-besar itu. Sesekali dikenakannya juga tangannya agak bersinggungan dengan tangan Sarini yang halus dan mulus. Malah sang gadis yang berusaha untuk menghindar. Ia berusaha hanya menyentuh bagian-bagian lemah dari Rakrakrak dengan tangannya. Jijik rasanya bila harus menyentuh bagian tubuh dari orang yang berkeringat dan ceriwis itu.
"Pinggang molek, kaki jenjang, pujaan hati..!" kembali Rakrakrak mengeluarkan celoteh untuk mengganggu Sarini dan juga mengeluarkan hasrat hatinya yang telah membayangkan suatu saat akan dapat mendekap dara yang memikat hatinya itu. Bagi mereka, para perampok, jarang-jarang mendapat rejeki bertarung dengan dara semanis Sarini di dekat tempat tinggal mereka. Umumnya bila ingin bertemu dengan wanita, mereka harus perg jauh merampok desa atau pelesir ke kota.
Suatu saat Sarini bergerak lambat sehingga pergelangan tangannya dapat tertangkap oleh Rakrakrak. Girang sudah wajah perampok gembul itu. Dibayangkannya dara itu dalam pelukannya setelah tangan itu ditariknya mendekat. Dan memang dengan sentakan yang kuat dara itu tertari memutar ke arah dekapannya, tetapi bukan untuk dipeluk melainkan untuk melancarkan gerakan menyerang. Ilmu Sabetan dan Tangkapan Tangan adalah ilmu tangan kosong yang penuh dengan tipu-tipu. Kedudukan yang lemah dapat menjadi suatu titik awal serangan yang kuat apabila tahu memanfaatkannya.
Sarini sebagai putri Arasan, jelas-jelas menguasai ilmu itu dengan amat baik. Ini yang tidak diketahui oleh Rakrakrak, bahwa ia masuk perangkap dalam gerakan itu. Saat berpusing, Sarini tidak diam pasrah di bawa masuk dalam lingkaran tangan Rakrakrak melainkan berputar searah putaran yang menariknya, tapi lebih cepat sehingga ia bisa mengambil celah kosong dari persendian Rakrakrak yang saat itu tidak menyadarinya, berbalik dan berganti memiting tangan Rakrakrak sampai batas sendinya. Dan tidak tanggung-tanggung, ia terus menggerakkan sampai melalui batas putaran sendi umumnya. Akibatnya, "krakkk!!" patahlah tangan kanan Rakrakrak yang sempat terlena sehingga tidak waspada itu.
Kejadian itu sudah tentu mengejutkan kawan-kawannya. Lima orang yang lain pun menjadi marah. Rupanya mereka tadi telah dibohongi oleh dara itu untuk bertarung tangan kosong. Suatu teknik yang dimahiri oleh sang gadis. Akan tetapi saat kelimanya ingin menyerang setelah meraup senjata masing-masing dalam genggamannya, Walinggih berseru, "tahan!!"
"Orang tua, mau apa lagi engkau" Sekarang tidak ada lagi permainan-permaian, apa yang telah muridmu lakukan itu akan dibayar dengan darahmu dan juga gadis itu," kata seorang dari mereka.
"Apa hubungan kalian dengan Asasin?" tanya Walinggih. Sekarang ia teringat adanya kesamaan ciri-ciri orang-orang itu dengan orang-orang Asasin. Orang-orang yang telah berkali-kali berupaya membunuh dirinya.
Terkejut pula keenam orang itu atas pertanyaan yang diajukan Walinggih. Tak banyak orang yang tahu bahwa mereka ada bekas anggota Asasin. Mereka telah lama tidak lagi bekerja pada kelompok pembunuh bayaran itu karena ketidakdisiplinannya dan juga kurang dapat menjaga rahasia.
"Siapa kamu" Apa hubunganmu dengan Asasin?" balas bertanya seorang dari mereka.
"Hehehe," tertawa Walinggih mendengar pertanyaan itu, "Siapa aku" Tak perlu engkau tahu. Asal aku sekarang sudah yakin siapa kalian sebenarnya, bisa lega aku memulangkan kalian."
Mendengar itu keenam orang itu menjadi pucat wajahnya. Selama ini ternyata kakek dan gadis itu masih menahan diri untuk tidak menghabisi mereka. Setelah tahu bahwa mereka adalah Asasin atau tepatnya bekas anggota kelompok itu, malah mereka menjadi terdorong untuk melepaskan tangan kejam.
"Nan..., nanti dulu!" jawab seorang dari mereka dengan cepat, "Sudah lama, lebih dari satu tahun kami tidak lagi turut pada kegiatan Asasin. Kami bukan lagi Asasin." Berusaha orang itu untuk membela dirinya.
"Satu tahun. Belum lama," jawab Walinggih, "Biar kalian tak penasaran, aku sebutkan satu tempat. Desa Batu Barat dan Timur."
Mendengar nama tempat itu, pucatlah keenam orang itu, mereka tentu telah mendengar nama tempat yang menjadi salah satu dan mungkin satu-satunya kegagalan pekerjaan yang diemban Asasin dari para pemesannya. Di sana mereka bertemu dengan orang yang pilih tanding. Hakim Haus Darah.
"Engkau... Hakim Haus Darah..!!" ujar seorang dari mereka pucat.
Tanpa mengangguk Walinggih pun memegang posisi pedangnya sedemikian rupa. Posisi untuk mengeluarkan gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi, suatu gerakan yang ditiru dari kadal-kadal pelangi saat mereka mencari makan di batu-batu yang diperciki buih-buih air.
Menyadari bahwa tak ada gunanya lagi untuk berdepat keenamnya langsung mengambil posisi mengurung Walinggih. Sarini pun mengambil langkah mundur dan melihat dari kejauhan. Rakrakrak yang sebelah tangannya telah dipatahkan oleh Sarini tampak memegang senjatanya dengan tangannya yang lain. Keenamnya pun bersiap untuk mempertahankan satu-satunya nyawa mereka.
Tak perlu waktu terlalu lama bagi Walinggih untuk menumbangkan mereka. Satu persatu dari mereka tersungkur di atas tanah dengan tubuh terpotong. Tidak lagi terbelah dua seperti dahulu ia menggunakan gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua, gerakan Kadal Pelangi Makan Pagi lebih menitikberatkan pada loncatan-loncatan berbalik yang membingunkan lawan. Sabetannya tidaklah seindah gerakan Sabetan Tunggal Menuai Dua akan tetapi lebih efesien dan telak.
Termangu tampak Walinggih setelah keenam orang lawannya itu tidak lagi bernyawa, ingatan masa lalu akan keluarganya, anak dan istrinya yang terbunuh kembali datang. Ditepisnya rasa sedih yang kembali menjelang, juga amarah untuk selalu membalas dendam dan menghukum orang-orang yang berseteru. Ia telah berubah. Bukan lagi Walinggih si Hakim Haus Darah.
Tak terasa sebuah tangan menepuk bahunya. Tangan kecil dan halus milik Sarini. "Paman, sudahlah. Jangan lagi paman bersedih atas perginya bibi dan adik. Mereka-mereka ini memang patut untuk dibasmi."
Mengangguk sedikit Walinggih mendengar hiburan Sarini. Lalu ia mengisyaratkan agar mereka menggali sebuah lubang yang cukup besar untuk menguburkan keenam orang itu. Senjata-senjata mereka pun dimakamkan bersama-sama dengan jasadnya. Setelah itu sebuah batu besar dipotong Sarini untuk diletakkan di atas makam itu. Digoreskannya di atas batu tersebut
"Makam enam perampok mantan Asasin.
Salah seorang bernama Rakrakrak."
Hanya itu saja, karena ia tidak tahu nama-nama mereka kecuali Rakrakrak tadi. Setelah itu mereka berdua kembali meneruskan perjalan mereka ke arah utara untuk menjumpai orang tua Telaga untuk memberitahukan mengenai perjodohan Telaga dan Sarini.
*** "Maaf, bila sedari tadi engkau kupanggil terus dengan anak Yo," kata kakek Gu kepada pemuda yang menolongnya dari serangan Su-Mo.
"Tidak apa-apa, paman!" balasnya, "Malah saya pikir paman cerdik sekali pada saat itu, tanpa ba-bi-bu langsung menyapa saya seakan-akan kita telah kenal sehingga mereka kena dikadali."
"Ah, tidak terlalu berarti jika engkau tidak selihai itu ilmu beladirinya. Sayang sekali akibatnya engkau jadi menderita luka seperti ini," ucap kakek Gu sedih.
"Ini juga salahku, paman. Aku belum memahami jurus Jarum Terbang Debu Pasir dengan baik tetapi telah mencoba-coba," jelas pemuda itu.
Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan pemuda itu. "Omong-omong, tenagamu itu boleh juga, benar-benar menunjukkan penguasaan Tenaga Tanah yang sudah mumpuni," puji kakek Gu.
"Ah, paman bisa saja. Saya juga baru belajar dari para Troll," jelas pemuda itu sambil lalu menjelaskan kisahnya di mana ia mempelajari Tenaga Tanah itu.
Nenek Po yang sedari tadi sedang membaca-baca buku-buku pengobatan di mejanya, mengguman-gumam, "Tidak baik, tidak baik! Hukum alam tidak boleh dibolak-balik..!"
Gumaman itu memecah pembicaraan antara kakek Gu dan pemuda itu. "Nenek Po, apa maksudmu?"
"Ah, aku kembali ngomong sendiri ya?" ucapnya malu. "Ini dalam buku ini tertulis bahwa hukum-hukum alam sebaiknya tidak dicoba-coba untuk dilawan. Konsekuensinya berat."
Melihat tatapan bingung dari kedua orang di depannya itu, nenek Po pun tersenyum. Lalu lanjutnya, "Anak muda ini.. telah menggunakan Tenaga Tanah untuk memanipulasi gaya berat. Itu melawan alam. Alam ini terdiri dari materi. Ada empat unsur air, tanah, udara dan api. Semunya punya isi. Dan semuanya patuh pada gaya berat. Dengan mengubah-ubah gaya berat, keseimbangan akan terganggu. Terutama aliran hawa dalam tubuh."
Kedua orang itu pun mengangguk-angguk, baru ngeh dengan apa yang dijelaskan oleh nenek Po.
"Nak Paras Tampan, boleh-boleh saja engkau menggunakan jurus Jarum Terbang Debu Pasir, tapi dengan perhitungan tentunya. Jangan semua tenagamu dikerahkan ke sana. Sisakan untuk mengembalikan aliran hawamu ke sirkulasinya semula."
Lalu dijelaskannya bahwa apa yang barusan dilakukan oleh Paras Tampan adalah dengan mengubah kerapatan benda-benda disekelilingnya atau juga disekitarnya sehingga debu-debu dan pasir dapat bergerak seperti keinginannya. Lain dengan benda-benda yang berukuran cukup besar sehingga kekuatan dapat dipusatkan, benda-benda seperti pasir dan debu amatlah kecil dan banyak, sehingga tenaga yang dikeluarkan pun harus ekstra besar dan tersebar. Belum lagi upaya untuk membuat mereka terbang dan berurutan sehingga berbentuk jarum-jarum padat. Setelah hawa dikeluarkan untuk mengendalikan butiran-butiran itu, tubuh menjadi kosong. Tenaga alami alam yang terdiri dari empat unsur itu berebut masuk untuk mengisi kekosongan itu. Oleh karena itu perlu ada tenaga yang dicadangkan untuk menghalangi luapan tenaga yang ingin mengisi hawa tubuh yang kosong itu. Itulah yang terjadi sehingga tubuh Paras Tampan saat itu melupa terisikan tenaga alami dan mengalami luka dalam.
Menjadi jelas sekarang bagi Paras Tampan perihal ilmu yang baru dipelajarinya itu. Ia pun berjanji untuk lebih hati-hati dalam merapal ilmu itu. Jika tidak benar-benar diperlukan tidak akan digunakannya. Selain berbahaya bagi lawan, ilmu itu juga berbahaya bagi sang perapalnya sendiri, bila menggunakannya dengan benar.
Sudah seminggu Paras Tampan tinggal di pondok nenek Po. Kakek Gu pun tinggal di sana menemaninya. Kakek Gu sendiri sebenarnya punya rumah, tapi tak tak bisa dibilang benar-benar rumah mengingat letaknya yang di atas pohon dan dibangun sekenanya. Cukup asal nyaman untuk tidur dan tidak kepanasan saat hari cerah dan tidak kehujanan saat hari hujan, ditambah tidak kedinginan saat malam hari.
Dalam seminggu itu sudah banyak perubahan dalam kesehatannya. Tubuhnya berangsur-angsur membaik dan juga ia memperoleh banyak cerita, baik dari nenek Po maupun kakek Gu.
Kakek Gu yang bernama Gu Ming itu ternyata adalah masih saudara jauh dari seorang pengujar terkenal Gu Long. Pengujar yang banyak menghasilkan karya-karya cerita tentang kehidupan orang-orang di rimba persilatan. Diceritakan bahwa Gu Long adalah seorang yang cerdas akan tetapi agak nyeleneh. Tidak seperti kebanyakan orang yang umumnya bekerja setelah tamat belajar, ia malah berandai-andai dahulu dan berusaha menjadi seorang penulis di kotanya. Hidup sederhana seperti pengujar Tao Yuan Ming (penyair jaman dinasti Han dari Tlatah Tengah).
Gu Long adala seorang yang cerdas, ia telah dapat menulis kisah pada usia yang amat muda. Sekitar 12 tahun. Dan bisa memperoleh penghasilan pertama saat berusia 19 tahun. Kakek Gu kemudian menceritakan bahwa saudara tuanya itu, hampir selalu menceritakakan sesuatu yang berkaitan dengan cinta. Sampai suatu saat ia mendapat saran untuk menulis mengenai orang-orang rimba persilatan. Walaupun demikian, unsur cintanya tetap kental dalam kisah-kisah orang-orang rimba persilatan.
Saat itu terdapat empat pengujar besar penghasil cerita orang-orang rimba persilatan di Tlatah Tengah Sempalan (Taiwan), yaitu Chu Qing Yun, Wu Lung Sheng dan Shi Ma Ling, serta Gu Long sendiri.
Kakek Gu sendiri sampai merantau ke sana ke mari karena terinsipirasi atas karya-karya para pengujar-pengujar tersebut, yang menceritakan keanekaragaman dunia dalam kisah-kisah persilatan.
Sayangnya saudara tuanya itu mempunyai suatu sifat jelek, yaitu gemar minum dan mabuk-mabukkan. Kerap sekali sehingga jatuh sakit. Setelah sembuh ia sempat beberapa saat terbebas dari arak, akan tetapi tidak lama. Bila sedih ia minum arak. Kebiasaan ini datang kembali sehingga akhirnya membuat kesehatannya menjadi semakin parah dan akhirnya ia meninggal. Saat ia meninggal kakek Gu sedang merantau sehingga tidak dapat menjenguk saudara tua yang dikaguminya itu.
Paras Tampan dapat merasakan keharuan kakek Gu saat menceritakan kisah saudaranya itu. Ia melihat kekaguman kakek Gu pada sosok pengujar Gu Long. Ia sendiri pernah mendengar, tapi belum pernah membaca hasil karya atau pun cerita mengenai orang itu.
"Ada seorang pengujar dari Tlatah Tengah Sempalan, Gu Long namanya. Karyanya amat gemilang tentang orang-orang rimba persilatan di Tlatah Tengah. Tapi apa-apa tentang cinta yang ditulisnya tidak dapat diwujudkannya dalam dunia nyata. Ia hidup tidak bahagia. Tidak sebahagia tokoh-tokoh rekaannya," jelas Ki Tapa suatu saat pada Paras Tampan. "Sebaiknya seimbang, apa yang kita tuangkan dalam karya, ucapan dan pelaksanaan. Itu yang terbaik."
Paras Tampan tidak tahu mengapa Ki Tapa menceritakan perihal pengujar Gu Long padanya saat itu. Setelah lama baru disadari bahwa Ki Tapa ingin mengingatkan bahwa apa-apa yang dihadapi haruslah diresapi. Jangan terlalu berhadap atau terlena seperti dalam kisah-kisah. Sifat Paras Tampan yang cenderung romantis mungkin mengundang kekuatiran sendiri pada Ki Tapa sehingga ia menceritakan tentang kisah itu.
*** Lantang mengambil satu buah ubi dan sejumput rempah. Digigitnya ubi, dikunyahnya perlahan, lalu rempah-rempah. Ubi itu untuk membuat agar rempah-rempah yang mengandung obat itu dapat termakan. Tanpa ubi mungkin akan termuntahkan kembali.
Tak terasa setengah rempah-rempah obat yang harus dimakannya telah mengisi perutnya. Ubinya tinggal sebuah. Tidak cukup kiranya untuk memakan rempah-rempah yang tersisa. Lantang pun celingak-celinguk mencari-cari dengan matanya, apa-apa yang bisa menggantikan ubi untuk memakan rempah-rempah itu.
Tiba-tiba bahunya ditepuk. Xyra yang tadinya tertidur telah bangun. Rambutnya yang awut-awutan tampak manis menghias wajahnya. Khas kecantikan seorang Undinden.
Ia tampak mengangsurkan beberapa buah pisang.
"Makanlah untuk teman rempah-rempah," katanya pelan.
Lantang pun mengangguk diambilnya dua buah pisang. Segigit pisang dan rempah-rempah. Segigit lagi dan juga rempah-rempah sampai akhirnya takaran yang harus dimakannya habis. Pindah mengisi lambungnya.
Xyra tampak senang melihat hal itu. Ia mengeluarkan nada tinggi, nada khas Undinen apabila hatinya gembira. Gembira bahwa Lantang akan kembali sehat.
"Di mana orang tua itu tadi?" tanya Lantang tiba-tiba. Ia teringat pada orang tua yang tadi memasakkannya obat.
"Wananggo, maksudmu?" tanya Xyra.
"Kakek itu bernama Wananggo?" balik bertanya Lantang.
"Ia memperkenalkan diri dengan nama itu," jelas Xyra. "Ia tadi pergi sebentar. Akan kembali untuk menengok kesehatanmu. Ada sesuatu yang harus dicarinya. Ditunggu saja sambil beristirahat."
Lantang pun menurut. Sambil berbaring ia minta Xyra untuk mengisahkan perjalanannya dan mengapa saat ia ingin pamit Xyra tidak bisa ditemuinya di Danau Tengah Gunung.
Dengan perlahan sambil tertunduk malu Xyra pun menceritakan bahwa ia dulu merasa marah dan sedih, bahwa Lantang akan meninggalkan tempat di mana mereka bertemu. Ia menyangka Lantang membenci dirinya dan meninggalkan dirinya. Oleh karena itu ia tidak mau menemui Lantang. Akan tetapi jauh setelah Lantang pergi Xyra pun merasa kehilangan. Dan ia menemui Ki dan Nyi Sura untuk minta penjelasan keamana perginya Lantang. Setelah tahu ia pun pergi mengikuti. Dengan kemampuannya berbicara pada binatang-binatang air, Xyra memperoleh keterangan ke arah mana Lantang berlalu. Setelah menemukan, ia pun membayangi sosok yang dirindukannya itu dengan diam-diam. Saat Lantang menderita sakit, ia pun tidak tahan dan memunculkan diri untuk membantu Wananggo merawat pemuda itu.
Terharu Lantang mendengar penjelasan sang Undinen. Tak terasa tangannya menggenggam dan mengelus lembut telapak tangan Xyra yang berhasil digapainya. Xyra hanya tertunduk semakin dalam sambil memainkan rambutnya dengan tangannya yang lain.
Keduanya pun terdiam. Perasaan dalam hati masing-masing bergolak. Menggelora jiwa muda. Jiwa yang ingin berpadu dan dekat selalu.
Bagian 4 -- Tato
"Deru pun perlahan melembut.
Menghilang. Sunyi dan sepi.
Dan jiwa pun tenteram kembali.
Menghela napas.
Menghirup keheningan.
Mengekang nafsu.
Senyap. Lepas. Lega. Setelah semuanya berakhir.
Secarik kulit dicabik halus.
Darah menetes lembut.
Menegaskan guratan-guratan mistis.
Guratan di atas kulit nan indah.
Tato." Sajak di atas berjudul "Pembicaraan Angin" hasil karya seorang Eremit (petapa) tak dikenal, Unbekanteeremit. Bergetar hati seorang pemuda saat membaca sajak dalam kitab itu, salah satu kitab yang harus dicari keturunan dari pemiliknya semula. Kitab yang dicuri oleh guru pemuda itu dan disembunyikannya, untuk disalin dan dikumpulkan. Sekarang jauh masa setelah kematian sang pencuri, ia menugaskan muridnya, sang pemuda melalui para saudaranya para Troll, agar sang murid mengembalikan kitab tersebut kepada yang berhak. Keturunan orang dari mana kitab tersebut semua diambil.
Ia sekarang bernama Gu Yo, keponakan jauh dari Gu Ming, seorang kakek yang menyelamatkan nyawanya dan membawanya ke rumah nenek Po untuk diobati. Dari perkenalannya yang singkat dengan kakek Gu dan nenek Po, pemuda itu mendapat banyak cerita mengenai situasi dunia persilatan dalam puluhan tahun terakhir ini dan juga orang-orang yang muncul dan menghilang.
"Jadi engkau mencari keturunan seseorang yang senang mengumpulkan koleksi tato dari tubuh manusia?" tanya kakek Gu saat itu hampir tidak percaya. Kakek Gu tidak percaya bahwa ada orang yang punya kegemaran mengumpulkan bagian tubuh manusia. Kulit yang bertato, yang disayat dari tubuh empunya.
"Ya, kekek Gu. Saya mencari keturunan dari orang itu," jawab pemuda itu hormat.
"Untuk apa mencari orang atau keturunan orang gila seperti itu?" tanya nenek Po menyelak. Penasaran juga ia mendengar keperluan pemuda yang baru disembuhkannya itu untuk mencari seseorang yang dalam pandangannya cukup sesat.
Terdiam sebentar pemuda itu. Ia bimbang apakah ia harus menceritakan apa sebenarnya tujuan ia mencari keturunan dari orang yang dimaksud atau tidak. Kedua orang tua dihadapannya nampak memperhatikannya saat ia berpikir.
"Bila ada rahasia yang enggan engkau ceritakan, tak usalah," ujar nenek Po ramah. Ia dapat melihat kebimbangan pada wajah pemuda itu.
"Sebenarnya...," bingung pula pemuda itu. Ia merasa tak enak hati dengan pertolongan kedua orang yang telah menyelamatkannya itu. Tapi apabila ia menceritakan hal yang sebenarnya, bisa pula mendatangkan masalah baru bagi misinya.
"Begini saja," ucap kakek Gu kemudian menengahi, "cukup kamu katakan bahwa tidak ada sama sekali niat untuk berseteru dengan keturunan orang ini, dan kamipun akan merasa lega."
Pemuda itu pun mengangguk, "Tidak sama sekali. Saya tidak berpikir untuk berseteru dengan keturunan orang ini."
Kedua orang tua yang berada di hadapannya pun menggangguk lega.
"Dulu, ada seorang berjulukan Ceng-Liong Hui-To (Naga Hijau Pisau Terbang) yang memiliki kegemaran untuk mengeletek kulit tubuh musuh-musuhnya meniru legenda tradisi suatu suku bangsa yang mengambil kulit kepala musuh yang dikalahkannya. Akan tetapi ia tidak sembarangan mencari musuh. Musuh yang dicari umumnya adalah para golongan orang-orang jahat yang memiliki tato pada bagian tubuhnya," cerita kakek Gu.
"Benar..," lanjut nenek Po, "orang-orang jahat pada masa itu berkumpul dan membentuk suatu kumpulan yang dicirikan dengan adanya tato pada tubuh mereka. Semacam kejahatan yang diatur oleh para pemimpinnya. Jika suatu suku bangsa di suatu tempat dicirikan oleh corak sarung yang dipakainya (Skotlandia), maka para begal ini dicirikan oleh tato yang dikenakannya. Beda kelompok, beda ciri khas tato yang digunakan."
"Dan corak yang semakin rumit menunjukkan ketinggian kedudukan atau pengalaman yang telah dimiliki seorang anggota kelompok kejahatan ini," tambah kakek Gu.
"Bagaimana kakek Gu dan nenek Po bisa tahu banyak tentang soal ini?" tanya pemuda itu ingin tahu.
Keduanya saling berpandangan satu sama lain dan kemudian meledaklah tawa di antara mereka. Pemuda itu hanya dapat menatap bingung pada kelakukan dua orang tua dihadapannya, yang dianggapnya benar-benar membingungkan.
Setelah tawa berderai keduanya usai, kakek Gu dengan masih mengapus air mata yang meleleh pada matanya berkata, "Sebenarnya, kami berdua pernah juga ikut pada kelompok semacam itu..."
"Eh..!," pemuda itu tampak kaget mendengar jawaban kakek Gu, "tapi berarti, kakek dan nenek..." tak diselesaikannya ucapan itu. Sungkan ia melanjutkannya. Apalagi terhadap orang yang baru saja beberapa hari ini menolongnya.
"Bukan, kami bukan menjadi begal atau mungkin belum," ucap nenek Po. "Pada jaman itu, sebelum orang-orang bertato itu dipandang sebagai penjahat, budaya tato itu sebenarnya telah ada jauh sebelumnya. Dan budaya itu dianggap sebagai suatu tanda kematangan. Orang yang sudah dewasa, dianggap lengkap bila telah memiliki tato."
Sambil berkata demikain nenek Gu menggulung salah satu lengannya ke atas. Di atas lengan yang kepucatan itu tampak dua ekor naga yang saling berbelit. Satu berwarna merah dan satu berwarna biru. "Ini kelompok Naga Merah Naga Biru," jelasnya. "Kelompok yang hanya terdiri dari para wanita."
"Oh, begitu!" jawab pemuda itu. Lalu sambungnya, "Dan kakek Gu punya.."
Kakek Gu tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Dibukanya bajunya sambil berbalik membelakangi. Tampak di punggungnya gambar sebuah naga hitam dan lingkaran di tengah yang dicengkeramnya. "Itu kelompok Naga Hitam Penjaga Mutiara," jelas nenek Po, "bagian yang bulat ini adalah mutiara yang dijaga."
"Itulah sebabnya kakek dan nenek bertanya apa saya bermaksud berseteru dengan keturunan Ceng-Liong Hui-To?" tanya pemuda itu kemudian.
"Ceng-Liong Hui-To, boleh dikatakan adalah pahlawan pada saat itu. Ialah yang membantu penduduk menghalau para begal bertato." kali ini kakek Gu yang menjawab, "dan pertanyaanmu itu sama sekali salah. Jika Ceng-Lion Hui-To adalah musuh dari penjahat bertato, maka kami yang juga bertato bisa saja salah sasaran dan menjadi musuhnya."
"Untunglah Ceng-Liong Hui-To bukan seorang gelap mata yang main bunuh saja seorang yang bertato tanpa tahu terlebih dahulu asal-usul dan kesalahannya," lanjut nenek Po, "malah ia adalah orang yang yang amat terpelajar, dan boleh dikatakan menawan." Dari tekanannya pada kata terakhir yang diucapkannya, nenek Po terlihat bahwa ia amat mengagumi sosok Ceng-Liong Hui-To tersebut.
Lalu mereka berdua menceritakan bahwa Ceng-Liong Hui-To menasehati para pemuda dan pemudi tidak lagi menato dirinya, karena hal itu dianggapnya tidak baik. Merusak tubuh yang telah diberikan oleh Sang Pencipta dengan gambar-gambar yang kadang tak jelas artinya.
Sebagian orang menuruti anjuran tersebut, akan tetapi sebagian lain tidak. Bagian yang tidak ini yang kemudian menjadi lepas kendali. Mereka malah menuduh Ceng-Liong Hui-To mengekang kebebasan berekspresi orang-orang, padahal itu adalah tubuhnya sendiri.
Atas bumbu-bumbu hasutan para begal, orang-orang yang mendukung 'kebebasan bertato' ini kemudian membentuk kelompok yang anti keteraturan, anti kemapanan. Mereka melakukan apa-apa yang dilarang. Apa-apa yang tidak dianjurkan.
Rasa kebersamaan yang tumbuh di antar orang-orang yang tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas, membuat orang-orang tersebut benar-benar merasa di rumah, di antara orang-orang senasib. Mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka hanyalah dimanfaatkan oleh sedikit begal demi keuntungan mereka.
Akibat pesatnya pertumbuhan orang-orang yang mendukung kebebasan bertato ini, pemerintah menjadi kalang-kabut. Kerusuhan-kerusuhan pun terjadi di mana-mana. Dengan dalih kebebasan mereka menyiarkan ketakukan dan rasa tidak aman di antara orang-orang yang berseberangan dengan mereka. Merampas 'kebebebasan' orang yang tidak sepaham.
Ceng-Lion Hui-To pernah suatu kali menyatakan pendapatnya kepada beberapa rekannya yang duduk di pemerintah bahwa budaya tato yang telah turun-temurun dilakukan orang di kota itu, agar dihapuskan. Ia pernah mendengar bahwa budaya itu cenderung membuat orang-orang menjadi kasar dan tak tentu arah.
Alih-alih mendengarkan, para rekannya itu malah menenangkan dirinya, dan berujar bahwa ketakutannya yang masih saja terbawa dari jaman perang dulu, dan selalu saja berlebihan.
Ucapan Ceng-Lion Hui-To terbukti tidak sampai setahun kemudian. Kelompok pemuda dan pemudi bertato tumbuh dengan pesat. Bersamaan dengan itu terjadi pula perampokkan, pencurian dan lain-lain oleh orang-orang bertopeng dan bertato. Sengaja mereja menggunakan topeng, akan tetapi memperlihatkan tato di tangan dan punggung mereka.
Akibatnya jelas, pemerintah yang tidak memiliki bukti keterlibatan begal-begal yang seakan-akan merupakan kelompok pemuda anti kemapanan itu, main tangkap saja orang-orang yang bertato. Dengan jumlah yang banyak mulai timbullah perlawanan. Suatu pertentangan yang bukan disebabkan oleh mereka.
Pada saat itulah Ceng-Lion Hui-To turun tangan. Dengan hati-hati ia menyelediki kelompok-kelompok bertato, menyelinan sana dan sini dan mendengarkan percakapan-percakapan. Akhirnya ia bisa menemukan orang-orang atau begal-begal yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan yang menyebabkan pemerintah bersiteru dengan para pemuda bertato secara umum.
Dengan membawa beberapa saksi dan bukti, para pemuda dan juga pemerintah disadarkan. Organisasi-organisasi kepemudaan bertato pun dibubarkan oleh para massanya sendiri. Mereka merasa telah diperalat oleh para begal. Walaupun telah salah tangkap, tapi pemerintah masih berdalih bahwa itu untuk kepentingan umum. Sebuah luka yang kelak akan kembali bernanah. Luka antara penguasa dan rakyat yang seharusnya diayominya.
Pendek kata kerusuhan dan ketegangan akibat tato pun menghilang. Suasana kembali seperti semula. Tenang dan damai. Roda perekonomian kembali bergulir normal.
Akan tetapi ada yang hilang di akhir pergolakkan itu, yaitu Ceng-Liong Hui-To sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Pemerintah sebenarnya ingin mengangkatnya sebagai perwira kerajaan untuk menangani masalah-masalah kerusuhan, informasi rahasia dan keamanan. Akan tetapi dengan hilangnya, tidaklah jadi hal itu dilakukan. Untuk mengenangnya, kantor polisi di kota itu dinamakan Rumah Jaga Ceng-Liong Hui-To.
*** "Kota Siaw Tionggoan" begitulah yang tertulis di atas sebuah gerbang batu setinggi pohon kelapa dan selebar empat kalinya. Gerbang yang menandakan awal kota tersebut. Kota Siaw Tionggoan terletak di tepi suatu sungai kecil pecahan dari sungai Merah yang mengarah jauh ke timur laut meninggalkan pantai selatan dan padang Batu-batu. Kota yang banyak dihuni oleh perantau dari Tlatah Tiongkok.
Berseri wajah pemuda itu melihat gerbang batu yang megah itu. Walaupun terlihat sederhana dengan sedikit ukir-ukiran, akan tetapi komposisinya yang bernuansakan warna yang teduh keabuan, mendatangkan kesan masif dan keren. Besar dan gagah.
Ia tidak tahu bahwa gerbang sebelah timur itu memang dibuat sedemikian rupa dengan warna keabuan. Warna udara dan asap. Oleh karena memang gerbang tersebut bernama Gerbang Udara atau Angin. Terdapat lambang besar segitiga dengan puncaknya menghadap ke atas, dan tengahnya dicoret garis mendatar, terpahat pada tengah batang melintang. Kepala dari gerbang itu. Lambang elemen kuno udara. Sesuatu yang diapungkan atau diresapi oleh api, yang dilambangkan dengan segitiga puncak ke atas.
Setelah kekagumannya atas gerbang sebelah timur itu, Gerbang Udara, terpenuhi mulailah ia melihat-lihat hal-hal lain. Di sepanjang jalan yang lurus dan panjang itu, yang ujungnya hampir-hampir tak bisa diperkirakan, ia melihat berbagai aneka toko-toko. Belum pernah ia melihat kota yang seramai ini. Tidak juga kota tempat asalnya, kota Luar Rimba Hijau.
Jalan-jalan yang sudah dipadatkan dan dilapisi batu-batu persegi di atasnya, membuat jalan orang dan juga pedati yang lewat menjadi lebih mudah. Saat hari hujan, tidak ada lagi lumpur atau genangan air yang mengganggu. Jalan batu.
Kebingungan pemuda itu akhirnya berdiri pada suatu persimpangan jalan. Jalan di depannya masih lurus jauh, bagai tanpa akhir. Jalan di belakangnya mengarah kembali ke Gerbang Udara. Kedua jalan kiri dan kanan sama-sama menarik, tapi tidak ada yang memberatkannya, sehingga ia tak dapat dengan segera memilih salah satunya.
Tiba-tiba matanya tertarik pada gerakan seseorang yang membelok pada suatu jalan kecil di sisi kanan jalan yang berarah ke kiri. Suatu sosok yang menghentakkan kenangan lama, Citra Wangi. Bergegas pemuda itu mengikuti nalurinya membuntuti sosok bayangan yang memincut rasanya itu.
Dia merasa yakin bahwa sosok itu adalah orang yang ada dalam kenangannya. Sosok tubuhnya yang langsing dan cukup tinggi. Gerakan langkahnya yang mengalir dan mantap. Lenggak-lenggoknya yang secukupnya dan tidak berlebihan. Pastilah itu dia. Tak terpikirkan lagi oleh Gu Yo bagaimana sosok yang disangkanya sang kekasih bisa berada di kota Siaw Tionggoan dan bukan di Kota Pinggiran Sungai Merah seperti diberitakan oleh Nyi Antini, istri mendiang Ki Baja dari Kota Luar Rimba Hijau. Nalarnya telah ditundukkan oleh kenangan yang menggelora.
Bergegas dipacu langkahnya. Tak dihiraukannya saat ia tak sengaja berpapasan dengan beberap orang yang hampir saja ditabraknya. Beberapa dari mereka sempat mengumpat-umpat dengan bahasa yang kurang dimengertinya, karena dialek mereka yang cukup kental.
Sesampainya ia di jalan kecil di sebelah kanan dari jalan besar yang mengarah ke kiri, dilihatnya sosok gadis yang diikutinya tersebut berada pada jarak belasan tombak di depannya. Bergegas ia kembali menaikkan laju langkahnya, agar dapat cepat dicapainya orang yang diharapkan sebagai kekasihnya itu.
Entah kebetulan atau memang sang gadis memang sedang juga dalam kegergesaan, ia pun memacu langkahnya. Cepat. Akibatnya jarak ia dan Gu Yo masih tetap belasan tombak lebarnya. Tak lama ia membelok ke kiri satu dua gang kecil dan akhirnya kembali mengambil jalan kecil di kanan, yang kemudian membawa sang penguntit dan yang dikuntit kembali ke suatu jalan besar. Jalan yang sejajar dengan jalan besar sebelah kiri yang pertama-tama diambil Gu Yo sejak di persimpangan, saat ia bingung tadi.
Sekarang dengan banyak berlalu-lalangnya kereta kuda, pedati dan juga kereta tanpa kuda, yang digerakkan oleh orang atau mesin bersuara ribut, jarak antara Gu Yo dan sang gadis semakin lebar. Gu Yo yang tidak terbiasa berjalan di suatu tempat dengan banyak kendaraan dan orang, berkali-kali hampir tertabrat, dan sudah tentu kaya dengan umpatan dan makian, seperti "Pake matamu!", atau "Matamu kemana?" dan sejenisnya.
Akhirnya perburuan itu pun berakhir, dengan sampainya sang gadis di suatu rumah atau toko yang cukup besar. Besar dan mewah menurut Gu Yo, dilihat dari papan namanya yang lebar dan berwarna cerah di atas wuwungan depannya. "Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To".
"Lagi-lagi Ceng-Liong Hui-To..," bergumam Gu Yo dan teringat pada cerita kakek Gu dan nenek Po. Tapi rasanya bukan ini, pikirnya. Lamunannya pun terhenti saat seorang penjaga menegurnya. Seorang pemuda berbadan tegap yang terlihat ramah.
"Tahan dulu, anak muda!" katanya bersahabat, "Apa keperluanmu" Apa sudah ada janji?"
"Janji?" bengong Gu Yo mendapati pertanyaan itu diajukan padanya. Ia tidak tahu bahwa di kota-kota besar seperti kota Siaw Tionggoan ini, orang sedemikian sibuknya, sehingga untuk bertemu, mereka terlebih dahulu harus membuat janji.
"Eh, itu.., anu..!" katanya gagap sambil menunjuk kepada bayangan gadis yang diikutinya tadi. Bayangan yang sudah lenyap di balik pintu bangunan itu. Bayangan yang tadi sempat bertegur sapa dengan penjaga yang menyapanya, dan disapa balik dengan, "Nona Lin!"
"Hah" Apa maksudmu dengan eh, itu.., anu..?" tanya sang penjaga kembali, yang merasa tak mengerti dengan ucapan yang dikeluarkan oleh sang pemuda.
"Maaf, maksud saya, saya ingin bertemu dengan nona tadi. Nona yang baru saja masuk itu!" jawabnya kemudian setelah dapat menenangkan dirinya.
"Ah, maksudmu nona Lin?" tanya penjaga itu kembali untuk menegaskan. Lalu lanjutnya, "dan apa urusannya" Sudah ada janji atau belum?"
"Eh, harus sudah ada janji ya?" tanya Gu Yo kembali. Janji, sesuatu yang tidak ia temui di kotanya. Orang-orang di sana bila ingin berkunjung, dapat langsung datang kapan saja. Tak perlu ada janji-janjian segala. Mungkin lain kota, lain tata cara-nya. Demikian pikirannya menyimpulkan.
Penjaga itu melihat kebingungan sang pemuda, akhirnya menggapainya untuk ikut. Lalu ditunjukkannya seorang gadis yang sedang duduk di meja dekat tempat penjaga tadi berdiri. Seorang gadis yang juga terlihat manis seperti sang nona Lin. Posisi gadis yang tersembunyi di balik tembok setinggi dada orang dewasa berdiri itu, sempat tidak terlihat dari luar apabila tidak benar-benar diperhatikan dan diketahui keberadaannya.
Rupanya itu tempat untuk membuat perjanjian untuk bertemu dengan penghuni gedung itu, entah toko atau apalah, Gu Yo tidak tahu.
Setelah dijelaskan oleh sang penjaga bahwa pemuda itu ingin bertemu dengan nona Lin akan tetapi belum membuat janji, lalu sang gadis membuka bukunya dan melirik pada kolom-kolom yang di atasnya tertuliskan "Swee Sian Lin", nama sebenarnya dari nona Lin. Akhirnya sampailah ia pada suatu kolom, dan bertanyalah ia pada Gu Yo, "nanti sore, antara pukul empat dan setengah lima nona Lin belum ada janji, anda bisa berkunjung pada saat itu" Apakah anda bisa dan mau?"
Mengangguk saja Gu Yo atas usulan itu. Persoalan membuat janji masih asing baginya. Kemudia saat ditanya namanya, ia menyebutkan "Gu Yo", yang kemudian dituliskan oleh gadis itu. Untuk keperluannya, ia hanya membubuhkan "ingin bertemu" tanpa bertanya dulu kembali kepada Gu Yo, sebagaimana disampaikan oleh penjaga tadi.
"Anda bisa berjalan-jalan dulu, melihat-lihat kota Siaw Tionggoan untuk membunuh waktu. Masih sekitar empat jam untuk bertemu dengan nona Lin," saran sang gadis tersebut.
Gu Yo pun mengangguk mengiyakan. Saat itu dilihatnya beberapa orang masuk, memberi salam kepada penjaga dan menuju tempat sang gadis, gadis yang mencatatkan janji-janji untuk bertemu dengan para penghui gedung itu. Beberapa di antaranya menyebutkan nama yang akan dikunjungi, keperluannya dan waktunya. Dua orang dari mereka rupanya telah membuat janjinya kemarin. Setelah diakurkan dengan apa yang tertera dalam buku janji tersebut mereka dipersilakan untuk masuk. Seorang pelayan mengantarkan mereka, menunjukkan jalan ke bagian ke mana mereka akan menuju. Sedangkan sisanya baru akan membuat janji untuk bertemu dengan penghuni gedung itu sore ini atau keesokan harinya.
Mengangguk-angguk Gu Yo melihat hal yang baru itu. Rupanya ia harus membuat janji dulu untuk bertemu orang-orang yang tinggal dalam rumah itu. Suatu pengalaman yang baru dialaminya di sini, di kota Siaw Tionggoan.
Setelah cukup memperhatikan dan merasa mengerti, Gu Yo pun keluar untuk menghabiskan waktu, sebelum bertemu dengan nona Lin. Sosok gadis yang dipikirnya adalah Citra Wangi, kekasihnya dulu. Orang yang telah ditunangkan dengan dirinya.
Di tepi jalan besar di muka Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To tampak Gu Yo celingak-celinguk kebingungan. Ia tidak tahu harus kemana untuk membunuh waktu sebelum jam empat nanti. Saat ia sedang memandang ke kiri dan ke kanan, suatu suara dalam lambungnya merekah, membujuknya untuk pergi ke suatu arah di mana aroma lezat hidangan mengambang di udara.
Setelah berjalan beberapa saat, ditemukannya sumber kelezatan yang seakan-akan mengundangnya ke tempat itu. Sebuah kedai yang menyajikan berbagai masakan yang dipanggang atau dibakar. Kedai Daging Bakar namanya. Berbagai jenis daging dapat ditemui di sana, dari ayam, sapi, kerbau, kambing sampai ular dan kelinci. Berbagai jenis-jenis daging yang telah kering dan diasap, dipajang di suatu bagian depan kedai dan diberi nama. Takjub juga Gu Yo melihat model iklan dari kedai tersebut.
Saat ia sedang melihat-lihat "hiasan" berupa daging yang sudah dikeringkan itu, berwarna merah dan masih menyajikan bau sedap khasnya masing-masing, seorang tua menyapanya, "Ayo jangan malu-malu, mari masuk mencicipi!" ajaknya.
"Eh, tapi..," Gu Yo tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia tak tahu harus berucap bagaimana. Sebagaimana diketahui tidak banyak Tigaan yang dibekalinya sedari keluar dari Rimba Hijau dan juga sehabis bertemu kakek Gu dan nenek Po. Dan ia memang telah berniat untuk mencari pekerjaan di kota ini, sembari menunaikan misinya mencari keturunan dari Ceng-Liong Hui-To.
Kehidupan Para Pendekar Karya Nein Arimasen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, pasti kau tidak cukup punya uang, 'kan" Ayo anak muda, masuk saja. Aku pemilik kedai ini. Kamu boleh makan sepuasmu, tapi setelah itu bantu-bantu, bagaimana?" jawabnya ramah. Yok Seng, orang tua itu memang pemilik kedai itu. Ia baru saja berjalan ke bagian lain kota untuk mencari tenaga tambahan. Rencananya beberapa hari lagi akan ada perayaan menyambut tamu dari pemerintah pusat. Biasanya pada hari-hari "besar" seperti itu pengunjung akam membeludak. Untuk itu ia perlu tenaga segar agar bisnisnya dapat tetap berjalan dengan baik. Sukur-sukur pemasukannya bisa berlipat-lipat pada saat-saat itu.
Ia telah berusaha menuju ke suatu bagian kota di mana di sana terdapat suatu semacam agen yang menyalurkan tenaga-tenaga kerja paruh waktu. Tapi berhubung suatu peristiwa kunjungan oleh pemerintah pusat ke kota Siaw Tionggoan adalah suatu peristiwa yang jarang terjadi, toko-toko dan kedai-kedai lain pun sudah memborong tenaga kerja. Habis. Tiada yang tersisia. Bahkan ia hanya menemui tulisan "tutup" di sana. Mungkin sang penyalur tenaga kerja bahkan ikut "bekerja" sebagai tenaga paruh waktu, mengingat permintaan yang banyak, sudah bisa dipastikan gajinya pun akan lumayan.
Demi melihat seorang pemuda di depan kedainya yang sedang termangu menatap daging-daging keringnya, langsung saja Yok Seng menawarkannya pekerjaan. Dari perawakannya yang tegap dan berisi, sudah pasti pemuda itu kuat untuk bekerja keras. Sosok yang dibutuhkannya untuk saat itu.
"Eh, benar paman" Saya boleh bekerja di sini?" tanya Gu Yo tak percaya. Ini adalah betul-betul suatu kesempatan yang tidak disangka-sangkanya. Ia tidak harus sulit-sulit mencari pekerjaan, akan tetapi dapat dengan mudah memperolehnya. Orang bilang itu memang sudah rejekinya atau suratan langit.
Yok Seng yang ditanya hanya mengangguk. Ia melihat bahwa pemuda itu, Gu Yo, masih baru dan belum ada pengalaman sama sekali. Kejujuran pun tampak dari wajahnya. Jujur itu adalah sifat yang dibutuhkan untuk dapat bekerja dengan langgeng. Yok Seng yang telah berpuluh tahun mengelola kedai itu dapat dengan segera melihat sifat seseorang dari percakapan singkat saja, hasil asahan pengalaman yang menahun.
"Eh, tapi.. saya..," ucap Gu Yo bingung dan ia pun lalu menceritakan keperluannya ke kota itu yang memang ingin mencari kerja, tapi telah membuat janji dengan nona Lin, Swee Sian Lin di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
"Engkau tidak akan bekerja di sana, bukan?" tanya Yok Seng penuh selidik. Entah bagaimana ia tak rela calon tenaga kerjanya akan diambil oleh orang lain. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To adalah suatu galeri seni tato yang cukup beken di kota itu. Suatu saingan dalam mempekerjakan orang pada saat hari-hari "besar".
"Tidak, paman! Saya hanya ingin bertemu dengan nona Lin saja. Tidak ingin bekerja di sana," jawabnya.
"Bagus kalau begitu! Ayo kita makan dulu, sudah terdengar ususmu itu belingsatan," kelakar Yok Seng.
Memerah wajah Gu Yo itu. Malu ia akan ususnya yang tidak sungkan-sungkan untuk menyuarakan isi hatinya. Lapar.
Yok Seng tidak menyuruhnya duduk di depan, tempat orang-orang yang sedang menjadi pelanggan kedai itu makan, melainkan mengajaknya terus ke belakang, ke suatu ruangan besar yang berfungsi sebagai dapur dan juga tempat orang-orang pekerja kedai itu berkumpul. Di sana ada sebuah meja besar dan panjang yang dipenuhi berbagai macam benda. Di keempat sisi meja tersebut terdapat kursi panjang tanpa sandaran. Entah berapa jumlahnya. Satu kursi bisa muat empat sampai lima orang kiranya.
"Ini Ma She," ucap Yok Seng kepada Gu Yo, "kepala koki di sini. Dan juga yang bertanggung jawab jika aku tidak ada."
"Ma She, pemuda ini akan kerja sini mulai hari ini. Kasih dia makan terus atur tugasnya. Oh, ya untuk hari ini kasih dia waktu nanti jam empat untuk keluar sampai jam lima. Ada keperluan dia di Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To," sambil tak lupa Yok Seng memberi tahu.
Ma She hanya mengangguk. Orangnya tak banyak senyum. Tapi wajahnya ramah. Mukanya lebar dan besar. Tubuhnya tak terlalu tinggi. Tulang tangan dan kakinya lebar-lebar, sehingga tampak gemuk padahal tidak.
"Siapa namamu?" tanyanya singkat kepada Gu Yo setelah Yok Seng meninggalkan mereka untuk memeriksa pekerjaan lain-lain yang dilakukan lain orang.
"Gu Yo!" jawab pemuda itu pendek.
"Duduk di sini dan makan semampumu," katanya kemudian sambil mengangsurkan piring kosong lebar. Piring paling lebar yang pernah dilihat Gu Yo. Hampir sebesar nampan bundar.
Saat Gu Yo terlihat agak ragu-ragu mengisikan lauk dan juga nasi ke dalam piringnya, Ma She dengan cekatan mengambil sejumput besar nasi dengan sendok besar dan dua kerat daging seukuran dua kepalan tangan dan meletakkan di piring Gu Yo. Tak lupa diambilnya dengan sumpit sejumput sayur-sayuran dan terkahir dituangkannya saus merah harum di atas dua kerat daging tersebut.
Takjub Gu Yo melihat hidangan yang harus disantapnya itu. Dan semakin takjud saat masih Ma She berkata, "kalau kurang, tambah lagi!" Ia juga tak lupa meletakkan sendok, garpu, pisau, sumpit. Ia tidak menanyakan alat makan apa yang biasa digunakan oleh Gu Yo, hanya meletakkan semua yang biasa digunakan.
Setelah Ma She berlalu dari sana, mulailah Gu Yo menyantap hidangan yang ada dalam piring jumbonya itu. Mula-mula dicobanya daging keratan pertama yang berwarna lebih gelap dari keratan kedua. Dengan sumpit gumpalan daging keras itu tak bisa diceraikan. Lalu dicobanya dengan menggunakan sendok. Juga tidak bisa.
Saat itu lewatlah seorang gadis. Melihat kesulitan Gu Yo dalam menyantap penganannya, ia pun berkata, "Bisa" Perlu dibantu?"
Gu Yo hanya menggangguk.
Tanpa dipersilakan gadis itu dengan duduk di samping Gu Yo. Begitu dekat sehingga hidungnya bisa mencium keharuman keringatnya yang tercampur dengan semerbak masakan-masakan. Suatu sensasi yang belum pernah ditemuinya. Lain dengan semerbak wangi tunangannya dulu.
Ucapan sang gadis membuyarkan lamunan sesaat itu, "Begini caranya: tangan kanan memegang pisau, tangan kiri memegang garpu." Lalu diperagakannya cara memantapkan daging agar tidak bergulir untuk kemudian dipotong dengan pisau. Satu bagian Potongan telah lepas dan sisanya masih tertancap pada garpu. Dipotongnya lagi potongan yang masih tertancap berulang kali sehingga tersisa seukuran setengah telur ayam. Lalu dengan jenaka gadis itu mengucapkan, "jika sudah cukup kecil, langsung dimakan." Dan "Hap!!" daging tersebut lenyap di mulut mungilnya yang menawan. Gu Yo hanya dapat melongo melihat hal itu.
"Eh, terus nasi ini gimana?" masih bingung dirinya bagaimana bisa makan nasi menggunakan garpu dan pisau tersebut.
Alih-alih menjawab, si gadis menyisir nasi dalam piring besar itu ke arah garpunya menggunakan pisau, memadatkan sedikit di atasnya dan menggerakkan garpu yang sudah berisi nasi itu ke arah mulutnya. Dan kembali "happ!" lenyap di balik mulutnya.
"Ah, begitu!" sahut Gu Yo menggangguk-angguk. "Bisa juga iisau digunakan seperti itu." Suatu pengalaman baru lagi yang didapatnya di tempat ini.
"Ma Siang!" tiba-tiba terdengar suara mengguntur di belakang mereka. Si gadis dengan cepat bangkit dan bergegas pergi. Sambil tak lupa berucap, "selamat makan!!"
Ma She yang tiba-tiba berada di sana, tampak menggeleng-gelengkan kepala. Ia kebetulan saja melihat gadis itu bersama dengan Gu Yo. Dan seperti yang diduganya, sedang mengerjai Gu Yo.
"Sudah habis makanmu?" tanyanya setelah sampai di samping pemuda itu.
"Eh, belum, paman!" jawabnya. "Masih belum bisa pakai garpu dan pisau ini. Untung ada gadis itu tadi yang mengajari."
"Ma Siang" Mengajari?" tersenyum Ma She mendengar itu, walaupun ia tahu bahwa gadis itu mungkin memang mengajari Gu Yo, tapi pasti ada sesuatu yang dinakalinya.
"Iya, paman!" jawab Gu Yo sambil memperagakan cara makan yang diajari oleh Ma Siang. Bagaimana ia memotong daging, menyuapnya dengan garpu di tangan kiri dan memadatkan nasi pada garpu dengan pisau di tangan kanan dan menyantapnya.
"Bagus kalau begitu. Ayo, habiskan makananmu! Kerjaan sudah menunggu," ucapnya kemudian. Ma She masih berpikir-pikir apa yang telah dikerjakan oleh Ma Siang. Masak cuma itu, benar-benar mengajari. Tapi saat ini bukan waktunya. Ia pun kembali membiarkan pemuda itu menyantap makan siangnya.
Setelah diajari oleh Ma Siang, Gu Yo dapat dengan mudah menyantap hidangannya. Kuah atau saus merah harum yang tergenang pun dapat dengan mudah disisirnya, atau sayur yang harus dipotong dulu, ke atas daging atau nasi yang telah siap untuk untuk diangkat oleh garpu. Gu Yo pun mulai dapat menikmati makan siangnya dengan cara itu. Cara makan yang baru, menggunakan alat makan yang belum pernah dialaminya. Biasanya ia hanya makan menggunakan tangan kosong saja.
Setelah habis ia pun sedikit mengelus perutnya yang telah terisikan. Kenyang dan tenang. Dibawanya piring bekas santapannya itu ke suatu sudut, di mana ia melihat beberapa orang sedang mencuci alat-alat makan. Saat seorang menunjukkan padanya tempat untuk meletakkan piring kotor beserta garpu, sendok, sumpit dan pisaunya, Gu Yo pun mengikuti dan meletakkannya di sana. Terpisah, masing-masing ada wadahnya sendiri-sendiri.
Saat ia bingung tentang apa yang harus dikerjakannya, seorang menggapai bahunya. "Ikut aku!" katanya.
*** Dua orang tua tampak sedang duduk-duduk di depan sebuah gubuk di tengah hutan. Seorang wanita tua dan lainnya lelakit tua. Nenek Po dan kakek Gu, kedua orang yang sebelumnya telah merawat luka Gu Yo atau Paras Tampan akibat merapal ilmu Jarum Terbang Debu Pasir yang belum dikuasainya dengan benar.
"Heh, kakek Gu! Apa yang kamu pikirkan" Sedari Gu Yo pergi ke kota Siaw Tiong Goan, kau banyak sekali berdiam," ucap nenek Po terhadap orang sedang duduk tak jauh darinya itu.
"Hmmm...," jawap kakek Gu pendek. Ucapan yang kiranya menandakan bahwa pikirannya masih mengembara ke sana kemari dalam alam khayalannya sendiri.
"Ya, sudah! Aku mau masak dulu, sebentar lagi kita makan bareng," ucap nenek Po kembali sambil bangkit dan berbalik masuk ke dalam pondoknya. Sibuk ia kemudian mengaduk-aduk kuali besar yang menebarkan di udara suatu keharuman menggoda lambung. Keharuman akan kelezatan yang tidak akan didiamkan begitu saja oleh cacing-cacing penghuni perut. Segera mereka akan berontak minta diasup.
Kakek Gu, sepeninggal nenek Po, masih saja tenggelam dalam lamunannya. Dan benar seperti perkataan nenek tersebut, bahwa ia terlamun-lamun ada kaitannya dengan pemuda yang disebut-sebut itu. Gu Yo. Ia terpikir akan pemuda itu. Entah bagaimana, ada hal yang menarik dari pemuda itu, sehingga tetap lekat pada ingatannya.
Ia masih teringat bagaimana ia yang saat itu sedang bertarung sengit dengan Su-Mo ditolong oleh pemuda itu. Tetapi akibat ilmu mujijat yang dirapalnya yaitu Jarum Terbang Debu Pasir, suatu ilmu dasyat yang dapat mengubah butir-butir debu di sekeliling perapalnya menjadi padat dan berbentuk jarum untuk diterbangkan menyerang sang lawan, yang melukai sang pemuda sendiri karena belum benar-benar menguasainya. Di situlah perkenalan antar keduanya dimulai.
Dengan dibantu nenek Po, kakek Gu mencarikan daun-daun obat untuk ramuan kesembuhan pemuda itu, yang kerap dipanggil "anak Yo" oleh kakek Gu. Sampai akhirnya ia diberi nama dengan she kakek Gu, menjadi Gu Yo. Nama yang juga memudahkan perjalanan anak tersebut di kota Siaw Tiong Goan, suatu kota di mana penduduknya kerap berasal dari Tlatah Tengah (Tionggoan) yang kadang sulit untuk melafalkan nama dari tempat lain, dalam rangka mencari keturunan dari Ceng-Liong Hui-To.
Lamunan kakek Gu terhenti saat beberapa orang memasuki halaman rumah nenek Po. Orang-orang dengan tubuh-tubuh kekar dan kasar. Diantara mereka terdapat empat orang yang sekilas terlihat berbeda karena langkahnya yang lebih ringan dan berisi. Orang berilmu.
"Zahnloserbauer (Petani Ompong), saatnya kita putuskan perhitungan kita! Utangmu padaku harus lunas hari ini," ucap seorang dari mereka, yang berwajah agak gelap. Hek-Mo, salah seorang dari Su-Mo (Empat Setan).
Kakek Gu yang saat itu sedang menerawang pada sosok Gu Yo, sontak terkoyak, ia pun menoleh, memperhatikan benar-benar kedelapan orang yang ada di hadapannya sekarang. Empat orang Su-Mo dan empat orang baru yang belum pernah ditemuinya. Akan tetapi melihat dari tongkrongan dan busana yang dikenakan, ilmu keempat orang yang baru dilihatnya ini tidak lebih tinggi dari Su-Mo. Meskipun demikian jumlah yang berlipat dua ini pasti akan menjadi masalah baginya, karena dulu dengan hanya berempat, jika tidak dibantu oleh Gu Yo, ia tidak mungkin memang. Apalagi sekarang.
Kakek Gu bukanlah takut untuk mati. Konsekuensi perbuatannya yang membela para petani yang diharuskan membayar "pajak" kepada Su-Mo dan kaki-tangannya, akan dihadapinya dengan jantan. Tapi adanya suatu rahasia yang mesti disampaikannya kepada Gu Yo, yang merisaukan hatinya. Ia menyesal kenapa tidak dulu-dulu hari ia ceritakan hal tersebut kepada pemuda itu.
"Su-Mo, bagaimana keadaan kalian" Sudah baikan?" tanyanya menggoda sambil mengulur-ulur waktu untuk memikirkan suatu siasat agar dapat meninggalkan pesan pada Gu Yo.
Orang yang ditanya sudah tentu memerah wajahnya. Itu bukan pertanyaan yang menandakan keingintahuan mencari kabar, tetapi lebih merupakan ejekan karena dilontarkan oleh orang yang menjadi lawan dan penyebab keadaan mereka "tidak baik" yang ditekankan dengan "sudah baikan".
Hek-Mo, seorang dari Su-Mo yang terkenal dengan keberangasannya, tidak biasanya berdiam diri. Rupanya hampir remuknya telapak kakinya akibat tendangan cangkul kakek Gu, si Petani Ompong, membuatnya lebih mawas diri akan siapa yang dihadapinya saat ini. Hanya napasnya saja yang berderu-deru, menunjukkan emosi yang telah meningkat.
Alih-alih Su-Mo yang menjawab, keempat orang yang baru hari itu dilihat kakek Gu yang mengambil pembicaraan, kata seorang dari mereka, "Salam, orang tua yang bergelar Petani Ompong. Kami Empat Begal Hutan datang untuk mencoba-coba kemampuanmu."
"Hmm," jawab kakek Gu pendek, "apa hubungan kalian dengan Su-Mo?"
"Su-Mo menjanjikan pekerjaan penarikan pajak di daerah ini bagi kami, bila kami bisa menundukkan dirimu, wahai orang tua!" jawab yang ditanya.
Mengangguk-angguk kakek Gu mendengar penjelasan itu, "baiklah, sudah jelas kedudukan kita masing-masing. Aku berada pada pihat petani yang keberatan akan pajak yang berlebihan besarnya, dan kalian berada pada pihak Su-Mo yang berlaku sebagai penarik pajak."
Tiba-tiba percakapan itu terhenti oleh terbukanya pintu pondok dan keluarnya nenek Po. "Ah, banyak tamu ternyata! Mari-mari, sebelum 'berdiskusi', kita isikan dulu perut yang meronta-ronta!" Entah bagaimana, nenek Po seakan-akan tahu akan kedatangan kedelapan orang itu, sehingga ia telah membawa sebuah nampan besar berisikan sepuluh buah mangkok besar. Setengah semangka ukurannya. Bisa dibayangkan adanya suatu "keahlian" karena ia membawa nampan yang panjangnya seukuran peti mati dan di atasnya terdapat sepuluh mangkok besar-besar berisi sup.
Tamu-tamu tak diundang yang datang untuk menagih "utang" dengan kakek Gu, entah bagaimana hanya bisa menurut dan bersama-sama menuju sebuah meja panjang yang terletak di depan pondok nenek Po. Semuah meja kayu besar bundar yang dilengkapi dengan enam belas kursi.
Setelah nenek Po selesai melempar-lemparkan mangkok-mangkok yang "terbang" dan mendarat dengan sunyi di kesepuluh tempat dari enambelas tempat yang ada, orang-orang itu duduk pada tempatnya masing-masing. Delapan buah tempat duduk pada sebelah sisi telah terisi. Dua buah pada sisi yang berlawanan ditempati oleh nenek Po dan kakek Gu.
Dan mereka pun mulailah makan. Sunyi. Hanya suara-suara menyeruput yang terdengar sesekali dan juga kunyahan ringan serta telanan sepi bahan-bahan dalam sup nenek Po.
Setelah makan semuanya duduk lemas, kenyang dengan apa-apa yang ada dalam sup nenek Po. Setelah semua perabotan makan dibereskan dan meja kembali kosong seperti semula, kakek Gu mulai angkat bicara, "Ah, enaknya perut telah kenyang, Su-Mo dan kalian Empat Begal Hutan, mari kita bicarakan 'urusan kita' sekarang."
Kelompok lawan bicaranya yang duduk di separuh meja sana mengangguk-angguk. Hek-Mo yang biasanya berangasan tampak agak terkantuk-kantuk. Puas rupanya ia telah terisi perutnya, sehingga napsu membalas dendamnya agak berkurang.
Seorang dari Empat Begal Hutan berkata, "Wahai orang tua, terima kasih atas jamuanmu. Benar seperti yang diberitakan di tanah Alemania, bahwa Zahnloserbauer tidak membeda-bedakan kalangan. Semua dijamu baik, dengan makanan maupun dengan pedang dan tendangan serta pukulan. Kami merasa tersanjung atas kehormatan ini."
"Tidak, tidak..," kata kakek Gu sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya, "tidak perlu sungkan-sungkan. 'Jamuan' selalu siap tersedia bagi tamu-tamu kami. Mari kita langsung pada permasalahannya."
Setelah itu, keempat orang Empat Begal Hutan diikuti oleh Su-Mo berdiri dan mengambil tempat di suatu tempat terbuka tidak jauh dari sana. Mengikuti dari belakang kakek Gu dan nenek Po. Keduanya tampak senyam-senyum di antara mereka, menganggap 'urusan' seperti ini adalah suatu yang 'biasa'.
Keempat orang Empat Begal Hutan lalu mengambil posisi mengepung kakek Gu saat ia berdiri di tengah tempat terbuka tersebut. Su-Mo hanya tampak memperhatikan dari pinggir. Ya, Su-Mo ingin terlebih dahulu melihat kemampuan orang-orang yang menawarkan diri untuk menjadi penarik pajak bagi mereka. Jika tidak mampu menundukkan kakek Gu, apalah gunanya Empat Begal Hutan ini, pikir mereka.
"Wahai orang tua, bukannya kami tidak sopan, tapi kami biasa bertempur berempat. Bila engkau keberatan, katakan saja," ucap seorang dari Empat Begal Hutan tersebut pada kakek Gu.
Kakek Gu hanya menggeleng ramah, lalu ia pun menggerakkan tangannya sedikit, seperti mengucapkan, "silakan mulai!"
Kelimanya pun mulai berlaga. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mulai dilemparkan oleh yang punya. Tulang beradu tulang. Empat Begal Hutan, sebagaimana kakek Gu adalah orang-orang yang ahli menyerang dengan tangan kosong. Tenaga kasar dan otot. Walaupun demikian, gerakan-gerakan mereka cukup bagus dan kompak. Mengejar setiap ruan kosong yang akan dimasuki oleh kakek Gu. Dalam sepeminum teh, terlihat bahwa kakek Gu hampir-hampir tidak memperoleh ruang untuk bernapas.
Su-Mo tampak senyam-senyum melihat ketangguhan Empat Begal Hutan yang akan menjadi penarik pajak bagi mereka. Serangan keempatnya cukup bagus, bahkan cenderung bagus. Dengan hanya pukulan dan tendangan mereka dapat mendesak kakek Gu sedemikian rupa apalagi bila menggunakan senjata. Sebenarnya tingkatan Su-Mo dan Empat Begal Hutan tidaklah berbeda jauh. Perbedaan ini hanyalah karena Su-Mo seringkali menggunakan senjata tajam golok, sedangkan Empat Begal Hutan hanya kepalan dan tendangan. Kelebihan tipis yang tidak terlalu berarti bagi orang-orang yang telah tinggi ilmu silatnya. Selain itu Empat Begal Hutan masih terhitung belia, baru belasan tahun apabila dibandingkan dengan Su-Mo yang telah tiga puluhan tahun.
Su-Mo sebenarnya sudah agak gatal pula untuk turun tangan melihat pertarungan yang seimbang itu, tapi mereka masih menanti-nanti kemunculan pemuda yang dulu melukai Hek-Mo dan Pek-Mo. Mereka perlu berhati-hati bila orang yang diwaspadai itu terlihat batang hidungnya.
*** Pukul empat kurang sepuluh menit saat itu. Gu Yo telah berada kembali di jalan raya. Ia telah meminta ijin kepada Ma She yang telah diberitahu sebelumnya oleh Yok Seng, sang pemilik Kedai Daging Bakar, bahwa ia diberikan waktu luang antara jam empat dan jam lima untuk keperluan memenuhi janjinya. Janji untuk menemui nona Sian Lin di Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To.
Kedai Daging Bakar dan Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To terletak pada jalan besar yang sama. Akan tetapi tidak terlalu berdekatan. Ada persimpangan jalan yang memisahkan keduanya. Selain itu keduanya berada pada sisi jalan yang berseberangan.
Karena ia telah cukup memperhatikan jalan yang dilalui tadi dari Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To sampai tiba ke Kedai Daing Bakar, Gu Yo dapat dengan mudah menemukan tempat itu kembali, tanpa perlu bertanya-tanya kepada orang-orang yang berpapasannya di jalan.
Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To tampak lebih sepi dari pada tadi siang saat ia pertama kali dalam hidupnya membuat janji. Penjaga yang tadi menyapanya pun sudah tidak kelihatan juga gadis yang tadi menuliskan janjinya. Sekarang seorang pemuda juga berbadan tegap dan gadis lain yang juga manis untuk dilihat tampak menggantikan tempat mereka bertugas.
Dengan meniru pada cara satu dua orang yang datang, menegur sapa terlebih dahulu sang penjaga untuk kemudian mencocokkan janji, nama pengunjung dan nama yang dikunjungi atau membuat janji baru, Gu Yo pun melakukannya. Karena sikapnya yang baik dan mirip orang-orang tersebut, kedua petugas itu, sang penjaga dan gadis pencatat janji, tidak menyadari bahwa Gu Yo tadi pagi adalah orang yang sama sekali belum mengetahui tata cara mengunjungi penghuni Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To.
Ruangan itu lebar dan terang. Di sana-sini tampak sekat-sekat ruangan sehingga ruangan yang berlangit-langit lebar itu menjadi bersegmen-segmen terkotak-kotakkan secara acak oleh sekat-sekat tadi. "Mungkin ini yang disebut labyrinth," pikir Gu Yo. Ia tadi dibawa ke ruang ini oleh seorang gadis penunjuk jalan, selepas janjinya untuk bertemu nona Sian Lin dicocokkan.
Pada masing-masing panel baik langsung pada dinding maupun sekat tampak semacam obyek mirip lukisan atau ukiran pada alas dua dimensi yang berlatar belakang warna kecoklatan, kadang kekuningan atau agak gelap. Gambar yang terlihat kadang berupa naga, tulisan kaligrafi ataupun obyek-obyek lain. Kadang sederhana berwarna satu atau pun berwarna banyak. Di bawah benda-benda tersebut selalu diawali dengan kata "Tato".
"Bagaimana, apakah anda menyukainya?" ucap sebuah suara merdu yang memecahkan lamunan Gu Yo yang sedang menikmati atau sekedar melihat-lihat obyek-obyek pada panel-panel tersebut.
"Eh, anu..," jawab Gu Yo gugup. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ini merupakan pengalaman pertamanya berada dalam suatu ruang dengan dihiasi banyak benda-benda yang memberikan nuansa tersendiri. Benda seni menurut beberapa orang.
"Halo, saya Swee Sian Lin, ada urusan apa anda ingin bertemu dengan saya?" tanyanya sambil mengangsurkan tangannya. Gu Yo yang bingung hanya menjura. Ia tidak tahu bahwa di beberapa tempat, orang kadang bersalaman saat pertama kali berkenalan.
Melihat itu sang gadis hanya tersenyum. Lalu katanya, "Ah, anda pasti dari kalangan pesilat, melihat cara anda memberi salam."
Gu Yo hanya mengangguk saja. Bingung.
"Mari silakan melihat-lihat!" ucap gadis itu kemudian saat melihat bahwa Gu Yo masih kikuk dengan pertemuan mereka.
Lalu dengan lugas dan menawan gadis itu menerangkan bahwa obyek-obyek yang dilihat Gu Yo adalah tato atau rajah. Lukisan yang digambarkan di atas tubuh orang. Digambar dengan menggunakan jarum yang dibubuhi ramuan dan ditorehkan di atas kulit sang pemiliki. Suatu proses yang menyakitkan tapi menurut mereka tak sebanding dengan keindahan serta kepuasan yang diperoleh kemudian.
Saat Gu Yo memastikan bahwa apa yang disajikan sebagai obyek seni tersebut adalah benar-benar kulit manusia, dengan ringan gadis itu mengiyakan dan menambahkan bahwa dulu lukisan-lukisan ini merupakan koleksi seorang penjahat yang gemar mengoleksi tato. Tato dari seorang korban yang hidup. Bisa dibayangkan bagaimana menderitanya sang korban saat kulitnya dilepas atau dikletek untuk diambil tatonya. Tapi itu masa lalu. Saat ini sudah tidak ada lagi hal-hal semacam itu. Dilarang oleh hukum.
Manggut-manggut Gu Yo mendengarkan penjelasan tersebut. Baginya seni bukan merupakan sesuatu yang benar-benar penting. Keindahan yang terpancar dari sang gadis lebih menarik untuk dinikmati. Tapi ia tahu diri dan tidak memandang terus-menerus terlalu lekat.
"Jadi, apa sebenarnya maksud kedatangan anda ke mari, menemui saya?" tanya gadis itu lagi setelah ia menjelaskan panjang lebar mengenai apa-apa yang umumnya diceritakan oleh seorang pemandu dalam suatu galeri atau musium.
"Itu, sebenarnya.., agak memalukan untuk diceritakan," jawab Gu Yo sambil tak bisa ditahan wajahnya pun sedikit memerah.
Swee Sian Lin benar-benar baru menemui seorang seperti Gu Yo hari ini. Sopan, sederhana dan kikuk akan tetapi tampan dengan perawakan yang bagus. Biasanya orang-orang yang datang menemuinya adalah tipe-tipe pesolek dan manis mulut. Memuji-muji akan tetapi tidak tahu apa yang dipuji, karena sebenarnya tujuannya adalah mencari nona Swee Sian Lin sendiri. Pemuda ini lain, walaupun ia tidak mengerti mengenai tato, tapi ia menyimak dan tidak berpura-pura mengerti.
Gadis itu pun menyadari bahwa Gu Yo juga memandang kagum pada kecantikannya. Sebagai seorang gadis yang sudah sering dipuji orang, ia bisa mengerti dari cara pandangannya. Walaupun demikian ia menyukai cara pemuda itu memandangnya, hanya kagum tetapi tidak kurang ajar. Pandangan kurang ajar adalah pendangan menjelajah yang seakan-akan mengerayangi seluruh tubuhnya, memandanginya seakan-akan membayangkan dirinya tanpa busana. Berdasarkan pengalaman Sian Lin dapat membedakan cara pandang seorang pemuda kepadanya.
"Eh, anu.., saya saat tadi pagi menjelang siang melihat orang yang sosoknya mengingatkan saya pada seseorang sehingga saya pun kemudian mengikutinya. Akan tetapi ternyata sosok itu bukan orang yang saya perkirakan, melainkan nona Sian Lin," jelas Gu Yo dengan wajah yang agak kemerahan. Jengah ia mengatakan hal yang sebenarnya itu.
"Siapa orang yang anda maksud itu?" tanya gadis itu ingin tahu.
"Tunangan saya," jawab Gu Yo pendek.
"Ah, saya mengerti sekarang. Jadi anda salah lihat orang," mengangguk-angguk gadis itu mendengar penjelasan sang pemuda. Rupanya hanya masalah salah lihat saja, sehingga pemuda itu sampai membuat janji untuk bertemu dengannya. Hanya untuk memastikan apakah dirinya adalah tunangan sang pemuda.
"Karena anda telah di sini, dan saya juga telah meluangkan waktu bagi anda, marilah kita tuntaskan melihat-lihat Rumah Tato Ceng-Lion Hui-To ini," usul sang gadis. Baginya tak jadi soal bahwa ternyata pemuda itu tidak memiliki keperluan sebenar-benarnya dengan dirinya.
Gu Yo hanya mengangguk mengiyakan. Ia sengan bahwa gadis itu tidak marah karena waktunya terbuang percuma.
Kemudian mereka pun berkeliling lagi dalam galeri itu, meninjau ruangan-ruangan yang terbentuk oleh panel-panel sekat yang tadi belum dirampungkan. Saat ini Gu Yo benar-benar menyimak apa-apa yang dijelaskan oleh gadis itu. Entah bagaimana, mungkin karena suara yang merdu dan juga caranya menjelaskan, dirinya menjadi lebih tertarik pada kisah-kisah di balik tato-tato tersebut.
"Ini tato seorang gadis panggilan, Bunga Merah. Ia dipesan oleh sang penjahat pengumpul tato. Kemudian ia dibunuh di ruangan tempat seyogyanya orang pelesir dalam rumah bordil dan ditinggalkan di sana mayatnya.. dan juga bayarannya plus bonus..," begitu salah satu dari cerita-cerita seram di balik pengumpulan bagian tubuh manusia yang berlukiskan macam-macam itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan histeris seorang wanita, "Ahhhhhh!!! Ada darahhh!!"
Bergegas Sian Lin diikuti oleh Gu Yo menuju sumber suara tersebut. Berbelok ke kiri dan ke kanan di antara panel-panel yang ada sampai mereka tiba di suatu lorong panjang yang tidak lagi menjadi bagian ruangan besar tadi, melainkan suatu bagian lain ruangan yang merupakan koridor dari dua ruang besar. Salah satunya ruangan tempat ia dan Sian Lin tadi berada.
Di tengah-tengah koridor itu tampak seorang gadis yang terduduk di salah satu dinding dan memandang dinding lain dihadapannya. Di sininya telah ada seorang pemuda, pemuda yang tadi pagi bertugas menjaga dan membantu Gu Yo membuat janji. Di hadapan gadis itu tampak sehelai tato segar, baru dan berdarah-darah pada panel diding. Ditempelkan sedemikian rupa sehingga melengkapi tato yang telah ada sebelumnya. Keduanya saat itu menjadi tato pasangan burung merak hitam dan putih.
"Nona Sian Lin, itu...!" tunjuknya dengan muka pucat. Dan tidak hanya ia, sang pemuda yang berusaha membantunya bangkit juga terlihat pasi saat melihat tato tersebut.
Tak luput dari pengamatan Gu Yo bahwa wajah Swee Sian Lin pun berubah, akan tetapi tidak sepucat kedua karyawannya itu.
"Dia datang kembali...!" ucap sang pemuda tak selesai karena lirikan mata Swee Sian Lin.
*** "Hidup membujang ada enak dan tidaknya, memang...," guman seorang pemuda yang tampaknya sedang memasak sesuatu di atas kompor. Badannya tegap, perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan wajah bulat dan selalu diselipi senyum yang ramah, membuatnya menarik untuk dilihat. San Cek Kong nama pemuda itu.
Ruangan tempat San Cek Kong berada tidak terlalu besar, hanya dua tombak kali dua tombak ukurannya. Di salah satu sudut ada tempat tidurnya yang ditemani dengan sebuah lemari kayu besar. Di sudut lain ada kotak kecil yang berfungsi sebagai jamban dan juga tempat mandi menggunakan pancuran. Tak jauh dari kotak mandi tersebut adalah tempat ia berdiri sekarang, dapur kecil. Tempat ia memasak masakan sehari-harinya. Ia biasa pulang saat waktu makan dan masak serta makan sendiri di rumah. Tidak seperti teman-temannya yang biasanya diberi bekal oleh istri-istrinya dan memakan bekalnya di tempat mereka bekerja.
Saat ia sedang menjerang sayur-sayuran untuk ditumis. Tiba-tiba berdering dan berderu selang besi yang ada di depan meja kerjanya. Atau tepatnya meja serba-serbi. Ia makan, bekerja dan juga membaca-baca di atas meja tersebut.
Selang besi yang dikenal orang sebagai Selang Surat. Suatu selang atau pipa tepatnya yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain, yang di dalamnya dengan menggunakan tekanan udara dari suatu mesin, dapat mengantarkan surat yang terlebih dahulu dimasukkan dalam suatu tabung dari kayu. Tabung ringan dan kuat, yang akan terhembus dengan cepat oleh udara bertekanan tinggi, dan dialirkan ke tempat tujuan. Sebuah teknologi surat mekanik.
Bergegas ia beranjak ke meja tersebut, dicari-carinya di mana ujung selang atau pipa besi yang berada di atas meja, yang telah tertutup oleh timbunan kertas-kertas dan buku-buku itu. Akhirnya berhasil didapatkannya. Di ujung selang tersebut tersembul sebuah gulungan kecil surat. Lubang gulungan surat itu pas dengan ukuran ibu jari orang dewasa.
Warna penanda gulungan surat itu hitam. Kematian. Warna yang dilukiskan pada sisi gulungan sehingga berlaku seolah-olah pita pengikat gulungan itu. Pengikatnya sendiri adalah seutas benang berwarna sembarang.
"Pembunuhan atau bunuh diri, ya?" gumam San Cek Kong, sambil ia menggigit sendok pencicip makanan yang saat itu sedang dipegangnya dan membuka surat itu dengan tangannya yang lain. Berubah matanya saat membaca isi dari surat itu. Bukan karena kasus itu sendiri melainkan lokasi tempat kasus itu terjadi. Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To.
Jarang-jarang terjadi kasus pada suatu tempat seterkenal Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To. Di sana umumnya hanya dipamerkan lukisan berupa tato-tato pada kulit manusia yang langka dan mahal. Suatu koleksi yang saat ini telah dilarang karena berkaitan dengan rasa kemanusiaan. Ya, siapa orang yang rela kulitnya ditato untuk kemudian dikletek dan dijadikan pajanganan. Sudah tentu dulunya koleksi-koleksi itu didapatkan dengan cara yang tidak manusiawi dan legal.
Dan dalam surat itu tertera bahwa suatu "koleksi baru" telah dipasang orang di dekat sebuah tato. Sebuah kulit yang masih segar dan mengeluarkan darah. Suatu cara yang tak lazim untuk menandakan adanya suatu kasus pembunuhan. Dengan kata lain, belum tentu terjadi pembunuhan, bisa saja korbannya, sang pemilik tato masih hidup, walau dalam keadaan kritis. Untuk itu kasus ini memang memerlukan penanganan sesegera mungkin.
Dengan tatapan sedik San Cek Kong memandang sayuran yang baru dimasaknya. Makan siang yang sudah jauh telat dari waktu seharusnya pun tak bisa dinikmatinya. Tak ada lagi waktu untuk makan sekarang. Ia hanya mengambil sepotong daging setengah kepal dari sayur telah masak itu, menjejalkannya ke dalam mulut dan bergegas memakai seragam dinasnya. Seragam seorang Paturan (penegak aturan atau polisi).
Dengan langkah ringan karena rapalan gerak Terbang Menyentuh Ujung Rumput, San Cek Kong segera sampai pada tempat kejadian. Ia tidak terlebih dahulu ke kantornya, Rumah Jaga Ceng-Liong Hui-To, melainkan langsung ke tempat kejadian. Dari surat yang diterimanya, dikatakan bahwa para rekannya telah dalam perjalanan ke tempat peristiwa tersebut terjadi. Jadi tidak ada gunanya ia pergi terlebih dahulu kembali ke kantor, meskipun buku catatan yang biasa digunakannya ada di sana.
*** "Hai Inspektur San Cek Kong, cepat sekali anda datang!" sapa seorang pegawai Paturan kota Siaw Tionggoan, Ang Tiong namanya. "Rasanya baru saja saya kirimkan anda surat mekanik. Saya perkirakan anda seharunya masih dalam perjalanan," lanjutnya kemudian.
San Cek Kong atau tepatnya Inspektur San Cek Kong tidak terlalu menghiraukan ucapan itu melainkan langsung meminta catatan situasi di lapangan yang telah dirangkum oleh Ang Tiong. Dengan sigap pegawai Paturan tersebut menyerahkan sebundel kertas-kertas bertuliskan tangan berbeda-beda. Hasil catatan beberapa orang mengenai peristiwa yang terjadi. Orang-orang yang bekerja dalam tim forensik pimpinan Ang Tiong.
Dari catatan para rekannya yang bertugas pertama-tama mengumpulkan bukti-bukti forensik di lapangan, tidak banyak informasi yang bisa diserap San Cek Kong, kecuali posisi tempat terdapatnya tato segar yang masih berdarah, saksi-saksi dan waktu kejadian. Korbannya sendiri, bila memang ada, belum ditemukan atau bisa diindikasikan. Pada jaman itu, tato tidak lagi menjadi tren, sehingga sulit untuk mencari keterangan mengenai hal itu secara cepat.
Selain itu ada hal lain pula yang membuat San Cek Kong tertarik untuk menuntaskan masalah ini, yaitu siapa lagi jika bukan nona Swee Sian Lin, pemilik Rumah Tato Ceng-Liong Hui-To, tempat kejadian itu berlangsung. Antara keduanya tidak terdapat hubungan khusus kecuali bahwa keduanya dulu pernah bersekolah bersama-sama di suatu perguruan silat yang kebetulan juga tempat seorang yang namanya digunakan pada kedua tempat mereka bekerja sekarang, Ceng-Liong Hui-To. Perguruan silat tanpa nama itu terletak di sebuah bukit di luaran kota Siaw Tionggoan. Agak desa suasananya, jauh di arah barat dari kota.
"Cek Kong-koko!" sapa Sian Lin saat melihat San Cek Kong masuk ke dalam ruangan tempat ia sedang menenangkan pegawainya yang menjadi saksi ditemukannya tato burung merak hitam yang masih segar, yang melengkapi tato burung merak putih yang telah ada sebelumnya. Gu Yo saat itu telah kembali ke Kedai Daging Bakar karena waktunya untuk rehat di sela-sela pekerjaannya telah habis. Tapi ia telah dipesankan oleh seorang paturan bahwa sekali-kali ia akan dipanggil untuk diminta keterangan, karena ia pada saat tersebut berada di tempat kejadian.
"Sian Lin-moymoy, engkau baik-baik saja?" tanya Cek Kong kepada gadis itu. Gadis itu mengangguk mengiyakan sambil menunjuk pada pegawainya yang kelihatannya masih dalam keadaan stres akibat penemuan tato segar tersebut. Ya, tidak setiap orang siap dengan keadaan tersebut, apalagi bila yang ditemui dalah mayat korbannya dan bukan hanya kletekan kulitnya yang bertato.
Tak banyak informasi tambahan yang diperoleh San Cek Kong, tim forensik pimpinan Ang Tiong telah bekerja sangat baik. Semua pihak, kecuali gadis yang sedang stres dan masih sesengukan itu, telah ditanyai. Dan saat ditanya ulang oleh San Cek Kong, keterangan mereka tidak banyak berbeda.
"Eh, katamu tadi engkau mendapat tamu?" tanya Cek Kong kemudian pada Sian Lin.
"Ya, ada seorang pemuda, Gu Yo namanya. Ia bekerja di Kedai Daging Bakar paman Yok Seng di seberang simpang jalan sana, masih jalan yang sama," jelas gadis itu.
"Tentu saja aku kenal Kedai Daging Bakar paman Yok Seng, sering kami makan-makan di sana. Selain lezat, harganya juga agak terjangkau bagi kantung kami-kami ini, pegawai paturan," senyum Cek Kong. "Bagaimana bila kita makan malam di sana, kebetulan aku belum sempat makan siang, dan eh -- sekalian berbicara dengan pemuda itu, Gu Yo 'kan namanya?" usul pemuda itu kemudian.
Gadis itu menggangguk mengiyakan.
Setelah sedikit melihat-lihat tempat kejadian tersebut, mencatat hal-hal yang dipikirkan agak janggal di tempat kejadian, Cek Kong pun pamit pada rekannya sesama paturan. Ia kemudian berjalan bersama nona Sian Lin menuju Kedai Daging Bakar, tempat di mana Gu Yo bekerja.
*** Perbedaan usia dalam suatu pertempuran akan menampakkan hasilnya apabila telah berjalan cukup lama. Dulu waktu kakek Gu bertarung dengan Su-Mo setelah lama berlangsung, mulailah kakek Gu terlihat terdesak karena perbedaan usia. Tapi saat itu perlu beberapa saat mengingat usia Su-Mo yang kira-kira telah setengah usia kakek Gu. Saat ini dengan Empat Begal Hutan yang usianya baru kira-kira seperempat usia kakek Gu, lebih cepat kakek Gu mengalami kelelahan. Ia mencoba untuk tidak terlalu menggunakan kecepatan dan tenaga. Bergerak hanya saat-saat diperlukan saja. Untung keempat orang lawannya itu hanya menggunakan tendangan dan pukulan, sehingga ia tidak terlalu terancam bahaya seperti saat dulu bertarung langsung dengan Su-Mo.
"Bukkk!" sebuah tendangan mendarat pada punggunggnya, yang membuat kakek Gu terdorong maju selangkah. Akibat ketidakwasapadaannya itu ia harus kehilangan beberapa saat yang menguntungkan. Dalam pertempuran dengan banyak lawan, satu langkah yang salah, harus dibayar dengan tiga sampai empat pukulan. Dan benar saja, "Desss!!" sebuah pukulan pun masuk ke dalam perutnya, ini akibat langkah maju yang seharusnya tidak dilakukannya tadi. Dan kemudian masih, "plakk!!" sebuah tamparan mengenai pinggang kanannya.
Untuk mengakhiri kedudukannya yang tidak menguntungkan itu kakek Gu pun merendahkan dirinya, memasang kuda-kuda dengan kaki lebar terpentang. Ia akan menyerang kaki-kaki para lawannya itu dengan tumitnya, seperti dulu saat ia gunakan jurus itu untuk menyerang Hek-Mo, yang hampir meretakkan tulang atas telapak kaki dari Hek-Mo tersebut.
"Hati-hati tendangan pacul rendahnya!" tiba-tiba Hek-Mo berucap. Ia yang pernah mengalami sendiri keampuhan jurus itu tanpa sadar berucap.
Mendengar kata-kata tersebut keempat orang Empat Begal Hutan melambatkan geraknya, berhati-hati terhadap serangan mendadak kakek Gu. Akan tetapi sayang ucapan itu telat, belum sempat mereka berempat sadar apa yang akan dikeluarkan oleh kakek Gu, sang penyerang telah bergerak. Cepat. Kiranya dengan sisa-sisa tenaganya kakek Gu mengharapkan setidaknya ada satu dua kaki yang bisa remuk oleh tumitnya. Tumit si Zahnloserbauer.
Tusuk Kondai Pusaka 8 Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Sepasang Pedang Iblis 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama