Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Bagian 5
Tapi bersama Ki Sudireja, Purbajaya jelas tak mau berdebat soal ini sebab dirasa tak akan bersinggungan. Yang dia lakukan hanyalah bertanya itu-ini perihal keberadaan orang tua itu selama ini. Mengapa dia mengejar terus pasukan siluman"
"Sudah aku katakan kalau aku tengah memperebutkan seorang anak dengan kelompok itu," jawab Ki Sudireja pendek.
"Oh, ya. Saya dengar engkau membicarakan seorang anak. Anak siapakah gerangan?" tanya Purrbajaya penuh perhatian.
"Anak itu kelak akan kudidik guna melawan Pajajaran," jawab pula Ki Sudireja. Nampak ada hawa kebencian di wajahnya yang gelap.
"Oh, ya ... "
"Kasihan Si Pragola, bagaimana pula nasib anak itu kini?" keluhnya.
"Kalau dengar percakapan, anggota pasukan siluman sepertinya tak akan mengganggu anak itu," Purbajaya berpendapat.
"Benar, anak itu tidak akan dianiaya. Tapi ada yang lebih kukhawatirkan selain itu. Anak itu khawatir dicekoki oleh kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentinganku," potong Ki Sudireja sedikit jengkel."Pasukan siluman pro Pajajaran. Aku takut anak itu dicekoki untuk menjadi orang Pajajaran. Lebih baik anak itu mati ketimbang menjadi orang Pajajaran," sambung lagi Ki Sudireja. Purbajaya melihat, betapa Ki Sudireja penuh kebencian terhadap Pajajaran.
"Yakinkah anda kalau pasukan siluman begitu bersimpati kepada Pajajaran?" tanya Purbajaya mengerutkan dahi.
"Mereka adalah kelompok yang bersimpati kepada Nyi Rambut Kasih yang mencoba bertahan dengan agama lama. Padahal siapa pun tahu, pusat kehidupan agama lama ada di Pajajaran. Kekuatan mana yang membantu keberadaan pasukan siluman kalau bukan dari Pajajaran?" kata Ki Sudireja yakin sekali.
"Pasukan siluman dibantu Pajajaran?" tanya Purbajaya lebih menyerupai sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
"Aku hanya katakan, ada kemungkinan pasukan siluman pun bersimpati kepada Pajajaran. Tapi bukan tak mungkin mereka pun sebetulnya dikendalikan oleh orang Pajajaran. Mereka ingin mempertahankan keberadaannya. Dengan demikian, mereka pun pasti ingin berbuat kekacauan di wilayah-wilayah negri agama baru," tutur lagi Ki Sudireja.
"Saya jadi ingin tahu bagaimana watak orang Pajajaran itu ... " gumam Purbajaya menatap ke kejauhan.
"Masyarakat Pajajaran pada umumnya punya disiplin mati yang terlahir dari pedoman agamanya," kata Ki Sudireja.
"Apa contohnya?"
"Mereka mempertahankan kejujuran kendati tahu kejujuran akan merugikan dirinya sendiri. Contohnya, selama mereka tak pernah mengganggu orang lain, mereka yakin orang lain pun tak akan mengganggu mereka. Selama mereka tidak menyakiti hati orang lain, maka orang lain pun tak akan menyakitinya. Mereka hidup bersahaja dan menerima apa adanya. Itulah sebabnya mereka tidak punya rasa iri dan dengki."
"Itu adalah sikap terpuji. Tapi apa hubungannya dengan pasukan siluman?" tanya Purbajaya bingung.
"Bukankah yang aku katakan tadi adalah sikap masyarakatnya" Sementara tidak begitu dengan orang-orang yang punya keserakahan dalam berpengetahuan. Semakin banyak memiliki pengetahuan, maka semakin banyak pula memiliki kehendak. Agar kehendak terlaksana, maka segala macam jerih-payah mereka lakukan. Maka bila tak berhasil dengan tindakan wajar, mereka gunakan tipu-muslihat. Perilaku jujur dan lugu yang jadi ciri khas orang Pajajaran, mereka gunakan sebagai tempat sembunyi. Jadi, kalau pasukan siluman demikian licik tindakannya dan selalu main sembunyi, siapa bakal menyangka kalau kekuatan mereka didukung Pajajaran?" tanya Ki Sudireja.
"Kalau begitu, jelas mereka dikendalikan oleh orang Pajajaran," potong Purbajaya.
"Maksudmu, tentu oleh orang yang telah memilikiakal-akalan (politik)," Ki Sudireja balik memotong,"Aku masih tetap punya keyakinan akan prinsip hidup masyarakat Pajajaran yang asli yang amat menjauhi kejahatan. Melakukan sesuatu sambil main sembunyi untuk merugikan orang lain adalah kejahatan. Dan mereka amat menjauhi sikap itu. Kalau berperang melawan musuh, maka mereka lakukan di tempat terang dan terbuka," sambung lagi Ki Sudireja.
Purbajaya tersenyum mendengar pendapat orang tua ini. Selintas memang kedengarannya cukup ganjil. Di lain pihak Ki Sudireja benci Pajajaran dan kalau ada yang mau hancurkan Pajajaran dia siap bantu, siapa pun adanya. Namun juga di lain pihak dia memuji-muji sikap hidup orang Pajajaran itu sendiri.
Kalau demikian halnya, maka Ki Sudireja ini sebenarnya orang yang pandai memilah-milah, tidak menggambar hitam di atas yang putih atau pun sebaliknya. Yang dia benci hanyalah para pejabatnya yang dikatagorikan Ki Sudireja sebagai kelompok yang sudah mengertiakal-akalan (politik), sementara masyarakatnya sendiri yang lugu dan bersahaja tetap dipujinya sebagai manusia yang memiliki perasaan kemanusiaan.
Namun demikian, apakah sudah pas pula penilaian Ki Sudireja ini" Mengapa kalangan bangsawan dan pejabat pun tidak dia pilah-pilah" Atau apakah memang benar semua pejabat di Pajajaran perangainya sudah sedemikian buruk karena mereka telah terbiasa dengan kehidupanakal-akalan " Purbajaya jadi teringat negrinya sendiri. Di Carbon banyak pejabat dan banyak yang sudah berkecimpung dalam kehidupan politik namun ternyata nilai keberadaannya masih bisa dipilah-pilah. Menurut penilaian Purbajaya, tak semua yang mengenal kehidupan politik jadi tidak memiliki nilai kemanusiaan, tapi juga memang banyak yang kenal kehidupan politik lantas perangainya menjadi buruk.
Dan karena hal ini seharusnya manusia tidak menilai buruk atau baik hanya karena orang bergelut dalam kehidupan politik. Nilai manusia akan didapat bila bagaimana sebenarnya mereka bisa mengendalikan perangkat kehidupan untuk diabdikan kepada hal-hal yang berguna buat kepentingan umat manusia. Begitu yang terpikir oleh Purbajaya ketika itu. Sadar atau tidak, dirinya kini sudah terlibat ke dalam urusan yang bernama politik. Namun agar dia tidak terseret oleh kepentingan-kepentingan yang merusak, maka dia perlu hati-hati dalam memilih, kekuatan mana yang musti dia dukung, kelompok mana yang harus dia ikuti.
Sementara Purbajaya sendiri hati kecilnya kurang setuju dengan pendapat Ki Sudireja ini. Dia akan "ikut pada siapa saja" yang sekiranya akan menempur Pajajaran, bukan dilandasi oleh kepentingan politik pula, melainkan hanya melulu berkutat dengan kepentingan dirinya sendiri. Katanya, dia adalah orang yang merasa sakit hati oleh kebijakan penguasa Pajajaran, makanya dia inginkan Pajajaran hancur.
Ki Sudireja bukan orang berpolitik dan tak kenal politik. Namun malah orang seperti inilah yang sebenarnya bisa membahayakan kedamaian. Karena buta politik, karena rasa sakit hati pribadi dan kecewa kepada penguasa, maka kebenciannya bisa tumpah kepada siapa saja, termasuk kepada orang yang sebenarnya tidak berdosa. Ini amat berbahaya.
Ki Sudireja sakit hati kepada Pajajaran karena ketika Talaga, negrinya tempat dia mengabdi, ditaklukkan Carbon, namun Pajajaran sama sekali tak membelanya.
"Daripada berusaha melindungi, malah memerangi," kata Ki Sudireja dengan nada suara mengandung dendam kesumat.
Orang tua ini memberikan contoh, beberapa tahun silam sebuah wilayahkacutakan (wilayah setingkat kecamatan kini), diperangi pasukan dari Pakuan karena wilayah ini dicurigai telah memindahkan kesetiaannya dari Pajajaran ke Carbon. Yang dimaksud di sini adalah Kacutakan Caringin yang terletak di wilayah utara, berbatasan dengan kekuasaan Carbon.
"Anak kecil berusia tujuh tahun yang aku ingin rebut dari kungkungan anggota pasukan siluman bernama Pragola adalah anakCutak Caringin. Dalam peristiwa itu, Cutak Caringin telah kehilangan anak pertamanya, juga seorang anak lelaki. Dan karena banyak memikirkan peristiwa ini, akhirnya Cutak Caringin mati karena sakit keras. Belakangan istrinya pun ikut mati. Maka Si Pragola, anaknya aku urus. Akan aku didik anak itu agar kelak sesudah dewasa menjadi orang yang bisa melawan Pajajaran," kata Ki Sudireja gemas. Sepertinya di dalam benaknya tergambar lagi peristiwa di wilayah Caringin itu.
Purbajaya melangkahkan kaki dengan penuh perenungan di benaknya.
"Begitulah kebencianku kepada Pajajaran," gumam Ki Sudireja lagi."Sabda ratu takdigugu (ditiru) sebab perilakuratu (penguasa) sudah tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat."
Percakapan Purbajaya dan Ki Sudireja terhenti karena di depan, Aditia, Yaksa dan Wista mendadak menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" Purbajaya bertanya heran.
"Lihat itu, terdapat puluhan jejak telapak kaki!" Yaksa menunjuk ke arah tanah berdebu.
Purbajaya meneliti keadaan tanah di sekitar itu. Benar banyak didapat bekas telapak kaki. Telapak kaki amat mengesankan sebagai bekas serombongan pasukan lewat ke tempat itu. Belasan atau puluhan tapak kaki itu pada mulanya manyusuri jalan pedati, kemudian ketika jalan pedati terpotong sungai lebar berair dangkal, telapak kaki belok memasuki kawasan hutan.
"Mereka memasuki hutan. Mari kita ikuti terus ke hutan," kata Aditia sambil segera melangkah hendak memasuki hutan belantara yang gelap.
"Nanti dulu!" Purbajaya menahannya.
"Mengapa" Kau takut?" Aditia mengejek dengan dengusan.
"Bukan itu. Tapi kita jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Belum tentu rombongan belok ke hutan," kata Purbajaya.
"Ah, dasar dungu. Sudah jelas belok ke hutan. Lantas ini tapak kaki apa" Kaki gajah, gitu?" tanya Aditia masih dengan nada ejekan.
"Bisa saja mereka sebetulnya lurus menyusuri jalan pedati. Tapi karena terpotong sungai lebar maka tapak kaki tak terlihat lagi," Purbajaya tetap bertahan dengan pendapatnya.
"Mereka sudah menduga kalau kita menguntit terus. Jadi mereka pilih jalan yang sulit diikuti," bantah lagi Aditia dengan suara ngotot.
"Ya. Dan karena punya keyakinan begitu, maka kita dikecoh mereka dan dibawa ke jalan yang salah. Sementara mereka sendiri berjalan lurus menyusuri jalan pedati," Purbajaya pun masih ngotot.
"Yaksa, Wista, dari sekumpulan orang yang ada di sini, hanya kita bertiga yang asli orang Sumedanglarang. Hanya kita bertiga yang sadar akan arti pembelaan terhadap negri kita. Purbajaya jelas orang Carbon, sementara yang satunya kita bahkan tak tahu asal-usulnya. Oleh sebab itu, kalian harus ikut pendapatku. Jangan takut, mari kita susuri lebatnya hutan ini. Kita harus rebut surat daun lontar yang isinya pasti amat penting itu," kata Aditia mengajak kedua temannya untuk memilih jalan yang dianggapnya benar.
"Purba, aku setuju pendapatmu," Ki Sudireja menyela namun bukan menyanggah perkataan Aditia."Dan karena begitu, aku akan susul mereka lewat jalan pedati. Sementara itu, kau ikuti saja dulu pendapat anak-anak dungu ini."
Bab 11 Ki Sudireja tak menanti jawaban Purbajaya tapi akan segera langsung meloncat dan hendak segera pergi berlari menyusuri jalan pedati.
"Purba, jangan kau memilih apa yang kami pilih hanya karena diperintah orang asing itu. Kalau pun ikut aku kau harus percaya perhitunganku," kata Aditia.
"Tapi yang penting, engkau ikut kami," Wista menyela dengan penuh harap.
"Ah, kau jangan merengek-rengek minta bantuan orang!" hardik Aditia.
Ki Sudireja mendengus."Purba, siapakah anak pongah yang selain angkuh tapi juga tak sopan terhadap gurunya ini?" tanya orang tua itu mendelik.
"Mereka adalah putra-putra pejabat dari Sumedanglarang," jawab Purbajaya.
"Jangan coba menilai diriku," potong Aditia tak senang."Diajari atau pun tidak oleh Ki Guru Dita, tak mengubah kedudukanku sebagai anak seorang pejabat. Sementara Ki Dita sendiri hanyalah pegawai ayahku, kebetulan saja bekerja sebagai guru kewiraan. Jadi, siapa pun dia bagiku, tetap sama saja hanya sebagai bawahan ayahku," sambung Aditia dengan angkuhnya.
Untuk ke sekian kalinya Ki Sudireja mendengus penuh ejekan. Sesudah itu, baru dia meloncat pergi.
Sepeninggal Ki Sudireja, Aditia pun segera mengatur rencana dan benar-benar menempatkan dirinya sebagai pemimpin perjalanan.
"Engkau berjalan paling belakang, Purba, untuk mencegah hal-hal tak diinginkan di belakang kita. Sementara tugas mencari jejak harus dikerjakan oleh orang yang teliti," kata Aditia.
"Biar aku yang jalan di muka!" seru Wista.
"Tidak, kau bodoh dan semberono. Biar aku saja," potong Yaksa.
"Tidak," giliran Aditia yang memotong omongan."Yang jalan di muka meneliti jejak hanyalah aku," katanya pasti. Semua mentaatina, tidak juga Purbajaya.
Maka berjalanlah empat orang muda itu secara beriringan. Aditia tak bisa jalan cepat sebab kerjanya meneliti keadaan tanah di depannya.
Dan nyatanya mencari jejak sungguh sulit, apalagi di dalam hutan lebat yang gelap dan terkadang tanah yang diinjak terasa keras karena bercampur cadas.
"Coba lihat, betul, kan?" Aditia menunjuk pada satu jejak kaki. Aditia senang karena masih tetap berhasil menyusuri jejak yang dia maksud.
Purbajaya pun memang melihat jejak telapak kaki. Tapi setelah diteliti dengan seksama, jejak itu penuh keganjilan.
"Berhenti dulu," serunya.
Semua orang terpaksa merandek.
"Ada apa?" Aditia mengerutkan dahi, kemudian menyeka keringatnya yang bersimbah deras di seluruh wajahnya.
"Aku sangsi kalau mereka betul lewat sini ... " kata Purbajaya kemudian.
"Dasar dungu. Apa tak kau lihat jejak-jejak ini terus memanjang?" kembali Aditia berang dengan pendapat Purbajaya ini.
"Betul ini telapak kaki tapi keadaannya sungguh ganjil," jawab lagi Purbajaya.
"Ganjil apanya," tanya Aditia.
"Tanah di sekitar sini tidak begitu lembek tapi mengapa jejak telapak kaki demikian dalam?" tanya Purbajaya sambil meneliti jejak-jejak itu.
"Kan mereka adalah anggota pasukan siluman yang punya kepandaian tinggi. Jadi sudah barang tentu dalam berjalan mereka kerahkan tenaga dalam,"kata Aditia berkilah.
"Untuk apa mengobral tenaga seperti itu?" tanya Purbajaya.
Semua diam, tidak terkecuali Aditia.
"Untuk memperlihatkan kepada kita bahwa mereka benar-benar lewat sini" Aneh, tahu dikuntit orang malah sengaja memperlihat jejak sejelas ini?" kata lagi Purbajaya.
Lagi-lagi semua diam, tidak pula Aditia.
Maka Purbajaya lanjutkan perkiraannya.
"Betul juga, jangan-jangan kita dikibuli oleh mereka," Wista nyeletuk. Namun hal ini amat tak disenangi Aditia.
"Jadi, tapak apakah ini kalau bukan tapak manusia," tanya Aditia mengejek.
"Kita bukan sedang berbantahan apakah ini tapak manusia atau kera. Hanya aku katakan kalau mereka sebenarnya tengah mengecoh kita. Mungkin mereka pernah sampai tempat ini. Namun ini bukan tujuan mereka untuk lewat sini," kata Purbajaya.
"Aku tak paham jalan pikiranmu," bantah Aditia.
"Begini," potong lagi Purbajaya."Mereka berjalan dulu sampai sini, lantas mereka kembali lagi menuju jalan pedati."
"Tidak kulihat telapak kaki mereka pulang kembali ke arah berlawanan ... " bantah Aditia bingung.
"Memang tidak terlihat sebab mereka menapakkan kakinya kepada bekas jejak mereka sendiri. Wista, coba kau peragakan," kata Purbajaya menyuruh Wista.
"Musti bagaimana?" Wista bingung.
"Coba jejakkan sepasang kakimu, musti pas di telapak yang ini," Purbajaya memandu Wista untuk menjejakkan kaki di bekas telapak kaki yang sudah ada.
"Ya, sudah. Lantas, bagaimana?" tanya Wista.
"Sekarang kau berjalan mundur sambil kakimu tetap ikut nebeng ke jejak telapak lama," kata Purbajaya.
Wista mengikuti perintah ini. Dengan hati-hati dia berjalan mundur dan telapak kakinya menginjak pas kepada jejak lama.
"Nah, mereka kembali ke jalan pedati dengan cara seperti itu. Lihatlah, jejak semakin dalam sebab jejak itu diinjak dua kali," kata Purbajaya pasti.
Yaksa dan Wista bimbang. Mereka menatap Aditia dan tak berani salah bicara.
"Mungkin begitu tapi belum tentu begitu ... " kata Aditia dengan nada suara yang tak pasti."Tapi mari kita ikuti saja sampai ke mana telapak kaki ini melangkah. Siapa tahu, pendapatkulah yang benar," kata Aditia akhirnya.
"Lanjutkanlah dulu penelusuranmu," kata Purbajaya pada Aditia.
Maka mereka pun melangkah kembali. Tapi semakin dalam masuk hutan, semakin gelap juga keadaan. Matahari sudah tak tembus ke tanah saking lebatnya dedaunan.
Dan yang lebih parah, kenyataan membuktikan, telapak itu bohong sebab terputus begitu saja.
"Mengapa kau merandek, Aditia?" tanya Yaksa heran.
"Jejak itu hilang ... " Aditia kecewa.
Yaksa dan Wista nampak lebih kecewa lagi. Mereka berdua mengeluh sambil menyeka keringat deras di wajahnya.
Jejak itu ketika tiba di hutan yang agak terbuka seperti menghilang begitu saja. Sepertinya para pemilik jejak kaki itu langsung terbang ke langit.
"Mustahil hilang begitu saja ... " gumam Aditia.
"Tentu tidak mustahil kalau pendapatku diterima," jawab Purbajaya.
"Ya, kalau begitu pendapat Si Purbalah yang benar," kata Wista.
"Sialan, kita ditipu mereka ... " omel Yaksa sambil memeriksa lukanya yang masih.
"Kita kena tipu karena kebodohan Aditia. Coba kalau tadi menurut apa kata Si Purba, takkan begini jadinya," Wista jadi menimpakan kesalahan ini kepada Aditia.
"Kalau Si Purba pandai, mengapa dia ikut kita juga" Mustinya dia tetap bertahan dengan pendapatnya kalau benar-benar merasa yakin," Aditia tak mau disalahkan.
*** UPAYA kembali mencari jalan pedati dilakukan dengan saling salah-menyalahkan. Di sepanjang jalan Wista kerjanya mengomel sebab akibat dari kekeliruan ini tenaga jadi terkuras dengan percuma.
"Aditia kurang periksa," omel Wista.
"Kau malah dungu. Kenapa dari tadi kerjanya diam saja" Kenapa hanya ikut-ikutan pendapat orang lain saja" Dasar orang bodoh, dibawa masuk jurang pun pasti mau!" Aditia menghardik dengan berangnya.
"Kau angkuh dan juga bodoh. Maka yang paling duluan masuk jurang tentu engkau!" Wista balas menghardik.
Hampir saja dua orang itu saling getok kalau saja Yaksa tak melerainya.
"Diamlah. Kenapa jadi saling cakar begini. Hemat tenaga kalian. Kalau sebelum ketemu lawan sudah gontok-gontokan begini, maka nanti tenaga kita tinggal sisanya saja dan mudah digerus lawan," kata Yaksa kesal.
"Jangankan untuk menghadapi perkelahian, sedangkan untuk sekadar melangkah saja, kaki pun sudah demikian payah," jawab Wista memegangi pahanya."Perutku pun bahkan sudah lapar. Sejak kemarin belum diisi," keluhnya lagi.
Purbajaya melihat ke atas. Suasana sudah mulai gelap. Mungkin senja telah menjelang.
"Kita harus berjalan cepat, jangan sampai kemalaman di hutan belukar," kata Purbajaya.
Aditia dan Yaksa tidak menjawab. Tapi langkahnya dipercepat mengikuti gerak langkah Purbajaya. Maka Wista pun terpaksa ikut jalan cepat pula.
Hanya beberapa ratus langkah saja Wista sudah jatuh berdebuk. Dia bahkan mogok berdiri.
"Aku sudah tak kuat lagi ... " keluhnya seperti putus asa.
Agar tidak kemalaman di dalam hutan lebat, terpaksa Purbajaya "bertugas" kembali menggendong Wista. Aditia mengomel dan mencerca Wista namun yang dicerca pura-pura tak mendengar.
Tiba di tepi jalan pedati, malam sudah menjelang. Tidak terlihat bulan atau pun bintang. Yang melayang di angkasa malah gumpalan awan pekat pertanda hari mau hujan.
"Kita musti segera mencari tempat untuk berlindung," kata Purbajaya sambil menurunkan tubuh Wista.
"Di mana mencari tempat berlindung" Aku tak mau tidur dalam hujan," Wista merengek manja. Tubuh pemuda itu menggigil entah kenapa.
"Ya, kita cari tempat berlindung yang baik ..."
"Tapi di mana itu" Cepat, aku ingin sekali tidur!" Wista mendesak dengan nada marah dan kesal.
"Engkau membuatku panik, padahal aku tak henti-hentinya mencari," Purbajaya pun akhirnya jadi kesal juga.
"Engkau musti tanggung jawab sebab gara-garamu juga kami jadi begini!" Wista membentak saking tak sabarnya.
"Mengapa begitu?"
"Kau dulu tak membantu dengan baik ketika terjadi pertempuran, jadinya semua luka, bahkan surat daun lontar pun dirampas lawan." tuding Wista.
Purbajaya mau marah tapi tak jadi. Sebagai upaya dalam melampiaskan kekesalahannya, Wista dia gendong lagi. Purbajaya kelayaban ke sana ke mari sambil mencari tempat berlindung.
Hujan mulai turun.
Untunglah ada pohon besar dan batangnya bolong saking tuanya. Maka tubuh Wista dia masukkan ke lubang pohon. Purbajaya sendiri sembunyi di balik batang pohon lainnya namun tak begitu jauh dari tempat di mana Wista duduk bersandar.
Hujan sudah turun dan makin lama semakin besar seperti air bah dikucurkan dari langit saja laiknya.
Purbajaya hanya bersandar di batang pohon. Kalau agak terlindung, itu karena dedaunan demikian rimbunnya.
Dia tak tahu, di mana Aditia dan Wista berlindung. Purbajaya tak berniat mencari mereka. Terus-terang, hatinya kesal dan kecewa. Murid-murid Ki Dita semuanya tak ada yang benar. Mereka manja dan pemberang dan sepertinya tak kerasan dengan suasana yang penuh derita. Dia sangsi, kalau mereka jadi pejabat tapi tak tahan uji, bisakah kelak mengurus negri dengan baik"
Purbajaya menghela napas kalau memikirkan ini semua.
Ketika dalam hujan begini, dia malah jadi teringat teman-teman lainnya yang ditinggalkan. Paman Ranu tergolek di tanah dengan darah bersimbah dari tiap bagian tubuhnya. Entah bagaimana nasib orang tua ini. Waktu itu Paman Ranu tak bergerak. Mungkin pingsan mungkin tewas.
Nasib Ki Bagus Sura pun tidak lebih baik dari bawahannya. Ketika ditinggalkan olehnya, Ki Bagus Sura pun menderita luka-luka yang parah di sana-sini. Ya, mereka semua menderita luka. Yang agak baikan hanya Ki Dita saja. Tapi dalam hujan deras begini, bagaimana mereka bisa saling tolong-menolong dan saling melindungi" Bisakah Ki Bagus Sura dan Ki Dita saling membela"
Menyakitkan memang. Orang baru bisa saling memperhatikan kalau memiliki persamaan nasib dalam penderitaan. Padahal jauh sebelumnya, dua orang tokoh tua itu saling menjauh, saling berdiam diri dan terkadang saling tak memiliki kesesuaian paham. Itu semua karena dipisahkan oleh kepentingan kelompoknya masing-masing. Ki Dita anak buah Ki Sanjadirja, sementara antara Ki Bagus Sura dan Ki Sanja tak punya kesesuaian paham selamanya.
Ki Dita mungkin saja tak punya kepentingan khusus. Namun seperti apa yang ditudingkan Ki Bagus Sura, anjing mana yang tak setia tuannya. Itulah barangkali yang terjadi pada Ki Dita.
Tapi dalam penderitaan yang sama dan di saat sang anjing jauh dari tuannya, Purbajaya berdoa, muga-muga Ki Dita menemukan kembali jati diri kemanusiaannya dan mau berkorban untuk saling tolong-menolong dengan orang yang sebelumnya dianggap seteru.
Mungkin Ki Bagus Sura dan Ki Dita bisa baikan sebab punya penderitaan sama. Namun bagaimana pula dengan keadaan di sini"
Maka sungguh aneh, kalau di saat sama-sama menderita, di antara mereka tak bisa bersatu.
Aditia dan Yaksa benci Purbajaya. Namun dua orang itu pun kadang-kadang benci Wista. Wista baru baikan padanya kalau dilayani dengan baik. Sementara kalau ada "layanan" Purbajaya yang dianggap mengecewakannya, dengan mudahnya Wista benci Purbajaya.
Kalau Purbajaya tak bisa menjaga kesabarannya, sudah sejak lama ketiga orang itu dilabraknya. Namun Purbajaya tak bisa begitu. Dia sekarang ini tengah berusaha ingin menjaga nama baikwong grage . Orang Carbon, teristimewa kaum pemudanya, oleh orang Sumedanglarang tengah disorot berhubung dengan tingkah Raden Yudakara yang dianggapnya memalukan. Jadi kalau Purbajaya pun bersikap ugal-ugalan, maka orang akan mudah menuding bahwa semua orang Carbon sombong dan tukang ugal-ugalan.
Terhadap Aditia, bahkan Purbajaya harus menjaga citra. Aditia sudah punya modal kebencian terhadap dirinya karena urusan wanita. Pemuda itu habis-habisan mencintai Nyimas Yuning Purnama, namun belakangan, sesudah dinikahi dan diceraikan Raden Yudakara, gadis itu malah mencintai Purbajaya. Kalah dua kali oleh "orang Carbon" maka membuat kebencian pada diri Aditia susah padam. Itulah sebabnya, Aditia selalu menghina dan merendahkannya. Jadi kalau sikap ini dia layani, maka permusuhan akan semakin menjadi-jadi.
Perlukah Purbajaya berterus-terang kalau sebenarnya Nyimas Yuning tak benar-benar mencintainya"
Susah untuk meyakinkannya sebab gadis itu telah "mengaku cinta" di hadapan banyak orang dan bahkan Ki Bagus Sura sebagai ayahandanya pun telah dengan senang hati menjodohkannya.
Gadis itu telah mempermainkan banyak orang, pikir Purbajaya. Ya, termasuk dirinya pun telah dipermainkan gadis itu.
Purbajaya memang mengerti. Kalau malam itu Nyimas Yuniung langsung mengaku cinta, padahal beberapa saat sebelumnya di kala berduaan saja dia malah menolak perjodohan, maksudnya hanya menolong keadaan.
Namun yang Purbajaya tak mengerti, belakangan pun gadis itu tetap mengaku kalau dirinya siap dijodohkan dengan Purbajaya.
Purbajaya bingung dengan pernyataan gadis ini. Benar-benarkah gadis itu mencintai dirinya, atau hanya karena taat orangtua" Maukah Purbajaya menerima kesediaan gadis itu untuk dinikahinya hanya karena alasan tak mau membangkang kepada keinginan orangtua" Purbajaya tak bisa mengambil keputusan.
Kebimbangan dirinya pun berkenaan pula dengan tingkah Aditia. Aditia benci dirinya karena "berdosa" menerima cinta Nyimas Yuning Purnama.
Cinta-kasih itu indah tapi bisa menimbulkan kebencian bagi pihak-pihak yang dirugikan. Aditia contohnya.
Sudah dua kali Purbajaya dibenci oleh pemuda yang "kalah cinta". Dulu ketika di Carbon Raden Ranggasena begitu benci dia karena Nyimas Waningyun mencintai Purbajaya ketimbang Ranggasena. Peristiwa kedua kalinya melanda lagi. Kini yang mengajak perang adalah Aditia karena cintanya kedodoran.
Kalau dia jadi Aditia, barangkali dia pun akan sakit hati dan merasa rendah. Bagaimana tak begitu. Ketika Nyimas Yuning masih perawan, cinta Aditia sudah ditawarkan namun Nyimas Yuning menolak dengan alasan belum mau menikah. Belakangan gadis itu malah dipersunting pemuda bangsawan Carbon, yaitu Raden Yudakara. Ketika Nyimas Yuning diceraikan dan jadi janda, dan ketika Aditia datang lagi melamar, lagi-lagi gadis itu menolak dengan alasan tidak akan punya suami lagi. Tapi ketika hadir Purbajaya, serta-merta gadis itu mengaku mau bersuamikan Purbajaya. Itulah hinaan yang tak terkira bagi derajat Aditia. Celakanya, Nyimas Yuning dan Aditia yang berperang, malah Purbajaya yang kena pukulnya.
Purbajaya tidak mau menjadikan dirinya sebagai "musuh baru" bagi Aditia. Maka itulah sebabnya, selama ini dia banyak mengalah kendati pemuda itu terus-terusan menghina dan melecehkannya.
Dalam hujan begini, Purbajaya susah tidur. Selain pikirannya kalut, air hujan pun banyak menerpa. Baru sesudah hujan reda, Purbajaya bisa memejamkan matanya. Dia tidur bersandar di batang pohon.
Hanya saja di saat dia tidur nyenyak, dia dikejutkan oleh beberapa pukulan dari benda keras yang mengarah kepalanya. Purbajaya tak sangggup menerka, dalam mimpikah kejadian ini atau memang benar-benar di alam nyata" Dia susah berpikir karena kesadarannya hilang kembali.
Manakala matahari memancarkan sinarnya, baru dia siuman. Tapi pandangannya serasa berkunang-kunang dan kepalanya berat serta nyeri. Ketika Purbajaya hendak bangkit, rasanya sulit sekali. Belakangan baru dia sadar kalau tubuhnya diikat oleh semacam serat batang pohon yang amat alot dan kuat. Siapakah yang mengikat dirinya"
Purbajaya mencoba untuk membuka matanya lagi. Kini samar-samar terlihat dua bayangan tubuh berdiri di hadapannya. Sesudah matanya dikejap-kejapkan dan telah terbiasa menatap, baru dia tahu kalau yang berdiri adalah Aditia dan Yaksa.
"Mengapa aku ini?" tanya Purbajaya heran dan mencoba melepas tali yang melilit erat di tubuhnya.
"Engkau kami ikat," kata Aditia dengan suara dingin dan wajahnya amat pucat.
"Ya, mengapa ... ?"
"Engkau telah membunuh Wista!" desis Aditia.
"Apa?" Purbajaya membelalakkan mata. Dia menatap sekeliling mencari Wista. Tubuh Wista terlihat terbaring tak bergerak. Tempatnya sudah berpindah, tidak lagi bersandar di lobang batang pohon.
"Ya, Wista mati. Aditia menyangka, kau yang bunuh dia," kata Yaksa penuh selidik.
Namun Purbajaya balik menatap dalam-dalam kepada pemuda ini. Sebetulnya di sepasang mata Yaksa terlihat sorot mata keraguan. Ketika Purbajaya terus menatap, Yaksa akhirnya memalingkan wajah dan pura-pura menatap ke arah lain.
"Kalau aku tak cegah, mustinya kau tadi sudah tewas di tangan Wista. Tapi aku cegah agar kau punya kesempatan untuk mengaku dosa," kata Aditia. Ketika Aditia bicara begitu, Yaksa menoleh sepertinya tak senang temannya bicara begitu."Benarkah kau bunuh Wista?" tanya Yaksa serius.
Purbajaya menggelengkan kepala dan terasa sakit sekali. Dia menduga, salah seorang dari mereka, atau malah kedua-duanya, telah memukuli dia ketika tengah tidur lelap.
"Aku tak bunuh Wista ... " gumam Purbajaya kembali menatap tubuh terbujur kaku.
"Nyatanya Wista mati!" bentak Aditia.
"Ketika Wista dalam gendonganku, tubuhnya menggigil seperti demam sepertinya dia menderita sakit," Purbajaya mengingat-ingat.
"Mungkin sakitnya benar. Tapi kematiannya bukan karena sakit tapi olehmu!" desak Aditia tetap berang.
"Mengapa aku musti bunuh Wista?" tanya Purbajaya.
"Mengapa" Tentu saja banyak alasannya. Kau kan tak menyukai kami. Tadi malam aku tahau Si Wista mengomel padamu dan kau pun marah-marah sama Wista. Dengan demikian, kebencianmu pada kami cukup digunakan sebagai alasanmu membunuh Wista. Mungkin kau sudah rencanakan untuk melenyapkan kami satu-persatu," tuding Aditia."Benar, kan?" tanyanya minta dukungan pendapat kepada Yaksa.
"Pikiranku tak sekejam itu ... " bantah Purbajaya mengerutkan alis karena berpikir keras.
"Yaksa, cabut senjatamu, bunuhlah si bedebah ini!" Aditia memerintah kepada temannya.
Tapi Yaksa malah menatap Aditia.
"Ayo, cabut Yaksa!"
"Tidakkah sebaiknya dia kita serahkan dan adili di hadapanbale watangan (pengadilan) saja, Aditia?" Yaksa berpendapat.
"Penjahat hina seperti ini hanya akan merepotkan kita semua. Kita banyak pekerjaan. Maka supaya urusan cepat beres, kita bunuh saja dia. Ayo cabut pedangmu dan tusukkan pada lambungnya, pada lehernya, matanya, atau pada bagian tubuhnya yang mana saja. Yang penting bangsat kecil ini musti mati. Bangkainya jangan dikubur tapi cincang dan sebarkan ke segala arah agar habis dimakan binatang hutan!" Aditia bicara nyeroscos dan sorot matanya bagaikan sepasang mata iblis yang sarat dengan kebencian.
Purbajaya khawatir. Memang terlihat ada hawa kebencian pada diri pemuda ini. Untung saja Yaksa terlihat ragu. Dia masih diam terpaku padahal terus ditekan Aditia agar mencabut senjatanya.
Karena Yaksa tak mau mencabut pedangnya, maka pedang Yaksa yang masih di pinggangnya secara paksa dicabut Aditia dan digenggamkan kepada pemiliknya.
"Ayo bunuh si bedebah dan nanti akan aku laporkan kau berjasa membunuh seorang pengkhianat. Kau pasti akan segera lulus menjadi ksatria dan barangkali juga akan diangkat menjadi perwira keraton," kata Aditia tetap memaksa.
"Mengapa tidak engkau saja yang lakukan" Bukankah kau sendiri yang katakan bahwa Si Purba yang bunuh teman kita?" Yaksa berteriak kesal karena dipaksa-paksa terus.
Demi mendengar bantahan ini, terlihat wajah Aditia merah-padam. Purbajaya menduga, pemuda angkuh ini amat tersinggung oleh penolakan Yaksa.
Purbajaya tahu, di sepanjang jalan Aditia selalu menempatkan diri sebagai pemimpin. Kerjanya memerintah dan memberikan pengarahan kepada ayang lainnya. Sekarang dia amat marah karena perintahnya dibantah keras oleh Yaksa.
Dan sungguh mengagetkan, Yaksa yang membangkang secara tiba-tiba diserang oleh Aditia.
"Aditia, ada apa ini, ada apa ini?" Yaksa berteriak kaget sambil mundur.
Aditia tak memberinya kesempatan. Pemuda ini malah merebut kembali pedangnya yang tadi secara paksa digenggamkan ke tangan Yaksa.
"Engkau manusia dungu! Pembelot! Pengkhianat!" teriak Aditia gusar.
"He, kau memakiku demikian?" Yaksa mendelik.
"Karena engkau pengecut melebihi tikus! Kau pembelot seperti bangau. Dan kau pun dungu serta pemalas seperti buaya!"
"Setan!" teriak Yaksa semakin mendelik marah."Aku tahu, kau paksa aku bunuh Si Purba agar kelak dosanya kau timpakan kepadaku. Kau ingin bunuh Si Purba dengan pinjam tangan orang lain. Cih! Aku tak mau itu. Aku bahkan tak mau berteman dengan orang bodoh dan pecundang!"
Dimaki habis-habisan seperti ini,kemarahan Aditia sudah tak bisa ditahan lagi. Dan akhirnya dengan cara yang membabi-buta dia menyerang Yaksa dengan pedangnya. Gerakannya ganas dan tak memperlihatkan jurus-jurus halus yang pernah diajarkan Ki Dita. Tujuannya jelas untuk membunuh temannya sendiri.
"He, kau mau bunuh aku,ya" Mau bunuh aku, ya?" Yaksa berkelit ke sana ke mari. Dan kalau ada kesempatan, dia balas menyerang dengan pukulan. Namun karena serangan Aditia begitu ganas, Yaksa pun akhirnya terpaksa mencabut pedangnya sendiri. Maka terjadilah pertarungan dua murid Ki Dita, hanya disaksikan Purbajaya yang duduk tak berdaya karena tali yang mengikatnya.
"Kau mau bunuh aku?" teriak lagi Yaksa sambil menangkis sabetan pedang sehingga bunga api berpijar karena dua logam baja saling berbenturan.
"Ya, akan kuhabisi nyawamu! Kau calon ksatria cengeng dan malas dan tak patut untuk bekerja di Sumedanglarang!" cerca Aditia masih sambil memainkan gerakan ganas.
"Kalau begitu, Wista pun kau yang bunuh. Bukankah kau yang kerapkali mengumpat dan mengejek Wista yang cengeng, manja dan bodoh" Ya, kau yang sebenarnya sebal kepada Wista. Kau takut Wista yang lulus uji karena ayahanda anak itu lebih banyak memberikan upah ketimbang ayahandamu yang kikir itu! Pasti kau yang bunuh Wista!" teriak Yaksa dan pedangnya mulai menyerang lawan.
Maka semakin marah pula Aditia karena caci-maki pedas ini. Dan daya serangannya kian ditambah. Aditia bahkan tidak berpikir untuk menangkis kecuali menyerang dan menyerang. Sehingga suatu saat dia berteriak kesakitan karena bahu kirinya tertusuk pedang Yaksa. Namun luka ini seperti tak dirasakan. Serangan Aditia semakin gencar. Dia mungkin marah dan terhina. Yaksa yang sebetulnya masih menderita luka, mengapa bisa mendahului serangan yang membuat dia luka, sementara serangan pedang yang dilancarkan dirinya belum berhasil menerobos masuk.
Namun ketika pertempuran berlangsung agak lama, ternyata tenaga Yaksa yang lebih dahulu terkuras habis. Bisa saja ini terjadi karena luka-luka Yaksa yang sebetulnya belum sembuh.
Kini Yaksa mulai terdesak hebat. Luka baru dari tusukan dan sabetan pedang Aditia membuat sekujur tubuh Yaksa banyak dipenuhi darah segar. Sementara itu, Yaksa sendiri sudah tak mampu balas menyerang. Jangankan untuk menyerang, bahkan hanya sekadar untuk menangkis saja dia sudah tak mampu. Kalau keadaan dibiarkan berlarut-larut begini, Yaksa lambat-laun akan lumat oleh cecaran pedang Aditia yang demikian ganasnya.
"Aditi, jangan bunuh teman sendiri!" teriak Purbajaya beberapa kali. Namun mana Aditia mau mendengar. Hatinya barangkali sudah kerasukan setan dan hawa membunuh sudah lekat di napasnya.
Suatu ketika kedudukan Yaksa amat membahayakan. Tubuhnya jatuh terjengkang dan tangan kanannya yang pegang pedang tertindih oleh pinggangnya.
Untuk menahan gerak laju pedang Aditia yang dibacokkan mengarah kepala, Yaksa hanya memiliki tangan kiri yang masih leluasa. Maka satu-satunya cara dalam menyelamatkan kepala, hanya dilakukan dengan jalan menangkis pedang oleh tangan kiri. Maka akibatnya sungguh fatal. Hanya dalam sekejap potongan tangan kiri Yaksa terlontar ketika terbabat kutung oleh gerakan ganas pedang Aditia.
Yaksa melolong-lolong kesakitan. Namun Aditia masih terus mencecarnya.
Purbajaya marah melihat keadaan ini. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepas tali. Namun usaha ini sia-sia, padahal di hadapannya tengah berlangsung dua orang bodoh tengah berebut nyawa.
Ketika serangan Aditia datanag kembali dan pedangnya kali ini mengarah dada, Purbajaya kembali mencoba mengerahkan tenaga untuk memutuskan tali.
Usaha ini hampir sia-sia ketika di belakangnya ada suara seseorang.
"Ayo larilah kalau kau mampu mencegah adegan ini!" kata suara itu. Dan bret-bret, tali yang mengikat Purbajaya putus di beberapa bagian.
Purbajaya tak sempat melihat siapa yang datang memutuskan tali sedemikian mudahnya. Yang dia pikirkan ketika itu hanyalah bagaimana caranya menggagalkan serangan tusukan Aditia agar nyawa Yaksa tertolong.
Purbajaya menotolkan ujung jarikaki keras-keras, maka tubuhnya melesat bagaikan terbang mendekati dua orang yang tengah bertempur. Tusukan pedang Aditia hampir tiba di dada Yaksa. Purbajaya tak bisa menangkis pedang begitu saja, kecuali menendangnya keras-keras.
Pedang terlontar keras dan gagangnya menyambar jidat Aditia. Tuk! Gagang pedang itu tepat mengarah jidat. Saking kerasnya tenaga lontaran, tubuh Aditia pun terjengkang ke belakang. Punggungnya berdebuk jatuh di tanah dan Aditia telentang tak bisa bangun lagi.
Purbajaya terkejut. Dia memburu tubuh Aditia dan memeriksanya. Wajah Purbajaya pucat-pasi dan tubuhnya mendadak lemas ketika dilihatnya jidat Aditia retak dan ada lelehan darah keluar dari luka retak itu. Purbajaya pun memeriksa jantung Aditia. Ternyata benar sangkaannya, Aditia tewas.
Dengan perasaan tak keruan, Purbajaya beralih perhatiannya untuk memeriksa tubuh Yaksa. Pemuda ini belum mati namun nasibnya sudah amat mengkhawatirkan. Sewluruh tubuh Yaksa bermandikan darah dan tangan kirinya kutung. Potongan tangan itu terpisah agak jauh dari tubuhnya. Yaksa mengerang menahan sakit yang hebat. Mengenaskan sekali.
"Yaksa ... Yaksa ... "
"Purba ... " terdengar jawaban kendati agak lemah. Yaksa masih memiliki kesadarannya.
"Yaksa ... aku telah bunuh Aditia."
"Syukurlah ... terima kasih ..."
"Jangan begitu. Aku tak sengaja lakukan itu. Yang aku maksudkan hanya untuk menolongmu. Tak sangka gerakanku terlalu ganas sehingga menewaskannya ..." Purbajaya panik.
"Terima kasih ... Terima kasih ...." suara Yaksa semakin lemah juga.
"Kau pun harus percaya, aku tak bunuh Wista!"
"Terim ...ma ... terr .. terima kasihhh ...."
"Yaksa! Yaksa!" Purbajaya mengguncang-guncangkan tubuh pemuda itu namun Yaksa sudah diam tak bergerak.
"Sudahlah, dia sudah mati. Mari kita pergi!" terdengar lagi suara di belakang Purbajaya. Pemuda ini menengok ke belakang.
Raden Yudakara!
Untuk sementara Purbajaya bengong. Dia terkejut sekali. Bagaimana tidak begitu. Korban berjatuhan. Dan ini semua untuk mengejar surat rahasia yang khabarnya berisi perihal keberadaan pemuda bangsawan aneh ini. Sekarang, Raden Yudakara malah berdiri di hadapannya. Mengapa pula pemuda ini secara tiba-tiba bisa berada di sini"
"Raden ... " Purbajaya bergumam dengan nada dingin.
"Hahaha! Engkau masih ingat aku. Ini hanya punya arti, kau masih memiliki kesetiaan tinggi padaku," tutur pemuda tampan itu.
Purbajaya tidak mengomentari pujian ini sebab hatinya tak berketentuan. Panik, bingung dan marah, bergumul menjadi satu.
Di sekitarnya, tiga mayat bergelimpangan. Semuanya mati sia-asia karena sebab-sebab yang tak tentu. Mula-mula Wista diketahui mati dan Purbajaya yang dituding pembunuhnya. Belakangan Aditia dan Yaksa malah jadi saling bunuh hanya karena mempertentangkan bagaimana caranya memperlakukan Purbajaya. Sekarang dua orang pemuda itu tewas mengenaskan. Salah seorang dari mereka malah mati oleh Purbajaya sendiri. Mengenaskan, sekaligus juga amat menyebalkan.
Kemarahan membuat orang tak bisa berpikir waras. Aditia dipenuhi kebencian sehingga semua orang jadi sasaran kemarahan tidak pula temannya sendiri. Purbajaya pun tak bisa mengendalikan pikirannya karena dipenuhi hawa amarah. Betapa dia membunuh orang padahal itu terjadi tanpa dipikirkan jauh sebelumnya. Purbajaya membunuh mungkin karena ada dendam terselubung. Betapa tidak, bukankah selama ini Aditia selalu merendahkan dan menghina Purbajaya" Mungkin pikirannya tak bermaksud membunuh namun nalurinya sudah demikian. Naluri keluar dari dasar pikiran yang terpendam dan tersembunyi dan bisa keluar begitu saja kalau hati serta kesadaran berkurang.
Ya, itulah dendam dan akan menimbulkan sesal setelah kesadaran pulih kembali.
"Mari kita pergi dari sini!" kembali Raden Yudakara mengajaknya berangkat.
"Pergi" Ke mana ...?"
"Pergi ke mana" Kewajibanmu hanyalah ikut aku dan bukan bertanya seperti itu," kata pemuda bangsawan itu tandas.
Purbajaya bimbang. Betul, kewajibannya belum lepas sebab dulu dia ditugaskan untuk ikut Raden Yudakara. Tapi itu sudah setahun lalu. Dia kini malah sedang jadi "utusan" Karatuan Sumedanglarang. Tugasnya tentu amat bertolak belakang dengan keinginan Raden Yudakara. Bukankah tugas yang diberikan Ki Bagus Sura kepadanya adalah menyelamatkan surat daun lontar yang isinya mengabarkan perihal pemuda ini"
"Kalau kau tak ikut aku, maka kau akan jadi buruan pasukan Sumedanglarang!" kata Raden Yudakara.
"Mengapa begitu?"
"Bukankah engkau telah membunuh salah seorang dari mereka" Barusan bahkan aku dengar, kau dituding membunuh yang satunya lagi. Siapa yang akan buktikan kalau kau tak bersalah dalam hal ini?" tanya Raden Yudakara.
Purbajaya diam membisu. Ucapan Raden Yudakara masuk akal dan amat merisaukan Purbajaya.
"Lantas apa bedanya bila saya ikut engkau, Raden?" tanyanya kemudian.
"Jelas ada bedanya. Dari peristiwa apa pun yang sekiranya bisa mencoreng namamu, aku bisa melindunginya. Bukankah kau tak pernah lupa kalau kau mencelakakan para pembantu dekat Pangeran Arya Damar di puncak Cakrabuana hampir setahun lalu" Kau tak bisa pulang ke Carbon tanpaku sebab di sana kau pasti dihadang berita kalau kau jadi pengkhianat dan melawan pasukanmu sendiri," kata lagi Raden Yudakara.
Purbajaya mengeluh. Peristiwa di puncak Cakrabuana telah amat merugikannya sebab dia bertikai dengan empat perwira bawahan Pangeran Arya Damar. Kini dia sadar kalau dirinya ditekan Raden Yudakara. Artinya, apa pun terjadi, Purbajaya musti ikut lagi pemuda aneh ini kalau dirinya tak mau ditekan seperti itu.
"Saya musti menguburkan ketika jasad ini dulu ... " kata Purbajaya. Dan tanpa meminta persetujuan, Purbajaya menggali kuburan bagi tiga jasad teman-teman seperjalanannya. Hampir setengah hari waktu dihabiskan untuk mengerjakan ini.
"Mari ..." ajak lagi Raden Yudakara setelah Purbajaya selesai mengubur jasad.
Dengan tubuh lesu Purbajaya terpaksa ikut pemuda bangsawan itu. Di sepanjang perjalanan Purbajaya diam seribu-bahasa.
Beberapa hari lamanya mereka melakukan perjalanan entah ke mana. Purbajaya tak mau tanya dan sebaliknya Raden Yudakara tak cerita.
Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun yang lebih aneh dari itu, pemuda bangsawan ini secuil pun tidak bertanya perihal apa yang dilakukan Purbajaya selama ini. Tentu terasa aneh, padahal mereka berpisah lebih dari sepuluh bulan lamanya. Kalau Raden Yudakara mengatakan Purbajaya masih diakui sebagai bawahannya, sudah barang tentu pemuda ini musti menegur atau bertanya ke mana saja Purbajaya selama ini.
Aneh juga, Raden Yudakara tak bertanya mengapa Purbajaya ditemukan dalam keadaan terikat. Raden Yudakara pun tak bertanya, apa hubungannya antara Purbajaya dan ketiga orang pemuda yang tewas itu. Kalau tak bertanya ada dua kemungkinan. Pertama dia tak merasa tertarik. Dan yang kedua dia sudah tahu. Sudah tahu" Dari mana Raden Yudakara tahu perjalanan Purbajaya selama ini" Apakah memang dia menguntit terus" Purbajaya tak sanggup berpikir lagi.
Ya, ini jadi teka-teki hati Purbajaya. Apalagi Raden Yudakara selama di perjalanan tak berbicara hal-hal yang penting. Sampai pada suatu saat dia dikejutkan oleh suara orang bertempur.
"Ada pertempuran ... " kata Raden Yudakara menahan langkah.
Purbajaya pun sama menahan langkah.
"Mari kita lihat mereka !" Raden Yukadara meloncat lebih dahulu. Lari-lari kecil ke arah di mana suara pertempuran berada.
Dan Purbajaya memuji, kepandaian Raden Yudakara telah benar-benar hebat. Dia bisa berlari sambil mendengarkan suara senjata beradu yang sebetulnya amat terdengar sayup-sayup saja. Bagi pendengaran orang biasa suara sekecil ini tidak akan tertangkap telinga.
Sampai pada suatu saat, di depannya terlihat orang bertempur. Pertempuran berlangsung di sebuah dataran agak rendah, sementara dia berdua mengintai dari tanah yang tinggi, agak tersembunyi karena banyak pepohonan.
Purbajaya mengintip dari sela-sela dahan dan dia terkejut. Ternyata yang bertempur adalah Ki Sudireja, tengah dikeroyok anggota pasukan siluman.
Purbajaya hampir saja ikut terjun untuk membantu Ki Sudireja kalau saja tak ingat ada Raden Yudakara di sampingnya. Kalau dia ikut membantu Ki Sudireja tentu akan amat mengherankan Raden Yudakara. Setidaknya, pemuda itu akan bertanya mengapa melawan pasukan siluman. Tapi kalau dia membiarkan Ki Sudireja dikeroyok, dia khawatir orang itu akan celaka. Sepintas dia saksikan, Ki Sudireja didesak hebat dan tak punya kesempatan untuk meloloskan diri. Dan semakin pertempuran berlangsung, semakin payah keadaan Ki Sudireja. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan Ki Sudireja akan ambruk.
Untuk ke sekian kalinya, kengerian akan melanda hati Purbajaya. Barangkali sebentar lagi akan terjadi pembunuhan baru. Memang bukan dia yang melakukan. Tapi ini pun sama saja sebab dia sepertinya akan membiarkan pembunuhan terjadi.
Tapi sesuatu yang tak dia duga malah terjadi. Raden Yudakara serta-merta melontarkan beberapa butir kerikil dengan pengerahan tenaga dalam yang hebat. Batu-batu kecil itu telak menghantam tiga anggota pasukan siluman yang hendak menusukkan senjata mereka, sementara tubuh Ki Sudireja tak berdaya dalam keadaan telentang. Ketika butir-butir kerikil itu mengenai sasaran, ketiga orang anggota pasukan siluman menjerit ngeri dan langsung meloso di tanah. Mendapatkan kesempatan yang baik ini, walau pun terlihat wajahnya keheranan namun Ki Sudireja segera meloncat pergi dari tempat itu. Yang aneh, anggota pasukan siluman tidak mengejar Ki Sudireja, melainkan berdiri terpaku. Sesudah itu anggota pasukan pun menghilang dari tempat itu.
"Mari kita lanjutkan perjalanan ..." ajak Raden Yudakara seperti tak pernah terjadi apa-apa.
"Ada tiga orang terluka, bagaimana?"
"Ah biarkan saja ... " jawab Raden Yudakara pendek seraya berjingkat pergi.
Mereka terus berjalan dan Raden Yudakara tak membicarakan peristiwa itu. Tentu, ini pun sebuah keanehan bagi Purbajaya. Mengapa pemuda itu menolong Ki Sudireja" Apakah dia sudah mengenal orang tua setengah baya itu"
Purbajaya memang tak mau bertanya perihal ini. Namun kendati begitu, hatinya tetap bertekad akan menyelidiki semua keganjilan ini.
Belakangan Purbajaya bisa mengambil kesimpulan kendati masih samar, bahwa Raden Yudakara sepertinya tengah mengikuti anggota pasukan siluman. Bisa dibuktikan, di mana ada kejadian yang melibatkan anggota pasukan siluman, Raden Yudakara dan Purbajaya bisa memergokinya. Hanya saja bila pasukan siluman terlihat mengganggu para saudagar dan merebut hartanya, Raden Yudakara tak mau ambil pusing. Dan selama ini, pemuda itu hanya bersikap mengawasi saja apa yang dilakukan anggota pasukan siluman tanpa mau mengganggunya.
Tentu saja tindak-tanduk seperti ini pun diperhatikan oleh Purbajaya. Raden Yudakara yang memilah-milah permasalahan yang menyangkut tindak-tanduk anggota pasukan siluman jadi perhatian khusus pula.
Purbajaya ingat perkataan Ki Bagus Sura bahwa isi surat daun lontar ada berbicara mengenai keberadaan Raden Yudakara. Dan bila Ki Bagus Sura demikian tak senangnya kepada Raden Yudakara, hanya menandakan bahwa isi surat bukan mengenai hal-hal baik mengenai pemuda misterius ini.
Tidakkah Raden Yudakara tahu bahwa anggota pasukan memegang surat yang merugikan dirinya" Dari mana pula dia bisa tahu perihal ini" Dan apa pula keinginan anggota pasukan siluman sehingga susah-payah mempertahankan surat daun lontar yang sedianya musti dikirimkan ke penguasa Talaga" Purbajaya tak bisa menebak teka-teki ini.
"Bila begitu halnya, aku harus tetap ikut pemuda ini ..." katanya di dalam hati.
Ya, bila dia terus ikut Raden Yudakara, maka diharapkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan mengikuti pemuda ini, Purbajaya bisa terus menyelidiki, apa yang sebenarnya tengah dilakukan Raden Yudakara. Bahkan dengan mengikuti Raden Yudakara, Purbajaya pun bisa menguak tabir yang menyelimuti keberadaan Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Dia bisa mendompleng kepentingan ini kepada usaha Raden Yudakara yang terus-terusan menguntit anggota pasukan tersebut. Dengan demikian, Purbajaya diharap bisa menjalankan apa yang diamanatkan Ki Bagus Sura.
Hanya saja yang membuat Purbajaya sedih adalah keinginan orang tua itu agar dia mau merawat dan melindungi putrinya, Nyimas Yuning Purnama. Purbajaya amat menyesal kalau dirinya tak akan sanggup melaksanakan amanat yang satu ini. Ini karena Purbajaya akan terus-terusan ikut Raden Yudakara dan akan memakan waktu tak terbatas. Entah bisa selesai entah tidak. Raden Yudakara tetap menganggap bahwa Purbajaya adalah petugas yang tengah berupaya menyelusup ke wilayah Pajajaran.
Bab 12 Dan alasan yang tak kalah rumitnya, Purbajaya tetap "ingin" berjanji kalau antara dia dan gadis itu "sepakat" untuk tidak saling mencinta seperti apa yang dipercakapkan ketika hanya berduaan saja. Sementara ketika gadis itu bicara lain dan amat kebalikan dengan ketika berbicara di hadapan umum, Purbajaya akan tetap menganggap itu ucapan bohong belaka karena hendak menolong keadaan dari tekanan fitnah Aditia.
Tapi bagaimana dengan ucapan yang ketiga yang sepertinya Nyimas Yuning jadi mandah menerima perjodohan ini"
Ah, ini hanya ucapan seorang anak yang tak mau menolak keinginan orang tua saja. Dan kalau pun Nyimas Yuning menerima perjodohan ini, hal ini bukan untuk dirinya tapi untuk orangtuanya semata. Dan kalau benar begitu, maka jelas Purbajaya tak mau. Bukan begitu caranya seorang pria dan wanita menempuh perjalanan sebagai suami-istri. Tapi benar pulakah gadis itu tak mencintai Purbajaya"
Ada sepasang mata jernih tapi dengan sorot yang amat sayu. Hati dan perasaan Purbajaya terguncang dan ada getar berahi meresap ke dadanya. Namun aneh, manakala getaran itu ditelusuri, getaran tak diakuinya sebagai getaran.
Nyimas Yuning Purnama bisa jadi benar tak sepenuhnya mencintai Purbajaya. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri" Apakah Purbajaya merasakan kalau dia mencintai gadis itu" Ah, aku pun harus "sama" mengaku kalau aku pun "tidak" mencintainya, pikir Purbajaya. Aku takut dengan yang namanya cinta sebab cinta selalu membawa nestapa, katanya di dalam hatinya.
Ya, betapa menyakitkan cinta itu. Aditia tersiksa batinnya sebab selama dia melihat Purbajaya berduaan dengan Nyimas Yuning rasa bencinya bergolak memecah dadanya. Betapa tidak nyaman perasaan hati Raden Ranggasena. Setiap saat dia harus berseteru dengan Purbajaya karena selalu kalah bertarung dalam memperebutkan perhatian Nyimas Waningyun. Lantas, Purbajaya sendiri pun memendam kesedihan yang dalam ketika perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun begitu saja dirampas oleh Raden Yudakara.
Sungguh tak berperasaan hati pemuda bangsawan itu. Purbajaya mengeluh dan meminta tolong kepadanya, agar ikut mememikirkan perasaan cintanya kepada Nyimas Waningyun. Namun yang terjadi belakangan, malah Raden Yudakara sendiri yang mempersunting gadis itu.
Betapa sakitnya punya kekasih direbut orang. Betapa sakitnya. Oh, betapa sakitnya! Jadi amat beralasan bila Aditia membenci Purbajaya habis-habisan. Sungguh bisa dimengerti bila Raden Ranggasena dari Carbon begitu memusuhinya. Sementara Purbajaya sendiri, tidak ingin punya musuh dan tidak ingin memiliki dendam hanya karena urusan cinta-kasih. Itulah sebabnya, sesedih apa pun karena cinta, Purbajaya tak mau terikat oleh yang namanya cinta.
Ketika suatu malam sebelum berangkat tugas, baik di Carbon mau pun di Sumedanglarang, Purbajaya selalu dilepas oleh tatapan mata indah seorang gadis. Baik Nyimas Waningyun mau pun Nyimas Yuning Purnama, keduanya sama-sama melepas Purbajaya dengan menyembunyikan sebuah perasaan berat bernama cinta. Namun Purbajaya mencoba menulikan telinga dan membutakan mata, agar langkahnya tidak terhambat dan agar wajahnya tak berpaling ke belakang untuk menguak kenangan. Segala masalah dilewatkan begitu saja, hanya menghasilkan hilangnya dendan dan benci di hati. Itulah sebabnya, Purbajaya sanggup mengikuti ke mana Raden Yudakara pergi. Tanpa perasaan dendam di hati, maka penyelidikan bisa berjalan dengan lancar. Paling tidak, Purbajaya bisa mencari kebenaran tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi.
Itu pula sebabnya, berhari-hari Purbajaya bersama Raden Yudakara, tidak secuil pun dia bertanya perihal Nyimas Waningyun. Dia tak ingin tahu, mengapa pemuda bangsawan yang "dititipi amanat" malah memakan isi kebun yang musti dijaganya. Purbajaya tak bertanya sebab kalau bertanya hanya akan menguak luka lama saja. Satu-satunya kepentingan Purbajaya mengikuti Raden Yudakara, hanyalah untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti pemuda bangsawan itu.
*** ADA satu masalah lagi yang jadi teka-teki hati Purbajaya. Kematian pemuda Wista membuat hatinya penasaran. Ketika jasad pemuda itu mau dia kuburkan, di leher mayat Wista terdapat luka memar. Ini hanya menandakan, pemuda itu tewas karena dibunuh orang. Ada orang membunuh Wista dengan sebuah pukulan telak di leher. Siapa yang membunuh pemuda itu"
Aditia memang menuduh Purbajaya yang bunuh Wista hanya karena alasan dialah yang tidurnya dekat dengan Wista. Namun Purbajaya pun bisa menuduh kalau Aditialah yang bunuh Wista dan tanggungjawabnya ditimpakan kepada Purbajaya.
Purbajaya bergidik sendiri kalau dugaannya sampai sejauh itu. Benarkah Aditia yang bunuh Wista"
Hal ini memang amat memungkinkan. Aditia mungkin marah kepada Wista yang mulai akrab dengan Purbajaya, padahal Aditia punya keinginan semua teman-temannya memusuhi Purbajaya. Bisa saja kebencian Aditia kepada Wista semakin berlipat setelah Wista kerapkali menyalahkan tindakan Aditia yang dianggapnya ceroboh dan sebaliknya jadi memuji-muji Purbajaya karena Wista banyak menerima bantuan.
Menurut perkiraan Purbajaya, Aditia punya orang yang bisa dikambinghitamkan dalam upaya melenyapkan nyawa Wista, yaitu dirinya. Waktu itu Wista banyak mengomel kepada Purbajaya dan kemudian Purbajaya balik membalas dengan omelan pula karena Wista manja dan cengeng. Maka "pertengkaran" ini digunakan Aditia sebagai peluang dalam membunuh Wista sebab kelak yang akan dituduhnya adalah Purbajaya. Oleh sebab itu, siang harinya setelah Wista mati, Purbajaya langsung dituduh sebagai pembunuh Wista.
Akan halnya Yaksa yang akhirnya dibunuh Aditia, mungkin pemuda ini pun akhirnya jadi sasaran kemarahan Aditia karena ragu-ragu dan bimbang saat diperintah untuk balik membunuh Purbajaya. Apalagi kemarahan Aditia semakin memuncak ketika Yaksa malah balik menuding kalau Aditia mungkin pembunuh sebenarnya. Aditia marah merasa dikhianati oleh kedua orang temannya, padahal menurut hemat dia, kedua orang temannya musti bantu dia dalam membenci Purbajaya habis-habisan.
Kalau benar Aditia membunuh dua temannya, maka jelaslah sudah, alasan utamanya adalah kecewa karena sikap dua temannya yang plinplan dalam memusuhi Purbajaya. Baik Wista mau pun Yaksa dianggapnya sudah tak mendukung lagi dan ini amat tak disukai Aditia.
Namun benar atau tidak sangkaan ini, yang jelas, peristiwa ini telah menyeret Purbajaya ke jurang kesulitan. Bagaimana tak begitu, secara tak sengaja dia telah terlibat pembunuhan. Aditia telah terbunuh hanya karena Purbajaya tak bisa menahan emosi. Bagaimana kelak dia musti mempertanggungjawabkan perkara ini kepada Ki Dita, kepada Ki Bagus Sura, bahkan kepada penguasa Sumedanglarang" Semuanya akan menuntut dia dan mungkin akan menghukumnya.
Purbajaya jadi susah untuk menemui mereka sebab Purbajaya tak punya apa yang musti jadi bahan yang bisa menjelaskannya. Ki Dita pasti akan marah besar dan akan mudah saja menuding kalau ketiga muridnya dia yang bunuh sebab selama ini antara ketiga orang muridnya dengan Purbajaya tidak punya kecocokan. Ki Bagus Sura memang benar tak menyukai ketiga orang murid Ki Dita. Namun dalam menghadapi urusan ini, orang tua itu akan menderita kesulitan dalam membela Purbajaya. Barangkali dia pun akan ikut terseret oleh masalah ini mengingat antara Ki Bagus Sura dengan para orangtua ketiga orang muda itu tidak pernah akur pula.
Hubungan Ki Bagus Sura dengan ketiga orangtua anak muda yang tewas itu akan semakin memburuk jua. Jelas, urusan ini akan membuat posisi Ki Bagus Sura menjadi terganggu.
Buruk, memang buruk. Dan ini terjadi hanya karena Purbajaya tak bisa menahan diri. Memang benar kata Paman Jayaratu, orang cepat marah hanya akan merugikan dunia.
Ah ... Kalau saja aku tak bunuh Aditia, keluhnya.
Tidak! Aku tak bunuh dia, bantah hatinya lagi. Paling tidak, aku tak bermaksud membunuhnya. Yang membuat dia terbunuh karena keberingasannya saja, bantah hati Purbajaya lagi. Ya, sebab kalau pun dia tak bunuh Aditia, urusan belum tentu beres. Aditia akan tetap bertahan pada fitnahnya dan akan tetap menuduh Purbajaya sebagai pembunuh Wista. Mungkin kematian Yaksa pun akan ditimpakan kepadanya dengan alasan bahwa cekcoknya Yaksa dengan Aditia karena memperkarakan Purbajaya.
"Ah ... Aku tak bisa kembali ke Sumedanglarang ... " keluh Purbajaya.
Dan ingat Sumedanglarang jadi ingat Nyimas Yuning Purnama. Hatinya kembali menjadi sedih. Sudah semakin jelas kini kalau dirinya tak mungkin bertemu lagi dengan gadis bermata sayu itu. Atau paling tidak, dia sudah tak mungkin bisa melaksanakan apa yang jadi harapan Ki Bagus Sura agar Purbajaya mau merawat dan melindungi kehidupan gadis itu.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa ... " keluhnya lagi berkali-kali.
Yang bisa dia lakukan kini hanyalah ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Mungkin ini menyebalkan sebab harus selalu berdekatan dengan orang yang tidak dia sukai. Mungkin ini membuatnya muak sebab harus selalu bersama-sama dengan orang yang selamanya harus dia curigai.
Terus-terusan mencurigai seseorang bagi Purbajaya merupakan sebuah siksaan. Namun suka atau tidak suka, pemuda pesolek yang romantis atau bahkan gila perempuan ini harus terus dikuntit. Pertama karena pertalian amanat Ki Bagus Sura agar terus menyelidiki Raden Yudakara kalau surat daun lontar milik negara tidak bisa diselamatkan dan kedua karena memang Purbajaya kini di bawah tekanan pemuda ini.
Ya, halus atau tidak ucapan Raden Yudakara, maksudnya tetap satu, bahwa pemuda itu mengisyaratkan agar Purbajaya ikut dia. Perbuatan Purbajaya yang membunuh Aditia secara tak sengaja, dijadikannya sebuah tekanan agar Purbajaya tetap berada di samping Raden Yudakara.
Purbajaya tak tahu, mengapa pemuda aneh itu tidak mau melepaskannya. Apa yang diharapkan Raden Yudakara darinya" Padahal dia tahu, berdekatan satu sama lain tidak saling cocok. Raden Yudakara selalu banyak bicara, sementara Purbajaya tidak. Raden Yudakara semberono dan gila wanita, sedang Purbajaya selalu bertindak hati-hati dalam hal apa pun, termasuk urusan cinta.
Sama sekali tidak ada kecocokan. Tapi mengapa Raden Yudakara selalu ingin dekat dengannya" Mungkinkah benar pemuda bangsawan ini membutuhkan tenaga Purbajaya untuk melakukan penyusupan ke Pajajaran dengan mengandalkan keakhlian dirinya sebagaipuhawang (akhli kelautan) atau hanya karena ada tekanan dari pihak luar agar Raden Yudakara "menjaga" Purbajaya"
Purbajaya ingat, Pangeran Arya Damar pun sama seperti begitu "memerlukan"nya dan dia harus ikut misi penyusupan ke Pajajaran. Benar-benarkah amat diperlukannya, sementara Paman Jayaratu sendiri menekankan agar misi yang dianggap gila ini dibatalkan saja"
Segalanya masih misteri baginya. Namun justru agar misteri ini bisa terungkap, maka Purbajaya mau tak mau musti ikut ke mana Raden Yudakara pergi. Dengan perkataan lain, biarkan dirinya dimanfaatkan oleh pemuda aneh ini sehingga dia bisa tahu, misi apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan.
Satu misteri telah bisa ditelusuri sekali pun masih samar-samar. Raden Yudakara ternyata selalu menguntit ke mana pasukan siluman bergerak.
Melihat hal ini, Purbajaya mencoba menarik kesimpulan. Pertama, pemuda itu berusaha menguntit jejak pasukan siluman karena sama merasa merasa penasaran kepada kemisteriusan pasukan itu. Dan kesimpulan yang kedua, Raden Yudakara pun sama menginginkan surat daun lontar itu. Bila kesimpulan kedua yang benar, maka bisa dipastikan, Raden Yudakara sudah tahu kalau surat daun lontar itu isinya membahayakan kedudukannya.
Tentu saja bila dilihat sepintas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sepertinya punya keinginan yang sama yaitu ingin merebut surat daun lontar yang kini dikuasai oleh Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih. Namun motif dari keduanya tentu jauh berbeda. Purbajaya ingin surat daun lontar yang dikirimkan Kangjeng Pangeran Santri dari Sumedanglarang harus sampai ke tangan Kangjeng Sunan Parung di Karatuan Talaga. Sementara Raden Yudakara malah punya tujuan sebaliknya. Surat daun lontar tidak boleh sampai. Ini hanya perkiraan-perkiraan semata sebab hal sebenarnya belum diketahui persis dan baru bisa diketahui bila Purbajaya terus mengikuti dan meneliti tindak-tanduk pemuda aneh ini.
Yang jelas, baik Purbajaya mau pun Raden Yudakara sekarang ini sama-sama tengah menguntit pasukan siluman secara diam-diam tapi kalau surat daun lontar lepas dari genggaman pasukan misterius itu, maka giliran Purbajaya dan Raden Yudakaralah yang bersaing memperebutkannya.
*** PERJALANAN kedua orang itu akhirnya tiba di persimpangan jalan pedati. Jalan yang lurus ke selatan akan mengarah ke Gunung Cakrabuana dan yang ke timur akan menuju Karatuan Talaga.
Purbajaya jadi terkenang kepada peristiwa sepuluh bulan atau setahun yang silam. Waktu itu pun Purbajaya melakukan perjalanan menuju kaki Gunung Cakrabuana. Bedanya, dulu lewat timur melalui Karatuan Rajagaluh sementara sekarang datang dari sebelah utara. Dulu berangkat dari Carbon, sekarang datang dari wilayah Ciguling (ibu kota Karatuan Sumedanglarang).
Purbajaya pun jadi terkenang akan gurunya. Ingin sekali dia naik ke puncak dan menemui Paman Jayaratu. Barangkali Purbajaya akan memaksa agar dirinya diterima orang tua itu dan tetap tinggal bersamanya hingga akhir hayat.
Kalau ingat ini, Purbajaya merasa kalau Paman Jayaratu bertindak tak adil. Dengan alasan masih muda, Purbajaya diperintahkan melakukan pengembaraan agar banyak menerima pahit-getirnya pengalaman hidup, sementara Paman Jayaratu yang sudah tua tinggal menyepi di tempat sunyi dan mengasingkan diri dari kemelut dunia.
Ya, ini tak adil. Mengapa orang tua boleh menjauhkan diri dari kemelut sementara dirinya yang masih muda malah "sengaja" disuruh mendekatkan diri kepada berbagai permasalahan dunia" Apakah anak muda tidak sah menjadi manusia kalau belum merasakan pahit-getirnya kehidupan" Purbajaya ingin bahagia, tetapi mengapa harus melalui kepahitan dulu"
Padahal yang dimaksud kebahagiaan oleh Purbajaya tidak banyak. Dia tak ingin jadi orang terkenal, tak ingin jabatan atau pun kekayaan. Yang dia inginkan adalah hidup yang tentram. Dan ketentraman baginya adalah bila bisa menjauhkan diri dari berbagai permasalahan dunia, menjauhkan diri dari perbedaan pendapat dan menjauhkan diri dari persaingan hidup. Selama bersama Paman Jayaratu di wilayah Carbon, hal itu sudah pernah dirasakan. Purbajaya tak pernah punya masalah sebab Paman Jayaratu tidak pernah memberinya masalah.
Masalah mulai hadir ke hadapannya setelah dia banyak berjumpa dengan orang lain yang punya kehendak lain dan pandangan hidup berbeda. Maka di sanalah kemelut terjadi dan di sanalah ketentraman hidupnya terganggu. Jadi menurutnya, Paman Jayaratu kejam karena telah menjauhkan dirinya sehingga Purbajaya terlontar ke kehidupan ramai yang begitu banyak ragamnya dan amat memusingkannya.
Menurut kata hatinya, pendapat Paman Jayaratu itu salah. Orang tua itu mengatakan bahwa nilai kehidupan yang sempurna adalah bila memiliki wawasan dan pengalaman yang luas. Itu salah. Menurut Purbajaya, pengetahuan dan pengalaman hanya menambah kesulitan belaka. Karena punya pengetahuan jadi punya keinginan. Dan karena punya pengalaman jadi punya penderitaan. Padahal selama bersama Paman Jayaratu, dia tak punya keinginan. O, Paman Jayaratu lupa, hanya karena manusia punya keinginan maka akan berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan.
Sekarang, mengunjungi Paman Jayaratu rasanya mustahil. Raden Yudakara tidak akan mengajaknya ke puncak. Bagi pemuda bangsawan itu, puncak Cakrabuana baginya adalah mimpi buruk. Betapa tidak, dia yang bertugas memerangi Ki Darma malah sembunyi manakala terjadi pertempuran antara pasukan Carbon dan pasukan Pajajaran. Betapa memalukan ini. Dan agar serasa tak diingatkan kepada peristiwa ini, maka bisa ditebak kalau pemuda bangsawan ini tidak berniat singgah di Cakrabuana.
Nama Paman Jayaratu dan Ki Darma bagi Raden Yudakara bukanlah nama yang boleh diakrabi. Pemuda itu tak akan cocok untuk bergaul dengan kedua orang tua bijaksana itu. Lagi pula, tujuan Raden Yudakara adalah menguntit ke mana pasukan siluman bergerak. Kalau yang dikuntitnya menuju wilayah Cakrabuana, barangkali baru dia mau.
Dan kenyataannya, yang dikuntit tidak menuju ke wilayah gunung, melainkan lurus ke timur, sepertinya mau menuju ke Bantarujeg atau ke Talaga. Tapi benarkah mereka mau menuju ke sana"
Entah ini perjalanan yang menguntungkan atau tidak bagi Purbajaya. Bisa disebut menguntungkan sebab Talaga sudah tak begitu jauh lagi. Dengan demikian, kepada penguasa Talaga Purbajaya bisa segera menyampaikan hal-hal yang mencurigakan yang dikerjakan Raden Yudakara. Namun juga bisa disebut tidak menguntungkan sebab sampai dengan hari ini, Purbajaya belum bisa merebut kembali surat daun lontar dari genggaman pasukan siluman.
Tanpa bukti surat ini, berita apa pun sulit dipercaya kebenarannya. Apalagi Purbajaya tidak memiliki identitas apa-apa yang bisa diperlihatkan kepada penguasa Talaga. Orang Talaga takkan berani begitu saja ikut mencurigai Raden Yudakara yang jadi kepercayaan Carbon selama ini.
Dan waktu semakin sempit, sementara kesempatan untuk mendapatkan kembali surat daun lontar itu belum juga ada.
Malam itu mereka berdua kemalaman di sebuah hutan. Untuk menjaga diri dari bahaya binatang buas, Raden Yudakara mengajak Purbajaya tidur di dahan pohon. Masing-masing memilih dahan pohon yang sekiranya enak dan nyaman untuk dibuat tempat tidur. Purbajaya sengaja memilih dahan yang jaraknya tak terlalu dekat dengan dahan yang dipilih oleh Raden Yudakara.
Sudah diputuskan di dalam hatinya, malam ini Purbajaya akan menyelinap pergi dengan tujuan mencari pasukan siluman seorang diri. Purbajaya menduga, bila Raden Yudakara mengajaknya beristirahat, pertanda kelompok yang tengah dibuntutinya berada di dekat-dekat situ. Purbajaya sudah memperhitungkan, di saat pemuda itu tertidur pulas, maka di situlah dia akan meninggalkannya.
Tengah malam di saat cuaca dingin berkabut, sudah terdengar dengkur keras pemuda bangsawan itu. Purbajaya sebetulnya sedikit iri, orang seperti itu oleh Tuhan diberi kemudahan untuk menikmati tidur dalam keadaan apa pun. Kata orang, yang mudah tidur dan tidurnya mendengkur bebas hanya menandakan bahwa orang itu tidak punya permasalahan berat dalam hidupnya. Sementara Purbajaya sendiri kalau mau tidur susahnya bukan main. Mata mengantuk tetapi pikiran jalan. Yang dipikirkan kebanyakan yanag ruwet-ruwet saja. Nanti kalau capek dan kalau malam hampir berganti pagi, baru bisa tidur saking lelahnya.
Malam ini, Purbajaya pun tidak tidur barang sekejap. Makanya dia tahu persis kalau Raden Yudakara sudah mendengkur aman. Oleh sebab itu, dia pun segera melorot turun dari dahan dengan amat hati-hati. Begitu hati-hatinya sampai-sampai upaya menuruni batang pohon itu demikian makan waktu lama. Purbajaya tak ingin ada gerakan walau sedikit. Jangan ada binatang serangga yang tengah bunyi mendadak berhenti karena gerakan asing. Kalau serangga malam berhenti berbunyi, Raden Yudakara pasti curiga.
Tapi walau dengan susah-payah, akhirnya Purbajaya bisa juga melorot turun. Dan sambil tak mengurangi kehati-hatian, Purbajaya meninggalkan tempat itu.Pergi ke mana" Tentu pergi ke daerah agak tinggi dari hutan itu. Kendati malam terbungkus kabut, namun samar-samar Purbajaya sebenarnya sudah sejak tadi bisa melihat adanya sebuah cahaya. Samar-samar dan amat tipis sekali. Tapi kalau diamati dengan baik, cahaya yang bagaikan setitik kunang-kunang itu bisa diyakini sebagai cahaya api. Kunang-kunang akan bercahaya kuning kehijau-hijauan sementara cahaya api kemerah-merahan. Purbajaya menduga itu adalah cahaya api unggun.
Memasang api unggun di saat malam gelap berkabut dengan cuaca begitu dingin memang amat cocok. Namun, siapakah yang memasang api di tengah hutan begini" Tadi siang Purbajaya meneliti kalau di sini tidak terdapat perkampungan penduduk, tidak juga ada petani yang menjaga huma. Satu-satunya perkiraan Purbajaya, yang memasang api unggun di malam berkabut ini tentulah anggota pasukan siluman.
Dengan perasaan tegang, Purbajaya mencoba mendekati tempat itu. Tapi untuk mendekatinya musti merambah bukit kecil sebab cahaya itu sepertinya datang dari sebuah lereng bukit. Dan ketika dia mendekati daerah itu, semakin nyata kalau di sana ada orang tengah menyalakan api unggun.
Purbajaya berpikir kalau anggota pasukan siluman ini amat melecehkannya. Betapa tidak. Gerakan mereka selalu dilakukan secara misterius dan main sembunyi. Datang dan pergi tak pernah orang tahu kapan dan di mana. Namun kali ini mereka tak memperlihatkan kebiasaan itu. Menyalakan api unggun di tengah malam hanya menandakan bahwa mereka tak takut siapa pun.
Namun kendati lawan demikian tangguh, Purbajaya akan tetap berusaha. Keputusannya sudah bulat untuk merebut kembali kotak surat daun lontar yang sempat dirampas pasukan siluman. Dia harus melaksanakan amanat Ki Bagus Sura yang tetap menginginkan keberadaan Raden Yudakara yang penuh misteri terkuak dan diberitakan kepada penguasa Karatuan Talaga.
Kini Purbajaya semakin mendekati cahaya api. Dan dari jarak pandang tak begitu jauh lagi, Purbajaya melihat bahwa di sebuah hamparan tanah miring perbukitan belasan orang tengah berkumpul mengelilingi api unggun. Ya, melihat jenis pakaian mereka yang menggunakan kain serba hitam dengan ikat kepala hitam hampir menutupi jidatnya, bisa dipastikan kalau mereka adalah anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih.
Api menjilati kayu bakar dan semakin lama semakin membuat cahaya semakin benderang juga. Kini bunga api malah beterbangan ke udara karena api sengaja disulut semakin besar, sepertinya mereka sengaja hendak membikin suasana jadi terang agar yang tengah mengintip bisa leluasa melihat mereka.
Apakah ada orang yang ditunggu" Rasanya benar, sebab walau pun mereka duduk berkumpul, namun cara duduknya seperti membentuk kuda-kuda, siap melakukan gerakan sesuatu yang mendadak.
"Ah, yang datang bukan pimpinan kita. Tapi hai,Ki Silah (Saudara) yang sembunyi di semak, silakan hadir ke sini untuk sama-sama menghangatkan tubuh," kata seseorang dari anggota pasukan siluman.
Purbajaya amat terkejut. Dia mau bangun dari tempat sembunyinya sambil celingukan ke sana ke mari. Dengan pipi terasa panas karena malu diketahui musuh, Purbajaya akan segera berdiri, ketika tiba-tiba dari rimbunan pohon di arah sana keburu ada orang lain yang berdiri dan kemudian meloncat mendekati tempat di mana anggota pasukan siluman berada.
Purbajaya bernapas lega. Ternyata yang kepergok ngintip bukan dirinya, melainkan orang lain. Hanya saja Purbajaya jadi terkejut sebab yang barusan loncat adalah Ki Sudireja. Dia heran, orang tua itu begitu tangguh tapi ternyata ceroboh sehingga diketahui lawan kalau dia tengah mengintip.
"Lho, malah Ki Sudireja yang datang. Tak apa. Mari ke sini. Malam sungguh dingin dan membuat tulang serasa ngilu," kata orang dari pasukan siluman.
"Jangan banyak basa-basi. Aku hanya inginkan anak bernama Pragola kembali ke tanganku," kata Ki Sudireja tak menerima sambutan hangat.
"Ah, anak itu masih terlalu kecil. Anak usia tujuh tahun jangan kau bawa-bawa ke dalam urusanakal-akalan (politik)," jawab anggota pasukan siluman sambil menambah kayu bakar di bara api.
"Mau dibawa ke mana anak itu, aku yang bertanggungjawab, sebab akulah yang tengah dan akan membesarkannya," jawab Ki Sudireja kaku.
"Sikap mau menang sendiri seperti ini amat berbahaya. Apa kau tak merasa khawatir kalau anak itu kelak selamanya berada dalam mara-bahaya?"
"Justru bila anak itu berada di dalam kungkungan kalian maka anak itu akan berada di dalam bahaya. Kalian hidup dalam kurungan mimpi. Entah setan apa yang mempengaruhi kalian sehingga kalian tak menghargai hidup masa kini," kata Ki Sudireja tandas.
"Jangan mengolok-olok. Semua orang punya keyakinan dan semua orang hanya beranggapan, keyakinan dirinyalah yang benar dan baik."
"Memang benar. Tapi sejauh mana keyakinan itu punya arti" Benarkah selama ini engkau mendapatkanwangsit (amanat) dari Nyi Rambut Kasih" Siapa di antara kalian yang pernah bertemu dengan putri Sindangkasih yang telah menghilang puluhan tahun silam itu?" tanya Ki Sudireja.
Tidak ada yang menjawab.
"Kalian telah diracuni oleh jalan pikiran sendiri," cerca Ki Sudireja lagi.
"Tidak. Kami punya pemimpin."
"Kalau begitu, pimpinan kaliannlah yang meracuni!"
"Diam! Kau tak punya hak menilai pemimpin kami. Orang yang jauh dan tak mengenal seseorang tak mungkin bisa menilai baik buruknya seseorang itu. Sudahlah, nyawamu di tanagan kami. Hanya karena pemimpin tak menginginkan kau mati maka nasibmu baik hingga kini. Tempo hari kami kehilangan tiga orang anggota hanya karena pemimpin kami tak menyukai kami menganiayamu. Sekarang pergilah sebelum pemimpin kami berubah pikiran!" kata seorang anggota pasukan siluman bertubuh tinggi besar berkulit hitam legam dan yang rupanya pemimpin dari mereka."Pergilah, kami jamin anak itu selamat tak kurang suatu apa," katanya lagi.
"Di mana anak itu?"
"Di wilayah Sindangkasih."
"Aku ingin bertemu pimpinan kalian!"
"Tidak bisa. Cepatlah pergi, kami tak mau ehilangan nyawa anggota kami lagi. Hanya satu kesalahan saja, maka pemimpin kami tak tanggung-tanggung membunuh kami seperti tempo hari!" kata si tinggi besar dan itu membuat hati Purbajaya terkejut setengah mati.
*** "PERGILAH cepat!" untuk ke sekian kalinya anggota pasukan siluman mengusir Ki Sudireja.
Dan rupanya orang tua setengah baya itu pun tahu diri. Sesudah mendengus sebentar, Ki Sudireja meloncat pergi dan menghilang di kegelapan malam.
Purbajaya pun sebetulnya setuju Ki Sudireja pergi sebab pengalaman tempo hari ketika dia melawan anggota pasukan siluman, terlihat amat payah dikeroyok dengan ketat oleh lawan. Dan kalau saja Raden Yudakara tidak menolongnya dengan menyambit tiga orang anggota pasukan siluman, mudah diduga kalau Ki Sudireja akan kalah dan bahkan mungkin tewas.
Tapi ingat sampai di sini, wajah Purbajaya kembali pucat saking terkejutnya. Tapi anggota pasukan siluman berkata kalau pemimpin mereka telah menewaskan tiga orang dari mereka karena pemimpin tak setuju Ki Sudireja dianiaya. Sudah gilakah jalan pikiran Purbajaya kalau kali ini dia menduga Raden Yudakara adalah pemimpin anggota Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih"
"Hai, engkau yang jongkok di semak, cepat ke sini!" tiba-tiba terdengar teriakan dari si tinggi besar dan amat mengejutkan Purbajaya.
Kembali Purbajaya celingukan. Mudah-mudahan saja kejadiannya seperti tadi, yaitu orang-orang itu bukan memanggil dirinya. Tapi setelah ditunggu lama, tak ada orang lain muncul dari semak. Dengan demikian, kini Purbajaya yakin kalau dirinyalah yang barusan dipanggil.
Dengan perlahan Purbajaya keluar dari semak. Semua orang menatap dirinya dengan penuh ejekan.
"Sebetulnya sejak tadi engkau aku panggil tapi yang datang malah orang lain. Kenapa dari tadi kau ngintip kami?" tanya si tinggi besar berkacak pinggang.
Purbajaya tersipu malu. Jadi benar mereka orang hebat. Ketika dia baru datang pun sebetulnya mereka sudah tahu kehadirannya. Itulah sebabnya api unggun semakin dinyalakana. Namun barangkali Ki Sudireja tadi salah menyangka. Disangkanya, kedatangan dirinya telah diketahui lawan sehingga dia langsung terjun memperlihatkan diri.
"Dia dari kelompok Ki Bagus Sura!" teriak salah seorang dari mereka menudingkan telunjuknya.
"Ya, aku pun tahu. Tapi yang aku bingungkan, mengapa pula pemuda bodoh ini menguntit kita?" tanya si tinggi besar masih berkacak pinggang.
"Kalian pasti sudah tahu maksud kedatanganku!"jawab Purbajaya tandas. Urat-urat di tubuhnya menegang, siap mengahadapi hal-hal yang tak diinginkan.
"Bahkan kami tak tahu. Engkau bersusah-payah menguntit kami, ada apakah?" tanya si tinggi besar mengerutkan dahi.
"Serahkan peti surat daun lontar milik Ki Bagus Sura!" tangan kanan Purbajaya menyodorkan tangan kanan ke depan seolah-olah menyuruh agar barang yang dimintanya segera dikembalikan padanya.
"Heh, berani-beraninya. Engkau tak punya kepentingan khusus mengenai ini. Pergilah sana!" telunjuk si tinggi besar mengarah ke tempat jauh sepertinya memang menyuruh Purbajaya pergi jauh dan jangan mengganggu mereka.
"Secara pribadi mungkin benar aku tak punya kepentingan. Namun aku adalah anggota misi Sumedanglarang, harus menyelamatkan benda yang jadi tugas kami untuk dijaga agar tiba dengan selamat kepada orang yang berhak kami serahkan. Cepat serahkan surat itu!" bentak Purbajaya namun hanya disambut gelak ketawa mereka
Purbajaya marah dan terhina, orang bicara serius malah diketawain. Sepertinya Purbajaya hanyalah anak-anak di mata mereka.
"Kalian mungkin orang hebat dan aku tak bisa kalahkan kalian. Tapi tugas harus aku kerjakan. Mati dalam tugas bukan sesuatu yang dosa buatku!" kata Purbajaya. Dan serentak dengan itu Purbajaya melakukan serangan tajam. Serangan ini tak main-main. Dia mengeluarkan seluruh tenaga dan kemampuannya karena tahu lawan orang-orang hebat semua. Namun hanaya satu kali gerakann saja, semua serangan bisa digagalkan si tinggi besar.
"Engkau pemberani dan setia kepada tugas. Kami butuh orang sepertimu, maka bergabunglah, anak muda," kata si tinggi besar masih memainkan jurus-jurus menghindar karena Purbajaya tetap melakukan serangan.
"Keluarkan surat daun lontar dan serahkan padaku!" teriak Purbajaya tak menggubris tawaran si tinggi besar.
Si tinggi besar tertawa. Lantas dariendong (kantung kain) yang dari tadi tersandang di bahunya, dia mengeluarkan sesuatu dan diangkatnya tinggi-tinggi.
"Inikah yang engkau maksud, anak muda?"
Purbajaya menatap susunan daun lontar yang tersusun rapi dan diikat benang sutra warna merah. Dia memang tak tahu, apa benda itu yang dimaksud sebab sebelumnya dia pun tak pernah melihatnya.
"Isinya tidak akan kau mengerti kecuali hanya mengacaukan keadaan saja," kata si tinggi besar masih mengacungkan susunan daun lontar tinggi-tinggi.
"Kumengerti atau tidak, kewajibanku hanya menyelamatkan benda itu! Cepat serahkan!" kata Purbajaya sambil kembali menyerang dan untuk ke sekian kalinya serangannya lolos begitu saja karena gerakan hindar si tinggi besar demikian gesit dan ringan.
"Sudah kuangkat tinggi-tinggi benda ini. Kewajibanmu ringan saja, yaitu hanya menggapainya. Mari anak muda, semua orang perlu berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya," kata si tinggi besar menantang.
Ini adalah tantangan terbuka. Mereka tak mau memberikan benda itu secara cuma-cuma kecuali dengan sebuah ujian. Purbajaya mengerti, anggota pasukan siluman terus mengujinya dan tidak berniat mencelakakan dirinya. Dan ini amat menguntungkan Purbajaya sebab dengan demikian dia bisa leluasa melakukan serangan tanpa khawatir dirinya terluka oleh serangan balik dari pihak lawan.
Melihat benda yang diincarnya diangkat tinggi-tinggi, maka Purbajaya segera meloncat bagaikan macan hendak menangkap mangsa. Tangan kanan Purbajaya segera mencakar ke depan mengarah wajah lawan sementara kaki kiri lurus menendang menyerang ulu hati.
Namun lawan sepertinya sudah tahu kalau gerakan yang diperagakan Purbajaya hanyalah sebuah pancingan. Sebab gerkan ap punyang dilakukan, pada intinya tetap mengincar benda yang diangkat tinggi-tinggi. Oleh sebab itu, ketika serangan kaki kiri datang meluncur, tubuh lawan hanya mundur satu tindak. Dan selanjutnya dia balik menyerang tangan kanan Purbajaya melalui "patukan" tangan kirinya.
Purbajaya tak mau tangan kanannya diserang dengan totokan. Kalau totokan itu tepat mengarah urat nadi, maka bisa diduga tangan kanan Purbajaya akan mendadak lumpuh. Sebagai gantinya, tangan kanan dia tarik kembali dan tangan kiri menyorong ke depan dengan telapak tangan dibuka lebar. Namun demikian, serangan ini terpaksa harus ditarik kembali sebab tangan kiri si tinggi besar terus nyelonong dan berubah sebagai pukulan telak mengarah dada.
Purbajaya tak punya niat untuk menangkis serangan ini sebab dia tahu tenaga si tinggi besar amat bagus. Untuk itu dia harus menghindar dengan cara bersalto ke belakang beberapa kali dan jatuh di tempat agak jauh dengan kaki menapak lebih dahulu.
Purbajaya tak menghentikan gerakan. Maka ketika baru saja kakinya menginjak tanah, segera dia totolkan kembali untuk melesat ke depan dan mencoba merebut daun lontar.
Si tinggi besar seperti agak terkesima melihat gerakan Purbajaya ini. Biasanya bila orang baru saja bersalto tidak akan buru-buru membuat serangan baru sebab yang dia lakukan adalah memperbaiki kedudukan kakinya dulu. Namun yang dilakukan Purbajaya adalah lain dari kebiasaan. Itulah memang yang diajarkan Paman jayaratu, yaitu mencoba mengubah kebiasaan sehingga orang tak menduga.
Si tinggi besar yang terkejut tidak melakukan gaya hindar lagi, melainkan langsung memapaki serangan Purbajaya dengan serangan pula.
Untunglah, serangan lawan sudah diduga sebelumnya. Maka karena Purbajaya tetap tak mau mengadu tenaga, untuk kedua kalinya dia bersalto di udara. Kali ini putaran saltonya maju mengarah lawan dan Purbajaya mencoba bersalto melampaui tubuh lawan. Sambil demikian, tangan kanan Purbajaya melakukan gerakan dalam upaya merebut daun lontar di udara. Namun gerakan dan isi hati Purbajaya sudah ditebak lawan. Maka dengan entengnya si tinggi besar melengos ke samping dan tangkapan tangan purbajaya luput dari sasaran.
Purbajaya kecewa dan putus asa. Dia marah oleh kemampuannya yang terbatas. Padahal hanya dengan tangan kiri saja si tinggi besar demikian enaknya menghindar dan menyerang Purbajaya sebab tangan kanannya sejak tadi hanya mengacung ke udara memegang ikatan surat daun lontar.
Dalam keadaan terhina begini, Purbajaya jadi teringat gurunya, Paman Jayaratu. Orang tua ini dikenal sebagai bekas perwira Carbon yang handal, disegani baik oleh lawan mau pun oleh kawan. Sebagai bukti, Ki Darma saja yang dikenal hebat di Pajajaran, akhirnya tak memilih Paman Jayaratu sebagai seteru untuk selama-lamanya.
Kini kedua orang tua itu malah hidup damai di puncak Cakrabuana karena bila bermusuhan terus maka satu sama lain tak pernah saling mengalahkan.
Yang menyedihkan dari semua ini, mengapa Purbajaya yang katanya murid terkasih Paman Jayaratu malah secuil pun tidak memiliki ilmu sehebat seperti gurunya"
Dan inilah akibatnya. Menghadapi lawan yang punya kepandaian, pemuda ini menjadi bulan-bulanan. Kalau saja lawan bertindak kejam, maka sudah sejak tadi dia akan kalah.
Yang membuat Purbajaya menghargainya, biar pun lawan terkesan sombong namun sedikit pun dia tak bermaksud melukainya. Kendati Purbajaya dijadikan mainan seperti tikus dipermainkan kucing, namun sejauh ini tubuhnya selamat tak kurang suatu apa selain rasa malu yang menyesak di dada dan membuat wajahnya terasa panas saking jengkel dan malunya.
Ini adalah untuk yang kedua kalinya Purbajaya bertempur menghadapi anggota pasukan siluman. Dan melihat cara-cara mereka bertempur, sebetulnya mereka tidak memiliki jurus-jurus keras dan kejam. Kalau saja baik Paman Ranu, Ki Bagus Sura mau pun Ki Dita mengalami luka, itu karena tingkat kepandaian mereka lebih rendah ketimbang kebolehan yang diperagakan anggota pasukan siluman.
Anggota pasukan siluman memang tidak kejam. Namun demikian, Purbajaya tidak perlu memberi hati kepada mereka. Apalagi perbutan mereka telah menimbulkan keresahan bagi yang lain.
Purbajaya ingin sekali menghentikan aksi-aksi mereka. Tapi apa daya, kemampuannya demikian rendah. Sekarang pun dia begitu susah-payah hanya untuk berusaha merebut sebuah benda yang diacung-acungkan dengan santainya oleh lawan dan tanpa lawan bermaksud menempurnya.
Untung sekali, ketika dia dijadikan mainan oleh anggota pasukan siluman, tiba-tiba muncul Raden Yudakara. Dengan kehadirannya, siapa tahu akan mengubah keadaan kendati di dalam hatinya teringat kembali akan kecurigaannya.
"Raden ... bantulah saya!" kata Purbajaya sedikit menguji dan meneliti apa yang akan dilakukan pemuda itu kelak. Namun sambil demikian, Purbajaya pun ada sedikit heran. Raden Yudakara yang tadi tidur mendengkur nyatanya secara cepat bisa menemukan tempat ini juga.
"Ada apa, Purba?" tanya pemuda itu mengerutkan dahi namun ada sedikit senyum di bibirnya.
"Tolonglah ... rebutlah ..." Dan kata-kata ini tak terselesaikan sebab hatinya pun jadi ingat akan kecurigaannya. Mana mungkin Raden Yudakara mau membantunya sementara Purbajaya menduga, pemuda ini pun punya kepentingan dengan surat daun lontar itu.
"Apa yang engkau inginkan dari orang-orang ini, Purba" Hai, coba kau perlihatkan padaku, benda apa yang barusan kau acung-acungkan itu?" tanya Raden Yudakara kepada si tinggi besar.
Dan sungguh menakjubkan, dengan serta-merta benda itu dilemparkan oleh si tinggi besar kepada Raden Yudakara yang menangkapnya dengan tenang.
"Inikah yang engkau perlukan, Purba?" tanya Raden Yudakara. Dan ikatan surat daun lontar itu diangkatnya tinggi-tinggi, persis seperti si tinggi besar mempermainkan dirinya.
Serasa berhenti degup jantung Purbajaya karena rasa curiganya semakin kuat.
"Talaga sudah tak begitu jauh dari sini, sayang surat ini tidak akan pernah sampai, Purba ... " gumam Raden Yudakara. Dan dengan entengnya pemuda itu melemparkan ikatan surat daun lontar ke atas gundukan api unggun yang apinya kian membesar. Hanya dalam waktu tak begitu lama, surat yang diburu dan menimbulkan banyak korban ini berubah menjadi abu.
Untuk sejenak Purbajaya termangu. Namun sesudah itu rasa terkejutnya muncul kembali. Benar dugaannya, Raden Yudakara punya hubungan dekat dengan anggota pasukan siluman. Dan, Ya Tuhan, hubungan itu demikian dekatnya. Purbajaya ingat akan perkataan anggota pasukan siluman kepada Ki Sudireja bahwa tiga orang anngotanya tewas karena sang pemimpin tidak senang Ki Sudireja diganggu pasukan siluman. Sementara itu Purbajaya tahu persis bahwa yang membunuh tiga orang anggota pasukan siluman adalah Raden Yudakara.
"Saya tak menyangka, Radenlah yang mengendalikan semua ini ..." gumam Purbaya mengusap wajahnya sendiri. Nada suara Purbajaya terdengar bergetar. Getaran itu terjadi karena didorong oleh perasaan kesal, marah dan juga terkejut.
Sejak dulu dia memang telah merasa kalau pemuda bangsawan itu banyak diselimuti kabut misteri. Tindak-tanduk Raden Yudakara selalu terlihat ganjil dan terkesan banyak memendam rahasia.
"Terlalu banyak memikirkan urusan orang lain tak ada gunanya bagimu. Bukankah dulu di puncak Cakrabuana aku pernah bilang ahwa urusan-urusan besar tak akan mampu dicerna oleh orang sekecil kamu" Tugasmu bukan berpikir, melainkan hanya mentaati saja," kata Raden Yudakara masih dengan senyum tipisnya.
Sakit rasanya dikatakan begini oleh Raden Yudakara. Serasa benar, dirinya tak ada harganya.
"Engkau tak bisa ke mana-mana, kecuali ikut bersamaku, Purba ..." kilah Raden Yudakara lagi.
"Mengapa Raden menahanku, padahal engkau barusan bilang kalau saya ini orang tak berarti?" kata Purbajaya setengah kesal.
"Bersamaku kelak engkau akan banyak membuka mata. Tentu, kau pun akan mendapatkan tahu lebih rinci lagi, siapa dirimu sebenarnya."
"Saya tahu kalau saya adalah anak penguasa wilayah Tanjungpura dan keluarga saya dibantai oleh pasukan Pangeran Arya Damar. Dengan demikian, saya tidak akan kembali lagi ke Carbon. Tak punya manfaatnya bagi saya mengabdi kepada orang yanag membunuh kedua orangtua saya!" kata Purbajaya dengan ketus.
"Kau tak bisa meninggalkan Carbon begitu saja, sebab kalau begeitu kau akan dikejar. Ingat, kau punya dosa. Di puncak Cakrabuana kau bersama Ki Jayaratu menempur empat perwira pembantu utama Pangeran Arya Damar. Kalau berita ini sampai ke Carbon, maka secara resmi kau akan dituding pengkhianat. Apa pun yang dilakukan pasukan itu di Cakrabuana, yang jelas itu adalah pasukan resmi yang dikirim pemerintah," kata Raden Yudakara lagi.
Purbajaya teringat lagi kejadian hampir setahun lalu. Betapa dia dan Paman Jayaratu menempur pasukan Carbon karena Paman Jayaratu tak setuju pasukan itu menyerang puncak Cakrabuana.
Ucapan Raden Yudakara benar, dia akan dicap pemberontak daan pengkhianat kalau berita ini sampai ke Carbon. Dan kalau urusan lama ini diungkit, hanya punya arti bahwa Raden Yudakara ingin menekan Purbajaya dengan kejadian setahun yang lalau itu.
"Saya tak mau dituding pengkhianat, namun saya pun tak mau mau ikut engkau, Raden ... " kata Purbajaya.
"Tidak bisa! Engkau harus ikut aku!"
"Mengapa harus ikut engkau?"
"Karena kalau menolak kau akan kulaporkan sebagai pengkhianat. Sementara bila ikut aku, aku punya rencana besar di Pakuan. Dan itu semua perlu bantuanmu. Ingat, kau adalah keluarga bangsawan di Tanjungpura, wilayah Pajajaran."
"Terus terang saya muak dengan rencana-rencanamu, Raden. Apa yang engkau rencanakan, sepertinya hanya membuat kekacauan semata. Lihatlah Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih yang engkau ciptakan, betapa hanya menghasilkan keresahan di lingkungan persahabatan Sumedanglaranga dan Talaga. Saya tak mengerti, mengapa kau ciptakan suana seperti ini?" tanya Purbajaya tak habis mengerti.
"Hahaha! Dengarkan, anak muda ini mempertanyakan kehadiran kalian. Adakah di antara kalian yang ingin menjawabnya?" tanya Raden Yudakara menatap berkeliling.
"Kaimi adalah keturunan Karatuan Sindangkasih yang merasa simpati kepada kesedihan dan rasa sakit hati Kangjeng Nyimas Rambut Kasih. Putri itu adalah orang yang terasing, terdesak dan terhempas dari dunianya. Mengapa kami sebagai keturunannya tidak merasa sakit hati?" kata seseorang dari anggota pasukan siluman Nyi Rambut Kasih lantang. Aneh sekali, kendati lantang tapi nada bicaranya seperti menahan tangis dan haru. Bahkan akhirnya semua anggota menangis sesenggukan.
Purbajaya merasa bulu romanya berdiri. Demikian fanatiknya mereka terhadap junjungannya yang bernama Nyimas Rambut Kasih. Padahal melihat usia mereka yang paling tinggi rata-rata sekitar tigapuluh tahun, mereka takkan pernah mengenal tokoh Karatuan Sindangkasih itu secara dekat, tokh Nyimas Rambut Kasih telah menghilang tak tentu rimbanya lebih dari enampuluh tahun silam.
"Junjungan kalian puluhan tahun silam, benar memimpin Karatuan Sindangkasih. Namun setelah Nagri Carbon berkembang, beliau menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan baru mulai muncul untuk menggantikan kehidupan lama. Beliau rela melepaskan zaman yang dimilikinya untuk diberikannya kepada zaman baru," kata Purbajaya mencoba menyadarkan anggota pasukan siluman.
"Kangjeng Putri adalah wanita yang arif. Beliau tidak meminta apa yang beliau mau dan tidak menolak apa yang beliau tak suka. Segala sesuatu terpulang kepada kita ayang memperlakukannya. Apakah kita meminta sesuatu kepada beliau sesuai dengan kelayakan atau tidak" Itulah yang kami sakitkan. Orang melakukan perubahan tanpa menilai apakah orang lain suka atau tidak akan perubahan itu," kata lagi anggota pasukan siluman.
"Sudah, hentikan pertikaian. Sebab yang akan kita kerjakan kelak, bukan mengira-ngira perihal jalan pikiran junjungan kalian, melainkan untuk merencanakan bagaiamana perjalanan hidup kita kelak menjadi lebih baik," Raden Yudakara menengahi."Sekarang kalian boleh pergi. Tunggulah aku di tempat biasa ..." Raden Yudakara berkata sambil membalikkan tubuh membelakangi anggota pasukan siluman. Seperti sudah mengerti melihat sikap ini, sepertinya benar, ini adalah perintah untuk segera angkat kaki. Buktinya tanpa bertanya itu-ini, semua anggota pasukan segera berloncatan meninggalkan tempat ini.
Tinggallah Raden Yudakara berdua dengan Purbajaya.
"Engkau mempengaruhi mereka agar punya keyakinan seperti itu?" tanya Purbajaya.
"Hahahaha. Engkau cukup pandai, Purba ... "
"Tidak perlu sambil ketawa. Tapi kau terangkanlah Raden, mengapa hal itu musti dilakukan?" tanya Purbajaya namun dengan nada masih ketus.
"Masih ingatkah ucapan para pembantu Pangeran Arya Damar kepada Ki Jayaratu di puncak Cakrabuana?"
"Apa itu?" Purbajaya mengingat-ingat.
"Bahwa untuk melahirkan pahlawan maka ciptakanlah kemelut dan engkau pun akan muncul!" kata Raden Yudakara.
"Apa keuntungan Raden menciptakan kemelut di sini?"
Bab 13 "Panageran Arya Damar butuh permasalahan agar punya alasan menggempur Pajajaran. Maka aku ciptakan Pasukan Nyi Rambut Kasih, dibentuk dari orang-orang Sindangkasih yang tetap rindu akan masa lalu. Orang-orang yang berkutat dengan masa lalu, pasti akan membenci masa kini.
Orang-orang Sindangkasih pasti membenci Carbon, Sumedanglarang atau Talaga dan akan berpihak kepada Pajajaran. Inilah sebuah masalah. Tidak salahkah bukan, kalau aku bertindak pula sebagai pahlawan dalam menyelamatkan situasi?" tutur Raden Yudakara dengan senyum dikulum namun membuat Purbajaya semakin sebal mendengarnya.
"Engkau dan Pangeran Arya Damara setali tiga uang!" teriak Purbajaya jengkel dan berjingkat meninggalkan tempat itu.
Namaun belum lagi beranjak, Purbajaya sudah dijegal Raden Yudakara. Tangan kiri Purbajaya ditarik keras sehingga tubuh Purbajaya terjengkang ke belakang. Sebelum tubuhnya jatuh, dia segera salto. Akibatnya, pegangan tangan Raden Yudakara lepas karena terpelintir gerakan salto.
Purbajaya beberapa kali bersalto agar segera menjauh dari pemuda jahat itu. Namun Raden Yudakara terus mengejar, bahkan kini mengirimkan pukulan-pukulan keras.
Dan akhirnya terjadilah perkelahian seru.
Sudah lama Purbajaya ingin menguji sejauh mana kepandaian pemuda yang banyak memiliki akal licik ini. Dulu pertanding lari ke puncak Cakrabuana dan rasanya Purbajaya bisa memenangkan lomba itu. Namun adu tenaga seperti itu tidak menjamin bahwa dalam pertempuran pun Purbajaya bakal unggul. Bahkan Purbajaya musti berhati-hatai. Kalau Raden Yudakara sanggup memimpin pasukan siluman yang semua anggotanya hebat-hebat, barangkali pemuda bangsawan itu kini semakin memiliki kepandaian hebat. Purbajaya ingat, dari jarak cukup jauh, Raden Yudakara sanggup melukai tiga orang anggota pasukan siluman hanya dengan lemparan batu kerikil.
Purbajaya melawan Raden Yudakara dengan semangat tinggi dan hati tenang. Dia tidak khawatir Raden Yudakara akan mencelakai atau bahakan membunuhnya. Keyakinan ini didasarkan pada perkataan pemuda bangsawan itu sendiri yang amat memerlukan agar Purbajaya tetap berada di sampingnya. Dengan demikian, keadaan ini akan menjamin keselamatan dirinya.
Purbajaya lebih dahulu berinisiatif melakukan serangan. Berbagai jurus dan tipu daya yang pernah dipelajari dari Paman Jayaratu dia kerahkan untuk melumpuhkan Raden Yudakara. Untuk sementara, pemuda bangsawan itu kelabakan. Mungkin dia tak menduga kalau Purbajaya langsung menyerangnya dengan mati-matian. Namun sesudah pertarungan berlangsung cukup lama, akhirnya Raden Yudakara bisa mengimbangi permainan. Bahakan semakin pertarungan berlangsung, suasana jadi semakin berbalik, giliran Purbajaya semakain terdesak. Mungkin setelah beberapa bertanding, Raden Yudakara bisa mempelajari jurus-jurus yang dipergunakan Purbajaya.
Yang membuat Purbajaya tidak menjadi kalah dalam pertarungan ini, karena Raden Yudakara memang tidak berniat mencelakakannya. Ini sesuai dengan dugaan Purbajaya bahwa pemuda bangsawan itu amat memerlukan dirinya.
Namun demikian, Purbajaya tak mau berterimakasih karena "kebaikan" ini. Dia sudah tak mau lagi ikut Raden Yudakara. Purbajaya tetap berpendapat kalau pemuda bangsawan ini tindak-tanduknya penuh misteri dan membahayakan. Sama bahayanya dengan Pangeran Arya Damar, atau bahkan juga lebih. Ini karena Raden Yudakara pekerjaannya sebagai mata-mata dan punya dua sisi seperti apa kata Paman Jayaratu. Pemuda ini sekali waktu berada di Carbon namun sekali waktu berada di Pajajaran. Siapa yang benar-benar tahu bahwa dia bekerja untuk kepentingan Carbon" Bagaimana kalau yang terjadi itu malah sebaliknya"
Tanda-tanda ke arah itu memang belum didapat. Namun demikian Purbajaya mendapatkan kalau gerakan-gerakan yang dibuat oleh pemuda ini bisa membahayakan keberadaan Carbon. Sebagai contoh, Raden Yudakara telah menciptakan sebuah keresahan. Dia menghimpun orang dari Sindangkasih agar memiliki fanatisme kepada leluhurnya. Oleh Raden Yudakara diciptakanimage seolah-olah Nyimas Rambut Kasih, penguasa Karatuan Sindangkasih memendam rasa sakit hati kepada perubahan zaman yang dihembuskan oleh Carbon. Raden Yudakara telah membangkitkan rasa permusuhan orang Sindangkasih kepada Carbon dan sekutunya.
Orang-orang yang tergabung ke dalam Pasukan Siluman Nyi Rambut Kasih, menjauhi Carbon dan mendekatkan diri kepada Pajajaran dan membuat kekacauan serta meresahkan masyarakat di wilayah kekuasaan Carbon. Dengan adanya situasi demikian, Raden Yudakara sepertinya berharap akan ada kebijakan lain dari penguasa Carbon dalam menangani "kekacauan yang ditimbulkan oleh sekelompok simpatisan kehidupan masa lalu".
Semakin resah keadaan semakin diharapkan adanya kebijakan baru dalam menindas lawan. Dan para penganut garis keras seperti Pangeran Arya Damar misalnya, akan punya peluang untuk memilih jalan keras dalam menguasai situasi. Banyak yang berlomba untuk menyelesaikan dan meredam situasi ini sebab bila berhasil tentu dia akan keluar sebagai pahlawan. Begitu kira-kira yanga dicita-citakan oleh Raden Yudakara.
Kendati surat daun lontar yang sedianya dikirim oleh penguasa Sumedanglarang untuk Kangjeng Sunan Parung di Talaga tidak pernah diketahui apa isinya, namaun Purbajaya bisa menduga, surat itu pasti memperbincangkan perihal ini. Orang-orang di Sumedanglarang tentu sudah mencium kegiatan Raden Yudakara yang dianggapnya membahayakan ketentraman.
Menduga ke arah itu, menyebabkan Purbajaya semakin sebal kepada pemuda bangsawan itu. Itulah sebabnya, hari ini dia bertekad melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya. Purbajaya sudah tak mau ikut Raden Yudakara, apa pun yang diamanatkan Paman Jayaratu.
Namun Purbajaya harus berjuang mati-matian untuk bisa melepas genggaman pemuda bangsawan ini.Raden Yudakara memang berilmu tinggi. Gerakannya cepat dan ganas. Jurus-jurus yang dia keluarkan diarahkan untuk membunuh. Namun kalau saja Purbajaya sejauh ini tidak terluka, itu karena dugaannya tadi, yaitu Raden Yudakara membutuhkan Purbajaya.
Karena hal ini, maka pertempuran menjadi alot. Purbajaya tak bisa mengalahkan, namun Raden Yudakara sebaliknya tak mau melumpuhkan. Samapai matahari muncul dari timur dan kabut tebal mulai hilang, pertempuran tidak juga selesai.
"Berhentilah, engkau tak bisa mengalahkan aku!" teriak Raden Yudakara menangkis beberapa pukulan Purbajaya.
"Tapi kau pun tidak bisa membunuhku!" Purbajaya balas teriak. Keringat sudah bersimbah di seluruh tubuh.
"Ya. Karena itu, hentikanlah perlawananmu, sebab kita hanya akan menghabiskan tenaga sia-sia. Ingatlah, perjalanan kita masih jauh!" kata Raden Yudakara.
"Aku tidak akan ke mana-mana!" jawab Purbajaya sambil menjatuhkan diri saking lelahnya.
"Tidak. Kau akan ke wilayah Pajajaran!"
"Tidak mau!"
"Coba sekali lagi, pilihlah hai manusia dungu," teriak Raden Yudakara dengan bertolak pinggang dan sepasang matanya menyorot tajam ke arah Purbajaya, "Bila kau pergi ke Pajajaraan, kau akan jadi manusia terhormat, sebaliknya bila kau tak ke mana-mana, hukumanlah ganjarannya. Kau akan dicap pemberontak dan pengkhianat. Itu adalah derajat paling rendah yanag terdapat pada diri manausia. Apa kau sanggup bertanggungjawab kepada gurumu?" sambung Raden Yudakara.
Kisah Si Bangau Putih 1 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pedang Dan Kitab Suci 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama