Ceritasilat Novel Online

Keris Maut 1

Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Keris Maut Karya : Asmaraman S Kho Ping hoo
DJVU dari Dimhad Website
Ebook by Dewi KZ
Kang-zusi.info Ebook-dewikz.com
Tiraikasih.co.cc Cerita-silat.co.cc
ebooksforyou.co.cc
1 Jilid I "JANGAN kau menurutkan nafsu hatimu, puteraku
Anusapati yang bagus! Berlakulah tenang dan bijaksana serta pergunakan kekuatan batinmu untuk mengalahkan nafsu yang hendak menguasaimu. Manusia harus dapat mengendalikan dan menguasai nafsu, karena kalau sampai kau dikuasai oleh nafsu, kau akan menjadi mata gelap, kemarahan dan angkara murka akan membawamu ke jalan gelap. Dugaanmu itu tak beralasan, Anusapati, seperti juga saudara - saudaramu Tohjaya, Mahisa, dan yang lain-lain, kaupun putera ramandamu dan kaupun seorang pangeran di Kerajaan
Singosari-M Demikianlah ucapan yang dikeluarkan dengan suara perlahan dan halus oleh Permaisuri Kerajaan Singosari yang bernama Ken Dedes.
"Tidak bunda, tidak !" bantah Anusapati dengan suara keras sambil menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kepada wajah ibundanya dengan tajam. "Bunda
menyembunyikan sesuatu dariku. Bunda, bukankah aku putera bunda, yang sudah bunda kandung selama sembilan bulan, sudah? bunda rawat dan didik dengan penuh kasih sayang dan ke--sabaran " Aku dapat merasakan kehangatan darah bunda yang rrlengalir di dalam tubuhku, dapat menangkap kemesraan pandang mata bunda yang menembus sampai ke dalam iubuk hatiku. Aku tidak meragukan bahwa aku adalah putera bunda sejati. Akan tetapi rama
prabu........................' Berbeda sekali sinar matanya apa bila memandang kepadaku, seakan - akan aku ini seorang asing baginya. Bahkan....................sering kali aku melihat api panas mengandungkebencian bercahaya dari matanya apa bila ia memandang kepadaku."
"Anusapati............! Jangan kau berkata demikian, nak! "
"Nah, bunda menangis lagi, menitikkan air mata yang hendak bunda sembunyikan dari padaku. Dua titik air mata 2
yang menempel di atas pipi bunda itu lebih jujur, karena mereka membisikkan sesuatu kepadaku, sesuatu yang
mengerikan ! Bunda, aku sudah cukup dewasa, cukup tabah untuk mendengar dan menghadapi sesuatu yang hebat.
Mengapa bunda khawatir menyampaikan sesuatu yang bunda sembunyikan itu kepadaku " Mengapa bunda tidak juga mau membuka rahasia yang menyelimuti kehadiranku di atas bumi ini " Bundaku sayang, harap bunda ingat bahwa aku yang bunda beri nama Anusapati ini, terlahir di atas bumi bukan atas kehendakku ! Bunda mempunyai tanggung jawab pula atas kelahiranku di dunia, bertanggung jawab atas segala derita yang harus kupikul selama hidupku, selama aku belum kembali ke alam asal l Sekarang aku menderita, bunda, menderita karena gelisah dan ragu - ragu tentang asal - usul kelahiran puteranda, maka sudah menjadi ; tanggung jawab bunda pula untuk meringankan derita ini !"
Mendengar tuntutan pemuda yang duduk bersimpuh di hadapannya itu, sang permaisuri menjadi makin terharu dan tak dapat ditahan pula membanjirnya air mata dari sepasang matanya yang masih indah dan bening.
"Puteraku ........................Anusapati, mengapa kau memaksa bundamu menggali kebusukan yang telah
terpendam selama belasan tahun " Apa gunanya segala kebusukan itu digali dan dikeluarkan lagi " Hal ini hanya akan mendatangkan cemar kepadamu, Kepadaku, kepacia keluarga kita ! Kau sudah besar, merigapa kau masih mudah
terpengaruh oleh rasa iri hati " Ramamu memberi keris pusaka kepada Tohjaya dan Mahisa, mengapa hal ini menyakiti hatimu benar " Kau tidak diberi keris pusaka, tidak apa, anakku, bundamu masih dapat memberi sebilah keris pusaka yang tiada keduanya di seluruh Kerajaan Singosari ini. Lihat, keris pusaka ini adalah keris pusaka ciptaan mendiang Empu Gandring yang sakti. Keris ini ampuh sekali, pute-raku, boleh diumpamakan sekali digunakan dapat membuat bengawan menjadi kering dan gunung akan menjadi tumbang.
3 Lenyapkanlah iri hatimu, nak, dan terimalah keris pusaka Empu Gandring ini."
Ken Dedes menyerahkan sebilah keris dengan warangkanya yang terbungkus dengan sutera kuning Anusapati menerima keris itu dengan wajah masih muram, akan tetapi ketika ia membuka bungkusan kuning itu dan melihat warangka keris yang indah, ia menjadi girang sekali. Ia memegang gagang keris dan hendak dicabutnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar pekik ibundanya mencegah,
"Jangan, Anusapati ! Jangan kau mencabut keris itu di hadapanku ! Aku tak tahan melihatnya !"
Dengan heran Anusapati memandang ibundanya yang
menutup muka dengan kedua tangannya seakan - akan tidak mau melihat pemandangan yang amat mengerikan. Anusapati mencabut keris itu dan memandangnya dengan penuh
perhatian. Tiba - tiba tangannya yang memegang gagang keris itu menggigil. Ada sesuatu yang aneh pada keris itu, seakan - akan ia melihat darah bertetes - tetes menitik dari ujungnya ! Cepat - cepat ia masukkan kembali keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu ke dalam warangka, kemudian ia bertanya kepada bundanya yang masih menutup kedua
matanya dengan tangan,
"Bunda, darah siapakah yang menodai ujung keris ini ?"
Ken Dedes menggigil mendengar suara ini. "Tidak, tidak ada darah Anusapati, jangan kau bertanya yang bukan bukan !" Permaisuri ini menurunkan kelua tandannya dan Anusapati melihat betapa wajah bundanya menjadi pucat sekali dan kedua matanya merah karena menahan tangis.
Anusapati mengisar duduknya mendekati bundanya. Ia menyembah dan mencium ujung kain bundanya, lalu berkata,
"Bunda, junjungan hamba yang tiada keduanya di alam mayapada ini, tiada gunanya bunda menyembunyikan lebih lama lagi rahasia itu kepada hamba."
4 Ken Dedes menundukkan mukanya. "Anakku, Anusapati, kau tentu telah mendengar desas - desus yang tidak baik.
Sampai berapa jauhnya berita berbisa memasuki telingamu"
"Aduh, bunda, bunda yang kusayang ! Masih sajakah bunda bertega hati membiarkan anak kandung bunda menderita dalam kebimbangan " Aku tahu dan yakin bahwa rama prabu yang sekarang menjadi suami bunda bukanlah ayahku yang sesungguhnya !"
"Anusapati !" Ken Dedes menjerit kaget.
"Sesungguhnya, bunda. Aku telah mendengar riwayat bunda ketika Singosari masih belum seperti sekarang keadaannya. Ketika bunda masih menjadi isteri Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. Aku telah mendengar itu semua, betapa Raja Muda Tunggul Ametung terbunuh oleh kepala pasukan pengawalnya sendiri, Ken Arok, atau rama prabu yang sekarang bertakhta di Kerajaan Singosari ini !
Dan melihat keris Empu Gandring ini........................ah, bunda, mataku tidak buta melihat perbedaan wajahku dengan mereka itu ! Coba bunda lihat wajah anakmu ini, bandingkan dengan wajah sang prabu, dengan adinda Mahisa, dengan Tohjaya. Adakah persamaannya " Bunda, bunda, kalau rahasia itu tersembunyi di dalam sebuah kamar, maka pintu kamar telah terbuka sebagian dan ananda telah mengintai dan melihatnya sedikit. Bunda tinggal membukakan saja pimu itu agar supaya aku dapat memandang jelas, asar hatiku tidak menjadi gelisah dan bimbang. Kasihanilah ananda, dan ceritakanlah, siapakah sesungguhnya ayahku yang sejati !"
"Aduh, Jagad Dewa Batara !" Ken Dedes mengeluh..
"Benarlah peribahasa yang menyatakan bahwasanya asap tak mungkin dapat terbungkus ! Apa gunanya kusembunyikan lagi
" " Ia lalu mengelus - elus rambut kepala puteranya . yang berlutut di depan kakinya, lalu berkata, "Anakku, sesungguhnyalah. Kau bukanlah putera Ken Arok yang sekarang bertakhta di singgasana Kerajaan Singosari. Kau 5
adalah putera Raja Muda Tunggul Ametung yang telah meninggal dunia sebelum kau lahir.
Anusapati memeluk kaki bundanya dan mencium ujung kaki itu.
"Aduhai, bunda Sayang, terima kasih atas keterangan yang amat berharga ini ! Jadi kalau demikian, mendiang ayahku telah dibunuh oleh Ken Arok yang kemudian merampas bunda menjadi permaisurinya " "
"Stt, Anusapati, jangan terlalu keras kau bicara ! Hal itu telah lama terlampau dan kau tidak boleh menyebutkan nama ramamu demikian saja. Kau telah menjadi pangeran di Singosari, dan semua rakyat jelata menganggap kau sebagai putera sang prabu sendiri !"
Senyum mengejek menghias wajah Anusapati yang
tampan. "Memang benar puteranya, ibunda, putera tiri ! Sudah sepantasnya anak tiri dikesampingkan ! Bunda, pernah aku mendengar dongeng tentang anak tiri yang dimasak dan digodok dalam kuali panjang, pengganti daging domba. Masih baik aku tidak digodok dan dapat hidup sampai dewasa."
"Anusapati !"
"Bunda, jangan kepalang tanggung, mohon bunda ceritakan bagaimana Ken Arok membinasakan mendiang ayahanda !"
Bukan main sedih dan hancurnya hati Ken Dedes
mendengar permifitaan puteranya ini. Ia amat mencintai puteranya ini, akan tetapi ia juga mencinta kepada suaminya, dari siapa ia telah mendapatkan beberapa orang putera lagi"Puteraku yang bagus, puteraku yang rupawan, kau tenangkanlah hatimu, sabarkan perasaanmu. Hal itu telah amat lama terjadi dan seperti kataku tadi, tak perlu barang busuk yang telah terpendam bertahun - tahun digali lagi.
6 Hanya malapetaka dan kecemaran yang akan kita dapat dari penggalian itu. Ayahmu telah meninggal dunia, dan kau telah menjadi Pangeran Kerajaan Singosari. Untuk apakah kau mengetahui segala peristiwa yang telah lama dilupakan orang itu " "
"Orang - orang boleh melupakan hal itu, bunda, akan tetapi aku tidak. Bahkan bunda sendiri boleh melupakan hal itu, namun aku tetap takkan dapat melupakannya."
"Anusapati........................!"
Pemuda itu memandang kepada bundanya yang menangis lagi dan berkatalah ia dengan suara memohon,
"Ampunkan ananda, - bunda ! Biarlah mata hamba menjadi buta. telinga hamba menjadi tuli, dan biarlah hamba dikutuk dewata kalau hamba telah menyakiti hati dan perasaan bunda.
Ananda tidak bermaksud menyinggung hati bunda, karena bunda tidak bersalah. Bunda sudah menjadi permaisuri, bahkan telah menjadi ibu suri, sudah tentu bunda harus setia terhadap suami dan raja ! Ampunkan hamba, bunda !"
Ken Dedes mendekap kepala puteranya di atas
pangkuannya. "Tidak, puteraku, dewata takkan mengutukmu, bahkan dewata akan melindungimu, akan berkasihan kepadamu yang tak berayah kandung lagi. Biarlah kuceritakan tentang pembunuhan itu, anakku. Ayahmu, Tunggul Ametung, raja muda di Tumapel itu, telah dibunuh oleh Ken Arok dengan keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu !"
"Apa ....................?" Anusapati memandang kepada keris itu dengan mata terbelalak dan ia mencabut keris itu dari warangkanya.
"Jangan, Anusapati !" kembali Ken Dedes menjerit sehingga Anusapati sadar kembali dan cepat - cepat menyimpan keris pusaka itu ke dalam wasangkanya. "Ingat, puteraku, kau 7
adalah pangeran pati- Kau yang terbesar di antara semua pangeran. Kaulah yang kelak akan menggantikan kedudukan sang prabu, jangan kau melakukan hal - hal yang tidak parut "
Kembali Anusapati tersenyum, akan tetapi kali ini
senyumnya merupakan ejekan. "Putera mahkota " Lamunan kosong, bunda. Dari sikap dan pandangan sang prabu, aku yakin bahwa kelak tentu sang prabu akan memilih puteranya sendiri menjadi raja. Aku ?" Ah, hanya anak tiri, anak tiri yang patut digodok di kuali panjang !"
"Anusapati !"
Akan tetapi pemuda itu telah mengundurkan diri dan berlari keluar dari kamar bundanya yang memandangnya dengan penuh kegelisahan, kemudian permaisuri yang malang itu menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis sedih.
* dw * Beberapa pekan kemudian semenjak terjadi peristiwa di dalam kamar permaisuri Ken Dedes itu, terjadilah sebuah peristiwa yang amat hebat dan menggemparkan. Sang Prabu Ken Arok telah dibunuh oleh seorang punggawa !
Hal ini terjadi ketika sang prabu sedang makan pada petang hari. Seorang punggawa yang menyamar sebagai pelayan dan melayani sang prabu makan, tiba - tiba menyerangnya dan dengan sebilah keris yang mengeluarkan cahaya berapi, punggawa itu menusuk dada sang prabu.
Melihat keris itu, Ken Arok menjerit dan roboh mandi darah, terus menghembuskan napas terakhir di saat itu juga-Pada petang hari itu, kebetulan sekali Pangeran Anusapati masih duduk bercakap - cakap dengan para pengawal sang prabu di ruang depan. Mendengar jeritan mengerikan ini, Pangeran Anusapati lalu melompat dan dengan diikuti oleh para pengawal, ia lari menuju ke ruang makan sang prabu.
Mereka melihat seorang punggawa hendak melarikan diri.
Anusapati cepat menubruknya, merampas keris itu dan 8
dengan sekali tusuk saja robohlah punggawa ku, menggeletak di depan kaki Anusapati. Punggawa itu sebelum
menghembuskan napas terakhir, masih kuasa memandang ke arah Anusapati dan berkata,.
"Keris itu..................keris itu...akan membunuhmu pula kelak! Pengkhianat :........" Akan tetapi sebuah tusukan ke dua membuat kata - kata itu terbenam kembali ke dalam
mulutnya. Maka tersiarlah berita bahwa sang prabu telah dibunuh oleh seorang punggawa yang memberontak dan bahwa
pemberontak itu telah terbunuh pula oleh Pangeran Anusapati
! Hanya Ken Dedes permaisuri yang malang itu saja yang dapat menduga bahwa punggawa itu tentulah pesuruh
Anusapati sendiri yang membalaskan dendam mendiang ayahnya kepada ayah tirinya, dan bahwa untuk menutup rahasianya, ia membunuh punggawa itu ! Hancur luluh hati Ken Dedes sehingga ia sering kali menderita gering dan yang akhirnya membawanya ke alam baka, menyusul suami
pertama dan suami ke duanya yang semua menjadi korban keris pusaka Empu Gandring. Sesungguhnya, Ken Arok terbunuh pula oleh keris pusaka yang ampuh itu, yang dipinjamkan oleh Anusapati kepada punggawa tadi. Kalau bukan keris pusaka Empu Gandring itu, belum tentu
punggawa tadi berhasil membunuh Ken Arok yang sakti dan kebal itu.
Oleh karena sang prabu tewas secara mendadak tanpa meninggalkan pesan sesuatu, maka menurut adat, Pangeran Anusapati sebagai putera sulung diangkat menjadi raja di Singosari.
Permaisuri ke dua dari Ken Arok yang bernama Ken
Umang, diam - diam menaruh hati curiga dan ia bersama puteranya yang bernama Tohjaya, menyaksikan upacara penobatan Anusapati sebagai raja dengan hati tak senang.
Ketika masih hidupnya, Ken Arok sering kali menyatakan 9
kepada Ken Umang bahwa kelak yang akan menggantikannya ke atas takhta adalah Tohjaya. Akan tetapi, karena pernyataan itu tidak diucapkan di depan nara pembesar, maka tak dapat dibuktikan dan tidak ada saksi.
: Diam - diam Ken Umang dan Tohjaya mulai melakukan penyelidikan tentang nembunuhan Sang Prabu Ken Arok.
Sebelum Permaisuri Ken Dedes meninggal dunia, Ken Timang tidak berani menyatakan dengan berterang ketidaksenangan hatinya, akan tetapi setelah Ken Dedes meninggal dunia, dimulailah penyelidikan densan amat seksama. Akan tetapi, permaisuri ini amat cerdik dan ia memesan kepada
Pangeran Tohjaya agar supaya mendekati kakaknya yang telah menjadi raja, dan agar supaya jangan memperlihatkan sikap membenci.
Anusapati menganggap bahwa yang berdosa terhadap
mendiang ayahnya hanya Ken Arok seorang, maka iapun tidak menaruh hati dendam terhadap adik - adik tirinya, bahkan-sikapnya amat manis terhadap Tohjaya yang pandai
mengambil hati. Sering kali kedua orang muda ini berburu di hutan bersama - sama atau melakukan bermacam - macam permainan, di antaranya mengadu jago, permainan yang amat disukai oleh Sang Prabu Anusapati.
Semenjak pembunuhan terhadap Ken Arok itu, keris pusaka Empu Gandring selalu dipakai oleh Sang Prabu Anusapati, tak pernah terpisah dari ikat pinggangnya, karena kalau ia teringat akan kutukan punggawa yang dibunuhnya itu, ia merasa bergidik-dan gelisah. Biarlah, kalau keris ini selalu kupakai, siapa orangnya yang akan dapat membunuhku " Demikian pikirnya.
Akhirnya,Ken Umang berhasil pula dengan penyelidikannya.
Dari seorang wanita kekasih punggawa yang. membunuh Ken Arok dahulu, ia "mendapat khabar bahwa punggawa itu diserahi tugas oleh Sang Pangeran Anusabati untuk
membunuh Ken Arok dengan menggunakan keris pusaka
10 Empu Gandring !
Maka bertangis - tangisanlah Ken Umang dan puteranya, Tohjaya, di dalam kamar mereka ketika mereka mengetahui rahasia pembunuhan itu.
"Ibunda, biar sekarang juga kubunuh Anusapati !" berkata Tohjaya. Sebagai seorang pemuda, ia berdarah panas dan ia cukup gagah perkasa dan sakti. Akan tetapi ibunya
melarangnya, "Jangan tergesa-gesa, anakku. Si jahat Anusapati telah menjadi raja dan selain kedudukannya kuat, iapun amat digdaya. Bagaimana kalau kau sampai gagal dan tertangkap lalu dibunuhnya " Ah, aku hanya mempunyai kau seorang, anakku."
"Habis, apakah dendam hati ini didiamkan saja, ibunda ?"
"Tidak, tidak ! Memang harus dibalas. Si jahanam itu harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Akan tetapi, kira harus berlaku hati - hati, nak, dan jangan sembrono. Aku mendengar bahwa punggawa itu sebelum mati mengeluarkan kutukan kepada Anusapati, bahwa si jahat itu kelak akan tewas di ujung keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu. Keris itulah yang telah menewaskan mendiang ayah-andamu, maka keris itu tentulah sebilah keris pusaka yang amat ampuh.
Kalau saja kau bisa mendapatkan keris itu....."
"Akan tetapi, keris pusaka itu selalu dibawa oleh Anusapati, bagaimana aku dapat merampasnya " "
"Karena itu kita harus berlaku hati - hati, Tohjaya.
Kekerasan harus dibarengi kehalusan, penggunaan tenaga harus dibarengi akal budi, barulah semua usaha akan berhasil.. Di samping kedua sifat ini, harus pula disertai kesabaran dan ketenangan, tak mungkin Anusapati selalu memakai keris pusaka itu seperti ia memakai tangan kakinya.
Kita harus mencari kesempatan dengan sabar, bergerak pada saat yang tepat. Sementara itu, kau harus tetap bersikap 11
manis dan berbakti kepada sang prabu, agjar ia tidak menaruh hati curigc, karena sekali ia menaruh hati syak wasangka, aKan sukar dan gagallah usaha kita."
Demikianlah kedua ibu dan anak itu mulai menjalankan siasat dan mencari ketika untuk membalas dendam atas kematian Sang Prabu Ken Arok. Tohjaya bersikap makin manis terhadap Sang Prabu Anusapati, sehingga raja ini makin suka kepada adik titinya ini. Sementara itu, Ken Umang
menghubungi para senapati dan pembesar tinggi, diam-diam menyebar tuduhan bahwa pembunuh Ken Arok adalah
Anusapati dan perbuatan Anusapati ini atas desakan dan bujukan Ibu Suri Ken Dedes yang ingin membalas dendam kepada Ken Arok atas kematian Tunggul Ametung, suami pertama Ken Dedes.
Tuduhan Ken Umang ini tersebar luas dan dapat diterima oleh para senapati dan pembesar tinggi, sungguhpun mereka meragukan tuduhan bahwa perbuatan Anusapati itu adalah atas bujukan Ibu Suri Ken Dedes.
"Tak mungkin," kata seorang senapati tua, "biarpun Sang Prabu Ken Arok telah membunuh Tunggul Ametpng sehingga sudah sepatutnya isteri Tunggul Ametung menaruh hati dendam, akan tetapi dia sudah menjadi permaisuri sang prabu untuk belasan tahun lamanya, bahkan sudah mempunyai beberapa orang keturunan dengan Sang Prabu-Ken Arok.
Sungguh sukar untuk dipercaya kalau dia membujuk
puteranya untuk membunuh suami dan ayah dari pada putera
- puteranya. Kalau Sang Prabu Anusapati yang membunuh, ini dapat diterima, karena tentu sang prabu merasa sakit hati dan menaruh hati dendam atas pembunuhan terhadap mendiang ramandanya, yaitu Tunggul Ametung."
Demikianlah, di antara para pembesar kerajaan terdapat dua aliran kepercayaan, satu fihak percaya bahwa Ken De-deslah yang membujuk Anusapati membunuh Ken Arok, di lain fihak tidak dapat percaya akan hal ini dan menganggap bahwa 12
Anusapati melakukan pembunuhan di luar kehendak ibunya.
Betapapun juga, semua fihak yang setia kepada Ken Arok dan Ken Umang, diam - diam menaruh hati benci kepada Sang Prabu Anusapati, sungguhpun mereka ini tentu saja tidak berani berterang menyatakan perasaan mereka ini. Sang Prabu Anusapati adalah seorang yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai banyak pasukan yang setia kepadanya-Pangeran Tohjaya mentaati nasihat ibundanya, bersikap sabar dan ramah tamah terhadap sri baginda, menanti datangnya saat baik dan kesempatan untuk menggerakkan tangan membalas dendam.
* dw * Di lereng Gunung Anjasmoro, di dekat mataair Sungai Brantas, terdapat sebuah pondok bambu yang amat
sederhana dan kecil. Akan tetapi, pondok bambu ini balikan menambah keindahan tempat itu, yang penuh dengan
tanaman dan bunga liar yang tumbuh karena kehendak alam, bukan ditanam oleh tangan manusia. Tamasya alam yang masih asli belum terjamah tangan manusia selalu amat sederhana, namun di dalam kesederhanaannya itu
tersembunyi keindahan dan kebesaran yang luar biasa.
Tidakkah pohon-pohon waringin itu amat sederhana yang biasa saja, akan tetapi lihatlah baik - baik, adakah yang lebih gagah, penuh sifat melindungi, kokoh kuat, seperti pohon-pohon waringin itu " Adakah yang lebih hidup, meriah, dan gembira dari pada serumpun pohon bambu apa bila tertiup angin sehingga batang mereka saling berpelukan dan daun daun mereka mengeluarkan seribu satu macam bahasa yang menggembirakan hati " Bunga - bunga liar tumbuh amat subur dan sehatnya, berseri - seri mengingatkan orang akan perawan - pelawan gunung yang berpipi merah dan bermata kocak. Memang, di dalam kesederhanaan tersimpan kekuatan yang maha besar.
Seandainya yang berdiri di tepi mataair Sungai Brantas itu 13
bukan sebuah gubuk bambu, melainkan sebuah rumah
gedung besar, akan janggallah nampaknya. Rumah gedung besar lebih pantas ditemukan orang dalam kota besar, bukan dalam rimba raya di atas lereng gunung yang sunyi di tepi mataair yang tak pernah kering itu.
Sekalian penghuni alam di sekitar tempat itu agaknya tak pernah mengenal akan arti duka sengsara. Semua nampak gembira dan berbahagia belaka. Burung - burung berkicau merdu sambil berlompatan dari pohon ke pohon, dari cabang ke ranting, ratusan macam besar kecil. Sekali - kali keributan kicau burung ini diselingi oleh kokok ayam hutan yang mengagetkan karena nyaringnya. Di antara segala macam bunyi - bunyian yang memenuhi sorgaloka (taman sorga) ini, hanya satu macam suara yang tak pernah berhenti. Kicau burung ada kalanya tak terdengar sama sekali, berkerisiknya daun - daun tertiup angin ada kalanya berhenti, namun suara yang merupakan dendang yang berlagu terus - menerus tanpa mendatangkan rasa bosan ini belum pernah terhenti dan takkan berhenti selamanya. Suara ini adalah suara air dari sumber yang mengalir turun, memulai perjalanannya yang amat jauh, air yang melakukan perjalanan berliku - liku untuk akhirnya kembali ke tempat asal, yaitu samudera luas.
Perjalanan air Sungai Brantas merupakan lambang kehidupan manusia, juga berliku - liku, menempuh segala macam rintangan dan peristiwa yang akhirnya hanya akan menjadi kenangan, bahkan lenyap di kala hidup kembali ke tempat asal, seperti air Sungai Brantas terjun ke dalam samudera !
Gubuk kecil itu sunyi karena memang ditinggalkan oleh penghuninya. Kalau kita melihat jauh ke belakang pondok itu, akan kita jumpai dua orang duduk di dekat tanggul sawah.
Hanya sedikit bagian ini telah menjadi sawah ladang, dikerjakan oleh dua orang itu. Mengapa dua orang laki - laki itu bekerja dan mencangkul sawah ladang " Mereka akan mudah mencari buah - buahan seperti pisang, pepaya, kelapa, mangga, dan lain - lain lagi kalau mereka lapar, dan 14
menangkap rusa, kelinci, kancil, bahkan burung kalau mereka ingin makan daging. Mengapa mereka bersusah payah
mencangkul ladang, sedangkan mereka hanya berdua tinggal di tempat sunyi itu "
Pertanyaan - pertanyaan di atas pernah diajukan oleh seorang di antara kedua pekerja itu, yaitu yang muda, dan dijawab oleh yang tua dengan senyum tenang,
"Wisena, pertanyaanmu itu memang wajar, karena demikianlah sifat orang, tidak mau bersusah payah, yang dikehendaki selalu ada saja untuk menutup kebutuhan hidupnya, puas menerima segala yang tersedia tanpa mengingat betana sukarnya yang mengadakan semua itu.
Akan tetapi, ketahuilah anakku, kita diciptakan di dunia ini untuk hidup dan hidup berarti gerak. Adapun gerak yang paling sempurna bagi manusia hanyalah bekerja, bekerja untuk menghasilkan sesuatu, bekerja dengan satu tujuan, yaitu untuk menjadikan sesuatu, mengadakan sesuatu, sesuai dengan sifat pekerjaan dam. Kita diciptakan berlengan, berkaki, bermata, lengkap dengan segala yang kita perlukan.
Untuk apa semua ini ada pada kita kalau tidak dipergunakan "
Dan penggunaannya ada dua macam, dapat merusak dan dapat membangun, dapat melenyapkan dan dapat
mengadakan ! Nah, sekarang jelaslah, Wisena, kalau kita dapat makan, kita harus dapat mencari ! Kalau kita dapat mengurangi hasil alam, kita harus dapat pula menambah hasil alam. Dengan bekerja !"
Ucapan kakek inilah yang menjadi pegangan kedua orang itu untuk bekerja di ladang setiap hari, menanam padi, sayur dan apa saja yang mereka kehendaki.
Pada saat itu, keduanya sedang beristirahat setelah bekerja mencangkul ladang. Keringat yang keluar dari tubuh mereka membuat kulit tubuh mereka berkilat. Alangkah besar perbedaan antara kedua orang laki - laki itu. Yang seorang sudah tua, berjenggot putih dan rambutnya yang putih itu 15
terbungkus pengikat kepala warna hitam. Tubuhnya tinggi kurus dengan tulang - tulang menonjol keluar terbungkus kulit, akan tetapi warna kulitnya masih merah dan sehat segar, tanda akan kesehatannya yang baik. Orang akan merasa heran melihat tubuh yang kurus itu dapat berpeluh, sedemikian banyaknya. Kakek ini duduk di atas tanggul tanpa memperdulikan tanah lumpur yang mengotorkan celana dan kainnya, lalu mengambil kotak daun sirih dan mulailah ia menginang dengan nikmatnya.
Orang ke dua masih amat muda, belum ada duapuluh
tahun, akan tetapi pada sinar matanya telah membayang kematangan hidup berkat pengetahuannya yang dalam
tentang hidup dan filsafatnya Rambutnya tebal dan hitam mengkilat, terurai sampai di leher dan segumpal rambut melingkar berjuntai di depan jidatnya. Wajahnya tampan dan gagah, bahunya bidang dan biarpun kulitnya halus, namun sepasang lengan yang penuh itu membayangkan tenaga tersembunyi yang kuat. Seperti yang dilakukan oleh kakek tadi sebelum mengunyah sirih, pemuda ini mencuci lengan dan kakinya dengan air selokan yang jernih, kemudian
mengenakan bajunya yang berlengan pendek, menyelipkan lagi kerisnya yang tadi diletakkan di atas tanah bersama bajunya ketika ia bekerja. Kemudian ia mengambil ubi bakar yang dibawa dari pondok, mengupas kulitnya dan makan dengan sedapnya. Setelah menghabiskan dua buah ubi bakar yang besar, ia lalu mengambil kendi berisi air dingin dan ketika ia mengangkat kendi itu cli atas kepalanya, mancurlah air jernih berkilau ke dalam mulutnya, bagaikan pancuran air.
Kakek itu sambil mengunyah sirih memandang kepada
pemuda ini dengan mata tersenyum berseri. Ia merasa gembira melihat betapa nikmatnya pemuda itu makan dan minum.
. "Kau nampak segar sekali, Wisena," katanya.
Pemuda itu menaruh kendinya di atas rumput dan
16 mengangguk sambil berkata, "Memang segar dan nikmat sekali, paman begawan. Alangkah nikmatnya beristirahat melepaskan kiah sehabis bekerja keras,"
Kakek itu mengangguk - angguk meludahkan dubang
(ludah sirih) yang merah bagaikan darah ke atas tanah, lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan halus,
"Memang, tidak ada kenikmatan yang dapat melebihi nikmatnya orang beristirahat sehabis bekerja mengeluarkan peluh. " Sesungguhnya, bekerja berat itulah yang mendatangkan nikmat. Tanpa bekerja berat, istirahat takkan ada artinya, takkan mendatangkan nikmat, bahkan akan mendatangkan kemalasan dan kelemahan tubuh. Hanya pekerja - pekerja berat sajalah yang dapat merasakan kenikmatan istirahat yang sesungguhnya,"
Kakek itu tidak ikut makan minum. Telah bertahun-tahun ia tidak pernah makan atau minum sebelum sang surya
bersembunyi di ufuk barat. Hanya sekali sehari ia makan dan minum, itupun hanya terdiri dari beberapa kepal nasi bersama sayur dan buah - buaban, dimakan pada tengah malam pula.
Setelah pemudi itu selesai maYan dan minum, mereka lalu berdiri, memanggul pacul masing - masing dan berjalanlah keduanya kembali ke pondok bambu tempat tinggal mereka.
Siapakah kedua orang ini, yang hidup seakan-akan
mengasingkan diri dari masyarakat ramai "
Kakek itu mengaku bernama Begawan Jatadara.
Sesungguhnya nama ini bukanlah nama aselinya, oleh karena Jatadara berarti pertapa dan kakek ini menyembunyikan namanya- Mengapa demikian " Bukan lain oleh karena ia adalah keponakan dari Empu Gandring yang telah terkenal itu,.dan mengapa Ia menyembunyikan nama aselinya adalah untuk melepaskan diri dari pemburuan Sang Prabu Ken Arok.
Baiklah kita menengok sejarah yang lalu tentang Empu Gandring dan Sang Prabu Ken Arok.
17 Empu Gandring adalah seorang ahli pembuat keris yang amat sakti dan suci dan pada suatu hari, seorang pemimpin pasukan psngawal Raja Muda Tunggul Ametung di Tumapel, yaitu yang bernama Ken Arok, datang kepadanya dan minta dibuatkan sebilah keris yang ampuh.
"Keris itu haruslah merupakan pusaka yang ampuh,"
demikian perwira Ken Arok berkata, "sebuah keris pusaka yang benar-benar merupakan margapati (jalan kematian), yang sekali dicabut harus menewaskan seorang manusia !"
Empu Gandring terkejut mendengar perintah ini, akan tetapi oleh karena Ken Arok adalah seorang tangan kanan raja muda, dan pula oleh karena mata Empu Gandring yang tua itu telah melihat teja ( cahaya ) yang menandakan bahwa perwira yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang calon raja, maka ia lalu menerima perintah itu dan membuatkan sebatang keris yang ampuh. Pada waktu itu, Begawan Jata-dara masih bernama Jaka Palungan, dan sebagai keponakan Empu
Gandring, ia membantu Empu Gandring dalam dapur
pembuatan dan penempaan keris- Maka iapun melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Ken Arok memesan keris kepada pamannya.
Beberapa hari kemudian, Ken Arok datang lagi untuk menerima keris pusaka pesanannya. Alangkah marahnya ketika ia melihat betapa keris itu buruk sekali bentuknya, tidak patut menjadi sebilah keris pusaka yang ampuh dan
merupakan azimat seorang perwira besar.
"Mengapa marah ?" Empu Gandring berkata. "Keris ini amat ampuh dan bukan sembarang keris. Jangan melihat rupa, karena apakah artinya di luar indah kalau di dalamnya buruk
?" Mendengar ucapan ini, Ken Arok tidak dapat memahami artinya bahkan makin marah. "Keris seperti pisau dapur ini kau bilang ampuh " Kalau begitu biarlah kucobakan kepadamu !"
Sambil berkata demikian, Ken Arok mencabut keris itu dan 18
secepat kilat menyambar, keris pusaka itu telah terbenam ke dalam dada Empu Gandring !
Sungguhpun Empu Gandring seorang yang sakti, namun keris itu benar - benar ampuh sekali dan sebagaimana permintaan Ken Arok ketika memesan keris itu, oleh Emnu Gandring telah dibuatkan sebatang keris margapati yang sekali dipergunakan tentu menewaskan nyawa seorang manusia.
Empu Gandring roboh dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, Empu Gandring tersenyum dan berkata,
"Ken Arok, kau telah menanam bibit yang amat berbisa dan 19
kelak keris ini akan dipergunakan oleh keturunanmu untuk saling membunuh antara saudara sendiri !"
Bukan main terkejut dan menyesalnya hati Ken Arok
melihat orang tua itu tewas karena kerisnya dan lebih - lebih gelisah hatinya mendengar kutukan itu. Ia pikir bahwa keluarga Empu Gandring pasti akan membalas dendam, maka melihat Jaka Palungan berada di situ sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, ia lalu
menyerangnya. Akan tetapi Jaka Palungan yang sudah menerima latihan dan jremblengan dari Empu Gandring, cepat melompat dan berhasil melarikan diri. Sebelum pergi meninggalkan Tumapel, luka Palungan singgah di rumah Ki Walangkara yang menjadi anak pungut Empu Gandring.
"Lekas berkemas dan pergi melarikan diri !" kata Jaka Palungan dengan nafas terengah - engah. Dengan singkat ia menceritakan tentang -Empu Gandring yang dibunuh oleh Ken Arok dan bahwa perwira itu agaknya hendak membinasakan semua keluarga Empu Gandring. Akan tetapi Ki Walangkara menggelengkan kepalanya dan berkata,
"Aku tidak mau melarikan diri, karena kalau aku pergi, siapakah yang akan mengurus jenazah bapak empu " Kalau Ken Arok mau membinasakan aku, biarlah, paling - paling hanya ragaku yang ia mampu membina&akannya."
Setelah membujuk tanpa hasil, akhirnya Jaka Palungan yang kebingungan itu lalu membawa pergi putera tunggal Ki Walangkara yang bernama Wisena, seorang anak laki-laki berusia empat tahun- Dan memang terjadi seperti yang dikhawatirkan oleh Jaka Palungan itu, karena Ken Arok akhirnya membunuh Ki Walangkara pula bersama isterinya !
Demikianlah, untuk menghindarkan diri dari kejaran Ken Arok yang akhirnya berhasil menduduki takhta Kerajaan Singosari, Jaka Palungan mengubah namanya menjadi
Begawan Jatadara, bertapa di lereng Gunung Anjasmoro di tepii sumber air Sungai Brantas. Sambil bertapa dan 20
memperdalam ilmu batin, ia mendidik putera keponakannya, Wisena, sehingga anak itu menjadi dewasa, menjadi seorang pe-muda yang gagah perkasa dan digdaya.
Selain mendidik Wisena menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, Begawan Jatadara juga menurunkan ilmu pembuatan keris kepada pemuda itu- Oleh karena itu, di dalam pondok bambu itu terdapat alat-alat pembuatan keris.
Ketika kedua orang paman dan keponakan itu memasuki pondok, Begawan Jatadara meloloskan sarung kerisnya dan menggantungkan sarung keris itu pada dinding. Semenjak dahulu Wisena sudah merasa kagum melihat warangka keris itu dan ingin sekali melihat keris yang berada di dalam warangka itu. Akan tetapi pamannya selalu melarangnya mencabut keris yang gagangnya terbuat dari pada gading terukir indah. ini.
Kini melihat keris itu digantung di dinding, timbul pula keinginan hati Wisena untuk mencabut dan melihat keris itu, akan tetepi sebelum ia membuka mulut, tiba - tiba lantai pondok di mana ia dan pamannya berdiri itu bergoncang keras sekali.
"Gempa bumi ................. mari keluar !" kata Begawan Jatadara sambil melangkah ke luar dari pintu pondok, diikuti oleh Wisena yang berjalan terhuyung-huyung karena bumi yang dipijaknya menggetar dan seakan - akan bergelombang.
Hebat sekali pemandangan yang mereka saksikan di luar pondok. Seluruh pepohonan tergetar seakan - akan digoyang-goyang oleh tangan raksasa yang tidak kelihatan, dan bumi di bawah kaki mereka menggigil ! Sang Begawan Jatadara bersedakap seperti laku orang bersamadhi dan menundukkan kepalanya dengan penuh khidmat.
Setelah gempa bumi itu berakhir, kakek itu membuka matanya dan sambil menatap wajah Wisena ia berkata,
''Wisena, baru saja kau telah menyaksikan sendiri betapa 21
hebat kekuasaan dan kebesaran Hyang Agung. Alangkah kecil tak berarti manusia - manusia seperti kita ini, juga segula macam benda dan makhluk di permukaan bumi. Siapa-Kah yang dapat menyamai kehebatan tenaga yang sanggup
inenggoncang dan menggetarkan bumi " Maka ingatlah, Wisena, bahwa di mana - mana terdapat Dia, Hyang Agung, yang kuasa menerbitkan dan menurunkan sang surya, yang kuasa menciptakan bintang - bintang dan bulan, yang kuasa menurunkan manusia di dalam dunia dan memanggilnya kembali ! Terhadap Hyang Maha Agung, tiada sebuah rahasia dapat disembunyikan, anakku, maka tiliklah baik - baik segala sepak terjangmu dalam hidup. Sesuatu perbuatan sesat, sungguhpun tak terlihat oleh siapapun juga, masih akan terlihat oleh si pembuat sendiri dan itu berarti masih terlihat oleh Hyang Maha Agung, oleh karena kekuasaan Hyang Agung berada di mana - mana, dalam diri setiap manusia, dalam tubuh setiap binatang, dalam pohon - pohon dan batu-batu.
Lihat kekuasaan Hyang Agung yang tersembunyi di dalam pohon dan menciptakan bunga serta buah dan daun-daunnya
! Lihat kekuasaan Hyang Agung yang tersembunyi di dalam batu sehingga batu itu menjadi keras, berat dan sanggup mengeluarkan api !"
Wisena menundukkan kepalanya dengan penuh khidmat.
Baginya, setiap wejangan dari pamannya berkesan betul di dalam hatinya, dan ia merasa amat berterima kasih atas segala kasih sayang, pendidikan, dan gemblengan pamannya ini
Mereka kembali ke dalam pondok. Senja kala telah turun dan di dalam pondok itu agak gelap. Tiba - tiba Wisena menunjuk ke dinding dan berseru,
"Paman begawan, apakah itu " "
Begawan Jatadara memandang dan ia mengeluarkan
seruan kaget, "Ya Jagad Dewa Batara................!" Ia melangkah maju 22
dan mengambil benda yang mencorong di dinding itu.
Ternyata itu adalah kerisnya yang digantungkan di dinding tadi. Agaknya karena gempa bumi tadi menggoyang - goyang semua benda, dinding pondok itu tergoyang - goyang pula dan warangka keris itu terlepas dan terjatun, meninggalkah keris yang masih tergantung di dinding.
"Aduh bagusnya keris paman begawan !" seru Wisena dengan mata terbelalak kagum setelah ia melihat bahwa benda bercahaya itu adalah keris pamannya yang bergagang gading. "Bolehkah aku melihatnya, paman " "
Begawan Jatadara menarik napas panjang. "Keris ini telah terbuka karena kekuasaan Hyang Agung, untuk apa aku menyembunyikan pula " " Ia memberikan keris itu kepada Wisena yang memandang dengan penuh kekaguman. Jelas kelihatan bahwa pemuda ini tertarik dan sayang sekait kepada keris itu.
"Paman, kalau paman dapat membuat keris sehebat ini, mengapa paman tidak membuatkan sebilah untukku " "
Begawan Jatadara menyalakan dian dari minyak kelapa dan menarik nafas panjang lagi.
"Duduklah, anakku, duduk dan masukkanlah kembali keris itu ke dalam warangkanya. Tak baik keris pusaka terlalu lama terhunus dari warangkanya." Ia sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku sederhana. Wisena menyarungkan keris gagang gading itu kembali ke dalam warangkanya dan menyerahkannya kepada Begawan Jatadara dengan rasa sayang.
Sang begawan menerima keris itu dan menaruhnya di atas meja kecil di sebelah kanannya. Wisena lalu bersila di hadapan pemonnya, siap untuk mendengar apa yang hendak dikatakan oleh pamannya itu.
"Wisena, kau keliru sangka kalau mengira bahwa keris pusaka ini aku yang membuatnya- Kepandaianku membuat 23
keris belum setinggi itu, nak. Keris pusaka ini adalah buatan dari paman Empu Gandring, dan dari dia pula aku
menerimanya. "
"Paman begawan, siapakah paman Empu Gandring itu "
Baru kali ini paman menyebutkan namanya."
"Memang, sedianya hendak kurahasiakan hal ini, akan tetapi, agaknya keris pusaka Ki Dentasidi tak menghendaki keadaannya dirahasiakan, demikian pula mendiang naman Empu Gandring. Ketahuilah, Wisena, bahwa paman Empu Gandring itu bukan lain adalah pamanku sendiri atau juga eyangmu."
"Kalau begitu, siapakah adanya ayahku, paman begawan "
Telah berkali - kali aku tanyakan hal ini kepada m-rnan, akan tetapi selalu paman tidak berkenan menjawab-nya.
"Sekarang tak perlu kurahasiakan lagi, Wisena. Kau telah dewasa dan cukup pandai mempertimbangkan sesuatu
dengan akal budimu sendiri." Kemudian Begawan Jatadara lalu menceritakan kepada Wisena tentang riwayat Empu Gandring dan Ki Walangkara beserta isterinya yang terbunuh mati oleh Ken Arok, yang didengarkan oleh Wisena dengan hati terharu, marah, dan juga duka.
"Demikianlah, anakku. Kalau aku tidak cepat-cepat melarikan diri dan mengubah namaku menjadi Jatadara, serta membawamu pergi dari Tumapel, tentu kau dan aku akan menjadi korban keganasan Ken Arok pula."
"Paman begawan !" Wisena berkata dengan penasaran.
"Mengapa paman tidak melawannya " Paman memiliki kesaktian, mengapa paman tidak melawan Ken Arok dan membalas kejahatannya " "
Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Tiada gunanya, Wisena. Kalau aku melakukan perlawanan, itu berarti ke-matianku dan kaupun tentu takkan dapat hidup sampai se karang ini. Ken Arok adalah seorang perwira yang digdaya dan 24
mempunyai banyak anak buah, siapa berani melawannya ?"
"Paman, aku hendak pergi mencarinya dan mencoba sampai di mana kesaktiannya. Betapapun sakti dan
digdayanya, demi kebenaran dan keadilan, ia pasti akan dapat kuhancurkan sebagai pembalasan dendam kira !" kata Wisena dengan gagah.
"Itulah yang kukhawatirkan, anakku. Balas - membalas, bunuh-membunuh, menjadi hakim dan penghukum sendiri seakan - akan manusia telah lupa akan kekuasaan Hyang Agung Yang Maha Adil ! Tentang pembalasan dendam itu bukan menjadi idaman hatiku, Wisena, karena aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa setiap perbuatan jahat pasti akan mendatangkan malapetaka terhadap dirinya sendiri. Aku masih percaya akan kekuasaan dan keadilan Hyang Agung yang mengatur seluruh jagad raya. Yang menjadi ganjalan hatiku adalah kutukan yang dikeluarkan oleh eyangmu sebelum ia meninggal dunia."


Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kutukan bagaimanakah, paman " "
"Eyangmu" mengeluarkan kutukan bahwa keris buatan eyangmu yang dipergunakan oleh Ken Arok untuk membunuh eyangmu, kelak akan dijadikan senjata pembunuh keturunan Ken Arok di antara saudara sendiri. Alangkah ngerinya kutukan ini, Wisena."
"Biarlah, paman !" sahut Wisena dengan gemas. "Biar orang sejahat itu menerima hukumannya pula."
"Akan tetapi tidak seperti itu, Wisena. Apakah dosa keturunannya sehingga mereka harus menerima hukuman sebagai akibat dari dosa Ken Arok " Biarlah si jahat memikul dosanya sendiri, biarlah si penanam bibit makan buah tanamannya sendiri, jangan keturunannya dibawa - bawa merasakan buah pahit yang ditanam oleh nenek moyangnya."
Wisena tertegun mendengar ini. "Habis, apakah yang harus kulakukan, paman " Aku hanya menurut dan taat kepada 25
nasihat dan perintah paman begawan."
"Terbukanya rahasia ini menjadi tanda bahwa sudah tiba masanya kau turun gunung, Wisena- Setelah kau mengetahui rahasia ini hanya akan merupakan gangguan bagi pikiran dan batinmu saja apa bila kau tidak turun gunung dan terjun di dunia ramai. Kau masih muda dan tenaga serta kepandaianmu akan terpendam sia - sia apa bila tidak kau pergunakan demi kebaikan sesama manusia. Akan tetapi, ingat, jangan kau melibatkan dirimu pada ikatan balas dendam yang mengerikan itu, karena sekali kau terlihat, kau a-kan terbelenggu oleh karma dan sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dan membebaskan jiwamu- Kau pergilah ke Kerajaan Singosari.
Kalau aku tidak salah dengar. Ken Arok kini telah meniadi raja besar di Singosari. Di dalam angkara murkanya, Ken Arok telah mempergunakan keris buatan eyangmu itu untuk membunuh Raja Muda Tunggul Ametung dan merampas
isterinya menjadi permaisurinya. Permaisurinya itu, yaitu yang bernama Ken Dedes, mempunyai seorang putera dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati. Nah. Kau usahakanlah agar supaya kau dapat suwira ( bekerja ) kepada Pangeran Anusapati itu, anakk
''Baiklah, paman begawan. Mohon pangestu agar supaya saya dapat mengabdi kepada kebenaran di manapun saya berada."
"Berangkatlah besok pagi pada waktu fajar menyingsing, anakku, dan bawalah keris pusaka Ki Dentasidi bersamamu, hanya keris itulah yang dapat menandingi kesaktian dan keampuhan keris Marga pati buatan eyangmu Empu Gandring yang kini berada di tangan Sang Prabu Ken Arok."
Malam hari itu, Wisena menerima wejangan - wejangan terakhir dari pamannya. Begawan Jatadara, dan pada-keesokan harinya. mulailah ia turun gunung melakukan lelana brata memenuhi tugas seorang ksatria.
-ooo0dw0ooo- 26 Persaingan yang terdapat antara keturunan Ken Dedes dan keturunan Ken Umang yang terjadi di dalam kerajaan, sungguhpun persaingan ini terjadi diam-diam, melemahkan kerajaan di bawah pemerintahan Anusapati. Kalau kerajaan yang menjadi pusat pemerintahannya lemah, maka para bupati dan pamong praja yang diberi kekuasaan memerintah di daerah - daerah lalu Berani memperlihatkan sikap yang berlebihan. Mereka merasa seakan - akan harimau yang terlepas dari pada belenggu kekuasaan raja dan berani bertindak sewenang wenang menurutkan kata nafsu hati sendiri. Jangankan para adipati dan bupati, bahkan demang demang dan lurah - lurah juga menjadi raja kecil yang berkuasa penuh di kedemangan dan kelurahan masing-masing, mengadakan peraturan-peraturan sendiri dan pemerasan-pemerasan yang masuk ke dalam sakunya sendiri.
Ken Umang maklum akan hal ini dan ia bersama putera-nya yang cerdik tidak melewatkan kesempatan ini untuk mencari nama dan jasa di kalangan rakyat kecil.
Sering kali Tohjaya membawa pasukan istimewa untuk berkeliling di kampung dan dusun untuk menghukum para pamong praja yang berlaku sewenang - wenang atau
membasmi perampok - perampok dan pengacau - pengacau yang selalu timbul apa bila pemerintahan sedang lemah. Oleh karena itu nama Pangeran Tohjaya mulai dikenal rakyat se bagai seorang pangeran yang bijaksana dan adil. Inilah yang dicari oleh Pangeran Tohjaya, yang telah merencanakan untuk membasmi Sang Prabu Anusapati dan menggantikan ke-ludukannya sebagai raja- Nama baik ini perlu sekali baginya, karena kelak akan merupakan sokongan dan suara rakyat yang amat kuat baginya untuk menduduki takhta kerajaan.
Sayang sekali, di samping usahanya yang amat baik ini, Pangeran Tohjaya juga memperlihatkan sifatnya yang kurang sempurna, yaitu kesukaannya mempermainkan wanita. Ia 27
adalah seorang mata keranjang yang tidak dapat melewatkan batuk kelimis ( wajah cantik ) begitu saja tanpa mengganggu nya. Mungkin karena usahanya memikat hati rakyat dengan membela dan melindungi mereka itu tidak terbit dari har sanubari yang bersih, hanya dipergunakan dengan pamrih mencari nama belaka, maka usahanya ini tidak mendapat hasil yang sebagaimana mestinya- Nama baiknya yang timbul karena usahanya ini dirusak kembali oleh sifatnya
mengganggu anak bini orang, terutama anak bini orang-orang dusun yang dalam hal ini tidak berdaya sama sekali. Siapakah yang tidak suka dan bangga melihat puterinya disukai dan terpakai oleh seorang pangeran " Apa lagi bagi orang - orang dusun yang amat tunduk dan menganggap keturunan raja bagaikan dewata saja, tentu hal itu merupakan penghormatan yang amat besar bagi keluarga si perawan itu. Lebih-lebih kalau disertai hadiah - hadiah dari Pangeran Tohjaya yang dalam hal ini berlaku amat royal !
Di lembah Sungai Brantas, pada pertemuan antara Sungai Lekso dan Sungai Brantas, terdapat sebuah dusun bernama Karangluwih- Dusun ini cukup besar, dikepalai oleh seorang lurah yang kaya raya bernama Ki Lurah Reksoyudo. Ki Lurah Reksoyudo selain terkenal kaya raya dan mempunyai sawah yang lebar dan rumah gedung model rumah bangsawayi di kota raja, juga terkenal karena puteri tunggalnya yang de-nok ayu, cantik jelita bernama Mekarsari. Gadis ini telah berusia tujuhbelas tahun, bagaikan bunga mawar sedang me-kar semerbak mengharum, mendatangkan rindu dendam dan
birahi pada dada setiap teruna yang berada di kampung itu.
Akan tetapi, para muda itu hanya berani memandang dengan kagumm dan penuh gairah, dengan haiapan setipis kulit bawang, karena bagi mereka, merindukan dara juita Mekarsari sama halnya dengan si pungguk merindukan bulan yang mengapung tinggi di awan !
Di samping sifat - sifat Ki Lurah Reksoyudo yang baik, ramah tamah dan adil terhadap rakyat dusun Karangluwih 28
terdapat sifat yang kurang baik, yaitu sifat tamak akan harta benda, pendek kata sifat mata duitan.
"Anakku hanya Mekarsari seorang, cantik jelita, kembang Karangluwih, cantik manis dan denok, tak kalah oleh puteri puteri Singosari ! Maka, sudah sepatutnya kalau Mekarsari menjadi isteri seorang berpangkat tinggi, setidaknya seorang bupati, atau seorang pangeran ! Mekarsari cantik, aku berharta, sudah sepatutnya kita memilih menantu yang akan mengangkat derajat kita tinggi - tinggi selagi kita hidup dan kelak mengubur kita dalam - dalam kalau kita mati ! "
Demikian berkali - kali ki lurah menyatakan pendapatnya kepada isterinya apa bila isterinya menyatakan bahwa puteri mereka sudah cukup dewasa untuk dinikahkan. Istilah "mikul duwur mendem jero" (memikul tinggi mengabur dalam dalam) bermaksud dapat mengangkat derajat mereka selagi masih hidup sampai setelah mereka meninggal dunia.
Oleh karena hampir setiap hari semenjak Mekarsari masih belum dewasa, ki lurah selalu mengemukakan idam - idaman hati ini, akhirnya baik nyi lurah maupun Mekarsari menjadi mabok dan terpengaruh sehingga nyi lurah juga
mengharapkan seorang menantu yang berpangkat tinggi, sedangkan Mekarsari sering kali melamun dan membayangkan betapa senangnya menjadi seorang isteri bupati atau pangeran yang disembah - sembah oleh ribuan orang !
Akan tetapi, sudah menjadi lazimnya bahwa hal yang diharap - harapkan itu tak kunjung datang dan yang datang balikan hal yang sama sekali tak pernah diimpikan ! Tidak ada seorangpun pemuda dusun yang berani meminang Mekarsari, sungguhpun tiap malam semua pemuda digoda oleh bayangan Mekarsari yang cantik jelita dalam alam mimpi. Dan yang datang meminang pada suatu hari adalah seorang yang sama sekali tak pernah diharapkan, yaitu seorang kepala gerombolan rampok bernama Klabangsongo yang bersarang di sebuah hutan liar di kaki Gunung Kelud !
29 Di waktu Sang Prabu Ken Arok masih berkuasa dan belum binasa, Klabangsongo dan anak buahnya tak berani banyak bergerak, hanya bersembunyi di dalam hutan dan
menghadang orang - orang yang berani lewat di daerah mereka. Akan tetapi semenjak Sang Prabu Ken Arok
meninggal dunia dan keadaan kerajaan di bawah pimpinan Sang Prabu Anusapati amat lemahnya, Klabangsongo mulai memperlihatkan keberanian dan kekejamannya. Ia memimoin anak buahnya keluar dari hutan itu dan mulai melakukan'
perampokan di dusun - dusun sekitar kaki Gunung Kelud.
Bahkan akhir-akhir ini ia turun gunung dan menielaiah di sepanjang Kali Lekso sampai di luar dusun Karangluwih !
Penduduk Karangluwih telah tahu akan adanya geromlioLm perampok yang dipimpin oleh Klabangsongo ini, karena sudah banyak orang yang dirampok dan menjadi korban keganasan gerombolan itu. Akan tetapi, selama itu, Klabangsongo belum pernah menyerbu ke dusun Karangluwih, karena ia masih merasa segan dan ragu - ragu, mengira bahwa pertahanan di dusun itu kuat. Ia hanya mengganggu kampung-kampung kecil yang termasuk dalam wilayah Karangluwih. Ki Lurah Reksoyudo telah mengumpulkan pasukan dusun dan mencoba mengusir gerombolan ini, akan tetapi ternyata bahwa gerombolan yang terdiri dari seratus orang lebih itu amat kuat.
Terutama sekali Klabangsongo lernyata adalah seorang yang amat kuat dan digdaya sekali sehingga akhirnya Ki Lurah Reksoyudo terpaksa hanya menjaga keamanan Karangluwih saja dan tidak lagi mengejar-ngejar gerombolan
Klabangsongo. Klabangsongo adalah seorang laki - laki berusia kurang lebih tigapuiuh tahun, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam.
Kepalanya yang besar itu menjadi tambah seram kelihatannya karena sepasang matanya yang sebesar jengkol dan kumisnya yang melintang sekepal sebelah. Telah beberapa kali ia bertukar isteri, karena selalu isteri - isterinya itu tidak memperlihatkan sikap mencinta sehingga ia menjadi bosan.
30 Akhirnya ia mendengar tentang kecantikan Mekarsari, puteri mnggal Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Mendengar pujian orang - orang yang pernah melihat gadis itu. gandrung-gandrunglah ia dan segera diutusnya seorang pembantunya pergi memasuki dusun Karangluwih untuk meminang gadis itu
! Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya hati Ki Lurah Reksoyudo ketika ia menerima tamunya yang bersikap kasar dan bermata jelilatan itu ke ruang tamu lalu mendengar bahwa tamunya ini adalah utusan dari kepala rampok Klaoangsongo !
"Ki sanak," katanya dengan suara dibikin gagah sebisa-nya,
"ada keperluan apakah gerangan maka pemimpinmu Klabangsongo mengutusmu masuk ke dusun ini dan menemui aku " "
Utusan Klabangsongo itu masih muda dan la pernah
mendengar tentang kecantikan Mekarsari, maka ketika ia memasuki nr.ng tamu, sepasang matanya yang liar dan merah itu jelilatan mencari - cari ke dalam rumah, dengan harapan akan dapat melihat si denok ayu Mekarsari !
"Ki lurah' jawabnya dengan suara yang membuat Ki Lurah Reksoyudo merasa punggungnya panas dingin, "hamba diutus oleh kakangmas Klabangsongo untuk meminang pu-terimu, si denok Mekarsari !"
Seketika itu juga pucatlah wajah ki lurah mendengar pinangan yang kasar dan kurang ajar ini. Kepucatan mukanya berobah menjadi merah karena marah. Hampir saja ia mencabut kerisnya dan menyerang utusan kepala rampok itu, kalau saja ia tidak ingat bahwa betapapun juga orang ini adalah seorang pesuruh yang hanya menyampaikan perintah majikan atau junjungannya. Bukan utusan ini yang kurang ajar dan bukan pula orang ini yang meminang puterinya. Di dalam kemarahannya ki lurah masih ingat akan peraturan dan ketatasopanan seorang tuan rumah menerima tamu seorang 31
utusan. Adapun utusan Klabangsongo itupun dapat melihat betapa tuan rumah menjadi marah, maka buru - buru ia melanjutkan ucapannya,
"Ki Lurah Reksoyudo, hamba menyampaikan pinangan kakangmas Klabangsongo disertai syarat dan perjanjiannya.
Kalau ki lurah menerima pinangannya, tidak saja kami tidak akan mengganggu Karangluwih, bahkan kakangmas
Klabangsongo berjanji akan menjaga keamanan dusun ini, akan memberi kebahagiaan dan harta benda kepada puterimu.
Ketahuilah bahwa kakangmas Klabangsongo tidak mempunyai isteri lain, kecuali piaraan di sana sini. Dia seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna, dan mempunyai simpanan harta benda yang tidak kalah besarnya dengan kekayaan seorang bupati. Kau mau sawah " Tunjuk saja yang mana, kakangmas Klabangsongo sanggup merampaskannya dari pemiliknya untuk mertuanya. Kau mempunyai musuh " Tunjukkan yang mana orangnya, dalam sehari saja kakangmas Klabangsongo akan mematahkan batang lehernya dan mempersembahkan kepala musuhmu di depan kakimu. Asalkan jangan minta singgasana kerajaan, kakangmas Klabangsongo sanggup memenuhi segala permintaanmu."
"Bedebah ! Keparat ! Lekas kau minggat dari sini!
Sampaikan kepada Klabangsongo si jahanam bahwa lebih baik dusun ini menjadi lautan api dari pada aku harus
menyerahkan puteriku kepadanya". Sambil berkata demikian, ki lurah menuding ke arah ointu depan, mengusir utusan itu yang hanya menyeringai saja dengan tabah sekali.
"Ki lurah, kau telah menentukan nasibmu sendiri. Nah, selamat berpisah sampai bertemu lagi di dalam lautan api! "
Pergilah utusan itu berlari ke luar. Ki Lurah Reksoyudo menjatuhkan dirinya di atas kursi. Nafasnya memburu, wa-jahiiya seoentar pucat sebentar merah. Bedebah, makinya dengan pikiran kusut, pinangan pertama terhadap puterinya 32
datang dari seorang kepala rampok !
Tiba - tiba ia teringat akan ancaman Klabangsongo yang diucapkan oleh utusannya tadi, maka cepat - cepat ia berteriak keras,
"Penjaga..........!!!" Tiga orang penjaga yang memegang tombak dan tadi berdiri di luar kelurahan segera bergegas lari masuk.
"Kumpulkan kepala pasukan, suruh mereka datang ke sini.
Cepat !!n Tiga orang penjaga itu lalu berlari ke luar lagi dan segera melakukan perintah ki lurah.
Setelah para kepala pasukan datang, ki lurah lalu berkata,
"Si keparat Klabangsongo telah mengancam akan menyerang dusun kita. Cepat atur penjagaan yang kuat. Jaga seluruh kampung, kelilingi dengan pasukan - pasukan!"
Ki lurah tidak berani menceritakan tentang pinangan yang amat memalukannya itu, kemudian ia sendiri mengatur barisan penjaga untuk bersiap sedia menyambut serbuan para perampok. Penduduk dusun Karangluwih menjadi gelisah sekali, akan tetapi semua orang laki - laki ikut bersiap sedia menjaga keamanan dengan senjata yang ada pada mereka seperti tombak, pedang, keris, linggis, pacul dan lain-lain.
Orang - orang perempuan tidak berani keluar dari pintu rumah dan memeluk anak - anak mereka di dalam kamar dengan hati berdebar dan kedua kaki lemas. Setiap kali mendengar suara gaduh di luar rumah, kaki mereka menggigil.
Pak Bejo, petani tua yang tinggal di ujung timur dusun bersama isterinya, biarpun usianya sudah ada limapuluh tahun, namun masih bersemangat. Ia ikut keluar dari pintu rumah membawa sebatang alu besar yang biasanya
dipergunakan oleh isterinya untuk menumbuk padi.
"Pakne, kau mau ke mana " Jangan tinggalkan aku, pakne
!" kata mbok Bejo dengan suara gemetar. Biarpun mereka 33
tidak pernah punya anak, mbok Bejo selalu menyebut suaminya "pakne" dan suaminya menyebutnya "mbok-ne".
"Aah, kau seperti penganten baru saja, mbokne. Orang laki mau keluar berjaga, kau ribut mulut tak karuan " Pak Bejo mengomel sambil melepaskan tangannya yang dipegang oleh isterinya.
"Kau sudah tua bangka, mau menjaga apa " Lebih baik di rumah saja, menjaga aku kalau - kalau aku .jatuh pingsan karena kaget dan takut!" kata isterinya.
"Biarpun sudah tua, akan tetapi tua - tua kelapa, makin tua makin keras batoknya, makin banyak minyaknya ! Lupakah kau bahwa aku adalah bekas cabang atas " Kalau baru sepuluh duapuluh orang perampok saja, terkena sambaran aluku di atas kepalanya, tentu akan remuk kepalanya, menggeletak tak kuasa membuka mulut meminta air minum lagi !" sumbarnya sambil mengayun - ayun alunya yang besar itu di atas kepalanya sehingga nafasnya terengah - engah karena alu itu memang berat.
"Pakne, jangan pergi................kalau mau berjaga, jagalah di depan pintu rumah sendiri. Bagaimana nanti kaiau kau pergi, ada perampok masuk ke dalam rumah" Apa yang harus kulakukan" "
"Jewer telinganya dan jambak rambutnya ! Apakah ia tidak tahu bahwa kau adalah mbok Bejo, isteri pak Bejo cabang atas?" jawab pak Bejo seraya mengangkat dada, seolah - olah perampok yang mereka bicarakan itu hanya seorang anak kecil yang nakal saja.
"Jangan pergi, pakne. Aku takut !"
"Aku harus pergi, menggabung dengan para penjaga untuk mengusir perampok kalau mereka berani masuk dusun," kata pak Bejo nekat dan hendak pergi. Akan tetapi isterinya lari memeluknya dan mereka lalu bertarik - tarikan, seorang ingin pergi, yang seorang menahan.
34 "Baiklah, kalau kau nekat pergi, aku mau ikut ke sana!"
"Ikut " Kau ............" Orang perempuan tua mau ikut berjaga " "
"Biar ! Biar aku mati di sampingmu. Bukankah kita dulu sudah bersumpah hidup serumah mati seliang " " Suaranya masih mengandung kemesraan semasa mudanya. Pak Bejo lemas dan semangatnya bertempur melawan perampok
terbang setengahnya.
"Baiklah................baiklah................" ia menarik nafas panjang. "Biar aki: meniaga di depan rumah. Kau masuk dan bersembunyilah di dalam kamar."
"Kau betul - betul tidak meninggalkan aku?" tanya mbok Bejo manja.
"Tidak, bagaimana nanti kalau ada perampok mengganggu bidadariku " " kata pak Bejo sambil mengobat - abitkau, alunya di atas kepala.
Mbok Bejo segera masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di dalam biliknya. . Sementara itu, hari telah mulai gelap.
Hampir setengah hari penduduk Karangluwih menanti aengan hatj berdebar, namun perampok - perampok itu tak juga datang. Makin gelap cuaca, makin gelap pula hati dan piiciran semua orang. Malam yang biasanya aman dan tenteram, kini nampak seakan - akan amat mengerikan. Agaknya para iblis dan setan pada keluar dari tempatnya dan beterbangan di atas dusun itu, siap mencari korban.
Kebetulan sekali di atas rumah pak Bejo terbang seekor burung gagak yang berbunyi tiga kali, "Gaok............gaok
................gaok................!"
Mbok Bejo menjumbul kaget dalam biliknya dan bagaikan seekor kijang melompat ia lompat turun dari ambennya terus lari keluar.
"Pakne................! Pakne................! Tolong.............!"
35 Hampir saja ia bertumbukan denean suaminya yang dari luar lari ke dalam mendengar jeritnya ini.
"Eh, eh, kau kenapakah ?" tanya pak Bejo dengan hati tidak enak. Mereka memang tinggal di tempat yang paling ujung dan jauh tetangga, di kanan kiri rumah hanya ladang penuh tanaman jagung dan ubi.
"Suara gagak itu................tiga kali ................alamat tidak baik, dia mencari bangkai................"
"Hush..........jangan bicara yang bukan-bukan, mbokne.
Masuklah kembali ke dalam bilik dan kalau kau mendengar sesuatu jangan sekali - sekali keluar. Kalau ada perampok datang, serahkan saja kepadaku, dan kalau aku sedang bertempur melawan puluhan perampok, jangan kau keluar."
Mbok Bejo menggigil. "Aku.............aku takut, pakne. Kau masuk sajalah. Aku takut seorang diri di dalam bilik, takut kalau - kalau kau kenapa - kenapa................"
Di dalam hatinya, pak Bejo memang telah merasa ngeri mendengar ucapan isterinya tentang burung gagak dan bangkai tadi, akan tetapi ia menahan-nahan kengeriannya.
Kini ia mendapat alasan untuk masuk ke dalam rumah, maka katanya sambil tersenyum lega,
"Aah, perempuan ! Kau memang makhluk lemah dan penakut. Jangan takut, selama ada suamimu di sini, takkan ada orang berani menyentuhmu !" Dengan lenggang seakan-akan Sang Gatotkaca merungrum (mencumbu rayu) Dyah Pergiwa, pak Bejo menggandeng isterinya masuk ke dalam pondoknya. Akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, tiba - tiba terdengar,
"Brak..........! Kresek ! Kresek............. brak!"
Hampir saja pak Bejo njrantal (melompat anjing) saking kagetnya dan mbok Bejo menjerit sambil memegang baju suaminya.
36 "Ngeoong....................!"
"Bedebah! Keparat! Babo-babo, amuk suramrata jaya-mrata !!" pak Bejo menyambar alunya dan melompat ke luar karena tahu bahwa suara tadi hanya ditimbulkan oleh sepasang kucing yang sedang memadu kasih. "Mana perampoknya " Ayoh keluar, bertanding tebalnya kulit kerasnya tulang melawan jago tua Bejo ! Majulah, jangan seorang, keroyoklah sepuluh orang kalau hendak merasakan bagaimana nikmatnya kepala diremuk alu ! " Ia petantang-peten-teng (berlagak mengangkat dada) di depan rumah sambil mengobat - abitkan alunya yang besar dan berat.
Mbok Bejo menarik ujung bajunya ke dalam pintu.
"Masuklah, pakne, jangan begitu. Itu tadi hanya kucing !"
"Ah, kucing " Kukira perampok - perampok yang datang.
Kau penakut sekali, mbokne. Ayoh kuantar masuk bilik."
Keduanya masuk ke dalam bilik dan suasana menjadi sunyi, sunyi yang menakutkan. Bulan sabit muncul membawa cahaya yang remang - remang, menambah keseraman malam.
"Pakne, aku takut............" terdengar suara mbok Bejo perlahan, gemetar.
"Takut apa" Biar aku rengeng-rengeng (bersenandung), kuceritakan tentang Sang Hanoman mengamuk di Ngaleng-kadiraja !" Maka terdengarlah suara pak Bejo uro uro (menembang moeopat) mengisahkan perjalanan dan
pengalaman Sang Hanoinan kera putih perkasa yang menjadi utusan Sang Prabu Raniawijaya ketika mengamuk di
Ngalengka (dalam cerita wayang Ramayana). Suara pak Bejo memang empuk dan pulen, maka terdengar enak sekali.
Orang - o-rang yang menjadi tetangga pak Bejo tinggal agak jauh dari situ, akan tetapi ketika mereka mendengar suara pak Bejo uro - uro ini, mereka geleng-geleng kepala"Ampun................!" kata seorang tetangga menggelengkan kepala. "Dalam saat seperti ini pak Bejo masih 37
rengeng-rengeng menghibur hati bininya !"
"Mungkin otaknya sudah miring," mencela seorang yang brangasan karena diserang rasa kegelisahan dan ketakutan hebat.
Suara tembang pak Bejo yang merdu itu mengalun di
kesunyian malam dan mbok Bejo merem melek karena suara suaminya ini selalu masih mempesona hatinya. Rasa takutnya sudah mengurang dan ia mendengarkan suara uro - uro suaminya yang memang baik itu.
Sang Hanomam melompat tinggi menantang-nantanya,
mengejek berani, Heh kamu Rahwana, raja durhaka !
Keluarlah kalau memang perkasa inilah lawanmu, Sang Hanoman sakti keroyoklah, aku takkan lari! Inilah dadaku !
Majukan laskarmu Babo babo! Inilah ksatria sejati!'
Tiba - tiba pak Bejo menghentikan mocopatnya karena terdengar suara, "Srek, srek, kietek !" Kemudian disusul oleh suara kaki orang berjalan, lalu sunyi.
"Pakne...................."
"Ssst, jangan berisik, tidak ada apa-apa............" balas pak Bejo dengan bisikan menghibur, akan tetapi kedua telapak kakinya telah menjadi dingin sekali. Ia lalu menembang kembali, suaranya dikeras - keraskan, hatinya diberani-beranikan, akan tetapi tetap saja suaranya menjadi sumbang dan kata - kata dalam tembangnya ngawur.
Tiba - tiba keadaan yang sunyi dan suara pak Bejo yang tadinya hanya menjadi suara tunggal di malam sunyi itu terganggu oleh suara bersorak dari jauh.
"Pakne............suara apa itu yang bersorak-sorak........?"
bisik mbok Bejo.
"Sst, jangan ribut, dengarkan uro-uroku," sela pak Bejo sambil menekan suaranya yang gemetar karena iapuu
ketakutan setengah mati. Ia dapat menduga bahwa sorak 38
sorai itu tentulah suara para perampok yang datang menyerbu. Untuk memberanikan hatinya ia melanjutkan tembangnya yang tr.di tertunda, dengan suara gemetar,
"Ribuan bala Ngalengka ratusan para raksasa ganas liar menyerbu! Hanoman trengginas nyambut menyambar alu
........................... eh, batu menghantam para perampok
............... eh............ menghantam para raksasa gagah perkasa Sang alu ......... eh ......... alu ......"
Pak Bejo tak sanggup melanjutkan tembangnya karena kata-katanya sudah kacau-balau, tercampur dengan
pikirannya yang penuh dengan bayangan perampok perampok ganas dan alunya yang menyambar - nyambar mengamuk !
"Ha, ha, ha !" tiba-tiba terdengar suara ketawa geli dari luar pintu. "Pak Bejo, sejak kapan Sang Hanoman bersenjata alu " "
Mendengar suara yang asing itu di luar pintu, mbok Bejo menggigil seluruh tubuhnya. Ia menarik kaki dan tangannya, membuat tubuhnya menjadi sekecil mungkin, mepet di pojok balai - balai. Pak Bejo memandang kc arah pintu dengan mata terbelalak.
"Si ................siappa itu................"* tanyanya, akan tetapi suaranya tenggelam di dalam sorak sorai dan derap kaki yang kini telah terdengar riuh, tanda bahwa banyak sekali orang telah memasuki dusun Karangluwih. Suara ini disusul oleh suara pekik kesakitan dan beradunya senjata. Ternyata para perampok telah menyerbu masuk dan telah terjadi perang tanding antara para penjaga dan perampok - perampok itu.
Pak Bejo menyambar alunya dan melompat turun dari balai
- balai, siap menyerbu ke luar pintu. Akan tetapi mbok Bejo memegang kakinya, sehingga pak Bejo tak dapat keluar.
Tiba - tiba nampak cahaya terang masuk ke dalam bilik itu dan pak Bejo berkata dengan suara serak, "Celaka mbokne.
39 Perampok-perampok itu membakar rumah .........."
"Jangan pergi, pakne.........biar kita mati seliang........"
"Baik.............baik.............aduh, kalau rumah kita dibakar
............kita mati terpanggang............mbokne, mari kita lari............!" Pak Bejo memegang tangan isterinya dan menyeretnya turun dari balai - balai. Keduanya berlari keluar dari bintil, akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, mbok Bejo menjerit dan lari kembali ke dalam biliknya.
Ternyata bahwa di dalam rumah nampak seorang pemuda sedang berdiri bertolak pinggang, sedangkan dari jauh datang menyerbu belasan orang perampok yang tinggi besar dan menyeramkan, karena setiap orang perampok memegang sebilah golok yang mengkilat karena tajamnya. Pak Bejo terpaku di ambang pintu dan memandang dengan mata
terbelalak, kemudian ia menutupkan daun pintu sambil mengintai dari celah - celah daun pintu itu.
Siapakah adanya pemuda yang berdiri di depan rumah pak Bejo itu " Sesungguhnya pemuda ini bukan lain adalah Wisena
! Di dalam perjalanannya menuju ke Singosari, Wisena tiba di dusun Karangluwih pada malam hari itu. Ia merasa heran melihat para peniasyi mengadakan penjagaan yang demikian rapat dan kuat di sekeliling dusun. Karena ingin sekali mengetahui apa gerangan yang terjadi, ia lalu menggunakan kepandaiannya memasuki dusun dari sebelah timur tanpa diketahui oleh para penjaga yang hanya melihat bayangan hitam berkelebatan cepat.
Wi'jena berjalan perlahan dan ketika tiba di dekat rumah pak Bejo, ia mendengar percakapan antara pak Bejo dan isterinya. Maka tahulah Wisena bahwa dusun itu terancam cleh Ferbuan para peramjook. Ia lalu beristirahat di emper rumah pak Bejo. Yang terdengar oleh kedua suami isteri itu tadi adalah suara tindakan kakinya di depan rumah. Kemudian Wisena mendengar pak Bejo bertembang sehingga ia menjadi geli dan suaranya nulalah yang mencela pak Bejo tentang 40
Sang Hanoman bersenjata alu !
Wisena telah mendengar pula sorak sorai dari para
perampok yang menyerbu dan ketika ia melihat belasan orang perampok menyerbu masuk dari timur, ia segera menyambut mereka. Ternyata bahwa Klabangsongo telah menyerbu dusun itu dari berbagai jurusan. Siasat ini membuat para penjaga menjadi kacau-balau, dan kekuatan mereka menjadi terpecah - pecah. Lebih - lebih lagi kekacauan para penjaga ketika perampok - perampok itu dari luar dusun
mempergunakan anak-anak panah yang membawa api. Sudah ada beberapa buah pondok terdekat yang telah terbakar. Jerit minta tolong dari penghuni rumah yang terbakar bercampur dengan pekik orang - orang yang mulai bertempur.
Pertahanan para penjaga bobol dan perampok - perampok yang ganas itu telah menyerbu masuk dusun ! Dua-belas orang perampok yang menyerbu dari timur telah merobohkan para penjaga dan kini mereka berlari menuju ke rumah pak Bejo yang berada di paling ujung. Tiba - tiba muncul sesosok tubuh manusia dari depan rumah pak Bejo 'dan bayangan ini adalah seorang pemuda yang bukan lain adalah Wisena sendiri. Ia berdiri menghadang perampok-perampok itu dengan kedua tangan bertolak pinggang-Tentu saja duabelas orang perampok itu menjadi marah dan juga heran melihat seorang pemuda bertangan kosong dan seorang diri berani berdiri menghadang di tengah jalan.
Tiba - tiba pintu pondok pak Bejo terbuka dan pak Bejo sendiri dengan aki di tangan melompat ke luar. Melihat seorang pemuda berdiri di deoan rumabnya dan membelakanginya, ia menjadi girang sekali. Ia mengobat - abitkan alunya dan berlari'menghampiri Wisena yang masih berdiri tegak.
Diangkatnya alu itu dan dipukulkannya ke arah Menala Wisena yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak !
"Duk !" ketika alu itu beradu dengan kepala Wisena, pak Bejo berseru terkejut karena bukan kepala itu yang pecah 41
atau retak, bahkan alunya sendiri yang terlepas dari pegangannya. Pak Bejo memandang kepada belakang tubuh pemuda itu dengan mata terbelalak, kemudian ia melihat rombongan perampok yang telah tiba di depan pemuda itu, maka tanpa menengok lagi ia lalu berlari pontang-panting masuk kembali ke dalam rumah, melemparkan daun pintu dan menubruk mbok Bejo yang masih meringkuk di atas balai balai. "Eh, ada apa, pakne?" tanya isterinya ketakutan.
"Celaka............celaka............perampok itu sakti sekali
............kepalanya sekeras batu ! Celaka............!" Kedua orang tua itu berpelukan sambil menggigil ketakutan Sementara itu, Wisena menghadapi para perampok dengan senyum menghina. "Perampok-perampok jahat macam kalian ini perlu dihajar!"
Duabelas orang perampok itu menjadi marah sekali
mendengar ucapan yang tenang dan menghina ini, maka sambil berseru keras mereka maju mengurung dan menyerang Wisena dengan golok mereka. Wisena membalikkan tubuhnya dan mengambil alu yang tadi dilepaskan oleh pak Bejo. Ketika ia menggerakkan tubuhnya dan memutar alu itu, terdengar pekik kesakitan dan beberapa batang golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, disusul dengan robohnya tubuh mereka terkena sambaran alu yang besar dan berat itu. Sekali saja kepala atau dada tercium ujung alu, robohlah seorang perampok tanpa dapat bangun lagi, hanya merintih - rintih dan bergerak-gerak perlahan. Dalam waktu singkat saja keduabelas orang perampok itu telah
menggeletak memenuhi pekarangan rumah pak Bejo dalam keadaan terluka atau pingsan !
"Hm, perampok-perampok macam kalian ini masih berani mengganggu penduduk kampung " Sungguh berani mati !"
Wisena berkata sambil menancapkan alunya di atas tanah.
Seakan-akan berujung runcing, alu itu menancap di tanah dan 42
berdiri lurus seperti pohon pisang !
Pada saat itu, terdengar jerit seorang wanita. Wisena cepat memandang dan di dalam kegelapan malam ia melihat
seorang perampok melarikan seorang dara di atas kudanya yang dibedal keluar dari kampung itu.
"Tolong............, tolong.........! Ayah........abu........ tolong
!" dara itu memckik-mekik ngeri.
"Diamlah, manis. Kau pantas menjadi isteri
Klabangsongo........ ha, ha. ha, diamlah, denok!" kata laki-laki itu sambil membalapkan kudanya.
"Jahanam !" seru Wisena dan segera pemuda ini melompat mengejar kepala rampok Klabangsongo yang melarikan Mekarsari itu. Ternyata bahwa Klabangsongo mempergunakan kesempatan selagi para penjaga berperang tanding melawan anak buahnya, ia lalu menyerbu ke dalam rumah ki lurah dan melarikan Mekarsari di atas kudanya. Ketika melihat seorang pemuda yang dapat lari secepat rusa mengejarnya,
Klabangsongo mencambuki kudanya yang segera membalap keluar dari dusun menuju ke utara. Kuda itu ternyata adalah seekor kuda yang baik dan besar, dan dapat berlari cepat sekali sehingga sukarlah bagi Wisena untuk dapat
menyusulnya, sungguhpun pemuda ini memiliki kepandaian lari cepat. Namun Wisena telah memiliki keuletan dan kesabaran, ia tidak putus harapan dan terus melakukan pengejaran.
"Keparat, ke manapun juga kau melarikan gadis itu, aku takkan melepaskanmu ! " katanya dan terus berlari dengan cepat.
Sementara itu, pada saat para penjaga sudah terdesak hebat dan makin banyak rumah yang terbakar oleh perarnpok-perampok anak buah Klabangsongo tiba - tiba terdengar derap kaKi kuda dan sepasukan perajurit berkuda memasuki dusun itu. Pasukan berkuda ini dipimpin oleh Pangeran Tohjaya yang 43
gagah perkasa ! Perajurit - perajurit yang terlatih ini lalu menyerbu para perampok dan kosar - kacirlah para perampok menghadapi perajurit - perajurit ini.
Para penjaga dan orang - orang dusun yang mengenal perajurit - perajurit Singosari ini menjadi girang sekali.
Semangat bertempur mereka bangkit kembali dan dengan hebat mereka mengadakan pembalasan sehingga semua
perampok dapat dipukul mundur. Banyak sekali para
perampok jatuh menjadi korban, dan sebagian besar yang sudah tak melihat pemimpin mereka lagi, lalu melarikan diri cerai-berai keiuar dari dusun Karangluwih.
Setelah fajar menyingsing dan cuaca menjadi agak terang, bersihlah dusun itu dari semua perampok. Korban bertumbuk tumpuk dan kini orang-orang sibuk memadamkan api yang mengamuk membakar rumah - rumah. Berkat semangat
gotong royong para penduduk, penjaga, dan dibantu pula oleh para perajurit di bawah pimpinan Pangeran Tohjaya, maka tak lama kemudian padamlah semua api yang mengamuk itu.
Ketika Pangeran Tohjaya memimpin pasukannya dan diikuti pula oleh para penjaga dan penduduk yang bersoraksorak girang itu mengadakan pemeriksaan di seluruh dusun, mereka melihat sesuatu yang lucu dan mengherankan terjadi di pekarangan rumah pak Bejo. Orang tua ini tadinya
bersembunyi di dalam biliknya beserta isterinya. Kemudian setelah keadaan menjadi sunyi dan di luar tidak terdengar sesuatu, pak Bejo memberanikan dirinya keluar dari pintu.
Alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat betapa di pekarangan rumahnya penuh dengan tubuh para perampok yang terluka dan mengerang kesakitan. Ia melihat alunya berdiri menancap di atas tanah bagaikan batang pisang.
Segera ia menghampiri alunya itu dan berusaha mencabutnya, akan tetapi alu itu telah menancap amat dalam dan sukar dicabut.
"Mbokne ! Mbokne ! Keluar dan bantulah mencabut 44
senjataku ini !" katanya terengah-engah sambil membetot-betot alu itu. Isterinya keluar dan hampir saja lari lagi ketakutan ketika melihat tubuh para perampok bertumpang tindih di pekarangannya. Akan tetapi melihat snaminya ber-kutetan dengan alu dan para perampok itu tidak da.nat bangun, ia memberanikan hati dan segera membantu
suaminya mencabut alu yang menancap di atas tanah.
Biarpun sudah tua, agaknya mbok Beio masih memiliki tenaga juga. Apa lagi ia memang sering kali mempergunakan alu untuk menumbuk padi, sehingga sudah biasa baginya untuk memegang dan mengangkat alu. Mereka memoersatu-kan tenaga, membetot, menarik, mendongkrak dan akhirnya
..............tercabutlah alu itu sehingga keduanya terjengkang ke belakang, kerengkangan bagaikan sepasang kura - kura ditelentangkan di atas batoknya !
Pak Bejo melompat bangun. Sambil mengobat-abitkan
alunya ia berseru, "Babo, babo ! Mana dapat perampok-perampok lemah melawan pak Bejo jago tua !" Sambil berkata demikian, ia mulai mengerjakan alunya, menghantam ke kanan kiri, kepada perampok-perampok yang sudah tak berdaya lagi itu.
Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika alunya bertubi-tubi menghantam perampok-perampok itu berganti-ganti.
Perampok-perampok itu hanya bisa mengaduh-aduh, karena sungguhpun tenaga pak Bejo tidak besar dan pukulan itu tidak sampai menghancurkan kepala, akan tetapi masih cukup keras untuk menambah beberapa benjol di kepala, dan beberapa bengkak dan matang biru pada tubuh mereka !
Demikianlah, ketika Pangeran Tohjaya bersama
pasukannya dan orang-orang kampung tiba di situ, mereka dengan mata terbelalak melihat betapa pak Bejo bersilat dengan alunya menghantam para perampok dengan
gagahnya, sedangkan mbok Bejo berdiri bertolak pinggang, senyum menghias pipinya yang kempot dan sinar bangga 45
menghias matanya yang keriputan !
"Aduh gagahnya pak Bejo !" terdengar seorang penduduk dusun memuji dengan heran, karena ia tahu bahwa biasanya pak Bejo hanya pandai menembang dan membual saja. Dari mana pak Bejo memperoleh kesaktian sedemikian rupa"
Ketika pak Bejo melihat banwa orang-orang dusun datang, ia makin memperhebat lagaknya, menghantam, menyepak, menendang. Sambil mengamuk ia berkali-kali berseru,
"Babo, babo! Klabangsongo, jangan maju sendiri, keroyoklah jago tua pak Bejo dengan ratusan anak buahmu "
Akan tetapi oleh karena ia memang sudah amat lelah mengobat-abitkan alunya yang berat, ketika ia menghantamkan alunya ke atas tubuh seorang perampok dibarengi dengan tendangannya, kakinya kena hantaman alunya sendiri.
"Duk !" kakinya menendang ujung alunya sendiri dan ia terhuyung lalu terpincang-pincang, berputaran sambil mengeluh, "Aduh................aduh................!"
Tentu saja pemandangan yang amat lucu ini membuat
semua orang tertawa bergelak, dan mbok Bejo buru-buru menolong suaminya dan mengelus - elus tulang kering kaki suaminya yang menjadi biru.
"Mari kuparami, pakne," katanya menghibur.
Pada saat itu, tiba-tiba dari jurusan rumah kelurahan, datang berlari Ki Lurah Reksoyudo dengan muka pucat. Begitu melihat Pangeran Tohjaya, ia lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah di depan pangeran itu sambil menangis.
"Eh, eh, ki lurah, kau kenapakah" Apakah ada korban jatuh di antara keluargamu " " tanya Pangeran Tohjaya.
"Ketiwasan, kanjeng gusti,, ketiwasan........kata pak lurah sambil menangis. "Puteri hamba, Mekarsari, telah diculik dan dibawa lari oleh Klabangsongo !"
46 Pangeran Tohjaya terkejut. Sesungguhnya, kedatangannya pada malam hari itu di dusun Karangluwih bukanlah hal yang kebetulan saja. Dari dusun yang berdekatan, ketika ia sedang mengadakan perjalanan dalam usahanya mempertinggi nama dengan menolong rakyat, ia telah mendengar tentang kecantikan Mekarsari yang dipuji - puji orang setinggi gunung.
Untuk menyaksikan kecantikan si juita inilah ia memimpin pasukannya menuju ke dusun Karangluwih dan kebetulan dapat menolong dusun itu dari ancaman anak buah perampok Klabangsongo.
"Apa " Puterimu si cantik Mekarsari dibawa lari oleh Klabangsongo " Ke mana larinya si bedebah itu ?" tanyanya marah.
"Menurut keterangan orang-orang yang melihatnya, ia melarikan diri menunggang kuda menuju ke utara, gusti.
Hamba menyerahkan keselamatan puteri hamba itu ke tangan paduka yang berkuasa ! "
Pangeran Tohjaya menghampiri seorang angauta perampok yang masih mengaduh-aduh karena beberapa kali dipentung alu kepalanya oleh pak Bejo tadi.
"He, kau ! " Pangeran Tohjaya menyepak tubuh orang itu.
"Katakan di mana sarang Klabangsongo! Mengakulah . terus terang, kalau tidak, akan kusuruh penggal lehermu !"
"Ampun, gusti, ampun............kalau kakang Klabangsongo pulang, tentu ia akan pergi ke Hutan Waru di kaki Gunung Kelud."
Pangeran Tohjaya lalu memerintahkan tigapuhib orang perajurit pilihan untuk ikut dengan dia mengejar
Klabangsongo, sedangkan para perajurit lain disuruh membantu penduduk menolong orang-orang yang menjadi korban perampok.
"Mari kita kejar Klabangsongo si bedebah !" serunya sambil melompat naik ke atas kudanya.
47 'Gusti pangeran, perkenankan hamba ikut mencari puteri hamba !" Ki Lurah Reksoyudo memohon. Permintaannya dikabulkan dan seekor kuda diberikan kepada ki lurah. Maka berangkatlah rombongan ini, membalapkan kuda menuju ke utara. Derap kaki kuda mereka bergemuruh dan debu
mengebul ke atas.
* dw *

Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil mengepit pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan tangan kanan memegang kendali kudanya, Klabangsongo membalapkan kudanya. Beberapa kali ia menengok ke
belakang dan setelah melihat bahwa pengejarnya, pemuda yang pandai berlari secepat rusa itu, tertinggal jauh dan akhirnya tidak nampak lagi, ia menjadi lega.
Mekarsari telah kehabisan tenaga dan suara karena
berteriak-teriak sekuatnya. Kini ia hanya menangis terisak-isak di dalam pelukan Klabangsongo.
"Jangan menangisi manis !" Klabangsongo menghibur sambil masih melarikan kudanya sungguhpun tidak membalap seperti tadi, ia merasa yakin bahwa pemuda itu takkan dapat mengejarnya lagi. Mana ada manusia dapat menyusul lari kuda" "Mekarsari, bidadari denok ayu, ketahuilah bahwa untuk mendapatkan dirimu, aku telah banyak berkorban. Telah berhari - hari aku tidak enak makan tak nyenyak tidur
...........ha, ha, ha, sekarang kau telah berada di tanganku, Mekarsari, kau akan menjadi biniku, sayang................ !"
"Bangsat hina dina! Bedebah! Lepaskan aku, lepaskan! Aku tidak sudi menjadi isterimu, lebih baik aku mati........!"
Mekarsari meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi di dalam pelukan tangan kiri Klabangsongo ia tidak berdaya sama sekali. Ia menggunakan kedua tangannya yang terkepal kecil itu untuk memukul sekenanya, ke arah dada dan muka penjahat itu, akan tetapi diganda ketawa saja oleh Klabangsongo.
48 "Waduh, tanganmu empuk dan lunak sekali, Mekarsari......
biarlah sekarang kaupukul-pukul aku, lain kali kau harus menggunakan tanganmu yang halus dan lunak untuk memijati tubuhku................ha, ha, ha!"
Klabangsongo telah lari jauh dan matahari kini telah -naik tinggi. Sama sekali ia tidak mengira bahwa selama itu, semenjak ia melarikan diri, Wisena selalu masih mengikutinya, dan karena ia memperlambat lari kudanya, maka kini pemuda itu telah dapat menyusulnya! Wisena telah mempergunakan kesaktiannya dan berlari sampai di belakang kuda, akan tetapi tindakan kakinya demikian ringan sehingga sama sekali tidak menerbitkan suara. Apa lagi ketika itu Klabangsongo sedang tenggelam dalam nafsu berahi dan tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia sedang menundukkan kepala berusaha mencium muka Mekarsari.
Tiba - tiba terdengar bentakan nyaring, "Keparat jahanam
!" dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuah tamparan keras menempeleng pi-lingan Klabangsongo, mendatangkan bunyi bagaikan petir di dalam telinga kepala perampok itu.
"Aduh................!" tubuh Klabangsongo terlempar dari atas kuda. Pelukannya pada pinggang Mekarsari terlepas dan dara itupun terlempar pula ke jurusan lain. Akan tetapi, sebelum tubuh Mekarsari terbanting di atas tanah yang berbatu, sepasang lengan tangan yang kuat menangkap dan
memondongnya. Mekarsari membelalakkan matanya dan ia melihat muka seorang pemuda yang tampan dan cakap
bagaikan wajah Sang-Arjuna ! Untuk sekejap dua pasang mata bertemu pandang dan merahlah seluruh wajah
Mekarsari. Dara ini merasa betapa jantungnya berdebar keras dan dengan amat malu ia meronta - ronta minta diturunkan dari pon-dongan. Wisena dapat merasakan gerakan ini dan buru-buru ia menurunkan gadis itu di atas tanah, lalu dengan sigapnya ia menghadapi Klabangsongo yang telah melompat 49
bangun kembali. Kuda tunggangan kepala perampok itu telah melarikan diri saking terkejutnya-Klabangsongo berdiri dengan sikap yang menyeramkan.
Alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya
mengeluarkan cahaya seakan-akan berapi, hidungnya
kembang kempis dan mulutnya seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat. Dengan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan, ia membentak marah,
"Keparat kecil, siapakah kau berani sekali mengganggu Klabangsongo " "
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Keparat jahanam "
dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuih tamparan kerai menempeleng pilingan
Klabangsongo..........
Wisena tetap tenang saja, bahkan kini ia tersenyum mengejeK. riulah siasatnya untuk menambah rasa amarah dalam dada calon lawannya. Pemuda ini maklum bahwa makin besar amarah lawan, makin mudahlah menghadapinya, karena di dalam setiap perkelahian, orang yang tak dapat menguasai nafsu amarahnya, menjadi mata gelap dan kurang tenang dan waspada.
"Jadi kaukah yang disebut Klabangsongo dan menjadi kepala perampok " Kusangka bahwa Klabangsongo adalah seorang jantan yang gagah perkasa, tidak tahunya hanya seorang penjahat penculik wanita yang hina dan keji !
Dengarlah, Klabangsongo, aku bernama Wisena, seorang kelana yang tidak akan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang macam kau melakukan kejahatan."
"Setan alas! Sumbarmu seakan-akan berkepala tiga berlengan enam saja!" teriak Klabangsongo dengan telinga makin merah.
"Habis, kau mau apa?" jawab Wisena acuh tak acuh dan dengan pandang mata merendahkan sekali. "Jangan harap 50
kau akan dapat menculik seorang wanita begitu saja di hadapanku. Kalau belum pecah dada Wisena, kau takkan berhasil, Klabangsongo!"
"Keparat, kalau begitu akan kupecahkan dadamu!"
Klabangsongo menubruk maju dengan kedua tangan
Pendekar Latah 15 Pedang Pusaka Buntung Karya T. Nilkas Harpa Iblis Jari Sakti 20

Cari Blog Ini