Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
dipentang-Sikapnya amat mengerikan, bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Ia hendak membuktikan
ancamannya, hendak membeset kulit dada pemuda yang berkulit halus itu, hendak meremukkan tulang-tulang dada yang tak berapa besarnya itu. Akan tetapi biarpun nampaknya pemuda itu lemah lembut, ketika tubrukannya hampir mengenai sasaran tiba-tiba Wisena menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat dapat mengelak ke kiri. Klabangsongo cepat membalikkan tubuh dan mengirim serangan berikutnya dengan sebuah pukulan ke arah dada Wisena. Kembali Wisena mengelak dan ketika tangan Klabangsongo yang memukul dadanya itu lewat, ia cepat menggerakkan tangan kiri untuk menampar siku lawan.
Klabangsongo adalah seorang perampok yang
berkepandaian tinggi dan telah memiliki banyak sekali pengalaman dalam pertempuran, maka ia maklum akan
bahayanya tamparan yang dilakukan dari belakang sikunya ini.
Kalau saja tamparan ini mengenai sasaran, banyak bahayanya sambungan sikunya akan terlepas! Sambil berseru nyaring, ia miringkan tangannya dan mcnyusul dengan pukulan tangan kiri ke arah kepala Wisena- Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Wisena menarik kembali serangannya untuk mengelak.
Klabangsongo mempunyai aji pukulan yang mengerikan dan aji ini terletak di dalam telapak tandan kirinya. Kalau ia mempergunakan aji pukulan ini, maka siaoa Yang kena pukul akan meniadi bengkak-bengkak seperti terkena bisa dari binatang klabang yang puluhan banyaknya. Wisena juga dapat menduga akan hal ini oleh karena setiap kali tangan kiri 51
Klabangsongo memukul, ia mencium bau yang amat amis, tanda bahwa tangan kiri Itu mengandunq aii yang jahat dan berbisa. Ini pula sebabnya maka ia tidak berani menerima pukulan tangan kiri Klabangsongo sungguhpun ia tidak menakuti datangnya pukulan mengandalkan kekebalannya, namun bisa itu amat berbahaya.
Pertempuran berjalan amat serunya. Klabangsongo kuat dan ganas lagi cepat, sedangkan Wisena memiliki gerakan yang ringan dan gesit sehingga Klabangsongo merasa seakan-akan sedang melawan bayangan ! Sementara itu, dara juita '
Mekarsari berdiri dengan kedua tangan di depan dada, memandang dengan gelisah dan penuh kekhawatiran,
mengharap agar supaya penolongnya yang tampan dan gagah itu akan dapat mengalahkan perampok jahat itu.
Akhirnya Wisena dapat juga mencapai maksud dan
usahanya yang semenjak tadi dinanti datangnya kesempatan, yaitu-dengan cepat tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Klabangsongo. Kepala perampok itu meronta dan mencoba membetot tangan kirinya, akan tetapi sia-sia belaka, pegangan Wisena benar-benar kuat seakan-akan tangan kirinya itu dipasang belenggu baja yang berat dan tebal!
-oo0dw0ooo- (Bersambung jilid ke2).
JILID 2 KLABANGSONGO marah sekali dan memukul dengan
tangan kanannya secara membabi-buta dan bertubi-tubi ke arah muka dan dada Wisena. Pemuda itu menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi masih saja. ada beberapa pukulan tangan kanan lawannya mengenai dada dan pipinya. Akan tetapi, pukulan-pukulan itu tidak terasa olehnya, karena semenjak tadi Wisena memang telah mengerahkan aji
52 kekebalannya. Klabangsongo terkejut sekali ketika tangan kanannya yang memukul merasa betapa keras dan kuat kulit dada dan muka pemuda itu. Ia maklum bahwa lawannya yang masih muda ini kebal dan sakti, maka ia mengerahkan seluruh te--naganya untuk menarik kembali tangan kirinya, oleh karena hanya pada tangan kirinya inilah ia mengandalkan kesaktian pukulannya.
Wisena menahan seberapa dapat, namun tenaga lawannya benar-benar mengagumkan. Pernah Wisena mencoba
tenaganya dengan memegang tanduk seekor kerbau jantan dengan sebelah tangannya dan kerbau itu sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi sekarang, biaroun ia telah mengerahkan tenaganya, namun hampir saja ia tidak kuat menahan tangan kiri Klabangsongo yang meronta minta lepas.
Akhirnya pemuda ini lalu mengirim pukulan dengan tangan kirinya yang mengenai leher Klabangsongo sambil melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan lawan. Klabangsongo memekik kesakitan dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak, jatuh bergulingan, akan tetapi segera berdiri lagi dengan terhuyung-huyung ke belakang dan ke depan.
Wisena memandang dengan mata terbelalak kagum.
Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah sembarang pukulan dan jarang sekali ada orang yang mampu menahannya- Tadinya ia sangka bahwa dengan sekali pukulan penuh tenaga muji-jat itu akan dapat menewaskan Klabangsongo, tidak tahunya kepala perampok itu hanya bergulingan dan terhuyung-huyung sebentar saja !
Klabangsongo memandang kepada lawannya dengan wajah makin beringas. Matanya mencorong dan melotot seakan-akan hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke pinggang dan ia telah melepaskan senjatanya yang hebat, yaitu sebatang rantai baja yang dipasangi duri dan ujungnya dipasangi besi bersilang yang 53
runcing pada keempat ujungnya. Panjang rantai ini sedepa lebih dan agaknya amat berat.
"Wisena, terjanganmu seperti banteng terluka !" katanya perlahan, setengah gemas setengah kagum.
"Rasakanlah!" jawab Wisena tenang. "Kerahkan seluruh kesaktianmu, aku takkan mundur setapakpun !"
"Bangsat sombong, sumbarmu seperti telah berhasil merobohkan Gunung Keiud. Lihatlah apa yang kupegang ini?"
Wisena tersenyum mengejek, "Ah, alangkah lucu senjatamu itu, lebih patut kalau dipergunakan untuk mengikat hidungmu seperti kerbau lalu kutuntun ke lumpur !"
"Bangsat, akan kuhancurkan kepalamu dengan ini !"
"Majulah, Klabangsongo, akan kuhadapi serangan senjatamu tanpa berkejap !"
Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau menerkam, Klabangsongo menggerakkan rantainya seperti cambuk, lalu diayunkannya menghantam kepala Wisena.
"Eh, terlampau tinggi, kawan !" Wisena mengejek sambil menundukkan kepalanya sehingga rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, tahu-tahu rantai itu telah menyambar kembali menghantam pinggangnya ! Wisena
terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya, akan tetapi pemuda ini masih danat mengelak den.qan mudah, dengan jalan memutar tubuh dan melangkah ke kanan.
"Tidak kena !" ia tetap mengejek.
Tingkah laku dan ejekan Wisena ini benar-benar membuat Klabangsongo marah sekali. Hampir gila ia dibuatnya, dan dengan gigi gemeretuk gemas ia lalu menghujani tubuh Wisena dengan serangan yang bertubi-tubi. Serangan-serangannya ini benar-benar berbahaya sekali, karena tidak saja ia menyerang dengan rantainya yang dahsyat, akan 54
tetapi juga tangan kirinya dengan telapakan terbuka ikut pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang tak kalah
ampuhnya dari pada senjatanya !
Kini Wisena tidak berani main-main lagi. Ia mengerahkan kelincahan dan kegesitannya, tubuhnya lenyap berkelebatan bagaikan burung walet di antara sambaran - sambaran air hujan. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi karena kalau ia teruskan dan satu kali saja terkena serangan lawan, akan celakalah ia. Sambil berseru keras Wisena melompat mundur, jauh dari lawannya dan turun ke atas tanah sambil berjung-kir balik beberapa kali.
"Ha, ha, ha, belum juga babak-belur kulitmu, belum keluar setetes darahmu, kau sudah mundur! Itukah lakunya seorang ksatria" Ha, ha, ha, Wisena, apakah kau mau mengaku kalah dan mau menyerahkan Mekarsari si denok ayu "*
"Jangan kau tergesa - gesa tertawa dan mengira mendapat kemenangan, Klabangsongo. Aku hanya mundur sebentar karena geli dan jijik menghadapi sepak terjangmu yang kasar seperti celeng buta. Lihatlah, ada apa di tanganku?" Wisena telah mencabut keris pusakanya Ki Dentasidi.
Klabangsongo tertegun menyaksikan keris yang mencorong cahayanya itu, tetapi ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya.
"Ha, ha, ha! Kerismu hanya sekilan panjangnya, seperti rumput kecilnya. Keris macam itu hanya pantas untuk permainan anak kecil, dan kalau, kau tusukkan ke dadaku tentu akan menjadi patah atau bengkok !"
"Waspadalah, Klabangsongo, akan kuantar kau ke alam asalmu !" Kini Wisena yang menyerbu dengan kerisnya.
Klabangsongo cepat menangkis dengan rantainya, karena sungguhpun ia menyombong dan menghina keris itu, namun ia tidak berani sungguh-sungguh menerima keris itu dengan dadanya ! Pertandingan dilanjutkan lagi lebih dahsyat dan 55
mati-matian dari pada tadi. Akan tetapi, kalau tadi menghadapi Wisena yang bertangan kosong saja
Klabangsongo tak dapat mendesak, apa lagi kini Wisena telah mencabut keris pusakanya. Daya keris pusaka Ki Dentasidi amat luar biasa. Keris ini adalah ciptaan Empu Gandring yang sakti, maka juga mempunyai perbawa atau pengaruh yang luar biasa. Tiap kali Klabangsongo menggunakan rantainya menangkis keris itu, ia merasa seakan - akan telapak tangannya bersentuhan dengan api membara ! Juga
bergeraknya keris yang menyambar - nyambar bagaikan hidup itu membuat pandangan matanya kabur dan pikirannya bingung. Akhirnya, setelah bertempur cukup lama, Wisena berhasil menusuk ulu hati Klabangsongo. Sebelum keris itu masuk sampai ke gagangnya, pemuda itu cepat mencabutnya kembali sehingga keris itu hanya menancap sampai
setengahnya saja. Akan tetapi itupun sudah cukup.
Klabangsongo menjerit, melemparkan rantainya dan kedua tangannya mendekap luka di ulu hatinya yang serasa dibakar.
Ia terhuyung-huyung beberapa kali kemudian roboh telungkup dengan kedua tangan masih mendekap ulu hatinya. Ternyata ia telah tewas pada saat itu juga. Demikian ampuh dan hebat adanya keris pusaka Ki Dentasidi ciptaan Sang Empu Gandring yang sakti !
Semenjak pertama kali melihat wajah Wisena yang tampan dan gagah, hati dara juita Mekarsari telah berdenyut lebih cepat dari biasanya. Kini melihat sepak terjang dan kegagahan pemuda itu yang berhasil membunuh Klabangsongo, makin tertariklah hati dara itu. '
"Alangkah tampannya, alangkah gagahnya," demikian ia berpikir dengan kagum, "tak mungkin pemuda seperti ini hanya orang biasa saja. Matanya tajam bercahaya, bulu matanya lentik dan panjang, kulitnya kuning. Ah, tentu ia seorang darah bangsawan, jangan-jangan putera bupati atau seorang pangeran....................*
56 Ketika Wisena telah membersihkan kerisnya dan
menyimpannya kembali lalu berjalan perlahan
menghampirinya, berdeguplah jantung Mekarsari. Dugaan bahwa pemuda ini seorang pangeran membuat wajahnya kemerah - merahan, lirikannya tajam mengait jantung, senyum dikulum kemalu-mainan menambah kecantikannya yang makin menggiurkan. Diam-diam Wisena juga kagum sekali melihat dara yang cantik jelita ini.
"Pantas saja Klabangsongo tergila-gila. Laki-laki manakah yang takkan menjadi gelap mata dan gandrung-gandrung melihat dara sejelita ini " " pikir Wisena sambil menghampiri gadis itu.
Mekarsari lalu berlutut dan berkata dengan suaranya yang halus dan merdu, "Aduh, raden! Alangkah baiknya nasib saya dapat bertemu dengan raden dan dapat tertolong dari pada bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut! Entah bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu dengan raden......"
Mekarsari memicingkan kedua matanya sebentar dengan gerakan kepalanya yang amat menarik. Aah......tak dapat saya membayangkannya. Tak terkira besarnya rasa syukur i!an terima kasih saya kepada raden, saya tak hanya berhu-iring budi, bahkan berhutang nyawa kepada raden. Ketika dibawa lari oleh keparat itu, saya telah bersumpah bahwa siapa saja yang dapat menolong saya, kepadanya akan saya serahkan jiwa dan raga........." Ia lalu menunduk dengan muka kemerahan sampai ke telinganya yang berbentuk indah itu.
Wisena tertegun dan dengan suara gemetar karena debar hatinya tak dapat ditekannya lagi, ia melangkah maju, menyentuh kedua pundak gadis itu dan membangunkannya.
Alangkah halus kulit pundaknya, pikir pemuda itu dengan gairah.
"Wahai, diajeng, puteri juita yang cantik jelita dan halus manis tutur sapanya, berdirilah diajeng dan jangan memberi penghormatan sebesar itu kepadaku. Kau siapakah dan puteri 57
siapakah " Bagaimana kau sampai dapat terculik oleh Klabangsongo ?"
Kini Mekarsari telah berdiri menundukkan kepala di depan pemuda itu. Tubuhnya yang langsing dan tinggi montok itu hanya sampai di dagu Wisena. Sembabat dan sesuai benar sepasang orang muda itu, sedap dipandang di kala mereka berdiri berhadapan itu, bagaikan dewa dan dewi, tak ubahnya seperti Batara Kamajaya dan Dewi Ratih !
"Raden, saya bernama Mekarsari, puteri tunggal dari Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Semalam gerom-.
bolan perampok yang dikepalai oleh Klabangsongo menyerbu dusun kami karena................ayahku telah menolak pinangan Klabangsongo kepadaku."
Wisena mengangguk - angguk. "Pantas, pantas, siapa orangnya yang takkan rindu dendam melihat seorang juita seperti kau " Siapa yang takkan hancur kalbunya kalau pinangannya terhadap kau ditampik " "
Mekarsari melempar senyum sambil miringkan kepalanya dengan gaya yang amat menarik hati. Tidak ada seorangpun wanita di dunia ini, bidadari sekalipun tidak, yang tidak berdebar bangga hatinya apa bila mendapat pujian tentang kecantikannya dari seorang pria, apa lagi kalau pria itu seorang teruna setampan dan segagah Wisena, bahkan yang telah menolongnya pula..
"Ah............raden, kau terlalu memuji............"
Melihat sikap dara yang manis merak ati dan seakan-akan menantang itu, runtuhlah iman Wisena. Ia mengulur
tangannya dan memegang lengan kanan Mekarsari. Gadis itu hanya menundukkan kepala, tidak berusaha menarik
tangannya yang terpegang. Wisena menariknya lebih dekat dan berbisik,
"Mekarsari, sesungguhnyakali sumpahmu tadi bahwa "
kau hendak suwita kepada pria yang telah menolongmu dari 58
tangan Klabangsongo " "
Dengan senyum ditahan dan wajah kemalu-maluan
Mekarsari mengangguk. Suaranya hampir tak terdengar ketika *ia berbisik kembali, "Mengapa tidak sesungguhnya, raden"99
"jadi............kalau begitu............" Wisena menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar sehingga ucapannya menjadi gagap, "Kau........ suka menjadi
............jodohku ?"
Saking malunya, Mekarsari tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk saja. Bukan main girangnya hati Wisena.
Hatinya membesar sebesar Gunung Keiud. Hal ini sungguh-sungguh tak pernah disangkanya. Telah banyak ia melihat perawan-perawan di sekeliling Gunung Anjasmoro di mana ia dibesarkan, namun belum pernah ia melihat seorang gadis seperti Mekarsari. Juga belum pernah hati pemuda ini tersinggung oleh panah asmara dan kali ini, secara tiba-tiba, ia telah bertemu dengan Mekarsari yang bersedia untuk menjadi isterinya ! Ia tak tahu dan tak mengerti apa artinya cinta, akan tetapi yang sudah pasti, gadis ini cantik dan menarik I latinya, membuatnya segan untuk mengalihkan pandang ma-i inya dari gadis ini. Dikaguminya seluruh bagian tubuh Me-karsari, dari tumit kaki yang mencekung bagian atasnya, jari-jari kaki yang kecil mungil kemerahan, bersih seakan-akan t idak menginjak tanah sampai ke atas kepalanya di mana rambut yang halus kehitaman itu bergerak-gerak tertiup angin.
Rambutnya agak awut-awutan akibat pergulatannya hendak melepaskan diri dari pelukan Klabangsongo tadi dan banyak gumpalan rambut kecil terlepas dan berjuntai di depan jidatnya. Sinom rambutnya yang halus lemas itu terletak rapi di atas jidat, dan rambut pelipisnya melingkar di depan telinga.
"Diajeng Mekarsari............" bisiknya dan ia hanya dapat memegang kedua tangan gadis itu dan duapuluh buah jari 59
tangan saling remas, membawa getaran hati masing-masing yang mengandung penuh arti. Untuk berbuat lebih dari ini, Wisena tidak berani. Inipun telah membuat seluruh tubuhnya menggigil dan membuat ia merasa serba canggung dan bingung, kedua kakinya lemas dan hampir saja ia terhuyung-huyung, maka cepat-cepat ia melepaskan pegangan
tangannya. "Mari, diajeng, mari kuantar kau pulang. Ayahmu tentu merasa gelisah memikirkan nasibmu."
"Baiklah kakangmas................eh, siapa pula namamu " Ah, aku terlalu bingung sehingga lupa menanyakan nama ksatria yang telah menolongku ............" Mekarsari kembali melempar senyum dan kerling yang mempunyai daya melemparkan semangat Wisena ke sorga ke tujuh !
"Namaku ............" Aku adalah Jaka Wisena."
"Indah dan gagah namamu, kangmas Wisena."
"Tidak seindah namamu, diajeng................"
Kedua orang muda itu sambil bergandeng tangan dan
saling pandang tiada bosannya, berjalan perlahan menuju ke dusun Karangluwih. Mereka tidak memperdulikan lagi, bahkan, sudah lupa sama sekali, akan mayat Klabangsongo yang masih menggeletak telungkup di atas rumput.
Dalam sekali cinta pertama yang mencengkeram di hati Wisena. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini.Pohon-pohon di hutan nampak melambai-lambai memberi selamat kepadanya. Daun-daun nampak lebih hijau dan berseri dari pada biasa. Kembang-kembang seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Bahkan sinar sang surya nampak makin gemilang. Suara burung-burung pagi yang berkicau masuk ke dalam telinganya bagaikan gamelan dari sorga, demikian merdu dan indah, namun semua keindahan itu hanya merupakan latar belakang saja dari pada keindahan yang me-nyolok dan khusus, yakni diri Mekarsari, dara yang 60
berjalan di sampingnya !
Juga Mekarsari nampak berbahagia,,wajahnya kemerahan J
yn sepasang matanya berseri - seri. Di dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Hyang Agung yang sudah
mempertemukannya dengan seorang pemuda bangsawan,
mungkin seorang pangeran !
"Dia tentu seorang pangeran yang menyamar. Kata o-rang, banyak sekali pangeran yang berkelana sebagai pemuda biasa, seperti halnya Pangeran Tohjaya yang dikabarkan orang suka masuk keluar kampung dan dusun," demikian gadis ini berpikir dengan girang. "Kata orang, Pangeran Tohjaya cakap dan gagah, akan tetapi tak mungkin secakap dan segagah pangeranku ini............" Gadis ini makin muluk lamunannya dan sebentar-sebentar ia menoleh ke arah pemuda yang masih memandangnya itu. Tiap kali pandang mata mereka bertemu, ia merasa malu dan warna merah menjalar di seluruh wajahnya, membuat ia tersenyum - senyum malu dan jari tangannya yang menjadi satu dengan jari tangan pemuda itu* bergerak-gerak.
Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dari depan, Tanpa berjanji lebih dulu, tangan mereka saling
melepaskan pegangan dan keduanya berdiri di pinggir jalan, memandang ke depan dengan hati menduga-duga. Ternyata bahwa yang datang itu adalah rombongan Pangeran Tohjaya.
Ki Lurah Reksoyudo sangat girang ketika melihat puterinya dalam keadaan selamat, akan tetapi ia memandang kepada Wisena dengan penuh curiga.
Sementara itu, Mekarsari juga berseru girang, "Ayah
........!" Ketika ayahnya melompat turun dari kuda, Mekarsari berlari dan menubruk ayahnya sambil menangis.
"Mekarsari, yang datang adalah Pangeran Tohjaya yang hendak menolongmu, lekas kau memberi hormat !" bisik ayahnya. Mekarsari terkejut dan memandang kepada laki-laki 61
yang masih duduk di atas kuda dengan gagahnya itu.
Pangeran Tohjaya tidak muda lagi dan juga tidak dapat disebut tua, dan benar-benar ia seorang yang cakap dan gagah. Pakaiannya yang mewah itu membuat ia nampak makin gagah dan agung. Akan tetapi, Pangeran Tohjaya sedang memandang ke arah Wisena dengan marah dan ia segera mengeluarkan seru a n kepada para perajurit,
"Tangkap perampok ini!!"
Bukan main marahnya Wisena mendengar perintah ini dan melihat sikap Pangeran Tohjaya yang sombong.
"Eh, eh, nanti dulu. Kalian ini siapakah dan mengapa datang-datang hendak menangkapku tanpa bertanya lebih dulu " " tanyanya sambil meraba gagang kerisnya.
Seorang perajurit melompat turun dari kuda, diikuti o'eh empat orang kawannya. "Perampok rendah! Berlutut dan menyembahlah, tak tahukah kau bahwa kau sedang
berhadapan dengan Gusti pangeran Tohjaya dari Singosari " "
Terkejutlah Wisena mendengar bahwa orang itu adalah seorang pangeran dari Singosari. Tentu ia seorang saudara dari Pangeran Anusapati yang kabarnya telah menjadi raja di Singosari, pikirnya. Ia hendak bekerja kepada Sang Prabu Anusapati, maka tidak seharusnya kalau ia berlaku kasar terhadap seorang pangeran dari Singosari. Wisena lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada pangeran itu.
"Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kehadapan paduka gusti pangeran."
"Hm, rupamu bagus dan kau masih muda, mengapa berani kau menjadi perampok " "
"Ampun, gusti. Hamba sekali - kali bukan perampok. hamba 62
adalah seorang kelana yang hendak bersuwita kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari."
Sementara itu, Mekarsari berdiri tertegun melihat sikap Wisena yang demikian merendah terhadap Pangeran Tohjaya. Tak salahkah pendengarannya bahwa pemuda yang
menolongnya dan yang merampas kasih hatinya itu hanyalah seorang pemuda gunung biasa saja" Kekecewaan memenuhi kalbunya, akan tetapi ketika melihat betapa Pangeran Tohjaya
"Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa 63
paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti ke hadapan paduka............."
ya salah sangka dan mengira Wisena seorang perampok, ia laiu berlutut menyembah dan berkata,
"Sesungguhnya, gusti pangeran. Pemuda ini bukanlah perampok, bahkan ia telah menolong hamba dari tangan Klabangsongo !"
Mendengar suara yang halus dan merdu itu, Pangeran Tohjaya menengok dan wajahnya berseri ketika ia melihat dara yang cantik jelita itu.
"Aduh, kaukah yang bernama Mekarsari " Ki Lurah Reksoyudo, inikah puterimu " "
"Benar, gusti pangeran. Inilah puteri hamba Mekarsari yang dilarikan perampok."
Pangeran Tohjaya mengangguk - angguk dan sepasang
matanya menatap wajah dara itu dengan penuh kekaguman.
Melihat senyum dan pandang mata pangeran itu terhadap Mekarsari, perihlah hati Wisena karena cemburu dan seketika itu juga bencilah ia terhadap pangeran itu- Sebagai pemuda gemblengan Begawan Jatadara yang telah mempelajari ilmu batin dan memiliki pandangan waspada, ia maklum bahwa kekaguman pangeran itu terhadap dara itu mengandung nafsu-nafsu kotor.
Kemudian Pangeran Tohjaya berpaling lagi kepadanya dan keningnya berkerut. "Hm, jadi kau bukan perampok, malah penolong Mekarsari " Dan katamu tadi kau hendak bersuwita di Singosari " Baik, kau boleh mengabdi kepadaku.
Kembalilah ke Karangluwih dan kalau sudah sampai di sana, kaurawatlah baik - baik kudaku dan kuda para pera-jurit.
Hendak kulihat apakah kau cukup cakap menjadi tukang kuda!"
64 Wisena menyembah menghaturkan terima kasih sedangkan di dalam hati Mekarsari, makin besarlah kekecewaannya.
Penolong dan kekasihnya hanya menjadi tukang perawat kuda" Alangkah rendah dan hinanya !
"Manis, Mekarsari, marilah kau ikut aku naik kuda ini, kembali ke Karangluwih !" Pangeran Tohjaya mengajak gadis itu sambil melompat turun dari atas kuda.
Mekarsari terkejut dan memandang kepada ayahnya
dengan ragu-ragu. Akan tetapi ayahnya tersenyum dan menganggukkan kepala kepadanya- Mekarsari lalu
menghampiri pangeran itu yang dengan sikap agung dan cekatan lalu memegang pinggangnya yang ramping lalu mengangkatnya dengan ringan ke atas kuda. Pangeran Tohjaya mendudukkan dara itu di atas kuda, lalu ia melompat di belakang dara itu. Dipeluknya pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan lengan kanannya memegang tali kendali kuda yang lalu dike-praknya kuda itu menuju ke dusun
Karangluwih. Para prajurit saling pandang dengan senyum, lalu mengikuti pangeran, demikian pula Ki Lurah Reksoyudo.
Tak seorangpun menengok lagi kepada Wisena yang masih duduk bersimpuh di atas tanah.
Ketika hendak berangkat, Mekarsari melempar pandang ke arah Wisena dan melihat pemuda itu duduk bersimpuh sambil menundukkan muka, ia merasa terharu. Di sepanjang jalan terbayanglah wajah pemuda itu. Aduh sayang, mengapa ia hanya seorang biasa saja" Pemuda yang disangkanya
pangeran atau bangsawan itu, ternyata hanyalah seorang pemuda gunung dan kini diangkat menjadi tukang kuda, tukang menggosok tubuh kuda dan tukang mencari rumput untuk makan kuda ! Pelukan tangan Pangeran Tohjaya pada pinggang Mekarsari makin erat dan ia mencium harum minyak wangi yang dipakai oleh pangeran itu. Perlahan-lahan wajah Mekarsari yang muram karena memikirkan keadaan Wisena itu menjadi terang kembali. Akhirnya tercapai juga idam - idaman 65
hatinya, dipeluk oleh seorang pangeran asli, dan tak lain tak bukan adalah Pangeran Tohjaya yang terkenal cakap, gagah, dan budiman itu !
"Alangkah beratnya tugas ini ...................." Wisena berkata seorang diri sambil mengumpulkan rumput hijau yang gemuk. "Betapapun juga.............paman begawan sudah memberi pesan yang cukup jelas bahwa aku harus mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari. Hanya
sayang............ Mekarsari ........., ah, agaknya Pangeran Tohjaya ............ah, nasib apakah yang kelak akan menimpa pada diriku................?"
Agar dapat memulai tugasnya dengan baik, sebelum masuk ke dusun Karangluwih, terlebih dahulu Wisena mengumpulkan rumput - rumput sampai sepikul, karena bukankah kuda-kuda itu perlu diberi makan rumput yang gemuk "
Ia takkan mengecewakan hati Pangeran Tohjaya, dan siapa tahu kalau-kalau melalui pangeran ini ia akan dapat mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati.
"Keris itu................," pikirnya lagi sambil berjalan memasuki dusun memikul rumput, "menurut paman begawan, keris Margapati pemberian eyang empu gandring yang berada di tangan Ken Arok dan kini tentu berada di tangan Sang Prabu Anusapati itu harus dapat terampas olehku. Harus dapat kusingkirkan dari Singosari agar jangan samnai timbul bunuh-membunuh di antara keturunan Ken Arok !"
Memang sebelum tiba di tempat itu. ia telah mendengar cerita orang betapa Sang Prabu Ken Arok telah terbunuh mati oleh seorang pengawal dan bahwa semenjak itu, Pangeran Anusapati menggantikan kedudukan mendiang Prabu Ken Arok, menjadi raja di Singosari.
Karena belum tahu di mana letak kelurahan dan di mana pula kandang kuda tempat Pangeran l'nhjaya dan p>siikannya menyimpan kuda dan thlak ada kenalan di dusun Karang, 66
luwih, Wisena lalu teringat akan pak Bejo dan segera menuju ke pondok kecil di ujung timur dusun itu
Ketika ia tiba di pondok itu, pak Bejo dan bininya sedang makan besar. Ternyata bahwa nama pak liejo menjadi terkenal setelah dengan gagahnya ia merobohkan duabelas orang perampok dengan alunya ! la mendapat kiriman makanan dari para tetangganya untuk menyalakan
penghormatan mereka dan pak Bejo sedang menghadapi makanan di atas tikar dengan senang, ketika ia mendengar suara Wisena menurunkan pikulan rumputnya di luar pintu.
Ia segera keluar, mengira bahwa itu tentu seorang
tetangga lain yang datang untuk mengaguminya dan
mengirim hadiah. Akan tetapi ketika ia melihat Wisena, ia menjadi pucat.
"Kau ............?" katanya sambil berdiri bengong.
Wisena tersenyum. "Benar, pak Bejo. Akulah yang datang, kita sudah berkenalan malam tadi. Namaku Jaka Wisena dan aku................aku telah diterima oleh gusti pangeran, dipekerjakan menjadi tukang merawat kuda."
Makin lebar mulut Pak Bejo terbuka. "Aduh............ketika aluku terpental kembali mengenai tubuhmu, kusangka kau seorang siluman, kemudian....... kemudian aku tahu bahwa kaulah yang merobohkan semua perampok itu. Kukira
...................."
"Kaukira apa, pak " "
"Kusangka kau seorang bangsawan, seorang pangeran yang menyamar, atau seorang senapati atau ksatria dari kerajaan. Kau gagah sekali, akan tetapi............menjadi tukang kuda " " "
Wisena mengangguk dan tersenyum. "Apa salahnya^
Tukang kudapun pekerjaan juga, bukan " Dan aku
membutuhkan pekerjaan."
67 "Siapa namamu tadi" Wisena" Tentu Raden Wisena, bukan
" " "Tidak, cukup Wisena saja, bukan raden, Jaka Wisena namaku, pak, anak Gunung Anjasmoro."
"Masuklah, masuklah ............ aduh, alangkah anehnya dunia. Kau yang merobohkan penjahat menjadi tukang kucra dan aku..........aku mendapat sanjungan dan penghormatan.
Mari, mari, kau belum makan, bukan ?"
" Wisena menggelengkan kepalanya, memang semenjak hari kemarin perutnya belum diisi. Hal ini sesungguhnya merupakan hal biasa baginya. Ia seorang pemuda ahli tapa dan tahan tapa, akan tetapi entah mengapa, pertemuannya dengan Mekarsari tadi membuatnya merasa lapar sekali !
"Bagus, kebetulan sekali. Mari kau makan bersamaku. Ah, sudah menjadi hakmulah itu."
"Terima kasih, pak Bejo. Aku tidak menolak datangnya rezeki."
"Mbokne......! Mbokne.... ambil tikar yang satunya itu, gelar di sini supaya lebar. Ada tamu makan bersama.........! "
Mbok Bejo menyambut kedatangan Wisena dengan ramah tamah.
''Duduklah, denmas, duduklah ..... seadanya saja, tempat kami bobrok dan makanan itu........makanan itu......
sesungguhnya pemberian para tetangga! Biasanya kami hanya makan nasi merah dan sambal !"
"Nasi merah dan Sambal enak sekali, mbok Bejo I"
"Eh, eh, kok sudah tahu nama kami" Kau siapa, denmas ?"
"Bukan den dan bukan pula mas, sebut saja Jaka Wisena, itulah namanya. Nama yang bagus, sama seperti orangnya,"
kata Pak Bejo yang duduk bersila di atas tikar, diturut oleh Wisena-68
Gembira hati Wisena melihat kedua orang suami isteri yang sederhana dan ramah tamah ini. la seakan-akan merasa berada di antara keluarga sendiri. Maka makanlah ia dengan lahapnya sambil bercakap - cakap.
"Untung pasukan Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa tiba," kata Pak Bejo. "Kalau tidak, tentu menjadi karang abang (lautan api) dusun ini !"
"Sesungguhnya, siapakah Pangeran Tohjaya ini, pak" Apa hubungannya dengan Sang Prabu Anusapati " "
Pak Bejo memandang kepada pemuda itu dengan mata
terbelalak heran. "Aduh, sungguh kau ketinggalan zaman, nak Wisena ! Hal itu saja kau tidak tahu " "
"Aku berada di gunung semenjak kecil pak, terpisah dari pada pergaulan ramai."
"Pangeran Tohjaya amat terkenal sebagai seorang pangeran yang'gagah berani dan budiman. Beliau telah sering kali mengadakan perjalanan ke dusun-dusun untuk menolong rakyat kecil dan membasmi penjahat-penjahat. Sungguh seorang pangeran yang luhur budinya, patut dijadikan teladan.
Semoga kelak beliau yang menjadi raja di Singosari-"
Diam-diam Wisena merasa heran mengapa seorang yang mempunyai pandangan sekurang ajar itu terhadap seorang dara bisa menjadi seorang pendekar budiman.
"Apakah beliau menjadi pangeran pati Kerajaan Singosari?"
tanyanya sambil lalu.
"Sebetulnya bukan, karena sang prabu mempunyai putera, yakni Pangeran Ranggawuni, dan sudah tentu saja Pangeran Ranggawuni yang menjadi pangeran pati. Pangeran Tohjaya sebagai paman pangeran Ranggawuni tentu hanya menjadi walinya saja. Akan tetapi, siapa tahu ............," ia melanjutkan dengan suara berbisik, "bukan rahasia lagi bahwa mendiang Sang Prabu Ken Arok dibunuh oleh Prabu Anusapati 69
yang sekarang."
"Apa................" Bukankah yang membunuh adalah seorang punggawa " "
Pak Bejo mengangguk-anggukkan kepalanya yang setelah dibuka ikat kepalanya ternyata botak dan kelimis. "Memang demikianlah, akan tetapi............siapa tahu kalau yang menyuruhnya orang lain ! Ah, sudahlah, hal ini tak perlu dibicarakan, berbahaya !"
Mendengar penuturan ini, makin sukalah Wisena kepada Sang Prabu Anusapati. Kalau benar dia yang membunuh Ken Arok, berarti Prabu Anusapati telah pula membalaskan dendamnya kepada Ken Arok yang telah membunuh eyang dan ayah bundanya! Sudah sepatutnya kalau ia mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati ! Alangkah tepatnya
perhitungan paman Begawan Jatadara, pikir Wisena dengan puas.
"Kalau demikian, perkenankanlah aku mengundurkan diri, pak Bejo. Ke manakah kiranya rumput ini harus kuantarkan "
Tentu kau lebih mengetahui di mana disimpannya kuda dari sang pangeran itu."
"Ah, di mana lagi kalau tidak di kandang kuda ki lurah" Di sanalah kandang terbesar karena ki lurah memang suka sekali memelihara kuda. Kudanya banyak dan bagus-bagus. Mari kau kuantar, nak Wisena."
Maka berangkatlah kedua orang itu. Pak Bejo berjalan dengan mengangkat dada karena setiap orang yang bertemu dijalan tentu menyapanya dengan amat hormat. Buru kafi ini pak Bejo merasa betapa derajatnya naik sekali, dihormati oleh semua orang karena jasanya merobohkan duabelas orang perampok ganas! Wisena yang memikul rumput itu berjalan di sebelahnya dengan tunduk.
"Lihat, orang - orang menghormatiku karena kau menjatuhkan para perampok itu. Biarlah kuwakili kau 70
menerima hormat mereka."
"Biarlah, pak Bejo. Sesungguhnya kau memang gagah berani dan patut mendapat penghormatan," kata Wisena dengan setulus hatinya, karena ia memang suka sekali kepada pak Bejo yang sederhana dan lucu ini.
Setelah tiba di depan kandang kuda, ternyata dugaan pak Bejo benar, karena kandang itu penuh dengan kuda dan di situ banyak pula perajurit yang merawat kuda. Pak Bejo lalu kembali ke rumahnya dan Wisena masuk ke pekarangan itu.
"Eh, mengapa kau baru tiba " " tanya seorang perajurit kepada Wisena sambil memandang tak senang.
"Maaf, saudara. Aku pergi mencari rumput dulu untuk makanan kuda," jawab Wisena.
Perajurit itu merengut dan mendengus marah. "Apa " Siapa menjadi saudaramu " Awas, jaga mulutmu baik-baik, ya" Kau seorang tukang kuda dan aku seorang perajurit tamtama!
Jangan sembarangan menyebut saudara1"
"Habis, aku harus menyebut apakah " "
"Sebut denmas, tahu ?"
Wisena menarik napas panjang untuk menekan kegemasan hatinya. "Baiklah, denmas."
"Nah, begitu. Kau harus tahu adat dan penurut kalau mau terpakai oleh gusti pangeran! Ayoh kauberi makan semua kuda ini kemudian gosok peluhnya sampai kering.
Awas, kalau kain penggosok sudah terlalu basah, jangan dipergunakan lagi, ganti dengan yang kering."
Wisena menerima kain penggosok yang hanya sehelai itu.
"Di mana penggantinya, denmas" " tanyanya heran.
"Gantinya" Bodoh, untuk apa bajumu itu" Pakai saja bajumu, kalau sudah bisa dicuci kembali," kata perajurit itu yang segera menghampiri kawan-kawannya. Setelah tertawa-71
tawa dan bersendau gurau, seorang di antara mereka berkata,
"Kawan-kawan, ayoh kita mencari pacar!"
"Ah, Dadap, jangan main-main, bukankah gusti pangeran melarang kita mengganggu wanita?" memperingatkan yang lain.
"Ha, ha, ha, gusti pangeran sendiri telah mendekati kembang dusun ini dan siap untuk memetiknya, mengapa kita tidak " Lagi pula. gusti pangeran melarang kita
mempergunakan paksaan dan kekerasan. Kita tak perlu memaksa, gadis-gadis dusun paling gampang dipikat !"
"Akan tetapi, di mana terdapat kembang indah di dusun kecil ini" " kata yang lain pula.
"Bodoh, lihat saja si juita Mekarsari. puteri ki lurah itu!
Kalau ada dara secantik itu di sini, tentu masih ada lainnya yang denok ayu, walaupun tidak seindah kembang tanaman ki lurah !"
Terdengar suara mereka tertawa-tawa lagi ketika mereka meninggalkan kandang kuda itu, dan Wisena mengertakkan giginya dengan hati mendongkol dan marah. Seperti ini watak anak-anak buah pasukan Pangeran Tohjaya, dapat dipastikan bahwa pemimpinnya sendiri, sang pangeran itu, tentu seorang Bandot mata keranjang pula.
Akan tetapi, ia sedang berusaha mencari jalan untuk dapat mengabdi kepada sang prabu di Singosari, maka apakah dayanya" Ia harus tunduk dan taat kepada seorang pangeran yang menjadi saudara dari sang prabu. Sambil menekan amarah dan kegemasannya, Wisena memaksa senyum lalu merawat kuda-kuda itu, memberi mereka makan, lalu
menggosok-gosok tubuh mereka sehingga peluh mereka kering. Setelah binatang-binatang itu kenyang dan tenang di dalam kandang, Wisena duduk termenung. Terbayanglah wajah IYeYarsaridan ia merasa berbahagia sekali. Bukankah dara itu telah menyatakan cintanya kepadanya" Sungguhpun 72
tidak terucapkan, namun dari sikap dan gerakannya tadi, ia telah yakin akan perasaan hati gadis cantik itu. Alangkah akan berbahagianya kalau ia dapat bersanding dengan dara itu, sebagai suaminya.
Akan tetapi, bagaimanakah caranya meminang kepada ki lurah" Hal ini belum dibicarakan dengan Mekarsari, karena keburu datangnya Pangeran Tohjaya yang merenggut
kebahagiaan yang sedang dinikmatinya bersama Mekarsari di hutan itu"Aku harus menjumpainya," Wisena mengambil kepu-tusan.
"Ya, harus kujumpai Mekarsari dan minta petunjuknya dalam hal pinangan ini. Aku harus bertemu dengan dia, malam ini juga !"
Pekerjaan merawat kuda itu makan waktu lama juga tanpa terasa, karena tahu-tahu hari telah menjadi gelap. Wisena lalu menuju ke sungai, memilih tepi yang sunyi, menanggalkan pakaian lalu melompat ke dalam air. Semenjak kecil ia tinggal di dekat mataair dan setiap hari ia mandi di sumber air yang dalam maka tidak mengherankan apa bila ia pandai sekali berenang. Bagaikan seekor ikan besar saja tubuhnya yang tegap dan langsing itu berenang hilir-mudik. Ia merasa segar sekali dan untuk membersihkan kulit dari debu dan kotoran di kandang kuda, ia menggosok-gosok kulitnya dengan sepotong batu licin.
Akhirnya ia berenang ke tepi dan duduk di atas batu menanti sampai kulit tubuhnya kering. Lalu dikenakan kembali pakaiannya dan pada saat itu ia mendengar suara gamelan.
"Aneh," pikirnya, "siapa orangnya yang berpesta pada saat seperti ini" " la tidak memperdulikannya lagi, lalu bergegas menuju ke kandang kembali, karena ia hendak mencari Mekarsari melalui taman bunga di belakang rumah ki lurah yang tak berapa jauh dari kandang itu letaknya. Akan tetapi, makin dekat dengan kandang itu, makin jelas terdengar suara gamelan itu dan akhirnya dengan terheran-heran ia mendapat 73
kenyataan bahwa gamelan itu datangnya dari dalam gedung ki lurah !
"Heran sekali! Bagaimana sih pikiran ki lnrah" Baru saja dusunnya diserbu gerombolan perampok dan penduduknya banyak yang tewas, rumah-rumah banyak yang terbakar.
Bagaimanakah dalrm keadaan yang menyedihkan ini ia bisa berpesta dan menabuh gamelan" " pikir Wisena dengan penuh keheranan. Ia lalu menuju ke pagar bambu yang mengelilingi kebun bunga di belakang rumah ki lurah. Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah dapat melompati pagar bambu itu, masuk ke dalam taman. Karena di situ sunyi saia dan kesibukan terdengar dari dalam gedung, Wisena lalu mencari jalan untuk mengintai ke dalam gedung. Ia tidak berani fiieniasuki gedung itu dari pintu, karena hal ini tentu tikan membikin marah k i lurah. Melihat sebarang pohon jambu yang besar di dekat rumah, ia laki memanjat pohon itu bagaikan seekor kera gesitnya, kemudian dari pohon itu ia merayap ke atas genteng,. Genteng gedung k i lurah istimewa tebalnya, maka dengan kepandaiannya yang tinggi ia dapat maju merayap di aras genteng itu tanpa menerbitkan suara atau merusak genteng. Dengan cepat ia lalu maju sampai ke r tas ruang tengah dari mana terdengar suara gamelan itu: Dibukanya sepoleng genteng dan Wisena mengintai ke dalam*
Kini tahulah ia mengapa ki lurah mengadakan pesta.
Ternyata ia tengah menjamu Pangeran Tohjaya dan para pemimpin pasukannya yang berjumlah lima orang, h iga hadir pula di situ para petugas dusun Karangluwih. yakni pembantu-pembantu ki lurah dan para pemimpin atau kepala penjaga.
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Tohjaya mcndapai lempai kehormaian dan pangeran ini nampak gembira sekali. Hidangan-hidangan memenuhi tikar berkembang yang digelar di alas lantai. Pena-buh-penabuh gamelan yang duduk di ujung ruangan
memperdengarkan lacu-lagu yang meriah. Yang membikin hati Wisena merasa tidak enak sekali adalah ketika ia melihat Mekarsari beserta beberapa orang perawan dusun lainnya 74
melayani Pangeran Tohjaya dengan senyum'simpul manis sekali. Alangkah menariknya gerakan tubuh Mekarsari ketika gadis ini membawa baki berisi minuman, kemudian dengan berjongkok gadis ini bergerak maju ke arah pangeran itu dan mempersembahkan minuman tadi- Wisena tidak dapat
mendengar aoa yang dikatakan oleh nangeran itu, akan tetapi ia dapat melihat betapa mesra pandangan mata pangeran itu kepada Mekarsari, menggerakkan bibirnya mengucapkan sesuatu yang membuat Mekarsari tunduk kemaiu-maiuan dan tersenyum, kemudian ia melihat Pangeran Tohjaya
mengulurkan tangan dan mencubit pipi Mekarsari l
Bukan main panasnya hati Wisena melihat hal ini. Ia melihat Mekarsari mengundurkan diri dan duduk bersimpuh di tempat tak berapa jauhnya dari Pangeran Tohjaya dan antara kedua orang ini lalu ada permainan mata, saling lirik dan senyum yang membuat Wisena merasakan tubuhnya panas dingin.
Pemuda ini lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk
menenteramkan kembali hatinya yang berdebar, kemudian ia bersedakap, mengheningkan cipta sebentar lalu dengan sinar mata penuh pengaruh dan kekuatan batin, ia memandang ke arah Mekarsari sambil mengeluarkan perintah di dalam hati kepada gadis itu untuk meninggalkan ruang pesta dan pergi ke taman bunga.
Berkat kesaktian Wisena, tiba-tiba Mekarsari merasa ge lisah sekali. Entah mengapa, tiba-tiba gadis ini merasa betapa panas dan menyesakkan napas hawa di dalam ruangan itu dan betapa ada perasaan yang amat aneh mendorongnya untuk pergi dari situ. Timbul keinginan yang amat keras di dalam hatinya untuk pergi ke taman bunga, mencari hawa sejuk ! Dengan perlahan Mekarsari lalu berdiri dan berjalan dengan lenggang lemah-gemnlai meninggalkan ruangan itu, menuju ke belakang. Setelah tiba di taman bunga, barulah dadanya terasa lapang dan hawa sejuk mengalir masuk ke da*
75 lam dadanya, membuat tubuhnya terasa segar sekali.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan dari atas dan tahu-tahu sesosok bayangan berdiri di depannya. Hampir saja Mekarsari menjerit.
"Sst............jangan kaget, diajeng. Akulah yang datang
.............." kata bayangan itu yang bukan lain adalah Wisena sendiri.
Mekarsari membelalakkan matanya yang indah. "Kau...."
"Terkejutkah kau melihat aku datang, diajeng Mekarsari" "
"Tentu saja, aku terkejut setengah mati. Kau datang bagaikan setan!"
"Dan............girangkah kau melihat aku datang" "
Gadis itu menggelengkan kepala. "Tidak, kau akan mendatangkan keributan. Bagaimana kalau ada yang
melihatmu datang secara ini" Kau akan mendapat celaka! "
Biarpun sikap gadis ini tidak semanis tadi ketika berada di dalam hutan, akan tetapi Wisena yang telah gila asmara ini tidak menjadi kecewa, bahkan senang mendengar betapa gadis ini masih mengkhawatirkan keselamatannya.
"Diajeng............ marilah, aku ingin bicara denganmu," kata Wisena sambil memegang tangan gadis itu dengan mak sud mengajaknya ke tempat gelap untuk membicarakan soal pinangan itu. Akan tetapi Mekarsari melepaskan lauganuy i can berkata,
"Tidak, tidak, aku............ aku harus kembali ke dalam! Aku harus melayani tamu agung............"
Gadis ini membalikkan tubuhnya dan hendak lari kembali ke dalam gedung, akan tetapi Wisena memburu, "Diajeng
............r' Pemuda ini menangkap lengan gadis itu dan menariknya sehingga di lain saat Mekarsari telah berada di dalam pelukannya! Ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini 76
mengenakan pakaian serba baru, bahkan hidungnya dapat menangkapkeharuman kembang-kembang yang kini menghias rambut gadis itu.
"Diajeng, bagaimanakah ini.............." Mengapa agaknya kau hendak menjauhkan diri dariku.........." Bukankah........
kita berdua sudah sehati untuk hidup bersama selamanya....
Untuk sesaat, dada Wisena yang bidang, pelukannya yang dilakukan dengan penuh kasih mesra, sepasang lengannya yang kuat, melumpuhkan perlawanan Mekarsari dan sambil memeramkan mata ia menyandarkan kepalanya pada dada pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba ucapan Wisena itu menyadarkannya dan sekali merenggutkan tubuh, ia lelah melepaskan diri dari pelukan Wisena.
"Tidak ............ jangan.............!" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan dua titik air mata melompat tuiui ke atas pipinya.
"Diajeng Mekarsari................kenapakah kau?" Kemudian ia tenngat akan sesuatu dan tersenyum. "Diajeng apakah kau kecewa melihat keadaanku " Bajuku bau kuda! Memang tadi kupakai menggosok badan kuda dan belum kucuci karena tidak ada penggantinya ! Bukan aku yang berbau kuda, diajeng............" la tertawa, memancing senyum gadis itu, akan tetapi kata-katanya ini bahkan membuat air mata Mekarsari jatuh berderai.
"Kakangmas Wisena.............," katanya sambil terisak,
"kau................kau seorang pemuda gunung biasa sajakah"'
Wisena mengangguk heran.
"Bukan pangeran .............?" Pemuda itu menggeleng.
"Bukan ................ anak adipati atau bupati?" Kembali Wisena menggelengkan kepalanya.
77 "Juga bukan keturunan bangsawan lain lagi" Sesung-guhnyakah ?"
"Bukan, diajeng. Aku seorang pemuda biasa, orang gunung yang bodoh. Akan tetapi..........adakah hal ini penting bagi perasaan cinta kasih kita" " Ia melangkah maju hendak memeluk lagi, akan tetapi Mekarsari cepat mundur.
"Jangan............!" suaranya terdengar agak ketus sehingga Wisena merasa seakan-akan kena tampar mukanya.
"Mengapa, diajeng" Ada apakah................?" tanyanya khawatir.
"Jangan kausentuh aku! Kau ................kau bukan seperti yang kuharapkan............ ah............ nasib............"
"Eh, diajeng Mekarsari, mengapakah kau" Lupakah kau akan perasaan hati kita yang timbul pada saat pertemuan kita pertama siang tadi" Kau............kau berjanji hendak menyerahkan jiwa ragamu kepadaku............dan aku..........
aku hendak meminangmu, karena itulah maka malam ini aku menjumpaimu, hendak minta nasihat bagaimana aku harus meminangmu!"
"Tak mungkin! Aku..........ah, Gusti Pangeran Tohjaya telah meminangku dan............ayah telah menyatakan
persetujuannya, aku telah diserahkan kepadanya!"
Bagaikan digigit ular berbisa, Wisena melangkah mundur dengan wajah pucat. "Apa............" Dan kau sendiri........"
Setujukah ............?"
Gadis itu mengangguk. "Aku setuju!"
"Diajeng Mekarsari! Tak tahukah kau akan keadaan Pangeran Tohjaya" Aku mendengar ia telah beristeri, telah banyak mempunyai bini muda............apakah kau mau........
dijadikan bini mudanya" "
"Apa salahnya?" Suara Mekarsari menantang. "Dia seorang, 78
pangeran besar, berkuasa, dan berhati mulia !"
"Mekarsari!" Amarah mulai mendesak cinta kasih pe-muda itu. "Kau............kau mengingkari janji............ dan rela menjadi..............bini muda yang entah ke berapa belas atau ke berapa puluhnya?"
Mendengar suara yang mengandung ejekan ini, Mekarsari juga timbul amarahnya. "Kau perduli apa" Menjadi bini muda Pangeran Tohjaya jauh lebih mulia dari pada menjadi isteri seorang tukang kuda !"
Ucapan ini merupakan tamparan hebat bagi Wisena
sehingga hampir saja ia roboh karena kakinya menggigil dan tubuhnya gemetar.
"Mekarsari, alangkah kejamnya engkau! Kau sama sekali tidak menghiraukan perasaan hatiku! Aku........ aku telah jatuh cinta kepadamu, mabok oleh janji yang memancar keluar dari kerling matamu, dari senyum bibirmu dan sekarang............ah, aku harus bagaimanakah............?"
"Kaa pergilah dari sini dan jangan melihat aku lagi! Sebagai pembalasan budimu, aku takkan menceritakan kepada si apapun juga tentang kedatanganmu malam ini. Kita berpisah dengan baik-baik, dan aku............aku akan mengenangmu sebagai seorang ksatria gagah yang pernah menolongku.
Pergilah !"
"Mekarsari............" suara Wisena menggetar karena penuh perasaan, "sekejam kau inikah semua wanita di dunia"
Melupakan yang lama dan silau oleh yang baru karena yang baru ini mengkilat dan indah " Menukarkan kesetiaan hati dengan harta dan pangkat " Semurah itukah cinta kasih bagimu " Alangkah rendahnya! Terkutuklah semua............"
hampir saja Wisena mengutuk semua wanita, akan tetapi tiba-tiba ia memegang kepalanya dengan kedua tangannya
"Tidak, tidak..........tidak semua wanita sejahat engkau!
Tidak semua wanita sekejam dan sepalsu engkau ! Ibuku 79
juga seorang wanita....... ah, Dewata Yang Maha Agung.......
ampunanlah hambaMu, kuatkanlah iman hambamu......"
Wisena terhuyung-huyung, kakinya lemas, dadanya panas membakar, jantungnya terasa perih bagaikan tertusuk keris berkarat dan ia harus menahan tubuhnya dengan tangan menekan batang pohon jambu agar tidak terguling jatuh, karena kepalanya tiba-tiba menjadi pening.
Mekarsari hendak melarikan diri masuk ke dalam gedung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Pangeran Tohjaya menegur,
"Mekarsari, kekasihku yang manis, mengapa kau seorang diri di dalam taman" Tidak dinginkah kau" Mari, mari ....
manis, akan kuhibur hatimu dengan tembang-tembang indah dari keraton, akan kuusir hawa dingin yang menyerangmu."
Tiba-tiba ia melihat Wisena yang berdiri bersandar di pohon sambil memejamkan matanya.
"He, keparat, siapakah ini?"" Ia melangkah maju untuk memandang lebih nyata karena Wisena berdiri di bawah pohon yang gelap.
"Dia .".......dia datang hendak berlaku kurang ajar kepada hamba!" tiba - tiba terdengar suara Mekarsari gemetar, karena gadis ini benar-benar merasa takut kalau-kalau Pangeran Tohjaya menyangka yang bukan-bukan.
"Keparat jahanam !" teriak Pangeran Tohjaya.
"Ular berbisa.............lidahmu berbisa............." terdengar Wisena memaki perlahan sambil memandang kepada
Mekarsari, kemudian tubuhnya melesat melompati pagar bambu dengan cepat sekali sehingga Pangeran Tohjaya belum sempat melihat mukanya.
Pangeran Tohjaya memeluk tubuh Mekarsari yang
menggigil- "Sari, siapakah dia" Aku seperti pernah mendengar 80
suaranya."
"Entahkh, hamba juga tidak mengenalnya. Ia baru saja datang dan sedang hamba usir ketika paduka tiba.............."
jawab Mekarsan.
Pangeran Tohjaya menggandeng tangan Mekarsari diajak masuk, dan ia tidak meniperdiilikan hal itu lagi. Tentu seorang pemuda dusun yang pernah mencintai Mekarsari dan sekarang menjadi patah hati karena gadis pujaannya menjadi milik pangeran, pikirnya.
Dengan perasaan hancur luluh Wi?enn meninggalkan
dusun Karangluwih pada malam hari itu juga. Ia berlari terus secepatnya keluar dari dusun memasuki hufan, tiada hentinya ia berlari cepat. Bahkan ketika malam telah berganti pagi, ia masih berjalan terus bagaikan seorang yang tak bersemangat lagi.
Jiwanya merana, hatinya remuk-rednm. pikirannya kacau balau dan bingung. Baru pertama kali ia merasai kenikmatan dan kebahagiaan cinta kasih yang mendalam dan baru pertama kali ini pula cinta kasih yang mendatangkan kebahagiaan itu menghancurkan hidupnya. Sampai dua pekan lebih ia berjalan terus, tiada hentinya, lupa makan lupa tidur, terus berjalan bagaikan mayat hidup !
Hanya satu pegangan yang menjadi tujuannya dan yan?
masih belum terlupa olehnya, yakni menuju ke Singosari, mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati. Sifat jantan dan ksa.
tria masih belum meninggalkannya- Pesan Begawan Jatadara masih menjadi pegangannya dan biarpun ia berjalan terus tanpa makan tanpa tidur tak pernah mengaso, namun ia masih menujukan tindakan kakinya ke Singosari!
Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat dan pandangan , matanya redup dan muram bagaikan dian kehabisan minyak.
Tanpa diketahuinya, ia telah masuk ke dalam sebuah hutan besar di luar Ibu Kota Singosari. Tubuhnya mulai lemas, 81
tindakan kakinya mulai tak tetap. Betapapun juga, tubuh yang tak terpelihara dan perut yang berhari-hari tak diisi, mata yang berhari-hari tak ditidurkan, membuat raganya lemah lunglai dan tak kuat menahan.
Terik matahari yang membakar membuat kepalanya
berdenyut-denyut dan ketika ia tiba di bawah sebatang pohon waringin yang besar dan teduh, pergantian hawa yang tadinya panas membakar ke tempat yang teduh dan sejuk dingin, membuat ia menggigil dan tiba-tiba ia terhuyung-huyung dan robohlah Wisena di bawah pohon beringin itu, tak sadarkan diri! Namun pemuda ini memang memiliki raga yang kuat sekali. Sungguhpun tiada tenaga lagi di dalam tubuh, kesadarannya timbul kembali, sedikit demi sedikit dan teli-raganya dapat menangkap suara suling bambu yang merdu mengayun kalbu"Ah, ada suara suling................tanda bahwa di sini ada orang............ tentu dekat kampung............ mengapa aku selemah ini " Mengapa aku berputus asa............" Bukan laku seorang ksatria................Ah, Wisena............Wisena, tidak malukah engkau..............?" demikianlah bibirnya berbisik menurutkan suara hatinya. Suara suling itu makin perlahan dan tiba-tiba terhenti, lalu terdengar nyanyian sebagai gantinya, masih dalam lagu Asmaradana seperti yang dilagukan oleh suling tadi. Lagunya amat lambat
menyedihkan, kata-katanya menyayat kalbu, sungguhpun suara itu nyaring dan kecil, tanda bahwa yang
menyanyikannya masih kanak-,kanak, belum dewasa. Mungkin penggembala kerbau. Suara nyanyian itu dengan jelas memasuki telinga Wisena yang masih berbaring menelungkup dengan pipi kanan di atas tanah.
"Duhai nyawa ............... tinggalkan raga ............ untuk apa merana di mayapada .................. Tak tertahan lagi perihnya, hati pahit getir, melebihi butrawali, betapapun usalia melupakannya wajah adinda juita terkenang jua!
82 Duhai Dewata agung, cabuClah nyawa tak tertahan lagi oleh hamba..............."
Bagaikan disayat-sayat rasa hati Wisena mendengar
tembang ini. Tak tertahan pula air matanya mengalir ke luar dan ia menangis tersedu-sedu. Tertumpahlah semua dendam aan sakit hati melalui air matanya dan dadanya terasa lapang.
Menelungkup dengan pipi di atas tanah membuat ia merasa seakan-akan ia menangis di atas pangkuan ibunda.
"Ibu................ ibu, tolonglah ananda.............kuatkanlah ananda....................!" ia berbisik sambil mencengkeram rumput dan memeluk tanah. Kemudian, dengan menggigit bibir mengeraskan hati, ia mencoba untuk merangkak bangun.
Setelah mencucurkan air mata, hatinya lapang, tak sebeku tadi, pikirannya terbuka, akan tetapi tubuhnya makin lemas.
Perutnya mulai terasa amat perih dan kosong.
"Aku harus makan.............aku harus hidup.............jalan masih lebar di hadapanku............!" Pikiran dan tekad.. ini mendatangkan tenaga baru dan Wisena dapat juga berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke depan.
Akan tetapi, bani saja beberapa langkah, ia terguling lagi.
Kalau nasib lagi sial, agaknya kekosongan perutnya dan kekeruhan pikiran serta luka di hatinya, mendatangkan angin jahat dan ia terserang sakit! Tubuhnya panas membara, akan tetapi di sebelah dalam terasa dingin menggigil.
Dari jauh terdengar derap kaki kuda. Karena telinga Wisena menempel tanah, ia dapat mendengar suara ini dengan jelas, akan tetapi tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Makin lama makin keraslah suara kaki kuda itu dan muncullah tiga orang penunggang kuda. Mereka ini adalah dua orang pemuda dan seorang dara. Ketiganya elok dan dari pakaian me: reka mudah diduga bahwa mereka adalah putera - puteri
bangsawan belaka.
Memang, sesungguhnya mereka ini adalah keturunan
83 bangsawan tertinggi, karena mereka adalah keluarga Raja Singosari! Bahkan seorang di antara mereka adalah pangeran pati sendiri, yakni putera Sang Prabu Anusapati. Mudah dilihat dari lambang pangeran pati yang terbuat dari pada emas itu menghias kepalanya. Dia ini adalah Pangeran Pati Ranggawuni yang muda belia, tampan dan gagah. Pemuda ke dua juga seorang pangeran, yakni Pangeran Narasingamurti.
kemenakan sang prabu, karena Pangeran Narasingamurti ini adalah putera Prabu Anom Mahisa Wongateleng. Pangeran Pati Ranggawuni amat cinta kepada adik misannya ini yang telah menjadi sahabatnya semenjak kecil. Agar lebih jelas lagi, sesungguhnya perbedaan antara kedua orang pangeran ini adalah nenek-nenek mereka- Keduanya memang cucu dari Ken Dedes, akan tetapi ayah Ranggawuni, yakni Anusapati, adalah putera Tunggul Ametung, sedangkan ayah Narasinqa-muirti, yakni Mahisa Wongateleng, adalah putera dari Ken Arok.
Adapun dara yang juga . menunggang kuda bersama kedua orang pangeran ini juga seorang puteri dari Anusanan yang terlahir dari selir, namanya Dewi Murtiningsih. Dara ini selain cantik jelita, juga memiliki kegagahan, karena semenjak kecil, bersama Panperan Ranpgawuni dan Pangeran Narasingamurti, ia selalu ikut berlatih olah keperajuritan-Kalau kedua orang pangeran ini berburu binatang di dalam hutan, Dewi Murtinincsih tak pernah ketinggalan dan selalu ikut serta.
Pangeran Pati Ranggawuni amat kasih kepada adiknya ini dan sungguhpun mereka berlainan ibu, namun mereka bergaul seperti kakak beradik sekandung saja.
Tiba-tiba Narasingamurti yang berkuda paling depan, menahan kendali kudanya dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke depan dan menengok kepada kedua orang saudaranya,
''Kakangmas Ranggawuni, lihat, ada orang berbaring di bawah pohon waringin itu'
84 Pangeran Pati Ranggawuni menahan kendali kudanya pula can memandang. "Dia tidak mati dan juga tidak tidur karena kepala dan tangannya bergerak-gerak. Dewi, ayoh kita melihat orang itu, kalau-kalau dia membutuhkan pertolongan. "
Tiga orang muda bangsawan itu lalu melarikan kuda
menghampiri Jaka Wisena yang masih menggeletak di bawah pohon waringin. Ketiganya lalu melompat turun dan sambil menuntun kuda mereka mendekati Wisena yang masih
berbaring dengan gelisah dan memicingkan matanya.
"Ki sanak (saudara), kenapakah kau?" tanya Pangeran Pati Ranggawuni dengan suara halus. Wisena mendengar suara ini seperti bisikan dari jauh, akan tetapi ia tak dapat menjawab karena kini perasaan dingin di dalam tubuhnya fetah berobah menjadi panas seakan-akan Kawah Candradi-muka berpindah di dalam dadanya, membuat telinganya mengiang-ngiang dan kepalanya berdenyut-denyut.
Melihat betapa tubuh itu bergerak gelisah dan mendengar orang itu mengerang perlahan, Ranggawuni lalu berpaling kepada adiknya dan berkata,
"Dewi, agaknya orang ini sakit. Kau lebih mengerti tentang hal itu, cobalah kau memeriksanya. Kasihan sekali ia sakit seorang diri di tempat sunyi ini."
Memang di samping kegemarannya berlatih panah dan
menunggang kuda, Dewi Murtiningsih juga pernah
mempelajari ilmu pengobatan dari seorang pertapa. Ia lalu melepaskan kendali kudanya yang jinak dan berlutut di dekat tuouh Wisena yang masih menelungkup. Diulurkannya sebuah tangan yang berjari kecil runcing dan berkulit halus kekuningan itu, kemudian dirabanya jidat Wisena sambil memutar sedikit kepala pemuda itu. Gerakan ini
mendatangkan dua macam perasaan kaget kepada dara ini.
Pertama karena ketika jari tangannya meraba jidat Wisena, ia merasa betapa kulit jidat pemuda itu panas membakar, dan ke dua adalah ketika ia memutar sedikit kepala pemuda itu ia 85
memandang kepada wajah, seorang teruna yang tampan dan gagah! Bukan sekali-kali karena Dewi Murtiningsih tak pernah melihat wajah pemuda tampan, akan tetapi kali ini ia benar-benar terkejut dan tercengang karena tadinya mereka semua mengira bahwa yang rebah di atas tanah itu hanyalah seorang petani yang menderita sakit. Juga kedua orang pangeran itu tertegun menyaksikan wajah pemuda yang tampan itu.
"Ah, agaknya seorang ksatria yang menderita sengsara!"
seru Pangeran Narasingamurti.
"Mungkin ia seorang kelana yang terserang penyakit di hutan ini," kata Pangeran Pati Ranggawuni.
"Kakangmas Ranggawuni, ia terserang demam hebat!" kata Dewi Murtiningsih yang masih tertegun Wajah Wisena amat berkesan dalam hatinya, menimbulkan belas kasiriau dan juga kekaguman. Hatinya yang masih muda merupakan kuncup kembang itu mulai tersentuh oleh tiupan sayap seekor kupu-kupu dan mulai bergerak. membuka untuk menerima
kedatangan kupu-kupu yang indah itu.
"Ah, kasihan," kata Ranggawuni. "Dewiku, kautolonglah dia sedapatmu."
"Akan kucoba, kangmas Ranggawuni. Dimas Narasingamurti, tolong kau mencari air yang jernih. Aku henclaK pergi mencari daun obat," kata dara itu dengan suara tenang dan tetap, tanda bahwa ia yakin akan apa yang hendak
dilakukannya. Narasingamurti pergi mencari air jernih yang dibutuhkan, sedangkan gadis itu lalu masuk ke dalam hutan, mencari daun-daun yang pahit rasanya untuk melawan demam. Tak lama kemudian keduanya kembali dan berlutut di dekat Wisena yang masih belum sadar bahwa ada tiga orang muda berlutut di dekatnya.
Dengan cekatan. Dewi Murtiningsih lalu memeras daun-daun itu, dicampurnya dengan air lalu diminumkannya ke 86
dalam mulut Wisena yang dibukakan oleh Narasingamurti..
Berkerutlah muka Wisena ketika obat yang pahit sekali itu memasuki tenggorokannya. Kemudian Dewi Murtiningsih menggunakan air jernih yang ditiupnya tiga kali sambil membaca mantera, kemudian air itu ia gosok-gosokkan-pada jidat Wisena dan disiramkannya sisa air itu kepada ubun-ubunnya..Tak lama kemudian bergeraklah bibir Wisena dan kalau tadi ia hanya mengerang saja perianan, kini kata-katanya dapat ditangkap,
87 "Dewi............Dewiku .......tolonglah hamba........."
"Ahh................" Dewi Murtiningsih melompat bangun dan berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berobah merah, sampai ke telinganya. Sementara itu, kedua orang pangeran itupun terheran - heran ketika mendengar pemuda yang sakit itu menyebut nama saudara mereka. Mereka hanya
memandang dengan melongo ketika Wisena perlahan-lahan membuka matanya. Ketika ia melihat orang-orang itu, ia heran dan bangun lalu duduk. Melihat bekas tempat air dan sisa daun obat, ia maklum bahwa orang-orang ini tentu telah menolongnya, maka ia tersenyum dan mengangguk penuh terima kasih.
"Saudara.............apakah arti kata-katamu tadi" " tanya Ranggawuni sambil memandang tajam.
Wisena masih agak oening dan ia hanya melihat wajah seorang teruna yang cakap dan agung. "Kata - kata yang mana ................?"
"Kau tadi menyebut Dewi............ siapakah itu" "
Tiba-tiba merahlah wajah Wisena. Sesungguhnya, ketika tadi ia membuka sedikit matanya, ia seoerti melihat seorang nadis cantik duduk di dekatnya. Waiah itu bepitu cantik jelita sehingga tak salah lagi tentulah itu wajah Mekarsari yang datang hendak menolongnya. Ia menyebut "Dewi" bukan dimaksudkan menyebutkan nama seseorang, akan tetapi sebutan yang berarti menjunjung tinggi gadis kekasihnya itu, dianggapnya seakan-akan dewi dari kahyangan. Akan tetapi, bagaimana ia harus menjawab" Apa lagi ketika pandangan matanya makin terang dan ia melihat seorang gadis cantik jelita berdiri tak jauh dari situ, memandang kepadanya dengan sepasang mata yang jernih dan bening, berkilauan bagaikan sepasang bintang pagi, ia menjadi makin bingung.
"Maksudku ............aku tadi bermimpi agaknya............
bermimpi diserang oleh seorang siluman..........aku tak 88
berdaya, lalu datang seorang dewi penolong dari kahyangan, maka aku lalu minta pertolongannya !"
Bergelak tertawalah Pangeran Pati Ranggawuni dan
Pangeran Narasingamurti ketika mendengar keterangan ini.
"Ha, ha, ha, kau lucu, saudara!" kata Ranggawuni. "Tanpa disengaja kau telah mengeluarkan sebutan yang amat tepat.
Ketahuilah, kau memang telah ditolong oleh saudaraku ini yang bernama Dewi Murtiningsih, seorang puteri Kerajaan Singosari."
Bukan main terkejutnya hati Wisena mendengar ini. Cepat-cepat ia membereskan pakaiannya lalu duduk bersila dengan penuh khidmat. Makin terkejut dia ketika mendengar Narasingamurti berkata menyambung keterangan kakaknya,
"Dan ketahuilah bahwa kakakku ini adalah kakangmas Pangeran Ranggawuni, Pangeran Pati Kerajaan Singosari dan aku sendiri bernama Pangeran Narasingamurti!"
Wisena menjadi demikian kaget sehingga sisa-sisa
penyakitnya lenyap seketika itu juga. Ia merangkapkan sepuluh jari tangannya, menyembah dengan hormat kepada tiga orang muda yang kini telah bangkit berdiri di hadapannya sambil berkata,
"Aduh, gusti pangeran! Yang banyaklah maaf paduka kepada hamha yang telah berani bersikap tidak selayaknya terhadap paduka bertiga oleh karena hamba tidak
mengetahuinya."
Senanglah hati kedua orang pangeran muda itu mendengar ucapan yang sopan dan halus serta sikap yang amat baik dari pemuda ini.
"Siapakah kau, dari mana dan hendak ke mana" Bagaimana kau sampai terlunta-lunta sengsara seorang diri di sini dan menderita sakit sampai tubuhmu kurus kering" " tanya Ranggawuni, akan tetapi tiba-tiba Wisena memejamkan kedua matanya. Pandangan matanya gelap dan selaksa bintang 89
menari-nari di depan kedua matanya, sungguhpun mata itu telah dipejamkannya. Agaknya obat pahit tadi telah mulai bekerja di dalam perutnya dan kerjanya mengusir demam sedemikian kerasnya sehingga perutnya serasa diremas remas. Lapar, perih, dan sakit menggeragoti dasar perutnya.
Saking hebatnya rasa sakit, Wisena menggunakan kedua tangannya menekan bawah ulu hatinya dan menggigit bibirnya sampai berdarah! Kemudian, sambil mengeluh perlahan ia terguling dan pingsan'!
Kedua orang pangeran itu terkejut sekali dan buru-buru.
mereka berlutut di dekat tubuh Wisena.
"Dewi, kau telah memberi obat apakah tadi" Jangan-jangan daun itu mengandung bisa !"
"Tak mungkin, kakangmas Ranggawuni. Mungkin ada lain penyakit di dalam perutnya."
"Periksalah, periksalah lekas! Lihat, mukanya sudah menjadi pucat Kebiruan. Lekas "
Dewi Murtiningsih lalu berlutut dan kedua tangannya ditekankan ke ulu hati dan perut Wisena. Getaran perasaan yang mengalir memenuhi ujung - ujung jari tangannya yang terlatih itu seakan-akan mencari-cari, meresap ke dalam tubuh Wisena untuk melihat apakah yang menyebabkan pemuda itu demikian menderita. Kedua orang saudaranya memandang dengan penuh perhatian, menahan nafas.
Tiba-tiba Dewi Murtiningsih tertawa perlahan dengan geli, lalu bangkit berdiri. Masih saja senyum manis menghias bibirnya dan sepasang matanya yang indah itu berkilat.
"Eh, eh, mengapa kau malah mentertawakannya, Dewi" "
tanya Ranggawuni heran dan penasaran.
Kembali Dewi Murtiningsih tertawa sehingga nampaklah dua deret giginya yang putih berkilau, berbentuk indah dan teratur rapi itu di antara bibir dan mulutnya yang merah.
90 "Dia tidak sakit apa-apa, hanya................"
"Hanya apa" "
"Lapar! Perutnya kosong sama sekali, agaknya telah berpekan-pekan ia tidak makan sesuatu i"
"Aduh kasihan............" kata Ranggawuni pula. "Dimas Narasingamurti, berikan bekal nasiku kepadanya. Suapkan-lah nasi itu ke dalam mulutnya, kasihan sekali teruna ini____"
Narasingamurti mengambil bungkusan nasi dan laukpauknya dari atas kuda, kemudian ia berusaha menyuapkan nasi itu ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi gerakannya kaku dan canggung sekali sehingga lebih banyak nasi yang jatuh di tanah dari pada yang dapat masuk ke mulut Wisena. Bahkan ada yang hampir masuk ke lubang hidung pemuda itu !
Melihat ini, Ranggawuni berkata, "Ah, dimas
Narasingamurti, kau canggung sekali. Dewi, kaulah yang menyuapkan nasi itu."
"Ah, kakangmas, aku malu............bagaimana aku harus menyuapkan nasi ke mulut seorang yang tak kukenal sama sekali................?"
"Dewi, memang seharusnya kita, terutama sekali kau sebagai seorang wanita, menjaga baik-baik tata susila dan kesopanan. Bukan semestinya kalau kau menyuapkan nasi ke dalam, mulut seorang asing, terutama kalau orang itu seorang pria. Akan tetapi, keadaannya sekarang lain lagi- Biarpun kita belurri mengenalnya, akan tetapi ia adalah seorang yang sedang menderita sengsara, seorang yang tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Kau sendiri menyatakan bahwa dia kelaparan dan perlu diberi makan, sedangkan ia masih pingsan tak dapat makan sendiri. Kalau dibiarkan saja tentu ia akan mati. Dalam hal ini, berlakulah sebagai seorang manusia menolong manusia lain, dan dalam prikemanusiaan tiada perbedaan antara pria maupun wanita, bangsawan besar maupun rakyat kecil."
91 Dewi Murtiningsih terpaksa menurut perintah pangeran pati yang bijaksana ini dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu menyuapkan nasi ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi, baru.
saja sekepal nasi disuapkan oleh puteri itu ke dalam mulut Wisena, pemuda ini telah siuman kembali. Dengan bergegas ia lalu duduk dan sungguhpun tubuhnya masih gemetar, namun ia memaksa diri duduk dengan sopan.
"Kaumakanlah dulu, jangan banyak cakap," kata Pangeran Ranggawuni.
Wisena adalah seorang pemuda yang terdidik oleh
pamannya dan sungguhpun ia semenjak kecil berada di atas gunung, namun ia tahu akan sopan - santun dan kini disuruh makan nasi di hadapan seorang puteri, ia merasa malu sekali.
Diam-diam ketiga orang putera - puteri bangsawan itu maklum akan hal ini, maka Dewi Murtiningsih lalu memutar tubuhnya dan berdiri membelakangi Wisena. Pemuda ini lalu mulai makan. Sungguhpun ia amat lapar dan agaknya dapat menghabiskan nasi itu dengan sekali dua kali telan, namun ia makan dengan sopan, tidak tergesa-gesa dan mengu-? nyah nasi dengan bibir rapat. Kedua orang pangeran itu makin suka kepadanya. Setelah Wisena selesai makan, ia menyembah kepada mereka dan berkata lagi
"Telah sering kali hamba mendengar berita akan kebijaksanaan dan kemuliaan" hati para bangsawan tinggi di Singosari. Kini bertemu dengan paduka bertiga, hamba tidak ragu-ragu lagi bahwa berita itu sesungguhnya benar belaka.
Hal ini lebih meyakinkan hati hamba dan lebih mempertebal tekad hamba untuk mengabdi kepada Kerajaan Singosari. *
"Kau tadi belum menjawab pertanyaanku. Kuulangi lagi, siapakah kau dan datang dari mana" "
"Hamba bernama Jaka Wisena dan semenjak kecil hamba tinggal di puncak Gunung Anjasmoro bersama paman hamba, 92
Begawan Jatadara. Hamba sedang dalam perjalanan menuju ke Singosari untuk menghambakan diri kepada Gusti Sinuhun Sang Prabu Anusapati. Akan tetapi, malang nasib hamba, setibanya di hutan ini hamba terserang penyakit, sungguhpun kemalangan nasib itu hanya menjadi awal kebahagiaan hamba, karena buktinya hamba dapat bertemu dengari paduka yang bijaksana. Oleh karena itu, hamba' mengecap syukur dan terima kasih kepada Dewata yang telah memberi kehormatan kepada hamba untuk diperjumpakan dengan paduka."
"Hm, jadi kau hendak mengabdi kepada ramanda prabu "
Kebetulan sekali, Jaka Wisena. Besok pagi diadakan pemilihan abdi-abdi baru. Kau dapat bekerja apakah " "
"Apa saja yang dititahkan kepada hamba, akan hamba usahakan sedapat mungkin."
"Bukan demikian maksudku. Kau hendak mencari pekerjaan halus atau kasar " Apakah kau ingin menjadi pamong kerajaan yang mengurus pekerjaan sehari-hari, ataukah kau ingin menjadi seorang perajurit " "
"Hamba adalah seorang bodoh dan kasar dan hanya mengandalkah sepasang tangan dan sepasang kaki hamba.
Maka apa bila gusti sinuhun sudi menerima hamba, hamba hendak mengabdi sebagai seorang perajurit untuk menjaga keselamatan Kerajaan Singosari."
"Bagus, agaknya tak keliru dugaanku bahwa kau tentu seorang ksatria! Kebetulan sekali kalau begitu, Jaka Wisena.
Besok pagi datanglah kau ke alun-alun Singosari, di sana rama prabu hendak mengadakan pemilihan calon senapati dan pengawal. Kalau kau memang mempunyai kedigdayaan dan dapat menempuh ujian dengan baik, aku akan senang sekali melihat kau diangkat menjadi senapati atau kepala pasukan."
Dengan wajah berseri girang Wisena menyembah. "Beribu terima kasih hamba haturkan, gusti pangeran, tidak saja 93
karena pertolongan paduka, akan tetapi juga untuk
penerangan ini. Hamba akan mentaati pesan paduka dan besok pagi pasti hamba akan berada di alun-alun. Sekali lagi terima kasih kepada paduka bertiga, semoga para Dewata selalu melindungi paduka dan semoga pada suatu waktu hamba diberi kesempatan untuk membalas budi."
"Jangan sibuk memusingkan hal itu, Jaka Wisena. Sudah semestinya manusia saling tolong-menolong, tak perduli dia seorang raja, seorang pangeran, maupun seorang ksatria atau sudra. Manusia dilahirkan sama, hanya nasib yang
menentukan di mana ia akan dilahirkan, pada keluarga tinggi ataukah rendah."
"Sungguh tepat sabda paduka, gusti."
"Nah, kami hendak kembali ke keraton, Jaka Wisena.
Semoga kau akan " berhasil besok."
"Terima kasih, gusti."
* dw * Berkat hasutan-hasutan yang dijalankan oleh Ken Umang dan Tohjaya, banyak senapati dan pembesar yang tidak senang kepada Pangeran Anusapati yang kini telah menjadi raja. Para senapati dan juga banyak bupati dan adipati yang mendengar dari Pangeran Tohjaya bahwa pembunuhan atas diri Sang Prabu Ken Arok adalah atas usaha Pangeran Anusapati yang kini menjadi raja, pada mengundurkan diri.
Bupati - bupati memisahkan diri dan mereka bersiap untuk melakukan pemberontakan. Hal ini masih terjadi diam - diam, karena mereka masih takut dan segan terhadap Sang Prabu Anusapati yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai cukup banyak pengikut. Para senapati tua, pahlawan pahlawan aseli berasal dari Tumapel dahulu, kesemuanya ber-fihak kepada Sang Prabu Anusapati, demikian pula rakyatnya, oleh karena mereka ini masih setia terhadap 94
Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok.
Sungguhpun amat dirahasiakan, namun para senapati sepuh banyak yang' tahu bahwa ketika Ken Dedes diperisteri oleh Ken Arok, ia telah berada dalam keadaan mengandung. Maka tentu saja mereka merasa yakin bahwa sesungguhnya Sang Prabu Anusapati bukanlah putera Ken Arok, melainkan putera Tunggul Ametung.
Sementara itu, Sang Prabu Anusapati diam-diam juga dapat menduga bahwa para senapati merasa kurang senang ia naik takhta kerajaan, maka ia lalu membuat persiapan. Hilang dan mundurnya para senapati itu tidak menyusahkan hatinya, bahkan ia lalu sering kali mengadakan sayembara-sayembara pemilihan senapati dan panglima-panglima baru.
Pada hari itu, alun-alun Kerajaan Singosari amat ramai, karena pada hari itu sebagaimana sering kali terjadi, sang prabu hendak memilih orang - orang gagah untuk dijadikan pengawal sang prabu. Tentu saja dalam kesempatan ini, banyak orang-orang gagah mencoba kesaktiannya untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu. Banyak orang muda murid-murid pertapa sakti turun gunung, banyak panglima-panglima perang yang gagah perkasa mencoba untuk merebut pangkat yang lebih tinggi dan banyak harapan ini, karena menjadi pengawal sang prabu tentu saja amat mulia, selalu berdekatan dengan raja, menjadi orang kepercayaannya dan dihormati oleh semua pembesar.
Sang Prabu Anusapati sendiri terkenal sebagai seorang yang digdaya dan pandai sekali bermain segala macam senjata, juga amat kuat tenaganya. Di Kerajaan Singosari terdapat dua orang jago yang bernama Lembuseta dan Lembusena. Mereka ini adalah dua orang yang bertubuh bagaikan raksasa, tenaganya melebihi gajah, kulitnya tebal dan keras seperti kulit badak, akan tetapi sayang sekali otak mereka amat tumpul. Oleh karena itu, maka kedua orang kakak beradik yang berasal dari Madura ini oleh Sang Prabu 95
Anusapati dijadikan jago penguji orang-orang gagah yang hendak menjadi senapati. Jarang ada orang yang dapat menandingi kedua jago ini, maka siapa yang dapat
menghadapi seorang di antara kedua jago ini selama satu lagu dimainkan sampai habis oleh gamelan yang ditabuh sewaktu pertandingan berlangsung, dan orang itu tidak sampai pingsan atau tewas selama itu, maka ia dianggap sudah digdaya dan dapat diterima karena dinyatakan lulus ujian !
Oleh karena itu, tidak banyak orang yang mengikuti ujian berat ini. Sungguhpun pertandingan menghadapi seorang di antara kedua raksasa ini dilakukan tanpa mempergunakan senjata, namun kalau orang tidak memiliki tubuh kuat dan tenaga besar, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Sekali terkena pukulan kepalan tangan yang sebesar buah kelapa itu, dada dapat remuk dan tulang iga dapat patah-patah. Sekali terkena dipiting (dijepit) lehernya oleh sepasang lengan yang sebesar paha manusia biasa dan yang penuh dengan lingkaran urat dan otot menggembung itu, batang leher bisa patah dan orang dapat mati karena sesak napas! Apa lagi kalau sampai tertangkap dan dibanting, kepala bisa remuk dan otaknya keluar berhamburan.
Dan syarat untuk dipilih menjadi calon pengawal pribadi Sang Prabu Anusapati kali ini lebih berat lagi, karena peserta harus menghadapi dua orang raksasa itu seorang sekali!
Tentu saia dalam pemilihan ini, yang amat gembira hatinya adalah penonton. Pertandingan-pertandingan seperti itu selalu menarik hati, maka lama sebelum sang prabu sendiri keluar dari keraton dan datang di alun-alun, penduduk ibu kota telah berdesak-desak memenuhi alun-alun, mengelilingi panggung yang khusus dibuat untuk keperluan ini. Panggung itu lebar dan hanya berpayon di bagian tempat duduk sang prabu dan para pengiringnya. Di bagian depan dibiarkan terbuka, berbentuk bundar dan lebar, tingginya hampir dua tombak.
Oleh karena itu, para penonton dapat melihat pertandingan itu 96
dengan nyata dan enak, sambil duduk berjubel di bawah panggung.
Pada masa itu, permainan adu ayam sudah menjadi
kegemaran rakyat, bahkan sang prabu sendiri terkenal sebagai
&hli adu ayam yang amat suka akan permainan itu. Maka, dalam pertandingan ini, tidak sedikit para penonton yang bertaruh sehingga suasana menjadi makin menggembirakan.
Ketika Sang Prabu Anusapati keluar dari keraton dan menuju ke alun-alun diikuti oleh para bayangkari, suasana yang tadinya berisik itu menjadi sunyi. Semua orang menunduk menyembah ke arah sang prabu yang naik ke atas panggung dengan langkah tenang. Gamelan yang telah tersedia di situ ditabuh perlahan menyambut kedatangan sri baginda.
Setelah sang prabu mengambil tempat duduk dan memberi tanda dengan anggukan kepalanya, maka perwira yang bertugas mengatur pertandingan itu lalu memberi
isyarat.orang jago keraton yang bertubuh seperti taksasa itu ke atas panggung, disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai oleh para penonton. Lembuseta dan Lembu-sena dengan mengangkat dadanya yang bidang itu mengangguk-angguk ke arah penonton dengan senyum bangga.
Perwira itu lalu memberi laporan kepada Sang Prabu Anusapati, "Gusti sinuhun, hamba melaporkan bahwa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian berat kali ini hanya ada lima orang saja."
Sang prabu tersenyum, kemudian menarik napas panjang.
"Agaknya makin berkurang saja orang-orang gagah di Singosari, biarlah, suruh mereka seorang demi seorang menghadapi Lembuseta dan Lembusena."
"Sendika (baik), gusti, hamba akan menjalankan perintah paduka."
97
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia lalu mengundurkan diri dan memberi tanda kepada seorang cli antara lima peserta yang duduk di pojok panggung sambil bersila, kemudian ia memberi tanda kepada Lembusena untuk mengundurkan diri dari panggung. Kini yang berdiri di atas panggung hanya Lembuseta seorang, siap menanti datangnya penantangnya.
Orang pertama yang naik ke atas panggung adalah seorang laki-laki berkulit hitam dan bercambang bauk, nampaknya kuat sekali- Ketika ia naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton. Si cambang.bauk ini lebih dulu bersujud kepada sri baginda raja, dan berkata,
"Hamba yang rendah bernama Surawahana dari lereng Gunung Bromo, menghaturkan sembah bakti, gusti sinuhun."
Sang Prabu Anusapati mengangkat tangan kanannya dan menjawab, "Maju dan lawanlah Lembuseta, Surawahana."
Si cambang bauk yang bernama Surawahana itu lalu
menyembah lagi dan masuk ke dalam gelanggang. Sang prabu menengok ke kiri di mana duduk puterinya yang terkasih, yakni Dewi Murtiningsih. Di dalam rombongan sang prabu, selain para pelayan, tidak ada puteri lain yang suka menonton pertandingan itu, kecuali Dewi Murtiningsih yang memang semenjak kecil suka akan olah raga dan olah keperwi-raan.
Sang prabu tersenyum dan berkata perlahan,
"Dewi, Surawahana itu takkan dapat melawan Lembuseta.
Lihatlah saja."
"Benar, ramanda prabu, ia memiliki kegesitan, akan tetapi, tenaganya masih jauh untuk menghadapi Lembuseta." Dari pembicaraan ini saja, dapat diduga bahwa sang puteri telah.banyak mempelajari ilmu sehingga sekali pandang saja ia- telah dapat menaksir kepandaian seorang peserta.
Selain Sang Puteri Dewi Murtiningsih, di situ nampak juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasinga-rnurti.
Mereka ini, juga Dewi Murtiningsih, agak kecewa karena tidak 98
melihat Jaka .Wisena yang mereka harapkan ikut serta, dalam sayembara ini.
Begitu Sura wahana memasuki gelanggang dan telah
berhadapan dengan Lembuseta, maka berbunyilah gamelan, tanda bahwa pertandingan boleh dimulai. Kalau suara gamelan ini nanti berhenti lagi dan sebuah tembang telah habis dimainkan, maka berarti Habislah pertandingan sebabak ini. Apa bila Sura wahana dapat mempertahankan diri selama itu, maka ia akan dianggap menang, sungguhpun ia tidak merobohkan Lembuseta.
"Awas................!" tiba-tiba Lembuseta berseru garang dan tubuhnya yang besar itu bergerak maju dengan cepatnya, mendorong dada Surawahana dengan tangan kiri. Surawahana bertubuh cukup besar, akan tetaoi di dekat raksasa itu nampak kecil. Dengan cekatan sekali, Surawahana mengelak dan melompat ke kiri lalu mengirim pukulan tangan kanan dari kiri.
"Blek!" pukulan itu tepat mengenai pundak Lembuseta karena cepatnya gerakan, dan riuhlah suara penonton bersorak, memuji kedua orang itu. Surawahana dipuji karena dalam segebrakan saja sudah berhasil memberi pukulan, dan Lembuseta dipuji oleh karena tubuhnya yang terpukul itu tak bergeming sedikitpun juRa, seolah-olah yang menyambar, pundaknya bukan kepalan Surawahana yang keras, melainkan seekor lalat !
Surawahana terkejut sekali, akan tetapi iapun merasa penasaran. Pertandingan dilanjutkan dengan serunya. Setiap serangan Lembuseta dihindarkan oleh Surawahana dengan gerakan lincah dan gesit, tepat sebaeaimana yang diduga oleh Puteri Dewi Murtiningsih tadi. Akan tetapi-sebaliknya.'.
Surawahanapun tidak mampu merobohkan lawannya.
Beberapa kali tamparan, dorongan dan pukulannya yang mengenai tubuh Lembuseta hanya diterima dengan tertawa bergelak saja oleh Lembuseta ! Penonton makin menjadi 99
tegang melihat kehebatan pertandingan ini dan agaknya Surawahana akan dinyatakan menang karena sudah cukup lama mereka bertempur, belum juga Lembuseta dapat
merobohkan Surawahana. Akan tetapi, gamelan masih
berbunyi dan pertandingan belum habis.
Lembuseta maklum bahwa kalau ia tak berhasil menyerang lawannya, ia akan kehabisan waktu dan akan malulah ia kalau tak dapat merobohkan Surawahana sebelum gamelan
berhenti. Maka ia lalu merobah siasat. Biarpun ia bodoh, akan tetapi pengalaman pertandingan yang banyak membuat ia mengerti beberapa macam akal. Ia selalu menyerang dengan mengandalkan tenaga saja dan menerima pukulan
mengandalkan kerasnya kulit, karena ia tidak faham ilmu perkelahian. Kini ia sengaja berlaku lambat dan jarang-jarang menyerang, akan tetapi memperhatikan serangan lawan.
Surawahana dapat tertipu dan mengira bahwa lawannya telah Jelah dan putus asa. Ia tidak puas kalau mendapat
kemenangan tanpa merobohkan lawan, maka nada suatu saat yang baik, ketika lawannya nampak lengah, ia cepat menghantam sekuat tenaga ke arah lambung raksasa itu.
Biarpun ia takkan dapat merobohkannya setidaknya lawannya tentu akan terdorong, dan terhuyung-huyung.
Akan tetapi, saat inilah yang dinanti-nanti oleh Lembuseta.
Ia.membiarkan saia lambungnya dipukul, akan tetapi begitu puKulan Surawahana mengenai lambungnya, ia menubbruk maju mengirim tamparan keras dengan telapak tangan kanan yang selebar kipas ke arah kepala Surawahana !
"Blek ! Plak !" demikian suara pukulan lambung dan tamparan kepala itu berbunyi hampir berbareng dan terdengar suara ketawa Lembuseta untuk menyatakan bahwa pukulan pada lambungnya itu hanya terasa bagaikan dipijat saja. Akan tetapi akibat tamparan pada kepala Surawahana itu hebat sekali. Bagaikan kena sambaran petir, tubuh Surawahana terputar - putar beberapa kali lalu robohlah ia tak sadarkan 100
diri, sama sekali tak dapat bergerak lagi!
Gegap-gempita sorak-sorai para penonton menyambut
kemenangan Lembuseta ini. Tubuh Surawahana yang tak ber daya lagi itu lalu digotong turun oleh dua orang penjaga dan dibawa pergi.
Peserta ke dua dipersilahkan naik. Seperti halnya Surawahana tadi, peserta inipun memberi hormat kepada sri baginda dan memperkenalkan namanya. Ia masih muda dan tubuhnya juga besar dan tinggi, hampir menyamai Lembusena lawannya yang kali ini mendapat giliran. Akan tetapi, Lembusena lebih pandai bertempur dari pada Lembuseta dan pemuda tinggi besar ini belum juga setengah babak telah dapat tertangkap dan dilemparkan ke bawah panggung ! Ia kuat dan tidak terluka, akan tetapi saking malu dan tiada harapan,, ia lalu lari meninggalkan tempat itu. Kembali para penonton bersorak ramai.
Peserta ke tiga dan ke empat yang bertubuh kuandari tinggi besar, juga tidak berdaya menghadapi kedua orang, raksasa itu. Mereka inipun dirobohkan dengan mudah sebelum gong mengakhiri babak pertandingan. Semua penonton mulai merasa kecewa dan Sang Prabu Anusapati mengeluh,
"Mengapa hanya ada lima orang calon dan lemah-lemah belaka " " katanya kecewa kepada Dewi Murtiningsih.
"Nanti dulu, ramanda prabu, coba periksalah calon ke lima itu. Agaknya ia tidak mudah dirobohkan !"
Sri baginda cepat memandang dan peserta ke lima itu bersujud menyembah. Suaranya terdengar nyaring ketika ia berkata,
"Hamba Jaka Lumping dari Belambangan menghaturkan sembah sujud dan mohon pangestu paduka agar supaya hamba berhasil mengabdikan jiwa raga hamba di bawah kaki paduka.
101 "Hrri, baik, Jaka Lumping, maju dan lawanlah Lembuseta.
Mudah-mudahan kau berhasil."
-ooo0dw0ooo- (Bersambung jilid ke 3).
JILID 3 "JAKA LUMPING menyembah lagi lalu menuju ke
gelanggang pertandingan. Dia adalah seorang pemuda yang aneh bentuk tubuhnya. Dada dan perutnya kecil, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi kepalanya dan kedua lengannya besar. Sepasang matanya tajam berpengaruh dan urat - urat menonjol keluar dari daging lengannya. Ketika ia berjalan di atas gelanggang, nampaknya tindakan kakinya demikian ringan.
Ketika ia tiba di depan Lembuseta, raksasa itu tersenyum mengejek- la merasa girang sekali oleh karena hari ini ia dan kakaknya Lembusena telah merobohkan masing-masing dua orang peserta.
Pendekar Sadis 15 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama