Ceritasilat Novel Online

Kisah Dewi Kwan Im 1

Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Bagian 1


Kuan Yin Te Tao
(Kisah Dewi Kwan Im)
Dari Penulis Dewi Kwan Im (Kuan She Yin Pu Sa = Avalokites'vara Bodhisatva)
adalah yang terbanyak dipuja oleh kaum Budhis. Hal itu dapat
dibuktikan, bukan saja di setiap Vihara akan selalu terdapat tempat
pemujaan Dewi yang Welas Asih ini, bahkan di mmah-rumah
penganut agama Budha banyak yang menyediakan tempat
sembahyang khusus untuk Kwan Im Po Sat ini.
Setiap Ce-it dan Cap-go (tanggal 1 & 15 menurut penanggalan
Tionghoa) mereka Cia-cai (tak memakan makhluk yang bemyawa),
datang ke Vihara untuk pasang hio (dupa linting) dan berdoa.
Rata-rata pemeluk agama Budha hanya tahu prihal Dewi yang Maha
Pemurah, Maha Suci dan Maha Sakti ini dari penuturan teman atau
membaca cerita Sie Yu (Perjalanan ke Barat), yang penuh dengan
kejadian gaib serta adu kesaktian antara Dewa dan makhluk jejadian;
atau cerita-cerita lainnya yang melibatkan Dewi Kwan Im. Akan tetapi
jarang sekali yang tahu persis mengenai riwayat Dewi Welas Asih ini.
Berdasarkan kenyataan ini, saya telah berusaha mengumpulkan
bahan-bahan mengenai Dewi Kwan Im dari berbagai sumber, baik
yang berasal dari umat Budha sendiri, maupun dari akhli kebudayaan
Timur, juga mengadakan perbandingan dengan agama Hindu, yang
memiliki pula Dewi yang keadaannya mirip dengan Dewi Kwan Im,
yaitu Dewi Uma Parwati.
Tapi setelah ditelusuri lebih mendalam, temyata Dewi Uma Parwati
dengan Dewi Kwan Im terdapat perbedaan. Dewi Uma Parwati
berasal dari seorang anak pencari kayu bakar yang tinggal di kaki
gunung Himalaya, yang pada suatu hari telah lenyap secara misterius
di hutan belantara. Biarpun telah dicari kian ke mari, tapi tetap tak
berhasil ditemukan.
Pada suatu ketika ada sementara Penduduk yang melihat munculnya
seorang wanita cantik yang ada lingkaran sinar di matanya.
Wajah wanita itu mirip benar dengan Uma Parwati, hingga para
penduduk percaya bahwa Uma Parwati telah menjelma menjadi
seorang Dewi. Sesaat sebelum menghilang, Dewi itu sempat memberi wejangan
mengenai kebajikan dan kejujuran, serta sempat pula menolong
orang sakit serta memberkahi orang-orang yang sempat bertemu
dengannya. Versi lain dari Dewi Uma Parwati, disamakan dengan Dewi Umna
Kanya, yang dipandang sebagai 'isteri' Dewa Shiwa, yang kini dikenal
sebagai Dewi Durga Kali yang sakti tapi kejam. Padahal, di zaman
dulu, ia dilukiskan sebagai Dewi yang murah hati, Pengasih dan
Penyayang, membuatnya dijuluki sebagai 'Suara Tuhan', yang
mencipta dan memberi wujud pada fikiran.
Sedangkan Dewi Kwan Im, yang menurut penuturan orang-orang
yang mendalami Kitab Suci (Sutra) Budhis, berasal dari Dewi Che Fang
di istana Ta Lo (Sorga Tushita; Dewachan), yang kemudian menitis ke
dunia untuk menolong
kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkan bantuan.
la lahir ke dunia melalui kandungan Ratu Pao Te, menjadi anak
bungsu dari Raja Miao Chuang. Walau jadi anak yang bungsu, yang
lazimnya amat dimanja oleh orang tua, tapi kebalikannya, Miao Siang
(titisan Dewi Che Fang) malah menjauhi kesenangan duniawi, bahkan
sering menemui kesulitan dan kesengsaraan, sebelum berhasil
mencap.ai tingkat kesempumaan.
Selama dalam penitisannya ke dunia fana ini, Dewi Che Fang
kemudian dikenal sebagai Dewi Kwan Im. Wejangan-wejangannya
amat meresap, perbuatannya, terutama mengenai Hauw ("berbakti
terhadap oranp tiia) meniadi suri-tauladan. la banyak menolong,
bahkan jadi juru selamat bagi umat Budha. Contoh yang paling
gamblang tergambar dalam cerita Sie Yu, setiap kali Bikhu Suan
Chuang (Tong Hian Chong) yang diantar oleh Suen Wu Kung (Sun Go
Kong), Chu Pa Chieh (Tie Pat Kay) dan Sha Ho Shang (She Ho Siang)
mengalami kesulitan ketika akan mengambil kitab suci Budhis di
Barat (India), sering ditolong oleh Dewi Kwan Im, hingga akhimya
berhasil membawa pulang 657 kitab suci (Sutra)
Budhis dan 150 buah benda kenangan dari sang Budha.
Tong Hian Chong berangkat dari Si-an ke India pada tahun 629 dan
kembali lagi ke Tiongkok pada tahun 645 dan hal itu memang tercatat
dalam sejarah Tiongkok. Dewi Kwan Im di Jepang disebut Kwan-non,
sedangkan dalam bahasa Sanskerta-nya disebut 'Avalokites'vara
Bodhisatva', yang berarti 'Dewi yang memandang ke bawah dengan
penuh belas kasih'. Dan bagi umat yang percaya, sesungguhnya Dewi
Kwan Im memiliki kekuatan rohani yang tiada taranya.
Seperti yang diungkapkan dalam 'Avalokites'vara Bodhisatva
Samantamukha Parivai-ta', kutipan Saddharma Pundarika Sutra
(Miao Fa Lien Hua Ching) bagian XXV, terjemahan Kumarajiva, antara
lain disebutkan:
'Bagi yang menderita berbagai penderitaan, asal dengan sujnd hati
memujanya, Avalokites'vara Bodhisatva (dibaca: Avalokites'wara
Bodhisatwa, yang dalam bahasa Mandarinnya: Kuan She Yin Pu Sa),
segera akan memusatkan perhatiannya pada nada suara tersebut
dan terbebaslah mereka dari penderitaan tersebut'.
Demikian pula bagi yang ingin mencapai maksud tertentu, seperti
ingin punya anak, makmur hidupnya, terbebas dari gangguan orang
atau roh jahat, menghapus dendam maupun menjauhi nafsu, asal
sujud pada Dewi Kwan Im, akan tercapailah apa yang mereka
inginkan, memperoleh berkahnya.
Selain itu, terdapat pula kepercayaan, bahwa Dewi Kwan Im dapat
merobah wujudnya (Pian Hoa) dalam menolong, menyelamatkan
umat yang percaya padanya, sekaligus untuk menerangkan
suara (Kebenaran').
Menurut Prof. Davids yang telah cukup lama mendalami persoalan
Lamaisme, kemungkinan besar pemujaan Dewi Kwan Im datang dari
Tibet ke daratan Tiongkok. Hal itu berdasarkan catatan sejarah yang
cukup otentik, bahwa sebelum dinasti Tang (Tang-cau atau lebih
lazim di eja Tong Tiauw), di daratan Tiongkok belum dikenal Dewi
Maha Pengasih ini.
Dan pada zaman Tong Tiauw justeru telah terjalin akrab hubungan
antara kerajaan Tiongkok dan Tibet. Dengan demikian jelas, bahwa
pemujaan Dewi Kwan Im di Tiongkok, yang kemudian berkembang ke
Timur Jauh dan Asia Tenggara, berasal dari India melalui Tibet.
Walaupun riwayat puteri Miao Siang, yang setelah mencapai
kesempumaan hidupnya menjadi Dewi Kwan Im ini, hanyalah sekedar
hikayat, dongeng, tapi di dalamnya terdapat pelajaran yang amat
berharga bagi yang ingin mensucikan diri dan mencari ketenteraman
hidup. Riwayat ini mempakan pelambang bagi golongan sederhana
mengenai azas-azas dari Budhisme, yang bermakna, bahwa orang
hams jujur, berbakti pada orang tua, mencintai sesama manusia,
tidak kemaruk atau tamak akan harta dan kesenangan dunia dengan
merugikan/menghancurkan orang/ fihak lain. Dengan demikian
barulah akan tenang dan bahagia hidup kita.
Sudah barang tentu, walaupun saya telah berusaha menghimpun dan
mengungkapkan yang terbaik, tapi sebagai manusia yang terbatas
kemampuannya, tentu masih banyak sekali kekurangan/ kelemahan,
untuk itu saya mohon maaf.
Harapan saya tiada lain, semoga setelah membaca buku ini, hidup
kita akan lebih tenang dan bahagia dari sebelumnya.
S a l a m, Siao Shen Sien Pendahuluan Berdasarkan kepercayaan agama Budha, Kwan Im merupakan
Dewi Pelindung bagi umat Budha. Menurut cerita, ketika
sedang melayang di angkasa dan akan masuk ke Sorga, tibatiba Dewi Kwan Im mendengar ratapan sedih dari bumi, dan
sebagai Dewi yang Welas Asih, batal ah ia masuk ke Sorga,
walau sesungguhnya sebelah kakinya telah mulai melangkah di
ambang pintu Nirwana. Itu sebabnya ia digelari sebagai Kuan
She Yin Pu Sa, yaitu Dewi yang selalu memperhatikan keluhan
dan doa dari manusia. Cerita tersebut di atas berdasarkan
kepercayaan kaum Budhis dari Sekte/Mashab Mahayana, yang
sejak zaman dahulu kala telah memuja Bodhisatva (Dewa/Dewi
atau Po-sat) yang dinamakannya Avalokites'vara, yang dalam
ejaan Mandarinnya Kuan She Yin.
Pu Sa (Po-Sat) adalah seorang suci yang telah mencapai
kesempurnaan dalam hidupnya, berhasil menjadi Hud (Budha;
Dewa/Dewi), itu sebabnya, Kwan Im Po-sat sering pula disebut
Kwan Im Hud-chou.
Bagi seseorang yang telah berhasil mencapai tingkat
kesempumaan dalam hidupnya itu, akan selalu berusaha untuk
menolong dan menyelamatkan setiap makhluk yang hidup di
dunia ini, bukan saja manusia dan binatang, tapi juga roh orang
yang telah mati, lelembut dan lain-lain makhluk halus yang tak
tampak oleh mata manusia biasa, serta semua benda hidup
lainnya, seperti tumbuhan/pohon, logam dan lam sebagainya.
Bikhu Mahacharya Vahindra dan Bikhu Maitreya Baltari telah
menulis sebagai berikut:
"Bagi umat Budha yang telah mengorbankan hidupnya bagi
kepentingan orang lain disebut Bodhisatva (Pu Sa; Posat) atau
Mahasatva (Moho-sat). Mereka tidak mau mengambil jalan
pintas di dalam rnencapai kesempurnaan, tapi selalu
menempuh jalan yang panjang lagi penuh liku, selalu tabah
menghadapi cobaan hidup, menjauhkan diri dari kesenangan
duniawi dan ketamakan. Sebab mereka berpendapat, bahwa
setiap manusia itu berperasaan, biar bagaimana jahat dan
kejamnya manusia, pasti masih memiliki sisi baiknya. Mereka
tidak pemah membedakan ras, "ebab menganggap setiap
manusia sama derajatnya, tak peduli si kaya ataupun orang
miskin, sama-sama memiliki harga diri dan memandang hartakekayaan dunia hanya bersifat sementara.
Sifat Maha Pemurah ini dalam bahasa Sanskertanya disebut
Pranidhana. Sifat itu amat menonjol pada diri Avalokites'vara
Bodhisatva (Dewi Kwan Im). la bersedia mengorbankan dirinya
sampai titik darah yang penghabisan dalam menolong umat
Budha". Dewi Kwan Im mulai dipuja oleh umat Budha dalam dinasti
Tang (lazim dieja orang Tong Tiauw) dan Lima Kera jaan (Ho
Ngo Tay), yang berarti, beberapa abad setelah agama Budha
masuk ke Tiongkok.
Sebelumnya, di zaman Tong Tiauw, walau telah banyak orang
yang memeluk agama Budha, tapi mereka belum mengenal
Dewi Kwan Im, yang mereka puja hanyalah Shakyamuni (Say
Kya Ji Lay Hud), yaitu Budha Gautama, yang sampay,
sekarang masih tetap dianggap sebagai makhluk Suci yang
tertinggi dan paling utama.
Namun kemudian Dewi Kwan Im lebih populer di kalangan
umat Budha dibandingkan dengan pendiri Budhisme itu. Baik
lelaki, perempuan maupun anak-anak pada memuja Dewi
Kwanlm, di samping Budha Gautama.
Setiap Vihara, entah untuk maksud apa didirikan, di situ pasti
disediakan tempat sembahyang (baik di ruang dalam maupun
di halaman) untuk arca Dewi Kwan Im. Semua ui ial Budlia
bukan saja sangat homiat, tapi sujud sekali kepada Kuan She
Yin Pu Sa. la merupakan Dewi Pelindung bagi kaum ibu, yang
pada umumnya mengharapkan dapat dikaruniai anak laki-laki.
Di dalam masyarakat Tionghoa di zaman kuno, pada umumnya
lebih mendambakan anak lelaki, yang dianggapnya dapat
memberi mereka keturunan langsung. Biarpun sampai
sekarang anggapan itu masih ada, tapi telahjauh berkurang dari
sebelumnya. Dewi Kwan Im juga melindungi orang yang bersedih,
memberkahi juga yang sedang menghadapi kesusahan. Itu
sebabnya, umat Budha tak pemah berhenti berdoa dan
bersujud kepada Dewi yang Maha Pemurah lagi Penyayang ini.
Kaum Budhis juga yakin benar, bahwa Dewi Kwan Im sering
kali menolong umat Budha yang sujud dari terjangan ombak
maupun badai, membuat Dewi yang satu ini lebih dihargai dari
Ma Co-po atau Thian Sian Seng Bo (Ratu dari Langit), yang
dipandang sebagai pelindung bagi nelayan maupun pelaut.
Bila terjadi kemarau panjang, banyak umat Budha yang
sembahyang pada Raja Naga (Hay Liong Ong) maupun pada
Giok Hong Siang Tee (lazim disebut Giok Tee saja, yang berarti
Maha-raja Dewata); tapi bila usaha mereka gagal, mereka
yakin, bahwa Dewi Kwan Im dapat membantu mereka dalam
memenuhi harapan mereka itu.
Pada umumnya para Dewa dan Dewi lainnya dihormati sekaligus ditakuti oelh manusia, tapi Dewi Kwam Im justeru amat
dicintai oleh umat Budha; ini dapat dibuktikan, bahwa rata-rata
arca Dewa (Toa-pe-kong) diciptakan dengan sikap yang
angker-bengis maupun perkasa, tapi arca Dewi Kwan Im selalu
memperlihatkan sikap yang sabar, keibuan, memancarkan sinar
mulia, memberi ketenangan jiwa bagi yang memandangnya.
la seakan selalu dekat dengan umatnya, maka tak
mengherankan kalau para penganut agama Budha merasa
akrab lengannya.
Menurut kepercayaan, takhta Dewi Kwan Im terletak di pulau
Pu To, Lam Hai (Laut Selatan), sering bepergian dengan
menginjak bunga teratai.
Sedang dalam cerita Sie Yu dikatakan, bahwa Takhta Dewi
yang Maha Pengasih, Penyayang lagi Pemurah ini terletak di
gunung Lo Cia-san.
Hal itu tidaklah saling bertentangan, sebab gunung Lo Cia-san
terletak di kawasan pulau Pu To juga, yang diambil dari ejaan
Sanskerta. Tapi oleh banyak penulis Tionghoa, tempat
bersemayamnya Kuan She Yin Pu Sa berada di Siang-san
(Gunung Harum), yang konon berasal dari tumpukan
Dupawangi. Oleh kaum Budhis, Kwan Im juga dijadikan simbol dari
kecantikan. Maka bila paras seorang gadis atau nyonya dikatakan seperti
Kwan Im, itu mempakan pujian paling tinggi bagi kecantikan
nya. Setiap tahunnya ada tiga hari suci untuk memperingati Dewi
Kwan Im, yaitu:
* Jie-gwee Cap-kauw (tanggal 19 bulan kedua menurut
penanggalan Tionghoa), yaitu memperingati tanggal lahimya
Dewi Kwan Im. * Lak-gwee Cap-kauw (tanggal 19 bulan keenam Imlek), untuk
memperingati Dewi Kwan Im mencapai kesempurnaan.
* Kauw-gwee Cap-kauw (tanggal 19 bulan kesembilan imlek),
untuk memperingati Dewi Kwan Im meninggaikan jasadnya.
Konon, menurut cerita, Dewi Kwan Im memiliki banyak macam
sifat dan wujud: Seperti Pangeran, Pendeta (Bikhu), Rahib
(Bikhuni), Pelajar dan sebagainya.
Ia biasa melanglang buana dan menyebarkan Dharma yang
mencerminkan sifat-sifat Welas Asih, sabar dan bijaksana.
Maka tidaklah mengherankan kalau banyak yang memuja dan


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sujud kepadanya, untuk meminta berkahnya, pertolongannya
dalam menyembuhkan penyakit, dalam mencari jodoh, bahkan
meminta kelarisan dalam usaha mereka!
Kuan Yin Te Tao
Dalam tahun ke 21 dari dinasti Kim Thian (Langit Emas),
negeri itu diperintah oleh Kaisar Ta Hao.
Amat besar kekuasaan kaisar Ta Hao, maksmur negaranya
berhubung melimpahnya hasil pertanian, juga pembayaran
upeti dari negeri jajahannya.
Sayangnya, perkembangan Negara yang begitu menkjubkan,
tidak di mbangi oleh pemerintahan yang bersih lagi berwibawa.
Kaisar Ta Hao seakan lupa diri, setiap hari hanya bersenangsenang dengan selir/ gundiknya yang cantik mempesona,
persembahan dari para menterinya yang korup.
Kemakmuran negeri Kim Thian hanya dapat dinikmati oleh
segelintir manusia yang kebetulan sedang berkuasa.
Hidup sebagian rakyat amat menderita akibat harus membayar
pajak yang kian hri kian tinggi, membuat keadaan mereka
seperti ayam yang kelaparan di lumbung padi.
Mulai timbul suara-suara yang tak puas terhadap ulah Raja
bersama para pembantunya yang hanya mementingkan
kesenangan sendiri.
Keadaan itu diketahui oleh Po Chia, seorang pemimpin di
Negara kecil yang bernama Shi Yu.
Walau kecil Negara itu, tapi berkat baiknya cara memerintah,
telah berhasil membangkitkan gairah usaha bagi rakyatnya,
yang membuat menjadi Negara yang maju dan kiam bertambah
kuat. Saat itu Po Chia, yang dikala kecilnya disebut Lo Yu,
menganggap telah tiba waktunya untuk menyerang dan
merebut Negara tetangganya yang makmur tapi salah urus itu.
Walau Negara Kim Thian sudah amat rapuh di dalamnya
akibat ulah raja dan sementara menterinya yang korup, tapi
masih terdapat beberapa menteri dan panglima yang tetap
setia pada kerajaan, minimal mereka tidak ingin tanah airnya
dijajah oleh Negara lain. Mereka inilah yang melakukan
perlawanan yang gigih, hingga tak mudah ditaklukkan oleh
pasukan Po Chia.
Setelah berperang selama tiga tahun, barulah Po Chia berhasil
menguasai seluruh negeri Langit Emas.
Po Chia mengganti nama Negara Kim Thian menjadi Sing Lin,
menobatkan dirinya sebagai Raja Miao Chuang, dibantu oleh
dua orang kepercayaannya, yaitu Chao Chen, yang
diangkatnya sebagai Perdana Menteri dan jenderal Chu Chieh,
yang diangkatnya sebagai Panglima Angkatan Bersenjatanya.
Sudah hamper tiga puluh tahun lamanya raja Miao Chuang
mempersunting wanita yang bernama Po Ya, yang kemudian
lebih dikenal sebagai Ratu Pao te.
Biarpun sudah sekian lama mereka menjadi suami istri, tapi
belum juga dikaruniai anak.
Setelah raja Miao Chuang naik tahta, dia menganggap
kehadiran anak mereka amat penting, yaitu untuk
menggantikannya menempati singgasana kerajaan Sing Lin.
Namun apa daya, rupanya yang Maha Kuasa belum juga
memberi mereka keturunan.
Yang paling cemas adalah ratu Pao Te, setiap hari tekun
beribadah. Sampai suatu malam, dia telah bermimpi bertemu dengan
orangtua yang menyatakan dapat membantunya memecahkan
kesulitannya. "Siapa sesungguhnya Kung kung (kakek)?" Tanya ratu Pao Te.
"Tak usah kau tahu siapa aku," ujar kakek itu, "Aku hanya
terharu campur kagum melihat kesujudanmu terhadap Thian
(Tuhan) ?".. katakanlah apa yang kau inginkan
sesungguhnya?"
"Saya mengharapkan dapat melahirkan anak laki-laki yang
akan menggantikan kedudukan suami saya sebagai raja Sing
Lin," ratu Pao Te mengutarakan maksudnya.
"Sulit, sebab akibat nafsu dari suamimu dalam merebut
kerajaan Kim Thian, telah menimbulkan banyak sekali korban,
ya tentara, juga rakyat yang tak berdosa."
"Tapi tolonglah saya Kung kung," ratu Pao Te memohon
dengan sangat, "Sebab percuma saja jerih payah suami saya
selama ini bila tak ada yang mewarisi takhtnya."
"Aku tak dapat membantu kalian."
"Tolonglah kami," amat mengharukan suara maupun sikap
sang ratu, "Kami takkan melupakan budi Kung kung."
"Aku tak mengharapkan imbalan apa-apa dalam membantu
seseorang, tapi ketahuilah Po Ya (nama kecil ratu Pao Te),
bahwa sesungguhnya aku tak dapat membantu kalian."
Sang ratu menunduk sedih, tak bersuara lagi, bagaikan orang
yang telah putus asa.
Orang tua itu terharu menyaksikan sikap sang ratu, berkata
perlahan, "Atau begini saja ?"."
"Masih ada jalan lain Kung kung?", potong ratu Pao Te segera,
mulai timbul lagi harapan di hatinya.
"Aku sendiri tidak berani menjamin, bahwa kau akan berhasil,"
tetap perlahan suara orang tua itu, "Tapi tak ada salahnya kau
coba." "Biarpun seandainya saya harus mengarungi lautan api, akan
saya tempuh juga," ucap ratu.
"Tidak seberat itu Po Ya," ujar kakek, "Tapi cobalah kau
meminta suamimu bersembahyang di gunung Hoa san, untuk
minta diampuni atas segala perbuatannya yang telah
menimbulkan begitu banyak korban jiwa. Mungkin dewa
penunggu gunung disana yang terkenal murah hati, bersedia
membantu kalian dalam memperoleh keturunan, yang akan
mewarisi takhta suamimu."
Begitu selesai berkata, orangtua itu langsung lenyap dari
hadapan sang ratu.
Ratu Pao Te terjaga dari tidurnya.
Segalanya masih jelas terbayang dalam benaknya, seakan
bukan terdapat dalam mimpi, tapi dalam dunia nyata.
Keesokan harinya sang ratu menceritakan mimpinya itu
kepada raja. Raja Miao Chuang berpendapat, tak ada salahnya bila mereka
melakukan pesan kakek yang berada dalam mimpi
permaisurinya. Ia langsung memanggil Chao Chen, Perdana
Menterinya, memerintahkannya untuk mengirim dua pejabat
penting ke Vihara di gunung Hoa san.
Caho Chen segera menyiapkan pesan junjungannya,
mengutus dua orang pembantunya, His Heng Nan dan Chi Tu,
mengundang sekitar 50 Bikhu (Hweeshio) untuk berdo"a
selama tujuh hari tujuh malam di Vihara gunung Hoa san, agar
raja Miao Chuang dikaruniai puera mahkota oleh Thian.
Begitu pembacaan do"a usai, raja Miao Chuang akan dating
pula bersembahyang di vihara tersebut.
Utusan dari raja Miao Chuang membawa barang-barang yang
amat berharga lagi indah untuk sesajian dalam sembahyang
minta dikaruniai putera mahkota.
Sekama tujuh hari tujuh malam Vihara itu penuh di si oleh
suara lonceng, tambur yang dipukul bertalu-talu, ditambah lagi
dengan irama tabuan lainnya, yang berbaur dengan suara do"a
para Bikhu. Seusai sembahyang masal itu, sesuai dengan janjinya,
datanglah raja Miao Chuang yang didampingi oleh
permaisurinya, mempersembahkan sajian yang dibawa untuk
dewa penunggu gunung Hoa san.
Namun dewa penunggu gunung itu ternyata telah arif, bahwa
sang raja telah dihukum oleh Thian, untuk seumur hidupnya
takkan mempunyai keturunan, karena telah menimbulkan
banyak korban yang tak berdosa akibat peperangan yang
dilancarkannya selama tiga tahun lamanya.
Akan tetapi berhubung para Bikhu telah ikut berdoa dan
memohon ampun bagi sang raja, disamping raja Miao Chuang
sendiri telah datang langsung sambil mempersembahkan sajian
ke Vihara di gunung itu, membuat sang dewa penunggu
gunung yang memang terkenal murah hati itu, tak dapat
menolak mentah-mentah permohonan tersebut.
Maka kemudian diusahakan untuk menempuh jalan tengah,
menitahkan dua orang pembantunya : Chien Li Yen (Chian Li
Gan, si mata yang dapat memandang seribu Li jauhnya) dan
Suen Feng Erl (Sun Hong Ji, si telinga yang tajam
pendengarannya), untuk melakukan pemeriksaan kalau-kalau
ada orang yang baik yang akan lahir di dunia.
Kedua utusan sang dewa langsung berangkat dan tak lama
kemudian telah kembali, melaporkan bahwa di desa Chih shu
yuan, dalam wilayah India, hidup Shih Wend an Shih Chin dua
bersaudara, yang terkenal baik lagi rajin dalam beribadah
selama tiga turunan.
Pada suatu ketika, rumah keluarga Shih telah didatangi oleh
Wang Che bersama beberapa puluh anak buahnya.
Wang Che adalah kepala perampok yang sering beroperasi di
perbatasan India dan Tiongkok. Suatu ketika sarang Wang Che
diobrak-abrik oleh tentara kerajaan Hindu. Banyak sekali anak
buah Wang Che yang tewas akibat serangan tersebut, tapi
Wang Che sendiri dapat meloloskan diri bersama 30 orang
anak buahnya. Dalam buronannya itu, Wang CHe telah kehabisan ransom,
membuat mereka hamper mati kelaparan.
Wang Che menemui Shih Wen, meminta makanan untuk
mereka. Namun Shih Wen bersama saudarnya, karena tahu yang
datang adalah gerombolan penjahat, mereka keberatan
menyediakan makanan, dengan alas an, untuk makan mereka
sendiri saja sudah sulit. Mereka mengharapkan Wang Che
bersama anak buahnya mati kelaparan, dengan begitu para
petani dan rakyat lainnya akan bebas dari gangguan kawanan
penjahat itu. Penolakan itu membuat Wang Che dan anak buahnya jadi
nekad, sebab mereka menyadari, bila tak segera mendapat
ransom. Mereka akan mati kelaparan.
Untuk merampok keluarga Shih, dilihatnya kehidupan mereka
memang amat bersahaja bila tak dapat dikatakan miskin, tak
ada barang yang berharga yang bisa digasak.
Maka kemudian Wang Che menjatuhkan pilihannya pad
keluarga Tai, yang terkenal sebagai hartawan di desa itu.
Akibat serbuan Wang Che bersama anak buahnya, bukan saja
harta keluarga Tai digasak, para penghuninyapun dibantai
malah kaum wanitanya terlebih dulu diperkosa sebelum
dibunuh. Tak seorangpun yang dibiarkan hidup dan rumahnya
juga dibakar sampai rata dengan tanah.
Dewa penunggu dari tempat itu, Tu Ti Kung (Tou Tee Kong =
Toa Pe Kong tanah) segera melaporkan kejadian itu kepada
Giok Tee. "Keluarga Shih Wen selama tiga turunan amat taat
menjalankan perintah agama, tapi sekali ini di luar
kesadarannya, mereka telah melakukan kesalahan besar," ujar
Giok Tee, "Memang perbuatan keji itu dilakukan oleh Wang
Che dan anak buahnya dan ini tak dapat diampuni, akan tetapi
kedua saudara Shih juga tak dapat terhindar dari hukuman,
sebab merekalah yang menjadi penyebab dari peristiwa
tersebut. Sebab, dengan menolak memberi makan kepada para
perampok itu, telah mengakibatkan Wang Che dan anak
buahnya jadi nekad untuk merampok, bahkan membantai
keluarga Tai di desa itu.
Bukankah ini berarti Shih Wend dan Shih Chin telah
mendorong orang melakukan kejahatan" ".. Maka kedua
saudara itu harus ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
langit, agar tidak lagi dapat melihat terangnya sinar matahari.
Sedangkan Wang Che dan anak buahnya harus dihukum
dalam neraka!"
Berselang beberapa waktu sejak terjadinya perampokan dan
pembantaian keluarga Tai oleh Wang Che dan anak buahnya,
Shih Wen dan adiknya jatuh sakit dan meninggal dunia tak
lama kemudian. Roh mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara
langit. Selesai melaksanakan tugas, Dewa yang diutus oleh Giok Tee
telah berkunjung ke gunung Hoa san untuk menemui Dewa
Penunggu gunung itu, yang merupakan sahabat karibnya.
"Sungguh kebetulan kedatanganmu", Dewa dari gunung Hoa
san gembira bertemu dengan sahabatnya, "mungkin kau dapat
membantu memecahkan kesulitan yang sedang kuhadapi".
"Soal apa?", Tanya utusan Giok Tee itu.
"Begini " ". Dewa gunung Hoa san menceritakan duduk
soalnya. "Bila kau merasa berhutang budi pada Raja Maio Chuang,
berhubung dia telah menyelenggarakan sembayang besar
besaran di Viharamu, hingga membuatmu sulit untuk menolak
permohonannya untuk memperoleh putera mahkota, maka
sebaiknya kau minta bantuan Giok Tee, agar mengampuni
kesalahan Shih bersaudara, supaya mereka dapat dilahirkan
kembali ke dunia fana melalui rahim Ratu Pao Te, hingga dapat
menikmati cerah dan hangatnya cahaya matahari lagi".
Dewa dari gunung Hoa san menganggap saran temannya
cukup beralasan.
"Akan kucoba".
Lalu berangkatlah dia ke istana Langit untuk menghadap Giok
Tee. Giok Hong Siang Tee telah maklum akan kedatangan Dewa
dari Hoa san tersebut, namun sebagai pemimpin yang arif
bijaksana, dia sengaja tidak mengemukakannya.
Setelah Dewa dari gunung Hoa san selesai melaporkan
pelaksanaan tugas yang diberikan kepadanya, sekaligus
menceritakan juga mengenai persembahan yang melimpah
dalam melakukan sembayang dari Raja Maio Chuang, yang
mengharapkan dapat memperoleh putera mahkota.
"Tak perlu kita penuhi permintaannya itu", kata Giok Tee
seusai mendengar cerita pembantunya.
"Ampun Baginda, bukannya saya lancing", kata Dewa dari
gunung Hoa san dengan sikap hormat benar, "sesungguhnya
memang tak perlu diluluskan permohonannya itu, sebab ulah
Miao Chuang yang sangat mendambakan kekuasaan itu telah
mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Namun begini, dia
masih memiliki sifat baik, cukup taat kepada agama, terutama
istrinya, Pao Te. Maka saya mengharapkan Baginda sudi
mempertimbangkan permintaanya".
Giok Tee diam.

Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, dewa dari gunung Hoa san berkata lagi, "Saya
dengar, belum lama berselang ada dua orang Shih bersaudara
yang karena penolakannya terhadap permintaan pemimpin
perampok, telah mengakibatkan keluarga Tai jadi korban
kebuasan Wang Che dan anak buahnya. Memang Shih
bersaudara boleh dikatakan sebagai penyebab dari
pembantaian tersebut, tapi hal itu dilakukan di luar sadar
mereka. Mengingat pula nenek moyang mereka telah begitu
taat menjalankan perintah agama, maka saya sangat
mengharapkan Baginda sudi mempertimbangkan kembali
keputusan sebelumnya, dengan memberi kesempatan pada
mereka untuk dilahirkan kembali ke dunia, agar mereka dapat
menebus kesalahan sebelumnya".
"Sebenarnya Shih Wen dan Shih Chin harus menjalani
hukuman untuk beberapa waktu baru dapat dibebaskan. Tapi
dengan menimbang usulmu itu, juga menginagt kesujudan
leluhurnya, akan kuberi kesempatan pada mereka untuk
dilahirkan kembali ke dunia, tidak lagi berjenis kelamin pria, tapi
sebagai wanita. Dengan begitu sekaligus telah memenuhi
harapan Miao Chuang dank au tak perlu merasa berhutang
budi lagi pada Raja Sing Lin tersebut, yang telah
bersembayang dengan sajian melimpah serta kesujudan istri
Miao Chuang".
"Kenapa tidak dilahirkan sebagai laki-laki saja, Baginda?".
"Tidak bias, sebab bila kita penuhi hasratnya itu, bukan saja
takkan menghilangkan nafsu Miao Chuang yang haus akan
kekuasaan, begitu pula dia akan berkesimpulan bahwa untuk
memperoleh sesuatu, cukup dengan menyodorkan sajian yang
melimpah, permintaannya tentu akan terpenuhi. Kesan
demikian akan meluas ke umat lainnya, yang dapat
mengakibatkan manusia di dunia akan berlomba mencari
kekayaan tanpa menghiraukan ada fihak lain yang dirugikan
bahkan dihancurkan! Dan orang-orang yang punya uang, akan
berbuat sewenang-wenang memuaskan nafsu serakahnya, tak
takut berbuat dosa, toh mereka berpendapat, dosanya itu dapat
ditebus dengan kekayaan, dengan mempersembahkan sajian
yang melimpah kepada kita. Bila sudah demikian halnya, siapa
lagi yang akan memperdulikan larangan agama dan dunia akan
jadi kacau dan tambah banyak umat yang benar-benar taat
menjalankan perintah agama yang menderita hidupnya. Dan
pada gilirannya nanti, mereka juga akan berbuat seperti orang
lainnya, menjadi rakus, kejam dan mendewakan uang! Semua
orang akan berpendapat : tolol sekali manusia yang tak sudi
ikut gila di dunia yang edan ! Manakala sudah demikian
keadaannya, dimana lagi kewibawaan kita sebagai Dewa?".
Dewa dari gunung Hoa san tak bersuara lagi, menganggap
ucapan Giok Tee tepat sekali.
Giok Hong Siang Tee segera memerintahkan Dewa dari Kutub
Utara untuk membebaskan kedua orang bersaudara tersebut
dan membawa mereka ke istana Raja Miao Chuang.
Setiap tahun mereka akan lahir ke dunia melalui rahim Ratu
Pao Te. Sesuai dengan kehendak Giok Tee, tak lama kemudian, Raja
Miao Chuang telah mendengar kabar, bahwa Permaisurinya
mulai mengandung.
Betapa suka cita dia, dipanggilnya tabib yang baik untuk selalu
memeriksa kandungan permaisurinya.
Disamping itu, tak lupa dia mengadakan sembayang sebagai
puji syukur terhadap Thian yang telah mengabulkan
harapannya. Dia pun mulai sembayang, bahwa akan dididik anaknya sebaik
mungkin, dalam soal Bun (surat) maupun Bu (silat), agar
nantinya, bila telah mewarisi tahtanya, menjadi raja yang gagah
lagi disegani lawan.
Namun agak kecewa hatinya ketika yang lahir kemudian
adalah anak perempuan.
Tapi ia masih dapat bersabar, sebab sebelumnya dirinya telah
diramalkan oleh seorang pendeta yang menyatakan akan
memperoleh beberapa orang anak.
"Mungkin anak berikutnya laki-laki", kata hatinya.
Anak pertamanya diberinya nama Miao Yuan yang berarti awal
yang indah. Sang Raja tambag uring-uringan ketika lahir anak keduanya,
yang ternyata perempuan lagi.
Percuma saja aku telah berjuang mati-matian untuk
memperoleh kekuasaan sekarang ini bila tak ada yang dapat
mewarisi kedudukanku, keluhnya kepada Chao Chen, Perdana
Menterinya yang setia.
"Sabar baginda, mungkin di tahun berikutnya paduka akan
memperoleh apa yang diharapkan", hibur Chao Chen.
"Tapi usiaku sekarang sudah limapuluhan , ibarat matahari
telah condong ke barat. Siapa yang akan mewarisi takhta
kerajaanku bila aku sudah tiada nanti?"
"Itu sudah menjadi kehendak yang Maha Kuasa, manusia
takkan mampu merubahnya", kata Chao Chen "namun begitu,
kita tak boleh berputus asa. Marilah kita tetap berusaha dengan
disertai do"a, siapa tahu putera Paduka berikutnya laki-laki.
Agak berkurang kekecewaan sang Raja, mau juga dia
mendengar saran Perdana Menterinya itu, bersabar menanti
tahun berikutnya.
Tak kurang gelisahnya adalah ratu Pao Te, sebab pada zaman
itu, pandangan masyarakat lebih mementingkan anak laki-laki
daripada anak perempuan. Mereka berpendapat, bahwa anak
laki-laki akan memberinya keturunan langsung, meneruskan
Marga (She)-nya. Dan bagi seorang raja, hal itu lebih penting
lagi, sebab putera mahkotalah yang akan selalu meneruskan
dinastinya. Berbagai cara telah diusahakan sang Permaisuri agar dapat
memperoleh anak laki-laki.
Ia tambah banyak beramal ibadah, Cia cai (tak makan segala
sesuatu yang bernyawa) pada Ce it dan Cap go (tanggal 1 & 15
menurut penanggalan Imlek/ Tionghoa), seperti yang
disarankan oleh Kun su (penasehat kerajaan). Tak lupa pula ia
mengheningkan cipta pada saat-saat tertentu.
Di pihak lainnya, Raja Miao Chuang yang ingin sekali
mempunyai putera Mahkota, jadi agak membengkalaikan tugas
negara, pemerintahan sehari-harinya diserahkan kepada para
menterinya. Praktis selama beberapa tahun belakangan ini para menteri
dan pembantu-pembantunya yang menjalankan roda
pemerintah kerajaan Sing Lin.
Kesempatan itu dimanfaatkan oleh beberapa orang menterinya
yang berhati serong dan korupsi.
Perbuatan yang tak terpuji itu ditiru pula oleh para
bawahannya. Dengan kian merajalelanya penyalahgunaan kekuasaan,
membuat kehidupan rakyat kian menderita.
Bagi pejabat yang mata keranjang, kesempatan itu digunakan
juga untuk memperbanyak istri muda/ gundiknya.
Bertambah malanglah nasib wanita.
Tapi laporan yang sampai kepada raja selalu yang
menyenangkan saja.
Keadaannya jadi tak jauh beda dengan masa pemerintahan
Kaisar Ta Hao dari dinasti Kim Thian sebelum dikalahkan oleh
raja Miao Chuang.
Padahal yang sesungguhnya terjadi, semakin merajalelanya
dekadensi moral, lunturnya kepercayaan terhadap agama.
Cinta kasih dan kebijaksanaan telah dicampakkan jauh-jauh ,
kebenaran dan kejujuran tak lagi dipusingkan orang..
Dewi Che Fang yang bersemayam di istana Ta Lo agak
gelisah sikapnya.
Ta Lo adalah tempat bersemayamnya para Dewa/ Dewi
(Kayangan atau surga Tushita).
Biasanya bila sang Dewi berperasaan demikian, suasana di
alam fana (dunia) pasti telah terjadi hal-hal yang kurang beres.
Melalui kesaktiannya sang Dewi telah berhasil meneropong
dunia, disaksikannya, betapa menderitanya sebagian besar
rakyat di kerajaan Sing Lin, terutama kaum wanitanya, akibat
ulah sementara pejabat kerajaan yang rakus.
Sebagai Dewi yang berhati welas asih, amat iba Dewi Che
fang menyaksikan segalanya itu.
Setelah mempertimbangkan sesaat, diputuskannya untuk turun
ke bumi, menjalani kehidupan sebagai manusia biasa, untuk
memberi penerangan "Tri Ratna" (tiga mustika) yaitu Budha,
Dharma dan Sangha, agar mereka terhindar dari kebodohan
dan kesesatan serta ketamakan. Terutama untuk kaum
wanitanya, yang lebih mementingkan materi. Demi harta,
mereka banyak yang menempuh jalan pintas. Ibu ibu rela
melepaskan bahkan menjual anak gadisnya pada orang kaya
untuk dijadikan gundik bahkan pelayan. Sedangkan wanita
wanita muda banyak yang terjerumus ke lembah hitam, tak
segan segan menjual diri demi memperoleh banyak uang
dalam waktu singkat.
Kaum pria pun sudah semakin banyak yang tak bermoral :
korupsi, menghalalkan segala cara demi tercapainya
maksudnya; perbuatan sadis kian meningkat.
Dewi Che Fang segera menghadap Giok Tee, menceritakan
maksudnya kepada Maha Raja Dewata itu.
"Sudah kau fikirkan masak-masak maksudmu itu?", tanya Giok
Tee. "Sudah baginda", sahut Dewi Che Fang segera, "hamba rela
mengorbankan diri demi ketenangan dunia, agar tenteram
hidup manusia disana. Tidak seperti sekarang ini, sebagian
besar dari mereka telah dirasuki oleh iblis, yang mendorong
mereka lebih mendambakan uang dan kekuasaan dari pada
ajaran agama. Akibatnya dosa kian menumpuk, moral semakin
bejad, yang bila dibiarkan berlarut-larut akan menambah
banyaknya manusia yang harus dijebloskan ke neraka".
"Baiklah kalau itu memang sudah menjadi tekadmu", kata Giok
Tee, "tapi dalam penitisanmu itu, kau akan mengalami
penderitaan yang amat sangat sebelum dapat tercapai
maksudmu itu".
"Hamba sudah siap menjalankan segalanya itu Baginda", kata
sang Dewi, "yang penting bagi hamba dapat menyadarkan
manusia dari kesalahan/ kesesatannya dengan berpedoman
kepada Dharma".
"Bagus, memang sudah menjadi tugas kita sebagai Dewa/
Dewi untuk menyadarkan manusia dari kesalahan dan
dosanya, mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, agar
kepada yang sudah bertobat dan tekun menjalani ajaran agama
dapat memperoleh keberuntungan dan kebahagiaan,
disamping ketenangan juga berbakti kepada orang tua, yang
pada akhirnya masuk ke dalam surga".
"Demikianlah yang menjadi harapan hamba, Baginda".
"Ya", Giok Tee mengangguk, "sudahkah ada pilihan pada
keluarga mana kau akan menitis?".
"Menurut penglihatan "mata bathin" hamba, kiranya untuk saat
ini yang paling tepat hamba menitis ke dunia melalui rahim Ratu
Pao Te, sebab Permaisuri dari raja Miao Chuang itu amat
mengharapkan dapat memperoleh anak yang ketiga , seorang
putera mahkota, yang akan mewarisi takhta kerajaan Sing Lin.
Tapi berhubung perbuatan Miao Chuang sebelumnya telah
menimbulkan banyak korban yang tak berdosa, membuatnya
ditakdirkan tak dapat memiliki anak laki laki, itu sebabnya
hamba kira cocok untuk menitis sebagai puteri bungsunya.
Bagaimana pendapat baginda ?".
"Baiklah", Giok Tee mengangguk, "kapan kau akan
menjalankan tugasmu?".
"Secepat mungkin baginda".
"Perlu membawa sesuatu, agar bila sedang menghadapi
kesulitan dapat segera meminta tolong para Dewa?"
"Tak usah baginda, biarlah hamba lahir sebagai manusia
biasa", kata sang Dewi, "hamba yakin akan dapat mengatasi
segala kesulitan".
Ratu Pao Te hampir putus asa, walaupun dia tak pernah
melupakan sembahyang, tapi biarpun sampai anak keduanya,
Miao Yin berumur tig tahun, tetap belum ada tanda tanda kalau
dirinya akan hamil lagi.
Raja Miao Chuang sendiri sudah semakin uring-uringan karena
belum juga bisa memperoleh putera mahkota, walau dia telah
berikhtiar kian kemari.
Gundik/ selirnya pun tak ada yang melahirkan putera untuknya.
Dia semakin tak mengacuhkan soal pemerintahan. Kerjanya
hanya mencari tabib yang pandai ataupun berziarah ke tempat
tempat yang dianggap keramat.
Kian leluasalah para pembantunya melakukan penyelewengan
dan tambah menderitalah kehidupan rakyat di kerajaan Sing Lin
itu. Sampai pada suatu malam, dalam lelapnya tidur Ratu Pao Te
telah bermimpi, bahwa ketika dirinya sedang duduk di taman
Musim Semi, tiba tiba seperti melihat ada cahaya yang amat
cemerlang yang turun dari langit dan jatuh ke pangkuannya.
Seketika ratu Pao Te terjaga dari tidurnya, memikirkan makna
dari mimpinya itu.
Namun bagaimanapun dia mereka reka, tetap tak berhasil
memecahkan makna dari mimpinya itu.
Sampai fajar menyingsing, dia tak dapat lagi memejamkan
matanya. Pagi pagi sekali ia telah menemui suaminya dan menceritakan
mimpinya semalam.
Raja Miao Chuang juga tak tahu maknanya, maka
dipanggilnya penasehat kerajaan dan meminta pendapatnya.
Sang penasehat menyarankan agar meminta pendapat Bikhu
Thian It, orang yang pandai memecahkan soal mimpi.
Thian It Taysu menerangkan : "Menurut yang hamba ketahui,
bila seseorang bermimpi kejatuhan sinar terang ke dalam
pangkuannya, orang itu akan melahirkan anak yang baik, yang
akan memberikan "terang" kepada keluarganya".
"Benarkan demikian Taysu?", tanya raja Miao Chuang, seakan
masih ragu terhadap ramalan itu.
"Biasanya demikian", sang bikhu mengangguk, "bila ternyata
sri Ratu berbadan dua nanti, putera yang dilahirkan akan
membuat kerajaan Paduka bertambah cemerlang".
"Mudah mudahan saja demikian".
Dan betapa suka citanya raja Miao Chuang ketika beberapa
waktu berselang, Permaisurinya ternyata benar benar hamil
lagi. Langsung saja dia mengadakan sembahyang besar besaran,
sebagai pengungkapan rasas syukurnya kepada Thian yang
Maha Kuasa, bahwa dirinya akan dikaruniai keturunan lagi.


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam benak raja merasa yakin, bahwa anak yang akan lahir
tentulah berjenis kelamin laki-laki, yang akan jadi putera
mahkota yang akan mewarisi singgasananya.
Ratu Pao Te tak kurang pula suka citanya.
Alangkah kecewanya perasaan raja Miao Chuang ketika
anaknya lahir, yang ternyata perempuan lagi.
"Kenapa semalang ini nasibku?", ratu Pao Te sedih sekali.
Tiada terlihat tanda tanda yang luar biasa menjelang anak itu
dilahirkan. Padahal sebelumnya raja Miao Chuang telah mendengar dari
orang pandai, bahwa sesaat akan lahirnya anak luar biasa di
dunia, sayup sayup akan terdengar suara musik yang merdu
dan ruang tempatnya lahir akan harum semerbak.
"Segala ramalan itu dusta", kata sang raja dengan geramnya,
"kelahiran puteriku yang ketiga ini sama sekali tak didahului
tanda tanda yang luar biasa, sama saja dengan kedua
kakaknya".
Segera dipanggil Chao Chen.
"Kau merupakan salah seorang kepercayaanku dan hampir
semua persoalan baik yang menyangkut segi pemerintahan
maupun pribadi kurundingkan denganmu, hingga kau tahu
sampai hal-hal yang terkecil dalam persoalan pribadiku", kata
sang Raja setelah bawahannya menghadap.
"Benar baginda", Chao Chen mengangguk, "ada tugas baru
yang harus hamba laksanakan segera, paduka Raja?".
"Bukannya tugas, tapi kali ini ada sesuatu yang ingin
kuperbincangkan denganmu", sabda raja Miao Chuang.
"Persoalan apa, baginda?".
"Seperti kau ketahui, bahwa selama ini aku amat
mendambakan seorang putera mahkota, tapi kenyataannya
yang lahir selalu perempuan. Siapa yang akan mewarisi
kedudukanku nanti, sebab usiaku telah bertambah lanjut?".
"Sabar baginda, mungkin sekarang ini Thian belum berkenan
untuk memberikan putera mahkota, siapa tahu di tahun tahun
berikutnya akan lahir seorang putera mahkota, seperti yang
baginda harapkan".
"Kurasa kecil sekali kemungkinannya", raja Miao Chuang
menggeleng lesu. "Tampaknya akan sia sia perjuanganku
selama ini, sebab dinasti Sing Lin akan putus sampai disini
saja". "Tak seorang pun yang kuasa untuk merubah takdir", kata
Chao Chen dengan nada menghibur, "memangbenar sampai
saat ini Thian belum mempercayai paduka untuk memiliki
seorang putera mahkota, tapi bukankan paduka telah dikaruniai
tiga orang puteri yang cantik cantik lagi cerdas" Biarpun
menurut hukum adat kita, wanita masih belum di zinkan untuk
memimpin pemerintahan, tapi hendaknya janganlah paduka
cepat cepat berputus asa. Andai kata hamba hanya
mengatakan, andai kata, sampai nanti Thian belum juga
berkenan memberikan seorang putera mahkota kepada
Baginda, tetap masih ada jalan keluarnya!".
"Apa jalan keluarnya?", tanya sang raja segera.
"Begini baginda", Chao Chen terus berusaha menghibur
rajanya, "setelah ketiga puteri paduka dewasa nanti, kita dapat
mencarikan pasangan hidup bagi mereka. Dari ketiga menantu
itu dapat paduka pilih salah seorang dari mereka, siapa kira kira
yang paling tepat untuk menempati singgasana Sing Lin.
Hamba kira takkan ada yang berani menentang keputusan
paduka". "Akan kupertimbangkan saranmu", raja mengangguk,
"sekarang kau boleh kembali melaksanakan tugasmu sehari
hari". Sepergi Chao Chen, raja memanggil Lie Pai yang menjadi
penasehat kerajaan.
Saran Lie Pai pada dasarnya sama dengan yang diungkapkan
Chao Chen, mengharapkan sang raja pasarah pada kehendak
Thian yang maha kuasa.
Mulai tenanglah perasaan raja Miao Chuang.
"Menurutmu, nama apa yang tepat bagi puteriku yang ketiga
ini?", tanya raja kemudian pada penasehat kerajaan itu.
Lie Pai berdiam diri untuk beberapa waktu seakan sedang
mencari nama terbaik bagi puteri junjungannya.
Selang beberapa saat barulah dia berkata "Puteri pertama
paduka bernama Miao Yuan (awal yang indah), yang kedua
Miao Yin (suara yang indah), bagaimana kalau yang ketiga ini
baginda namakan Miao Siang (harum lagi bijaksana)?".
"Nama yang cukup baik, tapi apakah sifatnya akan demikian
pula?". "Begitu puteri baginda yang ketiga ini lahir, hamba sudah
langsung membuat Peh jie nya, kalau hamba tidak salah
hitung, akan demikianlah jalan nasibnya", Lie Pai mengangguk
penuh keyakinan.
"Baiklah akan kunamakan dia Miao Siang!", sang raja langsung
menyetujuinya. Sejak lahir, Miao Siang telah memperlihatkan tanda tanda
yang luar biasa, dia tak mau minum air susu ibunya maupun
susu sapi atau susu perahan binatang lainnya.
Keadaan ini telah membuat orang tuanya bingung, malah ratu
Pao Te jadi panik campur sedih.
Raja Miao Chuang segera memanggil tabib ahli untuk
memeriksa kesehatan puterinya.
Hasil pemeriksaan tabib menyatakan bahwa kesehatan Miao
Siang sangat baik.
Kemudian sang tabib menyarankan agar bayi luar bisa itu
diberi saja air putih dan sari buah buahan yang dicampur
dengan sedikit sari sayuran. Dengan catatan makanan itu harus
disaring halus dan bersih benar.
Raja Miao Chuang menurut petunjuk sang tabib dan ternyata
bayi itu mau memakannya.
Kian tambah usianya, kain jelas terlihat bahwa Miao Siang
hanya mau makan sayuran dan buah buahan saja (Cia cai).
Sifatnya itu amat berbeda dengan kedua kakaknya.
Kalau Miao Yuan dan Miao Yin sangat manja dan angkuh,
sebaliknya Miao Siang amat sopan dan penuh belas kasih,
sering ia memberikan sesuatu kepada orang yang
membutuhkannya, baik itu merupakan makanan, uang maupun
benda benda lain miliknya yang cukup berharga.
Sering dia diolok olok oleh kedua kakaknya, "Tolol benar kau
bukannya kau makan dan pakai sendiri malah diberikan kepada
orang lain".
"Mereka jauh lebih membutuhkan daripada kita kak", kata Miao
Siang, "dari pada makanan yang berlebihan itu di buang kan
lebih baik diberikan kepada orang yang membutuhkannya".
"Tapi kenapa mainan dan barang barangmu lainnya kau
berikan juga kepada orang lain?", tanya Miao Yuan.
"Saya kasihan melihat anak anak orang miskin itu kak, mereka
tak mampu membeli mainan seperti kita, maka apa salahnya
kalau kita berikan sebagian mainan dan pakaian kita yang
berlebihan kepada mereka?".
"Goblok!", maki Miao Yuan, "nanti akan kulaporkan kepada
ayah, biar dihajar kau!".
raja Miao Chuang sering menasehati puteri bungsunya agar
jangan terlalu menghambur hamburkan sesuatu.
"Apa salahnya kita memberikan sesuatu yang berlebihan
kepada orang yang amat membutuhkan ayah?", Miao Siang
coba membela diri.
"Memang tak salah tapi bila suatu krtika kau sendiri
membutuhkan barang dan makanan itu sudah habis".
"Ampuni saya ayah, yang saya butuhkan bukan lah sekedar
untuk kesenangan luar saja, tapi juga santapan bathin".
"Bila itu yang kau inginkan, sering seringlah kau membaca
Keng (Sutra) untuk menambah pengetahuanmu!", raja
menyarankan, "nanti akan kuperintahkan gurumu untuk
menyediakan bacaan/ sutra yang kau butuhkan itu".
Otak Miao Siang sangat cerdas, setiap kali selesai membaca
kitab selalu di ngatnya di luar kepala, terutama pelajaran yang
termuat dalam kitab suci, yang membuatnya jadi tambah halus
budi pekertinya, welas asih dan selalu terarah tutur katanya,
membuatnya jadi amat disukai bahkan disegani dalam
kalangan pembantu rumah tangga istana.
Sering kedua kakaknya mengolok dan menghinanya, tapi Miao
Siang menerimanya dengan penuh ketabahan, sabar lagi
bijaksana, yang membuat kedua kakaknya akhirnya jadi malu
sendiri. Namun begitu, baik Miao Yuan maupun Miao Yin tiada
bosannya mengolok dan menghina adiknya.
Biarpun acapkali menerima perlakuan buruk dari kedua
kakaknya, tapi Miao Siang tak pernah mengadu kepada orang
tuanya. Sebaliknya baik Miao Yuan maupun Miao Yin tak jarang
menjelek jelekkan Miao Siang pada orang tua mereka,
membuat Miao Siang sering dinasehati bahkan dimurkai baik
oleh ayah maupun ibunya, tanpa tahu dimana sebenarnya letak
kesalahannya. Sesungguhnyalah ia jarang membantah setelah tahu, bahwa
segalanya itu karena ulah kedua kakaknya.
Ia tambah giat mempelajari, menghayati dan mengamalkan
apa yang terkandung dalam kitab suci, sedangkan kedua
kakaknya lebih mementingkan soal kesenangan dunia dari
pada mengisi serta memperkaya nilai nilai rohaniah.
Miao Siang seakan tumbuh sebagai remaja yang sangat
bertolak belakang dengan kedua kakaknya.
Hidupnya sangat sederhana, amat beda dengan kedua
saudaranya yang selalu menyolok dandanannya dan kalau saja
masih memungkinkan, ingin kiranya seluruh tubuhnya dihiasi
dengan emas dan ratna mutu manikam. Sebaliknya bagi Miao
Siang seandainya tidak terikat dengan peraturan rumah tangga
istana, pakaian yang dikenakannya tentu akan lebih sederhana
lagi sama sekali tanpa mengenakan perhiasan.
Namun pribadinya lebih disegani oleh para sahaya
dibandingkan dengan kedua kakaknya.
Hal itu telah menambah iri hati kedua saudaranya. Tapi
dengan telah semakin meningkat usianya baik Miao Yuan
maupun Miao Yin, tak lagi terang terangan memperlihatkan
sikap iri mereka lagi.
Sering mereka bertanya pada adik bungsunya, "Kenapa kau
tidak memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan keluarga kita
untuk bersenang senang dan melapis tubuh kita dengan yang
terbaik, agar orang akan selalu memuji kecantikan dan
keberuntungan kita?".
"Tak baik kita selalu menyombongkan diri dengan
memamerkan kelebihan kita".
"Benar benar tolol kau", kata Miao Yuan dengan nada
mengejek, "setiap orang terutama kaum wanita selalu
mengharapkan dirinya lebih menonjol dari orang lain, mendapat
pujian baik soal dandanan maupun raut wajah, body serta
kekayaannya".
"Kau memang orang yang tak dapat menikmati rejeki,
kesempatan ada, tapi telah kau sia siakan", menimpali Miao
Yin, "lihat aku nih, selalu mengenakan yang terbaru dan terbaik!
Semua orang akan memperhatikan bila aku lewat di depannya,
terutama kaum prianya".
"Apalah gunanya kita memamerkan keadaan luar, yang
penting kan pengisian jiwa kita Percuma saja hidup kita
bergelimang harta bila jiwa kita tak tenang. Biasanya bagi
orang yang mementingkan harta benda, akan selalu gelisah
dirinya karena kuatir disaingi oleh pihak lain dan juga
menyadari memiliki kekurangan".
"Menghina ya kau?", Miao Yin melotot.
"Saya sama sekali tidak bermaksud menghina kak Yin, tapi
memang begitulah kenyataannya", ujar Miao Siang. "Apalah
artinya harta, kekuasaan dan kemuliaan" Semua itu hanyalah
bersifat sementara. Biar bagaimana berkuasa dan kayanya
seeorang di dunia ini, toh tidak akan dapat dipertahankan untuk
selama lamanya. Sebab orang itu makin hari makin tua, kian
rapuh daya tahan dirinya dan pada saatnya nanti akan jatuh
sakit dan meninggal. Akhirnya segala kekuasaan dan kekayaan
yang telah dipupuk dengan susah payah akan tamatlah sudah,
tak dapat dibawa serta ke alam baka!".
"Jadi apa yang kau inginkan sebenarnya?", tanya Miao Yuan
segera. "Saya hanya menginginkan ketenangan jiwa, dijauhi dari
ketamakan dan keangkuhan".
"Benar benar sangat aneh sifatmu ini", kata Miao Yuan, "jutaan
rakyat yang mengharapkan dapat hidup senang seperti kita, tak
seorang pun yang dapat mencapai apa yang dicita citakannya
itu. Tapi kau, segala fasilitas untuk hidup senang telah tersedia
di hadapanmu, tak pernah kau manfaatkan malah sebaliknya
ingin hidup sederhana".
"Bagi saya ketenangan perasaan jauh lebih penting dari
kekuasaan maupun harta", kata Miao Siang, "ketenangan itu
baru akan dapat kita peroleh di tempat yang jauh dari
keramaian yang penuh di si oleh nafsu dan ketamakan. Itu
sebabnya, saya ingin berdiam di sebuah tempat yang sepi,
agar hidup saya lebih sempurna dari yang sekarang. Dan kalau
pada suatu hari nanti saya dapat meraih kesempurnaan hidup
itu, akan saya sumbangkan ilmu itu untuk kebaikan, kebenaran
dan menyembuhkan orang orang yang sakit, membantu orang
orang yang sedang menderita, sekaligus akan saya usahakan
untuk melepaskan orang tua kita , juga kakak berdua, dari
belenggu keduniawian dan mengajak kalian ke Nirwana".
"Rupanya sudah kurang beres susunan syarafmu hingga jadi
berkhayal yang bukan bukan", kata Miao Yin dengan nada
mengejek, lalu menarik tangan kakaknya, "mari kak Yuan tak
ada gunanya kita layani si sinting ini!".
Miao Siang sama sekali tak marah dirinya dikatakan sinting,
hanya menghela nafas seraya berkata lirih, "Semoga Thian
sudi memaafkan ketidak tahuan mereka".
Raja Miao Chuang yang merasa dirinya kian bertambah lanjut
usianya menganggap sudah tiba masanya untuk mencarikan
calon suami bagi Miao Yuan dan Miao Yin.
Sambil membangun dua istana untuk kedua puterinya, Raja
mulai melakukan pengamatan pemuda mana yang kiranya
pantas untuk jadi pasangan hidup puterinya.
Baik Miao Yuan maupun Miao Yin pasrah akan segala
kehendaz Pilihan raja Miao Chuang jatuh kepada Chao Kwe putera
Perdana Menterinya, yang dalam hal pekerjaan sipil cukup
pandai. Sedangkan untuk pasangan hidup bagi Miao Yin dipilihnya


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perwira muda yang bernama Ho Feng.
Upacara pernikahan berlangsung secara mewah meriah.
Seusai pesta kedua pasang mempelai mulai menempati istana
yang bru selesai dibangun.
Sejak pernikahannya, baik Miao Yuan maupun Miao Yin pada
mementingkan kesenangan pribadi, selalu berfoya foya dengan
suami tak mau tahu persoalan kerajaan.
Keadaan itu membuat raja Miao Chuang jadi agak kecewa
menurut pengamatannya kedua manti\unya yang suka foya
foya itu tak cocok untuk menempati takhta kerajaan Sing Lin.
Maka harapan satu satunya kini tertumpu pada diri Miao Siang.
Raja dan permaisurinya bermaksud ingin mencarikan
pasangan yang sepadan bagi puteri bungsunya, seorang laki
laki yang cerdas baik lagi bijaksana yang pada saatnya akan
mampu menggantikannya sebagai raja di Sing Lin.
Raja Miao Chuang segera memanggil Miao Siang.
Sang raja segera menerangkan maksudnya setelah puterinya
datang menghadap: "Kau adalah satu satunya harapan kami
bahwa akan memperoleh suami yang pandai lagi bijaksana
yang pada saatnya nanti akan dapat menggantikan kedudukan
ayah". "Saya amat bersyukur, bahwa ayah telah mencurahkan
harapan sebesar itu pada diri saya dan adalah merupakan dosa
kalau saya sampai menolak kehendak orang tua, tapi ..".
"Tapi apa nak ?", tanya raja Miao Chuang segera.
"Maaf andai kata saya memiliki pendapat yang berbeda
dengan apa yang ayah inginkan itu".
"Terangkanlah apa yang terkandung dalam hatimu?".
"Sesungguhnyalah saya tak ingin menikah", Miao Siang
menerangkan, "saya sama sekali tak tertarik pada kesenangan
dan kekuasaan dunia yang sifatnya hanya sementara".
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" sang raja
membelalakkan mata, sebab hal itu benar benar berada di luar
dugaannya. "Saya bermaksud mencari kesempurnaan hidup", Miao Siang
menerangkan, "agar nantinya diri saya menjadi suci, menjadi
Dewi ... Bila berhasil mencapai apa yang saya cita citakan ,
akan saya balas budi ayah dan ibu juga membantu semua
orang yang membutuhkan pertolongan".
"Gila". Umpat sang raja, "kau anggap dirimu lebih pandai
dariku?" Ketahuilah bahwa aku adalah raja yang memerintah
jutaan orang!".
"Saya tahu akan besarnya kekuasaan ayah sebagai seorang
raja yang disegani oleh kawan maupun lawan, tapi
sesungguhnya kekuasaan itu hanya sementara, ada batas
waktunya. Sebab setiap orang pada suatu saat nanti pasti akan
menghadap Yang Maha Kuasa. Pada saat itu biar bagaimana
besar kekuasaannya di dunia dan betapa banyak hartanya, tak
kan ada gunanya lagi. Sebab bila seseorang telah
meninggalkan jasad ia tak memiliki apa apa lagi, yang ada
hanyalah pertanggung jawaban dari perbuatannya semasa
hidupnya di depan Dewa Pemeriksa nanti".
"Sungguh lancang bicaramu", kian murka sang raja Miao
Chuang "sejak zaman dahulu kala, belum pernah ada puteri
raja yang mencari kesempurnaan hidup dengan jadi Bikhuni
(Nikouw/ Rahib) apa lagi menjadi Dewi di Kahyangan (Sorga
Tushita)".
"Tapi itu sudah merupakan panggilan jiwa saya, ayah".
"Sudah! Jangan bicara yang bukan bukan! Sebaiknya cepat
kau singkirkan jauh jauh pikiran semacam itu", tetap keras
suara raja Miao Chuang.
Miao Siang diam
Sang raja mengira puterinya mulai mendengar kata, berkata
lagi, "Semua ini kulakukan demi kebaikan masa depanmu, nak".
Miao Siang menunduk, tetap tak bersuara.
"Kau setuju dengan usul ayah" Suami yang bagaimana yang
berkenan di hatimu" Dari kalangan sipil (Bun) atau Militer
(Bu)?". "Setiap manusia wajar merasa senang dapat mencapai
kedudukan yang tinggi dalam kerajaan yang terkenal dan bagi
wanita akan merasa bahagia bila menikah dengan pria yang
dicintainya", kata Miao Siang.
"Memang begitulah kenyataannya", mulai terkembang
senyuman di wajah sang raja Miao Chuang.
"Tapi ayah , sudah menjadi panggilan jiwa saya untuk
mensucikan diri di vihara, saya sama sekali tidak tertarik pada
kekuasaan dan kekayaan dunia yang tak kekal".
Raja Miao Chuang beranjak bangun dengan wajah merah
padam, geram hatinya, ingin rasanya dia menghujamkan
pukulan dan melontarkan puteri bungsunya yang dianggapnya
kepala batu. Sebab selama menjadi raja baru sekali ini
perintahnya dibantah.
Miao Siang menyadari akan sifat ayahnya, maka dia reda tidak
ngotot lagi: "Bila ayah menginginkan saya menikah, baiklah tapi
ada syaratnya".
"Apa syaratmu?" tanya sang ayah segera , mulai reda
marahnya. "Tolong carikan seorang tabib yang pandai sebagai suami
saya". "Tabib?" benar benar sudah kurang waras fikiranmu", raja Miao
Chuang kembali berang, "apa kau kira tak ada laki laki lain
yang lebih pandai dan lebih baik dari tabib?".
"Bukan begitu ayah", sabar sekali sikap Miao Siang, "dengan
bersuamikan tabib, saya jadi dapat membantu mengobati orang
sakit, baik itu sakit jasmaniah maupun rohaniah terutama.
Tugas tabib yang cukup mulia, mengobati siapa saja tanpa
membedakan derajat maupun harta. Sebab pada dasarnya
setiap manusia begitu dilahirkan di dunia ini sama saja,
telanjang tak membawa apa apa, hanya jalan hidupnya saja
yang berbeda, ada yang ditakdirkan jadi raja, jadi hartawan, jadi
orang miskin dan sebagainya. Tapi semuanya sama sama
memiliki perasaan, punya harga diri. Maka alangkah
bahagianya hati saya bila dapat membantu semua orang.
Seandainya ayah dapat memenuhi syarat saya sekarang juga
saya bersedia menikah".
"Rupanya di dirimu sudah dirasuki iblis, hingga menutup akal
warasmu", kata sang raja sambil berusaha menekan gejolak
amarahnya, "akan kupanggil orang pandai untuk mengobati
sakitmu". Walau raja Miao Chuang sering dibikin dongkol oleh pendirian
dan sikap puteri bungsunya yang bertentangan dengan
pendapat serta perintahnya, tapi justru harapannya dapat
mewariskan tampuk kerajaan hanya kepada suami puterinya
yang satu ini, sebab kedua mantu lainnya sudah tak dapat
diharapkan lagi, maka membuatnya dalam banyak hal, agak
mengalah, selalu berusaha menekan rasa dongkolnya.
"Sesungguhnyalah saya sangat waras ayah, yang sakit justru
keadaan negeri kita ini! Bobrok lagi penuh kepalsuan, dimana
sebagian dari rakyat maupun orang yang dipercaya menjadi
pemimpinnya, telah meninggalkan nilai moral yang luhur.
Korupsi telah meraja lela banyak yang menyalahgunakan
kekuasaan demi kepentingan pribadinya. Keadaan itu
mengakibatkan banyak kaum wanita yang lebih mementingkan
uang untuk memperoleh kebahagiaan semu. Mereka bersedia
melakukan perbuatan tercela asalkan dapat cepat memperoleh
kekayaan. Segala yang terdapat di bumi tercinta ini seakan
telah hancur berkeping keping. Perbuatan maksiat dapat kita
saksikan dimana mana. Tidakkah ayah melihat atau sedikitnya
mendengar segalanya itu?".
"Hati hati bicaramu, jangan sembarang menuduh orang!"
hardik raja Miao Chuang sebab ucapan puterinya itu
merupakan tamparan cukup keras bagi dirinya.
Kalau saja orang lain yang mengucapkan kata kata semacam
itu, dia akan segera memerintahkan untuk memegal batang
leher orang itu.
"Maksud saya berdiam di tempat yang tenang, agar terhindar
dari segala kotoran! Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki
sifat yang baik, tapi sedikit sekali yang dapat mempertahankan
sifat terpunji itu akibat banyaknya godaan yang terdapat di
muka bumi ini. Membuat fikirannya jadi kotor oleh kesenangan
semu, membuatnya lebih tertarik pada minuman keras,
menuruti hawa nafsu serta semakin tamak akan harta dan
kekuasaan; membuatnya kian tersesat dalam menempuh
perjalanan hidup selanjutnya", sejenak Miao Siang diam.
Ayahnya melotot, membuka mulut. Tapi sebelum sang ayah
sempat berkata, Miao Siang telah melanjutkan ucapannya :
"Mereka membantai hewan hanya sekedar ingin memuaskan
lidah dan perut, merusak hutan dan gunung demi dapat
menambah harta kekayaan, sama sekali tak ada niat untuk
melestarikan dalam ciptaan Yang Maha Kuasa. Hendaknya
ayah sadar, bahwa perbuatan baik pada titisan terdahulu, telah
membuat ayah kini dikaruniai kedudukan sebagai raja dan
janganlah ayah merusak keberuntungan yang telah diperoleh
itu. Ingatlah ayah, bahwa suatu waktu nanti, ayah akan
meninggalkan jasad yang ada, roh ayah akan diajak ke Akherat
(Im kan), dimana perbuatan yang aib akan terlihat jelas. Hanya
dengan perbuatan baik, seseorang akan memperoleh pahala
yang baik pula. Maka seandainya sekarang ayah berbuat salah,
entah itu disadari atau tidak, nantinya akan mendapat
pembalasan yang setimpal di alam sana. Sebabnya saya tak
mau berumah tangga karena ingin terus membersihkan jiwa
dan bila diri saya tidak bersih, akan menderitalah untuk
selamanya. Maka seandainya ayah benar benar sayang sama
saya, jangalah paksa saya menikah, sebab sudah bulat tekad
saya untuk mensucikan diri".
Kemarahan raja Miao Chuang tak dapat dibendung lagi,
"Benar benar telah tersesat kau! Diberi hidup senang tak mau,
malah sengaja ingin menyiksa diri ..... Baik, bila itu yang kau
inginkan, akan segera kupenuhi! Pengawal, lekas lucuti
pakaian kebesarannya! Suruh dia bekerja di Taman Musim
Semi, jangan seorang pun membantu, apa lagi melayaninya,
agar hidupnya disitu benar benar tenang!", perintah lebih lanjut.
Miao Siang sama sekali tidak sedih, malah merasa jauh lebih
tenang bekerja sebagai pengurus Taman Kerajaan. Ia
berpendapat dengan berdiamnya di Taman, jadi memiliki
kesempatan yang lebih besar untuk mensucikan diri dari pada
di istana. Cape badan bukanlah soal baginya, yang penting
adalah ketenangan jiwa.
Pada suatu ketika datanglah kedua kakaknya.
Miao Siang menyambut kehadiran mereka dengan wajah
berseri " "Angin apa yang membawa kak Yuan dan kak Yin
kemari?". "Sudah cukup lama kita tak ketemu", kata Miao Yuan.
"Ya, kami kangen padamu" kata Miao Yin menimpali.
Miao Siang menyilakan kedua kakaknya duduk di gardu.
"Tak merasa kesepian kau tinggal di taman sendirian?", tanya
Miao Yuan. "Saya malah merasa tenang disini".
"Siapa yang menyiram kembang dan mencabuti rumput?"
tanya sang kakak lagi.
"Saya sendiri, sebab ayah melarang ada yang membantu
saya". "Tentunya kau capek?".
"Lebih baik capek badan dari pada capek hati".
"Apa yang membuatmu tak tenang berdiam di istana?"
"Saya muak menyaksikan kebusukan hati manusia yang gara
gara bernafsu ingin kuasa, gila harta dan mementingkan diri
sendiri, telah saling fitnah dan saling menjatuhkan satu dengan
lainnya, antara teman juga antara saudara!"
"Kau menyindir kami ya?", kata Miao Yuan dan Miao Yin
hampir bersamaan, jelas kalau mereka merasa tersinggung.
"Saya tidak bermaksud menyindir siapapun, tapi memang
demikianlah kenyataannya", ucap Miao Siang dengan
tenangnya, "disini, di taman ini, saya bebas dari pemandangan
yang kotor itu, yang saya saksikan hanyalah ketenangan
suasana segarnya bunga dan tetumbuhan lainnya. Burung
burung pun berkicau riang tanpa gangguan tangan tangan
jahat. Selain itu , saya memperoleh banyak kesempatan untuk
membersihkan diri dari pada segala yang kotor. Maka biarpun
kedudukan saya sekarang adalah perawat taman, tapi hidup
saya jauh lebih bahagia dari sebelumnya".
Miao Yuan dan Miao Yin meninggalkan adiknya dengan sikap
mendongkol. Waktu waktu luang sehabis mengurus taman, memang selalu
di si oleh Miao Siang untuk membaca dan lebih meresapi isi
Keng (Sutra), membuat "mata bathin"nya lebih terbuka terhadap
ulah manusia, yang jauh lebih mementingkan hal hal yang
bersifat negatif dari pada positifnya, terutama yang hidup di
lingkungan istana. Tambah mantaplah hatinya untuk lebih
memperdalam pengetahuannya mengenai ajaran budha.
Sampai pada suatu malam, selagi Miao Siang asyik membaca
Keng, tiba tiba telah muncul seorang pemuda tampan di
hadapannya. Agak kaget juga Miao Siang menyaksikan pemunculan sang
pemuda yang begitu tiba tiba, tapi segera dia berhasil
menenangkan dirinya.
"Siapa saudara" Darimana asalmu?" tanyanya.
"Aku adalah Pangeran dari seberang lautan, menjadi tamu dari
kerajaan Sing Lin sejak kemarin", menerangkan si pemuda
tampan. "Apa maksudmu masuk ke taman ini?" tanya Miao Siang lagi.
"Ini kan taman istana, tak ada tanda larangan bagi tamu
kerajaan untuk memasuki taman ini", pemuda itu
mengembangkan senyum simpatik.
"Kau diutus ayahku?" Miao Siang menjajagi.
"Siapa ayahmu", pemuda itu balik bertanya.
"Kau sungguh sungguh tak tahu atau berlagak bego?".
"Hei jangan omong seenakmu saja", tiba tiba pemuda itu
menghardik, "selama hidupku tak pernah ada yang berani
mengatakan aku "bego?".
"Maaf bila aku telah salah berkata", perlahan suara Miao Siang
sambil menunduk, "semula kukira kau sengaja diutus oleh
ayahku!". "Siapa ayahmu" Tukang kebun disini?", tanya pemuda itu.
"Ya", Miao Siang mengangguk dia ingin tahu maksud
sesungguhnya dari kehadiran pemuda itu.
"Tak sangka tukang kebun bisa memiliki puteri secantikmu",
pemuda itu tersenyum lebar, "mungkin ibumu bidadari ya?".
"Sungguh pandai merayu kau", Miao Siang ikut tersenyum.
"Itu memang pekerjaanku", kian simpatik semyum si pemuda,


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"boleh aku duduk?".
"Tak ada yang larang".
"Tak takut aku ganggu?".
"Tak ada yang kutakuti selain Thian".
"Hebat kau!", tiba tiba pemuda itu memegang dagu Miao
Siang, "kau memang manis sekali".
"Jangan kurang ajar kau!", Miao Siang menyingkirkan tangan
pemuda itu. "Masih tak takut?".
"Sudah kubilang, tak ada yang kutakuit di dunia ini!"
"Sungguh" Sama iblis juga tak takut?".
"Bawel amaet sih kau", kata Miao Siang tetap tenang.
"Aku adalah utusan raja iblis untuk menculikmu! Kau akan
dijadikan permaisuri rajaku!".
Tiba tiba saja wajah pria tampan itu jadi berubah
menyeramkan. Miao Siang sama sekali tak gentar, segera Liam keng
(Membaca do"a).
Seketika lenyap wajah mnyeramkan tiu, kembali jadi pemuda
tampan semula. "Kau memang gadis pemberani, hingga tak takut menyaksikan
"permainan sulap"ku".
"Apa maksudmu sesungguhnya?".
"Aku ingin memboyongmu ke negeriku".
"Aku tak berhasrat berumah tangga!" kata Miao Siang tegas.
"Jangan sok jual mahal kau!" pemuda itu tetap senyum, "baru
sekali ini kutemui anak tukang kebun yang menolak jadi istri
pangeran tampan".
"Jangan kata baru pangeran, biar raja sekalipun, aku tatap tak
sudi! .... Sebaiknya kau segera meninggalkan taman ini, atau
akan kupanggil pengawal untuk menangkapmu!".
"Galak benar kau ini?" pemuda itu lebih mendekati Miao Siang
bermaksud memeluknya.
Miao Siang menyingkir seraya menghardik : "Lekas enyah kau,
atau segera kupanggil pengawal".
"Silahkan!" tantang pemuda itu.
Miao Siang benar benar berteriak memanggil pengawal, tapi
tak seorang pun muncul.
"Percuma saja kau berteriak teriak, pengawal gentong nasi
pada tidur semua, biar sampai pecah tenggorokanmu mereka
takkan kemari".
Miao Siang agak gugup juga menghadapi kenyataan ini,
memegang kitab suci yang sedang dibacanya tadi lebih erat
lagi. Senyum kian lebar tersungging di wajah pemuda itu. Kemudian
terlihat dia berkomat komit, seakan sedang membaca matera.
Kepala Miao Siang agak pening, pandangannya terhadap
pemuda itu berubah seketika.
Wajah sang pangeran terlihat jauh lebih simpatik amat
menawan hatinya.
"Bagaimana" Kau bersedia jadi istriku?"
Mulut Miao Siang terbuka sedikit, ingin mengiakannya, tapi tiba
tiba muncul kekuatan gaib yang mencegahnya, membuatnya
batal berkata. "Aku jamin kau takkan kecewa bila jadi istriku", kata pemuda itu
lagi, "kau kusediakan istana yang jauh lebih mewah dari yang
dimiliki raja Miao Chuang, ribuan pelayan serta permata
setinggi gunung. Aku jamin hidupmu seperti di Sorga".
Begitu mendengar kata Sorga, Miao Siang bagaikan orang
yang mendapat tenaga gaib, yang membuatnya berhasil
melepaskan diri dari pengaruh sihir pemuda itu, cepat cepat dia
Liam keng mengharapkan dirinya dapat bebas dari segala
pengaruh iblis.
Terdengar suara tawa di dekatnya, lembut halus rasa sejuk
menyelusup sampai ke lubuk hatinya.
Miao Siang berhenti Liam keng, perlahan lahan membuka
mata. Pemuda tadi tak terlihat lagi, yang ada di hadapannya
sekarang adalah seorang kakek yang berwajah welas asih.
"Siapa Kung kung?", tanya Miao Siang lirih, jauh lebih tenang
perasaannya sekarang.
"Aku adalah Dewa Jen teng yang diutus oleh Giok Tee untuk
menguji keteguhan imanmu", sahut si kakek.
Miao Siang langsung berlutut di hadapan kakek itu seraya
berkata : "Maaf bila ada kata kata kasar yang terlontar dari
mulut saya tadi".
"Wajar sebagai manusia, apa lagi perempuan, bersikap
begitu", sang Dewa mengelus drambut Miao Siang, "bangunlah,
akan kuajarkan kau beberapa ilmu, supaya nantinya kau dapat
lebih tabah dan tangguh dalam menghadapi godaan serta
bencana". "Terima kasih, oh Dewa Agung!", Miao Siang amat girang.
Sejak malam itu, juga beberapa malam berikutnya, Dewa Jen
Teng telah menurunkan ilmunya kepada Miao Siang.
Dan sejak memahami ilmu yang diajarkan sang Dewa kian
mantap hatinya untuk mengisi diri lebih banyak lagi mengenai
ajaran budha. Sang Dewa menghilang setelah menganggap Miao Siang telah
cukup memahami ilmu yang diturunkannya.
Pada suatu hari , Miao Yuan dan Miao Yin kembali datang ke
taman musim semi kerajaan.
Terlihat oleh mereka, betapa rajinnya Miao Siang merawat
taman itu. Pohon pohon bunga yang terawat baik itu, mulai pada
berkembang membuat suasana di taman terasa segar lagi
harum. Begitu datang, Miao Yuan langsung mengolok: "Kasihan puteri
kita yang cantik, lebih suka menjadi budak penjaga taman dari
pada hidup senang di istana".
"Memang tolol dia, ada kesempatan untuk bersenang senang
tak mau, malah ingin menyiksa diri sendiri".
Miao Siang tak melayani olokkan mereka, tetap sabar
sikapnya. "Mari duduk kak", ia menyilakan.
Kedua kakaknya duduk, agak angkuh sikap mereka.
"Segar segar pohon disini" , Miao Yuan memperhatikan
sekitarnya. "Segalanya asal kita rawat baik baik tentu akan tumbuh subur
dan segar" kata Miao Siang.
"Setelah pohon dapat kau rawar baik baik, kenapa justru dirimu
sendiri kau biarkan lusuh begini?".
"Hidupku ini memang bukan buat diri pribadi, tapi buat semua!"
kata Miao Siang.
"Heran aku, kenapa kau bisa berpendirian begitu?".
"Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini memang telah
ditentukan jalan hdupnya sendiri sendiri, itu sebabnya, biarpun
saudara kandung, sifat maupun nasibnya tak sama".
"Kalau memang demikian pendirianmu, kami juga tak bisa
berbuat apa apa lagi", kata Miao Yuan, "sebenarnya kami
kasihan melihatmu yang seakan ingin selalu menyengsarakan
diri. Ibu juga sering menangis memikirkan keadaanmu, sudah
beberapa kali bermaksud menjengukmu, tapi selalu dicegah
oleh ayah".
"Tolong sampaikan sembah bakti saya kepada ibu, kak", kata
Miao Siang dengan nada haru, "beritahukan ibu jangan
cemaskan keadaan saya".
Agak tergugah juga perasaan Miao Yuan dan Miao Yin,
membuat mereka tak sampai hati untuk mengganggu adiknya
lebih jauh. Hari hari berikutnya hidup Miao Siang lebih tenang. Ia terus
mendalami ilmu yang diturunkan Dewa Jen Teng, makin lama
makin bulat tekadnya untuk mencari kesempurnaan hidup ini.
Suatu ketika, secara sembunyi sembunyi ratu Pao Te
menjenguk puteri bungsunya.
Pertemuan ibu dan anak ini sangat mengharukan mereka
saling berpelukan dan bertangisan untuk beberapa waktu.
Sang ibu mengharapkan agar Miao Siang sudi merubah
pendiriannya, kembali berdiam di istana.
Akan tetapi Miao Siang tetap akan tekad sebelumnya.
Sang ibu yang tak dapat berdiam lama di taman, kuatir
diketahui oleh suaminya, setelah membujuk beberapa waktu
lagi, tapi tetap tanpa hasil, dengan berat hati ditinggalkan
anaknya. Miao Siang memandang kepergian ibunya dengan mata
berlinang. Biar bagaimana pun bencinya raja Miao Chuang terhadap
puteri bungsunya, tapi sebagai seorang ayah, tak sampai hati
melihat anaknya hidup menderita. Apa pula masih terkandung
sedikit harapan di hatinya, bahwa bila suatu ketika nanti Miao
Siang akan bersedia merubah pendiriannya, ia akan segera
mencarikan calon suami yang benar benar pandai lagi
bijaksana, yang akan menggantikan takhtanya menduduki
singgasana kerajaan Sing Lin.
Karenanya biarpun di luarnya sang Raja memperlihatkan
kegusarannya tapi diam diam telah menyuruh sementara
kerabat dekat dan orang orang kepercayaannya untuk
membujuk Miao Siang.
Namun tak seorangpun membawa hasil yang diharapkannya,
membuatnya jadi semakin dongkol terhadap puteri bungsunya.
"Benar benar kepala batu dia", gerutu sang Miao Chuang,
"jebloskan ke penjara baru tahu rasa dia".
"Sabar Hu ong", cegah Permaisurinya, "biar nanti saya
usahakan untuk membujuknya".
"Sabar, sabar! Apa selama ini aku kurang sabar"!", raja Miao
Chuang masih tetap mendongkol, "kalau saja dia bukan darah
dagingku sudah lama kusuruh algojo memenggal batang
lehernya".
"Berilah kesempatan sekali ini pada saya", sang permaisuri
memohon, "bila ternyata gagal terserahlah tindakan apa yang
akan Hu ong ambil".
"Baik, kupenuhi permintaanmu, tapi hanya sekali ini saja!".
"Terima kasih Hu ong".
Ratu Pao Te segera menyuruh dua orang kepercayaannya, Ah
Hung dan Ah Chui pergi ke taman musim semi kerajaan untuk
membujuk Miao Siang agar bersedia melepaskan maksudnya
dan sudi kembali ke istana.
Ah Hung dan Ah Chui berusaha sedapat mungkin membujuk
anak junjungannya tapi Miao Siang bukannya menurut kata
mereka, malah jadi dongkol.
"Sebaiknya kalian lekas tinggalkan taman ini", cukup keras
suara Miao Siang, "muak aku mendengar ocehan kalian".
"Tapi Kung cu ....".
"Aku bukan Kung cu lagi, statusku sama dengan kalian,
pelayan istana dan tugasku sekarang merawat taman", potong
Miao Siang. "Biar bagaimana juga orang tua Kung cu bermaksud baik, agar
Kung cu tidak menderita", kata Ah Hung.
"Aku sama sekali tidak menderita, malah tenang hidup disini",
kata Miao Siang, "atau mungkin orang tuaku merasa malu dan
tak sudi lagi pada anak yang sering menentang perintahnya.
Bila memang demikian halnya, beritahukanlah pada ibuku,
sebaiknya kirim saja aku kee Pek Chiao Chan su (Vihara
Burung Putih) di daerah Lung Su Sien. Aku ingin
menggabungkan diri dengan para Bikhuni yang menghuni
Vihara tersebut. Aku yakin hidupku disana akan semakin
tenang, sekaligus untuk memperdalam pengetahuanku
mengenai ajaran Budha - - Kuharap kalian sudi menyampaikan
permintaanku pada ayah bundaku dan bila dapat tercapai
harapanku itu, aku pasti takkan lupa pada kalian dan mudah
mudahan di kemudian hari dapat membalas kebaikan kalian".
"Akan kami usahakan Kung cu", kata Ah Hung lalu mengajak
temannya meninggalkan taman.
Begitu melihat kedatangan Ah Hung dan Ah Chui, raja Miao
Chuang langsung bertanya: "Bagaimana hasilnya" Mau dia
kembali ke istana?".
"Kung cu tetap berkeras ingin mencapai kesempurnaan hidup",
menerangkan Ah Hung, "Kung cu menitipkan pesan pada
hamba agar disampaikan kepada Baginda".
"Pesan apa?", tanya raja Miao Chuang segera.
"Kung cu mengharapkan agar dapat berdiam bersama Bikhuni
di Vihara Pek Chiao Chan su di Lung Su Sien. Kalau merasa
cocok, Kung cu akan terus menetap disana".
"Baik akan kupenuhi harapannya", raja Miao Chuang langsung
menyetujuinya. Biarpun di luarnya dia menyetujui tapi diam diam sang raja
telah mengutus orang ke Vihara tersebut, agar sedapat
mungkin mencagah maksud Miao Siang yang ingin mensucikan
dirinya disana.
Vihara Pek Chiao Chan su dibangun oleh raja Oey tee (raja
Kuning), yang pada saat itu dipimpin oleh Ie Yu, yang
membawahi sekitar 500 Nikouw (Bikhuni).
Begitu mendapat pesan dari raja, Ie Yu segera memanggil
Bikhuni Cheng Chang, yang menjadi guru dalam membaca
Keng (Sutra) memesannya agar baik baik melayani Miao Siang,
puteri raja Miao Chuang yang akan berdiam di Vihara itu.
Disamping itu berusaha sedapatnya untuk membujuk sang
puteri agar mengurungkan maksudnya, dengan
mengemukakan berbagai kesulitan bagi orang yang ingin
menjalani kehidupan sebagai Bikhuni.
Miao Siang berangkat seorang diri ke Vihara Pek Chiao Chan
su. Ketika dia tiba di tempat yang dituju, kedatangannya disambut
langsung oleh Ie Yu bersama dua orang muridnya.
"Selamat datang Kung cu" sambut Ie Yu.
"Kedatangan saya kemari bukan sebagai Kung cu, tapi
sebagai manusia biasa yang ingin berguru disini. Bisa saya
sembahyang sekarang?".
"Mari Kung cu", Ie Yu mengantarnya ke ruang sembahyang,
menyurh para Bikhuni menyalakan hip (dupa linting)
membunyikan lonceng dan memukul tambur.
Seusai sembahyang Miao Siang minta diantar ke ruang baca
do"a, memberi hormat kepada Bikhuni Cheng Chang yang akan
menjdi gurunya.
Sesuai dengan petunjuk dari Nikouw Kepala, untuk membujuk
Miao Siang agar sudi membatalkan maksudnya menjadi
Bikhuni. Miao Siang tetap pada pendiriannya.
Ie Yu segera berunding dengan anak buahnya guna mencari
cara agar Miao Siang tak betah tinggal di Vihara itu.
Setaleh berunding beberapa saat lamanya, diperoleh kata


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepakat untuk menempatkan Miao Siang di bagian dapur.
Sebagai seorang puteri raja, Miao Siang tentu akan merasa
kecapekan, tak sanggup menjalankan tugas yang membuatnya
akan membatalkan maksudnya untuk menetap di Vihara
tersebut. Ie Yu menyampaikan keputusan rapat tersebut : "Kami tak
keberatan menerima Kung cu untuk menetap disini. Tapi setiap
orang yang ingin menjadi Nikouw, tanpa kecuali harus
mengalami tugas dari bawah dul, bila sanggup ia boleh terus
berdiam disini, tapi kalau tak sanggup kami akan
menyilakannya untuk segera meninggalkan tempat ini".
"Saya yakin sanggup melaksanakan setiap tugas yang
diberikan kepada saya", kata Miao Siang tanpa fikir lagi.
"Kalau begitu, baiklah, mulai sekarang Kung cu kamui
tugaskan di dapur, menyiapkan makanan untuk seluruh
penghuni Vihara ini".
Cukup berat memang tugas yang dibebankan kepada Miao
Siang , tapi ia melaksanakannya dengan sunguh sungguh
tanpa menganal lelah.
Sebagai seorang puteri raja yang sebelumnya tak pernah
melakukan pekerjaan seberat itu, terasa pegal linu tubuhnya
sehabis melaksanakan tugasnya serasa mau rontok tulang
tulangnya. Namun begitu ia tak mengeluh sedikitpun.
Malah seusai melaksanakan tugas, Miao Siang masih
menyempatkan dirinya untuk membaca kitab suci.
Bikhuni Ie Yu yang terus mengawasi secara diam diam jadi
kagum bercampur kasihan menyaksikan kebesaran tekad Miao
Siang. Kalau saja sebelumnya tak ada pesan dari raja, tentunya
ia akan langsung mengangkat Miao Siang sebagai muridnya.
Hari pertama dan kedua Miao Siang dapat memaksakan diri
dalam melaksanakan tugasnya, tapi pada hari ketiganya
dirasakan perasaannya tak karuan dan sekujur tubuhnya pada
sakit. Namun begitu dia tetap tidak mengeluh hanya membaringkan
diri di ranjang yang disediakan baginya.
Miao Siang menempati ruang paling belakang dari bangunan
Vihara, berbatasan dengan hutan belukar.
Perasaan Miao Siang semakin tak keruan membuatnya tak
dapat tidur. Dibacanya ayat ayat dari Keng (Sutra) rasa tak
tenang itu belum juga dapat dihilangkan.
Diputuskan kemudian untuk berjalan jalan du luar, tanpa terasa
ia tiba di tepi hutan.
Agak masuk sedikit ke dalam hutan, Miao Siang melihat
sebuah bangunan.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, Miao Siang segera
menghampiri ternyata sebuah rumah batu dengan sebuah pintu
di depannya, tak ada jendelanya hanya lobang angin yang
berjejer diatasnya. Sepi sekali suasana di dalamnya seakan tak
berpenghuni. "Untuk apa bangunan ini?", tanya Miao Siang di dalam hati.
"Mungkin dipakai untuk gudang Vihara", ia terus menduga
duga. Untuk melongok ke dalam, tak ada jendelanya, melalui lobang
angin terlampau tinggi baginya, sedangkan pintunya tertutup
rapat. Selagi Miao Siang ragu, tiba tiba terdengar suara dari ruang
dalam, suara laki laki : "Siapa di luar?".
Agek kaget juga Miao Siang ketika mendengar suara itu, tapi ia
cepat menenangkan diri.
"Tak usah ragu, masuk saja, pintunya tidak dikunci!", suara laki
laki itu lagi, sabar nadanya.
Sejenak Miao Siang mempertimbangkan, segera menetapkan
hati, menolak pintu.
Melalui cahaya bulan purnama di luar, samar samat Miao
Siang melihat sesosok tubuh agak gemuk duduk di sudut
ruang. "Sudah kuperhitungkan, bahwa malam ini kau akan kemari dan
segalanya ini memang sudah menjadi kehendak Thian", kata
laki laki gemuk itu, panjang jenggotnya yang ternyata seorang
Hweeshio (Bikhu) tua.
"Bagaimana Taysu bisa berdiam di lingkungan Vihara ini?",
Miao Siang memberanikan diri.
"Tutuplah pintunya, agar tak ada sinar yang masuk ke mari",
kata Hweeshio itu tanpa menjawab pertanyaan Miao Siang,
"dengan demikian barulah kau dapat melihat "sinar terang" yang
abadi". "Sinar terang yang abadi?", Miao Siang minta penjelasan.
"Ya, bukankah kau sedang mencari kesempurnaan hidup?"
sang Bikhu balik bertanya.
"Benar Taysu", Miao Siang menutup pintu, sebab dia yakin
Hweeshio itu seorang yang pandai lagi baik hati, itu jelas
terlihat dari pancaran wajah maupun nada suaranya.
"Untuk dapat mencapai cita citamu itu, kau harus belajar
Samadhi", kata Bikhu itu lagi.
"Saya bersedia belajar apa saja demi tercapainya cita cita
saya", kata Miao Siang segera, "dapatkah Taysu
mengajarkannya pada saya".
"Akan kuturunkan ilmu itu padamu", kata Bikhu tua, "tapi
hendaknya kau merahasiakan hal ini kepada siapapun. Sebab
bila sampai diketahui oleh orang lain bukan saja dapat
mencelakai dirimu, malah akan mencelakai banyak orang".
"Akan saya usahakan Taysu", Miao Siang mengangguk,
kemudian balik bertanya : "Siapa sesungguhnya Taysu?".
"Tak usah kau tahu siapa aku ini, sebab itu tak penting bagiku
maupun bagimu, cukup asal kau memanggilku Suhu (guru)
saja". "Baiklah suhu", Miao Siang segera berlutut di hadapan Bikhu
tua itu, "terimalah sembah sujud dari Tee cu (murid)".
"Lekas bangun", kata sang Bikhu, "segalanya sudah menjadi
kehendak Thian".
Miao Siang duduk dihadapannya.
"Kau tentu sangat letih menjalankan tugas di Vihara yang bila
kau paksakan akan merusak kesehatanmu dan pada akhirnya
akan membuatmu mati merana".
"Bagaimana suhu bisa tahu segalanya itu?".
"Aku diwariskan kepandaian itu dari guruku. Kedatanganku
kemari adalah atas petunjuk Maha raja Dewata Giok Tee, untuk
membantu sekaligus menyelamatkan jiwamu".
Miao Siang segera lari keluar, bersujud tiga kali kearah barat
sebagai pengungkapan rasa terima kasihnya kepada Giok Tee,
kemudian baru masuk kembali ke dalam ruang.
"Kau ternyata orang yang ingat budi kebaikan fihak lainnya",
sang guru tersenyum, "mendekatlah kau, duduk
membelakangiku, akan kusalurkan kekuatan bathin kepadamu".
Miao Siang menurut.
"Lepaskan pakaian bagian atasmu", kata sang guru lagi.
"Tapi suhu ...." Miao Siang segera menjauh begitu mendengar
ucapan gurunya paling belakang.
"Jangan takut, aku tak bermaksud buruk terhadapmu,
percayalah".
Melihat sikapnya yang tenang dan suaranya yang sabar,
seketika hilanglah keraguan Miao Siang. Lagi pula sebelumnya
ia telah diajari mantera untuk menaklukkan iblis oleh Dewa Jen
Teng, membuat perasaannya jadi semakin tenang.
Kembali dia mendekat, duduk membelakangi gurunyas sambil
menyingkap sedikit pakaian bagian atasnya.
Sang guru menempelkan telapak tangan kanannya ke
punggung Miao Siang terasa hangat benar.
"Pejamkan matamu!", suara sang guru, "pusatkan fikiran mu ke
satu titik".
Tak lama kemudian dirasakan hawa hangat yang semula
berada di luar tubuhnya, kini mulai merasuk masuk dan terus
menjalar ke seluruh tubuhnya. Seketika hilanglah rasa pegal
linunya, dirinya terasa segar sekali.
Beberapa saat kemudian terdengar lagi suara gurunya : "Nah,
selesailah sudah".
Miao Siang merapikan pakaiannya.
"Malam ini cukup sekian dulu", sang guru mengangsurkan dua
butir Yok wan (pil) ke hadapan Miao Siang. "Telanlah obat ini
dengan air matang, niscaya beban kerjamu besok akan terasa
lebih ringan".
"Terima kasih suhu", Miao Siang menyambut pemberian itu
dengan wajah berseri.
"Mulai besok malam, seusai kau melaksanakan tugas di Vihara
datanglah kemari, nanti akan kuajarkan kau dasar dasar
Samadhi dan ilmu lainnya, yang akan membuatmu tambah
sehat dan cerdas".
"Terima kasih suhu", Miao Siang memberi hormat kepada
gurunya, kemudian meninggalkan bangunan kecil yang gelap
itu. Sejak mempelajari cara bersamadhi (meditasi), tambah terang
penglihatan Miao Siang juga hatinya.
la memang gadis yang cerdas, diberi penjelasan sekali saja,
sudah langsung di ngatnya baik-baik.
Pekerjaan yang begitu menumpuk, yang seharusnya
dikerjakan oleh lima enam orang, dapat diselesaikannya sendiri
secara baik. Ia juga tak merasa pegal-linu lagi.
Keadaan itu membuat para Nikouw di Vihara Burung Putih
sangat heran, timbul rasa ingin tahu, dengan cara bagaimana
Miao Siang menyelesaikan segalanya itu.
Cheng Cheng Chang yang diminta mengawasi Miao Siang
oleh le Yu, Nikouw Kepala, secara diam-diam telah
memperhatikan ulah Miao Siang.
Diperoleh kenyataan, bahwa pekerjaan yang dilaksanakan
oleh Miao Siang wajar saja, hanya cara kerjanya yang lebih
cekatan dari orang lainnya.
Setelah menyelesaikan segalanya dan makan bersama
penghuni Vihara lainnya, lalu bersama-sama pula belajar
membaca Keng (Sutra). Kemudian mereka pada kembali ke
ruang istirahat masing-masing.
Miao Siang beristirahat beberapa saat di kamarnya, setelah
suasana sepi benar, hati-hati sekali dia meninggalkan
kamamya, menuju ke bangunan kecil yang dihuni oleh gurunya.
Tanpa disadari, perbuatannya telah diawasi oleh Cheng Cheng
Chang dari kejauhan.
Cukup lama Miao Siang berdiam di bangunan kecil itu ..
Cheng Cheng Chang melaporkan hasil penyelidikannya
kepada Nikouw Kepala.
"Telah saya saksikan dengan mata kepala sendiri dia masuk
ke bangunan kecil tempat berdiamnya Thian Hok Taysu. Cukup
lama dia berdiam di sana. Saya kuatir dia berbuat sesuatu yang
menyalahi ajaran agama dengan Hweeshio tua itu".
"Harus kita tegur dia", kata le Yu, si Nikouw Kepala, "jangan
dibiarkan hal ini berlarut-larut, akan menodai kesucian Vihara
kita". "Sebaiknya kita laporkan langsung kepada Raja", Cheng
Cheng Chang mengusulkan, "agar ayahnya sendiri yang
memanggil pulang, hingga kita tak usah repot-repot".
"Begitupun boleh", le Yu langsung menyetujui usul itu, "besok
kau berangkat ke Kota Raja untuk melaporkan hal itu kepada
Raja Miao Chuang".
Cheng Cheng Chang berangkat seorang diri ke Kota-Raja,
melaporkan perkembangan di Viharanya kepada Raja Miao
Chuang. "Benar-benar sudah keterlaluan perbuatannya itu", kata Raja
Miao Chuang dengan roman bersemu merah dalam menahan
amarahnya. "Sebaiknya Baginda segera memanggilnya pulang, hingga
perbuatan yang tak terpuji itu tak sampai merembet ke
Nikouw lainnya".
"Baik, akan segera kuutus orang ke sana untuk mengajaknya
pulang", Raja menyanggupi, "sekarang kau boleh kembali ke
Viharamu".
Cheng Cheng Chang pamit.
Sepergi sang Nikouw, Raja Miao Chuang segera memanggil
pimpinan pasukan pengawal istana yang bernama Hu Pi Li.
"Ada perintah yang hams hamba laksanakan, paduka ?", tanya
Hu Pi Li dengan hormatnya.
"Bawa anak buahmu sebanyak-banyaknya untuk membakar
Vihara Burung Putih dan sekitarnya ! Laksanakan segera dan
jangan biarkan seorangpun lolos !"
"Siap Baginda !".
Hu Pi Li segera membawa beberapa ribu anak buahnya ke
Lung Su Sien, mengurung Vihara Pek Chiao Chan-su.
Begitu malam tiba, pasukan pengawal Raja segera membakar
Vihara tersebut.
Sementara itu Miao Siang sedang berada di bangunan kecil
bersama si Hweeshio tua.
Bikhu tua itu seakan sudah mendapat firasat, berkata pada
muridnya : "Kurasa telah cukup pelajaran yang kuturunkan
kepadamu, mulai besok aku sudah tak ada di sini lagi.
Sekarang, pergilah kau bersamadhi di ruang 'Tiga Kesucian'
Jangan sekali-kali kau hiraukan apapun yang terjadi di
sekitarmu, dengan begitu barulah dirimu akan terhindar dari
malapetaka".
Sedih hati Miao Siang lantaran harus berpisah dengan
gurunya. "Tak usah kau sedih, sebab setiap ada pertemuan pasti akan
berakhir dengan perpisahan, itu sudah menjadi hukum alam;
tak ada yang langgeng di dunia ini!
Tapi Suhu ... "Janganlah kau membuang-buang waktu, lekas turuti
pesanku !"
"Baik Suhu", biar di mulut Miao Siang berkata begitu, tapi dia
tetap belum beranjak dari tempat duduknya.
"Lekas kau ke ruang 'Tiga Kesucian' !", kata Bikhu tua itu lagi,
disusul dengan gaib (sima)-nya dari hadapan Miao Siang.
Miao Siang menganggukkan kepalanya sebanyak tiga kali ke
hadapan tempat duduk gurunya, baru kemudian meninggalkan
bangunan kecil itu, menuju ke ruang 'Tiga Kesucian' di dalam
Vihara, duduk bersamadhi di situ.
Tak lama kemudian terdengar teriakan ketakutan lagi
menyayat hati. Keadaan ruangan mulai terasa panas
bersamaan dengan terdengarnya benda-benda yang termakan
api. Ingin rasanya Miao Siang membuka mata dan menyudahi
Samadhinya. Tapi karena sebelumnya telah dipesan oleh
gurunya, ia melanjutkan Samadhinya tanpa menghiraukan
keadaan di seputarnya.
Hawa semakin panas mengelilingi dirinya, suara-suara benda
terbakar kian jelas terdengar jeritan-jeritan para Nikouw tambah


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyayat. Hampir-hampir saja Miao Siang tak sanggup menahan diri,
kalau tidak tiba-tiba telah mendengar bisikan halus : "Kuatkan
imanmu, ini merupakan salah satu ujian bagimu untuk dapat
mencapai kesempurnaan hidup".
Suara si Hweeshio tua " Gurunya.
Hampir saja Miao Siang berteriak : "Suhu !", tapi untung dia
masih dapat mengendalikan diri, memusatkan perhatiannya lagi
ke satu titik. Kembali terdengar suara gumnya : "Aku adalah Dewa Utara
yang sengaja diutus oleh Maharaja Giok Tee untuk
melindungimu " Tetapkan hatimu, niscaya kau terhindar dari
musibah ini".
Mantaplah kini hati Miao Siang dalam meneruskan
Samadhinya. Suara hiruk-pikuk tiba-tiba saja lenyap dari pendengarannya,
hawa sejuk menyelimuti dirinya. Entah telah berapa lama
berlalu, suasana menjadi amat hening, terdengar lagi suara
gumnya : "Sekarang kau boleh membuka mata, tapi harus tetap
tenang dan tabah menghadapi segala cobaan !"
Miao Siang menyudahi Meditasinya, membuka mata, terlihat
olehnya, bahwa keadaan di sekitarnya telah hangus terbakar,
hanya ruangan tempatnya bersamadhi yang masih tetap utuh,
sedikitpun tak tersentuh oleh api.
Agak jauh dari tempatnya berada, berbaris pasukan pengawal
istana; mereka memandang heran ke arah dirinya, banyak pula
yang berkasak-kusuk.
Sayup-sayup Miao Siang sempat menangkap ucapan salah
seorang dari pasukan pengawal itu : "Aneh, seluruh Vihara
berikut isinya telah musnah terbakar, hanya ruangan yang
didiami oleh Kung-cu saja yang terhindar dari amukan api!"
"Aku menyaksikan sendiri tadi", kata seorang lainnya,
"tatkala api mulai merembet ke situ, tiba-tiba terlihat cahaya
yang amat cemerlang melindungi ruangan tersebut, tak dapat
ditembus oleh kobaran api".
"Aneh sekali", kata prajurit yang pertama.
"Seumur hidupku bam sekali mi menyaksikan kejadian yang
begitu luar biasa", ujar temannya, "rupanya Kung-cu memang
dilindungi oleh para Dewa".
"Kurasa begitu " Oh ya, ke mana Hu Ciangkun ?"
"Kembali ke istana untuk melaporkan keanehan mi kepada
Raja". Hu Pi Li berlutut di hadapan Raja Miao Chuang.
'Telah kau laksanakan tugas yang kuperintahkan ?", tanya
sang Raja. "Ampun Paduka", kata Hu Pi Li dengan suara agak gemetar,
"sebagian besar Vihara telah musna termakan api dan para
Nikouw telah mati tertambus, tapi Kung-cu dan mang yang
didiaminya terhindar darijilatan api",
"Kenapa bisa begitu ?"
"Entahlah Paduka, seumur hidup hamba, baru sekali ini
menyaksikan keajaiban seperti itu".
"Coba kau tuturkan dari awal !", permtah Raja Miao Chuang.
"Hamba menjalankan tu^s sesuai dengan perintah Baginda",
Hu Pi Li mulai menuturkan, "begitu tiba di Lung Su Sien, liamba
segera perintahkan anak-buah untuk mengumng dan
membakar Vihara Pek Chiao Chan-su, juga tempat di
sekitarnya. Para Nikouw pada berteriak menyedihkan ketika api
telah mengumng Vihara dan sekitamya. Ada beberapa Bikhuni
yang mencoba menerobos lautan api, tapi mereka langsung
mati terbakar, sungguh menyedihkan keadaan me reka.
Hamba dan bawahan mengira akan musnalah seluruh Vihara
berikut isinya. Tapi tiba-tiba muncul suatu keajaiban, tatkala api
akan merembet ke mang Tiga Kesucian', tiba-tiba telah muncul
sinar keemasan yang menyilaukan pandang, menutup ruangan
itu. Kobaran api tak dapat mendekat. Sampai ketika
yang lainnya telah musna seluruhnya, yang yang satu itu tetap
utuh. Dan keajaiban lainnya, di tengah yang itu terlihat Kung-cu
yang sedang bersamadhi. Itu sebabnya hamba cepat kembali
untuk menanti perintah lebih lanjut dari Baginda".
"Rupanya ia benar-benar telah kerasukan iblis", kata Raja Miao
Chuang, "tangkap dan bawa ke mari dia, akan kuhukum mati
nanti. Sebab, bila iblis yang menguasai dirinya tidak
dimusnakan, tentu akan meraja-rela, mengganggu dan
menghasutrakyat!"
"Siap Baginda".
Hu Pi Li pamit, kembali ke Lung Su Sien.
Setiba di muka Vihara, dilihatnya Miao Siang masih tetap
duduk di yang 'Tiga Kesucian* itu, sedangkan para
pembantunya tetap mengumng tempat tersebut, tapi tak berani
bertindak lebih jauh tanpa adanya perintah dari pimpinan
mereka. Api benar-benar telah padam pada saat itu.
Walau telah mendapat perintah dari Raja untuk menangkap
Miao Siang, tapi Hu Pi Li tak berani berlaku kasar. Biar
bagaimanajuga, Miao Siang adalah puterijunjungannya.
Perlahan dia melangkah maju dan berkata honnat : "Baginda
menitahkan agar Kung-cu sudi ikut hamba !"
^Baik, aku ikut kau", Miao Siang beraujak dari tempat
Samadhi, mengikuti Hu Pi Li tanpa ada rasa gentar sedikitpun.
Di sepanjang jalan banyak sekali rakyat yang memberi
penghormatan, bahkan bersujud sambil mengucurkan air' mata,
karena sebelumnya mereka telah mendengar pengalaman Miao
Siang. Sementara itu, Ratu Pao Te, ketika mendengar suaminya telah
memutuskan hukuman mati untuk Miao Siang, cepat memohon
kepada Raja Miao Chuang, agar menunda dulu pelaksanaan
hukuman tersebut, memberinya kesempatan terakhir untuk
membujuk puterinya, agar mau merobah pendiriannya.
Di hati kecil sang Raja sendiri sebenamya tak sampai hati
untuk menghukum mati puteri bungsunya, namun bila hal itu
dibiarkan tems, Raja kuatir, sikap kepala batunya itu akan
merembet ke rakyatnya, yang pada akhimya nanti banyaklah
yang akan menentang kebyaksanaannya maupun perintahnya !
Maka ketika mendengar permintaan Pennaisurinya, yang ingin
mencoba merobah pendirian Miao Siang, langsung saja sang
Raja berkata : "Baik, kupenuhi permintaanmu itu, kutunda
pelaksanaan hukuman mati untuk sementara".
'Terima kasih Hu-ong".
Ratu Pao Te segera menyiapkan suatu pesta yang meriah
untuk menyambut kembali puteri bungsunya; menyediakan
hidangan yang lezat-lezat dan atraksi yang menarik.
Sang Ratu juga memerintahkan kepada para dayang istana
untuk melayani Miao Siang sebaik mungkin.
Miao Siang hanya duduk seperti patung selama
berlangsungnya pesta itu.
"Bergembiralah nak", kata sang Ratu yang duduk di sisinya,
**kalau saja kau mau berdiam di istana seperti sebelumnya,
kau akan bergelimang kesenangan dan menikmati makanan
yang menjadi kedoyananmu"
"Saya sama sekali tak tertarik akan kegemerlapan dan
kesenangan dunia, sementara di fihak lain, banyak sekali orang
yang menderita kelaparan", kata Miao siang.
"Kau memang beda dengan kedua kakakmu", sang ibu
menghela nafas, "tapikenapakauharusmenyiksadirisementara
ada kesempatan untuk menikmati hidup ini!?"
Harus ibu ketahui, bahwa manusia yang dilahirkan ke dunia ini
telah memilikijalan hidupnya sendiri-sendiri, ada yang
ditakdirkan untuk hidup senang, ada pula yang hidupnya
paspasan, bahkan banyak yang kekurangan. Inilah wajah dunia
kita bu. Dan jalan hidup saya mpanya hams sengsara, biarpun
saya dilahirkan di dalam keluarga Raja".
"Jangan terlampau kukuh pada pandangan hidupmu, hal itu
akan memgikan dirimu sendiri, nak".
"Saya yakin, bahwa dasar pendirian hidup saya ini benar,
maka harus dipertahankan".
"Ajaran sesat dari mana yang telah merasuki jiwamu ?"
"Saya mempelajari segalanya melalui kitab suci, sama sekali
tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang menyesatkan !"
"Dasar kapala batu kau".
Ratu meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa serta
sedih, memberitahukan hasilnya kepada Raja.
Raja Miao Chuang tak sampai hati untuk melaksanakan
hukuman mati pada saat keramaian sedang berlangsung.
Dihampiri puterinya, coba membujuknya juga : "Ayah dan ibu
sebenamya amat mencintaimu, sesungguhnyalah, tak sampai
hati untuk menyakitimu, apa lagi menghukummu. Tapi sebagai
Raja, setiap penntahku harus dipatuhi, siapa yang
membangkang hams dihukum. Maka seandainya aku
membiarkanmu bebas setelah membangkang perintahku, hal
itu tentu akan ditiru pleh orang lainnya. Bagaimana jadinya
negara ini bila perintahku sudah tak dipatuhi lagi "!"
"Saya bukannya ingin membangkang perintah ayah, tapi sudah
menjadi dasar pendirian hidup saya ingin mencari
kesempurnaan".
"Apakah untuk mencari kesempumaan hidup itu harus diam
berduaan saja dengan Bikhu di mangan tertutup pada malam
hari " Apa bedanya kau hidup berdua dengan suami "*'
"Lain sekali ayah", Miao Siang coba menerangkan,
'^beradanya saya di mang kecil bersama guru saya adalah
untuk memperdalam ilmu yang akan membawa saya menuju
kesempurnaan, sama sekali tak ada unsur-unsur lainnya, apa
lagi yang tercela".
"Rupanya sudah benar-benar kurang waras fikiranmu", kata
Raja, masih bemsaha menahan emosi.
"Saya yakin diri saya sangat waras dan yang kurang waras
adalah lingkungan di sekitar kita ini, di lingkungan istana
terutama, yang akhir-akhir ini telah berlangsung pencemaran
atas martabat dan peranan manusia secara teratur dan terus
menerus, yang mengakibatkan kemerosotan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Tegasnya, manusia dewasa ini terancam
berbagai kemelut, ya kemelut akhlak, kemelut keyakinan
kepada agama, juga kemelut mental, banyak yang
mendewakan uang/ kekayaan, sehingga manusia, terutama
pimpman dan rakyat dari kerajaan Sing Lin ini, bagaikan berada
di ambang kebinasaan.
Saya yang kebetulan menjadi seorang puteri dari Raja di
negara ini, akan bemsaha untuk menyelamatkan kerajaan dari
kehancuran. Dan untuk dapat mencapai maksud itu, lebih dulu
saya hams menyempumakan diri, agar nantinya bukan saja
dapat membantu menyelamatkan kerajaan ayah, juga umat
Budha di seluruh jagad ini".
"Harus kau ketahui nak, sulit sekali bagi manusia biasa untuk
dapat mencapai kesempurnaan'*, sang ayah masih berusaha
membujuknya, "menolong umat Budha adalah umsan para
Bikhu/Bikhuni dan para Dewa !"
"Banyak Dewa yang asalnya juga dari manusia biasa ayah",
kata Miao Siang, "Kalau mereka bisa, kenapa saya tidak !?"
"Tapi untuk dapat mencapai segalanya itu, kau hams menjalani
penderitaan yang luar biasa. Sebagai puteri Raja, dapatkah kau
menahan segala derita ?"
"Jangankan baru puteri Raja seperti saya, yang jadi Raja juga,
bila telah bulat tekadnya, akan dapat menembus segala
kesulitan", kata Miao Siang, "contoh yang paling gamblang
adalah sang Budha Gai tama, yang kita kenal sekarang sebagai
Ji Lay Hud!"
"Baiklah bila memang itu juga yang meiyadi kehendakmu", ang
ayah mengangguk sedih, "tapi hamskau sadari, bahwa siapa
saja yang berani menentang perintah Raja, hams dihukum
mati. Camkanlah itu baik-baik. Kau kuberi waktu semalam lagi
untuk mempertimbangkan saran ayah dan ibu !"
"Tak ada yang periu saya pertimbanganlagi, ayah. Saya sudah
siap menerima segala akibat dari tekad saya ini".
Raja Miao Chuang benar-benar mati akal dalam menghadapi
puterinya sendiri, yang dianggap kepala batu. Segera
memerintahkan pengawal untuk menjebloskan Miao Siang ke
penjara dan hukuman mati akan dilaksanakan ke esokan
harinya. Giok Hong Siang Tee (Giok Tee) sebagai Rajanya para
Dewata, telah maklum langkah apa yang akan diambil oleh
Raja Miao Chuang terhadap puteri bungsunya, yang
merupakan titisan dari Dewi Che Fang. la segera
memermtahkan Touw Ti, Dewa Penunggu Kota Raja, untuk
menyelamatkan pyawa Miao Siang.
"Dewi Che Fang telah mengorbankan kebahagiaan hidupnya di
Sorga untuk tumn ke dunia, guna menyadarkan manusia dari
kesalahan dan kesesatan agar kembali kepada keyakinan
agama. Seandainya tidak kita bantu, keadaan di bumi akan
bertambah kacau, yang pada akhimya akan merepotkan kita
untuk mengatasinya".
Giok Tee menerangkan, "tempat pelaksanaan hukuman mati itu
adalah di depan pintu gerbang istana dan jamnyapun telah
ditentukan. Besok kuharap kau pergi ke tempat itu pada jam
yang telah ditentukan, usahakanlah agar pedang dan senjata
lainnya yang akan dipakai untuk memenggal kepala Miao Siang
patah semua, hingga batal ah pelaksanaan hukuman mati atas
diri Miao Siang dengan memakai senjata tajam.
Tapi aku tahu benar watak Che Fang yang berdiam di guagarba (jasad) Miao Siang itu, ia takkan mau dibantu oleh
siapapun. Karenanya, pada akhimya Miao Siang akan mati
akibat dijerat lehernya oleh tali sutra. Usahakanlah, pada saat
rohnya meninggalkan jasadnya, robahlah dirimu menjadi seekor
harimau dan bawa jenazahnya ke dalam hutan dan masukkan
sebutir Sian-tan (pil mujijat) ke dalam mulutnya,
agarjenazahnya tetap utuh dan tidak membusuk ! Manakala roh
Miao Siang atau tepatnya penjelmaan Che Fang itu kembali
lagi ke bumi dan masuk pula ke jasad Miao Siang, jasad itu
hams tetap berada dalam keadaan baik. Bila dia telah hidup
lagi, dirinya akan menuju ke gunung Siang-san, di pulau Pu To.
"Baik, akan hamba laksanakan segala perintah itu", kata Touw
Ti. Sebagai Raja yang ingin mempertahankan wibawanya dalam
pandangan para pembantu dan rakyatnya, Raja Miao Chuang
telah membuktikan kata-kata yang pemah diucapkannya.
Ketika tahu Miao Siang tetap pada pendiriannya, Raja Miao
Chuang menyumh pengawalnya membawa puteri bungsunya
ke tempat pelaksanaan hukuman mati yang terletak di muka
pintu gerbang istana.
Kim Jiauw (Kuku Emas) yang diperintahkan melaksanakan
tugas tersebut.


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Miao Siang bukannya gentar atau minta ampun pada Raja,
malah sebaUknya, amat berseri wajahnya dan beikata : "Hari
itu aku akan meninggalkan bumi yang telah dikotori oleh sifat
ketamakan, kepalsuan, penyelewengan dan keganasan, untuk
menjalani kehidupan yang lebih sempuma. Tapi nanti, aku pasti
akan kembali lagi untuk menolong dan menyelamatkan
manusia yang patuh menjalankan permtah agama". Miao Siang
memandang Kim Jiauw dan berkata lagi : "Sekarang boleh kau
laksanakan hukuman itu, tapi biarkan tubuhku tetap utuh !"
Baru selesai .Miao Siang berkata, tiba-tiba cuaca menjadi
gelap-gulita, hanya di seputar tubuh Miao Siang yang diselimuti
oleh cahaya cemerlang.
Kala itu Touw Ti, Dewa Tanah, melihat Kim Bo (Ibu Emas)
yang sedang melayang di angkasa. Segera meminta tolong
padanya untuk bantu menyelamatkan Miao Siang.
Kim Bo menyanggupi dan segera menyumh dua pelayannya :
Kim Tong (Bocah Emas) dan Giok Lie (Gadis batu pualam),
untuk melindungi Miao Siang secara diam-diam. Sedangkan
Kim Bo sendiri telah membaurkan diri dengan para penonton
yang tngin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati puteri
bungsu Raja Miao Chuang itu.
Kim Jiauw ragu sejenak, tapi dia tak berani menentang
perintah Raja Miao Chuang, segera mengayunkan goloknya
yang amat tajam, memenggal batang leher Miao Siang.
Kim Tong dan Giok Lie yang ditugaskan oleh Ibu Emas untuk
melindungi keselamatan Miao Siang, segera menangkis
tabasan golok itu dengan senjata intan, yang mengakibatkan
golok itujadi patah dua.
Kim Jiauw penasaran, mengambil tombak runcing, menusuk
dada Miao Siang, tapi lagi-lagi senjatanya hancur berkepingkeping. Berbagai senjata telah dicoba, tapi semuanya hancur
berantakan. Kim Jiauw segera melaporkan kejadian luar biasa itu kepada
Raja. "Otak kerbau ! Memenggal batang leher perempuan saja tak
mampu !", Raja sangat marah.
"Ampun beribu ampun Tuanku, sesurigguhnya hamba telah
mengayunkan golok dengan sekuat tenaga, tapi yang
putusbukan leher Kung-cu, malah golok itu. Demikian juga
senjata lainnya".
"Goblok ! Kau kira senjata di kera]aanku ini dibuat dari Taohu,
hingga begitu mudah patah '.?", Raja Miao Siang dilindungi oleh
para Dewa. "Hamba sendiri heran", kata Kim Jiauw, "ketika hendak
dihukum mati, diri Kungcu seperti telah dilindungi oleh cahaya
yang amat kemilau".
"Itu hanya alasan yang kau buat-buat saja !", tetap lantang
suara sang Raja, "yang jelas kau ingin membangkang
perintahku !"
"Ampun Tuanku, sesungguhnya hamba telah melaksanakan
permtah Paduka", gemetar suara maupun tubuh Kim Jiauw,
sebab dia menyadari, apa akibatnya orang yang dicap
membangkang perintah Raja.
Dan dugaannya memang tidak meleset, Raja menitahkan
algojo lainnya untuk menangkap dan memenggal batang leher
Kim Jiauw, sebelum yang bersangkutan sempat membela diri.
Dalam waktu amat singkat, kepala Kim Jiauw telah
mengucapkan selamat berpisah dengan tubuhnya.
"Ini suatu bukti, bahwa senjata dari kerajaanku cukup tajam",
kata Raja Miao Chuang, "Ini pula ganjaran bagi orang yang
ingin membangkang perintahku".
Di fihak lainnya, Miao Siang menyadari, kalau dirinya telah
dilindungi oleh Dewa, tapi sebagai akibatnya, orang lain yang
harus binasa. Tak sampai hati dia melihat korban-korban
berjatuhan lantaran dirinya, maka ia segera berdoa kepada
Yang Maha Kuasa : "Hamba amat bersyukur, bahwa jiwa
hamba telah dilindungi oleh Thian, tapi sebagai manusia, cepat
atau lambat pasti akan menemui ajal. Maka seandainya sudah
ditakdirkan hamba harus meninggal sebelum berhasil mencapai
kesempumaan hidup, hamba rela " Janganlah Thian
membiarkan lebih banyak jatuh korban demi membantu hamba
mencapai cita-cita".
Sementara itu, sebelum Raja Miao Chuang memerintahkan
algojo lain untuk memenggal leher puteri bungsunya, Kunsu
(penasehat)-nya telah mengemukakan pendapat : "Ampun
hamba yang lancang Baginda, bila hamba tak salah dengar
tadi, sesaat Kung-cu akan dipenggal batang lehernya oleh Kim
Jiauw tadi, telah berkata : "... Biarkan tubuhku tetap utuh !"
"Apa maksudnya ?", tanya Raja Miao Chuang.
"Kalau hamba tak salah, Kung-cu ingm mati dengan tubuh
yang utuh!"
"Aku tak faham maksudmu !?"
"Yang hamba maksud, pelaksanaan hukuman mati ini jangan
memakai senjata tajam, sebab itu akan meninggalkan bekas
luka, bahkan dapat memisahkan kepala dari tubuhnya. Maka
sebaiknya Baginda menggunakan cara lain dalam pelaksanaan
hukuman mati ini".
"Menurutmu, cara apa yang terbaik ?"
"Sebaiknya kita jerat saja lehernya dengan tali sutera", sang
Kunsu menyarankan, "dengan begitu ia akan mati dengan
tubuh yang utuh".
"Baik, akan kuturuti saranmu itu".
Ketika cara itu dilaksanakan, tubuh Miao Siang tak lama
kemudian terkapar lemas dan tak bernyawa lagi. Tiba-tiba di
angkasa terdengar suara gemuruh, sebagai tanda bahwa Thian
murka atas terbunuhnya gadis yang berhati suci.
Mendadak muncul pula seekor harimau yang sangat besar,
langsung menuju ke tempatjenazah Miao Siang.
Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pada lari
lintang-pukang sambil berteriak ketakutan.
Sang harimau tak mempedulikan sekitamya, langsung saja
meletakkan jenazah puteri bungsu Raja Miao Chuang ke
punggungnya, membawanya meninggalkan tempat itu.
Rohnya Miao Siang yang telah meninggalkan jasadnya, terus
melayang-layang di angkasa. Ada tiga roh suci yang
diperintahkan untuk mendampingi roh-nya Miao Siang, yaitu
Oey Liong (Naga Kuning), Kim Tong dan Giok Lie.
Mereka memasuki pintu gerbang Im-kan (Neraka), tidak
berhenti di sana, tapi langsung diajak oleh ketiga roh suci untuk
memasuki Dewachan (Sorga atau Kahyangan).
Namun sebelum mereka sempat memasuki Sorga, telah
dicegat oleh para prajurit Neraka, Akan tetapi Oey Liong, Kim
Tong dan Giok Lie berkeras ingin mengajak roh Miao Siang ke
Sorga, hingga perkelahian tak dapat dielakkan lagi.
Kenyataannya Oey Liong dan kedua roh sucilainnyajauh lebih
sakti dari para prajurit Neraka, hingga sesaat kemudian mereka
berhasil membikin kucar kacir para prajurit dari 'Alam Gelap'
(Im-kan) itu dan mengajak rohnya Miao Siang memasuki 'Alam
Terang-benderang' (Sorga).
"Bila ada kesempatan nanti, kami akan kembali untuk bermainmain lagi dengan kalian", kata Kim Tong kepada prajurit Neraka
yang berusaha mengejar sampai ke perbatasan dua alam itu.
Suasana di Sorga terasa tenang dan tanpa hambatan, setiap
makhluk halus yang memasuki alam ini tak pernah diganggu,
bebas bergerak ke sana ke mari. Hati terasa lega-nyaman,
dimana-mana terdengar alunan lagu merdu, udaranyapun
terasa segar benar.
"Setelah lepas dari badan kasar, barulah aku dapat menikmati
hidup seutuhnya", kata Miao Siang pada Giok Lie, "keadaan
inilah yang kuidam-idamkan selama ini".
Langit terlihat berlapis-lapis rapi, sedap dipandang.
"Kenapa langit di sini berlapis4apis ?", tanya Miao Siang pada
Giok Lie. "Setiap lapis/bagian dari Kahyangan ini dihuni oleh Dewa
menurut tingkatannya, makin tinggi lapisannya, semakin tinggi
pula kedudukan Dewa yang menempatinya", Giok Ije
menerangkan, "lapisan yang paling tinggi di sebut Alam Aiupa,
yang di dalamnya terdapat juga Alam Budhi, di sana kakak
akan dapat bertemu dengan Dewa Abadi".
"Mari kita ke sana !", ajak Miao Siang.
"Maaf, kami tak sanggup mengantar sampai ke sana", kata
Oey Liong, "pergilah kau ke sana, kalau memang jodoh, kau
akan dapat mencapai tempat itu, Biar kami menunggumu
disini". "Bagaimana dengan kalian ?", tanya Miao Siang pada Kim
Tong dan Giok Lie.
"Kami akan menunggumu di sini juga", kata Kim Tong dan
Giok Lie dengan suara hampir bersamaan.
"Baiklah", kata rohnya Miao Siang, "tunggulah kalian disini".
Roh Miao Siang terus melayang ke atas, setiap kali dia
melewati satu lapisan, keadaan di bagian atasnya bertambah
indah memukau, membuatnya kian bersemangat untuk dapat
mencapai bagian dari Kahyangan (Dewachan) yang tertinggi.
Ketika memasuki bagian-bagian lain dari Dewachan, rohnya
Miao Siang sama sekali tak mengalami kesulitan, tapi ketika dia
bermaksud memasuki bagian yang tertinggi itu, tubuhnya
seakan membentur kabut tipis yang sulit ditembus, biar
bagaimana dia berusaha menerobos, tapi selalu terpental turun
lagi. "Rupanya di tingkat ini ada penjaganya !", kata Roh Miao
Siang. Kembali dia bermaksud menerobos ke atas, tapi lagi-lagi
terbanting ke bawah. Berulang kali dicoba, tapi selalu gagal.
"Siapa yang bermain-main denganku ?", tanya Miao Siang.
"Kami!", tiba-tiba muncul dua orang raksasa.
"Izinkanlah aku masuk !", Miao Siang memohon.
"Tak bisa !", kata seorang raksasa itu.
"Biar tak di zinkan, aku akan masukjuga !", RohMiao Siang
berkeras. "Boleh coba!"
Roh Miao Siang ingin menerobos, tapi seorang raksasa telah
menggerakkan tangan, membuat Roh Miao Siang terpental.
Disambut oleh gerakan tangan raksasa lainnya, Miao Siang
terpental balik lagi bagaikan bola pingpong, terpental ke sana
kemari, hingga pening kepalanya.
"Sebaiknya kau kembali saja ke tingkat bawah, sebab hanya
Dewa dan Dewi penghuni Kahyangan saja yang diperkenankan
masuk ke bagian ini".
"Aku tak peduli", kata Roh Miao Siang, "aku ingin ber temu
dengan Dewa Abadi!".
Roh Miao Siang kembali mgin menerobos masuk, tapi dirinya
kembali di pingpong oleh pukulan-pukulan kedua raksasa itu,
meuibuat kepalanya bertambah pusing.
Tiba-tiba terjadi perobahan di diri Miao Siang, sekujur
tubuhnya seperti dialiri hawa hangat, seakan ada tenaga gaib
yang menggerakkan kaki dan tangannya, membuat kedua
raksasa itu terpental jauh.
Namun kedua raksasa itu bandel dan kebal, biarpun telah
merasakan pengalaman pahit, tokh mereka maju lagi, akan
tetapi lagi-lagi kena hajar hingga terpental jauh. Kejadian itu
bemlang terus, kihi giliran kedua raksasa itu yang dibikin pening
kepalanya dan tak lama kemudian lenyap dari hadapan roh-nya
Miao Siang. Bersamaan dengan itu, terdengar suara yang halus sabar :
"Masuklah Miao S.iang !"
Miao Siang berpaling ke sana-sini, tapi tak teri hat yang
menyilakannya. "Masuklah, tak usah ragu !", suara itu lagi.
Tiba-tiba Miao Siang melihat lapisan langit yang ada
dihadapannya seakan terbelah, terhamparjalan yang luas.
Tanpa ragu-ragu lagi Miao Siang meniti jalan itu, cukup
panjang. Akhimya dia tiba di sebuah tempat yang amat indah, sebuah
bangunan yang amat luas, di sekitarnya dikelilingi oleh taman
bunga yang memancarkan wewangian, harum semerbak.
Burung-burung beterbangan dengan bebasnya di taman.
Di ujung bangunan itu tampak seorang Dewa yang duduk di
atas bunga Teratai Emas, agung sekali sikapnya. Rohnya Miao
Siang langsung menyadari, bahwa yang ada di hadapannya
sekarang mi adalah 'Dewa Kekal' (De^va Abadi)!
la langsung beriutut sambU bersembah : 'Terimalah sembahsujud hamba, Dewa yang Agung!"
"Janganlah kau tems bersembunyi Che Fang !", tiba-tiba Dewa
Abadi bersabda begitu.
Seketika rohnya Miao Siang menjelma menjadi Dewi Che
Fang. "Sebenamya hamba sangat malu untuk kembali ke
Kahyangan, sebab tugas hamba di dunia belum rampung", kata
sang Dewi. "Itu memang bukan salahmu, sudah menjadi kodrat alam harus
begitu". "Maksud hamba ke marijusteru ingm mendapat petunjuk dari
Paduka !", Dewi Che Fang tetap bersujud.
"Jalan yang kau rintis sudah hampir berhasil, kesalahanmu
sebelumnya hanya terletak pada persiapan yang kurang
memadai. Kau agak tergesa-gesa turun ke dunia, juga tanpa
bekal kesaktian. Sebagai manusia biasa akan sulit untuk dapat
merobah keadaan di bumi".
"Kini telah hamba sadari kesalahan itu Paduka", kata Dewi Che
Fang segera. "Sekarang kau hams kembali lagi ke bumi untuk meneruskan
tugasmu, jangan lupa membekali dengan segala kesaktianmu",
sang Dewa Abadi mengembalikan semua kesaktian Dewi Che
Fang. 'Terima kasih Paduka".
"Berangkatlah, di bumi nanti kau akan memihki tempat
bersemayam di sebuah pulau, yang diluputi oleh pegunungan,
disebut orang pulau Pu To. Buat sementara kau akan
menempati sebuah Vihara tua di gunung Siang-san yang
termasuk dalam kawasan pulau itu. Banyak yang dapat kau
lakukan dari pulau tersebut, menolong sambil menyadarkan
umat-umat yang sesat untuk kembali ke jalan yang benar.
Manusia di bumi akan menggelarimu sebagai Kuan She Yin Pu
Sa (Dewi Kwan Im), yang welas asih, yang selalu mendengar
dan memperhatikan para umat Budha".
Dewi Che Fang pamit, kembali ke wujud sebelunmya sebagai
Roh-nya Miao Siang, melayang menuju ke tempat di mana Oey
Liong dan kedua Roh Suci lainnya menunggu.
Tapi sebelum dia tiba di tempat yang dituju, telah terdengar


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara memanggilnya : "Miao Siang ! "
Roh Miao Siang heran, berhenti melayang, berpaling.
Di belakangnya telah berdiri seorang Dewa yang amat tampan.
Semula dikira Dewa Asmara, tapi setelah ditegaskan, ternyata
bukan, hanya agak mirip.
"Siapa saudara ?"
"Aku Dewa baru di sini, telah diperintah oleh Dewa Abadi untuk
mengejarmu, Miao Siang".
"Dari mana kau tahu namaku ?"
"Ketika kau menghadap Dewa Agung tadi, aku berada disitu,
tapi karena teraling pilar, kau jaditak dapat melihatku".
"Apa maksudmu menyusulku ?", tanya roh Miao Siang.
'Tadi telah kuterangkan, bahwa aku disumh oleh Dewa Agung
untuk memberitahukanmu, bahwa kau sesungguhnya berjodoh
denganku".
"Ngaco !"
"Eh, galak juga kau !", sang Dewa tersenyum, "menurut Dewa
Abadi, kau sangat sabar, tak tahunya segalak ini. Biarpun
begitu, aku tetap bersediajadi suamimu".
"Bila kau terus menems bicara yang bukan-bukan, akan
kuhajarkau !"
"Ampun Dewiku yang manis " Sesungguhnya aku telah
dipenntah oleh Dewa Agung untuk menamanimu turun ke dunia
dan kita akan jadi pasangan yang sepadan setibanya di bumi
nanti". "Sinting", rohnya Miao Siang dongkol campur geli melihat ulah
Dewa yang tampan ini, "akan kutanyakan langsung kepada
Dewa Agung !"
"Tak usah, sebab sekarang Dewa Abadi sedang istirahat, tak
boleh diganggu oleh siapa pun".
"Nyata sekali kau ingin mendustaiku ! Lekas minggir sana!"
Sang Dewa tampan bukannya minggir, malah berusaha
menghalangi kepergian Roh Miao Siang : "Demi Dewa Agung,
aku telahjatuh cinta begitu melihatmu !"
"Dewa macam apa kau ini " Begitu gampangjatuh cinta"!"
"Dewacinta!"
Dewi Che Fang yang telah menjelma sebagai Roh-nya Miao
Siang, jadi semakin dongkol: "Minggir kau ! Kalau tidak, kuhajar
kau!" "Kau tampak tambah manis bUa sedang marah !", Dewa
tampan tetap tak mau menyisi.
Dewi Che Fang segera mengayunkan tangan, menghajar
Dewa yang dianggapnya kurang ajar. Mendadak Dewa itu
lenyap, tapi tak lama kemudian muncul lagi di sisi Dewi Che
Fang sambil mengolok : "Sungguh hebat pukulanmu, bila aku
kurang cepat menyingkir, bisa matang biru mukaku !"
Tambah dongkol Dewi Che Fang, cepat menggerakkan tangan
lagi, dari telapak tangannya menghambur jaring, bermaksud
menjaring Dewa yang mempennainkan dirinya.
Namun Dewa itu lagi-lagi lenyap dari pandangan sang Dewi,
tapi selang sesaat telah muncul kembali di belakangnya sambil
memperdengarkan tawanya,
"Siapa kau sebenamya ?"
"Calon suamimu", sahut Dewa itu, "kau harus ditemani
seorang suami dalam meiyalankan tugasmu di bumi!"
"Brengsek kau !"
"Aku sungguh-sungguh ! " Dewa Agung pun berpesan begitu
". "Menyisilah kau sebelum kemarahanku memuncak !"
"Oh, jadi sekarang kau baru setengah marah, Dewiku yang
manis ?", olok sang Dewa.
"Akan kau rasakan akibat dari ulahmu !"
"Silakan !", tantang Dewa ito.
Dewi Che Pang memejamkan mata, berkomat-kamit membaca
mantera. Suasana menjadi hening.
Sang Dewi terus membaca manteranya.
Tak terdengar suara apa-apa lagi. Ini aneh " Sebab biasanya
setiap Dewi Che Fang membaca manteranya, Dewa, apa lagi
iblis yang ingin mengganggunya, akan sakit kepala dan
berteriak-teriak minta ampun.
Tapi sekarang justeru sepi l
Sang Dewi menyudahi membaca mantera, membuka matanya,
tak teri hat .siapapun di hadapannya, yang terbentang di
depannya adalah sebuah taman yang indah, takjauh dari situ
duduk Dewa Abadi di atas bunga Teratai Emas.
Dewi Che Fang segera menjatuhkan diri, bersujud di hadapan
sang Dewa Agung : "Sudilah Paduka memaafkan kelakuan
haniba bamsan ! Hamba tak tahu kalau Paduka sedang
menguji hamba!"
"Kau telah memiliki kesaktian seperti sebelumnya", sang Dewa
tersenyum lebar, "hanya gejolak perasaamnu yang belum dapat
kau kendalikan ! Selama kau membiarkan perasaan itu
merasuki dirimu, kau takkan dapat melaksanakan tugasmu
secara sempuma!" .
"Hambapun menyadari itu", sang Dewi mengakui
kelemahannya, "telah cukup lama hamba berusaha untuk
mengendalikannya, tapi sekali waktu akan tetap meledak-ledak
di permukaan. Sudilah Paduka membantu hamba".
"Lebih mendekatlah kau '."
Dewi Che Fang menurut.
Sang Dewa Abadi menurunkan mantera untuk mengendalikan
diri dari gejolak perasaan hati.
Dewi Che Fang menghafal mantera itu, langsung dirasakan
hatinya sejuk benar, membuatnya jadi mengulang lagi, terus
mengulangnya sampai hafal benar.
"Nah, sekarang kembalilah kau ke bumi dalam wujud rohnya
Miao Siang, jangan sembarang memperlihatkan tfari bila tidak
perlu benar", kata Dewa Abadi, "sekali ini usahamu akan
berhasil".
'Terima kasih Paduka", Dewi Fang kembali sujud, kemudian
pamit pada Dewa Abadi. Sekali ini Dewi Che Fang yang
berwujud sebagai rohnya Miao Siang, tak mengalami gangguan
apa-apa ketika kembali ke tempat menunggunya Oey Liong
dan lain-lainnya.
"Bagaimana kak " Berhasil bertemu dengan Dewa Abadi ?",
tanya Giok Lie.
Roh-nya Miao Siang mengangguk.
"Kakak sungguh beruntung, mpanya sudah ditakdirkan untuk
menjadi Dewi nantinya !"
"Dalam segala hal kita hanya dapat hemsaha saja, yang
menentukan adalah Thian Yang Maha Kuasa " Mari kita
kembali ke bumi!"
Kim Tong, Giok Lie dan Oey Liong segera mengiringi rohnya
Miao Siang. Di dalam perjalanan kembali ke bumi itu, mereka mampir ke
Im-kan (Neraka).
Roh Miao Siang menyaksikan bagaimana orang-orang yang
berdosa di dunia telah meiyalani hukuman di situ. Ada yang
di kat kaki dan tangannya dengan rantai besar, ada yang dijepit
lidahnya; ada pula yang dgepit tangan atau kakinya dengan
jepitan panas, yang membuatnya terus menerus berteriak
kesakitan dan berbagai siksaan laimiya.
Miao Siang tak sampai hati menyaksikan segalanya itu, segera
menasehati mereka agar bertaubat dan menyesali kesalahan
dan dosanya. Kemudian ia membaca doa.
Begitu selesai dia membaca doa, segera saja keadaan Neraka
itu berobah, tak ada lagi alat-alat untuk menyiksa, semua orang
hukuman di situ bebas, tak lagi menderita seperti sebelumnya.
Suasananyajadi mirip dengan Sorga. Bunga-bunga Teratai
Emas pada bertebaran.
Dua petugas Neraka yang masing-masing berkepala Kerbau
(Gu Tauw) dan bermuka Kuda (Bhe Bian) pada kelabakan
menghadapi perobahan yang benar-benar berada di luar
dugaan itu, segera melaporkannya kepada Poan Koan, petugas
yang mencatat orang hidup dan mati.
Poan Koan sendiri tak dapat mengambil keputusan, langsung
menemui Giam Lo Ong, si Raja Akhirat.
"Maaf hamba terpaksa mengganggu Paduka", kata Poan Koan
sambil memberi hormat. "Ada soal apa ?"
"Sejak kehadiran Miao Siang di sini, roh-roh yang seharusnya
mendapat hukuman, disiksa, telah berhasil dibebaskan oleh
doanya dan bunga-bunga Teratai Emas pada bertebaran". "Itu
memang sudah menjadi kehendak Dewa Agung", kata Giam Lo
Ong, "setiap orang yang telah bertaubat dan menyesali
kesalahan dan dosanya, mesti diberi ampun !"
'Tapi seandainya gadis suci itu berdiam lama di sini, akan
hilanglah peran Neraka", kata Poan Koan, "padahal
sebelumnya telah ditentukan adanya Neraka dan Sorga,
sebagai wadah bagi perbuatan manusia di bumi, yang jahat
dan yang baik".
"Kau tak perlu cemas benar, sebab keadaan itu hanyalah
bersifat sementara. Dan penghuni Neraka hams bersyukur
telah mendapat berkah dari roh suci yang nantinya akan
menjadi Dewi yang dipuja oleh umat Budha".
"Apa yang harus hamba lakukan sekarang ?", tanya Poan
Koan. "Akan kutemui dia nanti".
Sementara itu, Oey Liong, Giok Li6 dan Kim Tong minta pamit
dari Miao Siang : "Kini selesailah sudah tugas kami "Bila
memang jodoh, kita akan bertemu lagi di dunia nanti".
'Terima kasih atas bantuan kalian", kata Miao Siang, "mudahmudahan kebaikan kalian akan memperoleh pahala nanti".
Oey Liong dan lain-lainnya segera lenyap dari pandangannya.
Bersamaan dengan berlalunya ketiga roh suci itu, tiba-tiba
Giam Lo Ong telah muncul di hadapan Miao Siang.
Sang Raja Akhirat memberi salam kepada rohnya Miaog Siang
: "Senang sekali saya mendapat kunjungan Dewi, tapi sayang
sekali saya tak dapat menemani Dewi terialu lama sebab sang
Dewa Agung telah memutuskan untuk mengutus Dewi
kembali.ke bumi, semoga di lain waktu kita memiliki
kesempatan untuk bertemu lagi".
"Hamba memang tak bermaksud berlama-lama di sini, sebab
akan mengganggu tugas Paduka nanti".
"Akan saya suruh bawahan saya untuk mengantarkan Dewi ke
bumi!" Giam Lo Ong segera menyuruh seorang pemuda yang
berpakaian serba biru untuk mengantar rohnya Miao Siang
kembali ke jasadnya.
Jasad Miao Siang temyata tergeletak di bawah pohon cemara,
di sisinya berdiam seekor hartmau penjelmaan Touw Ti untuk
menjaga agar badan kasar Miao Siang itu tidak rusak. Begitu
rohnya Miao Siang masuk kembali kejasadnya, harimau itu
segera gaib. Ketika Miao Siang sadarkan diri, lebih tepat bila
dikatakan hidup kembali, didapati dirinya hanya sendirian di
hutan cemara yang sepi itu.
Miao Siang duduk, menarik nafas dalam-dalam. Dirinya
bagaikan orang yang baru siuman dari mimpmya.
"Masih berpeta jelas dalam benakku apa yang kualami di
Sorga dan Neraka", Miao Siang berkata dalam hati, "aku yakin,
itu bukanlah munpi, tapi kejadian yang sesungguhnya". Sejenak
Miao Siang bengong, membatin : "Sayang aku tak dapat
berdiam lama-lama di sana, sedangkan di sini, di dunia, belum
kuketahui akan ke mana aku harus pergi dalam mencari
kesempumaan ?"
Ingat akan hal itu, Miao Siangjadi murung. Tiba-tiba datang
seorang pemuda pencari kayu, tampan wajahnya.
Dia sangat heran ketika menyaksikan Miao Siang yang sedang
murung. "Kenapa nona diam sendirian di dalam hutan " Apa yang
membuatmu sedih ?", tanya-nya heran.
"Saya sebenarnya seorang puteri Raja", Miao Siang
menerangkan, "tapi berhubung menolak perintah ayahku untuk
dj odohkan oleh pemuda pilihannya, saya jadi dijatuhi hukuman
mati". Lebih jauh Miao Siang menerangkan, bagaimana rohnya
melayang ke bagian langit yang paling tinggi, di mana ia telah
sempat bertemu dengan Dewa Abadi, juga mampir ke Neraka
dalam perjalanan kembali ke bumi dan akhimya rohnya masuk
kembali ke jasadnya dan mendapatkan dirinya berada di dalam
hutan. "Aku tak percaya !", kata pemuda pencarikayu itu, "mana
mungkin orang yang telah mati bisa hidup kembali ?"
"Terserahmu mau percaya atau tidak, tapi kenyataannya
begitu". Pemuda itu tak mau mendebat, berkata : "Baik, aku percaya "
Tapi di sini bukanlah tempat yang tepat bagimu, sebab banyak
sekali binatang buasnya, salah-salah, setelah berhasil lolos dari
cengkeraman maut, malah menjadi mangsa binatang buas di
sini". "Aku tak takut apapun kecuali Thian !"
"Boleh saja kau bilang tak takut, tapi kalau sudah jadi mangsa
binatang buas atau orang jahat, bukankah kau mati secara siasia!?" "Aku..."
Sebelum Miao Siang sempat meneruskan ucapannya, telah
dipotong oleh si pemuda : "Aku sangat terharu mendengar
nasibmu yang malang, sebaiknya kau ikut saja ke pondokku
dan kebetulan aku hidup sendiri, maka cocok sekali kalau kita
jadi suami isteri. Aku mencari nafkah dan kau mengums rumah,
akan tenang hidupmu, tak lagi teriunta-lunta seperti sekarang
ini". "Terima kasih atas tawaranmu yang tulus itu", kata Miao Siang,
"lalu apa bedanya dengan kehendak ayahku bila sekarang
kuterima tawaranmu " Maaf, aku tak dapat menerima ajakanmu
itu!" "Lalu apa maumu sesungguhnya ?"
"Aku telah bertekad mempelajari Dharma yang tiada tara untuk
dapat mencapai tingkat ke-Budha-an. Bila berhasil nanti, akan
kutolong dan menyeberangkan semua makhluk dari lautan
derita ke daratan bahagia; ingin kuputuskan belenggu duka
yang tiada batas, hingga setiap orang yang kuat keyakinannya
terhadap agama, akan tenang hidupnya dan selalu terhindar
dari mara-bahaya !"
"Sungguh luhur cita-citamu", si pemuda menatap kagum, "tapi
kurasa hal itu amat sulit tercapai".
"Asal kita memiliki kemauan dan bulat tekad kita, apa pun
dapatkitacapai'."
"Tapi, apa yang telah dapat kau capai sekarang" Buktinya kau
tercampak sendirian di dalam hutan !"


Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apalah artinya kesengsaraan sementara demi mencapai citacita yang luhur ?"
"Janganlah kau berkhayal yang bukan-bukan, sebaiknya kau
tinggal bersamaku. Aku jamin hidupmu akan bahagia !", kata si
pemuda. "Bila aku mau berkeluarga, mungkin hidupku sekarang jauh
lebih bahagia dari apa yang kau tawarkan itu", tetap sabar
sikap Miao Siang, "tapi apalah artinya kebahagiaan sementara
itu " - Sesungguhnya, aku akan sangat bahagia bila dapat
menolong orang lain!"
"Kalau begitu, anggaplah kesediaanmu menjadi isteriku itu
justeru ingin menolongku !", ujar si pemuda, "sungguh mati,
Kisah Si Pedang Kilat 4 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 1

Cari Blog Ini