Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 1
Pendekar Pengejar Nyawa
Oleh : Khu Lung
Jilid 1 Beberapa baris tulisan huruf-huruf indah yang masih basah
tintanya itu tertera di atas selembar kertas yang dibentangkan di atas sebuah meja batu marmer. Sinar lilin menyorot dari sebuah lampion yang dibungkus kain paris merah, membuat kertas berwarna biru
muda itu terlihat berwarna ungu muda tertimpa cahaya merah dari lampion, kelihatan aneh dan janggal. Tulisan yang indah dan berseni itu jadi tampak lebih menarik dan merasuk hati. Surat itu tidak dibubuhi tanda tangan pengirimnya, namun mengandung bau dupa
wangi, bau dupa yang mengandung seni, dari tulisan surat bukan
surat, syair bukan syair itu, siapa pun susah menduga siapakah
orang yang mengirimkan surat ini.
Yang menerima surat ini adalah Kim Pian-hoa, anak seorang
hartawan terkenal di Pak-khia. Ia sedang duduk di pinggir meja. Raut mukanya yang putih halus dan selalu terpelihara itu terlihat berkerut-kerut seakan mendadak kesakitan lantaran terbacok senjata tajam. Kedua biji matanya melotot mengawasi surat itu, seolah baru saja menerima surat panggilan dari Giam-lo-ong (Raja Akhirat).
Dalam ruang pendopo yang besar itu hadir tiga orang lagi. Seorang adalah laki-laki tua berjubah sutera, berperawakan kekar dan bersikap gagah, namun rambutnya sudah beruban. Ia sedang menggendong kedua tangannya mondar-mandir di ruangan itu. Entah sudah berapa lama atau berapa kali ia berjalan pulang-pergi, seperti tidak merasa letih. Umpama ia berjalan lurus, mungkin jarak yang telah ditempuhnya tidak kurang dari jarak antara Pak-khia dan Thio-kah-gou.
Seorang lagi adalah laki-laki berpakaian serba hitam dengan tulang pipi yang menonjol, bermata elang dan bersikap dingin tenang, tapi terlihat jelas wataknya yang keji dan culas. Ia duduk di samping Kim Pian-hoa. Kedua tangannya sedang mengelus-elus sepasang potlot baja yang ditaruh di atas meja. Jari-jari tangannya kurus kering dan panjang, sendi-sendi tulangnya tampak menonjol seperti rangka besi.
Raut wajah kedua orang ini kaku serius, sepasang mata yang jeli selalu berputar mengawasi sekelilingnya, dari pintu ke arah jendela, dari jendela balik ke arah pintu, begitu tak putus-putusnya dengan perhatian penuh.
Selain kedua orang ini, masih ada seorang tua berkepala gundul berpakaian sederhana, tubuhnya kecil pendek dan kurus, ia duduk di pojok seakan bersemedi dengan memejamkan mata.
Tiada tanda istimewa di badan orang ini, tapi kedua daun kupingnya entah kenapa tidak tampak di tempatnya, namun digantikan oleh kuping palsu berwarna putih, entah terbuat dari apa.
Laki-laki tua berjubah sutera menghampiri meja, dijemputnya kertas bertulisan itu, katanya dingin: "Ini terhitung apa" Undangan" Tanda hutang" Dengan mengandalkan secarik kertas tak berharga seperti ini, dengan gampang dia hendak mengambil Giok-bi-jin, satu dari empat benda mestika di kota raja....." Lalu ia menggebrak meja dengan keras, bentaknya: "Coh Liu-hiang, oh Coh Liu-hiang. Jangan kau memandang remeh para enghiong di kota raja."
Kim Pian-hoa bersungut-sungut, katanya dengan gemetar dan sangsi: "Kenyataannya dengan hanya mengandalkan secarik kertas yang sama, entah sudah berapa banyak benda mestika yang berhasil dicurinya. Kalau dia mengatakan jam sekian hendak mengambil sesuatu barang, siapa pun jangan harap bisa menggagalkan usahanya."
"Oh, apa ya?" sela laki-laki baju hitam dengan nada dingin.
Kim Pian-hoa menghela nafas, ujarnya: "Bulan lalu Khu Sian-ho dari Jalan Gulung Tirai juga menerima secarik kertas yang sama, katanya hendak menjemput Kim-liong-pwe milik Khu-ya warisan leluhurnya. Bukan saja Sian-ho menyimpannya di sebuah kamar rahasia, malah mengundang dua orang Si-wi dari istana raja pula, Siang-ciang-hoan-thian (Sepasang Tangan Membalik Langit) Cui Cu-ho dan Bwe-hoa-kiam Pui Hoan untuk berjaga di luar pintu rahasia.
Penjagaan sedemikian rapat, seumpama lalat pun tidak akan dapat lolos. Namun setelah lewat jam yang dijanjikan, saat mereka membuka pintu kamar..... aaaiii, Kim-liong-pwe tetap saja hilang."
Laki-laki baju hitam tertawa dingin, jengeknya, "Ban-lo-piauthau bukanlah Cui Cu-ho, aku Seng-si-poan bukan Pui Hoan, apalagi.... " ia melirik laki-laki tua gundul di pojok, lalu menyambung dengan perlahan, "Eng-locianpwe yang paling ditakuti oleh kalangan maling dan pencuri di seluruh dunia pun hadir di sini, kami bertiga kalau tidak mampu membekuk Coh Liu-hiang, pasti tidak ada lagi orang yang mampu."
Baru sekarang laki-laki tua gundul itu membuka matanya, ujarnya, "Cui-heng terlalu mengagulkan diriku. Sejak peristiwa Hun-tai dulu, Lo-si sudah tidak berguna lagi. Orang yang hidupnya mencari nafkah dengan mengandalkan sepasang telinganya, kini telah diprotoli orang, kan sama seperti pengemis kehilangan ular untuk bermain sulap."
Bila orang pernah mengalami kekalahan yang begitu mengenaskan, apalagi kedua kupingnya pun hilang, pasti ia tidak berani mengungkit-ungkit peristiwa yang memalukan itu. Kalau orang berani mengolok-olok, tentu dia akan menghunus senjata untuk ajak adu jiwa. Tapi laki-laki tua gundul itu bicara sambil tertawa berseri tanpa malu, malah seakan merasa bangga dan senang.
Laki-laki tua berjubah sutera itu adalah Thi-ciang-gin-pian (Pukulan Besi Ruyung Perak), Ban Bu-tik, Cong-piauthau Ban-seng Piaukiok di kota raja. Sambil mengelus jenggotnya, ia tertawa gelak, ujarnya: "Kaum persilatan siapa yang tidak tahu ketajaman telinga Toh Eng yang tiada bandingannya di dunia" Memang saat peristiwa Hun-tai dulu mengalami kekalahan kecil, tapi kekalahan itu malah membawa rezeki besar. Apalagi sejak kau memasang dan menggunakan Pek-ih-sin-hi (Telinga Sakti Baju Putih), ketajaman kupingmu jadi semakin lihai."
Toh Eng atau si Elang Gundul menggeleng kepalanya, ujarnya tersenyum senang, "Aku sudah tua, sudah tak berguna lagi, kalau bukan karena ingin berkenalan langsung dengan maling paling sakti di antara para pencuri, laki-laki sejati di antara bajingan, tidak sudi aku muncul kembali di Bulim."
Tiba-tiba Kim Pian-hoa tertawa: "Kabar yang kudengar dari pembicaraan orang di Bulim, katanya cukup asalkan Eng-locianpwe pernah mendengar suara pernafasan seseorang, maka lantas dapat membedakan apakah orang itu laki-laki atau perempuan, berapa usianya, bagaimana asal-usulnya. Peduli siapa pun asalkan suara pernafasannya pernah didengar oleh Eng-locianpwe, selama hidup ia tak akan bisa lolos, ke mana pun ia melarikan diri, Eng-locianpwe pasti akan menemukan dan menangkapnya pula."
Toh Eng tertawa senang, dengan memicingkan mata ujarnya, "Kabar di kalangan Kangouw seringkali dibumbui dan dibesar-besarkan."
Terdengar suara kentongan yang terbawa hembusan angin malam, tiba-tiba Seng-si-poan berjingkrak bangun, lalu katanya, "Jam satu tepat!"
Kim Pian-hoa segera berlari ke pojok tembok, dari belakang sebuah pigura bergambar perempuan telanjang, ia menekan sebuah tombol untuk membuka pintu rahasia, dilihatnya kotak kayu cendana berukir indah masih menggeletak di situ, seketika ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan lega, katanya tertawa sambil berpaling, "Tak nyana ketenaran nama kalian bertiga benar-benar cukup membuat Coh Liu-hiang jeri dan tidak berani datang."
Seng-si-poan menengadah, ujarnya sambil bergelak tertawa, "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, ternyata kau pun seorang....."
"Ssstt!" tiba-tiba didengarnya Toh Eng mendesis, segera Seng-si-poan menghentikan tawanya, maka terdengar suara rendah serak yang mengandung daya tarik sedang berkata, "Giok-bi-jin sudah kuambil, Coh Liu-hiang mengucapkan terima kasih!"
Bergegas Ban Bu-tik memburu ke jendela dan memukulnya hingga terbuka, dilihatnya di tempat gelap di kejauhan sana berdiri seseorang, tangannya menggenggam sebuah benda sepanjang tiga kaki, di bawah sinar rembulan, warnanya yang putih kehijauan berkilau memancarkan cahaya terang, mulut orang itu sedang berkata: "Jam dua belas mencuri, jam satu ke mari untuk mengucapkan terima kasih, tata tertib selalu kupatuhi, maaf, maaf!"
Pucat pias wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: "Kejar, lekas kejar!"
Api lilin berkerlap-kerlip, angin menderu, bayangan orang berkelebatan. Seng-si-poan dan Ban Bu-tik telah melesat keluar lebih dulu.
Toh Eng berkata dengan nada berat: "Apa benda itu betul Giok-bi-jin?"
Kim Pian-hoa membanting kaki: "Aku melihat jelas, tidak salah lagi!" Berbareng dengan bantingan kakinya, badannya sudah meluncur keluar, ternyata kongcu hartawan ini memiliki kepandaian silat yang tidak lemah.
Toh Eng sedikit menggelengkan kepala, ujarnya: "Orang lain gampang kau tipu, tapi aku....
hm!" Dengan nanar ia menatap kotak kayu cendana itu dan berjalan perlahan mendekatinya.
Sekonyong-konyong sebuah suara "Breng" yang keras terdengar di belakangnya, begitu keras bunyi suara itu sampai badannya tergetar mencelat. Ternyata Pek-ih-sin-hi atau kuping palsu itu terbuat dari logam campuran perak, daya salurnya teramat hebat, suara yang memekakkan itu terasa menggetar-pecahkan selaput kupingnya. Selamanya ia amat membanggakan sepasang kupingnya ini, sungguh mimpi pun tak terfikir olehnya kalau kuping logamnya ini akan membawa akibat yang amat fatal juga bagi dirinya. Saking terkejutnya, ia berjumpalitan ke tengah udara, berbareng dengan itu sepasang telapak tangannya membalik menghantam ke belakang, tapi bayangan orang tak kelihatan lagi di belakangnya.
Suara itu kembali terdengar di luar jendela, dengan sebat ia menjejakkan kakinya, badannya pun melenting keluar jendela, tiba-tiba terdengar bunyi yang ramai di bawah kakinya, waktu ia menunduk, ternyata kakinya menginjak sepasang gembreng yang besar.
Berobah pucat roman muka Toh Eng, teriaknya: "Celaka!" Seperti orang gila, lekas ia melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya kotak kayu cendana itu masih tetap di tempatnya tanpa kurang suatu apa pun, tapi sebuah daun jendela di sebelah sana tampak bergerak tak henti-hentinya.
Seperti patung kayu, Toh Eng menjublek di tempat, mimik mukanya aneh dan lucu, entah sedang menangis atau lagi tertawa, cuma mulutnya bergumam: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau benar-benar lihai, tapi kau jangan takabur, suaramu sudah kudengar, akan datang suatu ketika kau akan kutemukan."
Angin berdesir di belakangnya. Ban Bu-tik, Seng-si-poan dan Kim Pian-hoa beruntun melesat masuk ke dalam pendopo. Dilihatnya tangan Ban Bu-tik menjinjing sebuah patung wanita laksana bidadari yang terbuat dari batu giok, katanya: "Ternyata hanya tipuan belaka, Giok-bi-jin ini ternyata palsu."
"Meski palsu, paling tidak juga berharga beberapa tahil perak. Itu yang namanya tidak berhasil mencuri ayam malah kehilangan segenggam beras. Begitu tenar dan besar namanya, malam ini toh terjungkal pula di tangan kita."
Dengan sorot mata pudar Toh Eng tetap mengawasi kotak kayu cendana itu, katanya lirih:
"Jika itu palsu, lalu yang tulen ada di mana?"
Berubah pucat wajah Kim Pian-hoa, serunya gemetar: "Sudah tentu.... ada... di dalam... kotak ini.."
Segera ia berlari memburu maju dan membuka kotak itu. Giok-bi-jin yang tersimpan di dalam kotak itu ternyata telah lenyap. Kim Pian-hoa menjerit pilu, lalu roboh pingsan.
Saat Ban Bu-tik memeriksa, di dalam kotak terdapat secarik kertas biru muda berbau wangi, di atasnya ada tulisan indah dan tajam berbunyi: "Pian-hoa Kongcu kehilangan, maling sakti meninggalkan bau harum."
-ooo- Kini ia tidur tengkurap di dek sebuah kapal. Cahaya matahari pagi bulan lima dengan hangat menerpa tubuhnya yang separuh telanjang, terutama punggungnya yang lebar, sehingga berwarna merah seperti tembaga. Angin laut basah sejuk berhembus sepoi-sepoi menyingkap rambutnya yang panjang halus terurai, kedua tangannya yang berotot terjulur ke depan, jari-jarinya panjang terpelihara dan kuat, serta memegang sebuah patung porselen yang mengkilap halus berkilauan, itulah Pek-giok-bi-jin, patung perempuan cantik terbuat dari batu pualam.
Seolah-olah ia sedang terlelap di tengah samudera raya.
Sebuah kapal dengan tiga tiang layar besar dan tinggi, layar berwarna putih, bentuk kapal panjang menyempit, terbuat dari bahan kayu yang keras dan mengkilap. Siapa pun yang berada di atas kapal ini, pasti hatinya tenang tenteram, merasa hidupnya penuh dengan kemewahan.
Waktu itu permulaan musim panas, sang surya memancarkan cahaya terang benderang, burung camar terbang rendah berputar-putar di sekeliling kapal, terasa semarak dan romantis, diliputi oleh kegembiraan masa muda yang gemilang.
Selayang pandang, samudera raya amat luas tak berujung pangkal, daratan nun jauh di sana terlihat seperti segunduk bayangan abu-abu yang sejajar dengan garis langit dan air. Di sini adalah dunia tersendiri, tak pernah kedatangan tamu-tamu yang membosankan.
Pintu yang menembus ruang bawah selalu terbuka, dari kamar bawah berkumandang suara tawa nyaring merdu. Kemudian seorang gadis cantik muncul dan berjalan di dek kapal. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna merah menyala yang sedap dipandang, rambutnya terurai mayang, setiap kakinya melangkah, tampak betis dan telapak kakinya yang indah dan putih halus menggiurkan, terus saja ia menghampiri, dengan perlahan ujung jari kakinya menggelitik telapak kaki orang. Terbersit senyuman mekar di raut mukanya yang elok seakan ratusan macam kembang serempak mekar semerbak dalam waktu yang bersamaan.
Laki-laki itu mengerutkan kakinya, katanya sambil menghela nafas, "Thiam-ji, apa kau tidak bisa diam?" Lagak lagu suaranya rendah, mengandung daya tarik yang luar biasa.
Terdengar suara kikik tawa yang panjang nyaring, "Akhirnya salah juga terkaanmu!"
Dengan malas ia membalikkan badan, cahaya matahari menimpa mukanya, kedua alis tebal memayang, diliputi kekasaran sikap laki-laki yang penuh dengan kejantanan, namun biji matanya yang bening menunjukkan kehalusan hatinya. Hidung yang tegak berdiri membayangkan ketegasan, tegas dalam keputusan dan tindakan. Tapi sekali tertawa, ketegasan hati yang keras itu seketika berubah menjadi halus mesra, sikap dingin itu seketika berubah menjadi simpatik dan halus kasihan.
Ia mengangkat tangannya untuk menutupi cahaya matahari yang menyilaukan matanya, wajahnya dihiasi senyum lebar sambil memicingkan mata, sorot matanya memancarkan kenakalan, penuh humor dan kecerdikan, katanya, "Li Ang-siu, jangan nakal ya, seorang Song Thiam-ji saja sudah cukup membuatku tobat!"
Li Ang-siu tertawa terpingkal sambil memeluk pinggang, katanya menahan tawa, "Kecuali Song Thiam-ji, memangnya orang lain tidak boleh nakal?"
Coh Liu-hiang menepuk papan dek di sebelahnya, katanya, "Baiklah kau duduk di sini dan menemani aku berjemur. Karanglah sebuah cerita untuk kudengar, cerita banyolan yang lucu, dengan akhir cerita yang menggembirakan, tragedi menyedihkan di dunia ini sudah cukup banyak."
Li Ang-siu menggigit bibir, katanya, "Aku tidak mau duduk, tak mau bercerita, aku pun tak mau berjemur... sungguh tak terfikir olehku, kenapa kau suka berjemur.... "Lain di mulut lain di hati, katanya tidak mau berjemur, justru dia berjongkok dengan perlahan dan duduk di pinggir orang, malah kedua kakinya terjulur agar tersorot sinar matahari.
"Apa jeleknya berjemur" Seseorang asal bisa meniru sifat matahari, dia pasti takkan melakukan perbuatan yang hina dan memalukan. Siapa pun bila berada di bawah sorotan sinar matahari yang sejuk menyegarkan ini, dia pasti takkan memikirkan sesuatu yang jahat."
"Aku justru sedang memikirkan hal jahat, "ujar Li Ang-siu sambil mengerling penuh arti.
"Tentu kau sedang mencari akal supaya aku merangkak bangun mengerjakan sesuatu, betul tidak?"
"Kau ini memang setan, segala persoalan tak bisa mengelabuimu," lamat-lamat suara tawa cekikikannya pun berhenti, lalu katanya pula, "Tapi kau memang harus mengerjakan persoalan ini, sejak pulang dari kotaraja, kau selalu tiduran, bila terus-terusan begini maka kau tentu akan menjadi bajingan."
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Kau ini mirip dengan guru sekolahku waktu kecil, kecuali kau tidak punya jenggot kambing seperti dia."
Seketika mata Li Ang-siu melotot, Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya pula, "Di kotaraja aku sudah menghadapi tampang-tampang orang yang mengagulkan diri sebagai Enghiong, kecuali si Elang Gundul tua bangka itu yang punya sedikit kepandaian, yang lain gentong nasi belaka. Ban Bu-tik katanya berkepandaian tinggi, sepasang potlotnya menurut kabar bisa menotok dua ratus delapan belas Hiat-to di tubuh orang. Namun ketika aku berkelebat di sampingnya, ia hanya berdiri seperti baru bangun dari mimpi."
Li Ang-siu membuka mulut, "Siapa yang tidak tahu ginkang Coh-toasiauya tiada bandingannya... tetapi Coh-toasiauya, bualanmu sudah selesai belum?"
"Sudah habis, nona Li ada petunjuk apa?"
"Akan kuajukan beberapa persoalan padamu," kata Li Ang-siu sambil mengeluarkan sejilid kitab tipis kecil dari lengan bajunya. "Barang yang kau ambil di Kilam tempo hari terjual tiga puluh laksa tail. Untuk membantu keluarga Ong-piauthau Liong-hou piaukiok selaksa tail, pembantu keluarga Tio dan Thio masing-masing disokong lima ribu tail, untuk membantu Ong-siucay melunasi ongkos penguburan seribu tail, membeli kado pernikahan Tio Kok-bing seribu lima ratus tail, untuk menyumbang The......"
Coh Liu-hiang menghela nafas, tukasnya, "Memangnya aku tidak tahu semua itu?"
Li Ang-siu meliriknya, katanya, "Pendek kata, tiga puluh laksa tail itu telah habis dibagikan, lima ribu tail yang kau sedot dari pengeluaranmu sendiri pun telah aku gunakan empat ribu tail untuk keperluan kita."
Coh Liu-hiang tertawa getir, "Nona, memangnya kau tidak bisa sedikit berhemat?"
"Apa hidupmu belum cukup mewah" Orang-orang usil di kalangan Kangouw mulai membicarakan kejelekanmu, orang tidak tahu, uang yang kau pakai adalah milikmu sendiri, semua bilang kau pura-pura dermawan lantaran memakai uang hasil curian."
"Persetan dengan omongan orang, perduli apa dengan kita" Hidup manusia di dunia ini apa artinya kalau tidak berfoya-foya, mengapa kita harus hidup menderita" Mengapa kau berubah menjadi sedemikian cupat?"
"Aku tidak menyuruhmu hidup menderita, aku cuma....."
"Kalian sedang mengobrol tentang apa" Apa tidak lapar?" tiba-tiba berkumandang suara dari ruang bawah.
Li Ang-siu geli mendengar logat orang, katanya tertawa, "Terlalu, memangnya dia tidak bisa bicara dengan logat yang enak didengar orang lain?"
"Kau tidak perlu mencelanya, dengan susah-payah dia memasak buat kita, namun kau tidak mau makan, tak heran kalau dia marah-marah. Orang kalau marah, logat kampung-nya pun akan dibawa serta, "demikian ujar Coh Liu-hiang. Tampaknya ia tidak bergerak, tahu-tahu sudah menarik tangan Li Ang-siu sembari berbangkit.
Dengan sengaja Li Ang-siu merengek aleman, "Segala urusan selalu kau membela Thiam-ji, maka dia.... "belum habis bicara, tiba-tiba raut mukanya berubah, serunya tertahan, "Coba lihat, apa itu?"
-ooo- Permukaan laut ditimpa cahaya sang surya, tampak sesosok bayangan orang terapung mendatangi terbawa oleh arus, ternyata sesosok mayat manusia.
Hanya dengan memutar badan, Coh Liu-hiang sudah berada di pinggir dek, sekali raih ia menarik segulung tali terus diikatnya, sekali ayun tali panjang itu melesat seperti anak panah langsung mengarah pada mayat terapung itu, seperti ular hidup saja, tali dengan tepat dan persis menjerat mayat itu.
Mayat ini masih mengenakan pakaian sutera halus yang mahal, pinggangnya menyoren pipa cangklong terbuat dari batu pualam, raut mukanya hitam legam melepuh besar. Dengan perlahan Coh Liu-hiang meletakkan mayat itu di atas dek, katanya sambil menggeleng, "Tak tertolong lagi."
Sebaliknya Li Ang-siu mengamati kedua tangan mayat itu, tampak jari tengah dan jari manis tangan kiri mayat itu masing-masing terpasang cincin emas hitam mengkilap terbuat dari baja murni. Tangan kanannya tidak mengenakan cincin, tapi ada bekas jalur putih yang menandakan biasanya pada jari tengahnya itu pun mengenakan cincin.
Berkerut alis Li Ang-siu, katanya, "Chit-sing-hwi-hoan (Cincin Terbang Tujuh Bintang), mungkinkah orang Thian-sing-pang?"
"Ya, dari Thian-siang-pang, malah pimpinan tertingginya Chit-sing-toh-hun (Tujuh Bintang Perenggut Nyawa) Cou Yu-cin. Tetapi Thian-sing-pang biasanya bercokol dan berkuasa di daerah Hoan-lam, mengapa dia bisa mati di tempat ini?"
"Badannya tidak terluka, mungkinkah dia mati karam?"
Coh Liu-hiang menggelengkan kepala, perlahan ia menyingkap baju orang, terlihat tulang rusuk ke-lima di dada sebelah kiri, antara Yu-kin-hiat dan Ki-hun-hiat, bercap sebuah telapak tangan warna merah darah.
"Cu-soa-ciang!" seru Li Ang-siu menghela nafas.
"Akhir-akhir ini dari Cu-soa-bun telah muncul beberapa tokoh muda yang lihai, jumlah anak murid kurang lebih tujuh puluhan, namun yang bisa mengalahkan dan membunuh Chit-sing-toh-hun tidak lebih dari tiga orang."
"Ya, Pang, Nyo, Sebun..... ilmu silat ketiga orang ini mungkin lebih unggul dari Cou Yu-cin."
"Tapi ada permusuhan apa antara Cu-soa-bun dan Thian-sing-pang?"
Li Ang-siu berfikir, lalu menjawab, "Tiga puluh tujuh tahun yang lalu, Sing-tong Hiangcu dari Thian-sing-pang mempersunting puteri kedua Ciangbunjin Cu-soan-bun waktu itu, Pang Hong.
Dua tahun kemudian, nona Pang meninggal dunia. Pang Hong lalu meluruk ke markas Thian-sing-pang untuk mengusut persoalan ini, akhirnya diketahui ternyata nona Pang memang meninggal dunia lantaran sakit keras, tapi hubungan kedua keluarga sejak itu terputus."
"Masih ada yang lain?"
"Dua puluh enam.... mungkin dua puluh lima tahun yang lalu, Thian-sing-pang pernah merampas barang kawalan yang dilindungi oleh anak murid Cu-soa-bun. Waktu itu kebetulan Pang Hong baru saja wafat setelah sakit tua, fihak Cu-soa-bun sedang sibuk memilih calon Ciangbunjin penggantinya, maka urusan itu tertunda setahun berikutnya. Meski murid Thian-sing-pang yang merampas barang kawalan itu sudah mengaku salah dan meminta maaf, namun barang-barang itu tidak pernah dikembalikan."
Peristiwa dua puluh lima tahun yang lalu ia tuturkan dengan hafal dan fasih sekali, seolah-olah sedang menceritakan sejarah rumah tangga leluhur sendiri.
Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya, "Ingatanmu memang tidak pernah mengecewakan orang lain..... tetapi semua peristiwa itu sudah berlalu, juga tidak terhitung permusuhan dendam kesumat sedalam lautan, fihak Cu-soa-bun tidak akan menguntit Cou Yu-cin sampai di sini lantaran peristiwa lama itu, lalu turun tangan keji, pasti dalam peristiwa ini ada latar belakang atau ada sebab-musabab yang belum kita ketahui."
Sekonyong-konyong seorang gadis lain muncul dari ruang bawah, serunya dengan bersungut-sungut, "Kalian sedang mengobrol apa?" Dia pun memakai pakaian lebar yang amat longgar, berwarna kuning seperti bulu angsa, setiap langkah kakinya memperlihatkan pahanya yang halus, betis kakinya yang indah dan kulit kakinya yang putih lembut.
Rambutnya yang panjang hitam legam diikal menjadi dua jalur kuncir, waktu memburu keluar gerak-geriknya lincah, kedua kuncirnya bergoyang-gontai, raut mukanya yang bundar seperti kwaci berwarna abu-abu pudar, dihiasi sepasang biji mata yang jelas perbedaan hitam putihnya, kelihatan amat menawan, cantik dan nakal. Mukanya sedang bersungut mendongkol, tetapi begitu melihat mayat itu, mendadak ia menjerit ketakutan, lalu memutar badan terus lari terbirit-birit masuk kembali ke ruang bawah, larinya malah lebih cepat daripada waktu datangnya tadi.
"Nyali Thiam-ji biasanya besar bila melakukan tugas berat apa pun, tapi setiap kali melihat mayat, takutnya setengah mati, makanya sering kukatakan, siapa yang bisa menundukkan dia, hanya orang mati yang bisa mengekang dirinya."
Dengan nanar Coh Liu-hiang mengawasi permukaan laut nan jauh di sana, katanya kalem,
"Coba tunggu saja, mayat yang terapung lewat di sini kupastikan tidak hanya satu."
Belum lagi Li Ang-siu sempat buka suara, tiba-tiba dari ruang bawah di balik pintu, terlihat tangan halus putih terjulur keluar mendorong sebuah nampan besar. Nampan besar itu diletakkan di atas dek, di atasnya ada dua ekor burung dara yang dipanggang matang, jeruk kuning teriris merekah, beberapa kerat potongan daging kerbau, separoh ayam goreng, seekor ikan gurame, di samping itu ada pula secawan air tomat kental, dua piring nasi putih, sebotol anggur berwarna merah coklat, botol itu basah oleh butiran-butiran air yang menguap, agaknya baru dikeluarkan dari rendaman es batu.
Tatkala itu Coh Liu-hiang sudah menurunkan jangkar, sehingga perahu mereka berlabuh di tengah lautan. Tanpa sungkan-sungkan Coh Liu-hiang gegares semua hidangan yang sudah disiapkan untuk dirinya, belum lagi ia habis menggeragoti seekor burung dara, betul juga dari arah semula terapung datang pula sesosok mayat orang.
Mayat ini mengenakan jubah pendek warna merah legam, panjangnya cuma sampai ke lututnya, meski raut mukanya sudah terendam air laut tapi kelihatan masih sedemikian putih bersih, usianya paling baru empat puluhan, di bawah dagunya memelihara jenggot pendek, namun ujung matanya belum memperlihatkan kerut-kerut kulit muka. Telapak tangan kirinya halus, telapak tangan kanan sebaliknya begitu kasar dan jelek sekali, otot-otot tulangnya menonjol keluar, hampir satu kali lipat lebih besar daripada telapak tangan kirinya. Waktu telapak tangannya dipentang, warnanya mirip dengan jubah yang dipakai.
Mata Li Ang-siu yang bening terbelalak membundar, katanya kaget, "Orang ini adalah Sat-jiu-suseng (Pelajar Bertangan Pembunuh) Sebun Jian."
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Sebun Jian membunuh Cou Yu-cin, namun dia terbunuh pula oleh orang lain."
"Tapi siapa pula yang membunuhnya?" tanya Li Ang-siu seperti menggumam. Habis bicara matanya menjelajahi keadaan tubuh orang, terlihat luka berlubang di tenggorokan Sebun Jian, darah sudah tersapu bersih oleh air laut, kulit dagingnya berwarna abu-abu merekah membesar. Li Ang-siu menarik nafas, katanya, "Luka tusukan pedang."
Coh Liu-hiang mengiyakan sambil manggut-manggut.
"Lebar luka pedang ini cuma satu dim lebih, di dalam Bulim cuma Hay-lam dan Lao-san dua aliran besar ilmu pedang yang biasa menggunakan pedang setipis dan sesempit seperti ini."
"Tidak salah," kata Coh Liu-hiang mengiyakan.
"Hay-lam dan Lao-san, dua partai ini berjarak tidak jauh dari sini, tetapi ilmu pedang Lao-san hanya diajarkan pada murid-murid tosu yang beragama, mengutamakan welas asih dan berjiwa luhur, jadi Sebun Jian mati tertembus pedang murid Hay-lam-kiam-khek yang ganas dan telengas, benar-benar peristiwa yang aneh dan membingungkan."
"Aneh?" Coh Liu-hiang mengerutkan kening.
"Rasanya Hay-lam-pay tiada dendam dan tidak ada permusuhan dengan Cu-soa-bun, malah boleh dibilang punya hubungan yang cukup erat. Delapan tahun yang lalu, Cu-soa-bun diserbu dan dikepung oleh Bin-lam-chit-kiam, dari tempat ribuan li Hay-lam mengirim anak buah memberi bantuan, sekarang tokoh kosen Hay-lam-pay membunuh Tianglo Cu-soa-bun, sungguh membingungkan dan tak bisa dimengerti."
Coh Liu-hiang menghela nafas, "Tanpa sebab Cou Yu-cin mampus di tangan Sebun Jian, sebaliknya Sebun Jian terbunuh pula oleh murid Hay-lam-pay, sebetulnya rahasia apa yang terselip dalam peristiwa ini?"
Li Ang-siu tertawa manis, katanya, "Memangnya kau hendak turut campur urusan orang lain?"
"Bukankah tadi kau bilang aku terlalu malas" Akan kuselesaikan persoalan ini supaya kau bisa membuktikan apakah aku malas atau seorang cerdik pandai."
"Kukira peristiwa ini berlatar-belakang dan berbuntut luas dan panjang, lagi pula amat berbahaya. Yong-cici sedang sakit, menurut hematku, lebih baik kita tidak melibatkan diri dalam peristiwa ini."
"Segala persoalan yang berbahaya selalu mendorong hasratku untuk menyelesaikannya.
Semakin menyangkut rahasia yang lebih rahasia, pasti nilai benda yang tersangkut-paut pun amat mahal, memangnya aku hanya berpeluk tangan saja melihat peristiwa ini?"
"Aku tahu kalau kau tidak berhasil membongkar rahasia ini, pasti kau tidak bisa tidur nyenyak, sejak dilahirkan kau memang sudah ditakdirkan untuk menjadi tukang mengurus persoalan orang lain," Tiba-tiba tawanya semakin lebar, katanya pula, "Tapi persoalan ini tiada berujung pangkal, seumpama menggagap jarum di laut. Sampai detik ini, tidak ada satu pun sumber penyelidikan, kau hendak mencampuri urusan ini, kurasa kau tak akan bisa turun tangan."
"Coba kau tunggu saja, sumber penyelidikanku lambat-laun akan semakin banyak," Setelah meneguk arak, Coh Liu-hiang mulai menggerogoti paha ayam dan makan-minum dengan lahapnya di atas geladak.
"Aku kagum melihat seleramu. Dalam keadaan seperti ini kau masih bisa makan dengan lahapnya."
Tanpa terasa kakinya bergeser ke pinggir, tangannya bersandar pada pagar besi, pandangan matanya mengawasi permukaan laut di kejauhan sana.
Dilihatnya sesosok mayat lain terapung di permukaan, seperti terbawa oleh arus ke arah sini.
Ternyata mayat ini adalah seorang Tosu berjubah hijau dengan wajah yang dipenuhi jambang.
Tangan-kakinya telah dingin kaku, tetapi jari-jarinya masih menggenggam sepotong pedang buntung, badan pedang yang sempit panjang masih memancarkan cahaya dingin, rambut kepalanya awut-awutan menutupi separoh wajah, batok kepalanya terbelah dua. Sungguh mengenaskan kematian orang ini, sampai Li Ang-siu memalingkan muka tak tega melihat keadaannya yang mengerikan.
"Ternyata betul murid Hay-lam-pay."
"Kau.... kau kenal dia?"
"Ya, orang ini adalah Ling-ciu-cu, salah seorang dari Hay-lam-sam-kiam (Tiga Pedang dari Hay-lam-pay), keganasan ilmu pedangnya di dalam Bulim hanya ada beberapa orang saja yang bisa menandingi."
"Sekali tusuk melubangi tenggorokan orang, tidak nyana batok kepala sendiri pun terbelah menjadi dua oleh bacokan orang," Sepintas ia berpaling melihat sebentar, lalu katanya pula,
"Dilihat dari keadaannya, waktu bacokan orang itu meluncur tiba, dia tidak mampu berkelit lagi, terpaksa ia mengangkat pedang menangkis, tidak dinyana, bukan saja orang itu mampu membacok putus pedangnya, kekuatannya yang hebat masih kuasa membelah batok kepalanya pula. Hay-lam-cui-kiam kabarnya terbuat dari gemblengan besi dingin dari dasar lautan, orang itu mampu membacok pedangnya hingga putus, ai..... pedang yang tajam! Pedang yang berat!"
"Dari mana kau tahu kalau lawannya itu menggunakan pedang?"
"Tokoh silat kenamaan yang menggunakan golok di Bulim zaman ini, siapa yang mampu mendesak Ling-ciu-cu hingga tidak mampu mengegos lagi... tiada jurus ilmu pedang Hay-lam-kiam-pay yang tidak menggunakan kekerasan, kalau dia tidak terdesak dan terpaksa, mana mungkin ia mengangkat pedang untuk menangkis bacokan golok musuh yang mengarah batok kepalanya?"
"Benar," Coh Liu-hiang manggut-manggut. "Perubahan ilmu golok memang tak selincah dan serumit ilmu pedang umumnya. Bagi orang yang bergaman golok, jika hendak mendesak lawan yang bersenjatakan pedang hingga tidak mampu berkelit lagi, memang sesukar memanjat ke langit," ia tertawa lebar, katanya lebih lanjut, "Tapi kau melupakan seseorang."
Biji mata Li Ang-siu bersinar, katanya tertawa, "Kalau yang kau maksud Bu-ing-sin-to (Golok Sakti Tanpa Bayangan) Ca Bok-hap, dugaanmu salah besar."
"Mengapa salah?"
"Ca Bok-hap sebagai tokoh nomor satu dalam ilmu golok, kecepatan ilmu goloknya tiada wujud, tidak kelihatan bayangannya. Waktu ia membacok, mungkin Ling-ciu-cu belum sempat tahu dari arah mana sambaran golok itu datang, terpaksa ia mengangkat pedangnya untuk menangkis, namun Toa-hong-to merupakan salah satu senjata pusaka dari tiga belas senjata sejati di kolong langit, rasanya cukup berlebihan untuk membacok Hay-lam-cui-kiam."
"Nah, uraianku kan sudah cocok dengan keadaan?"
"Tapi kau jangan lupa, Ca Bok-hap malang-melintang tiga puluhan tahun di padang pasir, julukannya "Soa-mu-ci-ong" (Raja Padang Pasir), untuk apa dia jauh-jauh meluruk ke sini?"
"Kau bilang tidak mungkin, sebaliknya aku berpendapat kemungkinan besar ya."
"Kau ingin bertaruh denganku?"
"Aku tidak mau bertaruh denganmu, karena jelas kau akan kalah."
"Boleh kalian bertaruh, siapa kalah harus mencuci mangkuk-piring selama setengah bulan,"
tiba-tiba terdengar suara menyeletuk dari ruang bawah.
"Setan cilik, memang kau biasa mengambil keuntungan dari kekalahan orang lain," semprot Li Ang-siu.
Coh Liu-hiang terlongong sambil bertopang dagu di pinggir geladak, seolah-olah ia tidak mendengar percakapan mereka.
"Apa yang sedang kau tunggu?" tanya Li Ang-siu mendekati. "Apa kau sedang menunggu Ca Bok-hap?"
"Mungkin...."
"Sia-sia saja, Raja Padang Pasir takkan datang, seumpama kemari, tiada seorang pun yang mampu membunuh dia."
"Cou Yu-cin jarang bergaul dengan Sebun Jian, kenapa Cou Yu-cin dibunuhnya" Ling-ciu-cu tiada dendam permusuhan dengan Sebun Jian, mengapa Sebun Jian dibunuh" Ca Bok-hap dan Ling-ciu-cu, yang seorang tinggal di ujung laut, yang lain tinggal di ujung langit, jelas tiada hubungan antara satu dengan lainnya, kenapa pula Ling-ciu-cu sampai dibunuh olehnya?" Coh Liu-hiang menghela nafas, katanya lebih lanjut, "Itu menandakan banyak persoalan dalam peristiwa ini, semuanya belum bisa ditentukan."
Kini sudah lewat lohor, sejak pertama kali menemukan mayat, kira-kira sudah dua jam berselang, di atas geladak terbaring tiga sosok mayat manusia, ternyata mayat keempat sudah terapung mendatangi terbawa arus.
Kalau ketiga mayat terdahulu terapung dan naik-turun mengikuti alunan gelombang, mayat yang ini justru seperti kantong kulit yang berisi hawa padat, seluruh badannya terapung di permukaan air. Menghadapi tiga mayat seram terdahulu, Li Ang-siu masih berani melirik dua tiga kali, tapi begitu melihat mayat yang ini, meski hanya sekilas saja, seluruh badannya terasa menggigil dan mengkirik bulu kuduknya, serta tak berani melihatnya lagi.
Awalnya badan mayat ini entah gemuk atau kurus, Coh Liu-hiang sendiri tidak bisa membedakan, yang terang mayat ini sekarang sudah melembung besar seperti diisi air, malah sebagian anggota badannya sudah mulai membusuk. Berapa usia mayat ini, tua atau muda, Coh Liu-hiang juga sukar menebak, karena rambut dan alis serta bulu badannya sudah sama rontok dan mengelupas kulitnya. Demikian pula biji matanya mencotot keluar hampir pecah, seluruh kulitnya sudah berubah warna abu-abu gelap, sehingga membuat orang mual dan ngeri, menyentuh dengan jari pun Coh Liu-hiang merasa enggan.
"Racun yang hebat sekali," ujar Li Ang-siu. "Biar kuminta Yong-ci naik memeriksanya, sebetulnya racun macam apakah ini?"
"Racun ini, Yang-yang pun tak akan mengenalnya," kata Coh Liu-hiang.
"Kau membual lagi, meski ilmu silatmu cukup hebat, namun dalam hal Am-gi, belum tentu kau lebih unggul dari Thiam-ji, bicara soal menyamar dan merias serta kepandaian menggunakan racun, kau bukan apa-apa dibanding Yong-ci."
"Tapi orang ini mati bukan lantaran terkena racun saja."
"Bukan racun, memangnya gula?"
"Boleh juga dianggap gula.... air gula."
Li Ang-siu melengak, serunya heran, "Air gula?"
"Itulah hasil ramuan Sin-cui-kiong yang dibanggakan, di kalangan kangouw dinamakan Thian-it-sin-cui, sementara murid-murid Sin-cui-kiong menamakannya Jiong-cui."
"Memangnya Thian-it-sin-cui jauh lebih hebat dan lebih beracun daripada segala macam racun yang ada di kolong langit ini?"
"Sudah tentu, kabarnya bobot setitik Thian-it-sin-cui sama dengan tiga ratus gantang air biasa, orang biasa cukup minum setetes saja, kontan jiwanya akan melayang karena seluruh badannya akan meledak," kata Coh Liu-hiang menghela nafas, lalu menambahkan, "Thian-it-sin-cui tidak berbau tidak berwarna, sukar dicoba dan sukar diketahui kelainannya, maka si raja padang pasir pun tak terhindar dari bokongannya."
"Jadi... orang ini adalah Ca Bok-hap?"
"Ehm!" Coh Liu-hiang manggut-manggut.
"Badannya sudah berubah sedemikian rupa, dari mana kau bisa mengenalinya?"
"Pakaian yang dikenakannya meski baju biasa, namun kakinya mengenakan sepatu kulit domba yang tinggi, terang dia adalah seorang penggembala. Kulit badannya putih halus, sebaliknya kulit muka kasar, itu karena dia biasa mondar-mandir di padang pasir, di pinggangnya tergantung gelang baja peranti untuk menggantung golok, namun golok dan sarungnya sudah hilang, menandakan bahwa senjata yang dia bawa adalah golok pusaka, maka sudah diambil oleh orang yang mengincarnya."
"Dari beberapa petunjuk yang ada ini, aku yakin orang ini pasti si raja padang pasir Bu-ing-sin-to Ca Bok-hap adanya," kata Coh Liu-hiang lebih lanjut.
"Kulihat kau memang cocok menjadi opas, setiap persoalan pembunuhan yang kau usut tentu lebih sempurna dan lihai daripada si Elang Gundul yang tersohor sebagai opas nomor wahid di seluruh jagad ini."
"Masih ada lagi," kata Coh Liu-hiang tertawa. "Di atas badannya tergantung sebuah lencana perak, di atas lencana ini terukir seekor onta bersayap. Kalau aku tidak bisa menebak bahwa orang ini adalah si raja padang pasir, tentulah aku ini seorang yang sudah pikun."
Kembali Li Ang-siu cekikikan geli, katanya, "Kau memang seorang cerdik yang hebat." Tetapi segera sirna seri tawanya, katanya pula dengan mengerut kening, "Soal apa yang menggerakkan hati si raja padang pasir dan murid-murid Sin-cui-kiong" Terang persoalan ini pasti tidak kecil artinya, kini si raja padang pasir sudah ajal, jelas....."
Coh Liu-hiang segera menukas, "Kau hendak membujuk aku agar berpeluk tangan saja, bukan?"
"Aku tidak ingin membujukmu, cuma kuharap kau jauh lebih berhati-hati."
Coh Liu-hiang menengadah mengawasi segumpal awan yang melintas, katanya tertawa,
"Kabarnya murid-murid Sin-cui-kiong adalah dara ayu jelita yang jarang dicari bandingannya, entah bagaimana kalau dibandingkan dengan ketiga nona kami?"
Li Ang-siu tertawa getir sambil menggeleng kepala, "Apa kau tidak bisa bicara yang benar?"
Satu jam sudah berlalu, suasana lautan tetap hening lelap, tiada pertanda sesuatu gerakan apa pun.
"Kurasa kau tidak perlu menanti pula," ujar Li Ang-siu.
"Kalau tidak ada mayat yang lain, maka persoalan ini berhenti pada utusan dari Sin-cui-kiong.
Kalau orang-orang ini memperebutkan benda mestika, maka benda pusaka itu sudah pasti jatuh ke tangan utusan Sin-cui-kiong."
"Kalau ada mayat lainnya pula?"
"Perduli apa, berapa pun banyaknya mayat manusia, cukup kita perhatikan dan sadari mayat terakhir terbunuh oleh siapa, maka sumber penyelidikan sudah berada di tangan kita."
"Kau yakin tokoh-tokoh kosen ini mati karena memperebutkan benda pusaka?"
"Manusia mampus lantaran harta benda, setidaknya orang-orang ini tetap manusia."
Li Ang-siu melepaskan pandangan ke arah nan jauh, katanya perlahan, "Benda pusaka yang menarik, sampai tokoh-tokoh kosen seperti mereka pun ikut berebut, maka barang ini tentu amat berharga dan mengejutkan," Lama-kelamaan ia menjadi tertarik oleh persoalan ini, terbukti dari sorot matanya yang bercahaya.
Song Thiam-ji yang berada di ruang bawah mendadak bersuara pula, "Kalian tidak tahu kalau Yang-yang punya seorang bibi misan yang berada di Sin-cui-kiong?"
"Oh, Yang-yang punya seorang bibi misan yang menjadi murid Sin-cui-kiong" Dua hari ini apakah kesehatannya sudah lebih baik" Apa masih mengalirkan air liur?"
"Kau ingin dia naik ke atas?" tanya Li Ang-siu.
"Sudahlah, orang demam pilek lebih baik tiduran saja."
Terdengar seorang menyahut dengan suara lembut, "Tidak menjadi soal, sakitku memang sudah sembuh, mendengar kata-katamu, aku...."
Terdengar Song Thiam-ji berseru pula, "Yong-ci jangan kena tipu, dia sudah tahu kau datang, maka sengaja dia mengeluarkan kata-kata prihatin padamu."
Suara lembut itu menjawab, "Seumpama dia memang berkata begitu, asal dia suka mengatakan, aku sudah senang." Sesosok bayangan semampai dengan langkah kaki gemulai seenteng asap melenggok muncul dari tangga kayu dari ruang bawah.
Gadis ini mengenakan jubah panjang yang longgar dan lemas, kepanjangan sampai terseret di atas geladak dan menutupi seluruh kakinya, cahaya matahari yang benderang menyinari rambut panjangnya yang terurai mayang, biji matanya bening, membayangkan senyum manisnya nan lembut, selintas pandang seolah bidadari dari kahyangan.
"Yang-ci, "seru Li Ang-siu membanting kaki, "Angin begini besar, buat apa kau naik ke sini"
Awas nanti kau jatuh sakit lagi dan tidak bisa bangun, kongcu kita yang romantis bisa marah pada kami."
"Di atas sini panas dan gerah, siapa yang tahan menyekap diri di ruang bawah, lagipula aku pun ingin melihat apakah benar murid Sin-cui-kiong bakal datang." Tangannya membawa seperangkat kimono yang lembut halus, dengan perlahan ia melampirkannya ke atas badan Coh Liu-hiang, lalu katanya lembut, "Cuaca mulai dingin, awas nanti kau pun terkena demam."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kau selalu memperhatikan orang lain, sebaliknya tidak prihatin terhadap dirimu sendiri.... asal kau memperhatikan dirimu, masa kau bisa sakit."
Li Ang-siu mencibirkan bibir, lalu katanya, "Memangnya kami yang tidak pernah sakit, tidak pernah memperhatikan kesehatanmu."
So Yang-yang menepuk kedua pipinya, katanya tertawa, "Terlalu banyak bermakan hati, kau bisa cepat bertambah tua."
Li Ang-siu memeluknya, katanya cekikikan, "Aku ini memang kutu busuk yang suka cemburu dan makan hati, Yong-ci, mengapa kau tetap baik pada diriku?" Tubuh So Yang-yang yang semampai dan lemah dipeluknya dan diangkat ke atas.
Pada saat itulah mayat kelima terapung tiba.
-ooo- Kalau dinilai secara keseluruhan, mayat ini sudah bukan mayat yang lengkap lagi, karena anggota badan sebelah kiri terbelah dari pundak, seluruh lengan kirinya sudah hilang. Untung mukanya masih dalam bentuk lengkap, jadi masih jelas kelihatan wajahnya yang jelita, pembunuh yang telengas itu agaknya tak tega merusak raut wajahnya yang cantik.
Badannya mengenakan pakaian dari kain sari panjang, pakaian tanpa potongan dan model, karena begitu saja dari atas ke bawah sari halus itu membelit badannya, di tengah pinggangnya mengenakan sabuk tali sutera warna perak, kedua kakinya yang indah mengenakan sepatu dari bahan yang sama seperti sabuk peraknya.
Pakaian sari yang tinggal separoh itu berlepotan darah, jika tidak mengenakan sabuk tali perak, tentu kain sari halus yang melilit tubuh itu sudah hanyut terbawa gelombang laut, meski demikian badannya sudah hampir telanjang.
Lekas So Yang-yang memalingkan muka, matanya yang elok sudah berlinang air mata.
Li Ang-siu pun memejamkan mata, katanya, "Yong-ci, menurutmu apakah dia murid Sin-cui-kiong?"
So Yang-yang manggut-manggut tanpa bersuara.
"Perempuan secantik ini siapa tega membunuhnya?" ujar Coh Liu-hiang gegetun.
"Orang yang bertangan keji ini pun sudah ajal," kata Li Ang-siu.
"Maksudmu Ca Bok-hap?"
"Sudah tentu Ca Bok-hap, kecuali dia, siapa pula yang mampu melancarkan serangan golok sedemikian cepat?"
"Ehm!" kembali Coh Liu-hiang memanggut.
"Setelah tahu dirinya terkena racun, menggunakan sisa tenaga yang masih ada, dia membacok lawan, hatinya dirundung kebencian yang meluap, maka bacokannya itu menghasilkan akibat yang mengerikan, keji dan berat."
"Semua uraianmu itu memang masuk akal," ujar Coh Liu-hiang.
"Kini sumber penyelidikan yang kita tunggu sudah putus, kita pun tak perlu bersusah-payah lagi."
"Memang tiada perkara lagi?"
"Semua orang yang bersangkutan sudah mati, masih ada perkara lain?"
"Kau yakin dia mati di tangan Ca Bok-hap?"
"Memangnya bukan?"
"Jangan kau lupa, setelah Ca Bok-hap mati, Toa-hong-to mungkin jatuh ke tangan orang lain.
Dengan menggunakan Toa-hong-to, orang itu bisa membunuh dia supaya orang lain menyangka persoalan ini sudah tamat sampai di sini."
"Ah, benar juga fikiranmu."
"Kalau dia ingin orang berpendapat demikian, maka peristiwa ini sudah tentu belum berakhir.
Menurut pendapatku, persoalan ini justru baru dimulai."
"Kalau begitu, mengapa dia tak melenyapkan saja mayat-mayat ini, supaya orang tak mampu membedakan dan mengenali mayat-mayat ini, mana mungkin mengusut persoalan ini pula?"
"Orang-orang ini adalah tokon kosen ternama di kangouw, boleh dikata adalah pimpinan tertinggi cabang persilatan. Jika mereka mendadak menghilang bersama, anak murid atau anggota perguruan mereka masa tidak menyelidiki dan mencari jejak mereka?"
"Oleh karena itu.... "So Yang-yang mengerut kening.
"Oleh karena itu dia harus bertindak sesuai rencana, supaya orang lain menyangka kelima orang ini saling bunuh, sehingga anak murid dan anggota perguruan sendiri pun kehilangan sasaran untuk menuntut balas, apa pula yang harus mereka selidiki?"
Li Ang-siu menghela nafas, katanya, "Tapi pasti tak terfikir olehnya di dunia ini masih ada orang yang senang mencampuri urusan orang lain."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kukira dia memang tak pernah memikirkan hal itu."
"Tapi siapakah si dia itu" Kemungkinan setiap orang adalah si dia itu... sekarang sumber yang ada pun sudah terputus, kau hendak menyelidiki, bukankah berarti menggagap jarum di lautan?"
"Tidak salah," ujar Coh Liu-hiang. Tiba-tiba badannya mencelat tinggi terus terjun ke laut.
"Apa yang hendak kau lakukan?" teriak Li Ang-siu.
"Mengambil jarum," sahut Coh Liu-hiang sebelum badannya masuk ke air, seperti seekor ikan raksasa, tahu-tahu badannya sudah hilang ditelan air laut. Permukaan laut ditimpa sinar matahari keemasan, sama sekali tidak menimbulkan percikan sedikit pun.
"Yang-ci, kau...," seru Li Ang-siu sambil membanting kaki. "Mengapa kau tidak mencegahnya?"
"Dalam dunia ini, siapa yang mampu mencegah setiap keiinginannya?" sahut So Yang-yang.
So Yang-yang berdua mengeluarkan kain layar yang besar untuk menutupi ke eempat mayat manusia itu. Baru sekarang Song Tham-ji berani menongolkan kepalanya. Tangan kanannya menjinjing sebuah lampion, berbentuk bagus, sementara tangan kiri membawa sekeranjang buah-buahan.
Sinar bintang mulai pasang aksi berkelap-kelip di tengah angkasa raya, air laut kelihatan mengeluarkan cahaya cemerlang seperti lembaran kain sutra yang mengkilap, dengan nyaman dan segar mereka duduk berjajar merasakan hembusan angin lalu yang sepoi-sepoi namun dalam sanubari mereka sedikitpun tidak merasa nyaman dan tenteram. Siapa akan merasa segar dan nyaman bila di samping mereka rebah lima sosok mayat manusia.
Lama sudah Coh Liu-hiang pergi jauh di permukaan laut sana, nampak setitik sinar kelap-kelip laksana bintang di tengah lautan, segera Li Ang-siu berseri tawa riang serta berkata: "Aku hanya mengharap jangan sampai dia kena dijala orang karena dianggapnya seekor ikan raksasa."
Song Thiam-ji cekikikan, ujarnya: "Kalau ada orang anggap manusia sebagai ikan, tentu orang itu termasuk saudara tuamu." Belum habis ia bicara, tiba-tiba ia berjingkrak bangun seraya menjerit-jerit, kaki mencak-mencak berlompatan sedang kedua tangan mencakar sana garuk sini, tahu-tahu sebuah benda meluncur jatuh dari lengan bajunya, kiranya itulah seekor ikan.
Li ANg-siu ketika bertepuk tangan dan tertawa besar, serunya: "Bagus, bagus sekali, akhirnya ada orang yang melampiaskan kedongkolanku!"
Entah kapan ternyata Coh Liu-hiang tahu-tahu sudah berdiri di sana, tangannya menjinjing eekor ikan, sebetulnya tangan kananpun menjepit seekor ikan yang lain namun tahu-tahu sudah masuk ke dalam baju Song Thiam-ji saking kaget dan ketakutan, selebar muka Song Thiam-ji sampai pucat pias, sambil banting-banting kaki segera ia memburu hendak mencubitnya.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Coh Liu-hiang tertawa gelak-gelak, katanya: "Barusan aku melihat seorang yang selalu ingin kau temui, kalau sampai sakit kau mencubit aku, aku tidak akan omong lagi."
Song Thiam-ji mencubit lengannya lalu memeluk lehernya, tanyanya: "Siapa dia lekas katakan?"
Coh Liu-hiang mengedipkan matanya, sorot matanya laksana bintang-bintang berkelap-kelip.
Katanya tertawa: "Siapa orang yang paling ingin kau temui" Dalam kolong langit ini petikan harpa siapa paling bagus" Seni lukis siapa paling baik" Syair siapa yang dapat membuat orang kehilangan semangat" Masakan siapa pula yang lezat dan tiada bandingannya di seluruh dunia?"
Belum habis ia berkata, Li Ang-siu sudah menyeletuk seraya bertepuk: "Aku tahu sudah yang kau maksudkan adalah Biau-ceng Bu hoa itulah."
Song Thiam-ji tarik tangan Coh Liu-hiang, katanya: "Apa benar kau melihatanya" Dimana dia sekrang?"
"Seorang diri dia duduk di atas sebuah sampan, seperti membaca mantera seperti sedang membaca syair, waktu mendadak aku menongol keluar dari dalam air, air mukanya itu sayang kalian tidak akan pernah melihatanya!"
"Kau kenal dia?" tanya Song Thiam-ji.
"Aku hanya tiga kali bertemu dengan dia, pertama kali, tiga hari tiga malam dia menemani aku minum arak, kedua kali bermain catur lima hari lima malam, dan terakhirnya dia berdebat tentang ajaran Buddha selama tujuh hari tujuh malam dengan aku." Meneguk air tomat, lalu ia menambahkan. "Tentang ajaran Budha sudah tentu aku tidak ungkulan melawan dia, tapi minum arak dia bukan tandinganku."
"Bagaimana permainan catur kalian?" tak tahan Li Ang-siu bertanya.
"Biar kukatakan seri alias sama kuat. Tapi hwesio itu justru tidak mengakui putusan ini!"
"Kecuali minum arak dan berkelahi, mungkin apapun kau tidak akan ungkulan melawan orang." olok Li Ang-siu.
"Omong kosong, paling tidak sola makan aku jauh lebih kuat dari dia," kata Coh Liu-hiang sungguh-sungguh. Saking gelinya Li Ang-siu terloroh-loroh sampai memeluk pinggang.
Sebaliknya Song Thiam-ji menarik-narik lengan bajunya, tanyanya mendesak: "Kenapa tidak kau undang dia untuk mampir kemari?"
"Semula dia mau, tapi baru saja kukatakan ada beberapa gadis cantik ingin bertemu dengan dia, tiba-tiba berubah sikapnya seperti kelinci yang mendadak kena panah, lari terbirit-birit."
"Diakan sudah menjadi Hwesio, kenapa pula harus takut terhadap perempuan?" kata Thiam-ji gemas sambil memonyongkan mulut.
"Justru karena dia seorang Hwesio baru dia takut, kalau bukan Hwesio tentu dia tidak takut."
Coh Liu-hiang menjelaskan.
"Kalau dia bukan Hwesio" sela Li Ang-siu. "Ku tanggung dia akan lari datang lebih cepat dari lari seekor kelinci."
So Yang-yang tertawa lembut, timbrungnya: "Khabarnya orang itu adalah Hwesio kenamaan dalam kalangan Buddha, bukan saja Syair, tulis, gambar seni sastra serba pandai, malah silatnyapun termasuk golongan tokoh kosen."
"Memangnya tokoh kosen belaka," sela Coh Liu-hiang. "Malah boleh dikata merupakan salah satu murid dari Siau-lim yang paling menonjol dan paling pintar, sayang dia... sungguh dia terlalu pintar keahliannya terlalu luas dan banyak, namanyapun amat besar dan harum. Maka Thian-ouw taysu dari Siau-lim-si dalam mencantumkan nama-nama calon pengganti Ciangbunjin mendatang, ternyata memilih Bu-siang yang segalanya tidak ungkulan melawan dia." Demikian tutur Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang bertepuk tangan dan berkata: "Sungguh tak nyana, Li Ang-siu ternyata kenalan intim Bu-hoa yang tahu segala seluk beluk."
"Sudah tentu dia tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini." Demikian sela So Yang-yang, "Adakah kau melihat orang lain pula?"
"Mayat-mayat ini terbawa arus dari arah timur, setiap perahu di sebelah timur asa sudah kuperiksa semua, kecuali Bu-hoa, hanya sebuah perahu lain termasuk milik kaum persilatan."
"Siapa dia?" tanya So Yang-yang.
"Di atas perahu itu terdapat Su-toa_hu-hoat dari Kay-pang, Su-toa tianglo dan Pangcu mereka yang baru. Tahukah kau Jin-lo-pangcu tahun yang lalu sudah meninggal" Coba kau terka siapakah pejabat Pangcu yang baru?"
"Siapa?" balas tanya So Yang-yang.
(Bersambung ke Jilid 2)
Jilid 2 "Coba kau terka dulu dia adalah teman baikku, takaran araknya hampir sama dengan aku, demikian pula takaran nasinya setanding, suatu ketika, malah pernah dia menggambar lukisan untuk kau!"
"Ah, mungkinkah Lamkiong Ling?"
"Benar dia!"
"Kalau dia terpilih menjadi Kaypang Pangcu, maka suasana dan kehidupan kaum persilatan tentu berubah, tidak melulu memupuk kebijaksanaan dan kesetiaan, tidak pula mengutamakan perbedaan tua muda, kini sudah mulai mementingkan pambek dan kecerdikan dan watak, sungguh suatu hal yang harus dibuat girang."
Li Ang-siu tiba-tiba menyeletuk: "Sudah tentu Lamkiong Ling tidak akan punya sangkut paut dengan peristiwa ini, maka...."
"Maka aku sudah kehabisan akal" tukas Coh Liu-hiang tertawa getir.
"Lebih baik lagi kalau kau kehabisan akal" ujar So Yang-yang. "Aku sendiripun tidak ingin merepotkan diri"
Coh Liu-hiang melotot ke arah layar terbentang itu, katanya: "Coba kalian pikir, adakah persamaan di antara kelima orang ini, umpamanya...."
"Umpamanya mereka semua adalah manusuia...." tukas Li Ang-siu.
Coh Liu-hiang tertawa getir pula, ujarnya: "Kecuali persamaan ini memangnya tidak ada persamaan yang lain?" Coba kau pikir sedikit cermat.
So Yang-yang bangkit sembari berseri tawa: "Kalian ingin berpikir, marilah dipikir di ruang bawah saja, aku hendak menyeduh air teh kental, semalam suntuk kalian berpikirpun tak menjadi soal. Tapi siapapun kularang duduk di sini makan angin"
Kamar-kamar di bagian ruang bawah dibangun serba mewah dan serasi, tiada sejengkalpun tempat kosong yang percuma, tiada sesuatu benda yang menyolok pandangan, segalanya serba cocok serasi dan semarak, barang-barang di sini serba antik.
Tepat di bawah tangga adalah sebuah kamar tidur yang dipajang serba mewah dan sedap dipandang, pelan-pelan sinar lampu menyoroti segala pelosok kamar, kamar bawah yang semula gelap lambat laun menjadi terang. Coh Liu-hiang yang berjalan paling depan mendadak menghentikan langkahnya, seolah-olah kakinya mendadak terpaku di atas lantai tak bergeming lagi. Di dalam ruang bawah ini ternyata sudah ada seseorang, seorang perempuan.
Tampak orang membelakangi pintu, duduk di atas kursi yang biasa senang diduduki Coh Liu-hiang dilihat bayangan orang dari arah belakang tampak sanggul kepalanya serta sebuah tangan, tangan yang putih halus dan indah sekali.
Tatkala itu tangannya memegangi sebuah cangkir, isi cangkir adalah arak yang biasanya suka diminum Coh Liu-hiang. Agaknya sedikitpun orang itu tidak merasa sungkan.
Coh Liu-hiang, So Yang-yang, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji berempat sama berdiri melongo di atas lantai papan, mulut terbuka, suara tertelan dalam tenggorokan. Kapan perempuan ini masuk, sedikitpun mereka tidak tahu. Mungkin dia masuk di saat Coh Liu-hiang terjun ke laut tadi, namun gerak-geriknya dapat mengelabui So Yang-yang, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji mungkin tidak rendah kepandaiannya!
Terdengar suara nan merdu dingin berkata pelan-pelan: "Apakah maling kampiun Coh Liu-hiang yang masuk?"
"Benar, apakah cayhe salah memasuki rumah orang?" sahut Coh Liu-hiang.
"Kau tidak salah jalan, memang ini tempatmu." kata perempuan itu dingin.
"Kalau toh ini tempatku sendiri, kenapa nona duduk di tempatku itu?"
"Karena aku senang duduk di sini"
"Tepat benar alasanmu, sungguh tepat"
"Selain itu kudengar Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah menampik kehadiran perempuan", tiba-tiba ia menggeser kursi dan berputar balik menghadap ke arah Coh Liu-hiang, sinar lilin tepat menyinari wajahnya.
Kalau dalam dunia ini ada wajah perempuan yang bisa membuat laki-laki menghentikan napasnya, itulah wajah perempuan ini, demikian pula bila kerlingan perempuan dalam dunia ini mendebarkan jantung laki-laki, tak lain kerlingan perempuan ini juga, kini kedua biji mata yang pandai mengerling itu sedang menatap muka Coh Liu-hiang, katanya aleman:
"Sekarang sudah cukup belum alasanku itu?"
"Ya, alasan itu mendadak berubah menjadi cukup dan jadi baik" ujar Coh Liu-hiang tersendat.
Sorot matanya pelan berkisar dari raut wajah nan cantik itu menurun ke bawah. Kini ia mendapati orang mengenakan jubah panjang dari sari putih, dilihatnya pula orang itu mengenakan tali sabuk warna perak.
"Sekarang," ujar perempuan itu pula dengan kalem. "Mungkin kau sudah tahu aku datang dari mana?"
"Lebih baik kalau aku tidak tahu."
"Kenapa?"
"Dalam dunia ini, anak perempuan yang tidak sudi kukenal, itulah anak murid Sin-cui-kiong"
Mendadak perempuan itu berdiri, memutar badan mengangkat poci perak dari atas rak serta menuang secangkir penuh. Coh Liu-hiang menghela napas dengan rasa rawan, tanyanya: "Ingin aku tahu maksud kedatanganmu kecuali minum arak, adakah urusan lainnya?" sembari bicara ia maju mendekat serta menarik kursi itu dan lekas-lekas mendudukinya.
Perempuan itu berpaling, katanya sepatah demi sepatah sambil menatap mukanya: "Angkuh, tidak sopan, dingin kaku, tapi ada pula satu dua titik terang yang membuat setiap nona cilik kepincut padamu... ternyata memang tidak berbeda keadaanmu dengan kabar yang kudengar."
"Terima kasih.... entah ada tidak khabar di Kang-ouw itu membicarakan kepribadianku yang lain?"
"Tentang apa?"
"Kalau ada perempuan asing menyelundup masuk ke kamarku, duduk di atas kursiku, minum arakku lagi, sering kulempar dia ke dalam laut. Terutama bila perempuan itu anggap dirinya amat cantik, sebenarnya sedikitpun dia tidak cantik." dengan nyaman ia menggeliat menjulurkan kaki, tangan seolah-olah sudah siap menikmati sikap galak perempuan ini yang marah-marah.
Memang seketika memutih selebar muka perempuan itu saking marahnya, tangan yang pegang cangkirpun gemetar. Lekas Li Ang Siu memburu maju dan merebut cangkir emas di tangannya itu, katanya tertawa manis: "Kalau nona hendak membanting cangkir, biar kuganti dulu dengan cangkir besi."
Rona wajah perempuan ini berubah pula dari putih menghijau lalu merah padam, tiba-tiba malah ia unjuk senyum lebar bak bunga mekar, katanya: "Bagus sekali, kalian memang amat lucu dan menyenangkan, tapi suasana berkelakar sudah berlalu."
"Oh, jadi sekarang kau sudah siap untuk menangis?" olok Coh Liu-hiang pula.
"Kalau tidak kau kembalikan barang itu, mungkin hendak menangispun kau tidak bisa."
"Kembalikan" Memangnya pernah aku meminjam sesuatu kepadamu?"
"Sudah tentu kau tidak pinjam, siapa yang tidak tahu di kolong langit ini, Coh Liu-hiang selamanya tidak pernah pinjam sesuatu barang dari orang lain", ejeknya dingin. "Kau mencurinya!"
"Mencuri?" seru Coh Liu-hiang mengerut kening. "Barang apamu yang kucuri?"
"Thian-it-sin-cui", sahut perempuan itu lantang.
Mendadak melotot besar biji mata Coh Liu-hiang, teriaknya: "Apa katamu?"
Kembali perempuan itu berseru pelan-pelan, "Thian-it-sin-cui!"
"Maksudmu, Thian-it-sin-cui dalam istana kalian dicuri orang?"
"Dari tempat ribuan li jauhnya kesusul kemari, memangnya aku harus menipu dan main-main dengan kau?"
Seketika terpancar rasa senang dari sorot mata Coh Liu-hiang, gumamnya: "Bagus, bagus, sekali segala perubahan ini menjadi menarik sekali, entah berapa banyak Thian-it sin-cui kalian yang tercuri orang?"
"Tidak banyak, hanya beberapa tetes saja, tapi cukup membuat tiga puluhan tokoh-tokoh kosen Bulim mampus secara konyol tanpa diketahui sebab musababnya. Kalau cara yang digunakan tepat seluruhnya bisa tiga puluh tujuh"
So Yang-yang menghembuskan napas, katanya: "Jadi kau beranggapan kehilanganmu itu adalah dia yang curi?"
"Kecuali maling kampiun Coh Liu-hiang, siapa pula yang mampu mengusik sebatang rumput atau seonggok kayu di Sin-cui-kiong?"
"Terima kasih akan pujianmu, kalau begitu kalau kukatakan aku tidak pernah melakukan hal itu pasti kau tidak akan mau percaya"
"Bisakah kau membuat aku percaya?"
"Mungkin....mungkin bisa" mendadak ia mencelat bangun terus menarik tangannya, katanya:
"Paling tidak kau harus kubawa melihat sesuatu, aku berani tanggung beberapa benda itu cukup menarik perhatianmu....menarik sekali"
Perempuan yang dingin dan angkuh ini, entah kenapa dia mandah saja tangannya digenggam dan ditarik.
Kata So Yang menghela napas: "Kalau dia ingin menarik tangan anak perempuan, mungkin tiada orang yang menolaknya"
Song Thiam-ji berkedip-kedip, ujarnya: "Kalau anak murid Sin-cui-kiong semua terdiri dari kaum pria tentuknya lebih baik!"
"Perempuanpun tidak menjadi soal" sela Li Ang-siu, "Tapi lebih baik kalau dia rada jelek."
"Ya, lebih baik pula kalau muka mereka rata-rata seperti sundel bolong" kelakar Song Thiam-ji.
Waktu kain layar itu tersingkap, mayat-mayat itu di bawah sorotan bintang-bintang di langit kelihatan seram dan mengerikan.
"Kau periksa dia lebih dulu, tentunya kau kenal siapa dia?" kata Coh Liu-hiang.
Dengan nanar gadis itu mengawasi pundak kiri yang terbelah itu, sekian lama ia menjublek seperti patung kayu, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan mimik wajahnya, katanya dingin:
"Dia bukan murid Sin-cui-kiong".
Kembali Coh Liu-hiang terkejut, teriaknya pula: "Bukan?"
"Selama hidupku belum pernah kulihat perempuan ini."
Coh Liu-hiang mengelus-elus hidung, seakan-akan barusan kena ditempeleng orang, katanya getir: "Semula kukira orang-orang dalam Sin-cui-kiong kalian sendiri yang mencurinya, prasangkaku adalah dia ini, tapi sekarang....."
"Sekarang kau masih merasa lucu dan ketarik."
"Kalau perempuan ini bukan murid Sin-cui-kiong, kenapa dia berdandan seperti itu" Tentunya bukan maksud tujuannya sendiri, dan si dia itulah yang menyuruhnya menyamar untuk memancing terkaan orang ke arah yang salah."
"Terkaan salah apa?" tanya gadis itu.
"Dia ingin supaya orang menyangka Ca Bok-hap terbunuh oleh perempuan ini, kalau kenyataan dia sendiripun terbunuh oleh Ca Bok-hap segala persoalan tamat sampai di sini, jelas dia tidak ingin orang lain menyelidiki persoalan ini lebih lanjut, cuma perempuan yang harus dikasihani ini menjadi kambing hitamnya."
"Kau bicara begitu jelas, tentunya sudah tahu siapa si dia yang kau maksud?"
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Semoga aku bisa mengetahuinya"
Terkulum senyuman sinis dan jahat di ujung mulut si gadis, namun Coh Liu-hiang tidak memberi kesempatan orang bicara, kembali ia menarik tangannya, matanya menatapnya pula, katanya: "Nona Leng (dingin), kalau kau ingin memecahkan jawaban teka-teki ini, maka kau harus percaya kepadaku!", kedengarannya suaranya lemah lembut kasih sayang dan jujur pula, sebaliknya sorot matanya jauh lebih kuat daya tariknya dari nada suaranya yang dapat menundukkan kekerasan hati orang lain.
Akhirnya tersenyum lebar gadis itu, ujarnya: "Aku bukan she Leng"
"Lalu aku harus panggil kau siapa?" bersinar sorot mata Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba gadis itu menarik muka pula, katanya dingin: "Kau boleh panggil aku nona Leng saja!"
"Pertama, yang harus kuselidiki lebih dulu Thian-it-sin-cui itu tidak akan mendatangkan kekayaan, juga tidak bisa menambah kepandaian ilmu silat berlipat ganda, memangnya kenapa mencurinya?"
"Kukira pertanyaannya ini harus ditujukan kepadamu lebih dulu"
"Hanya satu kegunaan Thian-it-sin-cui, yaitu untuk mencelakai jiwa orang, malah membunuh tanpa dirasakan dan diketahui lebih dulu oleh si korban, dia mengeluarkan banyak tenaga memeras daya pikiran dan akal untuk mencuri Thian-it-sin-cui, terang hanya satu tujuan."
"Satu tujuanpun sudah cukuplah."
"Nah, dapat kita pastikan bahwa seseorang yang hendak dicelakai jiwanya oleh si dia, pastilah seseorang yang tidak gampang dibunuh menggunakan sembarangan obat beracun, lain pula seseorang yang tidak mungkin dia bunuh mengandalkan kepandaian atau kekuatannya sendiri"
Gadis itu segera manggut-manggut, katanya: "Benar, kalau tidak buat apa si dia menyerempet bahaya untuk mencuri Thian-it-sin-cui?"
"Tapi kalau benar dia berhasil mencuri Sin-cui dari Sin-cui-kiong, masih berapa orang yang tidak mampu dia bunuh" Untuk bisa berhasil mencuri air sakti itu dari Sin-cui-kiong tentunya memerlukan kepandaian setingkat seperti kau". Coh Liu-hiang tersenyum, katanya lebih lanjut:
"Dari sini dapatlah kita simpulkan dia mencuri air sakti itu, tentu ada orang yang membantunya secara diam-diam"
"Siapa orang yang kau maksudkan?" jengek si gadis dingin.
Coh Liu-hiang menatapnya bulat-bulat: "Setelah air sakti itu hilang, adakah orang hilang dari istana kalian?"
"Jadi kau maksudkan bahwa murid istana kami sendiri yang bantu dia mencuri air sakti itu, maka setelah air itu tercuri, maka dia sendiripun harus menyelamatkan diri begitu?"
"Memangnya tidak mungkin terjadi?"
"Sudah tentu mungkin, sayang sekali selama puluhan tahun tidak pernah seorang murid istana kami yang hilang atau melarikan diri!"
Bertaut alis Coh Liu-hiang, sejenak berpikir, lalu katanya pula: "Sejak kehilangan air sakti itu, masakah istana kalian tiada terjadi sesuatu" Umpamanya ada orang bunuh diri....."
Seketika berubah sikap si gadis, serunya: "Darimana kau bisa tahu?"
Bersinar mata Coh Liu-hiang, katanya keras: "Jadi ada orang bunuh diri, betul tidak" Kenapa dia harus bunuh diri?"
"Persoalan istana kita memangnya setimpal kau sembarang tanya?" sentak gadis itu beringas.
Coh Liu-hiang menggenggam tangannya, katanya pelan-pelan: "Nona Leng, kau harus sejujurnya menceritakan peristiwa itu kepadaku, karena peristiwa itulah kunci dari persoalan ini, kau....kau harus percaya padaku"
Gadis itu menarik tangan serta pelan-pelan berpaling muka, lama sekali ia menepekur diam, akhirnya dengan lambat-lambat ia berkata: "Dia seorang anak gadis yang mungil dan cantik jelita, rupawan dan romantis lagi, usianyapun paling muda, dia....dia sudah meninggal, tidak bisa kusinggung soal dirinya lagi...."
Berkilat biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah dia sudah hamil, merasa malu dilihat orang?"
Gadis itu tidak menjawab, tapi sebelah tangannya semampai menggenggam kencang bajunya, terang hatinya bergolak diliputi haru dan pedih serta penasaran.
"Jelas sudah kalau begitu," kata Coh Liu-hiang lantang. "Tentu si dia itu sudah melanggar kesuciannya lebih dulu, di bawah ancaman dan bujuk rayunya, dia berhasil mencuri 'air sakti' itu, tapi si 'dia' tidak menepati janjinya membawanya pergi untuk dijadikan istrinya, maka terpaksa dia menempuh jalan pendek!"
"Tutup mulutmu!" sentak gadis itu dengan badan gemetar.
"Sejak dulu kala, gadis yang romantis sering mengalami nasib yang mengenaskan, daripada kau bersedih, lebih baik kau berusaha menemukan si 'dia', menuntut balas bagi si korban."
Sigap sekali gadis itu membalik tubuh, katanya bergetar: "Cara bagaimana untuk mencari si
'dia' itu?"
"Sebelum dia ajal, apakah dia berpesan apa-apa?"
Berlinang air mata si gadis, katanya haru: "Dia cuma berkata... dia berdoa terhadap bayi dalam kandungannya."
"Dalam keadaan demikian, kenapa dia tidak sudi menyebut si 'dia' itu, seolah-olah dia kuatir orang lain bakal mencelakai jiwanya...ai! Kekuatan iblis apakah yang dia miliki, gadis yang baru mekar itu sampai kepincut mati-matian kepadanya?"
"Selamanya memang dia tidak pernah menyinggung si 'dia'. Hakekatnya tak pernah mulutnya menyebut seseorang lelaki, sungguh mimpipun kami tidak pernah menduga peristiwa semacam itu bisa terjadi."
"Biasanya, adakah dia punya teman lelaki?"
"Hampir boleh dikatakan selamanya dia tidak pernah bicara dengan lelaki siapapun!"
Aneh, kenapa hari ini, bisa terjadi peristiwa-peristiwa aneh....empat orang yang satu sama lain tidak saling kenal meninggal dalam waktu yang bersamaan pada satu tempat pula! 'Air' sakti dari Sin-cui-kiong secara misterius tercuri orang! Seorang gadis suci pingitan yang selama hidupnya tidak pernah bicara dengan lelaki tiba-tiba diketahui hamil, selintas pandang ketiga peristiwa aneh ini satu sama lain tiada hubungan apa-apa, namun justru saling gandeng geret ... Coh Liu-hiang angkat kepala, gumamnya: "Siapa yang bisa memberi penjelasan menghadapi persoalan aneh seperti ini?"
"Kau sendiri!" seru gadis itu.
Cohg Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Aku"
Gadis itu memandang tajam, katanya begis: "Demi kau sendiri, kau harus membongkar rahasia teka-teki ini."
"Tapi dari mana aku harus menyelidiki" Boleh dikata aku tidak punya sumber penyelidikan sama sekali."
"sumbernya pasti ada, dan kau sendiri pula yang harus menemukannya." kata si gadis, kembali ia membalik badan membelakangi Coh Liu-hiang, katanya tandas: "Kuberi tempo satu bulan, jika kau tidak berhasil menemukan Sin-cui-kiong akan meluruk mencarimu"
"Kenapa kau membalik badan" memangnya bila kau berhadapan dengan aku tidak mampu mengeluarkan kata-kata yang tidak aturan ini?"
Gadis itu tidak hiraukan kata-katanya, dengan gemulai ia beranjak menuju buritan kapal. Di belakang kapal, di tempat yang gelap tampak sebuah sampan kecil yang dapat bergerak gesit dan laju. Dengan enteng ia melayang turun, sekejap lalu sampan itu sudah meluncur pergi ditelan kegelapan malam.
Coh Liu-hiang bertopang dagu di dek kapal, dengan berdiam diri ia mengawasi bayangan orang pergi. Sinar bintang redup, sampan kecil itu terombang-ambing digoyang-gontai alunan ombak, sari panjang di atas badannya tertiup angin melambai-lambai seolah-olah dewi kahyangan sedang menari-nari di tengah lautan. Tiba-tiba saja dia berpaling muka sambil unjuk seri tawa manis, serunya: "Aku bernama Kiong Lam-yan!"
Coh Liu-hiang menjulurkan kedua kakinya dengan nyaman, ia rebah di atas kursi malasnya, matanya menatap pusaran arak yang berada di dalam cangkirnya, katanya menggumam:
"Memang dia amat cantik, terutama senyum tawanya lebih cemerlang dari sinar bintang yang kelap-kelip di angkasa dan akhirnya menghilang ditelan kegelapan"
"Sebulan kemudian, kemungkinan kau tidak akan merasa dia cantik, terutama bila ujung pedangnya mengancam tenggorokanmu..." demikian goda Li Ang-siu tawar.
"Dia tidak menggunakan pedang." ujar Coh Liu-hiang.
Berkedip-kedip mata Li Ang-siu, "Apa dia menggunakan pisau sayur?" Tak tahan Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya sungguh-sungguh: "Yang dia gunakan adalah mangkok sayuran"
"Mangkok sayuran?"
"Kalau tidak pakai mangkok, mana bisa menadahi cukamu yang tumpah dari gucimu yang terbalik?"
Song Thiam-ji cekikikan, katanya: "Jangan kau menyakiti hatinya lho, bahwasanya dia lebih lihay dari Kiong Lam-yan"
"O...." Coh Liu-hiang berseru heran.
Song Thiam-ji memegang pinggang, katanya dengan megap-megap geli: "Kiong Lam-yan paling hanya seorang murid dari Sin cui-kiong, tapi nona Li Ang Siu kita ini sebaliknya adalah Ciang-bujin Sin-cui-kiong!"
Li Ang-siu menubruk maju, dampratnya kertak gigi: "Setan cilik, ingin mampus kau!" Sambil terkekeh geli, Song Thiam-ji berlari sambil berkaok-kaok: "Yang-ci, tolong! Lihay benar Ciang-bujin dari Sin-cui-kiong!" begitulah mereka kejar-mengejar dengan senda gurau riang gembira.
Dengan tersenyum simpul, So Yang-yang mengawasi Coh Liu-hiang, katanya lembut:
"Sekarang bagaimana tindakanmu?"
"Sampai detik ini, memang tiada sesuatu sumber penyelidikan yang dapat kutemukan, tapi paling tidak sekarang ini sudah tahu bahwa si 'dia' pasti adalah seorang lelaki tampan, kalau tidak mana mungkin gadis pingitan itu bisa terpincut kepadanya?"
"Belum tentu seorang gadis pasti menyukai seorang lelaki yang tampan lho"
"Menurut pandanganmu, orang macam apa sebenarnya si 'dia' itu?"
"Pasti dia seorang yang pandai bicara, sangat pintar, pandai menarik perhatian dan hati seorang gadis, serta romantis sekali, gadis remaja yang menanjak dewasa, selamanya tak akan kuasa melawan laki-laki semacam itu."
"Tapi laki-laki macam itu memangnya bisa masuk ke Sin-cui-kiong?"
"Laki-laki seperti itu bila sudah masuk ke Sin-cui-kiong, mungkin takkan bisa keluar dengan jiwa tetap hidup.... dalam dunia ini laki-laki yang bisa keluar dengan tetap hidup dari Sin-cui-kiong, mungkin hanya beberapa orang saja"
"Oleh karena itu, terpaksa aku harus mohon bantuanmu untuk melakukan sesuatu."
"Maksudmu hendak mengutus aku ke Sin-cui-kiong?"
"Aku....aku hanya menguatirkan kesehatan badanmu"
"Kau anggap aku selemah itu tak tahan dihembus angin?"
"Entah bisa tidak kau menemukan piaukohmu, tanyakan biasanya laki-laki mana yang diperbolehkan keluar masuk Sin-cui-kiong" Serta tanyakan juga orang macam apakah sebenarnya gadis yang bunuh diri itu" Lebih baik kalau bisa menemukan barang-barang peninggalan gadis itu, kalau dia ada meninggalkan buku atau surat, itulah lebih baik."
"Begitu terang tanah, aku segera akan berangkat."
"Cuma kau...."
Dengan aleman So Yang-yang segera mendekap mulut orang dengan jari-jarinya yang runcing halus, katanya tertawa: "Apa yang ingin kau kemukakan, aku sudah tahu....setelah aku pergi, bagaimana dengan dirimu?"
"Tujuh hari kemudian, akan kutunggu kau di Hong-hi-ting di pesisir Tay-bing-ouw di Ki-lam"
"Kilam" Bukankah di sana letak dari pusat Cu-soa-pang?"
"Hay-lam-pay dan Chit-sing-pang terlalu jauh dari sini, Ca Bok-hap sebaliknya datang dari ujung perbatasan yang jauh di ujung langit, aku mengharap dari anak murid Cu-soa-pang dapat mencuri berita yang kuperlukan."
"Tapi kau harus hati-hati, kalau mereka tahu kau...."
"Walau mereka membenci aku, mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapku". Tiba-tiba Coh Liu-hiang membentangkan tapak tangannya, entah kapan tahu-tahu tangannya sudah menggenggam sebuah botol porselen kecil, begitu sumbatnya dibuka, seketika terendus semacam bau harum yang terasa aneh memenuhi ruangan besar itu.
Segera Coh Liu-hiang tarik suara dan bersenandung: "Malam hari maling kampiun meninggalkan bau wangi, entah di mana sukma gentayanganmu?"
"Jadi kau ingin supaya aku meninggalkan bau-bau wangi ini di mana-mana?"
"Betul! Sepanjang jalan ini, tiada halangannya kau meninggalkan sedikit bau ini, supaya orang selamanya susah meraba jejakku sebetulnya di mana, takkan terduga pula oleh mereka bahwa aku sebenarnya sudah berada di Kilam"
"Tapi kau.... kali ini hendak muncul dengan duplikat siapa?"
"Anggota Cu-soa-bun kebanyakan adalah hartawan besar. Kalau aku ingin mendapatkan kepercayaan mereka, menghormatiku, jalan satu-satunya harus menyamar sebagai seorang laki-laki per
lente yang lebih royal membuang uang dari mereka, sambil menggeliat malas ia bangkit berdiri lalu mendorong almari yang penuh buat menyimpan botol-botol arak itu ke samping, ternyata di belakang almari minuman ini terdapat sebuah pintu kecil yang sempit.
Di belakang pintu sempit rahasia ini terdapat sebuah kamar segi enam yang berbentuk aneh.
Enam dinding sekelilingnya terpasang kaca yang halus dan terang, cukup memasang sebuah lentera sudah dapat menerangi sepuluh lipat keadaan kamar kecil ini.
Sepanjang dinding kaca ini, dikelilingi pula lemari-lemari pendek terbuat dari kayu di mana terdapat ratusan laci-laci kecil, setiap laci tercantum nomor-nomor yang berbeda, tak ubahnya seperti laci-laci toko obat.
So Yang-yang menggelendot dipinggir pintu, katanya tertawa: "Yang kau inginkan mungkinkah nomor enam puluh tiga" Atau mungkin pula nomor seratus tiga belas?"
Coh Liu-hiang menarik laci bernomor enam puluh tiga, di dalamnya tersimpan perangkat jubah dan celana ketat yang terbuat dari sutra halus warna biru tua, kelihatannya setengah baru, di samping itu terdapat pula sepasang sandal yang dari kain, sebuah kantong kecil warna hitam terbuat dari kulit ikan cucut, serta sejilid buku tipis.
Coh Liu-hiang mengerut kening, tanyanya: "Apa benar nomornya?"
Mungkin tidak salah.
Tapi dinilai dari pakaian ini, bukan baju yang sering dipakai orang kaya.
Para pedagang besar yang bermukim di kota Kilam yang paling besar menanam modal hanya terdapat dua macam saja. Macam pertama adalah Cukong besar dari pemilik Bank di Sansay, bagi cukong yang sudi mengenakan pakaian seperti itu boleh dianggap cukup berlebihan.
"Oh ya, hampir aku lupa bahwa perak milik orang-orang Sansay kebanyakan pernah digodok dulu dengan air obat, adakalanya aku amat heran, mereka menyimpan uang sebanyak itu, apakah tujuannya?"
Lalu ia membalik halaman buku itu, tampak halaman pertama bertuliskan: Nama : Ma Pek Ban Pekerjaan : Direktur bank Su-kong Sansay Usia : Empat puluhan Hobby : Tiada Ciri-ciri : Setiap melewati tempat berair pasti mencopot sandal, di waktu hujan selalu berusaha mengenakan payung orang lain, badannya selalu membawa bau seperti sudah lama tidak pernah mandi.
Belum selesai Coh Liu-hiang membaca, lekas ia tutup buku itu terus dikembalikan ke dalam laci. Katanya menghela napas panjang: "Kalau kau ingin aku menyamar seperti orang ini, lebih baik aku mati saja"
"Kau sendiri yang suruh aku menulis dan mencatat bahan-bahan itu di dalam buku, pengemis yang joroknya setengah mati kau pernah menyamarnya, kenapa tidak mau....?"
Lekas Coh Liu-hiang ulapkan tangannya, ujarnya: "Lebih baik aku menjadi pengemis daripada menjadi cukong seperti dia itu."
"Kalau begitu, coba kau lihat nomor seratus tiga belas"
Coh Liu-hiang menarik laci nomor seratus tiga belas, di dalam tersimpan seperangkat pakaian yang bagus dan perlente terbuat dari bahan yang mahal, sepasang sepatu kulit yang mengkilap, dua butir bola besi yang mengeluarkan suara gemerincing bila ditimang-timang di telapak tangan, sebatang golok melengkung yang dihiasi jamrut, kecuali itu terdapat sebuah kantong yang terbuat dari kulit ikan cucut hitam sejilid buku tipis pula.
Kata So Yang-yang: "Yang sering pulang pergi di Kilam ini, kecuali Cukong dari Sansay ini, orang lain yang paling royal adalah pemilik perkebunan didaerah luar perbatasan Tiang pek-san, yaitu ketua Jay-sam-pang yang berdagang kolesom.
"Nah agaknya orang ini jauh lebih menarik" ujar Coh Liu-hiang.
Lalu iapun membalik lembaran buku tipis itu, dimana tercantum juga: Nama : Thio Siau Lim.
Pekerjaan : Pedagang obat kolesom di Koang-gwa.
Usia : Tiga puluh enam.
Hobby : Arak keras, berjudi dan main perempuan...
Belum habis membaca kembali Coh Liu-hiang ,menutup buku itu, katanya tersenyum: "Cukup menarik, memang amat menarik."
"Aku sudah tahu tentu cukup memenuhi seleramu. Tapi bagaimana juga, kau tetap harus bawa peti itu, aku sudah siapkan nomor tiga, tujuh, dua delapan dan empat puluh di dalam peti itu."
"Baik, sejak sekarang biar aku menyamar jadi Thio Siau lim untuk beberapa hari lamanya"
ditengah gelak tawanya ia mambuka kantong kulit itu, lalu mengeluarkan sebuah kedok muka yang halus dan tipis.
"Kwi-gi-tong", tiga huruf emas bergaya tandas seperti naga melingkar atau burung hong menari, tampak berkilauan di bawah penerangan sinar pelita.
Di sanalah komplek perjudian terbesar di seluruh kota Kilam.
Tatkala itu pelita baru saja dipasang, suasana di Kwi-gi-tong amat ramai dan hiruk-pikuk.
Sebuah ruangan besar penuh sesak, diliputi bau arak dan asap tembakau yang mengepul menyesakkan nafas, terendus pula bau pupur dan gincu di atas badan perempuan, bau keringat busuk di atas badan laki-laki... kepala setiap hadirin semua dibasahi butiran keringat yang kemilau tersorot sinar pelita.
Tapi ada pula yang berseri tawa riang, namun ada pula yang lesu dan patah semangat, ada yang bersikap tenang, ada pula yang bersikap tegang mengepal tinju dan gemetar seluruh badannya.
Ruangan paling depan ada dua meja Bay-kiu, dua meja judi dadu, dua meja Capjiki. Tingkatan orang yang bertaruh di sini pun paling acak-acakan, kaya miskin tidak ada perbedaan, asal ada uang boleh bertaruh. Suara hiruk-pikuk di sini pun paling ramai. Pada setiap meja judi itu berdiri seorang laki-laki berseragam hitam yang berikat pinggang kain merah, siapapun yang menarik dalam taruhan, dia harus menyetornya sepuluh persen.
Ruangan tengah rada sepi dan tenang, di sini hanya terdapat tiga meja, orangnya pun lebih sedikit, tiga meja sama penuh dikelilingi orang-orang gemuk berperut gendut, terang mereka itu hartawan-hartawan yang getol judi, uang perak bertumpuk-tumpuk yang ada di atas meja dan ada pula di hadapan orang-orang, di pinggir meja tersedia arak dan makanan, tak ketinggalan pula rokok. Puluhan gadis-gadis ayu yang berpakaian mewah dengan perhiasan menghiasi seluruh badan mondar-mandir sambil jual senyuman manis, seperti kupu-kupu yang mengelilingi kuntum bunga, dari sini mencorot uang perak, di sini menjumput dua keping uang emas.
Para penjudi itu agaknya tidak hiraukan perbuatan mereka, maklum berapa sih arti uang kecil itu. Maka yang kalah cepat sekali kantong uangnya kosong, yang menang sebaliknya kantong uangnyapun tidak kelihatan padat. Uang perak atau emas sama mengalir ke kantong baju gadis-gadis itu melalui jari-jari yang penuh dihiasi cincin berkilauan, akhirnya sama bertumpuk di dalam kas sang majikan yang memiliki rumah perjudian ini. Perjudian di sini memang dibuka dan diusahakan oleh pihak Cu-soa-pang.
Rumah dibagian belakang, pintunya tertutup kerai tebal. Dalam rumah ini terdapat tujuh delapan penjudi, namun gadis-gadis yang melayani di sini pun paling banyak, ada yang menyediakan hidangan, ada yang menuang arak, ada pula yang menggelendot dalam pelukan orang. Sebutir demi sebutir mereka ngupaskan kwaci terus dijejalkan ke mulut penjudi-penjudi yang dermawan itu, jari-jari mereka laksana duri mawar, kerlingan matanya tajam semanis madu.
Disini tidak kelihatan uang perak dan mas kontan cuma beberapa lembar cek yang bergerak kesana kemari, namun angka angka yang tertulis di atas lembar cek itu, cukup membuat orang bisa hidup senang seumur hidup.
Seorang pemuda bermuka pucat, mengenakan jubah panjang hijau pupus berdiri di pinggir meja sambil tersenyum simpul, tak henti-hentinya ia menepuk pundak dari satu ketamu yang lain, katanya, "Hari ini nasibmu kurang mujur, pergilah bawa Cu-ji ke dalam malas-malasan saja."
Jawabnya selalu diselingi tawa besar: "Buat apa kesusu, belum lagi lima laksa tail!"
Maka tangan si pemuda segera ditarik, dengan tersenyum senang ia mengelus jenggotnya yang baru tumbuh, tangan yang ia gunakan selalu tangan kiri. Tangan kanannya selalu bersembunyi di dalam lengan bajunya.
Pemuda ini bukan lain adalah pengurus tertinggi Kwi-gi-tong ini, tak lain adalah murid Ciangbunjin Cu-soa-pang, yaitu Sat-jin-giok-lan, Han-bin-beng-siang Leng Chiu-hun.
Tiba-tiba seorang laki-laki kurus tepos bermata juling dengan kepala seperti keledai berpakaian perlente menyelinap masuk, dari kejauhan ia sudah menjura dan berkata hormat sambil tertawa, "Selamat siang, Cheng-cu baik-baik saja?"
Leng Chiu-hun menarik muka, segera ia menghampiri sambil menggendong tangan, makinya dengan mengerut kening, "Thia Sam, berani kau main terobos di tempat ini?"
Tersipu-sipu Thia Sam membungkukkan badan, sahutnya sambil tertawa lebar, "Mana Siaujin berani sembarangan masuk,cuma...." Sambil melotot lalu dia berbisik: "Semalam kedatangan seorang tamu royal, semalam saja dia sudah menghamburkan tiga laksa di tempat Siau-cui sana, waktu Siaujin mencari tahu, ternyata tangannya masih gatal, maka Siaujin memberanikan diri membawa orang itu ke mari."
"O, orang macam apakah dia?"
"Dia she Thio, bernama Thin Siau-lim."
"Thio Siau-lim?" Leng Chiu-hun menepekur. "Amat asing nama ini bagiku."
"Kabarnya dia jarang masuk perbatasan, maka....."
"Orang-orang macam apa yang berjudi di tempat ini, tentunya kau sudah tahu. Orang yang tiada punya asal-usul seumpama hendak menghamburkan uangnya, orang-orang ini pun takkan memberi peluang kepadanya."
"Siauya tak usah kuatir, orang yang tidak punya asal-usul mana Siaujin berani membawanya ke mari.... tamu she Thio itu adalah pedagang kolesom terbesar di Siang-pek-san, kali ini datang ke Kilam hendak membuang sedikit uang mencari hiburan."
"Kiranya, pemetik kolesom, biar kulihat dulu," kata Leng Chiu-hun, lalu ia menyingkap kerai melongok keluar, tampak seorang lelaki berjambang pendek, muka ungu, dengan sikap gagah sedang berdiri di luar pintu sambil menggendong tangan. Tangannya menggenggam dua butir bola besi yang mengeluarkan suara gemeretak, namun tindak-tanduknya kelihatan angker dan berwibawa, semua hadirin di dalam rumah itu tiada yang sebanding dengan dia, seolah-olah burung bangau di tengah ayam babon.
Bergegas Leng Chiu-hun menyingkap kerai dan melangkah maju dan memapak, katanya sambil bersoja: "Thio-heng datang dari tempat jauh, siaute tidak melayani dengan semestinya, harap suka dima'afkan" sembari tertawa lebar segera ia menarik tangan Thio Siau-lim seolah-olah sekali pandang seperti teman lama layaknya.
Thio Siau-lim ternyata seorang jujur yang selalu menepati omongannya, orang kaya yang keluar uang tanpa berubah air mukanya, kebetulan meja di tengah sedang berjudi pay-kiu, segera ia rogoh kantong dan ikut pasang, beberapa kali lintasan saja dia sudah kalah lima laksa tail.
Gadis-gadis ayu itu segera berebut maju, beramai-ramai berebut menuangkan arak, berebut hendak melihat kartu pula, Thio Siau-lim bergelak tertawa, tangan kiri menarik tangan kanan memeluk, mendadak dari kantong bajunya dia mengeluarkan setumpuk uang kertas, katanya:
"Nah mari dimulai lagi, bagaimana kalau aku jadi bandarnya?"
Waktu Leng Chiu-hun melirik dilihatnya lembaran uang kertas paling atas adalah lembaran sepuluh laksa tail, seketika mukanya berseri tawa senang, katanya: "Kalau Thio-heng jadi bandar, biar siaute ikut bertaruh"
Yang jadi bandar saat itu adalah ketua dari empat puluh perusahaan besar di seluruh kota Kilam, dia sudah meraih puluhan laksa tail, memangnya ingin mengundurkan diri, tawaran dari Thio Siau-lim jadi kebetulan malah, segera ia surungkan kartunya ke tengah meja, katanya:
"Silahkan Thio-heng pegang kartu, Siaute pasang Thian bun"
Thio Siau-lim menindihkan dua bola besinya ke atas lembaran uang, serunya: "Mestikaku, tindih mereka baik-baik, jangan sampai ada satupun yang lari"
Babak perjudian seterusnya sungguh amat menyenangkan, masing-masing berlomba mempertahankan uang dengan kemahirannya, namun jantung berdebar dan hatipun tidak kurang tegangnya, keringat sama bercucuran di jidat, separo dari kemenangan uang cukong beras tadi akhirnya kendang, namun ia bisa melihat gelagat, segera ia berhenti dan tinggal ke belakang menarik gadis kesayangannya. Dua orang yang lain kabarnya terkenal paling takut bini, meskipun ingin menarik balik modalnya semua, namun terpaksa harus mundur dan pulang. Setelah tengah malam yang masih berjudi dalam rumah ini tinggal empat lima orang.
Thio siau-lim mengisap pipa cangklong yang diangsurkan seorang gadis yang duduk di pinggirnya, tangannya mengocok kartu sedang matanya menghadap Leng Chiu-hun, katanya tertawa lebar: "Lote, keluarkan uangmu dan pasanglah!"
Leng Chiu-hun tersenyum, sahutnya: "Ya, Siaute memang sudah siap pasang." kembali ia merogoh keluar setumpukan uang kertas, sepasang matanya jelalatn seperti mata anjing ajak yang mencari sasaran, mendadak ia dorong semua uangnya dipasangkan ke Thian-bun pula, katanya tersenyum: "Tiga puluh laksa tail, tidak peduli kalah menang, kali inilah yang menentukan"
Sekali pasang tiga puluh laksa tail, meski yang hadir dalam perjudian adalah hartawan kaya raya, semua sama kaget dan berubah air mukanya, tiada satupun yang berani ikut pasang.
Thio Siau-lim tetap tertawa riang, katanya: "Baik, mari kita berhantem sendirian", segera ia lemparkan dadunya, tujuh angin. Leng Chiu-hun segera mengambil kartu, seratus, semetara Thio siau-lim ambil yang nomor tiga, tanpa dilihat lagi Chiu-hun terus membalik kartu itu pelan-pelan.
Selembar Thian dan selembar Jin, itulah Thiankan. Serempak semua hadirin sama mengeluarkan suara kagum dan ngiler, para gadis malah berteriak-teriak sambil tepuk tangan.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tampak Thio Siau-lim merangkap tangan, ditepuk lalu didorong, hanya sekilas dilihatnya, lalu
"Plak", ia banting kedua kartunya di pinggir meja. Semua orang menunggu de ngan rasa tegang dan mata terbelalak tak tahan tanya berbareng: "Bagaimana?"
Sedikitpun tidak berubah air muka Thio Siau-lim, segera ia menghitung tiga puluh laksa tail terus diangsurkan ke dapan Leng Chiu-hun, katanya tertawa: "Nah terimalah, aku mengaku kalah!"
Berputar biji mata Leng Chiu-hun, katanya tertawa: "Hari ini tentunya kalian sudah puas, biarlah dilanjutkan lain hari saja"
Perjudian bubar, masing-masing melangkah ke belakang sambil menggandeng gadis pujaannya kelelap dalam buaian mimpi dengan berpelukan.
Thio Siau-lim menggeliat, katanya tertawa: "Lote, kau memang jempol, tepat pandanganmu, menyikatnyapun dengan telak"
Leng Chiu-hun tertawa tawar, ujarnya: "Apa ya...", secepat kilat mendadak tangan kiri terulur mencabut golok yang tergantung di pinggang Thio Siau-lim, ujung golok yang kemilau tahu-tahu sudah mengancam pelipisnya, jengeknya dingin: "Sebenarnya siapa kau" Apa kerjamu di sini?"
Pendekar Super Sakti 4 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Golok Halilintar 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama