Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 13

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


"Nurseta, mari kita cepat membawa mereka pergi dari sini. Kalau dua jahanam tua itu kembali membawa bala bantuan, sukar bagi kita untuk melindungi mereka ini. Aku.......
aku harus mengubur jenazih Pertiwi di tempat yang layak......" Suaranya terdengar penuh duka dan kakek perkasa ini lalu mengangkat dan memondong tubuh Pertiwi yang sudah menjadi mayat.
Nurseta juga memondong tubuh Ni Dedeh Sawitri dan merekapun meninggalkan tempat itu. Menurut petunjuk Ki Jembros, mereka mendaki sebuah bukit yang nampak subur dan menurut pendapat Ki Jembros, merupakan tempat yang amat baik untuk mengubur jenazah. Setelah tiba di lereng bukit itu, di tempat terbuka yang penuh rumput, Ki Jembros berhenti.
Dengan hati hati mereka menurunkan tubuh yang mereka pondong. Ni Dedeh Sawitri bernapas satu-satu. Tendangan Cakrabirawa dari Ki Buyut Pranamaya yang ampuh tadi telah membuat beberapa tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang hebat. Setelah memeriksa dengan seksama, Nurseta terkejut dan berduka melihat keadaan dada ibunya. Diapun menempelkan tangannya ke tempat yang tertendang itu, di sebelah kanan ulu hati agak ke bawah, lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk membantu ibunya mengatasi lukanya.
Ni Dedeh Sawitri mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka matanya. "Anakku........ kau anakku......" bisiknya dengan suara lirih dan terputus-putus.
"Tenanglah dan biarkan aku mencoba untuk mengobati" kata Narseta.
Ni Dedeh Sawitri tersenyum. Wajahnya yang pucat itu nampak cerah dan cantik, matanya bersinar-sinar. Jelas terbayang kebahagiaan di wajahnya, walaupun wajah itu nampak juga menahan rasa nyeri yang hebat. Lalu ia menggeleng kepalanya.
"Percuma....... tendangan itu hebat....... aku....... aku merasa..... takkan kuat lagi...."
Tiba tiba wanita itu tumpah dan banyak darah keluar dari mulutnya. Nurseta terkejut
dan maklum bahvva memang apa yang dikatakan wanita itu benar. Lukanya amat parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Nurseta menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya.
"Kau....... telah mengorbankan nyawa untukku......."
Ni Dedeh Sawitri kembali tersenyum dam nampak jelas oleh Narseta betapa cantik ibu kandungnya ini. Usianya sudah kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi wajah itu belum dimakan keriput, masih halus dan garis-garisnya amat sempurna.. Ketika tersenyum nampak deretan giginya yang masih rapi dan putih bersih. Tidak mengherankan kalau banyak pria tergila-gila kepada wanita ini, pikirnya. Ada rasa bangga menyelinap di hatinya, akan tetapi juga perasaan kecewa mengingat betapa ibunya telah tersesat yang terkenal kejam dan juga cabul.
"Aku girang, aku bahagia...... setidaknya aku dapat melukukan sesuatu untuk anakku.
Nurseta........ ah, maukah....... maukah kau memenuhi permintaanku yang terakhir " Anakku........ ah, anakku........ kalau kau tidak sudi mengaku ibu kepadaku, setidaknya..... maukah engkau memenuhi permintaan...... permohonan...... seorang wanita yang mendekati kematiannya ?"
Nurseta mengangguk, tidak bersuara karena ia tahu bahwa keharuan dan kedukaan hatinya akan membuat suaranya gemetar mengandung isak.
"Pertama...... maukah kau....... memaafkan semua kesalahanku, nak" Kau........ kau
ampunkan aku?"
Nurseta merangkap kedua tangannyu "Semoga para dewata mengampuni semua kesalahanmu..." bisiknya.
"Tapi kau " Biar semua dewata mengampuniku, kalau kau anakku tidak mau memaafkan aku, masih mendendam dan membenciku, tidak ada artinya........ aku hanya..... butuh pengampunanmu......"
Nurseta mengangguk. "Aku sudah melupakan semua kesalahanmu......"
"Kau maafkan dan tidak membenciku lagi?" tanya wanita itu penuh harap dan agaknya ada kekuatan baru datang padanya sehingga ia dapat bicara dengan lancar.
"Aku tidak membencimu lagi" kata Nurseta dengan suara sungguh-sungguh karena ucapan itu keluar dari lubuk hatinya.
"Ah ....... terima kasih ....... kau anakku.......satu. permintaan lagi, kalau........
aku mati........ bakarlah jenazahku dan bawa abuku ke Kediri........ kuburkan
ibu di dekat makam ayahmu....... Pangeran Panji Hardoko ...... Maukah kau melaksakan itu?"
Kembali Nurseta mengangguk dan dia menggigit bibirnya, hatinya seperti diremas rasanya. Wanita ini ibunya. Dan ibunya minta abunya dikubur dekat makam ayahnya.
"Akan aku laksanakan" katanyu tegas.
Ni Dedeh Sawitri menggerakkan kedua tangannya dan merangkul leher Nurseta. Dengan tenaga lemah dia menarik leher puteranya itu. Merasakan hal ini, Nurseta mendekatkan diri karena wanita itu agaknya tiba-tiba kehilangan, suaranya dan hanya berbisik-bisik. Dia mendekatkan telinganya.
"Anakku....... maukah........ maukah kau........?" Senyum dan pandang mata itu amat
mengharukan dan sikapnya seperti seorang wanita yang dengan penuh kasih sayang dan kemesraan membutuhkan cumbu rayu seorang pria yang dicintanya.
"Apakah itu________?" Nurseta bertanya.
"Maukah....... maukah kau........ menyebut....... ibu kepadaku.......?" suara itu hanya
Bisik-bisik dan napas itu makin lemah.
Nurseta menatap wajah itu dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. Rangkulan kedua lengan ibunya pada lehernya makin melemah sehingga dia harus menopang tubuh ibunya dengan kedua lengannya yang memeluk, lalu dia berkata, suaranya penuh perasaan sayang dan iba.
"Ibu........ ibu......."
Wajah itu berseri, mata itu berkilat. mulut itu tersenyum lebar akan tetapi tenaga pada kedua lengan yang merangkul itu hilang, tubuhhnya terkulai dalam pelukan Nurseta.
"Ibu...Ibuuu" " Kini panggilan Nurseta bukan untuk memenuhi permintaan ibunya, melainkan teriakan yang keluar sebagai jeritan hati melihat wanita itu meninggalkan dunia ini dengan wajah penuh senyum kepuasan, penuh kebahagiaan.
"Ibuuuu......." Nurseta mendekap dan menyembunyikan mukanya di dada wanita itu" membasahi dada itu dengan cucuran air matanya,
"Tenangkan hatimu, Narsetai" terdengar suara Ki Jembros. "Bagaimanapun juga, ia mati dalam keadaan bahagia, diantar tangis puteranya yang tercinta" Setelah berkata demikian Ki Jembros memandang kepada jenazah Pertiwi dengan sedih. Ada sesuatu yang dirasakannya ikut mati dalam hatinya melihat Pertiwi yang kini tidak bernyawa lagi itu
Dua orang pria yang kehilangan orang yang dicintanya itu kini bekerja. Ki Jembros menggali sebuah lubang kuburan yang dalam untuk mengubur jerazah Pertiwi, sedangkan Nurseta, melaksanakan pesan terakhir ibu kandungnya, yaitu mengumpulkan kayu bakar yang amat banvak untuk memperabukan jenazah itu.
Pada keesokan harinya, dua orang laki-laki perkasa itu menuruni bukit itu dengan wajah lesu. Nurseta membawa abu jenazah ibunya yang dibungkus dengan kain, sedangkan Ki Jembros membawa hati yang merasa sunyi melengang. Seolah-olah semangatnya ikut dimakamkan di kuburan Pertiwi, sebuah kuburan sederhana yang ditandai dengan sebuah batu persegi tiga.
Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti dan saling pandang Mereka dapat mengetahui isi hati masing-masing. Nurseta amat terharu melihat Ki Jembros. Malam tadi, setelah mengubur jenazah Pertiwi, Ki Jembros menangis di depan makam. Ketika Nurseta mendekatinya duduk pula bersama di situ sambil menanti terbakar habisnya jenazah Ni Dedeh Sawitri, Ki Jembros mengusap air matanya dan berkata kepada Nurseta.
"Nurseta, dapatkah kau merasakan betapa nyerinya hati yang merasa kehilangan dan kesepian ?"
Tanpa menjawab Nurseta mengangguk. Nurseta merasa iba sekali. Dia tahu apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran orang tua itu. Baru saja Ki Jembros kehilangan Pertiwi, satu-satunya orang yang dia anggap sebagai miliknya, entah itu sebagai murid, sebagai kawan, atau sebagai wanita yang dicintainya. Dan Ki Jembros yang gagah perkasa itu merasa kehilangan, merasa kosong hidupnya, kesepian dan merana.
Tiba-tiba Ki Jembros berkata dengan sungguh-sungguh "Nah, Nurseta. Di sini kita berpisah. kau hendak melanjutkan perjalanan ke mana?"
"Aku hendak melanjutkan perjalanan memenuhi tugasku, paman. Yaitu ke dalam ibu kota Kediri. Pertama, aku akan menguburkan abu jenazah ibuku ini di dekat makam ayah. Kemudian, aku akan menyelidiki tentang Wulansari dan tombak pesaka Tejanirmala"
"Baiklah, memang tombak pusaka itu penting sekali. Kurasa Wulansari sudah mengantarkan Puteri Dyah Gayatri ke Majapahit dan ukupun akan ke sana. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuberitahu bahwa kau mecarinya dan berada di Kediri"
"Baiklah, paman. Kita berpisah di sini dan selamat jalan"
"Selamat berpisah, Raden. Berhati-hatilah"
"Di Kediri banyak musuh yang pandai" kata Ki Jembros.
"Paman menyebut Raden pula?"
"Tentu saja, Kau putera pangeran, bukan"'' Ki Jembros tertawa dan merekapun berpisah.
*** Para pimpinan pasukan dari Cina yang dikirim Kubilai Khan mengadakan perundingan. Mereka telah mendengar laporan yang dibawa oleh Lie Hok Yan dan beberapa orang perwira yang bertugas mata-mata. Musuh mereka yang menurut perintah kaisar mereka harus mereka tumpas adalah Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Akan tetapi kini Prabu Kertanegara telah tewas, Kerajaan Singosari telah jatuh ke tangan seorang raja lain yaitu Raja Jayakatwang dari Kediri. Padahal tidak ada perintah dari kaisar mereka untuk menyerang raja ini.
"Bagaimanapun juga, tidak bijaksana kalau kita kembali dengan tangan kosong" kata Pangima Kau Seng kepada dua orang rekannya, satu Pauglima She Pei dan Panglima Ji Kauw Mosu, dihadiri pula oleh para perwira yang membantu mereka, termasuk Lie Hok Yan. "Perintah Sribaginda Kaisar adalah untuk menghukum Kerajaan Singosari. Walaupun kini Kerajaan Singosari sudah terjatuh ke tangan raja lain, namun kalau dia sebagai penguasa baru tidak mau tunduk kepada kaisar kita, sepantasnya kita serang dan kita menundukkannya agar dia mengakui kebesaran kaisar kita"
"Akan tetapi kita belum mengetahui bagaimana sikap Prabu Jayakatwang dari Kediri yang telah menaklukkan Singosari itu" kata Ji Kauw Mosu hati-hati.
"Benar, kita harus melihat dahulu bagaimana sikapnya. Kalau memang dia mau mengakui kebesaran Sribaginda Kaisar dan mengirimkan upeti dan tanda penghormatan melalui kita, tentu kita tidak perlu membuang tenaga untuk menyerangnya" kata pula Panglima She Pei.
"Akan tetapi, ada hal yang amat menarik dalam peristiwa di Singosari ini" kata Panglima Kau Seng. "Kita dengarkan saja penjelasan sute Lie Hok Yan. Sute, kau ceritakanlah tentang pertemuanmu dengan orang-orang yang setia kepada Singosari dan adanya usaha pemberontakan terhadap Raja Jayakatwang itu"
Lie Hok Yan lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, mengenai penyelidikannya dan pertemuannya dengan orang orang gagah dari Singosari. Dia bercerita bahwa Raden Wijnya, yaitu seorang pangeran Singosari, mantu mendiang Prabu Kertanegara, kini sudah melakukan persiapan untuk memberontak dan menyerang Kerajaan Kediri dan membangun kembali Singosari yang sudah runtuh. Sekarang, Raden Wijaya itu, dibantu oleh bupati Sumenep Arya Wiraraja atau Bupati Banyak Wide, sedang menyusun kekuatan di dekat daerah yang disebut Majapahit. Betapa pihak Raden Wijaya mengharapkan kerja sama dengan pasukan Kubilai Khan untuk bersama-sama. menyerang Kerajaan Daha.
Mendengar keterangan Lie Hok Yan, tiga orang panglima itu kembali berunding. "Kita harus berhati-hati" kata Ji Kauw Mosu. "Kita belum tahu bagaimana sikap Raja Jayakatwang, dan apa untungnya kalau kita membantu Raden Wijaya memerangi Kerajaan Daha"
Bagaikan suatu jawaban langsung dari keraguan yang dilontarkan Ji Kauw Mosu itu, seorang pengawal datang menghadap dan menghadap, bahwa ada tamu yang mengaku utusan dari Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja, mohon untuk menghadap pimpinan pasukan.
Orang itu adalah utusan yang dikirim oleh Arya Wiraraja, bersama beberapa orang pengikutnya. Setelah menghadap, utusan itu menyerahkan surat dari Arya Wiraraja. Melalui seorang penterjemah, tiga orang panglima itu meniliti isi surat. Dalam suratnya, Arya Wiraraja menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan pasukan Tartar untuk melawan Kerajaan Daha. Dalam surat itu, Arya Wiraraja yang terkenal cerdik itu menggambarkan keadaan Daha dan tentang Sang Prabu Jayakatwang yang berwatak licik. Sedangkan terhadap Kerajaan Singosari yang masih keluarga sendiri dan yang selalu melepas budi kebaikan saja, dia masih mau memberontak dan berkhianat, apa lagi terbadap Kaisar Kubilai Khan, demikian Arya Wiraraja menulis. Sebaiknya, kalau Raden Wijaya yang menjadi raja, maka hubungan antara kerajaan baru itu dengan Cina akan menjadi baik kembali. Juga Raden Wijaya dan Arya. Wiraraja tidak akan melupakan bantuan pasukan itu, dan kalau mencapai kemenangan, tentu akan mengirim upeti yang banyak, diantaranya beberapa orang puteri kerajaan yang cantik untuk dihaturkan kepada Kaisar Kubilai Khan.
Setelah mengadakan perundingan, akhirnya para pimpinan pasukan Tartar itu menerima uluran tangan ini dan merekapun membalas surat Arya Wiraraja, menyatakan setuju untuk bekerja sama memukul Kerajaan Daha.
Perjanjian telah disepakati dan tiga orang panglima itu bersiap siap untuk mulai bergerak. Tinggal menanti berita dari Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Akan tetapi mulai saat itu hubungan diantara mereka selalu ada.
Ketika Kau Seng dihadap sute-nya (adik sepergurannya) yang menyatakan untuk mengundurkan diri karena hendak menikah dengan seorang gadis puteri lurah dusun Kalasan dan tidak kembali ke Cina, panglima itu mengerutkan alisnya. "Sute, kalau saja kau bukan sute-ku, dan kau tidak bekerja dalam pasukanku, tentu akan kusuruh tangkap kau dan dijatuhi hukuman berat. Bagaimana mungkin kau hendak meninggalkan pasukan begitu saja untuk keperluan pribadi" Dalam pasukan, kepentingan pasukan harus didahulukan, baru kepentingan pribadi. Apa lagi kau menjadi anggata pasukan yang melakuakan perjalanan jauh dari negeri sendiri"
"Saya tahu, Tai Ciangkun (panglima)" jawab Hok Yan. "Kalau bukan Ciangkun yang menjadi pemimpin saya, tentu sayapun tidak akan berani mengajukan permintaan ini"
"Hemm, sudahlah, urusan pribadimu boleh ditunda dulu, dan kau harus melaksanakan tugasmu sebagai perwira dalam pasukan kita. Kalau tugas kita ini sudah selesai dan kau tidak ikut pulang ke utara, terserah kepadamu.
Hok Yan memberi hormat dan tersenyum, memang maksudnya bukan langsung meninggalkan pasukan. Kalau dia tadi menyatakan demikian hanya untuk memancing bagaimana pendapat suhengnya saja. Kini, suhengnya menyetujui kalau tugas sudah selesai dan itulah yang dia harapkan. Tanpa persetujuan suhengnya, biarpun tugas sudah selesaipun tidak mungkin dia meninggalkan pasukan.
"Terima kasih, Ciangkun"
*** Sementara itu, di daerah baru yang telah dibuka oleh Raden Wijaya dan para pengikutnya, yaitu yang diberi nama Majapahit, Raden Wijaya juga mengadakan perundingan dengan para pembantunya, yaitu bekas senopati Singosari. Perundingan itu dilakukan dalam bangunan sederhana yang menjadi tempat tinggat Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, dan dilakukan dengan penuh rahasia. Sekeliling, rumah itu dijaga ketat agar jangan sampai ada orang luar dapat mendengarkan perundingan itu.
"Kini agaknya waktunya sudah matang untuk melakukan gerakan" antara lain Raden Wijaya berkata kepada para pembantunya "Kita telah berhasil mengumpulkan sisa pasukan Singosari yang dulu lari cerai berai, juga banyak menarik tenaga baru menjadi pasukan kita. Kita sudah melatih mereka dan mereka semua sudah dalam keadaan siap. Juga Paman Wiraraja sudah mempersiapkan diri dengan pasukan Madura yang akan membantu kita. bagaimana pendapat kalian sekalian" Sebelum melangkah, kita harus merundingkannya masak-masak dan saya mengharapkan nasehat dan pendapat kalian sekalian agar gerakan kita tidak sampai mengalami kegagalan"
Segera Ronggo Lawe maju menyembah. "Menurut pendapat hamba, seyogianya kalau perang dimulai dengan alasan yang kuat. Tanpa alasan langsung menyerbu Kediri akan menimbulkan anggapan seolah-olah paduka tidak mengenal budi dan terima kasih karena bukankah Sang Prabu Jayakatwang selama ini bersikap baik dan menerima paduka dan para pengiring paduka?"
Raden Wijaya menganguk angguk. "Lalu, alasan apa yang harus kita pakai untuk menggempur Kediri"''
"Gusti Pangeran, sampai sekarang paduka belum dapat menemukan Puteri Dyah Gayatri, padahal menurut berita, tadinya beliau menjadi tawanan di istana Kediri. Nah, paduka dapat menuntut agar Gasti Puteri itu diserahkan kepada paduka. Kalau hal itu tidak dipenuhi maka paduka mempunyai alasan untuk menyerbu Kediri"
"Bagaimana kalau paman prabu Jayakatwang mengembalikan diajeng Gayatri kepadaku?"
"Hal itu tidak mungkin, Raden. Karena kita sudah mendengar dari para penyelidik kita bahwa Sang Puteri telah berhasil lolos dari istana Kediri dan tak seorangpun mengetahui di mana beliau berada" bantah Ronggo Lawe.
Raden Wijaya memandang kepada para pembantunya yang lain. "Bagaimana pendapat kalian sekalian?"
Lembu Sora menyembah. "Kenapa kita harus menggunakan alasan itu, Raden" Sudah dapat dipastikan bahwa andaikata Gusti Pateri Dyah Gayatri masih berada di Kediri pun, Sang Prabu Jajakatwang tidak akan mengabulkan permintaan itu Pula, semua orang mengetahui belaka bahwa Sang Prabu Jayakatwang yang berkhianat dan memberontak tehadap Singosari. Kalau paduka kini menyerang Kediri, hal itu sudah jamak. Kejahatannya menghancurkan Singosari tidak mungkin dapat ditebus hanya oleh sikapnya yang baik ketika menerima paduka. Tidak perlu rasanya bersungkan-sungkan terhadap seorang yang demikian tidak mengenal budi seperti Sang Prabu Jayakatwang. Dia telah membalas kebaikan Singosari kepadanya dengan penyerbuan yang amat curang, yaitu selagi Singosari mengirimkan balatentaranya keluar Jawa"
Mendengar ucapan itu, Gajah Pagon dan Lembu Peteng menyatakan setuju dan merekapun menganjurkan agar penyerangan segera dilakukan untuk menghukum Raja Kediri.
Senopati Nambi tidak mau kalah dan diapun maju dengan usulnya. "Menurut pendapat hamba, akan lebih menguntungkan kalau kita berusaha mendekati dan memikat para menteri dan hulubalang Kerajaan Daha, membujuk mereka agar suka memberontak. Kalau sudah begitu, akan mudah menaklukkan Sang Prabu Jayakatwang yang diserang dari luar dan dalam. Kalau paduka hendak membalas budi, paduka dapat membiarkan Prabu Jayakatwang tetap menjadi raja di bawah kekuasaan Singosari kembali, asal dia suka menyerahkan puterinya kepada paduka sehingga terdapat ikatan kekeluargaan yang lebih erat lagi. Kalau Sang Puteri Kedaton yaitu Dyah Retna Kesari dari Daha dapat menjadi isteri Paduka, tentu keluarga Kerajaan Daha tidak akan dapat berkutik lagi dan akan terdapat perdamaian antara kedua kerajaan"
Ketika Raden Wijaya minta para pembantunya yang lain, para senopati lainnya tidak setuju. Mereka itu pada umumnya menghendaki agar tidak perlu mempergunakan siasat yang berlika-liku, melainkan terus terang saja menyerbu Kediri sebagai pembalasan atas perbuatan Prabu Jayakatwang yang telah menaklukkan Singosari.
Ronggo Lawe kembali menyembah. "Hamba juga setuju kalau semua rekan menghendaki agar kita langsung saja menyerbu Kediri tanpa banyak urusan lagi. Memang kalau dipikir, perbuatan Prabu Jayakatwang yang telah menundukkan Singosari dengan pengkhianatannya itu amat menyakitkan hati. Akan tetapi, harap paduka tidak melupakan Pamanda Bupati di Sumenep. Saran dan nasihat beliau selalu berguna bagi paduka"
"Andika benar, Kakang Ronggo Lawe" Seru Raden Wijaya. "Memang seharusnya kalau kita lebih dulu minta nasihat Paman Wiraraja, karena selama ini akupun selalu bergerak sesuai dengan nasihatnya" Raden Wijaya sudah mengambil keputusan dan pada hari itu juga dia mengutus Lembu Peteng untuk pergi ke Sumenep membawa suratnya yang isinya mohon petunjuk tentang maksud penyerbuannya ke Daha.
Sambil menanti kembalinya Lembu Peteng dari Sumenep, Raden Wijaya mengajak para pembantu yang lain untuk berburu binatang ke dalam hutan-hutan di sekitar daerah Majapahit.
Para senopati itu berpencar untuk menggiring binatang buruan ke arah Radeh Wijaya yang siap menanti dengan busur dan anak panah. Gajah Pagon dan Banyak Kapuk, dua orang senopati setia berjalan beriringan untuk mencari binatang buruan dan menggiringnya. Mereka memasuki hutan dari arah timur.
Pagi itu matahari cerah dan selagi dua orang senopati itu berjalan berindap-indap, tiba-tiba Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya untuk berhenti. Banyak Kapuk mengira bahwa rekannya melihat binatang hutan, maka diapun diam tak bergerak sambil memandang ke arah yang ditunjuk oleh Gajah Pagon.
Akan tetapi yang dilihatnya bukan binatang hutan, melainkan seorang manusia yang berdiri di depan sebuah gubuk tua. Gubuk iiu memang dibangun oleh para pekerja ketika mereka menjelajahi hutan dan ketika terjadi babat hutan di daerah Majapahit, sebagai tempat berteduh dan bermalam mereka yang melaksanakan tugas. "
"Eh, siapa ........"
"Ssttt......." Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya untuk tidak bersuara, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga kawan itu sambil berbisik, "Dia bukan kawula di sini, siapa tahu dia mata-mata musuh.,....."
Banyak Kapuk mengangguk dan mereka berdua menyelinap di balik semak belukar dan mengintai. Yang mereka intai itu seorang laki-laki muda sekali, dengan wajah yang amat tampan. Mungkin usianya baru dua puluh tahun lebih. Tubuhnya kecil saja, ramping, akan tetapi pemuda itu memiliki sepasang mata yang amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau. Dari tempat mereka bersembunyi, dua orang senopati pembantu Raden Wijaya itu mendengar pemuda itu bicara dengan seseorang yang agaknya berada di dalam gubuk.
"Bersembunyilah saja di dalam, dan jangan keluar. Aku mendengar suara banyak orang memasuki hutan ini" kata pemuda itu menjawab pertanyaan yang tidak jelas dari dalam gubuk.
Akan tetapi, Gajah Pagon dan Banyak Kapuk mendengar suara wanita dari dalam gubuk itu. Ucapan pemuda itu menambah besar kecurigaan mereka. Pemuda itu bersikap aneh dan agaknya dengan sembunyi-sembunyi memasuki daerah itu. Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya dan merekapun berloncatan keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri pemuda yang berdiri di depan gubuk itu. Mereka melihat betapa gubuk itu ditutup pintunya sehingga wanita yang berada di dalamnya tidak nampak. Dan kini mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat ganteng dan tampan, yang menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali, Pemuda itu tidak terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki gagah itu.
"Heh, orang muda. Siapakah kau" Dan siapa pula yang berada di dalam gubuk itu " Hayo keluar dan kalian memperkenalkan diri kepada kami dengan terus terang" kata Gajah Pagon dengan suara lembut namun tegas dan berwibawa.
Pemuda itu memandang kepadanya dengan sorot mata penuh selidik. Gajah Pagon adalah seorang laki-laki jantan berusia empat puluhan tubuh, bertubuh tinggi besar dengan perut agak gendut, dan sikapnya berwibawa.
"Kisanak, kita tidak saling mengenal, juga tidak mempunyai urusan satu sama lain. Pergilah dan jangan ganggu kami"
Sikap dan jawaban pemuda itu yang nampak demikian angkuh membuat Banyak Kapuk yang wataknya keras berangasan itu seketika menjadi marah. Matanya melotot merah dan dia memelintir kumisnya yang panjang dan tebal.
"Babo babo keparat. Orang muda sombong, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan " Aku adalah Banyak Kapuk dan ini kakang Gajah Pagon. Kami adalah bekas senopati Singosari, tahu ?"
Pada saat itu terdengar suara wanita dari dalam gubuk. "Kakang Bambang Wulandoro, siapakah mereka yang datang membikin gaduh itu?"
"Ah, mereka ini hanya dua orang bekas Senopati Singosari yang mengaku bernama Banyak Kapuk dan Gajah Pagon" kata pemuda dengan sikap acuh, seolah memandang rendah sekali kepada dua orang bekas senopati itu.
"Bocah sombong" Banyak Kapuk tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Siapa namanu" Bambang Wulandoro" Hayo kau menyerah untuk kami tawan karena sikapmu ini menunjukkan bahwa kau adalah seorang musuh, mungkin kau mata-mata"
"Banyak Kapuk, kau ini sesuai dengan namamu, kau seperti seekor banyak (angsa) yang kurus dan galak" Pemuda itu mengejek.
Kembali terdengar suara dari dalam gubuk. "Kebetulan sekali, kakang. Kalau begitu suruh mereka itu minta agar Raden Wijaya datang ke sini"
Pemuda itu bukan lain Wulansari, dan wanita yang bersembunyi di dalam gubuk adalah Puteri Dyah Gayatri. Wulansari kini berkata lagi kepada dua oiang itu, "Nah, kalian
sudah mendengar, bukan" Lebih baik kalian cepat pergi dan mengundang Raden Wijaya agari datang ke sini"
Mendengar ucapan ini, Gajah Pagon yang tabiatnya lebih sabar itu menjadi merah mukanya, pemuda ini dan wanita yang berada di dalam gubuk sungguh memandang rendah kepada Raden Wijaya dan para senopatinya.
"Orang muda, kau ini masih seorang bocah, akan tetapi kau bersikap sombong bukan main. Terpaksa kami harus menangkapmu untuk kami hadapkau kepada Raden Wijaya"
Wulansari yang memang sengaja hendak memancing datangnya Raden Wijaya ke tempat itu, ia masih bersikap tinggi hati. "Hemm, hendak kulihat bagaimana kalian akan dapat menangkap aku?"
"Babo. babo, bocah ingusan sombong. Beginilah aku menangkapmu"
Dengan gerakan cepat, bagaikan seekor harimau menubruk kelinci, Banyak Kapuk sudah meloncat dan menerkam kearah "pemuda" itu, Akan tetapi tentu saja dengan amat mudahnya Wulansari mengelak ke simping sehingga tubrukan itu luput dan tubuh Banyak Kapuk terhuyung ke depan. Banyak Kapuk menjadi semakin marah dan penasaran. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa tubrukannya pasti akan berhasil, akan tetapi pada detik terakhir, pemuda itu dapat menyelinap ke samping sehingga tubrukannya tidak mengenai sasaran. Dengan marah dia membalik dan kini dia menyerang sungguh-sungguh, bukan hanya untuk menangkap melainkan memukul dengan lengan kanannya yang panjang, memukul kearah dada pemuda itu sambil mengerahkan tenaganya.
"Pecah dadamu" bentaknya ketika kepalan tangan kanannya menyambar.
Wulansari membuat gerakan dan tubuhnya menjadi miring. Ketika lengan lawan yang memukul itu lewat di samping tubuhnya, diapun cepat mengangkat kakinya menendang ke arah belakang lutut lawan.
"Dukk" Dan Banyak Kapuk tak mampu mempertahankan diri lagi, kakinya tertendang, diapun jatuh bertekuk lutut.
"Sudahlah, tidak perlu memberi hormat dengan berlutut kepadaku" kata Wulansari mengejek.
Ejekan ini tentu saja membuat Banyak Kapuk menjadi semakin marah. Dia sudah mencabut kerisnya, akan tetapi pada saat itu Gajah Pagon memegang lengannya.
"Biarkan aku menghadapinya" Dan diapun sudah melangkah maju menghadapi Wulansari. Setelah memandang dengan penuh perhatian, Gajah Pagon lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.
"Orang muda, ketahulah, bahwa kau telah memasuki daerah Majapahit yang dikuasakan oleh Raden Wijaya. Kami adalah pengikut-pengikut Raden Wijaya. Karena itu, sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan menangkapmu, lebih baik kau berterus terang, apa keperluanmu datang ke tempat ini dan menyerahlah dengan damai"
Wulansari tersenyum mengejek "Sudah aku katakan bahwa aku tidak memiliki urusan apapun dengan kalian. Aku tidak mengganggu kalian, maka kalianpun tidak boleh meneganggu aku. Kalau kalian pengikut Raden Wijaya, maka pergilah kalian menghadap Raden Wijaya dan undang dia agar datang ke sini"
Tentu saja bukan maksud Wulansari untuk bersikap tinggi hati terhadap Raden Wijaya. Dara ini hanya bertindak mewakili Puteri Gayatri saja dan mengingat betapa puteri telah mengalami banyak sekali kesengsaraan, maka sudah sepatutnya kalau kini, menghadapi pertemuan ini, Raden Wijaya yang mengalah dan mau datang menyambut atau menjemput puteri Gayatri.
Tentu saja Gajah Pagon tidak tahu akan hal itu. Sikap pemuda itu dianggapnya terlalu sombong dan diapun memandang marah. "Bambang Wulandoro, aku tidak mengenal siapa kau, akan tetapi sikapmu ini sungguh terlalu sombong. Terpaksa aku menggunakan
kekerasan. Jangan menganggap aku yang lebih tua keterlaluan terhadap yang muda"
Wulansari mengagumi sikap senopati ini, akan tetapi ia menjawab sambil tersenyum. "Tidak ada yang bersikap keterlaluan. Kalau memang ada kemampuan, majulah dan keluarkan semua kedigdayaanmu"
Gajah Pagon makin marah. "Lihat serangan" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju. Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata gerakannya amat cepat dan tenaga yang terkandung dalam kedua tangannya jauh lebih kuat dibandingkan Banyak Kapuk tadi. Namun, bagi Wulansari, serangan itu biasa saja dan dengan mudah iapun mengelak dengan tarikan kaki ke belakang. Namun, Gajah Pagon menyusulkan serangan bertubi-tubi. Dengan gencar kedua tangannya menyambar-nyambar dari kanan kiri, dan dari bawah kakinyapun ikut pula menyerang dengan tendangan kilat. Untuk beberapa jurus lamanya, Wulansari hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, atau bagaikan seekor burung walet sukar sekali dijadikan sasaran sehingga semua tamparan, pukulan maupun tendangan yang dilakukan Gajah Pagon tak pernah mampu menyentuhnya. Bahkan menyentuh ujung bajupun tidak.
Ketika untuk kesekian kalinya kaki kiri Gajah Pagon menendang, dengan lincah Wulansari menggeser kaki dan tubuhnya miring. Ketika kaki itu menyambar lewat, tangan Wulansari menyambar dan mendorong kaki itu ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh yang tinggi besar itu terangkat dan terlempar, lalu jatuh terbanting ke atas tanah.
Melihat ini, Banyak Kapuk yang masih memegang keris, segera menerjang maju dan menyerang Wulansari dengan tikaman kerisnya. Namun, sekali ini Wulansari tidak mau membuang banyak waktu. Ia menghindar dan tusukan dengan loncatan ke samping, kemudian tangan kirinya menampar kearah pundak Banyak Kapuk.
"Plakkk" Banyak Kapuk mengeluarkan seruan kaget, kerisnya terlepas dan diapun terpelanting.
Gajah Pagon juga sudah mencabut kerisnya yang besar luk tujuh belas, akan tetapi sebelum dia sempat menyerang, Wulansari sudah menerjangnya dengan dahsyat. Gajah Pagon berusaha menyambut terjangan itu dengan serangan keris, namun dia kalah cepat dan tendangan Wulansari sudah mengenai lambungnva, membuat untuk ke dua kalinya dia terpelanting jatuh.
Tahulah kini dua orang itu bahwa pemuda yang menjadi lawan mereka itu sungguh memiliki kepandaian tinggi. Tanpa bantuan teman-teman, tak mungkin mereka menang dan merekapun harus cepat membuat laporan karena siapa tahu pemuda yang sakti itu mata-mata musuh yang akan membahayakan gerakan mereka. Mengingat akan hal ini, Gajah Pagon lalu meloncat dan melarikan diri sambil meneriaki Banyak Kapuk untuk mengikutinya.
Dua orang itu lari secepatnya meninggalkan Wulansari yang hanya memandang sambil tersenyum. Kalau ia menghendaki, tentu tamparan dan tendangan tadi dapat ia perkuat sehingga dua orang lawannya roboh tak dapat bangun kembali. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu tentu saja, karena yang dikehendakinya hanyalah munculnya Raden Wijaya di tempat itu untuk menjemput Dyah Gayatri.
Dua orang pengikut Raden Wijaya itu kini lari berpencar. Gajah Pagon menyuruh kawannya untuk segera lari mencari Lembu Sora dan Ronggo Lawe, dua orang jagoan yang memiliki ilmu kesaktian paling tinggi diantara mereka. Sedangkan dia sendiri akan lari melapor kepada Raden Wijaya tentang pemuda yang aneh dan sakti mandraguna itu.
Yang lebih dahulu datang berlari lari ke gubuk itu adalah Ronggo Lawe dan Lembu Sora. Mereka berdua lebih dahulu dapat ditemui Banyak Kapuk.
Mendengar bahwa ada seorang pemuda berani mengalahkan dua orang rekan mereka, bahkan dengan sombong sekali berani memanggil Raden Wijaya agar datang ke gubuk itu, Ronggo Lawe dan Lembu Sora yang keduanya berwatak gagah dan keras itu segera berlari-lari mengikuti Banyak Kapuk ke tempat itu.
Pemuda itu ternyata masih berada di depan gubuk, duduk dengan santai sekali. Ketika melihat tiga orang yang datang berlarian ke gubuk itu, dia hanya tersenyum dan tidak bangkit berdiri. Ronggo Lawe dan Lembu Sora terkejut, heran dan kagum juga melihat bahwa yang mengalahkan Banyak Kapuk dan Gajah Pagon hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda.
"Hei, orang muda. Cepat katakan kepada kami siapa kau. Kami adalah senopati-senopati Singosari, para pembantu Raden Wijaya. Namaku Lembu Sora dan rekanku ini Ronggo Lawe, katakan siapa kau dan mengapa pula kau datang ke sini dan menimbulkan keributan" kata Lembu Sora.
Wulansari bangkit berdiri dengan perlahan, mengkadapi tiga orang itu dan sejenak ia mengamati Lembu Sora dan Ronggo Lawe yang memang nampak gagah perkasa. Ia sudah mendengar akan dua orang senopati ini. Mereka masih paman dan keponakan. Menurut yang pernah didengarnya, Lembu Sora adalah adik Arya Wiraraja sedangkan Ronggo Lawe adalah putera Bupati Sumenep itu.
"Heran, kiranya kau berdua adalah senopati-senopati........ eh, maksudku bekas senopati dari Singosari yang terkenal itu" Dan sekarang kalian menjadi pembantu-pembantu Raden Wijaya" Bagus, kalau begitu, kalian pargilah dan minta kepada Raden Wijaya untuk datang ke sini. Aku Bambang Wulandoro ingin bicara dengan Raden Wijaya"
"Bambang Wulandoro, katakan dulu apa keperluanmu ingin menghadap Raden Wijaya" Tidak sembarangan orang dapat bertemu dengan beliau begitu saja" kata Lembu Sora, masih menahan sabar.
---oo0dw0oo--- Jilid 20 AKAN tetapi Wulansari yang sengaja hendak menguji sampai di mana kehebatan dua orang senopati yang amat terkenal itu, sengaja tersenyum mengejek. "Hemm, aku tidak mungkin dapat bicara dengan orang-orang sembarangan saja. Aku barus bicara sendiri dengan Raden Wijaya. Oleh karena itu, kalian pergilah dan jangan ganggu aku, laporkan saja kepada Raden Wijaya bahwa aku ingin bicara dengan beliau di sini"
Sejak tadi Ronggo Lawe hanya memandang saja. Melihat sikap yang angkuh, wajah yang terlalu tampan dan mendengar kata-kata itu, Ronggo Lawe yang dibesarkan di Madura dan memiliki watak keras, segera melangkah maju. Dia amat tidak suka melihat pria yang sifatnya genit seperti wanita itu, terlalu halus dan terlalu tampan. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Wulansari.
"Heh, keparat Bambang Wulandoro! Kau sungguh sombong tidak menghormati pamanku Lembu Sora. Jangan kira setelah dapat mengalahkan dua orang rekan kami Banyak Kapak dan Gajah Pagon, lalu tidak ada orang yang akan berani melawanmu. Hemm, majulah dan mari kita mengadu kesaktian. Aku Ronggo Lawe menjadi lawanmu"
Wulansari tersenyum. "Sudah lama aku mendengar akan nama Ronggo Lawe yang kabarnya memiliki aji kesaktian yang dahsyat sebagal murid Eyang Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Ingin sekali aku melihat apakah berita itu bukan hanya omong kosong belaka" Setelah berkata demikian, Wulansari melangkah maju menghampiri Ronggo Lawe.
Lembu Sora mulai curiga melihat keberanian "pemuda" tampan itu. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu memang bukan orang sembarangan dan sudah pantas kalau mengundang Raden Wijaya ke situ, maka dia tidak ingin melihat Ronggo Lawe yang keras hati itu salah tangan. Dia tidak ingin melihat pemuda tampan itu terbunuh atau terluka parah sebelum tahu siapa dia sebenarnya dan apa maksud kedatangannya.
"Ronggo Lawe, jangan lancang melukai atau membunuh orang tanpa sebab, Kau boleh mencoba saja kesaktiannya"
Ronggo Lawe menoleh dan memandang kepada pamannya dan diapun sadar. Orang muda yang tampan ini memang penuh rahasia, tidak boleh dilukai parah atau dibunuh begitu saja tanpa lebih dulu yakin bahwa dia adalah seorang musuh yang berbahaya dan harus dienyahkan. Tidak boleh menuruti nafsu amarah. Diapun mengangguk lalu kembali menghadapi Wulansari. Pandang matanya penuh selidik. Bagaimanapun juga, pemuda tampan ini sudah mengenalnya, tahu bahwa dia adalah murid Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Dia harus berhati-hati.
"Bambang Wulandoro, mari kita saling menguji kepandaian. Akupun ingin sekali melihat berapa banyak bekalmu, maka kau berani bersikap seperti ini. Majulah"
Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk, kedua lengan terbuka, yang kanan di julurkan ke depan, yang kiri ditarik ke atas, dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya tegak dan kokoh kekar, nampak gagah bagaikan Gatutkaca.
Wulansari memandang kagum. Bukan main, pikirnya. Pria ini memang jantan dan perkasa sekali. Seakan-akan ia dapat merasakan betapa ada kekuatan dahsyat mengalir di dalam tubuh yang kokoh itu. Seorang jantan yang mengagumkan hatinya, hati seorang wanita. Kalau saja hatinya tidak penuh dengan bayangan Nurseta, akan mudah jatuh hati kepada seorang pria seperti Ronggo Lawe ini, Iapun tersenyum.
"Aku datang untuk bertemu dengan Raden Wijaya, bukan untuk mencari musuh. Ronggo Lawe. Pihak kalianlah yang memaksaku untuk bertanding, oleh karena itu, kaulah yang mulai, bukan aku. Aku hanya melayani saja" kata Wulansari dan iapun memasang kuda-kuda yang sederhana, berdiri tegak di depan Ronggo Lawe dan kedua tangannya tergantung lepas dan santai di kedua sisi tubuhnya.
"Baik, kau jaga seranganku. Heiiiiitttl" Ronggo Lawe menyerang, dan karena dia belum tahu sampai di mana kekuatan lawan, dia hanya mempergunakan tenaga otot biasa untuk menampar ke arah pundak lawan.
Wulansari tersenyum dan makin kagum. Satria ini memang gagah perkasa dan memegang janji, taat kepada atasan, juga di balik kekerasannya, berhati lembut. Karena tidak ingin mencelakainya, maka dalam serangan pertama itu dia hanya mempergunakan tenaga otot. Hal ini dapat dirasakannya dan diketahuinya. Maka, agar lawan jangan memandang rendah kepadanya dan mau mengeluarkan semua aji kesaktiannya, ia lalu menangkis sambil mengerahkan tenaga, tidak terlalu kuat, cukup untuk menunjukkan bahwa ia "berisi"
"Dukkl" Dan tubuh Ronggo Lawe hampir terjengkang. Dia terhuyung dan cepat meloncat ke belakang untuk mematahkan dorongan tenaga tangkisan itu. Mukanya menjadi agak kemerahan dan kini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. Tahulah Ronggo Lawe bahwa lawannya yang muda ini memang benar seorang yang memiliki tenaga sakti, maka tanpa ragu lagi kini dia menerjang lagi.
"Hyaaattt......." Dan sekali ini dia menyerang dengan pukulan yang mengandung tenaga sakti Gelap Sayuto, walaupun tidak sepenuhnya tenaga itu dia keluarkan. Tangan kirinya menampar ke arah dada lawan, sedangkan tangan kanan siap menyusulkan serangan berikutnya.
Wulansari melihat tenaga pukulan yang dilakukan mirip dengan aji kesaktian yang dipelajarinya dari Ki Cucut Kalasekti, yaitu Gelap Sewu. Hanya bedanya, pukulan Ronggo Lawe ini lebih kuat dan lebih bersih. Pukulan pemuda seperti Gatutkaca ini sejak semula sudah nampak kekuatannya, sebaliknya pukulannya Aji Gelap Sewu, pada permulaannya tidak nampak, akan tetapi setelah mendekati lawan baru nampak kedahsyatannya. Aji Gelap Sewu mengandung kelicikan dan kecurangan.
Karena maklum betapa hebatnya pukulan itu, Wulancari lalu mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya. Bagaikan seekor burun> alet saja, tubuhnya sudah melonjat ke be lakang dan pukulan itupun luput, bahkan serangan susulanpun tidak dapat dilakukan lawan, karena loncatannya ke belakang itu cukup jauh. Ronggo Lawe melakukan beberapa langkah ke depan dan menyerang lagi, namun Wulansari selalu mengelak. Bagaikan bayangan saja ia berputar-putar, berloncatan ke sana-sini seolah mempermainkan lawan.
Melihat betapa dengan mudahnya lawannya itu selalu mengelak dan semua serangannya luput, makin panaslah hati Ronggo Lawe. Makin lama, makin kuat serangannya sehingga angin menyambar-nyambar dan pukulan tangannya menjadi semakin berbahaya. Lembu Sora, memandang dengan alis berkerut. Dia kagum sekali. Pemuda itu sangat lincah. Pada hal pemuda itu sama sekali belum membalas serangan Ronggo Lawe, baru menggunakan kelincahan tubuhnya saja dan Ronggo Lawe nampaknya tidak berdaya. Seperti orang yang menyerang bayangannya sendri. Kemanapun Ronggo Lawe menyerang, lawannya sudah dapat menghindar dengan luar biasa cepatnya. Sukar membayangkan bagaimana jadinya, kalau pemuda tampan itu membalas. Ataukah dia hanya memiliki ilmu yang membuat tubuhnya ringan dan lincah saja dan tidak memiliki kepandaian untuk menyerang lawan"
Agaknya Ronggo Lawe juga penasaran sekali. Sudah puluhan kali dia menyerang, namun tak pernah serangannya itu menyentuh lawan, bahkan satu kalipun tidak pernah ditangkis sehingga sukar baginya untuk mengukur tenaga lawan. Maka, dengan gemas diapun mengerahkan kecepatan tubuhnya dan mulailah dia menyerang dengan cepat sekali. Dan sungguh hebat. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula lawannya berloncatan mengelak sampai tubuhnya lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Bukan main.
Dari penasaran, Ronggo Lawe yang wataknya keras itu menjadi marah. Dia menghentikan serangannya dan berkata dengan keras "Kisanak. Kalau kau memang takut menghadapi seranganku, katakan saja dan aku akan menghentikan serangan. Kalau berani, hadapilah seranganku sebapai laki-laki, bukan berlari-larian seperti itu"
Wulansari tersenyum. "Ah, begitukah" Kau menghendaki agar aku menggunakan kekerasan pula untuk menangkis dan balas menyerang?"
"Kalau kau ada kemampuan" balas Ronggo Lawe marah.
"Hemm, bagus. Majulah, Ronggo Lawe dan aku akan menangkis dan membalas"
Mendengar ini, Ronggo Lawe merasa ditantang dan diapun menerjang maju sambil mengayun tangan menampar ke arah kepala lawan.
"Wuuutttt........ plakkk" Kini pukulannya ditangkis oleh tangan yang halus namun yang mengandung kekuatan hebat, sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan terus memukul dan menampar. Kini Wulansari selalu menangkis dan ia juga mengerahkan tenaganya sehingga beberapa kali dua tangan itu bertemu dalam benturan yang dahsyat, yang menggetarkan tubuh mereka, juga bahkan getarannya terasa oleh Lembu Sora dan Banyak Kapuk yang menonton pertandingan itu.
Diam-diam keduanya kagum bukan main. Wulansari maklum bahwa kalau ia mengandalkan tenaga sakti yang keras seperti yang ia pelajari dari Ki Jembros dan Ki Cucut Kalasekti, biarpun ia tidak kalah kuat, namun akhirnya ia sendiri dapat menderita luka. Kedua lengannya sudah merasa nyeri karena beradu kekerasan dengan lengan lawan. Ia harus dapat mengalahkan lawan, akan tetapi dengan cara yang halus dan tidak sampai membahayakan keselamatan lawan.
"Haiiiitttt......." Kembali Ronggo Lawe menyerang dengan tamparan tangan kanannya.
Wulansari menangkis dan sekali ini Ronggo Lawe terkejut bukan main. Tangan yang menyambut tamparannya itu terasa demikian lembut sehingga tenaga kerasnya seperti tenggelam ke dalam kelembutan, seperti sebuah palu godam yang kuat dan keras dipukulkan pada air atau pada kapas. Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terjengkang dan diapun terbanting jatuh.
Dengan muka merah sekali Ronggo Lawe meloncat bangun dan kini dia sudah mencabut sebatang keris luk lima yang mengeluarkan sinar mencorong merah. Itulah keris pusaka Kolonadah, pemberian Empu Supamandrangi yang menjadi gurunya.
"Bambang Wulandoro, keluarkan pusakamu dan mari kita mengadu kesaktian menggunakan pusaka" tantangnya marah.
Lembu Sora hendak melerai, akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan, "Wulan........"
Dan muncullah seorang laki-laki gagah berusia. Lima puluhan tahun. Melihat pria ini, Wulansari menundukkan mukanya.
"Kanjeng rama......"
Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi. tubuhnya terjengkang.
Lembu Sora, Banyak Kapuk dan juga Ronggo Lawe sendiri memandang heran dan kaget. Mereka tentu saja mengenal rekan mereka, yaitu Medang Dangdi, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya.
"Dimas Medang. Kiranya pemuda ini puteramu?" tanya Lembu Sora.
"Bukan putera, melainkan puteri" jawab Medang Dangdi. "Anakmas Ronggo Lawe, maafkanlah puteriku Wulansari"
"Puteri.......?" Lembu Sora dan terutama sekali Ronggo Lawe terbelalak dan wajah Ronggo Lawe menjadi merah padam. Dia tadi telah dikalahkan oleh seorang puteri. Juga Banyak Kapuk terbelalak. Dia akan kehilangan muka kalau diketahui orang bahwa dia dipermainkan dan dikalahkan oleh seorang wanita. Untung baginya bahwa dia menjadi saksi akan kekalahan Ronggo Lawe pula.
"Kanjeng rama, aku tidak bersalah" Wulansari membela diri ketika melihat sikap ayahnya yang memintakan maaf itu. Akan tetapi Medang Dangdi memandang puterinya itu dengan sinar mata penuh teguran walaupun dia merasa gembira dan terharu melihat puterinya berada dalam keadaan selamat dan sehat itu.
"Wulansari, kau tahu bahwa ayahmu senopati Singosari dan pengikut Raden Wijaya yang setia. Ayahmu seorang satria yang rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa. Kau datang di tempat ini dan membikin ribut, menentang para senopati dan pengikut Raden Wijaya yang menjadi rekan rekanku. Dan kau masih mengatakan bahwa kau masih mengatakan bahwa kau tidak bersalah?" Suara senopati ini penuh teguran dan penyesalan.
"Kanjeng rama, bertahun-tahun aku menjadi murid Ki Jembros dan menerima gemblengan Eyang Panembahan Sidik Danasura apakah kanjeng rama masih belum percaya akan kata-kataku dan menyangka aku berbohong" Tanyakan saja kepada para senopati yang terhormat ini, siapa yang lebih dulu mengajak bertanding, siapa yang lebih dulu melakukan penyerangan. Aku sama sekali tidak membuat ribut sama sekali tidak mengganggu mereka, sebaliknya merekalah yang mengganggu aku. Kanjeng rama tanyakanlah dan kalau memang mereka itu satria-satria sejati tentu tidak akan malu mengakui perbuatan mereka"
Berkata demikian, dengan sepasang matanya yang tajam Wulansari menatap wajah Banyak Kapuk, Lembu Sora dan Ronggo Lawe. Tiga orang senopati ini menjadi semakin rikuh dan terdengar Lembu Sora berkata, "Adimas Medang, terus terang saja kami akui bahwa kami yang bersalah. Kami melihat pemuda .......eh, puterimu ini berada seorang diri disini dan ketika kami tanya, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Raden Wijaya dan minta kepada kami untuk mengundang Raden Wijaya ke sini. Terus terang saja, kami mengira ia seorang pemuda dan kami mencurigainya sebagai seorang mata-mata musuh"
"Tentu saja kau curiga, kakang Lembu Sora dan aku tidak menyalahkan kau bertiga. Kalau ia bukan anakku, mungkin sekali akupun merasa curiga kepadanya dalam kemunculannya seperti ini di tempat ini. Wulansari, sebetulnya apa yang menjadi kehendakmu maka kau muncul di sini dan minta bicara dengan Raden Wijaya, bukan mencari aku ayahmu ?"
"Kanjeng rama, aku memang datang di sini untuk menemui Raden Wijaya, karena urusan yang teramat penting. Hanya kepada beliau sajalah aku dapat bicara, oleh karena itu tadi aku berkeras minta kepada mereka ini untuk melaporkan kepada Raden Wijaya, bahwa aku datang ke sini ingin bicara dengan beliau"
"Wulansari. Apakah kau hendak membikin ayahmu ini kehilangan muka di depan Raden Wijaya " Bagaimana mungkin kau mengundang Raden Wijaya begitu saja untuk menemuimu " Sepantasnya, kaulah yang ikut dengan para senopati ini untuk menghadap beliau, kalau memang ada suatu keperluan yang hendak kau bicarakan atau haturkan kepada Raden Wijaya"
"Begitukah pendapatmu, kanjeng rama" Tentu saja karena kanjeng rama dan para senopati ini mengabdi kepada Raden Wijaya. Akan tetapi aku tidak, dan kalau kanjeng rama mentaati Raden Wijaya, akupun mentaati seseorang, dan karena beliau itulah maka aku minta agar Raden Wijaya datang ke sini"
Ki Medang Dangdi terbelalak. Dia teringat bahwa puterinya ini kabarnya mengabdi kepada Sang Prabu Jayakatwang, walaupun ia tidak ikut maju berperang ketika Kediri menyerang Singosari dan kabarnya puterinya itu bahkan menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Diam-diam dia sudah merasa heran mengapa ketika dia mengikuti Raden Wijaya yang berpura-pura mengabdi kepada Prabu Jayakatwang, dia tidak melihat puterinya itu bersama Raja Daha itu. Dan kini puterinya tahu-tahu muncul di daerah Majapahit dan mengatakan mengabdi seseorang.
"Wulansari, siapakah orang yang kau taati itu ?"
"Hemm, aku hendak melihat bagaimana sikap kanjeng rama dan kalian sekalian kalau melihat orang yang kutaati. Nah, lihatlah baik-baik"
Wulansari mendorong daun pintu gubuk itu terbuka, Ki Medang Dangdi, Lembu Sora, Banyak, Kapuk dan Ronggo Lawe terbelalak, kemudian mereka berempat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika mereka mengenal siapa yang berada di dalam gubuk itu.
Akan tetapi, Puteri Dyah Gayatri tidak memandang kepada mereka, melainkan kepada seorang pria yang berjalan menuju ke gubuk itu. Pria itupun memandang dan keduanya berseru hampir bersamaan.
"Diajeng Gayatri........"
"Kakangmas pangeran ......."
Dyah Gayatri keluar dari dalam gubuk, menyongsong Raden Wijaya yang kini juga berlari-lari, diikuti oleh para pengiringnya. Dua orang kekasih itu saling rangkul dan Gayatri menangis di dada Raden Wijaya, Para senopati hanya berlutut sambil menundukkan muka. Mereka ikut berbahagia menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.
Setelah membiarkan puteri jelita itu menangis dalam rangkulannya beberapa saat, Raden Wijaya mengelus rambutnya dan sang puteri menjadi tenang kembali.
"Diajeng, aku mendengar bahwa kau ditawan di istana Daha. Bigaimana tahu-tahu dapat berada di sini ?"
"Memang benar demikian, kakangmas, akan tetapi ia yang telah menolongku, membebaskanku dan istana Daha dan mengajakku ke sini untuk menghadap paduka....."'
Raden Wijaya mengangkat muka memandang kepada pemuda yang berdiri di situ, pemuda tampan yang tidak berlutut seperti yang lain, melainkan berdiri saja dan pangeran ini merasa hatinya tidak nyaman. Alisnya berkerut dan perasaan cemburu muncul dalam hatinya. Kekasihnya itu ditolong oleh seorang pemuda yang amat tampan, bahkan melakukan perjalanan berdua saja sampai sekian jauh dan lamanya.
"Hemm, siapakah pemuda ini ?" tanyanya. "Maafkan, Raden. Ia adalah Wulansari, puteri hamba....." kata Ki Medang Dangdi.
Seketika wajah Raden Wijaya menjadi merah padam dan dia mengamati "pemuda" tampan itu, merasa malu sekali kepada dirinya sendiri dan sampai beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Merasa malu dan juga menyesal karena dia tadi telah diserang perasaan cemburu terhadap "pemuda" itu.
"Jagad Dewa Bhatara......." Akhirnya dia berseru lirih sambil menarik napas panjang dan mengamati gadis berpakaian pria itu. Kini dia mengerti mengapa ada pemuda yang demikian tampannya. Dan dia teringat akan nama ini. Wulansari puteri Medang Dangdi. Teringat dia akan pertemuannya dengan Nurseta. "Paman Medang Dangdi. Jadi inikah tunangan Nurseta itu?" tanyanya.
"Benar, Raden"
"Ah, Wulansari, kami berterima kasih sekali bahwa kau telah berhasil menyelamatkan diajeng Giyatri, membawanya lolos darl istana Daha. Sekarang aku ingat. Kau sedang dicari Nurseta dan dia hendak bicara tentang tombak pusaka......" Raden Wijaya
memandang ragu.
Wulansari mengangguk. "Paduka maksudkan Ki Ageng Tejanirmala?"
"Benar sekali, Wulansari. Dia berjanji kepadaku untuk mencarimu dan minta kembali tombak pusaka itu, kemudian, memenuhi pesan terakhir mendiang Ki Baka, dia akan menyerahkan tombak pusaka itu kepadaku"
"Jangan khawatir, Raden. Saya akan membantunya mendapatkan kembali Ki Ageng Tejanirmala" kata Wulansari dengan suara tegas.
"Wulan, anakmas Nurseta sekarang mencarimu ke Daha" tiba tiba Ki Medang Dangdi
berkata, suaranya membayangkan kekhawatiran.
Gadis perkasa itu kini menatap wajah ayahnya dengan penuh ketajaman dan teguran. "Mengapa kanjeng rama memperdulikan benar kepadanya" Bukankah dia keturunan orang jahat?"
Medang Dangdi terkejut. Watak puterinya ini sungguh kasar dan keras bukan main. Di depan banyak orang, bahkan di depan Raden Wijaya, puterinya itu secara langsung saja menyerangnya, tentu karena gadis itu merasa sakit hati bahwa dulu dia melarang puterinya berjodoh dengan Nurseta karena dia tidak suka mendengar pemuda itu putera Ni Dedeh Sawitri. Diapun maklum bahwa dia tidak lagi berpura-pura atau malu menghadapi watak puterinya yang demikian terbuka.
"Anakku, bagaimana aku tidak akan memperdulikan anakmas Nurseta" Dia adalah calon mantuku. Dan jangan bicara lagi tentang keturunan. Ayahmu inipun bukan orang baik-baik. Lupakan saja semua penolakanku dahulu Anakmas Nurseta dan mendiang Ki Baka telah datang kepadaku dan meminangmu. Ibumu dan aku telah menerima pinangan itu, Wulan, kau telah menjadi calon isteri anakmas Nurseta.
Wulansari telah mendengar akan hal ini dari Ki Jambros maka iapun tenang saja mendengar keterangan ayahnya itu. "Kalau saja kanjeng rama dahulu berpendirian seperti ini, tentu aku tidak sampai mengabdikan diri ke istana Daha" kata Wulansari dan Ki Medang Dangdi menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.
Melihat ini, Raden Wijaya yang bijaksana segera menengahi. "Wulansari, mengapa kau berkata demikian" Sungguh beruntung sekali bahwa kau menjadi abdi di istana Daha. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin diajeng Gayatri dapat lolos dari sana" Sungguh besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu, Wulansari. Apa lagi kalau kau mau membantu agar Ki Ageng Tejanirmala dapat diserahkan kepada kami, sungguh jasamu teramat besar"
Wulansari menyembah sambil tetap berdiri. "Akan saya coba, Raden. Akan saya cari kakangmas Nurseta di Daha, dan saya berani memastikan bahwa setelah saya bertemu dengan kakangmas Nurseta, Ki Ageng Tejanirmala pasti akan dapat paduka terima"
Bukan main gembiranya hati Raden Wijaya mendengar kesanggupan ini dan mereka lalu bubaran. Wulansari minta bicara empat mata dengan ayahnya sebelum ia meninggalkan hutan itu
Dalam kesempatan ini, dengan hati lega Wulansari mendengar dari ayahnya bahwa ayah dan ibunya selamat dan kini mereka berdua berada di daerah baru Majapahit, menjadi pengikut Raden Wijaya yang setia. Dia mendengar pula akan rencana Raden Wijaya untuk menyusun kekuatan dan menyerang Daha.
"Aku sudah mendengar akan hal itu dari Ki Jembros, kanjeng rama. Dan tahulah Raden Wijaya bahwa kini di pantai utara telah mendarat pasukan Tartar yang amat kuat" Pasukan itu tadinya hendak menyerang Kerajaan Singosari dan kini mereka masih ragu-ragu karena mereka mendengar bahwa Singosari telah jatuh ke tangan Kerajaan Daha" Wulansari lalu bercerita tentang perjumpaannya dengan Lie Hok Yan.
Ki Medang Dangdi mengangguk. "Kami sudah mendengar akan hal itu, dan kini Raden Wijaya sedang menanti berita dari Bupati Sumenep yang dimintai nasihat. Wulansari, kau anakku dan kau memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti dan digdaya. Kalau kau mau, kau dapat menjadi seorang senopati wanita yang dapat diandalkan, membantu perjuangan Raden Wijaya"
"Tidak, kanjeng ramal Aku tidak mau terlibat dalam perang. Bagaimanapun juga, aku pernah mengabdi Kerajaan Daha dan pernah menerima budi kebaikan Prabu Jayakatwang. Ketika aku mengabdi di sanapun dan terjadi perang, aku sama sekali tidak mau mencampuri dan Sang Prabu Jayakatwang tidak dapat memaksaku. Aku ingin bebas dalam pertikaian antara keluarga Kerajaan Singosari dan Daha"
"Akan tetapi, kau mau menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya, bukan?"
"Hal itu baru akan ditentukan setelah aku bertemu dengan kakangmas Nurseta"
Dara perkasa itu menolak ketika oleh ayahnya diajak ke Majapahit untuk bertemu dengan ibunya. "Tidak ada waktu lagi, kanjeng rama. Aku akan segera kembali ke Daha mencari kakangmas Nurseta. Sampaikan saja sembah sujudku kepada ibu"
Pergilah Wulansari setelah berpamit kepada Dyah Gayatri dan Radtn Wijaya yang saling menumpahkan rasa rindu mereka. Raden Wijaya lalu kembali ke Majapahit dengan gembira sekali dan di sana, terjadilah pertemuan yang mengharukan dan juga membahagiakan antara Dyah Gayatri dan kakaknya, yaitu Dyah Tribuwana.
Lembu Peteng yang diutus Raden Wijaya menyerahkan suratnya kepada Bupati Sumenep, telah datang kembali membawa balasan Arya Wiraraja. Dalam balasannya itu, Arya Wiraraja yang terkenal ahli siasat itu, menasihatkan Raden Wijaya agar pangeran ini bersabar dan tidak tergesa-gesa melakukan penyerbuan ke Kediri. Dalam surat balasannya, Arya Wiraraja mengatakan bahwa dia sedang mengadakan hubungan dengan pasukan Tartar yang telah mendarat. Dia mengajak pasukan Tartar yang sedianya hendak menghukum Sang Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari itu untuk bersama-sama menyerbu Kerajaan Daha dengan janji bahwa kalau Daha dapat ditalukkan maka para penguasa baru akan mengakui kekuasjan Kaisar Kubilai Khan dan akan mengirim upeti yang besar, bahkan menjanjikan akan mengirimkan beberapa orang puteri istana, juga Puteri Kedaton Kediri, yaitu Sang Dyah Ayu Retna Kesari.
Raden Wijaya adalah seorang pangeran keturunan Singosari yang terkenal memiliki harga diri tinggi. Nasihat dalam surat dari Arya Wiraraja itu membuat alisnya berkerut. Haruskah dia merendahkan diri demikian rupa kepada Kaisar Kubilai Khan " Akan tetapi diapun segera mengadakan perundingan dengan para pembantunya.
"Harus kita sadari bahwa bagaimanapun juga, kekuatan yang telah kita susun tidaklah berapa besar, Raden. Biarpun ada bantuan dari Madura, namun tidak akan mudah mengalahkan pasukan Daha yang kuat. Tentu akan membutuhkan waktu lama sekali untuk dapat mencapai kemenangan, dan perang yang berkepanjangan akan menyengsarakan rakyat. Kalau pasukan Tartar itu datang membantu, kiranya kita akan dapat mengalahkan Kediri lebih cepat dan lebih mudah sehingga rakyat tidak akan menderita banyak" demikian pendapat Lembu Sora.
"Pendapat Paman Lembu Sora itu benar, Raden" kata Ronggo Lawe. "Bagaimanapun juga, janji yang dikemukakan oleh kanjeng rama itu hanyalah merupakan siasat saja. Pasukan Tartar datang sebagai musuh Singosari, dan menyalahi janji kepada musuh merupakan siasat perang, tidak akan merendahkan martabat"
Raden Wijaya menghela napas. Biarpun di lubuk hatinya, dia kurang setuju, namun tidak ada pilihan lain. Kalau dia menghendaki agar Kediri segera dapat ditundukkan, dia harus menerima bantuan pasukan Tartar. Demikianiah, Raden Wijaya setuju dengan nasihat Arya Wiraraja dan sementara itu, para pembantunya mempersiapkan diri menghadapi perang yang sudah akan meletus itu.
Setelah mengadakan hubungan dengan para pimpinan pasukan Tartar, Arya Wiraraja lalu mempertemukan Raden Wijaya dengan Panglima She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu. Dan mulailah pasukan Tartar bergerak ke selatan dengan satu tujuan, ialah menyerbu Kerajaan Daha. Sedangkan pasukan yang terdiri dari orang-orang Madura dan dari Jawa Timur bagian ujung, dipimpin oleh Arya Wiraraja sendiri. Raden Wijaya juga menggerakkan pasukannya dan yang dijadikan titik pusat dari mana mereka semua bergerak adalah di Tegal Bobot Sari. Pasukan Tartar sudah membuat pertahanan di Ujung Galuh, sebagian menduduki Canggu dan sebagian pula bergabung dengan pasukan Majapahit dan Madura di Tegal Bobot Sari.
Kesibukan yang terjadi oleh gerakan pasukan-pasukan yang hendak menyerbu Kerajaan Daha itu tentu saja segera terdengar oleh para penjaga dan mereka itu bergegas memberi laporan ke Kediri. Terkejutlah Sang Prabu Jayakatwang dan wajahnya berubah merah padam, matanya melotot dan dia menggebrak meja mendengar berita itu.
"Si keparat Wijaya. Bocah itu sungguh tidak tahu diri. Dia kami terima baik-baik disini, kiranya diam-diam dia mempersiapkan pemberontakan. Dan Bupati Sumenep, Arya Wiraraja yang menjadi botohnya. Babo babo keparat. Kita harus hancurkan mereka"
Para senopati Daha juga marah sekali mendengar berita itu. Apa lagi mendengar bahwa pasukan Tartar juga bergabung dengan para pemberontak itu.
"Semua ini kesalahan Segoro Winotan" Tiba-tiba senopati Kebo Rubuh menudingkan telunjuknya ke arah senopati Segoro Winotan. Memang sudah lama terdapat persaingan antara kedua orang senopati itu, dimulai dengan perebutan seorang wanita yang mereka jadikan selir, kemudian ketika Segoro Winotan diutus oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit, Kebo Rubuh merasa iri hati. Kini, terbukalah kesempatan bagi Kebo Rubuh untuk menumpahkan kebenciannya.
"Bukankah dia sudah paduka utus untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit baru-baru ini " Dan dia melaporkan bahwa segalanya baik-baik saja di Majapahit, bahwa Raden Wijaya membuat persiapan untuk perburuan. Jelaslah bahwa Segoro Winotan seorang pengkhianat. Diam-diam dia melindungi Raden Wijaya"
"Kebo Rubuh, tutup mulutmu yang busuk" Segoro Winotan memaki dengan mata melotot. "Bukan hanya mataku yang meligat persiapan perburuan itu, juga pasukan yang kubawa. Lancang mulutmu menuduhku dan melontarkan fitnah"
"Siapa menuduh" Jelas bahwa kau adalah seorang pengkhianat. Gusti Prabu, ijinkan hamba menghukum pengkhianat ini" kata Kebo Rubuh dan dia sudah menghunus kerisnya.
"Cukup, kalian jangan ribut" Sang Prabu Jayakatwang membentak. "Kebo Rubuh, sarungkan kerismu" Mendengar perintah ini, Kebo Rubuh menyarungkan kembali kerisnya dan menyembah, mohon maaf.
"Kita diancam musuh dan kalian ribut sendiri. Kita harus cepat mempersiapkan pasukan untuk menghancurkan para pemberontak jahanam itu" Pasukan Daha lalu dibagi menjadi tiga bagian dan mereka bergerak ke utara untuk menyambut musuh yang kabarnya mulai bergerak
*** Pagi hari itu, serombongan pasukan Daha yang terdiri dari lima belas orang berkeliaran memasuki dusun Klintren. Seperti pasukan-pasukan Daha yang lain, mereka itu bersiap siaga dan mengadakan perondaan ke dusun-dusun, dengan dalih mengamati keadaan dan melakukan pembersihan lerhadap mata-mata musuh.
Memang, perang masih jauh dari situ, namun pasukan lima belas orang perajurit Daha yang memasuki dusun Klintren pada pagi hari itu bersikap seolah-olah musuh sudah berada di depan hidung mereka. Cara mereka memegang pedang, golok atau tombak dalam tangan seperti sudah siap untuk menusuk atau membacok musuh. Langkah merekapun tidak wajar lagi, langkah yang penuh dengan gejolak nafsu sehingga nampak seperti dibuat-buat agar kelihatan gagah, penuh kuasa.
Pada umumnya, para perajurit Daha itu menganggap balwa semua orang di daerah Singosari adalah musuh mereka, Singosari telah dtundukkan Daha, dan kini Raden Wijaya memberontak, maka mereka menduga dengan mudahnya saja bahwa semua orang Singosari tidak dapat dipercaya karena mereka tentu akan membantu Raden Wijaya. Dugaan inilah yang menimbulkan perbuatan yang kejam dan jahat, dilakukan oleh sebagian perajurit Daha yang tidak berjiwa satria terhadap rakyat Singosari.
Dusun Klintren berada di sebelah selatan Singosari, termasuk daerah Singosari. Kekejaman para perajurit Daha semenjak timbulnya kabar bahwa Raden Wijaya mulai bergerak untuk menentang Daha, sudah terdengar oleh penduduk dusun Klintren. Maka tidaklah mengherankan apa bila pagi hari itu, penduduk menggigil ketakutan melihat limabelas orang perajurit Daha berkeliaran di dusun mereka itu.
Penduduk yang terdiri dari kaum petani itu, yang tadinya telah siap berangkat ke sawah ladang, segera kembali ke rumah masing-masing. Anak-anak berlarian pulang dipanggil ibu masing-masing, dan terutama para gadis bersembunyi dalam kamar dengan tubuh gemetar, seperti kelinci-kelinci yang mencium bau segerombolan srigala yang datang mendekat.
Setelah tiba di dusun Klintren dan melihat betapa orang-orang dusun itu yang tadinya sudah memenuhi dusun kini berlarian dan bersembunyi sehingga sebentar saja dusun itu nampak sunyi karena semua orang masuk ke dalam rumah, limabelas orang itu saling pandang dan tertawa-tawa. Mereka merasa gembira dan lucu melihat tingkah para penduduk yang ketakutan itu dan mereka merasa seperti segerombolan kucing yang mempermainkan tikus-tikus yang ketakutan. Rombongan itu lalu dipecah menjadi tiga rombongan kecil terdiri dari lima orang, masing-masing dipimpin seorang kepala.
"Kami akan menangkap ayam-ayam gemuk dan kambing untuk pesta malam nanti" kata kepala rombongan pertama yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar.
"Kami akan mencari beberapa orang perawan dusun yang manis untuk teman berpesta malam nanti" kata kepala rombongan kedua yang tubuhnya gemuk dengan perut gendut.
Kepala rombongan ke tiga, yang masih muda dan bertubuh tinggi kurus, memimpin rombongannya dan dia berkata kepada mereka, "Mari ikut dengan aku. Kalau kita berhasil membunuh ayah dan ibu gadis itu dan menangkap gadis itu, aku takkan melanggar janji dan akan membagi hadiah kepada kalian seperti yang telah kujanjikan" Kepala rombongan itu lalu mengajak rombongannya menuju ke rumah yang berada di sudut dusun itu.
Tak lama kemudian, suasana yang sunyi di dusun itu segera terisi dengan keributan, suara wanita menjerit-jerit dan suara orang-orang mengaduh kesakitan. Gerombolan Daha yang sebetulnya lebih tepat dinamakan gerombolan penjahat dari pada pasukan perajurit itu mulai beraksi. Ada yang merampas barang berharga, menangkapi kambing dan ayam, dan ada pula yang menyeret gadis-gadis manis keluar dari kamar persembunyian mereka. Orang orang yang berani menghalangi perbuatan mereka, dirobohkan dengan kejam, dibacok atau ditusuk dan darahpun mulai mengalir.


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rombongan yang dipimpin pemuda tinggi kurus itu mendatangi rumah yang didiami oleh keluarga Ki Sardu, yaitu Ki Sardu, isterinya dan puterinya. Seperti kita telah ketahui, Ki Sardu adalah bekas lurah di dusun Kalasan yang pergi mengungsi ke dusun Klintren dan di tempat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil bersama isterinya dan puterinya, Sumirah.
Pada pagi hari itu, Sumirah sedang menyapu pekarangan. Ibunya sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk Ki Sardu dan Ki Sardu sendiri sudah siap untuk pergi ke ladang setelah sarapan. Mereka sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam, tidak tahu betapa orang-orang dusun yang melihat masuknya pasukan kecil orang Daha ke dusun itu segera melarikan diri dan bersembunyi.
Selagi Sumirah menyapu, ia mendengar teriakan wanita dan ia terkejut lalu mengangkat muka. Pada saat itu, lima orang berlari masuk ke pekarangan rumahnya dan iapun terbelalak dan memandang dengan sinar mata gelisah. Akan tetapi, orang muda tinggi kurus itu telah melompat dan menangkap lengannya. Sumirah memandang dan iapun menjadi marah bukan main.
"Kabiso" teriaknya marah. "Apa yang kaulakukan ini" Lepaskan aku. Lepaskan" Ia meronta-ronta.
Perajurit tinggi kurus itu memang Kabiso, pemuda dari Kalasan yang cintanya ditolak oleh Sumirah itu. Setelah lari meninggalkan desanya, Kabiso dapat mengabdikan diri kepada pasukan Kerajaan Daha dan karena dia pandai mengambil hati atasan, maka diapun memperoleh kepercayaan menjadi anggauta pasukan peronda. Ketika pasukannya meronda ke dusun Klintren, di mana dia tahu Sumirah dan orang tuanya berada, diapun membujuk empat orang kawannya itu untuk membantunya menyerbu rumah Ki Sardu dan menjanjikan upah dan hadiah kepada mereka. Dia mengatakan bahwa Ki Sardu adalah seorang yang setia kepada Raden Wijaya dan merupakan mata-mata yang amat berbahaya. "Kita bunuh dia dan isterinya, akan tetapi puterinya untuk aku karena aku cinta kepadanya" demikian dia berkata kepada para temannya.
"Lepaskan aku. Lepaskan........ Kabiso, kau jahanam keparat" Sumirah meronta-ronta, akan tetapi sambil tertawa-tawa Kabiso malah memeluknya dan menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang, lalu menyeretnya keluar pekarangan. Empat orang temannya hanya tertawa-tawa saja melihat ulah kawan itu.
Mendengar jerit puterinya, isteri Ki Sardu berlari keluar. Melihat Sumirah ditarik-tarik oleh Kabiso yang segera dikenalnya, Nyi Sardu lari mengejar dan menarik-narik tangan Kabiso.
"Lepaskan anakku. Lepaskan........"
Kabiso memberi isarat kepada kawan-kawannya dan seorang diantara " mereka mengayun golok yang menyambar ke arah leher Nyi Sardu. Wanita itu menjerit dan roboh terkulai.
"ibu........ Ibu........" Sumirah terbelalak dan menjerit-jerit meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kabiso sudah mengikat kedua pergelangan tangan gadis itu dengan tali di belakang tubuhnya.
Ki Sardu berlari keluar. Bukan main kagetnya melihat isterinya menggeletak berlumuran darah dan puterinya diseret Kabiso. "Keparat........." bentaknya. Dia sedang memegang cangkul karena memang sudah siap untuk bekerja di ladang. Ki Sardu menjadi mata gelap dan nekat ketika dia melihat isterinya menggeletak mandi darah dan puterinya diseret seorang perajurit Daha yang tinggi kurus. Apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Kabiso. Dia sudah mendengar dari puterinya tentang perbuatan Kabiso dan dia kini tahu bahwa Kabiso yang telah menjadi perajurit Daha itu datang untuk membalas dendam, membunuh isterinya dan menculik puterinya.
Dengan cangkul diayun di atas kepala, dia lari untuk menyerang Kabiso. Akan tetapi, dari kanan kiri menyambar tombak dan golok. Tombak itu menancap di perutnya dan golok menyambar ke lehernya. Ki Sardu mengeluh dan diapun roboh terguling, mandi darah.
"Ayah........ " Sumirah menjerit-jerit dan akhirnya ia roboh pingsan dalam rangkulan Kabiso.
"Kalian boleh ambil semua barang mereka, haha" kata Kabiso gembira sekali melihat betapa ayah ibu Sumirah telah tewas dan gadis manis itu telah berada dalam pondongannya. Kini tidak ada lagi orang yang akan menghalangi dia memiliki tubuh gadis yang montok dan kuning langsat mulus itu.
Akan tetapi, ketika empat orang kawannya hendak memasuki rumah yang sudah kosong itu, untuk merampas apa saja yang berharga, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Lepaskan Sumirah"
Kabiso cepat menoleh, juga empat orang kawannya berhenti berlari dan membalikkan tubuh memandang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita yang membuat empat orang teman Kabiso itu terbelalak kagum, dan Kabiso sendiri juga memandang heran. Dia seperti sudah pernah mengenal wanita ini, akan tetapi lupa lagi di mana. Seorang wanita yang cantik jelita. Tentu saja Kabiso lupa lagi karena ketika untuk pertama kalinya Wulansari bertemu dengan dia, yaitu ketika Wulansari menolong penduduk Kalasan, gadis perkasa itu menyamar sebagai seorang pria.
"Hahaha, Kabiso, kini muncul lagi seorang wanita yang malah lebih cantik jelita. Kita harus menangkapnya" Empat orang itu seperti hendak berebut saja, ulahnya seperti empat ekor harimau kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mereka menyergap dan menubruk dari empat penjuru, berlumba untuk lebih dulu merangkul wanita yang cantik jelita itu.
"Bresss......" Wulansari memutar tubuhnya seperti gasing dan sekaligus ia menyambut mereka dengan tamparan kedua tangannya. Empat orang itu terpelanting dan mereka terbelalak sambil memegangi mulut mereka yang berdarah. Tamparan itu membuat beberapa buah gigi mereka copot dan bibir mereka berdarah. Marahlah mereka. Dengan muka merah mereka bangkit dan menyambar tombak masing-masing, lalu menyerang Wulansari, Lenyaplah semua gairah berahi dari benak mereka, sebagai gantinya, kini nafsu amarah dan keinginan membunuh yang membakar hati dan mereka kini berlumba untuk menembus tubuh yang ramping itu dengan tombak mereka.
Melihat ini, Wulansari menjadi marah. Ia melompat ke kiri sambil mengelak ketika tombak dari arah kiri meluncur dan sekali tubuhnya bergerak, kakinya menendang tubuh penyerangnya dan tangannya merampas tombak. Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tulang tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang.
Wulansari memutar tombaknya dan terdengar suara beradunya tombaknya dengan tiga batang tombak penyerang lainnya. Tiga orang pengeroyok itu terpekik kaget karena tombak mereka patah-patah dan sebelum mereka sempat menghindar, tombak di tangan Wulansari menyambar-nyambar dan merekapun roboh terjengkang dengan darah bercucuran dari dada dan perut. Tewaslah mereka termakan tombak di tangan gadis perkasa itu.
Sepuluh orang anggauta pasukan yang sedang merampok itu, segera datang berlarian dan melihat empat orang kawan mereka tewas, merekapun segera maju mengeroyok, mempergunakan senjata tombak dan golok mereka" Dan Wulansari mengamuk. Gadis ini tidak memperhatikan lagi siapa mereka, tidak tahu bahwa mereka itu pasukan dari Daha. Dalam keadaan seperti itu, yang dimusuhinya bukanlah pasukan dari manapun, melainkan orang-orang jahat yang dengan kejam merampok dan mengganggu sebuah dusun. Bagaikan seekor singa betina terluka, Wulansari mengamuk. Tombak tadi sudah dibuangnya dan kini ia mengamuk dengan menggunakan kaki tangannya saja. Sepuluh anggauta pasukan Daha itu tentu saja memandang rendah dan merasa yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan seorang wanita yang bertangan kosong itu. Mereka tidak mengenal Wulansari, karena biarpun mereka itu perajurit Daha dan Wulansari pernah menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, namun Wulansari tidak pernah keluar dari istana, bahkan di dalam perang menyerbu Singosari, iapun tidak ikut.
Senjata golok dan tombak di tangan sepuluh orang pengeroyok itu menyambar-nyambar bagaikan hujan lebat ke arah tubuh Wulansari. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja Wulansari tidak gentar dan tubuhnya dapat dibuat kebal sehingga tidak akan terluka oleh sambaran semua senjata itu. Akan tetapi, ia khawatir kalau pakaiannya terobek dan rambutnya terputus, maka iapun mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana-sini mengelak, dan kadang ia menangkis dengan kedua lengan tangannya yang berkulit putih lembut dan yang kecil saja itu. Namun, kedua lengan itu telah terisi kekuatan dahsyat dan kebal sehingga tidak terluka oleh bacokan golok dan tusukan tombak. Dan sambil berloncatan mengelak, iapun mulai membagi-bagi pukulan. Setiap tamparan tangannya tentu mengenai sasaran dan mulailah terdengar pekik kesakitan disusul robohnya tubuh yang menggelepar karena kepalanya pecah, atau yang roboh karena tulang iganya patah-patah oleh tendangan kaki mungil itu.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, sepuluh orang perajurit Daha itupun sudah roboh semua, tewas atau sekarat. Wulansari tidak memperdulikan lagi mereka. Ia mencar-icari, akan tetapi tidak melihat Sumirah yang tadi dipondong seorang perajurit muda. Laki laki itu telah lenyap bersama Sumirah. Dan pada saat itu, orang-orang dusun itu berdatangan dan mereka semua berterima kasih kepada Wulansari karena merasa sudah diselamatkan.
"Sudahlah, para paman dan bibi, lebih baik kalian cepat urus mayat mereka ini. kuburkan mereka baik-baik dan....... " Tiba-tiba ia melihat mayat Ki Sardu dan isterinya. Iapun berlari menghampiri dan setelah ia melihat bahwa memang benar itu mayat suami isteri lurah yang sudah dikenalnya, Wulansari mengepal tinju dan teringatlah ia lagi kepada Sumirah. Cepat ditanyakannya kepada para penduduk kalau kalau ada diantara mereka. yang melihat Sumirah.
"Sumirah ditangkap seorang diantara mereka dan dibawa lari ke sana" kata seorang penduduk yang tadi kebetulan melihat gadis itu dipondong dan dilarikan seorang pemuda tinggi kurus.
"Aku akan mencarinya" kata Wulansari dan iapun cepat melompat dan lari cepat sekali bagaikan terbang saja ke arah yang ditunjuk orang itu.
Akan tetapi, betapapun Wulansari berusaha menemukan Sumirah yang dilarikan orang, usahanya gagal, ia telah kehilangan jejak. Sampai sehari ia mencari-cari di daerah itu, namun sia-sia. Akhirnya ia hanya dapat menenarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada gadis dusun itu yang kehilangan ayah bundanya dan sekaligus terancam bahaya di tangan penculiknya. Ia hanya dapat menyerahkan segalanya ke tangan Sang Hyang Widi saja.
Karena ada urusan yang lebih penting lagi baginya, yaitu mencari Nurseta yang kabarnya menyelundup ke dalam kota raja Kediri, Wulansari terpaksa meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya ke Kediri
*** Kemana perginya Kabiso yang melarikan Sumirah " Pemuda ini sudah mengenal daerah pegunungan itu dan ketika Wulansari mencari-cari tadi, dia bersembunyi di dalam sebuah goa kecil yang tertutup rumpun semak belukar.
Sumirah masih pingsan, akan tetapi Kabiso yang cerdik telah mempergunakan kain untuk mengikat mulut gadis itu sehingga ketika siumanpun Sumirah tidak marnpu mengeluarkan teriakan. Dan diapun terus memegangi kedua lengan gadis itu sehingga tidak mampu meronta pula.
Setelah hari menjadi gelap dan dia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang mencarinya, baru Kabiso memanggul tubuh Sumirah dan membawanya keluar dari goa itu. Dia terus membawa gadis itu pergi mendaki sebuah bukit yang penuh hutan.
Malam telah tiba ketika dia tiba di tengah sebuah hutan di lereng bukit, Dengan girang dia melihat sebuah gubuk yang agaknya didirikan oleh para pemburu binatang hutan untuk beristirahat. Direbahkannya tubuh itu ke atas lantai gubuk itu dan sambil masih memegangi kedua pergelangan tangan Sumirah, Kabiso berkata.
"Sumirah, kau tahu aku sayang padamu, aku tergila-gila kepadamu. Maka, kau harus menjadi milikku, menjadi isteriku, lebih baik kau menyerah dari pada harus kupergunakan kekerasan" Dia lalu melepaskan kain yang menutupi mulut gadis itu. Begitu ia mampu bicara, Sumirah lalu berteriak.
"Tidak sudi. Lebih baik aku mati. Lepaskan aku. Ah, lepaskan aku, keparat. Tolonggg........"
Kabiso tertawa. "Hahaha, di dalam hutan yang sunyi ini, percuma saja kau menjerit, Sumirah. Hanya monyet dan kijang yang akan dapat mendengarmu. Kau tidak mau menyerah" Kau ingin aku mempergunakan kekerasan" Mau tidak mau, sekarang ini kau harus menjadi milikku"
Bagaikan seekor harimau kelaparan menubruk domba, Kabiso menerkam Sumirah dan mereka bergumul di dalam gubuk itu, di dalam kegelapan yang pekat. Terdengar kain robek dan pakaian Sumirah sudah dicabik-cabik oleh pria yang sudah dibuat seperti gila oleh nafsu berahi itu. Sumirah mempertahankan diri mati-matian. Ia menampar, mencakar, menggigit, menggeliat. Namun, tenaga seorang gadis seperti ia tentu saja tidak mampu melawan tenaga Kabiso. seorang pemuda yang sudah dipenuhi nafsu dan gairah yang membara. Makin lama Sumirah menjadi semakin lemah, teriaknya juga melemah dan yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Akan tetapi, ia terus melawan mati-matian sehingga Kabiso akhirnya menjadi marah.
"Plak. Plakl" Ditamparnya muka Sumirah dua kali sehingga gadis itu terkulai. Akan tetapi tetap saja Sumirah melawan sehingga sukarlah bagi Kabiso untuk dapat menggagahinya. Dia mengambil keputusan untuk memukul Sumirah agar pingsan, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk berhasil menguasai gadis itu.
Dalam gairah berahinya yang bernyala-nyala itu Kabiso lupa segala bahkan sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya. Dia bahkan tidak melihat betapa kini di dalam gubuk tidak segelap tadi. Dia mulai dapat melihat wajah Sumirah, mulai dapat melihat kulit tubuhnya yang putih mulus, yang sudah tidak tertutup kain lagi karena pakaian gadis itu sudah dicabik-cabik dan direnggutnya dalam pergumulan mereka tadi. Karena dapat melihat lekuk lengkung tubuh gadis itu, berahinya semakin memuncak dan diapun lupa diri dan lupa keadaan.
Baru setelah keadaan di situ menjadi terang sekali, dia terkejut dan heran. Dia belum berhasil menguasai Sumirah sepenuhnya dan kini dia menoleh dan....... wajahnya
pucat, matanya terbelalak karena di dalam gubuk itu telah hadir belasan orang yang wajahnya bengis dan buas, ada beberapa orang diantara mereka yang memegang obor.
Dengan pakaian kedodoran Kabiso meloncat bangun, akan tetapi dia disambut pukulan-pukulan sehingga jatuh bangun, berusaha melawan akan tetapi dikeroyok dan akhirnya dia roboh lalu merintih dan minta-minta ampun.
Seorang diantara belasan orang yang memasuki gubuk itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali karena ada cacat bekas luka melintang, mengeluarkan bentakan.
"Jangan bunuh dia. Terlalu enak. Gantung kakinya di pohon, sayat-sayat kulit jahanam ini. Dia perajurit Daha, siksa dia sampai mati, hahaha. Dan gadis ini, hemmm, aku suka padanya. beri pakaian yang baik, dan siapkan dia untuk menjadi pengantinku besok"
Belasan orang itu tertawa bergelak. Sumirah juga bangkit duduk dan sedapat mungkin menutupi tubuhnya dengan rambut dan kedua tangan. Akan tetapi, seorang anggauta gerombolan itu menyelimutinya dengan kain, kemudian, iapun ditarik keluar.
Karena baru saja diselamatkan dari malapetaka yang mengerikan, dan karena iapun sudah lelah dan lemas, Sumirah tidak dapat melawan dan pasrah saja ketika dengan lembut tangannya ditarik oleh seorang laki-laki tua.
Gerombolan itu ternyata adalah sisa-sisa perajurit Singosari yang sudah dikalahkan oleh pasukan Daha. Mereka tidak mau menakluk, dan mereka melarikan diri ke hutan-hutan. Karena sudah kehilangan induk, kehilangan keluarga dan harapan, mereka menjadi buas dan merekapun menjadi perampok-perampok yang ganas dan buas.
Sumirah yang terjatuh ke tangan mereka... biarpun ia menangis dan mohon agar dibebaskan, namun gerombolan itu memaksanya untuk mandi dan berganti pakaian baru.
Gerombolan perampok itu ternyata mempunyai sarang di puncak bukit itu. Disitu terdapat pondok-pondok darurat yang agaknya baru saja dibangun. Sumirah berada di sebuah diantara pondok-pondok sederhana itu. Ia sudah mandi dan mengenakan pakaian baru. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri sama sekali karena selalu ada dua orang anggauta perampok yang menjaganya. Biarpun kedua orang penjaga ini kasar sikapnya, namun mereka tidak berani mengganggunya karena ia sudah dianggap sebagai calon isteri kepala gerombolan.
Sumirah duduk di atas dipan kayu, satu-satunya prabot rumah yang berada di dalam pondok itu, dengan wajah pucat dan jantung berdebar penuh ketegangan dan perasaan ngeri. Dua orang yang selalu menjaganya itu memasuki pondok.
"Kau diharuskan keluar dan ikut berpesa. Pesta akan dimulai, Hayolah" kata seorang diantara mereka. Sumirah tidak mau bangkit, hanya menggeleng kepalanya.
"Hemm, kau calon isteri pemimpin kami. Kami tidak ingin berbuat kasar, akan tetapi kalau kau menolak, terpaksa akan kami seret atau pondong keluar" kata orang kedua. ancaman ini berhasil. Bagaimanapun juga, jauh lebih baik berjalah sendiri daripada diseret apa lagi dipondong.
Dengan tubuh lemas Sumirah bangkit dan melangkah keluar, diapit oleh dua orang pen jaga itu.
Matahari pagi telah muncul. Pagi itu cerah sekali. Akan tetapi, ketika Sumirah tiba di tempat yang dimaksudkan, ia terbelalak. Tempat itu merupakan lapangan terbuka. Ada sedikitnya tigapuluh orang anggauta perampok berkumpul disitu. Mereka itu nampak bergembira dan apa yang membuat Sumirah terbelalak ngeri, adalah ketika ia melihat sesosok tubuh digantung di pohon tak jauh dari situ, Kabiso. Orang ini digantung dengan kaki di atas kepala di bawah, dalam keadaan telanjang bulat. Dan tubuh itu penuh dengan darah, berlepotan di seluruh tubuh. Kulit tubuh itu disayat-sayat benda tajam. Agaknya Kabiso menderita siksaan yang amat hebat.
Tubuh itu belum tewas, masih bergerak-gerak menggeliat-geliat dan terdengar rintihan panjang lemah dari mulutnya. Sumirah membuang muka dengan hati penuh rasa ngeri.
"Hehhehheh, manis, kenapa kau membuang muka" Lihat, itu orang yang hampir memperkosamu semalam. Hahaha, puas hatimu, bukan" Jangan khawatir, mulai saat ini kau berada dalam perlindunganku, engkau akan menjadi isteriku. Aku, Bandupati, ditakuti semua orang dan kau akan hidup aman dan senang. Akan tetapi, isteriku yang manis aku belum mengenal siapa namamu, hahaha"
Melihat laki-laki tinggi besar yang wajahnya buruk menakutkan itu demikian dekat dengannya, Sumirah merasa ngeri dan takut sekali. Ia memberanikan dirinya.
"Paman, namaku Sumirah dari dusun Klintren. Kasihanilah aku, paman dan biarkan aku pulang ke Klintren....... ayah dan ibuku luka ketika pasakuan Daha menyerbu........ ah, biarkan aku pulang untuk menengok keadaan ayah ibuku......."
"Paman" Hahaha, jangan sebut paman padaku, manis. Aku ini akan menjadi suamimu, kau harus menyebut kakangmas" Bandupati tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak, pergelangan lengan gadis itu telah ditangkapnya. "Kau ingin menengok ayah ibu di Klintren " Boleh, nanti kalau sudah menjadi isteriku, akan kuantarkan kau ke Klintren, aku menghadap ayah dan ibu mertua, hahaha"
"Jangan........aku tidak mau, aku sudah mempunyai tunangan......"
Tiba tiba sikap kepala gerombolan itu berubah. "Apa?"
Dia memandang dengan mata mendelik sehingga Sumirah menjadi semakin ketakutan. "Kau lihat itu?" Dia menuding ke tubuh telanjang bulat yang mandi darah dan tergantung di pohon itu. "Kau ingin seperti itu" Kalau kau menolak, nasibmu akan lebib buruk dari pada itu. Kau akan kupaksa, dan kalau aku sudah bosan, kau akan kuberikan kepada anak buahku, kau akan dipaksa melayani mereka semua sampai mati. Nah, kau pilih menjadi isteriku atau kami paksa sampai mati ?"
Sumirah bergidik dan ia hanya dapat menangis.
"Sumirah manis, sudahlah jangan menangis. Mari kita makan minum dulu untuk merayakan pernikahan kita, hahaha"
Dengan paksa Gandupati menarik Sumirah untuk duduk di atas rumput di mana telah disediakan hidangan untuknya. Kepala gerombolan itu makan dengan rakus dan gembulnya, sambil melihat tubuh Kabiso yang menggeliat-geliat dan merintih-rintih.
Sumirah tentu saja tidak mau makan atau minum. Bagaimana mungkin ia dapat makan minum kalau hatinya dipenuhi perasaan takut, ngeri dan penuh duka. Baru saja ia terlepas dari tangan Kabiso, ia terjatuh ke tangan kepala perampok yang lebih kejam dan lebih menakutkan lagi. Dan kalau ia teringat akan nasib ayah ibunya, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Teringatlah ia kepada Hok Yan. Kalau saja ada Hok Yan di situ, tentu tunangannya itu akan dapat menyelamatkannya
"Hok Yan....... ah, Hok Yan........I" la merintih dan ia hanya menangis, bahkan tidak berani memandang ke arah tubuh Kabiso yang masih tergantung dan menggeliat-geliat mengerikan.
Pikiran yang penuh duka dan takut, juga pengalaman-pengalaman yang amat hebat yang baru saja menimpanya, membuat Sumirah menjadi lemas dan seperti orang yang kehilangan semangat. la hanya menangis dan menangis lagi. Ketika pesta itu berakhir dan kepala perampok memegang lengannya dan menariknya bangkit, ia hanya menurut saja. Ia seperti orang dalam mimpi dan sama sekali sudah tidak merasakan apa-apa lagi.
Akan tetapi, ketika kepala perampok tinggi besar yang wajahnya mengerikan itu menariknya masuk ke dalam sebuah pondok, iapun teringat dan dapat menduga apa yang akan terjadi dengan dirinya. Mendadak teringatlah kesemuanya oleh Sumirah. Teringat bahwa ia akan dijadikan isteri kepala perampok ini dan tentu akan mengalami perkosaan yang lebih mengerikan dibandingkan apa yang akan dilakukan Kabiso kepada dirinya. Seketika itulah lahir batinnya memberontak.
"Tidaaaaak. Aku tidak sudi........J" teriaknya dan sekali renggut ia dapat melepaskan diri dari pegangan kepala perampok yang tidak menyangka bahwa calon korban yang tadi kelihatan penurut itu tiba-tiba memberontak, Akan tetapi, melihat gadis itu melarikan diri, kepala perampok itu tertawa bergelak dan dengan beberapa langkah saja dia sudah dapat menubruk dan menangkap Sumirah.
"Ha ha ha ha, manisku, kau akan pergi ke mana" Ha ha, kau akan menjadi isteriku tercinta, jangan lari, sayang" Dan diapun meringkus kedua lengan Sumirah, lalu mengangkat tubuh gadis itu yang ringan sekali baglnya, kemudian memondong Sumirah yang tidak mampu berkutik lagi, membawanya masuk ke dalam pondok.
Sumirah meronta-ronta ketika ia dilempar keatas pembaringan, meronta dan melawan, mencakar, menampar dan menggigit. sambil menjerit jerit dan menangis. Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa saja karena jerit tangis itu tentu hanya akan disambut gembira saja oleh para anak buahnya. Dan kepala perampok ini jauh lebih kuat daripada Kabiso, maka semua perlawanan Sumirah tidak ada artinya sama sekali.
Pada saat kepala perampok itu sudah tertawa bergelak dan hampir memperoleh kemenangan, pada saat Sumirah sudah hampir putus asa dan keadaannya gawat sekali, tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk dan terdengar suaranya membentak nyaring.
"Bagus. Begitu ya tingkahmu kalau aku pergi, kakang Bandupati " Sebulan saja aku pergi, dan kau sudah melakukan penyelewengan. Huh, agaknya kau sudah bosan hidup" Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pecut dan terdengar suara ledakan-ledakan pecut yang menyambar ke arah tubuh Bandupati si kepala perampok.
"Tar tar tarrr....... "
Kepala perampok itu terkejut bukan main, apa lagi ketika ujung pecut mencambuki mata, leher dan punggungnya. Dia melepaskan 5uimirah dan meloncat turun dari atas pembaringan, berdiri seperti seorang anak kecil ketakutan berhadapan dengan gurunya.
"hahhh, Minten, maafkan aku. Aku hanya iseng-iseng ....... habis aku kesepian karena
engkau terlalu lama pergi ....." katanya dan sungguh aneh sekali, semua sikap garangnya lenyap, dan dia menjadi begitu jinak dan takut seperti seekor anjing galak yang menghadapi majikannya, Sumirah cepat membereskan pakaiannya dan ia masih terisak-isak, akan tetapi ia memandang kepada wanita itu dengan penuh harapan akan mendapatkan pertolongan. Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Hitam manis dan galak, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pecut yang panjang.
"Tarr " Pecut itu bergerak menyambar dan ujungnya menimpa muka Bandupati. Nampa muka itu dihiasi garis merah berdarah dam Bandupati menutupi mukanya.
"Ampunkan aku, Minten ....." Dia mengeluh.
"Huh, berapa kali aku harus mengampunimu ". kau mengotori perjuangan kita"
"Tidak, Minten. Lihat yang digantung itu. Dia adalah perajurit Daha, berarti kita telah mampu menghukum seorang musuh"
"Akan tetapi gadis ini adalah orang Singosari. Hei, kau. katakan kau ini orang Singosari atau orang Daha?"
Tentu saja Samirah walaupun masih menggigil karena baru saja terlepas dari cengkeraman Bandupati segera menjawab, "Aku........aku orang Singosari....... aku anak lurah Kalasan yang mengungsi ke dukuh Klintren....."
"Nah, kau dengar itu" Kau malah akan memperkosa anak seorang lurah ponggawa Singosari" wanita itu merobentak Bandupati.
"Tidak, Minten, sama sekali tidak. Aku tidak memaksa, tidak memperkosa, ia memang
suka menjadi selirku........ eh, bukankah begitu. Sumirah ?"
"Bohong. Siapa sudi menjadi selirmu, kau memaksaku, dan aku lebih baik mati dari pada menjadi isterimu" Sumirah membentak.
"Jahanam. Hayo bicara lagi. Apa kau ingin sekarang juga kubunuh?" Wanita bernama Suminten itu membentak. Ia adalah isteri Bandupati, akan tetapi ia jauh lebih berkuasa dari pada suaminya karena memang Suminten ini seorang wanita yang memiliki kedigdayasn melebihi suaminya.
"Ampun, Minten, ampunkan aku........ aku memang bersalah dan aku bersumpah takkan berani lagi......" Bandupati meratap karena dia maklum hahwa isterinya itu bukan hanya mengeluarkan gertak kosong belaka. Codet da mukanya juga akibat pedang isterinya.
Suminten mengeluarkan suara mendengus dari bidungnya. "Huh, tidak perlu minta ampun. Sekali lagi aku melihat kau melakukan perbuatan seperti ini, aku tidak akan banyak omong lagi dan kau akan aku bunuh"
Suaminya mengangguk-angguk seperti ayam makan beras dan Suminten kini menghadapi Sumirah.
"Kau boleh pulang ke dusunmu. Pergilah"
Sumirah mengangguk dan merasa seolah-olah terlepas dari cengkeraman harimau ganas. Ia lalu pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, keluar dari perkampungan perampok di puncak bukit.
Suminten bertepuk tangan dau dua orang anggauta gerombolan dataog menghadap. "Huh, kalian berdua amat-amati perjalanan gadis itu sampai ia selamat tiba di dusun Klintren. Kalau ada yang berani mengganggunya, awas, aku sendiri yang akan menghukumnya"
Dua orang anggauta gerombolan itu memberi hormat lalu pergi dan membayangi perjalanan Sumirah. Lewat tengah hari, menjelang sore, barulah Sumirah yang melakukan perjalanan dengan susah payah itu tiba di luar dusun Klintren, dan dua orang anggauta perampok itupun segera kembali ke puncak bukit untuk memberi laporan.
Dengan tubuh lunglai dan hati masih terguncang oleh pengalaman pengalaman yang menengerikan itu, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat, Sumirah memasuki dusun Klintren.
Beberapa orang penduduk yang mengenal Sumirah. segera berlari menghampirinya.
"Sumirah......., ah kau Sumirah......."
Dengan muka pucat, mata terbelalak penuh kekhawatiran, Sumirah lalu bertanya kepada saereka, "Bagaimana ayah........ " Bagaimana buku.......?"
Beberapa orang itu hanya menggeleng kepala, tidak mampu menjawab. Melihat ini, Sumirah menjadi semakin cemas dan iapun mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari menuju ke rumah orang tuanya.
Dengan terhuyung-huyung ia mendorong daun pintu rumahnya yang tertutup dan memasuki rumah itu. "Ayaaaahhhh..... Ibuuu....." Berulang-ulang ia memanggil ayah ibunya sambil mencari-cari di dalam rumah itu. Akan tetapi rumah itu kosong sama sekali. Ketika dengan nanar ia melangkah keluar, ia melihat banyak tetangga sudah berkumpul di pekarangan depan rumahnya, memandang dengan wajah penuh prihatin. Bahkan ada beberapa orang tetangga wanita menangis.
"Mana ayahku. Mana ibuku " Di mana mereka...." berulang-ulang ia bertanya dengan suara lirih dan penuh kekhawatiran.
Seorang tetangga wanita yang sudah tua melangkah maju dan merangkul Sumirah sambil menangis.
"Sumirah...... ahh, sungguh kasihan kau ....... ayah ibumu........ mereka"." wanita itu tidak dapat melanjutkan dan sudah terisak-isak menangis.
Sumirah terbelalak, mengguncang kedua pundak wanita itu. "Kenapa " Ayah ibu kenapa." Katakanlah........"
"Mereka........ mereka...... tewas dibunuh gerombolan......"
Sumirah menjerit dengan lengkingan panjang, lalu mengeluh dan terkulai pingsan. Beberapa orang tetangga merangkulnya dan mengangkutnya ke dalam rumah. Ketika ia sadar, ia menangis tersedu-sedu, dihibur oleh para tetangga wanita.
"Di mana ayah ...... di mana ibu ........ dimana mereka dikubur ....."
Karena ia berkeras ingin berkunjung kekuburan orang tuanya, akhirnya iapun diantar oleh beberapa orang tetangganya ke tanah perkuburan. Melihat dua gundukan tanah kuburan yang masih baru itu, yang oleh para tetangga dikatakan bahwa itu kuburan kedua orang tuanya, Sumirah menjatuhkan diri berlutut di atas kedua makam itu dan terkulai pingsan lagi.
Ketika Sumirah siuman dari pingsannya, ia sudah dikelilingi para tetangganya di tanah kuburan itu. Mereka mencoba untuk menghibur gadis itu, akan tetapi Sumirah hanya menangis terisak-isak.
"Ayah........ibu........ah, kalian telah mati meninggalkan aku....... seorang diri......... ayah dan ibu ......kenapa tidak membawa saja aku bersama kalian........" Ayah......ibu........
kalian terbunuh oleh si keparat Kabiso ...... si jahanam Kabiso....."
Tiba-tiba tangisnya terhenti. Semua orang memandang. Wajah itu pucat, mata itu terbelalak dan tiba-tiba Sumirah tertawa "Heh hi hi hik, kau telah digantung Kabiso. Hi hik, rasakan sekarang ....... haha, kau digantung dengan kepala di bawah, tubuhmu disayat sayat ....... terkutuk kau, Kabiso ....... " Sumirah tertawa-tawa.
"Sumirah, ingatlah, nak, ingatlah........"
Seorang tetangga tua berkata dengan hati penuh perasaan iba. "Ya, ingatlah, Sumirah. Jangan terlalu berduka......"
"Hahaha, Kabiso, kau telah menerima hukuman. Hihik, puas hatiku, Kematian ayah
ibu sudah terbalas. Kematian......." Ayah ibu sudah mati, aohhh ....... " Dan iapun menangis lagi.
Semua orang saling pandang dan maklum Pengalaman-pengalaman yang amat hebat, yang diderita Sumirah selama sehari semalam itu. terlampau berat baginya. Perasaan penah kongerian dan ketakutan, disusul pula kedukaan karena kematian orang tuanya, merupakan hantaman terlalu berat baginya sehingga batinnya terguncang hebat. Sumirah menjadi gila karena semua perasaan yang amat menekan dan mengguncang itu. Ia menangis dan tertawa. Menangis memanggil ayah dan ibunya, kadang-kadang memanggil nama Hok Yan, dan tertawa-tawa kalau menyebut nama Kabiso.
*** Kita tinggalkan dulu Sumirah yang tergoncang batinnya dan menjadi seperti orang gila di dukuh Klintren itu, dan mari kita ikuti perjalanan Wulansari yang mencari Nurseta ke kota raja Kediri.
Dengan menyamar sebagai seorang pria Wulansari dengan mudah menyusup masuk ke kota raja Kediri walaupun pintu gerbang dijaga ketat karena pada waktu itu, Kerajaan Daha sedang menghadapi perang dan telah mempersiapkan diri melawan pemberontakan Raden Wijaya dan Adipati Wiraraja yang bergerak bersama dengan datangnya pasukan Tartar dari utara.
Akan tetapi, begitu masuk kota raja, di mana-mana ia mendengar berita bahwa Nurseta telah ditawan oleh Sang Prabu Jayakawang Wulansari melakukan penyelidikan dan agaknya memang berita itu sengaja disebar karena di mana-mana dengan mudah ia dapat mendengar tentang ditawannya Nurseta.
Bagaimana Nurseta sampai dapat tertawan dan benarkah berita yang didengar Wulansari itu" Seperti kita ketahui, Nurseta memang pergi ke kota raja Kediri, pertama untuk menguburkan abu jenazah Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya ke dekat makam ayah kandungnya, yaitu Pangeran Panji Hardoko, dan kedua kalinya untuk mencari Wulansari dan berusaha mendapatkan kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Dengan aji kesaktiannya, mudah pula bagi Nurseta untuk memasuki kota roja Kediri. Akan tetapi, sekali ini Nurseta tidak tahu bahwa dua orang manusia sakti, yaitu Ki Bjyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, telah bersekutu dan kedua orang kakek sakti ini telah menyebar kaki tangannya untuk diam-diam membuat pengamatan yang teliti. Tidak aneh kalau kedua orang kakek ini dapat mengetahui bahwa Nurseta memasuki kota raja Kediri. Mereka berdua cepat membuat persiapan karena menurut dugaan mereka, hanya ada dua orang saja di dua ini yang mungkin menyimpan Ki Ageng Tejanirmala di saat itu. Mereka adalah Wulansari atau Nurseta.
Nurseta melakukan penyelidikan di mana adanya makam Pangeran Panji Hardoko. Ternyata tidak sukar mencarinya karena pangeran itu dimakamkan di tanah kuburan agung yang diperuntukkan pemakaman keluarga Kerajaan Kediri. Pada sore hari, setelah tanah kuburan itu sunyi, Nurseta menyelinap masuk dengan melompati pagar tembok, tidak berani memalui pintu gerbang yang selalu terjaga. Dia Sama sekali tidak mengira bahwa setiap gerak geriknya sudah diikuti oleh dua orang kakek
---ooo0dw0ooo--Jilid 21 SETELAH menemukan makam ayah kandungnya, yaitu sebuah makam yang tidak begitu mewah di antara para makam yang lebih besar itu, dengan batu nisan yang ada tulisan nama Pangeran Panji Hardoko, Nurseta lalu cepat menggali lubang di tanah dekat makam itu. Tidak terlalu besar karena abu jenazah ibu kandungnya hanya satu periuk yang sudah dibawanya dan dibungkus kain kuning Cepat sekali dia bekerja dan tak lama kemudian dia sudah selesai mengubur periuk terisi abu jenazah ibunya itu di dekat makam ayahnya, tepat seperti pesan terakhir ibu kandungnya. Dan ketika dia berlutut di depan makam ayahnya dan ibunya itu, diam-diam dia memaafkan semua perbuatan ayah dan ibunya yang telah menyia-nyiakan dirinya. Dia memaafkan mereka dengan hati rela, Dan dia berdoa semoga ayah dan ibunya memberi doa restu kepadanya.
Tiba-tiba Nurseta mengangkat mukanya dan cepat dia sudah bangkit berdiri. Ada suara yang mencurigakan tertangkap pendengarannya. Ketika dia membalik, dia sudih melihat betapa tempat itu terkurung banyak orang, dan di depannya telah berdiri dun orang kakek yang diam-diam mengejutkan hatinya, Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, dua orang musuh besarnya telah berdiri di situ. Di belakang dua orang kakek sakti itu, dan juga kini sudah mengepung dirinya, terdapat sedikitnya duapuluh orang perwira dan senopati Daha, dan dia dapat melihat pula bahwa tanah kuburan itu sudah dikepung oleh pasukan yang entah berapa orang banyaknya. Tidak ada jalan kehiar baginya kecuali membela diri mati-matian.
"Haha, bocah sombong Nurseta. Kini kau telah terkepung dan tidak akan dapat melarikan diri dari kami. Lebih baik kau cepat berlutut dan menyerahl" kata Ki Cucut Kalasekti yang diam-diam amat membenci pemuda ini karena beberapa kali dia pernah kewalahan, bahkan pernah di dalam goa di tebing itu dia hampir tewas oleh pemuda ini.
"Nurseta, cepat serahkan tombak pusaka itu kepada kami, baru kami akan mempertimbangkan nyawamu" kata pula Ki Buyut Pranamaya dengan suara yang berwibawa.
Dari ucapan itu tahulah Nurseta bahwa tombak pusaka itu tentu telah terlepas dari tangan Prabu Jayakatwang dan diapun dapat menduga dengan hati penuh kegembiraan bahwa siapa lagi yang mengambil tombak pusaka itu kalau bukan Wulansari. Kegembiraannya membuat dia lupa akan bahaya yang mengancam dirinya, dan diapun tertawa.
"Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti. Aku datang untuk menghormati makam orang tuaku, dan aku sama sekali tidak tahu tentang tombak pusaka. Kalian percaya atau tidak terserah. Jangan harap aku akan sudi menyerah kepada kakek kakek Iblis macam kalian"
Ki Buyut Pranamaya baru-baru ini menderita luka di dalam dadanya oleh serangan Nurseta. Dia mendendam kepada pemuda ini, maka kini dia memperoleh kesempatan untuk membalas, karena sekarang pemuda itu hanya seorang diri sedangkan dia berdua dengan Ki Cucut Kalasekti masih dibantu para senopati Daha dan pasukan mereka.
"Bocah setan, sekarang saatnya kau mampus di tanganku" bentaknya dan kakek ini sudah menerjang dengan tendangan-tendangannya yang amat ampuh, yaitu aji tendangan Cakrabairawa. Nurseta sudah mengenal ilmu tendangan yang amat berbahaya ini, maka cepat diapun mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kirinya Ki Buyut Pranamaya tidak berani lagi memandang ringan lawan muda ini, maka diapun melompat mundur untuk menghindarkan diri. Ki Cucut Kalasekti tidak mau kalah. cepat diapun maju menyerang dengan pukulannya Aji Gelap Sewu.
Nurseta menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dakkk" Keduanya terdorong mundur, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menyeringai menahan rasa nyeri pada lengannya ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
Dan orang kakek itu lalu mengeroyok Nurseta. Pemuda perkasa ini terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kepandaiannya karena dia maklmn bahwa dua orang kakek pengeroyoknya adalah lawan-lawan paling tangguh yang pernah dia hadapi. Diapun cepat menggunakan jurus-jurus pukulan aji kesaktian Jagad Pralaya, yaitu aji kesaktian yang dia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Aji kesaktian ini hebat bukan main, bahkan pertapa itu pernah memesan kepada Nurseta bahwa kalau tidak terpaksa sekali agar dia jangan mengeluarkan aji kesaktian itu. Akan tetapi sekarang, menghadapi dua orang kakek itu, tidak ada pilihan lain bagi Nurseta. Kalau dia ingin selamat, dia harus meugeluarkan aji itu. Dan memang dua orang kakek itupun sudah mengenal aji kesaktian ini. Mereka berdua nampak gentar dan berloncatan mundur begitu Nurseta mengeluarkan ilmu ini.
Nurseta yang melihat dua orang lawannya mundur, cepat dia membalik dan bermaksud untuk melarikan diri. Akan tetapi pada saat itu, duapuluh orang lebih perwira yang tangguh dari Daha sudah mengepungnya dan mengeroyoknya dengan segala macam senjata di tangan mereka. Ada yang bertombak, berpedang, ada pula yang menggunakan ruyung, golok dan keris. Repotlah Nurseta menghadapi pengeroyokan dan hujan senjata ini. Dia melawan mati-matian, dengan tamparan-tamparan saktinya dia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok, akan tetapi pengeroyokan tidak menjadi longgar, bahkan menjadi semakin ketat karena kini dua orang kakek itu sudah maju pula mengeroyoknya. Aji kesaktian Jagad Pralaya adalah suatu aji pukulan yang hanya dapat dimainkan kalau menghadapi satu atau dua orang lawan saja.
Pendekar Kembar 3 Pendekar Riang Karya Khu Lung Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 3

Cari Blog Ini