Ceritasilat Novel Online

Lentera Maut 11

Lentera Maut (ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Bagian 11


Gerak yang dilakukan oleh dara yang cacad sepasang kakinya itu sangar cepat, sukar dilihat oleh pandangan mata seseorang, sehingga sia-sia Nio Beng Hui yang terkenal gesit dan lincah, karena tidak mampu dia menghindar dari dua gerakan saling susul dari seorang insan yang cacad seperti Tang Lan Hua itu.
Sementara itu Tang Lan Hua juga tidak menghentikan gerakannya, sebab si biang pengemis Ciam Sun Ho sudah ikut menyerang memakai tongkatnya yang dikenal sebagai tongkat komando buat mengusir anjing2 geladak dikalangan orang gelandangan atau Hek kin kay pang dulu.
Tenaga si biang pengemis Ciam Sun Ho itu sangat dahsyat, menyebabkan hampir saja tubuh Tang Lan Hua terlempar kalau dia tidak lekas lekas mengikuti arah tenaga pukulan si biang pengemis itu; sehingga dengan ringan tubuhnya melayang di angkasa dan masih sempat dia memukul punggung Ciam kay sin kay Ciam Sun Ho sampai si biang pengemis itu menggeram seperti seekor anjing yang kena dipentung, sedangkan tubuh Tang Lan Hua yang sedang melayang mendapat arah dekat pemuda Nio Beng Hui, yang waktu itu sedang berusaha hendak bangun berdiri atan tetapi sekali lagi pemuda muka bopeng itu terlempar jauh terkena pukulan tongkat dara yang cacad sepasang kakinya itu.
Dengan masih perdengarkan suara geram, si biang pengemis Ciam Sun Ho kembali lompat menyerang memakai tongkatnya, dan kali ini sebelah tangan kanan Tang Lan Hua bergerak keatas lalu meluncur pedang Ceng liong kiam yang dia gunakan untuk menangkis tongkat si biang pengemis Ciam Sun Ho membikin tongkat si biang pengemis itu putus jadi dua, dan waktu sekali lagi tangan Tang Lan Hua bergerak, maka pedang Ceng liong kiam menabas tubuh Ciam Sun Ho mengakibatkan tubuh si biang pengemis itu putus menjadi dua pada bagian pinggangnya sedangkan pada detik lain Tang Lan Hua sudah berdiri dengan sepasang pedang Ceng liong kiam yang sudah berobah menjadi sepasang tongkatnya yang istimewa.
Sejenak si ular kepala dua Coa Kim Hin meramkan sepasang matanya, waktu dia melihat dara yang cacad sepasang kakinya itu menabas putus tubuh rekan seperjalanannya atau si biang pengemis Ciam Sun Ho, setelah itu sebelah tangannya yang memegang senjatanya yang istimewa bergerak, dan meluncurlah semua sisa biji biji shui poa mencari sasaran akan tetapi tubuh Tang Lan Hua cepat 'menghilang' dan tahu tahu dia sudah berdiri dibagian belakang si ular kepala dua Coa Kim Hin.
Si ular kepala dua Coa Kim Hin cepat cepat memutar tubuhnya, karena merasa lawannya berada dibagian belakangnya, dan geraknya itu bertepatan dengan gerak sebelah tangan Tang Lan Hua yang sedang melepas sarung pedang yang lalu sebatang pedang Ceng liong kiam itu membenam ditubuh si ular kepala dua Coa Kim Hin, yang tewas seketika dengan mata mendelik !
Dengan langkah kaki yang memakai bantuan sepasang tongkatnya yang istimewa, maka Tang Lan Hua mendekati pemuda Nio Beng Hui, yang waktu itu sedang bersusah-payah hendak bangun berdiri dengan sepasang tangan masih meraba bumi, sehingga dengan caranya itu, seolah olah si pemuda muka bopeng itu sedang berlutut dihadapan Tang Lan Hua dan dara yang cacad sepasang kakinya itu kemudian dengan suara bengis mengancam pemuda itu, sampai dia berhasil mengetahui pemuda itu bernama Nio Beng Hui, dan berhasil juga dia mengetahui nama dan alamatnya Nio Hoan Houw (ayahnya Nio Beng Hui) dan alamatnya Nio Beng Eng (pamannya Nio Beng Hui) atau bekas jie liong tauw diatas gunung Cin san.
Dan menyertai suara tawa bernada dingin dan mengejek, maka Tang Lan Hua menyentik sebelah tongkatnya, memukul bagian bawah mulut pemuda Nio Beng Hui, membikin pemuda itu berteriak mengerikan; dan dia rubuh telentang dengan mulut penuh mengeluarkan darah.
( ooooo dwkzXhend ooooo )
BOK KEE TlN adalah sebuah kota kecil, akan tetapi cukup banyak penduduknya lagi pula ramai dengan arus lalu lintas!
Dikota kecil ini Lie Bok Seng, bekas sam liong tauw kawanan perampok diatas gunung Cin san, tinggal menetap membina keluarganya, yang terdiri dari isterinya dan dua orang anak laki laki, masing masing bernama Lie Cong Han dan Lie Cong Liang.
Lie Bok Seng membuka rumah perguruan ilmu silat sehingga didalam rumahnya yang sangat besar dan luas, setiap hari banyak para pemuda yang berlatih ilmu silat dan Lie Bok Seng seringkali menerima kunjungan sahabat atau kenalannya, yang semuanya merupakan orang orang yang mahir ilmu silatnya. Dan puteranya Lie Bok Seng merupakan pemuda pemuda yang perkasa dan tampan.
Lie Cong Han, putera pertama sudah ditunangkan dengan Kwee In Hong, puteri tunggal dari Kwee Tiang Peng yang manja, cantik dan mahir iImu silatnya.
Pagi itu, Lie Cong Liang sedang keliling kota menghibur diri, padahal dirumahnya sedang banyak kedatangan para tamu dari jauh, yang sengaja datang dan menginap, menjelang hari jadi ayahnya yang memang tiap tahun dirayakan secara meriah.
Disuatu daerah perdagangan atau pertokoan, sejenak Lie Cong Liang memandang terpesona kepada seorang dara cacad yang lumpuh sepasang kakinya.
Dara cacad itu memiliki wajah muka yang cantik manis, dan Lie Cong Liang memandang iba, melihat dara cacad itu berjalan perlahan dengan bantuan sepasang tongkatnya, padahal dari dandanan dara cacad itu Lie Cong Liang merasa yakin bahwa dara cacad itu telah menempuh suatu perjalanan jarak jauh.
Waktu dara yang cacad sepasang kakinya itu hendak memasuki sebuah kedai nasi beberapa orang pemuda dengan sikap dan lagak kurang ajar telah mengejek dan hendak merintangi jalan dara yang cacad itu.
Sikap jantan pemuda Lie Cong Liang bangkit waktu dia menyaksikan kejadian itu. Segera dia mendekat dan memaki, sedangkan para pemuda itu yang memang sudah mengenal dengan Lie Cong Liang, segera mengucap kata kata maaf dan menjauhkan diri.
"Kouwnio, silahkan ..." kata Lie Cong Liang dengan suara lembut sopan, dan memberikan jalan buat dara cacad itu yang hendak memasuki kedai nasi.
Sejenak dara yang cacad sepasang kakinya itu mengawasi pemuda Lie Cong Liang dengan sinar matanya yang tajam, sementara Lie Cong Liang kelihatan bersenyum ramah.
Akan tetapi, dara yang cacad sepasang kakinya itu tidak membalas senyum pemuda yang belum dikenalnya itu dan dia hanya sekedar mengucap kata kata terima kasih, setelah itu dengan langkah kaki perlahan Tang Lan Hua atau dara yang cacad sepasang kakinya itu memasuki kedai nasi itu.
Dipihak pemuda Lie Cong Liang, dia terus mengawasi Tang Lan Hua yang sudah memilih tempat duduk dan sedang memesan makanan pada seorang pelayan.
Bagaikan ada sesuatu yang memerintahkan, maka pemuda Lie Cong Liang akhirnya melangkah ikut memasuki kedai nasi itu, dan dia mendekati meja tempat Tang Lan Hua:
"Kouwnio ..." pemuda ini bersuara menyapa, tetap dengan suara lembut sopan.
Dara yang cacad sepasang kakinya menunda niatnya yang hendak minum air teh.
Dia mengawasi dengan sinar matanya yang tajam, namun yang sekilas kelihatan bersinar hampa, dan dia tidak bersuara mengucap apa apa, sehingga perbuatannya itu sejenak membikin pemuda Lie Cong Liang menjadi seperti gugup.
"Kouwnio. apakah kau.." pemuda itu berusaha bicara lagi; akan tetapi rasa gugupnya membikin dia tidak mampu menyelesaikan kalimat perkataannya.
"Aku,.. kenapa ...?" tanya dara yang cacad sepasang kakinya itu perlahan suaranya akan tetapi terdengar merdu di telinga Lie Cong Liang, membikin pemuda itu jadi berbesar hati, dan dia berkata lagi:
"Apakah aku boleh duduk disini ...?"
Dara yang cacad sepasang kakinya itu tetap mengawasi pemuda yang belum dikenalnya. Permintaan pemuda itu agak mengherankan hatinya akan tetapi dia tidak mempunyai rasa curiga kalau Lie Cong Liang akan berlaku kurang ajar, sebab dilihat dari sikap dan dari pandangan mata pemuda itu kelihatannya dia bermaksud baik.
"Silahkan " ," akhirnya Tang Lan Hua berkata tanpa ragu ragu.
Pemuda Lie Cong Liang kelihatan girang. Dia menarik sebuah kursi, lalu duduk menghadapi dara yang cacad sepasang kakinya itu sambil sebelah tangannya menggeser atau memperbaiki letak sepasang tongkat Tang Lan Hua yang bersandar pada peti meja.
Hampir saja Tang Lan Hua memegang lengan pemuda itu, karena sekilas dia menduga Lie Cong Liang hendak menjauhi tongkatnya, akan tetapi akhirnya dia jadi tersenyum, karena merasa dugaannya salah. Suatu senyum buat dirinya sendiri, akan tetapi pemuda Lie Cong Liang justeru membalas senyumnya itu, karena menduga gadis itu bersenyum kepada dirinya.
Waktu kemudian seorang pelayan mengantarkan makanan yang dipesan oleh Tang Lan Hua, maka Lie Cong Liang memesan arak, sebab dia tidak bermaksud makan.
"Kouwnio tentu bukan penduduk sini .. " kata Lie Cong Liang sehabis dia mengucap terima kasih waktu dara yang cacad sepasang kakinya itu menawarkan ikut makan, dan pemuda itu mempersilakan Tang Lan Hua makan sendirian.
"Bukan...." sahut Tang Lan Hua singkat, dan dia mulai menikmati santapannya.
"Kalau kouwnio tidak keberatan, aku mengundang kau datang kerumahku, kebenaran hari ini banyak tamu berkumpul, karena dua hari lagi adalah hari ulang tahun ayahku.. " pemuda Lie Cong Liang berkata lagi, dan menyertai seberkas senyum yang memperlihatkan sikap bersahabat.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu menunda makan. Dia mengawasi lagi pemuda yang duduk dihadapannya; dan dia merasa heran dengan undangan pemuda yang tidak atau belum dikenalnya itu, sementara dilihatnya pemuda itu tetap bersenyum. Tetapi merupakan senyum ramah, senyum yang menyatakan ingin bersahabat.
"Siapa nama ayahmu..?" akhirnya tanya dara yang cacad sepasang kakinya itu.
"Lie Bok Seng,.."
Tetap lembut perlahan Lie Cong Liang mengucapkan nama ayahnya, akan tetapi Tang Lan Hua kelihatan begitu terkejut, sehingga dia bahkan menempatkan mangkok nasinya diatas meja, sementara pandangan sinar matanya berobah menjadi seperti menyala, bagaikan memperlihatkan sinar mata permusuhan, padahal semula Tang Lan Hua sudah mulai menyukai pemuda Lie Cong Liang, yang dia anggap agak mirip dengan Coa Giok Seng, kakak seperguruannya yang banyak memberikan perhatian dan rasa kasih sayang terhadap dirinya.
Jilid 20 SESAAT dara yang cacad sepasang kakinya itu menjadi terdiam akan tetapi kemudian dia dapat tenangkan diri, bahkan dia memikirkan suatu siasat karena adanya undangan dari pemuda Lie Cong Liang untuk dia singgah dirumahnya pemuda itu.
Dilain pihak, pada mulanya Lie Cong Liang ikut menjadi terkejut, waktu dia melihat perobahan wajah muka dan pandangan mata dara yang cacad sepasang kakinya itu, akan tetapi disaat berikutnya dia perlihatkan wajah girang, waktu Tang Lan Hua menyatakan kesediaannya memenuhi undangannya. "Apakah kau tidak merasa malu, berjalan dengan seorang perempuan yang cacad sepasang kakinya.....?" tanya Tang Lan Hua, sebab waktu dilain saat mereka jalan berdampingan, dilihatnya Lie Cong Liang sangat girang sehingga wajah mukanya berseri seri, di tengah banyaknya orang orang yang mengawasi bahkan ada yang menyapa karena mengenal dengan pemuda itu.
'Kenapa kouwnio berkata begitu..... "' sahut Lie Cong Liang sambil dia mengawasi dara yang cacad sepasang kakinya itu, yang sedang jalan disisinya, disaat dara cacad itu juga sedang mengawasi dirinya, akan tetapi hilang senyum Lie Cong Liang yang kelihatannya seperti kecewa mendengar pertanyaan dara cacad itu tadi.
Sementara itu, Tang Lan Hua memberikan jawabannya juga tanpa dia menyertai senyumnya.
"Karena sudah biasa terjadi, bahwa orang orang akan mengejek kalau melihat seorang perempuan cacad...."
"Hendaknya kouwnio jangan beranggapan bahwa semua orang berpendirian seperti itu"' sahut Lie Cong Liang, tegas pada suaranya dan tetap tanpa dia menyertai senyumnya, akan tetapi jawaban pemuda ini, justru membikin Tang Lan Hua jadi semakin tambah memikir, namun pada saat itu dia tidak mengucap apa apa.
Waktu sudah tiba dirumahnya pemuda itu, atau tepatnya rumahnya Lie Bok Seng yang menjadi musuhnya, maka Tang Lan Hua melihat betapa besar dan indahnya rumah itu sedangkan dibagian luar dari pintu halaman terdapat beberapa orang laki laki berpakaian serba ringkas, dan mereka ternyata ditugaskan untuk menyambut kedatangan tamu yang memang sudah banyak berdatangan. Orang orang itu menyambut dengan perlihatkan sikap hormat dan ramah, begitu juga waktu mereka melihat kedatangan pemuda Lie Cong Liang meskipun didalam hati mereka merasa heran; karena majikan muda itu datang dengan mengajak seorang perempuan muda yang cacad sepasang kakinya.
Pemuda Lie Cong Liang bersenyum dan mengajak Tang Lan Hua memasuki pekarangan rumahnya, sedangkan dara yang cacad sepasang kakinya itu mengikuti tanpa menghiraukan pandangan mata orang orang terhadap dirinya, dan disaat berikutnya, didalam halaman yang luas dan panjang itu, mereka berpapasan dengan empat orang laki laki setengah tua.
"Hey, Cong Liang; kau kemana saja" Ayahmu mencari kau...... ' kata salah seorang dari ke empat orang laki laki itu.
Pemuda Lie Cong Liang menghentikan langkah kakinya; dia berbicara dengan mereka yang menyapa, sedangkan Tang Lan Hua melangkah terus, sampai dia melihat orang orang tidak memperhatikan dirinya. Lalu secara tiba tiba dia lompat melesat tinggi dan jauh, sehingga dalam sekejap dia sudah menghilang dari tempat Lie Cong Liang yang masih berbicara :
"Liong pekhu, aku perkenalkan kau pada seorang temanku yang baru"." akhirnya terdengar kata Lie Cong Liang sambil dia memutar tubuhnya, akan tetapi dia menjadi terpesona karena dia kehilangan dara cacad yang dia bawa tadi.
".. apakah di antara cuwie tidak ada yang melihat temanku yang jalan bersama aku tadi...?" tanya pemuda itu agak gugup.
'Aku lihat dia berjalan terus...." sahut salah seorang dari mereka yang diajak bicara; dan Lie Cong Liang lalu minta diri, bergegas dia mencari Tang Lan Hua.
Dilain pihak, dara yang cacad sepasang kakinya itu telah tiba dihalaman belakang dari rumahnya Lie Bok Seng, dimana dia melihat adanya kolam air yang lebar dan panjang, lalu terdapat sebuah jembatan penyeberangan yang indah, serta beberapa bangunan kecil semacam tempat beristirahat untuk memandangi keindahan sekitar tempat itu.
Disuatu persimpangan jalan, dengan mendadak Tang Lan Hua melompat keatas, lalu dengan bantuan tongkatnya dia bergelantungan pada tiang kaso, sedangkan dibagian bawah dilihatnya berjalan dua orang pelayan sambil mereka berbicara, dan kedua orang pelayan itu agaknya sedang merasa kesal dengan Nio Hoan Eng, yang katanya sebagai tamu telah berlaku galak dan rewel.
Mendengar pembicaraan dua orang pelayan itu, maka tiba tiba Tang Lan Hua lompat turun. Tongkatnya memukul pingsan seorang pelayan, sedangkan yang seorang lagi dibikinnya rubuh terguling, untuk kemudian dia ancam memakai ujung tongkatnya,
"Lekas katakan; dimana tempatnya tamu Nio Hoan Eng itu...!" bentak Tang Lan Hua, sambil dia sedikit menekan tongkatnya.
Dengan menahan rasa sakit, pelayan itu memberitahukan bahwa Nio Hoan Eng sedang beristirahat didalam kamarnya, dan pelayan itu lalu menunjuk kesuatu arah, sambil dia menjelaskan letak kamar Nio Hoan Eng.
Sekali lagi Tang Lan Hua memukul, membikin pelayan itu menjadi pingsan, lalu dengan tongkat itu juga dia singkirkan tubuh kedua pelayan itu, kesuatu sudut yang tidak mudah ditemui orang orang.
Kemudian dengan mengikuti petunjuk dari pelayan tadi, maka Tang Lan Hua berhasil menemui kamar Nio Hoan Eng lalu dia mengetuk perlahan pintu kamar yang ditutup.
Nio Hoan Eng menganggap si pelayan telah datang lagi, dari itu dengan hati kesal dia membentak dan mempersilahkan masuk, akan tetapi waktu dia melihat yang datang adalah seorang dara yang cacad sepasang kakinya, maka dia jadi berdiri terpesona tak kuasa mengucap apa apa.
Sementara itu Tang Lan Hua menutup lagi pintu kamar yang tadi dia buka, lalu dengan langkah kaki tenang dan perlahan dia mendekati Nio Hoan Eng sedangkan pandangan- sepasang matanya perlihatkan sinar dendam, dan dia terbayang lagi dengan peristiwa belasan tahun yang lampau, waktu ayahnya kena pisau belati mengandung bisa racun yang dilepaskan oleh Nio Hoan Eng, sampai kemudian ayahnya menjadi tewas.
Setelah merasa sudah cukup dekat jarak terpisah mereka, maka Tang Lan Hua hentikan langkah kakinya. Untuk sejenak kedua orang itu saling mengawasi. Yang seorang mengawasi terpesona heran, dan yang seorang lagi mengawasi dengan sinar mata menyala menyimpan dendam. Setelah itu Tang Lang Hua melepaskan sebelah sarung pedangnya, yang sengaja dia lontarkan kesuatu sudut dari kamar itu.
"Nio Hoan Eng ! kau kenal apa ini......?" tanya dara yang cacad sepasang kakinya itu, dengan nada suara dingin menghina.
Sejak Tang Lan Hua melepaskan sarung tongkat yang istimewa, maka Nio Hoan Eng memang sudah terkejut karena dia melihat sinar hijau yang memantul dari pedang Ceng liong kiam, lalu dia menjadi lebih terkejut lagi, karena perempuan muda yang cacad sepasang kakinya itu dengan berani telah menyebut namanya, tanpa mengenal tata sopan.
"Siapa kau".." akhirnya bentak Nio Hoan Eng dengan geram dan penuh wibawa.
"Ha ha ha! bukankah sejak dulu kau mencari cari sepasang pedang Ceng liong kiam ini" Bukankah kau sudah membinasakan ayahku, melulu untuk merampas sepasang pedang ini " Nah, aku adalah Tang Lan Hua, aku datang dengan membawakan kau sepasang pedang yang menjadi idaman hatimu !"
Memang dari Lie Bok Seng telah diketahui oleh Nio Hoan Eng bahwa Tang Han Cin mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Tang Lan Hua. Akan tetapi waktu itu Lie Bok Seng justeru memuji dan mengatakan Tang Lan Hua sebagai seorang anak yang cerdas lincah otaknya. Mengapa sekarang yang datang adalah seorang dara yang lumpuh sepasang kakinya "
"Akan tetapi kakimu.... ?" kata Nio Hoan Eng yang kelihatan gugup karena heran.
"Hm, akibat kalian mengepung ayahku, maka hampir seharian penuh aku terendam air gunung yang dingin. Itulah sebabnya sepasang kakiku menjadi beku dan lumpuh. Akan tetapi, kalau waktu itu kalian sempat menemui aku, sudah tentu nyawaku yang kalian bikin lumpuh....."
Sekali lagi Nio Hoan Eng menjadi terpesona, sehingga dia tak mampu mengucap apa apa; dan Tang Lan Hua yang meneruskan bicara :
".... nah, sekarang kau siapkan senjatamu, untuk kau menerima kematianmu....."
Bagaikan orang yang taat dengan suatu perintah dari atasannya, maka Nio Hoan Eng siapkan senjatanya yang berupa sepasang ruyung.
"Awas, aku segera menyerang..." kata lagi Tang Lan Hua memperingatkan, lalu pedang ditangan kirinya yang masih berupa tongkat, menekan lantai membuat tubuhnya melayang menerkam sedangkan pedang ditangan kanannya dia pakai buat menabas batang leher musuhnya.
Sudah tentu Nio Hoan Eng sangat memandang remeh terhadap seorang dara yang cacad sepasang kakinya. Dia menganggap remeh dengan ilmu silat Tang Lan Hua, yang dia anggap akan sia-sia mengantar kematian menghadapi dia, yang ilmunya sekarang telah mencapai batas kemampuannya.
Akan tetapi, dia sangat terkejut waktu melihat gerak yang pesat dari tubuh Tang Lan Hua, sehingga cepat cepat dia angkat ruyung yang ditangan kanannya, maksudnya dengan sekali hantam, akan tetapi dia lupa dengan pedang pusaka Ceng liong kiam, dari itu ruyung besi senjatanya putus menjadi dua sedangkan pedang Ceng liong kiam meluncur terus dan memutuskan batang lehernya.
Air mata Tang Lan Hua berlinang keluar selagi dia mengawasi tubuh Nio Hoan Eng, yang rebah tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya.
Tang Lan Hua menangis bukan buat Nio Hoan Eng, akan tetapi dia menangis karena didalam hati dia sedang bicara kepada ayahnya :
('ayah, seorang musuh sudah kubinasakan, semoga arwah ayah mulai tenang....,')
Dengan pedang Ceng liong kiam, kemudian Tang Lan Hua merobek baju Nio Hoan Eng dan dengan pedang itu juga dia menyontek kepala Nio Hoan Eng yang lalu dia bungkus memakai baju Nio Hoan Eng atau dengan bagian rambut yang dia tidak bungkus, untuk memudahkan dia menenteng !
Dara yang cacad sepasang kakinya itu kemudian keluar meninggalkan kamar dengan langkah kaki yang perlahan dan tenang. Dia tiba lagi di taman yang terdapat kolam air, akan tetapi ditempat itu sekarang dia menemukan sepasang muda mudi yang sedang bertengkar. Sepasang muda mudi itu adalah Lie Cong Han, putera pertama dari Lie Bok Seng, bersama tunangannya, Kwee In Hong, puteri tunggal dari Kwee Tian Peng.
Ikatan pertunangan sepasang muda mudi itu dilakukan oleh pihak orang tua mereka, yakni sejak keduanya masih merupakan kanak kanak. Dari itu seringkali terjadi kedua muda mudi itu bertengkar, apalagi sifat manja dari Kwee In Hong yang bahkan berhati tamak. Akan tetapi, pada setiap pertengkaran, selalu berkesudahan pihak Lie Cong Han yang terpaksa harus mengalah, sebab pemuda itu takut dengan ayah tunangannya, yang terkenal galak dan tinggi ilmunya, yang bahkan juga ditakuti oleh ayahnya Lie Cong Han, yakni Lie Bok Seng!
Demikian hari itu mereka bertengkar lagi, padahal kedatangan Kwee In Hong adalah untuk membantu persiapan pesta ulang tahun mertuanya, dan Kwee In Hong berangkat dari rumahnya dengan mengajak empat orang pengawal, sedangkan ayahnya katanya akan menyusul belakangan.
Kedua muda mudi yang sedang bertengkar itu, juga melihat kehadirannya dara yang cacad sepasang kakinya, yang mereka tidak kenal.
Pemuda Lie Cong Han yang menjadi tuan rumah mewakili ayahnya; merasa heran karena dia belum pernah kenal dengan tamunya yang cacad sepasang kakinya itu, oleh karenanya dia lalu mendekati, memberi hormat dan menyapa, sedangkan dara yang cacad sepasang kakinya itu lalu berkata.
"Bukankah kau yang bernama Lie Cong Han, putera pertama dari Lie Bok Seng, atau kakaknya Lie Cong Liang..... " demikian kata Tang Lan Hua, yang tidak menghiraukan Lie Cong Han berlaku ramah tamah, sebaliknya dia bersuara dingin seperti mengejek.
Kata kata dara yang cacad sepasang kakinya itu sudah tentu telah menambah rasa herannya Lie Cong Han, sebab dia tidak mengetahui bahwa adiknya telah bercerita kepada Tang Lan Hua.
"Kouwnio, bolehkah aku mengetahui nama kouwnio.... ?" akhirnya Lie Cong Han menanya.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu tidak langsung memberikan jawaban, sebaliknya sepasang matanya melirik dan mengawasi Kwee In Hong dengan pandangan sinar mengejek, setelah itu dia berkata dengan nada suara menghina :
"Kalau kau ingin mengetahui namaku, sebaiknya kau perintahkan dia pergi..." demikian kata Tang Lan Hua dan dengan 'dia', sudah tentu dimaksud Kwee In Hong, sehingga membikin dara manja itu menjadi marah marah, membanting sebelah kakinya di lantai, akan tetapi tak sempat dia mengucap apa apa, sebab Lie Cong Han yang mendahulukan bicara : "Kouwnio, apa sebab untuk memberitahukan namamu harus memerintahkan tunanganku pergi....?"
"Tunanganmu " siapa kesudian menjadi tunanganmu. Sebaiknya kau usir perempuan cacad itu pergi.... !" setengah berteriak Kwee In Hong berkata, mendahului Tang Lan Hua untuk memberikan jawaban kepada Lie Cong Han.
Dalam keadaan biasa, Tang Lan Hua pasti akan menjadi marah kalau ada seseorang yang menyentuh soal cacadnya, akan tetapi pada saat itu, agaknya dia sengaja hendak mengganggu Kwee In Hong yang manja, sehingga dia lalu berkata :
"Sebab namaku mempunyai hubungan yang erat dengan rahasia keluarga dengan ayahmu, dan mempunyai hubungan pula dengan sepasang pedang Ceng liong kiam..."
"Ceng liong kiam....?" Lie Cong Han mengulang menyebut pedang pusaka itu, karena dia merasa terpesona, dan Kwee In Hong juga ikut jadi terpesona.
"Hong moay, sudikah kau memberi kesempatan buat kami bicara berdua ?" akhirnya Lie Cong Han berkata kepada tunangannya ketika dilihatnya dara yang cacad sepasang kakinya itu hanya manggut, dan setelah sejenak pemuda ini diam berpikir.
"Kurang ajar! kau berani mengusir aku melulu sebab kau tergoda oleh perempuan cacad itu..,?" kata Kwee In Hong bertambah marah, dan lagi lagi pula dia membanting sebelah kakinya dilantai, lalu dia menangis akan tetapi dia pergi membiarkan Lie Cong Han berada berdua dengan Tang Lan Hua.
Setelah tunangannya pergi, maka Lie Cong Han menghadapi Tang Lan Hua dan dia langsung mulai mengajukan pertanyaan;
"Tadi kau mengatakan tentang sepasang pedang Ceng liong kiam, tahukah kau dimana adanya sepasang pedang itu.....?"
Mengenai pedang pusaka Ceng liong kiam, Lie Cong Han memang pernah mengetahui dari cerita ayahnya, sehingga dia menjadi terkejut waktu mendengar jawaban dara yang cacad sepasang kakinya itu:
"Disini.. " demikian jawab Tang Lan Hua singkat lalu sebelah tangannya bergerak ke atas dan meluncur sarung tongkatnya sementara yang dipegangnya sudah berganti ujud merupakan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hijau terkena sinar matahari yang memantul.
Lie Cong Han menjadi sangat terpesona, akan tetapi dia sempat melihat sarung tongkat meluncur turun, dan kembali memasuki tempatnya yang semula.
"Namaku adalah Tang Lan Hua,.." dara yang cacad sepasang kakinya itu memperkenalkan namanya, dan menyambung lagi perkataannya.
".. kau tentu sudah mendengar cerita ayahmu tentang kisah sepasang pedang Ceng liong kiam dan tentang tewasnya ayahku. Kedatanganku sekarang adalah untuk membunuh ayahmu,..!"
Memang, dari ayahnya sudah diketahui oleh Lie Cong Han, tidak melulu soal pedang Ceng liong kiam, akan tetapi juga tentang hilangnya Tang Lan Hua dan sebagainya. Akan tetapi, sekarang dia melihat sepasang kaki dara itu cacad, sehingga dia lalu menanya dan Tang Lan Hua memberikan jawaban yang sama seperti yang dia berikan kepada Nio Hoan Eng.
"Akan tetapi, ayahku tidak ikut membunuh ayahmu..... " akhirnya terdengar kata Lie Cong Han, sedangkan didalam hati dia lagi berpikir, apakah mungkin seorang dara yang lumpuh sepasang kakinya, sanggup menghadapi ayahnya "
"Hmm ! belasan tahun aku menderita menyimpan dendam, apakah dengan suatu perkataan dari kau, akan dapat menghapus rasa dendamku..... ?" sahut Tang Lan Hua, dingin nada suaranya dan sepasang sinar matanya seperti menyala.
Sejenak Lie Cong masih diam berpikir. Tidak sampai hatinya buat dia membiarkan dara cacad sepasang kakinya itu tewas atau menjadi cedera ditangan ayahnya, sebaliknya dia berusaha 'mengusir" Tang Lan Hua pergi.
"Baik, kalau kau memaksa hendak bertemu dengan ayahku, lebih dulu kau harus melewati mayatku...."
Sehabis dia berkata begitu, maka Lie Cong Han menyiapkan pedangnya, lalu dia menyerang dengan satu tikaman ancaman, tidak menggunakan tenaga yang besar dan tikamannya sewaktu waktu dapat dia robah untuk mencari sasaran yang tidak membahayakan bagi Tang Lan Hua.
Di pihak Tang Lan Hua, dara yang cacad sepasang kakinya ini juga dapat membedakan antara serangan dari seorang musuh yang ganas dan dari seorang musuh yang tidak bermaksud jelek terhadap dirinya, dari itu dia juga tidak menggunakan tenaga yang besar bahkan hanya dengan tongkatnya dia menangkis. Akan tetapi, diluar dugaannya, pemuda itu terlempar terkena dorongan tangkisannya, bahkan Lie Cong Han terjatuh dengan mulut mengeluarkan darah!
Pemuda Lie Cong Han terkejut sehingga datang rasa penasarannya. Tadi dia tidak menggunakan tenaga yang besar; dan tidak pula dia siaga, sehingga dengan mudah dia dikalahkan. Dia bangun berdiri, sambil dia membersihkan darah di mulutnya memakai lengan baju, setelah itu dia menyerang lagi dengan gerak yang sama, akan tetapi dengan menambah sebagian tenaganya.
Dara yang cacad sepasang kakinya ini dapat menduga bahwa pemuda itu pasti menambah tenaga pada serangannya; sebab pemuda itu tadi telah dijatuhkan, oleh karenanya Tang Lan Hua juga menambah sedikit tenaga pada tangkisannya, dan sekali lagi tubuh Lie Cong Han terlempar jatuh sementara pada mulutnya kembali telah mengeluarkan darah!
"Lie Cong Han, sia-sia kau melawan aku..!" kata dara yang cacad sepasang kakinya itu, sengaja dengan nada suara mengejek. Setelah itu dia menambahkan perkataannya dengan mengacungkan sebelah tangannya yang menenteng kepalanya Nio Hoan Eng.
".....aku bahkan telah membinasakan Nio Hoan Eng..... !"
Bagaikan disambar petir Lie Cong Han terkejut waktu mendengar perkataan itu. Akan tetapi tak mau dia mudah percaya; bahwa paman Nio Hoan Eng yang tinggi ilmunya, dapat dibinasakan oleh seorang dara yang cacad sepasang kakinya itu. Akan tetapi, tepat pada saat itu, dia mendengar teriak suara beberapa orang pelayan, yang mengatakan bahwa Nio Hoan Eng sudah binasa !
Di lain pihak, Tang Lan Hua juga sudah mendengar adanya langkah kaki dari banyak orang orang yang sedang mendatangi tempat itu, oleh karenanya dengan geraknya yang ringan dia cepat menghilang membikin Lie Cong Han lagi lagi harus berdiri terpesona dan kagum.
('kalau dia inginkan nyawaku, pasti aku sudah tewas ,..... !") pikir Lie Cong Han di dalam hati, lalu dia ikut mendatangi kamar Nio Hoan Eng dan dia meredakan suasana yang ribut.
Sementara itu Kwee In Hong bukan hanya menjauhi diri dari Lie Cong Han berdua Tang Lan Hua, akan tetapi dia bahkan mengajak ke empat orang pengawalnya untuk langsung meninggalkan kota Bok kee tin dan pulang ke rumah ayahnya, tanpa pamit kepada Lie Bok Seng atau kepada siapa pun juga.
Ke 4 orang pengawalnya itu menjadi sangat heran, akan tetapi mereka memang sudah terbiasa dengan lagak manja Kwee In Hong dan mereka harus cepat cepat kaburkan kuda mereka, sebab Kwee In Hong sudah mendahulukan kabur.
Setelah terpisah jauh dengan perbatasan kota Bok kee tin, disuatu tikungan jalan yang sunyi rombongan Kwee In Hong berpapasan dengan rombongan Kwee Tian Peng yang hendak datang ke rumahnya Lie Bok Seng. Didalam rombongannya Kwee Tian Peng yang terdiri dari tujuh orang, terdapat Nio Hoan Houw atau adik kandung dari Nio Hoan Eng, yang sengaja datang ke rumah Kwee Tian Peng, membawa berita tentang tewasnya puteranya (Nio Beng Hui) ditangan seorang dara yang lumpuh sepasang kakinya dan yang katanya membawa sepasang pedang Ceng liong kiam !
Adanya Nio Hoan Houw mengetahui peristiwa tewasnya putranya, adalah karena dia telah kedatangan Kwan Seng yang membawa mayatnya Nio Beng Hai, sebab waktu peristiwa itu terjadi ternyata Kwan Seng tidak tewas ditangan Ciam kauw sin kay Ciam Sun Ho, akan tetapi dia hanya rubuh terguling menderita luka lalu dia meramkan sepasang matanya pura pura mati, sehingga dia dapat mengintai dan mengikuti terus peristiwa yang berlangsung waktu itu. Setelah dara yang cacad sepasang kakinya itu menghilang, baru dia mendekati Nio Beng Hui, yang masih sempat memerintahkan Kwan Seng untuk menghubungi ayahnya (Nio Hoan Houw) buat memberitahukan semua kejadian itu.
Menjelang waktu fajar, Kwan Seng menguburkan mayat kakaknya, membiarkan mayat mayat Ciam Sun Ho berdua Coa Kim Hin, kemudian dia mengangkut jenazah Nio Beng Hui untuk dibawa kerumah Nio Hoan Houw dengan harapan dia akan mendapat hadiah.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya itu, dan setelah dia menerima hadiah dari Nio Hoan Houw, maka Kwan Seng hidup menjauhkan diri dari kalangan rimba persilatan, dengan memiliki sejumlah harta hasil curian yang dia lakukan bersama almarhum kakaknya.
Dipihak Nio Hoan Houw, dia langsung menghubungi kakaknya (Nio Hoan Eng) buat menyampaikan berita tentang tewasnya Nio Beng Hui, dan tentang munculnya Tang Lan Hua sebagai dara yang cacad sepasang kakinya, dan yang membawa-bawa sepasang pedang Ceng liong kiam. Tetapi Nio Hoan Houw tidak berhasil bertemu dengan Nio Hoan Eng, yang katanya sudah berangkat ke rumahnya Lie Bok Seng, sehingga dia langsung menyusul dan ditengah perjalanan itu dia bertemu dengan rombongannya Kwee Tian Peng dan dia ikut didalam rombongan itu, sambil dia menceritakan semua peristiwa yang dia ketahui kepada Kwee Tian Peng.
Dilain pihak, Kwee Tian Peng jadi merasa heran ketika rombongannya bertemu dengan rombongan Kwee In Hong yang meninggalkan rumahnya Lie Bok Seng, orang tua ini bahkan terkejut, karena menduga telah terjadi sesuatu peristiwa dirumahnya Lie Bok Seng, akan tetapi kemudian tertawa setelah mendengar perihal adanya pertengkaran antara Kwee In Hong dengan Lie Cong Han oleh karena dia sudah terbiasa dengan sikap manja dari puterinya. Namun demikian, dia ikut marah waktu anaknya menambahkan keterangan bahwa pertengkaran mereka terjadi sebab Lie Cong Han telah terpikat dengan seorang perempuan lain, yang katanya lebih cantik kalau dibanding dengan Kwee In Hong.
'Apakah Lie Bok Seng tidak mengetahui perbuatan anaknya...?" tanya Kwee Tian Peng yang menjadi geram.
'Dia bahkan memihak pada anaknya......" sebut Kwee ln Hong dengan lagak marah marah dan menangis, padahal tidak pernah dia mengucap apa apa pada calon ayah mertuanya.
Kwee Tian Peng ikut menjadi marah, dan dia bahkan membatalkan niatnya yang hendak menghadiri pesta ulang tahun Lie Bok Seng, sebaliknya dia ajak semua rombongannya untuk pulang kerumahnya; membiarkan Nio Hoan Houw sendirian yang terus menuju ke rumah Lie Bok Seng, buat menemui Nio Hoan Eng.
Andaikata Kwee In Hong berterus terang dihadapan ayahnya, atau setidaknya dia menambahkan perkataannya bahwa dara yang dia maksud, atau yang dikatakan cantik itu berkaki lumpuh, maka sudah pasti Kwee Tian Peng akan mendatangi rumahnya Lie Bok Seng, sebab dia tahu bahwa dara yang cacad sepasang kakinya itu sudah pasti adalah Tang Lan Hua dan ditangan Tang Lan Hua justeru terdapat sepasang pedang Ceng liong kiam, yang sudah lama menjadi idaman hatinya; namun tak dapat dia memilikinya.
Bagi Kwee ln Hong, dia juga sudah seringkali mendengar cerita dari ayahnya perihal adanya sepasang pedang Ceng liong kiam yang merupakan suatu benda pusaka, dari itu dia ikut menjadi kaget waktu dia mendengar Tang Lan Hua menyebutkan nama pedang itu. Akan tetapi, pada waktu itu segala urusan apa pun juga, sudah dikalahkan dengan sifat manja dan pemarah, sehingga dia tidak mau perduli dengan urusan lain, dia bahkan bertekad hendak memutuskan atau membatalkan pertunangannya dengan Lie Cong Han, dan dia terbayang dengan waktu tunangannya itu bicara dengan Tang Lan Hua, yang membikin hatinya jadi bertambah panas.
Sementara itu, waktu Nio Hoan Houw tiba di rumahnya Lie Bok Seng, maka diketahui olehnya tentang sudah tewasnya kakaknya (Nio Hoan Eng) dan pada waktu itu orang orang sedang berkumpul membicarakan perihal Tang Lan Hua, atau anaknya Tang Han Cin, yang katanya sudah datang untuk melakukan balas dendam !
Dan Nio Hoan Houw kemudian menambahkan dengan berita tentang tewasnya puteranya (Nio Beng Hui), dalam suatu pertempuran melawan Tang Lan Hua, dan dara yang cacad sepasang kakinya itu bahkan sudah mengalahkan dan membinasakan Ciam kauw sin kay Ciam Sun Ho dan si ular kepala dua Coa Kim Hin, yang menjadi kauwcu atau pimpinan orang orang golongan hitam.
Di lain pihak, pemuda Lie Cong Liang yang memang sudah pernah bertemu dengan Tang Lan Hua, akan tetapi belum pernah menyaksikan kesaktian dara yang cacad sepasang kakinya itu maka dia kelihatan menjadi ragu ragu meskipun dia tahu benar tentang kegagahan Nio Beng Hui yang menjadi saudara sepupunya, juga tentang kegagahan Ciam kauw sin kay Ciam Sun Ho dan si ular kepala dua Coa Kim Hin. Sebaliknya pemuda ini tetap merasa iba bahkan dia telah menanam benih cinta terhadap dara yang cacad sepasang kakinya itu !
"Kasihan, dia cacad pada sepasang kakinya ?" terdengar kata Lie Bok Seng yang bahkan ikut merasa iba, bukan dendam, meskipun dia mengetahui kalau kedatangan Tang Lan Hua adalah sebagai musuh yang hendak membunuh dia. Dan didalam lubuk hati orang tua ini, dia justeru menjadi terkenang dan terbayang lagi dengan peristiwa belasan tahun yang lalu, waktu pertama kali dia bertemu dengan Tang Lan Hua, sampai terjadi Tang Han Cin tewas sehingga hal itu benar-benar sangat disesalkan oleh Lie Bok Seng. Untuk yang kesekian kalinya, orang tua ini bahkan menjadi teringat lagi, bahwa dahulu sebenarnya dia sangat erat hubungannya dengan Tang Han Cin, yang seringkali bahu membahu menempuh bahaya. Melulu karena adanya sumpah persaudaraan, maka dia wajib melakukan apa yang sudah dia lakukan, yang pada mulanya dia anggap dapat damaikan urusan mereka.
"Apakah tidak ada obat buat orang yang menderita penyakit lumpuh.....?" tiba tiba Lie Cong Liang ikut bicara; dan dia justru memikirkan derita penyakit dara yang cacad sepasang kakinya itu, bukan sebagai musuh. Di dalam hatinya Lie Cong Liang bahkan membayangkan, betapa penderitaan Tang Lan Hua yang sejak kecil sudah menjadi anak yatim dan cacad sepasang kakinya sehingga dia sedang memikirkan suatu daya buat menemui dara cacad yang telah menambat hatinya itu.
"Obatnya ada?" sahut Lie Bok Seng dengan suara perlahan, akan tetapi jelas kelihatan pendiriannya bahwa dia lebih memikirkan kepentingan Tang Lan Hua dari pada nyawanya yang sedang diancam.
"Obat apakah itu ayah,..?" begitu cepat Lie Cong Liang mengajukan pertanyaan juga dengan penuh semangat. Agaknya dia mendapat harapan hendak menyembuhkan derita penyakit Tang Lan Hua dan sikap serta lagaknya yang manja itu, bukan tidak diketahui oleh ayahnya, bahkan juga oleh semua yang hadir, termasuk Lie Cong Han dan Nio Hoan Houw.
"Obat untuk menyembuhkan penyakit lumpuh seperti yang diderita oleh Tang Lan Hua itu ada, akan tetapi sangat sukar diperoleh..." sahut Lie Bok Seng; tetap dengan suara perlahan seolah olah dia bicara pada dirinya sendiri.
"Dimana dapat diperoleh obat itu, ayah " biar aku yang mencarinya buat Tang kouwnio..." Lie Cong Liang yang bicara lagi, sebab dilihatnya ayahnya menunda bicara bahkan dengan perlihatkan muka muram.
"Obat itu tidak dapat diambil, anak Liang, akan tetapi harus didatangi sendiri oleh si-penderita, sedangkan letak tempat obat itu tidak pernah dapat dikunjungi oleh manusia..,!"
Lie Cong Liang ikut menjadi lesu dan bermuka muram, waktu didengarnya perkataan ayahnya itu, akan tetapi dia masih penasaran sehingga dia menanya lagi :
"Mengapa tempat itu tidak dapat dikunjungi oleh manusia...... ?"
Sejenak Lie Bok Seng mengawasi anaknya yang bungsu, sepasang matanya kelihatan hampa, akan tetapi dia berkata menjelaskan.
"Jauh diatas gunung Tiang Pek san yang tinggi menjulang ke angkasa, atau tepatnya dibagian puncak yang tertinggi dari gunung itu, lewat danau Tian tie yang jernih dan dingin airnya dipuncak gunung itu, tidak dikenal adanya beda musim. Sepanjang waktu tempat itu sangat dingin dipenuhi hujan salju, meskipun matahari bersinar terik. Salju yang cair terkena sinar matahari, berobah menjadi air dingin yang mengalir turun. Ada yang masuk kedalam danau Tian tie, dan ada yang berceceran tumpah ke berbagai jurang yang banyak terdapat diatas gunung Tang Pek san, sementara di beberapa tempat dipuncak yang tertinggi itu, banyak salju yang mengeras menjadi es abadi, atau es yang tidak pernah menjadi cair. Konon dari potongan potongan es abadi itu, ada yang berbentuk ruangan yang lebar dan luas atau dengan kata lain, ruangan yang seluruhnya terbuat dari lapisan es abadi, sehingga kalau ada sesuatu makluk yang memasuki ruangan itu, maka makhluk itu akan membeku menjadi es abadi, atau makhluk itu akan mati terbungkus dengan salju yang cepat sekali membeku menjadi es abadi. Namun demikian ada sesuatu yang aneh didalam ruangan itu, yakni tentang adanya suatu mata air yang berhasil membikin suatu kolam kecil tempat menampung air itu. Dan mata air itu justeru merupakan suatu sumber air panas yang mengandung belirang, hingga disekitar kolam itu penuh dengan asap atau uap. Jadi kalau Tang Lan Hua bisa mencapai kolam sumber air panas itu dan merendamkan sepasang kakinya selama enam jam,dia pasti akan menjadi sembuh..."!"
"Akan tetapi sebelum Tang kouwnio mencapai kolam itu, dia akan mati beku kalau memasuki ruangan es abadi itu, begitu maksud ayah, bukan ,..?" tanya Lie Cong Liang, lesu suaranya, hilang harapannya.
Akan tetapi, sang ayah justeru memberikan jawaban yang diluar dugaan pemuda ini:
"Dia tidak mati beku didalam ruangan es abadi itu kalau dia memegang suatu benda mustika.. , " demikian kata Lie Bok Seng menyertai sedikit senyum, sebuah senyum hampa akan tetapi bercampur sedikit harapan!
"Benda mustika apakah itu, ayah,,, ?" tanya lagi Lie Cong Liang ikut mempunyai harapan, dan tidak sabar dia menunggu jawaban dari ayahnya.
"Benda mustika itu merupakan sebutir batu hitam "ouw liong ta" yang sebenarnya adalah sebutir telur ular hitam yang besar merupai naga. Telur itu membeku tak mau menetas, mempunyai khasiat melawan hawa yang bagaimana pun dinginnya, dan setahu aku, benda mustika itu disimpan di istana Pangeran Gin Lun di kota San hay koan"."
Setelah mendengar cerita yang dibentangkan oleh ayahnya; maka tak sudahnya Lie Cong Liang jadi berpikir, sebab hasratnya membara hendak mengantar dara yang cacad sepasang kakinya itu, berusaha mendapatkan batu hitam ouw liong ta untuk kemudian menempuh perjalanan menuju puncak gunung Tiang pek san.
Ketika hari sudah menjadi malam, maka Lie Cong Liang mendatangi tempat Tang Lan Hua menginap, yakni pada sebuah kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi, karena dara yang cacad sepasang kakinya itu katanya tidak ingin bermalam disebuah rumah penginapan, untuk mencegah atau menghindar dari perhatian orang banyak.
Letak kuil tua itu diperbatasan luar kota Bok kee tin, disuatu tempat yang sunyi bahkan agak belukar, penuh dengan tanaman tanaman pohon besar yang tidak terawat, dan tempat menginapnya itu hanya kepada pemuda Lie Cong Liang yang pernah Tang Lan Hua beritahukan. Lie Cong Liang mendapati kuil tua itu sangat sunyi keadaannya. Tiada seseorang yang dia temui, sebab Tang Lan Hua rupanya sedang tidak berada didalam kuil tua itu.
Dengan bantuan sinar bulan yang memasuki dari pintu kuil yang sudah rusak, maka Lie Cong Liang melihat adanya sebuah meja tua kotor penuh debu dan sarang laba laba, dan meja itu dahulunya dipakai untuk upacara sembahyang.
Diatas meja itu, pemuda Lie Cong Liang melihat adanya sebuah bungkusan berbentuk bundar serta sebuah tempat abu jenazah dengan tulisan. Kemudian waktu Lie Cong Liang tambah mendekati tempat abu jenazah yang kecil berbentuk sebuah piala, maka pada tulisan itu dilihatnya tercantum nama Tang Han Cin, sehingga dia yakin bahwa tempat abu jenazah itu adalah miliknya Tang Lan Hua, atau dara yang cacad sepasang kakinya dan yang memang dia hendak temukan. Sebelah tangan pemuda itu kemudian hendak menjamah bungkusan yang berbentuk bundar itu, akan tetapi dia menjadi terkejut karena tiba tiba mendengar bentak suara bernada bengis:
"Jangan sentuh bungkusan itu.. !"
Itulah suara Tang Lan Hua yang datang dengan membawa seberkas dengan bungkusan alat sembahyang. Dia berdiri dengan bantuan tongkatnya yang istimewa, dan sinar sepasang matanya kelihatan menyala bagaikan orang sedang marah.
"Tang kouwnio, maafkan aku. Akan tetapi aku datang sengaja hendak menemui kau..." pemuda Lie Cong Liang berkata dengan suara lembut bukan bernada permusuhan.
"Menemui aku untuk mewakilkan ayahmu menerima kematian...."!" tanya Tang Lan Hua dingin dan bernada menghina suaranya.
"Bu,., kan. Aku datang sebagai seorang sahabat,,," sahut Lie Cong Liang agak gugup.
"Sahabat..... ?" ulang Tang Lan Hua seperti menggerutu akan tetapi dia menyudahi pembicaraan itu dan dengan lagak tak menghiraukan kehadirannya Lie Cong Liang, maka dara yang cacad sepasang kakinya itu mendekati meja sembahyang. Dibukanya bungkusan yang dibawanya, yang ternyata berisi sepasang lilin dan sekedar perlengkapan barang sembahyang, setelah itu dia membuka bungkusan yang berbentuk bundar, yang hampir disentuh oleh Lie Cong Liang tadi dan dilain saat diatas meja sembahyang itu membentang sebuah kepala manusia yang masih kelihatan berdarah membeku, dan kepala manusia itu justeru adalah kepalanya Nio Hoan Eng!
Pemuda Lie Cong Liang tidak menjadi terkejut ketika dia melihat isi bungkusan itu. Dia memang menduga sebab Nio Hoan Eng tewas dengan kepala hilang!
Pemuda Lie Cong Liang juga membiarkan waktu Tang Lan Hua melakukan upacara sembahyang seorang diri, dan pemuda ini bahkan membiarkan dara yang cacad sepasang kakinya itu melampiaskan rasa sedihnya dengan suara isak tangisnya yang sangat mengharukan.
Setelah melihat Tang Lan Hua selesai dengan upacara sembahyang terhadap arwah ayahnya, maka pemuda Lie Cong Liang ikut memasang hio dan menyebut paman kepada arwah Tang Han Cin, lalu dengan sikapnya yang ramah penuh rasa prihatin; pemuda Lie Cong Liang berhasil mengajak dara yang cacad sepasang kakinya itu bicara dan membujuk supaya Tang Lan Hua mau berangkat ke kota San hay koan buat mengusahakan batu hitam ouw liong ta untuk kemudian menuju keatas gunung Tiang Pek san berusaha menyembuhkan sepasang kakinya yang lumpuh. Untuk menempuh perjalanan yang jauh itu, pemuda Lie Cong Liang menyatakan kesediaannya buat mengantarkan.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu diam mendengarkan dengan penuh perhatian, akan tetapi pada waktu dia mendengar kesediaan pemuda itu mengantarkan dia, maka dengan sinar mata yang tajam tetapi penuh pertanyaan dia berkata :
"Kau sebagai puteranya salah seorang musuhku, sudi mengantarkan dan membantu aku.....?"
Lie Cong Liang bersenyum. Sebuah senyum penuh harapan :
'Tang kouwnio, hatiku akan sangat girang kalau kau bisa menjadi sembuh. Lagipula dengan sepasang kakimu tidak cacad, akan lebih mudah buat kau mengalahkan supek Kwee Tian Peng. Sebab perlu kau ketahui, ilmu kepandaiannya jauh berbeda apabila dibanding dengan belasan tahun yang lalu. Dia bertambah lihay, sebab dia telah mendapat sebuah kitab ilmu silat Pat kwa to, karya seorang tosu sakti yang tewas karena sesuatu penyakit, waktu tosu itu singgah dirumah Kwee supek?"
"Hmmm ! setelah sepasang kakiku sembuh, akan dengan mudah juga aku membinasakan ayahmu, begitu maksudmu..,..?" dara yang cacad kakinya itu berkata kembali bernada mengejek.
Lie Cong Liang terdiam dan terpesona mendengar perkataan dara yang cacad sepasang kakinya itu, akan tetapi kemudian dia berkata lagi dengan suara yang bertambah perlahan.
"Tetapi ayahku tidak ikut membinasakan Tang susiok,,,"
"Hmmm.. !" sekali lagi Tang Lan Hua bersuara mengejek, akan tetapi tanpa dia menambahkan dengan kata kata.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu merasa yakin bahwa pemuda yang dihadapinya itu telah mengetahui semua peristiwa melalui ayahnya. Sedangkan dia" maka sekali lagi tengah membayang dihadapan matanya tentang peristiwa belasan tahun yang lalu, waktu dia disembunyikan didalam sebuah saluran air yang berisi air gunung yang sangat dingin. Tubuhnya yang tidak tinggi sebagai seorang bocah berumur limabelas tahun, menyebabkan lain orang tak dapat melihat dia yang berada didalam saluran air itu meskipun dia berdiri dengan sepasang tangan memegang pedang Ceng liong kiam, sebaliknya dia dapat melihat lain orang, sehingga teringat dia waktu Lie Bok Seng bertiga dengan Kwee Tian Peng dan Nio Hoan Eng lewat didekat tempat dia disembunyikan. Waktu itu tubuhnya menjadi gemetar. Gemetar menahan rasa dingin, gemetar menahan rasa takut melihat wajah muka Nio Hoan Eng dan Kwee Tian Peng yang sangat menyeramkan, dan gemetar menahan rasa marah karena merasa telah dibohongi oleh Lie Bok Seng, yang menjanjikan dia menonton latihan pertempuran ilmu silat yang hendak dilakukan oleh Lie Bok Seng atau yang waktu itu dia kenal sebagai si kelana, melawan ayahnya yang dia anggap sebagai seorang yang paling gagah dan yang paling baik diseluruh jagat!
"Besok pagi aku akan membeli dua ekor kuda, buat kita berangkat ke kota San hay koan, setelah itu kita menerobos daerah Tiang pek san yang penuh saIju. Akan tetapi, apakah Tang kouwnio mempunyai persediaan baju dingin....?" kata lagi pemuda Lie Cong Liang dengan semangat membara dan khayalannya sudah mendahulukan kepergiannya, membayangkan dia jalan mendampingi dara cacad yang telah menambat hatinya itu!
Sementara itu dan waktu mendengarkan perkataan Lie Cong Liang; maka Tang Lan Hua menjadi tertawa perlahan, akan tetapi sebelum dia sempat mengucap apa apa maka telinganya yang tajam mendengar adanya seseorang yang sedang mendatangi.
Dengan memberikan aba aba memakai gerak dengan tangan tangannya, Tang Lan Hua memberitahukan kepada Lie Cong Liang lalu dengan langkah kaki yang tenang dia berjalan dengan bantuan sepasang tongkatnya yang istimewa menuju kesuatu sudut gelap untuk umpatkan diri, sambil tak lupa dia meniup api lilin bekas sembahyang tadi. Sejenak Lie Cong Liang kelihatan ragu ragu; sebab dia tidak mendengar sesuatu suara. Langkah yang tenang dari Tang Lan Hua, menandakan bahwa seseorang yang mendatangi itu masih terpisah cukup jauh, jadi demikian hebatnya alat pendengaran dara yang cacad sepasang kakinya itu.
Setelah Lie Cong Liang turut umpatkan diri disuatu sudut yang terpisah dengan tempat Tang Lan Hua, maka benar saja seseorang telah memasuki kuil tua itu dan seseorang itu ternyata adalah Lie Cong Han, kakak yang dipercaya penuh oleh Lie Cong Liang sehingga dia memberitahukan waktu dia hendak meninggalkan rumahnya.
Setelah saling bertemu, maka Lie Cong Han memberi hormat pada Tang Lan Hua, setelah itu baru dia berangkat secara tergesa gesa, sebab dirumahnya telah kedatangan rombongannya Kwee Tian Peng dan mereka bermaksud mencari Tang Lan Hua, dan hendak merebut pedang Ceng liong kiam. "Bagus! aku belum mencari dia, akan tetapi dia telah mendahulukan hendak mencari aku.....!" kata Tang Lan Hua; sedangkan sinar mukanya berobah bengis penuh dendam.
"Akan tetapi, Tang kouwnio, sebaiknya lebih dulu kau mengobati sepasang kakimu, setelah itu baru kau menghadapi mereka...." kata Lie Cong Han, akan tetapi telah membikin dara yang cacad sepasang kakinya jadi semakin bertambah marah.
"Tidak ! biarkan aku hadapi mereka,...!"
"Tang kouwnio, aku tahu kau tidak gentar menghadapi Kwee pekhu, akan tetapi mereka telah datang dalam rombongan yang besar jumlahnya, tidak kurang dari tigapuluh orang," masih Lie Cong Han hendak merintangi.
"Apakah kau pikir aku takut menghadapi kepungan mereka. ,. ?" tanya Tang Lan Hua dengan suara geram dan mengejek.
Dilain pihak, pemuda Lie Cong Liang kelihatan menjadi sangat bingung mendengarkan pembicaraan kakaknya dengan dara cacad yang telah menambat hatinya. Dia langsung ikut bicara untuk berusaha meredakan kemarahan Tang Lan Hua, setelah itu lagi lagi dia membujuk supaya Tang Lan Hua mau segera berangkat ke kota San hay koen, malam itu juga!
"Tang kouwnio, memang baik saran adikku itu. Sebaiknya kalian segera berangkat, dan esok pagi aku akan menyusul, membawakan pakaian adikku dan tiga ekor kuda," Lie Cong Han yang berkata lagi.
"Tiga ekor kuda...?" tanya Tang Lan Hua yang tidak mengerti.
"Ya, tiga ekor kuda, sebab aku akan ikut mengantarkan sampai kau berhasil menjadi sembuh,..!" sahut Lie Cong Han tanpa ragu.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu tidak berdaya menghadapi desakan kedua pemuda itu. Didalam hati bersemi kesan yang begitu baik terhadap kedua putera dari musuhnya itu, sehingga mendatangkan rasa haru.
Segera Tang Lan Hua mengemasi barang barang bawaannya, dibantu oleh kedua pemuda Lie Cong Han dan Lie Cong Liang. Lalu bertiga mereka menyusuri jalan yang sunyi dan gelap, sampai di tepi jalan raya Lie Cong Han melepas kedua muda mudi itu meninggalkan kota Bok kee tin.
"Adik Liang, esok pagi kita bertemu ditempat Ouw lopek.." kata Lie Cong Han, sesaat sebelum mereka berpisah.
"Siapakah Ouw lopek itu ,..,?" tanya Tang Lan Hua pada Lie Cong Liang, setelah mereka berpisah dari Lie Cong Han.
Pemuda Lie Cong Liang tertawa. Kebiasaannya yang lincah dan riang mulai kelihatan lagi :
"Itulah kakek tukang tahu.. ,"
Dara yang cacad sepasang kakinya ikut tertawa, suatu tawa ria yang baru pertama kalinya dia lakukan, sejak dia meninggalkan tempat gurunya !
Dengan berjalan kaki memakai bantuan sepasang tongkat, mau tak mau mereka telah melakukan perjalanan yang lambat sekali; dan hal ini kelihatan menggelisahkan hati Lie Cong Liang, karena pemuda ini tetap merasa khawatir dengan pihak Kwee Tian Peng, yang kemungkinan akan melakukan pengejaran bersama sama rombongannya sedangkan mereka belum jauh meninggalkan perbatasan kota Bok kee tin.
"Mengapa kau kelihatan gelisah.....?" tanya Tang Lan Hua yang sempat memberikan perhatian.
"Akh ! tempat Ouw lopek masih terlalu jauh...... " sahut pemuda Lie Cong Liang yang kelihatan gugup, akan tetapi berusaha tidak memperlihatkan rasa kekhawatirannya.
"Kau maksud, kita berjalan terlalu lambat, sehingga kau khawatir kita tidak mungkin mencapai tempat Ouw lopek malam ini, bukankah begitu....?" Tang Lan Hua menanya lagi, lembut perlahan suaranya, seperti merasa iba melihat pemuda itu cemas hatinya. "Akh..... !" tidak berani Lie Cong Liang mengucap kata kata, takut akan menyinggung perasaan dara yang cacad sepasang kakinya itu, yang dianggapnya terlalu perasa dan pemarah.
"Marilah kita gunakan ilmu lari cepat,.." ajak dara yang cacad sepasang kakinya itu; namun yang telah berhasil menambat hati pemuda yang berjalan disisinya.
Lie Cong Liang hentikan langkah kakinya, membikin Tang Lan Hua ikut berhenti. Pemuda ini memang sudah mendengar dari kakaknya, bahwa dara yang cacad sepasang kakinya itu sangat mahir ilmu ringan tubuh, akan tetapi untuk berlari cepat apakah mungkin "
"Kau larilah".." Tang Lang Hua yang berkata lagi seperti mendesak, sebab melihat pemuda itu hanya berdiri mengawasi dan sekali ini Tang Lan Hua perlihatkan seberkas senyum bangga yang manis memikat.
Meskipun benar Lie Cong Liang adalah adiknya Lie Cong Han, akan tetapi dalam pelajaran ilmu silat pedang dan ilmu ringan tubuh, ternyata dia lebih mahir dan sejak kecil dia memang lebih lincah serta cerdas.
Setelah Tang Lan Hua mengajak pemuda itu berlari cepat, maka untuk sejenak Lie Cong Liang kelihatan ragu ragu, akan tetapi waktu dia melihat senyum manis dara tambatan hatinya itu maka dia seolah olah terlupa bahwa dara tambatan hatinya memiliki sepasang kaki yang lumpuh dan dia lalu mulai berlari lari memakai ilmu ringan tubuh ajaran dari ayahnya.
Beberapa saat lamanya pemuda itu lari dengan menggunakan ilmu ringan tubuh akan tetapi dia tidak merasakan adanya seseorang yang berlari di sebelah belakangnya maupun disisi akan tetapi tiba tiba dia menjadi terkejut waktu disebelah depannya Tang Lan Hua hinggap dari atas udara dan waktu sebelah tongkatnya itu mencapai bumi, maka tubuhnya dara cacad itu kembali melayang di angkasa, tambah menjauh jarak terpisahnya dengan pemuda itu.
Sejenak pemuda Lie Cong Liang jadi terpesona heran. Sekarang dia mengetahui caranya Tang Lan Hua melakukan perjalanan cepat. Bukan dengan berlari, akan tetapi dengan melayangkan tubuh dengan bantuan tenaga benturan sepasang tongkatnya pada bumi, yang sudah tentu dengan menyalurkan tenaga dalam yang sangat mahir.
Segera Lie Cong Liang mengerahkan tenaganya buat dia mempercepat larinya; akan tetapi dia tetap tidak berhasil memperdekat jarak terpisahnya antara dia dengan dara tambatan hatinya, apalagi untuk mengejarnya.
Demikian, dengan cara yang istimewa itu mereka berdua menempuh perjalanan mereka. Entah sudah berapa jauh mereka meninggalkan perbatasan kota Bok kee tin, tak sempat lagi Lie Cong Liang memperhatikan, sebab sedang memusatkan tenaga dan perhatiannya supaya dia tidak tertinggal terlalu jauh dari Tang Lan Hua yang telah menambat hatinya, sebaliknya bagi Tang Lan Hua, kau dia mau, sejak tadi dia sudah berhasil meninggalkan pemuda Lie Cong Liang, sampai tak mungkin lagi dia dikejar dan tak mungkin terlihat lagi.
Akhirnya dengan napas memburu Lie Cong Liang berteriak:
"Tang kouwnio! kita sudah sampai..... !" Rumah Ouw lopek yang dimaksud ternyata merupakan sebuah kedai nasi ditepi jalan, yang sangat sunyi diwaktu malam seperti itu, akan tetapi banyak dikenal dan hampir setiap orang yang berlalu lintas akan singgah baik untuk makan nasi dengan tahu yang istimewa, ataupun hanya untuk melepas lelah sambil minum arak.
Agaknya pemuda Lie Cong Liang dan kakaknya sudah seringkali singgah ditempat Ouw lopek, sehingga tanpa ragu ragu pemuda itu mengetuk pintu rumah Ouw lopek yang sudah ditutup, dan disaat berikutnya Ouw-lopek kelihatan terkejut, waktu tamunya datang tengah malam buta, bahkan dengan mengajak seorang perempuan muda yang cacad sepasang kakinya.
"Ouw lopek, maafkan bahwa kami sudah mengganggu kau....." kata Lie Cong Liang dengan perlihatkan senyumnya, padahal saat itu napasnya masih memburu, membikin Ouw lopek salah tafsir; menganggap bahwa pemuda itu sedang dalam pengejaran seseorang dan harus lari sambil menggendong perempuan muda yang cacad sepasang kakinya itu.
Ouw lopek persilahkan kedua tamunya masuk dan duduk diruangan dalam, sementara ia menutup pintu yang dibukanya tadi, akan tetapi pemuda Lie Cong Liang kemudian mengajak sikakek kebelakang, dimana secara jelas pemuda itu perkenalkan nama Tang Lan Hua, serta mengatakan bahwa mereka dalam perjalanan menuju kota San hay koan.
"Ditengah malam begini dan apakah lao ya mengetahui kepergian kau ini... ?" tanya
Ouw lopek yang merasa curiga.
"Aku percaya Ouw lopek tidak akan memberitahukan kepada ayahku...." sahut pemuda Lie Cong Liang sambil tertawa dan perlihatkan lagak jenaka, lalu dia minta disediakan kamar buat dara yang cacad sepasang kakinya beristirahat, sedangkan dia sendiri cukup beristirahat diatas bangku kayu.
Esok paginya Lie Cong Han memenuhi janjinya. Dia datang dengan tiga ekor kuda dan dua bungkusan pakaian. Yang satu merupakan bungkusan pakaian adiknya, sedangkan yang satu lagi pakaiannya sendiri, sementara pada wajah mukanya, kelihatan bahwa dia telah melakukan perjalanan yang cepat secara tergesa gesa.
"Adik Liang, mari kita ajak Tang kouwnio lekas lekas berangkat. ".." ajak Lie Cong Han yang kelihatan gugup bercampur cemas.
"Akan tetapi, kita belum sarapan.." Lie Cong Liang membantah; ingin mengajak mereka sarapan lebih dahulu, setelah sesaat dia mengawasi keadaan kakaknya.
"Biar nanti kita makan ditempat lain ," sahut Lie Cong Han, yang kemudian menambahkan perkataannya :
"..., sejak semalam In Hong merasa curiga. Dia mengatakan bahwa aku keluar untuk menemui Tang kouwnio. Aku khawatir dia benar benar mengawasi diriku, dan akan segera melakukan pengejaran.. ,"
"Hm.. , !" Tang Lan Hua bersuara mengejek, akan tetapi dia patuh menurut waktu Lie Cong Liang mengajak dia segera berangkat meninggalkan tempat itu.
Ouw lopek mengantarkan ketiga tamunya sampai diluar pintu. Lama orang tua itu mengawasi sampai ketiga muda mudi itu hilang dari pandangan matanya. Dia tidak merasa heran atau terpesona waktu melihat cara Tang Lan Hua naik ke atas kudanya, sebab dia memang sudah diberitahukan oleh pemuda Lie Cong Liang, tentang dara cacad yang tinggi ilmunya itu, sebaliknya dia merasa iba melihat dara yang begitu cantik jelita itu, ternyata cacad sepasang kakinya, dan dia bahkan merasa iba terhadap pemuda Lie Cong Liang yang dia sudah kenal sejak kecil.
('nasib sudah ditentukan oleh Tuhan. Manusia tidak akan mampu merobahnya.....') kata Ouw lopek didalam hati, setelah dia berada seorang diri.
Waktu sudah mencapai dusun berikutnya, maka Lie Cong Liang mengajak singgah untuk mereka sarapan, akan tetapi waktu mereka sudah selesai sarapan dan hendak meninggalkan kedai nasi, ternyata dibagian luar sudah menunggu dua orang laki laki yang berpakaian semacam bu su (tukang pukul), yang sedang memperhatikan tiga ekor kuda yang dipakai oleh rombongannya Lie Cong Liang.
Setelah melihat kedua orang bu su itu, maka pemuda Lie Cong Han menjadi terkejut, sebab dia mengetahui bahwa kedua orang bu su itu adalah para pengawalnya Kwee In Hong, tunangannya. "Kim An dan Kim Sui, mengapa kalian berada di tempat ini... ?" Lie Cong Han menyapa setelah dia mendekati kedua orang bu su itu.
Kim An dan Kim Sui paksakan diri untuk bersenyum, lalu Kim An yang berkata:
"Lie siangkong, maafkan kami, akan tetapi kami justeru mendapat perintah Kwee kouwnio buat mengejar Tang kouwnio. Dengan Lie siangkong kami dilarang berhubungan..."
Pemuda Lie Cong Han menjadi marah, akan tetapi sebelum sempat bicara maka Tang Lan Hua yang sudah mendahului bersuara.
"Bagus, kalau begitu mereka lakukan tugas mereka.,!" demikian kata dara yang cacad sepasang kakinya itu yang ditujukan kepada pemuda Lie Cong Han sementara nada suaranya terdengar dingin mengejek, dan dia berdiri menantang kedua orang busu itu.
Sejenak kelihatan Kim An berdua Kim Sui jadi bimbang dan ragu ragu. Memang sudah didengar oleh mereka bahwa dara yang cacad sepasang kakinya itu memiliki sepasang pedang Ceng liong kiam yang maha tajam dan sepasang pedang itu tersimpan didalam sarung yang digunakan menjadi sepasang tongkat buat penolong dara cacad itu berjalan. Kalau mereka menyerang dengan menggunakan senjata, sudah pasti senjata mereka kalah tajam dan akan putus menjadi dua, seperti ruyung miliknya Nio Hoan Eng. Dari itu kedua orang busu itu lalu memutuskan untuk menyerang tanpa memakai senjata, supaya pihak lawan juga tidak menggunakan senjata.
Dengan menggunakan suatu aba aba, maka Kim An berdua Kim Sui lompat menerkam, sementara kedua pasang tangan tangan mereka melancarkan serangan maut!
Baik Kim An maupun Kim Sui tidak mempunyai kesempatan melihat orang yang mereka serang itu bergerak, akan tetapi tahu tahu Sepasang tongkat istimewa itu sudah memukul mereka, sehingga keduanya terlempar jauh, lalu mereka terjatuh dengan kepala masuk kedalam tempat untuk kuda minum.
Kim An berdua Kim Sui berusaha hendak mengeluarkan kepala mereka yang terendam didalam air minum kuda, akan tetapi tiba tiba terasa oleh mereka bahwa batang leher mereka tertindih oleh sesuatu benda, membikin mereka tak kuasa mengangkat kepala mereka dari dalam air minum kuda, mengakibatkan mereka sukar bernapas, dan terminum oleh mereka air minum untuk kuda itu.
Sekiranya Tang Lan Hua bermaksud membinasakan mereka, maka dengan mudah dara yang cacad sepasang kakinya itu melakukannya, sebab tak berdaya Kim An berdua Kim Sui melepas diri. Akan tetapi, memang tidak menjadi maksud Tang Lan Hua buat membinasakan kedua orang itu, sehingga dia lalu melepaskan, membiarkan Kim An berdua kabur, dan lagak dari kedua tukang pukul ini telah membikin beberapa orang yang kebenaran menyaksikan jadi pada tertawa, tidak terkecuali pemuda Lie Cong Liang yang waktu itu sudah menyiapkan kuda mereka buat mereka meneruskan perjalanan mereka.
Dari tempat dia berdiri sehabis mengalahkan Kim An berdua Kim Sui maka dara yang cacad sepasang kakinya itu menekan sepasang tongkatnya pada bumi; lalu tubuhnya melayang diangkasa dan hinggap diatas punggung kudanya untuk kemudian bertiga mereka menghilang dari hadapan beberapa orang yang menyaksikan dengan mengeluarkan suara heran.
"Haya, seorang lie pousat sudah menjelma" kata seorang orang tua yang berpakaian semacam penduduk dusun.
Dilain pihak, meskipun sambil melarikan kudanya, akan tetapi didalam hati tak sudahnya Lie Cong Han memuji kesaktian ilmu Tang Lan Hua. Memang bagi Lie Cong Han, dia juga tidak sukar buat mengalahkan Kim An berdua Kim Sui, akan tetapi kalau dikepung berdua, sudah tentu pemuda itu harus melakukan suatu pertempuran yang akan memakan waktu buat dia mengalahkan kedua tukang pukul itu.
Sementara itu, istana Pangeran Gin Lun yang didalam kota San hay koan, sudah tentu berada dibawah penjagaan yang ketat oleh sepasukan tentara yang dipimpin oleh seorang perwira muda yang gagah perkasa.
Jilid 21 SEJAK CHENG HWA liehiap Liu Giok Ing datang mengacau dan membinasakan ciangkun Cia Tong Gok sampai kemudian Cheng hwa liehiap Liu Giok Ing 'dititipkan' oleh Kwee Su Liang dan menghilang lagi, maka istana Pangeran Gin Lun selalu dijaga ketat. Sedangkan perwira muda yang gagah perkasa itu, sebenarnya adalah seorang dara yang menyamar menjadi seorang pemuda, dan dia adalah Liu Gwat Go, adik kandung Cheng hwa liehiap Liu Giok Ing atau yang menjadi teman akrab dari Kanglam liehiap Soh Sim Lan !
Malam itu dengan mengambil jalan lewat genteng rumah, kelebatan ada dua bayangan hitam yang mendatangi istana pangeran Gin Lun. Berkat mahirnya ilmu ringan tubuh mereka maka kedua bayangan hitam itu dapat memasuki bagian dalam dari istana itu tanpa diketahui oleh pihak tentara yang melakukan penjagaan.
Kedua bayangan hitam itu adalah Lie Cong Han berdua adiknya, Lie Cong Liang. Mereka sudah memasuki bagian ruangan didalam istana itu, akan tetapi mereka belum memperoleh batu hitam ouw liong ta yang mereka cari. Mereka sudah mencari terlalu lama sedangkan waktu berjalan terus membikin kedua bersaudara itu menjadi gugup, khawatir sang fajar akan datang dan sukar buat mereka kembali pada malam berikutnya, sebab setelah diketahui istana didatangi seseorang maka penjagaan pasti akan diperkuat.
Dengan cara bekerja yang gugup, kedua pemuda itu justeru telah membikin kesalahan, menjatuhkan sesuatu benda kelantai sehingga mendatangkan bunyi suara, lalu beberapa orang tentara penjaga mendatangi dan melihat kedua pemuda itu.
Segera para petugas itu berteriak teriak, membikin suasana menjadi ribut dan mengakibatkan lebih banyak lagi tentara penjaga yang mendatangi ruangan tempat kedua pemuda itu berada, lalu mereka mengepung dan menyerang dengan maksud menangkap kedua pemuda itu.
Terpaksa kedua pemuda Lie Cong Han dan Lie Cong Liang melakukan perlawanan, berusaha menerobos kepungan hendak melarikan diri, akan tetapi sangat sukar buat mereka lakukan, sebab pihak tentara justeru semakin banyak yang datang, siap menjaga segala kemungkinan buat kedua pemuda itu melarikan diri.
Pangeran Gin Lun yarg mengetahui kejadian itu, segera datang dengan dikawal oleh empat orang wiesu yang gagah perkasa, serta Liu Gwat Go memakai pakaian seragam sebagai seorang perwira muda. Baik Pangeran Gin Lun maupun Liu Gwat Go sudah tentu mereka merupakan orang orang yg menghargai para pendekar atau orang gagah, akan tetapi paling membenci orang dari golongan hitam yang biasa merampok atau mencuri.
Melihat kegagahan kedua pemuda yang sedang dikepung oleh pihak tentara itu maka Pangeran Gin Lun memerintahkan ke 4 orang para wiesu yang melakukan perlawanan, sedangkan pasukan tentara diperintahkan membikin suatu lingkaran, siap siaga buat mencegah kedua pemuda itu melarikan diri.
Kedua pemuda itu sekarang tidak lagi bertempur secara serabutan didalam kepungan pihak tentara, sebaliknya dengan punggung menempel dengan punggung, mereka siap buat menghadapi ke 4 orang wiesu yang juga sudah siap buat melakukan penyerangan.
Setelah para wiesu itu mulai melakukan penyerangan, maka terjadi Lie Cong Han mendapat lawan dua orang wiesu, dan Lie Cong Liang juga harus menghadapi dua orang lawan yang kuat, sebab para wiesu itu memainkan ilmu silat golok dari Mongolia yang belum dikenal oleh kedua pemuda itu.


Lentera Maut (ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mula pertama Lie Cong Liang melakukan pertahanan dan pembelaan diri dengan mengutamakan kelincahan atau kegesitan tubuhnya, sampai kemudian dilihatnya beberapa bagian kelemahan dari pihak kedua lawannya, sehingga dengan menggunakan kecerdasannya, dia sengaja mendesak seorang wiesu tanpa dia menghiraukan wiesu yang seorang lagi, membikin wiesu yang tidak dihiraukan itu sempat melakukan berbagai serangan dan lupa dengan pertahanannya, sampai tahu tahu wiesu itu kena tendangan Lie Cong Liang, sehingga dia rubuh terguling dengan tulang betis patah.
"Bagus...!" seru pangeran Gin Lun yang memberikan pujian; bukan marah marah, juga Liu Gwat Go ikut bersuara memuji, dan Liu Gwat Go ini bahkan ikut memasuki kancah pertempuran, tanpa dia memakai Senjata, menyerang Lie Cong Liang yang waktu itu hampir berhasil mengalahkan sisa seorang lawannya.
Pemuda Lie Cong Liang menjadi terkejut, waktu dia diserang oleh si perwira muda yang tidak menggunakan senjata, dan dia menjadi lebih terkejut lagi, waktu mengetahui bahwa si perwira muda itu sedang menggunakan jurus jurus dari ilmu merebut senjata memakai sepasang tangannya !
Tanpa ragu ragu, kemudian Lie Cong Liang balas melakukan penyerangan memakai pedangnya sebab dia yakin bahwa dia sedang menghadapi seorang musuh yang lihay. Pedangnya itu bergerak memainkan jurus 'geledek menyamber pohon jati'. Pedang itu pada mulanya menikam mengarah bagian ulu hati, akan tetapi waktu tangan si perwira muda bergerak hendak merampas pedang maka pedang itu berobah dengan amat pesatnya bagaikan petir yang menyambar menebas pinggang si perwira muda !
Liu Gwat Go yang memakai pakaian seragam sebagai si perwira muda sekali lagi bersuara memuji, sementara tubuhnya yang lincah dan ringan telah melompat tinggi, nyaris dari serangan Lie Cong Liang. Dan tubuhnya itu lalu hinggap didekat Lie Cong Han, yang waktu itu hampir berhasil melukai seorang wiesu lawannya, akan tetapi tiba tiba Lie Cong Han kena tendangannya Liu Gwat Go dalam pakaian sebagai seorang perwira muda sampai Lie Cong Han rubuh terguling didekat sejumlah tentara yang sedang siap siaga mengawasi jalannya pertempuran.
"Tangkap dan ikat dia...!" perintah si perwira muda kepada pihak tentara, sementara dia telah bertempur lagi melawan Lie Cong Liang, karena pemuda itu menjadi gusar waktu melihat kakaknya kena dibokong dengan suatu tendangan.
Tiga sisa para wiesu kemudian ikut mengepung Lie Cong Liang, membikin pemuda itu benar benar menjadi sangat sibuk, sampai secara tiba tiba dia kena disikut oleh si perwira muda sehingga tubuhnya terjerumus menyamping disusul kemudian dengan suatu tendangan dari si perwira muda, mengakibatkan Cong Liang mengalami nasib yang sama seperti kakaknya !
( oogoO dwkz-Xhend-XBBSC- O0000 )
KEDUA pemuda Lie Cong Han dan Lie Cong Liang kemudian dihadapkan kepada Pangeran Gin Lun, yang sudah duduk diruang pemeriksaan, oleh karena Pangeran itu hendak segera melakukan pemeriksaan terhadap kedua pemuda tawanannya, yang dianggap terlalu berani mendatangi istana kekuasaannya, dan yang ia ragukan sebagai orang orang dari golongan hitam.
"Sebutkan nama kalian dan katakan apa maksud kalian.." demikian Pangeran Gin Lun mulai dengan pemeriksaannya, sementara nada suaranya terdengar sangat berwibawa.
Lie Cong Han berdua Lie Cong Liang yang berdiri dengan tangan tangan terikat kebagian belakang, menjadi terkejut waktu pandangan mata mereka terbentur dengan sinar mata Pangeran Gin Lun yang sangat berpengaruh, sementara suara ramah Pangeran itu terdengar penuh wibawa, sehingga bagaikan tanpa terasa, kedua pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, dan Lie Cong Han yang mendahulukan berkata :
"Kami berdua saudara bernama Lie Cong Han dan Lie Cong Liang.." demikian kata Lie Cong Han sekaligus mewakilkan adiknya.
"Hm...!" terdengar Pangeran Gin Lun bersuara, padahal didalam hati dia menjadi senang melihat laku kedua pemuda tawanannya. Sepasang matanya kemudian ganti mengawasi Liu Gwat Go yang masih memakai pakaian seragam sebagai perwira muda, sambil Pangeran Gin Lun perlihatkan senyumnya, membikin Liu Gwat Go ikut jadi bersenyum menandakan mereka berdua sepaham.
"..., kalian belum menjawab pertanyaan tentang maksud kalian datang di istana ini.." kata lagi Pangeran Giu Lun kepada pemuda tawanannya.
"Maafkan kami, Ong ya, maksud kedatangan kami sebenarnya hendak meminjam sebutir batu hitam Ouw liong ta,..." sahut Cong Liang dengan kepala menunduk, bagaikan tidak ada keberaniannya buat mengawasi muka pangeran Gin Lun.
"Ouw liong ta " untuk apa kalian perlukan batu itu...?" tanya Pangeran Gin Lun yang jadi merasa heran; karena sesungguhnya Pangeran Gin Lun tidak mengetahui tentang khasiat batu ouw liong ta, yang menjadi barang pusaka peninggalan kerajaan Cina !
"Seorang adik kami, menderita penyakit lumpuh pada sepasang kakinya, kami perlukan batu itu untuk menahan hawa dingin di atas gunung Tiang pek san, karena ditempat itu kami mengharap dapat menyembuhkan penyakit adik kami..." ganti Lie Cong Han yang bicara.
"Apakah kalian hanya datang berdua.. ,?" tanya lagi Pangeran Gin Lun, yang kelihatannya sedang memikirkan perkataan Lie Cong Han tadi.
"Benar, kami hanya datang berdua.. !" sahut Lie Cong Han, hampir berbareng dengan Lie Cong Liang, akan tetapi suara seseorang lain telah memutus perkataan mereka :
"Tidak! kami datang bertiga.."
Semua yang hadir menjadi terkejut. Terlebih Pangeran Gin Lun yang waktu itu jadi mengawasi terpesona kearah datangnya seorang dara muda yang cacad sepasang kakinya; berjalan perlahan dengan bantuan sepasang tongkat, sementara langkahnya kelihatan tenang, tidak gentar melewati barisan tentara penjaga yang siap dengan berbagai macam senjata terhunus.
Pangeran Gin Lun juga menjadi terkejut berbareng merasa kagum, oleh karena dia mengetahui bahwa diluar istana, maupun dibagian depan dari ruang sidang pemeriksaan itu dijaga ketat oleh sejumlah tentara, akan tetapi dara yang cacad sepasang kakinya itu dapat masuk tanpa ada seorang tentara yang lebih dulu melapor, menandakan semua tentara itu tidak mengetahui masuknya dara yang cacad sepasang kakinya itu !
Sementara itu, Tang Lan Hua sudah berdiri didekat Lie Cong Han berdua Lie Cong Liang menghadapi Pangeran Gin Lun dan si perwira muda. Dara yang cacad sepasang kakinya itu tidak mungkin berlutut buat memberi hormat, akan tetapi dia menjura memberi hormat dengan membungkukkan badan, setelah itu baru dia berkata lagi :
"....benar seperti kata kakak Lie Cong Han, bahwa kedatangan kami adalah untuk meminjam batu 'ouw liong ta" buat berusaha menyembuhkan sepasang kakiku yang Iumpuh. Kalau Ong ya menganggap kami telah bersalah; maka hukumlah aku, akan tetapi kedua kakak Han dan kakak Liang mohon supaya dibebaskan...."
Pangeran Gin Lun kelihatan masih terpesona mengawasi dara yang cacad sepasang kakinya itu, sehingga untuk sesaat dia bagaikan tak mampu mengucap apa apa. Juga Liu Gwat Go ikut terdiam; meskipun dia yakin dara yang cacad sepasang kakinya itu memiliki kepandaian ilmu silat yang mahir, bahkan melebihi kedua pemuda yang dikatakan kakaknya; sebab cara Tang Lan Hua berjalan dengan bantuan sepasang tongkatnya tidak dapat menutup mata Liu Gwat Go yang gagah perkasa itu.
Sekilas Liu Gwat Go mengawasi Pangeran Gin Lun, tepat disaat pangeran itu juga sedang mengawasi dia. Sekali lagi Liu Gwat Go perlihatkan senyumnya, juga Pangeran. Liu Gwat Go ikut bersenyum setelah itu Liu Gwat Go yang berkata kepada Tang Lan Hua.
"Kalian bertiga sudah bersalah, karena memasuki istana ini di waktu malam tanpa idzin, untuk itu kalian bertiga patut dihukum. Akan tetapi, aku pun mengingat bahwa kalian bertiga adalah orang orang kang rimba persilatan yang gagah perkasa, maka kami kz dengan senang hati akan mempertimbangkan kesalahan kalian dengan tata cara kaum rimba persilatan. Kalian akan kami bebaskan, bahkan kalian diperbolehkan meminjam batu ouw liong ta, kalau salah seorang dari kalian bertiga dapat mengalahkan aku. Sebaliknya kalian yang kalah, maka kami akan menghukum kalian didalam penjara ,..!" demikian kata Liu Gwat Go dalam pakaian sebagai seorang perwira muda, penuh wibawa nada suaranya, akan tetapi tidak bernada menghina.
Kedua pemuda Lie Cong Han berdua Lie Cong Liang kelihatan menjadi terkejut waktu mereka mendengar perkataan itu, keduanya sudah cukup mengetahui tentang kegagahan perwira muda itu sehingga mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin mereka dapat mengalahkan perwira muda yang gagah perkasa itu. Akan tetapi dengan tenang Tang Lan Hua lalu berkata:
"Maafkan kami, akan tetapi kami tidak berani berlaku kurang hormat terhadap ciangkun dan Ong ya... "
"Ha ha ha...!" tawa Pangeran Gin Lun yang ikut mendengarkan, tawa gembira dan dia lalu berkata:
"... kalian tadi bahkan telah bertempur antara hidup dan mati. Sekarang kalian hanya mengadu kepandaian, atau yang kalian biasa namakan pie bu. Aku bataskan penentuan pada suatu sentuhan ditubuh kalian, tanpa kalian melukai satu sama lain, apalagi saling bunuh. Setuju...?"
"Kalau begitu, aku bersedia memenuhi kehendak ciangkun..." sahut Tang Lan Hua tanpa ragu.
Dipihak si perwira muda atau Liu Gwat Go waktu dia mengucapkan tantangannya tadi, memang dia tujukan kepada Tang Lan Hua. Akan tetapi, dia merasa tidak berlaku sebagai seorang pendekar, kalau dia menantang secara langsung, sebab keadaan Tang Lan Hua yang cacad sepasang kakinya. Oleh karena itu, sengaja dia memakai istilah 'salah satu dari kalian bertiga" dan alangkah girangnya, ketika kemudian Tang Lan Hua bersedia menguji ilmu kepandaian, karena tepat seperti dugaannya bahwa Lan Hua pasti memiliki ilmu yang tinggi !
Dengan wajah muka kelihatan bersenyum puas maka Liu Gwat Go memberi hormat kepada Pangeran Gin Lun yang menjadi atasannya; dan setelah Pangeran Gin Lun mempersilahkan sebagai tanda memberikan izin, maka dengan langkah kaki yang tenang tetapi gagah, dan menyiapkan ruang sidang itu menjadi semacam arena tempat pertandingan dengan memerintahkan para tentara mundur membikin suatu lingkaran yang cukup luas; sedangkan terhadap pemuda Lie Cong Han berdua Lie Cong Liang telah diberikan kebebasannya, dilepaskan dari tali tali yang mengikat sepasang tangan mereka.
Setelah selesai memberikan perintahnya maka Liu Gwat Go menyiapkan pedang, sebatang pedang yang sangat istimewa, sebab pedang itu tidak panjang lurus seperti biasanya, akan tetapi panjang bergelombang bagaikan seekor ular melingkar panjang, dan pedang itu memang merupakan hasil karya seorang ahli pedang dari suku bangsa Biauw yang beragama Islam, khusus dibikin buat menghormati arwah perdana menteri Kut Gwan yang setia dan yang mati membunuh diri sedangkan pedang itu diberi nama Ceng beng-kiam !
Liu Gwat Go memiliki pedang Ceng beng kiam dari pemberian Pangeran Gin Lun; dan pedang itu pada mulanya diambil dari dalam istana tempat penyimpanan benda benda kuno.
Sementara itu, kepada Tang Lan Hua maka Liu Gwat Go berkata :
"Kouwnio, pedangku ini adalah sebatang pedang Ceng beng kiam yang ampuh, dapat memutuskan segala macam benda logam. Sebaiknya kepada kouwnio akan kami pinjamkan sebatang pedang yang juga ampuh..." Sehabis berkata begitu; maka Liu Gwat Go hendak memerintahkan seorang wiesu buat mengambilkan sebatang pedang pusaka, akan tetapi Tang Lan Hua mencegah dan berkata.
"Tidak perlu. Kebenaran aku juga memiliki pedang yang baik...." demikian kata Tang Lan Hua lalu sebelah tangan kanannya bergerak melontarkan 'sarung' tongkatnya yang istimewa kearah pemuda Lie Cong Liang, dan sebagai ganti yang dipegang ditangan kanan Tang Lan Hua adalah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hijau, kena pantulan alat penerang diruangan itu.
Sekali lagi Pangeran Gin Lun terpesona heran, sampai dia mengeluarkan suara tanpa dia kehendaki, sedangkan Liu Gwat Go juga perdengarkan suara pujiannya.
"Sungguh pedang yang bagus...!" demikian Liu Gwat Go memuji, akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa sepasang pedang Ceng liong kiam pada mulanya disimpan ditempat yang sama dengan pedang Ceng beng kiam, akan tetapi sempat dicuri oleh Pangeran Kim Lun sebelum istana tempat penyimpanan benda benda kuno diserahkan di bawah kekuasaan atau Perlindungan pangeran Gin Lun.
Sementara itu; setelah Tang Lan Hua siap dengan sebatang pedangnya, maka perwira muda itu atau Liu Gwat Go memberikan aba aba bahwa dia akan segera mulai melakukan penyerangan, setelah itu tubuhnya melesat menikam dengan pedangnya yang istimewa, bergerak seperti memakai jurus ular betina keluar dari liang, yang memang dikenal oleh Tang Lan Hua, dan dara yang cacad sepasang kakinya itu bergerak cepat, melesat menghilang dari tempat yang menjadi sasaran lawannya.
Dengan bantuan suara desiran angin, maka perwira muda itu atau Liu Gwat Go yang lihai, segera mengetahui kearah mana lawannya menghilang. Dari itu dengan cepat dia sudah memutar tubuh, lalu secepat itu juga dia menyerang lagi, akan tetapi Tang Lan Hua berhasil menghilang lagi, membikin Liu Gwat Go jadi tertawa dan berkata dengan nada suara memuji:
"Kouwnio, sungguh hebat gerakanmu, agak mirip dengan ilmu "lo han ngo heng kun" dari golongan Siao lim, pada jurus Pakun, tetapi aku yakin bahwa kau bukan dari golongan Siao lim pay.... "
Tang Lan Hua hanya bersenyum, suatu senyuman yang manis, akan tetapi dia tidak sempat memberikan jawaban, karena perwira muda itu juga tidak memerlukan jawaban dan perwira muda yang gagah itu bahkan sudah menyerang lagi dengan merobah siasat supaya dara lawannya tidak lagi sempat menghilang.
Kelihatannya gerak serangan perwira muda itu adalah menikam seperti memakai jurus 'ular betina keluar dari liang", maka perwira muda itu merobah geraknya, memakai jurus seperti 'garuda mementang sayap', karena pedangnya bukan lagi menikam, akan tetapi malahan sebaliknya dia lantas "menyapu" mencegah arah menghilangnya dara Tang Lan Hua.
Suatu suara benturan kedua pedang-pedang itu terdengar nyata, sampai mengeluarkan banyak lelatu anak api, sebab Tang Lan Hua sudah menangkis serangan Liu Gwat Go tadi dengan akibat dara cacad itu terdorong mundur sampai tiga langkah kebelakang, juga Lie Gwat Go ikut tergempur mundur tiga langkah kebelakang!
Memang, setelah dua kali serangannya gagal, maka Liu Gwat Go menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang lawan yang sangat mahir ilmu ringan tubuh. Terlebih lawan itu berupa seorang dara yang cacad sepasang kakinya, sehingga jelas pula baginya bahwa Tang Lan Hua pasti memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Oleh karena itu pada serangan yang ketiga kali, dia tidak ragu ragu mengerahkan tenaganya.
Sejenak Liu Gwat Go memeriksa pedangnya, juga Tang Lan Hua kelihatan melakukan hal yang sama. Setelah itu Liu Gwat Go kembali membuka serangan, bahkan dia lakukan secara bertubi tubi atau secara berantai, akan tetapi Tang Lan Hua menutup diri dengan ilmu "sin liong kiam hoat' atau ilmu silat pedang naga sakti suatu pecahan dari ilmu 'siang liong kiam hoat' atau ilmu silat pedang sepasang naga, khusus diciptakan oleh Liauw Pek Yim buat muridnya yang cacad sepasang kakinya itu, akan tetapi menggunakan sepasang pedang 'naga hijau'.
Gerak yang cepat dari sepasang insan yang sedang bertempur atau sedang pie bu itu, amat sukar dilihat nyata oleh mereka yang sedang menyaksikan, bahkan kedua pemuda Lie Cong Han dan Lie Cong Liang sampai menahan napas mereka, khawatir kalau kalau Tang Lan Hua akan cedera, meskipun benar sudah ditetapkan oleh Pangeran Gin Lun bahwa batas pie bu hanya sentuhan belaka.
Disuatu saat kedua pemuda itu sampai mengeluarkan suara seruan kaget, sebab melihat tiba tiba dara yang cacad sepasang kakinya itu terjatuh. Hampir saja kedua pemuda itu bergerak hendak memberikan pertolongan, akan tetapi mereka lekas menyadari bahwa tidak dibenarkan kalau mereka turun tangan ikut membantu.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu terjatuh, akan tetapi tongkat yang ditangan kirinya dia tidak lepaskan, begitu juga dengan pedang yang ditangan kanannya. Dia tetap diserang secara bergelombang oleh si 'perwira muda', yang belum berhasil menyentuh tubuh dara cacad itu sebagai tanda kemenangannya.
Tubuh Tang Lan Hua bergulingan dilantai, akan tetapi perwira muda itu mengetahui bahwa dara cacad itu bukan mati daya, sebaliknya dara yang cacad sepasang kakinya itu sedang bergerak menggunakan ilmu seperti 'kun tee tong' yang memang terkenal di daerah utara sehingga dara yang cacad sepasang kakinya itu tidak melulu dapat menghindar dari berbagai serangan, bahkan dia sempat balas melakukan berbagai penyerangan, sampai tiba tiba dara yang cacad sepasang kakinya itu bergerak dengan tipu 'lee hie ta teng', dan dia berdiri lagi, tetap dengan sebelah tongkat ditangan kiri yang menahan tubuhnya, dan ditangan kanan dengan memegang pedangnya!
Liu Gwat Go ingin meneruskan gerak serangannya, akan tetapi dia taat dengan perintah tiba tiba dari atasannya.
"Cukup, Liu ciangkun! kau harus tahu bahwa kau sudah kalah. Lihat pakaianmu pada bagian pundak kanan. ,.!" demikian seru Pangeran Gin Lun, sambil dia berdiri dari tempat duduknya, dan pada mukanya kelihatan seberkas senyum. Suatu senyum puas, bukan marah atau mengejek!
Liu Gwat Go yang sesungguhnya tidak menyadari, melihat pada baju yang dipakainya, tepat pada bagian yang disebutkan oleh Pangeran Gin Lun. Baju itu robek kecil, akan tetapi cukup jelas kelihatan, meskipun dari jarak yang cukup jauh; dan robek itu adalah sebagai hasil kerja pedangnya Tang Lan Hua. Merah wajah muka Liu Gwat Go, akan tetapi sebelum dia mengucap apa apa, maka Tang Lan Hua telah mendahulukan, mendekati sambil memberi hormat dan berkata:
"Maafkan aku, ciangkun, benar benar aku menyerah pada ciangkun yang banyak mengalah terhadap aku.. "
Sesungguhnya bahwa Tang Lan Hua telah mengucapkan dua hal yang benar benar terjadi. Dalam pie bu tadi, beberapa kali hampir terjadi serangan serangan Liu Gwat Go mencapai sasaran, akan tetapi si perwira muda itu selalu ragu ragu, khawatir atau merasa iba kalau terjadi dia melukai dara yang cacad sepasang kakinya itu akan tetapi yang mahir ilmu silatnya. Inilah hal yang pertama yang benar benar telah terjadi dan diketahui oleh Tang Lan Hua, dan dapat mempertahankan kehormatan si perwira muda karena adanya pengakuan yang setulus hati yang telah diucapkan oleh Tang Lan Hua. Dan hal kedua yang juga benar benar telah terjadi tadi, adalah Tang Lan Hua yang justeru berkali kali menggunakan tipu memperlihatkan bagian bagian kelemahannya untuk diserang oleh si "perwira muda" itu. Sekiranya si 'perwira muda' itu berhati kejam dan menggunakan kesempatan itu buat melakukan penyerangan maka saat itu juga kemungkinan perwira muda itu yang benar benar dikalahkan, oleh karena dia kena perangkap dengan tipu yang digunakan oleh Tang Lan Hua.
Sementara itu Liu Gwat Go kelihatan bersenyum puas, waktu dia mendengar perkataan atau pengakuan dari Tang Lan Hua. Dia balas memberi hormat dan menyatakan kekagumannya pada ilmu yang dimiliki oleh dara yang cacad sepasang kakinya itu, kemudian dengan persetujuan dari pangeran Gin Lun, maka Liu Gwat Go memerintahkan seorang wiesu buat mengambilkan batu hitam 'ouw liong ta' yang lalu diserahkan kepada Tang Lan Hua.
Liu Gwat Go yang masih memakai pakaian seragam sebagai perwira muda, memerlukan mengantarkan ketiga muda mudi itu sampai diluar pintu istana, setelah ketiga muda mudi itu pamitan dari Pangeran Gin Lun dan berjanji akan mengembalikan batu ouw liong ta setelah selesai mereka gunakan.
"Tang kouwnio sampai jumpa lagi.." kata Liu Gwat Go yang melepas ketiga muda-mudi itu, lalu di luar tahu mereka bertiga, maka Liu Gwat Go memerlukan pula mengikuti mereka bertiga sampai ketempat mereka menginap.
Esok paginya Tang Lan Hua bertiga sudah berkemas hendak meninggalkan tempat penginapan, ketika seorang pelayan memberitahukan tentang adanya beberapa tentara negeri yang mencari mereka.
Tang Lan Hua bertiga kaget dan heran, tetapi mereka keluar untuk mencari pihak yang mencari mereka. Yang datang itu ternyata adalah seorang wiesu dengan dikawal oleh empat orang tentara pengawal. Mereka datang sebagai utusan si'perwira muda', untuk menyerahkan tiga buah bungkusan, dan waktu bungkusan bungkusan itu dibuka, ternyata masirg masing berisi seperangkat baju dingin buatan Mongolia, masing masing buat Tang Lan Hua, Lie Cong Han dan Lie Cong Liang.
Melalui wiesu yang menjadi utusan itu, maka Tang Lan Hua bertiga mengucapkan terimakasih kepada si 'perwira muda" yang gagah perkasa dan gemar bersahabat.
Setelah wiesu dan pengawalnya itu pergi, maka Tang Lan Hua bertiga meninggalkan tempat penginapan, setelah lebih dahulu mereka membayar uang sewa kamar.
Dilain pihak, kepergian Lie Cong Han berdua Lie Cong Liang yang meninggalkan rumahnya, sesungguhnya telah mengakibatkan terjadinya heboh di dalam pihak Tian Peng, terlebih Kwee In Hong menganggap tunangannya telah menghianati dia, karena lebih tertarik dengan Tang Lan Hua yang lebih cantik, meskipun cacad sepasang kakinya.
Dara yang biasa berlaku manja itu beranggapan bahwa Lie Cong Han meninggalkan dia buat berusaha hendak menyembuhkan penyakitnya Tang Lan Hua, dari itu dia memaksa ayahnya untuk melakukan pengejaran.
Dipihak Kwee Peng, orang tua ini merasa yakin bahwa Lie Cong Han berdua Lie Cong Liang pergi untuk mengantarkan Tang Lan Hua menuju kota San hay koan untuk kemudian langsung menuju gunung Tiang Pek san buat mencari sumber air panas untuk menyembuhkan sepasang kakinya Tang Lan Hua. Hal ini diketahui oleh Kwee Tiang Peng berdasarkan laporan dari Nio Hoan Hauw yang ikut mendengarkan seluruh pembicaraan Lie Bok Seng, bahkan ikut memperhatikan waktu Lie Cong Liang menyatakan hasratnya hendak menolong Tang Lan Hua. Dengan demikian telah terjadi pertikaian antara Kwee Tian Peng dan Lie Bok Seng, yang hampir saja mengakibatkan terjadinya suatu pertempuran, sekiranya dara manja Kwee In Hong tidak memperlihatkan watak kebiasaannya yang pemarah dan selalu hendak dituruti segala keinginannya, yakni dia menghendaki lebih dahulu mengejar Lie Cong Han bertiga.
"Baik, lebih dulu aku akan menyelesaikan urusan anak anak kita, sesudah itu aku akan hadapi dia....!" demikian kata Kwee Tian Peng yang lalu mengajak semua rombongannya untuk melakukan pengejaran terhadap Lie Cong Han bertiga.
Rombongan Kwee Tian Peng ini semuanya berjumlah lebih dari tigapuluh orang. Mereka memecah diri menjadi tiga kelompok, yakni Kwee In Hong dan Nio Hoan Houw masing-masing membawa sepuluh orang, sedangkan sisanya bersama Kwee Tian Peng.
Kim An dan Kim Sui ikut dalam kelompok rombongan dara manja Kwee In Hong kedua tukang pukul ini justru yang pernah berhasil menemukan rombongan Lie Cong Han bertiga, yakni waktu Kim An berdua Kim Sui sedang memeriksa kuda yang dipakai oleh rombongan Tang Lan Hua, sebelum mereka sempat melaporkan kepada Kwee In Hong. Sudah tentu dara manja Kwee In Hong jadi semakin marah marah, waktu dia mengetahui tentang kekalahan Kim An berdua Kim Sui terhadap dara cacad yang dia anggap menjadi saingannya; dan sebagai akibat kemarahannya yang meluap, maka Kwee In Hong telah membinasakan Kim An berdua Kim Sui memakai pedangnya, setelah itu dia mengajak sisa rombongannya buat melakukan pengejaran, sampai mereka mencapai kota San hay koan.
Dikota San hay koan mereka tidak berhasil mencari tempat menginapnya rombongan Lie Cong Han bertiga. Lalu pada malam harinya Kwee In Hong mengajak rombongannya melakukan penyelidikan di istana tempat kediaman Pangeran Gin Lun, dan kedatangan mereka ternyata telah disambut dengan hangat oleh Liu Gwat Go berikut pasukan tentaranya, sehingga hanya nasib baik yang telah menyelamatkan dara manja Kwee In Hong bersama seorang pengawalnya yang bermata juling; sementara yang lainnya habis dibinasakan atau ditangkap hidup hidup.
Dara manja Kwee In Hong pantang mundur meskipun sisa rombongannya hanya simata juling. Dia terus melakukan penyerangan mengambil arah ke gunung Tiang pek san, akan tetapi sebelum dia berhasil menemukan rombongan yang dikejarnya, maka sebaliknya dia justeru dilihat oleh tunangannya, Lie Cong Han.
Waktu itu Lie Cong Han bertiga sedang beristirahat ditempat pemondokan disuatu dusun yang kecil. Secara tidak disengaja dia melihat dara manja Kwee In Hong yang juga mengambil tempat mondok yang sama.
"Adik Liang, kupikir sebaiknya kalian berdua segera berangkat meninggalkan dusun ini. Aku perlu menahan Hong moay yang juga berada ditempat ini.... " demikian kata Lie Cong Han yang menemui adiknya bersama Tang Lan Hua.
"Mengapa kita harus takut dengan dia...?" tanya Tang Lan Hua. Dengan dia, sudah tentu yang dimaksud dara manja Kwee In Hong akan tetapi cepat sekali dara yang cacad sepasang kakinya itu menyadari waktu pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Lie Cong Han yang mengawasi dengan pandangan hampa !
Dara yang cacad sepasang kakinya itu menyadari kesalahannya, sebab bagaimanapun juga Lie Cong Han dan Kwee In Hong sudah ditunangkan. Bagaimana kalau sampai terjadi pertempuran antara dia dengan dara manja yang pemarah itu " apakah Lie Cong Han harus terus berpeluk tangan " Oleh karenanya, dara yang cacad sepasang kakinya itu segera menurut, bersama Lie Cong Liang mereka berdua menghilang sebelum dilihat oleh dara manja Kwee In Hong.
Semalam suntuk sepasang insan muda mudi itu masih meneruskan melarikan kuda mereka. Keduanya hanya beristirahat pada waktu makan, setelah itu mereka meneruskan lagi perjalanan mereka.
Waktu mereka melewati gunung Couw lay san, maka Tang Lan Hua memerlukan mengajak Lie Cong Liang untuk mendaki dan menyambangi makam almarhum ayahnya.
"Disinilah dulu terjadi pertempuran, sebelum ayah menemukan ajalnya...." kata dara yang cacad sepasang kakinya itu kepada pemuda yang mendampinginya, sementara air mata lagi lagi telah membasahi mukanya.
Lie Cong Liang ikut menjadi terharu dan memperhatikan letak sekitar tempat itu.
"Dan waktu itu, kau diumpatkan dimana?" tanya pemuda itu lembut mesra terdengar suaranya. Dara yang cacad sepasang kakinya itu memaksa diri buat bersenyum. Sebuah senyum penuh kenangan lama yang menyedihkan.
Dengan langkah kaki yang dibantu dengan sepasang tongkatnya kemudian Tang Lan Hua mengajak pemuda Lie Cong Liang, mendatangi selokan air gunung tempat dulu dia diumpatkan oleh ayahnya.
"Disini dulu aku berdiri, terendam dalam air sebatas paha.,." kata dara cacad itu perlahan, lalu dengan tangan kanannya dia mengambil air selokan yang sangat dingin itu dia gunakan buat membasahi mukanya.
Lie Cong Liang ikut mengambil air selokan itu, akan tetapi dia tersentak kaget, karena terasa amat dinginnya air itu, lalu didalam hati dia berkata seorang diri.
('andaikata dulu Tang susiok memegang dan mengetahui betapa dinginnya air selokan ini dan ini pun sudah pasti Tang susiok tidak menempatkan adik Lan disini".").
("... adik Lan...?") bisik hati kecilnya, sejak kapan dia menyebut adik Lan" sebab sampai saat itu, dia masih menggunakan istilah 'Tang kouwnio' terhadap Tang Lan Hua.
"Dari tempat ini, aku dapat melihat mereka yang sedang bertempur, sebaliknya mereka tidak dapat melihat aku., " " kata lagi Tang Lan Hua yang membayangkan peristiwa tempo dulu.
Sejenak Lie Cong Liang ikut memperhatikan, setelah itu dia berkata.
"Jadi, kau mengetahui bahwa ayahku tidak ikut membinasakan Tang susiok...?"
Tang Lan Hua bersenyum. Sebuah senyum yang sukar diketahui arti maksudnya.
"Akan tetapi, kulihat ayahmu menendang ayahku, dan..." dara yang cacad sepasang kakinya itu tidak melengkapi perkataannya, dalam pandangan matanya kembali dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang telah lalu, yang tak sanggup dia lukiskan dengan kata kata.
"Tang kouwnio, mari kita teruskan perjalanan kita.. " akhirnya Liu Cong Liang mengajak, karena melihat air mata telah lagi membasahi muka dara tambatan hatinya,
"Kalau kau setuju malam ini aku ingin menginap ditempat ini, menemani makam ayah meskipun hanya satu malam.." kata dara yang cacad sepasang kakinya itu; lembut perlahan suaranya, lalu dia bersenyum puas waktu Lie Cong Liang menyetujui niatnya dan pemuda itu malah telah memindahkan tambatan kuda mereka, serta menurunkan bungkusan bawaan mereka.
Malam itu mereka membikin api unggun dari ranting ranting kayu kering yang sudah dikumpulkan oleh Lie Cong Liang. Mereka makan panganan kering bekal mereka, akan tetapi pada malam itu mereka memperoleh ketenangan jiwa yang belum pernah mereka peroleh sejak mereka melihat dunia.
Suasana sunyi ditambah hawa pegunungan yang dingin menambah mesra hubungan sepasang insan muda itu.
Pemuda Lie Cong Liang menyelimuti sepasang kaki dan bagian tubuh Tang Lan Hua yang sudah memakai baju dingin pemberian perwira muda yang mereka tidak ketahui namanya, setelah itu Lie Cong Liang juga memakai baju dingin yang diberikan untuk dia.
"Apakah tidak memalukan bagimu, mempunyai seorang teman yang cacad sepasang kakinya,..?" tanya Tang Lan Hua dengan suara yang perlahan, akan tetapi pandangan matanya jauh mengawasi kesudut lain, tanpa dia ketahui apa yang dilihatnya.
"Mengapa harus malu" aku bahkan bangga kalau dapat berusaha menyembuhkan.." sahut Lie Cong Liang yang mukanya berseri-seri, sambil dia memanaskan telapak tangannya dekat api unggun yang menyala.
"Kalau ternyata cacad kakiku tidak dapat sembuh...?" Tang Lan Hua menanya lagi bertambah perlahan suaranya, seperti dia sedang bicara pada dirinya sendiri.
"Aku akan tetap mendampingi kau..." Sejenak Tang Lan Hua terdiam tidak mengucap apa apa, akan tetapi sepasang matanya mengawasi Lie Cong Liang yang duduk dekat api unggun, terpisah tidak terlalu jauh dari tempat dia rebahkan diri.
"Liang ko"." terdengar Tang Lan Hua berkata perlahan, terdengar mesra ditelinga Lie Cong Liang.
Pemuda Lie Cong Liang mengangkat kepalanya yang tadi menunduk, dia mengawasi dara tambatan hatinya yang sedang mengawasi dia dengan menyertai seberkas senyum manis.
"Tang kouwnio..." sahut pemuda itu akan tetapi dia tersentak, sebab sepasang tangannya yang masih berada didekat api unggun terasa panas terbakar! Tang Lan Hua tertawa. Tawa ria, lupa derita, sementara pemuda Lie Cong Liang kelihatan meringis.
"Namaku Lan Hua....." akhirnya Tang Lan Hua yang berkata lagi, tetap dengan menyertai senyumnya, yang terasa begitu memikat hati Lie Cong Liang.
"Lan moay..." untuk pertama kalinya pemuda itu menyebut atau menggunakan istilah "adik Lan" dan dia lalu merangkak mendekati, memberikan sebelah tangannya untuk dipegang oleh dara tambatan hatinya sedangkan sebelah tangannya yang lain, dia memegang muka dan memainkan anak rambut Tang Lan Hua didekat daun telinga.
"Liang ko..." bisik Tang Lang Hua, dan dia mengangkat kepalanya, yang lalu dia tempatkan diatas pangkuan pemuda itu.
"Lan moay..." ulang Lie Cong Liang begitu lembut, begitu mesra terdengar nada suaranya. Dan dia membelai rambut dara tambatan hatinya yang ikal panjang, sampai kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya di sisi dara tambatan hatinya sehingga muka mereka saling berdekatan, dan napas mereka saling terasa.
"Liang ko, aku takut kehilangan kau.." bisik lagi Tang Lan Hua, sementara sebelah lengannya mulai merangkul pemuda yang disisinya, sehingga pemuda itu juga ikut merangkul.
Esok paginya mereka menyusuri gunung Couw lay san, untuk terus menuju kearah gunung Tiang Pek san, dimana mereka menerobos daerah yang selalu dilimpahkan salju sehingga pemuda Lie Cong Liang merasa sangat dingin, meskipun dia sudah memakai baju tebal. Sebaliknya Tang Lan Hua tidak terlalu menderita kedinginan, oleh karena di dalam kantongnya dia membawa batu 'ouw liang ta" yang sudah memperlihatkan khasiatnya !
Diluar tahu kedua insan muda itu, dibelakang mereka sedang menyusul rombongannya dara manja Kwee In Hong yang telah menyatukan diri dengan rombongan Nio Hoan Houw, sedangkan dibelakang rombongan mereka, masih menyusul rombongannya Kwee Tian Peng.
Pemuda Lie Cong Han yang berusaha merintangi rombongannya Kwee In Hong, telah bertempur dan menderita luka luka, akan tetapi pemuda itu kemudian buru buru pulang ke Bok kee tin, dan memaksa ayahnya untuk bantu melindungi Tang Lan Hua sehingga Lie Bok Seng jadi ikut menyusul dengan membawa rombongannya, melakukan perjalanan cepat tanpa mengenal waktu siang maupun malam.
Sepasang insan muda Lie Cong Liang dan Tang Lan Hua berhasil mendaki bagian puncak tertinggi dari gunung Tiang Pek san yang tidak mengenal waktu atau musim, sebab selalu berkejatuhan hujan salju membikin keadaan disekitar tempat itu seluruhnya kelihatan putih, sehingga amat tepat dengan nama gunung Tiang Pek san atau gunung penunjang langit berwarna putih.
Kemudian sepasang insan muda mudi itu berhasil pula melewati danau Tian tie, yang jernih airnya akan tetapi dinginnya merupakan dingin air es, jauh melebihi dinginnya air gunung Couw lay san yang sudag melumpuhkan sepasang kaki Tang Lan Hua.
Untuk menempuh perjalanan diatas gunung itu sudah tentu mereka tidak lagi menggunakan kuda tunggangan mereka, dan tubuh Lie Cong Liang menggigil kedinginan, akan tetapi mereka meneruskan perjalanan mereka menerobos hujan salju yang tak kenal berhenti.
Bagi dara yang cacad sepasang kakinya itu, hawa dingin itu bagaikan tak terasakan olehnya; sebab ditubuhnya tersimpan batu "ouw liong ta" yang telah memperlihatkan khasiatnya. Dara yang cacad sepasang kakinya itu bagaikan sedang melakukan perjalanan di bawah terik sinar matahari, karena kelihatan peluh membasahi muka dan tubuhnya.
Setelah mengetahui dan membuktikan khasiatnya batu hitam "ouw liong ta" maka secara silih berganti mereka saling memegang batu hitam yang mujizat itu, sampai kemudian mereka berhasil mencapai ruang salju beku atau ruang dinding es dimana mereka memasuki dan melihat bahwa didalam ruang dinding es itu, masih terdapat sebuah ruangan lain yang lebih kecil, dan di lain ruangan itu yang tidak mungkin dimasuki oleh seseorang yang terdapat sebuah danau kecil atau kolam dengan sumber air panas yang mengandung belirang membikin didalam ruang kecil itu penuh diliputi oleh asap atau uap.
Sepasang insan muda mudi itu beristirahat sebentar didalam ruangan dinding es, sementara pemuda Lie Cong Liang yang sudah tidak memegang batu 'ouw liong ta', tidak dapat berdiri diam karena untuk melawan hawa dingin, tubuhnya harus bergerak terus, bahkan dia berlompat lompat bagaikan seekor kera yang sedang menari.
Dara yang cacad sepasang kakinya itu menjadi merasa iba dengan derita pemuda kekasihnya yang setia mengantar, sebaliknya Lie Cong Liang mendesak supaya dara tambatan hatinya cepat cepat memasuki ruang sumber air panas itu, untuk segera merendam sepasang kakinya; agar dalam waktu enam jam dara tambatan hatinya itu menjadi sembuh dari penyakitnya.
"Liang ko, kau pakailah baju dingin ini..." kata dara yang cacad sepasang kakinya itu, sambil dia melepaskan baju luar pemberian si perwira muda yang dia pakai, buat pemuda Lie Cong Liang yang sekaligus memakai dua lapis baju tebal.
Setelah pemuda Lie Cong Liang memakai tambahan baju tebal pemberian dara tambatan hatinya, maka dia mengawasi dara kekasihnya itu yang sedang memasuki ruang tempat sumber air panas.
Genangan air panas pada kolam kecil itu, ternyata sedalam batas paha Tang Lan Hua, oleh karena itu Tang Lan Hua lalu turun kedalam kolam dan merendam sepasang kakinya.
Tidak ada rasa panas pada sepasang kakinya yang direndam didalam air panas itu, sebab sepasang kakinya itu memang sedang menderita penyakit lumpuh. Lalu sebelah tangan Tang Lan Hua memegang air panas itu, akan tetapi tetap dia tidak merasakan terlalu panas, sebab pengaruh khasiat batu hitam 'ouw liong ta" yang memang ampuh terhadap air maupun api!
Amarah Pedang Bunga Iblis 4 Bara Naga Karya Yin Yong Han Bu Kong 2

Cari Blog Ini