Ceritasilat Novel Online

Misteri Kapal Layar Pancawarna 10

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 10


"Beberapa orang di belakangnya itu adalah Jit-tay-tecu (ketujuh murid besar) yang menonjol akhir-akhir ini. Tampaknya mereka memang hebat, agaknya ada hubungan erat juga dengan Pui-siauhiap."
"Wah, gagah benar yang tinggi besar itu, siapa pula dia?"
Begitulah beramai-ramai mereka membicarakan rombongan Pui Po-giok itu, sejauh ini orang Kangouw belum lagi mengetahui asal usul Po-giok dan Thi-wah, hanya diketahui ilmu silatnya sangat lihai, selebihnya hanya main raba saja.
Perlahan Hi Toan-kah mulai bicara, "Telah kuterima berita kilat Lu-heng bahwa ilmu silat Pui-siauhiap mahasakti dan merupakan bintang kejora dunia persilatan, sungguh orang she Hi ikut bersyukur dan gembira."
"Terima kasih," kata Po-ji.
"Waktu kecil pernah kudengar cerita paman bahwa di dunia Kangouw ada seorang anak ajaib yang telah menerima amanat Ci-ih-hou pada waktu beliau menghadapi maut dan diberi tugas kewajiban untuk menempur si tokoh baju putih kelak, pernah pula anak ajaib tersebut menyelamatkan anak murid dan kerabat Ci-ih-hou, ikut menghancurkan Thian-hong-pang dan perang lidah dengan kawanan orang gagah di Wi-ho-lau serta membongkar muslihat keji Ong Poan-hiap, ternyata hari ini dapat berjumpa sendiri dengan Pui-heng yang memang luar biasa, kuyakin Pui-heng sendirilah anak ...."
"Betul," sela Po-giok dengan tersenyum, "memang akulah Pui Po-giok yang merupakan anak nakal yang dimaksudkan itu."
Serentak terdengar suara mendesis orang banyak, di antaranya ada suara orang perempuan pula.
Wajah Hi Toan-kah yang prihatin itu tampak menampilkan senyuman juga, katanya pula,
"Ternyata dugaan adik perempuanku memang tidak salah. Tampaknya hari ini Pui-heng harus menghadapi beberapa urusan sulit pula."
"Oo, apa maksud Hi-heng?" tanya Po-giok.
"Soalnya adik perempuanku sejak kecil sudah sangat kagum terhadap anak ajaib yang diceritakan itu, maka sekarang dia minta kutanya kepada Pui-heng, bilamana Pui-heng memang betul anak ajaib dunia persilatan yang dimaksudkan itu, maka adik perempuanku ingin ...."
Belum habis ucapannya, mendadak dari kerumunan orang banyak melompat keluar dua sosok bayangan. Meski berdandan serupa orang lelaki, namun dari mata-alisnya dan wajahnya segera orang akan tahu mereka adalah samaran orang perempuan.
Warna baju keduanya tidak sama, yang satu berbaju hijau, yang lain berwarna merah, mereka melompat ke depan Pui Po-giok, lalu memandang anak muda itu dengan muka merah dan tersenyum kikuk tanpa bicara.
Hi Toan-kah menunjuk si gadis baju hijau dan berkata pula, "Inilah adik perempuanku Hong-kah, dan yang itu adalah nona Pang, putra kesayangan keluarga Pang yang terkenal Kanglam-thi-ciang (Telapak Tangan Besi dari Kanglam), namanya Soh-bun. Kedua nona ini selain ingin 339
Koleksi Kang Zusi
bertemu dengan Pui-heng, mereka juga ingin minta sesuatu kepadamu untuk sekadar tanda mata."
Bahwa di tengah pertarungan sengit yang akan terjadi tiba-tiba diseling oleh adegan demikian, semua orang sama bersorak geli. Muka Pui Po-giok menjadi merah juga. Ia gelagapan dan tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Hi Hong-kah dan Pang Soh-bun memandangi muka Po-giok yang putih bersemu merah, muka yang cakap agak malu-malu itu sungguh membuat hati setiap gadis tergiur. Kedua nona ini pun lebih genit daripada gadis lain, tanpa sungkan mereka terus memburu maju, yang satu menarik lengan baju Po-giok, yang lain meraih dada bajunya.
Sama sekali Po-ji tidak menyangka kedua nona ini sedemikian berani, keruan ia sendiri melongo kikuk.
Ia tidak tahu bahwa putra-putri keluarga persilatan ternama umumnya sok menggunakan pengaruh orang tua atau saudara dan sudah terbiasa manja serta melakukan sesuatu semau sendiri, dan kaum gadisnya juga bukan gadis pingitan yang malu-malu bertemu dengan orang luar.
Karena hidupnya terlampau iseng, sering mereka memeras otak mencari sesuatu permainan baru untuk mengisi kekosongan hidup mereka, tidak jarang mereka mencari macam-macam kesenangan untuk mengadu keunggulan masing-masing maka bila mereka ingin mengerjakan sesuatu, apa pun berani dilakukan mereka. Apalagi cuma meraba dan memegang baju Po-giok.
Di tengah keplok tertawa orang banyak, Hi Toan-kah berkata dengan menyengir, "Wah, adik perempuanku kurang adat, harap Pui-siauhiap jangan marah dan sekarang mohon Pui-siauhiap memberi petunjuk."
Po-giok menenangkan pikiran, lalu menjawab dengan hormat, "Silakan!"
Dilihatnya tangan Hi Toan-kah sudah bertambah sepasang senjata luar biasa, tangan kanan memegang golok pendek sepanjang dua kaki dan tangan kiri memegang tongkat besi biasa, namun bobot dan ukurannya juga jauh lebih kecil daripada tongkat umumnya.
Kedua macam senjata Hi Toan-kah ini tampaknya kecil serupa mainan anak kecil, namun dalam pandangan Po-giok justru cukup membuatnya prihatin. Sebab ia tahu, semakin pendek sesuatu senjata, semakin berbahaya pula serangannya.
Terdengar Hi Toan-kah membentak perlahan, dengan setengah berjongkok ia terus berputar kian kemari. Mendadak ia membentak perlahan pula, tongkat kiri menohok ke depan, golok kanan lantas menikam dari bawah tongkat, sinar perak menyambar pinggang Po-giok.
Jurus serangan ini tidak istimewa, hanya kecepatannya yang luar biasa.
Po-giok mengegos perlahan, senjata Hi Toan-kah berputar pula dengan cepat, tongkat menyabet dan golok menusuk. Setelah tiga jurus berlangsung, mendadak golok dan tongkat berubah menjadi segulung cahaya perak terus menggelinding ke arah Po-giok.
Terlihat gulungan sinar itu terus berputar mengelilingi Po-giok, tiada seorang pun mampu membedakan lagi bayangan tubuh Hi Toan-kah.
Baru sekarang semua orang tahu baju warna-warni yang dipakai Hi Toan-kah itu ternyata juga ada gunanya, yaitu untuk membuat silau lawan pada waktu bertempur. Nyata setiap gerak-gerik Hi Toan-kah itu sudah terpikir dengan baik dan mengandung maksud tertentu.
Sudah belasan jurus Pui Po-giok terancam bahaya, beberapa kali bayangan tongkat dan golok seakan-akan menembus bajunya, namun dia tetap tidak balas menyerang.
340 Koleksi Kang Zusi
Semua orang mulai tidak sabar, banyak yang menggerundel.
Tiba-tiba seorang berseru nyaring, "Pui Po-giok, ayolah turun tangan!"
Ternyata yang bersuara adalah Hi Hong-kah, adik perempuan Hi Toan-kah sendiri, dia tidak membantu kakak sendiri, sebaliknya malah memihak Pui Po-giok.
Kim Co-lim menggeleng kepala dan berucap dengan tertawa, "Tampaknya selanjutnya rezeki Po-ji dalam hal orang perempuan pasti sangat beruntung, akan tetapi pasti juga akan menimbulkan banyak kesulitan baginya."
Bok Put-kut ikut berkata, "Ya, asal saja dia tidak ... aduuh!"
Kiranya selagi mereka bicara, mendadak golok Hi Toan-kah menikam perut Pui Po-ji dan tampaknya perut anak muda itu segera akan tembus, sebab itulah Bok Put-kut menjerit khawatir.
Tak terduga, entah bagaimana caranya, tahu-tahu Po-giok dapat menghindarkan serangan yang tampaknya tidak mungkin dielak itu. Dan pada saat itulah pedang kayu yang dipegangnya menebas perlahan ke depan.
Pedang menembus bayangan tongkat dan golok, terdengar serentetan suara senjata beradu, mendadak bayangan golok dan tongkat menyurut dan lenyap, tahu-tahu Hi Toan-kah telah berdiri dan senjata yang dipegangnya terkulai ke bawah.
Ternyata berpuluh pasang penonton yang hadir di situ tiada seorang pun yang tahu cara bagaimana Hi Toan-kah dikalahkan.
Terlihat Po-giok mengangkat pedang kayu ke atas, batang pedang kayu memantulkan cahaya mengilat, waktu tangan Po-giok bergetar, serentak cahaya mengilat itu sama rontok dan jatuh ke tangan Po-giok, kiranya belasan buah Hui-hi-ji atau senjata rahasia cundrik kecil berbentuk ikan.
Bok Put-kut menghela napas dan berkata, "Tiga kepandaian khas Hi Toan-kah memang tidak bernama kosong, cara bagaimana dia menghamburkan Hui-hi-ji ternyata tidak kulihat sama sekali."
Ban Cu-liang tersenyum, ucapnya, "Meski hebat cara Hi Toan-kah menyambitkan senjata rahasia, namun kungfu Po-ji sekarang pun sukar dibayangkan, dia ternyata sudah dapat menduga dari mana senjata rahasia Hi Toan-kah akan dihamburkan, maka begitu pedangnya menembus bayangan senjata lawan, pada tempat itu juga dia menyambut datangnya senjata rahasia Hi Toan-kah. Dan pada waktu menghamburkan senjata rahasia dengan sendirinya Hi Toan-kah juga memperlihatkan bagian luang sehingga kesempatan itu digunakan pedang Po-ji untuk menutuk Hiat-to lawan."
Karena analisis pendekar ini barulah orang mengerti duduknya perkara, sebelumnya mereka tidak menyangka ilmu pedang Po-ji akan begitu hebat, tidak ada yang membayangkan di dunia ini ada orang dapat memainkan ilmu pedang dengan perhitungan waktu dan tempat yang begitu tepat.
Maka terdengarlah sorak puji orang banyak, di antaranya terdapat pula suara anak perempuan.
Sebaliknya Hi Hong-kah ternyata tidak bersuara, rupanya ia sendiri melongo heran, sambil masih memegang ujung baju Po-ji ia bergumam, "Pui Po-giok ... Pui Po-giok ...."
***** Jalan raya di tengah kota Hap-pui-sia membentang dari arah barat ke timur, cukup panjang 341
Koleksi Kang Zusi
sehingga sepintas pandang sukar melihat ujung jalan sana. Lebar jalan raya cukup dibuat lewat dua kereta, toko berderet di kedua tepi jalan, orang berlalu-lalang dengan ramainya.
Selain merupakan jalan raya yang paling ramai, di sini juga berkumpul rumah perguruan silat.
Di ujung jalan menjulang tinggi bangunan berloteng Thian-kiau-tay-ciu-lau yang biasa menjadi tempat berkumpulnya orang Kangouw. Menjelang petang, hampir tidak ada tempat kosong lagi di restoran itu. Pengunjungnya kebanyakan adalah orang Kangouw, yang dibicarakan dengan sendirinya juga peristiwa topik dunia Kangouw.
"Pui Po-giok ... Pui Po-giok ...."
Entah siapa yang mendahului menyebut nama itu. Hanya tiga kata yang sederhana ternyata memiliki daya tarik yang aneh. Begitu nama itu disebut, seketika menarik perhatian setiap orang yang hadir di situ.
Seorang jago tua beruban agaknya sangat luas pengalamannya, ia berseru, "Sudah berpuluh tahun aku berkelana di dunia Kangouw, tapi sejauh ini belum ada seorang kesatria Kangouw yang dapat terkenal seperti Pui Po-giok ini."
"Ya, padahal terkenalnya Pui Po-giok hanya terjadi dalam belasan hari yang lalu saja," demikian seorang kawannya menanggapi. "Tapi sekarang namanya hampir tersiar ke seluruh pelosok dunia. Bilamana ada orang Kangouw yang tidak tahu Pui Po-giok, maka orang itu kalau bukan orang tuli tentulah orang dungu. Ai, hanya dalam belasan hari belasan tokoh telah ditaklukkan pula, pantas namanya menjulang tinggi ke langit."
Begitulah, sekali ada orang buka suara lebih dulu, serentak memancing pembicaraan orang banyak. Maka ketahuanlah bahwa selama belasan hari ini, tokoh-tokoh yang telah dikalahkan oleh Po-ji selain Hi Toan-kah dan Lu In ada lagi Kong Sin-sing dari Bujiang, Tan Ek-sia dari Kiukang, Ko Koan-ing dari Lamjiang, Tio Kiam-beng dari Hekmui, malahan seorang lelaki gagah dari selatan menambahkan bahwa dia sendiri menyaksikan Pui Po-giok mengalahkan Him Hiong di lereng Siau-koh-san.
"Hah, jadi To-pi-him (si Beruang Berlengan Banyak) juga dikalahkan olehnya?" seorang menegas dengan terkejut.
"Betul," jawab orang itu. "Padahal To-pi-him terkenal sekaligus dapat menggunakan berbagai senjata rahasia, makanya dia mendapat julukan beruang berlengan banyak, akan tetapi hujan senjata rahasia yang dihamburkannya ternyata tidak dapat menyentuh ujung baju Pui Po-giok, dan hanya tiga jurus saja pedang kayu Pui Po-giok bergerak, lalu Him-tayhiap tunduk dan mengaku kalah."
"Wah, di dunia masakah adalah ilmu pedang sehebat itu" Sungguh sukar untuk dipercaya!"
"Jika tidak kusaksikan sendiri, memang aku juga tidak percaya. Waktu itu, selain diriku juga masih disaksikan banyak kawan Kangouw yang berjumlah ratusan orang, semuanya sama terkesiap melihat ilmu pedang sehebat itu. Ketika perasaan orang mulai tenang kembali dan bermaksud memuji pendekar muda itu, ternyata Pui-siauhiap itu sudah pergi."
"Mengapa dia mengeluyur pergi begitu saja, jangan-jangan ada yang ditakutinya?" tanya seorang.
"Saudara tidak tahu," ujar lelaki kekar itu dengan tersenyum penuh rahasia, "biarpun Pui-siauhiap itu gagah perkasa ternyata juga tidak terhindar dari godaan orang perempuan?"
"Oo, dia juga tergoda oleh orang perempuan" Bagaimana ceritanya?" tanya orang itu.
"Urusan ini diawali oleh kedua nona Hi Hong-kah dan Pang Soh-bun, karena rasa kagum 342
Koleksi Kang Zusi
mereka kepada sang pahlawan muda, mereka telah merobek dua potong kain baju Pui-siauhiap sebagai tanda mata. Sejak itu, sepanjang jalan tidak sedikit anak gadis keluarga pendekar sama menguntit perjalanan Pui-siauhiap dan sama berdaya ingin memperoleh satu-dua macam benda tanda mata dari pendekar muda kita. Setiap kali usia bertanding, serentak kawanan gadis itu berkerumun maju dan membuat Pui-siauhiap ketakutan dan memaksa mengacir sejauhnya."
"Aku hidup setua ini, belum pernah kudengar kejadian aneh begini," ujar seorang tua.
"Ya, peristiwa demikian memang belum pernah terjadi di dunia Kangouw. Sungguh lucu juga melihat sebanyak itu anak gadis tergila-gila terhadap Pui Po-giok itu. Akan tetapi bila dipikir lagi, bilamana Pui Po-giok itu tidak muda dan gagah, tidak memiliki kungfu sehebat itu, tentunya takkan membuat kawanan gadis tergila-gila padanya."
"Jika demikian, pendekar muda itu tentulah kesatria muda yang jarang ada di dunia persilatan, sayang sejauh ini aku tidak sempat melihat wajahnya."
"Sebenarnya Pui-siauhiap itu juga tidak terlampau cakap," tutur seorang. "Cuma dia memang ganteng dan mempunyai daya tarik yang sukar dilukiskan, terlebih senyumnya yang acuh tak acuh itu .... Ai, seumpama aku menjadi anak gadis pasti juga akan tergila-gila padanya."
"Pantas setiap kali pertandingan usai segera ia mengeluyur pergi di luar tahu orang."
"Setelah pertandingan di Siau-koh-san, setiap orang Kangouw bertambah kagum dan memuja Pui Po-giok itu. Anehnya, beberapa lawannya yang terkenal licik dan culas seperti Tan Ek-sing dari Kiukang dan Sun Giok-liong dari Moa-sia, sama sekali mereka tidak berani menggunakan muslihat keji untuk menjebak Pui-siauhiap."
"Seharusnya saudara maklum, selain perkasa, Pui Po-giok itu juga didampingi oleh Ban Cu-liang dan ketujuh murid utama perguruan terkemuka, siapa pula di dunia ini yang berani membikin celaka pendekar muda itu dengan cara keji?"
"Betul, Ban-tayhiap sudah jelas, konon kecerdasan jago muda dari Bu-tong-pay Kongsun Put-ti juga tidak ada bandingannya, biarpun orang bermaksud keji juga sukar mengelabui mata telinganya."
"Dan entah pertandingan selanjutnya siapa yang akan dihadapi Pui-siauhiap?"
"Kabarnya untuk menghindari kerumunan penonton yang terlampau banyak dan mungkin akan banyak menimbulkan urusan tidak perlu, maka sedapatnya Pui-siauhiap merahasiakan jejaknya, siapa pun tidak tahu tempat tujuan selanjutnya. Tapi menurut dugaanku, lawan yang akan dihadapinya besok tentulah Siau-tiocu di kota ini, makanya malam ini juga kudatang kemari untuk melihat tontonan menarik besok."
"Tujuanmu memang cocok dengan maksud kedatangan kami, tapi sampai sekarang setahuku Siau-tiocu sendiri belum lagi menerima surat tantangan Pui-siauhiap itu, mungkin besok tidak
...." Belum selesai ucapannya, tiba-tiba seorang pemuda berlari ke atas loteng dengan penuh semangat, teriaknya dengan megap-megap, "Sudah ... sudah datang ...."
Pemuda itu dikenal orang sebagai murid perguruan Siau-tiocu, namanya Li Eng-jing, maka orang banyak sama tanya, "Sudah datang apa?"
"Ternyata tidak sia-sia kalian menunggu di sini," tutur Li Eng-jing. "Surat Pui-siauhiap ini belum lama ini sudah diterima oleh guruku."
"Hah, jika surat tantangan sudah datang orangnya tentu juga sudah berada di tempat ini, bagaimana kalau kita coba melihat dulu orang macam apakah pendekar muda itu?"
343 Koleksi Kang Zusi
"Kota sebesar ini, ke mana akan kita cari dia?" tanya seorang.
"Kukira tidak sukar. Menghadapi pertarungan besok, betapa pun Pui Po-giok itu pasti akan istirahat dengan baik dan takkan tinggal di tempat terbuka. Jika dia tidak suka tinggal di rumah kawan persilatan, bila kita mencari setiap rumah penginapan di kota ini, mustahil takkan menemukan dia?"
Semua orang menyatakan benar, beramai-ramai mereka lantas meninggalkan restoran itu.
Dasar anak muda dan suka ramai-ramai, Li Eng-jing yang kenal baik kota tempat tinggalnya ini secara sukarela menjadi penunjuk jalan bagi orang banyak.
Akan tetapi meski berpuluh hotel yang terdapat di kota Hap-pui ini telah mereka datangi, tetap tidak menemukan bayangan Pui Po-giok, malahan banyak bertambah lagi penonton yang baru datang sehingga rombongan pencari Pui Po-giok ini bertambah besar.
Akhirnya ada orang mengusul, "Jika hotel di dalam kota tidak kita temukan dia, di luar kota masih ada tiga buah hotel, marilah kita mencari ke sana ...."
Beramai-ramai orang banyak menyatakan setuju pula dan berbondong-bondong mereka lantas keluar kota ....
Pada saat itu juga ada dua buah kereta penumpang besar beriring masuk ke kota dan berhenti di depan sebuah hotel yang kurang laku di pinggir kota.
Penumpang kereta itu adalah Ban Cu-liang, Kim Co-lim, Gu Thi-wah, ketujuh murid utama dan Pui Po-giok. Kesebelas orang turun dari kereta dan masuk ke hotel tanpa dipergoki siapa pun.
Dengan tersenyum Ban Cu-liang berkata, "Gagasan Kongsun-jihiap memang betul, setelah hotel ini didatangi mereka baru kita memondok di sini, tentu mereka takkan dapat menemukan jejak kita."
Nyata kecerdasan Kongsun Put-ti sekarang benar-benar sangat dikagumi jago kawakan seperti Ban Cu-liang dan lain-lain, sebab itulah sepanjang jalan meski resminya Ban Cu-liang yang mengatur segalanya, diam-diam Kongsun Put-ti juga ikut memberi saran yang tepat dan sepanjang jalan ternyata banyak terhindar dari kesulitan penguntitan orang banyak.
Kondisi Pui Po-giok sekarang juga lebih memuaskan, fisik dan mentalnya sudah mencapai puncaknya.
Semua orang cepat membersihkan badan, lalu akan makan malam, untuk menjaga kondisi Pui Po-giok, arak sama sekali dilarang minum. Keruan yang runyam ialah Kim Co-lim, mendingan ia tahan sekuatnya.
Selagi semua orang masuk ke ruangan makan dan hendak pesan santapan, tahu-tahu di ruang makan sudah siap dua meja penuh makanan, arak pun kelihatan tersedia, mangkuk piring sudah siap, di bawah cahaya lampu yang terang namun tiada terlihat seorang pun.
Kim Co-lim menahan air liur melihat santapan dan arak yang mengepul hangat itu, sedangkan Kongsun Put-ti berkerut kening, ia panggil pelayan dan bertanya, "Jika di sini ada orang tamu, boleh kau antar santapan kami ke kamar."
"Di sini selain rombongan tuan-tuan tidak ada tetamu lain lagi," tutur si pelayan.
"Lantas siapa pula yang memesan santapan ini?" tanya Kongsun Put-ti melengak.
"Santapan ini dipesan oleh Auyang-hujin dari perguruan Auyang di kota ini dan khusus disiapkan untuk tuan-tuan, masa tuan tidak tahu malah?" ujar si pelayan.
344 Koleksi Kang Zusi
Berubah air muka Kongsun Put-ti, ia menegas, "Auyang-hujin" Dari mana ia tahu kami tinggal di sini?"
Ia coba memandang kawan-kawannya, semua orang sama menggeleng tanda heran.
Si pelayan juga merasa heran, gumamnya, "Selain menyuruh menyiapkan santapan ini, sampai kamar tuan-tuan juga dipesan sebelumnya oleh Auyang-hujin, masakah ... masakah semua ini bisa salah?"
"Tidak, tidak salah," ucap Kongsun Put-ti. "Sudahlah, boleh kau pergi saja, bila perlu baru kupanggil."
Pelayan mengiakan dan mengundurkan diri dengan hormat dan tetap diliputi rasa sangsi.
"Orang macam apakah Auyang-hujin itu, apakah kalian kenal dia?" tanya Ban Cu-liang dengan heran.
"Jika Ban-tayhiap saja tidak kenal dia, apalagi kami," ujar Bok Put-kut.
"Tapi dari mana ia tahu kita tinggal di sini?" ucap Kongsun Put-ti dengan kening bekernyit. "Dan mengapa pula ia sediakan perjamuan ini" .... Jangan-jangan ada sesuatu tipu muslihat di balik urusan ini?"
"Ah, peduli amat, paling perlu sabet saja santapan ini," teriak Thi-wah.
"Betul!" tukas Kim Put-we dengan tertawa.
"Ya, takut apa," ujar Kim Co-lim. "Betapa pun Auyang Thian-kiau juga seorang tokoh terkemuka, masakah sampai menggunakan racun segala?"
"Meski Auyang Thian-kiau seorang tokoh terhormat, tapi bagaimana dengan istrinya, siapa yang tahu?" kata Kongsun Put-ti.
Kim Put-we melengak dan tidak dapat menjawab.
Tiba-tiba terlihat pelayan tadi berlari masuk sambil membawa sehelai kartu merah, serunya, "Di luar ada seorang Auyang-hujin minta bertemu dengan tuan-tuan."
Dengan prihatin Ban Cu-liang menerima kartu merah itu, terlihat nama yang tertulis pada kartu itu adalah "Auyang Cu" dan tidak ada nama Auyang Thian-kiau.
Dengan kening bekernyit Kongsun Put-ti berkata, "Auyang Thian-kiau belum lagi muncul, ternyata Auyang-hujin sudah datang lebih dulu. Memangnya apa maksudnya sedemikian memerhatikan jejak kita?"
Semua orang saling pandang dan sama menganggap tindak tanduk Auyang-hujin ini agak misterius. Biarpun Kongsun Put-ti yang biasanya cerdik dan banyak akal juga sukar meraba maksud tujuan orang.
"Terima dia atau tidak?" tanya Ban Cu-liang sambil menatap Kongsun Put-ti.
Belum lenyap suaranya terdengarlah suara gemerencing perhiasan orang perempuan waktu berjalan disertai mengikik tawa genit berkumandang dari luar pintu.
"Biarpun tidak mau menemuinya juga tidak bisa mengelak lagi," ujar Bok Put-kut dengan menyesal, segera ia mendahului berbangkit. Maka tertampaklah seorang perempuan cantik berdandan putri istana dengan penuh hiasan batu permata melangkah masuk dengan gemulai.
345 Koleksi Kang Zusi
Ban Cu-liang memberi hormat dan menyapa, "Entah ada keperluan apa atas kunjungan Hujin?"
Si cantik mengerling para hadirin sekejap, tiba-tiba pandangannya berhenti pada diri Pui Po-giok, katanya dengan tertawa, "Kudatang untuk melihat dia ini!"
Kening Ban Cu-liang bekernyit, ia tahu kedatangannya sengaja hendak merecoki Pui Po-giok.
Siapa tahu, begitu melihat si cantik, keadaan Po-giok juga serupa orang linglung.
"Po-ji," ucap si cantik perlahan, "apakah masih kenal padaku?"
Mendadak Po-giok berseru dan melompat ke depan si cantik, sambil memegang pundak orang ia berteriak, "Hah, kau Cu-ji!"
"Betul, aku inilah Cu-ji ...." ucap si cantik dengan suara agak gemetar. "Oo, Po-ji sayang, tak tersangka engkau masih ... masih kenal diriku ...."
Belum habis ucapannya berderailah air matanya.
Semua orang tidak menyangka Auyang-hujin ini ternyata kenalan Po-giok, malahan antara keduanya kelihatan sangat akrab.
Kiranya si cantik berdandan putri istana dan bernama Auyang Cu ini ternyata bukan lain daripada Cu-ji, si pelayan cantik di kapal layar pancawarna dahulu itu. Pelayan masa lampau kini ternyata sudah menjadi anggota keluarga guru silat ternama.
Selama sekian tahun, dengan sendirinya Cu-ji juga mempunyai pengalaman yang pahit, namun pengalaman Po-giok terlebih lain daripada yang lain, dengan sendirinya keduanya ingin menceritakan suka-duka masing-masing selama berpisah.
Melihat Cu-ji dengan sendirinya semakin menimbulkan rasa rindu Po-giok terhadap Oh Put-jiu, Cui Thian-ki dan Siaukongcu, seketika ia tidak tahu bagaimana harus mulai bicara.
Meski Kongsun Put-ti dan lain-lain khawatir pikiran Po-giok akan terpengaruh selagi menghadapi pertandingan seru nanti, tapi dalam keadaan demikian, siapa pula yang dapat merintangi anak muda itu.
Dengan air mata berlinang, Cu-ji alias Auyang Cu berkata dengan tertawa, "Ketika kudengar di dunia Kangouw sekarang muncul seorang kesatria muda, segera dapat kuduga selain Po-ji tidak ada orang lain, dan ... dan dugaanku ternyata tidak salah. Cuma tidak tersangka olehku bahwa anak yang nakal dahulu itu kini bisa berubah segagah dan setampan ini. Pantas ... pantas kawanan gadis Kangouw sama tergila-gila padamu."
Muka Po-giok menjadi merah.
Auyang Cu memandang sekeliling sekejap, lalu berkata, "Sekian lama berkat perhatian kalian terhadap Po-ji, biarlah di sini kusuguh kalian satu cawan."
Kerongkongan Kim Co-lim sejak tadi sudah getol minum arak, serentak ia menjawab, "Ya, terima kasih!"
Auyang Cu mendahului menghabiskan isi cawan disusul oleh Kim Co-lim, mau tak mau orang lain juga ikut minum. Dan begitu arak masuk kerongkongan, terasalah hawa hangat mengalir ke perut.
"Arak bagus, arak enak!" berulang Kim Co-lim memuji. "Sudah sekian lama kuminum arak, namun Li-ji-ang selezat ini baru pertama kali ini kurasakan."
346 Koleksi Kang Zusi
"Inilah arak Li-ji-ang yang kubeli dari daerah Kanglam dengan harga mahal," tutur Auyang Cu.
"Ayolah silakan minum beberapa cawan lagi .... Eh, Po-ji menurut pendapatmu, bagaimana kita harus minum sepuasnya?"
Rasa girang Po-giok sukar dilukiskan karena dapat bertemu kembali dengan kenalan lama, serentak ia pun minum tiga cawan. Sebaliknya Kongsun Put-ti berkerut kening menyaksikan cara mereka minum arak.
Kecuali Kongsun Put-ti, semua orang ikut gembira bagi Po-ji, sampai Bok Put-kut, Ciok Put-wi dan lain-lain juga ikut minum beberapa cawan.
"Eh, Po-ji, apakah engkau masih ingat dahulu Siaukongcu sengaja menyiksa dirimu, sebentar-sebentar ia sengaja menyuruhmu merangkak kian kemari, lain saat mendadak ia minta engkau berjumpalitan ...."
"Mana aku bisa lupa," ujar Po-giok dengan tertawa. "Yang paling konyol adalah ketika ia minta aku menangis, sungguh runyam, mana aku dapat menangis begitu saja, terpaksa kupoles air ludah pada pipiku."
Bicara kejadian masa lampau, terbayang olehnya ketika ia dipermainkan oleh putri cilik itu, tanpa terasa ia tergelak geli.
Begitulah kedua orang sembari minum sambil tertawa riang.
"Tapi waktu Siaukongcu melihat nona Cui itu, dia jadi mati kutu dan sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa," ujar Auyang Cu dengan geli.
"Akan tetapi nona Cui itu justru takut tikus, tentu kau masih ingat ...."
Dengan sendirinya orang lain tidak dapat ikut campur bercakap kejadian masa lampau, tapi melihat kedua orang itu tertawa gembira, tanpa terasa mereka pun ikut senang.
Tiba-tiba Auyang Cu menghela napas panjang, katanya, "Cuma sayang, sang waktu yang sudah lalu tidak dapat kembali lagi. Nona Cui dan Siaukongcu entah ... entah ke mana perginya ...."
Sampai di sini wajahnya yang riang tadi berubah murung dan air mata pun mulai meleleh pula.
Dengan sendirinya hati Po-giok juga ikut pedih bila terkenang kepada Cui Thian-ki dan Siaukongcu, ia pun bergumam, "Ya, di mana kalian sekarang ... di mana ...."
Barang siapa bila pikiran sedang resah, waktu minum arak tentu jauh lebih banyak daripada biasanya. Maka berulang-ulang Po-giok menenggak isi cawannya, orang lain pun tidak dapat mencegahnya.
Meski Kongsun Put-ti hanya minum ala kadarnya, kini telah dirasakan juga bekerjanya arak itu ternyata luar biasa, waktu masuk mulut tidak terasa keras, namun setelah masuk perut, kekuatan arak lantas bergerak dengan kuat.
Waktu ia berpaling, terlihat kawan-kawannya juga banyak yang terpengaruh minuman keras itu.
Kongsun Put-ti terkesiap, pikirnya, "Jangan-jangan malam ini Auyang-hujin ini sengaja hendak mencekoki Po-ji hingga mabuk agar besok Po-ji tidak sanggup melawan suaminya?"
Timbulnya pikiran ini membuatnya waspada.
Siapa tahu pada saat itulah tampak Auyang Cu berdiri perlahan, katanya dengan tertawa,
"Meski ingin kuminum lagi bersamamu, namun esok pagi engkau harus bertanding, tidak boleh 347
Koleksi Kang Zusi
kau minum sampai mabuk, maka lebih baik engkau istirahat saja. Hendaknya besok dapat kau hajar lakiku itu hingga tunduk benar-benar sekadar untuk melampiaskan gemasku kepadanya."
Ia datang dengan suara tertawa nyaring dan sekarang pergi dengan tertawa genit pula, memandangi bayangannya yang menghilang di luar, perasaan semua orang terasa agak bimbang.
Diam-diam Kongsun Put-ti membatin, "Agaknya aku salah sangka buruk padanya, mengingat hubungan baiknya dengan Po-ji, rasanya tidak mungkin ia membikin susah Po-ji."
Esok paginya Kongsun Put-ti terjaga bangun oleh suara berisik. Dilihatnya hari sudah terang benderang di luar, padahal biasanya, ia bangun cukup pagi, sedikitnya satu jam lebih dini daripada sekarang.
Diam-diam ia mengomeli diri sendiri, di samping itu ia pun heran, sebab selama bertahun-tahun digembleng di Bu-tong-san, betapa pun dia tidak pernah bangun terlambat seperti ini.
Siapa tahu orang lain malahan sama sekali belum ada yang bangun, jadi dia orang pertama yang bangun tidur pagi ini. Habis itu Bok Put-kut dan lain-lain baru ikut terjaga bangun.
Malahan Kim Co-lim masih bergumam, "Arak hebat ... arak bagus ...."
Tergerak hati Kongsun Put-ti, serunya, "Hei, mabukmu belum hilang?"
"Wah, arak sebagus ini sungguh belum pernah kuminum, sejak semalam sampai sekarang, bukan saja mabuknya tidak hilang, bahkan terasa mau tidur lagi, coba kau ...." mendadak Kim Co-lim berhenti bicara, sebab dilihatnya wajah semua orang pucat pasi, dari wajah pucat orang ditemukan pula sesuatu yang menakutkan, yaitu bila Po-ji juga mabuk arak, lalu cara bagaimana akan sanggup bertanding dengan orang"
Semua orang saling pandang, mereka merasakan di dalam arak yang mereka minum tentu ada sesuatu yang tidak beres, tanpa diminta serentak mereka lari ke kamar Po-giok, terlihat anak muda itu lagi berdiri berpegangan dinding, agaknya berdiri pun tidak sanggup.
Pada saat itu suara berisik di luar tambah ramai, tiba-tiba serombongan orang membanjir masuk ke halaman dalam, menyusul ada orang melompat ke atas pagar tembok, sebagian melompat ke atas rumah.
Rombongan orang ini terdiri dari lelaki-perempuan dan tua-muda, hanya sekejap saja rumah hotel ini sudah berjubel-jubel oleh kehadiran mereka, setiap orang sama penuh semangat dan gembira ria, jelas mereka sama ingin melihat kesatria muda Pui Po-giok yang merupakan jago muda pertama dunia persilatan yang selama ratusan tahun tidak pernah ada ini. Akan tetapi kesatria muda yang akan dilihat mereka saat ini justru lagi lemas lunglai dan kepala sakit seakan-akan mau pecah.
Seorang lelaki tegap dengan pakaian ketat membungkus tubuh, meski tidak terlalu tinggi besar, namun sikapnya sangat gagah, dengan sinar mata tajam itu berseru di tengah halaman, "Sudah cukup lama kutunggu di lapangan pertandingan dan belum lagi melihat kehadiran Pui-siauhiap, kabarnya Pui-siauhiap bermalam di sini, maka terpaksa kami berkunjung kemari untuk minta belajar kenal."
Nyata dia inilah jago terkemuka kota Hap-pui yang siap bertanding dengan Pui Po-giok, yaitu Auyang Thian-kiau.
Ban Cu-liang dan lain-lain sama melengak, buru-buru Kongsun Put-ti merapatkan daun jendela.
Dengan gemas Nyo Put-loh memaki, "Sungguh perempuan keji!"
Kongsun Put-ti mendengus, "Semua ini salah kita sendiri yang terlampau ceroboh, maka jangan menyalahkan orang lain. Jika hal ini kita kemukakan berbalik akan ditertawai lawan."
348 Koleksi Kang Zusi
"Tapi ... tapi bila hal ini tidak ... tidak kita kemukakan, lalu keadaan Po-ji yang begini mana ...
mana sanggup bergebrak dengan orang?" ujar Bok Put-kut.
Berulang Kim Put-we mengentak kaki. Nyo Put-loh juga mengertak gigi dan mengepal dengan gemas.
"Sungguh tidak kusangka dia akan ...." ucap Po-giok, sungguh ia menyesal Cu-ji bisa menjebaknya cara begini sehingga ia tidak dapat banyak bicara lagi.
Terdengar Auyang Thian-kiau berseru pula di luar, "Mengapa Pui-siauhiap belum lagi memperlihatkan diri" Jangan-jangan Pui-siauhiap telah berubah pendirian, padahal surat tantangan jelas dikirim oleh Pui-siauhiap ...."
Belum habis ucapannya mendadak suaranya tertutup oleh suara orang banyak, rupanya beribu orang hadir itu sama berteriak, "Ayo Pui Po-giok, tarung! ...."
Suara teriakan itu makin lama makin keras seakan-akan menggetar bumi, namun yang diucapkan bolak-balik tetap kata-kata, "Ayo Pui Po-giok, tarung ...."
Dalam keadaan demikian, selain bertarung memang tiada pilihan lain bagi Pui Po-giok. Akan tetapi bila dia maju pada saat ini, jelas dia pasti akan kalah.
Po-giok menarik napas panjang-panjang, lalu berdiri tegak dan melangkah perlahan keluar.
"Po-ji," kata Kim Put-we, "biarlah Jicek mewakilkan dirimu menghadapi pertarungan ini."
"Terima kasih atas maksud baik Jicek," sahut Po-giok. "Namun pertarungan ini jelas tak dapat diwakili oleh siapa pun ...."
"Tapi dalam keadaan demikian tiada ubahnya seperti kau sengaja mengantar nyawa?" ujar Put-we cemas.
"Biarpun harus antar nyawa, ya, apa boleh buat," kata Po-giok, ia membuka daun pintu dan melangkah keluar.
Belum lagi ia muncul, serentak bergemuruhlah sorak-sorai orang banyak menyebut nama, "Pui Po-giok ... Pui Po-giok ...."
Po-giok memandang sekeliling dengan terharu, ia memberi salam dan berseru, "Ini Pui Po-giok berada di sini!"
Selangkah demi selangkah ia pun menuju ke halaman tengah.
Bok Put-kut dan lain-lain sama tahu setiap kali anak muda itu melangkah berarti selangkah lebih dekat dengan elmaut.
Mendadak orang banyak menjerit kaget, suasana menjadi kacau, kiranya langkah Po-giok itu mendadak sempoyongan dan hampir saja jatuh terjungkal.
Auyang Thian-kiau juga melengak, ucapnya, "Kenapa Pui-siauhiap?"
"Ah, tidak apa-apa," sahut Po-giok dengan menyengir.
Auyang Thian-kiau memandang anak muda itu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas lagi katanya pula, "Melihat keadaan Pui-siauhiap sekarang, jangan-jangan ada sesuatu ...."
Belum lagi Po-giok menjawab, tiba-tiba Thi-wah mencaci maki, "Keparat, sudah jelas tahu, tapi 349
Koleksi Kang Zusi
pura-pura tanya"!"
"Apa maksudmu?" tanya Auyang Thian-kiau dengan kurang senang.
"Huh, semalam binimu telah mencekoki Toakoku hingga mabuk, dengan begitu sekarang dapat bertarung dengan dia ...."
Uraian Thi-wah ini agak menyinggung kehormatan Auyang Thian-kiau, keruan semua orang lantas ribut, ada yang tertawa, ada yang berolok-olok, ada yang bertanya, "Mengapa Auyang-hujin bisa mendatangi Pui Po-giok ini dan mencekoki arak padanya, sebab apa pula Pui Po-giok mau minum?"
Air muka Auyang Thian-kiau berubah hebat, tanyanya dengan suara bengis, "Apa betul ucapanmu?"
Waktu bertanya, sinar matanya yang tajam juga menatap Ban Cu-liang dan lain-lain, maklumlah setiap orang Kangouw sama tahu In-bong-tayhiap tidak nanti berdusta, maka Auyang Thian-kiau ingin komentarnya.
"Memang betul," kata Ban Cu-liang tegas. "Bahkan dalam arak diberi obat bius."
Mendadak Auyang Thian-kiau mengentak kaki terus membalik tubuh dan hendak pergi.
Melihat sikap orang seakan-akan sama sekali tidak tahu-menahu kejadian semalam, Bok Put-kut dan lain-lain sama merasa heran.
Pada saat itulah dari kerumunan orang banyak tiba-tiba muncul seorang perempuan berbaju hitam, wajah pucat lesi serupa mayat.
Melihat perempuan ini seketika Auyang Thian-kiau berubah beringas, dampratnya, "Perempuan hina, nama baikku selama hidup hanyut sama sekali karena perbuatanmu!"
Akan tetapi perempuan berbaju hitam itu tidak memandangnya melainkan menatap tajam Ban Cu-liang dengan penuh rasa benci, teriaknya mendadak, "Memfitnah orang secara semena-mena, sungguh kotor dan rendah .... Aku istri Auyang Thian-kiau, siapa bilang semalam kucekoki Pui Po-giok dengan arak hingga mabuk?"
Bok Put-kut, Ban Cu-liang, Pui Po-giok dan lain-lain sangat terperanjat, semuanya melongo serupa bunyi geledek di siang bolong.
Ternyata "Auyang Cu" yang datang semalam bukanlah istri Auyang Thian-kiau. Dan nyonya Auyang yang berdiri di depan mereka sekarang ternyata tidak pernah mereka lihat selama ini.
"Apakah ... apakah Auyang-tiocu cuma mempunyai istri ini?" tanya Kim Put-we dengan tergegap.
"Dengan sendirinya aku cuma mempunyai seorang istri saja?" sahut Auyang Thian-kiau dengan gusar.
Seketika Kim Put-we merasa lemas dan tidak sanggup bicara lagi.
Jika Cu-ji itu benar istri Auyang Thian-kiau, ini masih dapat dimengerti jika diam-diam ia mengerjai Po-ji karena khawatir suaminya akan kalah dalam bertanding pagi ini.
Tapi kalau Cu-ji itu bukan istri Auyang Thian-kiau, sedangkan Po-ji pernah menolong anak dara itu, sekarang dia malah membikin susah Po-ji, lalu apa tujuannya" Jika Po-ji kalah bertanding, memangnya apa keuntungannya"
350 Koleksi Kang Zusi
Po-giok, Kongsun Put-ti dan lain-lain sama heran dan terkejut, biarpun mereka memeras otak juga sukar mendapatkan jawaban. Apalagi dalam keadaan demikian juga tidak mengizinkan mereka banyak berpikir.
Sementara itu hadirin di sekeliling sudah gempar, ada yang berteriak marah, ada yang tertawa mengejek, "Haha, kukira kesatria macam apa Pui Po-giok itu, rupanya cuma seorang penipu besar!"
"Wahai Pui Po-giok, jika kau tidak berani bertanding dengan Auyang-tiocu, ayolah lekas lari mencawat ekor saja, buat apa sengaja merusak nama baik Auyang-hujin?"
Meski ada yang menyaksikan sendiri Pui Po-giok dicekoki arak oleh Auyang-hujin dan bermaksud membelanya, namun suara gemuruh orang murka seketika bergema sehingga suara mereka tidak terdengar.
Apalagi urusan sekarang memang sukar untuk dimengerti, di bawah kemarahan orang banyak, betapa pun susah bagi Po-giok untuk memberi penjelasan.
Auyang Thian-kiau tampak beringas dan kalap, ia melompat ke depan Pui Po-giok dan membentak, "Apa ... apa yang dapat kau katakan lagi" Ayo mulai, lekas!"
Po-giok berdiri serupa patung tanpa bergerak.
Sekali membentak, langsung sebelah tangan Auyang Thian-kiau menggampar. Akan tetapi keburu dipegang Auyang-hujin.
Dengan gusar dan menghina Auyang-hujin mendengus, "Huh, untuk apa bergebrak dengan orang begini, kan merendahkan harga dirimu. Ayo, kita pergi saja!"
Auyang Thian-kiau melototi Pui Po-giok, mendadak ia meludah di depan anak muda itu dan mengentak kaki, lalu tinggal pergi.
Penghinaan yang lebih memalukan daripada mati ini sungguh sukar ditahan oleh siapa pun, akan tetapi Pui Po-giok sekuatnya bersabar dengan mengertak gigi.
Di bawah cemooh dan ejekan orang banyak, Nyo Put-loh dan Kim Put-we bermaksud memburu ke sana, akan tetapi keburu ditahan oleh Po-giok.
"Lepaskan!" teriak Nyo Put-loh murka. "Penghinaan hari ini harus dicuci dengan darah. Biarlah kita mati di medan laga ini, apa yang kau tunggu lagi?"


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekalipun mati perang tanding, salah paham ini tetap sukar dijelaskan," ujar Po-giok. "Dan selama penghinaan ini tidak bisa dicuci bersih, tentu nama kita akan ternoda sepanjang masa."
Seketika Nyo Put-loh tidak bisa berbuat apa-apa dan cuma mengentak kaki belaka.
Terdengar suara caci maki orang banyak di sana-sini, "Haha, kalau tidak becus, janganlah berlagak sebagai pahlawan!"
"Ayolah Pui Po-giok, lekas pulang saja untuk menyusu pada makmu!"
Dan entah siapa yang mulai dahulu ketika sepotong genting dilemparkan ke bawah, menyusul lantas terjadi hujan lempar macam-macam benda, sampai topi dan sepatu juga digunakan untuk melempar.
Po-giok tetap berdiri tegak di tempatnya dan membiarkan tubuhnya tertimpa berbagai benda itu, dalam keadaan demikian tertampaklah keteguhan imannya.
351 Koleksi Kang Zusi
Bagai bunyi geledek Thi-wah membentak sambil memburu maju dan mengadang di depan Po-giok, teriaknya murka, "Ayolah, jika berani melempar lagi, segera ku ...."
Mendadak sebelah tangannya menghantam ke depan, sebatang pohon tanggung yang tumbuh di samping terhantam hingga tumbang.
Keruan semua orang terkesiap oleh tenaga raksasa Thi-wah, kebanyakan juga sudah puas mencaci maki dan melempar, maka beramai-ramai bubarlah orang banyak. Hanya tersisa beberapa anak gadis yang tampak melongo kesima, sebab pahlawan pujaan membuat mereka kecewa dan menyesal.
Suasana berubah sunyi, halaman berserakan macam-macam barang.
Po-giok berdiri termenung, sampai lama tanpa bergerak dikelilingi Ban Cu-liang, Kim Co-lim dan lain-lain, sampai Gu Thi-wah juga terkesima tanpa bersuara.
Entah selang berapa lama, mendadak Kim Co-lim berteriak, "Arak ... mabuk arak pelipur lara
...." Ia terus lari ke dalam rumah, suaranya penuh rasa pedih dan penasaran, mau tak mau Sebun Put-jiok ikut terharu.
Kongsun Put-ti mendekati Ban Cu-liang dan berucap, "Maafkan Ban-tayhiap, kejadian hari ini harus membuat nama baik Ban-tayhiap ikut tercemar, sungguh kami sangat menyesal."
"Ah, urusan ini mana dapat menyalahkan kalian," ujar Ban Cu-liang. "Memangnya siapa yang menduga sekeji ini tipu muslihat musuh. Kukira sebelumnya musuh sudah memperhitungkan dengan baik segala kemungkinan yang akan terjadi, tapi sebenarnya apa tujuannya mereka merancang tipu keji seperti ini untuk membikin susah Po-giok?"
"Sudahlah, biarpun urusan ini dapat kita raba sini dan raba sana juga tidak ada gunanya," kata Bok Put-kut. "Yang penting sekarang, bagaimana tindak selanjutnya."
Pandangannya beralih kepada Po-ji, suaranya juga prihatin. Ia meragukan Po-ji yang masih muda belia itu apakah sanggup menahan pukulan batin ini. Apakah semangatnya takkan patah, apakah cita-citanya takkan runtuh" Apakah dia akan tenggelam seterusnya"
Terlihat Po-giok memandang jauh ke depan, memandang sinar sang surya yang gilang-gemilang, ia menarik napas panjang, lalu berucap tegas, "Biarpun perjalanan selanjutnya mahasulit juga takkan mematahkan tekad langkahku?"
"Jadi kau masih akan terus melanjutkan jalanmu?" tanya Bok Put-kut dan lain-lain berbareng.
"Ya, maju terus pantang mundur!" seru Po-giok tegas.
Meski wajahnya agak pucat dan suaranya rada serak, namun beberapa kata-katanya itu serupa bunyi guntur yang memecah angkasa sunyi.
Semangat Ban Cu-liang dan lain-lain seketika pula tergugah sampai Ciok Put-wi yang berhati dingin dan keras itu pun ikut memperlihatkan rasa girang.
"Baik, anak bagus!" gumam Ban Cu-liang. "Tak tersangka pukulan berat itu tidak dapat mematahkan semangatmu, sungguh seorang kesatria sejati."
"Dihina orang, disalahpahami orang, semua ini memang hal yang menyakitkan," kata Kongsun Put-ti. "Po-ji, kau memang seorang anak luar biasa, jika cuma kungfunya saja yang merajai dunia belumlah membuat pamanmu ini takluk padamu, tapi pengalaman tadi tidak membuatmu runtuh, sungguh aku harus kagum dan takluk padamu."
352 Koleksi Kang Zusi
"Terima kasih atas pujian paman," kata Po-giok. "Tapi Siautit sudah bertekad akan melanjutkan urusan ini, kecuali Siautit benar-benar dirobohkan orang, kalau tidak, siapa pun tidak dapat membuatku menyurut mundur."
"Baik, sekarang juga kita pergi mencari Auyang Thian-kiau," teriak Kim Put-we mendadak.
"Tidak, sekarang tidak boleh pergi," ujar Po-giok.
"Kenapa ... memangnya mau tunggu sampai kapan lagi?" tanya Put-we.
"Awan mendung akhirnya akan buyar, salah paham akhirnya pasti juga akan lenyap," kata Po-giok. "Pada hari itulah nanti akan kuhadapi Auyang Thian-kiau untuk menentukan kalah menang."
Ia bicara dengan tegas dan penuh tekad, keteguhan hati dan kepercayaan akan diri sendiri membuatnya tidak gentar menghadapi urusan apa pun.
"Bagus, anak baik!" seru Kim Put-we. "Semoga segalanya dapat kau laksanakan dengan baik."
***** Jago Kim-leng-sia, Hong-uh-sin-eng Eng Thi-ih, si Elang Sakti Hujan Badai, yang bercokol di Ciong-san, namanya mengguncangkan dunia, terutama senjata andalannya, yaitu dua buah Kun-goan-pay, perisai baja yang jarang digunakan orang ini, selama ini hampir tidak pernah ketemukan tandingan.
Eng Thi-ih sendiri berperawakan jangkung tegak, gerak-gerik gesit serupa elang. Dia luhur budi dan suka berkawan, di ruang Hui-eng-tong sering dipenuhi tetamunya dan selalu tersedia santapan dan arak.
Pagi-pagi Eng Thi-ih sudah berdiri di depan rumah dengan baju cokelat ringkas dan kelihatan gesit, belasan orang gagah mengiring di sampingnya, tiba-tiba seorang bertanya, "Apakah Eng-heng benar-benar hendak pergi ke sana?"
"Jika aku tidak pergi, kan berarti takut padanya?" jawab Eng Thi-ih dengan tersenyum.
Dengan sikap menghina orang itu berkata, "Waktu ini siapa yang tidak tahu bocah she Pui itu tidak lebih hanya seorang penipu belaka, masakah dia ada harganya untuk bertanding dengan Eng-heng?"
"Tapi apa salahnya jika penipu itu disuruh mencicipi rasanya kedua perisaiku?" ujar Eng Thi-ih dengan tersenyum.
Maka tergelaklah semua orang, beramai mereka lantas berangkat.
Dan baru saja mereka muncul dari kejauhan, rombongan Ban Cu-liang yang berdiri di tepi danau Hian-bu-oh sudah mengetahui kedatangan mereka.
Wajah Po-ji masih pucat pasi. Dengan khawatir, Bok Put-kut coba tanya anak muda itu, "Po-ji, apakah hari ini kau sanggup bertarung?"
Po-giok hanya tersenyum saja sebagai gantinya jawaban.
Sementara itu, di bawah semilir angin sejuk berkumandanglah suara ejekan dan tertawa orang banyak.
Ban Cu-liang dan lain-lain sama cemas, diam-diam mereka bertanya-tanya dalam hati, "Apakah 353
Koleksi Kang Zusi
hari ini Po-ji benar sanggup bertarung?"
Terlihat Eng Thi-ih sedang melangkah tiba, dengan enteng dan gesit, sekujur badan penuh tenaga, penuh semangat, penuh rasa keyakinan akan menang.
Dibandingkan Po-giok yang pucat sungguh sangat mencolok bedanya.
Po-giok membetulkan pedang kayu yang disandangnya, perlahan ia memapak ke depan.
Eng Thi-ih hanya memberi hormat sekadarnya kepada Ban Cu-liang, sebab orang lain pada hakikatnya dipandang sebelah mata olehnya. Bahkan Po-giok juga tidak dipandang olehnya, dengan suara lantang ia menegur, "Kau inikah Pui Po-giok?"
Dengan menahan perasaan Po-giok menjawab, "Ya."
"Baik," Eng Thi-ih menengadah dan tertawa. Ia memberi tanda dan membalik tubuh ke sana sambil berseru, "Lihat perisaiku!"
Segera seorang lelaki kekar berlari membawakan senjata andalannya, yaitu dua buah perisai baja yang antap dan mengilat di bawah sinar matahari.
Begitu perisai berada di tangan, "creng", bergema suara nyaring benturan kedua perisai, ketika kedua tangan Eng Thi-ih terbentang, segera menimbulkan sinar kemilau. Bersoraklah orang banyak melihat ketangkasannya.
"Nah, majulah Pui Po-giok!" bentak Eng Thi-ih perlahan dengan tatapan tajam.
Po-giok menarik napas panjang-panjang, dan belum lagi ia melangkah, serentak terdengar suara ejekan di sana-sini, "Hei, Pui Po-giok, apakah hari ini kau pun mabuk"!"
Di tengah olok-olok orang banyak itulah Po-giok mengayun langkahnya yang limbung untuk menghadapi Eng Thi-ih yang gagah tangkas.
Diam-diam Kongsun Put-ti mengisiki Ban Cu-liang, "Pertarungan ini jelas orang she Eng itu takkan bertindak sungkan lagi, jika sudah kelihatan tanda Po-ji akan kalah, mohon Ban-tayhiap suka berusaha mencegah tindakan Eng Thi-ih itu."
Ban Cu-liang mengangguk perlahan dengan muram.
Terlihat air muka Po-giok tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, tidak tampak lesu, juga tidak mengunjuk duka atau gusar, perlahan ia melolos pedang kayu dan berucap, "Silakan!"
"Bagus, ayolah maju!" sambut Eng Thi-ih, kembali kedua perisai bergetar terus menghantam ke depan.
Jilid 15. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Selain jurus serangannya aneh, kedua perisai ini memang sangat dahsyat, sebab bobotnya sekali lipat daripada senjata umumnya. Maka begitu kedua perisai menghantam, serentak angin dahsyat menyambar dan menimbulkan daya guncangan yang hebat. Bahkan serangan susul-menyusul sehingga membuat lawan kewalahan.
Terdengar orang banyak bersorak. Namun Po-giok tetap tenang saja, ia menggeser kian-kemari dan belasan jurus dapat dihindarkannya tanpa balas menyerang, namun setiap jurus serangan lawan tidak terlepas dari pengamatannya.
354 Koleksi Kang Zusi
Biasanya bila orang menggunakan senjata ganda tentu yang satu menyerang dan yang lain berjaga, satu jantan dan yang lain betina. Akan tetapi sekarang Eng Thi-ih justru dapat menyerang sekaligus dengan kedua perisai, gerak serangannya juga sukar diraba.
Tambah keras sorak-sorai orang banyak, ada yang mengejek, "Wahai, Pui Po-giok, jika kau tidak berani balas menyerang, lebih baik menyembah dan mengaku kalah saja!"
"Jangan-jangan mabukmu tempo hari sampai sekarang belum lagi reda"!" teriak lagi seorang lain.
Ejekan ini tidak dihiraukan Po-giok, akan tetapi perasaan Ban Cu-liang dan lain-lain tambah tertekan.
"Serangan kedua perisai Hong-uh-sin-eng memang luar biasa, jika ingin mencari peluang dari serangannya mungkin ...." Bok Put-kut menghela napas dan tidak melanjutkan.
"Menurut suara yang tersiar di dunia Kangouw, Hong-uh-sin-eng ini katanya merupakan jago utama di antara ke-40 jago muda yang akan bertemu di Thay-san nanti," kata Kim Co-lim.
"Meski aku tidak tahu betapa lihai jurus serangan kedua perisainya, tapi Hong-uh-siang-pay Eng Thi-ih dapat menduduki nomor empat di antara ke-13 jenis senjata khas jelas tidak boleh dipandang enteng," ujar Ban Cu-liang, kedua tangannya tersembunyi di balik lengan baju, jelas setiap saat ia siap untuk mencegah serangan maut Eng Thi-ih.
Menurut pandangan semua orang, harapan menang bagi Pui Po-giok sekarang semakin tipis.
Wajah Ciok Put-wi tampak gelap, sebaliknya Nyo Put-loh tampak merah beringas, Kim Put-we juga mengertak gigi, dahi Gui Put-tam penuh butiran keringat.
Thi-wah memukul-mukulkan kepalan pada telapak tangan, perasaannya juga gelisah serupa Ciok Put-wi dan lain-lain, ia berharap sekali pedang Po-giok bergerak akan dapat menembus kedua perisai Eng Thi-ih.
Akan tetapi sejauh itu Po-giok tetap tidak balas menyerang.
Bukannya dia tidak mau menyerang, sesungguhnya dia tidak dapat turun tangan.
Pikirannya yang semula mulai jernih mendadak timbul rasa kusut dan tidak tenteram yang tidak pernah terjadi. Padahal suara berisik di sekelilingnya ramai orang mendesak agar dia turun tangan.
Tampaknya Eng Thi-ih tambah bersemangat, jurus serangannya semakin lihai. Semua orang yakin pertarungan ini pasti akan dimenangkan olehnya.
Sang surya semakin tinggi di tengah langit, ejekan orang banyak semakin gemuruh, "Yang tidak berani turun tangan adalah pengecut ... penakut ...."
Pada saat itulah sekonyong-konyong pedang kayu Pui Po-giok menebas lurus ke depan.
Dalam sekejap itu jantung Bok Put-kut dan lain-lain seakan-akan berhenti berdenyut. Suara berisik orang banyak juga berhenti.
Gerak pedang kayu yang enteng itu tampak menembus ke tengah bayangan kedua perisai dan
"brak", pedang kayu tepat menusuk perisai.
Akhirnya Po-giok tidak sempat menggunakan peluang yang segera lenyap dalam sedetik itu, ujung pedang selisih setitik dan menjadikan kesalahan yang tak terampunkan.
Eng Thi-ih membentak perlahan, perisai menyampuk sekuatnya, "krek", pedang kayu patah 355
Koleksi Kang Zusi
menjadi dua. Po-giok tergetar mundur beberapa langkah, pedang kayu yang dipegangnya tinggal setengah potong.
Serentak orang banyak berteriak, "Ah, Pui Po-giok kalah! Kalau sudah kalah, ayolah lekas mengaku kalah, Pui Po-giok!"
Po-giok tampak lesu dan menurunkan pedang buntungnya. Mendadak Thi-wah berteriak,
"Toako, engkau belum kalah, siapa bilang engkau kalah" Ayo maju lagi!"
Semangat Po-giok tampak terbangkit. Sedang Eng Thi-ih tertawa latah, teriaknya, "Haha, ternyata hanya begini saja ilmu pedangmu!"
Segera perisai menghantam lagi, sekali ini ia tambah garang, daya serangnya tambah dahsyat.
"Sudah jelas kalah, kenapa belum mau mengaku kalah, Pui Po-giok"!" teriak orang banyak.
"Huh, sungguh tidak tahu malu!"
Di antara penonton itu ada dua orang berteriak paling keras. Tentu saja Thi-wah gusar, ia memburu ke sana, menerjang kedua orang itu.
Melihat lelaki serupa raksasa ini menerjang tiba, tentu saja kedua orang itu gugup, namun di mulut mereka tidak mau kalah dan menegur, "Kau mau apa?"
"Akan kubungkam bacot kalian!" teriak Thi-wah murka, berbareng kedua orang itu hendak dicengkeramnya.
Cepat kedua orang itu menangkis dengan agak jeri. Siapa tahu meski gerak-gerik Thi-wah tampaknya lamban, akan tetapi serangannya sangat aneh, tahu-tahu kedua orang itu kena dicengkeramnya terus diangkat.
Padahal banyak orang tahu ilmu silat kedua orang itu tidak lemah, siapa tahu menghadapi pemuda raksasa ini mereka serupa anak kecil saja dan diangkat ke atas tanpa berdaya meski mereka meronta-ronta sekuatnya.
Dengan mengangkat kedua orang itu di atas kepala, secara demonstratif Thi-wah berjalan sekeliling di depan para penonton dan berteriak, "Nah, inilah contohnya bagi orang yang banyak bacot! Jika ingin selamat, lekas tutup mulut. Bila toakoku benar-benar kalah barulah kalian boleh berteriak sampai bejat bacot kalian!"
Semua orang terkejut dan jeri sehingga sebagian besar lantas bungkam.
Bok Put-kut dan lain-lain tidak mengira pemuda gede dungu ini dapat menggunakan gerak tangkapan selihai itu, mereka merasa heran, tentu juga merasa senang.
Setelah suasana agak sunyi, terdengarlah deru angin yang diterbitkan oleh gerak kedua perisai Eng Thi-ih. Kini gerak tubuh Pui Po-giok juga kelihatan lebih gesit daripada tadi.
Sebagai jago berpengalaman, Ban Cu-liang dan lain-lain merasakan Eng Thi-ih sudah mulai tidak sabar, serangannya tambah gencar, agaknya ingin lekas menundukkan Po-giok.
"Mungkin elang sakti itu akan segera melancarkan serangan maut," ucap Kongsun Put-ti dengan suara tertahan.
Benar juga, belum lenyap suaranya, mendadak Eng Thi-ih bersuit panjang terus meloncat tinggi ke atas.
356 Koleksi Kang Zusi
Gayanya serupa elang pentang sayap terbang di udara, kedua perisainya seperti kedua sayap.
Mendadak, kedua perisai pecah menjadi empat terus terbang berhamburan.
Kiranya kedua perisai terpasang pegas yang dapat mulur-mengkeret sesukanya. Sekarang perisai pecah menjadi empat dan menimpa Po-giok dari udara.
Seketika Po-giok terancam dari kanan-kiri dan muka-belakang, dalam jarak beberapa tombak sama terkurung oleh perisai terbang itu.
Bok Put-kut dan lain-lain sama berteriak kaget, orang lain juga tidak sempat bersorak lagi karena ternganga oleh serangan luar biasa itu.
Akan tetapi sekarang pikiran Po-giok justru sedemikian tenangnya, pedang kayu yang tersisa setengah potong itu menggores setengah lingkaran ke atas, tahu-tahu keempat potong perisai pecah yang berhamburan itu tercungkil ke samping.
Selagi Eng Thi-ih terkejut, ternyata kedua tungkak kaki juga tersabet oleh pedang kayu sehingga jatuh terguling ke tanah. Sampai mati pun ia tidak mengerti mengapa gerak pedang kayu kutung Po-giok itu bisa membawa daya serang sedahsyat itu.
Jika tidak menyaksikan sendiri, siapa pun tidak dapat membayangkan perubahan secepat ini dan baru saja orang bersorak-sorai, berbareng Eng Thi-ih juga terkapar, serentak mereka urung bersuara, suasana berubah sunyi senyap.
Thi-wah berteriak gembira, kedua orang yang diangkatnya itu dilemparkan, ia sendiri lantas berjingkrak dan menari.
Tanpa terasa Kim Put-we juga berteriak, "Haha, menang, Po-ji menang!"
Ban Cu-liang dan lain-lain yang biasanya sangat sabar dan tenang menghadapi persoalan apa pun, sekarang mereka pun terharu dengan air mata berlinang. Sebaliknya kawanan penonton sama melongo dan termangu seperti patung.
Eng Thi-ih memandang Po-giok dengan terkesima, sampai lama barulah ia merangkak bangun, katanya dengan menghela napas, "Sungguh kagum!"
"Terima kasih," jawab Po-giok.
Tanya-jawab mereka hanya singkat saja, namun dalam beberapa patah kata itu entah betapa banyak mengandung pahit-getir, mengandung darah dan air mata ....
***** Menjelang petang, terjadi hujan gerimis.
Di luar rumah hujan dan dingin, namun Ban Cu-liang dan lain-lain yang berkumpul di dalam rumah justru penuh semangat dan hangat.
"Anak baik," seru Kim Put-we dengan tertawa, "pertarungan ini sungguh sangat gemilang.
Biarpun Ci-ih-hou hidup kembali kukira juga tidak lebih daripada ini."
"Ya, sudah banyak juga kudengar kisah kehebatan tokoh Bu-lim angkatan tua, tapi dalam keadaan seperti Po-ji tadi, dari kalah berubah menjadi menang, sungguh jarang terjadi," tukas Ban Cu-liang.
"Jika aku, di bawah ejekan orang banyak tentu aku bisa gila saking gemasnya," ujar Kim Co-lim dengan tertawa. "Ada lagi, tindakan Thi-wah tadi, jurus cengkeramannya itu juga sangat indah."
357 Koleksi Kang Zusi
"Hehe, sekian tahun kubelajar bersama Toako, paling banyak juga cuma dua-tiga jurus itu saja, jika dua-tiga jurus saja tidak kulatih dengan mahir, kan terlampau goblok," seru Thi-wah dengan tertawa.
Dengan sungguh-sungguh Ban Cu-liang berkata, "Ilmu silat mengutamakan saripatinya dan tidak perlu banyak, biarpun cuma dua-tiga jurus yang kau kuasai, asal jurus serangan mahalihai, rasanya tidak banyak tokoh Kangouw yang mampu menahan dua-tiga jurus seranganmu itu."
Ucapan ini keluar dari In-bong-tayhiap, dengan sendiri lain bobotnya.
Thi-wah merasa gembira dan puas, gumamnya, "Alangkah baiknya bila komentar Ban-tayhiap ini dapat didengar si dia."
Dengan sendirinya orang lain tidak tahu, "si dia" yang dimaksudkan Thi-wah, hanya Po-giok yang tahu. Keduanya saling pandang dengan tersenyum dan tahu sama tahu.
"Kalah tidak perlu patah semangat, dihina tidak emosi, apa yang dapat kau lakukan ini sungguh luar biasa, Po-ji," kata Kongsun Put-ti. "Selanjutnya kesan orang Kangouw padamu pasti akan banyak berubah. Menang tapi tidak sombong, hendaknya camkan pesanku ini."
"Petuah Paman ini takkan kulupakan selama hidup," jawab Po-giok dengan khidmat.
"Tapi ini pun baru permulaan saja," tukas Kongsun Put-ti. "Bilamana kau ingin mencuci bersih penghinaan yang pernah kau terima, kau masih harus berjuang terlebih keras. Maka kalau pertarunganmu dengan Thian-to Bwe Kiam besok dapat kau menangkan pula, maka dapatlah kau beri bukti kepada semua orang bahwa kau bukan penipu, bukan pendusta."
"Kabarnya senjata andalan Bwe Kiam itu adalah Sok-lian-to, golok melengkung yang tersembunyi di dalam toya sepanjang satu tombak lebih, pada ujung toya dipasang lagi gelang baja berantai, bagian rantai tergantung lagi lima buah bola besi ...."
"Rupanya di ujung toya itu terpasang pegas dan golok tersembunyi itu akan menjeplak bila dipencet alatnya," ujar Po-giok dengan tersenyum.
"Oo, kiranya begitu," kata Bok Put-kut dan lain-lain.
"Dan kelihaian golok melengkung itu meski cuma sebuah, tapi dapat digunakan menjadi dua macam senjata."
"Betul," tukas Sebun Put-jiok. "Konon Bwe Kiam itu asalnya seorang pelaut pendatang dari kepulauan timur, entah dari mana ia belajar ilmu golok yang aneh itu, sejak tiba di daerah Tionggoan lantas menjadi suatu aliran tersendiri."
Ban Cu-liang menghela napas gegetun, dan berucap pula, "Guru Po-ji sungguh luar biasa, sudah lama ia mengasingkan diri, namun segala seluk-beluk dunia persilatan tetap diketahuinya dengan jelas."
"Cuma sayang, tanpa sebab beliau meninggalkan kami lagi dan entah ke mana sekarang," seru Thi-wah.
"Apa pun juga Bwe Kiam ini pasti lawan berat bagi Po-ji," ujar Kongsun Put-ti. "Pertarungan besok kukira jauh lebih susah daripada hari ini."
"Tidur, Po-ji," sela Ciok Put-wi mendadak.
"Betul, hari ini kita telah menempuh perjalanan beratus li, untuk menghadapi pertarungan 358
Koleksi Kang Zusi
sengit besok, Po-ji harus istirahat sebaiknya," kata Ban Cu-liang.
Dengan hormat Po-ji mengiakan dan bermaksud mengundurkan diri, siapa tahu baru saja ia berdiri, "sret", mendadak dari luar jendela selarik cahaya membawa angin tajam menyambar lewat di depan Po-ji dan menancap di pilar hingga ambles beberapa senti dalamnya. Ternyata sebuah ujung tombak perak mengilat.
Selagi semua orang terkejut, terdengar di luar ada suara jeritan dan bentakan, seorang bersuara serak lagi berkata, "Thi Un-hou, Li Eng-hong, apakah kalian ingin kabur?"
"Wah, celaka!" seru Po-giok khawatir. "Rupanya Paman Li dan Paman Thi ada kesulitan, ayo lekas melihatnya keluar."
"Jangan khawatir, biar kami yang membereskan," kata Kongsun Put-ti. "Thi-wah, tunggu toakomu di sini."
Baru selesai ucapannya segera ia menerobos keluar jendela, tanpa disuruh Ban Cu-liang dan lain-lain segera ikut mengejar keluar.
Di bawah hujan gerimis tampak empat orang berbaju putih dengan kedok putih pula sedang bertempur mengerubut satu orang.
Agaknya yang dikerubut itu sudah lelah, malahan dia menggendong seorang lagi dan sekuatnya bertahan sambil putar tombaknya yang tinggal setengah potong.
Keempat orang berbaju putih itu kelihatan seram serupa badan halus, gerak tubuh mereka sangat aneh, meski tangan tidak bersenjata, namun gerak-gerik mereka sangat gesit, biarpun tidak bersenjata, tapi telapak tangan mereka sebentar menebas, memotong dan mencengkeram, sekaligus menggunakan berbagai gaya ilmu silat dari berbagai aliran.
Ban Cu-liang khawatir terlambat menolong, sebelum tiba di tempat tujuan lebih dulu membentak, "Jangan khawatir, Li Eng-hong, ini datang bala bantuanmu!"
Suaranya keras dan mendengung membuat anak telinga tergetar. Keruan keempat orang berbaju putih itu terkejut.
Sementara itu Bok Put-kut dan lain-lain juga sudah memburu tiba, tanpa bicara mereka terus melabrak kawanan orang berbaju putih.
Ban Cu-liang sudah kenal Li Eng-hong, katanya, "Biarlah kami menggantikanmu, lekas kau masuk ke rumah untuk istirahat dulu."
"Teri ... terima kasih," jawab Li Eng-hong dengan napas tersengal.
Ia memang sudah lemas, tanpa sungkan lagi ia lari ke rumah sana.
Ban Cu-liang tidak ingin main kerubut, ia membiarkan Bok Put-kut, Ciok Put-wi, Kim Put-we, dan Nyo Put-loh menghadapi keempat orang berbaju putih, ia berjaga di luar kalangan untuk mengawasi keadaan bila musuh bermaksud lari.
Sebagai murid Siau-lim-pay, ilmu pukulan Bok Put-kut dengan sendirinya cukup lihai. Tapi sebelum dapat meraba aliran kungfu lawan, ia tidak mau sembarangan menyerang, tapi hanya bertahan. Sebaliknya Kim Put-we tidak sungkan lagi, langsung ia melancarkan serangan keras sesuai gaya ilmu silat Go-bi-pay.
Begitu juga Nyo Put-loh, dengan murka ia keluarkan kungfu andalannya, yaitu Tay-lik-eng-jiau-kang, ilmu cakar elang bertenaga raksasa, bila kena dicengkeram, jiwa seketika akan melayang.
359 Koleksi Kang Zusi
Si baju putih yang menjadi lawannya agaknya rada jeri terhadap gaya serangannya yang ganas itu, setelah belasan jurus, berulang ia terdesak mundur beberapa tombak. Walaupun begitu untuk mengalahkan keempat orang berbaju putih jelas juga tidak mudah.
"Dari manakah keempat orang ini?" kata Gui Put-tam. "Ilmu silat yang aneh ini rasanya belum pernah kudengar."
"Ya, melihat gerak-gerik mereka, kungfu mereka tidak dikenal di daerah Tionggoan, tampaknya kurang kuat meski aneh gaya ilmu silat mereka," tukas Kongsun Put-ti.
Belum lenyap suaranya, orang yang bergebrak dengan Nyo Put-loh mendadak mengeluarkan suara suitan aneh, berbareng itu keempat orang itu lantas melemparkan sesuatu ke tanah.
Hanya dalam sekejap saja dari tanah lantas mengepul selapis kabut putih dan segera buyar terbawa angin.
"Celaka, dalam asap ada racun!" seru Ban Cu-liang.
"Lekas mundur, Toako dan Site!" cepat Kongsun Put-ti berteriak.
Segera Bok Put-kut berempat melompat mundur.
Makin tebal asap yang timbul, semua orang sama menahan napas agar tidak mengisap hawa berbisa.
Ketika angin meniup dan asap mulai buyar, ternyata bayangan keempat orang berbaju putih tadi sudah lenyap.
"Kalah-menang belum jelas, mengapa mereka kabur mendadak ...." gumam Kongsun Put-ti dengan heran dan juga waspada, ia khawatir di balik urusan ini tersembunyi sesuatu intrik keji.
Sebaliknya Kim Co-lim berkata dengan tertawa, "Jika aku menjadi mereka, tentu aku pun akan kabur. Habis kalau tidak dapat menang, tinggal lebih lama di sini kan berarti minta digebuk belaka?"
Semua orang ikut tertawa oleh banyolannya, mereka pulang ke hotel dan tidak banyak pikir lagi. Bahwa dirinya dapat menyelamatkan pendekar ternama seperti Li Eng-hong tentu saja Kim Put-we sangat senang.
Sementara itu Po-giok yang tertinggal di hotel, meski ia yakin mereka pasti mampu menolong Li Eng-hong, tidak urung ia merasa khawatir juga. Maklumlah, budi kebaikan Li Eng-hong dan Thi Un-hou kepadanya tak dapat dilupakannya selama hidup.
Dengan gelisah ia mengawasi dari balik jendela, tiba-tiba seorang berlari datang di bawah hujan sambil menggendong seorang lagi.
"Paman Li!" seru Po-giok sambil melompat keluar dan menyongsongnya.
Orang itu merandek dan bersuara dengan ragu, "Siapa Anda?"
"Siautit Po-giok ... Po-ji, masa Paman Li pangling," jawab Po-giok.
"Ahhh," seru Li Eng-hong, "kiranya Po-ji, sudah sebesar ini dan telah tumbuh segagah ini. Tak
... tak terduga masih dapat kulihat dirimu ...."
Ia bicara dengan tersendat, suatu tanda betapa terharu hatinya.
360 Koleksi Kang Zusi
Di bawah cahaya lampu yang menyorot keluar dari jendela, terlihat pendekar ternama ini bermuka pucat, sekujur badan basah kuyup, mata sayu terlampau lelah, sikap gagahnya masa lampau hampir tak terlihat lagi.
Air mata Po-giok juga berlinang-linang, hampir sukar dipercayanya bahwa lelaki yang dikejar orang serupa binatang buas terluka ini adalah Li Eng-hong yang terkenal di masa lampau.
Entah air mata atau air hujan yang membasahi muka Li Eng-hong, ia menatap Po-ji dengan terkesima, Po-ji juga menatapnya dengan terharu, dalam suasana tanpa bicara ini terkandung rasa pedih dan juga rasa girang yang tak terhingga.
Tiba-tiba Thi-wah melompat keluar, lalu ia pun berdiri terkesima.
"Kau mau apa?" tanya Po-ji.
"O, tidak apa-apa," sahut Thi-wah sambil menyengir. "Toako suka main hujan-hujan, terpaksa kutemani."
"Ai, kau ini, coba aku sampai lupa mengundang Paman Li masuk ke rumah," kata Po-ji dengan tersenyum.
Malahan ia pun lupa bahwa masih ada seorang dalam gendongan Li Eng-hong, yaitu Thi Un-hou yang terluka parah.
Waktu Li Eng-hong menaruh Thi Un-hou di tempat tidur, barulah Po-ji menyadari hal itu, sungguh sedih hatinya melihat lelaki gemblengan masa lampau sekarang tampak kurus kering.
Meski lengan kiri yang patah sudah tersambung, namun lengan kanan Thi Un-hou telah buntung seluruhnya, keadaannya kembang kempis.
"Sejak pertempuran di Thian-hong-tong, segenap musuh lama maupun baru serentak mencari kami sehingga selama tujuh tahun ini, hidup kami tidak pernah tenteram," tutur Li Eng-hong.
"Kekalahan tempo hari itu sungguh meruntuhkan kami segalanya," sambung Li Eng-hong dengan berlinang air mata, ia pandang Thi Un-hou sekejap, lalu menyambung, "Apalagi keadaannya serupa orang tidak berguna lagi, selama tujuh tahun ini kami selalu buron belaka dan senantiasa dibayangi musuh. Cian-toasiokmu juga menghilang entah ke mana, tersisa kami berdua ... Sampai hari ini, dia terkena tiga kali pukulan maut musuh dan tampaknya jiwanya sukar ... sukar ditolong lagi."
"Tidak, Paman Thi takkan mati!" teriak Po-giok mendadak.
"Memangnya kau yakin mampu menyembuhkan dia?" tanya Eng-hong dengan heran.
"Ya," sahut Po-giok sambil mengangguk.
"Tapi dia ...."
"Sudahlah, tanpa dijelaskan Paman juga kutahu," potong Po-giok. "Dahulu Paman Thi telah menyelamatkan diriku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, hari ini betapa pun harus kusembuhkan dia."
Bicara sampai di sini, mendadak ia pondong tubuh Thi Un-hou terus dibawa lari keluar.
"Hei, Toako ... akan ... akan kau apakan dia?" seru Thi-wah kaget.
Tanpa menoleh Po-giok menjawab, "Jika ditanya orang, katakan kupergi untuk menyembuhkan luka Paman Thi dan besok pagi dapat kukembali ke sini ...."
361 Koleksi Kang Zusi
Waktu Thi-wah menyusul keluar, bayangan Po-giok sudah tidak tertampak lagi.
***** Sekembalinya Bok Put-kut dan lain-lain di hotel, mereka tidak melihat Po-ji lagi, hanya Thi-wah tampak berdiri termenung sedih di situ, Li Eng-hong juga menunduk muram.
"Ke mana perginya Po-ji?" tanya Kongsun Put-ti khawatir.
Dengan tergegap Thi-wah bertutur apa yang terjadi.
"Suruh kau jaga dia, mengapa ...." omel Bok Put-kut.
Dengan wajah getir Thi-wah menjawab, "Habis kalau Toako mau pergi, Thi-wah tidak dapat mencegahnya dan juga tidak sanggup menyusulnya."
"Mari kita cari dia!" seru Kim Put-we mendadak.
"Sudahlah, tidak perlu dicari lagi," kata Kongsun Put-ti sambil menggeleng.
"Mengapa tidak cari?" tanya Kim Put-we khawatir. "Hendak mengobati luka kan tidak perlu dikerjakan dia, kita juga sanggup. Apalagi malam ini mana ... mana boleh dia menyembuhkan luka orang?"
"Tentu disebabkan luka Thi-tayhiap sangat parah, ia tahu orang lain tidak sanggup dan terpaksa dilakukannya sendiri," ujar Kongsun Put-ti dengan pedih. "Ya, tentunya ia khawatir kita akan merintanginya, maka ia pergi dengan diam-diam. Semua ini dilakukan dengan tekad bulat, andaikan kita mencarinya juga tidak berguna."
Semua orang tidak dapat membantah, mereka hanya mondar-mandir dengan gelisah.
"Kalian kelihatan cemas, apakah ...." tanya Li Eng-hong.
"Ya, esok pagi Po-ji akan menghadapi suatu pertarungan dahsyat dan menyangkut timbul-tenggelam namanya," tutur Bok Put-kut. "Jika sekarang dia harus mengorbankan tenaganya untuk menolong Thi-tayhiap, mungkin besok ...."
Belum habis ucapannya Li Eng-hong lantas berteriak dengan khawatir, "Ah, jika demikian, jadi akulah yang membikin susah dia malah ...."
"Tapi engkau juga tidak dapat disalahkan," ujar Bok Put-kut.
"Jika dia sudah tahu besok harus bertempur, toh dia mau menolong orang lain, rupanya dia lebih suka mengorbankan diri sendiri daripada ...." sampai di sini suaranya menjadi tersendat dan tidak dapat melanjutkan, hatinya duka dan menyesal.
"Bagus!" teriak Ciok Put-wi mendadak.
"Dalam keadaan begini, apanya yang bagus?" tanya Kim Put-we dengan gusar.
"Ya, budi luhur Po-ji sungguh harus dipuji, sekalipun pertempuran besok akan mengalami kekalahan juga tidak perlu malu, kita justru harus bangga mempunyai keponakan sehebat ini,"
sela Bok Put-kut dengan terharu.
Sementara itu suara ayam berkokok sudah ramai, ufuk timur mulai remang-remang, dan Po-ji belum lagi pulang.
Menurut perasaan semua orang, malam ini merupakan malam terpanjang selama hidup 362
Koleksi Kang Zusi
mereka. Tapi ketika Po-ji belum lagi muncul, mereka malah menyesali fajar yang datang terlalu cepat.
Bok Put-kut dan lain-lain sama memandang keluar jendela dengan gelisah.
"Sialan, mengapa belum lagi pulang," omel Kim Put-we sambil mengentak kaki.


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sabar, sebentar juga pulang," ujar Gui Put-tam.
"Kau suruh aku sabar, kau sendiri tampak gelisah," sahut Put-we.
"Entah pada waktu apa akan dilakukan pula pertandingan Po-ji menurut perjanjian?" tanya Li Eng-hong.
"Pada saat ini, mungkin sudah lewat waktunya," kata Kongsun Put-ti.
Tiba-tiba Ban Cu-liang menyela, "Biarpun Po-ji belum pulang, betapa pun kita harus memenuhi janji. Marilah kita berangkat ke tepi danau untuk memberitahukan Thian-to Bwe Kiam."
"Ya, seharusnya begitu," tukas Bok Put-kut.
Tapi baru saja mereka bergegas hendak berangkat, tiba-tiba terdengar suara ramai di luar.
"Agaknya kita tidak perlu berangkat lagi," ujar Kongsun Put-ti.
Segera Bok Put-kut mendahului lari keluar disusul yang lain. Maka terlihatlah serombongan orang sedang datang dari tepi danau sana.
Beratus orang dalam rombongan itu hingga menimbulkan suara berisik, terdengar suara mereka, "Itu dia, di hotel itu."
"Dari mana kau tahu" Apakah kau ...."
"Itu lihat sendiri, siapa itu yang keluar dari hotel"!"
"Ah, betul, yang itu seperti Ban-tayhiap adanya."
"Dan yang mana Pui Po-giok?"
Seorang yang berjalan di depan rombongan itu berperawakan sedang dan kekar, wajahnya yang cokelat menampilkan tanda-tanda orang yang sudah kenyang asam garam dunia Kangouw.
"Itu dia, Thian-to Bwe Kiam sudah datang," kata Ban Cu-liang dengan menyesal.
Orang yang kekar kuat itu memang Thian-to Bwe Kiam adanya. Ia berdiri tegak di depan rombongan Ban Cu-liang dan menyapa, "Selamat Ban-tayhiap, karena cukup lama kutunggu kedatangan Pui-siauhiap dan belum lagi muncul, kabarnya semalam Pui-siauhiap mondok di sini, maka sengaja menyusul kemari untuk bertemu dengan dia."
Ban Cu-liang memberi hormat dan menjawab, "Maaf jika Bwe-tayhiap sampai menunggu sekian lama."
"Soalnya sangat ingin kulihat wajah Pui-tayhiap yang gagah, maka tidak sabar menunggu," kata Bwe Kiam dengan tertawa. "Entah sekarang bolehkah minta Pui-siauhiap keluar untuk bertemu denganku?"
"Wah, ini ... ini ...." Ban Cu-liang gelagapan, terpaksa ia menoleh dan memandang Bok Put-kut 363
Koleksi Kang Zusi
dan lain-lain yang tampak juga saling pandang belaka.
Ban Cu-liang coba menjawab sebisanya, "Oh, dia ... dia tidak berada di sini."
"Ke mana dia?" tanya Bwe Kiam heran.
Mendadak Ban Cu-liang terbatuk-batuk hingga menungging.
Kim Put-we tidak tahan, ia berteriak, "Ke mana perginya, kami sendiri tidak tahu."
Keruan Bwe Kiam melengak, ucapnya dengan kurang senang, "Pertandingan ini berasal dari janji Pui-siauhiap dan kalian sendiri, sekarang kudatang menurut waktu perjanjian, sebaliknya Pui-siauhiap malah menghilang, apakah memang sengaja hendak mempermainkan diriku?"
Belum habis ucapannya, orang banyak yang berdiri di belakangnya lantas ribut, ada yang berteriak, "Aha, Pui Po-giok telah kabur!"
"Wah, sungguh lelucon yang tidak lucu. Ia sendiri yang berjanji untuk bertanding, setiba waktunya ia sendiri yang merat malah?"
"Haha, rupanya Pui Po-giok cuma seorang pengecut belaka!"
"Suruh Pui Po-giok keluar! ... Dia harus keluar untuk menepati janji! ...."
Begitulah berbagai ejekan dan olok-olok dialamatkan kepada Pui Po-giok. Keruan Bok Put-kut dan lain-lain gusar tidak kepalang, tapi juga tidak dapat berbuat sesuatu.
"Diam, kalian dengarkan dulu penjelasanku ...." teriak Kim Co-lim sambil memberi tanda.
Meski lantang suaranya, namun segera tenggelam di tengah gemuruh suara orang banyak yang marah, "Persetan! Siapa ingin penjelasanmu segala! ... Suruh Pui Po-giok keluar untuk bertempur dengan Bwe-tayhiap! ... Kau sendiri lekas enyah ...."
Kim Co-lim mengepal dengan gemetar saking dongkolnya, Ban Cu-liang menariknya dan mendesis, "Saat ini Po-ji entah ke mana, Thi Un-hou yang terluka juga tidak di sini, biarpun kau beri penjelasan macam-macam juga sukar dipercaya mereka?"
Mendadak Kongsun Put-ti mendekati Bwe Kiam, katanya dengan hormat, "Saat ini Pui Po-giok tidak di sini, tapi sebelum tengah hari dia pasti akan kembali. Bilamana untuk sementara Anda sudi bersabar, pada waktu tengah hari pasti akan kusuruh Po-giok berkunjung ke kediamanmu."
"Agaknya yang bicara ini Kongsun-tayhiap yang termasyhur," jawab Bwe Kiam. "Baiklah, demi menghormati Kongsun-tayhiap, sementara ini kuterima usulmu, pada waktu tengah hari kutunggu kedatangan kalian di rumah."
Dia memang seorang gagah kesatria, setiap ucapannya dilaksanakan dengan tegas dan cepat, serentak ia membalik tubuh dan berseru kepada orang banyak, "Bilamana hadirin sudi menghormati orang she Bwe, hendaknya sekarang ikut pulang bersamaku, tunggu sementara hingga tengah hari. Biarpun orang she Bwe bukan orang kaya, tapi sekadar makanan kecil masih cukup tersedia di rumah. Maka kuharap kalian suka ikut ke rumahku sekarang juga."
Serentak orang banyak menjawab setuju dan beramai-ramai ikut pergi bersama Bwe Kiam, walaupun ada juga beberapa orang di antaranya masih mengomel karena merasa tertipu.
Menyaksikan kepergian orang banyak itu, Bok Put-kut dan lain-lain sama menggeleng kepala dan menghela napas menyesal.
"Untung Bwe Kiam ini seorang lelaki berbudi ...."
364 Koleksi Kang Zusi
Belum lanjut ucapan Ban Cu-liang, mendadak Nyo Put-loh berteriak, "Aku justru lebih suka dia seorang lelaki yang tidak pakai aturan, dengan begitu dapat kulabrak dia sepuasnya daripada bicara ini dan itu ...."
Selagi mereka ribut sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang berlari di luar, tahu-tahu seorang menerobos masuk, siapa lagi dia kalau bukan Pui Po-giok.
Hanya semalam saja wajahnya yang merah cerah telah berubah menjadi pucat dan layu, akan tetapi Thi Un-hou yang berada dalam pangkuannya yang semula pucat kurus kini telah berubah menjadi merah segar.
Mestinya semua orang ingin mengomeli anak muda itu, tapi demi melihat keadaannya, tentu saja mereka tidak sampai hati.
Li Eng-hong memburu maju, tanyanya dengan terharu, "Po ... Po-ji, dari mana ...."
Wajah Po-giok yang pucat dan lesu menampilkan senyuman terhibur, ucapnya, "Syukurlah tidak mengecewakan harapan Paman."
Kalimat singkat itu diucapkan dengan ringan dan hambar, tidak ada yang tahu bahwa di balik perkataan itu terkandung air mata dan darah.
"Ah, baiklah jika sekarang Po-ji sudah pulang," kata Ban Cu-liang kemudian dengan tertawa cerah. "Rasanya kita pun tidak perlu cemas lagi."
Namun dalam hati diam-diam ia menyesal kepulangan anak muda itu agak terlambat sedikit.
Dengan air mata berlinang Li Eng-hong menerima tubuh Thi Un-hou yang masih lemah itu.
"Saat ini Paman Thi lagi tidur, sebentar bila mendusin, kesehatannya akan banyak pulih ..."
sampai di sini mendadak Po-ji menoleh dan bertanya, "Eh, bagaimana dengan Thian-to Bwe Kiam" ...."
Cepat Kongsun Put-ti mendahului menjawab, "Meski dia sudah datang dan pergi lagi, tapi jangan khawatir, kami sudah mengatur waktu pertandingan, diundurkan sampai tengah hari nanti dan sudah diterima oleh Bwe Kiam."
"Ah, bagus ...." seru Po-giok dengan lega. Siapa tahu baru saja bicara sekian, mendadak tubuhnya terkulai.
Semua orang terkejut dan cepat membangunkan dia dan didudukkan di kursi. Terlihat wajah anak muda itu pucat lesi serupa mayat, kaki tangan pun dingin.
"Hei, Po-ji, ken ... kenapa?" seru Bok Put-kut khawatir.
Perlahan Po-giok membuka mata dan tersenyum, seperti mau omong apa-apa, tapi sebelum terucap ia jatuh pingsan lagi. Nyata ia lelah lahir batin sehingga kehabisan tenaga.
Tentu saja semua orang terperanjat dan khawatir. Kongsun Put-ti mengangkat Po-giok ke dalam, dia ditaruh di tempat tidur, perlahan ia memberi selimut, lalu semua orang disuruh keluar, pintu pun dirapatkan.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Kim Put-we perlahan.
Kongsun Put-ti menggeleng kepala, sahutnya, "Rupanya dia kehabisan tenaga dan sekarang memikirkan lagi pertandingan yang akan datang, maka dia ... dia tidak tahan."
365 Koleksi Kang Zusi
"Wah, lantas bagaimana dengan pertandingan tengah hari nanti?" ujar Kim Put-we.
Semua orang sama diam dan tidak dapat memberi sesuatu saran.
Sampai sekian lama semua orang sama menunduk sedih, akhirnya Ban Cu-liang berkata sambil menghela napas, "Dalam keadaan begini, kukira cuma ada suatu jalan."
"Terus terang, pikiran kami sama kusut, maka mohon Ban-tayhiap sudi memberi pendapat yang baik," pinta Kongsun Put-ti.
"Sekarang hanya dapat minta Li Eng-hong membawa Thi Un-hou ke tempat Bwe Kiam dan menjelaskan kepada hadirin di sana tentang seluk-beluk urusan ini, dengan nama baik mereka berdua, ditambah lagi bukti keadaan Thi Un-hou yang terluka parah, tentu semua orang akan percaya kepada keterangan mereka."
Apa yang diuraikan Ban Cu-liang memang satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam keadaan menghadapi jalan buntu ini.
Segera semua orang menyatakan setuju. Semangat Bok Put-kut juga terbangkit, cepat ia berlari ke dalam rumah sambil berseru, "Li-tayhiap ... Li-locianpwe ...."
Akan tetapi tidak ada suara jawaban, di dalam kamar hanya ada dua orang, yaitu Nyo Put-loh dan Pui Po-giok yang lagi tidur, bayangan Li Eng-hong dan Thi Un-hou tiada terlihat lagi.
Waktu mereka coba memeriksa keadaan kamar, terlihat di dinding ada tulisan yang berbunyi:
"Maaf Po-ji, kami bersalah padamu."
Tulisan merah jelas, ternyata ditulis dengan darah.
Ternyata Li Eng-hong dan Thi Un-hou sudah pergi. Bahwasanya kedua orang ini terkepung musuh dan terluka parah, lalu minta tolong dan sebagainya, semua itu ternyata juga tipu muslihat belaka, perangkap yang sengaja diatur untuk membikin celaka Po-ji.
Ban Cu-liang, Bok Put-kut, dan lain-lain hampir tidak percaya kepada apa yang terjadi ini, akan tetapi semua ini justru bukti nyata yang tidak dapat disangkal.
Tokoh gemblengan serupa Ban Cu-liang sampai terhuyung-huyung memikirkan hal ini, dengan lemas ia duduk di kursinya, katanya dengan terputus-putus, "Sungguh tidak ... tidak nyana Li Eng-hong dan Thi Un-hou adalah manusia kotor demikian, selama hidup kujelajahi dunia Kangouw, siapa duga sekarang bisa salah lihat."
"Tempo hari Auyang Cu, sekarang Li Eng-hong dan Thi Un-hou," ucap Bok Put-kut dengan sedih. "Mengapa mereka berbuat demikian, padahal hubungan mereka dengan Po-ji sangat erat, sebab apa mereka membikin susah Po-ji?"
"Jelas saat ini terdapat seorang iblis yang tak terlihat dan tak terdengar oleh kita berniat membikin susah Po-ji," kata Kongsun Put-ti. "Sebab iblis ini tahu hanya orang seperti Auyang Cu dan Li Eng-hong saja yang dapat menipu Po-ji."
Semua orang merinding membayangkan tipu muslihat yang diatur iblis tak terlihat dan tak terdengar seperti apa yang dikatakan Kongsun Put-ti itu.
"Iblis jahat itu selain ingin merenggut nyawa Po-ji, bahkan ingin membuat Po-ji tersiksa dan kehilangan nama baik secara perlahan, kehilangan semangat, kehilangan kepercayaan diri dan akhirnya mati. Betapa keji dan kejam maksud iblis itu, sungguh tidak ada bandingannya di dunia ini."
Bilamana membayangkan betapa rapi muslihat yang diatur iblis tak tertampak itu, sampai orang 366
Koleksi Kang Zusi
cerdik seperti Ban Cu-liang dan Kongsun Put-ti juga terjeblos ke dalam perangkap si iblis, sungguh mengerikan dan membuat semua orang sama merinding.
Mendadak Kim Put-we berteriak dengan suara parau, "Sesungguhnya siapakah iblis jahat ini"
Ada permusuhan apa antara dia dengan Po-ji" Orang yang berhubungan erat dengan Po-ji seperti Auyang Cu dan Li Eng-hong, mengapa juga tunduk kepada iblis itu dan mau membikin celaka Po-ji" Ahh, siapakah di dunia ini yang tahu rahasia ini dan siapa kiranya yang dapat memberi jawaban padaku?"
Suasana terasa sunyi dan seram, sebab sejauh ini memang tidak ada seorang pun yang tahu rahasia itu, apalagi untuk menjawab pertanyaannya.
***** Waktu tengah hari, awan mendung telah buyar, cahaya matahari menyinari bumi.
Tempat kediaman Thian-to Bwe Kiam yang luas tapi sederhana itu sunyi senyap tiada orang lagi, kawanan orang Kangouw yang tadi ingin melihat keramaian itu kini sudah pergi semua.
Dua orang anak berbaju hijau sedang menyapu halaman.
Bwe Kiam duduk sendirian di bawah kerindangan pohon, perlahan asyik membersihkan senjata andalannya, golok berantai.
Tiba-tiba seorang berlari datang, memberi hormat dan melapor, "Di luar ada In-bong-tayhiap Ban Cu-liang, Bok Put-kut dari Siau-lim, dan Kongsun Put-ti dari Bu-tong, mohon bertemu dengan Toaya."
Bwe Kiam bersuara perlahan sambil berkerut kening, buru-buru ia lari keluar.
Memang benar Ban Cu-liang bertiga sudah berdiri di ruangan tengah. Tampak mereka merasa heran oleh kesunyian rumah ini.
"Apakah para kawan tadi sudah pergi?" tanya Ban Cu-liang segera setelah berhadapan dengan tuan rumah.
"Ya, sudah pergi semua," jawab Bwe Kiam.
Ban Cu-liang bertiga saling pandang dengan heran, kejut dan juga girang. Diam-diam mereka bersyukur dan membatin, "Jika orang banyak sudah bubar, tentu urusan lebih mudah diselesaikan."
Bwe Kiam memandang mereka sekejap, lalu tanya, "Entah ada petunjuk apa kedatangan kalian?"
"Soalnya kan sudah kujanjikan agar menemui Bwe-tayhiap pada waktu tengah hari ini," tutur Kongsun Put-ti.
"Betul," kata Bwe Kiam. "Tapi Pui-siauhiap sendiri ...."
"Justru kedatangan kami ingin memberi penjelasan mengenai urusan ini," kata Ban Cu-liang.
"Soalnya Po-giok mendadak ... mendadak jatuh sakit berat dan tidak dapat bangun, jelas hari ini dia tidak dapat memenuhi janji."
"Oo, apa betul?" Bwe Kiam menegas dengan kening bekernyit.
"Demi kehormatanku, selama hidupku tidak pernah omong kosong, apalagi terhadap Bwe-tayhiap, masakah berani kudusta," sahut Ban Cu-liang tegas. "Yang kuharap agar Bwe-tayhiap 367
Koleksi Kang Zusi
suka mengingat diriku dan sudi mengundurkan waktu pertandingan untuk beberapa hari saja."
Bwe Kiam tidak lantas menjawab, sinar matanya yang tajam menyapu pandang Ban Cu-liang bertiga, dengan sendirinya perasaan ketiga orang sama terasa tegang menanti jawaban.
Tiba-tiba Bwe Kiam mendengus, "Hm, padahal tadi Pui-siauhiap baru saja datang kemari, sungguh aku tidak mengerti apa maksud kalian?"
Tentu saja Bok Put-kut bertiga terperanjat.
"Apa ... apa Bwe-tayhiap tidak salah lihat"!" tanya Kongsun Put-ti.
"Hm, biarpun aku tidak kenal Pui-siauhiap, tapi dari para kawan yang hadir di sini tadi kan banyak yang kenal dia, memangnya mereka pun salah lihat?" sahut Bwe Kiam dengan ketus.
Ban Cu-liang bertiga saling pandang dengan bingung, jawab Bok Put-kut kemudian, "Namun ...
namun sejak tadi Po-ji jelas tertidur lelap ...."
"Bukan saja Pui-siauhiap sudah datang kemari, malahan ia mengantar sendiri sepucuk surat, apakah kalian ingin membaca suratnya?" tanya Bwe Kiam sambil menyodorkan sepucuk surat dan cepat diterima Bok Put-kut.
Waktu mereka membentang surat itu, isinya menyatakan Pui Po-giok telah menyadari kecerobohannya, beberapa pertarungan yang sudah terjadi dianggapnya cuma terdorong oleh darah muda yang sok menang. Tapi sekarang ia menyadari kekeliruannya dan bersumpah takkan menggunakan kekerasan lagi untuk menghadapi orang Kangouw. Begitu pula ia minta maaf kepada Bwe Kiam dan menyatakan batal pertandingan mereka.
Surat itu singkat dan indah tulisannya, Bok Put-kut bertiga sama melongo setelah membaca isi surat itu. Segera Bok Put-kut dan Ban Cu-liang bermaksud membantah pula isi surat itu, namun Kongsun Put-ti keburu mencegahnya.
"Setelah menyampaikan surat ini, tanpa bicara Pui-siauhiap lantas tinggal pergi," tutur Bwe Kiam. "Semua ini disaksikan orang banyak, kuyakin kalian pun dapat membenarkan maksud surat Pui-siauhiap ini."
"Numpang tanya," kata Kongsun Put-ti. "Setelah semua orang melihat kepergiannya tanpa bertanding, apa komentar para kawan yang hadir di sini?"
"Dengan sendirinya ada yang memuji Pui-siauhiap yang mau menyadari kesalahannya," tutur Bwe Kiam. "Akan tetapi lebih banyak lagi yang mengejeknya sebagai pengecut dan macam-macam kata kotor yang tidak pantas kutirukan."
Ia berhenti sejenak sambil menghela napas, lalu menyambung, "Setelah kubaca surat Pui-siauhiap ini, terus terang hatiku terharu juga. Hidup kaum persilatan kita yang setiap hari hanya bergelimang di ujung golok memang tidak setenang hidup kaum terpelajar."
Kongsun Put-ti tidak tahu maksud ucapan orang ini benar-benar timbul dari perasaan terharu atau cuma untuk menyindir, segera ia memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas keterangan Bwe-tayhiap, maaf kami mohon diri saja."
Ia tarik Ban Cu-liang dan Bok Put-kut dan diajak meninggalkan tempat Bwe Kiam.
Setiba kembali di hotel, perlahan mereka melongok kamar Po-giok, anak muda itu terlihat masih tidur nyenyak.
Melihat ketiga kawan yang berkelakuan aneh itu, dengan sendirinya Kim Put-we dan lain-lain minta keterangan kepada mereka. Ban Cu-liang lantas menceritakan apa yang dialaminya di 368
Koleksi Kang Zusi
tempat Bwe Kiam itu.
Keruan semua orang sama melengak, Gui Put-tam berseru, "Sungguh tidak masuk akal, sejak tadi Po-ji tidur pulas dan tidak pernah pergi dari sini."
"Agaknya orang she Bwe itu pun seorang rendah dan kotor," teriak Kim Put-we dengan gusar.
"Masakah dia sengaja membuat hal-hal demikian untuk memfitnah Po-ji. Ayo Ciok-lote, mari kita mencari orang she Bwe dan melabraknya."
"Nanti dulu," sela Kongsun Put-ti. "Dalam hal ini tidak dapat menyalahkan Bwe Kiam."
"Tidak menyalahkan Bwe Kiam, lantas siapa yang harus disalahkan?" teriak Put-we gusar.
Kongsun Put-ti menghela napas, katanya, "Masa tidak dapat kau lihat semua ini pasti tipu muslihat yang diatur iblis jahat di balik layar itu" Apa yang diperbuatnya ini sengaja menimbulkan rasa hina para kesatria terhadap Po-ji. Jika apa yang terjadi sekarang tersiar di dunia Kangouw, maka runtuhlah nama Po-ji, andaikan nanti Po-ji muncul dan bertempur, tentu ia akan dituduh sebagai manusia yang tidak dapat dipercaya dan apa pun sukar bagi Po-ji untuk memberi penjelasan."
Semua orang sama menarik napas dingin membayangkan muslihat keji iblis itu.
Dengan geregetan Kim Put-we berteriak, "Sungguh iblis yang kejam dan tipu yang keji.
Sesungguhnya ada permusuhan apa antara dia dengan Po-ji sehingga dia sengaja mengatur cara sekotor ini untuk menghancurkan hidup Po-ji?"
"Kuduga iblis itu pasti seorang yang sangat mengenal seluk-beluk Po-ji," ujar Kongsun Put-ti setelah termenung sejenak, "sebab itulah dia dapat menyuruh orang menyaru sebagai Po-ji, bahkan menirukan gerak-geriknya dengan persis dan tidak ketahuan di depan orang banyak."
Semua orang sama berpikir dan bertanya-tanya, "Siapakah kiranya orang yang mengenal baik Po-ji dan sengaja memusuhi anak muda itu?"
Kini semua orang pun menyadari keempat orang berbaju putih yang misterius itu tidak lebih hanya bersekongkol dengan Li Eng-hong, setelah tujuannya tercapai cepat mereka kabur. Jika iblis laknat itu mampu memerintah keempat orang berbaju putih yang tinggi ilmu silatnya, tentu kedudukan iblis itu bukan sembarangan. Padahal di antara kenalan atau sanak kerabat Po-ji mana ada tokoh sehebat itu"
"Sesungguhnya siapa iblis laknat itu, saat ini mungkin cuma Po-ji saja yang dapat merabanya, biarlah coba kutanya dia," seru Kim Put-we sambil berlari ke sana dan hendak menggedor pintu kamar Po-ji.
Cepat Kongsun Put-ti mencegahnya dan berkata, "Nanti dulu. Apa pun juga saat ini jangan kita ganggu Po-ji, biarpun perlu tanya dia juga tunggu nanti saja setelah dia bangun."
Sementara itu sudah jauh lewat tengah hari, menjelang senja, suasana di hotel kecil ini terasa tambah sunyi.
Ketika malam tiba, tiada seorang pun menyalakan lampu. Rupanya semua orang sama duduk serupa patung dengan perasaan tertekan sehingga tidak ada yang menghiraukan tibanya malam gelap.
Sekonyong-konyong di luar ada suara berisik terseling suara gelak tertawa Kim Co-lim. Cepat semua orang berlari keluar.
Dalam kegelapan malam terlihat dua sosok bayangan, sembari menyanyi dan tertawa, keduanya saling rangkul dan datang dengan langkah terhuyung. Sesudah agak dekat, dapat 369
Koleksi Kang Zusi
terlihat seorang di antaranya adalah Kim Co-lim, entah sejak kapan dia telah keluar.
"Hah, yang datang bersama Kim Co-lim bukankah Thian-to Bwe Kiam adanya"!" seru Ban Cu-liang heran.
Waktu mereka menyongsong maju, terlihat baju Kim Co-lim terkoyak dan sekujur badan berlumuran darah, meski wajah kelihatan letih, namun sinar matanya menampilkan rasa riang dan bersemangat.
Keadaan Bwe Kiam juga kedodoran, selain bajunya robek sebagian, rambutnya juga kusut dan terikat tak teratur.
Napas kedua orang tampak sama terengah-engah dan berbau arak, sikap keduanya tampak sangat akrab, tapi juga mirip baru saja mengalami pertempuran sengit.
Tentu saja semua orang heran dan kejut, tidak tahu apa yang terjadi.
Dengan tertawa, Kim Co-lim lantas berseru, "Haha, tentu kalian tidak tahu ke mana kupergi tadi" Hah, pasti kalian tidak dapat menerkanya ... Tadi kupergi mencari Bwe Kiam dan mengadu jiwa dengan dia!"
"Tadi Kim-heng datang mencari diriku dalam keadaan setengah mabuk, tanpa bicara ia labrak padaku," tutur Bwe Kiam dengan tertawa. "Semula tidak ingin kulayani dia, tapi ketika beberapa jurus serangannya selain berbahaya juga sangat lihai, aku menjadi getol untuk main-main beberapa jurus dengan dia."
"Haha, sudah lama kudengar golok pengunci Thian-to Bwe Kiam adalah semacam senjata yang sukar dilawan," seru Kim Co-lim, "semula aku tidak percaya, setelah pertarungan tadi, hehe, barulah kubuktikan senjata Bwe-tayhiap itu memang lain daripada yang lain. Terutama goloknya yang tersembunyi dan bola berantai pada ujung toya, semacam senjata berubah menjadi serbaguna. Sungguh hari ini orang she Kim tidak sedikit menambah pengalaman setelah bergebrak dengan Bwe-tayhiap."
Melihat bajunya yang berlepotan darah, semua orang dapat menduga pertarungan ini telah membuat Kim Co-lim banyak menelan pil pahit. Dan entah mengapa kedua seteru ini bisa berubah menjadi kawan pula.
Terdengar Bwe Kiam juga tertawa, katanya, "Biarpun golokku sangat sulit dilayani, tapi kewalahan juga menghadapi kegagahan Kim-heng yang tidak kenal takut. Kutempur dia dari tengah hari hingga petang, tubuhnya sudah penuh hiasan luka, bila orang lain mustahil takkan patah semangat dan menyerah. Siapa tahu makin lama dia makin gagah, setiap jurus serangannya bertambah tangkas. Selama hidupku tidak pernah jeri menghadapi siapa pun, tapi hari ini harus kuakui hatiku rada kecut menghadapi Kim-heng."
"Ah, jangan kau umpak diriku," ujar Kim Co-lim tertawa. "Apabila engkau tidak berlaku sungkan, tentu sejak tadi aku menggeletak tak bisa bergerak lagi. Meski orang she Kim bukan kesatria segala, sedikit banyak juga tahu baik dan buruk. Ketika engkau berhenti menyerang, mana bisa kumain seruduk lagi tanpa tahu diri?"
"Soalnya kuhormati sebagai orang gagah, maka perlu kutanya untuk apa kau tempur diriku,"
ujar Bwe Kiam. "Karena itulah Kim-heng lantas menceritakan segala sesuatu mengenai Pui-siauhiap."
"Dan sekarang engkau sudah percaya?" tanya Kim Put-we.
"Keterangan orang gagah semacam Kim-heng masa tidak kupercaya?" sahut Bwe Kiam. "Tentu saja kupercaya, maka kuajak Kim-heng minum arak sepuasnya, dan sekarang kudatang untuk menjenguk keadaan Pui-siauhiap."
370 Koleksi Kang Zusi
"Haha, kata peribahasa, tidak berkelahi tidak saling mengenal," seru Ban Cu-liang dengan tertawa. "Nyata setelah bergebrak, antara Bwe-tayhiap dan Kim-heng telah menjadi bersahabat. Sayang kami tidak ikut menyaksikan pertandingan yang mengagumkan dan jarang terjadi itu."
"Sekarang akan kupanggilkan Po-ji untuk bertemu dengan Bwe-heng," kata Kim Put-we.
"Ah, tidak perlu terburu-buru," ujar Bwe Kiam. "Kabarnya Pui-siauhiap sedang istirahat, buat apa mengejutkan dia. Yang penting orang she Bwe sudah tahu para kawan di sini adalah kesatria sejati, marilah kuhormati kalian tiga cawan sekadar permintaan maaf. Sebentar bila Pui-siauhiap sudah mendusin, barulah kutemui dia."
"Benar juga," seru Ban Cu-liang.
"Aha, bagus, biar kuiringi minum lagi tiga ratus cawan," tukas Kim Co-lim dengan tergelak.
Di luar tahu mereka, pada saat itulah daun jendela kamar Po-ji yang sedang tidur itu telah tersingkap, sesosok bayangan orang menyelinap ke dalam kamar dengan licin serupa belut.
Kelihatan bayangan itu berpinggang ramping, sinar matanya mencorong terang, meski dalam kegelapan itu tidak kelihatan wajahnya, namun dapat dipastikan tentu seorang perempuan cantik.
Ia berdiri di depan tempat tidur dan memandang termangu pada Po-giok yang masih tidur nyenyak, sorot matanya yang mencorong terasa lembut pula.
Di bawah cahaya bintang yang remang-remang menyelinap ke dalam kamar, tampak rambutnya yang panjang terurai dan kulit mukanya yang putih dengan sikap yang anggun.
Siapa dia"
Sampai lama ia berdiri diam, pandangannya juga tidak bergeser.
Akhirnya terjulur tangannya yang putih halus, perlahan ia meraba kelopak mata Po-giok, tangan yang lembut itu seperti agak gemetar.
Dengan suara perlahan ia tanya, "Coba ... coba terka siapa ... siapa aku" ...."
Akhirnya Po-giok terjaga bangun dalam kegelapan. Lebih dulu ia merasakan bau harum serupa berada di taman bunga, lalu terdengar sayup-sayup bisikan lembut serupa rayuan kekasih yang membetot sukma.
Meski cuma bisikan lembut, namun sudah membuat Po-giok bergetar dan terjaga bangun, akan tetapi tubuh terasa kaku dan tidak dapat bergerak.
"Coba terka siapa aku" ...." terdengar bisikan itu masih mengiang di telinganya.
Tiba-tiba air matanya berlinang-linang, dari balik air mata seakan-akan terbayang olehnya sebuah lukisan ... lukisan dalam mimpi, yaitu seorang anak dara dengan berbaju putih mulus sedang duduk dengan bertopang dagu dan termangu-mangu memandangi bunga kamelia di dalam pot ...."
"Hah, kau ... kau ...." seru Po-giok.
Tangan yang lembut membelai keningnya, ucapannya terlebih lembut, "Anak baik, apa kau mimpi buruk" Jangan takut, aku sudah kembali di sampingmu, apa pun tidak perlu takut."
371 Koleksi Kang Zusi
Waktu Po-giok membuka mata lebar-lebar, samar-samar dapatlah dilihatnya orang ini memang Siaukongcu adanya. Sesaat itu ia merasa seperti di alam mimpi, apakah pahit atau manis pertemuan ini, sungguh sukar untuk dijelaskan.
Po-giok tidak bersuara, ia tidak dapat berucap, dirasakan tubuh Siaukongcu yang harum dan lunak telah menggelendot dalam pangkuannya.
Perpisahan yang cukup lama telah terlupakan dalam sekejap ini, penderitaan dan kepedihan selama berpisah juga lenyap dalam pelukan lunak ini.
Po-giok ingin bicara, mendadak Siaukongcu mendorongnya dengan keras, lalu berdiri dan menatapnya lekat-lekat sambil menggigit bibir, kemudian berkata, "Bangsat cilik, telur busuk cilik, selama ini apakah pernah kau pikirkan diriku?"
Po-giok tertawa.
Siaukongcu mengentak kaki perlahan dan mengomel, "Bangsat cilik, apa ... apa yang kau tertawakan?"
"Kutertawa karena ... karena selama ini perangaimu belum juga berubah," jawab Po-giok tertawa.
"Tentu saja aku tidak berubah, yang berubah adalah dirimu," kata Siaukongcu.
"Dengan sendirinya aku berubah, aku sudah dewasa dan kau masih tetap anak-anak," ujar Po-giok.
"Ya, sekarang kau sudah besar, sudah menjadi seorang tokoh besar, entah betapa banyak anak perempuan dunia Kangouw yang tergila-gila padamu, tentu saja kau tidak ingat lagi padaku."
Bicara sampai di sini, matanya menjadi merah dan basah, mendadak ia membalik tubuh dan bermaksud lari pergi, namun Po-giok keburu menariknya.
Dengan mendelik Siaukongcu berkata, "Tokoh besar, untuk apa kau pegang anak seperti diriku."
"Takkan kupegang dirimu dan engkau juga jangan pergi," sahut Po-giok dengan lembut.
Sejenak Siaukongcu termenung, katanya kemudian, "Baik ... Coba katakan bahwa selama berpisah ini senantiasa engkau terkenang padaku, mimpi pun memikirkan diriku, dengan begitu aku tidak jadi pergi ... Nah, katakan lekas!"
"Dengan sendirinya senantiasa kukenangkan dirimu," kata Po-giok.
"Tidak, bukan begitu cara bicaramu," seru Siaukongcu. "Harus kau katakan seperti apa yang kuucapkan, satu kata pun tidak boleh berbeda. Kalau tidak ... kalau tidak, segera kupergi dan takkan menggubrismu selamanya."
Po-giok yakin si nona takkan pergi, tapi entah mengapa, di depan si cantik, anak muda yang berwatak keras ini berubah menjadi anak penurut.
Kekerasan hati dan kecerdasan yang tergembleng selama sekian tahun ini kini lenyap seluruhnya di depan si nona.
Muka Po-giok agak merah, ia menunduk, akhirnya berkata, "Ya, selama berpisah, senantiasa kau terkenang padaku, dalam mimpi pun memikirkanku ...."
"Tidak, salah, salah," seru Siaukongcu. "Kenapa kau katakan terbalik, tolol, bukan aku yang 372
Koleksi Kang Zusi
memikirkan dirimu."
"Aku kan menurut kehendakmu dan menirukan apa yang kau katakan tadi, satu kata pun tidak berbeda," ujar Po-giok.
"Huh, benci aku, kau sengaja berlagak pilon ...." ucap Siaukongcu dengan menggereget, mendadak ia menjatuhkan diri ke dalam pangkuan Po-giok, merangkul lehernya dan digigitnya satu kali.
Selama beberapa tahun dulu entah berapa kali Po-giok digigit nona itu, namun menurut perasaannya, gigitan sekali ini terasa sangat berlainan dengan dahulu.
Dalam sekejap ini pikirannya terasa kusut dan mabuk, kata "benci" tadi dirasakan mengandung arti yang sukar dilukiskan.
Cahaya bintang seakan-akan tambah terang, menyinari dua bayangan orang yang saling dekap.
Tidak ada yang bicara, sebab mereka tidak tahu apa yang perlu dibicarakan. Namun kesunyian tanpa kata itu jauh melebihi beribu kata-kata.
Entah berselang berapa lama, akhirnya Po-giok berucap, "Selama berpisah sesungguhnya apa yang pernah kau alami, coba ceritakan padaku, supaya ingin kubagi sedikit pahit-getirmu dan juga membagi sedikit rasa bahagiamu."
"Bahagia?" Siaukongcu menegas. "Dari mana datangnya bahagia" Selama ini, kukira ... kukira pengalamanmu yang menyenangkan akan jauh lebih banyak daripadaku. Maka lebih dulu kau ceritakan kebahagiaanmu saja."
"Ah, selama ini ... apa yang dapat kuceritakan," ujar Po-giok dengan gegetun. "Pokoknya selama ini dari pagi sampai petang, dari malam sampai siang, di mana pun aku berada, yang senantiasa kupikirkan hanya berlatih kungfu, dengan tekun kupelajari cara bagaimana supaya diriku benar-benar dapat terlebur dengan kungfu yang kulatih."
Mendadak Siaukongcu mendorongnya lagi dan menjengek, "Hm, kutahu yang kau pikirkan memang cuma belajar kungfu belaka, mana sempat memikirkan diriku."
Nyata, di depan nona ini satu kata pun tidak boleh salah omong.
Terpaksa Po-giok merayu, "Ai, masa tidak kupikirkan dirimu."
"Aku tidak percaya, kecuali ...."
"Jika aku bohong, biarlah aku ...."
Cepat Siaukongcu mendekap mulutnya dan menyela, "Baik, aku percaya setiap perkataanmu.
Nah, katakan padaku, selama ini adakah anak perempuan yang tergila-gila padamu itu lebih ...
lebih ...."
Dengan sendirinya Po-giok dapat menduga apa maksud si nona, katanya tertawa, "Lebih cantik daripadamu" Memangnya perlu kau tanya lagi?"
Siaukongcu menjatuhkan diri lagi ke pangkuan anak muda itu, selang sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Aku mau pergi saja sekarang."
"Baru datang segera kau mau pergi lagi?" tanya Po-giok. "Kita baru bicara beberapa kata, masa engkau lantas mau pergi?"
"Setiap saat aku dapat datang dan pergi, siapa yang dapat mengurus diriku?" sahut Siaukongcu.
373 Koleksi Kang Zusi
Kembali Po-giok melenggong dan tak dapat bicara.
Tapi biarpun di mulut bilang mau pergi, ternyata Siaukongcu masih menggelendot di pangkuan Po-giok.
Perlahan Po-giok membelai rambut si nona dan memandang cahaya bintang di luar jendela dengan termangu, ucapnya kemudian dengan gegetun, "Mestinya engkau tidak datang kemari.
Bilamana engkau tidak datang, biarpun hatiku kesepian, namun akan tetap tenang. Sekarang kau datang dan segera mau pergi lagi, aku ... aku menjadi bingung."
Mendadak Siaukongcu berdiri dan menghadap ke sana.
"Engkau benar mau pergi?" tanya Po-giok.
"Kau bilang mestinya aku tidak datang kemari, lalu apa yang kutunggu lagi di sini?" ujar Siaukongcu.
Sejenak Po-giok terkesima, gumamnya kemudian, "Memangnya kau minta kumohon ...."
Waktu ia mendongak, dilihatnya tubuh si nona agak gemetar.
"Engkau men ... menangis?" tanya Po-giok.
"Siapa menangis" Buat apa aku menangis" ...." walaupun demikian ucapnya, mendadak Siaukongcu menjatuhkan diri di tempat tidur dan menangis sedih.
Po-giok menjadi gugup, "Wah, barangkali aku salah omong, engkau jangan ...."
"Tidak, engkau tidak salah omong," sela Siaukongcu dengan terguguk. "Aku memang seharusnya tidak datang kemari supaya pikiranmu tenang, buat apa kudatang untuk menemuimu pada terakhir kali ini?"
"Terakhir kali?" Po-giok menegas, hatinya seperti dipalu sekali. "Mengapa terakhir kali" Apa maksudmu?"
Siaukongcu seperti menyadari ucapan itu mestinya tidak dikatakan, mendadak ia melompat keluar jendela.
Meski dalam benak Po-giok belum timbul maksud "mengejar", namun tanpa terasa tubuhnya langsung ikut mengejar keluar. Maklumlah, gemblengan selama sekian tahun ini telah membuatnya memiliki semacam daya reaksi yang spontan.
Lencana Pembunuh Naga 4 Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 25

Cari Blog Ini