Ceritasilat Novel Online

Misteri Kapal Layar Pancawarna 19

Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 19


"Tempat koleksi bukunya ...." desis Ban-lo-hu-jin, mendadak ia berteriak dengan haru, "Apakah di antara koleksinya itu terdapat Bu-kong-pit-kip Ci-ih-hou?"
"Intisari kungfu Ci-ih-hou, seluruhnya tersimpan dalam kabin itu."
Dalam beberapa kejap itu, sukar melukiskan rona muka Ban-lo-hu-jin yang berubah-ubah.
Setiap insan persilatan di dunia ini, bila mendengar berita itu, pasti akan tergetar seperti yang dialami oleh Ban-lo-hu-jin.
Beberapa kejap kemudian baru Ban-lo-hu-jin berkata perlahan,."Kalau begitu, sudah tujuh tahun Oh-Put-jiu membaca dan mempelajari intisari kungfu Ci-ih-hou, tentu dia sudah menguasai seluruhnya, yang kurang paling hanya lwe-kang nya yang belum memadai. Dalam keadaan seperti ini, kalau dia keluar, jangankan Ka-sing Tai-su tidak akan memberi kelonggaran padanya, umpama orang kang-ouw lain juga ...."
"Setiap insan persilatan di dunia asal yakin dapat membunuhnya tentu takkan membuang kesempatan. Oleh karena itu, umpama dulu aku diberi kesempatan pulang juga tidak akan dibiarkan pulang."
"Betul, yang ingin mencabut nyawanya saat ini kukira bukan hanya Ka-sing Tai-su saja, kalau dia pulang ke Tiong-toh, kaum Bu-lim yang ingin merengut jiwanya tentu lebih banyak lagi."
Mata Cui-Thian-ki mendadak memancarkan cahaya gemerdep yang aneh, ia mengawasi layar pancawarna yang cemerlang, katanya perlahan, "Tapi bila kita harus menunggu setelah ia memahami dan menjiwai kungfu Ci-ih-hou, tatkala itu di seluruh kolong langit tiada orang lagi yang mampu mencabut nyawanya."
Ban-lo-hu-jin tersenyum, "Tatkala itu dia akan menjadi ahli waris Ci-ih-hou, supaya kapal layar pancawarna kembali berkembang dan berlayar di lautan atau lebih tepat berkembang menguasai dunia."
"Ya, semoga demikian," ucap Cui-Thian-ki dengan memejamkan mata.
"Oleh karena itu, kau mau menunggu, rela menderita dan kesepian, hidup sengsara serba kekurangan, semua itu kau terima dan kau resapi dengan hati lapang, karena dalam hati 626
Koleksi Kang Zusi
kecilmu sudah membayangkan harapan yang kelak akan kau dapatkan dengan penuh keindahan."
"Sebetulnya semua ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku hanya ...."
"Kenapa tiada sangkut pautnya denganmu" Kelak bila kapal layar pancawarna berkembang mengarungi lautan, di atas kapal itu jelas dihuni juga seorang perempuan sebagai pendamping pemiliknya yang baru."
"Tapi aku ...aku juga ..."
"Kecuali engkau , siapa lagi yang bisa menjadi majikan perempuan kapal layar pancawarna."
Merah jengah selebar muka Cui-Thian-ki, perlahan ia menunduk malu.
Jelalatan bola mata Ban-lo-hu-jin, sesaat kemudian mendadak ia berkata, "Tapi ada beberapa hal aku masih belum mengerti."
"Masih ada apa lagi?" tanya Cui-Thian-ki.
"Ka-sing Tai-su kuatir orang lain berlomba dengan dia merebut Bu-kang-pit-kip peninggalan Ci-ih-hou, maka dia rela dan terima hidup menderita di pulau kosong ini, jelas ia takkan mau pulang ke Tiong-toh ...."
"Ya, memang demikian pikirannya," sahut Cui-Thian-ki.
"Tapi cara bagaimana dia mau patuh dan mendengar omonganmu" Hal ini susah dimengerti, padahal untuk menundukkan orang seperti dia, kurasa bukan pekerjaan yang mudah."
Cui-Thian-ki tertawa lebar, "Memang tidak mudah, tapi aku punya akal."
Laki dengan suara kalem ia menjelaskan, "Ka-sing Tai-su jelas adalah jago kosen yang susah dicari tandingannya, tapi sekarang dalam hatinya sudah dirasuk keinginan, nafsu dan tamak, sesuatu benda yang ingin dia dapatkan meski harus mengadu jiwa, namun sukar diperoleh, itu berarti titik kelemahannya tergenggam di tangan lawan."
"Maksudmu Bu-kang-pit-kip itu?" tanya Ban-lo-hu-jin.
"Betul! Kalau dia tidak tunduk padaku, dapat kusuruh Oh-Put-jiu menghancurkan Bu-kang-pit-kip peninggalan Ci-ih-hou. Sebelum dia berhasil melihat Bu-kang-pit-kip itu, bagaimana pun takkan membiarkan barang yang diimpikan itu dirusak orang. Oleh karena itu, meski ia dongkol, marah dan penasaran sampai hidup sengsara, terpaksa dia harus menerima nasib, menekan emosi dan meniadakan perasaan."
"Tapi dengan cara menunggu begini, bila Oh-put-jiu berhasil dengan latihannya, bukan saja ia takkan memperoleh Bu-kang-pit-kip, mungkin jiwa sendiri juga harus dipertaruhkan, apa tidak konyol?"
"Walau demikian, biarpun dia tahu akibatnya, apa boleh buat," demikian ujar Cui-Thian-ki dengan tertawa, "Tapi selama Bu-kang-pit-kip itu masih utuh, berarti dia masih punya harapan, meski hanya setitik harapan, itu jauh lebih baik daripada tiada sama sekali!"
Ban-lo-hu-jin menghela napas, "Engkau benar, manusia kalau sudah dikejar keinginan, berarti dia punya kelemahan, berarti pula memberi kesempatan pada orang lain untuk memanfaatkan kelemahannya itu. Oleh karena itu tokoh sekosen Ka-sing Tai-su pun tunduk dan dapat kau kuasai."
"Ya, itulah titik kelemahan watak manusia," ujar Cui-Thian-ki.
Ban-lo-hu-jin tepekur sesaat lamanya, "Apakah setiap orang punya kelemahan seperti itu?"
"Setiap manusia yang punya rasa perikemanusiaan tentu punya kelemahan."
Bercahaya mata Ban-lo-hu-jin, suaranya perlahan, "Sungguh tak nyana filsafat hidupmu ternyata lebih matang daripada nenek."
Sesaat kemudian mendadak Cui-Thian-ki bertanya, "kau datang dari Tiong-toh, entah kaum Bu-627
Koleksi Kang Zusi
lim di Tiong-toh ada perubahan apa?"
Ban-lo-hu-jin tertawa, "Maksudmu tentang suami cilikmu itu?"
Merah pula muka Cui-Thian-ki, "Ya, bagaimana dia?"
"Sudah tentu sekarang dia sudah tumbuh dewasa."
"Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Bukan saja gagah dan tampan, selama puluhan tahun belakangan ini, nenek jarang melihat pemuda secakap dia, malahan ...."
"Malahan kungfunya juga luar biasa, begitu?"
"Bukan cuma luar biasa. Nona harus tahu, di Tiong-toh, di kalangan Bu-lim sekarang dia terhitung jago kosen nomor satu yang tak teralihkan."
Senyum lega dan riang terpancar pada wajah Cui-Thian-ki yang putih halus, "Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku sudah merasakan bocah itu luar biasa."
"Makanya waktu itu kau ingin kawin dengannya."
"Teringat guyon tempo dulu, rasanya memang lucu dan menyenangkan, hanya saja ...sekarang dia tentu sudah melupakan nenek seperti aku ini ...", setelah menghela napas perlahan ia berdiri, tiba-tiba ia berkata pula, "Di mana dia sekarang?"
Jelalatan mata Ban-lo-hu-jin, "Dia jago kosen, tokoh terkenal, mana mungkin bergaul dengan nenek seperti aku, bagaimana sepak terjangnya terakhir ini, mana nenek reyot seperti aku bisa tahu."
"Semoga dia masih hidup segar," demikian ucap Cui-Thian-ki sambil mengawasi fajar di luar jendela.
****** Pui-Po-giok melangkah lurus ke atas, beberapa kejap kemudian mendadak ia sadar tiada derap langkah mengikut di belakangnya, sudah tentu segera ia berhenti dan menoleh tertampak Siaukong-cu tertinggal belasan langkah di bawah.
Padahal ia berjalan tidak cepat, kenapa Siau-kong-cu ketinggalan sejauh ini"
Pada saat ia keheranan, bergegas Siau-kong-cu menyusulnya dengan langkah lebar, dadanya naik turun, napasnya ternyata tersengal-sengal, pipinya yang semu merah kini kelihatan pucat dan menakutkan.
"Kenapa?" tanya Po-giok kuatir.
"Kenapa?" jengek Siau-kong-cu dengan napas ngos-ngosan, "Tidak kenapa-napa!"
"kau sakit?" tanya Po-giok pula.
"kau ingin aku sakit, begitu?"
"Aku justru memperhatikanmu."
"Terima kasih, aku hidup atau mati tidak usah kau urus diriku."
Po-giok tertawa getir, setelah menghela napas ia balik ke depan dan naik lagi.
Meski tangga langit itu panjang, akhirnya juga ada ujungnya. Akhirnya Po-giok mencapai ujung tangga yang paling tinggi.
Tapi selepas mata memandang, seketika dia berdiri melongo.
Dalam bayangannya setibanya di atas tentu dirinya akan berada di sebuah istana yang menyesatkan seperti yang didengungkan dalam dongeng, umpama tidak dibangun dengan mutu 628
Koleksi Kang Zusi
manikam juga tentu amat megah dan semarak.
Tapi setelah berada di puncak, yang dia hadapi hanyalah kabut tebal yang bergulung-gulung, di tengah kabut tampak permukaan air sebuah danau, kabut putih yang remang-remang, menjadikan permukaan danau seperti bertumpuk kapas.
Di tempat ini mana ada istana" Bayangan tanah atau bentuk kelenteng juga tidak ada, tidak kelihatan.
Cukup lama Po-giok berdiri terlongong di tepi telaga, akhirnya ia tarik suara lantang, "Di manakah Pek-cui-kiong-cu berada, Pui-Po-giok mohon bertemu!"
Suara lantang mengalun di tengah kabut tebal seperti menyibak tumpukan kapas di permukaan danau itu.
"Pui-Po-giok mohon bertemu ...Po-Giok mohon bertemu ...mohon bertemu ...."
Gema suaranya berkumandang dari berbagai penjuru, mendengung di puncak gunung itu.
Tapi setelah gema suara itu sirna, kabut masih tebal, tidak kelihatan ada reaksi apa pun.
Mendadak Siau-kong-cu menjengek, "Berteriak sampai tenggorokanmu pecah juga takkan ada orang menghiraukan dirimu."
"Kenapa?" tanya Po-giok heran.
"Karena dari sinilah mulai diajukan persoalan pelik pertama untukmu."
"O, tapi ..." mendadak Po-giok tertawa, "siapa bilang tidak ada orang menghiraukan aku" Coba lihat, bukankah ada yang datang."
Dari tengah danau yang terbungkus kabut memang muncul bayangan sebuah perahu. Perahu ini seperti bergerak ditiup angin, tapi tiada kelihatan ada orang di dalamnya.
Sebelum perahu itu menepi Po-giok segera melompat naik lebih dulu. Ada orang dalam perahu ini, tapi rebah tiarap di dasar perahu.
Kaget dan heran Po-giok dibuatnya, bergegas ia menghampiri sambil membalik tubuh orang, segera ia lihat bentuk wajah orang yang pucat, mata terpejam ini, hampir tidak bernapas lagi.
Raut muka yang dihadapinya ini sudah Po-giok kenal betul.
"Thi-jan To-tiang ..." teriaknya kaget.
Orang yang semaput dan lemas ini memang benar Thi-jan To-tiang adanya.
Siau-kong-cu juga sudah melompat ke atas perahu, katanya dingin, "Akhirnya tamat juga dia."
Po-giok tidak menghiraukan ocehannya, perlahan ia memeriksa lalu membalik tubuh Thi-jan To-tiang, tapi tidak menemukan luka sedikit pun betapa Po-giok memijat dan mengurut, To-jin ini tetap semaput dan tidak mau sadar.
Perahu itu bergerak dan makin jauh dari daratan.
Po-giok gugup dan gelisah, Thi-jan To-tiang perlu pertolongan, namun selepas mata memandang permukaan danau sepi lengang, bukan saja tiada bayangan orang, bayangan kapal juga tiada, dengan ketajaman matanya ia coba menjelajahkan pandangannya, bayangan rumah atau istana juga tidak terlihat.
Di manakah letak Pek-cui-kiong" Di mana pula pemilik Pek~cui-kiong itu bertempat tinggal"
Saking gelisah Po-giok bergumam sendiri "Kalau dia ada di sini, tentu urusan tidak segawat ini."
Mengerling tajam mata Siau-kong-cu, "kau teringat bini tuamu?"
Po-giok menghela napas, "Kalau Cui-Thian-ki ada di sini, dia pasti takkan ... "
629 Koleksi Kang Zusi
"Dia pasti takkan membiarkan kamu terkurung di sini, begitu?" jengek Siau-kong-cu.
"Sedikitnya dia ..." Po-giok hanya menyengir.
"Dan aku hanya menonton saja dengan berpeluk tangan," tukas Siau-kong-cu dengan tertawa dingin.
"Bukan begitu maksudku, aku hanya ...."
"Begitulah maksudmu, kalau hatimu merindukan dia, kenapa aku harus di sini menemanimu, kau ...kau ..." mendadak Siau-kong-cu terjun ke dalam danau.
Saking kaget Po-giok berusaha menariknya, tapi sudah tidak keburu lagi.
"Byuurr" air muncrat menimbulkan gelombang bila gelombang itu makin melebar dan akhirnya sirna, bayangan Siau-kong-cu pun tidak kelihatan muncul lagi di permukaan air.
Kabut makin tebal di permukaan danau. Hanya Po-giok seorang yang menunggui Thi-jan To-tiang yang semaput di atas perahu yang terbungkus kabut.
****** Menghadapi pancaran sinar mentari, Cui-Thian-ki seperti termenung sejenak, mendadak ia membalik sambil tertawa, "Saatnya untuk makan hampir tiba, hari ini banyak sayur-mayur yang harus segera kukerjakan. Agaknya rejekimu tidak jelek ...kau tunggu di sini atau ...."
"Aku ingin jalan-jalan di luar," ucap Ban-lo-hu-jin.
"Boleh saja, tapi jangan sampai tersesat," kata Cui-Thian-ki tertawa.
"Sejak usia delapan belas nenek sudah berkelana di kang-ouw, selatan dan utara belasan provinsi pernah aku jelajahi, belum pernah aku tersesat dalam perjalanan, apa mungkin aku tersesat di pulau kosong ini?"
"Lekaslah pergi, tapi juga harus lekas kembali kalau hidangan termakan habis, aku tidak bertanggung jawab terhadapmu," demikian ucap Cui-Thian-ki, kelihatan dia amat senang, wajahnya mengulum senyum cerah.
Sambil menggendong tangan Ban-lo-hu-jin berlenggang ke arah sana, setelah yakin dirinya tidak terpandang lagi oleh Cui-Thian-ki, langkahnya mendadak dipercepat, langsung lari ke dalam hutan.
Wajahnya mengulum senyum licik, sementara mulutnya bergumam. "Setiap orang punya kelemahan, Cui-Thian-ki, kau pun punya ...."
Di mana mata memandang mendadak perkataannya terhenti, mata terbelalak lidah pun terasa kelu.
Mendadak dia melihat suatu kejadian yang mengejutkan, peristiwa menakutkan yang sukar dipercaya oleh siapa pun.
Cahaya mentari terang benderang, pesisir laut itu sudah tentu juga benderang.
Di pesisir lain dengan pasirnya yang menguning laksana butiran emas itu, menongol sebuah batok kepala manusia, batok kepala manusia ini ternyata bisa bergerak dan celingukan.
Tempat berdiri Ban-lo-hu-jin sebetulnya membelakangi batok kepala orang itu, kini batok kepala itu sedang menoleh ke arahnya. Badan Ban-lo-hu-jin menggigil, lutut juga goyah, sungguh ia tak percaya pada penglihatannya, di tengah hari bolong, di tempat terbuka ini dia melihat kejadian seaneh ini.
Bukan saja kepala itu bisa bergerak, didengarnya juga dapat bicara, "Siapa itu" Kemari!"
Darah dalam tubuh Ban-lo-hu-jin rasanya juga berhenti, mana mampu ia menggerakan kaki.
Kalau dia mampu bergerak tentu sudah lari sipat kuping.
Kini kepala itu menghadap ke arahnya, sepasang bola matanya yang aneh memancar sinar 630
Koleksi Kang Zusi
yang aneh pula, bola mata yang beringas ini sedang melotot padanya.
Setelah hati agak tenang, baru Ban-lo-hu-jin melihat jelas, batok kepala orang ini tak lain tak bukan adalah Ka-sing Tai-su.
Kenapa Ka-sing Tai-su terbenam dalam pasir dan hanya kepalanya saja yang kelihatan"
Mungkinkah dia dicelakai orang dan dipendam hidup-hidup"
Akan tetapi Ban-lo-hu-jin sudah pecah nyalinya, kaget dan ketakutan.
Setelah mengalami beberapa kali peristiwa yang berbahaya dan mengancam jiwa, di pulau kosong yang penuh mengandung misteri ini, kecerdasan otaknya boleh dikatakan sudah sirna otaknya yang biasanya tajam kini merasa tumpul dan beku.
Tak pernah terpikir oleh Ban-lo-hu-jin bahwa yang dihadapinya sekarang adalah tanah berpasir yang empuk dan mudah digali. Ka-sing Tai-su sedang merendam dirinya di dalam pasir dan hanya kelihatan batok kepalanya saja.
Apa yang dilakukan Ka-sing Tai-su, sepintas pandang memang di luar dugaan dan membingungkan.
Mendadak Ka-sing Tai-su menyeringai, giginya yang putih rapi tampak mengiriskan, "He, agaknya kau takut?"
"Aku ...aku ..." Ban-lo-hu-jin tergegap "Majulah sini dan lihat biar jelas!" demikian seru Ka-sing Tai-su.
Tanpa terasa Ban~lo-hu-jin maju dalam beberapa langkah lebih dekat, tapi langkahnya seperti diganduli benda berat, setiap langkahnya menghasilkan cucuran keringat dijidatnya.
"Sudah kau lihat jelas bukan" Masih takut juga?" tanya Ka-sing Tai-su.
"kau ...kau ...." mendadak Ban-lo-hu-jin berjingkrak dan membentak. "Sudah aku lihat jelas."
Di bawah cahaya matahari, pasir memantulkan sinar yang menyilaukan. Gelombang ombak menciptakan buih putih laksana kapas. Cuaca cerah, seluas angkasa tiada segumpal mega, betapa indah pemandangan di pesisir saat itu.
Tapi di pesisir itu, di bawah pancuran cahaya matahari yang hangat, seorang nenek beruban sedang tertawa licik berbicara dengan kepala orang yang berada di permukaan pasir.
Betapa lucu, aneh dan menggelikan pemandangan yang istimewa ini.
Dengan tertawa Ban-lo-hu-jin bertanya, Kiranya Tai-su sedang latihan, nenek memang kurang pengalaman dan pengetahuan, entah kungfu apa yang Tai-su latih, sudilah menjelaskan."
"Latihan kungfu" Siapa bilang aku sedang latihan?" Ka-sing Tai-su tertawa.
Berkedip-kedip Ban-lo-hu-jin, "Kalau Tai-su tidak sedang latihan kungfu, apakah ....apakah berkelakar dan sengaja menggoda nenek, sengaja mengejutkan dan menakuti aku?"
"Berkelakar" Hm, kapan aku ada minat berkelakar denganmu."
"Lalu ...apa yang Tai-su lakukan di sini?"
"Biarlah aku jelaskan. Seorang kalau kelaparan dan tidak tahan lagi, kalau badan dibenamkan dalam pasir, rasanya sungguh nikmat luar biasa."
Ban-lo-hu-jin melengong, "O, kiranya begitu," tak urung ia tertawa geli.
"Aku ogah bicara denganmu, menghabiskan tenaga saja, lekaslah menyingkir, habis bicara Kasing memejamkan mata dan tidak menghiraukannya lagi.
Ban-lo-hu-jin berdiri diam-diam mengawasi batok kepala orang, mengawasi rambut orang yang awut-awutan dihembus angin.
Matanya mendadak memancarkan cahaya, sementara mulut mengiakan.
631 Koleksi Kang Zusi
perlahan ia maju dua langkah, mendadak Ban-lo-hu-jin membalik tubuh, sebelah kakinya secepat kilat menendang Ing-hiang-hiat di hidung Ka-sing Tai-su.
Kaki tangan Ka-sing Tai-su terpendam dalam pasir, bukan saja tidak mungkin berkelit, juga tak dapat menangkis, jelas tendangan Ban-lo-hu-jin bakal berhasil.
Siapa tahu pada detik yang menentukan itu, mendadak Ka-sing Tai-su bergelak tawa, pasir mendadak beterbangan, sementara badannya mendadak mencelat keluar dari dalam pasir.
Terasa oleh Ban-lo-hu-jin pasir yang bertebaran sederas hujan meluncur ke arah dirinya, sebelum sempat menyingkir, jari-jari Ka-sing Tai-su yang mirip cakar sudah mengancam tenggorokannya.
Pecah nyali Ban-lo-hu-jin, pekiknya ketakutan, "Tai ...tai ..."
Karena leher tercekik, bernapas pun susah, mana dapat bicara.
Ka-sing Tai-su menyeringai sadis "Dengan kemampuan nenek busuk seperti dirimu, berani menyerang aku."
Lidah Ban-lo-hu-jin sudah menjulur keluar seluruhnya, "Am ...ampun ..."
"Mengampunimu" Hehe!" Ka-sing Tai-su menyeringai, "kau mau membunuhku, sekarang akulah yang akan membunuhmu."
Terasa oleh Ban-lo-hu-jin batok kepalanya hampir pecah, bola matanya juga hampir mencolot keluar, sekuat tenaga ia meronta untuk bersuara, namun yang keluar dari tenggorokannya hanya dengus berat mirip lembu melenguh.
Cengkeraman jari Ka-sing Tai-su makin kencang.
Pandangan Ban-lo-hu-jin sudah mulai gelap kaki tangan tidak mampu bergerak lagi.
Pada detik yang menentukan itu, jari tangan Ka-sing Tai-su mendadak mengendur dan melepaskan cengkeramannya.
Dengan lemas Ban-lo-hu-jin roboh melesot tanah pasir.
Ka-sing Tai-su bergelak tawa, "Terlalu enak kalau aku membunuhmu dengan cara ini, akan ...
akan aku pendam batok kepalamu dalam pasir, supaya kau ...."
Bergegas Ban-lo-hu-jin merangkak, lalu berlutut dan menyembah, ratapnya dengan suara serak, "Tai-su, kau salah paham, nenek tua ini sungguh tiada niat mencelakaimu. Yang benar aku ingin berunding suatu hal penting dengan Tai-su."
"kau kira aku percaya obrolanmu?" jengek Ka-sing Tai-su.
"Tapi aku bicara sebenarnya, bukan membual."
"Hm ..." mendadak Ka-sing menggeram sambil menarik Ban-lo-hu-jin dan menjungkir balik tubuhnya, jadi kepala di bawah dan kaki di atas tubuhnya hendak dibanting ke dalam lubang pasir, puluhan kati badan Ban-lo-hu-jin di tangannya seperti menjinjing ayam saja.
"Tai-su," pekik Ban-lo-hu-jin, "lepaskan ...lepaskan! Terus terang ada akal supaya Tai-su lekas mendapatkan Bu-kang-pit-kip warisan Ci-ih-hou itu."
Ocehnya ini ternyata mempunyai daya iblis yang besar pengaruhnya. Ka-sing Tai-su segera melepaskan pegangannya.
Meringkuk dalam lubang pasir, Ban-lo-hu-jin menentramkan napasnya yang tersengal-sengal.
Ka-sing Tai-su tolak pinggang dan melotot, "Apa ucapmu boleh dipercaya?"
"Dalam keadaan begini memangnya aku berani menipumu?"
"Lekas katakan ...kau ...ada akal apa?"
632 Koleksi Kang Zusi
"Akalnya mudah sekali."
Nenek ini memang seekor rase yang licik dan licin, melihat Ka-sing Tai-su terperangkap oleh pancingannya, sikapnya cepat sekali menjadi tenang, perlahan ia merangkak lalu duduk bersimpuh, senyum licik menghias ujung bibirnya.
"Mudah, kau bilang mudah! "omel Ka-sing Tai-su, "Selama beberapa tahun ini, entah berapa banyak akal yang pernah aku pikirkan, tapi tiada gunanya. Budak Cui-Thian-ki itu memang susah dilayani."
"Betapapun lihainya, kungfunya jelas bukan tandinganmu, asal kau mau ulur tangan, dengan mudah dapat membekuknya ..."
"Memangnya hal sepele ini perlu aku belajar darimu, tapi kalau aku membekuk dia, Oh-Put-Jiu keparat itu akan segera menyobek dan merusak kitab, mana boleh aku ..."
"Kalau mereka bisa mengancam dirimu, kenapa kamu tidak bisa berbuat hal sama terhadap mereka, aku yakin Oh-Put-jiu tidak akan berani menyobek selembar pun Bu-kang-pit-kip itu"
Aku tidak punya akal untuk mengancam mereka.
"Ada saja akalnya," ujar Ban-lo-hu-jin tegas.
Bercahaya mata Ka-sing Tai-su, teriaknya girang, "Akal apa?"
"Akalku ...aduh, dasar sudah tua, ingatan nenek jadi gampang lupa, kenapa dalam waktu sepenting ini mendadak lupa."
Ka-sing Tai-su berjingkrak gusar, teriaknya sambil membanting kaki, "Sudah lupa" Urusan sepenting ini mana boleh lupa."
"Ai, orang kalau sudah tua, mudah melupakan sesuatu ...Tapi kalau Tai-su mau melulusi sebuah permintaanku, bila hati nenek senang, mungkin dapat Aku ingat lagi."
"Soal apa" Lekas katakan."
"Setelah Tai-su membunuh Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki, dengan mudah dapat mengambil. Bu-kang-pit-kip itu, hal ini jelas menguntungkan engkau seorang, celakalah kalau jiwaku juga kau habisi."
"Baiklah, aku bersumpah tidak membunuhmu."
"kau boleh bersumpah seratus kali, tapi benarkah jiwa nenek terlindung?"
"Setiap patah kataku merupakan jaminan untuk melindungi jiwamu."
"Ai, sayang sekali, nenek seperti aku ini sudah kenyang hidup menderita, rasa curigaku selalu menghantui sanubari ini, kalau selalu percaya omongan orang, aku takkan hidup setua ini. Maka terhadap siapa saja, omongannya tidak boleh aku percaya seratus persen, penyakit ini sudah puluhan tahun menyertaiku berkelana di kang-ouw, kenyataan sampai sekarang aku masih hidup segar, resepnya yaitu tidak boleh percaya kepada siapa pun."
"Baiklah, lalu jaminan apa yang kau minta?"
"Asal Tai-su mau saja, selanjutnya kau angkat nenek ini menjadi ibu angkatmu, aku ..."
"Kentut busuk!" Ka-sing Tai-su mengumpat dengan murka.
Ban-lo-hu-jin menghela napas, "Kalau Tai-su tidak sudi menjadi anak angkatku, yah, apa boleh buat, batal saja."
Ka-sing Tai-su mencak-mencak seperti kebakaran jenggot, ia bersungut-sungut sekian lamanya, mendadak ia mencengkeram Ban-lo-hu-jin, tapi segera sikapnya berubah, di tengah gelak tawanya ia lepas dan turunkan Ban-lo-hu-jin, katanya "Kenyataan usiamu memang sudah tua, sebagai orang beribadah yang sudah bebas dari keluarga, sebetulnya boleh aku angkat setiap orang sebagai sanak kandungku, memangnya apa salahnya kalau aku mengangkatmu 633
Koleksi Kang Zusi
sebagai ibu angkat."
"Nah, kan begitu," ucap Ban-lo-hu-jin dengan girang.
Ka-sing Tai-su benar-benar berlutut dan menyembah, "Ibu, terimalah sembah hormat anak!"
Tujuh tahun ia tunggu kesempatan untuk merebut dan memperoleh Bu-kang-pit-kip itu, selama penantian itu boleh dikatakan dia hampir gila.
Di pulau kosong ini tiada orang lain, menyembah dan berlutut juga bukan perbuatan tercela dan memalukan, yang penting Bu-kang-pit-kip itu dapat direbutkan, umpama harus menyembah seribu kali kepada Ban-lo-hu-jin juga akan dilakukannya.
"Anak bagus ... anak baik ..." berseri air muka Ban-lo-hu-jin. Sembari bicara tangannya sibuk merogoh kantung, yang satu merogoh kantung yang lain, akhirnya ia mengeluarkan sebiji manisan pala. "Aku tidak bawa barang apa-apa, nah, terimalah ini sebagai tanda peresmian mengangkatmu sebagai anak angkat."
Ka-sing Tai-su juga tidak rewel, begitu manisan pala itu diterima langsung dilempar masuk ke mulut dan ditelannya bulat-bulat.
"Haya," mendadak Ban-lo-hu-jin menjerit kaget, "sudah kau makan?"
Ka-sing bergelak tawa, "Hadiah ibunda meski tidak bernilai juga merupakan penghargaan yang besar artinya, sudah tentu aku makan."
"Wah, celaka ...celaka ..." Ban-lo-hu-jin berseru gugup sambil membanting kaki.
"Apanya yang celaka?" tanya Ka-sing Tai-su gugup, air muka pun berubah.
"Manisan tadi hanya untuk contoh, bukan untuk dimakan," kata Ban-lo-hu-jin.
"Hah, kenapa tidak boleh dimakan?"
"Karena terburu nafsu, aku lupa memberitahukan padamu, manisan pala tadi ada....ada racunnya."
Ka-sing Tai-su meraung gusar, sekali raih ia jambret baju dada Ban-lo-hu-jin seraya menghardik "Apa katamu?"
"Celakanya kecuali aku tiada orang lain yang bisa menawarkan racun itu," demikian tambah Ban-lo-hu-jin.
"kau ...nenek siluman, akan ...kubunuh kamu."
Mendadak Ban-lo-hu-jin terkekeh-kekeh "Kalau aku kau bunuh, kau pun takkan bisa hidup."
Gemetar suara Ka-sing Tai-su saking menahan geram, "Le ... lekas keluarkan obat penawarnya
..." "Ingin kuberi obat penawar padamu, sayang obatnya tidak kubawa, setelah kita pulang ke Tiong-toh baru dapat aku carikan ramuannya dan aku buatkan obatnya. Tapi ...anak baik, tidak perlu gugup, walau kadar racun itu cukup lihai, tapi bekerjanya lambat, masih cukup lama baru akan kumat, bila selama ini kamu berbakti terhadapku, dalam jangka tiga atau lima bulan pasti racunnya tidak akan bekerja."
Cukup lama Ka-sing Tai-su melotot padanya, akhirnya menghela napas panjang dan melepaskan cengkeramannya, "Baiklah, aku tunduk padamu."
Ban-lo-hu-jin terloroh-loroh, "Kalau nenek tidak menggunakan akal, bila kau dapatkan Pit-kip itu, memangnya sudi kau anggap aku sebagai ibu angkat" ...Hahaha, sekarang nenek baru lega untuk membantumu memperoleh Pit-kip itu."
Sikap Ka-sing Tai-su berubah riang pula "Cara bagaimana akalmu akan diatur?"
"Taraf kepandaian Cui-Thian-ki paling hanya sepersepuluh kemampuanmu, tapi dia dapat membuatmu tunduk dan patuh lahir batin padanya, kalau dia menyuruhmu ke timur, maka 634
Koleksi Kang Zusi
kamu tak berani ke barat, kenapa demikian?"
Ka-sing mendesis penuh kebencian, "Karena siluman itu sudah memperhitungkan, aku takkan rela bila pit-kip itu dihancurkan, sebelum aku lihat dan membaca meski cuma selintas pandang saja pit-kip itu, sampai mati pun aku akan penasaran."
"Betul, sampai mati pun ingin kau lihat pit-kip itu dan inilah kelemahanmu, setelah menggenggam kelemahanmu, dia tidak perlu takut terhadapmu, dan kamu akan selalu tunduk padanya."
"Siluman keparat ..." Ka-sing Tai-su mendesis geram.
Ban-lo-hu-jin tertawa lebar, "Tapi siluman keparat itu juga punya kelemahan, kalau kau dapat merengut kelemahannya di tanganmu, justru dapat kau paksa dia tunduk padamu."
Terbeliak mata Ka-sing Tai-su, "Dia ...dia punya kelemahan apa?" tanyanya gugup.
Dengan santai Ban-lo-hu-jin duduk di pasir, "Saat ini dia sedang menanak nasi dan memasak sayur boleh kau pergi ke sana dan membekuknya ...."
Ka-sing Tai-su gusar, "Akal bagus apa, lebih busuk dari pada kentut anjing. Kalau aku membunuhnya, Oh-Put-jiu akan segera menyobek dan merusak kitab itu ...Umpama aku dapat membunuhnya tanpa menimbulkan suara, bila dalam waktu tertentu keparat Oh-Put-jiu itu tidak melihat bayangannya, dia juga akan menyobek dan merusak kitab ...Yang aku tuntut bukan jiwa mereka, tapi kitab pelajaran kungfu itu. Kalau pit-kip nya dirusak dan hancur, umpama aku makan daging mereka juga tiada gunanya lagi?"
Ban-lo-hu-jin meleroknya sekali, lalu mengomel "Siapa suruh kau bunuh dia?"
"Buk ...bukankah tadi kau bilang ...."
"Aku hanya menyuruhmu membekuknya!" teriak Ban-lo-hu-jin, "Kalau kau bunuh dia, Oh-Put-jiu memang bisa menghancurkan pit-kip, ini kan sama bila Oh-Put-jiu menghancurkan kitab dan segera kau bunuh Cui-Thian-ki."
Lalu dengan senyum penuh arti ia menyambung, "Tapi kalau kau bekuk dia dan memberi tahu Oh-Put-jiu, bila dia berani merobek selembar buku itu, segera kau bunuh Cui-Thian-ki. Coba kau pikir apa dia berani menyobek?"
Ka-sing Tai-su keplok sekali, "Ya, dia pasti tidak berani, hal ini kan sama seperti aku tidak membunuh Cui-Thian-ki ....Aku takkan membiarkan pit-kip itu dihancurkan, dia juga takkan membiarkan aku membunuh Cui-Thian-ki."
"Betul, akhirnya kau paham juga. Pit-kip itu adalah titik kelemahanmu, Cui-Thian-ki adalah titik kelemahan Oh-Put-jiu. Kini kalian sama-sama memegang kartu kelemahan masing-masing, kenapa masih takut terhadap mereka?"
"Satu hal masih harus dipertimbangkan, apakah perhatian Oh-Put-jiu terhadap Cui-Thian-ki sebesar perhatianku terhadap pit-kip itu, kalau tidak bukankah ...."
"Perhatian Oh-Put-jiu terhadap Cui-Thian-ki pasti tidak kalah dibandingkan perhatianmu atas pit-kip itu."
"Berdasar apa kamu berani memastikan?"
"Hati muda mudi yang sedang menjalin cinta, sudah tentu tak dapat diselami oleh orang yang menjadi hwesio sepertimu. Nenek ini sudah ahli dalam bidang asmara, hubungan mereka yang intim mana dapat mengelabui sepasang mata tuaku."
Apa yang diucapkan Ban-lo-hu-jin ibarat tusukan sembilu yang tepat kena sasaran. Maklum, sejak kecil Ka-sing menjadi hwesio, tentang seluk-beluk hubungan cinta muda-mudi tentu saja amat asing baginya dan tidak tahu sama sekali.
Kalau Hwesio ini tahu betapa hangat hubungan cinta muda-mudi dan rela berkorban demi segalanya, Taraf pengorbanannya tidak kalah dibandingkan kegilaannya untuk memperoleh Bu-kang-pit-kip itu, tentu Ka-sing Tai-su tidak akan menunggu selama tujuh tahun lamanya.
635 Koleksi Kang Zusi
"Maksudmu ...antara Oh-Put-jiu dengan Cui-Thian-ki yang keparat itu sudah menjalin hubungan cinta" ....Padahal mereka tidak pernah bertemu ..."
"kau tahu apa" Makin tidak bertemu, hubungan cinta mereka makin panas, makin terangsang.
Sebaliknya kalau setiap hari beradu pandang, adu hidung, malah tidak menarik."


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak mengerti, aku tidak paham ...."
"Kalau hwesio juga paham tentang cinta, maka hwesio itu tentu hwesio sontoloyo."
Ka-sing Tai-su bergelak tawa, "Sekarang aku sudah paham ...sesuatu benda yang susah didapatkan tentu lebih berharga nilainya, demikian besar harapanku terhadap pit-kip itu, demikian pula hubungan cinta antara laki-perempuan."
"Kamu memang murid yang pandai, sekali diterangkan lantas paham."
Mendadak Ka-sing berhenti tertawa, lalu berkata dengan berkerut kening, "Tapi meski dapat aku bekuk Cui-Thian-ki, sementara pit-kip tergenggam di tangan Oh-Put-jiu, walau aku tahu dia tidak berani menghancurkan pit-kip, dia juga tahu aku tidak berani membunuh Cui-Thian-ki, bila aku tidak melepaskan Cui-Thian-ki, jelas ia pun takkan menyerahkan pit-kip itu, bukankah urusan tetap akan berkepanjangan?"
"Betul, tapi jangan lupa, Oh-Put-jiu sekarang terkurung dan tak mungkin beraksi, sebaliknya kau dapat berbuat sesuka hatimu ..."
"Memangnya aku dapat berbuat apa terhadapnya?"
"Asal dia tidak menghancurkan buku itu, apa tidak bisa kau paksa dia keluar dengan membakarnya" Bila dia berada di luar, apa tidak mampu kau kalahkan dia?"
"Betul ... betul!" teriak Ka-sing Tai-su kegirangan, "urusan semudah ini, sejak dulu seharusnya sudah aku pikirkan,"
"Persoalan apa saja, bila duduk persoalannya menjadi jelas, sudah tentu urusan menjadi mudah
....Di jaman Sam Kok terjadi Cu-kat-Liang membakar kapal musuh dengan perahu berumput yang menyala, bukankah caranya mudah dan gampang dilakukan, tapi sebelum dia melakukan akalnya itu, siapa pernah melakukannya" Soalnya, untuk melakukan sesuatu memang mudah, untuk menyelami makna yang murni dari persoalan itulah memerlukan pengetahuan yang luas."
"Betul, betul ...." Ka-sing Tai-su manggut-manggut.
"Setelah tugas ini kau selesaikan dengan baik, cukup kita perbaiki ala kadarnya, kapal yang aku naiki itu akan dapat membawa kita anak dan ibu pulang ke Tiong-toh."
Senang Ka-sing Tai-su bukan main, "Ya, pada waktu itu, seluruh kaum Bu-lim di Tiong-toh, siapa yang mampu menandingi aku?"
"Kukira ada seorang," ujar Ban-lo-hu-jin.
"Siapa lagi?" Ka-sing Berjingkrak gusar.
"Pui-Po-giok ....semoga saat ini dia sudah mampus," demikian desis Ban-lo-hu-jin.
****** Pusaran air mulai hilang dan permukaan air danau kembali tenang dan bening bagai kaca, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi Siau-kong-cu tidak pernah muncul dan tidak kelihatan lagi.
Mengawasi permukaan danau yang tenang bak kaca, Pui-Po-giok termangu kaku seperti beku.
Entah berapa lama kemudian, wajah Po-giok baru memperlihatkan perubahan perasaan, tapi kelihatannya begitu ruwet, sukar orang menebak soal apa yang sedang dipikirkannya.
Di tengah kebeningan yang mencekam itu.
"Byuuurrr!" mendadak Po-giok juga terjun ke dalam air.
636 Koleksi Kang Zusi
Air danau bergelombang. Lama kelamaan gelombang itu pun sirna, air danau kembali tenang bagai kaca, seperti tidak pernah terjadi apa-apa, tapi Pui-Po-giok juga tidak kelihatan, lenyap tanpa bekas.
****** Sinar surya yang cemerlang menerangi layar pancawarna, menyinari gubuk kecil yang mungil dan artistik itu.
Dari dalam gubuk berkumandang nyanyian merdu, nyanyian yang riang gembira, memuja sang surya dengan cahayanya yang cemerlang, memuja kehidupan ini yang indah dan kebahagiaan yang didambakan.
Cui-Thian~ki bekerja dengan riang, hari ini merupakan lembaran baru dalam hidupnya selama tujuh tahun tinggal di pulau kosong ini. Dalam sehari ini, tumbuh makna yang baru, harapan baru pula.
Sekerat dendeng ia iris menjadi empat potong, lalu dipanggang di atas tungku. Potongan dendeng itu tidak merata, yang paling besar akan dia berikan kepada Oh-Put-jiu, yang paling kecil untuk dirinya sendiri.
Matahari belum setinggi genter, cahayanya menyorot miring ke dalam rumah, menyinari rambutnya yang panjang terurai, potongan tubuhnya yang ramping montok bergerak secara lincah, matanya tampak bercahaya, demikian pula pahanya yang mulus tampak lebih putih dan halus.
Dalam suasana bahagia, manusia selain tampak lebih cantik, lebih elok dari keadaan biasanya.
Mendadak didengarnya di belakang ada suara orang, tanpa berpaling Cui-Thian-ki bertanya,
"Apakah Ka-sing Tai-su?"
"Ya," sahut Ka-sing Tai-su.
"Belum tiba saatnya makan, kenapa datang terburu-buru?"
Belum habis ia bicara, tiba-tiba dilihatnya sebuah tangan bagai cakar burung menjulur tiba empat kerat dendeng yang baru saja dipanggang disambernya.
Cui-Thian-ki gusar, "Kurang ajar, kau berani melanggar peraturan?"
Dengan lahap Ka-sing Tai-su makan dendeng rampasan itu, hanya beberapa kali kunyah, dendeng itu sudah tertelan ke dalam perut.
Cui-Thian-ki membanting kaki, "He, sudah gila kau " Jangan lupa apa yang pernah kau janjikan padaku?"
Ka-sing Tai-su tidak hiraukan peringatannya, dendeng kedua mulai dijejalkan ke mulut.
Ketika dendeng kedua ini juga ditelannya, sikap Cui-Thian-ki ternyata menjadi tenang malah, wajahnya juga tersenyum manis.
Dengan mulut tersumbat makanan Ka-sing Tai-su bergumam dengan suara kurang jelas,
"Rasanya enak ...."
Cui-Thian-ki tertawa lebar, "Kalau benar enak rasanya, tuh masih ada, boleh aku panggang lagi untukmu."
Terbeliak mata Ka-sing Tai-su, katanya heran "Hah, kau berubah?"
"Melihat caramu makan, aku jadi kasihan apa salahnya kuberi lagi."
Ka-sing Tai-su lupa mengunyah, berhenti makan, matanya terbeliak, "Apa benar?"
"Daging ini terlalu asin, aku ambilkan air dulu untuk mencucinya."
Dengan kalem ia mengambil segayung air, lalu dengan kerlingan tajam ia menghampiri Ka-sing Tai-su.
637 Koleksi Kang Zusi
Mendadak suara Ban-lo-hu-jin berkumandang di luar pintu, "Awas jangan tertipu oleh budak itu."
Pada saat itulah mendadak Cui-Thian-ki menerjang keluar seraya menyambitkan segulung cahaya perak langsung menyerang Ka-sing Tai-su. Secepat kilat Ka-sing Tai-su juga menubruk maju dan mengejar.
Belum setombak tubuh Cui-Thian-ki meluncur terasa angin dingin menerjang tiba di belakang kepalanya, tanpa menoleh tangannya terayun ke belakang.
Jurus Pa-ong-sik-ka merupakan gerakan yang membuka lebar pertahanan sendiri, gayanya kaku keras tapi dahsyat, walau gerakannya lucu, tapi serangan itu sendiri amat lihai dan aneh.
Kini jurus kaku ini dilancarkan oleh gadis ayu gemulai, nilainya berubah sama sekali. Maklum kalau perempuan cantik mencopot pakaian, siapa yang tidak akan terpengaruh hatinya, terutama gerak perubahan serangan ini cukup licik dan sukar diraba sebelumnya.
Menyaksikan dari kejauhan, diam-diam tergetar hati Ban-lo-hu-jin, "Kungfu budak ini ternyata maju sepesat ini."
Belum habis pikir, kedua tangan Cui-Thian-ki tahu-tahu sudah terpegang oleh Ka-sing Tai-su.
Betapa aneh, lihai dan dahsyat serangannya, bagi Ka-sing Tai-su ternyata dilayani dengan sepele saja.
Sekali puntir dan lempar, Cui-Thian-ki kontan terbanting jatuh di tanah.
Bukan merengek kesakitan Cui-Thian-ki justru tersenyum genit, "Tega benar engkau ini, begitu baik aku terhadapmu, engkau tega membantingku sedemikian rupa."
Ka-sing Tai-su bergelak tawa, "Untung Lo-heng sudah lanjut usia, kalau masih muda tentu kepincut dan akan berlutut di bawah lututmu."
"Kukira kamu keblinger, setelah menunggu sekian tahun, sebentar lagi pit-kip itu akan bisa kudapatkan, tapi sekarang ...ai, harapanmu akan sirna."
"Kenapa sirna seluruhnya?" Ka-sing Tai-su menegas.
"Kalau tanganku tidak kau lepaskan, akan kusuruh Oh-Put-jiu ...."
"Boleh kamu berteriak padanya," jengek Ka-sing Tai-su.
Melirik sekejap mendadak Cui-Thian-ki berteriak keras, "Oh-Put-jiu ...Oh-Put-jiu, kau dengar suaraku?"
Segera berkumandang sahutan Oh-Put-jiu dari dalam kabin, "Dengar, ada apa?"
Suaranya tidak keras, nadanya tidak tinggi namun jelas dan terang, sepatah demi sepatah berkumandang sampai jauh, jelas orang yang bicara memiliki lwe-kang yang tangguh.
"Mulailah sobek buku itu ..."
Berubah kaget dan prihatin suara Oh-put-jiu "Apa ...apa kau ...."
"Benar, hwesio tua ini mulai beraksi."
Cui-Thian-ki yang cerdik segera memotong perkataan Oh-Put-jiu karena ia tidak ingin suara orang yang gugup dan gemetar itu diketahui Ka-sing Tai-su.
Betapapun Oh-Put-jiu adalah manusia biasa, menghadapi kejadian di luar dugaan, tentu saja suaranya akan berubah maka ia pun berkata dengan ketus dan dingin, "Baik, isi buku ini aku sudah apal di luar kepala, dihancurkan juga tidak menjadi soal."
Cui-Thian-ki tertawa, "Sudah kau dengar Ka-sing Tai-su?"
"Oh-Put-jiu!" mendadak Ka-sing berteriak, "Selembar saja berani kau robek buku itu Cui-Thian-ki segera kubunuh di sini. kau dengar tidak?"
638 Koleksi Kang Zusi
Suasana mendadak menjadi hening, tiada suara apa-apa dari dalam kabin, mungkin Oh-Put-jiu tertegun kaget.
Seri tawa yang menghias wajah Cui-Thian-ki juga seketika lenyap, perlahan ia menoleh ke arah Ban-lo-hu-jin, "Bagus ya kau ! Bagus sekali."
Ban-lo-hu-jin terkekeh-kekeh, "Kejadian ini tiada sangkut-paut dengan aku."
"Kalau Ka-sing Tai-su bisa menggunakan akal busuk ini, masa baru hari ini dia praktekkan?"
"kau memang pandai," Ban-lo-hu-jin memuji.
"Dan kau amat senang bukan" Asal ada untung, anak kandung sendiri juga rela kau jual, benar tidak" Sungguh sukar aku bayangkan kematian cara apa yang akan menimpamu kelak?"
"Mati adalah mati, peduli amat, enak atau mati sengsara, kan sama-sama mati."
Cui-Thian-ki menatapnya lekat, lama kelamaan wajahnya menampilkan senyum manis juga,
"Terlalu pagi kalau sekarang kamu merasa senang."
"kau kira Oh-Put-jiu tidak berani menghancurkan kitab dan Ka-sing Tai-su juga tak berani mengusikmu?"
"Memangnya hwesio ini berani berbuat apa terhadapku?"
"Kurasa tidak demikian, umpama Ka-sing Tai-su tidak mengusikmu, masih banyak cara dapat memaksa bocah kepala besar itu keluar. Otakmu juga cerdik, kukira kau pun sudah tahu cara apa yang harus digunakan."
"Dengan api ...dengan api memanggang si kepala besar ....Hahaha!" Ka-sing Tai-su bergelak keras.
Bahwa Ka-sing Tai-su tertawa senang, di luar dugaan Oh-Put-jiu yang berada dalam kabin mendadak juga tertawa besar.
"Ken ...tertawa" Dalam keadaan seperti ini, kamu masih dapat bicara, sungguh aku kagum padamu."
"Kalau kau bakar kapal ini, terpaksa aku harus keluar dan dengan kedua tangan aku persembahkan pit-kip kepadamu ....Hahaha, itulah rencana kalian yang muluk bukan?"
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan?" jengek Ka-sing Tai-su.
Bengis suara Oh-Put-jiu, "Berani kau bakar kapal ini, maka selama hidupmu jangan harap dapat memperoleh pit-kip ini meski hanya selembar saja."
"kau ...berani?" Ka-sing Tai-su bingung dan kuatir, "Memangnya tidak kau pikirkan jiwa Cui-Thian-ki?"
"Betul, aku tidak tega melihat nona Cui mati di tanganmu, perhitunganmu dalam hal ini memang tepat. Tapi kalau aku menyerahkan Pit-kip, bukan saja jiwa nona Cui tidak dapat diselamatkan, jiwaku sendiri juga pasti takkan bisa dipertahankan, hal ini sudah aku perhitungkan juga. Sama-sama gugur kan lebih baik gugur bersama hancurnya semua Pit-kip di sini."
Berubah air muka Ka-sing, dasar berotak tumpul, sekian lama ia berdiri diam tanpa bicara. Oh-Put-jiu sudah membaca dan apal di luar kepala semua Pit-kip yang tersimpan di kapal itu, jelas orang ini tidak boleh dibiarkan hidup, dalam hal ini sedikitpun ia tidak mampu berdebat.
Cui-Thian-ki cekikik geli, katanya menyindir "Nah, sekarang kalian tahu cerdik tidak si kepala besar itu" Ketahuilah, selama aku hidup dan berkecimpung di kang-ouw, hanya dia laki-laki paling pintar yang pernah aku temukan, jangan harap kalian bisa menjebaknya."
Ban-lo-hu-jin menghela napas, "Anak bodoh, akal masih dapat dipikirkan, waktu juga masih cukup panjang, kenapa gelisah tak keruan."
639 Koleksi Kang Zusi
Satu demi satu jari jemari Ka-sing Tai-su yang mencengkeram Cui-Thian-ki terlepas, "Tapi
...sekarang dia ...."
"Sekarang boleh kau tiru cara aku orang tua bekerja," ujar Ban-lo-hu-jin dengan kalem.
perlahan ia menghampiri Cui-Thian-ki. Mendadak tangannya terulur, sekali jambret jubah anyaman bulu burung itu ditariknya robek separo, maka dada yang putih montok tampak bergetar ditiup angin.
Ternyata Cui-Thian-ki tetap berdiri tegak, bergerak pun tidak, juga tidak berusaha menutup dadanya yang terbuka. Gadis ini sudah sejalan pikirannya dengan Oh-Put-jiu, tidak mau melakukan sesuatu yang tidak berguna.
"Oh-Put-jiu!" teriak Ban-lo-hu-jin, "sudah kau saksikan bukan ...Nih, lihat betapa montok payudara nona Cui, halus lagi kenyal, begitu indah dan mempesona di bawah sinar matahari, sebening kaca dan tembus cahaya. Sukar aku percaya tiada laki-laki di dunia ini yang tidak tertarik dan ingin menjamahnya ...Ai, sayang sekali kamu tidak dapat menikmatinya."
Tiada suara dari dalam kabin, suara sedikit pun tak terdengar.
Dengan tertawa sinis Ban-lo-hu-jin melanjutkan "Oh-Put-jiu, kalau aku menjadi dirimu hatiku tidak rela gadis secantik ini jatuh dalam pelukan laki-laki lain, boleh kau pejamkan mata dan membayangkan, kalau tangan laki-laki lain menjamah tubuhnya, kalau laki-laki lain menindih tubuhnya ....bagaimana perasaanmu?"
Mendadak Cui-Thian-ki tertawa, serunya mengejek, "Sayang sekali di sini tiada lelaki."
"Oo" ...tidak ada laki-laki lain" ...Ka-sing Tai-su, kamu laki-laki atau perempuan?"
"Yang benar dia seorang hwesio ..." tukas Cui-Thian-ki.
Mendadak Ka-sing Tai-su bergelak, "Memangnya hwesio bukan laki-laki?"
"Anak bagus," sorak Ban-lo-hu-jin, "Tepat sekali jawabanmu."
"Walau usiaku sudah lanjut, kondisiku tanggung tidak kalah dibanding anak muda, kalau tidak percaya marilah dicoba. Terutama gaya dan permainan negeri Thian-tiok tanggung tidak kalah dan jauh berbeda dengan negeri lain."
Lebih keras Ban-lo-hu-jin berkeplok dan bersorak, "Bagus, bagus, makin bicara kamu makin pintar."
Ka-sing Tai-su berkata pula, "Selama hidup belum pernah aku terpengaruh oleh perempuan, tapi hari ini melihat tubuh semulus dan semontok ini, wah ...."
Sikap Cui-Thian-ki tidak berubah, "Kamu hanya membual saja, memangnya kau mampu?"
"Hah" Dia tidak mampu?" teriak Ban-lo-hu-jin, "Hei, kau mampu tidak?"
Ka-sing Tai-su terloroh-loroh, "Kenapa aku tidak mampu" Demi pit-kip itu, apa pun dapat kulakukan."
"Mungkin kamu belum berpengalaman, tapi aku bisa memberi petunjuk, setua ini usiaku pengalamanku takkan habis aku jelaskan padamu untuk dipraktekkan di sini....Nah, sekarang mulai pertama ulur tanganmu dan pegang dadanya."
"Baik ..." seru Ka-sing Tai-su dengan tertawa iblis.
Melihat telapak tangan orang yang kurus kering lagi hitam mirip cakar burung itu bergerak mendekat ke dadanya, Cui-Thian-ki menjerit kuatir, betapapun tabah dan berani, betapapun dia seorang gadis suci.
"Oh-Put-jiu," teriak Ban-lo-hu-jin tertawa "sudah kau saksikan bukan" Sekarang tubuh nona Cui mulai gemetar ...setiap jengkal dagingnya mulai mengkeret, wah, begini indah dan menarik
..Ai, sayang aku bukan laki-laki, terpaksa aku hanya menonton dan memberi petunjuk dari samping saja ...."
640 Koleksi Kang Zusi
"Blang," mendadak berkumandang suara keras, pintu besi kabin kapal itu terbuka.
Cui-Thian-ki menjerit kaget, "Oh-Put-jiu, lekas masuk kembali!"
Tapi Oh-Put-jiu sudah melangkah keluar.
Cahaya matahari menyinari tubuh Oh-Put-jiu.
Pakaiannya sudah membusuk, begitu kena sinar matahari dan ditiup angin, lantas beterbangan seperti kupu-kupu.
Dahulu badannya hitam lagi kekar berotot, kini berubah menjadi putih lagi kurus, ditambah rambut yang panjang awut-awutan sehingga kepalanya yang gede tampak lebih besar, sebaliknya tubuhnya kelihatan tambah kecil.
Tapi keadaan dan bentuk tubuhnya sedikitpun tidak menjadi lucu dan menggelikan, sikap dan wibawanya masih kelihatan juga bahwa dia seorang laki-laki.
Terutama wajahnya yang merah, sikapnya yang mantap tenang, sinar matanya setajam gunting. Siapa bentrok dengan pandangannya meski ingin tertawa geli juga akan menyengir kikuk.
Tujuh tahun, genap tujuh tahun dia hidup dalam kabin yang tidak pernah kena sinar matahari, kini mendadak tertimpa cahaya matahari, kedua matanya tentu merasa sakit seperti tertusuk jarum.
Tapi matanya ternyata tidak berkedip, lurus menatap ke arah Ka-sing Tai-su dan Ban-lo-hu-jin.
Ban-lo-hu-jin ingin tertawa riang, tapi ditatap sorot mata setajam itu, tanpa sadar ia menyurut mundur beberapa langkah.
Oh-Put-jiu yang dahulu supel dan pandai bergaul, kini berubah menjadi orang yang kelihatan garang, sifat garangnya ini membawa wibawa yang luar biasa, sehingga orang merasakan kegarangannya itu menciutkan nyali dan semangatnya.
Tangan Ka-sing Tai-su yang meraba dada Cui-Thian-ki juga terhenti setengah jalan, senyum iblisnya menjadi beku di wajahnya, sikapnya sungguh lucu, tapi juga menakutkan.
Demikian juga Cui-Thian-ki pun melengong. Selangkah demi selangkah Oh-Put-jiu menghampiri, meski lambat tapi pasti dan mantap, tanpa berhenti.
"Bagus," desis Ka-sing Tai-su sepatah demi sepatah, "menunggu tujuh tahun, akhirnya kau keluar juga."
"kau senang ya"," jengek Oh-Put-jiu."Aku ...aku ...." mendadak Ka-sing Tai-su mendongak sambil cekakakan. Baru sekarang ia bisa tertawa lepas.
"Selama tujuh tahun ini, nona Cui, engkau ..." sekilas Oh-Put-jiu melirik ke arah Cui-Thian-ki, lalu menunduk.
Meski hanya lirikan sekilas yang tidak sengaja, tak terduga Cui-Thian-ki yang biasanya tidak takut langit ambruk dan bumi ambles ternyata merah jengah mukanya, tanpa sadar ia angkat tangan dan menutup dadanya.
Dengan menunduk ia pun berkata rawan, "Ken ...kenapa kau keluar?"
"Kalau memang harus keluar, apa bedanya keluar sekarang atau besok?"
Bergetar tubuh Cui-Thian-ki, walau sudah menduga akan jawaban Oh-Put-jiu, namun tak pernah terpikir olehnya bahwa Oh-Put-jiu bakal menjawab secara gamblang dan tegas.
Dengan kepala tetap menunduk ia berkata pula, "Kenapa sekarang juga kau katakan, bila kau jelaskan nanti, bukankah lebih menguntungkan"
"Akhirnya toh harus kukatakan, dikatakan lebih dulu juga tidak menjadi soal," jawab Oh-put-jiu tetap tegas.
641 Koleksi Kang Zusi
"Betul juga," ucap Cui-Thian-ki mengangguk, "Kalau terlambat sedikit mungkin tiada kesempatan lagi untuk bicara."
Mendadak Ban-lo-hu-jin tertawa besar, "Kematian sudah diambang mata, kalau mau bicara sudah tentu harus lekas dibicarakan. Boleh kalian bicara, tidak perlu terburu-buru ...Sudah tujuh tahun Ka-sing menunggu, menunggu beberapa kejap lagi juga tidak menjadi soal."
"Tapi aku sudah tidak sabar lagi menunggu," sela Ka-sing Tai-su uring-uringan.
"Aku pun tiada yang perlu dibicarakan lagi," Oh-Put-jiu menegaskan.
Cahaya mentari masih benderang, hangat lagi semarak, namun alam semesta ini seperti diliputi hawa dingin. Karena Oh-Put-jiu dan Ka-sing Tai-su kini sudah berdiri berhadapan.
Hawa dingin seperti merembes keluar dari badan kedua orang yang berhadapan ini.
Kalau kejadian berlangsung tujuh tahun yang lalu jangankan berhadapan melawan Ka-sing Taisu, untuk berdiri sejajar dengan Ka-sing Tai-su saja tidak setimpal. Tapi sekarang pemuda ini berhadapan dengan Ka-sing Tai-su, baik wibawa, keberanian, sikap dan kegagahannya jelas tidak kalah dibanding padri asing yang terkenal di kang-ouw, padri agung yang menjadi calon ketua agama suatu aliran yang disegani ini.
Wajah Ka-sing Tai-su yang tadi tersenyum puas dan tamak kini sudah tidak kelihatan lagi.
Dengan pengalaman puluhan tahun lamat-lamat Ka-sing Tai-su meresapi adanya hawa tajam yang timbul dari tubuh pemuda di hadapannya ini, setelah berhadapan baru dia sadar dan merasakan langsung adanya ancaman serius dari pemuda kepala gede ini."
Oh-Put-jiu yang baru keluar dari dalam kamar gelap sejak tujuh tahun yang lalu, mirip sebatang pedang yang mendadak dilolos dari sarungnya. Meski cahaya kemilaunya tidak menyilaukan mata, namun hawa pedangnya terasakan menyentuh kulit.
Menghadapi pemuda ini, entah kenapa Ka-sing Tai-su tidak berani turun tangan.
Cui-Thian-ki mengawasi dengan cemas, walau senyum tidak menghias bibirnya, namun kini hatinya merasa lega dan terhibur. Tidak sia-sia ia menunggu tujuh tahun.
Orang yang didambakan, perjaka yang dirindukan akhirnya keluar dengan segar-bugar, lulus dengan hasil yang memuaskan.
Siapa pun yang akan kalah atau menang dalam duel ini, yang pasti Oh-Put-jiu berjuang demi mempertahankan kesucian dirinya.
Ban-lo-hu-jin juga tepekur, mulutnya bergumam, "Sungguh tak nyana untuk berduel juga memerlukan waktu selama ini, mungkin setelah mentari terbenam belum juga ada ketentuan siapa bakal menang dan kalah."
Kungfu Ban-lo-hu-jin memang belum dapat dikategorikan kelas wahid, namun betapa luas pengalamannya, duel antara tokoh-tokoh silat yang pernah ia saksikan tentu lebih banyak dibandingkan orang lain.
Kini ia lihat adanya titik kelemahan kenapa Ka-sing Tai-su sejauh ini belum juga berani turun tangan. Yaitu kegarangan dan wibawa pemuda yang menjadi lawannya menjadikan padri ini merasa jeri dan bimbang.
Dalam benaknya hanya terpikir, cara bagaimana dirinya harus mengalahkan pemuda ini hanya dalam satu gebrak saja.
Bahwa Ka-sing Tai-su tidak berani segera turun tangan, memang merupakan siasatnya yang tepat.
Ban-lo-hu-jin manggut-manggut setelah memahami siasat Ka-sing Tai-su, mulut pun bergumam, "Ka-sing memang seorang jago lihai. Oh-Put-jiu, cepat atau lambat akhirnya kamu akan tamat ...."
Paling sedikit dalam satu gebrak itu, dirinya harus memperoleh kesempatan dan menempati posisi yang unggul, tujuannya untuk mematahkan wibawa dan kegarangan pemuda ini, 642
Koleksi Kang Zusi
memaksa pemuda ini mengembangkan dan mengerahkan seluruh kekuatannya yang terpendam.
Kalau hal ini gagal maka duel hari ini akan merupakan pertandingan sengit yang berkepanjangan.
Ternyata nenek ini juga memperhitungkan bila Ka-sing Tai-su tidak turun tangan, Oh-Put-jiu tentu juga tidak akan turun tangan lebih dulu.
Ternyata perhitungan Ban-lo-hu-jin kali ini keliru, salah sama sekali.
Tampak sorot mata Oh-Put-jiu mendadak mencorong, berbareng kedua tangannya bergerak secepat kilat.
Kelihatannya jurus ini dilancarkan secara sederhana, tidak aneh juga biasa saja, tapi makna dan gerak tangannya ternyata amat luas dan mendalam, seolah-olah segala keanehan, keajaiban yang ada di dunia ini terkandung dalam gerakan kedua telapak tangannya itu.
Ka-sing Tai-su tidak menduga bahwa Oh-Put-jiu berani turun tangan, berani menyerang, apalagi dengan jurus yang begitu sederhana. Hatinya hanya memperhitungkan cara bagaimana harus menyerang lawan, tapi tidak pernah berpikir bagaimana harus bertahan atau membela diri.
"Bagus!" Cui-Thian-ki berteriak memuji.
Berhasil atau tidak serangannya itu, orang memang patut memberi pujian.
Akan tetapi Ka-sing Tai-su memang tidak malu sebagai cikal-bakal suatu aliran kungfu di negerinya, betapa cepat reaksinya sungguh sukar dibayangkan.
Dalam kecepatan hanya sekejap itu ia mampu mengerahkan seluruh tenaga murninya ke telapak tangan untuk menyambut pukulan keras Oh-Put-jiu.
Ada pukulan yang bakal menentukan kalah dan menang! Duel yang akan menentukan mati dan hidup!
Sekuat-kuat Oh-Put-jiu usianya baru dua puluhan, mana mungkin menandingi lwe-kang Ka-sing Tai-su yang sudah diyakinkan sejak enam puluh tahun yang lalu"
Ada berapa banyak tokoh silat di dunia ini yang mampu melawan lwe-kang Ka-sing Tai-su"
Hanya satu harapan Cui-Thian ki, dengan bekal kungfu yang berhasil dipelajari Oh-Put-jiu dan pit-kip peninggalan Ci-ih-hou, cepat ia ganti posisi dan gerakan tangannya, dengan cara begitu kemungkinan masih ada harapan dapat mengalahkan Ka-sing Tai-su.
Di luar dugaan, Oh-Put-jiu tetap mendorong kedua telapak tangannya lurus ke depan.
"Blang!" telapak tangan mereka beradu. Cui-Thian-ki memejamkan mata, hatinya mengeluh sedih, "Salah ...tamatlah sudah ..."
Tapi yang salah justru bukan Oh-Put-jiu. Dalam usia dua puluhan tahun, lwe-kang Oh-Put-jiu memang belum setangguh lawannya, tapi selama berada dalam kabin kapal betapa gerah, pepat, gugup, menderita dan kesepian ....
Selama tujuh tahun kekuatannya sama sekali tidak pernah terlampias, tidak pernah dicoba, kesabarannya sudah mencapai batas-batas tertentu, batas yang tidak bisa dibatasi lagi. Kini segala penderitaan, siksa lahir dan batin selama di dalam kabin, seluruhnya dilimpahkan ke dua telapak tangannya.
Tujuh tahun, umpama tetesan air juga akan berubah menjadi aliran sungai.
Kekuatan yang terbenam selama tujuh tahun bila meledak dahsyat dan hebatnya.
Kekuatan pukulannya susah dibayangkan oleh siapa pun.
"Blang," begitu telapak tangan beradu.
643 Koleksi Kang Zusi
Duel ini bukan merupakan adu tenaga dalam atau lwe-kang. Tapi kekuatan lahir batin seorang pemuda yang sedang tumbuh dan mekar, melawan kekuatan terpendam orang tua yang terpupuk secara mendasar.
Begitu telapak tangan berada, tubuh Ka-sing Tai-su ternyata terpental.
Ban-lo-hu-jin menjerit kaget dan ngeri.
Cui-Thian-ki bersorak kegirangan.
Oh-Put-jiu masih berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak. Cahaya sang surya menyinari tubuhnya yang agak pendek, dalam pandangan Ban-lo-hu-jin tubuh kecil dengan kepala besar ini mendadak berubah menjadi raksasa.
Pakaian compang-camping yang melekat di tubuh si pemuda kelihatan mirip pakaian perang seorang jendral yang mengkilat, rambut yang awut-awutan itu berubah menjadi mahkota kebesaran seorang raja yang disanjung puji rakyatnya.
Ka-sing Tai-su meronta bangun, tapi jatuh lagi.
Darah merembes di ujung bibirnya, walau badan tak kuat merangkak berdiri, mendadak ia bergelak tawa, "Bagus, bagus, tidak sia-sia aku tunggu selama ini ...Bu-kang-Pit-kip peninggalan Ci-ih-hou memang tiada tandingan di dunia, bocah ingusan yang masih bau pupuk juga mampu mengalahkan, diriku ..."
"Hanya sayang kamu takkan bisa melihat Pit-kip itu," demikian tukas Oh-Put-jiu dingin.
Ka-sing Tai-su bergelak tawa, "Yang pasti kungfu yang tiada taranya itu sudah memperoleh ahli warisnya. Lalu apa ruginya biarpun aku tidak bisa melihatnya?"
Mengawasi padri asing yang bergelak tawa seperti orang kesurupan setan, timbul rasa kagum dalam benak Oh-Put-jiu.
Kini hanya ada satu cita-cita hidupnya, yaitu melangkah maju untuk mencapai puncak tertinggi ajaran silat yang paling top di dunia.
Peduli berhasil tidak cita-citanya, yang terang dia sudah berjerih payah, berusaha dengan segala kemampuan.
Mendadak Oh-Put-jiu menarik napas panjang bergegas ia memburu maju dan memapah Ka-sing Tai-su yang meronta-ronta hendak berdiri.
Mendadak Cui-Thian-ki berteriak, "He, siluman tua, mau lari ke mana!"
Waktu Oh-Put-jiu menoleh, dilihatnya Cui-Thian~ki sudah mencengkeram dan menjinjing Ban-lo-hu-jin.
Begitu Ka-sing Tai-su terpukul roboh, diam-diam Ban-lo-hu-jin hendak ngacir, tapi baru tiga langkah, Cui-Thian-ki sudah membekuknya, saking takut badannya menjadi lemas, katanya dengan muka pucat, "Nona Cui buat ...buat apa bikin susah orang tua seperti aku."
Cui-Thian-ki tertawa. "Bikin susah apa sebetulnya begitu melihatmu langsung kubunuhmu saja."
Gemetar suara Ban-lo-hu-jin, "Selama ini nenek tidak pernah berdosa terhadap nona Cui ..."
"Tidak pernah berdosa terhadapku" ...." Cui-Thian-ki cekikikan, "Begitu datang kuanggap kamu sebagai sahabat karib, aku limpahkan isi hatiku padamu, tapi dengan tipu daya hendak kau celakai jiwaku, apa perbuatanmu ini tidak terhitung dosa?"
"Ya, meski aku berdosa, tapi aku ...aku pernah berjasa juga."
Makin manis tawa Cui-Thian-ki, makin ciut nyali Ban-lo-hu-jin, saking takut rasanya lidahnya mengkeret lebih pendek. Ban-lo-hu-jin, tahu watak nona ini, kalau Cui-Thian-ki membunuh orang, wajahnya selalu dihias senyum manis, senyum yang menggiurkan.
Senyum Cui-Thian-ki memang mempesona, suaranya juga lembut. "kau pun berjasa" ...Oo, kau 644
Koleksi Kang Zusi
punya jasa apa, coba jelaskan."
"Kalau bukan karena ulah nenek bangkotan ini, Oh-Put ....Oh-tai-hiap kini tentu masih berada dalam kabin, mungkin tidak akan keluar, dan bagaimana mungkin dia bisa mengalahkan Kasing Tai-su!"
Cui-Thian-ki cekikikan, "Mulutmu memang pandai bicara, orang mati juga bisa kau hidupkan lagi. Tapi aku tidak akan tertipu lagi olehmu, apa pun yang kau katakan, aku tetap akan ...."
"Ampunilah dia," mendadak Oh-put-jiu berkata.
Cui-Thian-ki berpaling, katanya dengan tertawa "Kenapa harus diampuni" Apa belum cukup siluman tua ini berbuat dosa terhadap sesama manusia?"
Oh-Put-jiu menghela napas, "Tapi apa yang diucapkan juga benar, kalau bukan desakannya, entah sampai kapan aku harus menyekap diri dalam kabin itu, entah kapan baru aku akan keluar. Dalam kabin itu, aku sudah kehilangan kepercayaan pada diri sendiri ...."
Lalu dengan tertawa hambar Oh-Put-jiu melanjutkan, "Kalau bukan karena desakannya, mungkin aku takkan berani keluar dari kabin itu."
Cui-Thian-ki menatapnya nanar, sampai sekian lama kemudian mendadak ia tertawa manis pula, katanya halus, "Baiklah, kau bilang mengampuninya, maka aku akan mengampuninya."
Kalau nona secantik dia bertindak kejam terhadap seseorang, maka kekejamannya tentu melebihi orang lain. Tapi kalau dia bersikap lembut dan welas asih, maka perbuatannya pasti lebih baik, lebih bijaksana dibanding orang lain.
"Terima kasih," Oh-Put-jiu tertawa lega.
Tujuh tahun hidup dalam kegelapan, menderita dan kesepian, telah mengubah senyum lebar yang dahulu selalu terkulum di ujung bibirnya menjadi kaku dan tawar, namun dalam pandangan seorang mana yang dirundung kasmaran justru kelihatan menarik, punya daya tarik yang merangsang.
Cui-Thian-ki menatapnya pula sekian lama suaranya perlahan, "Seharusnya aku yang berterima kasih padamu."
Mendadak ia melompat maju dan mencium sekali di pipi Oh-Put-jiu, lalu selincah burung walet ia lari ke dalam gubuknya.
Bila Cui-Thian-ki keluar lagi dari gubuknya yang mungil itu, Oh-Put-jiu sudah mencuci bersih badannya yang kotor, membersihkan dekil yang melekat ditubuhnya sejak tujuh tahun yang lalu. Kalau seorang tidak punya tekad, kemantapan hati, dekil yang melekat di badan selama tujuh tahun, siapa pun takkan kuat menahannya.
Bila layar pancawarna diturunkan, tangan Cui-Thian-ki sudah menjinjing sebuah buntalan.
Kini sudah tiba saatnya mereka meninggalkan pulau ini.
Oh-Put-jiu berkata, "Kapal yang dibawa Ban-lo-hu-jin itu entah masih bisa digunakan berlayar?"
"Masih bisa digunakan," lekas Ban-lo-hu-jin menjawab.
Cui-Thian-ki tertawa, "Asal kapal itu tidak tenggelam, aku punya akal untuk mempergunakan berlayar kembali."
Bab 30. Misteri Kapal Layar Pancawarna
"Apakah di atas kapal masih ada orang?" tanya Oh-Put-jiu.
"Ada," sahut Ban-lo-hu-jin, "tapi sudah dibunuh Ka-sing Tai-su."
Oh-Put-jiu menghela napas panjang, bila ia menoleh ke sana, dilihatnya Ka-sing Tai-su sudah bersimpuh dan semadi setenang batu.


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

645 Koleksi Kang Zusi
Jiwanya masih hidup, tapi hatinya sudah mati.
Kini ia sadar bahwa dirinya takkan mungkin mencapai taraf paling top sebagai jago silat kelas wahid.
Oh-Put-jiu menghela napas pula, "Ban-lo-hu-jin, tolong kau memapahnya."
"Memapahnya?" pekik Ban-lo-hu-jin, "kau akan membawanya pulang?"
"Apa pun yang sudah ia lakukan, jelek-jelek dia seorang ahli silat yang kenamaan, mana boleh kita meninggalkan dia seorang diri di sini."
Cui-Thian-ki tertawa, "Kalau setiap orang pantas dibunuh, mana ada belas kasihan di dunia ini."
"Ya, benar." ucap Oh-Put-jiu tertawa.
Ka-sing Tai-su seperti orang linglung, beku perasaan, begitu Ban-lo-hu-jin memapahnya, dia berdiri, Ban-lo-hu-jin menyeretnya, kakinya pun melangkah perlahan.
Dari dalam kabin Oh-Put-jiu mengeluarkan belasan jilid buku yang bersampul sutera kuning dengan layar pancawarna ia membungkusnya dengan rapi dan teliti, sikapnya dan gerak geriknya tampak hikmat dan hormat.
Cui-Thian-ki juga kelihatan hormat dan segan terhadap buku-buku itu.
Itulah buah karya Ci-ih-hou selama hidupnya intisari segenap kungfu yang ada di jagat raya ini, pusaka yang tiada taranya dunia. Walau tidak berani memandang atau melirik sekali pun, dasar manusia tamak Ban-lo-hu-jin melirik juga setiap kali memperoleh kesempatan.
Hanya Ka-sing Tai-su yang sudah pikun, menoleh atau melirik pun tidak. Agaknya dia tahu dirinya sudah tiada harapan memiliki buku-buku itu, umpama melihatnya juga hanya menambah derita batin belaka.
Begitu Oh-Put-jiu memanggul buntalannya, Ban-lo-hu-jin segera membuka jalan.
Cui-Thian-ki berputar memandang keadaan sekelilingnya, suaranya rawan, "Tujuh tahun tidak pernah meninggalkan tempat ini, hari ini kita harus tinggal pergi, hatiku merasa berat dan terkesan sekali ..."
Lalu dengan tertawa manis ia menambahkan, "Sampai sekarang baru aku sadar, tempat ini ternyata begini indah, bila pada suatu hari dapat aku tinggalkan segala keramaian dan bertempat tinggal di sini, kurasa hidupku akan tentram penuh bahagia."
Oh-Put-jiu menatapnya lekat, senyumannya lembut, "Kalau engkau memang ingin demikian, aku yakin kelak engkau pasti akan datang kemari."
"Apa...apa benar?" tanya Cui-Thian-ki.
"Pasti benar!" sahut Oh-Put-jiu tegas.
Mereka berpandangan lekat, hati merasa lega dan manis mesra.
Buntalan besar dan berat menindih pundak Oh-Put-jiu, tapi dipanggulnya dengan enteng seperti mengangkat kapas, langkahnya lebar dan mantap.
Ban-lo-hu-jin ingin lekas pulang, maka langkahnya pun tidak lambat.
Hanya beberapa kejap saja mereka sudah tiba di pantai.
Mentari memancarkan cahayanya yang benderang, hangat dan damai, selepas mata memandang, cuaca cerah, langit membiru dan menjadi satu garis dengan laut. Terasa oleh Oh-Put-jiu dada lapang, hati longgar, rasa pengap, sebal dan kesepian selama tujuh tahun sirna ditiup angin laut menguap oleh sinar matahari.
Tapi di mana ada kapal"
646 Koleksi Kang Zusi
Ombak laut berdebur membuih putih di pantai suasana lengang, tiada bayangan kapal di pantai.
"Mana kapalnya?" tanya Oh-Put-jiu berpaling ke arah Ban-lo-hu-jin.
Wajah Ban-lo-hu-jin tampak pucat pias, kaki tangan dingin gemetar, suaranya juga serak gemetar, "Jelas ... tadinya ada di ... di sini ..."
"Kalau benar ada di sini, kenapa tidak kelihatan?" tanya Cui-Thian-ki.
"Aneh ... aneh ...." beruntun ia mengucap aneh belasan kali, kepalanya juga bergeleng-geleng mirip orang ling-lung.
"Mungkin hanyut dibawa ombak," ujar Oh-Put-jiu.
"Tidak mungkin, tidak mungkin, jelas ... kapal itu sudah ... " Ban-lo-hu-jin gelagapan.
"Kalau bukan hanyut dibawa gelombang, tentu berlayar dibawa orang," demikian tukas Cui-Thian-ki.
"Tidak mungkin, tidak mungkin!" ucap Ban-lo-hu-jin pula, "Jelas Kong-sun-Ang dan Bwe-Kiam sudah mati."
Cui-Thian-ki membanting kaki dengan gugup, "Ini tidak mungkin, itu juga tidak mungkin. Tapi kapal itu hilang, lalu apa yang terjadi" Memangnya kapal itu dibawa setan?"
Mengucur keringat dingin Ban-lo-hu-jin mulutnya bergumam, "Aneh ...sungguh aneh ..."
"Kedua orang itu tidak mati!" mendadak Ka-sing Tai-su yang dianggap ling-lung berseru.
"Dari mana kau tahu?" tanya Cui-Thian-ki. "Aku yang merobohkan mereka, kenapa aku tak tahu?" dingin suara Ka-sing Tai-su.
"Tapi jelas aku lihat " Ban-lo-hu-jin masih membantah.
"Kalau aku turun tangan, memangnya tidak pakai perhitungan," jengek Ka-sing Tai-su.
Tiada orang mendebatnya lagi. Seorang kalau meyakinkan kungfu setaraf Ka-sing Tai-su, setiap gerak kaki tangannya tentu diperhitungkan secara cermat.
Mendadak Ban-lo-hu-jin mendeprok di pasir, teriaknya dengan mendekap muka, "Celaka, habislah harapan kita ....Tentu kedua orang itulah yang mencuri kapal itu."
Ka-sing Tai-su mendongak sambil tergelak, "Bagus, bagus! Kebetulan malah kalau kapal itu dibawa mereka. Kita tidak usah pulang, hahaha! Oh-Put-jiu, wahai Oh-Put-jiu, derita dan gemblenganmu selama tujuh tahun ini, akhirnya sia-sia belaka."
Latihan tujuh tahun ibarat air mengalir dan tidak pernah kembali lagi. Bayangan hidup bahagia juga tinggal kenangan harapan belaka, pukulan yang berat ini siapa pun sukar menelannya begitu saja.
Tapi Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki hanya saling pandang sekejap, lalu sama-sama tertawa.
"Di pulau ini tidak kekurangan kayu, bukan?" ucap Cui-Thian-ki.
"Untuk membuat seratus kapal juga tidak kekurangan," Oh-Put-jiu tertawa.
"Dengan kayu yang ada di sini, kita akan bisa kembali dengan selamat."
****** Dengan kain layar yang dianyam dengan kulit pohon dicampur sejenis getah pohon yang ada di pulau itu, mereka membuat tambang yang amat kuat. Dengan kekuatan Oh-Put-jiu yang mengerahkan setaker tenaganya juga tidak mampu menariknya putus.
Pepohonan yang tumbuh di pulau itu ternyata besar lagi tinggi.
Dengan tambang besar-besar dan kuat itu, dengan dahan pohon besar mereka membuat rakit 647
Koleksi Kang Zusi
raksasa. Rakit tidak segesit dan sekencang kapal, namun rakit yang mereka buat pasti kuat menahan gelombang laut yang paling dahsyat sekali pun.
Apa lagi empat orang yang mengendalikan rakit besar ini adalah tokoh silat yang berkepandaian tinggi siapa pun tak takut dan gentar menghadap ombak besar.
Dua puluh tiga hari kemudian, rakit besar itu telah rampung mereka kerjakan.
Dengan riang Cui-Thian-ki menegakkan cagak panjang lalu mengerek layar pancawarna di tengah rakit.
Layar pancawarna akhirnya berkembang pula di tengah laut.
Mereka berlayar dengan leluasa angin kebetulan bertiup ke arah barat daya. Satu jam kemudian bayangan pulau itu sudah tidak kelihatan. Siang hari mereka dapat melihat hembusan angin dan menentukan arah. Malamnya mereka melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit.
Tanpa terasa fajar menyingsing lagi.
Cui-Thian-ki yang tidur pulas semalam suntuk, tampak segar dan cantik.
Oh-Put-jiu berkata perlahan, "Kalau tiada hujan badai, tiga hari lagi kita akan dapat mencapai daratan."
"Berdoalah supaya tiada hujan badai, sudah tujuh tahun Yang Maha Kuasa menyiksa kita di pulau itu, kini tiba saatnya kita diberi berkah dan taufiknya."
Dengan tertawa Ban-lo-hu-jin menimbrung "Betul, dari pengalamanku selama ini, beberapa hari ini takkan ada hujan, apalagi badai, semua ini adalah rejeki besar buat nona Cui dan Oh-taihiap,
"Pandai juga kamu mengumpak," ujar Cui-Thian-ki dengan tertawa.
Oh-Put-jiu memandang jauh ke ufuk langit, suaranya kelam, "Tujuh tahun ...entah bagaimana keadaan mereka?"
"Buat apa banyak pikir, tidak lama lagi bakal bertemu mereka."
Oh-Put-jiu tertawa lebar, "Aku sudah menunggu tujuh tahun, entah kenapa, beberapa hari ini rasanya tidak sabar lagi menunggu, entah bagaimana dengan Bok-toa-ko, Kim-ji-ko ...Ai, kurasa sekarang mereka sudah kenamaan."
Cui-Thian-ki tertawa, "Dengan bekal kepandaian mereka, tidak sukar mengangkat nama."
"Ya, memang demikian ... " ucap Oh-Put-Jiu, Ban-lo-hu-jin, bagaimana kabar mereka belakangan ini?"
"Aku ...aku kurang jelas," sahut Ban-lo-hu-jin gelagapan.
"Entah berapa kali kau tanyakan hal ini. Berapa kali pula dia memberi jawaban yang sama.
Sekarang apa pula yang ingin kau tanyakan?" Cui-Thian-ki tertawa geli.
"Aku merasa kuatir ... juga tidak percaya. Dalam kalangan kang-ouw Ban-lo-hu-jin banyak kenalan, serba tahu lagi, mana mungkin tidak jelas kabar tentang mereka?"
"Meski serba tahu juga ada yang tidak diketahuinya," demikian debat Cui-Thian-ki.
"Ya, ya, memang demikian," timbrung Ban-lo-hu-jin dengan menyengir.
Sesaat kemudian Oh-Put-jiu berkata pula "Entah bagaimana Po-ji, bocah itu tentu sudah dewasa, bocah itu pintar lagi cerdik, aku yakin dia juga sudah terkenal, hanya sukar aku bayangkan bagaimana keadaan sekarang?"
"Hal ini juga sudah kau tanya ..."
"Aku tahu entah berapa kali aku tanyakan hal ini, tapi setiap kali aku terbayang kenakalan 648
Koleksi Kang Zusi
kebinalannya, selalu timbul keinginan bertanya lagi."
Cui-Thian-ki diam sejenak, lalu berkata "Engkau terkenang pada mereka, entah mereka mengenangkan dirimu tidak."
"Tentu mengenangku ...umpama tidak, apa salahnya aku mengenang mereka."
"Tapi kalau orang tidak memikirkan diri aku pun tidak akan memikirkan mereka."
"Nah, di sinilah letak perbedaanmu denganku kau ...."
Ka-sing Tai-su yang sejak mendarat hanya tepekur seperti orang linglung mendadak bergelak tawa, tertawa panjang mirip orang kesurupan, suaranya aneh dan menakutkan.
"He, kenapa kau tertawa?" tegur Cui-Thian-ki.
"Mendengar kalian mengigau, aku menjadi geli."
"Omong kosong, memangnya kamu sudah gila ..."
"Kalian tak usah mengharapkan bertemu dengan sanak kadang lagi, jangan harap kalian bisa kembali ke daratan."
"Apa ...apa katamu?" hardik Ban-lo-hu-jin panik.
"Rakit ini akan segera tenggelam," Ka-sing Tai-su menyeringai.
Cui-Thian-ki berjingkrak gusar, "kau ...kentut apa?"
Ka-sing Tai-su menyeringai pula, "Tali-tali yang mengikat rakit ini akan putus semuanya."
Tanpa berjanji Cui-Thian-ki, Oh-Put-jiu dan Ban-lo-hu-jin semua memeriksa tali tambang yang mengikat balok-balok raksasa itu, kenyataan memang tambang ikatannya sebagian besar sudah banyak yang putus, bahwa rakit itu masih utuh dan terapung karena ombak laut cukup tenang, namun siapa pun maklum sisa ikatan tambang yang masih ada takkan kuat menahan, damparan ombak lebih lama lagi, dalam jangka setengah jam, rakit itu pasti berantakan.
Betapapun tenang sikap Oh-Put-jiu, kini menunjuk rasa gugup juga, bentaknya dengan bengis,
"Kenapa jadi begini?"
Melotot mata Ka-sing Tai-su, "Kenapa jadi begini" Sudah tentu aku penyebabnya!"
"Gila kau !" bentak Cui-Thian-ki sambil menjambretnya, "memangnya kamu tidak ingin hidup."
"Ya, aku memang tidak ingin hidup."
Ban-lo-hu-jin gugup, "Apa kau takut aku tidak memberi racun padamu, aku hanya menipumu, manisan itu tidak beracun," demikian teriak Ban-lo-hu-jin panik.
"Beracun atau tidak, sekarang tidak menjadi soal," jengek Ka-sing Tai-su.
"Lha, kenapa ...kenapa kamu berbuat demikian?" desak Ban-lo-hu-jin.
Mencorong bola mata Ka-sing Tai-su, tanpa berkedip ia mengawasi buntalan besar berisi buku-buku peninggalan Ci-ih-hou, dengan tegas ia berkata, "Aku tidak berhasil mendapatkan buku itu, biarlah buku-buku itu menemaniku tenggelam di dasar laut."
"kau ...sudah gila ..." gemetar suara dan tubuh Ban-lo-hu-jin.
"Kalian tidak usah gugup," demikian bentak Oh-Put-jiu, "tenang dulu dan cari akal ..."
Ka-sing terbahak, "Oh-Put-jiu, wahai Oh-Put-jiu, apa gunanya tenang" Apa pula manfaatnya kungfu yang berhasil kau pelajari dari Pit-kip peninggalan Ci-ih-hou" Lebih tepat kau ikut ke dasar laut saja."
Mendadak ia melompat dan menubruk ke arah Oh-Put-jiu.
649 Koleksi Kang Zusi
Sebat sekali tangan Oh-Put-jiu menampar, sementara tangan yang lain memapak kedua sikutnya.
Tapi kedua tangan Ka-sing Tai-su tahu-tahu melingkar hendak memeluk pinggang Oh-Put-jiu.
Secepat kilat Oh-Put-jiu ganti serangan, jarinya menggores miring ke urat nadi tangan Ka-sing Tai-su.
Hanya sekejap kedua orang ini sudah serang menyerang delapan jurus, setiap jurus dilancarkan secepat kilat, setiap jurus lihai, ganas lagi mematikan permainan mereka merupakan pertandingan tingkat tinggi.
Berdebar-debar jantung Cui-Thian-ki dan Ban-lo-hu-jin menyaksikan pertarungan sengit ini seolah-olah mereka lupa bahwa nasib sendiri tergantung dari kalah menang pertarungan kedua orang ini.
Kenyataan Oh-Put-jiu tidak mampu melukai atau menundukkan Ka-sing Tai-su, Ka-sing Tai-su juga tidak mampu merobohkan Oh-Put-jiu.
Sekonyong-konyong gelombang besar mendampar tiba, di tengah suara gemuruh rakit besar itu pecah berantakan.
"Oh-Put-jiu ..." pekik Cui-Thian-ki. Tapi belum habis ia bicara, tubuhnya sudah ditelan ombak.
Sayup-sayup telinganya masih menangkap teriakan keras, "Cui-Thian-ki"
Tapi teriakan mereka ditelan suara ombak yang gemuruh, berpadu dengan gelak tawa Ka-sing Tai-su yang puas dan menggila.
Cui-Thian-ki meronta dan berenang ke arah datangnya suara, namun sukar menentukan dari arah mana suara tadi datangnya.
Untung dia mahir berenang, setelah didampar tiga kali gelombang berantai, dengan menarik napas ia terapung ke permukaan air.
Tampak kayu terapung, tali dan layar serta makanan yang mereka bawa, namun tidak kelihatan bayangan orang.
Entah kenapa mendadak Cui-Thian-ki merasa sedih, air mata pun berlinang.
Bukan Ka-sing Tai-su atau Ban-lo-hu-jin yang ia perhatikan, ia boleh tidak peduli mati-hidup kedua orang ini, demikian pula keselamatan awak sendiri tidak terpikir olehnya, ia hanya menguatirkan keselamatan Oh-Put-jiu.
Dalam kesukaran orang baru sadar bahwa diri nya lebih memperhatikan orang lain dibanding menguatirkan diri sendiri, hal ini belum pernah terpikir dan tidak pernah dialaminya, dulu ia tidak percaya, tapi sekarang ia maklum.
Kebetulan tak jauh di sampingnya terapung sebatang balok, lekas ia meraihnya, lalu berteriak,
"Oh-Put-jiu ...Oh-Put-jiu ...di mana kau ...."
Suaranya bergema di tengah deburan ombak, ombak seperti mengiringi isak tangisnya.
Pandangannya makin buram, entah karena air atau air mata yang berkaca-kaca di pelupuk matanya. Cui-Thian-ki terus berteriak-teriak hingga suara serak dan lemah, akhirnya ia tidak melihat apa-apa lagi.
Dalam keadaan sadar tidak sadar, Cui-Thian-ki terombang-ambing dimainkan ombak, entah berapa lama kemudian, mendadak terasa ada jari-jari tangan yang mengelus rambutnya, suara rendah berkata lembut di tepi telinganya, "Sadar ....bangun ...aku ada di sini ...."
Cui-Thian-ki tersentak sadar dari pingsannya Oh-Put-jiu memang berada di sampingnya.
Sukar melukiskan bagaimana gejolak perasaannya waktu itu, tak peduli segalanya ia berjingkrak serta memeluk Oh-Put-jiu dengan erat, mulutnya mengigau, "Jangan kau tinggalkan aku ...selama hidup ini jangan kau tinggalkan diriku ..."
650 Koleksi Kang Zusi
Oh-Put jiu merasa air meleleh ke dalam mulutnya, air asin, entah air mata atau air laut" Dia tidak bicara, tidak perlu bicara lagi.
Cinta memang indah, asmara adalah manis kenyataan itu justru pahit dan getir, namun buahnya pasti manis.
Mereka melupakan tangan yang makin linu, tidak sadar bahwa tubuh telah mengejang dan kaku, mereka masih berada di tengah amukan gelombang.
Untuk sementara mereka dapat mempertahankan hidup dengan memeluk sebatang balok, namun berapa lama mereka kuat bertahan"
Sinar mata hari yang semula indah, kini berubah menjadi ganas, saking panas kepala terasa pening, mata silau dan mulut kering, bibir pun pecah.
"Bagaimana Ban-lo-hu-jin?" tanya Cui-Thian-ki.
"Entahlah," sahut Oh-Put-jiu.
"Ka-sing"..."
Oh-Put-jiu geleng kepala.
"Mungkin hanya kita yang masih hidup."
"Ya, berkat lindungan Thian."
"Sehari kita masih hidup, kita harus berusaha pulang."
"Ya, kita pasti dapat pulang."
"Tidak lama lagi engkau akan bertemu dengan orang-orang yang kau rindukan, seperti Bok-put-kut, Kim Put-wi, Kong-sun put-ti dan Pui-Po-giok betul tidak?"
"Demikian pula guruku dan ibumu ..."
Tidak lama lagi kita akan minum air jernih, air manis, air yang lebih manis dibandingkan laut yang asin getir ...tidur di ranjang ya empuk dan nyaman, makan buah-buahan ya segar
....benar tidak?"
"kau ingin makan apa, dengan mudah dapat kau peroleh."
Cui-Thian-ki tertawa manis, "Aku ingin makan anggur, nanas dan semangka, semangka yang besar dan manis ...."
Sampai di sini mendadak ia sesengukan malah, menangis dengan sedih, "Kenapa aku harus menipu diri sendiri, kau tahu aku juga tahu terapung di tengah lautan, dengan hanya memeluk sebatang kayu, mana mungkin bisa pulang, siapa pun tak mungkin kita jumpai,"
Oh-Put-jiu juga merasa rawan, dengan pilu ia mengelus rambutnya, mulutnya mendesis perlahan "Jangan menangis ... jangan menangis ..."
Kecuali menghibur dengan dua patah kata itu, Oh-Put-jiu tak bisa bicara lebih banyak lagi. Dia maklum dalam keadaan seperti ini, hanya keajaiban yang bisa menolong mereka, lalu berapa lama mereka bisa bertahan"
Entah berapa lama Cui-Thian-ki sesengukan, air mata juga sudah kering, "Tahukah kau , sejak aku dilahirkan hingga sebesar ini, aku selalu tertawa belum pernah menangis, aku sering melihat orang menangis, aku tidak tahu bagaimana rasanya menangis, tapi hari ini, aku
...sudah dua kali menangis."
"kau ...aku ..." kering tenggorokan Oh-Put-jiu.
"Sebetulnya aku tidak boleh menangis, pantasnya aku tertawa ...engkau ada di sampingku, apa pula yang harus aku sesalkan" Apa pula yang aku dambakan" ..."
Dia benar-benar tertawa, tapi tawanya jauh lebih menyedihkan dari pada menangis.
651 Koleksi Kang Zusi
Dengan serak Oh-Put-jiu berteriak, "Tak nyana ... terhadapku kau bisa ... "
"Aku sendiri juga heran, kenapa aku jatuh hati terhadapmu ...apa memang jodoh" Benar tidak"
Kalau bukan karena mengalami musibah mana mungkin aku berada di sampingmu?"
"Derita dan musibah" ...berbagai kesukaran itu ...lalu aku harus berterima kasih atau membencinya?"
"Aku harus berterima kasih, kalau tidak demikian, mungkin selama hidup aku takkan tahu bahwa aku juga punya perasaan, punya cinta murni, mati pun aku puas dan rela."
Betulkah ia rela mati"
****** Bila mentari terbenam, bintang-bintang pun bertaburan di langit.
Setelah bintang-bintang lenyap dari pandangan, fajar pun menyingsing.
Pagi lalu malam pun tiba, mereka tidak tahu sudah berapa lama terombang ambing dimainkan ombak. Namun mereka sadar semangat mereka pun makin luluh, ketahanan fisik mereka makin lemah, mulut kering bibir pecah, lidah kelu tak bisa bicara lagi.
Tapi dalam keadaan seperti itu, mereka memang tidak perlu banyak bicara. Hati mereka telah bersatu padu, perasaan mereka sudah manunggal.
Dengan tenang mereka menanti ajal, mati tanpa menyesal. Umpama menyesal, namun apa yang dapat mereka lakukan" Apa boleh buat.
Entah berapa lama lagi, Cui-Thian-ki membuka mata dan menatap Oh-Put-jiu, katanya lirih,
"Kekasihku ...selamat tinggal!"
"Apa katamu?" teriak Oh-Put-jiu kaget.
"Aku tak tahan lagi ...aku ...aku akan, berangkat dulu."
"kau ...jangan ...tidak boleh ...."
"Bertahan lebih lama juga hanya menambah derita ...biarlah aku berangkat lebih dulu, apa kau rela aku menderita lebih lama?"
"Tapi kau ...aku ..." mulut Oh-Put-jiu tidak bisa bicara, tapi kedua tangannya masih memegangnya erat-erat.
Rawan suara Cui-Thian-ki, "Biarlah aku berangkat, aku mohon padamu, lepaskan aku ...."
Oh-Put-jiu menggigit bibir, "Kalau ingin berangkat, marilah kita berangkat bersama."
"Tidak boleh, jangan ... engkau masih ada kesempatan."
"Kalau kau pergi, masih ada kesempatan apa pula bagiku" Apa engkau tidak tahu, selama beberapa tahun ini berlandaskan apa aku bertahan. Kalau bisa mati bersamamu, aku sudah merasa puas, kau ..."
Mendadak ia terbelalak dan berteriak, "Hei engkau tidak perlu mati, aku pun tidak akan mati!
Coba lihat, apa itu?"
Di bawah mega, di tengah laut yang biru tampak bayangan sebuah layar.
Bisa mati bersama orang yang dicintai memang kejadian yang membahagiakan, tapi dapat bertahan hidup dengan orang yang dicintai jelas lebih baik dari pada mati bersama.
Dengan sisa tenaga yang ada Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki berlomba menggerakkan sebelah tangannya, balok besar itu bergerak lambat ke arah yang dituju, entah dari mana datangnya tenaga, namun usaha mereka tidak sia-sia, kapal itu makin dekat.
652 Koleksi Kang Zusi
Oh-Put-jiu segera tarik suara, "He, kalian yang ada di atas kapal, arahkan kapal ke sini tolonglah jiwa kami."
Tiada reaksi dari atas kapal.
Oh-Put-jiu berteriak lagi, "He, kalian yang ada di atas perahu, dengar suaraku tidak?"
Kapal itu seperti terombang-ambing di laut diam di tempatnya, tidak mendekat juga tidak menjauh, walau layarnya berkembang, tapi tidak kelihatan bayangan kelasi yang memegang kemudi.
"Kelihatannya kapal itu tidak ada orangnya?" demikian desis Cui-Thian-ki.
"Aneh, betul-betul aneh." gumam Oh-Put-jiu.
"Mungkin kapal itu telah disapu habis oleh kawanan perompak, penghuni kapal juga dibunuh semua."
"Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha naik ke kapal itu."
Dalam keadaan biasa, naik ke atas kapal bukan kerja yang sukar bagi mereka, tapi betapa susah Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu berusaha, setelah menghabiskan sisa tenaga baru mereka berhasil naik ke atas kapal, napas pun sudah ngos-ngosan.
Berada di atas kapal, mereka tidak perlu kuatir menghadapi kematian makin jauh dari bayangan mereka.
Namun mereka belum merasa senang, belum lega.
"Memang tidak ada orang di kapal ini."
"Ehm, kalau ada orang, tentu sudah keluar sejak tadi."
"Umpama benar kapal ini sudah disikat habis oleh kawanan perompak, semoga mereka masih menaruh belas kasihan."
"Benar, rangsum yang ada di kapal ini tidak disikat seluruhnya."
"Duduklah di sini, aku ..."
"Biar aku temani kamu memeriksa keadaan."
Mereka adalah orang orang yang cerdas cukup sepatah kata diucapkan, satu sama lain sudah maklum. Mereka berpandangan sambil tertawa lalu bergandeng tangan dan berdiri.
Sambil berpelukan dan saling rangkul mereka masuk ke kabin, baru beberapa langkah, mereka lantas berhenti dan menjerit kaget.
Tak jauh di depan mereka, dalam kabin yang setengah gelap ini menggeletak sesosok mayat manusia.
Mayat ini menggeletak tak jauh dari mulut kabin, pakaian yang melekat di tubuhnya sudah compang camping, demikian pula rambut awut-awutan dan kotor, jelas kelihatan waktu hidupnya telah bergelut sekian lama di lautan.
Tidak kelihatan luka di tubuh mayat ini, hanya di tengah alis terdapat sebuah luka berdarah.
Bergetar tubuh Cui-Thian-ki melihat luka di tengah alis mayat ini, "Perhatikan ...luka penyebab kematiannya ..."
Air muka Oh-Put-jiu juga berubah "Pek-ih-jin ..."
"Ya, pasti...dia, kecuali Pek-ih-jin, sukar ku bayangkan tokoh silat mana yang dapat membunuh orang secara bersih dan sederhana, lalu siapakah korbannya ini?"
"Pek-ih-jin takkan turun tangan terhadap kaum keroco. Orang ini tentu amat terkenal."
653 Koleksi Kang Zusi
"Coba aku bersihkan noda darah di wajahnya."
"Tidak usah kau bersihkan," kata Oh-Put-jiu setelah memperhatikan sesaat, "aku sudah tahu siapa dia."
Cui-Thian-ki berpaling kebetulan dilihatnya sebilah senjata aneh melengkung panjang menggeletak tak jauh di belakang pintu, senjata berbentuk aneh ini berkilauan. Golok yang satu ini berbeda dengan golok umumnya yang ada di Tiong-goan.
"Thian-to Bwe-Kiam?" desis Cui-Thian-ki sambil menutup mulut dengan jari-jari tangannya.
"Aku tidak pernah melihat Bwe-Kiam, juga tidak pernah melihat gegamannya itu, tapi dapat ku pastikan bahwa orang ini memang benar Thian-to Bwe-Kiam adanya."
"Mereka memang tidak mati seperti yang dikatakan Ka-sing Tai-su, jadi kapal ini adalah kapal yang digunakan Ban-lo-hu-jin dan terdampar di pulau kita itu. Setelah mereka siuman diam diam berlayar lagi ke lautan, dan secara kebetulan bertemu dengan Pek-ih-jin."
"Kalau Bwe-Kiam ada di sini, Kong-sun Ang tentu juga di sini."
"Kong-sun Ang pasti juga menjadi korban."
"Dalam peristiwa ini ada sesuatu yang aneh."
"Ya, memang agak aneh ...umpama betul mereka bertemu Pek-ih-jin tahu mereka berada di kapal ini, bagaimana mungkin meluruk ke kapal ini dan menamatkan jiwa mereka?"
Melintasi mayat Bwe-Kiam, mereka masuk lebih jauh ke bagian dalam, di sana mereka memang menemukan sesosok mayat orang lagi.
Mayat itu tengkurap, mukanya mencium papan geladak, kedua tangannya terulur ke depan, jari-jari tangan bagai cakar seperti hendak mencengkeram papan geladak. Sebelum ajal kelihatannya dia meronta dan merangkak ke depan.
"Kong-sun Ang memang ada di sini."
"Dia pun terhitung ..."
Belum habis Cui-Thian-ki bicara, mayat itu mendadak bergerak dan mengeluarkan rintihan.
Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu berjingkat mundur, lain terdengar mayat itu mengigau dengan suara kurang jelas, "Aku ...bukan ... Kong-sun Ang ..."
Cui-Thian-ki memeluk kencang lengan Oh-Put-jiu, "Siapa kau ?"
Mayat itu tidak bisa menjawab, sambil merintih dia megap-megap, "Air ...air ...air ..."
Mendengar kata 'air', Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki juga lantas merasa tenggorokan sendiri kering dan tak mampu bersuara lagi.
"Air ..." serak suara Cui-Thian-ki, "di mana ada air?"
Jari mayat itu bergerak perlahan menuding ke bawah papan.
Tanpa berjanji Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu memburu ke tempat yang ditunjuk. "Blang" papan dipukulnya pecah, bergegas mereka menyingkirkan selembar papan, di bagian bawah memang terdapat beberapa gentong air dan beberapa poci yang terbuat dari tembaga.
Dua tangan terulur masuk bersama, masing-masing menjinjing sebuah poci. Oh-Put-jiu angkat poci ke mulut Cui-Thian-ki, Cui-Thian-ki juga angkat poci di tangannya ke mulut Oh-Put jiu.
Tapi sekilas mereka melirik mayat itu, lalu menyerahkan poci itu padanya.
Air merupakan sumber hidup. Begitu air masuk mulut, mayat yang sudah sekarat, sudah empas-empis menunggu ajal itu mendadak memperoleh tunjangan hidup, dengan kencang ia pegang poci, seperti tidak mau melepaskan lagi.


Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

654 Koleksi Kang Zusi
Air itu pula membuat bola mata Cui-Thian-ki kembali menjadi bening dan jeli, mirip sekuntum bunga yang hampir layu, begitu memperoleh siraman air lantas pulih kembali kesegarannya.
Mayat itu kini sudah membalik badan dan roboh telentang, menghamburkan napasnya yang berat dengan rasa puas, bagian tengah alisnya juga bolong oleh tusukan senjata tajam, mungkin lukanya tidak dalam sehingga jiwanya masih berkepanjangan meski keadaannya sudah sekarat.
Oh-Put-jiu menghabiskan isi air dalam poci itu hingga tetes terakhir, dengan menghela napas panjang ia bertanya, "Siapakah engkau sebenarnya?"
Mayat itu membuka mulut, "Aku ...aku Thian-to Bwe-Kiam."
"Hah ...jadi yang mati itu Kong-sun Ang?"
"Em ...siapa kalian?" tanya Bwe-Kiam.
"Cai-he Oh-Put-jiu," Oh-Put-jiu mendahului bicara, "Cai-he adalah ..."
Belum habis ia bicara, mendadak Bwe-Kiam membuka mata teriaknya terbelalak, "Oh-Put-jiu"
Jadi engkau ini Su-siok Pui-Po-giok?"
Oh-Put-jiu tertawa lebar, "Agaknya nama Po-ji sudah terkenal."
Dilihatnya Bwe-Kiam menutup lagi matanya dan bergumam, "Syukur ...syukur ...sebelum ajal aku bisa bertemu denganmu ..."
Oh-Put-jiu heran, "Ada urusan apa yang ingin aku sampaikan padaku?"
"Ada ....ada banyak ...."
"Bicaralah perlahan, jangan tergesa-gesa, waktu masih panjang ..."
"Waktuku sudah tidak banyak lagi. Setelah minum air, nyawanya takkan lama lagi, paling hanya
..." "Wah, kenapa aku lupakan hal ini," seru Oh-Put-jiu sambil membanting kaki, "orang yang terluka parah dilarang minum air dingin. kau tahu pantangan ini, kenapa ...ingin ...ingin minum
..." Bwe-Kiam tertawa getir, tertawa yang kaku, "Dapat minum seteguk air, mati pun legalah."
Cui-Thian-ki tertawa pedih, suara pun rawan, "Aku dapat membayangkan perasaanmu, ada kalanya setetes air memang jauh lebih berharga dari nyawa orang engkau ....lekaslah bicara."
"kau kenal Pek Sam-khong" ... "
Bahwa Bwe-Kiam yang sekarat mendadak menyinggung nama "Pek Sam-khong", sudah tentu Oh-Put-jiu berjingkrak kaget, "Sudah tentu kenal seorang murid masa tidak kenal gurunya."
"Bagus, bagus ...gurumu belum mati..." lemah suara Bwe-Kiam.
"Aku tahu."
"kaum persilatan yang tahu bahwa beliau masih hidup, semua menyangka beliau mengasingkan diri di taman keluarga Kim dan tidak mau menerima tamu, di luar tahu orang banyak bahwa dia sudah keluar dari tempat itu dengan menyamar, di kalangan kang-ouw tidak sedikit pekerjaan yang telah beliau bereskan. Yang membongkar tempat penyimpanan bahan peledak yang disembunyikan Hwe-mo-sin dalam pertemuan besar di puncak Thian-san tempo hari bukan lain adalah beliau."
Kejut-kejut girang hati Oh-Put jiu, "Pertemuan besar di Thian-san apa" Bahan peledak apa pula?"
"Setelah pulang ke Tiong-toh, tidak sukar kau cari tahu tentang peristiwa itu."
"Agaknya kau pernah bertemu dengan beliau?"
655 Koleksi Kang Zusi
"Kalau aku tidak pernah bertemu dengan beliau, saat ini diriku takkan berada di sini."
"Lho, kenapa?"
"Dalam usia setengah baya baru aku hijrah ke Tang-ing dan belajar kungfu. Sebelum aku ke Tang-ing, dahulu aku adalah sahabat karibnya, maka pertemuan yang tak terduga itu merupakan kesempatan yang tak boleh di sia-sia kan. Beliau membocorkan rahasia penting kepadaku."
Oh-Put-jiu heran, tanyanya gugup, "Rahasia apa?"
"Rahasia Pek-ih-jin."
"Apa yang beliau katakan?"
"Sejak kekalahannya di bawah pedang Pek-ih-jin, dan satu-satunya tokoh persilatan Tiong-goan yang selamat di bawah pedang musuh, beliau lalu mendalami dan berusaha memecahkan asal mula atau sumber permainan pedang Pek-ih-jin. Agaknya Tuhan mengabulkan jerih payahnya, selama beberapa tahun ini, akhirnya dia berhasil menciptakan kungfu yang khas untuk mematahkan permainan ilmu pedang Pek-ih-jin. Akan tetapi beliau merasa hutang budi karena Pek-ih-jin tidak membunuhnya, maka beliau tidak mau membocorkan ilmu ciptaannya itu kepada orang kedua."
"Tapi ....kenapa beliau menceritakan hal ini kepadamu?"
"Karena waktu aku bertemu dengan beliau kebetulan beliau akan berangkat menunaikan suatu tugas, tepatnya menempuh mara bahaya, kepergiannya itu entah selamat atau bakal mati, dia sendiri tidak dapat meramalkannya. Dan demi cucu satu-satunya, yaitu Pui-Po-giok, dia mau menceritakan tentang rahasia itu kepadaku."
"Demi Po-ji" ..."
"Karena sekarang Pui-Po-giok sudah diakui secara aklamasi oleh seluruh lapisan kaum persilatan sebagai lawan yang akan menandingi Pek ih-jin.
"Kalau demikian, kenapa beliau justru bicara dengan Cian-pwe ..."
Setelah menarik napas Bwe-Kiam menukas, "Kalau dia menyampaikan rahasia ini langsung kepada Pui-Po-giok, bukankah berarti dia mengingkari budi kebaikan Pek-ih-jin yang tidak membunuhnya" Tapi aku ...dengan Pek-ih-jin, aku juga kenalan lama, sahabat baik, dia membicarakan rahasia ini kepadaku dengan maksud supaya aku menuju ke Tang-ing, membujuk dan mencegah Pek-ih-jin. Kalau Pek-ih-jin tahu ada seseorang tokoh Bu-lim di Tiong-toh yang dapat mematahkan kungfunya, mungkin dia akan membatalkan niatnya untuk meluruk kembali ke Tiong-toh, dengan demikian bukan saja jiwa Po-giok dapat diselamatkan, kaum persilatan juga terhindar dari bencana besar."
"Tapi ...Cian-pwe, engkau ...."
"Setelah mengemban pesannya, aku bergegas menuju ke timur dan naik kapal, tak nyana di kapal ini orang salah paham terhadapku, hal itu jelas tak mungkin aku bicarakan dengan orang lain terpaksa aku ...terpaksa ..."
"Demi menunaikan tugas, mati secara ksatria Cian-pwe adalah seorang eng-hiong (ksatria)."
"Eng-hiong?" Bwe-Kiam tertawa getir, "Berapa harganya eng-hiong" Memangnya kenapa kalau eng-hiong" Pada saat bertempur dengan sengit, hujan badai pun melanda, lalu bertemu dengan makhluk aneh yang mirip binatang liar itu."
Oh-Put-jiu menyengir getir, "Makhluk adalah Ka-sing Tai-su."
"O, Ka-sing Tai-su" ..." ucap Bwe Ki perlahan."Walau aku jatuh semaput oleh pukulannya, tapi tidak terluka apa-apa, begitu siuman bersama Kong-sun Ang kami berlayar lagi menuju ke Tang-ing."
"Lalu Kong-sun Ang ..."
656 Koleksi Kang Zusi
"Supaya dia tidak merintangi usahaku ke Tang-ing, apa boleh buat, secara samar-samar aku jelaskan sedikit duduk persoalannya padanya di luar dugaan dia malah mendukung gagasanku dan membantu aku sekuat tenaga. Di luar perhitungan kami, sebelum sampai di Tang-ing, di tengah laut kami bertemu dengan Pek-ih-jin"
"Dari mana Cian-pwe tahu orang di atas kapal itu adalah Pek-ih-jin?"
"Yang berani naik sampan melawan hujan badai di tengah laut, kecuali Pek-ih-jin tiada orang kedua di dunia ini."
"Ya, benar," ucap Oh-Put-jiu menghela napas.
"Aku undang dia ke atas kapal lalu dengan ramah dan sopan aku jelaskan kepadanya bahwa telah tercipta kungfu untuk mematahkan ilmu pedangnya di Tiong-goan, aku minta dia langsung pulang ke Tang-ing."
"Dan ...apa yang dia katakan?"
"Sepatah kata pun dia tidak bicara, hanya menyeringai padaku."
"Dapat aku bayangkan betapa sikap dinginnya."
Keringat membasahi selebar muka Bwe-Kiam, dengan napas sedikit memburu ia meneruskan,
"Sikap dinginnya itu memaksa aku menyerang dia sebetulnya aku tidak perlu takut, siapa tahu
... meski Pek-Sam-khong berhasil menciptakan kungfu untuk mematahkan permainan pedangnya, tapi selama beberapa tahun ini, Pek-ih-jin juga sudah memperdalam ilmu pedangnya, titik kelemahan ilmu pedangnya sudah disempurnakan. Ai betapa hebat dan lihai permainan ilmu pedang orang ini, sampai detik ini betul-betul tiada bandingan, permainan ilmu pedangnya rapat dan ketat sudah tiada titik kelemahan lagi."
Oh-Put-jiu menunduk kepala, diam sejenak lalu bergumam, "Setelah Cian-pwe dikalahkan, sudah tentu Kong-sun Ang juga tidak diberi ampun."
"Kematianku tidak perlu dibuat sayang, hanya sayang kaum Bu-lim di Tiong-goan ..."
"Apa betul tiada tokoh silat di Tiong-goan yang mampu menandinginya?"
"Sampai detik ini, sukar aku temukan orang yang dapat menandinginya?"
"Bagaimana dengan Pui ...Pui ...."
Bwe-Kiam menghela napas "Kungfu Pui-po-giok memang sudah mencapai Taraf yang sempurna, namun sayang latihannya kurang matang, sempurna tapi tidak mantap, jelas tak mungkin dibandingkan dengan ilmu pedang Pek-ih-jin yang sudah tergembleng."
Sampai di sini, setiap kali mengucap sepatah kata, keadaan Bwe-Kiam seperti menguras tenaga, setiap kata dibarengi getaran keras sekujur badan nya.
Cui-Thian-ki bergidik gemetar, mulut pun bungkam.
Suara Pek-ih-jin yang dingin kaku itu seperti mendengung di telinganya. "Tujuh tahun lagi aku akan datang pula ...dengan darah akan kucuci kekalahanku hari ini."
Terbayang dalam benaknya mayat yang bergelimpangan, tidak sedikit tokoh Bu-lim yang gugur demi membela nama baik kaum Bu-lim di Tiong-goan, darah mengalir bagai air sungai.
Dada Bwe-Kiam turun naik, napasnya makin berat. Setelah bicara panjang lebar, kekuatan hidupnya sudah tersisa tidak banyak lagi.
Oh-Put-jiu bergumam sendiri, "Tapi kungfu ciptaan suhu itu betapapun masih berguna, kenyataan Cian-pwe tidak seketika mati oleh tusukan pedangnya yang lihai."
"Ya ...memang demikian."
"Sudikah Cian-pwe menjelaskan cara mematahkan ilmu pedang Pek-ih-jin itu?"
"Sudah tentu boleh ... hanya saja ...aku ..."
657 Koleksi Kang Zusi
Betapa luas makna ilmu silat ciptaan Pek-Sam-khong yang khas untuk mematahkan ilmu pedang Pek-ih-jin, tak mungkin dijelaskan hanya dengan beberapa patah kata saja, apalagi keadaan Bwe-Kiam sekarang meski mengerahkan seluruh sisa tenaganya juga tidak mampu menjelaskan secara tuntas.
Sudah tentu Oh-Put-jiu juga tahu tentang kelemahan orang, setelah diam sejenak, ia berkata hambar, "Coba Cian-pwe jelaskan saja ke mana tujuan Suhu, soal kungfu ciptaannya kelak akan aku tanya langsung kepada beliau."
"Semoga dia juga ...juga belum mati, dia ... dia pergi ke ...Pek-cui-kiong!"
"Ke Pek-cui-kiong?" teriak Oh-Put-jiu.
Berubah juga air muka Cui-Thian-ki, suaranya gemetar, "Kenapa ...beliau pergi ke Pek-cui-kiong?"
"Karena ...hanya karena ..."
Karena apa Bwe-Kiam tidak dapat menjelaskan lagi.
Tabir malam menyelimuti lautan luas.
Tiada lampu, Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu duduk diam di tengah kegelapan, kapal didiamkan terombang-ambing dimainkan ombak.
Entah sudah berapa lama mereka duduk.
Mendadak Oh-Put-jiu bergumam sendiri, "Karena apa" Apakah Bwe-Kiam ingin bilang 'karena cucunya'" Bukan mustahil Po-ji juga sudah pergi ke Pek-Cui-kiong" Malah terkurung dan menghadapi bahaya di sana, maka beliau menyusul ke sana untuk menolongnya."
Cui-Thian-ki bungkam, tidak bicara. Apa pula yang bisa dia katakan"
Oh-Put jiu bergumam pula, "Semoga dia belum mati ...Bwe-Kiam bilang 'semoga', itu berarti bahwa beliau mengalami banyak mara bahaya, kalau demikian ...bukankah Po-ji lebih ...."
"Jangan kau katakan lagi," tiba-tiba Cui-Thian-ki menukas dengan serak.
"Baik, aku tidak bicara lagi."
"Ada kalanya tanpa kau bicarakan, aku pun tahu apa maksud hatimu."
"kau ...kau katakan isi hatiku?" Oh-put-jiu tertawa getir.
Dalam kegelapan susah Put-jiu melihat mimik wajahnya, yang terlihat hanya sepasang bola mata yang berkelap-kelip, sepasang mata yang berkaca-kaca dengan air mata.
Cui-Thian-ki berkata pula, "jangan kuatir, walau aku ...aku baik terhadapmu, tapi kalau gurumu mengalami sesuatu di Pek-Cui-kiong, tentu kau tak mau melihatku lagi selamanya dan aku
....aku pun tidak akan menyalahkanmu."
Oh-Put-jiu tertunduk, lama sekali baru bersuara sedih, "Terima kasih."
Ia menunduk karena tidak ingin Cui-Thian-ki melihat air mata menetes dari kedua matanya, namun betapa pilu nada terima kasih yang diucapkan itu, siapa pun yang mendengar akan dapat meresapinya. Terima kasih atas pengertian dan maaf mu, demi diriku kau ikut menderita dan harus menahan diri, walau hatiku juga hancur lebur.
Begitulah mereka duduk dalam kapal yang gelap.
Entah beberapa kejap kemudian, mendadak Oh-Put-jiu lompat berdiri, memburu ke sana, memegang kemudi.
Di langit tiada bintang, tiada rembulan.
Arah angin di siang hari tidak menentu, malam ini bintang juga tidak kelihatan.
658 Koleksi Kang Zusi
Kapal laju tanpa tujuan, mereka kehilangan arah tersesat.
Sehari, dua hari ...kapal itu berlayar tanpa arah tertentu, bergerak mengikuti gelombang.
Di atas kapal masih tersedia sisa air minum, tapi tidak ada makanan. Rangsum sudah dibongkar seluruhnya ke darat oleh Ka-sing Tai-su, rangsum yang sebenarnya dipersembahkan untuk mereka. Kini pada saat mereka memerlukan rangsum mereka tak bisa makan lagi. Nasib terkadang juga mempermainkan umat manusia, nasib itu memang aneh, kadang kala tidak kenal kasihan, dan kejam.
Lambat-laun mereka merasakan bahwa kelaparan adalah penderitaan yang paling menakutkan.
Mereka belum kering karena dahaga, walau kelaparan dapat merengut nyawa manusia, tapi dahaga dapat membuat orang gila.
Mereka juga sadar betapa luas lautan itu, luasnya jauh di luar dugaan, di luar kenyataan yang pernah mereka bayangkan. Selama beberapa hari ini, bukan saja mereka tidak melihat daratan, sebuah kapal atau perahu pun tidak terlihat.
Agaknya kapal ini sudah terbawa arus ke lautan bebas jauh meninggalkan jalur pelayaran.
Entah sejak kapan, mereka duduk saling berpelukan, walau kematian itu menakutkan, tapi ada satu manfaatnya, yaitu dapat memperpendek jarak antara manusia dengan manusia.
Sering terjadi lantaran "asing" manusia menjadi renggang, hubungan satu dengan yang lain makin jauh, tapi mati justru memperdekat hubungan mereka.
Tapi mereka hanya dapat saling berpelukan, sudah tak punya tenaga untuk bicara.
Lambat laun "kelaparan" itu memusnahkan lagi makna "hidup" mereka, kini bukan hanya kondisi fisik mereka makin lemah, otak pun sudah tidak bekerja normal.
Tekad untuk berjuang mempertahankan hidup sudah padam, keberanian untuk meronta melawan elmaut juga tiada lagi.
Ketika mentari bercahaya dengan hembusan angin yang kencang, sebetulnya mereka sudah dapat menentukan arah pelayaran, tapi Oh-Put-jiu sudah tidak mampu berdiri, apalagi memegang kemudi, umpama ada keinginan berdiri tenaga tiada lagi.
Mereka ingin tidur. Mereka tahu begitu tertidur, mereka tidak akan bisa bangun lagi. Tapi dalam kondisi mereka siapa pun tak kuasa menahan rasa kantuk, keinginan tidur tak bisa ditahan lagi, mereka pun tidak ingin melawan rasa kantuk.
Dengan lemah Oh-Put-jiu menggenggam tangan Cui-Thian-ki, "kau tidak perlu kuatir ..."
"Ya ... tiada orang di dunia ini dapat memisahkan kita."
"Tiada orang ... tiada persoalan apa pun ..."
Cui-Thian-ki rebah dalam pelukan Oh-Put-jiu, dengan lirih dan lemah ia mendendangkan lagu nina bobo. Di tengah lagu nan lirih itu mereka menunggu ajal.
Sekonyong-konyong, "ser, ser, ser," berkumandang tiga kali suara lirih. Tiga batang panah besi meluncur ke dalam kabin dan "crap" menancap di dinding papan.
Bidikan panah ini keras lagi kuat, batang panah yang hitam dihiasi bulu burung yang merah.
Waktu melesat di udara mengeluarkan suara lengking tajam, suara yang mengerikan, seperti ingin mencabik sukma.
Tapi Oh-Put-jiu hanya membuka sedikit matanya, "Kawanan perompak datang ... "
"Apa perompak?" desis Cui-Thian-ki lemah.
Mendadak mereka bergelak tawa geli, "Bila naik ke kapal ini, mereka pasti kecewa."
Walau bergelak tawa, tapi suara tawa mereka amat lemah lirih seperti suara bisik-bisik.
659 Koleksi Kang Zusi
Mendadak berkumandang teriakan lantang di di luar kabin, "Malang melintang di lautan, tiada tandingan di seluruh jagat!"
Seorang lagi juga membentak, "Yang menyerah hidup, yang melawan mampus!"
Di tengah bentakan gaduh dan ramai, menyusul suara kelotekan besi dan jangkar yang bertali panjang dilemparkan ke kapal ini dari kapal sebelah.
Kapal perompak itu tidak begitu besar, hanya satu setengah kali lebih besar dibanding kapal ini membentang layar hitam gelap.
Kawanan perompak mengenakan pakaian serba baru dengan corak dan warna yang berbeda beda tapi menyolok. Kaos selempang yang terbuat dari kulit ikan hiu, kebanyakan telanjang dada memperlihatkan benjolan daging berotot yang mengkilap di bawah sinar mentari perawakan mereka yang gede, kekar dan keras, bentuknya mirip robot besi.
Sambil berteriak-teriak mereka mengacung dan mengobat-abitkan berbagai macam senjata yang panjang melengkung dengan bentuk aneka ragam, menerjang masuk seperti gerombolan binatang liar yang kelaparan.
Tapi Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki anggap tidak mendengar, tidak melihat, mata pun malas dibuka untuk melihat mereka.
Kucing Suruhan 11 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Perguruan Sejati 2

Cari Blog Ini