Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long Bagian 3
Siapa tahu, setelah manusia mini ini melompat keluar, dari dalam peti perlahan terjulur keluar pula sebuah tangan seputih kemala dengan jari lentik halus, pergelangan tangan yang putih halus itu terikat serencengan keleningan emas kecil.
Begitu suara keleningan gemerencing dan tangan putih terjulur, menyusul lantas terlihat lengan yang indah, lalu seorang perempuan cantik berbaju sutera tipis putih, kepala penuh hiasan yang menimbulkan suara gemerencing, dengan gaya menggiurkan ia berdiri dan berlenggak-lenggok mengikuti irama musik.
Terlihat rambut perempuan cantik itu berwarna kuning laksana emas, kerlingan matanya yang memikat membawa warna hijau kebiruan, kulit badannya yang putih bersih laksana batu kemala yang mulus.
Wanita secantik itu, biarpun sesama kaum wanita juga akan tergiur, apalagi lelaki. Keruan semua orang sama melotot dan melongo.
Sampai anak kecil seperti Pui Po-ji juga terkesima, diam-diam ia membatin, "Tak tersangka negeri asing ada perempuan secantik ini, sungguh setiap senti setiap bagian pada sekujur badannya adalah perempuan tulen tanpa ...."
Belum habis berpikir, tiba-tiba sebuah tangan kecil mengalingi matanya, lalu dirasakan Siaukongcu lagi menggores tulisan di atas tangannya, "Dilarang pandang!"
Selang sejenak, kembali ditulisnya, "Perempuan ini tidak tahu malu."
Meski merasa geli, tapi semakin Siaukongcu bilang perempuan itu tidak tahu malu, semakin merangsang keinginan Po-ji untuk melihatnya. Cuma sayang tangan Siaukongcu itu tidak mau lagi disingkirkan.
Terdengar bunyi musik tadi semakin nyaring, iramanya bertambah cepat, lalu si cantik pirang pun mulai menari dengan gaya yang memikat.
Padahal usia Po-ji masih kecil, biarpun benar disuruhnya melihat juga takkan menjadi soal. Tapi sekarang hanya telinga saja mendengar alunan musik, mata juga tidak melihat langsung, hatinya berbalik tergerak malah. Saking dongkolnya sungguh tangan putri kecil ingin digigitnya.
Maklumlah, memang begitulah jalan pikiran lelaki umumnya, sesuatu yang tak terpandang langsung biasanya jauh lebih memikat daripada melihat.
Begitulah baju sutera si cantik tampak berkibar, kulit badannya samar-samar terlihat, bau harum memabukkan tersiar mengikuti gaya tariannya yang eksotik, semua orang yang memandangnya sama terbelalak dan lupa daratan.
Mendadak suara musik berhenti, si cantik pirang menjulurkan kedua tangan ke depan dan menyembah dengan mendekam di lantai, pada kulit badannya yang putih mulus itu kelihatan menitik butiran keringat.
Tubuh yang padat itu tampak masih bergerak-gerak perlahan ....
78 Koleksi Kang Zusi
Sampai sekian lama sekali baru semua orang mengembus napas lega.
Terdengar Cirus kedua tadi bergelak tertawa dan berucap. "Inilah wanita tercantik negeri kami, bukan saja kecantikannya tidak ada bandingan, bahkan tari dan nyanyi juga mahir, bahkan ...."
Ia terbahak dan tidak melanjutkan lagi.
Sudah tentu orang lelaki sama tahu apa yang dimaksudkannya sehingga hati semua orang tergelitik, sedang hadirin yang perempuan juga tahu maksudnya meski pura-pura tidak tahu. Kalau ada yang benar-benar tidak paham mungkin cuma Pui Po-ji dan Siaukongcu alias si putri cilik.
Tiba-tiba Ling-ji menjengek, "Hm, hanya perempuan begini saja kenapa mesti heran?"
"Ah, si kelening cilik tampaknya iri," diam-diam Po-ji tertawa geli.
Padahal yang geli tidak cuma Po-ji seorang saja, bahkan Cirus kedua itu juga terkekeh dan berkata, "Aha, ucapan nona itu rasanya rada-rada kecut. Meski kecantikan wanita negeri kami ini tidak melebihi bidadari, akan tetapi boleh dikatakan mahacantik di dunia ini, apakah sekiranya cukup memenuhi selera Houya?"
Belum lagi Ci-ih-hou menanggapi, kembali Ling-ji mendengus, "Hm, jika dia juga terhitung perempuan cantik, bukankah perempuan cantik di jagat ini akan meluber" Coba kau lihat saudara-saudaraku ini, mana yang kalah cantik daripada dia" Apa lagi saudara-saudaraku ini semuanya serbamahir, baik syair, nyanyi, tari, menulis, melukis, memetik alat musik, segalanya serbabisa. Malahan setiap orang memiliki ilmu silat tinggi, semuanya pandai melayani orang dengan ramah tamah, apakah makan minum atau cuma mengobrol iseng, pasti memuaskan.
Apakah semua ini dapat dilakukan oleh perempuan negeri kalian?"
Diam-diam Bok-long-kun bergirang, "Aha, tampaknya aku tidak perlu turun tangan dan apa yang diminta orang Persi ini pasti akan buyar juga."
Namun Cirus kedua hanya mendengarkan dengan tertawa saja, katanya kemudian, "Ucapan nona memang betul, betapa pun cantiknya seorang perempuan, bilamana kurang pintar meladeni tentu tidak ada rasanya."
"Asal kau tahu saja," ucap Ling-ji.
"Tapi bilamana kutampilkan seorang perempuan cantik yang juga serbabisa serupa ucapan nona tadi, lalu bagaimana?" tanya Cirus kedua mendadak.
"Hm, gadis demikian mungkin sangat sulit dicari, bilakah baru akan kau dapatkan?" ejek Ling-ji.
"Tidak perlu cari dan tunggu lagi melainkan sekarang juga sudah ada," kata Cirus kedua dengan tertawa.
Ling-ji melenggong, katanya kemudian dengan tertawa, "Sekarang juga katamu"
Memangnya si cantik akan jatuh dari langit atau muncul dari bumi?"
Cirus tersenyum dan tidak menjawab, mendadak ia membuka pakaian sendiri, jubah putih ditanggalkan sehingga kelihatan garis tubuhnya yang sangat indah 79
Koleksi Kang Zusi
dengan baju warna jambon yang sangat singsat.
Semua orang terperanjat.
Waktu mereka mengawasi lebih jelas, terlihat "Cirus kedua" ini telah menarik rambutnya yang pirang sehingga kelihatan rambut aslinya yang hitam gelap, menyusul ia mengusap dan menarik lagi di sana-sini di sekitar wajahnya, mukanya yang semula sangat jelek mendadak berubah menjadi seraut wajah mahacantik.
Tertampak potongan tubuhnya yang serasi, tiada setitik pun daging lebih, tiada bagian tulang yang lebih besar atau kecil, semuanya seimbang, tidak ada lebih kurus sedikit, juga tidak lebih gemuk setitik. Kerlingan matanya sungguh membetot sukma, terlebih senyumnya yang menggiurkan itu, sungguh membuat orang lupa daratan.
Jika perempuan Persi tadi dikatakan mahacantik di dunia ini, maka si cantik sekarang pastilah bidadari yang turun dari kahyangan. Bilamana si cantik dari Persi dikatakan membetot sukma dengan tarian eksotiknya, maka kerlingan mata si cantik sekarang sudah ribuan kali lebih menggiurkan daripada segalanya.
Hadirin yang berjumlah puluhan orang dan terdiri dari laki-perempuan tua-muda serta datang dari berbagai penjuru itu sama melongo kesima oleh perempuan mahacantik ini, seketika semuanya tidak sanggup bersuara.
Si cantik dari Persi itu juga merasa rendah diri demi melihat kecantikan orang, diam-diam ia menyingkir dan sembunyi di pojok sana.
Yang paling terkejut tak lain tak bukan adalah Pui Po-ji, sungguh mimpi pun ia tidak menyangka orang yang menyaru sebagai "Cirus" dari Persi ini adalah Cui Thian-ki, saking kagetnya sampai ia menjerit.
Keruan Siaukongcu terkejut, untung pada saat yang sama ketika Po-ji bersuara, Ling-ji juga berteriak kaget, "Hei, bukankah engkau ini bi ... bini besarnya?"
Bok-long-kun juga membentak dan melompat bangun, "Kukira siapa yang sengaja mengacau padaku, kiranya kembali kamu si perempuan hina dina lagi."
Cui Thian-ki menoleh dan menegur dengan tertawa, "Apa kabar?"
"Apa kabar"!" teriak Bok-long-kun dengan gusar. "Aku ingin membinasakanmu!"
Kedua lengannya yang kurus kering serupa kayu serentak terpentang terus mencengkeram leher Cui Thian-ki.
Namun Cui Thian-ki tetap tersenyum saja tanpa bergerak, ucapnya dengan suara lembut, "Memangnya siapa yang berani main bunuh di sini?"
Tiba-tiba Ci-ih-hou juga membentak, "Siapa yang berani membunuh orang di sini?"
Selain itu ada suara lain lagi yang juga membentak, "Siapa yang berani main bunuh orang di sini?"
Suara tiga orang membentak bersama, suara yang seorang lemah lembut, seorang lagi bersuara kereng berwibawa dan yang ketiga tajam melengking aneh dan menusuk telinga.
80 Koleksi Kang Zusi
Mau tak mau Bok-long-kun menarik kembali mentah-mentah tangannya.
Terlihatlah muncul seorang tua berkepala gundul dan telanjang kaki, berjubah kain belacu, kulit badan hitam pekat, nyata seorang hwesio miskin pengembara yang di negeri Hindu terkenal sebagai padri fakir.
Tiba-tiba Ci-ih-hou menegur, "Apakah Taisu ini Kah-sing Hoat-ong dari Thian-tiok?"
Nada suaranya rada kejut, jelas asal-usul padri ini lain daripada yang lain.
Mendengar nama "Kah-sing Hoat-ong", semua orang juga terperanjat.
Maklumlah, meski Kah-sing Hoat-ong ini jauh tinggal di negeri Thian-tiok (India), tapi di dunia persilatan Tiongkok sudah lama tersiar berita tentang kesaktiannya.
Konon selain memiliki lwekang yang mahatinggi, fakir ini juga menguasai semacam ilmu golongan Hindu yang aneh yang dikenal sebagai Yoga, dia tidak mati direndam air selama tujuh hari, ditanam di bawah tanah selama setengah bulan juga tidak binasa, makan warangan pun takkan keracunan, jalan di atas bara dengan kaki telanjang tidak terbakar dan macam-macam cerita lagi.
Bahwa fakir yang terkenal mahasakti itu sekarang mendadak muncul di sini, tentu saja semua orang terkejut.
Maklumlah, sejak Tong Sam-cong mengambil kitab ke wilayah barat, maka hubungan antara negeri Thian-tiok dengan Tiongkok bertambah ramai, sebab itulah Kah-sing Hoat-ong ini cukup fasih berbahasa Han.
Segera padri fakir itu berucap, "Omitohud! Tidak nyana Sicu (tuan dermawan) juga kenal Siauceng (padri kecil). Biarlah kuberi tontonan menarik dulu bagi Sicu, habis itu baru kita bicara lagi."
Ia berputar dan mendekati Bok-long-kun, katanya, "Keluar sana!"
Ci-ih-hou memang ingin melihat betapa lihai padri asing ini, sebab itulah ia tidak bicara dan mencegah.
Semua orang juga ingin tahu cara bagaimana Bok-long-kun akan menghadapi fakir itu, maka semuanya diam saja menantikan tontonan menarik.
Biarpun diam-diam Bok-long-kun merasa jeri, tapi di bawah tatapan orang banyak, betapa pun ia tidak mau unjuk lemah, segera ia menjawab, "Hm, berdasarkan apa kau suruh kukeluar?"
"Tidak lekas keluar, jangan menyesal bila Siauceng bertindak kasar," kata Kah-sing Hoat-ong.
Cui Thian-ki tertawa genit, katanya, "Hoat-ong suruh kamu keluar, jika kamu membangkang, jelas mencari susah sendiri."
Ucapannya ini tiada ubahnya serupa api disiram minyak, tujuannya membakar.
Dengan gusar Bok-long-kun berteriak, "Siapa pun tidak dapat menyuruhku keluar!"
Mendadak tangan Kah-sing Hoat-ong berputar ke belakang, menampar muka Bok-long-kun sebelah kanan.
81 Koleksi Kang Zusi
Tamparan ini menyambar tanpa suara, secepat kilat Bok-long-kun menangkis, reaksinya boleh dikatakan tidak kalah cepatnya. Siapa tahu ruas lengan Kah-sing Hoat-ong seakan-akan terpasang pegas dan dapat membengkok keluar, maka terdengarlah suara "plak" sekali, meski Bok-long-kun dapat menangkis lengan orang namun telapak tangan si fakir tetap mengenai mukanya dengan telak.
Meski tamparan itu serupa mengenai kayu lapuk dan kulit kering, sama sekali tidak mencederai Bok-long-kun, namun jelas sangat merugikan gengsinya.
Kejut dan murka Bok-long-kun, ia membentak kalap dan menerjang maju. Hanya sekejap saja ia melancarkan tujuh kali serangan, setiap jurus serangannya lihai dan aneh. Siapa tahu, ketujuh jurus serangannya tidak mengenai sasaran, sebaliknya "plok", kembali mukanya tertampar sekali lagi.
Hendaklah maklum, di dunia kangouw terkenal ada Ngo-hing-mo-kiong, lima istana iblis pancaunsur, yaitu emas, kayu, air, api dan tanah. Penguasa setiap istana itu sama memiliki semacam kungfu khas yang aneh dan lihai sehingga sangat ditakuti orang kangouw umumnya. Jing-bok-kiong, istana kayu hijau, yang terletak di timur dengan penguasa Bok-long-kun dan ayahnya meyakinkan Koh-bok-kang atau ilmu kayu lapuk, selain jurus serangannya aneh dan lihai, yang paling hebat adalah bagus untuk menyerang dan juga kuat untuk diserang atau tahan pukul. Betapa pun hebat tenaga pukulan lawan dan berbisa sekalipun tetap sukar mencederai mereka.
Tapi sekarang ilmu silat Kah-sing Hoat-ong ternyata berpuluh kali terlebih aneh daripada Bok-long-kun, keruan si patung kayu sangat terkejut.
Padahal bilamana keduanya bertempur mati-matian, belum tentu Bok-long-kun akan dikalahkan begitu saja. Lucunya, Kah-sing Hoat-ong tampaknya tidak sungguh-sungguh hendak mencederai Bok-long-kun melainkan cuma ingin membuatnya malu saja. Dalam keadaan demikian Bok-long-kun benar-benar mati kutu.
Dengan kedudukan Bok-long-kun, di depan orang banyak ia kena ditampar dua kali, tentu saja ia kehilangan muka dan tidak dapat bertempur lagi. Mendadak ia melompat keluar anjungan, menyusul lantas terdengar suara debur air, nyata ia telah terjun ke laut.
"Hah. Tidak mampu melawan orang, rupanya dia lantas membunuh diri dengan terjun ke dalam air," dengan tertawa Cui Thian-ki berolok-olok.
"Meski dia sudah pergi, kukira ia takkan menyudahi begini saja urusan ini," kata Kah-sing Hoat-ong. "Maka selanjutnya kamu harus hati-hati."
"Terima kasih atas petunjuk Hoat-ong," jawab Cui Thian-ki dengan tertawa.
Diam-diam Pui Po-ji merasa geli, pikirnya, "Kalau bicara tipu-menipu, jelas Bok-long-kun jauh bukan tandingan Cui Thian-ki, ia sendiri entah sudah berapa kali dikibuli perempuan itu, sungguh lucu hwesio tua ini justru khawatir Bok-long-kun mengakali dia."
Terpikir pula oleh Po-ji apa yang terjadi sekarang, tentu sebelumnya Cui Thian-ki sudah mengikuti setiap gerak-gerik utusan kerajaan Persi itu, maka ia sengaja menyamar dalam bentuk yang sama serta meminjam pakai hadiah yang dibawanya, semua ini selain di luar dugaan siapa pun, ia sendiri juga tidak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun. Betapa bagus akalnya ini, biarpun Bok-long-kun hidup lagi seratus tahun juga takkan mampu menggungguli dia.
82 Koleksi Kang Zusi
Terlihat Kah-sing Hoat-ong sedang menghadapi Ci-ih-hou sambil mengeluarkan seuntai tasbih terbuat dari kayu cendana, katanya, "Siauceng orang beragama dan tidak mampu memberi hadiah besar, hanya sedikit oleh-oleh ini mohon Sicu suka menerimanya dengan senang hati."
"Terima kasih Taisu," jawab Ci-ih-hou. Lalu ia memberi perintah, "terimalah Ling-ji."
Segera Ling-ji menerima tasbih itu, katanya dengan tertawa, "Hoat-ong adalah orang kosen zaman ini dan serbamahir, masakah engkau juga ada sesuatu urusan yang perlu minta dipecahkan oleh Houya kami?"
"Ya, ada," sahut Kah-sing Hoat-ong.
"Silakan Hoat-ong bicara," kata Ci-ih-hou.
"Begini," tutur Kah-sing Hoat-ong. "Selama hidupku kalau bergebrak dengan orang selalu menang tanpa kalah. Kedatanganku sekarang justru ingin coba-coba mengukur kepandaian dengan jago pedang nomor satu zaman ini, ingin kucicipi bagaimana rasanya kalah."
Mendengar maksud kedatangan padri Thian-tiok ini justru sengaja hendak menantang bertanding dengan Ci-ih-hou, tentu saja semua orang sangat tertarik, hanya Po-ji saja yang diam-diam merasa heran, "Tanpa sebab mengapa mau berkelahi lagi?"
Maka terdengar Ci-ih-hou menjawab dengan tertawa, "Sudah lama kutelantarkan kungfuku, mana sanggup kulawan Taisu. Jika tujuan Taisu ingin kalah, jelas engkau salah alamat dan keliru mencari diriku."
"Ah, jangan Sicu merendah hati," kata Kah-sing Taisu. "Ruangan ini tidak cukup luas, namun cukup untuk pertarungan kita. Bagaimana kalau kumohon petunjuk beberapa jurus kepada Sicu?"
Ci-ih-hou tetap menjawab dengan tertawa, "Sudah lebih 20 tahun aku tidak pernah bergebrak dengan orang, Taisu datang dari jauh sebagai tamu, tidak nanti kuterima tantangan Taisu."
"Dari tempat jauh sengaja kudatang kemari, sikap Sicu ini sungguh membuatku kecewa," kata Kah-sing Taisu.
"Maaf, sungguh aku tidak berani bergebrak denganmu," ucap Ci-ih-hou.
Wajah Kah-sing yang kurus dan hitam itu tampak rada berubah, ucapnya,
"Jangan-jangan Sicu memandang hina padaku. Memangnya aku tidak memenuhi syarat untuk bergebrak denganmu?"
"Bukan begitu maksudku, aku cuma minta janganlah Taisu memaksakan kehendakmu kepada orang lain," kata Ci-ih-hou.
Kah-sing Taisu termenung sejenak, katanya kemudian, "Mana berani kupaksa Sicu ...."
Mendadak ia menanggalkan jubah belacunya sehingga kelihatan tubuhnya yang kurus dan hitam, lalu ia membuka ranselnya dan mengeluarkan sebatang palu dan beberapa buah paku sepanjang tiga inci, sembari memegang paku segera 83
Koleksi Kang Zusi
Kah-sing Taisu mengangkat palu, "tring", paku dipalunya hingga amblas ke dalam dagingnya.
"Nah, jika Sicu tetap tidak terima permintaanku, terpaksa kulakukan hukum siksa ini untuk mencari pembebasan," kata si padri fakir.
Sembari bicara ia terus memaku tanpa berhenti, hanya sebentar saja berpuluh paku telah menancap pada tubuhnya, paku sepanjang tiga inci itu amblas dua inci ke dalam daging. Namun padri itu seperti tidak merasakan apa-apa, darah pun tidak mengalir.
Semua orang sama terperanjat, Po-ji sampai melelet lidah hingga tak dapat mengkeret lagi.
"Kenapa Taisu bertindak demikian?" ujar Ci-ih-hou.
"Asalkan Sicu terima permintaanku, segera Siauceng berhenti," kata Kah-sing Taisu.
Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Ai, jika Taisu berkeras ingin berbuat demikian, terpaksa aku tidak dapat omong lagi."
Nyata, apa pun juga dia tetap menolak bergebrak dengan fakir itu.
Tiba-tiba suara musik bergema, pentolan bajak melangkah masuk dan memberi hormat, katanya, "Wanpwe sudah menyiapkan perjamuan buah-buahan segar, apakah sekarang juga Houya hendak dahar?"
"Syukur kau tahu sepanjang tahun sukar bagiku menikmati buah segar di lautan lepas, setiap tahun kamu selalu berpikir cermat bagiku," kata Ci-ih-hou.
"Asalkan Houya sudi mampir, itu pun sudah kehormatan besar bagi hamba," kata pentolan bajak laut itu.
"Jika begitu, boleh perintahkan anak buahmu membuka perjamuan sekarang juga," ucap Ci-ih-hou.
Pemimpin bajak itu mengiakan dan mengundurkan diri.
Ci-ih-hou menguap kantuk, katanya, "Kebanyakan urusan penting hadirin sudah mendapatkan penyelesaian, aku sendiri juga sudah letih, acara hari ini biarlah berakhir sampai di sini. Bilamana hadirin berminat, boleh silakan tinggal untuk menikmati buah segar bersamaku, kalau tidak, boleh silakan ...."
"Nanti dulu!" mendadak seorang berteriak lantang sambil berlari masuk.
Tertampak orang ini bertubuh pendek dan kepala besar, kedua tangan panjang melebihi dengkul, kening lebar, mata besar dan alis tebal.
Tidak perlu memandang lagi segera Po-ji tahu pendatang ini adalah pamannya yang berkepala besar, yaitu Oh Put-jiu. Diam-diam ia heran entah ada urusan apa sang paman kepala besar ini hendak mohon bantuan kepada Ci-ih-hou, padahal dia sudah kehabisan uang, untuk makan saja sulit, memangnya sekarang ia membawa sesuatu hadiah berharga"
Ia lihat Oh Put-jiu datang dengan bertangan kosong, mana ada hadiah apa segala. Padahal orang lain sama membawa hadiah untuk membeli jasa Ci-ih-hou, 84
Koleksi Kang Zusi
itu pun belum pasti diterima. Sekarang Oh Put-jiu datang tanpa membawa sesuatu, jelas tidak ada harapan akan minta pertolongan kepada Ci-ih-hou.
Ling-ji tampak berkerut kening, katanya, "Jika kamu juga ingin minta pertolongan Houya, kenapa sejak tadi tidak tampil?"
Dengan hormat Oh Put-jiu menjawab, "Soalnya nama dan kedudukanku sangat rendah, mana berani kuberebut duluan dengan orang lain?"
Potongan tubuhnya lucu, tidak cakap, tidak gagah, namun sikapnya wajar dan selalu tersenyum cerah sehingga menyenangkan orang yang diajak bicara.
Ling-ji memandangnya dua kejap, lalu bertanya, "Apakah Houya memberi kesempatan bicara kepadanya?"
Lebih dulu Ci-ih-hou menghela napas, lalu berkata, "Baik, boleh dia bicara."
"Kedatangan Wanpwe agak terburu-buru," tutur Oh Put-jiu, "sebab itulah tidak membawa sesuatu hadiah apa pun ..."
"Kamu tidak membawa sesuatu hadiah?" potong Ling-ji. "Masa kamu tidak tahu peraturan Houya?"
"Meski Wanpwe tidak membawa hadiah apa pun, namun urusan yang kuminta bukanlah untuk kepentinganku melainkan demi keselamatan para kawan Bu-lim dan mohon pertolongan Houya agar suka turun tangan," tutur Oh Put-jiu. "Dan bila Houya menolak permintaanku, mungkin selanjutnya segenap tokoh dunia kangouw akan gugur semua di medan laga, dunia persilatan pasti juga akan kacau-balau."
Oh Put-jiu memang pandai bicara, yang diucapkan juga bagian yang penting, maka cuma beberapa kalimat saja ucapannya sudah cukup menarik perhatian orang banyak.
Tak terduga Ci-ih-hou hanya menanggapi dengan dingin, "Mati-hidup segenap tokoh dunia persilatan ada sangkut paut apa denganku" Jika aku mati, mereka juga pasti takkan menitikkan setetes air mata pun."
Oh Put-jiu melenggong, katanya, "Tapi ...."
"Sudah sejak 30 tahun yang lalu aku tidak mau turun tangan membela orang,"
tukas Ci-ih-hou, "apa lagi sekarang, sudah lama aku malas bergerak. Nah, anak muda, kukira lebih baik kamu jangan suka ikut campur urusan orang lain."
Seketika Oh Put-jiu tertegun, bola matanya berputar.
Po-ji tahu, bilamana bola mata sang paman kepala besar ini sudah berputar, segera akan terjadi hal-hal yang menarik. Tapi menghadapi Ci-ih-hou, rasanya akal apa pun yang digunakannya pasti takkan berhasil membujuknya.
Tengah berpikir, terdengar Oh Put-jiu berkata pula, "Namun urusan ini pun ada sangkut pautnya dengan Houya sendiri."
"Ada sangkut paut apa denganku?" tanya Ci-ih-hou.
"Bencana yang menimpa dunia persilatan sekali ini disebabkan entah dari mana datangnya, seorang jago pedang aneh yang sengaja hendak menantang 85
Koleksi Kang Zusi
bertempur segenap tokoh Bu-lim," tutur Oh Put-jiu.
"Hah, ada orang demikian" Tidak kecil suaranya," kata Ci-ih-hou.
"Meski nada ucapan orang ini agak sombong tapi betapa tinggi ilmu pedangnya memang pantas disebut nomor satu di dunia," tutur Oh Put-jiu. "Mungkin Houya sendiri ...."
Sampai di sini ia berhenti dan berdehem, lalu bungkam.
Meski ia cuma bicara setengah-setengah, namun di balik ucapannya jelas hendak menyatakan Houya juga takkan mampu menandingi orang itu.
"Kau bilang dia nomor satu di dunia, mungkin tidak begitu," kaya Ci-ih-hou tenang.
Melihat orang sudah rada terpancing, diam-diam Oh Put-jiu bergirang, namun di mulut ia sengaja berkata dengan menyesal, "Meski tidak ada maksudku sengaja memuji kelihaian orang lain dan merendahkan kemampuan pihak sendiri, namun menurut pandanganku, ilmu pedang orang itu memang tidak ada yang mampu menandinginya."
Ci-ih-hou termenung sejenak, mendadak ia terbahak-bahak, "Haha, anak muda, biarpun tinggi akalmu memancing emosi orang, namun jangan harap akan memancing diriku. Biarkan saja dia jago pedang nomor satu, apa sangkut pautnya denganku."
Put-jiu tenang saja, katanya, "Jika demikian, baiklah Wanpwe mohon diri saja, cuma sayang ... ai ...."
Segera ia memberi hormat dan hendak mengundurkan diri.
Tapi sebelum dia melangkah keluar pintu, mendadak Ci-ih-hou memanggilnya,
"Kembali sini."
Put-jiu menoleh dan bertanya, "Houya ada pesan apa?"
"Kau bilang sayang apa, coba katakan," tanya Ci-ih-hou.
"Maksudku, setiap orang yang belajar ilmu pedang harus melihat betapa hebat ilmu pedang orang itu," tutur Put-jiu. "Sebab ilmu pedangnya ... ai, sungguh sayang bila tidak melihatnya sendiri."
"Sesungguhnya ilmu pedang apa yang dikuasainya itu" Betapa pula hebatnya?"
tanya Ci-ih-hou lagi.
Nyata timbul juga minatnya untuk mengetahui jelas betapa tinggi ilmu pedang orang karena cara bicara Oh Put-jiu yang setengah-setengah itu, tanpa terasa ia telah terjebak oleh pemuda kepala besar itu.
Dengan tenang Put-jiu bertutur, "Betapa hebat ilmu pedang orang itu, sungguh sukar bagiku untuk melukiskannya. Ai, pendek kata, ilmu pedangnya boleh dikatakan saat ini hanya ada di langit dan tidak ada di bumi. Sekarang juga kubawa suatu barang, asalkan Houya sudah melihatnya tentu segera akan tahu betapa lihai ilmu pedangnya."
"Barang apa" Coba kulihat," kata Ci-ih-hou tidak tahan lagi.
86 Koleksi Kang Zusi
Oh Put-jiu benar-benar orang yang bisa menahan perasaan, sampai saat ini wajahnya tetap tidak memperlihatkan rasa girang sedikit pun, perlahan ia merogoh saku, tapi mendadak tangan ditarik kembali.
"Ada apa?" tanya Ci-ih-hou.
"Jika Houya toh pasti tidak mau turun tangan, kukira lebih baik barang ini jangan dilihat," ujar Put-jiu.
"Siapa bilang aku pasti tidak mau turun tangan" Coba, lekas perlihatkan," seru Ci-ih-hou.
Baru sekarang Oh Put-jiu merogoh saku, dengan perlahan dikeluarkannya potongan ranting kayu kering itu.
Kini bukan cuma Ci-ih-hou saja yang terangsang ingin tahu, bahkan semua orang juga sangat ingin lihat barang apa yang dimaksudkan Put-jiu.
Perhatian semua orang seketika terpusat pada tangan Oh Put-jiu sehingga tidak ada yang memandang paku yang menancap di tubuh Kah-sing Taisu. Tapi kemudian ketika mengetahui barang yang dikeluarkan Put-jiu cuma sepotong ranting kecil, semua orang merasa kecewa, bahkan banyak yang merasa bingung.
Namun Oh Put-jiu justru mengangsurkan ranting kayu itu ke hadapan Ci-ih-hou dengan prihatin.
Seketika suasana sunyi senyap, hanya terdengar palu memukul paku masih berbunyi "tring-ting" berulang, sedang Ci-ih-hou lagi mengamati potongan kayu itu dengan penuh perhatian.
Semua orang tidak tahu di mana letak kehebatan sepotong kayu itu, mengapa Ci-ih-hou begitu tertarik sehingga mengamatinya sekian lama. Akhirnya Ci-ih-hou menghela napas panjang dan berucap, "Ya, sungguh ilmu pedang mahalihai, ilmu pedang mahacepat, ilmu pedang mahabagus ...."
Ternyata jago pedang nomor satu yang selama ini tidak ada tandingannya berulang memuji tiga kali, hal ini menandakan ilmu pedang orang yang menebas ranting kayu itu memang lain daripada yang lain.
Oh Put-jiu merasa sedih juga, pikirnya, "Jika Ci-ih-hou juga bukan tandingan jago pedang berbaju putih itu, lalu bagaimana dan apa dayaku pula?"
Ling-ji tidak tahan, ia coba tanya, "Setelah melihat potongan kayu ini, segera Houya dapat menilai betapa tinggi ilmu pedang orang itu?"
"Betul," jawab Ci-ih-hou.
"Dapatkah Houya menjelaskan tanda-tandanya untuk menambah pengalaman hamba," pinta Ling-ji.
Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Bilamana ilmu pedangmu sudah mencapai setaraf diriku tentu akan kau lihat dari tempat potongan kayu ini. Kalau tidak, biar pun kuberi penjelasan tiga hari tiga malam juga takkan kau pahami."
Ling-ji melengak, ucapnya sambil menyengir, "Wah, rasanya sampai tua pun 87
Koleksi Kang Zusi
hamba takkan paham."
Apa yang ditanyakan Ling-ji sama juga ingin diketahui oleh orang banyak termasuk Oh Put-jiu dan Pui Po-ji. Jawaban Ci-ih-hou yang kurang jelas itu membuat semua orang merasa kecewa.
"Orang itu berada di mana sekarang?" tanya Ci-ih-hou mendadak.
"Apakah Houya mau turun tangan?" Put-jiu menegas.
"Jika aku tidak mau turun tangan, di mana ia berada kan tidak ada sangkut pautnya denganku?" jawab Ci-ih-hou. "Ai, dapat bertanding ilmu pedang dengan tokoh kelas wahid seperti ini, rasanya tidak sia-sia hidupku ini."
Sama sekali semua orang tidak menduga bahwa Oh Put-jiu yang datang tanpa membawa sesuatu hadiah, apa yang diminta juga sangat sulit, namun Ci-ih-hou ternyata lantas menerimanya begitu saja, tentu saja mereka terkejut dan terheran-heran.
Maklumlah, bilamana ilmu silat seorang mahatinggi, dalam batin justru akan timbul semacam rasa sunyi dan menyendiri, apabila dapat menemukan seorang lawan yang sembabat, baginya akan lebih menggembirakan daripada mengikat seorang sahabat karib, soal kalah atau menang sama sekali tak terpikir olehnya.
Mendadak terdengar orang membentak dengan suara parau serupa kain robek,
"Nanti dulu!"
Tahu-tahu Kah-sing Hoat-ong yang tubuhnya kini penuh paku itu menerobos ke depan.
Ngeri juga semua orang menyaksikan tubuh padri fakir yang serupa landak itu.
"Taisu ada petunjuk apa?" tanya Ci-ih-hou.
"Bila Sicu hendak bergebrak dengan orang, seharusnya Siauceng yang perlu kau lawan lebih dulu, biarpun Siauceng cuma kaum keroco, memangnya lebih rendah daripada pendekar pedang tak ternama itu?"
Ci-ih-hou menghela napas, katanya, "Silakan Taisu menilai sendiri ilmu pedang orang ini."
Baru lenyap suaranya, serentak Po-ji melihat ranting kayu kering itu melayang dari balik pintu angin, begitu lambat gerak melayangnya sehingga serupa di bawahnya disanggah oleh tangan yang tak berwujud.
Tentu saja Po-ji sangat heran, "Aneh, mengapa ranting kayu itu tidak jatuh ke bawah, sungguh aneh bin ajaib ...."
Menyaksikan lwekang Ci-ih-hou yang tidak ada taranya, semua orang juga melengak.
Tapi Kah-sing Hoat-ong lantas menangkap ranting kayu itu dan diamat-amati dengan teliti, air mukanya tampak berubah beberapa kali, habis itu mendadak ranting kayu itu dibuangnya, tanpa bicara lagi ia terus melayang pergi.
Hanya sepotong kayu kecil saja ternyata dapat menggertak lari Kah-sing Hoat-ong yang termasyhur, kalau tidak disaksikan sendiri, siapa yang mau percaya 88
Koleksi Kang Zusi
akan cerita ini.
Oh Put-jiu lantas menjemput ranting kayu tadi, katanya dengan menyesal,
"Wanpwe disuruh kemari oleh Suhu, sebenarnya masih ada satu permintaan lagi kepada Houya, tapi sekarang ... sekarang ...."
"Siapa gurumu?" tanya Ci-ih-hou heran. "Dan ada permintaan apa lagi padaku?"
"Suhuku dikenal sebagai Jing-peng-kiam-kek ...."
"O, kiranya Pek Sam-kong," kata Ci-ih-hou. "Ketika mengembara dunia kangouw waktu muda pernah aku dijamu olehnya .... Ai, kalau diceritakan kejadian ini sudah 30 tahun yang lalu."
"Persoalan kedua yang diminta guruku adalah ... adalah ...," mendadak Oh Put-jiu berpaling dan menuding Cui Thian-ki, sambungnya, "Mohon Houya menangkap perempuan ini."
"Ai, ai, memangnya aku bersalah padamu?" seru Cui Thian-ki dengan tertawa genit. "Memangnya kau pun serupa si patung kayu, karena mempunyai seorang ayah yang suka menggoda orang perempuan dan telah kulukai?"
Setiap patah katanya selalu menusuk perasaan orang, bilamana ada orang yang berjingkrak gusar karena ucapannya, maka hatinya akan gembira sekali.
Siapa tahu watak Oh Put-jiu terlebih aneh daripada dia, ia dapat bersabar terhadap urusan apa pun, sesungguhnya sulit seperti hendak mendaki langit barang siapa bermaksud memancing kemarahannya.
Begitulah, betapa pun menusuk perasaan ucapan Cui Thian-ki dianggapnya seperti tidak mendengar saja, ia berkata pula dengan tenang, "Perempuan ini telah membawa lari cucu luar guruku ...."
"Hihi, jangan Houya percaya kepada ocehannya," kata Cui Thian-ki dengan mengikik. "Anak yang nakal dan bandel itu siapa yang mau, diberi gratis juga akan kutolak, untuk apa kubawa lari dia?"
Makin mendengarkan makin gusar Po-ji, pikirnya, "Kiranya aku menghilang sama sekali tidak membuatnya khawatir. Rupanya hanya di depanku saja ia bilang sayang padaku, kenyataannya aku dianggapnya anak nakal dan menjemukan."
Terlihat Oh Put-jiu tidak dapat menanggapi ucapan Cui Thian-ki. Sedang bola mata Ling-ji tampak berputar-putar dan juga tidak bersuara dan juga tidak bersuara, agaknya dia sengaja ingin melihat keributan apa yang akan terjadi lagi.
Maka Cui Thian-ki berucap pula, "Houya, coba lihat, si kepala besar ini berani sembarang mengoceh di depanmu dan memfitnah anak perempuan lemah semacam diriku ...."
"Jelas kamu yang ...."
Belum sempat Oh Put-jiu membela diri, segera Cui Thian-ki memotong sambil mengentak kaki, "Bagus, jadi kamu malah sembarangan menuduhku lagi. Mohon Houya suruh dia memberi buktinya, kalau tidak bisa, dia harus menyembah dan minta maaf padaku."
Ia bicara dengan lagak seperti anak perempuan yang perlu dikasihani dan 89
Koleksi Kang Zusi
membuat siapa pun yang melihatnya akan iba.
Dengan menyesal Ci-ih-hou berucap, "Ya, jika kamu tidak dapat memberi bukti, memang tidak pantas kau nista dia."
"Betul itu ...." Tukas Cui Thian-ki. Lalu ia tarik lengan baju Ling-ji dan berkata,
"Cici yang baik, kumohon bantuanmu, coba, dia menista diriku sedemikian rupa, sungguh aku tidak ... tidak ingin hidup lagi."
Dengan lagak manja ia sandarkan kepala ke dada Ling-ji, mendadak ia cubit belakang pinggang Ling-ji dan berbisik, "Budak cilik, ke mana kau sembunyikan suami cilikku?"
Sebenarnya Ling-ji sedang tertawa ngikik, mendengar bisikan itu, tentu saja ia terkejut, namun ia tetap tertawa dan pada suatu kesempatan ia balas berbisik,
"Siapa bilang?"
Dengan lagak menangis, Cui Thian-ki berbisik pula, "Jika bukan disembunyikan olehmu, dari mana kau tahu aku ini bini besarnya?"
Baru sekarang Ling-ji menyadari ucapannya tadi telah membocorkan rahasia perbuatannya membawa lari Pui Po-ji, diam-diam ia mengakui kelihaian orang.
Didengarnya Cui Thian-ki berbisik lagi padanya, "Jika tidak kau bantu mempermainkan si kepala besar ini, biar sebentar kubongkar perbuatanmu yang membawa lari anak lelaki orang."
"Cara bagaimana mempermainkan dia?" tanya Ling-ji dengan lirih.
"Apa yang kukatakan harus kau dukung, si kepala besar itu harus digoda sehingga berjingkrak murka dan penuh rasa penasaran, begitu baru aku puas,"
bisik Thian-ki.
Kedua anak perempuan itu saling berangkulan, yang satu menangis dan yang lain tertawa, semua orang merasa bingung, tapi tiada yang dengar percakapan mereka.
Segera Ling-ji berseru, "Hei, kepala besar, ayo keluarkan buktimu?"
"Wah, ini ... ini ...." Oh Put-jiu agak kelabakan.
"Jika kamu tidak dapat memberi bukti, tidak pantas sembarangan kau tuduh orang," omel Ling-ji. "Memangnya anak perempuan seperti kami ini boleh dicerca begitu saja" Ayo lekas kemari menyembah dan minta maaf padanya."
Betapa pun sabarnya Oh Put-jiu terpancing juga sehingga muka merah padam, katanya, "Jika Houya tidak percaya, bolehlah Bok-long-kun dihadapkan ke sini, dia pasti tahu semua ini."
Sambil mendekap dalam pelukan Ling-ji dan berlagak menangis, Cui Thian-ki berkata, "Ia benci padaku, dengan sendirinya ia bantu dirimu mencerca diriku."
Semua orang merasa bantahannya cukup beralasan, ada yang tidak tahan dan segera berseru, "Betul, kepala besar itu harus menyembah dan minta maaf, agar selanjutnya dia tidak berani lagi menista kaum wanita."
Yang bicara dengan sendirinya orang perempuan. Pada waktu menghadapi lelaki, 90
Koleksi Kang Zusi
orang perempuan terkadang memang dapat bersatu.
Oh Put-jiu merasakan berpuluh sorot mata sama terarah kepadanya, sorot mata yang mengandung permusuhan, sungguh gusar dan gemasnya tidak kepalang, sampai tangan pun terasa gemetar.
Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekilas melirik kepada pemuda kepala besar itu, sungguh gembira sekali Cui Thian-ki karena maksud tujuannya tercapai.
Ci-ih-hou berkata pula dengan menyesal, "Jika kamu memang tidak mempunyai bukti, tampaknya kamu terpaksa harus minta maaf padanya."
Selagi Oh Put-jiu merasa tak berdaya dan mati kutu, sekonyong-konyong suara orang berteriak, "Siapa bilang tidak ada bukti. Ini dia buktinya."
Suara itu datang dari belakang pintu angin sana, keruan semua orang sama terperanjat.
Maka tertampaklah seorang anak bermata besar, berhidung mancung, muka putih semu merah dan halus menyenangkan lari keluar dari balik pintu angin.
Siapa lagi dia kalau bukan Pui Po-ji.
"Hei, Po-ji, kenapa kau pun berada di sini?" seru Oh Put-jiu, sungguh ia tidak mengerti bahwa Po-ji bisa berada di atas kapal ini.
Muka Po-ji tampak merah marah oleh urusan Cui Thian-ki, katanya, "Ceritanya agak panjang, biarlah kulampiaskan rasa dongkol paman dulu baru nanti kuceritakan."
"Kamu hendak melampiaskan rasa dongkolku?" tanya Put-jiu heran.
"Betul," sahut Po-ji, lalu ia berpaling menghadap Ci-ih-hou.
Akhirnya baru dapat dilihatnya dengan jelas wajah tokoh misterius ini. Terlihat orang berjubah satin ungu, memakai kopiah raja bertatah mutiara, mukanya putih bersih serupa ukiran batu kemala dan menampilkan semacam kekuatan yang membuat orang gentar. Dengan nyali Pui Po-ji ternyata juga tidak berani mengamati mata alis orang terlebih cermat.
Agaknya sudah sejak tadi Ci-ih-hou mengetahui di belakang tempat duduknya sana tersembunyi orang. Maka kemunculan Po-ji tidak membuatnya kaget atau heran, sikapnya tetap dingin dan tak acuh.
Po-ji memberi hormat, lalu berucap dengan kalimat bahasa sastra tinggi yang berarti, "Houya biasa hidup berkelana bebas di lautan lepas serupa malaikat dewata, apakah mungkin juga masih menghargai tata adat dunia ramai?"
Melihat seorang anak kecil bicaranya serupa seorang sastrawan, wajah Ci-ih-hou yang dingin menampilkan rasa heran, jawabnya perlahan, "Meski selama ini hidupku kian kemari di lautan lepas, namun aku bukan bangsa biadab, masa aku tidak menghargai tata adat?"
Nyata ucapannya cukup ramah dan memandang anak kecil itu serupa seorang tamu terhormat.
Po-ji menyembah pula dan berkata, "Pokok dasar tata adat kita sudah tercantum jelas dalam berbagai kitab, bilamana ada orang sengaja melanggar tata adat ini, 91
Koleksi Kang Zusi
menurut pendapat Houya apakah orang ini harus dijatuhi hukuman atau tidak?"
Bahwa seorang anak kecil seperti Pui Po-ji ternyata dapat bicara dengan lancar tanpa gentar serupa orang dewasa, semua orang sama kejut dan heran, juga merasa tertarik.
Siaukongcu sembunyi di belakang tirai dan tidak berani keluar, ia gelisah dan berulang mengentak kaki.
Terdengar Ci-ih-hou menjawab, "Jika ada orang berani melanggar tata adat, sepantasnya ia dihukum."
"Kata pepatah, raja adalah Thian (Tuhan) hambanya, ayah adalah Thian anaknya, suami adalah Thian istrinya, jika ada istri tidak patuh pada kelakuan sebagai istri di depan suaminya, lalu apa yang harus dilakukan?" tanya Po-ji pula.
Tanpa terasa tersembunyi senyuman pada wajah Ci-ih-hou, katanya, "Anak sekecil dirimu masakah juga sudah punya istri?"
Semua orang ikut tertawa geli.
Siapa tahu Po-ji menjawab tegas, "Betul."
"Oo, siapa istrimu, coba ceritakan," ucap Ci-ih-hou dengan tertawa.
"Dia," seru Po-ji sambil membalik tubuh dan menuding Cui Thian-ki.
Tudingan Po-ji ini seketika membuat heboh semua orang yang hadir di situ, ada yang terkejut, ada yang tertawa geli, ada yang tidak percaya.
Oh Put-jiu juga geleng-geleng kepala dan membatin, "Ai, mengapa anak ini bisa ngibul begini?"
Terdengar Ci-ih-hou menegas, "Dari mana kau tahu?"
Tiba-tiba Ling-ji menyela dengan tertawa ngikik, "Memang betul, pada waktu nona Cui ini menikah dengan anak ini, hamba dan Cu-ji melihatnya dengan jelas."
"Sialan, budak mampus ...," omel Cui Thian-ki dengan tertawa.
"Memangnya kau berani menyangkal?" sahut Ling-ji dengan tertawa.
"Mengaku juga tidak menjadi soal, memangnya kenapa?" ujar Cui Thian-ki. "Ayo kemari, suami cilik, mari kita suami istri bermesraan sedikit."
Dengan mendelik Po-ji mendamprat, "Jika kamu istriku, kenapa kau berani bersikap kasar terhadap pamanku, orang muda berani terhadap orang tua, ini namanya tidak sopan. Sekarang kamu sudah mengaku, tapi tadi menyangkal pernah menculik diriku, caramu bicara plinplan, itu namanya tidak dapat dipercaya. Setelah kamu menjadi istri orang, tapi masih berkeluyuran kian kemari, demi mencapai maksud tujuanmu, kamu tidak sayang menyerahkan diri sendiri kepada orang sebagai hadiah, ini namanya tidak tahu malu."
"Aduhh, bengis amat caci makimu," kata Cui Thian-ki dengan tertawa ngikik.
Po-ji tidak menggubrisnya, ia berpaling dan berkata pula terhadap Ci-ih-hou, 92
Koleksi Kang Zusi
"Nah, perempuan yang tidak sopan, tidak tahu malu dan tidak dapat dipercaya begini, apakah tidak pantas diberi hukuman seberatnya"!"
"Betul dan cara bagaimana akan kau hukum dia?" jawab Ci-ih-hou dengan tersenyum.
Po-ji berkedip-kedip, katanya, "Lebih dulu hukum dia menyembah dan minta maaf kepada pamanku, habis itu ...."
Tiba-tiba dari balik tabir sana seorang menyambung, "Habis itu menghukum pula dia kerja paksa tiga tahun di tempat kita ini, setiap hari dia harus membaca dan menulis."
Suaranya terdengar kecil dan lembut, jelas suara Siaukongcu alis putri cilik.
Sejak kecil ia dimanjakan, selamanya tidak tahu apa artinya kerja paksa, yang diketahui cuma membaca dan menulis dan dirasakan sebagai pekerjaan yang paling susah di dunia ini.
Tentu saja semua orang tertawa geli mendengar anak dara itu memandang soal membaca menulis sebagai kerja paksa yang sukar.
Cui Thian-ki tertawa ngikik, katanya, "Kerja paksa begini apa alangannya kulakukan selama tiga tahun."
"Baik," kata Ci-ih-hou mendadak.
Cui Thian-ki jadi melengak, "Baik ... baik apa?"
"Jika kau bilang tidak alangan, maka jadi kuhukum kau tinggal di sini untuk membaca dan menulis tiga tahun," jawab Ci-ih-hou.
"Tapi ... tapi aku cuma berkelakar saja," bingung juga Cui Thian-ki.
"Di depanku mana boleh sembarangan berkelakar," ucap Ci-ih-hou.
Sekali ini Cui Thian-ki tidak dapat tertawa lagi, ucapnya gelagapan, "Aku ... aku
...." Segera Ling-ji memberi tanda, serentak bersama Cu-ji dan dua gadis mengelilingi Cui Thian-ki dan berkata dengan tertawa, "Kenapa, apa kamu tidak terima?"
Bola mata Cui Thian-ki berputar, ia tahu ingin lari pun tidak bisa lagi, mendadak ia tertawa nyaring, katanya, "Baik juga. Sudah lama kulari kian kemari dan memang sudah merasa capek. Kalau dapat tetirah tiga tahun di sini justru sangat kuharapkan. Tapi suami istri harus berdampingan, maka suami cilikku juga harus tinggal bersamaku di sini."
Siaukongcu berkeplok tertawa, serunya, "Hihi, tentu saja, dia harus tinggal bersamamu di sini."
Tersentuh pikiran Oh Put-jiu, serunya girang, "Aha, memang betul, daripada dia keluyuran kian kemari tidak bekerja, suruh dia mendampingi Siaukongcu sekolah di sini memang sangat cocok."
"Dan sekarang dia harus menyembah dulu kepadamu," kata Po-ji.
93 Koleksi Kang Zusi
"Wah, aku tidak berani disembah, bebaskan saja," ujar Oh Put-jiu dengan tertawa.
Pada saat itulah mendadak Ci-ih-hou membentak perlahan, "Siapa itu?"
Serentak bergema suara dua orang, yang satu mendengus, "Tajam benar pendengaran Houya."
Seorang lagi bergelak dan berkata, "Peristiwa aneh setiap tahun ada dan tahun ini bertambah banyak, ada bangku memanjat ke dinding, ada batu menggelinding ke atas bukit, ada anak kecil umur belasan menikahi nenek, haha, bisa copot gigiku Ong-loji menertawai."
Suara kedua orang itu berbeda nada dan berseru sekaligus, namun suara mereka tidak sampai terbaur dan dapat didengar dengan jelas oleh setiap orang. Namun sebelum suara mereka bergema, tokoh dunia persilatan yang memenuhi anjungan kapal ini tiada seorang pun yang tahu kedatangan mereka, padahal cuma terpisah oleh dinding papan yang dekat.
Air muka Ci-ih-hou tampak berubah tenang ucapnya, "Kiranya kau ...."
Suara dingin tadi menjawab, "Ya, sengaja kudatang mengunjungi Houya."
Seorang tampak muncul dengan langkah lebar, perawakannya tinggi kurus, muka pesat kehijauan. Meski bajunya penuh tambalan, baju biru ini tercuci bersih.
Kedua tangannya juga seputih batu kemala, jari tengah kanan memakai sebentuk cincin permata yang aneh, sikapnya kelihatan tak acuh, langkahnya tidak menimbulkan suara.
Padahal tadi ada suara dua orang, tapi sekarang yang masuk cuma seorang.
Tentu saja semua orang heran dan sama ingin tahu suara siapa yang bernada kocak tadi.
Si baju biru langsung menuju ke depan Ci-ih-hou, ia memberi hormat dengan merangkap kedua kepalan, sapanya, "Belasan tahun tidak berjumpa, daya pendengaran Houya ternyata belum mundur sedikit pun, selamat bahagia!"
"Ya, belasan tahun tidak bertemu, Ginkangmu ternyata tambah maju," sahut Ci-ih-hou dengan tertawa. "Agaknya gelar jago Ginkang nomor satu selain dirimu sukar direbut orang lain."
"Tahun yang lalu aku berlomba Ginkang selama sehari-semalam dengan Hong-tojin, akhirnya aku lari lebih cepat satu li lebih jauh," tutur si baju biru. "Cuma biasanya aku tidak suka menonjolkan nama, tentang gelar Ginkang nomor satu tetap kuberikan kepadanya."
Meski tak acuh caranya bicara, namun nadanya sangat bangga dan angkuh, seperti Ginkang orang lain sama sekali tidak terpandang olehnya.
Mendengar Ginkang si baju biru ini ternyata lebih unggul daripada Hong-tojin, semua orang terkejut, diam-diam sama meraba dan menduga-duga asal-usul tokoh aneh ini.
Hanya Siaukongcu saja yang merasa tidak senang terhadap sikapnya yang pongah, tiba-tiba ia mengomel, "Huh, sok membual!"
"Ya, meniup balon!" tukas Po-ji segera.
94 Koleksi Kang Zusi
Mendadak si baju biru menoleh, sorot matanya menyapu sekejap pada wajah kedua anak kecil itu. Jelas terlihat oleh Po-ji dan Siaukongcu bahwa meski wajah orang pucat dingin, namun sorot matanya membawa rasa hangat serupa api membara.
"Hm, kedua anak kecil, apakah kalian maksudkan diriku?" jengek si baju biru.
Mendadak Cui Thian-ki memburu maju dan mengadang di depan Po-ji, katanya dengan tertawa, "Eh, orang tua jangan mengganas terhadap anak kecil. Sahabat yang datang bersamamu itu mengapa tidak ikut masuk?"
"Dia sudah masuk," jawab si baju biru.
"Di mana?" tanya Cui Thian-ki sambil memandang sekelilingnya.
Tiba-tiba suara simpati tadi bergema dari depan, "Ini, di sini, di depanmu! Meski kau tidak melihatku, tapi kau dapat kulihat."
Cui Thian-ki dan Pui Po-ji sama terperanjat, waktu mereka memandang ke depan, yang terlihat cuma si baju biru saja dan tiada orang lagi, wajah si baju biru tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, juga tidak mirip habis bicara.
Namun jelas suara tertawa dan suara bicara tadi berkumandang dari depan, lantas siapa dia" Memangnya orang ini menguasai ilmu menghilang sehingga cuma terdengar suaranya dan tidak terlihat wujudnya"
Po-ji agak merinding sehingga tanpa terasa ia rapatkan tubuhnya dengan Cui Thian-ki.
Segera suara tertawa tadi berkumandang pula dari depan, "Haha, dua sejoli, cinta kasih, main ...."
Mendadak Po-ji berteriak, "Hei, dia ... juga dia ... kedua suara sama timbul dari dia .... Perut ... perutnya dapat bicara."
Suara tadi segera berhenti, sekilas sorot mata si baju biru menampilkan senyuman, namun sikap dan air mukanya tetap dingin.
Cui Thian-ki melengak, dipandangnya sejenak si baju biru, lalu berkeplok dan tertawa, "Aha, Ong Poan-hiap, luar dingin dalam hangat, setengah pendekar setengah latah. Sejak tadi seharusnya kuingat akan dirimu."
"Teringat sekarang juga belum terlambat," ucap si baju biru.
"Sudah lama terdengar Ong Poan-hiap adalah tokoh mahaajaib di dalam daftar orang kosen dunia persilatan, tak tersangka hari ini dapat berjumpa di sini, sungguh beruntung sekali," kata Cui Thian-ki dengan tertawa.
"Dan kau sendiri bukankah juga satu di antara daftar tokoh ajaib dunia persilatan itu," ujar si baju biru alias Ong Poan-hiap atau Ong setengah pendekar.
Po-ji memandangnya dengan mata terbelalak, tanyanya, "Ken ... kenapa perutmu dapat bicara?"
Dengan geli Cui Thian-ki berkata, "Justru keahliannya bicara dengan perut inilah, dia berkeras menganggap dirinya sendiri ada dua orang, malahan memakai nama
\'Hoa-sin-siang-hiap\' (pendekar kembar) sehingga kawan Bu-lim sama bingung 95
Koleksi Kang Zusi
dan pusing dipermainkan olehnya, sebab siapa pun tidak tahu dengan jelas sesungguhnya dia ini satu orang atau dua orang?"
Dengan dingin Ong Poan-hiap menjawab, "Berhadapan dengan kesatria sejati aku ini Ong Poan-hiap, menghadapi manusia licik dan keji aku ini Ong Poan-ong (Ong setengah latah atau gila), dengan begini kan jauh lebih baik daripada caramu yang sebentar mengaku lelaki dan lain saat menjadi perempuan."
"Dan kunjungan Ong-heng sekarang ini entah sebagai Ong Poan-hiap atau Ong Poan-ong?" tanya Ci-ih-hou dengan tersenyum.
"Jika Ong Poan-ong, tentu aku tidak datang kemari," jawab Ong Poan-hiap.
"Sebab urusan ini sebenarnya tidak ada sangkut paut apa pun denganku. Bila jauh-jauh aku mau kemari, tujuanku hanya ikut campur kepentingan orang saja."
Sinar matanya berputar, mendadak ia tanya, "Siapa murid Pek Sam-kong?"
"Wanpwe adanya." jawab Oh Put-jiu sambil menjura. "Entah Cianpwe ada petunjuk apa?"
"Apa sudah kau laksanakan pesan gurumu itu?" tanya Ong Poan-hiap.
"Sudah," jawab Put-jiu. "Dan Houya pun sudah menerima dengan baik."
"Bagus," ucap Ong Poan-hiap. "Kalau sudah diterima, mengapa tidak lekas berangkat. Masa kau tidak tahu gawatnya urusan ini, terlambat satu hari pun berarti akan bertambah satu korban tokoh dunia persilatan kita?"
"Eh, kiranya kedatanganmu juga untuk urusan ini," ucap Ci-ih-hou.
"Betul, kedatanganku memang juga untuk urusan ini," sahut Ong Poan-hiap.
"Maklum, saat ini yang mati di bawah tangan jago pedang berbaju putih itu seluruhnya sudah lebih 20 orang."
"Masa begitu keji keparat itu?" Ci-ih-hou menegas dengan kening bekernyit.
"Dalam pertarungan pertama sejak keparat itu datang dari lautan timur, yang pertama terbunuh ialah Liu Siong, seterusnya dari Soatang ia terus menuju ke barat laut, dengan pedangnya yang berbentuk aneh hampir menyapu seluruh dunia persilatan Tionggoan, sampai Tiong-ciu-it-kiam Sau Bun-sing dan Jing-peng-kiam-kek Pek Sam-kong yang terkenal hebat ilmu pedangnya juga tidak dapat lolos di bawah pedangnya."
"Hah, kakekku ...." jerit Po-ji dengan khawatir.
"Siapa kakekmu?" tanya Ong Poan-hiap dengan heran.
"Bocah inilah cucu guruku," sela Oh Put-jiu dengan sedih.
Po-ji mencengkeram leher baju Oh Put-jiu dan bertanya, "Bagaimana keadaan kakek" Kau tahu bukan?"
Dengan menunduk Put-jiu menjawab, "Beliau mungkin sudah ...."
"Pek Sam-kong tidak mati," potong Ong Poan-hiap.
Po-ji merasa lega, karena kejut dan girangnya, kaki pun terasa lemas dan hampir 96
Koleksi Kang Zusi
tidak sanggup berdiri lagi.
Oh Put-jiu juga kejut dan heran, tanyanya, "Jadi guruku tidak ...."
"Ya, meski Pek Sam-kong terkena pedang jago pedang baju putih, namun tidak tewas," tutur Ong Poan-hiap. "Dia merupakan satu-satunya orang yang dapat menyelamatkan nyawa di bawah pedang orang itu."
Padahal Oh Put-jiu sendiri menyaksikan gurunya terkena tusukan pedang dan menggeletak, kini mendengar berita gurunya masih hidup, rasa kejut dan girangnya sungguh jauh melebihi Po-ji.
Tepi mendadak Ong Poan-hiap menghela napas, ucapnya perlahan, "Meski dia tidak mati, namun keadaannya lebih celaka daripada mati."
"Sebab apa?" tanya Put-jiu cepat.
"Para kesatria Bu-lim saat ini sedang menunggui dia untuk tanya betapa ajaib ilmu pedang si jago baju putih itu," kata Ong Poan-hiap. "Sebab hanya dia satu-satunya orang yang masih hidup setelah bertanding dengan jago pedang baju pulih sehingga di mana letak rahasia kelihaian ilmu pedang orang itu tentu tahu lebih banyak daripada siapa pun."
"Dan apakah gu ... guruku sudah bercerita?" tanya Put-jiu.
Ong Poan-hiap menggeleng kepala, ucapnya, "Justru lantaran si jago pedang baju putih itu bermurah hati padanya sehingga jiwa Pek Sam-kong dapat selamat, maka siapa pun yang mendesak dan bertanya padanya, sama sekali ia tidak mau membocorkan satu kata pun rahasia ilmu pedang lawan. Namun bilamana ia menyaksikan sesama kawan Bu-lim satu per satu menjadi korban keganasan pedang orang, sungguh hatinya sangat pedih sekali, maka aku diminta menyusul kemari .... Ai, jika Houya sudah menerima permintaannya, hendaknya selekasnya berangkat dan menghadapi dia."
Untuk pertama kalinya Cui Thian-ki mendengar kisah kelihaian jago pedang berbaju putih itu, betapa pun ia ikut kebat-kebit, ucapnya, "Memangnya tokoh Bu-lim di Tionggoan tiada seorang pun mampu menahan dia?"
"Tidak ada," kata Ong Poan-hiap.
"Satu orang tidak mampu, sepuluh orang atau seratus orang masakah tidak dapat membinasakan dia?" ujar Cui Thian-ki.
"Kemunculan orang ini konon justru ingin mempelajari intisari ilmu silat, orang yang dicarinya juga kaum kesatria yang terkenal gagah perkasa," tutur Ong Poan-hiap dengan dingin. "Meski orang-orang ini sama mati di bawah pedangnya kan juga gugur demi kesucian ilmu silat. Jika membunuhnya dengan tenaga gabungan berpuluh orang, bukankah akan diejek oleh para kesatria di dunia ini?"
"Diejek atau disindir kan jauh lebih baik daripada mati konyol?" ujar Cui Thian-ki dengan gegetun.
Mendadak Po-ji berteriak, "Itu pun tidak seluruhnya benar. Ada sementara orang lebih suka mati daripada berbuat sesuatu yang memalukan, kematian begitu baru dapat dipuji sebagai kematian seorang kesatria sejati."
"Ehm, anak baik," Ong Poan-hiap manggut-manggut sambil membelai rambut 97
Koleksi Kang Zusi
anak itu. "Ya, memang anak baik ...." Ci-ih-hou juga tersenyum.
"Huh, anak baik apa" Kukira dia cuma seorang anak bodoh," kata Cui Thian-ki.
"Sudahlah, jangan omong iseng lagi," sela Ong Poan-hiap. "Jika Houya mau turun tangan, sekarang juga silakan berangkat."
Ci-ih-hou terdiam sejenak, dari tangan seorang gadis cantik di sebelahnya, diambilnya sebatang pedang.
Di ruangan ini hampir setiap bagian penuh benda mewah, sampai perhiasan yang dipakai anak gadis itu juga batu permata yang sukar dinilai, hanya pedang ini saja sarung pedangnya ternyata sangat jelek dan sederhana.
Dengan kedua tangan Ci-ih-hou memegang dan mengamati pedang itu, setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia memanggil Kin Ji, si muka kuda tadi, "Coba kemari!"
Si muka kuda ini lagi kebingungan oleh apa yang dilihatnya tadi, panggilan Ci-ih-hou membuatnya terkesiap, jawabnya, "Houya ada ... ada pesan apa?"
Meski di dalam hati enggan maju, namun tanpa kuasa kaki sudah melangkah ke depan.
Perlahan Ci-ih-hou berucap pula, "Akan kuhitung tiga kali, habis itu segera akan kuserang padamu dengan pedang ini, jika kau darat mengelak, segera aku akan mendampingimu ke negerimu, tapi bila kau tidak mampu menghindar, seranganku juga takkan membahayakan jiwamu, aku cuma minta jasamu berangkat ke Tionggoan tutuk melaksanakan suatu urusan bagiku."
"Hanya satu kali serangan?" Kin Ji menegas dengan kejut dan heran.
"Ya, hanya satu jurus serangan," kata Ci-ih-hou. "Akan kuserang ketujuh Hiat-to yang terletak di antara Koh-cing-hiat dan Lu-coan-hiat, sama sekali tak ada serangan ikutan lain."
Diam-diam Kin Ji bergirang, pikirnya, "Lebih dulu ia sudah memberitahukan bagian yang akan diserangnya, apalagi cuma satu jurus serangan saja. Aku bukan orang mampus, masa tidak mampu mengelak?"
Dengan suara lantang segera ia menjawab, "Baik!"
Perlahan Ci-ih-hou mulai menghitung, "Satu ... dua ...."
Serentak Kin Ji alias si muka kuda mencurahkan segenap perhatiannya pada pedang yang dipegang Ci-ih-hou.
Dan begitu Ci-ih-hou mengucap "tiga", tubuh tanpa bergerak, tapi pedang terus menusuk ke depan dengan perlahan.
Gerak pedang ini sangat lambat dan tanpa variasi, bahkan jelas takkan mencapai bagian yang diarah. Sekalipun Kin Ji tidak mengelak dan menghindar juga takkan tertusuk oleh pedang itu.
Keruan Kin Ji melenggong, "Memang terhitung jurus serangan apa ini?"
98 Koleksi Kang Zusi
Belum habis berpikir, gerak pedang yang lugas dan lamban itu mendadak memancarkan cahaya kemilau, bagian yang menjadi sasaran yang jelas takkan tercapai itu mendadak berubah dapat dicapainya.
Jilid 5. Misteri Kapal Layar Pancawarna
Pandangan semua orang terasa silau, terdengarlah Kin Ji menjerit kaget, tahu-tahu pedang Ci-ih-hou sudah tersimpan kembali, meski Kin Ji tidak roboh, namun pada tubuhnya telah bertambah tujuh luka berdarah.
Siapa pun tidak tahu jelas cara bagaimana Ci-ih-hou melukai Kin Ji hingga tujuh tempat itu, bahkan tersebar di antara kedua bahu, dada perut dan iga.
Wajah Kin Ji yang lonjong serupa muka kuda itu tampak pucat pasi dan berdiri melongo tanpa bergerak. Si buntak pun terkesima dan ketakutan setengah mati, selagi orang lain tidak memerhatikan dia, diam-diam ia mengeluyur keluar.
Padahal Ci-ih-hou berkata, "Hiat-to Kin-heng ini telah kutusuk dengan ujung pedang ...."
Mendengar orang dapat menusuk Hiat-to dengan ujung pedang, saking kagumnya Oh Put-jiu menghela napas.
Terdengar Ci-ih-hou melanjutkan, "Kalian boleh membawa Kin-heng ini kepada jago pedang berbaju putih itu, suruh dia memeriksa lukanya, katakan orang yang melukai dia ini sedang menanti di pantai laut timur, diharap Pek-ih-kiam-kek (jago pedang berbaju putih) itu datang kemari untuk menempurnya."
Ong Poan-hiap bekernyit kening, ucapnya, "Houya, jika engkau pergi sendiri ke sana kan lebih cepat beres?"
Ci-ih-hou tersenyum getir, katanya, "Sejak belasan tahun yang lampau pedangku dikalahkan seorang, aku bersumpah selama hidup ini takkan menginjak daratan lagi."
"Hah, di zaman ini ilmu pedang siapa pula yang dapat mengalahkan Houya?"
tanya Ong Poan-hiap dengan melengak.
Ci-ih-hou menghela napas perlahan tanpa menjawab.
"Dan bagaimana bila Pek-ih-kiam-kek itu tidak mau datang kemari?" tanya Ong Poan-hiap setelah terdiam sejenak.
"Jika dia datang demi ilmu silat, setelah melihat ketujuh tempat luka Kin Ji, apa pun juga dia pasti akan bertempur denganku," ucap Ci-ih-hou. "Kalau tidak, maka dia hanya menggunakan ilmu silat sebagai alasan untuk membunuh orang, jika begitu, bolehlah kalian mengerubutnya beramai-ramai tanpa perkara."
Ong Poan-hiap memandang Kin Ji sekejap, katanya kemudian dengan menyesal,
"Untuk membawa kuda ini, kukira harus bikin repot padamu, Oh Put-jiu!"
Tanpa banyak omong mereka terus berangkat dengan membawa si muka kuda Kin Ji yang terluka itu.
99 Koleksi Kang Zusi
****** Menjelang fajar, suasana sunyi dan remang-remang. Di atas benteng kota Lokyang, di suatu lekukan duduk seorang berbaju putih tanpa bergerak serupa patung, hanya rambutnya yang panjang terurai melambai tertiup angin.
Sebatang pedang panjang tersandang di punggungnya, sepotong kain belacu menjadi ikat kepala sebatas alis menaungi wajahnya yang kelam sehingga terlihat misterius menyeramkan.
Dengan sorot mata hambar ia memandang keremangan kota Lokyang dengan termenung, memandangi beribu atap rumah yang terhampar di depan dengan perasaan sunyi, di tengah beribu rumah penduduk sekian banyak itu ternyata tiada seorang pun mampu melawannya.
Ketika cahaya sang surya mulai menembus kabut pagi di ufuk timur, perlahan si baju putih berbangkit dan menuruni benteng kota menuju ke arah barat, setiap langkahnya berjarak sama, tegap dan mantap.
Di barat kota Lokyang, di tengah pepohonan yang rimbun menelusur sebuah jalan berbatu kerikil, suasana masih senyap, tapi kalau diperhatikan dapat terlihat di bawah setiap pohon yang tumbuh di tepi jalan sama berdiri seorang lelaki berbaju putih dengan sikap tegang dan siap siaga seakan-akan menanti kedatangan tamu agung dan juga siap menghadapi musuh.
Pada ujung jalan adalah sebuah kompleks perumahan yang cukup luas, keadaan sepi, segenap penghuni perkampungan itu seperti masih tidur lelap.
Tapi begitu memasuki pintu gerbang perkampungan segera terlihat keramaian orang berlalu-lalang, namun setiap orang tetap bungkam saja biarpun satu sama lain berpapasan.
Di depan kelihatan sebuah ruang besar, segala perabot di situ sudah disingkirkan sehingga suasana kelihatan lengang dan agak seram, mendadak sembilan orang berbaju putih muncul berturut-turut dan duduk menjadi satu baris di satu sisi dekat dinding.
Perawakan kesembilan orang ini berbeda-beda, gerak-gerik juga tidak sama, tapi sikap mereka kelihatan penuh semangat, gagah perkasa. Kesembilan orang sama membawa sebuah kantong hijau, pandangan mereka sama tertuju ke luar pintu.
Kabut di luar sudah mulai buyar dan sinar sang surya memancar dengan gemilangnya, seorang yang duduk di tengah berucap, "Sudah waktunya ...."
Belum lenyap suaranya mendadak seekor merpati pos terbang masuk, seketika kesembilan orang saling pandang dengan tegang dan tidak bersuara lagi.
Sementara itu si baju putih tadi sudah dekat ujung jalan batu tadi, mendadak terdengar teriakan menggelegar seorang, serentak ratusan orang yang berdiri di kedua sisi jalan membentak, "Sambut tamu!"
Ratusan golok seketika terangkat ke atas dan terpasang menjadi palang golok di 100
Koleksi Kang Zusi
bawah barisan pohon. Suasana tegang dan khidmat.
Si baju putih tetap memandang ke depan tanpa peduli ratusan orang bergolok itu, selangkah demi selangkah ia maju ke depan.
Tiba-tiba dari halaman seorang membentak pula, "Sambut tamu!"
Suaranya terlebih lantang daripada tadi, serentak dari pintu gerbang hingga undakan ruang pendopo beratus lelaki kekar sama mengangkat golok masing-masing dan dipalangkan di atas. Bilamana si baju putih berjalan menyusuri barisan golok, asalkan golok membacok ke bawah, biarpun tubuhnya terbuat dari baja juga akan tercencang menjadi perkedel.
Beratus lelaki bergolok itu sama membatin, "Coba lihat apakah dia berani melalui barisan golok ini?"
Ternyata tanpa pikir si baju putih langsung menerobos barisan golok itu, beratus golok mengilat itu dianggapnya seperti besi karatan saja, langkahnya tetap tegap dan mantap dengan jarak yang sama, tidak cepat juga tidak lambat.
Semua orang sama melongo dan kagum juga terhadap ketabahan orang.
Setelah menerobos barisan golok, si baju putih melangkah ke dalam ruangan pendopo, dengan sikap dingin ia berdiri di depan kesembilan orang tadi, sorot matanya yang tajam memandang orang pertama di sebelah kiri terus berpindah hingga orang paling akhir di ujung kanan.
Sorot matanya bergerak sangat cepat, tapi dirasakan orang lain sedemikian lambannya, suara gertakan dan barisan golok di luar ternyata tidak mengurangi sedikit pun ketabahan orang ini, keruan diam-diam kesembilan tokoh itu terkesiap, mereka heran apakah benar orang ini memang tidak takut mati"
Setelah memandang kesembilan orang itu, agaknya si baju putih dapat meraba isi hati mereka, dengan dingin ia berkata, "Orang persilatan memang pantas gugur demi ilmu silat, biarpun aku mati di bawah golok juga sesuai dengan kewajibanku, mati pun takkan menyesal."
Orang yang duduk di tengah memandang kawan di ujung kiri dengan muka bersemu merah, katanya kemudian, "Hari ini selain kesembilan tokoh utama daerah Tiongciu sudah berkumpul di Lian-hun-ceng ini, segenap anak murid kesembilan perguruan juga berada di sini. Dalam pertempuran ini, bilamana Anda dapat menang, maka tidak perlu lagi berkunjung kian kemari mencari lawan."
Orang ini bermuka tirus, mata cekung, jelas ilmu silatnya tinggi dan juga pandai menggunakan akal.
Si baju putih memandangnya sekejap dan berucap, "Ti-sing Pang Jing?"
"Betul, aku Pang Jing," sahut orang itu.
"Baik, ayo mulai!" kata si baju putih.
Pang Jing mendengus, "Hari ini kami bersembilan sama hendak belajar kenal denganmu, soal siapa yang akan turun tangan lebih dulu tidak ditentukan olehmu. Sebab pertarungan hari ini sangat besar sangkut pautnya, kami sudah menimbang dengan masak, bahwa berkumpulnya kami di sini bukan sengaja memberi kelonggaran padamu melainkan hendak menempurmu secara bergiliran 101
Koleksi Kang Zusi
untuk menguras tenagamu, dengan begitu kawan yang turun tangan terakhir akan banyak menghemat tenaga hingga mudah menundukkanmu. Meski tindakan ini rada kurang gemilang, namun tidak sampai melanggar semangat pertandingan, sebab kalau tidak, bilamana beribu penghuni Lian-hun-ceng ini mau main kerubut, maka ... hehe ...."
Sampai di sini ia hanya terkekeh beberapa kali dan tidak meneruskan.
"Apa salahnya jika kau coba dulu?" ujar si baju putih.
Tengah Pang Jing bicara, ada kawannya yang memberi kedipan mata agar dia tidak banyak bicara. Ada lagi yang kelihatan malu dan ada pula yang menunduk.
Mendadak lelaki berewok yang duduk di sebelah kanan berdiri dan berseru, "Apa yang dikatakan tadi menjadi tanggung jawab orang she Pang sendiri dan tidak ada hubungannya dengan aku Hui-thian-pa. Jika kau ingin bergebrak, biarlah Hui-thian-pa melayanimu dulu."
"Baik, silakan!" jawab si baju putih.
Meski Hui-thian-pa atau si macan tutul terbang ini berwatak kasar dan lugas, tapi menghadapi lawan tangguh, tindak tanduknya tidak terburu nafsu. Ia angkat kantong hijau, lalu melangkah keluar dengan perlahan.
Sementara itu sang surya sudah terbit dan sedang memancarkan cahayanya yang keemasan sehingga beratus golok kawanan lelaki di halaman itu sama gemerlapan.
"Simpan kembali senjata masing-masing," bentak Hui-thian-pa.
Seketika beberapa puluh orang menurunkan goloknya, tentunya mereka itu anak murid Hui-thian-pa. Selang sejenak, kedelapan tokoh lain juga sama memberi tanda sehingga kemilau golok di halaman tidak kelihatan lagi.
Si baju putih tahu perintah menyimpan kembali golok masing-masing itu adalah agar cahaya golok yang gemerlapan itu mungkin akan menyilaukan mata dan memengaruhi pertarungan mereka. Diam-diam ia menduga kesembilan tokoh ini pasti bukan jago sembarangan. Ia justru berharap kepandaian Hui-thian-pa ini cukup tinggi sehingga memenuhi syarat untuk menjadi lawannya.
Setelah memandang sekitarnya, Hui-thian-pa lantas menjura kepada orang yang duduk di tengah, lalu ia buang kantong hijau sehingga kelihatan senjata yang semula terbungkus oleh kantong itu, kiranya sepasang Liu-sing-lian-cu-tui, bola berantai panjang.
"Awas, bola berantai ini panjang seluruhnya hampir dua tombak, sudah beratus tokoh yang pernah kuhadapi, harap engkau waspada," ucap Hui-thian-pa.
Habis berucap, perawakannya yang tinggi besar itu mulai berputar, langkahnya ringan tanpa mengeluarkan suara, hanya rantai menyentuh tanah menerbitkan suara gemerencing.
Suara gemerencing itu makin lama makin keras, langkahnya juga bertambah cepat. Namun jaraknya dengan si baju putih tetap lebih dari setombak, umpama mendadak pedang si baju putih bergerak juga takkan mencapai sasarannya.
Betapa tinggi kepandaian si baju putih, biarpun dapat menang, tapi bila ingin 102
Koleksi Kang Zusi
sekali tusuk merobohkan lawan rasanya tidaklah semudah itu.
Sekonyong-konyong Hui-thian-pa membentak, bola berantai itu melayang ke depan membawa suara mendesing dan menghantam leher si baju putih.
Mendadak si baju putih angkat kedua tangannya ke belakang pundak kiri, kedua tangan memegang tangkai pedang, "sret", pedang terlolos sejengkal, semua orang mendengar suara "trang" sekali, pada detik berbahaya si baju putih telah membentur bola berantai Hui-thian-pa dengan tangkai pedang.
Padahal bola berantai itu merupakan senjata andalan Hui-thian-pa, tenaganya tidak lemah, sekali sendal ia tarik kembali bola sebelah kanan, menyusul bola sebelah kiri lantas menyambar lagi ke depan.
Begitulah kedua bola berantai sambar bergantian, pandangan semua orang sampai kabur, hanya terdengar deru angin disertai gemerencing nyaring, pedang si baju putih tetap belum dilolos dan 18 kali serangan bola berantai Hui-thian-pa sama tergetar mencelat oleh tangkai pedang.
Tiba-tiba dua larik cahaya perak menyambar, selarik sinar hijau menerobos di tengah cahaya perak, menyusul suara Hui-thian-pa menjerit dan roboh terkapar tanpa bernyawa lagi. Ternyata pedang si baju putih sudah terlolos, darah segar menitik dari ujung pedangnya.
Suasana sunyi senyap, tiada seorang pun berani bersuara. Kedelapan tokoh yang berada di tengah ruangan juga diam saja, apa yang terjadi ini seperti sudah terduga oleh mereka.
Serentak empat orang berlari masuk, mayat Hui-thian-pa dibungkus dengan kain kafan terus diangkut keluar sama cepatnya seperti datangnya tadi. Hanya dalam sekejap sama tokoh termasyhur serupa Hui-thian-pa sudah tamat untuk selamanya.
Dengan sorot mata tajam si baju putih memandang ujung pedangnya, darah sudah menitik habis, ucapnya, "Berikutnya!"
Orang yang duduk di sebelah Hui-thian-pa berdiri perlahan dan tampil ke depan.
Perawakan orang ini kurus kering, muka pucat kuning, namun sinar matanya tajam, ia pun membawa sebuah bungkusan besar yang lekak-lekuk, isinya seperti bukan senjata.
Si baju putih meliriknya sekejap, katanya, "Jit-jiu-tay-sing Kiau Hui?"
"Ya," jawab si kurus kering alias Jit-jiu-tay-sing atau si monyet bertangan tujuh.
Perlahan ia menuju ke pojok ruangan, dibukanya bungkusan dan isinya ternyata beberapa kantong senjata rahasia Piau yang berwarna-warni.
Kiau Hui mengikat setiap kantong senjata itu pada pinggangnya dengan teliti, seperti tempat kantong senjata itu sudah melalui perhitungan yang cermat dan jitu agar caranya mengambil dapat terlaksana dengan cepat dan bebas tanpa rintangan. Ia berbaju putih sehingga kantong senjata yang berwarna-warni itu menjadi hiasan yang menarik.
Pedang si baju putih terjulur ke bawah dan memandang Kiau Hui dengan dingin, setiap gerak-gerik hadirin yang berada di ruangan tiada seorang pun lolos dari sorot mata dingin si baju putih.
103 Koleksi Kang Zusi
Setelah Kiau Hui berbenah, lalu ia berdiri tegak di pojok sana, serunya, "Orang she Kiau terkenal karena senjata rahasia yang kugunakan, selain ini tidak mempunyai keahlian lain. Untuk ini apakah Anda sudi memberi petunjuk seperlunya?"
"Boleh, silakan!" sahut si baju putih.
Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dalam ketujuh kantongku ini terisi senjata rahasia yang tak terhitung jumlahnya, pernah sekaligus kubinasakan 36 bandit Hok-gu-san," tutur Kiau Hui.
"Sekarang Anda hanya melayaniku dengan pedang, mungkin takkan menguntungkan dirimu."
Ia bicara dengan suara datar, dalam keadaan bagaimana pun tidak memperlihatkan sesuatu emosi.
Si baju putih tidak bicara lagi, bahkan meliriknya saja tidak.
Padahal biasanya lawan yang berhadapan dengan Kiau Hui betapa pun tidak berani meremehkan dia dan kedua tangan Kiau Hui pasti akan diperhatikan, sebab dari tangan Kiau Hui itulah kemungkinan maut akan menyambar tiba. Tapi sekarang si baju putih ternyata tidak memedulikan tangannya, keruan ia heran dan mendongkol, tapi juga girang.
Dilihatnya semangat tempur si baju putih seakan-akan mengendur, pedang juga terjulur tak acuh ke depan, sama sekali tidak ada tanda siap tempur.
Pada saat itulah, mendadak kedua tangan Kiau Hui bergerak cepat, dua tangan seakan-akan berubah menjadi berpuluh tangan meraba kantong yang tergantung di pinggangnya. Inilah caranya menghamburkan senjata rahasia, kepandaian andalannya yang disegani, tidak ada orang tahu dari arah mana dan senjata rahasia apa yang akan dihamburkannya.
Apalagi jaraknya dengan si baju putih sekarang hampir dua tombak jauhnya, jika si baju putih ingin sekali tusuk membinasakan Kiau Hui jelas tidak mungkin.
Karena yakin dirinya sudah dalam posisi tak terkalahkan, barulah mendadak Kiau Hui membentak, berbareng berpuluh bintik sinar perak pun berhamburan.
Sekilas pandang hamburan berpuluh sinar perak ini seperti kacau tanpa perhitungan, tampaknya tidak ditujukan kepada si baju putih. Tapi setiap tokoh yang hadir di situ sama tahu bilamana berpuluh titik putih itu menyambar sampai di depan si baju putih, segera akan terjadi benturan dengan suara nyaring, ada yang terpental balik dan ada yang berputar untuk menyerang belakang si baju putih. Itulah cara menimpuk senjata rahasia yang amat mahir, dan sangat keji.
Siapa tahu, pada detik berbahaya itulah sekonyong-konyong si baju putih melompat ke atas, pandangan semua orang sama silau oleh berkelebatannya cahaya hijau menyelinap di tengah berhamburnya bintik perak. Menyusul lantas terdengar jeritan Kiau Hui, kontan ia roboh terjungkal, sebatang pedang telah menembus batok kepalanya dan memanteknya di lantai.
Pada saat yang sama, berpuluh bintik senjata rahasia itu baru membentur dinding, si baju putih tampak menempel di langit-langit rumah serupa cecak.
Rupanya pedang digunakannya sebagai senjata rahasia untuk membunuh Kiau Hui.
104 Koleksi Kang Zusi
Sama sekali Kiau Hui tidak menyangka pedang lawan akan disambitkan, ia cuma memerhatikan serangan sendiri dan lupa menjaga diri. Ketika diketahui cahaya hijau menyambar tiba secepat kilat, ingin menghindar pun sudah terlambat.
Sejak dia mulai turun tangan sampai roboh binasa, semua itu hanya berlangsung dalam sekejap saja, tatkala senjata rahasia membentur dinding dan rontok ke lantai, si baju putih juga lantas berdiri di depan Kiau Hui, pedang sudah dilolosnya kembali seperti tidak pernah terlepas.
Darah menyembur dari tubuh Kiau Hui sehingga baju putih penuh bintik merah darah.
Sisa ketujuh tokoh yang lain sama diam saja, semuanya memandang kematian seperti pulang ke rumah, tidak ada yang gelisah atau cemas.
Kembali empat lelaki kekar berlari masuk dan membungkus mayat Kiau Hui dengan kain putih dan diusung keluar.
"Dan siapa berikutnya"!" ucap si baju putih perlahan.
Orang yang duduk di sebelah Kiau Hui perlahan berdiri dan berkata, "Ji Bun-ti mohon petunjuk!"
Orang ini bertulang pelipis tinggi, pipi kempot, kaki dan tangan panjang besar, tubuh jangkung.
Dengan tak acuh si baju putih memandangnya sekejap dan berucap, "Tay-lik-sin-ciu, baik silakan mulai!"
Ji Bun-ti alias Tay-lik-sin-ciu atau si elang sakti bertenaga raksasa, ia pun membuka bungkusan senjata yang dibawanya, serentak sebatang toya tiga ruas terpegang di tangan dan mengeluarkan suara gemerantang.
***** Sementara itu dua ratusan li di luar kota Lokyang, sebuah kereta besar ditarik dua ekor kuda sedang dilarikan secepat terbang. Penumpang dalam kereta adalah Ong Poan-hiap dan Oh Put-jiu.
Si muka kuda Kin Ji meringkuk di pojok karena Hiat-to tidur tertutuk. Kusir kereta adalah seorang lelaki kekar berbaju compang-camping, agaknya seorang anggota Kay-pang.
Sama sekali ia tidak kasihan kepada kedua ekor kuda itu, cambuknya tiada hentinya menghujani punggung kuda sehingga babak belur.
Berulang Ong Poan-hiap melihat cuaca dan bergumam, "Wah, terlambat ...
terlambat ...."
"Terlambat bagaimana?" tanya Oh Put-jiu.
"Hari ini kesembilan tokoh Tiongciu berjanji akan berhadapan dengan jago pedang berbaju putih itu, saat ini mungkin mereka telah mengalami nasib 105
Koleksi Kang Zusi
malang," ujar Ong Poan-hiap.
Oh Put-jiu menghela napas, katanya, "Manusia berusaha, Thian yang menentukan. Jika benar ...."
Mendadak Ong Poan-hiap menggebrak kabin kereta dan berteriak, "Untuk apa kau bicara lagi" Kalau bukan gara-gara keponakanmu itu dan buang-buang waktu, saat ini tentu sudah sampai di sana."
Oh Put-jiu tidak berani bicara lagi.
Ong Poan-hiap masih terus mengomel panjang-pendek, tidak cuma mulut saja mengomel, perutnya juga mencaci maki, jadi dua macam suara makian bercampur baur serupa dua orang yang sedang bertengkar. Oh Put-jiu merasa geli dan juga mendongkol karena menjadi sasaran makian orang.
Sekonyong-konyong kuda meringkik, kereta pun berguncang hebat, tahu-tahu kereta selip ke tepi jalan.
"Ada apa?" bentak Ong Poan-hiap.
Sembari bicara ia terus mendorong pintu kereta dan begitu lenyap suaranya ia sudah berada di luar, sungguh cepat luar biasa reaksinya.
Ternyata salah seekor kuda sudah menggeletak binasa, kuda yang lain juga sempoyongan hendak roboh, mulut tampak berbusa.
"Ai, kuda ini pun tidak berguna lagi," ucap si kusir dengan menyesal.
Ong Poan-hiap tampak gelisah, katanya sambil mengentak kaki, "Sialan, pada saat genting justru selalu terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan. Cukat Tong bilang kau seorang kusir mahir, kenapa juga tidak becus begini?"
Si kusir menunduk, jawabnya, "Hamba sudah berusaha sekuat tenaga, namun kedua ekor kuda ini .... Ai, sebenarnya kedua ekor kuda ini pun kuda pilihan, tapi betapa hebat kuda ini juga tidak tahan dilarikan secara begini."
Ong Poan-hiap tidak sabar lagi, ia melompat maju, katanya, "Bila terlihat ada kereta lalu hendaknya segera dicegat, siapa pun penumpangnya harus diturunkan dulu. Habis itu gunakan kudanya dan segera menyusul ke Lian-hun-ceng, tahu?"
Belum lagi si kusir menjawab, segera Oh Put-jiu bertanya, "Cianpwe hendak pergi ke mana?"
"Kuberangkat dulu ke sana, akan kucari akal untuk mengulur waktu ...." belum lanjut ucapannya segera Ong Poan-hiap berlari pergi.
Anggota Kay-pang yang menjadi kusir, Ma Liang, menghela napas, ucapnya, "Tak tersangka Ong-cianpwe sedemikian keras wataknya. Ai, kenapa beliau tidak pikir tiada kuda di dunia ini yang bisa lebih cepat daripada kakinya ...."
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari kejauhan ada suara derap lari kuda, bayangan kereta pun kelihatan, betapa cepat datangnya kereta ini kalau tidak disaksikan sendiri sungguh sukar dipercaya ....
106 Koleksi Kang Zusi
***** Di ruang pendopo Lian-hun-ceng sekarang, kecuali jago pedang si baju putih, kesembilan tokoh utama Tiongciu kini tersisa lima orang saja.
Si baju putih tidak ada tanda kelelahan, hanya sikapnya tambah tak acuh, setelah memandang hadirin sekejap, lalu bergumam. "Masih ada empat ...."
"Lima!" tukas Ti-sing-jiu Pang Jing.
"Kau tidak setimpal bergebrak denganku," jengek si baju putih tanpa meliriknya.
Air muka Pang Jing berubah, teriaknya gusar, "Kenapa ...."
"Yang ingin kutempur adalah jago silat dan bukan pengecut," jengek si baju putih.
Muka Pang Jing sebentar merah sebentar pucat, sejenak kemudian ia tergelak, katanya, "Biarpun engkau tidak sudi bergebrak denganku, kukira engkau pun tidak dapat bertindak sesukamu."
"Jika aku tidak mau turun tangan, siapa pun tidak dapat memaksaku," ucap si baju putih dengan ketus.
Ti-sing-jiu Pang Jing terbahak-bahak, katanya, "Setiba di sini ...."
"Setiba di sini lantas kau mau apa?" bentak si baju putih, mendadak ia bergerak cepat menyelinap ke tengah-tengah gerombolan orang banyak di halaman sana, di mana ia lewat segera terdengar jerit kaget orang banyak.
Hanya sekejap saja si baju putih sudah putar balik ke tengah ruangan sambil mengempit berpuluh batang golok, sekali pentang tangan, berpuluh golok itu dibuangnya ke lantai hingga menerbitkan suara gemerantang keras.
Dengan pandangan mengejek ia hanya melirik Pang Jing tanpa bicara. Sikapnya yang angkuh itu seakan-akan hendak bilang. "Biarpun kau pandang tempat ini serupa tembok baja dan dinding besi, bagiku justru tidak lebih serupa daerah tak bertuan."
Air muka Pang Jing kelihatan pucat, seperti ingin cari alasan untuk bicara lagi, namun si baju putih tidak menghiraukannya pula, jengeknya, "Masih ada empat orang, siapa berikutnya?"
Seorang lelaki bermata besar dan beralis tebal tampil ke muka. Di antara kesembilan tokoh Tiongciu, usia orang ini kelihatan paling muda, yaitu antara 26-27 tahun, tapi justru paling gagah perkasa, langkahnya kuat mantap. Begitu ia merobek bungkusan senjata, segera terlihat sepasang senjata aneh, serupa gaetan dan seperti gancu.
"Thi-un-hou?" ucap si baju putih sambil memandang senjata orang.
"Betul," jawab si lelaki alis tebal.
"Sudah lama kudengar Jit-song-cian (tombak gugur tujuh) Thi-un-hou 107
Koleksi Kang Zusi
merupakan tokoh kedelapan di antara ke-13 jenis senjata aneh zaman ini, kuyakin pasti dapat belajar kenal dengan jurus seranganmu yang hebat!"
Sisa keempat tokoh yang lain saling pandang sekejap, semua merasa kejut dan heran dari mana jago pedang dari lautan sana bisa sedemikian hafal terhadap seluk-beluk dunia persilatan di daratan Tionggoan.
"Maaf, senjataku ini meliputi empat jurus dan tiga daya guna, terpaksa tidak dapat kujelaskan satu per satu," kata Thi-un-hou sambil angkat senjata Jit-song-cian.
"Tidak soal, silakan!" kata si baju putih.
Tapi sebelum pertarungan sengit terjadi, tiba-tiba terdengar bentakan orang di luar sana, "Jangan bergebrak dulu!"
Baru terdengar suaranya serentak seorang melayang tiba secepat terbang.
Jit-song-cian diturunkan kembali oleh Thi-un-hou. Ti-sing-jiu Pang Jing berempat juga melengak, tapi sekilas pandang legalah perasaan mereka, kata Pang Jing,
"Syukur akhirnya Ong-heng datang juga."
Kiranya orang yang melayang tiba ini memang benar si tokoh aneh Ong Poan-hiap adanya, kelihatan bajunya basah kuyup, dengan napas agak terengah sampai sekian lama ia tidak sempat bicara.
Ternyata jarak perjalanan dua ratus li jauhnya telah ditempuhnya dalam waktu dua jam, betapa mengejutkan Ginkangnya sungguh sukar dilukiskan. Dan dengan sendirinya tenaga yang terkuras juga sukar dibayangkan.
Si baju putih memandangnya sekejap dengan dingin, ucapnya kemudian.
"Memang Ginkang yang hebat!"
"Te ... terima kasih," kata Ong Poan-hiap dengan tersengal, sekilas pandang ia pun terkejut serunya, "He, Kiau-losam, Ji Bun-ti dan ...."
"Mereka sudah sama gugur," tutur Pang Jing dengan suara berat.
Ong Poan-hiap duduk dengan lemas dan termangu-mangu sekian lama.
Pek-ih-kiam-kek berdiri di depan Ong Poan-hiap, ucapnya sekata demi sekata,
"Boleh silakan kau turun tangan."
"Kedatangan Ong-toako bukan untuk bertempur," teriak Thi-un-hou.
"Jika tidak untuk bertanding, buat apa datang kemari?" jengek si baju putih.
Serentak Ong Poan-hiap melompat bangun dan berteriak, "Kedatanganku hanya membawakan surat tantangan bagi jago pedang nomor satu di dunia, engkau diharap pergi ke ...."
"Jago pedang nomor satu?" jengek si baju putih. "Hm, biarpun benar jago pedang nomor satu juga harus tunggu giliran sampai pertandingan di sini selesai. Apalagi siapa yang percaya dia benar jago pedang nomor satu?"
"Setelah kau periksa surat tantangannya tentu tidak ragu lagi bergebrak dengan orang lain," tutur Ong Poan-hiap. "Malahan segera engkau akan percaya pengirim 108
Koleksi Kang Zusi
surat tantangan ini memang benar jago nomor satu."
"Di mana surat tantangan itu?" tanya si baju putih.
"Tunggu sebentar dan segera akan diantar kemari," jawab Ong Poan-hiap.
"Tunggu" Memangnya harus tunggu berapa lama?" tanya Pek-ih-kiam-kek.
"Paling lama dua jam lagi," ujar Ong Poan-hiap.
Si baju putih berpikir sejenak, katanya kemudian, "Baik, akan kutunggu!"
Segera ia duduk di lantai tanpa bergerak lagi. Agaknya ia dapat duduk di mana pun, setiap tempat dapat dijadikan tempat tinggal, ia bahkan dapat tidak makan-minum berhari-hari, makanan busuk dan air kotor pun dapat ditelannya, sebab kecuali "ilmu silat", rasanya tiada urusan lain yang terpikir olehnya.
***** Ketika itu Oh Put-jiu dan Ma Liang menyaksikan dari kejauhan kereta itu datang secepat terbang, mereka terkejut dan heran juga gembira.
"Cepat amat kuda ini," ucap Oh Put-jiu sambil mengusap keringat.
"Ya, sejak kecil aku sudah berkawan dengan kuda, sampai kini sudah 20 tahun dan belum pernah kulihat kuda secepat ini," ujar Ma Liang dengan gegetun.
Belum lenyap suaranya kereta itu sudah mendekat.
Serentak Oh Put-jiu melompat ke tengah jalan sambil membentak, "Berhenti!"
Disangkanya kereta yang dilarikan secepat itu pasti sukar berhenti mendadak, maka sebelumnya ia sudah siap bila perlu akan mencemplak ke atas kereta itu.
Siapa tahu kusir kereta itu lantas bersuit, kedua ekor kuda serentak berjingkrak dan berhenti seketika.
Terlihat kusir itu memakai topi lebar sehingga menutupi mata alisnya, meski habis berlari cepat, kedua ekor kuda itu tetap kelihatan gagah perkasa dan menyenangkan.
Ma Liang seorang ahli kuda dan juga pencinta kuda, begitu melihat kedua ekor kuda bagus ini, seketika ia sangat tertarik, ia coba mendekatinya dan meraba bulu surinya.
Oh Put-jiu memberi hormat, ucapnya, "Kebetulan Cayhe ada urusan penting, mohon pinjam pakai kudamu sebentar ...."
"Hehe, apa kau gila?" sahut si kusir dengan terkekeh, suaranya ketus, logatnya aneh.
Selagi Oh Put-jiu melenggong, terdengar Ma Liang sedang berseru kaget, "Hah, Han-hiat-po-ma (kuda mestika berkeringat merah darah)!"
109 Koleksi Kang Zusi
Kiranya tangannya yang mengusap tubuh kuda itu berlepotan dengan air keringat kuda yang berwarna merah serupa darah.
Keruan Oh Put-jiu tambah terkejut, katanya kemudian, "Sahabat di dalam kereta
...." Tiba-tiba penumpang kereta terbahak-bahak dan berkata, "Hahaha, dicari-cari tidak ketemu, didapatkan tanpa susah payah ... haha, bagus, bagus sekali!"
Cara bicara orang ini pun berlogat aneh dengan kalimat tidak teratur, tapi segera Oh Put-jiu berseru kaget, "Hah, Jian-kiam-kiu (bola seribu tahil emas)!"
Dan ketika penumpang kereta itu keluar, ternyata benar dia inilah si pendek buntak berbaju emas itu, Kam Sun adanya.
Kam Sun tersenyum misterius sambil memandang sekitarnya, lalu berkata,
"Bagus, cuma kau sendirian di sini, bukankah Kin-heng juga berada dalam kereta?"
Oh Put-jiu saling mengedip dengan Ma Liang, tanyanya kemudian, "Apakah kau susul kemari hendak mencari si muka kuda" Haha, bagus ...."
Berbareng sebelah tangan Oh Put-jiu lantas menghantam.
Tak tersangka bentuk tubuh Kam Sun yang bundar buntak itu dapat bergerak dengan cepat dan lincah, sedikit mengegos dapatlah pukulan itu dihindarkan.
Gerak tubuhnya yang aneh itu serupa bola menggelinding di tanah.
Dalam pada itu Ma Liang juga telah memegang kaki si kusir dan diseret turun.
"Kurang ajar ...." damprat si kusir dengan gusar.
Tapi sebelum orang berdiri, sekali angkat dan disengkelit, kontan kusir itu dibanting lagi hingga setengah kelengar.
Kusir itu sebenarnya terhitung jago kerajaan Wan yang tangguh tapi menghadapi Ma Liang sama sekali ia tidak bisa berkutik.
Di sebelah sana Oh Put-jiu tampak berulang menghadapi serangan berbahaya.
Kelihatan tubuh Kam Sun berguling kian kemari, Oh Put-jiu terkurung di tengah dan cuma diserang melulu tanpa bisa balas menyerang.
Dalam keadaan begitu, kepandaian gulat Ma Liang tidak dapat memberi bantuan apa-apa, apalagi Kungfu Kam Sun memang sangat aneh, setiap kali ia menyerang, kena atau tidak, juga tidak peduli lawan balas menyerang atau tidak, selalu ia menggelinding pergi lagi.
Kungfu seperti ini, memang sulit orang hendak melukainya, tapi begitu pula sama sulitnya dia hendak melukai lawan.
Sungguh Ma Liang tidak pernah melihat cara berkelahi pengecut semacam ini.
Selagi bingung, tiba-tiba Oh Put-jiu berteriak, "Aha, bagus, Ong-toasiok datang!"
"Di mana"!" tanya Kam Sun sambil melompat bangun.
110 Koleksi Kang Zusi
Belum lenyap suaranya, kontan Oh Put-jiu menjotos dada orang, menyusul kaki pun mendepak, kontan Kam Sun terpental dan terguling-guling.
Oh Put-jiu merasa tubuh orang yang terpukul olehnya terasa lunak sekali, sedikit pun sukar melukainya. Keruan ia terkejut dan heran.
Siapa tahu, meski tidak terluka, tapi begitu melompat bangun lagi segera Kam Sun kabur secepat terbang.
Ma Liang geleng-geleng kepala, geli dan gemas, ucapnya, "Dasar pengecut!"
Oh Put-jiu tersenyum, katanya, "Kungfu orang ini sebenarnya di atasku, jika tahu dia takut mati, tentu sejak tadi kukerjai dia. Akhirnya cuma kugertak dia, waktu ia kaget dan melompat bangun, dapatlah kujotos dan depak dia hingga kabur ketakutan."
Memandangi Oh Put-jiu yang berkepala besar itu dan selalu mengulum senyum, diam-diam ia kagum juga bahwa si kepala besar ini ternyata juga dapat menggunakan akal dan tetap berlaku tenang meski keadaan cukup mencemaskan.
Dengan tertawa Oh Put-jiu berkata pula, "Apa pun juga kita harus terima kasih atas bantuannya mengantarkan kedua ekor kuda pusaka ini. Ayo lekas memindahkan si muka kuda ke sini dan segera kita berangkat agar tidak membuat gelisah Ong-locianpwe."
Keduanya lantas bekerja cepat, tapi ketika mereka membuka pintu kereta semula, tanpa berjanji keduanya menjerit berbareng dan berdiri melongo seperti patung.
Ternyata si muka kuda Kin Ji yang semula meringkuk di dalam kereta kini telah menghilang ....
***** Sang surya sudah semakin tinggi di tengah cakrawala, perkampungan Lian-hun-ceng yang luas itu masih dalam keadaan sunyi senyap.
Sinar sang surya pada akhir musim rontok tidak terlampau terik, namun beberapa ratus lelaki kekar yang berkumpul di halaman itu sama mandi keringat dan baju sudah basah kuyup.
Ong Poan-hiap, Thi-un-hou dan Pang Jing berenam sama duduk bersandar dinding, semuanya sama menatap ke arah pintu dan kelihatan gelisah sekali.
Akan tetapi si baju putih tetap duduk tanpa bergerak serupa patung, baju putih tampak kekuning-kuningan tersorot sinar matahari sehingga menambah bentuknya yang misterius.
"Sialan, kenapa belum lagi muncul?" gumam Ong Poan-hiap.
Mendadak si baju putih berdiri, dengusnya, "Dua jam sudah lalu!"
111 Koleksi Kang Zusi
"Oo, sudah dua jam" ...." tukas Ong Poan-hiap dengan kikuk.
"Di mana surat tantangan jago pedang nomor satu itu?" tanya si baju putih.
"Kukira satu ... satu jam lagi pasti akan datang," jawab Poan-hiap dengan ragu.
"Sudah kunyatakan menunggu dua jam, maka cuma dua jam saja kutunggu,"
jengek si baju putih ketus. "Waktu hanya tersia-sia untuk menunggu sesuatu yang tidak jelas, hal ini tidak sesuai jiwa orang persilatan."
"Memangnya yang kau tahu cuma Pi-bu (bertanding silat), Lian-bu (berlatih silat), dan jiwa persilatan segala sehingga urusan lain tidak kau peduli lagi?"
"Apakah engkau tidak tahu di dunia ini selain ilmu silat masih ada urusan lain yang menyenangkan, masih banyak kesenangan orang hidup, apakah semua itu tidak ingin kau nikmati lagi?" tukas Pang Jing.
Perlahan si baju putih menjawab, "Jiwaku sudah kupersembahkan kepada ilmu silat dan urusan lain tidak perlu kupikirkan."
Suaranya perlahan, tapi tegas dan pasti tanpa ragu.
Ong Poan-hiap menghela napas. "Kau sungguh seorang keranjingan ilmu silat, seorang gila silat ...."
Si baju putih tidak bicara lagi, perlahan ia angkat pedangnya dan berucap,
"Silakan!"
Serentak Thi-un-hou berdiri, katanya, "Jika demikian, biar aku ...."
Pada saat itulah mendadak terdengar suara ribut di luar, orang banyak sama berteriak, "Itu dia, sudah datang ... sudah datang ...."
Di tengah suara sorak ramai itu terseling pula derap kaki kuda.
Hanya sekejap saja dua ekor kuda lari datang lantas serentak berhenti, dua penunggang kuda lantas berlari masuk dengan cepat.
"Hah, Put-jiu, kau datang tepat ...." belum lanjut ucapan Ong Poan-hiap, mendadak air mukanya berubah dan bertanya, "Hei, di ... di mana Kin Ji itu?"
Dengan napas masih terengah Oh Put-jiu menjawab dengan menunduk, "Dia ...
dia hilang ...."
Kejut dan gusar Ong Poan-hiap, teriaknya beringas, "Hilang katamu" Dalam keadaan Hiat-to tertutuk, mengapa dia bisa hilang?"
Malu dan juga menyesal Oh Put-jiu, secara ringkas ia ceritakan apa yang terjadi.
Berulang Ong Poan-hiap mengentak kaki, teriaknya dengan gusar, "Wah, bagaimana ... bagaimana baiknya sekarang" .... Kau tahu betapa banyak tokoh Bu-lim akan gugur karena kejadian ini"!"
Oh Put-jiu tidak berani menanggapi. Kening Ong Poan-hiap tampak penuh butiran keringat, dengan sedih ia berkata pula, "Siapa ... siapa yang menculik Kin Ji"
Siapakah yang tega bertindak sekeji itu" ...."
112 Koleksi Kang Zusi
Meski Thi-un-hou dan lain-lain sudah bertekad akan berkorban bagi ilmu silat, tapi harapan hidup yang baru timbul sekarang terputus lagi, betapa pun tertampil juga perasaan kecewanya.
Dengan tergagap Oh Put-jiu bertutur, "Jika tidak keliru dugaanku, orang yang menculik Kin Ji itu dalam waktu singkat akan muncul di sini."
"Mana mungkin, memangnya dia sengaja mengantar kematian ke sini?" ujar Ong Poan-hiap dengan gusar.
Semua orang juga merasakan dugaan Oh Put-jiu itu tidak masuk akal.
Hanya Pang Jing saja yang berucap dengan halus kepada Oh Put-jiu, "Coba ceritakan alasanmu?"
"Menurut pendapatku, jika tujuan orang itu bukan sengaja menyelamatkan si muka kuda Kin Ji, itu berarti tiada gunanya ia menculik Kin Ji kecuali hendak menggunakannya sebagai sandera." kata Oh Put-jiu. "Jika begitu halnya, yang hendak diperas adalah kita sendiri, maka untuk itu dalam waktu sesingkatnya dan pada detik yang gawat dia pasti akan muncul di sini, sebab terlambat sedikit saja berarti nilai Kin Ji akan merosot keras."
Semua orang terkesiap oleh cerita Put-jiu itu, mereka tidak mengira si kepala besar ini dapat mengemukakan dalil yang tak terpikir oleh orang lain ini. Mau tak mau Ong Poan-hiap manggut-manggut, "Ya, memang masuk di akal, mungkin
...." Sekonyong-konyong pandangan semua orang terasa kabur, sesosok bayangan orang melayang masuk, orang ini berbaju cokelat, muka kaku tanpa emosi, ternyata Bok-long-kun adanya.
Tanpa pikir lagi segera Oh Put-jiu tahu yang menculik Kin Ji pastilah Bok-long-kun, segera ia memberi tanda kepada Ong Poan-hiap, desisnya, "Apa yang kuterka mungkin tidak keliru."
Walaupun sebagian besar orang yang berada di situ tidak kenal Bok-long-kun, tapi melihat bentuknya segera mereka sama tahu dia pasti tokoh Jing-bok-kiong yang ditakuti itu.
Ong Poan-hiap lantas melangkah maju sambil membentak, "Di mana Kin Ji"!"
"Hehe, cerdik juga Anda," jawab Bok-long-kun dengan terkekeh. "Memang betul, si muka kuda itu memang berada padaku. Tapi bila kalian ingin melihat dia, kurasa tidak begitu mudah."
"Apa syaratmu, lekas katakan saja," desak Ong Poan-hiap.
"Hehe, Anda memang orang yang suka terus terang," ujar Bok-long-kun.
"Syaratku kiranya tidak sulit. Pertama, kalian harus berusaha mendapatkan Tay-hong-ko bagiku dari tempat Ci-ih-hou."
Tanpa pikir Ong Poan-hiap menjawab, "Itu tidak sulit."
"Ah, janganlah terlalu cepat kau sanggupi, aku menjadi kurang percaya," ucap Bok-long-kun.
113 Koleksi Kang Zusi
"Asalkan lebih dulu kau bawa Kin Ji ke sini urusan apakah pasti akan kupenuhi,"
teriak Ong Poan-hiap. "Tokoh Kangouw serupa kita selalu mengutamakan janji, sekali bicara tidak nanti dijilat kembali. Apalagi orang she Ong, masa kuingkar janji padamu?"
Bok-long-kun menatapnya sejenak, katanya kemudian, "Baik, setelah kau dapatkan Tay-hong-ko, tentu akan kusuruh orang untuk mengambilkan. Cuma syaratku tidak cuma satu itu, syarat lain juga bukan kutujukan padamu."
"Siapa yang kau tuju?" tanya Ong Poan-hiap.
Pandangan Bok-long-kun beralih ke arah Oh Put-jiu, dikeluarkannya sebuah botol kecil, katanya, "Obat dalam botol ini tanpa warna dan tidak berbau, dicampur ke dalam air minum atau makanan tidak nanti diketahui orang."
"Apakah maksudmu menyuruhku memberikan obat ini kepada Po-ji dan minta dia mencampurkannya ke dalam minuman atau makanan Cui Thian-ki?" tanya Oh Put-jiu.
"Hehe, memang betul begitulah ...." Bok-long-kun terkekeh-kekeh.
"Urusan ini pun mudah, biarpun pekerjaan berpuluh kali lebih sulit juga takkan kutolak," kata Oh Put-jiu. "Apalagi sudah lama kami merasa benci terhadap perempuan she Cui itu."
Ia merandek sejenak, lalu menyambung, "Meski diriku bukan tokoh ternama, paling tidak juga anak murid perguruan terhormat dan sama sekali takkan ingkar janji, untuk ini mohon Cianpwe jangan khawatir."
Ia terus terima botol kecil itu dan disimpan baik-baik, sikapnya kelihatan sukarela tanpa paksaan sedikit pun.
Bok-long-kun tampak sangat senang, ia menengadah dan tertawa, katanya,
"Tindakanku biasanya tidak suka memepetkan orang hingga habis-habisan, bila kalian suka bicara secara blak-blakan pasti kulayani secara terbuka pula."
Belum lenyap suaranya ia terus melompat keluar, hanya sebentar saja ia sudah masuk lagi dengan membawa seorang, siapa lagi kalau bukan Kin Ji si muka kuda.
Rambut si muka kuda tampak semrawut, muka bengkak mata merah dan sedang melototi Bok-long-kun dengan penuh rasa benci, agaknya Bok-long-kun tidak lupa pada dendam kejadian yang lalu, sehingga telah menghajar si muka kuda.
"Blang", begitu masuk segera Bok-long-kun membanting si muka kuda ke lantai.
Ong Poan-hiap merasa lega melihat orang yang diharapkan dalam keadaan baik-baik, cepat ia membangunkannya dan bertanya, "Ini dia surat tantangannya!"
"Ini terhitung surat tantangan apa?" jengek si baju putih.
Biasanya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu perasaan kejut atau heran meski melihat sesuatu yang luar biasa, tapi sekarang tidak urung nadanya terdengar mengunjuk rasa heran.
Segera Ong Poan-hiap merobek baju Kin Ji sehingga kelihatan ketujuh bekas luka yang kini sudah kering, sekilas pandang bekas luka itu tidak ada sesuatu yang 114
Koleksi Kang Zusi
janggal, hanya saja bagian luka itu terletak pada Hiat-to penting di tubuh manusia, bilamana tusukan itu lebih dalam satu senti, tentu jiwa sasarannya sudah melayang.
Sebelum Ong Poan-hiap memberi penjelasan, pandangan si baju putih sudah tertarik oleh bekas luka itu, tanpa terasa ia melangkah perlahan mendekati Kin Ji.
Suasana sunyi senyap, setiap orang sama menanti reaksi si baju putih setelah memeriksa bekas luka itu, perasaan semua orang tertekan seakan-akan tertindih barang berat.
Kelihatan wajah si baju putih yang pucat itu bersemu kemerahan yang penuh semangat, sorot matanya yang selalu dingin itu juga menampilkan emosi yang terbakar.
Sekonyong-konyong tangan si baju putih bergerak cepat, sekaligus ia tepuk tujuh kali di tubuh Kin Ji, setiap tepukan itu tepat pada bagian bekas luka itu.
Kin Ji menjerit, pernapasan yang sesak sejak terluka itu mendadak terembus dan terasa lega, sekuatnya meronta lepas dari pegangan Ong Poan-hiap dan lari keluar, tapi baru beberapa langkah dekat pintu lantas jatuh tersungkur.
Si baju putih tidak memandangnya lagi, ia angkat pedangnya dengan ujung ke atas dan kelihatan agak gemetar, dengan suara agak gemetar juga ia berseru,
"Haha, akhirnya ada juga seorang yang dapat menjadi tandinganku ...."
Mendadak ia berlutut dan menunduk, rambutnya yang panjang terurai, ia seperti lagi mengheningkan cipta, seolah-olah sedang berterima kasih kepada Thian yang telah memberi seorang lawan, seperti juga lagi memuji kebesaran Tuhan yang dapat menciptakan seorang kesatria yang dapat menjadi tandingannya.
Semua orang sama melongo dan entah bagaimana perasaannya. Oh Put-jiu terharu juga oleh adegan yang aneh ini.
Tiba-tiba terdengar orang menjerit kaget disertai ringkik kuda, tahu-tahu Bok-long-kun melayang ke sana.
Kiranya pada saat semua orang meleng mendadak si muka kuda alias Kin Ji mencemplak ke atas kuda berkeringat darah yang ditunggangi Oh Put-jiu waktu datang tadi dan dilarikan secepat terbang.
Kin Ji memang orang kerajaan Wan, negeri yang terkenal menghasilkan kuda ternama, dengan sendirinya kepandaiannya naik kuda jarang ada bandingannya.
Begitu memburu keluar, serentak Bok-long-kun mencemplak kuda merah satunya lagi. Beberapa lelaki kekar segera menubruk maju hendak mencegah, tapi mereka tidak ada artinya bagi Bok-long-kun, hanya dengan sebelah tangan dan sebelah kaki saja, kontan beberapa orang itu dihantam dan didepak terjungkal.
"Jangan lupa apa yang telah kau sanggupi ...." sambil berseru kuda Bok-long-kun lantas membedal secepat terbang, hanya sebentar saja lantas menghilang.
"Sayang, sayang!" berulang Ma Liang mengentak kaki. "Kuda ... kuda keringat darah itu ...."
"Memang bukan milik kita, kenapa mesti dibuat sayang?" ujar Oh Put-jiu dengan 115
Koleksi Kang Zusi
tertawa. Walaupun terjadi keributan, namun si baju putih tetap diam saja tanpa bergerak.
Setelah sekian lama barulah ia berdiri, katanya, "Orang yang menggunakan pedang sebagai surat tantangan sekarang berada di mana?"
"Di pantai laut timur." tutur Ong Poan-hiap.
"Harap membawaku ke sana," kata si baju putih.
"Cayhe siap untuk berangkat," sahut Oh Put-jiu.
Misteri Kapal Layar Pancawarna Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si baju putih memandangnya sekejap dan berkata, "Baik, ayo berangkat!"
Ketika melangkah sampai di ambang pintu, mendadak ia membalik tubuh dan berkata, "Semangat ilmu silat laksana mendaki gunung, bilamana dapat mendaki puncak tertinggi, gunung lain tidak perlu didaki lagi."
Sampai di sini, ia terus melangkah pergi tanpa berpaling pula.
Kawanan lelaki kekar yang berkerumun di luar sama memberi jalan baginya, tertampak rambutnya berkibar tertiup angin, wajah tetap dingin, setiap langkahnya tetap sama jaraknya, tegap dan mantap, seakan-akan segala urusan di dunia ini tidak mungkin dapat mengubah pendiriannya yang kukuh dan jangan harap pula akan merintangi tujuannya mendaki puncak tertinggi ilmu silat.
Oh Put-jiu lantas mohon diri juga kepada semua orang dan menyusul pergi bersama si baju putih.
Segera Thi-un-hou berteriak, "Pertarungan di pantai laut ini pasti lain daripada yang lain, betapa pun aku tidak mau kehilangan kesempatan baik ini, sekarang juga ingin kuberangkat ke sana."
Pang Jing juga berseru, "Betul, setiap orang persilatan tentu tidak mau sia-siakan tontonan yang tidak pernah terjadi ini, untung di sini banyak tersedia kuda bagus, jika mau, hadirin silakan menggunakan kuda dan mari berangkat bersama."
"Selama hidupku tidak biasa naik kuda," sela Ong Poan-hiap dengan tersenyum.
"Maka biarlah kuberangkat lebih dulu, sepanjang jalan juga sekalian kusiarkan berita besar ini agar kawan Kangouw sama berangkat ke sana untuk menyaksikan pertarungan menarik ini, sekaligus juga dapat memberi bantuan semangat kepada Ci-ih-hou."
Selagi semua orang bermaksud mengantar keberangkatannya, siapa tahu sekali berkelebat bayangannya, tahu-tahu Ong Poan-hiap sudah pergi jauh.
***** Jago pedang akan bertanding di pantai timur. Jago pedang nomor satu zaman ini, Ci-ih-hou, akan bertanding dengan tokoh misterius berbaju putih yang berulang membinasakan puluhan tokoh Kangouw, berita ini dalam waktu singkat telah tersiar ke mana-mana.
116 Koleksi Kang Zusi
Tokoh Gak-keh-jiang Gak Hiong yang terkenal dengan tombaknya saat itu sedang minum arak, begitu menerima berita itu serentak ia taruh cangkir arak dan langsung berangkat ke pantai timur, sampai kawan yang asyik minum arak bersama dia juga tidak diberi tahu.
Hoyan Siu, si cambuk kilat, saat itu sibuk mencuci kudanya dengan telanjang badan, demi mendengar kabar itu, tanpa pamit pada keluarganya langsung ia memakai bajunya dan mencemplak ke atas kuda, terus berangkat.
Liong-hou-to Tu Cing, si golok naga dan harimau, ia habis makan dan sedang berjalan-jalan mencari angin, tiba-tiba dilihatnya Hoyan Siu membedal kudanya lewat secepat terbang, segera ia tanya kawan itu ada urusan apa, begitu tahu peristiwa yang akan terjadi di pantai timur itu, segera ia pun mencemplak dan membonceng kuda Hoyan Siu.
Di kota Buhoh, si tangan kilat Tau Ji-peng dan si golok terbang Nyo Se-gi, karena berebut pasar barang dagangan keduanya sama membawa anak muridnya dan bermaksud perang tanding. Tapi begitu mendapat kabar pertarungan yang akan berlangsung di pantai timur, serentak runtuh semangat tempur mereka, akhirnya kedua orang menumpang sebuah kereta dan berangkat bersama ke pantai timur, banjir darah yang hampir timbul antara kedua pihak seketika urung terjadi.
Ada orang lain lagi yang menerima berita melalui macam-macam cara, maka sebelum si baju putih bersama Oh Put-jiu melintasi wilayah Soatang, lebih dulu berita pertarungan itu sudah tersebar sampai di pantai.
Sepanjang jalan, di mana dan kapan saja, setiap orang persilatan, asalkan mendengar berita yang menggemparkan itu, yang asyik makan bisa segera meninggalkan santapannya, yang lagi berjudi bisa serentak bubar, semuanya ditinggalkan untuk segera berangkat menyaksikan pertarungan yang unik itu.
Gembong bajak laut Ci-si-liong Siu Thian-ce, si naga jenggot merah, sudah memperhitungkan kedatangan para pahlawan persilatan, maka beberapa hari ia perintahkan anak buahnya dengan kerja lembur memasang puluhan, bahkan ratusan rumah papan di sekitar pantai. Tamu yang datang terlambat sedikit tetap tidak mendapatkan pondokan. Tapi banyak orang yang biasa hidup mewah di rumah, demi menyaksikan pertarungan yang luar biasa ini mereka rela tidur di tempat terbuka beralaskan tikar.
Hanya dalam beberapa hari saja orang sama berjubel di pantai timur, kapal layar pancawarna yang berlabuh di tengah laut itu tampak gemerlapan di kejauhan.
Menjelang magrib, si baju putih dan Oh Put-jiu sudah menyeberangi sungai Lu.
Sepanjang jalan jago pedang misterius itu selalu memilih jalan kecil yang sepi, melalui hutan belukar dan tidak mau melalui jalan raya, jiwanya seakan-akan sudah dipersembahkan kepada ilmu silat, urusan lain tidak ada yang terpikir olehnya.
Renjana Pendekar 11 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama