Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 17
untuk menyaksikan pertandingan Ceng Bo siangjin lawan Hwat
Siau. Bahkan Ceng Bo sudah tampil kemuka seraya
menawarkan bertanding secara bun atau bu. Tapi secepat
kilat, Swat Moay segera menyela ditengah seraya berseru:
"Tahan dulu!"
"Mengapa?" tanya Ceng Bo.
"Kita harus berpegang pada keadilan bukan " Toa-ah-ko
atau siao-ah-ko itu bukan mutlak. Tapi kalau kalah
bertanding, nama persaudaraan Song pasti akan tercemar.
Tadi kakakku habis bertanding dengan Kui-ing-cu dalam
suatu cara, yang menghabiskan tenaga. Siapapun tentu
mengetahui akan hal itu. Kalau Ceng Bo Siangjin hendak
bertanding dengan orang yang sudah lelah, adakah itu
pantas" Kuusulkan supaya pertandingan ini dipertangguhkan sampai besok pagi saja!"
Mendengar itu Kui-ing-cu dan Ih Liok mengeluh dalam
hati "percuma, percuma". Mereka mulai menginsyafi faktor
kekurangan-sempurna rencana mereka. Kalau orang lain
tentu menolaknya, tapi tokoh macam Ceng Bo tentu lain
halnya. Dan dugaan kedua orang itu memang beralasan.
"Ucapan Song-heng itu memang beralasan. Tadi aku
agak chilaf, harap dimaafkan!" sahut Ceng Bo dengan
serentak. Dia terus mundur dari gelanggang dan minta agar
Kiau To simpan lagi thong-pay kekuasaan dari Thian Te
Hui itu. Malamnya Kui-ing-cu berunding dengan kawan2.
Dengan sudah beristirahat satu malam, tenaga Hwat Siau
tentu akan pulih segar dan Ceng Bo sudah tentu bukan
tandingannya. Rupanya siangjin itu tak menghiraukan
harapan orang banyak, karena berduka memikirkan
kebinasaan Tio Jiang.
Juga Hwat Siau mengadakan pembicaraan dengan
isterinya, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-chun-ting Ciu Sim-i
dan lainnya. Mereka bersuka ria menyambut hasll
rencananya. Berkata Swat Moay: "Besok begitu menerima
thong-pay kekuasaan toa-ah-ko, pertama yang harus
dikerjakan yalah menutuk jalan darah pembisu dari The Go
dan menyajykan anak muda itu untuk sesaji sembahyangan
bendera. Setelah itu, kalian harus menuntut supaya toa-ahko menggerakkan anak buah Thian Te Hui menyerang Siau
Ging guna membalaskan sakit hati Tio Jiang. Ha...., ha...,
serbuan besar itu tentu akan merepotkan fihak Siau Ging.
Dua2nya akan mengalami keruntuhan, sungguh sedap
menikmati pemandangan itu!"
Keesokan harinya, kembali api unggun dinyalakan dan
Ki The-tiong lemparkan thong-pay kedalam unggun lelatu.
Ceng Bo dan Hwat Siau tampil kemuka. Si bongkok ih Liok
cukup yakin bahwa ilmu pedang to-hay-kiam-hwat Ceng
Bo, tiada lawannya didunia. Apalagi siangjin itu memakai
pedang Pusaka yap-kun-kiam yang lihay. Maka dia
memberi kisikan agar Ceng Bo mengusulkan 3 macam
pertandingan. Pertama, adu ilmu mengentengi tubuh.
Kedua, bertempur dengan pedang dan Ketiga, adu ilmu
lwekang. Si Bongkok memperhitungkan, babak pertama
siangjin itu tentu kalah. Tapi dalam babak kedua yang
bertempur dengan senjata, siangjin itu tentu dapat merebut
kemenangan malah sedapat mungkin harus dapat melukai
lawan. Dan untuk babak terakhir, kemenangan tentu
difihak Ceng Bo.
Rupanya usul itu disetujui Ceng Bo dan mendapat
persetujuan juga dari Hwat Siau. Begitulah babak pertama
segera dimulai, adu ilmu mengentengi tubuh mendaki
puncak bukit yang runcing tadi. Tapi ketika Ceng Bo baru
mendaki separoh lebih, Hwat Siau sudah berada diatas
puncak sembari tertawa keras. Jadi babak pertama itu,
Hwat Siau menang.
Hal itu memang sudah diperhitungkan. Maka ketika
Ceng Bo meluncur turun, si Bongkok segera mendekatinya
dan berkata: "Bek-heng, sepuluh tahun yang lalu karena tak
percaya kabar2 yang disiarkan orang bahwa karena jeri
akan ancaman kau telah serahkan pedangmu pada musuh,
aku telah menjadi orang gagu dan merobah diriku menjadi
imam Hwat Kong dibiara Cin Wan Kuan. Maksudku tak
lain bukan yalah hendak membuktikan kebenaran berita itu.
Sebenarnya tak ada rencanaku untuk menetap di Giok-li-nia
sampai 6 tahun, tapi oleh karena tertarik akan peribadimu
maka aku tak mau meninggalkan tempat itu. Apabila Sik
Lo-sam tak memecahkan rahasia diriku, akupun tentu tetap
tak mau pergi."
"Bek-heng, dalam pandanganku aibongkok ini, kau
adalah orang gagah nomor satu dikolong langit. Kedudukan
toa-ah-ko, kupercaya bagimu bukan soal yang mutlak. Tapi
terhadap kepentingan sekian 'puluh ribu saudara2' yang
bernaung dibawah panji Thian Te Hui, dirimu itu
merupakan faktor yang teramat penting. Dalaih pertandingan babak kedua nanti, apabila ada kesempatan
menang, janganlah men-sia2kannya. Menangkanlah, ingat
bahwa kau sedang bertempur guna kepentingan belasan
ribu saudara!"
Pesan itu diucapkan dengan sungguh dan termakan betul
dalam hati Ceng Bo hingga untuk beberapa saat aiangjin Itu
termenung. "Baiklah, akan kuturut pesan Ih-heng itu!" sahutnya
kemudian, lalu melolos yap-kun-kiam. Ditimpa oleh cahaya
matahari, pedang itu ber-kilau"an cahayanya. Setelah
pasang kuda2, segera dia mempersilahkan Hwat Siau.
Sebaliknya ketika memandang kearah Hwat Siau,
sekalian orang sama terkesiap heran. Ditangan "Song lotoa"
itu tiada lain senjata kecuali gulungan angkin merah
kemaren itu lagi. Ceng Bo siangjin sendiripun heran. Untuk
dibuat demonstrasi, angkin Itu sih boleh juga. Tapi kalau
untuk bertempur melawan musuh, masa dapat digunakan"
Ditilik tingkat lwekangnya, orang itu belum mencapai
tingkat kesempurnaan seperti yang dilukiskan sebsgai
"mematah daun dapat melukal orang, menghambur bunga
dapat mematikan lawan". Tapi mengapa dia berbuat begitu
naif" Tapi selagi Ceng Bo me-nimang2 pikirannya, Hwat Siau
sudah rangkapkan kedua tangan memberi hormat seraya
berseru: "Siangjin, maafkanlah!"
GAMBAR 92 Dengan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hoat Ceng Bo Siangjin
terlibat dalam pertandingan memperebutkan Toa-ah-ko dengan
Hwat Siau yang menyamar sebagai Song Hou
Sekali tangan melambai, bertebaranlah angkin sepanjang
4 tombak itu bergerak melayang kearah Ceng Bo. Melihat
gerakan yang aneh dari angkin yang lemah gemulai itu.
Ceng Bo memperhitungkan andaikata muka sampai kena
kesabet angkinpun tak nanti merasa kesakitan. Maka begitu
dia bergerak dengan jurus Tio-ik-cut-hay memapas keatas,
kutunglah ujung angkin itu sepanjang 1 meter.
Dengan dibawa tiupan angin, kutungan angkin itu berkibar2 melayang keudara.
Kecuali Swat Moay seorang, Ceng Bo siangdiin maupun
sekalian orang sama heran memikirkan kediadian itu.
Terang dalam beberapa tabasan angkin itu akan habis, dan
bagaimana nanti Hwat Siau hendak menghadapi pedang
pusaka macam yap-kun-kiam itu " Dengan tangan
kosongkah "
Adalah dalam saat orang2 sedang men-duga2 itu, Ceng
Bo siangjin sudah melancarkan jurus kedua yakni boathian-kok-hay. Pagutan ujung pedang laksana hujan
mencurah. Tujuh macam serangan isi dan serangan kosong
dari ilmu pedang itu telah dimainkan secara mengagumkan
sekali. Hwat Siau tampak kerepotan menghindar kekanan
kiri. Ketujuh serangan itu sama, menghasilkan 7 buah
kuntungan angkin masing2 sepanjang setengah meter.
Andaikata angkin itu merupakan tubuh orang, itu berarti 7
buah luka. Dari gambaran ini, nyatalah sudah bahwa ilmu
pedang to-hay-kiam-hwat
Ceng Bo siangdiln Itu, merupakan ilmu pedang yang menjagoi seluruh gelanggang
perpedangan. Melihat "Song lotoa" tak mau membalas serangan,
timbul kicurigaan Ceng Bo. Adakah dia, sengaja hendak
mengalah" Kalau benar demikian, tak selayaknya dia
melukai orang itu. Tapi pada lain kilas, teringatlah dia akan
pesan Ih Liok tadi. Tanpa berayal lagi, dia segera lancarkan
jurus cing-wi-thian-hay untuk menusuk tenggorokan Hwat
Siau. Tapi kali ini, Hwat Siau mengambil lain haluan, begitu
pedang berkelebat, dia sudah mendahului menyelinap
kebelakang Ceng Bo. Ceng Bo tak memandang mata,
karena mengira angkin itu hanya sutera merah biasa. Maka
secepat membalik diri, dia segera menusuk lagi. Sekonyong2 Hwat Siau lemparkan gulungan angkin itu sama
sekali keudara sembari me-mutar2kannya. Anehnya walau
tadi sudah terpapas beberapa meter, angkin merah itu masih
tetap panjang, tak kurang dari 3 tombak panjangnya. Kini
angkin itu menjadi 7 atau 8 buah lingkaran diudara.
Ketika tusukan Ceng Bo tiba, Hwat Siau menghindar
kesamping sembari tarik turun lingkaran angkin tadi
kebawah. Karena merupakan benda yang ringan, ketika
bertebaran turun, angkin itu sedikitpun tak mengeluar suara
apa2. Hanya tahu2 tubuh Ceng Bo telah tergubat. Hendak
Ceng Bo mencongkel dengan pedang, tapi sudah tak
keburu. Melihat jaringannya sudah mengenai, secepat kilat
Hwat Siau loncat mundur dan mengikatlah angkin itu erat2
kepada tubuh Ceng Bo.
Bermula Ceng Bo mengira, bahwa asal dia kerahkan
lwekangn,ya, tentu putuslah angkin sutera itu. Tapi hai....!,
ketika dia hendak gerakkan lengannya kiri, ternyata tak
mampu bergerak. Sedang dalam saat itu, Hwat Siau
kedengaran tertawa lebar sembari berseru: "Siangjin,
maafkanlah! Menilik hasil pertandingan itu dimana Ceng Bo kena
kejirat basah tanpa dapat berkutik, rasanya sudah cukup
berbicara jelas. Jadi pertandingan ketiga tak usah
dilanjutkan lagi, karena dua kali sudah kalah.
Sehabis Hwat Siau mengucap tadi, barulah Ceng Bo
dapat keluar dari jaring angkin itu. Ketika di-amat2i dengan
perdata, kiranya angkin itu berlainan dengan angkin yang
kemaren. Pada kedua tepiannya, ternyata terbuat dari
anyaman kawat logam yang halus. Ah, makanya tadi dia
tak mampu meronta! Sebagai seorang ksatrya, serentak
berka-talah Ceng Bo: "Kedudukan toa-ah-ko 'Thian Te Hui,
harap song-heng suka menerimanya!"
Tanpa banyak bicara lagi, Hwat Siau segera menghampiri unggun lelatu dan manjemput salah satu
thong-pay yung terbesar. Thong-pay itu sudah membara
panas, tapi oIeh karena dia jago ilmu lwekang yang-hwatkang (api positip), jadi sedikitpun tak jeri. Thong-pasy itu
dipegangnya, lalu berserulah dia kepada sekalian orang:
"Aku yang rendah kini menjadt toa-ah-ko, harap sekalian
saudara suka membantu!"
Thaysan sin-tho Ih Iiok lemas tak bersemangat, tapl
sebaliknya Ceng Bo diam saja sikapnya. Saat itu lalu
dilakukan lain2 pilihan dengan kesudahan Ceng Bo siangjin
menjadi ji-ah-ko, Ki Ce-tiong menjadi sam-ah-ko dan Ko
Thay menjadi su-ah-ko.
Setelah susunan pimpinan Thian Te Hui terpilih lengkap,
berserulah Hwat Siau dengan lantang: "Kini bawalah
bebodoran dunia persilatan d Cian-bin Long-kun The Go
keluar, terserah bagaimana saudara2 hendak menghukumnya!"
Sehabis mengucapkan perintah pertama itu, dia memberi
isyarat ekor mata kepada sang isteri.
Dalam hati kecil Hui-ing-cu dan lain orang yang
menunjang pencalonan Ceng Bo sebegai toa-ah-ko tadi,
tetap tidak puas akan hasil pemilihan itu. Bahwa seorang
baru terus saja berhasil merebut kedudukan toa-ah-ko,
mereka tetap tidak dapat menerima. Maka dengan
waspada, diikutilah tindakan yang dilakukan oleh toa-ah-ko
itu. Asal nyeleweng, mereka segera akan bertindak. Maka
demi nampak tindakan pertama untuk membunuh The Go
sebagai sesaji sembahyang bendera itu, telah disambut
dengan lega oleh kelompok Kui-ing-cu dan kawan-kawan.
Diam2 mereka menganggap kedua besaudara Song itu juga
bangsa orang gagah kesatrya sejati. Rasa antipahti (tidak
senang) pun menurun beberapa derajat.
Tak berapa lama, The Go dibawa keluar. Sejak datang ke
Giok-li-nia situ, dia disekap dalam tahanan, jadi tak tahu
sama sekali apa yang terjadi diluaran selama itu. Pada
pikirnya, begitu Hwat Siau sumi isteri sudah menyelesaikan
pekerjaan besar itu. Dia tentu akan dibawa kekota raja
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadap Sip-ceng-ong Tolkun untuk menerima pangkat
sebagai budak bangsa Ceng.
Demi dengan tangan terikat dia keluar, segera dilihatnya
berpuluh orang gagah deliki mata kepadanya dengan sorot
gusar. Malah jelas kelihatan ada beberapa yang memancarkan sorot mata ber-api2. Hatinya berdebar keras.
Ketika mengalihkan pandangan kesebelah muka, disana
terdapat Hwat Siau tengah memegang thong-pay toa-ah-ko
berdiri dibawah sebuah bendera putih hitam. Bendera itu
terpancang ditengah lapangan, ber-kibar2 ditiup angin.
Sebagai seorang durjana yang cerdas, dia tersirap kaget
menghadapi kenyataaan itu. Terang Hwat Siau telah
menggunakan siasat "habis melintasi jembatan, lalu
mengangkat jembatan itu", atau artinya setelah berhasil
Hwat Siau hendak membasmi mulutnya (membunuhnya).
Tak peduli bagaimana, dia hendak nekad memanggil Hwat
Siau. Biar kalau toh mati, sama2 dalam satu liang. Baru dia
ngangakan mulut hendak berseru, atau Swat Moay tampak
mengangkat tangan dan sebuah batu kecil melayang.........
hek!, lambungnya terasa kesemutan dan mulutnya tak dapat
bersuara lagi. Jalan darah pembisu, telah kena tertutuk.
Sedemikian cepat gerakan Swat Moay tadi, apalagi
gerakan itu tanpa bersuara sama sekali. Maka kecuali The
Go yang merasa, tiada seorang lainpun yang mengetahui
kejadian itu. Sekalian orang itu tahunya hanya puas dan
geram melihat The Go. Seluruh perhatian ditumpahkan
kearah anak muda yang pintar keblinger itu.
The Go coba kerahkan semangatnya untuk melepaskan
jalan darahnya itu, tapi sia2 saja. Membayangkan bahwa
dalam beberapa detik nanti, dia bakal menerima kematian
secara ngeri sekali, tanpa terasa ber-butir keringat sebesar
biji kedele menetes turun dari selebar mukanya.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 50 : HALILINTAR DI SIANG
HARI Hwat Siau sedikitpun tak merasa sayang akan nasib
orang muda itu. Itulah upahnya orang yang suka berhamba
pada kaum penjajah, pikirnya.
"Benar dengan penghianat ini aku belum pernah
bercidera, tapi karena dia telah melakukan perbuatan
merugikan rakyat, memimpin tentara Ceng masuk
kewilayah Swiciu, mencelakai tiga laksa saudara2 Thian Te
Hui digunung Gwat-siu-san, melakukan penggeropyokan
pada ke 72 markas Hoasan dan lain2 kejahatan, maka kalau
manusia macam begitu tak disirnakan, kita bangsa Han
tentu tiada punya muka lagi. Nah, silahkan siapa saja
saudara yang hendak mulai turun tangan!" seru Hwat Siau
dengan tertawa dingin.
Gegap gempita sekalian orang menyambut pernyataan
Hwat Siau yang "ksatrya" itu. Dan sekali melesat, tampillah
Thaysan sin-tho Ih Liok, Dia menyiakkan orang2 itu kesisi
untuk memberi jalan. Sebagaimana telah kita ketahui,
ketika di Hoasan dia diselomoti mentah2 oleh The Go, dia
telah memapas kuntung jari kirinya selaku sumpah: "Kalau
tak dapat mencincang lebur tubuh The Go, biarlah luka
jarinya itu busuk rusak!"
Bahwa kini kesempatan untuk melaksanakan sumpahnya
itu terbentang di depan mata, telah membuatnya beringas
seperti harimau lapar melihat kambing. Dengan meringis
berikeriyutan macam srigala mengunjukkan taring, setindak, demi setindak dia maju menghampiri kearah The
Go. Sepasang matanya ber-api2.
Dalam keadaan begitu, segala kecerdaaan dan akal siasat
yang dimiliki Cian-bin Long-kun, sia2 semua. Kedua
tangannya diikat, jalan darah pembisu ditutuk. Masih dia
kerahkan seluruh lwekangnya untuk berseru keras
menelanjangi keadaan diri Hwat Siau yang aseli, namun tak
berdaya. Suaranya tak mau keluar. Dan yang nyata,
disebelah muka sana tampak si Bongkok, dengan sorotan
mata buas, jari tangan kiri yang kuntung, ber-indap2
mendatangi seperti hendak menelannya hidup2.
Sesal kemudian tak berguna. Rupanya pepatah ini diakui
kebenarannya oleh The Go. Pada detik2 kematian meregut
itu ter-bayang2 perbuatannya dimasa lampau yang penuh
berlumuran dosa itu. Taruh kata saat itu dia kuasa berseru
unttk membuka kedok Hwat Siau, rasanya tiada
seorangpun yung mau mempercayainya. Memang setiap
kejahatan itu tentu menimbulkan penyesalan dikemudian
hari, tapi sesal kemudian tak berguna, demikian bunyi
pepatah diatas.
Yang lebih mengesan dalam lubuk kenangannya pada
detik2 terakhir itu, yalah diri Bek Lian. Bagaimana bahagia
hari2 berdampingan dengan sijelita itu, dan bagaimana
tulua ichlas nona itu mempersembahkan kasihnya, tapi ah,
bagaimana pula kejamnya dia menghancurkan hati nona itu
hingga kandungann ya sampai hampir gugur. Dan ai....,
Ciok Siao-lan, sihitam manis yang ter-gila2 padanya itu,
telah dia persakiti tubuh dan hatinya, "Chuh"........... tahu2
segumpal ludah menampar kemukanya. Itulah semburan Ih
Liok yang walaupun hanya dengan air ludah tapi cukup
membuat The Go nyeri kesakitan hebat, seperti dikebut
dengan sapu kawat. Seketika mukanya
ber-gurat2 mengeluarkan darah. Dia cukup sadar bahwa dengan jatuh
ditangan musuh macam si Bongkok, dia tentu mengalami
siksaan yang maha hebat. Tapi dalam keadaan seperti saat
itu, apa daya" Dia meramkan kedua mata paserah nasib.
Si bongkok deliki mata memandang sejenak padanya dan
timbullah keheranannya. Biasanya The Go itu seorang
seorang pemuda yang tangkas bicara, mengapa saat itu
membisu saja" Adakah dia sudah bertobat" Tapi apa peduli.
Berpaling kebelakang,dia berseru: "Saudara yang manakah
suka meminjami aku sebilah pisau untuk membelek hati
bangsat ini. Coba kita lihat bagaimana warnanya!"
GAMBAR 93 "Chuh" tiba2 The Go dipersen ludah oleh si Bongkok Ih Liok,
berbareng baju si pemuda dirobek dan belati siap mencingcang
tubuh The Go yang culas itu.
Serentak Ceng Bo mencabut yap-kun-kiam untuk
diserahkan, tapi Ih Liok menolaknya: "Pedang ini
terlampau tajam, sekali dodet sudah selesai. Itu terlalu enak
baginya. Aku maukan sebilah yang tumpul, supaya dapat
men-dobet2nya sampai lama!"
Ceng Bo sebenarnya kasihan juga, tapi karena sekalian
orang mengunjuk kemurkaan, jadi diapun tak berani
melarangnya. Pada lain saat ada seorang yang mengantari
Ih Liok sebatang pedang pendek, terbuat daripada besi
biasa. "Bagus, inilah yang cocok!" seru si Bongkok. Berputar
kearah The Go dia berkata: "Orang she The, tahukah kau
entah berapa banyak jiwa yang melayang ditanganmu"
Kalau hanya mengganti selembar jiwa, apakah kau masih
tidak terima?"
Dari kerut wajahnya yang gelisah ketakutan, dapat
diketahui bagaimana perasaan hati The Go saat itu. Namun
tetap dia tak dapat berkata apa2. Tadi semprotan ludah si
Bongkok, telah membuat mukanya berlumuran darah,
hingga dari seorang pemuda tampan kini dia berobah
menjadi simuka merah. Namun mencari jalan hidup adalah
pembawaan setiap insan. Dalam kebingungannya itu, dia
telah memperoleh selarik sinar harapan. Atas pertanyaan si
Bongkok "apa kau masih tidak terima" tadi, dia
mengangguk dua kali, sembari mengawasi kebawah.
Ih Liok heran, lalu melihat kebawah kearah yang diawasi
The Go. Ternyata kaki kanan The Go tengah ber-gerak2
seperti menulis sesuatu. Tapi karena tanah disitu
merupakan batu padas, jadi apa yang dituliskan itu tak
dapatlah si Bongkok mengetahuinya. Memang bermula si
Bongkok agak tertegun memikirkan, tapi demi teringat
sudah berapa kali dia makan getah dari siasat orang muda
yang selicin belut Itu, tak mau dia menghiraukannya lagi.
Cret............, ujung pedang pendek itu menikam bahu
The Go. Begitu dicabut, darah menyembur keluar. Saking
sakitnya, hampir pingsan The Go dibuatnya.
"Tikaman kesatu!" seru si Bongkok.
Karena si Bongkok tak menghiraukan tulisan kakinya
tadi, habislah sudah harapan The Go. Dengan mata melotot
dia deliki suami isteri Hwat Siau Swat Moay, tapi kedua
orang itu tetap tenang2 saja se-olah2 seperti tak kejadian
suatu apa. Ea Liok angkat tangann ya hendak melancarkan
tikaman yang kedua, saking tak tega berserulah Ceng Bo:
"Ih-heng, lekaslah habisi saja nyawanya!"
Belum si Bongkok menyahut atau dari lamping gunung
sana terdengar hiruk pikuk suara orang ber-teriak2. Lama2
dengan cepatnya suara gaduh itu menjalar kepuncak dan
berbareng itu laksana kilat sesosok bayangan hitam
meluncur datang. Belum sempat sekalian orang melihat
siapakah orang itu, siorang sudah mendahului berteriak
dengan nyaring: "Tahan!", kemudian terus memburu kearah
si Bongkok untuk merebut pedangnya tadi.
Si Bongkok melawan dan barulah mengetahui kalau
lawannya itu bukan lain adalah Kang Siang Yan. Dia
turunkan pedang kebawah terus dibabatkan. Tapi tanpa
berkisar kaki, Kang Siang Yan miringkan tubuhnya sedikit,
lalu julurkan tangan untuk menerkam siku si Bongkok.
Keduanya bertempur rapat.
Disana, Ceng Bopun cepat dapat mengenal bahwa yang
datang itu adalah isterinya. Dia terperanjat disamping
mengeluh atas seruan isterinya tadi, yang terang hendak
memenolongi The Go lagi. Beberapa kali dia gagal
membunuh pemuda penghianat itu karena pada. detika
terakhir, isterinya selalu datang mencegah. Ah......, biar
bagaimana kali ini harus diselesaikan, jangan sempat gagal
lagi. Dikala sang isteri masih sibuk melayani si Bongkok,
cepat dia memburu kearah The Go dan menabas
......................
Walaupun kepandaian Kang Siang Yan lebih unggul dari
si bongkok, namun dalam tiga empat gebrak sukarlah
untuknya mengalahkan. Waktu melihat suaminya lari
menghampiri The Go, ia sudah was-was. Begitu tangan
Ceng Bo diangkat, ia pun segera lontarkan gumpalan benda
yang semula sudah dikepitnya tadi.
Bermula Ceng Bo tak menghiraukannya benda apa yang
diIontarkan isterinya itu, pokok asal yap-kun-kiam
melayang tiba, kepala The Go tentu menggelinding. Maka
diapun tak mau kurangi gerak tabasannya tadi. Tapi demi
benda, itu hampir tiba dihadapannya, bukan kepalang
kejutnya! Itulah seorang orok bayi yang bagus wajahnya.
Buru2 dia hendak tarik pulang tabasannya, agar jangan
sampai mengenai orok itu. Tapi sukarnya bukan kepalang.
Tadi karena kuatir membikin kapiran urusan, dia sudah
menabas se-kuat2-nya, jadi untuk menariknya secara
mendadak, tak seemudah kemauan sang hati. Namun bila
diteruskan tabasanya itu, The Go dan orok itu pasti akan
terbelah kutung. Dalam gugupnya, dia kerahkan tenaganya
untuk menurunkan tangannya, cret ........ popok (pakaian)
orok itu terpapas rowuk dan kedua belah kaki The Go pun
terpisah dari pahanya. Darah segar memuncrat laksana air
pancuran dan rubuhlah The Go tak ingat diri..........
GAMBAR 94 Disamping Kang-siang-yan merintangi niat si Bongkok yang
hendak menghabiskan jiwa The Go, disebelah sana Ceng Bo
Siangjin cepat bertindak, sekali pedangnya menyabet, terkuntunglah kedua kaki The Go.
Ceng Bo tak mau hiraukan adakah The Go itu mati atau
belum. Yang dipikirkan hanya siorok tadi. Begitu menabas,
dia segera membungkuk kebawah untuk menyanggapi orok
itu. Diam2 dia kucurkan keringat dingin, karena ngeri
memikir nasib siorok yang hampir saja menjadi korban
pedangnya. Mengawasi kearah Kang Siang Yan, dilihatnya
sang isteri Itu sudah berhasil merebut senjata si Bongkok
dan dengan 3 buah hantaman berhasillah ia mengundurkan
lawan. Ceng Bo geram sekali terhadap isterinya itu. Betapapun
kecintaannya terhadap sang isteri namun urusan negara
adalah diatas segala. Dia anggap sang isteri itu membawa
kemauan sendiri, datang2 membikin ribut.
"Hong-moay, hari ini adalah upacara persembahyangan
bendera Thian Te Hui, mengapa kau mengadu biru bikin
onar?" serunya dengan gusar. Sepanjang ingatnya, belum
pernah dia sedemikian marahnya terhadap isteri yang
dikasihinya itu.
Kang Siang Yan buru2 menghampiri The Go, lalu
menutuk ke 12 jalan darah besar pemuda itu, untuk
memberhentikan pendarahan. Setelah itu baru dia
mendongak menatap Ceng Bo siangjin, sahutnya: "Aku
mengadu biru" Kalau terlambat sedikit aku datang kemari,
orang2 Thian Te Hui akan menjadi tumpukan bangkai
semua!" "Hong-moay, apa maksudmu?" menegas Ceng Bo
dengan terperanjat.
Tidak menyahut pertanyaan sang suami, sebaliknya
Kang Siang Yan memandang kearah orang banyak. Satu
demi satu, diawasinya dengan perdata, kemudian berseru
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyaring : "Swat Moay dan Hwat Siau, dimana kedua orang
Itu" Ayuh, mengapa tak berani unjuk diri bertempur secara
ksatrya?" Mendengar wanita gagah itu menantang tokoh Swat
Moay dan Hwat Siau, bukan olah2 terkejutnya orang2
sekalian. "Apa katamu?" serempak Kui-ing-cu, Ceng Bo siangjin,
Ko Thay dan si Bongkok berseru.
Namun Kang Siang Yan tak mau menjawab. Ia mondar
mandir menyusup keluar masuk dalam kelompok orang
yang ber-jubal2 itu. Dengan gunakan ilmu mengentengi
tubuh sakti thay-yang-lian-seng, ia menyusup keluar masuk.
Yang dirasakan oleh ribuan orang disitu, hanyalah
semacam deru angin menyambar saja. Hal mana membuat
orang2 sama kagum dibuatnya. Setelah tak berhasil
menemukan yang dicari, barulah kedengaran ia berkata
keheranan: "Ai......, kemana lenyapnya kedua bangsat itu?"
"Hong-moay, apakah sesungguhnya yang kau ucapkan
itu?" tanya Ceng Bo.
"Apa......" Apa kalian tak mengetahui bahwa Swat Moay
dan Hwat Siau menyelundup kemari ?" Kang Siang Yan
balas bertanya.
Kini baru semua orang sama termadar, mereka saling
celingukan kesana sini. Semua anggauta masih lengkap,
kecuali kedua saudara Song, Hek-bin-sin Ho Gak dan Samchun-ting Ciu Sim-i yang tak kelihatan batang hidungnya.
Saat itu barulah semua orang mengetahui duduk
perkaranya. Kang Siang Yan, gerak gerikmu selama ini menimbulkan
anti pathi orang. Tapi kali ini kami semua berhutang budi
seru Kui-ing-cu seraya tunjukkan jempol jarinya selaku
memuji. "Fui ....., siapa sudi mendengar ocehanmu itu. Kalau
bukan Thio Jiang yang memberitahukan padaku, aku juga
tak tahu!" sahut Kang Slang Yan.
"Apa .... " Tio Jiang belum binasa" seru Ceng Bo dengan
terperanjat. "Mati sih belum, tapi tengah meregang jiwa (sekarat).
Yan-chiu berada disampingnya!"
"Hai......., ternyata Yan-chiu juga masih hidup!" seru
sekalian orang dengan girangnya.
Ceng Bo yang sedari tadi masih mengempo siorok,
segera bertanya :
"Hong-moay, dari manakah orok ini?"
"Itulah cucu-luar-mu sendiri! Masa kau tak mengenalnya, bukankah wajahnya mirip dengan kau!"
Ceng Bo meng-amat2i dengan tajam dan benar dapatkan
wajah orok itu agak mirip dengan dirinya. Tapi demi
teringat bahwa orok itu adalah anak Bek Lian dan The Go,
meluapIah kemarahannya.
"Mari ambillah, aku lebih suka tak mengakuinya sebagai
cucu!" serunya seraya angsurkan orok itu kepada sang isteri.
"Orang tuanya yang salah, mengapa anaknya diikut2kan?" Kang Siang Yan menghela napas sambil
menyambuti orok itu, lalu di-tepuk2nya pe-lahan2:
"Nenekmu ini tetap menyayangimu nak, jangan takut!"
Melihat tingkah laku seorang wanita gagah macam Hang
Siang Yan tetap tak meninggalkan sifat2 kasih sayang
seorang nenek terhadap cucunya, Kui-ing-cu dan semua
orang sama tertawa geli.
Kang Siang Yan tampak menciumi orok itu, lalu
ujarnya: "Orok ini tak boleh dilahirkan tanpa melihat
ayahnya!" Habis berkata begitu, Hang Siang Yan melirik kearah
The Go. Kini kedua kaki The Go sudah kutung dan setelah
ke 12 urat besarnya ditutuk Kang Siang Yan, timbullah
perobahan dalam dirinya. Jalan darah pembisu yang
tertutuk tadi, sudah terbuka sendiri. Keadaannya seperti
orang limbung, sadar2 tidak. Tapi serta merasa dapat berkata2, segera dia paksakan bicara dengan ter-putus2:
"Kedua saudara Song sebenarnya......Hwat Siau .......... dan
Swat Moay"
Habis ber-kata2, kembali dia pingsan.
"Kakinya sudah buntung, orangnya pun telah kalian
siksa sedemikian rupa. Pandanglah mukaku dan lepaskanlah dia!" se-konyong2 meluncur kata2 perikemanusiaan dari bibir Kang Siang Yan.
Bahwasanya seorang wanita keras macam Kang Siang
Yan, dapat mengucap kata2 yang sedemikian halus
merawankan, telah membuat orang2 ter-heran2, Memang
kedatangan Kang Siang Yan kepuncak Giok-li-nia situ,
pertama untuk memberitahukan suaminya bahwa Hwat
Siau dan Swat Moay menyelundup kesitu dan kedua
kalinya juga untuk urusan The Go.
Kiranya setelah peristiwa digereja Ang Hun Kiong
selesai dan masing2 orang sama berpencar, keadaan Bek
Lian sangat mereras sekali. Bek Lian telah kehilangan
peribadinya. Ia berkeliaran ke-mana2 seperti orang gila.
Setelah dua hari mencarinya, barulah Kang Siang Yan
mendapatkan puterinya yang bernasib malang itu.
Bahwa anaknya sampai menemui nasib yang sedemikian
mengenaskan, kemarahan Kang Siang Yan sudah
memuncak. Tapi dikarenakan keadaan Bek Lian sedemikian rupa, terpaksa ia, tak dapat meninggalkannya.
Maka, dicarinya sebuah tempat per-istirahatan yang sunyi
disekitar sungai situ untuk tempat menetap sementara, perlu
merawat penyakit Bek Lian.
Tiga bulan kemudian, barulah kesehatan Bek Lian berangsur2 pulih. Tapi pada saat itu, ia melahirkan seorang
orok. Melihat orok itu sangat mungil, Kang Siang Yan
merasa gembira. Tapi sebaliknya, Bek Lian sendiri tetap
berduka. Ia tak senang kepada anak kandungnya itu,
sehingga menyusuipun tak mau. Apa boleh buat, Kang
Siang Yan terpaksa menggendong orok itu keatas gunung,
untuk mencari binatang alas. Baik serigala, harimau, rusa,
dan lain2 binatang berkaki empat, diburunya kemudian
diperas air susunya untuk orok itu. Pada kebalikannya,
pertumbuhan badan orok itu luar biasa sehatnya. Belum
lagi setengah tahun umurnya, orok itu sudah hampir
menyamai seperti seorang berusia satu tahun.
Pada hari itu, rupanya Kang Siang Yan membawa
cucunya ketempat yung agak jauh, hingga dua hari baru
pulang. Tapi tiba dirumah, ternyata Bek Lian sudah
menghilang. Ia hanya meninggalkan secarik tulisan yang
menyatakan sebagai berikut:
Bunda, Anak telah merasa sesat jalan dan terjerumus dalam lumpur
duka nestapa. Berdasarkan ajaran2 luhur dari ayah, seharusnya
anak tak layak hidup didunia lagi. Tapi mengingat anak belum
dapat membalas budi ayah bunda selama ini, kalau harus bunuh
diri tentu akan lebith put-hau (tak berbakti) lagi. Oleh karena itu,
hendak anak tinggalkan nyawa dalam hayat untuk mengabdikan
diri menjadi nikoh (paderi perempuan) selaku penebus dosa.
Selama hayat masih dikandung badan, tentu akan dapat
berjumpa pula. Harap jangan mencari lagi, karena niat anak
sudah tetap. Bek Lian Kang Siang Yan termangu. Betapapun halnya, tetap ia
hendak mencari puterinya itu. Tapi rupanya niat Bek Lian
itu tetap. Dua hari yang lalu, ketika Kang Siang Yan keluar
pintu, iapun segera terus berkemas tinggalkan pondok itu.
Dua hari Kang Siang Yan baru pulang dan selama itu entah
sampai kemana Bek Lian mengayun langkahnya. Lebih dari
sebulan Kang Siang Yan mencari jejak puterinya itu, tapi
tetap hilang tak ketahuan rimbanya. Akhirnya terpaksa ia
lepaskan penyelidikannya, kembali pulang kepondoknya
tadi. Syukurlah, ada sang cucu sebagai kawan.
Pada waktu Tio Jiang dan Yan-chiu bertempur melawan
suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay, hiruk
kegaduhannya telah membuat orok itu terbangun kaget dan
menangis. Telinga Kang Siang Yan yang tajam, segera
dapat mengetahui bahwa suara ribut2 itu terjadi karena ada
perkelahian kaum persilatan. Orang persilatan saling
membalas dendam itu sudah jamak, iapun tak ambil pusing.
Tapi yang menjengkelkan hatinya, ribut2 itu sudah
membikin kaget cucunya. Maka sembari menghibur bujuk,
dibawanya orok itu keluar untuk melihat ribut2 itu. Tapi
begitu ia muncul, Hwat Siau dan isterinya sudah buru2
ngacir, tertinggal Tio Jiang dan Yan-chiu menggeletak
ditanah luka parah.
Bermula Kang Siang Yan kira mereka sudah binasa, tapi
serta diperiksa ternyata jantungnya masih berdetak. Dan
untuk kekagetannya, kedua orang itu ternyata Tio Jiang dan
Yan-chiu adanya. Sejak pertemuannya dengan Ceng Bo di
Hoasan tempo hari, sebenarnya ia sudah berbaik lagi
dengan sang suami itu. la berjanji setelah mendapatkan
pedang kuan-wi-kiam, ia akan memulai penghidupan baru
ber-sama2 suaminya. Tapi adalah belakangan karena
urusan Bek Lian dan The Go, kembali ia bentrok dengan
Ceng Bo. Perangai Kang Siang Yan memang aneh. Ia selalu
membawa kemauannya sendiri. Tempo digereja Ang Hun
Kiong, ia berdiri difihak Ang Hwat cinjin dan Hwat Siau
dan Swat Moay. Kemudian baru setelah mengetahui
kebinatangan hati The Go, ia tersadar dan menggabungkan
diri pada Pihak suaminya. Dan waktu gereja tersebut
dihancurkan dengan dinamit, makin tegas keiakinannya
terhadap Ceng Bo. Kedua anak muda itu adalah murid
suaminya, jadi tak beda dengan muridnya juga. Benar
pernah, Yan-chiu menipu mengeruk kepandaiannya tapi itu
karena gara2 Kui-ing-cu apalagi hal itu tak menjadi soal
baginya. Kedua anak muda itu segera diangkut kedalam pondok
dan diupayakan supaia tersadar. Hampir setengah harian
Tio Diiang tak ingat diri. Begitu membuka mata, tanpa
menghiraukan siapa, yang berada dibadapannya, dia segera
berseru: "Lekas..., lekas...! Hwat Siau dan Thian-bin Longkun semua pergi ke Gwat-li-nia!"
Setelah berulang kali mendengar seruan itu, barulah
Kang Siang Yan menangkap maksudnia. Tay-hiat atau urat
nadi besar kedua anak itu dltutuknya, supaya mereka dapat
mengaso tenang. Yan-chiu tak menghiraukan suatu apa. Ia
merasa dalam beberapa hari ajalnya sudah akan tiba.
Biarkan Kang Siang Yan berbuat apa saja ia tak peduli. Ia
hanya baringkan diri disamping sukonya dan ber-bisik2 apa
saja yang sang mulut Ingin mengatakan.
Luka Tio Jiang tidak ringan, dengan sadar tak sadar dia
hanya mendangari saja dan mengiakan. Kang Siang Yan
menggendong cucunya, tarus berangkat menuju ke Giok-linia. Kedatangannya itu tepat sekali, dimana si bongkok
tengah menggorok The Go.
Kemudian Kang Siang Yan mengakhiri penuturaannya,
lalu memintakan keringanan untuk The Go. Sekalian orang
berpendapat bahwa dengan kedua kakinya buntung, The
Go sudah menjadi orang tanpadaksa (invalid), rasanya
cukup untuk menghukumnya.
"Kang Siang Yan, aku pernah bersumpah kalau tak
mencingcangnya sampai hancur lebur, lukaku ini akan
busuk !" Thatsan sin-tho Ih Liok menyanggah.
"Ih Liok", sahut Kang Siang Yan, "Segala apa jangan
main mutlak2an. Tadi sewaktu tersadar, dia tak
mengucapkan apa2 tapi lantas mengatakan soal Hwat Siau
dan Swat Moay. Apakah itu tak kau anggap dia masih
mempunyai liang-sim (hati baik) ?"
Si Bongkok tertawa: "Kang Slang Yan, bilakah kau
belajar falsafat macam Tay Siang Siansu itu ?"
Kang Siang Yan deliki mata kepadanya.
"Ya, sudahlah," Ih Liok mengalah, "dengan memandang
muka kalian Kang Siang Yan dan Hay-te-kau berdua, aku
sibongkok suka mengampuninya, Tapi awas, kalau kelak
dia berbuat jahat lagi, aku tentu akan meminta
pertanggungan jawabmu berdua!"
"Hai, Ih-heng, mengapa aku di-bawa2?" Ceng Bo tertawa
getir. Si Bongkok tertawa: "Huh, siapa yang tak mengetahui
hubungan suami-isteri kalian kini saling berebut mengempo
cucu! Bagaimana hendak meniadakan dirimu?"
Ceng Bo dan Kang Siang Yan saling berpandangan
sembari ketawa. Mengingat bahwa betapa jahat si Cian-bin
Long-kun itu dahulunya, tapi dengan kedua kakinya sudah
buntung dia sudah tak berdaya lagi, maka sekalian
orangpun menyetujui keputusan untuk memberi keringanan. Ceng Bo segera suruh gotong orang muda itu
kedalam biara, kemudian dia
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera mengajukan pertanyaan kepada sekalian orang: "Toa-ah-ko sudah
melarikan diri, habis bagaimana urusan ini?"
"Sudah tentu Hay-te-kaulah yang menjadi toa-ah-ko!"
serempak sekalian orang berseru. Disamping itu, mereka
menyerukan supaya Kiau To menjadi siao-ah-ko.
Ceng Bo tak mau banyak bicara lagi. Segera dia pegang
pucuk pimpinan. Tindakan pertama yalah mengatur
susunan organisasi. Thian Te Hui yang beranggautakan
lebih dari 10 ribu orang Itu, dibagi menjadi 10 tay-tong
(batalyon). Setiap taytong dipimpin oleh tongcu dan wakil
tongcu. Dibawah taytongcu (pemimpin taytong) diangkat
lagi 20 orang siao-tongcu yang masing2 menguasai 100
anak buah. Dengan penyusunan itu, terdapatlah suatu
organisasi yang rapi. Melihat itu diam2 Kang Siang Yan
mengagumi kecakapan suaminya.
Selesai menetapkan susunan Thian Te Hui, berkatalah
Ceng Bo kepada sang isteri: "Hong-moay, mari kita turun
untuk menjenguk bagaimana keadaan Siao Ciu dan Jiang-ji
itu!" "Astaga!" tiba2 Kang Siang Yan seperti orang
dlsadarkan, mereka luka parah tiada orang yang merawati,
aku seharusnya lekas2 kembali. "Kau mempunyai tugas
berat, tak perlu pergi. Kalau dapat menemukan Tay Siang
Siansu untuk meminta beberapa butir pil sam-kong-tan,
lebih baik lagi. Tapi kalau tidak, biarlah aku sendiri saja
yang merawat."
Girang hati Ceng Bo mendengar kesanggupan sang isteri
itu. Dan tanpa berayal lagi, Kang Siang Yan terus minta
diri. Setelah itu Ceng Bo segera mengadakan rundingan
dengan para tay-tongcu dan hu-tongcu (wakil tongcu) untuk
rencana penyerangan selanjutnya. Tapi dalam rundingan
itu, mereka terbentur pada kenyataan pahit tiada ransum,
tiada uang! Tanpa ransum, tentara tak dapat bergerak. Jadi sekalipun
lasykar sudah terkumpul sampai ribuan jumlahnya, tapi
tiada gunanya bahkan menimbulkan kesulitan besar
mengenai jaminan makanan mereka. Perang tanpa makan
bagaimana jadinya"
Tadi menurut penuturan Kang Siang Yan, sekalipun Tio
Jiang tak sampai terbunuh, tapi dia sudah dianggap sebagai
pemberontak. Jadi hubungan dengan fihak kerajaan Lam
Beng, sudah putus. Hal ini diinsyafi benar oleh para
perunding, hingga sampai sekian saat mereka tak dapat
menyatakan apa2.
"Apakah sekalian saudara pernah mendengar tentang
cerita kim-jong-giok-toh yang tersiar dikalangan persilatan?"
tiba2 ada seorang tongcu memecah kesunyian.
Sudah sejak beberapa tahun ini, Ceng Bo selalu mondar
mandir sibuk dengan usaha pergerakan Thian Te Hui
Tambahan pula dia orangnya jujur bersih, jadi walaupun
pernah juga dia mendengar desas desus harta karun itu,
namun tak dihiraukannya.
"Belum pernah mendengar!" sahutnya.
"Benar, sejak dari Ang Hun Kiong mencari suhu, akupun
pernah, mendengar hal itu. Katanya harta karun Itu
simpanan dari Thio hian Tiong. Tapi tiada seorangpun
yang tahu akan hal itu dengan jelas. Ada sementara orang
persilatan yang melakukan penyelidikan, ada juga orang2
yang tak ketahuan asal usulnya turut memancing diair
keruh," ujar Kiau To.
Ceng Bo merenung sejenak, lalu berkata: "Ya, biarpun
harta karun itu ada, tapi apa gunanya" Apakah orang dapat
memakan emas berlian?"
"Ah, bukan begitu!" sahut lh Liok, "dengan harta dapat
kita memperolch ransum. Kwisay berbatasan dengan Siam
dan Annam (Vietnam), kedua negeri itu merupakan gudang
beras. Jangan lagi hanya belasan ribu sedang ratusan ribu
orang pun tiada menjadi soal!"
Semangat sekalian hadirin tergugah. Tapi kim-jong-gioktoh itu se-olah2 merupakan mythos (dongeng) saja, ada
desas desusnya tapi tiada kenyataannya. Menilik namanya,
harta karun itu mempunyai hubungan dengan susunan
tubuh orang, tapi masakan perut (toh) terdapat hartanya"
Tapi ah....., kemungkinan besar hal itu terdapat pada
bangsa patung. Karena belum mendapat pegangan yang pasti, terpaksa
untuk sementara itu Ceng Bo belum mau menggerakkan
tentaranya. Satu2nya usaha yalah mengadakan hubungan
dengan Li Seng Tong. Dan ini baik kita tinggalkan dulu
untuk mengikuti perjalanan Kang Slang Yan turun dari Lohu-san tadi. ---oodwkz0tahoo--Dengan ber-gegas2 wanita gagah itu kembali kepondoknya, tapi tiba disitu ternyata Tio Jiang dan Yanchiu, sudab tak kelihatan batang hidungnya, keadaan
tempat itu kalang kabut seperti bekas digarong orang.
Hanya dua hari ia berlalu dan keadaan mereka begitu
payah, andai kata naik ke Giok-li-nia tentu juga berpapasan,
tapi nyatanya kedua anak itu sudah lenyap. Kemanakah
gerangan mereka itu " demikian Kang Siang Yan bertanya
sendiri. Tiba2 terkilas pada pikirannya, bahwa ketika dia
tiba di Giok-li-nia tadi, Hwat Siau dan isterinya sudah
cepat2 menghilang. Ah....., apa tak mungkin mereka lolos
dan mencari kedua anak muda itu. Kalau demikian halnya,
ia sangat malu. Bukantah tadi ia sudah menyatakan hendak
menjaga Tio Jiang dan Yan-chiu" Jika mereka jatuh
ketangan suami isteri ganas itu, terang akan celaka. Ah.....,
ia bertanggung jawab atas kejadian itu!
Cepat2 ia kemasi pakaian sang cucu, lalu titipkan orok
itu kepada keluarga petani yang tinggal didekat situ.
Kemudian seorang diri ia berangkat mencari jejak kedua
anak muda itu. Tapi dunia begini luas, kemanakah ia
hendak mencarinya.
Memang dugaan Kang Siang Yan itu salah. Pada waktu
ia tiba dan merampas senjata si Bongkok, Hwat Siau dan
Swat Moay yang melihat gelagat jelek, terus memberi
isyarat mata kepada Ho Gak dan Ciu Sim-i. Membarengi
kesempatan keadaan kacau balau, mereka berempat segera
menyelinap angkat kaki langkah seribu. Oleh karena
keadaan hiruk pikuk, jadi tiada seorangpun yang
mengetahui akan tindakan mereka itu. Baru ketika Kang
Siang Yan mencari gerombolan Hwat Siau Itu, orang2
sama mengetahul kalau mereka sudah lari ngacir.
Demi melihat usahanya gagal, Hwat Siau dan Swat
Moay marah. "Aneh, mengapa Kang Siang Yan tahu kalau kita berada
di Giok-li-nia?" tanya Hwat Siau.
"Huh....., masih bertanya! Siapa lagi kalau bukan anak
haram yang kau hajar tapi belum mampus itu. Begitu Kang
Siang Yan datang, dia tentu menceritakan semuanya!"
Hwat Siau banting2 kaki, serunya: "Jahanam! Budak Iaki
dan perempuan itu tentu masih berada dihutan sana. Ayuh,
kita hajar mereka se-puas2nya!"
Begitulah setelah berunding, keempat orang itu segera
menyerbu ketempat Tio Jlang dan Yan-chiu di sana.
(Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 51 : DITOLONG LINTAH
Kini kita tengok keadaan Tio Jiang den Yan-chiu ketika
masih berada dipondok. Setelah beristirahat sekian lama.
Tio Jiang coba mengambil napas salurkan jalan darahnya.
Peredaran darahnya dapat berjalan baik, tapi tenaganya
tetap masih letih sekali. Bagian yang tertutuk oleh Hwat
Siau tadi, rasanya sakit membara. Dalam rambangannya
(ocehan) itu, sebentar Yan-chiu menangis, sebentar tertawa,
Sebalik dari dihibur, Tio Jiang malah terpaksa menghibur.
Menjelang tengah malam, tetap keduanya masih belum
dapat tidur. Dalam kebatinan, Yan-chiu merasa puas kalau
mati didamping sukonya. Dan ah...., mengapa tak ia
tuturkan sejujurnya tentang peristiwa "pertunangan"
sukonya dengan sucinya itu. Tapi ai....., bagaimana ia
hendak memulainya" Kedengaran ia menghela napas.
"Ah, Lian-suci ternyata juga seorang yang setia akan
kekasihnya!" coba2 ia mencari jalan dalam pembicaraan.
Tapi ternyata Tio Jiang hanya mendengus saja, tanpa.
menyahut apa2. "Suko, dalam hatimu, kau tentu mempersalahkan suci
yang kau anggap melanggar janji pertunangan, bukan?"
Tetap Tio Jiang tak menyahut.
"Ai....., sungguh cepat nian jalannya waktu. Kini sudah
hampir 2 tahun lamanya. Malam itu bukankah kau tengah
terluka berat terkena hantaman thiat-sat-ciang sikepala
gundul dari Ci Hun Si?"
Terkenang akan periatiwa yang getir itu, hati Tio Jiang
merasa pilu. "Siao Chiu, jangan ungkat perkara itu lagi!"
Yan-chiu tertawa menyeringai. Se-konyong2 ia kencangkan tenggorokannya lalu menirukan nada suara
"Bek Lian" ketika berjanji pada malam pertunangan itu:
"Aku berjanji suka menjadi isterimu, tenang2lah beristirahat
supaya lekas sembuh! Kata Kiau-susiok, kau telah makan 4
butir pil sam-kong-tan......." Tapi baru ia menirukan sampai
disitu, serentak bergeliatlah Tio Jiang untuk duduk dan
membentaknya: "Siao Chiu !"
"Mengapa?" bantah Yan-chiu. Kata2 yang diucapkan
tadi memang persis seperti yang dikatakan "Bek Lian" pada
malam itu, suatu detik yang berkesan lekat dalam lubuk
kenangan Tio Jiang. Sudah tentu dia tak mau mengingat
hal2 yang menyakiti hati itu. Dan saking marahnya karena
perbuatan sumoaynya itu, dia tak dapat menyahut
pertanyaan Yan-chiu itu.
"Ah...., suko...., suko....!" Yan-chiu menghela napas,
"kau tentu masih menganggap bahwa yang berjanji sanggup
menjadi isterimu itu Lian suci, bukan" Malam itu, ia tak
berada disitu tapi mengikut suhu ke Kwiciu untuk mencari
berita. Yang merawat lukamu, yang kau tanyai apakah suka
menjadi isterimu tidak itu, bukan lain yalah aku!"
Tio Jiang seperti dipagut ular kejutnya. "Siao Chiu,
apakah kau bicara benar" Atau karena kuatir hatiku terluka,
kau lantas mengatakan begitu?" tanyanya.
"Aku seorang yang dalam sebentar lagi akan meninggal,
perlu apa harus membohongimu?" kata Yan-chiu terus
mengeluarkan sepotong ko-giok (batu kumala) dari bajunya.
Seperti diketahui, kumala itu waktu ia kalah judi dirumah
perjudian si Oey Bi-long dikota Bo-bing-hian pernah
diambil oleh pemilik rumah perjudian itu. Tapi ketika
terjadi ribut2 ia berhasil mengambilnya kembali.
"Coba lihatlah, benda apa ini?". tanyanya sembari
serahkan kumala itu pada sukonya.
Kini barulah Tio Jiang sadar mengapa Bek Lian dan
Kang Siang Yan menyangkal terjadinya pertunangan itu.
Serasa hatinya menjadi rawan: "Ah, kiranya Lian suci tak
pernah menyukai aku! Aku sendirilah yang gila basah!"
"Dari awal sampai akhir, ia hanya mencintai The Go
seorang," Yan-chiu menambahi, "sejak The Go digebah
pergi oleh Kiau-susiok, suci seperti kehilangan semangat.
Kau sendirilah yang tolol!"
Kini Tio Jiang berbalik dapat tertawa, ujarnya: "Siao
chiu, bicara terus terang, sudah sejak tahun yang lalu demi
mengetahui sepak terjang Lian-suci yang sedemikian itu,
hatikupun sudah tawar kepadanya!"
Masih Yan-chiu tak mengetahui perasaan Tio Jiang yang
sebenarnya. Ia tetap mengira, sukonya itu tak tahu akan
perasaannya (Yan-chiu) dan tetap menyintai sucinya.
Memang ia lupa akan sifat2 Tio Jiang yang serba jujur itu,
tak seperti Cian-bin Long-kun yang achli mencumbu rayu.
Beberapa kali Yan-chiu secara halus menyatakan perasaan
hatinya, tapi selama itu tampaknya Tio Jiang tetap tak
mengerti. Dan inilah yang membuat Yan-chiu kepada
kesimpulan bahwa sukonya itu masih tetap terkenang akan
Bek Lian. Maka demi mendengar pernyataan Tio Jiang tadi, ia
setengah kurang percaya. "Benarkah itu" Mengapa?" ia
menegas. Tio Jiang berpikir sejurus, menyahut: "Kuanggap .....
kuanggap sejak turun dari gunung, sepak terjang Lian suci
itu, tak memenuhi angan2ku. Ia bertindak bertentangan
dengan ajaran2 petuah orang hidup yang diwejangkan."
Dengan susahnya barulah Tio Jiang dapat menguraikan
apa yang terkandung dalam hatinya. Hati Yan-chiu serasa
girang mendengarnya. Tapi demi teringat bahwa hidupnya
hanya tinggal beberapa hari 1agi, ia merasa resah juga.
Ingin benar ia, mencurahkan isi hatinya seketika itu, karena
pikirnya, itulah kesempatan terakhir yang se-bagus2nya.
Tapi mengingat sukonya itu buta cinta, ia kuatir jangan2
malah menerbitkan salah faham nanti. Maka dengan
mengigit gigi, ia tahankan lidahnya.
Sebaliknya karena melihat ia diam saja, Tio Jiang
tampak merenung. Diam2 dia meneliti bahwa dalam
ucapan sumoaynya itu terselip sesuatu yang aneh. "Astaga,
kiranya ia diam2 mencintai aku?" katanya dalam hati.
Tapi sekalipun kini dapat dia merabah hati sang sumoay,
namun tetap mulutnya tak mau menanyakannya. Dia
hanya berdiam diri saja. Kala itu malam sudah jauh larut.
Suasana disekeliling situ ditelan oleh kesunyian lelap.
Kedua anak muda itu masih berkelap kelip matanya,
memandangi sumbu lampu yang memancarkan cahaya.
Yan-chiu menghela napas, tapi tiba2 terdengar ada orang
berkata2 diluar rumah: "Mengapa tengah malam buta
begini, rumah ini masih ada penerangannya2 Ayuh, kita
periksa!"
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyusul ada beberapa suara orang mengiakan. Tio
Jiang dan Yan-chiu kaget dibuatnya. Malah serentak Yanchiu sudah loncat bangun, melihat kesana sini. Demi
dilihatnya dibagian belakang pondok itu terdapat sebuah
jendela, buru2 ia berseru: "Suko, ayuh kita merayap keluar
jendela itu!"
Tio Jiang juga menginsyafi bahaya yang bakal
dihadapinya itu. Dengan sekuat usaha dia merayap jendela
itu. Baru saja dia jatuh keluear jendela, atau disebelah luar
mana sudah terdengar orang mengetuk pintu.
Mengapa kedua suko sumoay begitu ketakutan" Kiranya
suara orang yang didengarnya itu adalah suara Hwat Siau.
Cukup mereka sadari, sekalipun tidak dalam keadaan
terluka, masih mereka tak mampu melawan momok itu.
Maka jalan satu2nya, yalah melarikan diri. Untunglah
disebelah luar jendela itu merupakan semak rumput, jadi
waktu Tio Jiang jatuh tadi tak sampai mengeluarkan suara
apa2. Mereka lalu merayap disepanjang halaman rumput.
Bang....., bang...., terdengar pintu dihantam orang.
Oleh karena lukanya ringan, jadi Yan-chiu dapat
merayap lebih cepat. Sedang baru merayap 3 tombak
jauhnya, napas Tlo Jiang sudah ter-sengal2. Yan-chiu
makin gelisah dan kembali didengarnya Hwat Siau berseru
keras: "Tempat pembaringan ini masih terasa hangat, terang
orangnya masih belum jauh. Entah siapa mereka itu, tapi
yang paling perlu kita ringkus dulu!"
Mendengar itu Tio Jyiang segera suruh sumoaynya lari
lebih dahulu: "Siao Chiu, lekas lari dahulu. Aku terluka
parah......tak dapat bergerak lagi!"
"Suko, mengapa kau selalu berpikir demikian. Selalu tak
mengerti bagaimana orang orang ikhlas untuk mati
disampingmu!"
Sampai sekian besarnya, belum pernah Tio Jiang
mendengar ada seorang wanita begitu mesra terhadap
dirinya. Lelaki manakah yang takkan besar hatinya, kalau
mendengar ada seorang gadis mengucap kata2 begitu
terhadapnya" Sesaat hati Tio Jiang serasa bahagla dan
kekuatannyapun bertambah. "Tidak, Siao Chiu! Kita akan
hidup ber-sama2. Belum lagi jatuh ketangan musuh,
mengapa kau ucapkan kata2 mati?" serunya kemudian.
Tukar menukar pernyataan itu, melebihi seribu kata yang
manis. Memang kebahagiaan yang murni itu terletak pada
kesederhanaan. Segala yang berkilau itu belum tentu emas
adanya. Memang kena betullah ujar yang mengatakan
begitu itu. Gaya lahiriyah yang ber-lebih2an itu,
kebanyakan kosong melompong.
Yang satu mengatakan 'mati ber-sama2' dan yang lain
menyatakan 'hidup ber-sama2'. Adakah lain kata2 lagi
dalam kamus-asmara yang lebih sederhana tapi lebih murni
daripada bahasa yang diucapkan oleh Tio Jiang - Yan-chiu
itu tadi "
Tanpa disadari, Yan-chiu tarik tangan sukonya untuk
diajak merayap pe-lahan2. Kira2 setombak jauhnya, tiba2
disebelah muka tampak ada cahaya kilauan air. Berpaling
kearah rumah, Yan-chiu dapatkan keempat musuh itu
sudah pencarkan diri untuk mencarinya. Sedang disebelah
muka situ ternyata ada sebuah payau (kolam) besar.
Satu2nya jalan bersembunyi didalam payau situ. la
memberitahukan maksudnya itu kepada sang suko.
Begitulah keduanya segera benamkan diri kedasar payau.
Tapi sebelumnya, mereka mencari 2 batang pelepah alang2.
Pelepah alang2 yang tengahnya merupakan pipa berlubang
itu, dimasukkan kedalam mulut sedang ujung lainnya
dijulangkan keatas permukaan air. Ini untuk menyalurkan
napas dikala mereka terbenam dalam dasar air. Tak berapa
lama berada dalam air, Tio Jiang rasakan pundaknya gatal2
enak. Dan itu tepat pada bagian lukanya. Tapi dia tak
berani bergerak merabahnya karena kuatir menerbitkan
goncangan air. Kira2 setengah jam lamanya, barulah Yan-chiu berani
munculkan kepala dipermukaan air. Dilihatnya keadaan
disekeliling situ sudah sunyi senyap. la duga Hwat Siau
berempat sudah pergi. Tapi baru saja ia hendak berbangkit
keatas, tiba2 didengarnya dalam rumah itu ada semacam
suara lagi. Terpaksa ia batalkan niatnya.
Sebenarnya kalau itu waktu Yan-chiu terus lanjutkan
niatnya tadi, ia akan selamat tak kurang suatu apa, karena
yang berada dalam rumah itu bukan lain adalah Kang Siang
Yan. Tapi bagaimana Yan-chiu dapat mengetahui hal Itu"
Jadi ia tak dapat dipersalahkan. Baru sejam kemudian, ia
berani muncul lagi. Kini Tio Jiangpun ikut merayap keatas
daratan. Tapi demi melihat bahu Tio Jiang, berdirilah bulu
roma Yan-chiu. "Suko, lihatlah pundakmu itu!" serunya
menjerit. Pada waktu naik kedarat, tenaga Tio Jiang sudah
bertambah, luka yang mengontar-ngontar dibahunya itupun
sudah tak terasa sakit lagi. Maka heran dia dibuatnya
mendengar jeritan sumoaynya tadi. Ketika memeriksa
bahunya, diapun bergidik. Kiranya pada bagian luka
dibahunya itu penuh dikerumuni lintah. Bukan seekor dua
ekor, tapi berpuluh2 ekor jumlahnya! Dirangkumnya
beberapa ekor, dan nyatalah binatang2 Itu gemuk2 semua
berisi darah. Tio Jiang teringat, bahwa lintah itu dapat
mengisap darah, baik yang beracun maupun tidak. Adakah
peracunan darah dari luka yang diberikan Hwat Siau itu,
sudah dihisap habis oleh binatang2 itu" Dengan kedua
tangan, dia mencabuti habis lintah2 itu Benar lukanya
masih bernoda, tapi kini sudah tak sakit lagi rasanya. Hal
itu sangat menggirangkan Tio Jiang, karena tanpa sengaja
dia telah sembuh dari lukanya. Kini dia nyatakan hendak
pergi ke Lo-hu-san.
"Suko, jangan ter-buru2 kesana dulu. Temanilah aku
pesiar ke-mana2 barang sebari dua hari saja" buru2 Yanchiu
mencegahnya. "Kenapa?" tanya sang suko.
Tetap Yan-chiu tak mau mengatakan yang sebenarnya,
sahutnya: "Aku ingin jalan2 bersamamu. Kalau sudah
berada di Lo-hu-san, banyak pekerjaan dan banyak orang
jadi kurang menggembirakan!"
"Siao Chiu, suhu dan lain2 saudara pasti me-nunggu2
kita, mengapa kita seenaknya pesiar sendiri ?"
Yan-chiu tak dapat mengatakan penderitaannya, yani
mengenai jalan darah chit-jit-hiat yang tertutuk itu.
Menurut perhitungannya, kini sudah berjalan 5 hari, jadi
jiwanya tinggal 2 hari lagi. Biarlah dalam hari2 yang
terakhir Itu, ia puaskan hatinya berada didamping sang
suko. Maka demi mendengar Tio Jiang menolak itu, ia
marah2 sembari banting2 kaki: "Aku belum pernah minta
apa2 padamu. Sekarang aku hanya minta kau mengawani
aku barang dua hari saja dan kau sudah menolak!" Sampai
disitu hatinya pilu sekall, katanya pula dengan suara tak
lampias: "Mungkin hanya hidup dua hari saja, apa kau
tetap tak mau mengawani aku?" '
Tio Jiang terkesiap, tegasnya: "Siao Chiu, kau
mengatakan apa itu?"
Tahu kelepasan omong, buru2 Yan-chiu menutupi,
dengan tertawa: "Nasib orang tak dapat ditentukan. Apa
yang terjadi besok hari, kita tak tahu. Ayuh, temanilah aku
barang dua hari saja!"
"Ya, baiklah. Tapi kemana kita hendak pesiar?" akhirnya
Tio Jiang mengalah.
Yan-chiu berpikir sejenak lalu menyahut: "Ke Kwiciu
dulu!" Hanya ketika Thian Te Hui mengadakan tantangan
luitay dengan sam-tianglo gereja Ci Hun Si tempo hari, Tio
Jiang pernah tinggal beberapa hari di Kwiciu. Tapi dalam
waktu itu, dia tak mempunyai kesempatan untuk
menikmati tempat2 pemandangan yang indah dari daerah
itu. Subonya (ibu guru) Kang Siang Yan sudah menuju ke
Lo-hu-san, jadi rasanya disana tentu takkan terjadi apa2.
Kini Yan chiu berkeras mengajaknya pesiar, apalagi kini dia
tahu sudah bagaimana perasaan hati sumoaynya itu
terhadap dirinya, jadi tak enaklah rasanya untuk menolak.
Memang dalam hati kecilnya, diapun mempunyal suatu
'perasaan' ter-hadap sumoaynya itu. Hanya saja perasaan
itu secara sadar, tak segelap ketika tempo hari dia membabi
buta terhadap Bek Lian.
Kala dia mencintai sucinya, dia hanya dirangsang oleh
impian yang muluk2, impian yang menjadikan dia seperti
orang kalap, buta kenyataan, Tapi kini terhadap Yan-chiu,
dia merasakan suatu kebahagiaan hidup yang indah murni.
Memang dicinta dan menyinta, adalah suatu berkah
kebahagiaan hidup insani.
Begitulah keduanya segera ayunkan langkahnya menuju
ke Kwiciu. Belum lama berjalan, tibalah mereka digereja
Kong Hau Si. Yan-chiu lebih luas pengetahuannya ilmu
surat daripada sukonya. Demi melihat gereja itu, ia segera
hentikan langkahnya.
"Suko, gereja Kong Hau Si ini merupakan sumber
leluhur dari para siansu dan cousu yang menjadi soko guru
dari dunia persilatan. Ketika Tat Mo Cuncia menginjak
daerah Tiongkok, beliau telah menetap disini. Ilmu
pelajaran yang dipancarkan gereja itu, berkembang sampai
6 jaman, puncak kejayaannya terjadi ketika pada jaman
ahala Tong. Disitu terdapat pula masoleum jenazah Liokcou (soko guru ke 6) Hui Leng. Berulang kali' Tay Siang
Siansu mengatakan padaku, bahwa sumber ilmu lwekang
sakti dari partai gereja itu, berpokok pada ajaran Liok-cou
tersebut. Ayuh, kita masuk me-lihat2!"
Tio Jiang menurut saja. Gereja Kong Hau Si merupakan
salah sebuah yang terbesar dari 4 gereja di Kwiciu. Sudah
tentu segala apa, baik alat" dan upacara persembahyangan
maupun perhiasan2nya, serba meriah agung. Asap
pendupaan selalu ber-kepul2 dari para pengunjungnya yang
tak berkeputusan jumlahnya itu.
Setelah me-lihat2 arca2 dan patung2 dewa yang terdapat
diruangan besar, mereka berdua lalu menuju keruangan
sembahyangan yang berada disebelah barat. Tapi baru
berjalan beberapa tindak, tampak para paderi disitu sama
ber-lari2 keluar. Berbareng dengan saat itu terdengarlah
seruan berisik dari luar pintu. Para pengunjung yang tengah
bersembahyang, sama menyingkir semua..
"Sicu, harap menyingkir dahulu!" tiba2 ada seorang
paderi meminta pada Tio Jiang dan Yan-chiu.
Yan-chiu kurang senang tampaknya. Ia pura2 tak
mendengar dan malah deliki mata kepada hweshio itu:
"Mengapa harus menyingkir?"
"Nona, harap jangan marah. Keluarga Hui-kok-kong
hendak bersembahyang kemari!" sahut hweahio itu dengan
mengisak napas.
Mendengar nama "Hui-kok-kong" (gelar bangsawan) itu,
kedua anak muda itu sama terkesiap heran. "Suko,
bukankah Hui-kok-kong itu gelar dari Li Seng Tong?" tanya
sigadis. Tio Jiang mengiakan.
Ketika Li Seng Tong menakluk pada Lam Beng,
kerajaan Lam Beng telah menganugerahkan pangkat Tongan-peh (panglima wilayah timur), tapi Li Seng Tong
menolak. Lain Beng menaikkan lagi dengan pangkat raja
muda, tapi tetap dia tak mau. Kerajaan Lam Beng bohwat
(tobat) benar terhadap jenderal itu. Ini disebabkan karena
sewaktu menakluk, kekuatan tentara yang dibawa Li Seng
Tong itu jauh lebih kuat dari kerajaan Lam Beng sendiri.
Akhirnya terpaksalah Lam Beng memberi gelar Hui-kokkong (kakek raja yang berjasa besar). Dengan seluruh anak
buahnya dia menjaga wilayah Kwiclu sebelah utara,
sehingga dengan demikian untuk sementara waktu aman
tenteramlah kedudukari baginda Eag Lek dikota raja Siau
Ging. Oleh karena mati hidupnya kerajaan Lam Beng boleh
dibilang tergantung padanya, maka seluruh menteri
kerajaan, rakyat jelata sampaipun kaum gereja sama
mengindahkan sekali kepadanya.
Bahwa seorang pemuda dan pemudi macam Tio Jiang
dan Yan-chiu berani memanggil nama Li Seng Tong, telah
membuat hweshio itu ketakutan setengah mati lalu buru2
ngacir. Pada saat itu tampak ada sebuah tandu besar berhenti
dimuka pintu gereja. Dibelakang masih ada rerotan tandu2
kecil. Lima orang hamba perempuan ter-sipu2 membukakan pintu tandu dan memimpin keluar seorang
wanita. Melihat siapa adanya wanita agung itu, tak dapat
Yan-chiu mengendalikan tertawanya.
"Kukira siapa, tak tahunya dia! Apakah sekarang dia
sudah menjadi nyonya Li Seng Tong?" tanya Yan-chiu
kepada sukonya.
"Siapa tahu!" juga Tio Jiang merasa heran.
Siapakah gerangan nyonya bangsawan itu" Ia tak-lain
tak-bukan adalah si Lamhay-hi-li Ciok Siao-lan. Walaupun
pada saat itu ia ditabur dengan pakaian kebangsawanan
yang bertaburkan ratna mutu manikam, tapi dari kerut
dahinya, tampak tegas sinar kedukaan. Setelah masuk
kedalam ruangan besar, ia menerima dupa dari seorang
hweshio, lalu komat-kamit entah apa yang didoakan itu,
"Suko, coba terka, ia mendoa apa itu?" tanya Yan-chiu.
"Ah, apa lagi kalau bukan mohon pada Po-sat (dewa)
aupaya memberkahi Li Seng Tong dengan kemenangan!"
Yan-chiu menggeleng, ujarnya: "Kukira tidak begitulah.
la mendoa pada Po-sat supaya membantunya mencarikan
Cian-bln Long-kun!"
Ketika mengucapkan kata2 "Cian-bin Long-kun" itu,
nada Yan-chiu agak tinggi. Oleh karena pada saat itu orang2
sama bersembahyang jadi suasana hening sekali, maka Ciok
Siao-lanpun dapat mendengarnya dan terus berpaling
kebelakang. Demi melihat siapa yang berada dibelakangnya
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana, tanpa terasa berserulah ia dengan terkejut girang: "Hai
........" Mulut berteriak, tangan menekan meja dan tubuhnya
terus loncat melayang kearah Tio Jiang dan Yan-chiu.
Sewaktu para dayang sahaya sama terbeliak kaget, ia
sudah menghampiri kedua anak muda tadi seraya
mengucapkan tegur salam yang hangat: "Ah, Po-sat
sungguh maha pengasih. Selama setahun ini, aku jarang
bersua dengan kaum persilatan. Tak kusangka hari ini dapat
berjumpa dengan kalian disini. Adakah kalian mengetahui
dimana Cian-bin Long-kun sekarang ini?"
Yan-chiu memandang sukonya, se-olah2 hendak dia
katakan "tu lihat, benar tidak dugaanku tadi."
"Dia berada di Giok-li-nia gunung Lo-hu-san!" sahut Tio
Jiang. Girang Siao-lan bukan kepalang, ujarnya: "Tuhan maha
kuasa, tak men-sia2kan harapan orang!"
"Ciok Siao-lan, The Go itu seorang manusia, yang
berhati binatang, bukan orang"
"Ah, kalian benci padanya!" buru2 Siao-lan menukas
kata2 Tio Jiang itu "tapi apa yang kulakukan selama ini
rasanya masih ada kelebihannya untuk menebus kedosaannya!"
"Apa yang kau lakukan.?" tanya Yan-chiu.
"Apa kau tak tahu bahwa karena akulah maka Li Seng
Tong membalik diri terhadap kerajaan Ceng" Dia cinta
padaku, ini cukup kuketahui. Tapi hatiku hanya pada
engkoh Go seorang. Oleh karena kini sudah kuketahui
dimana tempat beradanya, aku tentu akan mencarinya!"
kata Siao-lan dengan bersemangat. Tio JIang dan Yan-ciiiu
terkesiap. Tempo mereka berjumpa dengan Siao-lan
digedung Li Seng Tong tahun yang lalu, itu waktu tentara
Ceng tengah dikerahkan untuk mengepung Hoasan. Setelah
Hoasan selesai, Li Seng Tong ditugaskan untuk membasmi
kawanan bajak Lamhay (laut selatan) yang menentang
pemerintah Ceng. Ah, disitulah dia berjumpa dengan
asigadis hitam manis itu. Tentu Lamhay hi-li atau gadis
nelayan dari Lamhay Ciok Siao-lan Itulah yang
menganjurkan agar jenderal itu dengan seluruh anak
tentaranya di Kwiciu, menakluk pada kerajaan Lam Beng.
Apabila Li Seng Tong mau menuruti usulnya itu, Siao-lan
rela menyerahkan diri pada jenderal itu. Sebagaimana telah
diketahui, Li Seng Tong yang. sudah tergila-gila akan
sigadis hitam manis itu, telah berpaling haluan terhadap
kerajaan Ceng dan dengan seluruh anak buahnya menakluk
pada Lam Beng. Dan kini menjadilah Ciok Siao-lan
nyonya, bangsawan agung Hui-kok-kong Li Seng Tong.
Mimpipun tidak kedua anak muda itu bahwa Siao-lan
telah memainkan peranan besar dalam menentukan nasib
kerajaan Lam Beng yang pada hakekatnya sudah senin
kamis menunggu keruntuhannya. Sebagai seorang pejoang
kemerdekaan, tergerak hati Tio Jiang. Dia tahu bahwa nona
itu masih tetap mencintai The Go. Bahwa dengan
keberangkatan Kang Siang Yan ke Giok-li-nia, The Go
pasti akan mengalami malapetaka hebat telah membuat Tio
Jiang buru2 menganjurkannya: "Kalau pergi lekaslah pergi,
terlambat sedikit saja dia pasti sudah binasa!"
Siao-lan tak mau banyak bertanya lagi. Ia melangkah
kemuka tandu untuk mengambil senjata sam-ko-hi-jat (garu
penusuk ikan), kemudian serunya kepada pengawalnya:
"Pulang beritahukan kepada ciangkun (jenderal), bahwa aku
pergi!" Serentak ada dua pengawal menghadangnya. "Nyonya,
janganlah!" serunya mencegah.
Sekali tarik, ia lepaskan baju kebesarannya itu. Kini ia
kembali mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan kulit
ikan, yalah macam dandanan yang dikenakan seperti tempo
ia masih berada dilautan. Kiranya niat untuk mencari The
Go itu sudah lama direncanakan. Se-waktu2 diketahui
tempat tinggal pemuda tambatan hatinya itu, ia segera akan
bertolak kesana.
Sring...., sring...., sring, ia bolang balingkan hi-jatnya.
Begitu kedua pengawalnya tadi menyingkir, ia segera
melesat keluar pintu gereja: Gegap gempita keadaan saat
itu. Barisan pengawal segera coba menghadangnya, tapi
karena nona hitam manis itu bukan seorang yang lemah
ilmu silatnya, jadi merekapun tak kuasa mencegahnya.
Sekejab saja, siao-Ian sudah lari jauh2.
Melihat kejadian itu, Tio Jiang dan Yan-chiu tak henti2nya menggeleng kepala.
"Ah......, diluaran sini terlalu berisik, mari kita masuk
saja!" ajak Yan-chiu.
Baru membiluk pada sebuah ruangan, ternyata keadaan
disitu jauh bedanya dengan diluar tadi. Suasana disitu
hening tenteram sekali. Demikian kedua muda mudi itu
melihat2 keadaan tempat itu untuk beberapa lama. Kalau
hati Yan-chiu resah tak keruan, adalah Tio Jiang tak
putusnya menghela napas mengagumi keindahan gereja
agung itu. Bukan saja pagodanya yang disebut Cian-hud-tha
(pagoda seribu arca) serta Lo-han-tong (ruangan yang
penuh dengan arca lukisan para orang gagah), sampaipun
barisan pohon bodi raksasa yang menjulang tinggi
mengatapi halaman gereja itu dari sinar mataharl yang
terik, telah membuatnya kagum tak terhingga. Dihala
menikmati pemandangan segala seuatu yang terdapat
dalam gereja besar itu, timbullah suatu perasaan lain dalam
lubuk hati Tio Jiang. Serasa dia berada dalam dunia lain
yang dilingkupi oleh ketenangan dan ketenteraman abadi.
Jalan punya jalan, tibalah mereka pada eebuah pagoda 7
tingkat yang tinggin ya hampir 2 tombak. Dimuka pagoda
itu terdapat plakat yang bertullskan "Liok-cou gi hwat thak"
(menara tempat rambut Liok-cou). Dari situ membiluk,
sampailah pada sebuah dinding tembok. Pemandangan
yang terdapat disitu hanyalah semak belukar rumput yang
menjalar liar, merupakan sebuah tempat yang tak terurus
Iagi. Tanpa sengaja Tio Jiang melihat kearah dinding itu
dan se-konyong2 dia tertegun kesima.
"Siao Chiu!" dia meneriaki sumoaynya:
"Ah, disini tak ada apa2nya, ayuh kita pergi saja!" sahut
Yan-t yhiu. "Tunggu sebentar!" seru Tio Jiang sembari melangkah
maju kearah dinding. Tiba2 dia menghantam tepian dinding
sebelah atas yang segera gugur sebagian besar.
"Siao Chiu, lihatlah kemari!" seru Tio Jiang sembari
menunjuk pada sebuah bagian dinding. Ketika. Yan-chiu menghampiri, dilihatnya pada batu
merah dinding itu terdapat ukiran beberapa huruf kecil dan
disebelahnya terdapat lukisan sebatang golok bulan sabit.
"Apa2an ini, ayuh pergi saja!" seru Yan-chiu.
Melihat lukisan golok bulan sabit itu, teringatlah Tio
Jiang akan ilmu golok yang dilihatnya dibatu besar tempat
kediaman suku Thi-thing biau digunung Sip-ban-tay-san
tempo hari. Tapi oleh karena tangannya sudah keburu
ditarik Yan-chiu, jadi dia tak dapat menegasi lagi dengan
seksama. Begitu setelah tinggalkan pagoda Gi-hwat-thak situ,
kembali mereka, menuju keruangan Liok-cou-tian. Tiba2
dari arah muka tampak ada lima enam orang berjalan
mendatangi, Hendak Yan-chiu menyingkir, tapi telah
keburu dipergoki mereka salah seorang dari mereka itu
segera ayunkan tubuhnya menghadang didepan kedua anak
muda itu. Melihat penghadangannya itu, Tio Jiang menyurut
setindak kebelakang sembari turunkan tubuhnya kebawah.
Wut........., dia kirim sebuah hantaman. Tapi orang itupun
gerakan tangannya untuk menangkis. Tio Jiang tak mau
adu kekerasan, cepat2 dia tarik pulang tangannya. Tapi
justeru sebelumnya orang itu maju setindak untuk
memburunya. Terpaksa Tio Jiang tarik tangan sumoaynya
untuk diajak loncat beberapa tindak kesamping. Namun
lagi2 kawanan orang itu maju mengepung.
"Hwat Siau dan Swat Moay, mengapa kalian selalu
hendak mencelakai kami berdua?" seru Tio Jiang dengan
murka. Memang tak salah kiranya. Orang2 itu adalah Hwat Siau
dan Swat Moay, Hek-bin-sin Ho Gak, Sam-chun-ting Ciu
Sim-i dan rombongannya.
"Apa kerja kalian disini?" Swat Moay tertawa sinis.
Oleh karena tak tahu isi yang sebenarnya dari teguran
orang itu, menyahutlah Tio Jiang secara jujur, bahwa dia
hanya pesiar me-lihat2 keadaan gereja agung Itu.
"Hem, dikolong langit yang. sedemikian luas kalian tak
melulu pesiar, tapi sebaiknya perlu mengunjungi tempat ini
ya?" kembali Swat Moay menyeringai,
"Ada apanya yang dibuat heran?" tanya Tio Jiang.
Swat Moay perdengarkan suara dingin. Ekor matanya
melirik kearah Yan-chiu, lalu mengancam halus: "siao-ahthau, kalau benar2 kau tak takut mati, jangan bicara
sejujurnya. Apakah benar2 kalian hanya datang pesiar
saja?" Heran Yan-chiu dibuatnya mengapa orang bertanya dan
me-negas2 begitu. la pun menggagah (memandang dengan
menantang) pada wanita iblis itu dan balas bertanya:
"Kalau ya bagaimana, jika tidakpun bagaimana?"
Belum isterlnya menyahut, Hwat Siau sudah naik darah.
Maju selangkah dia lancarkan sebuah tamparan. Tio Jiang
buru2 menghindar kesamping. Dengan tubuh miring
menurut gerak gaya hong-cu-may-ciu (sigila menjual arak),
dia tusuk lambung orang pada jalan darah te-ing-hiat,
"Ha, mau mengajak berkelahi?" seru Hwat Siau sembari
menghindar. Tio Jiang seorang jujur polos. Terang bahwa dia bukan
lawan orang itu, namun tak dapat dia berbohong main
siasat, "Terserah, berkelahipun boleh!" seru Tlo Jiang sembari
tegakkan tubuh. Begitu tangan kanan dipalangkan kemuka
dada, tangan kiri maju mendorong.
Dia jujur, tapi orang menjadi curiga. Memang Swat
Moay tak percaya kalau kedua anak muda itu hanya pesiar
saja digereja situ. Maka begitu melihat sikap Tio Jiang
keras, sudah tentu ia makin curiga. Ini memang sudah
lazim terhadap orang yang berniat busuk, Karena takut
dicurigai, dia tentu banyak curiga terhadap lain orang.
Justeru dia berjumpa dengan seorang jujur macam Tio
Jiang. Atas dorongan tenaga Tio Jiang yang maha dahsyat itu,
Hwat Siau segera menangkis lalu hendak balas menyerang.
Tapi tiba2 dicegah oleh isterinya. Setelah mengetahui
disekeliling tempat situ tiada lain orang lagi, berkatalah
Swat Moay kepada Yan-chiu: "Apakah kalian sudah
menemukan dan apakah rombonganmu segera menyusul
datang?" Bermula tak tahu Yan-chiu apa yang dikatakan oleh
Swat Moay itu. Tapi setelah direnungkan sejenak, ia
mendapat juga sedikit penerangan. Bukan sebulan dua
bulan tapi hampir satu tahun lamanya kedua suami isteri itu
membawanya (Yan-chiu) mengidari
seluruh tempat diwilayah Kwiciu. Maksud mereka yalah untuk menyelidiki
adanya harta karun kim-jiang-giok-toh itu. Jadi teranglah
sudah kini, kalau mereka tentu hendak mencari harta karun
itu. Dilihat naga2nya, apakah mereka sudah mengetahui
tempat beradanya harta besar itu" Apakah digereja Kong
Hau Si sini tempatnya" Ah, biarlah ia 'bergerak turut tiupan
angin' saja. "Benar, rombonganku sudah datang secara besar2an!"
sahutnya. "Siao Chiu ........!" seru Tio Jiang dengan heran, tapi
cepat diberi isyarat mata, oleh sumoaynya.
Makin keras dugaan Swat Moay. Teriakan Tio Jiang itu
diartikan supaya sumoaynya jangan memberitahukan. Pada
hal tidak demikian, karena Tio Jiang sendiripun merasa
heran: "Oo, mereka belum datang bukan?" tanya Swat
Moay. Yan-chiu mendongak tertawa keras, ujarnya: "Benar,
tapi kalianpun bakal takkan mendapatnya!"
"Siao-ah-thau, kalau kubuka jalan darahmu chit-jit-hiat
itu, lalu kau bagaimana?" tanya Swat Moay, Tio Jiang
terbeliak kaget.
"Chit-jit-hiat apa" Siao-chiu, apa jalan darahmu
ditutuknya ?"
"Engkoh kecil, benar begitu. Orang yang kau kasihi itu,
hanya tinggal 2 hari hidupnya! Ha....., ha......, kau gelisah
tidak "!"
Teringat Tio Jiang bahwa sejak pertemuannya Yan-chiu
paling belakang ini, memang sang sumoay itu berlaku aneh
sikapnya. Ah, jadi demikian halnya. Tak terasa, tubuhnya
mengeluarkan keringat dingin.
"Siao Chiu, ayuh kita lekas menobros keluar minta
pertolongan pada suhu!"
Swat, Moay tertawa iblis : "ilmu tutuk pada jalan darah
istimewa itu, dikolong jagad ini hanya kami berdua saja
yang kuasa membukanya!"
"Kalau begitu, ayuh bukakanlah!" seru Tio Jiahg dengan
serentak. (Oo-dwkz-tah-oO)
BAGIAN 52 : PERANG TANDING
Hwat Siau dan Swat Moay tertawa ter-kekeh2, ujarnya:
"Wahai, apakah didunia ini terdapat hal yang begitu
murahnya?"
"Habis, apa maksud kalian?" bentak Tio Jiang dengan
gusar. "Selekas kau katakan dimana letak 'kim-jiang-giok-toh'
itu, selekas itu pula akan kubuka jalan darah siao-ah-thau
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu!" Swat Moay menyahut dengan berbisik.
Usus emas perut permata atau kim-jiang-giok-toh yang
dimaksudkan itu, serambut dibelah tujuhpun Tio Jiang tak
tahu sama sekali. Maka terbeliaklah dia. Kala dia belum
dapat menyahut, Yan-chiu sudah menyanggapinya:
"Jangan mimpi kejatuhan rembulan! Jangan lagi tidak tahu,
sekalipun tahu, tak nanti kami memberitahukan kepada
kalian bangsa budak Ceng !"
Merah darah muka Swat Moay seperti kepiting direbus.
"Kau tidak takut mati, ha"!" bentaknya.
Yan-chiu tertawa sinis, sahutnya: "Kaulah yang takut
mati!!! Kalau tak menemukan 'kim-jiang-giok-toh' tuanmu
pasti takkan memberi ampun padamu !"
Kata2 yang terakhir itu, tepat sekali mengenai
kandungan hati Swat Moay. Karena lama sekali Hwat Siau
dan Swat Moay bersama ke 18 jagoan didaerah selatan
tiada kabar beritanya, maka Sip-ceng-ong Tolkun segera
mengutus Hek-bin-sin Ho Gak dan kawan2 menyusul
dengan pesan: lain2 persoalan misalnya gerakan Thian Te
Hui dan sebagainya tidaklah begitu penting. Tapi yang
mutlak adalah soal harta karun peninggalan Thio Hian
Tiong itu, harus didapatkan.
Maka dapat dibayangkan betapa gelisah hati kedua
suami isteri itu karena Yan-chiu menolak keras untuk
memberitahukan letak harta karun itu. Tapi sebagal kepala
jagoan yang kenyang pengalaman, mereka tetap menguasai
perasaannya. "Ratakan Kong Hau Si, pasti akan ketemu. Apanya yang
susah sih?" Swat Moay tertawa dingin.
Tapi mulut Yan-chiu yang tajam itu segera menusukkan
lagi kata2 yang pahit: "Disini adalah daerah kekuasaan
kerajaan Tay Beng, mana dapat kalian ber-suka2 sendiri !
Ayuh, kalau benar2 mempunyai kepandaian, mari
unjukkanlah !"
Walaupun mulutnya menggarang, namun hatinya tak
lepas dari kegoncangan. Tanpa disangka-sangkanya,
perpesiarannya ke gereja Kong Hau Si itu telah mempunyai
arti yang penting. Kiranya gereja agung itu menjadi
simpanan dari harta karun yang menjadi buah bibir setiap
orang. Mengingat betapa pentingnya hal itu terhadap
kelangsungan gerakan Thian Te Hui menentang penjajah,
Yan-chiu membuladkan tekadnya dan memperkecil harga
jiwanya sendiri.
Swat Moay adalah kepala jagoan yang mempunyai
kepandaian tinggi. Tapi dalam menghadapi keadaan yang
sepenting itu, mereka tak berani sembarangan turun tangan.
Jadi kedua fihak sama2 gelisah, yang satu kuatirkan
kepandaian fihak lawan, yang lainpun takut2 kalau rahasia
harta karun itu tetap tak diketahuinya.
Pada saat2 kedua fihak berdiam diri, tiba2 dari ujung
ruangan sana tampak muncul seseorang. Mata Yan-chiu
yang tajam segera dapat menangkapnya. "Kiau-jisiok!"
serunya dengan girang.
Orang itu mengenakan ikat kepala warna putih hitam,
sikapnya gagah dan memang tak lain adalah Kiau To.
"Siao Chiu, kaupun disini!" iapun segera menyahut
dengan gembira. Tapi begitu tampak Hwat Siau dan Swat
Moay berada disini, segera dia kerutkan alisnya.
"Hai, kiranya kedua saudara Song yang 'mulia' juga
berada disini!" serunya sembari mencabut jwan-pian. Tanpa
banyak ini-itu lagi, dengan jurus ceng-coa-jut-cui (ular hijau
keluar keair) dan kuay-bong-jan-mo (ular melibat batu), dia
segera menghantam kearah salah seorang dari rombongan
Hwat Siau yang berada disamping situ. Orang itu tak
keburu berkelit hingga kakinya kiri kena tergubat. Sekali
Kiau To menyentakkan tangannya, orang itu segera
terlempar keatas atap rumah, geluduk....., geluduk......
Berdasarkan dengan suara keras itu, muncullah sekawan
hweshio. Demi menampak Kiau To, mereka segera
menegur dengan serempak: "Kiau sicu, ada urusan apa?"
Kiau To dahulu adalah seorang murid hweshio dari
gereja Liok Yong Si, jadi banyaklah para hweshio Kong
Hau Si situ yang mengenalnya. Sebaliknya Kiau To pun
cukup tahu bahwa walaupun gereja Kong Hau Si situ
menjadi tempat pangkalan menetap Tat Mo Cuncia, tapi
para hweshio gereja situ tiada seorangpun yang mengerti
ilmu silat. "Harap kalian menyingkir saja. Orang2 itu adalah
kawanan budak bangsa Ceng, satupun tak boleh diberi
ampun !" sahut Kiau To.
Orang yang dilontarkan keatas atap rumah tadi, memang
salah satu dari sisa ke 18 jagoan yang dipimpin oleh Hwat
Siau. Dengan munculnya Kiau To, Hwat Siau dan
rombongannya segera menduga bahwa rombongan Thian
Te Hui dengan tokoh2nya seperti Kui-ing-cu, Ceng Bo
siangjin, Kang Siang Yan dan lain-lain sudah tiba disitu.
Cepat Hwat Siau bersuit keras selaku tanda, kemudian
dengan dipeloporinya dia segera menerjang kemuka.
Sesaat tangan Hwat Siau menghantam kemuka, Kiau To
segera rasakan dadanya sesak untuk bernapas. Tapi dengan
empos semangatnya, Kiau To segera gunakan pangkal
jwanpian (ruyung lemas) untuk menutuk jalan darah kibun-hiat didada lawan. Hwat Siau kisarkan tangannya
kesamping untuk merebut ruyung.
Duapuluh tahun lamanya Kiau To melatih diri dalam
permainan ilmu ruyung. Jadi ruyung itu se-olah2 menjadi
bagian dari tubuhnya yang dapat digerak-goyangkan
menurut sang kemauan. Disempurnakan lagi dengan ilmu
ruyung Liok-kin-pian-hwat yang kaya dengan gerak
perobahan sukar diduga itu, Kiau To laksana seekor
harimau yang mempunyai sayap.
Gerakan Hwat Siau tadi memang sebat sekali, tapi mana
dapat semudah itu dia hendak merebut ruyung Kiau To"
Sekali tangan Kiau To menurun, tiba2 ruyung yang tegak
lurus itu berobah mendatar untuk menyapunya. Maka
betapapun lihaynya kepala jagoan pemerintah Ceng itu,
namun dalam sesingkat waktu tak dapatlah dia lolos darl
libatan -Kiau To.
"Berpencar
lolos!" kedengaran dia menyerukan kawannya. Mendengar seruan itu swat Moay segera mendahului
tampil kemuka, tapi Tio Jiang tak mau membiarkan begitu
saja, lalu menghadangnya. Tahu bahwa dirinya bukan
lawan wanita iblis itu, namun Tio Jiang tetap memburunya
dengan mati2-an. Yan-chiupun tak mau berpeluk tangan.
Begitu dia, merampas sebatang pentung dari salah seorang
hweshio, ia segera main menyapu,
Ruangan disitu amat sempit. Tatkala Yan-chiu "menari"
dengan pentungnya, rombongan Hwat Siau tak dapat
pencarkan diri dan terpaksa terdesak diujung sudut. Dari
kawanan kaki tangan pemerintah Ceng itu, rupanya samchun-ting Ciu Sim-i yang paling lincah, ketambahan pula
tubuhnya kate kecil. Seperti kelinci menyusup, dia segera
menobros di-sela2 kawannya dan serta sudah tiba dimuka
terus menempur Yan-chiu dengan tan-to (golok).
Melihat ada lubang kesempatan, Hek-bin-sin Ho Gak
enjot tubuhnya keatas. Pada saat2 dia merasa akan dapat
mencapai wuwungan atap, se-konyong2 ada deru senjata
mengaum diudara dibarengi dengan kilauan cahaya
berkilat. Saking kagetnya buru2 dia surutkan kepalanya
kebelakang, tapi tak urung segumpal rambut kepalanya
telah terpapas. Mendongak keatas dilihatnya ada seorang
wanita mencekal sepasang gelang kim-kong-lun. Gelang itu
besar dan kecil, pada kedua lingkarannya, dalam dan luar
terdapat gigi2 yang tajam.
"Siao-ko-ji (engkoh kecil), kemana perginya adikku?"
serunya meneriaki Tio Jiang.
Ya, memang wanita itu bukan lain adalah Kim-kong-lun
Ciok ji-soh, itu kakak ipar dari Lamhay hi-li Ciok siao-lan.
Melihat itu, Swat Moay makin sibuk. Hantamannya
dilancarkan ber-tubi2, hingga tubuh Tio Jiang menggigil
dan saking tak tahannya segera menyingkir kesamping.
Kesempatan itu tak di-sia2-kan Swat Moay. Sesosok
bayangan hitam, berkilap loncat keluar.
Melihat isterinya sudah lolos, Hwat Siaupun segera
bernapsu. Tiga-buah serangan dia lancarkan ber-turut2,
Begitu Kiau To terdesak kesamping dia lalu menobros
keluar. Sam-chun-ting Ciu Sim-i mau tiru2. Kuatir dia kalau
terpencil sendirian. Tapi saat itu Yan-chiu sudah
kedengaran menyahut pertanyaan Ciok ji-soh tadi, serunya:
"Ciok ji-soh, lebih dahulu bantuilah kami menghajar
kawanan bangsat ini, nanti kukasih tahu padamu!"
Perangai Ciok ji-soh juga keras. Semua 'bajak dari lautan
Lamhay sama memakluminya. Kalau tidak demikian,
masakan seorang wanita macam ia, dapat mengepalai
keluarga Ciok untuk merajai lautan situ" Dengan berseru
keras, ia loncat turun....... wut.......... ia, hantam perut dan
dada Ho Gak dengan gerak giok-tho-se-seng (kelinci kumala
loncat kebarat).
Orang she Ho yang bermuka tembong itu, pun juga
bukan orang lemah. Menyingkir kesamping, dia sudah
siapkan sepasang poan-koan-pit (senjata macam alat pena
pit). Tring......, dideringkannya sepasang pit itu satu sama
lain, yang satu keatas yang lain menurun, masing2 menutuk
jalan darah ing-hiang-hiat dan cui-hun-hiat si nyonya.
"Bagus!" seru Ciok ji-soh sembari tangkiskan kimkonglunnya. Tring......, kedua senjata itu saling berbentur.
Seperti diketahui, lingkaran dalam dan luar dari gelang Itu
mempunyai gigi tajam, gunanya untuk mengait senjata
lawan. Begitu saling berbentur, ia segera putar tangannya
lalu menarik se-kuat2nya seraya membentak keras2 :
"Lepas!"
Tangan Ho Gak serasa kesemutan dan hampir dia
lepaskan cekalannya. Tapi sebagai jago kawakan, dia tak
mau menyerah begitu mudah. Dibiarkan saja pitnya itu
ditarik, tapi disamping itu dia gerakkan pit satunya untuk
menutuk jalan darah cui-hun-hiat lawan.
Menghadapi gerakan orang yang begitu. lihay, terpaksa
Ciok ji-soh tak jadi mengait pit. Begitu empos semangat, ia
mengisar kakinya dalam gerak chit-che-poh (langkah 7
bintang) menghindar. Kemudian ia kembangkan sepasang
kim-kong-lunnya untuk berserabutan menghantam sepasang
pit dari Hek-bin-sin Ho Gak yang hendak mengarah jalan
darahnya itu. Begitulah kedua seteru itu terlibat dalam
pertempuran seru.
Difihak sana, Kiau To masih heran memikirkan
mengapa suami isteri Hwat Siau Swat Moay itu lari
tunggang langgang untuk lolos. Diukur kepandaiannya,
terang dia bukan lawan dari sepasang suami isteri itu.
Sesaat dia ter-longong2 dan ketika tersadar dia segera
tumpahkan kemarahannya kepada dua orang dari
rombongan Hwat Siau yang masih berada disitu. Salah
seorang dari mereka yang juga bersenjata jwan-pian, coba
berusaha untuk menobros lolos. Tapi sekali membentak
Kiau To telah membikin terkesiap orang itu. Membarengi
itu, tahu2 jwan-pian Kiau To menyambar. Orang itu
menjadi gelagapan, lalu gerakkan jwan-piannya untuk
menangkis. Kiau To tertawa dingin. Sekali membalik tangan, dia
libatkan jwan-pan ke jwan-pian musuh. Begitu saling
menggubat, Kiau To lalu menariknya kuat2. Orang itu
terhuyung2 terjerumus kemuka. Sekali Kiau To menghantam kebatok kepala, tanpa bersuara lagi orang itu
sudah tamat riwayatnya. Tapi walaupun mati, orang itu
tetap mencekal jwan-piannya. Dan karena tadi sengaja Kiau
To lepaskan jwan-pian untuk menghantam dengan pukulan
tangan, maka jwan-piannya pun masih terlibat pada jwanpian korban itu.
Kiau To mengawasi keaekeliling gelanggang. Dilihatnya
disana Yan-chiu masih bertempur seru dengan Ciu Sim-i,
sedang Tio Jiang tengah "bergumul" rapat dengan salah
seorang yang bergegaman ho-chin-kao (gaetan tangan).
Kiau To keisengan. Tubuh mayat orang yang bersenjata
jwan-pian tadi diangkatnya, terus di-putar2 macam senjata
untuk menyerang Ciu Sim-i.
Oleh karena menghadapi Yan-chiu yang hanya
bersenjatakan pentung kayu, Ciu Sim-i berada diatas angin.
Tapi baru saja dia hendak laksanakan niatnya untuk
menobros keluar, tiba2 ada angin menyambar dari
belakang. Dalam gugupnya dia berpaling kebelakang, hai,
kiranya ada segumpal benda hitam besar melayang kearah
dirinya. Dalam kegugupannya, tak dapat dia meneliti benda
apakah itu, karena dia buru2 terus loncat kesamping. Tapi
tepat pada saat itu, pentung Yan-chiu menyapu,
auk......lambungnya kena, sakitnya bukan kepalang, tapi
terpaksa dia tahankan dan terus hendak lari. Tapi pada
detik itu, Kiau To menyongsongnya dengan sebuah
hantaman. Ciu Sim-i gregetan (marah). Dia babat tangan Kiau To
dengan goloknya, sehingga Kiau To terpaksa tarik pulang
tangannya. Membarengi itu Ciu Sim-i loncat menobros
keluar. Tapi belum lagi kakinya menginjak tegak diatas
lantai, Yan-chiu sudah memburu tiba. Sekali sodok, ujung
pentungnya tepat mengenai jalan darah tay-meh-hiat
dilambung orang, gedebuk ........ jatuhlah Ciu Sim-i
mencium tanah.
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, begini lho!" berseru Kiau To memuji seraya
tunjukkan jempol tangannya.
Yan-chiu hanya tersenyum pahit, terus menghampiri
kearah Tio Jiang untuk mengepung orang yang bersenjata
ho-chiu-kau tadi. Sedang Kiau Topun segera mendekati
Ciok-ji-soh dan serunya: "Cok-ji-soh, kau mundurlah!"
"Ngaco!" bentak Ciok-ji-soh seraya deliki mata kepada
Kiau To. Bukannya terima kasih, ia masih merasa terhina
oleh Kiau To. Sepasang gelang kim-kong-lun diputar makin
seru. Setiap gerakannya merupakan gerak serangan yang
hebat. Oleh karena Ho Gak tiada hati untuk melawan
sungguh2 hingga terlibat lama disitu, maka sibuk juga dia
kini dibuatnya.
"Ai....., terhadap bangsa budak macam begini, tak usah
pakai rasa sungkan memegang teguh kesopanan persilatan
lagi. Dapat satu kita bunuh satu!" seru Kiao To melihat
kesempatan sebagus itu. Dan tanpa menghiraukan perasaan
Ciok ji-soh lagi, dia segera julurkan jwan-piannya macam
seperti pit untuk menutuk jalan darah jip-tong-hiat
dipunggung Ho Gak.
Jip-tong-hiat, merupakan jalan darah berbahaya dari
tubuh orang. Ho Gakpun cukup mengetahuinya. Tapi
celakanya, dia sedang diburu oleh Ciok ji-soh. Dengan
sepasang gelang roda yang bergigi tajam, nyonya itu seperti
orang kerangsokan setan, hingga dia tak dapat menghindar
dari tutukan Kiau To tadi. Huk....., jantungnya serasa
berhenti berdetak ketika ujung ruyung Kiau To tepat
mengenai jalan darah berbahaya itu. Tanpa kuasa lagi,
tubuhnya terjerembab jatuh kemuka. Justeru pada saat itu
Ciok ji-soh tengah lancarkan serangan thui-jong-ong-gwat
(mentiorong jendela melihat rembulan). Separoh bagian
lebih dari kum-kong-lun telah bersarang didada Hek-bin-sin
Ho Gak. Darah menyembur keluar dan jiwanyapun
melayang keakherat.............
Waktu membantu sukonya tadi, Yan-chiu sudah lantas
gunakan ilmu gong-chiu toh-peh-jim (dengan tangan
kosong merampas senjata musuh). Ilmu itu ajaran dari Tay
Siang Siansu, terdiri dari 6 jurus. Orang itu kesima heran
melihat Yan-chiu "menari", tapi pada lain saat dia segera
menjadi gelagapan ketika tahu2 senjatanya ho-chiu-kau
pindah ketangan sinona.
Sebenarnya tak tahu Yan-chiu akan ilmu permainan
senjata ho-chiu-kau itu. Tapi demi melihat bentuk senjata
gaetan itu, kecuali ujung melengkung dan berbentuk seperti
bulan sabit, hampir menyerupai dengan pedang biasa, maka
begitu merampas segera pindahkan ho-chiu-kau itu
ketangan kiri (ilmu pedang boan-kang-to-hwat ajaran Kang
Siang Yan dimainkan dengan tangan kiri). Sekali ia
lancarkan gerak kut-cu-tho-kang, ujung ho-chiu-kau itu
sudah menowel betis orang itu. Berbareng pada waktu itu,
Tio Jiang telah merangsang dengan salah satu jurus hongcu-may-ciu yang disebut "keringkan lagi 3 cawan". Jalan
darah tay-kay-hiat orang itu terkena tutukan Tio Jiang.
Sedang membarengi dengan itu Yan-chiu susuli dengan
sebuah hantaman. Tak ampun lagi dada orang itu menjadi
"amblong"
Jadi hanya dalam waktu setengah jam, 4 orang jagoan
rombongan Hwat Siau telah ber-turut2 dikirim keakhirat.
Teringat bahwa dirinya telah menjadi korban dari siksaan
Hwat Siau dan Swat Moay, Yan-chiu tumpahkan
kebenciannya kepada Ciu Sim-i. Dengan mencekal ho-chiukau ia berlari2an menghampiri Sam-chun-ting Ciu Sim-i,
lalu hendak mengeraplang batok kepalanya. Tapi buru2
dicegah Kiau To: "Siao Chiu, jangan!"
"Kenapa"!" tanya Yan-chiu......
"Tinggalkan sebuah mulut yang dapat kita tanyai
keterangan!" sahut Kiau To.
Yan-chiu mengiakan. Setelah mengambil napas sejenak,
baru dia bertanya pula: "Kiau-jisiok, bagaimana kau bisa
tiba kemari?"
"Ah, panjang nian ceritanya!" sahut Kiau To. Dia pesan
para hweshio disitu supaya mengurusi korban2 tadi,
kemudian dengan sebelah tangan dijinjingnya tubuh Ciu
Sim-i kekamar hweshio. Disitu barulah dia menuturkan apa
yang terjadi di Giok-li-nia.
Mendengar bahwa kedua kaki The Go sudah dikutungi,
Tio Jiang dan Yan-chiu menghela napas. Bukan karena
kasihan pada si Cian-bin Long-kun tapi karena turut
memikirkan perasaan Ciok Siao-lan apabila tiba di Giok-linia dan menampak keadaan sang kekasih. Ah, betapa pilu
hati nona hitam manis itu !
"Ah, biarlah budak itu hatinya terguyur air dingin!" ujar
Ciok-ji-soh. Kiau To buru2 menanyakan halnya dan diapun turut
menghela napas setelah tahu peraoalan Ciok Siao-lan itu.
Yan-chiu dan Tio Jiang masing2pun menceritakan
pengalamannya selama itu. Teringat akan kejadian yang
menimpa diri Yan-chiu, dengan air mata ber-linang2
berkatalah Tio Jiang: "Siao Chiu, apakah kau benar2 hanya
tinggal 3 hari saja hidup" Ah, kukira kau hanya bergurau
saja !" Yan-chiu tertawa getir. "Tiga hari terus menerus selalu
didampingmu, cukuplah sudah rasanya. Apa yang patut
disedihkan?" Mulutnya mengucap begitu, tapi hati Yan-chiu
hancur di-remas2.
"Kalau demikian halnya, 'kim-jiang-giok-toh' itu tentu
berada dalam Kong Hau Si sini! Belasan ribu saudara di
Lohu-san telah minta tolong pada kerajaan Lam Beng, tapi
raja rupanya tak menghiraukan. Sebenarnya kita masih ada
setitik harapan untuk minta bantuan Li Seng Tong. Namun
disebabkan soal Ciok Siao-lan, dia tentu timpahkan
kemarahannya kepada kita. Kini masih pentinglah artinya
harta karun itu bagi gerakan kita!" Kiau To alihkan
pembicaraan. "Walaupun lolos, tapi dipercaya Hwat Siau
dan Swat Moay itu tentu kembali kesini lagi. Entah apakah
mereka juga sudah mencium bau tentang tempat harta
karun itu?" ujar Tio Jiang.
"Ah, mudahlah!" sahut Kiau To terus memijat lambung
Ciu Sim-i hingga yang tersebut belakang itu mengerang
kesakitan. Tapi setelah Kiau To menampar mulutnya,
orang itu tak berani berteriak lagi.
"Sebenarnya dimanakah letak kim-jiang-giok-toh itu,
ayuh lekas bilang!" bentak Kiau To.
"Di Kong Hau Si sini, tapi entah terletak dibagian
mana!" sahut Ciu Sim-i. "
"Huh, masih berani membangkang!" kembali Kiau To
membentaknya dengan bengis.
"Kau tentu menyiksa aku, kalau benar tahu sungguh2
mengapa aku tak mau mengatakan?" sahut orang she Ciu
itu dengan wajah minta dikasihani.
Melihat itu, Tio Jiang segera menyela: "Tadi Hwat Siau
dan Swat Moay mau membayar jiwa Yan-chiu asal
ditunjuki tempat harta itu. Jadi terang mereka belum tahu
juga. Ah......., alangkah baiknya kalau kita mengetahui
tempat tempat itu! Sungguh kurela menukarkan rahasia
tempat itu dengan jiwa Yan-chiu, asal ia bisa hidup terus!"
Kiau To juga merasa sayang tak tahu tempat itu. Sebaliknya
Yan-chiu tak setuju.
"Kiau-jisiok, suko, kalian ini bagaimana" Dengan
mendapatkan harta karun itu, belasan saudara Thian Te
Hui akan mendapat ransum cukup dan dapat menahan
serbuan tentara Ceng ke Kwiciu. Bukantah jutaan rahayat
akan tertolong" Pantaskah selembar jiwaku ini berharga
lebih dari sekian banyak orang?"
Kiau To dan Tio Jiang pilu mendengarnya. Memandang
kewajah sinona itu, sifat ke-kanak2-annya masih jelas
kelihatan. Tapi bahwasanya ia dapat mengucap kata2
sedemikian luhurnya itu, tentulah buah gemblengan Ceng
Bo siangjin. Su Go-hwat, Bun Thian-siang dan lain-lain pahlawan,
dijunjung dan diagungkan karena memiliki sifat2 ksatryaan
yang luhur. Namun kalau teringat akan diri sinona yang
masih begitu muda-belia, kedua orang itu tak tega melihati
ia sampai binasa.
Tanpa terasa butiran air mata ber-ketes2 turun dari
pelapuk mata Tio Jiang. Lama kelamaan, Yan-chiupun tak
kuasa lagi menahan kesedihannya. Ia segera jatuhkan
kepalanya kedada sang suko dan pecahlah sedu sedannya
mengiring hamburan air matanya ..........
"Hai, sudahlah jangan menangis. Aku tak percaya kalau
dikolong dunia ini tiada orang yang dapat membuka jalan
darahmu itu. Lebih perlu berusaha menolong jiwanya
daripada mati2an mencari harta itu!" seru Ciok ji-soh. Ia
seorang wanita keras, tapi menghadapi suasana yang
sedemikian merawankan, iapun tak tega.
"Andaikata kita berhasil menemukan harta itu, kita rela
membagi separoh bagian asal Hwat Siau mau menolongi
jiwa Yan-chiu. Rasanya kalau Bek-heng berada disini,
diapun tentu akan memutuskan begitu!" kata Kiau To. Dia
hanya turuti perasasn hatinya terhadap Yan-chiu. Seorang
macam Hwat Siau dan Swat Moay, mana mau diberi
separoh bagian saja" Bukantah dengan begitu Thian Te Hui
akan tetap berdiri".
Akhirnya karena tak dapat memikir lain daya, Tio Jiang
menanyakan tokoh2 achli tutuk yang termasyhur didunia
persilatan. "Sudah tentu Ang Hwat cinjin dari Ang Hun Kiong.
Tapi tempat itu sedemikian jauhnya, kira2 perjalanan 3 hari
baru sampai kesana!" sahut Cio ji-soh.
Kiau To menghela napas, ujarnya: "Ang Hun Kiong
sudah diledakkan oleh kaki tangan pemerintah Ceng. Ang
Hwat cinjin entah menghilang kemana. Sedang suhuku juga
tak ketahuan beradanya. Kedatanganku ke Kong Hau Si ini,
juga mencarinya. Ah....., hanya 3 hari waktunya!"
"Habis, bagaimana nih!" dalam kecemaean Tio Jiang
sampai tak lampias suaranya.
"Ai, sudahlah, usah ribut2! Mati hidupku ini tak penting,
yang terutama kita harus berusaha mencari tempat harta
itu!" ujar Yan-chiu dengan tenang. Ketenangan itu
diperoleh selama hampir satu tahun ia dicengkeram oleh
Hwat Siau dan Swat Moay itu.
Rupanya peringatan itu menyadarkan Kiau To dan Tio
Jiang. Memang adakah nantinya harta itu diangkut semua
ke Lo-hu-san atau untuk barter dengan nyawa Yan-chiu,
tapi yang perlu harta itu harus diketemukan dulu! Lebih
dulu Kiau To menutuk jalan darah si Ciu Sim-i, kemudian
dia menanyai keterangan pada hweshio yang sudah
puluhan tahun tinggal di Kong Hau Si situ. Tapi mereka
semuanya sama menggeleng tak tahu. Hanya Ti-khek-ceng
(hweshio penyambut tetamu) mengatakan bahwa ada
belasan orang datang menginap digereja situ sampai hampir
3 bulan lamanya. Bertalian dengan harta karun itu, kini
hweshio itu baru timbul kecurigaannya terhadap orang2 itu.
Tapi pada hakekatnya, Kiau To tak dapat pengunjukan
apa2 dari keterangan itu. Dia pesan pada hweshio bagian
pengurus gereja,
bahwa kalau terjadi apa2 yang mencurigakan, supaya lekas2 memberitahukan padanya.
Setelah itu Kiau To lalu ajak kedua anak muda itu kembali
kedalam kamar. Begitupun Ciok ji-soh.
"Rombongan orang yang disebut oleh Ti-khek-ceng itu,
tentulah membawa barang2 berharga. Karena simpanan
harta itu disebut kim-jiang-giok-toh, maka tentu berada
didalam patung. Setiap patung arca besar kecil harus kita
periksa. Ayuh, kita berpencar mencarinya, masakan tak
dapat?" Yan-chiu mengobarkan semangat yang disambut,
dengan baik oleh ketiga kawannya.
Tapi baru mereka hendak bergerak, tiba2 terdengar orang
hiruk pikuk berteriak2: "Ada pencuri! Ada pencuri!"
Ketika keempat orang itu keluar menanyakan, ternyata
diloteng tempat penyimpan kitab2 (perpustakaan) telah
terjadi pencurian sejumlah besar kitab2 gereja. Dugaan
bahwa Hwat Siau dan kawan2 tentu tak mau sudah dan
kini coba2 men-cari2 diruang perpustakaan itu, diakui
kebenarannya oleh keempat orang itu.
Sedemikian besarnya gereja Kong Hau Si itu tapi
sedemikian kecil jumlah mereka berempat. Walaupun Hwat
Siau dan Swat Moay, hanya dua orang, tapi mereka
berempat terang bukan tandingannya. Namun kalau
melapor ke Lo-hu-san, berarti akan kurang seorang tenaga
lagi. Karena keadaan sangat mendesak, akhirnya diputuskan mereka akan berjoang mati2an untuk berebut
dengan lawan. Sudah tentu dalam perebutan itu tak terbatas
pada ilmu silat saja, tapi pun harus mengandalkan
kecerdasan otak. Artinya siapa yang lebih dahulu
menemukan tempat harta itu, dialah yang menang.
Begitulah tanpa terasa tahu2 hari sudah malam. Setelah
mengisi perut, mereka lalu mulai berpencar mencari. Nanti
tengah malam akan balik berkumpul lagi diruangan situ.
Kiau To lebih faham akan keadaan gereja situ, maka dia
segera membentangkan peta letak seluruh tempat gereja itu
kepada Tio Jiang bertiga. Dia sendiri lalu berniat hendak
menyelidiki ruang Tay-hiong-po-tian, Ciok ji-soh ke ruang
Ka-lan-tian yang terletak disebelah jendela timur dari Tayhiong-po-tian, Yan-chiu keruang Lo-han-tong sedang Tio
Jiang menyelidiki Swi-hud-kek, Hong-boan-tong. dan lainlain. Apabila berpapasan dengan musuh dan perlu bantuan
supaya bersuit. Habis mengatur pembagian tugas, mereka
berempat mulai bekerja.
---oodwkz0tahoo--Pertama, marilah kita ikuti Kiau To.
Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba diruang Tayhiong-po-tian, didapatinya penerangan
disitu masih terang benderang, asap dupa ber-kepul2. Para
hweshio tengah melakukan latihan sembahyang dan
membaca kitab. Dikedua sisi arca Hud (Buddha) yang
besar, ber-jajar2 para hweshio. Suara bok hi (dua potong
kayu alat sembahyang), kedengaran berbunyi terus
menerus. Dengan ber-indap2 Kiau To segera enjot tubuhnya
keatas altar (persada) kayu yang berada dikedua samping
dari 5 paturig malaekat. Patung malaekat itu menurut cerita
Hong Sin, adalah keempat saudara yakni Mo Le-hong, Mo
Le-ceng, Mo Le-hay dan Mo Le-siu. Setelah meninggal,
mereka dijadikan malaekat oleh Kiang Cu Ge, masing2 ada
yang membawa pedang, pipeh (harp), payung dan ular yang
melambangkan kegarangan senjata, kehalusan musik,
kebesaran alam (hujan) dan ketaatan. Pada setiap gereja
besar, tentu terdapat keempat malaekat penjaga itu.
Sebelum gereja Kong Hau Si menderita kerusakan akibat
pendudukan serdadu2 yang berperang, keempat patung
malaekat kim-kong Itu tak kurang dari 2 tombak tingginya.
GAMBAR 95 Dengan ber-indap2 segera Kiau To melompat kepanggung arca
itu buat memeriksa patung2 yang disangka tempat penyimpanan
harta karun itu.
Ketika tangan Kiau To agak keras menekan, maka
terasalah patung itu berguguran. Dia mengira kalau patung2
itu terbuat dari tanah, tapi ketika diketuknya dengan jari
ternyata suaranya seperti kayu. Terang kalau disitu tiada
terdapat sesuatu apa. Begitulah dalam sekejab saja, keempat
patung telah diperiksanya dengan teliti. Perbuatan itu
dilihat juga oleh beberapa hweshio, tapi mereka tak berani
mencegahnya karena diperingatkan oleh Kiau To.
Patung besar kecil seisi ruangan situ itu habis diperiksa,
seluruhnya, tapi tiada terdapat sesuatu apa. Ketika dia
hendak berlalu, tiba2 terlihat ada salah seorang hweshio
tundukkan kepala hingga sampai mengenai dada. Oleh
karena yang lain2 tak begitu, maka timbullah kecurigaan
Kiau To. Tapi dalam suasana seperti itu, tak dapatlah dia
bertindak secara gegabah, memeriksa muka orang selagi
para hweshio tengah bersembahyang. Maka lebih baik dia
dekati saja. Tapi baru saja berjalan beberapa tindak,
hweshio tadi sudah melenyapkan diri. Kejut Kiau To tak
terhingga. Hwat Siau dan Swat Moay masih belum
tinggalkan tempat itu, kalau saja hweshio itu tadi penyaruan
salah satu dari mereka, wah tentu repot juga.
Cepat Kiau To melangkah keluar untuk menuju keruang
Ka-lan-tian. Disitu tampak Ciok ji-soh tengah berdiri
dibahu sebuah arca Buddha. Kiau To memberi peringatan
dengan bisik2 bahwa Hwat Siau dan Swat Moay menyaru
jadi hweshio. Setelah itu dia ber-gegas2 menuju keruang Lohantong untuk memberitahukan juga pada Yan-chiu.
Ruang Lo-han-tong itu terletak di-tengah2 gereja situ.
Begitu masuk, Kiau To dapatkan suasana disitu agak luar
biasa. Penerangannya suram, sedang patung Kim-lo-han
yang terdapat disitupun aneh tampaknya. Tapi Yan-chiu
tak kelihatan bayangannya. "Siao Chiu, Siao Chiu!"
bisiknya memanggil nona genit itu sembari mengelilingi
ruangan tersebut. Tapi tiada penyahutan sama sekali.
"Huh, kemana perginya budak perempuan itu?" Kiau To
ber-sungut2. Baru dia hendak tinggalkan ruang itu, tiba2
serasa ada angin dingin menyambar. Dan berbareng itu,
terdengar suara "bluk......" dan padamlah ruangan Lo-hantong itu menjadi gelap gelita.
Sudah tentu Kiau To gelagapan. Terang kalau perbuatan
itu bukan Yan-chiu yang melakukan tapi kemungkinan
besar tentu Swat Moay atau Hwat Siau. Lekas2 dia
menyelinap kesamping, bersembunyi dibelakang patung Lohan. Sekejab saja matanya sudah menguasai keadaan disitu
dan samar2 tampak ada sesosok bayangan hitam loncat
kian kemari ber-putar2. Gerakannya sebat sekali. Entah apa
yang dilakukan-nya itu.
Kiau To biarkan saja kejadian itu berlangsung sampa3
sekian saat. Se-konyong2 diluar ruangan sana terdengar
derap kaki. Tiba diambang pintu, terdengarlah suara seruan
"......hi" Dari nada suaranya, itulah Yan-chiu. Mendengar
itu bayangan tadi buru2 melesat bersembunyi dibalik salah
sebuah patung lainnya. Tersirap darah
Kiau To menyaksikan hal itu. Kalau saja Yan-chiu masuk, terang ia
bakal celaka. Baru dia (Kiau To) mengambil keputusan
hendak nyalakan api lampu tiba2 terdengar orang berseru:
"Jangan lari!"
Yan-chiu tak jadi masuk, tapi dalam pada itu diatas
genteng terdengar suara injakan kaki orang. Kiau To kuatir
kalau2 terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan. Sesaat dia
sudah terus hendak menyusul keluar tapi pada lain saat terkilaslah dalam pikirannya jangan2 didalam ruangan situ
benar2 terdapat sesuatu rahasia, maka dia urungkan niatnya
dan menantikan perkembangan selanjutnya. Tapi hampir
setengah jam lamanya, tetap keadaan masih sunyi2 saja.
Kalau tak mengingat betapa gawatnya urusan itu, turut
perangainya, tadi2 dia tentu sudah memberosot keluar.
---oodakz0tahoo--Kita, tinggalkan dulu Kiau To dan marilah kita ikuti
Ciok ji-soh. Setelah mendapat kisikan dari Kiau To, Ciok jisoh lalu tinggalkan ruangan situ menuju keruang Liok-coutian. Begitu masuk, ia terpesona melihat patung Liok-cou
yang terdapat diruangan situ.
Arca Hui Leng, Liok-cou (soko guru angkatan ke-6) dari
agama Buddha yang terbuat daripada bahan tanah liat,
sudah banyak kali Ciok ji-soh melihatnya diberbagai gereja.
Tapi yang mirip seperti "hidup", baru sekali ini ia
menyaksikannya. Tulang belulang dari tubuhnya yang
sedemikian kurus, sebuah demi sebuah tampak dengan
nyatanya. Sedang matanyapun tampak ber-kilau2an
memandang kearahnya: Walaupun sudah banyak pengalamannya sebagai kelana dunia persilatan, namun
Ciok ji-soh tetap seorang wanita yang percaya akan agama.
Melihat keangkeran Liok-cou tersebut, iapun merasakan
kerendahan hati. Maka serta merta ia membungkuk
memberi hormat dengan chidmat, serunya: "Siao-li-cu Ciok
ji-soh, apabila terdapat kesalahan2 terhadap Posat, sudilah
memberi ampun !" "
Habis berdoa, baru ia berani mendekati untuk menusuk
dengan jari. Astaga, benar2 ia terkejut bukan kepalang.
Tusukan jarinya tadi mengeluarkan bunyi seperti menusuk
kayu lapuk. Ai, tentulah Liok-cou murka ni, demikian
pikirnya lalu buru2 keluar. Tiba diambang pintu, hatinya
kepingin sekali lagi melihat patung itu dan menoleh ia, hai
....... tring, ....... tring, sebat sekali ia siapkan sepasang
gelang kim-kong-lunnya !
Kiranya patung Liok-cou Hui Leng itu sudah berobah
keadaannya. Jelas tadi dilihatnya bahwa patung itu
mengenakan pakaian warna kelabu (dari tanah), tapi
mengapa kini berobah menjadi jubah warna putih. Benar
tulang2 dadanya masih nampak dengan jelas, tapi pancaran
sinar matanya sudah lain.
"Siapa yang main gila itu "!" seru Ciok ji-soh dengan
setengah berbisik. Oleh karena sampai sekian saat tiada
penyahutan, iapun segera masuk kembali untuk menutuk
patung itu lagi. Dan ternyata bunyinyapun tak sama lagi.
Sayang ia terlalu dipengaruhi oleh rasa kesujutan. Diam2
ia mengira perbuatannya tadi telah membuat amarah
Liokcou, sehingga menimbulkan kejadian luar biasa seperti
itu. Maka buru2 ia tinggalkan tempat itu untuk
mendapatkan Kiau To. Tapi baru melalui dua buah
ruangan samping, didengarnya suara orang bertempur
diatas genteng. Ketika mengawasi keatas, dilihatnya Yanchiu tengah bertempur dengan seseorang yang bertangan
kosong. Tanpa berayal lagi, Ciok ji-soh terus loncat keatas
genteng. Dan tanpa menanyakan apa2 lagi, ia terus
menyerang dari belakang. Orang itu terjepit, antara pedang
dan kim-kong-lun. Tapi ternyata dia bukan makanan
empuk. Dengan tangkasnya dia menurunkan tubuh dan
Tusuk Kondai Pusaka 13 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Istana Tanpa Bayangan 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama