Ceritasilat Novel Online

Pahlawan Harapan 1

Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Bagian 1


Pahlawan Harapan
Pengarang: Tang Fei
Penyadur: OHG Jilid 1 Bunga mekar indah dan harum semerbak tersiram hujan
rintik-rintik dimusim semi. Inilah musim semi di daerah
Kang Lam (selatan).
Beberapa desa yang terbenam dalam kesunyian terletak
dilereng-lereng gunung Thian Bok, kini dalam remang
remang diliputi kabut putih dan hujan gerimis. Jalanan
jalanan kecil di desa menjadi licin tak terhingga. Sedikit
saja orang kurang hati hati berjalan akibatnya dapat jatuh
jungkir balik. Pada saat yang demikian inilah tampak seorang 'pemuda,
dengan memikul keranjang tahu. Ke luar dari desa kecil ini.
Ia berjalan dengan hati hati dan cermat, namun setelah
semua rumah-rumah dilaluinya. Segera dibentangkan
kemahirannya. Dengan kedua tangan bertulak pinggang
dan pikulan bergelantungan di bahu kiri. Mulailah ia berlari
bagaikan terbang! Dalam keranjang pikulannya terdapat
banyak piring mangkok, anehnya sedikit suara bentrokan
pun tak terdengar! Seolah olah ia berjalan di atas tanah
datar yang rata. Pemuda tersebut agaknya bergirang.
Sewaktu waktu ia menindak dua langkah-dua langkah, di
sela loncatan-loncatan sejauh tiga langkah dengan
indahnya. Sebentar merendak perlahan-lahan kemudian
cepat bagaikan kuda kabur. Kemudian kakinya diangkat
sebelah berjingkai-jingkai meloncat - loncat menotol bumi.
Cara berganti cara, ketenangan tetap terpelihara. Dengarlah
sedikit gesekan piring dan mangkok tetap tak terdengar!
Pemuda itu berdiam di lereng sebuah bukit kecil yang
jauh kurang lebih sepuluh lie dari desa tersebut. Setiap pagi
ia datang ke desa itu untuk berjualan, dan pulang pada
senja hari. Walaupun dalam keadaan mendung serta hujan
gerimis. Sedikitpun tak dihiraukan, sebaliknya keadaan
alam yang demikian itu sangat digemari dan
menggembirakan.
Pemuda itu tibalah di kaki sebuah bukit, dan langsung ia
menuju ke sebuah gubuk reyot, yang terpencil jauh dari
mana mana. Dengan perlahan lahan didorong pintunya,
2 serta diiringi suara memanggil "ibu". Asap lilin dan dupa mengepul dari meja sembahyang Sesajian berupa ayam.
bebek dan ikan terletak di meja. pemuda itu menjadi
tercengang menyaksikan itu semua.
Ia nampak ibunya dengan pakaian rapi dan wajah
tenang. Membayangkan wajah usia limapuluh tahunan.
Rambut putih menghias di kepala. Tetapi semangat dan
jasmaninya tetap memancarkan kesehatan yang terpelihara
baik. Hari ini kedua mata ibunya bercahaya bening, serta
melukiskan perasaan sedih yang tak dapat disembunyikan.
Agaknya ada satu peristiwa yang terjadi di luar dugaan. Ia
hendak bertanya, untuk menghilangkan rasa herannya.
"Anakku ke sinilah! Bersujudlah di depan meja
sembahyang dari arwah mendiang ayahmu. Berilah
hormatmu!" ibunya mendahului berkata.
Pemuda itu berkata diliputi keheranan dan tidak
mengerti. Ia maju ke depan sambil berlutut dengan
sujudnya. Sang ibu dengan senyum terhibur, memandang
puteranya yang tahu peradatan dan kesopanan itu dengan
puas. "Anakku, berapa usiamu tahun ini?"
"Duapuluh tahun bu."
"Anakku dengarlah aku akan menuturkan kisah sedih dan
penasaran dari mendiang ayahmu. Hal ini sudah delapan
belas tahun lamanya kusimpan di dalam dada. Hari ini
adalah ulang tabun kedelapan belas dari kebinasaan
ayahmu. Pada tahun-tahun yang lalu hal ini tidak
diperingati. Kini waktunya sudah tiba. Dengarlah baik-baik,
selak-seluk dari kisah dan kehidupan ayahmu. Penuturan ini
adalah yang sebenar benarnya."
"Nah! Tutuplah pintu itu terlebih dahulu."
Dengan membalik badan pemuda itu segera merapatkan
pintu itu. Pada detik itulah terdengar seruan 'Awas'
menyusul desiran angin halus dari tiga senjata rahasia yang
3 menyerang ke tiga jurusan! Gerakan lincah dan tangkas
dibuatnya. Pemuda itu menotol kan kedua ujung
kakinya.Badannya merapung ke udara setinggi beberapa
tumbak, secepat kilat tubuh itu berputar di udara.
Sepasang mata ibunya cukup tajam. Tangannya
bergerak lagi, enam butir batu berhamburan secepat kilat.
Tiga menyerang bagian bawah tubuh. Tiga mengarah
bagian tubuh sebelah atas. Yakni Bun-tong, Hoa-kay, Tiongteng tiga urat nadi besar. Pemuda itu cukup tangguh!
Sebelum kakinya menempel bumi, pinggangnya bergeliat!
Tubuhnya sejajar dengan bumi. Tiga butir batu yang
menyerang bagian bawah dan dua butir yang menyerang
bagian atas dengan begitu saja dapat dikelit, Batu yang
menyerang ke pusarnya dipaku puku jatuh dengan batu lagi
yang terlepas dari tangannya. Batu yang dilepas itu masih
bertenaga besar sekali, terus melesat menuju pada ibunya.
Ia gugup dan kuatir! Tapi---suatu kelitan sempurna dan
wajah tersungging senyuman puas terlukis di sudut bibir
ibunya. Dalam gugupnya pemuda itu kesima dan mematung
bengong. Ibunya dengan welas asih menatap sang anak,
lama dan lama sekali.
"Bu tak terasa aku mengeluarkan tangan terlampau
berat. Untung tidak melukai ibu. Atas ini aku minta ampun
bu." Ibunya tersenyum bangga, ia mengangguk perlahan.
"Anakku gerak gayamu barusan taki ubahnya seperti
kepandaian yang dimiliki mendiang ayahmu. Keluarga Tjiu
sungguh beruntung dengan tidak sirnanya kepandaian
ampuh dari senjata rahasia Tjian Kin Bwee Hoa Tok Tju.
Coba ke sini ada semacam benda akan kuperlihatkan
kep&damu."
Ia mengambil dan membuka cupu-cupu tempat
perhiasan. Diambilnya sebuah bungkusan kecil. Perlahan lahan dibuka pembungkusnya. Di dalam bungkusan
terdapat pula bungkusan kain yang dijahit. Sesudah
4 digunting ke luarlah sebuah kantong kecil pula vang terbuat
dari kulit rusa. di dalamnya terdapat enam butir mutiara
kuning bergemerlapan, sinarnya menusuk mata!
Ibunya mengambil sebutir dan diberikan kepada anaknya
Sambil berkata:
"Nak perhstiKanlah dan amat-amatilah dengan teliti, apa
yang terdapat pada mutiara ini."
Pemuda itu meneliti seperti yang dikatakan ibunya
Tampak di permukaan mutiara, agak menonjol beberapa
duri halus. Terkecuali dari itu terdapat tiga usiran huruf
kecil Ciu Cian Kin. Ia tak mengetahui makna tersebut.
Hanya dengan hati-hati dikembalikan lagi pada ibunya.
"Bu, sudah."
"Apa yang kau lihat anakku?"
"Di permukaan mutiara terukir tiga huruf Ciu Cian Kin."
Mendengar ini tiba-tiba di pelupuk mata sang ibu
tergenang air mata. Hening seketika . . . dengan menahan
sedih sang ibu berkata: "Itu adalah nama dari mendiang
ayahmu!" Dalam kagetnya pemuda itu bertarya: "Bukankah aku
dari keluarga Nio dengan nama Piau."
"Nio adalah She dari ibumu. Hal ini terjadi delapan belas
tahun lamanya. Semua dilakukan demi keselamatan kita.
Dari itu tidak kuperkenankan memakai She Tjiu. Kini
saatnya tiba kau memakai She Tjiu. Tjiu Piau,yah namamu
Tjiu Piau. Enam butir mutiara ini adalah benda peninggalan
mendiang ayahmu. Mulai sekarang kuserahkan kepadamu.
Simpanlah untuk menjaga diri."
Tjiu Piau menyambuti pemberian itu dengan bengong.
"Bu, aku sama sekali tidak pernah mengetahui hal ikhwal
ayah semasa hidupnya."
"Oh! anakku, kejadian delapan belas tahun yang silam.
Tidak dapat segera kututurkan habis dengan serentak.
5 Duduklah dahulu, dengarilah penuturanku. Di butiran
mutiara itu. bukankah terdapat duri halus" Sebenarnya duri
itu sangat beracun. Bilamana mengenai seseorang. Ketikaa
duri itu akan menggores kulit daging si terserang. Racun ini
hanya dapat dipunahi dengan obat pemunah keluarga Tjiu
saja. Pemunah ini demikian mujarab dapat menjaga-jaga
keselamatan orang, dan menghindarkan diri dari racun
kematian. Di tengah-tengah terdapat lima duri yang
merupakan lima helai daun bunga Bwee yang indah.
Karenanya di Kang-ouw terkenal Bwee Hoi Tok Tju keluarga
Tjiu. Sewaktu menurun sampai pada ayahmu. Hal ini lebih
terkenal. Ayahmu bertenaga besar. Gaya melepas senjata
rahasia ini mengandung tenaga seribu kati, sebab inilah
Bwee Hoa Tok Tju berubih nama menjadi Tjian Kin Bwee
Hoa Tok Tju. Inilah senjata ampuh untuk menolong diri dari
bahaya maut. "Ayahmu mempunyai duabelas butir. Tapi biasanya
hanya enam butir saja yang selalu dibawa- bawa,"
Penuturannya sementara terhenti sebentar. Sang ibu
dengan suara dan nada yang halus, perlahan-lahan
melanjutkan lagi penuturannya.
'Delapan belas tahun yang lalu. Ayahmu beserta tiga
saudara angkatnya, bersama - sama mendaki gunung Oey
San untuk mengadakan suatu pertemuan. Semenjak itu ia
tak kembali lagi.
Hanya adik angkat yang termuda kembali seorang diri. Ia
mengatakan bahwa ayahmu dan dua saudara lainnya.
Menemui ajalnya masing masing dalam pertemuan itu.
Menurut perkataan saudara angkatnya itu, sakit hati itu
sudah dibalasnya, dengan berhasilnya ia membunuh musuh
dari saudara - saudara angkatnya itu.
Di balik itu ada pula satu hal yang mencurigai hati! Yakni
di lengan kanan dari saudara angkat ayahmu itu. Tertera
bagai tercerak tanda dari setangkai ( sekuntum ) bunga
bwee merah ..."
6 "Siapa gerangan pembunuh dari ayahku itu bu." tanya
Tjie Piau memotong perkataan ibunya. "Di mana kini
saudara angkat ayah itu" Apa artinya bunga Bwee merah
dipangkal lengannya itu?" Tambahnya pula.
"Puteraku sepuluh tahun lamanya aku menyelidiki hal ini.
Hasilnya masih tetap samar samar. Tahun itu ayahmu
mengangkat saudara. Yang tertua She Ohg. Ayahmu yang
kedua, yang ketiga Sne Tju, yang termuda She Louw
bernama Eng. yarg masih hidup kini. Adapun lawan dari
empat saudara ini tidak lain dari pada, seorang pendekar
kelas utama di dunia persilatan. Nama besar nya
menggoncangkan dunia Kang Ouw, ia sangat dimalui orang.
Namanya Wan Tie No. Semasa hidupnya ayahmu sangat
menghormati pendekar ini. Pertemuan di Oey San
bertepatan sekali dengan hari wafatnya Giam Ong ( Lie Tju
Seng ) dan masuknya tentara Tjeng ke tanah air. Dalam
pertemuan itu ayahmu akan bahu membahu guna berjuang
menghadapi tentara Tjeng. Karenanya kalau ditinjau dari
sudut ini. adalah hal yang tidak termakan otak untuk
mempercayai ayahmu itu terbunuh Wan Tie No. Kecurigaan
besar memenuhi dadaku. Lebih lebih bunga Bwee yang
terdapat pada pangkal lengan Louw Eng itu, siapa lagi kalau
bukan ayahmu yang memberikan tanda tersebut"
Hal inipun dengan secara kebetulan saja dapat
kuketahui. Tahun itu Oey San. Ia bergilir ia menyambangi
kami, pertama ke Ong pee bo, terus ke Tju- siok bo dan
ketika untuk menyampaikan kabar, duka itu. Masa itu
usiamu baru dua tabuh, seorang anak yang masih belun
mengenal apa apa. Kau meronjak ronjak meminta makanan
darinya. Ia menggendong mu sambil menjanjikan akan
membelikan kue dan gula gula di pasar Seketika itu aku
terbaru melihat kecintaannya kepadamu. Siapa kira kau tak
kena dibujuk, tetap berontak rontak sambil mencakar cakar
pangkal lengannya tidak keruan. Tak dinyana dalam usia
sekecil itu, tenagamu sudah demikian besar. Lengan
kecilmu berhasil merobek lengan bajunya-. Seketika Louw
Eng berubah, segera kau diturunkan dari gendongannya.
Dalam waktu sekejap di tempat yang kena sobek kulihat
7 tegas tegas tanda bunga bwee merah dengan lima helai
mahkotanya. Tak lain diri ciri peninggalan mutiara emas itu.
Hatiku terkesiap seketika aku sadar dan memastikan ada
tabir rahasia dalam pembunuhan ini. Untuk menghindarkan
kecemasanku terlibat oleh Louw Eng. Aku pura pura tidak
melihat. Kutarik lenganmu sambil kumarahi. Louw Eng pun
segera pamit berlalu. Malam mendatang secara hati hati
sekali aku bertandang ke rumah Ong Pee bo untuk
memperbincangkan bal itu. Tak Kukira Tju Siok-bu pun
sudah ada di sana tengah membicarakan hal yang serupa
dengan piKiranku. Karena merekapun mendapatkan tandatanda yang mencurigakan.
Kecurigaan kami semakin bertambah. Kami kuatir Louw
Eng mendengus kecurigaan kami. Sesudah berunding kami
berpencar ke tiga jurusan dalam cuaca gelap gulita. Dengan
membawa kau aku melarikan diri kesini. Kini kejadian itu
sudah delapan belas tahun berselang "
Ibu yang tua itu menutur sampai di sini,
Kerongkongannya kering tak dapat bicara. Tjiu Piau bagai
siuman dari pingsannya. Tak diketahuinya kisah
keluarganya demikian ruwet penuh penasaran Ia terbenam
diam. Sesaat kemudian terdengar pula penuturan dari sang
ibu. "Anakku belasan tahun yang lalu aku menyembunyikanmu dengan menukar sebuah nama di desa yang sunyi ini.
Sepenuh tenaga kucurahkan untuk mencari giro berilmu


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puna mendidikmu- Menyesal sekali sesudah negara kacau
balau. Pendekar pendekar menghilang di tengah tengah
rimba rimba dan pegunungan sunyi. Untuk mencarinya
sukar sekali. Akhirnya dengan sekuat tenaga kudidik kau.
Tapi kepandaianku ada terbatas, sehingga aku tak dapat
mendidikmu secara lebih sempurna. Terkecuali itu segala
kepandaianku sudah diturunkan habis kepadamuUntunglah kau adalah seorang anak yang rajin dan giat
serta bersemangat. Barusan sudah kuuji kebisaanmu.
Nyatanya dalam keadaan bagaimana juga kamu bisa
menghadapi segala kemungkinan.
8 "Ilmu warisan ini jika sepenuh hati diPelajari. Kiranya
untuk menjelajah dunia Kang Ouw sudah cukup menjamin
diri. Anakku tiga hari kemudian, kau harus menerjunkan diri
ke dunia Kang Ouw. Perihal urusan ayahmu dan hal Louw
Eng. Tidak perduli apakah dendam atau budi. Kubebankan
kepadamu untuk mengurusnya menjadi terang!"
Semenjak kecil Tjiu Piau dirawat dan dilindungi ibunya.
Mengingat harus berpisah batinnya menjadi sedih. Tapi
tugas berat sudah terletak di bahunya. Ia termenung
sejenak. Kemudian dengan suara tegas ia berkata: "Bu,
kendati aku harus melalui tebing curam dan melintasi lautan
badai, tugas ini akan kujalani dengan -baik!" tambahnya
pula, 'bu aku mohon penjelasan pula. Apakah Ong Pee-pee
dan Tju Siok siok terbinasa pula dalam pertemuan di Oey
Sian itu?"
"Hal ini memang niat kututurkan pula. Akan Ong Peepeemu itu bernama Tie Gwan, seorang yang memiliki
kepandaian tinggi. Sayang ia gemar mengembara, dan
enggan menerima murid atau mendirikan perguruan.
Semasa mudanya ia mengangkat saudara dengan ayahmu.
Kemudian jarang sekali kami bertemu muka.
Tahun itu ke empat saudara angkat bersama - sama
mendaki Oey San. Waktu kembali tertinggal Louw Eng
seorang. Kebinasaan dari ayahmu serta Tju Siok-siokmu,
sungguh menyedihkan sekali karena sekalian dari
jenazahnya tak dapat diketemukan. Menurut Louw Eng,
ayahmu dan Tju siok-siok terpukul jatuh ke dalam jurang
dan hancur dimakan cadas gunung yang tajam tajam.
Hanya jenazah dari Ong Pee-pee seorang masih utuh dan
dapat dimakamkan di kaki gunung Oey San dengan baik.
Pemakaman ini dilakukan oleh Louw Eng dan Ong Pee
bo, setengah bulan kemudian sesudah terjadi peristiwa di
Oey San. jenazah Ong Pee pee masih tetap segar, karena
hawa di gunung sangat dingin. Sewaktu ditukarkan pakaian.
Tampak satu telapak tangan yang sudah menjadi hitam
ngejeplok di punggungnya. Pasti disebaDkan dari pukulan
dansyat sang lawan. Pantasnya Ong Pee pee waktu kepukul
9 mengerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan. Sang
lawanpun tentu mengerah kan iwekangnya. Dari itu darah
menjadi beku di situ dan menggambarkan telapak tangan
dengan tegas. Waktu itu Louw Eng terisak isak nangis sambil memukulmukul dada ia berteriak; '"Wan Tie No! Wan Tie No!
Tangan besimu sangat ganas dan kejam sekali! Walaupun
aku sudah dapat membinasakan kamu dengan menubleskan
pedang ke tubuhmu, sehingga sakit hati dari saudara
saudaraku sudah terbalas. Tapi bagaimana aku dapat
menghilangkan kegusaranku demikian saja!" Sudah itu
Louw Eng menjatuhkan diri menangisi layon jenazah Ong
Pee- pee sambil sesambatan dan menyedihkan sekali.
Ong Pee - bo saat itu tengah berduka sekali. Mendengar
kata kata Louw Eng itu, berkobar kegusaran dan kebencian
pada Wan Tie No, kemendongkolannya itu hampir-hampir
saja meledakkan dadanya!
Ong Pee-bo agak tenang sesudah upacara pemakaman
selesai. Malamnya di rumah, dalam kekeruhan dan penderitaan
batin, la mengingat satu hal yang membangkitkan perasaan
curiga. Wan Tie No terkenal di jagat raya berkat lengan
besinya. Lebih - lebih tangan kirinya lebih ampuh lagi dari
tangan kanannya. Setiap pukulan kematian selalu datang
dari tangan kiri itu. Tetapi telapak tangan yang terdapat di
punggung Ong Pee pee, adalah telapak tangan kanan!
Lebih-lebih kecurigaan ini menjadi lebih besar. Ketahuilah
terlebih dahulu tangan kanan Wan Tie No mempunyai enam
jari, yakni di ibu jarinya tumbuh pula sebuah jari kecil.
Misalkan ia menggunakan tangan kanan. Telapak itu harus
melukiskan ke enam jari itu. Akan tetapi telapak di tubuh
Ong Pee pee itu hanya menggambarkan lima jari. Dari segi
ini dapat dipastikan, pukulan itu datang dan seorang lain!
Ong Pee bomu itu sedikit juga tidak dapat bersilat Tapi
semen jak kecil hidupnya mengembara saja dengan
ayahnya. Sesudah nikah dengan 0ng Pee pee, segala
kejadian di rimba persilatan cukup diketanui dengan jelas.
10 Ong Pee peemu mempunyai nuikang yang sangat tinggi,
waktu itu orang yang dapat sekali pukul membinasakannya,
terkecuali dari Wan Tie No tak ada orang ke dua yang dapat
melakukannya. Ong Pee bo memeras otak semalaman
penuh untuk mengingat ingat orang orang yang berilmu
dalam golongan Liok lim. Tetapi hasilnya sia sia saja. Ia
berpikir tiga hari tiga malam, lupa makan lupa tidur.
Akhirnya ia muntah darah! Ketika aku datang untuk
menyambanginya, guna memperbincangkan bunga Bwee
yang tertera di pangkal lengan Louw Eng, Kecurigaannya
bertambah tambah.
Dengan badan dirundung sakit ia berpisah dengan kami.
Bertahun tahun berlalu tanpa kabar cerita. Entah
bagaimana akan penyakitnya.
Berceritera tentang diri Tju Siok siokmu, lebih lebih
mencurigai. Hui Tnian Wan Tju Hong (Kera terbmg dari
langit Tju Hong), Namanya sangat terkenal di dunia kang
ouw jauh dan dekat. Ilmu mengentengkan tubuhnya yang
lihay, boleh dikatakan tak ada ke duanya. Di badannya
tidak pernah tertinggal seutas tambang panjang berkaitan
di kedua ujungnya. Dengan mengandalkan tambang ini, ia
dapat lari bagai terbang dilereng lereng gunung curam
bercadas cadas.
Wan Tie No berkepandaian lebih tinggi dan padanya. Tapi
untuk menjatuhkan dan membinasakannya ke dalam
jurang, bukan hal yang mudah!"
Saat ini malam mendatang, kegelapan memenuhi ke
dalam gubuk kecil itu. Hanya lilin dart meja abu, berkelap
kelip menerangi ruangan.
Tjiu Piau seolah olah dirinya sudah pergi ke tempat jauh.
Seperti sudah berada di puncak gunung Oey San dan
menyaksikan kejadian peristiwa tahun tahun yang silam di
kedua matanya. Sayang sekali .bayang bayang tersebut
menjadi kabur dan hilang dari pandangan mata. Kejadian
itu serupa dengan impian! Telinganya yang masih
terbentang mendengar pula penuturan terlebih lanjut dari
ibunya. 11 Tambang dari Tju Hong panjangnya tiga depa. Bukan
tambang sembarang tambang, sebab terbuat dari ribuan
benang emas halus dan seutas tali besi yang sudah diolah
demikian rupa. Dipilih menjadi satu. Segala benda tajam
berupa golok dan pedang biasa, Jangan melamun dapat
memutuskannya. Tambang ini menjadi senjata pula untuk Tju Siok siokmu.
Ia dapat turun naik ditebing tebing dan jurang jurang curam
mengandalkan tambangnya itu. Caranya ialah menggaet
pohon pohon di gunung dengan pengaitnya yang terdapat di
kedua ujung tambang. Waktu ujung pengait yang satu
menggaet pohon ujung yang lain berada di tangan, dari itu
sekali kedet tubuhnya merapung ke depan. Silih berganti
kaitaan itu dikerjakan dengan cepat. Puncak dan bukit yang
tinggi dengan waktu sebentar saja dapat didaki!
Tempo hari, waktu Louw Eng pulang, hanva membawa
sebagian tambang dan separo dari kaitannya yang sudan
kutung. Menurut ceritanya Louw Eng. Sewtktu Wan Tie No
berbasil memukul Tju Siong jatuh ke jurang. Tju Hong
menggaetkan tambangnya ke batang pohon Siong tua. Wan
Tie No cepat menabaskan pedangnya. Hai itu Tju Hong
tengah menggenjot tubuhnya dan melayang di udara
menuju ke atas. Ujung lain dari tambangnya menggaet ke
batang pohon yang berada di dekat Wan Tie No.
kesempatan ini tidak disia siakan Wan Tie No. Tambang itu
ditabas dan mengenai kaitannya, kaitannya pun putus kena
pedangnya itu. Tju Hong terkaturg katung di udara tanpa
pegangan. Dengan satu Jeritan yang menyedihkan
tubuhnya jatuh ke dalam jurang."
Tiu Siok-bo meneliti tambang dan kaitan yang tinggal
separo itu dengan perasaan pedih. Bekas tabasan pedang
itu sangat mengkilap. Pedang itu pasti pedang
mustika.Malam itu Tju Siok-bo mempercakapkan hal itu
pada Ong Pee-bo. Hal ini hanya menambah-nambah saja
kecurigaan yang sudah demikian besar.
Wan Tie No seumur hidupnya menjagoi dan terkenal
berkat tangan besinya. Tak pernah tertarik akan segala
12 senjata. Misalkan ia membutuhkan juga paling banter ia
membawa senjata biasa saja. Wan Tie No seorang yang
jujur, tidak ada satu hal yang tidak dikatakan kepada
temannya. Andai kata ia mempunyai pedang mustika, hal
ini pasti diketahui orang-orang Kang ouw.
"Kemungkinan besar yang mencelakakan Tju Hong
pdalah orang lain. Tidak tahu pedang mustika itu bernama
apa?" Ibunya berkata lagi: "Benar seperti katamu. Waktu itu
kamipun berpendapat demikian. Louw Eng tidak
menjelaskan sesuatu dengan jelas. Karenanya kamipun
tidak mau memaksa minta bukti bukti yang nyata. Malam
itu diam diam kami berunding untuk mendayakan dan
mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Berkali kali
mencari jalan, alhasil nihil semua. Kau harus tahu, sewaktu
ayahmu dan Louw Eng mengangkat saudara. Ia masih
muda sakali. Kemudian ia pergi ke Kwan Tong
mengembara. Tatkala kembali, wajahnya berubah demikian
macam, wataknyapun agak berlainan, Kami kaum wanita
enggan untuk mengatakannya perihal seseorang lelaki.
Malam itu kami terdiam tak berdaya untuk mengetahui
sesuatu yang lebih lanjut. Tiba - tiba dari wuwungan rumah
berkelebat sinar putih, menyusul benda jatuh menimpah
meja. Kami terkejut, aku meloncat ke atas rumah. Tapi
sepotong bayanganpun tak terlihat di mata. Benda itu ialah
bungkusan kain putih berisi Bwee Hoa Tok Tju. Di kain itu
terdapat beberapa tulisan."
"Apakah mutiara itu senjata ayah?" tanya Tjiu Piou.
Ibunya diam termenung. Dalam matanya seolah-olah
menggambarknn kejadian dikala itu.
"Betul. Ketika itu kugenggam dan kuremas remas
mutiara itu. Tak salah memang senjata yang biasa
menyertai ayahmu, sebanyak enam butir," Sambungnya
pula, "aku lupa segala galanya. Mutiara itu erat erat ku
genggam Air mataku tak tahan tidak keluar.
Mendengar sampai di situ, Tjiu Piau berseru kaget:
13 "Bukankah mutiara itu beracun bu!"
"Yah memang beracun. Waktu kena durinya aku baru
merasa sakit. Segera kusadar atas racun dari mutiara itu!
Tapi hatiku mengambil putusan pendek. Agaknya aku ingin
dengan segera menyusul ayahmu ke tanah baka. Sengaja
ku remas remas semakin keras! Biasanya barang siapa
terkena racunnya yang demikian lihay , Pasti pingsan
seketika. Tak terkira sedemikian lama kuremas-remas.
sedikit reaksipun tidak terasa. Kubuka tanganku, hanya
terdapat tetesan darah mengalir dari telapak tangan. Tak
ada tanda tanda kena racun kiranya racunnya sudah sirna.
Mungkin di sebabkan terlalu sering dipergunakan
menyerang, entah berapa banyak orang. Racun racun itu
sedikit demi sedikit hilang meresap di daging si korban.
Kalau dipikir kedatangan tamu malam pasti untuk mencari
balas, tapi mengherankan, di kain pembungkus terdapat
empat baris sajak yang berlainan dengan perkiraan kami.
Sajak itu berbunyi:
Peristiwa Oey San membawa dendam bagai lautan.,
Delapan belas tahun hidup menanggung penasaran..
Putera puteri membawa pedang mendaki Oey San.
Tamu menanti malam Tiong Tjiu , bulan delapan.
Sajak itu terang-terang mengatakan pertemuan di Oey
San mengandung perkara penasaran. Maksudnya, delapan
belas tahun kemudian, dikala malam Tiong Tjiu. Anak anak
dari generasi kemudian pergi mendaki Oey San. Di sana ada
seorang menantikan kedatangan mereka untuk
menerangkan hal penasaran dan dendam itu. Kata kata ini
meyakinkan dan menghilangkan keraguan, bahwa
pendatang malam itu bukan musuh, tapi kawan."
"Jika demikian, pertemuan Oey San, pasti dihadiri pula
orang banyak!"
"Menyesal tak diketahui siapa dia. Hingga kini masih
sukar diketahui. Selanjutnya malam itu, kami tidak dapat
seketika mendapat kepastian. Tapi kalau kami tetap
14 berdiam di tempat lama. Tidak menguntungkan. Dari itu
untuk sementara kami berpisah. Masing masing berpisah
dan bersembunyi guna membesarkan anak anak. Delapan
belas tanun kemudian berjanji saling bertemu dan
berkumpul lagi. Serentak kami malam - malam berpisah
meninggalkan kota Souw Tjiu dengan berlinang air mata.
Perpisahan ini terhitung sudah delapan belas tahun
lamanya, tapi rasanya baru kemarin saja terjadinya. Yang
nyata kini aku sudah beruban dan kamu sudah dewasa."
Menuturkan sampai di sini tak tertahan lagi, air mata ibunya
mengalir dengan deras.
Sang ibu menyeka butiran - butiran air mata. Dari dalam
kotak dikeluarkan lagi dua macam barang. Satu mutiara


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emas, satu lagi semacam carikan kain.
"Mutiara ini biar aku simpan, karenanya dengan setiap
hari bertemu. Sama dengan bertemu ayahmu. Adapun
carikan kain ini, ialah benda kepercayaan sewaktu berpisah.
Kau tahu sajak itu terdiri dari empat baris. Ong Pee pee
mempunyai seorang putera dan seorang puteri. Tju Sioksiok hanya mempunyai seorang putera, terhitung
denganmu semua empat orang Masing - masing mendapat
sebaris dari sajak itu dan berjanji pada tahun ini akan
berkumpul pada malam Tiong Tju di puncak gunung Oey
San. Sebagai tanda kenal dan bukti, yakni menggunakan
carikan kain ini."
Tjiu Piau menerima dan membuka benda itu. Ia
menerima baris kedua dari sajak itu.
"Delapan belas tahun hidup menanggung penasaran".
Tulisan itu demikian indah, agaknya buah tangan seorang
wanita. Kata kata sajak itu meresap dalam ingatan Tjiu Piau.
Dimasukkannya ke dalam sakunya dengan hati hati. Kesal
hatinya tidak dapat segera terbang dan melampiaskan
dendam dan sakit hati. Tiba tiba sesuatu pertanyaan timbul
dalam hati nya,
"Bu, tidak tahu anak anak keluarga Ong dan Tju
15 mempunyai ciri ciri apa untuk dikenal. Kapan bertemu aku
harus bagaimana membahasakan diri pada mereka?"
Ibunya menarik napas sebentar, lalu menjawab :
"Kejadian sungguh kebenaran adanya. Kalian berempat
sebaya saja. Kala kejadian Oey San, putera sulung dari Ong
Pee pee baru berusia tiga tahun. Tubuhnya sangat besar
dan gemuk, dari itu kami biasa memanggil A Pang (si
gemuk) ia terbenar diantara kalian. Jika bertemu
dengannya panggillah toako (kakak) karenanya ia
mendapat baris pertama dari sajak ituYang kedua ialah
kamu sendiri dan mendapat baris kedua dari sajak itu. Yang
ketiga adalah putera tunggal dari Tju Siok-siokmu, waktu
itu ia baru berusia satu tahun,mendapat baris ketiga dari
sajak itu. Baris keempat terjatuh pada puteri Ong Pee pee
yang kala itu baru lahir beberapa bulan. Dua anak yang
belakangan ini sampai nama kecilnya saja aku lupa. Sebab
waktu berpisah terlalu tergesa gesa. Sampaipun hal penting
ini kulupakau suiah. Lebih lebih bicara tentang parasnya,
sekali kali tak dapat kuingat pula. Tahuu itu kalian hampir
serupa saja wajahnya."
Pembicaraan ibu beranak itu melupakan Waktu. Ceritera
semakin panjang, waktu terasa semakin singkat. Ibu itu
teramat teliti dalam mengemukakan penuturannya tentang
keempat dari saudara angkat itu.
Lain hal yang diketahuinya, juga tidak luput dalam
penuturannya itu. Tjiu Piau baru sadar, bahwa pertemuan di
Oey San Itu. Telah menggemparkan dunia Kang ouw dan
rimba persilatan. Hal yang lebih lebih menggoncargkan
kaum Kang ouw: matinya Wan Tie No dalam tangan Louw
Eng. Sehingga kegagahan Louw Eng dalam waktu semalam
saja sudah tersiar luas. Tapi tidak lama kemudian Louw EDg
tidak dianggap sebagai pendekar Kang ouw lagi. Ia
menyerahkan diri dan menjadi budak bangsa Boan. Entah
apa jabatannya di istana tidak ada yang mengetahui. Yang
diketahui pengaruhnya sangat besar dan berkuasa
dikalangan istana.
Ayam jago berkeruyuk memperdengarkan suaranya. Pagi
16 mendatang dari ufuk timur dengan sinar yang berkilau
menerobos di celah-celah pohon di desa itu.
"Anakku, pertama kali kau ke luar pintu, kau belum kenal
jalan.. Dari itu janganlah menyia - nyiakan waktu. Tiga hari
kemudian segeralah kau pergi ke Oey San. Kini baik baklah
pergunakan waktu tiga hari untuk melatih diri Bwce Hoa Tok
Tju terdiri dari tiga kali tujuh, duapulub satu jurus. Aku
hanya apal tujuh jurus saja. Kesemuanya sudah kuturunkan
kepadamu. Sisanya masih ada empat belas jurus lagi. Ini
dapat kau pelajari menurut buku, ada di sini, ambillah dan
selidiki serta pelajari. Terkecuali itu racun dari mutiara
emas kini sudah hilang. Tapi cara pembuatannya aku masih
ingat dengar baik. Dalam waktu tiga hari, kita pergi ke
gunung untuk mencari bahan bahan dari racun itu. Sekalian
kau pelajari juga cara membuatnya. Kalau hal ini sudah
selesai hatiku lega sekali untuk melepaskan kau dari
pangkuanku."
"Aku setuju dengan usulmu bu. Tapi aku berkeberatan
untuk menggunakan Bwee Hoa Tok Tju. Aku sudah biasa
menggunakan batu batu kecil"
"Racun mutiara itu bagaimana dapat dipakai dalam
batu!" tegur ibunya sambil cemberut.
"Aku tak ingin melakukan seseorang dengan, racun bu!"
Sang ibu mengerti kejujuran anaknya, AtaS ini
seharusnya ia merasa syukur dan bangga. Tapi Tjiu Piau
baru besar, dengan sebatang kara menceburkan diri ke
dunia Kang ouw. Kalau tidak persenjatakan ilmu warisan ini,
tak tenang akan hatinya. Dengan keras ia berkata:
"Anakku, kau jawablah pertanyaanku. Misalkan kau
berhadapan dengan pembunuh ayahmu, tidak juga kau
mempergunakan mutiara emas ini untuk melukainya?"
Mendengar ini Tjiu Piau mengenakkan gigi sambil
berkata: "Kalau dapat kucari manusia terkutuk itu. Detik itu juga kuhajar dengan senjata beracun ini!"
"Nah! demikian baru benar, racun ini harus baik baik
dibuatnya. Biar penjahat penjahat di kolong langit dapat
17 menikmati benda ini,"
Seiring dengan datangnya fajar hujan rintik rintikpun
turun mendatang. Percakapan antara ibu dan anak
semalam suntuk tanpa henti hentinya. Kini tanpa
menghiraukan pada keadaan alam, tanpa tidur lagi.
Langsung mendaki gunung untuk memetik ramuan obat
obatan untuk racun dan berlatih silat.
Gunung Thian Bok berdiri tegak dengan megahnya. Bukit
bukitnya tinggi berantai,tebing tebingnya curam dan dalam,
tersusun demikian rapi, menambah keindahannya. Kini
diliputi dan diselimuti kabut putih. Jauh dan dekat hanya
halimun tebal yang terlihat Di gunung tampak bermacam
macam pohon dan bunga bunga indah.
Ibu dan anak itu tak tergerak hatinya guna menikmati
pemandangan alam yang demikian indah itu. Hanya
melanjutkan perjalanannya untuk mencari tempat sunyi.
Beberapa lama kemudian mereka tiba di suatu bagian
gunung yang jarang dikunjungi dan dipijak manusia.
Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di sini semua aneh dan
jarang dilihat manusia. Kiranya Thian Bok terkenal sebagai
tempat menghasilkan obat obatan. Segala pohon obat yang
jarang dan tak ternilai harganya membayak memenuhi
lereng dan jurang. Sambil berjalan sang ibu tidak henti
hentinya memetik pohon pohon obat. Dua jam kemudian
udara berubah menjadi cerah. Mereka sampai di tempat
yang sunyi dan permai. Diapit dua tebing yang indah
terletak sebidang tanah datar kecil.
"Bu, istirahatlah di sini. Berilah petunjuk petunjuk, aku
ingin berlatih."
Sang ibu walaupun semasa mudanya mempelajari ilmu
silat. Tapi tidak tinggi, tambahan sudah lanjut usianya. Tak
heran sudah letih juga. Dikeluarkannya buku pusaka ilmu
Warisan keluarga Tjiu dan diberikan kepada Tjiu Piau.
"Buku ini memuat cara cara melatih bagaimana harus
melepaskan senjata rahasia Bwee Hoa Tok Tju yang ampuh
itu. Semua terdiri dari tiga gelombang. Gelombang pertama
18 terdiri dari tujuh jurus, dipergunakan waktu dalam keadaan
terdesak dan genting. Dengan jurus Pek Ho Tiong Thian
(Bangau putih mencelat ke udara) ditambah enam jurus
lainnya. Segala serangan musuh dari empat penjuru dapat
dihindarkan. Di samping itu masih berketika untuk
membalas menyerang dengan mutiara emas ini. Gelombang
pertama ini sudah dipelajari Tjiu Piau dengan sempurna.
Buktinya sudah dipertunjukkan di rumah. Kini- menurut
petunjuk buku ia berlatih sekali lagi. Tanah di gunung
berlumut dan licin, tambahan baru habis hujan. Tapi Tjiu
Piau dapat melakukan setiap gerakan dari setiap jurusnya
sekehendak hatinya. Melihat ini ibunya bukan buatan rasa
senangnya. Gelombang kedua lebih menakjubkan lagi.
Diperuntukkan menghadapi diri waktu dikurung dan
diserang musuh. Ilmu ini dapat menyelamatkan diri dengan
berhasil. Caranya ialah dengan satu kaki diangkat. Kaki
yang menempel pada tanah tidak henti hentinya meloncat
loncat menotol tanah dengan keras Tubuh dibuatnya
berputar putar hebat bagai kiliran. Karenanya walaupun
dikurung musuh dari empat penjuru. Mata masih dapat
melihat setiap gerakan musuh dengan tegas. Di mana ada
lowongan segera mempergunakan Sian Hong Kian Tjiok
(angin puyuh menggulung batu) menyusul Sun Lui Thiao
Tjiang (petir dahsyat dari langit) Serta ketujuh macam cara
melepas mutiara iainnya. Musuh yang bagaimana
tangguhpun sukar dapat meluputkan diri. Ketujuh jurus ini
tidak mudah dapat segera diselami dan dipelajari Tjiu Piau
menurut petunjuk petunjuk buku dan ibunya yang pernah
malihat Tjiu Tjian Kin dulu melatih diri. Baiknya Tjiu Piau
sangat cerdas, sesudah berlatih setengah hari, ia sudah
faham. Di sebuah batu berlumut yang licin ia berdiri Tak
jera jeranya mengulang ulang pelajaran ini. Semakin
berputar semakin menyenangkan, badannya diputar
menyerupai gulungan asap, mendadak beruntun Serangan
batu dengan dahsyat dilepaskan ibunya. Tjiu Piau dengan
tenang mengegos atau berkelit dan menghantam lagi
dengan batu. Memunahkan semua serangan. Dalam
kagetnya Tjiu Piau merasakan suara itu masih
19 berkumandang dalam telinganya. Pasti suara seorang gadis.
Lemah lembut cukup menarik, membuat hati si pendengar
merasa nyaman. Suara itu datang kira kira tidak lebih
sepuluh tindak dari Tjiu Piau Walaupun hujan rintik rintik
membasahi bumi. Mata dapat melihat sejauh seratus
tumbak. Tapi sejauh mata memandang, hanya tampak
goyangan goyangan rumput dalam kesunyian saja yang
kelihatan. Di mana dan mana ada bayangan orang"
Ibunya sesudah berdiam diri sejenak lantas berkata :
"Anakku, turunlah. Agaknya tempat ini tidak sesuai untuk
berlatih marilah kita cari tenpat lain."
Tjiu Piau masih mengawasi sekeliling dengan heran. Ia
meloacat turun dari batu cadas, menurut kata ibunya.
Belum kedua ibu daa anak melangkah, mendadak datang
suara gaib berkeresek. Membuat pendengar merasa
waswas. Agaknya suara itu datang dari tebing, makin lama
makin dekat! Tjiu Piau dengan mata mudanya yang awas, segera
menampak seekor ular berwarna merah mendarah.
Kepalanya besar, tapi badannya kecil. Panjang tubuhnya
lebih kurang sepuluh depa. Tengah asyik merosot dari
tebing. Dilaluinya pohon pohon dengan cepat dan
menghampiri mereka. Tjiu Piau berteriak: "Bu awas ular!"
Sambil menghadang tubuhnya di muka ibunya.
Dikata lambat tapi cepat. Ular merah itu sudah berada di
hadapan Tju Piau. Kepalanya berdiri. lidahnya yang hitam
pekak mengelel panjang. Tubuhnya mempunyai titik garis
garis hitam. Sungguh menakutkan. Ular itu mengkerat
sedikit, sekonyong konyong mencelat bagai kilat menyerang
lambung Tjiu Piau. Sekilat mungkin Tjiu Piau mengegos ke
kanan, tangan kirinya menolak perlahan sang ibu sambil
memperingati: "Bu lekas berlalu!"
Sungguh mengherankan ular itu hanya memperhatikan
Tjiu Piau saja. Matanya menatap dengan buas. Sekali
serangannya tak membawa hasil, dengan cepat cepat
tubuhnya berputar ke kanan. Ekornya menempel tanah, ia
20 berdiri tegak bergoyang goyang ke kanan dan ke kiri.
Matanya yang buas membayangkan ingin segera mencaplok
Tjiu Piau bulat bulat.
Tjiu Piau sebenarnya memegang beberapa butir batu
batu kecil. Tapi kini tak ada garang sebutir, entah kapan
disebarkan. Ia meloncat ke belakang, ular Itu menggeleser
membayangi. Ibunya tergesa gesa berkata: "Anakku, pergunakan
mutiara!" Tjiu Piau tersadar, tangannya segera mengambil
mutiara. Ular itu sesudah mengkeret sebentar, kembali
menyerang pula. Tjiu Piau mencelat ke atas berbareng
melepaskan mutiara mutiara itu. Semua menyerang jalan
kematian, alhasil semuanya mengenai dan terbenam dalam
tubuh ular di bahagian tengah. Ular itu tak mengira akan
mendapat hajaran. Sesudah menggeliat sebentar, terus
menerjang Tjiu Piau kembali dengan kegila gilaan. Tjiu Piau
meloncat kaget, sejauh tujuh delapan depa tatkala ia
menoleh, ular itu masih saja membayangi dengan erat.
Tubuhnya melayang di udara ekornya disabetkan bagai
cambuk menyapu datang. Tjiu Piau kembali meloncat, ular
itu kembali mengikuti. Tjiu Piau belum pernah berkelahi
dengan ular, dalam gugupnya ia lari lagi. Sesudah ia lari
dua lie baru ular itu tak kelihaian mata ekornya. Baru saja
Tjiu Piau tenang sebentar, hatinya kembali cemas memikiri
nasib ibunya. Tiba tiba berbunyi lagi desisan ular itu, nyatanya ular itu
sudah berada di hadapan mukanya, kelincahan ular itu tak
ada taranya. Badannya menempel bumi dalam sekejap
mata sudah sa mpai dekat kakinya. Tjiu Piau kaget,
setengah mati. Cepat-cepat kakinya menotol bumi, ia
meloncat. ular itu agaknya sudah mengetahui akan adanya
gerakan ini. Bergemingpun tidak. Kepalanya menjulur ke
atas menantikan Tjiu Piau turun. Dengan tubuh di udara
Tjiu Piau merasa kaget. Mendadak ia ingat perkataan ibunya
ular harus dipukul tujuh centimeter di belakang kepalanya.
Dalam kegirangannya Tjiu Piau segera mengeluarkan jurus
'Siang Liong Tok Tjiu' (Sepasang naga nyemburkan
mustika). Dua butu mutiara itu tepat menembus di


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

21 belakang kepala ular itu sejauh tujuh centi meter Sekali
jungkir tubuh Tjiu Piau hinggap sejauh satu tumbak dari
tempat asal. Ular itu sudah tak berkutik. Secepat kilat Tjiu
Piau mengirimkan dua butir lagi. Ia baru sadar ular itu,
sudah jengkar menjadi mayat. Baru saja ia menarik napas
lega. Lagi lagi berkumandang suara anak perempuan itu.
Saat itu kabut mendadak turun di muka bumi dan
memenuhi pegunungan. Dengan tangan menjinjing ular.
Tegak ia berdiri dibawah tetesan hujan dan liputan kabut.
Matanya mencelos memandang keempat penjuru. Hatinya
berdebaran keras. Mendadak dan tiba tiba mendatang suara
dari dekat sekali. Suara tertawa dan teguran masuk
kedalam telinga Tjiu Piau dengan berbareng.
"Hai! Kenapa kau bunuh Tan-djieku?"
Suara itu datang dari samping tubuh Tjiu Piau, ia
menoleh dencan kaget. Dalam cuaca remang-remang di
dalam kabut dan hujan gerimis, tampak sesosok tubuh
seorang gadis berpakaian putih. Berusia lebih kurang limaenam belas tahun. Ia tersenyum jenaka. Raut mukanya
bulat, mulutnya mungil. Matanya hitam jernih dan bergigi
putih mengkilap bagai salju. Ketawa itu ketawa lircah dan
nakal. Sukar untuk mengetahui makna senyumnya itu.
Entah apa yang tengah direnungkan dan dipikirkan
olehnya" Diam diam Tjiu Piau berkata di dalam hati: "Mungkinkah
di dunia ini benar benar ada dewa dan dewi?"
Dalam lirikan matanya, sedikit juga tak terlihat noda
noda kotor dalam baju putih si gadis itu. Tak ubahnya
seperti bidadari turun dari kayangan. Tjiu Piau merasakan
sesuatu yang ganjil. Ia kesima dan tidak dapat berbuat apa
apa. Matanya tak tahan mengawasi gadis itu lama lama.
Bertepatan gadis itu juga tengah asyik menatap. Empat
mata bentrok, gaya tenaga mata dari sang gadis membuat
Tjiu Piau tunduk. Mata itu demikian berpengaruh, bagai
benda suci yang tak dapat dijamah. Gadis itu kembali
berkata "Hayoh bicara, kenapa kau membunun Tan djieku
yang kucintai. Bila tidak bicara bisa tahu!" Tjiu Piau
22 deredetan gugup, menjawab; "Siapa yang membunuh Tan
djiemu?" Gadis itu mendadak tertawa bergelak- gelak
"Apa yang kau jinjing di tanganmu?" "Seekor ular "
"Nah, itu bukan?" ia berkata, badannya tergoyang
sedikit, melewat di samping Tjiu Piau. Dua jeriji kirinya
terjulur menuju mata sang jejaka. Tjiu Piau cepat - cepat
mendek, ular sudah berganti tangan.
"Aduh kagetnya sedemikian macam, siapa sih yang
benar benar akan mengkorek mata mu?" ia bicara tanpa
memperdulikan Tjiu Piau. Ularnya diletakkan sambil diusap
usap di tanah, dan menangis dengan sedih sekali!
Tjiu Piau merasakan gadis ini mengherankan dan
membingungkan. Dalam hutan dan di dalam gunung dari
mana datangnya orang ini" Saat ini Tjiu Piau mendengar
panggilan ibunya. Hatinya berpikir lebih cepat berlalu lebih
sempurna. Ia segera berlalu. Baru melangkah dua tindak,
gadis itu berteriak memanggilnya. "Hei! Barangmu yang
tertinggal tak mau diambil!" Tjiu Piau berdiri menanya.
"Barang apa?"
"Mutiaramu, dibuang saja?"
Tjiu Piau berpikir sebentar. Keenam mutiara peninggalan
dari mendiang ayahnya, semua sudah bersarang di tubuh
ular itu. Biar bagaimana harus diambil. Tapi bagaimana
membuka mulut untuk memintanya. Gadis itu berkata:
"Ular ini sudah mati, sudah tidak resep aku main
dengannya. Aku tak mau lagi sudah. Hitung hitung tidak
menyusahkan kamu!"
Tangan kirinya mencekal ular, dengan pisau di tangan
Kanan digores-gores mayat ulur itu, menyusul suara
merontok dari butiran butiran mutiara berjatuhan di tanah.
Gadis itu berbicara sendiri: "Sayang, sayang Tjian Tok Tjoa (ular seribu racun ) ini sudah diberikan kepadanya. Masih
tak mau mengambil besi berkarat ini kah?" katanya lagi.
Tjiu Piau cepat-cepat meraup mutiaranya dan segera
berlalu. Gadis itu sambil cengar-cengir kembali
menghadang perjalanannya, seraya berkata: "Bagaimana"
23 Kau sudah membunuh ularku dan sudah menghisap bersih
seribu macam racunnya. Sedikit juga kau tidak
menghaturkan terima kasih masa akan berlalu begitu saja?"
Tjiu Piau berkata dengan gugup: "Siapa yang kesudian ular
seribu racunmu itu." Gadis itu dengan gusar berkata. "Kau benar benar gila, apa pura pura berlagak pilon" Kalau dilihat
usiamu pasti lebih besar dari aku. Aku mengerti masa kau
tidak!" Tengah mereka asyik berdebatan, di udara terdengar
suara elang membunuh burung gereja Gadis itu mendongak
ke atas, mulutnya berbunyi cek cek cek meniru suara
burung. Sepontan dari atas melayang seekor elang hitam
menuju bumi. Gadis itu melemparkan ular aneh yang
dipegang itu ke udara. Elang hitam itu menyambut dengan
kedua kukunya dengan tepat, sambil berbunyi keriangan
elang itu terbang pergi. Tjiau Piau tak mengerti apa yang
tengah dipertunjukkan, waktu ia dongak ke atas. Terlihat
elang hitam itu tengah mematokkan paruhnya pada ular itu.
Hanya tersentuh sedikit akan lidahnya pada ular itu. Kedua
sayapnya segera teklok tak bertenaga. Sayapnya hanya
mengelapak ngelapak dua kali, lantas jatuh menukik ke
bawah. Gadis itu siang siang sudah menampani lengannya.
Elang itu dikeset sayapnya, dan dilempari kepada Tjiu Piau
sambil berkata: "Periksalah dengan benar! Elang itu sudah
jengkar mati. Di tempat terkeset terlihat dagirgnya yarg
telah hitam hangus, sungguh menakutkan sekali. Gadis itu
berkata sambil tertawa: "Lihatlah, barang siapa kena racun
ular seribu racun ini. jadinva begitu. Bicara lari sejujurnya
racun ini baik atau tidak?" Tjiu Piau menggigil
mendengarnya. Hatinya mengatakan lebih baik "egera
berlalu, ia berkata: "Racun itu demikian dahsyatnya, tapi
diberipun aku enggan menerimanya. Untuk permainanmu
saja yah!" ia segera berjalan pergi. Kata-kata ini membuat
alis si gadis yang lentik mendjadi berdiri, bahna
dongkolnya.. "tau membersihkan diri dari kesalahan
demikian baiknya, tak mau tak dipaksa. Tinggalkan
mutiara-mutiara itu! Hm . . kau tahu dengan seribu macam
ular berbisa ku pelihara ia menjadi besar. Sekujur badannya
penuh dengan bisa bisa yang mematikan, dari itu dinamai
24 ular seribu racun. Tak kira mutiaramu di permukaannya
berduri dan dapat menghisap racunnya. Mutiara mutiara itu
sudah terbenam dalam tubuh ularku, siang-siang sudah
menyedot racun dari ular itu! Pokoknya aku tak mau
mengerti dengan begitu saja!" Mendengar itu Tjiu Piau baru
sadar. Hatinya heran, kenapa gadis itu mengetahui akan
senjata rahasianya demikian terang. Kala ingin bertanya,
segera diurungkan. Pikirnya untuk menghindarkan dari
kerewelan, lebih baik kira menanya. Tapi untuk menyingkir
sudah tak mungkin. Putusan untuk berlalu sudah tetap,
dengan penuh hormat ia berkata. "Dengan menyesal Siauw
tee (adik ) sudah membunuh ular kakak, dan mengambil
bisanya. Harap jangan berkecil hati. dengan ini Siauw tee
minta kakak memberi maaf." Gadis itu tertawa terpingkal
pingkal seraya berkata. "Bicara tak keruan macam, sungguh
tak mengenal berbahasa, usiamu lebih besar empat lima
tabun dariku kau memanggil kakak kepadaku. Mengaco
saja.!" Tjiu Piau tak sabar pula menerima gangguan, ia
mangkel. Tak banyak bicara pula melangkah pergi.
Gadis itu kembali tertawa dan berkata. "Kau boleh pergi,
tapi harus bergebrak dulu denganku. Kalau bisa menang
baru boleh pergi!"
"Tidak gentarkah akan mutiara beracunku." tanya Tjiu
Piau. "Sekali kali tidak, marilah kita coba-coba Hajarlah aku
dengan sebutir mutiaramu, kemudian kau harus menggigit
ularku sekali, Setuju" Jangan dilupakan ular seribu racun ini
adalah peliharaanku. Di dunia ini hanya akulah yang dapat
memunahkan racunnya."
Dalam kagetnya Tjiu Piau menyesali' kelalaian hatinya,
dan mengagumi ketelitian si'gadis. Takut kalau kalau gadis
itu masih mempunyai benda benda aneh lagi, dari itu ia
berpikir baik tak berkelahi, la berkata: "Kiranya kau kasih aku berlalu atau tidak?"
"Kau harus tinggal meremani aku dahar." guraunya,
25 mendadak suaranya berubah menjadi lembut: "Asal kau
dapat melulusi permintaanku. Hal matinya ularku dan
diambil racunnya tak kuperhitungkan lagi."
Hal apa yang diminta tanya Tjiu P-au. Gadis itu
membuka mulutnya perlahan, satu syarat aneh dikeluarkan,
katanya: "Kau harus tahu, tabiatku gemar pada tempat tempat aneh yang baru. Menyesal tak ada kawan memain,
sehingga tak pernah aku merasa gembira. Kini aku hanya
mohon kau melulusi untuk menemani aku pergi bermain
main di tiga tempat, ini saja, kalau mau, tentang ularku tak
perlu kau ganti lagi. setuju yah" Kata katanya ini bagai
suara anak kecil yang tengah merengek meminta sesuatu
kepada ibunya. Kata katanya menimbulkan rasa kasihan.
Lebih lebih waktu mengatakan 'setuju yah' kedua matanya
memandang Tjiu Piau dengan penuh harapan. Tjiu Piau
kelabakan tak keruan, ia tak dapat berkata tidak. Kepalanya
mengangguk angguk tanpa terasa. Dalam girangnya gadis
itu berkata. "Memang kau baik, dari semula sudah ku duga
kau pasti melulusi permintaaumu"
Baiklah kau tunggu sebentar aku segera mencari tempat
bermain yang baik. Kemudian baru kita bersama sama
bermain - main!" Waktu bercakap cakap,. Tjiu Fiau
mendengar suara panggilan ibunya, Ii menjawab sekeras
mungkin. "Bu, aku di sini!" Gadis itu berkata. "Ibumu datang, aku pergi dah"! Aku tak senang berjumpa dengar
nenek nenek!" Kata-katanya belum habis, tubuhnya sudah
bergerak. Bagai melayang-layang ia pergi menjauhi.
Pemandangan ini bagai dalam khayalan, tapi kenyataan,
perlahan-lahan ia menghilang. Baju putihnya bercampur
dengan halimun putih menjadi satu. Mana si gadis mana
halimun. Sekali kali tak dapat dibedakan.
Baru saja Tjiu Piau berhenti mengawasi, dalam kabut
tebal nampak bayangan ibunya. Ibunya segera bertanya:
"Anakku, dengan siapa kau bicara?" Sebelum menjawab ia mempunyai perasaan aneh. gadis kecil lebih muda darinya,
tapi berkepandaian lebih tirggi. Paling mengherankan gadis
itu mengetahui dengan terang senjata tunggal dari keluarga
Tjiu. Kata-kata ini disimpan dalam hatinya. Ia hanya
26 berkata: "ibu lebih baik kita pulang saja." Waktu itu ibunya sudah memetik sekeranjang penuh obat obalan. ibu dan
anak turun gunung. Setiba di rumah Tjiu Piau menuturkan
hal pertemuannya dengan gadis berbaju putih pada ibunya.
Sesaat kemudian ibunya baru berkata: "Anakku, hal ini
sangat mencurigai sekali. Sebaiknya hari esok jangan
melatih diri di sana. Adapun gelombang ketiga yang terdiri
dari tujuh jurus ilmu Bwee Hoa Tok Tju ini. Dilatih sambil
berbaring, ini dipergunakan waktu tubuh dalam keadaan
luka. Esok hari tak perlu ke luar rumah. Kesemua ini dapat
dipelajari di dalam rumah. Aku sendiri akan membuat racun
untuk ke enam mutiara pusaka itu. "Mutiara itu sudah
beracun bu." "Biar sudah berbisa dari ular itu. tapi tidak boleh tidak harus dibubuhi lagi racun dari keluarga Tjiu
Racun ular itu kita tak dapat memunahinya. Kini ditambahi
lagi dengan racun dari keluarga kita. Anak wanita itu pun
tak dapat memunahkannya. Bila kau berjumpa lagi
dengannya. Jangan sampai kamu berpeluk tangan lagi tak
berdaya." Tjiu Piau mengangguk membenarkan kata-kata
ibunya. Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat.
Selama itu Tjiu Piau mengeram diri sambil melatih diri. Hasil
yang diperoleh cukup memuaskan. Ibunya sudah selesai
mengolah racun Bwee Hoa Tok Tju. Untuk menjaga jangan
sampai meracuni diri send'ri. Ibunya membuatkan Tjiu Piau
sarung tangan dari kulit rusa. Sesudah itu tbunya
menasehatkan lagi banyak kata pada sang anak.
Keesokan harinya dalam cuaca cerah Tjiu Piau mohon
pamit dari ibunya. Ibunya meminta jangan dikuatirkan akan
dirinya. Beliau dapat melewatkan hari dengan menjual obat
obatan. Ia memberikan do'a restu agar anaknya dapat
cepat cepat membereskan hal sakit bati dan lekas lekas
kembali. Tjiu Piau mengingat baik baik pesan ibunya. Di
bawah antaran sorot welas asih dari mata ibunya. Hatinya
penuh rasa hangat bercampur duka. Kakinya setindak demi
setindak melangkah pergi.
Tiiu Piau pertama kali pergi merantau banyak hal sangat
asing baginya. Hatinya tak terhindar dari rasa bingung.
Kejadian-kejadian beberapa hari belakangan ini bagai dalam
27 impian saja. sepuluh tahun lamanya sang ibu merawat dan
membesarkan dia dengan susah payah. Delapanbelas tahun
berselang peristiwa Oey San sudah berlalu, kejadian yang
sesungguhnya entah bagaimana" Ayah binasa di tangan
siapa" Sebab apa binasa" Hingga kini masih menjadi teka teki yang belum terpecahkan. Saudara-saudara dari
keluarga Ong dan Tju kini entah di mana. Dapatkan
berjumpa di Oey San sebelum hari Tiong Tjiu. Mereka pasti
sudah memiliki kepandaian silat yang tinggi, moga-moga
saja kepandaian mereka semua melebihi kepandaiannya
sendiri. Wan Tie No sebenarnya orang dari kalangan apa" Louw
Eng kiat entah menjadi manusia macam apa" Hal ini
diharapkannya agar lekas-lekas menjadi terang.
Terkecuali dari hal hal di atas. Tjiu Piau mempunyai
sesuatu perasaan yang aneh untuk dirinya. Hatinya selalu
terkenang akan gadis bermain ular yang di jumpai di Thian
Bok Sin. Ia tidak merindukannya. Karena gadis itu
mengherankan dan sedikit menakutkan. Tapi ia tak jemu
atau benci. Karena gadis itu mempunyai sesuatu gaya tarik,
yang menyenangkan. Teringat waktu ia berjanji untuk
menemani gadis cilik nakal itu. Ketiga tempat bermain-main
yang indah. Lucu benar terjadinya. Walau pun ia sudah
melulusi. Tapi satu sama lain belum memperkenalkan diri.
Entah di mana tempat tinggalnya" Kini ia pergi jauh dari
rumah. Gadis itu bagaimana dapat mercarinya. Kesimpulan


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam lubuk hatinya, ia mengharap sesuatu yakni moga
moga gadis kecil itu dapat mencarinya.
Pada suatu hari, tibalah ia di suatu kota kecil. Banyak
keterangan didapat, yang mengatakan jarak ke Hang Tjiu
tak berapa jauh lagi. Tjiu Piau selalu ingat pesan sang ibu.
Karenanya ia selalu berlaku hati hati, jarang singgah dalam
kota kota besar yang ramai. Tak pernah mau menerangkan
diri ingin pergi ke mana, dan apa maksud dari kepergiannya. Ia berhenti dan beristirahat di kota kecil itu. Ia
bermalam dalam rumah penginapan buruk. Sekedar untuk
melewatkan malam saja.
28 Saat itu matahari sudah condong ke barat. Walaupun
sebuah kota yang tidak seberapa terawat, tapi dasar di
Kang Lam, tetap indah dan menarik. Tjiu Piau jalan jalan di
kota dan mampir di warung kopi, untuk menangsel perut
dengan beberapa bakpao dan semangkuk bakmi. Dari
tempat ia duduk tampak di ujung ruangan banyak orang
tengah berkerumun. Dasar anak muda senang dengan
keanehan, dan ingin tahu segala sesuatu Hatinya tak tahan
untuk tidak melihat. Dilihatnya dua orang laki laki setengah
umur. Seorang dengan alis tebal dan mulut besar. Yang
seorang lagi bermuka panjang dan bermata sipit. Keduaduanya duduk di tengah-tengah ruangan. Laki laki beralis
tebal tengah asyik bercerita tentang keganasan tentara
Boan waktu menduduki kota Hang Tjiu. Laki-laki bermuka
panjang asyik duduk meneguk arak. Kedua mata sipitnya,
berputar-putar larak-lirik tak henti-hentinya melihat
kesekeliling. Tatkala tentara Tjeng memasuki Tiongkok, di
Hang Tjiu, Kiang In, Ka Teng dan beberapa tempat lain.
Melakukan pembunuhan besar besaran. Menurut catatan
sejarah, satu kota Hang Tjiu saja rakyat Tiongkok terbunuh
sebanyak delapanratus ribu orang lebih !
Semasa di rumah Tjiu Piau sering mendengar cerita dari
mulut ke mulut tentang keganasan dan kekejaman tentarau
Boan. Tapi belum pernah mendengar cerita itu langsung
dari seorang yang pernah mengalami dengan mata kepala
mendiri. Laki laki itu berceritera dengan semangat berapi
api, Tju Piau bersemangat dibuatnya Inilah kebiasaan dan
anak muda tak berpengalaman, girang dan duka
dibayangkan dalam wajahnya. Demikianlah suatu sifat
kebajikan dan cinta negara dari Tjiu Piau memenuhi
wajahnya. Hal ini sedikit juga tak terlepas dari mata sipit
laki laki bermuka panjang itu.
Mendengar sampai di tempat yang menyedihkan. Tjiu
Piau merasakan gemas dan duka. air mata hangat hampir
hampir tak terbendung ke luar dari kelopak matanya.
Sesaat itu nasehat dari ibunya teringat di otaknya bahwa ia
harus berhati hati di jalan. Maka segera ia menahan duka
sambil berlalu Baru saja ia melangkah dua tindak.
29 Mendadak laki laki beralis tebal itu berkata sambil
menggerak gerakkan tangan. Sehingga sebuah cawan
melayang terlepas dari tangannya. Cawan itu tepat menuju
Tjiu Piau. Cawan itu mengandung tenaga tersembunyi yang
maha hebat. Harus diketahui dalam hal senjata rahasia
Bwee Hoa Tok Tju keluarga Tjiu menduduki salah satu
tempat tertinggi di dunia Kang ouw. Tjiu Piau walaupun
belum dapat menguasi dengan sempurna, tapi sudah tak
boleh dibuat gegabah. Tanpa siaga Tjiu Piau mendapat
serangan cawan dengan mendadak. Waktu hamDir sampai
di kepalanya, tanpa berpikir lagi. Tangan kanannya meraih
ke belakang. Cawan itu segera melekat dalam tangannya
waktu itu ia menoleh, terlihat wajah laki laki beralis tebal itu berubah mendadak. Laki laki bermata sipit pura pura bagai
tak melihat sesuatu.
Tjiu Piau menyesal telah mempertunjukkan
kepandaiannya itu, untuk baiknya ia berlaku tenang seperti
tak terjadi sesuatu. Cawan itu dengan hormat dikembalikan
pada laki laki itu. Dari tujuh delapan orang yang meriung
mendengar cerita, antaranya ada lima enam pasang mata
yang menatapnya dengan mata terbelalak. Dua tiga
antaranya dengan tergesa gesa berdiri dan berlalu.
Hanya seorang tua berambut putih bagai salju, rupanya
seperti anak sekolah lemah. Duduk di kursi yang berada di
sudut lain, bibirnya mengeluarkan senyum dingin, Sebelum
Tjiu Piau sampai memberikan cawan itu dan membuka
mulut. Laki laki itu sudah bertanya: "Tidak tahu siapakah
nama Tuan yang mulia.?" Jawab Tjiu Piau: "Yang rendah
She Tjiu." kata kata baru dari tepi bibir, lagi lagi ia
menyesal, Ia bertabiat jujur dan belum mengerti kehidupan
didunia bebas. Ia masih hijau tak bisa berbuat bobong.
Cepat cepat diletakkan cawan itu di atas meja. Kedua orang
itupun ia tak bertanya lagi. Tjiu Piau segera berlalu tanpa
menoleh lagi. Sekembalinya di rumah penginapan, hatinya diliputi
perasaan kuatir, mengingat pesanan pesanan ibunya. Di
dunia Kang Oaw hal yang paling dan harus dijaga jangan
sembarangan menunjukkan diri. Dua laki-laki itu seenaknya
30 saja memaki dan membusuki pemerintah Boan. Kalau
diketahui pemerintah Boan, begitu saja cukup untuk
mencari malapetaka hilang kepala. Kini ia sendiri bercampur
baur dan mengobrol dengan mereka. Kalau nasib malang,
pasti kerembet rembet,
Semalam berlalu tanpa terjadi sesuatu Pada hari kedua
Tjiu Piau merasa lebih tenang. Merenungkan kejadian
kemarin, merasa sangat gegabah, untungnya urusan tiada
berekor. Kiranya tidak perlu gugup atau cemas lagi. Dengan
tenang ia berjalan menuju ke. Hang Tjiu. Rencananya
sesampai disana berganti mempergunakan jalan air.
Baru berjalan setengah hari. perutnya mulai gerujukan
sekali. Ia hendak mencari rumah makan untuk
menghilangkan lapar dan dahaga. Apa mau sampai warung
nasipun tak dijumpai. Tidak seberapa jauh tampak sebuah
perkampungan yang besar. Tapi Tjiu Piau segan
mengganggu penghuni-penghuninya. Ia melaluinya sambil
meuupdukkan kepala. Secara tiba-tiba dua orang laki laki
ke luar dan bertubrukan dengannya. Bawaan orang itu yang
berupa sekantong uang receh tembaga, berserakan di
tanah. Kedua laki laki itu berdiri sambil bertolak pinggang
dengan wajah gusar. Bentaknya "Hei, bocah mencari
kesenangan jangan pada tuan besarmu!"
Tjiu Piau merasa salah, dan takut membuat onar, ia
minta maaf berulang kali Kedua laki laki ini dengan pongah,
tak mau mengerti. Dalam hati Tjiu Piau berkata:
"Lagihan siapa yang akan bersetori dengan kalian."
Cepat ia berkata: "Uang ini tanpa sengaja Siauw tee
berantakan. Harap jangan gusar tuan-tuan, tunggu saya
pungutinya dan membereskannya. Dipunguti uang itu satusatu dan dimasukinya ke dalam kantung. Terdengar salah
satu laki-laki itu berkata campur tertawa: "Saudara kecil.
Tak baik untuk menyusahkan kamu. Terkecuali itu dengan
sendirian saja memunguti uang sangat membuang waktu.
Sebaiknya peganglah kantung uang itu. Kami akan
memanggil beberapa orang kampung untuk membantu
31 membereskannya.
Dengan satu kali seruan. Cukup mengumpulkan tujuh
delapan orang kampung.
Tjiu Piau mengawasi orang itu, entah gusar entah girang
tidak ketentuan. Diam-diam hatinya mengeluh. Tak banyak
komentar lagi ia berdiri tegak di tengah-tengah sambil
memegangi kantung uang. Kesepuluh laki-laki itu
memunguti uang itu, dan dilemparkannya ke dalam
kantung. Lemparannya semua jitu. Lambat laun
lemparannya mereka semakin ngawur.
Terang terang mereka kini membidikkan uang uang itu
ke arah Tjiu Piau. Dari delapan penjuru uang uang itu
beterbangan bagai hujan. Beberapa antaranya terdapat
bidikan bidikan khusus ditujukan pada jalan darah Tjiu Piau,
oleh orang orang berkepandaian tinggi.
Sekejap saja uang uang beterbangan bagai hujan. Tjiu
Piau mau tak mau harus berkelit ke timur dan mengegos ke
barat. Untuk menghindarkan diri dari serangan serangan
yang berbahaya. Kemudian semakin banyak serangan
serangan mendatang, sudah tak dapat dikelit atau diegos
lagi. Sambil menahan amarah hatinya berkata "Kalau aku
tak mengeluarkan kepandaianku, sukar kiranya melewati
gangguan ini " Sesudah tetap pikirannya. Dibuka kantung
itu dengan kedua tangan. Ia berdiri dengan satu kaki dan
berputar. Ilmu warisan keluarga Tjiu gelombang ke dua
yang terdiri tujuh jurus hebat dikeluarkan. Uang yang
beterbangan dari segala penjuru tidak ada yang jatuh ke
bumi, semua dikandangi ke mulut kantung
"Indah!" terdengar satu seruan menggeledeg. Serentak
orang orang itu menghentikan tangan. Berputar membentuk
lingkaran menyerupai bulan sabit mengurung Tjiu Piau. Di
ambang pintu dari kampung itu berdiri tegak seorang lakilaki, orang itu tak Jain tak bukan dari si pencerita Si Beralis
Tebal. Ia tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
"Selamat berjumpa, selamat berjumpa. Kiranya tuan.
32 Marilah mampir dulu barang sejenak dan duduk duduk di
kampung kami. Tjung Tju (majikan kampung) mengundang
tuan" Tjiu Piau mengawasi pintu kampung yang bertulisan tiga
huruf besar 'Ban Liu Tjung'. Pintu dibuka, terlihat dedaunan
hijau di dalam. Kala angin bertiup terdengar keresekan
daun daun pohon liu bagai hujan gerimis
Jilid 2 Tjiu Piau berpikir. "'Kampung ini tempat apa gerangan"
Aku mempunyai urusan di badan. Lebih baik tak singgah."
Sebelum ia membukai mulut, di bawah pintu tampak ke
luar lagi seorang laki laki pula. Muka psnjang mata sipit.
Lagi lagi orang yang sudah dikenalnya. Orang itu berdiri di
pintu, dengan suara halus berkata. "Tjung Tju sendiri ke
luar menjemput tamu." Walaupun tak keras suaranya, tapi
sepatah demi sepatah tegas terdengar di telinga Tjiu Piau.
Nada kata kata belum hilang, dari dalam daun liu yang
rimbun. mendatang seseorang. Orang ini kira - kira berusia
limapuluh tahunan wajahnya gemuk, berpakaian sangat
mentereng. Tak ubahnya sebagai hartawan besar. Dalam
pandangan mata sangat menyolok sekali perbedaannya
dengan pohon liu hijau ayu gemulai. Begitu ke luar pintu,
segera berkata dengan suara keras: "Tamu agung di
mana?" Begitu melihat Tjiu Piau lantas menyongsong sambil
menjabat tangannya.
"Ban Liu Tjung menyambut kedatangan tamu agung.
Bukan main sukar dan beruntung. Silahkan bermalam
barang semalam di tempat kami yang buruk ini. Simbil
mengikat tali persahabatan antara tuan dan kami. Ayoh
silahkan masuk, silahkan masuk."
Perkataannya cukup ramah-tamah tanpa menunggu
jawaban Tjiu Piau dituntun masuk. Sebelah tangan yang
lain memberi isyarat kepada orang orangnya: "Lekas lekas
sediakan hidangan dan minuman untuk menjamu tamu
agung ini."
33 Tjiu Piau dibesarkan di pegunungan sepi, tak biasa
menerima perlakuan demikian, diperlakukan demikian
hangat. Tak sampai hati untuk menolak. Tak sadar lagi
kakinya sudah melangkah masuk. Tapi hatinya sudah
mempunyai perhitungan lain. Baiklah sesudah meminum
seteguk teh segera aku berlalu.
Tjung Tju dan Tju Piau berjalan di muka, dua laki-laki
beralis tebal dan bermata sipit mengiring dari belakang.
Mereka berbareng memasuki Ban Liu Tjung. Tak nyana
kampung ini demikian menakjubkan sejauh mata
memandang hanya hijau daun liu saja yang tampak Sima
sekali tak ada bunga atau pohon lain. Di pintu masuk
berdiri sebuah tenda kecil, masuk lagi ke dalam tak ada
rumah yang kelihatan. Hanya terlihat jalan kecil berliku liku
menjurus ke dalam. Dahan liu yang berjuntai menutupi
jalan. Orang-orang berjalan di tengahnya, bagai dalam
lukisan saja! Sesudah berbelok beberapa tikungan, rumah
kecil itu hilang dari pandangan mata. Di muka terlihat
sebuah rumah kecil terbuat dari susunan bata merah.
Rumah itu penuh dengan gaya seni dan indah tampaknya.
Tamu dan tuan rumah masih-masing mengambil tempat
duduk, kacung pelayan segera menyuguhkan teh harum.
Tjung Tju itu berkata:
"Kekurang ajaran dari budak-budak kami itu harap
Tuan maafkan. Kepandaian tuan yang luar biasa sungguh
mengagumkan sekali. Siapakah nama lengkap tuan yang
besar?" Laki-1aki beralis tebal itu menyela dari samping:'Tuan ini
dari keluarga Tjiu," Mendengar ini Tjung Tju itu bergoyang
sedikit, tanyanya pula; "Dilihat dari kepandaian tuan
barusan, mengingatkan saya pada ilmu Tjian Kin Bwee Hoa
Tok Tju yang termasyur dalam dunia Kang ouw. Tidak tahu
mempernahkan apa antara tuan dengan pendekar Tjiu Tjian
Kin?" Mendengar ini Tjiu Piau terkejut sekali, sampai gelas
yang dipegangnya jatuh hancur dari pegangan. Orang orang
itu seolah-olah tidak memperhatikan. Hanya matanya
34 mendelong mengawasi menantikan jawaban, Tjiu Piau
mengambil putusan dalam hati: "Biar bagaimana kali ini aku
harus berdusta." Baru saja timbul pikiran begitu, mukanya
kontan menjadi merah: "Tjian bwee Tjiu Tjian Kin. adalah
paman jauh yang rendah."
Tjung Tju itu berkata sambil bergelak:
"Tak kira. hari ini dapat berjumpa dengan ahli waris Tjiu
Tjian Kin, Tjiu Shi heng sebaiknya kau bermalam di
kampung kami, hitung hitung istirahat saja bukan?" Di
panggilnya dua pelayan dan dititahkan membersihkan
kamar tamu. Atas paksaan dari tuan rumah.Tjiu Piau


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidakdapat menampik. Tjung Tju itu berhasil menahan Tjiu
Piau. "Mohon tanya siapa nama tuan yang besar?"
Tjiu Piau sudah sekali membohong, kini terpaksa harus
mendutta lagi. "Boan pwee bernama Liu. Tidak tahu siapa
nama besar dari Tjian pwee?"
Tjung Tiu itu kembali tertawa, ujarnya.
"Yang rendah Ouw Yu Thian, bergelar Ang Bin Kauw
(kauw semacam binatang jahat dalam sungai, binatang ini
hanya binatang khayalan seperti naga muka merah) Yang
ini Tjee Bin Kauw Ku To (kauw beralis ungu ) ini Tiang Lian
Kauw Tam Tjiu Liong (Kauw bermuka panjang ) Sedangkan
kami terdiri dari tujuh saudara orang orang Kang ouw
menggelari kami Tjit kauw. Toako kami Louw Eng adalah
saudara angkat dari Tjiu Tjian Kin.. Dari itu kita terhitung
orang serumah."
Tjiu Piau terpaku mendengar ini. Tidak nyana belum
berapa jauh dari rumah Louw Eng sudah berada di depan
mata. Sungguh menyulitkan sekali, sebab pertemuan Oey
San belum diketahui yang sebenarnya. Saudara dari
keluarga Ong dan Tju belum dijumpai. Dengan tenaga
sendiri sukar menghadapinya Sebaiknya aku harus
menemui orang orang itu dahulu baru menemui Louw Eng.
Memikir sampai di sini hatinya menjadi berdebar-debar.
35 "Toako kami siang malam memikiri anak Tjiu Tjian Kin.
Kalau ia mengetahui bahwa Tjiu Shi-heng berada di sini,
betapa akan girangnya. Sayang Toako kini tak ada di sini.
Hendaknya Shi heng berdiam di sini sebulan dua lamanya.
Sesudah itu pasti Shi-heng dapat bertemu muka dengannya
entah bagaimana pendapat Shi-heng?"
Dengan gelisah Tjiu Piau menjjwab: "Boan-pwee masih
mempunyai sedikit urusan yang belum selesai. Dari itu
harus mengejar waktu agar tak terlambat. Beginilah malam
ini biar mengganggu tuan tuan semalam, esok pagi
ijinkanlah Boan pwee pamit Kapan hari ada waktu, pasti
Boan-pwee berkunjung kembali "
Belum sempat Tjung Tju itu berkata, tiba tiba dari luar
terdengar suara ribut ribut.
"Ouw Siok siok kenapa kau rampas tamuku!" Seiring
dengan suara tibalah sebuah gempelan benda hijau. Tak
lain dari si gadis nakal yang tempo hari bertemu Tjiu Piau di
Thian Bok San. Kedatangannya membuat Tjiu Piau
keheranan. "Oh, kiranya Tjen Tjen." kata Ouw Thian. "Sopanlah sedikit aku mempunyai tamu istimewa!Mari kuperkenalkan!"
"Tjea Tjen," dua patah kata ini diingat benar oleh Tjiu Piau. "Satu nama yang indah," puji hatinya,
"Siapa kesudian kau perkenalkan! Kami sudah saling
mengenal!" kata Tjen Tjen. "Hai! betul tidak?" tanyanya pada Tjiu Piau. Tjiu Piau manggut membenarkan.
"Aku tergesa gesa ke luar rumah, sampai lupa
mewartakan dulu kepadamu. Terkecuali itu aku tidak
mendapatkan janji. atas ini harap dimaafkan." Tjiu Piau
berhenti sebentar. "Sungguh di luar perkiraan kita berjumpa pula 'di sini." Tjiu Piau adalah seorans yang jujur, rak bisa ingkar pada janji Dari itu begitu melihat orang yang
dijanjikan segera membuka mulut.
Sebaliknya Tjen Tjen merasa reli melihat tingkah laku
Tjiu Piau. Sambil tertawa ia berkata: "Pertemuan ini
36 direncanakan! Bukan di luar perkiraan atau hitungan! Biar
janji lama dilanggar asal sekarang saja kau temani aku,
mari sekarang juga kita pergi! Tempat yang indah sudah
kucari!" Diam diam Tjiu Piau merasa serba salah. Bagaimana aku
dapat dilibat dia" Lebih-lebih Tjen Tjen adalah orang
serumah dengan Ouw Yu Thian. Sedangkan Ouw Yu Thian
adalah komplotan Louw Eng. Kalau semua tidak tersangkut
dendam dan sakit hati denganku bukan main baiknya.
Sebaliknya kalau bukan" Tak ubahnya diriku ini seperti ikan
di dalam bubu. Untuk menghilangkan kerisauan di dalam
hatinya itu ia beikata: "Di mana kita bermain" Aku hanya
kuatir diriku tidak dapat menyenangkan kau."
Tjen Tjen mencibirkan bibirnya sambil berkata:
"Pokoknya kau sudah melulusi, soal menyenangkan atau
tidak bukan urusanku. Ayu lekas!" Ditarik tangan Tjiu Piau.
"Kau tahu di sini banyak tempat yang indah, pasti
menjamin kau senang dan gembira!" sambung Tjen Tjen. Ia
berkata pula pada Ouw Yu Thian: "Ouw Siok siok tamu ini
kupinjam selama tiga hari. Atas ini sebelumnya kuhaturkan
banyak terima kash " Sebelum Ouw Yu Thian sempat
menjawab. Tiang Bin Kauw sudah mendahului membuka
mulut: "Ouw Djiko Tien Tjen senang pada tamu kita,
berikanlah bermain-main dengan Shi heng beberapa hari."
ia berpaling pada Tjiu Piau, sambungnya: " Tjiu Shi-heng,
urusanmu sangat penting, tapi pertemuan inipun sangat
sukar didapat bukan" Kalau tak terpaksa benar, kuharap
tinggal di sini lebih lamaan." Nada suara dari laki laki
bermuka panjang ini. entah bagaimana tak sedap dalam
pendengaran. Tjen Tjen bersorak kegirangan sambil
berseru; "Tindakan Tam Siok-siok sangat bijaksana."
Tjiu Piau hatinya berpikir: "Gadis ini cerdik sekali,
tapi kalau bicara sekehendak hatinya saja, sekali kali tak
memakai otak. Hal ini baik sekali untuk mengorek
keterangan dari mulutnya. Dari itu lebih baik aku turut
dengannya pergi bermain main. Terkecuali itu lebih banyak
kesempatan, andai kata ingin menyingkir dari sini.
"Sesudah berpikir begitu ia berkata :
37 "Niat Boan pvvee ke Hang Tju hanya urusan dagang saja.
Kini atas perlakuan Tuan tuan yang demiKian baik. Boan
pwee hanya menurut saja."
Tjen Tjen berseru kegirangan: "Benar!" Tubuhnya
meloncat melepaskan Tjiu Piau "Lekas turut aku!"
Matahari hampir terbenam di arah barat. Tjiu Piau
mengikuti Tjen Tjen dari belakang. Mulutnya berteriak
teriak "Malam hampir datang. Sebaiknya hari esok saja kita
bermain!" Tjen Tjen tidak menghiraukan perkataan orang ia
lari terus, sebentar saja tubuhnya hilang di antara ribuan
daun liu yang hijau. Lama kemudian baru terdengar suaia
Tjen Tjen, "Main dimalam hari, lebih menyenangkan dari
pada main disiang hari, lekaslah ikut padaku!"
Tjiu Piau berlari ke arah suira itu. Tapi ia tak
mendapatkan Tjen Tjen. Ia ingin menaik ke pohon yang
tinggi guna mencarinya. Tapi kiri kanan tak ada pohon
lain terkecuali pohon liu. "Ah, sesuai benar kampung
ini bernama Ban Liu Tjung. Kampung ribuan pohon
liu," pikir hatinya. Tiba-tiba terdengar pula suara dari atas.
"Turutlah padaku, turutlah!"Suara itu demikian
parau, tak ubahnya seperti suara nenek berusia delapan
puluh tahun. Tjiu Piau merasa terkejut, kepalanya
kontan dongak ke atas. Apa yang dilihat" Bukan Tjen
Tjen! Juga tak terdapat orang lain terkecuali dari
dirinya. Sesudah Celingukan lama, suara itu datang lagi
diiringi bergelepakan sayap burung. Waktu ditegasi
kiranya seekor burung kakak tua yang pandai bicara,
burung itu berwarna ungu mulus. Ia terbang di atas Tjiu
Piau sebagai penunjuk jalan.
Sesudah melewati beberapa lorong kecil yang terdapat di
kampung itu. Tjen Tjen baru kelihatan. Ia tengah duduk di
dahan pohon Jiu sambil tertawa lucu. Kakaktua itu hinggap
dalam rangkulan majikannya, lagaknya sangat aleman
sekali. Melihat ini Tjiu Piau menjidi ketawa.
"Apa yang ditertawakan?" tanya Tjen Tjen.
"Aku mentertawakan kau!"
38 "Sebabnya?"
"Biasanya memelihara ular, kenapa sekarang memelihara
burung. Mungkin dirumah segala harimau juga dipelihara!"
"Hei! begitu saja tertawa! Kau tahu, dirumah memang
memelihara harimau! Kau tahu mereka adalah kawan
bermainku, kalau tak ada mereka aku akan kesepian dan
bisa menangis sepanjang hari!"
"Kalau begitu kapan hari ada waktu, akan kubawakan,
kecebong, kokok beluk, kura kura dan lain lain, mau tidak
kau menerimanya?"
"Mau, pasti mau. jangan bohong yah!" jawabnya
kegirangan. "Sekarang mau ke mana sih?" tanya Tjiu Piau.
"Ssssstttt! jangan keras keras, kita harus ngeloyor
secara diam diam. tak boleh di ketahui orang "
Mereka sudah meninggalkan Ban Liu Tjung. Jalanan
sudah' berubah menjadi jelek dan berliang liang serta
gragajulan tidak rata. Kiri kanan tak tampak persawahan,
melulu batu batu gunung saja yang kelihatan. Perjalanan
diteruskan, keadaan semakin sepi dan sunyi. Sepuluh lie
kemudian sampailah mereka di kaki sebuah gunung batu
yang gundul. Gunung itu tidak tinggi juga tidak mempunyai
pohon - pohon yang lebat. Melulu terdiri dari batu - batu
aneh yang menyerupai manusia. Lebih lebih waktu tersorot
matahari senja batu batu aneh itu tak ubahnya seperti
manusia hidup saja. Ada yang lagi duduk, ada vang berdiri,
ada yang tengah berlutut, ada juga yjng berbaring yang
tengadah pun ada, ada pula yang sedang terpekur di
samping sekelompok orang yang sedang berbisik bisik,
terkecuali itu masih ada yang sedang membentangkan
tangan sambil berteriak teriak. Tjen Tjen duduk di batu
sambil terpaku mengawasi batu-batu gaib itu. Mulutnya
kemak kemik berkata: "Kau lihatlah di sini demikian ramai
dan menyenangkan bukan?" Tjiu Piau tidak menjawab,
sebaliknya duduk di samping Tjen Tjen dengan perasaan
kosong tak keruan.
39 Mereka lebih kurang sudah sejam lebih duduk di situ
untuk menikmati pemandangan itu. Malampun sudah
mendatang. Selama mereka itu duduk Tjen Tjen tidak
berkata-kata pula. Dalam kegelapan malam, batu yang
ajaib itu seo'ah olah bergerak gerak. Sesaat kemudian
Tjen Tjen loncat bangun. Ditariknya lengan Tjiu Piau untuk
diajak berlalu. Di sana masih banyak tempat yang lebih
menyenangkan. Mari kita ke sana!" Katanya. Sebelum
berlalu Tjen Tjen menoleh lagi pada orang orangan batu
itu sambil berkata dan melandaikan tangan. "Kakak-kakak
dan adik adik sekalian, esok hari aku bermain pula dengan
kalian!" Tjiu Piau yang mengikuti Tjen Tjen dari belakang
merasakan kelincahan dan kegesitannya melebihi dirinya
beberapa kali. Tiba tiba Tjen Tjen berseru. "Awas jurang!"
Tubuhnya melebihi kecepatan suara, menghilang dari
pandangan mata. Tjiu Piau terkejut, tubuhnya menerjang
ke depan. Siapa tahu kakinya memijak tempat kosong,
tubuhnya berada di udara. Dalam bingungnya ia bersalto
(jungkir) dan turun tanpa mengeluarkan suara. Kiranya satu
goa yang dalam dan berlebar dua depa lebih sudah dilalui.
Atas ini Tjen Tjen memuji sambil bertepuk tangan. "Wah!
Bagus betul jungkiranmu itu!" Sesudahitu tangannya
membetot Tjiu Piau. "Sini, sini lihat tuh disini terdapat dunia luar!" Tjiu Piau melihat di depan goa terdapatpula goa kecil.
Di samping goa terdapat pula goa kecil yang penuh
ditumbuhi rumput dan tumbuh tumbuhan kecil. Kalau tak
teliti pasti tidak melihatnya.
"Kemarin aku bermain sendirian di sini dan
menemukannya tempat ini. Aku masuk ke dalamnya dan
bermain sebentar di sana. Sekarang kita masuk lagi dan
main-main sampai kenyang!"
Tjen Tjen membungkukkan badan- dan memasuki liang
goa. Tjiu Piau mengikuti dari belakang.
Goa kecil itu terang ada goa buatan. Tapi sudah lama
dikerjakannya. Karena lamanya di sekeliling dinding penuh
ditumbuhi rumput rumput dan pakis serta rumput rumput
40 lain yang tidak diketahui namanya. Barang siapa masuk ke
dalam goa itu, pohon pohon kecil itu menyinggung orang,
seperti mengitik ngitik orang dengan sengaja. Tjen Tjen
tertawa terkekeh-kekeh diusap pohon-pohon kecil itu.
Mereka menyusuri jilanan berliku liku, menikung dan
melewati beberapa belokan. Keadaan di dalam sangat gelap
gulita. Sampai jeriji sendiri tak kelihafan. Baru saja Tjiu Piau niat mengeluarkan bahan bakar untuk menerangi.
Mendadak di mukanya terlihat sinar kelap kelip Entah dari
mana Tjen Tjsn mengeluarkan sebutir mutiara yang
mengeluarkan sinar. Sinar ini lumaym juga. Jalanan di
dalam semakin berliku liku dan melingkar lingkar,
merupakan sebuah terowongan.
Sesudah menempuh seketika lamanya keadaan di dalam
belum menunjukkan perubahan. Perubahan yang nyata
semakin kedalam semakin sukar bernapas. Tjiu Piau
merasakan dadanya sesak, tapi Tjen Tjen semakin gembira.
"Hei, katakanlah menarik atau tidak tempat ini"
Sebelumnya pernahkah kau jalan jalan di tempat yang
serupa ini?"
"Belum pernah! Bicara tentang menarik" Sedikitpun
tidak!" "Tempat yang menarik terletak di sebelah dalam.
Rupanya kau sudah tidak sabar yah" percepatkanlah
langkahmu!" Habis berkata ia segera berlari tanpa
menunggu jawaban.
Tjen Tjen dapat berlari dengan cepat berkat sinar
mutiaranya yang dipegang Tjiu Piau menyusul dengan
seluruh kemampuan yang dimilikinya. Alhasil kian mengejar
kian tertinggal!
Dengan susah payah Tjiu Piau sampai juga di tempat
yang lebar. Ruangan goa itu merupakan pula dari bangunan
besar Di tengah-tengahnya ruangan itu berjejer jejer dan
bersinar dengan teratur kursi dan meja batu, Tjen Tjen
siang siang sudah berada di situ, ia duduki di kursi batu.
Mutiaranya menggeletak di atas meja.
41 Tjen Tjen memanggilnya seperti berbisik. "Mari, mari
duduk di sini." Kata katanya demikian perlahan, seolah olah takut mengganggu sesuatu Tjiu Piau berjingkat jingkat
menghilangkan derap sepatunya sambil menghampiri,
untuk duduk. Tjen Tjen duduk mematung. Keadaan sangat
sunyi sekali. Pada waktu inilah terdengar kerucukan air
mengalir. "Kau jangan membuat gaduh, dengarlah! Tak lama lagi
kita dapat mendengar para dewa bermain tetabuhan,


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melagukan irama surga!" Benar saja tak seberapa lama
mereka duduk duduk di situ. Suara air sudah berubah
bunyinya menjadi- ting tang, tang ting, ting. Suara ini
demikian lembut dan bening. Tak ubahnya seperti suara
mutiara berjatuhan di cawan kumala. Menyusul suara suling
beialun alun meningkah suara tadi. Kemerduan dan
kehalusan dari paduan nada nada ini membuat si pendengar
mulai mabuk. Dua muda mudi ini siang siang sudah terbenam dalam
alunan irama merdu gemulai bak bulu perindu. Perlahan
dan halus Tjiu Piau bertanya. "Sungguh heran, bagaimana
kau dapat tempat yang demikian luar biasa ini."
"Setiap waktu aku senggang, waktu yang terluang ini
kupergunakan untuk mencari tempat yang indah indah"
jawab Tjen Tjen.
"Seorang diri sajakah kau ngelayap sepanjang hari" Apa
kau tak merasa takut?"
"Ayahku selalu sibuk dengan pekerjaan ya, mana ada
waktu untuk menghirauKan aku. Sebaliknya lebih bebas
bermain sendiri."
"Ibumu juga tak mengurus kamu?"
"Ibuku sudah lama meninggal."
"Apakah kau tidak mempunyai saudara laki laki atau
perempuan?"
'Sayang tidak punya. Aku anak tunggal, karenanya aku
kesepian dan selalu bermain dengan segala unggas, ternak
42 serta binatang buas! Eh kau tidak tahu, hewan hewan itu
demikian baik dan begitu pandai! Coba pikir bagaimana aku
mencarimu" Kau tahu" Kusuruh kakaktuaku mengikuti jejak
kaki mu. Biar ke mana kau lari. hmm pokoknya dapat
kucari!" Atas ini Tjiu Piau merasa kagum.
"Siapa akan nama besar dari ayahmu?" tanya Tjiu Piau.
Tjen Tjen tersenyum. "Namanya Louw Eng."
Mendengar ini keringat dingin Tjiu Piau membasahi
tubuh. Ia diam tak dapat berkata-kata. Bagusnya di dalam
remang remang, sehingga perubahan parasnya tak terlihat
oleh Tjen Tjen.
Kala ini irama tabuhan dewa dewa itu beralih menjadi
demikian menyayatkan sukma. Suara suling itu seolah olah
berubah dan terbagi menjadi beberapa nada, tinggi dan
rendah. Seperti suara tangis menuturkan kisah sedih, dari
kehidupan manusia.
Tjen Tjen walaupun masih kecil, tapi sudah mengerti
urusan. Ia duduk termenung menung, di sela tarikan
napasnya. "Eh, berapa sedihnya irama ini, kalau bukan dewa yang
membawakannya siapa lagi yang bisa?" Suaranya ke luar
dengan parau diiringi helahan napas. Tjiu Piau merasakan
Tjen Tjen ini mempunyai perasaan kemanusiaan yang
dalam. Ha1 ini menenangkan hatinya yang banyak curiga.
Hatinya berpikir" "Anak ini mau berkenalan dan berkawan denganku. Tapi tak pernah menanyakan namaku. Selalu
aku dipanggil si Hai, atau si Eh Hal ini tidak menjadi soal. Ia
tak mau mengetahui hal ikhwalku, sebaliknya aku ingin
mengetahui segala sesuatu tentang dirinya." Sesudah
pikirannya tetap lagi-lagi bertanya: "Ayahmu kini beiada di mana?"
"Siapa yang tahu!" jawabnya acuh tak acuh. "Sepanjang tahun kerjanya mundar-mandir ke barat ke timur. Sekali-kali tak memperdulikan dan mengurus aku."
43 "Mungkin disebabkan kesibukan tentang pekerjaannya.
Karenanya tak boleh terlalu menyalahkannya."
"Apa" Urusan penting?" tanya Tjen Tjen dengan kesal,
"mana mempunyai urusan penting! Setiap hari yang
diceriterakan tak lain tak bukan ialah soal menangkap
komplotan pengacau, membekuk perusuh. Yah kerjanya
menangkap dan menangkap, menangkan tanpa habis
habisnya! Menurut hematku lebih baik tidak ditangkap
bukan" Akupun heran kenapa ajakku gemar menangkap
orang secara mati matian!"
Mendengar ini hatinya Tjiu Piau menjadi lapang. Teka
teki dalam pikirannya kini mendapat jawaban.
Pada hari yang lalu Tjiu Piau mendengar ceritera Ouw Yu
Tnian dan Tam Tjiu Long di rumah makan. Tanpa terasa lagi
wajahnya menunjukkan perubahan Selanjutnya Tam Tjiu
Long melontarkan mangkuk untuk menguji ilmunya.
Menyusul ia dipegat di Ban Liu Tjung. Kiranya hal ini terjadi
bukan secara kebetulan, melainkan sudah direncanakan
terlebih dahulu.
Tjiu Piau berpikir, "Kenapa mereka dapat mengetahui
kepandaianku dari gaya keluarga Tjiu. Sesudah itu
perlakukan mereka terhadapku bukan main baiknya. Apa
benar benar Louw Eng adalah saudara angkat yang berbudi
dari ayahku" Yah moga moga demikian hendaknya. Tapi
siapa yang mencelakakan ayah" Untuk menyelesaikan
urusan yang memusingkan otak ini, biar bagaimana Louw
Eng harus ketemukan." Berpikir sampai di situ hatinya
kembali menjadi gelisah. "Louw Eng menjual tenaganya
mati matian untuk kepentingan bangsa Boan. Dapatkah
kiranya orang yang demikian kupanggil siok siok. (paman
yang lebih muda dari ayah)"
Tiba tiba pikirannya menjadi hilang demi didengar suara
ribuan kuda berlari. Gendang peperangan berbunyi bertalu
talu. Iman menjadi goncang dibuatnya. Kiranya entah
sedari kapan irama sedih sudah beralih kepada peperangan
yang membuat hati si pendengar berdebar debar!
44 Kedua muda mudi itu serentak bangun, telinganya
dipasang dengan penuh perhatian. Tiba tiba datang deruhan
angin. Seluruh bunyi bunyian melagu sirap menjadi tenang.
Keadaan kembali terbenam dalam kesunyian. Tjen Tjen
menuntun Tangan Tjiu Piau sambil berkata: "Ju lekas kita
lihat dewa dan dewi!" Lama juga berjalan, tapi terowongan
tetap kosong melompong! Di mana ada dewa dan dewi!!?"
(pengarang : Di dalam terowongan atau jalanan di dalam
tanah, dapat mengeluarkan bunyi. Disebabkan aliran udara
atau angin). Tjen Tjen masih belum hilang kegembiraannya. ia jalan
terus ke depan, jalan terowangan itu makin nanjak ke atas.
Tiba-tiba Tjen Tjen menempelkan telinganya ke bumi.
"Eh.coba dengar ada orang tengah bicara!" Tjiu Piau
menempelkan telinganya ke dinding goa. Tak dapat
diragukan lagi memang suara orang Sepatah di sini sepatah
di sana. Rupanya jumlah pembicara lebih dari seorang. Tjiu
Piau berpikir, tengah malam demikian entah siapa yang
bicara di atas. Apa yang tengah mereka rundingkan. Betapa
hati-hati didengarinya, tapi tetap tak terdengar tegas
Mungkin disebabkan terhalang lapisan tanah yang terlalu
tebal. Tjen Tjen gemar bermain main, disorot-sorotkannya
sinar mutiaranja. Sebentar ke timur sebentar ke barat
untuk mencari kalau-kalau ada liang ke luar. Akan tetapi
terowongan itu rupanya sudah terlampau lama tak
dipergunakan. Dengan sendirinya tak bisa dengan segera
dapat mencari jalan ke luar. Tjiu Piau hendak menasihati
Tjen Tjen, bahwa pekerjaannya itu hanya membuang buang
waktu saja. Sekonyong-konyong dari atas terdengar suara
seseorang dengan lantang dan tegas. Suara itu dapat
menembus dinding tanah yang demikian tebal. Kepandaian
orang ini pasti sudah sampai taraf sempurna.
"Padi tahun tahun belakangan ini, banyak hal yang
menyusahkan saudara saudara. Misalkan hilir mudik ke
timur dan ke barat, semua melakukan kerja keras dan
penuh bahaya Sebab itulah saudara - saudara dapat
45 mendirikan jasa-jasa besar, Pengacau-pengacau dan
gerombolan - gerombolan Kang ouw bukan sedikit yang
sudah kita bekuk dan tumpas. Aku yang rendah dapat jaga
menjalankan tugas ini tak mengecewakan bantuan dari
saudara saudara. Atas ini Biginda pasti akan menghargai
jasa-jasa saudara-sai dara itu, terkecuali demikian aku yang
rendahpun tak akan melupakan budi dan kebaikan saudarasaudara." Inilah suara yang datang dari atas dan kena
didengar dari bawah oleh Tjen Tjen dan Tjiu Piau.
"Ih, ayahku sudah datang! Yang bicara itu adalah
ayahku." Tapi sesudah Tjen Tjen mengucapkan kata-kata ini
wajahnya berubah menjadi tak gembira. "Untuk apa" Ayah
toh tidak akan mengajak aku jalan - jalan, atau menemani
bermain." Tjiu Piau menyedot seteguk hawa segar. Tangannya
tanpa terasa memegang megang ke enam butir mutiara
emasnya. Kembali suara Louw Eng yang santer terdengar pula.
"Malam ini kita berkumpul untuk merundingkan sematu
urusan yang maha penting. Hal ini baru dapat berhasil- jika
dapat bantuan dari saudara-saudara." Waktu inilah
terdengar suara lain yang bernada parau dari atas. "Louw
Heng hati - hati bicara, berjaga jagalah! Kalau kalau dinding
bertelinga!"
Tjen Tjen girang mendengar suara ini.
Dibisknva Tjiu Piau. "Heran benar, tempat apa sih di
atas. Kenapa guruku Peng San Hek Pau juga ada di atas."
Menyusul saara datang lagi.
"Atas ini jangan kuatir! Ban Liu Tjung terdiri dari pohon
liu yang dahannya terkulai. Tak seorang pun dapat
bersembunyi di pohon itu Silahkan Louw Toako meneruskan
cerita." Suara ini adalah suara Ban Liu Tjung Tju.
"Urusan ini dapat dikatakan luar biasa. Pada malam Tjap
Go Me tahun ini. Keramaian di kota tak dapat dilukiskan.
Kejadian ialah di malam larut. Sri Baginda sudah lelah
46 lantas menuju ke tempat peraduan" Begitu masuk dilihat
bsliau sehelai kertas kuning di atas meja. Surat itu
berbunyi: "Malaman Tiong Tjiu, di bukit Oey San, kau pendekar
berkumpul .. " kata-katanya terhenti sebentar, dengan
terpaksa baru dilanjutkan lagi. "Semua penghianat bangsa
akan dipenggal batang lehernya." Terkecuali dari kata kata
itu, terdapat pula dua lukisan naga dan merak."
Mendengar ini Tjiu Piau mengeluarkan seruan kaget.
Suara ini walaupun kecil, tapi rupanya dapat didengar orang
orang yang berada di atas. Pembicaraan mereka rep sirep!
Menyusul tindakan kaki yang berat mendatang. Hilir mudik
dan berhenti tepat di atas terowongan. Digebraknya tanah
sambil berseru :
"Siapa yang bersembunyi dibawah" Lekas ke luar!"
Terdengar pula seorang berkata : "Kasilah aku periksa."
Menyusul terowongan itu mengeluarkan bunyi krak!!
seperti" gunung runtuh. Tanah di situ sudah menjadi
gempur! Dengan waspada Tjen Tjen menarik lengan Tjiu Piu.
Mereka meloncat sejauh dua tumbakke belakang. Tangan
Tjiu Piau yang sudah bersarung menggenggam enam butir
mutiara emas dengan erat erat.
Luar dan dalam goa sangat berbeda. Di dalam gelap di
luar terang Dari atas tak nyata melihat, ke bawah,
sebaliknya dari dalam goa nyata melihat ke luar. Dengan
tegas Tjiu Piau dapat melihat lima enam orang berada di
mulut goa. Tepat dimulut goa berdiri seorang dengan paras
seperti pohon merangas tak kena air. Mukanya lebat
ditumbuhi berewokan kasar. Seperti ada firasat yang
memastikan, bahwa orang itu adalah Louw Eng.
Disampingnya berdiri seorang Hweesia (Paderi)
Perawakannya kate gemuk Berdiri mematung seperti bukit
kecil mendadak menjelma dihadapan mata. Hweesio ini
melongok longok ke dalam goa. oh! kiranya dua bocah cilik
" katanya sambil melangkah turun. Si Hweesio mempunyai
47 ilmu memberatkan tubuh yang mentajubkan Tanah tanah
yang dilaluinya meninggalkan bekas lebih kurang dua dim
dalamnya. Tak dapat diragukan lagi dialah yang menjejak
dan menggempurkan tanah tadi. Gerak geriknya kelihatan
lambat sekali, tapi sebenarnya cepat luar biasa! Sebentar
saja ia sudah tiba dihadapan kedua orang. Tangannya
dikeluarkan untuk menjambak orang. Tjiu Piau terkejut
sekali. Kiranya sikate ini mempunyai tangan yang lebih
panjang dari orang kebanyakan. Serangannya demikian
kukuay (aneh) Kedua tangannya diletakkan didada,
sebentar dikerutkan sebentar disodorkan dengan
mendadak, dibarengi tubuhnya mencelat ke depan,
menerjang di tengah tengah kedua orang. Dinantikan kedua
orang berpisah ke kiri dan ke kanan. Menyusul kedua
tangannya dikerjakan dengan cermat ke kiri dan kanan.
Lengannya yang panjang itu hampir-hampir berhasil
mencengkeram bocah bocah itu! Tjiu Piau siang siang sudah
sedia, tangannya sudah mengeluarkan Bwee Hoa Tok Tju
Dalam waktu pendek pikirannya berbalik, Hweesio ini apa
kawan apa lawan masih belum jelas. Dimasukkan lagi
mutiara mutiara itu ke dalam kantungnya dan dikeluarkan
batu-batu kecil sebagai gantinya. Waktu dilihat serangan
datang, tubuhnya mendekam berkelit, berputar mengepos
kebelakang penyerang tangannya tak tingpal diam, sebuah
batu terlepas menyerang pinggang si Hweesio.
Si Hweesio menangKap angin Hatinya menjadi heran.
bocah ini demikian lincah. Sedangkan serangan Sian Wan
Pak Su (Malaikat kera merabut pohon) walau pun agak
sembarrngan dipergunakannya, orang biasa pasti tak dapat
melolosi diri! Tapi bocah ini dapat menghindarinya, pasti
bukan golongan sembarangan. Sedang ia berpikir begini,
tiba tiba terasa angin dingin datang ke arah pinggangnya.
Segera ia berkelit. Waktu inilah tangan kanannya baru
merasa seolah olah dililit ular. Kiranya tangan kanannya
yang menyerang Tjen Tjen. Dihadapi Tjen Tjen dengan
berani. Begitu tangan si Hweesio yang panjang tiba,
disambut dengan tangan kirinya, tangannya demikian halus
seperti ular. Gelejat gelejot membelit tangan si Hweesio
48 Tjen Tjen dari kecil biasa bermain ular, gerak gerik dari ular
dipelajarinya. Karena tanpa terasa ia memengeluarkan
cara ular menbelit! Cara ini tidak termasuk dalam ilmu silat
apapun, juga tak bernama apa apa. Begitu tangannya


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil melilit, tubuhnya dilemaskan, sehingga seluruh
tubuhnya bergantungan di lengan si Hweesio. Si Hweesio
mati kutu. didorong tak bisa, dilempar tak mempan,
dilunakkan salah dikeraskan bukan!
Hweesio itu tertawa terbahak bahak: "Hai bocah konyol!
Ayoh pergi, siapa sudi bergurau denganmu!" Tangan kirinya
menyusul menangkap Tjen Tjen. Tjen Tjen melilit lagi
dengan tangan kanannya, Hweesio itu segera
menggempurnya dengan tenaga dalamnya yang ampuh
Tjen Tjen tak dapat melekat pula, tubuhnya bagai
anak panah terlempar ke luar goa- Tjen Tjen gusarnya
bukan alang kepalang. Dari udara ia mengaoki Tjiu Piau.
"Hei ke luarkan kebiasaanmu, hajar Hong hu, Sian-to
dan Beng-bunnva!" Yang dikatakan ini ialah tiga jalan darah yang terdapat dipunggung, Tjiu Piau kala ini berada
di belakang Hweesio Kate itu. dengan berbareng tiga
batu melesat dari tangannya menyerang ketiga tempat
yang disebutkan Tjen Tjen.
Ketiga jalan darah itu tepat terletak di tengah tengah
punggung, berbaris menjadi satu garis lurus Terbagi di
atas. di tengah dan bawah. Tjen Tjen mengetahui Hweesio
ini gerakannyalamban,kelincahannya kurang,
tidak mudah berkelit kekiri dan kanan. Maka
dititahkannya Tjiu Piau menyerang ketiga tempat itu.
Hweesio kate itu waktu mendengar desiren angin, sudah
tak sempat menyambut lagi, ditambahnya tempat yang
dipijik adalah tanah tanah gembur, merebas bagai
lumpur! Ia hanya dapat membungkukkan tubuhnya
kedepan Dua butir dapat dikelit, sebutir lagi yang di bawah
tak terhindar lagi. Tepat mengenai lunggirnya. Walaupun ia
sudah mengunci jalan darahnya. Tapi "Plak!" sakit juga! !
Dengan gusar ia menteriak: "Hei bocah!" Bidannya
berbalik, tapi Tjiu Piau entah sudah kemana perginya Dalam
dongkolnya penuh amarah ia berkata: "Apa kiranya aku
49 ... Aku Tong Leng Ho Siang tak dapat membekuk
segala bocah ingusan semacam kau' Tubuhnya bergerak
mengejar. Sementara itu TJen Tjen yang kena dilempar ke luar,
sedikit juga tidak merasa gentar ! Karena ia mengetahui
yang berada diatas adalah ayahnya dan kawan-kawan dari
ayahya. Dengan satu gerakan Hong TjutLiu Ijie (ingin
menghembus ranting liu). Tabuhnya perlahan-lahan
melayang turun. " Ayah" katanya.
Hal ini diluar perkiraan Louw Eng :"Kau!" bentaknya.
"Mau apa datang Kesini" Siapa itu dibawah?" kata kata ini diucapkan dengan bengis. Dalam kagetnya Tjen Tjen
bertata bertutu menjawab:
"Di -di bawah - eh, bocah anak kecil- Aku pun tidak tahu
siapa dia, aku hanya bermain main dengannya." Ia berpikir
sebentar, lalu tambahnya pula, "ia adalah tamu dari Ouw
Siok siok. Ouw Siok-siok Pasti mengenalnya."
Mendengar ini Louw Eng tidak berkata apa-apa. Mukanya
sedikit juga tidak menunjukkan perubahan. Dalam diamnya,
tak seorang mengetahui apa yang tengah dipikirnya. Di
sampingnya berdiri Tjen Tjen dan Oaw Yu Thian Louw Eng
menolehpun tidak! Juga tidak bertanya: Kemudian kedua
matanya kedip-kedip, sudut bibirnya bergerai, ia tertawa ! !
Melihat ini Ouw Yu Tnian sepontan gemetar setengah
mati'!!!?""
Kiranya sepuluh tahun belakang ini Louw Eng mendapat
gelaran Siau Bu Siang (ketawa tak wajar) di dunia Kangouw. Wataknya sangat aneh, walaupun menghadapi segala
soal kecil maupun besar, wajahnya tak pernah menujukkan
perubahan. Biar di dalam hatinya tengah gusar setengah
mati, parasnya tetap tenang. Tapi kalau ia sekali tertawa
artinya ada yang celaka!
ak heran Ouw Yu Thian merasa kuatir sekali. sebab Tjiu
Piau adalah tamunya. Ouw Yu Thian berpikir di dalam
hatinya: "Ban Liu Tjung asalnya kepunyaan orang lain. AKu
dapat memilikinya dengan jalan kekerasan. Jalanan di
50 dalam tanah mungkin sudah ada sedari dulu, tapi ditimbuni
orang. Ah berkat kelalaianku sendiri hal ini tidak kuketahui.
Subaik kututup mulut. Tapi bocah she Tjiu itu dapat ku
serahkan untuk diurusnya." Sesudah tetap pikirannya ia
berkata: Toako bocah itu adalah Tjiu Liu, yakni ahli waris dari
orang yang selalu dikenang Toako, yakni keponakan dari
Tjiu Tjian Kin. Toako ingin menyelidiki putera dari Tjiu Tjian
Kiu, sebaiknya tanyakan saja kepadanya."
Mendengar ini Louw Eng ikut-ikutan berkata. 'Tjiu Tiian
Kin?" wajahnya tetap tak berubah, tapi suaranya agak
bergetar. "Kalau demikian tidak boleh tidak ia harus kembali!" Baru saja kalimat ini ke luar, dua orang menyahut. Kami pergi
memanggilnya," menyusul berkelebet dan tubuh, dan hilang
ke dalam terowongan.
Kegesitan dan kelincahannya luar biasa lihay!
Tjer Tjen mengenal kedua orang itu. yakni Mau San Hak
Hoo dan Pek Hoo (dua rase putih dan hitam dari gunung
Mo). Dua saudara ini dalam kalangan Kangoaw sangat
terkenal. Dalam ruangan itu lebih kurang terdapat tiga puluh
orang orang luar biasa. Golongan cabang atas, hampir
kumpul semua disitu, Terkecuali dari Tjit Kauw. Tjen Tjen
mengenal gurunyn Peng San Hek Pau Bok Tiat Djin, Kwan
Tong It Koay Bi Berg Nie (nanusia aneh dari Kwan Tong)
Kim Ie Kong Dju Kte (pangeran baju emas) Salah satu dari
Go Bie Sam Kiam (tiga pendekar pedang dari Go Bie) yang
bernama Lauw Tjiok Sim, Toai Ouw Hu Lui Ong Hie Ong
(raja sungai dari Thai Oaw) dan lain lain. Semua jago jago
kelas berat. Kesemua orang ini sering berhubungan dengan
Louw Eng dari itu Tjen Tjen mengenalnya. Antaranya ada
yang tidak dikenal tapi dapat dipastikan mereka bukan
orang sembarangan pula.
Tjen Tjen hatinya cemas, kalau ayahnya menegur di
51 muka orang banyak, wah, malunya bukan alang kepalang!
tak dikira Louw Eng tidak mengambil perhatian kepadanya.
Louw Eng matanya seperti alap alap menyapu para
hadirin yang ada disitu. Dengan karena ia melanjutkan
pembicaraannya: ..Hari ini dapat berkumpul dengan
saudara saudara adalah hal yang sangat menggirangkan.
Dari ini marilah kita selesaikan urusan kita. Bocah itu sudah
berhasil mencuri dengar pembicaraan kita hanya sedikit.
Kini sudah diurus oleh Tong Leng dan Mau San Djie Hoo
Bocah itu pasti dapat dibawah kemari. Dari itu tak perlu
dikuatirkan."
Sesaat kemudian Louw Eng baru melanjutkan kata
katanya lagi. "Begitu baginda melihat surat itu, segera
mengumpulkan pengawal pengawal istana, diperintahkan
untuk memeriksa dan meronda kesegala penjuru. Alhasil
nihil semua. Sedikit ciri ciri yang mencurigakan tak
ditemukan. Beliau bergusar benar. Kata-kata da$ri surat itu
sangat mengganggu pikirannya. Sebab itulah mulai hari itu
istana dalam penjagaan keras. Duapuluh empat jago-jago
jaga istana siang malam berganti mendampingi baginda.
Urusan yang mengenai urusan Tiong Tjiu di Oey San
diserahkan ke padaku. Aku diwajbkan untuk memeriksa dan
mengetahui bahwa Liong Hong Sang Kiam itu pemberontak
dari golongan apa!"
Louw Eng di kalangan istana tidak memangku pangkat,
semata mata untuk memudahkannya mondar mandir di
dunia Kang-ouw. Cita citanya ingin menjagoi di kolong
langit dan ditakuti orang orangrimba persilatan. Sedangkan
pemerintah Boan sudah menjuluki dan memberi gelar
BuLim Tee It (jago rimba persilatan nomor satu), Pengawal
pengawal keraton sangat menghormatinya. Lebih kurang
sepuluh tahun Louw Eng menjelajah dunia Kang ouw,
melakukan pekerjaan khusus membasmi orang orang yang
berani menentang pemerintah Boni. Jasa jasanya terhadap
pemerintah Boan bukan sedikit. Atas ini beberapa kali ia
menerima penghargaan penghargaan besar dari Sri
Baginda. Sehingga hidupnya menjadi mewah Untuk
melakukan pekerjaannya ini Louw Eng berhubungan pula
52 pada orang-orang yang sehaluan. Lihat saja orang orang
berilmu yang sukar dicari kini sudah dikumpulkan datang di
Ban Liu Tjung. Louw Eng meneruskan keterangannya: "Atas
hal yang tadi itu, kini sudah tercium sedikit di kalangan
Sungai Telaga tersiar kabar secara meluas, bahwa
pertemuan di Oey San adalah untuk merundingkan dan
merencanakan untuk menggulingkan pemerintah. Hal ini
katanya akan dilakukan besar besaranan karena urusan
demikian besar, aku memutuskan untuk turun tangan
sendiri. Di samping itu bantuan saudara saudara sangat
dibutuhkan. Sebab atas bantuan dari saudara urusan baru
dapat dijamin menjadi sukses. Kini yang belum diketahui
siapa siapa yang akan ke Oey San dan siapa Liong Hong
Siang.Kami itu.Saudara saudara adalah orang orang yang
kenamaan di rimba persilatan, apakah saudara mengetahui
atau pernah mendengar sesuatu tentang ini?"
Orang orang itu saling pandang memandang dengan
mata mendelong, tiada seorang mengeluarkan pendapat.
Tjen Tjen diam di situ merasa gerah tidak keruan.
Hatinya memikiri Tjiu Piau yang tengah dikejar Tong Leng
Hweesio. Apa sudah tertangkap apa belum" Makin memikir
makin menyenangkan pikirannya yang gemar keramaian.
Dari itu ia berkata pada ayahnya: "Yah, aku juga ingin
mengejar bocah itu!" tubuhnya segera masuk ke dalam goa.
Mari kita tengok Tjiu Piau yang sudah berhasil menghajar
tunggir Tong Leng Hweesio dan melarikan diri sebelum Tong
Leng balik badan. Tjiu Piau mengandal pada kegesitannya,
tambahan jalanan sudah dikenal. Ia dapat berlari depan
cepat. Sebentar saja sudah menghilang dari pandangan
mata. Tong Leng seorang yang berani dan berkepandaian
tinggi. Tidak menghiraukan kegelapan, terus saja maju
sambil memperbesar langkahnya. Matanya tidak dapat
melihat dengan awas di dalam gelap. Dari itu telinganya
yang tajam menggantikannya. Tak heran ia dapat berjalan
seperti disiang hari. Tjiu Piau hampir terkejar, sebelum itu
telinganya sudah mendengar derap kaki Tong Leng
yang seperti palu menempa besi Dalam kegelapan suara itu
menakutkan dan menyeramkan sekali. Sebaliknya Tong
53 Leng pun sudah mendengar langkah kaki Tjiu Piau yang
ringan. Dalam gelisahnya Tjiu Piau ' mendapat akal baik. Setiap
sampai ditikungan Tong Leng dihajar oleh batu batu kecil.
Sehingga dapat menghambat langkah si Hweesio. Karena
ini Tjiu Piau dapat memisahkan diri agak jauh juga, Tjiu
Piau hatinya berpikir. "Dari serangan tadi, menunjukkan
bahwa Hwaesio itu berkepaindaian tinggi. Sama sekali
bukan tandinganku. Yah kalau dilawan mati-matian,
mungkin dapat juga kuhajar dengan mutiara T.api
komplotan Hweesio ini belum kuketahui lawan atau kawan."
Pikirannya kacau tak dapat mengambil keputusan yang
tepat. Hatinya hanya berpikir asal dapat keluar dari goa ini
sudah bagus. Di luar banyak batu batu gaib yang
menyerupai oraig,tempat itu cocok untuk menyembunyikan
diri. kemudian baru menyelidiki Low Eng itu manusia
macam apa..."
Di luar goa terlihat malam cerah dengan hiasan ribuan
binatang. Dalam ketenangan dan kesunyian malam. Samar
samar Tjiu Piau melihat dua bayangan berdiri di mulut gua.
Tjiu Piau terkesiap hatinya, hatinya mengeluh "Hweesio di
belakang itu demikian lihay, untuk mundur sudah tak ada
jalan. Kedua orang di muka ini belum kuketahui
kepandaiannya. Sebaiknya mengadu nasib saja." Sesudah
tetap pikirannya.. Tubuhnya mencelat ke luar goa dan
diserangnya salah seorang dari mereka. Lain tangannya
sudah siap dengan butir butiran batunya. Adalah hal yang
mengherankan orang itu sama sekali tidak melawan hanya
tergesa gesa menyingkir! Salaih satu dari meieka berkata
pada Tjiu Piau. "Kawan naiklah dan istirahatlah di balik batu itu!" Dalam herannya Tjiu Piau tidak menjawab. Kakinya
langsung membawa sang tubuh kedalam kumpulan
kumpulan batu yang mendapat di situ.
Dalam keadaan gelap, wajah kedua orang itu tidak
terlihat dergan tegas. Melihat dari cara berpakaiannya tidak
lain adalah anak sekolah. Satu besar satu kecil, berdiri
dengan gagahnya di bawah naungan sang malam. Tengah
Tjiu Piau menduga-duga tentang dua orang ini, mendadak
54 sebuah bayangan gelap mencelat dari liang goa. Orang ini
tidak lain dari Tong Leng Hweesio. Lengannya terbentang ke
samping dengan lurusnya. Tak ubahnya seperti kunyuk
Ancol loncat dari pohon jengkol! Kedua Sie-seng (telajar
atau anak sekolah) diam saja tidak bergerak. Siauw Sie
seng (peiajar yang kecilan) tertawa terkekeh kekeh sambil
berkata : "Kak, dilihat dari tampangnya, delapan bagian
orang ini seperti yang disebut Tong Leng Ho Siang.
"Coba kau coba barang tiga jurus!" jawab Toa Sie seng
(pelajar yang besaran). Tong Leng tidak melihat Tjiu Piau,
sebaliknya bertemu dengan dua bocah bermulut lancang.
Dongkolnya menjadi - jadi. Tanpa berkata - kata, lengan
kanannya menggebuk dada Siauw Sie seng. Orang itu tidak
gugup sedikit juga. Sebaliknya ia berteriak. "Kini Hong Heng Sau ( angin emas menyapu dengan ganas)!"' Kedua
tangannya dirapatkan di depan dada, mendadak di dorong
kemuka menangkis serangan Tong Leng. Plak!!! terdengar
suara bentrokan keras, menyusul tubuh Tong Leng menjadi
limbung. Sebaliknya Siauw Sie-seng mundur setumbak lebih
ke belakang, ia sudah mengetahui bahwa tenaganya tidak
dapat menbandingi tenaga lawan. Dan itu ia sengaja
mundur demikian jauh agar tak kena digempur tenaga
dalamnya. Tong Leng gusar dan tak habis mengerti, yang
menjadikan gusar ialah beruntun dalam malam ini juga
kebentur bocah-bocah hijau tanpa dapat menundukkan.


Pahlawan Harapan Karya Tang Fei di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang membuat ia tak habis mengerti, ialah ilmu ciptaannya
yang dibuat kebanggaan yakni Sian Wan Kiam Hoat ( ilmu
pukulan malaikat kera ) begitu bergebrak sudah dikenal
bocah itu. Sedangkan di dunia Kang-ouw jarang yang dapat
mengenalnya. "Hai ! Bocah siapa namamu?"
Siauw Sie seng menjawab sambil tertawa: "Thai Shu aku
hanya golongan bocah hijau tak bernama!" Suaranya
berhenti, tangannya bekerja ke atas dan ke bawah
membawa serangan dahsyat menuju pada Tong Leng.
Tong Leng enggan berkelit, dengan cepat tangannya
55 dirapatkan dan dikirimkan ke depan dengan delapan bagian
tenaga dalamnya Jurus ini ialah Sian Wan Pai Gwato
(Malaikat kera menyembah rembukan) salah saru jurus
yang lihay dari ilmunya". Pukulan ini mendatangkan angin
dasyat yang sukar ditahan. Pukulan ini bukan saja dapat
menangkis serangan lawan, bahkan berlebihan! Sehingga
sisa dari tenaganya ini merupakan serangan hebat pada
lawan. Siauw Sie seng rupanya sudah menduga, cepat
bagai kilat badannya mengelinding ke sebelah kiri
menghindarkan bahaya. Sambil melelet leletkan lidah ia
berkata pada Toa Sie seng :
"Kak sembilan puluh persen orang ini Tong Leng
adanya!" Kembali tubuh Siauw Sie seng Gencelat bangun, tangan
kanannya mendorong. Serangan ini tidak dipandang oleh
Tong Leng. Bukannya ia berkelit sebaliknya lengan orang itu
dibabad dengan tangan kirinya. Siauw Sie seng menarik
serangannya tidak berani mengadu tulang. Tangan kirinya
tidak tinggal diam, diserangnya kepala Tong Leng : "Lihat!
Hut Siu Jie Kie (lengan baju mengebut pergi), benar saja
tangan baju itu menyapu kedua mata Tong Leng. Tong Leng
gelagapan, tak terpikir olehnya bocah sekecil ini sudah
mempunyai Nuikang (ilmu dalam) yang demikian tinggi.
Karena ini ia tak berani lagi berlaku gegabah. Bagai kilat
mulutnya terbuka, giginva berhasil menggigit lengan baju
Siauw Sie seng. Dalam pada iini Siauw Sie seng salah
hitung, kiranya habis mengebut ia bisa segera meloncat
pergi. Tak kira Tong Leng membuatnya tidak berkutik.
Sambil menggigit Tong Leng sempac tertawa besar!
Tangannya diulur untuk menangkap bocah Kecil itu Siapa
tahu mendadak angin dingin berkesiur di batok kepalanya.
Ia tahu ini adalah serangan hebat dari tingkat atas. Buru
buru ia berkelit sambil membalik badan menyambut
serangan. Serangan ini datang dari tangan Toa Sie seng.
Siauw Sie seng napasnya senen kemis, tapi ia berkata :
"Kakak, tak salah lagi, dialah Tong Leng Ho Siang!"
Tong Leng beruntun mengrimkan tiga serangan hebat.
56 Toa Sie seng pun beruntun, tiga kali menyambuti tiga
serangan itu. Kedua belah pihak seolah olahsudah
saling mengetahui kekuatan lawan. Tong Leng sadar Toa
Sie seng ini berkepandaian lebih tinggi dari Siauw Sie seng.
Walaupun demikian masih tetap bukan menjadi lawannya.
Hal ini melegakan pikiran Tong Leng. Seluruh kepandaian
Tong Leng dikerahkan untuk mempercepat jalan
pertandingan. Karena dengan selesainya bertanding dapat
dengan leluasa mengejar Tjiu Piau. Terdengar Toa Sie-seng
berkata: "Tong Leng Ho Siang, kenapa bukan baik baik
diam di Wan Liu San memuliakan Buddha dan membakar
dupa. Untuk apa kau bergaul dengan segala Ouw Yu Thiaa
melakukan pekerjaan buruk. Dengarlah nasibku dan segera
pulang ke tempat kediamanmu. Mengenai orang yang kau
kejar akan kujadikan tamu. Berilah muka kepada kami.
Urusan pasti menjadi beres. Ingatlah untuk satu lawan satu
memang kami bukan lawan darimu tapi kalau kami
bergabung, jangan harap kau bisa banyak tingkah!"
"Bocah itu siapa namanya" Kau sendiri bocah berengsek
dari kampung mana" Apa alasanmu untuk menjadikan dia
sebagai tamu kau?"
"Sementara ini aku belum mengenalnya. Tapi aku dapat
memastikan, setiap orang yang melarikan diri dari Ban Liu
Tjung bukan orang jahat!"
"Diam ! ! ! Kalau sudah kegusur ke Ban Liu Tjung baru
tahu rasa!" bentak Tong Leng dengan kegusaran yang
muncak. Tangannya berputar, menderu deru mengeluarkan
angin menyerang kedua orang. Badannya yang tambah
tangannya yang panjang luar biasa. Di dalam gelap
tampaknya bagai kunyuk liar ke luar dari hutan dan tak
ubahnya seperti iblis jahat turun dari mereka! Melihat ini
Tiiu Piau menahan napas. Hatinya berpikir. "Dua pemuda itu
dapatkah menandinginya" Haruskah aku turun tangan
membantunya?"
Iimu silat Sian Wan Kiam Hoat dari Tong Leng tidak
boleh dibuat gegabah. Sepasang lengannya yang
mempunyai tenaga ratusan kati, sebentar diulur sebentar
57 ditarik. Perubahan sama sekali tidak terduga pemuda itu.
Sebaliknya untuk menghadapi Tong Leng dua pemuda itu
bahu membahu, mundur maju dengan penuh perhatian
menghadapi sang lawan. Beberapa kali Tong Leng
menghantam dengan keras, disambut pula dengan ke
empat tangan bergabung secara keras pula!"
Tong Leng pikirannya tak keruan rasa. Ilmu pukulannya
yang dibuat bangga ini, berpokok pada kelincahan kera,
ditambah peryakinan selama sepuluh tahun dari ilmu
dalamnya. Sehingga dalam tubuhnya terdapat berat dan
lincah. Tapi kini kelincahannya berkurang banyak
disebabkan tambah gemuknya dari sang badan. Jika dua
pemuda mengandalkan kelincahannya untuk mengatasi
Tong Leng. sesuai benar dengan pikiran orang. Tapi dua
pemuda ini baKu hantam dengan seenaknya. Keras dilawan
akal, kepelan dihajar, tenaga dalam diterima pula dengan
ilmu dalam! Hal itu membuat Tong Leng berpikir, bahwa kedua orang
ini harus dipisahkan, agar tak dapat. menggabungkan diri.
Naga Kemala Putih 6 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Panji Wulung 14

Cari Blog Ini