Ceritasilat Novel Online

Pecut Sakti Bajrakirana 1

Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


PECUT SAKTI BAJRAKIRANA
Kho Ping Hoo Bagian 1 Malam Jumat kliwon yang gelap pekat dan
menyeramkan dalam tahun 1613. Dilereng Gunung Kawi
yang sunyi sepi itu suasananya demikian angker dan
menyeramkan. Sebuah pondok kayu yang berdiri di lereng
sebelah timur tampak sunyi diselimuti malam. Hanya
sebuah lampu gantung kecil menerangi depan pondok,
sinarnya yang lemah menimbulkan bayang-bayang besar
dan menakutkan, menjadikan rupa-rupa bentuk yang
mengerikan. Pohon-pohon besar di sekitarnya yang
tersapu angin malam tampak seolah-olah menjadi hidup
dan bergerak-gerak.
"Kulik-kulik-kulik?"!" Suara burung malam yang terdengar lapat-lapat
menambah seram suasana dan bau kemenyan menyengat hidung. Bau kemenyan ini
mengingatkan orang-orang mati dan setan iblis belasakan.
Terpisah dua lereng di bawah pondok itu lapat-lapat dapat terdengar suara
anjing meraung, datang dari arah dusun di sana yang tampak lampunya berkelap-kelip
dari lereng di pondok itu. Tentu malam itu tak seorang pun dari para penduduk dusun
itu berani keluar, karena telah menjadi kepercayaan turun temurun bahwa malam
Jumat kliwon adalah malamnya bangsa setan demit dan iblis yang berkeliaran di
permukaan muka bumi untuk menggoda manusia.
Di dalam pondok kayu itu pun suasananya sepi sekali seolah pondok itu tidak ada
penghuninya. Padahal penghuni pondok itu sedang duduk bersila di atas
pembaringannya. Seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun, rambutnya yang
sudah hampir putih semua itu digelung ke atas dan diikat kain berwarna kuning.
Jubahnya seperti jubah pendeta yang berwarna putih dan hanya merupakan pakaina
yang amat sederhana. Wajahnya masih tampak segar seperti wajah seorang muda saja,
terutama sekali sepasang matanya yang lembut itu kadang mengeluarkan cahaya
mencorong, menandakan bahwa dia seorang pendeta atau pertapa yang memiliki
kesaktian dan tenaga dalam yang amat kuat.
Dari pintu kamarnya muncuk seorang pemuda yang segera duduk bersila di
bawah pembaringan. Melihat pertapa itu seperti orang dalama samadhi, pemuda itu
tidak berani menggangunya, hanya duduk diam seperti gurunya, bersila dan memangku
kedua tangan. Tak lama kemudian keduanya sudah tenggelam ke dalam samadhi mereka
dan suasana menjadi semakin sunyi. Siapakah pendeta itu" Dia seorang pertapa yang
sudah bertahun-tahun bertapa di lereng Gunung Kawi. Namanya disebut orang
Bhagawan Sidik Paningal. Seorang tua yang bertubuh jangkung kurus, yang mukanya
masih segar seperti muka orang muda dan wajah itu masih terdapat bekas wajah
seorang pria yang tampan dan lembut. Adapun pemuda yang duduk bersila di bawah
pemabaringan itu adalah Sutejo, muridnya yang terkasih. Seorang pemuda berusia dua
puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dengan dada yang bidang dan kedua pundak dan
lengannya tampak kokoh kuat. Wajahnya tampan dengan sepasang mata lebar yang
memandang dunia dengan sinar mata cerah dan penuh semangat, sepasang alisnya
hitam tebal, hidungnya mancung dan mulutnya selalu mengandung senyum yang ramah.
Dagunya berlekuk menambah kejantanan wajah itu, dan kulit tubuhnya juga bersih
kemuning. Rambutnya panjang ditekuk dan digelung ke atas, diikat dengan sehelai kain
biru. Bajunya berlengan penadek sebatas siku, celananya hitam sampai ke betis dan
sehelai sarung dikalungkan di pundak kiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Dia
menghadap gurunya bersamadhi, diapun tidak berani menggangu, hanya mengikuti
contoh gurunya, ikut pula bersamadhi di depan gurunya.
Tiba-tiba Bhagawan Sidik Paningal terbatuk-batuk tiga kali. Batuk yang lebih
merupakan isyarat kepada muridnya yang berada di depannya bahwa dia kini sudah
sadar dari samadhinya dan isyarat itupun bertanya apa keperluan muridnya memasuki
kamarnya dan menghadap.
Sutejo menangkap isyarat itu dan menyembah. "Mohon maaf Bapa, bahwa saya
berani menghadap dan mengganggu samadhi Bapa. Akan tetapi, Bapa, sejak senja tadi,
saya merasakan sesuatu yang aneh, suasana yang berlainan sekali daripada malammalam yang lain. Seluruh perasaan saya tergugah, bahkan batin saya merasa terkacau
oleh suatu tenaga yang rahasia. Karena itu saya berani mengganggu Bapa untuk minta
penjelasan apa artinya semua yang saya rasakan pada saat ini."
"Hong wilaheng". Andika juga merasakan itu, Sutejo" Bagus, hal itu
menunjukkan bahwa andika telah memiliki kepekaan. Memang apa yang andika rasakan
itu ada sebabnya, cukup. Sekarang cepatlah engkau pergi ke belakang, mengambil air
jernih sepiring dan letakan piring itu di depan kita di sini. Cepat, mereka telah mulai
menyerang!"
Sutejo terkejut. Siapa yang mulai menyerang" Dan menyerang bagaimana yang
dimaksudkan gurunya" Akan tetapi dia tidak bertanya dan cepat melaksanakan
perintah gurunya, mengambil air jernih dalam sebuah piring yang dibawanya masuk lagi
ke kamar gurunya lalu meletakkan piring itu di atas lantai di antara mereka.
"Bagus! Sekarang mari kita bersamadhi lagi dan kerahkan seluruh tenaga
batinmu untuk melindung dirimu dari marabahaya. Kerahkan aji kekebalanmu seolah
engkau berhadapan dengan musuh yang hendak menikam tubuhmu. Dan jangan banyak
bertanya, lakukan saja apa yang kukatakan."
"Sendhika, Bapa Guru." Sutejo tidak bertanya-tanya, melainkan sepenuhnya
menaati perintah gurunya. Dia bersila lagi dan bersamadhi mengumpulkan seluruh akal
pikirannya dan mengerahkan aji kekebalan untuk melindungi tubuhnya.
"Kulik-kulik-kulik......!" Burung malam itu seperti terbang melewati atas pondok
mereka sambil mengeluarkan bunyi yang mengerikan itu.
Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan suara itu dan tetap tenggelam ke
dalam samadhinya. Terdengar pula raungan anjing di kejauhan dan kelepak sayap
burung di atas rumah, lalu bunyi seperti dua batang tulang dipukul-pukulkan, "Tek-tektek-tek!" Menurut dongeng tahyul itu adalah suara setan tetekan.
Akan tetapi semua itu tidak menggoyahkan Sutejo yang tetap tenang dalam
samadhinya. Bau kembang menyan semakin menyentuh hidung dan tiba-tiba Sutejo
merasa dadanya dan lehernya tertusuk sesuatu yang runcing. Akan tetapi aji
kekebalannya menolak tusukan itu dan terdengar suara nyaring berdenting di
depannya, di atas piring terisi air jernih itu. Sampai beberapa kali peristiwa itu
berulang, namun semua tusukan tidak ada yang mempan ketika mengenai kulit tubuh
Sutejo yang sudah dilindungi aji kekebalan Kawoco (Baju Besi) itu.
Kemudian sunyi kembali dan terdengar Bhagawan Sidik Paningal terbatuk tiga
kali. Sutejo membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah piring terisi air
jernih itu. Dan di dalam air itu, tampak jelas adanya beberapa batang jarum dan paku
berserakan di dalam piring! Bhagawan Sidik Paningal membuat gerakan dan ternyata
kakek itu melemparkan dua batang cundrik (keris kecil) dari atas pembaringan. Dua
batang cundrik itu jatuh ke atas lantai dekat piring dan Sutejo melihat betapa ujung
kedua batang cundrik itu berwarna biru kehitaman, tanda bahwa dua batang senjata
kecil itu mengandung racun yang amat berbahaya.
"Sadhu-sadhu-sadhu-sadhu...! Keji sekali orang yang menyerang kita dengan ilmu
hitamnya."
Suetjo terbelalak. "Kita diserang orang, Bapa" Jadi beginikah orang menyerang
dengan gelap dengan ilmu santet?" Sutejo pernah diceritakan gurunya tentang ilmu
hitam dan ilmu santet akan tetapi baru sekarang ini dia menyaksikan sendiri karena
diapun menjadi sasaran serangan santet!
Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk. "Bawalah semua itu ke belakang
dan tanam dua batang cundrik dan semua paku dan jarum itu ke dalam tanah."
Tanpa bicara Sutejo melaksanakan perintah gurunya lalu dia duduk kembali di
hadapan gurunya.
"Akan tetapi, Bapa. Bukankah Bapa dulu pernah mengatakan bahwa serangan ilmu
hitam seperti itu dapat ditangkis dan semua serangannya dapat dikembalikan kepada
penyerangnya" Kenapa Bapa malah memerintahkan saya untuk mengubur semua senjata
rahasia itu?"
"Kulup, membalas kejahatan dengan kejahatan pula adalah perbuatan sesat.
Mereka menyerang dengan santet kepada kita, hal itu jelas merupakan kecurangan dan
kejahatan. Kalau sekarang kita menyerang mereka dengan cara yang sama, bukankah
itu berarti keadaan kita tidak sama dengan mereka" Tidak, muridku. Dan ingatlah
bahwa selama hidupmu engkau tidak boleh melakukan penyerangan dengan ilmu santet
yang jahat dan curang itu."
"Lalu, kalau demikian, apakah kita harus mendiamkan saja perbuatan jahat orang
terhadap kita?"
"Jangan khawatir akan hal itu. Yang menjerat seseorang, yang membalas
seseorang adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Aku percaya bahwa besok pagi
penyerangnya sendiri akan datang ke sini. Sekarang beristirahatlah engkau, Sutejo
karena besok akan terjadi hal-hal menegangkan yang mungkin akan menguras tenaga
kita. Jangan khawatir, biasanya serangan ilmu hitam yang tidak mengenai sasaran tidak
akan diulangi dalam semalam. Tidurlah."
"Sendhika, Bapa."
Suetjo lalu memasuki kamarnya sendiri. Pondok kayu sederhana itu memang
hanya memiliki dua buah kamar yang bersebelahan. Biarpun baru saja menghadapi
peristiwa yang menegangkan, namun begitu Sutejo mengambil keputusan untuk menaati
gurunya dan tidur, maka segera dia tertidur lelap.
******* Matahari pagi muncul dengan megahnya. Sinarnya sejak subuh sudah mulai
mengusir kegelapan malam. Embun pagi bergantungan di ujung-ujung daun bambu.
Kabut mulai berterbangan, seolah takut menghadapi sinar matahari yang semakin
terang. Burung-burung berkicau dari dahan ke dahan, tampak sibuk dan cerewet dalam
persiapan mereka untuk mencari makan hari itu. Tidak lama lagi celoteh mereka akan
terhenti dan mereka akan berterbangan ke segenap penjuru untuk mencari makan.
Sinar matahari mulai menyusuri tebing-tebing dan jurang-jurang di pegunungan kawi,
menjenguk semua celah dan menghidupkan segala yang tampak di permukaan bumi.
Sutejo telah bangun sejak ayam jantan berkokok tadi. Dia sudah sibuk bekerja,
mengambil air dari sumber dan memenuhi semua gentong dan tempayan tempat air, lalu
memasak air untuk membuatkan minuman bagi gurunya. Ketela dan pohung yang
diambilnya kemarin masih bersisa banyak dan dia tahu bahwa gurunya suka sekali
makan ketela dan pohung yang dibakar, maka diapun membakar beberapa butir palakependam itu. Gurunya hanya minum air teh yang encer, tanpa gula. Sambil bekerja,
Sutejo selalu waspada. Dia tidak lupa akan kat-kata gurunya bahwa para penyerang
gelap dengan ilmu hitam semalam, hari ini tentu akan muncul. Setelah selesai semua
pekerjaannya, dia cepat mandi dengan air dingin sehingga tubuhnya terasa segar dan
penuh semangat.
Gurunya juga terbangun dan segera pergi ke tempat pemandian di mana telah
tersedia air setempayan besar penih. Setelah Bhagawan Sidik Paningal duduk di
pendopo rumah itu seperti biasa setiap pagi, Sutejo lalu menghidangkan ketela dan
pohung bakar dengan air teh. Bhagawan Sidik Paningal menggangguk-angguk tanda
senangnya hati lalu mulai sarapan sederhana itu. Dia menawarkan kepada Sutejo dan
pemuda ini pun menemani gurunya sarapan pagi.
Sinar matahari telah mulai menyentuh pelataran rumah itu ketika mereka
melihat datangnya tiga orang itu. Sutejo memandang dengan penuh perhatian. Dia
tidak mengenal tiga orang itu. Yang seorang adalah seorang pendet yang bertubuh
tinggi besar bermuka hitam, akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata
harimau. Pendeta ini berusia kurang lebih enam puluh tahun dan tangan kanannya
memegang sebatang tongkat hitam. Orang kedua juga seorang laki-laki tinggi besar
yang kumisnya melintang sekepal sebelah, tampak gagah dan juga seram. Dipundaknya
tergantung sebatang golok yang sarungnya terukir indah. Adapun orang ketiga
bertubuh kecil pendek, berusia kurang dari orang kedua, paling banyak lima puluh
tahun dan dia tampak gesit dan cekatan. Dipinggangnya terselip sebatang keris dan
tiga batang pisau belati telanjang.
"Kakakng Sidik Paningal!" Pendeta itu berseru memanggil dengan suaranya bukan
mengandung salam, melainkan mengandung teguran.
"Ah, andhika yang datang. Adi Jaladara dan tidak tahu siapakan andika, dua
orang yang datang bersama adi Jaladara?" tanya Bhagawan Sidik Paningal dengan suara
lembut dan wajah mengandung keramahan.
"Aku bernama Ki Warok Petak!" kata orang tinggi besar yang berkumis tebal.
"Dan aku adalah Ki Baka Kroda!" kata orang yang bertubuh kecil pendek. Sikap
kedua orang ini ketika memperkenalkan diri begitu angkuh seolah memperkenalkan
nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi Sutejo belum pernah mendengar namanama itu, bahkan nama Bhagawan Jaladara juga belum pernah didengarnya.
"Selamat datang dan selamat pagi adi Jaladara dan kalian. Ki Warok Petak dan
Ki Baka Kroda. Mari silakan duduk dan membagi sarapan pagi sekedarnya ini
bersamaku." Kata bhagawan Sidik Paningal dengan suara ramh dan tidak dibuat-buat.
Akan tetapi tiga orang itu tetap berdiri dengan kaki terpentang lebar dan sikap
menantang. Bhagawan Jaladara mengelus jenggotnya yang panjang dan alisnya
berkerut, mulutnya cemberut sebelum dia menjawab dengan suara yang kaku.
"Kakang Sidik Paningal, andika tentu tahu bahwa kunjunganku ini bukan untuk
sarapan pohung bersamamu dan bukan untuk mengobrol denganmu!"
Bhagawan Sidik Paningal masih sabar dan senyumnya tidak pernah meninggalkan
wajahnya yang cerah dan berseri itu. " Kalian bukan untuk itu, apakah andika
berkunjung untuk membicarakan peristiwa semalam. Adi Jaladara?"
Wajah yang sudah hitam itu berubah semakin hitam dan matanya yang
mencorong itu mengeluarkan sinar berapi ketika dia meluruskan lehernya dan menatap
wajah Bhagawan Sidik Paningal dengan alis berkerut.
"Peristiwa semalam tidak perlu dibicarakan lagi. Andika telah dapat menangkis
serangan kami, akan tetapi pagi hari ini, kalau andika tetap tidak mau mendengarkan
saran kami, terpaksa kami akan bertindak keras dan tidak memberi ampun kepadamu."
"Hmm, Adi Jaladara. Coba ulangi apa saranmu itu. Aku sudah hampir lupa." Kata
Bhagawan Sidik Paningal dengan sabar.
"Lupa atau pura-pura lupa" Kami mendengar bahwa andika mulai tertarik dan
mempelajari agam baru, berarti andika mengingkari guru kita dan melupakan agama
sendiri. Kedua, andika telah menolak untuk diajak bekerja sama membantu Bupati
Wirosobo."
"Ah, itukah yang kau maksudkan" Adi Jaladara, aku adalah seorang manusia yang
bebas untuk mempelajari agama apapun juga dan aku melihat bahwa Agama Islam tidak
menyimpang dari ajaran-ajaran lama. Bukan berarti aku melupakan agama sendiri.
Siapapun tidak berhak untuk melarang aku mempelajari Agama Islam. Bahkan kalau
andika mau, ada baik sekali kalau andika juga mempelajarinya sehingga andika akan
dituntun kembali ke jalan benar, meninggalkan jalan dursila."
"Pengkhianat! Andika memburuk-burukkan agam sendiri dan memuji agama
baru?" "Bukan, karena yang jahat dan baik itu bukan agamanya, melainkan manusianya.
Semua agama mengajarkan kebajikan, namun manusianya sendiri yang mengingkari
semua pelajaran itu dan terperosok ke jalan sesat. Apakah kau kira Sang Hyang Widhi
akan meridhoi jalan yang kau tempuh semalam, mengirim santet untuk menyerang
orang secara rahasia dan pengecut" Sadarlah, Adi Jaladara bahwa jalan yang kau
tempuh itu sesat dan keliru."
"Babo-babo, kakang Sidik Paningal. Kata-katamu semakin membakar hatiku.
Sekarang katakanlah apakah andika tetap tidak mau bekerja sama untuk membantu
Bupati Wirosobo. Bukankah kita berasal dari daerah Wirosobo" Andika tidak mau
membantu bahkan memusuhi daerah sendiri?"
BAGIAN 2 "Kalau Wirosobo mengadakan usaha untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya
dengan pembangunan, dengan senang hati aku akan membantu. Akan tetapi kalau diajak
untuk memberontak terhadap Mataram, terima kasih, aku tidak suka bekerja sama!"
"Bagus, berarti andika menantang kami!"
"Adi Jaladara, aku adalah kakak seperguruanmu, bagaimana aku akan
menantangmu. Aku tidak menantang siapapun juga, akan tetapi juga tidak akan undur
selangkahpun kalau ditantang orang."
"Baik, kalau begitu mari kita putuskan urusan ini dengan mengadu kesaktian!"
kata Bhagawan Jaladara sambil membantingkan tongkat hitamnya ke atas tanah.
Tampak debu mengepul dan".. tongkat hitam itu telah berubah menjadi seekor ular
hitam yang besar dan ular itu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal dengan sikap
mengancam, mendesis-desis dan menjulurkan lidahnya yang merah.
Dengan tenang Bhagawan Sidik Paningal melepaskan kain pengikat rambutnya
dan melemparkan kain itu ke arah ular yang siap menyerangnya sambil berseru dengan
suara lembut namun amat berwibawa, "Kembalilah ke asalmu!" Kain pengikat rambut
mengenai ular dan kembalilah ujud ular itu menjadi tongkat hitam dan sekali Bhagawan
Sidik Paningal menjulurkan tangan kanan, kain pengikat rambut berwarna kuning itu
terbang ke arah tangannya!
Bhagawan Jaladara tidak mau kalah. Dia pun menjulurkan tangan kanannya dan
tongkat itu terbang ke tangannya.
"Kakang Bhagawan Jaladara, biarkan aku yang lebih dulu maju menghajar orang
tua yang keras kepala ini!" tiba-tiba Ki Baka Kroda yang bertubuh kecil pendek dan
yang gerak geriknya gesit itu meloncat ke depan dan melolos kerisnya yang tidak
berlekuk akan tetapi cukup panjang itu. "Hayo, Bhagawan Sidik Paningal, kita mengadu
kedigdayaan!"
Bhagawan Sidik Paningal memandang Ki Baka Kroda itu seperti seorang guru
memandang muridnya yang sombong. Pada saat itu, Sutejo sudah melangkah ke depan.
"Maaf, Bapa Guru. Mereka datang bertiga menantang Bapa, sungguh tidak adil.
Karena itu perkenankan saya mewakili Bapa menghadapi lawan yang sombong ini!"


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bhagawan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepalanya, "Boleh, untuk latihan
bagimu, Sutejo. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau melukai parah apa lagi
membunuhnya."
"Sendhika, Bapa. Saya mengerti bahwa ilmu yang saya pelajari bukan untuk
menyiksa atau membunuh orang." Kata Sutejo dan dia sudah melangkah maju
menghadapi Ki Baka Kroda sambil mengikatkan sarungnya di pinggang. Pemuda ini tidak
memegang senjata apapun, akan tetapi melihat lawannya memegang keris, diapun
melepaskan pengikat kepalanya yang berwarna biru dan membiarkan rambutnya
terlepas dan berjuntai disekeliling pundaknya.
"Ki Baka Kroda, kalau andika memang ingin mengadu kesaktian, akulah lawanmu
mewakili Bapa Guru. Nah, mulailah!" Kata Sutejo sambil berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar dan kain pengikat kepala yang panjangnya sama dengan lengannya itu
terpegang di tangan kanannya. Dia memegang sudut kain itu dan begitu diputar, kain
itu menjadi segulungan kain yang keras.
"Bocah sombong, engkau sudah bosan hidup! Makanlah senjataku!" tiba-tiba Ki
Baka Kroda berseru keras dan dia sudah menyerang dengan kerisnya, menubruk dan
keris itu meluncur ke arah dada Sutejo yang bidang. Namun biarpun gerakan Ki Baka
Kroda ini sangat cepat, gerakan Sutejo lebih cepat lagi. Pemuda itu mengelak ke kiri
dan dari situ dia menggerakkan tangan kanannya. Gulungan kain pengikat kepala itu
berubah menjadi sinar biru yang mencuat dan memukul ke arah hidung Ki Baka Kroda.
Orang ini terkejut sekali karena sambaran kain itu mendatangkan angin yang kuat! Dia
melompat ke belakang dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat tiga kali dan tiga
batang cundrik melayang dan menyambar ke arah leher, dada dan perut Sutejo!
Pemuda itu agak terkejut juga, karena serangan itu mendadak dan tidak
terduga-duga datangnya!
"Curang!" serunya dan tubuhnya sudah melesat ke samping sehingga tiga batang
cundrik itu lewat dan tidak mengenai tubuhnya. Sutejo kini balas menyerang dengan
kain pengikat kepalanya. Biarpun kain itu lemas, namun di tangannya dapat berubah
menjadi kaku dan gulugan kain itu berubah seperti sebatang tongkat, atau tombak.
Dari gurunya dia memang mendapat gemblengan menggunakan kain pengikat kepala ini
menjadi sebuah senjata yang ampuh dan ilmu silat yang dimainkannya dengan kain itu
disebut Sihung Nila (Taring Biru). Begitu Sutejo menggerakan senjatanya itu dan
memainkan Sihung Nila, Ki Baka Kroda segera terdesak hebat. Kain itu berubah
menjadi gulungan sinar biru yang mengepungnya dari segenap penjuru sehingga dia
hanya menggunakan kerisnya untuk menangkis saja, sambil mengelak ke sana ke mari.
Setelah lewat lima puluh jurus, Sutejo sudah merasa cukup. Melihat keris
lawannya menyambar ke arah dadanya, dia cepat mengerahkan aji kekebalan Kawoco.
"Tukk!" keris itu mengenai dadanya akan tetapi tidak dapat menembus kulit
dadanya. Ki Baka Kroda terkejut bukan main dan pada saat itu, sinar biru menyambar
dan mengenai lehernya. Ki Baka Kroda terbanting dan terpelanting roboh!
Dengan kepala agak pening, Ki Baka Kroda bangkit berdiri, akan tetapi dia
maklum bahwa dia telah kalah. Kalau nekat maju lagi, tentu akan mengalami kekalahan
kedua dan tidak mau dia menjadi bahan tertawaan. Sambil bersungut-sungut dia lalu
mundur ke sebelah Sang Bhagawan Jaladara seperti minta bantuannya.
"Babo-babo, muridmu telah dapat mengalahkan seorang rekanku, kakang Sidik
Paningal. Sekarang mari kita yang tua sama tua maju untuk menentukan siapa yang
kalah dan siapa yang menang." Kata Bhagawan Jaladara sambil memalangkan tongkat
hitamnya di depan dada.
Bhagawan Sidik Paningal bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di depan adik
seperguruannya. "Adi Jaladara, sejak kecil kita sudah sama-sama digembleng oleh
Bapa Guru Resi Limut Manik di puncak Semeru, apakah setelah tua begini kita samasama mempergunakan semua ilmu itu untuk saling serang, hanya karena kesalah
fahaman sekecil ini" Kalau andika hendak membantu Bupati Wirosobo, silakan dan
jangan bawa-bawa aku. Dan tentang agama baru yang kupelajari, engkau tidak perlu
memusingkan hal itu karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Adi
Jaladara, apakah kita tidak dapat menyudahi saja pertikaian ini, dan menghindarkan
diri dari buah tertawaan orang sedunia bahwa ada kakek dan adik seperguruan saling
hantam di sini" Apakah hal ini tidak akan menurunkan derajat dan wibawa Bapa Guru
Resi Limut Manik?"
"Kakang Sidik Paningal! Kalau engaku berkecil hati dan takut menghadapi aku,
lebih baik engkau memenuhi saranku dan mari kita sama-sama membantu Kabupaten
Wirosobo sehingga suka duka akan kita alami bersama."
"Adi Jaladara, seorang pertapa seperti aku ini sudah tidak mempunyai nafsu
sama sekali untuk mencapai kemahsuran, kemuliaan dan kedudukan. Engkau
berangkatlah dan lakukan sendiri dan aku akan tinggal bertapa di sini memisahkan diri
dari keramaian dunia."
"Andika berkukuh, kakang Sidik Paningal?"
"Engkau yang berkukuh. Adi Jaladara karena andika yang hendak memaksakan
kehendak."
"Babo-babo, kalau begitu tidak ada jalan lain kecuali memutuskannya dengan
mengadu kesaktian!"
"Terserah kalau andika menghendaki demikian."
"Kakang Sidik Paningal, agaknya saat ini sudah merupakan waktunya bagimu
untuk meninggalkan dunia ini! Awas serangan tongkatku!" Setelah berkata demikian,
Bhagawan Jaladara mengirim serangan hebat. Serangan itu datangnya dahsyat bukan
main, mendatangkan angin menderu tanda bahwa tongkat di gerakan oleh tenaga yang
amat dahsyat. Sutejo sendiri sampai terkejut melihat hebatnya serangan dari Paman
gurunya yang baru pertama kali dijumpainya.
Bhagawan Sidik Paningal cepat mengelak dan seperti juga Sutejo, pendeta ini
mengandalkan ikat kepalanya sebagai senjata untuk membela diri. Dia melepaskan kain
pengikat kepala dan membiarkan rambutnya yang sudah hampir putih itu terjurai.
Terjadilah pertandingan yang amat hebat antara kakek bersama adik seperguruan itu.
Demikian hebatnya perkelahian itu sehingga debu mengebul tinggi dan daun-daun
pohon yang terletak di sekitar tempat perkelahian itu bergoyang-goyang dan banyak
daun kuning rontok seperti dilanda angin besar. Sutejo dapat merasakan pula
sambaran angin pukulan yang dahsyat dari kedua orang sakti itu.
Setelah mereka bertanding selama hampir satu jam, dari kepala kedua orang
kakek itu mengepul uap putih dan keduany sudah mandi keringat. Agaknya ilmu
kepandaian mereka memang setingkat. Akan tetapi, perlahan namun pasti, Bhagawan
Jaladara mulai terdesar. Kain pengikat kepala berwarna kuning itu telah berubah
menjadi sinar bergulung-gulung yang kuning warnanya dan agaknya sinar ini menembus
semua pertahanan Bhagawan Jaladara sehingga dia kehilangn dan keseimbangan dan
terus terdesak mundur. Pada suatu saat, ketika tongkat hitm menyambar ke arah
kepala Bhagawan Sidik Paningal, kain kuning itu meluncur dan menangkis lalu melibat
tongkat sehingga tidak mampu dilepaskan lagi. Melihat ini Bhagawan Jaladara lalu
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia memukul dengan tangan kirinya ke arah
kepala kakak seperguruannya. Akan tetapi Bhagawan Sidik Paningal sudah waspada,
diapun mengangkat lengan kirinya ke atas sambil mengerahkan tenaga.
"Wuuuuutttt".. desss"..!" Dua lengan kini bertemu dan akibatnya, tubuh
Bhagawan Jaladara terhuyung ke belakang kemudian roboh terjengkang. Dari mulutnya
mengalir darah. Adapun tubuh Bhagawan Sidik Paningal hanya terguncang dan mukanya
berubah pucat. Dengan bantuan tongkatnya Bhagawan Jaladara bangkit berdiri dan pada saat
itu, Ki Warok Petak yang tinggi besar berkumis tebal itu sudah menerjang dan
membacokan goloknya dari samping ke arah kepala Bhagawan Sidik Paningal.
"Sadhu-Sadhu-Sadhu!" Sang Bhagawan berseru dan sekali dia mengangkat
lengan kirinya dia sudah berhasil menangkap golok itu dan sekali rengut golok itu
berpindah tangan lalu dipatahkan oleh jari-jari tangan sang Bhagawan yang sakti. Ki
Warok Petak memandang dengan mata terbelalak dan tidak berani bergerak lagi.
Bhagawan Jaladara membuang tongkat hitamnya dan dia melolos sesuatu dari
pinggangnya, lalu menghampiri Bhagawan Sidik Paningal sambil membentak dengan
suara yang masih nyaring, "Sidik Paningal, lihat pusaka ini. Beranikah andika
menentangnya?"
Bhagawan Sidik Paningal menengadah untuk melihat benda itu. Seketika
mukanya menjadi pucat dan cepat dia berlutut dan menyembah ke arah pecut itu.
Sebatang pecut yang panjang, gagangnya terbuat dari gading gajah dan pecut itu
terbuat dari benang semacam lawe yang panjangnya ada dua meter.
"Saya tidak berani?".." kata Sang Bhagawan Sidik Paningal ketika melihat pecut
itu. Dia segera mengenal cambuk itu yang bukan lain adalah Pecut Sakti Bajrakirana,
pusaka milik gurunya. Gurunya pernah memesan kepada para muridnya bahwa siapa
yang kelak memiliki pecut itu, dialah orangnya yang menggantikan kedudukan gurunya
dan harus ditaati oleh para murid lain! Dan sekarang, pecut itu berada di tangan
Bhagawan Jaladara. Sebagai seorang murid yang amat hormat dan patuh kepada
gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik di puncak Semeru, Bhagawan Sidik Paningal
segera memberi hormat dan menyembah ketika melihat pecut wasiat itu.
"Hemm, engkau murid yang tidak patuh! Pecut pusaka sudah berada di tanganku
dan engkau masih belum juga mau menuruti perintahku" Sidik Paningal, mulai sekarang
aku perintahkan kepadamu untuk meninggalkan agama baru dan untuk membantu Bupati
Wirosobo. Bagaimana, apakah engkau masih berani membangkang!"
"Saya tidak berani membangkang, akan tetapi dahulu Bapa Guru sudah memberi
peringatan agar kita jangan sampai terlibat dalam perang saudara. Karena itu aku
tetap tidak dapat membantu Bupati Wirosobo kalau dia ingin memberontak terhadap
Mataram!" "Kurang ajar!" Bhagawan Jaladara lalu menggerakan kakinya menendang.
"Desss?""!" Tubuh Bhagawan Sidik Paningal tertendang seperti bola, terlempar
dan jatuh bergulingan karena dia sama sekali tidak berani melawan, juga tidak berani
mengerahkan aji kekebalannya. Bibirnya pecah dan berdarah, akan tetapi dia bangkit
duduk dan berlutut lagi menghadap Bhagawan Jaladara yang masih memegang pecut di
atas kepalanya.
"Andika masih tidak mau menurut?" Bentaknya.
"Sampai mati saya tidak akan dapat membantu kabupaten yang hendak
memberontak terhadap Mataram. Bapa Guru sudah berpesan agar kita semua
membantu Mataram, bukan melawannya."
"Tar-tar-tarrrr?".!" Cambuk itu meledak-ledak di udara lalu meluncur turun ke
arah tubuh Bhagawan Sidik Paningal. Pakaian pendeta itu tercabik-cabik dan kulit
tubuhnya robek berdarah. Namun Bhagawan Jaladara tidak peduli dan masih
mencambuki terus.
"Tar-tar-tar-tar-tarrrr".!" Tubuh Bhagawan Sidik Paningal bergulingan dan
seluruh tubuhnya mandi darah.
Melihat ini, Sutejo tidak dapat tinggal diam lagi. Dia melompat dan berusaha
merampas pecut itu dari tangan Bhagawan Jaladara, akan tetapi sebuah tendangan
dari paman gurunya itu membuatnya terjungkal. Dan sebelum dia mampu bangkit, Ki
Warok Petuk dan Ki Baka Kroda sudah mengeroyoknya dan memukulinya. Dia dijadikan
bola oleh kedua orang itu, jatuh bangun dan bengkak-bengakak.
"Cukup!" Kata Bhagawan Jaladara kepada dua orang pembantunya. Mereka
melepaskan Sutejo yang terkulai roboh ke atas tanah, setengah pingsan. Akan tetapi
pemuda ini menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan dia memandang kepada
gurunya yang kini bagaikan seonggok daging yang berdarah.
"Bapa Guru".!" Dia merangkak mendekati, lalu merangkul gurunya yang seluruh
tubuhnya sudah bermandikan darahnya sendiri.
"Sutejo".kita".tidak"..boleh"..me"lawan".." kata gurunya terputus-putus.
"Sidik Paningal, sekali lagi kuperingatkan. Kalau dalam waktu sebulan ini engkau
belum datang ke Kabupaten Wirosobo, aku akan datang dan mewakili Bapa Guru untuk
membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Bhagawan Jaladara meninggalkan tempat itu
bersama dua orang rekannya.
"Bapa"..!" Sutejo merangkul lalu memondong tubuh gurunya yang basah oleh
darah itu, diangkatnya masuk ke dalam rumah pondok walaupun tubuhnya sendiri penuh
luka dan semua bagian tubuh terasa nyeri.
Akan tetapi kakek pendeta itu tidak menjawab karena dia sudah jatuh pingsan
di atas pembaringannya. Biarpun tubuhnya sendiri penuh luka, namun Sutejo tidak
memperdulikan dirinya dan dengan tekun dia merawat dan mengobati luka-luka
cambukan yang diderita gurunya. Dia juga sudah mempelajari ilmu pengobatan dari
gurunya. Dia mencari biji pinang, daun piciran, bawang merah, gula aren dan arang kayu.
Semua ini diaduk dan dipergunakan untuk mengobati luka-luka ditubuh gurunya.
Setelah seminggu luka-luka di seluruh tubuh gurunya itupun menjadi kering dan
sembuh. Tubuh Sutejo sendiri adalah tubuh yang kuat dan sehat, maka luka-luka yang
dideritanya sendiri dengan mudah saja diobatinya dan dalam waktu yang tiga hari lukaluka itu pun sembuh. Untung bahwa Bhagawan Jaladara tidak berniat untuk membunuh
mereka sehingga mereka tidak menderita luka dalam, hanya luka di kulit saja. Adapun
Sutejo ketika dipukuli dua orang kawan Bhagawan Jaladara telah mengerahkan ilmu
kekebalannya Kawoco sehingga diapun tidak menderita luka dalam.
Pada hari ke delapan, seperti biasa Bhagawan Sidik Paningal sudah bangun dari
tidurnya dan bersama muridnya dia sarapan pagi. Keadaan mereka biasa saja seolah
tidak pernah terjadi sesuatu.
"Bapa, Bolehkah saya bertanya!"
"Tentu saja, Sutejo. Apakah yang hendak kau tanyakan itu!"
"Bapa tidak kalah ketika melawan Bhagawan Jaladara itu".."
"Hemm, dia itu paman gurumu, maka engkau juga sepatutnya menyebut dia
Paman Guru."
"Baiklah, Bapa. Bapa tidak kalah melawan Paman Guru Jaladara, akan tetapi
mengapa Bapa mandah saja dan sama sekali tidak melawan ketika dia mengeluarkan
cambuk itu! Apa artinya itu, Bapa?"
BAGIAN 3 Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. "Cemeti itu disebut Pecut
Sakti Bajrakirana dan pecut itu adalah pusaka milih Bapa Guru Resi Limut Manik di
puncak Semeru. Guruku itu mempunyai tiga orang murid. Yang pertama bernama
Bhagawan Sindusakti yang kini bertapa di pantai Laut Kidul di daerah Pacitan. Murid
kedua adalah aku sendiri, dan Bhagawan Jaladara itu adalah murid ke tiga. Guruku
pernah mengatakan kepada kami bertiga bahwa pecut sakti bajrakirana adalah senjata
pusaka guruku semenjak beliau masih muda dan memesan pula bahwa kelak siapa yang
memegang pecut itu dialah pengganti guru dan harus ditaati segala perintahnya. Nah,
hari itu Bhagawan Jaladara mengeluarkan pecut itu! Tentu saja aku tidak berani
menentangnya."
"Akan tetapu apakah Eyang Guru itu masih hidup, Bapa"
"Setahuku masih, karena kalau beliau sudah meninggal dunia, tentu ada yang
memberi kabar kepadaku."
"Akan tetapi kalau Eyang Guru masih hidup, mengapa pecut sakti itu diserahkan
kepada Paman Guru Jaladara dan dia pergunakan untuk memaksa Bapa untuk membantu
kabupaten Wirosubo?"
Kembali Bhagawan Sidik Paningal menghela napas panjang. "Bapa Guru biasanya
bertindak secara bijaksana sekali, maka aku sendiripun merasa heran mengapa Cambuk
Sakti Bajrakirana dapat berada di tangan Jaladara. Karena itu, aku mewakilkan
kepadamu untuk melaksanakan penyelidikan akan hal itu, Sutejo. Pergilah engkau ke
puncak Semeru dan pergi menghadap eyang gurumu, ceritakan apa yang terjadi di sini.
Kalau Adi Jaladara memiliki pecut itu secara tidak semestinya, engkau harus
membantu eyang guru untuk merampasnya kembali."
"Akan tetapi Bapa Guru, bagaimana saya akan dapat merampasnya kembali dari
tangannya" Paman Guru Jaladara demikian sakti, sedangkan saya".."
"Percayalah, dalam hal kesaktian, engkau tidak kalah olehnya. Hanya karena dia
memiliki ilmu pukulan yang disebut Aji Gelap Musti, kiranya engaku tidak akan mampu
menandinginya. Akan tetapi sebelum engkau pergi akan kulatih ilmu itu agar dapat
menandinginya kalau engkau berkelahi melawannya."
"Dan Bagaimanakan dengan Kabupaten Wirosubo itu Bapa" Saya masih tidak
mengerti mengapa Paman Guru hendak memaksa Bapa untuk membantu kabupaten itu.
Benarkah bahwa kabupaten itu hendak memberontak terhadap Mataram?"
"Ketahuilah keadaan Mataram pada saat ini, Sutejo. Engkau tentu sudah
mendengar pula betapa selama pemerintahan Mas Jolang atas yang kemudian disebut
Sang Prabu Sedo Krapyak karena beliau wafat di Krapyak, di mana-mana terdapat
pemberontakan. Terutama sekali di bagian timur yang didukung oleh Adipati di
Surabaya dan disokong pula oleh Sunan Giri. Daerah-daerah seperti Ponorogo,
Kertosono, Kediri, Wirosobo (Mojoagung) beramai-ramai bangkit dan memberontak.
Biarpun sebagian dari mereka itu sudah ditundukkan kembali oleh Mas Jolang, namun
setelah beliau wafat, daerah-daerah itu kembali bergolak. Kini yang menjadi pengganti
Mas Jolang adalah puteranya, yaitu Pangeran Raden Mas Rongsang yang setelah
dinobatkan menjadi raja Mataram lalu bergelar Panembahan Agung Senopati Ing Alogo
Ngabdurrachman (1613-1645)."
"Saya sudah mendengar akan semua itu, Bapa."
"Beliau disebut pula Sang Prabu Pandan Cokrokusumo dan disebut pula sebagai
Sultan Agung. Dalam usianya yang masih muda ketika dinobatkan, beliau sudah harus
berhadapan dengan daerah-daerah yang bergolak dan memberontak dan di antara
daerah-daerah itu, kabupaten Wirosobo juga memberontak. Nah, Paman Gurumu itu
membela kabupaten Wirosobo dan memaksaku untuk membantu pula. Akan tetapi, aku
teringat akan pesan Eyang Gurumu, bahwa kita harus membantu Mataram, tidak boleh
melibatkan diri dalam pemberontakan. Nah, demikianlah keadaan kerajaan Mataram
pada saat ini, Sutejo. Engkau harus berjanji pula kepadaku bahwa engkau akan
membela Mataram dari para pemberontak. Setelah engkau berhasil merampas kembali
pecut sakti Bajrakirana dan mengembalikanny kepada Eyang Gurumu, engaku harus
mengabdikan dirimu kepada Mataram, Dengan demikian, tidak sia-sialah selama ini aku
mengajarkan semua ilmu itu kepadamu."
"Sendhika dawuh, Bapa Guru. Saya akan menaati semua perintah Bapa."


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, Nah, sekarang marilah engakau kulatih dengan Ilmu Gelap Musti. Kalau
engkau sudah menguasai ilmu itu, engkau tidak perlu takut lagi menghadapi Bhagawan
Jaladara. Waktunya tidak banyak. Sebelum satu bulan lewat, engkau harus sudah
dapat merampas pecut wasiat itu. Kalau Adi Jaladara sudah tidak mempunyai pecut
sakti bajrakirana, dia tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadap diriku."
Demikianlah, mulai hari itu sampai dua pekan lamanya, Sutejo melatih diri
dengan Aji Gelap Musti. Karena dia memang amat berbakat dan dia sudah memiliki
dasar yang kokoh dan kuat, maka dalam waktu dua pekan saja dia sudah dapat
menguasai ilmu itu dengan sempurna. Setelah itu, berangkatlah dia menuju ke puncak
Gunung Semeru untuk pergi menghadap Eyang Gurunya, yaitu Sang Resi Limut Manik
yang bertapa di puncak gunung besar itu, sesuai dengan petunjuk gurunya.
******** Sultan Agung yang tadinya bernama Pangeran Raden Mas Rangsang dan yang
kemudian diangkat menjadi raja menggantikan pamannya yang telah wafat, bergelar
Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Ngabdurrachman (1613-1645) masih cukup
muda ketika dinobatkan menjadi raja di Mataram. Usianya baru tiga puluh tahun dan
dia telah mempunyai beberapa orang putera dan puteri yang berusia sekitar tujuh
sampai sepuluh tahun.
Begitu dinobatkan menjadi raja, Sultan Agung sudah harus menghadapi
pemberontakan yang dilakukan beberapa daerah, terutama di daerah timur. Namun dia
seorang pemimpin negara yang cakap. Disusunnya pasukan besar untuk melindungi
Mataram dan diangkatnya orang-orang yang gagah perkasa menjadi senopati. Pemimpin
negara yang bijaksana adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, pandai
mengumpulkan orang-orang sakti dan memberi mereka kedudukan penting.
Sultan Agung juga memperhatikan kepentingan rakyat jelata sehingga rakyat
tunduk dan patuh kepada rajanya yang bijaksana. Daerah Mataram di sepanjang
Bengawan Solo merupakan daerah yang subur makmur, di mana pertanian berjalan
dengan baiknya, tanahnya loh jinawi sehingga kehidupan rakyat pada umumnya makmur.
Juga pemerintahan dilaksanakan dengan adil sehingga keadaan aman tenteram tidak
ada penjahat yang berani muncul terang-terangan karena mereka tentu akan ditumpas
oleh pasukan keamanan yang selalu menjaga ketentraman kehidupan rakyat jelata. Apa
bila membutuhkan tenaga bantuan rakyat, dalam beberapa hari saja Sultan Agung
tentu akan mampu mengumpulkan ratusan ribu rakyat yang berbondong datang untuk
mengabdi kepadanya.
Sultan Agung sendiri adalah seorang pria yang berwajah bundar dan tampan
sekali. Gerak geriknya halus lembut, tegur sapanya ramah, dan sepasang matanya
mencorong penuh wibawa walaupun sinarnya lembut. Pakaiannya sederhana, tidak
mencolok dan tidak jauh bedanya dengan pakaian para punggawa dan senopati.
Kehidupan sehari-hariny juga tidak mewah meriah, melainkan sederhana saja. Keadaan
inilah yang membuat rakyat semakin mencintai junjungan ini.
Karena Sultan Agung ingin sekali untuk selalu berdekatan dengan para
punggawanya, maka sepekan dua kali, yakni hari Senin dan Kamis, tentu diadakan
"sebo" (persidangan menghadap raja). Dalam kesempatan itu, Sang Prabu duduk di atas
bangku dari kayu cendana yang terletak di atas setinggil (Batu Balai) yang luasnya tiga
meter persegi. Di sekelilingnya menghadap ratusan punggawanya, duduk di lantai tiga
jajar. Sultan Agung akan menanyakan keadaan pemerintahannya, keadaan kehidupan
penduduk dan terutama sekali dari para senopati dia ingin mendengar akan laporan
mengenai ketentraman.
Juga Sultan Agung memerintahkan kepada para senopatinya agar
memperhatikan kesiap siagaan pasukannya, mengadakan latihan perang-perangan
sepekan sekali sehingga pasukannya selalu berada dalam keadaan sigap dan terampil,
dan siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan untuk berperang.
Para Adipati dan bupati yang masih tunduk, diharuskan setiap setahun sekali
untuk menghadap Sang Prabu untuk berwawancara, untuk menyuburkan hubunganhubungan yang sudah baik dan menghilangkan kesalah pahaman di antara mereka.
Dalam hal kesusatraan, Sang Prabu juga menaruh perhatian besar. Bukan hanya
kesusatraan, melainkan juga tentang filsafat dan kesenian. Bahkan beliau telah menulis
kitab filsafat "Satrio Gending".
Pada masa itu, orang-orang Belanda sudah mulai menancapkan kuku-kuku
penjajahannya, mula-mula di Batavia. Hal ini amat menganggu perasaan Sultan Agung
dan ada satu cita-cita dalam batinnya, yaitu mempersatukan semua kekuatan daerahdaerah untuk kelak mengusir bangsa Belanda. Akan tetapi sebelum itu, dia harus lebih
dulu menundukkan daerah-daerah yang bergolak dan yang memberontak terhadap
kedaulatan Mataram.
Pada suatu hari Sultan Agung mengadakan persidangan "sebo" dan dihadiri oleh
para punggawa lengkap. Dia ingin sekali tahu tentang gerakan di daerah-daerah, maka
tanyanya kepada seorang senopati tua yang dipercayanya, yaitu Senopati Ki Mertoloyo.
"Kakang Senopati Mertoloyo, bagaimana keadaan di daerah-daerah sekarang?"
Senopati Ki Mertoloyo menyembah dan mengerutkan alisnya. "Beritanya tidak
begitu menyenangkan Gusti. Terjadi pergolakan di Lasem, Pasuruan, Tuban, Gresik,
bahkan di kabupaten Wirosobo yang tidak berapa kuat itu kini telah membentuk dan
mengembangkan pasukan. Pada Adipati dan bupati di daerah-daerah timur itu tidak
mau sowan (menghadap) paduka dan meremehkan Mataram."
"Hemm, sampai demikian jauh sikap mereka, kakang mertoloyo" Dan menurut
pendapatmu, bagaimana baiknya untuk menghadapi mereka?"
"Menurut Hamba, sebaiknya kita menyerang mereka lebih dulu sebelum mereka
bergerak, Gusti."
Sang Prabu mendengarkan pendapat para senopati yang lain dan kebanyakan dari
mereka juga mengusulkan agar menggempur daerah-daerah yang membangkang.
Setelah mendengarkan pendapat mereka semua, Sang Prabu lalu berkata dengan
lantang dan tegas. "Usul dan pendapat andika sekalian memang benar, akan tetapi kita
tidak dapat menyetujui kalau kita harus menggempur lebih dulu. Apa akan kata
daerah-daerah lain yang masih setia kepada kita kalau kita menggempur daerahdaerah itu tanpa alasan yang kuat" Biarkanlah mereka itu lebih dulu memperlihatkan
pemberontakan mereka, baru kita gempur memberi pelajaran kepada mereka. Kalau
mereka memberontak dengan bersatu, akan lebih mudahlah bagi kita untuk sekali pukul
menghancurkan beberapa daerah, daripada harus menundukan daerah satu demi satu.
Sebaiknya diambil jalan musyawarah lebih dulu dengan mereka itu, bujuk mereka agar
jangan melakukan tindakan yang sia-sia itu. Kalau mereka menolak dan memperlihatkan
gerakan pemberontakan, kitapun harus membalasnya dengan kekuatan."
Semua senopati menunduk dan taat terhadap pernyataan yang bijaksana ini.
"Hamba mendengar bahwa daerah-daerah yang bergolak didukung oleh Adipati
Surobaya dan bahkan didukung oleh Sunan Giri. Apa yang harus hamba lakukan
terhadap dua daerah besar itu?"
"Sama saja, tunggu sikap mereka lebih jauh dan kirimlah orang-orang yang
berhubungan dekat dengan mereka untuk membujuk agar mereka itu menghentikan
sikap bermusuh mereka. Kalau mereka membangkang kelak kami sendiri yang akan
memimpin pasukan untuk menghukum mereka."
"Mohon beribu ampun, Gusti." Kata Senopati Mertoloyo. "Menurut pendapat
hamba, lebih baik membunuh ular sebelum dia menggigit kita dari pada membiarkan
mereka makin besar dan berbahaya bagi keselamatan kita sendiri."
"Kakang Mertoloyo, ingatlah bahwa bagaimanapun juga mereka itu adalah
bangsa-bangsa Jawa, bangsa kita juga. Sebelum mengambil jalan terakhir, yaitu
memerangi mereka, alangkah baiknya kalau mereka itu dapat diajak bermusyawarah
dan dengan jalan damai menyelesaikan semua masalah. Musuh kita yang utama adalah
Belanda yang kini semakin berkuasa saja di Barat, bukan bangsa Jawa, bangsa kita
sendiri." Senopati Mertoloyo menyembaj dan tidak membantah lagi. "Sendika dawuh,
Gusti." "Mulai sekarang, undang semua pemuda dan para pendekar agar membantu kita,
beri mereka kedudukan sesuai dengan bakat dan kepandaian mereka. Pesilakan para
sesepuh dan pendeta yang arif bijaksana untuk bekerja sama dengan kita untuk
memakmurkan kehidupan rakyat jelata. Undang pekerja-pekerja yang pandai, senimanseniman, sastrawan untuk membangun Mataram. Jangan lupa perkuat penjagaan
keamanan, tangkapi dan hukum semua malin dan perampok. Urus perkara pertikaian
seadil-adilnya, tidak pilih kasih atau melihat keduudkan dan kekayaan masing-masing,
menangkan yang benar dan kalahkan yang salah."
"Sendhika dawuh, Gusti."
Persidangan itu ditutup lalu bubaran dan dalam hati masing-masing punggawa
tertanam kesan yang mendalam akan segala perintah yang dikeluarkan Sultan Agung.
******* Pendeta itu sudah tua. Sedikitnya tentu sudah tujuh puluh tahun usianya.
Rambutnya yang panjang terurai sampai ke punggung sudah putih semua. Bahkan alis,
kumis dan jenggotnya yang sudah putih semua seperti terbuat dari benang-benang
perak. Yang amat mencolok adalah sinar matanya yang demikian lembut namun
menghanyutkan. Kalau mata kita bertemu dengan pandang mata itu, perasaan seperti
luluh dan segala kekerasan dan segala kekerasan dalam hati melunak, memancing
datangnya senyum ramah. Agaknya tidak ada di dunia ini yang dapat bersikap keras
dan kasar terhadap orang yang memiliki sepasang mata seperti itu.
Dia adalah Sang Resi Limut Manik, pertapa yang sudah puluhan tahun tinggal di
puncak Semeru. Tubuhnya kurus tinggi, terbungkus kain putih yang agaknya selalu
bersih. Dia duduk di depan sebuah pondok kayu yang kokoh, duduk di atas batu besar
dan dari jauh dia tampak seperti sebuah arca saja yang membuat suasana di sekeliling
tempat itu menjadi keramat.
Pagi itu udara cerah sekali. Sinar matahari telah menerobos celah-celah daun
pohon. Seorang cantrik berusia empat belas tahun sedang menyapu pelataran setelah
lebih dahulu menyirami tanah pelataran agar tidak menimbulkan debu. Daun-daun
kering disapu, dikumpulkan menjadi setumpuk lalu dibakar. Seorang cantrik lain sedang
bekerja di belakang mencucu pakaian.
Pendeta itu tidak merasa terganggu oleh pekerjaan cantrik dipekarangan itu.
Dia tetap duduk bersila di atas batu seperti sedang termenung dan sesekali dia
menghela napas panjang. Bukan tarikan napas karena duka, melainkan tarikan napas
untuk menyedot hawa murni sebanyaknya sehingga seluruh dada dan perut terisi hawa
murni yang dapat menentramkan gejolak hati yang merasakan apa yang belum tampak
oleh kedua matanya.
"Penggik." Akhirnya dia membuka matanya yang bersinar lembut itu dan
memandang kepada cantrik yang sedang membakar daun-daun kering. "Pergilah ke
belakang dan beritahu Pungguk agar mempersiapkan minuman dan jagung bakar untuk
seorang tamu."
"Sendhiko, Bapa Resi." Kata cantrik bernama Penggik itu. Dia tidak merasa
heran mendengar bahwa pendeta itu sudah mengetahui bahwa akan ada tamu yang
datang. Baginya, biasa saja melihat sang pendeta melakukan hal-hal yang tidak masuk
akal, seperti dia tidak tahu bahwa pendeta itu duduk di atas batu, tidak melihat
datangnya dan tahu-tahu orang tua itu sudah duduk di situ. Maka dengan taat diapun
pergi ke belakang untuk memberitahu rekannya. Hanya Penggik dan Pungguk, dua orang
kakak beradik ini yang bekerja di situ membantu sang resi sebagai cantrik-cantrik.
Mereka ini tidak diberi ilmu kanuragan, melainkan diajar tentang kehidupan dan
bagaimana untuk menjadi manusia yang baik dan benar.
Baru saja air yang dimasak mendidih untuk dijadikan minuman air teh, dan baru
saja jagung-jagung muda itu selesai dibakar sampai kekuning-kuningan dan menyiarkan
bau harum, tibalah "tamu" yang dimaksudkan oleh Sang Resi Limut Manik. Wajah sang
resi yang biarpun sudah tua masih memperlihatkan bekas ketampanan itu berseri dan
mulutnya yang masih bergigi utuh itu tersenyum ketika dia melihat seorang pemuda
tampan dan gagah datang menghampiri rumah dan memasuki pelataran.
"Kulonuwun".!" Kata pemuda itu yang bukan lain adalah Sutejo.
"Hemm, orang muda, silakan maju mendekat."
Sutejo lalu melangkah maju menghampiri kakek itu. Sambil membungkuk sopan
dia bertanya, "Apakah saya berhadapan dengan Eyang Guru Resi Limut Manik?"
"Heh heh, benar akulah yang disebut Resi Limut Manik, orang muda."
Mendengar ini, tanpa ragu lagi Sutejo lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di
bawah batu besar yang diduduki pendeta itu lalu menyembah dengan sikap hormat dan
khidmat. "Eyang Guru, saya Sutejo murid Bapa Guru Bhagawan Sidik Paningal datang
menghadap dan memberi hormat kepada Eyang Guru."
Mulut itu tersenyum lebar, wajah itu berseri-seri dan matanya bersinar-sinar.
"Duh Jagat Dewa Bathara! Sungguh pandai Sidik Paningal memilih murid.
Selamat datang di Semeru, Sutejo. Angin dari mana yang meniupmu sampai ke tempat
ini" Berita apa yang kau bawa dari gurumu?"
"Bapa Guru berada dalam keadaan baik-baik saja dan beliau menitipkan sembah
sujud untuk dipersembahkan kepada Eyang Guru. Dan Bapa Guru juga mendoakan
semoga keadaaan Eyang Guru baik-baik dan sehat-sehat saja."
Pendeta itu mengangguk-angguk. "Gurumu itu muridku yang baik sekali, dan
kebaikanlah yang membuat dia hidup bahagia. Selain salam yang telah kuterima dengan
senang hati, ada urusan apa lagi yang harus kau sampaikan kepadaku, Sutejo?"
BAGIAN 4 "Eyang Guru, ada peristiwa terjadi beberapa hari yang lalu menimpa diri Bapa
Guru. Pada hari itu, kami kedatangan paman guru Bhagawan Jaladara yang datang
bersama dua orang kawannya yang bernama Ki Warok Petak dan Ki Bara Kroda. Setelah
berhadapan dengan Bapa Guru, Paman Guru Jaladara lalu memaksa Bapa Guru untuk
tidak mempelajari agama baru dan juga agar Bapa Guru membantu Kabupaten
Wirosobo yang hendak memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi Bapa Guru
menolak, terutama sekali menolak untuk membantu kabupaten Wirosobo dalam
pemberontakannya. Paman Guru Jaladara marah dan terjadi pertandingan adu
kesaktian. Paman Guru Jaladara kalah lalu dia mengeluarkan Pecut Sakti Bajrakirana.
Bapa Guru tidak berani melawan lalu beliau dihajar oleh cambukan cambukan pecut
sakti itu sampai babak belur. Setelah menghajar saya juga mereka bertiga pergi
dengan pesan akan kembali dalam waktu sebulan. Kalau dalam waktu itu Bapa Guru
belum juga mau membantu Kabupaten Wirosobo, Paman Guru Jaladara akan
membunuhnya dengan pecut sakti bajrakirana. Demikianlah Eyang Resi, Pesan Bapa
Guru agar disampaikan kepada paduka."
Wajah itu tetap tersenyum dan dia mengangguk-angguk. "Mengeruhkan batin
saja kalau mengingat Jaladara. Ketahuilah, Sutejo. Beberapa pekan yang lalu Jaladara
datang ke sini, bermalam dan pada keesokan harinya dia pergi pamit dan ternyata
pecut sakti bajrakirana telah dicurinya dari kamarku."
"Ah! Tepat seperti yang diduga oleh Bapa Guru!"
Resi itu mengangguk-angguk. "Tidak kusangka Jaladara akan menggunakan pecut
itu untuk memaksakan kehendaknya atas gurumu. Gurumu sudah benar menolak
permintaanya."
"Atas perintah Bapa Guru, saya disuruh merampas kembali pecut sakti itu dan
mengembalikannya kepada Eyang Guru."
Resi Limut Manik mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang putih
bersih. "Dia telah mencurinya, maka sudah sewajarnya kalau engkau sebagai cucu
muridku merampasnya kembali. Akan tetapi, apakah engaku akan sanggup menandingi
Jaladara?"
"Bapa Guru telah mengajarkan Aji Gelap Musti kepada saya untuk menandingi
Paman Guru Jaladara."
"Bagus! Akan tetapi Jaladara itu pandai dan licik. Mendekatlah dan julurkan
kedua telapak tanganmu menghadap aku." Perintah sang resi.
Sutejo menurut. Dia meluruskan lengannya dengan telapak tangan menghadap
sang resi. Kakek itupun menyodorkan kedua lengannya dan kedua telapak tangan
mereka bertemu.
"Jangan kerahkan tenagamu. Terima saja apa yang masuk!" kata kakek itu.
Mula-mula Sutejo merasa betapa telapak tangannya hangat lalu panas sekali dan
dia merasa ada hawa yang amat dahsyat memasuki lengannya, terus berputar
ditubuhnya dan akhirnya menerobos masuk ke pusat hawa di pusarnya! Dia mencoba
bertahan akan tetapi demikian kuatnya hawa itu sehingga dia pun pingsan dengan masih
duduk bersila dan beradu telapak tangan dengan kakek itu.
Ketika siuman, Sutejo masih mendapatkan dirinya duduk bersila di depan batu,
akan tetapi tangannya sudah tidak disodorkan ke depan lagi dan dia merasa betapa
seluruh tubuhnya hangat dan nyaman sekali.
"Bagus! Engkau kini telah memiliki tenaga sakti yang kiranya tidak akan kalah
dibandingkan tenaga Jaladara. Nah, sekarang marilah kita sarapan dulu, Sutejo."
Ternyata bakar jagung dan air teh sudah disediakan oleh pungguk di depan
mereka. Sutejo tidak malu-malu lagi, lalu bersama Eyang Gurunya dia makan Jagung
Bakar dan minum air teh sehingga terasa kenyang perutnya.
Setelah santapan, Resi Limut Manik bertanya kepada Sutejo sambil menatap
wajah pemuda itu. "Sekarang ke mana engkau akan mencari Jaladara dan apa yang akan
kau lakukan terhadap dirinya kalau engkau sudah berjumpa dengannya, Suetejo?"
"Karena agaknya Paman Guru Jaladara menjadi utusan kabupaten Wirosobo,
saya akan mencarinya ke sana, Eyang Guru. Dan kalau sudah berjumpa dengan dia, saya
akan secara baik-baik minta pecut pusaka itu darinya untuk dikembalikan kepada Eyang
Resi. Kalau dia tidak memperbolehkan, baru saya akan mencoba merampasnya dengan
kekerasan."
"Engkau akan membunuhnya?"
"Dijauhkan Sang Hyang Widhi saya dari keinginan itu, Eyang Resi. Saya tidak
akan bertindak sekejam itu. Saya hanya akan merampas Pecut Sakti Bajrakirana, tidak
ingin membunuhnya."
"Kemudian, Pecut pusaka itu akan kau bawa kemana?"
"Setelah berhasil, saya akan langsung kembali ke sini dan menyerahkan kembali
pusaka itu kepada Eyang Resi."


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu tertawa dan mengelus jenggotnya.
"Jagad Dewa Bathara! Senang hatiku mempunyai cucu murid seperti engkau,
Sutejo. Dengar baik-baik. Mataram sekarang terancam bahaya, terkepung oleh banyak
musuh yang tadinya menjadi bawahan yang memberontak. Oleh karena itu, kalau
engkau sudah berhasil merampas Pecut sakti Bajrakirana, jangan kembalikan kepadaku.
Pecut itu kuserahkan kepadamu dan boleh engkau pergunakan untuk membela Mataram.
Akan tetapi hati-hati ada pantangannya, yaitu bahwa pecut sakti bajrakirana sama
sekali tidak boleh untuk membunuh orang. Mengertikah engaku, Sutejo?"
Di dalam hatinya, pemuda ini merasa girang bukan main. "Tentu saja saya
mengerti Eyang Guru, dan saya akan menaati semua perintah Eyang. Sekarang
bolehkah saya mengundurkan diri untuk melanjutkan perjalanan mencari Paman Guru
Jaladara?"
"Baiklah. Engkau pergilah ke Wirosobo, mengambil jalan dari barat memasuki
kota kabupaten itu. Jangan mengambil jalan lain karena di sanalah engkau akan
bertemu dengan paman gurumu yang sesat itu."
"Sendika dawuh, eyang Guru." Sutejo menyembah dengan hormat lalu pergi
meninggalkan tempat uty. Dia merasa betapa kedua kakinya amat ringan, dan ketika dia
mempercepat langkahnya berlari, tubuhnya seperti terbang saja saking lajunya. Tentu
saja Sutejo menjadi kaget dan juga girang. Dia memang sudah mempelajari ilmu berlari
cepat dari Bhagawan Sidik Paningal, yaitu aji harina Legawa (Kecepatan Kijang)
sehingga dia dapat berlari secepat kijang. Namun dibandingkan dengan sekarang ini,
dia telah memperoleh kemajuan pesat karena sekarang dia merasa tidak lagi berlari,
melainkan seperti terbang! Tahulah bahwa semua ini tentu akibat dari tenaga sakti
yang didapatnya dari Eyang gurunya.
"Terima kasih, Eyang Resi!" teriaknya gembira dan diapun berlari semakin cepat
sehingga kedua telinganya mendengar suara angin menderu di kanan kirinya.
******* Sutejo berjalan cepat dan pada suatu sore tibalah dia di luar kabupaten
wirosobo (Mojoagung). Jalanan itu sunyi sekali, tidak tampak seorangpun manusia lain.
Sutejo melangkah cepat dengan niat untuk memasuki kabupaten Wirosobo sebelum
gelap. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat dua orang menunggag kuda. Kuda mereka
berjalan perlahan menuju ke selatan dan seorang di antara mereka memboncengkan
seorang wanita yang dipangkunya di punggung kuda. Sebetulnya hal ini tidak ada
sangkut pautnya dengan dia dan merupakan hal yang lumrah saja. Akan tetapi dia
mendengar isak tangis wanita itu! Tentu saja ini menarik perhatiannya dan diapun
memandang lebih seksama.
Dua orang penunggang kuda itu bertubuh tinggi besar, yang seorang brewokan
dan matanya sebesar telor ayam, tampak bengis dan kejam sekali, usianya sekitar
empat puluh tahun. Orang kedua juga tinggi besar wajahnya tidak berkumis atau
berjenggot, akan tetapi mukanya kehitaman bekas cacar sehingga muka itu tampak
tidak kalah bengis dan menyeramkan dibandingkan dengan sibrewok. Juga orang kedua
ini berusia kurang lebih empat puluh tahun. Orang kedua inilah yang memangku wanita
itu. Sutejo memperhatikan wanita itu, usianya kurang lebih dua puluh lima tahun,
wajahnya cantik manis dan tubuhnya denok menggairahkan. Wanita ini meronta-ronta
dalam pangkuan itu, menangis terisak-isak dan mengeluarkan kata-kata yang
mengandung ketakutan.
"Lepaskan aku". Jangan bawa aku pergi". Ah, kasihanilah aku, lepaskan aku"!"
Sedikit ucapan ini cukup bagi Sutejo untuk bertindak. Jelas bahwa laki-laki itu
hendak memaksakan kehendaknya atas diri wanita yang dipangkunya! Mungkin wanita
itu di culik dan dipaksa diajak pergi olehnya. Maka sekali melompat dia sudah tiba di
depan dua ekor kuda itu dan memegang kendali kuda yang ditunggangi oleh pria dan
wanita itu. "Tahan dulu"!" Bentak Sutejo. Kuda itu terkejut dan mengangkat kedua kaki
depannya. Karena gerakan ini, wanita yang tadinya dipangku pria bermuka hitam itu
terlepas dari rangkulan dan terbanting jatuh. Akan tetapi dengan sigapnya, Sutejo
menyambar tubuh wanita itu dengan kedua tangannya sehingga tubuh wanita itu tidak
sempat terbanting.
Melihat ada orang yang mau menolongnya, wanita itu segera merangkul pinggang
Sutejo dan berkata penuh permohonan, "Ki sanak, tolonglah aku". Aku diculik oleh
mereka"."
"Mundurlah mbakyu, biar aku yang menghadapi mereka." Kata Sutejo sambil
mendorong perlahan wanita itu agar jangan merangkul pinggangnya.
Dua orang laki-laki tinggi besar itu menjadi marah sekali, terutama yang tadi
memangku wanita itu. Mereka berlompatan turun dari atas kuda dan laki-laki yang
bermuka hitam itu memandang kepada wanita itu lalu menghardik, "Kesinilah engkau,
Sarminten!"
Akan teteapi wanita yang bernama Sarminten itu menggeleng kepalanya dan
sambil menangis ia berkata, "Tidak". Aku tidak mau"."
"Ki sanak sungguh memalukan kalau dua orang laki-laki gagah seperti andika
berdua ini hendak memaksa seorang wanita. Bersikaplah gagah dan bebaskan wanita
yang tidak mau ikut dengan kalian ini."
"Bocah Setan! Apa engaku sudah bosan hidup" Perempuan itu adalah isteriku!
Engkau berani menghalangi aku membawa isteriku sendiri?"
Sutejo tertegun juga mendengar ini. Isterinya" Dia menoleh kepada wanita itu,
yang menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata tegas.
"Bukan, Aku bukan isterinya. Mereka memaksa aku pergi setelah merobohkan
suamiku!" Suetjo lebih percaya kepada wanita itu dan diapun kembali memandang kepada
si muka hitam. "Sobat, sudahlah. Jangan memaksakan kehendakmu yang tidak waras itu
kepada seorang wanita. Tinggalkan ia pergi dengan aman."
Si brewok sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, "Heh, siapa engkau
berani mencampuri urusan kami" Apakah engkau belum pernah mendengar nama besar
Klabang Lorek dan Klabang Belang" Kamulah Sepasang Kelabang itu dan kalau engkau
tidak cepat pergi dari sini, kami akan mencabik-cabik tubuhmu dan membiarkan
mayatmu dimakan burung gagak di sini!!"
Sutejo tersenyum. "Apa lagi kalau andika berdua sudah memiliki nama sebagai
orang-orang gagah, tidak semestinya menculik seorang wanita dari suaminya. Aku
peringatkan kalian, lebih baik kalian yang cepat pergi dari sini sebelum terlambat."
"Apa?" seru si muka hitam. "Terlambat bagaimana?"
"Sebelum aku menghajar kalian berdua!" kata Sutejo.
Terdengar gerengan yang keluar dari mulut si brewok dan dia sudah menerjang
seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor domba. Kedua tangannya dipentang
dan hendak mencekik leher Sutejo. Jari-jari tangn itu mengeluarkan bunyi
berkerotokan dan otot-otot seperti kawat menonjol pada kedua tangannya.
Dengan tenang Sutejo menghadapi serangan ini. Serangan tubrukan dengan
kedua tangan hendak mencekik lehernya. Dia membuat gerakan mengelak ke kiri sambil
miringkan tubuhnya dan ketika tangan kanan lawan menyambar, dia mengetuk ke arah
siku kanan lawan itu.
"Dukk! Aduhh".!" Klabang Lorek, si brewok itu mengaduh dan memegangi lengan
kanan yang seketika terasa lumpuh. Akan tetapi hanya sebentar karena lengan itu
dapat bergerak kembali dan sekali dia meraba ke belakang tubuhnya, dia sudah
mengeluarkan sebatang klewang (golok) yang tampak berkilauan terkena sinar matahari
senja. Dia memutar goloknya dan berseru, "Sekarang engkau mampus!"
"Suuttt".. Singgg?"! Golok lewat dekat leher Sutejo yang mengelak dan sambil
memutar tubuh, kakinya mencuat mengenai pergelangan tangan yang memegang golok.
"Adduuhh".!" Untuk kedua kalinya si brewok mengaduh dan sekali ini goloknya
terlepas dari tangan dan terlempar jauh. Pada saat itu si muka hitam maju mengayun
goloknya untuk membantu temannya mengeroyok Sutejo. Akan tetapi, kedua orang
kasar ini sama sekali bukan lawan Sutejo. Dengan mudah dia menghindar dari serangan
si muka hitam dan kembali kakinya mencuat dalam sebuah tendangan memutar, tepat
mengenai perut si muka hitam sehingga tubuhnya yang tinggi besar terjengkang.
Dua orang jagoan itu hampir tidak percaya akan apa yang mereka alami. Mereka,
dua jagoan yang ditakuti di daerah Wirosobo, sekarang roboh dalam beberapa
gebrakan saja melawan seorang pemuda bertangan kosong! Mereka tidak percaya dan
dengan kemarahan meluap-luap keduanya bangkit lagi dan menyerang dengan membabi
buta, membacokkan golok mereka dengan kalap. Sutejo tetap tenang. Dia
mempergunakan keringanan tubuhnya yang sudah maju pesat itu untuk menyelinap di
antara sinar golok dan pada suatu saat yang baik dia mendapat kesempatan mengayun
kedua tangannya dengan berbareng, tepat mengenai kedua orang penggeroyoknya.
"Plak! Plak!" Dua orang tinggi besar itu terjungkal roboh dan sekali ini sampai
agak lama tidak mampu berdiri karena ketika mereka membuka mata, bumi seakan
berputar dan membuat mereka pusing. Setelah pusingnya mereda, mereka kini harus
mengakui bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu
kesaktian. Mereka merangkak bangun dan cepat meninggalkan tempat itu, menghampiri
kuda mereka. Akan tetapi setelah mereka melompat ke atas punggung kuda. Klabang
Belang yang bermuka hitam itu berseru,
"Hem, orang muda. Kalau engkau memang ksatria, tinggalkan namamu!"
"Aku bukan ksatria, hanya orang biasa dan namaku Sutejo."
Dua orang itu lalu membalikan kuda mereka dan cepat meninggalkan tempat itu.
Sutejo berdiri dan melihat ke arah mereka sambil menghela napas panjang.
Tiba-tiba dua buah lengan yang lunak dan lembut seperti dua ekor ular
mengelungi lehernya dari samping. Sutejo terkejut dan ketika dia menengok dia
melihat wajah yang cantik dan manis itu sudah begitu dekat dengan wajahnya. Dia
sudah dapat mencium bau sedap dari rambut wanita itu yang memandang kepadanya
dengan sepasang mata yang sayu.
"Kakangmas?" beribu terima kasih kuhaturkan kepadamu yang telah
menyelamatkan aku dari dua orang jahat tadi." Wajahnya itu disusupkan ke atas
dadanya. Bagaikan dipagut ular berbisa, Sutejo melangkah mundur dan melepaskan
rangkulan kedua lengan pada lehernya itu, "Apa".. apa yang kau lakukan ini?" tanyanya
gagap dan memandang kepada wanita itu dengan sepasang mata terbelalak, heran,
kaget dan juga ngeri. Selamanya belum pernah dia berdekatan dengan wanita dan
wanita ini merangkulnya, membelainya dan hampir menciumnya!
Sarminten melangkah maju hendak merangkul lagi. "Kakangmas, setelah andika
menyelamatkan aku, maka aku akan memasrahkan jiwa ragaku kepadamu."
Sutejo kembali melangkah mundur. "Mbakyu, jangan begitu. Aku tidak
menghendaki itu. Bukankah engkau sudah bersuami" Bukankah katanya suamimu
dipukul roboh oleh kedua orang itu kemudian engkau diculik?"
"Huh, suami macam apa itu! Tidak dapat melindungi isterinya. Tidak, mulai saat
ini aku ikut denganmu kakangmas Sutejo! Indah dan gagah namamu, Sutejo. Aku akan
ikut denganmu, biar aku yang mencarikan nafkah. Ketahuilah, aku adalah ledek
(pesinden/penari) yang kenamaan di Wirosobo. Kalau engaku mau menerimaku, engkau
boleh tinggal enak-enak di rumah dan aku yang mencarikan uang. Terimalah, wong
bagus dan engkau akan hidup senang bersamaku." Kembali wanita itu mendekati.
Sutejo habis kesabarannya. "Diam!" bentaknya. "Tidak pantas engkau berkata
dan bersikap seperti ini, mbakyu Sarminten. Seorang isteri, harus setia kepada
suaminya. Bukan salah suamimu kalau dia tidak dapat melindungimu dari dua orang
jagoan tadi. Sekarang, kembalilah kepada suamimu. Aku tidak"..sudi berdekatan
denganmu!" Kalimat terakhir itu diucapkan dengan muak dan marah.
Pada saat itu, dalam keremangan senja muncul seorang laki-laki. Usianya tentu
hampir empat puluh tahun, mukanya bengkak bekas pukulan, pakaiannya awut-awutan.
"Sarminten"..! Sarminten isteriku, engkau di sini" Engkau selamat dari dua
orang jagoan itu?" Ternyata dia adalah Karyo, suami Sarminten. Karyo adalah seorang
penabuh gamelan dan dia menjadi suami Sarminten yang ledek terkenal dari Wirosono
itu. Tiba-tiba Sarminten mengubah sikapnya. Ia lari menghampiri suaminya dan
jatuh dalam rangkulan Karyo. Ia menangis terisak-isak. "Aku dilarikan dua orang jahat
itu dan".. dan diperebutkan dengan orang ini. Dua orang jahat itu melarikan diri, akan
tetapi orang ini tidak kalah jahatnya. Dia hendak memperkosa aku, kakang?"!"
Karyo memandang marah dan merasa heran bahwa yang akan memperkosa
isterinya itu seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah!
"Hei, ki sanak. Andika seorang yang masih muda dan gagah perkasa, mengapa
hendak melakukan perbuatan yang tidak tahu malu itu, hendak memperkosa isteriku?"
Dapat dibayangkan betapa jengkelnya hati Sutejo. Wanita itu seperti ular
berkepala dua, menggigit sana sini dengan bisanya yang berbahaya.
BAGIAN 5 "Sudahlah urus binimu yang liar ini. Aku tidak sudi berurusan dengan kalian
berdua!" katanya dan diapun melompat pergi, tidak jadi masuk ke dalam kabupaten
Wirosobo. Untuk apa malam-malam memasuki kabupaten itu" Ke mana dia hendak
mencari Bhagawan Jaladara" Dia lalu ke selatan dan setelah menemukan sebuah gubuk
di tengah sawah yang kosong, dia lalu masuk ke gubuk dan merebahkan dirinya
terlentang. Langit mulai gelap dan ribuan bintang gemerlapan. Dia termenung. Mengapa
ada wanita yang demikian jahat dan palsunya" Apakah semua wanita itu demikian" Dia
bergidik ngeri. Mempunyai seorang isteri seperti itu sama dengan hidup bersama
dengan iblis betina yang berbahaya. Dia menenangkan batinnya yang bergelora penuh
kemarahan. Kalau tahu akan menemukan wanita seperti itu, lebih baik dia tidak
menolong dan biar wanita itu dibawa Klabang Lorek dan Klabang Belang. Dua orang lakilaki itu lebih pantas berteman wanita seperti Sarminten itu. Dan suaminya yang lemah
itu tentu hanya menjadi boneka bagi Sarminten. Diam-diam dia merasa iba juga kepada
suami wanita itu.
******* Pada keesokan harinya, mendengar bunyi kokok ayam jantan yang datangnya dari
kabupaten Wirosobo, Sutejo terbangun dari tidurnya. Dia mencari air jernih dan
mendapatkan sebuah anak sungai tak jauh dari situ. Airnya jernih sekali dan karena
tempat itu masih pagi dan sunyi sekali, Sutejo meninggalkan semua pakaiannya karena
dia ingin sekali mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan banyak batu-batunya itu.
Dia meletakan pakaiannya menumpuk di atas sebuah batu dan segera masuk ke dalam
air. Airnya sejuk bukan main, ketika dia menyelam dan kepalanya tenggelam di air, rasa
sejuk seakan-akan masuk ke dalam kepalanya dan ke dalam seluruh tubuhnya. Segar
dan sejuk! Akan tetapi ketika dia muncul kembali ke permukaan air, di dekat pakaiannya itu
diatas batu besar sudah duduk seorang pemuda remaja. Tampaknya seperti pemuda
dusun dilihat dari pakaiannya yang sederhana dan longgar. Pakaian itu terlalu besar
untuk pemuda itu sehingga tampak lucu dan kedodoran. Rambutnya digelung ke atas
dan diikat dengan kain hitam. Biarpun pakaian pemuda remaja itu kedodoran dan
sederhana sekali, namun Sutejo harus mengakui bahwa belum pernah dia melihat
seorang pemuda setampan itu! Sebagian mukanya memang kotor terkena debu, namun
demikian halus. Rambutnya panjang hitam sekali sehingga biarpun digelung ke atas
masih ada sisa ujung rambut yang terjuntai ke bawah. Dahinya halus dan alisnya hitam
kecil. Sepasang matanya! Seperti bintang kejora kembar, bersinar-sinar penuh gairah
hidup. Hidungnya kecil mancung dan lucu, Ujungnya agak terangkat ke atas, dan
mulutnya, mulut yang manis sekali dan senyum mengejek tersungging di bibirnya. Dari
mata dan bibir ini saja sudah diketahui bahwa dia seorang pemuda remaja yang nakal,
lincah dan jenaka.
"Hei, adik yang baik. Mari temani aku mandi di sini! Airnya sejuk dan segar
sekali. Mari turun!" Ajak Sutejo yang merasa suka melihat pemuda remaja itu.
Akan tetapi pemuda remaja itu menggeleng kepalanya. "Mandi bersamamu" Tak
tahu malu! Sungguh engkau seorang yang tidak tahu malu, mandi telanjang di tempat
umum!" "Ini bukan tempat umumj dan tempat ini sepi, tidak ada orang lain!"
"Kau pikir aku ini bukan orang"!"
"Akan tetapi engkau juga seorang pria dan apa salahnya dua orang pria mandi
telanjang bersama?"
"Tidak, aku tidak sudi. Aku sudah mandi tadi, lihat rambutku masih basah." Dia
memperlihatkan ujung rambutnya yang memang masih basah.
"Wah agaknya engkau kalau mandi tidak membersihkan mukamu. Itu masih ada
debu menempel. Hayo mandi lagi yang bersih bersamaku."
"Aku tidak sudi!" Pemuda remaja itu lalu melompat dari atas batu besar dan
melarikan diri.
"Heii"! Jangan bawa pakaianku! Tunggu, jangan bawa pakaianku. Bagaimana aku
dapat keluar dari sini kalau engkau membawa pergi pakaianku!"
Akan tetapi biarpun Sutejo berteriak-teriak, pemuda remaja yang nakal itu
tidak mau berhenti berlari.
"Celaka! Sialan anak itu!" Sutejo menjadi bingung dan marah. Akan tetapi apa
yang dapat dia lakukan" Pakaiannya sudah dibawa anak itu, juga buntalan bekal pakaian!
Dia melihat ada beberapa batang pohon pisang tumbuh di dekat sungai.
Wajahnya gembira dan cepat dia keluar dari air dalam keadaan telanjang bulat. Dia
mengambil beberapa helai daun pisang yang lebar, menutupkan ke bawah perut dan
diikat dengan tali dari kulit batang pisang. Setelah rapat benar, barulah dia berlari
mengejar. Dia melihat bayangan pemuda itu berlari di sebelah depan. Sutejo mengerahkan
tenaganya untuk berlari lebih cepat lagi, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dan
buntalan pakaiannya tersangkut di dahan sebatang pohon!
Sutejo berhenti mengejar dan mengambil buntalannya. Anak sialan, pikirnya. Dia
merasa seolah ada mata yang mengintainya, maka dia cepat membawa buntalan
pakaiannya ke balik semak belukar dan di sana, tertutup oleh semak-semak dia
mengenakan pakaiannya. Setelah selesai berpakaian dan menggendong buntalan
pakaiannya, Sutejo keluar dari balik semak belukar dan memandang ke kanan kiri. Dia
hendak mencari bocah itu untuk diberi hajaran. Bocah kurang ajar itu memerlukan


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penanganan yang keras. Usianya paling banyak lima belas tahun akan tetapi dia sudah
nakal sekali, suka menggoda orang. Bayangkan saja kalau banyak orang melihat dia
berpakaian daun pisang tadi! Akan tetapi sekelilingnya sunyi saja. Agaknya pemuda
remaja tadi sudah ketakutan dan melarikan diri.
Sutejo lalu melanjutkan langkah kakinya menuju Kabupaten Wirosobo. Baru
beberapa langkah dia berjalan, dia melihat seorang laki-laki datang dari depan.
Jantungnya berdegup penuh ketegangan ketika dia mengenal laki-laki itu yang bukan
lain adalah Bhagawan Jaladara sendiri! Ah, betapa kebetulan sekali. Kalau saja dia
tidak bertemu dengan Sarminten dan berkelahi dengan Klabang Lorek dan Klabang
Belang, juga andaikata pakaiannya tidak dilarikan pemuda remaja tadi, tentu dia tidak
akan bertemu dengan Bhagawan Jaladara! Sepatutnya dia berterima kasih kepada
pemuda remaja itu!
Melihat paman gurunya itu, dia teringat bahwa waktu yang sebulan itu sudah
tinggal beberapa hari lagi dan agaknya paman gurunya itu akan pergi ke puncak Kawi
untuk mencari gurunya dan menekannya dengan ancaman akan membunuhnya kalau
sampai hari itu gurunya tetap tidak mau membantu kabupaten Wirosobo. Teringat akan
hal ini, panas hatinya dan dia segera melompat dan menghadang di jalan yang masih
sunyi itu. Sang Bhagawan Jaladara berjalan sambil termenung agaknya, maka ketika tibatiba muincul Sutejo di depannya, dia agak terkejut. Akan tetapi ketika dia mengenal
siapa orangnya yang menghadang perjalanannya, dia tersenyum mengejek.
"Bukankah andika ini Sutejo, murid Kakang Sidik Paningal?" tanyanya sambil
mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kakinya.
"Benar paman Guru Jaladara. Saya adalah Sutejo dan saya mengucapkan salam
kepada Paman Guru."
"Ha-ha-ha, baik juga sikapmu. Sekarang katakan apa maksudmu menghadang
perjalananku" Apakah engkau diutus gurumu untuk memberitahu kepadaku bahwa dia
sudah mengambil keputusan untuk menaati pesanku?"
"Sama sekali tidak, paman. Bagaiamanpun juga, Bapa Guru adalah murid Eyang
Resi Limut Manik yang taat, karena itu Bapa Guru tidak sudi membantu Kabupaten
Wirosobo yang memberontak kepada Mataram."
"Babo-babo! Kalau begitu gurumu itu pasti akan mati ditanganku!"
"Nanti dulu, paman. Aku yang akan menghalangi paman datang ke kawi.
Ketahuilah bahwa aku Sutejo, diutus oleh Eyang Limut Manik untuk mengambil kembali
Pecut Sakti Bajrakirana yang telah paman curi dari kamar Eyang Guru Resi. Karena itu
paman, sebelum terpaksa aku melawan paman, serahkanlah Pecut Sakti Bajrakirana itu
kepadaku."
"Apa" Engkau hendak mengambil pecut sakti dari tanganku" Sutejo, engkau anak
kecil jangan ikut campur. Pecut ini akan kukembalikan sendiri kepada Bapa Guru resi
Limut Manik setelah tugasku selesai membujuk Kakang Sidik Paningal. Pergilah dan
jangan ganggu aku, Sutejo!"
"Tidak Paman. Sebelum Pecut Sakti Bajrakirana paman serahkan kepadaku aku
tidak akan pergi dari depan paman."
"Apa" Engkau ini anak kemarin sore yang masih bau kencur ubun-ubunmu berani
menantangku?"
"Apa boleh buat, paman. Berat mengemban dawuh Eyang Resi kalau paman tidak
mau mengembalikan Pecut pusaka itu, tentu aku akan menantang paman dan
merampasnya dengan kekerasan!"
"Babo-babo! Apa yang kau andalkan maka berani melawan paman gurumu
sendiri?" "Andalanku adalah kebenaran dan restu eyang resi limut manik!"
"Kalau begitu, akan kuhabisi nyawamu di sini juga!" kata Bhagawan Jaladara
sambil memutar tongkat hitamnya.
Sutejo sudah maklum akan kedahsyatan senjata tongkat hitam itu, maka diapun
meloloskan ikat kepalanya yang berwarna biru, lalu memasng kuda-kuda ilmu silat
sinung nila. Tangan kanan memegang ujung ikat kepala, tangan yang lain memegang
ujung yang lain, tubuhnya merendah dengan kedua lutut ditekuk kedepan dan belakang,
matanya tajam memandang gerakan lawan.
"Makanlah senjataku ini!" Bhagawan Jaladara sudah menyerang dengan
tongkatnya. Serangannya dahsyat bukan main, mendatangkan angin pukulan yang
menyambar kuat. Namun Sutejo sudah siap siaga. Dia menggunakan kecepatan dan
keringanan tubuhnya untuk mengelak dan dari bawah, ujung ikat kepalanya menyambar
ke arah dada lawan. Biarpun hanya ikat kepala, akan tetapi karena sudah dialiri tenaga
sakti, kain itu menjadi kaku dan kuat seperti sebatang tombak!
Bhagawan Jaladara juga maklum bahwa Sutejo adalah murid kakak
seperguruannya yang berbakat dan tangguh, maka diapun mengelak sambil memutar
tongkatnya yang kini menyambar dari atas ke arah ubun-ubun kepala Sutejo! Serangan
ini juga dahsyat sekali dan kalau ubun-ubun kepala itu terkena hantaman tongkat,
tentu kepala itu akan pecah berserakan. Batu karang saja tidak akan kuat menerima
hantaman tongkat ini apa lagi kepala manusia.
Sutejo kembali mengelak. Dia melihat suatu keuntungan, yaitu bahwa dia dapat
bergerak lebih cepat dan gesit dibandingkan paman gurunya. Maka, dia mengandalkan
kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana sini, menyelinap di antara
sinar tongkat dan kalau ada lowongan terbuka dia balas menyerang dengan ujung ikat
kepalanya! Pertandingan itu berjalan seru sekali tanpa ada yang menyaksikan. Akan tetapi
tanpa setahu kedua orang itu, sebetulnya ada sepasang mata tajam yang menonton
pertandingan antara mereka. Seorang yang bersembunyi di balik semak belukar
menonton pertandingan itu dan matanya bersinar-sinar penuh perhatian dan
ketegangan. Memang pertandingan antara Bhagawan jaladara melawan murid keponakannya
itu berlangsung dengan sengit dan seru. Bhagawan Jaladara merasa penasaran sekali
karena sampai puluhan bahkan hampir seratus jurus belum juga dia mampu
mengalahkan murid keponakannya. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaga pada
tongkatnya, namun Sutejo lebih banyak mengelak dan kalau sekali waktu dia menangkis
dengan ikat kepalanya, maka ikat kepala itu mampu menandingi tenaga yang tersalur
lewat tongkat! Dan Bhagawan Jaladara juga diam-diam mengakui bahwa dalam hal
kegesitan, dia telah kalah banyak! Dia tidak tahu bahwa pemuda itu telah memperoleh
tenaga sakti dari eyang gurunya! Dan dia juga tidak mengira bahwa pemuda itu telah
melatih diri dengan Aji Gelap Musti dan juga Patala Bajra!
Bagaimanapun juha, kalau dua orang jagoan bertemu, maka faktor usia
memegang peran penting dan cukup menentukan. Bhagawan Jaladara yang sudah
berusia enam puluh tahun itu mana dapat dibandingkan dengan Sutejo yang baru
berusia dua puluh dua tahun! Tentu saja dia kalah dalam hal tenaga, kecepatan dan
terutama pengaturan pernapasan. Setelah lewat seratus jurus, tubuhnya sudah mandi
keringat dan dari kepalanya sudah mengepul uap putih, napasnya mulai memburu
sedangkan Sutejo masih segar bugar!
Sang Bhagawan Jaladar merasa penasaran dan marah sekali. Dia mengerahkan
seluruh sisa tenaganya dan menghatamkan tongkatnya ke arah kepala Sutejo. Melihat
serangan yang nekat ini, Sutejo melompat ke samping dan ketika tongkat itu lewat, dia
cepat menggerakan ikat kepalanya menjadi lemas dan ujung ikat kepala itu melibat
tongkat, dibarengi dengan pukulan tangan kirinya ke arah lengan kanan lawan.
"Dukkk?"!" Ketika dia menarik, tongkatnya itu telah terlempar jauh sekali!
Bhagawan Jaladara yang sudah kehilangan tongkatnya, menggereng marah
seperti seekor harimau terluka, lalu tangan kanannya bergerak ke pinggang dan dia
sudah melolos Pecut Sakti Bajrakirana dari pinggangnya.
"Tar-tar-tar?"!" Dia memutar pecut itu diatas kepalanya sehingga pecut itu
meledak-ledak dengan nyaring. Sutejo terkejut karena jantungnya tergetar oleh suara
pecut yang meledak-ledak. Akan tetapi ketika ujung pecut menyambar, dengan
gesitnya dia mengelak. Cepat sekali gerakannya, seperti seekor burung walet keluar
dari guha. Sia-sia Bhagawan Jaladara menghujamkan pecutnya ke arah bayangan yang
berkelebatan itu. Sampai tiga puluh jurus Bhagawan Jaladara mengejar Sutejo dengan
ayunan cambuknya, dan sekali-kali pemuda itu dapat membalas dengan sambaran ikat
kepalanya yang tidak kalah dahsyatnya.
Karena merasa penasaran Bhagawan Jaladara lalu mengeluarkan Aji Gelap Musti!
Ketika pecutnya menyambar dan dapat di elakkan oleh Sutejo ke kanan, tangan kirinya
yang sudah siap dengan saluran tenaga Gelap Musti, tiba-tiba menampar dengan
sambaran dahsyat!
Sutejo mengenal Aji pukulan ini maka diapun menggerakan tangan kirinya dengan
aji yang sama dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya ke lengan kiri.
"Wuuutttt?". Desssss?"!" dua tenaga raksasa bertemu di udara, seolah kilat
menyambar dan akibatnya tubuh Sang Bhagawan Jaladara terpelanting keras.
Mendapatkan kesempatan ini, Sutejo menggerakan ikat kepalanya, menjadi kaku dan
menotok ke arah pergelangan tangan kanan lawannya.
"Tukk"..!" Tangan itu tergetar dan pecut yang dipegangnya terlepas. Bagaikan
seekor burung sikatan Sutejo menyambar dan di lain saat pecut itu telah berada di
tangan kirinya!
Bhagawan Jaladara berdiri dengan muka pucat memandang pemuda itu. Mulutnya
menyeringai seperti orang menangis dan dia membentak, "Kembalikan pecut itu!"
"Tidak, Paman Guru. Pecut ini harus kembali ke tangan Eyang Guru!" kata Sutejo
dengan suara tegas.
"Keparat kau".!" Dengan nekat Bhagawan Jaladara lalu menyerang Sutejo
dengan tangan kosong. Tubrukannya adalah tubrukan seorang yang sudah nekat untuk
mengadu nyawa dan dia berhasil menyambar tubuh pecut yang berada di tangan
Sutejo. Sutejo mempertahankan, kalau dia mau menyerang lawan tentu dengan mudah
dia akan dapat membunuh Bhagawan Jaladara yang sudah bertangan kosong. Akan
tetapi dia tidak menghendaki hal ini terjadi, maka dia ragu dan lengah sehingga pecut
itu dapat terpegang oleh tangan Bhagawan Jaladara. Mereka berkutetan, saling dorong
dan saling betot. Ketika keduanya mengerahkan tenaga, dalam waktu yang berbarengan
keduanya mengayunkan kaki kana menendang.
"Desss!!" Keduanya terlempar ke belakang dan pecut yang dijadikan rebutan itu
terlepas dari tangan mereka dan melayang jauh. Mendadak muncuk seorang pemuda
remaja dari balik rumpun semak belukar dan tubuhnya menyambar ke arah pecut
dengan kecepatan kilat, tahu-tahu pecut telah berada di tangannya dan dia melarikan
diri sipat kuping dengan cepat sekali!
BAGIAN 6 Sutejo mengenal bocah nakal yang pernah menggodanya pagi tadi. Dia meloncat
dan berseru, "Heii" berhenti kau?"!"
Melihat bahwa pecut itu telah diambil oleh seorang pemuda remaja, Bhagawan
Jaladara juga melakukan pengejaran. Akan tetapi bocah itu bergerak amat cepat,
bahkan Sutejo sendiri yang mempergunakan Aji Harina Legawa tidak mampu
menyusulnya. Tak lama kemudian pemuda itu sudah menghilang di dalam hutan!
Melihat ini, Bhagawan Jaladara marah sekali kepada Sutejo. Dia menerjang
Sutejo dengan pukulan sambil memaki, "Bocah setan, engkau yang membikin pecut itu
hilang!" Serangannya ganas, akan tetapi sekali ini Sutejo juga sudah marah. Bahkan
bukan dia yang membuat pecut itu hilang, melainkan kakek ini. Maka ketika melihat
kakek itu memukul, dia mengerahkan Aji Gelap Musti menyambut.
"Desss"..!" Kembali dua tenaga sakti bertemu di udara dan untuk kedua kalinya
tubuh Bhagawan Jaladara terpelanting dan muntah darah. Dia telah terluka dalam dan
merangkak bangun, tidak berani lagi menyerang. Sutejo tidak memperdulikannya dan
dia lalu melompat ke dalam hutan untuk mencari pemuda remaja yang telah membawa
pergi pecut sakti bajrakirana.
******* Sutejo berlari cepat sekali memasuki hutan, akan tetapi dia segera menjadi
bingung karena hutan itu liar dan lebat sekali. Tidak tampak jalan setapak dan juga dia
tidak dapat menemukan tapak kaki pemuda remaja yang melarikan Cemeti Sakti
Bajrakirana. Kemana dia harus mencarinya. Beberapa kali dia berteriak.
"Heii, anak nakal! Keluarlah dan mari kita bicara!" Kalau bocah itu keluar, dia
akan bicara baik-baik, membujuknya untuk mengembalikan pecut yang amat penting itu.
Akan tetapi sampai suaranya serak memanggil-manggil jangankan anak itu keluar,
jawabannya pun tidak ada. Akhirnya Sutejo lari ke sebuat dataran tinggi yang di mana
terdapat sebatang pohon randu alas raksasa. Dia meloncat dan memanjat pohon itu
sampai puncaknya dan dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling.
Akhirnya dia melihat pemuda remaja itu. Jauh di sebelah timur, berjalan
perlahan sambil mengayun-ayun pecut itu di atas kepalanya, seperti seorang kanakkanak sedang bermain-main.
"Anak sialan!" Sutejo cepat turun dan berlari cepat menuju ke timur untuk
mengejar. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan tiba di tanah pegunungan yang sunyi.
Tadi dia melihat anak itu berada di sisi dan akhirnya dia berhenti di tepi sebatang
sungai yang cukup lebar. Kiranya tidak mungkin melompati sungai itu dan dia melihat
bayangan anak itu di seberang sana!
"Hei". Kamu?".! Berhenti dan kembalikan pecut itu!" Sutejo berteriak nyaring.
Anak muda itu memutar tubuhnya memandang Sutejo, lalu membunyikan pecut
di atas kepalanya. "Tar-tar-tar!" Setelah itu dia tertawa dan lari lagi ke depan dengan
amat cepatnya! "Bocah mendem (mabok)!" Sutejo memaki dan dia menjadi bingung bagaimana
untuk melewati sungai itu. Karena di situ tidak ada perahu atau alat lain untuk
menyebrang, sedangkan untuk berenang pakaiannya tentu akan basah semua, akhirnya
tidak ada lain pilihan baginya kecuali menyebrang dengan berenang. Dia menanggalkan
pakaiannya, hanya memakai sebuah celana dalam, menaruh buntalan pakaiannya di atas
kepala dan terpaksa dia lalu berenang sedapatnya dengan satu tangan untuk
menyebrang. Dalam hatinya dia merasa gemas sekali dan kini dia berjanji kepada diri
sendiri kalau sampai dapat mengejar pemuda remaja itu, dia akan menangkapnya,
menelungkupkannya ke atas kedua pahanya dan memukuli pantatnya sampai puas!
Biarpun dengan susah payah, dapat juga Sutejo menyebrang! Dia mengenakan
kembali pakaiannya dan cepat berlari lagi mengejar ke depan. Dari dataran tinggi itu
dia dapat melihat sawah dan ladang yang luas dan tergarap rapi, tanda bahwa di
tempat itu ada dusunnya. Dan benar saja, dari jauh dia melihat segerombolan pohonpohon dan tampak genteng-genteng rumah orang. Tentu pemuda remaja itu tinggal di
dusun itu, pikirnya. Matahari telah naik tinggi dan tanpa memperdulikan tubuhnya yang
lelah karena tadi bertempur hebat melawan Bhagawan Jaladara, diapun berlari lagi
menuju ke dusun yang tampak dari dataran tinggi itu.
Akhirnya dia tiba di luar dusun yang di kelilingi pagar bambu yang ketat itu. Dia
tidak melihat jalan masuk kecuali sebuah gapura yang lebar dan juga tertutup. Heran
juga dia melihat sebuah danau yang serba tertutup ini, seolah menyimpan rahasia
besar. Dia tidak berani lancang masuk, melainkan berdiri di luar gapura dan dia
mengetuk pintu gapura yang terbuat dari kayu itu, menggunakan sepotong batu.
"Tok-tok-tok! Kulonuwun?"!" teriaknya berulang kali.
Tiba-tiba dia mendengar gerakan di belakangnya. Cepat dia menengok dan
ternyata dia telah dikepung oleh belasan orang! Dan orang-orang itu amat aneh.
Pakaian mereka serba hitam, akan tetapi muka mereka dicoreng moreng dengan warna
hitam dan putih, lereng-lereng bergaris panjang diseluruh muka sampai ke leher
mereka sehingga sukarlah mengenal wajah yang semua dicoreng moreng itu. Dan di
tangan mereka tergenggam bermacam-macam senjata. Ada yang membawa keris, ada
yang bersenjatakan tombak trisula, dan ada pula yang membawa perisai dan golok.
Biarpun muka mereka coreng moreng namun cara mereka mengepung Sutejo amat
teratur, tidak kacau seolah mereka merupakan barisan yang terlatih baik.
Biarpun terkejut dan heran, Sutejo tidak merasa gentar dan bersikap waspada.
Dia melangkah maju menghadapai seorang tinggi besar di antara mereka yang
memegang keris panjang, lalu berkata dengan sikap hormat.
"Maafkan saya. Saya adalah seorang pengembara yang tanpa disengaja tiba di
dusun ini. Kalau boleh saya memasuki dusun ini"."
"Dia mata-mata musuh. Serang!" orang tinggi besar itu mendadak berseru
dengan suara parau dan belasan orang itu, tidak kurang dari lima belas orang
banyaknya, sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Sutejo.
Sutejo merasa penasaran juga. Orang-orang ini menuduhnya mata-mata! Akan
tetapi karena mereka semua sudah menggerakan senjata untuk menyerangnya, dia
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk bicara. Sambil mengerahkan tenaga, dia
menggerakan kedua lengannya, diputar menangkis semua senjata itu dan para
pengeroyoknya berpelantingan. Dia segera melompat keluar dari kepungan dan kini,
orang tinggi besar yang memegang keris panjang sudah menyerangnya. Serangannya
cukup hebat. Keris itu meluncur cepat ke arah perutnya. Suetjo miringkan tubuhnya
dan sekali tangan kirinya memukul dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan
yang memegang keris, senjata itupun terpukul lepas dan jatuh. Sutejo mendorong
dengan tangan kanannya dan si tinggi besar itu terjengkang dan terbanting jatuh
dengan kerasnya. Semua orang terkejut melihat ini dan menahan serangan, hanya
mengurung saja dengan pandangan mata ragu karena mereka sudah melihat kehebatan
gerakan pemuda itu yang membuat mereka merasa jerih.
"Dengar, saudara sekalian! Aku bukan mata-mata, juga aku bukan seorang jahat.
Aku ingin bicara dengan pimpinan kalian! Bawalah aku menghadap padanya!" ucapan
Sutejo ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam sehingga terdengar amat
lantang dan juga berwibawa. Orang tinggi besar yang tadi memegang keris sudah
mengambil lagi kerisnya dan agaknya dialah pemimpin belasan orang itu.
Tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan muncullah belasan orang lain sehingga
jumlah mereka lebih dari tiga puluh orang yang mengepung Sutejo! Akan tetapi pemuda
ini tidak gentar dan kembali dia berkata dengan lantang.
"Aku bernama Sutejo dan kedatanganku ini bukan membawa maksud buruk. Aku
hanya ingin bertemu dan bicara dengan pemimpin kalian karena ada urusan penting


Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Aku bukan mata-mata manapun juga, bukan pula musuh, maka harap kalian
jangan menyerangku!"
Si tinggi besar itu memandang dengan matanya yang lebar, kemudian
mengangguk dan berkata kepada teman-temannya. "Kita bawa dia masuk menghadap
pimpinan!"
"Mari masuk akan tetapi awas, kalau engkau membuat ulah, kamu akan
mengeroyokmu!" kata pula si tinggi besar kepada Sutejo. Pemuda itu merasa lega. Dia
memang tidak ingin mencari permusuhan. Dia belum tahu siapa mereka yang
mencoreng moreng muka mereka ini, dan dari perkumpulan macam apa. Karena sukar
mengajak orang ini bicara baik-baik, maka dia minta dipertemukan dengan pemimpin
mereka agar dia dapat bicara dengan baik, terutama menanyakan pemuda remaja yang
telah membawa pergi pecut sakti bajrakirana.
Ternyata perkampungan itu besar juga. Agaknya tidak kurang dari seratus
orang laki-laki dan wanita serta anak-anak mereka tinggal di perkampungan ini. Yang
berada di dalam perkampungan tidak memakai coreng moreng mukanya dan hidup
sebagai penduduk dusun biasa. Tiga puluh lebih orang yang mukanya di coreng moreng
itu membawa dan mengawal dia ke sebuah rumah besar di tengah perkampungan yang
dikelilingi oleh rumah-rumah yang lebih kecil. Rumah besar itu memiliki pendopo yang
luas dan ke sanalah Sutejo di bawa mereka.
Setelah berada di pendopo. Sutejo melihat dua orang laki-laki tinggi besar
duduk berjajar di sebuah bangku dan di belakang mereka berdiri si bocah nakal yang
melarikan pecutnya! Akan tetapi, kini dia tidak membawa pecut itu dan pemuda remaja
itu memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek, bahkan mengedipkan mata
kirinya seperti memberi isyarat atau memang sengaja menggodanya. Kalau saja dia
tidak berada di situ sebagai tamu atau bahkan orang tangkapan, tentu sudah dikejar
dan ditangkapnya pemuda remaja nakal itu dan dia pukuli pantatnya sampai bertaubat!
"Hayo berlutut dan menyembah!" Kata orang tinggi besar yang berdiri di
belakang Sutejo.
Pemuda itu menoleh dan memandang kepada si tinggi besar sambil tersenyum.
Dia melihat betapa tiga puluh lebih orang itu kini sudah menjatuhkan diri dan duduk
bersimpuh dengan sikap hormat terhadap dua orang pria tinggi besar itu.
"Ki sanak, aku bukan kawula di sini, maka tidak semestinya aku berlutut. Aku
adalah seorang tamu dan datang dengan suka rela." Katanya dengan sikap ramah.
"Orang muda, kalau andika tidak mau duduk di bawah. Nah, ini duduklah di
bangku ini!" kata seorang di antara kedua orang tinggi besar yang mukanya hitam dan
matanya lebar. Dia menyambar sebuah bangku dan melemparkannya ke arah Sutejo.
Bangku itu cukup besar dan berat karena terbuat dari kayu jati, akan tetapi kini benda
itu melayang dengan kecepatan luar biasa ke arah Sutejo. Namun, dengan tenang saja
Sutejo menjulurkan tangan kirinya dan menyambar bangku itu dengan seenaknya, lalu
menaruh bangku itu dan duduk di atasnya.
"Terima kasih atas sambutan ini" kata Sutejo sambil mengangguk kepada kedua
orang itu sebagai tanda penghormatan, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang mata pemuda remaja itu, matanya seperti mengeluarkan sinar berapi
saking penasaran dan dongkolnya. Awas kau, pantatmu akan menjadi matang biru
kutampar biar kapok! Demikian kata hatinya, apa lagi melihat pemuda remaja itu
tersenyum-senyum menggodanya dan mengejeknya.
"Orang muda, siapakah andika dan ada urusan apakah andika datang ke
perkumpulan Sardula Comeng (Macan Hitam) ini?"
Tahulah kini Sutejo bahwa dia berada di sarang perkumpulan yang menamakan
dirinya Sardula Comeng. Pantas saja semua anak buahnya berpakaian hitam dan
mencorengi mukanya loreng-loreng meniru bentuk macan loreng.
"Maafkan kalau kedatang saya ini menganggu, Paman. Saya bernama Sutejo dan
sedang melakukan perjalanan merantau untuk menambah pengalaman hidup. Akan
tetapi di dalam perjalanan, saya kehilangan sebuah pusaka berupa sebatang pecut.
Pecut itu diambil orang dan saya melakukan pengejaran. Kemudian ternyata bahwa
pengambil pecut itu melarikan diri ke sini, maka terpaksa saya mengejar sampai ke sini
dan mengganggu paman."
Orang tinggi besar yang bermuka merah dan berkumis tebal menepuk lengan
kirinya. "Apa" Kau berani menuduh bahwa orang kamu ada yang mencuri pecut"
Ketahulah hei orang muda bahwa perkumpulan Sardula Comeng adalah perkumpulan
orang gagah yang pantang merampok atau mencuri! Aku Ki Mundingsosro dan adikku ini
Ki Mundingjoyo tidak akan menerima begitu saja kalau kau katakan bahwa ada anak
buah kami yang mencuri pecut! Apa lagi hanya sebatang pecut, apa artinya?" Ki
Mundingsosro agaknya tersinggung oleh kata-kata Sutejo.
"Maafkan saya paman, Akan tetapi saya bukan sekedar melempar fitnah, bahkan
pencuri pecut itu sekarangpun berada di sini!"
"Hah" Dia berada di sini?" tanya Ki Mundingsosro dan matanya terbelalak,
kumisnya bergerak-gerak dan dia memandang ke kanan kiri. "Orang muda, yakin
benarkah andika bahwa pencuri pecut itu berada di sini?"
Sutejo kini memandang kepada pemuda remaja yang nakal itu, akan tetapi
sebelum dia menundingnya, pemuda remaja itu telah lebih dulu memegang pundak Ki
Mundingsosro dari belakang dan berkata dengan suara manja,
"Ayah, yang mengambil pecut itu adalah aku!"
Semua orang memandang pemuda remaja itu dan Ki Mundingsosro menoleh ke
belakang. "Susilo, kau mencuri pecut?" Tanyanya dengan suara keras dan tidak
percaya. Anaknya mencuri pecut" Anaknya tidak pernah kekurangan sesuatu, mengapa
mencuri" Dan pecut pula yang dicurinya! "Apakah sudah tidak waras lagi pikiranmu!"
"Ayah, sebetulnya aku sama sekali tidak mencuri atau merampas. Aku melihat
pemuda ini berkelahi melawan seorang kakek sakti dan mereka memperebutkan
sebatang pecut. Dalam perebutan itu pecut itu terlempas ke arahku dan aku lalu
menyambarnya dan melarikan diri. Aku tidak mencuri, pecut itu sendiri yang ingin ikut
aku!" Panas rasa perut Sutejo. Mana ada pecut ingin mengikuti seseorang"
"Paman, pecut itu adalah milikku, milik Eyang Guruku yang dicuri oleh kakek itu
dan aku merampas darinya. Kalau pecut itu tidak diambil oleh pemuda ini, tentu sudah
berada di tanganku."
"Susilo, hayo kembalikan pecut itu! Bikin malu saja. Aku dapat memberi seribu
batang pecut kepadamu kalau engkau membutuhkannya!"
"Tidak begitu mudah, ayah. Aku sudah bersusah payah melarikan pecut itu dan
dikejar-kejarnya, sekarang suruh mengembalikan begitu saja" Tidak. Ada dua syarat
yang harus dipenuhi sebelum pecut itu dapat kembali kepadanya."
Sutejo hilang kesabarannya. "Apa syarat-syarat itu" Pasti akan kupenuhi!
Bertanding denganmu akupun tidak takut!"
Pemuda remaja yang bernama Susilo ini tersenyum. "bertanding ya bertanding,
akan tetapi menurut aturanku. Besok aku akan menggembala domba di lapangan rumput
lereng sana. Engkau boleh mencoba untuk merampas pecut itu dari tanganku. Adapun
syarat ke dua?""
"Baik, syarat pertama dengan senang hati akan kupenuhi!. Apa syarat yang
kedua?" tanya Sutejo dengan suara membentak.
"Syarat kedua, engaku harus membantu kami mengalahkan Mahesa Meta, musuh
besar kami."
BAGIAN 7 "Akan tetapi aktu tidak mengenal siapa itu Mahesa Meta, tidak mempunyai
urusan dengannya!" bantah Sutejo yang tidak mau diadu domba dengan orang yang
tidak dikenalnya dan tidak diketahui kesalahannya. "Aku tidak mau membunuh atau
mencelakakan orang yang sama sekali tidak kukenal dan tidak kuketahui kesalahannya!"
Kini Ki Mundingsosro dan Ki Mundingloyo mengerti mengapa Susilo melarikan
pecut dari pemuda itu. Kiranya Susilo hendak minta bantuan pemuda itu untuk
menandingi Mahesa Meta. Tentu saja timbul harapan di dalam hati mereka dan Ki
Mundingsosro berkata.
"Anak mas Sutejo. Ketahuilah bahwa Mahesa Meta adalah seorang perampok
tunggal yang keji dan sakti. Kami pernah bentrok dengan dia ketika dia mengancam
akan membinasakan Sardula Cemeng. Dia amat digdaya dan kiranya kami semua bukan
lawan dia!"
Sutejo mengerutkan alisnya, masih merasa sangsi, "Baiklah, akan kupenuhi
syarat kedua, akan tetapi dengan janji bahwa kalau ternyata Mahesa Meta bukan
orang jahat, aku tidak mau menandinginya."
"Bagus!" Pemuda remaja itu bertepuk tangan dengan girang. "Engkau sudah
berjanji dan janji seorang gagah tidak akan diingkari. Besok pagi-pagi engkau boleh
mencoba untuk merampas pecut itu, akan tetapi aku akan dibantu oleh ayah dan
pamanku!" "Hei, akal apa pula ini?" Sutejo membantah.
"Kami akan maju bertiga untuk menguji sampai dimana tingkat kesaktianmu.
Kalau engkau tidak dapat mengalahkan kami bertiga dan tidak dapat merampas pecut,
mana mungkin engakau becus menandingi Mahesa Meta?" Pemuda remaja itu menekan
pundak ayahnya.
"Betul tidak, Ayah dan Paman?" dan dua orang pria itu terpaksa mengangguk
angguk karena memang ujian itu penting sekali. Apa artinya mereka minta bantuan
pemuda ini kalau dia tidak memiliki kemampuan yang besar" Kalau dia dapat
mengalahkan pengeroyokan mereka bertiga, barulah ada kemungkinan dia akan mampu
menandingi Mahesa Meta yang sakti.
Sutejo mengerutkan alisnya. Tidak ada pilihan baginya. Masih mending kalau
hanya dikeroyok tiga. Kalau mereka mengajukan semua anggauta mereka berarti dia
akan berhadapan dengan hampir seratus orang!
"Baiklah, aku terima dua syarat itu. Dan sekarang aku permisi untuk
melewatkan malam di luar perkampungan ini!" Dia bangkit berdiri dan hendak pergi,
akan tetapi Susilo menahannya.
"Ah, tidak boleh engkau pergi dari sini. Pertama, engkau adalah seorang tamu
kami, bagaimana kami membiarkan engkau tidur di luar" Selain itu, kalau engkau tidur
di luar perkampungan dan besok pagi tidak muncul, ,bukankah kami yang akan menantinanti dengan sia-sia" Engkau boleh bermalam di sini, kami mempunyai banyak kamar
untuk kau pakai. Bukankah begitu, ayah dan Paman?"
Kembali kedua orang laki-laki tinggi besari itu mengangguk-angguk.
Bagaimanapun juga mereka mengharapkan bahwa pemuda ini benar-benar sakti dan
besok akan dapat membantu mereka menghadapi Mahesa Meta yang merupakan musuh
besar dan ancaman bagi keselamatan perkumpulan Sardula Cemeng.
"Benar seperti yang diucapkan anakku Joko Susilo. Engkau boleh bermalam di
sini sebagai tamu kami, anak mas Sutejo dan malam ini kami akan menjamu andika
sebagai tamu yang terhormat." Kata Ki Mundingsosro.
Karena pihak tuan rumah bersikap ramah dan bersungguh-sungguh, Sutejo
tidak menolak lagi. Akan tetapi hatinya masih gemas terhadap Susilo dan dia sudah
mengambil keputusan tetap bahwa kalau besok dia menang dan mampu memenuhi
syarat-syarat itu sehingga pecut dikembalikan kepadanya, dia pasti akan
menelungkupkan tubuh anak itu di atas pangkuannya dan menampari pinggulnya sampai
dia menjerit-jerit minta ampun! Kau tunggu saja, bisik hatinya gemas, apalagi melihat
betapa pemuda remaja itu memandangnya dengan cuping hidung kembang kempis dan
mulut tersenyum mengejek.
Malam itu benar saja, Sutejo dijamu dengan royal oleh tuan rumah. Untuk
keperluan itu tuan rumah menyembelih beberapa ekor ayam dan seekor domba,
membuat bermacam masakan. Mereka duduk semeja. Sutejo, Ki Munindingsosro, Ki
Mundingloyo dan Joko Susilo. Dan dalam perjamuan makan itu Joko Susilo tidak lagi
menggoda dengan kerling mata dan senyum mengejek, melainkan ramah sekali bahkan
dia yang terus menerus menawarkan masakan ini itu kepada Sutejo. Akan tetapi
keramahan ini tidak melunturkan kejengkelan hati Sutejo terhadap pemuda remaja itu.
Iblis Dan Bidadari 3 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Kisah Sepasang Rajawali 25

Cari Blog Ini