Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tangannya yang tertangkap, namun tidak
berhasil Tangan Priyadi yang menangkap pergelangan lengan itu sepetti jepitan baja
saja. Ki Warok Petak menjadi penasaran. Dia terkenal dengan tenaga badaknya,
bagaimana mungkin kini tangannya itu dipegang oleh seorang pemuda dan dia tidak
mampu merenggutnya lepas" Dia mengerahkan lagi seluruh tenaganya dan membetot,
dan pada saat itu, Priyadi melepas tangkapannya sambil mendorong dengan kuatnya.
Tak dapat tertahankan lagi, tubuh KI Warok Petak terlempar ke belakang dan
terbanting keras ke atas tanah, di dekat tubuh Ki Baka Kroda yang tadi telah roboh
terlebih dulu! Dua orang jagoan itu terkejut bukan main. Baru beberapa gebrakan saja mereka
berdua telah dapat dirobohkan oleh pemuda itu! Mereka menjadi penasaran sekali dan
mereka merangkak bangkit sambil meraba gagang senjata mereka. Ki Warok Petak
meraba gagang golok yang menempel di punggungnya sedangkan Ki Baka Kroda meraba
gagang kerisnya. Akan tetapi mereka tidak berani mencabut senjata seoelum
mendapat perkenan Bhagawan Jaladara. Maka, mereka hanya meraba gagang senjata
sambil memandang ke arah sang bhagawan.
Bhagawan Jaladara sendiri terbelalak heran dan hampir saja dia tidak dapat
mempercayai penglihatannya sendiri. Mungkinkah kedua orang pembantunya yang
tangguh itu dirobohkan Priyadi hanya dalam beberapa gebrakan saja" Bagaimana
mungkin ini" Ataukah hal itu hanya kebetulan saja karena kedua orang pembantunya
memandang rendah dan kurang berhati-hati" Melihat dua orang pembantunya meraba
gagang senjata dan memandang kepadanya dia lalu mengangguk. Biarlah mereka
menguji Priyadi karena diapun ingin sekali melihat apakah benar-benar pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga pemuda ini berani bersumbar untuk
mengalahkan Bhagawan Sindusakti.
"Priyadi, keluarkanlah senjatamu untuk melawan senjata mereka!" teriaknya kepada
pemuda itu. Akan tetapi Priyadi memandang ke arah kedua orang lawannya itu dan tersenyum
sambil menggeleng kepalanya. Tentu saja dia kini sudah dapat mengukur tingkat
kepandaian dua orang pengeroyoknya itu dan merasa sanggup untuk mengalahkan
mereka walaupun mereka berdua menggunakan senjata dan dia sendiri bertangan
kosong. "Paman berdua boleh menggunakan senjata, akan kuhadapi dengan tangan kosong.
Silakan!" katanya sambil tersenyum dan berdiri tegak di depan kedua orang itu.
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda menjadi marah sekali. Wajah mereka berubah
kemerahan karena sekali Ini mereka benar-benar merasa dipandang rendah sekali oleh
seorang pemuda. Akan tetapi karena mereka harus mengakui bahwa dengan bertangan
kosong mereka telah kalah, keduanya melupakan rasa malunya dan mencabut senjata
masing-masing. "Bocah sombong jangan sesalkan kami kalau nanti engkau tewas di ujung senjata kami!"
bentak Ki Warok Petak.
"Sambutlah ini, bocah sombong!" Ki Baka Kroda berseru dan kedua tangannya bergerak
bergantian. Tiga sinar menyambar ke arah Priyadi! Ternyata jagoan yang kecil pendek
itu telah mempergunakan tiga batang cundrik terbangnya yang kini menyambar
berturut-turut ke arah tubuh Priyadi. Yaug dijadikan sasaran, adalah leber, dada, dan
perut! Priyadi tidak mengelak dari sambaran tiga batang cundrik terbang itu. Dia hanya
menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali dan tahu-tahu tiga batang cundrik
itu telah ditangkapnya, dua dengan tangan kanan dan satu dengan tangan kiri. Sambil
tersenyum dia lalu membuang tiga batang senjata rahasia itu ke atas lantai sehingga
menimbulkan suara berdencing. Dia lalu memandang kepada dua orang lawannya sambil
tersenyum. Ki Warok Petak mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau dan tiba-tiba
tubuhnya melompat ke depan dan dia sudah menerjang Priyadi dengan bacokan
goloknya. Ki Baka Kroda juga bergerak kedepan sambil menggerakkan keris di tangan
kanannya untuk menyerang.
Akan tetapi tiba-tiba mereka kehilangan pemuda yang mereka serang, Demikian
cepatnya gerakan Priyadi yang menggunakan Aji Tunggang Maruto sehingga tubuhnya
berkelebat dan tahu-tahu telah tiba di belakang dua orang pengeroyoknya. Dia
berdeham seperti memberi tanda kepada kedua orang lawannya yang tampak bingung
kehilangan dia. Dua orang jagoan Wirosobo itu cepat memutar tubuh dan melihat
Priyadi ternyata telah berdiri di belakang mereka, keduanya lalu menyerang lagi
dengan dahsyat dan cepat.
Priyadi ingin memperlihatkan kesaktiannya di depan Bhagawan Jaladara, maka dia lalu
mengerahkan Aji Tunggang Maruto. Tubuhnya berkelebatan dengan cepat menyelinap
di antara gulungan sinar golok dan keris lawan yang menyambar-nyambar. Dua orang
jagoan Wirosobo itu menjadi penasaran sekati karena ke manapun senjata mereka
menyerang, selalu mengenai tempat kosong belaka, tidak pernah dapat menyentuh
tubuh Priyadi! Bhagawan Jaladara terbelalak kaget dan kagum. Dari mana Priyadi
mendapatkan semua ilmu itu" Dia sendiri akan berpikir dua kali untuk menghadapi
pengeroyokan Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda yang bersenjata itu dengan tangan
kosong saja. Akan tetapi pemuda itu agaknya malah dapat mempermainkan kedua orang
pengeroyoknya! "Roboh!" tiba-tiba terdengar bentakan suara Priyadi. Tiba-tiba tangannya yang kiri
membuat gerakan membacok, dengan tangan miring ia memukul dan tepat mengenai
pergelangan tangan kanan Ki Warok Petak. Keras sekali pukulan ini sehingga Ki Warok
Petak berseru dan goloknya terlepas dari pegangan. Pada saat itu kaki Priyadi mencuat
dalam tendangan yang mengenai perut Ki Warok Petak.
"Bukk......!" Tubuh Ki Warok Petak terjengkang dan terlempar lalu jatuh terbanting ke
atas lantai. Ki Baka Kroda merasa mendapat kesempatan. Dia cepat menerjang maju dari samping
dan menusukkan kerisnya ke arah lambung Priyadi. Akan tetapi dengan cekatan sekali
Priyadi memutar tubuh ke kanan, menangkap pergelangan tangan yang memegang keris
itu, menekuknya dan selagi mereka bersitegang mengadu tenaga, Priyadi mengangkat
lutut kirinya dengan sentakan tiba-tiba tekukan lututnya mengenai perut Ki Baka
Kroda. "Ngekk....!" Ki Baka Kroda terjengkang dan roboh pula.
Dua orang jagoan itu sudah jelas kalah, akan tetapi mereka masih merasa penasaran.
Mereka seolah tidak dapat percaya bahwa mereka berdua yang bersenjata dapat
dikalahkan pemuda itu. Dengan wajah geram mereka merangkak bangkit. Bhagawan
Jaladara bangkit dari tempat duduknya, mengangkat kedua tangan ke atas dan
berseru. "Cukup! Kalian berdua mundurlah!"
Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda mengundurkan diri dengan wajah berubah
kemerahan. Selama hidup baru sekali ini mereka merasa kecil dan tidak berguna.
"Paman Bhagawan Jaladara, apakah paman sudah percaya akan kemampuanku
sekarang?" tanya Priyadi sambil tersenyum.
"Engkau memang hebat, Priyadi. Akan tetapi untuk menerimamu sebagai sekutu, aku
sendiri harus mengujimu lebih dulu. Aku akan menyerangmu dengan kekuatan Aji Gelap
Musti. Sambutlah agar aku dapat mengukur tenaga saktimu!"
Sang Bhagawan itu lalu merendahkan tubuhnya dan dia mengerahkan tenaga Aji Gelap
Musti, lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Priyadi. Angin pukulan yang
amat dahsyat menyambar ke arah Priyadi. Pemuda ini sudah siap. Diapun menggunakan
Aji Gelap Musti untuk menandingi paman gurunya, menyambut serangan dengan tenaga
sakti itu dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Syuuuttt......dess.......!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan akibatnya, tubuh
Bhagawan Jaladara terdorong mundur sampai lima langkah sedangkan Priyadi masih
berdiri tegak! Bhagawan Jaladara hampir tidak percaya. Kenyataan ini menjadi bukti
bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada tenaga
saktinya! Akan tetapi dia belum yakin benar. Dia harus menguji sampai dia yakin benar
bahwa pemuda ini memang sakti mandraguna dan boleh diandalkan. Di situ tidak ada
orang lain kecuali mereka berdua. Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda sudah disuruh
mengundurkan diri keluar dari ruangan itu.
"Priyadi, coba engkau menyerangku dengan ajimu yang paling tinggi. Aku ingin
mendapat keyakinan bahwa engkau memang berharga untuk menjadi sekutuku!"
katanya sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang dan dia mengerahkan
tenaga saktinya untuk menjaga diri, bahkan mengerahkan Aji Kawoco, yaitu aji
kekebalan yang membuat tubuhnya seolah terlapis baja.
"Paman Bhagawan, bersiaplah. Aku menyerang dengan Aji Margopati!" seru Priyadi dan
diapun menerjang dengan aji pukulan yang amat ampuh itu yang dipelajarinya dari Resi
Ekomolo. Akan tetapi karena dia membutuhkan Bhagawan Jaladara yang dapat dia
manfaatkan untuk meraih cita-citanya, maka dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya
melainkan membatasi agar jangan sampai membunuh bhagawan itu.
"Wuuuutttt......blarrrr......!" Bhagawan Jaladara merasa seolah dirinya disambar
geledek. Biarpun dia telah mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan, bahkan telah
melindungi tubuhnya dengan Aji Kawoco, tetap saja dia merasa seluruh tenaga seperti
lenyap dan tanpa dapjt dipertahankan lagi tubuhnya terkulai roboh!
"Paman! Engkau tidak apa-apa......?" Priyadi lari menghampiri dan membantunya bangkit
berdiri. Untung Priyadi membatasi tenaganya, kalau tidak, keampuhan Aji Margopati
tentu telah merenggut nyawa Bhagawan Jaladara. Bhagawan itu bangkit dengan tubuh
lemas dan dia dituntun oleh Priyadi sehingga dapat duduk kembali di atas kursinya. Dia
memejamkan kedua matanya, mengatur pernapasan sejenak. Setelah guncangan dalam
dadanya mulai tenang, dia membuka matanya dan memandang kepada pemuda itu
dengan penuh keheranan.
"Priyadi, sekarang aku percaya kepadamu. Akan tetapi bagaimana engkau dapat
memiliki kesaktian seperti itu" Aji Gelap Musti yang kau kerahkan tadi dahsyat bukan
main dan tenaga pukulan terakhir tadi aji apakah itu dan dari siapa engkau
mempelajarinya?"
Priyadi tidak ingin membuka rahasia Resi Ekomolo, maka dia tersenyum dan menjawab,
"Aku secara kebetulan menemukan kitab-kitab kuno dari kitab-kitab itulah aku belajar
semua aji kesaktian tadi, paman. Bagaimana tanggapan paman tentang usulku tadi"
Ingat, paman. Paman mempunyai seorang musuh yang amat tangguh, yaitu Sutejo dan
kiranya hanya akulah seorang yang akan mampu menandinginya. Kalau aku sudah
menjadi ketua Jatikusumo dan memegang Pecut Bajrakirana, bergabung dengan paman
dan dengan dua orang sakti yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo, membunuh
Sutejo merupakan hal yang amat mudah bagiku. Dan dengan kekuatan kita bersama,
kita pasti akan mampu menghancurkan Mataram! Kadipaten Wirosobo akan menjadi
jaya!" Bhagawan Jaladara mengangguk-angguk. "Aku percaya padamu, Priyadi. Akan tetapi
aku belum yakin akan maksud baikmu sebelum aku melihat engkau merampas kedudukan
sebagai ketua Jatikusumo. Setelah engkau menjadi ketua, baru aku akan menyerahkan
Pecut Bajrakirana kepadamu."
"Baik, paman. Aku akan membuktikan janjiku, akan tetapi kalau saatnya tiba, aku
mengharapkan bantuan paman, selain untuk menjadi saksi, juga untuk membantu kalaukalau aku menghadapi pengeroyokan."
"Aku setuju. Kalau saatnya tiba, beritahukan padaku dan aku akan membawa para
pembantuku untuk membantumu. Priyadi."
"Kalau begitu aku mohon pamit, paman. Aku akan menghubungi kedua orang sakti yang
kuceritakan tadi, yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo untuk mengajak mereka
bergabung dengan kita."
Priyadi lalu meninggalkan Kadipaten Wirosobo. Setelah keluar dari Kadipaten, dia
melakukan perjalanan cepat sekali, langsung menuju ke tempat tinggal Sekarsih.
BAGIAN 40 Sekarsih menyambut kedatangannya dengan gembira karena wanita itu sudah amat
rindu kepadanya. Setelah keduanya melepaskan kerinduan masing-masing, Priyadi
bertanya tentang tugas yang diserahkan kepada wanita kekasihnya itu.
"Bagaimana hasilnya usahamu menghubungi dan membujuk Ki Klabangkolo dan Resi
Wisangkolo untuk bekerja sama dengan aku Sekarsih"
"Seperti yang telah kuduga sebelumnya, mereka ingin melihat dulu orang macam apa
yang mengajak mereka untuk bekerja sama. Mereka ingin melihat dulu kemampuanmu
untuk mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk menjadi sekutu mereka."
"Hemm, mereka tidak percaya kepadaku! Apakah engkau belum bercerita kepada
mereka akan kemampuanku?"
"Sudah, Priyadi. Akan tetapi orang-orang seperti mereka itu bagaimana dapat
mempercayai sesuatu kalau mereka belum membuktikan sendiri?"
"Baiklah! Aku akan memperlihatkan kemampuanku kepada mereka. Di mana mereka
sekarang?"
"Mereka berdua berada di padepokan Resi Wisangkolo yang berada di Lembah Kali
Brantas." "Mari kita ke sana. Sekarsih."
Keduanya lalu berangkat pada hari itu juga, menuju ke Lembah Brantas. Mereka
melakukan perjalanan berdua dan bersenang-senang di sepanjang perjalanan.
******* Pondok yang berada di tepi Kali Brantas itu cukup besar, terbuat dari pada kayu jati
yang kokoh kuat. Pondok itu berdiri terpencil di tepi kali itu, jauh dari pedesaan.
Suasana di situ sepi sekali. Pondok itu menghadap ke sungai dan di kanan kiri dan
belakang pondok itu terdapat ladang yang cukup luas dan subur. Empat orang laki-laki
berusia sekitar dua puluh lima tahun sedang bekerja di ladang. Mereka adalah para
cantrik yang membantu Sang Resi Wisangkolo yang bertempat tinggal di pondok itu.
Pada pagi hari yang cerah itu Resi Wisangkolo duduk di ruangan depan, ditemani adik
seperguruannya, yaitu Ki Klabangkolo. Dua orang kakek ini duduk di atas tikar
menghadapi meja rendah dimana terdapat hidangan ketela rebus dan air teh panas.
Namun wajah kedua orang kakek sakti Itu tampak termenung dan keruh. Mereka
berdua masih merasa penasaran dan mendongkol sekali karena teringat akan kekalahan
mereka melawan Sutejo di perguruan Jatikusumo beberapa waktu yang lalu.
Setelah kedua orang kakek itu makan beberapa potong ketela dan minum beberapa
teguk air teh. Ki Klabangkolo menghela napas dan betkata. "Aku masih penasaran dan
tidak mengerti akan kegagalan kita di perguruan Jatikusumo itu, Kakang Resi. Sudah
jelas bahwa para murid Jatikusumo memiliki kedigdayaan yang biasa-biasa saja. Murid
kepala yang terpandai adalah Maheso Seto. Memang aku pernah kewalahan menghadapi
pengeroyokan yang dilakukan Maheso Seto dan isterinya yang bernama Rahmini itu.
Akan tetapi ketika mereka itu maju satu lawan satu, aku dapat mengalahkan mereka
tanpa banyak kesukaran. Akan tetapi, dari mana datangnya pemuda bernama Sutejo itu
yang memiliki kesaktian yang demikian hebat" Sungguh aku tidak mengerti!"
Resi Wisangkolo menghela napas panjang. "Akupun merasa heran sekali. Adi
Klabangkolo. Belum pernah selama hidupku aku bertemu lawan yang demikian tangguh,
pada hal dia masih begitu muda. Semua kekuatan sihirku dapat dia punahkan. Ilmu silat
simpananku juga dapat dikalahkannya, bahkan ajiku Guntur Bumi dan Guntur Geni dapat
dia lawan sehingga aku sampai terluka. Luar biasa sekali dan sukar untuk dipercayai"
"Kurasa dia bukan murid Jatikusumo, Kakang Resi."
"Akan tetapi dia dapat menggunakan Aji Gelap Musti yang merupakan aji aliran
Jatikusumo, hanya tenaganya luar biasa kuatnya. Dia tentu murid Jatikusumo."
"Akan tetapi, ketika menghadapi seranganmu yang terakhir, dia menggunakan aji yang
disebutnya Aji Bromokendali. Aji ini tentu bukan milik Jatikusumo.
"Siapapun adanya dia, pemuda itu merupakan lawan yang berbahaya sekali. Lain kali
kalau kita bertemu dengannya, kita harus maju berdua. Kalau kita maju berdua, aku
yakin pasti kita akan mampu membunuhnya." kata Resi Wisangkolo dengan penasaran.
"Kakang Resi, aku masih merasa heran dan menduga-duga siapakah orangnya yang
hendak diperkenalkan kepada kita oleh Sekarsih. Kata Sekarsih, dia seorang pemuda
murid Jatikusumo, akan tetapi mengapa dia mengajak kita untuk bergabung dan
bekerja sama membantu Kadipaten Wirosobo?"
"Hemm, kita lihat saja nanti orang macam apa adanya dia. Kita sudah melihat bahwa ke
pandaian para murid Jatikusumo tidak berapa tinggi, akan tetapi mengapa Sekarsih
mengatakan bahwa kepandaian orang itu tinggi sekali?"
Tadinya aku mengira dia adalah Sutejo yang pernah mengalahkan kita, akan tetapi
ternyata bukan Sekarsih mengatakan bahwa pemuda itu bernama Priyadi dan katanya
memiliki kesaktian yang luar biasa."
Percakapan mereka berhenti ketika mereka melihat Sekarsih memasuki pekarangan
itu, bersama seorang pemuda yang tampan dan gagah. Karena yana datang adalah
Sekarsih, murid Ki Klabangkolo. dan seorang pemuda, maka kedua orang tokoh sakti itu
tidak bangkit dari tempat duduknya, hanya memandang dengan sinar mata penuh
selidik. Sekarsih adalah seorang wanita yang aneh dan berwatak liar, Apa lagi karena sebagai
sekarang murid, iapun dapat dibilang menjadi kekasih gurunya sendiri, maka ia biasa
bersikap terbuka terhadap gurunya, sama sekali tidak bersikap menghormat
sebagaimana seharusnya sikap ,seorang murid terhadap gurunya. Bahkan terhadap Resi
Wisangkolo yang masih terhitung uwa gurunya ia bersikap biasa-biasa saja. Melihat
kedua orang kakek itu duduk menghadapi meja, Sekarsih juga mengajak Priyadi duduk
di atas lantai bertilam tikar pandan itu. Priyadi duduk bersila dan Sekarsih duduk
bersimpuh. "Bapa Guru dan Uwa Guru, aku datang untuk memperkenalkan pemuda yang pernah
kuceritakan tempo hari. Inilah dia Priyadi, murid perguruan Jatikusumo itu!" Sekarsih
memperkenalkan dengan suara mengandung kebanggaan mengingat bahwa pemuda yang
diperkenalkannya itu adalah kekasihnya.
Dua orang kakek itu mengamati wajah Priyadi dan mereka berdua meragukan
kebenaran keterangan Sekarsih. Pemuda ini masih muda, paling banyak dua puluh enam
tahun usianya. Bagaimana seorang semuda itu mengajak mereka berdua untuk bekerja
sama" Apalagi hanya seorang murid perguruan Jatikusumo! Akan tetapi karena dia
teringat akan Sutejo, seorang lain yang bahkan lebih muda namun telah dapat
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengalahkan dia, Ki Klabangkolo bersikap hati-hati dan bertanya dengan suaranya
yang besar. "Anak mas. engkau ingin bertemu dengan kami, apa yang hendak kau bicarakan?"
Priyadi tersenyum dan sikapnya tenang sekali. "Mungkin Sekarsih telah menceritakan
kepada paman berdua akan maksudku. Aku mengajak paman berdua untuk bekerja sama
membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram. Kalau usaha kita berhasil, maka
kelak kita akan, mendapatkan kedudukan tinggi dan kekuasaan sehingga kita akan hidup
penuh kemuliaan, dihormati semua orang."
"Hemm, anak mas Priyadi. Menurut Sekarsih, engkau adalah murid perguruan
Jatikusumo. Murid Bhagawan Sindusakti yang kebrapakah engkau?" "Aku murid ke
tiga, paman." jawab Priyadi sejujurnya.
Mendengar jawaban ini, dua orang kakek itu saling pandang lalu tertawa bergelak.
Priyadi hanya memandang sambil tersenyum, maklum bahwa dua orang kakek itu
memandang rendah kepadanya.
"Kenapa paman berdua tertawa" tanyanya tanpa memperlihatkan kemarahan.
"Ha-ha-ha, engkau hanya murid ke tiga dari Bhagawan Sindusakti dan engkau berani
mengajak kami berdua untuk bekerja sama" Orang muda, engkau tidak pantas untuk
menjadi sekutu kami, bahkan menjadi pembantu kamipun masih harus dilihat dulu
sampai di mana kemampuanmu."
"Paman Klabangkolo, aku telah melihat sepak terjang paman berdua di Jatikusumo
tempo hari dan menurut penilaianku, kesaktian paman berdua juga terbatas, buktinya
dapat dikalahkan oleh pemuda bernama Sutejo itu."
"Hemm, engkau merasa bahwa engkau memiliki kesaktian yang hebat! Kalau begitu,
mengapa ketika kami menyerbu Jatikusumo, engkau tidak maju menandingi kami?"
Klabangkolo bertanya, mukanya agak kemerahan karena diingatkan akan kekalahannya
terhadap pemuda bernama Sutejo itu.
"Aku memang tidak berniat menandingi paman berdua karena memang pada saat itu
telah timbul niatku untuk bekerja sama dengan paman berdua, untuk menjadi kawan
bukan menjadi lawan. Dan itu merupakan bukti bahwa aku benar-benar ingin bersekutu
dengan paman berdua."
Resi Wisangkolo yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata dengan
suaranya yang tinggi seperti suara wanita. "Orang muda, apakah engkau bermaksud
mengatakan bahwa engkau mampu menandingi kesaktianku?"
"Kukira aku mampu, Paman Resi Wisangkolo!" kata Priyadi dengan tegas. Jawabannya
ini tentu saja mengejutkan dan membuat penasaran hati Ki Klabangkolo dan Resi
Wisangkolo. "Babo-babo, orang muda. Hal ini perlu dibuktikan dulu. Kalau engkau mampu menahan
lima kali Seranganku, baru aku percaya dan barulah engkau pantas untuk bekerja sama
dengan kami. Beranikah engkau menghadapi lima kali seranganku, dengan kemungkinan
engkau tewas oleh seranganku?"
"Tentu saja aku berani Paman Resi!" kata Priyadi dengan gagah.
"Bagus, aku yang menjadi saksi, anak mas Priyadi. Mari kita pergi ke ruangan belakang
yang lebih luas." kata Ki Klabangkolo dan mereka berempat lalu bangkit dan pergi ke
ruangan belakang, didahului oleh Ki Klabangkolo. Hanya Sekarsih yang tampak
mengerutkan alisnya karena wanita cantik ini bagaimanapun juga mengkhawatirkan
Priyadi. Ia tahu betapa saktinya uwa gurunya dan tentu saja ia khawatir kalau-kalau ia
akan kehilangan Priyadi yang merupakan kekasih barunya yang amat menyenangkan
hatinya. Mereka memasuki ruangan belakang yang luas. "Kalian berdua dapat bertanding di sini!"
kata Ki Klabangkolo sambil duduk di atas sebuah bangku yang berada di sudut.
Sekarsih tidak dapat menahan kegelisahan hatinya dan iapun berkata kepada Resi
Wisangkolo. "Uwa guru, saya harap uwa guru suka menahan diri untuk tidak
mengerahkan seluruh tenaga dan tidak mencelakai Priyadi."
Resi Wisangkolo tertawa mendengar ini. "Ha-ha-ha, kalau dia tidak berani, dan takut
mati, lebih baik pertandingan untuk menguji kesaktian ini dibatalkan saja dan
selanjutnya tidak perlu bicara lagi tentang kerja sama!"
"Sekarsih, jangan khawatir. Aku pasti dapat menghadapi dan menahan lima kali
Serangan Paman Resi Wisangkolo ini kata Priyadi yang lalu berdiri di tengah ruangan
itu dan berkata kepada calon pengujinya. "Paman Resi, aku sudah siap menyambut
seranganmu!"
Terpaksa Sekarsih juga mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Kini Resi
Wisangkolo sudah berhadapan dengan Priyadi di tengah ruangan. Dua orang ini saling
pandang seperti dua ekor ayam jago yang saling mengamati dan menilai calon lawan.
Suasana menjadi hening dan amat menegangkan hati, terutama bagi Sekarsih.
Resi Wisangkolo adalah seorang pertapa yang batinnya tersesat. Dia bertapa dan
menguasai ilmu-ilmu tinggi bukan dengan niat untuk mencari jalan ke arah kebaikan dan
kesempurnaan, melainkan untuk menjadi sarana mengejar dan mencapai kesenangan,
pengumbaran nafsu-nafsunya. Sifat ini membentuk watak yang kejam dan kadang tidak
mengenal prikemanusiaan, merasa puas kalau melihat orang lain menderita dan segala
tindakannya didasari pamrih untuk menyenangkan dan memuaskan dirinya sendiri. Kini
menghadapi Priyadi, dia bukan sekadar untuk menguji, melainkan bermaksud
memperlihatkan kesaktiannya, kalau perlu membunuh pemuda itu. Tentu saja kalau
pemuda itu sanggup menahan Serangannya, pemuda itu patut menjadi sekutunya karena
hal itu akan menguntungkan dirinya.
Karena dia bermaksud untuk menyerang dengan sungguh-sungguh, maka setelah
berhadapan dengan Priyadi, diam-diam Resi Wisangkolo sudah mengerahkan seluruh
tenaga batinnya untuk melakukan penyerangan pertama dengan ilmu sihirnya!
"Priyadi, sambutlah seranganku yang pertama ini!" katanya dengan suaranya yang tinggi
dan dia lalu bersedakap melipat kedua lengan di atas dadanya, matanya mencorong
memandang kepada Priyadi. Dari dalam dadanya keluar suara gerengan aneh dan tibatiba dari kepalanya keluar uap hitam membubung tinggi ke atas dan uap hitam itu
bergerak membentuk bayangan seekor harimau hitam yang besar sekali!
Melihat ini. Priyadi juga sudah bersiap-siap. Dia mengerabkan tenaga batinnya nntnk
menghadapi serangan pertama yang dilakukan dengan ilmu sihir itu.
"Priyadi. sambutlah!" teriak Resi Wisangkolo dan terdengar gerengan seperti seekor
harimau. Harimau hitam yang berada diatas udara itu tiba-tiba menubruk ke depan,
hendak mencengkeram kepala Priyadi! Melihat ini Sekarsih menjadi pucat wajahnya
dan ia menaruh punggung tangan kirinya ke depan mulut untuk mencegah mulutnya yang
hendak mengeluarkan jeritan.
Tiba-tiba Priyadi yang berdongak memandang harimau hitam itu mengeluarkan suara
melengking. Lengkingan suara ini seolah menggetarkan ruangan itu. Itulah Aji Jerit
Nogo yang dipelajarinya dari Sang Resi Ekoroolo, jeritan yang mengandung kekuatan
hebat dari tenaga saktinya. Jeritan melengking ini seolah menghantam harimau hitam
itu dan bayangan harimau itupun membuyarl Gumpalan UAP hitam itu buyar dan kacau
seperti asap tertiup angin dan surut kembali memasuki kepala Resi Wisangkolo.
Resi Wisangkolo menggoyang-goyang kepalanya seperti mengusir kepeningan dan kedua
lengannya yang tadinya dilipat di atas dada, kini diturunkan. Dia terbelalak memandang
kepada Priyadi, seolah tidak percaya bahwa pemuda itu dapat membuyarkan ilmu
sihirnya dengan pekik melengking tadi. Betapa mudahnya pemuda itu membuyarkan
pengaruh sihirnya.
"Priyadi, sambutlah seranganku yang kedua." hentaknya dan tangan kanannya
melepaskan kolor yang diikat pinggangnya. Dia memutar-mutar tali kolor yang
panjangnya ada satu meter itu dan kolor itu berubah menjadi gulungan sinar yang
mengeluarkan angin menderu-deru! Kemudian dia menerjang ke depan, gulungan sinar
kolor itu menyambar dengan amat dahsyatnya ke arah Priyadi.
Sekarsih yang tadinya memandang dengan wajah berseri melihat betapa kekasihnya
mampu membuyarkan ilmu sihir yang mengerikan itu, kini kembali memandang ke arah
Priyadi dengan khawatir ia telah mengetahui kedahsyatan senjata kolor sakti dari uwa
guronva Itu. Kolor itu bukan benda biasa, bukan senjata biasa, melainkan benda yang
dikeramatkan, ditapai dan di "isi" dengan kekuatan sihir. Biarpun hanya merupakan
benda terbuat dari pada lawe. akan tetapi kalau kolor itu dipergunakan sebagai senjata
oleh Resi Wisangkolo, hebatnya bukan alang kepalang. Batu karang sekalipun akan
remuk dihantam kolor sakti itu, apa lagi kepala manusia.
Priyadi sudah mempersiapkan diri sejak tadi. Diapun maklum akan kehebatan kolor
sakti itu! Untung baginya bahwa dia pernah melihat kakek Sakti ini bertanding
melawan Sutejo sehingga dia sudah pernah melihat kakek itu mengeluarkan sEmua
ajiannya. Kini, melihat kolor sakti itu menyambar dalam bentuk sinar ke arah
kepalanya, diapun mengerahkan tenaga sakti ke dalam kedua lengannya, disalurkannya
tenaga sakti itu sehingga membuat kedua lengannya kebal dan terisi kekuatan dahsyat.
Dia lalu menggerakkan kedua lengan ke atas menyambut hantaman kolor yang menerpa
kepalanya itu. "Blarrrr........!!" Kolor itu bertemu dua buah lengan yang amat kuatnya. Tampak asap
mengepul ketika kolor itu bertemu dengan kedua lengan dan beberapa helai lawe
runtuh bertebaran!
Kembali resi Wisangkolo tertegun. Pemuda itu menangkis hantaman kolor saktinya
dengan lengan telanjang!
"Bagus.....!" Sekarsih berseru saking gembiranya dan hal ini membuat Resi Wisangkolo
merasa diejek. Wajahnya berubah merah dan dia lalu menyambar tongkatnya yang
berbentuk ular hitam dan yang tadi diletakkan di atas sebuah meja. Dia berdiri tegak,
memalangkan tongkat ular hitamnya di depan dada lalu berkata.
"Priyadi, engkau telah mampu menyambut dua kali seranganku. Sekarang awas,
sambutlah seranganku yang ke tiga!" Setelah berkata demikian, dia memutar-mutar
tongkatnya di atas kepala. Bentuk tongkat lenyap berubah menjadi sinar hitam yang
bergulung-gulung dibarengi suara yang bercuitan mengerikan. Untuk ketiga kalinya
Sekarsih terbelalak memandang penuh dengan kekhawatiran.
Namun, Priyadi sudah memperhitungkan. Ketika sinar hitam itu menyambar dahsyat ke
arah kepalanya, diapun menggunakan tangan kanannya yang terbuka untuk menyambut
dengan pukulan dan Karena dia tahu betapa berbahayanya tongkat ular, hitam itu, dia
sudah mengerahkan Aji Margopati untuk menyambutnya.
"Darr......!" Terdengar suara seperti ledakan dan tongkat ular hitam itu terpental,
hampir saja terlepas dari pegangan tangan Resi Wisangkolo yang cepat menahan
dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu tidak sampai terlepas. Akan tetapi dia
terhuyung tiga langkah ke belakang.
Melihat tongkatnya terpukul membalik, kakek itu menjadi semakin penasaran. Dia
membuang tongkatnya ke samping sehingga jatuh berkerontangan di atas lantai,
kemudian dia menggerak-gerakkan kedua tangannya di udara.
"Priyadi, sambut seranganku ke empat ini." Dia lalu mendorongkan kedua telapak
tangannya ke arah pemuda itu sambil membentak dengan suara nyaring.
"Aji Guntur Bumi.....!"
Ruangan itu bagaikan dilanda gempa bumi ketika Resi Wisangkolo mengerahkan aji ini
dan serangkum hawa yang dahsyat dan kuat sekali seperti gelombang menyerang ke
arah Priyadi. Akan tetapi pemuda ini telah mempersiapkan diri sejak tadi. Diapun
menekuk kedua lututnya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut sambil
berseru lantang.
"Aji Gelap Musti!" Dia mengerahkan aji aliran Jatikusumo yang telah dikuasainya
dengan baik itu. Bahkan setelah dia digembleng Resi Ekomolo, Aji Gelap Musti yang
dikuasainya itu menjadi berlipat ganda kuatnya.
"Desss......!" Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara. Demikian hebat
benturan tenaga sakti itu sehingga terasa benar oleh Sekarsih maupun Ki Klabangkolo.
Akibat dari benturan tenaga ini, tubuh Resi Wisangkolo terhuyung ke belakang sampai
tiga langkah sedangkan Priyadi yang juga terdorong, dapat mempertahankan diri dan
hanya mundur satu langkah!
Resi Wisangkolo terkejut bukan main dan menjadi semakin penasaran. Ajinya Guntur
Bumi itu amat hebat, akan tetapi pemuda itu mampu menandingi kekuatannya, bahkan
lebih kuat dari padanya. Karena penasaran, dia menjadi marah dan untuk serangan
terakhir, dia mengerahkan seluruh kekuatannya pada kedua lengannya. "Hemm,
sekarang sambutlah seranganku yang kelima, yang terakhir!" Setelah berkata
demikian, dia menggereng seperti seekor harimau, kemudian dia melontarkan pukulan
melalui kedua telapak tangannya sambil membentak. "Aji Guntur Geni......!!!"
Dari kedua telapak tangan kakek itu mengepul asap dan hawa di seluruh ruangan itu
menjadi panas sekali. Itulah pengaruh aji yang amat dahsyat ini. Hawa yang seolah
mengandung api berkobar yang tidak tampak menyerbu ke arah Priyadi. Itulah Aji
Guntur Geni yang dapat membakar lawan yang terlanda pukulan aji itu sehingga tubuh
lawan akan terbakar sampai hangus dan dapat tewas seketika.
Akan tetapi Priyadi yang pernah melihat Resi Wisangkolo mengeluarkan aji ini ketika
menghadapi Sutejo, sudah mengerahkan aji pamungkas yang menjadi andalannya, yaitu
Aji Margopati yang hebat.
"Aji Margopati.....!" Serunya sambil menghantamkan kedua telapak tanganaya ke depan,
menyambut serangan lawan.
"Blaarrrr.....!" sekali ini pertemuan dua tenaga sakti itu sedemikian hebatnya sehingga
meja dan bangku yang berada di ruangan itu terpental seperti dilontarkan orang yang
amat kuat. Sekarsih sudah cepat memejamkan kedua matanya dan mengerahkan
tenaga saktinya untuk melindungi dirinya agar isi dadanya tidak sampai terguncang
oleh benturan tenaga yang demikian dahsyatnya. Juga Ki Klabangkolo memejamkan
kedua mata dan mengerahkan tenaga saktinya.
Tubuh Resi Wisangkolo terdorong jauh ke belakang dan terhuyung-huyung. Wajahnya
pucat dan napasnya terengah engah. Masih untung baginya bahwa tadi Priyadi hanya
menyambut dan menahan serangannya saja. Pemuda itu tidak menggunakan ajiannya
untuk menyerang maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan
tidak mengalami luka berat dalam dadanya.
Setelah dapat menguasai dirinya, Resi Wisangkolo mengangkat kedua tangannya ke
atas dan memuji. "Anak mas Priyadi, engkau hebat! Aku harus mengakui bahwa engkau
memang pantas untuk menjadi sekutuku dan bekerja sama denganku. Kesaktianmu
sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dengan bekerja sama kita akan mampu
menaklukkan apa saja "
"Bagus! Engkau telah lulus ujian kami, anak mas Priyadi. Duduklah dan mari kita bicara
baik-baik. Sebenarnya, apakah rencanamu maka engkau mengajak kami untuk bekerja
sama" Sekarsih belum menjelaskan segara terperinci kepada kami." Ki Klabangkolo
berkata dan mempersilakan Priyadi Untuk duduk. Mereka membetulkan lagi letak meja
dan bangku yang tadi terlempar berserakan dan mereka berempat duduk menghadapi
meja. "Ahak mas Priyadi. Perguruan Jatikusumo bermusuhan dengan kami. Bagaimana
mungkin sekarang engkau mengajak kami untuk bekerja sama?" tanya Resi Wisangkolo
sambil menatap wajah pemuda itu dengan rasa kagum dan hormat.
"Inilah yang akan kubicarakan, Paman Resi dan Paman Klabangkolo. Setelah paman,
berdua menerima usulku untuk bekerja sama, maka pertama-tama yang kulakukan
adalah merampas kedudukan ketua di Jatikusumo." "Apa" Engkau hendak menentang
dan melawan gurumu sendiri, Bhagawan Sindusakti?" tanya Ki Klabangkolo dengan kaget
dan heran. Biarpun dia tergolong tokoh sesat, akan tetapi mendengar ada murid
hendak menentang dan melawan gurunya sendiri, dia merasa heran dan terkejut.
BAGIAN 41 "Aku akan minta secara baik baik agar Bapa Bhagawan Sindusakti mengundurkan diri
sebagai ketua Jatikusumo dan menyerahkan kedudukan ketua kepadaku. Kalau dia
menolak, apa boleh buat, aku akan mempergunakan kekerasan. Untuk gerakan ini, aku
akan mendapat bantuan Paman Bhagawan Jaladara dan para pembantunya dan
sekarang, aku mengharapkan paman berdua juga akan suka membantuku. Kalau aku
sudah menjadi ketua Jatikusumo, kita bersama memperluas kekuasaan dengan
menundukkan perkumpulan-perkumpulan lain sehingga Jatikusumo menjadi sebuah
perkumpulan besar yang banyak cabangnya. Dengan demikian kita dapat mengumpulkan
banyak anggauta dan kemudian sekali kita kerahkan pasukan Jatikusumo untuk
membantu Kadipaten Wirosobo menggempur Mataram. Kalau gerakkan Wirosobo itu
berhasil dan Mataram dapat ditalukkan, kita semua tentu akan mendapatkan
kedudukan yang tinggi dan mulia sebagai balas jasa."
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk. Mereka belum pernah membayangkan
kemungkinan itu. Menjadi seorang pembesar yang berkuasa dan mulia! Gambaran ini
amat menarik hati mereka.
"Paman berdua tentu ingat akan kemunculan seorang pemuda bernama Sutejo.
Sesungguhnya dia masih terhitung saudara seperguruan atau sealiran dengan aku, akan
tetapi kemunculannya itu akan merupakan penghalang bagi kita. Paman berdua sudah
merasakan betapa sakti mandraguna pemuda itu. Agaknya, yang akan mampu
menandinginya hanyalah aku seorang. Kalau paman berdua membantuku, dengan mudah
kita akan dapat membunuh Sutejo. Dia adalah seorang yang setia dan mendukung
Mataram. Maka akan merupakan penghalang besar dan harus dilenyapkan."
"Kami dapat mengerti dan menghargai niatmu untuk bekerja sama, anak mas Priyadi.
Baiklah, kami siap untuk membantumu." kata Ki Klabangkolo.
"Terima kasih, paman Klabangkoko. Kalau begitu, marilah kita pergi menghadap Paman
Bhagawan Jaladara di Kadipaten Wirosobo agar paman berdua dapat berkenalan
dengan dia. Setelah itu, bersama-sama kita akan pergi ke perguruan Jatikusumo dan
aku akan merampas kedudukan sebagai ketua."
Dua orang kakek itu menyetujuinya dan berangkatlah mereka berempat menuju ke
Kadipaten Wirosobo, Tentu saja kedatangan mereka disambut gembira oleh Bhagawan
Jaladara. Dia merasa senang dan beruntung sekali mendapatkan tenaga bantuan yang
demikian tangguh seperti empat orang itu. Akan tetapi, dia belum mau menyerahkan
Pecut Bajrakirana sebelum Priyadi membuktikan kesanggupannya untuk merampas
kedudukan ketua perguruan Jatikusumo. Dia lalu mengajak Ki Warok Petak, Ki Baka
Kroda, dan juga Tumenggung Janurmendo untuk bersama empat orang itu pergi menuju
ke perguruan Jatikusumo di tepi daerah Pacitan, di tepi Laut Kidul.
******* Bhagawan Sindusakti duduk bersila diatas dipan yang berada di ruangan depan
rumahnya. Kakek yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun dan rambut dan
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jenggotnya sudah putih semua itu tampak termenung dan murung sehingga dia tampak
lebih tua dari pada biasanya. Agaknya ada sesuatu yang diresahkan ketua perguruan
Jatikusumo itu.
Seorang pemuda tanggung yang menjadi murid Jatikusumo, juga yang bertugas sebagai
pembantu ramah tangga, datang membawa baki terisi poci dan cangkir minuman air
teh. Dengan sikap hormat dia menaruh poci dan cangkir itu ke atas meja kecil di dekat
dipan. "Bapa Guru, silakan minum teh." katanya dengan hormat.
Bhagawan Sindusakti melambaikan tangan. "Pergilah mencari kakak-kakakmu Maheso
Seto, Rahmini, Priyadi dan Cangak Awu dan beritahukan kepada mereka bahwa aku
memanggil mereka untuk menghadap sekarang juga."
"Baik, Bapa Garu." kata pemuda remaja itu yang segera keluar dari ruangan itu untuk
melaksanakan perintah gurunya.
Tak lama kemudian Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu memasuki ruangan itu dan
mereka lalu berlutut di depan guru mereka, menyembah dan duduk bersila di atas
lantai. "Bapa Guru memanggil kami?" tanya Maheso Seto dengan hormat.
"Perintah apakah yang hendak Bapa Guru berikan kepada kami" Kami siap untuk
melaksanakan perintah Bapa Guru." kata Cangak Awu yang suaranya lantang.
Bhagawan Sindusakti memandang kepada tiga orang muda itu, lalu bertanya dengan
suaranya yang lembut. "Mana Priyadi" Kenapa aku tidak melihat dia datang menghadap
bersama kalian bertiga?"
"Bapa Guru, Kakang Priyadi sudah ada sepakan ini pergi meninggalkan perkampungan
kita." kata Cangak Awu.
"Hemm, pergi" Ke mana dia pergi" Kenapa dia tidak pamit kepadaku?" Bhagawan
Sindusakti bertanya heran. Priyadi merupakan murid yang disayangnya, dan biasanya
pemuda yang lembut wataknya itu amat berbakti, ke manapun dia pergi tentu pamit
dan minta ijin dulu darinya. "Bapa Guru, Adi Priyadi pergi tanpa pamit. Kami semua juga
tidak tahu ke mana dia pergi dan mengapa pula sampai sepekan lamanya dia belum juga
pulang. Akan tetapi, ada urusan apakah yang hendak Bapa perintahkan kepada kami"
Kami bertigapun kiranya sudah cukup untuk dapat melaksanakan perintah bapa." kata
Maheso Seto. Sang Bhagawan menghela napas panjang. "Aku hanya ingin mengajak kalian untuk
bercakap-cakap. Hatiku selalu merasa tidak enak dan resah setelah peristiwa
penyerbuan Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo tempo hari. Aku tidak memikirkan
mereka berdua yang telah dipukul mundur oleh Sutejo, akan tetapi justeru kemunculan
Sutejolah yang membuat hatiku resah. Apa yang diceritakan tentang Adi Bhagawan
Jaladara benar-benar membuatku merasa bingung dan khawatir. Cerita Sutejo dan Adi
Jaladara saling bertentangan. Lalu siapa di antara mereka itu yang bicara benar?"
"Memang sukar mengambil keputusan mana yang bicara benar, Bapa Guru. Mereka
berdua saling menuduh sebagai pembunuh Eyang Resi Limut Manik. Akan tetapi, yang
jelas mereka berdua itu berpihak kepada dua kekuasaan yang saling bermusuhan. Adi
Sutejo berpihak kepada Mataram dan sebaliknya Paman Bhagawan Jaladara berpihak
kepada Kadipaten Wirosobo. Sikap Adi Sutejo yang mati-matian membela Jatikusumo
ketika kita diserbu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo membuat hati kami para murid
condong mempercayai Adi Sutejo. Akan tetapi tentu saja kami menyerahkan
keputusannya kepada Bapa Guru. Bagaimana kalau menurut pendapat Bapa Guru?"
Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang. "Sejak semula aku memang sudah curiga
kepada Adi Bhagawan Jaladara. Aku sukar untuk mempercayai bahwa Nini Puteri
Wandansari tega mengeroyok dan membunuh Bapa Guru Resi Limut Manik. Pula, aku
ingat benar bahwa biarpun Bapa Garu Limut Manik tidak turun tangan sendiri membela
Mataram, namun dalam hatinya beliau setia terhadap Mataram. Maka, rasanya tidak
mungkin kalau Puteri Wandansari dan Sutejo yang jelas membela Mataram itu
membunuhnya. Sebaliknya, Adi Bhagawan Jaladara adalah seorang yang menghambakan
dirinya kepada Kadipaten Wirosobo maka lebih masuk akal kalau dia yang melakukan
pengeroyokan dan pembunuhan terhadap Bapa Resi Limut Manik."
"Kalau saya lebih condong untuk membenarkan Adi Sutejo, Bapa Guru. Kalaupun dia
tidak mau menyerahkan kitab Bajrakirana kepada Bapa, hal itu tentu karena dia
menaati pesan terakhir dari Eyang Resi limut Manik, Sutejo sudah membuktikan bahwa
dia membela kita, membela Jatikusumo. Kalau dia mempunyai hati yang memusuhi
Jatikusumo, tentu dia tidak akan mempertaruhkan nyawa untuk membela Jatikusumo
menghadapi Resi Wisangkolo yang demikian sakti mandraguna dan berbahaya." kata
Cangak Awu. "Saya juga berpendapat seperti Adi Cangak Awu, Bapa Guru. Rasanya sama sekali,
tidak dapat dipercaya kalau Diajeng Puteri Wandansari dan Sutejo mengeroyok dan
membunuh Eyang Resi Limut Manik." kata Rahmini.
Bhagawan Sindusakti menghela napas panjang.
"Pendapat kalian memang sejalan dengan apa yang kupikirkan. Akan tetapi kita tidak
mempunyai bukti-bukti yang menunjukkan siapa sebetulnya yang telah membunuh Adi
Bhagawan Sidik Paningal dan Bapa Resi Limut Manik. Sebaiknya kita tunggu saja untuk
membuktikan apakah benar Adi bhagawan Jaladara akan menyerahkan Pecut Sakti
Bajrakirana kepadaku,"
Pada saat itu, seorang murid muda tergopoh-gopoh memasuki ruangan itu dan berkata,
"Bapa Guru, ampunkan kalau saya mengganggu. Akan tetapi saya hendak melaporkan
peristiwa yang amat aneh dan membingungkan."
"Cepat katakan, apa yang hendak kaulaporkan?" kata Bhagawan Sindusakti dengan
lembut walaupun alisnya berkerut mendengar ucapan murid muda itu.
"Kakang Priyadi datang bersama serombongan orang, di antaranya terdapat Paman
Bhagawan Jaladara dan dua orang kakek yang tempo hari datang menyerbu ke sini,
yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo!"
Bhagawan Sindusakti dan para muridnya terbelalak, berloncatan bangkit dan Bhagawan
Sindusakti berkata kepada murid-muridnya.
"Kalian tenanglah, akan tetapi harus waspada dan mari kita bersama keluar untuk
melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi."
Dengan sikap tenang Bhagawan Sindusakti melangkah keluar dari ruangan itu, diikuti
oleh Maheso Seto, Rahmini, dan Cangak Awu. Karena khawatir akan terjadi hal-hal
yang buruk, mereka tidak lupa mempersiapkan senjata masing-masing.
Mereka melihat Priyadi sudah berdiri di pekarangan yang luas itu, berdiri dengan
tegak dan dibelakangnya berdiri Bhagawan Jaladara, Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda.
Tumenggung Janurmendo, Ki Klabangkolo, Sekarsih dan Resi Wisangkolo! Melihat adik
seperguruannya, Bhagawan Sindusakti lalu menegurnya.
"Kiranya Adi Bhagawan Jaladara yang datang. Keperluan apakah gerangan yang andika
bawa datang ke sini?" Sambil bertanya, ketua Jatikusumo itu memandang ke arah Ki
Klabangkolo, dan Resi Wisangkolo, akan tetapi kedua kakek itu hanya tersenyumsenyum saja, berdiri di belakang Priyadi, tidak bersikap sebagai pimpinan.
Bhagawan Jaladara tersenyum. "Kakang Bhagawan Sindusakti. Ketahuilah bahwa kami
semua ini datang hanya untuk mengantarkan anak mas Priyadi yang, hendak bicara
denganmu."
Mendengar ucapan adik seperguruannya ini tentu saja Bhagawan Sindusakti menjadi
heran sekali dan otomatis pandang matanya kini menyambar ke arah muridnya. Akan
tetapi Priyadi menyambut tatapan mata gurunya itu dengan berani, dan sinar
matanyapun mencorong penuh tantangan, sedikitpun tidak ada sikap menghormat
kepada gurunya itu.
"Priyadi! Apa maksudmu" Apa yang hendak kau bicarakan dengan aku dan kalau hendak
bicara, kenapa kita tidak bicara di dalam saja?" Bhagawan Sindusakti masih mengira
bahwa mungkin muridnya itu menjadi tawanan rombongan orang itu dan kini dipaksa
untuk menghadapnya. Akan tetapi sikap Priyadi bukan seperti seorang tawanan, bahkan
dia tersenyum sinis. Pemuda itu bahkan tidak menjawab pertanyaan gurunya, melainkan
menoleh kepada Bhagawan Jaladara dan mengulurkan tangan kanannya.
"Paman, kini tiba saatnya paman menyerahkan Pecut Bajrakirana kepadaku!"
Bhagawan Jaladara juga masih tersenyum dan kini tanpa ragu-ragu dia melolos
sebatang pecut yang tadinya dilibatkan melingkari pinggangnya dan menyerahkan pecut
itu kepada Priyadi. Itulah Pecut Sakti Bajrakirana! Tentu saja Bhagawan Sindusakti
menjadi semakin heran melihat betapa Bhagawan Jaladara menyerahkan pecut pusaka
itu kepada Priyadi. Kini Priyadi memegang pecut pusaka itu dan mengangkatnya tinggitinggi di atas kepalanya. Dia memandang kepada Bhagawan Sindusakti, para muridnya
dan semua anggauta Jatikusumo yang telah berdatangan dan berkumpul di situ. Kurang
lebih lima puluh orang murid Jatikusumo berdiri di belakang Bhagawan Sindusakti.
"Bhagawan Sindusakti dan kalian semua murid-murid Jatikusumo!" terdengar Priyadi
yang biasanya bicara lembut itu kini berseru lantang.
"Lihatlah kalian apa yang kupegang ini!" Akulah kini pemegang dan pemilik Pecut Sakti
Bajrakirana dan aku yang berkuasa di Jatikusumo. Sebagai murid-murid Jatikusumo
yang taat akan peraturan, aku perintahkan kalian semua berlutut menghormat Pecut
Sakti Bajrakirana!"
"Priyadi!" Suara Bhagawan Sindusakti yang biasanya lembut itu kini terdengar keras
membentak penuh kemarahan dan juga keheranan. "Apakah engkau sudah menjadi gila"
Apa yang kau lakukan ini dan apa maksudmu?"
Karena melihat betapa Bhagawan Sindusakti tidak menjatuhkan diri berlutut menaati
perintah yang keluar dari mulut Priyadi, maka semua murid Jatikusumo juga tidak ada
yang berlutut. "Maksudku. Bhagawan Sindusakti, bahwa mulai saat ini, akulah sebagai pemegang Pecut
Sakti Bajrakirana yang berhak menjadi ketua Jatikusumo. Engkau harus mengundurkan
diri dan kalau engkau dan semua murid Jatikusumo suka membantu aku, maka kalian
semua akan diampuni dan selanjutnya menaati perintahku. Siapa yang membangkang
dan melawan akan mati!"
Kemarahan Bhagawan Sindusakti memuncak.
"Engkau murid murtad, murid durhakn, jahanam keparat yang terkutuk!" bentaknya
dan dia sudah menerjang kepada muridnya itu dengan maksud untuk marampas Pecut
Bajrakjrarja yang berada di tangan Priyadi. Akan tetapi Priyadi menyambut terjangan
gurunya itu dengan tendangan kaki kirinya yang mencuat dengan cepat dan kuat sekali
menyambar ke arah dada sang bhagawan.
Bhagawan Sindusakti terkejut melihat perlawanan muridnya dan cepat tangan kirinya
membuat gerakan memutar untuk menangkis tendangan itu.
"Plakk!"
Tendangan itu dapat tertangkis akan tetapi Bhagawan Sindusakti kaget ketika merasa
betapa lengannya tergetar hebat, tanda bahwa tenaga yang terkandung dalam
tendangan muridnya yang ketiga itu amat kuatnya. Dia kini yakin bahwa muridnya itu
benar-benar hendak melawannya, maka diapun lalu mengerahkan tenaganya dan
menyerang dengan sungguh-sungguh untuk merobohkan murid yang murtad itu. Dia
mengerahkan Aji Harina Legawa sehingga tubuhnya berkelebatan seperti bayangbayang cepatnya dan gerakan kedua tangannya mengandung Aji Gelap Musti yang
dahsyat dan mematikan!
Maheso Seto. Rahmini dan Cangak Awu hanya menonton melihat guru mereka hendak
menghajar Priyadi yang mereka anggap kurang ajar dan murtad itu. Mereka merasa
pasti bahwa guru mereka akan segera dapat merobohkan Priyadi dan merampas Pecut
Sakti Bajrakirana, dan mereka hanya berjaga-jaga kalau-kalau ada peserta rombongan
itu yang akan membantu Priyadi Akan tetapi para peserta rombongan yang datang itu
tidak ada yang bergerak membantu Priyadi, bahkan mereka menonton sambil
tersenyum menyeringai. Para murid Jatikusumo ini menjadi amat heran dan terkejut
ketika melihat betapa Priyadi melawan guru mereka dengan gerakan yang sama, akan
tetapi betapa gerakan Priyadi itu amat cepatnya melebihi kecepatan gerakan guru
mereka. Juga mereka melihat betapa setiap kali dua lengan mereka yang bertanding
itu saling bertemu, mereka melihat Bhagawan Sindusakti terdorong mundur dan
terhuyung, tanda yang jelas menyatakan bahwa tenaga sakti Priyadi jauh lebih kuat
dari tenaga gurunya!
Yang paling kaget dan merasa penasaran adalah Bhagawan Sindusakti sendiri. Semua
ilmu yang dikuasai Priyadi adalah karena gemblengannya. Bagaimana mungkin kini dia
kalah cepat dan kalah kuat dibandingkan murid ke tiga itu" Dan dari serangan yang dia
lakukan terhadap Priyadi, yang semua dapat dipunahkan pemuda itu dengan elakan atau
tangkisan, tahulah dia bahwa muridnya itu. entah secara bagaimana, telah dapat
memperoleh kemajuan yssg pesat sekali.
"Tar-tar-tar!" Tiga kali pecut pusaka itu menyambar ke arah kepala Bhagawan
Sindusakti dan ketua Jatikusumo ini cepat mengelak secara beruntun, membebaskan
diri dari ancaman serangan pecut
yang amat berbahaya itu. Kini tahulah dia bahwa Priyadi bersungguh-sungguh dalam
membalas serangannya. Jelas bahwa lecutan dengan pecut itu merupakan serangan
maut dan yang dapat mematikan. Karena itu, bangkit amarahnya dan Bhagawan
Sindusakti lalu menyerang dengan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Gelap Musti!
"Murid durhaka, engkau patut dienyahkan dari muka bumi!" bentaknya dan diapun
mendorongkan kedua tangannya ke arah dada Priyadi dengan Aji Gelap Musti, dengan
pengerahan tenaga sekuatnya. Akan tetapi, Priyadi menyambut pukulan kedua, tangan
gurunya itu dengan tangan kirinya saja, sambil mengerahkan tenaga Aji Margopati.
"Wuuuutttt..... blaarrrr.....Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan
akibatnya, tubuh Bhagawan Sindusakti terjengkang. Sebelum kepala kakek itu
terbanting dan membentur tanah, tiba-tiba Priyadi menggerakkan Pecut Bajrakirana.
"Tarrrr..... tarrrr......!" Dua kali pecut itu menyambar dan ujungnya melecut ke arah
kepala Bhagawan Sindusakti yang sedang terjengkang, sekali mengenai ubun-ubun
kepalanya dan yang kedua kalinya mengenai tengkuknya. Tubuh sang bhagawan itu
terbanting roboh dan dia tidak dapat bergerak lagi karena dua kali lecutan pecut sakti
itu telah merenggut nyawanya!
Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah nya tiga orang murid kepala Jatikusumo.
Sekali pandang saja mereka dapat menduga bahwa guru mereka telah tewas oleh
Priyadi. "Murid durhaka!!" teriak Mahesa Seto dan dia sudah mencabut pedangnyan dan
menyerang Priyadi dengan ganas, penuh dendam dan kemarahan.
"Jahanam busuk!!" Rahmini juga menjerit dan iapun sudah melolos cambuknya dan
terdengar bunyi meledak-ledak ketika cambuknya menyerang Priyadi dengan dahsyat
pula. "Manusia iblis!" Cangak Awu juga membentak dan orang tinggi besar ini sudah maju
sambil menggerakkan tongkatnya menyerang.
Melihat guru mereka tewas dan tiga orang murid kepala itu sudah mulai maju
menyerang, kurang lebih lima puluh orang murid atau anggauta perguruan Jatikusumo
itu serentak maju dengan bermacam senjata di tangan, menyerang rombongan orang
yang datang bersama Priyadi itu.
Resi Wisangkolo yang melihat Priyadi memutar pecut sakti itu untuk menangkis
serangan tiga orang murid kepala Jatikusumo, lalu menggerakkan tongkat hitamnya
membantu Priyadi. Dia segera berhadapan dengan Maheso Seto yang bersenjata
pedang dan mereka sudah bertanding dengan seru. Priyadi dikeroyok dua oleh Rahmini
dan Cagak Awu. Akan tetapi Cangak Awu segera di sambut oleh Ki Klabangkolo yang
juga membantu Priyadi.
Puluhan orang anak buah Jatikusumo itu diamuk oleh Bhagawan Jaladara yanj dibantu
Ki Warok Petak, Ki Baka Kroda, Tumenggung Janurwendo dan Sekarsih. Lima orang ini
adalah orang orang yang memiliki kesaktian, maka puluhan orang anak buah Jatikusumo
menjadi kocar kacir diamuk mereka.
Pertandingan antara Maheso Seto yang melawan Resi Wisangkolo juga berat sebelah
Maheso Seto maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Resi Wisangkolo akan
tetapi dia sudah menjadi nekat oleh dendam dan kemarahan melihat gurunya tewas
Maka dia melawan sambil mengeluarkan seluruh kemampuannya dan mengerahkan
seluruh tenaganya. Namun, bagaimanapun juga, tingkatnya menang kalah jauh
dibandingkan tingkat yang dimiliki Resi Wisangkolo, maka setelah nekat melawan
selama kurang lebih lima puluh jurus, tongkat ular hitam di tangan Resi Wisangkolo
menyambar dahsyat. Maheso Seto mengerahkan tenaga dan menangkis dengan
pedangnya. "Wuuuttt......trakkkk......!" Pedang itu patah menjadi tiga potong dan selagi tubuh
Maheso Seto terhuyung, tongkat ular hitam sudah berubah menjadi sinar hitam yang
menyambar ke arah kepala. "Wuuuuttt...... praakkk....!!" Tubuh Maheso Seto terguling
dan dia tawas seketika dengan kepala pecah.
Ki Klabangkolo juga merupakan lawan yang terlampau kuat bagi Cangak Awu. Ketika
Cangak Awu melihat robohnya Maheso Seto, dia maklum bahwa tidak ada harapan bagi
pihak perguruan Jatikusumo yang menang. Dia menghantamkan tongkatnya ke arah
lawan. Ki Klabangkolo terkekeh, menyambut hantaman tongkat itu dengan lengan
kanannya. "Dukkkk......!" Tongkat di tangan Cangak Awu terpental dan sebuah tendangan kaki Ki
Klabangkolo mengenal perut Cangak Awu yang membuat tubuh pemuda tinggi besar itu
terpental jauh. Untung dia masih sempat mengerahkan aji kekebalan Kawoco sehingga
di dalam perutnya tidak sampai menderita luka.
"Bukk......!" Dia terbanting keras dan melihat para murid atau anggauta Jatikusumo
banyak yang sudah bergelimpangan tewas, Cangak Awu menjadi putus asa dan diapun
segera melarikan diri karena maklum bahwa melawan terus sama dengan bunuh diri.
Rahmini masih melawan Priyadi dengan nekat. Kedua orang saudara seperguruan ini
sama-sama mempergunakan cambuk, akan tetapi kalau cambuk, di tangan Rahmini
adalah senjata biasa, sebaliknya, di tangan priyadi terpegang pecut sakti Bajrakirana!
Kalau Priyadi menghendaki, kiranya wanita cantik itu tidak akan mampu bertahan
terlalu lama. Akan tetapi agaknya Priyadi tidak ingin segera merobohkan Rahmini.
Semenjak batinnya menjadi budak nafsu berahi, Priyadi memandang mbakayu
seperguruannya ini dengan pandang mata lain! Kalau tadinya ia memandang wanita ini
dengan rasa hormat dan sayang sebagai saudara, kini dia melihat kecantikan dan
kemolekan yang dimiliki Rahmini, yang menggelitik nafsunya! Karena inilah maka dia
tidak ingin membunuh Rahmini, melainkan ingin mempermainkan kakak seperguruan
yang cantik ini.
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mbakayu Rahmini, engkau menyerah sajalah kepadaku dan hidup senang bersamaku!"
berulang kali Priyadi membujuk dengan kata-kata manis merayu. Akan tetapi dengan
air mata bercucuran di sepanjang kedua pipinya katena melihat suaminya telah roboh
dan tewas. Rahmini tidak menjawab, melainkan menyerang lebih ganas lagi dan matimatian, tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Yang ada dalam hatinya hanya
satu keinginan, yakni membunuh adik seperguruan yang murtad dan jahat sekali itu.
"Tar-tarr......" Ujung pecut Bajrakirana melecut dengan kecepatan kilat memagut
tubuh Rahmini, "Brett-brettt...." Pakaian Rahmini di bagian dada dan pinggang terobek
oleh lecutan Pecut Bajrakirana sehingga tampaklah kulit di balik robekan kain penutup
tubuh itu. Rahmini terkejut sekali, akan tetapi ia tidak memperdulikan bajunya yang
cabik-cabik dan menyerang terus semakin ganas. Namun semua serangannya dapat
dielakkan atau ditangkis dengan mudahnya oleh Priyadi yang kini makin sering
menyerang dengan lecutan ujung pecutnya.
"Tar-tar-tat-tarrr......!" Kembali ujung pecut itu merobek pakaian Rahmini sehingga kini
dadanya tidak terlindung lagi! Rahmini menggunakan tangan kirinya untuk menutupkan
robekan kain pada dadanya dan terus melancarkan serangan cambuknya dengan tangan
kanan. Namun semua usahanya sia-sia belaka. Ujung pecut Bajrakirana masih menarinari dan pakaiannya dicabik-cabik sedikit demi sedikit sehingga ia perlahan-lahan
ditelanjangi. Kini perutnya juga sudah tidak terlindung lagi dan pahanya juga sudah
tampak. Rahmini mulai kebingungan dan merasa terhina sekali. Ia tahu bahwa ia
sengaja hendak dipermalukan dan keadaannya akan lebih mengerikan dari pada mati.
Ketika lecutan pecut bajrakirana merenggut kain yang terakhir Sebagai penutup
tubuhnya, Rahmini melompat ke dekat mayat suaminya, lalu membalikkan gagang
cambuknya dan memukul ubun-ubunnya sendiri dengan gagang cambuknya.
"Prakk..." Ubun-ubun kepalanya pecah dan tubuh yang sudah hampir telanjang bulat itu
terkulai roboh menindih mayat Maheso Seto.
Melihat ini, Priyadi sejenak tercengang, akan tetapi dia lalu mengangkat mukanya
memandang para murid Jatikusumo yang masih diamuk oleh lima orang rekannya, lalu
berseru lantang. "Para murid Jatikusumo! Siapa menyerah akan diampuni dan yang
melawan akan dibunuh!"
Akan tetapi, para anggauta Jatikusumo yang melihat betapa guru dan para murid
kepala sudah tewas, tidak ada yang mau bertekuk lutut menyerah. Mereka melarikan
diri cerai berai, tidak sudi dijadikan anak buah Priyadi yang durhaka dan kejam. Kurang
lebih tiga puluh orang murid Jatikusumo tewas dalam pertempuran ini dan selebihnya
melarikan diri cerai berai meninggalkan perkampungan Jatikusumo.
Tertegun juga hati Priyadi melihat kenyataan ini. Dia telah mengangkat diri sendiri
menjadi ketua perguruan Jatikusumo, akan tetapi di situ tidak ada seorangpun
anggauta Jatikusumo! Bagaimana mungkin dia dapat menjadi ketua perkumpulan yang
tidak ada anggautanya seorangpun" Ternyata tidak ada seorangpun bekas murid
Jatikusumo yang mau menyerah kepadanya. Dia telah menjadi ketua baru Jatikusumo
yang memegang Pecut Bajrakirana yang merupakan pusaka perguruan Jatikasumo, akan
tetapi tanpa anggauta. Bagaikan seorang raja tanpa seorangpun rakyatnya!
BAGIAN 42 Melihat ini, Bhagawan Jaladara yang mengerti apa yang terkandung dalam hati Priyadi
yang berwajah muram, tertawa dan berkata, "Ha- ha-ha, anak mas Priyadi. Jangan
kecewa dan jangan gelisah Ada baiknya kalau seluruh anggauta Jatikusumo pergi dari
sini sehingga tidak ada di antara mereka yang mengandung dendam di hati tinggal di
sini. Engkau dapat menghimpun anggauta baru yang lebih dapat dipercaya. Jangan
khawatir, aku akan mengirim beratus orang-orang muda dari Kadipaten Wirosobo
untuk menjadi anggauta Jatikusumo yang baru!"
"Aku juga akan membantumu mengumpulkan anggauta baru, Priyadi. Kita kumpulkan
orang-orang muda, laki-laki dan wanita yang kita gembleng dan latih sehingga menjadi
pasukan Jatikusumo yang tangguh." kata Sekarsih menghibur. Wanita ini merasa
girang sekali melibat betapa langkah-langkah pertama yang diambil Priyadi menuju ke
tercapainya cita-cita telah berhasil dengan baik.
"Aku juga mempunyai dua puluhan orang pengikut dan aku dapat membawa mereka ke
sini untuk menjadi anggauta Jatikusumo, anak mas Priyadi." kata pula Ki Klabangkolo
yang juga girang melihat keberhasilan Priyadi mengangkat diri menjadi ketua
Jatikusumo. Dia merasa senang bekerja sama dengan pemuda yang ternyata sakti
mandraguna itu.
Mendengar ucapan para sekutunya itu, tentu saja hati Priyadi menjadi girang sekali.
"Terima kasih, aku akan menerima semua anak buah itu dan akan menggembleng
mereka sehingga Jatikusumo memiliki sebuah pasukan istimewa yang dapat
diandalkan."
Janji Bhagawan Jaladara, Ki Klabangkolo dan Sekarsis itu segera dipenuhi dan tak
lama kemudian, perkampungan Jatikusumo kembali menjadi ramai, bahkan kini memiliki
anak buah yang jauh lebih banyak lagi. Kalau dahulu jumlah anak buah Jatikusumo
hanya kurang lebih lima puluh orang jumlahnya, kini anak buah yang dipimpin Priyadi
berjumlah hampir seratus lima puluh orang ! Mulailah Priyadi membentuk dan
menggembleng pasukannya, dibantu dengan setia oleh Sekarsih.
****** Cangak Awu melarikan diri dengan menahan rasa nyeri. Biarpun tadi dia sudah
mengerahkan aji kekebalannya ketika Ki Klabangkolo menendang perutnya, namun tetap
saja tendangan yang amat kuatnya itu mengguncangkan isi perutnya dan dia merasa
nyeri. Dengan menahan rasa nyeri dia melarikan diri. Akan tetapi hatinya lebih nyeri
lagi. Dia melihat tadi betapa gurunya, Bhagawan Sindusakti dan kakak seperguruannya,
Maheso Meto, telah tewas. Demikian pula banyak murid Jatikusumo bergelimpangan.
Dia terpaksa melarikan diri karena dia tahu benar bahwa kalau dia melawan terus,
diapun akan mati. Bukan sekali-kali dia berjiwa pengecut dan takut mati. Akan tetapi
kalau dia mati pu!a, lalu siapa yang akan membalaskan sakit hati itu kelak" Dia harus
hidup agar kelak dapat membalas dendam sakit hati yang besar ini kepada Priyadi! Dia
melarikan diri terus tanpa hentinya, khawatir kalau-kalau Priyadi dan kawan-kawannya
itu akan mengejarnya. Sehari semalam Cangak Awu terus berlari tanpa henti dan pada
keesokan harinya, pagi-pagi tibalah dia di tepi sebuah kali yang besar. Dia tidak tahu
bahwa dia telah tiba di tepi Bengawan Solo yang airnya penuh karena semalam di
daerah hulu sungai turun hujan lebat. Airnya kemerahan bercampur lumpur. Cangak
Awu sudah tidak dapat menahan rasa nyeri dan lelahnya lagi. Dia terkulai lemas di tepi
sungai itu, di atas rumput yang tebal dalam keadaan setengah pingsan. Dia rebah
menelentangkan dirinya dan mengeluh lirih. Perutnya terasa nyeri dan kepalanya
pening. Ketika dia teringat akan peristiwa yang terjadi di perkampungan Jatikusumo,
membayangkan gurunya dan kakak seperguruannya, juga saudara-saudara
seperguruannya yang banyak jumlahnya bergelimpangan tewas, dia mengeluh lagi dan
tak tertahankan lagi dia menangis, merasa hatinya seperti diremas-remas! Dia lalu
teringat betapa dia terpaksa harus melarikan diri meninggalkan semua penghuni
perkampungan Jatikusumo yang dibantai, tanpa berdaya menolong mereka dan
tangisnya membuat dia sesenggukan dan hatinya seperti ditusuk rasanya. Cangak Awu
mengeluh dan jatuh pingsan, tidak kuat menahan siksa dalam hatinya.
Cahaya matahari pagi menyinari muka Cangak Awu yang masih pingsan. Muka itu pucat.
Tiba-tiba wajah yang disinari matahari pagi itu tertutup bayang-bayang hitam.
Seorang wanita menghampirinya dan bayangan wanita inilah yang menutupi wajah
Cangak Awu. Wanita muda itu seorang gadis yang manis sekali dengan kulit tubuh agak kehitaman,
hitam manis. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun, tubuhnya padat ramping dan
gerak geriknya gesit! Ia seorang gadis yang pemberani. Kalau gadis lain melihat
seorang pria seperti mati atau tidur di situ tentu akan menjauhkan diri. Akan tetapi
gadis ini malah menghampiri dan mengamati wajah laki-laki itu penuh perhatian.
"Matikah dia....?" Gadis itu menggumam seorang diri. Akan tetapi ia lalu melihat bahwa
dada laki-laki itu masih bernapas, walaupun pernapasan itu lemah sekali, dan di atas
kedua pipi yang pucat itu masih terdapat butir-butir air mata!
"Tertidurkah dia" Kenapa ada orang tidur di atas rumput basah seperti ini?" kembali
gadis itu bicara seorang diri. Lalu ia melihat betapa baju dan celana laki-laki itu cabikcabik. "Ki sanak, bangunlah. Kenapa engkau tidur di sini?" Gadis itu menyentuh pundak Cangak
Awu dan mengguncang-guncangnya. Pundak dan kepala itu ikut bergoyang-goyang, akan
tetapi Cangak Awu yang pingsan tidak dapat terbangun. Setelah mengguncang lebih
keras dan tetap saja Cangak Awu tidak terbangun, gadis itu mengerutkan alisnya yang
kecil hitam dan panjang melengkung, dan mengamati wajah Cangak Awu dengan
seksama. "Ah, jangan-jangan orang ini pingsan!" gumamnya. Jari telunjuk kanannya lalu
digerakkan menotok bawah hidung Cangak Awu, di atas bibir bagian atas bagian
tengahnya, lalu menepuk tengkuk pemuda itu beberapa kali. Terdengar Cangak Awu
mengeluh lirih, pertanda bahwa dia telah siuman dari pingsannya. Gadis itu cepat
berdiri dan mundur beberapa langkah.
Cangak Awu membuka kedua matanya dan otomatis dia menggerakkan kedua tangannya
untuk melindungi matanya yang tertimpa sinar matahari pagi sehingga dia menjadi
silau. Ketika pandang matanya menyapu ke sekelilingnya, dia melihat seorang gadis
yang berdiri tak Jauh dari situ, sedang memandangnya. Cangak Awu terkejut dan
segera mengira bahwa wanita ini tentu seorang di antara kawan-kawan Priyadi karena
dia melihat ada seorang wanita cantik datang bersama Priyadi ketika rombongan itu
datang menyerbu Jatikusumo. Teringat akan ini, sekali bergerak tubuhnya sudah
meloncat bangun dan berdiri menghadapi gadis itu. Dia berdiri tegak dengan kedua
tangan siap di pinggang, siap menghadapi serangan dan sepasang matanya menatap
tajam wajah gadis hitam manis itu.
Akan tetapi gadis itu tersenyum melihat sikap Cangak Awu yang seperti menghadapi
seorang musuh itu.
"Siapakah engkau?"
"Siapakah engkau?" Pertanyaan yang serupa itu keluar dari dua mulut hampir
bersamaan sehingga suasana menjadi lucu. Akan tetapi karena Cangak Awu tetap
mengira bahwa wanita itu tentu seorang musuh, dia tidak merasa lucu. Gadis itu yang
tertawa, menyembunyikan mulutnya di balik punggung tangannya.
Pada saat itu terdengar gerakan orang di belakangnya. Cangak Awu cepat memutar
tubuhnya dan dia melihat belasan orang laki-laki kasar telah berdiri di hadapannya
dengan sikap mengancam! Semakin keras dugaannya bahwa wanita hitam manis itu
tentulah seorang musuh dan belasan orang ini tentu anak buahnya! Maka dia menjadi
marah sekali siap untuk mengamuk.
"Kalian mau apa!" bentaknya, ditujukan kepada belasan orang itu, juga kepada wanita
hitam manis tadi.
Seorang di antara belasan orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh
brewok, melangkah maju menghadapi Cangak Awu dan tertawa bergelak sambil
mencabut golok dari pinggangnya dan mengamangkan golok itu kepada Cangak Awu.
"Ha-ha-ha-ha, orang muda. Kalau engkau menghadiahkan gadis manis ini kepada kami,
kami akan mengampunimu dan engkau boleh pergi dari sini tanpa kami ganggu. Nah,
pergilah sebelum aku mengubah pikiranku!"
Cangak Awu terkejut. Tahulah dia kini bahwa gadis manis itu sama sekali bukan kawankawan belasan orang itu. Dia menoleh dan memandang heran. Gadis itu sama sekali
tidak tampak ketakutan, bahkan tersenyum manis! Padahal, biasanya seorang gadis
yang melihat belasan orang laki-laki kasar yang jelas mempunyai sifar buruk terhadap
dirinya, akan menjadi ketakutan dan menangis!
"Kalau aku tidak mau, kalian mau apa?" tantangannya sambil membusungkan dadanya
yang bidang. "Jahanam! Kalau begitu, engkau akan kami bunuh dan gadis ini akan kami rampas!" kata
si brewok yang agaknya menjadi pimpinan gerombolan itu dan langsung saja dia sudah
menerjang maju, mengayun goloknya dan agaknya dia hendak memenggal kepala Cangak
AWU dengan sekali tebas!
"Wuuuuttt........!" Golok yang mengkilap saking tajamnya itu menyambar. Cangak Awu
mengelak dengan mudah dan golok itu luput tidak mengenai sasarannya.
Si brewok menjadi penasaran dan marah sekali. Dia mengayun balik goloknya yang kini
menyambar ke arah pinggang Cangak Awu, agaknya dia hendak membabat putus tubuh
pemuda itu menjadi dua potong! Kembali Cangak Awu mengelak, akan tetapi golok itu
terus mengejarnya, dengan serangan-serangan mematikan yang cukup dahsyat.
Ternyata si brewok itu, memiliki kapandaian lumayan dan goloknya amat berbahaya.
Pada saat itu, empat orang anak buah gerombolan itu sudah menerjang dan
mengeroyok Cangak Awu dengan golok mereka! Cangak Awu yang dikeroyok lima orang
itu melompat dan bergulingan di atas tanah, ketika dia melompat bangkit lagi,
tangannya sudah memegang sebatang tongkat dari dahan pohon, yang dia temukan di
atas tanah. Pada saat itu, empat orang anak buah itu sudah menerjangnya lagi dan empat batang
golok menyambar ke arah tubah Cangak Awu dari empat jurusan. Cangak Awu tidak
menjadi gentar. Menghadapi pengeroyok itu, dia seperti melupakan rasa nyeri dalam
perutnya, sudah lupa bahwa dia telah terluka dalam yang cukup parah. Dia memutar
tongkat kayunya dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali sehingga bentuk tongkat
lenyap menjadi amat panjang yang menangkis empat batang golok itu berturut-turut.
"Trang-trang-trang-trang... ...!!" Empat batang golok itu terpental dan terlepas dari
pegangan empat orang anak buah gerombolan itu. Cangak Awu tidak berhenti sampai di
situ saja. Kedua kakinya bergantian mencuat dan menyambar ke arah empat orang
pengeroyok itu.
"Des-des-des-dess.....!" Tubuh empat orang itu berpelantingan terpental dan
terbanting ke atas tanah.
Melihat ketangguhan Cangak Awu, belasan orang itu segera menyerbu maju dan
mengeroyok. Cangak Awu tidak menjadi gentar. Bagaikan seekor banteng terluka dia
mengamuk. Tongkat kayunya diputar menyambar-nyambar dan menghalau semua
senjata tajam yang mendekatinya.
Sementara itu, si Brewok yang melihat betapa pemuda tinggi besar yang tangguh itu
sudah dikeroyok oleh semua anak buahnya, lalu menghampiri gadis hitam manis sambil
menyeringai memperlihatkan deretan gigi besar-besar yang hitam menguning.
"Heh-heh, marilah manis, ikut dengan kakangmas! Engkau akan hidup senang. Marilah
kupondong, kutimang dan kuayun ambing! Setelah berkata demikian, si Brewok tibatiba menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk merangkul. Kedua tangan itu
menyambar dari kanan kiri untuk menangkap pinggang yang kecil ramping dari gadis itu.
"Wuuuuttt.......!" Si Brewok terkejut sekali karena kedua tangannya banva menangkap
angin dan dengan gerakan yang lincah sekali gadis itu telah dapat mengelak dan
terhindar dari terkamannya. Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba dari samping gadis itu
menggerakkan kakinya yang mencuat dengan cepat sekali menyambar ke arah perut si
Brewok yang sama sekali tidak menyangka sehingga perutnya kena disambar tendangan
kaki kiri gadis itu.
"Dess......!!" Walaupun si Brewok sudah mengerahkan kekebalannya untuk melindungi
perutnya yang tertendang tadi, namun karena tendangan gadis itu mengandung tenaga
dalam yang cukup kuat tetap saja perutnya terasa mulas dan dia terhuyung ke
belakang. Bukan main marahnya si Brewok ini. Dia memberi isarat kepada sebagian
anak buahnya yang mengeroyok Cangak Awu dan empat di antara mereka lalu
membantu dia mengepung gadis itu. Dia sendiri sudah mencabut goloknya dan
menyerang kalang kabut.
Gadis itu dengan lincah melompat jauh ke belakang dan iapun melihat betapa Cangak
Awn terhuyung dikeroyok banyak orang itu. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang sakit
dan memang sesungguhnyalah demikian. Karena, andaikata Cangak Awu tidak sedang
menderita sakit di perutnya yang terkena tendangan Ki Klabangkolo, tentu saja dia
sudah mengamuk dan semua pengeroyoknya itu sudah dapat dia robohkan.
"Berhenti semua! Kalian berani mati mengganggu Nogo Dento?" teriak gadis itu yang
meloncat ke atas sebuah batu besar dan berdiri dengan tegak dan wajahnya yang
manis itu amat berwibawa.
Mendengar disebutnya Nogo Dento ini, Si Brewok dan anak buahnya terkejut dan
mereka menahan gerakan senjata mereka dan semua memandang kepada gadis itu.
"Nona .... kau....... kau siapakah" Apa hubunganmu dengan Nogo Dento?" tanya si Brewok
dengan gagap. "Aku adalah Pusposari, murid dan anak angkat dari Ki Harjodento, ketua Nogo Dento!"
jawab gadis itu.
Mendengar ini, si Brewok lalu merangkapkan kedua tangannya melakukan sembab, lalu
berkata, "Maafkan kami, nona. Kami tidak tahu......." dia lalu memberi isarat kepada kawankawannya, "Mari kita pergi!" Dan mereka semua lalu pergi dengan cepat dari tempat
itu, menyusup ke balik pohon-pohon dan semak-semak. Cangak Awu yang tadi
mengerahkan seluruh sisa tenaganya, sekarang batu merasakan kenyerian yang hebat
pada perutnya. Dia memegangi perutnya lalu terkulai roboh. Pusposari melompat dan
menghampirinya, berjongkok di dekat pemuda itu.
"Engkau...... sakitkah?" tanyanya. Gadis ini tadi melihat betapa Cangak Awu mengamuk
dengan hebatnya biarpun dalam keadaan sakit, maka Pusposari merasa kagum bukan
main. Juga melihat betapa pemuda itu berusaha melindunginya dari para penjahat tadi
mendatangkan kesan baik dalam hatinya terhadap pemuda itu.
Mendapat pertanyaan itu, Cangak Awu mengangguk dan meringis kesakitan.
"Siapakah engkau, ki sanak" Dan bagaimana engkau sampai terluka?" tanya pula
Pusposari. Melihat pemuda itu agak meragu untuk menjawab, ia tahu bahwa pemuda itu
bersangsi karena belum mengenalnya, maka disambungnya dengan cepat. "Aku
Pusposari, murid dan anak angkat Ki Harjodento ketua perkumpulan Nogo Dento.
Engkau tadi telah memaksa diri untuk melindungi aku, maka akupun ingin sekali
menolongmu."
"Aku...... bernama Cangak Awu..... aku murid perguruan Jatikusumo......aku....... aku
terkena tendangan ampuh sekali dan menderita luka dalam yang parah......" Dia
terbatuk dan muntahkan darah segar.
"Ah, lukamu parah, ki sanak. Mari ikut aku pulang ke tempat tinggal kami. Ayah
angkatku tentu akan dapat mengobatimu sampai sembuh. Marilah......!" Pusposari
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membantu Cangak Awu untuk berdiri, kemudian tanpa canggung dan rikuh lagi karena
menganggap pemuda itu sebagai penolongnya, ia memapah pemuda itu melangkah
perlahan-lahan dan tempat itu. Cangak Awu yang berada dalam keadaan tersiksa rasa
nyeri dan setengah pingsan itupun tidak ingat lagi betapa dia merangkulkan sebelah
lengannya pada pundak gadis itu untuk bertumpu agar tidak sampai terguling jatuh.
Keadaan Cangak Awu parah sekali. WalaupuA sudah dipapah oleh Pusposari, dia harus
mengerahkan seluruh sisa tenaganya dan itupun hanya membuat dia melangkah
perlahan-lahan saja. Setelah mereka tiba di depan pintu gerbang perkampungan Nogo
Dento, Cangak Awu tidak kuat lagi dan diapun roboh pingsan dan tentu telah terguling
roboh kalau tidak dirangkul oleh Pusposari.
Beberapa orang anak buah Nogo Dento datang berlari-lari ketika mereka melihat
Pusposari datang bersama seorang pemuda yang agakuya terluka parah.
"Gotong dia masuk, cepat!" kata Pusposari.
Empat orang murid Nogo Dento menggotong tubuh Cangak Awu yang berat ke dalam
perkampungan Nogo Dento, didahului Pusposari yang menyuruh para murid Nogo Dento
membawa tubuh Cangak Awu yang pingsan itu ke dalam rumah.
Harjodento dan isterinya, Padmosari, menyambut kedatangan anak angkut mereka itu
dengan heran. "Pusposari, siapakah pemuda ini?" tanya Padmosari heran memandang kepada Cangak
Awu yang sudah dibaringkan ke atas sebuah dipan.
"Apa yang telah terjadi?" tanya pula Harjodento.
"Bapa dan Ibu, orang ini bernama Caogak Awu. Dia adalah murid perguruan Jatikusumo.
Semula saya menemukannya menggeletak pingsan di tepi sungai. Ketika saya
menyadarkannya, mendadak muncul belasan orang penjahat yang berusaha untuk
menangkap saya. Orang ini yang sedang menderita luka parah di sebelah dalam
tubuhnya, membela saya mati-matian dan akhirnya kami berdua dapat mengusir para
penjahat setelah saya menyebut nama NogoDento. Setelah semua penjahat pergi,
orang ini lalu kuajak pulang ke sini untuk berobat, dan setibanya di luar perkampungan
kita, dia jatuh pingsan kembali. Bapa, karena dia telah menolong saya dari ancaman
para penjahat, maka saya membawanya ke sini agar Bapa suka mengobatinya. Salahkah
tindakan saya itu, Bapa?"
Harjodento mengangguk-angguk. "Engkau tidak salah, Sari. Memang sudah semestinya
kalau engkau membalas budi kebaikan orang yang diberikan kepadamu. Kau bilang tadi
dia murid Jatikusumo?"
"Benar, Bapa. Demikianlah menurut pengakuannya."
Harjodento lalu membuka baju Cangak Awu dan mulai memeriksa keadaan tubuh
pemuda itu. Dia kagum melibat tubuh yang kokoh kuat itu, dada yang bidang dan lengan
serta kaki yang berotot. Akan tetapi setelah memeriksa keadaan perut pemuda itu, dia
mengerutkan alisnya.
"Hemm, dia telah terkena pukulan yang kuat sekali pada perutnya. Masih untung bahwa
agaknya dia memiliki kekebalan maka isi perut itu tidak sampai hancur, hanya
terguncang bebat. Dia memerlukan perawatan selama beberapa hari."
Harjodento lain membuatkan racikan jamu-jamu untuk diminumkan pada Cangak Awu,
juga untuk dilumurkan pada bagian perut yang kulitnya ada tanda menghitam bekas
tendangan. Tanpa diminta atau disuruh, Pusposari turun tangan sendiri merawat Cangak Awu.
Pemuda itu siuman akan tetapi keadaannya amat lemah sehingga dia harus tetap
beristirahat. Dia merasa rikuh dan juga terharu sekali melihat betapa Pusposari
merawatnya, bahkan ketika dia masih belum kuat duduk, gadis itu yang menyuapinya
untuk minum jamu atau makan bubur yang dimasak sendiri oleh tangan Pusposari.
Jamu yang diberikan olah Harjodento sungguh ampuh. Tiga hari kemudian Cangak Awu
sudah sembuh dan tenaganya pulih kembali. Dia lalu bangkit duduk dan melihat
Pusposari berada di dalam kamar itu, duduk di atas sebuah kursi, Cangak Awu lalu
turun dari pembaringan,
"Eh, kakang Cangak Awu, engkau harus ber istirahat dulu." Pusposari berkata sambil
bangkit dari tempat duduknya.
"Aku telah sembuh dan sudah pulih kembali, nimas Pusposari. Aku sungguh berterima
kasih sekali kepada keluargamu, terutama kepadamu yang telah begitu baik hati untuk
mengurus dan merawatku sewaktu aku sakit Kalau aku tidak sempat membalas
kebaikan hatimu, semoga Gusti Yang Mahao Asih yang akan membalasmu dengan
berkah yang berlimpahan."
"Ah, kakang Cangak Awu, mengapa bicara seperti itu" Kalau mau bicara tentang budi,
engakaulah yang lebih dulu melepas budi kepadaku, ketika engkau menolongku dari
pengeroyokan gerombolan penjahat itu. Tanpa sengaja kita telah saling berjumpa dan
saling menolong sehingga pertolongan itu sudah bukan merupakan pertolongan lagi
melainkan merupakan kewajiban antara sesama hidup antara sahabat. Bukankah
begitu?" Cangak Awu memandang dengan kagum. Bukan main gadis ini. Masih begini muda, paling
banyak sembilan belas tahun usianya, cantik manis, digdaya dan memiliki pandangan
yang demikian bijaksana.
"Terima kasih, nimas. Aku merasa berbahagia sekali mendapatkan seorang sahabat
sepertimu."
Pada saat itu, Harjodento dan Padmosari memasuki ruangan itu. Melihat mereka,
Cangak Awu segera memberi hormat dengan sembah sambil berdiri.
"Paman dan bibi, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan paman dan bibi
yang telah menampung dan menyembuhkan saya. Paman dan bibi telah menyelamatkan
nyawa saya."
"Tidak perlu berterima kasih, anak mas Cangak Awu. Engkau juga telah menolong dan
menyelamatkan puteri kami Pusposari. Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau
sampai pingsan di tepi sungai itu. Ketahuilah bahwa antara Nogo Dento dan Jatikusumo
pernah ada hubungan persahabatan yaitu antara aku dan gurumu Bhagawan Sindusakti
ketua Jatikusumo."
Mendengar pertanyaan itu, teringatlah Cangak Awu akan semua yang telah terjadi dan
terbayanglah kembali semua peristiwa pembantaian terhadap guru dan saudarasaudaranya di Jatikusumo. Ingin dia berteriak penuh penasaran, kedua tangannya
mengepal tinju dan giginya berkerot matanya bersinar-sinar, mukanya kemerahan
penuh kemarahan sehingga dia tidak mampu menjawab pertanyaan itu.
"Tenangkanlah hatimu, anak mas. Jangan biarkan hatimu dikuasai nafsu amarah, karena
hal itu amat tidak baik untuk kesehatanmu lahir batin. Sebutlah Nama Tuban untuk
memperkuat hatimu."
Mendengar ucapan yang tenang dan tegas ini Cangak Awu tersadar dan dia lalu
mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan sambil menghela napas panjang dan
keadaannya sudah tenang kembali.
BAGIAN 43 "Paman, malapetaka besar telah menimpa perguruan kami. Malapetaka besar telah
terjadi dan menewaskan guru saya dan kakak seperguruan saya, bahkan mungkin semua
murid Jatikusumo menjadi bantaian!" Cangak Awu menahan isaknya, menahan tangis
yang hendak membanjir keluar karena dia teringat akan guru dan kakak-kakaknya.
Mendengar ucapan ini, Harjodento, Padmosari dan Pusposari menjadi terkejut bukan
main. "Jagad Dewa Bathara......!" Harjodento menyebut sambil berdongak, lalu memandang
kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, "Apa yang telah terjadi di
Jatikusumo, anak mas Cangak Awu?"
Setelah menghela napas tiga kali untuk merendahkan badai kemarahan yang bergolak
di dadanya, Cangak Awu berkata "Seorang kakak seperguruan saya telah murtad.
Jahanam yang durhaka itu bergabung dengan paman guru Bhagawan Jaladara,
merampas kedudukan, ketua Jatikusumo. Bersama Bhagawan Jaladara dan para jagoan
Wirosobo, mereka menyerang dan kami semua mengadakan perlawanan mati-matian.
Saya melihat betapa Bapa Guru Bhagawan Sindusakti, Kakang Mabeso Seto dan banyak
murid Jatikusumo tewas dibantai orang-orang jahat itu. Melihat robohnya Bapa Guru
dan Kakang Maheso Seto, maklumlah saya bahwa akan sia-sia saja kalau saya melawan
terus. Saya tentu akan mati pula, oleh karena itu setelah terkena tendangan Ki
kiabangkolo, saya lalu menguatkan diri dan melarikan diri. Harap paman jangan salah
mengerti. Saya lari bukan karena saya takut mati, sama sekali bukan! Saya rela mati
membela Jatikusumo, akan tetapi pada waktu itu saya pikir bahwa kalau saya mati, lalu
siapa lagi yang akan membalaskan dendam setinggi langit ini" Saya harus hidup agar
kelak dapat membalaskan kematian Bapa Guru!" Cangak Awu aangepal kedua tinjunya.
"Ahhh, bagaimana sampai ada murid yang demikian murtad dan jahat?" seru
Harjodento. "Siapakah orang itu dan mengapa pula dia memberontak dan membunuh guru dan
kakak-kakak seperguruannya sendiri?"
Cangak Awu menarik napas panjang. "Saya sendiri sungguh masih merasa heran,
bingung dan tidak mengerti. Dia adalah Kakang Pnyadi dan biasanya dia adalah seorang
murid yang amat dikasihi Bapa Guru, seorang pemuda yang bersikap lembut dan baik.
Saya tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia berubah seperti iblis, Dia membunuh Bapa
Guru bersama teman-temannya karena dia. menghendaki kedudukan ketua
Jatikusumo." "Akan tetapi mengapa pula Bhagawan Jaladara yang menjadi adik
seperguruan Bhagawan Sindusakti bahkan membantu murid keponakannya itu?" tanya
pula Harjodento yang merasa penasaran sekali mendengar terjadinya peristiwa itu.
"Paman Bhagawan Jaladara adalah seorang pejabat tinggi dari Kadipaten Wirosobo.
Tadinya dia membujuk Bapa Guru untuk membantu gerakan Kadipaten Wirosobo yang
hendak memberontak terhadap Mataram, akan tetapi Bapa Guru masih ragu-ragu dan
sangsi." Tiba-tiba Pusposari yang sejak tadi mendengarkan saja penuh perhatian, kini bertanya,
"Kakang Cangak Awu. Gurumu itu, Paman Bhagawan Sindusakti adalah ketua
Jatikusumo, tentu seorang yang sakti mandraguna. Bagaimana dia sampai kalah, dan
dapat terbunuh oleh muridnya dan adik seperguruannya sendiri?"
"Akupun tadi ingin mengajukan pertanyaan seperti itu." kata Padmosari. "Tentu tingkat
kepandaian Bhagawan Sindusakti lebih tinggi dibandingkan adik seperguruan dan
muridnya, bagaimana dia sampai dapat terbunuh" Dan bukankah di sana terdapat
banyak murid Jatikusumo yang dapat membela guru mereka?"
"Priyadi yang murtad itu datang dengan banyak kawannya yang kesemuanya memiliki
kesaktian. Selain Paman Guru Bhagawan Jaladara, ikut pula dalam rombongan iblis itu
Ki Klabangkolo, Resi Wisangkolo, seorang wanita yang juga digdaya sekali. Ki
Janurmendo, Ki Warok Petak dan Ki Baka Kroda, kesemuanya jagoan-jagoan dari
Wirosobo. Terutama sekali Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo itu amat sakti sehingga
tidak dapat terlawan oleh Bapa Guru. Juga si jahanam keparat Priyadi itu .ternyata
diam-diam telah menguasai aji-aji yang amat dahsyat, entah dari mana dia
mendapatkan semua aji itu."
"Ah, sekarang aku ingat. Anak mas Cangak Awu, belum lama ini kami kedatangan
seorang gadis yang berusaha membunuh kami. Ia ditemani seorang pemuda yang juga
menyerang kami dan dari pukulannya aku mengenal Aji Gelap Musti, maka aku menduga
bahwa pemuda itu tentu seorang murid Jatikusumo. Siapakah gerangan pemuda itu?"
Cangak Awu memandang Harjodento dan bertanya, "Paman, seperti apakah wajah
pemuda itu?"
"Dia berwajah tampan gagah dengan tubuh sedang dan ada tahi lalat di dagunya."
Cangak Awu mengepal tinjunya, "Itulah dia! Si laknat Priyadi, murid yang murtad itu!"
"Akan tetapi....... ketika beberapa bulan yang lalu dia membantu gadis itu datang
menyerang kami, tingkat kepandaiannya tidak begitu bebat, walaupun sudah cukup
tinggi sehingga merepotkan kami. Akan tetapi kami masih dapat memukul mundur
mereka. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu menandingi gurunya sendiri?"
"Entahlah, paman. Mungkin setelah itu dia menemukan ilmu-ilmu yang dahsyat. Saya
sendiri juga tidak mengerti. Akan tetapi akibat ulahnya itu, guru saya dan mungkin
semua murid Jatikusumo telah dibunuhnya!"
Suasana menjadi hening, keheningan yang membuat Cangak Awu tenggelam ke dalam
kesedihan. Kemudian terdengar pertanyaan Pusposari dengan suara lirih dan penuh
haru dau rasa iba kepada pemuda tinggi besar itu.
"Sekarang, apa yang kau lakukan, Kakang Cangak Awu" Kemana engkau hendak pergi?"
Ditanya begini, Cangak Awu menghela napas, panjang. "Aku tidak tahu, nimas Pusposari.
Aku masih bingung, malapetaka yang menimpa Jatikusumo itu telah menghancurkan
hatiku membuat aku seperti kehilangan akal d?n tidak tahu apa yang harus
kulakukan....." Jawaban pemuda tinggi besar dan kokoh kuat itu demikian lemas dan
menyedihkan. Padmosari menjadi kasihan kepada pemuda itu.
"Anak mas Cangak Awu, di manakah orang tuamu tinggal" Tentu engkau akan pulang ke
sana, bukan?"
Pertanyaan itu bagaikan pisau yang menikam hati yang telah luka itu Cangak Awu
menundukkan mukanya dan suaranya demikian lirih sampai hampir tidak dapat
didengar. "......ayah bunda saya telah tiada. Sejak kecil saya sudah sebatang kara tiada sanak
keluarga. Saya diambil murid oleh mendiang Bapa Guru dan beliau yang menjadi
pengganti orang tua saya. Dan sekarang beliau telah tiada pula...... saya...... saya
kehilangan segala-galanya......"
Kembali suasana menjadi hening dan Harjodento yang berpemandangan tajam itu
melihat betapa anak angkatnya, Pusposari, menjadi merah kedua matanya seperti
menahan tangisnya. Dan tiba-tiba pada saat itu sebuah gagasan timbul dalam
pikirannya. Mengapa tidak" Cangak Awu adalah seorang murid Jatikusumo dan jelas
bahwa dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan amat baik. Tidak akan
mengecewakan kalau pemuda seperti ini menjadi suami Pusposari!
"Anak mas Cangak Awu......" katanya, akan tetapi hatinya diliputi keraguan dan
kesungkanan sehingga kata-katanya tertahan.
Cangak Awu mengangkat mukanya menatap wajah pendekar besar yang menjadi ketua
Nogo Dento itu dan sinar matanya memandang penuh
selidik. "Ada apakah, paman?"
"Anak mas, kalau boleh kami mengetahui, apakah rencanamu selanjutnya" Apakah yang
ingin kau lakukan sekarang?"
"Rencana dan keinginan saya hanya satu, paman, yaitu pergi berkelana mencari guru
yang pandai untuk memperdalam ilmu kepandaian saya, kemudian saya akan kembali ke
Jatikusumo untuk membalas dendam kepada si jahanam Priyadi!"
"Kalau begitu, anak mas Cangak Awu. kenapa engkau tidak tinggal saja bersama kami di
sini" Di sini engkau dapat memperdalam ilmu kepandaianmu dan kami akan membantumu
sedapat mungkin." kata Harjodento dan orang tua ini melihat betapa wejah puteri
angkatnya sejenak bersinar dan berseri.
"Paman, saya hanya akan mendatangkan kerepotan kepada paman sekeluarga." kata
Cangak Awu. "Sama sekali tidak!" kata Padmosari. "Anak mas Cangak Awu, apa yang dikatakan
suamiku tadi benar, Engkau dapat tinggal di sini dan memperdalam ilmu kepandaianmu.
Biarpun ilmu aliran Nogo Dento tidak terlalu tinggi, akan tetapi kalau digabung dengan
aliran Jatikusumo tentu akan menjadi, ilmu. yang cukup kuat. Dan sama sekali tidak
membuat kami repot kalau engkau tinggal di sini." Cangak Awu menjadi bimbang dan
diapun menoleh kepada Pusposari. Biarpun ayah dan ibu gadis itu setuju kalau dia
tinggal di situ, akan tetapi bagaimana kalau gadis itu merasa keberatan" Agaknya
dalam pandang matanya mengandung pertanyaan ini yang terasa oleh Pusposari. Gadis
inipun dengan sikap agak tersipu berkata lirih. "Akupun akan senang kalau engkau mau
tinggal di sini, Kakang Cangak Awu."
Seluruh keluarga itu telah setuju. Perasaan lega menyusup dalam bati Cangak Awu.
akan tetapi sebelum dia menjawab, dua orang murid Nogo Dento memasuki ruangan itu
dengan sikap gugup dan tegang.
"Maafkan kami kalau mengganggu, Bapa Guru ......" kata mereka gugup.
Harjodento mengerutkan alisny. "Hemm. apakah yang telah terjadi" Kalian hendak
melaporkan apa" Katakanlah!"
"Bapa Guru, wanita yang dulu itu...... ia datang lagi......!"
"Wanita yang mana?"
"Yang dulu menyerbu ke sini......!"
Harjodento tampak terkejut. Demikian pula Padmosari sudah melompat bangkit dari
tempat duduknya. "Hemm, tentu orang yang mengaku murid Nyi Rukmo Petak dan yang
hendak membunuh kita itu. katanya kepada isterinya. "Mari kita jumpai ia 1" Suami
isteri itu berlari keluar. Padmosari dan Cangak Awu tanpa diminta juga mengikuti
mereka keluar, Setelah tiba di luar perkampungan Nogo Dento, mereka berempat
melihat Retno Susilo dan Sutejo telah berdiri di situ, Cangak Awu terheran melihat
Sutejo berada di dekat seorang gadis yang menurut Harjodento pernah datang hendak
membunuh Harjodento dan isterinya. Akan tetapi bukankah gadis itu kabarnya
ditemani oleh Priyadi" Kenapa sekarang yang menemaninya ternyata Sutejo" Di lain
pihak, Sutejo juga terkejut dan heran melihat Cangak Awu berada di antara keluarga
yang dimusuhi oleh Retno Susilo dan gurunya itu.
"Adi Sutejo, mau apa engkau datang ke sini?" tegur Cangak Awu.
"Kakang Cangak Awu, kenapa engkau berada di situ?" tanya pula Sutejo dengan heran.
"Hemm, engkau mengenai mereka" Katakan, engkau hendak memihak aku atau
mereka?" Retno Susilo menoleh kepada Sutejo dan mengajukan pertanyaan itu dengan
suara kaku. "Eh, tentu saja aku berpihak padamu." kata Sutejo walaupun hatinya menjadi bimbang
melihat kehadiran Cangak Awu di situ.
Kini Retno Susilo menghadapi Harjodento dan suaranya terdengar nyaring ketika ia
berkata, "Nah, Harjodento. Sekarang aku bersama kawanku ini telah datang berhadapan
denganmu, Aku tantang engkau untuk neelakukan pertandingan satu lawan satu! Jangan
main keroyokan kalau engkau memang seorang gagah!"
Harjodento tersenyum memandang wajah Retno Susilo yang cantik jelita dan sinar
matanya yang mencorong tajam itu. Diam-diam pendekar ini harus mengakui bahwa
Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu selain cantik jelita, juga gugah berani, patut menjadi seorang pendekar
wanita. Akan tetapi mengapa gadis itu diutus oleh seseorang yang tidak dikenalnya
untuk membunuh dia dan isterinya"
"Nona, kami sungguh tidak tahu mengapa engkau menantang kami untuk mengadu
kepandaian. Akan tetapi kalau engkau menantang, tentu saja kami tidak dapat
menolaknya. Kami bersedia melayani tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu
tanpa pengeroyokan. Akan tetapi katakan lebih dulu, mengapa sebenarnya gurumu
mengutus engkau untuk membunuh kami?"
"Tidak perlu kau tanyakan. Pendeknya, aku harus membunuh kalian berdua dan itu
merupakan tugasku sebagai seorang murid terhadap gurunya. Mari kita mulai. Siapa di
antara kalian yang akan maju" Aku akan maju menandinginya, dan kalau aku kalah,
masih ada temanku ini yang akan maju sebagai penggantiku!"
"Bapa, biar aku yang menandinginya!" tiba-tiba Pusposari berseru dan ia sudah
melompat ke depan Retno Susilo. Karena gadis itu sudah maju, Harjodento tidak dapat
mencegahnya karena mencegahnya menunjukkan kelemahan di pihaknya, maka ia dan
isterinya hanya memandang dengan khawatir. Sutejo yang teringat bahwa Retno Susilo
memiliki aji pukulan yang ampuh dan mematikan, berkata lirih kepadanya.
"Diajeng Retno, harap jangan mudah membunuh orang."
Retno Susilo tidak menjawab, hanya memandang calon lawannya dengan alis berkerut.
Dua orang gadis yang sama centil dan menariknya ini sudah saling berhadapan dan sinar
mata mereka mencorong, bagaikan dua ekor singa betina yang hendak berlaga.
"Sebutkan dulu siapa namamu agar engkau tidak roboh tanpa nama!" kata Retno Susilo.
Pusposari cemberut. "Engkau yang datang mengacau, katakan dulu siapa namamu baru
engkau boleh mengenal aku!"
Retno Susilo tersenyum mengejek. "Aku Retno Susilo dan sebaiknya engkau ini anak
kecil jangan ikut ikutan, Aku datang hanya uutuk membunuh Harjodento dan
Padmosari!"
"Hemm, ketahuilah bahwa aku Pusposari yang siap membela ayah ibuku dengan taruhan
nyawa!" "Bagus! Kalau begitu aku akan menghajarmu! Jagalah!"
"Aku sudah siap!" jawab Pusposari gagah.
"Hyaaaattt... !" Retno susilo sudah menerjang dengan dahsyatnya. Pusposari mengelak
dan tamparan yang amat kuat itu dan dari samping iapun membalas dengan pukulan
tangan kanannya.
"Dukk!" Retno Susilo menepis dan lengan Pusposari tertangkis, membuat gadis manis ini
hampir terpelanting. Pusposari terkejut, akan tetapi ia tidak takut dau menyerang lagi
dengan kuat dan cepatnya. Retno susilo menyambutnya dan dua orang gadis ini sudah
saling serang dengan seru. Akan tetapi segera dapat dinilai bahwa tingkat kepandaian
Retno susilo masih jauh lebih unggul.
"Haaaiiiit !" Tiba-tiba tangan Retno Susilo menyambar ke arah kepala Pusposari dan
ketika gadis Nogo Dento ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya, tiba-tiba kaki
kiri Retno Susilo menyambar dan samping dan menyerampang, mengenai kaki Pusposari
sehingga gadis ini terpelanting dan tidak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya lagi.
Pada saat itu, Cangak Awu sudah melompat maju menghadapi Retno Susilo sehingga
gadis ini tidak dapat mengejar atau mendesak Pusposari yang sudah terpelanting.
"Gadis jahat! Mengapa engkau hendak membunuh orang-orang yang tidak berdosa ?"
bentak Cangak Awu dengan sikap keren.
"Hemm, siapa kau?" tanya Retno Susilo sambil menatap wajah pemuda tinggi besar itu.
"Namaku Cangak Awu dan aku adalah murid Jatikusumo!" jawab pemuda itu.
Retno Susilo mengerling ke arah Sutejo, akan tetapi pemuda ini hanya menonton saja
dau tidak bereaksi apa-apa, maka iapun membentak, "Engkau murid Jatikusumo,
mengapa mencampuri urusanku dengan orang-orang Nogo Dento?"
"Aku adalah tamu dan. sahabat mereka, tentu saja tidak kubiarkan engkau berbuat
sewenang-wenang di sini!" kata Cangak Awu sambil memandang ke arah Sutejo dengan
sinar mata mengandung penasaran.
"Kalau begitu, engkaupun perlu kuhajar !" teriak Retno Susilo dengan marah.
"Engkau yang pantas dihajar !" kata Cangak Awu.
"Keparat, terimalah ini!" bentak Retno Susilo dan gadis ini sudah menerjang maju
dengan tamparan ke arah kepala.
Melihat betapa tamparan itu cukup hebat, Cangak Awu lalu mempergunakan Aji Harina
Legawa untuk mengelak. Ilmu meringankan tubah ini membuat dia dapat bergerak
dengan cepat dan diapun membalas dongan pukulan tangannya yang kokoh kuat. Akan
tetapi, Retno Susilo dapat pula menghindarkan diri dengan mudah dari Serangan
balasan Cangak Awu. Mereka saling serang dengan seru, akan tetapi Sutejo dapat
melihat bahwa murid Jatikusumo yang tinggi besar itupun tidak dapat menandingi
ketangguhan Retno Susilo. Gadis Itu telah memperoleh kemajuan ang luar biasa. Akan
tetapi dia terkejut ketika melihat Cangak Awu yang agaknya penasaran itu kini
mempergunakan Aji Gelap Musti untuk menyerang Retno Susilo. Dia melihat betapa
dengan berani gadis itupun menyambut pukulan jarak jauh dengan dorongan telapak
tangannya pula. Retno Susilo mengerahkan Aji Gelap Sewu untuk memapaki serangan
lawannya. "Wuuuuttt......desss !!" Akibat dua tenaga sakti yang saling berbenturan di udara itu,
tubuh Cangak Awu terdorong dan terpelanting roboh! Pemuda ini tidak menderita luka
dalam, akan tetapi tentu saja dia menjadi terkejut bukan main Pada saat Itu,
Padmosari sudah meloncat ke depan.
"Anak mas Cangak Awu, mundurlah. Ia ingin membunuhku, biar aku yang
menghadapinya!" bentak wanita perkasa ini.
"Bagus, Padmosari! Memang kedatanganku ini untuk menghadapi engkau dan suamimu!"
kata Retno Susilo.
"Diajeng Retno, harap jangan membunuh orang!" kembali Sutejo mengingatkan gadis
itu. Akan tetapi sebelum Retno Susilo menjawab, Padmosari yang sudah menjadi marah
melihat anak angkatnya dan Cangak Awu kalah sudah maju menerjang sambil berseru.
"Sambut seranganku!"
Serangan itu cepat dan kuat sekali, bahkan lebih cepat dari lebih kuat daripada
serangan yang tadi dilakukan Cangak Awu. Maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya, Retno Susilo juga
mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dengan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya
berkelebat cepat menghindar dari serangan lawan, kemudian dengan cepat sekali Ia
membalas dengan tendangan menyamping. Kakinya mencuat dan menyambar ke arah
dada lawan. Akan tetapi Padmosari yang memiliki dasar ilmu silat tinggi dan banyak
pengalamannya itupun dapat menghindar dengan cepat lalu menyerang lagi. Saling
serang terjadi dan pertandingan sekali ini amat seru karena tingkat kepandaian
mereka seimbang. Akan tetapi Sutejo melihat bahwa wanita cantik isteri ketua Nogo
Dento itupun masih tidak akan mampu mengungguli kedigdayaan Retno Susilo. Dia
hanya khawatir kalau Retno Susilo sampai membunuh wanita itu seperti yang
dipesankan gurunya.
Harjodento juga memandang dengan hati khawatir. Gerakan kedua orang wanita itu
cepat dan mereka tampak seimbang, akan tetapi dia juga melihat betapa cepatnva
gerakan gadis penyerang itu sehingga dia khawatir bahwa isterinya akan tidak mampu
menandinginya pula. Untuk maju menggantikan isterinya, dia merasa malu. Isterinya
belum kalah, bagaimana mungkin menggantikannya" Tentu pihak lawan akan
menganggapnya sebagal penakut. Maka diapun mengeraskan hatinya dan hanya
menonton. Tiba-tiba Padmosari yang merasa kewalahan dan penasaran karena semua serangannya
dapat dielakkan atau ditangkis, sedangkan serangan lawan membuat ia repot sekali,
melakukan penyerangan dengan dorongan kedua tangannya ke depan sambil
mengerahkan tenaga saktinya, Itulah Aji pukulan Nogo Dento vang merupakan aji yang
khas dari perguruan Nogo Dento. Aji ini belum dimiliki oleh para murid. Hanya
Harjodento, Padmosari dan Pusposari saja yang sudah menguasai. Itupun baru dikuasai
Pusposari sekitar setengah bagian saja. sedangkan Padmosari sudah memiliki tiga
perempat bagian. Maka, pukulannya itu mendatangkan angin yang kuat menyambar ke
arah Retno Susilo.
Akan tetapi Retno Susilo tidak menjadi gentar dan gadis ini segera menyambutnya
dengan Aji Gelap Sewu, mendorongkan telapak tangannya menyambut serangan
lawannya. "Wuuuuttt.......desss......!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang wanita
itu sama-sama terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung Ternyata tenaga
mereka seimbang dan hal ini membuat keduanya meniadi semakin penasaran. Padmosari
hampir tidak dapat percaya betapa seorang gadis muda seperti itu mampu menandingi
tenaga saktinya. Ia melompat lagi ke depan dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya
untuk menyerang lagi dengan Aji Nogo Dento dengan keyakinan bahwa sekali ini ia
tentu ak?n dapat merobohkan gadis itu. Akan tetapi Retno Susilo yang sudah tahu
akan kekuatan serangan lawan, sekali ini menyambutnya dengan Aji Wiso Sarpo yang
hebat! Hawa sakti yang mengandung racun ular itu keluar dari telapak tangannya
menyambut pukulan lawan.
"Wuuuttt....... bresss.....!!" Sekali ini Retno Susilo hanya mundur tiga langkah, akan
tetapi tubuh Padmosari terjengkang dan roboh terguling-guling!
Harjodento, terkejut sekali dan dia cepat melompat ke depan. Maksudnya, untuk
mencegah agar Retno Susilo tidak menyusulkan serangan kepada isterinya yang sudah
roboh. Akan tetapi gadis itu salah mengerti. Ia mengira bahwa Harjodento akan
menyerangnya, maka iapun mendahuluinya dengan serangan Aji Wiso Sarpo sambil
mengerahkan tenaga sepenuhnya karena ia maklum betapa digdaya musuh gurunya ini.
Menghadapi serangan ini, Harjodento tidak ada pilihan lain kecuali menyambutnya,
Diapun mengerahkan Aji Nogo Dento yang sudah dikuasai sepenuhnya untuk
menyambut pukulan Retno Susilo.
"Wuuuutttt.....blarrr...!" Pertemuan dua tenaga sakti sekali ini demikian bebatnya
sehingga getarannya terasa oleh semua orang yang berada di sekeliling tempat itu.
Retno Susilo terjengkang dan roboh terguling-guling sedangkan Harjodento hanya
mundur dua langkah.
Sutejo cepat menangkap lengan Retno Susilo dan membantunya bangkit. Wajah gadis
itu pucat dan napasnya terengah-engah. Sutejo menepuk punggungnya dan berkata,
"Engkau cepat bersila dan mengatur pemapasan, diajeng." Retno Susilo yang maklum
bahwa ia telah terluka karena pukulannya tadi membalik ketika berbenturan dengan
hawa pukulan lawan, menurut. Ia duduk bersila di atas tanah dan mengatur
pernapasannya. "Kakangmas Sutejo, sekarang engkau majulah." katanya lirih, lalu ia memejamkan
kedua matanya untuk mencurahkan perhatiannya kepada usahanya mengobati luka
dalam yang dideritanya.
Sutejo mengangkat muka dan melihat bahwa Harjodento juga telah mengurut
Pendekar Bodoh 11 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama