Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bagian 2
karena kedatangan Bhante, Nanda yang telah memberikan
banyak persembahan dan menyertai Bhante pulang telah dibunuh pada saat ia pulang kembali ke rumahnya".
Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, "Para
bhikkhu, apakah saya datang kemari atau tidak, ia tidak dapat melarikan diri dari kematian, akibat dari kamma lampaunya.
Seperti halnya pikiran yang diarahkan secara keliru akan
menjadikan seseorang jauh lebih berat terluka daripada luka
yang dibuat oleh musuh ataupun pencuri. Pikiran yang diarahkan secara benar, adalah satu-satunya jaminan bagi seseorang untuk menjauhkan diri dari bahaya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 42 berikut:
Luka dan kesakitan macam apapun dapat dibuat oleh
orang yang saling bermusuhan atau saling membenci. Namun
pikiran yang diarahkan secara salah akan melukai seseorang jauh lebih berat.
*** III-11-Kisah Soreyya
Suatu hari Soreyya beserta seorang teman dan beberapa
pembantu pergi dengan sebuah kereta yang mewah untuk
membersihkan diri (mandi). Pada saat itu, Mahakaccayana
Thera sedang mengatur jubahnya di pinggir luar kota, karena ia akan memasuki kota Soreyya untuk berpindapatta.
Pemuda Soreyya, melihat sinar keemasan dari
Mahakaccayana Thera, berpikir: Bagaimana apabila
Mahakaccayana Thera menjadi istriku, atau bagaimana apabila
warna kulit istriku seperti itu".
Karena muncul keinginan seperti itu, kelaminnya berubah
menjadi seorang wanita.
Dengan sangat malu, ia turun dari kereta dan berlari, pada
jalan menuju ke arah Taxila. Pembantunya kehilangan dia,
mencarinya, tetapi tidak dapat menemukannya.
Soreyya, sekarang seorang wanita, memberikan cincinnya
sebagai ongkos kepada beberapa orang yang bepergian ke
Taxila, dengan harapan agar ia dijinkan ikut dalam kereta
mereka. Setelah tiba di Taxila, teman-teman Soreyya berkata
berkata kepada seorang pemuda kaya di Taxila tentang
perempuan yang datang bersama mereka. Pemuda kaya itu
melihat Soreyya yang begitu cantik dan seumur dengannya,
menikahi Soreyya.
menikahi Soreyya.
Perkawinan itu membuahkan dua anak laki-laki; dan ada
juga dua anak laki-laki dari perkawinan Soreyya pada waktu
masih sebagai pria.
Suatu hari, seorang anak orang kaya dari kota Soreyya
datang di Taxila dengan lima ratus kereta. Perempuan Soreyya mengenalinya sebagai seseorang yang telah diutus oleh teman
lamanya. Laki-laki dari kota Soreyya itu merasa senang bahwa ia diundang oleh seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ia berbicara dengan Soreyya bahwa ia tidak mengenalnya, dan
bertanya kepada Soreyya apakah Soreyya mengetahui dirinya.
Soreyya menjawab bahwa ia tahu tentang dirinya dan
menanyakan kesehatan keluarganya dan beberapa orang-orang
di kota Soreyya. Laki-laki dari kota Soreyya berbicara tentang anak orang kaya yang hilang secara misterius ketika pergi ke luar kota untuk mandi. Soreyya mengungkapkan identitas dirinya dan menghubungkan semua apa yang telah terjadi, tentang pikiran
salahnya kepada Mahakaccayana Thera, tentang perubahan
kelamin, dan perkawinannya dengan orang kaya di Taxila.
Laki-laki dari kota Soreyya menasehatinya untuk meminta
maaf kepada Mahakaccayana Thera. Mahakaccayana Thera
diundang ke rumah perempuan Soreyya dan menerima dana
makanan darinya. Sesudah bersantap, perempuan Soreyya
dibawa menghadap Mahakaccayana Thera, dan laki-laki dari
kota Soreyya berbicara kepada Mahakaccayana Thera bahwa
perempuan ini pada waktu dulu adalah seorang anak laki-laki
orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada
orang kaya di kota Soreyya. Ia kemudian menjelaskan kepada
Mahakaccayana Thera bagaimana Soreyya menjadi perempuan
karena berpikiran jelek pada saat menghormati Mahakaccayana
Thera. Perempuan Soreyya dengan hormat meminta maaf
kepada Mahakaccayana Thera.
Mahakaccayana Thera berkata, "Bangunlah, saya
memafkanmu".
Segera setelah kata-kata itu diucapkan, perempuan
tersebut berubah kelamin menjadi seorang laki-laki. Soreyya
kemudian merenungkan bagaimana dengan satu keberadaan diri
dan dengan satu keberadaan tubuh jasmani ia telah berubah
kelamin, bagaimana anak-anak dilahirkannya. Merasa sangat
cemas dan jijik terhadap segala hal itu, ia memutuskan untuk meninggalkan hidup berumah tangga dan memasuki Pasamuan
Sangha di bawah bimbingan Mahakaccayana Thera.
Sesudah itu ia sering ditanyai, "Siapa yang kamu cintai,
dua anak laki-laki pada saat ia sebagai seorang laki-laki atau dua anak lain pada saat ia sebagai seorang istri?"
Terhadap hal itu ia menjawab bahwa cinta kepada mereka
yang dilahirkan dari rahimnya adalah lebih besar. Pertanyaan ini sering kali muncul, ia merasa sangat terganggu dan malu.
Kemudian ia menyendiri dan dengan rajin, merenungkan
penghancuran dan proses tubuh jasmani.
Tidak terlalu lama kemudian, ia mencapai tingkat kesucian
arahat bersamaan dengan pandangan terang analitis. Ketika
pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia
pertanyaan lama ditanyakan kepadanya, ia menjawab bahwa ia
telah tidak mempunyai lagi kesayangan pada sesuatu yang
khusus. Bhikkhu-bhikkhu lain yang mendengarnya berpikir
bahwa ia pasti berkata tidak benar.
Pada saat dilapori dua jawaban berbeda Soreyya itu, Sang
Buddha berkata, "Anak-Ku berkata benar, ia telah berbicara
benar. Jawabannya sekarang lain karena ia sekarang telah
mencapai tingkat kesucian arahat sehingga ia tidak lagi
menyayangi sesuatu yang khusus. Dengan pikiran terarah benar anak-Ku telah membuat dirinya berada pada suatu kehidupan
baik, yang bukan diberikan oleh ayah maupun ibu".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 43 berikut:
Bukan dengan pertolongan ibu, ayah, ataupun sanak
keluarga; namun pikiran yang diarahkan dengan baik yang akan membantu dan mengangkat derajat seseorang.
Banyak bhikkhu mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
IV-1-2-Kisah Lima Ratus Bhikkhu
Setelah mengikuti Sang Buddha ke suatu desa, lima ratus
bhikkhu pulang kembali ke Vihara Jetavana. Sorenya, para
bhikkhu tersebut membicarakan perjalanan yang baru dilakukan, khususnya kondisi desa tersebut, apakah berbukit-bukit,
menanjak, tanahnya berlumpur, berpasir, merah atau hitam dan sebagainya, Sang Buddha menghampiri mereka.
Mengetahui apa yang mereka bicarakan, Sang Buddha
berkata, "Bhikkhu, bumi yang engkau bicarakan ada di luar
tubuh ini. Sesungguhnya lebih baik meneliti diri sendiri dan mempersiapkan diri untuk berlatih meditasi".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 44 dan 45
berikut ini: Siapakah yang akan menaklukkan dunia ini beserta alam
Yama dan alam Dewa" Siapakah yang akan menyelidiki Jalan
Kebajikan yang telah diterangkan dengan jelas, seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga"
Seorang Sekha (siswa yang masih berlatih) akan
menaklukkan dunia ini beserta alam Yama dan alam Dewa.
Seorang siswa yang masih berlatih ini akan menyilidiki jalan kebajikan yang telah diajarkan dengan jelas, seperti seorang perangkai bunga yang pandai memilih bunga.
Sang Buddha menambahkan, bahwa dengan mengerti
Sang Buddha menambahkan, bahwa dengan mengerti
akan diri sendiri, seorang bhikkhu akan mengerti akan dunia ini, surga dan neraka. Ia juga akan dapat merealisasikan Dhamma
yang Agung, seperti rangkaian bunga yang dirangkai oleh
seorang ahli merangkai bunga.
Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian
arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
IV-3-Bhikkhu Yang Memandang Tubuh
Sebagai Suatu Bayangan
Pada suatu kesempatan, setelah belajar bermeditasi dari Sang Buddha, seorang bhikkhu segera pergi ke hutan. Meskipun ia
telah berusaha dengan keras, dia hanya mendapat kemajuan
yang kecil dalam latihan meditasinya; sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui Sang Buddha untuk belajar lebih jauh.
Dalam perjalanan pulang dia melihat sebuah bayangan,
dimana hanya merupakan penampakan semu dari air. Segera ia
menyadari bahwa tubuh ini juga semu seperti bayangan. Dengan tetap memelihara pikiran tersebut dia kembali ke muara Sungai Aciravati. Ketika ia sedang duduk di bawah pohon dekat sungai, melihat ombak yang pecah, ia menyadari bahwa tubuh ini tidak kekal.
Kemudian Sang Buddha menampakkan diri dan berkata
kepadanya: "Anak-Ku, apa yang kamu telah sadari bahwa tubuh
tidak kekal seperti halnya busa, dan semu seperti halnya sebuah bayangan".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 46 berikut:
Setalah mengetahui bahwa tubuh ini bagaikan busa, dan
setelah menyadari sifat mayanya, maka hendaknya seseorang
mematahkan bunga nafsu keinginan, dan menghilang dari
pandangan raja kematian.
pandangan raja kematian.
Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.***
IV-4-Kisah Vitatubha
Raja Pasenadi dari Kosala, yang berharap dapat menikah
dengan seorang putri dari suku Sakya, mengirimkan beberapa
utusan ke Kapilavatthu dengan suatu permohonan meminang
salah seorang putri suku Sakya.
Tanpa bermaksud untuk menyakiti Raja Pasenadi,
pangeran suku Sakya membalas bahwa mereka akan memenuhi
permintaan tersebut, tetapi mereka tidak mengirimkan seorang putri melainkan seorang gadis cantik yang lahir dari Raja
Mahanama dengan seorang budak wanita. Raja Pasenadi
mengangkat gadis tersebut sebagai permaisuri, kemudian
berputera dan diberi nama Vitatubha.
Ketika sang pangeran berusia 16 tahun, Raja Pasenadi
mengirimnya untuk mengunjungi Raja Mahanama dan pangeranpangeran suku Sakya. Di sana sang pangeran diterima dengan
ramah. Tetapi semua pangeran suku Sakya yang lebih muda dari
Vitatubha telah pergi ke suatu desa, karena mereka tidak akan memberikan penghormatan kepada Vitatubha.
Setelah tinggal selama beberapa hari di Kapilavatthu,
Vitatubha dan rombongannya berniat untuk pulang. Segera
setelah sang pangeran dan rombongannya pergi, seorang budak
wanita mencuci tempat-tempat dimana Vitatubha duduk dengan
wanita mencuci tempat-tempat dimana Vitatubha duduk dengan
susu. Dia juga mengutuk sambil berteriak: "Ini adalah tempat
dimana putra seorang budak telah duduk,".."
Waktu itu, salah seorang pengikut Vitatubha kembali untuk
mengambil barang yang tertinggal, dan kebetulan mendengar apa yang diucapkan oleh gadis itu. Budak wanita itu juga mengatakan bahwa ibu Vitatubha, Vasabhakhattiya, adalah putri dari seorang budak wanita milik Mahanama.
Ketika Vitatubha diberitahu tentang kejadian tersebut, dia
menjadi sangat marah dan mengatakan bahwa suatu hari dia
akan menghancurkan semua suku Sakya. Untuk membuktikan
ucapannya, ketika Vitatubha menjadi raja, dia menyerbu dan
membunuh semua suku Sakya, terkecuali beberapa orang yang
bersama Mahanama.
Dalam perjalanan pulang, Vitatubha dan pasukannya
berkemah di muara Sungai Aciravati. Akibat hujan turun dengan lebatnya di kota bagian atas pada malam yang gelap itu, sungai meluap dan mengalir ke bawah dengan derasnya menghanyutkan
Vitatubha dan pasukannya ke samudera.
Mendengar dua kejadian tragis ini, Sang Buddha
menerangkan kepada para bhikkhu bahwa saudara-saudaranya,
pangeran-pangeran suku Sakya, pada kehidupan mereka
sebelumnya, mereka menaruh racun ke dalam sungai untuk
membunuh ikan-ikan. Kematian para pangeran suku Sakya
dalam suatu pembantaian merupakan buah dari perbuatan yang
dalam suatu pembantaian merupakan buah dari perbuatan yang
telah mereka lakukan pada kehidupan sebelumnya.
Berkaitan dengan kejadian yang menimpa Vitatubha dan
pasukannya, Sang Buddha mengatakan: "Bagaikan banjir besar
menghanyutkan penduduk desa pada sebuah desa yang tertidur,
demikian juga, kematian menghanyutkan semua makhluk yang
memiliki nafsu keinginan kesenangan indria".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 47 berikut:
Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan
indria, yang pikirannya kacau, akan diseret oleh kematian
bagaikan banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
*** IV-5-Kisah Patipujika Kumari
Patipujika Kumari adalah seorang wanita dari Savatthi. Dia
menikah pada usia 16 tahun dan mempunyai empat orang putra.
Patipujika Kumari merupakan seorang wanita yang baik budi
dan murah hati, suka memberikan dana makanan dan kebutuhan
lain kepada para bhikkhu. Dia juga sering pergi ke vihara dan membersihkan halaman, mengisi tempat air, dan memberikan
pelayanan lainnya.
Patipujika juga mempunyai kemampuan "jatissara", yaitu
kemampuan batin untuk mengingat kehidupannya yang lampau
dimana dia adalah salah seorang istri Malabhari, yang tinggal di alam dewa Tavatimsa. Dia juga ingat bahwa dia telah meninggal dunia di alam dewa ketika para dewa sedang berjalan-jalan dan menikmati kesenangan di taman, dan memetik bunga-bunga.
Maka, setiap saat dia berdana kepada para bhikkhu atau
melakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya, dia berharap
dapat dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari, suaminya dahulu.
Suatu hari, Patipujika jatuh sakit dan meninggal dunia pada
sore itu juga. Seperti apa yang dia inginkan, dia dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa sebagai istri Malabhari. Seratus tahun di alam manusia sama dengan satu hari di alam Tavatimsa, Malabhari dan istri-istrinya yang lain masih bermain-main di taman; dan kepergian Patipujika hampir tidak dirasakan oleh
mereka. Maka, ketika dia kembali bergabung dengan mereka,
Malabhari menanyakan kemana Patipujika pagi hari tadi. Dia
kemudian menceritakan kematiannya di alam Tavatimsa, dan
kelahirannya kembali di alam manusia. Pernikahannya dengan
seorang manusia dan juga tentang bagaimana dia telah
mempunyai empat orang putra. Kematiannya di alam manusia
dan lahir kembali di alam Tavatimsa.
Ketika para bhikkhu mendengar kematian Patipujika,
mereka bersedih. Kemudian mereka menghadap Sang Buddha
dan melaporkan kematian Patipujika, orang yang sering
memberikan dana makanan pada pagi hari, telah meninggal pada sore hari.
Sang Buddha menjawab bahwa kehidupan suatu makhluk
sangat singkat; dan sebelum mereka puas dengan kesenangankesenangan indrianya, kematian telah menguasainya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 48 berikut:
Orang yang mengumpulkan bunga-bunga kesenangan
indria, yang pikirannya kacau dan yang tak pernah puas, akan berada di bawah kekuasaan Sang Penghancur (kematian).
*** IV-6-Kisah Kosiya, Orang Kaya Yang
Kikir Di desa Sakkara, dekat Rajagaha, tinggalah orang yang sangat kaya tetapi kikir, bernama Kosiya. Ia tidak suka memberikan
sesuatu miliknya meskipun hanya sebagian kecil. Suatu hari,
untuk menghindari membagi miliknya dengan orang lain, orang
kaya dan istrinya tersebut membuat roti di bagian paling atas rumahnya di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat.
Suatu pagi, Sang Buddha dengan penglihatan supranaturalNya, melihat orang tersebut dan istrinya. Beliau mengatahui
bahwa mereka akan dapat mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Maka Sang Buddha mengirim Maha Moggalana ke rumah orang
kaya tersebut, dengan petunjuk untuk membawa mereka ke
Vihara Jetavana pada saat makan siang.
Murid Utama, Maha Moggalana, dengan kekuatan batin
luar biasanya, secara cepat sampai di rumah Kosiya dan berdiri di jendela. Orang kaya tersebut melihat dan menyuruhnya pergi, Yang Ariya Moggalana hanya berdiri di jendela tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya, Kosiya berkata pada istrinya: "Buatkan roti
yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu tersebut".
Istrinya hanya mengambil sedikit adonan dan
meletakkannya di panggangan roti, dan roti tersebut
meletakkannya di panggangan roti, dan roti tersebut
mengembang memenuhi panggangan. Kosiya berpikir bahwa
istrinya pasti telah menaruh adonan terlalu banyak, maka dia hanya mengambil sedikit sekali adonan dan meletakkan di
panggangan. Roti tersebut juga mengembang menjadi sangat
besar. Hal ini terulang terus menerus, meskipun mereka hanya meletakkan sedikit adonan dalam panggangan, mereka tidak
berhasil membuat roti yang kecil.
Akhirnya, Kosiya menyuruh istrinya untuk mendanakan
satu roti dari keranjang tersebut kepada Maha Moggalana.
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika istrinya mencoba untuk mengeluarkan sebuah roti dari
keranjang, roti tersebut tidak dapat keluar karena telah menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Saat itu juga Kosiya kehilangan semua seleranya untuk menikmati roti tersebut dan menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggalana. Murid Utama
Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah tentang
kemurahan hati kepada orang kaya kikir beserta istrinya. Beliau juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu
mereka dengan lima ratus bhikkhu di Vihara Jetavana, di
Savatthi, 45 yojana dari Rajagaha.
Maha Moggalana, dengan kekuatan batin luar biasanya,
membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti tersebut,
untuk menghadap Sang Buddha. Di sana dia mendanakan roti
tersebut kepada Sang Buddha dan lima ratus bhikkhu. Selesai
makan siang, Sang Buddha menyampaikan khotbah mengenai
kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti.
kesucian sotapatti.
Keesokan sore harinya, ketika para bhikkhu sedang
bercakap-cakap dan memuji Maha Moggalana, Sang Buddha
menghampiri mereka dan berkata, "Para bhikkhu, seharusnya
kamu juga berdiam dan berkelakuan di desa seperti Maha
Moggalana, menerima pemberian dari penduduk desa tanpa
mempengaruhi keyakinan dan kemurahan hati mereka, atau
kesejahteraan mereka".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 49 berikut:
Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari
bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya; demikian
pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.
*** IV:7-Kisah Pertapa Paveyya
Seorang wanita kaya berasal dari Savatthi telah mengangkat
Paveyya, seorang pertapa, sebagai seorang anak dan memenuhi
semua kebutuhannya. Ketika dia mendengar tatangganya memuji
Sang Buddha, dia sangat berharap dapat mengundang Beliau ke
rumahnya untuk menerima dana makanan. Maka, Sang Buddha
diundang ke rumah wanita kaya tersebut dan makanan terpilih
telah disiapkan.
Ketika Sang Buddha sedang menyampaikan anumodana,
Paveyya, yang berada di ruang sebelah, menjadi sangat murka.
Dia menyalahkan dan mengutuk wanita tersebut karena
menghormati Sang Buddha. Wanita tersebut mendengar kutukan
serta teriakannya, menjadi sangat malu sehingga dia tidak dapat berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan oleh Sang
Buddha. Sang Buddha berkata kepada wanita itu agar tidak
usah memperhatikan kutukan-kutukan dan perlakuan tersebut,
tetapi perhatikan saja perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 50 berikut:
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah
atau belum dikerjakan oleh orang lain. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh diri sendiri.
Wanita kaya tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
IV:8&9-Kisah Chattapani, Seorang Umat
Awam Seorang umat awam bernama Chattapani yang merupakan
seorang anagami tinggal di Savatthi. Pada satu kesempatan,
Chattapani menghadap Sang Buddha di Vihara Jetavana,
mendengarkan khotbah Dhamma dengan penuh hormat dan
penuh perhatian.
Ketika itu Raja Pasenadi juga sedang mengunjungi Sang
Buddha. Chattapani tidak berdiri sebab dia berpikir bahwa
berdiri berarti dia memberikan hormat kepada raja bukan
kepada Sang Buddha. Raja menganggap hal ini adalah suatu
penghinaan dan melanggar peraturan. Sang buddha mengetahui
pemikiran Raja Pasenadi; maka Beliau memuji Chattapani, yang sangat baik dalam Dhamma dan juga telah mencapai tingkat
kesucian anagami.
Mendengar hal ini, Raja Pasenadi sangat terpesona dan
memberikan penghormatan kepada Chattapani.
Pada pertemuan berikutnya, raja bertemu dengan
Chattapani dan berkata, "Anda sangat pandai; dapatkah anda
datang ke istana dan memberikan pelajaran Dhamma kepada
kedua orang istriku?"
Chattapani menolak tetapi beliau menyarankan untuk
meminta izin kepada Sang Buddha agar menugaskan seorang
meminta izin kepada Sang Buddha agar menugaskan seorang
bhikkhu untuk memberikan pelajaran Dhamma. Raja
menghampiri Sang Buddha dan menceritakan maksudnya. Sang
Buddha memerintahkan Ananda untuk memberikan pelajaran
Dhamma secara teratur kepada Ratu Malika dan Ratu
Vasabhakhattiya di istana.
Setelah beberapa waktu, Sang Buddha bertanya kepada
Ananda tentang kemajuan dari kedua orang ratu tersebut.
Ananda menjawab bahwa Ratu Malika mendengarkan Dhamma
dengan sungguh-sungguh, sedagkan Vasabhakhattiya tidak
sungguh-sungguh belajar Dhamma. Mendengar ini Sang Buddha
berkata bahwa Dhamma akan memberikan manfaat bagi
seseorang yang mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, penuh
hormat, dan penuh perhatian serta rajin mempraktekkan apa
yang telah dipelajari.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 51 dan 52
berikut: Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau
harum; demikian pula akan tidak bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.
Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum;
demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang
diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.
*** IV:10-Kisah Visakha
Seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Danancaya, dari
istrinya Sumanadevi mempunyai putri yang dinamai Visakha.
Visakha juga merupakan cucu dari Mendaka, salah seorang dari lima hartawan yang ada wilayah kerajaan Raja Bimbisara.
Ketika Visakha berusia tujuh belas tahun, Sang Buddha
berkunjung ke Bhaddiya.
Pada suatu kesempatan hartawan Mendaka mengajak
Visakha dan lima ratus pengawalnya untuk memberikan
penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah mendengar
khotbah Sang Buddha, Visakha, kakeknya dan semua lima ratus
pengawalnya mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Ketika Visakha dewasa, dia menikah dengan
Punnavaddhana, putra Migara, seorang hartawan dari Savatthi.
Suatu hari, ketika Migara sedang makan siang, seorang bhikkhu berhenti untuk berpindapatta di rumah tersebut; tetapi Migara menolak bhikkhu tersebut.
Visakha melihat hal ini, kemudian berkata kepada bhikkhu
tersebut: "Maafkan saya, teruslah berjalan Bhante, ayah mertua saya hanya makan makanan basi".
Mendengar hal itu, Migara menjadi sangat marah dan
menyuruhnya untuk pergi. Tetapi Visakha mengatakan bahwa ia
tidak akan pergi, dan dia akan memanggil delapan wali yang
tidak akan pergi, dan dia akan memanggil delapan wali yang
dikirim oleh ayahnya untuk menemaninya dan menasehatinya.
Wali-wali tersebut akan memutuskan apakah Visakha bersalah
atau tidak bersalah.
Ketika para wali telah berkumpul, Migara berkata:
"Ketika saya sedang makan nasi dan susu dengan mangkuk
emas, Visakha mengatakan bahwa saya makan makanan kotor
dan basi. Untuk kesalahan itu, saya akan mengirimnya pulang".
Kemudian Visakha menjelaskan sebagai berikut: "Ketika
saya melihat ayah mertua saya membiarkan seorang bhikkhu
berdiri untuk berpindapatta. Saya berpikir bahwa ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik pada saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan baiknya yang lampau. Maka,
saya mengatakan, ayah mertua saya hanya makan makanan basi.
Sekarang tuan-tuan, apakah anda pikir, saya bersalah?"
Para wali memutuskan bahwa Visakha tidak bersalah.
Visakha kemudian mengatakan bahwa dia salah seorang
pengikut Buddha yang taat dan berkeyakinan kuat dan tidak
dapat tinggal diam ketika para bhikkhu datang. Juga, apabila dia tidak diberikan izin untuk mengundang para bhikkhu untuk
menerima dana makanan dan persembahan lainnya, dia akan
meninggalkan rumah. Maka Visakha memperoleh izin untuk
mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu ke rumahnya.
Keesokan harinya Sang Buddha dan murid-muridnya
diundang ke rumah Visakha. Ketika dana makanan telah
disajikan, Visakha mengundang ayah mertuanya untuk bersamadisajikan, Visakha mengundang ayah mertuanya untuk bersamasama mendanakan makanan tersebut. Tetapi ayah mertuanya
tidak mau datang. Setelah makan siang berakhir, sekali lagi dia mengundang ayah mertuanya, kali ini dengan pesan agar ayah
mertuanya datang untuk ikut mendengarkan khotbah yang akan
segera diberikan oleh Sang Buddha. Ayah mertuanya merasa
bahwa tidak seharusnya dia menolak untuk kedua kalinya.
Tetapi, gurunya, pertapa Nigantha, tidak mengizinkan dia pergi.
Mereka memutuskan untuk mendengarkan dari balik tirai.
Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Migara mencapai
tingkat kesucian sotapatti. Dia sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan juga menantunya.
Sebagai bentuk rasa terima kasihnya, ia menyatakan
bahwa mulai sekarang Visakha akan menjadi ibunya, dan
Visakha kemudian dikenal sebagai Migaramata.
Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh
anak perempuan, dan masing-masing anak mempunyai sepuluh
anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.
Visakha memiliki sebuah perhiasan yang dihiasi dengan
permata-permata yang mahal harganya, pemberian ayahnya
pada hari pernikahannya. Suatu hari Visakha pergi ke Vihara
Jetavana bersama para pengikutnya. Saat tiba di vihara, ia
merasa bahwa perhiasannya sangat berat. Maka, ia melepaskan
perhiasannya dan membungkusnya dengan selendang,
memberikan kepada pelayannya untuk dibawa dan dijaganya.
Ternyata pelayan tersebut lupa ketika mereka meninggalkan
vihara. Sudah menjadi kebiasaan Y.A. Ananda menyimpan
vihara. Sudah menjadi kebiasaan Y.A. Ananda menyimpan
barang-barang yang ditinggalkan oleh umat.
Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara: "Pergi
dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Y.A. Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa
pulang kembali; saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Y.A. Ananda".
Tetapi Y.A. Ananda tidak menerima dana tersebut.
Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan
tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya.
Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan
tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan crore dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota; vihara ini dikenal dengan nama
Pubbarama. Setelah upacara pelimpahan jasa ia mengundang seluruh
keluarganya dan mengatakan kepada mereka bahwa semua
keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi mempunyai
keinginan. Kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar mengelilingi vihara.
Beberapa bhikkhu mendengarnya. Mereka berpikir bahwa
kelakuan Visakha sangat berlebihan. Maka mereka melaporkan
kepada Sang Buddha bahwa Visakha tidak seperti sebelumnya,
berkeliling vihara sambil menyanyi.
Para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha: "Apakah itu
berarti Visakha kehilangan akal sehatnya?"
berarti Visakha kehilangan akal sehatnya?"
Sang Buddha menjawab, "Hari ini, Visakha telah
memenuhi semua keinginannya di masa lampau maupun saat ini
dan atas usaha sendiri. Ia merasa gembira dan puas. Visakha
sedang melantunkan beberapa syair kegembiraan; yang pasti ia tidak kehilangan akal sehatnya. Visakha, pada kehidupan
lampau, selalu menjadi seorang pendana yang murah hati dan
bersemangat mendukung ajaran-ajaran para Buddha. Ia juga
berkecenderungan kuat melakukan perbuatan-perbuatan baik,
dan telah melakukan hal-hal baik juga pada kehidupan
lampaunya, seperti seorang ahli bunga menyusun banyak
rangkaian bunga dari setumpuk bunga".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 53 berikut:
Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak
karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan
dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
*** IV:11&12-Kisah Pertanyaan Ananda
Di suatu senja Y.A. Ananda sedang duduk sendiri. Dalam
pikiran beliau timbul masalah yang berkaitan dengan bau dan
wangi-wangian. Ia berpikir: "Harumnya kayu, harumnya bunga-bunga, dan
harumnya akar-akaran semuanya menyebar searah dengan arah
angin tetapi tidak bisa berlawanan dengan arah angin. Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat melawan arah angin"
Apakah tidak ada wangi-wangian yang dapat merebak ke
seluruh dunia?"
Tanpa menjawab pertanyaannya sendiri, Y.A. Ananda
menghampiri Sang Buddha dan meminta jawaban dari-Nya.
Sang Buddha mengatakan, "Ananda, andai saja, ada
seseorang yang berlindung terhadap Tiga Permata (Buddha,
Dhamma, Sangha), yang melaksanakan lima latihan sila, yang
murah hati dan tidak kikir, seseorang yang sungguh bijaksana dan layak memperoleh pujian. Kebaikan orang tersebut akan
menyebar jauh dan luas, dan para bhikkhu, brahmana dan semua umat akan menghormatinya di manapun ia tinggal".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 54 dan 55
berikut ini: Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu
pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi
pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi
harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama
orang bajik dapat menyebar ke segenap penjuru.
Harumnya kebajikan adalah jauh melebihi harumnya kayu
cendana, bunga tagara, teratai maupun melati.
*** IV:13-Kisah Mahakassapa Thera
Setelah mencapai Nirodhasamapatti (pencerapan batin
mendalam), Mahakassapa Thera memasuki suatu desa yang
miskin di kota Rajagaha untuk berpindapatta. Beliau bermaksud untuk memberikan kesempatan bagi orang-orang miskin tersebut untuk memperoleh jasa baik sebagai hasil berdana kepada
seseorang yang baru saja mencapai Nirodhasamapatti.
Sakka, raja para dewa, yang berharap mendapat
kesempatan untuk berdana kepada Mahakassapa Thera
menyamar sebagai tukang tenun yang sudah tua dan miskin dan
datang ke Rajagaha dengan istrinya Sujata yang menyamar
sebagai wanita tua.
Mahakassapa Thera berdiri di depan pintu rumah mereka.
Tukang tenun yang sudah tua itu mengambil mangkuk dari
Mahakassapa Thera dan mengisi mangkuk tersebut penuh
dengan nasi dan kari, dan harumnya kari tersebut menyebar ke seluruh kota. Kejadian ini menyadarkan Mahakassapa Thera
bahwa orang tersebut bukan manusia biasa. Dia menghampiri
untuk meyakinkan bahwa orang tersebut adalah Sakka.
Sakka mengakui siapa dia sebenarnya dan menyatakan
bahwa dia juga miskin sebab dia jarang mempunyai kesempatan
untuk mendanakan sesuatu kepada seseorang selama masa
kehidupan para Buddha. Setelah mengatakan hal tersebut,
Sakka dan istrinya meninggalkan Mahakassapa Thera; setelah
memberikan penghormatan kepadanya.
Sang Buddha, dari vihara tempat Beliau tinggal,
mengetahui bahwa Sakka dan Sujata telah pergi dan mengatakan kepada para bhikkhu tentang dana makanan dari Sakka kepada
Mahakassapa Thera. Para bhikkhu kagum bagaimana Sakka
mengetahui bahwa Mahakassapa Thera baru mencapai
Nirodhasamapatti, dan merupakan waktu yang sangat tepat dan
bermanfaat baginya untuk berdana kepada Sang Thera.
Pertanyaan ini diajukan kepada Sang Buddha, dan Sang
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Buddha menjawab, "Para bhikkhu, kebajikan seseorang seperti
putraKu, Mahakassapa Thera, menyebar luas dan jauh; bahkan
mencapai alam dewa. Karena timbunan perbuatan baiknya,
Sakka sendiri telah datang untuk berdana makanan kepadanya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 56 berikut:
Tidaklah seberapa harumnya bunga tagara dan kayu
cendana; tetapi harumnya mereka yang memiliki sila (kebajikan) menyebar sampai ke surga.
*** IV:14-Kisah Godhika Thera
Godhika Thera, pada suatu kesempatan, melatih meditasi
ketenangan dan pandangan terang, di atas lempengan batu di
kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, beliau jatuh sakit; dan kondisi ini mempengaruhi
latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap berlatih dengan keras; tetapi setiap kali beliau mencapai kemajuan beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali.
Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras hingga
mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa beristirahat beliau melanjutkan meditasinya dengan
rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya
sendiri. Dengan memilih perasaan sakit sebagai obyek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan
berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan
pikirannya dan mencapai arahat, tepat sebelum beliau meninggal.
Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah
meninggal dunia, ia mencoba untuk menemukan di mana
Godhika Thera tersebut dilahirkan tetapi gagal. Maka, dengan menyamar seperti laki-laki muda, Mara menghampiri Sang
Buddha dan bertanya di mana Godhika Thera sekarang.
Sang Buddha menjawab, "Tidak ada manfaatnya bagi
kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari
kekotoran-kekotoran moral ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu
tidak akan dapat menemukan kemana para arahat pergi setelah
meninggal dunia".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 57 berikut:
Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki
sila, yang hidup tanpa kelengahan, dan yang telah terbebas
melalui Pengetahuan Sempurna.
*** IV:15&16-Kisah Garahadinna
Ada dua orang sahabat bernama Sirigutta dan Garahadinna
tinggal di Savatthi. Sirigutta adalah seorang pengikut Buddha dan Garahadinna adalah pengikut Nigantha, pertapa yang memusuhi
Sang Buddha. Dalam hal berkaitan dengan Nigantha, Garahadinna sering
kali berkata kepada Sirigutta, "Apa manfaat yang kamu
dapatkan menjadi pengikut Buddha" Kemarilah, jadilah pengikut guruku".
Setelah berulang kali dibujuk, Sirigutta berkata kepada
Garahadinna, "Katakan padaku, apa yang diketahui oleh
gurumu?" Garahadinna mengatakan bahwa gurunya dapat
mengetahui masa lampau, saat ini, dan masa depan dan juga
dapat membaca pikiran orang lain. Maka, Sirigutta mengundang Nigantha untuk datang ke rumahnya untuk menerima dana
makanan. Maka ia membuat sebuah parit yang dalam dan panjang
dan dipenuhi dengan sampah dan kotoran. Tempat duduk untuk
Nigantha dan murid-muridnya ditempatkan dengan sembarangan
di atas parit. Belanga-belanga kotor dan besar dibawa masuk
dan ditutup dengan kain dan daun-daun pisang agar kelihatan
seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.
seolah-olah penuh dengan nasi dan kari.
Ketika pertapa-pertapa Nigantha tiba, mereka
dipersilahkan untuk masuk satu persatu, untuk berdiri di dekat tempat duduk yang telah disiapkan, dan langsung dipersilahkan duduk. Ketika mereka telah duduk, penutup parit tadi pecah dan pertapa-pertapa Nigantha jatuh ke dalam parit yang kotor.
Kemudian Sirigutta bertanya kepada mereka, "Kenapa
kamu tidak mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan"
Mengapa kamu tidak tahu pikiran orang lain?" Semua pertapapertapa Nigantha merasa dijebak.
Garahadinna sangat marah kepada Sirigutta dan menolak
untuk berbicara dengannya selama dua minggu. Kemudian, ia
memutuskan bahwa ia akan membalas perlakuan Sirigutta.
Karena itu, ia memutuskan untuk tidak marah lebih lama lagi.
Suatu hari ia menyuruh Sirigutta mengundang Sang Buddha
dan lima ratus muridnya untuk berpindapatta. Maka Sirigutta
menghadap Sang Buddha dan mengundangNya ke rumah
Garahadinna. Ia mengatakan kepada Sang Buddha apa yang ia
lakukan kepada pertapa-pertapa Nigantha, guru Garahadinna. Ia juga menunjukkan rasa takut bahwa undangan tersebut mungkin
suatu jebakan. Sang Buddha dengan kekuatan supranaturalNya,
mengetahui bahwa akan merupakan suatu kesempatan bagi dua
sahabat itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Dengan tersenyum Sang Buddha menyatakan undangan tersebut
diterima. diterima. Garahadinna membuat sebuah parit, dipenuhi dengan bara
yang menyala dan ditutup dengan karpet. Dia juga meletakkan
belanga-belanga kosong yang ditutup dengan kain dan daundaun pisang agar kelihatannya penuh dengan nasi dan kari.
Keesokan harinya, Sang Buddha datang dikuti oleh lima
ratus bhikkhu dalam satu rombongan. Ketika Sang Buddha
melangkah di atas karpet yang menutupi arang yang menyala,
karpet dan bara api tiba-tiba menghilang, dan lima ratus bunga teratai sebesar roda kereta, membentang untuk Sang Buddha
dan murid-muridNya duduk.
Melihat keajaiban ini, Garahadinna sangat cemas dan dia
mengatakan kepada Sirigutta: "Bantulah saya, teman. Bukan
keinginan saya untuk membalas dendam. Saya telah melakukan
perbuatan yang salah. rencana buruk saya tidak ada yang
berpengaruh terhadap semua gurumu. Periuk-periuk yang ada di dapur semuanya kosong. tolonglah saya".
Sirigutta kemudian berkata kepada Garahadinna untuk
pergi dan melihat periuk-periuk tersebut. Ketika Garahadinna melihat ke dapur semua periuk-periuknya telah berisi makanan.
Ia menjadi sangat kagum. Pada waktu yang sama juga menjadi
sangat lega dan gembira. Makanan tersebut disajikan kepada
Sang Buddha dan murid-muridNya.
Selesai makan, Sang Buddha menyatakan anumodana
terhadap perbuatan baik itu dan beliau berkata, "Mereka yang tidak tahu, kurang pengetahuan, tidak mengetahui kualitas yang unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang
unik dari Sang Buddha, Dhamma, Sangha, mereka seperti orang
buta. Tetapi orang bijaksana yang memiliki pengetahuan, seperti orang melihat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 58 dan 59
berikut ini: Seperti dari tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan,
tumbuh bunga teratai yang berbau harum dan menyenangkan
hati. Begitu juga di antara orang di dunia, siswa Sang Buddha
Yang Maha Sempurna bersinar menerangi dunia yang gelap ini
dengan kebijaksanaannya.
Ketika mendengarkan khotbah Sang Buddha, perlahanlahan tubuh Garahadinna diliputi oleh kegembiraan dan
kebahagiaan. Pada akhir khotbah, Sirigutta dan Garahadinna
mencapai tingkat sotapatti.
Keduanya memperbarui persahabatan mereka dan
menjadi penyokong utama bagi Sang Buddha dan para bhikkhu.
Mereka juga banyak berdana untuk kepentingan Dhamma.***
V:1-Kisah Seorang Pemuda
Suatu hari Raja Pasenadi dari Kosala sedang berjalan-jalan di kota. Secara tidak sengaja beliau melihat seorang wanita muda berdiri dekat jendela rumahnya dan beliau langsung jatuh cinta.
Raja mencoba untuk menemukan berbagai cara dan kesempatan
untuk mendapatkannya. Setelah mengetahui bahwa wanita muda
itu telah menikah, raja memanggil suami wanita muda tersebut dan dijadikan pelayan di istana.
Suatu ketika raja memerintahkan suami wanita muda itu
untuk melakukan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Pemuda itu diperintahkan untuk pergi ke suatu tempat, satu yojana (dua
belas mil) jauhnya dari Savatthi, serta membawa pulang
beberapa bunga teratai Kumuda dan sedikit tanah merah yang
dikenal dengan nama Arunavati, tanahnya Naga, dan kembali ke Savatthi pada sore yang sama, pada waktu raja mandi.
Tujuan raja adalah untuk membunuh suami wanita muda
tersebut jika ia gagal kembali pada waktu yang telah ditentukan, dan mengambil wanita muda itu sebagai istrinya.
Pemuda itu mengambil ransum makanan dari istrinya
dengan tergesa-gesa, dan segera berangkat untuk melaksanakan perintah raja. Di perjalanan, pemuda itu membagi bekal
makanannya kepada seorang pengembara.
Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan
Dia juga melemparkan sedikit nasi ke dalam air dan
berteriak: "O, makhluk-makhluk penjaga dan naga-naga
penghuni sungai ini! Raja Pasenadi telah menyuruhku untuk
mengambil beberapa bunga teratai Kumuda dan tanah merah
Arunavati untuk beliau. Hari ini aku telah membagi makananku dengan seorang pengembara; aku juga memberi makanan buat
ikan-ikan di sungai; sekarang aku juga membagi manfaat
perbuatan baikku yang telah aku lakukan hari ini denganmu.
Berilah aku bunga teratai Kumuda dan tanah merah Arunavati".
Raja Naga mendengarnya. Dengan menyamar sebagai
orang tua memberikan bunga teratai dan tanah merah yang
diharapkan. Sore hari Raja Pasenadi yang cemas seandainya pemuda
tersebut datang kembali tepat pada waktunya telah
memerintahkan untuk menutup gerbang kota lebih awal. Setelah mengetahui bahwa pintu gerbang kota telah ditutup maka
pemuda tadi meletakkan tanah merah pada dinding kota dan
menempelinya dengan bunga teratai.
Kemudian dia menyatakan dengan keras: "O, para warga
kota! Jadilah saksiku! Hari ini aku telah memenuhi tugasku tepat pada waktunya seperti yang telah diperintahkan oleh raja. Raja Pasenadi, tanpa ada keadilan, merencanakan untuk
membunuhku".
Setelah itu pemuda tadi menuju Vihara Jetavana untul
mencari perlindungan dan menghibur dirinya di tempat yang
penuh kedamaian tersebut.
Di lain pihak Raja Pasenadi yang digoda oleh nafsu
seksualnya, tidak dapat tidur, dan terus memikirkan bagaimana menyingkirkan suami wanita muda itu dan memperistrinya.
Tengah malam beliau mendengar suara-suara aneh; yang
sesungguhnya merupakan suara-suara yang menyayat hati dari
empat makhluk menderita di alam Lohakumbhi Niraya. Sang
Raja sangat ketakutan mendengar suara-suara yang mengerikan
tersebut. Keesokan paginya Raja Pasenadi mengunjungi Sang
Buddha, seperti yang disarankan oleh Ratu Malika.
Kemudian Sang Buddha menjelaskan tentang empat suara
yang didengar raja pada malam hari, Beliau mengatakan bahwa
suara-suara itu merupakan suara-suara empat makhluk, yang
merupakan putra dari seorang hartawan yang hidup pada masa
Buddha Kassapa, dan sekarang mereka menderita di
Lohakumbhi Niraya sebab mereka telah melakukan perzinahan
dengan istri-istri orang lain.
Raja akhirnya menyadari perbuatan buruk dan akibat yang
akan diperoleh. Raja berjanji tidak akan menginginkan istri orang lain lagi.
"Kejadian itu sama dengan nafsu keinginanku untuk
memiliki istri orang lain yang membuatku tersiksa dan tidak dapat tidur", pikir beliau.
Kemudian Raja Pasenadi mengatakan kepada Sang
Buddha, "Bhante, sekarang saya menyadari bagaimana lamanya
malam untuk seseorang yang tidak dapat tidur".
Pemuda tadi juga mengatakan, "Bhante, saya telah
Pemuda tadi juga mengatakan, "Bhante, saya telah
melakukan perjalanan penuh satu yojana kemarin, saya juga
mengetahui bagaimana panjangnya satu yojana bagi seseorang
yang lelah".
Sang Buddha kemudian membabarkan syair 60 dengan
menggabungkan kedua pernyataan di atas seperti berikut ini:
Malam terasa panjang bagi orang yang berjaga, satu
yojana terasa jauh bagi orang yang lelah; sungguh panjang siklus kehidupan bagi orang bodoh yang tak mengenal Ajaran Benar.
Pemuda tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
V:2-Kisah Murid Yang Tinggal Bersama
Mahakassapa Thera
Ketika Mahakassapa Thera bersemayam dekat Rajagaha, beliau
tinggal bersama dua orang bhikkhu muda. Salah satu bhikkhu
tersebut sangat hormat, patuh, dan taat kepada Mahakassapa
Thera. Tetapi bhikkhu yang satu lagi tidak seperti itu. Ketika Mahakassapa Thera mencela kekurang-taatan melaksanakan
tugas-tugas murid yang belakangan, murid tersebut sangat
kecewa. Pada suatu kesempatan, ia pergi ke salah satu rumah umat
awam siswa Mahakassapa Thera, dan membohongi mereka
bahwa Sang Thera sedang sakit. Ia mendapatkan beberapa
makanan dari mereka untuk Mahakassapa Thera. Tetapi ia
makan makanan tersebut di perjalanan. Ketika Sang Thera
menasehati tentang kelakuannya itu, bhikkhu tersebut menjadi sangat marah.
Keesokan harinya ketika Mahakassapa Thera pergi keluar
untuk berpindapatta, bhikkhu muda yang bodoh ini tidak ikut. Ia memecahkan tempat air dan kuali, serta membakar vihara.
Seorang bhikkhu dari Rajagaha menceriterakan peristiwa
itu kepada Sang Buddha, Sang Buddha mengatakan lebih baik
Mahakassapa Thera tinggal sendirian daripada tinggal bersama orang bodoh.
orang bodoh. Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 61 berikut:
Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan
sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya, maka
hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri.
Janganlah bergaul dengan orang bodoh.
Bhikkhu dari Rajagaha tersebut mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
V:3-Kisah Ananda, Seorang Hartawan
Tinggalah seorang hartawan yang sangat kaya bernama Ananda
di Savatthi. Meskipun dia memiliki delapan crore, dia tidak mau memberikan sesuatu apapun untuk berdana.
Kepada anaknya Mulasiri, dia sering mengatakan, "Jangan
berpikir bahwa kekayaan yang kita miliki saat ini cukup banyak.
Jangan berikan sesuatu apapun yang kau punyai, untukmu
buatlah semakin bertambah. Jika tidak, kekayaanmu akan
semakin berkurang".
Orang kaya ini memiliki lima guci berisi emas yang dikubur
di dalam rumahnya dan ia meninggal dunia tanpa
memberitahukan tempat penyimpanan guci itu kepada putranya.
Ananda, orang kaya yang telah meninggal tadi, dilahirkan
kembali di sebuah perkampungan pengemis, tidak jauh dari
Savatthi. Waktu ibunya sedang mengandung, penghasilan dan
keberuntungan para pengemis menurun. Penduduk
perkampungan itu berpikir bahwa ada seseorang yang tidak
beruntung dan menyebabkan kesialan di antara mereka. Dengan
membagi mereka ke dalam kelompok-kelompok, mereka
mengambil kesimpulan bahwa pengemis wanita yang sedang
mengandung itu mendatangkan kesialan bagi mereka.
ia diusir keluar daru desa. Ketika anaknya lahir, anaknya
sangat jelek dan menjijikkan. Jika pengemis wanita itu pergi sangat jelek dan menjijikkan. Jika pengemis wanita itu pergi mengemis sendirian ia akan memperoleh hasil seperti biasa,
tetapi jika ia pergi bersama putranya ia tidak mendapatkan apa-apa. Maka, ketika putranya bertambah dewasa dan dapat
berjalan sendiri, ibunya memasang tanda di tangannya dan
kemudian meninggalkannya.
Ketika pengemis muda itu berkelana ke Savatthi, ia
mengingat rumahnya dan kehidupannya yang lampau. Ia
mengunjungi rumah tersebut. Anak-anak dari putranya, Mulasiri, melihatnya. Mereka sangat ketakutan melihat penampilannya
yang buruk. Pelayan-pelayan kemudian memukulinya dan
mendorongnya keluar rumah.
Sang Buddha yang sedang melakukan pindapatta melihat
peristiwa itu dan meminta Y.A. Ananda untuk mengundang
Mulasiri. Ketika Mulasiri datang, Sang Buddha memberitahukan bahwa pengemis muda tadi adalah ayahnya sendiri pada
kehidupan yang lampau. Tetapi Mulasiri tidak mempercayainya.
Maka Sang Buddha menyuruh pengemis muda itu untuk
menunjukkan dimana lima buah guci emas tersebut dikubur.
Akhirnya Mulasiri menerima kenyataan yang ada dan sejak saat itu menjadi umat awam pengikut Sang Buddha.
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 62 berikut:
"Anak-anak ini milikku, kekayaan ini milikku", demikianlah
pikiran orang bodoh. Apabila dirinya sendiri sebenarnya bukan merupakan miliknya, bagaimana mungkin anak dan kekayaan itu
menjadi miliknya"
menjadi miliknya"
*** V:4-Kisah Dua Orang Pencopet
Suatu ketika dua orang pencopet bersama-sama dengan
sekelompok umat awam pergi ke Vihara Jetavana. Di sana Sang
Buddha sedang memberikan khotbah. Satu di antara mereka
mendengarkan dengan penuh perhatian dan mencapai tingkat
kesucian sotapatti.
Tetapi pencopet satunya lagi tidak memperhatikan
khotbah yang disampaikan karena ia hanya berpikir untuk
mencuri sesuatu. Ia mengatur cara untuk mengambil sejumlah
uang dari salah seorang umat.
Setelah khotbah berakhir mereka pulang dan memasak
makan siangnya di rumah pencopet kedua, pencopet yang sudah
mengatur cara untuk mengambil sejumlah uang tersebut.
Istri dari pencopet kedua mencela pencopet pertama:
"Kamu sangat tidak bijaksana, mengapa kamu tidak mempunyai
sesuatu untuk dimasak di rumahmu?"
Mendengar pernyataan tersebut, pencopet pertama
berpikir, "Orang ini sangat bodoh, dia berpikir bahwa dia
menjadi sangat bijaksana".
Kemudian bersama-sama dengan keluarganya, ia
menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang telah
terjadi pada dirinya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut:
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 63 berikut:
Bila orang bodoh dapat menyadari kebodohannya, maka
ia dapat dikatakan bijaksana; tetapi orang bodoh yang
menganggap dirinya bijaksana, sesungguhnya dialah yang disebut orang bodoh.
Semua keluarga pencopet pertama tersebut mencapai
tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.*** V:5-Kisah Udayi Thera
Udayi Thera sering mengunjungi, dan duduk di atas tempat
duduk, di mana para thera terpelajar duduk pada waktu
menyampaikan khotbah. Pada suatu kesempatan, beberapa
bhikkhu tamu menyangka bahwa ia adalah seorang thera yang
terpelajar, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan tentang lima kelompok unsur khandha. Udayi Thera tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebab beliau tidak
mengerti sama sekali tentang Dhamma.
Para bhikkhu tamu sangat terkejut menemukan seseorang
yang tinggal dalam satu vihara dengan Sang Buddha hanya
mengetahui sedikit saja tentang khandha dan ayatana (dasar
indria dan obyek indria).
Kepada para bhikkhu tamu itu Sang Buddha menerangkan
keadaan Udayi Thera dalam syair 64 berikut ini:
Orang bodoh, walaupun selama hidupnya bergaul dengan
orang bijaksana, tetap tidak akan mengerti Dhamma, bagaikan
sendok yang tidak dapat merasakan rasa sayur.
*** V:6-Kisah Tiga Puluh Bhikkhu Dari
Paveyyaka Suatu ketika, tiga puluh orang pemuda dari Paveyyaka
bersenang-senang dengan seorang pelacur di hutan. Ketika
mereka lengah, pelacur itu mencuri beberapa perhiasan dan
melarikan diri.
Pemuda-pemuda tersebut mencari pelacur yang lari di
hutan, mereka bertemu dengan Sang Buddha dalam perjalanan.
Sang Buddha menyampaikan suatu khotbah kepada para
pemuda tersebut dan mereka mencapai tingkat kesucian
sotapatti. Mereka semuanya bergabung dengan Sang Buddha
dan ikut ke Vihara Jetavana.
Ketika tinggal di vihara, mereka berlatih dengan sunggugsungguh hidup sederhana atau melaksanakan latihan keras
(dhutanga). Akhirnya ketika Sang Buddha menyampaikan
"Anamattagga Sutta" (Khotbah tentang Keberadaan Hidup yang
Tak terhitung), seluruh bhikkhu mencapai tingkat kesucian
arahat. Ketika bhikkhu-bhikkhu yang lain memberikan komentar
bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Paveyyaka sangat cepat mencapai
tingkat kesucian Arahat, Sang Buddha menjawab dalam syair 65
berikut: Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan
Walaupun hanya sesaat saja orang pandai bergaul dengan
orang bijaksana, namun dengan segera ia akan dapat mengerti
Dhamma, bagaikan lidah yang dapat merasakan rasa sayur.
*** V:7-Kisah Suppabuddha, Penderita Kusta
Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian
belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh
perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha,
mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang
tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha
tentang pencapaiannya.
Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji
keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma,
dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata: "Kamu hanya
seorang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun
yang mendekati kamu. Saya dapat memberi kamu kekayaan
yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan
Sangha dan katakan pula bahwa kamu tidak bermanfaat bagi
mereka". Suppabuddha menjawab, "Sesungguhnya saya bukanlah
orang miskin, tanpa seorang pun yang percaya. Saya orang
kaya; saya meyakini tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), malu berbuat jahat (hiri), takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa),
pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan
(panna). Kemudian Sakka menghadap Sang Buddha mendahului
Suppabuddha dan menceritakan percakapannya dengan
Suppabuddha. Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah
meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk
Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada
Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian
sotapatti. Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana,
Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah satu raksasa yang
menyamar sebagai seekor sapi. Raksasa ini tidak lain adalah
pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya
yang lampau dan yang telah memenuhi keinginannya untuk
membalas dendam.
Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara
Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, dimana
Suppabuddha dilahirkan kembali dan Sang Buddha menjawab
bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di Alam Dewa
Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para
bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta
karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah
meludahi seorang Paccekabuddha.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 66 berikut:
Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya
memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan
memperlakukan diri sendiri seperti musuh; ia melakukan
perbuatan jahat yang akan menghasilkan buah yang pahit.
*** V:8-Kisah Seorang Petani
Suatu hari beberapa pencuri setelah mencuri benda-benda
berharga dan sejumlah uang dari rumah orang kaya melarikan
diri ke suatu ladang. Di sana mereka membagi hasil curian dan berlari berpisah. Tetapi sebuah bungkusan yang berisi uang yang berjumlah banyak terjatuh dari tangan salah seorang pencuri, dan tertinggal di belakang. Tidak ada yang memperhatikan.
Keesokan paginya Sang Buddha yang sedang mengamati
dunia dengan penglihatan supranaturalnya, melihat bahwa ada
seorang petani sedang bekerja dekat ladang tersebut, akan
mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Segera Sang Buddha pergi ke sana, ditemani oleh Y.A.
Ananda. Petani tersebut ketika melihat Sang Buddha memberi
hormat, kemudian melanjutkan kembali membajak sawah.
Sang Buddha melihat bungkusan uang tersebut dan
berkata, "Ananda, lihatlah seekor ular yang sangat berbisa".
Ananda menjawab, "Ya, Bhante, itu benar-benar seekor
ular yang sangat berbisa!"
Kemudian Sang Buddha dan Ananda melanjutkan
perjalanannya. Petani itu mendengarkan percakapan tersebut di atas, ia
pergi mencari apakah benar ada seekor ular, dan menemukan
bungkusan yang berisi uang. Ia mengambil bungkusan itu dan
bungkusan yang berisi uang. Ia mengambil bungkusan itu dan
menyembunyikannya di suatu tempat.
Pemilik barang yang dicuri datang ke ladang mencari jejak
para pencuri. Ia menemukan jejak kaki petani, kemudian ia
menemukan bungkusan uang. Ia menangkap petani itu dengan
dakwaan sebagai pencuri dan menghadapkannya kepada raja.
Raja memerintahkan orang kaya itu untuk membunuh
petani. Ketika dibawa ke pemakaman, tempat petani akan
dibunuh, petani itu mengulang kalimat: "Ananda, lihatlah ada seekor ular yang sangat berbisa. Bhante, saya melihat ular;
sungguh-sungguh seekor ular yang sangat berbisa!"
Ketika pegawai raja mendengar percakapan antara Sang
Buddha dan Ananda diulang-ulang selama dalam perjalanan,
mereka kebingungan, dan membawanya menghadap raja. Raja
menyangka bahwa petani itu memanggil Sang Buddha untuk
dijadikan saksi; beliau kemudian meminta kehadiran Sang
Buddha. Setelah mendengar segala keterangan apa yang terjadi
pagi hari itu dari Sang Buddha, raja mengatakan, "Apabila ia tidak dapat memanggil Sang Buddha sebagai saksi yang
menyatakan ia tidak bersalah, orang ini akan dibunuh".
Kepada petani itu, Sang Buddha berkata, "Orang
bijaksana seharusnya tidak melakukan sesuatu yang akan
membuatnya menyesal setelah melakukannya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 67 berikut:
Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan
membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu tidak baik.
Orang itu akan menerima akibat perbuatannya dengan ratap
tangis dan wajah yang berlinang air mata.
Petani tersebut mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.***
V:9-Kisah Sumana, Penjual Bunga
Seorang penjual bunga, bernama Sumana, harus mengirimkan
bunga melati kepada Raja Bimbisara dari Rajagaha setiap pagi.
Suatu hari, ketika ia akan pergi ke istana, ia melihat Sang
Buddha, dengan pancaran sinar aura sangat terang, datang ke
kota untuk berpindapatta dengan dikuti oleh beberapa bhikkhu.
Melihat Sang Buddha yang sangat agung, penjual bunga
Sumana sangat ingin mendanakan bungannya kepada Sang
Buddha, pada saat itu dan di tempat itu pula. Ia memutuskan, meskipun raja akan mengusirnya dari kota atau membunuhnya, ia tidak akan memberikan bunganya kepada raja pada hari itu.
Kemudian ia melemparkan bunganya ke samping, ke
belakang, ke atas dan di atas kepala Sang Buddha. Bungabunga itu menggantung di udara; di atas kepala Sang Buddha
membentuk seperti payung dari bunga-bunga. Di belakang dan
di sisi-sisi Beliau membentuk seperti dinding. Bunga-bunga ini terus mengikuti Sang Buddha ke mana saja Beliau berjalan, dan ikut berhenti ketika Beliau berhenti.
Ketika Sang Buddha berjalan, dikelilingi oleh dindingdinding dari bunga, dan dipayungi oleh bunga, dengan enam sinar yang memancar dari tubuhnya, dikuti oleh kelompok besar,
ribuan orang dari dalam maupun dari luar kota Rajagaha.
Mereka keluar dari rumahnya dan memberi hormat kepada Sang
Buddha. Bagi Sumana sendiri, seluruh tubuhnya diliputi dengan kegiuran batin (piti).
Istri Sumana kemudian menghadap raja dan berkata
bahwa ia tidak ikut campur dalam kesalahan suaminya, karena
suaminya tidak mengirim bunga kepada raja hari ini. Raja yang telah mencapai tingkat kesucian sotapanna, merasa sangat
berbahagia. Ia keluar istana untuk melihat pemandangan yang
indah itu dan memberikan hormat kepada Sang Buddha.
Raja juga mengambil kesempatan untuk memberikan dana
makanan kepada Sang Buddha dan murid-muridnya. Setelah
makan siang, Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana dan raja mengikutinya sampai beberapa jauh.
Dalam perjalanan pulang raja memanggil Sumana dan
memberikan penghargaan kepadanya yang berupa delapan ekor
gajah, delapan ekor kuda, delapan orang budak laki-laki,
delapan orang budak wanita, delapan orang anak gadis, dan
uang delapan ribu.
Di Vihara Jetavana, Y.A. Ananda bertanya kepada Sang
Buddha apa manfaat yang akan diperoleh Sumana dari
perbuatan baik yang telah dilakukannya pada pagi hari itu. Sang Buddha menjawab bahwa Sumana, yang telah memberikan dana
kepada Sang Buddha tanpa memikirkan hidupnya, tidak akan
dilahirkan di empat alam yang menyedihkan (Apaya) untuk
beratus-ratus ribu kehidupan yang akan datang. Dan ia akan
menjadi seorang Paccekabuddha. Setelah itu, Sang Buddha
memasuki Gandhakuti, dan bunga-bunga itu jatuh dengan
memasuki Gandhakuti, dan bunga-bunga itu jatuh dengan
sendirinya. Malam harinya, pada akhir khotbah Sang Buddha
membabarkan syair 68 berikut ini:
Bila suatu perbuatan setelah selesai dilakukan tidak
membuat seseorang menyesal, maka perbuatan itu adalah baik.
Orang itu akan menerima buah perbuatannya dengan hati
gembira dan puas.
*** V-10-Kisah Uppalavanna Theri
Ada seorang putri hartawan di Savatthi yang sangat cantik,
dengan wajah yang sangat lembut dan manis, seperti bunga
teratai biru. Ia diberi nama "Uppalavanna", teratai biru.
Kecantikannya tersohor sampai ke mana-mana, dan banyak
pemuda yang ingin melamarnya. Pangeran, orang kaya dan yang
lainnya. tetapi ia memutuskan bahwa lebih baik dia menjadi
seorang bhikkhuni, murid wanita Sang Buddha yang hidup tidak berkeluarga.
Suatu hari setelah menyalakan sebuah lampu, dia
memusatkan pikirannya pada nyala lampu, dan bermeditasi
dengan objek api, beliau segera mencapai pandangan terang
magga dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.
Beberapa waktu kemudian ia pindah ke "Hutan Gelap"
(Andhavana) dan hidup dalam kesunyian. Ketika Uppalavanna
sedang keluar untuk menerima dana makanan, Nanda, putra dari pamannya, datang mengunjungi vihara tempat ia tinggal dan
memukul-mukulkan dirinya ke bawah tempat duduk
Uppalavanna. Nanda telah jatuh cinta kepada Uppalavanna sebelum ia
menjadi seorang bhikkhuni; dan sangat ingin memilikinya dengan paksa. Ketika Uppalavanna datang, ia melihat Nanda dan
berkata, "Kamu bodoh! Jangan menyakiti dirimu sendiri. Jangan menganiaya dirimu sendiri". Tetapi Nanda tidak mau berhenti.
Setelah puas menyakiti dirinya, Nanda meninggalkan
Uppalavanna. Segera setelah ia melangkahkan kakinya ke tanah, tanah
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu langsung membelah dan ia masuk ke dalamnya, akibat dari
perbuatannya mengganggu orang suci.
Mendengar hal itu Sang Buddha membabarkan syair 69
berikut ini: Selama buah dari suatu perbuatan jahat belum masak,
maka orang bodoh akan menganggapnya manis seperti madu;
tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan
merasakan pahitnya penderitaan.
Beberapa orang mencapai tingkat kesucian sotapatti
setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Sang Buddha selanjutnya mengundang Raja Pasenadi dari
Kosala dan berkata kepada beliau tentang bahayanya seorang
bhikkhuni tinggal di hutan menghadapi orang-orang tidak
bertanggung jawab yang dibutakan oleh nafsu seksualnya. Sang raja berjanji hanya akan membangun vihara-vihara untuk para
bhikkhuni di kota-kota atau dekat dengan kota.***
V-11-Kisah Jambuka Thera
Jambuka adalah putra seorang hartawan di Savatthi. Berkaitan dengan perbuatan buruk yang dilakukannya di masa lampau ia
harus dilahirkan dengan kelakuan yang sangat aneh.
Ketika masih anak-anak, ia tidur di lantai tanpa alas kasur, dan memakan kotorannya sendiri sebagai ganti nasi. Ketika ia bertambah dewasa, orang tuanya mengirim kepada Ajivaka,
pertapa telanjang. Ketika pertapa itu mengetahui kebiasaan
makannya yang aneh, mereka mengirim Jambuka pulang ke
rumah. Setiap malam ia makan kotoran manusia. Setiap hari
berdiri dengan satu kaki, dan membiarkan mulutnya terbuka.
Ia selalu mengatakan bahwa ia membiarkan mulutnya
terbuka sebab ia hidup dari udara dan ia berdiri dengan satu kaki sebab akan memberatkan bumi untuk mengangkatnya.
"Saya tidak pernah duduk, saya tidak pernah tidur", ia
berbangga diri, dan oleh karena itu ia dikenal dengan nama
Jambuka, orang congkak.
Beberapa orang mempercayainya dan beberapa orang
mau datang kepadanya untuk berdana makanan.
Jambuka akan menolak dan berkata, "Saya tidak
menerima makanan selain udara".
Ketika dipaksa, dia menerima sedikit dana makanan
tersebut, kemudian ia akan memberikan segenggam rumput kusa
tersebut, kemudian ia akan memberikan segenggam rumput kusa
kepada orang yang berdana makanan itu dan berkata: "Sekarang pergilah, semoga ini dapat memberikan kebahagiaan bagi anda".
Dengan cara ini, Jambuka hidup selama lima puluh lima
tahun, telanjang, dan hanya makan kotoran manusia.
Suatu hari Sang Buddha melihat bahwa Jambuka akan
mencapai tingkat kesucian arahat dengan segera. Maka suatu
sore Sang Buddha pergi ke tempat tinggal Jambuka dan
menanyakan di mana tempat bermalam.
Jambuka menunjukkan sebuah gua yang ada di gunung
tidak jauh dari lempengan batu tempat tinggalnya.
Selama malam pertama, kedua, dan ketiga, dewa-dewa
Catumaharajika, Sakka, dan Mahabrahma datang untuk
memberikan penghormatan secara bergantian kepada Sang
Buddha. Pada ketiga kesempatan tersebut, hutan itu terang
benderang dan Jambuka menyaksikan ketiga cahaya tersebut.
Pagi harinya, ia mengunjungi Sang Buddha dan bertanya
tentang cahaya tersebut.
Ketika diberitahu bahwa dewa-dewa, Sakka dan
Mahabrahma datang memberikan hormat pada Sang Buddha,
Jambuka sangat tertarik dan berkata kepada Sang Buddha:
"Anda pasti benar-benar orang besar bagi para dewa, Sakka,
dan Mahabrahma sehingga mereka datang dan memberikan
hormat kepadamu. Tidak seperti saya, meskipun saya telah
berlatih hidup sederhana selama 55 tahun, hidup dari udara dan berdiri dengan satu kaki, tidak satu dewa pun, tidak juga Sakka, Mahabrahma mengunjungiku".
Sang Buddha berkata kepadanya: "O, Jambuka! Kamu
dapat menipu orang lain, tetapi kamu tidak dapat menipuku.
Saya tahu bahwa selama 55 tahun kamu telah makan kotoran
dan tidur di tanah".
Lebih jauh Sang Buddha menerangkan kepadanya
bagaimana kehidupannya yang lampau pada masa Buddha
Kassapa, Jambuka telah menghalangi seorang thera untuk
berkunjung ke rumah umat awam yang ingin berdana makanan
ke rumah umat awam yang ingin berdana makanan dan
bagaimana ia telah melemparkan semua makanan yang
dikirimkan untuk thera tersebut. Karena kejahatannya itu
Jambuka sekarang makan kotoran dan tidur di tanah.
Mendengar penjelasan tersebut, Jambuka sangat terkejut dan
menyesal telah berbuat jahat dan telah menipu orang lain.
Ia berlutut di hadapan Sang Buddha, dan Sang Buddha
memberinya selembar kain untuk dikenakan. Sang Buddha
memberikan khotbah; dan pada akhir khotbah, Jambuka
mencapai tingkat kesucian arahat serta menjadi murid Sang
Buddha. Murid-murid Jambuka dari Anga dan Magadha datang
dan mereka sangat terkejut melihat Jambuka bersama Sang
Buddha. Jambuka menjelaskan kepada mereka bahwa ia telah
menjadi murid Sang Buddha.
Kepada mereka Sang Buddha berkata meskipun guru
Kepada mereka Sang Buddha berkata meskipun guru
mereka telah hidup dengan sederhana dengan makan makanan
yang sangat sederhana, hal itu tidak bermanfaat walaupun
seperenam belas bagian dari latihan dan perkembangannya saat ini.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 70 berikut:
Biarpun bulan demi bulan orang bodoh memakan
makanannya dengan ujung rumput kusa, namun demikian ia tidak berharga seperenam belas bagian dari mereka yangtelah
mengerti Dhamma dengan baik.
*** V-12-Kisah Ahipeta
Murid utama Sang Buddha, Maha Moggalana Thera sedang
dalam perjalanan untuk menerima dana makanan bersama
Lakkhana Thera di Rajagaha. Ketika melihat sesuatu, beliau
tersenyum tetapi tidak mengatakan apa-apa.
Setelah tiba di vihara, Maha Moggalana Thera
memberitahu Lakkhana Thera bahwa beliau tersenyum karena
beliau melihat makhluk peta dengan kepala manusia dan
bertubuh ular. Sang Buddha berkata bahwa Beliau sendiri telah melihat
makhluk peta pada saat Beliau mencapai Penerangan Sempurna.
Sang Buddha juga menerangkan bahwa beberapa waktu yang
lampau, ada seorang Paccekabuddha, yang dihormati oleh
banyak orang. Orang-orang pergi ke vihara melewati suatu
ladang. Pemilik ladang tersebut khawatir ladangnya akan rusak disebabkan oleh banyak orang lalu lalang pergi ke vihara,
kemudian ia membakar vihara itu. Akibatnya Paccekabuddha
harus berpindah ke tempat lain. Murid-murid Paccekabuddha
menjadi sangat marah kepada pemilik ladang tersebut, mereka
memukuli dan membunuhnya.
Pemilik ladang itu dilahirkan kembali di neraka Avici.
Kelahirannya saat sekarang ini sebagai makhluk setan
merupakan akibat dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan
pada masa lampau.
Pada akhir penjelasannya, Sang Buddha berkata, "Sebuah
perbuatan buruk tidak langsung berbuah, tetapi akan selalu
mengikuti pembuat kejahatan. Tidak ada yang dapat bebas dari akibat perbuatan jahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 71 berikut:
Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan tidak segera
menghasilkan buah, seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih; demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh, seperti api yang ditutupi abu.
*** V:13-Kisah Satthikutapeta
Murid utama Maha Moggalana melihat makhluk setan (Peta)
yang sangat besar ketika sedang menerima dana makanan
bersama Lakkhana Thera.
Berkenaan dengan hal ini, Sang Buddha menjelaskan
bahwa makhluk itu bernama Satthikuta, pada salah satu
kehidupannya yang lampau, adalah seorang yang sangat
berbakat melempar batu. Pada suatu hari, dia minta izin dari gurunya untuk menguji ketrampilannya. Gurunya berkata agar
tidak melempar seekor sapi, atau manusia, yang akan
menyebabkan dia harus membayar kerugian kepada pemiliknya
atau saudara-saudaranya. Tetapi disarankan untuk mencari
sasaran yang tidak ada pemiliknya atau tidak dijaga.
Ketika melihat seorang Paccekabuddha, orang bodoh itu,
berpikir bahwa Paccekabuddha, tidak mempunyai pemilik atau
penjaga, adalah sasaran yang tepat. Maka dia melempar sebuah batu kepada Paccekabuddha yang sedang berpindapatta. Batu
itu masuk ke dalam satu telinga Paccekabuddha dan keluar pada telinga satunya. Paccekabuddha itu meninggal dunia begitu
sampai di vihara. Pelempar batu itu mati dibunuh oleh pengikut-pengikut Paccekabuddha, dan ia dilahirkan kembali di neraka
Avici. Setelah itu, dia dilahirkan kembali sebagai makhluk setan
dan sejak itu dia mengalami akibat dari perbuatan buruk yang telah dilakukan, sebagai makhluk setan dengan kepala yang
sangat besar dan selalu dipukul dengan palu yang membara.
Pada akhir penjelasan, Sang Buddha berkata, "Bagi orang
bodoh, ketrampilan atau pengetahuan tidak ada gunanya; hal itu hanya akan membahayakan dirinya sendiri".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 72 berikut:
Orang bodoh mendapat pengetahuan dan kemashurannya
itu akan menghancurkan semua perbuatan baiknya dan akan
membelah kepalanya sendiri.
*** V:14&15-Kisah Citta, Seorang Perumah
Tangga Citta, seorang perumah tangga, suatu hari berjumpa dengan
Mahanama Thera, salah seorang dari lima bhikkhu pertama
(Pancavaggiya), yang sedang berpindapatta, dan mengundang
thera tersebut ke rumahnya.
Di sana, ia mendanakan makanan kepada thera tersebut
dan setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh
Mahanama Thera, Citta mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian, Citta membangun sebuah vihara di kebun
mangganya. Di sana, ia memenuhi kebutuhan semua bhikkhu
yang datang ke viharanya dan bhikkhu Sudhamma tinggal di
tempat itu. Suatu hari, dua orang murid utama Sang Buddha, Y.A.
Sariputta dan Y.A. Maha Moggalana, datang ke vihara tersebut.
Setelah mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Y.A.
Sariputta, Citta mencapai tingkat kesucian anagami.
Kemudian, ia mengundang dua murid utama Sang Buddha
tersebut ke rumahnya untuk menerima dana makan esok hari. Ia juga mengundang Bhikkhu Sudhamma.
Tetapi beliau menolak dengan marah dan berkata, "Kamu
mengundangku setelah mengundang dua bhikkhu tersebut".
Citta mengulang kembali undangannya, tetapi undangan
tersebut ditolak. Walaupun demikian, Bhikkhu Sudhamma pergi
ke rumah Citta pagi-pagi keesokan harinya. Ketika dipersilahkan masuk, Sudhamma menolak dan berkata bahwa dia tidak akan
duduk karena dia sedang berpindapatta.
Ketika dia melihat makanan yang didanakan kepada dua
orang murid utama Sang Buddha, dia sangat iri dan tidak dapat menahan kemarahannya.
Dia mencaci Citta dan berkata, "Aku tidak ingin tinggal
lebih lama di viharamu!", dan meninggalkan rumah tersebut
dengan penuh kemarahan.
Dari sana, dia mengunjungi Sang Buddha dan melaporkan
segala yang telah terjadi.
Kepadanya, Sang Buddha berkata, "Kamu telah menghina
seorang umat awam yang berdana dengan penuh keyakinan dan
kemurahan hati. Kamu lebih baik kembali ke sana dan mengakui kesalahanmu".
Sudhamma melakukan apa yang telah dikatakan oleh Sang
Buddha, tetapi Citta tidak menghiraukan; maka dia kembali
menghadap Sang Buddha untuk kedua kalinya. Sang Buddha,
mengetahui bahwa kesombongan Sudhamma telah berkurang
pada waktu itu.
Kemudian Beliau berkata, "AnakKu, seorang bhikkhu
yang baik seharusnya tidak mempunyai ikatan; seorang bhikkhu yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, "ini adalah yang baik seharusnya tidak terikat dengan berkata, "ini adalah viharaku, ini tempatku, dan ini adalah muridku", dan sebagainya, dengan berpikir demikian keterikatan dan kesombongan akan
bertambah".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 73 dan 74
berikut ini: Seorang bhikkhu yang bodoh menginginkan ketenaran
yang keliru, ingin menonjol di antara para bhikkhu, ingin
berkuasa dalam vihara-vihara, dan ingin dihormati oleh semua keluarga.
"Biarlah umat awam dan para bhikkhu berpikir bahwa hal
ini hanya dilakukan olehku; dalam semua pekerjaan besar atau kecil mereka menunjuk diriku", demikianlah ambisi bhikkhu yang bodoh itu; dan keinginan serta kesombongannya pun terus
bertambah. Setelah khotbah Dhamma itu berakhir, Suddhamma pergi
ke rumah Citta, dan pada saat itu mereka dapat berdamai.
Dalam waktu tidak beberapa lama, Sudhamma mencapai tingkat
kesucian arahat.***
V-16-Kisah Samanera Tissa Yang Berdiam
Di Hutan Tissa adalah seorang putra hartawan dari Savatthi. Ayahnya
biasa memberi dana makanan kepada Murid Utama Sang
Buddha, Sariputta Thera di rumahnya.
Ketika masih kecil Tissa sering berjumpa dengan Murid
Utama pada setiap kesempatan. Pada umur 7 tahun ia menjadi
seorang samanera di bawah bimbingan Sariputta Thera. Ketika
ia tinggal di Vihara Jetavana, banyak teman dan saudarasaudaranya yang mengunjunginya, membawa pemberian/hadiah
dan dana. Samanera berpikir bahwa kunjungan ini sangat
menjemukan. Setelah mempelajari salah satu objek meditasi, ia pergi ke
sebuah vihara yang terletak di dalam hutan. Setiap kali penduduk mendanakan sesuatu, Tissa hanya berkata "Semoga kamu
berbahagia, bebas dari penderitaan" (Sukhita hotha, dukkha
muccatha), dan kemudian ia berlalu.
Ketika tinggal di vihara dalam hutan, ia tekun dan rajin
berlatih meditasi, dan pada akhir bulan ketiga ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Setelah selesai masa vassa, Y.A. Sariputta ditemani oleh
Y.A. Maha Moggalana dan beberapa orang bhikkhu senior
datang mengunjungi Samanera Tissa, dengan seizin Sang
datang mengunjungi Samanera Tissa, dengan seizin Sang
Buddha. Seluruh penduduk desa hadir untuk menyambut Y.A.
Sariputta bersama rombongan 4.000 bhikkhu. Mereka juga
memohon agar Y.A. Sariputta berkenan menyampaikan
khotbah, tetapi murid utama tersebut meminta muridnya,
Samanera Tissa, untuk menyampaikan khotbah kepada
penduduk desa. Para penduduk desa, berkata bahwa guru mereka,
Samanera Tissa, hanya dapat berkata, "Semoga anda
berbahagia, bebas dari penderitaan", dan mohon kepada Y.A.
Sariputta untuk menugaskan bhikkhu yang lain.
Tetapi Y.A. Sariputta tetap meminta Samanera Tissa
untuk memberikan khotbah Dhamma, dan berkata kepada Tissa,
"Tissa, berkatalah kepada mereka tentang Dhamma dan
tunjukkan kepada mereka bagaimana mencapai kebahagiaan
dan bagaimana bebas dari penderitaan".
Untuk memenuhi permintaan gurunya, Samanera Tissa
pergi ke tempat khusus untuk menyampaikan khotbah Dhamma.
Ia menjelaskan kepada para penduduk desa, arti kelompok
kehidupan (khandha), landasan indria dan objek indria (ayatana), faktor-faktor menuju Penerangan/Pencerahan Sempurna
(Bodhipakkhiya Dhamma), jalan menuju kesucian arahat dan
nibbana, dan sebagainya.
Akhirnya, ia menjelaskan, "Siapa saja yang mencapai
tingkat kesucian arahat akan terbebas dari semua penderitaan tingkat kesucian arahat akan terbebas dari semua penderitaan dan mencapai "kedamaian sempurna"; sementara yang lainnya
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih berputar-putar pada lingkaran tumimbal lahir (samsara)".
Y.A. Sariputta memuji Tissa telah menyampaikan khotbah
Dhamma dengan baik.
Fajar mulai menyingsing ketika ia menyelesaikan
uraiannya, dan seluruh penduduk desa sangat terpesona.
Beberapa dari mereka terkejut karena Samanera Tissa
memahami Dhamma dengan baik, tetapi mereka juga merasa
tidak puas karena pada awalnya ia hanya sedikit mengajarkan
Dhamma kepada mereka; sedangkan yang lain merasa bahagia
mengetahui samanera tersebut sangat terpelajar dan merasa
bahwa mereka sangat beruntung Samanera Tissa berada di
antara mereka. Sang Buddha, dengan kemampuan batin luar biasaNya,
melihat dari Vihara Jetavana bahwa timbul dua kelompok
penduduk desa, kemudian Beliau menampakkan diri; untuk
menjernihkan kesalah-pahaman yang ada.
Sang Buddha hadir ketika para penduduk desa sedang
menyiapkan makanan untuk para bhikkhu. Maka, mereka
mempunyai kesempatan untuk berdana makanan kepada Sang
Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha berkata kepada para
penduduk desa, "O umat awam, kamu semua sangat beruntung
memiliki Samanera Tissa di antara kalian. Karena dengan
kehadirannya di sini, Aku, murid-murid utama-Ku, bhikkhukehadirannya di sini, Aku, murid-murid utama-Ku, bhikkhubhikkhu senior dan banyak bhikkhu lainnya saat ini hadir
mengunjungi kalian".
Kata-kata ini menyadarkan para penduduk desa
bagaimana beruntungnya mereka bersama Samanera Tissa dan
mereka sangat puas.
Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah kepada
para penduduk desa dan para bhikkhu, dan pada akhirnya,
beberapa dari mereka mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Selesai menyampaikan khotbah, Sang Buddha pulang
kembali ke Vihara Jetavana.
Sore harinya, para bhikkhu memuji Samanera Tissa di
hadapan Sang Buddha, "Bhante, Samanera Tissa telah
melakukan sesuatu yang tidak mudah; meskipun ia telah
memperoleh pemberian dan dana dari orang-orang Savatthi,
tetapi meninggalkannya dan pergi hidup sederhana di dalam
hutan". Kepada mereka Sang Buddha menjelaskan, "Para
bhikkhu, seorang bhikkhu, apakah ia tinggal di desa ataupun di kota, seharusnya hidup tidak mengharapkan pemberian dan
dana. Jika seorang bhikkhu meninggalkan semua keuntungan
keduniawian dan rajin melaksanakan Dhamma, maka ia pasti
akan mencapai tingkat kesucian arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 75 berikut:
Ada jalan lain menuju pada keuntungan duniawi, dan ada
jalan lain yang menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini jalan lain yang menuju ke Nibbana. Setelah menyadari hal ini dengan jelas, hendaklah seseorang bhikkhu siswa Sang Buddha
tidak bergembira dalam hal-hal duniawi, tetapi mengembangkan pembebasan diri.
*** VI-1-Kisah Bhikkhu Radha
Radha adalah seorang brahmana miskin yang tinggal di vihara. Ia hanya melakukan sedikit pelayanan untuk para bhikkhu. Atas
pelayanannya ia memperoleh makanan, pakaian dan kebutuhan
lainnya. Tidak ada seorang pun yang mendorongnya menjadi
seorang bhikkhu, meskipun ia mempunyai keinginan yang besar
untuk menjadi bhikkhu.
Suatu hari, ketika hari menjelang pagi. Sang Buddha
mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa-Nya.
Dilihat-Nya brahmana tua itu mempunyai kesempatan untuk
mencapai tingkat kesucian arahat.
Paginya, Sang Buddha pergi menemui brahmin tua itu dan
mengetahui bahwa para bhikkhu di vihara tersebut tidak
menginginkan brahmin tua itu bergabung dalam pasamuan
bhikkhu. Sang Buddha mengundang para bhikkhu dan bertanya,
"Apakah ada di antara para bhikkhu di sini yang mengingat hal baik yang pernah dilakukan oleh orang tua ini?"
Atas pertanyaan ini Yang Ariya Sariputta menjawab,
"Bhante, saya mengingat satu peristiwa ketika orang tua itu
memberikan sesendok nasi kepada saya".
"Jika demikian", Sang Buddha berkata: "Tidakkah
seharusnya kamu menolong dermawan itu untuk
seharusnya kamu menolong dermawan itu untuk
membebaskannya dari penderitaan hidup?"
Yang Ariya Sariputta setuju untuk menjadikan orang tua
itu sebagai seorang bhikkhu dan kemudian menerima
sebagaimana mestinya. Yang Ariya Sariputta membimbing
bhikkhu tua itu dan bhikkhu tua itu mengikutinya dengan
sungguh-sungguh. Dalam waktu beberapa hari, bhikkhu tua itu
telah mencapai tingkat kesucian Arahat.
Ketika Sang Buddha datang untuk menemui para bhikkhu,
mereka melaporkan bagaimana tekunnya bhikkhu tua itu
mengikuti bimbingan Yang Ariya Sariputta. Kepada mereka,
Sang Buddha menjawab bahwa para bhikkhu seharusnya mudah
membimbing seperti Radha dan tidak marah ketika mendapat
celaan atas kesalahan atau kegagalannya.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 76 berikut
ini: Seandainya seseorang bertemu orang bijaksana yang mau
menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya
seperti orang yang menunjukkan harta karun, hendaklah ia
bergaul dengan orang bijaksana itu. Sungguh baik dan tidak
tercela bergaul dengan orang yang bijaksana.
*** VI-2-Kisah Bhikkhu Asaji Dan
Punabbasuka Bhikkhu Asaji dan Punabbasuka bersama dengan lima ratus
orang muridnya tinggal di desa Kitagiri. Ketika bertempat-tinggal di desa itu, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara
menanam bunga dan pohon buah-buahan untuk kepentingan
mereka. Jadi mereka melanggar peraturan dasar bagi kehidupan para bhikkhu.
Setelah Sang Buddha mendengar hal itu, Beliau
mengirimkan dua orang siswa utama-Nya, Sariputta dan Maha
Moggalana, untuk menghentikan perbuatan mereka yang tidak
patut. Kepada kedua siswa utama-Nya Sang Buddha berkata,
"Katakan kepada para bhikhu itu, jangan merusak keyakinan
dan kemurahan hati umat awam dengan perbuatan yang tidak
patut. Jika mereka tidak patuh, paksalah mereka untuk keluar dari vihara, jangan ragu-ragu untuk melakukan seperti apa yang telah Saya katakan kepadamu. Hanya orang bodoh tidak
menyukai orang yang memberikan nasehat baik dan melarang
berbuat jahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 77 berikut:
Biarlah ia memberi nasehat, petunjuk, dan melarang apa
yang tidak baik, orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang yang tidak baik, orang bijaksana akan dicintai oleh orang yang baik dan dijauhi oleh orang yang jahat.
*** VI-3-Kisah Channa Thera
Channa adalah pelayan yang menyertai Pangeran Siddhattha
ketika beliau pergi meninggalkan istana dengan menunggang
seekor kuda, dan ingin meninggalkan keduniawian. Ketika Sang Pangeran telah mencapai tingkat Ke-Buddha-an, Channa tetap
mengikutinya dengan menjadi seorang bhikkhu. Sebagai seorang bhikkhu, ia sangat sombong dan suka bersikap main kuasa, hal itu disebabkan hubungannya yang dekat dengan Sang Buddha.
Channa kerap berkata, "Saya yang menemani Tuanku
ketika beliau meninggalkan istana dan menuju ke hutan. Pada
waktu itu, saya satu-satunya teman Beliau, dan tiada yang
lainnya. Tetapi sekarang, Sariputta dan Moggalana mengatakan bahwa mereka berdua adalah pemimpin dari para bhikkhu dan
mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan memerintah para
bhikkhu!" Ketika Sang Buddha mengundang dan memperingatkan
perihal perilakunya, ia diam, tetapi kemudian terus-menerus
mencela dua murid utama, Sariputta dan Moggalana.
Sampai tiga kali Sang Buddha memanggil dan
memperingatkannya, tetapi ia tetap tidak berubah.
Sekali lagi Sang Buddha memanggil Channa, dan berkata,
"Channa inilah dua murid utama yang mulia dan teman yang baik untukmu, kamu harus bergaul dengan mereka dan jalinlah
untukmu, kamu harus bergaul dengan mereka dan jalinlah
hubungan yang baik dengan mereka".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 78 berikut
ini: Jangan bergaul dengan orang jahat, jangan bergaul dengan
orang yang berbudi rendah; tetapi bergaulah dengan sahabat
yang baik, bergaulah dengan orang yang berbudi luhur.
Walau telah diperingatkan beberapa kali dan nasihatnasihat juga telah diberikan oleh Sang Buddha, Channa tetap
melakukan hal yang disukainya dan terus berkata-kata yang
tidak baik terhadap bhikkhu-bhikkhu tersebut. Sebenarnya,
Sang Buddha mengetahui hal ini dan Beliau berkata bahwa
Channa tidak akan berubah selama Sang Buddha masih hidup.
Tetapi setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa
pasti berubah. Pada malam sebelum mangkat (parinibbana),
Sang Buddha memanggil Ananda Thera ke samping tempat
berbaring Beliau dan memerintahkan Ananda Thera agar
menjatuhkan Hukuman Brahma (Brahmadanda) kepada Channa.
Sebagai contoh, para bhikkhu tidak boleh menghiraukannya dan tidak melakukan pekerjaan apapun bersama Channa.
Setelah Sang Buddha mangkat (parinibbana), Channa
mendengar hukuman yang diberikan oleh Ananda Thera. Ia
merasakan penyesalan yang mendalam atas kesalahankesalahannya sehingga ia tidak sadarkan diri sebanyak 3 kali.
Kemudian ia mengakui kesalahannya kepada para bhikkhu dan
meminta maaf. Pada saat itu ia mengubah tingkah lakunya dan
pandangannya. Ia juga patuh pada petunjuk mereka untuk
pandangannya. Ia juga patuh pada petunjuk mereka untuk
praktek meditasi. Beberapa waktu kemudian Channa mencapai
tingkat kesucian arahat.***
VI-4-Kisah Mahakappina Thera
Mahakappina adalah raja dari Kukkutavati. Ia mempunyai
seorang permaisuri bernama Anoja. Ia juga memiliki seribu orang menteri yang membantu kelangsungan pemerintahan.
Suatu hari raja bersama seribu orang menteri pergi ke
taman. Di sana mereka bertemu dengan beberapa pedagang dari
Savatthi. Mendengar tentang Buddha, Dhamma, dan Sangha dari
para pedagang, raja dan menteri-menterinya segera pergi ke
Savatthi. Pada hari itu, ketika Sang Buddha mengamati dunia
dengan kemampuan batin luar biasa-Nya, Beliau melihat bahwa
Mahakappina dan para menterinya sedang dalam perjalanan
menuju Savatthi. Beliau juga mengetahui bahwa mereka dapat
mencapai tingkat kesucian arahat.
Sang Buddha pergi ke suatu tempat yang jauhnya 120
yojana dari Savatthi untuk menemui mereka. Di bawah pohon
Banyan di tepi sungai Candabhaga, Sang Buddha menunggu
mereka. Raja Mahakappina dan para menterinya datang ke tempat
dimana Sang Buddha menunggu. Ketika mereka melihat Sang
Buddha dengan enam warna terpancar dari tubuhnya, mereka
mendekati Sang Buddha dan menghormat Beliau. Sang Buddha
kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah
kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah
mendengarkan khotbah itu raja dan para menterinya mencapai
tingkat kesucian sotapatti. Mereka memohon kepada Sang
Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Sang Buddha melihat
masa lalu (kehidupan lalu) mereka, dan mengetahui bahwa
mereka sudah pernah mempersembahkan jubah kuning pada
kehidupan lampau.
Beliau lalu berkata kepada mereka "Ehi bhikkhu", dan
mereka semua menjadi bhikkhu.
Sementara itu, Permaisuri Anoja, mendengar tentang
kepergian raja ke Savatthi, memanggil istri dari seribu orang menterinya dan bersama-sama mereka mengikuti jalan yang
dilalui raja. Mereka juga sampai ke tempat dimana Sang Buddha sebelumnya menemui Raja Kukkutavati. Mereka menemui Sang
Buddha yang memancarkan enam warna dan kemudian
menghormat Beliau. Pada saat itu Sang Buddha dengan
kemampuan batin-Nya membuat raja dan para menterinya tidak
dapat dilihat, sehingga istri-istri mereka tidak dapat melihat mereka. Oleh karena itu ratu bertanya dimana raja dan para
menterinya berada. Sang Buddha berkata kepada ratu dan
rombongannya untuk menunggu beberapa saat dan menyatakan
tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya.
Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah lain kepada
mereka. Pada saat khotbah berakhir raja dan para menterinya
mencapai tingkat kesucian arahat. Ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian sotapatti. Setelah itu ratu dan
rombongannya melihat bhikkhu yang baru saja ditahbiskan dan
rombongannya melihat bhikkhu yang baru saja ditahbiskan dan
mengenali mereka bahwa mereka sebelumnya adalah suaminya.
Wanita-wanita itu kemudian memohon ijin kepada Sang
Buddha untuk diterima menjadi bhikkhuni; mereka langsung
pergi ke Savatthi. Di sana mereka diterima menjadi bhikkhuni, dan tak lama kemudian mereka juga mencapai tingkat kesucian
arahat. Kemudian Sang Buddha kembali ke Vihara Jetavana
bersama seribu bhikkhu.
Di Vihara Jetavana, Mahakappina ketika beristirahat
sepanjang malam atau pada siang hari sering berkata "Oh,
bahagia!" (Aho Sukham). Para bhikkhu yang mendengarkan
beliau mengucapkan kata-kata itu beberapa kali dalam sehari, melaporkan hal tersebut kepada Sang Buddha.
Kepada mereka Sang Buddha menjawab "Anakku
Kappina telah merasakan bahagianya kehidupan dalam Dhamma
dengan pikiran yang tenang; ia mengucapkan kata-kata itu
sebagai ungkapan kegembiraan yang meluap-luap berkenaan
dengan nibbana".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 79 berikut:
Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan
pikiran yang tenang. Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.
*** VI-5-Kisah Samanera Pandita
Pandita adalah seorang putra orang kaya di Savatthi. Ia menjadi seorang samanera pada saat berusia tujuh tahun. Pada hari ke delapan setelah menjadi samanera, ia pergi mengikuti Sariputta Thera berpindapatta, ia melihat beberapa petani mengairi
ladangnya dan bertanya kepada Y.A. Sariputta Thera.
"Dapatkah air yang tanpa kesadaran dibimbing ke tempat
yang seseorang kehendaki?"
Sang Thera menjawab, "Ya, air dapat dibimbing ke mana
pun yang dikehendaki seseorang".
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan, samanera
melihat beberapa pembuat anak panah memanasi panah mereka
dengan api dan meluruskannya. Selanjutnya ia melewati
beberapa tukang kayu sedang memotong, menggergaji, dan
menghaluskan kayu untuk dibuat roda kereta.
Kemudian ia merenung "Jika air yang tidak memiliki
kesadaran dapat diarahkan ke mana pun yang seseorang
inginkan, jika bambu yang bengkok yang tanpa kesadaran dapat diluruskan, dan jika kayu yang tanpa kesadaran dapat dibuat
sesuatu yang berguna, mengapa saya tidak dapat menjinakkan
pikiranku, melatih meditasi ketenangan dan pandangan terang".
Kemudian ia memohon ijin kepada Y.A. Sariputta untuk
kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin kembali ke kamarnya di vihara. Di sana ia bersemangat dan rajin melatih meditasi, menggunakan tubuh jasmani sebagai objek
perenungan. Sakka dan para dewa membantu pelaksanaan
meditasinya dengan cara menjaga kesunyian suasana vihara dan sekitarnya. Sebelum waktu makan tiba, Samanera Pandita
mencapai tingkat kesucian anagami.
Waktu Y.A. Sariputta membawakan makanan untuk
samanera. Sang Buddha melihat dengan kemampuan batin luar
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
biasa-Nya bahwa Samanera Pandita telah mencapai tingkat
kesucian anagami, dan jika ia meneruskan melaksanakan
meditasi maka tidak lama lagi mencapai tingkat kesucian arahat.
Kemudian Sang Buddha memutuskan untuk mencegah Sariputta
memasuki kamar samanera. Sang Buddha berdiri di muka pintu
kamar samanera dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada
Sariputta Thera. Ketika percakapan berlangsung di tempat itu, samanera mencapai tingkat kesucian arahat. Jadi, samanera
mencapai tingkat kesucian arahat pada hari ke delapan setelah ia menjadi samanera.
Berkenaan dengan hal itu, Sang Buddha berkata kepada
para bhikkhu di vihara, "Ketika seseorang dengan sungguhsungguh melaksanakan Dhamma; Sakka dan para dewa akan
melindunginya dan menjadi pelindung. Saya sendiri mencegah
Sariputta masuk di muka pintu kamar, sehingga Samanera
Pandita tidak terganggu. Samanera setelah melihat petani
mengairi ladangnya, pembuat anak panah meluruskan panahpanah mereka, dan tukang kayu membuat roda kereta,
mengendalikan pikirannya dan melaksanakan Dhamma; ia
mengendalikan pikirannya dan melaksanakan Dhamma; ia
sekarang telah menjadi seorang arahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 80 berikut:
Pembuat saluran air mengalirkan air, tukang panah
meluruskan anak panah, tukang kayu melengkungkan kayu;
orang bijaksana mengendalikan dirinya.
*** VI-6-Kisah Lakundaka Bhaddiya Thera
Bhaddiya adalah seorang bhikkhu yang tinggal di Vihara
Jetavana. Karena tubuhnya pendek maka ia dikenal dengan
sebutan Lakundaka (pendek) oleh para bhikkhu lainnya.
Lakundaka Bhaddiya mempunyai sifat yang sangat baik;
meskipun bhikkhu-bhikkhu muda mengganggunya dengan
memutar hidungnya atau telinganya atau menepuk kepalanya.
Sangat sering mereka mengejek dengan mengatakan
"Paman, bagaimana keadaanmu" Apakah kamu bahagia, atau,
apakah kamu bosan dengan kehidupan sebagai seorang bhikkhu
di sini?" dan lain sebagainya.
Lakundaka Bhaddiya tidak pernah membalas dengan
kemarahan atau mencaci mereka; bahkan dalam hati kecilnya
pun ia tidak marah terhadap mereka.
Ketika berbicara mengenai kesabaran dari Lakundaka
Bhaddiya, Sang Buddha bersabda, "Seorang arahat tidak
perbah terlena pengendalian dirinya, ia tidak punya keinginan untuk berkata kasar atau berpikir menyakiti orang lain. Ia
laksana batu karang yang tak tergoyahkan, seorang arahat tidak tergoyahkan karena celaan ataupun pujian".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 81 berikut:
Bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai,
demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan maupun pujian.
*** VI-7-Kisah Kanamata
Kanamata adalah umat awam berbakti, murid Sang Buddha.
Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan seorang
pemuda dari desa lain. Suatu ketika Kana menjenguk ibunya
untuk beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang ke rumah. Ibunya berkata kepadanya untuk menunggu
beberapa hari sebab ia ingin membuatkan daging manis
(dendeng) untuk suami Kana. Esoknya Kanamata membuat
sejumlah dendeng, tetapi ketika empat bhikkhu berpindapatta di rumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka.
Empat bhikkhu tersebut berkata kepada bhikkhu lainnya tentang persembahan dana makanan dari rumah Kanamata, mereka juga
melakukan pindapatta di rumah Kanamata. Kanamata sebagai
pengikut dan murid Sang Buddha mempersembahkan
dendengnya kepada para bhikkhu yang datang satu persatu.
Pada akhirnya tidak ada yang tersisa untuk Kana dan ia tidak dapat pulang ke rumahnya pada hari itu.
Hal yang sama terjadi pada dua hari berikutnya; ibunya
membuat sejumlah dendeng, para bhikkhu datang berpindapatta
di rumahnya, ia mempersembahkan dendengnya kepada para
bhikkhu, sehingga tidak ada yang tersisa untuk dibawa pulang anaknya, dan anaknya tidak dapat pulang ke rumahnya.
Pada hari ketiga, suaminya mengirimkan pesan untuknya.
Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak
Pesan yang merupakan suatu peringatan keras, jika ia tidak
pulang ke rumah esok hari, maka suaminya akan menikah
dengan wanita lain.
Tetapi pada esok harinya, Kana tetap tidak dapat pulang
ke rumahnya sebab ibunya mempersembahkan semua
dendengnya untuk para bhikkhu. Peringatan keras tadi menjadi kenyataan, suami Kana menikah dengan wanita lain.
Kana menjadi tidak senang terhadap para bhikkhu. Ia
beranggapan bahwa mereka yang menjadi gara-gara suaminya
menikah lagi. Seringkali ia mencaci maki para bhikkhu, sehingga para bhikkhu akhirnya menjauh dari rumah Kanamata.
Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi ke rumah
Kanamata. Di sana Kanamata mempersembahkan sejumlah
bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha
menemui Kana dan bertanya kepadanya, "Apakah para bhikkhu
menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka?"
Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang
diberikan kepada mereka, dan menambahkan bahwa "Mereka
tidak bersalah, saya yang salah".
Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi
hormat kepada Sang Buddha.
Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. Setelah
mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian
mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian
sotapatti. Pada perjalanan pulang ke vihara, Sang Buddha bertemu
dengan Raja Pasenadi dari Kosala. Beliau mengatakan perihal
Kana dan sikapnya yang tidak baik terhadap para bhikkhu. Raja Pasenadi berkata kepada Sang Buddha agar dapat mengajarkan
kebenaran (Dhamma) kepadanya.
Sang Buddha menjawab "Ya, saya telah mengajarkan
Dhamma kepadanya, dan saya juga telah membuat ia menjadi
kaya dalam kehidupan mendatang".
Kemudian Raja Pasenadi berjanji kepada Sang Buddha
untuk membuatnya kaya dalam kehidupan sekarang.
Raja mengirimkan orang-orangnya untuk menjemput Kana
dengan tandu. Ketika Kana tiba di istana, raja mengumumkan
kepada para menterinya.
"Siapa yang dapat memberi kesenangan hidup kepada
anakku Kana, silahkan merawatnya".
Salah seorang menteri dengan sukarela mengadopsi Kana
sebagai anaknya, memberinya kekayaan dan berkata
kepadanya. "Kamu boleh memberikan dana sebanyak yang kamu
suka". Setiap hari Kana memberikan persembahan dana kepada
para bhikkhu di empat pintu kota.
Ketika berkata tentang Kana dan kemurahan hatinya
Ketika berkata tentang Kana dan kemurahan hatinya
dalam memberikan dana, Sang Buddha bersabda.
"Para bhikkhu pikiran Kana sebelumnya diselimuti kabut
dan lumpur sekarang telah menjadi jernih dan tenang oleh kata-kata-Ku".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 82 berikut:
Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang
demikian pula batin para orang bijaksana menjadi tentram
karena mendengarkan Dhamma.
*** VI-8-Kisah Lima Ratus Bhikkhu
Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha
pada suatu sat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang
bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk
memperlihatkan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja
yangkemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat
mempersembahkan sangat sedikit dana pada saat para bhikkhu
berpindapatta. Kendatipun mengalami penderitaan, para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan para
penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha pulang ke Vihara
Jetavana beserta lima ratus bhikkhu. Masyarakat Savatthi
menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam
pilihan makanan.
Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu,
memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu.
Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar
lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun
tidur mereka bersiul, bernyanyi dan menari, mereka membuat
suatu keributan.
Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah
para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada Beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata
"Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan
"Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan
dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja. Sekarang mereka cukup mendapat
makanan yang baik, mereka bersiul, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan
para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun juga keadaannya
memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja".
Kepada mereka Sang Buddha menjawab "Itu merupakan
sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan
merasa tertekan ketika mereka gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat
bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 83 berikut:
Orang bajik membuang kemelekatan terhadap segala
sesuatu; orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keinginan. Dalam menghadapi kebahagiaan atau
kemalangan, orang bijaksana tidak menjadi gembira amaupun
kecewa. *** VI-9-Kisah Bhikkhu Dhammika
Dhammika tinggal di Savatthi bersama istrinya. Suatu hari, ia berkata kepada istrinya yang sedang hamil bahwa ia
berkeinginan untuk menjadi seorang bhikkhu. Istrinya memohon kepadanya untuk menunggu sampai kelahiran anak mereka.
Ketika anak tersebut lahir, ia kembali meminta kepada istrinya untuk memperbolehkannya pergi. Sekali lagi istrinya memohon
kepadanya untuk menunggu sampai anak tersebut dapat
berjalan. Kemudian Dhammika berkata kepada dirinya sendiri,
"Tidak ada gunanya bagiku meminta persetujuan dari istriku
untuk menjadi bhikkhu; saya harus berjuang untuk kebebasanku sendiri!"
Setelah membuat keputusan teguh, ia meninggalkan
rumahnya untuk menjadi seorang bhikkhu. Sang Buddha
memberikan objek meditasi kepadanya dan mempraktekkan
meditasi dengan sungguh-sungguh dan rajin, tak lama kemudian ia menjadi seorang arahat.
Beberapa tahun setelah itu, beliau menengok rumahnya
dengan maksud untuk mengajarkan Dhamma kepada istri dan
anaknya. Anaknya menjadi bhikkhu dan kemudian mencapai
tingkat kesucian arahat.
Sang istri kemudian berkata, "Sekarang suami dan anakku
Sang istri kemudian berkata, "Sekarang suami dan anakku
telah meninggalkan rumah, saya lebih baik pergi juga".
Dengan dasar pertimbangan kata-kata tersebut ia juga
meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhuni; dan akhirnya
mencapai tingkat kesucian arahat juga.
Dalam pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha
mengatakan bagaimana Dhammika menjadi seorang bhikkhu dan
mencapai tingkat kesucian arahat, bagaimana Dhammika
berupaya membuat anak dan istrinya menjadi arahat juga.
Kepada mereka Sang Buddha bersabda, "Para
bhikkhu,orang bijaksana tidak menginginkan kekayaan dan
kemakmuran yang diperoleh dengan cara tidak benar. Apakah
hal itu dilakukan demi dirinya sendiri atau demi orang lain. Ia hanya bekerja untuk tujuan membebaskan dirinya dari roda
tumimbal lahir (samsara) dengan cara memahami Dhamma dan
hidup sesuai dengan Dhamma".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 84 berikut:
Seseorang yang arif tidak berbuat jahat demi
kepentingannya sendiri ataupun orang lain; demikian pula ia tidak menginginkan anak, kekayaan, pangkat atau keberhasilan
dengan cara yang tidak benar. Orang seperti itulah yang
sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.
*** VI-10-11-Kisah Pendengar-pendengar
Dhamma Pada suatu kesempatan, sekumpulan orang dari Savatthi
membuat persembahan khusus kepada para bhikkhu secara
bersama-sama dan mereka meminta para bhikkhu memberikan
khotbah Dhamma sepanjang malam di tempat mereka. Pada saat
itu banyak di antara para pendengar tidak dapat duduk
sepanjang malam, dan mereka pulang lebih cepat; beberapa
orang duduk dengan pemikiran yang mendalam sepanjang
malam; tetapi kebanyakan dari mereka pada waktu itu
mengantuk dan setengah tidur. Hanya sedikit orang yang
mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah Dhamma itu.
Pagi hari ketika para bhikkhu berkata kepada Sang
Buddha tentang apa yang terjadi pada malam hari sebelumnya.
Beliau menjawab, "Kebanyakan orang terikat pada dunia
ini, hanya sedikit orang yang dapat mencapai pantai seberang (nibbana)".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 85 dan 86
berikut ini: Di antara umat manusia hanya sedikit yang dapat mencapai
pantai seberang; sebagian besar berjalan hilir mudik di tepi sebelah sini.
Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma yang telah
Mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma yang telah
diterangkan dengan baik, akan mencapai Pantai Seberang;
menyeberangi alam kematian yang sangat sukar diseberangi.
*** VI-12-14-Kisah Kunjungan Lima Ratus
Bhikkhu Lima Ratus Bhikkhu yang menjalani masa vassa di Kosala
datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha
di Vihara Jetavana pada akhir masa vassa.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 87, 88 dan
89 berikut ini sesuai dengan berbagai perangai mereka:
Meninggalkan rumah dan pergi menempuh kehidupan
tanpa rumah, demikian hendaknya orang bijaksana meninggalkan keadaan gelap (kebodohan) dan mengembangkan keadaan
terang (kebijaksanaan). Hendaknya ia mencari kebahagiaan
pada ketidak-melekatan yang sulit didapat.
Dengan meninggalkan semua kesenangan indria dan
kemelekatan, demikian hendaknya orang bijaksana
membersihkan dirinya dari noda-noda pikiran.
Mereka yang telah menyempurnakan pikirannya dalam
Tujuh Faktor Penerangan, yang tanpa ikatan, yang bergembira
dengan batin yang bebas, yang telah bebas dari kekotoran batin, yang bersinar, maka sesungguhnya mereka telah mencapai
Nibbana dalam kehidupan sekarang ini juga.
*** VII-1-Kisah Pertanyaan Jivaka
Devadatta, pada suatu kesempatan, mencoba untuk membunuh
Sang Buddha dengan mendorong batu besar dari puncak bukit
Gijjhakuta (Puncak Burung Nasar). Batu tersebut jatuh
membentur kaki Sang Buddha. Kemudian Beliau dibawa ke
Vihara Hutan Mangga milik Jivaka. Di sana Jivaka yang dikenal sebagai seorang tabib, mengobati ibu jari kaki Sang Buddha dan membalutnya. Jivaka kemudian pergi ke kota untuk mengobati
pasien lainnya, tetapi berjanji untuk kembali dan membuka
balutan tersebut pada sore hari. Karena kesibukannya, Jivaka pulang malam hari, tetapi pintu kota telah ditutup dan ia tidak dapat menemui Sang Buddha. Ia sangat bingung sebab apabila
pembalut tersebut tidak dibuka pada waktunya, seluruh badan
Sang Buddha akan demam dan Sang Buddha akan sangat
menderita.
Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat yang sama, Sang Buddha yang telah mengetahui
bahwa Jivaka tidak dapat datang pada waktunya berkata
kepada Ananda untuk membuka balutan dari ibu jarinya dan
ternyata luka tersebut telah sembuh.
Jivaka datang ke vihara pada fajar keesokan harinya dan
menanyakan kepada Sang Buddha apakah Beliau merasakan
kesakitan pada malam sebelumnya.
Sang Buddha menjawab, "Jivaka! Sejak Saya mencapai
Ke-Buddha-an, tidak terdapat kesakitan dan penderitaan lagi
bagi-Ku". Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 90 berikut:
Orang yang telah menyelesaikan perjalanannya, yang telah
terbebas dari segala hal, yang telah menghancurkan semua
ikatan; maka dalam dirinya tidak ada lagi demam nafsu.
*** VII-2-Kisah Mahakassapa Thera
Pada suatu saat Sang Buddha menjalani masa vassa di Rajagaha, bersama sejumlah bhikkhu. Sekitar dua minggu sebelum akhir
masa vassa, Sang Buddha memberitahu para bhikkhu bahwa
tidak lama lagi ia akan meninggalkan Rajagaha dan mengatakan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk keberangkatan
tersebut. Sebagian bhikkhu menjahit dan mewarnai jubah baru
mereka dan sebagian lagi mencuci jubah lama.
Ketika beberapa bhikkhu melihat Mahakassapa mencuci
jubahnya, mereka berpikir, "Terdapat banyak umat awam di
dalam maupun di luar kota Rajagaha yang mencintai dan
menghormati Mahakassapa Thera dan secara terus-menerus
memenuhi semua kebutuhannya. Apakah mungkin Mahakassapa
Thera meninggalkan umat awam di Rajagaha, dan mengikuti
Sang Buddha pergi?"
Pada akhir hari kelima belas, pada malam sebelum
keberangkatan, Sang Buddha mengatakan bahwa di sini akan
banyak upacara seperti upacara persembahan dana makanan,
pentahbisan samanera, pembakaran jenazah, dan lain
sebagainya. Maka tidaklah tepat jika semua bhikkhu
meninggalkan Rajagaha. Jadi, Beliau memutuskan sejumlah
bhikkhu tetap tinggal di Vihara Veluvana dan orang yang paling cocok adalah Mahakassapa Thera. Oleh karena itu
Mahakassapa Thera dan beberapa bhikkhu muda tetap tinggal di Rajagaha.
Kemudian beberapa bhikkhu lainnya berkata,
"Mahakassapa tidak menyertai Sang Buddha, seperti yang kita
perkirakan!"
Sang Buddha yang mendengar ucapan mereka, berkata:
"Para bhikkhu! Apakah kamu bermaksud mengatakan bahwa
Mahakassapa Thera melekat kepada murid umat awam di
Rajagaha dan pada semua hal yang mereka persembahkan
kepadanya" Kamu semua keliru. Anak-Ku Mahakassapa tinggal
di sini karena perintah-Ku, ia tidak terikat kepada segala hal yang ada di sini".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 91 berikut:
Orang yang telah sadar dan meninggalkan kehidupan
rumah tangga, tidak lagi terikat pada tempat kediaman. Bagaikan kawanan angsa yang meninggalkan kolam demi kolam, demikian
mereka meninggalkan tempat kediaman demi tempat kediaman.
*** VII-3-Kisah Belatthasisa Thera
Belatthasisa Thera, setelah pergi berpindapatta di suatu desa, berhenti di tepi jalan dan memakan makanannya. Setelah makan, ia meneruskan berpindapatta untuk memperoleh dana makanan
lagi. Ketika telah merasa cukup ia kembali ke vihara,
mengeringkan nasi dan menyimpannya. Jadi ia tidak perlu
berpindapatta setiap hari, sehingga ia dapat bermeditasi Jhana selama dua atau tiga hari. Begitu selesai meditasi, ia memakan nasi kering yang telah disimpannya, setelah merendamnya
terlebih dulu dalam air. Bhikkhu-bhikkhu lain berpikiran buruk terhadap kelakuan thera itu. Mereka melaporkan hal tersebut
kepada Sang Buddha.
Sang Buddha berpikir, jika hal itu ditiru oleh bhikkhubhikkhu lainnya, ada kemungkinan menjadi disalah-gunakan.
Oleh karena itu Beliau melarang para bhikkhu untuk menyimpan makanan. Beliau juga menganjurkan para bhikkhu agar berusaha mempertahankan kesederhanaan dan kemurnian hidupnya
dengan tidak memiliki barang-barang selain keperluan bhikkhu.
Sedangkan untuk Belatthasisa, ia menyimpan nasi sebelum
peraturan ditetapkan, lagi pula ia tidak serakah terhadap
makanan, tetapi hanya menghemat waktu untuk keperluan
bermeditasi. Sang Buddha menetapkan bahwa ia tidak bersalah
dan tidak tercela.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 92 berikut:
Mereka yang tidak lagi mengumpulkan harta duniawi, yang
sederhana dalam makanan, yang telah mencapai "Kebebasan
Mutlak", maka jejak mereka tidak dapat dilacak bagaikan
burung-burung di angkasa.
*** VII-4-Kisah Anuruddha Thera
Suatu hari Anuruddha Thera mencari beberapa kain bekas di
dalam timbunan sampah untuk dibuat jubah, sebab jubah
lamanya telah kotor dan koyak. Jalini, istrinya pada kehidupan yang lampau, dan sekarang berada di alam dewa melihatnya.
Mengetahui bahwa sang thera seang mencari beberapa kain
bekas, ia mengambil tiga lembar kain dari alam dewa dan
menaruhnya ke dalam timbunan sampah, serta membuatnya
terlihat. Anuruddha Thera menemukan kain tersebut dan
membawanya ke vihara.
Ketika beliau sedang membuat jubah, Sang Buddha
datang beserta murid-murid utama dan beberapa murid senior
Beliau. Mereka menolong menjahit jubah.
Ketika itu, Jalini, dalam ujud gadis muda datang ke desa
dan memberitahukan kedatangan Sang Buddha beserta murid
beliau dan juga bagaimana mereka menolong Anuruddha Thera.
Ia menganjurkan penduduk desa untuk mengirimkan makanan
yang lezat ke vihara dan sebagai akibatnya terjadi kelebihan makanan. Bhikkhu yang lain melihat terlalu banyak makanan
tersisa, mencela Anuruddha Thera.
"Anuruddha Thera seharusnya berkata kepada keluarga
dan murid-muridnya agar mengirim makanan secukupnya;
mungkin ia ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak
pengikut".
Kepada para bhikkhu itu, Sang Buddha berkata, "Bhikkhu
janganlah berpikir anak-Ku telah berkata kepada keluarga dan murid-muridnya untuk mengirimkan bubur nasi dan makanan
lainnya; seorang arahat tidak membicarakan perihal makanan
dan pakaian. Jumlah makanan berlebihan yang dikirimkan ke
vihara pagi hari ini berasal dari kemauan makhluk alam lain dan bukan dari manusia".
Kemudian Sang Buddha membanbarkan syair 93 berikut:
Ia yang telah memusnahkan semua kekotoran batin, yang
tidak lagi terikat pada makanan, yang telah menyadari
Kebebasan Mutlak, maka jejaknya tidak dapat dilacak,
bagaikan burung-burung di angkasa.
*** VII-5-Kisah Mahakaccayana Thera
Pada saat bulan purnama, yang juga merupakan akhir masa
vassa, Sakka bersama sejumlah besar dewa datang untuk
memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, yang pada
saat itu tinggal di Pubbarama, sebuah vihara yang dibangun oleh Visakha. Waktu itu Sang Buddha disertai oleh murid-murid
utama dan semua bhikkhu-bhikkhu senior.
Mahakaccayana Thera yang bervassa di Avanti, belum
tiba dan tempat duduk untuk beliau masih kosong. Sakka
memberi hormat kepada Sang Buddha dengan bunga, dupa, dan
wangi-wangian. Pada saat Sakka melihat tempat duduk yang
masih kosong, ia mengumumkan agar Mahakaccayana Thera
dapat datang segera sehingga ia dapat menyembah kepadanya.
Seketika Mahakaccayana Thera datang; Sakka sangat senang
dan dengan tidak sabar mempersembahkan bunga, dupa, dan
wangi-wangian. Para bhikkhu terpesona oleh Sakka yang menunjukkan
Dewi Ular 4 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Bodoh 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama