Ceritasilat Novel Online

Pedang 3 Dimensi 4

Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Bagian 4


Dan raja Hu kagum. Kecantikan Cao Cun memang kecantikan sejati. Meskipun dilanda duka tetap saja kecantikan itu menonjol. Bekas air mata di pipi malah membuat pipi gadis ini kemerah-merahan seperti tomat masak. Cao Cun mula-mula tergetar dan ngeri melirik calon suaminya itu. Seorang raja tinggi besar yang gagah namun menyeramkan. Brewoknya menutupi hampir seluruh wajah tapi raja Hu ternyata seorang laki-laki lembut. Raja ini menyambut Cao Cun dengan halus dan gembira. Memuji terang terangan kecantikan gadis itn di depan kaisar, kagum akan rambutnya yang panjang dan lembut dibelakang punggung. Perias istana memang telah mendandani gadis ini secantik mungkin, termasuk kalung permata yang melilit di leher Cao Cun. Kedukaan Cao Cun memang tertutup habis oleh hiasan dan kecantikannya yang menonjol
Dan ketika raja Hu menyatakan cocok dan dua panglimanya juga kagum oleh pemberian kaisar yang sempurna ini maka Nu Kiat, panglima nomor dua dari raja Hu itu berseru, "Ah, luar biasa, sri baginda. Calon permaisuri paduka ini tentu akan melahirkan putera yang gagah atau puteri yang cantik bagi bangsa Siung-nu!"
"Ha-ha, tepat, Nu Kiat. Dan kita harus berterima basih pada sri baginda kaisar" raja Hu gembira, girang dan tiba-tiba jatuh cinta pada Cao Cun.
Kepribadian gadis ini benar-benar memenuhi seleranya. Kaisar tersenyum dan tanpa di ketahui siapa pun dia meringis. Gadis begitu sempurna harus diberikan pada orang lain. Padahal dia memiliki kesempatan besar untuk menikmatinya sendiri! Dan ketika malam itu kaisar mengadakan perjamuan dan perkenalan pertama ini membuat raja Hu tergila-gila maka keesokan harinya, dengan tak sabar dan amat buru-buru raja Hu mohon pamit.
Istana mengiringkan kepergian raja ini dengan pengantaran istimewa. Kaisar sendiri melepas tamunya sampai di gerbang kota raja, bukan di pintu istana. Bukan main. Dan ketika kereta kerajaan melepas raja itu bersama bala tentaranya maka di dalam kereta Cao Cun menangis ter sedu-sedu dan sempat membuat kegemparan ketika Wan Hoa, sahabatnya menjerit dan menyeruak di antara rombongan kaisar untuk menghambur ke arah Cao Cun.
"Cao Cun, ingatlah selalu akan aku!"
Adegan ini mengiris perasaan semua orang. Cao Cun tersedu-sedu keluar dari keretanya, turun ditubruk sahabatnya ini. Bagi yang sudah mengetahui hubungan dua sahabat ini memang adegan itu menusuk perasaan. Ma-yang sendiri yang sering menipu Cao Cun sampat terisak melihat perpisahan dua sahabat itu. Nasib rupanya kejam. Tapi ketika mereka diperingatkan pengawal dan Cao Cun melepas sahabatnya maka Wan Hoa roboh pingsan ketika Cao Cun naik di atas keretanya dan menutup tirai kereta yang segera berangkat.
Begitulah, dua sahabat sejati ini rupanya harus tunduk pada hukum alam. Ada pertemuan harus ada pula perpisahan. Salah satu di antaranya tak mungkin kekal. Dan ketika kereta berang kat dan Wan Hoa di luar sana pingsan ditolong pengawal maka Cao Cun sendiri di dalam kereta juga roboh dan pingsan tak kuat menahan kesedihannya.
Nasib mempermainkan manusia seenak sendiri. Kadang diberinya kegembiraan tapi kadang di sodorkannya pula kedukaan Dan melihat naga naganya, manusia mendapat kedukaan lebih besar ketimbang kesukaan. Tidak adil" Ah, entahlah. Mungkin pandangan manusia saja yang keliru tentang ini.
Cao Cun sendiri sudah berada di tengah-tengah bangsa Siung-nu. Malam pertama raja Hu hendak menggaulinya, ditolak. Reja kecewa namun dapat mengerti kesedihan yang masih mengganggu gadis itu. Mencoba lagi tapi gagal lagi pada malam-malam berikat. Raja mengerutkan kening tapi tidak marah. Rupanya kecintaan raja ini pala Cao Cun memang besar.
Dia tak ingin memiliki Cao Cun kalau gadis itu sendiri belum siap, belum hilang dukanya. Dan ketika dengan lembut namun penuh kasih, raja ini mengharap Cao Cun melepaskan dukunya maka raja bertanya apa kira kira yang bisa diperbuat agar gadis itu dapat melayaninya baik-baik, apakah Wan Hoa perlu dibawa ke situ untuk menemaninya. Cao Cun terkejut, membelalakkan mata. Memang antara lain hal inilah yang menghimpit perasaannya. Perpisahan dengan Wan Hoa ternyata tak kalah berat dibanding kehancuran cintanya dengan Kim mou-eng. Maka ketika raja meminta apakah Wan Hoa perlu dibawa ke situ tiba tiba saja Cao Cun mengangguk dan mengharap suaminya dapat membawa gadis itu ke suku bangsa Siung-nu.
"Gampang, kalau begini saja bukankah dari dulu-dulu kau dapat memintanya, Cao Cun" Aku akan minta pada sri baginda kaisar agar temanmu itu dibawa sekalian. Tentu kaisar tak akan menolak!"
Dan memang benar. Kaisar mengabulkan permintaan raja Hu ini, terlampau besar jasa raja itu dalam pandangan kaisar. Apalagi kaisar tak mencinta Wan Hoa, melainkan Cao Cun. Dan karena kesedihan Cao Cun merupakan kesedihan kaisar pula maka permintaan Cao Cun segera di kabulkan dan Wan Hoa berangkat.
Hampir Wan Hoa tak percaya. Tadinya, dia menganggap bahwa nasibnya sudah putus di Istana Dingin. Dia pribadi memang tak begitu menghiraukan diri sendiri asal Cao Cun selamat. Begitu besarnya cinta kasih dan perhatian gadis ini Maka ketika Cao Cun membalasnya dan minta dia dikeluarkan dari Istana Dingin untuk menemani gadis itu maka Wao Hoa bersorak begitu bahagianya. Perjumpaan dua sahabat sejati ini kembali terjadi. Cao Cun dan Wan Hoa saling tubruk, masing-masing terisak namun isak mereka adalah isak bahagia. Tangis bahagia. Dan ketika seminggu Cao Cun bercakap-cakap melulu dengan sahabatnya ini dan raja Hu sebagai suaminya hampir tak dilayani maka suatu malam Wan Hoa menegur temannya itu.
"Cao Cun, kau telah menjadi isteri orang. Tak sepatutnya selama tujuh hari tujuh malam begini kau selalu berkumpul denganku dan tidak mendekati suamimu itu."
"Ah, aku tak bisa. Wan Hoa Aku ngeri dan masih takut kepada suamiku itu."
"Tapi dia raja yang baik, dia laki laki yang baik hingga selama ini tak pernah menegurmu. Masa untuk itu kau membalasnya begini?"
"Jadi bagaimana?"
"Kau harus menemaninya, kau harus tidur bersamanya"
"Hm... !" muka Cao Cun tiba-tiba merah. "Aku malu. Wan Hoa. Aku ngeri!"
"Eh. bukankah malam pertama itu..."
"Tidak!" Cao Cun memotong. "Aku sama sekali belum dijamahnya. Wan Hoa. Aku tak mau disentuh karena terbawa kesedihanku itu"
"Aah, kau....?"
"Ya, aku masih suci. Wan Hoa. Aku masih perawan karena selama ini aku memang menghindari"
"Aduh, tak boleh begitu, Cao Cun. Kau melanggar kewajibanmu. Kau seorang isteri, suamimu resmi menikahimu masa begini caramu" Tidak, tak boleh begitu, Cao Cun. Malam nanti kau harus mendekati suamimu itu dan minta maaf"
"Aku ngeri wajahnya. Brewoknya itu menyeramkanl"
"Kau bisa minta dia mencukur, itu mudah!"
"Ah. tapi...."
"Tidakl Kau tak boleh membantah, Cao Cun. Ini tugas kewajibanmu. Ingat tugasmu menyelamatkan kaisar, menyelamatkan rakyat banyak. Bagaimana kalau raja Hu kecewa dan mulai membuat onar mengacau bangsa Han" Bangsa Tar-tar sudah cukup membuat pusing, Cao Cun. Justeru ini kesempatan baik bagimu untuk menundukkan raja itu luar dalam!" Wan Hoa memotong, pucat memperingatkan temannya itu karena sungguh tak dikira kalau Cao Cun ini belum dijamah raja Hu. Cao Cun masih perawan dan belum melaksanakan kewajibannya sebagai isteri.
Dan ketika Cao Cun tertegun dan merasa bersalah maka Wan Hoa menasihati lagi, "Cao Cun, tak sembarang wanita dapat menjadi pahlawan. Kau telah mengorbankan segala-galanya untuk bangsa dan dirimu pribadi. Semuanya kepalang basah, sebaiknya malam nanti kaudekati suamimu itu dan ikat dia dengan sumpah agar tetap setia kepada kerajaan dan kaisar!"
Cao Cun mengangguk, menghela napas. "Baiklah, aku ikut nasihatmu, Wan Hoa. Kalau bukan kau yang bicara belum tentu aku mau. Memang benar, semuanya kepalang basah. Nanti aku dekati suamiku itu dan mengikatnya dengan sumpah!"
"Bagus, dan sekarang kau dapat mulai, Cao Cun. Sebentar lagi raja Hu kemari dan kau tak boleh menolak ajakannya!"
Benar saja. Menjelang tengah malam raja itu datang, seperti biasa mendekati perkemahan Wan Hoa dan masuk dengan senyum dikulum. Sudah seminggu ini Wan Hoa melihat raja itu tak pernah menunjukkan muka masam. Satu hal yang mengherankan dia tapi sekaligus menggirangkan hati karena cinta raja itu terhadap Cao Cun ternyata besar Demikian sabar dan amat kalem. Dan ketika basa-basi percakapan di dalam kamar selesai dan seperti kemarin raja ini mengajak Cao Cun ke kemahnya pribadi maka tidak seperti kemarin Cao Cun kali ini menurut, berkat dorongan Wan Hoa.
"Kau pergilah, sri baginda tentu ingin bercakap-cakap berdua denganmu, Cao Cun. Laksanakan tugasmu dan besok kita ketemu lagi."
Cao Cun tersipu merah. Raja Hu menggandeng tangannya, lembut dan mesra sementara mata mengerling penuh terima kasih kepada Wan Hoa. Itulah jasa gadis ini. Dan ketika Wao Hoa tersenyum dan Cao Cun diajak ke kemah lain maka malam itu, hari kesekian dari hari-hari yang seharusnya menjadi kewajiban gadis ini Cao Cun bersikap manis pada raja tinggi besar itu. Hal yang menggirangkan raja ini dan diam-diam kembali rasa terima kasih yang besar tercurah pada Wan Hoa. Cao Cun membalas kemesraannya pula.
Namun ketika raja Hu mencium dan hendak menikmati isterinya, Cao Cun sempat menunda dengan sebuah tuntutan. "Sri baginda, cintakah paduka kepada hamba?"
"Ah, tentu, Cao Cun. Masa aku main-main" Apakah selama ini sikapku kepadamu tidak menunjukkan tanda-tanda itu?"
"Hamba belum yakin, hamba ingin menuntut sebuah janji dari paduka!"
"Janji apa?" raja ini melengak. "Kurangkah semua harta kesenangan di tempat ini?"
"Tidak, bukan harta, sri baginda. Melainkan janji paduka untuk tetap setia pada junjungan paduka di kota raja, sri baginda kaisar!"
"Ha-ha, kau aneh, Cao Cun!" raja Hu tertawa bergelak. "Bukankah selama ini aku tetap setia kepada junjunganmu itu" Apakah bangsa Siung-nu mau memberontak" Lihat aku menyatakan janjiku dengan sumpah!"
Raja itu mengambil sebatang anak panah di dinding, memperlihatkannya pada Cao Cun dan tiba-tiba mematahkannya menjadi dua. Dan ketika anak panah itu mengeluarkan suara "krek" dan patah menjadi dua di tangan raja ini maka Cao Cun tersenyum dan malu-malu mencium brewok di pipi raja tinggi besar itu.
"Sri baginda, hamba mengucapkan terima kasih!"
"Ah, aku yang berterima kasih, Cao Cun. Kau segala-galanya bagiku tapi ciumanmu keliru, harusnya di sini. Ha-ha....!" dan sang raja yang segera "membetulkan" ciuman Cao Cun dengan mulut ke mulut akhirnya membuat Cao Cnn menggeliat dan memejamkan matanya Ada perasaan gemetar di hatinya, perasaan takut-takut. Betapa pun baru kali itu dia melayani pria dalam arti sesungguhnya. Raja Hu tekan menggulingkannya di pembaringan yang bersepreikan kulit harimau, malam itu Cao Cun pasrah dan merintih. Dan ketika raja Hu membelai dan menyatakan rayuannya dengan lembut maka "operasi" raja tinggi besar ini berhasil dan Cao Cun menyerahkan segala2 nya pada suami yang dikenal sebagai raja suku bangsa liar itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya mengenal apa yang dinamakan "tugas" isteri. Semula membiarkan saja sang suami yang aktip. Tapi ketika beberapa hari kemudian Cao Cun mulai belajar dan tahu apa yang harus diperbuat maka hari-hari berikut raja Hu gembira bukan main melihat isterinya membalas tak kalah mesra perbuatan-perbuatan mereka di atas ranjang.
"Ha-ha, kau pandai, Cao Cun. Kau cerdas dan pintar!"
Cao Cun tersenyum saja menghadapi pujian suami. Dia memang mulai dapat melayani suaminya ini. Kelembutan dan cinta sang suami yang amat sabar dan sayang kepadanya membuat dia hilang takut, sedikit tetapi pasti dia mulai melihat bahwa suaminya ini meskipun tampak menyeramkan penampilan fisiknya tapi raja Hu adalah seorang laki-laki yang penuh perhatian kepadanya. Mesra dan cintanya besar. Maka ketika hari demi hari dilewatkan Cao Cun sementara Wan Hoa juga menemaninya di situ maka lama-kelamaan bayangan Kim-mou-eng lenyap. Cao Cun mulai merasakan kebahagiaannya tinggal ditengah tengah suku bangsa Siung-nu. Dan karena bangsa ini juga menghormatinya dan memberikan sayang yang besar sebagaimana raja Hu maka setahun kemudian Cao Cun merasa betah dan seolah tinggal di rumah sendiri. Luar biasa!
Itulah berkat Wan Hoa pula. Gadis yang satu ini tak pernah habis-habisnya menasihati Caa Cun, membujuk dan menghibur serta segala apa yang kira-kira dapat menghilangkan kedukaan sahabatnya itu. Cao Cun benar-benar merasa berhutang budi besar. Cinta raja Hu dan cinta Wan Hoa memberinya kebahagiaan lahir batin. Dan ketika setahun Cao Cun menikah dengan suaminya yang menyeramkan itu maka lahirlah kemudian seorang putera yang diberi nama Ituci Yashi.
Cao Cun semakin bahagia. Lahirnya seorang putera ini membuat kesibukan baru baginya, kesibukan seorang ibu muda. Mulailah dia mengenai hubungan batin seorang ibu dengan anaknya. Mengasuh dan menyusui anaknya itu sebagaimana ibu ibu lain di dunia. Cao Cun benar benar melupakan kenangan lamanya. Tapi ketika beberapa tahun kemudian Cao Cun menginjak usianya yang ke 22 mendadak sang suami yang mulai di cinta dan disayanginya itu meninggal dunia. Raja Hu terserang suatu penyakit berat. Dan karena waktu menikahi Cao Cun raja itu juga sudah setengah umur dan daya tahan orang yang mulai dimakan usia memang tidak sekuat anak muda maka raja wafat diserang penyakitnya ini.
Seluruh bangsa Siung-nu berkabung. Cao Cun menangis. Tapi karena raja Hu meninggalkan seorang anak yang sudah dewasa dari isteri yang lain maka Cimochu, anak raja yang wafat itu mengambil alih kekuasaan ayahnya. Hal ini memang sudah menjadi adat-istiadat bangsa Siung-nu. Segala apa yang dimiliki almarhum ayahnya menjadi milik raja yang baru ini, termasuk harem (selir-selir) mendiang raja Hu, isteri raja Hu yang sah maupun yang setengah sah. Dan karena ini sudah merupakan peraturan bangsa itu maka Cao Cun, yang menjadi isteri raja yang lama otomatis jatuh pula ke tangan raja yang baru itu, Cimocbu. Dan karena sebelumnya Cimochu juga tergila-gila pada Cao Cun yang cantik serta menggairahkan maka hal ini membuat kecemasan besar pada Cao Cun.
Setelah beberapa tahun hidup bahagia tiba-tiba gangguan baru muncul. Cao Cun timbul kesedihannya. Tentu saja dia tak suka. Mana mungkin bagi seorang wanita Han yang terhormat habis dinikahi bapaknya lalu dinikah anaknya" Hal begitu tak biasa bagi Cao Cun. Jangankan menikah dengan anaknya, meskipun anak tiri. menikah untuk kedua kali dengan orang lain saja pantang bagi Cao Cun. Hal itu amat memalukan bagi wanita Han. Tapi karena lain lubuk lain ikannya dan lain adat lain pula hukumnya maka Cao Cun saban hari mulai menangis. Haruskah dia memasrahkan diri pada Cimochu" Haruskah dia menjadi isteri dari bekas anak mendiang suaminya"
Cao Cun gelisah. Persoalan ini cukup menekan. Luka lama tiba-tiba kambuh. Dia teringat Kim-mou-eng, entah kenapa tiba tiba mengharap pertolongannya, mengharap pendekar itu datang dan menyelamatkannya dari hal yang dianggap aib ini. Menikah dengan anak mendiang suami adalah amat memalukan. Terlalu memalukan baginya. Dan karena Wan Hoa yang selama ini dekat dengannya ternyata juga tak dapat membantu banyak akhirnya seminggu kemudian Cao Cun jatuh sakit.
Kemalangan rupanya mau menimpa wanita ini lagi. Baru sedikit enak tahu-tahu sudah datang yang tidak enak. Dunia rasanya kiamat. Dan karena Cao Cun cemas dan gelisah memikirkan itu maka sebulan kemudian wanita ini menjadi kurus dan lemah. Haruskah terjadi yang tidak menyenangkan itu" Haruskah dia menerima nasib untuk kedua kali" Ah, kisah wanita ini masih terlalu panjang. Daripada kita ikut prihatin melihat nasib wanita ini biarlah kita tutup dulu untuk melihat yang lain. Mari...!
==dw0smhn0abu==
Salima baru dua hari memasuki tembok besar ketika dia mendengar serbuan bangsa Tar-tar itu. Dia berhenti di sebuah kedai, memesan arak. Dan ketika pembicaraan ramai dipergunjingkan para tamu perihal serbuan itu gadis ini diam diam tersenyum.
"Biarlah" pikirnya. "Biar suku bangsanya itu menyerang kota raja dan menghajar istana".
Dia juga mulai tak suka pada kaisar, setelah suhengnya dituduh mencuri dan kini belum kembali. Ada perasaan cemas di hatinya, ada perasaan marah. Tapi ketika dia enak enak menikmati araknya dan duduk menyendiri mendadak tiga laki-laki tinggi besar mendatanginya dan menghardik, "Hei, ini juga gadis Tar-tar. Tangkap dan bekuk dia!"
Salima menoleh. Dia memang asing di situ, sebenarnya tahu bahwa diam-diam dia diperhatikan orang banyak. Topi bulunya dan kulitnya yang kehitaman memang membuat dia lain dari bangsa Han, Salima tak perduli Tapi ketika seseorang mulai mengganggu dan tamu di kedai itu juga serentak menujukan pandangan kepadanya tiba-tiba Salima mengerutkan kening dan bibir yang tipis basah itu mulai ditarik.
"Hei, kau wanita Tar-tar. Tentu kau mata mata dan datang menyusup untuk melihat keadaan!"
Salima tenang. Tiga laki-laki itu sudah mendekatinyn dengan pandangan mengancam, diam-diam tersenyum mengejek karena mata tiga laki-laki itu menunjukkan kekurangajaran, mereka memang mau membuat onar. Tentu bermaksud jelek melihat wanita cantik. Biasa begitu kaum lelaki. Dan ketika mereka sudah dekat dan seorang di antaranya bahkan menekan pinggir meja membuat arak miring di tempatnya tiba-tiba laki-laki yang ini sudah tertawa menyeringai menyambar bahunya.
"Nona, kau akan kuserahkan pada Thai-taijin (pembesar Thai). Kau wanita asing di sini dan jelas mencurigakan. Kau ikuti lah kami untuk diperiksa!"
Salima melebarkan senyum. Dia tak mengelak, bahkan senyum mengejek semakin mengembang di bibirnya, bahu yang ditangkap dibiarkan begitu saja tapi cepat dia mengerahkan Tiat-lui-kang di bahunya itu. Hawa panas dengan cepat menjalar di pundak. Dan ketika laki laki ini memencet dan mencengkeram pundaknya tiba-tiba lelaki ini menjerit dan berkaok mundur dengan jari jari melepuh.
"Aduh....!"
Dua temannya terkejut. Semua orang tiba-tiba melibat lelaki ini berteriak seolah orang disiram air panas. Mereka heran melihat jari si tinggi besar itn melepuh dan bengkak besar. Mereka memang tidak mengenal Salima. Dan ketika lelaki itu mencak-mencak dan memaki kalang kabut tiba-tiba dia menubruk dan membentak dengan satu tangannya yang lain.
"Kau siluman, kau memasang besi panas di pundakmu!"
Salima lagi-lagi diam. Dia malah tertawa geli melihat tingkah lawannya itu, kembali membiarkan lawan mencengkeram bahunya dengan tangan yang satu. Tapi begitu tangan menyentuh pundaknya tiba tiba lelaki ini pun berteriak dan mengaduh menjerit-jerit.
"Hu aduh, tanganku.... tanganku....!"
Semua orang bangkit berdiri. Mereka melihat tangan yang ini pun bengkak, bahkan sekarang berwarna merah seolah dibakar. Orang-orang mulai tidak mengerti namun gentar memandang Salima. Tapi ketika Salima meneruskan minumnya dan pura-pura tidak tahu sekonyong konyong dua lelaki lain yang menjadi teman lelaki pertama bergerak mencabut golok menyerang Salima.
"Iblis, kau rupanya wanita siluman..."
"wut-wutt!" dua golok itu membacok, Salima mulai mengangkat kening karena orang dinilai mulai kelewatan. Dia ingin memberi hajaran. Maka begitu golok menyambar dan dia menyentil cawan arak tiba-tiba cawan itu terbang menangkis golok yang segera berbenturan sendiri, membuat dua orang ini terkejut karena mereka tak melihat gerakan Salima. Gerakan itu memang begitu cepat. Dan ketika mereka terdorong dan sama melotot tahu-tahu Salima menampar dan membalas.
"Pergilah!"
Dua orang itu terangkat naik. Mereka tiba tiba seperti didorong tenaga raksasa dari bawah, begitu saja tak dapat ditahan. Tentu saja mereka menjerit dan kaget bukan main. Dan ketika mereka terbanting dan bergulingan di lantai ruangan ternyata keduanya sudah babak-belur dan golok mereka pun mencelat entah ke mana.
"Iblis.... Setan....!"
Keduanya bangun dengan muka pucat. Mereka memandang gentar ke arah gadis yang masih duduk di meja itu. Salima melayani mereka tanpa melepas pantat dari kursi. Dan ketika sadar bahwa gadis yang mereka hadapi ternyata memiliki kepandaian begitu tinggi mendadak keduanya melarikan diri dan lenyap tunggang-langgang, disusul oleh laki-laki pertama yang tadi mencengkeram Salima. Kiranya orang-orang ini pun tidak bodoh. Mereka maklum menghadapi lawan pandai. Dan begitu lawan meninggalkan dirinya dan Salima memesan kembali cawan araknya maka para tamu yang tadi memenuhi kedai itu menyingkir dan satu persatu menghilang ketakutan, tak ada yang berani lagi beradu pandang dengan gadis lihai ini. Salima sebal.
Namun ketika beberapa saat kemudian terdengar derap puluhan kuda dan seorang pengawal berhenti di muka pintu maka bentakan nyaring terdengar lantang di luar, "Wanita pengacau, kau keluarlah berhadapan dengan pasukan keamanan. Kami akas memeriksamu atas tuduhan membuat onar!"
Salima terganggu. Sebenarnya, melihat wataknya sehari-hari ketiga orang tadi termasuk beruntung. Dia tidak mencederai mereka, tidak mematahkan tulang-tulang mereka. Salima tak melakukan itu karena tiga laki-laki tadi dilihatnya sebagai gentong gentong kosong belaka, yang hanya berlagak tapi tak memiliki kepandaian apa-apa. Kini, melihat mereka mengundang pasukan keamanan dan tiga orang itu tampak bersembunyi di balik punggung pengawal yang membentak ini Salima menjadi marah dan menghentikan minumnya. Dan pemilik kedai buru-buru mendekati, menjura dan membungkuk berulang-ulang agar dia tidak membuat keributan di dalam kedai. Habis kedainya nanti. Pemilik kedai itu tampak ketakutan.
Dan ketika bentakan di luar kembali terdengar dan Salima enggan keluar, tiba-tiba pemilik kedai ini mencium kaki Salima teriba-iba berkata, "Lihiap, tolong aku. Itu San-ciangkun. Dia kejam dan sewenang-wenang. Kalau kau tidak menyambutnya salah-salah aku disangka komplotanmu. Tolong kau keluar dan selesaikan ini tanpa merugikan aku!"
"Hm!" Sdlima tertawa mengejek. "Yang mencari ribut bukanlah aku, lopek, tapi mereka. Suruh saja mereka itu masuk dan kujamin barang-barangmu utuh."
"Ah, mereka galak, lihiap. Mana aku berani?"
"Kalau begitu biarkan saja, biar mereka ke mari!"
Pemilik kedai itu mengeluh. Dia menggigil menoleh ke sana ke mari, sebentar ke si pengawal dan sebentar ke Salima, bingung dia. Dan ketika Salima membiarkan saja bentakan di luar dan pengawal itu rupanya tak mau masuk juga tiba-tiba pengawal ini berteriak untuk menyuruh bakar kedai arak itu.
"Aduh, celaka, lihiap. Celaka! Habis warungku nanti....!"
Salima terkejut. Orang rupanya benar-benar menghendaki ia keluar, puluhan orang yang mengepung sudah bersiap siap dengan membawa minyak. Sekali bakar tentu kedai ini akan habis! Dan ketika pemilik kedai menangis dan Salima jengkel oleh keributan di luar tiba-tiba gadis ini bergerak dan melesat dengan kursi masih menempel di bokongnya, langsung berhadapan dengan pengawal pemimpin ini, duduk dan kini bersikap seperti ratu yang bersinar-sinar memandang orang-orang itu. Tentu saja orang-orang tertegun dan melongo melihat demonstrasinya ini. Salima sengaja menunjukkannya untuk mencari kemenangan mental. Dan ketika orang-orang bengong dan minyak tidak jadi dituangkan maka Salima menegur pengawal pemimpin ini, seorang laki-laki garang dengan golok bergagang tombak, hidungnya seperti jambu monyet, "Monyet busuk, kalian mau apa mengganggu seorang wanita yang enak minum-minum" Kurang kerjaankah kalian ini hingga minta kuhajar?"
Pengawal itu terkejut. "Kau mata-mata, kami datang untuk memeriksa dirimu!"
"Hm, atas petunjuk tiga anjing buduk itu?"
Pengawal ini marah. "Mereka bukan anjing, mereka informan (penyelidik)"
Salima tertawa. "Hidung monyet, sebaiknya kau pergi dan suruh tiga penyelidikmu itu bekerja lebih baik. Aku tak mau berurusan dengan kalian dan enyahlah!"
Pengawal ini gusar. Dia terang-terangan dimaki si hidung monyet, hinaan di depan begitu banyak anak buahnya. Tentu saja dia melotot. Tapi melihat Salima seorang gadis cantik dan tubuhnya pun cukup menggairahkan tiba-tiba dia menggeram menekan kemarahannya. "Nona, kau jangan sembarangan bicara. Daerah ini dikuasai Thai-taijin, kau harus tunduk memasuki wilayah orang dan tidak mencari perkara. Kau kami tangkap dan menyerahlah baik-baik. Aku masih sayang kulitmu yang halus"
"Hm, mau coba-coba" Kalau begitu tangkaplah, aku tak akan beranjak dari kursiku dan kalian boleh menyerang."
"Sombong!" perwira atau pengawal itu membentak, tak dapat menahan diri dan menyuruh lima pembantunya bergerak. Lima pengawal di sebelah kanan menubruk dan menusukkan tombak mereka. Salima tenang saja dan tertawa mengejek. Dan ketika lawan menyerang dan dia memutar lengannya daa kali tiba tiba pukulan jarak jauh dilontarkan gadis ini ke arah lima pengawal itu.
"Bress!" lima pengawal itu menjerit roboh.
Tombak di tangan mereka mencelat jauh, mereka disambut pukulan kuat yang meluncur dari lengan gadis itu. Tentu saja mereka terpekik dan pemimpin mereka terbelalak. Bukti akan kelihaian gadis itu tampak di depan hidung. Tapi karena dia marah dan perbuatan Salima menaikkan temperamennya tiba-tiba perwira ini tak sabar menyuruh semuanya maju, tak kurang dari dua puluh pengawal.
"Tangkap dan ringkus dia....l"
Semua pengawal bergerak. Mereka sebenarnya jerih, lapi karena kini maju berbareng dan Salima juga tetap di kursinya tiba-tiba mereka menjadi berani dan menyerang dengan tembak dan golok bagai sekumpulan srigala menyerang seekor domba. Salima tak berbuat apa-apa sebelum mereka mendekat, tapi begitu jarak sudah dirasa cukup dan orang-orang ini menubruknya dari segala penjuru tiba-tiba Salima melengking dan.... mumbul ke atas. Kursi yang diduduki iknt terangkat naik, para pengawal bengong. Separuh diantara mereka menghentikan gerakan. Tapi begitu Salima turun kembali dan kaki bergerak ke sana-sini tiba-tiba seperti kecapung beterbangan ssja Salima membagi-bagi pukulan dan tendangan ke arah dua puluh pengawal itu.
"Des-des-dess!"
Semuanya terkejut. Semuanya terpelanting dan robog berpelantingan bagai disambar petir. golok dan tombak berhamburan patah-patah. Dan ketika Salima hinggap kembali di tempatnya semula dan perwira berhidung monyet melongo maka dua puluh pengawal sudah mengaduh-aduh di tanah dengan tubuh babak-belur.
"Keparat!" perwira ini gentar. "Kalian orang orang tiada guna. Ayo bangun, ambil senjata lagi dan serang....!" Dan menoleh pada tiga laki-laki tinggi besar yang bersembunyi di belakang punggungnya, perwira ini menghardik, "A-lu, bantu aku. Kalian jangan ndomblong aaja. Ayo...!" dan berteriak menyuruh anak buahnya bangun dan menyerang lagi perwira ini sekarang maju, meskipun gentar tapi dia penasaran juga.
Kerasnya tangan Salima belum dia rasakan sendiri. Maka begitu anak buahnya mengambil senjata baru dan tertatih-tatih menyerang Salima segera perwira ini membentak menggerakkan golok tombaknya, dibantu pula tiga laki-laki tinggi besar yang bersembunyi di belakang punggungnya tadi, terpaksa maju lagi meskipun mereka semakin pucat. Kelihaian Salima ini membuat nyali mereka menciut. Dan ketika Salima dikeroyok lagi dan hujan senjata kembali menghambur ke arahnya maka Salima mengincar perwira berhidung monyet ini sambil tertawa mengejek.
"Monyet busuk, rupanya kau harus menerima hajaran!"
Salima mumbul ke atas lagi, sekarang menangkis dan dengan tangan telanjang mematahkan senjata lawan. Para pengawal berteriak keras karena senjata lagi-lagi patah, perwira yang memimpin juga terkejut dan pucat, tangan yang halus itu ternyata tak kalah ampuh dengan sebatang pedang. Dan ketika dia gugup membacok dan Salima berkelebat ke arah dirinya tiba-tiba goloknya patah pula dan tangan Salima mengenai pelipisnya.
"Plak!" perwira itu menjerit, roboh terbanting dan pingsan seketika.
Anak buahnya geger dan mundur berteriak-teriak. Salima turun kembali dan tak ada satu pun yang menolong perwira itu. Semua pengawal gentar. Tiga laki-laki tinggi besar sudah mendahului lintang-pukang melarikan diri, kini Salima menghadapi pengawil-pengawal yang ketakutan itu. Dan ketika Salima menggebah dan perwira yang pingsan itu ditendangnya hingga mencelat di tengah-tengah anak buahnya maka para pengawal ini berseru keras menyambut pemimpin mereka dan lari di atas kuda masing-masing.
"Siluman....!"
"Kuntilanak....!"
"Kita ketemu iblis....!"
Salima tersenyum mengejek. Sekarang dia telah memberi pelajaran pada orang-orang itu, bangkit berdiri dan mengeluarkan sekeping perak. Pemilik kedai dilihatnya melongo di muka pintunya. Dia mungkin dikira setan. Dan geli serta ingin menunjukkan dirinya lebih hebat lagi tiba-tiba Salima menendang kursi yang didudukinya dan berkelebat lenyap.
"Lopek, itu pembayaran minumku!"
Pemilik kedai semakin mendelong. Salima lenyap begitu saja, gerakannya seperti iblis Dan ketika dia sadar namun orang sudah tak kelihatan lagi tiba-tiba pemilik kedai ini menjatuhkan diri berlutut dan malah menangis. "Sian-li (dewi), tak perlu bayar uang minummu. Biarlah kauambil saja agar keberuntungan nasibku tidak tertimpa sial!"
Kiranya, pemilik ini takut kalau Salima adalah dewi atau kuntilanak pembawa sial. Para pengawal menyebutnya iblis tapi dia malah menyebutnya dewi. Salima sendiri tertawa di kejauhan sana dan tentu saja tak mau mengambil uangnya, malah dia melempar berturut-turut dua keping emas yang menancap di dekat pemilik kedai ini. Pemilik itu tertegun tapi gembira luar biasa. Kini keberuntungan benar-benar diperolehnya. Dan ketika dia mengambil dua keping emas itu sementara Salima lenyap ke arah timur maka Salima sendiri sudah meneruskan perjalanannya dan coba menghilangkan kekesalan dengan lebih dalam lagi masuk ke tembok besar, mulai dipandang keheranan serta curiga oleh orang-orang yang tak mengenalnya. Hari demi hari serbuan bangsa Tar-tar memang semakin menggemparkan. Kali ini Salima menjauh karena dia tak enak juga, dia ingin menghindari keributan dengan orang orang rendahan itu. Dan ketika seminggu kemudian dia tiba di sebuah hutan di mana dia merasa kecewa karena jejak suhengnya tak didapatkan juga mendadak lima orang berlompatan menghampirinya.
"Sian-li lihiap....!"
Salima tertegun. Sin Kok muncul bersama adiknya, memanggil dan sudah berada di depannya dengan wajah berseri-seri, di belakangnya berdiri dengan muka cemberut tiga laki-laki pendek yang bukan lain Sin-to Sam enghiong adanya. Salima girang, sedetik kekesalannya lenyap dan dia memandang orang-orang itu. Mereka ini tentu dapat ditanya mengenai suhengnya. Inilah orang-orang yang dikenal sejak dia memasuki tembok besar, setelah sekian lama berpisah.
Tapi melihat muka cemberut yang ditunjukkan Sin-to Sam-enghiong dan juga Hwi Ling yang tampaknya tidak bersahabat tiba-tiba saja teguran Sin Kok tadi disambut dingin oleh Salima yang merasa tidak senang oleh sikap empat orang ini.
"Saudara Sin Kok, ada apa kau memanggilku" Bagaimana kalian ada di sini?"
Sin Kok berseri-seri. "Kami mencari suhengmu, lihiap. Kami sampai di sini karena mencari suhengmu itu. Paman Beng Kwan baru saja bertemu tapi sudah kehilangan jejaknya lagi!"
"Hm, kalian tahu?" Salima bersinar penuh harap. "Di mana suhengku itu dan kapan saudara Beng ini menemuinya?" pertanyaan terakhir jelas ditujukan pada Orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu.
Beng Kwan bersikap dingin dan mendengus. Baru ketika Salima mengerutkan kening dan tajam memandang laki-laki itu maka orang tertua dari Sin-to Sam-enghiong ini bicara,
"Tiat-ciang Sian li, suhengmu Kim-mou-eng memang pernah bertemu kami. Tapi kami tak tahu di mana dia sekarang berada. Kami mengira justeru kaulah yang menyembunyikan suhengmu itu, karena itu serahkan kepada kami dan biar kami tangkap untuk dihadapkan kaisar secara baik-baik!"
Salima gusar. "Memangnya siapa kalian ini yang dapat menangkap suhengku" Apakah kalian menuduh suhengku pula mencuri Sam-kong-kiam?"
"Aha, bagus. Kau pun telah berterus terang, Tiat-ciang Sian-li. Sekarang kami akan bicara blak-blakan saja bahwa kami pun menduga kau tahu tentang pedang ini. Serahkan dan menyerahlah baik-baik kepada kami!"
"Paman!" Sin Kok kaget. "Kenapa malah hendak memusuhi Sian-li lihiap ini" Bukankah dia tak mencuri pedang?"
"Ah, mencuri atau tidak dia adalah sumoi Kim-mou-eng, Sin Kok. Dia tentu tahu sepak terjang suhengnya itu. Kalau Kim mou-eng menyembunyikan diri tentu gadis ini tahu di mana suheng nya itu. Tak perlu dia bersikap pura-pura!"
Beng Kwan memberi tanda kepada adik adiknya, mencabut golok dan Hwi Ling pun mengangguk, melolos pedangnya dan mereka berempat sudah mengepung gadis ini. Salima mengangkat keningnya dan naik darah. ini hinaan langsung. Dan ketika lawan sudah mengelilinginya dengan sikap mengancam dan rupanya mereka itu tak mau diajak bicara lagi tiba tiba Salima mendengus dan tertawa mengejek, darah dinginnya muncul, mata berkilat kilat memandang empat orang lawannya itu.
"Sin-to Sam-enghiong, kalian rupanya mencari penyakit. Aku sedang jengkel tak menemukan suhengku, sebaiknya tak perlu kalian mengeluarkan senjata tajam agar tidak melukai diri sendiri'"
"Kau tak perlu banyak cakap, Tiat-ciang Sian-li. Bagi kami beritahukan di mana suhengmu itu atau kau kami tangkap untuk dipaksa mengaku"
"Kalau begitu majulah, aku juga sebal melihat tampang kalian!" Salima tak mau banyak bicara, mengejek pada orarg tertua dari Sin-to Sam-enghiong itu sementara Sin Kok di luar sana pucat, menyerah adiknya mundur tapi Hwi Ling malah mendamprat kakaknya. Pemuda ini gelisah, bingung. Dan ketika Beng Kwan memben tak dan menyuruh Sin Kok mencabut pedangnya tiba tiba orang tertua dari Sin-to Sam eng-hiong ini melengking dan berkelebat ke depan dengan serangan pertamanya.
"Wuut...!" golok mengaung, dielak dan Beng San serta Beng Kwi menyusul kakaknya, tiga golok berkelebatan cepat bagai sinar pelangi, berubah menjadi garis-garis lurus ketika silang-menyilang memburu Salima. Gadis ini berlompatan sementara mata mulai berapi, sinar maut membayang di muka Salima. Dan ketika Hwi Ling melengking dan juga menubruk ke depan maka Salima sudah dikeroyok empat lawan yang sama-sama bersenjata tajam.
"Sing-sing-plak!" Salima mulai menangkis, dengan tangan telanjang mengejutkan empat lawannya karena golok atau pedang yang mereka pegang tergetar. Gadis itu berputaran cepat mengikuti keliauan senjata, bagai walet beterbangan saja Salima menyambar2 di antara hujan bacokan atau tusukan. Memang hebat gadis ini. Dan ketika Beng Kwan terbelalak dan dua adiknya mengeluh merasakan tangkisan yang kian kuat maka Salima sudah berseru mengerahkan Tiat-lui-kangnya. Tenaga Petir.
"Sio-to Sam-enghiong, kalian yang mulai lebih dulu. Jangan salahkan aku kalau jalan kekerasan terpaksa kutempuh" Dan Salima yang mulai menampar dan mengebutkan tangannya ke segala penjuru tiba2 menolak dan menghalau tiga batang golok dan sebatang pedang, membuat lawan terpekik karena telapak tangan seketika melepuh, tangkisan Salima seolah membeset mereka itu. Sin-to Sam-enghiong terhuyung sementara Hwi Ling pun terpelanting, gadis ini memang paling lemah di antara empat orang itu. Dan ketika Salima membentak dan meloncat tinggi melakukan tamparan maut tiba-tiba tubuh gadis ini berkelebat lenyap membagi-bagi pukulannya ke arah pelipis lawan.
"Jangan....!" Sin Kok kaget, berseru keras dan maju menubruk Salima. Pemuda itu pucat karena tamparan Salima merupakan tamparan maut, angin tamparannya saja sudah meniup kencang dan panas. Dan karena dia mengkhawatirkan empat temannya dibunuh dan Sin Kok gelisah mencegah ke depan maka dia sudah menubruk Salima dan coba menghentikan tamparan Salima terhadap teman-temannya, membuat Salima terkejut dan otomatis terganggu, tenaganya berkurang sejenak tapi pukulan atau tamparan itu tetap meluncur ke depan. Serangan ini tak dapat dihalangi.
Dan karena Sin Kok malah maju menubruk dan coba mencegah maka pemuda itupun terserempet pukulan dan roboh terbanting.
"Des-des-dess!"
Lima orang itu bergulingan mengeluh. Salima telah mengurangi tenaganya sedikit, gara-gara gangguan Sin Kok tadi. Tapi karena Tiat-lui-kang merupakan tamparan ampuh dan Beng Kwan mau pun kawan kawannya tak dapat menahan maka mereka terpelanting dan roboh bergulingan. Orang tertua Sin-to Sam-enghiong ini hangus bajunya. Dua saudaranya sedikit terbakar sementara Hwi Ling sendiri sudah roboh pingsan. Hanya Sin Kok yang selamat dengan sedikit baju pundak terobek, pemuda ini terpental dan terlempar lima tombak. Dan ketika Sin Kok melompat bangun dan Beng Kwan serta adik-adiknya pucat mengeluh terhuyung maka Sin Kok menghampiri adiknya dengan kaki menggigil.
"Lihiap, kau bunuhkah adikku?" Sin Kok berlutut, memeriksa adiknya tapi lega adiknya tak tewas, hanya pingsan saja. Dan ketika pemuda itu bangkit lagi dan menghadapi Salima maka Salima menegur lawannya yang sudah kehilangan senjata karena golok dan pedang mencelat entah ke mana.
"Sin-to Sam-enghiong, kalian sedikit tertolong oleh cegahan pemuda ini. Kalau Sin Kok tidak menghalangi tentu kalian semua binasa. Sekarang harap tahu diri, kalau masih ngotot dan ingin menyerang tentu aku tak akan segan-segan lagi dan membunuh kalianl"
Sin-to Sam-engbiong menggigil. Mereka harus mengakui kelihaian lawan, Salima nyaris membunuh mereka kalau Sin Kok tadi tidak berteriak. Hebat gadis ini. Tapi Beng San yang termasuk berangasan dan mendelik marah tiba-tiba membentak, "Tiat-ciang Sian-li, lebih baik kau bunuh kami daripada menelan hinaan. Aku tidak takut, kalau mau mati biarlah mati....!"
Laki-laki ini menubruk, kakak dan adiknya kaget karena Beng San dianggap nekat. Salima mendengus melihat serangan itu. Dan karena dia sudah memperingatkan dan orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong ini dinilai tak tahu diri tiba-tiba Salima menggerakkan tangannya dan menampar dari jauh.
"Kau mampuslah!"
Sinar kemerahan melnncur cepat. Tiat-lui-kang lagi-lagi menyambar. Beng Kwan dan Beng Kwi pucat. Tapi karena mereka menyayangi saudara mereka itu dan maklum akan pukulan Petir, tiba-tiba dua kakak beradik ini hampir berbareng membentak menubruk saudara mereka nomor dua itu.
"Awas....!"
Beng San terbelalak. Dia memang nekat, menerjang Salima dan kini disambut pukulan panas Tiat-lui-kang, coba mengelak tapi kalah cepat. Tapi ketika dia mengeluh dan hampir tewas oleh tamparan Salima tiba-tiba dua saudaranya menubruk dan membantingnya bergulingan ke kanan, Beng San berteriak karena kaget oleh tubrukan saudaranya. bertiga mereka menyelamatkan diri dari tamparan maut itu. Namun karena angin pukulan masih menyerempet dan Beng San terkena lehernya tiba-tiba orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong ini menjerit dan roboh pingsan.
"Plak!"
Beng Kwl dan kakaknya melompat bangun. Mereka sendiri merasakan angin pukulan panas itu. dada terasa nyeri dan batuk-batuk, segera memandang adik mereka yang terkapar. Melihat leher Beng San gosong tapi saudara mereka itu selamat, pingsan dan tidak tewas. Mereka lega, meskipun marah. Dan ketika mereka tertegun namun girang saudara mereka berhasil diselamatkan maka Salima yang mendengus dan tertawa dingin tiba-tiba berkelebat lenyap tak mau berdiri lagi di situ.
"Beng Kwan, adikmu tak dapat menoleh selama tiga bulan. Kalau dia macam-macam dan kalian mau bertingkah boleh cari aku kembali di lain waktu!"
(Oo-dwkz-smhn-abu-oO)
Jilid: VI BENG KWAN bengong. Adiknya sudah menolong Beng San yang terbanting di sana, mereka pucat dan gentar sekali. Dua kali mereka nyaris terbunuh. Beng Kwi sudah menotok saudaranya dan Beng San sadar, membuka mata namun ternyata tak dapat menoleh ke kiri atau ke kanan. Laki laki itu berteriak mengaduh kalau dipaksa menggerakkan kepalanya, lehernya ternyata sakit. Benar kata Salima, orang nomor dua dari Sin-to Sam-enghiong itu hanya mampu melotot lurus saja ke depan, tak dapat menoleh ke samping apalagi ke belakang. Dan ketika Beng Kwan menghampiri adiknya dan Beng San bangkit terhuyung maka Beng Kwi berkata pada saudaranya, "Twa-ko, kita tak ada muka untuk bertemu gadis itu lagi. Sebaiknya kita menyingkir dan memperdalam ilmu silat kita di tempat sunyi."
"Benar," Beng Kwan termangu. "Menghadapi dia saja kita tak mampu, sam-te (saudara ketiga). Apalagi berani melawan Kim-mou-eng. Aih, kita harus tahu diri, kepandaian kita benar benar tak berarti dan sebaiknya kita mengasingkan diri."
Beng Kwi mengangguk. Mereka bertiga tampak kecewa, Beng San mengumpat namun tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika kakak beradik itu meninggalkan tempat itu dan Sin Kok ditinggal seorang diri maka pemuda ini ganti termangu mangu menghadapi adiknya yang baru saja siuman.
"Kami tak ada muka, kau bekerjalah sendiri dengan adikmu," hanya itu pesan Sin-to Sam-enghiong kepada Sin Kok, sudah meninggalkan pemuda itu dengan langkah terhuyung-huyung. Sin Kok tertegun namun mengangguk lemah. Dan ketika Hwi Ling bangkit berdiri dan memandang kepergian tiga laki-laki pendek itu maka gadis ini pun terisak dengan perasaan masygul.
"Kita sungguh bukan tandingan Kim-mou-eng. Menghadapi sumoinya saja kita kalah, apalagi menghadapi Pendekar Rambut Emas itu"
"Ya, dan kita pulang saja, Ling moi. Atau mengembara seadanya saja mencari pengalaman yang ringan-ringan"
"Kau tak mencari gadis itu lagi?"
"Untuk apa" Aku bukan apa-apa di hadapannya, aku merasa kecil...."
"Tapi kau jatuh hati, koko. Kau amat mencinta Tiat-ciang Sian-li Salima itu!"
"Ya, dan kau pun jatuh hati terhadap Kim mou-eng. Namun kita gagal!"
"Ah....!" dan Hwi Ling yang menangis penuh kecewa tiba-tiba berkelebat ke utara. "Koko, kita tak usah membicarakan itu lagi. Aku benci!"
Sin Kok mengangkat pundak. Dia tahu kekecewaan adiknya itu, juga tentu saja tahu akan kekecewaannya sendiri. Dan ketika adiknya berkelebat dan terisak menangis maka Sin Kok menyusul dan menggandeng adiknya itu. Mereka sama sama bertepuk sebelah tangan, kekaguman yang menjadi rasa kecintaan itu gagal. Memang mereka sudah tahu namun coba memaksa diri. Cinta memang terlanjur bersemayam di hati, susah membuangnya. Dan ketika dua muda mudi iiu bergandengan ke utara sementara Sin-to Sam-eng-hiong juga pergi mengasingkan diri maka di lain pihak Salima sendiri meneruskan perjalanannya mencari sang suheng.
Kota demi kota dilalui gadis ini. Salima naik turun gunung pula untuk mencari Kim-moi-eng, bahkan keluar masuk hutan berkali-kali untuk mencari jejak suhengnya. Mulai mendengar keroyokan orang orang kang-ouw terhadap suhengnya, rasa gelisah dan was-was mengusik hatinya. Kemarahan semakin berkobar-kobar di dadanya. Dan ketika berita terakhir suhengnya didengar tak jauh dari lapangan berumput di mana suhengnya jatuh ke jurang maka secara kebetulan gadis ini bertemu dengan Hek-bong Siang-lo-mo yang lagi merawat luka-lukanya ketika melarikan diri bertemu Bu-beng Sian-si yang disangka setan itu.
"Lo-mo, berhenti. Kalian telah mengeroyok suhengku secara curang!"
Lo-mo kakak beradik terkejut. Mereka berjalan terhuyung-huyung ketika Salima berkelebat di depan hidung, dua iblis ini kaget tapi akhirnya tertawa menyeringai, melirik kiri kanan apakah Salima ditemani seseorang ataukah tidak. Dan ketika melihat gadis itu seorang diri dan kini berkacak pinggang membentak mereka tiba-tiba Ji-lo-mo terbahak mencabut sabitnya.
"Tiat-ciang Sian-li, mau apa kau menghadang kami" Minta menyusul arwah suhengmu?"
"Mana suheng?" Salima pucat. "Kalian mencelakainya di mana?"
"Ha-ha, suhengmu mampus, Sian-li. Sekarang kan pun boleh menyusulnya kalau ingin menyusul, atau kah bersenang-senang saja dengan kami berdua...."
"wut!" sabit di tangan Ji-lo-mo bergerak, iblis ini terkekeh dan maju menubruk dengan kecepatan kilat. Salima menjadi marah dan mengelak. Dan ketika sabit membalik dan Ji lo-mo berseru keras maka sang kakak, Twa-lo-mo, membentak pula dan menerjang Salima.
"Ji te (adik nomor dua), jangan bunuh dia kecuali robohkan saja. Belejeti pakaiannya dan kita bersenang senang!"
"Benar, aku juga begitu, twa-ko (kakak). Aku berkeinginan sama seperti dirimu. Sudah sebulan kita tak menyentuh wanita. Ha-ha, ayo tangkap, kita permainkan dia dan bersenang-senang!"
Salima gusar. Dua iblis cebol yang mengeluarkan kata-kata kotor ini membuat dia naik pitam. Salima memekik dan menangkis mereka, Tiat-lui kang dikerahkan dan kepretan serta tamparan meledak berkali-kali, serangan sabit itu bagai hujan gencar yang bertubi tubi menyerang Salima, gadis ini berkelebatan dan mulai bertahan. Tapi ketika lawan terlalu kuat dan dengan Tiat-lui-kang saja dia merasa kalah tiba-tiba Salima melengking dan mencabut bendera Tar-tarnya itu.
"Hek-bong Siang-lo-mo, kalian iblis-iblis busuk yang selamanya berbuat curang. Sekarang rasakan pembalasanku.... tar!"
Bendera meledak, menangkis sabit di tangan Ji-lo-mo sementara pukulan Twa lo-mo ditolak Salima dengan tangan kiri. Kini mereka bertanding dengan sama-sama bersenjata, Ji lo-mo terkejut karena dia terdorong, nyata Salima bagai harimau tumbuh sayap setelah mencabut benderanya. Dan ketika gadis itu berkelebatan pula dengan bendera meledak-ledak sementara Tiat lui-kang juga menangkis dengan tak kalah ampuh maka desakan dua iblis cebol ini tertahan dan Twa lo mo memaki.
"Keparat, arwah Kim-mou-eng itn benar-benar membuat kita tertimpa sial. Tenagaku masih belum pulih!"
"Benar, aku juga begitu, twako. Agaknya kita masih terlalu lelah dan tak dapat mengerahkan segenap tenaga!"
Salima tak mengerti apa yang dimaksudkan dua iblis ini. Ia tak tahu bahwa Twa lo-mo dan Ji-lo-mo masih lelah, mereka baru saja memeras keringat dan guncangan batin sejak peristiwa di jurang itu. Pertempuran yang panjang mengeroyok Kim-mou-eng betapapun menyurutkan tenaga mereka, sebenarnya mereka harus beristirahat untuk memulihkan tenaga. Belum beristirahat total Salima sudah datang, mereka agak terkejut karena mungkin cukup berat menghadapi gadis yang masih segar ini. Betul juga, begitu Salima mencabut senjatanya segera mereka merasakan getaran dalam setiap tangkisan, tahulah mereka bahwa mereka belum pulih seluruh tenaganya, apalagi ketakutan menghadapi "arwah" Kim-mou-eng yang membuat mereka terbirit2 itu menimbulkan kelelahan batin. Maka, ketika sabit sering terpental sementara Salima sendiri tampak beringas dan ganas menghadapi mereka tiba tiba kain bendera mengebut menutupi pandangan Ji lo-mo yang saat itu terhuyung mundur, baru saja tertolak ketika Salima menangkis serangannya.
"Awas....!"
Iblis ini gelagapan. Kakaknya memperingatkan dan iblis ini membanting tubuh bergulingan, itulah satunya jalan kalau dia tidak ingin roboh. Dan ketika Salima mengejar tapi Twa lo-mo membentak di belakang terpaksa gadis itu membalik dan gagang bendera menangkis sabit.
"Trakkl"
Twa lo-mo ganti terhuyung. Salima mengelebatkan benderanya dan melengking menggerakkan tangan kiri, bendera menutupi pandangan mata sementara Tiat lui-kang menyambar dari bawah. Twa lo-mo terkejut dan ganti gelagapan, menangkis dengan tangan kirinya dan membentak keras. Tapi karena iblis ini sudah berkurang tenaganya dan Salima masih segar maka Twa lo-mo mencelat dan terbanting setombak.
"Des!" iblis ini pun cepat menggulingkan tubuh menjauh, Salima mengejar dan karena itu dia harus menyelamatkan diri, mengumpat dan mencaci-maki karena biasanya merekalah yang di atas angin kalau menghadapi gadis ini, kalau mereka sama sama segar. Karena Salima merangsek dan Twa-lo mo bergulingan menjauh maka Ji lo-mo yang sudah melompat bangun dan membentak Salima tiba tiba menyerang gadis itu menyelamatkan kakaknya, terpaksa dilayani dan Salima membalik, mendongkol dan marah karena setiap mau merobohkan yang satu tentu yang lain mengganggu.
Salima melengking dan menangkis pukulan Ji lo mo. Dan ketika dua iblis itu ganti berganti merasakan kelihaian Salima dan mau tidak mau mengakui kelemahan sendiri karena merosotnya tenaga yang membuat lelah tiba-tiba Ji lo-mo mengajak kakaknya melarikan diri, melempar beberapa pelor dan paku beracun, dua iblis cebol ini melepas senjata rahasia. Salima menangkis dan memaki mereka, mengebutkan bendera. Dan ketika pelor dan paku runtuh di tanah dan dua iblis itu tertawa maka Hek-bong Siang-lo-mo lenyap berkelebat melarikan diri.
"Tiat-ciang Sian-li, biar lain kali kita bertemu lagi. Kami sedang lelah"
Salima gusar. Tentu saja dia mengejar, membentak dan menyuruh mereka berhenti. Tapi Hek bong Sian-lo mo yang selalu melepaskan senjata rahasia dan masuk ke dalam hutan, akhirnya hilang dan tidak diketemukan jejaknya.
Salima membanting kaki, menyimpan benderanya dan coba mencari lagi, gagal, merasa kecewa dan menyesal karena dua iblis itulah yang tahu banyak tentang suhengnya. Tapi karena Salima tidak pulus asa dan mencari serta mencari lagi maka beberapa hari kemudian dia menemukan iblis yang lain yang tidak diduga-duga.
"Siauw-bin-kwi (Si Setan Ketawa)....?" Salima tertegun, menghentikan langkahnya dan terbelalak memandang iblis yang satu itu, tidak mengira bahwa Siauw-bin kwi masih hidup. Iblis yang berkulit putih itu hancur kedua kakinya, menopang tubuh dengan sepasang tongkat bambu sementara di sampingnya Salima melihat dua orang lain tidak dikenal, dua kakek berhidung merah dengan mata yang besar. Mereka jelas orang asing, mungkin orang Nepal atau Bhutan. Salima mendelong. Tapi begitu dia melompat maju dan Siauw-bin-kwi tertawa tiba-tiba iblis yang dikira Salima sudah mati ini menoleh pada dua temannya.
"Ma Tung, dia inilah sumoi Kim-mou-eng. Kepandaiannya hebat dan lihai sekali. Apakah kalian main coba coba dan berkenalan?"
"Heh-heeh," laki laki tinggi besar di sebelah kiri Siauw bin-kwi mengeluarkan tawa yang aneh, mirip sengau atau tawa kuda "Jadi inikah orangnya yang mencelakakan dirimu. Bin kwi" Dan mana itu Pendekar Rambut Emas?"
"Agaknya tak bersama dia, Ma Tung tapi bukan dia yang mencelakai aku. melainkan suengnya. Tapi sama saja. Gadis ini pun musuhku dan kebetulan kita bertemu di sini!" dan menghadapi Salima deagan tubuh menggantung di sepasang tongkat Siauw bin-kwi menyeringai. "Tiat-ciang Sian-li, mana suhengmu Gurba yang sombong itu" Benarkah dia telah mampus?"
"Hmm!" Salima menekan kekagetannya, bentrok dan terkesiap beradu pandang dengan dua laki laki di samping Siauw-bin kwi. "Twa-heng memang telah meninggal, Bin kwi. Tapi ini pun gara gara dirimu dan teman temanmu. Kalian jahat, selalu mengacau dan membuat onar. Bagaimana kau masih hidup dan belum mampus?"
"Ha-ha, raja maut masih enggan mencabut nyawaku, Tiat ciang Sian li. Giam lo-ong (raja akhirat) menyuruhku hidup untuk membalas ke padamu!"
"Dengan kaki buntung begini?" Salima mengejek. "Apa yang dapat kuulakukan, Bin-kwi" Salah-salah terbanting roboh sebelum menyerang!"
"Jangan pongah," Siauw-bin-kwi tertawa. "Aku mempunyai sahabat yang akan membantuku, bocah sombong. Dan perkenalkan mereka inilah Ma Tung dan Bong Kak dari Bhutan. Mereka ingin mengenalmu lebih baik"
Dua kakek tinggi besar itu melotot. Mata mereka memang sudah besar, kini diangkat terbelalak memandang Salima jadi mirip jengkol dalam dua lubang yang lebar. Salima bergidik merasakan gelaran iblis dari mata sepasang kakek ini, tajam dan mencorong bagai mata harimau ganas. Kilauan cahaya menyeramkan muncul dari sepasang mata itu. Dan ketika Salima tertegun dan bersaiap-siap maka kakek di sebelah kiri yang bernama Ma Tung itu melangkah lebar merangkapkan kedua tangannya membentuk tinju, tertawa aneh.
"Nona, perkenalan aku. Aku Ma Tung!"
Salima merasa kesiur angin dahsyat. Dia maklum bahwa lawan menyerangnya, pukulan jarak jauh menyambarnya dari depan, inilah cara "perkenalan" orang orang dunia kang-ouw.
Tapi Salima yang sudah bersiap dan tidak gentar menghadapi lawan tiba-tiba merangkapkan kedua tangannya pula dan balas mendorong, mengejek berseru, "Ma Tung, orang Bhutan tak biasa kelayapan sampai di sini. Kalau kau dan temanmu datang tentu kalian ada maksud.... dess!l"
Salima bergoyang, menghentikan kata-katanya dan terkejut karena hampir dia terpental, cepat menambah tenaganya dan seketika dorongan itu ditahan, Ma Tung berseru aneh dan menambah kekuatannya pula, muka si tinggi besar ini merah. Dia ngotot dan penasaran. Tapi karena di sana Salima mengimbangi kekuatannya pula dan masing-masing tertolak akhirnya si tinggi besar ini dan Salima terdorong tak dapat mempertahankan diri.
"Hebat, gadis ini benar benar hebait....!" Ma Tung kagum, mengusap keringatnya yang tiba-tiba sudah membasahi muka, Adu tenaga sejenak tadi cukup menyimpulkan padanya bahwa Salima memang hebat. Gadis ini tak mau kalah dan memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Dan ketika Ma Tung terdorong setindak sementara di sana Salima juga terdorong mundur maka Bong Kak, temannya yang satu tersenyum menyeringai mengebutkan lengannya.
"Tiat-ciang Sian-li, aku pun ingin berkenalan denganmu!"
Salima terkesiap. Sebenarnya dia kaget dengan kekuatan orang pertama Bhutan tadi, Ma Tung memiliki sinkang dahsyat yang berhawa dingin. Bukti bahwa dia dan lawannya sama-sama terdorong setindak menunjukkan bahwa mereka seimbang. Lawan yang berat. Kini melihat Bong Kak maju ke depan sementara dia baru terhuyung tiba tiba Salima menjadi marah dan menyambut pula kebutan lengan yang lagi-lagi berhawa dingin imi
"Tua bangka, kalian rupanya mau mengeroyokku. Boleh, majulah....!" Salima gusar, cepat menegakkan tubuh dan untuk kedua kali dia diuji sinkang. Tokoh-tokoh Bhutan ini rupanya mau mengeroyoknya dan licik, geram dia. Dan ketika hawa pukulan menyambar tiba dan Salima mengerahkan Tiat-lui-kangnya maka sinar merah menyambar ke depan menyambut kebutan si Bhutan itu.
"Cess!" kali ini asap mengebul, desisan hawa dingin bertemu hawa panas membuat orang Bhutan itu bergoyang, matanya terbelalak lebar tapi tangan kirinya tiba-tiba menampar miring, Salima terkejut karena lawan mengarah pinggang. Pukulan samping ini memecah perhatiannya. Dan karena dia baru beradu tenaga dengan Ma Tung dan Bong Kak ini mengambil kesempatan dalam posisinya yang belum tegak maka Salima melompat tinggi membiarkan pukulan itu lewat dengan bentakan nyaring.
"Licik!" pukulan itu menghantam belakangnya, mengenai pohon dan suara berdebum mengguncang tempat itu ketika pohon ini roboh. Salima sudah berjungkir balik dan tegak kembali dengan mata berapi-api, memaki lawan yang tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat. Benar-benar teman Siauw-bin kwi ini erang-orang jahat yang tidak tahu malu. Tapi sementara Salima marah-marah memaki tokoh tokoh Bhutan itu maka Bang Kak sendiri sudah tertawa serak memandang temannya.
"Ma Tung, gadis ini memang hebat. Sebaiknya kuuji ilmu silatnya setelah tenaganya kita ketahui"
"Ah, aku yang ingin lebih dulu, Beng Kak. Kau mundurlah dan biar aku yang menguji"
"Tidak, aku terlanjur gatal. Kau menonton saja dan biar aku yang merobohkan!" dan menghentikan tawanya yang tidak enak didengar tiba tiba orang ini sudah melejit ke depan mencengkeram tengkuk Salima, jari jarinya berkerotok dan Salima melihat warna hitam di situ, cepat mengelak dan melompat ke kiri. Dan ketika lawan mengejar dan jari atau lengan itu mulur seperti karet tiba tiba Salima terpekik menangkis kuat.
"Plak!"
Bong Kak tertawa aneh. Dia sudah mengejar bertubi tubi Salima yang melompat ke sana kemari lengannya terus mulur dan mulur. Kini hampir satu setengah meter dan mirip lengan gorilla yang panjang. Salima terbelalak, ngeri dan meremang dia. Tapi karena Salima bukan gadis penakut dan kejaran lengan yang membuat dia marah ini selalu bergerak ke sana-sini mencegat jalan larinya akhirnya Salima melengking dan mainkan Tiat-lui-kangnya dengan kepretan atau tamparan, menangkis dan membalas membuat Bong Kak melotot, lengannya terpental dan jari jarinya terasa panas. Siauw bin-kwi segera beritahu bahwa itulah Tiat-lui-kang, tamparan Petir. Dan ketika Salima berkelebatan pula dan gadis ini berhasil lolos dari lengan lawan yang mirip gorilla itu akhirnya Bong Kak kagum memuji penasaran.
"Bagus, memang lihai...!" orang Bhutan ini ganti menangkis tamparan tamparan Salima. berseru keras dan jari-jarinya yang hitam kian berkerotok. Hawa amis mulai tercium di situ, Salima terbelalak karena lawan memiliki jari-jari beracun, bertindak hati hati dan sudah menelan obat penawar, memang begitu biasanya orang orang sesat. Dan ketika Bong Kak merunduk dan mengelak ke sana ke mari tendangan maupun kepretan Sa lima akhirnya dua orang ini bertanding dengan gaya masing-masing. Desak-mendesak dan pukul-memukul. Kedudukan mereka masih berimbang karena tokob Bhutan ini ternyata tahan menerima Tiat-lui-kang, berkali kali Salima terkejut karena lawan hanya terhuyung saja, paling paling bajunya yang hangus terbakar, itupun tak melukai kulit si Bhutan ini. Tokoh itu malah tertawa gembira. Dan ketika Salima mempercepat gerakannya dan mulai memilih bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawannya seperti mata dan bawah pusar maka Bong Kak membentak keras mengimbangi! kecepatan Salima pula hingga dua orang, ini saling keliling-mengelilingi bagai dua jago bertarung.
"Bagus, hebat... Menarik sekali, Bong Kak. Keluarkan Hek-in ciangmu (Pukulan Awan Hitam) itu dan desak Tiat-lui-kang!" Siauw-bin-kwi tertawa-tawa, merasa gembira dan bertepuk tangan dengan muka berseri-seri. Pertandingan itu memang menarik ditonton karena masing-masing masih berimbang. Tokoh Bhutan ini penasaran karena lengan karetnya belum mampu menangkap Salima, selalu terpental dan jari-jarinya tak ada kesempatan untuk menggaet arau mencengkeram. Tapi ketika Siauw-bin kwi berteriak dan dia merasa marah tiba tiba segulung angin dingin menyambar dan mulai menerpa Salima, menolak dan menghalau Tiat-lui-kang yang berkali-kali membuat tangannya pedas, meskipun tak terluka. Dan ketika tokoh ini mulai menggeram dan menubruk serta menangkis maka pukulan dingin yang berbau amis itu mulai kuat menghadapi Tiat-lui-kang.
"Plak-plak-dess!" untuk kesekian kalinya pukulan dan tangkisan bertemu. Salima terdorong karena tak tahan mencium bau amis itu, mual perutnya. Dikira lemah dan lawan tertawa mendesak lagi. Salima mulai mendapat pukulan dan terhuyung-huyung. Bong Kak mengira gadis ini akan dapat segera dirobohkan tak lama kemudian, tertawa sombong dan gembira merangsek lagi. Tapi ketika pukulan demi pukulan ternyata membuat Salima terhuyung saja dan tetap tidak roboh maka tokoh ini terbelalak melototkan matanya.
"Kau masih dapat bertahan" Kau tidak roboh?"
"Hmm!" Salima mendengus. "Aku hanya mual melihat pukulanmu yang amis, Bong Kak. Tapi sekarang aku sudah mulai biasa"
Benar saja. Salima sudah tidak terhuyung-huyung lagi, setiap pukulan yang mendarat di tubuhnya selalu dibalas dengan pukulan juga, bau amis mulai biasa di hidungnya dan obat penawar racun ternyata tak membuat gadis ini terpengaruh oleh Hek-in-ciang, hanya tadi sedikit terganggu karena bau amis itu membuat perutnya mual, selebihnya dia tidak apa-apa. Dan ketika sekarang bau amis tidak mengganggunya lagi karena sudah biasa maka Hek-in-ciang maupun pukulan pukulan lain dari tokoh Bhutan ini tidak mempan lagi menghadapi Salima, membuat Bong Kak gusar namun Tiat-lui kang yang dilancarkan Salima juga tidak berpengaruh banyak bagi tokoh Bhutan ini. Hal ini terjadi katena masing2 memiliki kekuatan berimbang, sinkang mereka mampu menahan pukulan-pukulan lawan dan tubuh paling-paling hanya terdorong atau terhuyung saja. Itulah hasil pertandingan ini. Seri alias berimbang. Dan ketika pertempuran menjadi menjengkelkan karena tak ada yang kalah atau menang tiba-tiba Ma Tung, yang dongkol oleh kejadian itu mencelat maju.
"Bong Kak, gadis ini harus dirobohkan. Biar kubantu kau!"
Salima terkejut. Hek-in-ciang baru saja ditangkis, dia dan lawan sama sama terdorong. Kini melihat Ma Tung maju membantu dan tokoh tinggi besar itu melepas pukulan dingin tiba tiba Salima memaki dan melompat berjungkir balik.
"Curang.... dess!" pukulan itu membuat lubang besar di tanah, Bong Kak tertawa dan Ma Tung menggeram. Salima yang turun berjungkir balik sudah disambutnya lagi dengan pnkulan kedua, Salima sibuk menangkis dan terpental lagi. Dua tokoh Bhutan itu susul-menyusul menghujani serangan. Dan karena Salima seorang diri padahal satu di antara mereka saja berimbang dengannya maka Salima kewalahan dan segera terdesak bebat, tak mampu menghadapi keroyokan itu dan mencaci lawan habis-habisan. Bong Kik dan Ma Tung tertawa tak perduli, ternyata mereka pun tak malu-malu berbuat curang. Cepat tetapi pasti Salima kian terdesak. Dan ketika keadaan sudah memuncak dan Salima marah bukan main tiba-tiba gadis ini mencabut benderanya membentak keras,
"Ma Tung, kalian bandot-bandot tua yang tak kenal malu. Sungguh busuk!" dan Salima yang menggerakkan bendera menangkis sana-sini dengan penuh kemarahan coba menghalau dan mempertahankan diri sekuat tenaga, sedetik berhasil tapi Bin-kwi tiba tiba melompat maju. Kakek iblis ini tertawa dan rupanya tak sabar melibat perlawanan Salima. Gadis itu keras hati dan keras kepala. Dati ketika tongkat penyangga tubuh di tangen kanan kakek ini menyambar pinggang Salima sementara saat itu gadis ini menghadapi serangan Bong Kak dan Ma Tung maka Salima mengeluh ketika terlambat mengelak, bajudi pinggangnya itu robek dan gadis ini memaki S auw-bin-kwi. Lawan yang dimaki terkekeh saja dan kembali menggerakkan tongkat satunya, kali ini Salima menangkis tapi kain benderanya robek. Salima dibuat gugup.
Dan ketika Hong Kak dan Ma Tung juga menyerang dari samping kiri dan kanan akhirnya Salima tak dapat menahan ketika pukulan dingin dua tokoh Bhutan itu menghantam dirinya, terpental dan roboh bergulingan. Gadis ini pucat namun tetap tidak kenal menyerah, memutar senjata di tangan sementara tangan kiri juga mengerahkan Tiat lui-kang. Namun karena tiga musuh mengejarnya dari segala penjuru dan Salima sia-sia bertahan tiba-tiba gadis ini menjerit ketika pukulan dingin Bong Kak mengenai lehernya.
"Jangan bunuh dia, ingat Sam-kong-kiam!" Seruan Bin-kwi menyadarkan tokoh Bhutan ini. Bong Kak mengurangi tenaganya dan Salima tak tahu lagi apa yang terjadi sesudah itu. Dia pingsan dari roboh tak bergerak, bertubi-tubi menerima serangan lawan memang berat. Lehernya disentuh pukulan dingin dan selelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. Bong Kak nyaris membunuhnya kalau Bin-kwi tidak berteriak tentang Sam-kong-kiam. Dan ketika tokoh Bhutan ini menghapus peluh dan kagum akan perlawanan Salima maka dengan sedikit tidak puas dia menegur si Setan Ketawa itu,
"Bin-kwi, Kenapa kau mencegahku membunuh gadis ini" Bukankah dia adalah musuh?"
"Ah, kau kurang perhitungan, Bong Kak. Gadis ini adalah sumoi Kim-mou-eng, sedang Kim-mou-eng membawa Pedang Tiga Sinar itu, bukankah baik kalau dia kita tangkap dan dapat dipergunakan memaksa si Rambut Emas itu" Karena itu jangan dibunuh gadis ini. Bong Kak. Dirinya berharga sekali untuk ditukar dengan Sam-kong-kiam!"
Bong Kak tertegun. "Jadi kau hendak memaksa Kim-mou-eng menyerahkan pedang itu dengan diri sumoinya?"
"Betul sekail, karena itu jangan dibunuh!" dan Bong Kak yang mengangguk angguk mengerti dan tertawa mengumpat kebodohan sendiri akhirnya meringkus Salima dan melumpuhkan gadis itu. Peristiwa Sam-kong-kiam memang telah mereka dengar dan karena itulah dua tokoh Bhutan ini muncul. Siauw-bin-kwi adalah sahabat mereka dan si Setan Ketawa itulah yang memperkenalkan Sam-kong-kiam, sebagai tokoh tokoh persilatan tentu saja dua orang ini tertarik. Bin kwi memang cerdik. Dan ketika Salima ditangkap dan tiga orang ini "mengawal" Salima maka Bin-kwi mengajak mereka melanjulkan perjalanan mencari Kim-mou-eng.
"Sekarang kemenangan sudah ada di tangan kita. Kim-mou-eng tentu rela menyerahkan pedang itu karena dia amat mencinta sumoinya ini. Ayo berangkat!" Tiga tokoh itu berkelebat, Salima dipanggul dan kini dijadikan sandera. Lagi lagi Kim-meu-eng dituduh mencuri Sam kong-kiam. Dan begitu ketiganya berkelebat meninggalkan tempat itu maka Salima memaki maki sepanjang jalan setelah sadar, mencium bau apek di pundak Bong Kak, tokoh Bhutan inilah yang memanggulnya. Tapi karena lawan tidak memperdulikannya dan Bong Kak ganda ketawa saja akhirnya Salima kehabisan suara dan... menangis.
===dw0smhn0abu0===
Malam itu Salima tak tahu berada di mana. Sudah seminggu ia menjadi tawanan, diam-diam gelisah dan mengumpat caci tiga iblis tua ini. Sekarang dimasukkan kerangkeng dan ia tiada ubahnya binatang buas yang baru terjebak. Bin-kwi dan dua kawannya tertawa melihat keadaan Salima. Dewi Bertangan Besi ini menjadi bahan olokan sepanjang jalan, bukan main panasnya Salima.
Dan ketika malam itu mereka berada di sebuah guha dan Salima dilempar ke sudut maka Bio-kwi terkekeh menjaga.
"Sian-li, seminggu lagi kami harus mendapatkan suhengmu itu. Kalau tidak terpaksa dua temanku akan membunuhmu karena tak sabar. Kau mempunyai pesan apa untuk disampaikan pada suhengmu itu?"
"Tak perlu banyak bacot. Kalian boleh membunuhku sekarang, Bin-kwi. Tak usah menunggu sehari atau seminggu lagi. Aku menjadi tawanan kalian, mau bunuh boleh bunuh mau siksa boleh siksa!" Salima mendamprat.
"Heh-heh, kau semakin cantik kalau marah marah begini. Aduh, sayang. Aku tak berdaya lagi sebagai laki laki normal. Kalau dulu kakiku tidak buntung dan aku dapat melepaskan hasrat hatiku tentu kau sudah kujadikan kekasih. Eh, Tiat-ciang Sian-li, maukah kau kucarikan pemuda tampan untuk menemanimu sebelum ajal" Kau ingin apa sebelum dibunuh?"
Salima gusar. "Bin-kwi, tak perlu mengancamku dengan macam-macam omongan kosong. Aku muak pada kalian, enyahlah dan pergi dari sini!"
"Kau tak ingin ditemani seseorang?"
"Hanya suheng yang boleh menemuiku, lainnya persetan!"
Bin-kwi tertawa geli. Tiba tiba saja dia ingin menggoda gadis ini, menakut nakutinya. Maka ketika Salima melotot padanya dan iblis ini menyambar tongkat mendadak dia melesat keluar berkata pada temannya, "Bong Kak, jaga sejenak gadis itu. Aku ingh mencari seorang pemuda untuk menemaninya!"
Salima pucat. Tiba-tiba dia merasa takut oleh omongan kakek iblis itu, ngeri. Tahu bahwa Bin-kwi tak sekedar menakut nakutinya tapi betul-betul dapat membuatnya mengkirik dengan perbuatan-perbuatan keji. Kini kakek itu melesat dan berkata akan mencari seorang pemuda untuk menemani Salima, tahulah gadis ini apa yang diinginkan kakek itu. Dia akan dipaksa untuk bercinta dengan seseorang, bulu kuduknya meremang dan Salima gelisah bukan main. Ini berarti perkosaan! Dan ketika dia terbelalak memandang kepergian kakek iblis itu dan Bong Kak yang menjaganya di pintu guha tertawa menyeringai tiba-tiba saja Salima ingin berontak.
"Bin-kwi, jahanam kau. Keparat kau!"
Bin kwi tertawa di kejauhan sana. Rupanya dia mendengar kemarahan gadis ini, Ma Tung mendengus di sudut. Dua tokoh Bhutan ini bersila melepas lelah, setengah memejamkan mata dan mereka bicara bahasa Bhutan satu sama lain. Mata yang ganas dari dua tokoh itu tampak sekilas di celah-celah dua garis yang menyipit, entah apa yang dibicarakan. Tapi ketika Salima berteriak-teriak dan Bin kwi menghilang di luar sana mendadak terdengar jeritan iblis itu yang nyaring memecah kesunyian malam.
"Hei, Kim-mou-eng....!"
Salima dan dua tokoh Bhutan terkejut. Bong Kak dan temannya tiba tiba melompat bangun, mata yang tadi setengah mengantuk itu mendadak terbuka lebar. Di luar terdengar suara pertempuran dan Bin-kwi berkali-kali berseru kaget, pertempuran itu agak jauh tapi jelas terdengar dari tempat mereka, kesunyian malam membantu semuanya ini. Dan ketika terdengar suara "crak" dua kali dan Bin-kwi rupanya membanting tubuh bergulingan hingga mengeluarkan suara berdebuk tiba-tiba iblis buntung itu berseru ketakutan, "Bong Kak, tolong. Bantu dan keluarlah kalian....!"
Dua tokoh Bhutan ini berkelebat. Mereka sudah mendengar suara suara yang tidak menguntungkan teman mereka itu, rupanya Bin-kwi terdesak hebat. Kim-mou-eng memang dikabarkan lihai, amat lihai dan iblis buntung itu berterus terang bahwa seorang diri dia masih bukan tandingan Kim-mon eng, kini Pendekar Rambnt Emas itu datang dan kedua tangan mereka sudah gatal bukan main.
Sebentar kemudian mereka tiba di asal suara, melihat sinar berkelebatan dari tiga warna pelangi yang menarik dipandang mata, hijau, kuning dan merah, menyambar-nyambar bagai petir yang membuat mereka tertegun. Bin-kwi kalang-kabut menghadapi tiga sinar yang menyilaukan ini, berteriak-teriak dan menjerit tak keruan. Bong Kak dan Ma Tung terkesima kerena tiba-tiba mereka merasakan getaran hebat yang memancar dari pelangi tiga warna itu, melihat si sosok bayangan berambut keemasan menyerang teman mereka ini. Bin-kwi bergulingan dan memekik setiap cahaya pelangi itu menyambar, kiranya iblis ini sudah luka luka. Tujuh guratan panjang menghias tubuh si kakek buntung. Tapi begitu mereka sadar dan Bin-kwi menjerit meminta tolong mendadak dua tokoh Bhutan ini membentak melepas pukulan jarak jauh.
"Kim-mou-eng, tahan....!"
Bayangan keemasan itu membalik. Dia telah merasakan kesiur dingin dari pukulan dahsyat di kiri kanan tubuhnya, sinar pelangi bergerak dua kali membacok dari atas, cepat bukan main. Dan ketika pukulan dua tokoh Bhutan iiu ditangkis bayangan ini mendadak Bong Kak dan temannya berseru kaget.
"Bret-brett!" dua ujung baju kakek tinggi besar ini terbabat, nyaris buntung mengenai tangan mereka sendiri.
Bong Kak dan temannya membanting tubuh bergulingan, hawa yang tajamnya luar biasa telah menyambut pukulan mereka tadi, padahal di antara mereka tak ada yang saling sentuh, jarak di antara mereka maaih dua tombak! Dan Bong Kak serta Ma Tung yang kaget bergulingan dengan seruan keras tiba tiba melompat bangun dan pucat berseru tertahan.
"Pedang luar biasa, pedang yang ampuh...!"
Namun bayangan berambut keemasan itu mengeluarkan suara mengejek. Dengusan pendek terdengar dari hidungnya, sinar warna-warni tadi lenyap. Pedang ternyata telah memasuki sarungnya dengan cara luar biasa pula. Keadaan kembali gelap-gulita. Dan ketika Bong Kak dan temannya terkejut dan Bin-kwi merintih di sana tiba tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari depan mereka.
"Wuit!"
Dua tokoh Bhutan ini siaga. Mereka melihat samar-samar, sesosok bayangan yang melejit, perobahan terang menjadi gelap ini membual mata kabur, mereka waspada. Tapi ketika bayangan itu menghilang dan Bin-kwi meminta tolong segera dua kakek tinggi besar Itu melompat sambil menghapus keringat dingin mereka.
"Itukah Kim-mou-eng, Bin-kwi?"
"Ya, dan aku nyaris binasa. Tidak kalian lihatkah bahwa ia amat lihai" Dan Kim-mou-eng sekarang ganas bukan main, aduh..... kaki bambuku buntung. Sam kong-kiam membabat putus kakiku ini dan tolong kalian carikan yang baru. Atau, eh.....jangan, kita harus kembali ke guha. Kim-mou-eng tentu menolong sumoinya!"
Bong-Kak serta Ma Tung yang lagi lagi terkejut dan sadar oleh seruan ini tiba-tiba melompat dan menyangga Bin-kwi di kedua bahu mereka, secepat kilat mereka kembali ke guha dan teringat pada Salima. Gadis itu masih ada di sana, tentu Kim-mou-eng akan menolongnya dan menyelamatkan gadis itu. Dan ketika benar saja mereka melihat kerangkeng sudah kosong dan bayangan keemasan itu melompat keluar guha sambil memanggul Salima tiba-tiba dua tokoh Bhutan ini melepas Bin-kwi berseru marah.


Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kim-mou eng, lepaskan sumoimu.....!"
Dua pukulan dahsyat kembali menerjang. Kim-mou-eng atau orang yang disangka Kim-mou-eng ini terbelalak, Sam-kong kiam di belakang punggung tak sempat diambil, terpaksa mengelak namun pukulan di sebelah kanan menghadang, bayangan ini menangkis dan langit-langit guha di atas mereka roboh. Getaran dahsyat dari dua pukulan kuat itu bertemu, baik bayangan ini maupun lawannya terpental. Dan ketika Bong Kak menerjang masuk dan Bin kwi berjungkir balik berseru periang tiba tiba Ma Tung yang terpental dan sudah mematahkan daya dorong tadi dengan lompatan tinggi tahu-tahu melesat membantu dua temannya msnyerang bayangan ini yang sudah terpental ke dalam guha.
"Kim-mou-eng, serahkan Sam-kong-kiam....!"
Bayangan berambut emas itu menggereng. Dia terpental masuk ke dalam guha, tiga lawan kini menyerangnya bertubi-tubi tanpa ampun. Salima yang dipondong sebelah lengannya membuat dia repot. Tapi berseru kerat menggerakkan lengan ke belakang tahu tahu pedang di punggungnya itu dicabut dan tiga sinar pelangi berkelebat menyambar serangan Bong Kak dan kawan-kawannya ini.
"Awas....!"
Untuk kedua kali Bong Kak terkejut. Hawa yang amat dingin dan tajam iiu menyambar dirinya, lagi lagi tokoh Bhutan ini merasa pukulannya diiris, tentu saja dia cepat menarik pukulannya dan melempar tubuh ke kiri. Kakek ini merasa ngeri dan pucat. Dan ketika dua temannya yang lain juga melakukan hal yang sama dan mereka sama sama membanting tubuh bergulingan maka sinar pedang berkelebat di samping mereka bagai petir menyambar.
"Singg!"
Sebagian rambut Bong Kak putu. Hawa pedang yang luar biasa tajam kiranya telah mampu memotong rambut kakek tinggi besar ini, Bin kwi dan Ma Tung juga mencelos karena baju mereka terbabat robek, baru oleh hawa pedang itu saja, bukan main. Dan ketika mereka sibuk menyelamatkan diri dan bergulingan di dalam guha maka bayangan itu tertawa mengejek melompat keluar.
"Wutt!"
Bayangan itu telah berada di luar guha. Sekarang dia selamat, tidak mengeluarkan kata kata dan terbang neluncur ke utara. Gin-kangnya yang tinggi membuat bayangan ini bergerak seperti iblis, Sam-kong-kiam sudah disarungkan kembali dan Salima tertegun melihat semuanya itu. Dan ketika Ma Tung dan kawan-kawannya bengong maka bayangan ini terbang jauh meninggalkan guha.
"Kejar....!" Bong Kak sadar, melesat dan membentak bayangan itu. Ma Tung dan Bin-kwi juga melompat dan berseru marah. Bong Kak sendiri sudah mengeluarkan gelang-gelang berodanya dan melepasnya dari belakang, gelang-gelang beroda ini menyambar punggung lawan, cepat dan mengerikan karena mampu menyusul bayangan itu. Bayangan ini terkejut dan menyampok.
Ketika gelang runtuh namun telapaknya pedas tergetar maka Ma Tung juga mengeluarkan senjata rahasianya berupa seng-piauw (senjata bintang) yang bermata setajam pisau, disusul Bin kwi sendiri yang melepas granat tangannya, meledak namun semuanya gagal menghentikan bayangan itu. Dan ketika mereka marah-marah dan bayangan ini terus lari maka Bong Kak menggeram penuh rasa gusar.
"Kim-mou eng, kau akan kami kejar sampai ke ujung dunia sekali pun. Berhentilah atau kami akan membunuhmu!"
Salima ngeri. Dia sendiri berada di belakang, dialah yang akan pertama kena kalau senjata-senjata rahasia yang dilepas tiga kakek itu mengenai mereka. Selalu mencelos setiap mendengar desing senjata-senjata gelap itu. Tapi melihat bayangan ini mampu meruntuhkan semua senjata-senjata itu dan kini membelok ke timur tiba-tiba Salima yang merasa bahwa bayangan ini bukan suhengnya karena dia tak melihat Tiat-lui-kang atau ilmu silat lain yang dimiliki bayangan ini berkala, "Sobat, sebaiknya bebaskan totokan ku dan lepaskan aku. Tubuhku menjadi beban, kita hadapi mereka itu dan tak perlu melarikan diri!"
"Hm!" bayangan ini menggumam. "Aku tak ingin kita berhenti, nona. Biar mereka mengejar dan aku akan berputar-putar!"
"Tapi kau akan kelelahan, berat tubuhku mengurangi kelincahanmu!"
"Tak apalah, aku mempunyai tempat persembunyian yang baik dan mereka tak akan menemukan diriku lagi. Sekarang kita hampir sampai, kau tundukkanlah kepalamu karena kita memasuki hutan bambu"
Selesai mengucapkan kata-katanya ini mendadak Salima mendengar suara berkerosak dan hutan bambu yang lebat mereka masuki. Bong Kak dan dua temannya di belakang berteriak-teriak mereka gigih mengejar sambil tetap melepaskan senjata rahasia. Satu dua kali bayangan itu mengeluh, tapi tetap tidak apa apa. Dan ketika bayangan ini memutar dan melompat dengan hitungan-hitungan ganjil tiba-tiba dia tertawa dan tiba di sebuah gundukan besar macam kuburan kuno.
"Kita sudah sampai, sekarang kita aman!" dan Salima yang merasa terjeblos memasuki sebuah lubang tiba tiba tak dapat melihat apa apa lagi karena sekelilingnya yang gelap-gulita.
"Kita di mana" Tempat apa ini?" Salima merasa dingin, Bong Kak dan teman-temannya memang tak terdengar lagi di belakang. Bayangan atau sang penolong tak dikenal ini tertawa aneh, dia tidak menjawab dan terus maju ke depan, meskipun gelap dia dapat berjalan di situ dengan baik, jelas bayangan ini mengenal tempat itu sebagai tempatnya sendiri, beberapa kali membelok dan menurun. Dan ketika seperempat jam kemudian mereka tiba di tempat yang agak terang dan sinar remang-remang menyambut mereka segera bayangan ini membebaskan totokan Salima dan Salima melompat turun dengan muka merah.
"Kita di mana" Tempat apa ini?"
"Heh-heh, ini tempatku, nona. Bekas tempat guruku. Kita berada di tempat yang aman dan tak ada seorang pun yang tahu!"
Salima memandang tajam bayangan itu. "Kau sapa?"
"Duduklah, jangan ganggu aku dulu. Aku harus mencabut seng-piauw yang menancap di tubuhku ini...."
Salima terkejut. Sekarang dia tahu bahwa sang penolong ini ditancapi beberapa senjata rahasia, dua seng-piauw menancap di lengannya sementara sebuah gelang beroda menancap di kaki kirinya. Benda-benda itu tampak menghitam karena beracun. Salima tertegun dan melompat menghampiri, mau mencabut senjata-senjata rahasia itu tapi orang yang aneh ini tertawa, sudah mencabutnya sendiri dan membuang tiga senjata gelap itu, berkata bahwa Salima bisa keracunan kalau memegangnya, biarlah dia yang mengurus dan silahkan gadis itu duduk beristirahat, bayangan ini segera bersila dan duduk bersamadhi. Salima bengong dan lagi lagi tertegun. Dan ketika orang menyendiri di sudut dan memejamkan mata untuk mengusir sisa racun tiba-tiba Salima menahan napas karena segera teringat masalah Sam-kong-kiam.
Inilah pencurinya!, dia membatin. Inilah orang yang telah membuat suhengrya dikejar kejar dan dituduh kaisar. Entah kemana sekarang suheng-nya itu dan orang inilah yang membuat gara-gara. Salima mendadak menjadi marah namun juga bingung, teringat pertolongan orang ini yang telah menyelamatkannya dari tangan Bin kwi dan kawan-kawannya iiu. Dan ketika dia menjublak bersinar-sinar memandang orang itu segera Salima menelusuri seluruh wajahnya dari atas ke bawah.
Hampir mirip, Salima tergetar. Sepintas orang akan menyangka orang ini adalah suheng-nya. Memang tak jauh berbeda. Tinggi dan besar badannya memang mirip suhengnya itu, bahkan rambut emasnya juga. Tapi ketika Salima meneliti dan melihat bahwa dua hal yang mencurigakan hatinya mendadak gadis ini panas dan bangkit kemarahannya. Ada dua hal yang tak dapat menipu matanya. Pertama adalah orang ini mengenakan kedok. Setelah dia mengamat-amati dan duduk memandang ternyata orang itu menyembunyikan mukanya dengan sebuah kedok karet yang tipis Kalau tak diperhatikan benar-benar dalam jarak yang cukup dekat memang susah orang menemukannya. Bayangan ini ternyata berkedok. Dan ketika Salima mengamati hal kedua ternyata rambut yang dikenakan bayangan itu palsu!
"Keparat!" Salima mendesis. "Apa-apaan orang ini dengan segala perbuatannya itu" Memang mau mencelakakan suhengnya?" dan Salima yang nyalang memandang rambut itu segera mengetahui bahwa rambut orang ini dicat. Warnanya memang kuning keemasan dan mirip benar dengan rambut suhengnya. Kalau tidak jeli mata memandang tentu orang pun terkecoh. Salima mengepalkan tinju dan hampir bergerak. Hampir dia membentak dan menyerang orang itu. Tapi karena orang sedang bersamadhi dan dia sabar menunggu sampai selesai akhirnya setengah jam kemudian orang aneh ini membuka mata dan menarik napas panjang.
"Selamat, sekarang tak ada apa-apa lagi!"
Salima sudah maju melompat. Melihat orang membuka matanya tadi sudah cepat dia bergerak. Orang ini harus diinterogasi! Maka begitu laki-laki ini menarik napas dan membuka matanya tiba-tiba Salima menyentuhkan dua jarinya di jalan darah mo-ceng-hiat, jalan darah kematian di bawah telinga.
"Manusia busuk, sekarang ceritakan padaku siapa sebenarnya dirimu ini! Bagaimana kau memalsu suhengku dan mencuri Sam-kong-kiam!"
Orang itu terkejut. "Kau mengancamku?"
"Tak perlu pura pura. Kau telah mencemarkan nama suhengku, orang tak tahu malu. Sekarang kau harus menceritakan kepadaku siapa dirimu ini dan kenapa kau mencuri Sam-kong-kiam!"
"Kalau aku tak mau menceritakannya?"
"Kau akan kubunuh!"
Orang ini tertawa aneh. "Nona, percuma kau menggertak atau mengancamku Sebaiknya kau duduk yang tenang dan lepaskan jarimu "
"Kau tak perlu cari akal. Aku tak akan melepasmu agar kau bicara!"
"Kalau begitu aku tak mau bicara. Kau boleh paksa atau bunuh aku kalau bisa!"
Salima terbelalak. "Kau minta mampus?"
"Heh beh, jalan darabku telah jungkir balik tak keruan, nona. Kemanapun jarimu menotok tentu sia-sia hasilnya."
"Aku tak percaya!" dan Salima yang gusar serta menggerakkan jarinya tiba-tiba sudah menotok dan merasa ditantang, menjadi marah dan naik pitam. Dengan cepat dua jarinya itu bekerja. Tapi ketika jalan darah yang ditotok tak terasa barangnya dan dua jarinya itu mental bertemu kulit yang licin tiba tiba Salima terkejut karena membuktikan bahwa orang ini seolah tak mempunyai jalan darah.
"Iblis!" Salima memaki, terkesiap dan kembali bayangan aneh itu tertawa. Salima semakin marah dan menotok yang lain. Bertubi-tubi dia melancarkan tototannya tapi semua tolokan itu gagal, orang ini seolah bukan manusia. Dan ketika Salima pucat dan mundur selangkah maka orang ini berdiri dan tajam memandang Salima matanya bersinar sinar dan mencorong membuat Salima ngeri.
"Bagaimana, kau bisa membunuhku, nona" Kau ingin membuktikannya lagi?"
"Kau bukan manusia...." Salima akhirnya menggigil. "Kau laki laki yang jalan darahnya kacau. Kau melatih ilmu sesat yang kini membuat semua jalan darahmu terbalik tak keruan!"
"Benar, itulah aku, nona. Karena itu jangan kaubuat lagi diriku semakin jungkir balik dengan semuanya ini. Aku cukup menderita, aku merana sepanjang tahun...." dan Salima yang tertegun memandang laki-laki itu tiba tiba melihat laki-laki itu menangis!
"Eh, siapa sebenarnya kau ini" Orang gilakah dirimu ini?" Salima terpengaruh juga, menjadi luluh dan melihat tangis orang demikian menyedihkan, gerak mulut dan tarikan pipi yang menunjukkan kedukaan berat itu tiba-tiba membuat gadis ini merasa iba. Dan ketika orang itu menarik napas dan menghapus air matanya mendadak dalam waktu begitu cepat orang ini sudah tertawa dan menyeringai seperti orang tidak waras.
"Nona. semuanya ini kulakukan karena diri seseorang. Aku mencintai seseorang, aku merasa gagal dan karena itu tersiksa gara-gara seorang ini. Maukah kau duduk baik-baik dan mendengarkan ceritaku?"
Salima trenyuh, merasa heran dan mengangguk. Lalu duduk namun tetap bersikap hati-hati dia memandang laki-laki itu. "Kau aneh, dirimu diliputi rahasia. Kalau memang ingin bicara baik-baik tentu saja aku tak menolak. Tapi setelah itu ceritakan kenapa kau memfitnah suhengku!"
"Ah, aku tak memfitnah suhengmu, nona. Aku tak melakukan apa-apa pada orang lain"
"Tapi suhengku dituduh mencuri Siam-kong kiam, padahal pedang itu ada di tanganmu. Kau mau menyangkal apalagi?"
"Benar, memang aku yang mencuri pedang ini, nona. Tapi orang lainlah yang bilang suhengmu yang mencuri, aku tidak mengaku sebagai suhengmu!"
"Sama saja. Kau mengecat rambutmu dan berkedok. Kalau tidak bermirip-mirip seperti suhengku tak mungkin orang akan menuduh suheng ku!"
Orang ini tiba tiba tertawa, sorot matanya beringas. "Nona, sedemikian besarkah rasa cintamu kepada suhengmu itu hingga kini kau marah marah kepadaku" Apakah kehebatan Kim-mou-eng itu" Apakah dia benar-benar sudah pilih tanding?"
"Kau menantang?" Salima melompat bangun. "Kau berani mengejek suhengku dan ingin mengadu kepandaian" Nah, mari dengan aku dulu, orang bertopeng. Coba lihat dapatkah kau mengalahkan aku atau tidak!"
Orang ini terkejut. "Aku tak berani memusuhimu, aku tak akan bertempur melawanmu....."
"Kalau begitu jangan menghina suhengku. Kalau kau tak memusuhi aku seharusnya kau juga tak memusuhi suhengku!"
Orang ini tertegun Pandang matanya berkilat, mencorong tapi sudah kembali redup. Dan ketika Silima duduk lagi dan masih belum hilang marahnya tiba tiba orang ini menitikkan dua butir air mata yang membuat Salima mengerutkan kening.
"Kau ini orang apa" Dapatkah sekarang kau menceritakan kepadaku tentang dirimu?"
"Baiklah," suara orang ini bergetar. "Aku memang akan menceritakannya kepadamu, nona. Sekarang dengarkan ceritaku kenapa aku melakukan semuanya ini," dan menarik napas membetulkan letak kakinya orang ini mulai bercerita, "Aku ingin mengobati kekecewaan hatiku, aku merana sepanjang tahun sejak aku merasa jatuh cinta. Dan karena cinta itu bertepuk sebelah tangan karena gadis yang kucinta mencinta orang lain maka aku ingin melampiaskan kekecewaanku ini dengan cara lain. Aku ingin menguasai dunia, aku ingin menunjukkan pada gadis yang kucinta itu bahwa aku dapat melakukan apa saja, termasuk kelak membunuh kekasih gadis itu agar dia tahu rasanya orang merana!"
"Kau kejam!" Salima bergidik. "Kenapa mesti melakukan hal sepicik itu" Dunia tidak selebar daun kelor, kau dapat mencari gadis lain sebagai penawar dukamu!"
"Heh-heh," laki-laki ini tertawa serak "Gadis yang kupilih adalah gadis terhebat, nona. Sukar mencari gantinya karena langka mencari gadis seperti itu!"
"Kau yakin?"
"Tentu saja. Aku mengenal baik sepak terjang dan kepandaiannya!"
"Siapa dia" Gadis mana?" Salima penasaran, terseret dan ingin tahu karena mendadak dia menjadi panas. Seingatnya di dunia kang-ouw ini tak ada wanita yang hebat selain dia. Dia adalah murid Bu-beng Sian-su, nama itu saja cukup menjadi jaminan sebagai tokoh yang paling disegani di dunia, belum pernah dia berjumpa wanita kang-ouw yang menonjol kecuali mendiang Tok-gan Sin-ni dulu, si iblis betina yang telah tewas. Apakah orang ini mencintai seorang wanita sesat macam Tok gan Sin ni yang sudah mendiang itu" Atau..... ah, tidak. Tok gan Sin-ni bukan gadis, tokoh ini seorang berusia lanjut dan seingatnya tak ada tokoh wanita yang masih gadis dan menonjol di dunia kang ouw. Atau mungkin dia yang belum tahu tokoh yang dimaksud laki-laki ini, barangkali ada tokoh yang tidak menonjol namun memiliki kepandaian tinggi.
Tiba-tiba Salima tertarik dan ingin tahu, kalau dia tahu mungkin dia akan mencoba kepandaian tokoh yang menghancurkan cinta laki-laki aneh ini, bertanding dan ingin melibat benarkah gadis yang dicinta laki-laki itu terhebat didunia. Kesombongan Salima tiba-tiba muncul, maklum, merasa sebagai murid Bu-beng Sian-su Dan ketika dia bersinar-sinar memandang laki laki itu dan laki-laki ini meredup memandangnya maka Salima melihat sorot yang aneh yang keluar dari pandang mata laki-laki itu.
"Kenapa kau" Siapa gadis yang kaumaksud kan itu?"
Orang ini menggumam. "Aku enggan menyebut namanya, nona. Tapi dia adalah seorang gadis asing. Gagah dan hebat!"
'Kau memuji muji tak ada habisnya. Memang gadis itu lihai dan beikcpardaian tinggi" Salah-salah dia menjadi sombong kalau tahu kau selalu menyanjung nyanjungnya begini" Salima kesal, membanting kakirya dan melotot.
Orang ini menyeringai dan tertawa, sikapnya berahasia. Tapi ketika dia menunduk dan mengangkat mukanya lagi maka orang ini lembut memandang Salima "Nona, gadis itu seperti dirimu. Galak tapi menarik. Karena itulah aku terpikat padanya dan tergila-gila."
Salima tergetar. Pandang mata yang begitu lembut dan mesra memandangnya membuat dia terkesiap, jantung berdebar dan orang ini tiba-tiba sudah memegang lengannya, begitu saja, tanpa sungkan-sungkan dan rikuh lagi. Kurang ajar! Dan Salima yang kaget dan meronta melepaskan diri tiba-tiba melompat bangun dan membentak marah, panas dingin tubuhnya karena tangan orang yang terasa hangat, "Jangan kurang ajar, aku bukan wanita murahan yang gampang dipegang-pegang!"
"Maaf," laki laki ini sadar, matanya gugup. "Aku terhanyut perasaanku, nona. Aku lupa diri, aku tak sengaja, maaf...."
Salima masih tak puas. "Kau jangan pegang pegang diriku tanpa seijinku," dia masih mengomel. 'Kalau kau kurang ajar dan coba-coba tentu aku akan menyerangmu!"
"Aku mengerti, aku tak sengaja, nona. Mari duduk kembali dan dengarkan ceritaku....."
"Aku sekarang sebal. Lebih baik bicara tentang Sam-kong-kiam itu saja dan tak usah bicara tentang rahasia pribadimu. Aku ingin tahu kenapa kau mengenakan kedok dan berminp-mirip seperti suhengku hingga suhengku kena getah!"
Laki-laki ini mengerutkan kening, diam.
"Kau tak menjawab?"
"Hmm," kening itu sekarang terargkat. "Aku bermirip-mirip seperti suhengmu karena memang ada alasannya, nona. Dan alasan itu hanya satu, benci!"
"Benci?" Salima terkejut. "Memangnya ada permusuhan apa di antara suhengku dan dirimu?"
"Aku benci karena dialah yang merebut kekasihku itu!"
"Gila! Ngawur....!" Salima kaget sekali, melompat bangun dan merah memandang laki-laki ini. "Kau bicara apa dengan semuanya ini, orang bertopeng" Kau hendak memfitnah suhengku untuk kedua kali?"
Orang ini tertawa getir, bangkit berdiri pula. "Aku bicara bukan berdasar fitnah, nona melainkan itulah kenyataannya hingga aku membenci suhengmu itu. Kalau dia ada di sini dan berani menyangkal tentu sudah kubunuh dia. Dialah laki laki yang merebut orang yang kucinta itu, dan itulah sebabnya aku membenci suhengmul"
Salima terbelalak, menggigil. "Orang bertopeng, kau membingungkan hatiku. Selama ini tak pernah suhengku kudengar berdekatan dengan wanita lain selain diriku. Aku tak pernah melihatnya menjalin hubungan dengan wanita lain. Kau hendak mengada-ada dan rupanya melempar berita bohong, tak bertanggung jawab"
"Pastikah dirimu dengan omonganmu ini" Benarkah suhengmu tak pernah menjalin hubungan dengan wanita lain?"
"Aku pasti!" Salima mengangguk tegas. "Dan aku yakin suhengku tak mungkin merebut kekasih orang lain untuk kesenangan dirinya sendiril"
"Heh heh," orang bertopang ini mendadak tertawa. "Kau jangan terlalu gegabah, nona. Coba ingat baik-baik benarkah suhengmu itu tak pernah berhubungan dengan wanita lain. Coba renungkan sejenak, ingat baik-baik apakah benar suhengmu itu hanya berdekatan denganmu seorang!"
Salima pucat. Dia mengingat-ingat dan melotot memandang laki laki misterius itu, siap membentak dan memaki ketika mendadak teringat Cao Cun. Itulah wanita kedua yang diketahuinya mempunyai hubungan baik dengan suhengnya. Benar. Cao Cun inilah wanita lain yang didekati suheng nya. Salima terbelalak dan tiba2 mengeluh. Dan ketika dia terhuyung dan menggigil memandang bayangan itu maka orang ini tertawa aneh bertanya padanya, "Bagaimana, benarkah suhengmu tidak berdekatan dengan wanita lain selain dirimu, nona" Benarkah hanya kau seorang gadis yang dekat di hatinya itu?"
"Kau hendak maksudkan Cao Cun?" suara Salima serak, marah dan pucat serta gelisah. "Kau hendak maksudkan bahwa Cao Cun inilah gadis yang kaucinta dan direbut suhengku" Kau hendak mengartikan...."
"Sabar, hal itu tak perlu kuberitahukan, nona. Pokoknya kau sekarang telah mendapat jawaban bahwa suhengmu pernah mendekati seorang wanita. Ini yang penting. Dan karena suhengmu menyakiti hatiku maka wajar kalau aku membenci dan ingin membunuhnya! Sekarang kau tak perlu penasaran, sekarang kau mengerti kenapa aku melakukan semuanya ini dan mencuri Sam-kong kiam, bukan lain karena aku ingin membalas dan menghukum suhengmu itu!"
"Keparat!" desis Salima sekarang tak jelas ditujukan kepada siapa. "Kau rupanya benar, orang bertopeng. Tapi sebutkan siapa dirimu dan beranikah kau mempertanggungjawabkan semua omonganmu di depan suhengku!"
"Ha-ha, tentu berani, nona. Kenapa tidak" Bahkan tanpa kauminta sekalipun aku memang ingin mencari suhengmu itu dan membunuhnya. Sakit karena asmara ini tak ada obatnya, aku telah merana dan tersiksa sepanjang tahun!"
"Dan siapa dirimu?"
"Perlukah kauketahui?"
"Tentu, kalau kau bukan pengecut!"
"Hmm," orang ini menyeringai, terpukul perasaannya. "Aku Bu-hiong, nona. Kau boleh kenal diriku sebagai Bu-hiong. Terserah mau kau artikan apa namaku itu pokoknya aku telah menyebut namaku."
Salima tertegun. Nama ini aneh, bisa berarti Tanpa Keberanian. Tapi karena orang telah menyebut namanya dan betapapun ganjil nama itu didengar telinga orang bertopeng ini telah mengenalkan diri maka Salima mundur selangkah memandang Sam-kong-kiam, bersinar sinar dan bergidik teringat keampuhan pedang ini. Begitu tajamnya, juga memiliki sinar warna-warni yang seumur hidup belum pernah dia lihat. Maka tertarik memandang pedang ini dan marah pada suhengnya yang merebut kekasih orang tiba-tiba Salima menjadi dingin untuk merampas pedang membantu suhengnya, kini ingin membiarkan saja pedang itu di tangan Bu-hiong, biar suhengnya kapok. Biar tetap dianggap suhengnya itulah sang pencuri pedang! Dan Salima yang bersinar memandang pedang segera bertanya, "Bu-hiong, sekarang apa yang mau kaulakukan dengan pedang itu" Kau ingin menguasai dunia dengan pedang seampuh itu?"
"Nona mau membantu?"
"Membantu bagaimana" Membantumu malang-melintang di dunia kang-ouw?"
"Benar, aku amat gembira kalau kau membantuku, nona. Dan untuk itu aku siap memberimu apa saja yang kauminta!"
"Kalau begitu coba kulihat Sam-kong-kiam Itu. aku ingin mengetahuinya!" Salima tiba-tiba mengejek, bermaksud menguji kata-kata orang dan justeru minta pedang keramat itu, orang bertopeng ini terkejut. Tapi tertawa dan mencabut Sam kong-kiam tiba-tiba dia memberikan pedang itu kepada Salima, tanpa ragu.
"Srat!" pedang berkeredep membuat ruangan terang-benderang. "Kau lihatlah, nona. Kau ambil kalau kau pun merasa suka"
Salima jadi tertegun. Dia sebenarnya setengah mengejek untuk mentertawakan lawan. Tak tahunya pedang tahu tahu dengan begini gampang telah disodorkan kepadanya, hawa dingin serta tiga warna pelangi itu membuat perasaan menjadi seram. Dinding guha bergetar dan ada suara seperti iblis mengaum di sela-sela guha. Tempat yang begitu terang membuat Salima jelas sekali melihat laki-laki ini, gagah dan tampan dengan bahu yang tegap, hanya sorot matanya itu yang terasa ganjil, kadang melebar dan kadarg menyipit. Kini dengan penuh kegembiraan laki-laki ini menyerahkan Sam-kong-kiam kepadanya, seolah seorang bawahan memberikan benda berharga pada junjungannya, mau tak mau Salima melengak juga. Tapi ketika pedang sudah sampai di tangan nya dan Bu-hiong mundur dengan mata berkejap kejap maka Salima mendengar suaranya yang gembira serta pandangan yang lembut mesra, "Nona, kau bagai harimau tumbuh sayap bila memakai pedang ini. Lihatlah, betapa gagah dan anggunnya dirimu memegong Sam-kong-kiam Sungguh cantik dau luar biasa!"
Salima semburat merah "Kau memuji?"
"Ah, kenyataannya, nona. Kau cantik dan gagah sekali. Kita berdua tentu dapat menguasai dunia dengan pedang ini. Ha-ha, Kim-mou-eng tentu dapat kita bunuh dan kita hidup bagai raja dan ratu!"
Salima tiba-tiba terkejut. Membayangkan dia harus membunuh suhengnya yang dicinta dengan pedang mengerikan ini mendadak membuat dia pucat, apalagi ketawa si Bu-hiong itu kedengaran tidak wajar. Bola mata bergerak gerak seperti orang gila! Dan ketika laki laki itu terkekeh dan memegang lengannya mendadak untuk kedua kali Salima melihat sorot ganjil yang membuatnya tersentak, cepat melepaskan diri.
"Kau mau apa?"
Bentakan itu menyadarkan Bu-hiong. Laki-laki itu surut setindak, menghela napas dan tiba tiba menyeringai, minta maaf. Dan ketika Salima memandangnya tajam maka dia berkata, "Nona, kau suka Sam-kong-kiam, bukan" Kau ingin memiliki pedang ini?"
Salima ragu. "Kau boleh memilikinya, nona. Asal kau mau tinggal di sini dan menemaniku sebagai sahabat"
Salima melotot. "Kau mau mengadakan jual beli dengan kebebasanku sebagai taruhannya" Memangnya aku di sini sebagai tawanan?"
"Ah, tidak. Jangan salah paham, nona. Aku tidak mengartikannya begitu. Aku rela memberikan pedang itu tapi kuminta belas kasihanmu pula agar menemaniku di sini. Aku hidup tiada sanak saudara lagi, aku sebatangkara, tiada teman atau pun sababat yang kupunyai di dunia ini. Kalau kan suka dan kasihan padaku kuminta jadilah sahabat dan kau tinggallah di kini bersamaku "
Salima tertegun. Laki-laki ini menangis, suaranya serak dan kian lirih, tiba tiba menutupi mukanya dan Salima menjadi terharu. Agaknya kedukaan besar melanda laki-laki ini, kesepian besar. Dia dapat membayangkan betapa parahnya seseorang yang lagi patah hati, sendiri dan tiada kawan menemani. Hal itu memang berat. Tapi Salima yang tentu saja tak mau tinggal di situ meskipun diberi segudang harta tiba-tiba mengembalikan Sam-kong-kiam pada pemiliknya.
"Bu-hiong, aku tak tertarik untuk tinggal di sini. Kalau mau menjadi sahabatku tentu saja aku tak keberatan, tapi tunjukkan sikap baikmu padaku. Aku ingin keluar, sekarang kita berpisah dan tunjukkan jalannya."
Bu-hiong terbelalak, mengangkat mukanya. "Kau akan pergi?"
Salima berdetak. Dia menangkap suara pilu di situ, tiba-tiba berdesir dan cepat melengos. Pandangan si Bu-hiong ini menusuk perasaannya, dia tak tahan. Tapi Salima yang sudah memberikan pedang dan cepat menekan perasaannya sendiri lalu mengangguk dan tegas berkata, "Benar, aku mau pergi. Aku akan mencari suhengku itu dan bicara padanya. Kalau tinggal di sini mana bisa aku mencari suhengku" Aku ingin keluar. Bu-hiong Tunjukkan jalannya dan kau akan kuanggap sebagai sahabat kalau kau baik-baik kepadaku"
Bu-hiong termangu. Kilatan aneh memancar di matanya yang bersinar, Salima mendengar keluhan pendek. Tapi ketika Sam-kong-kiam dimasukkan dan pandang mata Salima tampak menuntut tiba-tiba lelaki ini mengangguk. "Baiklah, aku akan mengantarmu. Tapi aku juga berkepentingan dengan suhengmu ilu, bolehkah aku ikut?"
Salima terkejut "Ikut" Tidak, aku ingin sendiri, Bu-hiong. Tak perlu kau ikut dan biarkan soalku ini kuselesaikan sendiri. Aku akan membawa suhengku padamu di sini kalau kau tidak ke mana-mana!"
"Baiklah, kalau begitu aku pun menurut. Kau berjanji menganggapku sebagai sahabat, bukan" Kan tidak akan memusuhiku?"
"Diantara kita tak ada persoalan pribadi, Bu-hiong, paling paling masalah pencurian Sam-kong-kiam di mana suhengku menerima getahnya. Tapi karena suhengku tidak beres dan rupanya urusan kekasihmu itu harus kuketahui maka selama bicaramu benar aku akan menganggapmu sebagai sahabat. Aku berjanji"
"Dan tak akan meaunjukkan tempat ini pula pada orang lain?"
"Tentu!"
"Baiklah, aku percaya padamu, nona. Tapi perkenankan aku mencium telapak kakimu!" dan belum Salima sadar tiba-tiba Bu-hiong ini sudah menjatuhkan diri berlutut dan.... mencium telapak kakinya sungguh-sungguh, membuat Salima terkejut dan seketika menarik kakinya itu, dia merasa usapan mesra yang membuat tengkuk merinding. Hih! Dan ketika dia terbelalak dan Bu-hiong bangun berdiri maka Salima terheran-heran melihat laki-laki itu tersenyum. Senyum bahagia!
"Nona, terima kasih Kau telah memberikan sesuatu yang hangat di hatiku!"
Salima mundur. "Kau aneh. Kenapa harus begitu, Bu-hiong" Kenapa kau merendahkan dirimu sendiri?"
"Biarlah, kau seperti orang yang kucinta itu, nona. Kalau aku dapat menyentuhmu sedikit berarti rasa cintaku terobati."
"Sudahlah, antarkan aku keluar." Salima merah mukanya. "Dan terima kasih atas bantuanmu menyelamatkan aku dari tangan Siauw-bin kwi dan kawan-kawannya itu."
'Baiklah, mari, nona. Kuantar kau." dan Bu-hiong yang tersenyum memutar tubuh lalu mengajak Salima keluar dari tempat itu. Kembali Salima menemukan jalan berliku liku serta gelap, beberapa kali terpaksa dia memegang ujung baju laki laki ini, satu ketika bahkan Bu-hiong menangkap lengannya menuntun ke atas undak-undakan, Salima belum terbiasa di situ. Dan ketika mereka naik turun tak menentu dan membelok di beberapa tikungan akhirnya mulut guha atau mulut terowongan bawah tanah itu tampak dan Bu-hiong melompat mendahului, disuaul Salima kemudian.
"Nah. kita sampai, nona. Silahkan pergi dan setamat jalan."
Salima termangu. "Aku dapat menerobos hutan bambu ini?" dia melihat banyaknya hutan bambu itu.
"Tentu, lakukan hitungan tujuh langkah ke kiri dan ke kanan, nona. Kemudian lurus ke depan dan kau akan tiba di luar."
"Baiklah, terima kasih, Bu-hiong. Selamat tinggal" Salima berkelebat.
Bu-hiong mengangguk dan gadis ini sudab melakukan seperti apa yang dikatakan laki laki itu. menghitung langkah-langkah ganjil untuk keluar dari hutan bambu yang lebat. Dan ketika Salima tiba di luar dan benar saja hutan bambu itu menutup pandangannya ke dalam akhirnya gadis ini selamat dan menarik napas lega di luar. Kemudian begitu dia melompat dan mengerahkan ginkangnya akhirnya gadis ini berlari cepat menuju ke utara. Salima masih dipenuhi pikirannya dengan bayangan si laki-laki aneh. Bu-hiong terasa ganjil dan kadang-kadang menimbulkan kengerian aneh. Agak luar biasa bahwa dia dapat keluar dari tempat tinggal si laki-laki misterius ini, bahkan telah mendapatkan Sam-kong kiam yang dicari-cari banyak orang.
Pendekar Sakti Suling Pualam 19 Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Maling Budiman Berpedang Perak 1

Cari Blog Ini