Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
Keng Hong yang memandang Biauw Eng, tak terasa melangkah maju sehingga dia berdiri berhadapan dengan gadis itu, hanya terpisah tiga empat langkah lagi. Sejenak mereka saling berpandangan, dan hati Keng Hong penuh keharuan melihat gadis yang kini makin cantik jelita dalam pandangan matanya, agak kurus dan layu, seolah-olah kehilangan semangat hidup. Akan tetapi manik mata yang jeli itu kini memancarkan sinar kegairahan dan kebahagiaan ketika memandangnya.
"Biauw Eng....!" Keng Hong berbisik penuh ragu, penuh harap dan penuh permohonan maaf. Kalau dia teringat akan sikapnya terhadap gadis ini di puncak Kun-lun, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan ingin dia menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu untuk minta ampun. "Biauw Eng.... Kau .... Kaumaafkan aku....?"" Ucapan ini lirih dan menggetar.
"Keng Hong....!" Biauw Eng juga menyebut nama yang selama ini terukir di hatinya. Hatinya menjeritkan nama ini akan tetapi bibirnya hanya berbisik lirih. Getaran hatinya membuat kedua lengannya terulur, seolah-olah ia hendak menyambut mustika yang selama ini hilang dan kini muncul kembali. Akan tetapi kedua lengannya itu lemas kembali. Kedua matanya menjadi basah ketika mulutnya melanjutkan bisikan, "... Syukurlah...engkau.... engkau.... masih hidup...."
Episode 207 Melihat betapa kini dua butir air mata seperti butiran-butiran mutiara menitik turun dari balik bulu mata itu, kaki Keng Hong menggigil. Biauw Eng menangis" Gadis yang terkenal berdarah dingin, yang dijuluki Si Cantik Berkabung, yang berhati dingin seperti salju dan keras seperti baja, kini menitikkan air mata" Ah, tentu sakit rasa hati gadis ini teringat akan segala fitnah keji yang dia lontarkan dahulu itu di puncak Kun-lun-san! Tiba-tiba Keng Hong menjatuhkan diri berlutut sambil melangkah maju sehingga dia berlutut dekat sekali di depan kaki Biauw Eng.
"Maafkan aku.... Ampunkan aku, Biauw Eng ..... aku .... Aku mengaku bersalah kepadamu, Sudikah engkau memaafkan aku.....?"
"Jangan.... jangan berlutut, Keng Hong. Ah, Keng Hong..... Keng Hong....." Tubuh gadis itu terhuyung hendak roboh. Keng Hong meloncat bangun dan cepat memeluk tubuh gadis itu. Biauw Eng terisak, merapatkan mukanya di dada orang yang semenjak dahulu dicintanya sepenuh hatinya ini. Diantara isaknya ia hanya dapat berbisik, "Keng Hong..... Keng Hong.....!" Seolah-olah bisikan itu merupakan jeritan hatinya yang penuh rindu dan duka. Ketika merasa betapa tubuh yang lemas itu menggetar dalam pelukannya, betapa dadanya terasa basah hangat oleh air mata yang menyerap masuk menembus bajunya, Keng Hong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menggunakan kedua lengannya mendekap kepala dan muka itu dengan erat, seolah-olah ia hendak memasukkan kepala itu ke dalam dadanya, dan dua butir air mata membasahi bulu matanya dan akhirnya menitik turun ke atas pipinya.
"Biauw Eng, betapa besar dosaku kepadamu. Betapa kejinya perbuatanku terhadapmu. Engkau telah menolongku berkali-kali dan aku membalasnya dengan lontaran fitnah keji yang tak tahu malu. Betapa bodohnya aku..."
"Keng Hong... Keng Hong.....!" Biauw Eng terisak, hanya mampu memanggil nama yang dicintanya dan dirindukannya ini berkali-kali, kedua lengannya memeluk dan melingkari pinggang Keng Hong, didekapnya erat-erat seolah-olah ia takut kalau akan terpisah dan kehilangan pemuda ini lagi.
"Biauw Eng, maafkanlah aku akan segala kesalahanku dahulu. Aku dahulu seperti gila, seperti buta kedua mataku..."
Tiba-tiba Biauw Eng merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Keng Hong, wajahnya pucat dan matanya terbelalak mencari Lai Sek. Ketika melihat pemuda itu masih berdiri seperti patung di bawah pohon, ia lalu meloncat lari menghampiri dan berseru. "Sim-koko.. ah, Koko....!" Gadis yang mendengar Keng Hong mengatakan matanya seperti buta itu teringat akan Lai Sek dan kini ia menangis di pundak pemuda buta itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Keng Hong seperti sadar dari sebuah mimpi. Kini dia memandang pemuda buta yang tadi dia lupakan. Mendengar Biauw Eng menyebut she pemuda itu, dan setelah dia memandang penuh perhatian, dengan hati yang tidak karuan rasanya, teringatlah dia bahwa pemuda itu adalah Sim Lai Sek, adik kandung mendiang Sim Ciang Bi gadis Hoa-san-pai yang pernah berenang di lautan cinta bersamanya dan bahkan kemudian tewas dalam pelukannya karena senjata rahasia milik Biauw Eng yang dilepaskan oleh Cui Im.
"Engkau Sim Lai Sek....!"
"Bagus kalau engkau masih mengenalku, Cia Keng Hong manusia rendah budi, berwatak hina dan pengecut!" Sim Lai Sek melepaskan rangkulan Biauw Eng dan penuh amarah berjalan maju.
Akan tetapi kakinya tersandung akar pohon dan tubhnya terguling. Cepat Biauw Eng menyambar lengannya sehingga pemuda buta ini tidak sampai hatuh, kemudian Lai Sek menudingkan telunjuknya kearah Keng Hong sambil berkata dengan sura nyaring penuh kebencian.
"Cia Keng Hong manusia terkutuk! Engkau telah merayu dan membujuk ciciku, menodainya dengan cintamu yang palsu, kemudian membunuhnya! Dan engkau laki-laki pengecut ketika di puncak Kun-lun-san melemparkan fitnah kepada nona Sie Biauw Eng! Sungguh manusia tak tahu malu, sekarang masih pura-pura membelanya dan minta maaf dengan rayuan lidahmu yang bercabang seperti lidah ular...!" Saking marahnya, napas pemuda buta ini terengah-engah.
"Koko...!" Biauw Eng berseru menahan isak.
Keng Hong tersenyum pahit."Sim Lai Sek, aku telah bersalah dan engkau boleh memakiku sesukamu, akan tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak membunuh encimu!"
"Apa" Tidak membunuhnya?" Pemuda itu saking marahnya melangkah maju lagi tiga tindak dan telunjuknya menuding. "Engkau tidak membunuhnya dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu! Tanganmu tidak berlumur darah enciku, akan tetapi hatimu berlepotan darahnya! Kalau engkau tidak membujuknya, tidak menodainya, apakah perempuan iblis Bhe Cui Im yang menjadi kekasihmu itu akan turun tangan membunuhnya karena cemburu" Karena engkaulah enciku mati! Engkau yang membunuhnya! Engkau....!"
Menghadapi pemuda buta yang menudingnya dan mengucapkan kata-kata keras itu. Keng Hong menjadi pucat mukanya dan melangkah mundur dua tindak. Ia merasa jantungnya seperti ditusuk karena tuduhan itu sama benar dengan rasa penyesalan hatinya. Secara tidak langsung dia telah membunuh Sim Ciang Bi dan gadis-gadis lainnya karena dialah yang menjadi sebab kematian mereka. Ia melirik ke arah Biauw Eng yang memandangnya dengan air mata bercucuran.
"Terserah kepadamu, Sim Lai Sek. Aku tidak akan membantah. Biauw Eng aku tahu bahwa engkau cinta kepadaku, seperti yang kaukatakan di depan ibumu, di depan banyak orang di Kun-lun-san. Dahulu aku seperti buta, lebih buta dari pemuda gagah ini, buta oleh nafsu tetapi sekarang terbuka mata hatiku dan aku tahu pula dengan penuh keyakinan bahwa aku mencintamu, Biauw Eng...."
"Keparat jahanam!" Lai Sek meloncat maju dan memasang kuda-kuda pembukaan ilmu silat Hoa-san-pai. "Setelah membujuk dan membunuh enciku, kini engkau hendak membujuk Biauw Eng" Tidak boleh! Engkau harus membunuh aku lebih dulu. Hayo, kita sama-sama jantan dan biarpun aku buta, aku siap mempertaruhkan nyawaku mempertahankan gadis yang kucinta, mari bertanding sampai mati Keng Hong!"
Keng Hong terbelalak memandang. Melihat pemuda buta yang berjalan saja tersandung hampir jatuh itu kini memasang kuda-kuda menantangnya, sungguh menggelikan dan juga mengharukan sekali. Ia menghela napas panjang dan berkata kepada Biauw Eng yang memandang sambil menangis.
Episode 208 "Kini terserah kepadamu, Biauw Eng. Kalau engkau sudi mengampuni aku dan masih mencintaku, marilah engkau ikut bersamamu, menjauhkan diri daripada segala keruwetan dunia. Aku cinta padamu!"
Sejenak Biauw Eng bingung, memandang kuda-kuda itu, berganti-ganti. Kemudian lari menghampiri Lai Sek, memeluk pundaknya dan menangis. "Koko... Aku ... Aku... Tidak bisa meninggalkanmu"."
Lega hati Lai Sek dan dengan lengan kiri memeluk pinggang Biauw Eng yang ramping dia berkata kepada Keng Hong, "Nah, laki-laki rendah budi. Engkau mendengar sendiri! Apa yang kau lakukan sekarang" Membunuhku kemudian memperkosa Biauw Eng seperti yang biasa kau lakukan kepada semua wanita muda dan cantik?"
Panas hati Keng Hong, akan tetapi dia menekan kemarahannya dengan kesadaran bahwa Lai Sek bersikap seperti itu kepadanya karena dorongan sakit hati atas kematian encinya. Ia menghela napas dan rasa panas di dadanya lenyap, kemudian dia tersenyum pahit mengelus hatinya yang sakit, dan berkata halus,
"Jangan khawatir, Sim Lai Sek. Aku tidak akan mengganggu engkau dan Biauw Eng. Biauw Eng telah bersikap bijaksana telah melakukan pilihan yang tepat sekali. Ku harap engkau akan hidup bahagia Biauw Eng. Pilihanmu tepat. Lai Sek adalah seorang pemuda gagah perkasa, murid Hoa-san-pai yang patut dibanggakan. Aku hanya bisa menghaturkan selamat, kalau saja doa seorang rendah budi dan pendosa macam aku ini ada harganya bagi kalian. Selamat tinggal..." Keng Hong menahan air mata dari sepasang matanya yang panas, kemudian membalikkan tubuh secara tiba-tiba dan berkelebat pergi dari situ mempergunakan ilmu kepandaian berlari cepat.
"Keng Honggg....!" Jerit yang melengking sekuatnya dari dasar hati Biauw Eng ini tidak mengeluarkan suara, melainkan menggema di rongga dada dan menghimpit jantung. Wajahnya seketika pucat, rangkulannya pada pundak Lai Sek terlepas dan gadis ini roboh terguling ke atas tanah! Betapapun lihainya gadis ini, tidak kuat ia menahan tekanan batin yang amat hebatnya itu. Ketika terpaksa ia "memilih" Lai Sek, ia melakukan hal ini karena mana mungkin ia tidak mempunyai siapa-siapa dan telah menjadi buta karena dia itu" Akan tetapi ketika melihat pemuda yang dicintanya itu pergi dengan muka pucat, dengan air mata bertahan, dengan hati hancur dan hal ini diketahuinya betul, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Tadi ia telah menerima hantaman jubah di tangan Thian Kek Hwesio, sudah terluka di sebelah dalam dadanya. Kini himpitan batin itu membuat lukanya menghebat dan ketika ia menjeritkan nama Keng Hong, melainkan darah segar yang dimuntahkannya kemudian ia roboh pingsan!
"Biauw Eng....!" Lai Sek menubruk tubuh yang pingsan itu. Ia menjadi bingung, menguncang-guncang memanggil-manggil dan meraba-raba muka gadis yang dicintanya. Akan tetapi tubuh Biauw Eng lemas, napasnya lemah sekali.
"Biauw Eng... Biauw Eng....!" Lai Sek memanggil-manggil dan dia menduga-duga yang bukan-bukan. Jangan-jangan kekasihnya telah dibunuh orang seperti yang terjadi pada encinya!" Biauw Eng....!"
Biauw Eng membuka matanya perlahan. Yang mula-mula dilihatnya adalah muka Lai Sek yang penuh kegelisahan kemudian pandang matanya bergerak memandang kedua tangan pemuda buta itu yang penuh darah, darah yang diuntahkan tadi membasahi leher dan karena tangan Lai Sek menguncang-guncang dan meraba-rabanya, diluar pengetahuan pemuda itu kedua tangannya menjadi berlepot darah. Melihat ini, Biauw Eng teringat kepada Keng Hong dan ia merasa seolah-olah darah yang berlepotan di kedua tangan Lai Sek itu adalah darah Keng Hong. Darah yang mengucur keluar dari hati Kang Hong yang diremas-remas oleh kedua tangan Lai Sek.
"Engkau... Engkau kejam!" tiba-tiba ia berkata sambil bangkit duduk.
Lai Sek menjadi lega hatinya, mengira bahwa Biauw Eng memaki Keng Hong yang sudah pergi.
"Biauw Eng, engkau tidak apa-apa....?"
Biauw Eng seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Ia menatap wajah pemuda itu dan berkata lagi, "Sim Lai Sek, engkau .... manusia kejam...!"
Kini Lai sek terkejut bukan main. Suara gadis itu menggetar setengah berbisik, penuh kedukaan yang hebat, akan tetapi amat dingin. "Apa... Apa maksudmu...?" Ia bertanya penuh kekhawatiran dan hendak memegang pundak Biauw Eng.
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang berdarah. Berdarah dengan darah yang mengucur dari hati Keng Hong, Engkau kejam sekali!"
"Eh, Biauw Eng! Apa.... apa kesalahanku..?"
"Sim Lai Sek, engkau kejam sekali. Mengapa engkau memaki-maki seperti itu" Dia tidak bersalah, dia tidak berdosa, akan tetapi engkau menyerangnya dengan penghinaan dan maki-makian yang lebih tajam dari bacokan dan senjata pedang. Mengapa engkau menyiksa hatinya seperti itu?" Kini suara Biauw Eng mengandung kemarahan dan membuat Lai Sek lebih bingung lagi.
"Aku benci sekali padanya, Biauw Eng. Dia telah menyebabkan kematian enciku, satu-satunya orang yang kumiliki saaat itu, pengganti kedua orang tuaku. Aku benci sekali kepada Keng Hong dan andaikata aku tidak buta dan andaikata aku berkepandaian, aku tentu tidak akan memakinya, melainkan membunuhnya."
"Tapi dia tidak bersalah. Bukan dia yang membunuh encimu, dan dia pun tidak memperkosa encimu. Kalau sampai terjadi hubungan cinta, tentu encimu yang tergila-gila kepadanya!" Suara Biauw Eng makin marah karena hatinya penuh dengan rasa iba terhadap Keng Hong.
"Biauw Eng! Engkau malah menyalahkan enciku?"
"Aku hanya bicara sebenarnya!"
Keduanya sama panas hati dan sama marah. Sampai lama mereka terdiam, akhirnya Lai Sek mengeluarkan suara, kini tidak lagi mengandung rasa marah dan penasaran, kata-katanya halus dan lemah, "Biauw Eng, engkau... Mencinta Keng Hong?"
"Sudah sejak dahulu aku mencinta Keng Hong dan engkau pun sudah tahu akan hal ini," Biauw Eng yang belum dapat mengenyahkan rasa kemarahannya karena sikap Lai Sek terhadap Keng Hong.
Episode 209 Lai Sek menundukkan mukanya, keningnya berkerut-kerut, garis tegak lurus membagi mukanya dari atas hidung sampai ke dalam mata yang buta itu dipejamkan rapat-rapat dan urat di kedua pelipis berdenyut-denyut, suaranya menggetar ketika dia berkata, halus penuh penerimaan dan penyerahan,
"Kalau begitu, Biauw Eng. Mengapa engkau tadi tidak pergi bersama Keng Hong" Aku seorang buta yang tak berharga, mengapa engkau menyiksa hati dan tidak meninggalkan aku saja" Aku akan rela kau tinggalkan, Biauw Eng. Aku tahu diri akan keadaanku yang tidak akan dapat membahagiakanmu...."
Biauw Eng memandang wajah itu dan keharuan membanjiri hatinya, mengusir semua kemarahan tadi. Sadarlah ia betapa sikapnya amat menyakitkan hati Lai Sek. Pemuda ini tidak pernah menuntut kebutaan matanya, tidak pernah membujuknya, sungguhpun pemuda ini menyatakan cintanya yang amat besar.
"Koko, maafkan aku, Koko...!" Ia menubruk dan merangkul pundak pemuda itu. "Aku bingung... Akan tetapi aku takkan dapat meninggalkanmu. Maafkan aku!"
Lai Sek tersenyum sedih dan mengelus-elus rambut kepala gadis yang dicintanya sepenuh jiwa raganya itu. "Akan tetapi, engkau mencinta Keng Hong, tak mungkin engkau dapat membagi cinta kasihmu kepadaku, Biauw Eng."
"Aku tidak perlu berbohong kepadamu, Koko. Memang cinta kasih di hatiku ku serahkan kepada Keng Hong. Akan tetapi jiwa ragaku ku serahkan kepadamu, Koko. Kalau engkau ragu-ragu, kuserahkan tubuhku kepadamu, kalau kau kehendaki sekarang juga!"
"Apa... Apa katamu....?" Lai Sek terkejut.
Biauw Eng menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda buta itu. "Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ambillah sekarang juga. Aku rela dan agar kau percaya kepadaku!"
Lai Sek yang memeluk tubuh itu tersenyum duka, menggeleng kepala dan berkata halus, "Aku bukan laki-laki macam itu, kekasihku. Cintaku kepadamu bukanlah semata-mata cinta berahi. Cintaku terhadap orang tuaku yang telah tiada, cintaku terhadap enciku yang terbunuh kini semua kubulatkan menjadi cintaku kepadamu. Aku tidak akan mempergunakan kesempatan akan kerelaan dan kepasrahanmu ini, Biauw Eng. Tidak! Dijauhkan Tuhan aku daripada perbuatan perbuatan itu. Aku akan memiliki ragamu setelah hubungan kita disyahkan dalam pernikahan dan sebelum itu engkau bebas, kekasihku. Aku tidak mau menyalahgunakan kepercayaanmu."
Biauw Eng menangis dalam pelukan pria ini. Betapa mulia hati Lai Sek, betapa jauh bedanya dengan Keng Hong. Kalau Keng Hong yang diserahi tubuh dengan wanita-wanita lain, tentu akan diterima oleh Keng Hong dengan segala kesenangan hati, dengan kedua tangan terbuka dan hati terbuka, siap selalu melayani cinta berani! Pikiran ini membuatnya cemburu dan memudahkan dia melupakan Keng Hong.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan di sepanjang jalan Lai Sek yang bijaksana tidak mau menyebut-nyebut tentang Keng Hong juga Biauw Eng berusaha untuk mengimbangi sikap yang penuh cinta kasih dari pemuda itu dengan pencurahan perhatian perhatian untuk pemuda yang buta ini.
*** Bagi orang muda di dunia ini tidak ada penyakit yang lebih menyiksa daripada sakit asmara gagal yang membuat patah hati. Tidak ada bagian tertentu dari tubuh rasanya tak nyaman, tidur tidak nyenyak, makan tidak sedap, segala keindahan di dunia lenyap berubah menjadi membosankan, hati seperti kosong, hati terasa sunyi sungguhpun berada di tengah kota ramai misalnya, dan tidak ada keinginan apa-apa lagi di hati. Tubuh yang lemas hanya ingin tidur, kalau mungkin tidur terus tidak usah bangun kembali karena begitu bangun, hati tersiksa lagi teringat akan pacar direbut orang.
Semenjak meninggalkan Biauw Eng dan Lai Sek, keadaan Keng Hong seperti orang linglung, wajah pucat seperti mayat, sinar matanya redup seperti lampu kehabisan minyak. Ia berlari asal lari saja, berjalan asal jalan saja, semua kemauan lenyap dari hatinya yang kosong melompong. Sepekan lamanya dia berjalan saja siang-malam. Lupa akan lupa tidur, yang terbayang di depan mata hanya bayangan Biauw Eng dan Lai Sek.
Akhirnya dia terkulai lemas pada suatu pagi di bawah sebatang pohon dan perutnya menuntut isi menyadarkan bahwa dia seorang manusia hidup, bukan patung berjalan. Begitu kesadarannya datang, Keng Hong cepat menguasai dirinya, maklum bahwa penderitaan yang dia buatnya sendiri ini dibiarkannya berlarut-larut, berarti dia menyia-nyiakan hidup dan percuma menjadi seorang manusia terutama seorang laki-laki. Ia lalu mencari buah-buahan pengisi perut setelah makan buah dan minum air, dia duduk mengaso di bawah pohon menjalankan pikirannya.
Ia tahu bahkan yakin, bahwa Biauw Eng mencintanya. Akan tetapi dia pun tahu bahwa Biauw Eng memaksa diri memilih Lai Sek. Begitu dangkal dan tipiskah cinta kasih gadis kepadanya" Ataukah karena bertahun-tahun tidak muncul gadis itu hilang harapan dan cintanya membalik kepada laki-laki lain" Seorang laki-laki yang biarpun tampan dan agah perkasa namun buta, apakah dia kalah nilainya oleh seorang buta" Ah., mengapa Lai Sek buta" Ia meloncat bangun lalu duduk kembali. Baru sekarang dia teringat akan hal ini. Lai Sek dahulu tidak buta dan kalau dia kini buta, tentu ada sebabnya agaknya sebab kebutaan Lai Sek ini ada sangkut pautnya dengan " pemindahan" cinta dari hati Biauw Eng! Ia menganguk-angguk dan rasa penasaran di hatinya agak terhibur. Agaknya tidak semata-mata gadis itu memindahkan cintanya kalau tidak ada alasan yang kuat. Biarlah, dia mengalah dan dia kini teringat betapa besar penderitaan pemuda itu. Encinya tewas dibunuh orang, belum sempat membalas dendam, sekarang menjadi buta matanya! Ah, kalau dia pikir-pikir dengan hati dan kepala dingin kini dia dapat melihat bahwa awal kesengsaraan pemuda yang kehilangan encinya itu adalah karena dia! Kalau dia tidak menerima pencurahan cinta kasih Ciang Bi, agaknya gadis itu tidak akan terbunuh oleh Cui Im dan belum tentu pemuda itu akan menjadi buta, belum tentu pula akan menjadi kekasih baru Biauw Eng!
Dia harus pergi ke Hoa-san-pai! Hoa-san-pai mempunyai "perhitungan" yang belum beres dengan suhunya, yaitu ketika suhunya bermain cinta dengan seorang murid wanita Hoa-san-pai, kemudian suhunya mencuri pedang pusaka yang kini dilarikan Cui Im pula. Bahkan perhitungan antara gurunya dan Hoa-san-pai itu ditambah perhitungan baru lagi karena kematian Sim Ciang Bi yang sebab-sebabnya ditimpakan kepadanya. Dia harus ke Hoa-san-pai untuk menjelaskan kesemuanya itu dan untuk mendinginkan hati para pimpinan Hoa-san-pai, menghapus permusuhan dan berjanji akan mengembalikan pusaka yang dilarikan Cui Im.
Episode 210 Pada waktu ini, Hoa-san-pai diketuai oleh seorang tosu yang sudah amat tua usianya, tidak kurang dari seratus tahun, dan berjuluk Bun Hoat Tosu. Karena amat tua dan tosu ini lebih bersamadhi dan tidak suka lagi mengurus urusan duniawi maka segala urusan dunia terutama yang mengenai urusan Hoa-san-pai dia serahkan kepada dua orang muridnya yang paling dapat diandalkan, yaitu kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu, yang terkenal dengan julukan Hoa-san-Siang-sin-kiam. Kedua orang murid tertua ini dibantu oleh murid-muridnya yang lain yang jumlahnya semua ada sembilan orang. Pada waktu itu, Hoa-san Kiu-lojin (Sembilan Kakek Hoa-san), yaitu murid ketua Hoa-san-pai ini terkenal dan merekalah ynag boleh dibilang menjadi "tiang" Hoa-san-pai. Tentu saja tokoh-tokoh muda yang menjadi anak murid kesembilan orang kakek ini banyak sekali jumlahnya, di antara mereka ada yang menjadi tosu, ada pula ada yang menjadi orang biasa, namun kepandaian mereka juga terkenal karena memang ilmu silat Hoa-san-pai termasuk ilmu silat yang lihai, terutama sekali ilmu pedangnya.
Ketika pada pagi hari itu seorang pemuda yang tidak dikenal mendaki lereng Hoa-san-pai menuju ke puncak, gerakan-gerakannya telah dilihat oleh para murid Hoa-san-pai yang kebetulan berada di bagian lereng bawah puncak itu.
Segera terdengar suara seorang di antara mereka yang melengking tinggi memberi tanda kepada saudara-saudaranya. Suara ini dikeluarkan dengan pengerahan khikang dan terdengar bergema sampai jauh. Beberapa datik kemudian terdengarlah lengking-lengking yang sama dari beberapa jurusan sebagai jawaban. Pemuda itu adalah Keng Hong. Begitu dia mendengar lengking pertama tadi, dia telah menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa dia berada di daerah kekuasaan Hoa-san-pai, maka dia tidak berani bersikap sembrono dan begitu mendengar lengking yang membuktikan kekuatan sinkang itu dia berhenti untuk duduk di bawah pohon, di atas sebuah batu gunung yang hitam sambil menanti perkembangannya karena dia dapat menduga bahwa tentu kehadirannya telah dilihat oleh orang-orang Hoa-san-pai. Ketika dia mendengar lengking-lengking yang menjawab, dia menghitung. Ada dua belas kali lengking yang menjawab lengking pertama. Diam-diam dia merasa kagum dan tahu bahwa Hoa-san-pai adalah partai persilatan besar yang mempunyai banyak murid pandai.
Keng Hong yang menanti di bawah pohon, bersikap tenang. Tidak lama dia karena segera muncul tiga belas orang yang gerakan-gerakannya gesit turun dari puncak di depan menuju ke tempat dia duduk. Mereka terdiri dari tiga orang wanita berusia tiga puluhan tahun dan sepuluh orang pria yang usianya kurang lebih empat puluhan tahun. Sikap mereka amat gagah dan di punggung mereka tampak terselip sebatang pedang. Melihat mereka sudah datang dekat, Keng Hong berdiri menanti sampai mereka tiba di depannya. Ia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dadanya sambil menjura dan berkata,
"Siauwte Cia Keng Hong mohon diperkenankan menghadap ketua Hoa-san-pai atau para pemimpinnya. Kedua locianpwe Hoa-san Siang-sin-kiam sudah mengenal siauwte."
"Cia Keng Hong....."!"
"Srat-srat-sing-singgggg"..!"
Hampir semua mulut menyebut nama itu dan seperti komando, tiga belas batang pedang telah terlolos dari sarungnya, berkilauan di tangan ketiga belas orang murid Hoa-san-pai itu. Dengan gerakan lincah namun teratur mereka itu bergerak mengurung dengan sikap mengancam sekali.
Keng Hong masih tenang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, "Harap cu-wi yang gagah perkasa tidak salah sangka. Siauwte datang bukan dengan niat hati buruk, melainkan siauwte sengaja datang untuk menemui para pemimpin Hoa-san-pai dan membersihkan semua urusan gelap yang dahulu timbul. Percayalah, siauwe datang dengan niat hati baik."
"Niat baik pulakah dalam hatimu dahulu yang menyebabkan kematian Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai?" tiba-tiba seorang di antara tiga orang wanita gagah itu betanya, nadanya mengejek dan marah.
"Sama baiknyakah dengan niat hati gurumu yang melarikan anak murid Hoa-san-pai pula, juga mencuri pedang pusaka dan ramuan obat"' seorang murid pria bertanya, nadanya marah.
"Guru dan muridnya sama saja! bahkan menurut Coa-twa-supek, muridnyalebih berbahaya. Tidak boleh dipercaya!" teriakan-teriakan ini dengan kacau terdengar dari banyak mulut dan pedang di tangan mereka yang tadi melintangi di depan dada kini telah menodong ke depan, ke arah Keng Hong. Perlahan-lahan tiga belas orang anak urid Hoa-san-pai itu melangkah miring ke kanan, kaki berselang, terbuka lagi, bersilang lagi dan dengan demikian mereka mengitari Keng Hong perlahan-lahan dalam jarak tiga meter dari pemuda yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.
Keng Hong yang masih berdiri biasa, tidak menggerakkan tubuh dan dia menghela napas panjang. Kembali niat baiknya jatuh di tempat yang salah, datang-datang dia disambut tiga belas batang pedang telanjang yang menodongnya!
"Cu-wi adalah murid-murid gagah dari sebuah perkumpulan besar. Kalau siauwte diam tak bergerak, tidak melawan sama sekali, apakah cu-wi tetap akan menyerangku dengan senjata cu-wi itu?"
Seorang di antara mereka yang tertua, seorang tosu berjenggot panjang, menjawab, "Tentu saja! Engkau adalah musuh besar Hoa-san-pai dan kami seluruh anak murid Hoa-san-pai dapat dicuci dengan darahmu!"
Keng Hong menggelengkan kepalanya. Jelas bahwa mereka ini adalah orang-orang yang memiliki watak gagah. Buktinya sejak tadi mereka hanya mengurung dan mengancam saja karena dia tidak pernah bergerak melawan. Akan tetapi, dendam membuat orang gagah menjadi gelap akal budinya, nafsu telah menguasai kesadaran mereka. Kiranya tidak akan ada gunanya kalau dia berusaha untuk bicara dengan mereka yang hanya memenuhi tugas dan dikuasai nafsu dendam itu. Maka dia lalu berkata,
"Kalau siuwte diam saja cu-wi tetap akan membunuhku. Hemmm, padahal kalau siauwte menghendaki, dengan mudah dan siauwte dapat bersikap seperti cu-wi dan dalam waktu singkat siauwte dapat membunuh cu-wi sekalian. Akan tetapi kedatanganku ini mengandung niat hati yang baik, maka kalau cu-wi memaksa hendak membunuh siauwte terpaksa siauwte akan melucuti senjata cu-wi sekalian. Kalau siauwte berhasil, siauwte tentu akan menyerahkan diri dan harap cu-wi sudi membawa siauwte menghadap ketua Hoa-san-pai. Bagaimana?"
Wajah ketiga belas orang itu menjadi merah karena marah dan penasaran. Tosu berjenggot panjang itu mengerutkan kening. Boleh jadi mereka semua bukanlah orang yang terlalu lihai, akan tetapi kedudukan mereka di Hoa-san-pai adalah murid-murid tingkat dua, jadi menduduki tingkat pertama sesudah ketua Hoa-san-pai yang sudah tua. Masa kini dengan tiga belas orang menghadapi pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong ini, dalam waktu singkat pemuda ini akan mampu melucuti senjata mereka"
Episode 211 "Baiklah, pemuda yang sombong! Kami berjanji, kalau engkau dapat melucuti senjata kami, kami akan membawamu menghadap guru-guru kami."
Keng Hong mencurahkan perhatiannya, kedua kakinya masih berdiri biasa, dan dia berkata, "Kalau begitu, majulah dan seranglah saya!"
Akan tetapi tiga belas orang itu tidak ada yang bergerak menyerangnya, hanya kembali melanjutkan gerakan kaki mereka melangkah miring yang tadi dihentikan ketika mereka bicara. Hanya pedang yang menodongnya kini ditarik kembali melintang di depan dada. Keng Hong kagum bukan main. Ternyata murid-urid Hoa-san-pai ini amat hati-hati dan agaknya terlatih baik. Kini mereka bersikap untuk bertahan atau mempertahankan senjata mereka agar tidak terampas, dan mereka menanti dia melakukan gerakan lebih dulu! Dari sikap mereka, tahulah dia bahwa tiga belas orang ini memiliki ilmu pedang yang lebih lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Agak berbahaya kalau dia melucuti mereka dengan tangan kosong, kalau dia menggunakan Siang-bhok-kiam yang tersembunyi di balik bajunya tentu akan lebih mudah. Akan tetapi dia harus dapat menundukkan hati mereka, maka akan lebih mengesankan kalau dia dapat melucuti mereka dengan tangan kosong. Kiranya hanya ilmu pedang mereka yang lihai dan kalau dia menggunakan kekuatan sinkang tentu akan berhasil!
"Cu-wi, awas seranganku!" Tiba-tiba tubuhnya membalik ke kiri melakukan pukulan dengan tangan ke arah seorang laki-laki tinggi besar dan yang cepat menggelebatkan pedang embacok lengannya, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga membacok lengan itu. Mereka bertiga ini bekerja sama, sekaligus menangkis dan mengancam untuk membabat putus lengannya. Akan tetapi tiba-tiba Keng Hong membalikkan tubuh secepat kilat sehingga tidak tersangka-sangka oleh semua penggeroyoknya dan benar saja dugaannya.
Pada saat tiga orang yang berada di depannya itu menangkis, yang sepuluh orang di belakangnya telah menggerakkan pedang, ada yang menusuk dan ada yang membacok. Sambil membalikkan tubuhnya itu, kedua tangannya mendorong ke depan sinkang yang amat kuat. Angin dorongan kedua tangannya seperti angin taufan meniup dan sepuluh orang itu terhuyung ke belakang sambil mengeluarkan seruan kaget. Karena keadaan mereka kacau balau karena kaget ini, mereka menjadi makin panik ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebatan di depan mereka. Seorang demi seorang merasa lengan kanan mereka lumpuh dan tahu-tahu edang mereka telah terampas oleh Keng Hong. Pemuda lihai ini cepat membalik ketiga orang yang kini berada dibelakangnya itu berseru keras sambil menyerang nekat melihat saudara-saudaranya sudah dirampas pedangnya. Keng Hong menggunakan sebuah pedang rampasan, yang sembilan buah dipondong di lengan kiri, menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Trang-trang-trang!" Tiga batang pedang di tangan tiga orang murid Hoa-san-apai itu terlempar ke atas. Keng Hong meloncat ke atas, memutar pedang rampasan yang dipakai menangkis tadi, terus diputar menerima tiga batang pedang yang melayang turun dan.....pedang-pedang itu seperti melekat pada pedangnya, ikut berputar, kemudian dia ambil dengan cara melepaskan empat batang pedang itu semua kini telah berada dalam pondongan lengan kirinya!"
Tiga belas orang anak murid Hoa-san-pai memandangnya dengan muka pucat dan mata terbelalak, mulut ternganga. Bagi mereka, sungguh merupakan keajaiban betapa pemuda itu sedemikian mudahnya merampas pedang mereka tanpa mereka sangka, dan bahkan mereka tidak sempat melihat bagaimana tiba-tiba lengan mereka menjadi lumpuh dan pedang mereka terlepas!
Sesungguhnya, ilmu pedang ketiga belas orang ini sudah hebat, dan andaikata Keng Hong hanya mengandalkan ilmu silat, sungguhpun dia telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat tinggi peninggalan suhunya dan disempurnakan dengan ilmu dalam kitab Thai-kek Sin-kun kiranya tidak akan mudah baginya untuk menangkan pengeroyokan itu dalam waktu singkat. Bahkan agaknya dia baru akan dapat merampas pedang setelah merobohkan mereka, sedikitnya melukai mereka. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini mempergunakan sinkangnya yang amat hebat itu dapat membuat lawannya terhuyung dan kacau, kemudian mempergunakan kecepatan gerakan yang didasari ginkang tinggi, merampas pedang dan menotok pundak!
"Telah siauwte katakan bahwa siauwte tidak datang untuk bermusuhan, maka siauwte persilakan Cu-wi menerima kembali pedang masing-masing dan sudilah mengantarkan siauwte naik menghadap ketua Hoa-san-pai." Lengannya tidak bergerak, akan tetapi ketiga belas batang pedang itu mendadak seperti hidup dan terbang kepada ketiga belas orang murid Hoa-san-pai yang menjadi kaget dan cepat menangkap pedang-pedang itu. Sambil memandang penuh kaget, kagum dan jerih, mereka menyarungkan kembali pedang mereka dan tosu berjenggot panjang berkata,
"Baiklah, kami tidak akan melanggar janji, mari kami antar menghadap guru-guru kami." Keng Hong menjura penuh hormat dan berkata dengan sikap merendah sehingga dengan sendirinya menghapus sebagian besar rasa penasaran dan kemarahan mereka yang menyangka pemuda yang sudah menang itu tentu akan bersikap sombong, "Silakan, cu-wi, kalau cu-wi meragukan niat baikku, biarlah siauwte berjalan di tengah sehingga menjadi orang tangkapan cu-wi." Karena dia bicara dengan jujur, bukan mengejek, tiga belas orang itu tidak tersinggung dan beramai mereka lalu mengawal Keng Hong yang berjalan di tengah naik ke puncak."
Makin tinggi ke puncak, makin banyaklah anak murid Hoa -san-pai yang kini mengikuti rombongan ini dan ramai mereka membicarakan pemuda yang mereka kawal, pemuda yang semenjak dahulu di anggap musuh besar Hoa-san-pai, akan tetapi yang kini datang sendiri dengan "niat baik". Mereka ingin sekali melihat apakah yang akan terjadi kalau pemuda ini berhadapan dengan guru-guru mereka.
Seorang murid telah lebih dahulu melaporkan ke atas. Ketika kedua orang kakek Coa mendengar bahwa Cia Keng Hong datang minta menghadap, dan menundukkan tiga belas orang murid yang bersenjata pedang dengan jalan kosong, mereka berdua bersama tujuh orang sute mereka lalu siap mengadakan penyambutan di dalam ruangan lebar yang biasanya dipergunakan sebagai tempat berlatih. Mengingat akan pentingnya persoalannya yang mereka hadapi, yang menyangkut nama baik Hoa-san-pai, apalagi mengingat bahwa yang datang adalah murid Sin-jiu Kiam-ong yang dahulu ketika merampas pedang pernah mengalahkan guru mereka, maka kedua orang kakek she Coa ini memberitahukan pula kepada guru mereka yang sedang bersamadhi di dalam kamarnya.
Mendengar laporan dua orang muridnya, Bun Hoat Tosu yang tua itu menangguk-angguk dan berkata, "Dia sudah datang, itu baik sekali, apa pun yang dikehendakinya, kita harus menyambutnya dan menyelesaikan segala urusan. Tidak baik hati mengandung dendam yang tidak terselesaikan, hal itu akan meracuni hati sendiri." Maka keluarlah kakek tua ini dengan bertongkat, menuju ke ruangan lian-bu-thia ini.
Episode 212 Keng Hong merasa hatinya gentar dan kagum. Ruangan itu luas, akan tetapi kini dikelilngi pagar hidup berupa anak murid Hoa-san-pai yang berdiri dengan disiplin baik, tidak ada yang bicara, namun dengan sikap siap siaga dan penuh kewaspadaan semua mata ditujukan kepadanya. Jumlah anak murid yang berkumpul disitu dia taksir kurang dari seratus orang!
Ketika dia memandang ke dalam ruangan, dia melihat seorang kakek tua sekali duduk memegangi tongkat dari akar cendana berbentuk naga didampingi Hoa-san Siang-sin-kiam dan tujuh orang tosu lain yang kesemuanya bersikap gagah dan keren. Diam-diam Keng Hong berdoa dalam hatinya semoga dia akan berhasil dalam menyelesaikan urusan dengan Hoa-san-pai secara damai. Kalau dia gagal sangat boleh jadi dia akan tewas di tempat ini! Para pengawalnya berhenti di luar ruangan dan menggabung dengan murid-murid lain yang berdiri mengelilingi ruangan itu diluar. Keng Hong melangkah maju dengan sikap hormat sampai terpisah kira-kira lima meter dari ketua Hoa-san-pai dan sembilan orang Hoa-san Kiu-lojin, kemudian dia menjura dan membungkuk sampai dalam sampai berkata,
"Boanpwe (saya yang rendah) Cia Keng Hong, menghaturkan hormat kepada Locianpwe yang mulia sebagai pimpinan Hoa-san-pai." Suasana hening sekali setelah dia bicara itu sehingga andaikata ada sebatang jarum jatuh ke lantai tentu akan terdengar nyata.
"Cia Keng Hong, apakah kehendakmu mendatangi Hoa-san-pai?" terdengar suara Coa Kiu yang nyaring dan penuh wibawa.
Keng Hong mengarahkan pandang matanya kepada kakek itu dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Sinar mata kakek itu penuh selidik dan mengandung kemarahan, akan tetapi Keng Hong memandang dengan ramah dan tenang. "Coa-locianpwe, saya sengaja menghadap untuk bicara dengan ketua Hoa-san-pai." Ia melirik ke arah kakek tua yang belum pernah dia kenal itu.
"Siancai.... bicaramu menarik seperti Sin-jiu Kiam-ong. Wajah dan sikapmu mengingatkan pinto akan Sie Cun Hong. Orang muda, pinto adalah ketua Hoa-san-pai, Engkau hendak bicara apa?"
"Maafkan saya, Locinpwe. Saya amat berterima kasih bahwa Locianpwe sudi menerima saya yang muda dan bodoh dan sudi memberi kesempatan kepada saya untuk bicara. Hati saya selamanya tidak akan tenteram kalau belum bicara urusan yang timbul antara mendiang suhu dan saya sendiri dengan Hoa-san-pai, dan besar harapan saya bahwa Locianpwe akan cukup bijaksana untuk membicarakan semua kesalahfahaman itu sehingga segala bentuk permusuhan dapat dihabiskan sampai disini saja.
"Enak saja bicara! Dosa gurumu dan engkau sudah bertumpuk-tumpuk setinggi langit, minta didamaikan bagaimana?" bentak Coa Bu dengan suara marah.
Bun Hoat mengangkat tangan ke arah muridnya itu dan tersenyum, kemudian memandang kepada Keng Hong sambil mengangguk-angguk. "Orang muda, engkau pandai bicara. Coba teruskan bicaramu. Bagaimana engkau akan mengusulkan tentang segala perbuatan yang telah dilakukan gurumu dan engkau sendiri?"
Keng Hong masih bersikap tenang. Ia maklum bahwa segala keputusan tergantung kepada kebijaksanaan kakek tua itu, maka dia harus dapat menundukkan kakek ini dengan kata-kata yang tepat karena kalau dia gagal, dia akan menghadapi ancaman maut di tempat ini.
"Locianpwe. Untuk menelaah urusan ini, sebaiknya kalau perkaranya sendiri dibicarakan. Maaf, bukan maksud saya untuk mendongkel-dongkel kembali urusan lama. Akan tetapi, karena yang menjadi mula-mula urusan ini adalah perbuatan guru saya terhadap Hoa-san-pai, maka sebaiknya kalau saya membicarakan urusan guruku itu. Kalau saya tidak salah mendengar cerita suhu dahulu, permusuhan antara suhu saya dan Hoa-san-pai terjadi karena seorang murid wanita Hoa-san-pai lari bersama suhu..."
"Dilarikan! Dicuri!" Coa Kiu memotong.
Keng Hong tersenyum memandang wajah ketua Hoa-san-pai. "Benarkah dilarikan dengan paksa, Locianpwe?" Menurut sepanjang pendengaran saya, suhu tidak pernah memaksa seorang wanita..."
Bun Hoat Tosu mengelus jenggotnya yang putih seperti benang perak. "Memang lari bersama Sie Cun Hong karena dibujuk omongan manis, akan tetapi dilarikan secara paksa."
"Demikianlah, baik dilarikan maupun lari secara suka rela, akan tetapi seorang murid wanita Hoa-san-pai pergi bersama suhu. Dan urusan ke dua, suhu mengambil sebuah pedang Hoa-san-pai juga ramuan obat."
Kakek itu mengangguk-angguk.
"Locianpwe, semua perbuatan suhu memang bersalah, akan tetapi karena beliau telah meninggal dunia, apakah sepatutnya dia dikejar-kejar terus, dan apakah sudah semestinya kalau muridnya juga harus memikul dosanya?"
"Urusan murid wanita dan ramuan obat, karena murid itu sudah meninggal dan obat itu sudah habis, tidak perlu dibicarakan, orang muda. Akan tetapi pedang pusaka itu tidak bisa lenyap dan tentu jatuh ke tanganmu. Pedang itu harus dikembalikan kepada Hoa-san-pai."
Keng Hong mengangguk. "Tepat dan adil sekali, dan sudah semestinya begitu, Locianpwe. Akan tetapi pedang pusaka Hoa-san-pai itu telah dicuri oleh Bhe Cui Im, murid Lam-hai Sin-ni!"
"Ahhhhh...!" Seruan ini keluar dari mulut sembilan orang murid Hoa-san-pai, dan hanya ketua itu yang masih tenang sikapnya.
"Saya sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong, merasa berkewajiban untuk menebus kesalahan suhu dan saya bersumpah untuk mencari dan merampas kembali pokiam itu, di kemudian hari pasti akan saya haturkan kepada Locianpwe di sini!"
"Apakah sumpahmu akan kau penuhi, orang muda?"
"Locianpwe, kalau saya tidak akan memenuhi sumpah saya, untuk apa saya datang menghadap Locianpwe untuk bersumpah" Kalau saya tidak memenuhi janji mengembalikan pedang, tentu saya tetap dianggap musuh besar Hoa-san-pai, padahal kedatangan saya menghadap Locianpwe ini justru hendak melenyapkan segala macam permusuhan." Kembali kakek itu mengangguk-angguk dan hati Keng Hong merasa lega karena agaknya urusan yang menyangkut suhunya sudah dapat dia bereskan, sungguhpun belum lenyap, namun sedikitnya telah mendinginkan permusuhan itu dan meredakan kemarahan Hoa-san-pai terhadap suhunya.
Episode 213 "Sekarang bagaimana pertanggung jawabmu tentang perbuatanmu sendiri orang muda" Pinto mendengar laporan-laporan yang amat tidak menyenangkan hati, dan amat tidak baik." Kini tosu tua itu memandangnya dan diam-diam Keng Hong terkejut melihat betapa sepasang mata tua di balik bulu mata yang putih itu menyorot seperti kilat menyambar. Ah, kakek ini amat hebat dan akan merupakan lawan yang amat berbahaya, pikirnya dengan hati berdebar.
"Maaf, Locinpwe. Lebih baik saya bicara terus terang terhadap Locianpwe yang bijaksana. Saya mengaku bahwa memang saya telah melakukan hubungan cinta dengan mendiang Sim Ciang Bi murid wanita Hoa-san-pai. Akan tetapi hal ini merupakan urusan antara seorang pria dan seorang wanita yang melakukannya atas kehendak dan kerelaan sendiri tanpa ada yang memaksa, merupakan suatu kejadian wajar dan lumrah kalau terjadi antara seorang pria dan seorang wanita yang saling tertarik dan saling suka...."
"Hubungan gelap! Hubungan kotor, hubungan karena dorongan nafsu berahi!" Tiba-tiba Coa Bu tokoh Hoa-san Siang-sin-kiam yang lebih muda, membentak marah.
Dengan tenang dan sabar Keng Hong memandang kakek itu, tersenyum pahit dan berkata, "Terserahlah apa yang Totiang katakan atas hubungan anak-anak manusia muda yang belum mampu mengendalikan dirinya itu. Akan tetapi, hubungan kotor atau bersih, gelap maupun terang, hal itu adalah urusan saya dan Sim Ciang Bi sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-san-pai sama sekali. Ataukah... ada peraturan istimewa di Hoa-san-pai yang mengikat sehingga setiap orang anak murid Hoa-san-pai tidak dapat bebas lagi dalam segala hal mengenai pribadinya, sehingga untuk memilih pacar sekalipun harus ditentukan oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang duduk di pimpinan seperti JI-wi Totiang dari Siang-sin-kiam?"
"Hemmm, Cia Keng Hong, hati-hati menjaga mulutmu!" Coa Kiu membentak dengan muka merah.
Ketua Hoa-san-pai dan Bun-Hoat Tosu mengangkat tangannya dan berkata, "Siancai... Benar-benar mewarisi kepandaian bersilat lidah dari Sie Cun Hong, anak ini! Akan tetapi, ada benarnya apa yang diucapkan. Eh, orang muda, pinto dapat menerima alasanmu bahwa apa yang terjadi antara engkau dan murid Sim Ciang Bi adalah urusan pribadi kalian orang-orang muda. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat membela dirimu tentang kematian murid kami itu?"
"Saya bersumpah bahwa saya tidak membunuh Sim Ciang Bi, Locianpwe."
"Memang, tidak membunuh dengan tanganmu, akan tetapi dengan perbuatanmu. Dia mati dalam pelukanmu dan kalau engkau tidak bermain cinta dengan dia, dia tidak akan mati terbunuh iblis betina yang merasa cemburu. Hayo, bantahlah kalau bisa!" Coa Kiu membentak lagi.
"Maaf, Totiang. Tidak ada kematian tanpa sebab, akan tetapi ada sebab langsung yang disengaja. Kalau saya dianggap sebab kematian Sim Ciang Bi maka saya hanya merupakan sebab tidak langsung dan tidak saya sengaja. Saya tidak berniat membunuh dia dan kalau kenyataannya dia dibunuh orang selagi berada dalam pelukanku, hal itu hanya kebetulan saja. Sebab yang langsung berada di tangan Bhe Cui Im, karena dialah yang membunuh Ciang Bi dan saya berjanji akan membuat perhitungan dengan Cui Im."
Bun Hoat Tosu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau pandai membela diri dan memang pembelaanmu dapat diterima. Setelah mendengar semua alasan-alasan yang kau kemukakan, kami dari fihak Hoa-san-pai akan ditertawai dunia kang-ouw kalau masih hendak menyalahkanmu. Kiranya yang menjadi biang keladi dari kesemuanya ini adalah murid Lam-hai Sin-ni yang bernama Bhe Cui Im itu. Ahhh, betapa aneh peristiwa yang bermunculan di dunia kang-ouw sekarang ini.
Selain muncul engkau sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong yang cukup menghebohkan, muncul pula Bhe Cui Im yang menggegerkan dunia, bahkan namanya kini menjulang tinggi melampaui nama gurunya. Siapakah yang tidak mengenal dia yang kini berjuluk Ang-kiam Bu-tek, yang telah banyak membunuh tokoh besar dunia kang-ouw" Entah dari mana ia mendapatkan ilmu kepandaian tinggi, kabarnya lebih tinggi daripada Lam-hai Sin-ni sendiri. Orang muda, dia bersama murid Go-bi Chit-kwi yang berjuluk Jai-hwa-ong kini telah menjadi jago-jago nomor satu dari barisan pengawal kaisar, tahukah engkau?" Keng Hong terkejut. "Ahhh! Begitukah, Locianpwe" Baru sekarang saya mendengar dan terima kasih atas petunjuk Locianpwe. Sekarang juga boanpwe akan pergi ke kota raja mencarinya, selain untuk merampas kembali semua kitab dan pusaka yang dicurinya, juga untuk menghukumnya atas segala perbuatan jahatnya sehingga menyeret saya ke dalam jurang permusuhan dari semua orang gagah."
Keng Hong sudah menjura dengan hormat dan siap hendak berangkat, akan tetapi tiba-tiba Coa Kiu dan Coa Bu, Hoa-san Siang-sin-kiam telah meloncat maju dan Coa Kiu berkata, "Tunggu dulu, Cia Keng Hong."
Keng Hong berhenti dan membalikkan tubuh, berdiri tegak menanti dengan tenang apa yang dikatakan dua orang tosu yang dia tahu masih merasa penasaran bahwa dia dibebaskan secara demikian mudah oleh ketua Hoa-san-pai, kemudian Coa Kiu berkata, "Harap Suhu tidak mudah dibohongi pemuda yang pandai membujuk ini. Harap Suhu memperkenan teecu bicara dengan dia sebelum dia pergi meloloskan diri."
"Asalkan kau dapat menjaga agar Hoa-san-pai selalu bertindak berdasarkan kebenaran, lakukanlah apa yang kau kehendaki dari pemuda ini," jawab ketua Hoa-san-pai dengan sabar.
Sepasang Pedang Sakti dari Hoa-san-pai melangkah maju menghadapi Keng Hong, dan Coa Kiu berkata, "Cia Keng Hong, engkau telah berjanji untuk mencari Ang-kiam Bu-tek, merampas kembali pedang pusaka Hoa-san-pai dan menggembalikan kepada kami, kami juga menghukum Ang-kiam Bu-tek, atas semua perbuatannya. Benarkah itu?"
"Benar, Locianpwe. Dan sekali lagi untuk melakukan hal yang Locianpwe sebutkan tadi."
"Cia Keng Hong, apakah engkau cukup memiliki ilmu kepandaian untuk mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong tersenyum. Ia adalah seorang yang amat cerdik dan pertanyaan ini sudah cukup baginya untuk mengetahui apa yang dikehendaki Hoa-san Siang-sin-kiam,maka dia menjawab tanpa ragu-ragu, "Saya merasa yakin bahwa saya akan dapat mengalahkan dia, Locianpwe."
"Bocah sombong! Kalau engkau tidak dapat membuktikan sekarang juga di depan Hoa-san-pai, maka jelaslah bahwa engkau tadi telah menipu kami dengan kata-kata manis, muluk-muluk dan kosong belaka!" kata pula Coa Kiu, suaranya mengandung kemenangan. Keng Hong mengerti, akan tetapi pura-pura tidak mengerti dan bertanya,
Episode 214 "Apa yang Locianpwe maksudkan?"
"Nama Ang-kiam Bu-tek menjadi buah percakapan di dunia kang-ouw. Dia telah membunuh Thian Ti Hwesio dan Sin-to Gi-hiap, merobohkan banyak sekali tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.."
"Saya dapat menambah lagi, Locianpwe," kata Keng Hong memotong kata-kata Coa Kiu,
"Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im itu bahkan telah membunuh bekas gurunya sendiri, Lam-hai Sin-ni."
Semua orang kaget, bahkan Bun Hoat Tosu sendiri nampak tercengang. Coa Kiu melanjutkan ucapannya, "Nah, hal itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian Ang-kiam Bu-tek benar-benar hebat dan jelas tingkat kepandaiannya melebihi tingkat kepandaian Hoa-san Siang-sin-kiam. Kami sendiri agaknya tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi engkau telah menyatakan keyakinanmu untuk mengalahkannya. Dapatkah engkau membuktikan kata-katamu itu sekarang juga?"
Keng Hong masih berpura-pura tidak mengerti. "Membuktikan dengan cara bagaimana, Locianpwe?"
"Dengan cara mengalahkan Hoa-san Sian-sin-kiam! Jelas bahwa kepandaian kami masih lebih rendah daripada Ang -kiam Bu-tek, maka kalau engkau sudah merasa yakin akan dapat mengalahkan dia, tentu engkau pun harus dapat mengalahkan kami. Sebaliknya, kalau terhadap kami saja engkau berani membohongi guru kami bahwa engkau akan dapat mengalahkan Ang-kiam Bu-tek?"
Keng Hong pura-pura kaget dan bingung kemudian dia menghadap ketua Hoa-san-pai sambil berkata, "Mohon pertimbangan Locianpwe mengenai tantangan Hoa-san Siang-sin-kiam ini. Locianpwe, saya datang menghadap Locianpwe dengan niat untuk menghabiskan segala permusuhan dan kesalahfahaman yang ada di antara kita, bagaimana mungkin saya berani menghadapi dua orang tokoh besar Hoa-san-pai dalam pertandingan" Bukankah hal ini akan membuat usaha dan niat baik boanpwe menjadi sia-sia belaka?"
Bun Hoat Tosu tersenyum dan berkata, "Tidak mengapa, orang muda. Apa yang diusulkan oleh kedua orang muridku memang benar, bukan sekali-kali untuk mengujimu karena tidak percaya. Engkau adalah murid tunggal Sin-jiu Kiam-ong tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi, bagaimana hati kami sepeninggalmu akan dapat tenang dan yakin bahwa pusaka Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan lebih dulu kelihaianmu. Harap jangan sungkan Hoa-san-pai akan dapat dikembalikan kalau kami tidak menyaksikan lebih dulu kelihaianmu. Harap jangan sungkan dan perlihatkanlah kepandaianmu dan keampuhan Siang-bhok-kiam kepada kami."
Keng Hong menjadi kagum. Ketua Hoa-san-pai ini benar-benar bijaksana. Jawabannya sekaligus menyadarkan kedua orang muridnya bahwa pertandingan ini hanya merupakan ujian, dan sekaligus menarik kesempatan untuk menyaksikan kehebatan Siang-bhok-kiam dan ilmu pedangnya.
Ia pun kagum bahwa kakek tua renta ini sudah tahu bahwa dia membawa Pedang Kayu Harum itu, padahal pedang itu dia sembunyikan di balik jubahnya. Ia cepat memberi hormat dan berkata, "Baiklah kalau begitu, Locianpwe Ji-wi Hoa-san Siang-sin-kiam, saya telah siap menerima pelajaran Ji-wi!"
Lega hati kedua tokoh Hoa-san-pai itu. Mereka selalu merasa penasaran dan hal ini akan menganggu hati mereka kalau mereka belum mencoba kelihaian murid tunggal Sin-jiu Kaim-ong, yang selama beberapa tahun ini membuat mereka, seperti juga tokoh-tokoh lain di dunia kang-ouw, menjadi lelah badan dan kesal pikiran. Sudah bertahun-tahun mereka ikut mengejar Keng Hong tanpa hasil, kini setelah pemuda itu uncul sendiri, malah dibebaskan sedemikian mudahnya. Mereka tentu akan penasaran dan gelisah kalau belum menguji kepandaian pemuda ini yang oleh guru mereka kini tidak dianggap musuh lagi, melainkankan sahabat yang hendak mencarikan kembali pedang pusaka Hoa-san-pai! Kedua orang kakek itu melangkah ke tengah ruangan, dikuti pandang mata ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala lain yang menjadi adik-adik seperguruan Hoa-san Siang-sin-kiam. Juga para murid yang berkumpul mengelingi ruangan itu memandang dengan hati tegang, akan tetapi juga ada rasa gembira di hati mereka karena seperti semua ahli silat di dunia ini, pertandingan yang paling menarik, apalagi bagi mereka itu yang kini disuguhi pertandingan hebat dengan majunya Hoa-san Siang-sin-kiam melawan seorang pemuda murid Sin-jiu Kiam-ong yang terkenal.
Karena merasa bahwa mereka berdua maju untuk menguji, apalagi karena maklum atau dapat menduga akan kelihaian pemuda ini, maka Siang-sin-kiam mengusir rasa sungkan di hati akan kenyataan bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai kini hendak mengeroyok seorang pemuda yang patut menjadi cucu murid mereka!
"Sing! Sing!" tampak sinar berkilat menyilauan mata ketika kakak beradik ini mencabut pedang mereka. Mereka sudah berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda yang sama, dengan pedang di tangan kanan melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari-jari disatukan menuding ke langit, lutut kaki kanan ditekuk depan kaki kiri, mata mereka menatap tajam kepada Keng Hong.
Keng Hong maklum bahwa dua orang kakek ini amat lihai ilmu pedangnya. Kalau tidak demikian masa mereka mendapat julukan Hoa-san Siang-sin-kiam" Mereka merupakan murid-murid utama dari Hoa-san-pai dan berkedudukan tinggi. Untuk dapat menimbulkan kesan baik dan membuktikan kesanggupannya, dia harus dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi mengalahkan mereka tanpa melukai, karena kalau hal ini terjadi tentu akan menimbulkan lagi perasaan bermusuh. Dia mengerti pula bahwa sekali ini, dia bertanding melawan dua orang lihai di bawah pengawasan mata yang tajam dari ketua Hoa-san-pai dan tujuh orang murid kepala yang lain, maka sudah tentu saja dia tidak berani main-main dan berpura-pura karena hal ini kalau sampai ketahuan tentu menimbulkan kesan seolah-olah dia memandang rendah Hoa-san-pai. Jalan satu-satunya harus mengalahkan mereka dengan ilmu pedang yang lebih tinggi, dan hanya Siang-bhok-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menundukkan Sepasang Pedang Sakti ini.
"Maafkan saya!" katanya dan tangannya meraba ke dalam jubahnya. Di lain saat dia sudah mencabut Siang-bhok-kiam dan yang tampak hanya sinar hijau berkelebat berbareng tercium bau yang harum.
"Siang-bhok-kiam....!" Terdengar bisikan-bisikan yang hampir berbareng keluar dari mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut murid-murid Hoa-san-pai sehingga bisikan yang dilakukan banyak mulut itu menjadi tidak lirih lagi. Setelah sinar hijau lenyap, yang tampak hanya sebatang pedang kayu di tangan Keng Hong, dan sebagus-bagusnya pedang kayu, tentu tidaklah seindah dan segagah pedang baja.
Episode 215 Namun, begitu melihat pedang itu terpegang di tangan Keng Hong dan melihat pemuda itu membuat gerakan kuda-kuda pembukaan, Siang-sin-kiam mengikuti dengan pandang mata tajam dan penuh kewaspadaan. Gerakan kuda-kuda Keng Hong adalah gerakan pemubukaan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut yang luar biasa. Kedua kaki pemuda itu, terpentang dengan lutut di tekuk ke depan, Pedang Kayu Harum mula-mula menuding ke langit dari atas kepala lalu perlahan-lahan melingkari leher terus turun menuding bumi di depan kaki, sedangkan tangan kiri membentuk lingkaran dan berakhir di depan dada dengan sikap menyembah, tangan miring dan jari terbuka rapat.
"Cia Keng Hong, jaga serangan kami!" Coa Kiu berseru keras dan tiba-tiba dia dan Coa Bu sudah menerjang maju, pedangnya menusuk leher dan pedang adiknya menusuk pusar.
"Trang-trang..!" Pedang Kayu Harum sudah menangkis kedua pedang itu sekaligus sehingga kedua pedang itu terpental. Namun kakak beradik Coa itu adalah ahli-ahli pedang yang kenamaan dan banyak pengalaman. Sungguhpun dari getaran yang melalui pedang mereka itu jelas membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda ini seperti yang sudah mereka ketahui, amat kuat, namun pedang mereka yang terpental itu mereka ikuti dengan tubuh, dan mereka kini berpencar ke kanan kiri. Cepat sekali datangnya penyerangannya itu, pedang Coa Kiu membabat kaki sedangkan pedang Coa Bu menusuk lambung.
"Sing-singggg...!"
Keng Hong tetap tenang ,kakinya meloncat ke depan, tubuhnya membalik, sinar hijau Siang-bhok-kiam membabat ke kanan kiri menangkis.
"Cring-cring...!"
Kembali dua kakek itu memutar tubuh karena pedang mereka terpental, kini mereka saling berdekatan, pedang mereka diputar membentuk gulungan dua sinar yang menyilaukan, makin lama makin cepat dan dua gulungan sinar itu kini bersatu, menjadi segulung sinar yang tebal dan kuat, kemudian tubuh ereka berkelebat lenyap dan yang tampak hanyalah sinar pedang tebal meluncur ke arah Keng Hong. Pemuda ini maklum bahwa "penyatuan" sinar pedang dua kakek ini amat berbahaya dan inilah agaknya yang membuat nama Sepasang Pedang Sakti amat terkenal. Ia pun lalu mengerahkan tenaganya, mempercepat pemutaran pedang Siang-bhok-kiam sehingga bayangan tubuhnya terbungkus sinar hijau yang meluncur dan menyambut sinar pedang putih yang mengeluarkan suara bercuitan itu. Terjadilah pertandingan ilmu pedang sakti, yang tampak hanya gulungan putih dan hijau, suara bercuitan dan berdesing-desing diselingi suara "crang-cring-trang-trang!" dan tampak bunga api kadang-kadang muncrat berhamburan.
Setelah bertanding selama empat lima puluh jurus, Keng Hong maklum bahwa kalau dia menghendaki, dengan mudah dia akan dapat erobohkan dua orang kakek ini. Akan tetapi dia tidak mau menyakitkan hati atau membuat malu dua orang kakek yang sudah memiliki nama besar di dunia kang-ouw ini. Maka dia bersuit nyaring dan gerakannya dipercepat. Gulungan sinar pedang berwarna hijau menjadi terang dan lebih panjang, membentuk lingkaran-lingkaran aneh dan terus enghimpit dan membelit gulungan puti kedua kakek itu.
Kini tampak betapa Hoa-san Siang-sin-kiam terdesak hebat dan hal ini dapat diikuti dengan pandang mata dan jelas oleh Bun Hoat Tosu dan para muridnya sehingga mereka menjadi kagum sekali. Akan tetapi para murid Hoa-san-pai yang berdiri di luar ruangan itu, yang ilmu kepandaiannya belum mencapai tingkat setinggi itu dan belum memiliki ketajaman penglihatan sehingga dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat mengikuti kecepatan sinar pedang, tidak dapat melihat tiga orang yang bertanding, hanya melihat gulungan-gulungan sinar pedang. Bagi mereka, pertandingan ini merupakan pertandingan hebat yang menegangkan di mana mereka melihat betapa gulungan sinar pedang putih tidak sehebat tadi bahkan kadang-kadang terpecah menjadi dua bersatu lagi, terpecah lagi bahkan kadang -kadang terpisah makin jauh, keduanya digulung oleh sinar pedang hijau.
"Ji-wi Locianpwe, maafkan saya!" Tiba-tiba terdengar seruan Keng Hong dan tampaklah dua orang kakek itu meloncat ke kanan kiri dengan muka pucat dan tanpa memegang pedang, sedangkan Keng Hong berdiri di tengah-tengah dengan pedang Siang-bhok-kiam diputar-putar sedangkan dua batang pedang milik kakek itu menempel dan ikut berputar di ujung Siang-bhok-kiam, kemudian tiba-tiba dua batang pedang itu mencelat dan meluncur ke arah pemiliknya masing-masing! Coa Kiu dan Coa Bu menyambut pedang mereka dan menyimpannya kembali, kemudian menjura ke arah Keng Hong dan berkata,
"Kepandaianmu hebat, orang muda. Kami Hoa-san Siang-sin-kiam mengaku kalah." Keng Hong sudah lebih dulu menjura dan dia cepat berkata, "Ah, Ji-wi Locianpwe terlalu mengalah dan sungkan. Terima kasih atas pelajaran yang diberikan kepada saya dan biarkan saya anggap bahwa saya telah lulus ujian."
Bun Hoat Tosu berkata, "Engkau telah lulus ujian, Cia-taihiap. Ilmu pedangmu benar-benar mentakjubkan!"
Wajah Keng Hong menjadi merah sekali mendengar dia disebut "taihiap"(pendekar besar) oleh ketua Hoa-san-pai. Benar-benar penghormatan yang berlebihan! Cepat dia memberi hormat dan berkata, "Locianpwe, harap jangan menyebut boanpwe dengan sebutan taihiap. Sebutan itu bukan didasarkan atas kepandaian, melainkan atas sepak terjang dan perbuatan seseorang, sedangkan boanpwe adalah seorang yang sama sekali belum melakukan sesuatu yang penting. Selamat tinggal dan mudah-mudahan boanpwe akan dapat segera mengantarkan pedang pusaka Hoa-san-pai yang dahulu dipinjam mendiang suhu. Ji-wi Siang-sin-kiam,ilmu pedang Ji-wi bukan main, saya menyatakan kagum sedalam-dalamnya dan maafkan saya." Setelah berkata demikian, Keng Hong melangkah keluar meninggalkan Hoa-san-pai diikuti pandang mata mereka dan keadaan di ruangan itu menjadi sunyi sekali.
Terdengar helaan napas Bun Hoat Tosu memecah kesunyian. "Ahhh, hebat sekali ilmu kepandaian bocah itu, benar-benar mewarisi ilmu dan kelihaian Sie Cun Hong taihiap. Kalian berdua tidak usah merasa penasaran dikalahkan olehnya, karena pinto sendiri mungkin tidak akan dapat mengalahkan dia dengan mudah."
Episode 216 Mendengar pengakuan ketua Hoa-san-pai ini, para anak murid Hoa-san-pai makin kagum kepada Keng Hong dan keadaan pemuda itu memberi dorongan kepada mereka untuk berlatih lebih giat lagi.
*** Semenjak Kaisar Yung Lo mengalahkan keponakannya sendiri dalam perebutan kekuasaan dan naik tahta Kerajaan Beng pada tahun 1403, terjadilah perubahan besar yang menuju perbaikan keadaan pemerintah. Kaisar Yung Lo yang tadinya adalah seorang panglima perang, memegang tampuk kerajaan dengan tangan besi sesuai dengan jiwanya sebagai prajurit.
Segala macam bentuk korupsi dan penyalahgunaan wewenang diberantas dan untuk menghindarkan pemerintah yang dipimpinnya dari pengaruh buruk tuan-tuan tanah yang ada pada masa lalu seolah-olah mencengkeram semua alat pemerintah dengan kekuasan uang sogokan dan suapan, maka Kaisar Yung Lo memindahkan ibu kota dari Nanking ke Peking di utara. Ibu kota utara ini memang tepat di mana dia bertugas ketika masih menjadi panglima, memimpin barisan pertahanan di utara, maka tentu saja Kaisar Yung Lo lebih merasa "di tempat sendiri" kalau berada di utara. Pembangunan besar-besaran dilakukan di ibu kota atau kota raja ini, pembangunan yang dilakukan oleh semua ahli seni bangunan yang didatangkan dari segenap penjuru tanah air. Istana yang besar-besar dan amat indah dibangun sehingga Kota Raja Peking menjadi kota yang hebat dan indah luar biasa di masa itu, dan terkenal di luar negeri sebagai kota terindah dan mentakjubkan para musafir kelana yang datang dari segala penjuru dunia.
Tembok besar yang melintang di utara, yang merupakan keajaiban di dunia dan membuktikan kehebatan hasil tenaga manusia ( panjangnya lk.22500 mil), diperbaiki dan diperkuat. Juga Terusan Besar yang menghubungan Kota Raja Peking Sungai Yang-tse-kian dengan Sungai Huang-ho,yang belum selesai dibangun oleh kaisar-kaisar Mongol, kini diteruskan dan diperbaiki dan diselesaikan pembangunannya.
Selain mengadakan pembangunan besar-besaran, juga Kaisar Yung Lo berusaha keras untuk meningkatkan kecerdasan kaum petani yang menjadi sebagian besar daripada rakyat dengan jalan memerintahkan penyebarluasan kesusastraan dengan mencetak kitab-kitab pusaka lama dan ajara-ajaran Kong-hu-cu sehingga kitab-kitab itu menjadi murah dan mudah didapatkan dan dipelajari oleh rakyat tidak seperti jaman sebelum itu di mana kitab-kitab hanya dapat dimiliki dan dipelajari oleh kaum ningrat dan hartawan saja.
Maka muncullah sastrawan-sastrawan dari kalangan rakyat miskin, dan mereka itu diberi kesempatan untuk meningkatkan hidup dengan jalan menempuh ujian-ujian yang diadakan setiap tahun di kota raja dan bagi siapa yang lulus akan diberi gelar siucai dan diberi kesempatan menduduki jabatan.
Kaisar Yung Lo memang bijaksana, tidak hanya dalam hal kesussastraan di mana dia mencurahkan perhatiannya, mempersilakan kaum terpelajar dan sastrawan-sastrawan yang dahulunya banyak yang dikejar-kejar sebagai pemberontak apabila ada di antara mereka yang berani mengeritik istana, kini datang membantu pemerintahannya dan memberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka. Di samping usaha memajukan kesusastraan dan kesenian, sebagai seorang kaisar bekas panglima, tentu saja kaisar ini tidak mengabaikan pertahanan perang, juga dapat menghargai bantuan kaum persilatan. Maka Kaisar Yung Lo mengumumkan untuk membuka tangan kepada tokoh-tokoh kang-ouw yang suka untuk membantunya, untuk diuji kepandaiannya dan diberi kedudukan pula, dari pengawal-pengawal istana sampai komandan-komandan pasukan, disesuaikan masing-masing dengan tingkat kepandaian dan pengalaman masing-masing. Dengan janji kedudukan tinggi, apalagi menjadi pengawal istana yang pada waktu itu merupakan pangkat yang amat besar kekuasaannya (biasanya pengawal lebih galak dan merasa lebih kuasa daripada yang dikawal), banyaklah para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi datang ke kota raja untuk menghambakan diri kepada kaisar baru Kerajaan Beng ini.
Akan tetapi, tidaklah mudah dapat diterima menjadi pengawal kaisar atau pengawal istana. Ujiannya terlampau berat. Ada tiga tingkat pengawal istana kaisar, yaitu tingkat pengawal istana kaisar yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi, tingkat kedua adalah pengawal istana bagian dalam, dan tingkat ke tiga adalah tingkat istana bagian luar. Untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal ini, calon harus membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan penguji dari tiga tingkatan.
Dan ternyata tidaklah mudah dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw yang dapat mengalahkan atau menandingi para penguji ketiga tingkatan itu, apalagi tingkat pertamanya!
Kaisar Yung Lo merasa perlu sekali menghimpun tenaga tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai untuk memperkuat barisannya karena dia mempunyai cita-cita memperkembangkan kekuasaan negara sampai jauh ke luar negeri, untuk menundukkan daerah-daerah barat dan selatan yang semenjak jatuhnya Kerajaan Mongol tidak mau mengakui lagi kekuasaan pemerintah pusat. Bahkan Kaisar Yung Lo bercita-cita lebih jauh lagi, yaitu mengirim pasukan-pasukan jauh menyeberangi lautan selatan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan mendatangkan keuntungan dan kebaikan bagi negaranya, karena di mendengar selatan amat kaya akan rempah-rempah dan hasil buminya yang subur.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, datanglah dua orang muda yang amat menarik perhatian ke kota raja. Mereka ini menarik perhatian orang karena merupakan pasangan orang muda yang cantik jelita dan tampan perkasa, seorang wanita muda yang sukar ditaksir usianya antara dua puluh dan tiga puluh tahun, berpakaian serba jambon, rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias burung hong kecil dari emas permata yang amat indah, di punggunggnya terdapat sarung pedang dari emas pula terukir indah sehingga hiasan ini mendatangkan sifat gagah pada kecantikannya. Adapun pria yang berjalan di sebelahnya juga amat menarik perhatian orang. Pria ini usianya antara empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Pakaiannya mewah sekali, dari ujung rambut yang tersisir rapi dan licin mengkilap sampai ke ujung sepatunya yang baru dan mengkilap pula dapat diketahui bahwa dia adalah seorang pria pesolek yang amat menjaga diri dan pakaiannya agar selalu kelihatan tampan
Dan memang pria itu berwajah tampan, berpandang mata penuh pikatan, senyumnya pun dapat meruntuhkan hati wanita yang kurang kuat. Seperti juga wanita muda di sebelahnya, disamping ketampanan dan kegantengannya, laki-laki ini kelihatan gagah dengan adanya pedang yang tergantung di pinggang, pedang yang sarungnya berwarna hitam dan terukir bunga-bunga teratai terbuat dari emas pada gagang pedang dan sarungnya.
Episode 217 Wanita cantik jelita dan gagah itu bukan lain Bhe Cui Im, sedangkan pria di sebelahnya ini adalah Kim-lian Jai-hwa-ong Siauw Lek. Cui Im yang mendengar pula akan pengumuman istana segera mempergunakan kesempatan ini untuk mengikuti ujian karena wanita yang haus kekuasaan ini menganggap bahwa cara yang paling tepat untuk menjadi nomor satu di dunia adalah menjadi jagoan nomor satu pula. Maka ia lalu mengajak sekutunya, Siauw Lek untuk datang ke kota raja. Berbeda dengan sebagian tokoh kang-ouw di masa itu yang segan untuk memperlihatkan diri sehingga terlibat dalam pertentangan, Cui Im dan Siauw Lek yang terlalu percaya kepada diri sendiri dan memandang rendah orang lain, secara terang-terangan bersikap sebagai ahli persilatan dengan lagak terbuka dan menantang! Maka tentu saja mereka menarik banyak perhatian orang di kota raja dengan lagak mereka yang menginap di rumah penginapan terbesar, makan di rumah makan termewah dan hidup secara royal sekali.
Mereka berdua tidak tergesa-gesa mengunjungi tempat pendaftaran di istana, melainkan berpesiar di kota raja sampai tiga hari. Siauw Lek yang selalu taat dan tunduk kepada Cui Im, selama di kota raja tidak berani melakukan kebiasaannya, yaitu menganggu wanita-wanita cantik.
"Kita menghendaki kedudukan tinggi sebagai pengawal kaisar, jangan merusak nama dengan perbuatan yang mengacaukan," kata Cui Im. Siauw Lek tidak berani melanggar dan dia hanya menelan ludah saja setiap kali melihat puteri-puteri cantik yang banyak terdapat di kota raja dan memuaskan nafsunya dengan berfoya-foya bersama wanita kelas satu di kota raja.
Tiga hari kemudian, Cui Im dan Siauw Lek menghadap para petugas pendaftaran, yaitu perwira-perwira pengawal yang menerima semua pendaftaran dan kantornya berada di bangunan samping depan istana. Pagi itu tidak ada orang lain yang mendaftarkan, dan memang makin lama makin berkuranglah para pendaftar setelah terdengar berita betapa beratnya syarat-syarat ujian dan betapa sebagian besar para peserta gagal dalam menempuh ujian, tidak dapat menandingi kelihaian si penguji.
Belasan orang perwira yang bertugas di situ memandang Cui Im dengan mata terbelalak, penuh kekaguman dan keheranan. Kalau yang datang mendaftarkan diri seorang pria seperti Siauw Lek, mereka tidak akan merasa heran, dan kalau seorang wanita tua yang banyak terdapat di kalangan tokoh kang-ouw mendaftarkan, mereka pun akan menerima hal ini sebagai hal wajar dan tidak aneh. Akan tetapi seorang wanita muda dan cantik jelita seperti Cui Im datang mendaftarkan diri untuk menjadi pengawal! Benar-benar hal ini membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi mereka adalah petugas-petugas yang langsung berada di bawah pengawasan istana dan berdisiplin, maka mereka menerima Siauw Lek dan Cui Im sebagaimana mestinya dan bertanya kepada dua orang ini hendak mendaftarkan untuk calon pengawal tingkat apa.
"Tentu saja tingkat pengawal kaisar, atau adakah tingkat yang lebih tinggi dari itu" Kalau ada, aku hendak mendaftar untuk tingkat yang lebih tinggi, tingkat yang paling tinggi," kata Cui Im dengan sikap sembarangan.
Para petugas yang sudah terheran-heran itu menjadi melongo saking herannya. Seorang di antara mereka yang bertugas menuliskan nama pendaftaran khawatir kalau dia salah dengar dan bertanya,"Siapakah yang mendaftarkan untuk pertama, calon pengawal kaisar, Saudara inikah?" Ia menuding ke arah Siauw Lek.
Siauw Lek tersenyum. "Kedua-duanya, Sobat. Kami berdua mendaftarkan untuk calon pengawal kaisar. Apakah tidak boleh?"
"Ah, boleh... Boleh..., tentu saja boleh. Akan tetapi ujiannya amat berat dan salah-salah nyawa bisa melayang..."
"Kami sudah siap sedia untuk resiko itu," jawab Cui Im, dan harap catat bahwa aku mempunyai sebuah benda amat berharga yang hendak kupersembahkan kepada kaisar apabila aku dapat lulus ujian dan menjadi pengawal kaisar."
"Disini dilarang untuk menyuap dan menyogok, apalagi terhadap kaisar!" Tiba-tiba perwira itu berkata tegas.
Cui Im bertolak pingang, memandang tajam dan berkata lebih tegas lagi. "Siapa bicara tentang suap dan sogok" Aku akan menangkan kedudukan pengawal kaisar dengan kepandaianku,akan ku kalahkan pengujinya, dan tentang benda itu ketahuilah hai perwira yang lancang mulut bahwa persembahanku itu adalah kitab Thai-yang-cin-keng. Orang berkedudukan rendah seperti engkau mungkin tidak mengenalnya, akan tetapi aku merasa yakin bahwa kaisar akan mengenal kitab itu."
Para perwira itu diam-diam mendongkol akan tetapi terkejut juga. Dengan singkat dan tanpa banyak cakap agar tidak menimbulkan keributan dengan orang-orang kang-ouw yang mereka tahu berwatak aneh-aneh itu, nama Siauw Lek dan Cui Im dicatat dan juga rumah penginapan mereka dicatat.
"Ji-wi (kalian berdua) akan dipanggil kalau saat ujian tiba."
Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan tepat itu dan mereka berdua sambil menanti panggilan itu melihat-lihat pembangunan yang sedang dilakukan secara besar-besaran oleh kaisar. Tiada kunjung habis keheranan dan kekaguman mereka berdua akan kehebatan pembangunan itu dan mereka makin bersemangat untuk mencari kedudukan menghambakan diri kepada kaisar yang luar biasa ini.
Karena Bhe Cui Im dan Siauw Lek mendaftarkan nama mereka tanpa julukan, para petugas memandang rendah, akan tetapi ketika mereka menyebut tentang kitab Thai-yang-cin-keng, terkejutlah semua pegawai kaisar dan cepat-cepat mereka melaporkannya kepada kaisar. Kaisar Yung Lo terkejut juga dan merasa girang sekali. Tentu saja dia sudah mengenal nama kitab Thai-yang-cin-keng ini, karena sejak dahulu dia mencari-cari kitab ini. Thai-yang-cin-keng (Kitab Ilmu Barisan Matahari) adalah kitab pusaka ciptaan Raja Besar Jenghis Khan, berisi ilmu dan siasat mengatur barisan. Mengingat akan hasil yang gilang-gemilang dari bangsa Mongol di bawah bimbingan Jenghis Khan dahulu dapat dibayangkan betapa pentingnya isi kitab ini bagi Kaisar Yung Lo yang berjiwa perajurit.
Episode 218 "Panggil mereka dan biar mereka diuji oleh pengawal nomor satu! Kami akan menyaksikan sendiri ujian ini!" berkata kaisar dan sibuklah para pengawal mengatur untuk melaksanakan perintah ini. Dahulu memang kaisar sendiri sering menonton ujian kelihaian para calon pengawal, akan tetapi karena jarang sekali ada yang lulus, akhir-akhir ini kaisar jarang menonton. Hanya kalau ada calon yang namanya sudah terkenal, baru kaisar berkenan menonton karena memang menjadi sebuah di antara kesukaan Kaisar Yung Lo untuk menonton pertandingan silat, apalagi dia sendiri adalah seorang ahli silat yang lihai. Kalau sekarang kaisar berkenan ingin menyaksikan sendiri ujian yang akan dilakukan terhadap Cui Im dan Siauw Lek, hal ini adalah karena kaisar amat tertarik mendengar bahwa wanita muda yang bernama Bhe Cui Im hendak mempersembahkan Thai-yang-cin-keng!
Ketika Cui Im dan Siauw Lek memenuhi panggilan menghadap ke istana, mereka memasuki halaman istana dengan sikap yang biasa saja, tidak kelihatan tegang sama sekali sehingga makin mengagumkan hati para pengawal yang menyambut mereka di pintu gerbang pertama.
Bhe Cui Im mengenakan pakaian berwarna merah muda yang ringkas dan ketat sehingga bentuk tubuhnya tampak membayang nyata, rambutnya digulung ke atas dan diikat pita dengan erat, pinggangnya yang ramping memakai ikat pinggang sutera kuning yang panjang sampai ke depan jari kaki, pedangnya tergantung di punggung,dan dekat pedang itu tampak sebuah buntalan sutera kuning yang berisi kitab dan menempel di punggung.
Siauw Lek berpakaian gagah, pakaian seorang jago silat yang ringkas, kedua pergelangan tangannya dipasangi kulit hitam pelindung pergelangan, rambut kepalanya tertutup kain pengikat kepala yang dihias bunga teratai emas, pedangnya tergantung di pimggang sebelah kiri, langkahnya tegap, dadanya bidang membusung ke depan, matanya berkilat dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir.
Cui Im dan Siauw Lek diantarkan masuk ke ruangan sebelah samping kiri dan di sepanjang jalan memasuki ruangan itu, mereka berdua melihat barisan pengawal berdiri menjaga di kanan kiri. Para pengawal yang menjaga sebelah dalam istana ini merupakan pengawal-pengawal tingkat dua dan sikap mereka angker, dengan pandang mata penuh kewaspadaan menjaga segala kemungkinan untuk menjamin keamanan dalam istana. Akan tetapi Cui Im dan Siauw Lek berjalan dengan sikap tenang, mengikuti petunjuk jalan yang kini berganti rombongan, yaitu rombongan pengawal dalam yang mengoper tugas dari pengawal luar yang tadi mengantar kedua orang itu. Rombongan pengawal dalam yang berjumlah enam orang ini terus membawa Cui Im dan Siauw Lek memasuki ruangan yang disediakan untuk menguji para calon pengawal tingkat satu atau pengawal pribadi kaisar.
Ruangan itu amat luas dan ketika mereka memasuki ruangan itu, di situ kosong tidak tampak seorang pun manusia, kecuali beberapa orang pengawal dalam yang menjaga di setiap sudut dengan tombak di tangan seperti arca batu. Akan tetapi, enam orang pengawal yang mengantar Cui Im dan Siauw Lek menjatuhkan diri berlutut menghadapi sebuah tirai yang berada di sebelah dalam.
Dari tempat itu dapat dilihat samar-samar bahwa di belakang tirai terdapat sebuah meja besar dan beberapa buah kursi. Akan tetapi di situ pun kosong.
"Harap Ji-wi suka berlutut untuk menghormat Sri Baginda Kaisar," bisik seorang di antara para pengawal kepada Cui Im dan Siauw Lek. Tempat itu mendatangkan suasana angker dan penuh wibawa, maka mendengar bisikan ini Siauw Lek dan Cui Im menjatuhkan diri berlutut di samping enam orang pengawal itu menghadap ke arah tirai.
"Riiiiittt!" Tiba-tiba tirai itu terkuak ke kanan kiri sehingga tampaklah meja dan beberapa kursi di balik tirai, juga kini tempat itu menjadi terang sekali, agaknya ada bagian-bagian rahasia yang dibuka sehingga sinar matahari masuk memenuhi ruangan. Bagaikan setan-setan saja, tahu-tahu di kanan kiri meja itu sudah berdiri lima orang yang berpakaian pengawal, bertopi yang dihias bulu burung sebagai tanda bahwa mereka adalah anggota Gi-lim-kun, pasukan pengawal pribadi kaisar! Rata-rata mereka sudah berusia lima puluh tahun lebih, ada yang gemuk ada yang kurus, ada yang tinggi ada yang pendek sehingga mereka itu tidaklah kelihatan gagah perkasa seperti para pengawal istana dalam atau pengawal istana luar. Akan tetapi bagi pandang mata Cui Im dan Siauw Lek, mereka dapat melihat jelas bahwa lima orang anggota Gi-lim-kun itu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Tiba-tiba terdengar aba-aba yang tidak jelas dari sebelah dalam, pintu terbuka dari dalam dan muncullah kaisar dikawal oleh tujuh orang anggota Gi-lim-kun. Kaisar Yung Lo berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya angker sekali. Sepasang alisnya yang tebal itu merupakan garis yang ujungnya naik ke atas, demikian pula sepasang matanya yang tajam dan membayangkan kemauan keras. Hidungnya besar dan mulutnya yang juga membayangkan kekerasan hati terhias kumis yang dipotong pendek. Akan tetapi jenggotnya gemuk dan panjang sekali.
Wajah seorang gagah perkasa, seperti wajah pahlawan besar Kwan Kong! Akan tetapi pada saat itu kaisar tersenyum dan matanya memandang ramah ke arah kedua orang yang berlutut di atas lantai bersama enam orang pengawal.
"Kedua calon telah menghadap Paduka, Sri Baginda Kaisar yang mulia!" Seorang di antara pemgawal dalam berkata, suaranya nyaring memecah kesunyian ruangan itu. Kaisar memberi tanda dengan tangannya dan seorang di antara pengawal pribadi, yang tua berabut putih bertubuh tinggi kurus, berkata kepada para pengawal dalam,
"Para pengawal dalam boleh mundur!" Enam orang pengawal itu meberi hormat, lalu bangkit dan mengundurkan diri, kembali ke pos mereka yang tadi. Pengawal berambut putih itu berkata lagi, kini ditujukan kepada Cui Im dan Siauw Lek,
"Kedua orang gagah diperkenankan bangkit berdiri oleh Sri Baginda Kaisar!"
Tempat, suasana, dan suara pengawal itu mendatangkan wibawa, dan Cui Im dan Siauw Lek segera memberi hormat sambil berlutut, kemudian bangkit berdiri menghadap ke arah kaisar. Betapapun lihai mereka ini, merupakan petualang-petualang yang tak pernah mengenal takut, akan tetapi wibawa yang keluar dari pribadi kaisar dan suasana tempat itu membuat denyut jantung mereka mengencang.
Episode 219 Kini mereka berdua dapat memandang jelas, mereka tidak berani memandang wajah kaisar secara langsung, akan tetapi diam-diam mereka memperhatikan dua belas orang pengawal kaisar itu. Ternyata tidak seorang pun di antara pengawal kedua orang ini memandang rendah, akan tetapi di hadapan kaisar yang mempunyai wibawa demikian hebat, tentu saja mereka berdua tidak berani banyak tingkah.
Setelah kaisar memandang wajah kedua orang itu, sebagai seorang yang bijaksana dan waspada, hati kaisar agak kecewa.
Ia melihat sifat-sifat tidak baik pada diri kedua orang itu, akan tetapi juga dapat menangkap kelihaian yang terbayang pada tubuh dan wajah mereka. Dia memerlukan tenaga mereka, dan soal sifat baik dan tidak baik, kekuasaanya akan dapat menundukkan mereka. Kuda-kuda yang liar memang berbahaya, akan tetapi sekali dapat menundukkan mereka, akan menjadi alat yang amat berguna karena tenaga mereka yang boleh diandalkan, demikian pikir kaisar yang cerdik ini.
"Siapakah di antara kalian berdua yang kabarnya hendak mempersembahkan kitab Thai-yang-cin-keng kepada kami?" Kaisar bertanya, suaranya halus, akan tetapi memiliki dasar wibawa yang menggetarkan hati pendengarnya.
"Hamba Bhe Cui Im yang membawa persembahan itu untuk Paduka Sri Baginda," jawab Cui Im dengan muka tunduk.
Kaisar memandang tajam, tersenyum dan hatinya tidak percaya, akan tetapi ia berkata."Wanita muda yang gagah, siapakah julukanmu di dunia kang-ouw?"
Biasanya, kalau ada orang menanyakan nama julukannya, Cui Im tentu akan memberi tahu dengan ahti besar dan bangga, akan tetapi sekali ini, ditanya oleh kaisar sendiri, hatinya menjadi berdebar, dan suaranya tidak garang ketika menjawab, "Hamba.... hamba.... disebut Ang-kiam Bu-tek!"
"Pedang Merah Tanpa Tanding! Hemm, tentu ilmu pedangmu hebat sekali. Bhe Cui Im, engkau berani menyebut kitab yang hendak kau persembahkan itu sebagai Thai-yang-cin-keng. Sudah yakin benarkah bahwa kitab itu tidak palsu?"
"Hamba bukan seorang ahli barisan tentu saja hamba tidak dapat membedakan mana yang palsu dan mana yang tulen. Akan tetapi hamba dapat mendapatkannya dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong."
"Ahhh! Kalau begitu, tentu saja tulen!" Kaisar berseru gembira. Melihat kegembiraan kaisar, Cui Im cepat menurunkan buntalan kitab yang digendong di punggungnya dalam sutera kuning, lalu berlutut dan mengangkat buntalan kitab itu tinggi-tinggi sambil berkata,
"Hamba mempersembahkan kitab ini, mohon Paduka sudi menerima."
"Eh, Ang-kiam Bu-tek, bukankah engkau mengatakan pada para pengawal bahwa engkau akan mempersembahkan kitab itu kalau engkau telah berhasil lulus ujian?"
"Hamba yakin akan lulus," jawab Cui Im, kini dengan suara tegas, karena setelah bercakap-cakap dan mendengar suara kaisar itu ramah, kegentarannya berkurang.
Kaisar tersenyum lebar. "Engkau yakin" Pengawal tingkat mana yang hendak kau pilih?"
"Tingkat pertama, hamba ingin menjadi pengawal pribadi Paduka yang mulia."
"Ha-ha-ha! Engkau terlalu besar hati, Ang-kiam Bu-tek! Untuk menjadi pengawal pribadiku engkau harus mengalahkan pengawal kepala yang paling lihai di antara dua belas orang pengawal pribadiku ini. Dan engkau takkan menang!"
"Mohon ampun, Sri Baginda. Hamba tidak sombong, akan tetapi hamba merasa yakin akan dapat mengalahkan pengawal Paduka yang manapun juga."
"Wah, engkau benar-benar luar biasa. Hendak kulihat apakah kitab persembahanmu itu tidak palsu, kemudian akan kusaksikan apakah kesanggupanmu itu pun bukan hanya kosong belaka! Kaisar memberi isyarat dan seorang di antara pengawalnya, yang berambut putih itu, menuruni tangga, menghampiri Cui Im. Pengawal ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi yang sejak sebelum Kaisar Yung Lo menjadi kaisar telah menjadi pengawal pribadinya. Dia dahulunya adalah seorang tosu perantau yang sudah menjelajah di luar tembok besar daerah utara, mempelajari berbagai ilmu silat dari utara yang dia gabungkan dengan ilmu silat dari selatan. Setelah menjadi pengawal Kaisar Yung Lo yang dahulu masih raja muda, dia melepaskan jubah tosu dan mempergunakan nama sendiri, yaitu Theng Kiu. Ilmu silat Theng Kiu ini tinggi dan sukar dicari bandingnya, akan tetapi karena dia tidak pernah terjun di dunia kang-ouw, melainkan menjadi pengawal setia, maka namanya tidak terkenal di dunia kang-ouw.
Ketika melihat sikap Cui Im yang sama sekali belum dikenalnya dan mendengar ucapan yang begitu yakin, dia menjadi tidak senang dan menganggap bahwa wanita ini sombong sekali. Di antara duabelas orang pengawal pribadi kaisar yang kesemuanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, orang-orang pilihan dari berbagai daerah yang sudah diuji kepandaian dan kesetiannya, dia merupakan orang pertama dan boleh dibilang jago nomor satu kecuali lima orang "pengawal rahasia" kaisar yang diangkat setelah junjungannya menjadi kaisar. Kini ada seorang wanita muda, belum tiga puluh tahun usianya, menyatakan di depan kaisar bahwa wanita ini yakin akan dapat mengalahkan setiap orang pengawal pribadi kaisar. Alangkah sombongnya, dia menjadi penasaran sekali. Ia merasa yakin bahwa dalam satu dua jurus saja dia akan mampu mengalahkan wanita itu! Maka ketika dia menerima isyarat kaisar untuk menerima persembahan kitab ilmu perang itu, dia melangkah maju menghampiri Cui Im yang berlutut kemudian menggerakkan tangan untuk menerima kitab yang terbungkus sutera kuning. Akan tetapi dalam melakukan gerakan ini, dia telah mengerahkan tenaga sinkangnya dengan maksud untuk membikin tergetar tangan Cui Im sehingga wanita itu akan melepaskan kitab jatuh ke lantai. Hal ini akan membuat malu wanita yang bersumbar akan mengalahkan semua pengawal pribadi kaisar.
Episode 220 Tadinya Cui Im akan menyerahkan kitab itu, akan tetapi begitu tangannya tergetar setelah kakek berambut putih itu menyetuh kitab, dia terkejut dan memandang tajam. Dilihatnya pengawal itu tersenyum mengejek, maka tahulah ia bahwa pengawal ini sengaja hendak "menguji" dan membikin malu. Ia menjadi marah dan tanpa diketahui siapapun ia mengerahkan sinkangnya sambil mempererat pegangan jari tangannya pada kitab dalam bungkusan itu.
Kini giliran Theng Kiu yang kaget setengah mati. Tangan wanita itu sama sekali tidak menjadi lumpuh seperti lajimnya orang yang terkena serangan sinkangnya, dan buku itu sama sekali tidak terlepas, bahkan begitu erat terpegang ketika dia mencoba untuk mengambilnya. Kitab dalam bungkusan itu seolah-olah melekat di tangan Cui Im!
Theng Kiu menjadi penasaran. Ia lalu menghimpun seluruh tenaga sinkangnya dan mengerahkan tenaga untuk mengambil kitab itu secara paksa. Namun, tetap saja kitab itu tidak terampas, bergerak sedikit pun tidak! Tadinya dia masih merasa malu untuk memperlihatkan bahwa dia mengerahkan tenaga, akan tetapi begitu mendapat kenyataan betapa kitab itu benar-benar diambil, dia tidak ingat lagi betapa dia telah memasangkan kuda-kuda di depan wanita yang berlutut itu, kedua kakinya terpentang tegak dan mengeluarkan tenaga sehingga lantai yang diijaknya seolah-olah melekat dengan telapak sepatunya, kemudian dia mengerahkan tenaga dan tampak jelas betapa dadanya melembung besar di balik bajunya. Hal ini tidak saja tampak oleh semua pengawal, bahkan kaisar sendiri melihatnya dan kaisar ini yang juga mengerti akan ilmu silat tinggi sampai mendoyong ke depan di atas kursinya untuk menyaksikan adu tenaga yang aat hebat itu. Ia tertarik sekali dan menjadi gembira karena ingin juga dia menyaksikan apakah wanita muda itu sanggup mempertahankan betotan tangan yang demikian kuat dari pengawal nomor satu.
Adu tenaga itu terjadi hanya beberapa detik saja karena Theng Kiu segera maklum bahwa dia benar-benar tidak sanggup merampas kitab itu dari tangan Cui Im. Dengan muka kemerahan dia lalu melepaskan tangannya, dan berdiri seperti orang bingung.
Melihat ini, hampir saja kaisar bangkit dari kurisnya saking herannya. Akan tetapi kaisar ini masih menguasai hatinya dan dia bertanya, "Theng Kiu, bagaimana" Kenapa kau tidak menerima kitab itu?"
Theng Kiu menjadi makin merah wajahnya dan dia menjawab gagap, "Dia... dia tidak mau memberikannya, Sri Baginda...."
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang mata kaisar itu bersinar-sinar. Ia maklum apa yang terjadi diam-diam tadi, maklum atau dapat menduga bahwa pengawalnya itu tentu telah menguji tenaga wanita itu dan ternyata tidak mampu merampas kitab. "Heh, Ang-kiam Bu-tek, mengapa engkau tidak menyerahkan kitab itu kepada pengawalku?"
"Mohon ampun, Sri Baginda. Karena tidak ada perintah dari Sri Baginda bahwa hamba harus menyerahkan kitab kepada orang lain kecuali kepada tangan Sri Baginda sendiri, maka terpaksa hamba tidak memberikannya kepada pengawal ini," jawab Cui Im, dan hati wanita ini lega menyaksikan sinar kegembiraan di wajah kaisar.
Pada saat itu, masuklah pengawal dalam dan berlutut di depan kaisar sabil melaporkan bahwa The-cai-ciangkun (Panglima Besar The) datang mohon menghadap. Mendengar ini, wajah kaisar berseri dan seolah-olah melupakan peristiwa yang dihadapinya, bertepuk tangan gembira dan berkata,
"Suruh dia cepat datang menghadap. Biarpun sekarang bukan saatnya, akan tetapi aku ingin mendengar hasil persiapannya!"
Theng Kiu menjadi lega hatinya karena dia merasa seolah-olah terlepas dari keadaan yang memalukan. Ia lalu melangkah kembali ke tempatnya, yaitu di antara sebelas orang rekannya yang berdiri menjaga di kanan kiri Cui Im dan Siauw Lek masih berlutut di situ dan mereka berdua pun tidak berani mengeluarkan suara atau bergerak sebelum di tanya, bahkan Cui Im masih memegangi bungkusan sutera kuning yang berisi kitab.
Tak lama kemudian, masuklah dalam ruangan itu dua orang laki-laki berpakaian pembesar tinggi berpakaian sederhana berusia kurang lebih empat puluh tahun yang kelihatannya seperti orang mengantuk.
Ketika Cui Im melirik ke arah dua orang pembesar itu, diam-diam ia terkejut melihat sinar mata kedua orang pembesar itu demikian terang dan tajam seperti mata harimau di tempat gelap.
Kaisar sendiri menyambut dua orang pembesar itu, akan tetapi jelas bahwa kaisar amat menghormati pembesar yang bertubuh tinggi, yang usianya sudah lebih tua dari kaisar, sedangkan pembesar kedua yang pendek tubuhnya dan memakai topi bundar (peci) dan berpakaian putih pula, membungkuk-bungkuk dengan sikap tenang kepada kaisar, kemudian mereka berdua berlutut menyembah.
"The-ciangkun, bangkitlah dan duduklah. Kebetulan sekali Ciangkun datang, kami sedang melakukan ujian atas diri dua orang calon pengawal yang amat menarik hati. Biarlah urusan kita itu kita bicarakan nanti setelah menguji calon pengawal ini. Dan inikah.. pembantumu yang sebut dahulu itu?"
"Benar demikian, Sri Baginda yang mulia," jawab pembesar yang bertubuh tinggi dengan suaranya yang tenang dan dalam.
"Hamba adalah Ma Huan, berasal dari Sin-kiang dan hamba bersiap sedia untuk membantu The-ciangkun sahabat hamba sejak dahulu untuk melaksanakan tugas memenuhi perintah Sri Baginda."
"Bagus, bagus, duduklah kalian di sisiku sini, " kata kaisar. Pembesar itu adalah seorang panglima laksamana yaitu panglima yang menguasai armada yang dibentuk oleh Kerajaan Beng, bernama The Ho (tokoh ini amat terkenal, yaitu utusan Kerajaan Beng yang berlayar sampai ke Indonesia). Adapun pembesar kedua, Ma Huan, juga amat terkenal karena dia adalah seorang berilmu yang beragama Islam dan karena raja-raja kecil di seberang lautan selatan sebagian besar beragama Islam, maka Panglima The Ho mengajak Ma Huan dalam pelayarannya (ada tersebut dalam dongeng tradisionil bahwa Ma Huan ini dikeral sebagai Dampoawang yang peninggalannya banyak terdapat di Pulau Jawa, di antaranya di Gedong Batu Sampokong di Semarang).
Episode 221 Dua orang pembesar itu duduk di atas kursi di sebelah kiri kaisar, sedangkan laki-laki berpakaian sederhana yang seperti orang mengantuk itu lalu berdiri di belakang The-ciangkun, sikapnya acuh tak acuh.
"Kebetulan sekali engkau datang, The-ciangkun. Lihat dua orang muda itu. Bagaimana pendapat Ciangkun atas diri mereka?"
The Ho menatap tajam wajah Cui Im dan Siauw Lek. Ketika Cui Im mengerling dan bertemu pandang dengan pembesar itu, ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ternyata pembesar ini memiliki wibawa yang tidak kalah hebat oleh kaisar sendiri! Ketika ia melirik ke arah Ma Huan, ia lebih bergidik lagi. Sinar mata yang amat tenang dan sabar dari kakek berkopiah putih itu seolah-olah menembus jantungnya!
"Hemmm, mengingatkan hamba akan buah yang matang kepanasan, masak kulitnya mentah isinya, Sri Baginda." Jawab The Ho yang tenang ini membuat jantung Cui Im dan Siauw Lek berdebar tegang. Apakah hanya dengan sekali pandang saja panglima besar itu sudah mengenal keadaan hati mereka" Mereka menjadi gentar dan berjanji dalam hati untuk berhati-hati dan tidak sembrono menghadapi kaisar yang selain berwibawa juga memiliki banyak orang sakti itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha, wawasanmu terlalu mendalam, The-ciangkun. Akan tetapi bagaimana kalau mereka menjadi pengawal" Yang kita pentingkan adalah kegunaan mereka sebagai pengawal, bukan?"
"Tergantung dari tingkat kepandaian mereka , Sri Baginda."
"Justeru itulah saat ini kami sedang mengujinya. Tahukah engkau, panglimaku yang bijaksana, bahwa dia selain datang untuk melamar, juga wanita lihai yang berjuluk Ang-kiam Bu-tek ini mempersembahkan sebuah kitab Thai-yang-cin-keng kepadaku?" The Ho tampak kaget dan tercengang mengerutkan keningnya. "Kalau betul demikian, jasanya tidak kecil."
"Sayangnya, pengawalku tidak mampu mengambil kitab itu dari tangannya kata pula Sri Baginda sambil tersenyum.
"Benarkah" Sri Baginda, bolehkah hamba menyuruh pembantu hamba Tio Hok Gwan untuk mengambilkan kitab itu dari tangannya?"
"Ha-ha-ha, ini pengawal dan muridmu yang dahulu berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati)" Bagus, cobalah!"
The Ho menoleh ke arah pengawalnya dan mengangguk. Tio Hok Gwan dengan sikap hormat memberi penghormatan kepada kaisar dan kedua orang pembesar, lalu menghampiri Cui Im dengan malas-malasan. Cui Im maklum bahwa ia hendak diuji lagi, dan dia bingung harus bersikap bagaimana. Akan tetapi dia sudah kepalang tanggung memperlihatkan kelihaiannya, kalau kini ia menyerah begitu saja, bukankah hal ini amat mengecewakan sebagai seorang gagah" Tadi dia tidak mengalah terhadap pengawal kepala, masa sekarang terhadap orang pengantuk ini dia harus mengalah. Ketika ia melihat si pengantuk itu mengulur tangan, ia terkejut bukan main karena mendengar suara berkerotokan yang keluar dari lengan kurus itu dan angin pukulan yang menyambar ke arah lengannya bukan main kuatnya. Ia tadi mendengar kaisar menyebut si pengantuk ini Setan Bertenaga Selaksa Kati, maka ia dapat menduga bahwa si pengantuk yang malas ini tentu meiliki tenaga dahsyat. Dia sendiri mengandalkan kelihaiannya pada ilmu-ilmu silatnya yang tinggi, terutama ilmu pedangnya sedangkan dalam hal sinkang, dia belumlah terlalu mempercayai dirinya sendiri. Akan tetapi karena ia diuji dalam tenaga, tentu saja ia tidak bisa berbuat lain kecuali mengerahkan sinkangnya dan seperti tadi ia memegang kitab terbungkus sutera kuning itu dengan erat-erat.
Biarpun Tio Hok Gwan diam-diam kagum menyaksikan betapa wanita itu tidak melepaskan kitab setelah disambar hawa dari tanganya, namun pada wajahnya yang aras-arasen (malas-malasan) tidak tampak perasaan hatinya. Ia melanjutkan gerakan tangannya dan memegang sebagian kitab yang terbungkus sutera kuning, kemudian mengerahkan tenaga membetot.
Ia hanya mengerahkan sebagian tenaganya, karena mengira bahwa sekuat-kuatnya, wanita ini tidak akan mampu bertahan. Akan tetapi dugaannya meleset karena kitab itu tidak terlepas dari tangan Cui Im! Biarpun wanita ini merasa betapa tenaga raksasa membetot kitab sehingga seolah-olah seluruh tubuhnya ikut terbetot, namun dia mengerahkan sinkang dan mempertahankan diri.
Kaisar, The Ho, dan Ma Huan menonton pertunjukkan itu dengan penuh perhatian. Kaisar memandang dengan wajah berseri, The Ho dengan tenang mengelus jenggotnya, dan Ma Huan tersenyum-senyum seperti menyaksikan permainan dua orang anak nakal. Kemudian Tio Hok Gwan menggerakkan sedikit pundak kanannya dan ternyata tenaga bertambah hebat. Cui Im penasaran dan tetap mempertahankan.
"Brettt....!" Kain sutera kuning pembungkus kitab hancur lebur tergencet getaran dua tenaga sakti dan Cui Im hampir tidak kuat bertahan lagi, mukanya agak pucat dan napasnya terengah-engah.
"Jangan merusakkan kitab....!" Cui Im berseru dan Tio Hok Gwan melepaskan tangannya sambil menoleh ke arah kaisar, seolah-olah hendak minta nasihat.
Cui Im yang cerdik dapat mempertahankan kitab, namun kaisar dan dua orang pembesarnya sudah maklum akan kehebatan tenaga Tio Hok Gwan, maklum pula akan kecerdikan Cui Im, maka kaisar berkata,"Bhe Cui Im, kami perintahkan kepadamu untuk menyerahkan kitab kepada Tio Hok Gwan."
"Dengan segala kerendahan dan kesenangan hati, Sri Baginda yang mulia !" kata Cui Im dan ia tersenyum dan mengedipkan mata mengejek Tio Hok Gwan yang menerima kitab itu. Senyum dan kedipan matanya seolah-olah mengatakan bahwa betapapun juga, si pengantuk itu tidak berhasil merampas kitabnya. Akan tetapi yang diejek tetap aras-arasen, menerima kitab dan mempersembahkan kitab itu kepada kaisar.
Episode 222 Mereka bertiga kaisar, The Ho dan Ma Huan, memeriksa kitab itu dan ketiganya menjadi kagum karena mengenal kitab itu benar-benar adalah peninggalan Jenghis Khan berisi taktik-taktik ilmu perang yang amat penting.
"Engkau perlu mempelajarinya sebelum ke selatan, The-ciangkun," kata kaisar sambil menyerahkan kitab kepada The Ho. The Ho menerima dan menyerahkannya kepada Tio Hok Gwan untuk disimpan. Pengawal lihai yang suka mengantuk ini menyimpan kitab penting itu ke dalam saku bajunya sebelah dalam, kemudian berdiri di tempatnya sambil mengantuk!
"Theng Kiu, kami memerintahkan agar engkau suka menguji Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, bangkitlah dan lawanlah Theng Kiu, perlihatkan ilmu pedang agar kami dapat menilai apakah patut engkau menjadi pengawal pribadi!"
Theng Kiu memberi hormat, juga Bhe Cui Im. Adapun Siauw Lek lalu mengundurkan diri, berdiri di pinggiran sambil memandang penuh perhatian. Cui Im sudah bangkit berdiri, demikian pula Theng Kiu sudah meloncat ke depan wanita itu, di dalam hatinya ingin dia menebus kekalahannya ketika mengadu tenaga memperebutkan kitab tadi. Ketika Cui Im menggerakkan tangan, tampak sinar merah berkelebat dan dia telah mencabut pedangnya. Juga Theng Kiu sudah mencabut senjatanya yang ternyata adalah sebatang ruyung berduri yang berwarna kuning seperti emas.
"Mohon ampun, Sri Baginda" kata Theng Kiu sambil memberi hormat kepada junjungannya.
"Wanita ini lihai dan dalam pertandingan senjata, hamba khawatir kalau-kalau ada fihak yang terluka atau tewas oleh senjata. Bagaimana kalau sampai hamba terlanjur menewaskannya?"
Kaisar menganguk-angguk. "Dalam pertandingan mengadu silat, terluka atau mati bukanlah hal yang aneh."
Akan tetapi Cui Im berkata kepada kaisar sambil menyoja dengan kedua tangannya, "Mohon ampun, Sri Baginda. Seorang yang benar-benar ahli dalam menggunakan senjata, akan dapat mengalahkan lawan tanpa membunuhnya, bahkan tanpa melukainya. Setiap detik senjata masih dapat ditarik kembali sebelum terlanjur."
The Ho mengelus jenggotnya dan berkata perlahan,"Omongan yang hanya dikeluarkan seorang yang benar-benar ahli. Wanita ini sombong, akan tetapi ucapannya memang benar, Sri Baginda."
"Mulailah!" Kaisar menggerakkan tangan ke atas dan semua mata memandang ke arah dua orang yang sudah siap itu.
"Lihat serangan!" Theng Kiu membentak dan ruyungnya menyambar, menjadi sinar keemasan menghantam ke arah kepala Cui Im. Wanita ini melihat bahwa gerakan lawannya cukup kuat dan cepat baginya. Ia merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sehingga ia tahu bahwa ruyung itu akan melewati atas kepalanya dan langsung ia membalas dengan gerakan pedangnya menyerampang kaki lawan. Cepat sekali gerakannya itu, hampir bersamaan dengan serangan Theng Kiu seningga pengawal kepala ini terkejut dan cepat meloncat sabil miringkan tubuh dan dia pun meniru lawan untuk bergerak cepat, ruyungnya yang melewati kepala tadi dia balikkan menimpa pundak Cui Im tidak membiarkan tulang pundaknya diremukkan ruyung, ia miringkan tubuh sambil meloncat ke atas dan otomatis pedangnya yang luput menyerapang kaki tadi sudah membentuk lingkaran ke atas dan menukik dengan tusukan ke arah mata Theng Kiu! Akan tetapi Theng Kiu sudah memutar pergelangan tangannya, ruyungnya menangkis keras.
"Tranggggg...!" Bunga api berhamburan dan secepat kilat Cui Im yang sudah ke bawah itu menusukkan pedangnya ke arah perut lawan. Kembali menghadapi serangan yang cepat ini tidak ada lain jalan bagi Theng Kiu kecuali menggerakkan ruyung dari samping menangkis keras.
"Cringgggg....!"
Kini Theng Kiu sambil menangkis, membarengi dengan pukulan tangan kiri ke arah dada Cui Im dari samping.Begitu kedua mendekati sasaran. Namun Cui I mengelak ke kanan dan mengayun kakinya menendang lutut lawan. Kalau saja Theng Kiu tidak cepat mengelak sambil memutar ruyungnya melindungi tubuh, tentu lututnya patah atau lehernya terbabat pedang karena sambil menendang tadi pedang Cui Im sudah menyambar ke leher. Kebali kedua senjata bertemu keras.
"Tranggggg...!" Theng Kiu menghantam ruyung dari bawah ke arah pinggang, ditangkis Cui Im. "Cringggg!" Dan tiba-tiba tampak sinar merah bergulung-gulung ketika Cui Im membalas dengan serangan bertubi-tubi. Cepat bukan main gerakan pedang wanita ini sehingga tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedangnya yang merah. Theng Kiu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga mengimbangi kecepatan lawan, namun tetap saja dia kalah cepat sehingg di antara dua gulung sinar pedang erah dan sinar ruyung keeasan yang membungkus tubuh kedua orang itu, terdengar suara "crang-cring-crang-cring!" nyaring berkali-kali dan kesemuanya merupakan pedang yang menyerang dan ruyungnya yang terus menerus menangkis karena tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang!
Semua orang yang menonton termasuk kaisar sendiri, menahan napas, kecuali The Ho yang mengelus-elus jenggot, Ma Huan yang tersenyum-senyum dan Tio Hok Gwan yang makin mengantuk sungguhpun kedua mata yang mengantuk ini tak pernah berkedip menonton pertandingan. Pertandingan itu amat seru dan menegangkan, berlangsung dengan kecepatan yang memusingkan para penonton yang masih belum setinggi itu tingkatnya.
Cui Im memang seorang ahli pedang yang lihai. Dahulu pun, ketika ia masih menjadi murid Lam-hai Sin-ni dan berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah), ilmu pedangnya sudah hebat dan jarang ada yang mampu menandinginya
Sekarang, setelah ia mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan mujijat dari peninggalan Sin-jiu Kiam-ong selama empat tahun, kepandaiannya sudah meningkat luar biasa. Ilmu pedangnya kini amat hebat, merupakan gabungan dari ilmu pedangnya sendiri yang ia pelajari dari Lam-hai Sin-ni disempurnakan dengan ilmu pedang yang ia pelajari dari kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang inti sarinya merupakan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam dan yang hanya diiliki atau diwarisi oleh Keng Hong karena Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam ini dirahasiakan oleh Sin-jiu Kiam-ong dan hanya Keng Hong yang telah menerima ajaran gurunya. Namun ilmu pedang ciptaan Sin-jiu Kiam-ong itu benar-benar mencakup semua inti dari ilmu pedang Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, Kong-thong-pai dan Siauw-li-pai menjadi satu. Di masa mudanya, Sin-jiu Kiam-ong yang mencuri ilmu-ilmu dari partai-partai besar telah memetik bagian-bagian yang terlihat kemudian menggabungkannya sehingga kini ilmu pedang yang dimainkan oleh Cui Im benar-benar luar biasa sekali. Di lain fihak, ilmu silat Theng Kiu adalah ilmu silat gabungan dari utara dan selatan, dan juga dia memiliki jurus-jurus gabungan yang aneh, akan tetapi dibandingkan dengan Cui Im, tingkat ilmu silatnya kalah tinggi. Selain itu, karena Cui Im sudah mempelajari cara bersamadhi dan menghimpun tenaga dari kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, terutama sekali dari kitab kedua Siauw-lim-pai Seng-to-cin-keng dan I-kiong-hoat-hiat, maka dia telah memiliki sinkang yang amat kuat, lebih kuat daripada tenaga sinkang Theng Kiu sehingga wanita ini menang tenaga dan menang cepat.
Episode 223 Sinar pedang merah yang bergulung-gulung itu makin lama makin membesar dan lingkaran-lingkarannya makin luas, menggulung sinar emas dari ruyung di tangan Theng Kiu.
"Bagaimana pendapatmu, The-ciang-kun?" Kaisar bertanya kepada Laksamana The Ho yang memandang dengan kagum.
Pendekar Sakti 2 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama