Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Bagian 7
kenekatan kalau ia ingin menyingkir dari bahaya....
Lantas In Yu Liang pasang kuda-kudanya, ia tidak mau
banyak omong lagi, karena ia sudah merasai bagaimana
lidahnya si pengemis tua ada sangat berbisa, sesuatu
ucapannya melulu membangkitkan kemen-dongkolan
atau hawa amarahnya, sedang ia tahu, dengan berhati
panas, ia tak akan bisa berkelahi dengan betul. Ia telah
kasih lihat sifat atau wujud dari Patkwa Kie-bun-kiam. Ia
lompat maju dengan satu tusukan pada mukanya si
pengemis tua, tipu silat yang ia gunakan ada "Dewi
menenun." "Sungguh liehay!" Ang Tiu berseru apabila ia lihat
serangan itu. Di lain pihak, dengan tombaknya datang
dari bawah, dengan kaki kanannya maju ke samping
kanan, dengan tipu Gioktay wieyauw atau "Angkin
kumala melibat pinggang", ia balas serang iga kanan
orang. Melihat serangannya gagal dan senjata musuh
menyambar, In Yu Liang putar tubuhnya ke kiri, sebab ia
terputar terus waktu ia berbalik pula menghadapi lawan,
pedangnya diteruskan dipakai membabat tombak pendek
yang mengarah iganya.
Begitu lekas dapat kenyataan serangannya tak
membawa hasil, begitu lekas juga Ang Tiu telah tarik
pulang tombaknya, saking kagetnya tarikannya, gelang
kuningan yang mengalungi tombak itu, telah
menerbitkan suara nyaring.
In Yu Liang tidak mau mengerti, ia maju lagi, menusuk
muka orang. Ia merangsek dengan luar biasa senatnya.
Sekarang Ang Tiu pegang tombaknya dengan dua-dua
tangannya dengan geser kaki kiri, ia mundur sedikit,
akan bikin ujung senjata musuh tidak mengenai
mukanya, tetapi berbareng dengan itu, ia gunai
tombaknya, akan bentur pedang orang.
Satu bentrokan tak dapat dicegah lagi, suara nyaring
segera terdengar, lelatu api muncrat ke empat penjuru,
ke atas dan ke bawah.
Setelah itu, kedua pihak lantas periksa masing-masing
senjatanya, akan lihat rusak, atau tidak. Tetapi si
pengemis tua berlaku cepat luar biasa, begitu dapatkan
tombaknya selamat, senjata itu dipakai kemplang kepala
orang. Itcie Sinkang mesti berlaku awas dan gesit. Lagi sekali
ia menangkis, akan tolong dirinya, hingga lagi sekali,
kedua senjata beradu dan meletik lelatu api seperti
yanhwee di antara suaranya yang keras dan nyaring. Dan
sekarang In Yu Liang, yang perlihatkan kepandaiannya,
karena dengan satu rangsekan, ia terus menikam iga
kanan orang. "Bagus!" berseru Ang Tiu, yang iganya dicari ujung
pedang. Ia loncat ke kiri, agar iganya terlolos dari
bahaya, sembari loncat, tombaknya dari atas dibarengi
turun ke bawah akan hajar lengan kanan orang yang
memegang pedang itu. Karena ia tidak loncat, mereka
tetap ada berdekatan satu pada lain.
Lekas luar biasa, In Yu Liang berkelit seraya tarik
pulang pedangnya, tetapi karena tombaknya Ang Tiu pun
tidak kurang gesitnya, sekarang adalah ujung pedang
yang kena kebentrok ujung tombak.
Si Jeriji Liehay benar lihay agar ujung pedangnya tidak
terganggu. Ia lekas-lekas bertindak ke kanan seraya tarik
nyimpang pedangnya, hingga sekarang, dengan mendek
sedikit, ia bisa geraki tangannya, terus membabat ke
bawah, pada kedua kaki musuh. Ia telah gunakan tipu
"Angin taufan meniup daun rontok."
Bahaya itu ada hebat, untuk selamatkan diri, Ang Tiu
menjejak tanah, loncat mencelat sampai tingginya
setombak lebih, lalu sembari turun, ia gunakan
tombaknya akan balas menyerang musuh. Ia mempunyai
ketika yang bagus untuk serangannya ini, dan telah
gunakan tipu pukulan Tianghong koanjit atau "Bianglala
melintangkan langit."
Sekarang ini adalah In Yu Liang yang terancam
bahaya, bukan saja karena mereka berada dekat satu
pada lain, ia pun lagi mendek dan pedangnya baru saja
menyambar tempat kosong. Terpaksa ia kelit seraya
menangkis senjata musuh.
Buat kesekian kalinya, kedua senjata telah beradu.
Coa-kut-chio telah kena terbacok tengah-tengahnya,
tetapi waktu dipakai menindih terus, senjata ini merosot
turun ke jurusan gagang pedang, menyambar pada
runce pedang, hingga runce itu melibat.
"Lepaskan tanganmu!" berseru si pengemis tua, yang
tarik tombaknya dengan keras seraya ia bertindak ke
kanan, guna kumpul tenaganya.
In Yu Liang terperanjat, untuk bisa loloskan libatan itu,
ia lonjorkan tangannya, dengan begitu tarikan musuh
jadi tidak terlalu keras. Tetapi Ang Tiu pun liehay, ia bisa
menduga siasat musuh, maka ia pun tidak mau
dipedayakan. Ia menggeser ke kanan, ia mendahului
melepaskan kedua senjata, dengan begitu, ia bisa
mendahului akan menerjang lagi, ke jurusan batang
leher. Lekas-lekas In Yu Liang mendek, hingga ujung tombak
tidak mengenai sasarannya. Sesudah ini, ia mundur
setindak, ke samping kanan, lebih banyak ke belakang,
kemudian sambil angkat tubuhnya, ia menyambar pula
kaki kanan orang, untuk bikin musuh berkaki sebelah!
Melihat itu serangan, Ang Tiu lekas-lekas angkat kaki
kanannya, yang ia bawa mutar ke kiri, dari sini,
tangannya turut mutar juga, dan bersama tangan,
tombak istimewanya, yang menjuju kepala lawan. Dan
kapan In Yu Liang bisa menyingkir dari tombak itu
dengan berkelit, si pengemis tua tarik pulang tombaknya
sekalian dipakai menyambar pinggang.
Melulu dengan loncat ke kanan, enam atau tuju kaki
jauhnya, In Yu Liang bisa menyingkir dari serangan itu
beruntun dua kali, kempolannya kebentur sedikit tetapi
tidak sampai terluka. Tetapi Ang Tiu tidak mau berhenti
dengan begitu saja, dengan kegesitannya, ia lagi-lagi
mendahului menyerang terus. Ini ada runtunan yang
ketiga. Bukan main repotnya Itcie Sin-kang, ia ibuk dan
mendongkol dengan berbareng. Ia mau berlaku nekat,
siapa tahu, ia kalah desak. Ia pun bingung, karena ia
tahu, sekarang ia tak punya kesempatan akan berkelit.
Tapi untuk tolong diri, ia paksa tancapkan pedangnya ke
tanah, dengan kedua kakinya ia angkat, akan lompat ke
kiri. Hanya, karena ia bikin tangkisan atau jagaan secara
demikian, ia tidak bisa cegah yang tombak musuh
kembali mengenai pedangnya, yang kena ke-bangkol.
Mau atau tidak, In Yu Liang terpaksa putar tubuhnya
akan hadapi lawannya
"Pengemis tua, Coa-kut-chio-mu benar-benar liehay,"
ia akui, "aku ln Yu Liang menyerah kalah, hanya urusan
dari Bancie sanchung...."
Ia belum mengucap habis, ketika Pian Siu Hoo dengan
mencelatkan diri telah loncat, akan cabut pedang yang
masih menancap di tanah, seraya berkata, "In loosu,
menang atau kalah dalam pertempuran, ada perkara
biasa! Sekarang jangan kau banyak bicara dahulu!
Pertempuran di Haytong-kok ini belum sampai di
akhirnya, semua-semua ada jadi tanggung jawab dari
aku, si orang she Pian! Loosu, silakan kau beristirahat
dulu!...."
Tindakannya Pian Siu Hoo ini ada satu pertolongan
bagi In Yu Liang. Ia sebenarnya mau mengaku kalah dan
bersedia akan berpura-pura pergi ke kampung si
pengemis, akan betuli pelita pusaka, di sana secara
nekat, ia hendak menyerang pula secara mati-matian.
Tapi pikiran itu ia batalkan.
"Kalau begitu, Pian pangcu, baiklah, aku akan turut
perkataan kau," ia kata. Ia sambuti pedangnya dan
lantas undurkan diri.
Ang Tiu jadi mendongkol yang Pian Siu Hoo rintangi
pertempurannya secara demikian macam, ia merasa
sangat tidak puas.
"Pian pangcu, kau ada terlalu takabur!" ia kata pada
ketua dari Kangsan-pang. "Kau cuma ada kepala dari
salah satu rombongan nelayan di Hucun-kang,
bagaimana di sini kau berani tanggung segala apa" Apa
kau anggap satu jiwamu ada cukup menjadi
tanggungan" Bukannya aku si orang she Ang tidak
memandang mata padamu, tetapi aku anggap, kau tidak
pantas buat jadi si penanggung jawab. Kalau kau anggap
urusannya si orang she In ada dalam tanggung jawab
kau, aku minta kau jangan tunggu beresnya urusan di
Haytong-kok ini, mari kau ajak si orang she In itu ke
dalam kampungku, guna ia perbaiki kekeliruannya!
Tentang urusan di sini, kau jangan kuatir, semua loosuhu
tentulah akan memikul pertanggungan, sedang
yang pergi cuma kita semua pengemis.... Kau percaya
aku, asal In Yu Liang perbaiki kesalahannya, segala apa
bisa dibereskan dengan damai."
Pian Siu Hoo gusar mendengar ucapan keras itu.
"Pengemis tua, kau terlalu menghina!" ia menegur
dengan nyaring. "Apakah Bancie sanchung ada laksana
kedung naga dan gua harimau maka aku si orang she
Pian takut pergi ke sana" Sekarang juga aku bisa iringi
kau!" Ang Tiu geser tombaknya pada tangan kiri.
"Baik, Pian pangcu, mari kita pergi!" ia kata.
In Yu Liang tidak bisa saksikan itu kejadian di hadapan
matanya dengan berdiam saja, meskipun ia ada satu
pecundang, la malu yang Pian Siu Hoo mesti
menanggung jawab seluruhnya. Maka ia maju sambil
lompat jauh seraya terus tuding si pengemis tua.
"Orang she Ang, kau tidak kenal artinya pergaulan kita
kaum kangouw!" ia menegur. "In Yu Liang telah kalah di
tanganmu, itu sudah berarti muka terang sekali bagi kau,
kenapa sekarang kau bertindak begini mendesak"
Bukankah aku belum angkat kaki dari selat ini" Urusan di
Bancie sanchung itu, aku akan bertanggung jawab, maka
kenapa kau berlaku begini tidak pakai aturan sopan
santun" Ang Tiu, jangan kau gertak aku dengan
namanya Kiongkee-pang! Kau ada orang Kiongkee-pang,
kau pandang aturan kau keras sekali, agung sebagai
gunung Taysan, tetapi aku orang luar, aku tak
menghargai sedikit juga, aku pandang itu enteng seperti
bulu kerbau! Jangan kata baru aku geser pelita pusaka,
meski aku bikin ludas Bancie sanchung, aku bersedia
buat menanggung jawab, paling juga kau bisa bakar
tubuhku sampai jadi abu! Tapi, halnya Pian pangcu ada
lain. la ada ketua di sini, sudah seharusnya kalau ia
hendak lindungi kawan-kawannya! Sekarang begini,
pengemis tua, meski Bancie sanchung ada sebagai
kantor neraka, aku nanti pergi ke sana!"
Ang Tiu tertawa menghina.
"Bagus, orang she In! Kau mau tanggung jawab,
dengan begitu kau tidak usah rembet-rembet si orang
she Pian. Sekarang hayo kita orang pergi ke
kampungku!"
Tapi Tiathong-liong Pian Siu Hoo, si Naga Besi, tidak
mau mengerti. "Ang Tiu, kau benar ada terlalu jumawa!" ia berseru.
"Di dalam Haytong-kok ini, kau tidak diijinkan terlalu
banyak tingkah! Apa si lic-haynya Lianhoan Coa-kut-chio"
Apa kau sangka aku si orang she Pian tak sanggup layani
senjata kau itu" Mari, pengemis tua, mari, aku ingin
belajar kenal sama senjatamu itu!...."
Itu waktu dari deretan barat ada berbangkit satu
orang, yang terus loncat di antara mereka yang sedang
adu bicara. "Pian pangcu, benar-benar lucu!" kata ia, ialah Tinsankang
Siauw Cee Coan. "Di sini ada Haytong-kok, kita
ada punya urusan kita sendiri, maka sudah seharusnya,
segala urusan perseorangan dari pihak mana saja, mesti
ditaruh di samping. Tapi sekarang, kenapa justru itu
yang diributkan" Kita orang mau bikin piebu, di sini telah
berkumpul banyak ahli silat ternama, ketika ini
sebenarnya sukar untuk dicari, maka ketika ini, jangan
kita sia-siakan. Ini Ang suhu mau bereskan urusan
Bancie sanchung, ia seperti mau rusaki atau batalkan
urusan kita, aku anggap ia ada terlalu tak memandang
persahabatan. "Maka, Ang suhu," ia teruskan pada si
pengemis tua sendiri, "aku Siauw Cee Coan jadi ingin
campur urusan ini. suhu, aku minta urusan kau sama In
loosu, atau lebih benar urusan Bancie sanchung,
dikesampingkan dulu, itu boleh diurus belakangan,
sesudah piebu selesai. Aku anggap, siapa yang
menggerecok, itu tandanya bahwa ia mau menjagoi
sendiri dan hendak menindih pada kita orang, dari itu,
kita jadi ingin ketahui, sampai di mana adanya
kepandaian dari si tukang menggerecok itu!"
Ang Tiu bersenyum ewah. "Aku tidak sangka, Siauw
loosu, kau telah pandang demikian tinggi pada aku si
pengemis tua, dan kau telah namakan aku si tukang
menggerecok. Itulali aku tidak sanggup terima! Siauw
loosu, nampaknya kau anggap aku ada keterlaluan,
dengan begini, kau juga jadinya ada memandang enteng
pada aturan kita dari Kiongkee-pang! Dengan anggapan
berbedaan, kita orang sukar cari kecocokan. Apa Siauw
loosu juga hendak bertanggung jawab bagi si orang she
In itu" Bagaimana kau anggap perbuatannya si orang
she Pian, yang hendak menjagoi" Siauw loosu, mari kita
orang omong secara terus terang! Andaikata benar kau
pun hendak bertanggung jawab, baiklah, aku bersedia
akan iringi segala kehendak kau!"
Pengemis ini menantang, karena ia tak setujui
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sikapnya guru silat itu.
Tonglouw HiejinTan Ceng Po merasa tidak puas.
Kelihatan orang bertindak semakin jauh pada pangkal
pemberesan. Ia pun tahu Tin-sankang Siauw Cee Coan
ada liehay dan belum tentu Ang Tiu bisa menangkan
padanya. Umpama si pengemis tua kena dikalahkan,
maka orang she Siauw ini dengan sendirinya harus
bertanggung jawab juga buat urusannya In Yu Liang.
Karena itu, ia lantas lompat, akan hampirkan mereka itu.
"Pian pangcu," ia kata pada tuan rumah pada siapa ia
unjuk hormat, "kau ada jadi tuan rumah di Haytong-kok
ini, tolong kau mundur dahulu sebentar, karena itu
urusan tak bisa beres dengan kau turut campur tahu."
Kemudian ia menoleh pada Ang Tiu, akan berkata terus,
"Ang suhu, urusan Bancie sanchung tidak bisa dibereskan
berbareng, itu mesti diurus belakangan, sesudah selesai
urusan Haytong-kok ini. Aku Tan Ceng Po sudah sejak
lama mendengar nama besar dari Tin-sankang Siauw loosuhu,
dari itu, sesudah kita orang berkumpul di selat ini,
aku tidak boleh lewatkan ketika ini akan kita orang
belajar kenal, dengan main-main untuk beberapa
jurus...."
"Jikalau kau hendak bereskan satu-satu urusan, Tan
loosu, aku bersedia akan dengar perkataan kau," kata
Ang Tiu, yang bisa diajak bicara, "cuma aku hendak kasih
tahu "bukannya kita berkepala besar " sesudah urusan
Haytong-kok beres, lantas datang giliran urusan kita!
Andaikata urusan kita tak dapat diselesaikan, aku pasti
tak mau mengerti!"
"Ang suhu, aku mengerti," kata Siauw Cee Coan.
"Nah, mari kita bereskan urusan satu demi satu!"
"Baik, Siauw loosu," sahut Ang Tiu. "Sampai datang
giliran kita!"
Ang Tiu lantas undurkan diri, maka In Yu Liang pun
lantas ikut Pian Siu Hoo balik ke tempat mereka.
Semua orang lantas pandang Siauw Cee Coan dan Tan
Ceng Po, yang dua-duanya ada orang-orang kenamaan
dalam kalangan Sungai Telaga. Cuma, dilihat dari
dandanannya, Tan Ceng Po kalah pamor, karena ia mirip
dengan satu nelayan aki-aki, sedang di lain pihak,
dandanan dari kaum Kiongkee-pang ada lebih tak
menarik hati lagi.... Di sebelah Tonglouw Hiejin yang
sederhana, ada Siauw Cee Coan yang pakai baju sutera,
yang tubuhnya besar dan kekar, sedang mukanya ada
merah dan keren.
"Tan loosu, sudah lama aku dengar kau dan
saudaramu berdua ada merupakan satu kaum tersendiri,"
Siauw Cee Coan kata, "bahwa kau orang telah yakinkan
seratus duapuluh jurus Kiauwta Sinna, maka itu di
Haytong-kok sini, aku minta kau sudi pertunjuki itu,
supaya aku Siauw Cee Coan bisa dapat tambah
pengalaman...."
Tan Ceng Po bersenyum seraya angkat kedua
tangannya. "Siauw loosu, aku harap siapa pun tidak usah puji
siapa," ia berkata dengan sabar sekali. "Benar aku jadi
ketua dari Kiushe Hiekee tetapi tentang ilmu silat,
pengetahuanku tidak berarti. Sekarang silakan loosu
mulai. Kita orang tidak bermusuhan, aku rasa kau
mupakat kalau kita berjanji pertempuran sudah cukup
andaikata salah satu ada yang ketowel lebih dahulu...."
"Tan suhu!" sahut Siauw Cee Coan, yang lantas
bersiap. Tan Ceng Po ada berpakaian dari cita kasar semua,
kakinya tidak pakai kaus, cuma ketutup sama sepatu
rumput, ia bisa dibilang bertubuh kurus akan tetapi
kedua lengannya berurat kasar. Ia mundur dua tindak,
akan bersiap. Benar seperti katanya Siauw Cee Coan, Tonglouw
Hiejin sudah gunai tipu-tipu silat Kiauwta Sinna yang
terdiri dari seratus duapuluh delapan jurus, yang ia
ciptakan dari dua rupa ilmu Kimna dari dua golongan
Siauwlim dan Butong, sedang lawannya gunai Loohankun.
Cepat sekali, kedua pihak sudah sama-sama
perlihatkan kegesitan tubuh mereka, karena kalau tidak,
siapa ayal, ia mesti menyerah lebih dahulu. Tan Ceng Po
bisa bergerak cepat laksana angin atau kilat, kecuali
serang-serangan biasa, ia pun gunai totokan jari.
Siauw Cee Coan punya Loohan-kun ada warisan tulen
dari Siauw-lim-pay dan ia telah yakinkan itu buat
beberapa puluh tahun, tidak heran kalau dengan itu, ia
bisa layani ketua dari Kiushe Hiekee. Ini adalah salah
satu warisan tipu silat pihak Siauwlim yang biasa
diandalkan guna lindungi pamornya golongan.
Selama duapuluh jurus, yang berlangsung dengan
cepat, tetapi penuh dengan bahaya buat kedua pihak
masing-masing, tandingan itu merupakan tandingan yang
berimbang, baik untuk liehaynya sesuatu serangan,
maupun buat sehatnya sesuatu kelitan.
Tan Ceng Po menjadi kagum akan saksikan
kepandaian orang, tadinya ia cuma dengar nama besar
Tin-sankang, sekarang ia telah buktikan sendiri. Karena
ini, ia berlaku semakin hati-hati.
Juga Siauw Cee Coan mesti kagumi itu lawan, yang
namanya, pantas ada kesohor, jadi tidak percuma orang
malui ketua dari Kiushe Hiekee itu.
Lekas juga, tigapuluh jurus sudah lewat.
Penonton dari kedua pihak juga menjadi kagum,
mereka ketarik bukan main, hingga semua menonton
dengan diam, mata mereka seperti tak berkesip.
Segera juga kelihatan Tan Ceng Po gunai tipu
Jiauwpouw Poan-soan, atau "Tindakan mengitar,
terputar-putar," untuk kelit satu serangan dari Siauw Cee
Coan, ia sampai lompat jumpalitan. Karena ini, waktu
kakinya menginjak tanah, ia berada di belakang lawan.
Lantas dengan dua jari, dengan tangan yang diulur, ia
menotok bebokongnya lawan itu.
Siauw Cee Coan telah duga ke mana musuh bakal
turun, ia pun telah dengar sambaran angin, maka lekaslekas
ia majukan kaki kirinya ke samping, akan
berbareng putar tubuh, akan hadapkan musuh, sedang
tangannya yang kanan, dari bawah diangkat ke atas,
dipakai mengganjal lengan kanan orang, yang menotok
ia. Tan Ceng Po angkat tinggi tangannya itu, tangan
kanan, buat terus ditarik pulang. Dengan diangkat tinggi,
tangan itu luput dari serangan lawan. Di lain pihak, sama
cepatnya, tangan kirinya bergerak, menuju ke iga musuh
yang jadi kosong.
Untuk kelit tubuh, Cee Coan geser kaki kirinya ke
kanan, dari sini dengan mendadakan ia geraki kedua
tangannya, akan ganjal dengan jepitan pada iga kanan
dari lawannya, la telah gunai tipu Layliong sin-yauw atau
"Naga mas mengulet." Ia telah gunai tenaga yang besar.
Buru-buru Tan Ceng Po pindahkan kaki kanannya ke
belakang, terus ke kanan, tubuhnya ikut nyam-ping. Di
sini ia bikin gerakan loncat ke depan, ke samping musuh.
Itu ada tipu Koaybong hoansin atau "Siluman ular naga
jumpalitan." Setelah itu, dengan Kimliong tamjiauw, atau
"Naga mas mengulur cang-kreman," ia cari iga kanan
orang. Siauw Cee Coan menghadapi bencana, karena kedua
tangannya justru lagi dikeluarkan, maka lekas-lekas ia
geser kaki kirinya ke depan terus nyamping ke kiri, kaki
kanannya ikut dengan menjejak, dengan demikian,
dengan satu loncatan sedikit, ia bisa hindarkan diri dari
ancaman. Dan kapan tubuhnya telah terputar, ia kembali
sudah hadapkan lawan, akan terus potong tangan kiri
orang. Sekarang adalah Tan Ceng Po, yang hadapkan
bahaya. Tapi ia tidak mau kalah sebat. la tidak tarik
pulang tangannya itu, hanya sebaliknya, ia teruskan,
akan tusuk dada orang. Maka Siauw Cee Coan menjadi
kaget, sebab percuma ia hajar tangan lawan kalau
tangan itu nanti mengenai dadanya. Dari itu, sambil tarik
tubuhnya mundur sedikit, ia tolak tangan musuh itu,
hingga nyimpang dari sasarannya.
Demikian kedua pihak bertempur terus, sama-sama
liehay dan gesit, sama-sama hebat sesuatu
penyerangannya, siapa ayal dan kalah sebat, dialah yang
bakal jatuh merk. Maka juga, dua-duanya sama-sama
berlaku waspada, celi dan gesit, pikirannya bekerja.
Segera juga datang satu serangan pada perut dari
Siauw Cee Coan, serangan dari dua tangan berbareng.
Tin-sankang mundur sambil ciutkan perutnya itu, kaki
kanannya pindah ke kanan, kaki kirinya terangkat, dan
kapan kaki kiri itu diturunkan, tangan kirinya menyambar
iga musuh. Dengan segera mendek, Tan Ceng Po tolong dirinya
Kembali mereka saling serang, masih saja sama
hebatnya Sesudah pertandingan berjalan begitu jauh, Tan Ceng
Po lantas tukar siasat. Ia mau mencoba. Dengan tibatiba,
ia menyapu dengan kakinya, pada kedua kaki pihak
lawan. Siauw Cee Coan terperanjat, ia lompat mundur,
lima atau enam kaki jauhnya. Di luar sangkaan,
Tonglouw Hiejin merangsek, akan menyerang bebokong
selagi lawan itu belum sempat putar tubuh.
Untuk selamatkan dirinya, Cee Coan berkelit dengan
bongkoki tubuh, cenderung ke depan, lalu dengan kaki
kiri pindah ke kiri, ia putar tubuhnya, tangan kirinya terus
saja melakukan pembalasan. Ia mau potong tangan
orang, yang arah bebokongnya. Kalau ia berhasil, tangan
musuh mesti patah atau kehabisan tenaga.
Tan Ceng Po tidak tarik pulang tangannya itu, tidak
peduli bahaya ada mengancam hebat. Ia cuma
menggeser sedikit, lantas dengan tangan itu juga, ia
balas menyerang, pada tangan musuh yang baru saja
dipakai menyerang tangannya itu! Tujuannya adalah
nadi! Di sebelah itu, dengan kaki dimajukan, tangan yang
kanan dipakai membarengi menyerang iga musuh,
hingga serangan maju dalam satu saat.
Siauw Cee Coan menghadapi bahaya di dua jurusan,
maka itu ia mesti berlaku nekat. Dalam keadaan seperti
itu, ia tidak mau loncat mundur. Ia justru mau uji
kekuatan tangan kirinya atau tangannya, musuh! Dengan
kumpul tenaga di lengan kiri, ia mau bentur tangan
musuh, sedang tangan kanan, dipakai menangkis
serangan pada iga.
Serangan Tan Ceng Po ada serangan ujian, ia
memancing aksi musuh, maka setelah lihat sikap musuh,
mendadakan ia tarik pulang kedua tangannya, buat terus
di dekatkan satu sama lain buat dipakai menyerang pula,
ke jurusan tubuh bagian atas.
Siauw Cee Coan bisa duga sepak terjang lawan itu, ia
mengerti yang ia bisajatuh, tetapi ia pun penasaran,
maka sekali ini, ia hendak lawan keras dengan keras,
akan ketahui tenaga siapa ada terlebih besar, atau
tangan siapa terlebih tangguh.
Dalam sekejap saja, empat tangan telah kebentrok
satu pada lain, begitu hebat, sampai dua-dua pihak
mundur sendirinya, karena damparannya terlalu keras.
Tan Ceng Po mundur dengan kaki kiri, kapan kaki ini
menginjak tanah, tubuhnya lantas berdiri dengan tetap,
sebab kaki kanannya telah bantu menahan.
Siauw Cee Coan mesti mundur sampai dua tindak,
baru ia bisa berdiri tetap.
Dari sini segera ketahuan kekuatan dari kedua pihak,
ialah Tin-san-kang telah kalah satu "urat". Maka juga, air
mukanya lantas berubah menjadi merah sendirinya.
Tonglouw Hiejin Tan Ceng Po rangkap kedua
tangannya. "Siauw loosu, kepandaianmu benar bukan kepandaian
dalam cerita saja," ia kata, "aku Tan Ceng Po menyerah
terhadap kau.... Loosu, apa sesudah ini kau sudi beri
pengajaran terlebih jauh padaku, dengan gunakan
senjata?" Sementara itu, Siauw Cee Coan telah kagumi lawan
itu, kepandaian siapa ada beda daripada kebisaannya si
pengemis tua dari Bancie sanchung, yang tadi ia tantang.
Ia pun mengerti bahwa orang telah berlaku manis
terhadap ia, karena kalau selagi ia mundur ia diserang
terus, entah bagaimana jadinya.
"Tan loosu, aku berterima kasih untuk kebaikan kau,"
ia kata "Loosu hendak ajarkan aku ilmu menggunai
senjata, terima kasih, loosu, aku bersyukur sekali pada
kau." --ooo0dw0ooo-- XIV "Dengan piebu persahabatan ini, kita orang akan
peroleh kemajuan, halangannya tidak ada," Tan Ceng Po
bilang. "Mari, loosu, kita main-main pula beberapa
gebrak!" "Kau benar, Tan loosu," sahut Siauw Cee Coan.
Biar bagaimana, Tin-sankang ada penasaran, maka
kebetulan sekali, musuh tantang ia menggunai senjata, ia
hendak mencoba sekali ini, akan rebut pulang muka
terangnya. Dengan tidak tunggu sampai diminta, orang dari
kedua pihak sudah lantas angsurkan senjata-senjata dari
masing-masing jagonya.
Siauw Cee Coan bersenjata sebatang golok Liongtauw
Kauw-liam-too. Tapi Tan Ceng Po menyekal sepotong
pedang pendek, cuma satu kaki delapan dim, dan
gagangnya tidak lebih daripada dua kaki dua dim.
Tubuhnya pedang ada bergurat-gurat, tanda dari besi
dan waja tulen. Di lain pihak goloknya Tin-sankang ada
berat, panjangnya tiga kaki delapan dim, lebarnya empat
dim, tebal belakanganya empat hun. Ujung golok
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merupakan kepala naga, tubuhnya merupakan sisik
naga, dan di belakang ujung golok ada ditambahkan dua
pisau pendek dari satu dim setengah, yang beroman
bulan, hingga senjata tambahan ini mirip dengan dua
potong tanduk naga. Maka dapat dimengerti, yang golok
itu tidak termasuk dalam kitab hal macam-macam alat
senjata. Tan Ceng Po sudah dengar perihal golok istimewa ini,
yang tajamnya pun luar biasa, karena itu, ia hendak uji
itu senjata Ini ada ketikanya yang paling baik.
Kedua pihak sudah lantas bersiap, maka setelah
masing-masing mengucapkan "Persilakan!" mereka
sudah lantas pada bergerak.
Dengan lintangkan goloknya di sebelah kiri, Siauw Cee
Coan bertindak ke kanan, akan mengitar. Karena ini, Tan
Ceng Po lantas bertindak ke kiri, pedangnya ditekuk ke
atas, ke belakang, dan tangan kirinya terangkat ke jidat.
Sikapnya ini ada yang dinamai Kwahouw tengsan, atau
"Manjat bukit sambil menunggang macan."
Lagi sekali kedua pihak bergerak, lantas mereka
berdiri berhadapan.
Goloknya Siauw Cee Coan sekarang sudah pindah,
kepada tangan kanan, dan tangan kirinya menindih
belakangnya golok itu. Ia maju pula setindak, senjatanya
diayun. Ia bukannya membacok, hanya menusuk, ke
jurusan muka. Tan Ceng Po berkelit ke kiri, tangannya dibarengi
menusuk, ke katek kanan dari lawan. Atas ini, Tinsankang
mesti lekas menggesar ke kanan, tetapi supaya
bisa kembali menyerang, goloknya disabetkan sekalian
ke bawah, pada paha kanan.
Dengan angkat kaki kanan ke kiri, Tan Ceng Po putar
tubuhnya, menyingkir dari sabetan itu, tetapi waktu kaki
kanannya injak tanah " kaki kirinya hanya tetap,
melainkan terputar" ia jadi berada di samping lawan.
Dari sini terus saja ia membacok, ke bebokong musuh,
tubuh siapa telah terputar mengikuti sabetan goloknya
tadi. Dengan loncat sedikit, Siauw Cee Coan selamatkan
dirinya dari pedang, dengan kesebatannya, goloknya
dipakai membabat pedang musuh.
Tan Ceng Po tidak mau adu senjata, apapula akan
kasihkan pedangnya dibabat, selagi golok menyambar, ia
tarik pedangnya itu, tetapi justru golok lewat, ia barengi
menusuk pula. Ia berlaku gesit luar biasa Lagi-lagi Siauw
Cee Coan mencelat, dua tindak jauhnya. Ia putar tubuh
begitu lekas kedua kakinya telah mengenai tanah. Ia
merangsek pula, goloknya dikasih bekerja. Dengan
pegang senjata yang lebih besar dan panjang, ia jadi
terlebih berani. Ia tidak kuatir andaikata kedua senjata
beradu. Tan Ceng Po, sebaliknya, tidak mau adu senjata Ia
unjuk kegesitan tubuhnya, kesehatan tangan. Ia
senantiasa menyingkir dari golok musuh yang besar dan
berat. Sesudah berkelit, ia balas menikam iga kiri lawan
itu. Karena ini, Tin-sankang juga mesti unjuk
kegesitannya Segera juga Siauw Cee Coan perlihatkan ilmu golok
Ngohouw toanbun-too atau "Lima harimau memegat
pintu." Goloknya menyambar berkeredepan, anginnya
menderu-deru. Menghadapi ilmu itu, Tan Ceng Po keluarkan Patsiankiam,
yang buat empatpuluh tahun lebih ia telah
pahamkan dan latih dengan sungguh-sungguh, dengan
begitu kendati pedangnya ada terlebih pendek dan
terlebih enteng, itu tidak menjadikan rintangan bagi ia
akan tcnipm mi guru silat yang kesohor. Pedangnya pun
berkilau-kilauan.
Berdua mereka menyerang, menangkis atau berkelit,
dengan bergantian, dengan sama gesit dan uletnya. Tan
Ceng Po mau pertahankan kemenangannya, Siauw Cee
Coan ingin lenyapkan penasarannya Mereka maju dan
mundur bergantian.
Penonton dari kedua pihak kembali kena dibikin
kagum, semua menonton dengan semangat
tercengkeram. Diam-diam mereka mesti merasa kagum.
Sudah duapuluh jurus dikasih lewat, kedua-duanya
tetap bisa pertahankan diri.
Siauw Cee Coan bukan hanya menyerang dengan arti
menyerang biasa, dua tanduk di ujung goloknya pun
bekerja, saban-saban mencoba akan gaet dan rampas
pedang musuh, maka Tan Ceng Po berbareng mesti
menjaga supaya pedangnya tidak sampai kena digaet
dan dirampas. Ia mesti cekal keras dan hati-hati
pedangnya itu. Dengan begini, ia tidak kasih dirinya kena
dipengaruhi oleh sepak terjangnya golok lawan.
Kemudian datang saatnya Siauw Cee Coan menyerang
muka dengan tipu silat Thaykong tiauwhie atau "Kiang
Thay Kong pancing ikan." Tan Ceng Po berkelit sambil
berbareng menusuk lengan orang, Tin-sankang lihat
gerakan itu, ia sengaja bikin gerakan tangannya ayal
sedikit, kemudian tiba-tiba ia menarik dengan cepat,
untuk gaet pedang musuh.
Tan Ceng Po terperanjat. Ia tahu, kalau maksud
musuh berhasil, ia bakal kalah. Ia tarik tangannya
dengan cepat, apa mau, ia kena didahulukan, pedangnya
benar-benar kena bangkolannya golok Liongtauw Kauwliamtoo. Tidak heran, kalau ia menjadi kaget. Tidak ada
jalan lain, ia kumpul tenaganya di tangan, pedang itu,
untuk dipertahankan dari aksi lebih jauh dari golok
musuh. Ia tidak mau gampang-gampang menyerah
kalah, di saat terakhir, ia masih berdaya. Ia telah kumpul
ambekannya. Siauw Cee Coan girang yang ia akhir-akhirnya berhasil
membangkol pedang musuh tapi karena sekarang ia
tidak bisa gunakan lebih jauh goloknya itu, mendadakan
ia ulur tangan kirinya, buat sodok iga orang itu.
Selama pertahankan pedangnya, Tan Ceng Po
kumpulkan tenaga di lengan kanan. Ia pun berdaya,
akan loloskan bangkolan itu. Maka justru ia lihat gerakan
tangan kiri dari musuh, yang ia tahu apa maksudnya,
selagi musuh menyerang, hingga kekuatan tangan
kanannya ada terbagi, ia lekas ke kanan sambil
berbareng berlalu. Satu gentakan membikin kaki
kanannya sedikit ke depan, tangan kirinya dipakai
menangkis tangan kiri musuh.
Siauw Cee Coan terperanjat, la tahu goloknya bisa
terbetot dan terlepas, jikalau ia tetap pertahankan
bangkolan itu. Tangan kirinya sudah tak berdaya. Kudakudanya
pun telah kedesak dengan majunya kaki pihak
lawan. Maka terpaksa ia mendak sedikit sambil
berbareng menarik pulang tangan kanannya, hingga di
waktu terlepas satu dari lain, golok dan pedang
menerbitkan suara nyaring.
Dengan sikap Ouwliong poan-cu atau "Naga hitam
melilit tiang", Tan Ceng Po tarik pedangnya dengan
tubuhnya ikut mutar. Di lain pihak, Siauw Cee Coan
bergerak dengan Uyliong coansin atau "Naga kuning
memutar tubuh." Maka itu, mereka sama-sama
menyingkir, satu ke kiri, satu ke kanan. Tapi juga duaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
dua tidak berniat mundur, hanya mereka merangsek
pula. Satu bacokan golok menuju pada pundaknya
Tonglouw Hiejin, pedang siapa justru mencari iga kiri,
maka mereka sama-sama menyerang dengan berbareng.
Tan Ceng Po mengerti bahaya, untuk selamatkan diri,
ia mesti berkelit, tapi buat menyingkir dengan begitu
saja, ia tak sudi, maka sambil egos tubuh, pedangnya ia
tarik mundur, buat diteruskan kepada nadi.
Juga Siauw Cee Coan tidak inginkan kecelakaan.
Lekas-lekas ia robah gerakan goloknya, guna dipakai
membabat pedang lawan. Dari bawah, golok menyambar
ke atas, kepada pedang yang lagi arah nadi.
Ketua dari Kiushe Hiekee masih tidak mau berhenti, di
satu pihak ia tarik pulang pedangnya, di lain pihak
tangan kirinya dengan jari, mencari jalan darah di tubuh
musuh, guna ditotok.
Atas ini, Siauw Cee Coan loncat ke belakang, maka
kecuali terpisah, mereka jadi menyingkir dari bahaya
yang mengancam masing-masing. Tapi setelah itu, Tinsankang
mendahului, akan menyerang pula, dengan
babatan golok kepada kaki.
Tan Ceng Po loncat naik dengan apungi tubuh sampai
dua tombak lebih, di waktu tubuhnya turun, ia terpisah
dari lawan jauh satu tombak lebih.
Dengan majukan kaki kanan sambil nyerosot, ialah
gerakan liu-ma, Tin-sankang maju pula, akan rangsek
musuh, karena ia ada bernapsu, dan goloknya lagi-lagi
dikasih bekerja, la berani berbuat begini, karena itu
waktu Tan Ceng Po membaliki belakang.
Dirangsek secara demikian, Tan Ceng Po lekas-lekas
menyingkir ke kiri. la telah merasai sambaran angin di
belakangnya, hingga ia ketahui adanya serangan
sebelum ia sempat balik tubuh, la berlaku cepat luar
biasa. Waktu ia balik tubuhnya, musuh sudah datang
dekat, maka terus saja ia memapaki, menusuk lengan
kanannya musuh.
Karena ia sedang merangsek Tin-sankang tidak keburu
tahan lajunya tubuh, ia sudah coba, sia-sia saja. la pun
ayal dalam gertakannya akan singkirkan goloknya yang
lagi menusuk ke depan. Maka tidak tempo lagi, ujung
pedang yang memapaki telah mengenai lengan kanannya
bagian atas. Dasar ia liehay, dalam keadaan seperti itu,
ia bisa mendek, tangannya diputar, goloknya terus
menyambar muka dari penyerangnya!
Lagi-lagi Tan Ceng Po berkelit dengan berlompat,
sesudah injak tanah, lagi-lagi ia maju merangsek akan
tusuk lengan kanan orang. Kegesitannya bikin ia bisa
bergerak dengan leluasa.
Siauw Cee Coan mundur dengan kaki kiri pindah ke
belakang kaki kanan, goloknya dibawa ke depan dada.
Secara begini, ia jadi telah lindungi diri sambil bersikap
menangkis ujung pedang. Kedua senjata tidak usah
beradu, sebab Tan Ceng Po sudah lekas tarik pedangnya
itu. Maka Tin-sankang lantas membalas dengan maju
membacok. Datangnya Liongtauw Kauwtoo ada hebat sekali,
bacokan dilakukan dengan kaki maju satu tindak untuk
merangsek. Ujung golok mengancam iga kiri bagian
belakang. Tan Ceng Po insyaf bahaya itu, maka ia berpikir, ia
mesti berlaku sama kerasnya seperti pihak lawan, yang
telah menjadi sengit.
Demikian, bukannya ia mundur atau minggir ke
samping, ia justru maju satu tindak, akan hadapkan
musuh. Yang maju dengan kaki kanannya, meski
seharusnya kaki kiri.
Melihat demikian, Siauw Cee Coan tahu bahwa bengis
dilawan bengis. Ia menduga Tonglouw Hiejin bakal lawan
ia dengan tipu Ciauwhu bunlouw atau "Tukang kayu
menanyakan jalanan". Tapi dugaannya meleset.
Dengan mendadak Tan Ceng Po geser kaki yang
kanan ke kanan, kaki kirinya ikut, hingga, bukannya
maju, iajadi nyamping. Adalah dari samping ini,
mendadak ia menyerang dengan pedangnya yang lebih
dahulu daripada itu, ia sudah bawa ke depan dadanya. Ia
telah menikam pada arah dada.
Dilihat sekelebatan, itu ada penyerangan biasa saja,
tak ada yang aneh.
Siauw Cee Coan gerakkan goloknya, juga
sebagaimana biasanya, akan tangkis pedangnya
Tonglouw Hiejin. Ia menggunakan belakang golok.
Nyata Tan Ceng Po sudah menggunakan tipu.
Penyerangannya yang biasa itu, ada umpan pancing saja
Ketika ia ditangkis, mendadak ia loncat mencelat,
pedangnya ditarik pulang dengan cepat, bukan untuk
disimpan, hanya buat diayun akan dipakai menyerang
pula, sekarang menjuju perutnya pihak lawan.
Tin-sankang terperanjat buat gerakan orang itu,
dengan tersipu-sipu ia geser kaki kanannya ke kanan,
tubuhnya ikut berkelit. Secara begini ia terlolos dari
serangan yang dimulai dengan berjingkrak itu.
Tetapi Tan Ceng Po tidak berhenti dengan satu
serangan itu saja, yang sudah tidak mengenai sasaran,
karena ia tidak ulur habis tangannya, secara cepat ia bisa
menggeser ke samping untuk sekali lagi menyerang,
menyabet ke kiri ketika musuh berada di sebelah kiri,
dan terus ke kanan ketika musuh berkelit ke kanan.
Tegasnya, itu ada serangan be-runtun-runtun.
Akhirnya Siauw Cee Coan berkelit ke kiri.
Cepat sebagaimana biasa, Tan Ceng Po menyerang
terus. Ia tidak pernah berhentikan serie penyerangan
yang berbahaya itu, yang meminta kegesitan istimewa.
Ini kali ia berhasil. Tidak ada jalan buat Tin-sankang
menyingkir lagi, ia sudah terdesak betul. Tapi di saat
yang hebat itu, Tonglouw Hiejin ingat bahwa Siauw Cee
Coan adalah guru silat kenamaan yang namanya didapat
bukan dengan tak bersusah payah, maka kenapa ia mesti
celakai orang dengan siapa ia tidak punya sangkutan
sedikit juga" Ia merasa sayang sekali kalau pamornya
lawan itu roboh dalam piebu yang istimewa ini. Maka itu,
ia tidak teruskan pedangnya, melainkan gurat baju
orang, lantas ia mencelat jauh keluar kalangan!
Siauw Cee Coan kaget sampai ia keluarkan keringat
dingin, ia pun loncat, tetapi berbareng buat dapat
kenyataan, bajunya sudah jadi korban ujung pedang,
baju itu melowak tiga dim. Maka juga darahnya jadi
bergolak, naik ke muka dan kupingnya, yang menjadi
merah dengan tiba-tiba! Ia merasa telah habislah nama
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besarnya. Sekonyong-konyong ia menjadi gusar dan
nekat! Tan Ceng Po hadapkan lawan ini untuk bicara, guna
merendahkan diri dan kagumi lawan itu. Ia tidak
menyangka bahwa orang ada malu dan murka, dengan
mulutnya segera berseru, "Terimalah ini!" Dan seruan ini
ditutup dengan serangan mendadak. Ia terperanjat,
inilah ia tidak sangka, terutama dari satu ahli silat
ternama seperti orang she Siauw itu. Tapi ia mesti
lindungi diri, maka ia loncat ke samping kiri akan jauhkan
diri dari ujung golok.
Ketika kedua pihak masih renggang, tiba-tiba
tertampak datangnya satu bayangan yang melayang
sebagai burung terbang atau menyambar turun, berdiri
di antara mereka berdua. Dengan demikian, kedua pihak
batal untuk maju dan saling menyerang.
Orang ketiga ini ada Hay-pacu To Seng. Ia adalah
sahabat karibnya Siauw Cee Coan. Ia telah lihat
bagaimana sahabatnya sudah kalah terhadap Tan Ceng
Po bahwa ketua dari Kiushe Hiekee tidak berniat celakai
pecundangnya, bahwa adalah Tin-sankang sendiri yang
tak mau mengerti, malah sudah berlaku tak kenal adat
istiadat. Karena ini, ia datang menyelak di antara
mereka. Buat ini, ia tidak lagi kata apa apa pada Pian Siu
Hoo. "Siauw loosu, sudah cukup!" ia lantas berkata.
"Bukankah kita orang telah bikin perjanjian" Maka kau
kasihlah ketika buat aku yang coba menerima pelajaran
dari orang kenamaan dari Kiushe Hiekee!"
Tin-sankang bisa memikir, maka setelah ada jalan ini
untuk mundur, ia tidak mau berlaku membelar.
"To suhu mau terima pelajaran dari Tan loosu,
baiklah," ia menyahut "To suhu, harap kau berhasil! Tan
suhu, maafkan aku, aku tidak bisa menemani terlebih
lama pula!"
Ia angkat kedua tangannya, lantas ia undurkan diri
dan bertindak dengan cepat. Dengan gerakan tangannya
ia coba umpeti bajunya yang melowek. Benar waktu itu
ada malam, akan tetapi api obor ada dipasang terangterang.
Ia dekati Pian Siu Hoo, pada siapa ia unjuk
hormatnya "Pian pangcu, maafkan aku," ia berkata. "Aku tak
mempunyai kepandaian, di selat ini aku tidak mampu
bantu kau, aku malu, maka kebetulan aku ada urusan
yang aku mesti selesaikan sendiri, sukalah kau
perkenankan aku berlalu sekarang! Pangcu, sampai nanti
kita orang bertemu pula!"
Sehabisnya kata begitu, dengan bawa goloknya, Siauw
Cee Coan lantas bertindak keluar akan berlalu dari
Haytong-kok. "Maaf, aku tidak bisa mengantarkan loosu," berkata
Pian Siu Hoo, yang ketahui kekalahan orang, karena
mana ia tak mau cegah sahabat itu.
To Seng sudah unjuk hormatnya pada Tan Ceng Po, ia
mau bicara, waktu Lim Siauw Chong dengan satu
lompatan jauh telah datang di antara mereka.
"Tan loosu, kau baik sekali?" berkata kawan ini sambil
bersenyum dingin. "Tin-sankang Siauw Cee Coan hanya
namanya besar, sayang ia tidak kenal aturan, orang telah
berlaku murah, ia anggap sebaliknya. Dan kau, To loosu,
kau pun baik sekali, kau sudah tolong Tin-sankang,
jikalau tidak, tak nanti ia mampu keluar dari sini! Suheng,
pergi kau beristirahat, biar aku yang temani To loosu
untuk aku menangkis beberapa jurus...."
To Seng tertawa apabila ia dengar Lim Siauw Chong
beber rahasia hatinya.
"Lim loosu, sungguh kau cerdik!" ia bilang. "Kita orang
tak mempunyai permusuhan, maka kecewa sekali jikalau
Siauw loosu mesti roboh di sini, apabila itu sampai
terjadi, itulah keterlaluan! Tapi Lim loosu sudi memberi
pengajaran padaku, silakan kau berikan itu, aku bersedia
akan menerima pelajaran...."
To Seng adalah cabang atas di darat dan di air, di
bebokongnya ia tancapkan sepasang Cancoan Thie-koay
atau semacam tongkat seperti linggis peranti mendoboli
perahu, senjata mana ia sudah lantas cabut, pegang di
antara kedua tangannya. Dengan gegaman itu ia
hadapkan ketua muda dan Kiushe Hiekee.
Melihat sikap orang, Lim Siauw Chong tahu pihak
lawan hendak menggunakan senjata, maka ia mundur
tiga tindak, dari dalam tangan bajunya ia keluarkan
ruyung Kiu-hap Kimsie-pang-nya, yang ia pegang dengan
tangan kanan dan tangan kirinya dipakai mengimbangi.
"To loosu, silakan!" ia lantas mengundang.
"Persilakan, Lim loosu!" berkata juga Hay-pacu To
Seng, yang memang sudah siap terlebih dahulu. Maka
tempo ia tampak Lim Siauw Chong bergerak ke kiri ia
pun turut, tongkatnya berada di kiri dan kanannya.
Setelah memutar beberapa putaran, dengan
sendirinya kedua pihak lantas datang dekat satu dengan
lain, maka sebentar kemudian, mereka sudah mulai
bergebrak. Adalah To Seng yang terlebih dahulu
mencoba menusuk mukanya lawan dengan tipunya
Ciauwhu bunlouw atau "Si tukang kayu menanyakan
jalanan". Lim Siauw Chong tidak mau menyerang lebih dahulu
tetapi setelah serangan datang, ia menangkis dengan
sebat, akan bikin senjata musuh terpental, setelah mana
ia teruskan, bikin senjatanya dari atas turun ke arah
kepala. To Seng lekas-lekas berkelit ke kiri, tangan kirinya
diangkat, guna bantu menghalangi ruyung yang lagi
turun, di lain pihak, dengan tongkat kanan, ia hendak
gempur ruyung lawannya. Maka dua-dua senjatanya jadi
bergerak dengan berbareng.
Senjata kedua pihak sudah lantas kebentrok. Di ujung
ruyungnya Lim Siauw Chong dipasangi gaetan Jie-iekauw,
maka itu, dengan gaetan ini Liongyu Hiejin niat
bangkol tongkat orang guna ditarik dan dibikin terlepas
dari cekalan. Kepandaian To Seng bukannya lemah, malah ia
hendak memberi umpan. Ia tidak lekas tarik pulang
senjatanya, sebaliknya, ia kumpul tenaganya di tangan,
akan pertahankan tongkatnya, senjata mana " duaduanya
" dengan tiba-tiba ia gerakkan lebih jauh,
mengarah perut. Ia telah gunakan tipu Giehu sanbong
atau "Nelayan menyebar jala". Perubahan gerakan
tangannya ada cepat luar biasa.
Lim Siauw Chong tidak menyangka atau ia pandang
enteng pada gerakan pertama dari musuh, maka barulah
ia terperanjat ketika sepasang tongkat menghampirkan
perutnya, karena nyata ia sedang hadapi bahaya maut.
Karena tidak dapat jalan lain, ia cepat-cepat sedot napas
akan bikin perutnya kempes, sambil tubuhnya dibikin
mengisar sedikit ke belakang. Dari itu, hanya setengah
dim lagi, ujung tongkat pasti sudah mengenai
mangsanya. Guna membikin pembalasan, Lim Siauw Chong
gerakkan ruyungnya menyambar ke kiri, guna serang
lawan sambil berbareng melepaskan diri dari ancaman
bahaya. To Seng mengerti bahaya sesudah ia dapatkan
serangannya yang istimewa itu tidak mendapat korban,
ia berkelit ke kiri. Tapi karena ia tidak mau mengerti,
sebelah tongkatnya terus bekerja, akan sampok kaki
orang. Dengan satu enjotan tubuh, Liongyu Hiejin lompat ke
samping jauhnya lima atau enam kaki, tetapi kendati
demikian, senjata mereka tak dapat dicegah beradunya.
Ruyung telah terpental ke tanah, membentur batu
dengan menerbitkan suara nyaring.
Kalau tadi ia menyerang dengan tangan kiri, sekarang
To Seng menyusul dengan.tangan kanan, ia arah iga
kanan lawannya. Ia berlaku sebat luar biasa.
Dengan kedua tangannya Lim Siauw Chong menangkis
serangan yang datang itu, dan ia berhasil membikin
tongkat tersampok hingga terpental. Tetapi Hay-pacu
tidak jadi terhalang karena serangan kanannya itu
tertangkis, dan sambil memutar tubuhnya, dengan
tangan kiri ia menyerang ke selangkangan, sementara
tangan kanannya yang ia tarik pulang dengan cepat,
menghajar kepala lawan. Setiap gerakannya ada sangat
cepat. Dengan enjot dan berbareng putar tubuhnya, Lim
Siauw Chong loncat ke belakang untuk ancaman bahaya
itu. Hay-pacu gusar bukan main karena semua
rangsekannya selalu luput, maka dengan satu loncatan ia
maju akan menyerang pula, guna mendesak lawannya.
Ia angkat kedua tongkatnya akan kemplang bebokong
lawan dan telah gunakan tenaga yang luar biasa besar,
karena ia telah umbar hawa amarahnya.
Lim Siauw Chong ada berlaku sabar dan tenang,
kendati berulang-ulang ia kena didesak. Pun sekali ini,
bukannya ia berbalik, akan tangkis serangan musuh,
hanya ia loncat lebih jauh nyamping ke kiri, hingga
lawannya itu lagi-lagi luput dengan serangannya itu.
Saking bemapsu To Seng tidak bisa cegah yang
tubuhnya maju cenderung ke depan. Serangan semacam
itu ada berbahaya, karena imbangan tubuh jadi lenyap
sendirinya dan tubuh jadi sukar terkendali.
Dari kiri, Liongyu Hiejin telah putar tubuhnya dengan
cepat luar biasa, sebab ia bikin gerakan tak kesusu,
imbangan tubuhnya tidak nampak rintangan. Dengan
geraki ruyungnya, dengan melintang, ia babat pinggang
orang. Ia telah bisa bergerak dengan leluasa, karena
kedudukannya yang bagus.
Dengan tubuh cenderung ke depan, sampai ia seperti
bongkok, sedang kedua tangannya berada di depan juga,
dan dua-dua kakinya seperti "mati": satu di depan
dipakai mencegah ia kenyuknyuk, dan satu di belakang
terangkat sebelah, To Seng telah mati daya, ia mau
berkelit juga tidak bisa, sedang buat buang tubuh ke
depan, berarti ia mesti jatuh ngusruk. Buat menangkis,
ketikanya sudah tidak ada. Maka itu, ia telah hadapi
bahaya besar. Tetapi ketua dari Kiushe Hiekee bukannya seorang
kejam, ia piebu untuk "main-main," ia tak pernah pikir
buat celakai orang, maka juga, kendati ia dapat ketika
yang sangat bagus, buat bikin musuh binasa atau
ringsek, ketika itu ia sudah tidak gunai. Ketika senjatanya
mengenai pinggang lawannya. Ia bukannya menekan
atau mendorong saja. Tapi justru ini, Hay-pacu si Macan
Tutul Laut jadi terpaksa mesti kenyuknyuk ke depan, tiga
empat tindak jauhnya, sesudah itu, baru ia bisa
pertahankan diri dan lekas-lekas putar tubuhnya.
Selagi To Seng memutar tubuh, Lim Siauw Chong
sudah tarik pulang senjatanya, dan justru orang hadapi
dia, ia lantas saja angkat tangannya, akan mengunjukkan
hormatnya, seraya berkata, "To loosu, aku Lim Siauw
Chong suka mengalah!"
Mukanya Hay-pacu menjadi merah, tetapi ia segera
berkata, "Lim loosu, kepandaianmu benar tinggi, adalah
aku To Seng yang sudah tidak kenal diri sendiri! Di
belakang hari, andaikata ada ketikanya akan kita orang
bertemu pula, umpama aku masih ada umur, pasti aku
akan minta pengajaran pula dari loosu."
Lim Siauw Chong tidak kata apa-apa, cuma terdengar
suara dari hidungnya, sebab dari omongan itu, terang si
Macan Tutul Laut tidak puas dengan kekalahannya itu,
sedang tadinya adalah dia itu yang kelihatannya menang
di atas angin. Hay-pacu lantas undurkan diri dengan masih merasa
malu sendirinya.
Sebagai gantinya, dari pihak Haytong-kok lantas
muncul satu orang lain, ialah Lioktee Sinmo Khu Liong
Gan si Iblis Bumi, ia memberi hormat pada Lim Siauw
Chong seraya terus berkata, "Lim loosu, Kiuhap Kimsiepangmu benar-benar ada liehay, maka itu aku ingin
sekali kau berikan pelajaran beberapa jurus padaku guna
aku tambah pengetahuan."
Itu artinya tantangan.
Lim Siauw Chong membalas hormat sambil unjuk
senyuman "Khu loosu, di sini kita orang sedang ikat
persahabatan, maka tidak ada apa-apa yang tak boleh
diberikan," ia kata. "Aku pun memang sudah lama
dengar loosu punya kepandaian yang istimewa, yang di
kalangan selatan dan utara tak ada bandingannya, maka
kalau ini malam di dalam selat Haytong-kok ini loosu
hendak berikan pengajaran kepadaku, itu adalah hal
yang memberuntungi sekali bagi aku, sebab dalam
keadaan biasa, untuk mohon itu pun pasti tidak akan ada
ketikanya! Khu loosu, silakan kau siap dengan
senjatamu, aku ingin sekali terima pelajaran untuk
beberapa jurus."
Lim Siauw Chong tahu bahwa musuh ada sangat
liehay, bahwa bisa jadi ia bukan ada tandingan yang
setimpal, akan tetapi karena orang telah maju dan
menantang, ia malu akan menampik. Ia telah pikir untuk
melayani beberapa jurus, kalau ia berlaku hati-hati,
barangkali ia bisa dapatkan lowongan.
Mendengar jawaban orang Lioktee Sinmo pun
bersenyum. "Lim loosu," berkata ia, "sejak aku masuk
dalam kalangan Sungai Telaga, belum pernah aku
mengerti caranya buat menggunai golok atau tongkat,
sebab hatiku adalah yang paling kecil, hingga pekerjaan
membunuh orang atau menumpahkan darah adalah
pekerjaan yang aku si tua bangka paling tak berani
lakukan! Lim loosu, aku nanti temani kau main-main
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa jurus dengan tanganku yang berdaging ini, aku
ingin sekali menerima pengajaranmu."
Tapi, mendengar ini, Liongyu Hiejin menjadi
mendongkol, karena terang bahwa ia telah dihinakan, tak
peduli orang telah bicara secara demikian merendah. Ia
merasa terlalu hina yang sebagai ketua dari Kiuhap
Kimsie-pang, ia mesti layani musuh yang bertangan
kosong. Jangan kata ia kalah, sekalipun ia menang, ia
masih merasa terhina juga! Tapi, selagi ia hendak jawab
penantang itu, ia lihat Kiongsin Hoa Ban Hie berbangkit
dan bertindak menghampirkan mereka, dengan tindakan
bunlie-bunliean.
"Eh, Lim loosu!" lantas saja si Malaikat Kemelaratan ini
tegur sahabatnya, "di sini ada Haytong-kok dan urusan di
sini bukannya sudah diborong sendiri oleh kau berdua
saudaramu! Kau harus ketahui, aku si tua bangkotan
juga turut mempunyai sedikit hak di sini! Maka Lim loosu,
silakan kau beristirahat dahulu! Kau tahu, dengan Khu
loosu ini, aku ada punya jodoh untuk bertemu muka,
maka itu sesudah sekarang kita orang bisa saling
bertemu di sini, ketika yang baik itu tak boleh dikasih
lewat dengan sia-sia saja...."
Diam-diam, Lim Siauw Chong bergirang. Ini barulah
tandingan yang setimpal, sebab dua-dua orang itu adalah
orang-orang aneh dari dunia kangouw dan dengan
mereka berdua diantapkan "main-main," semua orang
jadi bisa menyaksikan suatu pertempuran yang bakal
menambah luasnya pengetahuan. Pasti sekali, sekali
beradu tangan, mereka berdua bakal perlihatkan
kepandaian simpanan dari mereka. Maka ia lekas-lekas
unjuk hormat pada si raja pengemis itu.
"Jikalau Hoa loosu ingin main-main sama Khu loosu,
pasti sekali aku Lim Siauw Chong mesti mengalah dan
mundur sembilanpuluh Iie...."
Dan benar-benar, Liongyu Hiejin lantas balik ke
tempatnya. Hoa Ban Hie tidak unjuk hormat lagi pada si Iblis
Bumi, hanya ia menggape.
"Sahabat karib, sejak perpisahan kita, apa kau ada
banyak baik?" ia menegur. "Di malam ini di selat
Haytong-kok yang bergemilang karena kunjunganmu,
aku harap kau nanti perlihatkan kepandaianmu yang
istimewa supaya semua saudara dari Rimba Persilatan
bisa membuka mata mereka! Aku si tua bangka ini
bersediaakan korbankan jiwaku, supaya aku bisa layani
kau beberapa jurus untuk menerima pengajaran!...."
Khu Liong Gan memperdengarkan suara di hidung.
"Hoa loosu, jangan kau mengucap demikian akan
angkat-angkat aku!" ia berkata. "Malam ini kita orang
beruntung telah bertemu di sini, sudah pasti sekali kita
orang mesti pertontonkan apa yang kita orang bisa,
supaya sahabat-sahabat dari Rimba Persilatan bisa turut
menyaksikan! Ini adalah ketika baik yang sukar
didapatinya! Hoa loosu, kau ada ternama di Bancie
sanchung, kau ada ketua dari Kiongkee-pang, maka di
dalam kalangan Sungai Telaga, ada siapa yang tak kenal
nama besarmu" Kau tersohor buat kepandaian nui-kang
dan nge-kang begitupun toya pusakamu, Susat Sinliongpang!
Hoa loosu, sudah cukup, maka kalau kau benar
ada memandang mata padaku Khu Liong Gan, silakan
kau keluarkan beberapa jurus, aku bersedia akan coba
menyambut kau...."
Hoa Ban Hie bersenyum pula. "Kau baik sekali,
sahabat karib, itu tandanya kau ada memandang mata
padaku si pengemis tua," ia menyahut, "maka itu,
mustahil aku akan menjadi si orang yang tidak tahu diri
akan sia-siakan kebaikanmu ini" Tadi beberapa tuan-tuan
sudah menggunakan senjata, jikalau kita pun gunakan
itu, kelihatannya adalah terlalu lumrah, maka Khu loosu,
kepandaian apa kau ada punyai, silakan kau perlihatkan,
satu atau dua rupa, supaya semua sahabat di sini bisa
buka mata mereka!" Lioktee Sinmo tertawa berkakakan.
"Hoa loosu, janganlah kau dengan sengaja hendak
bikin aku susah!" ia berkata. "Aku datang ke Haytong-kok
ini melulu disebabkan persahabatanku dengan tuan
rumah " ia tunjuk Pian Siu Hoo " dan sekalian untuk
belajar kenal dengan beberapa sahabat yang baru, jadi
bukan maksudku yang utama akan mengganggu siapa
pun. Juga aku sama sekali tidak berani unjukkan
kepandaian dengan tak keruan juntrungannya di
hadapannya banyak sahabat ini. Maka mari kita
memperlihatkan saja beberapa rupa kepandaian tangan
kosong, supaya tidak percuma yang kita orang telah
datang kemari...."
"Sahabat karib, janganlah kau bersikap, demikian!"
Hoa Ban Hie tertawa. "Sikapmu demikian rupa adalah
seperti juga kau tidak memandang mata padaku, si
pengemis tua! Sahabat karib, pertemuan kita malam ini
bisalah dikatakan sebagai si penjual emas bertemu
dengan si pembelinya! Sahabat, aku ingin main-main
dengan kau dalam kalangan ilmu nuikang, maka silakan
kau mulai guna memastikan kemenangan atau
kekalahan. Harap sahabatku, kau tidak banyak bicara
lagi, silakan kau berikan, pengajaranmu kepadaku!"
"Sahabat karib, kau keliru artikan aku!" Khu Liong Gan
bilang sambil bersenyum. "Sahabat, aku ketahui
maksudmu yang sebenarnya! Kau sebenarnya hendak
coba Susat Sinliong-pang-mu yang disebut juga Susat
Hokmo-pang, untuk menghadapi aku, sedang baru saja
aku telah tegaskan, aku ingin tak menggunakan
gegaman! Sahabat, jangan kau anggap aku tidak berani
melayani padamu! Guruku benar tidak ajarkan aku
menggunakan alat senjata, akan tetapi aku sendiri telah
yakinkan juga satu rupa, hanya biasanya, selama aku
mengembara di selatan dan utara, belum pernah aku
mencoba menggunakan itu! Jangan kau gusar, sahabat
baik, tetapi aku hendak terangkan, jikalau aku gunakan
senjataku itu, selamanya belum pernah orang yang
hadapi aku bisa mendapat kesudahan yang baik,
selamanya semua menjadi apes! Kita orang di sini semua
ada bersahabat baik, maka itu kenapa kita orang mesti
ciptakan permusuhan hingga selanjutnya, kita orang bisa
tidak hidup sama-sama di kolong langit?"
Setelah berkata demikian, Khu Liong Gan simpan
kantong tembakaunya.
Sudah biasanya bagi Kiongsin Hoa Ban Hie, ia belum
pernah niat mengalah bicara, tidak peduli dengan orang
macam bagaimanapun, dan sudah biasa juga orang yang
kenal padanya, tidak mau adu mulut, maka itu ia menjadi
sangat tidak senang yang sekarang Lioktee Sin-mo
berani banyak bicara terhadap ia, tetapi meski demikian,
ia ternyata bisa kendalikan diri. Malah sambil angkat
kedua tangannya sembari bersenyum, ia berkata, "Khu
loo-suhu, kau benar ada orang istimewa! Di dalam Rimba
Persilatan, ada siapa yang bisa melebihi kau" Kau ada
baik sekali dan tidak niat bikin aku jatuh merk, aku
berterima kasih padamu! Nah, sahabat karib, kita baik
jangan abaikan ketika, silakan kau perlihatkan ilmu
kepandaian rahasiamu ialah Shacaplak-louw Pekwan
cianghoat, supaya aku si pengemis tua bisa buka mata,
agar semua hadirin di sini bisa tambah pengetahuannya
dengan kepandaian istimewamu itu!"
Lioktee Sinmo sebenarnya kaget yang ilmu
kepandaiannya telah dibeber oleh si pengemis tua, tetapi
dengan seruan, "Baiklah!" dan tertawa, ia bisa umpeti
perasaannya itu, sedang juga ia lantas mulai bersiap.
Berdiri masing-masing di timur dan barat, kedua lawan
itu perlihatkan roman yang luar biasa: yang satu
pengemis, yang lain sebagai guru sekolah yang melarat.
Dengan masing-masing angkat kedua tangan, dua
orang itu berseru, "Persilakan!" setelah mana mereka
maju mendekati satu dengan lain. Benar saja, Khu Liong
Gan sudah lantas memperlihatkan gerakan dari Pekwanciang,
Tangan Lutung Putih!
Orang telah menduga bahwa Hoa Ban Hie akan
mainkan Kimna-hoat, ilmu "Menangkap"untuk hadapkan
si Iblis Bumi, tetapi di luar dugaan orang banyak, ia
justru keluarkan Thaykek-touw, hingga menampak
demikian, Lioktee Sinmo sendiri menjadi terperanjat,
maka lekas-lekas ia robah gerakannya dan gunakan
Patkwa-mui bagian Biansie Liuyap Mosin-ciang atau
"Kepelan lemas".
Cepat luar biasa, tubuhnya Hoa Ban Hie telah
merangsek dekat pihak lawan, tangannya bergerak, akan
tetapi di saat kepelannya belum sampaikan tubuh
musuh, tubuhnya sudah bergerak pula, berkelit sendiri
dengan memutar, akan tahu-tahu ia sudah berada di
sebelah belakangnya Khu Liong Gan. Itu adalah gerakan
laksana kilat cepatnya!
Si Iblis Bumi tahu artinya gerakan musuh, ia bisa
membade dengan pasti, tetapi gerakan kilat itu ada
menerbitkan kesukaran bagi ia, karena ia mesti turutturutan
berlaku sebat juga, berbalik atau memutar tubuh
ke jurusan mana si musuh berbalik atau memutar,
karena ia mesti pasang mata untuk kaki tangan musuh,
yang bisa tendang atau toyor ia sembarang waktu.
Hanya, yang sudah terbukti, ia cuma diancam saja,
serangan belum ada sama sekali.
Benar-benar, gerakannya Malaikat Kemelaratan ada
laksana orang main petak atau bersendagurau, karena ia
terus terputar-putar, putar sana dan putar sini,
tangannya kiri dan kanan menyerang, kakinya mendupak
atau menendang, tetapi semua itu tidak sampai
mengenai sasaran atau ia telah tarik pulang, sedang
pihak lawannya, sambil terputar-putar sebagai dia, mesti
juga geraki kaki tangan, guna menangkis atau berkelit.
Toh semua serangan tak meminta hasil. Tetapi, kendati
begitu, Lioktee Sinmo mesti beraksi, karena ia kuatir,
selagi ia tak bersiap, ia nanti betul-betul dicepol atau
didupak terguling.
Gerakannya Hoa Ban Hie mirip benar dengan sifatnya
thaykek, yang merupakan lingkaran, dengan lingkaran
mana, Khu Liong Gan seperti terkurung.
Sesudah babakan yang pertama, orang lihat tubuhnya
ketua Kiongkee-pang bergerak-gerak jauh terlebih cepat
pula: satu waktu ia berputar-putar, satu waktu ia
berbalik, atau lain waktu ia loncat mumbul, akan sabansaban,
sebagai akibatnya, ia datang pula merapatkan
diri. Sama sekali ia tidak mengasih ketika akan pihak
lawan dapat mengaso, ia tak ijinkan pihak lawan itu kasih
pembalasan. Baru sekarang Lioktee Sinmo Khu Liong Gan ketahui
benar liehaynya si pengemis tua ini, yang orang sohorkan
dan malui, sebab benar-benar orang tidak boleh main
gila terhadap padanya. Kegesitan tubuh seperti itu, mana
sembarang orang bisa layani....
Ada orang-orang yang sangka, Hoa Ban Hie menjagoi
karena terlalu banyak pengikutnya, yang tersebar di
sungai besar selatan dan utara. Anggapan ini pun ada
anggapan dari si Iblis Bumi sendiri, siapa nyana,
anggapan itu tidak berdasar. Nyata, kecuali banyak
pengikutnya, si Malaikat Kemelaratan memang benar ada
sangat liehay. Pekwan-ciang dari Khu Liong Gan ada suatu ilmu
pukulan yang liehay, yang gerakannya sebat luar biasa,
karenanya, ia ada sangat dimalui, tetapi sekarang
menghadapi si pengemis tua, ia menjadi repot. Coba ia
tidak perkuatkan pembelaannya, mestinya sedari siangsiang
ia sudah kena dipecundangi. Sekarang, dengan
terpaksa, ia kuatkan hati, ia perlihatkan kegesitannya,
buat melayani terus...
Karena cepatnya gerakan, cepat juga lewatnya jurusjurus,
sebentar saja, sudah lebih daripada sepuluh jurus.
Tapi justru karena ini, Khu Liong Gan lantas ketahui,
musuh mempunyai nuikang atau lweekang yang liehay.
Saking terpaksa, Khu Liong Gan lantas perlihatkan
semua gerakan dari Shacaplak-louw Pekwan cianghoat.
Ia tidak mau sembarangan menyerah kalah, ia melawan
terus sebisa-bisanya.
Lioktee Sinmo telah gunai Cie-yang Taykiu-chiu, guna
kumpul tenaga di lengannya, tetapi Hoa Ban Hie
mencoba punahkan itu dengan Yancu Sippat Siamhoan,
terbang jumpalitannya burung walet.
Semua penonton jadi sangat ketarik, yang tadinya
duduk, lantas bangun berdiri. Semua mereka menjadi
kagum luar biasa, baru sekarang mereka lihat
pertandingan yang berarti. Itulah tidak heran jika diingat,
masing-masing dari kedua tandingan itu telah punyakan
latihan hampir setengah abad.
Menurut jalannya pertandingan, adalah Hoa Ban Hie
yang saban-saban menyerang Khu Liong Gan, tetapi
menurut apa yang tertampak, sebaliknya adalah Khu
Liong Gan yang seperti ubar-ubar Kiongsin.
Demikian kita lihat, Lioktee Sinmo susul si Malaikat
Kemelaratan, yang mutar balik dari jurusan timur utara.
Si pengemis tua ini sudah lantas gunai ilmu entengi
tubuh Polong tengpengleng coanpou, yang ada lebih
liehay daripada ilmu Cosiang-hui atau "Jalan di atas
rumput laksana terbang." limu lari ini bisa keliru
dianggap sebagai ilmu siluman, saking cepatnya. Sekali
ini, Khu Liong Gan menjadi ibuk sekali. Waktu ia
dikurung, ditendang dan dicepol, ia bisa berkelit dan
menangkis, meski juga tangan dan kaki mereka tidak
sampai beradu, tapi sekarang, guna balas menyerang, ia
kewalahan akan kejar tandingan yang bisa lari
seumpama terbang itu. Bagaimana ia bisa menyandak"
Kalau ia tidak sanggup menyandak, bagaimana ia bisa
menyerang, baik dengan tangan maupun dengan kaki"
Bagaimana ia bisa mendekati tubuh musuh kalau ia kalah
lari" Jika tidak mengubar terus, itulah tidak bisa jadi,
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebab Kiongsin bukannya kalah! Mereka pun lagi adu
kepandaian: kepandaian rupa-rupa!
"Celaka, malam ini aku bisa jatuh pamor...." pikir si
Iblis Bumi. Hoa Ban Hie tapinya tidak lari terus-terusan, ia
kendorkan kakinya, ia putar tubuhnya, dengan begitu, ia
kecandak, tetapi begitu rapat pula, lagi-lagi dia yang
mendahului menerjang, beruntun-runtun. Maka itu,
sudah tiga kali mereka berkelahi "rapat," sedang mereka
main udak-udakan, sudah dua kali.
Khu Liong Gan jadi sengit, ia bergerak dengan hebat.
Ia ingin peroleh keputusan: ia menang atau kalah! Ia
tidak layani lawan seperti biasa, dengan berani ia ambil
aksi memegat, akan kacaukan berkelahi orang yang luar
biasa itu. Ia tidak lagi ada di sebelah belakang, dengan
tiba-tiba ia memegat dari kiri, tubuhnya berloncat,
tangan kirinya bergerak, disusul oleh tangan kanannya.
Sasarannya iga kiri dan Kiongsin. Ia pun telah kumpulkan
tenaganya. Dipegat secara demikian, Hoo Ban Hie masih bisa
berhentikan tindakannya. Kaki depannya berhenti,
tubuhnya mutar, berbalik ke belakang, kapan pundak
kanannya di angkat, tangan kirinya ditekankan ke bawah,
bukan untuk cegah atau tangkis tangan musuh, hanya
untuk "potong" lengan musuh itu. "Babatan" ini
membahayakan. Khu Liong Gan, sebagai satu ahli sudah siap. Dari
menyerang, ia berbalik jadi diserang. Ia batalkan
serangannya dan ia bawa tangannya ke bawah, terus
ditarik pulang ke depan dadanya. Mula-mula akan tolong
tangan kirinya, yang sudah maju lebih dahulu, tangan
kanannya, yang maju belakangan, ia bisa kembalikan
dengan sebat. Dan dengan tangan kanan, ia menyambar
mukanya si pengemis, kaki kanannya berbareng juga
turut maju bekerja.
Sebagai pihak penyerang, Hoa Ban Hie sudah siap.
Dengan gampang ia bisa loloskan diri dari ancaman
musuh. Ia tidak mau menyerah dengan begitu saja.
Musuh gunai akal, ia pun bisa jika ia mau. Men-dadakan
ia majukan kaki kirinya, tubuhnya ikut mendak sedikit,
tangannya bergerak, pada jalan darah dari musuh.
Tangan ini tahu-tahu telah mengenai baju.
Khu Liong Gan terperanjat, pundaknya diegosi, ke kiri,
lantas kaki kirinya, yang sudah bergerak, dipakai
menyapu, guna barengi musuh, la arah kaki kanan
musuh. Jikalau serangan kaki ini berhasil, akibatnya hebat
bukan main bagi Hoa Ban Hie. Kakinya si Iblis Bumi,
yang telah terlatih, keras laksana besi, siapa terkena itu,
pasti tulangnya patah, uratnya putus.
Tapi Hoa Ban Hie tidak kelabakan, akan menyingkir
dari serangan itu. Ia geser kaki kanannya ke belakang,
kaki kirinya diangkat sedikit, kedua tangannya disiapkan.
Secara begini, dengan gampang ia bisa lolos dari
ancaman bahaya itu. Nampaknya, karena gerakannya itu,
tubuhnya seperti hendak jatuh celentang, tetapi tahutahu
ia telah mengisar ke kanan, tangan kanannya
menyerang dengan satu totokan ke otak.
Ini adalah salah satu totokan berbahaya dari Susatchiu.
Khu Liong Gan egos diri ke kiri. Totokan itu tidak
bisa diluputkan, kalau sasaran tidak dapat dikenakan,
mesti ada lain-lain bagian yang menjadi korbannya,
umpama tempilingan. Tapi Lioktee Sinmo masih
punyakan daya lain: sembari egos tubuh, ia mengebut
dengan tangan kanan, atau lebih benar ujung baju dari
tangan kanan itu, menuju nadi orang itu. Itu adalah
kebutan ujung baju, tetapi ujung baju dari satu ahli
nuikang ada tak kurang liehaynya dari pukulan biasa. Ini
pun ada serangan yang dinamai Po-in kianjit atau
"membuka awan akan melihat matahari."
Hoa Ban Hie tahu keliehayan lawan, ia tarik pulang
tangannya dan tubuhnya pun dimencelatkan maju.
Sambil berbuat begitu, ia tertawa berkakakan!
"Iblis tua, tidak salah apa yang kau bilang!" ia kata.
"Aku si pengemis tua benar bukan tandinganmu! Terang,
kau ingin betot aku hingga kecebur ke air! Oh, sahabat
karib, dalam pertempuran ini aku harus menyerah
kalah!...."
"Hm, sahabatku!" Khu Liong Gan pun kata. "Bukankah
Susat-chiu masih ada lain-lain bagiannya yang
berbahaya?"
"Dengan begitu kau puji-puji aku! Aku tidak berani
6embarangan, sahabat!" Hoa Ban Hie kata. "Dengan
kantong tembakaumu, kau bisa mainkan pukulanmu
yang berbahaya pada tigapuluh enam jalan darah atau
urat, itu adalah kepandaian yang istimewa dan
tersembunyi sekalipun di kalangan Rimba Persilatan. Apa
kau sangka aku si pengemis tua tidak ketahui tentang
kepandaian simpanan dari kau ini" Silakan kau keluarkan
kepandaianmu itu, aku si pengemis tua akan tak sayang
lagi jiwa bangkotanku. Aku nanti temani kau main-main
untuk beberapa jurus! Iblis tua, hayolah, dengan secara
terbuka, kau pertunjuki kepandaian kau itu, supaya
khalayak ramai bisa buka matanya!"
Dikocok begitu rupa, Khu Liong Gan manggutmanggut.
"Hoa Ban Hie, aku mesti tunduk pada kau," ia kata.
"Silakan dengan bebas, kau perlihatkan kepandaian
simpananmu. Biar bagaimana juga aku tak berguna aku
nanti layani pada kau! Nah, sahabat, silakan mulai!"
"Iblis tua, baiklah, begini saja perjanjian kita!" kata
Hoa Ban Hie. Demikian berdua mereka saling ejek.
Ketika itu Chong Kim Ciu, salah satu murid dari
Kiongkee-pang, yang sedang berduduk saja, lantas
berbangkit dan bertindak menghampirkan, akan
serahkan senjata pusaka turunannya Hoa Ban Hie dari
leluhur Kiongkee-pang, ialah toya Susat-pang. Ketika ia
sampai di depan pemimpinnya, ia tekuk sebelah kakinya.
Hoa Ban Hie sambuti itu senjata, yang diberikannya
secara demikian hormat.
Chong Kim Ciu tunggu sampai senjata pusaka itu
sudah diterima dengan baik, baru ia undurkan diri,
menurut caranya sendiri, yang istimewa Ia berbangkit, ia
tidak putar dahulu tubuhnya, buat bertindak ke
tempatnya tadi, hanya begitu berbangkit, tubuh itu
segera mencelat lompat ke tempatnya tadi, dengan satu
jumpalitan Yauwcu tohoansin atau "Burung jungkir balik"
Ia bergerak laksana terbangnya burung, hingga siapa
yang menyaksikan, jadii kagum sekali.
Lioktee Sinmo, di pihaknya, sudah singkap bajunya
yang panjang, akan keluarkan huncwee dengan kantong
tembakaunya, setelah nu na, ia mundur, seperti juga si
pengemis tua, hingga mereka berdiri berhadapan cukup
jauh satu dari lain.
Semua penonton buka lebar-lebar mata mereka,
kesatu mereka hendak saksikan pertempuran dari dua
jago kenamaan, dan kedua mereka hendak saksikan juga
senjata-senjata yang istimewa itu, bagaimana
digunakannya senjata itu dan bagaimana kefaedahannya
Kedua pihak sudah lantas siap tetapi lebih dahulu
daripada itu, Hoa Ban Hie telah menjura ke jurusan barat
utara asli, kemudian dengan mendak sedikit, toyanya ia
lintangi di depan dadanya.
--ooo0dw0ooo-- XV Lioktee Sinmo juga lintangi kantong tembakaunya
Han-yan-tay, tangan kirinya dimajukan ke depan,
jerijinya duduk di atas tangan kanan, kemudian sambil
mengucapkan, "Silakan?" ia bertindak ke kiri, hingga
kedua pihak lantas datang dekat satu pada lain.
Khu Liong Gan sudah lantas turun tangan terlebih
dahulu, ia mendahului, dengan arah dada lawan itu.
Hoa Ban Hie tidak menangkis, hanya ia kelit ke kiri;
dari sini, ia geraki Susat-pang. Ia berada di sebelah
kanan musuh. Khu Liong Gan kelit sambil putar tubuhnya, berbareng
dengan itu, ia menyerang pula, pada belakang kepala
orang. "Bagus!" berseru Hoa Ban Hie, sambil ia berkelit
dengan tunduki kepala, sedang kaki kanannya ditarik
mundur. Lagi-lagi ia menggeser ke kanan, terus mutar,
diturut oleh toyanya. Kalau tadi ia diserang belakang
kepalanya, sekarang ia hajar bebokong lawan itu. Ia
selalu mencari jalan darah atau urat.
Begitulah kedua pihak bertempur, dengan lantas saja
menjadi seru, karena dua-duanya ada gesit dan sasaran
mereka selalu ada anggota-anggota tubuh yang
berbahaya, hingga siapa lebih ajal, ia harus terima kalah.
Di matanya orang banyak, buat sementara itu,
kelihatan nyata bahwa kedua tandingan ada setimpal.
Dengan suara sambaran angin yang keras, Susat-pang
menjurus ke tubuhnya Khu Liong Gan.
Dengan lompat jumpalitan Giok-bong tohoansin, ialah
"Ular naga kumala jungkir balik tubuhnya," Lioktee Sinmo
berkelit ke kiri, Han-yan-tay-nya turut bergerak, dari
bawah ke atas, menyampok toya musuh, hingga kedua
senjata jadi beradu sambil perdengarkan suara keras.
Susat-pang terpental sedikit ke tinggi dengan Han-yantay
berbalik turun. Ini telah terjadi saking kerasnya
benturan, atau saking kuatnya tenaga dari kedua pihak.
Baru sekarang orang-orang dari kedua pihak dapat
tahu, ruyung dari Hoa Ban Hie bukan ruyung
sembarangan, dan terbikinnya dari bangsa logam.
Tadinya, karena dicat dan nampaknya seperti tidak
dirawat, ruyung itu orang tidak tahu terbikin dari kayu
atau bahan lainnya
Karena itu benturan, kedua pihak telah saling mundur
akan periksa, senjata mereka masing-masing, ada yang
rusak atau tidak, apabila keduanya sama-sama merasa
puas, dengan sendirinya mereka maju pula, akan
rapatkan diri. Susat-pang, sebagai pusaka dari Kiongkee-pang,
benar mempunyai tigapuluh enam jalan, yang lebih jauh
terpecah jadi tiga gerakan lain buat masing-masing satu
jalannya, maka itu sama sekali menjadi seratus delapan
jalan, Di lain pihak, Han-yan-tay mempunyai jalan yang
sama banyaknya dan telah terkenal di tigabelas provinsi
selatan dan utara: tujuh di selatan, enam di utara. Cara
menyerangnya juga ada yang menurut ilmu menotok
jalan darah, dari mana jadi ternyata liehaynya senjata
itu. Tandingan yang setimpal ini bergerak dengan cepat
dan gesit, tubuh mereka tertampak seperti berkelebatan
saja. Lioktee Sinmo Khu Liong Gan jadi sangat kagumi
lawannya itu. Sejak masuk dalam dunia Sungai Telaga, ia
sudah merantau di dalam dan luar Tionggoan, di selatan
dan utara, di atasan dan bawahan sungai Tiangkang, ia
pernah hadapkan banyak tandingan tangguh, tetapi tidak
pernah ia ketemu orang sebagai si pemimpin pengemis
ini, justru datangnya ke Haytong-kok melulu untuk
berkenalan dengan orang-orang kangouw, yang luar
biasa, ahli-ahli dari Rimba Persilatan. Ia tidak pernah
menyangka bahwa ia bakal hadapkan Hoa Ban Hie,
hingga ia memikir, jangan-jangan di sini ia bakal tampak
kejadian yang akan bikin ia tercemar. Oleh karena ini, ia
lantas berkelahi dengan sungguh-sungguh dan hati-hati,
ia keluarkan semua kepandaiannya.
Juga bagi Hoa Ban Hie, ini ada pengalamannya yang
pertama. Sudah empatpuluh tahun ia nyebur di kalangan
Sungai Telaga, buat ia tidak ada soal sukar atau sulit, ia
tetap tenang dan gembira, ia paling gemar membanyol
atau menyindir. Hanya kali ini di Haytong-kok barulah ia
bisa memikir, apa ini bakal menjadi saatnya yang terakhir
atau bukan.... Apa yang luar biasa, senjata kedua pihak pun sama
luar biasanya. Duapuluh jurus sudah lewat dengan cepat.
Hoa Ban Hie sekarang merasai benar berbahayanya
musuh, senjata siapa ada seimbang liehaynya dengan
senjatanya sendiri. Yang berbahaya adalah kalau senjata
musuh itu mencari urat atau jalan darahnya,
sebagaimana senjatanya sendiri pun mampu berbuat.
"Aku mesti lindungi pamorku," berpikir Hoa Ban Hie. Ia
kepalai empat atau limalaksa pengikut Kiongkee-pang,
maka kalau ia gagal, ia malu akan tinggal hidup lebih
lama. Tadinya ia pikir akan layani Khu Liong Gan sampai
mereka dapat jalan akan berhentikan pertempuran
secara baik, secara damai, tapi sekarang, melihat
sikapnya Lioktee Sinmo, ia bersangsi. Maka sekarang, ia
tidak lagi mau main-main....
Ketika itu Khu Liong Gan berada di sebelah selatan,
dengan tipu Ciauwhu bunlouw atau "Tukang kayu
menanyakan jalanan," ia mau totok tenggorokan dari
Hoa Ban Hie. Untuk bela dirinya, Hoa Ban Bie tidak menangkis,
hanya ia egos tubuhnya ke kiri. Tetapi sembari
menyingkir, ruyungnya ia geraki, akan sambil lalu sabet
pundak kiri orang. Karena ia tidak mau berkelit dengan
hanya berkelit saja.
Khu Liong Gan lihat Serangannya tidak mengasih hasil,
sebaliknya, pundaknya terancam bahaya, dengan lekas ia
berkelit seraya senjatanya ditarik pulang, dipakai akan
sapu senjata musuh. Maka untuk kedua kalinya, Susatpang
dan Han-yan-tay telah saling kebentrok pula,
dengan luar biasa keras, sebab kedua pihak menggunai
tenaga penuh, maka kedua senjata telah sama-sama
terpental balik.
Menggunai saat kedua senjata beradu dan terpental,
Lioktee Sinmo memikir untuk rebut kemenangan.
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mengunai saat senjatanya terpental, ia barengi gerakkan
tenaganya, akan bikin senjata itu mutar balik, buat
diteruskan menyerang lawan, sembari berbuat begitu, ia
kasih dengar suara dari hidung, la telah menjuju perut
orang itu. Gerakan ini dipanggil Kimkee tauwleng atau
"Ayam mas menggibrik bulu," yang gerakannya sangat
cepat. Hoa Ban Hie berada dalam ancaman bahaya, karena
serangan musuh ada serangan yang tak dapat didugaduga,
untuk menangkis itu, ketikanya sudah tidak ada,
sedang buat berkelit mundur, gerakan tubuh tidak
leluasa, maka tidak ada lain jalan, si Malaikat
Kemelaratan sudah lantas tancap kedua kakinya dengan
rubuhnya ditarik ngelenggak ke belakang, sampai tubuh
itu sedikit melengkung. Secara begini, Han-yan-tay telah
menyambar untuk lewat saja, tak mengenai sasarannya.
Tetapi Khu Liong Gan telah menduga bahwa orang
bakal lupakan diri dengan cara menarik tubuh itu, ia
sudah siap, selagi tubuh lawan melengkung, ia majukan
kaki kanannya, dan lagi sekali, arah perut orang itu. Ia
bisa lakukan serangan itu beruntun karena tangannya
sedang terayun dan terputar terus. Gerakannya ada
cepat luar biasa.
Hoa Ban Hie ada terancam bahaya, karena sekarang ia
sudah tidak bisa mundur atau berkelit lagi, akan tetapi di
lain pihak, ia telah dapat ketika akan siap dengan duadua
tangan dan kakinya. Ia rupanya bisa menduga atas
aksi selanjutnya dari pihak lawan. Cepat sekali, ia geser
kaki kirinya ke kiri, kapan kaki ini telah menancap, kaki
kanannya diangkat, dikasih jinjit. Secara begini, ia sudah
lolos dari bahaya. Tetapi ia tidak berhenti sampai di situ.
Kedua tangannya ada merdeka sedari tadi, ia hendak
gunai ruyungnya. Begitulah sambil geser tubuh ke kiri,
Susat-pang dipakai barengi menyambar ke pilingan kiri.
Lioktee Sinmo telah memikir bahwa satu kali ini ia
bakal bisa rubuhkan lawannya yang tangguh dan
termasyhur itu, karena desakannya yang hebat, karena
kegesitannya istimewa, maka tidak nyana, ketua dari
Bancie sanchung masih punya-kan kesempatan, akan
perbaiki diri dan berbareng balas menyerang dengan
tidak kurang hebatnya. Sebab ia sudah tidak bisa gunai
lagi Han-yan-tay, untuk tolong diri, terpaksa ia pakai
tangan kosong, untuk sambuti ruyung musuh dan tekan
itu, agar senjata itu tidak sampai mengenai sasarannya,
latahu serangan ada hebat, dan barangkali ia kekurangan
tenaga, tetapi di waktu demikian, ia empos
semangatnya, akan kumpul tenaga dan tenaga
bathinnya. Kiongsin menjadi kagum kapan ia saksikan caranya
musuh membela diri itu. Ini macam tangkisan juga ia
tidak pernah pikirkan. Ia lekas tarik pulang ruyungnya
begitu ruyung mengenai tangan musuh, agar senjata itu
tidak kena dicekal atau dibetot. Maka dengan sendirinya,
kedua pihak pun terpisah satu dari lain.
Untuk ketiga kalinya, kemudian dua lawan telah saling
berhadapan pula. Pertempuran telah dilanjuti dengan
kedua pihak semangkinan sengit. Lioktee Sinmo, si Iblis
Bumi, telah kirim pukulan-pukulan dari kematian, ujung
senjatanya terus mencari urat-urat atau jalan darah yang
membahayakan jiwa. Duabelas tayhiat atau jalan darah
paling berbahaya dari si Malaikat Kemelaratan senantiasa
menjadi sasaran.
Hoa Ban Hie bisa lihat sepak terjang lawan yang
tangguh itu, ia mengerti, ia tidak mau berlaku alpa. Ia
gunakan kecelian mata, kegesitan tubuh, baik di waktu
berkelit dan menangkis maupun di saat ia lakukan
pembalasan, karena ia tidak mau jadi pihak yang selalu
diserang. Khu Liong Gan telah gunai Lianhoan capjie kiauwtah,
runtunan serangan duabelas kali, dan Hoa Ban Hie layani
ia dengan tenang. Runtunan yang ketujuh ada Kim-hong
hielui atau "Tawon gula permainkan tangkai bunga,"
sasarannya ialah jidat. Hoa Ban Hie tidak mau menangkis
atau berkelit saja, hanya ia balas menyerang sembari ia
egos tubuhnya ke kiri, ruyungnya menuju ke piringan
kiri. Secara begini, orang she Khu itu mesti batalkan
serangannya karena ia mesti tolong diri, dengan sampok
keras pada Susat-pang.
Hoa Ban Hie telah belajar kenal dengan lweekang
musuh, ia tahu bahayanya kalau senjatanya kena
disambar, akibatnya ada terlepas dari cekalan atau
terpental keras hingga ia bakal hilang kekuasaan atas
senjatanya itu, maka sebelumnya bencana datang, ia
mendahului. Dengan sebat ia tarik ruyungnya selagi Hanyantay menyambar, ketika gegaman musuh lewat, ia
barengi menyerang pula, dengan tidak kalah sebarnya.
Tangan kirinya juga turut menyambar ke arah dada.
Khu Liong Gan telah hadapkan bahaya. Ia tahu yang
serangan musuh ada hebat sekali. Apa daya sekarang" Ia
tidak bisa menyingkir, maka ia mesti hadapkan itu.
Terpaksa ia gunai Han-yan-tay, akan rintangi Susatpang,
dan dengan tangan kiri juga, ia halangi tangan kiri
pihak lawan mengenai tubuhnya.
Tidak dapat dicegah lagi, satu bentrokan telah terjadi.
Satu suara nyaring kedengaran. Tangan kirinya Lioktee
Sinmo telah tergetar. Tetapi setelah itu, keduanya samasama
lompat mundur. Tidak ada salah satu yang
mendapat luka. "Hoa loosu, Susat-pang sesungguhnya liehay sekali!"
berkata Khu Liong Gan. "Aku Khu Liong Gan menyerah
kalah...."
"Khu loosu," berkata Kiongsin, sambil tersenyum,
"Han-yan-tay-mu benar-benar istimewa! Aku si pengemis
tua telah luntang-lantung empatpuluh tahun lamanya
sebegitu jauh belum pernah aku ketemukan tandingan
sebagai kau, maka ini malam aku mesti mengaku bahwa
aku telah menyerah kalah!"
"Hoa loosu," berkata pula si Iblis Bumi, "sebenarnya
kau belum keluarkan antero kepandaianmu. Dengan
sebenarnya, pertemuan ini malam ada pertemuan yang
sangat sukar dicari ketikanya! Hoa loosu, aku masih
punyakan dua rupa permainan, yang di depan loosu aku
niat pertunjukan keburukannya, apa kau sudi layani aku
mencoba-coba sebentaran?"
Hoa Ban Hie tahu bahwa manusia aneh ini belum
puas, belum mau menyerah kalah, maka ia tahu juga,
kecuali ini manusia aneh dapat dibikin takluk,
pertempuran di Haytong-kok sukar sampai pada
akhirnya, yang lain-lain pasti sekali tak akan mau sudah
juga. "Maka tidak bisa lain, aku mesti layani padanya, akan
bikin ia merasa puas!" demikian ia pikir akhirnya.
Sementara itu satu muridnya Kiongkee-pang telah
lompat pada ketuanya itu, akan dengan hormat
menyambuti Susat-pang, setelah mana, dengan hormat
juga, ia undurkan diri ke tempatnya.
"Khu loosu," berkata si Malaikat Kemelaratan, "benar
seperti kau telah bilang ketika baik seperti ini sungguh
sukar dicari keduanya! Ya, Khu loosu, di dalam
pertemuan ini malam di Haytong-kok ini, kita benar harus
keluarkan semua kcbisaan kita, kita mesti tinggalkan
semua di sini, supaya kalau nanti kita mati, tidak usah
kita bawa-bawa ke dalam peti mati! Khu loosu, bukankah
manusia hidup tak melebihkan seratus tahun" Bukankah,
hari-hari hidup kita, tinggal lagi sekejap saja" Maka,
setelah pertemuan ini, barangkali kita baru bisa ketemu
pula sesudah kita orang berada di lain dunia! Khu loosu,
haraplah kau tidak anggap ucapanku ada ucapan sial, ini
adalah ucapan yang benar-benar cocok dengan
kenyataan!"
"Hoa loosu, benar-benar pikiranmu terbuka!" kata Khu
Liong Gan, dengan tertawa tawar. "Hoa loosu, orang
telah sohorkan Su-sat-pang-mu, sekarang aku telah
buktikan itu! Orang pun bilang bahwa ilmumu
mengentengi tubuh yang dinamai Kengkongteesut-hoat
ada istimewa, aku percaya itu, maka, jikalau kau suka,
maukah kau pertunjuki itu di depan kita" Aku merasa
girang apabila padaku diberikan pengajaran tentang ilmu
itu...." "Dengan segala senang hati, Khu loosu!" sahut Hoa
Ban Hie. "Buat aku, ilmu apa saja, yang aku mengerti,
aku bersedia buat pertunjuki, untuk mengiringi kau.
Hanya ilmu yang aku tak mampu biar bagaimana, aku
tidak berani pertunjukkan, benar-benar aku tak
sanggup!" "Ya, Hoa loosu, aku mengerti," kata Lioktee Sinmo.
"Memang tidak harusnya orang paksakan orang buat
ilmu yang dia tak mengerti! Hoa loosu lihat itu pohonpohon
hay-tong! Bagaimana kalau kita pinjam pohonpohon
itu, untuk kita orang coba-coba" Aku percaya ini
bukannya soal sukar untuk kau...."
"Bagus, Khu loosu," kata Hoa Ban Hie, "kau benarbenar
ada orang yang mengetahui dan bisa
mengimbangi lain orang! Dengan begini, kitajuga jadi
tidak usah bikin berabe pada tuan rumah dengan minta
disediakan ini atau itu, hanya sayang itu pohon-pohon
haytong, kita bakal kena injak-injak! Aku tidak peduli
bahwa aku bakal rubuh tetapi tindakan kakiku benarbenar
tak tetap!...."
"Sudah, Hoa loosu, sudah, kau tidak usah membanyol
lagi," kata Khu Liong Gan. "Sekarang hayo kita orang
lantas mulai!"
Si Malaikat Kemelaratan unjuk roman kaget.
"Eh, bagaimana, Khu loosu" ia tanya. "Jadinya kau
inginkan kita orang main-main di atas pohon itu" Jadinya
kau ingin hajar tulang-tulangku yang tidak belarakan
menjadi berhamburan" Baik, baik, Khu loosu, aku akan
temani kau! Biarlah, aku si tua tidak sayangi lagi jiwaku!
Nah, silakan!"
Lioktee Sinmo tahu yang pihak lawan melulu lagi
kocok padanya, ia tidak mau meladeni hanya setelah
singsetkan pakaiannya, ia berjalan beberapa tindak, dan
akhirnya enjot tubuh, loncat naik ke atas sebuah pohon
yang sebelah timur. Kapan ia sampai di atas, ia angkat
kaki kanannya dan putar tubuh, akan hadapkan Hoa Ban
Hie, untuk memberi hormat.
Hoa Ban Hie sudah lantas turut sikapnya si orang she
Khu, dengan beruntun loncat tiga kali, ia terus enjot
tubuhnya loncat naik ke sebuah pohon di sebelah barat.
Itu ada pohon yang tinggi tetapi ia tidak sampai di
puncaknya, ia taruh kaki di sebelah bawah, selagi
kakinya menginjak, tubuhnya bergoyang-goyang,
cabang-cabang pohon bersuara seperti patah atau
ringsek. Di matanya orang biasa, ia seperti tidak bisa
berdiri tetap dan hendak jatuh, tetapi di matanya satu
ahli, ia sebenarnya lagi pertunjuki kepandaiannya. Sebab
ia perlihatkan Giok-niauw touwkie atau "Burung kumala
menclok di cabang."
Khu Liong Gan tidak puas melihat tingkah orang itu,
maka dengan tidak banyak omong lagi, ia lompat maju,
akan mendekati ketua pengemis itu.
Hoa Ban Hie lihat sikap orang, ia menduga
maksudnya, ia tunggu sampai orang telah datang dekat,
tiba-tiba ia beratkan tubuhnya, sampai cabang pohon
yang ia injak jadi mendot ke bawah sampai berbunyi
seperti cabang patah.
Khu Liong Gan terperanjat, ia lekas lompat balik, ke
pohon di sebelahnya. Ia tahu bahwa ia bisa celaka kalau
ia diam saja. Lantas Hoa Ban Hie unjuk kepandaiannya, cabang
pohon yang ia injak tidak naik pula, berbareng dengan
mana, ia sendiri loncat ke pohon di mana pihak lawan
lagi berdiri, sedang mulutnya berseru "Bagus!"
"Sambutlah, loosu!" kata si pengemis tua yang terus
saja menyerang dengan Kimkauw-ciang atau Tangan
Gaetan Mas, yang menjurus ke bebokong.
Khu Liong Gan terperanjat, lekas-lekas ia loncat ke
kiri, dari mana ia lalu loncat balik, hingga ia berada di
belakang musuh, hingga ia dapat ketika akan segera
balas menyerang.
Karena serangannya mengenai tempat kosong, Hoa
Ban Hie terus saja mendak. Dengan jalan ini kecuali ia
pertahankan tubuh, ia pun lenyapkan ancaman dari
serangan musuh itu. Hanya lagi-lagi bangun akan
menyerang pula, selagi tangan musuh belum keburu
ditarik pulang, hingga musuh itu jadi repot, untuk tarik
tangannya itu. Sampai di situ, bergantian mereka menyerang satu
pada lain. Kedua pihak telah pertunjuki kegesitan, keentengan
tubuh dan kecelian mata mereka, sebab
mereka tahu, siapa alpa atau ayal atau kurang celi
matanya, dia bakal jatuh nama. Mereka ada laksana
monyet-monyet atau tawon gula.
Semua penonton di kedua pihak jadi sangat kagum, ini
adalah pertandingan yang mereka baru pernah saksikan.
Tiga kali Khu Liong Gan lari mutar, ia ingin coba Hoa
Ban Hie, si pengemis tua bisa uber ia atau tidak, tidak
tahunya, dua kali ia kena dilewatkan secara
mengagumkan hingga ia jadi ketahui bahwa musuh ada
jauh terlebih gesit daripadanya. Tapi ia penasaran, ia lari
terus, hanya sekarang, di saat ia lihat musuh hendak
menyandak ia, mendadakan ia lompat jumpalitan, akan
bikin dirinya berada di belakang musuh. Dengan begini ia
ingin berbalik untuk dia yang kejar lawan itu, untuk
diserang dari belakang.
Tetapi Hoa Ban Hie tidak kasih dirinya berada di depan
atau lawan di belakang, selagi orang jumpalitan, ia tahan
larinya, maka di saat musuh itu berdiri pula, berdua
mereka jadi berdiri berhadapan.
Oleh karena ia memang sudah mengandung pikiran,
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Khu Liong Gan tidak sia-siakan ketika, kedua tangannya
sudah lantas dimajukan, akan menyerang dada
Hoa Ban Hie ada celi matanya dan siap, ia tidak jadi
terdesak karena serangan yang mendadakan. Ia mendek,
kedua tangannya itu ia majukan, guna ketok dua-dua
sikut musuh, selagi kedua tangan musuh itu sudah lolos
mengenai sasaran.
Khu Liong Gan terperanjat, sebab tangannya tidak
keburu ditarik pulang, ia hanya melainkan bisa teruskan,
akan dipentang ke kiri dan kanan. Dengan begini, ia bisa
tolongi kedua sikutnya.
Tetapi Kiongsin tidak berhenti sampai di situ. Ia lihat
kedua tangan lawan itu terpentang, ia tidak tarik pulang
kedua tangannya, ia teruskan, akan pakai itu untuk
menyerang perut orang, yang terbuka untuk pukulan.
Juga ini ada serangan yang tidak kalah berbahayanya.
Lioktee Sinmo insyaf akan bencana yang mengancam
dia, ia mesti unjuk ketabahan dan kegesitannya. Kedua
tangannya terus ia tarik turun, akan dipakai menindih
kedua tangan musuh yang hendak gempur perutnya.
Kedua tangannya berada di sebelah atas, ia bisa berbuat
dengan merdeka, asal ia berlaku sebat. Dan
kesehatannya itu ia punyakan.
Liehay adalah ketua dari Kiongkee-pang dari Bancie
sanchung, melihat musuh hendak gempur dua tangannya
kedua tangannya itu ia lekas balik, untuk dipakai
memapaki, menjaga serangan dari atas itu. Ia tidak takut
yang ia berada di sebelah bawah.
Nyata Khu Liong Gan tidak mau adu tangan, ia batal
menyerang dengan lompat mundur, maka Hoa Ban Hie
pun tidak usah ambil tanggung jawab, ia juga lantas
mundur, hanya setelah terpisah dari musuh, ia terus lari
mutar. Khu Liong Gan hendak adu kegesitan dan keentengan
tubuh, siapa nyana ia telah hadapkan satu lawan yang
betul-betul tangguh. Karena gerakan musuh itu, terpaksa
ia mesti lagi-lagi coba kejar musuh itu. Ia sekarang
mengerti bahwa ada sukar untuk ia rebut kemenangan,
la juga mengerti, bahwa pihak musuh hendak coba
permainkan ia, dari itu, ia jadi penasaran dan sengit.
Di sebelah utara pepohonan ada rumah, di situ
pepohonanjadi buntu, tetapi di sini justru Khu Liong Gan
hendak pegat lawannya. Ia sudah berpikir matang dan
siap. Dengan loncatan Yancu Hui-in, atau "Walet terbangi
awan," mendadakan ia melombai dan memegat pula,
tangan kirinya terus saja menyambar ke bebokong.
Datangnya pukulan ada dari samping.
Hoa Ban Hie bisa duga maksud musuh, karena ia bisa
lihat datangnya pukulan, ia tolong diri dengan kelit ke
samping, hanya seperti biasa, dari sini sesudah kakinya
menginjak, terus saja ia membarengi menyerang lengan
kiri orang itu.
Kedua pihak berdiri dekat satu dari lain, terpisahnya
hanya dua kaki. Mendadakan tangan kiri dari Lioktee
Sinmo bergerak, tetapi ini ada ancaman belaka karena
yang menyerang kemudian ternyata ada tangan kanan.
Serangan ini menggunakan tenaga sepenuhnya. Sasaran
adalah iga kanan.
Kalau ia terkena serangan ini, tak ampun lagi, Hoa Ban
Hie mesti rubuh dan binasa. Tetapi ketua dari Bancie
sanchung bisa bade maksud lawan itu, malah ia pun tahu
orang serang ia dengan hati yang panas. Ia antap
gerakan tangan kiri dari lawan itu, tubuhnya bergerak ke
kiri sedikit, hingga, ia jadi berada di sebelah kanan
musuh. Ia bergerak sedikit tetapi cepat, dengan
demikian, kepalan musuh tidak sampai mengenai iga,
sebaliknya, ia sekarang bisa balas serang iga kanan
musuh yang lowong itu.
Khu Liong Gan lekas tarik pulang dua-dua tangannya,
yang mana ia pakai akan papaki kedua tangan musuh,
guna cegah tangan itu membikin ia celaka. Ia pun
bergerak dengan sangat cepat, hingga empat tangan jadi
beradu, kaki mereka sama-sama pasang kuda-kuda,
untuk bantu tenaga di tangan. Karena ini, genteng
rumah yang mereka injak sampai menerbitkan suara
kerekekan. Sekejap saja kedua pihak adu tenaga, lantas saja
muncul kesudahannya. Dengan dibarengi oleh satu
seruan, Kiongsin gunai tenaga dan ambekannya, akan
gempur musuh. Di lain pihak, Lioktee Sinmo juga kumpul
semangatnya, akan lawan musuh sambil menggempur
musuh itu. Dengan satu jejekan, kaki kiri ke belakang, Hoa Ban
Hie tancap kuda-kudanya, rubuhnya tidak bergerak
sedikit juga, tetapi Khu Liong Gan mesti mundur sampai
tiga atau empat kaki, meskipun benar, ia bisa
pertahankan tubuhnya tidak miring atau doyong.
Di mata umum, mereka nampaknya berimbang, tetapi
di mata ahli, si Iblis Bumi nyata sudah kalah tenaga
ambekan. "Aku telah terima pengajaran," kata orang she Khu itu.
Hoa Ban Hie melainkan bersenyum dan mendahului
akan loncat turun dari atas genteng, setelah mana, Khu
Liong Gan susul ia.
Sesampainya di tanah, sambil takepi kedua tangannya,
Hoa Ban Hie unjuk hormat pada lawannya.
"Sahabat baik, kau benar-benar ada liehay," ia
berkata. "Aku si pengemis tua sangat beruntung yang ini
malam di lembah Haytong-kok ini aku bisa terima
pelajaran dari kau. Bagaimana, sahabat baik apa kau
masih hendak lanjuti main-main ini?"
"Hoa loosu, kau benar ada seorang baik," ia bilang.
"Kau pun ada seorang yang cerdik, karena kau bisa bade
hatiku! Hoa loosu, sekarang aku telah ambil putusan
akan per-tunjuki apa yang aku bisa di hadapanmu, untuk
minta pengajaranmu, karena dengan terima pelajaran
dari kau, tidaklah sia-sia yang aku telah merantau di
kalangan Sungai Telaga" Aku pun merasa beruntung,
yang kau telah menaruh perhatian terhadap diriku...."
Hoa Ban Hie tertawa berkakakan.
"Sahabat baik, nyata sekali kau menaruh harga
kepadaku!" ia kata. "Dengan begini terang bahwa kau
telah pandang aku si pengemis tua sebagai sesama
kaummu. Baiklah, sahabat, baik kita gunai saat yang baik
ini, yang sukar dicari keduanya! Kau ada punya
kepandaian apa lagi, yang liehay" Silakan kau keluarkan
itu di Haytong-kok ini, aku si tua bangkotan selalu
bersedia akan iringi padamu, bisa atau tidak aku akan
melayani, sebab demikian adatku, aku selamanya suka
lukm orang merasa senang! Sahabat b.uk. kau ada
sangat ternama, maka kalau segala orang sembarangan,
siapa berani hadapkan kau" Dengan tidak ada yang
layani, bukankah sia-sia saja kau punyakan kepandaian
liehay" Sungguh kecewa kalau kepandaian tinggi dibawa
masuk ke dalam peti mati! Nah, sahabat kekal, jangan
sia-siakan tempo, apa kau kehendaki, silakan kau
utarakan, aku akan dengarkan!"
Khu Liang Gan bersenyum ewah akan dengar kocakan
yang hebat itu, di sebelah itu, ia tidak sanggup melayani,
maka akhirnya ia hanya bilang, "Hoa loosu, baik kau
jangan puji-puji aku lebih jauh, se-mangkin aku naik
tinggi, nanti jatuhnya aku semangkin parah! Kita tidak
usah omong banyak-banyak lagi, mari kita orang mulai!
Aku berniat mencoba-coba senjata rahasia dan
Iweekang, kedua ilmu itu tidak akan mencelakai kita!...."
Hoa Ban Hie tertawa apabila ia dengar usul itu dan
caranya itu diutarakan.
"Sahabat baik, kau sedang berlelucon, eh!" kata ia.
"Kalau senjata rahasia digunai ia bisa minta jiwa orang,
apa itu namanya tak mencelakai" Bagaimana kalau napas
berhenti kerja dan tubuh tak bisa berkutik lagi"..."
"Hoa loosu, kenapa kau tidak tunggu aku sampai
bicara habis" Kenapa kau begini kesusu memegat
perkataanku?" tanya Khu Liong Gan. "Bukankah, pada
mulanya, kita orang tidak bermusuhan" Bukankah kita
kebetulan saja bertemu di lembah ini" Loosu datang
untuk menegur Pian pangcu, itulah aku mengerti, tetapi
aku hanya datang sama tengah, dari itu dapat dimengerti
yang aku tidak bermaksud jelek. Piebu senjata memang
berbahaya, tetapi apa bisa jadi, kita nanti gunai itu di
tempat yang membahayakan" Tidak, loosu. Aku tahu
loosu pandai dalam tiga macam ilmu, ialah Susat-pang,
ciichee-cio dan Kun-goan Itkhie Lengpo-pou, dan ini
semua kau tidak dapat sangkal, karena di selatan dan
utara Sungai Besar, kepandaianmu itu sudah terkenal!
Aku telah mencoba Susat-pang, sekarang itu batu
citchee-cio, yang aku hendak coba, sebab buat Lengpopou,
aku tidak pernah yakinkan, loosu, berapa jauh kau
bisa menimpuk" Kita akan atur jarak, supaya kalau
sampai senjata mengenai, kita tidak akan terluka parah.
Aku pun mau gunai semacam senjata enteng, ialah kimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
chie-piauw. Coba loosu pikir, apa kedua senjata ini
membahayakan jiwa?"
Hoa Ban Hie kagumi caranya orang bicara. Nyata Khu
Liong Gan banyak pendengarannya, luas
pengetahuannya, sampai kepandaian istimewanya dia
pun ketahui, malah diketahui juga yang citchee-cio ia
jarang gunai " barangkali buat lamanya duapuluh tahun
lebih. "Khu loosu, kau benar luas pengetahuanmu," ia
memuji. "Memang aku pernah yakin ilmu menimpuk
dengan batu itu, cuma sudah duapuluh tahun lebih, aku
belum pernah coba lagi, aku kuatir, tanganku sudah
kaku, maka dengan permintaan kau ini, kau bakal bikin
namaku rusak...."
"Hoa loosu, harap kau tidak menjawab secara begini!"
kata Khu Liong Gan. "Apa yang aku harap adalah supaya
kau berlaku murah hati terhadap aku, sebab kalau aku
sanggup layani kau, itu bagiku sudah berarti suatu
keberuntungan! Dengan gunai senjata rahasia, nanti
ketahuan perihal lweekang kita. Hoa loosu, sesudah
pertandingan tiga macam ini, selanjutnya aku mau cuci
tangan, aku tidak mau bicara lagi tentang ilmu silat!"
--ooo0dw0ooo-- XVI "Baiklah, Khu loosu!" Hoa Ban Hie sambut tantangan
itu. "Baiklah, aku nanti gunai tubuh bangkotanku ini
untuk dijadikan bahan sasaran! Cuma coba tolong kau
sebutkan, berapa jauhnya tenaga timpukanmu guna
mengatur jarak...."
"Seperti aku sudah bilang, Hoa loosu, kita orang tidak
bermusuhan, kita orang melainkan mencoba-coba, maka
tentang jauhnya jarak, silakan kau tetapkan saja
menurut jauhnya timpukan batumu, timpukan uangku
akan menuruti saja. Paling jauh aku bisa menimpuk lima
tombak, lebih tidak mampu...."
Keterangannya Lioktee Sinmo bikin terperanjat orangorang
dan kedua pihak. Lima tombak bukannya jarak
yang dekat, sebab umumnya orang hanya pandai
menimpuk tiga tombak, apapula dengan kim-chie-piauw.
Cuma Hoa Ban Hie yang tertawa mendengar
keterangan itu.
"Dengan sikapmu ini, Khu loosu, terang kau sudah
mengalah terhadap aku," ia kata. "Baiklah, kita tetapkan
saja jarak itu jauhnya lima tombak!"
Khu Liong Gan manggut, lantas ia menoleh pada Pian
Siu Hoo. "Pian pangcu, tolong kau ambilkan kita delapan dari
lentera-lentera yang berada di empat penjuru kita itu," ia
kata. "Aku ingin itu dipasang di sekitar kita, jauhnya lima
tombak satu dari lain. Aku percaya tidak terlalu sukar
akan tancap semua lentera itu di sekitar kita ini."
Pian Siu Hoo manggut. Ia memang telah siap segala
apa, apapula orang-orangnya. Delapan potong bambu,
sebentar saja sudah dikasih datang dan mulai digalikan
lubang, untuk mendirikan, lantas di atas itu, digantung
delapan lentera yang diminta. Pekerjaan ini selesai dalam
tempo yang pendek sekali.
Setelah itu, si Iblis Bumi lantas pandang si Malaikat
Kemelaratan. "Hoa loosu, silakan kau berikan pengajaran padaku!"
ia menantang. "Baiklah, Khu loosu, aku pun ingin terima pelajaran
dari kau," sahut Hoa Ban Hie.
Berdua mereka saling unjuk hormat, lantas mereka
berpisah, ke barat dan ke timur dengan beberapa kali
loncat, mereka sudah sampai di tempatnya masingmasing.
Tiang lentera adalah watas di mana mereka
mesti terpisah satu dari lain.
Sesudah sampai di tiang lentera, dua-dua jago ini
lantas bergerak terlebih jauh, untuk persiapan piebu
mereka dengan senjata rahasia. Khu Liong Gan dari barat
menuju ke selatan, Hoa Ban Hie dari timur ke utara.
Gerakan mereka berdua ada cepat sekali.
Hoa Ban Hie merogoh pada kantongnya, akan siapkan
tiga potong citchee-cio, di tangan kiri, kemudian ia
keluarkan lagi dua, akan genggam di tangan kanan. Itu
bukannya batu sembarangan, karena didapatnya pun
dari Sucoan. Itulah, asalnya ada baru besar, yang pecah
ke-gempur air, pecah dalam rupa-rupa ukuran, lantas
diambil dan digosok, dirupakan tiga persegi mirip dengan
Iengkak, dijadikan senjata rahasia oleh si tetua pengemis
yang liehay itu. Saking lamanya dibuat main, batu itu jadi
licin mengkilap dan sinarnya pun merah. Sukar untuk
dapati batu semacam itu, dalam tiga sampai lima tahun,
masih susah akan peroleh itu. Beratnya batu pun mirip
dengan beratnya besi. Dengan senjata ini Hoa Ban Hie
bisa menimpuk jauhnya tujuh tombak.
"Hoa loosu, persilakan!" kedengaran suaranya Khu
Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Liong Gan. "Khu loosu, silakan?" sahut Kiongsin. "Aku si pengemis
tua ingin terlebih dahulu menyambuti tiga batang piauwmu!"
"Baiklah, loosu!" sahut Lioktee Sinmo, si Iblis Bumi.
Lantas, dari sebelah barat, Khu Liong Gan mencelat ke
barat utara, sedang Hoa Ban Hie sekarang sudah sampai
di ujung timur selatan.
"Loosu, sambutilah!" terdengar si orang she Khu. Ia
telah bikin gerakan tubuh, dari kanan ke kiri, tangan
kanannya turut bergerak, hingga dua batang piauw
segera terlepas melesat dari tangannya itu, sampai
menerbitkan suara menga-ung. Meski jaraknya jauh, toh
senjata rahasia itu bergerak sangat cepat. Piauw pertama
menuju ke pundak kiri, dan yang kedua ke lain jurusan.
Dengan duajari tangannya, Hoa Ban Hie sambar
jatuhnya piauw yang pertama itu, setelah mana, ia egos
tubuh, akan ketok piauw yang kedua, yang arah tetenya.
Apamau, piauw ketiga telah menyusul dengan terlebih
cepat lagi, menuju ke tete kirinya. Terpaksa, ia egos balik
tubuhnya, hingga serangan itu dapat disingkirkan.
Kelihatannya gampang saja untuk Hoa Ban Hie
selamatkan diri tetapi sebenarnya ia mesti berlaku celi
dan gesit luar biasa, karena datangnya piauw pun sangat
cepat, bukan seperti piauw yang dilepaskan oleh
kebanyakan orang.
Sekarang datang gilirannya Kiongsin, akan balas
menyerang. Dengan membarengi berseru bahwa ia
hendak membalas budi, tangan kanannya lantas
bergerak dan sepotong batu citchee-cio segera melesat.
Khu Liong Gan baru saja menimpuk ketika piauw batu
itu sampai, ia buang diri ke samping dengan tangan
kirinya menyampok, maka itu batu lantas kedampar jatuh
ke tanah, tetapi justru itu, di antara seruannya Hoa Ban
Hie, batu yang kedua telah datang menyusul.
Sekali ini, Khu Liong Gan sam-pok batu itu dengan
tangan kanan, dengan tubuhnya ikut mengegos juga.
Sampai di situ, Hoa Ban Hie tidak menyerang lebih
jauh, hanya ia memburu, maka Khu Liong Gan lantas
menyingkir. Si Iblis Bumi tahu, serangannya si Malaikat
Kemelaratan tidak sampai di situ saja, tidak mestinya
hanya sedemikian sederhana. Ia lantas teriaki, "Hoa
loosu, silakan perlihatkan kepan-daianmu!"
"Begini saja adanya, kepandai-anku, apa lagi yang aku
mesti perlihatkan?" sahut Kiongsin sambil ia maju terus.
Khu Liong Gan mendongkol buat jawaban itu, yang
suaranya merendah berbareng menyindir, karena ia
merasa bahwa ia sedang dipermainkan.
Karena ia terus menyingkir, Lioktee Sinmo telah
sampai di ujung timur selatan, terpisahnya ia dari pihak
lawan ada lima tombak. Kiongsin juga tidak ingin mereka
terpisah terlalu dekat atau terlalu jauh satu dari lain.
Diam-diam, Khu Liong Gan telah siapkan pula piauwnya.
Dari timur selatan, ia menuju ke barat, dan Hoa Ban
Hie dari timur utara menuju ke timur.
Dengan tiba-tiba Khu Liong Gan balik tubuhnya dan
merangsek, cepat sekali mereka terpisah hanya tiga
tombak satu pada lain, di saat itu sembari berseru.
"Sambutlah!" tangannya melayang, melepaskan
sepotong uang, yang menjurus ke perut.
Hoa Ban Hie lihat gerakan musuh, ia lihat
menyambarnya piauw, lekas-lekas ia kelit ke kiri, kaki
kanannya ikut pindah juga, berbareng dengan itu,
dengan dua jari tangan kanan " telunjuk dan tengah "
ia ketok piauw itu hingga jatuh ke tanah. Apamau,
berbareng dengan itu, Khu Liong Gan telah menyerang
pula, sekarang dengan tiga piauw lainnya dengan
beruntun, dengan jurusan yang masing-masing
berlainan. Tiga piauw melesat dengan hampir berbareng,
karena tiga-tiganya digeraki dengan tenaga yang terlebih
kuat dan terlebih kuat lagi.
Itu adalah tipu timpukan yang dinamai "Tiga bintang
mengawani bulan sisir." Kalau piauw yang pertama ada
"tanya jalanan," piauw yang kedua adalah berarti
serangan dari kematian, dan yang ketiga ada susulan
belaka. Hoa Ban Hie dapat lihat penyerangan itu, kendati
mereka terpisah cukup dekat satu dari lain, bukannya ia
repot berkelit, hanya ia tertawa berkakakan, dua
tangannya terayun dengan berbareng. Ia memang sudah
siap dengan batunya, maka sekali ini, ia bisa menyambit
dengan berbareng, dua dengan tangan kanan, satu
dengan tangan kiri, meskipun tangan kirinya baru saja
dipakai memunahkan piauw lawan itu,
Tiga potong citchee-cio melesat dengan berbareng, ke
jurusannya tiga kimchie-piauw dari Lioktee Sinmo. Dan
jitu sekali, enam senjata rahasia kebentrok satu pada
lain, dengan menerbitkan suara nyaring, dengan
kesudahannya semuanya jatuh ke tanah pada
menggeletak! Si Malaikat Kemelaratan tidak pedulikan
jatuhnya enam senjata rahasia itu, di mana ia menangkis
dengan sambil bergerak terus, kaki belakangnya berada
di belakang kaki kiri, tubuhnya madap ke utara,
bebokongnya madap ke selatan, ia sekarang putar terus
tubuhnya, dibarengi dengan gerakan tangan kiri, akan
lepaskan citchee-cioyang terakhir yang tergenggam di
tangan kirinya itu. Ia menyerang dengan luar biasa cepat
dan kuat, sampai batu itu mengaung keras.
Lioktee Sinmo tercengang, karena, serangan
istimewanya dengan gampang dapat dipunahkan oleh
pihak lawan, justru begitu, batu menyambar ia, di luar
dugaannya. Ia terperanjat, ia berkelit. Ia bisa bergerak
dengan cepat sekali. Tetapi cit-chee-cio ada terlebih
cepat pula, meski ia tidak terluka, toh baju di betulan
pundaknya telah ditobloskan batu dan pecah, pecahnya
sambil menerbitkan suara berisik!
Setelah itu barulah citchee-cio jatuh ke tanah,
setombak lebih jauhnya.
Sampai di situ, Khu Liong Gan mesti menyerah kalah,
ia tidak pikir untuk piebu terlebih jauh, dengan angkat
kedua tangannya, ia memberi hormat.
"Hoa loosu, aku telah terima pengajaran kau," kata ia.
"Hoa loosu benar-benar liehay, aku menyerah kalah!"
Hoa Ban Hie tertawa nyaring.
"Khu loosu, aku tidak berani aku bahwa kimchiepiauwmu telah dikalahkan oleh citchee-cio," ia kata.
"Aku juga mesti mengaku kalah."
"Inilah, Hoa loosu, menunjuki kebesaran budi,
kebaikan hatimu," berkata Lioktee Sinmo. "Bagaimana
kalau sampai di sini kita berhentikan piebu pakai senjata
rahasia ini?"
"Tentu saja aku bersedia akan turut titah loosu," sahut
Hoa Ban Hie. Sementara itu, Khu Liong Gan sedang memikir untuk
mencoba Iweekang.
"Lihat di sana, Hoa loosu," kata ia, sambil menunjuk
dengan tangannya, "lihatlah itu dua pohon haytong di
sebelah timur itu. Bagaimana kalau kita coba Iweekang
kita terhadap itu pohon?"
"Aku akur," sahut Hoa Ban Hie dengan cepat.
Khu Liong Gan lantas samperi kedua pohon itu, akan
perhatikan lebih jauh seraya duga-duga terpisahnya satu
dari lain. "Maksudku, Hoa loosu," kata ia kemudian, "aku ingin
kau coba tenaga tanganmu terhadap pohon ini, yang
mana saja satu, kau boleh pilih."
"Jangan seejie, Khu loosu," Hoa Ban Hie bilang.
"Silakan kau mencoba terlebih dahulu, nanti aku buka
mataku, akan coba tulad kau...."
"Sungguh licin tua bangka ini," pikir Lioktee Sinmo,
"dengan aku yang mulai, ia bisa turuti cara geraki
tanganku, dengan begitu, akhirnya, aku kembali yang
keok.... Tidak, aku tidak boleh bikin maksudnya
kesampaian!" Lantas ia kata pada ketua pengemis itu,
"Hoa loosu, beruntun-runtun aku telah kalah dalam ilmu
entengi tubuh dan senjata rahasia, aku harap kau tidak
usah merendahkan diri terlebih jauh, harap kau suka
mencoba terlebih dahulu!"
"Sahabatku, kau ada sangat pintar!" Hoa Ban Hie
tertawa. "Karena kau tidak inginkan aku tulad padamu,
baiklah, mari kita orang bertindak dengan secara
merdeka, sesuka-suka kita, dengan tidak ada wates
penilikannya!"
"Itu benar, loosu!" sahut Khu Liong Gan. Ia terus
hampirkan pohon haytong yang sebelah kiri, ia gulung
tangan bajunya. Ia berdiri menghadapi pohon itu,
tubuhnya terpisah dari pohon itu kira-kira satu kaki,
kakinya dipentang ke kiri dan kanan, berdirinya sebagai
huruf "Pat" (delapan). Ia berdiri dengan tegar.
Hoa Ban Hie tidak mau tunggu gerakan orang, karena
mereka sudah bikin perjanjian, maka ia hampirkan pohon
yang kanan, di sini ia berdiri, secara sembarangan saja,
agar ia tidak turut berbuat sesuatu. Ia berdiri di belakang
pohon itu, terpisahnya lima atau enam kaki. Maka
keduanya jadi satu madap ke timur, satu ke barat.
Nampaknya Hoa Ban Hie berdiri sebagaimana biasa
saja, tidak tahunya, injakan kakinya adalah kuda-kuda
yang dinamakan Cu-ngo-kian, dan perhatiannya telah
dipusatkan, seperti orang bersamedhi saja.
Lioktee Sinmo pun bersikap diam laksana patung,
kedua tangannya tidak dikasih bergerak.
Melihat sikap orang itu, di dalam hatinya, Hoa Ban Hie
kata, "Kunyuk tua, lagakmu ini tidak boleh
dipertontonkan di hadapan aku si pengemis tua bangka!
Aku hendak lihat, sampai berapa lama kau bisa berdiam
saja secara begitu...."
Khu Liong Gan juga diam-diam perhatikan sikapnya itu
lawan, maka ia heran waktu ia dapat tahu, pengemis tua
itu bersikap sembarangan saja, tidak bersungguhsungguh
sebagai dia sendiri. Ia pun tidak berani kata
apa-apa, umpama akan desak lawan itu, sebab mereka
sudah berjanji akan sama-sama merdeka....
Akhir-akhirnya si Iblis Bumi kumpul semangatnya,
Naga Kemala Putih 6 Pendekar Cacad Karya Gu Long Perguruan Sejati 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama