Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
Tentu saja usahanya sia-sia saja karena sambil tertawa-tawa seenaknya raksasa gendut itu melangkah lebar mengikuti ke mana tubuh gadis itu bergulingan, lagaknya seperti seekor kucing mempermainkan tikus dan hendak mempermainkan dulu sepuasnya sebelum akhirnya menerkamnya. Yan Cu mengerti bahwa dia tak mungkin dapat membebaskan diri, maka ketika melihat tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah jurang, tiba-tiba ia menggerakkan tenaga dengan kaki dan tangan menekan tanah dan tubuhnya sudah meloncat untuk terjun ke jurang. Dia memilih hancur ke dalam jurang daripada menjadi korban perkosaan Thai-lek Sin-mo. Akan tetapi, lengan raksasa itu sudah menyambarnya.
"Ha-ha-ha, tidak boleh, Manis!" kata raksasa itu dan membawa tubuh Yan Cu ke tempat tadi, merebahkan di atas rumput dan dia sendiri berlutut. Yan Cu memejamkan mata, tak tertahan lagi ia terisak menghadapi saat yang mengerikan itu.
"Keparat, lepaskan dia!" Tiba-tiba Cong San muncul dan mengirim pukulan dari belakang.
"Aihhh!" Cong San terkejut dan cepat meloncat bangun sambil menangis. Ke dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Ternyata tenaga raksasa itu benar-benar hebat sekali.
Untung bahwa Cong San tidak terlambat datangnya dan bahwa Thai-lek Sin-mo hendak mempermainkan dulu korbannya sehingga gadis itu terhindar daripada perkosaan. Ketika tadi melihat Thai-lek Sin-mo melarikan Yan Cu, Cong San cepat berkelebat keluar, kaki tangannya bergerak cepat merobohkan empat orang penjaga di depan pintu kamar tahanan sehingga mereka roboh tanpa sempat berteriak lagi, kemudian Cong San menyelinap keluar, mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk meloncat-loncat dan menyelinap di antara pohon-pohon mengejar Thai-lek Sin-mo. Kalau saja dia tidak mendengar suara Thai-lek Sin-mo tertawa-tawa, agaknya akan sukar baginya untuk dapat menyusul dengan cepat.
Ketika melihat raksasa itu berlutut dan Yan Cu menangis, kemarahan membuat dada Cong San seperti hendak meledak maka dia langsung mengirim pukulan yang dapat ditangkis oleh raksasa gendut itu.
"Tar-tar-tarrr...!" Thai-lek Sin-mo sudah melolos cambuk bajanya menyerang Cong San. Raksasa gendut ini marah sekali karena dalam saat terakhir kerika dia hendak menikati korbannya muncul pemuda ini yang sama sekali tidak disangkanya. Dia tidak sempat lagi menyelidiki bagaimana pemuda itu dapat terlepas dan muncul, kemarahan membuat dia gelap mata dan langsung menyerang kalang kabut dengan sambaran pecut bajanya yang lihai.
Cong San bertangan kosong. Kedua macam senjatanya, yaitu senjata rahasia Touw-kut-chi (Uang logam Penebus Tulang) dan sepasang Im-yang-pit telah dirampas musuh. Namun pemuda gemblengan ketua Siauw-lim-pai ini bersikap tenang dan tabah. Melihat gulungan sinar hitam dari pecut baja lawan yang menyambar-nyambar, dia lalu mengerahkan ginkangnya, melesat ke kanan kiri dan berusaha membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh dan dekat.
"Yap Cong San manusia hina! Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Terdengar Yan Cu memaki, menahan isak. Hatinya masih panas sekali mengingat akan sikap Cong San dalam kamar tahanan tadi yang seolah-olah tidak memperdulikan nasibnya malah memberi nasihat kepada raksasa gendut untuk melarikannya dan memperkosanya di dalam hutan.
Sambil meloncat tinggi mengelak sambaran pecut yang menyerampang kakinya, Cong San membela diri terhadap makian gadis yang menjatuhkan hatinya itu, "Harap jangan salah sangka, Moi-moi. Aku sengaja memancing dia ke tempat sunyi ini agar dapat menolongmu tanpa gangguan musuh-musuh yang lain!"
"Oohhh... maaf... maaf...!" Yan Cu kini terisak lagi seperti tadi, hanya bedanya, kini ia terisak karena menyesal akan dugaannya yang keliru sehingga dia memaki pemuda itu, dan karena girang mengharapkan pertolongan.
Mendengar isak tangis gadis itu, Cong San mendapat semangat baru dan gerakkannya makin lincah. Ketika cambuk itu dengan suara bercuitan menyambar lehernya, dia mengerahkan sinkang, membiarkan ujung cambuk baja membelit leher, namun secepat kilat dia menangkap cambuk dan kedua kakinya mengirim tendangan berantai ke arah pusar dan tangan lawan yang memegang cabuk. Gerakannya cepat sekali, juga amat kuatnya. Dalam hal ilmu silat, memang pemuda ini masih menang setingkat dibandingkan lawannya, menang cepat dan ilmu silatnya lebih murni, gerakannya lebih teratur, hanya dalam hal tenaga dia kalah sedikit.
Episode 351 Menghadapi tendangan yang susul-menyusul amat cepatnya ini, Cou Seng terkejut dan mengeluarkan gerengan dahsyat ketika dia terpaksa melepaskan gagang cambuk untuk menyelamatkan pergelangan tangannya dari sebuah tendangan kilat. Cong San cepat melepaskan cambuk dan melempar cambuk itu jauh dari tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba lawannya yang bertubuh gemuk bundar itu sudah menubruknya dan tahu-tahu kedua lengan yang berbulu dan besar telah memeluk pinggangnya. Betapapun Cong San mengerahkan tenaga, tetap saja tubuhnya terangkat ke atas dan di banting!
"Brukkk!" Tubuh Cong San terguling-guling dan kembali raksasa gendut itu menubruk. Namun sekali ini Cong San yang merasa sakit-sakit pinggul dan punggungnya, telah siap dan kakinya menendang dari bawah.
*** "Desssss!" Tubuh Cong San yang sedang menubruk maju itu kena ditendang dadanya. Raksasa itu terbatuk-batuk dan napasnya seperti kan putus. Ternyata dia kuat sekali karena ketika Cong San meloncat bangun dan memukul ke arah ulu hatinya dengan pukulan keras, raksasa itu masih dapat mengelak miring dan tahu-tahu lengan kanan Cong San sudah ditangkapnya. Dengan jurus ilmu gulat yang tidak dikenal Cong San, tahu-tahu lengan itu dipelintir dan tubuh Cong San sudah ditelikung, hendak dipatahkan sambungan lengan dari pundaknya! Cong San merasa betapa pundaknya nyeri bukan main. Cepat dia membalik, mengendorkan lengan kanan yang hendak dipatahkan, jari tangan kirinya menyambar dan menotok pinggang lawan karena keadaan tubuhnya sudah dihimpit ke bawah. Sedetik saja dia terlambat tentu sudah terlepas sambungan lengannya dari pundak! Totokan itu membuat tubuh Cou Seng tiba-tiba lemas dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cong San untuk merenggut lengannya terlepas, kemudian secepat kilat dia menamparkan tangan kirinya ke arah kepala lawan yang masih lemas dan belum pulih kekuatannya itu.
Kalau tamparan itu mengenai sasaran, betapa pun kebal tubuh Cou Seng, tentu akan pecah kepalanya. Akan tetapi, Cou Seng bukanlah seorang lemah dan dia sudah mengalami banyak perkelahian mati-matian. Biar pun kepalanya pening dan tubuhnya lemas akibat totokan di pinggangnya tadi, melihat datangnya tamparan, dia merasa sempar melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan sehingga jalan darahnya pulih kebali. Ketika Con San meloncat mengejar dan mengirim tendangan, tangan kirinya menyambar. Ia memang ahli dalam ilmu gulat yang menggunakan kecepatan gerak jari tangan untuk menangkap bagian tubuh lawan. Kini jari-jari tangan kirinya berhasil menangkap tumit kaki Cong San yang menendang, lalu menggunakan tenaga sentakan karena untuk memegang terlalu lama pun berbahaya baginya.
Cong San mengeluarkan seruan kaget. Untuk menjaga kakinya yang bisa terkilir atau bahkan patah, dia tidak melawan, bahkan mengikuti gerak putaran lawan sehingga tubuhnya terbanting ke kiri. Terbanting keras namun cepat dia melanjutkan bantingan itu dengan loncatan ke atas terjungkir balik beberapa kali. Setelah dia meloncat turun, dia melihat Cou Seng sudah lari. Celaka, pikirnya, kalau setan itu memanggil kawan-kawannya, dia dan Yan Cu akan tertawan kembali! Cepat dia mengambil sebuah batu dan dengan kepandaiannya menyambitkan senjata rahasianya, batu itu melayang ke arah tubuh Cou Seng.
"Aduhhh...!" Tubuh raksasa itu terguling. Cong San cepat meloncat dekat dan hampir saja dia menjadi korban tipu muslihat Thai-lek Sin-mo. Ketika pemuda ini membungkuk, tiba-tiba kedua tangan raksasa itu menyambar ke atas hendak mencekik lehar.
"Aihhh...!" Cong San cepat menggunakan tangannya, bukan menangkis karena dia sudah maklum akan kekuatan kedua tangan yang sudah menyentuh kulit lehernya sehingga tangkisan mungkin takkan menyelamatkan lehernya yang tentu akan remuk oleh cengkeraman lawan. Sebaliknya dia menggunakan kedua lengan lawan dekat siku. Pemuda murid Siauw-lim-pai ini memang ahli totok jalan darah karena sepasang senjatanya, Im-yang-pit memang merupakan senjata untuk menotok. Tentu saja totokannya tepat mengenai sasaran sehingga kedua lengan lawan menjadi lumpuh dan cekikan itu pun terlepas.
Cou Seng memang hebat sekali ilmu gulatnya. Kedua lengannya sudah lumpuh untuk sementara, akan tetapi kedua kakinya tidak dan sebelum Cong San tahu apa yang akan dilakukan oleh jago gulat yang lihai ini, tahu-tahu kedua kaki raksasa gendut itu sudah membelit dan "menggunting" kedua kakinya sehingga tanpa dapat ditahannya lagi, tubuhnya terguling menindih tubuh Cou Seng.
Hebatnya, raksasa gendut ini biarpun perutnya gendut seperti kerbau, ternyata gerakan tubuhnya di atas tanah cepat bukan main karena begitu lawan roboh karena dia "sengkelit" kakinya, dia sudah menggulingkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya sendiri yang besar dan berat sudah menidih malang pada tubuh Cong San!
Dalam keadaan rebah tertelungkup ditindih tubuh sebesar Thai-lek Sin-mo yang masih menggunakan tenaga itu sama saja dengan ditindih tubuh seekor gajah sehingga Cong San sampai tak mampu berkutik! Masih untung bagi murid Siauw-li-pai itu bahwa kedua tangan lawannya masih setengah lupun, karena kalau kedua tangan lawannya sudah pulih tenaganya, dalam keadaan tertelungkup dan terhimpit itu tentu saja lawannya akan dapat mengirim pukulan maut dengan amat mudahnya! Cong San cepat menjangkau untuk meraih dan memukul, akan tetapi jago gulat itu sudah memperhitungkan ini sehingga dia menghimpit tubuh bagian bawah lawan, dan kedua tangan Cong San tidak dapat memukulnya. Dalam keadaan amat berbahaya ini, Cong San tidak memperdulikan lagi akan penuturan kaum persilatan karena lawannya pun menggunakan ilmu gulat. Ia mencengkeram ke atas dan berhasil menjambak rambut lawan yang terurai lepas, terus menarik rambut itu sekuatnya.
"Wadouuhhh...!" Kulit Thai-lek Sin-mo boleh jadi kebal, akan tetapi kalau akar-akar rambutnya hendak tercabut, sakitnya bukan kepalang dan terpaksa dia menjulurkan kepalanya agar tidak terlalu keras tertarik. Namun gerakannya inilah yang mencelakakannya karena kini tangan Cong San dapat bergerak cepat, melepas rambut dan jari tangannya di tusukkan ke ubun-ubun lawan.
"Crokkk!" Tiga buah jari tangan pemuda itu amblas memasuki batok kepala kurang lebih lima senti dalamnya, menembus otak. Teriakan dahsyat keluar dari mulut Cou Seng, tubuhnya berkelojotan dan nyawanya melayang. Cong San keluar dari himpitan tubuh berat itu, memandang dan setelah merasa pasti bahwa lawannya tewas, dia lalu lari menghampiri Yan Cu.
Melihat keadaan gadis yang telanjang bulat, Cong San cepat menyambar pakaian gadis itu dan dengan menahan debaran jantungnya serta menahan agar matanya tidak terlalu liar memandang tubuh itu, dia mengenakan pakaian pada tubuh Yan Cu sedapatnya. Yan Cu membantu sebisanya dengan gerakan tubuh karena kedua tangannya terbelenggu ke belakang sedangkan kedua kakinya masih terbelenggu pula.
"Kita harus cepat membuka belenggumu," bisik Cong San.
Episode 352 "Twako, maafkan aku..."
"Hushhh... sudahlah, aku yang salah, menggunakan akal kau keliru menyangka...!"
"Dan terima kasih atas pertolonganmu yang tak ternilai besarnya..."
"Ssttttt..., jangan ucapkan itu, Moi-moi. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat mematahkan belenggu."
"Kau sendiri, bagaimana dapat meloloskan diri?"
"Dengan Ilmu Sia-kun-sin-hot, akan tetapi terlalu lama dan... ah...
"Eh, kau terluka, Twako?" Yan Cu bertanya kaget.
Cong San mengusap bibirnya yang berdarah. Memang dia terluka, luka di sebelah dalam tubuh yang dia derita dalam perkelahian mati-matian tadi. Selain luka dalam akibat bantingan dan pukulan, juga lehernya masih nyeri bekas libatan ujung cambuk baja, pundaknya agaknya terkilir ketika lengannya hendak dilepaskan dari pundak oleh lawan tadi.
"Luka tidak berarti, yang penting mematahkan belenggumu. Sayang kita tidak membawa senjata..." Cong San lalu pergi mengambil dua buah batu besar. Sebuah batu yang terbesar dia letakkan di atas tanah, kemudian dia minta supaya Yan Cu merebahkan tubuh miring sehingga kedua tangannya berada di dekat batu. Setelah mengatur agar belenggu tangan itu berada di atas batu, dia berbisik,
"Tahankanlah, Moi-moi, aku akan mencoba untuk mematahkan belenggu dengan batu ini!" Yan Cu mengangguk dan mulailah Cong San mengempur belenggu itu bertubi-tubi dengan batu yang dipegangnya kuat-kuat. Tentu saja tidak mungkin mematahkan belenggu besi dengan batu tanpa menggunakan tenaga sinkang dan untuk perkerjaan ini, Cong San mengerahkan seluruh tenaganya. Rasa sakit-sakit di tubuhnya bertambah dan keringat telah membasahi seluruh muka dan lehernya ketika akhirnya dia dapat juga mematahkan belenggu kedua tangan Yan Cu. Gadis ini pun bukannya tidak menderita. Setiap kali belenggu tangannya dipukul, rasa pedih dan panas menjalar dari pergelangan tangan seperti menusuk jantung. Maka begitu kedua tangannya terlepas, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan ia membenamkan mukanya di dada yang basah oleh keringat.
"Eh...! Ah...! Belenggu kakimu, Moi-moi...!" Cong San tidak tahu mana yang lebih membingungkan hatinya, rangkulan kedua lengan itu ataukah belenggu kaki Yan Cu yang belum patah! Untuk menyembunyikan kebingungannya, Cong San lalu mulai hendak mematahkan belenggu kaki dengan batu tadi sungguhv pun tenaganya sudah hampir habis dan dadanya terasa sasak. Karena kaki gadis itu agak jauh dari batu yang dipakai landasan, maka Cong San memegang pergelangan kaki gadis itu untuk di dekatkan dengan batu.
"Plakkk!" Cong San terkejut sekali karena tangannya yang memegangi kaki itu ditampar. Lebih kaget lagi ketika dia menengok, dia melihat pandang mata gadis itu penuh kemarahan.
"Yap-twako, apakah engkau juga menjadi kurang ajar"!"
Cong San terbelalak kaget, "Apa...?""
"Kau meraba-raba kaki, mau apa?"
"Eh... ohhh ... aku... aku hendak mematahkan belenggu kakimu..."
Sejenak pandang mata gadis itu menatapnya tajam penuh selidik, kemudian tersenyum dan merangkul pundak pemuda itu, melonjorkan kakinya, dan berkata lirih,
*** "Maafkan aku... ah. Aku selalu berprasangka buruk terhadap dirimu, Twako. Lakukanlah... dan... terima kasih."
Hemmm, sungguh gadis yang aneh dan... Menggemaskan, pikir Cong San. Bukan gemas marah, melainkan gemas mengkal membuat orang ingin mencubitnya! Gadis itu merangkul lehernya, kini merangkul pundaknya dan meletakkan pipinya di atas pundaknya, semua itu dilakukan dan tidak apa-apa. Sedangkan dia, baru meraba kaki karena hendak mematahkan belenggu saja, tangannya ditampar dan disangka kurang ajar! Aturan mana ini" Mau menang sendiri saja! Dengan hati gemas Cong San lalu memukuli batu yang dipegangnya pada belenggu kaki dan karena besi belenggu itu lebih besar daripada belenggu tangan, tentu saja lebih sukar dipatahkan. Namun dia bekerja terus, tidak sadar betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata sayu, tidak merasa betapa keringatnya bercucuran dari dagu dan lehernya.
"Twako...!"
Suara itu terdengar dekat sekali dengan telinga, bisikan yang menghembuskan napas halus ke kuduknya. "Hemmm...?" Cong San tidak menghentikan usahanya mematahkan belenggu, menghantam terus sampai telapak tangannya lecet-lecet berdarah.
"Kenapa engkau begini baik terhadapku, Twako?"
"Hemmm....?" Kini Cong San menghentikan hantamannya pada belenggu kaki itu dan melirik ke kanan, ke arah pundaknya di mana gadis itu meletakkan pipinya. Tiba-tiba jantung pemuda ini berdebar keras. Wajah itu begitu dekat sehingga dia dapat merasakan hembusan napas hangat di pipinya, dan pandang mata itu begitu lembut, jari-jari tangan yang halus itu kini mengusap peluh dari lehernya, begitu mesra!
"Moi-moi, mengapa kau masih bertanya lagi" Aku bersedia membela dan melindungi dengan taruhan nyawaku."
"Aku tidak menanyakan hal itu, Twako. Yang aku ingin ketahui adalah mengapa engkau amat baik terhadap aku?"
Benar-benar gadis yang aneh. Apa bedanya" Jawaban tadi bukankah sudah menjelaskan isi hatinya" Diam-diam Cong San tersenyum di dalam hatinya. Hemmm, agaknya gadis ini menghendaki jawaban yang langsung. Baiklah!
"Aku akan selalu bersikap baik terhadap dirimu, Moi-moi, selama hidupku, karena aku cinta padamu, Moi-moi."
"Benarkah Twako" Benarkah engkau mencintaku" Sungguh-sungguh?"
Episode 353 Hemmm! Betapa mengemaskan! Cong San menarik napas panjang. "Tentu saja, Moi-moi, tentu saja sungguh-sungguh. Aku berani bersumpah!" Ketika dia memberanikan diri untuk bertanya, "Dan bagaimana tanggapanmu, Moi-moi?"
"Apa" Tanggapan bagaimana?"
Hemmm, bocah ini! Ingin Cong San mencubit bibir yang bertanya seperti orang yang pura-pura tidak mengerti itu.
"Bagaimana dengan hatimu" Dapatkah aku menerima cinta kasihku" Apakah... Apakah mungkin seorang gadis jelita seperti engkau mencintaku?"
Yan Cu membelalakkan matanya dan merenggangkan matanya dari atas pundak Cong San, tidak tahu betapa gerangan itu amat mengecewakan hati pemuda itu. Cinta" Apa sih cinta itu, Twako?"
"Cinta ya cinta! Bagaimana, Moi-moi" Bagaimana perasaan hatimu terhadap diriku" Apakah engkau juga cinta kepadaku?"
Yan Cu mengeleng-geleng kepala, membuat hati Cong San seperti tertindih anak gunung. "Sampai kini pun aku belum mengerti jelas bagaimana cinta itu sebenarnya, Twako. Karena belum mengerti, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu itu?"
Cong San menarik napas panjang, hatinya tidak seberat tadi akan tetapi tetap saja dia masih belum puas, merasa seperti tergantung di awang-awang, tenggelam tidak terapung pun belum! Kemudian dia teringat akan pekerjaannya dan tanpa berkata apa-apa dia lalu melanjutkan menghantam belenggu kaki dengan batu sekuat tenaga.
"Yap-twako, kau marah?"
"Hemmm" Tidak.." Akan tetapi hantamannya makin keras saja.
"Biar kugantikan kau, Twako. Lihat tanganmu sudah lecet-lecet. Kasihan engkau, Twako."
Suara lembut ini merupakan kompres yang mendinginkan hati Cong San. Akan tetapi pada saat dia hendak menyerahkan batu itu kepada Yan Cu, tiba-tiba dia meloncat bangun dengan kaget. Juga Yan Cu meloncat berdiri, lupa bahwa kakinya masih terbelenggu sehingga dia hampir terguling kalau tidak disambar lengannya oleh Cong San. Ternyata di depan mereka telah berdiri Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong, dua orang di antara Empat Datuk Golongan Sesat yang sakti! Namun, melihat dua orang musuh ini, Cong San berteriak keras dan menyerang dengan nekat ke arah Pat-jiu Sian-ong, menggunakan batu yang dipegangnya. Pat-jiu Sian-ong menangkis dengan tangan kiri. Batu ini hancur bertemu dengan tangan Pat-jiu Sian-ong dan Cong San yang sudah kehabisan tenaga itu terhuyung, kemudian roboh terkena tepukan tangan kakek kecil itu pada pundaknya. Yan Cu yang kakinya masih terbelenggu akan tetapi kedua tangannnya sudah bebas itu pun secara nekat telah meloncat ke kedua tangannya. Hebat pukulan gadis ini, akan tetapi yang diserangnya adalah seorang tokoh yang menjadi datuk hitam. Kalau saja dia tidak terbelenggu kakinya, mungkin dengan kepandaiannya yang sudah amat tinggi itu Yan Cu akan dapat melawan. Akan tetapi kini gerakannya kaku dan sebuah tamparan dari samping seperti raksasa dengan kulit hitam arang itu membuat Yan Cu terlempar dan terbanting di dekat Cong San. Sebelum dua orang muda itu sempat bergerak, ujung jari tangan kedua kakek itu telah menotok mereka lumpuh dan dengan mudah dua orang kakek itu mengempit tubuh mereka dan dibawa kembali ke dalam benteng!
Demikianlah keadaan dua orang muda itu yang kini sudah berada di dalam kamar tahanannya kembali. Mereka di lempar ke dalam kamat tahanan dan setelah Yan Cu dapat bergerak lagi, biar pun kedua tangannya kini telah dipasangi belenggu baru, gadis ini cepat menghampiri Cong San yang masih pingsan dan menggunakan pengertiannya tentang pengobatan untuk merawat pemuda itu memulihkan tenaga serta mengobati luka-luka di dalam tubuh yang tidak membahayakan nyawanya namun memerlukan perawatan yang teliti.
Peristiwa itu terjadi sehari sebelum Cui Im mengunjungi kamar tahanan Keng Hong dan membawa Biauw Eng ke kamar pemuda itu. Dia sengaja membohong dan menceritakan bahwa dia telah menghadiahkan Yan Cu kepada Thai-lek Sin-mo, tidak mengatakan bahwa kawannya itu telah tewas di tangan Cong San. Setelah membuat Keng Hong dan Biauw Eng menjadi gelisah memikirkan keselamatan Yan Cu dan Cong San, Cui Im bertepuk tangan lagi dan muncullah kedua orang murid Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to.
"Panggil dua ekor babi itu ke sini!"
Dua orang murid Pat-jiu Sian-ong itu saling pandang. Jelas mereka merasa kecewa dan ragu-ragu dan memang sayang sekali kalau Biauw Eng yang demikian cantik jelita hanya diberikan kepada dua orang anggauta anak buah benteng itu yang tingkatnya paling rendah! Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah dan cepat pergi. Tak lama keudian muncullah dua orang laki-laki bangsa Mongol yang setengah liar. Tubuh mereka tinggi besar dengan otot-otot menonjol pada kaki tangan dan dada mereka yang bertelanjang. Hanya sehelai cawat yang kecil kotor saja menutup tubuh mereka, tubuh yang kulitnya retak-retak seperti kulit buaya, kering keras dan kasar. Muka mereka buruk sekali, dengan mata sipit yang dilebar-lebarkan, mulut yang tak dapat tertutup rapat. Kedatangan mereka berdua ke dalam kamar itu membawa bau yang apek dan tidak enak.
Agaknya mereka telah diberi tahu sebelumnya akan tugas mereka, karena begitu memasuki kamar, mereka langsung memandang ke arah Biauw Eng dan tertawa-tawa ha-ha-he-he-he seperti sikap orang yang tidak normal pikirannya. Akan tetapi, betapa pun bodohnya, kedua orang liar kasar ini agaknya takut kepada Cui Im dan mereka hanya berdiri menghadapi Cui Im sambil menanti perintah.
Cui Im menoleh kepada Keng Hong dan hatinya yang penuh kebencian itu menjadi girang menyaksikan betapa wajah Keng Hong yang biasanya tenang itu kini berubah, memandang ke arah dua orang pria itu dengan penuh kengerian dan kebencian, juga ia gembira sekali melihat betapa wajah Biauw Eng pucat ketika pandang mata gadis itu tertuju kepada dua orang laki-laki setengah telanjang itu.
"Hi-hi-hik, Biauw Eng. Boleh jadi engkau tahan siksaan dan tidak takut mati, akan tetapi kuat dan beranikah engkau menghadapi kedua ekor babi hutan ini yang akan memperkosamu sampai mati di depan pandang mata kekasihmu, Keng Hong?"
Biauw Eng menggeleng-geleng kepala kuat-kuat dan bibirnya mengeluarkan suara gemetar.
Cui Im tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-heh-heh-heh, Sie Biauw Eng yang terkenal sebagai seorang wanita tak pernah mengenal takut, yang berwatak dan berdarah dingin seperti mayat hidup, sekarang baru mengenai artinya takut dan baru ngeri hatinya. Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"
Episode 354 "Bhe Cui Im!" Suara bentakan Biauw Eng terdengar melengking dan mengandung hawa dingin yang mengejutkan Cui Im. Suara ini mengingatkan dia akan masa dahulu ketika ia masih menjadi suci dari gadis itu dan ketika tingkat kepandaiannya masih jauh berada di bawah Biauw Eng sehingga dia tunduk kepada sumoinya. Ia memandang dan melihat sinar mata Biauw Eng yang mengandung keberanian luar biasa seperti dahulu.
*** "Cui Im, jangan kira bahwa aku merasa takut atau ngeri menghadapi rencanamu yang keji. Engkau tahu bahwa dengan kepandaianku, aku dapat membuat tubuhku seperti mati dan apa pun yang akan dilakukan orang terhadap tubuhku, tidak akan dapat menyentuh perasaan hatiku. Akan tetapi, aku kasihan kepada Keng Hong yang akan menyaksikannya Cui Im, apa sih untungmu menyiksa kami seperti ini" Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, kau bunuh saja kami."
Diam-diam Cui Im menjadi makin marah dan habislah harapannya untuk dapat memaksa Keng Hong agar memberikan ilmu yang diinginkannya. Maka ia tangannya kepada dua orang raksasa telanjang itu. Kedua orang Mongol ini saling pandang, menyeringai seperti dua ekor anjing yang hendak memperebutkan tulang. Melihat ini, Cui Im cepat berkata, "Bedebah! Jangan berebut, lakukan berdua dengan kerja sama yang baik!"
Dua orang raksasa itu menjadi takut dan mereka bergerak perlahan menghampiri pembaringan di mana tubuh Biauw Eng rebah terlentang. Setelah dekat dengan pembaringan dan Biauw Eng yang sudah putus asa itu telah memejamkan mata dan menggunakan kepandaiannya untuk mematikan segala panca indera, dua pasang lengan yang panjang lengan yang panjang dan jari-jari tangan yang besar dan kasar itu bergerak hendak menjamah tubuh Biauw Eng, hendak merenggut lepas pakaian gadis sebagai langkah pertama kedua orang laki-laki liar yang melaksanakan tugas penuh gairah itu.
"Tahan! Kalau tangan-tanganmu yang kotor menyentuh gadis itu, kalian akan mampus!" bentak Keng Hong yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sepasang matanya memandang seperti mengeluarkan api bernyala-nyala kepada kedua orang raksasa Mongol. Kedua orang itu terkejut mendengar suara yang mengandung khikang kuat dan amat berwibawa itu, akan tetapi ketika mereka menoleh dan melihat betapa Cui Im hanya tertawa mengejek, mereka pun tertawa lalu melanjutkan gerakannya yang tertunda. Seorang meraih baju, seorang lagi meraih celana.
"Krakkkkk-krakkkkk!" Tiba-tiba terdengar suara keras, belenggu tangan dan kaki Keng Hong hancur berantakan dan tubuhnya sudah mencelat ke depan. Saking kagetnya menyaksikan hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya itu, Cui Im hanya memandang terbelalak melihat betapa tubuh Keng Hong sudah berkelebat maju, kedua tangannya menjambak rambut kepala dua orang raksasa itu dan sekali gerak, dia sudah membenturkan dua buah kepala itu satu sama lain sehingga terdengar suara keras dan dua buah kepala itu pecah berhamburan! Tanpa bersambat lagi dua orang raksasa Mongol itu tewas seketika. Demikian cepat gerakan Keng Hong sehingga kedua orang itu sama sekali tidak sempat untuk membela diri.
Keng Hong meraba belenggu kaki tangan Biauw Eng dan beberapa kali renggutan dengan pengerahan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi, belenggu pada kaki tangan Biauw Eng patah-patah.
"Lekas kau pergi menolong mereka..." Keng Hong berkata sambil cepat membalikkan tubuh menghadapi Cui Im. Biauw Eng mengerti apa yang dimaksudkan Keng Hong, maka dia lalu meloncat keluar melalui pintu kamar tahanan itu, membiarkan Keng Hong yang ia percaya penuh akan kelihaiannya untuk menghadapi Cui Im yang merupakan lawan terkuat. Biauw Eng maklum pula bahwa saatnya untuk memberontak dan melawan mati-matian telah tiba, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi. Begitu tiba di luar pintu kamar itu, empat orang penjaga yang datang karena kaget mendengar suara ribut-ribut, dirobohkan oleh Biauw Eng dalam sekejap mata, bahkan gadis itu lalu menyambar sebatang pedang yang dirampasnya dari seorang di antara mereka yang dirobohkannya.
Cui Im telah dapat menguasai hatinya yang sejenak mengalami guncangan saking kagetnya melihat Keng Hong tiba-tiba dapat membebaskan diri itu. Kini mengertilah ia bahwa selama ini Keng Hong hanya berpura-pura manjadi tawanan dan bahwa kalau dikehendaki, pemuda luar biasa itu setiap saat dapat membebaskan diri sendiri. Akan tetapi Cui Im tidak menjadi takut. Cepat ia mencabut pedang Siang-bhok-kiam, pedang kayu milik Keng Hong yang telah dirampasnya dan ia telah siap melawan Keng Hong dengan pedang itu.
"Hemmm... kiranya engkau telah mengatur semua rencana untuk menyelamatkan diri, Keng Hong. Jangan kira akan mudah saja!" Ia tertawa dan memandang Pedang Kayu Harum di tangannya lalu menyambung, "Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa akhirnya Cia Keng Hong, pewaris utama Siang-bhok-kiam, akan mati di ujung Siang-bhok-kiam sendiri!"
Setelah berkata demikian, Cui Im lalu menerjang maju dengan pedang digerakkan cepat sekali, mengirim serangan kilat ke arah tenggorokan Keng hong dengan ujung digetarkan dan siap melanjutkan serangan dengan goresan ke bawah untuk membelah dada! Hebat sekali penyerangan Cui Im ini, selain cepat, juga mengandung sinkang yang kuat sekali. Keng Hong meraba ke arah pusarnya dan ketika tangan itu diangkat ke atas, berkelebatlah sinar kehijauan menangkis pedang kayu di tangan Cui Im.
"Krekkkkkk!"
"Aihhh...!" Cui Im terkejut bukan main melihat Pedang Kayu Harum di tangannya itu hancur berkeping-keping ketika bertemu dengan pedang di tangan Keng Hong. Ketika ia memandang, hatinya makin terkejut melihat bahwa pemuda itu ternyata juga memegang sebatang pedang kayu yang serupa benar dengan pedangnya tadi. Teringatlah ia akan akal Keng Hong dahulu mengelabui para pimpinan Kun-lun-pai, dan tahulah ia bahwa pedang Siang-bhok-kiam yang dirampasnya dari Keng Hong dan yang tadi ia pergunakan itu ternyata pun hanya sebatang Siang-bhok-kiam palsu saja, sedangkan Pedang Kayu Harum yang aslinya masih berada di tangan Keng Hong, disembunyikan di dalam celananya!
"Keparat, penipu busuk!" Cui Im menjerit penuh kemangkalan dan membuang gagang pedang kayu palsu, kemudian sekali tangannya bergerak, tampak sinar merah menyilaukan mata dan pedang merahnya yang terkenal telah berada di tangannya, kemudian langsung ia mengirim tusukan dengan pedang merahnya. Keng Hong cepat menangkis dan melanjutkan tangkisan dengan tusukan Siang-bhok-kiam dengan gerakan melengkung, mengarah ubun-ubun lawan.
"Cringgggg...!" Cui Im maklum akan bahaya maut ini maka cepat enangkis sekuat tenaga. Namun tetap saja ia merasa betapa tangan kanan sampai ia cepat-cepat meloncat mundur. Pada saat itu, dari pintu muncullah Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong. Tanpa banyak cakap lagi, dua orang kakek yang sudah maklum akan kelihaian Keng Hong, maju menerjang pemuda itu dengan senjata mereka.
Episode 355 Keng Hong tahu akan bahayanya dikeroyok tiga orang sakti ini, apalagi di tempat yang sempit. Sebenarnya, dia tidak merasa takut dan merasa yakin akan sanggup menandingi mereka, akan tetapi hatinya penuh kekhawatiran akan nasib tiga orang temannya, terutama sekali tentu saja nasib Biauw Eng. Karena ini, tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring, pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak cepat menangkis kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong dan pedang merah di tangan Cui Im yang menyerangnya. Sekaligus dia menangkis dua senjata lawan ini, akan tetapi dia pun waspasa terhadap serangan Pak-san Kwi-ong, maka tubuhnya cepat sekali bagaikan burung terbang melesat di antara dua buah tengkorak manusia yang menyambar-nyambar di ujung rantai yang dipegang kedua tangan kakek tinggi besar hitam itu. Sambil melesat di antara dua buah buah tengkorak. Keng hong memutar pedang dibantu tangan kiri yang mendorong dengan pukulan sinkang sehingga angin bercuitan menyambar tiga orang lawan dibarengi sinar kehijauan Siang-bhok-kiam.
Tiga orang lawannya yang memiliki ilmu tinggi cukup waspada, maka mereka melangkah mundur dan memutar senjata melindungi tubuh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat keluar pintu kamar tahanan.
Suara hiruk-pikuk beradu senjata menarik perhatiannya dan ke tempat itulah Keng Hong meloncat secepat kilat. Dugaannya benar. Di dalam sebuah kamar tahanan lain, dia melihat Biauw Eng, Yan Cu dan Cong San mengamuk dikeroyok banyak tokoh musuh. Biauw Eng bersenjatakan pedang, Yan Cu juga agaknya sudah berhasil merampas pedang perkasa ini juga mengamuk menggunakan kaki tangannya.
Ketika tadi dibebaskan Keng Hong, Biauw Eng berhasil menemukan Yan Cu yang sedang merawat Cong San di dalam kamar tahanan. Biauw Eng merobohkan beberapa orang penjaga dan dengan senjata rampasannya ia berhasil pula mematahkan belenggu kaki tangan kedua orang teman itu. Akan tetapi mereka segera dikurung dan dikeroyok oleh Gu Coan Kok, Hok Ku, keempat Pak-san Su-liong yaitu murid-murid Pak-san Kwi-ong yang bersenjata rantai tengkorak, dan kemudian datang pula Thian-te Siang-to bersama tokoh-tokoh anak buah Pat-jiu Sian-ong sehingga di dalam kamar tahanan itu terjadi pertempuran yang hebat dan mati-matian.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang masih selamat biar pun telah terdesak hebat, Keng Hong menjadi lega hatinya. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi dan tubuhnya menerjang maju. Bobollah kepungan itu dan beberapa orang terpelanting oleh terjangan pemuda sakti ini yang terus melompat ke dalam sambil berseru,
"Kita terjang keluar! Cepat...!"
Namun pada saat itu Cui Im, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong sudah datang, dalam pengejarannya terhadap Keng hong sehingga jalan keluar melalui pintu telah terhalang oleh tiga orang yang lihai ini. Pat-jiu Sian-ong menggeluarkan suara bersuit nyaring dan semua orang yang mengeroyok berloncatan keluar dari kamar itu.
"Awas jebakan...!" Keng Hong memperingatkan teman-temannya, akan tetapi mereka berada di dalam kamar yang dipagari musuh dengan senjata siap menyerang kalau mereka keluar, maka jalan keluar pada saat itu sama sekali tertutup. Terdengar suara keras dan tiba-tiba lantai kamar tahanan itu turun ke bawah!
Keng Hong, Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu terkejut sekali, namun betapa pun tinggi kepandaian empat orang muda ini, mereka sama sekali tidak berdaya menyelamatkan diri dan terpaksa tubuh mereka ikut terbawa turun oleh lantai kamar itu. Ketika mereka memandang ke atas, ternyata lubang di atas telah tertutup dan mereka terjebak ke dalam sumur yang amat dalam dan gelap!
Cui Im membanting-banting kaki. "Sialan! Mereka telah menimbulkan kekacauan besar sehingga kita telah kehilangan tiga orang pembantu!"
"Hanya dua orang, Lian Ci Sengjin dan Thai-lek Sin-mo, bukan tiga orang," kata Pat-jiu Sian-ong menghibur. "Kita masih cukup kuat."
"Tiga orang," bantah Cui Im."Yang dua orang tewas, yang seorang, yaitu Sian Ti Sengjin tenggelam dalam kedukaan seperti orang kehilangan semangat."
"Kedukaannya akan dapat diatasinya," kata Pak-san Kwi-ong. "Yang patut disayangkan adalah terlepasnya harapan kita mendapat bantuan Go-bi Thai-houw."
"Lebih baik sekarang juga kita bergerak ke puncak. Siapa tahu akan terjadi perubahan yang merugikan. Pat-jiu Sian-ong, harap dipersiapkan barisan sekarang juga. Kita gempur mereka di puncak!"
"Mereka itu, bagaimana" Tanya tuan rumah yang menudingkan telunjuknya ke arah sumur jebakan di bawah kamar tahanan di mana empat orang muda itu terjeblos.
*** "Bunuh mereka! Hujani anak panah!" kata Pak-san Kwi-ong.
Cui Im menggeleng kepala. "Percuma. Mereka adalah orang-orang lihai. Mana mungkin anak-anak panah membunuh mereka" Sian-ong, apakah di dalam lubang itu tidak ada alat rahasia yang dapat membunuh mereka?"
Pat-jiu Siang-ong menggeleng kepala. "Tempat itu dibuat khusus untuk menjebloskan tawanan, bukan dimaksudkan untuk membunuh."
"Hemmm, kalau begitu kita pergunakan cara yang paling menyakitkan, biar pun agak lama akan tetapi pasti Keng Hong tidak mampu melawannya, yaitu membiarkan mereka mati kelaparan dan kehausan. Akan tetapi, tempat ini harus diteliti agar tidak sampai mereka bobol."
Pat-jiu Sian-ong tertawa. "Ha-ha-ha! Jangankan manusia, biar gajah sekali pun kalau sudah terjeblos di situ takkan mampu lolos. Dindingnya terbuat dari baja, dan tidak ada cara untuk meloncat ke atas karena bagian atas tertutup pula oleh lapisan baja yang tebal."
Demikianlah setelah mengadakan perundingan, Cui Im dan kawan-kawannya lalu memimpin pasukan untuk menyerang ke puncak tai-hangsan di mana berkumpul tokoh-tokoh partai besar yang menetang mereka. Sian Ti Sengjin memerintahkan anak buah Phu-niu-san yang ikut bersama dia dan mendiang sutenya, akan tetapi dia sendiri tinggal di benteng itu, pertama untuk mengabungi kematian sutenya, ke dua untuk membantu penjagaan kalau-kalau para tawanan akan meloloskan diri. Cui Im menyetujui permintaannya, pertama karena kepandaian bekas tokoh Kun-lun-pai ini pun baginya tidaklah amat dibutuhkan, ke dua karena memang perlu ada orang pandai yang membenci Keng Hong ikut pula menjaga agar tawanan tidak sampai lolos. Dan dia tahu betapa bencinya bekas tokoh Kun-lun-pai ini kepada Keng Hong, karena bukankah pemuda itu yang telah menyeret kedudukannya yang tinggi di Kun-lun-pai"
Episode 356 Menjelang pagi, rombongan ini berangkat dan mereka yang ditinggalkan di benteng melakukan penjagaan di sekitar benteng, dan Sian Ti Sengjin sendiri tidak pernah meninggalkan bekas kamar tahanan yang kini menjadi sumur atau kuburan bagi empat orang muda yang terjeblos.
Keng Hong dan tiga orang temannya tidak mudah putus asa. Di bawah pimpinan Keng Hong, mereka melakukan segala usaha untuk mencari jalan keluar. Mereka memeriksa dinding, mencoba untuk meloncat ke atas mendobrak penutup di bagian atas. Namun semua usaha sia-sia belaka dan akhirnya mereka berempat harus mengakui bahwa sekali ini mereka benar-benar tidak berdaya.
"Agaknya kita akan terkubur hidup-hidup di tempat ini sampai mati," kata Biauw Eng dengan suara tenang.
"Kalau benar Tuhan menghendaki demikian, aku tidak menyesal, Biauw Eng. Hidup atau pun mati, aku tetap akan merasa bahagia karena ada engkau di sampingku."
Hening sejenak di tempat gelap dekat itu, kemudian terdengar suara Biauw Eng lirih, "Setelah mendengar penuturan Cui Im, baru aku sadar betapa engkau amat baik kepadaku, Keng Hong. Engkau terlalu baik untukku..." Ia menahan ucapannya seolah-olah baru teringat bahwa ada dua pasang telinga lain yang mendengarkan percakapan mereka. Maka Biauw Eng diam saja dan hanya menyambut jari-jari tangan Keng Hong yang dalam gelap itu mencengkeram tangannya dan membalas dengan tangan yang menggetarkan perasaan kasih mesra.
Di sudut lain dari sumur itu, Cong San memegang tangan Yan Cu dan berbisik,
"Aku sependapat dengan Keng hong, Moi-oi. Aku tidak menyesal, biar sampai mati sekalipun, asal bersama engkau."
"Ssttt... Didengar orang. Malu...!" Bisik Yan Cu akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya.
Tanpa berkata-kata, dua pasang orang muda itu saling berpegang tangan di dalam gelap. Cong San berbahagia karena sungguhpun gadis yang dicintanya belum melakukan pengakuan dengan mulut, namun dia merasa yakin bahwa Yan Cu sendiri masih ragu-ragu, mencari-cari, karena hatinya masih bimbang apakah dia mencinta Cong San ataukah mencinta Keng Hong. Keduanya merupakan pemuda yang sepenuhnya memenuhi syarat untuk dicinta, keduanya sama berharga, akan tetapi mengingat bahwa Keng Hong jelas mencinta Biauw Eng, agaknya terpaksa harus menjatuhkan pilihan hatinya kepada murid Siauw-li-pai yang perkasa ini.
Adapun Keng Hong dan Biauw Eng yang duduk sambil berpegang tangan, mengenang semua peristiwa yang mereka alami. Masing-masing mengaku betapa mulia hati orang dicinta sehingga timbul perasaan aneh, yaitu baik diri sendiri kurang berharga untuk menjadi jodoh masing-masing. Diam-diam Biauw Eng merasa betapa orang seperti Keng Hong lebih tepat menjadi suami seorang gadis cantik jelita dan bersih seperti Yan Cu, tidak seperti dia, seorang puteri tokoh dunia hitam, seorang yang pernah menerima cinta kasih laki-laki , yaitu Sim Lai Sek. Di lain fihak, Keng Hong juga menyesal sekali atas semua kelakuannya yang sudah-sudah, merasa betapa dia sama sekali tidak berharga untuk mempersunting seorang gadis sehebat Biauw Eng!
Demikanlah, di dalam sumur maut ini, di mana nyawa mereka tergantung di ujung rambut, tidak ada jalan keluar dan tidak ada harapan untuk hidup, hanya menanti datangnya maut entah secara bagaimana, terjadi getaran-getaran dari perasaan empat orang muda itu, empat orang muda yang dibuai oleh cinta kasih. Mereka itu sama sekali tidak memikirkan akan keadaan mereka, tidak ingat bahwa mereka akan mati, sehingga sia-sia belaka segala cita-cita mereka. Maka terbuktilah kekuatan cinta yang maha hebat, yang mengalahkan maut sendiri. Dengan senjata cinta kasih di hati, manusia sanggup menghadapi maut dengan senyum ikhlas di mulut!
Tan Hun Bwee melakukan perjalanan dengan susah payah, kadang-kadang terhuyung, kadang-kadang merangkak, dalam keadaan terluka parah, dengan anak panah masih menancap di perutnya dan darah menetes-netes sepanjang jalan. Namun mulutnya tak pernah berhenti berbisik, "Aku harus menolong mereka... harus menyelamatkan mereka... Ketetapan hati untuk dapat menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang menolong empat orang muda terutama sekali Keng Hong dan Biauw Eng inilah agaknya yang memperkuat tekadnya, yang menimbulkan daya tahan luar biasa sehingga gadis yang terluka parah ini masih mampu merayap dan mendaki puncak Tai-hang-san selama tiga hari tiga malam tanpa mengaso!
Di puncak Tai-hang-san, bertempat di pondok yang dahulu dibangun oleh seorang pertapa yang kini telah meninggal dan merupakan pondok kosong yang tidak terpakai lagi, berkumpullah tokoh-tokoh partai persilatan dan tokoh-tokoh kang-ouw untuk membicarakan keadaan pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw yang kini mengalami perubahan besar. Sementara Kaisar Yung Lo merebut kekuasaan mengalahkan keponakannya sendiri dan naik tahta kerajaan sebagai Kaisar Beng-tiauw pada tahun 1403, dan dipindahkan kota raja ke utara, maka terjadilah perubahan besar dan perang saudara terhenti. Akan tetapi, melihat betapa kaum sesat kini mulai mengulurkan tangannya mencari pengaruh di antara para pembesar kerajaan, bahkan ada yang menyusup ke istana kaisar, para tokoh partai besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw merasa gelisah. Munculnya tokoh-tokoh kaum sesat ini sudah pasti akan menimbulkan kekacauan, apalagi kalau mereka itu ditunggangi oleh kaum pemberontakan, yaitu mereka yang diam-diam masih bersetia kepada raja yang dikalahkan. Biarpun pada lahirnya mereka ini tidak bergerak, namun diam-diam mereka dapat melakukan gerakan di bawah tanah dan bersekongkol dengan tokoh tokoh kaum sesat.
Inilah yang menyebabkan para tokoh partai besar mengadakan perundingan dan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Pada waktu itu, banyak sudah tokoh kang-ouw yang hadir, tidak kurang dari lima puluh orang wakil-wakil partai besar dan perorangan yang bersepakat untuk mengirim utusan menghadap kaisar agar berhati-hati dan tidak mempergunakan tenaga tokoh-tokoh sesat. Di dalam pertemuan ini, hadirnya utusan-utusan yang merupakan tokoh-tokoh penting. Dari Siauw-lim-pai hadir Thian Kek Hwesio yang berwatak kasar dan jujur bersama tiga orang tokoh-tokoh lebih muda, dari Hoa-san-pai hadir kedua kakak beradik Coa Kiu dan Coa Bu mewakili ketua Hoa-san-pai. Dua orang kakek ini terkenal sebagai Hoa-san Siang-sin-kiam. Adapun dari partai Kong-thong-pai hadir empat orang kakek yang telah berjumpa dengan Keng Hong ketika mereka ini mendaki puncak, yaitu Kok Sian-cu, Kok Liong-cu, Kok Kim-cu dan Kok Seng-cu, keempat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin. Seperti telah diketahui, orang termuda dari mereka ini. Kok Cin-cu telah tewas dalam pertandingan melawan Biauw Eng. Dari Tiat-ciang-pang hadir ketuanya, Ouw-pangcu bersama tiga orang pembantunya, sedangkan dari Kun-lun-pai hadir pula empat orang sute dari Kiang Tojin yang menjadi ketua Kun-lun-pai. Di samping mereka ini masih terdapat belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang kesemuanya menentang kaum sesat dan mempunyai jiwa patriot pembela negara dan bangsa. Memang harus diakui bahwa dahulu, ketika terjadi perang saudara antara para pengikut Raja Muda Yung Lo dan keponakannya, banyak kaum kang-ouw menjauhkan diri dan tidak mau mencampuri karena mereka segan untuk berusuhan dengan bangsa sendiri hanya untuk mendukung orang besar yang memperebutkan kedudukan. Akan tetapi sekarang lain lagi. Kaisar Yung Lo telah menjadi satu-satunya kaisar yang memimpin negara, maka kalau ada kaum sesat yang mengancam negara, mereka serentak bangkit untuk menentang kaum sesat.
*** Karena partai-partai besar lainnya hanya mengirim wakil sedangkan yang ketuanya hadir di situ hanya Kiang Tojin ketua Kun-lun-pai sebagai ketua yang besar dan terhormat, apalagi karena mereka semua tahu bahwa di antara yang hadir, Kiang Tojin kakek tua ini memiliki tingkat kepandaian yang paling tinggi, maka dialah yang menjadi pemimpin pertemuan itu.
Pada pagi hari itu merupakan pertemuan atau perundingan terakhir untuk memilih utusan dan membagi-bagi tugas. Selagi mereka itu berkumpul di depan pondok karena pondok itu sendiri terlalu kecil, dan duduk bersila di atas rumput membentuk lingkaran, tiba-tiba Kiang Tojin yang paling tajam pendengarannya mendengar suara yang luar biasa. Ia meloncat bangkit dan mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam. Kini jelas terdengar suara rintihan dari bawah puncak. Mendengar ini, Kiang Tojin meloncat dan lari ke arah suara itu, menuruni puncak, diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya.
Yang merintih itu adalah Hun Bwee. Gadis yang terluka parah ini sambil memegangi batu dan mendekap perutnya, terengah-engah. Empat orang kakek Kong-thong-pai mengenal gadis ini yang mereka temui bersama Biauw Eng, maka cepat mendekat dan berseru,
"Bukankah Nona yang berjalan bersama Song-bun Siu-li tempo hari?"
Hun Bwee mengangguk, tubuhnya telah diangkat oleh Kiang Tojin dan diletakkan di atas rumput. Kakek ketua Kun-lun-pai ini maklum bahwa gadis itu tak mungkin dapat ditolong lagi, bahkan dia merasa heran mengapa dalam keadaan seperti itu, gadis itu agaknya masih mampu mendaki puncak.
"Lekas... tolong mereka... mereka tertawan oleh Ang-kiam Bu-tek dan kawan-kawannya..."
"Mereka siapa, Nona?" Kiang Tojin bertanya dengan sikap tenang setelah enotok beberapa jalan darah untuk mengurangi penderitaan gadis itu.
"Keng Hong... Biauw Eng... Yap Cong San dan Gui Yan Cu ... cepat tolong mereka... ditawan oleh Cui Im, Pat-jiu Sian-ong, Pak-san Kwi-ong". Dan banyak sekali anak buah dan kawan mereka... cepat...
Kaget bukan main mereka semua mendengar keterangan ini, akan tetapi setelah mengeluarkan kata-kata yang sudah sekian lamanya ia tahan-tahan di hatinya, Hun Bwee menjadi lemas. Kiang Tojin terkejut mendengar bahwa Keng Hong ditawan, juga Thian Kek Hwesio dan teman-temannya terkejut mendengar nama Yap Cong San disebut-sebut.
"Di mana mereka" Di mana ditawannya?" Banyak mulut menghujankan pertanyaan ini, akan tetapi Kiang Tojin mengangkat tangannya dan mengurut leher dan dada gadis yang pingsan itu, atau lebih tepat lagi sudah sekarat.
Hun Bwee membuka matanya, bibirnya bergerak lemas akan tetapi yang keluar hanya bisikan lirih sekali, ...benteng... benteng... kemudian ia menghembuskan napas terakhir!
Episode 357 "Ahhh.... kiranya mereka yang menyelundup ke istana telah keluar semua dan berada di sini...!" kata Kiang Tojin kaget. Akan tetapi pada saat itu, ratusan batang anak panah menyambar ke arah sekumpulan orang gagah itu dari empat jurusan.
"Awas senjata rahasia...!" Kiang Tojin berseru dan semua orang gagah itu cepat mengelak, menangkis dan menangkap anak-anak panah yang menyambar. Kalau hanya diserang anak panah saja, mereka semua mampu melindungi diri. Ketika anak-anak panah berhenti menyambar, tampak oleh mereka betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang dan di sebelah depan muncul tokoh-tokoh kaum sesat yang mengejutkan mereka karena mereka itu adalah tokoh-tokoh terkenal yang amat lihai. Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im tersenyum-senyum menghampiri mereka, didampingi oleh Pak-san Kwi-ong, Pat-jiu Sian-ong, Thian-te Siang-to kedua murid Pat-jiu Sian-ong, empat orang tinggi besar Pak-san Su-liong, Gu Coan Kok si iblis cebol dan Hok Ku si raksasa bongkok!
Kiang Tojin yang bermata tajam maklum bahwa keadaan mereka terkurung dan terancam bahaya, namun dengan tenang dia lalu melangkah maju menghadapi Cui Im sambil berkata,
"Nona Bhe Cui Im, telah lama pinto mendengar akan nama besarmu sebagai Ang-kiam Bu-tek. Apakah maksud kedatanganmu yang datang-datang menyerang kami?"
Cui Im tertawa dan menunjuk kepada Thian Kek Hwesio. "Hi-hi-hik, Kiang Tojin, kau tanyalah kepada Hwesio Siauw-lim-pai itu, apakah dia tidak akan menyerangku kalau aku tidak mendahului menyerang."
"Iblis betina, pinceng akan mengadu nyawa denganmu!" Thian Kek Hwesio yang marah sekali melihat musuh besarnya sudah meloncat maju dan menyerang dengan jubahnya.
"Plak! Plak!" Dua kaki Cui Im menangkis dengan lengannya dan hwesio Siauw-lim-pai itu terhuyung mundur.
Kiang Tojin memegang lengan Hwesio itu, menyuruhnya bersabar, kemudian dia menghadapi Cui Im lagi dan bertanya, "Engkau belum menjawab pertanyaan pinto."
"Kiang Tojin engkau bertanya apa maksud kedatanganku" Jawablah dahulu apa maksud kalian berkumpul dan berunding di sini" Bukankah untuk menentang kami" Dari pada kalian susah-susah mencari kami di istana, kami mendahului kalian datang ke sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kami yang kalian yang mengangkat diri menjadi orang-orang gagah. Hi-hi-hik! Lihat baik-baik, kalian telah terkurung. Anak buah kami lebih dari dua ratus orang jumlahnya dan dengan mudah kami akan dapat membasmi kalian semua!"
"Hemmm, mengapa belum kau lakukan itu?" Kiang tojin bertanya, sikapnya masih tenang, karena tosu tua ini dapat menduga bahwa kalau kini Cui Im mengajak mereka bicara, tentu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari wanita muda yang amat cerdik ini.
"Aku tidak tergesa-gesa, Kiang Tojin. Aku akan menerima baik kalau saja kalian semua ini berjanji untuk tidak mencampuri urusan kami, bersumpah tidak akan menentang kami. Nah, bukankah hal ini berarti bahwa aku masih memandang persahabatan antara kaum persilatan. Kami hanya membutuhkan janji dan sumpah kalian untuk ditukar dengan nyawa kalian!"
Para orang gagah yang hadir di situ menjadi merah mukanya dan terdengar bentakan-bentakan marah menentang permintaan Cui Im itu. Bagi mereka semua, nama lebih berharga daripada nyawa dan tentu saja mereka tidak sudi untuk merendahkan nama mereka dengan tunduk dan bersekutu dengan golongan sesat hanya untuk menolong keselamatan mereka. Pula, biarpun dikurung, mereka tidak menjadi gentar dan bersedia untuk melawan mati-matian. Kiang tojin dapat memaklumi pendirian para sahabatnya maka dapat ragu-ragu dia pun berkata,
"Nona, kami berkumpul di sini bukan bermaksud untuk mengadakan perang karena kalau demikian halnya, kiranya kami akan dapat dengan mudah mengumpulkan orang seratus kali jumlah orang-orangmu sekarang. Akan tetapi, biarpun demikian, kalau engkau menghendaki hal seperti yang kau kemukakan tadi, tanpa dijawab sekalipun tentu engkau sudah mengenal atau setidaknya mendengar jiwa orang-orang gagah yang tidak mungkin menukar kehormatannya dengan nyawa! Hanya sedikit yang pinto ingin ketahui, mungkinkan tokoh-tokoh seperti engkau yang memakai julukan Ang-kiam Bu-tek, dan tokoh-tokoh itu seperti Pat-jiu Sian-ong dan Pak-san Kwi-ong yang terkenal sebagai datuk-datuk persilatan, tidak malu mempergunakan siasat rendah berupa penggeroyokan jumlah besar terhadap jumlah yang jauh lebih kecil?" Kiang Tojin memang seorang yang cerdik dan juga seorang yang berpengalaman, maka sengaja dia mengeluarkan ucapan yang memanaskan hati ini, ucapan yang merupakan pantangan bagi jagoan yang mana pun juga, yaitu kalau dipandang tidak mempergunakan kegagahan melainkan menggunakan kecurangan.
"Kiang Tojin engkau manusia sombong!" Pak-san Kwi-ong menggereng marah. "Biarpun engkau telah menjadi ketua Kun-lun-pai, siapa sih yang takut menghadapimu" Biarpun terhadap Thian Seng Cinjin gurumu, dahulu aku tidak pernah merasa takut, apalagi terhadap engkau!" Sambil berkata demikian, kakek ini menggerakkan senjatanya sepasang tengkorak di ujung rantai sehingga dua buah tengkorak itu seperti hidup bergerak-gerak dan dari tenggorokan kakek tinggi besar kulit hitam itu keluar gerengan yang mendatangkan getaran sedemikian hebatnya sehingga sebagian besar anggauta rombongan orang gagah cepat-cepat menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk bertahan. Namun masih ada beberapa orang di antara mereka yang tidak kuat sehingga cepat mereka duduk bersila memejamkan mata untuk mengelak dari getaran itu dengan mengerahkan hawa murni sebanyaknya. Memang hebat sekali gerengan penuh tenaga dahsyat yang timbul dari khikangnya yang amat kuat!
"Bagus sekali! Demikianlah suara seorang laki-laki sejati yang tidak sudi berlaku curang dan mencari kemenangan dengan jalan mengandalkan pengeroyokan jumlah banyak," kata Kiang Tojin, suaranya nyaring melengking melawan getaran dari gerengan Pak-san Kwi-ong itu. "Ang-kiam Bu-tek, pinto melihat bahwa agaknya engkaulah yang mewakili rombongan kami, maka sekarang bagaimana kau akan mengatur setelah mendengar bahwa kami menolak usulmu yang menghina itu" Dengar jawaban kami. Selama kami masih hidup, dan selama golongan sesat masih melanjutkan perbuatan-perbuatannya yang jahat dan kotor untuk menimbulkan kekacauan, selama itu pula kami akan menentangnya! Ada jahat tentu ada baik, ada hitam tentu ada putih, ada gelap pasti ada terang. Kalau ada golongan yang menghambur nafsu jahat melakukan penindasan dan mengakibatkan kekacauan, pasti ada pula golongan yang menentangnya. Kalau kalian yang mewakili golongan hitam tidak melakukan perbuatan jahat, tentu saja kami pun tidak mempunyai alasan untuk mencari permusuhan.
*** Episode 358 Akan tetapi, selama kalian masih merajalela dengan perbuatan jahat, kami akan selalu menentang!"
Cui Im diam-diam merasa marah sekali. Dia pun seorang wanita yang biar pun masih muda namun memiliki kecerdikan luar biasa, maka ia pun tahu akan siasat Kiang Tojin tadi yang ternyata sudah berhasil dengan panasnya hati Pak-san Kwi-ong sehingga mengucapkan kata-kata menantang tadi. Namun karena dia mengandalkan kepandaian sendiri dan mengandalkan bantuan kedua datuk hitam itu, tentu saja ia tidak khawatir dan bibirnya yang manis tetap tersenyum.
"Kiang Tojin, engkau mengatakan bahwa kalian tidak ingin berkelahi, demikian pula kami kalau tidak perlu sekali, tidak ingin bentrok dengan kalian. Akan tetapi oleh karena di antara kita tidak terdapat kecocokan, maka marilah kita mengadakan pertandingan antara jago-jago kita untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tentu saja fihak yang kalah dinyatakan harus tunduk akan perintah fihak yang menang, ini merupakan hukum kalangan kang-ouw. Bagaimana?"
Kiang Tojin terpaksa mengangguk, dan diam-diam berpikir bahwa kalau fihaknya kalah sekali pun, para orang gagah tentu akan memilih mati daripada harus tunduk dan melakukan hal-hal yang menyeleweng daripada kegagahan dan kebenaran. "Baiklah, memang sebaiknya begitu. Kami siap!" Diam-diam Kiang Tojin memilih-milih, siapa kiranya yang akan patut dia jadikan jago dalam pertandingan ini. Kalau saja di situ terdapat orang-orang muda yang lihai seperti Keng Hong, atau seperti Yap Cong San murid ketua Siauw-lim-pai yang dia dengar dari Thian Kek Hwesio merupakan tokoh yang paling kuat di antara murid-murid ketua itu. Akan tetapi menurut penuturan gadis yang tewas tadi, kedua orang muda itu telah ditawan!
Cui Im sejak tadi melihat mayat Hun Bwee, dan ia merasa tidak senang, akan tetapi karena ia disitu tidak terdapat Go-bi Thai-houw,
Dan pula mengingat bahwa empat orang muda yang lihai masih terkurung dalam sumur, tak mungkin mereka itu dapat keluar, menjadi lega hatinya dan ia tidak mempedulikan.
"Kiranya tidak perlu mengajukan jago-jago yang tidak memiliki kepandaian Kiang Tojin. Mari kita mengajukan masing-masing tiga orang jago dari fihak kita. Aku mengajukan tiga orang jagoan dan engkau pun mengajukan tiga orang jago. Jumlah kemenangan dalam pertandingan ini menentukan siapa yang menang siapa kalah. Beranikah engkau?"
Cui Im menggunakan siasat balasan yang sama, ia menanyakan berani atau tidak sehingga terpaksa Kiang Tojin tidak dapat memilih jawaban lain kecuali menerima tantangan itu.
"Terserah kepadamu, Ang-kiam Bu-tek!" Katakanlah siapa jago-jagomu agar pinto dapat pula mengimbangi dengan jago-jago kami."
Cui Im tersenyum lebar, "Hi-hi-hik, jangan kau main akal-akalan menghadapi aku, Kiang Tojin. Aku tahu bahwa fihak yang terakhir mengajukan jagonya dapat menilai dan menentukan tandingan, akan tetapi sekali ini, engkau bolak-balikkan semua jagoanmu akan sia-sia, hi-hi-hik ! Tiada halangan bagiku untuk mengajukan nama ketiga jagoku. Pertama adalah aku sendiri, ke dua Pak-san Kwi-ong dan ke tiga Pat-jiu Sian-ong. Nah, siapa jago-jagomu?"
Kiang Tojin memang sudah menduga lebih dulu dan sejak tadi dia pun diam-diam merasa gelisah dan bingung. Akan tetapi dia menenangkan hatinya dan menjawab, "Engkau memang licik, Ang-kiam Bu-tek. Andaikata semua ketua partai berada di sini, pinto rasa engkau tidak sesombong ini! Akan tetapi jangan dikira pinto takut, karena seorang gagah mendasarkan keberanian bukan di atas perhitungan menang kalah, melainkan di atas kebenaran. Baiklah, dari fihak kami yang akan maju adalah kami sendiri, kemudian Thian Kek Hwesio dari Siauw-lim-pai, dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam. Seperti kau tentu tahu, Siauw-lim-pai mempunyai urusan denganmu atas kematian ThianTi Hwesio, dan Hoa-san-pai juga mempunyai urusan denganmu atas kematian murid Hoa-san-pai. Kami siap!"
Thian Ti Hwesio sudah menggereng dan meloncat maju, demikian pula Coa Kiu, kakek Hoa-san-pai yang lihai. Biarpun mereka berdua ini maklum bahwa mereka tidak akan menang menghadapi seorang di antara ketiga musuhnya yang sakti itu, namun keduanya siap melawan sampai mati!
"Hi-hi-hik!" Cui im terkekeh mengejek. "Biarlah semua orang gagah yang hadir di sini menyaksikan pertunjukan yang menarik. Kita maju seorang demi seorang agar dapat dinikmati pertandingan antar puncak! Siapakah di antara kalian yang akan maju lebih dulu?"
"Pinto yang akan maju dulu." Kata Kiang Tojin kemudian menoleh kepada dua orang jagonya. "Harap Ji-wi bersabar dan menanti giliran," kemudian dia berkata Kok Sian-cu, rang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, "Jika pinto tewas dalam pertandingan, harap Lo-enghiong sudi mewakili pinto memimpin para saudara." Setelah dua orang jagonya mundur dan Kok Sian-cu mengangguk, Kiang Tojin melangkah maju, mencabut pedangnya dan melintang pedang di depan dada, sikapnya tenang.
"Ang-kiam Bu-tek, pinto telah siap, Majulah!" Kiang Tojin yang sudah mendengar betapa wanita itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sehingga membunuh banyak tokoh pandai, di antaranya malah mebunuh bekas gurunya sendiri, yaitu Lam-hai Sin-ni yang lihai, menduga bahwa wanita inilah yang paling kuat maka dia hendak menandinginya sendiri. Akan tetapi, Cui Im adalah seorang yang licik dan juga cerdik. Dia pun maklum bahwa Kiang Tojin yang kini menjadi ketua Kun-lun-pai amat lihai, kalau dia sampai kalah, selain dia rugi, juga ia khawatir fihaknya akan kalah. Adapun kalau dia maju melayani seorang di antara dua jago lawan, sudah dipastikan dia akan menang di samping harapan bahwa seorang di antara kedua datuk kawannya belum tentu pula kalah oleh Kiang Tojin. Maka ia menoleh dan bertanya kepada dua orang kawannya.
"Sian-ong dan Kwi-ong, siapa di antara kalian yang berani menghadapi ketua Kun-lun-pai?"
Pak-san Kwi-ong meloncat maju sambil tertawa bergelak, "Siapa sih yang takut" Ha-ha-ha-ha-ha, sudah lama aku ingin mencoba kelihaian ketua Kun-lun-pai!" Kakek tinggi besar ini lalu menggerakkan rantai dan dua buah tengkoraknya berputaran mengeluarkan angin bersiutan mengerikan. Cui Im tersenyum dan mundur, juga Pat-liu Sian-ong mundur sambil mengebut-ngebutkan hudtimnya mengusir hawa panas. Dia tentu saja memandang rendah calon lawannya dan maklum bahwa hanya pertandingan antara ketua Kun-lun-pai dan Pak-san Kwi-ong ini yang akan menarik dan paling berharga untuk ditonton.
Menghadapi Pak-san Kwi-ong yang dia tahu amat lihai, Kiang Tojin segera memasang kuda-kuda Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Biarpun dia sudah tua, namun gerakannya masih kuat dan mantap, pedang yang dipegangnya tidak sedikit pun bergoyang. Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong mengeluarkan gerengan keras dan sepasang senjata tengkorak itu dan fihak orang-orang gagah menjadi cemas. Bukan main hebatnya gerakan senjata mengerikan itu. Namun dengan lincah Kiang Tojin meloncat untuk menghindarkan sambaran pada kakinya sambil menarik kepalanya miring untuk mengelak sambaran tengkorak ke dua pada kepalanya, berbareng pedangnya meluncur, berubah menjadi sinar terang menusuk dada lawan. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangan, rantai di tangan kanan raksasa hitam itu menangkis pedang sehingga terdengar suara nyaring dan keduanya merasa betapa lengan mereka tergetar. Pak-san Kwi-ong sudah memutar senjatanya lagi dan kini sepasang senjata tengkorak itu berubah bentuknya, menjadi gulungan sinar abu-abu yang melingkar-lingkar dan mengeluarkan suara bercuitan dibarengi gerengan-gerengan seperti srigala, namun mengandung khikang yang menggetarkan semangat lawan.
Episode 359 Gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar ini menerjang ke arah Kiang Tojin. Dahsyat bukan main serangan datuk kaum sesat dari utara ini. Kiang Tojin dengan tenang namun cepat sekali dia menggerakkan pedangnya, melawan dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang sudah mencapai tingkat tinggi. Baru sinar pedang yang mengeluarkan bunyi berdesingan itu saja dapat memenggal leher lawan yang kurang kuat!
Terjadilah sebuah pertandingan yang amat seru dan menegangkan. Kedua orang itu sama-sama kuat, sama-sama memiliki banyak pengalaan dan keduanya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi di masa itu, namun sekali ini Kiang Tojin kalah ampuh senjatanya. Senjata di tangan Pak-san Kwi-ong adalah senjata yang khusus untuk dia sendiri, senjata yang khusus untuk dia sendiri. Senjata yang dapat diputar cepat dan selain itu, dua buah tengkorak itu pun bukan tengkorak itu pun bukan tengkorak biasa, melainkan tengkorak yang mengandung racun jahat. Di dalam jurang jurus terdapat gerakan liar dan ganas luar biasa sehingga setelah lewat lima puluh jurus lebih, Kiang Tojin terdesak karena dia harus lebih banyak melindungi tubuhnya sehingga kurang mendapat kesempatan untuk menyerang.
Fihak anak buah Pat-jiu Sian-ong yang tentu saja kurang tinggi tingkatnya tidak dapat mengikuti jalannya pertandingan yang terlalu cepat untuknya sehingga hanya melihat betapa bayangan ketua Kun-lun-pai itu mundur-mundur terdesak, maka mereka mulai tertawa-tawa girang karena jago mereka akan menang. Tidak demikian dengan Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong. Dua orang sakti ini tiba-tiba terkejut sekali menyaksikan perubahan dalam gerangan Kiang Tojin. Masih memainkan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi ada terselip perubahan pada gerak kaki dan tangan yang mengingatkan Cui Im akan gerakan-gerakan aneh dari Keng Hong. Gerakan yang seperti merupakan perjodohan antara Pat-sian-kun dan Ngo-heng-kun, akan tetapi juga bukan itu.
*** Gerakan yang kelihatan lemah dan sederhana namun mengandung pengaruh yang amat kuat, yang seolah-olah mengunci gerakan-gerakan lawan dari yang kini memungkinkan Kiang tojin untuk mengirim serangan balasan, makin lama makin sering sehingga keadaan mereka kembali berimbang, bahkan berkali-kali terdengar Pak-san Kwi-ong mengeluarkan seruan kaget di antara gerengan-gerengannya karena secara aneh pedang lawan hampir mengenai tubuhnya dalam jurus-jurus yang dia tidak kebal! Kakek yang menjadi Datuk Hitam di utara ini mengenal gerakan Kun-lun Kiam-sut, akan tetapi setelah kini Kiang Tojin mengubah permainannya, dia menjadi bingung. Disebut bukan Kun-lun Kiam-sut, mengapa begini aneh" Apakah ketua baru dari Kun-lun-pai ini telah menciptakan ilmu pedang baru" Suara angin sambaran pedang yang berdesing mengaung makin nyaring dan kini mulai mengurung lingkaran sinar senjata rantai tengkorak.
Sebetulnya Kiang Tojin tidak menciptakan ilmu pedang baru, melainkan dia kini mencampurkan unsur-unsur ilmu silat sakti Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari dari kitab itu yang dia terima dari Keng Hong. Setelah dia mempergunakan dasar dari ilmu pedang yang hebat ini, maka dia dapat mengimbangi gerakan lawan sampai dua ratus jurus lebih dan mulailah pedangnya mengurung dan menindih senjata lawan! Akan tetapi sayang sekali. Kiang Tojin sudah tua dan dia sudah banyak kehilangan daya tahan dan daya tempurnya. Kalau dia memiliki watak yang liar dan ganas seperti lawannya, tentu dia dapat memperoleh kemenangan. Sebagai seorang dari golongan bersih, tentu saja dia tidak mau menyimpang daripada tata tertib persilatan dan hanya mau merobohkan lawan dengan gerak silat yang teratur. Apalagi Kiang Tojin adalah seorang ketua partai persilatan besar, tentu saja dia harus menjaga "gengsi" perkumpulannya!
Setelah lewat tiga ratus jurus yang memakan waktu hampir dua jam, mulailah desakan Kiang Tojin berkurang, bahkan kini tangkisan dan serangannya kurang tenaga. Sebaliknya Pak-san Kwi-ong yang menggereng-gereng itu masih kuat sekali dan ulailah dia yang sebaliknya terdesak lagi. Kalau saja usia ketua Kun-lun-pai ini masih muda seperti Keng Hong, tentu tidak akan terjadi hal demikian karena Ilmu Silat Thai-lek Sin-kun yang dia pelajari adalah ilmu yang benar-benar dahsyat dan yang pada masa itu belum dikenal orang rahasianya. Akan tetapi dia sudah tua dan ketika memperlajari ilmu silat sakti itu sama sekali tidak ditujukan untuk menghadapi pertempuran, melainkan hanya untuk menambah pengetahuan silat belaka. Oleh karena hasilya pun tidak sehebat Keng Hong.
"Robohlah!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong membentak keras sekali, tengkorak di tangan kanannya meluncur ke depan, menyerang ke arah muka Kiang Tojin. Ketua Kun-lun-pai ini yang merasa betapa tenaganya berkurang dan kalau dilanjutkan dia akan kehabisan tenaga, segera mengambil keputusan untuk mencari kemenangan dengan cepat, yaitu mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya untuk merusak senjata lawan. Melihat tengkorak itu menyambar ke arah mukanya, Kiang Tojin lalu membacokkan pedang sambil mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan ke arah tengkorak yang menyambar, melainkan ke arah rantai yang mengikat tengkorak itu.
"Cringgggg!!" Terdengar suara keras di antara bunga api yang berhamburan menyilaukan mata. Tengkorak manusia itu jatuh menggelinding di atas tanah, akan tetapi pedang Kiang Tojin telah terlibat rantai di tangan kanan Pak-san Kwi-ong yang menjadi marah sekali. Tiba-tiba terdengar suara meledak dan Kiang Tojin terhuyung-huyung tubuhnya. Yang meledak dan menghaburkan asap dan jarum baracun adalah tengkorak yang terbabat buntung dari rantainya tadi sehingga kaki Kiang Tojin terkena jarum berbisa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Pak-san Kwi-ong untuk menggerakkan tengkorak ke dua di tangan kirinya.
Tengkorak itu berputar-putar kemudian menukik dan menyerang Kiang tojin dari arah belakang tosu ini! Pada saat itu, Kiang Tojin tengah berusaha menarik kembali pedangnya yang terbelit rantai lawan, dan baru saja tubuhnya terguncang oleh ledakan tengkorak yang mengandung asap dan jarum beracun, maka terhadap serangan hebat yang aneh karena tengkorak itu menyerangnya dari belakang, dia hanya dapat mengelak senjata berarti kalah. Maka tentu saja elakannya kurang tepat dan tengkorak ke dua itu masih saja mengenai punggungnya.
"Bukkk!"
"Dessssss!" Pada detik yang hampir bersamaan, tangan kiri Kiang Tojin juga mengirim pukulan sinkang ke arah dada lawan pada saat dia dihantam tengkorak. Pukulannya dengan telapak tangan ini, sama sekali tidak disangka-sangka oleh Pak-san Kwi-ong yang sudah kegirangan menyaksikan serangannya berhasil. Tubuh Kiang tojin terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya, akan tetapi tubuh Pak-san Kwi-ong juga terhuyung ke belakang. Kedua orang kakek ini menyemburkan darah segar dari mulut, kemudian tanpa mempedulikan apa-apa lagi mereka berdua itu sudah menjatuhkan diri bersila dan mengatur napas karena dalam keadaan terluka hebat seperti itu, yang terpenting adalah mengobati diri sendiri melalui pernapasan mengumpulkan hawa murni. Bahkan mereka berdua tidak peduli lagi akan senjata masing-masing yang tadi ketika mereka terpental telah terlepas dari libatan dan kalau Kiang tojin kini masih memegang pedangnya sambil bersedakap, adalah Pak-san Kwi-ong masih memegangi rantai tengkorak yang tinggal sebuah itu, disampirkan di pundaknya.
Episode 360 Kok Sian-cu, tosu tua yang mata kirinya buta, tokoh utama Kong-thong-pai segera lari menghampiri Kiang tojin dan cepat memeriksa punggung ketua Kun-lun-pai itu Ternyata pukulan tengkorak itu menimbulkan warna hitam bundar pada punggung maka tahulah dia bahwa pukulan itu mengandung racun.
Sambil menahan kemarahan Kok Sian-cu bangkit berdiri menghadapi Cui Im, suaranya terdengar penuh wibawa, "Ang-kiam Bu-tek, bagaimana pendapatmu atas hasil pertandingan pertama ini?"
Cui Im mengerti bahwa Pak-san Kwi-ong telah menerima pukulan yang hebat dan menderita luka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi ia pun tahu bahwa ketua Kun-lun-pai itu pun menderita luka yang lebih berbahaya karena tengkorak itu mengandung racun di samping jarum beracun yang menusuk kakinya, maka ia lalu berkata sambil tertawa,
"Kalau aku mengakui bahwa fihakku menang, tentu kau akan menganggap bahwa aku takut kalah! Hi-hi-hik, tosu buta sebelah! Biarlah kita anggap saja tidak ada yang kalah tidak ada yang menang karena kedua fihak terluka. Sekarang, kami mengajukan dua orang jago kami, aku sendiri dan Pat-jiu Sian-ong. Hayo, suruh jago-jagomu maju karena kami berdua akan merobohkan mereka dalam sepuluh jurus, hi-hi-hik!"
Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai dan Thian Kek Hwesio sudah marah sekali. Mereka sudah bergerak maju hendak menyambut tantangan itu akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua ekor burung walet menyambar, dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda tampan dan seorang dara jelita yang bukan lain adalah Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng!
"Cui Im perempuan curang, akulah lawanmu!" bentak Keng Hong.
Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong terkejut bukan main, apalagi ketika tak lama kemudian muncul pula Yap Cong San Gui Yan Cu di tempat itu! Bagaimana mungkin ini" Empat orang muda ini telah terjebak di dalam sumur, bagaimana tahu-tahu telah berhasil meloloskan diri dan menyusul ke sini" Siapakah yang telah menolong mereka"
Memang sesungguhnyalah, tanpa pertolongan dari luar, biarpun empat orang itu merupakan orang-orang muda yang berilmu tinggi tidak mungkin mereka akan dapat lolos dari dalam sumur itu.
Dan pertolongan ini memang datang dari orang yang sama sekali tidak pernah mereka duga dan harapkan. Yang menolong mereka adalah Sian Ti Sengjin bekas tosu tokoh Kun-lun-pai!
Telah terjadi perang besar dalam batin Sian Ti Sengjin semenjak kakek ini mendapat kenyataan bahwa sutenya, Lian Ci Sengjin benar-benar telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk, yaitu memperkosa Tan Hun bwee. Semenjak dia tahu akan hal itu, mulailah timbul rasa penyesalan besar di hatinya. Barulah dia sadar betapa jauh dia menyeleweng dari pada jalan benar dan betapa dia telah membela sutenya yang ternyata telah menjadi hamba nafsu yang jahat. Mulailah dia teringat akan gemblengan batin yang telah puluhan tahun dia pelajari dan latih. Kalau tadinya dia masih mempertahankan keadaannya dan diam saja adalah karena dia mengharapkan sutenya akan insyaf. Maka dia membujuk-bujuk sutenya agar mereka berdua kembali saja ke Phu-niu-san karena dia tahu bahwa dia telah terjerumus makin dalam dengan menggabungkan diri dengan orang-orang golongan sesat. Namun sutenya selalu menolak dan akhirnya dia menerima pukulan batin terhebat ketika menyaksikan sutenya tewas dengan tubuh hancur lebur oleh Hun Bwee. Timbul penyesalan besar dan dia mulai memikirkan cara untuk menebus dosa-dosanya.
Demikianlah, begitu Cui Im memimpin rombongan untuk menyerbu ke puncak Tai-hang-san, dia mencari alasan untuk tinggal menjaga di dalam benteng. Kemudian, tidak lama setelah rombongan berangkat, Sian Ti Sengjin cepat memasuki kamar Cui Im, membongkar barang-barang wanita itu dan berhasil mengumpulkan barang-barang pusaka yang dirampas oleh Cui Im dari tangan Keng Hong, yaitu benda-benda pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Setelah itu, dia cepat mencari tambang, membuka lantai kamar tahanan yang kini menjadi sumur tertutup dan menurunkan tambang itu kebawah.
*** Keng Hong dan tiga orang temannya terkejut melihat betapa ada sinar terang dari atas menyorot ke bawah, dan ternyata bahwa penutup sumur itu terbuka. Makin heranlah hati mereka ketika melihat dari bawah betapa Sian Ti Sengjin menurunkan sehelai tali tambang ke dalam sumur.
"Thian Yang Maha Adil!" Keng Hong berbisik. "Kiranya Thian akhirnya menggerakkan hatinya untuk menyadari kesesatannya. Biarlah aku yang naik lebih dulu, siapa tahu ini merupakan jebakan pula. "Cepat pemuda ini lalu menyambar tali dan merayap naik sambil menggigit Siang-bhok-kiam untuk bersiap-siap kalau di atas ada bahaya menantinya. Akan tetapi setelah tiba di atas dan meloncat ke lantai, dia melihat Sian Ti Sengjin memandangnya dengan wajah pucat dan bekas tosu yang amat dikenalnya sejak dia menjadi kacung di Kun-lun-pai ini berbisik,
"Keng Hong, lekas suruh teman-temanmu cepat naik!"
Bukan main girangnya hati Keng Hong. Ia menjenguk ke dalam sumur dan berkata, "Naiklah semua!"
Tiga orag muda yang menanti dengan hati penuh ketegangan di dalam sumur itu pun menjadi girang sekali dan mereka cepat merayap naik melalui tali. Setelah tiba di atas, Keng Hong menjatuhkan diri berlutut di depan bekas tosu itu dan berkata,
"Sian Ti Totiang, terimalah ucapan terima kasih kami."
Sian Ti Sengjin cepat membangunkan Keng Hong dan menarik napas panjang.
"Jangan begitu, engkau membikin aku malu saja, Keng Hong. Terimalah ini, bukankah ini benda-benda pusaka yang dirampas Cui Im?"
Keng Hong makin girang melihat bahwa semua benda pusaka peninggalan gurunya, yaitu sebatang pedang Hoa-san-pai, sebuah kitab dari Go-bi-pai, dan kitab-kitab tulisan Sin-jiu Kiam-ong sendiri, sabuk sutera dan senjata-senjata rahasia Biauw Eng berupa bola-bola putih berduri dan tusuk konde bwee, pedang milik Yan Cu, dan sepasang Im-yang-pit milik Cong San, semua telah berada dalam buntalan yang dibawa tosu itu.
Ketika dia hendak berlutut kembali, dengan terharu Sian ti Sengjin memegang kedua pundaknya dan berkata, "Tak usah berterima kasih karena kalian telah menjadi pendorong pinto, menyesali diri dan bertobat. Sekarang kalian cepat mengejar mereka yang menyerbu ke puncak Tai-hang-san untuk membasmi mereka yang sedang mengadakan pertemuan di sana. Pinto sendiri akan pergi mencari bala bantuan pasukan pemerintah di Tai-goan!"
Episode 361 Setelah berkata demikian, bekas tosu Kun-lun-pai yang telah insyaf itu lalu berlari keluar dengan cepat.
Keng Hong tidak membuang waktu lagi. Dia menyimpan benda-benda pusaka itu, kemudian bersama Biauw Eng, Cong San dan Yan Cu dia lari keluar. Dengan mudah saja mereka berempat merobohkan para penjaga yang mencoba menghalangi mereka dan dengan berlari cepat mereka menuju ke puncak Tai-hang-san. Demikianlah, mereka berempat dapat datang tepat pada saat Kiang Tojin dan Pak-san Kwi-ong menyelesaikan pertandingan mereka yang mengakibatkan mereka keduanya terluka. Keng Hong dan Biauw Eng yang lari di depan dapat mendengar tantangan Cui Im, maka mereka berdua segera menyambut tantangan itu. Kini dua pasang orang sakti yang bermusuhan itu memandang dengan mata bersinar-sinar, sebaliknya Cui Im dan Pat-jiu Sian-ong memandang dengan kaget sekali.
Kiang Tojin yang sedang bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengobati lukanya, membuka mata dan tersenyum lemah. "Thian selalu berfihak kepada yang benar, siancai... siancai...! Ang-kiam Bu-tek, karena di fihak kami telah datang tenaga-tenaga baru, maka pinto menunjuk Cia Keng Hong dan Sie Biauw Eng untuk menjadi jago-jago kami yang ke dua dan ke tiga!"
"Heh-heh-heh, beginikah sikap tokoh-tokoh yang menamakan dirinya golongan bersih" Tidak dapat dipegang janjinya! Bukankah tadi kau mengajukan Thian Kek Hwesio dan seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam sebagai jago" Di mana letak kegagahanmu, Kiang Tojin?" Cui Im tertawa mengejek.
"Cui Im!" Keng Hong membentak marah. "Orang macam engkau masih mau bicara tentang kegagahan dan pemenuhan janji" Berapa kali sudah engkau menipuku" Kalau engkau tidak mau menghadapiku sebagai wakil yang diajukan oleh Kun-lun-pai, tetap saja engkau harus kuhadapi sekarang juga untuk menebus semua kejahatan dan kecuranganmu!"
"Dan engkau pun harus menebus kecuranganmu ketika menjebak kami, Pat-jiu Sian-ong!" Bentak pula Biauw Eng yang sudah siap dengan sabuk suteranya seperti Keng Hong yang sudah mempersiapkan Siang-bhok-kiam untuk menghadapi lawan.
Pat-jiu Sian-ong menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa lalu berkata halus, "Binatang kerbau diikat hidungnya, akan manusia diikat kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kiang Tojin seorang manusia atau seekor kerbau" Jangan dikira bahwa aku jerih menghadapi seorang bocah seperti puteri Lam-hai Sin-ni, hanya hatiku belum puas kalau belum memaki Kiang Tojin."
Pak-san Kwi-ong juga sudah melompat bangun, menyeringai menahan rasa nyeri dan sesak di dadanya, lalu menuding ke arah Kiang Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin, di antara kita masih belum ada yang kalah atau menang. Marilah kita lanjutkan pertandingan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kalau engkau berani!"
Kiang Tojin menghela napas panjang. "Siancai...!" Pinto bukan seorang yang takut menghadapi kematian, Kwi-ong, Marilah!" Ia pun bangkit dengan cepat akan tetapi agak terhuyung.
Sekali pandang saja maklumlah Keng Hong bahwa Pak-san Kwi-ong telah terluka hebat di dalam dadanya, akan tetapi Kiang Tojin juga telah terluka parah, maka dia cepat benyanyi,
"Tiga puluh buah ruji berpusat pada poros roda di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Dengan tanah liat membuat mangkok bundar Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Membobol pintu jendela pada sebuah rumah Di tempat yang kosonglah terletak kegunaannya! Yang ada hanya sebagai pegangan Yang kosong itulah yang berguna!"
Sajak yang dinyanyikan Keng Hong itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tik-keng yang menggambarkan keadaan To dan sifat-sifatnya. Dilihat kosong namun justeru yang kosong itulah yang menciptakan kegunaannya. Akan tetapi tentu saja Keng Hong mempunyai maksud tertentu dengan nyanyian ini yang dia harapkan akan ditangkap maknanya oleh Kiang Tojin.
Cui Im adalah seorang yang cerdik, akan tetapi dia tidak mengenal ayat-ayat seperti itu. Ia khawatir kalau-kalau Keng Hong membantu dengan nyanyian yang tak dimengertinya itu, maka sambil melengking keras ia sudah menerjang Keng Hong dengan pedang merahnya. Sambil tersenyum Keng hong menangkis dengan Siang-bhok-kiam dan kedua orang yang sama saktinya ini sudah bertanding hebat. Juga Pat-jiu Sian-ong biarpun mengenal nyanyian itu namun tidak tahu mengapa pemuda aneh ini menyanyikannya dalam saat seperti itu, sudah menggerakkan senjata hudtimnya menyerang Biauw Eng yang menghadapinya dengan sambaran sabuk sutera putih.
Kiang Tojin adalah seorang ahli Agama To, tentu saja mengenal sajak itu. Kalau saja dia belum mempelajari kitab Thai-kek Sin-kun yang belum lama ini dia terima dari Keng Hong, agaknya dia pun akan sukar sekali menangkap apa yang dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan tetapi kini dia mengerti dan diam-diam dia kagum sekali karena melihat akan tepatnya "nasihat" yang diberikan pemuda lihai itu untuk memberi petunjuk kepadanya menghadapi lawan
Pak-san kwi-ong adalah seorang tokoh utara yang memiliki kepandaian dahsyat namun liar dan ganas, mengandalkan senjata ampuh dan tenaga kuat. Kini, seperti juga Kiang Tojin, dia sudah terluka hebat. Kalau saja kakek hitam ini tidak yakin benar bahwa Kiang Tojin sudah terluka parah, tentu dia tidak berani menantang dengan nekat. Kini melihat keadaan lawan yang kelihatan lebih lemah, dia sudah menerjang cepat dengan mengayun tengkoraknya yang tinggal sebuah. Kiang Tojin cepat mengelak dengan gerakan ringan sekali dan sebentar saja tosu ini sudah terdesak hebat oleh lawan yang kelihatannya tergesa-gesa hendak cepat merobohkan dan membunuh lawan agar dia dapat beristirahat dan melanjutkan usahanya mengobati luka di dalam dadanya. Namun semua serangannya dapat dihindarkan oleh Kiang Tojin dengan mudah dan pada serangan ke tiga, Kiang Tojin menangkis dengan pedangnya.
*** "Tranggg... Semua orang gagah terkejut menyaksikan betapa pedang di tangan Kiang tojin terpental lepas dari tangan tosu itu. Pak-san Kwi-ong tertawa girang dan memutar senjatanya lebih dahsyat lagi untuk merobohkan Kiang Tojin yang kini bertangan kosong. Akan tetapi Keng Hong yang melayani Cui Im sempat melirik dan diam-diam dia menjadi girang karena ketua Kun-lun-pai itu dapat menangkap maksudnya ketika memberi petunjuk melalui sajak tadi. Kini Kiang tojin hanya mengandalkan kelincahan tubuh berkat ginkang yang tinggi, mengelak ke sana-sini untuk menghindarkan sambaran tengkorak yang rantainya diputar-putar kuat-kuat oleh lawan.
Episode 362 Dengan hati lega dan tidak mengkhawatirkan keadaan Kiang Tojin seperti para orang gagah yang memandang gelisah, Keng Hong melirik ke arah Biauw Eng dan dia menjadi kagum bukan main. Ternyata Biauw Eng sekarang jauh bedanya dengan Biauw Eng dahulu! Gerakan sabuk suteranya mengandung tenaga hebat, gerakannya lebih ringan dan jurus-jurus serangannya amat aneh. Pat-jiu Sian-ong sudah tidak berani memandang rendah lagi dan pertandingan antara mereka ini seru sekali dalam keadaan berimbang. Betapa Pat-jiu Sian-ong takkan menjadi bingung kalau melihat gerakan sepasang ujung sabuk sutera yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran itu dan kadang-kadang menyerang tanah, kadang-kadang malah bermain di atas kepala gadis itu sendiri seperti hendak menotok tubuh sendiri, akan tetapi tiba-tiba melejit dan menotok ke arah jalan darah kematian kalau dia menjadi lengah dan heran"
Sementara itu, Cui Im mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi Keng Hong, namun dengan hati panas dan penasaran ia mendapat kenyataan bahwa gerakan-gerakan pemuda itu seluruhnya mengatasi gerakannya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan dengan benteng baja amat kuat yang tak mungkin ia tembusi dengan penyerangannya, sebaliknya dari dalam "benteng baja" itu keluar sinar-sinar yang menyerangnya secara tiba-tiba dan tak terduga-duga! Mulailah Cui Im marah-marah dan memaki-maki,
"Keng Hong, kau curang! Agaknya dahulu engkau tidak membaca sungguh-sungguh semua kitab itu! Banyak yang kau sembunyikan dariku!" ia memaki-maki dan menyerang terus kalang kabut. Akan tetapi Keng Hong hanya tersenyum saja dan melayaninya seenaknya. Keng Hong tidak dapat cepat mengalahkan Cui Im, karena selain memang wanita ini amat lihai dan rapat menjaga tubuh, juga Keng Hong membagi sebagian perhatiannya kepada Biauw Eng untuk melindungi gadis itu kalau-kalau terancam bahaya di tangan Pat-jiu Sian-ong yang dia tahu amat lihai. Maka dia selalu memancing Cui Im untuk bertanding dekat kekasih hatinya itu.
Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Keng Hong, terjadilah perubahan hebat dalam pertempuran antara Pak-san Kwi-ong dan Kiang Tojin. Sebetulnya tidak patut disebut pertempuran karena dalam pertandingan ini, Kiang Tojin sama sekali tidak pernah membalas serangan. Kelihatannya saja seolah-olah dia sudah terlalu lemas sehingga terdesak dan tidak sempat membalas, padahal memang tosu ini sengaja tidak mau balas menyerang, hanya mengandalkan ginkangnya untuk mengelak terus, membiarkan lawan menyerangnya makin hebat. Inilah petunjuk yang diberikan oleh Keng Hong dalam sajaknya tadi.
Yaitu agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan. Ketua Kun-lun-pai ini segera dapat menangkap maksud Keng Hong. Mereka berdua sudah luka parah, luka di sebelah dalam tubuh dan pantangan besar bagi orang terluka di dalam tubuhnya untuk mempergunakan tenaga, apalagi tenaga sinkang karena tenaga ini akan membuat luka di dalam tubuh makin parah. Karena itu, maka Keng Hong menganjurkan agar Kiang Tojin menggunakan kekosongan, berarti tidak menggunakan tenaga dan membiarkan lawan yang mempergunakan tenaga sebanyaknya dan dia sendiri hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak tanpa mengerahkan tenaga. Kini mulai tampak perubahan. Biarpun Kiang Tojin kelihatan didesak terus, namun dia masih tetap seperti semula, sebaliknya Pak-san Kwi-ong makin lama makin limbung, wajahnya yang hitam menjadi pucat sekali, matanya merah, mulutnya mengeluarkan buih dan kepalanya mengepulkan uap, kedua kakinya mulai menggigil dan serangan-serangannya mulai ngawur!
Pak-san Kwi-ong bukanlah seorang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah menggunakan tenaga terlalu banyak sehingga luka di dadanya makin parah, napasnya sesak sekali dan seluruh isi dada dan perut terasa nyeri. Akan tetapi di samping kecerdikannya, dia memiliki watak yang kasar, liar dan ganas, watak seekor binatang buas. Ia penasaran melihat lawan yang seakan-akan tinggal injak saja begitu sukar dirobohkan, maka makin lama dia makin bernafsu sampai akhirnya dia terlambat menyadari kesalahannya. Sambaran tengkoraknya makin lemah dan tiba-tiba dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut, matanya gelap dan jantungnya seperti akan meledak. Ia masih menubruk maju dan menghantamkan tengkoraknya sekuat tenaga sehingga Kiang Tojin terkejut dan terpaksa meloncat ke belakang. Tubuh Pak-san Kwi-ong terjelungup ke depan dan robohlah raksasa hitam itu. Biarpun demikian, dia masih melakukan serangan dari bawah, tengkorak itu menyambar ke arah perut Kiang Tojin.
Ketua Kun-lun-pai ini cepat memutar tubuh, kakinya bergerak mendorong tengkorak dari samping. Tengkorak itu meluncur kembali ke bawah, ke arah muka Pak-san Kwi-ong seolah-olah hendak mencium muka raksasa hitam itu.
"Prokkk!" Tengkorak pecah berantakan dan kepala Pak-san Kwi-ong juga pecah sehingga dia tewas seketika. Kiang Tojin meloncat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarum yang meluncur dari dalam tengkorak, kemudain dia terhuyung dan cepat mundur ke rombongan, lalu duduk bersila dan memejamkan mata.
Melihat tewasnya Pak-san Kwi-ong, barulah Cui Im mengerti dan dengan marah ia berseru, "Keng Hong, engkau manusia curang!" dan ia mempercepat serangan pedangnya.
Pat-jiu Siang-ong juga kaget menyaksikan tewasnya Pak-san Kwi-ong yang diandalkan. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan kini majulah semua pembantunya, menyerbu, bukan hanya pembantu tokoh-tokoh persilatan, juga pasukan yang menjadi anak buahnya mulai menyerbu dan memperketat pengurungan!
Cong San dan Yan Cu berseru keras, mencabut senjata dan menerjang ke depan menyambut lawan, diikuti oleh semua tokoh kang-ouw yang memang sejak tadi sudah siap-siap untuk bertempur dan membela diri. Maka terjadilah perang tanding yang dahsyat dan tidak teratur lagi. Cong San dan Yan Cu mengamuk dan sebentar saja sudah merobohkan dua orang lawan, akan tetapi mereka segera dihadapi oleh Gu Coan Kok dan Hok Ku, dua orang iblis tembok besar yang lihai. Menghadapi Coan Kok, Yan Cu terdesak, sebaliknya Cong San dapat membikin Hok Ku sibuk melindungi dirinya maka Cong San yang selalu memperhatikan Yan Cu segera bertanding sejajar dengan Yan Cu untuk melindungi gadis yang dicintanya itu. Maka ramailah pertandingan antara empat orang itu, gerakan mereka cepat dan dahsyat sehingga yang lain-lain tidak sempat untuk mencampuri pertempuran ini. Dari fihak orang gagah, mengamuklah Thian Kek Hwesio, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam, keempat orang kakek tokoh Kong-thong-pai, ketua Tiat-ciang-pang Ouw Kian, dan empat orang tosu menjadi sute Kiang Tojin.
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka ini dihadapi oleh kawan-kawan Pat-jiu Sian-ong yaitu Thian-te Siang-to keempat Pak-san Su-ong dan masih banyak tokoh kaum sesat dibantu oleh ratusan orang anak buah Pat-jiu Sian-ong.
Melihat betapa fihak Kiang Tojin terdesak hebat karena memang jauh kalah besar jumlahnya, Keng Hong menjadi khawatir. Untuk cepat-cepat mengalahkan Cui Im bukan merupakan hal yang mudah, maka tiba-tiba tubuhnya melesat mengirim serangan ganas dengan Siang-bhok-kiam. Cui Im menangkis akan tetapi ia terpekik dan mencelat ke belakang karena tenaga sinkangnya jauh kalah kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Keng Hong untuk meloncat ke dekat Biauw Eng yang masih bertanding ramai sekali melawan Pat-jiu Sian-ong. Keng Hong langsung menyerang dengan tusukan Siang-bhok-kiam sehingga terdengar suara bercuit nyaring dan tampak sinar hijau yang amat terang dan cepat menyambar leher Pat-jiu Sian-ong. Kakek ini mendengus, dengan gugup melihat cepat dan kuatnya serangan ini telah mengebutkan hudtimnya menangkis Siang-bhok-kiam dan terus membelit ujung pedang itu untuk merampasnya. Akan tetapi saat yang hanya seteangah detik itu dipergunakan dengan tepat oleh Biauw Eng,. Sabuk suteranya berubah kaku dan menusuk perut Pat-jiu Sian-ong.
Episode 363 "Crottt!" Sabuk sutera yang telah berubah kaku oleh tenaga sinkang itu menembus perut kakek kate itu. Pat-jiu Sian-ong mengeluarkan teriakan kaget, matanya terbelalak seolah-olah tidak percaya ke arah perutnya, akan tetapi tiba-tiba Keng Hong yang sudah berhasil menarik pedangnya, menusukkan Siang-bhok-kiam menembus dada kakek itu.
"Aihhhhh...!!" Pat-jiu Sian-ong memekik dan hudtimnya menyambar ke arah Biauw Eng. Namun gadis ini sudah menarik kembali ujung sabuk pada hudtim sehingga bulu kebutan itu tertarik pedang Siang-bhok-kiam berkelebat lagi dan hudtim itu patah menjadi dua!
Putusnya kebutan itu agaknya berbareng dengan putusnya napas Pat-jiu Sian-ong, tubuhnya terkulai, roboh dan dari perut dan dadanya keluar darah yang memancar deras.
Cui Im menjerit, "Keng Hong, manusia curang!" Wanita ini sudah menerjang lagi dengan ganas. Keng Hong menangkis dengan pedang kayunya dan berkata kepada Biauw Eng,
"Kau bantulah teman-teman!"
Tanpa diperintah dua kali, Biauw Eng lalu mengamuk dan membantu Cong San dan Yan Cu. Keng Hong melanjutkan pertempurannya melawan Cui Im. Diam-diam harus dia akui bahwa andaikan dia tidak mempelajari Thai-kek Sin-kun, agaknya amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan melawan Cui Im yang benar-benar amat ganas pedang merahnya ini. Pantas saja gadis ini berani menamakan diri Ang-kiam Bu-tek Pedang Merah Tanpa Tanding, karena memang pada masa itu, agaknya sukarlah dicari lawan yang dapat menandingi ilmu pedang gadis ini. Bahkan sekarang pun agaknya tidak akan mudah baginya untuk merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya. Dan sukarnya Keng Hong tidak tega untuk membunuh Cui Im! Dia bukannya tidak ingat akan semua perbuatan jahat wanita ini terhadap dirinya, akan tetapi ada beberapa hal yang tak dapat dilupakan Keng Hong dan yang membuatnya tidak tega untuk membunuhnya, yaitu pertama mengingat akan cinta kasih wanita ini terhadap dirinya. Ke dua, karena betapapun juga, setelah sama-sama mempelajari ilmu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, sedikitnya Cui Im boleh dikatakan saudara seperguruan dengannya. Ketiga, kalau saja Cui Im tidak menipunya di dalam tempat rahasia di batu pedang, belum tentu dia akan dapat menemukan dan mempelajari kitab peninggalan Thai Kek Couwsu sehingga secara tidak langsung, Cui Imlah yang berjasa! Oleh karena itu, Keng Hong hanya mau merobohkan Cui Im tanpa membunuhnya dan hal ini benar-benar amat sukar karena serangan-serangan biasa saja mana mampu mengalahkan Cui Im"
*** Maka dia lebih banyak bertahan dan membela diri sambil menanti kesempatan baik untuk merobohkan lawannya yang tangguh ini tanpa membunuhnya.
Hebat bukan main perang tanding yang terjadi di puncak Tai-hang-san itu. Betapapun lihainya para tokoh kang-ouw dan betapa nekat mereka mempertahankan diri, namun karena jumlah mereka jauh kalah banyak sehingga setiap orang terpaksa harus menghadapi empat lima orang lawan, maka mulailah fihak mereka terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali. Korban kedua fihak sudah mulai berjatuhan dan perang itu penuh dengan suara gaduh, teriakan-teriakan kesakitan, maki-makian kemarahan dan diseling bertemunya senjata tajam yang mengeluarkan bunyi nyaring.
Tiba-tiba terdengat bunyi terompet disusul sorak-sorai dan menyerbulah pasukan pemerintah yang terdiri dari ratusan orang, dipimpin oleh seorang perwira dan didampingi oleh Sian Ti Sengjin! Itulah pasukan yang didatangkan oleh bekas tokoh Kun-lun-pai ini dari tai-goan dan kalau tadi pertandingan terjadi berat sebelah dengan keuntungan fihak pemberontak, kini sebaliknya menjadi berat sebelah dengan kerugian mereka! Kini fihak pemberontak kalah banyak jumlahnya dan mulailah terjadi penyembelihan yang mengerikan
Perang tanding yang terjadi selama setengah hari di puncak Tai-hang-san itu bagi golongan sesat merupakan sejarah hitam di mana lebih dari dua ratus orang terbunuh. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat lolos, semua tewas termasuk tokoh-tokohnya, sungguh pun di fihak orang kang-ouw juga jatuh korban yang tidak sedikit.
Yang hebat adalah pertandingan antara Keng Hong dan Cui Im. Masih juga Keng Hong belum dapat merobohkan Cui Im pada perang telah terhenti karena musuh telah terbasi habis.
"Keng Hong, aku bersumpah untuk membunuhmu sekarang juga!" Cui Im meloncat maju mengirim tusukan maut.
"Trang-trang-cringgg!" Keng Hong menangkis dan melanjutkan dengan membacokkan pedang Siang-bhok-kiam ke arah paha lawannya.
"Wuuutttttt!" Cui Im melompat ke belakang sehingga bacokan itu luput.
"Keng Hong, engkau selamanya menjadi penghalang untukku. Engkau manusia satu-satunya di dunia yang paling kubenci!" Kembali Cui Im menerjang maju. Wajahnya pucat sekali, keringatnya membasahi seluruh tubuh, akan tetapi matanya sama sekali tidak memperlihatkan kelelahan, bahkan mata itu memancarkan cahaya seperti api menyala-nyala.
"Cui Im, kau menyerahlah. Aku takkan membunuhmu," kata Keng Hong sambil memutar pedangnya menangkis.
"Menyerah" Lebih baik mati!" Cui Im kembali menerjang maju.
Keng Hong tahu bahwa teman-temannya sudah mengurung tempat pertandingan itu, menonton penuh perhatian. Di antara mereka terdapat Biauw Eng yang menonton dengan alis berkerut.
"Keng hong, kenapa engkau ragu-ragu merobohkan dia?" Tiba-tiba Biauw Eng bertanya, di dalam suaranya terkandung penasaran besar.
Keng Hong kaget dan maklum bahwa dia menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang-orang lain mereka tidak tahu betapa dia mengalah dan tidak mau membunuh lawan, akan tetapi pandang mata tajam dari orang-orang yang ilmunya sudah tinggi seperti Biauw Eng, Cong San, Yan Cu dan beberapa orang lain akan mudah melihatnya. Maka dia menjadi bimbang dan ketika pedang merah itu berkelebat menyambar lehernya, dia mengerahkan seluruh sinkangnya dan menangkis sekuat tenaga.
"Trakkk!" Pedang merah itu patah manjadi dua dan ujung Siang-bhok-kiam masih menyerempet pundak Cui Im.
Episode 364 "Aihhhhhh!!" Cui Im terhuyung dan roboh, pundaknya terluka lebar dan darah bercucuran.
Sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Cui Im yang masih rebah miring. Itu adalah sabuk sutera yang digerakkan Biauw Eng untuk membunuh bekas sucinya. Agaknya gadis ini hendak membalas dendam atas kematian ibunya di tangan Cui Im.
"Takkk!" Ujung sabuk sutera tertangkis oleh pedang Siang-bhok-kiam sehingga luput mengenai sasaran.
"Keng Hong...!" Biauw Eng berseru kaget.
Keng Hong menarik napas panjang. "Biauw Eng, maafkan aku. Perlukah kita membunuhnya" Dia bekas sucimu dan kalau kuingat-ingat secara adil, dia pun masih terhitung sumoiku sendiri karena dia telah mempelajari pusaka warisan suhu. Dia sudah kalah, kehabisan sagala-galanya, perlukah kita membunuhnya begitu saja. kurasa hatimu tidak akan sekejam itu, Biauw Eng."
"Tapi... Tapi... dia telah membunuh ibuku!"
"Benar, akan tetapi apakah untungnya balas-membalas karena dendam" Memang ibumu terbunuh olehnya dalam pertandingan, akan tetapi sekiranya baik kita ingat betapa banyaknya orang yang telah tewas di tangan ibumu juga, Biauw Eng, kalau bukan engkau yang hendak membunuhnya, aku masih tidak peduli. Akan tetapi aku tidak ingin melihat engkau melibatkan diri dalam ikatan dendam-mendendam. Kalau dia melakukan dosa biarlah dia yang akan memikul hukumannya yang pasti akan ia rasakan sendiri. Kekalahannya yang berkali-kali pun merupakan peringatan dan hukuman baginya. Biauw Eng, kuharap engkau suka memenuhi permintaanku, yaitu kita bebaskan lawan yang sudah kalah, jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan lagi."
Biauw Eng meragu, memandang kepada Keng Hong kemudian kepada Cui Im yang sudah merangkak bangun dengan wajah kerut-kerut menahan sakit. "Akan tetapi, andaikata dia tidak kubunuh, kurasa banyak saudara di sini yang tentu akan membunuhnya!"
"Aku tidak percaya mereka mau melakukannya, Biauw Eng. Setelah begini banyak manusia terbunuh...?" Dengan gerakan kedua lengan dikembangkan ke arah tumpukan mayat, Keng Hong memandang sedih.
"Cia-taihiap benar! Tiba-tiba terdengar suara keras dan Thian Kek Hwesio yang masih memegangi jubahnya yang penuh darah lawan, berkata dan melangkah maju. "Pinceng memang bersakit hati atas tewasnya suheng Thian Ti Hwesio di tangan iblis betina itu, akan tetapi setelah mendengar kata-kata Cia-taihiap tadi pinceng... merasa malu untuk membunuh lawan yang sudah tidak berdaya. Pinceng membebaskan dia!"
"Pinto juga tidak akan membunuhnya, mengingat dia itu bekas suci Nona, dan masih sumoi dari Cia-taihiap. Pinto tidak akan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.
"Biarlah dia pergi, biarlah iblis betina terkutuk itu pergi!" Berkata Kok Sian-cu mewakili saudara-saudaranya dari Kong-thong-pai.
Biauw Eng menunduk dan tidak membantah lagi.
"Cui Im, kau dengarlah pendirian orang-orang sedunia! Mudah-mudahan ucapan mereka itu akan membikin engkau bertobat dan menebus kejahatan-kejahatanmu dengan perbuatan baik, dengan demikian, tidak percuma mendiang suhu meninggalkan pusaka-pusaka yang kau pelajari pula," kata Keng Hong.
Cui Im bangkit berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, rambutnya riap-riapan, wajahnya pucat. "Keng Hong, keparat busuk! Ucapan-ucapan itu lebih hebat dari pembunuhan. Hayo, kau bunuh saja aku... Hi-hi-hik... kau bunuh aku atau kelak engkau yang akan kubunuh...!" Kemudian Cui Im pergi terhuyung-huyung sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi suara ketawanya menyeramkan semua orang karena di dalam suara ketawa itu terkandung isak tangis!
Setelah bayangan wanita itu lenyap ke bawah puncak, Keng Hong menarik napas panjang, kemudian dia mengeluarkan semua pusaka yang disimpan di kantungnya, menyerahkan pedang pusaka Hoa-san-pai kepada Coa Kiu, kemudian berkata kepada semua orang,
"Setelah semua pusaka suhu kuambil dan sebagian kepada yang berhak, maka kumohon para Locinapwe sudilah memaafkan semua perbuatan suhu dahulu. Hanya sebuah kitab dari Go-bi-pai yang masih berada padaku dan kelak pasti akan kukembalikan kepada yang berhak."
Coa Kiu dan Cou Bu girang sekali menerima pusaka Hoa-san-pai itu dan menyatakan terima kasihnya dan semua orang gagah merasa kagum terhadap Keng Hong yang mereka saksikan sepak terjangnya tadi. Mereka lalu mulai mengurus semua korban tewas, baik fihak sendiri maupun fihak lawan, menguburkan mereka di puncak Tai-hang-san. Hanya Kiang tojin seorang yang menjadi amat kagum kepada Keng Hong dan ketika pemuda ini berlutut menghampirinya untuk memeriksa lukanya bersama Biauw Eng, Kiang Tojin menggeleng kepala dan memegang pundak pemuda itu,
"Pinto tidak apa-apa, Keng Hong. Betapa gembira hati pinto menyaksikan engkau, bukan hanya karena kepandaianmu, terutama sekali karena sikapmu terhadap Ang-kiam Bu-tek. Sikapmu tepat sekali, Keng Hong dan pinto menyatakan tunduk kepadamu. Memang semua manusia ini dan pada dasarnya sama, hanya ada yang sedang menderita sakit seperti Cui Im dan yang lain-lain dan mengakibatkan" ah, semua pembunuhan antar manusia ini... Tosu itu kelihatan menyesal sekali.
Tiba-tiba Biauw Eng mengeluh dan meloncat berdiri lari ke sebelah kiri kemudian berlutut dan menangis di depan mayat Tan Hun Bwee. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan membiarkan saja gadis itu menumpahkan kesedihannya, karena memang nasib Hun Bwee amat menyedihkan.
Melihat kesibukan semua orang dan dia hanya berada dengan Kiang Tojin, Keng Hong tak dapat menahan keinginan tahu hatinya untuk bertanya kepada kakek yang dia kenal sebagai seorang yang arif bijaksana itu. "Totiang, mengapa manusia saling berbunuhan karena terbagi menjadi dua golongan" Mengapa ada yang baik dan ada yang buruk" Apakah yang menyebabkan terjadinya dosa?"
*** Kiang Tojin memejamkan mata, akan tetapi mulutnya berkata dengan lirih namun jelas, seperti orang berbisik dan yang terdengar oleh Keng Hong seperti suara yang datang dari angkasa,
Episode 365 "Perbuatan yang dianggap jahat dan berdosa tercipta dari pengetahuan manusia tentang baik dan buruk itulah! Karena manusia membagi perbuatan menjadi dua, baik dan buruk, maka terciptalah pantangan-pantangan atau larangan-larangan yang menjadi hukum. Manusia menciptakan hukum dan karena pengetahuan tentang baik dan buruk ini sudah mengisi hati, maka setiap pelanggaran hukum menjadi perbuatan jahat dan berdosa. Kalau di dunia ini tidak ada hukum, di dunia ini tidak ada pengetahuan tentang baik dan buruk, maka tidak akan ada pula pemisahan perbuatan yang baik atau jahat."
"Mohon penjelasan, Totiang, teecu masih kurang mengerti."
"Anak-anak kecil yang hati dan pikirannya belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, yang belum menerima hukum pantangan dan larangan, adalah manusia yang bersih, tidak baik dan juga tidak jahat. Dia akan mengambil barang orang lain, akan tetapi karena dia belum tahu akan hukum yang menentukan bahwa perbutan itu terlarang dan disebut pencuri, maka dia tidak merasa mencuri. Kalau orang tidak mengenal kata-kata mencuri, bagaimana dia bisa menjadi pencuri" Karena anak itu belum mengenal pengetahuan antara baik dan buruk, maka perbuatannya mengambil barang orang lain itu pun baginya tidak baik tidak buruk, hanya wajar dan tidak bisa kita katakan dia mencuri atau berdosa. Setelah dia nanti tahu dan mengenal hukum itu, tahu bahwa perbuatan seperti itu terlarang, kemudian dia melanggar, barulah dia melakukan perbuatan dosa. Jadi yang berdosa bukanlah perbuatannya melainkan pelanggarannya terhadap hukum yang sudah dikenalnya. Di dalam hati sudah tahu bahwa perbuatan itu termasuk tidak baik namun tetap di lakukannya, maka berdosalah dia.
Manusia terbelenggu oleh pengetahuan antara baik dan buruk, terkurung oleh hukum-hukum yang yang diciptakannya sendiri, maka penuhlah dunia ini oleh dosa. Sungguh menyedihkan..."
Keng Hong mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kita yang hidup di dalam dunia yang penuh dengan larangan-larangan yang timbul dari pengatahuan antara baik dan buruk ini, apa yang harus kita lakukan, Totiang?"
Pendekar Bayangan Setan 4 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama