Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
dan ia memaki. "Iblis kecil kau sungguh keji! Kau datang-datang membunuh orang! Biarpun kau putera See-thian Tok-ong atau anak siluman
siapapun juga. aku tidak takut. Song Can Ci memang mempunyai
kebiasaan membunuhi iblis-iblis macam kau!" Tanpa memberi peringatan toya besarnya menyambar ke arah kepala Banbeng Sintong.
Semua orang terkejut karena keadaan itu benar-benar amat
menggelisahkan. Song Can Gi adalah seorang tokoh besar dari
Khong-tong-pai dan tentu saja mereka dapat memaklumi
kemarahan Song Can Gi melihat sutenya tewas oleh keroyokan ular-ular itu. Sebaliknya, anak itu adalah putera dari See-thian Tok-ong, maka semua orang tidak ada yang berani campur tangan. Mereka
hanya memandang dengan hati berdebar karena toya di tangan
Sung Can Gi sudah terkenal kehebatannya.
Akan tetapi anak itu sambil terseyum mengejek, bahkan
memasukkan ke-dua tangan di saku bajunya dan mengelak dengan
gerakan kaki yang amat ringan. Toya yang mengenai tempat kosong itu menyambar lagi, kini terputar bagaikan ombak mengamuk,
mengancam tubuh anak itu yang masih saja mengelak ke sana ke
mari. Ba Mau Hoatsu merasa khawatir sekali. "Saudara Song Can Gi, melihat mukaku, jangan kau teruskan seranganmu itu" Beberapa kali ia berseru. Ia tahu bahwa kalau sampai anak itu mendapti
celaka sedangkan dia berada di situ tanpa membantu atau
106 mencegah orang mencelakakannya, pasti ia akan mendapat marah
besar dari See-tlitan Tok-ong!
Akan tetapt Song Can Gi sudah naik darah. Melihat beberapa
belas jurus serangannya gagal mengenai tubuh Ban bong Sin-tong, ia menjadi amat penasaran dan makin marah, toyanya kini
menyambar-nyambar hebat, mengeluarkan angin dan bunyi
bersuitan, mengancam hebat tubuh bocah gundul itu. Akan tetapi benar-benar gerakan Ban-beng Sin-tong amat mengagumkan.
Dengan amat gesitnya ia dapat selalu meluputkan dari ancaman
toya. Kini kedua tangan anak itu tertarik keluar dari saku bajunya dan di kedua tangannya kelihatan dua ekor ular kecil yang berwarna merah.
"Celaka...." seru Ba Mau Hoatsu dan kakek luar biasa ini meloncat maju, sepasang rodanya bergerak ke atas.
"Praaang...!" Song Can Gi berseru kaget dan toyanya patah menjadi dua bertemu dengan senjata roda di tangan Ba Mau
Hoatsu. Ia melompat mundur dengan kaget sekali, lalu menegur.
"Ba Mau Hoatsu, mengapa kau mencampuri urusanku?"
Ba Mau Hoatsu tidak menjawab, sebaliknya ia menjura kepada
anak gundul itu dan berkata, "Ban-beng Sin-tong, harap kau suka menahan marahmu dan jangan menimbulkan urusan besar. Khongtong-pai selama ini tidak pernah memusuhi kami, tidak perlu
menanam bibit permusuhan besar dengan mereka."
Semua orang memandang kepada Banbeng Sin-tong yang berdiri
tegak. Dua tangannya masih terangkat dan kini kelihatan dua ekor ular merah yang panjangnya hanya setengah kaki itu menggeliat-geliat di antara jari-jari tangannya. Sepasang mata bocah gundul ini bagaikan mengeluarkan api, memandang kepada Song Can Gi yang
menjadi bergidik ngeri. Mata itu seperti bukan mata manusia, mata siluman agaknya yang dapat memandang seperti itu.
Anak itu ragu-ragu mendengar omongan Ba Mau Hoatsu. "Hm,
melihat muka Paman Ba Mau aku mau mengampunt nyawa anjing
tua itu. Akan tetapi sekali Ang-coa-ong (Raja Ular Merah) dan
isterinya keluar dari saku, sebelum makan jantung musuhku ia akan gelisah." Semua orang berdiri bulu tengkuknya mendengar ini.
107 Pandangan mata bocah itu beredar, menatap muka para tokoh itu
seorang demi seorang.
"Kwan-kongcu (Tuan Muda she Kwan), harap kau jangan mencari korban lain orang...." kata Ba Mau Hoatsu. Mendengar ini, bocah gundul itu tiba-tiba memandang kepada mayat Ciu Kak. "Ah, biarpun sudah hitam, jantungnya belum busuk." Ia lalu melepaskan sepasang ular merah itu ular itu terbang ke arah mayat Ciu Kak.
Benar-benar ular itu terbang karena dari dekat punggungnya
kelihatan sepasang sayap merah yang kecil seperti ikan. Inilah semacam hut-coa (ular terbang) yang terdapat di pegunungan barat dekat Go-bi san, ular yang jarang sekali terlihat manusia, namun terkenal amat jahat dan bisanya tiada obat penolaknya lagi.
Sepasang ular merah itu luncur dan seperti berebutan mereka
nienyerang dada kiri mayat Ciu Kak dan... tak lama kemudian
mereka telah membuat lubang pada dada itu dan lenyap ke dalam
dada! Semua orang me mandang dengan muka pucat. Ketika dua
ekor ular Itu keluar mulut mereka menggigtt benda merah
kehitaman yang telah terbagi dua oleh mereka.
Ternyata bahwa benda itu adalah jantung dari mayat Ciu Kak!
Dengan lahapnya kedua ekor ular itu makan jantung itu,
menelannya habis lalu, mengembang kan sayapnya, terbang
kembali ke tangan Ban-beng Sin-tong yang mengangkat ke dua
tangannya. Setelah sepasang ular itu dimasukkan ke dalam saku
dan lenyap dari pandangan mata, barulah para tokoh bernapas lega.
Pertstiwa tadi benar- benar mendebarkan jantung karena selama
hidup belum pernah mereka menyaksikan pemandangan yang
demikian mengerikan.
"Bagaimana, Paman Ba Mau. Sudah adakah di antara kalian
mendapatkan pedang dan kitab?" bocah itu bertanya sambil
memandang ke sekelilingnya. Pandangannya tajam menyelidik dan
seandainya di antara mereka ada yang sudah mendapatkan bendabenda yang disebutkannya tadi, agaknya dia akan menjadi gentar dan mungkin akan menyerahkan benda benda itu.
"Belum Kwan-kongcu. Kami bahkan sedang berunding, karena
kami tidak diperbolehkan naik ke puncak oleh Luliang Sam-lojin."
108 Mata kecil yang bundar itu mencari-cari. "Luliang Sam-lojin" Yang manakah mereka" Mengapa mereka melarang?"
Luliang Ciangkun dan dua orang sutenya setelah menyaksikan
peristiwa tadi, merasa amat benci dan muak di dalam hati terhadap bocah gundul ini. Bocah seperti ini adalah calon siluman jahat yang kelak hanya akan menimbulkan bencana di dunia, pikir mereka.
"Kami bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin. Sesuai dengan nama sebutan ini, kami bertigalah yang tinggal di sini dan
berkewajiban menjaga ketenteraman Luliang-san."
"Oho, jadi kalian bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin" Ayah sering kali menyebut nama kalian sebagai orang-orang gagah
ternyata benar kata Ayah. Kalian adalah tiga orang yang aneh,
seorang panglima, seorang petani, dan seorang sasterawan. Ha, ha, benar-benar hebat! Ah, Luliang Sam-lojin, aku bernama Kwan Kok Sun, putera dan Ayah yang disebut See-thian tok-ong. Benar sekali pendapatmu bahwa orang-orang yang hanya membikin ribut ini
kalian larang naik ke puncak, bukan?" kata-kata bocah ini terclengar manis budi. akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman
hebat. Biarpun hatinya berdebar, Luliang Ciangkun membusungkan
dada dan berkata, "Sudah menjadi tugas kami menjaga keteraman puncak Luliang-san. Oleh karena puncak itu menjadi puncak
peristirahatan mendiang Suhu di waktu hidup dan sesudah mati,
maka kami terpaksa melarang siapapun juga pergi ke sana, biarpun untuk itu kami mempertanggung dengan nyawa kami. Maaf saja,
Siauhiap, kami tak dapat membiarkan siapapun juga naik ke
puncak!" Terdengar suara ketawa ganjil dari anak itu, akan tetapi sebelum ia melakukan sesuatu tiba-tiba terdengar pekik burung kim-tiauw, dan burung itu terbang cepat sekali, lalu turun di depan Ban beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Burung ini besar sekali, kepalanya hampir setinggi kepala orang dewasa dan paruhnya yang kuat kini
menggigit sebatang pedang dengan sarungnya.
109 "Kim-tiauw yang baik, ternyata kau telah berhasil mendapatkan pokiam (pedang pusaka)!" kata Kwa Kok Sun sambil mengambil pedang itu dari paruh kim-tiauw.
"Pak-kek Sin-kiam...'" tak terasa lagi Luliang Ciangkun berseru heran ketika melihat pedang ini. Dia dan dua orang sutenya tentu saja mengenaI pedang pusaka milik suhunya ini dan alangkah besar keheranan mereka mengapa pedang yang disembunyikan oleh
suhunya itu kini bisa berada di paruh kim-tiauw.
Mereka sendiri sudah pernah mencoba untuk mencari kitab dan
pedang, namun sia-sia. Bagaimana pedang itu kini berada di paruh kim-tiauw" Untuk mengetahui hal ini baiklah kita menengok
keadaan di puncak Luliang-san dan peristiwa yang terjadi di situ semenjak terjadi keributan di lereng gunung.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah melihat bahwa Luliang Sam-lojin tak dapat melarangnya, Giok Seng Cu berlari cepat sekali naik ke puncak Luliang-san. Baru satu kali ia naik ke sini akan tetapi ia sudah tahu di mana letak pondok dari Pak Kek Siansu yang berada di Jeng-in-thia (Ruang Awan hijau).
Pandangan pertama yang dilihat oleh matanya mengherankan
dia. Beda benar keadaan Jeng-in-thia di waktu sekarang dengan
dulu. Apalagi ketika ia melirik ke arah dua makam yang berada di depan pondok. Ia tertegun. Tak disangkanya bahwa bukan saja
makam Pak Kek Siansu terawat baik-baik, bahkan makam Pak Hong
Siansu gurunya juga terawat sekali.
Tadinya ia hendak nielewati saja dua makam itu karena
sesungguhnya ia naik ke Jeng-in-thia bukan bermaksud menengok
kuburan suhunya seperti yang dikatakan di lereng gunung terhadap Luliang Sam-lojin, melainkan untuk mencari peninggalan Pak Kek Siansu, yakin pedang Pak-kek dan kitab Pak-kek Sin-ciang. Akan tetapi ketika ia melihat seorang anak berusia kurang lebih sembilan tahun sedang mencabuti rumput-rumput di sekitar dua makam itu, ia menghentikan tindakan kakinya dan memandang dengan mata
melirik. "Eh. kau siapakah?" bentaknya mendekat
110 Anak itu adalah Wan Sin Hong. Ketika tiga kakek Luliang-san
turun dari puncak, hati anak ini penasaran sekali dan- menyesal mengapa ia tak diperbolehkan ikut. Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, ia mencabuti rumput membersihkan makam. Kini tiba-tiba saja, tanpa diketahui, di situ muncul seorang kakek berambut
panjang yang berwajah menyeramkan. Ia segera bangun berdiri dan membalas pertanyaan orang.
"Locianpwe, kau siapakah" Bagaimana bisa naik ke sini" Di mana adanya Luliang Sam-lojin?" la menyebut Locianpwe karena ia dapat menduga kakek ini tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai dan ia cukup berhati-hati untuk tidak tidak menyebut "suheng" kepada Luliang Sam-lojin.
Mendengar anak itu balas bertanya tanpa menjawab
pertanyaannya, Giok Seng Cu bergerak maju dan di lain saat Sin Hong sudah tertangkap baju lehernya. Gerakan ini luar biasa
cepatnya namun kalau Sin Hong mau, tentu saja ia dapat mengelak karena anak ini pun tidak percuma menerima latihan-latihan selama setahun di puncak Luliang san. Akan tetapi ia amat cerdik dan
sengaja tidak mau mengelak agar jangan menimbulkan kecurigaan
di hati Giok Seng Cu. Benar saja, kakek menyeramkan ini ketika mendapat kenyataan bahwa anak itu tidak bisa silat sama sekali, hilang kecurigaannya dan memandang rendah. Ia mengira bahwa
anak ini tentulah anak dusun yang dipekerjakan di situ untuk
membersihkan tempat ini. Maka dengan sebal ia lalu melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah sehingga Sin Hong jatuh bergulingan.
"Ha-ha-ha, seorang kacung berani kurang ajar, ditanya tidak menjawab sebaliknya balas bertanya. Bocah nakal, hayo bilang apa kerjamu di sini"
Sin Hong memutar otaknya, lalu menjawab berani, "Seperti
Locianpwe katakan tadi, aku bekerja sebagai kacung tukang
membersihkan kedua makam ini. Locianpwe siapakah dan mau apa
datang ke sini?"
"Anak setan, kau tidak tahu dengan siapa berhadapan maka
berani bersikap kurang ajar! Hayo lekas berlutut di depan Giok Seng Cu Sucouw, ketua Imyang-bu-pai dan beritahukan namamu!"
111 Bukan main kagetnya hati. Sin Hong mendengar bahwa kakek ini
adalah ketua Im-yang-bu-pai, musuh besar perkumpulan yang
sudah membinasakan dan membasmi Hoa-san-pai. Wajahnya merah
dan ia harus menekuk perasaan hatinya yang ingin sekali
memberontak dan menyerang kakek ini. Ia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, maka ia harus berlaku hati-hati. Akan tetapi berlutut" Ia tidak sudi!
"Aku bernama Tan A Kai dan aku tidak kenal apa itu Im-yang-bupai. Dimana adanya Luliang Sam-loheng?" Sin Hong terkejut bukan main. Perasaan hatinya yang marah itu ternyata membuat ia lupa akan sebutannya terhadap Luliang Sam-lojin yang hendak
disembunyikan sehingga tanpa disadarinya ia menyebut Samloheng! Giok Seng Cu tentu saja juga terkejut. "Apa" Jadi kau adalah sute dari Luliang Sam-lojin?" tiba-tiba ia mendapat pikiran lain. Kalau anak ini menyebut loheng atau suheng kepada Luliang Sam-lojin, berarti anak ini pun menjadi murid Pak Kek Siansu yang sudah
tewas. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa anak ini agaknya akan mempelajari ilmu silat dari kitab Pak kek Sinciang!
Tiba-tiba ia menubruk ke depan hendak menangkap Sin Hong.
Akan tetapi anak ini sekarang karena kesalahan lidahnya, maklum akan datangnva bahaya, lalu cepat mengelak sehingga Giok Seng
Cu menubruk tempat kosong. Memang Sin Hong memiliki tubuh
yang ringan dan gerakan yang cepat sekali, apa lagi ia memang
berbakat baik maka setelah menerima gemblengan ilmu silat dari Liang Gi Tojin kemudian dari Luliang Samlojin, ia telah memiliki kepandaian yang lumayan.
Kecurigaan Giok Seng Cu makin menebal melihat anak "dusun"
itu dapat mengelak dari tubrukannya. Ia menubruk lagi dengan
cepat akan tetapi dengan mainkan Ilmu Silat Jiauw pouw-poan-Soan (Tindakan Kaki Berputaran) ia selalu dapat meluputkan diri dari terkaman kakek itu. Namun tentu saja ia kalah jauh oleh Giok Seng Cu dan hal ini Sin Hong maklum amat baiknya, maka ia cepat
melarikan diri setelah mendapat kesempatan.
112 "Setan cilik, lekas serahkan Pak kek-Sin kiam dan Pak-kek Sinciang-pit-kip (Kitab Rahasia Ilmu Silat Pak-kek Sinciang), baru aku mengampunimu!" bentak Giok Seng Cu sambil mengejar.
Sin Hong menjadi bingung. Dengan beberapa lompatan saja Giok
Seng Cu sudah mendahuluinya dan menghadang di depannya, lalu
cepat menubruk lagi. Kini tubrukannya bukan tubrukan
sembarangan, karena kakek ini sudah merasa tidak sabar lagi dan mempergunakan tenaganya. Hampir saja tubuh Sin Hong dapat
diterkam, baiknya anak ini cepat sekali mempergunakan Ilmu Silat Juikut-kang (Ilmu Lemaskan tulang), sehingga begitu diterkam,
kulitnya menjadi licin dan gerakannya yang gesit membuat ia dapat membebaskan diri lagi. Giok Seng Cu yang tadinya sudah merasa
girang dapat menangkap anak itu, terkejut sekali ketika tiba-tiba anak itu terlepas dan ia kena peluk sebuah batu karang yang berada di belakang Sin Hong. Terdengar suara keras dan batu karang itu remuk dalam pelukan Giok Seng Cu. Inilah kehebatan tenaga Tin-san-kang dari kakek itu yang amat mendongkol kena memeluk batu karang sehingga ia menge rahkan tenaga membikin remuk batu itu.
Sementara itu, Sin Hong sudah berlari cepat naik ke atas puncak.
Giok Seng Cu mengejar terus dan kini kakek ini makin marah.
"Setan cilik, apa kau ingin mampus?" bentaknya dan dengan ginkangnya yang sudah sempurna itu tentu saja ia kembali dapat menyusul Sin Hong. Kini anak ini sudah tiba di tebing jurang di puncak bukit, tempat di mana ia biasa berlatih silat.
"Kau mau lari ke mana?" tiba-tiba Sin Hong mendengar bentakan ini dan sebuah tangan yang besar menyambar ke arah lehernya. Sin Hong maklum bahwa ia harus melawan mati-matian dan tahu pula
akan kekejian kakek ini, maka cepat ia menyelundup ke bawah
untuk menghindarkan diri dari tangkapan ke arah leher ini. Ia
berhasil mengelak, akan tetapi tangan kiri Giok Seng Cu menyambar dari belakang dan sebelum Sin Hong dapat mengelak, pundaknya
sudah kena dicengkeram.
Sin Hong meringis dan mengigit bibir agar mulutnya jangan
mengeluarkan jeritan. Bukan main sakitnya pundaknya yang
dicengkeram itu, serasa tulang-tulangnya hancur dan rasa sakit menembus sampai ke dalam tulang-tulangnya.
113 "Anak setan, lekas katakan dimana adanya pedang dan kitab
peninggalan Pak Kek Siansu?" bentak Giok Seng Cu. Kalau
menurutkan wataknya, karena ia sudah marah dan dibikin jengkel oleh Sin Hong, tentu ia akan membunuh anak ini tanpa banyak
cingcong lagi. Akan tetapi oleh karena ia naik ke puncak ini adalah hendak mencari pedang dan kttab itu, maka ia tidak membunuh Sin Hong. Ia kini menaruh harapannya pada keterangan anak ini.
Sin Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu tentang
pedang dan kitab!" suaranya masih lantang dan penuh ketabahan sungguhpun rasa sakit membuat wajahnya penuh peluh.
"Bohong...! Kau menjadi sute Luliang Sam-loan, tentu kau
mempelajari ilmu peninggalan Pak Kek Siansu!"
"Aku tidak bohong!" kata Sin Hong, kini keberaniannya meluap-luap karena rasa sakit dan kekejaman kakek ini membuatnya marah dan membangkitkan semangat perlawanannya. "Memang betul aku belajar ilmu silat peninggalan Suhu Pak Kek Siansu, akan tetapi aku dibimbing oleh Suheng-suhengku. habis kau mau apa" Aku tidak
tahu tentang kitab dan pedang yang kau obrolkan!"
"Bangsat cilik, kau benar-benar tidak takut mampus!"
"Siapa takut mampus kalau semua keluargaku sudah habis"
Kalau semua orang yang kucinta sudah kaubasmi" Kau penjahat
terbesar di dunia ini!"
Tangan Giok Seng Cu sudah diangkat ke atas untuk menjatuhkan
pukulan, akan tetapi ia menahan tangannya dan memandang
dengan mata terbuka lebar.
"Eh, eh, kau mengacobelo! Baru kali ini kita hertemu. Kapan aku membinasakan keluargamu?"
"Giok Seng Cu, bukan tanganmu, akan tetapi anak buahmu yang membunuh Liang Gi Tojin dan melukai Lie Bu Tek. Liang Gi Tojin adalah Suhuku dan Lie Bu Tek adalah ayah angkatku."
"Kau... kau siapakah" Dan bagaimana bisa berada di sini?"
"Tentang bagaimana aku bisa berada di sini bukan urusanmu.
Aku bernama Wan Sin Hong dan Lie Bu Tek adalah ayah angkatku."
114 Tiba-tiba Giok Seng Cu tertawa bergelak. "Ha, ha, aku sudah mendengar tentang kau! Bagus, sekarang kau berada di sini,
sebetulnya aku harus membunuhmu, akan tetapi kalau kau bisa
memberi petunjuk kepadaku di mana adanya pedang dan kitab, aku takkan membunuhmu."
"Aku tidak tahu!"
Giok Seng Cu maklum dari pandangan mata anak ini bahwa ia
menghadapi seorang anak yang bersemangat baja dan memiliki
keberanian besar, maka sambil menyeringai masam ia
menggerakkan tangan menekan pundak kiri Sin Hong.
Kim Sin Hong tak dapat menahan lagi rasa sakit yang menembus
jantungnya. Seakan-akan ia merasa sesuatu yang amat dingin menusuk
jantungnya dan seketika itu ia menggigil kedinginan dan mukanya menjadi biru.
"Aduh...." ia mengeluh dan ketika Giok Seng Cu melepaskan tangannya, Sin Hong roboh terguling dan duduk dengan tubuh
terasa dingin sekali. Anak ini diam-diam merasa terkejut karena ia sudah pernah mendengar dari Luliang Sam-lojin bahwa di antara
tokoh-tokoh kang-ouw, terdapat orang-orang yang memiliki
pukulan-pukulan keji sekali, di antaranya pukulan yang penuh
dengan tenaga "yang" sehingga lawan yang terkena pukulan ini akan terbakar oleh tenaga yang membikin darah menjadi panas dan korban ini akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi pula pukulan yang mengandung tenaga "im", yang merangsang ke dalam tubuh dan menghancurkan tenaga "yang" di dalam tubuh, memperbesar tenaga "im" sehingga jalan-jalan darah terpengaruh dan akibatnya orang itu akan terserang rasa dingin. Di dalam tubuh terdapat dua macam hawa panas dingin yang bertentangan. Kalau dua tenaga
yang bertentangan ini seimbang kekuatannya, orangnya akan sehat-sehat saja. Sebaliknya kalau tenaga "im" jauh lebih besar, orang itu akan menderita kedinginan hebat dan akhirnya ia akan menjadi
penderita yang takkan dapat hidup lama. Sekarang Sin Hong dapat menduga bahwa ia terserang oleh pukulan yang mengandung
tenaga "im" dan pukulan ini ia rasakan sedemikian hebatnya 115
sehingga ia merasa tubuhnya kaku-kaku saking dinginnya. Ketika ia melihat ke arah tangannya, kuku jari tangannya sudah menjadi biru!
Melihat bahwa dirinya takkan tertolong lagi, Sin Hong menjadi
nekad. "Bangsat tua bangka yang keji seperti siluman. Biar hari ini aku Wan Sin Hong bertempur mati-matian dengan kau!" Ia menggigit bibir, sedapat mungkin menahan serangan hawa dingin di tubuhnya dan melompat lalu menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan
yang ia pelajari dari Luliang Siucai. Ia mainkan pukulan yang
digerakkan dari tulisan huruf-huruf sehingga Giok Seng Cu
memandang dengan kagum dan juga kaget. Sekecil ini sudah dapat mempelajari ilmu silat huruf, benar-benar menunjukkan bahwa
kelak anak ini akan menjadi seorang yang lihai. Biarpun Sin Hong baru berusia sembilan tahun, namun pukulan seorang anak yang
telah melatih diri dengan ilmu silat tinggi tak boleh dibuat main-main, apalagi pukulan itu ditujukan kepada jalan darah kematian di dada Giok Seng Cu.
-oo0mch-dewi0ooJilid V MENGHADAPI serangan Sin Hong, Giok Seng Cu tertawa
bergelak. Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, dapat
menghadapi serangan ini dengan mudah. Ia menangkap tangan Sin
Hong yang memukulnya, memegang tangan itu erat-erat sambil
mengerahkan tenaga. "Krak!" Tulang lengan Sin Hong patah!
"Ha-ha-ha, biarlah kau setan cilik sekarang menjadi setan penasaran di lembah Luliang-san... ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Giok Seng Cu lalu melepaskan anak itu ke dalam jurang dari tebing yang amat curam itu!
Tubuh Sin Hong melayang ke bawah dan sungguhpun
pengalaman ini membuat nyawanya seakan-akan sudah
meninggalkan tubuhnya dan semangatnya juga terbang, namun
kesadaran anak ini masih penuh! Ia tidak mau pingsan dan
kemauannya yang keras ini benar-benar luar biasa dan mengatasi 116
perasaannya sehingga ia masih dapat bertahan! Anak ini ingin
menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka.
Pada saat itu, selagi Giok Seng Cu tertawa bergelak, tiba-tiba dari atas terdengar pekik yang nyaring dan seekor burung yang besar menyambar turun menyerang dengan paruhnya yang kuat itu ke
arah kepala Giok Seng Cu! Kakek ini kaget sekali, cepat ia melompat ke samping sambil menangkis dengan tangannya.
"Plak!" Tubuh Giok Seng Cu terhuyung saking kerasnya gerakan burung akan tetapi burung itu sendiri terpental jauh dan beberapa helai bulunya rontok, melayang-layang ke bawah. Hajaran yang
keras dari tangan Giok Seng Cu membikin binatang itu menjadi
jerih. Sambil mengeluarkan pekik keras ia melayang terus dan
terbang meluncur ke bawah mengejar tubuh Sin Hong yang sedang
melayang turun.
Binatang tetap binatang. Betapapun ia dilatih oleh orang-orang pandai, kim-tiauw itu tetap saja seekor binatang yang bodoh.
Melihat ada sesuatu melayang turun, ia hanya menurutkan nalurinya dan cepat ia menyambar turun, tidak tahu apakah yang melayang
itu. Pada saat itu, Sin Hong sudah hampir pingsan karena sukar baginya untuk bernapas dalam keadaan melayang cepat sekali itu.
Tiba-tiba ia merasa pundaknya sakit dan tubuhnya seakan-akan
dirobek menjadi dua, tersentak keras sekali, akan tetapi kini ia tidak melayang ke bawah. Ketika ia memandang, ternyata ia berada
dalam cengkeraman seekor burung kim-tiauw yang besar sekali. Ia kaget akan tetapi berbareng girang, karena ia mendapat harapan untuk hidup. Kalau ia terbanting ke bawah, tak dapat disangkal lagi bahwa ia tentu akan mati dengan tubuh hancur lebur. Kini di dalam cengkeraman kim-tiauw, belum tentu ia akan mati. Memang Sin
Hong amat pemberani dan berhati keras, tidak mudah putus asa.
Sebaliknya, ketika burung itu melihat bahwa yang
dicengkeramnya adalah seorang anak manusia, ia lalu melayang
turun perlahan di dasar jurang, melepaskan tubuh itu setelah
Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada tiga kaki di atas tanah. Tubuh Sin Hong terbanting perlahan di atas tanah yang lunak hingga ia kaget dan heran. Ternyata
tempat itu bukan merupakan dasar jurang yang menyeramkan,
sebaliknya merupakai tempat yang indah sekali. Ia terjatuh di atas 117
tanah yang mengandung rumput hijau dan tebal. Keadaan di situ
terang karena mendapat sinar matahari dan atas dan dari sebelah kanan, sedangkan di sana-sini tumbuh pohon-pohon yang
mengandung buah-buahan. Dasar jurang itu ternyata merupakan
sebuah lereng bukit Luliang-san yang tak dapat didatangi orang dari kaki gunung, karena terhalang oleh jurang-jurang yang luar biasa dalamnya dan lebarnya. Agaknya jalan satu-satunya untuk tiba di tempat itu hanyalah dari atas tebing itulah!
Sin Hong teringat akan burung itu, maka buru-buru ia
menghampiri sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kim-tiauw.
"Kim-tiauw-koko, aku Wan Sin Hong telah menerima budi
pertolonganmu dan nyawaku telah kau selamatkan. Mudah mudahan kelak aku dapat membalas budi-mu ini, tiauw koko!"
Burung itu agaknya terlatih sekali dan aguknya mengerti akan
maksud anak ini. Akan tetapi ia hanya mengeluarkan bunyi tidak karuan lalu beterbangan berputar-putar di sekitar tempat itu,
mencari sesuatu. Melihat burung itu kebingungan dan seperti
mencari sesuatu, Sin Hong lalu bangun berdiri.
"Tiauw-ko, apakah yang kaucari?" tanyanya berulang-ulang, akan tetapi tentu saja burung itu tidak dapat menjawab.
Memang burung ini sedang mencari sesuatu. Majikan kecilnya,
yaitu Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, berkali-kali menyuruhnya mencari sebatang pedang dan sebuah kitab agar burung ini
mengerti maksudnya. Kim burung itu terbang ke sana ke mari
melihat-lihat kalau-kalau di tempat itu ada dua barang yang
dikehendaki majikannya.
Melihat burung itu terus mencari-cari biarpun tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit dan hawa dingin terus menerus menyerang
dadanya, Sin Hong lalu bangkit berdiri dan ikut pula mencari. Anak ini memang berperasaan halus, mudah dendam dan mudah
mengingat budi. Ia berjalan terhuyung-huyung ke sana-sini akhirnya ia melihat sebuah gua di depan.
"Hm, siapa tahu kalau-kalau di dalam gua itulah benda yang dicari oleh tiauw-ko," pikirnya. Tanpa takut-takut atau ragu-ragu ia lalu memasuki gua itu dan berjalan perlahan ke dalam. Ternyata 118
gua itu merupakan terowongan yang tidak begitu gelap. Ia masuk terus dan berjalan maju. Setelah berjalan ada seratus tindak, tibalah ia di sebuah ruangan gua yang lebar dan berbentuk bundar. Disitu terdapat sebuah batu yang sudah licin agaknya dahulu seringkali dipakai duduk orang, dan di sebelah baru itu terdapat sebuah peti hitam. Sin Hong tertarik sekali dan ia lalu menghampiri peti itu. Ia membuka tutupnya, akan tetapi tidak kuat, ia menjadi penasaran dan mengerahkan tenaga, namun tetap saja tidak dapat ia
membuka tutup peti itu. Bahkan dadanya terasa sakit. Akan tetapi setelah ia mengerahkan tenaga lweekang, biarpun dadanya sakit, rasa dingin yang menyerang jantungnya berkurang. Ini adalah
karena pengerahan tenaga itu mempercepat jalan darahnya
sehingga biarpun hanya sedikit, ada hawa "yang" mengalir di jalan darahnya.
"Aku telah berada di tempat ini secara kebetulan sekali, dan tidak mati terbanting juga karena kehendak Thian. Masa aku tidak dapat membuka peti ini?" Kembali Sin Hong mengerahkan tenaganya dan kali ini berhasil. Peti itu memang tidak dikunci hanya agak sukar dibuka karena sudah terlalu lama tidak dibuka sehingga berkarat.
Ternyata bahwa peti itu terbuat daripada besi.
Setelah peti terbuka Sin Hong melihat dua benda di dalamnya,
yaitu sebatang pedang dan sebuah kitab yang sudah kuning!
Hatinya berdebar keras.
"Ah... inikah agaknya dua macam benda yang dicari oleh Giok Seng Cu... " Dia bilang... dua benda ini peninggalan dart Pak Kek Siansu?" guruku...."
Dengan hati gembira, lupa akan tubuhnya yang sudah terluka
berat dan tidak ada harapan untuk hidup lagi itu Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan peti yang terbuka itu.
"Suhu, banyak terima kasih atas kemuliaan Suhu yang sudah meninggalkan pedang dan kitab ini untuk teecu...."
Karelia di dalam ruangan itu agak gelap, tak mungkin baginya
membuka dan membaca kitab itu, maka ia lalu mengambil
pedangnya dan membawa pedang itu keluar. Biarpun ia belum
mempelajari isi kitab, akan tetapi ia sudah belajar ilmu pedang dari 119
Luliang Ciangkun dan dengan adanya pedang itu di tangannya, ia akan mempunyai pembantu yang boleh diandalkan. Ia tidak tahu
keadaan di tempat aneh itu, maka untuk melindungi dirinya, ada baiknya kalau ia membawa pedang itu keluar.
Ketika ia mencabut pedang itu dari sarugnya, ia terkejut dan
matanya menjadi silau. Di tempat agak gelap, pedang itu
mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Girang sekali
hatinya. "Pedang pusaka yang hebat...." pikirnya cepat ia memasukkan pedang itu ke dalam sarung dan menalikan tali sarung ke
pinggangnya. Setelah itu Sin Hong berjalan keluar. Kegirangan
besar membuat ia melupakan serangan hawa dingin yang seperti
hendak membikin tubuhnya kaku.
"Hee, tiauw-koko, apakah kau belum menemukan barang yang
kaucari-cari?" tanya Sin Hong sambil berdiri dan tiba-tiba ia mengeluarkan bunyi ke arah Sin Hong. Anak itu masih tertawa-tawa dan mengira bahwa burung itu hendak turun di dekatnya. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba burung itu menyerangnya dengan pukulan sayap!
Andaikata Sin Hong tahu bahwa ia akan diserang dan sudah
berjaga diri, agaknya ia pun takkan dapat menghadapi burung ini dan takkan dapat mengelak dari serangannya, karena burung itu
amat kuat dan serangan sayapnya benar-benar cepat sekali. Apalagi Sin Hong tidak mengira sama sekali, maka tubuhnya terkena
pukulan sayap yang besar sehingga sambil berseru kesakitan dan kaget anak ini terguling sampai jauh. Dalam bergulingan ini, ia merasa sesuatu direnggut dari tubuhnya dan ketika ia dapat
mclompat berdiri, ia melihat bahwa pedang dan sarungnya yang tadi diikatkan di pinggang, telah dirampas oleh burung itu dengan
cakarnya dan kini pedang itu telah berada di paruh kim-tiauw.
"He, tiauw-ko, itu pedangku...! Kembalikan...!" Sin Hong menahan rasa sakit-sakit pada tubuhnya dan mengejar, tetapi
burung itu sudah mementang sayap dan sekejap mata saja ia telah terbang tinggi, lalu lenyap dari pandanga mata.
Sin Hong membanting-banting kakinya lalu menangis!
120 "Sin Hong, kau manusia gublok! Kau tak berotak!" ia memaki diri sendiri berkali-kali. "Seharusnya kau tahu bahwa Kim-tiauw itu mencari-cari pedang dan kitab...." Teringat akan kitab, hatinya terhibur. Baiknya kitab itu tidak dibawa ke luar. Akan tetapi hatinya juga menjadi gelisah. Tentu burung aneh itu dipelihara oleh seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi pula. Kalau burung itu
membawa pedang kepada majikannya, tentu majikannya itu akan
tahu bahwa kitabnya pun berada di situ, lalu datang mengambilnya.
Berpikir demikian, anak ini cepat berlari masuk ke dalam gua, akan tetapi kelelahan dan sakit di tubuhnya demikian hebat sehingga setibanya di dekat peti, ia terhuyung-huyung dengan kepala terasa pening, tubuh sakit-sakit dan dada dingin bukan main. Ia cepat menghampiri batu licin itu dan merebahkan diri di situ. Pada saat itu ia roboh pingsan di atas batu!
-oo0mch-dewi0ooKim-tiauw yang berhasil merampas pedang Pak kek Sin-kiam,
terbang keluar fari jurang. Pada saat itu, Giok Seng Cu masih berdiri di tebing bertolak pinggang dan memandang ke bawah, ke dalam
jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Hatinya juga gelisah sekali, karena ia sekarang teringat bahwa kim-tiauw itu tentu binatang peliharaan dari See-thian Tok-ong, tokoh di Tibet yang seringkali disebut-sebut oleh sahabatnya Ba Mau Hoatsu. Burung rajawali
emas mana lagi yang dapat membuat ia terpental dalam sekali
serangan" Tiba-tiba ia melihat burung itu terbang dari bawah dan di
paruhnya terlihat sebatang pedang dengan sarungnya yang buruk.
"Celaka, burung keparat itu telah mendapatkan Pak-kek Sin kiam," kata Giok Seng Cu dan ia cepat berlari turun dari puncak.
Akan tetapi secepat-cepatnya seorang dapat berlari
mempergunakan ilmu lari cepat, tak mungki ia dapat mengejar
seekor burung rajawali terbang. Maka burung itu tentu saja sudah lama tiba di lereng sebelum Giok Seng Cu keluar dari puncak.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, burung rajawali
emas telah memberikan pedang itu kepada Ban-beng Sin-tong Kwan 121
Kok Sun. Bocah gundut yang aneh itu mencabut pedang dari
sarungnya. Semua orang menjadi silau melihat cahaya keemasan
keluar dari pedang yang amat indah itu.
"Kau telah mencuri pedang Guru kami!" Luliang Ciargkun berseru marah. Sambil berkata demikian ia mencabut pedangnya dengan
sikap hendak menyerang. Gurunya sudah berpesan agar ia dan
sutenya menjaga supaya pedang dan kitab jangan terjatuh ke dalam tangan penjaat. Dan anak siluman ini benar-benar jahat dan
berbahaya sekali kalau Pak-Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya.
Ban-beng Sin-tong Kwa Kok Sun tertawa menyeringai, akan
tetapi pandangan matanya penuh ancaman.
"Luliang Ciangkun, pedang ini disembunyikan oleh Gurumu dan kau sendiri mengaku tidak mengetahui tempat penyimpanannya.
Sekarang ditemukan oleh burungku, berarti bahwa aku berjodoh
dengan pedang ini. Kau ribut ribut mau apa sih?"
Lain-lain tokoh yang berada di situ juga memandang kepada
pedang itu dengan mata mengilar. Akan tetapi mereka tidak berani bergerak karena maklum akan kelihaian anak gundul itu dan ular-ularnya. Bahkan Ba Mau Hoatsu memandang dengan hati berdebar.
Ingin sekali ia mengulur tangan merampas pedang. Kalau ia lakukan hal ini, ia percaya bahwa ia sanggup merampas pedang. Ia tahu
bahwa kepandaiannya sendiri jauh melampaui kepandaian bocah
gundul itu, akan tetapi kalau ia teringat akan ayah dan ibu anak ini ia bergidik dan membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan.
Sementara itu, Luliang Sam-tojin sudah memegang senjata
masing-masing, dan Luliang Ciangkun membentak,
"Bagaimana juga. tidak boleh orang mengambil pusaka Luliangsan begitu saja dari tempat ini. Kembalikan pedang Pak kek Sinkiam,"
Kwan Kok Sun sambil tersenum sindir menggerak-gerakkan
pedang pusaka itu di tangan kanan sedang tangan kirinya sudah
dimasukkan ke dalam saku baju dimana tersimpan sepasang ular
merah tadi, lalu melirik ke arah Bau Hoatsu.
122 Paman Ba Mau, kau pikir bukankah kakek Luliangsan ini tidak
tahu aturan sama sekali?"
Ba Mau Hoatsu semenjak tadi memandang ke arah pedang di
tangan bocah gundul itu, dan ia hampir tidak mendengar kata-kata ini. Memang dia sendiri ingin sekali merampas pedang itu, maka jawabnya perlahan dan ragu-ragu.
"Hmm...."
Luliang Ciangkun sudah tidak dapat menahan sabar lagi.
"Serahkan pedang kami!" bentaknya sambil menyerang ke depan, berusaha merampas Pak-kek Sin-kiam.
Akan tetapi, biarpun sikapnya tenang, bocah gundul itu ternyata gesit luar biasa. Sekali tangannya bergerak berkelebat bayangan keemasan dan pedang Pak-kek Sin-kiam sudah digerakkan dari
samping, memapaki dan menyabet pedang besar di tangan Luliang
Ciangkun. Panglima Gunung Luliang ini terkejut sekali karena gerakan lawan yang masih muda ini benar-benar cepat luar biasa. Ia tahu bahwa sekali saja pedangnya ber temu dengan Pak-kek Sin kiam,
pedangnya yang besar dan juga bukan sembarangan pedang itu
pasti akan terbabat putus! Ia menarik kembali pedangnya dan kini menyerang dengan sambaran dari bawah.
Lagi-lagi Kwan Kok Sun menangkis, lalu membalas menyerang.
Luliang Ciangkun kembali menghindari pertemuan pedang dan
sekarang kedua orang ini bertanding pedang dengan hebatnya.
Sama sekali di luar dugaan para tokoh kang-ouw yang berada di
situ, ilmu pedang dari Ban-beng Sin-tong benar-benar luar biasa sekali. Memang dia telah mendapat gemblengan dari ayah
bundanya, maka tentu saja ia memiliki kepandaian tinggi. Apalagi sekarang dia memegang Pak-kek Sin-kiam, kelihatan bertambah
hebat. Luliang Ciangkun yang tidak berani mengadu pedang, segera didesak dengan hebat oleh bocah itu. Yang lebih hebat Kwan Kok Sun sama sekali tidak mengeluarkan tangan kiri dari saku bajunya.
Oleh karena ini, gerakan pedang di tangan kanannya kelihatan kaku tidak ada imbangannya. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi
kehebatan gerakan pedangnya, bahkan Luliang Ciangkun dan yang
123 lain-lain maklum bahwa tangan kiri itu lebih berbahaya daripada tangan kanan. Sekali tangan kiri itu keluar, tentu akan membawa sepasang ular terbang dan hal itu benar-benar merupakan bahaya maut yang mengerikan sekali!
Melihat suheng mereka terdesak, Luliang Nungjin dan Luliang
Siucai tidak tanggal diam.
"Kembalikan pedang kami, kalau tidak kita harus bertempur mengadu nyawa di sini!" kata Luliang Nungjin sambil menggerakkan pacutnya yang aneh, disusul oleh Luliang Siucai yang menggerakkan pitnya.
Pacul dari Luliang Nungjin berujung enam dan sekali gagangnya
digerakkan, enam mata cangkul menyerang tubuh Kwan Kok Sun
dari enam jurusan! Bocah gundul itu terkejut sekali, apalagi ketika pedang Luliang Ciangkun dan pit Luliang Siucai menyusul pula
dengan serangan dari ilmu silat tinggi yang amat berbahaya!
Biarpun ia berpedang pusaka, namun bagaimana ia dapat
menangkis sekaligus senjata-senjata hebat ini" Sambil memutar
pedangnya, ia melompat mundur, dan terdengar suara keras.
Ternyata bahwa di antara enam mata cangkul, dua buah terbabat
putus oleh Pak-kek Sin-kiam. Akan tetapi pit di tangan Luliang Siucai hampir saja mengenai sasaran, dan baju Kwan Kok Sun robek di
bagian pundaknya.
Bocah gundul itu menjadi pucat. Ia melirik ke arah Ba Mau
Hoatsu, akan tetapi hwesto tinggi besar ini diam saja tidak bergerak membantunya. Hal ini membikin mendongkol hati Kwan Kok Sun. Ia mengeluarkan suara keras seperti pekik seekor binatang buas, lalu pedangnya diputar sedemikian rupa, tangan kirinya mengeluarkan dua ekor ular merah. Pada saat itu juga, atas perintah pekikan tadi, burung kim-tiauw ikut menyerbu dan puluhan ular yang tadi
melingkar di tanah, mulai bergerak menyerbu ke arah Luliang Samlojin!
Inilah serangan yang hebat sekali! Ketiga kakek dari Luliang-san ini cepat memutar senjata mereka. Luliang Nungjin mengajukan diri menghadapi kim-tiauw, karena dengan paculnya yang masih
bermata empat itu ia dapat menghadapi serangan burung itu dari atas. Beberapa kali ia terhuyung-huyung karena beturan pacul
124 dengan sayap burung, akan tetapi ia berhasil membuat rontok
beberapa helai bulu sayap dari burung itu sendiri berkali-kali memekik kesakitan.
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai sibuk sekali menghadapi
serbuan puluhan ekor ular itu. Mereka melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari gigitan ular dan pedang serta pit kedua kakek ini telah berhasil membunuh beberapa ekor ular. Tiba-tiba dua bayangan merah berkelebat ke arah mereka. Ternyata
bahwa Ban-beng Sin-tong telah melepaskan sepasang ular
terbangnya yang langsung menyerang dengan luncuran hebat ke
arah Luliang Ciankun dan Luliang Siucai.
Dua orang kakek ini maklum akan bahaya besar ini. Cepat
mereka melompat jauh sambil memutar senjata, tetapi Kwan Kok
Sun tidak tinggal diam. Anak gundul ini segera melompat maju dan menggerakkan pedang pusaka membantu perjuangan anak-anak
buahnya yang mengerikan itu.
Keadaan Luliang Sam lojin benar-benar terdesak hebat kali ini.
Juga Luliang Nungjin sudah pening kepalanya karena sebuah
tamparan sayap telah nyerempet pelipisnya, terasa bagaikan dipukul oleh palu godam dan sakitnya bukan main. Tenaga pukulan itu
sedikitnya ada lima ratus kati dan kalau orang lain yang terkena sambaran ini tentu sudah pecah kepalanya.
Pada saat itu sesosok bayangan yang cepat sekali gerakannya
terbang berlarian dari puncak gunung. Dia bukan adalah Giok Seng Cu. Setelah tiba ditempat pertempuran, ia melihat semua tokoh
kang-ouw menonton pertempuran yang sedang berjalan dengan
amat seru dan hebatnya. Namun Giok Seng Cu tidak memperhatikan semua itu. Seluruh perhatiannya ditujukan kepada pedang Pak Sinkiam yang terpegang dan dimainkan oleh seorang bocah gundul.
Melihat bocah ini, biarpun belum bertemu muka, dapat menduga
bahwa ini tentulah putera See-thian Tok-ong karena ia pernah
dengar penuturan Ba Mau Hoatsu.
Tiba-tiba ia melompat maju ke dalam medan pertempuran.
125 "Sahabat kecil bukankah kau putera dari See-thian Tok-ong yang mulia" Pinto adalah Giok Seng Cu ketua Im yang-bu-pai. Marilah Pinto bantu kau menghabiskan Luliang Sam-lojin yang sombong itu"
Tentu saja Ban-beng Sin-tong Kwan kok Sun menjadi girang
sekali. Memang ia ingin melihat ketiga orang lawannya itu lekas-lekas binasa karena ia mendongkol melihat ular-ularnya banyak
yang mati. "Terima kasih, Totiang. Ayah tentu akan berterima kasih
kepadamu," jawabnya gembira.
Giok Seng Cu sengaja melompat di dekat Kwa Kok Sun,
kemudian ia merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga Tin
sang-kang yang hebat. Sambil mengeluarkan seruan dahsyat kedua tangannya memukul ke depan, ke arah Luliang Nungjin yang sedang sibuk menghadapi serbuan kim-tiauw. Angin pukulan yang hebat
sekali menyambar ke arah dada Luliang Nungjin. Kakek ini tahu
akan datangnya serangan pukulan, akan tetapi oleh karena
perhatiannva ditujukan kepada kim-tiauw yang menyambarnyambar di atasnya, ia tidak sempat mengelak dan tiba-tiba ia
merasa dadanya digempur oleh tenaga tidak kelihatan yang hebat sekali. Ia menahan napas dan mengerahkan lwee-kangnya, namun
terlambat. Tubuhnya tersentak dan ia muntah-muntah ".. darah
merah tersembur keluar dari mulutnya. Pada saat itu, seeker ular merah menyerbunya dan sekali patok pada lehernya, robohlah
Luliang Nungjin dan tubuhnya seketika itu juga berubah menjadi merah! Ia tewas dalam saat itu juga dan ular merah itu lalu
merayap masuk dari mulutnya untuk segera keluar kembali
menggigit sebuah jantung yang masih berlepotan darah!
Pemanclangan ini mengerikan sekali hingga semua orang
menjadi pucat. Adapun Kwan Kok Sun mengeluarkan suara seperti
iblis. Pada saat itu, terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga olehnya.
126 Giok Seng Cu melihat kesempatan baik, kembali menggerakkan
kedua tangannya. Tangan kanan memukul dengan tenaga Tin-sankang, sedangkan tangan
kiri maju merampas
pedang Pak-kek Sin-kiam!
Kwan Kok Sun mana
kuat menghadapi pukulan
Tin-san kang" Ia sudah
berusaha mengelak, akan
tetapi pundaknya masih
terkena pukulan itu dan
sebelum ia tahu apa yang
terjadi, pedangnya
dirampas oleh gerakan
tangan kiri Giok Seng Cu
yang mainkan ilmu Silat
Kin-na-jiu!. Kwan Kok Sun
terhuyung-huyung
dengan muka pucat.
Bocah gundul ini telah
menderita luka di dalam
tubuh maka ia cepatcepat bersila untuk mengumpulkan napas dan mengerahkan tenaga
dalam. Giok Seng Cu melompat jauh dan berlarit seperti terbang cepatnya turun gunung!
"Giok Seng Cu, kau curang...!" bentak Ba Mau Hoatsu dan
hendak mengejar, akan tetapi melihat Kwan Kok Sun terluka, ia
khawatir akan keadaan anak itu. Kalau sampai terjadi apa-apa
dengan anak itu, ia ikut bertangung jawab di hadapan See-Thian Tok-ong, maka ia membatalkan niatnya mengejar Giok Seng Cu.
Lagi pula, andaikata ia dapat mengejar, apakah dia dapat
mengalahkan ketua Im-yang-bu-pai itu" Tadi ia melihat kehebatan Tin-san-kang. Kalau kiranya Giok Seng Cu tidak memegang Pak-kek Sin-kiam, mungkin ia masih dapat melawannya. Akan tetapi dengan pedang pusaka itu di tangan, berbahaya sekali!
Semua tokoh kang-ouw melihat Giok Seng Cu kabur membawa
pedang serentak berlari mengejar. Kini setelah pedang itu berada di 127
tangan ketua Im-yang-bu-pai, mereka berani untuk mencoba-coba
merampas. Adapun Ba Mau Hoatsu setelah melihat Kwan Kok Sun bersila
meramkan mata, lalu mengeluarkan sepasang rodanya. Ia melihat
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai mengamuk hebat membunuhbunuhi ular itu, sedangkan sambaran-sambaran ular merah tak
pernah mengenai sasaran.
Tanpa banyak cakap lagi, Ba Mau Hoatsu lalu menggerakkan
sepasang rodanya dan menyerbu, menyerang dua orang kakek
Luliang-san itu.
"Ba Mau Hoatsu, semenjak dahulu kau memang iblis jahat!" seru Luliang Ciangkun marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dan kini ia benar-benar nekad. Tanpa memperdulikan
serangan-serangan ular ia menyerbu dengan hebat kepada hwesio
gundul itu. Ba Mau Hoatsu menyambuti serangannya dan kedua
orang ini bertempur seru. Memang tingkat kepandaian Ba Mau
Hoatsu masih lebih tinggi daripada Luliang Ciangkun, maka sebentar saja Si Gundul mendesaknya. Apalagi Luliang Ciangkun sudah lelah dan ular-ular yang telah dididik dapat membedakan kawan atau
lawan itu masih tetap menyerangnya dari bawah. Luliang Siucai kini menghadapi kim-tiauw yang dibantu oleh beberapa ekor ular pula.
Dalam keadaan amat terdesak ini, kedua kakek itu masih
mengamuk hebat. mereka tidak mengharapkan hidup lagi setelah
melihat kematian Luliang Nungjin yang amat mengerikan. Cita-cita mereka hanya membasmi lawan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi,
Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada saat itu Kwan Kok Sun sudah berdiri lagi. Lukanya biarpun cukup hebat namun tidak membahayakan jiwanya. Kini melihat Ba
Mau Hoatsu membantunya dan melihat dua orang kakek Luliang-san masih mengamuk, semua kemarahannya akibat hilangnya pedang,
dijatuhkan kepada dua orang kakek itu.
"Paman Ba Mau, minggir...! serunya sambil menggerakkan kedua tangannya, Ba Mau Hoatsu cepat melompat ke samping dan dari
kedua tangan Kwan Kok Sun tersebar debu hijau yang menyambar
ke arah Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun. Dua orang kakek ini cepat mengelak, akan tetapi mereka segera terbatuk-batuk karena debu itu ternyata dengan cepatnya telah mempengaruhi mereka.
128 Sedikit saja debu itu memasuki mulut, celakalah orangnya. Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun merasa tenggorokan mereka gatal-gatal sekali dan tak tahan pula mereka terbatuk-batuk dan tak dapat
menggerakkan senjata. Pada saat itu, tentu saja ular-ular tidak tinggal diam dan menyerbu. Juga sepasang ular terbang itu
menyambar seperti kilat dibarengi dengan sambaran kim-tiauw dari atas!
Dalam sekejap mata saja, Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai
roboh tak bernapas lagi. Kepala mereka pecah terhantam sayap
kim-tiauw, kaki mereka bengkak-bengkak tergigit oleh ular dan dada mereka bolong disambar oleh sepasang ular merah!
"Sin-tong, apakah kau terluka berat?" Ba Mau Hoatsu cepat menghampin Kwan Kok Sun.
Bocah gundul itu menggeleng kepala sambil mengerutkan
keningnya. "Kurang ajar sekali bangsat tua Giok Seng Cu! Aku bersumpah untuk membasminya!"
"Tenanglah, Sin-tong. Tadi pun aku hendak mengejarnya, akan tetapi aku tidak tega meninggalkan kau yang terluka. Apalagi
kepandaian Giok Seng Cu amat tinggi, lebih-lebih setelah ia dapat merampas Pak-kek Sin-kiam. Mari kita pulang saja, agaknya Ayah Bundamu akan mudah sekali merampas pedang itu dari tangan Giok Seng Cu."
Kwan Kok Sun mengangguk-angguk. "Seluruh Im-yang-bu-pai
harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya'"
Diam-diam Ba Mau Hoatsu bergidik. Ia kenal watak anak ini,
kenal pula kehebatan orang tuanya, maka ia merasa beruntung
bahwa bukan dia yang diancam. Baiknya aku tadi membantunya
pada saat terakhir, pikirnya puas. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika bocah itu menegurnya,
"Paman Ba Mau, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau membantuku menghadapi Luliang Sam-lojin?"
Ba Mau Hoatsu dengan muka merah dan hati berdebar-debar
cepat menjawab, "Ah, Sin-tong. Mengapa aku harus turun tangan"
Hal ini hanya akan merendahkan namamu dan nama besar Ayah
129 Bundamu. Tanpa aku pun kau tidak akan kalah. Akan tetapi tentu saja aku seta siap sedia dan pasti akan niembantumu kalau tadi kau terdesak oleh Luliang Sam-lojin. Serangan Giok Seng Cu kepadamu sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang mengira demikian
sedangkan tadinya ia membantumu"
Kwan Kok Sun puas dengan jawaban ini. Ia lalu mengumpulkan
ular-ularnya yang masih hidup, mengantongi sepasang ular merah yang sudah kenyang makan jantung manusia, kemudian bersuit
memanggil kim-tiauw yang turun di depannya.
"Kim-tiauw, kau terbanglah pulang dan berikan surat kepada Ayah Bundaku," kata Kwan Kok Sun setelah mencoret-coret
sepotong kertas. Kim-tiauw menerima kertas itu yang oleh Kwan
Kok Sun diikatkan kepada kakinya, kemudian setelah menganggukanggukkan kepalanya, rajawali besar itu terbang melayang dan
sebentar saja lenyap dari pandangan mata.
"Eh, Ban-beng Sin-tong, apakah kau sendiri tidak pulang?"
Bocah itu menggelengkan kepalanya. "Mengapa pulang" Nanti
tentu harus kembali ke Tiong-goan (pedalaman Tiongkok). Daripada membuang waktu, lebih baik Ayah dan Ibu yang datang ke sini,
sementara itu kita dapat menyelidiki di mana adanya Giok Seng Cu!"
"Akan tetapi, yang didapatkan oleh kim-tiauw hanya pedang saja, di mana adanya kitab ilmu silat itu" Apakah tidak lebih baik kalau kita mencoba mencari kitab itu di puncak?"
"Kau benar, Paman Ba Mau! Mengapa aku sebodoh ini'?" Kwan Kok Sun timbul kembali kegembiraannya dan kedua orang ini lalu mendaki puncak Luliang-san, sama sekali tidak memperdulikan
mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dalam keadaan
mengerikan sekali.
Ban-beng Sin-tong dan Ba Mau Hoatsu mencari-cari di puncak
Luliang-san, membongkar pondok bekas tempat tinggal Pak Kek
Siansu. Pondok itu didirikan di bawah puncak batu karang yang
menjulang tinggi, kokoh kuat seperti sang raksasa hitam. Yang amat mengagumkan, batu karang ini berbentuk seperti kepala naga
sehingga setelah kini pondok yang merupakan penutupnya
terbongkar, batu karang ini nampak dari jauh amat menyeramkan.
130 Ba Mau Hoatsu meraba-raba batu karang itu dan matanya
memandang penuh perhatian.
"Agaknya bentuk kepalanya ini buatan manusia," katanya, "Lihat, bukankah bentuk mata dan tanduk di atas itu ada bekas guratan
senjata tajam?"
Kwan Kok Sun memandang, kemudian tubuhnya bergerak
melompat ke atas Dalam sekejap mata ia telah berada di puncak
batu karang itu dan memeriksanya.
"Benar, memang buatan manusia. Akan tetapi entah apa
maksudnya maka batu karang ini diukir sebagai kepala naga, lalu ditutup dengan bangunan pondok," katanya.
Mereka memeriksa dengan teliti karena menduga bahwa di dalam
batu karang ini agaknya terletak tempat rahasia penyimpanan kitab.
Akan tetapi, biarpun dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu
sudah memecahkan bagian-bagian batu karang, sia-sia saja
hasilnya. Akhirnya Kwan Kok Sun berkata gemas,
"Setan tua itu pintar sekali menyembunyikan kitabnya. Siapa tahu kalau-kalau ia bawa kitab itu ke dalam lubang kuburannya?"
Ba Mau Hoatsu ragu-ragu dan merasa ngeri. Betapapun jahatnya,
selama hidupnya belum pernah ia menggalil kuburan orang. Anak
ini, yang usianya masih begitu muda, sudah mengusulkan
membongkar kuburan dengan suara demikian dingin, seakan-akan
membicarakan sebuah hal biasa saja. Akan tetapi ia harus akui
bahwa usul itu baik sekali, karena siapa tahu kalau-kalau kitab rahasia itu benar-benar disembunyikan di dalam kuburan. Kalau tadi ketika masih melihat pedang pusaka, biarpun hatinya ingin
merampas, Ba Mau Houtsu belum berani melakukannya, karena
biarpun ada pedang itu di tangan, percuma saja ia menghadapi See-Thian Tok ong dan isterinya serta anaknya ini. Akan tetapi, kalau ia dapat memiliki kitab kek-sin-clang-pit-kip dan telah mempelajari isinya sampai tamat, kiranya ia tidak usah takut lagi menghadapi Raja Racun itu. Ia tahu bahwa ilmu silat dari Pak Kek Siansu sangat tinggi, kalau ia dapat mewarisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu, ia tidak takut lagi menghadapinya.
"Baik sekali Sin-tong. Mari kita mencari di dalam kuburan itu."
131 Demikianlah, dua orang manusia jahanam ini tanpa ragu-ragu
lagi lalu membongkar kuburan Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
Dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu menghantam batu-batu
nisan sampai hancur, kemudian dibantu oleh Kwan Kok Sun, ia
mulai menggali tanah bergunduk yang saling berhadapan.
Berkat kepandaian dan tenaga mereka yang sudah tinggi,
sebentar saja dua buah makam itu sudah terbongkar. Dahulu ketika mengubur jenazah Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu, pendekar
besar Go Ciang Le tidak sempat mempergunakan peti mati karena di tempat seperti puncak Gunung Luliang-san itu, dari mana bisa
mendapatkan peti mati" Maka Hwa I Enghiong Go Ciang Le hanya
mengubur mereka begitu saja dengan penuh penghormatan dan
kesedihan. Kini setelah kuburan dibongkar, Ba Mau Hoatsu dan Kwa Kok Sun
hanya mendapatkan tulang belulang yang hampir sama besar dan
bentuknya sehingga mereka tidak dapat membedakan mana tulang
kerangka Pak Kek Siansu dan yang mana Pak Hong Siansu. Dilihat begitu saja, selain tulang-tulang ini, tidak terdapat apa-apa lagi di kuburan itu. Namun Kok Sun masih merasa penasaran. Ia tanpa
ragu-ragu lagi menggunakan kakinya untuk menendang tulangtulang itu keluar dari lubang kuburan lalu memeriksa dasar lubang.
Namun kembali usahanya sia-sia karena di situ betul-betul tak
tersembunyi sesuatu.
"Jahanam betul, kita bersusah payah tanpa guna!" Kok Sun
memaki dan menyepaki tulang-tulang itu sehingga berserakan ke
mana-mana. Diam-diam Mau Hoatsu mengutuk Kok Sun. Anak ini
terlalu keji hatinya, pikirnya. Betapa pun juga, ia tidak sampai hati memperlakukan tulang-tulang manusia seperti itu, setidaknya ia masih menghormati bekas-bekas terakhir dari tubuh orang-orang
besar seperti Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
"Lebih baik sekarang kita mencari Giok Seng Cu," katanya perlahan. Anak gundul itu mengangguk dan keduanya lalu berlari cepat turun dari puncak Lulian-san, meninggalkan tulang-tulang yang berserakan itu. Ketika mereka tiba di lereng tempat
pertempuran tadi, Kok Sun masih dapat menyeringai dan melempar 132
ludah ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dan yang mengeluarkai hawa busuk.
Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa di balik batu
karang yang mereka amuk di puncak terdapat terowongan yang
menuju ke bawah dan yang tersambung dengan terowongan di
mana Sin Hong menemukan pedang dan kitab.
Anak ini setelah sadar dari pingsannya, merasa tubuhnya dingin sekali. Ia teringat bahwa ia telah menderita luka hebat akibat pukulan Giok Seng Cu. Ia merasa malas untuk bangun. Alangkah
nikmatnya tidur di atas batu itu, nikmat sekali dan kalau ia teruskan tak lama lagi ia akan terbebas daripada hidup yang penuh
pendentaan dan kekecewaan. Akan tetapi aku harus berusaha
menghajar yang berkeliaran di muka bumi sebelum melakukan halhal yang merusak manusia-manusia lain yang tidak berdosa.
Sin Hong merayap keluar dari gua dan mencari buah-buah dari
pohon yang banyak tumbuh di sekitar lereng tersembunyi itu.
Setelah makan beberapa butir buah yang manis rasanya, ia merasa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit dan tidak terlalu dingin lagi. Ia cepat kembali ke gua dan dibawanya keluar kitab dari dalam peti itu. Sin Hong mulai membalik-balik lembaran kitab yang berisi
pelajaran Pak-kek Sin-ciang dan alangkah girangnya ketika ia
melihat bahwa dalam buku selain ilmu silat juga terdapat petunjuk-petunjuk untuk melatih lweekang yang tinggi.
Hlarapannya untuk sembuh timbul kembali. Ia pernah
mendengar dari Liang Gi Tojin, juga dari Luliang Sam-lojin bahwa kalau orang sudah melatih diri dengan ilmu lweekang yang
sempurna, tubuhnya akan dapat terlindung dari pada pukulan
lweekang dan dapat memperkuat hawa di dalam tubuhnya. Maka
pertama kali yang dilatihnya adalah lwee-kang dan cara-cara
bersamadhi serta peraturan bernapas. Benar saja, beberapa pekan kemudian setelah melatih diri dengan tekun dan rajin, dapat
menahan rasa dingin sehingga tidak sangat menderita, biarpun tidak dapat mengusir rasa dingin itu yang berarti bahwa racun atau luka yang diderita oleh bagian dalam dadanya ternyata masih belum
lenyap. Berkat latihan lweekang yang tinggi, ia dapat bertahan terus dan racun pukulan Giok Seng Cu itu tidak dapat menjalar. Ia dapat 133
hidup akan tetapi mukanya selalu pucat seperti tidak berdarah dan sekali-sekali ia mengalami serangan hawa dingin yang membuatnya menggigil kedinginan di dalam gua yang sudah diterangi oleh api unggun besar yang dibuatnya.
Demikianlah, terasing dari dunia ramai, Wan Sin Hong melatih
diri dengan amat tekunnya. Di luar gua ia melatih ilmu silat Pak-kek Sin-ciang yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Akan tetapi setiap jurus mempunyai pecahan yang bermacam-macam dan tanpa
disadari anak ini telah melatih bagian-bagian tertinggi daripada ilmu silat dari berbagai cabang persilatan. Memang, Pak Kek Siansu
menciptakan ilmu silat ini berdasarkan pengalaman-pengalaman dan pengertiannya akan ilmu silat tinggi dari berbagai cabang. Ia
mengumpulkan jurus-jurus terlihai dari cabang persilatan yang ada, kemudian menggabung jurus-jurus ini menjadi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang. Setiap jurus ilmu silat ini, baru dapat dimainkan masak-masak oleh Sin Ho setelah dilatihnya setiap hari selama sebulan lebih,
Setiap hari di depan gua yang merupakan terowongan itu Sin
Hong bermain silat. Gcrakannya perlahan agar setiap gerakan tidak salah, lambat-lambat dan diperhatikannya baik-baik. Akan tetapi kalau jurus ini sudah dihafal dan dikuasainya benar-benar ia bersilat dengan cepat dan orang yang melihatnya akan merasa kagum sekali karena tubuh anak kecil ini sukar dlikuti gerakannya dengan mata saking cepatnya!
Tanpa ia ketahui sendiri, ia telah memperoleh kemajuan yang
luar biasa sekali dan berkat latihan lweekang dan khikang menurut petunjuk kitab itu, telah mempunyai sinkang di dalam tubuhnya, yakni tenaga sakti yang telah terkandung dalam jalan darahnya
sehingga tenaga ini telah ada dalam setiap gerakannya tanpa ia mengerahkan lwekang. Akan tetapi tentu saja semua ini tidak
diketahui oleh Sin Hong sendiri. Yang membuat anak ini kecewa
adalah pedang pusaka yang telah dirampas oleh burung rajawali
emas, karena justeru di dalam kitab pelajaran ilmu silat itu terdapat pelajaran ilmu pedang yang luar biasa dan sukar dipelajari. Biarpun jalan gerakan dan ilmu pedang itu didasarkan Ilmu Silat Pak kek-sin-ciang-hoat, namun akan lebih sempurna kalau ia berlatih
mempergunakan pedang yang aselinya, yakni Pak kek Sin-kiam
134 yang memang disesuaikan dengan ilmu pedang itu. Sebagai
gantinya, ia mempergunakan sebatang ranting pohon dan berlatih dengan amat tekunnya.
-oo0mch-dewi0ooKita tinggalkan dulu Wan Sin Hong yang tanpa diketahui oleh
seorang pun berlatih ilmu silat tinggi di tempat tersembunyi itu, dan mari kita menengok keadaan Liok Kong Ji yang kini sudah berganti nama keturunan, yakni menjadi Lui Kong Ji untuk menyembunyikan keadaan sebenarnya.
Seperti telah kita ketahui, putera dari ketua Kwan-im-pai dengan amat licik dan curangnya, telah dapat mengangkat diri dan
dipercaya oleh tokoh-tokoh Im-yang-bu-pai. Untuk menyelamatkan diri sendiri, Kong Ji tidak segan-segan untuk membabat putus
sebelah lengan Lie Bu Tek dan menyiksa Sin Hong. Memang dalam
diri Kong Ji terdapat watak yang luar biasa jahatnya, sungguh hal yang amat aneh apabila diingat akan watak ibunya yang gagah
perkasa dan mulia. Kong Ji merupakan seorang anak yang luar biasa sekali, tidak saja hatinya kejam, curang dan jahat, akan tetapi ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, serta bakat yang tinggi untuk menjadi seorang ahli silat.
Dengan kecerdikannya, Kong Ji dapat menyesuaikan diri dengan
apa saja yang berada di sekitarnya. Ia pandai membawa diri
sehingga kalau tadinya para tokoh Im-yang-bu-pai dan juga
ketuanya masih menaruh curiga kepadanya, sekarang kecurigaan
mereka lenyap dan berganti oleh kasih sayang besar. Karena Giok-Seng Cu sendiri tanpa ragu-ragu mengangkatnya menjadi murid
sehingga mulai saat itu Kong Ji menjadi murid termuda dari Imyang-bu-pai. Akan tetapi, biarpun paling muda, ilmu kepandaiannya meningkat jauh lebih cepat dari pada yang lain-lainnya, karena ia berkenan mendapat pimpinan dan latihan-latihan dari Giok Seng Cu sendiri! Kecerdikan dan bakat yang luar biasa membuat ia mudah saja memahami pelajaran ilmu silat partai ini dan melihat
kemajuannya, tokoh-tokoh lm-yang-bu-pai makin sayang
kepadanya. 135 Dalam waktu setahun ia telah menerima dasar-dasar ilmu silat
yang diturunkan oleh Giok Seng Cu, kemudian ketika Giok Seng Cu pergi ke Luliang san, Kong Ji menerima latihan-latihan dari Siang-mo-kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai. Dalam menerima pelajaran dari dua orang tokoh ini saja Kong Ji telah dapat mempergunakan
kecerdikan serta kelicinannya sedemikian rupa sehingga dua orang tokoh itu seakan-akan berlumba menuangkan segala kepandaian
mereka kepadanya. Caranya demikian. Pada suatu hari dengan
sengaja ia memancing percakapan dengan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dengan sebuah pertanyaan.
"Ji-suheng (Kakak Seperguruan dua), di antara saudara saudara di perkumpulan kita yang kepandaiannya paling tinggi di bawah
Suhu hanya kau dan Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama).
Akan tetapi mengapa Twa-suheng bersenjata pedang dan kau
bersenjata sepasang tongkat" Siapakah yang terlebih lihai antara kau dan Twa-suheng?"
Kwa Siang tidak sadar bahwa dia sedang "dibakar", maka sambil tersenyum ia menjawab "Siauw-sute, kau ini aneh aneh saja.
Biarpun Suheng lebih tua menjadi murid Suhu daripadaku, namun
kami memilika keahlian masing-masing. Pedangnya lihai, namun
tongkatku yang sepasang ini pun jarang menemukan tandingan."
'Aku percaya, Ji-suheng, kepandaian dalam ilmu silat memang
hebat sekali dan aku tidak percaya bahwa pedang Twa suheng akan dapat menangkan sepasang tongkatmu. Akan tetapi Twa-suheng
berulang-ulang menyatakan bahwa raja sekalian senjata adalah
pedang dan karenanya Twa-suheng memaksaku untuk lebih
memperhatikan pelajaran ilmu pedang."
Kwa Siang menjadi penasaran dan mengerutkan kening. Biarpun
terhadap suhengnya sendiri, merasa tidak senang kalau ilmu
tongkatnya direndahkan dan dianggap kalah oleh ilmu pedang.
"Siapa bilang" Aku berani menghadapi lawan berpedang yang manapun juga!" serunya tak senang.
Kong Ji cepat-cepat memegang lengan Kwa Siang. "Aku percaya sepenuhnya, Ji-suheng. Oleh karena itu, biarpun di depan Twa-136
suheng aku menyatakan kesanggupanku untuk memperhatikan
nasihatnya, namun di dalam hatiku aku mengambil keputusan untuk mempelajari tongkat dengan mendalam. Dengan memiliki
kepandaian ilmu tongkat seperti kau, kelak aku akan
memperlihatkan kepada Twa-suheng bahwa ilmu tongkatmu tak
boleh dipandang ringan!"
Girang hati Kwa Siang mendengar ini dan tanpa ragu-ragu lagi ia mulai mempelajari ilmu tongkat yang menjadi kebanggaannya itu
kepada Kong Ji. Harus diketahui bahwa baik Kwa Siang maupun Lai Tek menjadi murid Giok Seng Cu setelah mereka tua dan telah
memiliki kepandaian tinggi. Mereka hanya menerima tambahan ilmu silat dari Giok Seng Cu, sedangkan ilmu tongkat dari Kwa Siang itu pun hasil pelajaran yang dahulu, bukan yang didapatkannya dari Giok Seng Cu. Oleh karena itu, tentu saja Kong Ji menjadi untung dan menerima pelajaran-pelajaran tinggi dari Kwa Siang.
Demiklanlah, di hadapan Lai Tek, anak ini bicara lain dan ia pun berhasil membakar hati Lai Tek sehingga twa- suhengnya ini betul-betul mencurahkan tenaga untuk membimbingnya mempelajari ilmu
pedangnya agar tidak kalah oleh Kwa Slang! Dengan siasat yang
amat licin, Kong Ji dapat membuat dua orang tokoh itu seakan-akan bersaingan dan berlumba menurunkan kepandaian masing-masing
kepadanya dan hal itu sudah tentu dia yang untung dan menjadi
tukang tadah! Kedatangan Giok Seng Cu dari Luliang-san disambut dengan
gembira oleh anak buahnya. Akan tetapi tosu rambut panjang ini datang dalam keadaan kelihatan amat lelah dan wajahnya
memperlihatkan tanda bahwa ia amat gelisah dan khawatir. Ia
segera mengumpulkan murid-muridnya yang paling tua, yakni Siang mo-kiam Lai Tek, Thian-te Siang-tung Kwa-siang, dan dua orang
murid lain yang kepandaiannya sudah tinggi. Juga Kong Ji tidak ketinggalan karena biarpun ia murid termuda, namun ia amat
disayang dan Giok Seng Cu tahu bahwa kelak yang boleh
diharapkan hanyalah Kong Ji ini. Semua orang duduk menghadap
guru besar itu yang berkata dengan suara lambat.
"Mulal saat ini, kalian jangan lengah. Semenjak dari Luliang-san, aku telah dihejar-kejar oleh banyak sekali tokoh kang-ouw yang 137
lihai. Mungkin sekali di antara mereka ada yang terus mengejar ke sini, biarpun aku masih bersangsi apakah mereka begitu tidak tahu malu untuk mengacau Im-yang-bu pai di sarang sendiri. Betapapun juga, kalian harus menjaga dan mengerahkan kawan-kawan untuk
menyelidik. Rumah perkumpulan ini pun harus dijaga siang malam secara bergilir. Pendeknya, sekarang kita menghadapi bahaya dan sekali-kali jangan lengah."
"Suhu, mengapa mereka itu memusuhi Suhu" Mengapa mereka
mengcjar-ngejar terus secara tak tahu malu'" tanya Kwe Siang. Lai Tek juga memandang dengan mata mengandung pertanyaan. Akan
tetapi sebelum Giok Seng Cu menjawab, Kong Ji mendahuluinya.
"Tentu untuk merampas Pak-kek Sin-kiam, apa lagi?"
Semua orang terkejut, termasuk Giok Seng Cu yang menoleh
kepada murid cilik yang berdiri di sebelah kirinya ini. Tangannya terulur dan tahu-tahu pergelangan tangan Kong Ji sudah dipegang erat-erat. "Bagaimana kau bisa menduga begitu?" tanyanya keras dengan mata memandang tajam.
Kong Ji tidak takut, bahkan tersenyum. "Suhu, apa sih sukarnya menebak teka-teki ini" Teecu sudah mendengar bahwa Suhu pergi
ke Luliang-san untuk mencari pedang dan kitab dan teecu sudah
tahu pula bahwa pedang itu adalah Pak-kek Sin-kiam sedangkan
kitab itu adalah kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu. Kemudian Suhu pulang dengan pakaian kusut dan tubuh lelah serta
membayangkan kegelisahan, tanda bahwa Suhu menghadapi
sesuatu yang memusingkan. Akan tetapi suara Suhu itu tenang dan sinar mata Suhu membayangkan kegembiraan. Mudah bagi teecu
untuk menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil mendapatkan dua
benda itu. Hanya teecu masih belum mengerti mengapa Suhu
kelihatan gelisah. Kemudian Suhu menyatakan bahwa orang-orang
kang-ouw mengejar-ngejar Suhu, maka apa lagi kehendak mereka
itu kalau bukan mengejar Suhu untuk merampas sesuatu yang
bcrharga" Karena inilah tee-cu menduga bahwa Suhu tentu telah
berhasil dan mereka itu mengejar untuk merampas pedang Pak-kek Sin-kiam!"
138 Giok Seng Cu menjadi kagum luar biasa. Ia melirik ke
pakaiannya, akan tetapi dari luar pedang pusaka yang
disembunyikan di balik baju itu tidak kelihatan.
"Di antara kedua benda berharga mengapa kau menyangka
bahwa pedang pusaka yang kau dapatkan?" tanyanya curiga.
"Teecu menduga sembarangan Suhu. Karena bagi teecu, apa sih artinya kitab ilmu silat bagi Suhu yang sudah berkepandaian tinggi"
Tentu bagi Suhu pedang itu yang lebih penting, maka teecu
menduga bahwa Suhu tentu telah mengambil pedangnya."
Giok Seng Cu melepaskan cekalannya tertawa girang dan
memandang kepada murid-muridnya. "Di antara kita, tak seorang pun yang mampu menandingi kecerdikan Kong Ji! Kau benar sekali Kong Ji, dan aku girang melihat kecerdikanmu. Akan tetapi
bagaimana dengan ilmu silatmu" Apakah selama aku pergi, kedua
Suhengmu telah melatihmu baik-baik?"
Kwa Siang ingin memamerkan hasil latihannya kepada sute yang
disayang itu, maka ia berkata. "Sute, mengapa kau tidak
niemperlihatkan ilmu tongkat yang telah kaupelajari kepada Suhu?"
"Haruskah teecu memperlihatkan sedikit kepandaian yang teecu terima dari Jiwi-suheng?" tanya Kong J i kepada gurunya. Anak ini sengaja berkata "sedikit kepandaian" agar suhunya tidak puas dan menurunkan ilmu silatnya yang lihai, terutama Tin san-kang!
Giok Seng Cu mengangguk-anggukkan kepalanya yang
rambutnya riap-riapan itu. "Coba kauperlihatkan kepandalanmu."
Kwa Siang melemparkan sepasang tongkat hitam putih ke arah
Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kong Ji yang menerimanya dengan gaya indah. Kemudian anak ini
bersilat di ruangan itu, bersilat dengan cepat dan baik sekali sesuai dengan petunjuk dan ajaran Kwa Siang. Thian-te Siang-tung ini
melirik-lirik ke arah Lai Tek sambil tersenyum-senyum bangga.
Sebagai penerima ilmu silatnya ternyata sute yang kecil itu tidak mengecewakannya. Biarlah Lai Tek melihat bahwa ilmu tongkat
yang ia turunkan kepada Kong Ji tak boleh dipandang rendah.
Giok Seng Cu mengangguk-angguk. "Hmm, Kwa Siang baik sekali sehingga mau menurunkan kepandaian tunggalnya kepadamu, Kong
139 Ji. Akan tetapi, apa yang kaupelajari dan Lai Tek?" tanyanya setelah anak itu berhenti bersilat dan mengembalikan sepasang tongkat itu kepada Kwa Siang.
"Teecu juga mempelajan sedikit ilmu pedang dari Twa suheng."
"Kaumainkan Sute, agar Suhu dapat memeriksa dan menilainya."
Lai Tek mendesak sambil meloloskan pedangnya untuk
dipergunakan oleh sutenya. Akan tetapi Kong Ji pura-pura tidak melihat twa-suheng ini menyodorkan pedang. Ia bahkan
menghampiri Giok Seng Cu dan berkata, "Bolehkah teecu
memperlihatkan ilmu pedang dan Twa-suheng dengan
mempergunakan Pak-kek Sin-kiam, Suhu?"
Tiba-tiba Giok Seng Cu meloncat dan menangkap leher baju
Kong Ji dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Hampir saja ia membanting bocah ini dan semua sudah menjadi pucat. Kwa Siang
dan Lai Tek cukup mengenaI watak suhu mereka, yakni kalau sudah marah, belum puas kalau belum membunuh orang. Akan tetapi
aneh, anak itu diturunkan lagi dan Giok Seng Cu duduk sambil
menarik napas panjang.
"Kong Ji jangan sekali-kali kau menyebut-nyebut Pak-kek Sinkiam lagi. Mengerti?"
Kong Ji yang sudah pucat itu mengangguk-angguk dan berlutut
di depan suhunya. Kemudian ia menerima pedang dari Lai Tek dan bersilat pedang, ditonton oleh Giok Seng Cu.
"Hm, kau sudah mendapat kemajuan lumayan. Kau harus lebih banyak berlatih lweekang agar siap sedia menerima latihan-latihan langsung dari aku sendiri."
Kong Ji menjadi girang sekali dan buru-buru berlutut
menghaturkan terima kasth kepada gurunya.
Semenjak hari itu, benar saja rumah perkumpulan Im-yang-bupai yang amat besar itu dijaga rapi dan kuat oleh para anggauta Imyang-bu-pai. Sedangkan Giok Seng Cu selalu mengeram diri di
dalam kamarnya dan pedang Pak-kek Sin kiam tak pernah terpisah dari tubuhnya. Yang dipercaya hanya Kong Ji seorang. Hanya murid termuda inilah yang mengawaninya tidur di kamarnya.
140 "Kong Ji, aku sewaktu-waktu perlu beristirahat dan tidur. Kalau aku tidur pulas, kau berjaga dan cepat membangunkan aku kalau-kalau ada musuh datang," katanya. Oleh karena itu, semenjak hari itu Kong Ji tidur di dalam kamar itu bersama Giok Seng Cu. Bahkan guru besar ini sudah demikian percaya sehingga ia pernah
memperlihatkan Pak kek Sin-kiam yang membuat anak itu bergidik ketika melihat cahaya terang keluar dari mata pedang itu.
Biarpun Kong Ji berwatak jahat dan curang, namun ia tak dapat
melupakan pembunutian kepada ayah bundanya dilakukan oleh
orang-orang Im-yang-bu-pai. Dengan amat cerdik, ketika bercakap-cakap dengan Lai Tek dan Kwa Siang. Ia memancing percakapan
tentang perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan menyinggungnyinggung perkumpulan Kwan-im-pai. Akhirnya ia berhasil
memancing dan mendapat keterangan bahwa yang membinasakan
ayah bundanya adalah seorang tokoh Im-yang-bu-pat ang berjuluk Sin chio (Tombak Sakti), Thio Seng juga murid dart Giok Seng Cu dan dalam urutan murid-murid Giok Seng Cu, ia terhitung murid ke lima dan kepandaiannya tidak kalah jauh oleh Kwa Siang atau Lai Tek.
Semenjak mendapat keterangan bahwa suheng yang inilah
pembunuh ayah bundanya, diam-diam Kong Ji mencari ketika untuk membalas dendam. Akan tetapi tentu saja amat sukar baginya,
karena selain ia kalah jauh dalam hal kepandaian silat, juga tak mungkin ia membunuh suheng sendiri di Im-yang-bu-pai. Kini
setelah suhunya pulang dan ia mendapat kepercayaan tidur di
dalam kamar suhunya, diam-diam otaknya yang penuh akal itu
bekerja. Pada siang hari diam-diam ia menemui Sin-chin Thio Seng dan
mengajaknya bercakap-cakap.
"Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Lima), setiap malam aku
merasa ngeri tidur di kamar Suhu," katanya perlahan setelah mereka bercakap-cakap agak lama dan suasana sudah hangat dan
ramah-tamah. Thio Seng memandangnya heran. "Eh mengapa, Sute" Apakah
Suhu suka mengigau" Ataukah dengkurnya terlalu keras?"
141 Kong Ji tersenyum, menggelengkan kepala. "Bukan demikian, yang membikin aku merasa ngeri adalah... Pak-kek Sin-kiam
itulah...." Anak ini sengaja memperlihatkan sikap ketakutan.
Sin-chio Thio Seng tertarik sekali. Kalau tidak dimulai oleh Kong Ji bicara tentang pedang pusaka itu saja ia tidak akan berani,
mengingat akan larangan suhunya.
"Kenapa sih?" Ia mendesak.
"Kalau diceritakan kepadamu kau tentu tidak percaya, Suheng.
Pedang itu di waktu tengah malam buta, bisa keluar dari sarungnya dan beterbangan seperti naga bernyala-nyala di dalam kamar...."
Kembali Kong Ji bergidik dan mukanya menjadi pucat. Inilah
kelihaian anak itu, setelah mempelajari lweekang ia dapat menahan jalan darah yang mengalir naik ke mukanya sehingga wajahnya
menjadi pucat. Tentu saja kepandaian ini dimiliki pula oleh Thio Seng yang sudah lihai namun pada saat itu ia mengira bahwa
sutenya benar-benar merasa ngeri dan pucat.
"Aah, mana ada kejadian seperti itu" Kau terpengaruh oleh dongeng, Sute."
"Aku berani bersumpah, Ngo-suheng. benar-benar hal itu terjadi, kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri."
Thio Seng makin tertarik akan tetapi tentu saja ia tidak berani membuktikan, karena tidak ada jalan untuk dia membuktikan
peristiwa itu. "Tak mungkin, Suhu tentu akan marah besar kalau tengah
malam buta aku datang ke kamarnya," katanya menyesal.
Sebenarnya ia pun merasa iri hati melihat suhunya demikian sayang dan percaya kepada Kong Ji.
"Mengapa harus masuk ke kamar" Aku mau menolongmu, Ngosuheng. kalau kau benar-benar hendak mcmbuktikan omonganku
tadi. Malam ini Suhu tentu akan tidur nyenyak, karena malam tadi dia tidak tidur sama sekali. Nah, lewat tengah malam kau boleh datang dan berdiri di luar jendela kamar. Aku akan membuka daun jendela kalau pedang itu sudah beterbangaan di dalam kamar nanti kau dapat melihat sendiri."
142 "Bagaimana kalau Suhu mengetahui aku berada di sana?"
"Tak mungkin. Suhu setelah percaya bahwa aku berada dan
menjaga di sampingnya, kalau tidur pulas sekali. Dan pula, apa salahnya kalau kau hanya menyaksikan keanehan itu" Mungkin
Suhu sendiri kalau bangun dan melihat pedang itu beterbangan,
takkan memperhatikan hal yang lain lagi."
Karena amat tertarik, Thio Seng menyanggupi dan berjariji akan datang dan berdiri di luar jendela menjelang tengah malam hari itu.
Kong Ji girang bukan main di dalam hatinya dan diam-diam mencaci maki suhengnya ini, "Jahanam keparat, sekarang tibalah saatnya ku membalas dendam atas kematian Ayah Bundaku!"
Malam hari itu, ketika suhunya hendak tidur ia berbisik,
"Suhu, malam ini harap Suhu jangan tidur." Giok Seng Cu terkejut sekali. "Eh, mengapa" Apa yang terjadi?"
Kong Ji menjatuhkan diri
berlutut di depan suhunya.
"Mohon ampun kalau tee-cu kali
ini salah menduga, Suhu. Akan
tetapi teecu mempunyai dugaan
bahwa seorang murid Suhu
sedang merencanakan untuk
mencuri Pak-kek Sin -kiam Selain
ini...." "Gila! Siapa dia" Hayo lekas
ceritakan!"
"Harap Suhu bersabar. Teecu
hanya menduga saja dan kalau
tidak ada buktinya tidak enaklah
kalau Suhu terburu nafsu
memanggilnya. Ada seorang murid
yang selalu bertanya tentang Pak-kek Sin-kiam, bahkan
menanyakan apakah malam hari ini Suhu akan tidur dan pada saat apa Suhu biasanya tidur pulas. Ia bertanya pula di mana Suhu
menyimpan pedang itu, pendeknya sikapnya amat mencurigakan.
143 Oleh karena itu, harap Suhu jangan tidur dan kita lihat bersama siapa orangnya yang akan muncul."
Giok Seng Cu marah sekali. "Baik aku akan pura-pura tidur mendengkur dan dia yang berani datang akan kupenggal lehernya
dengan pedang ini!" Kakek itu naik ke pembaringan dan pedang Pak-kek, Sin-kiam telah dilolos dari sarungnya dipegang olehnya.
Kong Ji menunggu dengan hati berdebar. Bagaimana kalau Thio
Seng tidak berani datang" Menjelang tengah malan Giok Seng Cu
memperkeras dengkurnya dan tiba-tiba Kong ji mendengar tindakan kaki yang amat ringan di luar jendela kamar itu. Ia berdebar girang, diam-diam mendekati suhunya dan menowel lengannya. Suhunya
masih mendengkur, akan tetapi membuka mata dan berkedip
kepadanya. Kong Ji berjalan ke jendela dan membuka daun jendela itu. Di luar berdiri seorang laki-laki dan bukan lain orang itu adalah Thio Seng.
Begitu jendela dibuka dan melihat bahwa yang datang adalah
muridnya ke lima, yakni Sin-chio Thio Seng, Giok Seng Cu tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Sambil berseru keras ia melompat dan tubuhnya melayang melalui jendela. Memang benar pada saat
itu Thio Seng melihat pedang terbang Pedang Pak-kek Sin kiam
yang sudah terhunus dari sarungnya, mengeluarkan cahaya terang dan kini pedang yang berada di tangan Giok Seng Cu itu seakan-akan terbang keluar jendela, dan dalam sekelap mata saja
menggelindinglah kepala Thio Seng yang sudah terbabat putus
lehernya oleh Pak-kek Sin-kiam'
-oo0mch-dewi0ooJilid VI ADA saat itu tiba-tiba terdengar seruan, "Giok Seng Cu, serahkan pedang Pak-kek Sin kiam itu kepada kami!" seruan ini disusul oleh melayangnya lima bayangan orang yang gesit sekali dari atas
genteng. Giok Seng Cu menggerakkan pedangnya. Sinar emas berkelebat
di antara cahaya penerangan yang keluar dari jendela kamar.
144 Terdengar suara "Trang! Trang! Trang!" dan tiga batang golok yang dipegang oleh para penyerang itu telah terbabat menjadi dua
potong! Tiga orang ini terkejut sekali dan cepat melompat ke atas genteng, akan tetapi yang dua orang lagi tak sempat melarikan diri karena kembali Pak-kek Sin kiam telah digerakkan dan kini yang terbabat bukan senjata mereka, melainkan tubuh mereka! Seorang terbabat putus pinggangnya dan yang ke dua terbelah dadanya.
Demikian hebatnva Pak-kek Sin-kiam pedang pusaka itu.
Pada saat itu, di atas genteng terdengar sayap burung
menggelepar dan bayangan burung yang amat besar meluncur
lewat. Melihat ini tiba-tiba Giok Seng Cu memegang tangan Kong Ji,
"Lekas siapkan diri, kita pergi malam ini juga!"
Dengan cepat Giok Seng Cu mengumpulkan anak buahnya yang
sudah datang ke tempat itu. "Thio Seng hendak berkhianat dan dua mayat ini adalah mayat musuh yang hendak merampas pedang. Aku
akan pergi bersama Kong Ji. Kalau ada orang-orang kang-ouw
datang, jangan mencari permusuhan dengan mereka. Bilang saja
aku pergi membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, kalau tidak percaya mereka boleh menggeledah. Akan tetapi sekali lagi, jangan
menyerang mereka, apalagi kalau ada bocah gundul membawa ular
dan burung rajawali, jangan sekali-kali mencari permusuhan dengan mereka. Nah, urus mayat-mayat ini dan jaga perkumpulan baik-baik. Untuk sentara, Lai Tek boleh memimpin saudara-saudaramu."
Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu menyambar tubuh
Kong Ji yang sudah membawa buntalan pakaian, dan lenyap di
dalam gelap malam. Lai Tek, Kwa Siang dan yang lain-lain tahu
bahwa tentu telah terjadi penyerangan dari luar, akan tetapi biarpun mereka akui akan kelihaian para penyerang yang dapat menerobos masuk tanpa diketahui oleh penjaga, sudah terbukti suhunya
menang. Mengapa sekarang suhunya melarikan diri seperti orang
ketakutan" Mereka tak menemukan jawaban, maka setelah pagi
tiba, mereka diam-diam mengurus jenazah Thio Seng dan dua
orang yang ternyata adalah orang-orang muda dengan tubuh
gagah. -oo0mch-dewi0oo145 "Suhu dengan mudah merobohkan lima orang lawan. mengapa
takut menghadapi seekor burung?" tanya Kong Ji pada keesokan harinya ketika suhunya mambawanya berlari jauh sekali
meninggalkan kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san. Setelah setengah malam Giok Seng Cu berlari cepat sambil menggendong Kong Ji.
"Anak bodoh, aku tidak takut menghadapi tokoh kang-ouw dari manapun juga, akan tetapi kau tak tahu. Burung kim-tiauw yang
terbang di atas rumah kita malam tadi adalah milik dari Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, bocah gundul yang seperti iblis!"
''Ban-beng Sin tong" Bocah sakti macam apakah dia, Suhu?"
"Dia benar-benar lihai, memelihara ular-ular berbisa dan burung kim-tiauw. Akan tetapi aku tidak takut menghadapinya, yang harus ditakuti adalah ayah bundanya, kabarnya kepandaian mereka luar biasa tingginya."
"Suhu, kepandaian Suhu sudah menjulang setinggi langit.
Dengan Tin-san-kang dan pedang pusaka itu di tangan, siapakah
kiranya yang dapat menandingi Suhu ?"
Giok Seng Cu tertawa sambil melepaskan lelah, duduk di bawah
pohon besar, "Kong Ji, jangan kau bermimpi di tengah hari!
Kepandaian manusia tidak ada batasnya dan biarpun Gunung Thaisan amat tinggi, masih saja ada awan dan langit di atasnya, belum bicara tentang bulan, matahari dan bintang-bintang! Memang belum tentu aku kalah oleh iblis tua See-thian Tok-ong ayah dari Ban-beng Sin-tong, akan tetapi aku ngeri mendengar namanya. Dugaanmu
dahulu bahwa aku lebih mementingkan pedang Pak-kek Sin-kiam
tidak betul. Kalau saja aku bisa mendapatkan kitab yang berisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu dan sudah mempelajari isinya aku tak usah berlari pergi dari ancaman siapapun juga" Kakek ini lalu
menceritakan tentang kitab peninggalan Pak Kek Siansu seperti
yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, yakni Pak Hong
Siansu. "Kepandaian Pak Kek Siansu yang masih terhitung Supekku (Uwa Guruku) sendiri itu dahulu itu terhitung di tingkat paling atas. Oleh karena itu, siapa yang dapat menemukan kitabnya dan mewarisi
ilmu silatnya, tentu akan menjagoi dunia. Melihat betapa putera 146
See-thian Tok-ong jauh-jauh dari Tibet datang mencari kitab itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya kitab itu dan ajarannya. Tentu lebih tinggi dan kepandaian See-thian Tok-ong sendiri. Sayang aku tidak dapat menemukan kitab itu."
Kong Ji kagum bukan main. Tadinya ia mengira bahwa suhunya
adalah orang yang paling lihai, tidak tahunya masih ada See-thian Tok-ong dan anak isterinya, bahkan kini masih ada yang lebih hebat lagi, yakni kitab pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Mendengar adanya sekian banyak orang-orang lihai di dunia Kong Ji menjadi mengilar dan nafsunya untuk menjadi murid Giok Seng Cu agak
mendingin. Ia inginl menjadi orang yang menjagoi seluruh dunia kang-ouw, akan tetapi cita-citanya takkan tercapai kalau ia hanya terima menjadi murid kakek ini, pikirnya.
"Suhu apakah Pak Kek Siansu tidak meninggalkan muridmuridnya?" tanyanya hati-hati agar suara hatinya tidak ddengar oleh suhunya.
"Ada, Luliang Sam-lojin adalah muridnya, akan tetapi tiga orang tua dari Luliang-san itu biarpun lihai belum mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin ciang seluruhnya."
"Kalau begitu, di dunia tidak ada yang dapat mainkan Pak-kek Sin-ciang?"
"Ada, yakni murid termuda dan Pak Kek Siansu bernama Go
Ciang Le dan disebut Hwa I Enghiong. Dia pun baru mempelajari
setengahnya lebih namun ia sudah bisa menjagoi dunia kang-ouw
sampai bertahun-tahun."
"Apakah dia lebih lihai dan See-thian Tok-ong?"
"Mungkin, dahulupun ilmu silatnya sudah hebat sekali. Hayo kita lanjutkan perjalanan." kata Giok Seng Cu dan kini tidak
menggendong Kong Ji lagi karena merasa bahwa ia sudah jauh
meninggalkan orang-orang yang mengejarnya.
Kong Ji makin kagum. Tak disangkanya bahwa di atas See-thian
Tok-ong masih ada Go Ciang Le yang dipuji-puji gurunya, padahal Go Ciang Le mempelajari setengahnya dari Ilmu Pak-kek Sin-ciang!
Alangkah beruntungnya kalau dia bisa mempelajari ilmu silat itu.
147 Sepekan kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil dan Giok
Seng Cu mengajak Kong Ji bermalam dalam sebuah hotel. Mereka
lelah sekali karena melakukan perjalanan jauh siang malam jarang beristirahat. Dalam perjalanan ini, Giok Seng Cu selalu berlaku hati-hati juga ketika bermalam di hotel. Ia tidur bergantian dengan muridnya.
Menjelang tengah malam, telinga Kong Ji yang sudah tajam
pendengarannya, tiba-tiba menangkap suara tindakan kaki di atas genteng. Ia cepat menggoyang-goyang tubuh suhunya, akan tetapi ternyata Giok Seng Cu juga sudah bangun dan menaruh jari tangan di depan mulut.
"Shh, sejak tadi aku sudah mendengar," bisik kakek ini. Kong Ji menjadi merah mukanya. Dia baru saja mendengar akan tetapi
suhunya sudah sejak tadi tahu bahwa ada orang datang di atas
genteng hotel. Mereka diam tak bergerak, menahan napas dan memasang
telinga. Di atas genteng terdengar gerakan kaki tiga orang dan gerakan itu amat lincah dan ringan tanda bahwa orang-orang itu memiliki kepandaian tinggi sekali. Yang terdengar hanya gerakan antara sepatu dan genteng kalau orang-orang itu tidak bersepatu, tentu takkan mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Terdengar bisik-bisik di atas genteng. Kong Ji tak dapat
mendengar jelas, akan tapi Giok Seng Cu segera tertawa bergelak,
"Tua bangka-tua bangka dari Bu-tong, Go-bi dan Teng-san,
kalian benar-benar tak tahu malu. Malam-malam seperti maling
datang di sini mau apakah?" bentaknya sambil melompat bangun dengan Pak-kek Sin-kiam di tangan.
Tadinya Giok Seng Cu bersangsi dan amat gelisah karena
mengira bahwa yang datang adalah See-thian Tok-ong, akan tetapi setelah mendengar bisik-bisik mereka dan tahu bahwa yang datang adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Kian Hok Taisu ketua Go-bi dan Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, ia memandang rendah
dan berani menegur mereka.
148 Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Giok Seng Cu melompat
keluar dari kamarnya dan terus berlari keluar hotel. Kong ji
mengikutinya dari belakang.
Di luar hotel, di bawah penerangan lampu di depan pintu
pekarangan hotel berdiri tiga orang kakek. Seorang tojin tinggi kurus berjenggot panjang, yakni Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, seorang hwesio tinggi besar ketua Go-bi-pai yang bernama Kian Hok Taisu dan orang ke tiga adalah Pang Soan Tojin, tosu jenggot
pendek bertubuh gemuk, ketua Teng-san-pai.
Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai menjura kepada Giok Seng Cu.
"Toyu (sahabat), kami datang hanya untuk bertanya secara
terang-terang kepadamu tentang kitab Pak-kek Sin ciang-pit-kip."
Giok Seng Cu mengeluarkan senyuman menyeringai. "Siapa yang tahu tentang kitab itu" Kalau kalian datang hendak merampas
pedang, boleh kalian coba. Ini dia pedangnva sudah kupegang!"
Mendengar tantangan ini, tiga ciangbunjin (ketua partai besar) menjadi merah mukanya. "Giok Seng Cu, kau sombong," kata Pang Soan Tojin. "Kami tidak begitu tertarik oleh pedang, di tempat kami sendiri sudah banyak. Yang membuat kami datang ini adalah untuk bertanya apakah benar-benar kau tidak mendapatkan kitab itu
ketika naik ke puncak Luliang-san?"
"Aku tidak mendapatkan kitab itu. Nah, kau percaya atau tidak bukan urusanku, akan tetapi aku tidak sudi kalian minta aku
bersumpah. Habis kalian mau apa?" Giok Seng Cu tetap bersikap menantang.
"Nanti dulu, Toyu," kata Kian Hok Taisu yang lebih sabar, "Kami sama sekali tidak bermaksud bermusuhan denganmu. Kalau betul
kau tidak mendapatkan kitab itu, marilah kita berempat membawa pedangmu itu kembali ke Luliang-san. Hanya dengan pedang itu
kiranya kita akan dapat menemukan kitab peninggalan Pak Kek
Siansu Locianpwe."
Giok Seng Cu mengerutkan kening. "Omongan apa ini" Mengapa harus membawa pedang ini untuk mendapatkan kitab itu?"
149 Kian Hok Taisu menarik napas panjang. "Kabar tentang pedang dan kitab amat bersimpang siur. Boleh jadi sekarang apa yang kami dengar berbeda dengan apa yang kaudengar, Giok Seng Cu. Akan
tetapi kami mendengar bahwa pedang dan kitab itu tak pernah
berpisah. Sekarang pedang sudah di tanganmu, untuk mencari
kitab, sebaiknya kau bersama kami membawa pedang itu naik
kembali ke puncak Luliang-san."
Giok Seng Cu berpikir sejenak, kemudian berkata, "Pedang sudah di tanganku, yang berhak mencari dan mendapatkan kitab hanya
aku seorang. Andaikata kita berempat naik ke sana kemudian kitab itu kita dapatkan, siapakah yang akan berhak memiliki kitab itu?"
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan tersenyum, lalu
dengan suara tegas Kian Hok Taisu berkata. "Tentu saja akan kita bakar musnah sesuai dengan rencana tokoh-tokoh kang-ouw dan
ketua-ketua partai persilatan besar."
'Gila...!" Giok Seng Cu membentak marah. "Apakah kalian sudah gila" Semua orang mencari dan memperebutkan kitab itu dan kalian hendak membakarnya kalau dapat menemukannya?"
Kian Hok Taisu mengangguk. "Pak Kek Siansu adalah seorang tokoh besar yang budiman dan seorang guru besar yang patut
dihormati dan patut dijadikan locianpwe yang nomor satu di dunia.
Ilmunya yang terdapat dalam kitab itu amat tinggi dan memang
tepat kalau dimiliki oleh seorang gagah seperti Pak Kek Siansu. Akan tetapi siapa berani tanggung kalau ilmu itu terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak cocok" Bagaimana kalau kepandaian itu terjatuh ke dalam tangan yang berwatak jahat" Bukankah itu hanya akan
menimbulkan kekacauan dan akhirnya akan memusingkan kami
semua?" "Gila...! Aku tidak setuju. Kitab kelak pasti akan terjatuh ke dalam tanganku, seperti halnya pedang ini," kata Giok Seng Cu.
Diantara tiga orang kakek itu, paling berangasan wataknya
Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai. Mendengar ini lalu
mengeluarkan suara di hidung berkata, "Lebih celaka lagi kalau jatuh ke dalam tanganmu." Biarpun kata-kata ini sangat singkat saja, namun mendengar ucapan yang tadi dikatakan oleh Kian Hok 150
Taisu, sama halnya dengan memaki Giok Seng Cu sebagai seorang
jahat yang berbahaya!
Naik darah Giok Seng Cu mendengar itu. "Ini pedangku, dan
akulah yang berhak membawanya ke mana saja. Aku tidak mau ikut kalian ke Luliang-san habis kau mau apa?"
Kian Hok Taisu melangkah maju "Kalau begitu, berlakulah baik kepada kami, memandang persahabatan lama. Toyu, Berilah kami
pinjam Pak-kek Sin-kiam itu untuk sementara waktu, kami
bersumpah bahwa pedang ini pasti akan kami kembalikan apabila
kami sudah berhasil membasmi kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
"Ha-ha-ha, enak saja kau bicara, Kian Hok Taisu. Mulut manusia bisa didengar, akan tetapi siapakah yang bisa mendengar suara hati manusia" Sedangkan biasanya, suara mulut dan hati selalu
bertentangan! Tidak, pedang ini adalah milikku, siapapun juga tidak boleh pinjam." Sambil berkata demikian Giok Seng Cu
menyarungkan pedang itu kembali di balik bajunya yang lebar.
"Giok Seng Cu, kau sendiri merampas pedang itu dari tangan Ban-beng Sin-tong secara curang" teriak Pang Soan Tojin.
Sinar mata Giok Seng Cu penuh ancaman dan sindiran. "Habis kau mau apa" Kalau kau mampu merampas dari tanganku, baik dengan jalan curang atau tidak, kau boleh coba-coba"
"Kau menantang?"
Sambil berkata demikian, Pang Soan Tojin lalu bergerak
memukul, ke arah dada Giok Seng Cu.
Giok Seng Cu tidak inengelak, sebaliknya lalu menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Dua lengan yang kuat bertemu dan Pang
Soan Tojin terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang.
"Ha, ha, tidak berapa berat tenagamu!" Giok Seng Cu mengejek dan cepat seperti kilat ia mengirim pukulan dengan tubuh hampir berjongkok. Inilah ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang yang hebat!
151 Sebagai ahli-ahli silat tinggi, Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu maklum akan hebatnya serangan ini, maka keduanya sambil berseru keras maju menangkis untuk menolong Pang Soan Tojin.
"Duk...!" Sepasang lengan Giok Seng Cu yang dipukulkan tertangkis oleh ketua Bu-tong dan ketua Go-bi dan akibatnya Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu terjengkang hampir roboh. Baiknya
mereka telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, kalau tidak mereka tentu akan mendenta luka atau tulang lengan mereka akan sakit dan dingin sekali, maka cepat-cepat mereka menggunakan
tangan kiri untuk mengurut pangkal lengan ini membereskan jalan darah masing-masing.
"Lihai sekali..." kata Pang Soan Tojin pucat. Baru sekarang tiga orang tokoh ini mengenal Tin-san-kang dan tahu bahwa kepandaian Giok Seng Cu masih lebih tiggi daripada mereka. Maka ketiganya cepat mengeluarkan senjata masing-masing. Pang Soan Tojin
mengeluarkan sebuah pian baja, Bu Kek Siansu mengeluarkan
sebatang pedang yang dipegang tangan kiri sedangkan Kian Hok
Taisu mengeluarkan sepasang senjata kaitan.
"Ha. ha, ha! Hendak mengadu senjata" Bagus. majulah!" Giok Seng Cu menantang tanpa mengeluarkan senjata.
Tiga orang ketua partai besar itu maju menubruk dan
menggerakkan senjata mereka yang lihai. Tiba-tiba berkelebat sinar keemasan dan terdengar suara keras. Tahu-tahu sebuah pian baja dan sebuah senjata kaitan terbabat putus sedangkan Bu Kek Siansu sendiri kalau tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya, tentu akan terbabat putus pula pedangnya oleh pedang Pak-kek Sin-kiam yang dengan cepat sekali telah dikeluarkan oleh Giok Seng Cu dan digerakkan sekaligus membabat senjata- senjata lawan!
Bukan main kagetnya tiga orang kakek itu. Dalam ilmu silat,
mungkin mereka tidak kalah jauh oleh Giok Seng Cu dan dengan
melakukan pengeroyokan mereka tentu akan menang. Akan tetapi
tanpa senjata, amat berbahaya menghadapi ketua Im-yang-bu-pai
yang memiliki tenaga Tin-san-kang yang ganas itu, sedangkan
dengan senjata juga payah menghadapi pedang Pak-kek Sin kiam
yang ampuh sekali. Mereka berseru dan sekali berkelebat tiga orang kakek itu melarikan diri, lenyap ditelan gelap malam.
152 Giok Seng Cu tertawa berkakakan lalu membetot dengan tangan
Kong Ji dan pada saat itu juga ia kabur pergi meninggalkan hotel itu. Ia tidak takut akan datangnya lawan-lawannya, hanya ia merasa khawatir kalau-kalau tersusul oleh Ban-beng Sin-tong dan ular-ularnya apalagi kalau ayah bunda anak iblis itu datang!
Suhu, Tin-san-kang dan Pak-kek Sin-kiam hebat sekali...." Kong Ji mecmuji suhunya setelah mereka pergi jauh.
Giok Seng Cu menarik tangan Kong Ji dan berkata.
"Muridku, kau sekarang menghadapi tugas berat. Kau tidak boleh ikut dengan aku, karena ada pekerjaan yang harus kau lakukan. Kau dengar tadi bahwa para tokoh kang-ouw dengan mati-matian
mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Kalau mereka merampas dan memilikinya saja masih tidak apa, aku dapat mencoba
merampasnya kembali. Akan tetapi celakalah kalau sampai mereka membakarnya. Karena itu, kau harus kembali ke Lam-si. Kau
membawa suratku dan mulai saat ini kaulah yang mewakili aku
memimpin kawan-kawan lm-yang-bu-pai."
"Akan tetapi, Suhu, kepandaianku masih amat rendah ..... "
"Tidak apa-apa, bukankah ada aku di belakangmu" Selama aku masih hidup, siapa yang berani membantahmu?"
"Biarpun demikian, sedikitnya Suhu harus menurunkan Tin-sankang ke teecu agar teecu tidak malu untuk mewakili Suhu."
Giok Seng Cu tersenyum. "Bocah tolol. Kau kira gampang saja memiliki Tin-san-kang" Kau harus melatih diri sampai bertahun-tahun. itu pun kalau kuat."
"Tidak apa, Suhu. Biarlah teecu mempelajari kauw-koat (teori) saja dulu, perlahan-lahan teecu akan melatih diri."
"Baiklah, baiklah. Sebentar kau akan kuajar kauw-koatnya.
Sekarang dengarlah pesanku dan perhatikan baik-baik. Orang-orang kangouw berusaha mendapatkan kitab itu. Aku tidak dapat keluar karena See-thian Tok-ong tentu mencariku untuk merampas pedang ini. Maka aku akan bertapa di Lembah Maut.
"Lembah Maut" Di manakah itu, Suhu?"
153 "Lembah Maut yang kumaksudkan berada di lembah Sungai Wei-ho di barat kota Sian, di kaki Gunung Cin-leng-san. Adapun kau kembali ke Lam-si, kumpulkan kawan-kawan dan suruh mereka
menyelidiki ke Luliang-san. Suruh kedua Suhengmu, Thian-te Siang tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek untuk memimpin
kawan-kawan ke Luliang-san. Syukur kalau kalian dapat mencari
sendiri kitab peninggalan Pak-kek Siansu, kalau sampai terdapat oleh tokoh kang-ouw, rampas saja. Kemudian setelah berhasil, bawa kitab itu kepadaku di kaki Gunung Cin-leng-san di Lembah Maut.
Mengerti?"
"Baik, Suhu. Teecu mengerti." Kong Ji lalu mengulang pesan suhunya ini dengan cermat sehingga Giok Seng Cu menjadi puas.
"Awas, di antara semua murid lm-yang bu-pai kalau sampai
berani mengkhianatiku dan tidak menjalankan perintah, aku akan datang menghancurkan kepalanya. termasuk kau, Kong Ji"
Kong Ji berlutut, "Mana berani tee-cu mengkhianati Suhu" Teecu bahkan akan membela dengan selembar nyawa teecu agar cita-cita Suhu ini tercapai."
"Bagus sekali, muridku. Memang, terus terang saja kunyatakan kepadamu bahwa apabila kitab itu sudah terdapat olehku, kelak
kaulah orang yang akan mewarisi pedang dan isi kitab. Aku sudah tua dan hanya kau muridku yang akan menjadi ahli warisku dan
menjagoi di dunia kang-ouw. Nah, sekarang perhatikan baik-baik Ilmu Silat Tin-san kang yang hendak kuajarkan kauw-koatnya
padamu." Di dalam hutan itu Kong Ji mendengarkan ajaran suhunya.
Otaknya memang cerdik luar biasa sehingga seluruh teori Tin-sankang dapat dihafalkan baik baik diluar kepala dalam waktu dua hari!
Kemudian gurunya bersilat memperguna Tin-san-kang, juga
gerakan-gerakan untuk memudahkan latihannya, dapat dihafalkan
dalam waktu sehari. Tentu saja kalau ia yang bersilat tenaga Tin-san-kang belum timbul, hal ini membutuhkan latihan lweekang yang lama.
Gtok Seng Cu puas sekali, lalu membuat surat yang menyatakan
bahwa selama ia tidak ada, maka mengangkat Ko Ji menjadi
154 wakilnya di Im-yang-bu-pai sehingga boleh dibilang Kong Ji yang masih kecil itu diangkat menjadi ketua sementara! Setelah
menerima pesanan- pesanan suhunya, Kong ji dengan hati girang
lalu meninggalkan suhunya, pulang ke Lam-si.
Thian-te Siang tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lam Tek dan
yang lain-lain menyambut kedatangan Kong ji dengan gembira
karena mendengar bahwa suhu mereka selamat, akan tetapi diamdiam kedua tokoh ini mendongkol juga melihat bahwa suhu mereka lebih percaya kepada Kong Ji daripada kepada mereka sehingga
mengangkat anak itu menjadi wakil ketua. Akan tetapi, mereka
tentu saja tidak berani membantah kehendak suhu mereka dan
beramai-ramai mereka menjura tanda menghormat kepada Kong Ji.
Tentu saja anak itu menjadi girang bukan main.
"Sebelum aku menyampaikan pesan dari Suhu, lebih dulu aku ingin tahu apakah yang telah terjadi semenjak Suhu pergi," tanya Kong Ji kepada Lai Tek, dengan lagak seorang atasan bertanya
kepada bawahannya.
Lai Tek terpaksa menceritakan bahwa ada beberapa tokoh kangouw yang datang, akan tetapi sesuai dengan nasehat Giok Seng Cu, mereka tidak mencari permusuhan dengan orang-orang kang-ouw
itu bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan
penggeledahan, kemudian orang-orang kang-ouw itu pergi lagi
tanpa terjadi sesuatu keributan.
"Bagus, dengan demikian untuk sementara waktu kita aman,"
kata Kong Ji. "Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Mereka itu semua berdaya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, dan
menurut pesan Suhu, kita pun harus mencari kitab itu mendahului mereka." Anak ini lalu menceritakan semua pesanan suhunya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh para anggauta Im-yang
bu pai. Kong Ji berulang-ulang menekankan ancaman Giok Seng Cu kepada mereka yang berkhianat dan tidak menurut kepadanya
sehingga semua anak murid, termasuk Lai Tek, menjadi gentar dan biarpun mendongkol terhadap Kong Ji, mereka tidak berani
menyatakannya berhadapan.
155 "Kalau begitu biarlah aku dan Kwan Jiwi memimpin saudarasaudara kita pergi ke Luliang-san untuk mencari kitab itu," kata Lai Tek menyatakan usulnya.
Akan tetapi Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya, "Tidak Twa-suheng. Tidak demikian caranya mendapatkan kitab rahasia itu." Lai Tek dan semua orang memandang kepada anak itu dengan heran
dan juga tak mengerti. Anak sakecil ini menjadikan pemimpin partai demikian besar. Ah, celaka, salah-salah samua bisa kacau-balau, pikir mereka.
"Sute, bagaimana pendapatmu?" tanya Lai Tek. Di antara mereka semua hanya Lai Tek dan Kwa Siang saja yang berani menyebut
sute kepada Kong Ji. Yang lain-lain, biarpun Kong Ji terhitung saudara muda seperguruan, menyiebutnya Siauw-pangcu (ketua
kecil). "Begini, kita harus menyebar beberapa orang kawan dan mereka ini harus mendesas-desuskan di luaran bahwa Suhu tidak saja
mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi diam-diam juga telah mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
Tiba-tiba Kwa Siang bangkit berdiri dan mengeluarkan sepasang
tongkatnya: "Sute, kau hendak mengkhianati Suhu?" bentaknya.
Kong Ji tersenyum dan memandang rendah. "Ji suheng, apakah kau hendak membantah pesan Suhu bahwa kau harus tunduk
kepada perintahku" Kau ingat akan ancaman Suhu?"
Kwa Siang menjadi pucat. Ia kalah gertak dan duduk kembali.
"Akan tetapi kau.... usulmu ini..."
"Tenang dan dengarkan baik-baik. Aku sama sekali tidak
mengkhianati Suhu. Pertama, karena sesungguhnya Suhu tidak
mendapatkan kitab itu, ke dua, karena selain aku, tidak ada orang lain yang mengetahui dimana tempat Suhu bersembunyi. Aku
sengaja hendak menyebarkan berita ini sehingga tokoh-tokoh
kangouw tidak ribut mencari kitab di atas puncak Luliang-san, akan tetapi perhatiannya terpecah dan kini mereka mencari Suhu yang tidak mereka ketahui tempatnya! Dengan akal ini, bukanlah kita 156
akan lebih mudah mencari kitab itu di Luliang-san, tanpa ada
saingannya?"
Semua orang melongo. Benar-benar seperti siluman anak ini,
pikir Lai Tek. Bagaimana seorang bocah belasan tahun mempunyai siasat yang demikian lihai" Memang tepat sekali siasat ini. Kalau semua tokoh kang-ouw, apalagi See-tin Tok-ong, ikut mencari ke Luliangan tentu pihak lm-yang-bu-pai akan menghadapi saingan
hebat dan sukarlah mendapatkan kitab itu. Andaikata terdapat oleh tokoh lain lalu mereka merampas, juga hal ini bukan pekerjaan
mudah, karena tokoh yang berhasil mendapatkan kitab tentulah
seorang yang berkepandaian amat tinggi.
"Kau memang benar, Sute. Baiklah dan Sute Kwa Siang
menjalankan tugas menyebar berita palsu ini," katanya.
Kembali Kong Ji menggelengkan kepala menyatakan tidak setuju.
"Keliru, Twa-suheng. Kau keliru. Kalau kau dan Ji-suheng yang keluar mengabarkan berita ini, para tokoh kang-ouw pasti takkan percaya. Bahkan kau dan Ji-suheng yang menjadi tokoh-tokoh
utama di Im-yang-bu-pai, akan menimbulkan kecurigaan mereka
dan tentu mereka akan mengira bahwa ini hanya siasat belaka. Hal ini amat berbahaya. Lebih baik menyuruh kawan-kawan tingkat
rendah sehingga para tokoh kang-ou mengira bahwa mereka itu
bocor mulut. Kembali semua orang kagum sekali. Pantas saja Giok Seng Cu
memberi kekuasaan kepada anak ini untuk memimpin Im-yang-bupai karena memang otaknya cerdik luar biasa.
Namun, seorang di antara para murid Im-yang-bu-pai yang
bernama Sio Cin, menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak
percaya bahwa bocah kecil ini mampu menjalankan kemudi
perkumpulan mereka yang demikian besar dan berpengaruh. Tibatiba ia melompat berdiri dan berkata,
"Aku Siong Cin hanya menduduki tingkat ke delapan, akan tetapi kiranya kepandaianku tidak akan kalah oleh Lui Kong Ji Sute yang masih bocah. Apakah - kita semua kaum tua bangka yang sudah
kenyang makan asam garam dunia harus menuruti segala ocehan
seorang bocah yang masih hijau" Hm, bagaimana kalau orang Misteri Lukisan Tengkorak 8 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Duri Bunga Ju 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama