Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pendekar Kembar 2

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


selalu menyeringai dan matanya yang bundar itu
memandang liar ke kanan kiri. Orang ketiga berpakaian
seperti orang pertama, yakni pakaian guru silat yang serba
ringkas, tapi sangat mewah karena pinggir pakaiannya
dihias sulaman-sulaman benang emas. Tubuh orang ketiga
ini sedang saja, tapi dadanya bidang menandakan bahwa ia
kuat sekali. Si hwesio dan orang ketiga itu berkali-kali menengok ke
kanan kiri dan memuji-muji, "Sungguh angker, sungguh
kuat." agaknya mereka memuji-muji pertahanan dan
kedudukan markas besar Cin-ciangkun.
Diam-diam Cin Cun Ong terkejut karena bagaimana tiga
orang aneh ini dapat masuk ke situ tanpa dapat dicegah
oleh para penjaganya" Tentu mereka ini orang-orang
pandai. Akan tetapi, sebagai seorang berkedudukan tinggi,
ia tak mau berlaku terlalu merendah, dan sebaliknya ia
hanya memberi isyarat kepada Gui-ciangkun untuk
menegur mereka.
Tapi sebelum Gui-ciangkun sempat menegur, si empek
yang menghisap huncwe (pipa tembakau) panjang itu
melepaskan huncwenya dari mulut dan bertanya kepada
seorang anggauta tentara yang berdiri di dekatnya,
"Eh sahabat, kalian ini sedang melihat apakah" Sedang
diadakan apa di sini?"
Anggauta tentara itu geli melihat sikap dan lagak empek
itu, maka ia lalu menjawab sambil tertawa,
"Empek tua, lebih baik kau jangan dekat-dekat di sini
karena kami sedang mengadakan ujian permainan silat
kepada para perwira baru."
"Bagus, bagus. Memang kami bertiga datangpun hendak
memasuki ujian. Mana pemimpin ujian itu?" ia lalu
memandang ke sekeliling dengan mata mencari-cari. Lalu
pandang matanya bertemu dengan Cin Cun Ong yang
duduk dengan sikap tegap dan-agung.
"Oh, oh, kiranya kita tersesat di dalam markas besar
panglima besar yang kalau tidak salah tentu Cin-ciangkun
sendiri adanya." kakek penghisap huncwe itu berkata
kepada dua orang kawannya. Dua kawannyapun memandang ke arah Cin-ciangkun. Tapi pada saat itu, Guiciangkun sudah membuka mulut membentak.
"Dari mana datangnya tiga orang-orang tua kurang ajar
yang masuk ke sini tanpa ijin" Tahukah kalian bahwa
pelanggaran ini dapat dijatuhi hukuman mati?"
Si penghisap huncwe memandang ke arah panglima
muda itu dan tertawa geli kepada kedua kawannya. "Lihat,
agaknya Cin-ciangkun biarpun terkenal gagah perwira, tapi
belum dapat mengajar adat kepada orang-orangnya."
Sementara itu, Cin Cun Ong yang dapat menduga bahwa
ketiga orang itu tentu berkepandaian tinggi, menyuruh Guiciangkun menanyakan maksud kedatangan mereka.
Terpaksa perwira muda itu mentaati perintah atasannya
dan ia menegur pula,
"Tiga tamu yang datang tanpa diundang, sebenarnya
mempunyai maksud apakah" Harap segera memberi
laporan." "Kaukah yang menjadi pemimpin ujian ini?" tanya
hwesio gemuk pendek. "Kalau begitu, boleh kau catat
bahwa kami bertiga juga minta diuji apakah kami telah
cukup cakap untuk membantu pekerjaan Cin-ciangkun.
Ajukan syarat-syaratmu, baru kami akan ajukan syaratsyarat kami, bukankah begitu, kawan-kawan?" tanyanya
kepada kedua kawannya. Dan si penghisap huncwe dan
orang ketiga yang berbaju biru itu tertawa-tawa dan
mengangguk-angguk membenarkan.
"Syaratnya" Kalian sudah tak memenuhi syarat karena
datang tanpa diundang dan tanpa ada orang perantara yang
memperkenalkan kalian."
Tapi buru-buru Cin-ciangkun memberi isyarat kepada
pembantunya hingga Gui-ciangkun melanjutkan kata-kata,
"Biarlah, kalian dengar syarat-syaratnya. Kalian harus
dapat memenangkan seorang perwira yang kami tunjuk
untuk menguji kepandaian kalian. Tapi kalau pertandingan
ujian ini mengakibatkan luka atau mati, tidak boleh ada
tuntutan."
"Bagus, bagus sekali." orang ketiga yang berbaju biru
tertawa mendengar syarat-syarat ini. "Memang adil sekali.
Belum pernah seumur hidupku aku bertanding me lawan
seorang perwira. Tentu saja takkan ada tuntutan, karena
dalam hal pibu (beradu silat) sudah sewajarnya mendapat
luka atau mati. Pula, kalau orang sudah mampus, ia tak
mungkin dapat menuntut."
Para anggauta tentara tertawa geli mendengar ucapan
yang lucu ini. "Kami terima syarat ini." si penghisap huncwe berkata
nyaring. "Sekarang kami majukan syarat-syarat kami."
"Di sini orang tidak boleh mengajukan syarat." bentak
Gui-ciangkun yang merasa marah sekali melihat sikap
orang yang ugal-ugalan. Tapi Cin Cun Ong memberi isyarat
hingga perwira muda itu dengan mendongkol bertanya,
"Apakah syaratmu, he, orang-orang aneh?"
Si penghisap huncwe tertawa gelak-gelak dan berkata,
"Biarpun orang-orangnya tak tahu adat, tapi ternyata Cinciangkun peramah sekali, sesuai dengan nama besarnya.
Nah, dengarlah, kami minta dijamin makan minum dan
pakaian kami, di samping itu tiap sepekan sekali kami
minta upah sepuluh tail perak. Bagaimana, setuju?"
Ternyata syarat yang dimajukan ini bukanlah syarat, tapi
hanya main-main saja, hingga semua orang pada tertawa
geli dan Gui-ciangkun makin mendongkol saja.
"Syaratmu diterima dan kini orang pertama naiklah ke
panggung. Ujian segera dimulai." Gui-ciangkun lalu
memilih seorang perwira yang cukup tinggi ilmu silatnya
untuk memberi hajaran kepada orang-orang tua gila itu.
"Orang pertama adalah aku, kaukeluarkan dulu orangmu
yang hendak pibu denganku dan suruh ia naik ke
panggung." kata orang tua berbaju biru itu.
Terpaksa perwira yang hendak melayaninya itu cepat
menanggalkan pakaian perangnya dan dengan pakaian
ringkas ia meloncat ke atas panggung. Orang ini adalah
seorang yang telah lama menjadi perwira di situ hingga
telah cukup terkenal akan kegagahannya. Dengan gagah ia
berdiri menanti datangnya kakek baju biru itu untuk segera
diberi hajaran karena kekurang-ajarannya.
"Nah, sekarang aku naik. Ah, mengapa panggung ini
setinggi ini?" Sambil berkata demikian, si baju biru itu lalu
menggunakan tangan dan kakinya untuk memanjat balok
pinggiran panggung itu, seperti lakunya seekor monyet
memanjat pohon. Tentu saja perbuatannya ini menimbulkan suara ketawa riuh rendah karena meloncat ke
atas panggung saja tidak becus, apalagi hendak melawan
perwira itu" Sungguh manusia tak tahu diri dan hendak
mencari mampus.
Akan tetapi Ouwyang Bun saling pandang dengan
adiknya karena dari tempat duduk mereka, kedua saudara
Ouwyang ini dapat melihat jelas dan mereka kagum sekali
akan ilmu merayap Pek-houw-yu-chong (Cecak Merayap
Di Tembok) yang cukup hebat itu. Kedua telapak tangan
dan kaki si baju biru itu bagaikan kaki tangan cecak dapat
lengket di balok yang licin itu tanpa terpeleset sedikit juga.
Ilmu ini sepuluh kali lipat lebih sukar dipelajari daripada
meloncati panggung yang dua kali tingginya daripada
panggung ini. Setelah berhadapan dengan perwira itu, si baju biru lalu
menjura dengan lagak sangat hormat, tapi mulutnya tetap
tersenyum. "Sungguh satu kehormatan tinggi sekali bagiku untuk
pibu dengan seorang gagah lagi berpangkat. Ciangkun,
harap kau berlaku murah dan jangan membinasakan aku,
karena akupun tidak akan melukaimu."
Dari tempat duduknya, Gui-ciangkun berseru keras,
"Sebelum pibu, hendaknya tuan memberitahukan nama
terlebih dulu."
"Aku bernama Lee Uh dan disebut orang Hoa-gu-ji (Si
Kerbau Belang)."
Maka mulailah pertandingan itu ketika si perwira tanpa
banyak peradatan lagi melancarkan serangannya. Perwira
itu bertenaga besar dan pukulannya mendatangkan
sambaran angin keras. Tapi ketika Lee Un menangkis
dengan kepretan tangannya, perwira itu meringis karena ia
rasakan pergelangan tangannya sakit sekali. Marahlah ia
karena maklum bahwa musuhnya mempunyai tenaga tak
kalah besarnya. Ia lalu menyerang dengan pukulan-pukulan
berat dan berbahaya dengan bertubi-tubi.
"Hati-hati, ciangkun, jangan main keras, kau nanti
jatuh." si Kerbau Belang menyindir sambil berkelit ke sana
ke mari dengan lincahnya. Si perwira menjadi malu dan
makin marah hingga kini gerakan-gerakannya dilakukan
dengan sepenuh tenaga hingga papan panggung itu
bergerak-gerak tergetar oleh perubahan kakinya yang cepat
dan berat. Tapi dengan kegesitannya, Hoa-gu-ji Lee Un
membuat lawannya berputar-putar karena ia selalu berkelit
sambil berputar mengelilingi panggung itu. Setelah
lawannya menjadi pusing, tiba-tiba Lee Un tertawa
terbahak-bahak dan ketika lawannya memukul keras dari
depan ke arah dadanya, ia meloncat ke samping dan
sebelum perwira itu keburu menarik kembali lengannya,
Lee Un sudah berada di belakangnya dan mendorongnya
dengan keras. Karena kepalanya telah pusing dan tenaga
dorong dari belakang itu sangat besar perwira itu bagaikan
meloncat ke depan saja dan tidak ampun lagi tubuhnya
terpelanting keluar panggung.
Terdengar tempik sorak ramai menyambut kemenangan
ini, dan tiba-tiba si baju biru itu menjadi sombong sekali. Ia
bertolak pinggang dan menghadap Cin-ciangkun sambil
berkata keras, "Ciangkun, mengapa perwira-perwiramu hanya macam
begitu saja" Kalau menghadapi pemberontak-pemberontak
yang berkepandaian tinggi, apakah takkan mengecewakan"
Kalau hanya setinggi itu kepandaian perwiramu, lebih baik
kau turun sendiri dan mengujiku, ciangkun. Dengan
mengukur kepandaianku, maka kau akan dapat mengirangira sendiri berapa pantasnya gajiku."
Ucapan ini bagaimanapun juga merupakan tantangan.
Gui-ciangkun menjadi marah sekali. Sambil berseru keras ia
genjot tubuhnya dan tahu-tahu ia telah berada di atas
panggung, menghadapi si baju biru dengan pakaian
perangnya masih lekat di tubuhnya.
"Ha, ini ada satu lagi. Tapi kepandaiannya jauh lebih
baik daripada yang tadi," kata Hoa-gu-ji Lee Un.
"He, orang jumawa dan sombong. Bilanglah terus
terang, kau datang hendak membantu kami atau hendak
memusuhi?"
"Eh, bagaimanakah kau ini" Sudah terang kami datang
hendak membantu. Apakah kaukira kami suka pada kaum
pemberontak?"
"Mengapa kau berani sekali menghina jenderal kami?"
Si baju biru itu mengangkat pundaknya lalu berkata
heran, "Siapa yang menghina" Aku hanya ingin diuji oleh
orang yang benar-benar memiliki kepandaian. Kau agaknya
boleh juga, mari kau coba-coba mengujiku, tapi kalau kau
kalah, sudah selayaknya kauserahkan kedudukanmu
kepadaku."
Marahlah Gui-ciangkun yang bernama Li Sun, karena
memang ia seorang yang beradat keras sekali. Cepat Gui Li
Sun menanggalkan pakaian perangnya yang kurang leluasa
dipakai bersilat itu dan kini ia memakai pakaian ringkas.
"Marilah kita main-main sebentar," katanya sambil
memasang kuda-kuda. Carang she Gui ini anak murid Kunlun-pai yang melatih tenaga gwa-kang (tenaga luar) hingga
mencapai tingkat cukup tinggi. Tenaganya besar dan kuat
sekali hingga boleh dibilang bahwa di dalam seluruh
pasukan Cin-ciangkun ia adalah orang terkuat.
Karena menduga bahwa perwira ini yang diserahi tugas
memimpin ujian tentulah bukan orang sembarangan, maka
si Kerbau Belang berlaku hati-hati. Ia hendak mengambil
keuntungan dengan menyerang lebih dulu, maka dengan
tiba-tiba ia gerakkan tangannya menyerang dada lawan.
Gui Li Sun mengangkat tangan menangkis dan dua buah
tenaga besar beradu keras sama keras tapi akibatnya
mengagumkan karena orang she Lee itu terhuyung mundur
tiga tindak sedangkan Gui-ciangkun hanya mundur
selangkah saja. Tahulah si Kerbau Belang bahwa ia kalah
tenaga hingga ia merasa kagum. Ia dijuluki Kerbau Belang
karena tenaganya yang luar biasa tapi sekali ini ia bertemu
lawan yang bertenaga gajah.
Melihat bahwa tenaganya lebih besar daripada tenaga
lawan, Gui-ciangkun merasa besar hati dan ia mendesak
makin hebat dan melancarkan pukulan-pukulan keras. Tapi
ternyata si Kerbau Belang hanya kalah tenaga saja,
sedangkan dalam hal ilmu silat dan kegesitan, terbukti
bahwa perwira she Gui itu masih kalah setingkat. Hal ini
dengan mudah dapat terlihat oleh Ouwyang-hengte dan Cin
Lie Eng serta ayahnya, walaupun tak dapat diduga oleh
orang lain karena memang Gui Li Sun berada di pihak yang
selalu menyerang dan mendesak.
Li Sun makin gembira dan mendesak, terus, tidak tahu
bahwa lawannya sengaja menggunakan akal untuk
membuat ia berlaku sangat bernafsu hingga mengutamakan
penyerangan tanpa ingat akan penjagaan diri. Dengan


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian, maka ia memberi tempat-tempat kosong pada
tubuhnya tanpa ia sadari. Memang Lee Un si Kerbau
Belang memperlihatkan sikap seakan-akan repot dan
terdesak sekali, tapi ia tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik. Pada saat yang menguntungkan, ia cepat
bergerak menyerang dengan tendangan kakinya yang
"mencuri" kekosongan hingga tepat menendang lambung
kanan Gui-ciangkun. Raksasa muda yang bertenaga besar
itu merasa betapa seakan-akan pernafasannya tertutup. Ia
terhuyung mundur dengan terengah-engah, kemudian
roboh di atas panggung. Lawannya menjura kepadanya
sambil berkata,
"Gui-ciangkun, betapapun juga, aku kagumi tenagamu
yang besar."
Kata-kata ini bahkan menambah rasa mendongkol di
hati Gui Li Sun hingga ia memuntahkan darah dari
mulutnya karena malu, marah, dan mendongkol.
Melihat hal ini, Cin Lie Eng merasa marah sekali. Ia
merasa betapa dengan peristiwa kekalahan para perwira itu,
seakan-akan orang telah mengotorkan muka ayahnya. Ia
tadi melihat bahwa Gui Li Sun hanya dikalahkan karena
kecerobohannya saja dan ia taksir bahwa ia takkan kalah
menghadapi si Kerbau Belang, maka ia cepat berdiri dan
siap hendak menghadapi orang itu. Tapi ia didahului orang
karena pada saat itu, bayangan seorang muda berkelebat
cepat dan tahu-tahu Ouwyang Bu telah berdiri di atas
panggung. "Gui-ciangkun, biarlah aku dengan ilmu burukku
membayar hutangmu kepada sobat ini," katanya dan pada
saat itu dua orang prajurit naik ke panggung dan membawa
pergi Gui-ciangkun yang terlalu lemah untuk turun sendiri.
Beberapa orang perwira meminumkan obat kepada perwira
itu, kemudian setelah ditempeli obat penawar luka yang
memang sudah tersedia, perwira muda yang bertubuh kuat
itu sudah dapat duduk lagi di tempat semula, biarpun
wajahnya masih pucat. Ia merasa penasaran dan kini ia
memandang ke atas panggung dengan keheran-heranan.
Tiba-tiba Kerbau Belang yang tangguh itu telah
bertanding melawan Ouwyang Bu, pemuda yang tadi ia
tolak dan nyatakan bahwa kepandaiannya terlampau
rendah. Dan yang sangat mengherankan ialah bahwa
pemuda itu masih saja menggunakan ilmu silatnya yang
didemonstrasikan tadi, yakni kedua kakinya tak berubah,
hanya tubuh atasnya saja bergerak-gerak ke sana ke mari,
sedangkan kedua tangannya seakan-akan berubah menjadi
banyak sekali. Ouwyang Bu benar-benar hebat karena dengan ilmu silat
Cian-jiu Kwan-im-hian-ko yang sudah terlatih hebat itu ia
dapat membuat lawannya tak berdaya. Si Kerbau Belang
tadinya hendak menggunakan kegenitannya seperti tadi
untuk menjatuhkan lawan ini, tapi siapa tahu, anak muda
yang tampan dan selalu tersenyum ini sama sekali tidak
mau berpindah dari tempatnya hingga terpaksa dia harus
menghampirinya lagi. Segala macam serangan telah ia
lakukan, tapi selalu dapat ditangkis dengan tepat oleh lawan
muda itu dan ketika ia mencoba mengadu tenaga, ternyata
ia merasa betapa lengannya kesemutan. Ia terkejut dan
maklum bahwa anak muda ini adalah seorang ahli lweekeh
yang memiliki tenaga lweekang sangat tinggi, maka ia tidak
berani main-main pula.
Karena pemuda itu hanya menangkis saja, si Kerbau
Belang menjadi marah dan pada pikirnya kalau pemuda itu
menyerang, tentu akan ada kesempatan baginya untuk
merobohkannya. Jika hanya bertahan, maka tentu saja
pemuda itu kuat sekali karena seluruh perhatian dan
tenaganya dikerahkan untuk bertahan dan membela diri,
tidak demikian kalau ia balas menyerang, tenaga dan
perhatian menjadi terpecah. Maka si Kerbau Belang lalu
berseru gemas, "Eh, anak bandel, apa kau tidak berani menyerang?"
Ouwyang Bu menjawab, "Menyerang" Kau yang minta,
jangan menyesal nanti." dan tubuhnya lalu mulai bergerak
pindah. Sebentar saja ia berkelebat ke sana ke mari dengan
kecepatan yang melebihi lawannya hingga si Kerbau Belang
menjadi terkejut sekali. Beberapa jurus kemudian, dengan
gerak tipu Pai-bun-twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung) ia
berhasil mendorong dada lawannya hingga sambil berseru
marah dan kesakitan si Kerbau Belang terdorong
bergulingan di atas panggung kemudian menggelinding dan
jatuh ke bawah. Tapi karena ia memang berkepandaian
tinggi, jatuhnya di atas tanah masih berdiri. Ia meringis
kesakitan dan mengelus-elus dadanya.
Gegap-gempita suara sambutan para anggauta tentara
melihat kemenangan Ouwyang Bu yang tidak disangkasangka ini. Juga Cin Cun Ong nampak girang karena murid
keponakan itu telah dapat membersihkan mukanya. Lie
Eng ikut tepuk-tepuk tangan saking gembiranya, sementara
itu Gui-ciangkun memandang bengong seakan-akan tak
percaya kepada mata sendiri. Benar-benarkah pemuda yang
tak becus bersilat itu bisa memenangkan si Kerbau Belang
yang telah merobohkannya"
Tapi pada saat itu terdengar seruan keras dan hwesio
gemuk pendek itu sambil menyeringai telah meloncat ke
atas panggung. "Tidak adil, sungguh tidak adil. Leeenghiong kalah karena keroyokan" Mengapa di sini orang
tidak mengerti aturan" Lee-enghiong telah dua kali menang,
kepandaianmu boleh juga, coba kaujatuhkan aku kalau
mampu." katanya kemudian sambil memandang Ouwyang
Bu. Pemuda yang keras hati itu tentu saja tidak gentar
sedikitpun, tapi pada saat itu terdengar kakaknya berseru
dari bawah. "Bu-te, kau turunlah. Berikan daging gemuk ini untukku,
jangan kau borong semua."
Ouwyang Bu tertawa dan berkata kepada si hwesio
gemuk, "Eh, hwesio gendut, sayang aku harus meninggalkan kau. Kakakku agaknya lapar juga dan kau
memang menjadi "makanannya"." Ia lalu melayang turun
dan pada saat itu Ouwyang Bun meloncat ke atas panggung
menggantikan adiknya.
Hwesio gendut itu berkata kepada Ouwyang Bun sambil
tertawa, "Eh, bocah, jangan kau main gila. Kau bilang hendak
digantikan kakakmu, tapi setelah meloncat turun mengapa
kembali lagi. Apakah kakakmu ketakutan dan lari pulang ke
pangkuan ibumu?"
-Oo)d-e(oO- Jilid III MENDENGAR kata-kata yang diucapkan dengan suara
nyaring itu, terdengar suara ketawa di sana-sini karena
orang-orang yang telah kenal kepada Ouwyang-hengte tahu
bahwa hwesio itu salah lihat dan menyangka bahwa yang
kini berdiri di depannya masih pemuda yang tadi.
"He, hwesio, bukalah matamu lebar-lebar dan lihat baikbaik, aku berada di sini." Ouwyang Bu berteriak dari
bawah. Hwesio itu cepat memandang ke bawah jdan kedua
matanya terbelalak lebar karena heran. Ia lalu menghadapi
Ouwyang Bun sambil menjura.
"Pemuda gagah harap perkenalkan nama. Pinceng (aku)
sendiri bernama Bi Kok Hosiang."
"Siauwte Ouwyang Bun mohon pengajaran dari kau
orang tua," jawab pemuda itu.
"Jangan kau merendah, adikmu tadi kepandaiannya
tinggi, kau tentu lebih hebat lagi. Bagaimana kalau kita
main-main dengan senjata sebentar?"
"Terserah kepadamu, siauwte hanya melayani saja."
Bi Kok Hosiang lalu mengambil seuntai tasbeh yang tadi
dikalungkan di lehernya. Sambil berseru "Ahh." ia kebutkan
tasbeh-nya yang terlepas sambungannya dan kini menjadi
senjata panjang seperti rantai. Ternyata tasbeh ini memang
sengaja dibuat dari baja kuat dan digunakan sebagai senjata
ampuh. Melihat hwesio itu mengeluarkan senjata aneh,
Ouwyang Bun juga mencabut pedangnya dan siap menanti
datangnya serangan.
"Lihat senjata." Bi Kok Hosiang berseru dan senjata
tasbehnya meluncur cepat ke arah leher Ouwyang Bun.
Pemuda itu cepat menangkis dan balas menyerang.
Sebentar saja kedua opang itu saling serang dengan hebat
sekali hingga semua penonton menahan napas saking
tegangnya. Memang kepandaian kedua pihak berimbang
dan hwesio itu biarpun tubuhnya gemuk, tapi gerakangerakannya gesit dan cepat psekali. Akan tetapi, Ouwyang
Bun tidak kalah gesit. Ia putar pedangnya dan mulai
memainkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Garuda Sakti) hingga tubuhnya tertutup sinar pedang dan
ia menyambar-nyambar dengan sinar pedangnya bagaikan
seekor garuda melayang dan menyambar-nyambar
korbannya. Sekali lagi Gui-ciangkun dikejutkan oleh kehebatan anak
muda yang dipandang rendah itu dan diam-diam ia
menghela napas karena terus terang ia mengakui bahwa
ilmu kepandaian Ouwyang Bun masih jauh berada di
atasnya. Perwira muda yang kasar dan sombong ini
menjadi insyaf bahwa kepandaiannya sebenarnya masih
dangkal sekali.
Cin Lie Eng tidak heran melihat kehebatan kedua
saudara kembar itu karena gadis ini pernah menyaksikan
kepandaian mereka ketika dikeroyok oleh para pemberontak di pinggir sungai. Tapi ia merasa kagum juga
melihat permainan pedang Ouwyang Bun dan tahu bahwa
dengan permainan pedang sehebat itu, Ouwyang Bun tak
kalah oleh hwesio yang juga sangat hebat itu.
Sebaliknya Cin Cun Ong berpikir lain. Panglima tua ini
merasa gembira sekali karena selain kedua saudara
Ouwyang yang kosen, ia juga kedatangan tiga orang tua
yang cukup hebat hingga mereka ini kesemuanya
merupakan pembantu-pembantu yang sangat berharga
baginya. Kini melihat jalannya pertempuran antara
Ouwyang Bun dan Bi Kok Hosiang, timbul kekhawatirannya, la maklum bahwa hwesio itu tentu
merasa malu kalau sampai dikalahkan maka melawan matimatian dan nekat, sebaliknya Ouwyang Bun yang masih
muda tentu saja berdarah panas dan tidak akan mau
mengalah begitu saja. Ini berarti bahwa banyak kemungkinan seorang di antara mereka tentu akan terluka
atau binasa, dan kalau hal ini terjadi, tentu akan timbul
permusuhan di antara Ouwyang-hengte dan ketiga orang
tua itu. Maka orang tua ini lalu segera bertindak. Ia
gerakkan tubuhnya dan tahu-tahu ia telah melayang ke atas
panggung. Semua penonton terkejut melihat jenderal besar itu turun
tangan dan berada ni atas panggung begitu tiba-tiba. Cinciangkun lalu menggunakan kipas yang sejak tadi dipegang
untuk mengipasi tubuhnya. Kipas yang terbuat dari bambu
itu dikebutkan ke tengah-tengah di antara kedua orang yang
sedang bertempur itusam-bil berseru keras sekali,
"Tahan.."
Bi Kok Hosiang dan Ouwyang Bun terkejut bukan main
karena kebutan kipas itu mendatangkan tenaga besar hingga
kedua senjata mereka tertolak mundur hingga keduanya
juga cepat-cepat mundur.
Ouwyang Bun lalu memberi hormat kepada susioknya,
sedangkan Bi Kok Hosiang juga memberi hormat karena ia
merasa kagum akan kelihaian panglima tua ini.
"Toyu, kepandaianmu cukup tinggi. Aku amat merasa
girang sekali kalau kau sudi membantu kami."
Hwesio gendut itu tersenyum girang dan menjura
kepada Cin-ciangkun. Ia suka kepada panglima tua yang
dapat menghargai tenaganya walaupun tadi ia tak dapat
dikatakan menang atas kepandaian anak muda yang
menjadi lawannya itu.
"Ouwyang Bun, kau duduklah di sana dengan adikmu."
Orang tua ini menuding ke arah deretan tempat duduk di
dekat kursinya sendiri hingga Ouwyang Bun menghaturkan
terima kasih. Mendengar bahwa anak muda itu menyebut
"susiok" kepada panglima itu, Bi Kok Hosiang terkejut dan
berkata, "Tidak kusangka sicu adalah murid keponakan Cin-taiciangkun, pantas saja demikian hebat." katanya sambil
memberi hormat yang dibalas Ouwyang Bun dengan
merendah. Kemudian pemuda itu mengajak adiknya
pindah tempat duduk di dekat Cin Lie Eng dan disambut


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gembira oleh gadis yang sudah menyediakan kursi
untuk mereka berdua itu.
Selain Bi Kok Hosiang, juga Lee Un si Kerbau Belang
diterima oleh Cin-ciangkun hingga si baju biru itu berterima
kasih sekali, walau terang bahwa ia sudah dikalahkan, tapi
tetap diterima oleh panglima itu. Setelah kedua orang itu
menduduki kursi yang disediakan, tiba-tiba dari bawah
melayang naik ke atas panggung si penghisap huncwe tadi.
"Ha-ha-ha. Cin-ciangkun, orang-orangmu sungguh gagah
dan kau sendiri benar-benar ulung. Kedua kawanku
memang tepat bekerja di bawah perintahmu. Aku sendiri....
kalau memang ada orang-orang yang lebih pandai di sini,
pasti dengan suka rela membantu." sambil berkata begini ia
sedot huncwenya kuat-kuat dan dari mulutnya ia tiupkan
asap huncwenya yang berwarna putih kebiru-biruan, dan
heran. Asap itu bergulung-gulung tidak mau buyar dan
terbentuklah bundaran menyerupai tengkorak. Semua orang
merasa heran melihat ini dan sebagian besar menganggap
bahwa si kurus ini sedang main sulap maka di sana-sini
terdengar seruan memuji.
Tapi Cin Cun Ong terkejut melihat demonstrasi tenaga
dalam ini dan ia lalu menjura sambil berkata,
"Tidak kusangka aku berhadapan dengan si Huncwe
Maut. Sungguh satu keberuntungan besar sekali hari ini
kami mendapat kunjungan orang gagah yang telah tersohor
dan terkenal kehebatannya. Lebih beruntung lagi jika sicu
(tuan yang gagah) suka membantu usaha kami menumpas
para pengkhianat dan pemberontak."
"Ucapanmu betul, ciangkun, karena memang aku telah
datang ke sini, mau apalagi kalau tidak ikut membantu
pekerjaanmu" Tapi, kawan-kawanku telah diuji, dan
akupun perlu diuji, ciangkun."
"Ha-ha, siapa yang belum pernah mendengar nama
Huncwe Maut" Tak perlu diuji, kami telah tahu
kehebatanmu." kata Cin Cun Ong.
"Tapi aku belum tahu kehebatanmu, dan ini penting
kuketahui, karena bukankah kau akan menjadi pemimpinku
yang kutaati perintahnya?"
Cin Cun Orig berpikir. Orang ini memang hebat dan
tenaga lweekangnya cukup tinggi. Tapi kalau aku tidak
memperlihatkan kehebatanku, tentu ia kelak akan banyak
membandel, juga derajatku akan turun dalam pandangan
mata semua anak buahku. Maka ia lalu berkata sambil
tertawa, "Sicu hendak memberi pelajaran kepada semua anak
buahku" Baik, baik silahkan."
Si tinggi kurus itu lalu menancapkan huncwenya di
dalam mulut, dan ia mulai menggerak-gerakkan kedua
lengannya. Ketika ia adu-adukan kedua tangan, maka
terdengar suara seakan-akan dua batang kayu diadu hingga
Ouwyang-hengte dan Lie Eng terkejut sekali, karena
mereka pernah mendengar adanya satu ilmu yang disebut
Tiat-bhok-ciang (Tangan Kayu Besi) yang sangat hebat dan
berbahaya. Kini mereka dapat menduga bahwa si kurus ini
tentu memiliki ilmu itu dan diam-diam mereka merasa
khawatir. Tapi Cin Cun Ong hanya memandang dengan
tersenyum, bahkan berkata, "Berlakulah murah kepadaku,
sicu." dan kemudian ia memasang kuda-kuda.
"Kau menyeranglah dulu, ciangkun," kata Huncwe Maut
dengan suara tidak jelas karena bibirnya terganjal huncwe.
"Kau tamu aku tuan rumah, jangan berlaku sungkan,
sicu," jawab Cin Cun Ong.
Maka bergeraklah si Huncwe Maut dengan serangan
tangan kanan. Sungguh mengherankan sekali, serangannya
itu dilakukan perlahan sekali dengan gerakan yang lambat,
memukul ke arah pundak lawan. Cin Cun Ong tidak
berkelit, tapi sengaja menerima pukulan itu dengan
tangannya pula. Ini adalah gerakan percobaan untuk
mengukur tenaga masing-masing dan kesudahannya
membuat si Huncwe Maut heran dan kagum. Ketika
tangannya bertemu dengan tangan panglima tua itu, ia
merasa bagaikan memukul kapas yang empuk dan lemas
sekali hingga buru-buru ia tarik kembali tangannya yang
tadinya digunakan dengan tenaga Tiat-bhok-ciang
sepenuhnya. Ternyata dengan menggunakan lweekangnya
yang tinggi Cin-ciangkun telah dapat memunahkan
serangan lawan hingga tenaga Tiat-bhok-ciang itu tak
berdaya sama sekali.
Maka si tinggi kurus tak berani main-main lagi. Ia
berlaku waspada dan mengeluarkan ilmu silatnya yang
tertinggi. Tapi ternyata Cin Cun Ong tak percuma
mendapat nama besar sebagai seorang panglima yang kosen
dan tak terkalahkan. Selain memiliki tenaga besar dan
kepandaian tinggi, juga Cin Cun Ong mempunyai
pengalaman bertempur puluhan tahun. Entah sudah
berapa banyak lawan-lawan lihai dan musuh-musuh
hebat pernah dihadapinya, maka selain pandai iapun tenang
dan tabah, serta sudah hafal akan ilmu-ilmu silat dari
berbagai cabang. Kini menghadapi si Huncwe Maut, ia
dapat membuat lawannya tak berdaya dan semua serangan
dapat dipatahkan dengan mudah saja.
Karena merasa takkan mungkin menang jika bertempur
dengan tangan kosong, maka si Huncwe Maut lalu berkata
sambil memegang huncwenya, "Maaf, marilah kita mainmain sebentar dengan senjata."
"Silakan, sicu." Cin Cun Ong maklum bahwa lawannya
ini tentu istimewa sekali kepandaiannya dalam hal
mempergunakan huncwe dan melihat ujung huncwe yang
kecil setengah runcing itu maklumlah ia bahwa si tinggi
kurus ini tentulah seorang ahli totok yang lihai. Tapi karena
sudah dapat mengukur kepandaian lawannya, ia sengaja
hendak melayaninya dengan tangan kosong untuk
membuktikan keunggulan dan kelihaiannya.
Melihat panglima tua itu tidak mengeluarkan senjata, si
tinggi kurus lalu berkata, "Ciangkun, mana senjatamu"
Lekas keluarkan biar kurasakan pukulannya."
"Aku adalah tuan rumah, mana aku berani menghina
tamuku dengan sambutan senjata tajam. Sicu, jangan kau
sungkan-sungkan, pergunakanlah huncwemu, kebetulan
sekali aku ingin sekali belajar kenal dengan huncwe maut
yang telah terkenal. Biarlah aku bertahan dengan kedua
tanganku."
Si Huncwe Maut marah dan penasaran sekali karena
merasa dipandang rendah, tapi karena maklum bahwa
panglima tua she Cin ini tak boleh dibuat gegabah, ia tak
banyak bicara lagi lalu berseru,
"Awas senjata."
Berbeda dengan ilmu silatnya tadi yang dilakukan
dengan ayal-ayalan dan lambat karena mengandalkan
kehebatan Tiat-bhok-ciang di lengan tangannya, kini
gerakan si kurus itu berubah cepat sekali. Huncwenya
berkelebatan ke sana ke mari dan ujungnya selalu menuju
jalan darah Cin Cun Ong dengan totokan-totokan
berbahaya dan cepat sekali. Sementara itu, karena api di
dalam huncwe itu belum padam, maka a-sap tembakau
yang berbau keras itu keluar ikut menyambar muka orang
membuat lawan yang kurang hati-hati tentu akan merasa
bingung dan mabok.
Diam-diam Cin Cun Ong kagum melihat permainan si
kurus ini dan tak terasa pula ia berseru, "Bagus, memang
hebat sekali si Huncwe Maut." Ia berlaku hati-hati sekali
dan segera mengeluarkan ilmu silatnya Ngo-heng-lianhoan-kun-hoat. Ilmu silat ini tadi telah dimainkan oleh
Ouwyang Bun tapi setelah kini dimainkan oleh Cin Cun
Ong, maka lebih hebat dan luar biasa lagi. Gerakan-gerakan
orang tua ini demikian cepat hingga seakan-akan ia berubah
menjadi lima orang yang menjaga dan menyerang dari lima
penjuru. Memang ilmu silat ini berdasarkan Ngo-heng dan
gerakannya dari lima jurusan, juga perubahan kaki lima
macam hingga tampaknya ia bersilat sambil berputaran,
tapi selalu dapat mengelit atau memukul huncwe lawannya,
bahkan dapat balas menyerang dengan hebat sekali.
Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu yang mengenal baik
ilmu silat ini merasa sangat kagum Mereka tak menyangka
bahwa ilmu silat Ngo-heng itu dapat dimainkan sedemikian
hebatnya, karena suhu mereka sendiri Pat-jiu Lo-mo (Iblis
Tua Tangan Delapan) tidak dapat memainkan sehebat itu.
Yang langsung merasai kehebatan ilmu silat Ngo-heng
dari Cin Curi Ong adalah si Huncwe Maut sendiri. Ia
merasa betapa dari lima penjuru yang mengelilinginya di
mana tampak bayangan lawannya menyambar angin
pukulan yang membuat huncwenya terasa ringan sekali dan
tak bertenaga. Ke mana saja ia menyerang, huncwenya
selalu bertemu dengan tenaga besar yang membuat
senjatanya terpental kembali hingga gerakannya menjadi
kacau-balau. Sebentar saja ia merasa pening dan matanya
menjadi kabur, maka dengan kewalahan ia lalu berteriak,
"Sudah, sudah, ciangkun. Aku menyerah kalah." maka
berhentilah panglima tua yang gagah perkasa itu, lalu
berdiri di depannya sambil tersenyum.
"Sicu, kau dan dua kawanmu memang cocok untuk
menjadi pembantu kami," tapi tiba-tiba sikapnya berobah
ketika ia berkata dengan suara keras dan tetap.
"Sekarang kau mengakulah terus terang mengapa kalian
datang hendak membantuku. Tentu ada sesuatu yang
menyakiti hatimu hingga kalian mengambil keputusan
untuk membantu kami memusuhi para pemberontak."
Si Huncwe Maut menghela nafas. "Memang tak salah
kalau orang berkata bahwa Cin-ciangkun adalah seorang
panglima nomor satu di dunia ini. Kau tidak saja kosen dan
lihai, ciangkun, tapi juga matamu awas sekali. Biarlah aku
mengaku terus terang padamu. Kami bertiga memang telah
bermusuhan dengan beberapa orang kang-ouw yang kini
menggabungkan diri dengan pemberontak. Kami telah
bertemu dengan mereka tapi kami kalah. Karena tidak ada
jalan lain untuk membalas dendam, kami mengambil
keputusan untuk menggabungkan diri dengan ciangkun di
sini untuk membantu membasmi mereka dan komplotkomplot mereka."
Cin Cun Ong menganggok-angguk dan si Huncwe Maut
memperkenalkan diri. Ternyata ia bernama Khu Ci Lok.
Kemudian Cin-ciangkun mengadakan perjamuan untuk
menghormati perwira-perwira baru itu dan semua perwira
ikut berpesta gembira-. Para anggauta tentara bubaran dan
mereka merasa puas sekali karena pertunjukan-pertunjukan
malam ini sungguh-sungguh hebat dan lain daripada yang
lain. Bahkan Cin-ciangkun sendiri sampai maju dan turun
tangan. 0o-dw-o0 Ternyata Cin Lie Eng sangat suka bergaul dengan
Ouwyang-hengte hingga tiap hari mereka bertiga tampak
selalu bersama-sama. Hal ini tidak menjadikan keberatan
bagi ayahnya karena bagi panglima ini memang lebih suka
melihat puterinya bergaul dengan kedua keponakan kembar
itu yang tampaknya lebih sopan daripada bergaul dengan
anak buahnya yang kasar-kasar. Mereka bertiga sering
berlatih bersama-sama karena memang tidak berbeda.
Sering pula mereka pergi berburu binatang bersama-sama.
Hubungan yang akrab ini membuat sakit hati Gui Li
Sun, panglima muda yang tinggi besar itu. Hati panglima
ini merasa cemburu sekali, tapi apa yang dapat ia lakukan"
Kedua anak muda itu hebat sekali dan memiliki kepandaian
tinggi, pula Ouwyang-hengte ternyata memperlihatkan
sikap yang baik terhadapnya. Buktinya kedua pemuda yang
terang-terang telah mengalahkannya dan lebih tinggi
kepandaiannya, tidak mau merebut kedudukannya, bahkan
kedua pemuda itu mengajukan permohonan kepada Cinciangkun untuk tetap saja dengan pakaian biasa dan tidak
diharuskan memakai pakaian tentara, walaupun mereka
bersedia membantu dalam pertempuran. Demikianpun
ketiga orang tua aneh itu. Hingga di dalam markas besar
itu, yang tidak mengenakan pakaian tentara ada enam
orang, yakni Lie Eng sendiri, Ouwyang-hengte, dan ketiga
orang tua itu. Biarpun Lie Eng suka bergaul dengan Ouwyang-hengte,
namun ia berlaku seperti adik perempuan hingga hubungan
mereka erat dan tidak canggung-canggung.
Pada suatu hari mereka pergi berburu bertiga. Seperti
janji Lie Eng dulu ketika mereka bertemu pada pertama
kalinya, kedua saudara kembar itu akan mendapat kuda
yang bagus-bagus dan besar. Mereka bertiga berburu sambil
naik kuda dan di sepanjang jalan mereka bercakap-cakap
gembira. "Kalau aku sedang berburu begini, seakan-akan di
sekelilingku tidak ada perang, tidak ada pertempuranpertempuran, yang ada hanya kesenangan belaka.
Aah........ alangkah senangnya kalau keadaan damai dan
tenteram hingga orang boleh hidup sesukanya tanpa rasa
takut." Ouwyang-hengte tersenyum mendengar kata-kata nona
ini yang sebetulnya kurang tepat keluar dari mulut seorang
puteri panglima besar. Tapi memang Lie Eng mempunyai
watak yang jujur dan terbuka.
"Seringkali aku merasa heran dan menyesal mengapa
kita harus bertempur dan membasmi bangsa sendiri,
seakan-akan keluarga besar saling bunuh-membunuh,"
gadis itu berkata lagi.
Ouwyang Bu yang melarikan kuda di sebelah kirinya
menjawab, "Biarpun bangsa sendiri, mereka itu pemberontak,
pengkhianat dan perampok-perampok jahat. Dan orangorang jahat harus dibasmi habis agar negara tidak menjadi
kacau dan rakyat tidak hidup ketakutan."
Nona itu menghela nafas, tapi bibirnya yang indah
bentuknya itu tersenyum manis ketika ia memandang
kepada Ouwyang Bu. "Kau betul," demikian katanya.


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar percakapan antara adiknya dan gadis itu,
Ouwyang Bun yang melarikan kuda di sebelah kanan nona
itu, mendapat pikiran yang membingungkan hatinya.
Benar-benarkah pemberontak-pemberontak itu perampokperampok jahat" Selama ia turun dari gunung, baru sekali ia
bertemu muka dengan anggauta pemberontak, yakni Lui
Kok Pauw dan kawan-kawannya yang dulu mengeroyoknya di pinggir sungai. Mereka itu memang
pemberontak-pemberontak seperti yang mereka akui
sendiri, tapi apakah mereka itu perampok" Hal ini belum ia,
ketahui benar karena belum ada buktinya.
Tiba-tiba Lie Eng yang melihat dia termenung di atas
kudanya menegur,
"Eh, twa-suheng, kau sedang memikirkan apa?"
Ouwyang Bun terkejut dan menoleh lalu menjawab,
"Aku sedang memikirkan apakah pemberontak itu sama
dengan pengkhianat."
Lie Eng dan Ouwyang Bu memandang heran. Ouwyang
Bu sendiri tidak tahu akan perbedaannya dan tak dapat
menjawab, tapi Lie Eng segera menjawab dengan suara
tetap, "Tentu saja sama. Pemberontak-pemberontak
itu menyerang dan memusuhi pemerintah sendiri, merampok
bangsa sendiri, maka mereka dapat juga disebut
pengkhianat."
Tapi Ouwyang Bun tidak puas mendengar jawaban gadis
itu. Tiba-tiba kuda yang mereka tunggangi pada meringkik
ketakutan dan mengangkat kaki depan mereka ke atas
sambil mendengus-dengus. Dan terdengarlah aum harimau
yang menggetarkan hati.
"Bagus, agaknya nasib kita baik hari ini," kata Lie Eng
yang berhati tabah itu. Cepat ketiganya meloncat turun dari
kuda, mengikatkan kendali kuda mereka pada sebatang
pohon dan lalu mereka meloncat ke atas pohon untuk
mengintai. Kuda-kuda itu mereka gunakan sebagai umpan
untuk memancing binatang buas itu. Kasihan kuda-kuda itu
yang meringkik-ringkik
ketakutan dan berusaha memberontak untuk melepaskan tali dan kabur.
Tak lama kemudian, seekor harimau jantan yang besar
dan buas keluar dari semak-semak. Matanya yang lebar
memandang liar dan tajam ke arah tiga ekor kuda yang
meronta-ronta. Karena bau manusia yang berada di atas
pohon tak dapat tercium olehnya, maka ia sama sekali tidak
tahu bahwa tiga pasang mata mengintainya dari atas
dengan perasaan gembira dan tegang.
Sekali lagi harimau itu mengaum dan mendekam, siap
untuk meloncat menubruk korbannya, yakni seekor di
antara tiga kuda itu. Ia enjot kaki belakangnya dan tiba-tiba
tubuhnya mencelat ke atas. Lie Eng dan dua saudara
kembar telah siap untuk meloncat turun sambil menyambitkan piauw mereka, tapi mereka tahan gerakan mereka
dengan kaget karena pada saat itu dari belakang sebatang
pohon besar meloncat keluar tubuh seorang kanak-kanak
berusia paling banyak empatbelas. Anak ini memegang
sebatang tongkat panjang yang dipegangnya seperti orang
pegang toya. Ia meloncat tepat di depan harimau yang
sedang melompat dan menggunakan tongkatnya menyodok
perut harimau yang sedang melayang itu.
Tapi harimau itu cukup gesit dan cerdik. Melihat
datangnya serangan tongkat ke arah perutnya, ia gunakan
kaki depan mencakar tongkat itu sambil membuang diri ke
samping. Kini binatang yang besar dan buas itu berdiri di atas
tanah menggereng-gereng, menghadapi anak kecil itu. Tapi
anak itu dengan wajah tenang dan tabah segera siap dalam
bhesi (kuda-kuda) yang teguh sambil menyilangkan tongkat
di depan dada. Sikapnya yang gagah berani itu membuat
Lie Eng dan Ouwyang-hengte kagum sekali, tapi mereka
siap untuk membantu anak itu bila sampai terdesak oleh
harimau. Sementara itu, setelah menggereng-gereng, harimau itu
meloncat lagi menubruk dengan lompatan tinggi. Tapi anak
itu sungguh tabah dan cerdik karena sementara tubuh
harimau masih di atas, ia bahkan lari mendekat hingga
berada di bawah perut harimau lalu menusuk lambung
binatang itu dengan tongkatnya lagi.
Kali ini tusukannya tepat dan keras hingga harimau itu
terpental dan jatuh dengan keempat kakinya di atas. Anak
itu cepat menambahi dua kali tusukan pada perut harimau
yang sedang telentang itu. Tapi harimau itu kuat sekali dan
dengan cepat meloncat membalik. Kali ini ia menubruk dari
depan lurus ke muka, tidak meloncat tinggi. Keadaan anak
itu berbahaya, dan tiga orang yang berada di atas sudah siap
membantu. Tapi anak itu cepat sekali meloncat ke pinggir
dan pada saat harimau itu lewat cepat di sampingnya, ia
memukul dengan tongkatnya yang tepat mengenai pantat
binatang itu. Agaknya pukulan kali ini mengenai tempat
yang lunak hingga binatang itu meraung kesakitan lalu lari
secepatnya menghilang ke dalam semak belukar.
"Bagus, Ahim. Kali ini kau dapat mengusirnya. Lain kali
kau harus dapat membunuhnya." tiba-tiba terdengar suara
orang dan tiba-tiba di situ muncul dua orang muda dan
seorang kakek. Dua anak muda itu cakap sekali wajahnya,
pipinya kemerah-merahan dan bibirnya merah segar hingga
patut kiranya kalau menjadi anak perempuan. Kakek itu
berpakaian petani sederhana, tapi gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli lweekeh yang
memiliki kepandaian tinggi.
"Engkong, binatang tadi buas sekali. Kulihat mukanya
seakan-akan mengilar sekali dan ingin segera merasai
daging dan darahku. Matanya buas dan mulutnya meringis.
Kong-kong, ganas manakah harimau itu dibandingkan
dengan panglima she Cin?"
Kakek itu tertawa besar mendengar pertanyaan ini,
sementara itu ketiga anak muda yang berada di pohon
mendengarkan dengan penuh perhatian sedang Lie Eng
memandang tajam mendengar ayahnya di sebut-sebut.
"Ahim, kau ini aneh, binatang buas dibandingkan
dengan manusia," kata seorang di antara kedua pemuda itu,
dan setelah ia mengeluarkan kata-kata, barulah Lie Eng dan
Ouwyang-hengte maklum bahwa mereka itu benar-benar
dua orang gadis yang berpakaian laki-laki. Suara gadis yang
bicara tadi sangat nyaring dan merdu dan ke tawanya manis
sekali. "Enci Cui Sian jangan berkata begitu, bukankah
panglima she Cin itu kudengar ganas dan kejam sekali dan
tak pernah memberi ampun kepada kawan-kawan pejuang
yang tertawan" Kong-kong, jawablah pertanyaanku tadi."
"Ahim, kalau kau tanya mana yang lebih buas, kurasa
dua-duanya sama buas dan sama kejam."
"Mana yang lebih jahat, kong-kong?" tanya Ahim lagi.
"Tidak ada yang jahat, cucuku," jawaban ini tidak saja
membuat anak itu keheranan, tapi juga kedua dara yang
berpakaian laki-laki itu memandang heran.
Empek tua itu maklum akan keheranan mereka maka
lalu melanjutkan kata-katanya, "Harimau itu disebut kejam
karena suka makan manusia, sedangkan Cin-ciang-kun
disebut kejam suka membunuh kawan-kawan kita. Tapi
harimau itu hanya menurut perintah, yakni perintah
perutnya yang lapar dan membutuhkan isi. Sedangkan Cinciangkun melakukan pembasmian dan pembunuhan besarbesaran juga hanya melakukan tugas kewajibannya belaka,
untuk mentaati perintah kaisar."
"Kalau begitu, yang jahat adalah perut harimau dan
kaisar itu, kong-kong?" tanya Ahim yang ternyata cerdik
sekali. Kembali kakek itu tertawa. "Perut harimau tidak jahat,
karena kalau tidak diisi daging mentah, akan menderita
kelaparan. Kaisar juga tidak jahat, tapi bodoh dan lalim,
tidak memperdulikan nasib rakyatnya hingga rakyat hidup
sengsara tertindas dan kelaparan tidak diketahuinya,
tahunya hanya pelesir dan bersenang-senang belaka."
"Kaisar macam ini harus dibasmi dan diganti, kongkong." kata Ahim bersemangat.
"Hush, Ahim, kau bicara seperti di sini tidak ada orang
lain saja." kakek itu berkata lagi.
"Siapa lagi selain kita berempat yang berada di sini,
kong-kong?"
"Kau lupa kepada pemilik ketiga ekor kuda itu?" kata
empek tua sambil menunjuk ke arah tiga ekor kuda yang
ditambatkan di batang pohon. Lalu kakek itu memandang
ke atas pohon dan berkata,
"Sam-wi silakan turun."
Ouwyang-hengte dan Lie Eng merasa terkejut dan malu
karena orang telah mengetahui tempat persembunyian
mereka. Lie Eng yang merasa marah mendengar
percakapan mereka tadi, lalu memperlihatkan kepandaiannya. Ia meloncat turun dengan gerakan Koailiong-hoan-sin (Siluman Naga Berjumpalitan) dan tubuhnya
melayang dan berpoksai (bersalto) di udara hingga
terpelanting ke arah di mana kudanya berdiri dan dengan
ringan sekali ia turunkan dirinya di punggung kuda.
"Bagus, bagus." Ahim bertepuk-tepuk tangan dan
suaranya memuji.
Sementara itu, Ouwyang Bun dan Ouwyang Bu juga
meloncat turun dari atas pohon. Ouwyang Bu yang juga
merasa tak senang kepada orang-orang yang ternyata
adalah anggauta-anggauta pemberontak, hanya mengerling
sekilas kepada empat orang asing itu. Tapi Ouwyang Bun
tersenyum kepada Ahim dan kepada kakek itu ia menjura
lalu menyusul adiknya yang telah pergi ke kudanya.
"Mari kita tangkap mereka dan serahkan kepada susiok."
kata Ouwyang Bu kepada kakaknya, tapi Lie Eng berkata
cepat. "Jangan". Kalau mereka tidak mengganggu kita, untuk
apa kita mencari musuh?"
"Tapi bukankah mereka pemberontak?" bantah Ouwyang
Bu. "Bu-te, kurasa benar kata-kata sumoi. Tak perlu mencari
musuh, lagi pula kulihat empek tua itu bukan orang
sembarangan."
Sementara itu, empek itu tertawa dan berkata,
"Nona, kepandaianmu hebat sekali dan kedua suhengmu
juga tidak tercela. Kalau kau pulang, sampaikanlah salamku
kepada ayahmu, bilang saja salam dari orang tua she Ciu."
Ketiga anak muda itu terkejut sekali karena tak mereka
sangka sama sekali bahwa dari percakapan mereka yang
dilakukan perlahan itu, si kakek telah dapat mengetahui
siapa mereka. Padahal jarak yang memisahkan mereka
cukup jauh. Karena kakek dan kawan-kawannya itu tidak mengganggu, maka Lie Eng lalu memacu kudanya diikuti
oleh Ouwyang-hengte pulang ke markas besar panglima
Cin. Mereka langsung menghadap Cin Cun Ong dan Lie Eng
melaporkan kepada ayahnya tentang kakek yang berada di
pedalaman itu. "Orang tua she Ciu" Bagaimana rupanya" Bertubuh
tinggi kurus pakaian petani, bertopi lebar dan matanya
tajam serta mulutnya selalu tertawa" Ah,... tak salah lagi,
tentu Ciu Pek In. Kalau Naga Sakti ini pun telah
menggabung menjadi pemberontak, kita harus segera
mencari bala bantuan orang-orang pandai."
Melihat betapa ayahnya agak gentar mendengar nama
orang tua itu, Lie Eng lalu bertanya kepada ayahnya,
"Sebenarnya kakek itu siapakah?"
Ayahnya menghela napas. "Dia' adalah seorang dari
jago-jago nomor satu di dunia pada masa ini. Ia dijuluki
Sin-liong atau Naga Sakti, sesuai dengan keahliannya,
memainkan Ilmu Pedang Naga Sakti atau Sin-liong Kiamsut. Ia tidak saja sangat terkenal sebagai seorang cianpwe
(cabang atas) yang disegani, tapi juga pengaruhnya besar
sekali, dan jika ia sampai merendahkan diri dengan
menggabung pada pemberontak, maka tentu banyak orangorang gagah yang akan meniru dan memihaknya."
"Sampai di mana ketinggian tingkat kepandaiannya,
ayah" Bagaimana kalau dengan..... Khu-lo-enghiong?"
katanya sambil memandang muka Khu Ci Lok si Huncwe
Maut yang juga berada di situ, karena kebetulan pada saat
itu Cin Cun Ong sedang bercakap-cakap dengan si Huncwe
Maut dan dua kawannya.
Mendengar pertanyaan gadis itu, Khu Ci Lok
melepaskan huncwe dari mulutnya dan ia berkata dengan


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah bersungguh-sungguh, tidak seperti biasanya suka
membanyol. "Nona, kau tidak tahu tentang orang tua itu. Aku sendiri
belum mengenalnya, tapi dari namanya saja aku sudah
dapat mengukur sampai di mana ketinggian ilmu silatnya.
Jangan bandingkan dia dengan aku, ah, aku masih jauh
berada di bawah tingkatnya."
Lie Eng terkejut. Si Huncwe Maut ini sudah memiliki
kepandaian yang sangat tinggi dan bahkan lebih tinggi
daripada kedua suhengnya atau dia sendiri.
"Kalau begitu, apakah dapat disejajarkan dengan
kepandaian ayah?"
Kini Cin Cun Ong berkata, "Biarpun aku belum pernah
mengukur tenaganya, tapi kiraku dia tidak akan mudah
mengalahkanku, biarpun menurut kabar, ilmu pedangnya
belum pernah dikalahkan orang. Tapi bagaimanapun juga,
datangnya orang tua ini tentu tidak sendiri dan akan disusul
oleh yang lain-lain, maka kita harus siap sedia. Khu-sicu,
harap kau dan Lee-sicu besok pagi-pagi pergi ke kota raja
untuk memanggil beberapa orang pembantu yang pandai,
dan Bi Kok suhu harap suka menyampaikan sebuah surat
undangan kepada tiga orang kawan baikku di See-bun."
"Siapakah kawan-kawan baik itu, ciangkun?" tanya si
hwesio gemuk. "Mereka adalah See-bun Sam-lo-mo atau Tiga Iblis Tua
Dari See-bun. Kalau mereka dapat diundang ke sini, maka
segala Sin-liong dan komplot-komplotnya takkan mungkin
membikin aku gentar."
Maka dibuatlah surat-surat untuk dibawa ke See-bun dan
ke kota raja. Semua lalu mengundurkan diri. Sedang
Ouwyang Bun dan adiknya duduk di dalam kamar mereka
sendiri. "Agaknya tak lama lagi tentu akan terjadi perang hebat
antara kita dengan pihak pemberontak," kata Ouwyang
Bun. "Memang hal itulah yang kuharap-harapkan selama ini.
Hatiku merasa tak senang disuruh menganggur saja tanpa
ada pertempuran hingga seakan-akan kita hanya menumpang makan dan tidur. Bagi para tentara keadaan
itu menyenangkan saja karena mereka selalu ada yang
dikerjakan, berlatih, berbaris dan lain-lain. Tapi bagi kita?"
Ouwyang Bu dengan bersungut-sungut menyatakan
ketidakpuasannya.
Ouwyang Bun termenung sejenak lalu berkata, "Bagiku
kalau bisa jangan sampai ada perang."
Adiknya memandang heran dan dengan pandang mata
menyelidik. Kakaknya membalas pandangan matanya dan
tersenyum. "Jangan salah sangka, aku bukannya takut,
sungguhpun harus kuakui bahwa pihak pemberontak
bukanlah orang-orang lemah. Dengarlah, Bu-te, melihat
tampang kakek dan orang-orang tadi, aku menjadi raguragu dan sangsi. Apakah orang tua gagah dan bersikap
halus itu bisa menjadi penjahat" Dan pula, apakah anak
kecil yang tabah dan berbakat seperti Ahim tadi juga dapat
disebut penjahat yang harus dibasmi?"
"Bun-ko, biarpun mereka bukan penjahat, tapi karena
mereka menggabungkan diri dengan pemberontak, maka
mereka adalah pengkhianat yang berbahaya dan harus
dibasmi. Coba kau ingat kata-kata anak. kecil tadi yang
menganggap susiok dan kaisar sebagai binatang buas."
Ouwyang Bun tak menjawab,, hanya menghela napas
dan termenung. Pada saat itu, dari arah belakang rumah, mereka
mendengar suara Gui-ciang-kun bercakap-cakap dengan
keras. Mereka tertarik sekali dan mendekati jendela
belakang agar dapat menangkap kata-kata yang mereka
ucapkan. "Memang para anjing pemberontak makin berani saja.
Tadi kulihat beberapa o-rang berkeliaran di bawah tembok
sebelah luar. Seakan-akan mereka itu menantang-nantang
dan sama sekali tak pandang sebelah mata kepada kita.
Sungguh celaka, dan tai-ciangkun (panglima besar) hanya
bersabar saja. Apa gunanya mempunyai pembantupembantu seperti lima orang itu" Tiap hari kerjanya
hanya makan tidur saja. Kalau aku jadi mereka, setidaknya,
tentu keluar dan menyelidiki keadaan para pemberontak.
Dengan pakaian preman mereka akan lebih mudah
melakukan pekerjaan penyelidik. Tapi dasar jiwa pemalas
dan tak tahu malu. Piara anjing masih ada gunanya."
Hampir saja Ouwyang Bu meloncat keluar dan
menerjang orang she Gui yang diam-diam memaki-maki
mereka itu. Pemuda yang keras hati ini merasa malu dan
marah sekali. Tapi Ouwyang Bun cepat mencegahnya dan
berkata, "Adikku, sabarlah. Tak perlu kita bertindak terhadap
orang rendah seperti dia itu Kalau kita mengadakan
keributan, ma ka tentu kita akan mendapat teguran dari
susiok. Dan lagi, kalau dipikir-pikir memang tidak ada
salahnya kata-kata Gui-ciangkun tadi. Telah hampir
sepekan kita berada di sini dan kebetulan sekali susiok
menjalankan siasat bertahan dan menanti aksi gerakan
lawan hingga kita terpaksa menganggur saja Bagaimana
pikiranmu ka lau kita keluar dan melakukan penyelidikan"
Siapa tahu kalau diam-diam mereka i-tu sedang mengatur
siasat, bukankah kemarin susiok pernah mengatakan bahwa
ia merasa lebih cemas melihat musuh diam-diam saja dan
tidak melakukan penyerangan?"
Setelah diam sesaat, akhirnya Ouwyang Bu menyatakan
setuju dengan buah pikiran kakaknya ini. Dengan diamdiam mereka bersiap untuk melakukan penyelidikan keluar
tembok besar malam nanti.
0od-wo0 Setelah siang berganti malam yang gelap, kedua saudara
itu mengenakan pakaian malam yang berwarna gelap, lalu
keluar dari kamar. Tapi mereka menjadi bingung karena
ternyata tembok besar itu penuh oleh barisan penjaga.
Memang, Cin-ciangkun menaruh penjaga-penjaga di
sepanjang tembok besar sampai lebih dari lima li
panjangnya. Biarpun semua penjaga telah tahu siapa mereka, tapi
tanpa surat perintah dari Cin-ciangkun, mereka akan
dicurigai kalau keluar dari tembok besar. Pada saat mereka
merasa bingung, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan
suara yang merdu nyaring menegur mereka.
"Ji-wi suheng (kedua kakak seperguruan) hendak ke
manakah?" Ouwyang-hengte terkejut karena yang menegur mereka
itu tidak lain ialah Cin Lie Eng yang juga sutfah berpakaian
malam serba gelap.
"Eh, sumoi malam-malam hendak ke mana?" tanya
Ouwyang Bun. Di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, dara cantik
itu tersenyum manis dan matanya bermain lincah. "Ditanya
belum menjawab sudah balas bertanya. Agaknya ada apaapa yang dirahasiakan kepadaku."
Ouwyang Bun tak dapat menjawab, ta-pi Ouwyang Bu
dengan tabah berkata dengan tertawa, "Sumoi, memang ada
rahasia, tapi bukan rahasia jahat."
"Kalau rahasia jahat, apakah kalian ma sih hidup di
asrama ini" Suheng, ketahuilah, sumoimu ini diam-diam
sudah tahu maksud kalian. Bukankah kalian hendak pergi
menyelidik di tempat musuh?"
Terkejutlah kedua saudara itu, tapi Lie Eng hanya
tertawa manis. "Akupun tak enak tinggal menganggur, maka aku
sengaja menyusulmu. Mari kita menyelidiki bertiga."
"Jangan, sumoi. Perjalanan ini berbahaya, kalau sampai
terjadi sesuatu padamu, kami akan mendapat marah dari
susiok," kata Ouwyang Bu.
"Aku bukan anak kecil, pula, dengan adanya kalian
berdua, apa yang harus kutakutkan?"
Terpaksa Ouwyang-hengte membawa gadis yang berani
itu. Dengan adanya Cin Lie Eng, mudah saja bagi mereka
untuk melewati penjaga di atas tembok. Mereka percaya
penuh kepada gadis puteri Cin-ciangkun itu dan dengan
mudah mereka melewati tembok besar dan turun melalui
tali yang dilepas ke bawah.
Kemudian ternyata bahwa adanya gadis itu menguntungkan mereka karena Lie Eng telah tahu di mana
tempat yang digunakan sebagai markas oleh pihak musuh.
Bulan bercahaya terang hingga mereka dapat melakukan
perjalanan dengan mudah. Lie Eng membawa kedua
saudara itu menyusur sepanjang tembok menuju ke barat,
lalu membelok ke utara menuju ke sebuah hutan yang lebat.
"Ji-wi suheng, berhati-hatilah. Aku tidak suka melihat
keadaan yang terlalu sunyi di sini," kata Lie Eng setelah
mereka tiba di dalam hutan yang sunyi itu.
Belum sempat Ouwyang-hengte menjawab, tiba-tiba
terdengar suara ranting ter-pijak kaki di sekeliling mereka
dan tahu-tahu mereka telah dikurung oleh orang-orang yang
bersenjata tajam. Orang-orang yang mengurung mereka itu
terdiri dari bermacam-macam orang. Ada yang masih muda
sekali, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang
berpakaian pendeta, hwesio, dan sastrawan. Tapi sebagian
besar dari mereka berpakaian petani sederhana.
Ouwyang-hengte dan Lie Eng cepat mencabut pedang
mereka dan siap mengamuk tapi tiba-tiba terdengar suara
orang berkata, "Sam-wi, tahan dulu. Apakah maksud dan kehendak
kalian maka malam ini datang ke tempat kami rakyat
miskin?" Suara ini mereka kenal dan ternyata dari luar kurungan
masuklah kakek tua yang siang tadi mereka jumpa di dalam
hutan sebelah dalam tembok besar. Lie Eng dan, Ouwyanghengte merasa heran sekali bagaimana orang tua itu dapat
melewati tembok besar yang terjaga kuat itu.
Mendengar teguran kakek itu, dengan suara gagah Lie
Eng menjawab, "Kami ingin menyaksikan sendiri apakah
kalian masih hidup, karena mengapa kalian tidak bergerak
menyerang benteng pertahanan kami. Apakah kalian sudah
kehabisan tenaga dan tidak berani bertempur lagi"
Ketahuilah, para tentara kami telah gatal-gatal tangan untuk
menghadapi kalian."
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, ayah harimau anakpun
harimau. Gagah dan berani. Nona Cin, jangan khawatir.
Kawan-kawan kami bukannya takut bertempur, tapi
sesungguhnya lawan dan musuh kami bukanlah ayahmu
dan anak buahnya. Ayahmu adalah perajurit yang baik dan
amat berguna bagi negara dan rakyat. Yang kami musuhi
ialah raja lalim, para pembesar durjana, dan para pembesar
penindas rakyat jelata. Mereka inilah yang hendak kami
basmi." Mendengar kata-kata ini Ouwyang Bun merasa makin
tertarik, maka ia lalu maju dan menjura kepada orang tua
itu. "Siauwte tadi mendengar bahwa locian-pwe adalah Sinliong Ciu Pek In yang terkenal di kalangan kang-ouw,
betulkah itu?" :
Orang tua itu tertawa. "Tentu Cin-ciangkun yang
memberitahukan padamu, bukan" Aha, ia masih ingat
padaku. Memang betul aku Ciu Pek In."
"Siauwte mendengar bahwa locianpwe mengutamakan
kegagahan dan keadilan serta membela pihak yang benar.
Tapi mengapa locianpwe menggabungkan diri dengan para
pemberontak yang selain mengacau negara juga menyusahkan rakyat" Apakah ini laku seorang gagah yang
mengutamakan kebaikan dan yang pantas disebut ho-han
(orang budiman)?"
Ucapan Ouwyang Bun yang panjang ini memang ia
sengaja. Ia bukan tidak tahu bahwa kata-katanya ini
berbahaya, tapi karena terdorong oleh rasa penasarannya, ia
tidak perdulikan lagi bahaya yang mungkin timbul karena
perkataannya. Sementara itu, semua orang yang mengurung terdengar
berseru marah mendengar betapa anak muda ini berani
sekali menghina kakek yang mereka hormati itu. Mereka
siap untuk maju menerjang, tapi Ciu Pek In mengangkat
tangan memberi tanda dan berkata,
"Anak muda, kau bagaikan seekor burung yang baru
belajar terbang dan tidak tahu keadaan dunia luas. Tahumu
hanya bahwa setiap orang yang memberontak a-dalah jahat
dan salah. Tapi aku tidak menyalahkan engkau karena kau
kebetulan sekali menjadi murid si Iblis Tua Tangan
Delapan yang justeru menjadi sute dari Cin-ciangkun.
Ya..ya, aku tahu, anak, aku tahu kau dan adikmu ini siapa
dan mengapa ikut membantu Cin-ciangkun. Kalian
Ouwyang-hengte kena diperalat dan mengotorkan tangan
tanpa kalian sadari. Sayang, sayang, sungguh sayang."
"Suheng, mari kita beri mereka pelajaran." kata Lie Eng
yang merasa marah sekali mendengar ucapan Ciu Pek In.
"Beda lagi halnya dengan Cin-siocia ini," kata kakek itu
lagi tanpa memperdulikan kemarahan Lie Eng. "Ia adalah
puteri Cin-ciangkun dan sudah seharusnya menurut jejak
kaki ayahnya."
"Orang tua, kami datang ke sini bukan hendak


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan obrolan kosong. Beritahukan apa maksud
kalian mengurung kami, jangan kira kami bertiga takut."
tiba-tiba Ouwyang Bu membentak sambil melangkah maju
dengan dada terangkat.
"Suhu, jangan kasih hati kepada orang kasar ini." tibatiba seorang gadis yang berpakaian laki-laki meloncat maju
dari belakang kakek itu. Ia adalah seorang gadis yang baru
berusia kurang lebih tujuh-belas tahun, wajahnya manis dan
sepasang matanya bersinar tajam dan berani. Ia menatap
wajah Ouwyang Bu dengan marah sekali.
"Kau anak kecil mau apa?" Ouwyang Bu membalas
membentak sambil tersenyum mengejek. Gadis itu marah
sekali, sambil membanting-bantingkan kakinya ia berkata
kepada Ciu Pek In.
"Suhu, biarkan teecu memberi pelajaran kepadanya."
Tiba-tiba kakek itu nampak gembira. Ia memberi tanda
kepada semua orang untuk mundur dan memperlebar
kurungan. Lalu katanya kepada gadis muridnya itu, "Siauw Leng,
kau selalu menganggap dirimu paling pandai. Kaukira anak
muda ini makanan lunak" Ha, kau salah sangka. Tapi
biarlah kau mencobanya." Kemudian ia berpaling kepada
Ouwyang Bu dan berkata,
"Anak muda, muridku yang bodoh ini hendak minta
sedikit pelajaran darimu, harap kau tidak mengecewakannya."
Ouwyang Bu tidak suka melihat gadis yang dianggapnya
memandang rendah padanya itu, tapi ia juga tidak senang
bertempur melawan seorang anak perempuan. Ia merasa
tidak ada harganya dan memalukan, tapi melihat sinar mata
gadis itu ditujukan padanya dengan menghina, ia lalu
melangkah setindak lagi ke depan dan berkata,
"Boleh, boleh. Kau hendak bertanding dengan tangan
kosong atau senjata?"
Gadis muda yang berpakaian laki-laki dan bernama
Siauw Leng itu tersenyum, dan tampaklah sebaris gigi yang
putih dan rapi. "Kau bersikap seperti orang yang mau
menang saja," katanya, "kulihat kau membawa-bawa
pedang, mari kita bermain pedang." Ia lalu menghunus
senjatanya yang ternyata adalah sebatang pedang yang
berkilauan terkena cahaya bulan
Biarpun merasa gemas, mereka masih ingat akan sopan
santun orang berpibu (beradu kepandaian) dan mereka
bukanlah sedang berhadapan sebagai musuh hendak
bertempur, oleh karena itu terlebih dulu mereka saling
memberi hormat dengan menjura.
"Awas pedang." tiba-tiba gadis itu setelah menjura
berseru nyaring dan pedangnya berkelebat membuka
serangan yang cukup cepat. Ouwyang Bu cepat menangkis
dan menggunakan tenaga sepenuhnya dengan maksud
membuat pedang lawannya terpental dan membuat gentar
hati gadis itu. Tapi si gadis bergerak gesit dan pedang yang
hendak disabet lawan itu cepat ditarik mundur lalu
diteruskan dalam serangan kedua yang lebih berbahaya.
Diam-diam Ouwyang Bu terkejut juga melihat kegesitan
dara ini, maka ia tidak mau berlaku sembrono dan bersilat
lebih hati-hati. Ia sengaja menanti serangan-serangan lebih
dulu untuk mengukur kepandaian gadis itu dan melihat
sampai di mana kehebatannya.
Sementara itu, Ouwyang Bun dan Lie Eng berdiri
tenang-tenang saja setelah memasukkan kembali pedang ke
dalam sarung pedang masing-masing. Mereka lalu
menonton pertempuran itu dengan hati tertarik karena
ternyata bahwa gadis muda itu memiliki ilmu pedang yang
hebat sekali. Hal inipun terasa benar oleh Ouwyang Bu. Ia tadinya
mempertahankan diri dengan tenang untuk mengukur
kepandaian gadis itu, tapi alangkah herannya ketika melihat
betapa ilmu pedang gadis itu luar biasa hebatnya. Terpaksa
ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya karena tiba-tiba ia
teringat bahwa gadis muda ini adalah murid dari Sin-liong
Ciu Pek In, seorang ahli pedang dan teringatlah ia akan
penuturan susioknya bahwa Ciu Pek In memiliki
kepandaian tunggal yang istimewa, yakni Sin-liong Kiamsut (Ilmu Pedang Naga Sakti). Kalau begitu kiam-sut gadis
inipun tentu Sin-liong Kiam-sut.
Ouwyang Bu lalu mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk mengalahkan lawannya. Oleh karena
itu, maka sebentar saja keduanya bertempur hebat dan seru
sekali. Keduanya saling mengeluarkan ilmu pedang yang
hebat dan cepat gerakannya hingga merupakan dua gulung
sinar pedang saling melibat dan membelit.
Dari permainan pedang kedua anak muda ini ternyata
bahwa ilmu pedang gadis itu masih setingkat lebih tinggi
dari ilmu Ouwyang Bu. Akan tetapi pemuda itu lebih
matang latihannya dan juga lebih besar tenaganya. Ketika
pertempuran sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba berkelebat
bayangan putih dan suara kakek itu terdengar.
"Sudah cukup, sudah cukup." Siauw Leng segera
meloncat mundur sedangkan Ouwyang Bu tiba-tiba merasa
betapa pedangnya tertolak oleh tenaga yang besar dan kuat
hingga hampir terlepas dari pegangannya. Maka terpaksa
iapun meloncat mundur. Pemisah itu, yakni Ciu Pek In,
tertawa dan berkata kepada muridnya,
"Betul tidak kata-kataku tadi" Kau baru berlatih pedang
tiga tahun, mana dapat melawan murid dari Pat-jiu Lomo?" Ouwyang Bu makin kaget dan heran mendengar bahwa
gadis itu baru saja berlatih pedang tiga tahun, sedangkan ia
yang sudah berlatih lebih dari delapan tahun masih juga
belum dapat mengalahkan gadis itu. Maka diam-diam ia
merasa khawatir, karena kalau sampai terjadi pertempuran,
maka pihaknya tentu takkan mungkin menang.
Pada saat itu, gadis yang seorang lagi, yang agaknya
kakak perempuan.dari Siauw Leng, juga berpakaian lakilaki, maju dan berkata kepada kakek itu, "Suhu, aku juga
ingin sekali mengukur tenaga tamu-tamu kita."
"Kau sudah lebih lama belajar daripada adikmu, masih
juga berlaku seperti kanak-kanak?" suhunya berkata sambil
tertawa. Sementara itu, Lie Eng merasa penasaran dan
maju sambil berkata,
"Kalau kau gatal tangan, marilah mencoba kepandaianku." ia menantang.
"Sumoi, jangan sembrono."
Siauw Keng, gadis yang berpakaian laki-laki yang kedua
itu, hanya tersenyum dan memandang suhunya, seakanakan meminta izin. Tapi Ciu Pek In berkata kepada Lie
Eng, "Cin-siocia, kita sudahi saja segala permainan berbahaya
ini. Kita bukanlah musuh. Kalian bertiga dengarlah dan
boleh sampaikan kepada Cin-ciangkun. Kami sama sekali
tidak ingin bermusuhan dengan dia, bukan berarti kami
takut kepadanya, tapi kami anggap Cin-ciangkun bukanlah
musuh kami."
"Kalau tidak bermaksud menyerang markas kami, untuk
apa kalian berkumpul di luar tembok besar ini?" Lie Eng
memotong dengan suara keras.
Tertawalah Ciu Pek In mendengar kata-kata nona itu.
"Ha-ha. Ayahmu telah kena kami tipu dengan siasat
kami. Memang tadinya pemimpin kami, Thio Sian Tiong
yang namanya tentu telah kau dengar, berkumpul di sini
dengan semua anggauta. Maka kaisar lalu mengerahkan
tenaga ayahmu dan barisannya untuk mencegat di tembok
besar hingga lima li panjangnya. Tapi apa kau-kira orang
dapat menjaga sepanjang tembok yang laksaan li
panjangnya ini" Thio-enghiong telah memimpin barisannya
menerobos melalui tembok besar dari sebelah barat dan
yang sekarang berada di sini hanyalah beberapa kaum tani
dan kawan-kawan yang datangnya menggabungkan diri
terlambat. Pada waktu ini, barisan Thio-enghiong telah
masuk ke pedalaman dan entah telah menyerbu sampai di
mana. Ha-ha-ha.."
Pucatlah muka Lie Eng mendengar ini. Ayahnya telah
kena tipu. Mereka semua telah menjaga beberapa lama di
tempat itu dengan sia-sia belaka.
"Kalau memang kami mengambil sikap bermusuhan,
apakah kalian kira akan dapat keluar dari tempat ini?" Ciu
Pek In kembali tertawa.
Lie Eng mendengar semua ini lalu cepat membalikkan
tubuh dan lari pulang, diikuti oleh Ouwyang Bu.
"Sumoi...... Bu-te...... Tunggulah sebentar." Tapi kedua
anak muda itu terus lari cepat tanpa menoleh lagi.
Ouwyang Bun ragu-ragu hendak menyusul pula, tapi tibatiba Ciu Pek In berkata kepadanya,
"Ouwyang-hengte, dengarlah kata-kataku sebentar. Kau
adalah seorang muda yang panjang pikirannya dan cerdik,
apakah masih juga belum dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang salah" Masih tidak percayakah kau
bahwa perjuangan para pemberontak ini suci dan mulia?"
Dan tiba-tiba Ouwyang Bun mengurungkan niatnya
untuk mengejar adik dan su-moinya.
"Bagaimana siauwte tidak merasa ragu dan bimbang"
Memang kalau melihat lo-cianpwe dan saudara-saudara
yang berada di sini, siauwte merasa tak percaya bahwa cuwi
sekalian tergolong orang-orang yang jahat, perampok dan
mengacau rakyat seperti yang sering kudengar dikatakan
orang. Akan tetapi sebaliknya, apakah orang-orang seperti
suhu, susiok bahkan ayahku sendiri dapat keliru dan salah?"
Ciu Pek In tertawa sebelum menjawab. "Aku tidak
pernah mempersalahkan susiok-mu. Cin-ciangkun adalah
seorang perwira dan perajurit dan memegang teguh tugas
kewajibannya sebagai seorang perajurit sejati. Juga suhumu
tak dapat dipersalahkan, karena selain orang tua itu selalu
berada di atas gunung hingga tak pernah melihat keadaan
dunia ramai dan tidak tahu pula kelaliman raja dan para
pembesar korup, juga karena ia percaya penuh kepada sutenya, yakni Cin-ciangkun, yang dianggapnya sedang
bertugas membasmi segala gerombolan perampok jahat.
Adapun tentang orang tuamu, yah, aku tak dapat memberi
sambutan apa-apa terhadap pandangan seorang hartawan
besar seperti ayahmu itu."
Diam-dfem Ouwyang Bun merasa heran sekali terhadap
orang tua yang agaknya mengerti segala apa tentang dirinya
dan guru serta orang tuanya.
"Anak muda, akupun tidak menyalahkan kau, karena
kau masih hijau dan belum berpengalaman. Cobalah kau
merantau dan lihatlah dunia dengan segala isinya ini sambil
mempergunakan pertimbanganmu,
maka kau akan mengerti mengapa orang seperti kami sampai memberontak
terhadap kaisar yang memegang pemerintahan pada masa
ini." Dengan hati bingung dan pikiran kacau, Ouwyang Bun
akhirnya minta diri dan lari pulang ke markas Cinciangkun. Ternyata sumoinya yang sudah tidak tahan lagi
pada malam itu juga pergi ke kamar ayahnya dan
membangunkan orang tua ini lalu menceritakan pengalamannya. Cin Cun Ong mendengar ini menjadi marah sekali dan ia
berjalan hilir-mudik di dalam kamarnya sambil menggigitgigit bibir dengan gemas.
"Kurang ajar. Pantas saja mereka tak pernah menyerang,
tidak tahunya mengatur muslihat curang. Celaka, kita harus
cepat-cepat mundur untuk menjaga serangan mereka di
pedalaman."
Ketika Ouwyang Bun tiba di markas, ternyata panglima
tua itu telah mengumpulkan semua perwira dan pemimpin
pada malam hari itu juga.
"Besok pagi-pagi, di waktu fajar menyingsing, kita semua
harus mundur dan berpencar menjadi lima. Sebagian harus
tinggal di sini untuk tetap menjaga, kalau-kalau ada barisan
pembantu pemberontak hendak lewat di sini. Aku sendiri
pimpin barisan induk langsung menuju ke kota raja. Sisa
barisan semua menuju ke barat dan bermarkas di kota Seebun, bersatu dengan kesatuan di bawah pimpinan Lu-ciangkun. Jurusan barat itu harus diperkuat karena kuduga
bahwa barisan pimpinan Thio Sian Tiong ini tentu hendak
bergabung dengan sisa barisan Lie Cu Seng dari barat."
Setelah memberi instruksi secara cermat kepada semua
perwira dan pemimpin regu, pertemuan lalu dibubarkan
untuk memberi kesempatan kepada mereka bersiap dan
berkemas. Cin Cun Ong lalu memanggil menghadap ketiga
orang tua yang menjadi pembantunya itu, yakni Khu Ci
Lok si Huncwe Maut dan kedua temannya.
"Sam-wi ketahui sendiri bahwa tugasku di sini gagal.
Kalau memang sam-wi berniat membasmi kaum pemberontak, silakan menggabung dengan para pahlawan


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keraton yakni barisan Sayap Garuda atau Kuku Garuda.
Dapat juga sam-wi bekerja sendiri, karena kini pemberontak
telah masuk di pedalaman hingga di mana-mana mereka
mungkin bergerak."
Kemudian panglima tua itu memberi bekal beberapa
kantung emas dan perak kepada tiga orang itu sambil
memberi petunjuk-petunjuk. Lalu ia panggil Ouwyanghengte. "Kalian berdua telah berjasa karena dengan kenekatanmu keluar dari sini malam tadi dan telah
membuka rahasia mereka. Kalian merasa bosan dan tidak
senang karena di sini menganggur saja" Nah, di pedalaman
akan terjadi banyak pertempuran dan kalian boleh
membantu aku membasmi anggauta gerombolan itu
sebanyak mungkin. Kita menuju ke kota raja."
Ouwyang Bun berkata, "Susiok, kalau kiranya susiok
mengijinkan, teecu ingin sekali meluaskan pengalaman
dengan merantau, karena sejak turun gunung teecu terus
langsung ke sini dan belum mendapat pengalaman. Maka,
ijinkanlah teecu berdua menuju ke kota raja dengan jalan
memutar dan biarlah teecu menjumpai susiok di kota raja
dan menggabungkan diri di sana."
Cin Cun Ong tidak keberatan dan memberi pesan agar
kedua murid keponakan itu berlaku hati-hati di sepanjang
jalan. Maka pada keesokan harinya berangkatlah semua orang
memenuhi tugas masing-masing.
Berbeda dengan rombongan Cin-ciangkun yang menuju
langsung ke selatan, Ouwyang-hengte memutar ke barat.
Tapi ketika mereka melarikan kuda belum ada duapuluh li
meninggalkan benteng itu, tiba-tiba dari belakang terdengar
suara kaki kuda dilarikan dengan cepat dan ketika mereka
menengok, ternyata yang mengejar mereka adalah Cin Lie
Eng. "Eh, sumoi, engkau menyusul kami?" terdengar
Ouwyang Bu berseru girang sekali hingga kakaknya diamdiam memperhatikan adiknya ini, karena semenjak pergi
tadi adiknya tampak tidak gembira, tapi kini tiba-tiba
melihat sumoi itu lalu berobah menjadi girang sekali.
"Aku hendak ikut kalian merantau." jawab Lie Eng
dengan muka merah karena tadi ia terlalu cepat melarikan
kudanya. "Sumoi, apakah hal ini sudah mendapat persetujuan
ayahmu?" tanya Ouwyang Bun.
Lie Eng memandangnya dengan mata berseri. "Tentu
saja, twa-suheng. Ayah juga menganggap ada baiknya aku
mencari pengalaman, sekalian memata-matai keadaan dan
gerakan lawan."
Ouwyang Bun tak dapat mengatakan ketidakcocokan
hatinya terhadap sumoinya ini dan terpaksa menerimanya.
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan
perlahan sambil mengobrol dan melihat-lihat pemandangan
di sepanjang jalan.
Di sepanjang jalan, dengan diam-diam Ouwyang Bun
memperhatikan keadaan rakyat dan keadaan kampungkampung serta kota-kota. Sedikit demi sedikit terbukalah
matanya terhadap kenyataan yang pahit dan menyakitkan
hati. Memang, semenjak pertemuannya dengan Ciu Pek In,
dalam hatinya timbul keraguan akan kesucian tugas yang
sedang dijalankan oleh susioknya. Dalam pandangannya,
Ciu Pek In tampak begitu gagah dan budiman, sedangkan
kedua nona yang menjadi murid Ciu Pek In tampak begitu
cantik dan gagah. Orang-orang macam itukah yang harus
dibasmi" Ia kini melihat betapa semua sawah ladang yang berada
di bumi Tiongkok sebagian besar dimiliki oleh beberapa
gelintir orang saja, pertama-tama oleh para pembesar
negeri, dari lurah sampai yang berpangkat tinggi, kedua
oleh para hartawan yang seakan-akan menjadi raja kecil di
kampung-kampung.
0o-dw-o0 Pada suatu hari mereka bertiga masuk ke dalam sebuah
kampung yang cukup besar dan ramai. Ketika tiba di
sebuah jembatan, terpaksa mereka hentikan kuda mereka
karena jembatan itu penuh dengan orang-orang. kampung
yang sedang mengelilingi seorang laki-laki tua yang sedang
menangis. Mereka memegangi kedua lengan orang tua itu
dan membujuk-bujuk-nya. Ouwyang Bun segera meloncat
turun dari kuda dan bertanya kepada seorang di antara
mereka, " "Eh, laoko, apakah yang terjadi di sini?"
Orang itu menengok dan ketika melihat Ouwyang Bun
dan kedua kawannya ber pakaian sebagai orang-orang
gagah berpedang, segera memberi hormat dan berkata
perlahan, "Siapa lagi kalau bukan seorang daripada pembesarpembesar busuk yang menyusahkan kehidupan kami"
Sekarang yang menjadi korban adalah empek she Lim ini.
Ia adalah penduduk kampung ini semenjak mudanya, hidup
sebagai petani miskin. Tapi ia cukup beruntung karena anak
perempuannya telah kawin dengan seorang pemuda tani
yang pandai bekerja hingga penghidupan empek ini dan
anaknya terjamin. Empek Lim demikian senang melihat
keadaan anaknya yang telah kawin dengan baik-baik hingga
ia ingin menyatakan terima kasihnya kepada Yang
Mahakuasa maka diajaknya anak dan mantunya pergi ke
kota Lam-ciu untuk bersembahyang di kelenteng. Tapi tibatiba datang malapetaka menimpanya. Di dalam kota, anak
perempuannya terlihat oleh tikwan kota Lam-ciu yang
terkenal mata keranjang, hingga pembesar itu mengucapkan
kata-kata yang menghina dan memalukan anak perempuan
empek Lim itu. Tentu saja anaknya menjadi marah dan
melawannya. Tikwan itu lalu bertindak dan anak mantu
empek Lim ditangkap dengan tuduhan yang telah men
bosankan kami."
"Tuduhan apa?" Ouwyang Bun bertanya penasaran,
sementara itu, Ouwyang Bu dan Lie Eng juga sudah
mendekat dan mendengarkan.
0oo-d-w-oo0 Jilid IV "APALAGI" Tentu saja tuduhan sebagai kaki tangan
pemberontak. Juga anak perempuannya ditangkap. Kemudian pembesar itu diam-diam memberi tahu kepada
empek Lim bahwa, jika ia memberikan a-nak perempuannya dengan baik-baik untuk menjadi bini muda
tikwan itu, maka anak mantunya boleh pulang dengan
aman, akan tetapi kalau tidak, maka anak mantunya akan
dihukum terus, sedangkan anak perempuannya juga akan
ditahan." Orang itu menghela napas.
"Dan sekarang mengapa banyak orang membujuk-bujuk
empek itu di sini?" tanya Lie Eng yang juga sangat tertarik
dan penasaran oleh kelakuan tikwan jahanam itu.
"Pagi tadi empek Lim hendak bunuh diri dan terjun ke
dalam sungai yang curam itu, maka ia dicegah oleh, orang
banyak dan dibujuk-bujuknya supaya jangan mengambil
keputusan pendek dan-nekat."
Ouwyang Bu tidak sabar lagi. Ia bertindak maju
mendekati empek Lim itu dan berkata,
"Orang tua, jangan kau khawatir. Kami bertiga sanggup
menolongmu."
Kakek itu heran mendengar kata-kata ini karena
terdengar baru dan ganjil. Semenjak ia mendapat kesusahan
ini, orang-orang hanya menghiburnya dan minta ia
menyerahkan nasib kepada Yang Maha Kuasa. Tapi anak
muda ini sanggup menolongnya, maka ia lalu mengangkat
muka memandang. Melihat betapa anak muda itu
berpakaian dan berwajah tampan dan gagah, serta di
pinggang tampak gagang pedang,, tiba-tiba ia mendapat
harapan besar. Ia lalu maju berlutut di depan Ouw-yang Bu
dan kedua kawannya yang juga mendekatinya.
"Kalau enghiong bertiga dapat menolong tak dan
mantuku, aku yang tua akan bersembahyang siang malam
memohon kepada Thian agar membalas budi kalian orangorang gagah."
Kata-kata yang diucapkan dengan bibir gemetar dan
mata basah ini membuat Lie Eng merasa terharu.
"Hayo antar kami ke kota Lam-oiu untuk bertemu
dengan tikwan itu." kata gadis itu dengan gagah.
Melihat peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya
itu, yakni betapa ada orang-orang muda yang hendak
melawan tikwan, orang-orang kampung merasa heran dan
gembira dan segera ada orang yang meminjamkan seekor
kuda kepada empek Lim ke Lam-ciu.
Ketika mereka tiba di kota Lam-ciu mereka langsung
menuju ke gedung tikwan. Melihat gedung yang angker dan
megah itu, empek Lim menggigil karena bagaimana mereka
dapat melawan seorang pembesar yang memiliki kekuasaan
Tapi Lie Eng menghiburnya.
"Jangan kau takut, lopeh, aku yang tanggung bahwa,
anak dan mantumu pasti akan dibebaskan?"
Mendengar suara gadis yang gagah itu, empek Lim
merasa agak terhibur. Kedatangan mereka berempat
disambut oleh penjaga pintu dan Ouwyang Bu berkata
kepadanya, "Beritahukan kepada tikwan bahwa kami hendak
bertemu." Penjaga itu menjadi marah melihat lagak mereka dan
sebentar saja lima orang penjaga telah menghadapi mereka.
"Kami bertiga sengaja mengantar empek Lim ini untuk
menghadap kepada tikwan dan minta keadilan," kata
Ouwyang Bun yang tidak mau menerbitkan keributan
dengan penjaga itu.
"Tunggu saja di sini, akan kami laporkan..' kata kepala
penjaga yang lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian
penjaga itu datang dan mereka diperkenankan masuk, tapi
dikawal oleh belasan penjaga.
Tikwan kota Lam-ciu adalah seorang gemuk yang
bermulut lebar. Ketika ia keluar dengan pakaian kebesaran,
wajahnya nampak pucat dan kepalanya dibalut. Begitu
keluar dan melihat para tamunya yang memakai pedang di
pinggang, ia segera menuding ke arah Ouwyang-hengte dan
Lie Eng sambil berseru keras,
"Nah, inilah orang-orangnya. Tangkap... tangkap
mereka......"
Para penjaga yang belasan jumlahnya itu segera maju
mengurung hingga Ouwyang-hengte dan Lie Eng menjadi
marah sekali. Mereka cepat mencabut pedang, dan Lie Eng
meloncat bagaikan seekor burung ke arah tikwan itu lalu ia
pegang pundaknya dan pedangnya ditempelkan di lehernya.
"Kalau orang-orangmu bergerak, maka lehermu akan
kuputuskan lebih dulu." ancamnya dengan marah dan
gemas. "Ampun.... ampun, lihiap.... ampun.," Tikwan itu
ketakutan dan ia membentak para kaki tangan, "Eh,
kalian... mundur...."
"Kau anjing gemuk. Tidakkah kau tahu sedang
berhadapan dengan siapa" Kalau aku beri tahu kepada
ayahku, pasti dengan tangannya
sendiri ia akan mematahkan batang lehermu. Kau kenal ayah" Namanya
Cin Cun Ong, kenalkah kau?""
Makin takutlah tikwan itu mendengar nama Cin Cun
Ong. Ia kini ingat bahwa Cin-ciangkun yang berpengaruh
itu mempunyai seorang puteri yang gagah perkasa. Jadi
inikah puterinya itu"
"Ampun, lihiap... ampun. Apakah salahku maka lihiap
memberi pengajaran" A-ku... aku tidak bersalah apa-apa
terhadap Cin-ciangkun...."
"Kau memang tidak bersalah terhadap kami, tapi apa
yang telah kaulakukan terhadap keluarga Lim" Lihatlah
kepada empek ini, apa yang telah kauperbuat terhadap anak
perempuan dan menantunya?"
"Aku.... aku..... ah, mereka itu adalah pemberontakpemberontak, lihiap. Menantunya adalah anggauta pemberontak, maka kusuruh tangkap." Tiba-tiba ia
mendapat pikiran baik dan berkata dengan penuh semangat.
"Lihatlah ini, lihiap. Aku dapat membuktikan bahwa
menantu kakek Lim adalah pemberontak jahat, bahkan
kakek Lim inipun tadinya hendak kusuruh tangkap hari ini
juga. Malam tadi telah datang kawan-kawan menantunya
dan apa yang mereka lakukan terhadapku" Lihatlah,,
sendiri." Tikwan itu lalu melepaskan pembalut kepalanya dan
ternyata telinga kirinya terpotong dan lenyap. Kemudian
secara singkat tikwan itu menceritakan betapa tadi malam
kamarnya didatangi dua orang yang masuk dari jendela.
Orang-orang itu mengancamnya untuk

Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan menantu dari anak kakek Lim dan dengan pedang mereka
lalu menyabet putus telinga kirinya. Dan di dalam
kamarnya, di dinding yang putih, mereka gunakan darah
yang mengucur dari telinganya untuk melukis sebatang
bunga bwee. Mendengar penuturan ini, Lie Eng saling pandang
dengan Ouwyang-hengte.
"Aku tidak percaya, yang perlu sekarang lekas keluarkan
dan bebaskan anak dan menantu kakek ini."
Tapi pada saat itu, datang masuk sambil berlari-lari
seorang berpakaian penjaga.
"Celaka, taijin. Dua orang penjaga penjara terbunuh mati
dan menantu kakek Lim telah dibawa kabur penjahat.
Juga..... anak perempuannya telah lenyap dari kamar
tahanan." Tikwan itu menjadi pucat. "Nah, inilah bukti lebih nyata
lagi, lihiap. Mereka itu pasti pemberontak-pemberontak
jahat. Lekas tangkap anjing tua ini." ia memerintahkan
orang-orangnya.
Tapi Lie Eng mencegah. "Lepaskan dia. Dia orang tua,
tidak tahu apa-apa. Lim-lopeh, sekarang pulanglah kau.
Anak dan menantumu ternyata telah ditolong oleh orangorang lain." Suara Lie Eng mengandung nada tak senang
karena kini iapun percaya bahwa menantu kakek Lim itu
tentu anggauta pemberontak.
"Mari kita periksa lukisan di dinding kamarmu," katanya
kepada tikwan itu yang lalu mengantar mereka bertiga ke
kamarnya. Tikwan ini benar-benar takut dan tunduk kepada
Lie Eng, karena nama Cin Cun Ong yang terkenal, sebagai
seorang jenderal perang yang keras, jujur, dan suka
bertindak terhadap siapa saja yang tidak benar dalam
anggapannya itu membuat semua pembesar merasa takut.
Kini menghadapi puleri panglima tua itu, tentu saja ia
merasa gemetar apalagi karena tahu bahwa gadis ini
memiliki kepandaian tinggi dan kini datang berkawan pula.
Benar saja, di atas dinding yang putih terdapat lukisan
setangkai bunga bwee yang indah, dilukis dengan
menggunakan tinta darah.
"It-to-bwee (Setangkai Bunga Bwee)?" Siapakah mereka
ini?" tanya Lie Eng. Tapi Ouwyang-hengte yang baru saja
muncul dalam dunia ramai, tentu saja belum pernah
mendengar nama ini.
Setelah mereka keluar dari gedung tikwan, Ouwyang
Bun berkata kepada Lie Eng,
"It-to-bwee tidak ada hubungannya dengan kita, untuk
apa kita urus mereka" Asalkan mereka tidak mengganggu
kita, biarkan sajalah. Lebih baik kita lanjutkan perjalanan
kita." Lie Eng mengerutkan jidatnya yang berkulit halus.
"Tidak tahukah kau bahwa mereka itu mungkin anggautaanggauta pemberontak yang berada di kota ini, kita harus
cari dan basmi mereka. Demikianlah pesan ayah. Coba saja
ingat, malam tadi mereka telah melukai seorang tikwan dan
membunuh mati dua orang penjaga."
"Tapi mereka lakukan itu untuk menolong empek Lira
dan anak menantunya. Bukankah kita juga tadinya
bermaksud menolong mereka" Sudah sepatutnya tikwan
jahanam itu mendapat hukuman." kata Ouwyang Bun.
"Kalau semua orang boleh saja membunuh pegawai
pemerintah, maka di manakah kewibawaan pemerintah.
Tidak, twa-suheng, bagaimanapun, sudah kewajiban kita
untuk mencari It-to-bwee ini dan menyelidikinya, apakah
betul-betul orang-orang ini anggauta pemberontak yang
perlu dibasmi."
Ouwyang Bun melihat betapa adiknya diam saja
mendengar perbantahannya dengan Lie Eng, lalu bertanya
untuk minta bantuan,
"Bagaimana pikiranmu, Bu-te" Apakah kita harus
mencari mereka itu atau kita biarkan saja dan melanjutkan
perjalanan kita?"
Setelah memandang kepada Lie Eng, Ouwyang - Bu
menjawab, "Aku sependapat dengan suraoi."
Mendengar jawaban ini, Lie Eng nampak gembira sekali
dan lalu berkata dengan suara halus kepada Ouwyang Bun,
"Twa-suheng, mungkin kau juga benar dan mungkin
mereka ini bukanlah anggauta pemberontak, tapi hanyalah
orang-orang gagah yang merantau dari dunia kang-ouw.
Tapi tidak ada salahnya kalau kita mencoba selidiki dulu.
Kalau mereka ternyata orang-orang gagah, lebih baik lagi,
kita bisa berkenalan dengan mereka. Bukankah ini baik
sekali?" kata-kata ini diikuti senyuman manis hingga
Ouwyang Bun terpaksa menurut.
"Tapi ke mana kita harus mencari mereka?" tanya
Ouwyang Bu. Sebelum Lie Eng dapat menjawab pertanyaan sukar ini,
Ouwyang Bun yang berotak cerdik berkata,
"Mereka telah menolong dan membawa pergi anak
perempuan serta menantu empek Lim. Maka bagaimanapun juga, mereka pasti akan menghubungi
empek Lim. Kalau hendak mencari tahu tentang mereka,
tiada jalan lain kecuali menghubungi kakek itu."
Lie Eng bertepuk tangan memuji. "Twa-suheng memang
cerdik." Ouwyang Bun melirik ke arah gadis itu dan diam-diam
dalam hatinya ia memuji,
"Ah, kau sendiri yang cerdik luar biasa. Kaukira aku
tidak tahu bahwa pujian-pujianmu
ini sengaja, kaukeluarkan untuk menyenangkan hatiku karena kalah
dalam perbantahan tadi?"
Memang Lie Eng adalah seorang gadis yang berpikiran
cepat dan cerdik. Sebelum Ouwyang Bun mengeluarkan
pendapatnya, memang ia telah berpendapat bahwa mereka
harus mencari melalui empek Lim, tapi ia terlampau cerdik
untuk menyatakan ini dan biarlah Ouwyang Bun yang
mengemukakan pendapatnya. Gadis ini setelah kenal baik
dengan Ouwyang-hengte, dapat membedakan, kedua
saudara itu, tidak saja membedakan rupa, tapi juga
keadaan dan perangai mereka. Ia tahu bahwa Ouwyang Bu
keras hati dan jujur, tapi tidak sepandai Ouwyang Bun yang
sangat cerdik dan berbudi halus itu.
Hanya satu hal yang tak diketahui oleh gadis itu, yakni
bahwa di dalam dada Ouwyang Bun telah timbul perang
pertimbangan dan perasaan mengenai baik buruk dan benar
salahnya orang-orang yang mereka sebut pemberontak jahat
itu. Sebaliknya, dalam pikiran Ouwyang Bun sama sekali
tiada sangkaan bahwa diam-diam gadis yang gagah dan
cantik jelita itu telah jatuh hati kepadanya.
Sementara itu, sikap Ouwyang Bu yang terus terang dan
jujur membuat Ouwyang Bun dan Lie Eng tahu jelas bahwa
pemuda ini mencintai Lie Eng.
Demikianlah, setelah mengambil keputusan, ketiganya
lalu cepat menyusul empek Lim yang pulang ke
kampungnya menunggang kuda pinjamannya dengan cepat.
Dan ketika empek ini sudah mengembalikan kuda kepada
pemiliknya dan pulang ke rumah, ia mendapatkan sebuah
surat di dalam kamarnya. Dengan cepat ia buka surat itu
dan tangannya yang sudah tua itu gemetar ketika membaca
isinya: Empek Lim yang baik.
Aku dan kawan-kawanku telah menolong dan membebaskan anak serta menantumu dari cengkeraman
pembesar korup. Tak mungkin menyuruh mereka pulang ke
kampung karena pasti akan dicari oleh pembesar jahanam
itu. Juga dengan suka rela menantumu hendak ikut dengan
kami. Kalau kau hendak bertemu dengan mereka,
datanglah malam ini di hutan sebelah timur kampung
Tanda lukisan It-to-bwee
Girang sekali hati empek Lim membaca surat ini. Ah,
benar saja anak dan- menantunya telah selamat. Tapi
mengapa mereka hendak ikut dengan para penolong itu"
Siapakah mereka ini dan mengapa anak dan menantunya
hendak ikut mereka"
Pada saat itu, dari luar jendela terdengar suara,
"Empek, tolong kauperlihatkan surat itu kepada kami."
Dan sebelum hilang kagetnya tahu-tahu tiga orang dengan
gerakan cepat sekali telah berada di dalam kamarnya
dengan meloncati jendela. Tapi kekagetan kakek Lim segera
lenyap ketika melihat bahwa yang datang adalah tiga anak
muda yang menolongnya tadi. Ia segera menjatuhkan diri
berlutut di depan mereka, tapi Ouwyang Bun cepat
mengangkatnya bangun.
Tanpa sangsi-sangsi lagi kakek-itu memberikan surat
yang baru saja dibacanya kepada Lie Eng. Dara ini
mengangguk-angguk karena ia makin yakin bahwa It-tobwee dan kawan-kawannya adalah para anggauta
pemberontak, dapat diketahui dari sebutan-sebutan mereka
kepada pembesar yang penuh dengan kebencian dan
makian "Lopeh, hati-hatilah kau malam nanti, jangan sampai
ada orang yang mengikutimu," pesan Lie Eng. Mereka
bertiga lalu meninggalkan kakek itu.
"Bagaimana,
twa-suheng. Bukankah mereka itu mencurigakan sekali?" tanya Lie Eng.
Ouwyang Bun harus mengakui bahwa ia kini juga
menyangka bahwa mereka itu adalah anggauta pemberontak. Tapi dugaan ini bahkan mempertebal rasa
kagumnya terhadap sepak terjang kaum pemberontak. Kini
ia dapat menduga mengapa kaum pemberontak itu
demikian banyak mendapat bantuan para petani dan orangorang miskin. Ternyata perbuatan mereka yang selalu
menolong kaum lemah dan miskin tertindas, membuat
rakyat kecil merasa simpati dan membantu mereka, seperti
halnya dengan menantu empek Lim yang telah tertolong
itu, kini secara suka rela agaknyapun hendak masuk
menjadi anggauta pemberontak.
"Lebih baik kita mendahului mereka dan menyelidiki
sekarang juga ke hutan itu, ia utarakan pikirannya. Lie Eng
dan Ouwyang Bu setuju dan berangkatlah mereka ke hutan
di sebelah timur kampung, hutan ini memang lebat dan liar,
penuh pohon siong yang telah puluhan tahun umurnya.
Ouwyang-hengte dan Lie Eng menambatkan kuda
mereka di luar hutan dan masuk hutan dengan jalan kaki.
Mereka tak dapat menggunakan kuda karena kaki kuda
bersuara berisik, menimbulkan kecurigaan .dan mudah
diketahui orang dari jauh.
Pada waktu itu hari telah, mulai gelap, lebih-lebih di
dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar itu. Setelah
masuk di tengah-tengah hutan, ketiga anak muda itu
melihat sekelompok orang duduk mengelilingi api unggun.
Mereka segera menghampiri kelompok orang itu sambil
sembunyi-sembunyi di belakang rumpun. Dan ketika
melihat orang-orang itu, terkejutlah Ouwyang-hengte dan
Lie Eng. Ternyata di antara beberapa orang yang tidak
mereka kenal, tampak kedua orang gadis berpakaian lakilaki murid Ciu Pek In, dan di situ terdapat pula Lui Kok
Pauw, murid Kengan-san yang pernah mereka jumpai di
tempat Gak Liong Ek Si Naga Terbang dari Liok-hui dulu.
Sungguh-sungguh di luar dugaan mereka, dan kini tak dapat
diragukan lagi bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta
pemberontak, bahkan tokoh-tokoh yang penting. Di antara
mereka tampak juga seorang laki-laki muda dan seorang
perempuan yang berpakaian petani tapi berwajah cantik,
maka mereka bertiga dapat menduga bahwa kedua orang
itu tentu anak dan menantu dari kakek Lim.
"Bagaimana, sumoi" Kita serbu saja?" Ouwyang Bu
berbisik perlahan kepada Lie Eng. Melihat bahwa keadaan
para anggauta pemberontak itu tidak sekuat dulu, karena
hanya terdiri dari tujuh orang saja, sedangkan yang sudah
ketahuan kehebatannya hanyalah kedua murid Ciu Pek ln
dan Lui Kok Pauw saja, maka Lie Eng memberi tanda
setuju dengan anggukan kepala.
Tapi Ouwyang Bun berpikir lain. "Sabar dulu," bisiknya,
"lebih baik kita muncul dengan baik-baik dan menanyakan
It-to-bwee yang berada di antara mereka, dan kita lihat saja
sikap mereka bagaimana."
Lie Eng dan Ouwyang Bu sebetulnya tidak menyetujui
sikap sabar terhadap para pemberontak yang jelas menjadi
musuh-musuh mereka itu, tapi tidak mau berbantah pada
saat seperti itu. Mereka lalu keluar dari tempat
persembunyian dan dengan beberapa kali loncatan saja
mereka telah berada di dekat mereka.
Tapi sungguh aneh, orang-orang yang mengelilingi api
unggun itu tidak melihat kedatangan mereka. Bahkan Lui
Kok Pauw hanya menengok sebentar kepada mereka
dengan acuh tak acuh. Murid pertama dari Ciu Pek In,
yakni gadis yang lebih tua daripada Siauw Leng yang dulu


Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah mencoba kepandaian Ouwyang Bu, agaknya
menjadi pemimpin kelompok itu, karena ia segera berdiri
menyambut Ouwyang-hengte dan Lie Eng, menjura sebagai
pemberian hormat lalu berkata,
"Sam-wi telah sudi mengunjungi tempat kami yang
kotor, silakan duduk dekat api. Maaf bahwa kami tak dapat
menyediakan tempat yang lebih baik kepada sam-wi, tapi
agaknya dekat api lebih baik daripada di belakang rumpun
alang-alang itu, ia menunjuk ke arah di belakang rumpun di
mana tadi mereka bertiga bersembunyi.
"Kau sudah tahu bahwa kami tadi bersembunyi di sana,
nona?" tanya Ouwyang Bun kagum.
Nona itu tersenyum dan wajahnya yang gagah itu tibatiba berobah manis sekali, hingga dalam pandangan
Ouwyang Bun, gadis ini bahkan lebih cantik daripada Lie
Eng. Sayang bahwa pakaian dan topinya yang seperti lakilaki itu menyembunyikan kecantikannya.
"Bukankah sam-wi mencari It-to-bwee?"
"Di manakah pemberontak itu?" tiba tiba Lie Eng maju
dan bertanya dengan suara keras.
Gadis itu menghadapi Lie Eng dengan senyum sabar.
"Nona Cin, kau sungguh cantik dan gagah, pantas menjadi
puteri Cin-ciangkun. Kau mau mencari It-to-bwee" Akulah
orangnya, dan namaku Cui Sian."
"Bagus, dan mana kawanmu yang pergi bersamamu
membunuh penjaga penjara?" tanya Lie Eng sambil
mencabut pedangnya.
"Akulah orangnya, kalian sudah kenal padaku, bukan?"
dan meloncatlah Siauw Leng menghadapi Lie Eng. Gadis
yang lincah ini tersenyum dan matanya berseri-seri
memandang ke arah Ouwyang Bu.
"Kalau begitu, menyerahlah kalian." bentak Ouwyang
Bu. Cui Sian tertawa dengan nyaring. "Kalian ini sungguh
harus dikasihani. Benar seperti kata suhu bahwa kalian
adalah tiga batang kembang teratai yang tumbuh di. dalam
lumpur. Tanpa sadar kalian telah menghambakan diri
kepada raja lalim,, memusuhi pejuang-pejuang rakyat.
Tanpa disadari membela para pembesar ganas, pemeras
rakyat jelata." Mendengar ini, Lie Eng tak dapat mengendalikan
kesabaran hatinya lagi.
"Bangsat pemberontak." makinya dan pedangnya
berkelebat menyambar. Tapi dengan gesit sekali Cui Sian
dapat mengelakkan serangan itu sambil mencabut pedang.
"Kau hendak menguji kepandaian" Baik, baik, mari kita
main-main sebentar, agar kau ketahui kehebatan It-tobwee." Maka bertempurlah Lie Eng dan Cui Sian. Keduanya
sama gesit dan sama mahir mempermainkan pedang.
Keduanya sama-sama murid tokoh persilatan yang tenar
namanya. Sebagai puteri tunggal dari Cin Cun Ong, tentu
saja Lie Eng memiliki kepandaian silat dan ilmu pedang
yang luar biasa, karena sepasang pedang (siang-kiam) di
tangannya itu dimainkan dengan ilmu silat pedangberpasang ciptaan ayahnya sendiri yang disebut Im-yang
Siang-kiam-hoat. Begitu ia putar kedua pedangnya,
lenyaplah tubuhnya terbungkus sinar kedua pedangnya itu.
Tapi ia kini menghadapi Cui Sian, murid pertama dari
Ciu Pek In yang terkenal sebagai Si Naga Sakti. Cui Sian
atau yang dijuluki It-to-bwee (Setangkai Kembang Bwee)
segera memutar pedangnya dalam gerakan ilmu silat Sinliong Kiam-sut yang memiliki sinar panjang dan kuat.
Gerakan pedangnya seperti gelombang samudera yang
menelan sinar kedua pedang Lie Eng, tapi karena Lie Eng
mempunyai ilmu pedang Im Yang yang gerakannya sangat
bertentangan yang kiri dengan tenaga kekerasan, sebaliknya
yang kanan digunakan dengan tenaga lembek, dan begitu
sebaliknya hingga untuk beberapa puluh jurus mereka
bertempur dengan hebat dalam keadaan berimbang.
Akan tetapi, setelah bertempur seratus jurus, diam-diam
Lie Eng mengakui bahwa kepandaian lawan ini sungguh
hebat dan luar biasa, dan mulailah ia terdesak.
Tiba-tiba terdengar bentakan Ouwyang Bu yang tidak
enak harus tinggal diam saja melihat Lie Eng terdesak. Ia
menyerbu masuk ke dalam kalangan pertempuran dengan
pedang di tangan. Tapi ia disambut oleh Siauw Leng, yakni
adik dari Cui Sian. Seperti dulu, kedua anak muda ini
bertanding lagi. Tapi kalau dulu mereka hanya bertanding
tangan kosong, kini keduanya menggunakan pedang. Juga
Ouwyang Bu begitu pedangnya terbentur dengan pedang
Siauw Leng, harus mengakui bahwa gadis yang lincah ini
memiliki tenaga lweekang dan gerakan pedang yang hebat
dan merupakan lawan yang kuat.
Ouwyang Bun berdiri bingung. Haruskah ia turun
tangan" Ia melihat bahwa selain Lui Kok Pauw, di situ
masih ada tiga o-rang lagi yang agaknya memiliki
kepandaian tinggi, maka andaikata ia maju pula turun
tangan, belum tentu pihaknya akan mendapat kemenangan,
dan hasil dari serbuan ini tentu hanya akan memperhebat
permusuhan belaka. Oleh karena itu ia mencabut
pedangnya dan meloncat memisah Cui Sian dan Lie Eng
yang sedang bertempur sambil berkata,
"Sumoi, tahan."
Lie Eng melohcat mundur dan merasa girang karena
menyangka bahwa Ouwyang Bun hendak menggantikannya, tapi ia kecewa melihat bahwa Ouwyang
Bun hanya memisah saja, bahkan kini membentak adiknya
supaya menghentikan pertempurannya. Ouwyang Bu
dengan bersungut-sungut juga meloncat mundur dan
pertempuran dihentikan. Orang-orang yang mengelilingi api
unggun tetap di tempatnya tidak bergerak.
"It-to-bwee, kau memang gagah dan maafkan kamikalau mengganggu. Biarlah lain kali kita bertemu pula."
kata Lie Eng dengan hati gemas kepada Ouwyang Bun
yang tak mau membantunya.
"Nona Cin, kau juga hebat," jawab Cui Sian sambil
tersenyum, "sayang kita dilahirkan di tempat yang berbeda,
kalau tidak, aku akan senang sekali bersahabat dengan
kau." Tanpa menjawab dan dengan muka cemberut menandakan bahwa hatinya masih merasa dendam dan
jengkel karena tak dapat mengalahkan lawannya, Lie Eng
lalu meloncat pergi, diikuti oleh Ouwyang Bu. Sementara
itu, Ouwyang Bun menjura kepada Cui Sian sambil berkata,
"Kulihat bahwa nona dan kawan-kawan nona adalah
orang-orang perwira yang memiliki kepandaian tinggi dan
orang baik-baik, tapi mengapa sampai menjadi anggauta
pemberontak?"
Nona itu memandang wajah Ouwyang Bun dengan
tajam dan tiba-tiba muka yang tadinya lemah lembut itu
kini tampak berapi ketika ia berkata,
"Sudahlah. Kau yang dilahirkan di air laut tentu
menganggap bahwa semua air rasanya asin dan tidak tahu
bahwa air daratan adalah air tawar yang rasanya manis.
Berkali-kali kami masih memberi kesempatan hidup kepada
kau dan kawan-kawanmu tapi sekali lagi kita bertemu,
hanya ujung pedanglah yang akan menentukan."
Ouwyang Bun merasa hatinya tertusuk sekali oleh
ueapan ini dan ia makin bimbang dan ragu-ragu.
Menghadapi dua pihak yang bermusuhan ini, ia merasa
terjepit di tengah-tengah seakan-akan orang berdiri di antara
dua api yang bernyala-nyala panas. Akhirnya dengan
menghela napas dan menundukkan kepala ia pergi
menyusul Lie Eng dan Ouwyang Bu.
Setelah mereka bertiga berkumpul kembali, Ouwyang Bu
berkata, "Mereka masih berada di sana, mengapa kita tidak minta
bantuan pembesar kota untuk mengerahkan barisan penjaga
Seruling Perak Sepasang Walet 3 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Seruling Samber Nyawa 4

Cari Blog Ini