Ceritasilat Novel Online

Buddha Pedang Dan Penyamun 4

Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Bagian 4


dari Jambhudvipa. Namun jika kukatakan terbentuk langsung,
tidak berarti bahwa orang-orang Jambhudvipa itu sengaja
datang untuk mengajari. Waktu yang diperlukan untuk
mengenal dan kemudian menghidupi suatu bentuk kebudayaan tentu lama sekali, bisa beratus-ratus tahun
lamanya. Dalam kata menghidupi kebudayaan, pengertian meniru
dan terpengaruh sebetulnya tersingkir, karena dalam
kenyataannya suatu kebudayaan itu pada dasarnya diterima
dan dihidupkan memang karena dikehendaki. Para pedagang
Jambhudvipa yang datang dengan kapal-kapalnya ke Tchen-la
datang menjual dan membeli, tetapi adalah penduduk yang
datang menjemput segala sesuatunya meski tidak diperjual
belikan, seperti igama dengan segala upacara dan
pengungkapannya yang berseni, yang kemudian mewakili
kepentingan penduduk itu sendiri. Tidak mengherankan jika
dalam perjalanan waktu yang panjang, dunia makna yang
sebelumnya dipelajari kemudian justru diajarkan dengan
penguasaan yang meyakinkan. Bukankah pusat kerajaan
Srivijaya di Suvarnabhumi telah menjadi tempat ilmu-ilmu
persiapan wajib dipelajari selama enam bulan, untuk igama
Buddha yang tidak berasal dari Sriv ijaya sendiri, sebelum para
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mahasiswa Negeri Atap Langit bisa menerima ilmu-ilmu igama
langsung dari Nalanda di Jambhudvipa"
Begitu telah berlangsung di Suvarnadvipa, begitu pula
dapat berlangsung di segenap wilayah Kambuja, yang seperti
telah me lupakan betapa segenap pengungkapan seni mereka
dapat dicari akarnya sampai ke Jambhudvipa, dan kini bicara
tentang bahaya peradaban asing dari Negeri Atap Langit.
Bahkan kini mencurigai diriku dan Amrita sebagai mata-mata
penyebar peradaban asing, seolah-olah peradaban itu bisa
membunuh seperti racun!
DIAM-DIAM aku mengangkat kepala, orang yang
memegang cambuk itu mendekat ke arah kami! Aku pun batal
mengangkat kepala, melanjutkan anyaman tikar pandanku.
Kulihat kaki yang melangkah dan ujung cambuknya yang
menyerabut. Sampai di hadapan kami ia berjongkok.
"Tidak pernah bicara he" Orang asing kalian?"
Dadaku berdegup. Apa yang harus kulakukan" Bukanlah
karena aku atau Amrita takut menghadapinya, tetapi karena
penyamaran yang harus dijaga supaya tidak terbuka. Kami
telah mengenal terlalu banyak hal, yang hanya mungkin
didapatkan dalam penyamaran sebagai rakyat jelata. Semakin
kusadari sekarang betapa terasingnya kehidupan di rimba
hijau dan sungai telaga dunia persilatan, tempat setiap saat
nyawa dipertaruhkan demi kesempurnaan ilmu silat dan
kesempurnaan manusia. Semakin terasa betapa terasingnya
jalan kehidupan yang telah menjadi pilihan para pendekar,
ketika kesempurnaan diterjemahkan ke dalam dua istilah yang
bertentangan seperti hidup dan mati.
Di dunia awam tempat kami menyamar sebagai rakyat
jelata, kesempurnaan hanyalah suatu kata dalam dongeng,
sesuatu yang bisa diucapkan tetapi tidak mungkin dinyatakan,
apalagi senyata hidup atau mati. Bagi rakyat jelata,
kesempurnaan tidaklah penting, dan keselamatan hidup
didapatkan kalau bisa tanpa pertaruhan sama sekali. Tidaklah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
terlalu mengherankan jika kemudian rakyat jelata ini
dikerahkan untuk berperang, mereka akan berebut untuk
mendapat tempat di lapisan paling belakang. Namun dunia
awam adalah dunia yang menarik, karena hidup selalu
dirayakan dengan sangat amat selayaknya, sehingga tidak
pernah dipertaruhkan untuk ditinggalkan, sebagaimana
sebaliknya telah dilakukan mereka yang menempuh jalan
pedang. "Biarkan mereka, apalah anehnya melihat orang asing yang
mengembara di Kambuja" Jangan kau ganggu mereka!"
Namun orang yang berjongkok itu tidak juga beranjak. Ia
mendekati Amrita yang juga masih menganyam sambil
menunduk. Aku berdebar, karena Amrita akan lebih mudah
naik darah daripadaku. Memang adalah juga kehidupan orang
persilatan yang selama ini dijalaninya, tetapi betapapun ia
adalah putri istana, anak raja yang tidak pernah dibantah dan
mengalami penghinaan dalam hidupnya. Dengan ilmu silatnya
yang tinggi, sangat mudah baginya membuat pemegang
cambuk itu berkalang tanah. Aku tetap menganyam dan
meningkatkan kewaspadaan. Di luar terdapat jalanan ramai, di
seberangnya terdapat pasar, tempat penganyaman tikar ini
sendiri adalah sebuah tempat luas dalam satu atap yang
menampung sekitar dua puluh pekerja. Sangat tidak
menguntungkan jika terjadi keributan.
Dengan gagang cambuknya ia mengangkat dagu Amrita,
yang karenanya terpaksa berhenti menganyam.
"Kenapa daku seperti pernah mengenali wajah gembel kecil
ini?" Menyamar sebagai paria pengembara artinya memang
berbusana seperti gembel. Kain ki-pei yang kami kenakan
sengaja tidak pernah kami ganti, dan tubuh Amrita yang
biasanya terlalu putih seperti pualam telah menjadi sawo
matang karena terbakar matahari. Hanya wajahnya, karena
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
jika melakukan perjalanan kami selalu bercaping, maka
tidaklah tampak terlalu hangus seperti tubuh bagian atasnya.
Mungkin itu membuat pemegang cambuk yang tugasnya
mengawasi penganyaman tikar seperti pernah me lihatnya.
Memang rakyat jelata mesti menundukkan kepala, bahkan
bersujud di tanah, bila seorang pejabat tinggi, keluarga istana,
apalagi raja berjalan dalam iring-iringan, tetapi siapa yang
menjamin tiada satu pun yang nekat mencuri-curi untuk
meliriknya" Jika tidak, bagaimana mungkin Putri Amrita
Vighnesvara terkenal di seluruh Kambuja sebagai putri yang
cantik jelita" Lagipula, dan ini lebih masuk akal, seperti yang
kualami, tidak perlu dianggap terlalu mengejutkan betapa
putri yang memburu kesempurnaan dalam jalan persilatan ini
pertarungannya pernah disaksikan banyak orang. Kenapa
tidak" "Dari mana asalmu, Gadis?"
Dagu Amrita memang terangkat gagang cambuk, tetapi
matanya tetap menatap ke bawah.
"Sahaya berasal dari T ongking, Tuan, ampunilah sahaya."
Amrita menjawab dalam bahasa Khmer, tetapi dengan
logat yang belum pernah kudengar.
"Hmm. Orang-orang utara, kenapa aku tidak mesti
menganggapmu mata-mata" Kenapa dikau sampai kemari,
Gadis?" "Ampunilah sahaya Tuan, daerah kami musnah ditelan
banjir besar. Keluarga kami punah, tinggal sahaya dan sepupu
sahaya yang bisu."
"Bisu" Huahahahaha! Pantas ia tidak pernah bicara."
"BISU dan tuli, Tuan."
"Bisu dan tuli! Huahahahaha! Kukira hanya orang buta yang
pandai menganyam! Huahahahahaha!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Putri istana ini memang pandai. Dengan mengatakan diriku
bisu dan tuli, kecurigaan yang muncul karena diriku tidak
pernah berbicara segera terhapus, dan dengan mengatakan
dirinya berasal dari wilayah Tongking di utara Campa yang
semula merupakan batas Kerajaan Lin-yi, keputihan wajahnya
sebagai paria bagaikan menjadi kewajaran, apalagi Amrita
agaknya telah menyuarakan logat berbicara wilayah tersebut.
Meski ini tentu bukan jaminan persoalan berakhir, karena jika
pun kecurigaannya hilang, bukan tak mungkin ia tetap
menghendaki Amrita.
"Ampunilah suami saya ini Tuan, ampunilah kami yang
malang ini, kepandaian kami hanyalah menganyam. Jika Tuan
tidak menyukai keberadaan kami, biarlah kami pergi dari sini
sekarang juga."
Pemegang cambuk itu menarik gagang cambuknya dan
dagu Amrita langsung turun kembali. Amrita rambutnya
terurai seperti layaknya kaum paria, tetapi entah disadarinya
atau tidak, justru dengan rambut terurai seperti itu
kecantikannya memancar tak tertutupi. Hanya jika orang
percaya dirinya paria pengembara saja akan membuat kasta di
atasnya berpikir dua kali untuk mendekatinya, karena bagi
perempuan paria mempertahankan kehidupan sebagai pelacur
bukanlah tabu untuk dijalani. Siapa pun yang mendekatinya
mesti berpikir tentang penyakit kelamin rajasinga yang
mungkin saja akan menimpa mereka.
Lelaki itu pun ternyata meloncat berdiri dengan ringan.
"Astacandala tanpa kasta! Bagaimana mungkin ada seorang
pelacur T ongking di antara kita di sini?"
Ia menjauh sambil meledak-ledakkan cambuknya.
"Ayo lanjutkan kerja!"
Kulirik secepat kilat majikan penganyaman tikar pandan
yang sejak tadi telah membela kami.
Ia tampak memperhatikan Amrita dengan tajam. Adakah sesuatu yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
selama ini tidak dipikirkannya, karena kejadian ini lantas
menimbulkan suatu gagasan" Dilihat sepintas lalu, sosok kami
memang seperti kebanyakan paria pengembara biasa yang
setiap kali berhenti untuk bekerja, yakni dekil, lusuh, dan
berbau pula. Namun apabila seseorang memperhatikan
dengan tajam, bagaimanakah caranya mengingkari keindahan
mata Amrita" Ia telah menggimbalkan rambut, melusuhkan
wajah, dan selalu menunduk, tetapi segenap sosoknya
menyatakan suatu bahasa tubuh yang berbeda. Memang
meskipun paria berada di luar kasta, ternyata di dalamnya
tetap berlapis pula, seperti terdapatnya mleccha yang tidak
bekerja dan hanya dapat meneruskan kehidupan dengan
melakukan kejahatan saja. Sepintas lalu saja perbedaan paria
pengembara yang sudi bekerja dan mleccha astacandala yang
mencuri dan merampok bila kesempatan tiba cukup kentara,
apalagi jika itu bukanlah paria pengembara yang sesungguhnya. Kepalaku sudah tunduk kembali, tetapi diriku tahu belaka
betapa mata sang majikan masih tetap menatap kami berdua.
Kuharap ia tidak tiba-tiba tersadar oleh keindahan Amrita yang
bagiku pun seperti baru tampak nyata dari sosoknya, meski ia
tampak dekil, lusuh, dan selalu menunduk pula. Memanglah
keindahan tidak bisa ditutupi, meski tubuh Amrita kecil tetapi
kesosokannya sungguh sempurna, yang kadangkala kurasa
Amrita sendiri tak terlalu menyadarinya. Aku masih
menganyam dan aku tahu Amrita pun dalam ketertundukannya membaca keadaan yang sama.
Demikianlah kami terus menganyam dan baru berakhir
sampai senja tiba. Sebelum keluar kami harus antri untuk
menerima upah sebelum keluar, berdasarkan jumlah tikar
yang kami selesaikan hari ini. Dalam hal ini dengan terpaksa
kami telah memanfaatkan kecepatan tangan yang hanya
mampu dilakukan dengan ilmu silat, agar kami dapat terus
mengumpulkan upah yang banyak, sehingga dapat melakukan
perjalanan dengan perasaan aman. Dengan begitu jumlah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tikar yang kami seleaikan menjadi paling banyak, dan entah
kenapa dalam antrian itu kam i berada di deretaan terakhir.
Majikan kami duduk pada sebuah bangku kecil, mengambil
mata uang dari dalam tenggok setelah menghitung lembaran
tikar yang kami serahkan.
"Enam," kata Amrita sambil mengajukan gulungan tikar.
Aku berdiri di belakangnya. Biasanya aku hanya
menunjukkan dengan isyarat saja jumlah tikar yang selesai
kuanyam. Majikan itu semula menunduk karena mengambil mata
uang, tetapi ketika menyerahkannya ke tangan Amrita, dan
menatap wajahnya, rupanya ia tak tahan lagi menahan
sesuatu yang agaknya sejak tadi telah diketahuinya. Ia
bersujud mencium tanah.
"Putri Amrita! Ampunilah sahaya!"
(Oo-dwkz-oO) Episode 118: [Pendekar Cahaya Senja]
KAMI adalah orang terakhir dalam antrian, sehingga
majikan rumah penganyaman tikar pandan itu, yang kukira
telah menyadari keberadaan Amrita sejak tadi, berani nekat
bersujud seperti itu, yang jika siapa pun mengetahuinya tentu
akan membuka penyamaran. Betapapun kami terpaksa
menganggap penyamaran kami telah terbuka, meskipun
bapak yang bersujud itu kami percaya tidak akan
mengatakannya kepada siapa pun juga.
"Bapak, berdirilah, kami sedang menyamar, Bapak akan
membuka samaran kami jika menyembah seperti ini."
"Ampunilah sahaya!"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sudahlah Bapak, berdirilah, kami akan sangat berterima
kasih jika Bapak berdiri sekarang juga," ujar Amrita.
Majikan kami berdiri sambil menyerahkan upah kami.
Namun setelah menerima upah mata uang logam itu, Amrita
mengibaskan tangannya.
Mataku dengan cepat menangkap mata uang itu me lesat
dan menembus tiang rumah, dan menancap pada dahi


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang yang bersembunyi sejak tadi mendengarkan
perbincangan kami.
Lelaki yang memegang cambuk itu ambruk ke lantai tanah.
Pada saat majikan kami terkejut dan menoleh ke arah tubuh
yang terguling sebagai mayat, kami sudah berada lima ribu
langkah jauhnya dari tempat penganyaman itu.
Kami terus melejit dengan ilmu meringankan tubuh dalam
senja yang seperti tiba-tiba saja menjadi gemilang. Kami
berkelebat di antara cahaya keemasan, melesat dan melesat
mencari kota lain yang cukup besar dan cukup ramai untuk
bersembunyi dan menyadap segala perbincangan. Telapak
kaki kami tiada lagi menyentuh tanah, cukup menyentuh
pucuk rerumputan, kami pun terbang. Semakin tinggi
rerumputan, semakin tinggi semak-semak, semakin tinggi
padang alang-alang, semakin tinggi kedudukan tubuh kami,
sehingga ketika tiba di tepi hutan, kami pun terbang di atas
pucuk-pucuk pepohonan.
Ketika matahari kemudian terbenam dan cahaya yang
ditinggalkannya memoles langit dengan warna darah, saat
itulah ribuan kelelawar bagaikan serentak bangkit keluar dari
dalam gua-gua yang berada di dalam hutan, memenuhi langit
dan pergi entah ke mana untuk mencari makan. Demikianlah
untuk sementara kami berkelebat di antara ribuan kelelawar
yang berhamburan dari dalam hutan dan mengangkasa
dengan kepakan nan anggun. Saat mereka semua berada di
langit dan menjauh entah ke mana, kami pun merasakan
kesunyian dalam kelam langit yang telah semakin tua
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
merahnya, dan semakin lama semakin menggelap. Namun
langit sungguh belum menjadi gelap, bumilah yang gelap dan
di bawah kami kekelaman hutan.
Saat itulah berkelebat suatu bayangan yang bisa kurasakan
desirnya tetapi tak dapat kutegaskan sosoknya. Aku dan
Amrita hanya bisa mengandalkan kecepatan untuk menghindarkan serangannya yang ganas, sebelum akhirnya
mengambil jarak dan hinggap di puncak sebuah pohon. Ia
berbusana seperti pendeta Buddha aliran Yogachara, tetapi
kepalanya tidak gundul me lainkan panjang sampai ke bahu.
Mungkin ia memang pendeta, tetapi yang kemudian
menyempal dan menolak tata cara yang biasa, bahkan
tampaknya kemudian menempuh jalan persilatan untuk
mencapai kesempurnaan.
"Pendekar Cahaya Senja," bisik Amrita kepadaku.
Aku terkesiap, baru kusadari betapa jubahnya itu, yang
berwarna merah darah dan kuning, memang merupakan
warna langit senja setelah matahari terbenam, yang telah
membuat kami hanya dapat mendengar desiran jubahnya itu
mendekat dan tak dapat menegaskan sosoknya. Secara
sepintas Amrita pernah bercerita kepadaku tentang seorang
pendekar yang hanya muncul untuk bertarung pada saat
matahari terbenam, tepatnya setelah matahari terbenam,
ketika matahari menjadi merah keemasan dan berkobar
bagaikan api membakar langit, tetapi yang kemudian dengan
lambat dan pasti dari saat ke saat berubah, sampai akhirnya
menjadi gelap. "Ia hanya muncul setelah matahari terbenam dan
menghilang sebelum gelap tiba, karena ilmu silatnya memang
berhubungan dengan cahaya, saat siapa pun tidak dapat
menegaskan keberadaannya, selain ketika sebilah pedang
perak yang bagaikan cermin memantulkan cahaya kuning
senja menembusi tubuhnya," kisah Amrita waktu itu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia mendapatkan gelarnya bukan sekadar karena hanya
muncul untuk bertarung dan ilmunya berhubungan dengan
cahaya senja, melainkan karena sangat menikmati pertarungan dalam suasana senja itu sendiri.
"Pendekar Cahaya Senja sangat mencintai senja dan suka
menikmati sosok-sosok yang bertarung sebagai bayangan
hitam dalam latar belakang langit yang kemerah-merahan,
dan katanya pula kematian terindah adalah kematian pada
saat langit semburat jingga, apakah itu keemas-emasan,
kemerah-merahan,
ataupun keungu-unguan menjelang malam," ujar Amrita pula.
MESKI Amrita bercerita dengan sambil lalu, aku masih
mengingatnya, bagaimana Pendekar Cahaya Senja menikmati
pertarungan sebagai peristiwa yang penuh keindahan. Bahkan
ia tak akan muncul jika langit mendung dan kelabu tanpa
cahaya jingga sama sekali. Baginya senja yang terindah
adalah mutlak bagi pertarungannya, juga apabila dalam
pertarungan itu dirinya harus kalah dan karenanya akan mati.
''Jika tiba saat kematian dalam puncak kesempurnaan,
apakah kiranya yang mesti disesalkan, dan bagiku tiada yang
lebih sempurna selain kematian karena bertarung dalam
puncak keindahan,'' ujarnya suatu ketika, yang tersebar dari
mulut ke mulut dari kedai ke kedai di seluruh Kambuja.
Adapun puncak keindahan baginya adalah senja yang
terindah, saat ia menampakkan diri di antara cahaya
keemasan seperti kemunculannya kali ini, dengan jubah
pendeta merah kuning yang masih dikenakannya meski ia
bukan pendeta lagi, bukan demi keinginan tampak sebagai
pendeta, tetapi demi kepentingannya ilmunya, yang memang
berhubungan dengan keadaan senja yang terindah, tetapi
yang selama ini berarti kematian bagi lawan-lawannya.
Kini ia di sana, melipat tangan di dada, membelakangi sisa
cahaya matahari yang masih menyala.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Kalian berkelebat di tengah senja terindah. Iri hatiku
hanya bisa melihatnya, dan maafkan daku yang tak bisa
membiarkan kalian berlalu. Kutahu siapa Putri Amrita karena
gerakannya mengingatkanku kepada Naga Bawah Tanah yang
ternama, tetapi siapakah yang menemaninya aku tak
mengenalnya, bisakah kiranya ia memperkenalkan dirinya''
Bahasa Khmer yang kukuasai sungguh parah, tetapi tetap
saja kuusahakan menjawabnya.
''Daku yang tanpa nama tiadalah artinya dibanding
Pendekar Cahaya Senja.''
Ia tampak tertegun.
''Hmm. Kudengar angin berbisik tentang Amrita yang
dikalahkan Pendekar Tanpa Nama dari Jawadwipa. Kiranya
dikaulah orangnya yang menguasai Jurus Penjerat Naga.
Hahahahaha! Amrita! Bagaimana dikau bisa tertipu oleh
pencuri-pencuri kitab itu" Huahahahahaha!''
Amrita membalas ejekan itu dengan serangan maut.
Pendekar Cahaya Senja menghilang ke balik kelam dan hanya
kembali sebagai desiran tipis yang nyaris tiada beda dengan
desiran angin dan memang secara demikianlah lawanlawannya dengan mudah terkalahkan. Jubahnya yang kuning
dan merah berubah menjadi merah kekuningan dan kuning
kemerahan, menjadi jingga seperti langit senja yang karena
kecepatan geraknya bagaikan menjadi bagian dari langit senja
itu sendiri padahal begitu nyata sebagai serangan yang
berbahaya. Namun yang dikatakan tentang Amrita tidaklah keliru
sehingga tiada mungkin Amrita menggunakan Jurus Penjerat
Naga terhadapnya. Menimbulkan pertanyaan kepada diriku
juga tentang siapa tepatnya pencuri kitab yang telah
menipunya itu, yang mungkin sebenarnya sudah tertipu oleh
penyalin Kitab Jurus Penjerat Naga, karena memang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kerahasiaan adalah bagian dari kelahiran kitab-kitab ilmu silat
terpenting. Senja belum menjadi malam. Pendekar Cahaya Senja selalu
muncul pada senja hari dan se lalu menyelesaikannya sebelum
malam tiba. Apabila ia masih muncul di bawah langit yang
kemerah-merahan sekarang ini artinya ia tidak terkalahkan
dan setiap lawannya berhasil ditewaskan. Dalam pertarungan
tingkat tinggi seperti ini, hanya hidup atau mati, karena
pendekar yang mencari kesempurnaan dalam ilmu silat
memang akan menantang pendekar dengan ilmu yang
tertinggi. Belumlah pendekar namanya jika mencari lawan
yang lebih rendah ilmunya, karena kesempurnaan tiada akan
tercapai dalam ujian di bawah tingkatannya, meski jika berada
di atas tingkatannya tentu akan berhasil menewaskannya.
Demikianlah pencarian kesempurnaan dalam ilmu silat, yang
hanya akan mencapai puncaknya pada kematian dalam
pertarungan. Sangat bisa dimengerti mengapa pendekar ini, yang
mendapat gelar Pendekar Cahaya Senja, memilih senja
sebagai saat-saat pertarungan yang memungkinkan kematiannya. Tidaklah keliru ia memburu kami yang berkelebat dengan
kecepatan kilat. Adalah kekeliruan kami sendiri bahwa kami
berkelebat seperti yang hanya dimungkinkan oleh pencapaian
ilmu silat dalam tingkat tertentu. Kami bermaksud menyamar
dan kami telah membuka penyamaran kami sendiri. Begitulah
kehidupan siapapun yang mengarungi sungai telaga dunia
persilatan, begitu seperti kami ia berkelebat meninggalkan
dunia awam, berarti ia masuk kembali ke dalam rimba hujau
yang penuh tantangan. Seperti sekarang kami berkelebat
pergi, tetapi ternyata memasuki dunia senja pendekar ini.
Kucoba membaca pertarungan yang sulit dijabarkan ini,
karena Pendekar Cahaya Senja bagaikan senja itu sendiri.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
JUBAHNYA yang merah dan kuning semakin terlihat penting
sebagai bagian ilmunya yang memuja keindahan. Kuingat
sebuah syair: indah seperti darah
menyiprat semburat di langit merah
membubungkan nyawa
meregang tubuh yang masih memegang pedang
Sepintas lalu Amrita yang juga berkelebat tanpa bisa dilihat
seperti bertarung sendirian. Namun Pendekar Cahaya Senja
memang sama sekali tidak menghilang, ia berkelebat dan akan
tampak sebagai bayang-bayang hitam dengan latar bekakang
langit kemerah-merahan. Itulah ilmu silat Pendekar Cahaya
Senja yang sangat mengecoh, karena dengan kecepatan
bergeraknya yang luar biasa tinggi, seolah-olah dapat
melepaskan diri bayang-bayangnya. Bayang-bayang hitam itu
sendiri dengan latar belakang langit merahnya tampak sangat
lamban, begitu lamban, bagaikan membawakan tarian yang
paling pelan dan begitu pelahannya bagaikan tiada lagi yang
lebih pelan. Namun meski tampak lamban janganlah mencoba
melakukan sesuatu terhadapnya, seperti membacoknya,
karena ketika bayang-bayang hitam itu tampak begitu indah,
saat itu Pendekar Cahaya Senja tiada lagi di situ.
Mungkin lawannya pun tak sempat lagi mencari, karena
itulah saat nyawanya tercabut dan melesat pergi. Mungkin
Amrita akan bernasib sama jika tidak setinggi itu tingkat ilmu
silatnya -tetapi sampai kapan ia bisa bertahan" Pendekar
Cahaya Senja selama ini menamatkan riwayat lawannya, siapa
pun lawannya itu, selalu sebelum malam tiba. Dapatkah
Amrita memecahkan rahasia ilmunya" Meski telah ia mainkan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ilmu Silat Kipas Maut yang luar biasa itu, kulihat Amrita sejauh
ini hanya bisa bertahan. Adapun langit yang merah keemasemasan telah menjadi merah darah, seolah-olah menegaskan
tuntutan atas tercipratnya darah!
Kuingat busana para pendeta Yogachara yang dikenakannya. Adakah ia mengembangkan ilmu silatnya juga
dari suatu pemahaman filsafat" Meski jika ia memang
mengembangkan ilmu silatnya melalui pendalaman filsafat,
maka tiada yang dapat kulihat secara langsung dari hubungan
itu, setidaknya aku akan mempunyai dasar untuk sekadar
menduga, daripada tidak berbuat sesuatu dan melihat Amrita
ditewaskan selewat senja.
Sementara Amrita telah semakin terdesak dalam keremangan, kuingat kembali segala sesuatu yang kuketahui
tentang Yogachara, seperti yang kudapatkan ketika mencuri
dengar perbincangan Sepasang Naga dari Celah Kledung
dengan tamu-tamunya. Sejauh bisa kuingat, Yogachara
merupakan suatu bentuk dari Buddha Mahayana yang
menekankan pentingnya ketenangan dan samadhi sebagai
jalan menuju pencerahan. Pemikiran aliran Yogachara
berkembang menuju tatanan rumit, yang pada dasarnya
menempatkan diri di antara kaum pemakul Sarvastisada dan
pehampa Shunyatavada. Segala sesuatu temasuk bendabenda zat padat tidak dianggap sesungguhnya ada, tetapi
beberapa hal memang ada, terutama dalam kebenaran
tertinggi dan kesadaran dalam dirinya sendiri.
Kadangkala Yogachara juga disebut Chittamatra, atau


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya pikiran, karena paham bahwa Buddha diadakan oleh
pikiran, meskipun dalam ajaran Mahayana secara umum,
keberadaan pikiran itu sendiri tidak dianggap nyata.
Kadangkala juga Yogachara diacukan kepada alayavijnana,
semacam jiwa semesta sebagai sumber pengalaman yang
memancar dalam dunia. Akibatnya, apa yang dianggap nyata
hanyalah cermin dari sesuatu yang diciptakan pikiran. Aliran
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
filsafat ini berakibat luas kepada nalar dan kebersyaratan ilmu
dalam Hindu maupun Buddha.
Telah kukatakan bahwa hubungan antara ilmu silat tidak
dapat dilihat secara langsung, tetapi pemahaman atas apa pun
yang menjadi latar belakang filsafat bagi ilmu s ilat, tetap sahih
dimanfaatkan dalam penafsiran, termasuk untuk memecahkan
rahasia ilmu s ilat itu sendiri. Seharusnya diriku mengumpulkan
lebih banyak penjelasan dari kenanganku untuk dapat
memecahkan rahasia ilmu silat Pendekar Cahaya Senja
dengan lebih baik, tetapi sisa waktu sebelum malam tidak
memungkinkannya lagi. Aku harus memecahkan rahasia ilmu
silatnya dengan sekelumit kenangan itu saja, sebelum
mempelajarinya lebih mendalam seandainya kelak masih
dibutuhkan, karena jika dalam keadaan yang sudah sangat
mendesak ini aku bertahan untuk merenung-renung saja,
niscaya nyawa Amrita akan melayang. Meskipun nyawa Amrita
akan melayang dalam puncak kesempurnaannya, aku tidaklah
merelakannya. KUTAFSIRKAN untuk sementara bahwa jika ilmu silat
Pendekar Cahaya Senja mungkin saja mengacu kepada
Buddha Mahayana aliran Yogachara, maka segala sesuatu
yang terpikirkan oleh Amrita tidak mungkin merupakan
sesuatu yang nyata, sebaliknya ia dapat mempercayai apa pun
yang sedang dirasakannya, karena ilmu silat Pendekar Cahaya
Senja hanya mengecoh pikiran tetapi bukan perasaan. Ini
berarti Pendekar Cahaya Senja membalikkan siasat ilmu silat,
yang biasanya menggunakan akal untuk mengecoh perasaan,
menjadi perasaan sebagai dasar untuk menghindari
pengecohan akal. Jika pikiran terbentuk oleh susunan
kebiasaan yang menjadi kuasa tertentu, maka suatu jiwa
semesta yang menjadi sumber segala jiwa dalam diri setiap
orang menjadi satu-satunya pedoman atas kenyataan yang
bisa dipegang. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Itulah, dalam penafsiranku,
yang diajarkan aliran
Yogachara, sehingga amatlah penting untuk melatih dan
mengutamakan ketenangan dan samadhi, agar pemusatan
pikiran tak terkecoh oleh pancaindera, yang sangatlah tidak
mudah kiranya, selama jiwa masih tetap menjadi bagian dari
tubuh. Justru karena itu, kuanggap ilmu silat Pendekar Cahaya
Senja dalam kesadarannya tetap terikat kepada ketubuhannya, sehingga selama lawannya masih manusia,
siapa pun ia dapat mengandaikan betapa pengaruh
pancaindera yang membuat pemusatan pikirannya kurang
sempurna berlangsung pula terhadap Pendekar Cahaya Senja.
Jadi siapa pun lawannya boleh mengandalkan tanggapan
jiwanya terhadap serangan Pendekar Cahaya Senja, karena
pancaindera tubuh yang memengaruhi jiwa juga terdapat
pada pendekar yang mengandalkan pesona keindahan untuk
mencapai kemenangan itu.
Bumi telah menjadi gelap. Namun langit masih semburat
kemerah-merahan, meski memang tiada lagi keemas-emasan
dan mega-mega telah berubah menjadi gumpalan-gumpalan
hitam. Inilah saat yang rawan karena dengan hilangnya sisa
cahaya itu akan selesai pula perlawanan Amrita dalam
kesempurnaan ilmu silat Pendekar Cahaya Senja. Aku tidak
boleh berpikir terlalu lama, meski memikirkan pemecahan ilmu
silat itu dengan tergesa memang sungguh gegabah kiranya.
Kuyakinkan diriku betapa ilmu silatnya memang berhubungan
dengan filsafat aliran Yogachara. Bahkan kuduga pilihan atas
jalan persilatan telah membuatnya bertentangan dengan para
pendeta aliran itu, dan membuatnya menempuh jalan sendiri
dengan menerapkan ajaran Yogachara sebagai cara
pencapaian kesempurnaan dalam ilmu silatnya, sehingga tetap
dikenakannya jubah para pendeta Y ogachara, meski tidak lagi
menggunduli kepalanya. Kulihat ia berkelebat di balik kelam,
memang tampak indah dalam keberlambanan, tetapi itulah
bayangan yang ditinggalkan, karena dengan kecepatannya
yang tinggi ia telah berada di belakang lawan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Apa yang harus kulakukan" Apa pun itu haruslah cepat dan
segera. Amrita haruslah bertarung dengan mata tertutup,
karena pandangan mata siapa pun akan terpesonakan oleh
segenap jurusnya yang bagaikan peragaan tarian di langit
keindahan. Meskipun mata itu nanti tertutup, tidak berarti
harus menggunakan ilmu pendengaran seperti diriku dengan
ilmu Mendengar Semut Berbisik di Dalam Liang, karena indera
pendengaran adalah juga bagian dari kebertubuhan yang akan
memengaruhi pikiran. Dengan memasuki jiwa semesta melalui
jiwanya sendiri, segala kesaksian atas kenyataan terandaikan
lebih dimungkinkan.
''Amrita! Jangan lihat semuanya!''
Teriakanku terdengar juga oleh Pendekar Cahaya Senja,
tetapi aku bicara dalam bahasa Melayu yang belum tentu
dikuasainya, sehingga ia tak mungkin mengubah apa pun.
Tentu saja ini juga sebuah pertaruhan, karena jika ternyata ia
mengerti belaka bahasa Melayu yang mungkin diketahuinya
dari pesisir Campa, ia dapat berpura-pura tak paham dan
tetap saja menjebak Amrita.
Segalanya berlangsung dengan amat sangat cepatnya, dan
menceritakannya tentu butuh waktu yang lebih lama. Amrita
masuk ke dalam jiwanya, sehingga hilanglah gelap dan
hilanglah pula terang. Hilang pandangan dan hilang pula
pendengaran. Tiada gambaran dan suara desiran apa pun
yang akan tertangkap indera, karena ia telah menutupnya
seperti dalam samadhi. Namun jiwanya yang telah
melepaskan diri dari pancaindera membimbing kedua kipas
yang dipegangnya ke belakang melalui bawah ketiaknya.
Kedua kipas yang tertutup dan menjadi setajam pedang
mustika dalam pengerahan tenaga dalam.
Terdengar jeritan melengking, tepat pada saat senja
berubah menjadi malam, saat cahaya kemerah-merahan di
langit menghitam dan sepenuhnya menjelma kegelapan.
Kedua kipas itu menancap di dada kiri dan kanan Pendekar
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Cahaya Senja yang menyergap dengan serangan cakar maut
dari belakang. Begitu cepatnya serangan itu, sehingga Amrita
memang tidak akan mungkin menghindar seperti sebelumnya,
yang berarti pula tamat perlawanannya, meski ternyata
dengan tertutupnya segenap pancaindera, geraknya terbimbing jiwa kepada suatu tindakan yang takbisa lebih
tepat lagi. PENDEKAR Cahaya Senja langsung mati dengan tubuh
terkulai seperti memeluk Amrita dari belakang. Darahnya
menyembur dari dada, membasahi seluruh punggung Amrita,
bahkan juga rambutnya. Agaknya menang dan kalahnya
Pendekar Cahaya Senja, dalam puncak kesempurnaannya
sebagai manusia dalam jalan persilatan, memang selalu terjadi
pada saat senja. Biasanya ia mengalahkan lawan-lawannya
sebelum senja menghilang, kali ini ia terkalahkan tepat ketika
senja berubah menjadi ma lam. Mungkin pertarungan terlama
yang pernah dilakukannya, terlama dan terakhir, karena
memang tiada akan ada lagi pertarungan baginya. Tiada
pendekar yang tiada terkalahkan. Pendekar Cahaya Senja
menekuni filsafat aliran Yogachara untuk mengembangkan
ilmu silatnya, tetapi ia mengembangkannya sebagai jurus dan
bukan kedudukan jiwa. Maka meskipun ia sungguh telah
berhasil menciptakan jurus-jurus yang penampakannya
sungguh nyata dan karena itu sangat menjebak pula, ternyata
tiada pengaruhnya terhadap jiwa yang telah melepaskan
indera, juga sebagaimana diajarkan filsafat Yogachara yang
dianutnya (Oo-dwkz-oO) Episode 119: [Meninggalkan Khmer]
PADA suatu malam berhujan kami sudah berada di dalam
perahu yang menuju ke muara Sungai Mekong. Kami masih
tetap menyamar dan tetap mendengarkan bagaimana orang
bicara tentang Jayavarman II, dan agaknya putrinya sendiri
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tidak pernah mendapat cukup alasan untuk tetap merongrong
kekuasaan ayahnya itu. Memang benar bahwa dengan
pasukannya yang kuat Jayavarman II telah menaklukkan
wilayah yang luas, tetapi dengan kekuasaannya betapapun
orang banyak merasakan suatu ketenangan.
"Pendekar Tanpa Nama, biarkanlah Amrita mengikuti dirimu
ke mana pun kakimu melangkah. Tiada lagi yang dapat
dilakukan Amrita di tanah kelahirannya ini. Semua orang telah
mengkhianati dan mengingkarinya.
Biarkanlah Amrita mengikutimu, wahai pendekar pengembara..."
Suara hujan yang menimpa atap perahu sungguh amat
riuh. Setidaknya dua puluh orang terkapar berdempetdempetan di dalam perahu itu. Sebagian tidur, sebagian
ketakutan, dan sebagian lagi hanya melamun. Amrita
membisikkan kata-katanya ke telingaku agar tak perlu
berteriak dan semua jadi terganggu.
"Daku bukanlah orang yang tepat untuk diikuti, wahai Putri,
dikau putri raja yang terampil dan akan sangat berguna demi
pekerjaanku. Beliau memimpikan suatu kesatuan kerajaan
Angkor yang jaya. Tiada lain selain dirimu yang akan
mewujudkan mimpi-mimpi itu, demi kesejahteraan rakyat di
seluruh tanah Kambuja."
"Dan mengkhianati segenap derita wangsa ibuku?"
"Sejarah akan memberikan pengadilannya sendiri Amrita,
dan kita tidak dapat mengubahnya lagi, kecuali melanjutkan
dan jika perlu memimpinnya. Dengan kekuasaan ayahmu
dikau dapat melakulannya, Putri, demi kesejahteraan seluruh
rakyatmu."
Amrita memeluk dan menenggelamkan kepalanya ke dalam
diriku. Hujan badai membuat perahu oleng kemoleng. Ini
memang bukan perahu yang besar. Betapapun kukagumi
ketangkasan tukang perahu ini, yang hanya dengan
dayungnya mampu menembus tirai hujan dan menjaga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
keseimbangan, sehingga perahu ini tetap terjaga dan melaju
ke hilir. Berat hatiku jika memang harus berpisah dengan Amrita.
Kami telah mengembarai Kambuja dengan menyamar
bersama-sama. Penyamaran yang setiap kali nyaris terbuka
karena para pemburu hadiah atau para pembunuh bayaran
selalu bisa mengendus jejak kami berdua. Peristiwa yng terjadi
di tempat penganyaman tikar pandan dahulu tidaklah dengan
sendirinya berlalu. Para pengawal rahasia istana menyelidik,
dan tentu bisa diduga bahwa majikan kami dahulu itu tidak
memiliki cukup alasan untuk merahasiakannya.
Setiap kali penyamaran kami terbuka, Amrita selalu berhasil
membunuh mereka yang memergoki keberadaannya, yang
hanya membuat jejaknya makin panjang dan para
pemburunya juga makin banyak. Meskipun aku juga yakin
bahwa tidak akan pernah terlalu mudah untuk menangkap
Amrita, apalagi dengan diriku bersamanya, telah lama
kupikirkan bahwa keadaan semacam ini tidak bisa berlangsung
seterusnya. Apalagi keberadaanku di Kambuja telah diketahui
pula oleh kaki tangan Naga Hitam. Tentu aku sama sekali
tidak takut menghadapi siapa pun yang dikirim Naga Hitam,
tetapi bukanlah pada tempatnya jika Putri Amrita Vighnesvara
ini harus ikut pula menerima akibatnya. Siapakah yang bisa
menjamin bahwa tidak sebatang jarum pun, yang beracun dan
mematikan, tidak akan melesat dari kegelapan dan menembus
jantungnya, sementara yang dituju sebetulnya diriku"
DALAM dunianya Amrita dapat melakukan perdamaian
dengan ayahnya, dan untuk itu ia hanya perlu kembali ke
istana. Dalam duniaku segala sesuatunya tiada pernah dapat
diduga, seperti yang telah berlangsung dalam hidupku se lama
ini, dan jika aku betapapun siap untuk mati, tetapi aku tidak
akan pernah siap untuk kematian Amrita dalam duniaku yang
penuh marabahaya, apalagi mati terbunuh di hadapanku.
Begitulah hatiku terbelah antara ingin terus bersama dan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
melindunginya, berhadapan dengan kenyataan bahwa tempat
Amrita adalah di istana untuk membangun kesatuan Kambuja
bersama ayahnya. Apakah yang akan terjadi dengan sejarah
Kambuja, jika Amrita mampu mengumpulkan laskar yang
mengganggu bahkan meruntuhkan kekuasaan ayahnya,
dengan diriku di sampingnya pula" Sudah kuniatkan untuk
meninggalkan tanah orang-orang Khmer dengan sejarah
mereka. Begitulah yang kupikirkan tentang Amrita, tanpa menyadari
betapa banyak masalah lain di Kambuja yang lebih
menentukan jalan cerita. Selain aku sebetulnya tidak terlalu
mengenal hubungan Jayavarman II dan Amrita yang
sebenarnya, bahwa keselamatan Amrita ternyata sudah tidak
terlalu penting lagi bagi Jayavarman II, justru salah duga atas
hubungan Jayavarman II dengan putrinya itu telah membuat
musuh-musuh sang raja mengira bahwa Amrita adalah
permata yang terlalu berharga bagi Jayavarman II.
Kami masih berada di wilayah Champassak di sebelah timur
laut dari pusat kerajaan di Angkor. Aku bermaksud mengantar
Amrita sampai tiba dengan selamat di istana ayahnya, karena


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perburuan kepadanya masih terus berlangsung. Namun
tidaklah terpikirkan sama sekali olehku, betapa ancaman
terhadap Amrita tidak sekadar datang dari para pemburu
hadiah dan pembunuh bayaran yang terhubungkan dengan
istana ayahnya, melainkan juga dari orang-orang Cham dari
berbagai kesatuan wilayah Champa di balik barisan
pegunungan yang selalu tertutup awan; maupun juga dari
wilayah utara yang diduduki Negeri Atap Langit. Kekuasaan
Jayavarman II yang dengan jelas berkembang sangat pesat
berusaha dibendung dengan segala cara, dan Amrita
diandaikan sebagai titik lemah yang akan sangat menentukan.
Kedudukan terakhir itu tidak pernah kuduga karena
pengetahuanku yang terbatas tentang perebutan pengaruh di
wilayah Kambuja, sampai suatu peristiwa terjadi pada malam
berhujan ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Terdengar guntur menggelegar, angin sangat ribut, dan
tirai hujan dalam gelap malam tiada tertembus pandangan meskipun begitu ternyata ada yang matanya lebih dari tajam
untuk menembus kegelapan, begitu tajamnya sehingga
menabrakkan perahu mereka kepada perahu yang kami
tumpangi. Sebelum perahu itu menabrak, tukang perahu kami sudah
berteriak. "Awas! Ada perahu mau menabrak kita!"
Tukang perahu itu orang Cam, bahasanya serumpun
dengan bahasa Malayu, lebih mudah kupelajari dari bahasa
Khmer, dan kalimat sependek itu dapat kumengerti dengan
jelas. Namun dalam suasana seperti ini dampak tumbukan
perahu sama mengejutkannya dengan sambaran halilintar.
Perahu itu terguling, mendadak saja diriku sudah berada di
dalam air dan kurasakan tubuhku terseret arus yang
menceraiberaikan seluruh penumpangnya.
"Amrita!" teriakku sekuatnya, tetapi hujan dan angin dalam
kegelapan seperti melenyapkan segala-galanya.
Aku melenting ke atas setinggi-tingginya dan melihat
sekilas sesosok manusia bersisik telah menangkap Amrita yang
terkulai. Naga Kecil! Kukirimkan pukulan cahaya dengan
seketika, itulah jenis pukulan dari perbendaharaan ilmu Raja
Pembantai dari Selatan yang tidak akan pernah kugunakan
jika bukan untuk menolong Amrita. Namun apa yang terjadi"
Sambil masih berenang membawa Amrita, Naga Kecil
mengibaskan tangannya dan dari telapak tangannya
meluncurlah bola cahaya berwarna merah yang mencegat
pukulan cahaya warna putih dari tanganku. Akibatnya
terjadilah ledakan cahaya mahadahsyat yang menerangi
malam. Aku masih berada di angkasa ketika tirai hujan berkilat
merah, sebelum menjadi gelap saat tubuhku ditelan arus
sungai kembali.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
TERNYATA Naga Kecil tidak sendirian. Ia telah lenyap
bersama Amrita. T inggal kini diriku yang dikepung sekitar dua
puluh manusia bersenjatakan cambuk. Aku masih berada di
dalam air dan terseret arus dalam kegelapan. Mereka semua
juga terseret arus, tetapi berdiri di atas permukaan air karena
mengenakan terompah dari kayu. Sudah terpikir olehku untuk
menyelam ketika setidaknya enam cambuk, tiga di kiri dan
tiga di kanan dengan segera telah menjerat lenganku, dan
melontarkanku ke udara. Kubiarkan diriku terlempar, dan aku
tahu belaka betapa mereka tentu menyiapkan sesuatu ketika
mereka harapkan diriku meluncur kembali ke bawah.
Namun begitulah untuk sementara aku tetap berada di
atas, bahkan dapat mengikuti arus sungai yang menghanyutkan mereka di atas terompah kayunya itu,
sehingga mereka pun tampak kebingungan dan saling
memandang. Aku masih mengambang ketika dari balik tirai
hujan dua puluh pisau terbang melayang ke arahku! Delapan
belas pisau terbang bisa kuhindari, sedangkan dua sisanya
kutangkap dan kukembalikan jauh lebih cepat dari daya
lontaran mereka. Keduanya menancap di dada pelemparnya
sendiri. Mereka berdua jatuh dan terapung ketika aku sudah
berdiri di atas permukaan sungai dengan ilmu meringankan
tubuh, sementara delapan belas sisanya telah lenyap ditelan
kegelapan. Aku tidak berusaha mengejarnya, karena salah
satu di antara dua orang anak buah Naga Kecil itu masih
bergerak, penanda ia masih hidup.
Aku bergerak menyusul dan menyambar tubuhnya ke tepi
sungai. Namun napasnya pun sudah satu-satu.
''Dibawa ke mana Amrita"''
Sebetulnya ia sudah tidak mampu menjawab. Maka
kusalurkan tenaga prana yang membuatnya bisa menjawab.
Meski agaknya ia tidak mau menjawabnya. Padahal aku harus
tahu ke mana Amrita dibawa. Kusalurkan lagi tenaga prana
yang membuat tubuhnya segar untuk sementara, tetapi lantas
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kutekan suatu titik di tubuhnya yang memberikan kesakitan
luar biasa. Ia mendesis dengan sisa tenaganya.
''Katakan! Atau kubiarkan kamu tetap hidup dengan
kesakitan selama-lamanya!''
Bahwa aku harus bicara dengan bahasa Khmer, membuat
kesulitanku terasa berlipat ganda. Kutekan lagi titik kesakitan
itu. Saat ia akan merasa bagaikan seribu jarum beracun
bergantian menusuk-nusuk tulang belakangnya.
''Ah, bunuh saja daku!''
''Katakan! Cepat! Ke mana Naga Kecil membawa Amrita"!''
Jelas Naga Kecil tidak akan kembali ke pertapaan Naga
Bawah Tanah yang tersembunyi itu, karena betapapun aku
sudah mengetahui tempatnya.
''Katakan! Sebelum aku pergi dan membuatmu tetap
bertahan dalam kesakitan!''
Di sungai telaga dunia persilatan aku memang sudah
banyak membunuh, tetapi tak berarti aku suka menyakiti
orang. Namun perasaaan takut akan kehilangan Amrita telah
membuatku menggunakan suatu cara agar orang ini bicara
sebelum tewas untuk selamanya. Dari perbendaharaan mantra
warisan Raja Pembantai dari Selatan kuubah wajahku begitu
mengerikan seolah iblis pun akan lari melihatku. Seorang
anggota kawanan mungkin telah bersumpah setia untuk tidak
mengungkap rahasia, bahkan untuk bunuh diri demi
kesetiaannya, tetapi mereka tidak siap untuk mati dirobekrobek makhluk ganas bertaring panjang dengan mulut berbau
busuk menetes-neteskan air liur yang sangat lengket dan
menjijikkan. Menjelang kematiannya, ia tampak sangat ketakutan.
''Aaaahhh! Ampun! Ampun!''
''Katakan! Atau kutelan! Grrrrhhhhh!''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sihir itu ternyata mengena.
''Sungai Merah! Pergilah ke Sungai Merah...''
Saat itu wajahku berubah ke wajah asalku.
Tidak ada yang bisa dilakukan orang yang tubuhnya
bergambar rajah naga itu pada saat-saat terakhirnya, ia mati
dengan mata masih memandangku. Kulepaskan tubuhnya,
dan arus sungai membawanya pergi.
Hujan berubah jadi gerimis. Di tepi sungai aku menghela
nafas panjang. (Oo-dwkz-oO) UNTUK mencapai Sungai Merah aku harus menembus
wilayah Campa sampai ke pantainya, lantas menyusuri kota
demi kota ke utara di sepanjang pesisir timur tanah Kambuja
itu sampai ke Teluk Tongking yang berhadapan dengan Pulau
Hainan. Di teluk itulah terletak muara Sungai Merah yang juga
disebut Sungai Hong.
SEPANJANG perjalanan sedikit demi sedikit kukumpulkan
riwayat wilayah yang kutuju, yang meskipun sebagian
wilayahnya juga dihuni orang Cam, memiliki sejarah yang
berbeda sama sekali. Para pedagang Negeri Atap Langit yang
kutemui berkisah bahwa dataran di sekitar Sungai Merah itu
telah dikuasa i balatentara Wangsa Han sejak 700 tahun lalu,
meski baru dua ratus tahun kemudian Negeri Atap Langit
berhasil membangun suatu pemerintahan, tetapi yang
pejabatnya diangkat dari penduduk setempat, sehingga
kemapanan lebih dapat dijamin. Dalam keadaan seperti itu,
pejabat setempat sebagai pemimpin wilayah akan peka
terhadap kepentingan kemaharajaan Negeri Atap Langit,
tetapi yang akan mengutamakan kepentingannya sendiri
ketika kekuatan wangsa yang berkuasa melemah.
Dua ratus tahun lalu, para pemimpin setempat menolak
kekuasaan wangsa-wangsa yang lemah ini, tetapi awal abad
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
VII, jadi seratus tahun lebih dari saat aku menyusuri pantai
timur itu, perlawanan mereka melemah, dan menerima saja
kekuasaan Wangsa Sui dan Wangsa Tang. Saat aku
menjelajahi wilayah tersebut dalam usaha mencari Amrita,
wilayah itu telah diresmikan sebagai Daerah Perlindungan An
Nam. Daerah Perlindungan adalah jenis kebijakan di wilayah
perbatasan yang terpencil, tetapi dianggap menguntungkan,
yang penduduknya bukan berasal dari Negeri Atap Langit.
Pendirian Daerah Perlindungan An Nam diikuti penyerapan
golongan penguasa setempat ke dalam peringkat jabatan
kemaharajaan. Selama kekuasaan Wangsa Tang masih kuat,
wilayah An Nam berada dalam suasana damai. Namun pada
saat aku menyusuri kota demi kota di sepanjang pesisir timur,
yang merupakan kota-kota pelabuhan tempat segala kabar
terdengar dan beredar, kudengar betapa pengaruh Negeri
Atap Langit kembali goyah.
Sampai seratus tahun berikutnya kelak, ternyata Daerah
Perlindungan An Nam memang bergolak, ketika kelompok
setempat yang kuat berjuang merebut kekuasaan, bahkan
tidak jarang memang memberontak bersama dengan
melemahnya kekuasaan Wangsa Tang, yang membuat
tempat-tempat tertentu di Sungai Merah kini menjadi pusatpusat kekuasaan baru di wilayah An Nam. Di sepanjang
Sungai Merah, mula-mula pusat kekuasaan itu terdapat di
berbagai dataran, terutama di sebelah barat daya dan sisi
utara dataran, tetapi yang sejak seratus tahun lalu telah
berpindah ke sebelah selatan sungai yang tanahnya lebih
tinggi, mungkin menghindari banjir, di tempat yang kemudian
akan disebut Thang-long.
Demikianlah sembari menyusuri jejak Naga Kecil yang
disebutkan menuju ke Sungai Merah, aku mempelajari segala
sesuatunya dengan perbendaharaan bahasa yang sangat
terbatas, karena di sini orang tidak berbicara dengan bahasa
Khmer lagi. Untunglah, selama masih menyusuri pesisir,
bahasa Malayu masih bisa digunakan, karena kapal-kapal
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Srivijaya yang selalu ada di sana maupun serangan Wangsa
Syailendra ke Pho Nagar, Virapura, bahkan juga Tongking,
yang sebetulnya belum berlangsung lama adalah bagian dari
hubungan dengan wilayah Suvarnadvipa, termasuk Mataram
di Jawadwipa di dalamnya, yang meninggalkan jejak
kebahasaan dan kebudayaannya pula. 4) Namun semakin ke
utara, dan menyusyuri Sungai Merah ke pedalaman, tampak
sekali pengaruh Negeri Atap Langit yang segenap
kebudayaannya bagaikan tampak sengaja mereka serap,
justru untuk melawan penindasan kekuasaannya. Ini
membuatku harus banyak belajar kembali.
DARI Champassak aku telah menyeberangi pegunungan
dan turun ke pesisir bekas kerajaan orang Campa yang
bernama Vijaya. Dari sana aku melangkah terus dari candi ke
candi, karena kuketahui dari Amrita bahwa Naga Kecil,
meskipun tidak dapat mengucapkan bahasa manusia adalah
seorang pemuja Siva. Ini untuk menjamin bahwa meskipun
telah kuketahui tujuan Naga Kecil adalah Sungai Merah, tidak
akan terjadi bahwa tanpa kuketahui telah kulewati Naga Kecil,
tetapi lantas diikutinya diriku dari belakang.
Kini aku tahu Amrita ternyata tidak membunuh Naga Kecil
ketika bertarung di dalam air pada lorong bawah tanah itu.
Ataukah Amrita memang tidak membunuhnya, ataukah Naga
Kecil telah memperdayainya, sehingga Amrita merasa telah
membunuh tetapi Naga Kecil masih hidup" Memang tidak
pernah kuingat terdapat mayat manusia bersisik waktu itu.
Tidak di dalam danau dan tidak juga terapung-apung. Waktu
itu aku tidak merasa perlu bertanya karena kupikir tentu
Amrita sudah tahu apa yang harus dilakukan dengan sebaikbaiknya. Segalanya gelap bagiku, karena terlalu banyak urusan
dapat dikaitkan kepada Amrita, mulai dari hubungan cintanya
dengan Naga Kecil, pengkhianatannya terhadap kekuasaan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
ayahnya, keterlibatannya dengan pencurian kitab, maupun
kepentinganku sendiri yang telah terseret makin jauh.
Naga Kecil itu, apakah yang telah membuatnya menculik
Amrita, dengan perencanaan yang tampaknya sangat matang
pula" Sudah jelas bahwa pada suatu hari yang tidak kami
ketahui, kebetulan atau tidak kebetulan, seseorang telah
mengetahui keberadaan kami. Penyamaran memang bukan
perkara yang mudah, apalagi jika diburu para pengawal
rahasia istana yang dalam menjalankan tugasnya itu akan
menyamar. Kuingat kembali Arthasastra yang menjadi
pegangan negeri mana pun yang merujuk kebudayaan dari
Jambhudvipa. Dalam kitab itu tertulis tentang Kegiatan
Petugas Rahasia yang Menyamar Sebagai Pekerja Rumah,
Pedagang dan Pertapa yang lengkapnya seperti berikut:
1. Dengan membagi daerah pedesaan menjadi empat
bagian, kepala pelaksana harus menyuruh mendaftarkan
jumlah desa, yang tergolongkan sebagai yang terbaik,
menengah dan terendah (mencatat mana yang bebas pajak,
mana yang menyediakan serdadu, jumlah (pendapatan) dalam
gandum, ternak, uang tunai, hasil hutan, kerja dan hasil
sebagai pengganti pajak.
2. Di bawah petunjuknya petugas pajak harus menjaga
sekelompok lima atau sepuluh desa.
3. Ia harus mencatat jumlah desa dengan menentukan


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batasannya, jumlah ladang dengan menghitung (ladang) yang
dibajak dan yang tidak, ladang kering dan basah, taman,
kebun sayur, (bunga dan buah) yang dipagari, hutan,
bangunan, cagar alam, puri, irigasi, tempat pembakaran
mayat, rumah istirahat, tempat untuk m inum air, tempat suci,
lapangan rumput dan jalan; dan tentang hadiah, penjualan,
pemberian dan pembebasan mengenai batas desa dan ladang,
dan (mencatat) rumah dari jumlah pembayar pajak dan bukan
pembayar pajak.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
4. Dan di dalamnya (ia harus mencatat) mereka yang
termasuk empat varna, jumlah petani, penggembala,
pedagang, pekerja tangan, pekerja dan budak, jumlah
makhluk berkaki dua dan berkaki empat, dan jumlah uang,
kerja, pajak dan denda timbul dari mereka.
5. Dan tentang pria dan wanita dalam keluarga, ia harus
tahu jumlah anak dan orangtua, kerja mereka, adat, dan
jumlah penghasilan dan pengeluaran mereka.
6. Dan dengan cara yang sama, petugas bagian harus
mengawasi seperempat bagian daerah pedesaan.
7. Di pusat petugas pajak dan bagian, para hakim harus
menjalankan tugas mereka dan berusaha memperoleh beaya.
8. Dan petugas yang menyamar sebagai pekerja rumah,
diarahkan oleh kepala pelaksana, harus menemukan jumlah
ladang, rumah dan keluarga di desa tempat mereka bertugas,
ladang dan ukuran serta hasil seluruhnya, rumah, tentang
pajak dan pembebasan dan keluarga tentang varna dan
pekerjaan. 9. Dan mereka harus mencari tahu jumlah perorangan di
dalamnya dan penghasilan serta pengeluaran mereka.
10. Dan mereka harus menyelidiki alasan untuk pergi dan
berdiam dari mereka yang mengadakan perjalanan dan
mereka yang datang (masing-masing), juga tentang pria dan
wanita yang membahayakan, dan (harus cari tahu) kegiatan
para mata-mata.
11. Dengan cara yang sama, mata-mata yang menyamar
sebagai pedagang harus cari tahu jumlah dan harga barang
raja yang dihasilkan di negerinya sendiri, yang diperoleh dari
tambang, pengairan, hutan, kilang, dan ladang.
12. Dan tentang kegiatan mengenai barang yang bernilai
tinggi dan rendah yang dihasilkan di mancanegara dan
didatangkan melalui jalan air atau jalan darat, mereka harus
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
cari tahu jumlah pajak, tol jalan, beaya pengawalan, beaya
pada rumah jaga pengawal dan perahu penyeberangan,
bagian, makanan dan hadiah.
13. Dengan cara yang sama, para petugas yang menyamar
sebagai pertapa, dipimpin oleh kepala pelaksana, harus
mengetahui kejujuran atau ketakjujuran para petani,
penggembala dan pedangan dan kepala bagian.
14. Dan para pembantu yang menyamar sebagai pencuri
tua mencari tahu alasan untuk masuk, diam, dan
keberangkatan para pencuri dan pemberani musuh, dalam
cagar alam, persimpangan jalan, tempat sepi, sumur, sungai,
danau, penyeberangan sungai, perumahan puri, pertapaan,
rimba, gunung, hutan, dan semak.
15. Demikianlah kepala pelaksana yang selalu rajin, harus
mengawasi daerah pedesaan; dan (para mata-mata) juga
harus mengurusnya, juga badan-badan lain dengan asal
sendiri (yang berbeda) harus mengawasinya.
Memang aku tidak pernah terlalu bisa menikmati bahasa
resmi, apalagi yang berbau hukum, tetapi dari Arthasastra itu
terbayang segala sesuatu yang mungkin dikerjakan para
pengawal rahasia istana. Namun jika memang benar pengawal
rahasia istana yang mengabdi kepada Jayavarman II
menemukan jejak kami, mengapa Naga Kecil yang menangkap
Amrita, dan mengapa pergi ke utara, ke Sungai Merah yang
sudah berada di luar Campa"
Betapapun kusadari kesalahan yang telah kami lakukan,
yakni belum mampu bersikap seperti orang biasa dalam arti
sesungguhnya. Sudah bagus ketika Amrita berdiam diri saat
dagunya didorong ke atas oleh gagang cambuk di tempat
penganyaman tikar pandan itu, tetapi jatuhnya petugas
bercambuk tanpa nyawa lagi setelah majikan kami bersujud,
sudah tentu mengundang pelacakan. Kemudian, meski kami
segera menyempurnakan mayat Pendekar Cahaya Senja
dengan pembakaran, dan tidak kami rasakan pertarungan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Amrita itu disaksikan seseorang, ternyata cerita tentang
pertarungan itu sudah begitu saja tersebar dari kedai ke kedai
melalui mulut para pembual, entah bagaimana caranya, tanpa
jaminan ketepatan sama sekali. Ini terjadi karena kami
membiarkan diri kami bersikap seperti para penyoren pedang
di rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan, yakni selalu
menanggapi setiap bahaya yang mengancam dengan
kemampuan ilmu s ilat, sementara syarat pertama penyamaran
adalah bersikap sepenuhnya seperti orang awam.
Jika itu pun belum mampu kami penuhi, bagaimana
mungkin menghindari para petugas rahasia yang bahkan
mengetahui segala sesuatu di dalam rumah sebuah keluarga
itu" Sehingga apabila kami sungguh berperan dengan baik
dalam penyamaran itu, tetap saja kami masih harus sangat
berhati-hati terhadap siapapun yang berada di sekitar kami.
Meski begitu, betapapun aku merasa kami sudah bersikap
awam seperti yang semestinya dituntut dalam sebuah
penyamaran. Bersikap seperti tukang kayu ketika menjadi
tukang kayu, bersikap seperti pandai emas ketika menjadi
pandai emas, bersikap seperti pengemis ketika menjadi
pengemis, bersikap seperti sais kereta ketika harus menjadi
sais. Sungguh aku begitu yakin bahwa tidak ada seorang
petugas rahasia pun mengendusnya. Hanya menjadi pelacur
sajalah yang tidak dijalani Amrita, karena dirinya tiada lagi
bisa bercinta dengan siapapun juga selain kepada diriku.
Secara keseluruhan, karena memang terus menerus berpindah
tempat di seluruh Kambuja, untuk mendapatkan pengetahuan
sebanyak-banyaknya, kami tetap berperan sebagai kaum paria
pengembara, yang berkelana di atas bumi tanpa pernah
mendapat kemapanan, menggelandang tanpa tujuan selain
melanjutkan kehidupan
Maka memang menjadi pertanyaan besar bagiku sekarang
mengenai peran Naga Kecil di sini. Apakah dia menemukan
Amrita karena daya batin alam iahnya, dan para petugas
rahasia memang memanfaatkannya, ataukah tindakan Naga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kecil tidak ada hubungannya dengan kebijakan istana yang
mana pun juga" Namun rajah bergambar naga menggeliat
dengan mulut menganga yang kulihat pada tubuh orang yang
mengikutinya itu, mengingatkan diriku kepada tanda-tanda
suatu perkumpulan rahasia...
DARI Vijaya aku telah melewati Amaravati, dan terus
menyusuri pantai sepanjang Indrapura. Aku tetap berperan
sebagai paria pengembara yang bercaping dan berbaju
compang-camping, tetapi memilih untuk tidak terlalu sering
bertemu dengan manusia. Betapapun aku merasa harus
secepatnya mencapai Sungai Merah, yang masih sangat jauh
karena batas utara Campa yang terujung, tempat berdirinya
candi Siva di Caoha, belum kulewati pula. Pantai adalah
tempat yang ramai, karena tiap sebentar terdapat kampung
nelayan, bahkan pelabuhan, sehingga kutentukan untuk selalu
melakukan perjalanan malam. Siang hari aku tidur di mana
pun agar memiliki cukup tenaga pada malam harinya. Dalam
penyamaran di dunia yang penuh mata-mata ini, aku
menahan diri untuk tidak berkelebat dan melesat dengan
Jurus Naga Berlari di Atas Langit agar tidak seorang
mengendus keberadaan seseorang dari dunia persilatan di
dunia awam. Namun, begitulah, pada suatu siang berangin ketika aku
tidur di tepi pantai dengan wajah tertutup caping di bawah
pohon nyiur yang melambai-lambai, terdengar sebuah suara
dalam bahasa Jawa.
''He, pengemis! Bangunlah!''
(Oo-dwkz-oO) Episode 120: [Ruang Tulisan, Waktu Tulisan]
PEMBACA yang Budiman, sementara Pembaca mengikuti
kisah perjalananku di Kambuja, aku mengalami kejadian yang
membuat diriku berada dalam kedudukan yang sulit, karena
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
seseorang telah menyandera Nawa agar kuserahkan riwayat
hidup yang sedang kutulis tersebut. Adapun kesulitan itu
meliputi dua matra: Pertama, bahwa jika kuserahkan demi
Nawa, dan bagiku keselamatan seorang anak jauh lebih
penting dari apa pun juga, karena anak adalah masa depan,
maka besar kemungkinan naskah tersebut bahkan tak dapat
kubaca kembali, padahal aku menuliskannya demi sebuah
penyelidikan, mengapa diriku disuruh bunuh oleh negara;
kedua, dengan melibatkan diri dalam kejadian itu, sambungan
penulisanku tidak jelas kapan bisa dilanjutkan, padahal aku
tidak dapat menulis dan membebaskan Nawa dalam waktu
bersamaan. Apa akal"
Dalam waktu yang sempit, aku mendapat jalan keluar yang
hanya dapat berhasil dengan bantuan Pembaca, yang akan
berbaik budi tetap mengikuti lanjutan cerita tersebut meski
mengetahui betapa aku belum sempat menuliskannya!
Bukankah penulisanku terhenti ketika kuketahui sesosok
bayangan berkelebat, dan sosok yang lain mendadak muncul
sambil menempelkan pedang di leher Nawa" Memang, aku
dapat mengharapkan bahwa guratan demi guratan aksara
yang sedang kutulis itu diandaikan saja sebagai lanjutan cerita
yang berlangsung sampai aku keluar dari wilayah Campa.
Namun seberapa banyaklah yang dapat dituliskan oleh sebuah
pengutik di atas lembaran lontar bukan" Jadi, maaf, seribu kali
mohon maaf atas kebodohanku dalam penulisan, dan terima
kasih sebesar-besarnya atas pengertiannya, bahwa peristiwa
yang berlangsung sesudahnya, seperti pertarunganku melawan Amrita dan seterusnya, tentu belum dituliskan
selengkapnya saat aku terpaksa menghentikannya ketika
memergoki bayangan yang berkelebat dalam kegelapan
tersebut. Mohon maklum dan mohon maaf!
Masalahnya, jika aku tidak dapat mengambil jarak dengan
masa kiniku, tidak dapat kujamin aku akan segera kembali ke
masa lalu dan menuliskannya; sedangkan jika penulisan masa
laluku itu terbengkalai dan akhirnya terlupakan sama sekali,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
aku pun tidak dapat mencapai kejelasan pada masa kiniku.
Maka aku harus segera menyelesaikan pengembalian ingatan
segenap masa laluku itu, agar tidak tenggelam dalam
kebingungan seperti sekarang.
Kini persoalan pelik lain harus kupecahkan dalam waktu
singkat, sehubungan dengan pentingnya keselamatan Nawa.
Betapa besar dosa dan rasa bersalahku jika seorang anak
harus menjadi korban dalam masalahku yang sudah memasuki
usia 101 tahun. Sangatlah tidak layak seorang anak
terkorbankan untuk seseorang yang setiap saat berkemungkinan mati.
Persoalannya, apakah sosok yang berkelebat dalam
kegelapan itu datang bersama dengan sosok yang memegang
Nawa" Jika mereka datang bersama, dan memang
bekerjasama, tentu harus kuperhitungkan berbeda dengan
kenyataan jika mereka tidak saling mengenal. Paling sulit
adalah memperhitungkan, jika mereka mungkin tidak saling
mengenal, tetapi bisa saja kepentingannya sama; ataukah
ternyata tidak sama. Jika yang menyandera Nawa telah
menyatakan kepentingannya, maka apakah kiranya maksud
dan tujuan sosok yang langkahnya begitu ringan, nyaris
takterdengar sama sekali, yang jelas tidak bermaksud
memperlihatkan diri"
"Aaaakkhhh!"
Nawa menjerit, pedang itu telah menggores kulit lehernya.
Mataku masih bisa melihat garis hitam kental dalam
kegelapan, tanda darah keluar dari goresan luka.
"Semua naskah ada di pondok," kataku, "silakan ambil
semua, tetapi tinggalkan Nawa di s ini!"
Kutatap dengan pandangan menembus
kegelapan. Agaknya ia membebatkan kain hitam di wajahnya, sehingga
hanya tampak matanya. Pantaslah takbisa kujejaki wajahnya
tadi, karena kain hitam menyamarkannya dengan kegelapan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kulihat Nawa yang juga melihat ke arahku. Apakah yang
diharapkannya dari seorang kakek tua yang setiap hari
dilihatnya hanya menulis saja"
Langkah-langkah halus dari bayangan yang berkelebat tadi
telah sampai ke belakang pondok. Apakah ia bermaksud
mencuri tumpukan lontar yang telah kutulisi selama setahun
ini" Aku tidak terlalu yakin bahwa seseorang tahu apa yang
kutuliskan selama ini, kecuali pengusaha lembaran lontar ini,
yang pertanyaannya terpaksa kujawab, bahwa aku sedang
menulis kenang-kenanganku. Kurasa apapun yang kutulis
tidak penting bagi pengusaha lembaran lontar itu, sehingga
kuandaikan ia tidak pernah memperbincangkannya, dan tentu
tidak juga Nawa, yang baginya diriku hanyalah kakek tua.
Namun setidaknya terdapat dua perkara yang memungkinkan
seseorang mencari dan peduli dengan keberadaan maupun
apa yang kulakukan di sini. Pertama, bahwa aku memang
seorang buronan, yang bagi penangkapan atau kematianku
tersedia hadiah 10.000 inmas; kedua, bahwa seorang
perempuan muda telah bertanya-tanya kepada Nawa, apakah
aku ini seorang pendekar, yang telah membuat Nawa bertanya
kepadaku pula. "AAAAKKHHH!"
Nawa menjerit, pedang itu telah menggores kulit lehernya.


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mataku masih bisa melihat garis hitam kental dalam
kegelapan, tanda darah keluar dari goresan luka.
"Semua naskah ada di pondok," kataku, "silakan ambil
semua, tetapi tinggalkan Nawa di s ini!"
Kutatap dengan pandangan menembus
kegelapan. Agaknya ia membebatkan kain hitam di wajahnya, sehingga
hanya tampak matanya. Pantaslah tak bisa kujejaki wajahnya
tadi, karena kain hitam menyamarkannya dengan kegelapan.
Kulihat Nawa yang juga melihat ke arahku. Apakah yang
diharapkannya dari seorang kakek tua yang setiap hari
dilihatnya hanya menulis saja"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Langkah-langkah halus dari bayangan yang berkelebat tadi
telah sampai ke belakang pondok. Apakah ia bermaksud
mencuri tumpukan lontar yang telah kutulisi selama setahun
ini" Aku tidak terlalu yakin bahwa seseorang tahu apa yang
kutuliskan selama ini, kecuali pengusaha lembaran lontar ini,
yang pertanyaannya terpaksa kujawab, bahwa aku sedang
menulis kenang-kenanganku. Kurasa apa pun yang kutulis
tidak penting bagi pengusaha lembaran lontar itu, sehingga
kuandaikan ia tidak pernah memperbincangkannya, dan tentu
tidak juga Nawa, yang baginya diriku hanyalah kakek tua.
Namun setidaknya terdapat dua perkara yang memungkinkan
seseorang mencari dan peduli dengan keberadaan maupun
apa yang kulakukan di sini. Pertama, bahwa aku memang
seorang buronan, yang bagi penangkapan atau kematianku
tersedia hadiah 10.000 inmas; kedua, bahwa seorang
perempuan muda telah bertanya-tanya kepada Nawa, apakah
aku ini seorang pendekar, yang telah membuat Nawa bertanya
kepadaku pula. Aku harus bertindak cepat, jika ingin Nawa tetap selamat.
"Lepaskan anak ini sekarang juga! Dan ambil naskah itu!
Cepat! Sebelum aku berubah pikiran!"
Bahwa ia perlu menyandera Nawa, kutafsirkan sebagai
pengenalan atas diriku yang sebenarnya. Ini membuat
gertakanku berhasil, karena aku juga telah memperhitungkan,
kedua orang yang menyatroni tidak bekerja sama, mengingat
perbedaan tingkat ilmu mereka. Aku mengenal para pendekar.
Ibarat burung rajawali, mereka selalu terbang sendiri. Tidak
banyak kemungkinannya dengan ilmu setinggi itu akan sudi
bahkan hanya untuk bicara dengan penyandera ini.
Perhitunganku tidak keliru, karena jika ilmu penyandera ini
tinggi, ia tentu minta naskah itu kuambil ke dalam pondok,
dan menolak kehendakku. Lagipula ia tidak tahu apa yang
terdapat di dalam pondok, sedangkan dalam dunia persilatan,
segala sesuatu yang dianggap penting pasti dirahasiakan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitulah ia melesat sambil melemparkan Nawa ke arahku.
Kutangkap Nawa yang ketakutan dan segera memelukku.
Dengan sebelah tangan kudekap ia di s isi kiri tubuhku dan aku
segera berkelebat ke dalam pondok. Sesosok bayangan
berkelebat menghilang ketika aku masuk. Kulihat sepintas.
Belum ada sesuatu pun yang sempat disentuhnya. Namun
lebih dari yang kuharapkan, penyandera bertutup kain hitam
yang hanya terlihat matanya itu sudah tewas dengan luka di
dadanya. Adapun bayangan itu sudah lenyap di balik
kegelapan. Aku tidak berminat mengejarnya, sejauh tidak ada sesuatu
yang kuanggap penting telah diambilnya, apalagi dengan
adanya Nawa dan mayat orang itu dalam pondokku. Aku
segera keluar agar Nawa tidak me lihat mayat dengan luka
tepat pada jantungnya itu. Memang nyaris tak berdarah sama
sekali karena ketinggian ilmu pedang yang membunuhnya,
tetapi bukan sekadar kekerasan betapapun bukanlah
pengalaman menyenangkan bagi seorang anak, melainkan
betapa akan sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan anak
secerdas Nawa. Kuletakkan Nawa yang masih terpaku dengan peristiwa
yang dialam inya itu di luar. Lantas aku masuk dan memeriksa
lagi orang itu. Di pinggangnya terdapat rantai, yang mungkin
merupakan senjata yang belum sempat dipakainya. Ia hanya
berkancut seperti semua orang yang tidak mempunyai
kedudukan tinggi, tetapi kain kancutnya yang hitam kelam
menunjukkan tujuan penggunaannya untuk kepentingan
tertentu. Kuperiksa gulungan kain yang melingkari pinggangnya, sehingga rantai itu memang sepintas lalu tak
ada. Seperti kuharapkan, segala sesuatu yang menunjukkan
keterlibatan dengan kerja penyusupan terdapat di sana,
seperti jarum-jarum beracun, tali berkait untuk bergantung,
bola-bola peledak, maupun pisau terbang.
"Kalapasa...."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Kudengar desisanku sendiri pada malam sunyi. Aku harus
segera melenyapkan mayat ini jika tidak ingin mendapat
kesulitan. KUANGKAT mayat itu dan aku pun berkelebat lewat pintu
belakang. Inilah kesulitan seseorang dari dunia persilatan yang
menyamar sebagai seorang awam, apabila kemudian ternyata
persoalan dari dunia persilatan itu masih terus menyusulnya.
Dunia persilatan penuh dengan mayat bergelimpangan, karena
seseorang yang hidup dalam dunia itu memang selalu berada
dalam kedudukan antara hidup dan mati, sementara di dunia
awam tergeletaknya satu mayat saja akibat pembunuhan
sudah menjadi peristiwa menggemparkan. Istilah mayat yang
kejatuhan embun masih berlaku untuk menekankan makna
betapa sesuatu telah berlangsung di luar kewajaran.
Ke manakah aku harus pergi dalam kegelapan ini" Meski
malam telah turun, tetapi ini malam yang belum larut sama
sekali. Justru di kota seramai Mantyasih, kedatangan malam
itu seperti harus dirayakan. Di berbagai pojok jalan obor
penerangan menyala dan memperlihatkan kerumunan, bahkan
di tepi jalan besar terlihat keramaian karena terdapat sebuah
tontonan. Aku membawa mayat anggota Kalapasa ini dengan
berlindung di balik kegelapan di balik tembok. Aku harus
sangat waspada, karena jika benar yang harus kusembunyikan
mayatnya ini adalah anggota Ka lapasa, seharusnya ia tidaklah
bekerja sendirian.
Berlindung di bawah bayangan tembok bata merah di jalan
besar tidaklah mudah, karena cahaya obor yang cukup banyak
telah memudarkan kegelapannya. Cahaya api kekuningan
menyepuh tembok bata merah, bahkan bayanganku yang
memanggul mayat tampak jelas pada tembok itu! Bergoyanggoyang sesuai goyangan api yang tertiup angin...
Aku terkesiap dan segera berkelebat dari bayangan
kegelapan yang satu ke bayangan kegelapan yang lain. Aku
sama sekali tidak boleh terlihat, jika tidak ingin seisi kota
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
keluar dari rumahnya dan memburuku. Maka aku terbang ke
atas tembok dan melesat di atasnya, berkelebat dari atas atap
rumah yang satu ke atap rumah yang lain, menghindari
keramaian, menuju ke pinggiran kota. Di depan berbagai arca
Siva kulihat sejumlah orang masih melakukan upacara malam,
dan ini pun harus kuhindari hanya di belakang arca itu
terdapat kegelapan. Di depan arca bahkan obor terang
benderang, dan semakin ke pinggiran kota semakin sedikit
terdapat tembok perkotaan, sehingga nyala api menyelusuri
tanah seluas-luasnya, memperlihatkan bayang-bayangku
memanjang memanggul mayat yang kejatuhan embun.
Tujuanku adalah tempat pembakaran orang-orang mati.
Tempat itu berada di luar tembok kota, di pinggiran, tempat
bermukimnya orang-orang paria, yang meski disebut tanpa
kasta ternyata masih berperingkat pula. Rumah-rumah mereka
jelas tidaklah terbuat dari batu bata seperti rumah para
bangsawan di dalam kota, melainkan seperti kandang hewan
sahaja. Kadang tak berdinding dan hanya beratap, bahkan tak
jarang hanya menggeletak begitu saja di atas jerami. Itulah
golongan candala, mleccha, dan tuca. Di dekat mereka itulah
terdapat pancaka-pancaka pembakaran mayat, tempat siapa
pun yang keberangkatannya ke alam baka tidak memerlukan
upacara, karena tidak mempunyai biaya tentunya, mayatnya
segera dibakar sampai habis tanpa sisa. Itulah sisa pekerjaan
bagi para astacandala yang meski berperingkat dalam
ketanpakastaan sepintas lalu tampak sama saja, yakni kumuh
dan nestapa. Mereka, laki dan perempuan, sedang duduk berkerumun
bagai gundukan dalam kegelapan. Bahkan siang hari pun
mereka tidak selalu tahu apa yang bisa dikerjakan selain
mencari sisa-sisa makanan. Mereka berdiri ketika aku datang.
Tidak ada penerangan apapun di tempat itu. Demikianlah
orang-orang yang selalu dianggap tidak mempunyai igama ini,
ataupun jika memiliki kepercayaan dianggap saja sebagai
golongan vidharma, upadharma, upatha, apatha, vipatha, atau
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mithyadusti ini, atau golongan sesat, hidupnya nyaris seperti
binatang, meski dalam kenyataannya tetap saja memiliki
kebudayaan. Kulemparkan mayat itu ke depan mereka. Dengan terkejut
mereka berdiri.
"Siapa di antara kalian mengenali mayat ini," kataku.
Segalanya memang gelap, tetapi apalah yang bisa terlalu
gelap bagiku sebagai orang persilatan, maupun bagi mereka
yang selalu hidup dalam kegelapan itu"
KUKELUARKAN beberapa keping mata uang perak. Yah,
tidak perlu emas untuk membuat mata mereka terbelalak
lebih. Kutahu jaringan perkumpulan rahasia sangat mengandalkan kaum paria, karena bagi kasta di atasnya kaum
tanpa kasta ini hanya ada untuk mendukung keberadaan
mereka, yang keberadaannya bagai merupakan suatu takdir,
sama sepert keberadaan anjing, angin, rembulan, yang
bagaikan sudah semestinya ada demi keberadaan mereka.
Karena itu tidak ada sesuatu pun dari kaum paria itu harus
menjadi begitu istimewa untuk diperhatikan lebih dari
seharusnya. Sebaliknya kaum paria itu selalu memperhatikan segalanya
yang berlangsung di luar dunia mereka, karena segala sesuatu
yang berada di luar dunia mereka itu sangat memengaruhi
keberadaan mereka. Selain bahwa seolah-olah tiada sesuatu
pun dalam dunia mereka sendiri yang dapat menarik perhatian
mereka. Mereka yang berada di tepi dunia selalu memandang
ke arah pusat dunia, mereka yang berada di pusat dunia tidak
punya waktu memandang apapun, selain memandang diri
mereka sendiri.
Di Mantyasih, mereka merasa berada di pusat dunia dan
sibuk dengan upacara igama. Candi-candi terus dibangun
mengerahkan tenaga dari desa, sehingga sawah dan ladang
terbengkalai. Orang desa yang jatuh miskin, merayap masuk
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
kotaraja yang selama ini dipandang sebagai pusat dunia,
tetapi tidak ada satu manusia pun peduli kepada mereka. Para
pengawal dan penjaga kota menahan mereka di luar kotaraja,
dan hanya bisa masuk jika kaum berkasta membawa mereka
masuk sebagai budak atau orang upahan.
Dari tahun ke tahun mereka beranak pinak, selain ada
kalanya datang pula rombongan baru yang desanya terlantar
karena membangun candi. Anak beranak yang lahir di
kandang hewan akhirnya takmengenal kehidupan lain selain
keselamatan hari ini. Bukan hanya orangtuanya kehilangan
kepercayaan kepada dewa-dewa yang telah berpaling, tetapi
anak-anak tumbuh di kandang hewan ini telah menciptakan
dewa-dewanya sendiri!
Makanya mereka disebut sebagai apatha atau mithyadusti,
mereka yang sesat, dan karena itu tidak dapat diterima
sebagai bagian dari peradaban. Bahkan pengemis dan
gelandangan di dalam kota, seolah-olah kastanya lebih tinggi
dari mereka, karena pengemis dan gelandangan hanyalah
warga biasa yang terlantar, bisa berkasta sudra, bahkan
vaisya yang jatuh rudin, tetapi apatha dianggap kelahiran
yang salah. Kedudukan semacam itu membuat mereka tak pernah
dipandang, tetapi selalu memandang, dan karena itu layak
kuanggap tahu segala sesuatu. Kulemparkan ikatan mata uang
perak itu, yang segera berserak di atas tanah. Mereka
menyergapnya seperti buaya menyambar itik, tetapi aku
segera menendangi mereka dengan tenaga kasar, sehingga
sepuluh orang terlempar sambil mengerang.
"Dasar astacandala! Katakan siapa pernah me lihat orang
ini! Baru uangnya boleh dimakan!"
Uang bagi orang-orang yang malang ini hanya berarti arak
dan pelacur, sedangkan para pelacur yang tidak terlalu butuh
uang pasti akan menolaknya.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Mereka mendekati mayat itu dan memeriksanya. Mereka
membolak-balik mayat, dan kurasakan hal itu agak terlalu
lama. Dengan cepat kuambil kembali ikatan mata uang perak
itu, lantas kulemparkan lima keping ke udara.
"Itu untuk pembakaran, siapa pun yang akan melakukannya," kataku sambil berlagak pergi, "aku hanya
buang waktu di sini."
Aku melangkah pergi. Dengan langkah biasa. Setelah agak
jauh kudengar langkah seseorang menyusulku
"Tuan, Tuan, sahaya melihatnya."
Aku menoleh. Seorang lelaki berkancut yang sangat dekil,
seperti nyaris telanjang, karena kancut yang tak jelas


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

warnanya itu pun sungguh compang-camping. Rambutnya
terurai dan kaku, seperti mengesahkan ketidakberadabannya.
Meski kurasa cara berbahasanya tidaklah sekasar seperti yang
biasa diperdengarkan golongannya.
"Apa yang kamu lakukan sehingga melihatnya?"
"Sahaya sedang mencari telur burung di batas kota, T uan,
ketika sahaya mendengar perbincangan di bawah pohon yang
daunnya sangat rimbun itu. Sahaya tidak berani turun, karena
mereka pasti akan membunuh sahaya. Pertemuan ketiga
orang penunggang kuda itu jelas dirahasiakan, karena mereka
saling bertukar kata sandi."
"Apa yang mereka bicarakan?"
"Mereka berbicara perlahan sekali tuan, maaf, sahaya tidak
berkata telah mendengar percakapan mereka, sahaya hanya
menyatakan telah melihatnya.'
Ia benar. Namun tentunya harus ada sesuatu yang bisa
kuperhitungkan berdasarkan pandangan matanya.
"APA saja yang dikau lihat?"
"Kuda mereka."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kenapa dengan kuda mereka?"
"Kuda mereka ketiganya hitam, tegap dan perkasa."
Hmm. Apakah ini mempunyai makna" Mereka yang memilih
untuk hidup sebagai penyusup akan akrab dengan warna
hitam. Kuda hitam bukan perkecualian, karena tidak akan
mudah terlihat dalam penyusupan dan perburuan dalam
kegelapan. Ini hanya membenarkan dugaanku sebelumnya,
bahwa orang ma lang yang terbunuh dalam tugas itu adalah
petugas rahasia. Namun sebetulnya dengan segenap bukti
yang kudapat, belum bisa dipastikan, apakah dirinya anggota
Kalapasa, atau justru pengawal rahasia istana -meski
kuyakinkan diriku betapa pengawal rahasia istana sesungguhnya telah dididik untuk bersikap ksatria, dan tidak
akan pernah menyandera bahkan membahayakan seorang
anak kecil demi kepentingannya. Masalahnya, jaringan rahasia
Cakrawarti disebutkan telah demikian merasuk, sehingga
sangat mungkin untuk menanamkan seorang anggota
Kalapasa sebagai pengawal rahasia istana, yang merupakan
tindak gabungan antara ilmu penyamaran dan ilmu
penyusupan. Dengan perkembangan ilmu-ilmu kerahasiaan
itu, tidakkah mencari jejakku akan menjadi terlalu mudah"
Pertemuan ketiga orang itu juga berarti bukan hanya satu
orang yang terbunuh itu saja mengetahui keberadaanku.
Tidakkah itu sangat berbahaya" Buronan negara terlacak oleh
suatu regu pemburu resmi. Dengan jalur perintah dan
penugasan mereka yang terlatih, tidakkah saat ini setidaknya
sudah seratus orang pengawal rahasia istana mengepuh
pemondokanku"
"Tuan, mayat kedua orang itu sudah tiba lebih dahulu,
Tuan." "Mayat dua orang" Siapa?"
"Dua dari tiga orang berkuda hitam yang berkumpul di
bawah pohon itu, Tuan. Sebelum Tuan datang, seseorang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
sudah datang dengan dua mayat dan membayar agar segera
dibakar." "Hah?"
"Makanya sahaya segera mengenali yang ketiga itu ketika
Tuan datang dan melemparkan mayatnya. Sahaya tidak
berkata kepada siapa pun tentang pertemuan ketiga orang itu,
takut ada mata-mata salah mengerti tentang keberadaan
sahaya." Setiap orang mengerti arti siksaan oleh para petugas
rahasia. Siksaan yang dapat membuat orang tidak bersalah
mengaku bersalah.
"Siapa yang membawa kedua mayat itu, dan kapan?"
Orang tanpa kasta ini menoleh ke sekelilingnya.
"Semua orang melihatnya, Tuan, tetapi apakah itu berarti
uangnya harus dibagi?"
Itulah yang kukatakan tadi. Apakah harus dikatakan
mereka memiliki budi pekerti" Meski aku tahu kecenderungan
untuk merendahkan mereka adalah kesalahan besar.
Kuperhatikan astacandala ini memiliki semangat hidup, dan
tampaknya juga berdaya cipta, meski sepintas lalu hanyalah
gelandangan hina dina tanpa kehormatan sama sekali.
"Kuberikan semuanya untuk dikau," kataku, "hanya jika ada
gunanya bagi daku!"
Ia lantas mendekati aku dan berbisik. Aku menahan napas,
karena seperti orang sadhu manusia tanpa kasta ini
tampaknya sudah berbulan-bulan tidak mandi. Hanya saja
dirinya bukan orang sadhu, bahkan siapa dewanya tiada jelas
sama sekali. "Memang akan berguna Tuan, karena meskipun ia tampak
sebagai seorang laki-laki, sahaya tahu ia sebetulnya seorang
perempuan."
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Bagaimana dikau tahu?"
"Karena memang terlalu kentara Tuan. Sahaya rasa ia tak
pandai menyamar. T idak jelas apa maksudnya. Mungkin takut
diperkosa di wilayah ini. Aneh, suaranya saja jelas suara
perempuan muda."
Jika perempuan ini juga yang membunuh keduanya,
kemungkinan juga yang telah menamatkan riwayat penyandera Nawa dan menghilang dengan sangat cepatnya,
artinya mustahil takut diperkosa. Betapapun aku merasa
terbunuhnya ketiga orang ini sangat menguntungkan. Jika
tidak aku terpaksa berpindah tempat lagi, sebagaimana
layaknya seorang buronan, yang sulit kulakukan sekarang
karena aku harus selalu menulis. Aku bukan saja tidak dapat
menulis sambil berkelebat dalam pelarian, dan bahwa segenap
gulungan keropak itu harus dibawa, tetapi juga betapa aku
membutuhkan lembaran-lembaran lontar untuk ditulisi ini,
yang untuk mengolahnya dari daun rontal tidaklah dapat
dilakukan seketika. Jika setiap kali mau menulis harus berhenti
dulu untuk mengolah rontal menjadi lembaran lontar, kapan
pula tulisan tentang riwayat hidupku ini akan selesa
PADAHAL aku butuh penyelesa ian secepat dan setuntas
mungkin, agar segera kuketahui dari perkara yang sekecilkecilnya, mengapa setelah mengundurkan diri dari dunia
persilatan selama 25 tahun, wangsa Syailendra menjadikan
aku seorang buronan.
Aku merasa keadaanku tidak terlalu mengkhawatirkan
sekarang, tetapi bagaimana dengan perempuan itu"
''Bagaimana caranya ia menyamar sebagai lelaki"''
''Seperti banyak lelaki maupun perempuan yang keluar
malam Tuan, ia melingkarkan kain penahan dingin yang
menutupi dadanya. Selebihnya seperti kebanyakan pria yang
berkain pendek, maka kakinya yang seperti belalang membuat
sahaya curiga. Suaranya yang lemah meyakinkan sahaya.''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Apa yang dikatakannya"''
'''Bakar kedua mayat ini segera,' katanya. Itu saja. Ia
datang menunggang kuda hitam, dan kuda hitam yang lain
untuk membawa dua mayat di atas punggungnya. Apakah
Tuan mengetahui di mana kuda yang ketiga"''
Aku merasa penjelasan orang tanpa kasta ini meyakinkan.
''Pergi ke arah mana perempuan itu"''
''Ke sana Tuan"''
Ia menunjuk arah dari mana aku datang. Itu berarti ada
kemungkinan aku telah berpapasan dengannya tanpa
kuketahui! Pikiranku segera melayang kepada Nawa.
Setelah melemparkan seikat uang perak, aku melesat
kembali ke pemondokan. Tidak kupedulikan lagi api menyalanyala terang di luar batas kota, dari mayat yang langsung
dibakar di atas pancaka. Dengan upah atas pembakaran tiga
mayat dalam semalam, kurasa kaum paria itu hari ini
berpesta. (Oo-dwkz-oO) TIBA di pondok, sesosok bayangan berkelebat. Apakah aku
harus mengejarnya" Mengingat kecepatannya, meski ilmu
meringankan tubuhnya memang sangat tinggi, kukira aku
masih akan mampu mengejarnya, tetapi tentu saja pikiranku
tertuju kepada Nawa. T ernyata dia masih ada. Maka aku pun
segera masuk dan menengok ke dalam bilik. Gulungan yang
telah bertumpuk-tumpuk pun ternyata masih ada dan kukira
bahkan tidak disentuhnya sama sekali.
Aku keluar dan mendekati Nawa. Kuperiksa lukanya. T idak
berbahaya. Aku masuk ke dalam pondok dan mencari daun
obat-obatan. Untunglah masih ada. Segera kuusap sedikit di
lehernya itu. Dengan segera memang mengering dan tidak
berbahaya sama sekali. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan
dari luka itu, tetapi bagaimana dengan perasaan anak berusia
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
enam tahun, yang baru akan memasuki tahun ketujuh dalam
kehidupannya itu" Bagaimanakah ia akan menerima peristiwa
yang telah melukai lehernya itu" Bukan apa yang terjadi
kepada dirinya barangkali yang perlu kukuatirkan bagi seorang
anak yang cerdas seperti Nawa, dan telah kukenal setahun ini
melalui segenap yang selalu aku membuat aku berpikir dalamdalam; melainkan apa yang dipikirkannya tentang diriku, yang
telah mengelak dari pertanyaannya yang langsung dahulu itu:
apakah aku seorang pendekar"
Masa lalu apakah yang mungkin dimiliki oleh seorang tua,
sehingga seseorang sampai harus menyandera seorang anak
kecil untuk mendapatkan apa yang ditulisnya" Apa pula yang
mungkin dituliskannya, sampai begitu panjangnya, yang
membuat seseorang sampai menyandera dan terbunuh pula
oleh seseorang yang lain, yang agaknya tidak ingin naskah itu
diambil dan dibawa" Seberharga apakah naskah itu kiranya,
jika ternyata dilindungi begitu rupa" Siapakah kiranya orang
tua yang hidupnya seolah-olah hanya menulis di sela
kesibukannya mengolah daun rontal menjadi lembaran lontar
ini" Aku sangat ingin menyapa Nawa. Namun kurasa anak ini
tidak memerlukan sapaan yang seperti basa-basi, meskipun
jika menyapanya tentulah aku tidak berbasa-basi sama sekali.
Aku hanya memeluknya, dan dia ternyata merebahkan diri di
pangkuanku. ''Kakek,'' katanya, ''Kakek tenanglah. Daku tidak kurang
sesuatu apa.'' AKU tertegun. Apakah peristiwa ini membuatnya mendadak
dewasa" Bukan diriku yang harus menenangkannya karena
kejadian yang tentunya luar biasa itu, melainkan dirinya yang
merasa harus menenangkan diriku. Tidakkah ini lebih dari
biasa" Sembari memeluknya kusapu kegelapan malam. Sayupsayup masih terdengar keramaian di luar tembok. Dalam
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
setahun ini Mantyasih bertambah ramai, sehubungan dengan
pembangunan candi terbesar yang tampaknya semakin
membutuhkan lebih banyak lagi tenaga manusia. Sudah tujuh
puluh lima tahun candi itu dibangun, melewati berbagai masa
dan peristiwa. Kukira pembangunannya kini memang
mendekati saat-saat terakhirnya.
"Kakek..."
Nawa berbisik dengan sangat amat pelahan. Alam pun
terasa sangat amat sunyi, sehingga meskipun suara-suara di
kejauhan itu menjadi bertambah jelas, tidak menghilangkan
bisikan Nawa sama sekali.
"Janganlah takut, Kakek, tidak ada sesuatu pun yang perlu
Kakek takuti..."
Meskipun aku memasuki umur 101 tahun, dan sampai hari
ini aku belum terkalahkan, mataku terasa panas oleh air mata
yang mengambang. Lima puluh tahun belakangan ini aku
hidup menyendiri, dan memang sangat amat sendiri, tanpa
pernah merasa ada yang harus ditakuti, tetapi meski
barangkali di luar maksudnya, sikap Nawa terhadapku
membuatku terharu. Ternyata seseorang, meskipun anak
kecil, begitu peduli kepadaku. Baginya aku hanyalah seorang
tua sebatang kara yang sendirian saja, tanpa seorang pun
merasa perlu untuk agak lebih peduli kepadanya...
Nawa yang akhirnya tertidur, tentu juga karena kelelahan
batin, kugeletakkan pada amben bambu di serambi.
Orangtuanya sudah tahu bahwa jika Nawa tak pulang berarti
ia tidur di sini. Kuselmuti dirinya dengan kain dan kudengar
napasnya yang lembut. Belum waktunya ia mengenal dunia
yang begitu keras, meski anak mana pun akhirnya akan
menjadi dewasa dan mengenal dunia dengan tantangannya
sendiri. Baru kusadari sejak tadi belum kunyalakan lampu damar.
Kupertajam kewaspadaanku dan kukira keadaannya aman.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Dengan batu api kunyalakan damar itu. Apinya kecil, tetapi
lebih dari cukup untuk menulis. Aku sudah biasa menulis pada
malam hari ketika suasana sudah begitu sunyi. Kukira sosok
perempuan yang menyamar sebagai lelaki itu juga tidak akan
menggangguku. Jika dirinya ingin mengawasiku tanpa suara di
salah satu sudut gelap itu, biarlah ia mengawasi diriku yang
sedang menulis, yang kupedulikan adalah menyelesaikan
riwayat hidupku dengan secepat-cepatnya agar terselesaikan
sebelum kematian entah bagaimana caranya tiba.
Kusiapkan pengutik dan lembaran-lembaran lontar yang
kosong. Setelah berpikir sejenak, aku menulis kembali.
Semoga tidak ada kesalahan.
(Oo-dwkz-oO) Episode 121: [Pembunuh Bayaran]
DI bawah pohon nyiur yang melambai, aku masih tidur
dengan wajah tertutup caping. Namun tidurnya mereka yang
menyusuri jalan di rimba hijau dan sungai telaga dunia
persilatan, bukanlah tidurnya orang awam yang mengalami


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur sebagai istirahat sejenak dari upacara kehidupan.
Tidurnya mereka yang memilih jalan untuk menyoren pedang
memang adalah tidur dalam pengertian tubuhnya beristirahat,
tetapi justru dalam tidurnya itulah segenap inderanya bekerja
penuh, sehingga dapat dikatakan dalam keadaan tidur pun
kewaspadaan seorang pendekar tetap tinggi.
Dalam keadaan tidur dengan napas teratur, akan tetap
terdengar olehnya langkah mengendap-endap siapa pun ia
yang berkepentingan dengan dirinya, apakah itu sekadar
untuk menyapa, apalagi jika bermaksud membunuhnya! Maka
bukan hanya langkah mengendap-endap yang sebaiknya
terdengar dengan jelas, tetapi tentunya juga desiran jarumjarum halus yang beracun menembus udara harus mampu
didengarnya dengan sangat amat jelas; karena jika tidak,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bagaimanakah kiranya jalan persilatan yang ditempuhnya
akan terlewati dengan selamat" Memang benar bahwa
seorang pendekar itu harus siap untuk mati, tetapi bukan
hanya kesiapan untuk mati terbunuh saja yang dituntut dari
seorang pendekar, melainkan kematian dalam kesempurnaan
dirinya sendiri.
Ini membuat tidur yang sempurna adalah tidur dalam
tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Itulah sebabnya
telah kuketahui langkah-langkah orang ini, yang mendekati
perlahan-lahan dengan agak memutar, karena mungkin
dikiranya dengan itu diriku tidak akan mengetahui dirinya
datang. Namun dapat kubaca dari langkahnya bahwa ia
menganggap itu tidak banyak gunanya, sehingga akhirnya ia
melangkah lurus, berhenti pada suatu jarak, dan menegurku.
Siapakah dia dan apa yang harus kulakukan dengannya.
Meskipun mataku masih tertutup kutahu ia menyoren pedang,
bercaping, dan di balik pinggangnya terdapat pisau-pisau
terbang. Jelas ia berasal dari dunia persilatan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan seperti hanya berarti
pertarungan. Jadi aku pun harus benar-benar waspada!
IA berbahasa Jawa, dan dari logatnya kutahu diucapkan
seseorang dari Jawadwipa. Bahwa ia berbahasa Jawa untuk
membangunkan aku, maka itu berarti dirinya mengenali diriku,
meskipun barangkali belum pernah berjumpa denganku.
Seseorang tidak perlu mengenali dan menegurku dengan cara
seperti ini, kecuali ia benar-benar bermaksud mencari dan
menemukan aku. Aku membuka caping. Langit biru. Seketika kutahu apa
yang harus kulakukan setelah mendengar ombak berdebur di
pantai. Aku melesat dan berlari sepanjang pantai. Ia mengejarku
dan memang kubiarkan ia menyusulku. Ia berlari di
sampingku. Kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang
Mataram, tetapi busananya seperti banyak orang di daerah ini.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Pedangnya sudah tercabut dan seperti baling-baling berusaha
membacok bahu kiriku. Kuajukan tangan kiriku untuk
menangkis pedang itu.
Trangngng! Terdengar suara seperti logam menimpa batu. Tentu
dengan tenaga dalam bisa kujadikan tanganku sekeras batu.
Ia tampak terkejut tetapi terus mencoba lagi dan aku terus
memainkan tanganku seperti sebuah pedang. Aku terus berlari
dan dengan begitu aku telah menyeretnya kepada sebuah
pertarungan yang belum pernah dijalaninya. Aku sengaja lari
dengan kecepatan yang cukup untuk membuatnya mengejarku, tetapi tidak akan cukup untuk mencegat dan
menyerangku. Ia hanya bisa mengejar, mengejar, dan
mengejar, dan hanya dapat berada di sampingku jika aku
memberinya kesempatan untuk itu. Ilmu meringankan
tubuhnya memang tinggi, karena tentunya kami tidak dapat
dilihat dengan mata awam, tetapi itu belum cukup
mengimbangi Jurus Naga Berlari di Atas Langit, karena
dengan ilmu ini diriku bahkan bisa berlari di atas air dengan
lebih cepat lagi.
Demikianlah sepanjang pantai itu kami melesat dengan
dirinya selalu berada di sampingku dan tidak pernah bisa
berhenti seperti jika dia berhasil mencegatku. Aku
membuatnya berlari, berlari, dan terus menerus berlari,
melesat di antara debur ombak, perahu-perahu nelayan, dan
batang-batang pohon nyiur yang kadang-kadang begitu miring
di atas pantai sehingga kami harus terbang melompatinya.
Selama berlari kusempatkan diriku berpikir. Siapa pun yang
berada di belakang penyoren pedang ini, dan bermaksud
membunuhku, telah mengirim orang yang salah. Betapapun
tinggi tingkat kepandaian orang ini, kuragukan tujuan
pengirimnya untuk membunuhku. Siapa pun yang bermaksud
membunuhku, betapapun sudah tahu tingkat ilmu silat seperti
apa yang semestinya dikuasai seseorang agar mampu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mengalahkan diriku. Jadi, jika seseorang dengan tingkat ilmu
silat seperti ini tetap dikirimkan juga dari Jawadwipa, sampai
mencari dan menemukanku di tempat sejauh ini, apakah
maksudnya" Jika pembunuhanku tidaklah menjadi tujuan, aku
haruslah memikirkan sesuatu yang lain.
Kubiarkan pedangnya sekali-sekali mengenai bahu dan
tanganku yang berakibat pedangnya makin lama makin
bergerigi seperti layaknya logam yang mengenai batu. Namun
ia terus menerus merangsekku dan tidak sadar aku telah
membawanya lari jauh sampai puluhan ribu langkah di
sepanjang pantai yang landai. Tenaganya makin lama makin
berkurang, tetapi tidak dirasakannya karena aku terus
menyesuaikan kecepatanku dengan kecepatannya. Artinya ia
selalu merasa sudah hampir mencapaiku, yang membuatnya
terus berlari tanpa perhitungan lagi. Sampai lama kelamaan
tenaganya habis juga, dan saat itulah kujepit pedangnya
dengan dua jari, lantas setelah kupegang kulumpuhkan dirinya
dengan tepisan punggung tangan kiri, yang membuatnya
terjerembab di pasir basah pada punggungnya. Langsung
kuinjak dadanya.
"Dikau menyebutku pengemis! Siapakah dirimu?"
Ia tidak menjawab. Apakah dirinya anggota jaringan
rahasia" Aku meragukannya. Mereka yang bergabung dengan
jaringan rahasia mempunyai kepatuhan teruji, bahwa jika
mereka tertangkap dan terkalahkan maka bunuh diri menjadi
kewajiban. Butiran-butiran racun terdapat dalam kantong
mereka, yang harus segera mereka telan apabila tertangkap
seperti sekarang.
Kuletakkan ujung pedang yang kupegang ke tempat
jantungnya berada.
"Dikau datang dari Jawadwipa. Adakah dikau s iap mati jauh
di negeri orang, tidak pernah melihat anak dan istri kembali?"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia tersenyum. Baru kuingat bahwa bagi anggota jaringan
rahasia, hidup sendiri dan tidak berkeluarga adalah yang
terbaik. Selain demi terjaganya rahasia, juga karena dengan
begitu tidak ada sandera yang dapat digunakan untuk
memerasnya. Namun jika ia tidak dikirim untuk membunuh,
apa yang akan dilakukannya" Ternyata ia lantas berbicara.
"Sahaya mendapat tugas untuk menjatuhkan embun,"
ujarnya, yang berarti ia ditugaskan untuk membunuh, "tetapi
mereka tidak mengatakan Pendekar Tanpa Nama begitu tinggi
ilmunya." "Siapa yang menugaskan kamu?"
"Pendekar Tanpa Nama akan mengetahuinya, jika sahaya
dapat memegang kembali pedang yang telah lepas dari
tangan sahaya."
Aku masih menginjak dadanya. Segera kulepaskan. Semula
aku muak kepadanya karena sempat memikirkan kemungkinannya sebagai pembunuh yang mengejar bayaran.
Ternyata dia hanya orang suruhan. Sebaliknya, mengingat
pengejarannya sampai sejauh ini, kukira ia melakukan
tugasnya dengan baik sekali.
Ia bangkit dari kegeletakannya. Kukembalikan pedangnya.
Namun begitu menerima pedang itu, dengan kedua tangan
memegang erat gagangnya ia tusuklah perutnya sendiri
sampai tembus ke punggungnya.
Aku sangat terkejut dan menangkap tubuhnya yang jatuh
ke depan. Darah mengalir dari mulutnya, tetapi masih bisa
kumengerti yang dikatakannya.
"Na-ga-hi-tam...."
(Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU masih terus berjalan menyusuri pantai, dengan
kenangan atas Jawadwipa yang meskipun belum setahun
kutinggalkan, serasa begitu jauh dalam lorong waktuku penuh
pertumpahan darah. Apakah keadaannya akan jadi lain jika
kucari dan kutempur saja Naga Hitam waktu itu, dan tidak
mengikuti kesenangan sendiri mengembara dibawa angin
seperti ini. Kucoba merenung, apakah aku takut kepada Naga Hitam"
Dengan gelar naga yang telah dicapainya, ibarat kata ilmu
seorang pendekar tidak bisa lagi diukur. Seorang pendekar
dengan gelar naga sudah jelas tidak terkalahkan, apakah itu
karena ia telah menantang semua pendekar dan selalu
menang, apakah tiada seorang pun yang berani menantangnya, atau telah direbutnya gelar naga itu dari
pendekar lain yang telah menyandang gelar naga. Jika yang
terakhir ini memang telah dilakukannya, sungguh tak
terbayangkan bagaimana seorang pendekar bergelar naga
akan bisa dikalahkan, karena ia seolah-olah telah mengalahkan pendekar terbesar.
Namun benarkah begitu" Jika memang benar, apakah
sudah tidak berlaku lagi pepatah di atas langit ada langit
maupun gelombang yang di depan digantikan gelombang
yang di belakang" Aku telah menenggelamkan diri dalam
samadhi untuk memperdalam ilmu silatku selama sepuluh
tahun di dalam gua, seperti aku begitu keluar akan langsung
menantang Naga Hitam. Di dalam gua itulah kemampuan
yang kumiliki menjadi berlipat ganda, karena pemecahan
filsafat yang kuberlakukan kepada ilmu silat, yang telah
mengembangkan pendekatanku terhadap ilmu silat itu,
sehingga sulit diimbangi tanpa melakukan pendekatan yang
sama. Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar akan kuimbangi
Ilmu Pedang Naga Hitam, dengan Jurus Penjerat Naga bahkan
setiap naga berkemungkinan kukalahkan, tetapi dengan Jurus
Bayangan Cermin, yang terus kugali dan kembangkan sebagai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ilmu Bayangan Cermin, maafkanlah jika kukatakan bahwa
tiada terbayangkan ada lawan yang tidak bisa kukalahkan.
Tentu aku tidak sedang menyombongkan diri. Bukankah
kepada diriku pun berlaku pepatah di atas langit ada langit
maupun gelombang yang di depan digantikan gelombang
yang di belakang" Aku mengungkapkan hal itu karena dengan
begitu seharusnya aku memang mencari, menantang, dan
menempur Naga Hitam, meskipun misalnya ia menghindari
diriku. Naga Hitam seharusnyalah kucari dan kutantang secara
terbuka, bilamana perlu bahkan dengan cara mempermalukannya, agar ia segera keluar dari sarangnya dan
bertandang, karena ia sudah terlibat begitu jauh dengan dunia
kejahatan. Dalam dunia persilatan, para naga semestinya
berada di atas semua golongan, tetapi Naga Hitam bagaikan
telah bergabung dengan golongan hitam. Padahal kemampuanku sebetulnya mewajibkan aku membasmi
gerombolannya. Ternyata aku bukan saja tidak pernah menantangnya,
melainkan pergi jauh, bagai ingin pergi ke luar dunia. Memang
benar telah kutewaskan banyak murid Naga Hitam, bahkan
berkat diriku pula berbagai kesatuan dalam jaringannya
mengalami kehancuran, yang telah membuat Naga Hitam
menganggapku seperti duri dalam daging, dan selalu
mengirimkan para pembunuh bayaran untuk memburuku.
Kurang alasan apa lagi bagiku untuk menantangnya bertarung
dan menewaskannya" Memang benar pula bahwa aku sama
sekali tidak takut kepadanya, tidak sama sekali menghindarinya, dan dalam kenyataannya begitu banyak


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusan telah menyeretku tidak ke arah pertarungan itu, yang
kemudian kuketahui telah menjadi perbincangan dari kedai ke
kedai, meski Naga Hitam melalui utusan-utusannya tetap
selalu memburuku, tetapi jika aku lebih memilih untuk menjadi
pengembara, berjalan-jalan melihat dunia, tidakkah ini berarti
aku ternyata lebih mementingkan diriku sendiri"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
MUNGKINKAH aku cukup bodoh untuk mengira diriku
belum mampu mengalahkan Naga Hitam" Mungkinkah karena
masih begitu muda maka diriku belum bisa mengukur dan
membandingkan, betapa tidak ada sesuatu pun yang perlu
kutakutkan dari Naga Hitam, bahkan dari pendekar mana pun
yang tidak terkalahkan dan karenanya berhak atas gelar naga
" Mungkinkah aku terlalu menyadari, bahwa bukan ilmu silat
yang jadi masalahku, melainkan kebijaksanaan dan kecendekiaan yang tidak kumiliku sebagai bagian dari wibawa
naga " Sekarang, hari ini, di pantai ini, aku merasa malu kepada
diriku sendiri. Merasa malu dan bersalah, karena telah
mementingkan perasaanku sendiri, daripada kebutuhan orang
banyak yang sudah sangat mendesak, yakni melepaskan diri
dari gurita jaringan kejahatan Naga Hitam.
(Oo-dwkz-oO) BEGITULAH aku terus berjalan, berjalan, dan berjalan jauh
meninggalkan reruntuhan candi di Caoha, terus menerus
menyusuri pantai sampai ke Teluk T ongking. Kucari jejak Naga
Kecil dari kedai ke kedai, dari pasar ke pasar, sembari berpikir
bahwa mungkin masih ada lagi pembunuh-pembunuh bayaran
Naga Hitam yang dikirim mencariku. Semakin kusadari betapa
Kedatuan Srivijaya sungguh berjaya di lautan. Kapal-kapal
mereka sampai di Teluk Tongking ini bisa ditemukan di setiap
pelabuhan. Kapal seperti yang pernah kutumpangi dulu,
dengan nakhoda bernama Naga Laut yang telah kutinggalkan
di bekas pelabuhan kerajaan Fu-nan di muara Sungai Mekong.
Begitulah aku menjadi seorang pemburu, dengan bayangan
harus menyelamatkan Amrita, tetapi yang tahu juga sedang
diburu, oleh pembunuh-pembunuh tangguh yang dikirim dari
jauh, yang bersama dengan serbuan pasukan Wangsa
Syailendra di sepanjang pantai Kerajaan Campa sebelumnya,
membentuk jaringan perantauan Jawadwipa yang melayani
kepentingan berbagai pihak dalam pertarungan kekuasaan di
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Suvarnadvipa. Naga Hitam telah memanfaatkan jaringan itu
untuk melacak jejakku,
padahal pertempuran dalam
perburuan Amrita itu tentu menjadi dongeng yang bertebaran
di segala penjuru.
Kuingat pertemuan terakhir dengan Naga Kecil pada malam
berhujan itu. Saat halilintar berkeredap, garis-garis lengkung
sisiknya menyala kebiruan, seperti cahaya tubuh ikan yang
hidup di kedalaman. Kuingat Amrita berkisah tentang lidahnya
yang bercabang, dan kemampuannya mengendalikan pikiran,
baik pikiran manusia maupun ikan. Tentu dengan itu ia tidak
perlu berbicara dengan lidahnya yang bercabang itu. Namun
apakah orang-orang lantas dapat mengingat kehadirannya"
Di sebuah kedai pada sebuah pelabuhan kecil di muara
Sungai Merah, aku bertanya dengan bahasa Malayu, yang
dikenal di sepanjang pantai Teluk T ongking.
''Bapak, pernahkah melihat manusia bersisik yang
diceritakan orang-orang itu"''
Tidak bisa lain, aku hanya dapat mengajukan pertanyaan
pancingan. Aku tidak tahu jalan lain, dan sebuah pertanyaan
kuharap menambah kemungkinan yang dapat kuperhitungkan.
''Maksud Anak dengan manusia bersisik adalah Naga Kecil"
Tentu semua orang pernah mendengar cerita tentang murid
Naga Bawah Tanah yang ajaib itu, tetapi bukannya itu hanya
cerita" Kita tidak pernah tahu apa yang mungkin dan tidak
mungkin, dari dunia yang disebut dunia persilatan itu.
Heheheheheh. Namun istri sahaya menyukainya, untuk
mengantarkan cucu-cucu kami tidur.''
''Bukankah Naga Kecil itu saudara seperguruan Amrita,
putri Jayavarman II yang sedang menggalang kesatuan
Angkor di selatan, dan Putri Amrita adalah nyata"''
Pemilik kedai itu manggut-manggut sambil mempersilakan
orang-orang lain yang baru datang.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Tidak ada yang lebih nyata dari Putri Amrita, putri raja
yang naik kuda dengan busana tembus pandang, cerita
tentang pengkhianatannya terbawa angin sampai kemari.
Namun kisah di sekitarnya, tentang saudara seperguruannya
yang bersisik kebiru-biruan itu kenapa harus dipercaya" Selalu
ada cerita bagaikan dongeng di sekitar seorang tokoh, mulai
dari kesaktiannya -puteri itu bisa membunuh tanpa bergerak
katanya- sampai tokoh-tokoh di sekelilingnya, yang semuanya
juga mirip dongeng. Coba, semua orang mengatakan Naga
Bawah Tanah tidak pernah memperlihatkan diri bukan"
Hahahaha! Itulah caranya menciptakan dongeng!''
Aku setuju, bagaimana caranya kita memercayai sesuatu
yang tidak kita ketahui dengan pasti" Namun aku mengetahui
banyak hal tentang Amrita dengan pasti, yang telah
membuatku meninggalkan Khmer, menyusuri pantai sepanjang Kerajaan Campa, dan sampai di muara Sungai
Merah ini. ''PARA pemberontak berkumpul di Hoa Lu, tidak aneh jika
Putri Amrita yang dicari seluruh mata-mata ayahnya itu
bergabung ke sana. Orang-orang Viet di sini sudah lama
bermusuhan dengan orang Khmer, tetapi sekarang mereka
lebih nekat lagi karena berpikir untuk melepaskan diri dari
Negeri Atap Langit, sementara kebudayaannya dengan senang
Pendekar Kidal 9 Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Sang Penerus 5

Cari Blog Ini