Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
atas kematian anakku."
"Bukankah Ouwyang Toan, anakmu itu mati karena dihukum mati oleh pemerintah kerajaan Chi?" tanya Suma Koan.
Bu-eng kiam Ouwyang Sek menghela napas panjang sebelum menjawab dengan
suara sedih. "Memang benar, akan tetapi kegagalan Ouwyang Toan dan Bi Moli
Kwan Hwe Li juga gara-gara campur tangannya Kwa Bun Houw yang menyamar dan
menjadi pengawal pribadi kaisar. Karena dialah maka penyerangan itu gagal dan
anakku bersama Bi Moli tertawan dan dijatuhi hukuman mati." Dia mengepal tinju dan berteriak. "Kwa Bun Houw, aku pasti akan menghancurkan kepalamu untuk
membalas kematian anakku!"
Dua orang datuk yang biasanya tidak pernah saling mengacuhkan itu, kini bersatu hati untuk menentang dan membalaskan kematian putera mereka kepada Kwa Bun
Houw. Melihat kedua orang datuk itu marah-marah, Pek-thian-kui, orang pertama dari Butek Sam-kwi, berkata, "ji wi (kalian berdua) suka bersabar. Kami mengetahui akan dendam kemarahan hati ji-wi, akan tetapi kita harus mengingat bahwa selain Kwa
Bun Houw itu memiliki ilmu silat yang amat tangguh, juga agaknya dia memiliki pula kawan-kawan dari golongan kang-ouw yang menentang kita, seperti terbukti ketika 203
dia membantu Thian-beng-pai dan Hek-tung Kai-pang yang tidak mau tunduk
kepada kita. Oleh karena itu, harap ji-wi suka bersabar dan bergabung dengan kami.
Kalau kita bersatu, dengan kekuatan anak buah kita, kiranya tidak akan sukar untuk membalas dendam kita terhadap Kwa Bun Houw."
"Akupun harus menghajar pemuda sombong itu!" Kwan Im Sian li Bwe Si Ni berkata.
"Beberapa kali diapun berani menentangku!"
"Kalau begitu, bagus sekali! Pek-thian-kui, kami rasa, kami bertiga saja sudah cukup untuk menemukan Kwa Bun Houw dan memenggal lehernya! Tidak perlu kalian Bu-tek Sam-kui ikut-ikut!" kata Ouwyang Sek.
"Apa yang dikatakan Bu-eng-kiam itu benar, Bu-tek Sam-kui." kata pula Kui-siauw Giam-ong Suma Koan. "Setelah usaha kita bersama gagal, bahkan kami berdua telah mengorbankan putera kami, maka tidak ada gunanya lagi kerja sama ini. Kaisar Cang Bu telah tewas, pasukannya telah hancur, untuk apalagi kita bekerja sama" Kalian adalah petugas dari kerajaan Wei, akan tetapi kami bertiga tidak mempunyai urusan dengan perebutan kekuasaan antara kerajaan di utara dan kerajaan di selatan. Kami bertiga hendak mencari dan menghukum Kwa Bun Houw karena urusan pribadi,
tidak ada lagi sangkut-pautnya dengan kerajaan Wei."
"Akupun setuju," kata Kwan Im Sian-li. "Yang jelas, kerja sama itu ternyata tidak menguntungkan, bahkan merugikan kami. Giam-ong dan Bu-eng-kiam, mari kita
bertiga mencari Kwa Bun Houw dan kalau Tiauw Sun Ong membela muridnya, kita
bunuh sekalian manusia sombong itu!"
Tiga orang datuk itu lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu tanpa ada yang
berani mencegah. Bu-tek Sam-kui hanya dapat saling pandang saja. Mereka
mendapat tugas memimpin anak buah mereka untuk mengacau dan melemahkan
kerajaan Chi, dan untuk melaksanakan tugas itu mereka berhasil menarik banyak
tokoh kang-ouw golongan sesat untuk membantu mereka dengan janji yang muluk.
Bahkan mereka berhasil mengikat kerja sama dengan bekas Kaisar Cang Bu dan
bersama-sama mengatur siasat untuk membunuh Kaisar kerajaan Chi dan
menguasai dunia kang-ouw. Akan tetapi, ternyata usaha membunuh Kaisar Siauw
Bian Ong itu gagal, juga mereka tidak berhasil menguasai dunia kang-ouw
sepenuhnya. Tadinya, mereka mengharapkan para datuk seperti Ouwyang Sek dan
Suma Koan untuk mereka jadikan jago dan beng-cu dalam pemilihan beng-cu dunia
kang-ouw. Hal inipun gagal karena sekarang, dua orang datuk itu bersama Kwan Im Sian-li meninggalkan mereka dalam usaha mereka untuk mencari musuh pribadi
mereka. 'Tidak ada jalan lain, kita harus mulai dari pertama, yaitu mengadakan pengacauan di sepanjang tapal batas selatan sambil mengirim laporan tentang kegagalan itu
kepada Sribaginda dan menanti perintah selanjutnya," kata Pek-thian-kui. Dua 204
orang sutenya setuju dan segera mereka membuat laporan untuk dikirim kepada
kaisar mereka di utara.
Mulailah para anggauta Thian-te Kui-pang itu mengganas lagi di perbatasan,
mengganggu dusun-dusun, merampok dan membunuh dan mereka dikenal sebagai
gerombolan iblis Hitam karena pakaian mereka serba hitam dan kebuasan mereka
seperti iblis. Gegerlah perbatasan dan banyak penduduk mengungsi ke pedalaman.
Kalau ada pendekar atau petugas keamanan berani menentang, mereka semua
dibunuh. Sementara itu, Ouwyang Sek, Bwe Si Ni dan Suma Koan melakukan perjalanan
bersama menuju Hoa-san. Bwe Si Ni yang menjadi penunjuk jalan karena wanita itu pernah mendatangi tempat bekas pangeran itu mengasingkan diri, yaitu di sebuah
di antara puncak-puncak pegunungan Hoa-san. Mereka bertiga sudah bertekad
untuk mencari Bun Houw di sana dan kalau pemuda yang menjadi musuh besar
mereka itu tidak berada di sana, mereka akan menawan Tiauw Sun Ong untuk
memancing datangnya pemuda itu yang mereka yakin pasti akan membela gurunya.
"Si Buta itu lihai bukan main," Ouwyang Sek memperingatkan rekannya, Suma Koan.
"Babkan aku dan Sian-li pernah mengeroyoknya dan biarpun kami dapat
melukainya, dia masih mampu memaksa kami pergi membawa luka."
"Akan tetapi aku yakin bahwa dengan adanya Giam-ong membantu, kita akan dapat menundukkan jahanam buta itu," kata Kwa Im Sian-li gemas karena kini ia amat membenci pria yang pernah dicintanya setengah mati itu.
Cintakah itu kalau dapat berubah menjadi benci" Cinta yang mengandung cemburu,
ingin memiliki, kemudian berubah menjadi kebencian sesungguhnya hayalah gairah
nafsu belaka Cinta seperti itu tentu saja menimbulkan berbagai masalah,
mendatangkan konflik-konflik-Sudah menjadi sifat nafsu untuk selalu mengejar
kesenangan. Aku cinta padamu, karena kamu mendatangkan kesenangan padaku,
demikianlah isi cinta gairah nafsu itu, baik itu cinta antara pria dan wanita, kitara orang tua dan anaknya, antara sahabat, bah kan cinta seseorang terhadap apa saja.
Selama terkandung pamrih demi kesenangan diri pribadi, walaupun pamrih ini
seringkali bersembunyi di balik siogan dan gagasan agung maka cinta seperti itu pasti menimbulkan konflik, dan dapat berubah meojadi benci, karena cinta gairah dan kebencian bersumber satu, yaitu nafsu. Aku cinta kamu selama kamu
menyenangkan. Begitu kamu tidak menyenangkan, maka aku benci kamu! Karena
itu, cinta seperti ini selalu memilih, yang paling menyenangkan, itulah yang dicinta.
Demikian pula "cinta" yang pernah mengusik hati Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni. Ia pernah jatuh cinta kepada seorang pangeran yang tampan dan menyenangkan,
yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Biarpun cintanya tidak mendapat balasan, namun ia tetap mencinta karena ia kagum dan suka kepada pangeran itu, bahkan setelah dia tidak lagi menjadi pangeran dan menjadi seorang buta, ia tetap mengharapkan
205 menjadi pasangan hidupnya. Namun, penolakan-penolakan Tiauw Sun Ong, bahkan
yang mengakibatkan perkelahian, mengubah cintanya menjadi benci. Kalau ia masih mengharapkan diterima sebagai pasangan hidup, adalah karena biarpun sudah tua
dan buta, Tiauw Sun Ong masih amat menarik hatinya sebagai seorang yang amat
lihai ilmu silatnya. Penolakan itu menyakitkan hatinya dan sekaligus mengubah
cintanya menjadi benci dan kini ia hanya mempunyai satu keinginan terhadap Tiauw Sun Ong, yaitu membunuhnya!
Pada waktu itu, Tiauw Sun Ong tidak tinggal sendirian lagi di pondoknya. Kini dia ditemani puterinya, Tiauw Hui Hong, anak kandung yang baru ditemukannya
setelah anak itu berusia dua puluh satu tahun! Bahkan baru saja dia mengetahui
bahwa dia mempunyai seorang keturunan dari selir kaisar yaitu kakaknya, yang
menjadi kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu telah mengandung keturunannya
ketika mereka tertangkap dan dipisahkan. Tentu saja ayah dan anak ini merasa
berbahagia sekali dan Tiauw Sun Ong yang menemukan anaknya sebagai seorang
gadis yang memiliki ilmu silat tinggi sebagai anak tiri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek.
segera menggembleng puterinya itu dan mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya.
Karena gadis itu memang telah memiliki dasar yang kuat sebagai anak angkat dan
murid datuk majikan Lembah Bukit Siluman itu, maka tidaklah terlalu sukar baginya untuk melatih ilmu-ilmu yang kini diajarkan ayah kandungnya kepadanya. Selama
beberapa bulan tinggal bersama ayahnya di Hoa-san. Hui Hong telah memperoleh
kemajuan pesat sekali dan ia kini menjadi jauh lebih lihai dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, Karena puterinya itu memiliki ilmu Siang-kiam (Sepasang
Pedang) yang cukup lihai, maka Tiauw Sun Ong lalu mengajarkan ilmu totok dengan tongkat yang dimainkan oleh tangan kiri Hui Hong, sedangkan tangan kanannya
tetap memainkan pedangnya. Kalau tadinya Hui Hong bersenjatakan sepasang
pedang, kini ia mengganti pedang kirinya dengan sebatang tongkat yang dapat
diambilnya di mana saja, sebatang rantingpun jadi. Dan ternyata ranting itu jauh lebih berbahaya. bagi lawan dibandingkan kalau tangan kirinya memegang pedang!
Juga pedang di tangan kanannya mendapatkan banyak kemajuan setelah Tiauw Sun
Ong menambahkan jurus-jurus baru. Juga bekas pangeran ini mengajarkan cara
menghimpun hawa sakti kepada puterinya sehingga dalam hal tenaga sakti, Hui
Hong juga menjadi semakin kuat.
Gadis itu merasa berbahagia sekali. Bukan hanya karena kini ia hidup dekat
ayahnya, dapat mencucikan pakaian ayahnya, dapat memasakkan makanan untuk
ayahnya dan menerima pelajaran ilmu dari ayahnya. Akan tetapi juga karena
ayahnya menjodohkan ia dengan Bun Houw! Kini ia tinggal menanti datangnya
pemuda yang memang sebelum ayahnya menjodohkannya, telah menjadi pujaan
hatinya itu. Kebahagiaan membuat Hui Hong nampak semakin cantik jelita karena
wajahnya selalu cerah. Kalau dahulu, sebagai puteri datuk Ouwyang Sek, ia bersikap dingin, keras dan galak, kini di bibirnya yang mungil itu selalu nampak senyum
manis, matanya yang tajam bersinar-sinar itu mengandung kelembutan, dan
wajahnya selalu berseri.
206 Pada sore hari itu, Hui Hong berlatih silat pedang dan tongkatnya di belakang
pondok ayahnya. Kini ia duduk mengaso dan menghapus keringat yang membasahi
leher dan dahinya, dengan sehelai kain. Ia harus mengeringkan dulu keringatnya
sebelum mandi! Dalam udara dingin puncak dapat berkeringat seperti itu,
menunjukkan bahwa dalam latihan tadi Hui Hong mengerahkan banyak tenaga.
Namun ia merasa puas dan tersenyum-senyum. Jurus paling sulit yang diajarkan
ayahnya, setelah diulang-ulang selama beberapa hari, akhirnya hari ini dapat ia lakukan dengan baik. Ayahnya tentu akan girang sekali. Melihat Hui Hong duduk di atas batu, rambutnya awut-awutan, mukanya basah oleh keringatnya, dan
kemerahan karena mengerahkan tenaga, kedua pipinya segar kemerahan dan
bibirnya lebih merah lagi, membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa kagum.
Ia memang cantik jelita, seperti ibunya, selir kaisar yang memadu kasih dengan
ayahnya. Hui Hong sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, tiga orang bersembunyi di
balik batu-batu gunung yang besar dan mengintai ke arah pondok ayahnya. Tentu
saja tiga orang itu tidak dapat melihat Tiauw Sun Ong yang berada di dalam pondok, sebaliknya melihat jelas Hui Hong yang duduk di atas batu.
"Bu-eng-kiam, bukankah gadis itu anakmu Hui Hong?" Suma Koan berbisik.
"Ia bukan anakku lagi," jawab Ouwyang Sek gemas.
"Ahhh, kiranya begitu" Jadi gadis itu telah bertemu dan berkumpul dengan ayah kandungnya?" kata pula Suma Koan.
"Ssttt, kebetulan sekali ia berada di sini," kata Kwan Im Sian-li, "Ia merupakan umpan yang lebih baik untuk memancing datangnya Kwa Bun Houw."
"Benar sekali, bocah itu saling mencinta dengan Bun Houw. Kalau kita tawan, pasti Bun Houw akan muncul dan mencoba untuk membebaskannya." kata Ouwyang Sek,
"Hemm, kalau begitu, kalian berdua siap menghadapi Tiauw Sun Ong, biar aku sendiri yang menangkap gadis itu." kata Raja Maut Suling Setan itu, akan tetapi Kwan Im Sian-li menyentuh lengannya ketika datuk itu hendak keluar dari tempat
sembunyinya. "Giam-ong, kalau engkau sembrono, engkau akan menggagalkan semuanya. Jangan
pandang ringan bekas murid Bu-eng-kiam itu. Kalau kita menghadapi Tiauw Sun
Ong bertiga, tentu kita akan mampu menang, akan tetapi kalau Tiauw Sun Ong
dibantu gadis itu, akan lebih sulit bagi kita. Sebaikya kita bertiga bersama-sama menangkap gadis itu sehingga kalau Tiauw Sun Ong keluar, kita dapat
menundukkannya tanpa membuang tenaga, hanya dengan menyandera puterinya
saja. Dan dengan mereka berdua sebagai umpan pancingan, aku yakin Kwa Bun
Houw akan segera datang dan terjatuh ke tangan kita."
207 Dua orang datuk itu mengangguk-angguk mendengar ucapan Kwan Im Sian-li.
Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat dan tak lama kemudian ketiganya
berindap-indap menghampiri Hui Hong yang masih duduk menyeka keringat dan
menikmati kenyamanan hawa udara sejuk yang mengipasi tubuhnya yang masih
panas oleh pengerahan tenaga-dalam latihan tadi. Tiga orang itu adalah datukdatuk persilatan yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali sehingga mereka
mampu bergerak tanpa menimbulkan suara. Akan tetapi, selama beberapa bulan
menerima gemblengan ayahnya yang buta, Hui Hong telah diajar pula
mempertajam pendengarannya, seperti ayahnya yang seolah menggantikan tugas
matanya yang tidak dapat melihat itu dengan telinganya. Maka, setelah tiga orang itu agak dekat, pendengarannya dapat menangkap pernapasan mereka dan cepat ia
meloncat turun dari atas batu. Namun terlambat. Tiga orang itu sudah terlampau
dekat dan kini mereka telah mengepung Hui Hong dari tiga jurusan.
Andaikata ia tidak dikepung sekalipun, Hui Hong tidak akan melarikan diri. Gadis ini memiliki keberanian luar biasa, apalagi setelah ia mendapat gemblengan dari
ayahnya dan sepasang senjata itu masih di tangannya. Ia tidak akan gentar
menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, ketika ia melihat siapa
yang mengepungnya, ia mengerutkan alisnya dan maklum bahwa ia berhadapan
dengan lawan-lawan yang amat tangguh. Tentu saja ia mengenal Ouwyang Sek,
orang yang selama ini dianggap sebagai ayahnya sendiri, juga gurunya yang
mengajarkan ilmu silat kepadanya sejak ia kecil. Dan ia mengenal pula Suma Koan, datuk majikan Bukit Bayangan Iblis yang amat tangguh itu, orang yang pernah
melamarnya untuk dijadikan mantunya. Dan iapun mengenal pula Kwan Im Sian-li,
datuk wanita yang pernah membohonginya dan berusaha mengadu ia dengan ayah
kandungnya sendiri. Tiga orang datuk kaum sesat maju sekaligus menghadapinya!
Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya. Namun, ia siap
dengan pedang dan tongkatnya, menghadapi mereka dengan sikap gagah sekali.
"Kalian ...! Mau apa kalian bertiga datang ke sini?" ia bertanya dan sedikitpun ia tidak memperlihatkan sikap takut.
"Tangkap ...!!" Ouwyang Sek berseru dan iapun sudah menyerang dengan kedua tangannya terjulur ke depan dan dari kedua tangan itu menyambar angin pukulan
dahsyat ketika dia berusaha untuk merobohkan bekas murid atau anak tirinya itu
dengan totokan dan cengkeraman. Akan tetapi Hui Hong sama sekali tidak
mengelak, bahkan tongkat di tangan kirinya menyambut cengkeraman tangan
Ouwyang Sek dengan totokan ke arah telapak tangan itu, dan pedangnya
menyambar ke arah pergelangan tangan yang menotoknya!
"AHHH ...!!" Ouwyang Sek berseru kaget, tidak menyangka bekas murid ini akan menyambutnya seperti itu, dengan jurus yang sama sekali tidak disangka dan tidak dikenalnya, bahkan menggantikan pedang kiri dengan tongkat yang lihai bukan
main. Terpaksa dia meloncat ke belakang dan pada saat itu Kwan Im Sian-li dan
208 Suma Koan sudah bergerak maju membantu rekan mereka. Suma Koan
menggunakan suling mautnya untuk melakukan serangan totokan, sedangkan Bwe
Si Ni menerkam dari samping dengan kedua tangannya yang membentuk cakar
harimau. Serangan kedua orang ini hebat sekali sehingga Hui Hong terdesak hebat, biarpun ia sudah memutar pedang dan tongkatnya. Tenaga sin-kang dari kedua
orang inipun amat kuat.
Selagi ia berlompatan mengelak dari desakan kedua orang lawan itu, tiba-tiha
belakang lutut kirinya terkena tendangan kaki Ouwyang Sek dan Hui Hong jatuh
berlutut dengan sebelah kaki dan pada saat itu, pedang di tangan Kwan Im Sian-li Bwe Si Ni telah menempel di lehernya.
"Jangan berserak, bergerak berarti mati!" bentak Bwe Si Ni dengan suara mengejek.
Suma Koan merampas tongkat dan pedang dari tangan Hui Hong yang terpaksa
melepaskannya karena ia sudah tidak berdaya ditempeli pedang lehernya. Ia bukan seorang nekat yang bodoh untuk melawan dalam keadaan seperti itu yang akan
sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Akan tetapi ia masih sempat
berseru nyaring, "Ayaaaahhh ...!!"
Terdengar jendela pondok itu jebol dan tubuh Tiauw Sun Ong melesat di luar
bagaikan seekor burung garuda menyambar ke arah tempat itu! Tiga orang itu
sudah siap dan pedang yang menempel di leher Hui Hong semakin kuat. Tanpa
mengeluarkan suara tubuh Tiauw Sun Ong sudah berdiri di depan tiga orang itu,
tongkatnya melintang di depan, mukanya agak miring karena dia menggunakan
tenaga yang dikerahkan kepada kedua telinganya untuk mendengarkan gerakan tiga
orang itu. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat lagi, namun perasaan dan
pendengaran, juga penciumannya, seolah dapat menggantikan kekurangan itu dan
dia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi di depannya!
"Hui Hong, tak dapatkah engkau melepaskan dirimu?" tanya Tiauw Sun Ong dan suaranya mengandung wibawa yang kuat sehingga tiga orang itu mau tidak mau
merasa jerih juga.
"Ayah, mereka mengeroyok dan menangkapku secara curang." kata Hui Hong,
namun ia tidak berani bergerak karena sekali ia bergerak, pedang itu dapat
memenggal lehernya.
"Hemm, siapa kalian bertiga dan apa maksud kalian menangkap puteriku?"
"Tiga orang datuk itu menutupi perasaan jerih mereka dengan suara tawa mereka.
Mereka sengaja menertawakan Tiauw Sun Ong karena sudah merasa menang
dengan tertawannya puteri bekas pangeran itu.
209 Mendengar suara tawa mereka, Tiauw Sun Ong mengerutkan alisnya, "Bwe Si Ni!
dan tentu seorang di antara kalian adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dan siapa
yang seorang lagi?"
"Tiauw Sun Ong, aku adalah orang yang suka bermain musik," jawab Suma Koan dan tiba-tiba terdengar suara suling ditiup ketika datuk ini meniup suling mautnya.
"Hemm, kiranya Kui-siauw Giam-ong" Kalian tiga orang datuk sesat telah bertindak seperti penjahat-penjahat kecil yang curang. Bebaskan puteriku, dan kalau kalian menghendaki, mari hadapi aku, tua sama tua, bukan tiga orang tua mengeroyok
dan menawan seorang muda!"
"Hemm, Tiauw Sun Ong manusia berhati kejam!" teriak Kwan Im Sian-i marah.
"Engkau tidak dapat melihat akan tetapi ketahuilah bahwa pedangku sudah
menempel di leher puterimu. Sekali saja engkau membuat gerakan, pedangku akan
lebih dulu memenggal batang leher puterimu yang putih mulus ini!"
Kedua tangan Tiauw Sun Ong gemetar karena dia menahan kemarahannya, "Bwe Si Ni, apa kehendak kalian bertiga" Katakan!" Dia tahu bahwa tiga orang manusia
curang itu sengaja menyandera Hui Hong untuk memaksa dia.
"Tiauw Sun Ong, buang tongkatmu dan menyerahlah menjadi tawanan kami atau
puterimu akan kupenggal batang lehernya di depan hidungmu!" kata pula Kwan Im Sian-li dengan suara mengejek, hatinya girang dapat membuat orang yang kini amat dibencinya itu gelisah.
"Ayah, jangan dengarkan omongannya! Jangan perdulikan aku, hajar saja mereka.
Aku tidak takut mati!" teriak Hui Hong.
"Bwe Si Ni, aku selamannya tidak pernah mengganggumu, dan tidak pernah ada urusan dengan Bu-eng-kiam maupun Kui-siauw Giam-ong. Akan tetapi kalau kalian
sampai berani mengganggu puteriku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sampai
dapat membunuh kalian bertiga!" Suara bekas pangeran itu mengandung wibawa yang menggetarkan perasaan tiga orang itu.
Suma Koan dan Ouwyang Sek sudah siap dengan senjata mereka, menghadang di
depan Tiauw Sun Ong agar bekas pangeran itu tidak mempergunakan kekerasan
untuk menolong puterinya.
"Tiauw Sun Ong, menyerahlah, atau kubunuh puterimu!" teriak Bwe Si Ni dan dari suara wanita ini, tahulah Tiauw Sun Ong bahwa ia bersungguh-sungguh dan
keselamatan nyawa puterinya tergantung kepada sikapnya.
"Ayah, serang saja mereka!" kembali Hui Hong berseru.
210 "Hui Hong, tenang dan sabarlah," kata Tiauw Sun Ong yang kemudian bertanya kepada Bwe Si Ni, "Si Ni, lihat aku sudah menyerah, lalu apa kehendak kalian bertiga?" Dia melepaskan tongkatnya yang jatuh ke depan kedua kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara wanita yang nyaring dan amat berpengaruh, "Kwan Im Sian-li, lepaskan pedangmu! Cepat!"
Suara itu mengandung getaran yang amat kuat sehingga mengejutkan semua orang,
terutama sekali Kwan Im Sian-li dan tanpa disadarinya, iapun melepaskan
pedangnya yang tadi dipergunakan untuk mengancam Hu Hong.
"Hui Hong, cepat!" teriak Tiauw Sun Ong kepada puterinya, akan tetapi sebetulnya Hui Hong tidak memerlukan peringatan ini lagi. Begitu merasa betapa pedang itu
meninggalkan lehernya, iapun menggunakan kedua tangannya mendorong ke arah
dada Kwan Im Sian-li yang terpaksa melangkah mundur menghindarkan diri dan
kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Hong untuk bergerak cepat ke kiri dan
menyambar tongkat dan pedangnya yang tadi dirampas oleh Suma Koan dan
dilemparkan ke atas tanah.
"Hai i ttt ...!!" Tiauw Sun Ong juga sudah menggerakkan kedua tangannya menerjang ke arah Ouwyang Sek dan Suma Koan. Demikian hebat serangannya
sehingga kedua orang datuk ini mundur, dan kesempatan itu dia pergunakan untuk
memungut kembali tongkatnya.
Hui Hong menoleh ke arah suara wanita tadi dan muncul ah seorang wanita muda
yang cantik. Hui Hong memandang penuh perhatian. "Kau ..." Bukankah engkau ...
Cia Ling Ay ... " Nama ini tak pernah ia lupakan karena Cia Ling Ay, seperti yang didengarnya dari Bun Houw, adalah bekas tunangan pemuda yang dicintanya itu.
Ling Ay tersenyum dan mengangguk. "Adik Hui Hong, mari kita hajar iblis betina yang jahat ini!" katanya.
Tanpa diminta untuk ke dua kalinya, Hui Hong sudah memutar pedang dan
tongkatnya menyerang Kwan Im Sian-li. Cia Ling Ay juga menggerakkan pedangnya
membantu. Dalam hal ilmu silat, sebagai murid mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li,
tentu saja Ling Ay bukan tandingan Kwan Im Sian-li yang mempunyai tingkat
sebanding gurunya, akan tetapi wanita muda ini memiliki kelebihan, yaitu ilmu sihir!
Biarpun dalam ilmu ini ia tidak sekuat mendiang gurunya, namun sudah cukup
Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk dapat mempengaruhi seorang datuk wanita seperti Kwan Im Sian-li sehingga
ia dapat menyelamatkan Hui Hong. Sejak tadi ia memang menyaksikan peristiwa di
belakang pondok itu. Ia datang ke Hoa-san dengan niat mencari Kwa Bun Houw. Ia
merasa menyesal sekali telah memperlihatkan perasaan duka dan putus asa
meninggalkan Bun Houw seperti seorang yang merasa cemburu. Ia hendak
menemui dan minta kepada bekas tunangannya itu dan ia mengira bahwa Bun
Houw dapat ia temukan di tempat kediaman guru pemuda itu. Ia pernah bersama
gurunya datang ke tempat ini. maka ia dapat mengunjungi pondok dari arah
211 belakang dan kebetulan melihat betapa Hui Hong ditangkap oleh tiga orang datuk.
Tadinya, ia tidak ingin mencampuri, akan tetapi melihat betapa bekas pangeran itu dan Hui Hong diancam secara curang oleh tiga orang itu. ia merasa penasaran dan segera berusaha untuk membantu. Ia tidak begitu bodoh mengandalkan ilmu
silatnya terhadap tiga orang datuk yang ia tahu amat lihai, maka satu-satunya jalan baginya untuk menolong Hui Hong adalah dengan ilmu sihirnya, menyerang dengan
tiba-tiba mengejutkan Kwan Im Sian-li sehingga datuk wanita itu terkejut dan
melepaskan pedangnya dan Hui Hong dapat terbebas dari ancaman maut.
Sementara itu, Tiauw Sun Ong sudah menggerakkan tongkatnya menghadapi
pengeroyokan Suma Koan dan Ouwyang Sek. Diam-diam dia merasa gembira bahwa
puterinya terbebas dari ancaman maut, dan dia belum tahu siapa wanita yang
menyelamatkan puterinya dengan sihir tadi. Akan tetapi dia merasa lega bahwa
puterinya dan penolong itu yang kini menghadapi Kwan Im Sian-li, karena kalau dia yang harus melawannya, bagaimanapun juga dia masih merasa kasihan dan tidak
tega untuk membunuh bekas dayang itu.
Betapapun lihainya Tiauw Sun Ong, kini dia menghadapi pengeroyokan dua orang
datuk yang berilmu tinggi. Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan masih untunglah bahwa berkat kebutaannya, dia memiliki kepekaan melebihi orang
biasa, dan pendengarannya menjadi amat tajam sehingga dia dapat mengetahui
setiap gerakan lawan walaupun gerakan itu dilakukan dari arah belakangnya.
Bagaimanapun juga, karena kedua orang lawannya merupakan datuk-datuk yang
berilmu tinggi, Tiauw Sun Ong lebih banyak menangkis dan mengelak dari pada
menyerang. Dia terdesak sungguhpun kedua orang lawannya tidak mudah untuk
dapat merobohkannya.
Di lain pihak, Kwan Im Sian-li repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang
wanita muda itu. Apalagi kini Hui Hong telah memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan ayahnya. Kalau ia harus melawan sendiri bekas dayang itu, agaknya Hui Hong masih akan merasa kewalahan. Akan tetapi di situ ada Ling Ay yang juga lelah mewarisi sebagian besar ilmu mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li. Dengan kerja sama
yang baik, dua orang wanita muda ini perlahan-lahan mulai mendesak Kwan Im
Sian-li, membuat datuk wanita itu repot membela diri dan jarang ia dapat
membalas serangan mereka.
Diam-diam Hui Hong merasa kagum kepada Ling Ay. Bekas tunangan Kwa Bun
Houw ini, pada kurang lebih empat tahun yang lalu, masih dikenalnya sebagai
seorang wanita yang lemah. Akan tetapi sekarang mendadak muncul sebagai
seorang wanita yang lihai dalam ilmu silatnya, bahkan juga memiliki kekuatan sihir yang tadi dipergunakannya dan berhasil menyelamatkan ia dan ayahnya!
Bukan main! Dan iapun melihat betapa bekas tunangan Bun Houw itu kini
bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk
212 menyerang Kwan Im Sian-li. Melihat ini, timbul semangatnya dan iapun
menggerakkan pedang dan tongkatnya lebih cepat lagi.
Tentu saja Kwan Im Sian-li menjadi semakin repot setelah dua orang wanita muda
itu memperhebat serangan mereka. Apalagi ketika ia mengerling ke arah kedua
orang rekan mereka, dari dua orang datuk itu iapun tidak dapat mengharapkan
bantuan karena mereka berdua itu masih bertanding seru mengeroyok Tiauw Sun
Ong dan nampaknya belum ada tanda-tanda akan menang dalam waktu pendek,
Hui Hong juga mengerling ke arah ayahnya dan ia maklum bahwa kalau dilanjutkan
pertandingan itu, lambat laun ayahnya tentu akan terancam bahaya karena dua
orang datuk itu memang lihai bukan main. Ia harus dapat merobohkan Kwan Im
Sian-li lebih dahulu sebelum dapat membantu ayahnya, karena kalau ia tinggalkan Ling Ay seorang diri menghadapi bekas dayang itu, sama saja dengan membunuh
wanita yang kemunculannya telah menyelamatkan ia dan ayahnya itu.
Maka ia mengerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk mencoba
merobohkan wanita itu secepatnya, namun harapannya itu agaknya tidak akan
mudah dapat menjadi kenyataan. Kwan Im Sian-li adalah seorang datuk wanita yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bahkan tidak banyak selisihnya dibandingkan tingkat kepandaian Ouwyang Sek ataupun Suma Koan. Dan melihat betapa ayahnya
mulai terdesak, timbul kegelisahan di hati Hui Hong, khawatir kalau ayahnya akan celaka di tangan dua orang datuk itu. Dan kegelisahannya ini justeru membuat
gerakannya menjadi kacau dan hal ini membuat Kwan Im Sian-li nampak semakin
kuat dan sukar dikalahkan.
Tiauw Sun Ong memang mulai terdesak oleh kedua orang pengeroyoknya. Keadaan
di dua gelanggang pertempuran itu membuat keadaan kedua pihak seimbang.
Tiauw Sun Ong terdesak oleh dua orang pengeroyoknya, sebaliknya, puterinya dan
Ling Ay juga mendesak Kwan Im Sian-li. Mereka semua maklum bahwa pihak yang
kalah lebih dulu berarti akan kalah semua karena pihak yang menang tentu akan
dapat membantu perkelahian yang lain.
"Enci Ling Ay, cepat kaubantu ayahku!" tiba-tiba Hui Hong memutar pedangnya dengan sepenuh tenaganya menyerang Kwan Im Sian Li karena ia sudah mengambil
keputusan untuk membiarkan ia seorang diri yang terdesak oleh lawan, akan tetapi ayahnya harus dibantu dan itulah sebabnya ia minta kepada Ling Ay untuk
membantu ayahnya. Ling Ay menjadi agak bingung mendengar permintaan itu
karena ia pun tahu bahwa menghadapi Kwan Im Sian-li sendiri saja merupakan
bahaya besar bagi gadis itu. Akan tetapi Ling Ay adalah seorang yang cukup cerdik, iapun tahu bahwa Hui Hong sengaja membiarkan dirinya terancam asal ayahnya
terbebas dari desakan dua orang pengeroyoknya. Dan iapun percaya bahwa
bagaimanapun juga Kwan Im Sian-li tidak akan mudah saja mengalahkan atau
merobohkan Hui Hong. walaupun gadis itupun tidak akan mungkin menang kalau
213 melawan datuk wanita itu seorang diri saja. Maka, iapun meloncat dan memutar
pedangnya, terjun ke dalam gelanggang pertandingan membantu Tiauw Sun Ong.
Bekas pangeran itu terkejut sekali ketika dengan pendengarannya ia dapat
mengetahui bahwa wanita yang tadi membantu puterinya, kini datang
membantunya. Hal ini berarti bahwa puterinya itu seorang diri saja menghadapi
Kwan Im Sian-li! Dan diapun segera tahu bahwa puterinya sengaja mengorbankan
diri demi keselamatannya, sengaja menyuruh wanita penolong tadi membantunya
agar dia terbebas dari desakan dan ancaman dua orang datuk yang mengeroyoknya.
"Nona bantulah Hui Hong saja!" teriaknya berulang kali.
"Enci Ling Ay. kau bantu ayah!" teriak pula Hui Hong.
Tentu saja terikan ayah dan anak ini membuat Ling Ay menjadi bingung. Juga
membuat Tiauw Sun Ong dan Hui Hong kehilangan pencurahan perhatiannya
sehingga membuyar atau terpecah dan tiba-tiba Hui Hong mengaduh karena ujung
pedang Kwan Im Sian-li yang tadinya menyambar ke arah lehernya, agak lambat ia
mengelak dan pundak kirinya disambar ujung pedang sehingga berdarah
Melihat ini, Ling Ay meloncat dan menangkis pedang Kwan Im Sian-Ii yang sudah
menyambar lagi ke arah tubuh Hui Hong yang terhuyung sehingga gadis itu
terbebas dari maut dan mereka berdua sudah mengeroyok lagi Kwan Im Sian-li.
Teriakan Hui Hong yang tertahan ketika pundaknya terluka, dapat tertangkap
telinga Tiauw Sun Ong dan bekas pangeran itu menjadi sedemikian kaget dan
gelisahnya sehingga ujung suling di tangan Suma Koan berhasil menghantam paha
kaki kirinya. "Dukk_ ...!" Dan tubuh bekas pangeran itu terhuyung ke belakang. Untung dia masih sempat mengerahkan sin-kang sehingga tulang pahanya tidak patah, akan
tetapi dalam keadaan terhuyung itu. tentu saja dia membuka kesempatan bagi
kedua orang pengeroyoknya untuk mendesak maju. Melihat ini, Ling Ay
mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya menyambar cepat
untuk melindungi bekas pengeran itu. Teriakannya yang mengandung wibawa
karena dikerahkan dengan kekuatan sihir, membuat kedua orang datuk itu agak
tertahan gerakan mereka, akan tetapi ketika suling di tangan Suma Koan bertemu
pedang di tangan Ling Ay, tetap saja Ling Ay terhuyung dan pedang itu hampir
terlepas dari tangannya. Bagaimanapun juga, bantuan Ling Ay ini telah
membebaskan Tiauw Sun Ong dari ancaman maut. Ketika kedua orang datuk itu
mendesak lagi, Tiauw Sun Ong sudah dapat memutar tongkatnya membela diri, juga
Ling Ay membantunya dengan putaran pedangnya. Namun, bantuan Ling Ay ini
tidak membuat keadaan Tiauw Sun Ong lebih baik. Apalagi, pahanya telah terluka
terasa nyeri. Keadaan ayah dan anak itu sungguh gawat. Bantuan Ling Ay memang telah dua kali
menyelamatkan Tiauw Sun Ong dan Hui Hong akan tetapi tidak meloloskan mereka
214 dari desakan tiga orang datuk itu. Keadaan Hui Hong yang paling repot. Pundaknya telah terluka dan biarpun luka itu tidak terlalu parah, namun gerakannya membuat luka itu terus mengucurkan darah! Beberapa kali hampir saja ia menjadi korban
tusukan pedang Kwan Im Sian-li dan ketika ia berhasil menangkis sebuah tusukan, tiba-i ba kaki Kwan Im Sian-li berhasil menendang kakinya di bawah lutut dan Hui Hong terpelanting! Kwan Im Sian-li mengeluarkan suara tawa dan pedangnya
berkelebat. "Tranggg ...!"
"Aihhh ...!!" Kwan Im Sian-li terkejut bukan main dan terbelalak memandang kepada pedang yang dipegangnya karena pedang itu telah patah ujungnya. Ia tadi
hanya melihat kilat menyambar dan tahu-tahu pedangnya telah tertangkis dan
menjadi buntung! Ketika ia memandang, kiranya di depannya telah berdiri orang
yang dicari-cari tiga erang datuk itu, yaitu Kwa Bun Houw yang sudah memegang
sebatang pedang yang berkilauan di tangannya, dan dengan tangan kirinya dia
menarik tangan Hui Hong dan membantu gadis itu bangkit berdiri.
"Houw-koko, kau bantu ayah ...!" kata Hui Hong, gembira bukan main melihat munculnya Bun Houw.
Bun Houw menoleh dan melihat betapa gurunya, Tiauw Sun Ong, didesak hebat
oleh Ouwyang Sek dan Suma Koan dan gurunya itu dibantu oleh Cia Ling Ay dengan
mati-matian, hal yang membuat ia terheran-heran bukan main. Akan tetapi dia
mengerti bahwa Ling Ay membantu Hui Hong dan ayahnya, maka diapun cepat
berseru, "Adik Ling Ay, kau bantu Hong-moi."
Ling Ay juga gembira melihat munculnya Bun Houw. "Baik!" katanya dan dengan penuh semangat, janda muda ini lalu meloncat dan menyerang Kwan Im Sian-li
dengan pedangnya. Hui Hong menggerakkan pedang dan tongkatnya mengeroyok.
Hui Hong sedemikian gembiranya melihat kedatangan Bun Houw sehingga ia
melupakan luka di pundaknya dan gerakannya kini bagaikan seekor harimau betina
mengamuk. Tentu saja Kwan Im Sian-li yang sudah buntung pedangnya, menjadi
semakin panik dan menurun semangatnya.
Sementara itu, sekali melompat saja Bun Houw sudah terjun ke gelanggang
perkelahian. Dua orang datuk itu pun terkejut setengah mati melihat munculnya
pemuda itu. Tadinya mereka memang ingin bertemu Bun Houw untuk membalas
dendam, akan tetapi bukan sekarang, di mana terdapat Tiauw Sun Ong, Tiauw Hui
Hong, dan Cia Ling Ay yang dapat membantunya. Menghadapi bekas pangeran dan
dua orang wanita muda itu saja, sampai sekian lamanya mereka belum mampu
menundukkan mereka, apalagi kini muncul Kwa Bun Houw! Akan tetapi, dua orang
datuk yang merasa dirinya besar dan tinggi kedudukannya itu, menutupi
kegelisahan mereka.
215 "Bagus, engkau muncul sendiri, Kwa Bun Houw! Bersiaplah untuk mampus di
tanganku sebagai pembalasan kematian puteraku!" kata Ouwyang Sek marah.
"Puteramu sendiri yang bersalah hendak membunuh kaisar dan dia tertangkap, dihukum mati. Kenapa salahkan aku?" Bun Houw menjawab.
"Engkau yang menyebabkan dia tertawan!" bentak Ouwyang Sek dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Kwa Bun Houw.
Datuk ini berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), tentu saja dia memiliki ilmu pedang yang ampuh. Namun, sekali ini dia berhadapan dengan Kwa Bun Houw
yang bukan saja telah menguasai hampir seluruh kepandaian Tiauw Sun Ong,
namun bahkan kini dia lebih lihai dari gurunya karena dia telah menguasai pula ilmu rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tubuhnya amat kuat, mengandung tenaga
sakti yang hebat berkat khasiat Akar Bunga Gurun Pasir yang secara kebetulan
diminumnya. Maka, begitu Bun Houw menggerakkan pedangnya untuk melawan,
terjadi pertandingan seru dan hebat, namun yang membuat Ouwyang Sek segera
terdesak hebat!
Tiauw Sun Ong juga kini dapat mendesak Suma Koan. Biarpun pahanya terasa nyeri, akan tetapi bekas pangeran itu dapat mendesak lawan yang hanya tinggal seorang
itu, dan perlahan-lahan, sinar dari suling di tangan Suma Koan semakin mengendur dan menyempit.
Yang paling payah keadaannya adalah Kwan Iin Sian-li. Kembali Ling Ay membantu
Hui Hong dan kedua orang wanita muda itu dengan penuh semangat menghimpit
dan menekan datuk wanita yang pedangnya sudah buntung, tidak memberi
kesempatan kepadanya untuk balas menyerang, apalagi melarikan diri. Kwan Im
Sian-li hanya dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengelak atau menangkis
dengan pedang buntungnya. Namun, usaha ini hanya dapat membuat ia bertahan
selama belasan jurus saja karena ketika mendapat kesempatan baik, ranting di
tangan kiri Hui Hong berhasil menotok dadanya, membuat datuk wanita itu
terhuyung lemas dan kesempatan itu dipergunakan oleh Cia Ling Ay untuk
menusukkan pedangnya ke lambung Kwan Im Sian-li. Bekas dayang istana itu
menjerit, akan tetapi jeritnya tertahan karena saat itu, pedang di tangan kanan Hui Hong menyambar dan menusuk tembus lehernya. Wanita itu terkulai dan tewas
seketika, mandi darah.
Pada saat yang hampir bersamaan, tangan kiri Bun Houw dengan pengerahan
tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, telah menyambar dan menampar ke arah
dada lawan. Pada saat itu pedang Ouwyang Sek bertemu dengan Lui-kong-kiam
(Pedang Kilat) dan biarpun pedang datuk itu tidak patah karena terbuat dari baja pilihan, namun dia tidak dapat menariknya kembali. Pedang itu melekat dengan
pedang di tangan Bun Houw dan selagi dia mengerahkan tenaga untuk melepaskan
pedangnya, tiba-tiba saja Bun Houw menampar dengan tangan kirinya. Ouwyang
216 Sek tidak dapat mengelak dan mengerahkan sin-kang untuk membuat dadanya
dilindungi kekebalan. Dia tidak tahu betapa hebatnya tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng itu.
"Plakkk!" Mata Ouwyang Sek terbelalak dan ketika tubuhnya terjengkang roboh, nyawanya sudah melayang. Tamparan itu telah menghancurkan semua isi dadanya.
Melihat gurunya belum juga merobohkan Suma Koan, Bun Houw maklum bahwa
agaknya gurunya tidak ingin membunuh lawan. Gurunya sudah mendesak hebat
dan kalau gurunya menghendaki, tentu tongkat di tangan gurunya itu sudah dapat
membunuh lawan. Diapun melompat ke depan dan berseru, "Suhu, biar teecu
menghadapinya!"
Mendengar ucapan muridnya ini. Tiauw Sun Ong melompat ke belakang dan Suma
Koan menjadi lega bukan main. Tadi dia sudah repot dan tinggal menanti robohnya saja dan sekarang, lawan yang amat tangguh itu meninggalkannya dan digantikan
muridnya. Bagaimanapun juga, sang murid tidak mungkin selihai sang guru. Diapun cepat menyerang Bun Houw dengan sulingnya, mengerahkan semua tenaganya.
Bun Houw menyambut dan mengerahkan tenaga pula.
"Tranggg ...!!" Bunga api berpijar dan hampir saja Suma Koan melepaskan sulingnya karena telapak tangan yang memegang suling merasa panas tergetar hebat. Dia
terkejut dan nekat, namun matanya silau oleh gulungan sinar pedang yang seperti kilat menyambar-nyambar itu. Dia berusaha untuk membela diri, namun baru dia
tahu bahwa pemuda ini bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan bekas pangeran
itu. Sebelum dia dapat membalas hujan serangan itu, tiba-tiba kilat menyambar
berkelebat di depan matanya dan di lain saat iapun sudah roboh terjengkang
dengan dada ditembusi pedang. Raja Maut Suling Iblis itu pun roboh dan tewas
seketika. "Ya Tuhan ... terima kasih bahwa aku tidak dapat melihat semua kengerian ini ...!"
terdengar Tiauw Sun Ong berkata, alisnya berkerut dan wajahnya nampak muram.!
"Harap suhu memaafkan teecu, terpaksa teecu membunuh mereka karena mereka
memang amat jahat dan mereka tadi berusaha mati-matian untuk mencelakai
suhu." kata Bun Houw.
Hui Hong cepat menghampiri ayahnya dan memegang lengan ayahnya. "Ayah.
Houw-ko tidak bersalah. Memang benar, yang jahat adalah tiga orang sesat itu.
Mereka mencari kematian sendiri. Kalau tadi tidak ada enci Cia Ling Ay yang datang menolong, tentu ayah dan aku sudah tewas di tangan mereka."
"Hemm, nona yang pandai menggunakan sihir ... engkau seperti Kwan Hwe Li,
bagaimana tiba-liba dapat menolong kami" Siapakah engkau?" Bekas pangeran itu bertanya dan diapun memalingkan mukanya ke arah Ling Ay.
217 "Lo-cian-pwe mungkin lupa kepada saya. Saya pernah datang ke sini bersama subo Bi Moli."
"Ahhh ... !" Tiauw Sun Ong berseru kaget. "Jadi engkau murid Kwan Hwe Li itu. Akan tetapi ... kenapa engkau sekarang malah membantu kami?"
"Ayah, enci Ling Ay bukanlah orang jahat walaupun ia menjadi murid Bi Moli." kata Hui Hong. "Bahkan ia dahulu adalah ... sahabat baik dan sekampung dengan Houw ko."
Mendengar ucapan Hui Hong itu, wajah. Ling Ay berubah kemerahan dan ia tersipu.
Tentu Bun Houw sudah bercerita kepada gadis itu tentang hubungan mereka
dahulu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Pantas menjadi kekasih dan tunangan Bun Houw.
"Aih, sudahlah, adik Hui Hong, aku bukan seorang yang patut dipuji puji. Sekarang aku mohon diri. Lo-cianpwe, saya mohon pamit ... akan melanjutkan perjalanan ... "
"Ling Ay, nanti dulu!" kata Bun Houw dengan perasaan tidak enak sekali. Dia tahu betapa dia telah melukai dan mengecewakan hati wanita ini, dan sekarang wanita
ini muncul sebagai penyelamat gurunya dan kekasihnya. "Engkau tiba-tiba saja muncul di sini dan menyelamatkan suhu dan Hong-moi, bagaimana engkau akan
pergi begitu saja" Kami ingin mendengar bagaimana engkau dapat muncul di sini
dan ... " "Benar, enci. Engkau tidak boleh pergi begitu saja! Aku ingin sekali berkenalan lebih akrab denganmu." kata Hui Hong sambil memegang tangan wanita itu.
"Nona, kami mengundangmu untuk singgah di pondok kami dan bicara, kecuali
kalau nona tidak sudi menerima undangan kami ... " kata pula Tiauw Sun Ong.
Tentu saja Ling Ay merasa tidak enak sekali untuk menolak. "Kalau itu yang kalian inginkan, baiklah saya akan singgah sebentar ... "
"Bun Houw, lebih dahulu kita harus kubur tiga jenazah ini baik-baik dan dengan penuh penghormatan." kata Tiauw Sun Ong.
"Ayah, mereka adalah orang-orang jahat, datuk-datuk sesat!" Hui Hong memprotes.
"Hui Hong, yang kita tentang adalah kejahatan mereka, bukanlah orangnya. Mereka itu sama saja dengan kita, manusia-manusia yang senasib sependeritaan dengan
kita yang patut dikasihani. Setelah mereka tewas, tidak ada lagi kejahatan pada diri mereka."
Mereka berempat lalu menggali lubang di permukaan puncak yang agak jauh dari
pondok itu karena mereka harus memilih tempat yang tidak mengandung banyak
batu sehingga mudah menggali lubang. Kemudian, dengan sederhana namun cukup
218 khidmat, mereka mengubur jenazah tiga orang datuk itu di dalam tiga buah lubang.
Tidak urung Hui Hong yang pada dasarnya berhati lembut itu menangis di depan
makam Ouwyang Sek karena ia teringat akan segala kebaikan yang telah
dilimpahkan datuk itu kepadanya sejak ia kecil sampai dewasa. Harus diakuinya
bahwa sebelum ia menjadi dewasa dan hendak dijodohkan dengan Suma Hok datuk
ini bersikap amat baik kepadanya, seperti kepada anak sendiri.
Setelah pemakaman itu selesai, mereka semua memasuki pondok dan bercakapcakap. Terpaksa Ling Ay menceritakan bagaimana secara kebetulan sekali ia dapat berada di situ dan membantu Tiauw Sun Ong dan Hui Hong menghadapi tiga orang
datuk yang lihai itu. Akan tetapi ceritanya itupun merupakan karangannya saja,
karena bagaimana mungkin ia mengaku kepada mereka, terutama Hui Hong, bahwa
ia datang untuk mencari Bun Houw dan menyampaikan permintaan maafkan atas
sikapnya kepada Bun Houw tempo hari ketika pemuda itu menolak harapannya
untuk menyambung tali pertunangan mereka yang putus"
Dengan terus terang ia menceritakan bahwa tadinya ia mengikuti subonya ke kota
raja, bahkan mendapatkan pekerjaan di kota raja. Akan tetapi melihat subonya
bekerja sama dengan Ouwyang Toan, iapun merasa tidak setuju dan mendengar
niat mereka untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan, ia lalu melarikan diri.
Mereka mengejarnya sehingga tersusul dan hampir saja ia celaka di tangan mereka.
"Untung sekali muncul kakak Kwa Bun Houw yang kebetulan sekali melihat aku dikeroyok mereka, dan telah menolongku lepas dari tangan mereka. Setelah aku
berpisah dari guruku, aku lalu merantau seorang diri tanpa tujuan tertentu dan
kebetulan sekali aku lewat di bawah pegunungan Hoa-san. Aku teringat ketika
Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diajak oleh subo naik ke puncak ini, maka iseng-iseng saja aku mendaki puncak dan melihat tiga orang itu juga naik puncak di depanku. Aku lalu membayangi mereka
dan melihat apa yang terjadi tadi, maka aku lalu berusaha membantu kalian."
"Dan engkau telah berhasil, enci Ling Ay. Kalau tidak ada engkau, entah bagaimana jadinya dengan ayah dan aku. Houw-ko, engkau datang terlambat!"
"Aih, adik Hui Hong, jangan berkata begitu. Kalau tidak ada kakak Bun Houw tadi datang, apa kaukira kita juga akan mampu bertahan" Mereka amat lihai." kata Ling Ay, tidak sengaja seperti membela Bun Houw.
Ketika tiba giliran Bun Houw menceritakan pergalamaanya, Bun Houw bercerita
tentang penyerangan yang dilakukan Bi Moli dan Ouwyang Toan di istana terhadap
kaisar dan betapa dengan perantaraan Hek-tung Lo-kui dia ditugaskan untuk
menjaga keselamatan kaisar dengan menyamar sebagai seorang pengawal baru.
"Suhu, teecu berhasil menangkap Bi Moli dan Ouwyang Toan, Sribaginda Kaisar berhasil diselamatkan. Setelah meninggalkan istana teecu segera pergi mengunjungi bekas Kaisar Cang Bu untuk menyadarkan beliau agar tidak bersekutu dengan
kerajaan Wei di utara, dan mengingatkan beliau bahwa gerakan beliau untuk
219 memberontak itu tidak akan benar dan hanya akan mendatangkan perang yang
menyengsarakan rakyat. Teecu di sana bentrok dengan Suma Hok yang
mengkhianati bekas kaisar itu, dan teecu berhasil pula menundukkannya sehingga
dia ditawan bekas kaisar itu. Akan tetapi teecu tidak berhasil membujuk Kaisar Cang Bu. Dia tidak mau mundur sehingga diserbu pasukan pemerintah. Teecu tidak
mencampuri pertempuran itu dan teecu pulang ke sini sebelum teecu melanjutkan
pengejaran terhadap Bu-tek Sam-kwi dan membasmi Thian-te Kui-pang,
gerombolan yang telah mengacau di perbatasan dan membunuh banyak rakyat dan
tokoh kang-ouw itu." Bun Houw lalu menceritakan kepada gurunya tentang Thian-te Kui-pang, gerombolan seratus orang yang dikirim oleh Kerajaan Wei untuk
mengacau daerah perbatasan.
Mendengar penuturan muridnya itu Tiauw Sun Ong menghela napas panjang.
"Semua orang tiada henti-hentinya saling memperebutkan kekuasaan. Agaknya
manusia telah lupa bahwa kekuasaan mutlak berada di Tangan Tuhan Yang Maha
Kuasa, dan kehadiran manusia di bumi bukan untuk saling memperebutkan
kekuasaan, melainkan untuk melakukan suatu manfaat bagi manusia pada
umumnya, berguna pula bagi dunia. Manusia bertugas menjadi alat dari kekuasaan
Tuhan. Akan tetapi nafsu mempermainkan manusia sehingga mereka lupa diri,
mereka memegang kekuasaan bukan demi kesejahteraan rakyat melainkan demi
kesenangan diri pribadi. Karena itu timbul ah perang dan pertempuran tak kunjung hentinya yang hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Kalian semua
memang benar. Sebagai orang-orang muda yang pernah dengan susah payah
mempelajari kepandaian, setelah menguasai ilmu harus dipergunakan demi
menolong manusia yang sengsara, demi menegakkan kebenaran, dan keadilan,
menentang kejahatan, bukan ikut-ikutan memperebutkan kekuasaan. Sayang aku
sudah tua, kalau aku masih kuat, aku pun tidak dapat membiarkan saja gerombolan seperti Thian-te Kui-pang itu mengganggu kehidupan rakyat di pedusunan
sepanjang perbatasan."
"Harap suhu tenangkan hati. Teecu adalah, murid suhu dan teecu sanggup mewakili suhu untuk menghancurkan perkumpulan iblis itu." kata Bun Houw.
"Houw-koko benar, ayah. Di sini ada Houw ko dan aku, untuk apa ayah harus turun tangan sendiri" Biar aku yang akan membantu Houw-ko menghancurkan
perkumpulan, iblis itu!" kata pula Hui Hong dengan penuh semangat.
"Lo-cian-pwe, tugas ini memang untuk yang muda-muda. Sayapun siap membantu membasmi perkumpulan iblis itu, tentu saja kalau kakak Bun Houw dan adik Hui
Hong suka menerima saya untuk membantu mereka."
"Hei , enci Ling Ay, kenapa engkau berkata demikian" Tentu saja kami senang sekali kalau engkau suka membantu, bahkan kalau engkau tidak menawarkan bantuan
sekalipun, tentu aku akan memintamu!" kata Hui Hong sambil memegang tangan gadis itu.
220 Akan tetapi sambil menggandeng tangan-Hui Hong, Ling Ay masih menoleh kepada
Bun Houw untuk melihat bagaimana tanggapan pemuda itu. Ia tahu diri dan tidak
ingin mengganggu kalau memang pemuda itu tidak menghendaki bantuannya. Akan
tetapi Bun Houw juga mengangguk dan berkata dengan sungguh-sungguh.
"Kawanan gerombolan iblis itu lihai, dan semakin banyak tenaga yang dipersatukan untuk membasmi mereka, semakin baik lagi. Tentu saja kami merasa senang
mendapat bantuanmu, adik Ling Ay."
Setelah memberi nasihat agar mereka berhati-hati menghadapi gerombolan iblis
itu, Tiauw Sun Ong memperkenankan mereka turun gunung untuk menunaikan
tugas sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa.
Tiga orang muda itu melakukan perjalanan cepat karena mereka mempergunakan
ilmu berlari cepat menuruni pegunungan Hwa san. Tadinya, Hui Hong berada di
tengah. Bun Houw berada di samping kanannya sedangkan Ling Ay berada di
samping kirinya. Akan tetapi di dalam perjalanan, secara halus dan tidak kentara, Hui Hong sengaja pindah dan berada di sebelah kanan Bun Houw sehingga dengan
sendirinya Bun Houw kini berada di tengah-tengah, Hui Hong di kanannya dan Ling Ay di kirinya! Karena hal ini dilakukan Hui Hong dengan sikap seolah tidak sengaja, maka biarpun merasa canggung Ling Ay terpaksa menahan guncangan hatinya dan
berjalan terus di sebelah kiri Bun Houw seolah tidak pernah terjadi sesuatu antara ia dan pemuda itu.
Setiap mereka terpaksa harus bermalam di sebuah kota, mereka menyewa dua
buah kamar di rumah penginapan, sebuah kamar untuk Bun Houw dan sebuah
kamar lagi untuk dua orang wanita itu. Dan hubungan antara kedua orang wanita
itu menjadi semakin akrab saja. Mereka merasa cocok sekali. Hui Hong merasa iba kepada Ling Ay yang hidupnya penuh dengan kepahitan, sebaliknya Ling Ay diam
diam merasa bersukur bahwa bekas tunangannya itu telah mendapatkan seorang
isteri yang benar-benar gagah perkasa dan baik budi, di samping kecantikannya.
Beberapa hari kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di dekat perbatasan. Karena dusun ini menjadi tempat pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan
menyeberangi daerah tak bertuan, untuk berdagang, maka dusun itu berkembang
menjadi tempat yang ramai. Rumah rumah penginapan didirikan orang karena
banyak pedagang dan rombongan piauw-kiok (perusahaan pengawal barang)
berhenti di situ. Banyak pula rumah makan yang cukup lengkap berada di tempat
itu. Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay pada pagi hari itu memasuki sebuah rumah makan
untuk sarapan. Malam tadi mereka bermalam di dusun itu dan mereka mendengar
keterangan bahwa dusun Tai-bun yang dijadikan sarang gerombolan Thian-te Kuipang berada sekitar lima puluh li dari dusun itu, di sebelah barat. Mereka
bermaksud melanjutkan perjalanan ke sana dan sebelum itu hendak sarapan dulu
dan membeli bekal makanan karena perjalanan di daerah tak bertuan itu kakang221 kadang tidak akan bertemu penjual makanan lagi. Memang banyak dusun yang
sudah ditinggalkan penduduknya yang lari mengungsi semenjak Thian-te Kui-pang
berkuasa di dusun Tai-bun dan sekitarnya.
Selagi tiga orang itu makan minum, tiba-tiba terdengar suara tuk-tuk-tuk
menghampiri mereka. Ketiganya menengok dan nampaklah seorang pengemis yang
usianya sekitar lima puluh tahun, berjalan menghampiri meja mereka yang berada
di sulut luar. Suara berketuk itu adalah suara tongkat yang dibawanya, dan dia
berjalan bertopang kepada tongkat itu yang mengeluarkan bunyi yang berat.
Pengemis tua itu tidak mendatangkan kesan sesuatu, akan tetapi ketika Bun Houw
memandang kearah tongkatnya, dia mengerutkan alisnya. Tongkat itu terbuat dari
logam berat, mungkin besi dan tidak jelas karena dicat hitam.
"Kalau tidak salah, orang ini tentu anggauta Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)," bisik Bun Houw kepada dua orang wanita itu. Mereka
melirik dan melihat pengemis itu sudah tiba di dekat meja mereka. Tentu saja dua orang wanita itu mengerutkan alis merasa tidak senang sedang makan di dekati
seseorang pengemis yang bajunya nampak kotor. Akan tetapi Bun Houw yang tidak
ingin mencari keributan, segera mengambil sepotong uang dan memberikan kepada
pengemis itu sambil berkata dengan suara lembut.
"Paman, ambilah uang ini dan sampaikan salam hormatku kepada Hek-tung Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) Kam Cu."
Pengemis itu menerima kepingan uang dan menjura dengang sikap hormat sekali.
"Ah, kiranya saya dapat menemukan taihiap dengan mudah. Tentu taihiap yang oleh pangcu kami disebut Perdekar Pedang Kilat. Pangcu kami mengundang taihiap
bertiga untuk bertemu dengannya."
Bun Houw tercengang. Setahunya, Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam)
Kam Cu berada di sebelah selatan Nan-king. Bagaimana dapat mengundangnya?"
'"Di mana Kam-pangcu?" tanyanya cepat.
"Hal ini harus dirahasiakan," bisik pengemis itu. "Nanti kalau sam-wi (anda bertiga) sudah selesai makan, saya menanti di luar dan akan menjadi penunjuk jalan. Sam-wi ikuti saja aku keluar dusun." Setelah berkata demikian, tanpa banyak bicara lagi sehingga tidak menarik peihatian orang, pengemis itu menghampiri meja lain untuk minta sedekah. Kemudian, diapun keluar dari rumah makan itu.
Sambil melanjutkan makan, dengan lirih Bun Houw menceritakan tentang Hek-tung
Kai-pang, perkumpulan pengemis yang tidak sudi diajak bekerja-sama dengan
Thian-te Kui-pang.
"Tentu ada hal penting sekali maka dia berada di sini, dan agaknya dia mengetahui bahwa kita berada di dusun ini." Bun Houw berkata dan setelah mereka selesai 222
makan, mereka membayar harga makanan lalu melangkah keluar dari rumah makan
itu dengan sikap santai sehingga tidak akan menarik perhatian orang.
Benar saja, mereka melihat pengemis yang tadi berada dalam jarak serarus meter
dari tempat itu dan kini pengemis itu berjalan santai pula menuju ke timur dan
keluar diri dusun itu. Dari jauh Bun Houw dan dua orang wanita itu mengikutinya.
Setelah tiba di tempat yang sunyi, pengemis itu lalu berjalan dengan cepat, Bun Houw dan dua orang temannya membayanginya dengan cepat pula dan dia
menghilang di dalam sebuah hutan.
Setelah Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay berlari memasuki hutan itu, agak ke
tengah, mereka telah ditunggu oleh belasan orang yang berpakaian pengemis dan
kesemuanya memegang tongkat hitam, yang berada di depan sendiri adalah
seorang pengemis berusia lima puluhan tahun yang bertubuh kurus. Bun Houw
segera mengenal orang ini sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu, ketua dari Hek-tung
Kai-pang dan di sebelahnya lagi nampak seorang pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan dia tidak mengenakan pakaian
pengemis. Sebatang golok besar tergantung di pinggangnya.
Bun Houw juga mengenal si golok besar ini yang bukan lain adalah ketua diri Thian-beng-pang yang bernama Ciu Tek. Dua orang inilah yang pernah dibantu Bun Houw
ketika mereka hendak dipaksa oleh Pek-thian-kui orang pertama dari Bu-tek Samkui yang dibantu oleh Suma Hok dan Suma Koan.
"Ha ha-ha, sungguh beruntung sekali kami bertemu dengan Si Pedang Kilat Kwa Thai hiap di sini!" kata si brewok Ciu Tek, ketua Thian-beng pang itu.
Bun Houw membalas penghormatan mereka dan memperkenalkan nama Hui Hong
dan Ling Ay. Dua orang ketua itu memberi hormat kepada dua orang wanita itu dan Hek-tung Lo-kai berkata, "Kami sungguh kagum sekali, karena melihat cara ji wi li hiap (kedua pendekar wanita) berlari cepat tadi saja kami sudah dapat menduga
bahwa ji-wi li-hiap memiliki ilmu kepandaian yang tinggi."
"Ji-wi pang cu (kedua ketua) mengundang kami ke sini, sebenarnya ada kepentingan apakah?"
"Mari kita duduk di sana, ada urusan penting sekali, taihiap," kata dua orang ketua itu. Mereka lalu duduk di atas batu-batu yang berada di tengah hutan.
"Kwa taihiap, kami lelah lama sekali menanti tai-hiap di dusun ini, dan begitu taihiap bertiga dengan ji-wi li hiap ini memasuki dusun, kami sudah mengetahuinya, akan tetapi kami membiarkan sam-wi beristirahat semalam baru pagi ini kami
hubungi. Kami yakin bahwa tai-hiap tentu akan membasmi gerombolan Thian-te Kui
pang, maka kami sudah siap di tempat ini menanti tai-hiap dan kami telah
mengerahkan anak buah kami berdua, sebanyak tiga ratus orang. Tentu tai hiap
bertiga datang ke sini hendak menyerang sarang Thian-te Kui pang, bukan?"
223 "Benar sekali, pangcu. Dan kami juga gembira sekali mendapat bantuan ji-wi pangcu dan anak buah ji wi. Kalau begitu, mari kita segera berangkat ke sarang gerombolan iblis itu."
"Harap tai-hiap berhati-hati dan tidak memandang rendah pihak lawan. Anak buah mereka memang hanya kurang lebih seratus orang, akan tetapi rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Dan lebih dari itu, kami berhasil mengetahui bahwa Bu-tek Sam kui kini menjadi lebih kuat dari pada dahulu." kata Thian beng-pangcu Ciu Tek.
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Pangcu salah kira. Dahulu mereka dibantu oleh para datuk sesat seperti Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan
puteranya, Suma Hok, Bu-eng-kiam Ouwyang Sek dan puteranya, Ouwyang Toan.
Akan tetapi kini mereka semua itu telah tewas. Mereka hanya tinggal bertiga,
bagaimana pangcu mengatakan bahwa Bu-tek Sam-kui kini menjadi lebih kuat?"
"Ah, engkau tidak mengerti. Lui-kong Kiam hiap (Pendekar Pedang Kilat)," kata Hek-tung Lo kai. "Biarpun para datuk itu sudah tidak ada, akan tetapi kini Bu-tek Sam kui dibantu sendiri oleh guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin yang menjadi Koksu (Guru Negara) Kerajaan Wei. Kabarnya, Thian-te Seng-jin memiliki ilmu silat yang amat tinggi, juga ilmu sihirnya amat berbahaya."
"Hemm, betapapun lihainya pihak lawan, kita harus tetap menentang kejahatan, pang-cu." kata Bun Houw tenang.
"Akupun tidak takut!" kata Hui Hong penuh semangat.
"Kalau mereka menggunakan kekuatan sihir, biar aku yang menghadapi mereka!"
kata Ling Ay yang selain ilmu silat, juga pernah mempelajari ilmu sihir dari mendiang gurunya, yaitu Bi Moli Kwan Hwe Li.
Melihat semangat tiga orang muda itu. kedua orang pangcu menjadi kagum bukan
main. "Kami juga sama sekali tidak menjadi gentar taihiap, hanya amat baik kalau kita berhati-hati dan mempergunakan siasat dalam penyerbuan kita."
"Memang begitulah sebaiknya, dan kami serahkan saja kepada ji-wi pangcu untuk mengatur siasat penyerbuan itu." kata Bun Houw karena dia sendiri belum pernah mengatur pasukan sehingga tidak tahu bigaimana harus mengatur anak buah untuk
menyerbu sarang gerombolan iblis itu.
Kedua orang pangcu itu lalu mengutarakan siasat yang memang sudah mereka
persiapkan sebelumnya. Tiga ratus orang anak buah mereka akan dibagi empat,
masing-masing tujuh puluh lima orang dan setiap pasukan dipimpin oleh mereka
berdua dan tiga orang pendekar muda itu. "Kami berdua akan memimpin sebuah pasukan dari tujuh puluh lima orang dan akan menyerbu dari pintu depan," kata Hek-tung Lo-kai. "Kedua lihiap memimpin masing-masing sebuah pasukan
menyerbu dari kanan dan kiri, sedangkan tai-hiap memimpin sebuah pasukan
224 menyerang dari belakang. Dengan cara demikian, mereka tidak akan mendapat
kesempatan untuk kabur atau membokong kita. Juga diserang dari empat penjuru,
tentu mereka akan menjadi kacau dan di dalam sarang mereka, empat pasukan kita
dapat saling bantu. Bagaimana pendapat tathiap dan ji-wi lihiap dengan yaiasat
kami itu?"
Bun Houw, Hui Hong dan Ling Ay merasa kagum. "Bagus sekali, pangcu!" kata Bun Houw. Setelah terjadi pertempuran nanti, biar aku yang menghadapi Thian-te Seng-jin, sedangkan Hong-moi, adik Ling Ay dan ji-wi pangcu mengeroyok Bu-tek Sam-kui, dibantu pula oleh anak buah yang memiliki kepandaian tinggi."
Mereka juga merencanakan bahwa gerakan itu akan dilakukan malam hari itu
karena kalau dilakukan shang hari, tentu gerak gerik tiga ratus orang akan menarik perhatian dan sebelum mereka tiba di sarang gerombolan, pihak Thian-te Kai-pang akan lebih dulu mengetahui dan dapat membuat persiapan yang akan menjebak
mereka. Berita yang didapat oleh kedua orang ketua itu memang benar. Kaisar Thai Wu dari kerajaan Wei merasa penasaran dan marah sekali mendengar laporan akan
gagalnya usaha Bu-tek Sam kui untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dari
kerajaan Chi, bahkan gerakan bekas Kaisar Cang Bu yang menjadi sekutu mereka
juga dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Chi. Mendengar betapa kerja-sama
yang sudah amat baik, kemajuan yang mendatangkan harapan itu akhirnya, hancur
karena ulah seorang pendekar muda yang dijuluki Si Pedang Kilat, Kaisar Thai Wu segera memanggil penasihatnya, juga gurunya, Thian-te Seng-jin untuk dimintai
pendapatnya, juga setengah ditegur mengapa tugas yang dipikul saudara-saudara
seperguruannya yaitu Bu-tek Sam-kui, menjadi gagal.
Thian-te Seng-jin sendiri juga merasa penasaran. "Biarlah hamba sendiri yang akan datang membantu Bu-tek Sam-kui, Yang Mulia. Hamba akan menangkap dan
menyeret bocah bernama Kwa Bun Houw itu ke depan kaki paduka!"
Demikianlah, tosu yang berusia empat puluh lima tahun itu segera menyusul tiga
orang muridnya itu ke Tai-bun, tinggal di sarang gerombolan itu untuk menyusun
rencana baru setelah rencana yang pertama itu mengalami kegagalan.
Malam itu gelap. Tidak ada sebuahpun bintang nampak di langit yang tertutup
mendung. Suasana di dusun Tai-bun yang kini menjadi sarang gerombolan itupun
nampak sunyi. Hanya di sana-sini di antara rumah-rumah penduduk yang kini
menjadi rumah-rumah anggauta gerombolan, terdengar isak tangis wanita. Mereka
adalah para wanita yang diculik oleh gerombolan Thian-te Kui-pang dan menjadi
korban kebuasan mereka, dipaksa untuk melayani mereka. Tentu saja gerombolan
ini tidak membutuhkan harta kekayaan karena para penduduk dusun mana ada
yang kaya" Pula, mereka sudah mendapatkan upah cukup dari kerajaan Wei. Yang
mereka butuhkan dalam tugas mereka mengacau di daerah wilayah kerajaan Chi
225 adalah wanita-wanita, dan kadang mereka juga merampok, akan tetapi bukan harta
yang mereka rampok, melainkan bahan makanan seperti ternak, gandum dan lainlain. Tentu saja banyak wanita yang mereka culik dan mereka paksa tinggal di
sarang mereka. Sore tadi Thian-te Seng-jin sudah merencanakan siasat baru dengan para muridnya.
Mereka mengambil keputusan untuk menguasai dunia kang-ouw dengan merebut
kedudukan beng-cu, dan Thian-te Seng-jin sendiri akan muncul sebagai calon beng-cu, mengalahkan para tokoh kang-ouw. Tentu saja dia akan menggunakan
penyamaran dan menggunakan nama lain. Kalau mereka sudah dapat menguasai
dunia kang-ouw, akan mudah menimbulkan kekacauan di wilayah kerajaan Chi,
sehingga kerajaan itu akan menjadi lemah sehingga akan membuka kesempatan
bagi kerajaan Wei untuk meluaskan wilayah kekuasaan mereka ke selatan.
Tanpa ada yang mengetahui, dari kegelapan malam muncul ah pasukan yang
bergerak perlahan-lahan, datang dari empat jurusan dan kini mereka, menjelang
tengah malam, telah mengepung sarang gerombolan iblis itu dari empat penjuru.
Mereka semua masih bersembunyi di luar dusun Tai bun, menanti datangnya isarat
seperti yang telah mereka rencanakan, isarat itu tak lama kemudian nampak oleh
mereka semua, yaitu hujan anak panah berapi yang mula-mula dilepaskan oleh
pasukan dari depan yang dipimpin oleh Hek-tung Lo-kai dan Thian-beng Pang-cu.
Begitu melihat anak panah api menghujani sarang itu dan mulai nampak kebakaran
pada atap beberapa buah rumah, pasukan dari empat penjuru itu lalu menyerbu,
baik melalui pintu gerbang dusun maupun merobohkan pagar dusun, sambil
berteriak-teriak.
Anak buah Thian-te Kui-pang memang merupakan perajurit pilihan di kerajaan Wei, akan tetapi sekali ini, mereka menjadi panik juga karena sebagian besar di antara mereka sudah tidur nyenyak dan tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dan terjadi kebakaran di mana-mana, kemudian sarang mereka diserbu banyak orang. Mereka
sendiri ada yang masih belum bersepatu, bahkan banyak yang dalam keadaan
setengah telanjang! Mereka mengira bahwa pasukan pemerintah yang menyerbu,
maka mereka menjadi semakin panik.
Bu-tek Sam kui sendiri berlompatan keluar dan mereka berteriak-teriak kepada
anak buah mereka agar tidak panik dan melakukan perlawanan. Juga Thian-te Sengjin keluar dari pondoknya, sebatang pedang tergantung di punggungnya. Sebagai
orang-orang berpengalaman. Bu-tek Sam kui dan guru mereka itu sekali melihat
saja maklum bahwa yang menyerbu sarang mereka bukanlah pasukan pemerintah,
melainkan orang-orang bergolok dan orang-orang berpakaian pengemis dan
bertongkat hitam.
"Lawan, jangan panik!" Mereka berteriak-teriak sambil mengamuk dan menyambut para penyerbu. "Mereka hanya jembel-jembel busuk! Hajar mereka!!"
226 Akan tetapi, dibawah sinar api dari rumah-rumah yang terbakar, Bu-tek Sam-kui
terkejut ketika melihat dua orang wanita muda yang cantik dan gagah menerjang
mereka, dibantu pula oleh dua orang setengah tua gagah yang mereka kenal
sebagai Hek-tung Lo-kai Kam Cu ketua Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pangcu
Ciu Tek. Hui Hong yang sudah diberi tahu oleh Bun Houw segera menerjang Pekthian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata pedang. Dengan
pedang di tangan kanan dan sebatang ranting di tangan kiri, Hui Hong menyerang
Pek-thian-kui. Orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini terkejut bukan main karena dari gerakan pedang meluncur bagaikan kilat itu dia maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang rendah lawannya. Dia menggerakkan pedangnya
menangkis, akan tetapi sebelum dia sempat membalas, ranting di tangan kiri Hui
Hong sudah menotok ke arah dadanya dan yang membuat Pek-thian-kui terkejut
adalah bahwa serangan ranting di tangan kiri ini bahkan lebih lihai dibandingkan serangan pedang di tangan kanan. Terpaksa dia membuang diri ke belakang dan
membuat salto sampai empat kali, baru dapat terbebas dari susulan serangan Hui
Hong yang bertubi-tubi. Kini mereka berhadapan dengan penasaran, dan diam-diam
mereka mengerahkan seluruh tenaga karena maklum menghadapi lawan tangguh.
Huang-ho-kui, orang ke dua dari Bu-tek Sam kui, juga menghadapi lawan berat
ketika Ciu Tek, ketua Thian-beng-pang dibantu oleh tujuh orang murid kepala
mengeroyoknya. Dia mengamuk dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang
dayung dari besi yang dimainkan seperti sebuah toya. Andaikata Ciu Tek hanya maju seorang diri, tentu ketua ini akan payah menandingi Huang-ho-kui yang tingkat
kepandaiannya sedikit lebih tinggi. Akan tetapi karena ada tujuh orang muridnya membantu kini Huang-ho-kui yang terdesak hebat dan dia harus memutar
dayungnya secepatnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan para
pengeroyoknya. Adapun Toat beng-kui, orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui yang bersenjata golok,
segera diterjang oleh Ling Ay yang dibantu oleh Hek-tung lo-kai seperti yang telah mereka atur sebelumnya. Orang ke tiga dari Bu-tek Sam-kui inipun segera terdesak hebat karena tingkat kepandaian kedua orang itu masing-masing hanya terpaut
sedikit di bawah tingkatnya. Karena mereka maju bersama, maka dialah yang
terdesak. Bu-tek Sam-kui yang kewalahan ini mengharapkan bantuan guru mereka, namun
Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika mereka menengok, mereka terkejut melihat guru merekapun sedang didesak
hebat oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Si Pedang Kilat Kwa Bun Houw!
Thian-te Seng-jin yang seperti juga tiga orang muridnya terkejut melihat
penyerbuan tiba-tiba di tengah malam itu, tadinya tidak merasa khawatir karena
mengira bahwa yang menyerbu hanya orang-orang biasa saja yang pasti akan
mampu dihadapi tiga orang muridnya dan anak buahnya. Akan tetapi, melihat
betapa tiga orang muridnya itu menghadapi lawan berat, diapun terkejut dan
melolos pedang dari punggungnya. Dia bermaksud hendak menggunakan ilmu sihir
227 untuk membantu para muridnya, akan tetapi pada saat itu, Bun Houw sudah
melompat di depannya.
"Hemm, agaknya engkau yang bernama Thian-te Seng-jin, guru Bu-tek Sam-kui yang mendirikan Thian-te Kui-pang dan mengacau di daerah ini" Sebagai guru mereka,
engkau harus bertanggung jawab atas kejahatan mereka, Thian-te Seng-jin!"
Melihat seorang pemuda berani bersikap seperti itu di depannya, Thian-te Seng-jin menjadi marah. Matanya mencorong dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan
sihirnya dan menudingkan pedangnya ke arah muka pemuda itu dan membentak,
suaranya lantang berpengaruh. "Orang muda, siapakah engkau berani bicara seperti itu di depan pinto?"
"Aku bernama Kwa Bun Houw, dan aku tahu bahwa engkau adalah Thian-te Sengjin. Koksu Kerajaan Wei yang bertugas mengacau di daerah kerajaan Chi!"
Diam-diam Thian-te Seng-jin terkejut. Tugas tiga orang muridnya adalah tugas
rahasia yang tidak boleh diketahui orang, karena Kaisar Thai Wu yang juga muridnya tidak menghendaki perang terbuka dengan kerajaan Chi. Tugas mereka hanya
mengacau dan melemahkan kerajaan Chi yang semakin kuat dan kini ternyata
rahasia itu telah diketahui oleh pemuda yang bernama Kwa Bun Houw ini.
"Kwa Bun Houw, lihat baik-baik, aku adalah Naga Merah dari Utara yang akan menghukum kamu atas kelancanganmu. Berlututlah kamu! !" Suara itu melengking
nyaring menggetarkan siapa saja yang berada di dekatnya.
Terutama sekali Bun Houw yang langsung menerima serangan yang ditujukan
kepadanya. Dia terbelalak karena benar-benar lawannya telah berubah menjadi
seekor naga bersisik merah! Mata naga itu mencorong dan moncongnya terbuka
lebar mengeluarkan api. Sungguh merupakan penglihatan yang menyeramkan
sekali. Seandainya Bun Houw tidak memiliki keberanian yang amat kuat, tentu dia sudah menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi dia seorang pemberani dan tabah,
apalagi ada tekad di hatinya bahwa dia akan melawan kejahatan tanpa mengenal
rasa takut dan siap mengorbankan dirinya demi membela kebenaran dan keadilan.
Oleh karena itu, biarpun dia terkejut sekali, dia tetap tabah dan tidak mau berlutut.
Akan tetapi apa yang dilihatnya memang menggiriskan hati. Naga itu siap untuk
menerkamnya, dan biarpun Bun Houw sudah siap dengan pedang Lui kong kiam
(Pedang Kilat) di tangan, namun wajahnya tetap saja berubah agak pucat karena
memang penglihatan itu cukup untuk membuat jerih hati orang yang paling tabah
sekalipun. Bun Houw menerjang dengan pedang kilatnya membacok ke arah kepala
naga merah itu.
"Singg ... wuuuttt ... plakkk!" Tubuh Bun Houw terpelanting. Ketika pedangnya bertemu kepala naga merah, pedang itu tembus seperti membacok bayang-bayang
228 saja dan ekor naga itu menghantamnya dari samping, sedemikian kerasnya
sehingga dia terpelanting!
Pada saat yang gawat itu, Ling Ay muncul di depan naga merah itu. Wanita ini tadi merasakan getaran hebat dari pengaruh sihir yang dikerahkan Thian-te Seng-jin,
maka ia lalu berteriak kepada Hek-tung Lo-kai untuk menghadapi Toat-beng-kui
sendiri bersama anak buahnya karena ia akan membantu Bun Houw. Hek-tung Lokai berteriak memanggil para murid kepala dan lima orang murid Hek-tung Lo-kai
membantu ketua mereka mengeroyok Toat-beng-kui sedangkan Ling Ay sudah
meloncat ke depan Naga Merah buatan itu. Ia meraih tanah dan setelah berkemakkemik membaca mantera dan mengerahkan segenap tenaga sihir seperti yang
pernah ia pelajari dari mendiang Bi Moli Kwan Hwe Li, iapun menyambitkan tanah
itu ke arah naga sambil berteriak dengan suara melengking, suara yang
berpengaruh karena mengandung tenaga sakti.
"Asal dari tanah kembali kepada tanah!!"
Tanah yang disambitkan itu meluncur mengenai naga merah. Terdengar suara
letupan keras dan naga jadi-jadian itupun lenyap berubah menjadi asap! Bun Houw merasa girang sekali dan kini dia melihat lagi tosu siluman itu, maka diapun
menggerakkan pedangnya untuk menyerang dengan dahsyat.
"Trang-trang-trang ...!!" Bunga api berpijar-pijar ketika pedang di tangan Thian-te Seng-jin bertemu dengan pedang Lui-kong-kiam di tangan Bun Houw-Pedang tosu
itu juga merupakan sebatang pedang pusaka yang terbuat dari logam pilihan, maka tidak menjadi rusak ketika beradu dengan Lui kong-kiam. Akan tetapi, tosu itu
merasa betapa telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas
dan nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa lawannya itu, biarpun masih muda, memiliki teaaga sakti yang amat kuat. Juga tosu ini merasa penasaran sekali betapa ilmu
sihirnya tadi dapat dipunahkan oleh seorang wanita muda yang kini hanya menjadi penonton dan siap untuk menandingi ilmu sihirnya. Mulailah dia merasa jerih,
apalagi ketika melihat betapa tiga orang muridnya menghadapi lawan-lawan berat, dan anak buah Thian-te Kui-pang juga mulai kocar kacir menghadapi pengeroyokan
jumlah musuh yang jauh lebih banyak.
Tiba-tiba Thian-te Seng-jin mengeluarkan gerengan aneh dan Ling Ay sudah siap
untuk menghadapi ilmu sihirnya. Akan tetapi ternyata kakek tinggi kurus bermuka pucat itu tidak menggunakan sihir, melainkan mengeluarkan ilmu silat yang amat
aneh. Tubuhnya tiba-tiba saja ditekuk seperti seekor binatang menggiling dan dia menjatuhkan diri di atas tanah, bagaikan seekor menggiling atau sebuah bola dia lalu menggelundung ke arah Bun Houw. Pemuda ini terkejut dan cepat
menggerakkan pedangnya untuk menangkis ketika bola menggelundung itu tiba
dekat dan dari gulungan itu mencuat sinar pedang yang menyerang kakinya.
229 "Trangg ... !" Kembali bunga api berpijar akan tetapi kini Bun Houw yang terhuyung ke belakang. Kiranya pedang yang diserangkan sambil bergulingan itu kini menjadi amat kuat, seolah memperoleh tenaga aneh dari dalam bumi, dan tangan kiri tosu
itupun ikut pula menyerang dengan dorongan yang kuat sekali.
Kembali tubuh tosu yang seperti menggiling melingkar itu sudah bergulingan
dengan cepat menyerang Bun Houw lagi. Bun Houw menyambutnya dengan
tangkisan yang akan dilanjutkan tusukan balasan, namun dia tidak sempat
membalas karena begitu pedangnya bertemu pedang lawan ada kekuatan dahsyat
yang membuat dia terhuyung, bahkan semakin keras sampai lima langkah ke
belakang. Banyak sudah dia melihat ilmu silat yang dimainkan dengan bergulingan, terutama sekali bagi orang yang bersenjatakan golok dan perisai, dan permainan
silat dengan bergulingan itu memang berbahaya bagi lawan. Akan tetapi, belum
pernah melihat cara bergulingan seperti ini, tosu itu benar-benar mirip seekor
trenggiling. Tubuhnya melingkar menjadi bulat dan tenaganya menjadi berlipat
ganda ketika menyerang dari atas tanah seperti itu.
Berulang kali Bun Houw diserang dan dia sama sekali tidak mendapat kesempatan
untuk membalas, dan setiap kali serangan lawan itu menjadi semakin kuat saja.
Pemuda ini maklum bahwa kalau dilanjutkan seperti itu mungkin akhirnya dia akan terluka, baik oleh pedang lawan maupun oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat. Setelah memperhatikan gerakan lawan yang
menyerangnya berulang kali, begitu tubuh lawan menggelundung ke arahnya,
sebelum Thian-te Seng-jin menyerang, dia menghindar dengan loncatan. Tubuh
yang seperti bola itu cepat mengejarnya dan kini Bun Houw sudah siap siaga. Dia bahkan menyimpan pedangnya dan mengerahkan tenaga dari ilmunya yang
dahsyat, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Ketika bola manusia itu menggelundung
dekat, dia menyambut dengan dorongan kedua tangannya, pada saat lawan
menyerang. Satu di antara keanehan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah daya tolak yang
membuat seorang penyerang akan diserang oleh tenaganya sendiri yang
membalik!"
"Desas ... !!" Bertemu dengan tenaga dahsyat Im-yang Bu-tek Cin-keng, tosu itu mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti sebuah bola yang ditendang,
terlempar dan menggelundung jauh. Beberapa orang yang sedang bertempur,
ketika terlanda bola ini, terlempar dan tak mampu bangkit kembali.
Bun Houw berloncatan mengejar, di kuti oleh Ling Ay.
"Houw-ko, hati-hati!" teriak Ling Ay dan pada saat itu terdengar ledakan kecil dan nampak asap hitam mengepul tebal. Tosu itu menghilang di balik asap dan
mendengar peringatan Ling Ay, Bun Houw tidak mengejar melainkan meloncat jauh
ke belakang. Hal ini menguntungkan karena asap hitam yang keluar dari bahan
230 peledak itu adalah asap beracun. Tidak kurang dari lima orang, baik dari pihak
penyerbu maupun anak buah Thian-te Kui-pang sendiri, roboh dan tewas ketika
terlanda asan hitam itu. Dan tentu saja Thian-te Seng-jin sendiri sudah lenyap dari tempat itu. Bun Houw menengok dan melihat betapa Bu-tek Sam kui masih
terdesak hebat, namun belum juga dapat dirobohkan. Hanya Pek-thian-kui yang
benar-benar payah melawan Hui Hong. Pundak kirinya sudah terluka pedang di
tangan Hui Hong dan kini dia yang tidak mampu melarikan diri kerena tempat itu
sudah dikepung anak buah Hek-tung Kaipang dan Thian-beng-pang, mengamuk
mati-matian sehingga membuat Hui Hong harus berlaku hati-hati. Melawan seorang
yang sudah nekat untuk mengadu nyawa memang berbahaya sekali, sama dengan
melawan seorang gila. Tongkat di tangan kiri Hui Hong membuat orang pertama
dari Bu-tek Sam-kui itu benar-benar repot. Biarpun dia berusaha untuk mengamuk
dan membalas dengan pedangnya, namun selalu pedangnya bertemu dengan
periasi sinar pedang yang dibuat oleh putaran pedang Hui Hong, sedangkan
luncuran tengkat di tangan kiri Hui Hong mengirim totokan-totokan yang benarbenar amat dahsyat karena sekali saja totokan itu mengenai tubuhnya, tentu dia
akan roboh! Melihat ini, Bun Houw lalu berkata kepada Ling Ay, "Adik Ling Ay, kau bantulah Hong-moi, dan aku akan menghadapi dua orang iblis yang lain."
Ling Ay mengangguk dan ia lalu menerjang maju dengan pedang di tangan,
membantu Hui Hong. "Adik Hong, mari kita basmi iblis busuk ini!" bentaknya sambil menggerakkan pedang menusuk ke arah lambung Pek-thian-kui.
Menghadapi Hui Hong seorang saja, Pek-thian-kui sudah kewalahan, apalagi kini
ditambah dengan seorang wanita selihai Ling Ay. Nyaris tusukan itu mengenai
lambungnya dan diapun melempar tubuh ke belakang dan begitu dia meloncat
bangun, tangan kirinya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Hui Hong dan
Ling Ay. Namun, dengan mudah kedua orang wanita itu menangkis dan paku-paku
hitam beracun yang menyambar ke arah mereka tadi dipukul runtuh semua dan kini
kedua orang wanita perkasa itu sudah menghujani lawan dengan serangan pula,
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dan anak buahnya mengepung dan mengeroyok Toat-bengkui, demikian pula Thian-beng Pang-cu Ciu Tek dibantu anak buahnya mengeroyok
Huang-ho-kui. Namun, kedua orang lawan itu memang lihai bukan main dan mereka
dapat mengamuk sehingga beberapa orang anak buah kedua orang ketua itu roboh
terkena senjata mereka.
Melihat betapa dayung di tangan Huang-ho-kui memang dahsyat sekali sehingga
orang-orang Thian-beng-pang nampaknya menjadi jerih, Bun Houw yang sudah
kehilangan lawan, lalu meloncat dan tangan kirinya menyambar dengan
pengerahan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng.
"Wuuuuttt ... dessas ... !" Huang-ho-kui mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya seperti dilanda badai, terlempar sampai sejauh beberapa meter dan sebelum dia
231 sempat bangun lagi karena masih merasa nanar, orang-orang Thian-beng-pang,
dipimpin oleh Ciu Tek, telah menghujaninya dengan senjata mereka sehingga
tewaslah orang ke dua dari Cu-tek Sam-kui ini dengan tubuh yang tidak utuh lagi.
Bun Houw kini meloncat dan melihat Hek-tung Lo-kai dan anak buahnya masih
belum mampu merobohkan Toat-beng-kui, diapun menyerang Toat-beng-kui
dengan dorongan tangan yang mengandung kekuatan dahsyat itu. Seperti juga
rekannya, tubuh Toat-beng-kui terlempar dan diapun tewas di bawah hujan senjata Hek-tung Lo-kai dan para anak buahnya. Bun Houw kini melihat ke arah dua orang
wanita yang mengeroyok Pek-thian kui. Tepat pada saai dia memandang, Pek-thiankui mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya terjungkal dengan dada ditembusi dua batang pedang!
Anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang bersorak gembira melihat Butek Sam-kui tewas dan mereka menjadi lebih bersemangat. Sebaliknya, anak buah
Thian-te Kui-pang yang sudah kehilangan pimpinan dan banyak pula di antara
mereka yang sudah tewas, menjadi panik dan mereka berusaha untuk melarikan
diri. Namun, kedua orang ketua itu bersama anak buah mereka mengejar dan
menganuk dan akhirnya hanya belasan orang saja di antara para anak buah Thian-te Kui-pang yang berhasil lolos. Juga Thian-te Seng-jin sendiri sudah lebih dulu
melarikan diri dan kembali ke utara untuk melapor kepada kaisarnya tentang
kegagalan gerakan Thian-te Kui pang.
Bun Houw sendiri bersama Hui long dan Ling Ay segera berpamit dari dua orang
ketua itu setelah Bun Houw terpaksa menyanggupi untuk kelak dicalonkan menjadi
beng-cu (pemimpin) kalau tiba saatnya diadakan pemilihan beng-cu atau pemimpin
dunia persilatan. Bagi dia, siapa saja yang menjadi beng-cu baik atau bukan tokoh dunia sesat yang akan menyeret dunia persilatan ke arah kejahatan.
Mereka bertiga sudah jauh meninggalkan dusun Tai-bun yang berada diperbatasan
daerah tak bertuan itu. Setelah melewati sebuah bukit terakhir, mereka tiba di
persimpangan jalan. Sejak tadi Ling Ay tidak banyak bicara dan hanya menjawab
dengan ya atau tidak kalau Hui Hong mengajaknya bicara. Wajahnya yang cantik
manis itu nampak muram, sinar matanya suram seperti lampu kehabisan minyak
atau seperti bintang terselaput kabut.
Setelah tiba di persimpangan jalan, Ling Ay menahan langkahnya dan berkata,
"Sudah, sampai di sini saja ... " suaranya lirih. Bun Houw dan Hui Hong juga berhenti dan mereka memandang kepada janda muda itu.
"Enci Ling Ay, kenapa berhenti?" tanya Hui Hong.
Ling Ay memaksa senyum, namun wajahnya agak pucat dan layu sehingga
senyumnya nampak menyedihkan, "Adik Hong, dan Houw ko, aku tidak ingin
232 mengganggu kalian lebih lama lagi. Kita harus berpisah, aku akan pergi ... entah ke mana, mungkin merantau ke mana saja kaki ini membawa diriku dan ... aku hanya
memujikan semoga kalian diberkahi Tuhan ... selamat berpisah ... " tanpa menanti jawaban, Ling Ay cepat membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat meninggalkan
mereka. "Enci Ling Ay, berhenti dulu?" Hui Hong berseru karena ia melihat betapa Ling Ay cepat membalik untuk tidak memperlihatkan mukanya. Ketika Ling Ay tetap
berjalan tanpa menoleh, Hui Hong melompat dan tiba di belakang Ling Ay terus ia memegang kedua pundak wanita itu dan memutarnya menghadapinya. Tepat
seperti diduganya, Ling Ay menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran.
"Enci, kau kenapa" Engkau ... menangis?" Hui Hong bertanya heran.
"Adik Hong ...!" Ling Ay menjadi semakin bersedih dan mereka berangkulan.
"Adik Hong, lepaskan aku, kuharap engkau dapat membahagiakan Houw-koko.
Kalian berhak menikmati kebahagiaan hidup, kalian orang-orang baik, dan aku ...
ahh, biarkan aku pergi ... "
Hui Hong mengerti. Ia merasa iba sekali kepada janda yang kini menjadi sahabat
baiknya itu. Sudah berulang kali Ling Ay membantu dan menolongnya,
memperlihatkan kebaikan hati dan kesungguhannya dalam persahabatan. Memang
jauh sebelum hari ini ia telah mengambil suatu keputusan dalam hatinya dan apa
yang hendak diputuskannya sekarang ini bukan sekedar dorongan keharuan belaka.
"Tidak, enci Ay, engkau tidak boleh pergi. Aku ingin bicara berdua denganmu.
Mari ...!" Hui Hong masih merangkul pundak janda itu dan diajaknya menjauh.
"Hei i ... ! Kalian hendak pergi ke mana?" teriak Bun Houw melihat betapa kedua orang wanita pergi menjauh.
Hui Hong menengok dan berteriak kembali. "Houw-ko, engkau tunggu saja di situ sebentar jangan mendekati kami!"
Bun Houw membelalakkan matanya, menggerakkan kedua pundaknya lalu mencari
tempat duduk di bawah sebatang pohon, tidak mengerti akan ulah kedua orang
wanita itu. Setelah berada agak jauh sehingga suara mereka tidak akan dapat
didengar oleh Bun Houw, Hui Hong menoleh. Ia melihat Bun Houw duduk di atas
batu besar seperti arca dan iapun tersenyum.
"Adik Hong, apa yang ingin kaubicarakan dengan aku?"" Ling Ay telah dapat menguasai keharuan hatinya dan bertanya sambil memandang heran. Mereka
sendiri saling berhadapan, dua orang wanita muda yang cantik jelita dan sebaya.
Hui Hong berusia dua puluh satu tahun dan Ling Ay berusia dua puluh tiga tahun.
233 "Enci Ling Ay, sebelum aku bertanya, lebih dulu aku mengharapkan kejujuranmu.
Dapatkah dan maukah engkau menjawab semua pertanyaanku dengan jujur,
sejujur-jujurnya?"
Ling Ay mengerutkan alisnya, tidak mengerti ke mana maksud tujuan ucapan itu,
akan tetapi selama ini ia memang bersikap jujur maka ia mengangguk, bahkan
dapat tersenyum kini, senyum seorang yang merasa lebih dewasa menghadapi
seorang gadis yang masih kekanak-kanakan. "Tanyalah dan aku akan menjawab
sejujurnya."
Sambil menatap tajam wajah Ling Ay, Hui Hong bertanya, "Enci Ling Ay, apakah engkau masih mencinta Houw-koko?"
Mata itu terbelalak, mulut itu ternganga dan wajah itu menjadi agak pucat, lalu kemerahan. "Adik Hong, apa artinya pertanyaanmu ini" Mengapa engkau bertanya begini?" Mata yang terbelalak itu memandang penuh selidik untuk menjenguk isi
hati dari penanyanya.
"Enci Ling Ay, engkau berjanji akan menjawab sejujurnya!"
"Adik Hong, aku sudah tidak berhak lagi bicara tentang itu. Hubungan antara kami sudah lama putus, dan aku ... aku tidak berhak menjawab." Ling Ay menundukkan mukanya, dan sekilas matanya mengerling ke arah Bun Houw duduk.
"Enci Ling Ay, itu bukan jawaban. Yang kutanyakan, apakah engkau masih mencinta Houw-koko?"
Didesak begitu, Ling Ay berkata, "Adik Hong, cinta adalah cinta, sekali ada akan tetap ada, tidak berkurang tidak berlebih, bagaimana bisa ditanyakan masih ada
atau sudah tidak ada lagi" Akan tetapi, aku sudah tidak berhak mengenang tentang itu.'"
"Kenapa tidak berhak?"
"Kenapa" Engkau tentu sudah mengetahui. Aku telah mengkhianati cinta kasih Houw-koko. Ketika kami masih bertunangan, pihak keluargaku yang memutuskan
pertunangan itu dan aku menikah dengan pria lain. Aku ... aku malu untuk bicara tentang cintaku itu."
"Tidak, engkau tidak mengkhianatinya" enci. Aku sudah mendengar semuanya.
Engkau dipaksa ayah ibumu untuk menikah dengan pemuda bangsawan. Engkau
tidak berdaya karena ketika itu engkau bukanlah enci Ling Ay yang sekarang, engkau hanya seorang gadis lemah. Engkau sama sekali tidak mengkhianati cintanya, enci."
"Adik Hong, apa perlunya engkau mengorek-ngorek hal yang telah lampau" Semua itu hanya menyakitkan hatiku. Apakah engkau merasa cemburu kepadaku karena
urusan yang lampau itu?"
234 "Sama sekali tidak. enci. Bahkan aku merasa iba kepadamu, aku merasa suka
kepadamu dan aku ingin menolongmu, aku ingin melihat engkau berbahagia pula.
Karena itu aku ingin melihat engkau menyambung kembali pertalian jodoh yang
dirusak orang tua mu dengan paksa. Aku ingin engkau menjadi isteri Houw-koko."
"Gila ...!!" Saking kagetnya Ling Ay meloncat ke belakang. "Hong-moi, apa maksudmu ini" Jangan engkau memperolok dan menggodaku!" Wajah itu berubah
kemerahan karena marah, mengira bahwa Hui Hong sengaja hendak
mempermainkannya.
"Siapa menggodamu, enci" Aku bicara sungguh-sungguh!" jawab Hui Hong serius pula.
"Tapi ... Houw-koko sendiri pernah mengaku kepadaku bahwa dia telah
bertunangan denganmu, bahwa dia saling mencinta dengan mu!"
"Memang benar, enci Ay, dan kami memang akan menikah, menjadi suami isteri ... "
"Nah, kalau begitu kenapa engkau mengusulkan hal yang gila itu kepadaku?"
"Bukan usul gila, enci. Aku ingin agar engkaupun menikmati kebahagiaan keluarga bersama kami, menjadi keluarga kita. Perjodohanku dengan Houw-koko tidak akan
menghalangi engkau menjadi isteri pula dari Houw-koko ... "
"Gila. Kaumaksudkan ... aku ... engkau ... kita berdua menjadi isterinya ... ?"
"Kenapa tidak, enci" Aku telah mengenalmu dan tahu bahwa engkau seorang
wanita yang berbudi baik, gagah perkasa dan aku tahu pula bahwa engkau masih
mencinta Houw-koko. Aku akan suka sekali menjadi saudaramu dan kita bersama
menjadi isteri Houw-koko yang sama-sama kita cinta."
Wajah itu berubah merah sekali dan kedua mata itu menjadi basah kembali. Ling Ay meraba betapa jantungnya seperti diremas-remas. "Tapi ... bagaimana ini, adik Hong" Aku ... aku pernah memusuhimu, bahkan hampir membunuh ayah
kandungmu dan sekarang ... kau ... " Ia menutupi muka dengan kedua tangannya.
Hui Hong merangkulnya. "Semua itu kaulakukan karena hendak menaati guru,
bukan salahmu, enci. Akan tetapi, yang lalu biarkan lalu, tidak perlu dibicarakan lagi.
Yang penting sekarang ini, aku ingin engkau menjadi saudaraku, bersama-sama
membahagiakan Houw-koko. Nah, bagaimana jawabanmu?"
Pedang Kilat Membasmi Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik Hui Hong, bagaimana aku harus menjawab" Aku tidak memiliki apa-apalagi, tidak berhak apa-apalagi untuk memilih atau memutuskan. Semua terserah
kepada ... Houw-ko dan kepadamu ... "
"Jadi, kalau aku setuju dan Houw-koko setuju, engkau mau menjadi isteri Houw-koko, hidup sekeluarga dengan aku?"
235 Dengan salah tingkah dan merasa malu dan sungkan, terpaksa Ling Ay mengangguk.
Habis, apalagi yang dapat ia lakukan" Menolak tawaran itu" Berarti ia gila! Ia
memang tak pernah kehilangan cintanya terhadap Bun Houw, dan kini ia melihat
betapa Hui Hong adalah seorang gadis yang baik sekali.
"Nah, kau tunggu sebentar di sini, enci. Aku mau bicara dengan Houw-ko."
"Tapi ... tapi ... jangan membikin malu padaku, adik Hong. Jangan sekali-kali memaksa dia ... "
Hui Hong hanya tersenyum dan iapun ber lari-lari menghampiri kekasihnya yang
masih duduk melamun karena tidak dapat menduga apa yang dibicarakan oleh
kedua orang wanita itu.
"Houw-koko, aku ingin bertanya kepadamu, akan tetapi aku minta engkau
menjawab sejujurnya!" Hui Hong berkata. Pemuda itu bangkit dari duduknya dan menatap wajah kekasihnya dengan heran. Belum pernah dia melihat Hui Hong
seserius sekarang ini.
"Tentu saja, Hong-moi. Pernahkah aku tidak jujur kepadamu?"
"Nah, sekarang jawablah sejujurnya. Apakah engkau masih mencinta enci Ling Ay?"
Bun Houw terbelalak, lalu mengerutkan alisnya. "Aih, Hong-moi, setelah engkau kini bersahabat baik dengannya, kenapa engkau mengorek peristiwa dahulu yang hanya
akan menimbulkan perasaan tidak enak" Apakah engkau merasa cemburu !"
"Jangan berlika-liku, Houw ko. Aku hanya bertanya apakah engkau masih cinta
kepada enci Ling Ay itu saja dan jawablah sejujurnya."
"Bagaimana aku dapat menjawabnya" Engkau sudah kuberitahu bahwa dahulu
memang Ling Ay adalah tunanganku, akan tetapi sejak ia dipisahkan dariku dan
menikah dengan orang lain, lalu aku bertemu denganmu dan kita saling mencinta.
Aku tidak lagi berhak untuk memikirkan dirinya, Hong-moi! Engkau tidak adil kalau mengajukan pertanyaan seperti itu kepadaku."
"Sudahlah, jangan bertele-tele. Sekarang jawab, apakah engkau cinta padaku?"
"Ehh" Tentu saja!"
"Dan engkau akan memenuhi semua keinginanku" Engkau mau memenuhi syaratku
untuk menjadi isterimu?"
"Wah" Engkau mengajukan syarat lagi?" Bun Houw tersenyum. "Syarat apakah itu, calon isteriku yang manis?"
"Syaratku bukan harta bukan kedudukan, syaratku hanya satu. Aku mau menjadi isterimu hanya kalau ... engkau juga memperisteri enci Ling Ay."
236 Mata itu terbelalak, memandang penuh selidik, tidak percaya.
"Apa kata-katamu tadi" Aku belum mengerti!" kata Bun Houw, bingung dan menduga-duga apakah ucapan tadi hanya untuk menguji kesetiaannya!
"Kukatakan bahwa aku mengajukan syarat agar engkau juga mengambil enci Ling Ay sebagai isterimu, hidup bersamaku dalam satu keluarga."
"Hei ! Kenapa begini" Apa alasanmu mengambil keputusan yang aneh ini?"
"Aku sayang kepada enci Ling Ay, aku kasihan kepadanya dan aku tahu ia masih mencintamu. Perpisahan kalian bukan kehendaknya. Kalau kita membiarkan ia
pergi, ia akan hidup merana dan aku akan selalu terkenang kepadanya dengan hati duka. Karena itu, aku ingin ia hidup berbahagia bersama kita."
Sampai lama Bun Houw termenung. Harus diakuinya bahwa di samping keheranan
dan kekejutan, jantungnya berdebar tegang dan girang. Dia memang tak pernah
dapat melupakan Ling Ay, dan dia merasa kasihan kepada bekas tunangannya itu.
Akan tetapi tak pernah terbayangkan olehnya akan dapat hidup bersama dengan
wanita itu, Apalagi, menjadi isterinya atas kehendak Hui Hong! Bagaikan mimpi
saja! "Bagaimana, Houw-ko" Jawablah. Maukah engkau memenuhi syaratku itu?"
Bun Houw menghela napas panjang dan melirik ke arah di mana Ling Ay berdiri
dengan kepala ditundukkan. Baru sekarang dia teringat betapa dalam perjalanan
mereka bertiga, Hui Hong berpindah tempat ke sebelah kanannya sehingga dia
berada di tengah diapit kedua orang wanita itu. Agaknya memang sudah lama Hui
Hong mempunyai gagasan aneh itu.
"Apa yang harus kujawab, Hong-moi?" katanya, sikapnya seperti seorang kanak-kanak yang ditawari kembang gula, sebetulnya hatinya senang dan ingin sekali
menerimanya, akan tetapi karena malu-malu maka sukar melaksanakan. "Hal ini tentu terserah kepadamu sajalah."
Hui Hong tertawa. "Hi-hik, seperti diatur saja. Enci Ling Ay menjawab terserah kepadaku, dan engkau juga menjawab begitu. Kalau terserah kepadaku, maka
jadilah! Engkau akan memiliki dua isteri sekaligus, koko, aku dan enci Ling Ay!
Tunggu di sini!" Gadis itu lalu berlari cepat menghampiri Ling Ay dan Bun Houw
hanya melihat betapa kekasihnya itu menarik-narik tangan Ling Ay dibawa
mendekat. Dia berdiri dan ketika menatap wajah itu, kebetulan Ling Ay juga memandang
kepadanya dan keduanya menunduk dengan muka kemerahan dan jantung
berdebar keras.
"Hong-moi, bagaimana aku dapat menghadapi suhu dalam urusan ini?"
237 "Benar, Hong-moi. Akupun malu berhadapan dengan ayahmu." kata Ling Ay lirih.
"Aih, ayahku adalah seorang yang bijaksana. Akulah yang akan menghadapinya dan aku yakin dia akan menyetujuinya. Aku yang akan bicara kepadanya dan memberi
penjelasan."
"Kalau begitu, terserah kepadamu, Hong-moi."
"Akupun hanya menyerahkan kepadamu, adik Hong."
Hui Hong memandang mereka bergantian lalu tertawa, membuat keduanya tersipu
malu. "Hik-hik, jawaban kalian selalu sama, seolah kalian telah bersekutu!"
"Ihh, engkau nakal, adik Hong. Siapa yang bersekutu?" Ling Ay mencubit.
Hui Hong lalu menggandeng tangan kanan Bun Houw dan memaksa kekasihnya itu
untuk menggandeng Ling Ay di sebelah kirinya, kemudian mereka meninggalkan
tempat itu, berjalan bergandeng tangan dengan wajah penuh seri bahagia,
menyosong masa depan yang cerah.
Sampai di sini, selesailah sudah KISAH PEDANG KILAT MEMBASMI IBLIS ini, dengan
harapan semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
TAMAT Solo, akhir April 1986
238 Kelelawar Hijau 4 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Harimau Mendekam Naga Sembunyi 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama