Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 19
"lunak", yaitu ingin berdamai dan hidup berdampingan dengan orang Bu-lim umumnya. Sebaliknya Go Hui dan
Sip-lik Taysu termasuk golongan "keras". mereka ingin merajai dunia persilatan. ambisi pribadi mereka sangat
besar. Karena terbaginya dua grup saling bertentangan ini,
mereka akur diluar tapi sirik di dalam. Sebagai Kaucu,
sedapatnya Tonghong Put-pay berusaha menengahi mereka. Tapi ia pun cenderung pada Kik Yang bersaudara,
sebab itulah dia mengutamakan prinsip "orang tidak
melanggar diriku, aku pun tidak mengganggu orang lain."
Akan tetapi setelah Kik Yang meninggal dunia pengaruh
grup Go Hui dan Sip-lik Taysu lambat laun mulai
mengatasi Kik Koan, Sering mereka menghasut agar
Tonghong Put-pay menaklukkan dunia dan merajai dunia
persilatan. Karena sering dikili-kili, tentu saja hati Tonghong Putpay tergerak, apabila Kik Koan tidak mengalanginya, tentu sudah lama terjadi banjir darah di dunia persilatan.
Karena maksud mereka tak sampai, dengan sendirinya
Go Hui dan Sip-lik sangat benci terhadap Kik Koan. Cuma
sayang, Kungfu mereka berdua bukan tandingan Kik Koan,
mereka hanya benci di dalam batin dan tidak berani
melawannya secara terang-terangan.
Mendingan kalau kekalahannya hanya ditertawakan oleh
Kik Koan saja, kalau kejadian ini tersiar, lalu apakah
wibawaku dapat ditegakkan untuk memimpin anak buah
yang berpuluh ribu jumlahnya ini" Jika kekuatanku
merosot, apalagi yang kuandalkan untuk menjagoi Bu-lim"
Setelah dipikir dan pikir lagi. akhirnya dia bergumam
sendiri, "Toh lebih baik tetap kututup saja rahasia ini!"
Cuaca mulai remang-remang, fajar sudah tiba. Akhirnya
Sip-lik meninggalkan pagoda itu dan pulang ke tempat
kediamannya untuk mengatur kebohongannya.
Bahwa Peng-say sengaja memberi kebebasan kepada Siplik Taysu, tindakan ini boleh dikatakan terlampau berani.
Kalau dipikir sebenarnya bukan tindakan yang bijaksana,
tapi soalnya dia terpaksa.
Begitulah tentang hilangnya Sip-lik Taysu telah
membikin geger Mo-kau, di mana-mana kelihatan keadaan
tegang, pencarian dan penggeledahan dilakukan dengan
cermat dan hati-hati.
Dalam keadaan demikian Peng-say jangan harap akan
dapat memperlihatkan dirinya dimuka umum dan mencari
Tonghong Kui-le, sebab ia pasti akan kepergok oieh anggota
Ma-kau. Dengan begini untuk menyelidiki seluk-beluk
pembunuhan ayahnya sementara ini menjadi terkatungkatung dan sukar terlaksana.
Agar dapat bertemu dengan Tonghong Kui-le, terpaksa
Peng-say harus bertindak dengan menyerempet bahaya. Ia
pikir. Sip-lik Taysu tentu sayang pada namanya, demi nama baik dan kehormatannya Hwesio itu pasti takkan
membocorkan kedatangannya ini. Maka diam-diam ia
mendatangi Jian-liu-ceng, tempat kediaman Tonghong Putpay sebagaimana diterangkan oleh Sip-lik Taysu itu.
= ooOdwOoo = Jian-liu-ceng, artinya perkampungan beribu pohon Liu.
Sesuai namanya, perkampungan ini penuh dengan
pepohonan Yang-liu yang rindang. Dibalik pepohonan itu
tertampaklah bangunan yang megah, itu kalau dipandang
dari kejauhan, tapi kalau sudah masuk kehalaman
perkampungan itu, tertampaklah rumah gedung ber-deret2
dan bersusun. Yang paling menyolok adalah sebuah gedung berloteng
yang dicat berwarna merah, pada sebuah kamar loteng
dengan jendela terbuka menghadap pagar pekarangan sana
tatkala mana sedang berduduk berhadapan dua gadis jelita, yang satu berbaju hitam dau yang lain berbaju putih. Yang berbaju hitam itu tampak berusia lebih tua, yaitu sang
kakak. dia inilah Tonghong Kui-le, rupanya dia sedang
mengajar memetik kecapi kepada adiknya, Tonghong Kuijin. Saat itu Tonghong Kui-le sedang memberi contoh
memetik kecapi, Tonghong Kui-jin mengikuti gerak jari
sang Taci dengan cermat, terkadang jari jemarinya ikut ber-gerak2 menjentik kecapi lain yang terletak di meja kecil di sebelahnya.
Belum lagi selesai mengajar, mendadak Tong-hong Kuile berhenti sambil menghela napas.
"Kenapa berhenti, Cici?" tanya Tonghong Kui-jin.
"Kau tidak mau berlatih semadi dan menyakinkan
tenaga dalam sekuatnya, tapi hanya gerak jari yang kau
pelajari, manabisa membawakan lagu Siau-go-yan-he ini
dengan baik, maka aku menjadi malas untuk mengajar
lagi," kata Kui-le.
- o -d o -w o "Bukannya aku tidak mau berlatih dengan giat, Cici,"
kata Tonghong Kui-jin, "usiaku lebih muda, Lwekangku lebih cetek daripada latihanmu, mana dapat kuyakinkan ke-18 macam gaya semadi itu secepat engkau" O, Cici yang
baik, ajarkan lagi, tentu aku akan berlatih semadi dengan tekun, tapi kalau gerak jariku sudah apal, caraku belajar kan dapat maju lebih cepat?"
Namun Tonghong Kui-le tampak lesu dan kesal,
ucapnya: "Sudahlah, aku sudah lelah, besok kuajari lagi."
"Baru saja mengajar setengah jam, mengapa sudah
lelah?" tanya Kui-jin.
"Ya, rasanya aku kurang bersemangat," jawab Kui-le.
"Hihi, kau ini. . ." Kui-jin tertawa nyekikik, lalu menyambung pula, "setiap hari senantiasa bilang tidak bersemangat, entah mengidap penyakit apa Cici ini. . . ."
"Ya, setiap hari selalu lesu, makan tidak nafsu, duduk tidak tenang, rasanya seperti kehilangan sesuatu, apa pun tidak menarik bagiku, aku sendiri tidak tahu mengidap
penyakit apa," ucap Tonghong Kui-le dengan termangu-mangu.
"Kutahu penyakit apa yang menghinggapi Cici ini," ujar Tonghong Kui-jin dengan tertawa.
"Oo" Kau tahu?" Tonghong Kui-le menegas. "Coba katakan, apa penyakitku?"
"Tapi jangan kau marah jika kukatakan," kata Kui-jin.
"Penyakitmu ini namanya sakit rindu!"
"Apa betul"!" gumam Tonghong Kui-le, lalu ia berpaling ke luar jendela dan bersenandung beberapa bait syair cinta, akhirnya dia menghela napas pelahan, lalu berkata: "Moaymoay, kau adalah satu2nya orang yang tahu akan isi hatiku.
Dalam keadaan begini, apa artinya pula hidup ini bagiku"
Menurut kau, apa yang harus kulakukan?"
"Sederhana sekali," ujar Tonghong Kui-jin. "Pergilah dan cari dia!"
"Ti. . . .tidak. tidak bisa. . . ." Tonghong Kui-le menggeleng.
"Kalau begitu. boleh suruhan orang mencari dia dan
menyampaikan rasa rindumu kepadanya," kata Kui-jin
pula, "Ini pun tidak bisa," ujar Kui-le.
"Lalu bagaimana, ini tidak bisa, itu pun tidak bisa, terpaksa harus tunggu sampai dia datang sendiri mencari
Cici," kata Kui-jin.
"Menurut kau, apakah dia akan. . .akan datang mencari
diriku?" tanya Kui-le.
"Sukar untuk kukatakan," jawab Kui-jin. "Apa bila dia juga sakit rindu, tentu besar sekali kemungkinannya dia
akan datang, kalau tidak. . . ."
Mendadak Tonghong Kui-le mendesis: "Eh, coba
dengarkan!"
"Suara apa?" tanya Kui-jin.
"Suara seruling," jawab Kui-le.
Waktu mereka pasang telinga dan mendengarkan dengan
cermat, benarlah terdengar suara seruling sayup-sayup di kejauhan.
"Siapa itu, besar amat nyalinya, berani main2 disini?"
ujar Kui-jin, "Dia!" kata Kui-le.
"Maksud Cici, pemuda yang kita temui di Thay-san itu?"
tanya Kui-jin dengan bersemangatTonghong Kui-le mengangguk.
"O, kiranya orang yang telah mengakibatkan Cici sakit rindu itu, sekarang ia pun datang kemari," Tonghong Kui-jin berhenti sejenak, lalu menyambung, "Jika demikian, tampaknya dia juga sakit rindu."
"Masa?" ucap Kui-le dengan tersenyum riang.
"Bila betul dia, kuyakin dia pasti juga rindu kepada Cici,"
ujar Kui-jin. "Kuatirnya bukan dia melainkan anak muda kampung tetangga yang coba2 main gila ke sini."
"Tidak, kutahu pasti dia," kata Tonghong Kui-le. "Cukup kudengar beberapa nada saja segera dapat kupastikan dia
atau bukan. Di dunia ini selain dia tiada orang kedua lagi yang mampu meniupkan seruling semerdu itu "
Pada saat ituiah mendadak suara seruling terputus,
menyusul lantas terdengar suara orang bersenandung,
menyanyikan syair cinta yaug menyatakan rasa rindunya.
Dengan tertawa Tonghong Kui-jin berkata: "Nah. betul tidak" Tebakanku ternyata tepat. Dari syair lagunya itu,
bukankah sudah jelas dia juga menanggung rasa rindu
seperti halnya Cici?"
Dengan malu-malu Tonghong Kui-le berkata: "Jika dia sudah datang kemari, boleh. . .boleh kau pergi
mengundangnya kesini. . . ."
"Aku"!" Tonghong Kui-jin menegas sambil menuding hidungnya sendiri. "Kenapa aku yang mengundangnya"
Kan bukan diriku yang merindukan dia" Ah, emoh aku.
Jangan-jangan akan menimbulkan salah sangkanya bahwa
kita kakak beradik bersama-sama telah mencintai dia."
"O, adik yang baik, hendaklah kau bantu satu kali saja dan mengundangnya kemari," pinta Tonghong Kui-le.
"Satu kali saja" Memang betul cukup satu kali saja, masakan lain kali perlu pakai mengundang lagi?" ujar Tonghong Kui-jin sambil mencibir. "Satu kali mungkin masih asing, dua kali tentu sudah apal, lain kali masakan dia tidak datang sendiri"'"
"Baiklah, adik yang baik, bantulah Taci, pergi sana!"
pinta Kui-le pula.
Namun Tonghong Kui-jin sengaja jual mahal, jawabnya:
"Ah, tidak mau! Pernah aku ditutuk Hiat-to sehingga menggeletak tak bisa berkutik. untuk ini dia belum lagi
minta maaf padaku, mana boleh aku merendahkan diri
untuk mengundangnya kesini malah?"
"O, adikku yang manis. biarlah Cici mintakan maaf
padamu! Nah, pergilah sana, selanjutnya jika ada peluang tentu akan kuajarkan lagu Siau-go-yan-he padamu, tentu
aku tidak malas lagi."
"Huh, belum lagi bicara dengan dia masa sudah kau
anggap seperti anggota keluarga sendiri, cepat amat
akrabnya," Tonghong Kui-jin ber-olok2 sambil menggeleng.
"Baiklah, mengingat kau takkan malas lagi dan akan
mengajar dengan sungguh-sungguh, terpaksa kulakukan
tugas yang tidak menyenangkan ini. Cuma, awas. jangan
lupa akan janjimu kelak."
Habis berkata ia terus melangkah turun kebawah.
Tonghong Kui-le lantas sibuk berdandan dan bersolek,
hatinya berdebar keras, sampai sekian lama menyisir
rambut saja belum rapi.
Tidak lama kemudian datanglah Tonghong Kui-jin
kembali, begitu muncul dia lantas mengomel. "Huh,
semuanya gara-gara Cici, bikin kheki orang saja. Melihat lagaknya yang tengik itu, sungguh aku gemas."
"He, kenapa dia?" tanya Tonghong Kui-le dengan tidak sabar.
"Dia apa" Sudah pergi! Tanpa bicara apa pun terus pergi begitu saja!" omel Kui-jin pula.
"Ah, mana...,, mana bisa jadi" Apakah betul begitu?"
tanya Tonghong Kui-le dengan gelisah.
"Masa kudusta padamu?" jawab Tonghong Kui-jin.
"Coba kau terka apa yang dilakukannya tadi?" Begitu melihat diriku, dia masih tetap bersyair segala, kudengar dia menyebut 'Di bawah Yangliu seberang, angin sepi bulan
suram. . . .' dan entah apa artinya, lalu dia pergi begitu saja.
Coba apa tidak mendongkol?"
Tiba-tiba Tonghong Kui-le tertawa, katanya: "O, begitu"
Ya, pahamlah aku!"
"Paham" Paham apa?" tanya Tonghong Kui-jin dengan melenggong.
"Di bawah Yangliu di seberang, tatkala angin sepi dan bulan suram. Pantas senandungnya sampai di sini lantas
terhenti," kata Tonghong Kui-le.
"Mestinya tidak perlu kusuruh kau pergi mengundangnya, kan sebelumnya dia sudah meninggalkan
janji pertemuan pada tempat tertentu."
"Bilakah dia meninggalkan janjinya" Kenapa aku tidak tahu sama sekali?" tanya Tonghong Kui-jin.
"Coba pikir, "kata Tonghong Kui-le. "Syiar yang disenandungkan itu adalah syair perpisahan gubahan Liu
Yong, yaitu waktu Liu Yong mengadakan pertemuan
dengan kekasihuya di bawah pohon Yangliu di seberang
jembatan Pah-kio. Dengan perantaraan syair ini, bukankah dia juga menyatakan hasratnya akan bertemu denganku di
bawah pohon Yangliu di seberang jembatan tempat
kediaman kita ini."
"Ya, betul, pintar juga Cici," ujar Tonghong Kui-jin sambil mengangguk. "Penyair jaman Tang itu menyatakan rasa beratnya untuk berpisah dengan kekasihnya di
jembatan Pah-kio disekitar jembatan itu penuh dengan
pepohonan Yangliu. Memang betul dia juga bermaksud
mengajak Cici menemuinya diseberang jembatan yang
banyak pepohonannya diperkampungan kita ini. Tapi entah
kapan dia berjanji akan menemui Cici?"
"Yaitu pada waktu angin sepi dan bulan suram," kata Tonghong Kui-le. "Artinya tatkala jauh malam dan keadaan sunyi."
"Ai, Cici yang pintar, kalau aku, selama hidup juga tak dapat menangkap maksudnya," ujar Toaghong Kui-jin
dengan gegetun. "Orang ini pun aneh, kenapa tidak bertemu di siang hari, tapi sengaja mengajak Cici menemuinya
ditengah malam buta. memangnya pertemuan ini harus
dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh
dilihat orang?"
"His, jangan sembarang omong dan berpikir yang
bukan2," omel Tonghong Kui-le dengan muka merah.
"Habis, ingin kutanya padamu, sebab apa pertemuan
kalian harus dilakukan pada waktu larut malam!" tanya Tonghong Kui-jin pula.
Dengan membayangkan keindahan yang akan terjadi,
Tonghong Kui-le menjawab: "Pada waktu malam sepi,
bukankah saat yang paling baik untuk mengobrol?"
"Kata mengobrol kukira tidak tepat, harus kau pakai istilah untuk asyik masyuk," kata Tonghong Kui-jin dengan tertawa, "sebab ...,."
"Ayo, jangan sembarangan omong?" omel Tonghong Kui-le, sebab ia tahu kata2 lanjutannya tentu tidaklah enak didengar.
Tonghong Kui-jin meleletkan lidahnya, lalu bertanya:
"Dan Cici akan memenuhi ajakannya atau tidak?"
"Sesungguhnya aku ingin pergi, tapi .... tapi takut diketahui ayah. . . ."
"Ayah kan tidak di rumah, apa alangannya?" ujar Kui-jin.
"Kita tahu, dia adalah orangnya Tionggoan Sam-yu yang
menjadi lawan kita," kata Tonghong Kui-le, "apabila aku mengadakan pertemuan dengan dia, kan bisa susah kalau
sampai diketahui oleh ayah."
"Asalkan aku tidak omong, kaum hamba juga tak ada
yang berani banyak mulut, kenapa Cici takut?" ujar Kui-jin.
"Ah, bagus sekali jika Moay-moay berjanji takkan
omong," seru Kui-le dengan senang dan lega.
"O, rupanya Cici kuatir kulaporkan kapada ayah, begitu bukan?" tanya Kui-jin sambil mengernyitkan hidung. "Nah, jangan kuatir. Biarpun dia pernah bertindak kasar padaku di Tay-san dahulu, tapi karena Cici sudah menyukai dia,
terpaksa kuanggap selesai persoalan ini. Adik kan tidak
dapat menyaksikan Cici dirundung rindu terus menerus.
Hanya saja, kalau nanti Cici pergi memenuhi janji
pertemuannya hendaklah kau hati-hati, jangan sampai di. .
." dia tidak melanjutkan ucapannya, tapi memberi muka setan, lalu berlari keluar kamar.
oOo o ^dw^ o oOo
Seperti sudah diceritakan, di kota Si-an banyak terdapat tempat-tempat tamasya yang indah dan terkenal.
Di luar gerbang timur, kira2 belasan li jauhnya terdapat sebuah sungai Pah, konon disitu ada sebuah jembatan dan
disebut Pah-kio atau jembatan Pah.
Pah-kio inilah yang sering di sebut-sebut dalam syair
para pujangga jaman dahulu. Sebab menurut cerita, dulu
bila orang bepergian jauh, para pengantarnya, terutama
kekasih atau isterinya sering mengantar dan berpisah
dibatas jembatan ini.
Jembatan ini dibangun dari balok batu yang kuat,
panjang jembatan ini ribuan kaki dengan tiang-tiang ukir yang indah. Selama berabad-abad jembatan ini banyak
mengalami perbaikan, tapi bentuk aselinya masih tidak
beruhah. Di kedua sisi jembatan ini memang banyak
pepohonan Yangliu yang rindang, suasana indah dan
romantis, makanya selalu menjadi obyek penyair di jaman
dahulu.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malam itu Tonghong Kui-le telah pergi ke jembatan
indah itu untuk memenuhi janji, sampai siang hari esoknya baru dia pulang.
Tentu saja Tonghong Kui-jin rada gelisah menantikan
pulangnya sang Cici, ia berjalan mondar-mandir di kamar
dengan cemas, hatinya menjadi lega setelah Kui-le pulang.
Segera ia bertanya, "Kenapa baru pulang sekarang"
Sungguh kukuatir kalau-kalau Cici telah digondol lari oleh dia."
Tonghong Kui-le tidak menjawabnya, dia tampak agak
linglung, sebentar berduduk, segera berbangkit lagi, lain saat berbaring, tapi tak bisa tidur, bangun lagi. Namun air
mukanya jelas menampilkan senyuman kepuasan yang tak
terhingga. Tonghong Kui-jin memandangi sang Taci dengan rada
bingung. Akhirnya ia coba bertanya, "Cici, semalam suntuk kalian bicara, sesungguhnya apa saja yang kalian
perbincangkan?"
"Ah, tidak memperbincangkan
apa-apa," jawab Tonghong Kui-le dengan lirih.
"Habis, ap..... apa yang kalian yang kalian lakukan di sana". . ." tanya pula Tonghong Kui-jin dengan agak kuatir.
"Juga tidak melakukan apa-apa kecuali dia meniup
seruling dan aku memetik kecapi," tutur Kui-le.
"Masa cuma itu saja, lebih dari itu?" tanya Kui-jin.
"Hanya itu saja," jawab Kui-le.
Tonghong Kui-jin menggeleng-geleng kepala sebagai
tanda tidak habis mengerti. Ucapnya, "masa cuma begitu saja" Lalu apa artinya?"
"Sekarang kau memang tidak paham, tapi kelak
bilamana kau sudah nenguasai lagu Siau-go-yan-he, lalu
main bersama dia, maka kau tentu akan paham segalanya.
Pendek kata, Sukar mencari orang yang tahu benar-benar
akan suara hatimu."
"O, kiranya begitu," Tonghong Kui-iin manggutmanggut. "Lalu adakah janji pertemuan selanjutnya?"
"Ada, malam nanti," tutur Kui-le.
= oOo =dw= oOo =
Dan begitulah, berturut-turut tiga malam Tonghong Kuile selalu pergi dan baru pulang pada keesokan harinya.
Pada siang hari keempat, saking ingin tahu tanyalah
Tonghong Kui-jin kepada sang Taci, "Semalam tentunya kalian berbicara apa2 bukan?"
Tak terduga, Tonghong Kui-le hanya menggeleng saja.
"Aneh, kenapa masih tetap begitu" Masa sampai
sekarang namanya saja tidak diketahui, lalu terhitung
sahabat macam apa?" ujar Tonghong Kui-jin.
Tonghong Kui-le tertawa, katanya, "Baiklah, malam
nanti akan kutanya namanya." Esoknya, begitu Tonghong Kui-le pulang, dengan tidak sabar Kui-jin lantas bertanya,
"Bagaimana, sudah kau tanyai dia, siapa namanya?"
"Sau Peng-say," tutur Kui-le.
"Setelah kau buka suara lebih dulu, tentunya dia tidak dapat berlagak bisu lagi," ujar Kui-jin.
"Ya, dia telah bicara padaku. Tapi dia hanya bilang:
'Nama nona sudah kuketahui di Thay-san tempo hari.
Sebab itulah dia tidak balas tanya namaku."
"Dan apapula yang kau katakan padanya?" tanya Kui-jin.
"Kubilang: 'Adik perempuanku ingin bertemu dengan
Kongcu, entah Kongcu sudi berkunjung tidak ke kediaman
kami?" "Aha, bagus caramu ini!" seru Tonghong Kui-jin. "Kau sendiri yang ingin mengundang dia berkunjung kerumah
kita, tapi kau gunakan alasan diriku yang mengundang dia.
Hm, tampangnya yang tengik itu kan sudah pernah kulihat
di Thay-san dahulu, aku menjadi malas untuk melihatnya
lagi." "Bila tidak memakai cara begitu, bagaimana alasanku untuk mengundang dia kesini?" ujar Tonghong Kui-le
dengan tertawa.
"Lantas bagaimana jawabnya?" tanya Kui-jin.
"Dia bilang tentu saja dia sangat berharap akan
memenuhi undanganku. Cuma dia pikir agak tidak leluasa,
lebih-lebih dia merasa pernah bersalah kepada adik,
persoalan ini pasti takkan dimaafkan oleh ayah. Yang
dimaksudkannya adalah kejadian di Thay-san dahulu, di
mana dia telah menggagalkan rencana kita akan membunuh
Tionggoan Sam-yu, untuk ini tentu ayah tak dapat
mengampuni."
"Memang betul. jiwa Tionggoan-sam-yu sebenarnya
sudah tergenggam di tangan kita, gara-gara dia sehingga
usaha kita berantakan dan gagal total. tentu saja ayah
takkan mengampuni dia." ujar Tonghong Kui-jin. "Sungguh besar juga nyalinya, demi menjenguk Cici jauh-jauh dia
berani datang ke Si-an sini. Tapi untuk berkunjung kerumah ini, kukira dia pasti tidak berani."
"Kau salah terka." kata Tonghong Kui-le. "Dia justeru menerima undanganku dan berjanji lohor nanti pasti akan
datang kemari."
"Oo?" Tonghong Kui-jin bersuara heran, sungguh keterangan sang Taci diluar dugaannya. Segera ia bertanya pula, "Cara bagaimana Cici mengundang dia sehingga dia berjanji akan datang nanti?"
"Kujelaskan padanya tentang tindakannya kepada adik di Thay-san dahulu, sesudah kubujuk kini adik sudah tidak memikirkan lagi kejadian itu," tutur Tonghong Kui-le.
"Mengenai ayah, karena saat ini beliau sedang pergi jauh, tentu tidak beralangan apabila dia sudi berkunjung kemari."
"Wah, rupanya kata2 terakhir Cici tentang 'tak
beralangan' itu telah menjaminnya, jika dia tetap menolak.
jelas kelihatan akan sifat penakutnya," kata Kui-jin dengan tertawa.
"Sebenarnya tiada maksudku hendak memancing
keberaniannya, namun setelah telanjur kukatakan barulah
kurasakan ucapanku itu mungkin menyinggung perasaannya," tutur Tonghong Kui-le. "Tapi dia telah menjawab: Tanpa pikir nona telah memenuhi undanganku
ke sini, kalau sekarang nona balas mengundang diriku. bila kutolak, rasanya juga kurang hormat. Baiklah. tolong tanya bilakah nona sempat menerima diriku. Cayhe pasti akan
hadir tepat pada saatnya."
"Maka Cici lantas mengundangnya datang pada waktu
lohor agar sekalian makan siang disini bukan?" tukas Tonghong Kui-jin dengan tertawa.
"Jauh-jauh dia datang ke Si-an sini untuk mencari diriku, kan pantas jika kupenuhi kewajiban sebagai tuan rumah?"
kata Kui-le. "Ya, betul juga, sekalian Cici dapat pertunjukkan
beberapa sajian yang menjadi kemahiran Cici untuk
menarik kesan baiknya, begitu bukan?"
"Jika kumasak sendiri sekadar memperlihatkan kesungguhanku, apa tidak boleh?"
"Sudah tentu boleh, sudah tentu boleh!" seru Kui-jin
dengan tertawa. "Cuma, tiba saatnya nanti bila Cici tidak menjelaskan, bisa jadi dia akan mengira santapan yang
dihidangkan itu adalah buatan koki kita, mana dia
mengetahui akan maksud Cici turun ke dapur sendiri demi
memberi pelayanan yang baik kepadanya."
Dia mengikik-tawa. lalu menyambung: "Untuk ini kukira perlu
adikmu ini ikut propaganda bagimu agar diketahuinya, bila kelak dia memperistrikan Cici. paling sedikit dalam hal kenikmatan makan pasti akan terpenuhi."
Muka Tonghong Kui-le menjadi merah, ucapnya
setengah mengomel: "Budak nakal, biarlah hari ini kau menggoda diriku, kelak bila kau punya teman laki-laki pasti akan kubalas."
Tonghong Kui-jin berlagak tak acuh. jawabnya: "Untuk itu entah kau mesti menunggu beberapa tahun lagi."
"Huh. masa perlu beberapa tahun lagi?" Ujar Tonghong Kui-le. "Pemuda mana yang tidak ter-gila2 pada gadis cantik seperti kau. Kukira tidak lama lagi pasti akan tiba giliranmu."
"Ai, Cici benar-benar sangat cepat membalas olok
olokku," kata Kui-jin dengan tertawa. "Sudahlah. lekas kau turun ke dapur, sudah dekat waktunya, bisa jadi tamunya
sudah datang dan kau belum lagi rampung menyiapkan
sesuatu yang perlu."
Kakak beradik ini sejak kecil sudah kehilangan ibu,
Tonghong Put-pay sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan
organisasinya, selain menyebar ajaran agama juga harus
memimpin anggota yang ber-puluh2 ribu jumlahnya. Maka
kecuali pada waktu mengajarkan ilmu silat kepada kedua
anak perempuannya ini. biasanya jarang berkumpul dan
memberi bimbingan tentang kehidupan berumah tangga.
Padahal Ma-kau berasal dari luar negeri, ajaran tentang
hubungan laki2 dan perempuan jauh lebih bebas daripada
tata adat di daerah Tionggoan Umumnya asalkan si
perempuan suka, maka boleh langsung menyatakan rasa
cintanya. Berbeda dengan perempuan daerah Tionggoan
yang terikat oleh adat istiadat kolot, biarpun cinta luar biasa, paling2 hanya dipendam di dalam hati dan tidak
berani mengutarakannya kepada siapa pun.
"oOo" O d-w O"oOo"
Akhirnya tibalah lohor yang ditentukan.
Meja perjamuan sudah disiapkan di ruangan tengah di
atas loteng. Benarlah Sau Peng-say hadir tepat pada
waktunya Tonghong Kui-le dan Tonghong Kui-jin
mengiringi berduduk di kedua sisi Peng-say.
Kedua kakak beradik itu tidak minum arak, Peng-say
sendiri tidak enak untuk minum arak sendiri, seketika ketiga orang hanya duduk termangu. suasana menjadi rada
canggung. Setelah masing-masing menyumpit semacam hidangan
dan dimakan, Tonghong
Kui-jin lantas berbangkit meninggalkan meja perjamuan itu, katanya. "Sau-kongcu, Cici sendiri telah turun ke dapur untuk mengolah santapan ini bagimu, janganlah engkau hanya duduk termenung dan
lupa dahar, Silakan kalian makan sebanyak-banyaknya,
adik tidak menemani lagi."
Cepat Tonghong Kui-le berseru, "He, Moay-moay,
jangan pergi. . . ."
Namun Tonghong Kui-jin lantas berkata dengan tertawa,
"Aku dan Sau-kongcu tidak terlalu akrab, bila aku hadir disini tentu dia tidak leluasa untuk dahar dan minum."
Habis berkata ia terus berlari keluar.
Muka Tonghong Kui-le menjadi merah. ucapnya malumalu, "Kongcu silakan dahar."
"Kiranya nona sendiri yang mengolah hidangan ini, wah, aku membikin repot saja padamu," kata Peng-say.
"Ah, pekerjaan biasa. repot apa?" ujar Tonghong Kui-le.
Berturut-turut Peng-say mencicipi beberapa macam
hidangan. lalu memuji, "Nona sungguh mahir masak,"
Diam-diam Tonghong Kui-le merasa senang, katanya
pula, "Silakan Kongcu minum arak."
Tanpa sungkan lagi Peng-say menenggak setengah
cawan arak yang tersuguh di depannya, lalu berkata,
"Sesungguhnya Cayhe ingin tanya sesuatu kepada nona, entah nona sudi mendengarkan atau tidak?"
"Silakan Kongcu bicara," jawab Tonghong Kui-le, sambil menjulurkan tangannya yang putih mulus itu untuk
mengangkat poci dan menuangkan arak bagi anak muda
itu. "Ingin kutanya, kepandaian nona memetik kecapi itu
dapat belajar dari siapa?" kata Peng-say.
"Ajaran mendiang Kik-tianglo, salah seorang tertua Ma-kau kami," tutur Tonghong Kui-le.
"Kik Yang maksud nona?" Peng-say menegas.
"Betul," jawab Kui-le. "Sejak berumur tujuh sudah belajar memetik kecapi dengan Kik-tianglo, tapi lantaran bakatku jelek dan pembawaanku bodoh, hakikatnya belum
ada sepersepuluh bagian kepandaian Kik-tianglo yang
kuperoleh."
"Ah, nona terlalu rendah hati," ujar Peng-say. "Kik-tianglo adalah ahli kecapi, guru yang pandai mana ada
murid yang bodoh. Kukira bicara tentang kemahiran
memetik kecapi, di dunia ini tiada yang kedua lagi kecuali nona sendiri."
"Ai, mana berani kuterima pujian Kongcu ini," jawab Tonghong Kui-le dengan tertawa. "Justeru kemahiran
seruling Kongcu itulah kuyakin terhitung nomor satu di
dunia." Sambil minum arak dan bersantap, Peng-say sembari
bicara pula, "Sungguh sangat kebetulan jika diceritakan, sebuah lagu yang kupelajari juga berjudul 'Siau-go-yan-he", sama dengan lagu kecapi nona."
"Oya, apa betul?" tanya Kui-le.
"Betul, yaitu lagu yang kumainkan bersama dengan
kecapi nona itu," kata Peng-say.
"Pantas setiap kali bila kumainkan kecapiku bersama tiupan seruling Kongcu, rasanya permainan kita itu seolah-olah ditakdirkan suatu pa. . . ." mendadak nona itu tidak melanjutkan ucapannya.
Peng-say tahu yang akan diucapkan si nona adalah
"pasangan", maka dia tertawa dan bertanya pula, "Entah lagu Siau-go-yan-he yang dipelajari nona itu pun ajaran
Kik-tianglo atau bukan?"
Caranya bertanya seolah olah tidak sengaja, padahal di
dalam hati dia sangat tegang. Maklumlah, pertanyaan ini
menyangkut duduk perkara yang sebenarnya mengenai
sakit hati kematian ayahnya.
Seperti diketahui, kedatangannya ke Si-an, pusat
kekuasaan Mo-kau ini adalah untuk menyelidiki kejadian
yang sebenarnya yang menyangkut pembunuhan segenap
anggota Lam-han. Apabila kitab nada kecapi yang tadinya
berada pada Sau Peng-lam itu terbukti berada pada
Tonghong Put-pay sekarang, maka tidak perlu disangsikan
lagi si pembunuh segenap anggota Lam-han itu ialah
Tonghong Put-pay dan bukan dilakukan Ting Tiong dan
Liok Pek dari Say-koan.
Begitulah maka didengarnya Tonghong Kui-le telah
menjawab; "Ya. . . ."
Hati Peng-say terasa lega, sebab apa pun juga tidak
berharap bahwa Tonghong Put-pay adalah musuh yang
membunuh ayahnya sehingga akan terjadi suatu jurang
pemisah yang mendalam dengan nona pemaham isi hatinya
yang selama hidup ini sukar dicarinya ini.
Tak terduga, setelah berhenti sejenak tiba-tiba Tonghong Kui-le menyambung pula, "Namun bukan ajaran langsung dari Kik-tianglo, tapi hasil pelajaranku menurut sebuah
kitab nada tinggalan beliau."
Sekujur badan Peng-say tergetar mendadak, hampir saja
cawan arak yang dipegangnya jatuh berantakan. Sedapatnya ia menahan guncangan perasaannya, tanyanya
pelahan, "Apakah kitab nada itu diberikan langsung dari Kik-tianglo?"
"Tidak," tutur Tonghong Kui-le. "Kik-tianglo meninggal di tempat jauh, beliau tidak meninggalkan kitap nada apa pun bagiku. Tapi adalah karena mengetahui mendiang Kik-tianglo telah menciptakan satu buku nada kecapi yang tiada bandingannya, ayah telah berusaha mencarinya ke-mana2,
akhirnya dapatlah ditemukan pada jenazah Kik-tianglo."
Cerita ini jelas tidak benar, nyata Tonghong Put-pay
tidak pernah menceritakan kejadian yang sebenarnya
kepada anak perempuannya ini.
Seketika air muka Peng-say berubah menjadi pucat,
dalam hati dia menjerit: "O, sakit hati pembunuhan ayah sedalam
lautan! Wahai Tonghong Put-pay, demi mendapatkan satu buku nada kecapi, tanpa segan-segan kau telah menumpas segenap anggota Soh-hok-han kami, sakit
hati ini harus kutuntut, antara kau dan aku tidak mungkin hidup bersama, kalau bukan kau yang mampus biarkanlah
aku yang gugur."
Tonghong Kui-le terkejut oleh perubahan air muka Pengsay itu, serunya kuatir, "He, kenapa kau" Air mukamu sungguh menakutkan. apakah kau sakit?"
Peng-say tidak ingin bertengkar dan bermusuhan dengan
si nona, tapi ia pikir barang musuh tidak boleh lagi
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kumakan. Maka ia lantas meletakkan cawan araknya dan
menjawab: "Mendadak aku merasa kurang sehat, biarlah kumohon diri saja!"
Habis berkata mendadak ia berbangkit. Karena gerakan
ini, ditambah lagi rasa dukanya yang hebat, seketika ia
merasa kepala pusing dan mata gelap, ia sempoyongan dan
akan roboh. "Ai, tampaknya kau memang sakit, lekaslah berbaring saja di tempat tidur!" seru Tonghong Kui-le.
"Ti. . .tidak!" teriak Peng-say. "Sedetik pun tidak boleh kutinggal lagi disini!"
Tapi mendadak terdengar seorang bergelak tertawa
diluar, "Hahaha! Sau Peng-say, kau sudah makan Bonghan-yo (obat tidur), kau bisa datang tak bisa lagi pergi!"
"Ayah!" seru Tonghong Kui-le.
Rupanya yang tertawa dan berseru diluar itu adalah
Tonghong Put-pay, gembong nomor satu Ma-kau.
Seketika Peng-say menjadi murka, dengan melotot ia
tanya Tonghong Kui-le, "Bukankah kau bilang ayahmu. . .
.ayahmu tidak berada di rumah?"
Mendadak ia duduk lagi dengan lemas, katanya dalam
hati: "Untuk apa pula kutanya, mana ada anak yang tidak condong kepada ayahnya sendiri. Aku sendiri yang kelewat tolol, masa mengira tidak bakalan mencelakai diriku?"
Bong-han-yo adalah sejenis obat tidur atau bius yang
sangat sederhana, dengan semacam bubuk dan dicampurkan di dalam arak, bila diminum dengan segera
akan tertidur. Tapi kalau pengaruh alkohol hilang, segera pula orangnva akan mendusin
Bila tenaga dalam orang yang minum Bong-han-yo itu
sangat kuat dan dapat mendesak keluar pengaruh arak,
biarpun minum obat bius itu pun tidak akan jatuh tidur!
Sebab itulah Bong-han-yo tidak besar khasiatnya, pada
umumnya jarang digunakan oleh orang Kangouw.
Tapi lantaran obat tidur ini kalau sudah tercampur
didalam arak sama sekali tidak kelihatan sesuatu perubahan warna dan juga tidak ada bau, sangat mudah untuk
mengelabui mata seorang ahli sekalipun. Rupanya demi
kelancaran tujuannya, Tonghong Put-pay tidak menggunakan obat bius lain yang lebih keras, tapi justeru menggunakan Bok-han-yo paling sederhana ini.
Tonghong Put-pay tahu Lwekang Peng-say sangat hebat,
hanya dalam waktu singkat pengaruh itu dapat dibuyarkan
olehnya. Maka dia harus bekerja cepat. pada waktu anak
muda itu sedang berduduk dan mengerahkan tenaga dalam,
secepat kilat dia menyelinap masuk kedalam ruangan terus hendak menutuknya.
"Jangan, ayah!" jerit Tonghong Kui-le dengan kuatir, segera ia menubruk maju hendak menghadang di depan Sau
Peng-say agar anak muda itu tidak sampai ditutuk sang
ayah. Akan tetapi Tonghong Put-pay sudah telanjur, tangan
kiri terus menyampuk, kontan Tonghong Kui-le dihantamnya hingga terlempar keluar ruangan. Menyusul
jari tangan kanan terus menutuk dan tepat mengenai "Kin-sok-hiat" di pinggang Peng-say.
Karena Hiat-to penting itu tertutuk, seketika tenaga
dalam Peng-say yang sedang bekerja itu menjadi buyar,
belum lagi dia sempat mendesak keluar hawa arak, tahutahu ia sudah roboh terkulai dan tertidur pulas. . . .
^ o dw o ^ Waktu Peng-say siuman, ia merasa dirinya terkurung di
dalam penjara batu dengan kaki dan tangan terbelenggu.
Petangnya, ia dengar pintu penjara di buka orang. Waktu
ia menengadah, dilihatnya Sip-lik Taysu melangkah masuk
dengan membawa lentera. Karena Tonghong Kui-le telah
berusaha membelanya pada saat dia diserang Tonghong
Put-pay, tahulah Peng-say bahwa yang membocorkan
rahasia kedatangannya bukanlah Tonghong Kui-le.
Melihat munculnya Sip-lik Taysu, segera ia paham
duduknya perkara. Jelas Sip-lik inilah yang membocorkan jejaknya sehingga Tonghong Put-pay lantas
mengatur tipu muslihat untuk menjebaknya dengan
menaruh obat di dalam arak yang akan diminumnya, sudah
barang tentu semuanya itu dikerjakan di luar tahu
Togghong Kui-le.
Dia menghela napas, katanya, "Taysu, akhirnya kau
mencelakai diriku."
Sip-lik Taysu juga tidak menyangkal, ucapnya,
"Maklumlah, selaku Mo-kau-tianglo, adalah jamak jika aku harus setia kepada agamaku, segala sesuatu harus
kulaporkan kepada Kaucu. Untuk ini hendaklah kau suka
memaafkan diriku."
Sekali sudah salah langkah, maka runtuhlah segalanya,
siapa yang mesti disalahkan" Mau tak mau Peng-say harus
menerima nasib. Cuma ia tidak habis mengerti mengapa
Sip-lik Taysu yang berwatak tak mau kalah bisa melakukan hal-hal di luar dugaannya"
Ia coba bertanya, "Jadi Taysu tidak sayang pada nama baikmu yang sudah termashur selama berpuluh tahun dan
sekarang dibiarkan hanyut begitu saja?"
Sip-lik Taysu menjawab: "Kau berani memusuhi Kaucu, dengan kesaktian Kaucu, cepat atau lambat kau pasti akan tertangkap. Dari pada nanti kau mengaku dihadapan Kaucu
tentang apa yang terjadi dan tidak urung aku pun bisa
dihukum mati terpaksa kulaporkan lebih dulu tanpa
menghiraukan soal nama baik dan kehormatan lagi."
"Kedatangan Taysu ini apakah hendak menyampaikan
sesuatu pesan Kaucu kalian?" tanya Peng-say.
"Bicara terus terang," jawab Sip-iik, "Kaucu menyuruh aku melakukan pahala untuk menebus dosa, asalkan dapat
kubujuk kau, maka beliau berjanji akan menutup rahasia
kekalahanku oleh dirimu ini."
"Berpahala untuk menebus dosa?" Peng-say menegas.
"Ya," kata Sip-lik. "Kaucu memang maha pintar begitu beliau pulang dan mendapat laporan tentang genta raksasa yang dipindahkan orang ke depan pintu Ban-seng-paiu-kiok
itu, beliau lantas menyangsikan lenyapnya diriku selama
satu hari itu, beliau bertanya padaku apakah ada sesuatu yang sukar untuk dibicarakan terus terang."
Baru sekarang Peng-say menyadari tindakannya yang
keliru. Pikirnya: "Kupasang perangkap dan berhasil
menawannya, hal ini rasanya mudah diterka oleh setiap
orang yang cerdas. Apalagi Kaucu mereka, sudah tentu
cukup kenal watak anak buahnya, terutama sifat Sip-lik
yang suka menang ini. Ai, memang akulah yang salah
langkah." Dalam pada itu Sip-lik telah bercerita pula, "Semula aku berusaha menutupi apa yang terjadi dan menyangkal telah
terjadi sesuatu. Namun Kaucu terus mendesak dan
bertanya. Demi teringat kepada akibatnya nanti, akhirnya kulaporkan segalanya. Sebab kalau tidak segera kulaporkan, apalagi Kaucu sudah mendesak dan bertanya, bilamana
kejadian ini tetap tidak kulaporkan akan berarti berdusta dan mengelabui Kaucu. Padahal dalam Ma-kau kami
Kaucu kami junjung seolah-olah raja, biarpun kedudukanku adalah Tianglo juga tidak terhindar daripada hukuman mati lantaran telah berdusta kepada sang Kaucu. Syukurlah,
Kaucu cukup bijaksana dan welas asih, beliau mau
mengerti akan kesukaranku dan tidak segera menjatuhkan
hukuman padaku, sebaliknya malah memberi kesempatan
padaku agar mencari pahala untuk menebus dosaku."
"Dan apa yang kau harapkan dariku?" tanya Peng-say.
"Sejilid kitab nada seruling." jawab Sip-lik.
"Apakah kitab nada seruling yang berjudul 'Siau-go-yan-he'?" tanya Peng-say.
"Betul," jawab Sip-lik Taysu. "Kitab nada seruling itu sudah lama dicari Kaucu, beliau telah menggeledah seluruh Lam-han dan tidak berhasil menemukannya."
"Hanya satu buku nada seruling saja, apa artinya?" ujar Peng-say.
"Jika demikian, sudilah berikan padaku," kata Sip-lik Taysu. "Sudah barang tentu tidak akan kuterima tanpa balas jasa. dengan jiwaku akan kujamin keselamatanmu."
"Kitab nada seruling itu tidak kubawa," kata Peng-say.
"Habis dimana kau menyimpannya?" tanya Sip-lik Taysu.
"Sudah kuapalkan dengan baik, tiada gunanya lagi
kusimpan kitab nada itu, maka sudah kubakar."
"Jika begitu, mohon sudilah engkau merekamnya
kembali satu buku," pinta Sip-lik.
"Coba jawab dulu, darimana Kaucu kalian mengetahui
pentingnya kitab nada seruling ini?" tanya Peng-say.
Sip-lik mengira anak muda ini sudah mau menyalin lagi
satu buku nada itu, untuk mengambil hatinya, tanpa pikir ia memberi penjelasan: "Lagu Siau-go-yan-he itu tercatat masing-masing pada nada seruling dan kecapi. Kaucu
sudah mengetahui betapa hebat dan pentingnya kitab nada
kecapi, dengan sendirinya beliau juga sangat menghargai
kitab nada seruling. Sebab itulah, asalkan Kongcu dapat
menyalin lagi satu buku nada seruling itu, kutanggung
jiwamu pasti takkan diganggu."
"Darimana pula Kaucu kalian mengetahui betapa
hebatnya kitab nada kecapi?" tanya Peng say pula.
"Barang hasil karya Kik-tianglo dari Mo-kau kami
masakan Kaucu tidak mengetahui betapa nilainya?" ujar Sip-lik.
"Aku justeru tidak tahu apa maksud tujuan Kik-tianglo kalian menciptakan buku nada kecapi" tanya Peng-say
"Baiklah, biar kuceritakan terus terang." tutur Sip-lik Taysu. "Pada jaman kerajaan Goan, Ma-kau kami
berkembang dengan jaya. hal ini disebabkan pada waktu itu Ma-kau kami menggunakan panji mengusir musuh negara
dan bangkit melawan penjajah (dinasti Goan atau Yuan
dalam sejarah kerajaan Tiongkok dianggap sebagai terjajah oleh rakyat Tiongkok, sebab rajanya adalah bangsa
Mongol, Khan). Dengan semboyan mempersatukan bangsa
untuk melawan penjajah, dengan sendirinya Ma-kau kami
banyak mendapat pengikut. Cuma sayang, keadaan jaya itu
tidak bertahan lama, kerajaan Goan runtuh, tanah air
kembali lagi dikuasai bangsa Han sendiri, maka semboyan
kami itu lantas ketinggalan jaman, ditambah keparat Cu
Goan-ciang (cakal-bakal dinasti Beng atau Ming), itu
ternyata seorang yang khianat dan tak berbudi. Dengan
mati-matian Ma-kau kami bantu dia merampas kembali
tanah air ini dari Mongol, sesudah dia naik tahta, dia
berbalik menuduh Ma-kau kami adalah agama asing dan
golongan jahat, ia melakukan penyembelihan besar2an
terhadap anggota Ma-kau kami. Kalau ada yang beruntung
tidak terbunuh, ber-ramai2 sama terusir keluar Kwan-gwa
(diluar tembok besar).
-Selama ratusan tahun ini Ma-kau kami hanya tersebar di
daerah Kwan-gwa dan tidak berani melintasi perbatasan
(sejak berdirinya tembok besar, pada umumnya bangunan
raksasa itu dianggap sebagai perbatasan negeri Tionggoan yang dikuasai bangsa Han dengan suku bangsa lain yang
bercokol diluar tembok besar). Baru pada waktu Tonghongkaucu menjabat pimpinan kami, berkat kepintaran beliau
yang jarang ada bandingannya, lambat-laun Ma-kau kami
bangkit kembali dan secara rahasia berpindah pula ke
Kwan-lay (di dalam tembok besar).
-Akan tetapi, dengan kekuatan Ma-kau kami sekarang,
hendak melawan kerajaan Beng juga tidak mungkin. Sakit
hati terhadap keluarga Cu yang lupa budi dan ingkar janji itu terang sukar terbalas. Jalan lain terpaksa kami tempuh, yaitu menjagoi dunia Kangouw dan menyebar luaskan
ajaran agama, menanamkan kepercayaan dikalangan
rakyat, itulah tujuan utama kami sekarang. Namun
dibawah kekuasaan keluarga Cu yang khianat itu, jelas
kami tidak dapat menyebarkan agama kami sesara terang
terangan, kami juga tidak mempunyai semboyan lagi yang
gemilang seperti dahulu, lalu dengan cara bagaimana kami dapat menarik perhatian umum" Maka terpaksa kami
berjalan menyimpang. Dengan perkataan lain, kami
menyebarkan ajaran yang mengelabui rakyat. Padahal
tindakan ini terpaksa kami lakukan demi mempertahankan
hidup berpuluh ribu anggota Ma-kau kami, supaya bisa
hidup terpaksa tidak memikirkan cara lagi.
-Padahal kalau kita melihat sejarah, sudah banyak
kerajaan berganti kerajaan, dinasti ini mengantikan dinasti itu. Demi untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan
rakyat, penguasa baru tidak segan-segan menggunakan
segala cara untuk memikat rakyat, juga raja baru sering
menggunakan cara-cara yang dianggap oleh raja lama
sebagai propaganda untuk mengelabui rakyat" Walaupun
begitu, untuk menempuh jalan menyimpang agar dipercaya
oleh rakyat juga bukan pekerjaan yang sederhana. Demi
menyebar luaskan pengaruh Mo-kau kami, Kaucu harus
memeras otak dan berjuang mati-matian, maka timbul
suatu pikirannya yang aneh, yaitu hendak memperalat
kemahiran memetik kecapi Kik-tianglo itu untuk menarik
perhatian umum, maka Kik-tianglo diminta menciptakan
satu lagu. -Menurut pendapat Kaucu, setiap manusia membutuhkan hiburan, hiburan itu dapat melalui mata dan
telinga, yaitu suara dan kecantikan. Kalau kami menghibur sambil memikat hati umum, bukankah cara ini lebih cepat
untuk mengumpulkan pengikut" Dalam hal main kecapi
Kik-tianglo memang sangat mahir, hanya dalam beberapa
tahun saja sudah tidak sedikit lagu ciptaannva menjadi
populer dan disukai, baik para Tongcu dan anggota setia
kami hampir semuanya gemar belajar lagu baru Kiktianglo. Malahan waktu menyebarkan ajaran agama kami
gunakan pula dengan memetik kecapi sehingga menarik
perhatian berjuta pengikut dikalangan rakyat, hal ini pun mendatangkan banyak keuntungan bagi perbekalan dan
kebutuhan lain bagi agama kami.
-Meski agama kami sudah semakin maju, namun Kaucu
masih belum puas, Kik-tianglo diperintahkan menciptakan
lagu baru yang lebih bagus lagi. Tidak lama kemudian Kik-tianglo memberi laporan bahwa ada sebuah lagu baru yang
sangat lihay telah dirancangnya. katanya bilamana lagu
tersebut dimainkan, jangankan khalayak ramai akan kesima dan termangu-mangu, sekalipun tokoh Bu-lim bila
mendengar lagunya itu juga akan terjerumus ke alam khayal dan melupakan segalanya. Kaucu sangat girang, setiap
beberapa hari beliau tentu bertanya apakah Kik-tianglo
sudah selesai menciptakan lagu tersebut. Dan begitulah
beberapa tahun telah berlalu dengan cepat, Kaucu pun tahu lagu baru ciptaan Kik-tianglo itu berjudul "Siau-go-yan-he", cuma sejauh itu Kik-tianglo belum lagi serahkan buku nada lagu ciptaannya itu. Kaucu tahu lagu itu sudah berhasil
diciptakan Kik-tianglo dengan baik, cuma entah mengapa
belum lagi dilaporkan kepadanya, Kaucu menjadi curiga
jangan2 kesetiaan Kik-tianglo terhadap Ma-kau sudah
mulai goyah. Akan tetapi selama ini kesetiaan Kik-tianglo cukup diketahui setiap anggota kami. biarpun curiga tanpa
bukti yang nyata, betapapun Kaucu tidak berani
menegurnya, beliau kuatir kalau-kalau membikin sirik Kik-tianglo dan benar-benar memberontak, kan urusan bisa
bertambah runyam. Maka kaucu hanya menyelidiki gerakgerik Kik-tianglo secara diam-diam saja. . . Akhirnya
diketahui bahwa Kik-tianglo mempunyai hubungan yang
sangat akrab dengan tokoh Thay-san-pay yang menjadi
sekutu Ngo-tay-lian-beng yaitu Wi Kay-hou. Padahal
persekutuan Lima besar itu bertujuan memusuhi Ma-kau
kami. Kik~tianglo berhubungan dengan musuh, jelas ada
tanda-tanda berkhianat. Satu hari, Kaucu menangkap Kiktianglo dan ditanyai mengenai hubungannya dengan Wi
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kay-hou. Kik-tianglo memberi penjelasan bahwa persahabatannya dengan Wi Kay-hou itu tidak bertujuan
mengkhianati agama, tapi dia dan Wi Kay-hou justeru
bersama-sama sedang menggubah lagu Siau-go-yan-he.
-Dengan terus terang dia menyatakan kesetiaannya
terhadap agama, karena itu Kaucu menjadi terharu dan
beliau sendiri yang membebaskan Kik-tianglo dari
ringkusan serta minta maaf padanya. Lalu minta Kiktianglo menyerahkan buku nada Siau-go-yan-he itu. Namun
Kik-tianglo bilang lagu itu belum sempurna digarap, untuk menyelesaikannva masih diperlukan sedikit hari lagi. Kaucu percaya sepenuhnya kepada Kik-tianglo dan suruh dia lekas merampungkannya bersama Wi Kay-hou. Diluar dugaan.
beberapa bulan kemudian, pulanglah Kik Fi-yan, yaitu cucu perempuan Kik-tianglo, dan melaporkan bahwa kakeknya
telah meninggal dunia,
-Kaucu menanyai Fi-yan apa yang telah terjadi, dari
cerita Fi-yan baru diketahui bahwa lagu Siau-go-yan-he
ciptaan gabungan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou itu
sebenarnya sudah lama jadi tapi pada waktu hendak
mengembuskan napas penghabisan, buku nada kecapinya
oleh Kik-tianglo telah diserahkan kepada Sau Peng-lam,
murid Lam-han yang juga menjadi musuh Ma-kau kami.
Meski tahu sampai matipun Kik-tianglo tiada bermaksud
mengkhianat, tapi Kaucu juga tahu persahabatan antara
Kik-tianglo dan Wi Kay-hou telah terjalin sedemikian erat dan akrabnya melalui musik mereka, rupanya Kik-tianglo
tidak ingin kaucu mendapatkan lagu Siau-go-yan-he itu
yang akibatnya akan membikin celaka saudara seperguruan
kawan-kawan sahabat karibnya, makanya sejauh itu buku
nada Siau-go-yan-he belum lagi diserahkannya kepada
Kaucu. -Kaucu menjadi sakit hati karena Kik-tianglo menyerahkan buku nadanya kepada seorang murid Lamhan, dalam gusarnya beliau terus membunuh cucu
perempuan Kik-tianglo, lantaran itulah sampai sekarang
Kik Koan, yaitu saudara muda Kik Yang masih merasa
menyesal terhadap Kaucu.
"Namun dibawah kekuasaan keluarga Cu yang khianat
itu, jelas kami tidak dapat menyebarkan agama kami secara terang terangan, kami juga tidak mempunyai semboyan lagi yang gemilang seperti dahulu, lalu dengan cara bagaimana kami dapat menarik perhatian umum" Maka terpaksa kami
berjalan menyimpang. Dengan perkataan lain, kami
menyebarkan ajaran yang mengelabui rakyat. Padahal
tindakan ini terpaksa kami lakukan demi mempertahankan
hidup berpuluh ribu anggota Ma-kau kami, supaya bisa
hidup terpaksa tidak memikirkan cara lagi.
-Padahal kalau kita melihat sejarah, sudah banyak
kerajaan berganti kerajaan, dinasti ini mengantikan dinasti itu. Demi untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan
rakyat, penguasa baru tidak segan-segan menggunakan
segala cara untuk memikat rakyat, juga raja baru sering
menggunakan cara-cara yang dianggap oleh raja lama
sebagai propaganda untuk mengelabui rakyat" Walaupun
begitu, untuk menempuh jalan menyimpang agar dipercaya
oleh rakyat juga bukan pekerjaan yang sederhana. Demi
menyebar luaskan pengaruh Mo-kau kami, Kaucu harus
memeras otak dan berjuang mati-matian, maka timbul
suatu pikirannya yang aneh, yaitu hendak memperalat
kemahiran memetik kecapi Kik-tianglo itu untuk menarik
perhatian umum, maka Kik-tianglo diminta menciptakan
satu lagu. -Menurut pendapat Kaucu, setiap manusia membutuhkan hiburan, hiburan itu dapat melalui mata dan
telinga, yaitu suara dan kecantikan. Kalau kami menghibur sambil memikat hati umum, bukankah cara ini lebih cepat
untuk mengumpulkan pengikut" Dalam hal main kecapi
Kik-tianglo memang sangat mahir, hanya dalam beberapa
tahun saja sudah tidak sedikit lagu ciptaannva menjadi
populer dan disukai, baik para Tongcu dan anggota setia
kami hampir semuanya gemar belajar lagu baru Kiktianglo. Malahan waktu menyebarkan ajaran agama kami
gunakan pula dengan memetik kecapi sehingga menarik
perhatian berjuta pengikut dikalangan rakyat, hal ini pun mendatangkan banyak keuntungan bagi perbekalan dan
kebutuhan lain bagi agama kami.
-Meski agama kami sudah semakin maju, namun Kaucu
masih belum puas, Kik-tianglo diperintahkan menciptakan
lagu baru yang lebih bagus lagi. Tidak lama kemudian Kik-tianglo memberi laporan bahwa ada sebuah lagu baru yang
sangat lihay telah dirancangnya. katanya bilamana lagu
tersebut dimainkan, jangankan khalayak ramai akan kesima dan termangu-mangu, sekalipun tokoh Bu-lim bila
mendengar lagunya itu juga akan terjerumus ke alam khayal dan melupakan segalanya. Kaucu sangat girang, setiap
beberapa hari beliau tentu bertanya apakah Kik-tianglo
sudah selesai menciptakan lagu tersebut. Dan begitulah
beberapa tahun telah berlalu dengan cepat, Kaucu pun tahu lagu baru ciptaan Kik-tianglo itu berjudul "Siau-go-yan-he", cuma sejauh itu Kik-tianglo belum lagi serahkan buku nada lagu ciptaannya itu. Kaucu tahu lagu itu sudah berhasil
diciptakan Kik-tianglo dengan baik, cuma entah mengapa
belum lagi dilaporkan kepadanya, Kaucu menjadi curiga
jangan2 kesetiaan Kik-tianglo terhadap Ma-kau sudah
mulai goyah. Akan tetapi selama ini kesetiaan Kik-tianglo cukup diketahui setiap anggota kami. biarpun curiga tanpa bukti yang nyata, betapapun Kaucu tidak berani
menegurnya, beliau kuatir kalau-kalau membikin sirik Kik-tianglo dan benar-benar memberontak, kan urusan bisa
bertambah runyam. Maka kaucu hanya menyelidiki gerakgerik Kik-tianglo secara diam-diam saja. . . Akhirnya
diketahui bahwa Kik-tianglo mempunyai hubungan yang
sangat akrab dengan tokoh Thay-san-pay yang menjadi
sekutu Ngo-tay-lian-beng yaitu Wi Kay-hou. Padahal
persekutuan Lima besar itu bertujuan memusuhi Ma-kau
kami. Kik~tianglo berhubungan dengan musuh, jelas ada
tanda-tanda berkhianat. Satu hari, Kaucu menangkap Kiktianglo dan ditanyai mengenai hubungannya dengan Wi
Kay-hou. Kik-tianglo memberi penjelasan bahwa persahabatannya dengan Wi Kay-hou itu tidak bertujuan
mengkhianati agama, tapi dia dan Wi Kay-hou justeru
bersama-sama sedang menggubah lagu Siau-go-yan-he.
-Dengan terus terang dia menyatakan kesetiaannya
terhadap agama, karena itu Kaucu menjadi terharu dan
beliau sendiri yang membebaskan Kik-tianglo dari
ringkusan serta minta maaf padanya. Lalu minta Kiktianglo menyerahkan buku nada Siau-go-yan-he itu. Namun
Kik-tianglo bilang lagu itu belum sempurna digarap, untuk menyelesaikannva masih diperlukan sedikit hari lagi. Kaucu percaya sepenuhnya kepada Kik-tianglo dan suruh dia lekas
merampungkannya bersama Wi Kay-hou. Diluar dugaan.
beberapa bulan kemudian, pulanglah Kik Fi-yan, yaitu cucu perempuan Kik-tianglo, dan melaporkan bahwa kakeknya
telah meninggal dunia,
-Kaucu menanyai Fi-yan apa yang telah terjadi, dari
cerita Fi-yan baru diketahui bahwa lagu Siau-go-yan-he
ciptaan gabungan antara Kik-tianglo dan Wi Kay-hou itu
sebenarnya sudah lama jadi tapi pada waktu hendak
mengembuskan napas penghabisan, buku nada kecapinya
oleh Kik-tianglo telah diserahkan kepada Sau Peng-lam,
murid Lam-han yang juga menjadi musuh Ma-kau kami.
Meski tahu sampai matipun Kik-tianglo tiada bermaksud
mengkhianat, tapi Kaucu juga tahu persahabatan antara
Kik-tianglo dan Wi Kay-hou telah terjalin sedemikian erat dan akrabnya melalui musik mereka, rupanya Kik-tianglo
tidak ingin kaucu mendapatkan lagu Siau-go-yan-he itu
yang akibatnya akan membikin celaka saudara seperguruan
kawan-kawan sahabat karibnya, makanya sejauh itu buku
nada Siau-go-yan-he belum lagi diserahkannya kepada
Kaucu. -Kaucu menjadi sakit hati karena Kik-tianglo menyerahkan buku nadanya kepada seorang murid Lamhan, dalam gusarnya beliau terus membunuh cucu
perempuan Kik-tianglo, lantaran itulah sampai sekarang
Kik Koan, yaitu saudara muda Kik Yang masih merasa
menyesal terhadap Kaucu.
-Akan tetapi segala persoalan harus dikembalikan kepada
awal mulanya, jika Kik Yang tidak cari penyakit sendiri, buku nadanya itu boleh dibakar saja andaikan tidak suka
diberikan kepada Kaucu, kan urusan menjadi beres dan
cucu perempuan yang tak berdosa tidak akan ikut menjadi
korban" Kaucu tidak lupa kepada buku nada Siau-go-yan-he itu, beliau tidak tinggal diam, berangkatlah beliau ke Huiciu, akhirnya dapatlah ditemukan buku nada itu pada Sau
Peng-lam, akan tetapi buku nada seruling tidak dapat
ditemukan, meski Kaucu sudah menggeledah setiap pelosok
Soh-hok-han tetap tidak menemukan kitab itu."
"Jika demikian, jadi lebih dari 20 jiwa perguruanku itu adalah korban keganasan gembong iblis Ma-kau kalian"!"
ucap Peng-say dengan mengertak gigi
"Segenap anggota Lam-han kalian dibunuh oleh Ting
Tiong dan Liok Pek dari Say-koan, siapa didunia ini yang tidak tahu akan peristiwa tersebut?" jawab Sip-lik Taysu.
-ooo0dw0ooo- Jilid 35 Peng-say tidak ingin banyak omong lagi dengan dia,
katanya dengan setengah berteriak, "Sudahlah, boleh kau katakan kepada pimpinanmu, mimpi pun jangan harap
akan mendapatkan buku nada serulingku."
"Dengan penjelasanku ini tujuanku agar kau dapat
memahami maksud kami," kata Sip-lik Taysu. "Tentang buku
nada seruling, Kaucu bertekad harus mendapatkannya. Jika tidak kau serahkan, jiwamu tak
dapat dipertahankan lagi."
"Hm, sejak dahulu sampai sekarang, orang hidup
akhirnya pasti mati!" jawab Peng-say tanpa gentar.
"Daripada mati terpuji kan lebih baik hidup tercela!" ujar Sip-lik.
"Biarpun kuserahkan buku nada yang kalian inginkan, akhirnya akupun tidak terhindar dari kematian," kata Peng-say.
"Untuk ini tidak perlu kau kuatir, asalkan buku nada kau serahkan, bila Kaucu hendak membunuh kau, biarlah aku
mati bersamamu!" kata Sip-lik tegas.
"Terima kasih," ucap Peng-say. "Tapi, kalau tidak sampai dibunuh. lalu bagaimana pula dengan nasibku
nanti?" "Dengan sendirinya membebaskan kau," kata Sip-lik.
"Bebas dalam keadaan baik tanpa cedera sedikit pun?"
Peng-say menegas.
"Untuk ini.... . ." Sip-lik menjadi ragu-ragu untuk menjawab.
Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, "Kau tunggu sebentar, akan kutanyakan kepada Kaucu."
"Pokoknya aku harus dibebaskan tanpa cedera apa pun, bahkan juga harus dijamin akan diperlakukan dengan baik
dan diberi ketenangan, dengan demikian barulah dapat
kutuliskan nada Siau-go-yan-he." kata Peng-say tegas.
"Kalau tidak,_hm, biarpun kalian akan menggunakan cara keji apa pun terhadapku boleh silakan laksanakan saja, jika aku berkerut kening sedikit saja jangan dianggap sebagai keturunan keluarga Sau dari Lam-han!"
Tanpa bicara lagi Sip-lik Taysu lantas meninggalkan
Peng-say. Tidak lama kemudian dia datang kembali, katanya
sambil menggeleng: "Kaucu tidak dapat menjanjikan tanpa cedera apa pun bagimu. Kata beliau. asalkan buku nada
seruling sudah kau serahkan, jiwamu pasti diampuni dan
memberi kemerdedkan padamu."
"Jika tak dapat terhindar dari cedera sedikit pun, lalu cara bagaimana dia akan mencelakai diriku?" tanya Peng-say.
"Memunahkan ilmu silatmu," tutur Sip-lik Taysu.
Peng-say terbahak-bahak, teriaknya: "Hahaha! Kenapa tidak penggal saja kepalaku"!"
"Selama gunung masih menghijau. tidak perlu kuatir
takkan ada kayu bakar," ujar Sip-lik Taysu berusaha membujuk. "Adik cilik, kau masih muda belia. . . ."
"Sudahlah, boleh kau pergi saja!" potong Peng-say dengan tidak sabar.
Tapi Sip-lik Taysu masih belum putus harapan, ia coba
membujuk pula: "Adik cilik, kau. . . ."
Mendadak Peng-say mengangkat kedua tangannya yang
terbelenggu dan membentak dengan gusar, "Jangan banyak omong lagi, apa kau minta kuhantam mampus kau"!"
Sip-lik menjadi keder, ia menyurut mundur hingga diluar
jangkauan Peng-say, setelah terdiam sejenak, kemudian ia berkata pula, "Kaucu memberi batas waktu satu malam bagimu untuk mempertimbangkannya, besok aku akan
datang lagi."
Tapi Peng-say terus berduduk bersandar dinding dan
tidak menghiraukannya.
Sip-lik Taycu berkata pula: "Menurut Kaucu, dengan
nada kecapi tinggalan Kik-tianglo saja sudah lebih daripada cukup untuk menundukkan tokoh Bu-lim mana pun.
mengenai buku nada seruling, ada syukur, tidak ada juga
tidak menjadi soal. Kenapa
kau berkeras kepala mempertahankan nada seruling yang sebenarnya tidak ada
artinya lagi bagi Kaucu dengan mempertaruhkan jiwamu
yang berharga?"
Namun Peng-say tetap tidak menggubrisnya.
Sampai agak lama, karena anak muda itu tetap tidak
menghiraukannya, Sip-lik Taysu menghela napas, katanya:
"Baiklah, boleh kau renungkan lagi nasihatku ini, besok aku akan datang lagi untuk minta jawabanmu. Selewatnya
besok, siapapun tidak berani menyelamatkan kau lagi,
sebab Kaucu sudah memerintahkan algojo agar siap pada
malam hari besok."
Setelah tertegun sejenak, akhirnya Sip-lik melangkah
pergi sambil menggeleng.
Peng-say sudah bertekad akan menghadapi kematian
dengan ikhlas. Pikirnya: "Daripada ilmu silatku dipunahkan musuh dan sakit hati kematian ayah dan segenap anggota
perguruan tak terbalas, kan lebih baik mati saja bagiku!"
Baginya, tamak hidup di dunia ini sebagai pengecut
takkan dilakukannya, lebih baik mati berkalang tanah
daripada hidup ternista.
Seorang kalau sudah bertekad akan mati, hatinya akan
menjadi tenang malah.
Begitulah Peng-say terus berduduk tenang bersandar
dinding, ia tidak mau memikirkan apa2 lagi. Sang waktu
berlalu dengan cepat, sedetik, semenit. . . .terus berlalu, akhirnya fajar pun menyingsing. Biasanya, pada waktu
subuh, pada saat dekat fajar itulah tidur orang paling lelap.
Saat itu Peng-say masih tidur nyenyak, ketika tiba-tiba
dirasakan sesuatu, mendadak ia terjaga bangun. Ia
merasakan ada sesuatu perubahan yang luar biasa, suara
langkah penjaga di pintu penjara itu entah mengapa
mendadak tak terdengar lagi.
Selagi Peng-say merasa heran dan curiga, sekonyongkonyong seorang di dalam penjara menegur dengan suara
tertahan, "Siapa itu?"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Peng-say tahu, kecuali di sekeliling luar penjara itu
terdapat penjaga yang terus berputar tiada hentinya, di
dalam penjara terdapat pula sembilan orang penjaga. Hal
ini diketahuinya dari suara mendengkur mereka penjagapenjaga itu, dari suara mendengkur itu pula dapat
diketahuinya penjaga-penjaga itu bukanlah perajurit biasa melainkan jago silat pilihan. Mungkin penjagaan terhadap Peng-say memang sengaja diperketat.
Orang yang menegur dengan suara tertahan tadi
mungkin juga baru terjaga bangun seperti Peng-say dan
sama merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Terdengar orang itu membuka pintu penjara, lalu
suaranya bertanya pula, "Siapa itu?"
Agaknya delapan orang temannya yang sedang tidur
itupun terjaga bangun, semunya lantas berbangkit dan siap siaga. Seorang di antaranya bertanya, "Lau Pek, ada kejadian apa?"
"Kukira ada sesuatu yang tidak beses," jawab orang she Pek yang ditanya itu.
"Kau keparat yang suka ngacau," demikian omel seorang lagi, "fajar saja hampir menyingsing, masakah bisa terjadi "
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara
"ngek" tertahan, hampir pada saat yang sama berturut-turut terdengar suara "blak bluk" sembilan kali, lalu sunyi kembali seperti semula.
Diam-diam Peng-say terkejut akan kelihayan pendatang
ini, bila dirinya disuruh mengatasi sembilan jago pilihan
Mo-kau dalam waktu sekejap itu rasanya sulit dilakukannya. Pendatang ini menggeledah tubuh kesembilan jago Mokau yang sudah tak bisa berkutik itu, dari salah seorang itu dapat ditemukan serenceng anak kunci, lalu pendatang ini memeriksa setiap kamar tahanan, ketika sampai di depan
kamar tahanan Sau
Peng-say, dia berhenti, lalu memasukkan anak kunci pada gemboknya.
Melihat pendatang ini bermaksud menolong dirinya,
cepat Peng-say bertanya, "Siapakah Anda ini?"
Namun orang itu diam saja, rupanya anak kunci yang
satu tidak cocok, segera ia ganti anak kunci yang lain.
Peng-say coba mengamat-amatinya, dalam kegelapan
dilihatnya orang itu berpakaian hitam ringkas, sampai
kepalanya juga memakai kedok kain hitam. seluruh kepala
terkerudnng, hanya kelihatan kedua matanya saja. Kalau
dipandang sepintar lalu dandanannya mirip -mirip seorang algojo, cuma perawakannya langsing kecil, jelas bukan
lelaki. Setelah mencoba beberapa anak kunci, akhirnya pintu
kamar penjara itu dapat dibukanya.
"Apakah kau ini.... nona Tonghong?" tanya Peng-say dengan sangsi.
Orang itu tetap diam saja, ia mendekati Peng-say, ia
segera berjongkok dan bantu Peng-say membuka belenggu
kakinya, tapi belenggu ditangan tidak dibukanya., anak
kunci terus dimasukkan kedalam baju. Dia memutar tubuh
keluar kamar tahanan sambil memberi tanda agar Peng-say
mengikuti dia. Meski ragu-ragu, karena orang datang buat menolongnya, apapun juga maksudnya. yang penting kabur
keluar penjara dulu.
Segera Peng-say melompat keluar dan mengikuti
penolongnya itu. Mereka melalui sebuah lorong penjara,
didepan mereka adalah sebuah ruangan besar masih
didalam penjara itu. Di lantai ruangan tampak menggeletak disana sini beberapa sosok tubuh orang, semuanya
berjumlah sembilan orang, semuanya tertidur nyenyak.
Waktu Peng-say memandang lebih cermat, agaknya pada
Hiat-to tidur masing-masing itu terkena sebuah Am-gi atau senjata gelap yang sangat lembut, senjata halus demikian biasanya hanya dapat disambitkan dengan jentikan jari.
"It-ci-sian!" seru Peng-say dengan suara tertahan.
Pantas dalam sekejap saja kesembilan jago Ma-kau itu
dapat dirobohkannya, kiranya mereka terkena oleh senjata rahasia kecil yang diselentikkan dengan jari. Hal ini cukup sederhana untuk dijelaskan, kalau bukan ilmu tenaga jari sakti It-ci-sian di dunia ini tiada orang yang mampu
sekaligus menyambitkan sembilan biji senjata rahasia
lembut itu dan dapat mengenai Hiat-to sembilan lawan
dengan jitu. Mendengar suara Peng-say tadi, orang itu menoleh, biji
matanya yang hitam pekat itu menatap Peng-say dengan
sorot mata yang tajam.
"Di mana si bangsat tua Ciamtay Cu-ih?" tanya Peng-say dengan suara tertahan, rupanya sekarang dia sudah tahu
siapa penolongnya ini.
Namun orang itu hanya menggeleng saja tanpa
menjawab. "Maksudmu kau tidak tahu?" tanya Peng-say pula.
"Bukankah tempo hari telah kau bawa pergi dia?"
Orang itu menghela napas pelahan, ucapnya dengan
suara lirih, "Satu tangan dan satu kakinya sudah buntung, kukira sudah cukuplah untuk menebus dosa selama
hidupnya."
Untuk pertama kalinya orang ini membuka suara. Pengsay merasa suara orang sudah pernah dikenalnya, cuma
seketika tidak ingat dimana pernah mendengar suaranya.
Seingatnya, diantara orang yang pernah dikenalnya
dengan baik tiada seorang pun yang menjadi Nikoh.
Maka tanpa banyak pikir ia lantas berkata, "Cayhe tidak mau menerima budi pertolonganmu tanpa sebab dan
alasan."' Kesempatan ini cepat digunakan orang itu untuk berkata:
"Kumohon agar engkau suka mengampuni jiwa Hong-hoawancu!" "Hanya membuntungi satu kaki dan satu tangannya saja belum cukup untuk menggantikan nyawa Yak-leng dan
nona Liu, betapapun tak dapat kuterima permintaanmu,"
kata Peng-say. Habis berkata segera ia membalik tubuh dan hendak kembali ke kamar tahanannya tadi.
Dengan sekali melompat, secepat burung terbang orang
itu telah mengadang di depan Peng-say, serunya cepat dan kuatir: "He, hendak ke mana kau?"
"Karena Cayhe tak dapat menerima permintaan nona,
terpaksa kukembali ke kamar tahanan tadi dan menantikan
hukuman mati yang akan dijatuhkan Tonghong Put-pay
padaku," jawab Peng-say.
"Jika demikian, bila kau sudah mati, bukankah Honghoa-wancu tetap dapat hidup di dunia ini?" ujar orang itu.
"Daripada hidupku tidak dapat membunuh bangsat tua
itu, akan lebih baik kalau kumati saja." kata Peng-say tegas.
"Ah, ini hanya alasan yang dicari-cari saja, tampaknya kau teramat kepala batu," ujar orang itu.
Tapi Peng-say lantas membentak: "Menyingkir!"
Berbareng ia terus menyeruduk ke depan, maksudnya
hendak memaksa orang menyingkir agar dia dapat masuk
lagi ke dalam kamar tahanan tadi.
Cepat orang itu mengegos ke samping, tapi pada waktu
Peng-say berjalan lewat disisinya. secepat kilat ia tutuk Hiat-to tidur anak muda itu.
It-ci-sian adalah ilmu jari sakti termashur dari Ci-tiok-to di lautan timur, mana mampu Peng-say menghindarnya
dalam keadaan tak ber-jaga2 begitu"
Ketika Peng-say siuman kembali, hari ternyata sudah
lewat lohor, ia melihat dirinya berbaring di dalam sebuah rumah gubuk dengan tangan masih terbelenggu. Cepat ia
melompat bangun dan keluar rumah gubuk itu.
Gubuk ini ternyata di bangun di tempat ketinggian .di
bawah pepohonan yang rindang, dari atas memandang ke
bawah sana dengan jelas dapat melihat Pah-kio yang
membentang megah itu, dengan jelas juga dapat terlihat
sebuah gubuk lain di bawah pohon sebelah sana,
"Pantas dia tahu aku tertangkap Tonghong Put-pay,
kiranya dia senantiasa mengintai dari sini, setiap gerak-gerikku jelas terlihat olehnya," demikian pikirnya.
Rupanya agar lebih leluasa mengadakan pertemuan
dengan Tonghong Kui-le, selama di Si-an Peng-say tidak
menginap di hotel agar jejaknya tidak mudah kepergok
musuh. Untuk berteduh dia membangun sebuah rumah
gubuk di suatu tempat ketinggian. Rupanya gubuk yang
dapat dipandangnya dari sini adalah gubuk yang
dibangunnya itu.
Sama sekali tak disangkanya bahwa di suatu perbukitan
yang sama belum lama ini juga telah dibangun sebuah
gubuk lain yang digunakan untnk mengawasi tindaktanduknya. "Secara diam2 dia selalu melindungi diriku, apakah
tujuannya agar jiwa si bangsat tua Ciamtay Cu-ih itu dapat kuampuni" Untuk apakah dia berbuat demikian" Ada
hubungan apakah antara dia dan Hong-hoa-wancu Ciamtay
Cu-ih?" Demikian selagi Peng-say tidak habis berpikin mendadak
orang yang berbaju dan berkerudung hitam yang
menolongnya semalam muncul pula di belakangnya.
= = oo OdOwO oo = =
Kini dia sudah kembali berdandan sebagai Nikoh, hanya
mukanya masih pakai cadar kain hitam.
Dia melemparkan serenceng anak kunci kepada Peng-say
dan berkata. "Bukalah sendiri belenggumu."
Tapi Peng-say tidak menerima anak kunci itu, katanya,
"Kau sengaja menolong diriku, tapi tidak pernah kujanjikan akan melepaskan Hong-hoa-wancu."
Nadanya sekarang sudah agak sungkan, dia tidak
memaki Ciamtay Cu-ih sebagai bangsat tua lagi di hadapan orang.
"Ingat, bila sekarang kubunuh kau semudah kubaliki
tanganku sendiri," kata orang itu.
"Memangnya aku tak dapat hidup sampai saat ini, berkat pertolonganmu sehingga aku dapat menyambung hidup
sampai sekarang. Karena jiwaku adalah hadiah darimu.
akan kau bunuh atau tidak boleh terserah kehendakmu,
sedikitpun aku takkan melawan."
"Aku memang dapat membunuh kau, tapi tidak akan
kulakukan," kata orang itu,
"Terima kasih. Tapi kau pun jangan lupa, setelah kubuka belenggu tanganku, jika kau hendak membunuhku tentu
tidak gampang lagi."
"Seyogianya harus kubunuh kau, sedikitnya harus
kutabas satu kaki dan satu tanganmu."
"Jika kau hendak membalaskan sakit hati Hong-hoawancu, silakan saja lekas turun tangan."
Orang itu menjadi ragu-ragu dan berpikir sejenak,
akhirnya ia menggeleng.
Peng-say menjemput anak kunci tadi, katanya,
"Hendaknya dipikir lagi masak-masak, sebelum kubuka belengguku, hendak kau apakah diriku pasti aku tidak akan melawan."
"Dan setelah belenggu kau buka?"
"Biarpun bukan tandinganmu juga akan kulawan
sepenuh tenaga. Cuma. setengah tahun kemudian bila aku
masih hidup dan kau juga tetap ingin menuntut balas bagi Hong-hoa-wancu, takkala mana aku tidak akan melawan
lagi dan boleh kau bunuh diriku sesukamu sebagai balas
budiku atas pertolonganmu sekarang ini."
"Mengapa kau takkan melawan setelah lewat setengah
tahun lagi?"
"Dalam waktu setengah tahun ini aku akan mencari Makau-kaucu untuk duel, bila beruntung aku masih hidup,
sedikitnya sakit hati ayahku juga sudah terbalas, maka mati pun aku tidak menyesal lagi."
"Kau dendam kepada Tonghong Put-pay karena dia
membunuh ayahmu?"
"Betul. Maka bila sekarang kau tidak membunuh diriku berarti lebih berharga daripada kau telah menyelamatkan
jiwaku." "Selamanya tiada maksudku hendak membunuhmu,
sekalipun Hong-hoa-wancu adalah ayahku sedarah!" kata orang itu.
"Hah! Kau"!. . . ." seru Peng-say kaget.
"Aku. Sau Kim-leng, tentunya sudah kau ketahui Honghoa-wancu adalah ayah sedarahku" jawab orang itu sambil menanggalkan kain kerudungnya.
Memang betul, dia inilah Sau Kim-leng yang sudah
berpisah selama tiga tahun itu.
"He, dan. . . .dan ilmu silatmu ini". . . ." seru Peng-say dengan tergegap.
Sungguh sukar untuk dipercaya bahwa hanya berpisah
tiga tahun, Sau Kim-leng yang dulu lemah tak bertenaga,
ibaratnya memotong ayam saja tidak kuat, tapi sekarang
menguasai ilmu silat setinggi ini.
"Ilmu silatku adalah ajaran Keng-goat Sin-ni di Ci-tiok-to yang terletak di lautan timur sana," tutur Kim-leng.
"Ya, ilmu jarimu memang betul ilmu sakti It ci-sian yang terkenal dari Sin-ni, tapi ....tapi kau diketahui 'Lak-im-coatmeh' (buntu pada urat nadi bagian anggota badan), kenapa
....kenapa berhasil mempelajari ilmu silat" . . . . "
"Hong-hoa-wancu sendiri kan juga Lak-im-coat-meh?"
ujar Kim-leng. "Walaupun begitu juga cuma ilmu silat aliran Hong-hoa-wan saja yang dapat dipelajari oleh orang yang Lak-imcoat-meh, sedangkan ilmu silatmu bukan dari aliran Honghoa-wan, mana bisa jadi?"
"Di dunia persilatan umumnya hanya diketahui ilmu
silat aliran Hong-hoa-wan lain daripada yang lain, tidak ada yang tahu bahwa ilmu silat Ci-tiok-to juga berbeda dengan ilmu silat umumnya," tutur Kim-leng.
"O, apakah maksudmu ilmu silat yang kau pelajari dari Keng-goat Sin-ni itu ada hubungannya dengan ilmu silat
Hong-hoa-wan?" tanya Peng-say.
"Betul," tutur Kim-leng. "Sebelum menjadi Nikoh, asalnya Keng-goat Sin-ni she Ciamtay, jadi satu marga
dengan Hong-hoa-wancu. Menurut cerita ibuku, Hong-hoawancu angkatan pertama dapat menjagoi dunia persilatan
adalah karena dia berhasil mencuri belajar sebagian kungfu andalan Ci-tiok-to. Dan ibu kandung Keng-goat Sin-ni
adalah isteri Hong-hoa-wancu yang pertama itu. Setelah
ditinggal minggat sang suami, ibu Keng-goat Sin-ni lantas mencukur rambut dna menjadi Nikoh."
"O, jika begitu, jadi Ciamtay Cu-ih terhitung apanya Keng-goat Sin-ni". . . ."
"Ciamtay Cu-ih adalah Hong-hoa-wancu angkatan
ketiga, terhitung keponakan Keng-goat Sin-ni."
"Apakah Hong-hoa-wancu yang pertama itu juga Lakim-coat-meh?" tanya Peng-say.
"Ya, justru karena dia juga Lak-im-coat-meh, maka
biarpun cuma sebagian kecil saja ilmu silat Ci-tiok-to yang dicurinya, namun sudah cukup untuk menjagoi dunia
persilatan," tutur Kim-leng.
"Lalu bagaimana selanjutnya dengan Ci-tiok-to?" tanya Peng-say pula.
"Ci-tiok-to telah mengisolasi diri dan putus hubungan dengan dunia luar," tutur Kim-leng. "Leluhur kami adalah pendekar di akhir dinasti Song, ketika bangsa Mongol
menjajah Tionggoan, leluhur kami lantas kabur ke lautan
timur sana, anak muridnya juga jarang menginjak
Tionggoan lagi. Leluhur kami itu juga Lak-im-coat-meh
sehingga keturunannya rata-rata juga begitu. Hong-hoawancu yang pertama asalnya adalah seorang nelayan,
karena topan dia terdampar ke Ci-tiok-to dan diselamatkan oleh Tocu, lantaran nelayan itu pun Lak-im-coat-meh, Tocu menyukainya dan menjodohkan anak perempuan satu-satunya kepadanya. Setelah Tocu wafat, nelayan itu
meninggalkan isterinya dan mendirikan Hong-hoa-wan."
"Konon orang yang Lak-im-coat-meh tidak cocok untuk belajar silat, tapi kalau ketemu guru yang cocok,
kemajuannva akau sangat pesat," tanya Peng say.
"Ya, mungkin betul," kata Kim-leng.
"Hal ini terbukti pada dirimu, hanya dalam waktu
singkat selama tiga tahun saja, kemajuanmu sungguh sukar membuat orang percaya," ujar Peng say sambil menggeleng.
Mendadak Sau Kim-leng berlutut dan menyembah
kepada Peng-say, katanya, "Kumohon engkau suka
mengampuni jiwa ajahku."
"He, cepat bangun," seru Peng-say dengan agak gugup.
Tapi Sau Kim-leng tetap memohon dengan sangat,
katanya, "Meski dosanva tak dapat ditakar, tapi hendaklah kau pandang diriku, jelek-jelek dia adalah ayah-sedarahku, sudilah kau ampuni jiwanya."
Peng-say tidak leluasa untuk membangunkan Kim-leng,
terpaksa ia menghela napas, dan berkata, "Sudahlah! Di dunia ini siapa yang tidak sayang kepada ayah-bundanya
sendiri" Malahan aku harus berterima kasih padamu karena kau tidak dendam atas diriku yang telah membuntungi kaki dan tangan ayahmu."
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kim-leng berdiri, katanya. "Sesunggunnya kematian
Piaumoaymu adalah gara-garaku."
"Mengapa kau berkata demikian?" tanya Peng-say.
"Coba kalau Liok-ma tidak memalsukan Piaumoaymu
sebagai diriku, mana dia bisa jatuh di tangan Ciamtay Boh-ko dan akhirnya terbunuh oleh ayahku" Jadi semuanya itu
berawal dari diriku bukan?"
"Apa yang dilakukan Liok-ma itu kan bukan atas
perintahmu. Liok-ma hanya tahu setia padamu, bukan
salahmu." "Tapi jelas kutahu Liok-ma telah mengancam Piaumoaymu dengan keselamatanmu, terpaksa dia ikut
pergi bersama Ciamtay Boh-ko, malahan aku sengaja
mencemarkan nama baik Piaumoaymu dengan menuduh
dia berjiwa kotor segala....." Kim leng meraba pipinya sendiri dan menyambung pula, "Lantaran ocehanku itu sehingga kau telah menggampar mukaku."
"Maaf, waktu itu khilap sehingga sembarangan memukul kau," kata Peng-say dengan menyesal.
"Tapi tamparanmu itu sukar kulupakan," kata Kim-leng.
"Demi membalas dendam tamparan itu, aku sengaja
mengembara ke lautan timur sana dan mohon Keng-goat
Sin-ni mengajarkan ilmu sakti padaku."
Bicara sampai di sini, ia merandek seperti hendak
berbuat sesuatu.
Peng-say kuatir orang akan terus menamparnya, padahal
tangan sendiri masih terbelenggu dan pasti sukar
menangkis, maka cepat ia menyurut mundur dua langkah.
Tapi Kim-leng lantas berkata, "Kau tidak perlu kuatir, aku takkan membalas tamparanmu itu."
Kalau sampai ditampar orang perempuan, sungguh
Suatu penghinaan besar yang sukar dicuci, maka legalah
hati Peng-say demi mendengar orang takkan menuntut
balas padanya. Kim-leng berkata pula, "Setiba di Ci-tiok-to, Keng-goat Sin-ni mengharuskan aku menjadi ahli warisnya, kalau
tidak beliau takkan mengajarkan ilmu sakti padaku.
Sebenarnya aku merasa berat meninggalkan dunia ramai
ini, tapi setelah dibujuk dan dibina, aku menyadari bahwa segala sesuatu di dunia ini akhirnya adalah kosong belaka.
Maka dengan rela kucukur rambut dan menjadi Nikoh.
Sebab itulah dapat kupelajari ilmu sakti Sin-ni, selama tiga tahun ini tidak sia-sia jerih payahku, dulu aku diutus Sin-ni ke Tionggoan sini untuk menebus dosa dimasa lalu. Selama hidupku, satu-satunya dosaku adalah membikin celaka
Piaumoaymu, sebelum urusan ini kuselesaikan dengan baik.
tidak nanti kupulang ke Ci-tiok-to lagi."
"Kesalahan yang tidak sengaja bukanlah sesuatu dosa yang tak dapat diampuni, jangan kau pikirkan didalam
hati," ujar Peng-say.
"Sebenarnya ingin kutemui Cin Yak-leng untuk minta
maaf padanya, setelah dia memaafkan diriku barulah aku
akan pulang ke Ci-tiok-to, tak tersangka dia tidak
kuketemukan, malah kau yang kulihat lebih dulu. Kupikir
bila aku mengikuti jejakmu, akhirnya pasti dapat bertemu dengan nona Cin. Siapa tahu dia sudah meninggal, bahkan
mati di tangan ayahku. Apa yang dialami Liu Ji-si tempo
hari juga kusaksikan sendiri, kusembunyi diatap rumah dan melihat dan mendengar semua perbuatan ayahku itu.
Sungguh tak tersangka ayahku adalah orang yang
sedemikian kotor dan jahat, bahwa kau hendak membunuh
dia untuk membalaskan sakit hati Piaumoaymu dan nona
Liu, tindakanmu ini dapat dimengerti, tidak seharusnya
kutolong pergi ayahku yang berdosa itu."
Peng-say terdiam dan tidak menanggapi.
"Kau terima permintaanku agar mengampun jiwanya,
tentunya sangat bertentangan dengan pikiranmu bukan?"
tanya Kim-leng.
"Sudahlah, urusan yang sudah lalu tidak perlu
dibicarakan lagi," kata Peng-say.
"Aku masih ingat apa yang kau bicarakan tempo hari, karena kutolong orang yang hendak kau bunuh, kau
mengancam pada suatu hari pasti akan memotong jariku,
begitu bukan?"
"Ucapanku pada waktu gusar, hendaklah jangan
kauanggap sungguh-sungguh." kata Peng-say.
Tapi Sau Kim-leng terus menjulurkan jari telunjuk
kanannya dan berkata, "Tempo hari kugunakan jari ini untuk menyelentik patah pedangmu, dengan begitu
dapatlah kuselamatkan ayahku. Jika karena terpaksa kau
terima permintaanku agar mengampuni jiwa ayahku,
biarlah kutabas sendiri jariku ini."
Peng-say mengira orang hanya bicara sekadarnya, siapa
tahu dia benar-benar memegang jari telunjuknya sendiri
terus dipuntir, "krek", jari itu telah ditariknya hingga putus tulang berikut kulitnya darah pun lantas bercucuran.
Keruan Peng-say terkejut, tangannya masih terbelenggu,
ingin mencegah pun tidak keburu lagi, serunya, "He, untuk apakah kau bertindak demikian"!"
Kim-leng tersenyum, ia pun tidak membungkus jarinya
yang putus itu. katanya, "Piaumoaymu terbunuh oleh
ayahku, tapi kumohon agar kau jangan menuntut balas
kepada ayahku, terpaksa kugunakan jariku ini sebagai tanda terima kasihku kepada arwah Piaumoaymu, kelak aku
masih akan berziarah lagi kemakamnya untuk memberitahukan segala apa yang terjadi dan memohon
akan pengertiannya, dengan begitu dapatlah aku bertirakat di Ci-tiok-to dengan hati tenteram."
Habis berkata, dengan kedua tangan terangkap di depan
dada ia memberi hormat kepada Peng-say, katanya,
"Hendaklah Sicu menjaga diri baik-baik." Lalu pergilah dia tanpa menoleh lagi.
Peng-say termangu-mangu memandangi potongan jari
yang berlumuran darah di atas tanah itu, Tepat sang surya sudah terbenam di ufuk barat sana barulah ia menghela
napas dan meninggalkan tempat itu.
"0O0--dw--0O0"
Dua bulan kemudian, pada setiap jalan raya penting di
setiap kota besar tertampak papan pengumuman yang
berbunyi sebagai berikut:
Duel Maut Antara: Sau Peng-say, jago Lam-han dengan
Siang-liu-kiam-hoatnya
Melawan: Tonghong Put-pay, Ma-kau-kaucu
Tempat : Lok-jit-keh, pegunungan Tiongtiau
Waktu : Tanggal 1 bulan 12 jam 8 pagi
Tidak ada yang tahu siapakah yang memasang papan
pangumuman itu, tapi lantaran tertarik oleh nama "Lam-han",
"Siang-liu-kiam-hoat",
"Ma-kau-kaucu"
dan sebagainya, maka dunia Kangouw menjadi gempar.
Soalnya sudah lama orang Kangouw mengetahui
anggota Lam-han sudah terbunuh habis oleh Ting Tiong
dan Liok Pek, masa sekarang bisa muncul lagi orang Lamhan" Masakah
Sau Ceng-hong masih mempunyai
keturunan yang hidup di dunia ini"
Mereka tidak tanya siapakah gerangan Sau Peng-say itu"
Yang mereka herankan adalah Lam-han yang sudah
terbasmi habis tiga tahun yang lalu mengapa sekarang bisa muncul kembali keturunannya"
Siang-liu-kiam-hoat" Apakah benar di dunia ada Siangliu-kiam-hoat"
Padahal semboyan "Siang-liu-kiam-hoat nomor itu di
dunia" sudah tersiar semenjak 30 tahun yang lalu di dunia persilatan, tapi belum pernah ada orang memainkan ilmu
pedang sakti itu, juga tidak pernah ada ahli pedang yang membuktikan kebenaran berita itu.
Sebab itulah di dunia Kangouw umumnya lantas timbul
kesangsian akan kebenaran Siang-liu-kiam-hoat nomor satu di dunia itu, mereka menganggapnya cuma isyu belaka,
hanya desas-desus saja.
Tapi sekarang ada orang secara terang-terangan
menyatakan akan menggunakan Siang-liu-kiam-hoat untuk
menantang Tonghong Put-pay dari Ma-kau, tentu saja hal
ini seketika menggegerkan dunia Kangouw.
Mengenai Ma-kau-kaucu Tonghong Put-pay, terjadilah
percakapan ramai orang ditepi jalan. Seorang bertanya
kepada kawannya yang she Thio.
"He, Thio tua, menurut pendapatmu, pada tanggal 1
bulan 12 nanti, Tonghong Put-pay berani menerima
tantangan Sau Peng-say atau tidak?"
"Pasti tidak berani!" jawab si orang she Thio.
"Tentang Siang-liu-kiam-hoat uomor satu didunia, siapa orangnya yang tidak tahu, kalau sekarang pihak lawan
berani menantangnya dengan ilmu pedang sakti itu, maka
dapat kuduga, jangankan menerima tantangan itu, mungkin
saat ini Tonghong Put-pay sudah ketakutan setengah mati
dan mengkeret di dalam sarangnya seperti kura-kura.
Malahan ia takut kalau si penantang yang ahli Siang-liukiam-hoat itu akan mencari kerumahnya."
Nyata. orang she Thio itu seorang yang anti Ma-kau,
bisa jadi ada sanak keluarganya yang pernah menjadi
korban keganasan Ma-kau.
Akan tetapi kawannya agaknya seorang simpatisan Makau, kontan dia mendebat, "Ah, jangan kau menghina
orang. Siapa bilang Mo-kau kaucu tidak berani menerima
tantangan orang she Sau itu" Setiap orang Kangouw sudah
sama-sama mengakui Ma-kau-kaucu adalah tokoh yang tak
terkalahkan sesuai namanya yang Put-pay itu, masa beliau takut kepada seorang anak kemarin sore dari Lam-han"
Kukira bukannya Ma-kau-kaucu tidak berani terima
tantangannya, yang benar ialah beliau tidak sudi bertempur melawan seorang anak muda begitu."
"Apa dasarnya kau berani bilang gembong iblis itu tidak sudi bertampur?"
"Habis, coba kau pikir. Beliau adalah seorang pemimpin besar suatu agama ternama, namanya disegani dan
dihormati baik didalam maupun diluar negeri, mana dia
sudi menggubris tantangan orang yang tak terkenal begitu.
Kukira orang she Sau itu hanya ingin mencari nama saja,
padahal cukup Mo-kau-kaucu mengirim salah seorang anak
buahnya dan tentu orang itu akan dihajar hingga terbirit-birit."
"O, jadi pendapatmu, sampai waktunya nanti gembong
Ma-kau itu pasti tidak akan hadir ditempat?"
"Ya, paling banter beliau mengirim seorang pangcu saja untuk mewakili dia, ini pun mengingat penantangnya yang
tidak tahu diri itu telah menonjolkan Siang-liu-kiam-hoat segala, agar orang tidak menyangka Kaucu takut kepada
Kiam-hoat yang cuma bernama kosong itu, kalau tidak
mana mau menggubris tantangan kaum keroco yang tidak
ada artinya itu. Biarkan saja orang mendirikan papan
pengumuman segala, untung kalau mereka tak kepergok
anggota Mo-kau, bisa jadi akan dihajar hingga babak belur dan tunggang langgang."
Sekali pun begitu, sebulan kemudian, papan pengumuman yang dipasang telah bertambah banyak.
Bedanya, papan pengumuman yang didirikan belakang
ini semuanya dibubuhi tanda tangan "Tionggoan-samyu", tiga serangkai tokoh terkemuka Tionggoan.
Jelasnya, papan pengumuman yang didirikan belakangan
itu didukung oleh Tionggoan-samyu.
Dengan demikian penilaian orang terhadap Sau Peng-say
lantas berlainan. Banyak yang percaya orang yang mengaku ahliwaris
Lam-han ini pasti berbobot dan
mahir menggunakan Siang-liu-kiam-hoat, sebab
itulah dia mendapat dukungan dan kepercayaan dari Tionggoansamyu. Maka percakapan orang di tepi jalan juga mengalami
perubahan, betapapun anak buah Ma-kau atau simpatisannya membela Tonghong Put-pay. orang lain
cukup bilang: "Pokoknya bila tiba waktunya nanti
Tonghong Put-pay tidak hadir, maka berarti dia takut dan tunduk kepada Siang-liu-kiam-hoat yang nomor satu di
dunia itu!"
Sudah tentu tidak kepalang rasa gusar Tong hong Putpay ketika mendengar desas-desus itu, hampir saja dia
tumpah darah saking gemasnya. Tadinya dia memang
merasa tidak ada harganya meladeni tantangan itu, tapi
sekarang mau-tak-mau dia harus menerima tantangan itu.
"0O0-dw-0O0"
Kira-kira baru pertengahan bulan sebelas, yaitu setengah bulan sebelum tibanya hari yang ditentukan. kota-kota di sekitar pegunungan Tiongtiau serentak bertambah ramai
daripada biasanya. Semua rumah penginapan penuh terisi
tamu, yaitu orang persilatan yang datang dari seluruh
negeri. Diantara mereka ada yang ingin menyaksikan Siang-liukiam-hoat yang konon nomor satu didunia itu, ada yang
ingin tahu betapa lihaynya Ma-kau-kaucu yang katanya
ilmu silatnya tak terkalahkan itu. Semuanya ingin tahu
sesungguhnya siapa yang lebih lihay"
Yang-sia dan Sim-cui adalah dua kota yang berdekatan
dengan Lok-jit-keh atau tebing matahari terbenam yang
terletak di lereng pegunungan Tiongtiau itu.
Sudah semenjak sebulan sebelumnya, semua hotel yng
berada di Yangsia telah diborong oleh Tionggoan-samyu.
Sedangkan pihak Ma-kau memborong semua rumah
penginapan di Sim-cui.
Tiga hari sebelum tanggal satu bulan 12, Tionggoansamyu sudah berada di Yangsia. Pada saat yang sama
Tonghong Put-pay juga sudah berada di Sim-cui.
Esoknya, kedua pihak. lantas saling mengirim utusan
untuk mengadakan perundingan dan menanda-tangani
perjanjian rahasia. Perjanjian itu menyatakan Tionggoansamyu menjagoi Sau Peng-say, pertarungan San Peng-say
sama dengan pertarungan Tionggoan-samyu melawan
Tonghong put-pay.
Pertarungan akan berlangsung satu lawan satu, kedua
pihak tidak boleh menggunakan pembantu, bila Sau Pengsay kalah, Tionggoan-samyu berjanji akan mengundurkan
diri dari dunia ramai dan takkan ikut campur urusan
Kangouw apa pun. Sebaliknya kalau Tonghong Put-pay
kalah, segenap anggota Ma-kau akan ditarik keluar
perbatasan dan tidak boleh masuk lagi ke Tionggoan.
Perjanjian ini sangat menyenangkan Tonghong Put-pay,
ia anggap dengan adanya perjanjian ini barulah pertarungan itu tidak sia-sia.
Atas permintaan Tionggoan-samyu agar kedua pihak
tidak memakai pembantu, sejak mulai hingga akhir hanya
Sau Peng-say dan Tonghong Put-pay berarung satu
melawan satu, bilamana salah satu pihak tidak mematuhi
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kontrak ini, maka surat perjanjian itu akan diumumkan dan para ksatria dunia serentak akan mengerubutnya.
Sudah tentu Tonghong Put-pay menerima dengan baik
usul itu karena dia yakin pihaknya pasti akan menang.
Perjanjian rahasia itu hanya diketahui oleh tokoh-tokoh
penting kedua pihak, tapi tidak disiarkan pada umum, baik
Tionggoan sam-yu yang mengundurkan diri dari dunia
ramai atau Mo-kau akan keluar perbatasan, begitu
pertandingan berakhir segera akan dilaksanakan secara
rahasia. Hal ini dilakukan untuk mencegah segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, misalnya gangguan
dari pengikut kedua pihak yang fanatik.
Pada hari ketiga, malam sebelum tanggal satu terakhir
itu, selagi Tonghong-samyu berkumpul di suatu kamar
hotel dan asyik membicarakan pertandingan esoknya, tibatiba masuk seorang murid dan memberi lapor bahwa
Tonghong Kui-le ingin bertemu dengan Sam-lo.
"Silakan dia masuk," kata Bok Jong-siong tanpa curiga.
Sejenak kemudian tertampaklah Tonghong Kui-le
muncul dengan membawa sebuah kantong sulam berbentuk
panjang. "Ada urusan apa nona datang kemari" Ingin menemui
Sam-yu kami?" tanya Bok Jong-siong.
"Dimanakah Sau-kongcu?" Tonghong Kui-le balas
bertanya. Bok Jong-siong menggeleng, jawabnya, "Entah, kami
tidak tahu."
Sudah tentu Tonghong Kui-le tidak percaya, ia
memohon pula, "Tolong pertemukan diriku dengan dia, hanya sebentar saja, aku cuma ingin bicara beberapa patah-kata dan pasti tidak akan mengganggu terlalu lama."
Namun Bok Jong-siong menjawab dengan ketus, "Nona
silakan pulang saja."
"Mengapa aku tidak boleh menemuinya untuk penghabisan kalinya" Memangnya kau takut akan kubujuk
dia agar mengundurkan diri dari pertandingan besok?" kata Tonghong Kui-le.
"Hm, biarpun kecantikanmu bak bidadari, mana dapat
kau pikat dia dan menyuruhnya membatalkan balas
dendamnya atas kematian ayahnya serta menggagalkan
pertarungannya yang menyangkut sakit hati terbunuhnya
segenap anggota perguruannya?" demikian Bok Jong-siong menjengek.
Ting-sian Suthay ikut bertanya, "Apa yang hendak kau katakan padanya dalam pertemuan penghabisan kali ini?"
Tonghong Kui-le menghela napas, ucapnya dengan
hampa, "Bilamana dia kalah, hidup atau mati akan berpisah ditempat yang jauh. Kalau dia menang, kami sama-sama
menanggung dendam terbunuhnya ayah, permusuhan
antara kami akan tambah semakin mendalam. Jadi menang
atau kalah, hidupku ini jelas tidak mungkin bersahabat lagi dengan dia. Jadi tinggal malam ini saja kami masih dapat bersahabat, besok keadaan sudah akan berubah sama sekali, bukankah pertemuan ini adalah pertemuan yang terakhir?"
"Tapi hendaklah kau maklum bahwa sampai saat ini
kami benar-benar tidak tahu di mana beradanya Sau-sicu,
jadi bukan kami yang sengaja merintangi pertemuanmu
dengan dia." kata Ting-sian Suthay.
Tonghong Kui-le melenggong, ucapnya, "Habis bagaimana dengan pertarungan besok?"
"Beberapa bulan yang lalu kami menerima surat khusus dari Sau-sicu yang memberitahukan bahwa dia sudah
berhasil menyelidiki dengan jelas, katanya Tonghong Putpay memang betul musuh yang membunuh ayahnya,"
demikian tutur Ting-sian Suthay. "Tapi dia tidak ingin orang lain ikut tersangkut dalam pertarungan maut ini,
maka dia mendirikan papan tantangan sendiri. Meski dia
menonjolkan Siang-liu-kiam-hoat untuk menarik perhatian
khalayak ramai agar ayahmu mau-tak-mau harus menerima
tantangannya, tapi kami tetap kuatir papan pengumumannya itu kurang efektif, maka kami juga
mendirikan papan pengumuman baginya. Namun sampai
saat ini kami belum lagi bertemu dengan dia. Cuma kami
yakin, tepat pada waktunya besok pagi dia pasti akan
berada di Lok-jit-keh."
"Bilamana dia tidak hadir" Lalu bagaimana?" tanya Tonghong Kui-le.
"Kalau tidak hadir berarti melepaskan haknya dan
dianggap kalah," sela Thian-bun Totiang.
"Lalu perjanjian rahasia kedua pihak yang sudah
disetujui itu tetap dilaksnnakan atau tidak?" tanya Tonghong Kui-le.
"Sudah tentu dilaksanakan!" jawab Bok Jong-siong tegas.
Tonghong Kui-le menggeleng, ia merasa tidak mengerti,
katanya, "Urusan sepenting ini, mana boleh diputuskan begitu saja tanpa keyakinan."
"Apa yang dimaksudkan nona?" tanya Bok Jong-siong.
"Maksudku. mungkin besok pagi dia takkan hadir." kata si nona.
"Apakah benar kau sahabatnya?" Bok Jong-siong
menegas "Berkat perantaraan kecapi dan seruling, meski kami cuma bersahabat selama beberapa hari, namun sudah mirip
sahabat karib berpuluh tahun lamanya," kata Tonghong Kui-le.
"Jika demikian, jadi kau anggap sahabatmu ini seseorang yang tidak dapat dipegang janjinya?" jengek Bok Jong-siong.
Tonghong Kui-le menjadi bungkam dan tak dapat
menjawab. Sejenak kemudian barulah ia berkata, "Apakah kalian yakin besok dia pasti akan menang?"
"Ilmu silat ayahmu lain daripada yang lain. betapapun kami tidak berani memastikan jago kami akan menang,"
ujar Bok Jong-siong.
"Lalu. kenapa kalian mengadakan perjanjian rahasia
dengan ayahku?" tanya Tonghong Kui-le.
"Tanpa perjanjian yang mengikat, mungkinkah Tonghong Put-pay memberi kesempatan kepadanya untuk
bertempur secara adil?" sela Thian-bun Totiang. "Hm, kedatanganmu ini kukira ada tipu muslihat tertentu."
Tonghong Kui-le menghela napas pelahan, katanya,
"Bicara terus terang, ayahku menyuruhku kemari untuk membujuknya agar dia melepaskan hak pertandingan
besok." "Hehe, untung dia tidak berada disini!" Thian-bun Totiang tertawa dingin.
"Andaikan berada disini juga takkan kubujuk dia," ujar Tonghong Kui-le, "apalagi biarpun kubujuk juga tiada gunanya. Memang tepat seperti apa yang dikatakan Bok-lo
tadi, mana dia mau membatalkan pertarungan yang
menentukan itu demi menuntut balas kematian ayahnya
serta terbunuhnya segenap anggota perguruannya?"
Bicara sampai disini, ia memberi hormat dengan lembut,
lalu menambahkan, "Sam-lo sudi bicara secara blak-blakan, sungguh aku sangat kagum. Sekarang juga kumohon diri
saja." Belum jauh meninggalkan tempat kediaman Sam-lo itu,
tiba-tiba Tonghong Kui-le mendengar seseorang menegurnya dari belakang, "Apakah nona mencari diriku?"
Dari suaranya segera Tonghong Kui-le tahu siapa
gerangannya, dengan girang ia berseru. "Sau-heng!"
Memang betul, orang yang menegurnva ini ialah Sau
Peng-say. Kedua orang terus menuju ke luar kota, sepanjang jalan
tidak ada yang bersuara.
Setiba di tempat yang sepi, sejauh mata memandang di
sekeliling tidak ada orang lain lagi. Tonghong Kui-le lantas berduduk di atas tanah rumput, dibukanya bungkusan
panjang itu dan dikeluarkannya sebuah kecapi tujuh senar.
Peng-say juga tidak bicara apa pun, ia mengeluarkan
serulingnya dan duduk berhadapan dengan si nona.
Sejenak kemudian, terdengarlah suara paduan suara
antara seruling dan kecapi, suaranya merdu meresap.
Habis membawakan satu lagu, malam pun sudah larut.
Mendadak sebelah tangan Tonghong Kui-le menghantam
sehingga kecapinya pecah berantakan.
Peng-say menghela napas menyesal, ucapnya; "Sejak kini Siau-go-yan-he takkan bergema lagi!"
"Semoga Anda menjaga diri baik-baik," ucap Tonghong Kui-le, habis itu ia berbangkit dan melangkah pergi.
Sampai sekian lama Peng-say termangu-mangu,
gumamnya kemudian, "Selamanya takkan bertemu lagi,
untuk apa pula serulingku ini?"
Selagi seruling itu hendak ditekuknya patah, tiba-tiba
teringat seruling itu adalah barang tinggalan Cin Yak-leng, sekian lama ia mengusap seruling itu, lalu disimpannya
kembali dengan hati2. Seruling ini selanjutnya cuma benda kenang2an belaka dan takkan digunakannya untuk
membawakan lagu "Siau-go-yan-he" lagi.
-0O0-dw-0O0- Fajar sudah menyingsing, suatu pagi yang cerah, Di Lokjit-keh di gunung Tiongtiau sudab ramai berjubel-jubel
berpuluh ribu manusia.
Apa yang disebut Lok-jit-keh itu sebenarnya adalah
sebuah tanah datar dilereng gunung, tingginya ratusan
tombak, sangat luas dan cukup dibuat medan tempur
berpuluh pasang jago silat.
Waktu itu di kanan-kiri tepi tanah datar itu berdiri
seorang lelaki kekar dengan pakaian yang ringkas
sebagaimana dandanan jago silat umumnya, keduanya
adalah petugas yang dipilih pihak Sam-yu dan Mo-kau
untuk berjaga di situ,kecuali kedua orang yang akan duel, orang lain dilarang naik ke atas.
Beberapa saat sebelum tiba waktu yang ditentukan,
tertampaklah Tonghong Put-pay naik panggung lebih dulu.
Selama hidup, baru pertama kali inilah gembong Mo-kau
itu memperlihatkan wajah aslinya didepan umum. Orang
persilatan rata-rata tidak kenal dia, setelah bertanya dan diketahui orang inilah Mo-kau-kaucu, maka ramailah orang membicarakan kisah hidupnya.
Di sebelah timur dan barat di bawah panggung itu
dibangun bangsal dengan atap rumput alang2. di bangsal
timur berkumpul Tionggoan-samyu dan pengikutnya, di
sebelah barat penuh anak buah Ma-kau.
Suasana kedua bangsal sunyi senyap, kalau ada suara
ribut, semua itu datang dari para penonton yang
berkerumun di depan panggung.
Beberapa detik lagi akan tiba waktu yang ditentukan itu, tapi Sau Peng-say masih belum nampak muncul. Sam-yu
tidak gelisah, justeru orang luar yang tidak bersangkutan yang tidak sabar malah,
"Mengapa belum lagi datang" Sudah hampir tiba saat
yang ditentukan!" demikian orang ramai membicarakannya.
Maka anak buah Mo-kau dan simpatisannya sama
menyindir, "Tentunya karena tahu bukan tandingan Kaucu, maka pada saat terakhir dia telah mengkeret!"
Sebagian penonton merasa penasaran bilamana pertarungan itu tidak jadi berlangsung, segera ada yang
berteriak, "Wah, kalau ada yang tidak hadir, kan batal bertanding, padahal kita sengaja datang dari tempat jauh."
"Apa mau dikatakan lagi?" ujar yang lain. "Kalau salah satu
pihak terima menyerah, siapa yang dapat mengalanginya" Jika kau suka ramai2 dan tidak takut mati, silakan kau sendiri yang naik ke atas untuk bertanding."
"Aku tidak ada sangkut-paut apa pun dengan orang she Sau itu, untuk apa kuantar kematian baginya" Yang jelas
kita tidak boleh datang kesini dengan sia-sia. Kan
Tionggoau-samyu ikut mendukung orang she Sau itu,
biarlah salah seorang tua bangka itu yang mewakilkan
orang she Sau itu untuk bertanding."
"Jangan kuatir. sebentar pasti ada tontonan menarik, antara anak buah Mo-kau pasti akan terjadi pertempuran
sengit dengan pengikut Sam-yu, senjata tidak kenal orang, jangan-jangan kita akan ikut kena getahnya dan mungkin
jiwa ikut melayang."
"Hah, lucu, kalau tidak percaya kepada kemampuannya sendiri, masa kita berani datang menonton" Bahwa antara
pihak Sam-yu dan Mo-kau pasti akan terjadi pertempuran
sengit memang sudah kita duga, biarlah kita saksikan cakar-cakaran diantara mereka."
Bicara tentang persengketaan antara Tionggoan-samyu
dan Ma-kau, segera ada orang bertanya, "He, sobat, kau pro pihak mana?"
"Tionggoan-samyu. Dan kau?"
"Mo-kau!"
Begitulah orang yang mengaku pro Tionggoan-samyu
lantas berkumpul menjadi satu, sedangkan simpatisan Makau juga bergerombol ditempat lain, diam-diam kedua
pihak juga bersiap siaga. Hanya sebagian kecil saja yang benar-benar penonton murni, mereka juga bergerombol
disuatu tempat, bilamana gelagat tidak enak segera mereka akan menyingkir ketempat yang aman agar tidak ikut
keciprat malapetaka.
Jam 8 pagi tepat, semua orang merasa kecewa karena
belum nampak munculnya Sau Peng-say, terdengar
gerundelan di sana-sini: "Jelas tidak datang, pasti tidak bakal datang lagi!"
Ditengah suara ramai itulah tiba-tiba seorang pemuda
melompat keatas panggung sambil berteriak, "Ini dia Sau Peng-say!"
Serentak sebagian besar penonton dibawah panggung
sama berseru, "He, masih muda belia!"
Mereka terkejut pada usia Peng-say yang masih muda,
tapi tiada yang berani meremehkan kemampuannya.
Mereka berpikir: "Waktu memperkenalkan namanya tadi suaranya menggelegar memekak telinga, jelas Lwekangnya
sangat kuat dan tidak dapat diukur dari usianya."
Menghadapi musuh yang pembunuh ayahnya, Peng-say
tidak mau banyak omong lagi, serentak ia melolos kedua
pedangnya, begitu maju segera ia melancarkan jurus
pertama Siang-liu-kiam-hoat, yaitu "Kiong-siang-kut-thau."
Tonghong Put-pay tidak berani ayal, cepat ia pun
menghunus goloknya dan berseru, "Bagus!"
"Trang, trang," serangan Peng-say yang lihay itu telah ditangkisnya.
Bagi para penonton, biarpun tidak tinggi ilmunya juga
dapat melihat serangan Peng-say itu sangat hebat.
Serentak terdengarlah suara sorak-sorai, "Siang-liu-kiam yang bagus!"
Ketika menyaksikan Tonghong Put-pay dapat menangkis
serangan lihay itu dengan sama bagusnya, kembali
penonton berteriak, "Asooi!"
Sekali mulai menyerang, Peng-say terus aktif dipihak
penyerang, jurus pertama segera disusul dengan jurus
serangan berikutnya, seketika sinar pedang berhamburan.
Bagi penonton yang bukan jago kelas tinggi, sukarlah
untuk mengikuti jurus serangan Peng-say yang cepat dan
aneh itu dan juga tidak diketahui bagus jeleknya, yang pasti Tonghong Put-pay kelihatan terdesak mundur berulang kali,
nyata dia tidak sanggup lagi menangkis serangan Peng-say yang lihay itu.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah kedelapan jurus Siang-liu-kiam-hoat yang
dikuasainya habis dilancarkan, Tonghong Put-pay juga
terdesak mundur lima tindak, maka mulailah Peng-say
kehabisan "modal". Namun ia tidak patah semangat, menyusul jurus kesembilan lantas dilontarkan.
Pada kedelapan jurus pertama, baik Tionggoan-samyu
maupun tokoh-tokoh pihak Ma-kau diam-diam sama
bersorak memuji akan kelihayannya, mereka percaya
pertarungan ini pasti akan dimenangkan oleh Sau Peng-say dan nyata Siang-liu-kiam-hoat memang nomor satu di
dunia. Akan tetapi selewatnya jurus kedelapan, mau-tak-mau
mereka sama berkerut kening, pikirnya, "Siang-liu-kiam-hoat ini ternyata cuma delapan jurus bagian permulaan saja yang kelihatan lihay, jurus serangan lainnya juga cuma
biasa-biasa saja. Tampaknya Siang-liu-kiam-hoat belum
memenuhi syarat untuk disebut nomor satu di dunia."
Mereka tidak tahu bahwa mulai jurus kesembilan dan
seterusnya adalah ciptaan Sau Peng-say sendiri, makanya
berbeda daripada kedelapan jurus permulaan.
Seperti diketahui, dari Soat-koh baru sempat Peng-say
belajar delapan jurus Pedang Kiri dan Pedang Kanan secara lengkap, namun begitu intisari daripada Siang-liu-kiam-hoat itu sudah dapat diselaminya dengan baik. ditambah lagi ke 49 jurus Pedang Kiri yang asli, lalu Peng-say memeras otak dan akhirnya berhasil diciptakannya tambahan 41 jurus
Pedang Kanan sebagai pelengkap Pedang Kiri telah
dikuasainya. Belum sampai setahun dia ditinggal pergi Soat-koh,
dalam waktu sesingkat ini dia dapat menciptakan ke-4l
jurus Pedang Kanan, kelemahan ilmu pedang ciptaannya
ini tidak diketahui oleh Tionggoan-samyu, mereka mengira jurus serangan Siang-liu-kiam yang lain cuma biasa saja dan tidak se-lihay kedelapan jurus permulaan.
Padahal kalau dipikir kecerdasan Peng-say harus dipuji
juga. Bila orang lain, biarpun sepuluh tahun juga belum
tentu mampu menciptakan ke-41 jurus Pedang Kanan itu.
Dengan sendirinya ini ada hubungannya dengan
kedelapan jurus Pedang Kanan ajaran Soat-koh serta
setengah jilid Siang-liu-kiam yang telah dikuasainya. Kalau tidak, betapapun cerdasnya juga sukar menciptakan ke-41
jurus Pedang Kanan yang secara lahir dapat bekerja sama
serapat itu dengan Pedang Kirinya.
Jadi, meski ke-41 jurus ciptaannya itu kurang kuat daya
tempurnya, tapi karena dapat kerja sama rapat dengan
Pedang Kiri, hal ini cukup digunakan untuk bertahan dan
tak terkalahkan.
Begitulah sejurus demi sejurus Peng-say terus menyerang, setelah Siang-liu-kiam-hoat selesai dimainkan, sedikit pun tiada tanda dia akan kalah, hanya saja ke-41
jurus Pedang Kanan ciptaannya sendiri itu pun tidak
berhasil mendesak mundur Tonghong Put-pay barang
selangkahpun. Terpaksa ia mengulangi Siang-liu-kiam-hoat dari jurus
pertama lagi, dengan delapan jurus permulaan kembali ia
dapat mendesak mundur Tong?hong Put-pay hingga tiga
tindak. Tionggoan-samyu tidak mengerti sebab apakah daya
tekan mulai jurus kesembilan dan selanjutnya tidak sekuat delapan jurus sebelumnya, diam-diam mereka gegetun,
pikirnya, "Jika jurus lanjutannya juga sehebat kedelapan
jurus permulaan, tentu sejak tadi Tonghong Put-pay telah dikalahkan."
Sekarang mereka tidak berani lagi memastikan Sau Pengsay akan menang, hati mereka menjadi sedih. Akan tetapi
buktinya Sau Pang-say masih tetap dapat bertahan dan tak terkalahkan, hal ini pun tidak mudah. Coba kalau mereka
sendiri, jelas tiada seorang pun di antara mereka yang
sanggup menahan 50 jurus serangan golok Tonghong Putpay yang gencar dan lihay itu,
Mereka pikir sekalipun Peng-say kalah dan mereka harus
menepati janji dengan mengundurkan diri dari dunia
persilatan. hal inipun tidak membuat mereka penasaran.
Hanya saja seketika pengikutnya akan kehilangan
pimpinan, mirip ular yang mendadak kehilangan kepala,
keadaanya tentu sangat kacau. Selanjutmya siapa pula di
dunia persilatan yang akan memimpin kaum pahlawan
untuk melawan Ma-kau serta pengaruh Say-koan"
Begitulah mereka bertambah sedih demi teringat pada
masa depan dunia persilatan yang suram, maka diam-diam
mereka sama berdoa semoga Thian memberkahi Peng-say
dan supaya anak muda itu yang menang,
Dalam pada itu Peng-say telah mengulangi Siang-liukiam-hoat untuk ketiga kalinya, kini satu langkah saja
Tonghong Put-pay tidak terdesak mundur oleh kedelapan
jurus permulaan Sau Peng-say. Hal ini menandakan daya
perlawanan Tonghong Put-pay makin lama makin kuat.
Benar saja, ketika untuk keempat kalinya Peng-say
mengulangi Siang-liu-kiam-hoat, dengan beberapa jurus
serangan aneh Tonghong Put-pay berbalik mendesak
mundur Sau Peng-say.
Diam-diam semua orang berpikir. "Kekuatan kedua
pihak kini telah terbalik, pertarungan ini akhirnya akan
dimenangkan juga oleh Tonghong Put-pay dan mempertahankan rekornya yang tak terkalahkan."
Cuma orang pun tidak berani cepat-cepat memastikan
Peng-say pasti kalah, sebab bukan mustahil anak mxida itu juga masih mempunyai jurus serangan simpanan lain.
Bagi Peng-say sendiri, sebelum
pertarungan ini berlangsung sudah dirasakannya sukar menang dengan
cepat, akan tetapi iapun tidak pernah berpikir akan kalah. Ia pikir, asalkan aku bertahan hingga tak terkalahkan, coba saja akhirnya siapa yang akan mati kehabisan tenaga"
Rupanya dia sudah bertekad akan bertempur lama, bila
dia sanggup bertahan, dengan usianya yang muda,
Lwekangnya juga tidak lebih lemah daripada lawannya,
maka kemenangan terakhir pasti akan diraihnya.
Akan tetapi Kungfu Tanghong Put-pay ternyata beraneka
macam ragamnya, mampukah dia bertahan dengan
sebagian besar Siang-liu-kiam ciptaannya sendiri itu hingga Tonghong Put-pay kehabisan tenaga"
Pada saat Peng-say mulai lagi mengulangi Siang-liukiam-hoat untuk kelima kalinya, sekonyong-konyong
seorang lelaki tua bercaping seperti orang udik melompat ke atas panggung.
Sudah tentu lelaki berpakaian ringkas yang berjaga ditepi panggung itu segera akan merintangi kedatangan kakek
bercaping itu. Tapi sekali pedang kakek itu bekerja, kontan penjaga itu telah dirobohkannya.
"Im-kan-kiam-hoat!" teriak Tionggoan-samyu dengan suara tertahan.
Kalau ketiga tokoh itu dapat mengenali gaya ilmu
pedang si kakek bercaping, tokoh-tokoh Ma-kau ternyata
juga sudah dapat melihat ilmu pedang tu adalah Im-kankiam-hoat andalan Say-koan.
Serentak Peng-say dan Tonghong Put-pay lantas berhenti
menyerang, mereka ingin tahu kakek itu akan membantu
pihak mana. Dalam keadaan sukar menentukan kalah dan menang,
siapa pun berharap kakek itu akan membantu pihaknya,
karena itulah mereka pun tidak mencegah kedatangan si
kakek. Tanpa bicara kakek itu terus menerjang ketengah
pertempuran, pedangnya terus menusuk Tonghong Put-pay.
Maka ramailah orang Ma-kau membentak, "Huh, tidak
tahu malu!"
Serentak kelima Tongcu Ma-kau berdiri dan bermaksud
mengenyahkan kakek itu.
Tak terduga, serangan si kakek berikutnya lantas tertuju Sau Peng-say.
Seketika orang pihak Tionggoan-samyu juga geger,
beratus orang sama berbangkit dan menyatakan protes.
Anehnya, ketika kakek itu menyerang lagi untuk ketiga
kalinya, yang menjadi sasaran kembali ialah Tonghong Put-pay.
Jadi serangannya silih berganti, kalau Peng-say ditusuk
satu kali, segera ia tusuk pula Tonghong Put-pay satu kali, nyata ia tidak membantu pihak mana
pun. Kakek bercaping ini tak-lain-tak-bukan adalah Coh Cujiu, ketua Ngo-hoa-koan atau Say-koan.
Maka tahulah Tionggoan-samyu dan tokoh Ma-kau akan
maksud tujuan Coh Cu-jiu. Rupanya din sengaja menunggu
selagi pertarungan Tonghong Put-pay dan Sau Peng-say
dalam keadaan saling bertahan dan sukar dipisahkan,
segera ia ikut terjun ketengah kalangan untuk membereskan ke-dua orang itu, dengan demikian sekaligus namanya akan termashur dan disegani siapa pun juga. Sungguh seenaknya saja perhitungan suipoanya.
Maksud jahat dan kotor Coh Cu-jiu itu dengan
sendirinya dapat diketahui Sam-yu, tapi mereka hanya
dapat mencaci-maki akan kerendahan moral orang dan
tidak berani ikut naik ke atas panggung untuk mengusirnya.
Jago Kelana 6 Golok Naga Kembar Karya Hong San Khek Peristiwa Bulu Merak 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama