Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 4
"Eh, jangan, jangan, nanti dulu!" teriak Peng-say, mungkin Sau Tiong dan Sau Coan telah mulai membelejeti
pakaiannya, maka akhirnya ia berseru "nanti dulu".
Mengira Peng-say malu mandi di depan orang banyak,
selagi Sau Kim-leng hendak mengajak Siau Li menyingkir,
tiba2 Peng-say berkata pula: "Leng-ju-coan satu kolam penuh ini apakah akan terbuang percuma hanya kugunakan
untuk mandi?"
Baru sekarang Kim-leng tahu kiranya disinilah letak
keberatan Soat Peng-say, diam2 ia tertawa geli, dengan
suara lembut ia hanya berkata: "Tidak menjadi soal. Leng-ju-coan yang keluar dari sumber didasar kolam ini
dinginnya melebihi es, memang tidak boleh dibuat minum,
tapi lebih cocok untuk mandi."
"Aneh, apa manfaatnya mandi air ini?" ujar Peng-say dengan heran.
"Soalnya Tiong ting-hiatmu terluka, kalau melulu Leng ju-coan yang menetes keluar dari itu kurang cepat
khasiatnya, bilamana berendam pula di dalam kolam,
dengan pengobatan dari luar dan dalam, tentu cepat
kesembuhanmu."
"O, pantas Lolo bilang akan mengantarku ke Ciok-tengtong ini untuk menyembuhkan lukaku," kata Peng-say.
"Nah, silakan membuka baju!" kata Kim-leng sambil berdiri membelakangi anak muda itu.
Karena orang lain tiada bermaksud menyingkir, terpaksa
Peng-say menyilakan Sau Tiong dan Sau Coan membuka
bajunya. Selagi Sau Tiong berdua sibuk bekerja, datanglah Siau Li dengan membawa satu botol Leng-ju-coan, katanya dengan
tertawa: "Silakan Kongcu minum."
Waktu itu baju luar Peng-say, sudah ditanggalkan, bila
baju dalam dibuka tentu akan mulai telanjang, maka cepat2
ia minum air yang dibawakan itu. Rupanya Siau Li juga
tahu anak muda itu malu ditonton orang, ia tertawa dan
juga berdiri mungkur.
Setelah membuka semua pakaian Peng-say Sau Tiong
dan Sau Coan menggotongnya kedalam kolam. Dasar
kolam itu tidak dalam, dengan duduk bersila di dalam
kolam, tepat air kolam hanya sebatas leher.
Waktu minum Leng-ju-coan yang dibawakan Siau Li
tadi Peng-say merasa perutnya dingin segar, tak tersangka setelah berduduk di dalam kolam, air kolam benar2 lebih
dingin daripada air es, kalau Sau Kim-leng tidak
memberitahu sebelumnya, bisa jadi dia akan menjerit kaget
"Pantas tidak dapat diminum, kalau diminum pasti isi perut akan beku," demikian pikir Peng-say. Walaupun begitu ia sendiripun kedinginan setengah mati.
Pelahan2 Sau Kim-leng membalik tubuh, katanya
dengan tertawa: "Cukup duduk satu jam di situ dan akan sembuh."
"I . . . . iya. . ." sebisanya Peng-say menjawab, tapi saking kedinginan. hampir saja giginya gemertuk, kuatir didengar si nona, cepat ia berbicara untuk menutupi menggigilnya
itu: "Rasanya lebih dingin daripada duduk di tanah bersalju di musim dingin."
Kim-leng tersenyum, ucapnya: "Lambat-laun takkan kau rasakan dingin."
"I.... iya. . ." sungguh celaka. hampir saja giginya gemertuk lagi. lekas ia bertahan sekuatnya dan berkata pula:
"No . . . nona Sau, apakah sebelum ini kau kenal Ciamtay. .
. .Ciamtay-kongcu?"
"Tidak," jawab Kim-leng.
"O, jadi. . . .jadi dia sengaja datang melamar. . . ."
Si nona hanya mengiakan pelahan.
"Entah. . .entah bagaimana tampang mukanya. . . ." kata Peng-say pula.
Kim-leng hanya meliriknya sekejap tanpa bersuara,
tampaknya dia tidak suka Peng say berbicara mengenai
puteranya Ciamtay Cu-ih.
Sebenarnya Peng-say lagi menggigil kedinginan, ia
bertahan sekuatnya sehingga tidak sempat memperhatikan
sikap si nona. Agar giginya tidak gemertuk, ia berkata pula,
"Jika. . .jika Ciamtay kongcu memiliki tampang muka yang bagus, agaknya cukup setimpal juga. . . ." "
"Sudahlah. jangan omong lagi!" teriak Kim-leng mendadak dengan aseran.
Peng-say melengak, seketika ia menggigil sehingga
giginya gemertuk.
Kim-leng mengira anak muda itu menjadi takut karena
dimarahmya, dengan menyesal ia berkata: "Maaf, tidak seharusnya kumarah padamu. . ."
"Ti. . .tidak apa. . . ." Peng-say menggeleng.
"Sebenarnya tak dapat kukatakan tidak kenal dia," tutur Kim-leng seteleh menghela napas. "Sebab pada waktu aku berusia lima tahun sudah kukenal dia bernama Ciamtay
Boh-ko " "O, kiranya kalian kenal sejak kecil, pantas jauh2 dia datang dari lautan timur sana untuk melamar dirimu." kata Peng-say.
Kini Peng-say mulai tidak merasakan kedinginan lagi,
rasa dinginnya sekarang malahan terasa segar dan enak,
terasa 36 ribu pori di tubuhnya sedang mengisap hawa
dingin dengan kuat, makin banyak pori2 itu mengisap,
makin segar pula rasanya, mirip orang minum air es di
musim panas, "Juga tak dapat dikatakan kenal sejak kecil, sebab
mendiang ibuku tidak mengizinkan aku ber-main2 dengan
dia, bertemu saja dilarang," tutur Kim-leng pula
"O, jadi ibumu pernah membawa kau ke lautan timur
sana?" "Aku sendiri dilahirkan di lautan timur sana, sampai berumur lima baru ikut ibu meninggalkan sana."
"Oo!" Peng-say bersuara heran, ia menjadi sangsi, kalau si nona lahir di lautan timur sana, lalu siapa ayahnya"
Tiba2 Sau Kim-leng menghela napas sedih, katanya pula:
"Kutahu engkau tentu menyangsikan asal-usulku, memang sudah jelas aku bukan puteri dari Sau Cing-in, dia sudah hilang 27 tahun lalu, sedangkan umurku baru 20 ... ."
"Sia ... siapakah ayah nona" ...."
"Ciamtay Cu-ih," jawab Kim-leng.
"Ahhh," Peng-say bersuara kaget, sejenak kemudian baru ia berkata pula: "Pantas kau memaki Ciamtay Boh-ko
sebagai binatang."
"Ciamtay Cu-ih telah membikin susah ibuku, sekarang menyuruh anaknja mencelakai diriku pula seperti hewan,"
kata Kim-leng dengan gemas
Peng-say merasa bingung, ia bertanya: "Apakah Ciamtay Cu-ih tidak tahu kau adalah puterinya"
"Masa dia tidak tahu" Apa yang telah diperbuatnya
mustahil dia tidak tahu," jawab Kim-leng dengan gregetan.
"Dan Ciamtay Boh-ko?"
"Sudah tentu iapun tahu aku ini adik perempuannya!"
kata Kim-leng. Teringat oleh Peng-say sebelum masuk rumah tadi
Ciamtay Boh-ko telah berteriak dan mengaku "kakanda"
terhadap Sau Kim-leng, disangkanya ucapan tersebut hanya sebagai kata2 rayuan saja, tak tersangka memang benar.
Di dunia ini ternyata ada kakak ingin memperisteri adik
perempuan sendiri, jelas ini perbuatan abnormal, melanggar susila tata keluarga, sungguh kejadian yang aneh.
Dengan gemas Peng-say juga berkata: "Percuma
Ciamtay Cu-ih termasuk satu diantara 'Su-ki' (empat tokoh ) yang disegani, tadinya kukira dia pasti seorang kosen yang bijaksana, tak terduga dia malah menganjurkan anaknya
sendiri melakukan perbuatan asusila seperti binatang."
Apapun juga Hong-hoa-wancu Ciamtay Cu-ih tetap ayah
kanduhg Sau Kim-leng, lantaran gemasnya Peng-say
memaki tokoh itu seperti binatang, tentu saja terasa tidak enak bagi pendengaran Sau Kim-leng.
Segera Peng-say melihat sikap kikuk si nona, ia
menyadari ucapan sendiri yang menyinggung perasaan itu,
ia cepat menyatakan penyesalannya:
"Maaf, nona, bila ucapanku tidak pantas. . . ."
"Aku tidak menyalahkan kau," ujar Kim-leng gegetun.
"Mempunyai ayah begitu. tentu tidak terhindar dari makian orang. Apabila kuingat aku ini anaknya, sungguh akupun
malu dan ingin mati saja, Entah. . .entah setelah kau tahu persoalan ini, apakah selanjutnya kau tetap baik
terhadapku"...."
"Aku hanya menganggap engkau adalah puteri Saucianpwe," kata Peng-say.
"Kau tidak mencela asal-usulku?" tanya Kim-leng dengan hati terhibur.
Peng-say mengangguk, katanya: "Sudahlah, urusan ini tidak perlu kita menyinggungnya lagi, selamanya akan
kuanggap engkau adalah ahli waris Pak-cay, apabila suatu hari dapat kutemukan setengah Siang-liu-kiam-boh yang
lain pasti akan kukembalikan kepadamu."
Saking terharunya hampir Sau Kim-leng mencucurkan
air mata, katanya: "Ini sih tidak perlu, Siang-liu-kiam-boh juga tak berguna bagiku. Pula aku bukan keturunan Pak-cay yang sesungguhnya, aku tidak berhak mendapatkan Siang-liu-kiam-boh. . . ."
"Salah ucapan nona," ujar Peng-say sambil menggeleng.
"Keluarga Sau dari Pak-cay hanya mempunyai puteri she Sau seperti dirimu ini, bilamana kau tidak berhak
mendapatkan Siang-liu-kiam-boh, lalu siapa yang berhak?"
"Tapi. . .tapi aslinya aku she Ciamtay. . . ."
Peng-say terdiam sejenak, pikirnya: "Di dunia ini tidak ada ayah-ibu yang salah, tampaknya betapapun kotor dan
rendahnya Hong-hoa-wancu, pada suatu hari akhirnya
nona ini juga akan mengakuinya sebagai ayah."
Setelah termenung sejenak, lalu ia bertanya; "Dan
bagaimana sekarang" Apakah nona sudah mengambil
sesuatu keputusan" Melulu bersembunyi kukira juga bukan
cara yang baik. . . ."
"Tapi selain bersembunyi apapula yang dapat kuperbuat?" ujar Kim-leng dengan sedih. "Liok-ma jelas bukan tandingannya, lalu siapa pula yang sanggup
melindungi diriku?"
Jiwa ksatria Soat Peng-say segera membangkitkan
semangatnya dan akan mengajukan kesediaannya membela
si nona, tapi bila teringat pihak lawan teramat lihay,
saimpai Liok-ma juga mengaku bukan tandingannya, kan
berarti dirinya terlalu tidak tahu diri. Maka setelah berpikir, lalu ia berkata: "Selama dua tahun konon Ciamtay Boh-ko telah datang mencari kau dua kali, ini menandakan dia
tidak pernah meninggalkan daratan Tionggoan dan
bertekad harus mendapatkan nona. Sekarang kau kepergok
dirumah, kukira urusan tidak mudah diselesaikan.
Sekalipun nanti Liok-ma dapat mengenyahkan dia,
selanjutnya dia tetap akan mengacau lagi ke sini. Jalan yang paling baik kukira harus mematikan hasratnya untuk
mendapatkan dirimu, maka menurut pendapatku. . . ." "
"Jika Kongcu mempunyai saran yang baik, mohon
memberi petunjuk," pinta Kim-leng.
"Saran baik juga bukao," jawab Peng-say. "Kukira engkau harus bicara berhadapan dengan dia dan
membujuknya secara persaudaraan."
"Dan kalau dia tidak menurut?"
"Ciamtay Boh-ko adalah keturunan tokoh teekemuka
kukira tidak sampai bertindak secara ngawur, andaikan
sukar dibujuk, apakah benar dia berani membawa kau
pulang ke Tang-hay?"
"Hakikatnya dia memang hewan, masa tidak berani?"
ujar Kim-leng. "Menurut perkiraanku, meski Ciamtay Boh-ko menyatakan hendak menikahi kau dan membawa kau ke
Tang-hay, bisa jadi apa yang dilakukannya ini bukan atas perintah sang ayah, apabila nanti ayahnya mengetahui kau adalah puterinya, tidak nanti dia membiarkan puteranya
sendiri bertindak ngawur begitu."
"Memangnya kau kira setelah aku dibawa ke Tang-hay, lalu Hong-hoa-wancu akan mencegah perbuatan Ciamtay
Boh-ko yang melanggar susila ini?"
"Kukira pasti akan dilakukannya," ujar Peng-say.
"Hong-hoa-wancu bukanlah penduduk asli kepulauan
yang masih biadab di lautan timur sana, lihat saja nama
Hong-hoa-wancu, jelas ini nama istana kerajaan Sui-yang-te pada dinasti Sui dan Tong dahulu. Nama Ciamtay Cu-ih
sendiri juga cangkotan nama murid nabi Khongcu, jelas
Hong-hoa-wancu tidak pernah melupakan adat istiadat
Tionggoan meski dia bertempat tinggal jauh di lautan timur sana. Kalau sudah begitu, mustahil dia memperkenankan
anaknya sendiri melanggar susila tata kekeluargaan" Kukira pasti disebabkan Ciamtay Boh-ko dilahirkan dan dibesarkan di lautan timur sana, dia tidak tahu adat kebiasaan
Tionggoan, bisa jadi untuk pertama kalinya dia berkunjung ke Tionggoan sini dan mendengar kecantikan nona yang
tiada bandingannya, maka tanpa menghiraukan nona ini
terhitung adik perempuannya, tapi memaksa akan
mengisterikan dirimu. Tapi bila sudah pulang ke Tang-hay, mustahil Hong-hoa-wancu takkan mencegahnya?"
Mendengar dirinya dipuji Peng-say sebagai cantik tiada
bandingannya, Kim-leng menjadi malu, katanya: "Diriku hanya gadis gunung biasa saja, manabisa dikatakan cantik tiada bandingannya...."
"Ini memang kenyataan, bukan muksudku hendak
menyanjung nona," ucap Peng-say.
Pembawaan orang perempuan suka pada kecantikan,
lebih2 bila orang memujinya cantik, betapapun pasti merasa senang.
Dengan sendirinya Sau Kim-leng juga suka dipuji. Ia
tersenyum, lalu berkata pula: "Tapi Kongcu cuma tahu yang satu dan tidak tahu yang dua."
"O, masa masih ada persoalan lain?"
"Memang betul seperti dugaan Kongcu tadi. Hong-hoawancu memang pengagum kebudayaan Tionggoan, maka
tempat tinggalnya telah dibangun sedemikian rupa sehingga menyerupai istana raja. Tapi hakikatnya dia tidak
menghiraukan tata adat Tionggoan, dia merajai dunia
lautan timur sana dan berbuat sesukanya, bahkan adat
kebiasaan busuk setempat juga dianutnya."
Peng-say terkejut. tanyanya: "Apakah di sana ada adat kebiasaan perkawman di antara saudara sekandung
sendiri"!"
Kim-leng mengangguk, katanya: "Ketika ibuku menyelidiki hilangnya ayah di pertemuan Ki-lian-san,
setelah mengunjungi Lam-han dan Se-koan, ibu lantas
menyeberang ke lautan timur sana. Sungguh malang,
perjalanan kesana telah tertahan selama tujuh tahun, sebab ibu terjeblos ke sarang iblis, beliau bukan tandingan Honghoa-wancu sehingga diperlakukan tidak senonoh. Pedih hati ibu dan ingin mati saja kalau bisa, tapi apa daya, biarpun dimaki dan dipukul, atau bicara menurut aturan, Hong-hoa-wancu tetap tidak mau tahu dan juga tidak mau
membebaskan ibu pulang ke Tionggoan. Demi pencarian
jejak ayah, terpaksa ibu mempertahankan hidupnya, lima
tahun kemudian, waktu aku berumur tiga tahun, Ciamtay
Boh-ko juga sudah berumur sepuluh. Suatu hari waktu
Hong-hoa-wancu menimang diriku, ia bilang kepada ibu
bahwa Leng-ji makin besar makin menyenangkan,
bilamana sudah besar kelak rasanya berat kalau dinikahkan kepada orang luar, syukur adat kebiasaan setempat
memperbolehkan perkawinan antara saudara sendiri, maka
kelak biar Boh-ko kawin saja dengan anak Leng dan
mewarisi Hong-hoa-wan bersama."
Peng-say meng-geleng2 kepala oleh cerita yang tidak
masuk diakal sehat itu.
Kim-leng mencucurkan air mata, katanya pula:
"Mendengar
ucapan Hong hoa-wancu itu, dapat dibayangkan betapa kejut dan sedih ibuku. beliau tidak
memperlihatkan sesuatu perasaan apapun, diam2 ia
mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari sarang iblis.
Selama dua tahun ibu terus berusaha, disamping menyogok
pelayan dan siap menyeberangi lautan , diam2 juga berjaga agar aku tidak bergaul dengan Ciamtay Boh-ko. Sebab
itulah sampai sekarang aku tidak mempunyai kesan apapun
terhadap Ciamtay Boh-ko, mungkin Ciamtay Boh-ko
sendiri juga tidak mempunyai kesan apapun atas diriku,
inilah cara mendiang ibuku ber-jaga2 terhadap segala
kemungkinan, sebelum meninggal ibu juga berpesan
padaku, apabila kelak Ciamtay Boh-ko datang ke Tiongoan
dan terlalu mendesak, maka aku dianjurkan mengasingkan
diri dan hidup terpencil agar tidak dapat ditemukan
Ciamtay Boh-ko. Tujuh tahun ibu bertempat tinggal di
Tang-hay sana, akhirnya tiba saatnya ketika Hong-hoawancu sedang mabuk, ibu berusaha membunuhnya dan
melarikan diri . . . ."
"Jadikah Hong-hoa-wancu mati?" sela Peng-say.
"Menurut cerita ibu, Hong-hoa-wancu benar2 tidak malu menjadi satu diantara Su-ki yang termashur, sudah jelas
pedang ibu tepat menikam pada tempat fatal di tubuhnya,
tapi dia masih mampu mematahkan pedang ibu, bahkan
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balas menghantam sekali sehingga ibu terluka. Melihat
bagian pedang yang patah menancap di tubuh Hong-hoawancu dan dia tetap berdiri tegak tanpa roboh. ibu menjadi ketakutan dan cepat2 melarikan diri dengan menanggung
luka, karena itulah mati hidup Hong-hoa-wancu juga tidak diketahui. Akan tetapi kemudian sama sekali tiada tersiar berita tentang kematian Hong-hoa-wancu, jadi mungkin dia masih hidup. Namun menurut ibu, biarpun tikaman itu
tidak membinasakan dia, sedikitnya akan membuatnya
lumpuh untuk selamanya dan sakit hati selama tujuh tahun terasa sudah terbalas. Sampai sekarang Hong-hoa-wancu
tidak pernah muncul di Tionggoan, mungkin dia memang
sudah lumpuh. Sebaliknya karena pukulan Hong hoawancu luka ibupun tidak ringan dan tidak pernah
disembuhkan secara tuntas. Ditambah lagi ibu terlalu capek mencari Caycu, lari kesana cari kesini, akhirnya buyarlah segala harapannya untuk menemukannya, karena sedih
ditambah lukanya, ibu tidak pernah bangun lagi, beliau
wafat pada waktu aku berumur sebelas."
Peng-say menghela napas gegetun, katanya: "Kalau
Hong hoa-wancu lumpuh tesama itu, jelas itulah
ganjarannya yang setimpal. Tapi kematian ibumu, ai,
sungguh tidak adil dunia ini."
"Yang harus disesalkan adalah diriku yang dilahirkan tak berguna ini," ucap Sau Kim-leng dengan gemas. "Ilmu silat tak dapat kulatih, aku tidak mampu pergi ke Tang-hay
untuk menuntut balas kematian ibu, sebaliknya Hong-hoawancu malah tidak melupakan diriku, jelas dia sengaja
menyuruh puteranya datang kemari untuk memaksa diriku
pulang ke Tang-hay sana."
"Dengan tindakan ini apa manfaatnya bagi Hong-hoawancu sendiri?" ujar Peng-say sambil meng-geleng2 kepala.
"Dia mengira ibu belum meninggal, tentu dia sengaja menyuruh anaknya bertindak demikian agar ibu mati keki,"
kata Kim-leng. Peng-say menggeleng kepala pula, ucapnya: "Ibumu
adalah tokoh ternama di dunia Kangouw, setiap orang Bulim tahu ibumu sudah meninggal dunia, makanya terjadi
penyatron berulang kali ke Leng-hiang-cay sini. Meski
Hong-hoa-wancu ber-tempat tinggal jauh di lautan sana,
tentu dia juga mendengar berita meninggalnya ibumu."
"Pendek kata, jelas Hong-hoa-wancu tidak bermaksud
baik," ucap Kim-leng dengan gegetun.
"Apabila pada suatu hari engkau dapat menuntut balas, cara bagaimana akan kau perlakukan Hong-hoa-wancu?"
tanya Peng-say.
Kim-leng ragu sejenak, jawabnya kemudian dengan
tergagap: "Akan akan kubunuh dia. . . ."
"Jangan lupa, dia adalah ayah-kandungmu!"
Mendadak Sau Kim-leog mendekap mukanya dan
menangis, serunya: "Tapi. . .tapi kalau dia tahu hubungan baik antara ayah dan anak, tentu dia tidak menyuruh
puteranya datang kesini untuk menghina diriku "
"Nona janganlah berduka, yang penting sekarang,
pikirkanlah cara bagaimana menghadapinya," ujar Pengsay.
"Dalam keadaan terpaksa, biarlah kutinggalkan tempat ini, aku akan mengasingkan diri untuk menyambung sisa
hidupku ini."
"Tapi pondasi Pak-cay yang sudah terpupuk selama
ratusan tabun. apakah tidak sayang jika ditinggalkan begitu saja?"
"Habis seorang perempuan lemah macam diriku ini masa mampu menghadapi srigala yang buas itu?"
Peng-say terdiam. Ia membatin: "Semoga Sau Cing-in
belum lagi mati, asalkan dia muncul kembali untuk
mengemudikan keadaan ini, tentu Pak-cay dapat diselamatkan."
Akan tetapi Sau Cing-in sudah hilang 27 tahun lamanya,
apakah jalan pikirannya ini tidak terlalu muluk"
Tiba2 Sau Kim-leng bertutur pula: "Ang-hay-ji adalah anak yatim-piatu yang dibuang orang tuanya, tak diketahui she dan namanya, tapi dia pintar dan cerdas, mestinya ada maksudku akan mengangkat dia menjadi ahliwaris Pak-cay
agar nama kebesaran Pak-cay yang sudah bersejarah
ratusan tahun ini tidak hanyut di tanganku." "
"Inipun pikiran yang baik," ujar Peng-say "Sudah berapa tahun Liok-ma mengajarkan Kungfu kepadanya?"
"Kira2 tiga tahun," jawab Kim-leng.
"Kalau sudah dewasa nanti akan kuajarkan padanya
setengah bagian kiri Siang-liu-kiam-hoat ini," kata Peng-say.
"Tapi setelah dia dewasa nanti, mungkin didunia
persilatan sudah tidak dikenal lagi nama Pak Cay," kata Kim-leng.
"Kan masih ada Liok-ma, kukira tidak perlu kuatir."
"Usia Liok-ma sudah hampir delapan puluh, berapa
tahun lagi dapat kita tunggu?" ujar Kim-leng.
"Ya, ini .... memang . . . . "
"Meski kau bukan murid Pak-cay, tapi kau memiliki ilmu pedang Pak-cay, asalkan kau mau mengambil alih tugas ini dan berjuang bagi Pak-cay, tentu nama Pak-cay tidak kuatir akan lenyap."
Permintaan ini sebenarnya rada semberono, tapi lantaran
percakapan mereka makin lama makin cocok, Sau Kimleng memandang Peng-say seperti orang sendiri, tanpa
terasa tercetus permintaannya itu.
Tapi Peng-say juga tidak marah, ia mengangguk dan
berkata: "Pantasnya, karena aku memainkan ilmu pedang Pak-cay, akupun harus berjuang bagi Pak-cay, asalkan
tenagaku mampu melaksanakannya. secara diam2 aku pasti
akan membela nama baik Pak-cay."
"Kenapa mesti secara diam2?" tanya Kim-leng dengan heran.
"Habis bagaimana menurut kehendak nona?"
"Jika aku mengasingkan diri, Liok-ma tentu akan ikut bersamaku, Leng-hiang-cay tidak boleh kosong tanpa
pemilik, sedangkan usia Ang-hay-ji masih terlalu kecil,
kelak juga belum pasti sanggup memikul beban berat
sebagai pewaris Pak-cay, sekarang terpaksa harus mohon
bantuanmu agar suka tinggal di sini dan menjadi pemilik
Pak-cay." Cepat Peng-say menggeleng, katanya: "Wah, mana boleh jadi begini! Betapa banyak harta benda Pak-cay mana boleh jatuh ke tanganku dengan begini saja" Apalagi aku masih
banyak urusan lain dan tidak dapat setiap hari berdiam di Leng-hiang-cay."
"Ai, Ka. . . . Kongcu dungu," mestinya dia akan bilang
"kakak tolol", tapi terasa tidak enak, maka cepat ganti sebutan, "siapa yang suruh kau berdiam disini setiap hari, kau bebas kemanapun sesukamu, jangan lupa, aku kan
pernah minta bantuanmu agar ikut mencari kabar jejak
Caycu, jika engkau hanya berdiam disini setiap hari, lalu cara bagaimana akan kau cari beritanya" Terserah padamu, boleh kau tinggal di sini satu-dua hari setiap bulan atau sepuluh hari setiap dua bulan, asal saja kau menganggapnya sebagai tempat tinggalmu."
Tapi Peng-say tetap menggeleng, katanya: "Tanpa alasan seorang asing seperti diriku ini mendadak disuruh menjadi pemilik Pak-cay, namanya tidak cocok, kata2nya tidak
sesuai, kukira tidak boleh jadi."
Mendadak dari lorong sana ada orang menyambung:
"Siapa bilang namanya tidak cocok dan kata2nya tidak sesuai?"
"Ah, Liok-ma datang," seru Kim-leng girang.
Benar juga, sejenak
kemudian tampak liok-ma melangkah masuk gua itu, katanya dengan mengulum
senyum: "Soat kongcu diminta menjadi Pak-cay Caycu
kukira memang paling ideal. Tua bangka macam diriku
entah bisa hidup berapa tahun lagi, bilamana mendadak
kutinggalkan dunia fana ini, tertinggal anak ingusan macam Ang hay-ji bisa ber-buat apa" Kepandaian Soat kongcu jelas tidak di bawahku, engkau juga menguasai ilmu pedang
ciptaan Loya, ini sama dengan murid Loya, sungguh ideal
bila engkau menjadi pewaris Pak-cay. Soal namanya tidak
cocok dan kata2nya tidak sesuai kan mudah diatur."
"Cara bagaimana mengaturnya?" tanya Kim-leng.
"Asalkan dia memperisteri Siocia kita, kan segala urusan menjadi beres?" ujar Liok-ma dengan tertawa.
Seketika muka Sau Kim-leng menjadi merah, ia
menunduk malu hingga kepala hampir menempel dada.
Tapi dia tidak bersuara, bahkan cuma merasa malu saja,
jelas diam2 berarti setuju, hanya tidak diketahuinya apakah sang jejaka setuju atau tidak.
Bahwa mendadak ada rejeki nomplok, diberi isteri
cantik, terima warisan harta benda yang tak terhitung
besarnya, semua ini benar2 sangat menarik. Soat Peng-say sendiri baru saja lolos dari lubang jarum, setelah jiwa
selamat segera diuruk rejeki, perubahan mendadak ini
benar2 membuatnya terkesima,
Sejak dulu setiap pahlawan memang sukar terhindar dari
gangguan si cantik, bahwa sekarang isteri cantik disodorkan kepadanya, betapapun Soat Peng-say sukar menolaknya,
jangankan kuatir akan melukai hati si nona, sesungguhnya iapun merasa sayang untuk tidak menerimanya. Tapi kalau
dia menerima begitu saja, rasanya juga rada2 enggan.
Untung pinangan Liok-ma itu tidak ditanyakan secara
langsung, jadi masih dapat dipertimbangkan lagi secara
pelahan2. Maka Peng-say lantas bertanva: "Apakah Ciamtay Bohko sudah pergi?"
"Syukurlah sudah dapat kuenyahkan dan terhindarlah
kesukaran di depan mata," jawab Liok-ma. "Eh, hari sudah lewat lohor, kalian belum makan siang, maka sengaja
kudatang memapak pulang Siau-leng."
-ooo0dw0ooo- Jilid 7 Baru sekarang Sau Kim-leng mengangkat kepalanya dan
melirik Peng-say sekejap, lalu katanya kepada Liok-ma:
"Dan dia. . . .dia bagaimana?"
"Soat-kongcu sudah berduduk sekian lamanya didalam
kolam, kukira lukanya sudah hampir sembuh seluruhnya
dan sekarang bolehlah berdiri," kata Liok-ma.
"Sau Tiong dan Sau Coan, lekas kalian melayani Soat-kongcu berpakaian, aku dan Siocia berangkat lebih dulu."
Segera Siau Li menggendong lagi Sau Kim-leng dan ikut
keluar gua bersama Liok-ma. Di dalam gua sekarang tiada
orang perempuan lagi, Peng-say lantas melompat keluar
kolam, ia coba mengatur napas dan melemaskan otot,
rasanya memang sudah hampir sehat seluruhnya. Iapun
tidak minta dilayani Sau Tiong dan Sau Coan, ber-gegas2 ia berpakaian sendiri. Setelah Peng-say bersama Sau Tiong
dan Sau Coan sampai di Leng-hiang-cay, sementara itu
santapan yang tersedia sudah hampir dingin, tapi sebelum Peng-say bersantap, lebih dulu ia lantas menanyai Ang-hayji: "Di mana Lolo?"
"Lolo dan Kokoh (bibi) sudah dahar, mereka berada di atas loteng," jawab Ang hay-ji.
Peng-say mengangguk, tampa bicara lagi ia terus menuju
ke atas. "Hei, engkau belum makan"!" seru Ang-hay-ji.
"Aku tidak lapar, makan nanti saja," sahut Peng-say walaupun perutnya sudah berkeruyukan.
Rupanya dia menguatirkan keselamatan Cin Yak-leng,
maka ingin tanya Liok-ma apakah Yak-leng sudah
mendusin dan sudah makan atau belum.
Waktu Cin Yak-leng hendak tidur, wajahnya kelihatan
meriang, setelah sekian lama tak dijenguk, ia menjadi
kuatir. Maka dengan langkah ter-gesa2 ia mendatangi
kamar tidur Sau Kim-leng.
Dari jauh sudah didengarnya suara kecapi, waktu masuk
keruangan panjang sana, ia menjadi terkesima oleh suara
kecapi yang mengalun merdu, tanpa terasa ia berhenti dan mendengarkan dengan cermat, suara kecapi itu jelas
berkumandang dari kamar tidur Sau Kim-leng.
Agaknya Peng-say mempunyai bakat seni, setelah
mendengarkan sejenak, tahulah dia Sau Kim-leng sedang
memetik lagu berdasarkan isi Si-keng (kitab bersyair) yang berjudul "Tho-yau". Syair ini mengisahkan seorang gadis yang sudah cukup umur dan sedang berahi, tapi sebegitu
jauh belum lagi mendapatkan jodoh, maka tercetuslah
perasaannya melalui lagu ini untuk menghibur hatinya yang haus cinta.
Syair itu terdiri dari tiga bait, sampai sekian lama Pengsay mendengarkan dan ternyata bolak-balik Sau Kim-leng
hanya mengulangi bait lagu ini. Diam2 ia merasa geli,
pikirnya: "Kelihatannya nona Sau ini malu2 kucing, tak tersangka iapun berani memetik lagu yang bernada minta
kawin ini."
Se-konyong2 terpikir olehnya mengapa si nona bolakbalik membawakan lagu itu melulu, jangan2 sengaja
diperdengarkan kepadanya.
Pada saat itulah mendadak pintu kamar terbuka, Liokma melongok keluar dan menyapa dengan tertawa: "He, kiranya Soat kongcu sudah datang."
Suara kecapi seketika berhenti juga begitu mendengar
Soat Peng-say sudah datang. Mendingan kalau si nona tidak memutus petikan kecapinya. karena berhenti mendadak, hal ini malah kelihatan belangnya, tandanya dia malu untuk
memetik lagi lagu itu.
Diam2 Peng-say membatin: "Waktu di Ciok-leng-tong,
dia malu2 dan jarang bicara. Tapi sekarang dia
memaparkan perasaannya melalui suara kecapi. jelas dia
sangat suka menjadi isteriku. Jika sebentar Liok-ma
langsung mengajukan persoalan ini kepadaku, lalu cara
bagaimana harus kujawabnya?"
Mendadak didengarnya Liok-ma sedang menegur: "He,
kau melamun apa" Mau masuk tidak?"
Peng-say terkejut dan cepat menjawab: "Mau, mau
masuk!" " Segera ia melompat masuk ke dalam kamar.
Liok-ma menggeleng kepala, katanya: "Kenapa terburu2. masa kututup pintu dan mengalangi kedatanganmu?"
Peng-say menyengir. Tanyanya kemudian: "Dimanakah
adik perempuanku?"
"Ingin kutanya dulu sesuatu padamu, coba bagaimana
jawabmu, jangan terburu tanya adikmu," kata Liok-ma.
Terkesiap hati Peng-say, benar juga segera Liok-ma
membicarakan tentang perjodohannya dengan Sau Kimleng, katanya: "Ingin kutanya padamu. kau suka kawin dengan Siau Leng atau tidak" Mengenai Siau Leng, dia
sudah pasrah padaku. Bahwa da menyerahkan soal yang
kutanyakan ini padaku, jetas dia sudah mau. Tinggal kau, hendaklah kau jawab terus terang. Kita sama2 orang yang
suka blak2an dan tidak perlu bicara secara ber-tele2. Kalau mau bilang mau. tidak mau ya katakan tidak mau."
Tentu saja Peng-say serba susah, jawabnya dengan
gelagapan: "Ini .... ini .... "
"Tidak perlu ini atau itu," bentak Liok-ma mendadak dengan mendelik. "Kau tidak mau, begitu?"
"Tapi perjodohan adalah
urusan penting, harus
dipertimbangkan dengan baik dan tidak boleh diputuskan
secara gegabah," kata Peng-say.
Liok-ma menjadi tidak tenang, ucapnya: "Apa yang
perlu dipertimbangkan lagi" Apa kau takut?"
Peng-say meleogak, belum lagi ia paham apa arti ucapan
nenek itu, dilihatnya Siau Tho melangkah keluar dan
berkata: "Lolo, Siocia bilang boleh memberi kesempatan padanya untuk dipertimbangkan dan jangan memaksanya."
"Masa kupaksa dia?" kata Liok-ma. "Rejeki nomplok begini, siapa yeng tidak mau" Bila seorang pemberani,
mungkin kontan akan menjawab ya dan kuatir terlambat
memberi jawaban. Hanya manusia pengecut saja yang suka
ragu2 dan sangsi2, pakai pertimbangan segala."
"Kukira ucapanmu ini kurang tepat?" ujar Peng-say.
"Apa" Tidak tepat?" kontan si nenek mendelik pula.
"Hm, jelas kau takut bila menikah dengan Siau Leng, tentu Ciamtay Boh-ko akan mencari perkara padamu, kalau tidak
masa kau ragu2. Untuk ini. biarlah Liok-ma memberi
jaminan padamu, kutanggung bocah itu takkan merecoki
kau. Kau boleh menjadi majikan Pak-cay kami dengan
aman sentosa, hidup bahagia seumur hidupmu."
Rupanya Liok-ma mengira Soat Peng-say bernyali kecil
dan takut pada Ciamtay Boh-ko, maka dia memberi garansi
penuh. Peng-say tidak mau membantahnya, ia pikir bila aku
suka, boleh kukawin secara resmi dan terang2an,
memangnya siapa yang kutakuti" Apalagi kalau aku kawin
dengan Sau Kim-leng, jelas akan membikin buntu pikiran
sesat Ciamtay Boh-ko, betapapun dia takkan paksa adik
perempuannya yang sudah kawin dengan orang lain untuk
bercerai dan kawin lagi dengan dia sendiri?"
Berpikir demikian, ia merasa jalan pikirannya ini sangat bagus dan akan bantu memecahkan kesulitan orang lain,
dengan simpati ia lantas berseru: "Nona Sau, apabila kau sudah kawin, tentu Ciamtay Boh-ko takkan merecoki kau
lagi dan kaupun tidak perlu kuatir akan dipaksa ikut pulang ke Tang-hay."'
Di dalam kamarnya, Sau Kim-leng merasa ucapan Peng
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
say itu masuk di akal, diam2 hatinya bergirang.
Supaya maklum, di jaman dahulu, perempuan yang
berusia 15 sudah cukup umur untuk kawin. Bila berunur 20
dan belum menikah, maka akan dianggap perawan tua dan
akan menimbulkan omongan iseng tetangga, bila disangka
kelakuannya tidak baik atau mukanya jelek segala.
Kini umur Sau Kim-leng sudah lewat 20. sudah lima
tahun masa jodohnya dilalui dengan hampa, ia menjadi
sedih bila dirinya tidak lekas2 menikah, bisa jadi akan
ditertawai orang. Cuma penilaiannya terlalu tinggi, selama ini belum ketemu jodoh yang cocok. Baru tahun yang lalu
secara kebetulan ia penujui Cin Yak-leng yang cakap. maka tergodalah hatinya. Siapa tahu kekasihnya itu adalah jejaka gadungan.
Tentu saja ia sangat kecewa dan sedih, entah kapan baru
akan menemukan jodoh yang setimpal. Setelah bergaul
setengah hari dengan Soat Peng-say, ia merasa anak muda
ini berhati jujur dan simpatik, banyak segi2 baiknya, apalagi
dia adalah Soat Peng-say yang tulen, bukan Soat Peng-say gadungan. Karena itulah hatinya yang tergoda oleh Peng-say gadungan itu lantas beralih kepada Peng-say yang tulen.
Waktu Liok-ma mengusulkan agar Soat Peng-say
menikahi dia, mendadak timbul semacam perasaan kuat
bahwa dia harus kawin dengan orang ini, karena itulah
dalam hati ia sudah setuju seratus persen. Setelah pulang ke kamarnya, melalui suara kecapi diulanginya perasaannya
itu. Perempuan kalau besar harus kawin. dia melambangkan
perasaannya melalui suara kecapi, ini bukannya dia tidak dapat mengekang diri, melainkan semacam tanda minta
kawin yang normal.
Semula ia kuatir Soat Peng-say tidak sudi menikahinya,
tapi sekarang didengarnya anak muda itu menyuruh dia
jangan kuatir, ia sangka ucapan Peng-say itu berarti anak muda itu sudah setuju untuk kawin dengan dia, dengan
sendirinya ia kegirangan.
Maka dengan malu2 ia menjawab: "Soat . . . Soat-long, ucapanmu betul juga ... . " nyata, tanpa terasa ia telah menyebut Peng-say dengan sebutan "long" (sebutan isteri pada suami atau kekasih).
Liok-ma lantas tertawa, katanya: "Nah, Kongcu dengar tidak?"
Karena hati Peng-say tidak pernah berpikir sampai
sejauh itu, ia tidak tahu dimana letak keistimewaan sebutan
"Soat-long" itu, maka dengan ke-tolol2an ia menjawab:
"Dengar apa?"
Dengan mendongkol Liok-ma mengomel: "Dungu, Siau
Leng sudah ganti sebutan padamu, masa kau tidak tahu"
Menurut pendapatku, jika perkawinan dapat menghilangkan maksud buruk Ciamtay Boh-ko, nah,
kenapa tidak cepat kalian laksanakan saja. Gembleng besi mumpung panas, bagaimana kalau kita langsungkan saja
hari ini juga"!"
"Apa katamu?" seru Peng-say terkejut. "Ini.... ini ....
mana boleh jadi!"
Ya dongkol ya bingung Liok-ma, sungguh sukar
dimengerti ada lelaki aneh begini, ada rejeki nomplok tidak mau, disodori gadis cantik malah menolak. Segera ia
bertanya dengan gusar: "Eh, coba kau bicara yang jelas, sesungguhnya kau mau kawin dengan Siocia kami atau
tidak?" Soat Peng-say sendiri sebatangkara, tidak punya sanak
tidak punya kadang, tidak punya rumah tidak punya
gudang, kawin dan berumah tangga sebenarnya adalah
idamannya, tapi dalam hati kecilnya terasa ada sesuatu
perasaan enggan yang sukar dijelaskan, maka ia menjadi
ragu2 dan menjawab dengan tergagap:
"Aku .... aku tidak tahu ...."
"Apa katamu" Kau tidak tahu?" teriak Liok-ma. "Sialan!
Lelaki macam apa kau ini" Kau kan bukan anak kecil, masa urusan perjodohan sendiri kau bilang tidak tahu?"
"Aku .... aku .... "
"Aku apa" Berani bilang tidak mau, segera kubunuh
kau!" bentak Liok-ma sebelum lanjut ucapan Peng say.
Sungguh lucu dan janggal Masa "ulam mencari sambal", masa ada perempuan mencari lelaki dan memaksanya
kawin. "Liok-ma," tiba2 Sau Kim-leng yang berada di dalam kamar berseru, "sudahlah kalau dia tidak mau, biar
....biarkan dia pergi saja . . . ." Sampai kata terakhir itu, suaranya kedengaran pedih dan tersedan-sedu.
Peng-say tidak tahan mendengar tangisan perempuan,
dengan menyesal ia berkata: "Nona Sau, bukanlah aku tidak mau melainkan karena aku tidak dapat ...."
"Mengapa tidak dapat" Karena aku cuma seorang
perempuan yang tak berguna?" sela Kim-leng.
"O, tidak, bukan begitu," jawab Peng say.
"Tapi. . .tapi akupun sukar memberi penjelasan. . . ."
Liok-ma menjadi murka, bentaknya: "Anak busuk,
plintat-plintut, kalau tidak mau, lekas enyah!"
"Dan adik perempuanku?" tanya Peng-say dengan
bersitegang, "Siapa urus adikmu, lekas enyah, lekas pergi!" bentak Liok-ma pula. "Jika tidak lekas enyah, biar pun nanti didamperat Siocia juga akan kubunuh kau."
Segera Peng-say pasang kuda2 dan melintangkan tangan
di depan dada, katanya pula dengan tegas "Di mana adik perenpuanku?"
"Anak keparat, kau benar2 sudah bosan hidup!" teriak Liok-ma dengan gemas, kontan telapak tangannya menabas
secepat kilat. Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan Pak-cay terhitung juga ilmu silat yang termashur
didunia persilatan walauoun tidak sehebat ilmu pedangnya.
Liok-ma sudah mendapatkan ajaran Ciang-hoat selengkapnya, maka daya serangannya tidak kepalang
dahsyatnya, pukulan demi pukulan bertambah cepat
laksana angin puyuh menyapu daun rontok dan sangat
mengejutkan lawan.
Soat Peng-say belajar Ciang-hoat melalui Siang-jing-pitlok, sebuah kitab pusaka yang memuat seluruh ilmu silat
Bu-tong-pay kecuali ilmu pedang. Ciang-hoat yang terdapat di dalam kitab itu tidak lebih asor daripada Ciang-hoat gaya Pak-cay. Cuma keuletan Peng-say yang selisih jauh di
bandingkan Liok-ma, dengan sendirinya terjadilah perbedaan kekuatan pukulan yang menyolok.
Sedapatnya Peng tay mematahkan beberapa kali pukulan
si nenek, ketika angin pukulan lawan mulai mengurung
dirinya, gerak-geriknya menjadi lamban dan tidak sanggup menangkis dan balas menyerang lagi.
Dengan suatu gerak pancingan, Liok-ma membuat Pengsay kerepotan, menyusul sebelah tangannya lantas
mencengkeram, Peng-say ditawannya hidup2 dan diangkat
ke atas, segera pemuda itu hendak dibantingnya hingga
hancur. Untunglah pada saat itu juga Sau Kim-leng melangkah
keluar, dengan air mata meleleh ia berseru: "Jangan melukai dia, Liok ma!"
"Anak busuk ini terlalu tidak tahu diri, kau malah
melindungi dia?" omel Liok-ma dengan penasaran. "Biar kubanting dia hingga setengah mati, lalu suruh dia enyah dari sini dengan merangkak!"
"Tidak, jangan," ucap si nona Lalu ia bertanya: "Di manakah adik perempuannya?"
"Sejak tadi2 sudah pergi sendiri," jawab Liok-ma.
"Lepaskan dia, biarkan dia pergi juga," kata Sau Kim-leng.
Tapi Liok-ma tidak mau menurut.
Kim-leng menjadi gusar; "Dengar tidak, Liok-ma?"
Tidak kepalang gemas Liok-ma, ia lemparkan Soat Pengsay ke sana, cuma tidak berani menggunakan tenaga berat.
Maka sekali melejit di udara. dapatlah Peng-say berdiri
tegak di tanah.
"Huh, tanpa pedang, ilmu silatmu tiada ubahnya seperti anak kecil umur tiga, tidak tahan sekali pukul!" demikian Liok-ma sengaja mengejek. "Tapi sekalipun kau pakai pedang, yang kau mainkan juga ilmu pedang Pak-cay kami,
ilmu silatmu yang asli tiada berguna sama sekali. Untung Siau Leng tidak jadi kawin dengan kau, jika jadi, kalau ada apa2 mungkin kaupun tidak mampu membela isteri sendiri.
Maka lebih baik cepat merat dari sini, belajarlah beberapa tahun lagi baru nanti perlihatkan lagi kepandaianmu
kepadaku."
Peng-say menahan rasa malunya karena telah keok, ia
tanya pula: "Di manakah adik perempuanku?"
"Apa kau tuli?" damperat Liok-ma. "Kan sudah kukatakan dia telah pergi sendiri"!"
"Dia benar2 pergi sendiri?" Peng-say menegas dengan sangsi.
"Kalau justa aku . . . . " mendadak si nenek tidak melanjutkan.
"Aku apa?" Peng-say menegas.
Liok-ma berlagak tidak sabar dan berteriak "Sudahlah, lekas enyah, percaya atau tidak terserah padamu Adikmu
kan bukan mestika berharga, untuk apa kusembunyikan
dia?" Peng-say manggut2, gumannya: "Ya, benar juga, kalau adik Leng tinggal disini hanya akan menghabiskan nasi
saja. Kalau dia sudah pergi, harus lekas kususul dia."
Habis berkata, tanpa pamit ia terus melangkah pergi
dengan cepat. Ketika lalu di samping Sau Kim-leng, ia
pura2 tidak menghiraukannya, pada waktu Liok-ma lengah,
mendadak tangannya membalik dan berhasil mencengkeram Sau Kim-leng.
Karuan Liok-ma terkejut dan membentak: "Kau cari
mampus"!"
"Tetap di tempat, jangan maju!" bentak Peng-say dengan bengis.
Gemertuk gigi Liok-ma saking gemasnya, damperatnya:
"Anak busuk, berani kau ganggu Siau Leng, kubeset
kulitmu dan betot uratmu!"
Tapi iapun tidak berani sembarangan bertindak demi
melihat air muka Peng-say yang beringas itu.
Anak muda itu masih tetap dengan pertanyaan tadi: "Di manakah adik perempuanku?"
Liok-ma meraung: "Keparat, harus berapa puluh kali
kuulangi perkataanku?"
"Menuruti watakmu yang keras, tidak nanti kau
bebaskan adik Leng dengan begitu saja," ujar Peng-say.
"Pula, adik Leng juga takkan pergi sendiri tanpa menunggu aku."
"Aku bersumpah bahwa dia tidak berada disini," teriak Liok-ma. "Jika dia masih terdapat disini, asal kau temukan, biar Lolo merangkuk di tanah dan menyembah seribu kali
padamu." "Tadi mengapa kau tidak berani sumpah. Kalau kau
berdusta bagaimana?" jengek Peng-say.
"Kalau kubilang dia sudah pergi ya sudah pergi, bila dusta anggap Lolo ini piaraanmu!" jawab si nenek dengan mendongkol.
"Dia pergi sendiri?" Peng-say menegas.
"Sudah tentu pergi sendiri, memangnya harus kuantar?"
jawab Liok-ma. "Kalau dusta"'
"Kalau dusta aku .... "mendadak si nenek tidak melanjutkan.
Segera Peng-say perkeras cengkeramannya pada bahu
Sau Kim-leng sambil membentak dengan bengis: "Kalau dusta bagaimana"'*
Karena dirinya digunakan sebagai sandera, tindakan
Peng-say ini membuat pedih hati Sau Kim-leng dan
mencucurkan air mata, sekarang pemuda itu malah sampai
hati menyakiti lengannya, meski rasanya tulang lengan se-akan2 remuk, tapi sekuatnya Kim-leng bertahan dan tidak
merintih. ia malah berkata dengan sedih "Soat-long, lebih baik kau bunuh saja diriku . . . ."
"Memangnya kau kira aku tidak berani membunuhmu?"
kata Peng-say dengan garang "Hm, kalau Liok-ma tidak mengaku terus terang, tentu kubunuh kau."
"Kau berani?" bentak Liok-ma.
"Kenapa tidak" Paling aku mati bersama dia!" jawab Peng-say dengan angkuh.
Mendadak Sau Kim-leng tersenyum, katanya: "Soatlong, bunuhlah diriku, aku rela mati di sampingmu dan
suruh Liok-ma mengubur kita menjadi satu."
Peng-say melengak, jawabnya kemudian sambil menggeleng: "Tidak, aku tidak mau mati bersama kau, kau ingin mati boleh mati sendirian."
"Tapi kalau kau bunuh diriku, tentu Liok-ma takkan
melepaskan kau, dia pasti akan mematuhi kehendakku,
setelah membunuh kau lalu mengubur kita menjadi satu
liang," ujar Kim-leng.
Di balik ucapannya itu jelas ia ingin menyatakan: 'bila
hidup tidak dapat bersatu ranjang, biarlah mati bersatu
liang'. Peng-say tidak menyangka bahwa hanya dalam waktu
satu hari sesingkat ini si nona telah menaruh perhatian
sedemikian besar padanya. Mau-tak-mau terharu juga
hatinya, katanya dengan menyesal: "Aku takkan membunuh kau, aku cuma minta Liok-ma bicara
sejujurnya."
"Apa yang dikatakan Liok-ma memang betul," ujar Kim-leng. "Adik perempuanmu memang sudah pergi, tadinya dia tidur di kamarku, sekarang sudah tidak ada lagi.
kutanya Siau Tho, dia juga bilang adikmu sudah pergi."
"Tapi dia tidak pergi sendirian!" kata Peng-say.
"Darimana kau tahu?" tanya Kim-leng.
"Mengapa Liok-ma hanya berani bersumpah bahwa dia
sudah pergi. tapi tidak berani bersumpah dia pergi
sendirian" Jelas dia tidak pergi sendirian, tapi pasti ada sebab lain. Untuk itulah aku ingin tanya dengan lebih jelas."
"Cermat juga kau," ujar Kim-leng. "Ingin kutanya padamu, mengapa kau sedemikian memperhatikan dia"
Apakah dia benar2 adikmu?"
"Adik perempuan sendiri sudah tentu harus diperhatikan."
"Kalian saudara sekandung?"
"Bukan. dia Pau-moayku (adik misan).. . ."
"Pantas dia sering memandangmu dengan sorot matanya yang luar biasa, pantas juga kau begini memperhatikan dia.
Apakah kau tahu dia sangat mencintai kau?"
Peng-say menggeleng dan menjawab: "Aku .... aku tidak tahu ..."
"Dan tahukah kau bahwa kau sendiripun sangat
mencintai dia?"' tanya Kim-leng pula dengan hati pilu.
Dengan bingung Peng-say menjawab pula: "Entah, aku ....
aku tidak jelas. . . ."
Remuk rendam hati Sau Kim-leng, katanya: "Baru
sekarang kutahu apa sebabnya kau bilang tidak dapat
mengawini aku. kiranya
kau jatuh cinta kepada Piaumoaymu tanpa kau sadari sendiri, hanya dalam hati
kau merasa tidak dapat kawin denganku, meski kau tahu
sebabnya, tapi sukar menjelaskan, kau cuma tahu tidak
betul jika kawin dengan aku. Dalam hatimu hanya terdapat Piao-moay
seorang. Bolehlah kau pergi mencari Piaumoaymu! Liok-ma, beritahukan duduknya perkara,
tidak boleh berdusta."
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Piaumoaynya telah pergi bersama Ciamtay Boh-ko,
memang betul tidak pergi sendirian," tutur Liok-ma.
"Apa" Mengapa dia pergi bersama Ciamtay Boh-ko?"
tanya Peng-say dengan terkejut.
"Dilihatnya Ciamtay-kongcu sangat cakap, maka dia
lantas ikut pergi bersama dia," jengek Liok-ma.
"Kau dusta! Kau bohong!" bentak Peng-say.
Melihat betapa gelisahnya anak muda itu, sukar
diucapkan rasa kecut hati Sau Kim-leng, dia sengaja
berkata: "Ciamtay Boh-ko memang cakap dan ganteng,
ilmu silatnya juga kelas pilihan apa tidak baik dia
berjodohkan Piaumoaymu?"
"Tidak baik, ya tidak baik," seru Peng-say sambil meng-geleng2.
"Tapi apa daya, Piaumoaymu sendiri yang penujui dia,"
ujar Kim-leng. "Tidak, aku tidak percaya!" Peng-say tetap ngotot.
"Berdasarkan apa kau tidak percaya?" Kim-leng sengaja membakarnya. "Kau kira Piaumoaymu akan mencintai kau dengan sepenuh hati" Tahukah kau hati manusia itu tidak
kenal apa artinya puas" perempuan yang beriman tidak
teguh, bila ketemu lelaki yang lebih baik daripadamu,
segera dia akan meninggalkan dirimu, seperti halnya
Piaumoaymu...."
"Piaumoayku kenapa?" bentak Peng-say dengan melotot dan beringas.
Kim-leng sengaja hendak membikin sedih hati Peng-say,
bilamana anak muda itu sudah putus harapan tentu
perhatiannya akan beralih kepadanya. maka ia sengaja
membual: "Coba kau pikir, Ciamtay Boh-ko adalah
keturunan salah seorang tokoh Su-ki. baik Bun (sastra, sipil) maupun Bu (silat. militer), semuanya melebihi kau. Apalagi keluarga kaya dan berpengaruh, setelah ketemu dia jelas
Piaumoaymu lantas berubah pikiran."
Sampai gemetar badan Peng-say saking gusarnya,
teriaknya: "Kau, kau anggap Piaumoayku itu orang macam apa?"
Dengan sengaja Kim-leng menjawab: "Dia tiada
harganya untuk dicintainya, dia adalah model perempuan
yang beriman tidak teguh."
Tidak kepalang gusar Peng-say, kontan ia menampar
sehingga Sau Kim-leng jatuh terguling, mukanya yang putih bersih itu berhias lima jalur merah bekas jari.
Cepat Liok-ma memburu maju dan merangkul Sau Kimleng. "Kau sendiri perempuan yang tidak teguh," demikian Peng-say mendamperat dengan gregetan. Habis itu ia terus melangkah pergi.
"Berhenti! Setelah memukul orang lantas mau pergi
begitu saja"!" bentak Liok-ma.
Dia bermaksud mengejar, tapi Sau Kim-leng dalam
pelukannya lantas mencegah: "Biarkan dia pergi!"
Setelah melepaskan nona itu, Liok-ma berkata sambil
menggeleng: "Ai, untuk apa kau omong begitu sehingga kau digampar olehnya."
"Aku takkan terpukul secara percuma," ujar Kim-leng sambil meraba pipinya.
"Kau tahu Piaumoaynya bukan model perempuan
begitu, malahan dia. . . ."
"Kutahu. tidak perlu kau katakan lagi," sela Kim-leng.
"Dapat kubayangkan sebab apa dia ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko."
"Jika begitu, mengapa kau. . . ."
"Aku sengaja membikin hatinya terluka dan sukar
disembuhkan selamanya," ujar Kim-leng. "Bilamana dia tidak
berhasil menemukan dan merebut kembali Piaumoaynya, lama2 dia pasti akan melupakan sang
Piaumoay atau mungkin sama sekali tidak suka lagi
padanya, tatkala mana baru akan kelihatan tamparan yang
kuterima ini tidaklah sia2."
"Akan tetapi juga belum tentu dia akan berubah
pikirannya terhadapmu. . . ."
"Bisa, pasti bisa, dia pasti akan berubah pikirannya padaku," kata Kim-leng tegas dan mantap, "Sekarang marilah kita berangkat!"
"Berangkat kemana?" tanya Liok-ma.
"Ke Tang-hay!"
"Tang-hay"!"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya, lekas kita bebenah dan segera berangkat!"
-oo0dw0oo- Sudah tentu Soat Peng-say tidak percaya Cin Yak-leng
ikut pergi bersama Ciamtay Boh-ko dengan sukarela, ia
yakin si nona pasti terpaksa, tapi iapun tidak mengerti
mengapa Ciamtay Boh-ko memaksa Yak-leng pergi
bersama dia"
Jangan2 Ciamtay Boh-ko menyangka Cin Yak-leng ialah
Sau Kim-leng"
Inipun tidak mungkin. Yak-leng kan punya mulut, masa
dia tidak dapat menjelaskan siapa dia" Kalau bukan salah paham, masih ada kemungkinan lain, yaitu Ciamtay Boh-ko penujui Cin Yak-leng, maka menculiknya.
Jika betul terjadi begini, inilah yang menakutkan. Cin
Yak-leng tidak tergolong cantik luar biasa. jika sembarang perempuan disukai Ciamtay Boh-ko, maka jelas pemuda ini
pasti pemuda bangor yang gila perempuan. Berpikir
demikian, Peng-say tidak berani lagi membayangkan
bagaimana akibatnya Cin Yak-leng digondol Ciamtay Bohko. Tapi apapun juga dia harus berusaha sebisanya untuk
menyelamatkan Cin Yak-leng sekalipun jiwa sendiri harus
berkorban. Sudah tentu, waktunya memegang peranan
penting, semakin cepat semakin baik, bila keburu, mungkin kesucian Cin Yak-leng masih dapat diselamatkan.
Karena itulah, sejak meninggalkan Siau-ngo-taysan,
sepanjang jalan ia lantas ber-tanya2 dan mencari keterangan adakah seorang pemuda seperjalanan dengan seorang nona.
Tak tersangka, sudah banyak juga orang yang ditanyai
tapi semuanya menggeleng menyatakan tidak tahu. Ia
menyangka dirinya telah salah arah, tapi kemudian terpikir olehnya bisa jadi Ciamtay Boh-ko menumpang kereta
bersama Yak-leng, kalau mereka tidak memperlihatkan
wajahnya, dengan sendirinya tiada orang yang tahu.
Lantas bagaimana baiknya" Padahal setiap hari entah
berapa banyak kereta kuda yang berlalu-lalang, siapa yang tahu dikereta mana terdapat seorang pemuda dan seorang
nona jelita"
Beberapa hari telah berlalu, makin kesal hati Soat Pengsay, dia tidak tahu pasti kearah mana Ciamtay Boh-ko
membawa Cin Yak-leng, pencarian secara ngawur ini jelas
akan sia2 belaka.
Setengah bulan kemudian, ruang lingkup ratusan li di
sekitar Siau-ngo-tay-san telah dijelajahi semuanya, boleh dikatakan siang malam bekerja tanpa berhenti, tapi hasilnya tetap nihil.
Makin lama waktu yang terbuang makin tidak
menguntungkan dia, keruan ia sangat gelisah dan cemas,
tubuhnya mulai kurus, hampir tidak suka makan dan tidak
enak tidur. Sampai2 kuda yang baru dibelinya itu juga
lantaran bekerja terlalu keras pula dia malas merawatnya, maka kudapun semakin kurus.
Sebulan kemudian, ia merasa tiada berguna lagi mencari
di seputar Ngo-tay-san itu, semula ia percaya pencariannya pasti akan berhasil, sebab orang yang dituju Ciamtay Boh-ko adaiah Sau Kim-leng nona itu tidak diperolehnya, besar kemungkinan Ciamtay Boh-ko akan menunggu kesempatan
di sekitar Siau-ngo-tay-san. Akan tetapi setelah penyelidikan teliti selama sebulan, seluas tiga ratus li di seputar Siau-ngo tay-san sudah dijelajahi dan tetap tiada mendapatkan
sesuatu jejak, maka Soat Peng-say mulai patah semangat, ia yakin pada hari pertama juga Ciamtay Boh-ko telah pergi ke tempat yang jauh, hakikatnya tidak pernah tinggal di sekitar Siau-ngo-tay-san.
Maka ia berganti haluan, ia hendak mencari jarak jauh.
Tapi pencarian jarak jauh terutama harus tahu dulu arah
yang tepat, kalau tidak, makin lama makin jauh jaraknya.
akhirnya tambah celaka.
Untuk memastikan arah kepergian Ciamtay Boh-ko,
setelah sebulan kemudian boleh dikatakan tidak mungkin
lagi, terpaksa harus untung2an.
Empat penjuru terbagi dalam timur, barat, utara dan
selatan, jadi kesempatannya cuma seperempat bagian.
Setelah dipikir dan ditimbang, Peng-say mengambil
keputusan malam ini juga akan berangkat ke jurutan timur.
Keputusannya ini didasarkan kepada tempat kediaman
Ciamtay Boh-ko berada di Tang-hay, di lautan Timur. Jadi lebih besar harapannya jika mencari ke arah timur.
Umpama salah arah, pada suatu hari akhirnya Ciamtay
Boh-ko juga pasti akan kembali ke lautan timur. Sebab
itulah tujuan terakhir Soat Peng-say adalah berlayar,
mendatangi tempat kediaman Ciamtay Boh-ko.
Hari ini dia sampai di Pakkhia, Peng-say tidak
menjenguk famili ke keluarga Cin, juga tidak menyambangi keluarga Beng, dia sengaja menginap di sebuah hotel kecil.
Sudah tiga hari dia tinggal disitu, setiap hari kecuali
pulang tidur di hotel, waktu selebihnya ia gunakan putar kayun di segenap pelosok kota, ia berharap kalau2
kebetulan bertemu dengan Cin Yak-leng. Ia pikir ada
kemungkinan Ciamtay Boh-ko tinggal di kota besar ini, bila dia membawa keluar Cin Yak-leng dan bisa jadi akan
dipergokinya. Sudah tentu jalan pikirannya ini terlalu ke-kanak2an.
Selama tiga hari dia mondar-mandir kian-kemari, sepatu
baru yang dipakainya sudah hampir jebol, tapi Cin Yakleng yang diharapkan kepergok tetap tidak kelihatan.
Terkadang memang dilihatnya satu-dua nona yang
bayangan punggungnya mirip Cin Yak-leng, tapi setelah
didekati dan ditegur, tahu2 bukan. Tentu saja nona yang
disapanya menjadi malu dan memaki dia orang gila.
Selama lebih sebulan Soat Peng-say hidup merana,
keadaannya memang rada2 berubah seperti orang sinting,
Dia malas cuci muka dan sisir rambut, bajunya juga sudah robek, rambutnya semrawut, janggutnya tidak dicukur,
keadaannya menjadi mirip pengemis,
Akhirnya ia merasa dirinya bisa benar2 menjadi sinting
bilamana berdiam lebih lama lagi di Pakkhia. Ia
memutuskan besoknya akan berangkat. Tapi malam
terakhir ini tidak dilewatkan dengan percuma, ia masib
penasaran dan ingin mencari pula. Ia pikir Ciamtay Boh-ko tidak dikenalnya, bila jadi ketika pemuda itu keluar sendiri dan Cin Yak-leng ditinggal di hotel, makanya tidak
dipergokinya. Mumpung masih ada waktu satu malam.
setiap hotel harus diselidiknya dengan baik.
Tapi kebanyakan jongos hotel adalah manusia yang
berjwa budak, terhadap orang atas dia munduk-munduk,
terhadap orang bawah dia tindas. Sudah belasan hotel
didatangi Peng-say, tapi tiada seorang jongos hotel yang mau menggubrisnya, bahkan dia diusir,
Terpaksa ia hanya melongok saja dari luar hotel. Ketika
sampai di luar sebuah hotel yang terbesar di kota Pakkhia, dilihatnya tetamu yang keluar masuk semuanya adalah
orang kalangan atas. Jongos hotel yang garang segera
mengusirnya pergi begitu melihat dia longak-longok di
pintu hotel seperti pencoleng mengincar koper, atau
sedikitnya menganggap pakaian Peng-say terlalu dekil, bila dekat hotel bisa jadi akan membikin kotor tetamu mereka.
Padahal banyak uang perak yang dibawa Peng-say, dia
cukup mampu tinggal di hotel mewah ini. Tapi dia malas
bertengkar dengan jongos yang bejiwa anjing itu.
Coba anda perhatikan, jika melihat orang yang
berpakaian perlente, anjing lantas goyang2 ekor dan menjilat2. Tapi kalau ketemu orang jembel, tanpa alasan terus menggonggong, bahkan akan menggigit. Itulah sifat anjing.
Selagi Peng-say hendak menyingkir, se-konyong2 sebuah
kereta kuda bercat emas dan berhias mentereng menyerempet lewat disisanya sehingga bajunya yang sudah
compang-camping itu terobek sebagian, bahkan kulit
dagingnya juga melecet.
Keruan Peng-say marah, diam-diam ia memaki kusir
kereta itu buta, perlu didamperat.
Dilihatnya kereta warna emas itu tepat berhenti di depan hotel, beberapa jongos lantas berlari mendekati penumpang
kereta, seketika tiada orang yang memperhatikan Soat
Peng-say, maka ia dapat mendekati pintu hotel.
Se-konyong2 Peng-say terkesima, hampir saja ia
berteriak: "Adik Leng!"
Ia kuatir salah lagi dan ditertawai kawanan jongos yang
suka menghina itu, maka tidak jadi berseru. Tapi semakin dipandang semakin mirip, nona yang turun dari kereta kuda itu bayangan punggungnya jelas serupa Cin Yak-leng, cuma sayang tidak kelihatan mukanya dan nona itu lantas
melangkah masuk ke hotel.
Setelah kereta warna emas itu dihalau pergi seorang
jongos yang bertugas menyambut tamu segera melihat Soat
Peng-say berdiri di situ, dengan gusar ia membentak, "He, pengemis busuk! Mau apa berdiri di situ" Mau mencuri ya"
Lekas enyah lekas!" Sambil mendamperat ia terus
mendekati Peng-say dan mendorongnya dengan kuat.
Tapi sedikitpun Peng-say tidak bergerak, ia tanya sambil tertawa: "Sahabat, numpang tanya, apakah nona yang baru masuk tadi adalah langganan hotel kalian?"
Karena sekali dorong tidak dapat membikin Soat Pengsay sempoyongan, si jongos tidak berani meremehkannya
lagi. Maklum, jongos hotel juga banyak pengalaman,
terutama di kotaraja seperti Pakkhia ini tentu tidak sedikit terdapat orang kosen, contohnya adaiah Soat Peng-say di
depannya ini. Jangan kira dandanannya kotor seperti kere, nyatanya memiliki Lwekang yang kuat, didorong saja tetap tegak seperti tonggak.
Orang kosen macam begini kalau tidak memukul orang
masih mendingan, sekali memukul orang. maka pasti jatuh
korban nyawa. Dengan sendirinya si jongos hotel menjadi
waswas, karena takutnya sehingga pertanyaan Peng-say tadi tidak terdengar olehnya.
Peng-say malah menyangka jongos itu tidak mau
memberi keterangan, ia tahu orang begini perlu disogok.
cepat ia mengeluarkan sepotong perak satu tahil dan
dijejalkan ke tangan si jongos.
Dengan gugup jongos itu berkata: "Ah, mana hamba
berani menerima uang tuan besar, ada urusan apa silakan
anda tanya saja."
"Tidak apa2. terimalah," bujuk Peng-say dengan tertawa.
Melihat Peng-say bersikap ramah dan tertawa, jongos itu
menjadi berani, uang perak itu disimpannya, lalu berkata dengan munduk2: "Silahkan Toaya duduk di dalam!"
"Tidak. aku cuma ingin tanya nona tadi "
"O, nona yang tadi itu, beliau. she Soat, sungguh baik hati dia, sudah lebih sebulan dia tinggal di hotel kami, uang tip yang dikeluarkannya setiap kali selalu satu tahil penuh, sebaik hati anda sekarang ini," demikian jongos itu bertutur dengan cengar-cengir.
Peng-say salah dengar, dia rada kecewa dan menegas:
"O, nona itu she Soat?"
"Soat, bukan Sat, Soat dari salju," cepat si jongos menjelaskan.
"Ehm, kiranya sama leluhur denganku," Peng-say manggut2. "Apakah dia tinggal bersama seorang lelaki muda?"
Si jongos tidak lantas menjawab, tapi lebih dulu menjilat pantat. katanya: "Ah, kiranya anda juga she Soat" Sungguh she yang bagus. uang perak sama putih, salju juga putih, putih lambangnya suci. kelak anda pasti akan bertambah
kaya raya lantaran she Soat."
Setelah mengusap ilernya yang berhamburan, jongos itu
menyambung lagi: "Nona itu masih perawan, manabisa
tinggal bersama lelaki muda" Selain dilayani seorang kusir, beliau tinggal sendirian di hotel kami, biasanya jarang
keluar, hanya kalau malam tiba dia suka pesiar sekeliling, lalu pulang kehotel."
Soat Peng-say tambah kecewa, ia menduga nona Soat
pasti bukan Cin Yak-leng, dengan kesal ia kembali ke
pondoknya. Ia merasa bajunya sudah terlalu kumal dan juga bernoda
darah, terpaksa membeli baju baru. Tapi dia tetap tidak
suka cuci muka dan bersisir rambut, sampai luka lecet
keserempet kereta itupun tidak dihiraukannya, lalu rebah dan tidur.
Besoknya ia keluar dengan baju baru, keadaannya
sekarang tidak lagi mirip pengemis cuma kudanya masih
tetap kurus, ia menuju keluar kota melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Orang di tengah jalan sama menyangka dia bandit,
maklum, bajunya baru, tapi rambutnya semrawut dan
bercambang tak teratur. Umumnya kaum bandit memang
tidak suka berdandan. Baiknya dia tidak membawa senjata, kudanya juga kurus, kalau tidak, mungkin orang akan
ketakutan dan tidak berani mendekatinya.
Lambat sekali Peng-say menjalankan kudanya, tidak
banyak lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Karena semalam terlalu banyak memikiri Cin Yak-leng, tidurnya
tidak nyenyak, diatas kudanya sekarang ia menjadi
mengantuk. Selagi dia ter-angguk2 di atas kudanya. mendadak ia
jatuh terjungkal ke bawah, dengan gelagapan ia berbangkit
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan memandang kesana. kiranya dia disenggol lagi oleh
kereta berwarna emas kemarin.
Keruan ia sangat gusar, pikirnya: "Kurang ajar! Lecet kemarin belum lagi sembuh, sekarang kau seruduk lagi
diriku hingga terjungkal. Dasar kusir brengsek, kalau tidak diajar adat, tentu banyak korban lagi yang akan terjadi."
Segera ia mencemplak ke atas kudanya dan mengejar ke
depan. Tapi kudanya itu dalam keadaan kelaparan dan tidak
kuat lari, betapapun dia menghalaunya tetap tidak mampu
menyusul kereta tadi, malahan jarak kedua pihak semakin
jauh, sampai akhirnya bayangan kereta saja tidak kelihatan lagi.
Karena bertekad akan memberi hajaran kepada kusir
kereta, Peng-say tidak berhenti mengejar, diam2 iapun
mendongko! kepada kudanya yang sialan itu, kalau
menyusul kereta saja tidak dapat, apa gunanya kuda ini"
Karena gemasnya, ia tidak peduli kuda itu tahan atau tidak, sekuatnya ia menghalau agar lebih kencang.
Thian memang tidak mengecewakan orang yang
berusaha dengan susah payah. Akhirnya ia dapat susul
kereta itu, dari kejauhan dilihatnya kereta itu berhenti di tepi jalan, ia kuatir kereta itu berangkat lagi dan mungkin akan sukar disusul pula, segera ia percepat lari kudanya.
Tak tahunya kudanya sudah kehabisan tenaga, beberapa
tombak sebelum sampai di tempat tujuan, kuda itu
keserimpet dan jatuh terjungkal dengan mulut membuih.
Cepat Peng say melejit bangun tapi mendadak dilihatnya
gelagat tidak baik, segera ia berlagak sempoyongan dan
jatuh terduduk. lalu merangkak bangun dengan meringis
sambil meraba pantatnya yang kesakitan.
Dilihatnya kereta berwarna emas itu dikelilingi belasan
orang, satu diantaranya yang bertubuh tegap dan beralis
tebal lantas mendekati Peng-say dan berkata: "Orang lalu jangan ikut campur, lekas jalan!"
"Ya, ya!" cepat Peng-say menjawab.
Ia pura2 masih kesakitan karena jatuhnya tadi, jalannya
dibikin terincang-incuk dan sangat lambat. Waktu lewat di samping kereta, sekilas lirik dilihatnya si kusir kereta terpanah mati di tempat duduknya. tapi tiada terdengar
sesuatu di dalam kabin kereta.
Yang mengelilingi kereta itu terdiri macam2 jenis orang, ada Hwesio, ada Tosu, ada tua ada muda, semuanya
tampak tangkas dan kuat. jelas jago silat yang lihay.cuma tidak diketahui dari golongan mana.
Terdengar seorang tua bermuka putih lagi berkata:
"Budak she Soat, tidak perlu kau berlagak mampus, lekas keluar, sudah cukup banyak perkaramu,"
Lalu seorang Hwesio gemuk menyambung dengan
bergelak tertawa: "Budak busuk, selama sebulan ngendon di Pakkhia, tidak sedikit kan hasilmu?"
Seorang Tosu tua dan kurus menukas: "Asalkan semua
barangnya kau serahkan, tentu kami takkan menjebloskan
kau ke dalam penjara dan mamberi jalan hidup bagimu."
Meski ketiga orang itu sudah bicara sekian banyak, tapi
di dalam kereta tetap tiada reaksi apapun se-akan2 tiada penumpangnya.
Peng-say berdiri dikejauhan, dilihatnya kabin kereta itu tertutup oleh tirai yang indah, maka tidak jelas apakah di dalam kereta ada orang atau tidak.
Dari ucapan ketiga orang tadi, jelas nona she Soat itu
adalah pencuri ulung yang telah banyak melakukan
kejahatan di Pakkhia. tapi perbuatannya diketahui orang2
ini, maka mereka mencegatnya di sini untuk membagi
rejeki. Di antara belasan orang itu, kecuali ketiga orang yang
bicara tadi, rata2 berumur 30-an, bahkan ada beberapa
orang di antaranya cuma berusia 18-19 tahunan, mereka
terdiri dari empat lelaki kekar, tiga Hwesio dan lima Tosu.
Melihat orang2 itu berani mencegat kereta berwarna
emas itu di tengan jalan raya, Peng-say menyangka mereka adalah jago pengawal keluarga yang kehilangan, mungkin
jeri kepada kelihayan maling perempuan itu, maka mereka
tidak berani menangkapnya, cukup asalkan barang
curiannya diminta kembali.
Tapi sampai sekian lama tetap tiada reaksi apapun di
dalam kereta. Si kakek bermuka putih menjadi tidak sabar, bentaknya: "Budak busuk, kau dengar tidak perkataan kami"!"
Ucapannya ini tetap seperti batu tenggelam kelaut,
sedikitpun tiada jawaban.
Dengan murka si kakek berteriak: "Lepaskan panah!"
Serentak keempat lelaki tegap mementang busur dan
melepaskan panah, hanya sekejap saja kabin kereta itu telah penuh tertancap anak panah sehingga mirip landak raksasa.
Anehnya, di dalam kereta tetap tiada sesuatu reaksi apa2.
Selesai memanah, salah seorang lelaki itu berkata:
"Lotoa, mungkin di dalam kereta tiada penumpangnya."
Si kakek muka putih tidak berani memeriksa sendiri, tapi ia
memberi perintah: "Coba kalian ber-empat memeriksanya."
Selagi keempat orang itu hendak mendekati kereta,
mendadak si Tosu buru2 membentak: "Nanti dulu!"
"Eng-lo (kakek Eng), maasa engkau kira budak itu masih sembunyi di dalam keretanya?" tanya si kakek muka putih.
"Pagi tadi muridku menyaksikan dengan mata kepala
sendiri budak itu naik ke dalam kereta, kuyakin pasti tidak salah." jawab si Tosu kurus.
"Anak panah yang dilepaskan keempat Long bersaudara belum sampai menembus kereta ini, maka tiada salahnya
jika kita bertindak lebih hati2."
Si Hwesio gemuk menyelutuk dengan tertawa: "Memang
tidak salah pertimbangan Eng-lo ini, Selama sebulan budak itu telah merajalela di seluruh kota Pakkhia dan tidak
pernah gagal, suatu tanda dia memang pintar dan cerdik,
maka kita barus menghadapinva dengan hati2, jangan
sampai kita terjungkal di sini."
"Bagaimana jika menurut kau, Hou-ya?" tanya si kakek.
Hwesio gemuk ter-bahak2. katanya: "Kukira karena kita sama2 kawan satu garis, meski dia belum bergabung dengan kita. mengingat jerih payahnya selama sebulan, cukup
asalkan dia membagi separo saja bagi kita."
"Nah, budak liar, Hwesio, Tosu dan Preman kami hanya minta separo bagian saja, kau setuju tidak?" bentak si Tosu kurus.
Baru sekarang Soat Peng-say tahu duduknya perkara,
kiranya orang2 ini juga bandit, mereka sengaja menghadang di tengah jalan dengan cara bandit makan garong,
Ia masih ingat cerita Tio Tay-peng bahwa di kalangan
hitam terdapat tiga orang bandit yang biasa berdandan
sebagai Hwesio, Tosu dan orang preman. Karena ilmu silat mereka tidak terhitung kelas satu, maka cerita itu tidak
terlalu menarik baginya. Kini ia jadi ingat lagi bahwa
mereka itu juga disebut sebagai Hou, Eng dan Long atau
Harimau, Rajawali dan Serigala.
Hou Ceng (Hwesio harimau), Eng to (Tosu rajawali) dan
Pek-bin-long (serigala muka putih) tidak bercokol disuatu gunung sebagai pangkalan, tapi adalah bandit yang
beroperasi serba bebas, anak buah mereka tidak banyak,
Hou-ceng cuma membawa tiga murid, Eng-to lima murid,
Pek-bin-liong tidak punya murid, tapi membawa empat
saudaranya sebagai pembantu.
Begitulah si kakek muka putih, Pek-bin-long, seperti
manghapalkan harta tabungannya, sedang berkata: "Budak she Soat, selama sebulan kau telah mencuri sepasang Ya-beng cu (mutiara bercahaya di waktu malam) dirumah Thio
houya, delapan ekor Giok-be (kuda kemala) di rumah Lihouya, serenteng mutiara mestika di kediaman Ui-houya,
sepasang kupu2 kemala hijau dan dua biji batu merah di
rumah Go-ongya serta menggerayangi satu biji semangka
jamrud dan sepotong bunga karang mestika di rumah Hoongya." Diam2 Soat Peng-say menjulur lidah demi mendengar
benda2 berharga itu. Setiap macam benda itu sukar dinilai harganya, kalau digabung, jangan ditanya lagi. Mungkin
saudagar mas-intan paling kaya juga tidak sanggup
membelinya. Ia tidak tahu ketujuh macam barang itu adalah benda
mestika yang paling terkenal di Pakkhia, terkecuali benda mestika simpanan raja. Sudah lama ketiga gembong bandit
itu mengincarnya, cuma penjagaan si pemilik terlalu ketat, maka sebegitu jauh mereka tidak mampu turun tangan.
Namun mereka tidak putus asa, mereka memasang
mata2 pada setiap keluarga itu. asalkan penjagaan si
pemilik sedikit kendur, segera mereka diberitahu dan
berusaha mencurinya. Tapi sayang, kesempatan bagus itu
selama ini belum terbuka, sia2 mereka menunggu sekian
tahun. Tapi dalam bulan ini agen2 yang mereka tanam di
tempat2 pemilik benda pusaka itu telah memperlihatkan
manfaatnya, meski bukan pemberitahuan peluang untuk
mencuri, tapi pada saat yang tepat mereka diberitahu
tentang hilangnya benda2 pusaka itu, dengan demikian
mereka sempat mencegat malingnya dengan cara hitam
makan hitam. Maka ketiga gembong bandit dengan anak
buahnya lantas merembet masuk Pakkhia untuk menyelidiki pencuri itu. Mereka tidak mampu mencuri
sendiri, tapi untuk mencari tahu siapa pencurinya tentu
tidak sulit bagi mereka. Akhirnya diketahui pelakunya
adalah seorang nano she Soat yang tinggal di sebuah hotel.
Mereka pikir menghadapi seorang nona muda belia
tentulah tidak sukar, mereka mengambil keputusan akan
"hitam makan hitam", maka begitu maling perempuan itu menguras ketujuh benda mestika terkenal di kotaraja ini
dan membawanya kabur, mereka lantas mencegatnya di
tengah jalan untuk merampasnya.
Sesungguhnya merekapun terlalu gegabah, mereka
menyangka dalam waktu singkat saja dapat membereskan
maling perempuan itu, maka secara terang2an mereka
mencegatnya di tengah jalan raya.
Tak tahunya lawan sama sekali tidak memberi reaksj,
bahkan bersembunyi didalam kereta dan tidak mau keluar.
Padahal orang yang berlalu lalang tambah banyak,
perbuatan mereka itu tentu saja sangat menarik perhatian khalayak ramai. Mereka menjadi gelisah, apalagi mengingat maling perempuan hanya sendirian mampu memcuri
ketujuh benda pusaka, ilmu silatnya tentu juga tidak rendah
maka mereka mulai mundur teratur dan cuma minta bagi
rejeki separo bagian saja.
Meski orang yang berlalu lalang cukup ramai, tapi tiada
seorangpun yang berani meniru Soat Peng-say dan berhenti menonton di situ, mereka kebanyakan adalah kaum
saudagar yang alim, melihat kereta itu penuh anak panah
dan dikerumuni orang2 yang berwajah jahat serta
bersenjata, jelas sedang terjadi pembegalan. Maka banyak di antara saudagar itu segera putar balik agar tidak ikut
terkena getahnya.
Hanya Soat Peng-say saja yang masih berdiri menonton
disamping, tapi ketiga gembong bandit itupun tidak
memperhatikan, mereka menyaksikan Peng-say terbanting
jatuh dari kudanya, andaikan mahir ilmu silat juga sangat terbatas, maka tidak perlu dihiraukan. Cuma cara kerja
mereka harus cepat mengingat perbuatan mereka sudah
dilihat orang, bila orang yang putar balik ke kota itu
memberi laporan kepada yang berwajib, tidak lama lagi
pasukan pemerintah mungkin akan datang, maka dalam
waktu setengah jam ini mereka harus dapat membereskan
pembagian rejeki ini.
Si Hwesio gemuk tadi lantas berseru pula dengan
tertawa: "Nona Soat, baiklah aku hanya minta serenteng mutiara saja. Eng-lo dan Long-heng, apa yang kalian
inginkan, lekas katakan padanya, setelah bagi rata segera kita angkat kaki."
"Bagiku cukup sepasang Ya-beng-cu itu," kata si Tosu kurus.
Pek-bin-long juga berseru: "Dan aku minta kedelapan ekor kuda kemala saja."
"Nah, nona Soat, permintaan kami ini tentunya cukup ringan bagimu," seru si Hwesio, "benda pusaka milik
keluarga Ongya (pengeran) itu boleh menjadi bagianmu
sendiri." Tapi setelah ditunggu sekian lama, tetap tiada jawaban.
Pek-bin-long menjadi murka, teriaknya: "Budak she Soat.
janganlah kau terlalu kepala batu Jika tidak lekas jawab, terpaksa kita gunakan kekerasan!"
Si Hwesio juga hilang sabar. ucapnya: "Eng-lo, suruh kelima muridmu memberi tanda peringatan kepadanya."
Sekali si Tosu rajawali memberi perintah, serentak
kelima Tosu muda melolos senjata masing2, yaitu sepasang Boan koat pit dan segera disambitkan ke depan seperti
lemparan lembing.
"Crat cret" hampir pada waktu yang sama sepuluh buah Boan-koan-pit menembus kabin kereta kuda itu, ujung Boan koan-pit tampak menonjol keluar di sisi sana. Apabila di dalam kereta ada penumpangnya, biarpun berbaring juga
akan tertembus tubuhnya oleh kesepuluh Boan-boat-pit itu.
Akan tetapi ujung Boan-koan-pit tidak kelihatan ada
bekas darah, jelas penumpang di dalam kereta tidak terkena serangan.
Hwesio harimau lantas memberi tanda, tiga HwesiO
muda tanpa bersuara sama angkat tongkat mereka yang
ujungnya lebar tajam seperti kampak, berbareng mereka
sundukkan ketiga tongkat kedalam kereta, ujung tongkat
juga menembus kesana, tapi aneh, tetap tidak berdarah.
Kini kabin kereta itu sudah dipenuhi anak panah, Boankoan-pit dan tongkat Hwesio, seekor kelinci saja sukar
sembunyi di situ, jangankan manusia.
Maka berkatalah Hwesio harimau dengan masgul: "Kita tertipu, kereta ini kosongl"
"Coba digeledah lagi, budak itu tidak menumpang kereta ini, tapi benda pusaka curiannya mungkin disembunyikan
di dalam kereta," kata Pek-bin-long.
"Baiklah, kita memeriksanya bersama!" ajak Hwesio harimau. Dia kuatir ada perangkap didalam kereta, kalau
maju bersama akan lebih aman.
Begitulah lima belas orang lantas mendekati kereta itu
dengan pelahan. Sudah begitu mereka tetap kebat-kebit dan takut, jelas karena kepandaian maling perempuan itulah
yang membuat jeri mereka.
Seorang lelaki pemberani mendahului mendekati pintu
kabin kereta, tirai jendela ditariknya hingga terlepas. Lalu ia melongok ke dalam dan berseru: "Bayangan setan saja tidak ada di dalam!"
Karena itu, orang2 itu menjadi mantap, berbareng
mereka berjalan maju dan membuka pintu kereta, semua
tirai kereta juga ditarik sehingga bagian dalam kereta
terkena sinar terang, jelas, kereta ini memang tanpa
penumpang. Jadi satengah harian mereka cuma ribut sendirian,
sungguh konyol. Dengan mendongkol Pek-bin-long
memaki: "Budak busuk, budak sialan!"
Dengan menyengir Hwesio harimau lantas memberi
perintah: "Cabut semua senjata kita. lalu digeledah lagi lebih teliti."
Hanya sekejap saja semua senjata yang menancap
dikabin kereta itu sudah dibersihkan, kereta yang tadinya bercat emas indah itu kini menjadi ber-lubang2 seperti
sarang tawon. "Di bawab jok, dinding samping dan belakang,
semuanya dipereteli dan diperiksa, coba adakah tersembunyi sesuatu benda mestika, cepat, waktunya sudah hampir habis!" seru Pek-bin-long.
Be-ramai2 belasan orang itu lantas melompat keatas
kereta, ada yang memukuli dinding kabin dan membongkarnja, ada yang menyingkap jok tempat duduk,
cuma Hwesio harimau bertiga juga menduga kemungkinan
ditemukannya benda mestika itu sangat tipis. Bisa jadi
sebelumnya maling perempuan itu sudah mengendus
gelagat tidak enak, maka kabur kearah lain dengan
membawa hasil curiannya itu.
Sejak tadi Peng-say berdiri menonton di samping.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tujuannya yang utama ialah ingin melihat bagaimana wajah nona Soat itu. sekarang nona itu ternyata tidak berada di dalam kereta, segera ia membalik tubuh dan melanjutkan
perjalanan, diam2 ia menyesal telah kehilangan kudanya
hanya karena mengejar kereta ini tanpa mendatangkan hasil apapun.
Tapi baru saja ia melangkah, se-konyong2 terdengar
suara jepretan ber-ulang2, menyusul lantas terdengar suara jeritan ngeri. Ia terkejut dan cepat menoleh, dilihatnya nona Soat yang bayangan punggungnya mirip Cin Yak-leng itu
mendadak muncul disamping kereta.
Sekaligus nona itu telah memanah mati ke-12 orang yang
sedang mengobrak-abrik kabin kereta itu, waktu Peng-say
berpaling, nona itu telah membalik tubuh lagi kesana dan sedang mengangkat sebuah alat bidikan yang kecil, tiga
anak panah kecil warna hitam terus dibidikkan ke arah
Hwesio bertiga yang asyik mengobrol itu.
Waktu ketiga gembong bandit itu mendengar jerit ngeri
anak murid mereka, dengan segera mereka tahu ada sesuatu telah terjadi. Mereka tambah terkejut ketika melihat si
maling perempuan yang sukar dicari jejaknya itu tahu2
muncul di samping kereta. Mereka sempat menghindari
ketiga panah kecil warna hitam pertama, tapi tiga panah
lain seeera menyambar tiba pula.
Cara membidik panah maling perempuan itu cepat luar
biasa, ketika untuk keempat kalinya ia membidik lagi tiga panah, Hwesio bertiga tidak sanggup menghindar pula,
untung tidak mengenai ulu hati mereka melainkan cuma
menancap di bagian lengan. Dalam keadaan begitu, jika si maling perempuan menyusuli tiga panah lain, jelas pasti
akan mengenai ulu hati mereka dengan telak, tapi hal ini tidak dilakukannya, agaknya ia sudah puas setelah
panahnya berhasil mengenai lengan mereka.
Kalau lengan cuma terkena sebuah panah sekecil itu,
bagi orang" kuat macam Hwesio gemuk itu tentu saja tidak manjadi soal. Mereka melihat ke-12 muridnya sudah binasa seluruhnya di dalam kereta, mereka menjadi gusar dan
membentak: "Budak busuk, kalau punya kepandaian lain, janganlah melepaskan panah!"
Maling perempuan itu tertawa, jawabnya: "Baik panah tidak kugunakan." " lalu ia benar2 menyimpan kembali alat bidikan itu ke kantong kulit yang tergantung di
pinggangnya. Serentak Hwesio bertiga melolos senjata dan membentak: "Terjang!"
Si maling perempuan tenang2 saja, ia menggeleng kepala
dan berkata: "Tiga lelaki besar mengeroyok seorang nona cilik tidak tahu malu!"
Tapi ketiga gembong bandit itu tidak menghiraukan
olok2 itu, mereka melompat maju terus membacok,
menabas dan menutuk.
Maling perempuan itu tidak menggunakan senjata, ia
cuma berkelit dan menyelinap kian kemari di tengah
sambaran senjata ketiga lawan.
Belum lagi beberapa jurus, "trang", tanpa sebab golok Pek-bin-long terjatuh sendiri ketanah, menyusul terdengar ia menjerit ngeri: "Wah, tanganku!"
Baru lenyap suaranya, kembali terdengar gemerantang
lagi dua kali, senjata Hwesio harimau dan Tosu rajawali
juga terjatuh, merekapun menjerit: "Aduh tanganku!"
Peng-say menjadi heran, sama sekali mereka tidak
diserang si maling perempuan, memangnya kenapa tangan
mereka" Waktu ia memperhatikan, dilihatnya tangan kanan
ketiga orang itu sama berwarna hitam pekat.
Baru sekarang Peng-say terkejut, diam2 ia membatin:
"Jahat amat panah kecil beracun itu."
Rupanya Hwesio bertiga tadi menyepelekan panah kecil
yang melukai lengan mereka itu, mereka terus melabrak
lawan tanpa mencabut panah kecil itu, sebab bila panah
dicabut, tentu dari lukanya akan mengalirkan darah, hal ini akan mengurangi tenaga mereka. Demi mengerubuti maling
perempuan itu dan merampas benda pusaka curiannya,
mereka tidak menyadari racun panah telah menjalar, tangan mereka berubah menjadi hitam dan terasa kaku, mereka
baru menyadari hal ini setelah senjata terlepas dari cekalan.
Cepat mereka merobek lengan baju kanan, tertampak
warna hitam dilengan sudah merembet sampai di atas siku, bilamana warna hitam itu merambat sampai dada, maka
tamatlah riwayat mereka.
Tegas tindakan Pek-bin-long, tanpa ragu2 ia jemput
golok sendiri dengan tangan kiri, sekali tabas segera ia kutungi lengan kanan sendiri sebatas bahu.
Hwesio harimau juga tidak berani ayal, cepat ia jemput
kembali tongkatnya yang berujung seperti kampak itu,
sekali bacok iapun membuntungi lengan kanan sendiri.
Wajahnya yang selalu tertawa2 itu kini lebih tepat
dikatakan menangis.
Senjata Tosu rajawali adalah Boan-koan-pit. dengan
sendirinya tidak dapat digunakan menabas lengan sendiri
yang keracunan itu, dengan gugup ia berseru: "Long-heng, tolong, lekas, lekas!"
Segera Pek-bin-long ayun goloknya pula, tapi lantaran
racun sudah merambat maju lagi. terpaksa lengan Tosu
yang ditabasnya tepat di batas pundak. Keruan sakitnya
berlipat ganda, Tosu itu menjerit dan hampir saja jatuh
kelengar. Menyaksikan ketiga lawan membuntungi tangan sendiri
dan darah berhamburan, namun si maling perempuan itu
tidak mengambil pusing, ia malah tertawa nyaring dan
berkata: "Tidak lekas enyah, apakah minta paha kalian juga kupanah"!"
Sambil bicara iapun berlagak hendak mengambil alat bidiknya lagi,
Keruan ketiga gembong bandit itu ketakutan, lukapun
tidak sempat dibalut, cepat mereka lari ter-birit2.
Maling perempuan itu tertawa ter-kekeh2, tampaknya
sangat gembira. Setelah puas tertawa, pe-lahan2 ia
membalik tubuh.
Baru pertama kali ini Soat Peng-say berhadapan muka
dengan muka orang, dilihatnya wajah nona Soat ini
potongan daun sirih, matanya besar dan memperlihatkan
sifat2 yang jahil dan penuh misteri, tapi tampaknya juga sangat menyenangkan.
Bayangan punggung serta perawakannya sangat mirip
Cin Yak-leng, tapi mukanya sedikitpun tidak sama. Meski
nona Soat ini boleh dikatakan lebih cantik daripada Cin
Yak-leng, tapi Peng-say justeru merasa sangat kecewa.
Betapa dia berharap wajah nona Soat ini akan mirip Cin
Yak-leng, paling baik kalau nona ini memang Cin Yak-leng adanya. Akan tetapi ternyata bukan. Terpaksa ia cuma
menghela napas dan melangkah pergi sambil menggeleng.
"Hai, kemari kau!" mendadak maling perempuan itu berseru.
Peng-say hanya menoleh dan bertanya: "Apakah nona
memanggil diriku?"
"Semua orang sudah lari ketakutan, yang tertinggal cuma kau sendiri, siapa lagi kalau bukan memanggil kau?" kata maling perempuan itu.
Peng-say sengaja berkerut kening dengan lagak ogah2an.
jawabnya: "Ada urusan apa nona memanggilku?"
"Tidak perlu kau menggeleng, menghela napas dan tidak suka," kata maling jelita itu. "Yang kubunuh adalah orang jahat demi kesejahteraan umum, seharusnya kau bersyukur
dan ikut bergembira. Mari sini, tampaknya nyalimu cukup
besar, bantulah menggotong dan membuang mayat2
didalam keretaku ini"
"Nona yang membunuh mereka, silakan nona menggotong sendiri, aku tidak mau."jawab Peng-say.
"Aku sendiri tidak kuat, tolonglah bantu," pinta si maling cantik.
Sudah tentu Peng-say tidak percaya, tapi gerak-geriknya
mengingatkan dia kepada Cin Yak-leng, setelah menghela
napas, ia menjawab: "Baiklah, akan kubantu kau!"
Dengan lambat2 Peng-say merangkak keatas kereta, ia
pura2 tidak bertenaga dan menggotong mayat2 itu kebawah
kereta dengan susah payah.
Dilihatnya ke-12 sosok mayat itu semuanya mati karena
ulu hati terpanah, diam2 ia sangat kagum kepada kejituan panah si nona.
Sampai lama baru ke-12 mayat itu diturunkan, nona itu
lantas mengeluarkan sepotong perak dan diberikan kepada
Peng-say, katanya; "Tampaknya kau sangat kasihan, tentu sudah beberapa hari kau tidak makan. Ini, ambil uang perak ini dan makanlah yang kenyang."
Tanpa sungkan Peng-say terima pemberian itu tapi
dengan ketus ia menjawab: "Ini adalah upah jerih payahku menggotong mayat, jangan kau omong seperti orang yang
memberi sedekah,"
"Eh, dapatkah kau mengemudikan kereta?" tiba2 si nona bertanya dengan tertawa.
"Apakah nona ingin mengundangku menjadi kusir?"
tanya Peng-say.
"Kusirku telah terpanah mati oleh mereka, jika kau mau, akan kuberi upah satu tahil perak setiap hari," kata si nona dengan tertawa.
"Wah, royal benar nona ini, masa upah kusir satu tahil satu hari?" ucap Peng-say dengan mulut ber-kecek2. "Akan tetapi bagiku masih kurang banyak."
"Kurang banyak?" nona itu menegas dengan terbelalak.
"Kau tahu, kusir umumnya jangankan satu hari satu tahil, biarpun tiga hari juga sukar mendapatkan untung satu tahil, malahan mereka harus membawa kereta dan kuda sendiri."
"Tapi kusir dan kusir kan berbeda," ujar Peng-say.
"Menjadi kusir nona harus jual nyawa pula, dengan
sendirinya satu tahil terlalu sedikit bagiku. Jika nona mau, lima tahil satu hari, tidak mau, batal!"
Nona itu tampak mendongkol, omelnya: "Gila kau!"
"Tidak mau ya sudahlah, selamat tinggal!" seru Peng-jay terus hendak melangkah pergi.
Pada saat itu juga mendadak dari arah kota sana debu
mengepul tinggi. Si nona berseru kuatir: "Wah, celaka!
Pasukan pemerintah dan para jago pengawal memburu
tiba!" Tapi Peng say pura2 tidak mendengar, bahkan ia
melangkah terlebih cepat.
Cepat si nona berteriak; "He, hei, kembali! Baiklah, lima tahil, jadi!"
Tak terduga, Peng-say lantas menggeleng, jawabnya:
"Tidak, sekarang tarip sudah naik, sepuluh tahil satu hari."
Si nona menjadi gusar, omelnya: "Sialan, jangan main peras!"
"Ai, ucapan nona ini tidak enak didengar," kata Peng-say sambil menggeleng. "Untuk menyelamatkan diri. masa
sepuluh tahil satu hari tidak kau bayar?"
Karena pengejar sudah makin dekat, terpaksa si nona
berseru dengan gemas: "Baiklah, sepuluh tahil!"
Tanpa bicara lagi Peng-say lantas melompat ketempat
kusir, tapi sampai sekian lamanya dia berkutak-kutek kereta itu belum lagi bergerak.
Keruan si nona sangat mendongkol dan gelisah, ia berteriak2 di dalam kereta sambil memukul kabin: "He, ada apa, lekas larikan kudanya!"
"Tidak mau jalan!" jawab Peng-say.
Dengan gusar si nona mendamperat: "Sialan! Hakikatnya kau tidak dapat mengendarai kereta."
"Aku memang tidak bisa " kata Peng-sny tanpa malu2
sedikitpun. "Kalau tidak bisa, kenapa kau terima pekerjaan ini?"
omel si nona. "Kan nona cuma tanya padaku apakah mau menjadi
kusir, karena kau memberi upah yang lumayan, aku lantas
coba2 pekerjaan ini."
Melihat pengejar semakin dekat, sedikitnya berjumlah
ratusan orang, wajah pengejarpun kelihatan jelas, si nona menjadi kuatir, segera ia berbangkit dan bermaksud
meninggalkan kereta dan lari.
Tak terduga, se-konyong2 ia tergentak jatuh terduduk
lagi, sebab mendadak kereta itu bergerak ditarik keempat ekor kuda, lantaran tidak ter-sangka2, nona itu terbanting dengan cukup keras.
Kiranya Soat Peng-say rmemang tidak mahir menjadi
kusir, di mana letak rem kereta saja tidak tahu.
Kusir yang tadi ketika dicegat penjahat, terpaksa ia
mengerem keretanya dan berhenti, setelah kusir mati
terpanah dan Peng-say menggantikannya, karena tidak tahu rem kereta harus dibuka lebih dulu, dengan sendirinya
kereta tidak mau jalan. Untung pada detik terakhir secara kebetulan pegangan rem kena dirabanya, sekali kereta dapat bergerak, keempat ekor kuda yang sudah dihalau sejak tadi segera membedal secepat terbang. Sebab itulah nona Soat
yang berada di dalam kereta jadi terbanting jatuh.
Untung dia tidak terlempar keluar kereta, ia cuma
meringis sambil meraba pantatnya yang kesakitan. Karena
dia berharap Soat Peng-say akan melarikan kereta itu
secepatnya, maka dia tidak mengomel kejadian itu, ia
anggap dirinya yang sial ketemu 'orang gila".
Cara Peng-say mengemudikan keretanya juga tidak
memenuhi syarat, bilamana dia minta rebewes ditanggung
dia akan diapkir.
Cepatnya sih memang cepat lari keretanya. tapi kereta itu sebentar meliuk ke kanan dan sebentar lagi berkeluk ke sisi kiri, larinya tidak pernah lurus, kalau dipandang dari
belakang, orang pasti mengira kusirnya lagi mabuk atau
kudanya yang gila.
Nona Soat di dalam kereta hanya geleng2 kepala belaka,
ia pikir kalau begini caranva Peng-say mengemudikan
kereta, sebentar lagi pasti akan tersusul oleh pasukan
pengejar itu. Benar juga, pasukan pengejar sudah semakin dekat,
suara bentakan sudah terdengar dengan jelas.
Namun begitu, Soat Peng-say juga pantang menyerah,
dia masih terus menghalau kuda agar berlari terlebih
kencang, akan tetapi makin kencang makin tak keruan jalan keretanya, untung tidak terperosot ke sawah di tepi jalan.
kalau tidak, mustahil kereta itu tidak akan terbalik dan penumpangnya tidak terjungkir.
Akhirnya tersusul juga oleh pasukan pengejar, tapi ketika disuruh berhenti, Soat Peng-say justeru tidak mau berhenti.
Bukannya dia nekat, soalnya dia tidak sanggup menghentikannya.
Dua orang jago pengawal yang cekatan segera membedal
kudanya hingga sejajar dengan kuda penarik kereta, mereka terus melompat ke atas kedua kuda paling depan, dengan
demikian dapatlah kereta itu dihentikan,
Serentak ratusan penunggang kuda itu mengelilingi
kereta berwarna emas itu, para penunggang kuda itu
kebanyakan adalah jago pengawal istana pangeran dan
orang berpangkat di kotaraja, sebagian lagi adalah kaum
opas. Seorang kepala opas lantas mengangkat sepotong gada
besi dan membentak dengan bengis: "He, orang itu" Kenapa kau kabur?"
"Kabur" Ti. . .tidak". . ." jawab Peng-say dengan gelagapan.
Kaum opas sudah biasa main bentak dan main pukul
terhadap rakyat kecil, melihat kusir ke-tolol2an ini, segera ia membentak pula: "Berani kau menyangkal"!" Berbareng gada besinya terus menghantam dada Soat Peng-say
Mendadak Peng-say berteriak terus terjungkal ke bawah
kereta, lagaknya seperti duduknya tidak betul dan terpeleset kebawah. Padahal dia sengaja berlagak gugup dan
ketakutan, tapi dengan tepat mengelakkan pukulan gada
besi. Kepala opas itu tidak tahu akal bulus Soat Peng-say itu, disangkanya anak muda itu memang takut padanya. ia
tambah galak, makinya dengan tertawa: "Setan alas!
Dimana malingnya?"
"Maling apa?" jawab Peng-say. "Aneh, masa polisi tanya si kusir, kan lucu?"
Semula kepala opas itu melengak, lalu menjadi gusar,
bentaknya: "Kurangajar!" Segera ia ayun gadanya hendak menyerang lagi.
Tapi seorang kakek botak bermuka merah cepat
memanggilnya: "Ong-thauji!"
Tampaknya kepala opas she Ong itu tidak berani
semberono terhadap si kakek botak, cepat ia menarik
kembali serangannya dan bertanya: "Ya, ada apa, Tan-losu?"
Kakek botak she Tan itu adalah kepala penjaga istana
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
salah seorang pangeran yang kehilangan benda pusaka,
tokoh pilihan dari Tiam-jong-pay. Lwekang dan Gwakangnya tergolong kelas tinggi. lebih2 ilmu pedangnya, jarang ketemu tandingan. Kepandaiannya terhitung paling
tinggi di antara semua jago pengawal istana pangeran yang kehilangan barang itu.
Begitulah kakek botak itu lantas menjawab: "Biarkan kutanyai dia dulu."
"Silakan Tan-losu tanya saja," jawab Ong thauji dengan hormat.
Melihat pintu kereta bercat emas itu tertutup rapat, si
kakek botak tersenyum, tanyanya kemudian: "Eh, saudara ini, mohon tanya siapakah penumpang keretamu ini?"
Peng-say menjawabnya dengan tersenyum: "Harap kakek maklum, kereta hamba ini tanpa penumpang."
Meski tirai pintu dan jendela kereta itu telah ditarik
terlepas oleh kawanan Hwesio dan Tosu tadi, tapi daun
pintu dan jendela yang terbuat dari kayu itu masih baik2, sekarang telah ditutup rapat2 dari dalam oleh si nona Soat.
Tampaknya kakek botak she Tan itu tidak percaya, ia
berkerut kening dan berkata pula: "Apa betul tidak ada penumpangnya?"
Dengan tetap tersenyum Peng-say menjawab: "Betul, jika kakek tidak percaya, silakan engkau memeriksanya."
Kakek botak itu memandang sekejap ke arah kereta, lalu
berkata: "Periksa sih tidak perlu. kupercaya adik cilik ini bukan orang yang suka bohong."
Si kepala opas she Ong tadi tidak sependapat dengan si
kakek botak, diam2 ia membatin: "Si tua she Tan ini tinggi ilmu silatnya, tapi tidak pernah mengusut perkara, masa
oceban seorang kusir boleh dipercaya begitu saja."
Dia bermaksud menggeledah kereta, tapi juga tidak
berani bertentangan dengan kehendak si kakek botak.
Peng-say lantas memberi hormat dan berkata pula: "Jika tidak ada urusan lain, hamba mohon diri untuk
melanjutkan perjalanan."
"Nanti dulu, ingin kutanyakan sesuatu lagi," kata si kakek botak. "Di tengah jalan tadi terdapat belasan sosok mayat, siapa yang membunuhnya, tentu kau tahu bukan?"
Soat Peng-say mengangguk, jawabnya: "Ai, tadi hamba hampir saja mati ketakutan, waktu rombongan kakek
menyusul kemari, hamba menyangka datang lagi kaum
bandit, maka lari sekuatnya. Karena gemetar ketakutan.
hamba menjadi bingung dan tak dapat melarikan kereta ini dengan baik, kukira kakek dan tuan2 yang lain sudah
melihatnya dengan jelas."
Salah seorang jago pengawal lain berwatak keras, segera
ia membentak: "Tidak perlu kau mengoceh, lekas katakan, belasan mayat di tengah jalan sana apakah dibunuh oleh
seorang maling perempuan"!"
Orang ini berasal dari sebuah perusahaan peternakan
besar she Liong di Kwan-gwa, diluar tembok besar.
Keluarga Liong terkenal dengan permainan cambuknya.
Orang ini sejak kecil bekerja sebagai gembala di peternakan keluarga Liong itu, karena kerjanya giat, orangnya jujur,
maka oleh pemilik peternakan, yaitu Liong Hi-cong, dia
diterima sebagai murid. Ia tamat belajar pada usia 30,
karena tidak mau bakatnya terpendam di daerah
perbatasan, dia masuk kedaerah Tionggoan untuk mencari
Cukong yang baik agar mendapat kemajuan.
Hampir sepuluh tahun dia berkecimpung di dunia
Kanguow, namanya memang sudah mulai membubung,
bila orang menyebut Li Yu-seng dari Kwan-gwa, semuanya
tahu permainan cambuknya memang cukup lihay. Cuma
sayang, Hokkhinya kurang, sejauh itu belum ketemu
cukong yang cocok, ia hidup luntang-lantung. hampir saja cambuk perak pemberian sang guru dijual untuk biaya
hidup. Syukurlah permulaan tahun yang lalu dia mendapat
pekerjaan dirumah Ho-houya, keluarga Ho yang berpangkat
raja muda ini memang kaya raya, dia diangkat menjadi
kepala penjaga rumah. Itupun atas ikhtiar sang guru, kalau tidak mungkin sampai detik ini dia masih menganggur.
Rupanya iapun puas dengan pekerjaannya itu, ia bekerja
dengan giat dan hati2, ia pikir periuk nasi ini harus
dipertahankan dan jangan sampai berantakan.
= Cara bagaimana Soat Peng-say akan mengocok
lawannya dengan caranya yang kocak "
= Siapakah nona she Soat yang menjadi pencuri ini "
" == Bacalah jilid selanjutnya 8 == "
-ooo0dw0ooo- Jilid 8 Tak tersangka belum setahun dia bekerja sudah tertimpa
musibah, benda pusaka sang majikan, yaitu delapan ekor
kuda kemala, telah hilang dicuri orang.
Houya, sang majikan itu bermaksud melapor kepada
yang berwajib, tapi bila hal ini dilaporkan akan berarti tamat pula karir Li Yu-seng, bukan saja periuk nasinya
berantakan, selanjutnya juga jangan berharap akan
mendapat pekerjaan lagi, bila tersiar ke dunia persilatan nama Li Yu-seng pasti juga tercemar.
Mau-tak-mau ia tepuk dada dan menjamin benda pusaka
yang bilang itu pasti akan ditemukan kembali sehingga sang majikan batal lapor perkara ini kepada yang berwajib. Tapi majikan juga memberi batas waktu, dalam satu bulan
barang yang hilang harus kembali.
Keruan selama beberapa hari akhir2 ini kaki Li Yu-seng
hampir patah lari kesana dan balik kesini, tapi bayangan Giok-be atau kuda kemala tetap tak terlihat. Sementara itu batas waktu sebulan sudah hampir berakhir, tentu saja ia tambah kelabakan sehingga seperti semut di dalam wajan
yang panas. Suatu hari dia minum arak di satu restoran untuk
menghilangkan rasa kesalnya, kebetulan dia bertemu
dengan si kakek botak yang bernama Tan Goan-hay, karena
sama-sama bekerja di keluarga bangsawan, keduanya sudah
kenal. Dalam pasang omong mereka baru diketahui mereka
senasib setanggungan. Rupanya majikan Tan Goan-hay
juga kehilangan benda pusaka.
Ketika mereka berdua mengadakan kontak pula dengan
kawan lain, diketahui pula bahwa kedua keluarga raja
muda lain juga kemalingan, kedua kepala penjaga rumah
tangga itu masing2 bernama Ho Kong-lim dan Tan Yambok, yang satu ahli golok Toan-bun-to dari Kwitang dan
yang lain jago Ang-kun dari Hopak.
Kedua orang itupun serupa Tan dan Li berdua, demi
menjaga gengsi, mereka minta kepada majikan masing2
agar jangan lapor kepada pihak yang berwajib, mereka
menjamin dalam waktu singkat barang yang hilang pasti
dapat ditemukan.
Akan tetapi keempat jago pengawal itu sudah bergabung
dan telah melakukan penyelidikan bersama dan sampai
sekarang belum lagi menemukan seuatu tanda2 yang
memberi harapan.
Mereka menjadi heran juga bahwa di antara tujuh
macam benda pusaka yang terkenal di kota raja ini, masih ada dua macam lain milik keluarga pangeran yang lain
belum terdengar ikut tercuri. Jangan2 jago pengawal di
istana pangeran itupun serupa mereka, menjaga gengsi dan sengaja tidak melaporkan kecurian itu.
Keempat orang itu lantas mengunjungi Hoa ih-congkoan
atau kepala penjaga istana dan menjelaskan benda pusaka
majikan mereka telah hilang dicuri orang, maka minta
bantuan agar Hoa-ih-cong-koan istana pangeran itu mau
bergabung dengan mereka untuk menyelidiki bersama
peristiwa itu. Tak tersangka Hoa-ih congkoan itu justeru menyatakan
benda pusaka milik majikannya masih tersimpan dengan
baik dan tidak pernah hilang. Agar keempat rekannya itu
mau percaya, dia sengaja memperlihatkan benda pusaka
sang majikan, bahkan menepuk dada dan menyatakan
betapa ketat penjagaannya sehingga tidak mungkin si
maling mampu menggerayangi istana pangeran itu.
Kiranya Hou ih congkoan istana pangeran itu bernama
The Kim ciam, anak murid Siau-lim-pay dari keluarga
preman, usianya belum 30 tahun sudah termashur karena
ilmu permaiaan tongkat Hang-mo-tiang-hoat yang jarang
ada tandingannya, Sebab itulah dia menjadi tinggi hati dan anggap tiada maling yang berani mengganggunya.
Padahal nama The Kim-ciam sebenarnya tidak lebih
gemilang daripada nama Tan Goan-hay di dunia persilatan.
Kalau sipencuri benda pusaka berani merecoki Tan Goanhay, mustahil tidak berani terhadap The Kim ciam, dia
cuma lebih mujur, yaitu giliran terakhir menjadi incaran si maling.
Karena ajakan kerja sama mereka ditolak. Tan Goan-hay
berempat juga tidak banyak bicara, hanya mulai malamnya
mereka lantas mengawasi istana pangeran itu dengan
cermat. mereka yakin istana pangeran itu pasti juga akan didatangi si pencuri. Maka diam2 ia mengintai. Benar juga, pada malam itu mereka menyaksikan si pencuri benda
pusaka itu melayang masuk ke istana pangeran itu.
Mereka menyesal karena The Kim ciam tidak mau
bekerja sama, maka mereka sengaja tinggal diam, mereka
hanya siap siaga bilamana maling itu hendak kabur
membawa hasil curiannya barulah mereka akan muncul
dan membekuknya,
Akan tetapi nona Soat itu cukup cerdik. ditambah lagi
Ginkangnya memang tidak lemah, biarpun di bawah
pengawasan para jagoan itu benda pusaka istana pangeran
itu tetap berhasil digerayanginya dan dibawa lari. Cuma
iapun tidak menyadari bahwa jejaknya telah diketahui dan sedang diintai, ketika dia membawa barang curian dan
melayang keluar dari istana pangeran itu, serentak ia
terkepung oleh Tan Goan-hay berempat.
Sudah tentu ia kewalahan dikerubut empat jagoan itu.
apalagi ditambah The Kim-ciam yang menyusul tiba, ia
lebih kepayahan, terpaksa ia bertahan sekuatnya.
Menjelang fajar, dengan beberapa jurus serangan
pedangnya yang aneh dapatlah dia membobol kepungan
dan lari pulang ke hotel. Ia tahu dalam waktu singkat
musuh pasti akan mencium jejaknya dan menyusul tiba,
maka cepat ia meringkasi ketujuh benda pusaka hasil
curiannya dan membangunkan kusir kereta lalu kabur
keluar kota. Ia yakin keretanya yang cukup cepat itu pasti dapat lolos dari kejaran musuh. tak terduga Hwesio. Tosu dan Preman, tiga gembong bandit sudah lama mengintainya dan telah
mencegatnya tidak jauh di luar kota.
Waktu kereta itu menyerempet Soat Peng-say, hal ini
bukannya disengaja melainkan karena gugupnya si kusir.
Soat Peng-say sendiri karena mengantuk diatas kudanya
sehingga dengan mudah tersenggol jatuh terjungkal.
Sementara itu Tan Goan-hay berlima demi menjaga
gengsi tetap tidak mau menghubungi pihak yang berwajib
meski jejak si pencuri sudah diketahui. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan nona Soat, tanpa halangan dia
dapat kabur keluar kota. Sedangkan Tan Goan-hay berlima
masih sibuk mencari jejaknya di tengah kota. Untungluh
setelah dicari kian kemari, akhirnya pada hotel yang
dipondoki nona Soat itu diperoleh keterangan bentuk dan
wajah maling benda pusaka yang serupa dengan nona Soat
itu, maka mereka terus menyiapkan segala keperluan dan
bermaksud mengadakan pengejaran jarak jauh dan bertekad
membekuk maling perempuan itu.
Setiba dipintu gerbang timur, tiba2 mereka kepergok
barisan opas yang dipimpin kepala opas Pakkhia yang
bernama Ong Cin-ek. Kepala opas Ong itupun kenal Tan
Goan-hay dan konco2nya itu adalah para jago pengawal
istana pangeran, dengan sendirinya ia menegur sapa dan
memberitahu maksud tujuannya yang hendak mengejar
kawanan bandit yang mengacau di kotaraja.
Tan Goan-hay dan lain2 pura2 menyatakan hendak
membantu Ong Cin-ek, dengan sendirinya tawaran ini
diterima baik. Mereka tidak tahu bahwa Ong Cin-ek sudah
tahu terjadinya pencurian2 itu, kedatangannya sekarang ini justeru hendak menangkap maling yang melakukan
pencurian secara besar2an itu.
Kiranya majikan Li Yu-seng yang diam2 telah laporkan
peristiwa pencurian itu kepada pihak yang berwajib, hanya saja untuk menjaga jangan sampai membikin malu jago
pengawalnya sendiri, pihak yang berwajib hanya diminta
agar meyelidikinya secara diam2 selama sisa batas waktu
yang masih ada, yaitu lima hari. Tugas penyelidikan itu
dilakukan oleh Ong Cin-ek yang cukup berpengalaman.
Selama dua hari dia menyelidiki setiap orang yang kira2
harus dicurigai, diketahui kotaraja telah kedatangan
kawanan bandit yang dipimpin oleh tiga gembong bandit
Hwesio, Tosu dan Preman itu Berbareng itu juga ditemukan seorang tamu perempuan berkereta warna emas yang patut
dicurigai, maka diam2 dikirim petugas untuk mengawasi
perak-geriknya.
Malam hari ketika diketahui kawanan bandit telah
meninggalkan kota, hal ini tidak diperhatikan oleh Ong
Cin-ek, sebab kawanan bandit itu hanya beberapa hari
berdiam di dalam kota dan laporan tentang pencurian
sudah terjadi 20 hari, jelas pencurian bukan dilakukan oleh kawanan bandit itu. Maka kecurigaannya tertuju kepada
tamu perempuan muda she Soat yang sudah sebulan tinggal
di kotaraja itu, begitu kawanan bandit itu pergi,
perhatiannya lantas dipusatkan kepada diri tamu she Soat.
Pengawasan diperketat. Maka begitu mendapat laporan
bahwa pagi2 perempuan muda she Soat itu telah angkat
kaki, Ong Cin-ek menjadi sibuk dan cepat2 pimpin belasan
anak buahnya melakukan pengejaran dan kebetulan
bergabung dengan rombongan Tan Goan-hay.
Di tengah jalan diperoleh laporan pula bahwa di luar
kota terjadi pembegalan, setelah ditanya lebih jelas,
diketahuinya kawanan bandit hendak main hitam makan
hitam. Maka cepat ia mengerahkan barisannya ke sana.
Akhirnya tersusul juga kereta yang dimaksud. tapi Tan
Goan-hay menganggap kereta itu kosong dan tidak perlu
digeledah. Sudah tentu Ong Cin-ek serba susah dan tidak
berani membantah.
Hanya Li Yu-seng saja, karena batas waktunya tinggal
dua hari saja. bila besok juga terlewatkan dengan sia2,
berarti periuk nasinya akan berantakan. Maka ia coba
menggertak Soat Peng-say pula dengan ayunan cambuknya,
sekali sabat ujung kabin kereta sempal sebagian, lalu
bentaknya: "Lekas katakan, siapa yang membunuh belasan orang di sana tadi" Dilakukan seorang perempuan bukan?"
Soat Peng-say tetap duduk saja tanpa bergerak, ia
berlagak pilon seperti tidak tahu betapa lihaynya sabatan cambuk Li Yu-seng itu, dengan tertawa ia menjawab: "Eh.
tuan ini hendaklah bersabar sedikit, bila ingin tahu apa yang terjadi, harap tenang dan dengarkan cerita hamba."
Li Yu-seng menjadi gusar dan mendamperat: "Kentut
makmu! Lekas ceritakan, jika rewel, sekali hantam
kuhancurkan kepala-anjingmu!"
Saking gregetan ia benar2 ingin membinasakan Soat
Peng-say dengan sekali hantam. Tapi Tan Goan-hay telah
mencegahnya: "Li-laute, apa yang dikatakan saudara cilik ini memang betul juga, tenanglah dan dengarkan ceritanya."
Di antara mereka ilmu silat Tan Goan-hay terhitung
paling tinggi, walaupun tidak resmi dan telah menjadi
kepala rombongan, maka terpaksa Li Yu-seng menurut,
begitu pula yang lain. Ho Kong-lim dan Tan Yam-bok
adalah kedua orang yang menghentikan kereta tadi. mereka masih memegangi kuda penarik kereta dan mengikuti
perkembangan selanjutnya, kedua orang ini cukup percaya
kepada kemampuan Tan Goan-hay, segalanya mereka
serahkan kepada keputusannya.
Tapi Li Yu-seng lantas mendesak lagi: "Hayo, lekas
ceritakan!"
Namun Soat Peng-say justeru bicara dengan seenaknya,
ucapnya dengan pelahan: "Pagi tadi hamba sendirian
meninggalkan kota. . . ."
"Jadi sejak pagi keluar kota kereta ini memang kosong?"
sela Tan Goan-hay.
Peng-say tertawa, ia tidak membenarkan secara
langsung, tapi berkata pula: "Hamba sendirian keluar kota, sampai di sini. . . ."
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bohong kau!" bentak Ong Cin-ek mendadak. "Di dalam keretamu kan ada seorang penumpang perempuan, lekas
katakan siapa dia"!"
"Kubohong atau tidak ada sangkut-paut apa dengan
kau?" jawab Peng-say dengan tertawa.
Ong Cin-ek jadi melengak sehingga tidak sanggup
bersuara lagi. Padahal Soat Peng-say memang tidak bohong, dia
memang keluar kota sendirian. Maka ia lantas menyambung: "Setiba di sini, kulihat belasan penjahat menghadang di tengah jalan dan mengatakan didalam
kereta ada benda mestika segala, malahan mereka terus
mengganas, ya panah, ya golok, semuanya tertuju kereta
ini, se-akan2 dengan begitu benda mestika akan keluar
dengan sendirinya dari dalam kereta."
Dia sengaja menekankan suaranya pada istilah "benda mestika" sehingga bagi pendengaran si nona Soat di dalam kereta,
rasanya ialah yang dimaksudkan sebagai "mestikanya". Keruan ia sangat mendongkol.
"Pada saat itulah tiba2 datang seorang Lihiap (pendekar perempuan) yang berbusur kecil," tutur Peng-say pula.
"Terdengar suara jepretan beberapa kali dan kontan
beberapa orang lantas roboh Hanya tersisa tiga pentolan
bandit saja tidak terpanah ulu hatinya yang mematikan.
Tapi panah kecil itu beracun, meski cuma mengenai lengan kanan mereka, hanya sebentar saja lengan mereka lantas
berubah menjadi hitam."
"Hm, kiranya dia murid ahli racun Cu Hway-tong!"
jengeK Tan Goan-hay.
"Siapa itu Cu Hway-tong?" tanya Tan Yam-bok.
"Berapa usia Tan-hiaute tahun ini?" tanya Tan Goan-hay.
Di antara kelima orang usia Tan Yam-bok memang
paling muda, ia jadi melengak karena tidak tahu apa
sebabnya mendadak orang menanyakan umurnya, jawabnya kemudian: "Tahun ini 27."
"Pantas kau tidak kenal nama Cu Hway-tong," tutur Tan Goan-hay. "Pada 30 tahun yang lalu Cu Hway-tong itu sudah malang melintang di dunia Kingouw, bukan saja
ilmu pedangnya, bahkan keahliannya menggunakan racun
sangat ditakuti setiap orang persilatan. Tapi entah mengapa, 27 tahun yang lalu mendadak dia menghilang dari dunia
ramai, bisa jadi dia sengaja mengasingknn diri untuk
mempelajari semacam ilmu pedang dan ilmu pedangnya
sudah sama2 kita ketahui."
"Dilihat dari ilmu pedang muridnya, agaknya tidak sia2
selama 27 tahun Cu Hway-tong mengasingkan diri," ujar Tan Yam-bok. Nyata ia sangat mengagumi ilmu pedang si
maling perempuan she Soat itu.
Diam2 Peng-say membatin: "Kiranya nona itu pun
mahir ilmu pedang. entah selama 27 tahun ilmu pedang apa yang diciptakan oleh gurunya yang bernama Cu Hway-tong
itu sehingga musuh juga merasa kagum sekali."
Mendadak Li Yu-seng membentak: "Kemudian bagaimana. hayo lekas teruskan, kusir!"
"Kemudian. . . kemudian ketiga pentolan bandit itu
merasakan lihaynya racun yang mengenai lengan mereka,
buru2 mereka mengutungi lengan sendiri dan melarikan
diri," tutur Peng-say dengan ter-gagap2.
"Yang kutanya bagaimana kemudian dengan maling
perempuan itu?" kata Li Yu-seng dengan mendesak,
Soat Peng-say sengaja membetulkan istilah orang,
katanya: "Maksudmu si pendekar perempuan itu?"
Kuatir Li Yu-seng ribut lagi dengan Soat Peng-say, cepat Tan Goan-hay menimpali: "Betul, kemudian bagaimana
dengan pendekar perempuan itu?"
"Wah, akupuu tidak jelas," ujar Peng-say sambil mengangkat bahu. "Hamba terus kabur mengendarai kereta ini, mana sempat ku perhatikan diri pendekar perempuan
Rahasia Peti Wasiat 11 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Bunga Ceplok Ungu 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama