Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 3

Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Jilid 4 : bagian 2
Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali.
Beberapa kali dia mengulur tangan hendak menghibur, tapi ditariknya kembali.
Jantungnya serasa copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi"
Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada. "Jangan........... jangan menangis, Nona........... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki begitu."
"Siapa sudi berlaku serendah itu" Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba tangisnya menghilang dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis aneh ia sehingga Kun Hong mendengarkan sambil terlongong. "Akan tetapi, siapa tidak mendongkol" Sampai hampir copot rasanya lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksa tadi, akan tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang buta! Baru kau muridnya yang buta saja begini hebat, apalagi gurunya yang tidak buta. Ah, aku berdebat dengan ayah, aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku takkan mungkin dapat mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...........!" Dia menangis lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.
"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau seharusnya bangga karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."
Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya" Pribudiku rendah dan aku bukan bandingnya sama sekali. Hatinya emas tapi hatiku tembaga. Begitukah" Pantas saja kau tidak perduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku karena........... lengan terkutuk ini ...........
aduh." Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat mainkan pedangnya sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Kini dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.
"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya. Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan berseru,
"Celaka.......! Mana mungkin" Ahh..........." dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.
"Bagaimana" Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang penuh kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."
"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan ..........."
"Sukar bagaimana" Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.
"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin.......?" Jalan darah itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini"
"Kenapa tidak mungkin" Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah yan-goat-hiat" Bukankah ini di sini?" Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi ia segera menjerit perlahan, "........... aduuuhhh...........!"
"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat hawa murni dan Iweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota, benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."
"Wah, perlu apa kau berpidato" Aku tidak ingin menjadi tabib, tidak mau belajar mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."
"........... bagaimana mungkin..........?"
"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini" Mengapa pakai bagaimana mungkin segala" Pendeknya, kau becus tidak mengobatinya?"
"Tentu saja bisa ..............."
"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"............. ya tapi .......... tapi .......... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa mengalir dan ..........."
"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"
"Tapi........... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di ......... ketiak ......."
"Aduh kemaki (sombong) kau, ya" Kalau di ketiak kenapa" Apa kau kira ketiakku terlalu. kotor" Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu suaranya marah sekali.
Kun Hong menarik napas panjang, tak disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Eh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! He, orang buta, apakah kau memang tidak sudi menolongku?"
"........... bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali.
Tapi....."
"........... tapi apalagi?"
"Eh, maaf........... bagian yang diobati itu harus........... harus........... tidak tertutup ..........."
Hening sejenak. Biarpun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup baju, membuat gadis itu menjadi merah sekali mukanya dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.
Apakah dia sengaja hendak mempermain-kan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar" Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.
"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"
Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.
"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"
"Sama sekali tak dapat melihat" Sedikit pun tak dapat melihat?"
Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, siang dan malam sama gelapnya..........."
Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati" Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"
Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui bahwa gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan sifatnya, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih daripada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.
"....... aduh .......!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.
"Hemmm....... lebih hebat daripada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga Iweekang agar kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar." Kun Hong lalu membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dia mengerahkan tenaga sakti dari tubuhnya, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Tiba-tiba ia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.
"Wah....... gila......." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.
"Apa yang gila" Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi. Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan Iweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri. Ketika dia menyalurkan tenaga Iweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga, akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.
Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba ia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat. Kun Hong terheran dan bertanya,
"Kenapa, Nona ...........?"
"Aiiihhh....... hi-hik, geli amat....... jari-jarimu menggelitik ..........."
Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya. "Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona." Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disedarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini.
Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh takluk betul sekarang. Kau hebat!" Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,
"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"
"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar" Tunggu sebentar di sini, ya"
Duduklah di bawah pohon, nah di sini ......." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti." Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya.
Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi tertawa-tawa girang dan kedua lengahnya penuh barang-barang. Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah-udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mang-kok terisi masakan ini ia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan supit!
"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hinya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu bicara dan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.
"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, supitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading" Dari mana kau memperoleh semua ini?" Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.
"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!" Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya. Gembira sekali mereka, apalagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya!
Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas, sikapnya terbuka dan Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah. Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya "ingin menang sendiri". Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah amat jujur dan cukup memiliki pertimbangan yang adil.
Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.
"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Kenapa matamu sendiri sampai bisa menjadi buta" Apakah sebabnya matamu buta?"
Kali ini gadis itu bicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh.
Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab,
"Karena salahku sendiri................"
"Hemm, apakah ada yang membikin buta" Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya dan membalas membutakan matanya!"
Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya, akan tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.
"Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."
Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!"
"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"
Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring gembira. "Kakak buta, sebetulnya kau siapakah" Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benar-benar menggembirakan dan mudah menular, Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.
"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Adapun tempat tinggalku, heemm...........
untuk saat ini yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu" Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"
"Kwa Kun Hong........... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku mempunyai hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, malah pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap, aku tahu bahwa ayahmu selain kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu itu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"
"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir juga?"
Berdebar jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi apalagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu" Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali Emas).
"Aku tahu....... aku hadir di sana......." Dia cepat menambah untuk menghilangkan. "Aku bersama ayah ibuku....." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah bundanya.
"Twako, siapa ayahmu" Tentu tokoh hebat......."
Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong, ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu segera meloncat lagi ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san-ciangbunjin (ketua Hoa-san-pai)! Maaf....... maaf, ya, Twako" Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"
"Hush, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta, jangan kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."
"Habis harus menyebut apa" Namamu Kwa Kun Hong....... hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak Hong) saja. Bagus, kan?"
Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebutnya Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini berada di sampingnya!
"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tapi kau sendiri belum memperkenalkan namamu."
Gadis itu tertawa riang. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka dipanggil Bi-yan-cu......." Nada suaranya manja.
Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"
"Siapa bilang hitam" Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kulitku amat bagus dan sehat, tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat kekurangan darah. Lihat lenganku ini....... eh, kau mana bisa lihat! Kenapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?" Biarpun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu memandangnya dengan bibir yang mungil cemberut.
"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu."
"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk, kan" Seperti nama laki-laki."
"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat, mengingat bahwa kau memiliki gerakan yang lincah dan cepat seperti burung walet. Siauw-poi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"
Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh,
"Betina liar itu tentu takkan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.
"Hemm, kalau kutangkap ia, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!"
Sambung seorang laki-laki yang suaranya besar.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas segera menghubungkan sebutan "betina liar" tadi dengan Loan Ki. "Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?"
"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Kehilangan nasi dan masakan begitu saja mencak-mencak seperti merak kehilangan ekor."
"Wah, jadi yang kita makan tadi ....." Kun Hong berseru kaget.
"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban ini. "Kau menyesal, Hong-ko" Nah, kau muntahkanlah kembali."
Ia lalu tertawa-tawa menggoda.
"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"
Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, dua orang itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"
Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi......." dia berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan rak yang sudah kosong, "Wah, celaka si keparat, sudah disikat habis!"
Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan pendengarannya. Laki-laki itu sedikitnya berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda daripada yang laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang mengandung tenaga Iweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar.
Akan tetapi Loan Ki yang melihat dua orang itu mendapat kesan yang lebih mengagetkannya. Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam dan disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang aneh bentuknya, bergagang dua dan ujungnya runcing. Kiranya itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di dapur untuk mengambil arang, tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih besar daripada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.
Adapun laki-laki itu yang juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning, matanya lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya, tubuhnya tinggi besar mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar dan mengkilap saking tajamnya seukuran golok tapi bentuknya persegi.
Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.
"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan membuka mulut menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"
Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab, saling pandang dan memandang ke arah mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,
"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Dihabiskannya semua, celaka. Twa-nio (nyonya) akan memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!"
Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.
"Dan aku....... ah, aku yang kasihan....... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja" Mampus aku kalau sio-cia memaksa aku menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru...... celakanya, sio-cia takkan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi."
Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki. "Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah menotok roboh dua orang pembantuku!"
"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.
Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak kalau kalian kelaparan dan kebetulan berada di rumahku kalian boleh balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku berjanji takkan marah kalau kalian menyikat habis masakan-masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"
"Adil matamu......!" nenek itu memaki.
"Adil mukamu....... yang jelita!" kakek itu pun memaki.
Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tapi Loan Ki benar-benar telah mengeluarkan janji yang tak masuk di akal dan seenak perutnya sendiri. Mana mungkin pencuri di "bayar" dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan boleh balas mencuri di dapur rumahnya" Tak masuk di akal dan alasan anak-anak, maka dia pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata,
"Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda.
Sesungguhnya, tadi siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini supaya mengemis makanan. Siapa kira dia tidak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."
Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang enak sekali memasuki telinga mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki twa-nio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.
"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia dapat kubujuk. Dua orang locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun mengangguk-angguk membenarkan.
"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang gajal, kenapa kau sebut-sebut mereka locianpwe segala" Wah, bisa kepala mereka menjadi makin besar dan kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini
"merusak" suasana yang sudah begitu baik. Celaka, pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan.
Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya. Loan Ki tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya. Ia menjejakkan kaki ke atas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Di lain saat ia telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias bibir.
Kun Hong tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Akan tetapi karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,
"Ki-moi, sesudah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Kalau kau melanggar aku tidak mau bicara lagi denganmu!"
Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu serangannya menjadi kacau-balau dan dengan nekat dan ngawur ia menyerang membabi-buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.
"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta bantuan kepada temannya.
Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina Hitam) tak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong. "Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) golongan cianpwe hendak menghina yang muda, tetapi sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan ia berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya, ngilu dan menusuk-nusuk tulang sumsum!
Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya. Angin menderu dan diam-diam Kun-Hong menjadi kaget dan khawatir, jelas terdengar olehnya betapa Ban-gu-thouw ini memiliki tenaga dahsyat yang tak boleh dipandang ringan. Biarpun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat dan mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat, tetap merupakan bahaya bagi Loan Ki.
"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru, tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan terbuka dan....... di lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau itu!
Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"
"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.
"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku!"
Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya.
Jilid 5 : bagian 1
Ban-Gu-Thouw menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada saat itu Loan Ki tertawa haha-hihi. Dia menjadi marah dan berkata,
"Orang muda buta, kenapa kau merampas golokku?"
"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya.
Makanan itu sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."
"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari twa-nio dan siocia, tapi karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima hinaan orang!"
Kun Hong cepat menjura. "Marap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami orang-orang muda. Kalau perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf. Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."
Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,
"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap twa-nio atau siocia" Ha-ha-ha, orang muda, benar-benar lucu kalau ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak mcnghadap majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tapi agaknya kalian mengandalkan kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau menghadap majikan kami, biar kucoba dulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi" Awas serangan!" Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun Hong. Pemuda ini dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah pergelangan tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan....... sebelum Ban-gu-thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya telah pindah ke tangan orang buta itu! Dan tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong mengangsurkan golok kepada pemiliknya.
"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang siap menerima hukuman!"
kata Ban-gu-thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi di ikuti temannya. Loan Ki mengikuti mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi punggung mereka.
"Hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.
"Apanya yang lucu! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran, siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu" Kepandaian mereka itu tak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu luar biasa pula dan bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana minta maaf."
Loan Ki cemberut. "Tak sudi aku minta maaf! Apalagi kepada twa-nio dan siocia yang mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku memberi hajaran kepada mereka."
Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tak baik pula kita tinggal bersama-sama di sini, kalau mereka datang lagi tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung dapat berkenalan denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau berhati-hatilah melakukan perjalanan, lebih baik kalau kau segera pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja seperti kau ini lebih aman kalau berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini. Mudah-mudahan lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak seperti orang kaget. Agaknya ia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu berdiri.
"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.
"Eh, ke mana" Jalan kita bersimpang di sini."
"Iihh, siapa bilang" Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."
"Heh?" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tak sudi ke sana, tak sudi minta maaf!"
"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu dipukuli kepalanya oleh twa-nio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"
Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan diajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan mencurigakan itu. Dia tahu dengan pasti bahwa sekali menyatakan keinginan hatinya, tidak ada lautan api yang dapat menghilangkan gadis kepala batu ini.
Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Hebatnya, perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang besar dan luas. Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah danau besar dan di tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu, jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.
Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu mengenal tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular Hijau ini mempunyai banyak pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut "Daerah Ular Hijau" seakan-akan berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau. Orang mencari kayu kering sekali pun tidak akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.
Para pedagang sayur-sayuran dan kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan tentu dibereskan oleh para pelayan.
Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki oleh majikan Ular Hijau.
Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai "berlari di atas air" dan pandai "terbang"! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke mulut karena kalau ditanya sungguh-sungguh, tak seorang pun pernah menyaksikan dengan mata sendiri.
"Hong-ko, keadaan mereka amat aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil di tengah danau, sunyi bukan main."
"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"
"Aku tidak pergi kesana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah dimaki-maki. Aku hilang sabar, menotok roboh empat orang pelayan dan merampas makanan dan arak."
"Kau memang nakal."
"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."
"Habis bagaimana?"
"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga. Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu, kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."
"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai tertarik oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.
Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau akan tetapi juga tidak kelihatan ada manusia di sekitar telaga. Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan membayangkan cahayanya di atas air telaga yang berkeriput seperti sutera biru kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di senja hari ini, sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya ia menarik Kun Hong ke dalam hutan kecil di sebelah kiri jalan, lalu menyelinap di antara pohon-pohon.
"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu sebelum pemiliknya datang melihat kita."
"Huh, kau hendak mencuri lagi?"
"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang.
Kau benar-benar terlalu suci hatimu, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hohg terpaksa tersenyum.
"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."
Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke arah perahu kecil yang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga.
Perahu itu kecil mungil, bentuknya ramping dan ujungnya meruncing, terikat kepada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ. Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf "Ching-coa" (Ular Hijau).
"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."
Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah telaga.
"Perahu kecil tapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan, luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ah....... nikmat benar berperahu seperti ini. Hemm....... sayang tidak ada arak
......." Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang laki-laki duduk enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."
"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"
"Tak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh" Apa sih sukarnya berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar malah di samudera besar bersama ayah."
Memang nyaman sekali hawanya di tengah telaga. Angin bertiup perlahan membawa keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran. Suasana ini menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai sebuah sajak yang segera disenandungkan perlahan mempergunakan suara dayung menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.
"Biduk kecil meluncur laju, menentang hembusan angin lalu membawa harum seribu kembang tambah nyaman ayunan gelombang membikin si buta ingin bertembang wahai kasih aku di sini!!"
Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko" Kau terkenang kepada si janda muda?"
Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa dengan pamannya dan hidup bahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh berpisahan, Ki-moi."
Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya ia tidak lagi bertanya tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.
"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya sedap didengar, dan suaramu empuk benar."
Kun Hong tertawa. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa aku membubung tinggi ke awang-awang oleh pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum juga sampai di pulau" Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!"
"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari depan" Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat kedatangan kita."
Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tidak suka mengunjungi tempat orang dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kita" Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."
"Hemm, agaknya kau sudah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya" Dasar kau ini......."
"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat daripada tamu tak diundang?"
"Apa kau lupa bahwa kita telah, memakai perahu mereka tanpa ijin" Mana ada orang datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula" Jangan-jangan begitu berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toa-nio atau siocia itu, baik si iblis betina tua maupun si iblis betina muda. Aku hanya ingin menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hik!"
"Kau memang nakal, Ki-moi..... heeeiii, bukan main harumnya .......!"
Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong dan terdengar gadis ini berseru lirih, "Aduuuuuhhh, hebat.......! Bukan main .....! Majikan pulau ini benar-benar telah menjadikan pulau ini sebagai taman surga.......!"
"Ada apa, Ki-moi" Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta. Telinga dan hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.
"Taman indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung rendah....... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko....... wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci....... monyet-monyet di pohon....... burung-burung beterbangan, merak........ aduh indahnya......."
Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya makin jelas tampak, senyumnya membayangkan kepahitan. Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengannya dan kini suaranya sudah kehilangan kegembiraan. "Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko.
Masih tidak menang dengan taman ayahku. Tapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."
Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti melaju.
"Ada apa, Ki-moi?"
Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini." Ia mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini. Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya.
Akhirnya dapat juga ia minggir. "Kita mendarat, Hong-ko." Gadis itu memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.
"Lho, di mana kita ini.......?" Tiba-tiba ia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.
"Ada apa lagi, Ki-moi?"
"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tidak mengerti. Ke mana lenyapnya taman surga tadi" Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"
"Barangkali hutan ini merupakan bagian daripada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang........
hemmm, baunya amat tidak enak, Ki-moi."
"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?"
Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.
"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau.......
amisnya ular-ular beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi seorang luar."
"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."
Dengan berhati-hati dua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat seperti kilat menyambar. Loan Ki kaget dan menengok ke kiri dan...... ia menahan jeritnya melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuh mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan. Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali kepada pemuda buta ini. Bagaimana seorang buta malah lebih "awas"
daripada ia yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam"
"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"
"Hijau......." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Ia maklum betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.
"Hemm, ching-coa (ular hijau)....... agaknya penghuni aseli pulau ini ....... Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, siap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Aku khawatir kalau-kalau kita dikurung musuh."
Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin, "Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat
.......!" Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa. "Apa yang kau lihat, Ki-moi" Siapa yang datang dari telaga?" bisiknya.
Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia dapat melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai. Ia kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu dapat melihat mereka" Ia menarik tangan Kun Hong diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun pohon kembang.
"Ki-moi, apakah ada perahu datang?" Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum.
Jalan pikiran Kun Hong benar-benar tajam dan cerdik biarpun pemuda ini tak dapat melihat lagi. Memang sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa, maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.
"Perahu besar......." kata Loan Ki, "berlayar kuning....... ada lima orang laki-laki berpakaian hijau di atasperahu, memegang tongkat....... eh, seperti suling. Perahu sudah minggir, Hong-ko....... kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke darat, seperti ranting-ranting kayu panjang....... heiii, benda-benda itu bergerak....... ohh, Hong-ko. Ular! Ular-ular besar kecil, banyak sekali, puluhan....... ah, ratusan mungkin ribuan. Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu......." Ah, mereka....... mereka agaknya menggembala ular-ular itu!"
Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, lihat baik-baik. Apakah di antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar seperti robek?"
"Tidak ada, Hong-ko. Tapi....... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko.
Celaka, mari kita lari menjauhi mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan menariknya lari dari situ, memasuki hutan. Tangan gadis itu agak dingin, tanda bahwa ia merasa ngeri sekali.
Siapa tidak akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang amat banyak itu bergerak-gerak maju seperti mengejar, dengan baunya yang amat amis"
Apalagi tak lama kemudian terdengar seorang di antara lima "penggembala ular" itu berteriak keras.
"Heeiii, seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu perbuatan orang. Hayo kita cari!"
"Jangan-jangan perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini,"
kata suara lain.
"Ular ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya belum pergi jauh. Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!"
kata suara pertama bernada memimpin. Lalu terdengar suara suling yang ditiup secara aneh sekali.
Mendengar ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara. Jangan-jangan dia di belakang ini semua."
"Dia siapa, Hong-ko?"
Kun Hong memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh,
"Ki-moi, kalau benar dugaanku, kita benar-benar telah berada di tempat yang amat berbahaya. Terang bahwa suling itu bersuara untuk memberi aba-aba kepada ular-ular itu untuk mengejar kita. Heii, awas!" Tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan dua kali dan ketika-Loan Ki menoleh.......
kiranya dua ekor ular sebesar paha telah putus lehernya. Darahnya menyembur-nyembur dan tubuh ular yang empat lima meter panjangnya itu berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki lalu menarik tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.
"Wah, suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat ini," kata Kun Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benar saja dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil, Loan Xi menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang, rnenghadang di depan, juga Kun Hong selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular yang hendak mengganggu. Mereka tidak pernah berhenti, terus berlari ke depan dan akhirnya mereka keluar dari hutan itu.
Jalan mulai memburuk, penuh batu karang dan kiranya di situ terdapat pegunungan batu karang yang sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan kedua orang itu terpaksa maju terus dan sementara itu, cuaca sudah mulai gelap, senja telah lewat terganti datangnya malam. Suara ular-ular yang mendesis-desis beserta para penggembala yang berteriak-teriak sudah tak terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung kecil.
"Kita harus mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan adanya ular-ular itu, tak mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."
Kun Hong menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andaikata dia tidak dituntun oleh Loan Ki, tentu akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.
"Siapa kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita menjadi buronan di pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke daratan sana."
"Hong-ko, bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu" Mungkin besok kita bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi siapa tahu" Sementara ini, kita masih selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak lubang-lubang besar di dinding karang, tentu ada gua yang dapat kita pakai tempat bersembunyi."
Mereka mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang cukup tinggi sehingga Kun Hong dapat mengikutinya dengan baik, tanpa mengkhawatirkan keadaan temannya itu. Akhirnya telah sampai di dekat dinding karang yang banyak berlubang merupakan gua-gua besar, jalannya menjadi rata.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa ijin" Benar-benar sudah bosan hidup!" Dan muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata ruyung baja. Tanpa banyak cakap lagi laki-laki itu segera menerjang maju sambil mengerahkan ruyungnya. Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia memapaki. Ketika ruyung menyambar ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda terjangannya.
Sambil miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu berteriak kaget, akan tetapi masih sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan ruyungnya. Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi keringat dingin membasahi dahinya. Tak dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu pedangnya.
Gerakan Loan Ki yang sekali gebrakan saja sudah hampir dapat merobohkan lawan, membuat lawannya ragu-ragu untuk menyerang lagi. Dia bersuit keras dan terdengar suitan-suitan dari beberapa penjuru. Loan Ki terkejut, maklum bahwa mereka berdua telah terkepung. Akan tetapi Kun Hong lebih cepat lagi.
Sekali bergerak pemuda buta itu sudah melompat ke arah si pendek. Dalam keadaan remang-remang itu si pemegang ruyung tidak tahu bahwa yang melompatinya adalah seorang buta. Dia kaget dan menghantamkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba dia jatuh lemas dan ruyungnya terlempar entah ke mana. Tanpa dia ketahui bagaimana caranya, dia telah roboh tertotok dan lemas tak dapat bergerak maupun bersuara lagi!
"Ki-moi, lekas, cari tempat sembunyi.......!" kata Kun Hong yang tidak menghendaki terjadinya pertempuran di tempat itu. Dia benar-benar merasa tidak enak sekali telah mengganggu tempat orang dan menimbulkan keonaran.
Loan Ki adalah seorang dara remaja yang tidak pernah mengenal artinya takut dalam menghadapi lawan dalam pertempuran, maka sekarang pun biar ia tahu telah dikurung musuh, ia tidak merasa gentar. Akan tetapi karena ia sudah mulai mengenal watak temannya yang buta dan aneh, kini ia maklum pula bahwa Kun Hong tidak suka menghadapi pertempuran dengan orang-orang yang sebetulnya memang tidak mempunyai urusan apa-apa dengan mereka berdua. Maka ia lalu menggandeng tangan Kun Hong, diajak lari kembali menuruni puncak. Akan tetapi tiba-tiba ia bergidik, terdengar suara mendesis-desis dan dari bawah puncak merayap ular-ular tadi bersama penggembala-penggembalanya yang bersuit-suit. Lawan manusia biasa Loan Ki takkan undur, akan tetapi menghadapi ular-ular itu ia benar-benar merasa jijik dan ngeri. Ia cepat mengajak Kun Hong naik ke puncak lagi dan sekarang di depan mereka sudah muncul dua orang laki-laki yang memegang golok. Tanpa banyak tanya dua orang laki-laki itu segera menerjang mereka karena baru saja mereka melihat seorang kawan mereka rebah tak bergerak dan mereka kira sudah tewas.
Juga kali ini Kun Hong yang cepat bergerak. Bagaikan seekor burung rajawali sakti dia melayang ke arah dua orang itu. Dua buah golok berkelebat menyambar ke arah tubuhnya, akan tetapi golok-golok itu segera terlempar jauh dan dua orang itu memekik lemah terus roboh tak berkutik!
"Kau hebat, Hong-ko.......!" Loan Ki memuji dengan kagum sekali. Ia sendiri mewarisi Ilmu Silat Sian-li-kun-hoat yang terkenal amat indah gerakan-gerakannya, akan tetapi menyaksikan gerakan Kun Hong tadi ia benar-benar merasa kagum. Akan tetapi yang dipujinya sama sekali tidak memperdulikan, malah membentak,
"Hayo lekas cari tempat sembunyi, Ki-moi!"
Loan Ki kembali menarik tangan Kun Hong dan berlari ke arah dinding batu karang. Dari sebelah kanan dan kiri terdengar bentakan-bentakan orang, juga dari belakang. Gadis itu melihat banyak lubang-lubang pada dinding itu, lalu menarik Kun Hong masuk ke dalam sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki orang sambil merangkak. Karena didorong oleh Loan Ki, Kun Hong masuk dulu, merangkak seperti seekor tikus memasuki lubangnya, kemudian disusul oleh Loan Ki.
Lubang itu kurang lebih lima meter dalamnya, terus ke dalam, kemudian menukik ke bawah. Kun Hong berhenti merangkak ketika tangan dan kakinya meraba lubang yang menukik ke bawah.
"Terus, Hong-ko........ terus. Mereka sudah sampai ke sini......." bisik Loan Ki di belakang pemuda buta itu.
Jilid 5 : bagian 2
"Tak dapat terus, lubangnya menukik ke bawah......." jawab Kun Hong.
"....... kau mepetlah, Hong-ko, biarkan aku lewat dan memeriksa di depan
......." Karena merasa bahwa dia adalah seorang buta, lupa bahwa di dalam keadaan gelap pekat seperti itu sebetulnya dia tidak lebih buta daripada Loan Ki sendiri.
Kun Hong lalu berbaring mepet untuk memberi jalan kepada gadis itu yang hendak melewatinya. Lubang itu tidak besar maka ketika Loan Ki merayap melewatinya, dua orang itu berhimpitan di dalam lubang. Kun Hong merasa tak enak sekali, jengah dan berdebar hatinya. Baiknya mereka berdua adalah orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dengan Ilmu Sia-kut-kang (ilmu Melemaskan Tulang) mereka berhasil bersimpang di lubang yang sempit itu. Loan Ki agaknya juga merasakan apa yang dirasai Kun Hong, buktinya gadis yang biasanya jenaka gembira itu kali ini tidak membuka suara kecuali "ah-uh" seperti orang kepanasan. Dengan hati-hati gadis itu merangkak ke depan sampai tiba di tempat yang menukik ke bawah.
"Agak lebar di bawah, Hong-ko. Seperti sumur ..........."
"Memang, karena kita tidak tahu bagaimana dasarnya, tak mungkin turun ke bawah ......."
Pada saat itu dari luar lubang terdengar suara mendesis-desis, disusul suara seorang laki-laki yang parau, "Anak-anak, hayo masuk kandang, jangan berkeliaran lagi, besok kalian harus membantu mencari dua orang musuh itu."
Disusul lagi suara yang tinggi, "Heran, ke mana larinya dua orang tadi" Mereka itu manusia atau setan" He, Lao Siong, apakah sudah dilaporkan kepada toanio?"
"Tentu sudah." Lalu mereka bercakap-cakap akan tetapi sambil menjauhi mulut lubang sehingga Kun Hong dan Loan Ki tak dapat mendengar lagi apa yang mereka bicarakan.
Akan tetapi betapa kaget hati dua orang itu ketika terdengar suara mendesis-desis dari arah belakang disusul bau yang amat amis. Kiranya lubang pada dinding batu itu adalah sarang-sarang ular atau dijadikan "kandang" untuk ular-ular itu!
"Celaka, ular-ular itu masuk ke sini.......!" Kun Hong yang berada di belakang berkata perlahan. Dia cukup tabah dan tenang, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia merasa ngeri juga.
"Lekas, Hong-ko, di belakangmu ada batu yang kuseret masuk tadi. Kau pergunakan itu untuk menutup lubang yang paling sempit dan....... hei, aduh, waahh....... bungkusanku jatuh ke dalam sumur, Hong-ko."
Kun Hong mendengar suara barang berat jatuh. Dengan pendengarannya yang tajam dia mendapat kenyataan yang menggirangkan hatinya. Lubang itu ternyata dasarnya tidak keras, juga tidak begitu dalam. Hal ini tentu saja dapat dia ketahui ketika buntalan pakaian dan mahkota yang dibawa gadis itu terjatuh ke bawah. Akan tetapi pada saat itu dia sibuk mendorong batu besar untuk menutupi lubang. Tentu saja tidak tertutup rapat, akan tetapi lumayan untuk menahan membanjirnya ular-ular itu ke dalam.
Setelah itu dia segera berkata, "Ki-moi, mari kita masuk saja ke dalam sumur itu. Tempatnya tidak dalam dan dasarnya mungkin tanah tidak keras."
"Bagaimana kau bisa tahu?" Bisik Loan Ki meragu.
"Buntalanmu tadi melayang ke bawah tidak terlalu lama, juga suaranya ketika menimpa dasar sumur menyatakan bahwa dasar itu tidak keras. Tapi tunggu, biar aku yang melompat masuk lebih dulu. Kau mepetlah!"
Seperti tadi, dua orang itu kembali berhimpitan untuk dapat bertukar tempat, kini Kun Hong di depan dan gadis itu di belakangnya. Akan tetapi karena perasaan mereka terlampau tegang, mereka tidak merasakan lagi kecanggungan seperti tadi. "Ki-moi, membaliklah ke belakang dan siap dengan pedangmu kalau-kalau ada ular menerobos masuk. Aku akan meluncur ke bawah dulu!"
Loan Ki mendengar suara perlahan lalu disusul suara Kun Hong dari bawah,
"Ki-moi, lekas kau turun. Tidak begitu dalam di sini dan aku akan membantumu jangan takut!"
Loan Ki merangkak mundur, ketika kakinya menyentuh sumur, hatinya berdebar juga. Siapa orangnya takkan merasa ngeri kalau harus masuk ke dalam sumur yang begitu gelap" Akan tetapi adanya Kun Hong di dalam sumur itu membesarkan hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi ia melorot turun sambil mengerahkan ginkangnya ketika tubuhnya melayang ke bawah. Ia memegang pedangnya tinggi-tinggi dan kedua kakinya sudah siap untuk menyentuh tanah di dasar sumur. Akan tetapi tiba-tiba dua buah lengan yang kuat dan cekatan menerima tubuhnya, lalu menurunkannya ke atas tanah. Kembali ia kagum akan kehebatan Kun Hong.
"Hong-ko, sumur ini dalam juga, sedikitnya tiga kali tinggi orang. Bagaimana kita akan dapat keluar dari sini?" Loan Ki dalam gelap meraba ke sana ke mari dan hatinya kecut ketika mendapat kenyataan bahwa sumur ini pun tidak lebar, hanya cukup mereka berdua berdiri. Tak mungkin meloncat ke luar dari tempat sesempit ini.
"Jangan khawatir, aku akan dapat merayap naik," kata Kun Hong tenang.
"Ini buntalanmu, baru kuingat bahwa kau membawa mahkota kuno itu. Ah, jangan-jangan rusak mahkota itu ketika jatuh."
Loan Ki menerima buntalan itu dan mengikatnya di punggung. Untuk melakukan ini saja beberapa kali tangan dan sikunya menyentuh dada Kun Hong, begitu sempitnya tempat itu. Hawanya juga panas bukan main. Sumur itu dindingnya adalah batu karang, hanya dasarnya saja tanah lunak. Karena tidak ada hawa, atau kalau ada pun amat sedikit masuk dari lubang yang kini hampir tertutup rapat oleh batu tadi, di situ amat panasnya. Apalagi hawa yang masuk telah membawa bau amis dari ular-ular yang memenuhi lubang di sebelah luar, maka pernapasan mereka sesak dan sebentar saja Loan Ki menjadi pusing.
Makin lama hawa makin panas. Loan Ki dan Kun Hong biarpun memiliki hawa murni dan Iweekang yang kuat, tetap saja menderita hebat dan tubuh mereka telah penuh keringat. Pakaian mereka basah semua.
"Aduh....... Hong-ko, napasku sesak, aku muak........ tak kuat bertahan. Kita harus keluar dari neraka ini......." keluh Loan Ki.
Kun Hong bingung. "Bagaimana mungkin, Ki-moi" Kalau kita naik, tentu akan bertemu ular-ular itu di dalam lubang jalan ke luar. Menghadapi ular-ular itu memang bisa kita tanggulangi, akan tetapi kau dalam gelap.......ah, dan siapa tahu orang-orang itu masih menjaga di luar. Kau harus dapat bertahan, mungkin besuk pagi-pagi mereka dan ular-ular itu akan ke luar dari lubang dan kita dapat menerobos ke luar kalau memang ada jalan lain. Setidaknya kalau cuaca terang, kau bisa melihat. Bergerak di malam hari, kita sama-sama buta, tentu payah."
"Tapi....... aduh, panas dan sesak, Hong-ko......." Gadis itu betul-betul payah dan kini menyandarkan kepalanya yang terasa pusing berputar-putar itu kepada tubuh Kun Hong. Dahi gadis itu ternyata sudah basah semua oleh keringat dan tubuhnya panas sekali. Diam-diam Kun Hong terkejut. Kiranya Iweekang gadis ini belum begitu tinggi tingkatnya dan terang takkan dapat menahan. Dia lalu berusaha untuk berkelakar.
"Wah, kita basah oleh keringat, Ki-moi. Celakanya, keringatku tentu berbau tak enak dan kuingat kau paling tidak kuat kalau mencium bau keringat, seperti ketika kau dikeroyok tempo hari. Jangan-jangan keringatku yang membuat kau muak dan pusing."
Kun Hong sengaja berkelakar untuk membangkitkan kegembiraan dan kejenakaan gadis ini sehingga berkurang penderitaan itu. Akan tetapi dia gagal karena dengan lemah Loan Ki menjawab, "Tidak, keringatmu tidak bau, Hong-ko....... tapi ular-ular itu....... ah, ngeri aku......." dan gadis itu tiba-tiba saja menangis!
"Lho, kenapa menangis" Adik Loan Ki, jangan bilang bahwa kau takut.......!"
"....... tidak! Tidak takut...... kalau ular-ular itu masuk ke sini, kita akan dimakan habis....... ihhh, dan semua ini kesalahanku yang membawamu ke sini."
Kun Hong mendekap kepala di dadanya sambil mengelus rambut yang halus basah itu dengan sikap menghibur, malah dia memaksa diri tertawa. "Ah, kau aneh-aneh saja. Ular-ular itu takkan berani menjatuhkan diri ke dalam lubang, juga tidak akan dapat merayap turun, Andaikata ada yang berani, sekali pukul juga akan remuk kepalanya. Takut apa" Tentang datang ke sini....... eh, aku sendiri pun ingin melihat badut-badut itu dihukum!"
Biarpun lemah dan pusing, bangkit juga kegembiraan Loan Ki mendengar ini dan ia berbisik, ".... kau ..... melihat?""
"Aha, sampai lupa aku bahwa aku sudah buta. Bukan melihat dengan mataku, tapi aku kan bisa meminjam matamu. Kau yang melihat dan kau ceritakan kepadaku, bukankah sama saja .......?"
Loan Ki dapat juga tertawa. "....... Hong-ko, kau....... baik sekali ......."
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis di atas. Loan Ki merenggutkan kepalanya dan tubuhnya menegang. "Celaka....... mereka turun....... ular-ular itu......." katanya dengan suara mengandung kengerian.
Bau amis makin menghebat, hawa panas pun tak tertahankan lagi oleh Loan Ki. Ia melepaskan buntalan pakaian dan mahkota yang membikin tubuhnya lebih panas lagi. Buntalan itu ia lemparkan begitu saja di atas tanah dan ia bersiap-siap untuk menghadapi perjuangan mati hidup melawan ular-ular itu.
Buntalan jatuh dan menggelinding di atas tanah, ikatannya terbuka dan tiba-tiba saja keadaan yang amat gelap pekat itu berubah. Ada cahaya yang membuat kegelapan itu berubah remang-remang.
"Hong-ko! Aku bisa melihat! Eh, sekarang tidak segelap tadi...... heeiii, Hong-ko, kiranya mahkota itu yang mengeluarkan cahaya!" Suara Loan Ki bersemangat kembali, ia membungkuk, mengambil mahkota itu dan berseru,
"Betul, Hong-ko, ada tiga batu permata di bagian depan mahkota ini yang mengeluarkan cahaya. Nah, begini baru enak hatiku, bisa melihat kalau ada ular menyerangku!" Suara gadis itu mulai gembira.
Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap hal yang lebih menggembirakan hatinya lagi. Dia tahu sekarang bahwa kelemahan dan kepusingan gadis itu tadi sebagian besar adalah pengaruh dari rasa ngeri di dalam kegelapan sehingga mengakibatkan pusing. Selain ini, dengan girang dia mendengar betapa suara mendesis-desis di atas tadi tiba-tiba saja lenyap dan bau amis tidak begitu hebat lagi, tanda bahwa ular-ular itu takut kepada batu-batu permata yang mengeluarkan cahaya. Dia dahulu pernah mendengar dongeng kakek Song-bun-kwi di puncak Thai-san bahwa di dunia ini memang banyak terdapat benda-benda mujijat dan aneh, di antaranya batu-batu mutiara yang disebut Ya-beng-cu. Mutiara Ya-beng-cu ini mengeluarkan cahaya di tempat gelap dan selain itu, juga ditakuti oleh sebagian besar binatang-binatang buas.
"Wah, agaknya Thian Yang Maha Kuasa sengaja menolong kita, Ki-moi. Kalau tidak salah, batu permata di mahkota itu adalah mutiara-mutiara Ya-beng-cu dan aku pernah mendengar bahwa binatang-binatang takut kepada sinarnya.
Sekarang kau bersiaplah, kita harus keluar dari tempat ini!
"Keluar?" Loan Ki kaget. "Bukankah amat berbahaya katamu tadi, Hong-ko"
Menghadapi ular-ular itu dalam terowongan sempit, belum lagi para penjaga pulau ini......."
Kun Hong menggeleng kepala. "Sekarang tidak lagi, adikku. Tadi yang paling mengkhawatirkan hatiku adalah kalau melawan ular-ular itu, ular-ular berbisa yang amat jahat, apalagi kita harus menghadapinya dalam terowongan sempit.
Akan tetapi sekarang, dengan Ya-beng-cu ada pada kita, ular-ular itu pasti takkan berani mengganggu kita. Kita keluar dan tentang para penjaga, yaaahhh, terpaksa kita menghadapi mereka. Kita jelaskan maksud kedatangan kita yang tidak mengandung maksud buruk, kalau mereka tidak mau menerimanya, kita robohkan mereka dan melarikan diri!"
Loan Ki mengangguk-angguk, tapi ketika melihat ke sekelilingnya adalah dinding batu yang licin, ia mengerutkan kening. "Hong-ko, bagaimana kita bisa naik" Meloncat begitu saja" Mungkin sanggup aku meloncat ke atas dan menangkap pinggiran sumur, akan tetapi, bagaimana kalau ada ular-ular di sana" Pula resikonya terlalu besar kalau sampai tidak berhasil menangkap pinggiran sumur, apalagi kalau di waktu meloncat kepalaku tertumbuk batu karang yang menonjol."
"Tak usah meloncat, Kau bawa buntalanmu, pakai mahkota itu di kepalamu."
Gadis itu terdiam, agaknya heran. Tapi diambilnya buntalan pakaian dan diikatkan ke pundak. Tiba-tiba ia tertawa, tawa jenaka seperti yang sudah-sudah sehingga Kun Hong ikut tersenyum gembira. Agaknya di dunia ini sukar mencari orang yang takkan ikut tersenyum mendengar suara yang mengandung kesegaran watak itu.
"Hi-hi-hik, Hong-ko....... mahkota ini pas betul dengan kepalaku. Menurut dongeng permaisuri Kerajaan Tang yang memakai mahkota ini adalah seorang puteri cantik jelita yang terkenal dengan julukan Puteri Harum karena tubuhnya memiliki keharuman seribu bunga. Kiranya kepalanya hanya seukuran dengan kepalaku....... hi-hik.......!"
Mendengar kegembiraan gadis itu yang berarti bahwa semangatnya telah kembali, Kun Hong girang. Perjalanan ke luar daritempat itu, bahkan keluar dari Pulau Ching-coa-to, bukanlah hal yang mudah dan mungkin akan menghadapi bahaya-bahayadan rintangan. Maka timbulnya semangat gadis ini kembali merupakan hal yang amat penting. Mengingat ini, dia segeraterjun ke dalam kegembiraan itu dan berkata,
"Apa anehnya persamaan kepala itu, Ki-moi" Memang cocok dongeng itu, kalau kepala permaisuri Kerajaan Tang itu sepertikepalamu, maka sudah semestinya dia cantik jelita dan mempunyai ukuran kepala yang tepat."
"Eh, Hong-ko kau mana bisa melihat kepalaku?"
"Melihat sih tidak, akan tetapi tadi....... eh, meraba saja sudah cukup jelas bagiku ......."
Loan Ki teringat betapa dalam gelap tadi ia menangis dan bersandar di dada Kun Hong, malah kepalanya dielus-elus oleh pemuda buta itu, Hal ini mendebarkan jantungnya sungguhpun ia tidak mengerti mengapa dadanya berhal seperti itu, berdenyar-denyar.
"Tapi, Hong-ko, mana kau tahu aku....... cantik jelita?"
Kun Hong tertawa, geli juga mendengar ucapan kekanak-kanakan ini. "Apa susahnya" Mendengar suaramu saja sudah cukup bagiku."
Hening sejenak, lalu gadis itu berkata perlahan, "Orang bilang aku cantik, tapi belum tentu secantik puteri pemakai mahkota ini. Pula, ia terkenal sebagai Puteri Harum, mana aku bisa sama" Ih, tadi keringatku tentu membasahi bajumu, Hong-ko......"
"Aku pun berkeringat sampai basah semua pakaianku, Ki-moi, dan tentang keharuman itu, hemmm....... kurasa keringatmu pun....... sedap ......." Kun Hong setengah berbohong. Mana ada keringat sedap di dunia ini" Akan tetapi memang baginya, keringat Loan Ki tidak berbau tak enak. Dia sengaja melebih-lebihkan dan mengatakan sedap hanya untuk menambah kegembiraan hati gadis kekanak-kanakan ini agar semangatnya tidak menurun. Gadis itu tidak berkata apa-apa, malah suara ketawanya terhenti dan ia diam saja sampai agak lama setelah ucapan Kun Hong terakhir ini. Kun Hong heran, miringkan kepala dan bertanya,
"Ki-moi, kenapa diam saja, kau?" Dia mengulur tangan ke depan, menyentuh tangan gadis itu dan memegangnya. Akan tetapi Loan Ki cepat merenggutnya terlepas dan terdengar suaranya agak gemetar.
"Buntalan pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan naik?" Sesekali Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang bersifat kelakar baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki, membekas amat dalam dihatinya.
"Kau duduklah di pundak kananku, pedangmu siap menghalau perintang di atas. Aku akan merayap naik." Kun Hong lalu berjongkok untuk memudahkan Loan Ki duduk di pundaknya.
Tapi gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak kagum gadis itu memandang Kun Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong yang mengandalkan ginkang dan Iweekang yang amat tinggi sehingga membuat orang dapat merayap seperti seekor cecak pada dinding yang terjal. Kalau si buta ini sudah dapat melakukan ilmu ini, berarti bahwa tingkat kepandaian si buta ini jauh melampauinya, malah jauh lebih lihai daripada ayahnya sendiri, Sin-kiam-eng!
Di samping kekaguman ini, juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk di atas pundak orang, suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan Hal ini tanpa ia sadari disebabkan oleh kelakar pujian tadi.
Ia pun maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk di atas pundaknya. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak, selain ia dapat ikut "membonceng" naik, juga ia bertugas sebagai mata pemuda itu, dengan mahkota di atas kepala itu sebagai pengganti obor penerangan, Memang begini lebih aman daripada si buta itu harus merayap naik seorang diri, sungguhpun harus diakui bahwa untuk dapat mempergunakan Ilmu Pek-houw-yu-chong dengan diboncengi pundaknya, benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali.
"Hayo, lekas kau duduk, tunggu apa lagi?" Kun Hong bertanya heran ketika belum juga Loan Ki duduk di pundaknya. Tanpa berkata apa-apa gadis itu lalu duduk di atas pundak kanan Kun Hong yang segera bangkit berdiri. "Hati-hati jangan banyak bergerak, tapi awas melihat rintangan di atas,"
Mulailah Kun Hong merayap ke atas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini, dengan punggungnya menempel dinding, dia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk merayap naik, kedua kakinya bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk menarik tubuhnya ke atas, sedangkan punggungnya dipergunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya tidak merosot ke bawah!
Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap menjaga datangnya bahaya serangan.
Kagum sekali Loan Ki. Sedikit demi sedikit mereka naik dan akhirnya sampai juga ke pinggiran sumur. Dengan girang Loan Ki melihat bahwa di situ tidak ada ular. Ia lalu meloncat ke luar, dan menarik tangan Kun Hong untuk membantu pemuda ini ke luar pula, bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi pemuda lihai itu.
"Tidak ada ular di sini......." bisik Loan Ki. "Entah ke mana mereka pergi."
"Agaknya ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali, dengan mahkota ini kita akan ke luar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa itu."
"Kalau begitu mari kita ke luar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat lain, tadi kita telah tersesat memasuki tempat ini."
Mereka lalu merangkak ke luar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan. Batu penutup lubang disingkirkan dan benar saja, tidak ada ular berani menghadang mereka. Agaknya ular-ular itu ketakutan melihat cahaya mutiara itu dan pergi meninggalkan lubang. Setelah tiba di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong. Girang hati mereka mendapat kenyataan bahwa di situ sunyi sekali, tak tampak seorang pun manusia. Dan lebih girang lagi hati Loan Ki melihat adanya bulan yang cukup terang di angkasa. Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka, kedua orang muda ini merasa nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang, menyedot hawa seperti orang kehausan mendapat minum air segar!
"Hong-ko, bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah ini."
Kun Hong tidak membantah dan demikianlah, di bawah sinar bulan tiga perempat itu kedua orang muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman mengerikan tadi langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.
Kurasa tidak baik kita berkeliaran di malam hari, apalagi tempat ini agaknya mengandung banyak rahasia. Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha keluar dan kembali ke daratan.
"Mana ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?"
"Paling baik di atas pohon besar. Bahaya satu-satunya hanya ular, akan tetapi dcngan adanya mahkota pusaka itu, kita tak usah khawatir."
Demikianlah, dua orang muda itu meloncat ke atas pohon besar, memilih cabang besar yang enak diduduki dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila di atas cabang pohon, tak bergerak seperti patung. Tahu bahwa orang muda yang sakti itu duduk bersamadhi, Loan Ki tidak mau mengganggunya, hanya memandang bayangan orang buta itu dengan penuh kekaguman. Berkali-kali ia mendengar bisikan hatinya sendiri, "....... sayang matanya buta....... sayang dia buta....... sayang......." Ia merasa jengkel akan bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia merasa sayang akan kebutaan Kun Hong.
"Orang seperti dia tidak seharusnya dikasihani," ia menghibur diri, "biarpun buta, dia melebihi sepuluh orang pendekar melek (dapat melihat)......."
Akhirnya ia tertidur juga di atas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki memang tidak khawatir akan terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia merantau dan seringkali tidur di dalam hutan seorang diri.
*** "Hong-ko....... bangun, Hong-ko....... tuh di sana kumelihat air telaga!" pagi-pagi sekali Loan Ki sudah berteriak-teriak membangunkan Kun Hong yang sebetulnya memang sudah sadar atau terjaga daripada tidur dan samadhinya.
Beberapa ekor burung sampai kaget oleh teriakan Loan Ki dan beterbangan sambil berbunyi keras. Gadis itu tertawa geli menyaksikan tingkah burung-burung itu. Akan tetapi Kun Hong sebaliknya geli mendengar suara Loan Ki.
"Bagus, kalau begitu kita tinggal menuju ke sana, mencari perahu untuk menyeberang." jawab Kun Hong sambil meluncur turun dari batang pohon itu.
Loan Ki juga meloncat turun, lalu tertawa. "Wah, kelihatan sekarang betapa kotor pakaian kita, Hong-ko. Penuh tanah lempung!"
"Tidak apa, pakaian kotor dapat dicuci, Ki-moi."
"Ah, malu kalau bertemu orang. Aku hendak menukar pakaian dulu, Hong-ko.
Kan padaku ada bekal pakaian bersih. Wah, di mana ya bisa bertukar pakaian?"
Gadis itu berjalan ke sana ke mari, agaknya mencari gerombolan tanaman yang dapat ia pergunakan untuk sembunyi dan bertukar pakaian.
"Hong-ko," terdengar suaranya dari depan agak jauh, "kau menghadaplah ke sana dulu, membelakangi aku!"
Hampir-hampir tidak dapat Kun Hong menahan ketawanya. Dia tersenyum lebar dan mengacungkan tangan seperti hendak menampar kepala temannya itu. "Bocah nakal, apakah aku kurang buta sehingga kau suruh menghadap ke lain jurusan" Andaikata kau bertukar pakaian di depan mataku, aku pun tak dapat melihatmu, Ki-moi." Akan tetapi tetap saja dia memutar tubuhnya menghadap ke lain jurusan.
Setelah selesai berpakaian, Loan Ki menghampiri Kun Hong dan berkata,
"Hong-ko, kau selalu mengajak aku kembali ke daratan, seakan-akan kau takut berada di pulau ini. Malah kau kemarin menyebut apakah aku melihat seorang kakek yang buntung lengan dan telinga kiri, mata kiri buta, siapakah orang itu?"
"Sebetulnya orang itu sudah mati, Ki-moi. Yang kumaksudkan itu adalah seorang tokoh jahat bernama Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena aku mendengar suling dan berkumpulnya ular-ular itu, aku jadi teringat kepada tokoh ini yang juga seorang ahli memelihara ular."
"Kau aneh, Hong-ko. Kalau dia sudah mati, kenapa kau takut?"
"Aku hanya terheran-heran mendengar ular-ular yang digembalakan orang. Ki-moi, dan aku dapat menduga bahwa pemilik-pemilik pulau ini pasti adalah orang-orang pandai seperti Giam Kin itu. Kalau kita berdua membikin onar di sini, alangkah tidak baiknya. Inilah sebabnya maka aku mengusulkan agar kita kembali saja dan jangan menimbulkan keonaran di tempat orang."
"Baiklah, malam tadi pun aku sudah merasa menyesal datang ke pulau iblis ini. Mari kita pergi ke pantai telaga yang kulihat dari atas pohon tadi, Hong-ko."
Loan Ki menggandeng tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu berlari cepat ke arah pantai telaga yang ia lihat tadi, yaitu ke sebelah, timur dari mana cahaya matahari memerah membakar angkasa raya. Mahkota yang semalam telah menyelamatkan mereka itu kini telah aman berada dalam buntalan pakaian yang tergantung di punggung Loan Ki lagi. Biarpun yang seorang adalah orang buta, namun mereka lari cepat sekali. Memang inilah cara satu-satunya untuk mengajak Kun Hong berlari cepat, yaitu dengan menggandeng tangannya. Tanpa dituntun, biarpun pemuda itu memiliki kesaktian, tak mungkin dia akan dapat berlari cepat, tentu akan menabrak-nabrak.
"He, Ki-moi, kenapa belum juga sampai dan kenapa kau bawa aku menikung-nikung tidak karuan begini?"
Loan Ki berhenti, lalu menghela napas panjang. "Pulau ini benar-benar aneh, Hong-ko. Pulau iblis! Terdapat jalan yang rata, akan tetapi heran sekali, mengikuti jalan ini agaknya akan membawa kita terputar-putar tidak karuan.
Kulihat seakan-akan keadaan tempat di mana kita berdiri ini serupa benar dengan tempat di mana kita berangkat tadi......." Ia berseru kaget, lari ke depan meninggalkan Kun Hong, lalu kembali lagi sambil berkata, "Wah, benar-benar ini tempat yang tadi, Hong-ko! Tuh, di sana adanya gerombolan pohon kembang di mana aku bertukar pakaian tadi, pengikat rambutku yang terjatuh di sana masih ada."
Kun Hong mengangguk-anggukkan kepala, kulit di antara kedua matanya berkerut.
"Kurasa pemilik pulau ini adalah seorang ahli dalam alat-alat rahasia dan sengaja mengatur pulaunya penuh rahasia agar menyukarkan orang asing memasukinya, seperti keadaan di Thai-san. Ki-moi, kau lihat dari atas pohon tadi, pantai berada di jurusan manakah?"
"Di timur karena kulihat cahaya matahari di sana pula."
"Nah, kalau begitu, sekarang kita harus langsung menuju ke timur, jangan menggunakan jalan yang sengaja dibuat untuk menyesatkan kita. Kita ambil jalan liar, kalau perlu menerabas hutan, asal terus ke timur. Pasti akan sampai di pantai itu."
Akan tetapi hal itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Jalan menuju ke timur ini ternyata harus melalui hutan-hutan liar yang penuh alang-alang, melalui rawa dan malah melalui hutan kecil penuh duri. Jalannya menanjak dan pada akhirnya mereka tiba di tebing yang curam. Ketika Loan Ki menjenguk ke bawah, memang tampak air telaga di bawah sana, namun dalamnya dari tebing itu tidak kurang dari seratus meter!
Loan Ki melepaskan tangan Kun Hong, berjalan ke sana ke mari mencari jalan untuk menuruni tebing curam itu. "Wah, sampai di sini buntu, Hong-ko. Biar kucari jalan untuk turun. Tuh, di bawah sudah kelihatan telaganya, dan jauh ke depan itu menyeberangi telaga akan sampai di darat kembali. Agaknya jalan menurun di alang-alang itu...... heeii, aduhhh....... Hong-ko.......
tolong.......!"
Kun Hong terkejut sekali, cepat dia bergerak maju dengan didahului tongkatnya, ke arah suara Loan Ki. Dia mendengar batu-batu banyak sekali menggelinding dan lenyaplah suara Loan Ki. Kagetnya bukan kepalang ketika dia sampai di tempat dari mana suara gadis itu terdengar, tongkatnya meraba tempat kosong! Kiranya dia berdiri di tepi tebing yang entah berapa dalamnya dan tongkatnya yang meraba gugusan batu yang pecah, agaknya Loan Ki yang tadi berdiri di situ telah terperosok dan jatuh ke bawah bersama pecahan tanah dan batu-batu.
Kun Hong mengerahkan khikangnya dan berteriak ke bawah, "Ki-moi .......!"
Hanya gema suaranya yang menjawab.
"Loan Ki .......!!"
Kembali suaranya yang menjawab.
"Celaka...... apa yang terjadi dengan dia?" Kun Hong bingung dan menyesal sekali. Baru kali ini selama dia buta, dia menyesal akan kebutaan matanya sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi dengan gadis itu dan tak dapat menolongnya. Dia mengambil sebuah batu kecil dan melepaskannya ke bawah. Kepalanya dimiringkan, bibirnya berkemak-kemik menghitung waktu.
Tujuh belas kali dia menghitung, baru batu itu menyentuh air! Kun Hong bergidik. Tak mungkin dia mengikuti gadis itu terjun ke bawah. Hal ini berarti kematian baginya. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan yang menghibur hatinya. Bukankah Loan Ki pernah bilang bahwa gadis itu pandai berenang"
Kalau dasar, di bawah tebing itu air, belum tentu gadis itu tewas. Akan tetapi, kalau selamat, kenapa tidak menjawab panggilannya"
Jilid 6 : bagian 1
Kembali pemuda buta ini menjenguk ke depan dan memanggil. Suaranya nyaring sekali dan bergema, mengejutkan burung-burung yang beterbangan di sekeliling tempat itu. Bebarapa kali dia memanggil namun tak pernah terjawab kecuali oleh gema suaranya sendiri. Kun Hong menjadi sedih, pelupuk matanya gemetar, kulit di antara kedua matanya berkerut dalam, wajahnya agak pucat. Lalu dia meraba-raba dengan tongkatnya mencari jalan turun. Dia hendak menurupi tebing itu dan mencari Loan Ki di bawah sana.
Akhirnya dapat juga dia turun melalui celah-celah batu karang. Sukar sekali perjalanan menurun ini, merayap seperti seekor monyet, hanya berpegang pada batu-batu karang yang menonjol. Kadang-kadang Kun Hong yang meraba sana meraba sini kehabisan pegangan dan terpaksa ia menggunakan tongkatnya yang ditancapkan kepada dinding karang.
Demikianlah, sambil meraba-raba dia merayap turun terus, tidak tahu ke mana akhirnya dia akan sampai. Dia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya ini membelok ke sana ke mari karena memang seringkali dia bertemu dengan jalan buntu yang mengharuskan dia mencari jalan memutar.
Dia merasa heran sekali karena ternyata dia tidak sampai di pinggir telaga, malah tiba-tiba alat penggandanya mencium keharuman bunga-bunga yang beraneka warna dan kakinya menginjak tanah berumput yang halus. Ketika dia meraba dengan tangannya, kiranya dia telah sampai di tengah rumput yang segar gemuk dan di sana-sini semerbak harum bunga.
"Heran sekali seakan-akan aku berada di dalam taman bunga yang amat luas penuh bermacam-macam bunga......" pikirnya dan teringatlah dia akan seruan Loan Ki pada saat kedatangan mereka di tempat itu. Gadis itu telah melihat sebuah taman bunga yang indah. Inikah taman bunga itu"
Angin semilir sejuk dan pendengarannya yang tajam menangkap suara orang bercakap-cakap, suara wanita yang halus terbawa angin. Kun Hong girang sekali, mengira bahwa tentu Loan Ki yang sedang bercakap-cakap itu. Akan tetapi dia tidak berani berlaku sembrono memanggil gadis itu karena dia belum tahu dengan siapa gadis itu bercakap-cakap dan dalam keadaan bagaimana. Dengan hati-hati dia bergerak maju ke arah suara. Setelah agak dekat dan dapat mendengar jelas, dia menyelinap di balik sebuah pohon buah yang besar, bersembunyi dan mendengarkan penuh perhatian. Besar kekecewaan hatinya ketika mendengar bahwa yang bercakap-cakap itu sama sekali bukanlah Loan Ki seperti yang diharapkannya, melainkan suara wanita-wanita yang lain, Suara wanita yang dingin dan tajam mendatangkan perasaan ngeri kepadanya karena dari suara ini dia dapat menilai orang yang memiliki watak yang aneh dan dapat kejam melebihi iblis sendiri. Akan tetapi suara ke dua membuat dia berdebar dan kagum. Suara ini halus lunak, merdu dan kiranya hanya patut dipunyai oleh bidadari, bukan wanita biasa. Suara pertama adalah suara seorang wanita yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi takkan kurang dari empat puluhan. Adapun suara "bidadari" itu adalah suara seorang gadis remaja. Bukan main suaranya, seperti nyanyian dewi malam, mengelus-elus perasaan hatinya sungguhpun dia menangkap getaran-getaran aneh pula dalam suara merdu merayu ini. Getaran yang mengandung sesuatu yang rahasia dan yang menyembunyikan watak daripada si pemilik suara.
"Hui Kauw, cukup sudah semua alasanmu itu!" terdengar suara dingin dengan nada kesal. "Jodohmu adalah Pangeran Souw Bu Lai dan kau tak boleh membantah lagi. Kau tahu, pangeran itu setelah sekarang kaisar muda yang tak becus menduduki tahta, mempunyai banyak harapan menjadi kaisar membangun lagi Kerajaan Goan, dan kau mempunyai harapan menjadi permaisuri kaisar! Orang apa itu si pemuda she Bun" Huh, hanya anak ketua Kun-lun-pai, biar tampan dan gagah, hanya orang biasa, mana boleh anakku tergila-gila kepada orang macam itu?"
"Ibu, aku tidak tergila-gila........ aku hanya bertemu satu kali dengan Bun-enghiong, aku hanya bilang bahwa dia seorang pendekar perkasa. Bukan karena dia aku tidak sudi menjadi calon jodoh Pangeran Mongol itu, melainkan karena....... karena aku tidak suka menikah. Aku lebih senang tinggal di sini......."
"Huh, alasan kosong. Siapa tidak tahu hati muda" Melihat wajah tampan dan watak pendekar lalu jatuh hati, hemm. Sudahlah, tak mau aku berpanjang debat, aku harus menyambut para tamu kita yang akan membicarakan soal membantu usaha Pangeran Souw Bu Lai. Dan kau harus tahu, dalam hal kegagahan, kiraku orang she Bun itu, takkan dapat menandingi Pangeran Souw."
"Ibu......."
Kun Hong mendengar betapa wanita bersuara dingin itu berkelebat pergi dan terkejutlah dia ketika menangkap desir angin yang amat cepat ketika wanita ini pergi. Wah, kiranya si suara dingin ini memiliki kepandaian yang hebat.
Ginkangnya terang tidak di sebelah bawah kepandaian Loan Ki!
Selain dua orang wanita yang bercakap-cakap ini, Kun Hong tahu bahwa di situ terdapat sedikitnya tiga orang wanita lain yang lemah lembut gerakan-gerakannya, mungkin dayang-dayang yang melayani nona bersuara bidadari ini. Diam-diam Kun Hong merasa terharu dan juga tercengang. Tak mungkin salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun dalam percakapan tadi, tentulah bukan lain Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun Wan, bekas tunangan kekasihnya, mendiang Cui Bi. Hatinya berdebar dan telinganya serasa mengiang-ngiang. Sungguh sebuah hal yang amat kebetulan sekali, urusan yang amat cocok dengan pengalamannya dahulu. Seperti juga Cui Bi yang mencintanya dan sudah ditunangkan dengan Bun Wan (baca Rajawali Emas) juga si suara bidadari ini hendak dipaksa ibunya berjodoh dengan seorang Pangeran Mongol, padahal si bidadari ini agaknya condong hatinya kepada Bun Wan! Benar-benar hal yang terbalik. Kalau dulu (dalam cerita Rajawali Emas), Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh calon jodohnya, kini rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang yang menjadi sebab terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang peranan yang dipegangnya dahulu, peranan yang berakhir dengan pengorbanan kedua matanya untuk mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang menyerahkan nyawanya!
Dia memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas panjang. Dasar suara bidadari. Tarikan napas panjang saja terdengar begitu halus dan seakan-akan helaan napas itu menambah keharuman bunga-bunga di taman! Perasaan Kun Hong menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi. Serupa benar nasib dara bidadari ini dengan mendiang Cui Bi.
Apakah ia akan mengalami nasib seperti Cui Bi pula" Gagal dalam berkasih asmara, dan berakhir mengorbankan nyawa" Tidak! Tidak boleh! Peristiwa mengenaskan itu tak boleh terulang lagi. Apa pula terhadap diri seorang dara yang bersuara bidadari ini. Dia akan berusaha menghalau bahaya itu.
Langkah-langkah kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening. "Siocia, ini minuman susu madu yang kau pesan, dan ini pengganti saputangan sutera......."
"A Man, kau letakkan saja di atas meja itu kemudian kau pergilah bersama semua temanmu tinggalkan aku di sini...."
"Tapi Siocia (nona), toa-nio (nyonya besar) akan marah kalau saya dan teman-teman tidak menjaga dan melayani Nona di sini......."
"A Man, aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Aku mau berlatih pedang, apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?"
"Ah....... mana berani....... mana berani, Nona."
"Nah, lebih baik kau lekas pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau dan teman-temanmu ikut mencari dua orang asing yang katanya telah memasuki pulau dan membunuh banyak ular. Kalau bertemu dengan mereka yang tentu lihai, kau dan teman-temanmu bisa mencoba semua kepandaian kalian. Apakah percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu silat" Hayo, keluarlah dari sini, lekas!"
Terdengar para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan wanita dan agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang paling disayang oleh nona bidadari, yang bernama Hui Kauw ini. Kun Hong mendengarkan semua itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika bercakap-cakap dengan para pelayan. Malah ucapan paling akhir itu mengandung sendau gurau yang halus. Alangkah jauh bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi. Loan Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang lincah jenaka, gembira dan bebas, andaikata kembang adalah kembang mawar hutan yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan angin ribut dan selalu berseri namun siap melukai siapa pun yang ingin merabanya dengan duri-duri meruncing. Adapun dara bersuara bidadari ini yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, adalah seorang dara yang lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya, bagaikan setangkai bunga seruni yang indah jelita, kecantikannya menenteramkan hati, suaranya bagai musik surga mengamankan jiwa.
Kemudian Kun Hong mendengar desir angin permainan pedang. Mula-mula angin sambaran itu lambat-lambat juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan tenaganya kecil. Kun Hong mmengerutkan keningnya. Gadis bersuara bidadari ini kalau dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan Ki, apalagi tingkat Cui Bi. Akan tetapi hawa pukulan pedangnya benar-benar aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran. Permainan pedang dengan cara membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak dalam kalangan ilmu pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus ke arah lingkaran lain yang sejalan atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring, bacokan lurus dan lain cara penyerangan lagi.
Anehnya, gerakan pedang dara bersuara bidadari ini lingkarannya berubah-ubah menjadi lingkaran yang bertentangan, kadang-kadang berputar dari kanan, kadang-kadang dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini, mana bisa dipergunakan untuk bertempur, pikir Kun Hong heran.
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia mencurahkan seluruh perhatiannya mempergunakan pendengarannya yang mengikuti desir angin pedang. Makin lama mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus permainan pedang itu.
Gerakan yang tadinya membayangkan kecanggungan, kekakuan dan kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang samudera yang sedang pasang, tidak kentara perubahannya makin lama makin sigap, makin licin, makin kuat. Lingkaran-lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu lingkaran-lingkaran yang membalik gerakannya. Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini pendengarannya menipunya, baru kali ini pendengarannya kalah "awas" oleh sepasang mata. Kiranya dara bersuara bidadari ini memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya, malah kini dia dapat mendengar betapa tenaga Iweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan itu amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang penuh rahasia!
"Siuuuttt....... cratt!" Sebatang pedang menancap pada pohon di depan Kun Hong, batang pohon yang menutupi dan menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali. Apakah nona itu melihatnya dan sengaja menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang pada batang pohon itu" Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari tempat sembunyinya. Dia merasa malu sekali dan sedang memutar otaknya bagaimana dia akan menjawab nanti kalau ditanya tentang kehadirannya di taman orang dan
"mengintai" dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman.
Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis. Keharuman yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa harumnya seperti....... seperti apakah gerangan"
Tidak ada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti harum bunga mawar" Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa" Juga bukan, sungguhpun memiliki daya penenteram rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana" Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga memusingkan kepala. Tiba-tiba wajah Kun Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil" Ya, pernah dalam perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah anak bayi itu baunya. Sedap dan mengamankan hati!
Kun Hong berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah batang pohon. Pernapasannya saja terdengar olehnya, napas yang panjang-panjang dan halus sungguhpun desir napas itu menyatakan bahwa orangnya mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah bermain pedang mempergunakan tenaga Iweekang seperti itu. Nona itu mencabut pedang yang tadi dilontarkan menancap pada pohon. Dari suara cabutan ini dengan kagum sekali Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu menancap setengahnya lebih ke dalam batang pohon, hal yang membuktikan lagi akan hebatnya tenaga Iweekang nona ini.
Jodoh Rajawali 17 Kemelut Di Cakrabuana Karya A Merdeka Permana Sejengkal Tanah Sepercik Darah 8

Cari Blog Ini