Ceritasilat Novel Online

Pendekar Buta 2

Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, dipegang melintang dan dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang ditarik dan dipergunakan untuk membetot kaki orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang, Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
"Manusia-manusia curang!" Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang menyilaukan mata. Pekik kesakitan susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.
"Heee........... jangan...........!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh. Celaka baginya, dia justeru melompat ke arah jurang, tepat di pinggirnya, kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling ke dalam jurang.
Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.
Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan gadis liar itu" Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali dan mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya.
Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah dan mereka lalu menyerbu dan dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen. Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti sedang menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata lawan atau melukainya.
Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li-kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) memang dapat menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.
"Ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi"
Hemmmm, melihat muka ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan kau!" kata Lauw Teng yang bagaimanapun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.
"Lebih baik mampus daripada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!" sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan sinar kemilauan, gadis itu memaki. "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan main keroyokan!"
Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, seorang pengeroyok menjerit dan pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia melompat mundur sambil merintih-rintih. Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lain, malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi, sudah meramkan mata menanti datangnya maut.
"Tranggg!" Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus akan tetapi gadis itu sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Ia maklum bahwa tenaga Iweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar kuat sekali.
Sebelum ia dapat mengambil kedudukannya, ia telah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi.
Sekali putar pedangnya dapat menangkis semua senjata, dan ruyung yang sudah menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya. Pada saat itu, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya, Bi-yan-cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Namun pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung yang datang dari kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.
"Bukkk!" Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang dan keluar dari kepungan.
"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw-pangcu Lauw Teng membentaknya.
Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil ia sudah digembleng tentang kegagahan. Mati bukan apa-apa bagi Bi-yan-cu. Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju dengan tangan kosong, menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki!
Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.
"Cring-cring-cring ...........!" Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan
........ kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota yang diperebutkan!
Ketika Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia mengerahkan seluruh kekuatan ginkangnya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kanan kiri. Akhirnya usahanya berhasil.
Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap dinding jurang yang merupakan tanah keras.
Dia bergantung di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, lalu tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan menancapkan pedangnya di sebelah atas. Demikianlah, biarpun lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi-yan-cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.
Lauw Teng dan kawan-kawannya melihat munculnya si buta ini menjadi kaget dan khawatir sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik segera berkata, "Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-kawannya. Gadis itu tadinya merasa heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang dengan cepat ia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja ia melawan dan dapatlah ia diringkus dan diikat kaki tangannya.
"Sinshe buta, jangan bergerak atau........... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-cu.
Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya hanya dapat dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar baginya, apalagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu. Tadi dia masih dapat menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata itu, sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.
"Sudahlah," akhirnya dia berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut ini" Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."
Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling pandang. Lalu Tiat-jiu Souw Ki mewakili mereka semua bersuara,
"Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."
Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan menjadi tawanan orang-orang kejam ini. Besar kemungkinan dia akan dibunuh mati. Sebaliknya, kalau tidak menyerah dan mengamuk, sungguhpun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itupun terancam keselamatan nyawanya. Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati, apalagi ia puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apalagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa maupun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!
"Baiklah, aku menyerah. Kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas panjang.
"Ha-ha, pengemis buta! Jangan kira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.
Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah." Seorang anak buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.
"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba Bi-yan-cu berseru nyaring.
Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh, apa sih artinya orang seperti aku" Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"
"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.
"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?"
"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela nyaring. "Kalau mereka berani menggangguku, ayah akan datang menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan diampuni!"
Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu, Juga mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.
"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan kepada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar dan karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."
Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung.
Kakinya terasa kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir. Ingin ia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi ia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andaikata belum terluka lengan kanannya tentu ia takkan menyerah mentah-mentah.
Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja.
Beberapa kali Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok. Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan dengan baik, tidak melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apalagi diseret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tidak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.
"Kenapa .......... kenapa kau lakukan ini...........?" gadis itu berteriak, menahan isak.
Kun Hong mendengar ini, biarpun teriakan itu sebetulnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang keluar dari bibirnya keluhan perlahan. Dia menengok dan tersenyum, berkata, "Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..........."
Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.
"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun mempunyai jasa, jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.
Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali mahkota ini ke kota raja dan di depan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar."
Jilid 3 : bagian 1
Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun menyertai rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu.
Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang berkuda paling belakang memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke depan dan terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.
Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas kedua pipinya.
*** Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu.
Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapapun pandainya seorang buta tentu mudah ditipu.
Biarpun kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, namun keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga dia terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda. Baiknya pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang membuat kulitnya kebal sehingga biarpun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali. Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia sengaja menurut saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara "membonceng" seperti ini daripada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja ketika rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.
Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa bayar, memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya. Maka ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya.
Rombongan itu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat daripada bambu, rumah orang-orang miskin. Juga rumah-rumah ini biarpun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu yang cukup berharga untuk dicuri orang"
Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang lelah setelah tadi mengalami pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini.
Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.
"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!" Ban Kwan Tojin menjawab.
"Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera mengusahakan adanya penjabat-penjabat kecil di setiap dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."
Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang seperti juga orang-orang lain ternyata mempunyai ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen"
Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak perduli tempat tinggal siapapun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang.
Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang berkumpul di depan rumahnya. Sepasang matanya yang bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru,
"Kuda bagus....... kuda bagus.......!"
"........... A Wan .......... A Wan ........" tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.
Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong. Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu di bagian punggung robek-robek semua, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam. Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga ketika mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat "membonceng" rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan dapat bertemu dengan dusun atau orang.
"Kasihan paman buta ........... lepaskan........... lepas...........!" Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.
"Anak baik...........!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.
"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan "tar! tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.
Anak itu menjerit dan lari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.
"Ampun, Tai-ya........... ampunkan kami ..........." Wanita itu memohon sambil mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah, wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu dan pakaiannya rompang-ramping mukanya kotor penuh debu, ia menjadi makin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!
Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu menahan cambuknya, lalu terdengar orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk berkata perlahan, "Aiihh, cantik..........."
Lalu terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"
Si pemegang cambuk mengajukan kudanya mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.
"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."
"Tidak ..........." perempuan itu menangis.
"Apa katamu" Setan! Berani kau menolak?"
"Ampun, Tai-yin........... hamba........ hamba tidak bisa ..........."
"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.
"Anakmu berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak, tapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.
Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat, sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lain si pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong!
Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanan memegang tongkat erat-erat Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.
"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawai yang jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik.
Hemm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.
Souw Ki kaget dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.
"Kau........... kau siapakah" Siapa namamu ...........?"
"Namaku Kun Hong. Kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi kaisar" Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, malah dia pernah makan minum semeja dengan aku!"
Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguhpun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya. Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang dan dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya (baca cerita Rajawali Emas).
"Kau........... kau anak Hoa-san-pai........... putera ketua Hoa-san-pai.........?"
Dia bertanya gagap.
Kun Hong tersenyum, menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala" Hayo pergi!"
Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi ketika dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apalagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Adapun tentang wanita itu, ah, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.
"Pergi ...........!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya. Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan kuda pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang rendah kepada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,
"Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh" Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"
Kun Hong menggerakkan tangannya dan sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan masih menempel di pergelangan tangan menyambar ke arah muka penjahat itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan,
"Aduhh........... aduh........... mulutku........... gigiku rontok semua...........
aduh ........!" Dan dia membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh.
Kun Hong masih berdiri tak bergerak, kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang tongkat melintang di depan dada, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya. Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan agak berkerut kulit di antara kedua matanya.
"In-kong (tuan penolong)........... terima kasih atas budi In-kong yang telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak ..........." dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.
Kun Hong kaget mendengar suara ini dan cepat-cepat dia menarik kakinya lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.
"Jangan berlutut ............ jangan berlebihan, yang menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Bangkitlah, Twa-so (kakak), aku tidak berani menerima penghormatan seperti ini."
Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.
"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, timbul pula keberaniannya setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.
"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, ibu sudah melarang tadi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita ..........."
"Ibu, paman buta ini jagoan, ya" Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya.
"Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"
Kun Hong tersenyum, membungkuk dan memondong anak itu dengan penuh kasih sayang. "Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"
"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi.......... Paman buta ..........."
"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."
"Tak usahlah, Twa-so, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku."
Kun Hong mencegah, dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.
"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan........... dan........... kau harus makan dulu ..........."
suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan, "In-kong, tak boleh kau menolak.
Kau telah menyelamatkan nyawa kami, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku........... aku tak mampu membalasnya.
Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu dan memberi hidangan sekedarnya ........... untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja........... ah, In-kong, selama hidupku aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"
Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, mari kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah ..........."
"A Wan ..........." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka. Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa,
"Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia baik.................."
"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong. Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya ia sudah merasa bingung apakah ia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan ia berjalan lebih dulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya. Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah.
Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya. "Mari silakan duduk, In-kong.
Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng.............." Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.
"Sini, Paman, sini duduklah......." Anak itu pun mempersilakannya. Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di alas tanah!
Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.
"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."
Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twa-so, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini..............
aku....... aku tidak perlu berganti pakaian."
Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan" Tunggulah sebentar."
"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata. Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu hanya satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana dia boleh pakai" Ah, dia mendapat akal. Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan dia mencuci dan menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai pakaiannya sendiri lagi dan mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, ia dapat memuaskan hati nyonya rumah.
Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi. "Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini, sebentar kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"
"Tapi.......... tapi........" Kun Hong berusaha membantah.
"Harap In-kong jangan menolak, biarpun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam
............"
Suara itu mengandung permohonan yang mutlak tak dapat dia bantah lagi.
"Tapi badanku kotor semua............. aku harus membersihkan badan dulu....... begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"
Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itupun tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu. Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tidak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.
"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.
"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.
"Siapa mereka, A Wan?" tanyanya.
"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga, penduduk dusun ini, Paman," jawab anak itu dengan singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang kepada penduduk dusun dan anehnya, tak seorang pun di antara mereka menegur anak ini!
Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat daripada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.
Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun.
Amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap tiba-tiba menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat. Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara." Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.
"............ perduli apa kau dengan urusan pribadiku" Kuberikan kepada siapa pun juga baju suamiku, ada sangkut pautnya apakah denganmu" Kau.............
kau selalu mengganggu................ saudara misan yang durhaka!"
"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau memperdulikan. Semua ini karena aku ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau" Kalau tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis" Awas kau, kulaporkan kepada Song-wang-we (hartawan Song)!"
Terdengar suara laki-laki memaki.
".............. pergi............! Pergi.......! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi.........!" Wanita itu berseru marah.
"Ibu...............! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.
"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur dan Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan cepat meninggalkan tempat itu lalu dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya.
Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikitpun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang lagi tangannya. Memang ibu A Wan kaget dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang amat dikenal nya, tentu ia pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kong-cu (tuan muda)! Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan,
"Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya" Ah, mana bisa bersih"
Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi biar bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong."
"Terima kasih............... terima kasih............. aku menyusahkan saja," kata Kun Hong dan tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya. Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja dia dengar tadi, dan mengambil keputusan bahwa dia akan segera pergi meninggalkan tempat itu.
setelah pakaiannya sendiri kering.
Tak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat daripada tanah lempung dan sepasang supit dari bambu, alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.
"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu" Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui."
"A Wan!!" ibunya menegurnya.
"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku............... aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah."
Hampir Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi ......................."
"Minta" Uhh, pernah aku minta, bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan men-curi lagi, ibu marah-marah," kata anak itu dengan suara manja.
Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun membuktikan betapa miskinnya keluarga itu. Setelah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan. Senja telah lewat dan ibu anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang di sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.
"Dia sudah tidur, Twa-so. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.
Sampai lama baru terjawab lirih. "....... di sini juga.......... disini juga napas panjang, tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.
"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah................ tempat kami duduk, makan dan tidur
................"
"Maaf, Twa-so, sejak tadi aku belum mendengar twa-ko (kakak) pulang. Ke manakah dia?"
Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia sudah.............. sudah tidak ada..................."
"Tidak ada" Ke mana ?"" Kun Hong tidak menduga buruk.
"............. sudah meninggal dunia .......tiga bulan yang lalu .............."
"Ahhh.............!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam. Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu.
Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin.
Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin.
Semua mata akan mengincarnya, penuh cemburu, setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria memandangnya lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan. Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.
Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twa-so, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?"
Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.
"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."
Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.
"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.
"............... baru dua puluh tiga umurku.
Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, "Twa-so, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."
"............ kenapa..........." In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang"
Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya.............."
Kun Hong menggeleng kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Twa-so, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun ............"
Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambit menangis ia menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Jilid 3 : bagian 2
"In-kong ............. engkau juga begitu............?" Ah, kalau begitu..............
kau pukulkan tongkatmu itu kepadaku........ kau bunuh saja aku, In-kong
........... apa artinya hidup kalau semua orang....... juga kau yang kumuliakan........... memandang serendah itu kepadaku........" Kau bunuhlah aku............ kau bunuhlah."
Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri seperti patung serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu.............
ibu." "In-kong.................. kau bunuhlah kami.............. biar terbebas kami daripada penderitaan ini ............."
Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis dan memeluki kedua kakinya.
"Kau salah sangka.............. kau salah mengerti........" katanya sambil duduk kembali. "Aku sama sekali tidak memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twa-so..............."
"In-kong............." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong. Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur dan mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.
"Tenanglah, duduklah Twa-so, dan mari kita bicara baik-baik."
Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya. "............. ohhh......... maafkan aku, In-kong
........."
Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan ibunya sekarang.
"Twa-so, agaknya kau tadi salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya.
Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang dengan kehadiranku di sini semalam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan daripada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twa-so!"
"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Apa perduli dengan omongan orang asalkan kita benar-benar bersih" Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak perduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."
Kun Hong menarik napas panjang, makin kagum. Wanita ini biarpun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.
"Twa-so, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir............ akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau........... menikah lagi."
"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak" Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi............... mereka hanya ingin mempermainkan, In-kong. Aku tidak sudi....... apalagi Song-wangwe, aku tidak sudi, biar dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."
Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang seperti itu wataknya. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik karena cantiknya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu saja tidak semua laki-laki demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi sebagian besar laki-laki seperti itulah sifat dan wataknya.
"Susah kalau begitu. Twa-so, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"
"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu yang keparat membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu memperdengarkan kemarahan ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.
"Orang yang datang tadi" Hemm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda" Dan apa maksud Tiu dan Song, Twa-so?"
Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita. Tadinya ia hidup bahagia dengan suaminya, seorang petani muda she Yo. Biarpun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan milik mereka sebidang sawah, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan. Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir, mereka adalah korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.
Namun, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan selalu terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal di dusun-dusun sekitarnya. Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song)
Seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.
Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang "berbudi" itu membuat surat perjanjian juai beli lalu menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol. Dengan ditandainya surat perjanjian yang tak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti telah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya
"menyerahkan" isteri yang cantik manis itu menjadi "penghibur" tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.
Tentu saja Yo Kui menjadi marah sekali dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah. Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa" Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya dan bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah.
Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi" Mudah diduga.
Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok di masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, apalagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, agaknya orang malah lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang pada waktu itu merubah diri di dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar! Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana periksa sini, lalu keluarlah keputusan
"pengadilan", bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wang-we dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!
Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia telah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan, isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian untuk pembeli obat dan makan. Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan setelah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia....... mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!
"Demikianlah, In-kong ............" Janda muda itu mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya yang bercucuran. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja........... setelah suamiku meninggal, bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujukku menjadi........... isteri muda atau piaraan.
Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, dia setiap hari membujuk-bujukku untuk menyerah kepada hartawan Song............."
Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya mendengar penuturan janda muda ini.
"........ tapi aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan ........."
janda itu melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati daripada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong........... kalau saja aku tidak melihat A Wan......... ah ........... agaknya sudah lama aku menyusul suamiku
........" Ia menangis lagi, kini lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.
"Besarkan hatimu, Twa-so, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil Selalu akan menolong manusia yang sengsaja. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui.
Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andaikata kau dan anakmu datang padanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"
"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia tentu mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa ............"
Percakapan terhenti dan janda muda itu biarpun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong.
Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tua penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung. "Inkong........... kau tidurlah ........."
"Biarlah, Twa-so, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang."
"Aku hendak menyelesaikan ini dulu........" jawab janda muda itu. Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu.
Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam" Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur"
Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya" Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...........! Memang aneh, janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda buta dengan hati penuh belas kasihan.
Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Ia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk" Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.
"In-kong...............?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur. Ingin ia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan dan merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.
Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersamadhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Baru lega hatinya ketika janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersamadhi dengan bebas.
Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu dan anak yang tidur di depannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasai perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini. Duka maupun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapapun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak di saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur diranjang berkasur atau di atas tikar rombeng"
Kun Hong merasa segar badannya. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan dan membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.
Mendadak Kun Hong miringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, malah dari suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa itu dapat diduga bahwa orang-orangnya sedang marah!
"Perempuan tak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!"
terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.
"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar. Janda muda itu dan anaknya terkejut dan bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itupun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.
"Celaka, In-kong............., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah........"
Benar-benar seorang ,berpribudi, pikir Kun Hong. Jelas orang-orang itu beralamat tidak baik bagi sijanda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!
"Tenanglah, Twa-so............. tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."


Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.
"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu ............. kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu terdengar pula. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"
"Kreeeeettttt..............!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam. Semua mata mereka yang merubung depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang mulutnya tersenyum tapi kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan mukanya pucat.
"Wah, tak tahu malu.............. tak tahu malu........... berjina dengan jembel buta............ kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!" Sementara itu tanpa memperdulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu.
Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe ..........."
Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apalagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan lima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi. Enam orang itu, Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah seperti cacing terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang nyeri.
Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain seperti orang dikeroyok ribuan ekor semut.
Adapun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang amat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.
"Aduh.......... a ......... a ............. aduhh........... lepaskan.........." dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan dapat ditundukkan. Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan. Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.
"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan kepada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh saja dan ketika Kun Hong mengangkat kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!
"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.
"In-kong, jangan......... kasihan dia........" janda itu berseru penuh kengerian.
Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung. "Manusia keparat! Dengarlah kau" Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tak malukah engkau" Manusia keji, ah, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"
"M......M... ampun.......... ampun........" dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.
Kun Hong menengok ke kanan kiri, bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ, menonton. "Dengarlah kalian, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut dijadikan orang-orang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, malah ikut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar lain kali kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"
Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo antar aku ke rumah majikanmu!" Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata,
"Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biar mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui.
Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini jangan ikut aku ke rumah Song-wang-we. Aku hanya titip Yo-twaso dan anaknya!"
Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan lalu mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang amat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang sangat penting. Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk , menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan "si janda Yo"!
Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat.
Sambil mengomel panjang pendek mengapa si Lao Tiu itu begitu kurang ajar membangunkannya sepagi itu, dia keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.
Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lain. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur maka hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!
"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Eh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan" Heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."
Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya.
Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya.
Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila" Lepaskan Song-wangwe!"
Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.
"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong mendorong terus dua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui. Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.
"Jangan serang................ uh-uhh....... jangan serang..............
goblok..............!" Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.
Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman ketika mereka melihat si buta itu datang lagi, kini menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga tanpa berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!
Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga diapun tidak sanggup bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.
"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.
Hartawan itu diam saja. Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo jawab!"
"Tidak............... ti........... tidak tahu........" suaranya gemetar tubuhnya menggigil.
"Hayo kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan tentang kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja............
hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"
Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya. Kata-katanya yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum.
Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu macam apa adanya tuan tanah itu dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa!
Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap, "............. ampunkan saya, Tai-hiap (pendekar besar), ampunkan saya............ saya berjanji......... tidak berani lagi..........."
Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, namun mereka tak berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itupun sekarang masih merintih-rintih tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.
Jilid 4 : bagian 1
"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah mati karena perbuatanmu" Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?" Kun Hong membentak.
"Ampun............ ampun..........."
"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat! Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."
Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, ada yang iri hati kepada nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu kaget menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.
Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak! Semua penduduk memandang dengan melongo. Belum pernah mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pcrnah!
"Twa-so, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.
"........... ah............. terlalu............. terlalu banyak untuk apa ......?" Janda itu berkata gagap.
Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"
Janda itu memandang ke kanan kiri, melihat betapa para penduduk memandangnya dengan mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus dan pakaian mereka yang tambal-tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya lari ke arah gerobak, melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun yang sudah tua.
"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua saudara penduduk dusun kita,"
Hampir saja semua orang tak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah janda itu mengulangi perkataannya, terdengar mereka bersorak sorai dan memuji-muji nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita lari menghampiri, memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu.
Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah menolong seorang yang memiliki pribadi setinggi nyonya janda itu. Biarpun seorang dusun, ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.
"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong "akan tetapi ingat, sekali lagi kau melakukan gangguan kepada orang-orang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!"
Tuan tanah itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya, Dia tidak tahu bahwa, semenjak saat itu dia takkan mampu lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah. Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka inipun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka takkan dapat menjadi tukang pukul lagi!
"Karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai bertemu dengan pamannya.
Awas, jangan kau main-main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu takkan tertolong lagi," kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya. Lao Tiu merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat lehernya.
"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," kata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan ia dengan selamat sampai di Cin-an dan bertemu dengan pamannya, baru dia akan memberi tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang." Kun Hong sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang dia lakukan itu hanyalah totokan biasa saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.
"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku akan menukar pakaianku."
Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil menggandeng tangan A Wan berlari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia. Sambil terisak menangis ia menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.
"In-kong............. ah, In-kong........... kau telah menyelamatkan hidupku.......... menyelamatkan nama baikku.......... In-kong, budimu setinggi gunung...... dan.............. kau seorang buta ............! Ah, betapa inginku membalas budimu .......... In-kong, andaikata dapat, aku rela memberikan kedua mataku untukmu!"
Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta itu!
"Twa-so, jangan..............!" Suara Kun Hong tersedak karena dia menahan perasaannya dan kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh. Sejenak wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah belahan pelupuk membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya bergerak-gerak gemetar.
"In-kong...........!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan menciumi sepatu yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya dengan rambut.
"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-kong............ apa artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku takkan dapat bertemu dengan orang sepertimu lagi" In-kong, biarlah aku membalas budimu dengan menghambakan diri............. biarlah aku menjadi bujangmu. A Wan juga.............. biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu ............"
"Yo-twaso, diam..............!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan sekali tarik dia membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"
Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, Inkong. kalau tak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian suamiku pula..............
pergi meninggalkan kami berdua ..............." ia terisak lagi.
Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar dari pintu, diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini sekarang taat benar.
"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka. Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung, di belakang gerobak, Kun Hong berjalan sambil memegang tongkat, Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.
Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan tiba di jalan simpang empat, Kun Hong berkata,
"Lao tiu, berhenti dulu." Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo,
"Yo-twaso, nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, jaga ibumu baik-baik, ya" Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."
"Nanti dulu ..........!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lari menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong........... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri padamu" Biar kami ikut ke mana kau pergi............." Suaranya penuh permohonan.
"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis................"
"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku.......... aku sanggup bekerja untukmu........... andaikata mengemis sekalipun................ aku yang akan mengemis, In-kong ..........."
"Cukup semua ini! Twa-so, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari kau dan A Wan di Cin-an."
"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, sampai kini belum kuketahui namamu yang mulia,"
Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama" Kenalilah aku sebagai sibuta......... dan eh, jangan lupa .........." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun berdiri.
"...... si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!" Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan.............. melontarkannya ke depan.
Janda itu menjerit lirih, tubuhnya melayang dan............ jatuh dalam keadaan duduk di atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya
"terbang" tadi.
Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi, namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi dia benar-benar gelisah ketika menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.
"Berbahaya............ !" pikirnya, dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.
"Wahai kasih, aku di sini ..............! Menyongsong sinarmu yang hangat....."
Kata-kata dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan perasaannya di saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai kasih, aku di sini............!"
Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyiannya, pikirannya selalu melayang dan terkenang kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu adalah pengganti diri Ciu Bi baginya! Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali, akan tetapi setelah berjalan setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan lapar dan bernyanyi-nyanyi.
"Wahai kasih aku di sini.............! Dalam perjalanan nan sunyi...................."
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas. Plok! Benda itu jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya sebutir buah apel masak yang menyambarnya tadi, dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.
"Perutku memang amat lapar dan bau buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata sambil mendongak ke atas.
"Hik, hik!" terdengar suara wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini.
Lalu tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga. Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak dan harum baunya berada di tangannya. Dia tersenyutn girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.
Dengan mulut penuh daging buah dia berkata. "Terima kasih...... terima kasih........." sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.
"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu" Ingin benar aku tahu, si genit puteri Hui-hou-pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"
Kun Hong tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
"Eh, kiranya kau........... Bi-yan-cu, Nona" Ah, sambitanmu tadi membikin kaget orang saja..............."
Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba menjadi marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata, suaranya penuh kejengkelan.
"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"
Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tidak menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya.
Kediaman kembali membangkitkan amarah gadis itu, terbukti dengan suara nya yang nyaring merdu penuh kejengkelan, "Ih, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"
"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir buah itu ke dalam mulut.
"Siapa butuh terima kasihmu" Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."
"Jawaban apa?"
"Siapa yang kau rindukan sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw pangcu ataukah si janda muda?"
"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"
"Cih, kau kira aku buta" Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula tidak melihat adegan sandiwara mesra di perempatan jalan tadi pagi" Hi-hik, semua ditinggalkan, lalu di jalan nyanyi-nyanyi seorang diri penuh rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah.
Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.
"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak mereka berdua."
"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini..............!"
Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, tahu segalanya. Masih begini muda, pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, kenapa kau semenjak kemarin terus mengikuti aku?"
"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik, padahal aku jauh lebih tua daripadamu."
"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"
"Ih, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda"
Umurku sudah dua kali umurmu, tahu?"
Kun Hong tertawa. Biarpun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkannya. Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.
"Kau bocah nakal! Biarpun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang nakal, cantik jelita, dan manja!"
"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita" Dasar laki-laki mata keranjang kau ........... eh, tak bermata" mana bisa mata keranjang" Kau.......... kau hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lalu memuji dan main gila seperti yang kau lakukan dengan puteri Hui-hou-pangcu dan janda muda."
"Bohong! Fitnah belaka itu!"
"Bohong apa" Fitnah apa" Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu minta kau memijatinya waktu malam" Hi-hik, biar matamu buta, apakah jari-jari tanganmu juga buta" Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau........ sudahlah, kau menjemukan!"
Kun Hong makin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tapi malah mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.
"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal apa?"
"Kau bilang aku mengikutimu sejak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu" Apa ingin menontonmu" Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih menariknya untuk ditonton" Paling-paling hanya menimbulkan kasihan dihati..................."
"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua" Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas belas kasihanmu itu dan ......."
"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya" Panggil bibi tua, setan
.............!"
Mendengar gadis itu mencak-mencak disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barangkali."
"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau dua kali lebih tua daripadaku, bukankah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua" Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"
"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"
Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini.
"Betul juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"
"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biarpun sesungguhnya aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu tentang janda dan segala yang kualami itu?"
"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah........... mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki. Biarpun Kun Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu.
Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.
"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"
"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku mengejar mereka dan apa artinya mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka mengeroyokku, puluhan, malah ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itupun aku tidak akan kalah kalau saja............"
"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya. Gadis ini benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!
"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau keringat" Ho-ho, kok aneh amat!"
"Aneh apanya" Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka, membuat aku sesak bernapas. Mau muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik!"
Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak tidak tahu bahwa gadis itu memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,
"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"
"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya dapat merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka. Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm...........
mereka semua akan menjadi setan tanpa kepala!"
"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.
"Apa, ganas" Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas" Kalau kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"
Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini" "Sudahlah, sekarang katakan, setelah kau berhasil merampas mahkota, kau lalu mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa kehendakmu?"
"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau telah menghinaku tiga kali dan kau hutang penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."
"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau maksudkan semua itu."
"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main tidak sungguh-sungguh berkorban lalu melepaskan diri dengan mudah!"
Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu benar. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!
"Wah-wah, berat! Lalu hutang penyelesaian itu bagaimana?"
"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku, Ke dua kalinya, apa maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia itu!"
Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,
"Kujawab satu demi satu. Tiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila pada siapapun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biarpun ia secara tak tahu malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa ia seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andaikata bukan kau yang terancam bahaya, akupun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah.............. guruku. Nah puas?"
"Tidak puas................ tidak puas............. omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?" Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan "sratt" pedangnya sudah dicabutnya.
"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali. Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.
"Kau tidak puas dan kau puas" Bagaimana ini?"
"Aku tidak puas karena kata-katamu tak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau tidak bohong" Tapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang mencoba muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,
"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang aku" Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat" Masa seorang buta ditantang bertempur?"
"Kau benar buta, apa bedanya" Biarpun buta, kau lebih pandai daripada yang tidak buta, siapa tidak tahu hal ini" Sebaliknya, akupun terluka di tangan kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"
Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat, bahkan dahulu pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu" Teringat akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-li-kiam-hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.
"Aku sudah siap."
Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, melainkan berkata dulu dengan nada suara angkuh. "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata yang ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat. Nah, awas pedangku!"
Kun Hong tersenyum. Betapapun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur dan ada sifat "satria" dalam hatinya. Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis, sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaiannya kepada kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya kalah setingkat kalau dibandingkaa dengah Cui Bi, mendiang kekasihnya.
Akan tetapi tenaga Iweekangnya ternyata masih jauh daripada cukup. Dia melayani semua serangan gadis itu dengan tenang mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Gembira hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa Sian-li-kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu pedang yang tulen. Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas, keindahannya dapat dia rasakan dari desiran anginnya, dan di dalam khayalnya Kun Hong seakan-akan melihat kekasihnya sendiri bergerak menari pedang. Hatinya terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu. Dia selalu mengimbangi gadis itu, dan dia tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk melukai tubuhnya, juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.
Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya ketika mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis!
Dia pun cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang Cui Bi mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada dara lincah ini.
"Nona, kau........... kenapa kau menangis" Kau tidak terluka, juga tidak kalah............"
"............ tidak kalah........... ! Memang tidak kalah........... hu-hu .......... tapi juga tidak menang....... u-hu-huu .......!"
Pendekar Cacad 7 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pahlawan Dan Kaisar 12

Cari Blog Ini