Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Dengan langkah gontai, seperti langkah seorang yang baru sembuh daripada penyakit yang lama diderita, lemas dan lesu dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon, kembali ke tempat tadi. Lalu terdengar oleh Kun Hong betapa dara itu duduk, menggerak-gerakkan tangan agaknya menyusut peluh dengan saputangan sutera yang dia dengar tadi di antar datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum lambat-lambat, dengan teguk-teguk kecil, agaknya susu madu tadi. Tak terasa lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa betapa lapar perutnya dan haus kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan atau minum lagi, yaitu sesudah menyikat habis makanan dan minuman hasil curian Loan Ki. Loan Ki juga tentu lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ah, di mana Loan Ki" Seakan-akan baru sadar daripada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan Loan Ki dan hatinya terbuka, penuh kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki" Dan di mana ia"
"Benar-benar aku tiada guna......."
Kun Hong memaki diri sendiri. "Loan Ki terjerumus dan hilang, belum tahu mati atau masih hidup dan....... dan aku.......aku terlongong saja di sini mau apa?"
Hampir marah Kun Hong kepada dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah seperti tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu.
Mukanya ditengadahkan ke arah angkasa, bibirnya bergerak-gerak dalam bisikan "Cui Bi....... kau tentu suka memaafkan aku....... nona yang di depan ini memang terlalu luar biasa ......."
Setelah berbisik seperti itu dia sudah menggerakkan kaki sambil mengerahkan ginkangnya agar dapat pergi dari situ tanpa terdengar orang. Akan tetapi baru saja kakinya diangkat sambil dia membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu berhenti seperti tertahan oleh suara senandung di belakangnya. Suara bidadari itu bersenandung" Biarpun hanya bersenandung, tidak bernyanyi nyaring, namun suara itu bagi pendengaran Kun Hong sedemikian merdunya sehingga dia menahan napas dan miringkan kepala untuk dapat menangkap kata-kata nyanyian dalam senandung itu.
"Daun labu belum layu anak sungai masih berlagu kutunggu, tuanku. Air sungai melimpah ruah kuda betina menjerit resah kutunggu, kekasihku.
Bahtera menanti kita mengantar ke pantai kita kutunggu, sahabatku!"
Lemas kedua lutut Kun Hong. Tak terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh di atas tanah. Kulit mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apalagi di sekitar kedua lubang bekas mata yang tertutup kelopak (pelupuk mata). Bukan main suara itu! Tadi baru mendengar suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan main, suara yang dapat menggetarkan dan menyinggung tali halus hatinya. Kini suara itu bersenandung, bukan main! Dada Kun Hong serasa hendak meledak oleh nikmat yang didatangkan oleh senandung itu. Dia sendiri seorang ahli sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat maupun sanjak-sanjak kuno. Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di ujung daun hijau di waktu subuh itu, dia pun pernah membacanya.
Sanjak lama, amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai arti yang membayangkan keadaan hati seseorang. Jelas, dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang, dibuai sedih oleh kesepian, dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ada hubungannya dengan percakapan tentang jodoh dengan ibunya tadi"
Masih terngiang di telinga Kun Hong suara yang nikmat itu dan dia masih juga duduk bersimpuh ketika dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah gontai. Setelah langkah itu tidak terdengar lagi dan keadaan di situ benar-benar sunyi tiada orang, Kun Hong melangkah ke luar dari tempat sembunyinya. Bagaikan didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh besi sembrani, kedua kakinya melangkah ke arah tempat di mana dara tadi bernyanyi. Tongkatnya tertumbuk pada sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang halus dan dingin. Bau harum yang tadi masih mengambang di udara di sekitar tempat itu, lebih terasa kini. Kun Hong meraba bangku dingin halus, lalu duduk menghadapi meja, termenung.
Tanpa disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus di atas meja. Saputangan sutera! Agak basah dan hangat. Air mata" Keringat"
Seperti dalam mimpi Kun Hong meremas saputangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya, hatinya merasa khawatir kalau-kalau remasannya akan merusak benda halus lemas berbau harum itu. Kemudian, dengan tangan gemetar saputangan itu dia dekatkan ke mukanya, bau harum mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui Bi terbayang dan muka Kun Hong menjadi merah sekali. "Maaf, Cui Bi....... dia terlalu luar biasa......." setelah berkata demikian dia membenamkan mukanya ke dalam saputangan itu.
Ganda harum semerbak saputangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk dan tenggelam di alam lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap saputangan itu pada mukanya, seakan-akan yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi kekasihnya. Terluaplah segenap rindu berahi yang selama bertahun-tahun dia kekang, dia bendung, dia tahan.
"Cui Bi........ Bi-moi....... dewi pujaan....... di mana kau.......?" Kun Hong mengeluh, menciumi saputangan dan beberapa butir air mata menetes dari sepasang mata yang tak berbiji lagi itu. Sedih perih membuat dia merasa nelangsa ketika sadar bahwa kekasih yang amat dirindukannya itu telah tiada dan tak tertahankan lagi Kun Hong menitikkan air mata yang membasahi saputangan sutera berganda harum itu.
Betapapun kuat batin Kun Hong, dia tetap seorang manusia biasa. Sekali waktu tentu akan tunduk dan kalah oleh arusnya perasaan yang mencengkeram hati, mencengkam pikiran. Apalagi perasaan rindu dendam bagi seorang muda amatlah berat dilawan. Kun Hong pemuda gemblengan itu, yang biarpun sudah buta namun masih memiliki kegagahan dan kesaktian yang melebihi orang-orang melek, kini bagaikan dilolosi seluruh otot di tubuhnya, lemas dan berlutut menciumi saputangan sambil menitikkan air mata seperti laku seorang wanita berhati lemah! Saking hebatnya dia dipengaruhi perasaan sendiri, dia menjadi lengah dan pendengarannya tidak dapat menangkap suara halus dari langkah kaki yang mendekati tempat itu, bahkan yang datang menghampirinya. Langkah halus dan ringan dari sepasang kaki yang bersepatu merah, dan yang menghampirinya dari belakang.
"Pencuri busuk, berani kau memasuki tamanku" Hayo berlutut di depan nonamu!" Suara ini nyaring dan merdu, namun mengandung getaran galak dan tinggi hati Kun Hong terkejut, seakan-akan disendal dari dunia lamunannya. Dengan gugup dia mencengkeram saputangan itu dan membalikkan tubuhnya dengan siap karena dia mendengar suara pedang dicabut oleh wanita yang memakinya ini. Tongkatnya dipegang erat karena biarpun dari suaranya dia dapat mengenal seorang gadis remaja yang galak, namun gadis ini dapat datang tanpa dia ketahui, tanda bahwa ilmu kepandaiannya juga tinggi, maka dia harus siap menghadapi bahaya serangannya.
Akan tetapi gadis itu mengeluarkan seruan tertahan ketika melihat bahwa orang yang dibentaknya itu kiranya hanya seorang buta. Ia mendengus penuh ejekan lalu menyimpan kembali pedangnya.
"Hah, kiranya hanya seorang jembel buta! Sungguh tidak punya guna para penjaga itu. Orang macam ini dikatakan menimbulkan onar" Hee, jembel buta, apakah kau bersama seorang gadis yang datang ke pulau kami secara menggelap" Hayo berlutut dan jawab baik-baik kalau tidak ingin nonamu turun tangan sendiri memberi hajaran kepadamu!"
Mengkal sekali rasa hati Kun Hong mendengar suara seorang dara muda begini galak memaki-niaki dan menghinanya, akan tetapi dia tetap tersenyum sabar, bangkit berdiri dan menjura.
"Maaf, Nona. Aku seorang buta yang tidak mengenal jalan telah tersesat sampai di sini tanpa disengaja, harap Nona sudi memberi maaf."
"Maaf " Enak saja bicara! Orang luar yang berani memasuki pulauku ini tak boleh keluar dalam keadaan hidup lagi. Kau jembel buta berani masuk ke sini dan seperti orang mabuk menangis menciumi saputangan. Hemm, kiranya kau selain buta juga gila. Kau terlalu kotor untuk mampus di tanganku. Heeiii, A Man.......!!" Suara memanggil ini amat nyaring, mengandung tenaga khikang yang kuat sekali sehingga diam-diam Kun Hong kagum. Kiranya gadis galak ini memiliki kepandaian yang hebat juga, terang tidak di sebelah bawah tingkat Loan Ki! Dia makin terheran-heran mendapat kenyataan bahwa di pulau ini terdapat dua orang gadis yang suaranya jauh berbeda seperti bumi dan langit, namun yang keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat!
Suara seruan seperti itu tadi tentu dapat mencapai jarak jauh. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara orang menjawab berulang-ulang dan terdengarlah langkah-langkah kaki berlari-lari ke tempat itu, langkah-langkah ringan beberapa orang wanita. Kiranya pelayan-pelayan tadi, lima orang banyaknya dengan A Man di depan, telah lari datang mendengar panggilan itu.
"Ah, kiranya Siocia telah berada di sini......." terdengar gadis pelayan yang bernama A Man berkata. Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat menangkap betapa dalam ucapan gadis pelayan ini terkandung rasa takut dan tunduk, berbeda dengan ketika gadis pelayan ini tadi bicara terhadap dara bersuara bidadari.
"A Man! Apa saja kerjamu dan para pelayan ini di sini " Sampai di dalam taman kemasukan jembel buta gila kalian tidak ada yang tahu ! Hemm, benar-benar kalian ini masing-masing patut dihukum sepuluh kali cambukan"
"Ampun, Siocia....... hamba berlima tadi disuruh pergi oleh nona Hui Kauw....... dan ketika hamba pergi, di sini ada nona Hui Kauw sedang berlatih silat, tidak ada....... jembel ini....... eh, itu adalah saputangan nona Hui Kauw!
He pengemis buta, kau telah mencuri saputangan nona Hui Kauw?"
Tiba-tiba nona yang galak itu tertawa, dan suara ketawanya ini merdu sekali sungguhpun bagi Kun Hong tetap saja mengandung sifat yang liar dan kejam.
"Wah, kiranya enci Hui Kauw malah memberi sedekah saputangannya kepada pengemis buta ini" Hi-hik, A Man, kau lihat, biarpun buta dan pakaiannya kotor, pengemis ini masih muda dan wajahnya tampan juga, ya" Dan enci Hui Kauw memberi saputangannya kepada pengemis ini. Pemberian sedekah yang aneh, hi-hi-hik!"
Merah wajah Kun Hong, apalagi ketika mendengar betapa lima orang pelayan itu pun sama-sama tertawa mengejek. Timbul kemarahan dalam hatinya karena dia merasa betapa gadis galak ini bersama pelayan-pelayan penjilat itu menghina dan mentertawai Hui Kauw, dara bersuara bidadari itu. Dengan suara keren Kun Hong berkata,
"Kalian jangan lancang mulut! Nona itu tidak memberi hadiah saputangan kepadaku. Saputangan ini kutemukan di sini, tertinggal oleh nona itu tanpa disengaja. Alangkah jahatnya kalian menyangka yang bukan-bukan dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang gadis yang putih bersih!"
"Heeeee! Kau membela enci Hui Kauw" Bagus, bagus....... memang cocok kau dan ia. A Man, hayo kau dan teman-temanmu mewakili aku memberi hajaran kepada pengemis buta ini, pukul sampai dia minta-minta ampun dan suka mengaku bahwa dia adalah pacar dari enci Hui Kauw!"
Kun Hong mendengar langkah seorang di antara para pelayan itu maju dan disusul bentakan suara pelayan ini yang tinggi melengking, "Pengemis buta, hayo kau berlutut mentaati perintah siocia!"
Kun Hong menggeleng kepala, bersandar kepada tongkatnya dan menggumam,
"Kalian jahat....... aku tidak sudi mencemarkan nama seorang yang tak berdosa......."
"Keparat, hayo berlutut!" Sambaran angin sebuah tongkat mengarah kaki Kun Hong. Pemuda buta itu tidak mengelak.
"Krakk!" Tongkat patah menjadi tiga potong dan pelayan wanita itu menjerit kesakitan dan meloncat mundur dengan muka pucat. Tongkat patah dan telapak tangannya merah-merah dan sakit.
Nona galak itu mendengus mengejek. A Man berteriak marah, "Jembel busuk, kau tidak mau berlutut" Kuhancurkan kepalamu!" Kini pelayan kepala ini yang mengayunkan sebatang tongkat ke arah kepala Kun Hong. Kali ini Kun Hong hanya menggerakkan kepala ke samping dan sambaran tongkat itu tidak mengenai sasaran. A Man makin marah, sampai lima kali tongkatnya menyambar kepala, namun selalu memukul angin!
Kembali nona itu mendengus, lalu disusul suaranya penuh kemarahan,
"A Man, kau memalukan sekali. Kau yang mempunyai dua buah mata tidak mampu mengalahkan seorang yang tak bermata" Percuma saja kau mempunyai dua buah mata yang melirik ke sana-sini. Kalau ibu mendengar tentang ini, hemmm, kurasa kedua biji matamu akan dicokel ke luar!"
"....... ampun, Siocia....... biarlah kuhajar pengemis busuk ini."
"Nah, keluarkan ngo-coa-tin (barisan lima ular)," kata pula si nona galak dengan nada memerintah. "Agaknya jembel buta ini berani masuk mengandalkan kepandaian, hemm, dia harus mampus."
"Srattttt!" Lima batang pedang tercabut dari sarungnya hampir berbareng.
Kemudian Kun Hong mendengar langkah-langkah kaki lima orang mengurungnya, gerak langkahnya teratur sekali dan langkah-langkah itu tidak pernah berhenti, terus mengitari dirinya, malah di antara derap langkah ini terdengar suara mendesis. Kun Hong mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa lima orang pelayan wanita ini mengurungnya dengan pedang di tangan kanan dan agaknya seekor ular di tangan kiri. Dugaannya ini memang benar. Setiap orang pelayan memegang sebatang pedang dan di tangan kiri mereka terdapat seekor ular hijau yang mendesis-desis dan lidahnya yang kehijauan itu menjilat-jilat ke luar.
Lima batang pedang menyambar cepat dari lima jurusan dan merupakan lima macam serangan yang berbeda-beda. Ada yang menusuk, membacok, membabat, dan lain-lain. Kun Hong terhuyung-huyung lima kali dan semua penyerangan itu mengenai angin belaka. Akan tetapi pedang itu secara berantai susul-menyusul mengirim serangan cepat, malah kini diselingi serangan dengan ular di tangan kiri yang menyambar ke depan dan gigi-gigi rneruncing mengandung bisa itu menggigit-gigit mencari korban! Sementara itu, mereka masih terus melangkah berputar-putar di sekeliling Kun Hong.
Diam-diam pemuda buta ini merasa kagum. Barisan lima orang wanita ini benar-benar kuat dan seorang ahli silat yang belum memiliki kesaktian, kiranya akan roboh binasa biarpun agaknya dapat membalas dan merobohkan dua tiga orang pengeroyok. Gerakan mereka amat teratur dan otomatis sehingga mereka akan merupakan satu orang dengan lima batang pedang dan lima ekor ular! Dia tahu bahwa terhadap serbuan pedang-pedang itu, dengan mudah dia akan dapat menghindarkan diri, akan tetapi menghadapi lima ekor ular itu amatlah sukar. Ular tak dapat disamakan dengan pedang, karena ular adalah mahluk hidup yang memiliki gerakan sendiri dan sama sekali tidak menurut cara ilmu silat. Tentu saja dia tidak mau terancam bahaya dan begitu serangan lima Orang pengeroyoknya makin menghebat, dia berseru panjang, tubuhnya lenyap terganti segulungan sinar merah dan....... lima orang pengeroyoknya itu riuh rendah menjerit dan meloncat mundur sambil terbelalak memandang kedua tangan mereka. Yang memegang gagang pedang, yang memcgang ekor ular berdarah.
Ternyata pedang-pedang dan kepala-kepala ular sudah putus dan menggeletak di atas tanah di depan kaki mereka!
"Aha, kiranya ada kepandaian juga si buta gila ini. Pantas saja berani memasuki Ching-coa-to. Minggirlah kalian budak-budak tak berguna, biar kuhabiskan nyawa si buta sombong ini. Lihat bagaimana pedangku menembus jantungnya
Jilid 6 : bagian 2
Kun Hong hanya mendengar suara halus, disusul tiupan angin ke arah hatinya.
Dia kaget sekali dan cepat mengelak selangkah ke kiri. Cara gadis ini mencabut pedang saja sudah membuktikan bahwa gadis galak ini benar-benar amat lihai, malah serangan pertamanya juga luar biasa cepatnya, hampir sukar ditangkap angin sambarannya. Kun Hong tidak berani memandang rendah dan dia siap mempergunakan tongkatnya yang berisi pedang Ang-hong-kiam. Seperti juga menjadi penyakit watak para ahli silat lainnya, Kun Hong ingin pula mengetahui sampai di mana kepandaian gadis ini dan ilmu silat apakah yang dimainkannya. Oleh karena ini maka dia bersikap mempertahankan diri, terhuyung-huyung ke sana ke mari dalam langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang lawan yang amat lihai dan cepat.
Dia makin kagum. Gerakan-gerakan gadis ini halus dan lemas, mungkin kelihatan indah pula seperti Ilmu Silat Bidadari yang dimiliki Cui Bi dan juga Loan Ki. Akan tetapi sebetulnya terdapat perbedaan amat jauh karena ilmu pedang. yang dimainkan gadis galak ini mengandung unsur-unsur gerakan penyerangan seekor ular yang amat ganas dan liar. Gerakan lenggang-lenggok, menggeliat geliat, menyerang tiba-tiba dan kadang-kadang berdiam diri seperti ular melingkar, benar-benar merupakan sifat-sifat seekor ular.
Memang dugaan Kun Hong ini tidak keliru. Gadis itu sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang berasal dari ciptaan Si Raja Ular Giam Kin! Ilmu pedangnya amat ganas, keji dan juga curang sekali sehingga belum pernah dia mengalami kegagalan dalam pertempuran. Akan tetapi kali ini dia bertemu gurunya!
Seperti kita ketahui, di samping ilmu kesaktian yang dia terima dari Raja Pedang Tan Beng San, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat, pada dasarnya Kun Hong mempunyai ilmu silat yang pertama kali dilatihnya, yaitu Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).
Tentu saja gerakan-gerakan seekor burung rajawali jauh lebih hebat dan dapat mengatasi gerakan seekor ular karena dalam kenyataannya juga selalu seekor ular menjadi "mati kutunya" kalau bertemu dengan seekor burung rajawali.
Kalau Kun Hong menghendaki, kiranya tidak sukar baginya untuk mengalahkan gadis galak ini. Diam-diam dia pun girang karena mendapat kenyataan bahwa biarpun gadis ini juga amat lihai, malah lebih lihai daripada Loan Ki, namun kiranya tidak selihai gadis bersuara bidadari. Dia girang karena dia menyukai gadis bidadari itu.
Dia mengerti bahwa kalau dia mengalahkan gadis sombong dan galak ini, sudah tentu gadis ini akan menjadi makin sakit hati. Padahal dia adalah seorang tamu tak diundang, dan kalau dia membikin malu dan sakit hati tentu seluruh isi pulau, termasuk gadis bersuara bidadari akan marah dan memusuhinya. Apalagi kalau mendengar dari kata-kata gadis ini tadi, agaknya gadis ini masih keluarga dengan gadis yang bernama Hui Kauw, buktinya selain gadis galak itu menyebut "enci", juga gadis ini menyebut ibu kepada nyonya yang oleh para pelayan dipanggil toa-hio. Hui Kauw juga menyebut ibu kepada nyonya itu, apakah kalau begitu gadis ini masih adik dari Hui Kauw"
Sangat boleh jadi, akan tetapi kalau betul adiknya, kenapa mengeluarkan fitnah keji dan malah agaknya gadis ini membenci Hui Kauw"
"Nona, sudahlah. Aku datang ke sini bukan mencari permusuhan, semata-mata karena salah jalan......." dia mencoba untuk membujuk lawannya.
"Pengemis buta banyak cerewet! Lekas berlutut minta ampun dan mengaku bahwa kau adalah pacar enci Hui Kauw atau....... kau mampus di ujung pedangku!"
Gadis itu berseru karena ia merasa berada di atas angin. Memang sejak tadi Kun Hong hanya mengelak, malah jarang menangkis, tak pernah balas menyerang sehingga menurut pikirannya, juga dalam pandangan lima orang pelayan tadi, pemuda buta itu repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang.
"Keji.......! Dara remaja berwatak keji.......!" Kun Hong berseru marah dan tiba-tiba sinar pedang merah bergulung-gulung menyelimuti diri gadis galak itu. Hawa dingin menyambar-nyambar dan terdengar gadis itu beberapa kali menjerit karena merasa betapa hawa pedang dingin menyambar di dekat leher, kepala, dada, muka, seakan-akan pedang yang tajam mengancam untuk mengulitinya! Ia heran, kaget, takut, dan merasa seram. Barulah ia mengaku dalam hati bahwa orang buta ini kiranya memiliki kesaktian yang begini hebatnya. Ia berusaha mempertahankan diri, namun karena tangannya gemetar, gerakannya lemah dan akhirnya ia menyerah saja sambil berloncatan karena ngeri dan takut.
Pada saat itu terdengar suara halus, "Hui Siang moi-moi (adik), kau bertempur dengan siapa dan kenapa bertempur?"
Begitu mendengar suara ini, tiba-tiba Kun Hong melompat jauh ke belakang, menghentikan gerakannya. Gadis galak bernama Hui Siang itu berdiri dengan muka pucat, badan gemetar dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Ngeri hatinya kalau membayangkan keadaannya tadi dan ia memandang kepada si buta dengan terbelalak. Karena jelas baginya sekarang bahwa orang buta ini benar-benar lihai luar biasa, ia tidak berani lagi bersikap seperti tadi.
"Enci Hui Kauw....... jembel buta inilah yang dikabarkan mengacau di pulau kita bersama seorang temannya yang entah ke mana. Dia amat kurang ajar, tadi mengaku bahwa dia adalah pacarmu, malah memperlihatkan sehelai saputangan sutera, katanya pemberianmu. Tentu saja aku menjadi marah dan menyerangnya, kiranya dia lihai....... pantas dia begitu kurang ajar."
Berubah wajah Kun Hong, berdebar hatinya dan dia menekan perasaannya yang hendak terbakar oleh nafsu amarah. Gadis cilik ini benar-benar luar biasa jahatnya. Pandai memutar balikkan fakta dan melakukan fitnah keji ke kanan kiri tanpa mengenal malu lagi. Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara A Man.
"Betul, nona Hui Kauw, apa yang diucapkan oleh siocia tadi. Si jembel buta ini kurang ajar sekali, menghina Nona dan kalau tidak salah, saputangan Nona masih berada di saku bajunya......." Suara A Man ini disusul suara empat orang pelayan lain yang membetulkan omongan ini.
Makin mendidih darah di dalam dada Kun Hong, Hemmm, kiranya para pelayan ini amat menjilat-jilat nona muda yang bernama Hui Siang. Dan mereka ini merupakan sekutu yang diam-diam memusuhi Hui Kauw, si gadis bersuara bidadari. Diam-diam dia merasa kasihan kepada nona bidadari yang suaranya sudah menggores kulit dada menembus kalbunya itu.
Tiba-tiba terdengar olehnya desir angin lembut dan tercium ganda harum semerbak yang amat dikenalnya. Diam-diam dia kagum. Nona bidadari itu sekali menggerakkan tubuh telah berada di depannya! Dia mendengar sambaran tangan diayun ke arah mukanya. Otaknya bekerja cepat. Tentu nona yang bernama Hui Kauw ini marah dan merasa terhina, maka kini mengayun tangan menamparnya. Hal yang wajar. Dia hanya mengerahkan tenaga menjaga tulang muka karena maklum akan kelihaian nona bidadari ini.
Sengaja dia tidak menjaga kulit.
"Plakk!" Kun Hong merasa betapa pipi kirinya panas-panas, telinganya mendengar bunyi mengiang, lalu bibirnya merasa sesuatu yang asin, tentu darah keluar dari luka di belakang pipi yang mengalir keluar dari mulutnya, merembet ke pinggir bibir. Dia tersenyum, sama sekali tidak merasa sakit hati atau marah karena dia yakin benar bahwa nona itu memukulnya karena merasa terhina. Penghinaan yang paling berat dan paling besar bagi seorang gadis.
Kun Hong mendengar betapa gadis itu melangkah mundur tiga tindak, lalu terdengar suaranya marah dan menyesal, akan tetapi bagi Kun Hong tetap saja mengandung getaran halus yang mencerminkan budi luhur,
"Orang buta, Thian (Tuhan) telah menciptakan kau menjadi buta. Bukankah itu cukup untuk mengingatkan kau bahwa orang tidak boleh berbuat dosa"
Kurang beratkah hukuman yang jatuh kepada dirimu itu sehingga kau tidak segan-segan menambah dosa-dosamu dengan mengucapkan penghinaan terhadap diriku" Apa salahku kepadamu dan mengapa pula kau yang baru sekali ini berjumpa denganku datang-datang melakukan fitnah keji" Kau memiliki kepandaian, biar buta tentu bukan seorang bodoh, jawablah!"
Tiba-tiba Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona bidadari itu betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan seorang seperti nona bidadari ini. Tak salah dugaannya, tidak keliru dia menjadi seperti tergila-gila. Memang sesungguhnya nona ini seerang bidadari yang menjelma di permukaan bumi.
Bukan main indah dan bersihnya ucapan itu. Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak, hal yang baru kali ini dia rasakan dan lakukan semenjak dia menjadi buta, kemudian dia ingat bahwa mungkin sekali sikapnya ini menambah perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri menghentikan tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada sebagai penghormatan seorang terpelajar, kemudian katanya,
"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti Nona. Tamparanmu kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu daripada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andaikata betul fitnah keji tadi, aku rela dan patut dihukum mati." Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung, "Tentu Nona tahu akan pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"
Agaknya ucapan ini mempunyai pengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya menjatuhkan marah kepada seorang asing tanpa menyelidik lebih dahulu. Ia segera berkata kepada nona galak tadi, suaranya mengandung sesalan besar. "Adik Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"
"Enci Hui Kauw, kau malah membela dia" Uh, benar-benar aneh kalau kau malah membenarkan dia menyalahkan aku. Itu buktinya dia membawa saputanganmu, dari mana dia dapatkan itu?" Kata-kata ini mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan tuduhan yang bukan-bukan.
Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang ia menjawab, "Tadi aku berlatih seorang diri di sini dan saputangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku pergi dan saputangan itu tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan Saputanganku di atas meja, apanya yang aneh dalam hal ini?"
"Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku melihat dia menciumi saputanganmu sambil menangis" Hi-hik, bukankah aneh kelakuannya itu, Enci yang baik" Dia mengaku pacarmu, dan melihat saputangan itu........ diciuminya....... hemmm, hampir tadi aku percaya akan pengakuannya."
"Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada encimu sendiri. Kiranya kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak marah.
"Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu dan memukul kepala Kun Hong. Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin. Beberapa kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.
"Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dulu. Aku sudah lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" Hui Kauw yang melihat penuh kekagetan betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali. Diam-diam iapun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta itu. Akan tetapi sekarang Hui Siang yang menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan amat mudahnya dielakkan oleh si buta!
Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau membelanya, enci Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu datang mengadili perkara ini dan membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada ibu, kalian berlima menjadi saksi!"
Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat penurut dan takut, bahkan menjilat-jilat sikap mereka. Kun Hong mendengar langkah mereka cepat-cepat meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona bidadari yang masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung.
Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula Kun Hong. Terdengar oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang, akan tetapi dia sama sekali tidak tahu betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik dari kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.
Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka dan kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi. Mengapa dia tadi begitu bodoh sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis galak itu" Mengapa dia begitu lemah, menurutkan getaran hati sehingga dia berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi saputangan seorang nona yang asing baginya"
Dengan hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan saputangan sutera yang harum itu melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan saputangan itu kepada pemiliknya sambil berkata lirih,
"....... ini, saputanganmu, Nona....... maafkan aku ....... telah menimbulkan hal tidak enak bagimu ......."
Hui Kauw menerima saputangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri sendiri, "Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak duka daripada suka, sepanjang hidup pahit dan hampa, manis suka hanya sekejap mata
Kun Hong tetap tunduk, kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat dia nampak lebih tua. Hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan derita batin yang ditanggung nona muda ini.
Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang.
Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat terlarang bagi orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat keributan" Apa kehendakmu sebetulnya?"
Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dah penyesalan karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan baginya sendiri. Nona yang bersuara dan berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin kagum.
"Sesungguhnya, tiada seujung rambutpun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona Loan Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada, penghuni Pulau Ching-coa-to ini atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah merampas makanan dan minurnan.
Siapa kira perbuatan ini akan berakibat panjang......."
Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan, kemudian penyerangan koki dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya!
Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas.
"Alangkah senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu!
Alangkah gembiranya sekali waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"
"Bukan apa-apa, hanya bertemu di jalan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan ia seorang gadis berjiwa pendekar."
"Ah, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan makanan biarpun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi berdasarkan pribudi yang mengandung welas asih.
Ia tentu bukan orang jahat."
Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara bidadari, ucapan-ucapannya bijaksana seperti seorang ahli filsafat. Kekagumannya membuat dia lancang berkata,
"Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan langit......."
Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tak dapat melihat betapa senyum itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan aku....... aku seorang buruk rupa......."
"Nona, biarpun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabuhi aku.
Kau seribu kali lebih cantik jelita daripada adikmu......." Kembali ucapan ini terlontar keluar dari mulutnya tanpa pengendalian, namun Kun Hong setelah sadar tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.
"....... pandangan seorang buta....... ah, andaikata kedua matamu dapat melihat, mungkin berbeda ucapanmu....... ah, alangkah besar inginku melihat kau tidak buta untuk sebentar saja sehingga aku dapat mendengarkan pendapatmu lagi......." nona itu menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.
"Sahabat buta, siapakah namamu?"
"Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."
"Hemm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri belum tentu dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa buta....... dan adikku tadi bilang bahwa ia melihat kau.......
eh, menangis dan menciumi saputanganku. Betulkah itu?"
Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab" Dia tidak akan berkeberatan untuk berbohong kalau saja itu tidak akan merugikan siapapun juga. Akan tetapi kalau kali ini dia membohong, berarti dia seperti melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.
"Kalau begitu....... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa....... bahwa kau mengatakan aku ini pacarmu?"
"Tidak.......! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri....... dengar baik-baik Nona. Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan ibumu, aku mendengarnya semua. Aku mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku kasihan kepadamu. Kemudian kau pergi....... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan saputangan itu di atas meja.......
dan aku....... ah, mungkin aku sudah gila....... aku teringat akan seorang yang telah tiada di dunia ini, aku terharu....... dan mungkin aku menangis sambil menciumi saputangan itu. Kau maafkan aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap dirimu, maafkan aku."
Hening lagi sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya.......
asmara yang menyeretmu. Kau seorang terpelajar pandai dan berilmu tinggi, sampai menjadi begini tentu akibat penderitaan batin. Hemm, saudara Kwa, silahkan duduk."
"Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku mohon pertolonganmu agar supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas daripada bahaya. Aku masih belum tahu bagaimana keadaan dan nasibnya."
Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu.
Kun Hong miringkan kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini bukanlah para pelayan, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran karena suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya,
"Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini" Kau benar-benar mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"
Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat orang tertawa adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang yang tidak bermata! Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau memperdulikan ini karena hatinya diliputi keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka" Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua tangannya ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.
Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan menjadi tawanan" Baiklah kita ikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita berkenalan lebih dulu dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki taman.
Pemilik Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan Ching-toanio. Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan dengan nama pulaunya dan memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (ching). Biarpun usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching-toanio adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dahulu ketika ia masih bernama Liu Bwee Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik dan ilmu silatnya juga tinggi. Sayang bahwa anak yang cantik dan cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang baik karena memang ia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok yang terkenal dan semenjak kecil telah tertanam bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika ia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi seorang nona dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan berdikari dan menjadi perampok tunggal. Pada suatu hari ia melakukan perampokan di kota raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena amatlah berbahaya melakukan perampokan di kota raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai. Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga hartawan, malah karena amat tertarik melihat seorang anak kecil berusia setahun kurang lebih, ia membawa atau menculik bayi ini pula!
Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu tinggi mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh kang-ouw yang namanya amat terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan berwatak seperti iblis, yaitu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas).
Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang didahului dengan pertolongan Giam Kin yang menyelamatkannya, disambung dengan jalinan cinta kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini. Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan sebaliknya, biarpun Liu Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu, namun ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya daripada hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara dan menguasai ular-ular berbisa. Dalam kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila kepadanya, Liu Bwee Lan malah berhasil dengan permintaannya yang gila-gilaan, yaitu minta dibuatkan tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau berbisa!
Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang bercacat (baca Rajawali Emas) kemudian tewas di puncak Thai-san, Liu Bwee Lan menjadi pemilik Pula Ching-coa-to dan berganti nama Ching toanio. Hubungannya dengan Giam Kin itu menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan demikian ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga hartawan di kota raja dan yang ia beri nama Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang. Untuk nama keturunan, ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu. Sudah tentu saja orang berwatak seperti Ching-toanio ini, kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh pada anak kandungnya, Hui Siang. Adapun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu belaka dan seberapa dapat ia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri.
Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu dikejar-kejar dan diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut yang amat cantik jelita ini menjadi korban keganasannya. Baiknya ada Ching-toanio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini. Malah kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri, atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching-toanio melakukan perbuatan yang amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw yang telah dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik itu ketika pada keesokan harinya di waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit, gatal-gatal dan perih dan kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan dan halus sepprti sutera itu telah berubah menjadi hitam seperti pantat kuali!
Dalam hal ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan itu tanpa perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai pula agar dapat dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh kalau Hui Kauw menjadi lebih maju dalam segala macam kepandaian dibandingkan dengan Hui Siang karena otaknya memang lebih cerdik. Karena tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu tidak banyak selisihnya dengan si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw telah mempelajari ilmu silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang ia temukan di antara kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas. Ibunya sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai mendalam. Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah di waktu kecil ia merengek-rengek minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh ibunya yang memaksa datang seorang guru sastera terkenal untuk melatih sastera kepada Hui Kauw. Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu.
Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni Ching-coa-to, yaitu Ching-toanio dan dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ terdapat banyak pembantu dan pelayan, karena Ching-toanio memiliki harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya, Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis lincah ini terjerumus ke dalam jurang ketika ia sedang mencari jalan menuruni lembah curam dan pinggir jurang yang diinjaknya longsor.
Padahal tanah longsor ini bukan merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau itu telah dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan tempat yang sukar dan berbahaya bagi orang-orang luar yang akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil daripada pemikiran orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio dan dibantu oleh orang-orang pandai seperti guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu dan lain-lain.
Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya melayang cepat ke bawah. Ia berusaha mempergunakan ginkangnya untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding karang dan ia terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!
"Byurrr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru saking dalamnya. Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih pening karena kejatuhannya dari tempat sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andaikata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan tempat ia berkecimpung semenjak kecil. Ayahnya tinggal di pantai dan laut merupakan tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia bermain-main. Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup mulut dan hidungnya, kesadaran kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat tangan kakinya bergerak secara otomatis dan tubuhnya yang ramping itu meluncur naik seperti seekor ikan hiu.
Jilid 7 : bagian 1
Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat enam orang laki-laki di tepi air, dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin menyerangnya!
Nenek itu tadinya memandang dengan mata terbelalak, agaknya kaget dan heran sekali betapa ada seorang manusia jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki. Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ,
"Nah, itu dia iblis betina yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk siocia, kini mendapat ganti begini besarnya. Heh-heh, lucu.......
lucu....... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan beberapa pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"
Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar mata mereka kurang ajar, agaknya perintah itu amat menyenangkan hati mereka dan sctelah tiba di air, mereka berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai berenang, malah sekarang ia sengaja seperte orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.
"Heiii, tunggu, aku akan tolong padamu, Nona manis!" teriak seorang laki-laki yang berenang cepat.
"Sam-ko, biarkan aku yang pondong ia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.
"Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dulu dialah yang berhak mendapat upah, memondongnya ke tepi!" kata orang ke tiga dan ramailah mereka berlomba dan mulai menyelam.
Akan tetapi sama sekali tak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini mereka benar-benar akan menghadapi seorang "iblis air". Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana ke mari untuk menangkap gadis yang
"tenggelam" tadi, di depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu, demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat. Kagetlah mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang amat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul kembali ke permukaan air menjauhi bahaya ketika "ikan besar" itu menyerang mereka. Kalau saja kejadian itu berada di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka mengaduh-aduh. Akan tetapi karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja yang melihat betapa permukaan air bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi pergumulan hebat. Dan tak lama kemudian, tampaklah enam orang pembantunya tersembul ke luar kepala mereka, lalu berenang ke pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sibuk membantu mereka, menyeret mereka yang datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik sendiri.
Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah tulang lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka. Ada yang digigit udang besar telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang macamnya menakutkan!
"Eh-eh-eh, kalian ini kenapakah" Kenapa begini .......?"
"....... celaka....... anak iblis itu.... agaknya ia anak siluman telaga.... ikan-ikan mengeroyok kami..... waduh, celaka.......!" seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu dibanting sampai hancur berkeping-keping.
Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka goblok, tolol, penakut dan lain-lain, lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di pinggir tepi muncul kepala Loan Ki dan tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah benda melayang dan tepat sekali menghantam muka nenek itu. Merasa ada sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunak-lunak alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu" Kiranya seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup, sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!
Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah mendarat agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, akan tetapi ia selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian berikut mahkota kuno itu masih berada padanya. Sambil memeras pakaian dan rambutnya, ia mengenangkan semua kejadian tadi dan tertawa-tawa seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong sahabat baru buta yang anti pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tak berani melakukan pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu!
Hatinya girang bukan main karena sekarang ia telah sampai di tepi teiaga.
Kalau ada perahu, ia akan dapat menyeberang ke darat. Akan tetapi bagaimana ia dapat meninggalkan Kun Hong begitu saja" Orang buta itu datang ke pulau ini karena desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku harus mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya! Ia mendongak memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tidak melihat bayangan pemuda buta itu. Di depannya adalah sebuah hutan yang penuh pohon-pohon buah. Girang hatinya melihat beberapa pohon penuh dcngan buah yang sudah matang.
Segera ia meloncat memetik buah lalu makan sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon yang tinggi, tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka ini berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang agaknya menjadi petunjuk jalan.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar berpakaian pendeta berwarna kuning dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang berat. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar, pakaiannya mewah sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini mengandung banyak rahasia, sukar baginya untuk dapat mencari Kun Hong.
Akan tetapi dengan adanya tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak dalam perangkap.
Cepat ia merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang laki-laki itu tak boleh dipandang ringan, kemudian menyelinap di antara pepohonan mengikuti tiga orang itu dengan hati-hati.
Karena ia tidak berani mengikuti sampai dekat, ia tak dapat mendengar jelas apa isi percakapan dua orang itu.
Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tak mungkin akan dapat ditemukan sendiri oleh Loan Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang bentuknya mungil dan bercat merah seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini memasuki bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu. Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik jendela dan dapat mengintai dan mendengarkan percakapan di dalam.
Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan yang berbentuk bundar, ruangan yang bersih dihias kembang-kembang yang hidup yang sengaja ditanam di situ. Sedikitnya ada lima belas kursi yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar dan berukir dan pula, disulami sutera tebal berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang kaya.
Akan tetapi semua kemewahan itu tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal ayahnya tidak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah orang-orang yang duduk di situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.
Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan, tubuhnya kecil kurus seperti cecak kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Bangsa Mancu. Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang perawakannya ramping menarik, kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Dari senyum dan lirikan mata mereka menyambut kedatangan dua orang ini, dapat diduga bahwa mereka adalah golongan orang-orang "besar" dalam arti kata berpengaruh di dunia kangouw sehingga sikap mereka tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong.
Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di tempatnya ini, si kurus berkumis tikus cepat bangkit berdiri dan membungkuk menyambut kedatangan hwesio tua dan pemuda tinggi besar tadi.
"Selamat datang....... selamat datang. Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!" Ia menjura dengan sikap menghormat.
"Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu tertawa bergelak dan dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma sambil berkata, suaranya tenang sikapnya dingin,
"Saudara Bouw Si Ma, aku adalah Souw Bu Lai, harap kau orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."
Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri....... orang sendiri....... di antara orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan" Mari kuperkenalkan ......."
Akan tetapi hwesio tua segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidaksabaran hatinya.
"Bouw-sicu, pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to.
Mengapa sekarang Ching-toanio tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain untuk menyambut pinceng" Apa artinya penghormatan seperti ini?"
Jelas bahwa biarpun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak memandang sebelah mata kepada orang lain, terang kepada Bouw Si Ma tidak juga terhadap tiga orang wanita baju merah berkembang itu pun tidak. Agaknya dia merasa kecewa sekali sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk membicarakan urusan rahasia yang amat besar, tahu-tahu kini di tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing.
Kalau Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia mengetahui orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak Thian Lo-cu ini. Akan tetapi tiga orang wanita ini, yang sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benar-benar membuat hwesio itu merasa tak senang hatinya.
Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,
"Tai-su tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti tadi telah diberitahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong.
Jiwi adalah orang-orang besar dan ternama, mana bisa disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan"
Akan tetapi, betapa rendah pun, kami adalah undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Tai-su" Hemm, dia itulah yang tak diundang, maka wajib disingkirkan."
Loan Ki kaget sekali ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan itu. Ia tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan
"tamu tak diundang" oleh wanita itu tentulah ia dan ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar membuat hatinya berdebar dan matanya terbelalak heran.
Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak ke depan dengan telunjuk menuding, lalu terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan, mengeluarkan bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang, melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela, Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di tempat semula, akan tetapi sudah tak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari perutnya!
"Omitohud.......! Bukankah itu yang disebut Hui-seng-kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang)?" Kemudian hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang menjadi muridnya sambil berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng (pendeta asing) di Thian-tiok (India). Ilmu pedang yang dicampur dengan hoat-sut (ilmu sihir), amat berbahaya dan kalau sudah tinggi tingkatnya, hawa pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa menggunakan pedang sekalipun. Melihat toanio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, benar-benar mengagumkan dan sudah sepantasnya kalau mereka bertiga diundang oleh Ching-toanio, "Aha, siapa kira orang-orang muda sekarang mendapat kemajuan begini hebat"
pinceng orang tua benar-benar sudah pikun, tak sadar bahwa dunia ini makin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda..... ha-ha-ha-ha!"
Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum, "Benar pendapat Tai-su. Sam-wi li-hiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."
"Benarkah" Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi adalah sumoi (adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang Hek-hwa Kui-bo telah terbang terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-san dan roboh."
Orang tertua dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Sekali waktu kami bertiga yang bodoh hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang telah merobohkan mendiang Hek-hwa suci (kakak seperguruan)."
Ka Chong Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat duduk. Di luar jendela, Loan Ki memandang dan mendengar semua ini dengan hati berdebar. Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian kepada enam orang itu yang mulai minum-minum dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan berpakaian sutera seragam berwarna indah. Dia tahu bahwa didalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin berkhawatirlah ia karena sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu meninggalkan pulau berbahaya ini.
Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh besar yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah murid dari tokoh nomor satu di utara, yaitu Pak Thian Lo-cu yang juga menemui kematiannya di puncak Thai-san (baca Rajawali Emas). Seperti juga Ang Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka juga Bouw Si Ma ini menaruh dendam kepada Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak Thian Lo-cu, tentu saja dia mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-ong-kwi karena Siauw-ong-kwi adalah sute (adik seperguruan) Pak Thian Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan pula.
Bouw Si Ma sebagai saudara tingkat tua dalarn perguruan, tentu saja mengenal pula Ching-toanio dan seringkali mengunjungi pulau ini, apalagi sejak Giam Kin tewas di puncak Thai-san. Dalam banyak hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching-toanio. Mereka sama-sama menaruh dendam terhadap Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka seringkali mereka mengincar kedudukan di kota raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan kekuasaan setelah kaisar pertama dari Ahala Beng meninggal dunia.
Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan selama belasan tahun mereka merantau ke See-thian (dunia barat) sehingga mereka tidak tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek Hwa Kui-bo yang tewas pula di Thai-san. Kini tiga orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman akan tetapi selain ilmu kepandaian yang hebat mereka pelajari, juga seperti halnya Hek Hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih dari tiga puluh tahun! Setelah merantau ke See-thian dan menjumpai guru mereka, seorang pendeta di Thian-tiok yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-cimoi meningkat hebat sehingga melampaui tingkat kepandaian Hek Hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian. Dengan amat cerdiknya Bouw Si Ma yang dalam hal mencari oraug pandai untuk sekutu mewakili Ching-toa-nio, segera menggandeng tiga orang enci adik ini, apalagi mengingat bahwa mereka juga mempunyai dendam yang sama di Thai-san atas kematian kakak seperguruan mereka.
Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat, merupakan inti daripada Ilmu Pedang Hwa-seng-kiam-sut, yang sudah sedemikian tinggi tingkatnya sehingga dengan kekuatan hoat-sut, hawa pukulan saja sudah sama bahayanya dengan sambaran pedang.
Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih keturunan Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran Mongol bernama Souw Kian Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan. Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu ini, bernama Sublai dalam Bahasa Mongol dan dalam dunia kangouw dia menggunakan nama Han dan disebut Souw Du Lai. Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orang-orang Mongol kebanyakan, karena gurunya adalah tokoh Mongol nomor satu. Sebagai seorang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan Tiong-kok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi seorang yang luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai mainkan delapan belas macam senjata, pandai pula menunggang kuda melepaskan anak panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.
Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, seorang pendeta Buddha yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah di Tibet pernah menerima hadiah tongkat kependetaannya. Sayang seribu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama, ternyata mengandung cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha. Dahulu dia bercita-cita menjadi orang tertinggi kedudukannya di samping kaisar melalui keagamaan, sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia bercita-cita membangunnya kembali bersama Pangeran Souw Bu Lai yang menjadi muridnya.
Seringkali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya menjadi kaisar. Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang malah melebihi kaisar sendiri! Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi daripada tingkat si empat besar yang dahulu ditonjolkan di dunia kangouw yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang si tokoh timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek Hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan kepalang, sukar ditandingi karena selain terbuat daripada baja pilihan di Himalaya, Juga amat berat dan kalau dia yang mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali!
Pokoknya enam orang yang berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai kepentingan bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu usaha membalas dendam kepada Thai-san-pai dan usaha membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh.
Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menanti datangnya Ching-toanio yang sudah diberitahu oleh seorang pelayan, muncullah Ching-toanio dari pintu depan. Begitu masuk wanita berpakaian hijau ini cepat menjura dengan hormat sekali sambil berkata,
"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada sedikit gangguan di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya telah mencuri masuk dan membikin kacau anak buahku.
Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalau-kalau mereka itu merupakan mata-mata fihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."
Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis enam orang itu mengerling ke sana ke mari dengan pandang mata penuh selidik.
"He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.
"Iblis betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.
Sebelum yang lain tahu apa yang mereka maksudkan, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu mendorongkan tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat ke arah jendela pula.
"Brakkkkk!" Angin dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat Ngo Kui Biau telah meloncat masuk kernbali sambil melemparkan tubuh seorang gadis yang pakaiannya basah dan rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki! Gadis ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas lantai, lalu berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguhpun kedua matanya masih terbalalak lebar saking heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar menyambar ke arah jendela.
Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak akan tetapi angin pukulan itu membuat daun jendela pecah dan tiba-tiba berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha mengelak namun gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap dan ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu.
Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini, akan tetapi tidak memperlihatkan muka takut, malah ia tersenyum-senyum kecil dengan mata bermain, menatap wajah mereka seorang demi seorang dengan nakal.
"Bocah liar, siapa suruh kau memata-matai pulau kami?" Ching-toanio menghardik, suaranya penuh ancaman.
Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan mata-mata. Aku sengaja datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya maksud buruk. Yang mana di antara kalian pemilik pulau ini?" Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum. Bukan main bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau gua naga masih saja begitu tenang dan berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau setidaknya murid orang pandai.
"Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa!" Ching-toanio membentak.
"Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja orang-orangmu takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu.
Adapun aku sendiri ingin sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"
Tiga orang laki-laki yang berada di situ tersenyum, malah Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini menyuramkan "sinar" mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.
"Budak! Kau berani kurang ajar di depan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?" teriak Ching-toanio dan bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, mendatangkan sambaran angin yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki. Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri kalau ia tidak cepat-cepat mempergunakan gerakan Bidadari Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sukar dari ilmu silat keturunannya Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya mencelat bagaikan dilemparkan ke atas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya.
Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, namun angin pukulan yang dilontarkan nyanya itu tetap saja menyerempet buntalan pakaian yang berada di punggungnya. Terdengar suara "brett!" dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.
"Oho, bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?" terdengar suara parau dari Souw Bu Lai. Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka sekali lihat dia telah mengenalnya, apalagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh dunia kangouw.
Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoat-su, lebih terheran-heran melihat cara Loan Ki bergerak menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi, maka ketika dia melihat Ching-toanio yang merasa penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini berseru "Toanio, tahan dulu!" Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut. Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki,
"Nona cilik, bukankah gerakanmu tadi jurus dari Sian-li-kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"
"Hemmm, bagus kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal pun sudah terlambat!" Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapapun juga ia takkan mampu melawan, baru nyanya galak itu saja sudah begitu hebat, apalagi yang lain-lain dan terutama hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Daripada terhina kemudian kalah, lebih baik menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja ini.
"Aha, bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan ?"
Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada mengedikkan kepala dan meraba gagang pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata,
"Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"
Akan tetapi mulutnya berkata bangga. "Hwesio tua, masih baik kau mengetahui nama mendiang kakek guruku. Dengan mengingat nama besar beliau yang kau kenal, biarlah nona kecilmu mengampunimu satu kali ini."
Souw Bu Lai tertawa bergelak menyaksikan sikap gadis ini dan hatinya yang memang berwatak mata keranjang sejak tadi sudah berdebar penuh berahi.
Akan tetapi alangkah kagetnya hati Loan Ki ketika ia melihat berkelebatnya senjata-senjata yang menyilaukan mata, membuatnya berkejap beberapa kali.
Ketika ia membuka mata, kiranya Ching-toanio, Bouw Si Ma dan Ang Hwa Sam-cimoi tiga wanita itu sudah berdiri di depannya dengan senjata masing-masing di tangan, sikap mereka penuh ancaman.
"Budak liar! Hayo katakan kau ini apanya ketua Thai-san-pai?" bentak Ching-toanio, suaranya mengandung ancaman maut.
Biarpun lincah jenaka, Loan Ki bukanlah seorang anak bodoh, malah ia tergolong cerdik dan otaknya tajam. Ia seringkali mendengar dari ayahnya tentang pamannya Tan Beng San yang menjadi ketua Thai-san-pai itu, tahu bahwa ketua Thai-san-pai itu banyak dimusuhi orang-orang kangouw, apalagi dari golongan hitam.
Jilid 7 : bagian 2
Setelah berpikir beberapa detik lamanya, ia lalu tertawa dengan nada sombong sekali.
"Hi-hi-hik, biarpun nama Raja Pedang Tan Beng San ketua Thai-san-pai membuat kalian ketakutan setengah mampus, aku tidak sudi mempergunakan namanya untuk menakut-nakuti kalian dengan namanya. Dengarlah baik-baik, aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia, malah dia masih hutang beberapa jurus serangan dengan pedangku. Belum tiba saatnya aku akan berhadapan dengan dia mengadu nyawa di ujung pedang. Kenapa kalian ini menodongkan senjata kepada seorang muda sepertiku" Apakah kalian hendak mengeroyokku" Cih, tidak tahu malu!"
Kembali Ka Chong Hoatsu yang tertawa bergelak dan Souw Bu Lai tersenyum-senyum, makin tertarik kepada dara lincah yang tabah dan cantik ini.
"He, bocah nakal! Kalau begitu tentu kau ada hubungan dengan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui?" Tanya Ka Chong Hoatsu.
"Hemm, hwesio tua. Kaulah seorang di antara mereka ini yang paling cerdik.
Majikan yang menjadi raja di pantai Po-hai, si Pendekar Pedang Sakti Tan Beng Kui adalah ayahku, dan nonamu ini Tan Loan Ki adalah puteri tunggalnya. Hayo, siapa berani menentang ayahku?"
"Ha-ha-ha-ha, Ching-toanio dan saudara-saudara yang lain, simpan senjata kalian. Kiranya nona cilik ini adalah orang segolongan sendiri. Ha-ha-ha!" kata hwesio tua itu dan semua orang yang berada di situ memang sudah mengenal Tan Beng Kui. Mereka menarik napas lega dan menyimpan senjata masing-masing sambil mundur. Ching-toanio mengerutkan alisnya karena ia masih marah dan penasaran, akan tetapi ia juga tidak mau memusuhi puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Tentu saja ia tidak mau bukan karena takut, melainkan karena pada waktu itu ia membutuhkan orang-orang kosen yang sehaluan dan boleh dibilang Tan Beng Kui mempunyai kepentingan serupa dengan dia. Pertama, ia tahu bahwa Tan Beng Kui menaruh dendam sakit hati terhadap adik kandungnya sendiri, Tan Beng San yang juga menjadi musuh besarnya. Ke dua, dalam urusan usaha merebut kekuasaan, kiranya Tan Beng Kui boleh diakui bersekutu.
Sebagai seorang yang amat cerdik, ia segera dapat menangkap maksud hati Ka Chong Hoatsu, maka ia segera memaksa senyum manis kepada Loan Ki dan berkata,
"Nona cantik, hampir saja kita saling bentrok. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah orang bilang bahwa tidak bertempur dulu takkan saling mengenal"
Ayahmu dengan kami adalah segolongan, maka tidak bisa kami memusuhimu.
Soal makanan dan minuman boleh dihabiskan sampai di sini saja. Nona Tan, bagaimana kau bisa mendapatkan mahkota kuno itu?"
Loan Ki tidak goblog untuk mempertahankan sikap bermusuhan. Iapun tersenyum ramah dan berkata, "Wah, ayah tentu girang sekali kalau mendengar bahwa anaknya sudah berkenalan dengan orang-orang gagah di dunia kangouw. Bagus, karena cuwi (tuan sekalian) adalah orang-orang sendiri, biarlah aku mengaku terus terang. Mahkota ini dirampas oleh Hui-houw-pang dari tangan si pembesar yang mencurinya dari istana, kemudian aku merampasnya dari Hui-houw-pang untuk kuberikan kepada ayah yang suka mengumpulkan barang-barang kuno seperti ini. Mereka itu beramai-ramai mengeroyokku dan mengejar, tapi mana mereka mampu merampas kembali dari tanganku" Hemm, biar ditambah sepuluh kali jumlah mereka takkan sanggup mereka itu! Aku lari sampai di daerah sini dan karena kesalahan merampas makanan, maka aku akhirnya masuk ke Ching-coa-to."
Seperti lagak anak kecil Loan Ki menyombongkan hal yang tak pernah terjadi tentang pengeroyokan. Padahal kalau tidak ada Kun Hong, mana ia bisa mendapatkan mahkota itu"
"Ho-ho, memang tidak mudah, tapi pinceng bolehkah melihat sebentar?"
Tongkat hwesio itu menyelonong ke depan, Loan Ki kaget sekali dan cepat miringkan tubuhnya. Celaka, tahu-tahu tangan kiri hwesio itu diulur maju dan di lain detik buntalan pakaian sudah berpindah tangan!
"Ha-ha-ha, tenang, Nona. Pinceng hanya ingin melihat sebentar, untuk membuktikan apakah benar-benar ini mahkota yang aseli." Dengan enak hwesio itu mengambil mahkota, melihat-lihat dan bergantian dengan orang-orang yang berada di situ, mengagumi keindahan mahkota kuno ini. Loan Ki hanya berdiri dengan muka merah dan mata berapi-api penuh kemendongkolan hati. Akan tetapi diam-diam ia pun kaget sekali karena ternyata hwesio tua itu sepuluh kali lipat lebih lihai daripadanya.
Setelah semua orang melihat, buntalan dan mahkota dikembalikan kepada Loan Ki oleh hwesio itu. Loan Ki menerimanya, mengikatkan buntalan kembali ke punggungnya dengan muka cemberut.
"Orang tua mengakali anak muda, awas kau hwesio, lain kali aku balas!"
Ka Chong Hoatsu hanya tertawa bergelak dan Souw Bu Lai sambil cengar-cengir mendekati Loan Ki, sepasang matanya yang lebar itu seakan-akan hendak menelan gadis ini bulat-bulat. Loan Ki mengerutkan kening menyaksikan mata seperti mata harimau kelaparan itu.
"Kau mau apa?" tanya Loan Ki dengan alis berkerut.
Souw Bu Lai tersenyum, giginya yang putih ! berkilat di balik kumis panjang, kumis model Mongol, "Nona manis namanya pun manis. Aku tidak akan menyusahkanmu, sudah lama kudengar nama besar ayahmu. Perkenalkan aku......."
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"....... kau Sublai, mengaku-aku Pangeran Mongol, ya" Tapi aku masih belum mau percaya!" tukas Loan Ki galak.
Souw Bu Lai tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau tadi sudah mengintai cukup lama" Memamg, aku bernama Souw Bu Lai, seorang pangeran dari Mongol.
Ayahmu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, pantas puterinya seperti kau, Nona."
"Wah, sudahlah, aku tidak ingin mendengar pidatomu. Toanio, aku pamit hendak pergi dari sini, mencari sahabatku kemudian kuharap kau suka memberi pinjam sebuah perahumu untuk mengantar kami berdua menyeberang, kembali ke darat."
"Kau datang tak diundang, pulang pun tak usah minta diantar," jawab Ching-toanio cemberut.
"Hi-hik, kalau begitu biar aku pergi sendiri. Kalau butuh perahu, tidak boleh pinjam, curi pun masih bisa." Dengan lagak seperti kanak-kanak Loan Ki melambaikan tangan ke arah orang-orang itu lalu kakinya melangkah hendak keluar dari pondok itu.
Hampir saja ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang amat cepat gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya ke kiri sedangkan orang yang lari itu pun tiba-tiba berhenti, begitu tiba-tiba dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki memandang heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya mampu dilakukan oleh orang pandai. Keduanya berpandangan dan tak terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji, "Aduh cantiknya......"
Orang itu bukanlain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya sebaya dengan Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun.
Memang Hui Siang luar biasa cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi, wajahnya terawat baik dengan bantuan pelayan-pelayan ahli, pakaiannya selalu mentereng sehingga biarpun ia puteri seorang pemilik pulau, namun sekali melihat orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang puteri keluarga kaisar di istana! Maka tidaklah heran apabila Loan Ki segera memujinya, sungguhpun ia sendiri adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki sendiri takkan kalah baik bentuk wajah maupun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan Hui Siang, akan tetapi karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang suka merantau dan kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja kulitnya kalah putih, kalah halus, dan pakaiannya juga kalah baik.
Hui Siang adalah seorang dara manja dan wataknya amat galak dan sombong.
Karena hampir saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki,
"Budak hina! Apakah matamu buta" Eh, kau pelayan barukah" Belum pernah aku melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!"
Loan Ki mendongkol sekali, ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata, "Ibu, celaka sekali, Ibu. Enci Hui Kauw telah membikin malu kita, kali ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-bisa nama keluarga kita diseret ke dalam lumpur!" Gadis ini mengerling ke kanan kiri seakan-akan tidak memperdulikan orang-orang yang berada di situ. Sepasang mata Souw Bu Lai berkilat-kilat sekali lagi ketika ia melihat Hui Siang.
"Hui Siang, kau bicara apa" Apa yang telah terjadi?" Ching-toanio berkata, kemarahannya terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan bernyala kembali.
"Ibu ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini" Nah, yang seorang kudapati berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi celakanya....... dia berpacaran dengan enci Hui Kauw!"
"Hui Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!" ibunya membentak marah. Biarpun di dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup mengenal tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan seorang jembel buta.
Hui Siang cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh ibunya yang biasanya memanjakan. "Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong" Biar aku mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan saputangan suteranya kepada si jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel menciumi saputangan itu. Aku marah dan menyerangnya, eh....... kiranya dia pandai dan dapat menghindarkan seranganku. Lalu muncul enci Hui Kauw dan....... enci Hui Kauw malah membela jembel buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan bukti-bukti yang cukup jelas .......?"
"Waaaaahhhhh, mata keranjang! Tidak punya mata tapi bisa mata keranjang, apa yang lebih aneh daripada ini" Dasar laki-laki!" Yang berkata demikian adalah Loan Ki yang cepat melompat keluar hendak mencari Kun Hong.
Hatinya mendongkol sekali mendengar penuturan nona cantik tadi dan ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia merasa iri, gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran dengan seorang gadis di dalam taman. Menciumi saputangan sutera" Terbayanglah di depan mata Loan Ki semua pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur, teringat betapa dalam keadaan bahaya maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh pemuda buta itu, dihibur, dielus-elus rambutnya, diciumi rambutnya.......
"Dasar tukang cium.......!" Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang mengkal.
Tiba-tiba ada angin berkesiur di sebelahnya dan tahu-tahu di depannya sudah menghadang tubuh laki-laki tinggi besar.
Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandangnya sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan besar.
"Nona, kau tidak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk membicarakan hal yang amat penting," katanya sambil mendekat.
Loan Ki yang sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah mau menyerangnya, akan tetapi ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan berada di belakangnya. "Aku tidak sudi!" katanya setengah membentak. "Biarkan aku jalan sendiri!"
"Tidak bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang akan menghubungkan kami dengan ayahmu," kata pula Souw Bu Lai.
Sebelum Loan Ki menjawab, tiba-tiba ia mendengar sambaran angin dari belakangnya, cepat ia miringkan tubuh membalik. Kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar dan menyerangnya. Ia kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi tiba-tiba saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang lalu dibelenggu! Gerakan Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan menangkapan ini benar-benar cepat dan hebat, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekali pun sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.
"Monyet-monyet tua muda, kalian mau apa membelenggu dan menangkap aku" Kalian curang, pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai seribu jurus!" ia memaki-maki.
"Cih, budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular kita, Ibu?" Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata mendelik. Bergidik juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus dijadikan umpan atau kurban di dalam sumur dikeroyok ratusan ular, ia benar-benar merasa ngeri dan kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut-takut kalau ia benar-benar dilempar ke dalam sumur penuh ular yang amat menjijikkan!
"Ha-ha-ha, dia puteri Sin-kiam-eng, mana boleh dibunuh?" Ka Chong Hoatsu berkata. "Pinceng curiga terhadap sahabat yang buta itu, maka sementara ini pinceng membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan kerewelan. Ching-toanio, mari kita ke taman menemui orang buta itu."
Beramai mereka lari ke taman bunga mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat kedua tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel dan menyumpah-nyumpah Pangeran Mongol itu yang hanya tertawa saja. Diam-diam gadis ini harus mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi jengkel sekali, ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri. Kejengkelan bertumpuk di hati Loan Ki. Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong berpacaran dan menciumi saputangan seorang gadis bernama Hui Kauw, ke dua kalinya karena ia merasa kecil tak berdaya menghadapi orang-orang di dalam pulau ini, dan ke tiga kalinya sekarang ia menjadi seorang tawanan, dibelenggu seperti seekor domba! Awas kalian, demikian ia menyumpah-nyumpah, sekaii ayahku kuberitahu tentang penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik, dihancurkan, dan dibasmi oleh ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi habis, pulau ini dibumi hanguskan, tak seorang pun manusia atau seekor pun mahluk diberi hidup! Akan tetapi, di balik ancamannya ini, ia sendiri ragu-ragu apakah ayahnya akan mampu menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh, terutama sekali hwesio tua itu.
Akhirnya mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tak dapat menahan mulutnya lagi berteriak-teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki berseru menegur Kun Hong,
"Haaiii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini" Kau benar-benar mata keranjang akan tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-ko!"
Tentu saja Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki ini. Ia tidak perdulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan segera melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,
"Ki-moi! Kau selamat" Syukurlah!"
"Hong-ko, kau benar-benar tak punya liangsim (pribudi)! Aku terjerumus ke dalam jurang, hampir mampus, menerima hinaan orang, tapi kau....... kau malah berpacaran dan enak-enak senang-senang di sini. Wah, sahabat macam apa kau ini?"
Muka Kun Hong merah sekali sampai ke telinganya. "Ki-moi, jangah kau percaya akan fitnah orang. Tidak ada yang berpacaran di sini! Dan kau, siapakah orangnya yang berani menghinamu?"
Sebelum Loan Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka terdengar bentakan marah dari Ching-toanio yang mengagetkan mereka dan memaksa mereka mengalihkan perhatian.Ching-toanio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan suara penuh kemarahan,
"Bocah keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang balasanmu" Berjina dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman dan mencemarkan nama baik keluargaku" Keparat, perempuan hina!"
Terdengar oleh Kun Hong suara "plak-plak-plak!" tiga kali, diikuti keluhan perlahan. Biarpun tak dapat melihat, dia dapat menduga bahwa dara bersuara bidadari itu telah ditampar tiga kali mukanya oleh si ibu yang galak.
"Ibu....... maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan....... dan aku sama sekali tidak melakukan perbuatan tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang buta ini memasuki taman menemukan saputanganku yang tertinggal di sini. Harap ibu jangan mempercayai segala fitnah keji......."
"Setan, kau malah balik menuduh Hui Siang membohong" Perempuan tak bermalu kau! Adik sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi adikmu" Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas hutang-hutangmu kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan nyawamu!"
"Srrrrrttt! Singgggg!" Bunyi pedang berdesing memecah angin, menyambar ganas menimbulkan cahaya berkilauan. Tak seorang pun di antara para tamu berani mencampuri urusan antara ibu dan anak. Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa pedang ditangan nyonya yang galak dan lihai itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah leher si nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikit pun tidak bergerak seakan-akan sudah rela menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang yang akan memenggal lehernya dan maut yang akan merenggut nyawanya.
Pada detik berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan berkelebat. "Criinggggg" Pedang di tangan Ching-toanio tahu-tahu sudah buntung, ujungnya melayang ke atas entah ke mana sedangkan sisanya masih terpegang Ching-toanio, menggetar dan mengeluarkan bunyi! Ching-toanio berdiri seperti patung, terbelalak kaget, juga orang-orang yang berada di situ, kecuali Loan Ki yang memandang marah, mengeluarkan seruan heran dan terkejut.
"Wah, kau betul-betul membelanya, Hong-ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh seorang gadis muka hitam!" Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan.
Akan tetapi Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak memperdulikan teriakan Loan Ki ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan mukanya itu. "Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang hendak membunuhmu?" Ucapan ini selain mengandung perasaan kasihan, juga merupakan teguran. Memang jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara bidadari ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak cepat.
"Saudara Kwa, ia....... ia ibuku......." jawab nona itu dengan suara lemah mengandung isak tertahan. Kagum hati Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi mulia, berhati baja. Tapi dia penasaran mengapa ibunya seperti itu"
"Dia bukan ibumu!" Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan hatinya.
"Heeeee" Saudara Kwa....... bagaimana kau bisa tahu akan hal ini.......?"
"Dia tidak mungkin ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekali pun takkan mungkin membunuh anaknya, apalagi seorang ibu. Akan tetapi ia tadi benar-benar hampir membunuhmu. Ia bukan ibumu!" suara Kun Hong lantang.
Sementara itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan Ching-toanio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan Ka Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai di mana kelihaian ilmu pedang Ching-toanio yang sudah jarang dapat di tandingi oleh kebanyakan ahli silat ternama. Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi, dengan sekali tangkis dapat mematahkan pedang Ching-toanio, benar-benar membuat hwesio tua ini tidak mengerti.
Padahal yang dipakai untuk menangkis hanya sebatang tongkat, dan gerakannya ketika menangkis tadi pun hanya cepat saja, tidak luar biasa.
Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching-toanio sudah dapat menguasai kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya. Dibuntungkannya pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta itu, benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan ini. Masa ia kalah oleh seorang muda yang buta" Benar-benar tak masuk di akal. Ia tidak tahu bagaimana caranya pedangnya sampai patah tadi, akan tetapi ia tidak perduli dan mengira hal itu hanya kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya yang sudah bercacat di luar pengetahuannya.
Dengan mata mendelik ia membentak dan melangkah maju, "Jembel buta, kau siapakah berani mencampuri urusanku?"
Kun Hong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi, malah kalau tidak keliru, menurut pendengarannya, orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu berkata halus,
"Harap Toanio dan Cuwi sekaiian sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak berani mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai seorang manusia biasa, mana bisa aku membiarkan seorang ibu membunuh anaknya sendiri"
Toanio harap insyaf sebelum bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini sama sekali tidak melakukan perbuatan seperti yang difitnahkan tadi."
"Ching-moi (adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini" Biar kuwakili kau membereskannya!" bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah sekali karena wanita bekas kekasih sutenya ini tadi mengalami penghinaan. Dia adalah seorang Mancu yang berangasan, dan dia pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi lebih tinggi daripada Ching-toanio, murid dari Pak Thian Lo-cu, tentu saja dia memandang rendah kepada Kun Hong seorang muda buta.
"Bocah buta, kau benar-benar tak tahu diri, lancang memasuki tempat tinggal orang berani bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan siapa pula ayah atau gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil nyawamu!"
Kun Hong cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum bahwa orang ini tentu lebih lihai daripada Ching-toanio, maka dia berhati-hati.
"Bouw-enghiong harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong, tentang orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa aku telah lancang memasuki Ching-coa-to, akan tetapi aku menyangkal kalau dianggap bertingkah atau menjuai lagak.
Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat yang tidak baik dan kalau kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku pergi dan tidak akan mencampuri urusan orang lain."
Ucapan ini amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi jerih dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia tertawa menyeringai dan membentak lagi,
"Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa kau kira di sini tidak ada orang yang mampu memberi hajaran kepadamu" Nah, kau rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut nyawamu!" Serta merta Bouw Si Ma menerjang, pukulannya lambat dan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan menderu menyerang ke arah dada Kun Hong.
Orang muda ini sudah siap, maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia jerih atau bingung. Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini telah terlibat dalam urusan besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Ching-coa-to. Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di hatinya meski sedikit juga untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Sekarang karena menuruti Loan Ki, memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang menarik hatinya dan karena dia ingin melindungi nona bidadari itu, dia terseret dalam pertempuran.
Dengan hati sedih dia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-tiauw-kun sehingga lima kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin lama makin berat dan hebat. Namun, orang yang diserangnya bergerak aneh dan dia merasa seakan-akan menyerang bayangan sendiri saja, sudah tentu tidak berhasil.
"Bouw-loenghiong, aku tidak ingin berkelahi......."
Terpaksa Kun Hong mengelak lagi karena belum juga dia habis bicara, lawannya sudah mengirim lagi penyerangan sebanyak tujuh jurus menggunakan pukulan-pukulan tangan dan tendangan-tendangan kaki yang lebih gencar dan berat lagi. Setiap pukulan atau tendangan ini mengandung tenaga Iweekang tersembunyi cukup kuat untuk mengirim nyawa lawannya ke akhirat. Kun Hong mengerutkan keningnya. Kejam sekali orang ini. Untuk urusan kecil saja sudah menurunkan tangan maut, menghendaki nyawa orang.
Untuk memberi peringatan, pada jurus ke tujuh selagi kepalan tangan Bouw Si Ma berkelebat ke dekat lehernya, Kun Hong menyentil dengan telunjuk kanannya ke arah belakang atau punggung kepalan kiri orang Mancu itu.
"Aduh........ keparat.......!" Orang-orang yang berada di situ, kecuali Ka Chong Hoatsu, terheran-heran karena tidak ada yang dapat melihat perbuatan Kun Hong ini. Mereka hanya melihat pemuda buta itu terhuyung ke sana ke mari dengan kedua tangannya bergerak-gerak seperti mengimbangi badan agar tidak jatuh. Kenapa Bouw Si Ma yang penuh semangat menyerang membabi buta itu malah mengaduh-aduh sendiri dan tubuhnya mendadak menggigil seperti orang terserang demam malaria" Akan tetapi karena Bouw Si Ma memang seorang ahli silat tingkat tinggi, hanya sebentar saja dia menggigil dan segera dia dapat menguasai dirinya kembali dengan jalan menyalurkan Iweekang untuk melawan getaran hebat dari sentilan si buta yang tepat menyinggung jalan darahnya itu.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 10 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama