Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Terharu hati Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih, "Kau baik sekali, kau benar-benar bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu..."
"Husshhh, diam, ada orang-orang datang" Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong diajak menyusup ke dalam gerombolan pohon kembang. Tentu saja Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mendengar juga dapat melihat.
Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan putera ketua Kun-lun-pai. Tadinya dia sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera Kun-lun-pai itu menjadi tamu di Ching-coa-to. Akan tetapi setelah dia mendengar percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk di atas rumput tebal tak jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra!
Terdengar suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya penuh kemanjaan dan mengandung kegenitan. "Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan cintaku yang suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya.......... mana bisa aku tahu akan isi hatimu" Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadaku pun sama sucinya" Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini.......... ah, bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?"
Kun Hong mendengar ini merasa bulu tengkuknya meremang dan dia sudah bergerak hendak pergi diam-diam dari tempat itu, menjauhi mereka dan tidak sudi mencuri dengar percakapan semacam itu. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh tangan Hui Kauw yang mencengkeram erat-erat, diguncang-guncang sedikit seperti memberi isyarat agar dia jangan bergerak. Kun Hong merasa heran sekali mengapa tangan nona itu dingin dan gemetar. Tentu saja dia tidak tahu betapa dengan muka pucat gadis ini melihat betapa adiknya itu membujuk rayu, memeluk-meluk dengan sikap yang tidak tahu malu. Tiba-tiba Kun Hong merasa dadanya sakit. Teringatlah dia ketika dahulu mencuri dengar percakapan antara Hui Kauw dan ibu angkatnya. Ching-toanio pernah memakinya tergila-gila kepada Bun Wan! Hemm, apakah sekarang Hui Kauw menjadi cemburu dan iri hati melihat pemuda Kun-lun yang digilainya itu bercumbu rayu dengan Hui Siang" Aneh sekali, pikiran ini yang menimbulkan rasa perih di hatinya, sekaligus membuat dia mengambil keputusan untuk mendengarkan terus dan melihat Hui Kauw tersiksa karena cemburu dan iri!
Memang aneh sekali watak orang muda kalau sudah terbius asmara!
"Hui Siang, kau begini manis, begini cantik jelita. Mana bisa aku tidak cinta kepadamu dengan seluruh hatiku?" terdengar oleh Kun Hong suara Bun Wan, akan tetapi aneh baginya, dia menangkap nada suara agak mengkal.
"Ah, kanda Bun Wan, mana aku bisa percaya begitu saja" Cinta kasihku sudah aku buktikan, aku sudah menyerahkan raga dan kesucianku kepadamu. Tapi kau" Wan-koko, kau bersumpahlah........"
Suara Bun Wan menghibur, akan tetapi tetap saja kemengkalan yang tadi, masih tertangkap oleh pendengaran Kun Hong yang amat tajam. "Hui Siang........ yang sudah-sudah mengapa kau tonjol-tonjolkan kembali" Kau tahu benar bahwa bukan salahku semata, tapi kau....... ah, kenapa kau begini cantik dan kau pula yang mendorongku dengan sikapmu" Aku cinta padamu, tak perlu bersumpah."
"Aku percaya, kau seorang laki-laki gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri.
Tapi.......... kau tentu segera mengajak orang tuamu datang untuk melamarku kepada ibu, bukan" Betul ya, Koko" Jangan terlalu lama, ya?"
"Hemm........ soal itu........ aku belum berani memastikan, kekasihku. Ayahku amat keras hati..........."
Terdengar isak tangis tertahan. "Kau harus dapat membujuknya, Koko.......
kau harus dapat........ kalau kau tidak lekas datang kembali, aku akan menyusulmu ke Kun-lun, aku tidak perduli.......!"
"Baiklah....... kau tenang dan sabarlah. Dan jangan menangis, sayang pipimu yang halus menjadi basah. Sekarang, buktikan bahwa kau benar-benar cinta padaku. Malam tadi kau berjanji hendak mengambil benda itu dan memberikan kepadaku. Mana?"
Suara Hui Siang tiba-tiba berubah manja ketika ia menjawab sambil memeluk leher Bun Wan, "Koko yang nakal, kau masih tidak percaya setelah semua yang kulakukan padamu" Badan dan nyawa sudah kuserahkan, apalagi hanya benda macam ini. Sudah sejak tadi kubawa."
Kiranya gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah mahkota kuno itu dan diberikannya kepada Bun Wan! Pemuda itu menerimanya, memandangi dan menarik napas panjang. "Heran, benda macam ini saja diperebutkan orang. Hui Siang, andaikata ibumu dan orang-orang lain tidak pergi meninggalkan pulau, kiraku kau tidak akan berani mengambilkan benda ini untukku."
"Ihh, siapa bilang" Sebaliknya, mana kau berani datang dan malam-malam mencari aku" Hi-hik, agaknya kau sudah amat rindu kepadaku, ya" Dapat kulihat dari pandang matamu ketika kau datang dahulu......."
"Hemmm, sebaliknya kaupun selalu mengharapkan kedatanganku. Hayo sangkal kalau berani!" Kedua orang itu tertawa-tawa kini, diselingi cumbu rayu yang memanaskan telinga Kun Hong dan membuatnya tidak betah tinggal di tempat persembunyiannya itu.
"Hui Siang, kalau aku sudah membawa pergi mahkota ini dan ibumu kembali, bagaimana kalau ia tanya tentang mahkota ini padamu?" Mendengar pertanyaan Bun Wan ini, seketika Kun Hong menaruh perhatian penuh. Eh, kiranya mahkota yang dia cari-cari itukah yang tadi disebut-sebut sebagai benda oleh mereka" Baru sekarang dia tahu dan perhatiannya tertarik pula.
Hui Siang yang tadi menangis sekarang tertawa-tawa genit. "Apa sukarnya mencari jawaban itu" Aku bilang saja bahwa enci Hui Kauw yang datang dan memaksaku minta mahkota itu. Habis perkara!"
"Enak saja kau membohong, apa ibumu bisa percaya" Kalau hanya ia yang datang, apa kau tidak bisa melawan" Sedikitnya kepandaianmu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya," bantah Bun Wan. "Ibumu tentu tidak percaya."
"Koko yang tampan tapi bodoh. Kalau aku bilang bahwa enci Hui Kauw datang bersama si setan buta yang membantunya, tentu ibu percaya."
Tiba-tiba Kun Hong merasa betapa tubuh Hui Kauw menggigil, napasnya agak memburu, tanda bahwa gadis itu marah bukan main. Benar saja dugaannya, karena Hui Kauw segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak,
"Hui Siang apa yang kau lakukan ini" Ke mana harga dirimu sebagai seorang wanita" Kau membiarkan dirimu dipermainkan nafsu dan tiada hentinya kau hendak melakukan fitnah! Kau manusia Bun, sungguh kurang ajar berani kau melanggar susila di sini, keparat!"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati dua orang muda yang sedang tenggelam dalam permainan nafsu, ketika tiba-tiba Hui Kauw muncul sambil membentak marah itu. Lebih-lebih lagi Hui Siang yang merasa amat malu, kaget dan heran. Perasaan-perasaan itu berkumpul menjadi satu dan berubah menjadi kemarahan besar.
"Budak hitam, tutup mulutmu! Ibu sudah tidak mengakui lagi kau sebagai anak angkatnya, kau bukan apa-apa denganku, mau apa kau mencampuri urusanku" Hayo minggat, kau hanya mengotori pulau ini dengan telapak kakimu!" Sambil berkata demikian Hui Siang sudah mencabut pedang dan serta menyerang bekas enci angkatnya itu dengan tusukan kilat.
Hui Kauw tenang saja menghindar sambil berkata, "Hui Siang, betapapun juga, aku masih mengingat hubungan antara kita semenjak kecil. Kau telah tersesat.........." suaranya mengandung kedukaan besar.
"Siapa sudi nasihatmu" Tengok dirimu sendiri, berjina dengan jembel buta masih hendak rnengganggu orang bercinta. Wan-koko, kau bantu aku bunuh mampus setan betina ini!" Kembali Hui Siang menyerang, kini lebih hebat lagi.
Dasar ia memang memiliki ilmu pedang yang ganas dan gerakan yang lincah, maka serangan ini tak boleh dipandang ringan. Hui Kauw maklum pula betapa lihainya adik angkat ini, maka sambil melompat menjauhi ia pun mencabut pedangnya. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan segera mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang selama ini dirahasiakan. Kaget bukan main Hui Siang karena tiba-tiba lawannya itu menggerakkan pedang secara aneh dan membingungkan, sama sekali tak dikenalnya dan hebatnya, semua serangannya tenggelam tanpa bekas menghadapi sinar pedang Hui Kauw yang aneh itu. Malah tidak demikian saja, selewatnya sepuluh jurus segulungan sinar pedang Hui Kauw sudah menyelimuti dirinya, menghadang semua jalan keluar dan ia terkurung rapat tanpa dapat balas menyerang lagi.
Tiada habis keheranan menekan hati Hui Siang. Selama ini, biarpun ia tidak berani menyatakan bahwa kepandaiannya lebih tinggi tingkatnya daripada Hui Kauw yang pendiam dan tidak suka pamer, akan tetapi jika dibilang ia lebih rendah juga tidak mungkin, Sering kali mereka berlatih dan dalam latihan ini tak pernah ia terdesak, biarpun mereka sudah berlatih pedang sampai seratus jurus lebih. Akan tetapi mengapa baru belasan jurus saja ia sudah tidak berdaya oleh jurus-jurus yang amat aneh ini" Mungkinkah ibu menurunkan ilmu istimewa kepadanya tanpa kuketahui" Tak mungkin, pikirnya. Malah beberapa macam ilmu warisan ayahnya telah ia pelajari, di antaranya ilmu menguasai ular-ular, sedangkan Hui Kauw tidak suka mempelajari ilmu ini kecuali ilmu untuk menolak ular.
"Wan-koko........... kau bantulah aku..........!" Tanpa malu-malu lagi Hui Siang berseru minta tolong kepada kekasihnya.
Sementara itu, Bun Wan tadi berdiri terlongong dengan muka merah padam.
Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa adegan antara dia dengan Hui Siang disaksikan orang. Malunya bukan main, apalagi terhadap Hui Kauw yang sudah dia ketahui wataknya yang halus dan budi pekertinya yang jauh berbeda kalau dibandingkan dengan Hui Siang atau ibunya. Sudah beberapa kali dia datang berkunjung ke pulau ini dan diam-diam dia selalu merasa kagum kepada Hui Kauw, nona bermuka hitam itu. Siapa kira nona yang dia segani dan kagumi ini sekarang menjadi saksi akan perbuatannya bersama Hui Siang yang melanggar susila.
"Bun Wan koko, hayo kau bantu aku!" kembali Hui Siang berseru, kini suaranya penuh penyesalan mengapa kekasihnya itu masih saja bengong dan tidak cepat-cepat membantunya yang sudah amat terdesak oleh gelombang sinar pedang Hui Kauw yang amat aneh.
Bun Wan sadar dari lamunannya dan ketika dia memandang, dia kaget menyaksikan betapa Hui Siang yang ilmu pedangnya sudah amat lihai itu tidak berdaya menghadapi gempuran-gempuran Hui Kauw. Cepat dia mencabut pedangnya dan ketika tubuhnya berkelebat ke depan, sinar pedangnya yang amat kuat itu bergulung bagaikan naga mengamuk.
"Nona Hui Kauw harap mundur!" bentaknya dengan suara nyaring.
Dua gulungan sinar pedang bertemu dan keduanya melompat mundur tiga langkah dengan kaget. Masing-masing mengagumi getaran hebat yang keluar dari pedang lawan. Ilmu pedang Bun Wan adalah Kun-lun Kiam-sut yang sudah terkenal di seluruh permukaan bumi akan kehebatannya. Juga pemuda ini adalah putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja dapat diketahui betapa hebat kepandaiannya apalagi kalau diingat bahwa semenjak kecil memang pemuda ini amat suka berlatih silat dan memang dia memiliki bakat yang baik.
Tadi ketika dia menerjang maju untuk mengundurkan Hui Kauw dan menolong kekasihnya yang terdesak, dia hanya mengeluarkan jurus sederhana dengan penggunaan tenaga setengah bagian saja. Namun, kagetlah dia ketika dia merasa betapa pedangnya membentur hawa pedang yang amat ampuh dan luar biasa sehingga memaksa dia melompat mundur tiga langkah.
Sebaliknya, Hui Kauw kaget dan kagum sekali ketika ia dipaksa mundur oleh sinar pedang pemuda Kun-lun ini dalam segebrakan saja. Masing-masing berdiri dalam jarak enam tujuh langkah dan saling pandang seperti hendak mengukur keadaan dan kekuatan masing-masing. Akan tetapi Hui Siang yang sudah amat marah itu segera menerjang lagi, menyerang Hui Kauw dengan besar hati karena ia kini mengandalkan bantuan kekasihnya.
"Hui Siang, kedatanganku ini bukan untuk bertempur denganmu, juga tidak ada urusanku dengan orang Kun-lun ini. Akan tetapi menyaksikan perbuatan kalian yang tak tahu malu, benar-benar aku prihatin. Hui Siang, kau dengarkan kata-kataku.......!" Hui Kauw coba menyabarkan adiknya dan menghindarkan diri dari beberapa tusukan.
"Tutup mulut, budak hitam. Kau harus mampus! Wan-koko, hayo kita binasakan budak hitam kurang ajar ini!" Hui Siang memaki sambil menerjang terus dengan terpaksa Hui Kauw mengangkat pedangnya dan kembali dua orang gadis itu bertempur hebat. Bun Wan sudah menggerakkan pedang hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dari belakang tubuhnya. Cepat dia membabitkan pedangnya ke belakang, membalikkan tubuh dan mengganti kedudukan kaki sekaligus melakukan tusukan ke arah belakang dengan lengan diputar. Hebat gerakan ini dan seorang lawan yang membokongnya pasti akan dapat dirobohkan dengan jurus yang hebat ini karena tidak akan menduganya. Akan tetapi, matanya hanya melihat bayangan berkelebat lenyap. Begitu cepat gerakan bayangan ini. Tahu-tahu dia merasa punggungnya dilanggar tangan. Cepat bagaikan kilat Bun Wan membalikkan tubuh dan kakinya mendahului dengan tendangan maut ke bawah pusar dan pedangnya berkelebat dari atas pundak menyambar ke arah leher. Dia merasa yakin bahwa serangannya kali ini pasti berhasil. Memang hebat bukan main gerakan pemuda Kun-lun ini, "Bagus.....!" terdengar suara orang memuji dan bayangan itu melompat mundur lima langkah menghindarkan jurus dahsyat dari Bun Wan ini. Kiranya bayangan itu adalah Kun Hong yang kini berdiri dengan tongkat di tangan kanan dan....... mahkota kuno di tangan kiri, tersenyum-senyum dan matanya yang buta tak berbiji itu menggetar.
Berdetak hati Bun Wan ketika melihat siapa orangnya yang tadi diserangnya itu, apalagi ketika melihat mahkota itu. Otomatis tangan kirinya meraba punggung di mana buntalannya tersimpan. Mahkota kuno yang dia terima dari Hui Siang tadi disimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Tangan kirinya meraba-raba dan hatinya mengeluh. Mahkota itu sudah lenyap dan terang bahwa yang dipegang Kun Hong itulah mahkota tadi. Wajahnya seketika menjadi pucat. Dia cukup maklum akan kesaktian Kun Hong yang pernah dia saksikan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, akan tetapi setelah orang ini menjadi buta, bagaimana agaknya malah lebih lihai daripada dahulu"
Betapapun juga, Bun Wan tidak takut dan dia melangkah maju sambil membentak,
"Kwa Kun Hong! Berkali-kali kau menghinaku dan agaknya sengaja hendak menjadi perintang jalan hidupku."
Kun Hong tersenyum pahit dan menggeleng kepala sambil menarik napas.
"Saudara Bun Wan. Memang hidup ini ada kalanya aneh sekali. Agaknya jalan hidup kita sudah ditakdirkan oleh Thian selalu saling memotong. Dahulu aku bersalah padamu, tapi kesalahan yang tidak disengaja sama sekali dan untuk kesalahan itu pun aku sudah mengorbankan banyak sekali. Nyawa orang yang paling kusayang di dunia ini dan anggauta badan yang paling kusayang pula kukorbankan. Akan tetapi sekarang lain lagi, saudara Bun Wan. Aku berdiri di depanmu dan menentangmu bukan tidak sengaja malah, karena kau yang berada di jalan sesat!"
Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi, merah padam. Ucapan ini merupakan ujung pedang yang seakan-akan menancap dl ulu hatinya.
"Kwa Kun Hong, agaknya kau memang seorang laki-laki yang tidak suka melihat orang lain bahagia. Aku berbaik dengan seorang gadis cantik, ada hubungan apakah urusan ini denganmu" Apakah kau iri hati dan berusaha hendak merampas lagi seperti dulu" Ho-ho, belum tentu bisa sekarang, sahabat, karena matamu yang buta itu tidak menarik lagi dipandang!"
Kun Hong menggeleng kepala, suaranya terdengar keren, "Bun Wan, biarpun urusanmu dengan orang-orang wanita tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi aku mengingat akan hubungan antara orang-orang tua kita, maka sudah sepatutnya pula kalau aku menegur sikapmu yang tidak baik. Bukanlah seorang gagah kalau suka mempermainkan wanita secara rendah! Meminang dan berjodoh sudah ada aturan-aturannya sendiri dan kau maklum bahwa siapa yang melakukan hubungan di luar nikah, dia adalah manusia berwatak rendah seperti binatang! Akan tetapi, kali ini aku tidak ada waktu mengurus hal itu. Yang kumaksudkan tadi adalah mengenai mahkota ini. Benda ini bukan milikmu, juga bukan milik penghuni Ching-coa-to. Aku tahu siapa yang berhak memiliki mahkota ini, oleh karena itu harus kuambil kembali."
"Kun Hong, kau terlalu menghinaku! Kembalikan mahkota itu!" bentak Bun Wan sambil menerjang dengan pedangnya.
Kun Hong cepat mengelak dan diam-diam dia mengagumi gerakan pedang yang hebat ini. Terpaksa diapun menggunakan tongkatnya untuk menghadapi lawan tangguh ini. Tiga belas kali berturut-turut dia menangkis sambil berkata,
"Bun Wan, aku tidak ingin bertempur denganmu, tidak ingin bermusuh denganmu. Percayalah, mahkota ini akan kuserahkan kepada yang berhak menerima. Kau biarkan aku pergi dengan aman dari pulau ini."
Akan tetapi mana Bun Wan mau mengalah begitu saja" Dia menghendaki mahkota itu bukan semata-mata karena ingin memilikinya atau untuk dijadikan tanda cinta kasih Hui Siang, sama sekali bukan. Ada alasan yang lebih kuat baginya untuk memiliki mahkota itu, maka dia sekarang menjadi nekat dan melawan.
Pedang di tangan Bun Wan meluncur dengan gerakan miring dari samping kiri, menjurus ke arah tubuh bagian bawah lengan atau iga kanan Kun Hong.
Gerakan ini selain miring juga agak memutar sehingga sekelebatan hawa tusukannya akan terasa datang mengarah punggung, sedangkan kaki kanan Bun Wan dibanting ke depan untuk disusul tendangan kaki kiri ke arah sambungan lutut lawan. Inilah gerak tipu dalam jurus Sin-seng-kan-goat (Bintang Sakti Mengejar Bulan) dari Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Cepat dan kuatnya bukan kepalang!
Kun Hong yang hanya mengandalkan pendengaran dan perasaannya, kaget juga akan perubahan angin tusukan pedang yang berubah-ubah itu, cepat dia menekuk lutut mendoyongkan tubuh ke belakang, mencokel dengan tongkatnya ke arah ujung pedang lawan, kemudian maklum akan gerak susulan tendangan itu, siku lengannya memapaki untuk menotok pergelangan kaki lawan dengan ujung siku. Aneh dan cepat gerakannya Kun Hong ini dan hampir saja kaki Bun Wan kena dihajar. Pemuda Kun-lun ini mengeluarkan seruan kaget dan heran, cepat dia menahan kakinya dan menggeser kaki itu ke kanan untuk meluputkan diri dari serangan susulan lawan. Akan tetapi ternyata Kun Hong tidak menyerangnya. Orang buta ini hanya diam tidak bergerak, siap sedia menanti penyerangan berikutnya.
Bun Wan mengeluarkan bentakan nyaring, mengumpulkan seluruh tenaga dalam dan pedangnya berputaran cepat berubah menjadi gulungan sinar seperti payung, kemudian dari gulungan sinar itu menyambar cahaya tiga kali berturut-turut, sekali mengarah tenggorokan, kedua kali mengarah ulu hati dan ketiga kalinya mengarah pusar. Kiranya pemuda Kun-lun itu dalam penasarannya telah mempergunakan jurus-jurus simpanannya. Gerakan pertama tadi adalah jurus yang disebut Kim-mo-sam-bu (Payung Emas Menari Tiga Kali) disusul gerakan menyerang Lian-cu-sam-kiam (Tiga Kali Tikaman Berantai).
"Hebat..........!" Kun Hong memuji dan terpaksa diapun mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menghadapi serangan yang amat dahsyat ini.
Dari angin serangan saja dia maklum bahwa jangankan ujung pedang, baru angin yang datang oleh gerakan menikam ini saja mengandung bahaya besar karena mampu membolongi baju menembus kulit daging. Dia berseru keras dan tongkat di tangannya berubah menjadi kemerahan yang bergulung-gulung dan mengeluarkan hawa dingin. Tidak terdengar suara benturan senjata, namun tahu-tahu pedang di tangan Bun Wan itu tiga kali terpental balik, malah yang ketiga kalinya hampir saja melanggar pundak pemuda itu sendiri.
Hampir saja senjata makan tuan kalau Bun Wan tidak cepat-cepat melepaskan pegangannya dan membiarkan pedangnya terpukul runtuh! Dia berdiri dengan muka pucat, memandang pedangnya di atas tanah dan bergantian memandang pemuda buta yang kini berdiri tegak di depannya dengan tongkat melintang di depan dada. Dada Bun Wan serasa akan meledak. Dahulu pernah dia terhina oleh Kun Hong dalam urusan tunangannya, Cui Bi, yang "diserobot"
pemuda ini. Sekarang, untuk kedua kalinya dia menerima penghinaan, malah lebih hebat lagi.
Sementara itu, Hui Siang juga mati kutunya menghadapi Hui Kauw. Kalau Hui Kauw mau sudah sejak tadi ia dapat merobohkan adiknya. Akan tetapi ia tidak tega dan sekarang melihat betapa Bun Wan sudah kalah iapun berseru nyaring, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hui Siang mencelat dan terbang entah ke mana! Gadis cantik jelita yang galak itu, seperti juga Bun Wan, telah dilucuti. Kini iapun berdiri tegak di depan Hui Kauw dengan mata mendelik penuh kebencian. Akan tetapi Hui Kauw tidak perduli kepadanya, melainkan bergerak melangkah ke depan Bun Wan. Matanya mengeluarkan sinar berapi-api yang membuat Bun Wan bergidik. Ada sesuatu dalam sikap nona muka hitam ini yang membuat dia tunduk dan bergidik.
"Orang she Bun! Tanpa sengaja aku tadi sudah mendengar semua perbuatanmu yang tak senonoh dan merusak kehormatan nama penghuni Ching-coa-to. Ingat baik-baik ucapanku ini. Biarpun mulai sekarang aku tidak menjadi penghuni Ching-coa-to lagi, akan tetapi kalau kelak aku mendengar bahwa kau tidak bertanggung jawab dan tidak mau menikah dengan adikku Hui Siang secara sah, aku bersumpah akan mencarimu, dan mengadu nyawa!"
"Saudara Bun Wan, ucapan nona Hui Kauw ini memang betul. Sebagai laki-laki sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab," kata pula Kun Hong.
Bun Wan tidak menjawab, hanya menarik napas panjang menekan perasaannya sedangkan Hui Siang yang mendengar betapa saudara angkat yang dibencinya itu juga si mata buta bicara untuk kepentingannya, ia hanya bisa terisak menangis.
"Kun Hong, mari kita pergi!" Hui Kauw menyambar tangan Kun Hong dan keduanya dengan gerakan cepat laksana burung-burung terbang, pergi dari pulau itu menuju ke pantai. Mereka tidak bicara sesuatu, tenggelam dalam perasaan masing-masing ketika menyeberangi telaga. Baru setelah mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata,
"Nona ..........."
"Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu," potong Hui Kauw cepat-cepat.
"Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku amat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia."
Jilid 13 : bagian 2
Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.
"Hui Kauw, kenapakah..........?" tanyanya sambil melangkah maju. "Apakah kau sakit" Terluka...........?"
Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya.
"Memang sakit, tak terperikan nyerinya.......... memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..........."
Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk,
"Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tak mungkin aku dapat membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah di penjelmaan lain kelak aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu.........."
"Kun Hong....... jangan kau bilang begitu........." suara Hui Kauw mengandung tangis.
"Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi malapetaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu" Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali mahkota yang amat penting ini.
Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi.
Dan kau hidup sebatangkara........ ah, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?"
Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong.
Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora.
"Kun Hong....... Kun Hong........ di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah.......... rasa kasih sayang sedikit saja?"
Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi. "Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku........ aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..........."
Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis di atas dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak dan mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum sambil menghela napas berkali-kali.
"Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu........... biarlah aku ikut denganmu ke mana saja kau pergi."
Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali.
Kemudian tergetar suaranya ketika berkata, "Tidak mungkin, Hui Kauw...........
tidak mungkin........... biarpun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..........."
"Mengapa tidak, Kun Hong" Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama di depan meja sembahyang biarpun kau kemudian menolaknya" Kun Hong, aku........... aku........... menganggap bahwa aku telah menjadi...........
isterimu........ apa pun yang terjadi........... aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku....... ah........... aku cinta kepadamu, Kun Hong............"
Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Kemudian dia menggeleng keras-keras kepalanya karena terbayang dia akan wajah Cui Bi.
"Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, tak berharga........... tak berani aku membawa kau ikut menderita. Kau mulia dan agung, kau seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku..........."
"Tidak, tidak...........! Kun Hong, kau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku.
Biarpun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku........... ah, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."
"Siapa bilang" Kau secantik-cantiknya orang, kau bidadari!" pemuda itu membantah dengan suara keras.
Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, lalu ia melepaskan rangkulannya. "Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku" Kau tak pandai melihat..........."
"Cukup dengan mendengar, suaramu Hui Kauw. Kalau aku........... eh, andaikata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi............
tapi maaf, ini hanya seandainya..........."
"Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."
"Aku tidak berani, Hui Kauw........... aku tidak berani kurang ajar kepadamu..........." Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapapun juga, amat sangat inginnya meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.
"Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau...........
ah, kau rabalah agar kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selalu akan mengenangmu selama hidup, akan mencintaimu selama hayat dikandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..........." Sampai di sini Hui Kauw menangis.
"Hui Kauw...........! Jangan bilang begitu."
Tapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata,
"Rabalah........ rabalah.........."
Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher........ lalu kembali lagi ke atas.
Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,
"Kau cantik jelita........... kau cantik jelita........... ah, Hui Kauw...........
alangkah cantik engkau..........."
Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya. "Aduh, Kun Hong........... selama aku hidup, baru kali ini ada orang memuji kecantikanku........... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk.......... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..........."
Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi dan dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas,
"Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Akupun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan..........."
"Diam!!" Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. "Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita macam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku tetap bersetia. Biarpun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku sudah menjadi isterimu dan selama hidupku aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku"
Mengapa" Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."
Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa menitikkan air mata. Ingin ia memeluknya, ingin ia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi ia tetap berdiri, menanti penjelasan.
"Hui Kauw, ketahuilah. Akupun seorang manusia yang telah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biarpun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia........... ia mati karena aku, Hui Kauw..........." Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus tentang kebutaan matanya.
Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya.
Demikian terpesona dan terharu ia oleh cerita itu sehingga ia seperti tidak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, makin tak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.
"Aduh, Kun Hong.........!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya. "Kasihan sekali kau......... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni........... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Akupun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..........."
Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.
"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Kau tahu sendiri sekarang betapa tak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."
Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Sepasang matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tidak mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, takkan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku takkan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat, Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..........." Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.
"Hui Kauw...........! Biarkan aku mengobati mukamu...........!" Kun Hong berteriak memanggil.
Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil lari cepat,
"Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku.....?" Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita.
Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.
"Cui Bi............ Cui Bi............ bantulah aku, perkuatlah hatiku..........."
dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya.
Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di pinggir telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.
"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"
Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.
"Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"
"Kakek Kwee.........!" Kun Hong berseru girang sekali.
Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong memeluknya.
"Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tapi bisa berkeliaran sampai di sini!
Apa saja yang kau kerjakan di sini" Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"
Kun Hong tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang" Locianpwe hendak ke manakah?"
"Ha-ha-ha, bagus kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-coa-to?"
Kun Hong kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?"
Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti, kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena
"dibakar" oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to.
Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat. Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu" Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak perduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.
"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"
Kun Hong maklum akan watak kakek ini, tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."
"Kau" Ke sana" Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami.
Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"
Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki dan Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita tentang mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,
"Mahkota ini biarpun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe.
Karena itu mati-matian saya merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok?"
"Di mana adanya Tan Hok?"
"Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."
"Ke Thai-san-pai" Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan sekali, akupun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"
Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya" Ah, mereka selamat-selamat saja, bukan?" Kun Hong tersenyum karena teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, Ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!
"Itulah. Mereka itu yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"
"Eh, kenapa, Locianpwe" Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya" Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe......"
"Siapa orangnya tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"
Mulut Kun Hong ternganga heran "Anak...........?"
"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"
Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,
"Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"
Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata,
"Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga daripada cucuku Kong Bu.
Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku kepadanya.
Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"
Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan tentang kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.
Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata, "Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya.
Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"
Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu.
Mendapat petunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san dan keduanya merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.
"Kun Hong mengapa begini sunyi di sini" Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"
"Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."
"Huh, orang-orang muda itu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih" Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelincir dua gelincir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"
Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, takkan ada kehidupan tenteram, takkan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan. Bayangkan saja kalau yang berkuasa saja adalah orang macam kakek ini, yang tidak perdulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini" Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta inipun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa adanya kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin bintang-bintang akan saling bertubrukan, matahari akan kehilangan panasnya, akhirnya segalanya akan hancur lebur!
Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah karena masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini dikarenakan menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik. Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Akan tetapi bagi rakyat yang membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki pemimpin-pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.
Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Dia tidak menjawab melainkan mengajak kakek itu mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi petunjuk jalannya, Kun Hong takkan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya daripada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.
Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang merupakan sebuah gua rahasia dan kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka........!"
Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman dan pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir, "Locianpwe, ada apakah?""
Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut"
"Locianpwe, kenapa begini sunyi?" Ada apakah" Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"
Masih saja Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka...........
agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat.........!
Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai ke pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."
"Apa.......?"?" Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di situ. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...........?" pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.
"Bagaimana kita bisa tahu" Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..........." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak perdulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.
"Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"
"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil. Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sudah duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang itu yang berpakaian putih, berambut awut-awutan seperti orang Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena seramnya, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apalagi hanya kuburan dan orang aneh itu.
Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul ketika melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!! Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan,
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?" Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu.
Akan tetapi dengan gerakan yang amat tangkas dan cekatan, orang itu menggoyang tubuh dan ........... "brettt!" leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi! Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apalagi semuda itu, dapat melepaskan diri pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya karena akan mendapat lawan yang lumayan. Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru,
"Kwee-locianpwe...........!" Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong,
"Kwa-taihiap........... celaka...........!" Sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.
Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat matanya cekung dan, tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini bukan lain adalah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!
"Ki Han, bukankah kau ini" Apa yang terjadi" Hayo cepat ceritakan!" Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu. Adapun Kun Hong yang tiba-tiba merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan musuh.
"Ah, Kwee-locianpwe........... celaka sekali........... malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu...."
"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai" Kenapa sekarang, menangis seperti anak kecil" Huh, mana jiwa pendekarmu" Memalukan sekali.
Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!"
bentak Song-bun-kwi.
Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya itu oleh kedukaan terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata, "Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang takkan hancur hatinya.
Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, malah menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang suteku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"
Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang sudah bangkit berdiri dengan muka pucat. "Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai" Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang amat lemah lembut dan penyabar. Sebetulnya hal ini tidaklah aneh.
Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah mempunyai seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti Cui Bi, ternyata diculik orang, Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Benar-benar merupakan malapetaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.
Jilid 14 : bagian 1
Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Su Ki Han lalu bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu sehingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai. Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani dapat menghalau musuh, akan tetapi tak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan. Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe........... Kwa-taihiap........ alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan untuk mencari puterinya........... suhu menghancurkan segala yang ada di puncak........... lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai........"
"Iblis neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marah. "Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi"
Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata, "Kwa-taihiap......."
Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiripun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong di waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seakan-akan berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar memperlihatkan dalamnya yang kosong menghitam. Mukanya berubah merah seperti terbakar, tubuhnya menggigil mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram. Tiba-tiba kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang amat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang amat hebat, "Haaiiii!!"
Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak dan seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!
Song-bun-kwi memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih, betapa muka yang sekarang menjadi amat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan diserangnya seperti tadi.
Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itupun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara! Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik.
"Keji............ keji........... manusia-manusia iblis........... keji...........!"
Tiba-tiba Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru, "Kun Hong, ingat!
Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu..........!"
Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.
"Aya........... celaka............!" Kakek itu memekik, cepat mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak daripada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya.
Juga kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan kedua lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main. Tubuh kakek itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, lalu jatuh berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya sedangkan tubuh Kun Hong dengan kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!
Song-bwn-kwi tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun dan........ darah segar tersembur ke luar dari mulutnya!
"Hebat..... hebat........... bukan main........!" Dia mengomel lalu menjatuhkan diri duduk bersila, sekali lagi muntahkan darah segar dan dia lalu meramkan mata mengatur napas karena benturan tadi telah mendatangkan sakit di dalam dadanya, tanda bahwa ia telah terluka dalam!
Adapun Kun Hong yang tadinya seperti orang kemasukan setan, sekarang agaknya baru sadar. Dia melongo, menoleh ke sana ke mari, lalu...........
menangis terisak-isak, menyebut-nyebut nama Cui Bi. Kiranya pemuda ini karena amat hancur hatinya mengingat akan nasib paman dan bibinya, sekaligus teringat kepada Cui Bi.
Ki Han tak berani bergerak dari tempat dia berdiri. Dia tadi melihat kejadian yang amat hebat. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan ilmu kesaktian seperti tadi. Dia merasa serem dan ngeri, juga merasa sedih karena kedukaan Kun Hong itu seperti pisau yang merobek kembali luka di dalam hatinya. Dia hanya berdiri dengan air mata bercucuran.
Berkat hawa murni dan tenaga dalam yang sudah amat kuat, benturan pukulan sakti tadi tidak mengakibatkan luka parah di dalam dada Song-bun-kwi dan beberapa menit kemudian dia telah dapat menyembuhkan akibat yang menimbulkan rasa nyeri di dada. Dia membuka mata, memandang Kun Hong yang terisak-isak menangis. Cepat kakek ini melompat bangun dan dengan langkah lebar dia menghampiri Kun Hong, terus merangkulnya.
"Uhhh, dengan jurus sakti yang kau miliki tadi, tidak patut kau mengeluarkan air mata, Kun Hong. Hebat sekali gerakanmu tadi dan hampir nyawaku yang sudah tua ini melayang kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengelak. Bukan main!" Dia memuji dengan muka berseri gembira sekali.
"Kwee-locianpwe, aku akan membalas dendam ini! Aku tidak terima paman Beng San dan bibi dihina dan diperlakukan seperti ini. Aku akan mencari Cui Sian sampai dapat dan aku bersumpah takkan mau hidup lagi kalau tidak dapat membalas kejahatan orang-orang itu!"
"Ha-ha-ha, ini baru ucapan seorang jantan! Memang, Kun Hong, kejahatan harus ditumpas habis. Dan dengan jurus yang kau miliki tadi, takkan ada tokoh di dunia ini yang akan mampu melawanmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong yang sudah berhenti menangis itu terheran. "Locianpwe, jurus apa yang kau maksudkan" Aku tadi hampir pingsan oleh kemarahan yang menyesakkan dada, aku tidak sadar lagi yang kulakukan."
"Ha-ha-ha, hampir kau memukul mampus padaku, masa kau tidak ingat?"
Bukan main kagetnya hati Kun Hong. Disangkanya kakek yang biasanya memang berwatak aneh dan gila-gilaan ini main-main dengannya. "Saudara Su Ki Han, betulkah kata-kata Kwee-locianpwe ini?"
Murid kepala Thai-san-pai itu sudah cukup memiliki dasar ilmu silat tinggi sehingga dia maklum apa yang telah terjadi tadi. Dia menjawab, "Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi, Taihiap. Hanya tadi saya lihat Taihiap memukul hancur dua buah batu besar, kemudian ketika locianpwe mendekat, Taihiap menyerangnya sehingga terjadi benturan yang mengakibatkan....." Dia tidak berani melanjutkan.
Song-bun-kwi tertawa. "Ha-ha-ha, akibatnya aku terlempar dengan nyawa hampir putus! Hebat sekali, Kun Hong." Pemuda itu bingung. "Tapi...........
benar-benar saya tak tahu dengan jurus apa saya telah berlancang tangan menyerang Locianpwe."
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan. Tentu saja pengetahuannya dalam hal ilmu silat amatlah dalam dan luas. Dia dapat menduga bahwa kemarahan dalam batin si buta itu membuat dia melakukan gerakan otomatis yang timbul daripada dasar tenaga sakti di dalam tubuhnya.
Dengan demikian terciptalah sejurus pukulan yang amat hebat tanpa disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia tahu pula bahwa Kun Hong mempunyai pendengaran yang amat tajam sebagai pengganti mata, maka dia lalu berkata,
"Kau pinjamkan sebentar tongkatmu kepadaku, biar kucoba tiru gerakanmu tadi. Nah, kau tadi membabat dengan tongkat begini!" Song-bun-kwi seberapa dapat dan seingatnya melakukan gerakan seperti yang dilakukan Kun Hong tadi dengan tongkat itu, membabat dari kanan ke kiri miring dari atas ke bawah.
Kagetlah Kun Hong. Itulah sebagian daripada jurus Pedang Im-yang-sin-kiam yang dia dapatkan dari Tan Beng San.
"Dan berbareng tangan kirimu mencengkeram dari kiri ke kanan mengarah iga, bergerak dari bawah seperti ini, tapi mengeluarkan suara bercuitan."
Kembali kakek itu meniru pukulan atau cengkeraman dari tangan kiri Kun Hong tadi.
Sekali lagi Kun Hong terkejut. Itulah ilmu pukulan dari Kim-tiauw-kun yang paling hebat, seperti juga gerakan pedang tadi adalah jurus simpanan yang rahasia dari Im-yan-sin-kiam.
"Kau melakukan dua gerakan ini sekaligus menjadi sebuah jurus yang sakti, tentu saja aku tidak dapat melakukannya, karena tampaknya berlawanan sekali gerakan itu, juga sambaran tenaga dari kedua tanganmu berlawanan.
Benar-benar aneh dan hebat sekali. Kun Hong coba kau mainkan lagi jurus ini, dengan kedua tanganmu, ingin sekali aku menyaksikan sekali lagi!" Dia mengembalikan tongkatnya.
Kun Hong ragu-ragu. Menurut teori, tak mungkin dua macram pukulan itu disatukan, sungguhpun keduanya dia faham benar. Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat biarpun terdiri dari penggunaan dua macam tenaga, akan tetapi selalu tenaga Im-kang dan Yang-kang digunakan secara bergantian untuk membingungkan lawan. Karena pergantian-pergantian yang tidak terduga-duga inilah maka ilmu itu merupakan ilmu yang selama ini merajai dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana mungkin mempergunakan dua macam tenaga dalam satu gerakan" Namun demikian, mendengar kesungguhan suara kakek itu, dia merasa tidak enak kalau tidak mau mencobanya.
"Baiklah, akan kucoba, Locianpwe. Mengharap petunjuk Locianpwe yang berharga........." Setelah berkata demikian,
Kun Hong memasang kuda-kuda dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, kemudian dia mengerahkan tenaga karena ingin bergerak sungguh-sungguh. Tangan kirinya menyambar dibarengi sambaran tongkatnya dari kanan. Terdengar suara bercuitan seperti tadi, akan tetapi tiba-tiba Kun Hong mengeluh, tubuhnya limbung dan........... dia roboh pingsan dengan muka pucat!
"Ah-ah........... sudah kuduga........... waah, tua bangka goblok." Song-bun-kwi memukuli kepalanya sendiri lalu cepat dia berlutut mendekati Kun Hong dan memeriksanya. Namun pemuda buta itu empas-empis, tubuhhya sebentar panas sebentar dingin, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Kakek itu setelah memeriksa jalan darahnya, kaget mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuh itu, dua kekuatan yang berlawanan sedang saling desak untuk menguasai tubuh itu. Inilah berbahaya, pikirnya, pikirnya, karena gempuran-gempuran yang terjadi antara dua macam hawa sakti ini akan dapat merusak jantung Kun Hong. Dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam tenaga sakti Yang-kang, maka cepat dia menempelkan telapak tangannya pada dada Kun Hong, mengerahkan tenaga Yang-kang untuk membantu tenaga di dalam tubuh pemuda itu menindih tenaga Im.
Dengan penambahan tenaga Yang-kang dari kakek ini yang amat kuat, ternyata tenaga Im di tubuh Kun Hong yang meliar itu dapat ditundukkan.
Muka pemuda buta ini sekarang lebih lama merahnya daripada pucatnya, napasnya mulai kuat akan tetapi tubuhnya makin panas saja. Hal ini adalah karena dia masih pingsan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa Yang-kang di tubuhnya yang kini sudah mulai dapat menguasai tubuhnya. Setengah jam kemudian sadarlah Kun Hong. Dia mengeluh dan cepat-cepat dia mengerahkan tenaga yang hampir membuat tubuhnya meledak saking panasnya itu berputaran di seluruh tubuh sehingga dia normal kembali.
Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Song-bun-kwi melepaskan tangannya, keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah mengumpulkan tenaganya dia berkata, "Waahh, berbahaya sekali.
Jurusmu itu hebat bukan main, Kun Hong, hebat dan berbahaya bagi lawan.
Akan tetapi juga berbahaya bagi dirimu sendiri."
Kun Hong maklum bahwa dia telah ditolong, maka dia berlutut menghaturkan terima kasih. "Mohon petunjuk Locianpwe," katanya sederhana.
Song-bun-kwi menoleh kepada Su Ki Han yang menyaksikan semua itu dengan melongo penuh keheranan dan kekaguman. Lalu kakek itu meloncat berdiri, menarik tangan Kun Hong supaya berdiri. "Mari kita turun gunung, biar nanti kujelaskan kepadamu. Ki Han, kau adalah murid Thai-san-pai yang setia dan jujur, mudah-mudahan kejadian semua ini akan menambah pengertianmu dan memperdalam ilmumu. Kau berjagalah di sini, menanti kembalinya gurumu.
Kami berdua takkan tinggal diam, akan kubantu gurumu mencari puterinya.
Hayo, Kun Hong, kita pergi!" Kakek itu mengandeng tangan Kun Hong dan keduanya melesat lenyap dari puncak itu.
Di kaki gunung itu, di bawah pohon besar, Song-bun-kwi dan Kun Hong berhenti dan duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.
"Jurusmu tadi benar-benar luar biasa sekali, kalau kau sudah dapat melakukannya dengan sempurna, kiraku tidak akan ada orang yang mampu menahannya." Song-bun-kwi mulai bicara,
"Akan tetapi, Locianpwe. Ketika pertama kali saya menggunakan jurus itu, saya berada dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak ingat sama sekali tentang gerakan itu. Menurut permintaan Locianpwe, saya tadi melakukannya sungguhpun saya tahu bahwa jurus itu keduanya mengandung hawa pukulan yang bertentangan, sehingga akibatnya saya tidak kuat menahan dan roboh pingsan. Bagaimana bisa dibilang jurus lihai?"
Kakek itu tertawa. "Tadinya aku pun bingung dan heran. Akan tetapi sekarang aku mengerti. Kau berhasil menggunakan jurus itu, justeru karena kau sedang dalam keadaan sedih dan marah. Dalam kesedihan luar biasa, hawa Im di tubuhmu bergolak, sebaliknya ketika kau marah dan sakit hati, hawa Yang bergolak. Karena inilah maka ketika kau melakukan pukulan-pukulan yang dua macam dan bertentangan itu, kedua hawa itu dapat kau pergunakan lewat pukulanmu dan dalam kemarahan serta kesedihan tadi kau dapat mendorong kedua macam hawa yang berlawanan itu keluar tubuh. Itulah sebabnya mengapa pukulan-pukulan itu hebat bukan main sehingga aku sendiri hampir mampus karenanya. Adapun ketika kau mencoba untuk melakukannya kembali, kau sudah dapat menguasai kesedihan dan kemarahanmu, karena kau tidak berniat menyerang orang, maka kau tidak mendorong keluar kedua hawa itu. Akibatnya dua hawa berlawanan itu mengamuk di dalam tubuhmu dan saling gempur sendiri. Tentu saja kau tidak kuat menahan. Masih baik kau tidak mati tadi, ha-ha-ha!"
"Wah, kalau begitu jurus tadi jahat sifatnya, Locianpwe."
"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang jahat atau baik. Tergantung dari orangnya sendiri yang mempergunakannya. Ilmu tetap ilmu, jurus tetap jurus dan jurus yang kau temukan secara tidak sengaja tadi merupakan anugerah yang harus kau pelajari baik-baik. Dengar baik-baik, Kun Hong. Dalam keadaan terdesak dan terpaksa karena menghadapi ancaman lawan tangguh yang akan mencelakakan dirimu, kau boleh mempergunakan jurus itu. Akan tetapi kau harus betul-betul berniat merobohkan lawan, sehingga dua macam hawa itu dapat kau salurkan dan dorong keluar menghantam lawan. Hanya kau seorang yang dapat mainkan jurus itu, karena kedua gerakan itu berdasarkan ilmu silat sakti yang telah kau pelajari. Nah, kau cobalah sekarang dan kau serang pohon ini dengan jurusmu tadi. Jangan kuatir, asal kau dapat menganggap pohon itu sebagai musuh besar yang amat tangguh dan yang harus kau robohkan, pasti kau tidak akan mengalami hal seperti tadi."
Di dalam hatinya, Kun Hong tak suka dengan jurus yang dianggapnya keji dan ganas ini. Akan tetapi mendengar getaran penuh gairah, penuh kegembiraan dalam suara kakek itu, dia tidak tega dan merasa tidak enak kalau harus menolak. Tidak apalah untuk berlatih dengan pohon saja, akan tetapi dia yakin bahwa sukar baginya untuk memaksa hati menggunakan jurus pukulan ini terhadap seorang manusia. Dia bangkit berdiri, mengingat-ingat gerakan tadi, memasang kuda-kuda ajaib dengan kaki kanan di depan, ujungnya diangkat berjungkit dan kaki belakang ditekuk lututnya, tangan kanan yang memegang tongkat agak diangkat ke atas dengan tongkat melintang, tangan kiri dibuka jari-jari tangannya, ditekuk ke bawah seperti orang hendak mengambil sesuatu dari tanah.
Song-bun-kwi memandang dengan mata bersinar-sinar saking kagum dan gembira hatinya. Matanya sampai dipaksa supaya jangan berkedip agar dia dapat mengikuti semua gerakan pemuda itu dengan baik.
Kun Hong mengumpulkan seluruh tenaganya, tapi merasa betapa dua macam tenaga yang berlawanan berkumpul dan berputaran di dada, membuat dadanya sesak. Dia hendak memaksa tenaga itu keluar melalui kedua lengannya, akan tetapi sukar sekali dan akhirnya dia menarik kembali tenaganya, menurunkan kedua tangan, tidak jadi menyerang ke depan.
"Eh, kenapa?"" Song-bun-kwi berteriak, kecewa dan marah. "Kenapa tidak kau teruskan" Sudah bagus sekali tadi!"
Kun Hong menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Saya tidak bisa, Locianpwe. Tidak bisa memaksa hati membenci pohon apalagi kalau membayangkan bahwa pohon ini adalah pengganti seorang manusia, hati menjadi ngeri........."
Song-bun-kwi membanting-banting kakinya. Benar-benar seorang pemuda yang berhati lemah dan berwatak halus. Masa terhadap sebatang pohon saja tidak tega menjatuhkan tangan maut"
"Bodoh kau! Ini penting untuk latihan. Anggap saja bahwa pohon itu musuhmu!"
"Saya tidak punya musuh, Locianpwe."
"Apa" Kau bisa bilang tidak punya musuh" Sudah lupa lagikah kau betapa Thai-san-pai dibakar orang, adikmu Cui Sian diculik orang dan rumah tangga pamanmu Beng San menjadi rusak berantakan" Yang berdiri di depanmu itu bukan lagi pohon biasa, dia adalah musuhmu yang telah berlaku keji dan jahat terhadap Thai-san-pai."
Mendadak Kun Hong mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya bergerak seperti tadi, lalu seperti kilat nyambar kedua tangannya itu menyerang dengan berbareng, melakukan gerak jurus yang maha dahsyat itu.
Tongkat berkelebat menjadi sinar merah menembus pohon, tangan kiri mencengkeram dan....... pohon itu masih tetap berdiri tanpa bergoyang sedikitpun sedangkan Kun Hong sudah melompat ke belakang dengan berjungkir balik beberapa kali.
"Hebat........... hebat...........!" kakek itu bersorak. Angin datang bertiup menggerakkan daun-daun pohon itu dan......... lambat pohon itu tumbang, patah di tengah-tengah di mana tadi dilalui sinar merah, roboh mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan batang sebelah atas remuk-remuk terkena cengkeraman tangan kiri Kun Hong tadi. Kiranya tadi hanya kelihatannya saja tidak apa-apa, padahal batang pohon itu telah patah-patah dan bagian yang dicengkeram telah remuk di bagian dalam!
"Bagus sekali, Kun Hong! Dengan jurus ini agaknya kau yang akan dapat membalaskan sakit hati pamanmu. Mudah diduga bahwa musuh yang dapat mengacau dan merusak ketenteraman di Thai-san-pai, pasti adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau kau berhasil bertemu dengan mereka dan tak dapat mengalahkan mereka dengan ilmu silat biasa, kau pergunakanlah jurus ini."
"Saya akan mencari mereka, Locianpwe," kata Kun Hong dengan suara penuh dendam. "Saya akan mencari pembunuh paman Tan Hok, mencari mereka yang melakukan fitnah dan mengadu domba antara Thai-san-pai dengan orang-orang gagah, mencari penculik adik Cui Sian."
"Jurus tadi hanya kau seorang yang mampu melakukan, tapi karena tercipta di luar kesadaranmu dan aku yang pertama kali melihatnya, maka aku yang hendak memberi nama," kata kakek itu sambil tertawa bergelak, nampaknya puas sekali.
"Terserah kepada Locianpwe."
"Jurusmu tadi tercipta karena peluapan rasa duka dan amarah, jurus yang hanya dapat dilakukan tanpa membahayakan diri sendiri dengan landasan dendam, maka kuberi nama jurus serangan Sakit Hati. Bagaimana pikirmu, cocok tidak?"
Di dalam hatinya Kun Hong tidak setuju. Sejak dahulu dia menganggap bahwa asas dendam dan sakit hati amatlah berlawanan dengan pribudi dan kebajikan.
Kalau sekarang dia hendak mencari orang-orang yang merusak Thai-san-pai, mencari penculik Cui Sian, kalau perlu memhukum atau membasmi mereka, semata-mata karena dia menganggap orang-orang itu amatlah jahat dan kalau dibiarkan dan tidak ditentang tentu akan makin merajalela dan mendatangkan banyak malapetaka di dunia ini. Sekali-kali bukan karena dendam dan sakit hatinya. Akan tetapi, oleh karena dia sendiri maklum bahwa tanpa adanya Song-bun-kwi, dia sendiri tidak akan dapat menemukan jurus hebat ini, maka dia anggap bahwa jurus itu adalah hasil ciptaan Song-bun-kwi, maka kakek itulah yang berhak memberi nama.
"Saya setuju, Locianpwe." Kemudian dtsambungnya, "Locianpwe, karena paman Beng San tertimpa malapetaka hebat, saya rasa hal yang paling dahulu harus dilakukan adalah memberi tahu kepada putera-puteranya."
Betul katamu, memang harus demikianlah. Biarpun Kong Bu goblok, akan tetapi dia putera Beng San dan wajib dia membantu untuk mencari adiknya serta membalas sakit hati ini. Juga Sin Lee di Luliang-san harus diberi tahu.
Kun Hong, biarlah aku sendiri yang akan memberi tahu kepada dua orang itu, ini termasuk kewajibanku. Kau sendiri hendak ke mana sekarang?"
"Saya adalah seorang buta, Locianpwe. Tentu amatlah sukar untuk melakukan penyelidikan seorang diri. Oleh karena itu, saya bermaksud pergi ke kota raja untuk mencari para anggauta kaipang (perkumpulan pengemis), karena dari mereka ini agaknya saya akan dapat mencari keterangan tentang orang-orang jahat yang memusuhi Thai-san-pai. Selain itu, juga saya mempunyai urusan penting yang ada hubungannya dengan mahkota ini, untuk saya sampaikan kepada yang berhak."
Song-bun-kwi sebetulnya amat suka dekat dengan Kun Hong dan bercakap-cakap dengan si buta ini. Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar, tentu, saja dia tidak suka melakukan perjalanan berkawan. Apalagi sekarang mereka mempunyai tujuan masing-masing, maka dia segera menepuk-nepuk pundak Kun Hong dan berkata,
"Kita berpisah di sini. Ingat, Kun Hong, lekas kau mencari jodoh dan jangan lupa, anakmu kelak akan menjadi muridku!"
Kun Hong tersenyum pahit dan mukanya menjadi merah. Dia tidak dapat menjawab, hanya mengangguk-angguk, lalu menjura dalam ketika dia mendengar betapa kakek itu berkelebat cepat pergi dari situ. Hanya suara ketawanya saja terdengar dari tempat yang sudah jauh. Dia menarik napas panjang dan kagum sekali. Kakek itu memang aneh, kadang-kadang amat kejam seperti iblis kata orang, akan tetapi Kun Hong maklum bahwa pada dasarnya kakek ini hanyalah seorang manusia biasa yang mempunyai kelemahan-kelemahannya. Diapun lalu berjalan perlahan, meraba-raba dengan tongkatnya dengan tujuan bertanya orang jalan ke kota raja.
***** Loan Ki adalah seorang gadis yang berdarah perantau. Tak dapat ia bertahan untuk terlalu lama tinggal di rumah. Semenjak kecil sudah biasa ia melakukan perjalanan jauh, merantau bersama ayahnya. Bahkan semenjak ia berusia lima belas tahun, ketika ayahnya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi, dara lincah ini sudah melakukan perantauan seorang diri!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Pek-tiok-lim, tempat tinggal Tari Beng Kui di tepi laut Po-hai, didatangi Song-bun-kwi sehingga menimbulkan kekacauan, malah beberapa orang anak buah Pek-tiok-lim tewas dan akhirnya oleh kecerdikan dan kepandaian bicara Loan Ki, Song-bun-kwi suka pergi dari tempat itu.
Tan Beng Kui adalah seorang yang memiliki ambisi (cita-cita) besar. Di dalam cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas dapat kita baca betapa beberapa kali tokoh ini berusaha untuk mencari kedudukan tinggi, akan tetapi selalu usahanya hanya gagal. Sekarang, biarpun usianya sudah agak tua, ketika dia mendengar tentang perebutan kekuasaan dan tentang kekacauan di kota raja, timbul lagi penyakit lama ini.
"Loan Ki," katanya, sehari setelah keributan terjadi karena kedatangan Song-bun-kwi, "sekarang kau harus tinggal dan berjaga di rumah. Kedatangan Song-bun-kwi yang dibawa oleh seorang kaki tangan kota raja, tentu ada sebabnya dan aku ingin sekali ke kota raja untuk menyelidiki dan melihat, apakah yang terjadi di sana." Maka pergilah Tan Beng Kui dari Pek-tiok-lim, meninggalkan anak gadisnya seorang diri, tentu saja bersama para anak buah Pek-tiok-lim yang puluhan orang banyaknya. Biarpun tidak berhasil menduduki pangkat di kota raja, Tan Beng Kui telah berhasil menjadi seorang yang kaya raya dan hidup sebagai raja kecil di Pek-tiok-lim itu, dengan rumah-rumah gedung mewah dan besar di tengah hutan dan mempunyai anak buah yang kuat-kuat. Di dalam rumah gedung, Loan Ki dilayani oleh para pelayan yang banyak pula jumlahnya, hidup sebagai seorang puteri. Adapun ibu anak ini sudah lama meninggal ketika Loan Ki masih kecil.
Baru beberapa hari setelah ayahnya pergi, Loan Ki sudah tidak dapat tahan lagi tinggal di rumah seorang diri. Maka, tanpa memperdulikan pencegahan para pelayan tua yang mengingatkannya bahwa ayahnya tentu akan marah kalau pulang tidak melihatnya, Loan Ki memaksa diri pergi meninggalkan Pek-tiok-lim. Beberapa jam kemudian ia sudah meninggalkan Pek-tiok-lim seorang diri, menggendong sebungkus pakaian, membekal potongan-potongan emas dan perak, tidak ketinggalan tiga butir mutiara itu dibawanya serta.
Pakaiannya serba hitam, terbuat daripada kain yang mengkilap seperti sutera, potongan pakaiannya ringkas dan ketat, di pinggangnya tergantung sebatang pedang pendek. Rambutnya yang hitam dan panjang itu ia gelung ke atas dan ditutup dengan kain kepala berwarna hitam pula, ikat pinggangnya dari sutera kurung emas, demikian pula warna saputangan yang mengikat lehernya serta sepatunya. Dari jauh ia seperti seorang pemuda saja, namun segala gerak-geriknya secara menyolok menyatakan bahwa ia adalah seorang muda kangouw yang melakukan perjalanan mengandalkan perlindungan pedang dan ilmu silatnya.
Siapapun dia yang menyaksikan Loan Ki melakukan perjalanan pasti akan ikut gembira. Gadis yang berwajah cantik jelita ini selalu berseri mukanya, mulut yang manis itu selalu tersenyum dan sepasang matanya bersinar-sinar.
Memang sudah biasa bagi Loan Ki untuk memandang segala keadaan di dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Ia gadis jenaka yang tak pernah mau mengenal susah.
Jilid 14 : bagian 2
Beberapa jam setelah keluar dari Pek-tiok-lim, ia sudah tampak berjalan ke selatan, kadang-kadang berloncatan dan berlari cepat, kadang-kadang berjalan lambat-lambat menikmati keindahan tamasya alam di sepanjang jalan. Kalau sudah melakukan perjaianan seorang diri seperti ini, baru gadis ini merasakan kebahagiaan hidup bebas. Sekerat roti kering rasanya jauh lebih lezat daripada bermacam masakan yang biasa dihidangkan di rumahnya. Air pancuran di gunung rasanya lebih segar daripada air teh wangi di rumahnya.
Tidur di atas cabang pohon besar lebih nikmat daripada tidur di atas ranjang dalam kamarnya yang mewah.
Tiga hari semenjak ia meninggalkan Pek-tiok-lim, tibalah ia di dalam hutan Pegunungan Shan-tung yang amat lebat dan liar. Hutan besar itu sama sekali tidak menakutkan hati Loan Ki, sebaliknya malah mendatangkan kegembiraannya. Alangkah indahnya sinar matahari menerobos di antara daun-daun pohon yang rindang. Terdengar suara auman binatang-binatang buas yang bagi gadis perkasa ini malah menambah gembiranya suasana. Tiba-tiba ia mendengarkan penuh perhatian. Sebagai seorang gadis perantau yang sudah sering kali menghadapi bahaya serangan binatang buas di tengah hutan, ia dapat mengenal suara harimau yang sedang marah dan bertemu lawan. Gadis ini kuatir kalau-kalau binatang buas itu sedang mengancam keselamatan seorang manusia, maka cepat ia lalu berlari menuju ke arah suara itu.
Benar saja dugaannya. Ia melihat seekor harimau besar sekali, sebesar anak lembu sedang menghadapi seorang laki-laki yang kelihatan tenang-tenang saja. Harimau itu berindap-indap maju dengan perut diseret di atas tanah, kadang-kadang mengeluarkan auman yang dapat membuat seorang penakut menggigil ketakutan. Akan tetapi laki-laki itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, matanya tajam menentang, sikapnya tenang waspada, malah mulutnya agak tersenyum seakan-akan ia merasa gembira.
Loan Ki dapat menduga bahwa laki-laki yang berpakaian aneh itu tentu seorang kuat, maka ia cepat meloncat ke atas sebatang pohon besar, duduk di atas cabang pohon itu dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk melayang turun dan menolong andaikata orang itu terancam bahaya. Dengan mata kagum ia memperhatikan orang itu. Usianya masih muda, kira-kira sebaya dengan Kun Hong Si Pendekar Buta. Akan tetapi tubuh orang ini jauh lebih tegap dan nampak kuat sekali. Pakaiannya aneh. Bajunya telah dibuka dan baju itu kini tergantung di pundaknya. Agaknya dia tadi merasa panas dan membuka bajunya. Tinggal celananya berwarna kebiruan, ringkas dan di bagian bawahnya tertutup pembalut kaki sebagai pengganti kaos kaki.
Sepatunya dari kulit. Tubuh atas yang telanjang itu berkilat-kilat karena peluh, urat-uratnya melingkar-lingkar membayangkan tenaga yang dahsyat. Rambut laki-laki itu aneh pula. Digelung ke atas, di tengah-tengah rambut ditusuk dengan sebuah tusuk konde hitam, ujung rambut dibiarkan terurai ke belakang. Seperti bentuk rambut seorang pendeta tosu, tapi lain lagi.
Pendeknya, aneh dalam pandangan Loan Ki dan belum pernah ia melihat seorang laki-laki dengan gelung rambut seperti itu. Di pinggang laki-laki itu tergantung sebatang pedang dengan sarung pedang indah, terukir dan berwarna keemasan. Demikian pula gagang pedang itu. Akan tetapi anehnya, sarung pedang itu agak melengkung dan gagang pedang itu terlalu panjang menurut ukuran dan anggapan Loan Ki. Wajah laki-laki itu gagah dan tampan, pendeknya, dalam pandangan Loan Ki, laki-laki itu amat menarik hati dan aneh sekali.
Ketika harimau itu sudah dekat, laki-laki itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti orang berkata-kata dan tertawa-tawa. Tampaklah kadang-kadang giginya yang putih berkilau ketika dia tertawa. Loan Ki makin tertarik. Jelas bahwa laki-laki ini seorang yang memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana mungkin bisa tertawa-tawa seenak itu menghadapi seekor harimau yang amat besar dan buas ini. Kekhawatirannya berkurang, biarpun ada keraguan di dalam hatinya. Harimau itu adalah harimau betina yang amat galak, dan ia cukup mengenal kehebatan harimau seperti ini. Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Benarkah laki-laki aneh itu memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menyelamatkan diri" Ataukah, jangan-jangan dia seorang yang miring otaknya" Ucapan yang keluar dari mulutnya tadi seperti ucapan orang gila, sama sekali ia tidak mengerti artinya.
Ketika melihat betapa laki-laki itu menghentak-hentakkan kakinya dan berteriak-teriak seperti orang menghardik dan mengancam, wajahnya berseri-seri kelihatan gembira sekali, Loan Ki mengerutkan kening. Agaknya benar telah gila orang ini, kenapa mengajak harimau itu bermain-main, tidak lekas mencabut pedangnya" Anehnya, harimau itupun agaknya selama hidupnya baru kali ini bertemu dengan seorang manusia seberani itu, maka tampak ragu-ragu, ekornya yang panjang bergerak perlahan. Harimau itu tiba-tiba mendekam dan Loan Ki berdebar jantungnya. Ia tahu apa artinya itu. Harimau itu hendak melompat dan menerkam, dan biasanya gerakan ini amat hebat, kuat dan cepat sekali. Dan laki-laki itu masih tenang-tenang saja berdiri mengejek, seakan-akan tidak akan terjadi sesuatu.
Harimau itu mengeluarkan gerengan yang hebat, seakan-akan menggetarkan seluruh hutan dan tubuhnya yang besar itu menerkam dengan loncatan yang tak dapat dibayangkan cepatnya, menubruk dengan dua cakar kaki depan dan taring mulut yang terbuka lebar.
Celaka, pikir Loan Ki, menolong pun terlambat sekarang. Mengapa dia begitu sombong sehingga aku enggan menolongnya" Agak ngeri ia, akan tetapi dasar gadis pendekar yang tabah, matanya terbelalak memandang penuh perhatian.
Ia melihat betapa dengan cekatan orang muda itu melompat ke kiri, disusul kilatan sinar pedang dan jeritan, "Yaaatt...........! Yaaat!!" dua kali sinar pedang berkelebat dua kali menyilaukan mata dan........... tubuh harimau besar itu terbanting roboh tak bergerak lagi, lehernya hampir putus dan perutnya terobek berantakan!
Loan Ki melongo. Ilmu pedang apa itu" Pemuda itu masih memegangi pedangnya yang berkilauan saking tajamnya cara memegangnya aneh, dengan kedua tangan memegangi gagang pedang yang panjang dan pedang itu agak melengkung bentuknya. Bukan main! Ilmu pedang yang amat aneh dan lucu, akan tetapi ganas luar biasa. Yang amat mengagumkan hati Loan Ki adalah kehebatan tenaga orang itu, di samping ketabahan dan ketenangannya yang patut dipuji.
Dengan tenang dan muka berseri, pemuda aneh itu membersihkan pedangnya dari darah dengan cara menggosok-gosok senjata itu pada kulit harimau yang berbulu indah, baru dia memasukkan pedang di dalam sarungnya lagi. Lalu dengan muka gembira sekali dia mencabut sebatang pisau pendek yang amat tajam, tangannya bekerja cepat dan tahu-tahu dia telah mengiris putus paha kanan sebelah belakang dari binatang itu, terus dipanggulnya pergi ke arah sebatang anak sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu. Sisa bangkai harimau itu dia tinggalkan begitu saja.
Loan Ki dalam keheranan dan kekagumannya terus mengikuti dari jauh. Ia bersembunyi di balik gerombolan pohon, mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan pemuda aneh itu. Tadi ketika melihat pemuda itu menggunakan pisau, ia mengira bahwa pemuda itu seorang pemburu. Akan tetapi kemudian perkiraan ini ia bantah sendiri. Tak mungkin seorang pemburu akan meninggalkan kulit harimau yang begitu berharga dan hanya pergi membawa sebuah paha.
Pemuda aneh itu berjongkok di pinggir anak sungai menyalakan api, membuat gantungan di kanan kiri api dan ternyata dia mulai memanggang paha harimau itu. Dia tertawa senang dan hidungnya kembang-kempis, beberapa kali dia bicara dengan bahasa yang tak dimengerti Loan Ki. Gadis ini pun hidungnya mulai kembang-kempis ketika mencium bau sedap dan gurih dari daging harimau yang dipanggang itu. Perutnya memang sudah lapar, sekarang mencium bau daging panggang, alangkah sedapnya!
Tiba-tiba keningnya berkerut, matanya terbelalak, kemudian mendadak ia membuang muka dan meramkan mata. Apa yang terjadi" Pernuda itu ternyata menanggalkan semua pakaiannya dan dengan bertelanjang bulat pemuda itu terjun ke dalam air anak sungai yang amat jernih.
"Anak setan!" Loan Ki memaki, geli sendiri. "Kurang ajar betul dia, berani bertelanjang di depan mataku?" Kemudian ia teringat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada orang mengintai, maka tentu saja tidak bisa dibilang kurang ajar. Wajahnya memerah karena sebetulnya ia sendirilah yang kurang ajar, mengintai orang mandi. Kemudian timbul pikiran yang amat nakal. Memang Loan Ki seorang gadis remaja yang nakal sekali.
Ia memandang lagi dengan lega hatinya melihat bahwa orang itu mandi dengan naerendam tubuh sebatas dada, jadi leluasa ia memandang. Ia melihat betapa pemuda itu dengan tubuhnya yang berotot kekar berkali-kali menyelam ke dalam air. Cepat ia menyelinap di antara pepohonan menanti saat baik.
Sementara itu, daging paha harimau itu agaknya sudah matang, baunya membuat ia tak kuat menahan laparnya lagi. Pada saat pemuda itu sekali lagi menyelam, cepat laksana kijang melompat, Loan Ki keluar dari tempat sembunyinya dan sekali sambar kayu yang menusuk paha itu telah berada di tangannya dan ia cepat melompat dan lenyap menyelinap di balik semak-semak belukar.
Di lain saat, gadis itu telah duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon yang tinggi, repot sendiri. Sibuk ia meniup-niup daging yang panas, menggigit, mengunyah dan tertawa-tawa ditahan sambil mendesis-desis kepanasan dan keenakan. Gurih dan sedap bukan main paha harimau yang setengah matang itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang di bawah. Kiranya ada dua puluh orang lebih lewat di bawah pohon dan kagetlah ia ketika mengenal bahwa yang lewat itu adalah para perampok, anak buah Hui-houw-pang. Ia mengenal mereka karena yang mengepalai rombongan ini bukan lain adalah ketua Hui-Houw-pang yang bernama Lauw Teng, si kepala rampok gemuk pendek bermuka kuning yang pernah ia permainkan dahulu itu. Orang-orang itu agaknya sudah melihat si pemuda aneh yang sedang mandi, buktinya mereka berseru dan pergi ke tempat itu.
Sekali lagi terpaksa Loan Ki meramkan mata. Kali ini ia tidakk menbuang muka karena sedang asyik menggerogoti paha harimau, akan tetapi ia meramkan mata rapat-rapat ketika melihat betapa laki-laki itu meloncat ke luar dari dalam air sambil mengeluarkan suara yang tak dimengertinya, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang itu tentu memaki-maki. Geli juga hatinya dan sejenak kemudian ia mengintai dari balik bulu matanya yang panjang. Belum berani ia membuka matanya dan mata kiri yang dibuka sedikit saja itu siap ditutup kembali cepat-cepat kalau orang aneh itu masih juga belum berpakaian.
Akan tetapi setelah mengintai dari balik bulu mata, ia menjadi lega dan dibukanya sepasang mata yang lebar dan jelita itu terbelalak. Ia melihat betapa laki-laki aneh itu sudah berpakaian, malah bajunya sedang dipakai. Dia marah-marah memaki-maki dengan bahasa asing itu, menuding-nuding ke arah rombongan Lauw Teng dan ke arah api unggun yang sudah mulai padam di mana tadi paha harimau dipanggangnya.
Lauw Teng dan rombongannya agaknya juga bingung menghadapi orang yang tidak dimengerti bahasanya itu. Tiba-tiba seorang anak buah perampok itu berseru,
"Wah, dia orang Jepangl Dia tentu bajak laut Jepang, entah bagaimana bisa kesasar ke sini!"
Ramai mereka bicara dan semua orang sudah mencabut senjata untuk mengeroyok bajak laut Jepang yang selalu dimusuhi oleh semua orang itu.
Mendadak orang aneh itu bicara dalam bahasa daerah yang kaku, akan tetapi cukup jelas dan lancar, "Tutup mulut! Enak saja kalian menyangka orang. Aku memang orang Jepang, akan tetapi sama sekali bukan bajak laut!"
Tiba-tiba matanya memandang ke arah belakang rombongan di mana terdapat beberapa orang wanita yang dibelenggu kedua tangannya dan ujung rantai panjang dipegang oleh beberapa orang pula seperti orang-orang menuntun domba saja. Orang itu memaki-maki lagi dalam bahasa Jepang, lalu menudingkan telunjuknya ke arah orang-orang perempuan itu dan bertanya,
"Siapa mereka itu" Kalian ini mau apa menangkapi mereka" Heh, kalian menyebut aku bajak laut, agaknya kalian inilah bangsa penjahat yang menculik gadis-gadis orang!"
Lauw Teng melangkah maju, suaranya keren, "Hei, orang asing, jangan kau berlancang mulut! Ketahuilah, kau berhadapan dengan Hui-houw-pang, dan akulah Hui-houw-pangcu Lauw Teng. Hayo menyerah menjadi tawanan kami, agar sekalian kami bawa ke kota raja, daripada kau menjadi makanan golokku yang takkan mengenal ampun lagi."
Laki-laki Jepang itu tertawa pendek, lalu menepuk dada dengan tangan kiri dan menepuk gagang pedangnya dengan tangan kanan "HuH, kiranya kalian ini hanya ular-ular tanah biasa. Wah, memang nasibku, jauh-jauh datang dari negeriku untuk mencari guru yang pandai di sini, kiranya yang kujumpai sama sekali bukan guru-guru pandai, melainkan penjahat-penjahat biadab. Eh, Lauw Teng, tentang menangkap aku menjadi tawanan mudah saja, akan tetapi katakan dulu siapakah wanita-wanita itu dan mengapa kau menculiknya"
Seorang laki-laki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya."
Lauw Teng tertawa bergelak. Agaknya ucapan ini menggelikan hatinya. Dia mengangkat dada dan berkata, "Orang gila... dengarlah baik-baik. Memang pekerjaan kami adalah penjaga gunung dan hutan, akan tetapi bukanlah, tukang-tukang menculik gadis-gadis cantik. Ketahuilah, gadis-gadis ini akan kami bawa ke kota raja, karena kaisar baru sedang mengadakan pemilihan gadis-gadis cantik untuk menambah jumlah selir-selir barunya. Yang dengan suka rela hendak memasuki pemilihan itu tentu diangkut dengan tandu, akan tetapi gadis-gadis kepala batu yang menolak ini terpaksa kami belenggu dan kami bawa dengan paksa."
Laki-laki itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa Jepang, membanting kaki kanannya, lalu berkata, "Keparat.......... Kiranya di mana-mana sama saja.
Orang-orang besar hanya memuaskan nafsu jahatnya, tenggelam dalam kemewahan dan kesenangan. Aha, penjahat-penjahat rendah. Untuk perbuatan kalian mencuri daging panggangku, aku mau memberi ampun. Akan tetapi untuk perbuatan menculik gadis itu, jangan harap aku dapat mengampuni kalau kalian tidak segera membebaskan mereka!"
"Aduh...........!" Loan Ki baiknya dapat menahan jeritnya sambil menutup mulut dengan tangan. Ia tadi makan daging sambil seluruh perhatiannya tertuju ke bawah, amat kagum mendengar ucapan orang asing yang ternyata seorang Jepang itu. Begitu asyik ia mendengarkan sampai-sampai beberapa kali ia kena menggigit tulang paha, malah baru saja ia salah menggigit bibir sehingga tanpa terasa ia mengeluarkan keluhan mengaduh!
"Huh, dasar daging curian, dimakan pun mendatangkan celaka!" gerutunya sambil melempar paha yang tinggal tulang-tulangnya saja itu. Bibirnya agak menyendol oleh gigitan tadi. Ia kini nongkrong di atas cabang dan mengintai terus, hatinya tertarik sekali dan kegembiraan memenuhi hatinya karena ia merasa yakin akan menyaksikan pertandingan yang menarik.
Sementara itu, ketua Hui-houw-pang sebetulnya kagum melihat pemuda Jepang yang bertubuh kokoh kuat dan bersikap gagah itu. Diam-diam dia merasa sayang dan alangkah baiknya kalau dia dapat menarik orang ini menjadi anak buahnya, karena selain dia dapat menggunakan tenaganya, juga orang ini tentu akan dapat dijadikan perantara untuk berhubungan dengan para bajak Jepang yang terkenal itu untuk menambah kekuatan Hui-houw-pang. Maka dia lalu berkata,
"Orang muda Jepang, kau benar-benar sombong. Kalau kau hendak mencari guru, tak usah jauh-jauh, sekarang juga kau sudah berhadapan dengan seorang guru. Siapakah namamu dan kalau kau mau, aku suka menerima kau sebagai muridku."
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal panjang berbentuk golok, memandang tajam. "Kau..........." Kepala tukang culik gadis menjadi guruku"
Hemm, aku Nagai Ici di negeriku terkenal dengan julukan Samurai Merah!
Orang yang patut menjadi guruku harus dapat mengalahkan pedang samuraiku lebih dulu!"
"Buaya Jepang, jangan menjual lagak di sini!" bentak seorang anak buah Hui-houw-pang yang menjadi kaki tangan Lauw Teng. Perampok itu bcrtubuh tinggi besar dan terkenal akan tenaganya yang seperti gajah. Melihat betapa seorang pemuda Jepang yang tubuhnya hanya sedang saja besarnya berani menghina dan menantang kepalanya, dia tak dapat menahan sabar lagi.
"Pangcu (ketua), biarlah saya menghajarnya!"
Lauw Teng menganggukkan kepala. Memang dia ingin menguji kepandaian orang Jepang ini agar dia dapat menilai sampai di mana kemampuannya.
Pembantunya itu sambil berseru keras lalu menyerbu dengan tangan kosong, melakukan penyerangan dengan kedua lengannya yang besar dan kuat.
Kepalan tangannya yang sebesar kepala orang itu menyambar, bertubi-tubi menghantam ke arah leher dan dada Nagai Ici.
Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah itu seperti semua pendekar dinegerinya, sama pula dengan para pendekar di Tiongkok, tidak mau sembarangan menggunakan pedang kalau tidak terpaksa. Melihat datangnya penyerangan yang biarpun amat kuat namun lamban ini, dia bersikap tenang-tenang saja. Begitu kepalan tangan itu menyambarnya, dia tidak mengelak mundur, malah melangkah maju sambil miringkan tubuhnya, lalu secepat kilat dari pinggir ia mencengkeram, sekaligus dia berhasil mencengkeram belakang siku kanan lawan dan belakang leher. Kakinya digeser memasuki selangkangan lawan, tubuhnya direndahkan dan...........sekali gentak tubuh yang tinggi besar dari lawannya itu terbang ke atas sampai tiga meter tingginya lalu terbanting roboh seperti pohon tumbang. Orang itu terbanting keras dan tidak mampu bangun kembali!
Nagai Ici tersenyum mengejek. "Begini saya kemampuan orangmu" Hemmm, pantas pekerjaannya menculik gadis-gadis lemah!"
Dari tempat yang tinggi di atas pohon Loan Ki menonton dengan penuh perhatian. Ia kagum karena ilmu gulat yang dipergunakan orang Jepang itu benar-benar cepat dan tangkas. Itulah ilmu yang mengandung tenaga Iweekang dengan cara meminjam tenaga lawan, sekali gentak dapat membikin lawan terlempar dan terbanting. Benar-benar cerdik sekali gerakan tadi dan ia dapat menduga bahwa menghadapi orang Jepang ini amatlah tidak baik kalau lawan sampai kena terpegang.
Lauw Teng juga kagum dan gembira. Ternyata dugaannya tidak keliru. Orang muda Jepang ini kuat dan tangkas, cukup berharga untuk dijadikan pembantunya. Akan tetapi dia belum yakin betul, maka dia memberi tanda kepada tiga orang pembantunya untuk maju mengeroyok. Tiga orang pembantu ini meloncat ke depan dan menghunus golok mereka. Mereka ini adalah tiga orang yang boleh diandalkan karena termasuk murid-murid pilihan dari Lauw Teng yang sudah menerima pelajaran ilmu golok ketua Hui-houw-pang itu,
"Eh-eh, beginikah kegagahan Hui-houw-pang" Ha-ha, macan terbang macam apa ini, beraninya melakukan pengeroyokan?" Nagai Ici mengejek. Hui-houw-pang berarti Perkumpulan Macan Terbang, maka ejekan ini benar-benar memanaskan hati orang-orang Hui-houw-pang. Akan tetapi Lauw Teng, yang mempunyai maksud menarik pemuda Jepang itu untuk memperkuat kedudukan perkumpulannya tidak marah melainkan menjawab,
Kemelut Di Majapahit 4 Legenda Kematian Karya Gu Long Pendekar Bodoh 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama