Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Andaikata betul maupun tidak, kau perduli apa" Dengarlah, nona ini tidak boleh menjadi korban pangeran Ong, habis perkara!" Semua orang merasa heran mendengar suara Tiong San yang halus dan sopan, karena dulu mereka tidak melihat sikap seperti ini pada pemuda itu.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
73 Ban Kong maklum bahwa pemuda ini memang sengaja datang untuk melindungi gadis itu, maka ia mengangkat-angkat ruyung tinggi-tinggi dan membentak. "Penjahat muda, jangan kira kami takut kepadamu! Kalau kau memang suami nona itu, akuilah saja terus terang akan tetapi kalau bukan, jangan kau ikut mencampuri urusan orang lain!"
"Ban-ciangkun," tiba-tiba Liong Ki Lok berkata. "Shan-tung Koay-hiap adalah menantuku, mengapa kau masih mendesak terus" Apakah kau sengaja mencari perkara permusuhan?"
Ban Kong tertawa mengejek dan memandang kepada Tiong San sambil berkata, "Benarkah kata-katanya itu" Bilakah kau menikah dengan nona manis ini?"
Tiong San juga tertawa dan menjawab, "Mertuaku sudah bicara mau apa lagi?"
Ban Kong berseru marah. "Kalau begitu kau harus mampus!" Ruyungnya menyambar maju, akan tetapi tiba-tiba ruyung itu berhenti ditengah udara dan tahu-tahu telah terlepas dari pegangannya. Ruyung itu ternyata telah dilibat oleh cambuk panjang yang sudah berada di tangan Thian-te Lo-mo.
"Ha ha ha! Perwira gendeng dan gila!" ia memaki sambil membanting ruyung yang dirampasnya itu ke atas tanah. "Menyambut pengantin sama dengan menyambut tamu agung!
Kalau muridku menjadi pengantin, akupun seorang mempelai! Kau tidak menyambutku dengan hidangan-hidangan yang terkenal lezat dari dapur pangeran Ong. Akan tetapi menyuguh kami dengan ruyung! Kau benar-benar gila dan tak patut diangkat menjadi penyambut tamu agung! Aku akan ambil sendiri hidangan-hidangan itu!" Sambil berkata demikian, Thian-te Lo-mo lalu melangkah lebar menuju ke pintu gedung untuk menerjang ke dalam.
Ban Kong menjadi terkejut dan khawatir sekali melihat betapa kakek gila itu hendak menyerbu ke dalam gedung, oleh karena pada waktu itu Ong Tai Kun si pangeran bersama beberapa orang pembesar lain sedang berpesta di ruang dalam. Maka ia lalu berseru keras.
"Orang gila, kau hendak berbuat apa?" lalu ia maju diikuti oleh kawan-kawannya, sedangkan pada saat itu, dari dalam muncul banyak perwira-perwira lain yang tadi diberi tahu. Sebentar saja Thian-te Lo-mo telah dikurung oleh belasan orang perwira yang bersenjata tajam, sedangkan Ban Kong sudah mengambil ruyungnya yang tadi dilempar ke atas tanah oleh kakek itu.
"Ha ha ha! Kalian anjing-anjing penjilat sebelum mengeluarkan hidangan untukku minta diberi hadiah dulu! Baik, baik, ini aku beri hadiah sama rata, seorang satu!". Cambuknya berbunyi berdetak-detak dan menyambar-nyambar di udara dan biarpun semua perwira itu memutar pedang dan golok untuk menyerbu dan melindungi diri, tak urung sekalian senjata itu sekali terpukul ujung cambuk telah beterbangan dan terlepas dari pegangan mereka. Hal itu lalu disusul oleh teriakan-teriakan mereka karena muka mereka masing-masing telah tersambar oleh ujung cambuk sehingga pada muka tiap orang perwira terdapat garis merah biru akibat sabetan cambuk!
Tentu saja hal ini amat mengejutkan mereka. Kepandaian para perwira itu bukan rendah, dan terutama sekali Ban Kong telah terkenal dengan ruyungnya. Akan tetapi kini menghadapi Thian-te Lo-mo, mereka belaan orang perwira itu seakan-akan menjadi tikus-tikus kecil menghadapi seekor kucing besar.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
74 "Muridku, kau pergi antarkan mertua dan isterimu pulang! Aku mempelai tua hendak makan minum dulu dengan pangeran Ong!" kata Thian-te Lo-mo kepada Tiong San sambil melangkah ke pintu. Sedangkan para perwira yang masing-masing mendapat hadiah sabetan pada mukanya itu memandang dengan hati khawatir sekali. Melihat betapa kakek gila itu masuk ke dalam gedung, mereka tidak perdulikan Liong Ki Lok dan puterinya lagi, akan tetapi segera mengejar masuk ke dalam gedung.
Tiong San tertawa bergelak melihat perbuatan suhunya dan berseru, "Suhu, makanlah dulu sepuasnya, akan tetapi jangan habiskan semua, beri bagian kepada teecu!"
Pada saat itu, Liong Ki Lok dan Bwee Ji telah menghampirinya dan nona itu telah menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong San! Akan tetapi Tiong San segera memegang tangannya dan menariknya berdiri. Kemudian ia pegang pula tangan Liong Ki Lok dan segera lari sambil menarik tangan kedua orang itu meninggalkan kota raja!
Biarpun Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji telah memiliki kepandaian yang cukup baik dan ilmu lari cepat mereka juga tidak rendah, akan tetapi ketika digandeng dan ditarik oleh Tiong San, mereka merasa betapa kedua kaki mereka seakan-akan tidak menyentuh bumi, demikian cepatnya mereka lari!
Setelah tiba di luar tembok kota raja, Tiong San melepaskan tangan mereka dan berkata,
"Nah, pergilah kalian ke mana kalian suka! Sekarang tidak ada bahaya lagi."
Mendengar ucapan ini, hati kedua orang itu merasa terkejut dan kecewa. Bwee Ji kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu oleh karena ia merasa bahwa pemuda ini beserta suhunya telah menolong jiwanya dari kesengsaraan atau kematian yang hebat.
"Inkong," kata Liong Ki Lok sambil menjura, "Bukankah kau .... sudi menjadi suami anakku yang bodoh ....?"
Tiong San tertawa gelak-gelak mendengar ucapan ini, lalu menjawab, "Apa kau kira aku ini seorang gila?"
Ketika Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji memandangnya dengan heran mendengar kata-katanya ini. Ia lalu mengucapkan sebuah syair kuno dari seorang yang patah hati, Kalau kau ingin hidup bahagia
Terdapat tiga syarat
Dan pantangan utama:
Jangan mencari isteri,
Jangan mencari kawan,
Dan jangan mencari lawan!
Berkawanlah dengan buku
Berlawanlah dengan arak!
Selagi Liong Ki Lok dengan anaknya masih bengong memandang pemuda itu, tiba-tiba tubuh Tiong San berkelebat dan lenyap dari depan mereka, hanya terdengar suaranya yang sudah jauh. "Suhu, jangan habiskan hidangan-hidangan itu!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
75 Liong Ki Lok menarik napas panjang dan berkata, "Ia benar-benar gila, akan tetapi sakti dan berbudi!"
Sementara itu, Bwee Ji masih berlutut dan kini terdengar ia terisak-isak menangis. Hatinya telah tertambat kepada pemuda yang cakap, gagah dan berbudi itu dan akan bahagialah hidupnya apabila ia bisa menjadi isteri pemuda itu.
Tadi ia telah merasa amat girang ketika mendengar betapa pemuda itu agaknya bersedia menjadi suaminya. Tidak tahunya kini pemuda itu meninggalkannya dengan syair yang menunjukkan bahwa pemuda itu memandang rendah tentang pernikahan dan tidak sudi kepada wanita.
"Ayah .... di dunia ini tak mungkin ada orang kedua seperti dia ...."
Mendengar ucapan ini, ayahnya maklum bahwa hati anaknya telah tertarik kepada pemuda itu. Maka sambil menarik napas panjang berkali-kali, ia lalu mengajak Bwee Ji pergi dari situ dengan cepat.
"Yang terpenting sekarang ialah mengajak ibu dan adik-adikmu segera pergi jauh sebelum jahanam-jahanam itu mendapat kesempatan mengejar."
Mereka lalu berlari cepat menuju dusun Bi-lu-siang dan tanpa membuang waktu lagi mereka semua lalu pergi ke selatan, melarikan diri sejauhnya dari tempat yang berbahaya itu sambil selalu terkenang kepada Shan-tung Koay-hiap yang telah menolong mereka, akan tetapi berbareng juga mengecewakan hati mereka itu.
**** Di ruang yang lebar dalam gedung pangeran Ong Tai Kun sedang diadakan pesta yang mewah dan gembira. Nampak empat buah meja persegi di ruang itu dan setiap meja dikelilingi oleh empat orang tamu yang semuanya berpakaian indah karena mereka ini adalah pembesar-pembesar belaka.
Mereka ini terdiri dari pangeran-pangeran dan orang-orang berpangkat dan belasan orang ini memang seringkali mengadakan perjamuan makan. Saling mengundang untuk bergembira ria menikmati hidangan-hidangan istimewa.
Di pojok kamar itu nampak serombongan penyanyi meramaikan suasana dengan nyanyian-nyanyian merdu sehingga mereka yang sedang berpesta menjadi makin gembira. Arak yang lewat di kerongkongan makin hangat dan wangi sedangkan masakan-masakan yang mereka makan makin lezat dengan mendengarkan lagu-lagu merdu yang dinyanyikan oleh nona-nona manis itu. Para penyanyi ini bukanlah rombongan penyanyi biasa, akan tetapi terdiri dari selir-selir tuan rumah sendiri. Maka tentu saja wajah mereka yang cantik-cantik itu membuat belasan orang tamu menjadi kagum.
Ong Tai Kun sendiri duduk berhadapan dengan tiga orang tamu yang mendapat kehormatan istimewa karena mereka ini adalah tiga orang berpangkat tertinggi di antara sekalian tamu.
Seorang di antaranya yang berhadapan muka dengan Ong Tai Kun, adalah seorang pangeran pula, yakni pangeran Lu Goan Ong yang menjadi penasehat kaisar. Pengaruh pangeran Lu Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
76 Goan Ong ini malahan lebih besar dari pada pengaruh pangeran Ong. Maka sudah tentu saja sikap Ong Tai Kun terhadapnya amat menjilat-jilat.
Sebagaimana pembaca masih ingat, pangeran Lu Goan Ong adalah pangeran yang dulu bertemu dengan Tiong San dan dua orang kawannya di telaga Tai-hu, dimana Thian-te Lo-mo mengamuk di atas perahu pangeran itu setelah perahu pangeran itu menubruk perahu ketiga pemuda itu.
"Kabarnya saudara Ong mendapatkan kembang baru yang segar, cantik dan juga pandai silat!" kata pangeran Lu Goan Ong sambil tersenyum-senyum dan mengangkat cawan araknya lalu mengerling ke arah para penyanyi. "memang saudara Ong paling pandai memilih kembang hingga taman bungamu penuh dengan kembang-kembang cantik!"
Ong Tai Kun tertawa senang. "Lu-taijin terlalu memuji," katanya. "Nona yang kau maksudkan itu belum datang, dua pekan lagi mungkin ia akan berada di sini. Akan tetapi selihai-lihainya wanita, ia hanya memiliki ilmu silat biasa saja. Kalau Lu-taijin suka kepada salah satu kembang di tamanku ini, tunjuklah saja dan tentu akan kupersembahkan untuk di tanam di taman bungamu!"
Lu Goan Ong tertawa gembira dan minum araknya. "Jangan, jangan!" Ia mengangkat kedua tangannya. "Di sana sudah cukup banyak. Kalau terlalu banyak sukar mengurusnya!"
Dua orang lain yang berada di kanan kiri mereka ikut tertawa senang, dan seorang yang duduk di sebelah kiri Ong Tai Kun berkata, "Kalau bungamu yang baru itu kepandaiannya dapat menyamai Gui-siocia di gedung Lu-taijin, barulah hebat!"
"Mana bisa menyamai Gui-siocia?" kata Ong Tai Kun. "Untuk jaman ini, Gui-siocia tidak ada keduanya, baik mengenai kecantikannya maupun mengenai kelihaian ilmu silatnya."
Lu Goan Ong menarik napas. "Keponakanku Siu Eng memang cukup tinggi ilmu silatnya, akan tetapi hal itu membuat ia menjadi keras kepala. Banyak sahabat datang meminangnya, akan tetapi ia bersikeras tidak mau kawin dengan seorang yang tidak memiliki bun dan bu.
Dan sukarnya, calon jodohnya harus dapat mengalahkannya!" Pangeran Lu Goan Ong menggeleng-geleng kepala seperti orang merasa jengkel.
Padahal sebenarnya ia merasa bangga sekali akan keponakannya itu, yakni nona Siu Eng.
"Sudah banyak pemuda-pemuda yang amat baik, tinggi ilmu kesasteraannya, akan tetapi ia selalu menolak. Isteriku terlalu memanjakannya sehingga aku benar-benar merasa bohwat (kehabisan akal)."
"Mengapa Lu-ya demikian bingung?" kata orang yang duduk di sebelah kanan Ong Tai Kun.
"Adakan saja sayembara di panggung lui-tai untuk mencari pemuda-pemuda yang yang lihai ilmu silatnya!"
Lu Goan Ong mrngangguk-angguk. "Memang sudah ada pikiran demikian dalam hatiku.
Akan tetapi sukar juga karena Siu Eng hanya mau dijodohkan dengan pemuda yang selain pandai ilmu silat dan dapat mengalahkannya, juga harus pandai dalam ilmu kesusasteraan. Di mana ada pemuda yang berkepandaian lengkap seperti itu?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
77 "Ah, dia menghendaki seorang bun-bu-cwan-jai (pemuda gagah yang pandai silat dan sastra)!" kata Ong Tai Kun. "Memang tepat, karena kalau tidak demikian, mana dapat direndengkan dengan Gui-siocia?"
Pada saat Lu Goan Ong hendak membuka mulut lagi, tiba-tiba matanya terbelalak memandang kepada seorang kakek berpakaian merah yang tiba-tiba muncul dari pintu dan masuk ke dalam ruangan itu.
"Thian-te Lo-mo ..." bisiknya dan wajahnya menjadi pucat. Semua orang memandang dengan kaget dan menjadi pucat karena semua pembesar dan pangeran ini biarpun di antaranya ada yang belum pernah melihat Thian-te Lo-mo, akan tetapi pernah mendengar nama kakek gila yang pernah menggegerkan istana kaisar dan seluruh kota raja!
Thian-te Lo-mo dengan tindakan kaki lebar memasuki ruangan dan matanya menyapu semua yang hadir sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Pangeran Ong, mana masakanmu yang paling enak, ayoh keluarkan untukku! Kabarnya hidangan di rumahmu ini lebih lezat dari pada hidangan di dapur kaisar, benarkah ini?"
Sambil berkata demikian, kakek itu menghampiri meja pangeran Ong Tai Kun dengan hidung kembang-kempis seakan-akan sedang mencium-cium bau masakan dan menaksir-naksirnya.
Sebetulnya saja Thian-te Lo-mo tidak mempunyai maksud buruk dan kedatangannya memang terdorong oleh keinginan hatinya membuktikan ucapan muridnya bahwa hidangan di rumah pangeran ini lebih enak dari pada hidangan dari dapur kaisar. Akan tetapi tentu saja para pembesar ini, terutama pangeran Ong tidak mempunyai pikiran demikian. Karena kakek ini sudah terkenal sebagai seorang pengganggu kota raja.
Kedatangannya ini mereka anggap sebagai gangguan yang disengaja dan ucapan tentang masakan tadi dianggap sebagai alasan belaka. Oleh karena itu, mereka yang tahu ilmu silat, terutama Ong Tai Kun dan Lu Goan Ong, segera mencabut pedang masing-masing dan mengurung Thian-te Lo-mo.
Pada saat itu, para perwira dengan dikepalai oleh Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang mukanya masing-masing telah digaris merah oleh ujung cambuk Thian-te Lo-mo, memburu ke dalam dan melihat betapa kakek itu kini dikurung oleh para pembesar tinggi, segera memburu dan mengurungnya pula.
"Thian-te Lo-mo orang gila!" teriak Ban Kong. "Kau hendak lari ke mana?" perwira ini terkenal sebagai jagoan kota raja. Tentu saja ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya di depan para pangeran dan pembesar itu. Dan untuk menyembunyikan kekalahannya tadi, ia mengeluarkan bentakan itu dan lalu maju menyerang dengan ruyungnya.
Akan tetapi Thian-te Lo-mo dengan tersenyum mengejek hanya miringkan tubuh mengelak dan tangannya menyambar semangkuk masakan dari meja pangeran Ong. Ia lalu mengempit cambuknya di bawah lengan kanan alias ketiak, memegang mangkuk itu di tangan kiri dan tangan kanannya menggunakan sepasang sumpit gading untuk menjumput sepotong daging dari mangkuk itu terus dimasukkan ke dalam mulutnya dan dikunyah dengan mata meram melek seperti laku seorang ahli masak sedang mencicipi rasanya semacam masakan.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
78 Berkali-kali ruyung Ban Kong menyambar, akan tetapi ruyung itu selalu memukul angin, oleh karena dengan sedikit gerakan saja Thian-te Lo-mo dapat mengelak tanpa melepaskan mangkuknya dan masih mengayem makanan tadi.
Beberapa orang perwira lain maju mengeroyoknya pula sehingga kini Thian-te Lo-mo terpaksa mengangkat tangan kanan yang memegang sumpit untuk menangkis. "Tring! Tring!"
Sekali tangkis dengan sumpitnya, tiga golok di tangan perwira-perwira itu terpental ke udara.
Akan tetapi perwira lain maju pula mengeroyok.
"Ah, masakan ini tidak sedap! Sama tawar dan hambarnya seperti kalian!" kata Thian-te Lo-mo yang lalu melemparkan mangkuk itu demikian saja ke atas. Akan tetapi tepat sekali mangkuk itu menyambar turun dan jatuh dengan terbalik di atas kepala pembesar itu sehingga merupakan topi aneh di atas kepalanya.
Sedangkan isinya tumpah dan kuah masakan itu mengalir turun di sepanjang mukanya.
Karena masakan ini memakai kecap merah, maka kecap yang mengalir di atas hidung dan pipinya merupakan barang cair merah seakan-akan darah memenuhi muka itu.
Pembesar itu yang tidak menyangka sama sekali, menjadi kelabakan karena kedua matanya juga terkena kuah masakan itu sehingga tak dapat dibuka lagi karena pedas dan ia lalu menggunakan kedua tangan meraba-raba sana-sini dan berlari menabrak ke kanan-kiri!
"Ha ha ha!" Thian-te Lo-mo tertawa. "Memang kalian orang-orang gila dan masakan tadi sama sekali tidak enak!" Ia mengulur tangan menyambar lain mangkuk di meja sebelah kanan. Akan tetapi pada saat ia mengulurkan tangan, Ong Tai Kun yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, segera melompat dan menyabetkan pedangnya ke arah tangan yang terulur itu! Inilah gerakan yang disebut Ceng-liong-kian-wi (Naga hijau kibaskan buntut) yang dilakukan cepat sekali sehingga agaknya tangan kakek yang gemar masakan enak itu akan terpotong oleh pedang pangeran Ong!
Akan tetapi, gerakan tangan kakek itu benar-benar mengagumkan. Ketika pedang telah menyambar dekat sekali, tiba-tiba tangannya dibalikkan dan kini bahkan melakukan serangan menotok ke arah pergelangan tangan pangeran Ong yang memegang pedang. Totokan yang dilakukan secara sembarangan ini adalah ilmu tiam-hoat (menotok jalan darah) Coat-meh-hoat, yakni cara menotok tanpa mencari urat tertentu yang diajarkan oleh cabang Bu-tong-pai.
Totokan macam ini, biarpun tidak mengenai urat-urat tertentu seperti Tiam-hwe-louw, ilmu totok dari Siauw-lim-pai, akan tetapi cukup dapat membuat bagian yang tertotok menjadi lumpuh untuk beberapa lama, tergantung dari kekuatan yang tertotok. Memang kelihaiannya tidak seperti ilmu totok Siauw-lim-pai yang mencari jalan-jalan darah tertentu akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai serangan tiba-tiba dalam membela diri.
Melihat gerakan ini, Ong Tai Kun terkejut sekali. Ia telah memiliki kepandaian cukup tinggi, maka tentu saja ia tidak sudi dikalahkan dengan cara yang begitu saja, maka cepat ia menarik kembali pedangnya dan ketika Thian-te Lo-mo melanjutkan maksudnya semula, yakni mengambil mangkuk itu, ia lalu membarengi dengan serangan Yan-cu-liak-sui (Burung walet sambar air), pedangnya berkelebat menyambar ke arah leher kakek yang sedang mengambil mangkuk itu,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
79 Dan pada saat itu juga, Ban Kong dari lain jurusan juga telah memukulkan ruyungnya ke arah kepala Thian-te Lo-mo dengan kekuatan luar biasa besarnya. Serangan dua orang kosen yang dilakukan sekali gus ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan dan bagi ahli silat yang belum sempurna sekali kepandaiannya, akan sukarlah menghindarkan diri dari bencana ini.
Apalagi kalau ia sedang memegang mangkuk dengan tangan kiri dan tangan kanannya sedang mengerjakan sepasang sumpit untuk menjumput masakan itu.
Akan tetapi, ketika Thian-te Lo-mo sedang mengerjakan sumpitnya di dalam mangkuk, tiba-tiba dua potong bakso yang banyak terdapat di dalam mangkuk itu, mencelat ke kanan kiri dan menyambar mata pangeran Ong dan Ban Kong! Kejadian ini terjadi cepat sekali dan tidak terduga-duga lebih dulu. Kecepatan sambaran bakso yang bundar itu ternyata lebih cepat dari pada sambaran senjata pedang dan ruyung sehingga sebelum kedua senjata itu mengenai sasaran, bakso tadi telah mendahului menyambar mata mereka.
Ong Tai Kun dan Ban Kong yang tidak melihat gerakan sumpit Thian-te Lo-mo, menjadi terkejut sekali karena mengira bahwa benda yang menyambar mata mereka itu adalah senjata rahasia yang berbahaya maka sambil berseru keras, mereka menjatuhkan diri ke samping untuk mengelak sehingga otomatis senjata mereka ikut ditarik kembali dan penyerangan mereka gagal!
Bakso yang menyambar mata pangeran Ong dapat dikelit dan menyambar tembok hingga hancur berantakan. Akan tetapi bakso yang menyambar Ban Kong, ketika dikelit oleh perwira itu, menyambar ke arah seorang perwira yang tinggi besar dan yang berdiri di belakang Ban Kong. Perwira itu sedang berteriak-teriak mengajak kawan-kawannya.
"Ayoh, keroyok beramai-ramai! Ayoh ........hepp!!"
Bab 9 ... UCAPANNYA terhenti tiba-tiba dan matanya melotot bagaikan hendak melompat keluar dari rongga matanya karena pada saat itu sebutir bakso yang tadinya dikelit oleh Ban Kong, dengan tepat sekali memasuki mulutnya yang sedang terbuka ketika ia hendak berkata "maju"
dan bakso itu dengan kecepatan luar biasa telah datang memasuki mulut dan terus menyerbu ke dalam sehingga mengganjal kerongkongannya!
Kedua mata orang tinggi besar ini menjadi berputar-putar, mendelik dan mulutnya terbuka, lehernya dipanjang pendekkan dalam usahanya untuk menelan masuk atau mengeluarkan kembali bakso yang mengganjal tenggorokannya itu seperti laku seekor ayam terkena penyakit sawan!
Ia berlari ke sana ke mari, menyambar secawan arak dari meja dan menuangkan arak itu ke dalam mulut dengan maksud mendorong bakso yang nakal itu ke dalam perut. Akan tetapi, karena masuknya bakso itu bukan masuk sewajarnya, akan tetapi tak terduga-duga dan paksaan, maka tidak mudah dikeluarkan sehingga arak itu tak dapat mengalir masuk ke dalam perut dan tertumpah kembali keluar dari mulutnya!
Karena terlalu lama napasnya tertahan oleh bakso itu, si perwira mulai gelisah dan mukanya menjadi biru serta kedua matanya makin besar saja. Kawan-kawannya sudah berusaha menolongnya dengan memukul-mukul punggungnya, akan tetapi sampai punggungnya terasa sakit, bakso yang bandel itu tetap tidak mau melompat ke dalam atau keluar.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
80 Thian-te Lo-mo tertawa berkakakan melihat ini dan berkata,
"Ong-ya, ternyata masakanmu tidak sehebat yang dikabarkan orang! Lihat, baksomu demikian liat sehingga perwira itu tidak dapat mengunyahnya dan sekarang bersarang di kerongkongan! Ha ha ha!"
Ong Tai Kun merah mukanya karena marah. Ia melangkah lebar ke arah perwira itu, lalu mengambil sebatang sumpit, menyuruh perwira itu berlutut dan dengan cepat ia menusukkan sumpit tadi ke dalam mulut perwira yang masih terbuka.
Terdengar suara "kek" dan bakso itu didorong dengan paksa memasuki perut si perwira!
Perwira itu merasa agak sakit kerongkongannya, akan tetapi kini ia selamat karena bakso yang nakal itu telah terdorong masuk ke dalam perut. Ia dapat bernapas lagi terengah-engah dan berlutut di depan Ong Tai Kun untuk menyatakan terima kasihnya, sedangkan para perwira lain tak dapat menahan kegelian hati mereka dan tersenyum diam-diam.
Pangeran Ong Tai Kun tak dapat menahan marahnya. Ia menudingkan pedangnya kepada Thian-te Lo-mo dan membentak,
"Thian-te Lo-mo! Kau berani menghina gedungku. Apakah kau kira kami tak dapat membasmi kau pengacau hina dina ini?" Setelah berkata demikian, ia lalu mengerahkan semua perwiranya untuk menyerang! Serangan itu datangnya seperti hujan, karena yang menyerang dan mengeroyok kakek itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang yang berkepandaian tinggi!
Sibuk juga Thian-te Lo-mo menghadapi serangan ini, karena biarpun serangan itu masih dapat ia hadapi dengan seenaknya, yakni dengan memutar-mutar sepasang sumpit di tangan kanannya, akan tetapi hal ini membuat ia tidak dapat menikmati masakan-masakan yang hendak dicicipinya itu!
"Pangeran Ong, kau benar-benar tidak tahu aturan!" teriaknya sambil memaki kalang kabut, memaki tiap orang yang menyerang dengan sebutan perwira gila, pembesar gendeng dan sebagainya. "Tamu agung datang tidak disambut baik-baik, bahkan diajak main-main senjata!
Kalian mengganggu aku makan saja!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mencabut cambuknya yang tadi diselipkan di pinggang dan sekali cambuknya berdetak, cambuk itu telah diputarnya dengan gerakan luar biasa cepatnya. Terdengar teriakan-teriakan dan senjata-senjata terpental dan jatuh di atas lantai dengan suara nyaring! Banyak pengeroyok memegangi muka mereka yang telah diberi hadiah oleh ujung cambuk! Ketika semua orang memandang, kakek itu telah lenyap dari dalam kurungan mereka!
Mereka menjadi heran dan bingung. Kemana perginya kakek gila itu" Apakah ia pandai menghilang" Tak mungkin ia dapat pergi dari situ tanpa mereka lihat.
Selagi mereka mencari-cari dan memandang ke sana ke mari, tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dan tahu-tahu semangkok masakan telah terbang dari atas meja dan melayang ke atas! Semua orang memandang ke atas dan ternyata bahwa kakek yang mereka cari-cari itu telah duduk di atas tiang penglari yang paling tinggi dengan kedua kaki ongkang-ongkang dan Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
81 kini sedang mencoba isi mangkok yang baru saja ia ambil dari atas meja dengan mempergunakan cambuknya yang lihai!
"Hm, kurang sedap, kurang sedap!" katanya setelah makan sepotong masakan dari mangkok itu.
"Udangnya bukan udang dari sungai Huang-ho seperti yang dimasak di dapur kaisar, akan tetapi ini hanya udang sungai Hai-ho!"
Kemudian ia melemparkan mangkok itu ke bawah dan karena kini para pengeroyok itu telah berlaku hati-hati, mereka dapat mengelak dari sambaran mangkok itu yang dengan aneh telah jatuh di atas lantai dengan telungkup dan tidak pecah! Akan tetapi, air kuah dari masakan itu yang memercik ke sana ke mari sukar dikelit sehingga pakaian orang-orang yang berada dekat kena noda-noda kecap dan kuah!
Setelah melempar mangkok tadi, kembali cambuk Thian-te Lo-mo menyambar sebuah mangkok lain dan mulai mencicipi isi mangkok dengan enak, tanpa memperdulikan orang-orang yang berada di bawah.
Pangeran Ong Tai Kun merasa marah bukan main melihat lagak kakek itu. Pangeran ini telah terkenal sebagai seorang pangeran yang selain mempunyai kepandaian tinggi, juga mempunyai banyak perwira yang kosen sehingga jarang ada orang berani mengganggunya.
Bahkan dulu ketika Thian-te Lo-mo mengacau di kota raja, kakek itu tidak mengganggunya dan hal ini sebetulnya hanya hal yang kebetulan saja, akan tetapi telah digunakan oleh pangeran Ong Tai Kun untuk menyombong dan menyatakan bahwa Thian-te Lo-mo tidak berani mengganggu gedungnya!
Tidak tahunya, hari ini kakek gila itu datang-datang menggunakan gedungnya untuk tempat bermain-main dan mengganggu semau-maunya di depan sekian banyak pangeran dan pembesar tinggi! Tentu saja ia merasa terhina sekali dan dengan marah ia lalu mengutus seorang perwira untuk minta bantuan perwira dari istana, dan ia sendiri lalu berseru keras,
"Keluarkan am-gi (senjata rahasia) dan serang dia! Panggil barisan panah ke sini!"
Sebetulnya sekian banyak perwira itu tidak ada yang tidak sanggup melompat menyusul ke atas tiang penglari, akan tetapi mereka ngeri untuk melakukan hal ini. Menghadapi kakek sakti itu di atas tiang penglari bukanlah hal yang tidak berbahaya karena sekali mereka kena cambuk dan jatuh dari atas, nyawa mereka sukar ditolong lagi! Kini mendengar usul majikan mereka untuk mempergunakan am-gi, mereka seperti diingatkan dan mereka yang pandai menggunakan senjata rahasia, lalu mengeluarkan am-gi masing-masing.
Ada yang mengeluarkan piauw (besi runcing), ada yang mengeluarkan Bwe-hwa-ciam (jarum bunga bwe) atau senjata rahasia berbentuk paku, uang logam, dan lain-lain. Sebentar saja berhamburanlah senjata-senjata rahasia itu melayang ke arah tubuh Thian-te Lo-mo!
Akan tetapi, dengan enaknya, kedua kaki kakek yang telanjang itu dan yang sedang ongkang-ongkang ke bawah itu, bergerak-gerak seperti anak kecil main-main dan semua senjata rahasia kena ditendang jatuh dan menyambar kembali ke arah penyerangnya! Kepandaian ini benar-Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
82 benar mentakjubkan sekali dan jarang ada orang berilmu tinggi yang akan sanggup melakukannya!
Thian-te Lo-mo tertawa geli dan cambuknya kembali menyambar dan menangkap sebuah mangkok berisi masakan kacang tanah. Ia tertawa-tawa dan berkata,
"He he he, kalian mengajak main-main dan sambitan-sambitan" Boleh, boleh!" Ia lalu menggenggam kacang dari mangkok itu dan melemparkannya ke bawah! Hujan kacang terjadi dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika kacang itu menghujani di atas kepala mereka!
Yang memakai topi masih mending, akan tetapi mereka yang tidak bertopi dan kepalanya telanjang, harus menderita hebat karena kacang-kacang itu jatuh berbunyi "tak-tik-tok" di atas kepala dan terasa amat sakit. Untung bagi mereka bahwa Thian-te Lo-mo tidak mempergunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, jangankan yang bertelanjang kepala, biarpun yang memakai topi tentu akan tembus topinya itu dan kulit kepalanya akan pecah-pecah pula terkena "pelor istimewa" itu!
Orang-orang pada lari cerai berai menjauhi hujan kacang itu dan pada saat itu, seregu barisan panah telah tiba! Akan tetapi sebelum mereka ini dapat bereaksi, tiba-tiba di dalam ruang itu masuk seorang pemuda berpakaian hijau yang tampan dan gagah sekali! Pemuda ini bukan lain ialah Tiong San yang telah kembali dari mengantar Liong Ki Lok dan puterinya sampai di luar tembok kota raja.
Melihat betapa suhunya dikepung dan dikeroyok, Tiong San lalu melepaskan cambuknya dan sekali ia ayun cambuk, lima orang terlilit cambuk dan ketika cambuk disentakkan ke belakang, lima orang itu roboh terguling-guling. Keadaan makin menjadi kacau dan semua orang kini berbalik menghadapi Tiong San yang tersenyum dan berkata,
"Guruku sedang menikmati makanan, mengapa kalian mengganggunya?"
"Shan-tung Koay-hiap!" seru Ban Kong yang mengenal pemuda itu dan semua orang kini maju dengan senjata di tangan mengeroyok pemuda itu yang mereka sangka tidak selihai Thian-te Lo-mo! Akan tetapi mereka kecele, karena secepat kilat cambuk Tiong San menyambar dan karena cambuk itu panjang, maka ia dapat mendahului serangan mereka. Ban Kong berteriak kesakitan dan menutup mukanya karena ternyata hidungnya yang besar telah disambar ujung cambuk dan berdarah!
"Anak gendeng!" Thian-te Lo-mo berkata kepada muridnya ketika melihat kedatangan pemuda itu. "Kau mengobrol yang bukan-bukan! Hidangan di rumah pangeran Ong ini sama sekali tidak ada harganya untuk disebut! Mana bisa menyamai masakan dari dapur istana raja?"
"Memang pangeran ini sekarang menjadi pelit dan tidak menghormati tamu!" jawab Tiong San sambil membabat dengan cambuknya sehingga kembali terdengar pekik kesakitan dan kini yang menjadi korbannya adalah seorang perwira lain yang mencoba untuk menyerangnya dengan senjata rahasia. "Ia sekarang hanya memperhatikan urusan menambah selir dengan memaksa orang baik-baik dan sama sekali tidak memperhatikan masakan enak lagi!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
83 Sementara itu, Lu Goan Ong dengan mata terbelalak dan mulut menganga memandang kepada Tiong San. Ia masih ingat wajah pemuda ini, maka ia segera melangkah maju dan berseru,
"Hai, bukankah kau kawan dari Khu Sin dan Thio Swie?"
Tiong San merasa terkejut sekali mendengar disebutnya dua nama ini, akan tetapi dengan amat pandai ia dapat menyembunyikan perasaannya dan ketika ia memandang kepada pangeran yang bertubuh tinggi besar dan bermata lebar itu, ia teringat bahwa inilah pangeran yang dulu ia jumpai di telaga Tai-hu. Ia tidak mau menjawab, hanya dengan sepasang matanya ia mencari-cari orang yang bernama Ong Tai Kun.
"Aku hendak bertemu dengan pangeran tikus Ong Tai Kun, yang manakah dia?" sambil berkata demikian, ia melangkah maju dengan amat beraninya, berjalan di antara sekian banyak perwira yang tentu saja dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dari kanan kiri atau belakang.
Akan tetapi aneh, sikapnya yang amat berani ini bahkan mendatangkan gentar dalam hati para perwira sehingga tak seorangpun berani menggerakkan tangan. Komandan regu barisan panah hendak menggunakan saat itu untuk mencari jasa, maka ia diam-diam menarik tali busurnya dan hendak menyerang Tiong San.
Akan tetapi tiba-tiba cambuk Thian-te Lo-mo dari atas melayang turun dan busur itu telah terampas! Tiong San sama sekali tidak mau memperdulikan kejadian ini dan membiarkan saja komandan yang terampas busurnya itu berdiri terbelalak dengan muka pucat memandangi busurnya yang telah berada di tangan Thian-te Lo-mo.
"Mana Ong Tai Kun" Harap suka maju!" kata Tiong San kemudian dan ia menyapu semua orang yang berada di situ dengan sudut matanya yang tajam. Akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Keadaan sunyi senyap. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di atas tiang penglari.
"Ha ha ha! Tuan rumah yang mengeluarkan hidangan-hidangan buruk merasa malu untuk mengaku dan menyatakan dirinya! Ha ha ha, murid gendeng, mengapa kau begitu bodoh"
Pangeran Ong telah kuberi tanda dengan cambukan sehingga bajunya bagian punggung telah bolong-bolong tanpa diketahuinya!"
Sebenarnya, hal ini tidak betul dan Thian-te Lo-mo sendiri tidak tahu yang manakah pangeran Ong Tai Kun. Ia hanya bicara sembarangan saja, akan tetapi dalam ucapan ini terkandung kecerdikan yang luar biasa, karena otomatis ketika mendengar ucapan ini, Ong Tai Kun dengan terkejut lalu meraba-raba punggungnya dan ternyata bahwa bajunya tidak bolong sama sekali. Ia juga cerdik dan segera insyaf bahwa ia kena ditipu, dan segera menarik kembali tangannya.
Akan tetapi, Tiong San yang cukup mengerti akan hal suhunya ini, tadi telah memasang matanya dengan tajam sehingga gerakan Ong Tai Kun ini sekilat saja dapat dilihatnya sehingga ia dapat menduga bahwa orang muda yang gagah dan tampan inilah tentu tuan rumah bernama Ong Tai Kun yang hendak memaksa Bwee Ji menjadi selirnya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
84 "Pangeran Ong, majulah kau!" katanya dan tiba-tiba cambuknya meluncur ke arah pangeran itu yang cepat menggunakan pedangnya menangkis. Akan tetapi, ketika pedangnya membentur ujung cambuk, ia merasa tangannya gemetar dan ternyata bahwa cambuk itu tidak dapat terputus oleh sabetan pedangnya, bahkan ujung cambuk secara istimewa sekali telah melibat pinggangnya! Sebelum ia dapat meronta dan melepaskan diri, tahu-tahu tubuhnya telah ditarik dan melayang bagaikan dilontarkan ke arah Tiong San dan tahu-tahu ia telah jatuh berdiri di depan pemuda tampan itu.
"Pangeran Ong Tai Kun, kau benar-benar jahat dan entah telah berapa banyak anak gadis orang menjadi korbanmu! Ayo kau lekas menulis pengakuan di atas kain ini!" sambil berkata demikian, Tiong San lalu menarik sebuah tirai kuning dari tembok dan membentangkan tirai itu di atas meja setelah dengan tangan kiri ia menggulingkan meja sehingga semua mangkok jatuh ke atas lantai.
"Lekas tulis bahwa kau telah merasa kapok dan tidak mau mengganggu anak bini orang lagi!"
Tiong San mengeluarkan sebatang pit dan baknya yang selalu berada di kantong bajunya.
"Ayo tulis!"
Tentu saja Ong Tai Kun tidak mau melakukan hal ini dan sambil berseru, "Serbu!" ia lalu mengangkat pedangnya menusuk ke arah dada Tiong San yang berada di depannya, sedangkan para perwira juga mengangkat senjata sehingga sebentar saja pemuda itu telah dihujani senjata!
"Bagus!" Tiong San berseru keras dan tiba-tiba ia melompat jauh, berdiri di atas sebuah meja dan ketika para pengeroyoknya mengejar, ia menggerakkan cambuknya. "Tar ....! Tar ....! Tar
....!" Kembali orang-orang itu mundur dengan kaget dan berteriak kesakitan.
Seperti halnya ketika Thian-te Lo-mo menggerakkan cambuknya tadi, kini cambuk di tangan Tiong San telah mendapat korban dan muka-muka perwira yang telah digurat merah oleh cambuk Thian-te Lo-mo kini bertambah dengan sebuah guratan baru yang lebih merah dan perih!
"Pangeran Ong, kau mencari penyakit!" kata Tiong San dan cambuknya melayang cepat sehingga sedetik kemudian ujung cambuk telah menyambar telinga kiri Ong Tai Kun yang menjadi putus! Pangeran itu menjerit kesakitan dan menggunakan kedua tangannya untuk memegangi bagian kepala yang kini tak bertelinga itu lagi.
Ia hendak lari ke dalam, akan tetapi kembali cambuk di tangan Tiong San bergerak dan membelit kedua kaki pangeran itu sehingga ketika ditarik, pangeran itu roboh terguling!
Tiong San melayang dari atas meja dan segera memegang pundak pangeran itu yang ditekannya kuat-kuat sehingga pangeran Ong Tai Kun merasa betapa tulang pundaknya seakan-akan hendak remuk!
"Ampun, Shan-tung Koay-hiap .....!" Ia merintih.
Tiba-tiba terdengar Thian-te Lo-mo tertawa bergelak kembali. "Ha ha ha! Murid gendeng, kau ternyata ikut menjadi gila! Aku tidak sudi ikut campur menjadi orang gila, karena kau telah mencampuri urusan dunia yang gila! Aku hendak pergi ke istana kaisar menikmati masakan-masakan hebat di dapurnya!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
85 Akan tetapi pada saat itu, perwira yang tadi diutus oleh Ong Tai Kun untuk minta bala bantuan dari istana kaisar, telah tiba kembali dan bersama dia ikut dua orang perwira yang bertubuh aneh.
Seorang di antara mereka bertubuh bongkok dengan punggung seperti punggung onta, lehernya panjang sehingga dalam pakaian perwira tinggi ia nampak lucu sekali. Kepalanya yang berambut putih itu menunjukkan ketinggian usianya, akan tetapi sepasang matanya masih bersinar terang.
Inilah Lui Kong Bu Tong Cu Si Dewa Geludug! Orang kedua juga berpakaian perwira dan tubuhnya tak kalah anehnya. Tubuhnya bagian atas, batas pinggang sampai ke kepala berikut kedua lengannya, pendek dan lucu, akan tetapi tubuh bagian bawah batas pinggang sampai ke jari kaki, panjang-panjang. Usianya lebih muda, kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Sin-go Lee Siat, Si Buaya Sakti!
Mereka berdua adalah jago-jago atau perwira-perwira kerajaan yang menduduki tingkat kedua atau setingkat lebih tinggi dari pada kedudukan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong! Melihat kedatangan kedua orang ini, semua perwira dan pangeran bernapas lega, oleh karena mereka telah tahu kelihaian dua orang ini dan mengharapkan bahwa dua orang ini akan dapat menundukkan Shan-tung Koay-hiap dan Thian-te Lo-mo yang lihai! Oleh karena itu, mereka lalu mengundurkan diri jauh-jauh untuk memberi tempat luas bagi kedua orang perwira itu.
Akan tetapi, Tiong San pura-pura tidak melihat kedatangan dua orang aneh ini dan ketika pangeran Ong Tai Kun hendak mengundurkan diri pula, ia cepat mengulurkan tangan dan menekan pundaknya sehingga terpaksa ia menghentikan langkahnya.
"Eh, eh, kau hendak ke mana" Tidak boleh pergi sebelum kau menuliskan pengakuan itu dengan huruf-huruf besar!"
Pangeran Ong yang masih merasa perih dan sakit sekali kepalanya bagian kiri yang sudah hilang telinganya, memandang kepada dua orang perwira yang baru datang untuk minta pertolongan. Lui Kong Bu Tong Cu Si Dewa Geludug melangkah maju dan sambil tertawa ha ha, hi hi, ia lalu maju dan berkata, "Hm, inikah yang bernama Shan-tung Koay-hiap" Sungguh mengagumkan. Muda, tampan dan gagah!"
Ia mengulur tangan untuk membangunkan Ong Tai Kun dan seperti yang tak disengaja ia membentur tangan Tiong San yang menekan pundak pangeran itu. Tiong San merasa betapa benturan itu membuat tangannya kesemutan dan tahulah ia bahwa yang kelihatan seperti seorang penderita cacad ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Maka ia lalu melangkah mundur setindak sehingga pangeran itu dengan girang dapat mengundurkan diri dan ia segera dirawat oleh para perwira untuk mengobati telinganya yang telah lenyap sebelah!
Tiong San menghadapi kedua perwira itu dan setelah memandang sejenak, ia tertawa berkakakan dengan hati geli. "Eh, eh, belum pernah aku melihat orang-orang seperti kalian!
Apakah kalian juga datang hendak mencoba rasanya hidangan pangeran Ong yang tidak enak itu?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
86 "Shan-tung Koay-hiap, kau masih muda dan gagah, mengapa kau ikut-ikut mencontoh perbuatan Thian-te Lo-mo yang gila?" Sin"go Lee Siat si Buaya Sakti menegur marah sambil melangkah maju.
Akan tetapi, tiba-tiba ia mengelak ke samping karena telinganya yang tajam dapat mendengar sambaran sebuah benda kecil. Akan tetapi ia kalah cepat dan benda kecil itu telah mengenai kepalanya yang botak. "Tak!" dan benda itu pecah berantakan. Ternyata yang menyambar kepalanya itu adalah sebuah kacang yang disambitkan oleh Thian-te Lo-mo dari atas tiang penglari!
"Ha ha ha! Orang panjang tapi pendek! Kau sendiri yang gila, akan tetapi kau memaki orang waras! Cocoklah bunyi syair yang ditulis oleh muridku yang gendeng!" Lalu ia mengucapkan syair yang dulu ditulis oleh Tiong San, akan tetapi ia mengucapkannya sambil dilagukan dengan suara aneh dan lucu.
Dunia penuh orang gila ..........
yang waras disebut gila ...........
yang gila merajalela ..........
Thian-te Lo-mo hanya mengambil bagian tengahnya saja, bagian yang paling disukainya, bagian yang menimbulkan rasa sukanya kepada Tiong San dan yang membuat ia mengambil keputusan untuk menjadikan pemuda itu sebagai muridnya.
Kedua orang perwira kerajaan itu cepat menengok dan mereka tidak menyangka sama sekali bahwa kakek itu berada di atas tiang. Tadi memang mereka telah mendengar bahwa kakek sakti itu datang pula mengacau. Akan tetapi ketika mereka memasuki ruangan dan tidak melihat Thian-te Lo-mo, mereka menjadi lega dan berbesar hati.
Siapa tahu, ternyata kakek itu berada di atas, ongkang-ongkang sambil tertawa menyeringai!
Kecutlah hati kedua orang perwira ini karena biarpun mereka sebagai perwira-perwira yang belum lama bertugas, belum pernah merasakan kelihaian kakek itu. Namun mereka telah mendengar nama Thian-te Lo-mo yang ditakuti orang bagaikan orang menakuti seorang iblis tulen!
"Thian-te Lo-mo!" Bu Tong Cu Si Dewa Geludug berkata kepadanya. "Apakah kau hendak mengacau lagi" Turunlah kau, jangan kira bahwa kami takut padamu!"
Thian-te Lo-mo tertawa lagi dan kembali tangannya bergerak, dan sebutir kacang melayang ke arah dadanya! Bu Tong Cu seorang ahli silat kawakan, maka tentu saja ia tidak mudah diserang dengan sambitan ini, maka ia segera miringkan tubuhnya.
Tak disangkanya sama sekali bahwa hampir berbareng dengan kacang pertama, kacang kedua menyusul dan tepat mengenai punuknya yang seperti punuk onta itu! Ia tidak merasa sakit, akan tetapi hatinya lebih sakit karena ia merasa dipermainkan!
"Ha ha, manusia onta! Kau sedang berhadapan dengan muridku di atas bumi, jangan ikut campurkan aku yang berada di sorga!" kata Thian-te Lo-mo menyengir.
Kedua orang perwira itu marah sekali dan mereka hendak tumpahkan seluruh kemarahan mereka kepada Tiong San. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mencabut senjata masing-Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
87 masing dan menyerang Tiong San. Senjata mereka juga aneh dan mengerikan. Bu Tong Cu si Dewa Geludug bersenjata sebatang tongkat besi yang panjangnya empat kaki, sedangkan Sin-go Lee Siat bersenjata sepasang kapak yang bermata lebar dan tajam.
Ketika senjata-senjata itu menyerbu ke arah dirinya, Tiong San maklum akan kelihaian lawan, maka ia cepat melompat ke belakang dan segera melayangkan ujung cambuknya, mendahului dengan serangan dari jauh!"
Ia maklum bahwa menghadapi orang-orang kosen seperti dua orang perwira kerajaan itu, ia tidak boleh berlaku gegabah, dan sekali-kali tidak boleh melayani mereka dari dekat, maka ia mempergunakan kesempatan yang menguntungkan dengan melayani mereka dari jauh yang mungkin ia lakukan dengan senjatanya yang panjang.
Juga ia tidak berani main-main dan kali ini ujung cambuknya menyabet dengan keras dan mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan jalan-jalan darah lawan, tidak seperti biasa hanya untuk membagi-bagi hadiah pada muka lawan saja.
Pertempuran berjalan seru dan ramai oleh karena biarpun menghadapi senjata yang panjang, akan tetapi oleh karena maju berdua dari kanan kiri dan permainan silat mereka memang cepat dan tenaga lweekang mereka telah sempurna, maka kedua orang perwira itu tidak terdesak, bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang membawa maut!
Kali ini Tiong San benar-benar menghadapi lawan yang keras dan tangguh sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaian, barulah ia dapat meimbangi permainan mereka. Ia harus berlaku gesit dan lincah, karena dengan kelincahannya itu ia dapat melompat menjauhi setiap kali lawannya mendesak makin dekat dan mengirim serangan-serangan dari jarak jauh dengan ujung cambuknya.
Bu Tong Cu yang mempunyai lweekang tinggi, pernah mencoba untuk menangkap ujung cambuk dan merampas senjata lawan yang masih muda itu. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia berhasil menangkap ujung cambuk dalam cengkeraman tangan kirinya, tiba-tiba cambuk itu dibetot dengan keras sehingga telapak tangannya merasa perih seakan-akan dikerat pisau tajam!
Ia maklum bahwa cambuk itu bukanlah cambuk biasa dan terbuat dari bahan yang amat kuat serta digerakkan oleh tangan ahli yang telah menguasai sepenuhnya, maka ia tidak berani lagi mncoba untuk menangkapnya, hanya menggunakan tongkat besinya untuk memberi serangan-serangan kilat dengan terkaman-terkaman hebat.
Namun Tiong San benar-benar lincah dan latihan-latihannya yang dilakukan secara aneh itu telah memberi kekuatan dan keringanan tubuh luar biasa kepadanya. Tubuhnya berkelebat cepat dan cambuknya yang panjang itu dengan amat lihainya menari-nari dan menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang sukar diduga. Ujung cambuk yang kecil itu dengan lincahnya menyambar-nyambar lawan dan seakan-akan telah berubah menjadi puluhan ujung cambuk saking cepatnya ia bergerak.
Sin-go Lee Siat si Buaya Sakti, merasa penasaran sekali. Lawannya adalah seorang muda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Masa dengan mengeroyok dua bersama Bu Tong Cu yang lihai, ia tak dapat juga merobohkan pemuda itu! Pernah ujung cambuk lawan itu melibat kapak di tangan kirinya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
88 Terjadi saling betot dan dan karena ternyata ujung cambuk itu membelit kuat sekali dengan marah Lee Siat lalu membacok ke arah cambuk yang melibat gagang kapak di tangan kirinya itu dengan kapak di tangan kanan. Maksudnya hendak membikin putus ujung cambuk yang melibat itu, akan tetapi tiba-tiba ujung cambuk itu bagaikan seekor ular yang hidup, melepaskan diri dan melayang pergi sehingga ia menghantam gagang kapaknya sendiri dengan kapak kanan sehingga gagang kapak kiri itu hampir terbelah dua! Bukan main marahnya dan ia segera mengirim serangan-serangan nekat yang mematikan. Sepasang kapaknya bergerak cepat bagaikan dua ekor harimau galak menerkam korban.
Para pangeran dan perwira yang berada di situ menyaksikan pertempuran ini dengan penuh kekaguman. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu dapat melayani Bu Tong Cu dan Lee Siat sedemikian baik dan uletnya. Diam-diam mereka merasa khawatir sekali karena baru muridnya saja sudah demikian lihai, belum suhunya turun tangan! Maka, diam-diam pangeran Ong Tai Kun lalu mengirim utusan lagi untuk mendatangkan jago-jago lain.
Pertempuran terjadi makin seru dan kini Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong memutar-mutar ruyungnya dan maju membantu! Hanya dia sendiri yang berani maju membantu, oleh karena lain orang yang kepandaiannya lebih rendah, baru maju sebentar saja sudah terkena sabetan cambuk dan bahkan mengacaukan permainan kedua orang perwira itu. Dikeroyok tiga oleh orang-orang yang berilmu tinggi itu, biarpun ilmu cambuk Tiong San amat lihai dan berbahaya, lambat laun ia merasa sibuk juga.
Serangan-serangan ketiga orang lawannya bukanlah serangan-serangan biasa, akan tetapi setiap serangan apabila mengenai sasaran tentu akan menewaskan nyawa pemuda itu, sedangkan serangan-serangan Tiong San biarpun cukup ganas, akan tetapi ia tidak mempunyai maksud untuk membunuh orang. Kini karena keadaannya terdesak betul-betul, tiba-tiba ia berseru keras dan kini cambuknya berputar-putar menghantam ketiga orang pengeroyoknya sambil mengeluarkan suara "tar tar tar!" yang nyaring sekali dan memekakkan telinga ketiga orang pengeroyoknya!
Inilah ilmu cambuk Im-yang-joan-pian yang luar biasa hebatnya! Suara-suara yang keluar dari cambuk itu memang disengaja untuk mengacaukan pemusatan perhatian lawan dan untuk membingungkan lawan, karena pada saat cambuk berbunyi, ujungnya tidak menyerang, dan diam-diam tanpa mengeluarkan bunyi tiba-tiba ujungnya menghantam ke tempat berbahaya.
Ada kalanya hal ini dibalikkan, dan pada saat lawan telah menjadi biasa dengan suara itu dan menganggap suara itu hanya gertakan belaka, tahu-tahu sambil mengeluarkan suara keras, ujungnya menyambar dengan cepat!
Karena ilmu cambuk Im-yang-joan-pian mempunyai gerakan kasar dan halus sesuai dengan sifat Im dan Yang (negatif dan positif), dan dengan digunakannya akal ini, maka Ban Kong yang kurang cepat gerakannya, ketika cambuk menyambar ke arah lehernya dan ia menangkis dengan ruyungnya, cambuk itu biarpun telah tertangkis, akan tetapi dengan sekali libatan, ujungnya masih meluncur terus dan berhasil menotok jalan darah yan-goat-hiat di bawah ketiak kanannya sehingga tiba-tiba ia merasa betapa tangan kanannya menjadi kaku dan senjatanya terlepas dari pegangan! Ia cepat melompat ke belakang sambil berseru nyaring dan tangan kanannya untuk sementara menjadi mati sehingga ia tidak dapat bertempur lagi!
"Ha ha, bagus, bagus!" Thian-te Lo-mo bersorak-sorak dari atas tiang penglari. Para perwira yang melihat ini lalu menghujani am-gi (senjata rahasia) lagi kepada kakek itu yang masih Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
89 saja mempergunakan kedua kakinya yang ongkang-ongkang untuk menendang semua senjata yang melayang ke arah tubuhnya. Akan tetapi regu panah mulai beraksi dengan anak panah mereka yang menyerang bagaikan hujan. Ia lalu menggunakan cambuknya yang diputar ke bawah dan semua anak panah kena dikebut runtuh kembali ke bawah!
Biarpun telah mengalahkan Ban Kong, namun Bu Tong Cu dan Lee Siat masih merupakan lawan berat bagi Tiong San sehingga pertempuran masih berjalan amat ramai dan serunya.
Pada saat itu terdengar bentakan hebat dan dari luar melayang tubuh seorang tinggi kurus.
Begitu ia menyerbu ke dalam pertempuran dan menggerakkan senjata di tangan kiri yang berupa kipas, ujung cambuk Tiong San kena dikebut dan ujungnya membalik terpental karena dorongan tenaga yang luar biasa!
Tiong San terkejut sekali dan melompat mundur menjauhi. Ketika ia memandang, ternyata yang datang ini adalah seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memelihara jenggot panjang sampai ke dada. Tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya juling, yakni manik matanya di kanan kiri berada di ujung mendekati hidung sehingga mata itu nampak lucu dan aneh, tidak tahu sedang memandang ke mana!
Inilah Im-yang Po-san Bu Kam, si Kipas Mustika Im-yang, jago istana kaisar yang menjadi seorang di antara perwira-perwira kelas satu. Senjata di tangannya adalah sepasang kipas berwarna putih dan hitam, gagang kipas terbuat daripada baja tulen dan permukaan kipas terbuat dari pada benang perak. Batang kipas yang terbesar di tangan kiri mempunyai ujung yang runcing dan sifat kipas inilah yang membuat senjata aneh itu disebut Im-yang Po-san atau Kipas Mustika Im-yang karena kipas ini mempunyai dua sifat yang bertentangan.
Kipas di tangan kiri berwarna hitam dan bersifat keras, sedangkan kipas di tangan kanan yang berwarna putih bersifat lemas. Ia dapat memainkan dua kipas ini dengan gerakan-gerakan yang berbeda dan berlawanan, dan orang yang dapat memainkan dua senjata di dunia dengan tangan dan tenaga yang berlainan, yakni tenaga gwakang (tenaga kasar) dan tenaga lweekang (tenaga leams) atau yang disebut juga tenaga luar dan tenaga dalam, tentu saja dapat dibayangkan betapa tinggi dan lihainya ilmu kepandaiannya!
Jumlah perwira kelas satu di istana kaisar ada lima orang dan dalam hal permainan senjata, Bu Kam telah menduduki tempat tinggi, dan pengalaman bertempurnya yang sudah puluhan tahun itu membuat ia lebih tangguh lagi. Dulu, ketika Thian-te Lo-mo mengacau di istana dan kota raja, pernah Im-yang Po-san Bu Kam ini ikut mengeroyoknya dan pada waktu itu memang ia kalah menghadapi Thian-te Lo-mo.
Akan tetapi semenjak dikalahkan oleh kakek sakti itu, Bu Kam telah melatih diri dengan hebat sekali sehingga kini ilmu kipasnya jauh lebih tinggi dari pada dahulu. Ketika ia mendengar bahwa musuh besarnya membawa seorang murid datang lagi ke kota raja untuk mengacau, maka ia yang kebetulan berada di tempat penjagaan dan menerima laporan ini, segera datang membawa kipasnya dan sekali kebut saja ia berhasil membuat cambuk di tangan Tiong San terpental ujungnya!
Bab 10 ... SEMENTARA itu, ketika Thian-te Lo-mo melihat gerakan kipas Bu Kam, ia maklum bahwa muridnya takkan kuat menghadapi para pengeroyoknya, maka ia lalu tertawa terkekeh-kekeh dan tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu sudah berada di depan Im-yang Po-san Bu Kam.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
90 "Ha ha, kipas mustikamu itu ternyata makin lihai saja!" katanya kepada Bu Kam yang memandang marah.
"Orang tua gila! Kau masih belum mati" Kerjamu hanya mengacau saja. Sungguh-sungguh orang gila yang patut dibasmi karena berbahaya!"
Mendengar ini, Thian-te Lo-mo tertawa makin keras dengan hati geli. "Memang, memang benar dan tepat sekali syair itu. Bu Kam, kau belum mendengar syair yang dikarang oleh muridku yang pandai ini" Dengar!
Dunia penuh orang gila
yang waras disebut gila
yang gila merajalela
"Kau memang benar-benar gila dan miring otakmu, Thian-te Lo-mo, kata Bu Kam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Memang, memang! Yang waras dimaki gila, demikianlah kelakuan orang gila! Im-yang Po-san! Kau lihat, kawan-kawanmu yang gila ini datang-datang berusaha keras untuk membunuh aku dan muridku. Hanya orang-orang gila saja yang dapat berbuat demikian!"
"Kau dan muridmu keduanya gila dan datang mengacau di gedung Ong-ya! Tentu saja kami berusaha menangkap atau membunuhmu!"
"Kami datang bukan mengacau! Aku hanya ingin menikmati dan mengagumi masakan dan hidangan pangeran Ong yang ternyata sama sekali tidak enak karena terbuat dari pada bahan-bahan yang buruk dan busuk! Muridku datang untuk menjewer telinga Ong Tai Kun yang ternyata terbuat dari bahan yang lemah dan buruk pula sehingga menjadi putus! Sudah menjadi bagiannya karena ia terlampau banyak mengumpulkan kembang-kembang di tamannya. Tidak perduli betapa kembang-kembang yang seharusnya mekar dan semerbak mengharum di tempat lain itu menjadi layu dan rusak di dalam tamannya yang kotor. Kau masih mau bilang bahwa kami berdua hendak mengacau" Ha ha ha! Kau lihat hanya jenggotmu yang makin panjang akan tetapi pikiranmu makin pendek dan sempit saja, Bu Kam!"
Bu Kam baru saja datang, tentu saja dia tidak mengerti maksud omongan kakek itu yang menyindir tadi sebelum ia datang, ia telah mendengar percakapan pangeran Ong Tai Kun dan pangeran Lu Goan Ong yang pada saat itu telah mendahului pulang ke gedungnya karena ketakutan. Maka kini mendengar ucapan kakek ini, ia membentak marah.
Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dasar orang gila, omongannya juga tidak keruan. Thian-te Lo-mo, kau menyerahlah untuk kutangkap bersama muridmu, agar kau mendapat pengadilan negeri yang selayaknya."
"Kau mau menangkapku" Ha ha ha! Aneh, aneh! Bagaimana kau mau menangkapku, coba hendak kulihat!" kata Thian-te Lo-mo sambil mentertawakannya.
"Kalau tak dapat menangkap hidup-hidup, aku pasti berhasil menangkapmu dalam keadaan tidak bernyawa!" kata Bu Kam yang segera menyerang dengan kipas di tangan kirinya yang berwarna putih.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
91 Thian-te Lo-mo maklum akan lihainya kipas putih ini yang jauh lebih lihai dari kipas hitam, maka ia mundur dua langkah menghindarkan diri dari serangan lawan, lalu menggerakkan cambuknya membalas serangan lawan. Cambuknya bergerak-gerak di udara dan melingkar-lingkar bagaikan ular, lalu meluncur ke arah kipas putih di tangan kanan Bu Kam dengan mengeluarkan suara keras.
Ujung cambuknya bertemu dengan batang kipas, bunga api memercik keluar dan Bu Kam merasa betapa tangannya agak gemetar! Diam-diam ia menarik napas panjang karena dari pertemuan senjata ini saja ia dapat mengetahui bahwa dalam hal tenaga lweekang ia masih harus mengaku kalah dengan kakek gila ini. Akan tetapi ia mengandalkan permainan kipasnya, maka ia lalu menerjang dan kedua kipas di tangannya bergantian melancarkan serangan kilat yang amat berbahaya.
Sambil terkekeh-kekeh Thian-te Lo-mo menghadapi serangannya ini dan tak lama kemudian dua orang berilmu tinggi ini saling serang dengan hebatnya. Yang luar biasa adalah sepasang kipas Im-yang Po-san Bu Kam, karena ia bergerak cepat dengan kedua kipas dikembangkan, maka di dalam ruangan itu angin menyambar-nyambar dengan hebat sehingga pakaian orang-orang yang berada di dekat tempat pertempuran itu berkibar-kibar!
Bu Tong Cu dan Lee Siat lalu membentak hebat dan maju mengeroyok Tiong San lagi sehingga kini pertempuran menjadi lebih hebat dari pada tadi. Para perwira hanya menonton dan tidak berani membantu, sedangkan Ban Kong yang memiliki kepandaian agak tinggi, sungguhpun kini totokan ujung pecut pada jalan darah yan-goat-hiat yang dilakukan oleh Tiong San tadi telah pulih kembali dan ia telah mengambil kembali ruyungnya, namun ia tidak berani maju lagi karena maklum bahwa tidak ada gunanya maju lagi setelah ia menerima pukulan tadi.
Ia maklum bahwa pemuda murid kakek gila itu tidak berniat jahat, oleh karena kalau pemuda itu mempunyai maksud membunuh, tentu sabetan cambuk yang merupakan totokan tadi dapat diperkeras dan nyawanya takkan tertolong lagi! Setelah orang berlaku murah hati tidak hendak membunuhnya, apakah setelah dikalahkan ia ada muka untuk maju lagi"
Setidaknya Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong adalah seorang gagah perkasa yang namanya telah menjulang tinggi dan ternama sekali sampai di seluruh bagian Tiongkok, maka tentu saja ia masih memiliki keangkuhan dan tidak mau berlaku rendah. Dengan bersungut-sungut ia duduk saja menonton pertempuran dengan pengharapan supaya kawan-kawannya dapat membalaskan kekalahannya.
Akan tetapi pengharapan itu sia-sia dan ia dikecewakan oleh kenyataan bahwa setelah pertempuran lebih lima puluh jurus, nampak nyata betapa Im-yang Po-san Bu Kam terdesak hebat oleh cambuk Thian-te Lo-mo. Memang kedua kakek ini mempunyai ilmu silat yang sama sifatnya, yakni keduanya berdasarkan sifat-sifat Im dan Yang. Ilmu cambuk Im-yang-joan-pian berhadapan dengan ilmu kipas Im-yang Po-san, akan tetapi ternyata bahwa ilmu kipas itu masih kalah lihai.
Memang, dalam menghadapi lawan yang kurang pandai, sepasang kipas Im-yang itu benar-benar hebat sekali karena angin kebutannya saja cukup menjatuhkan lawan. Akan tetapi apabila menghadapi lawan yang sama kuatnya, ternyata bahwa cambuk Im-yang lebih praktis.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
92 Cambuk ini dengan tekanan tenaga lweekang dapat digerakkan sesuka hati, dapat dibikin lemas dapat dibikin keras dan pula mudah untuk merampas senjata lawan dan dipergunakan untuk penyerangan dari jarak jauh. Tingkat kepandaian Im-yang Po-san Bu Kam masih berada di bawah tingkat Thian-te Lo-mo yang benar-benar telah menduduki puncak yang tinggi.
Apabila ia menghadapi Tiong San, maka tentu akan terjadi pertempuran yang amat menarik dan ramai sekali. Memang, dalam perbandingan tenaga dan pengalaman, pemuda itu masih kalah jauh, akan tetapi ilmu cambuknya tidak kalah hebat oleh gurunya sendiri dan pemuda itu memiliki kecerdikan luar biasa sehingga dalam ilmu cambuknya, ia dapat menciptakan gerakan-gerakan Khusus yang timbul dari kecerdikan otaknya.
Buktinya, biar dikeroyok dua oleh dua orang perwira kelas dua dari istana kaisar, ia dapat melayaninya dengan amat baiknya, dan sama sekali tidak terdesak, walaupun harus diakui bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan kedua orang lawannya itu.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo dan ujung cambuknya telah berhasil melibat kedua kipas di tangan Bu Kam! Im-yang Po-san Bu Kam berdaya upaya untuk menarik kipasnya supaya terlepas dari libatan cambuk, akan tetapi tak berhasil!
Thian-te Lo-mo masih belum mengerahkan seluruh tenaganya, karena dengan tangan kanan ia menahan cambuknya dan kini sambil tersenyum-senyum walaupun tidak mengeluarkan suara, ia bertindak maju mendekati lawannya! Sambil maju, tiap langkah ia melibatkan cambuk pada pergelangan tangannya hingga dekat, cambuk itu makin pendek.
Im-yang Po-san Bu Kam terkejut sekali melihat betapa kakek yang lihai itu makin mendekatinya, akan tetapi ia tidak berdaya. Kedua tangannya memegang sepasang kipasnya dan ia tidak berani melepaskan kipas itu karena sekali melepaskan sebelah tangan, kipas itu keduanya tentu akan terampas. Maka ia tetap berdiri tegak sambil mempertahankan kedua kipasnya yang hendak dirampas.
Kini Thian-te Lo-mo telah berada di depannya dan kalau ia mau, dengan tangan kirinya yang bebas, dengan mudah saja ia akan dapat mencelakakan lawannya!
Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang melihat keadaan Bu Kam, menjadi terkejut dan khawatir, maka tanpa banyak pikir lagi ia melompat maju dan memukulkan ruyungnya pada kepala Thian-te Lo-mo dalam usaha menolong kawannya itu! Akan tetapi, kakek itu lalu mempergunakan pangkal cambuknya yang kini bergantungan dari tangan kanan, gagang itu dipegang dengan tangan kiri dan disabetkan untuk menangkis ruyung yang menyambar kepalanya.
Ban Kong menjerit kesakitan karena ketika gagang cambuk itu beradu dengan ruyungnya, ruyungnya terpental keras dan gagang itupun terpental. Akan tetapi gagang cambuk terpentalnya aneh, bukan ke belakang, akan tetapi ke samping dan tepat menghantam pahanya!
Ban Kong merasa betapa paha kakinya seakan-akan remuk tulangnya dan tanpa dapat ditahan lagi ia terhuyung ke belakang, kemudian ia mundur dengan terpincang-pincang! Perwira yang Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
93 sial ini untuk kedua kalinya mendapat pukulan dan sekali ini pahanya menjadi matang biru dan bengkak!
Setelah dapat merobohkan Te-sam Tai-ciangkun yang berlaku lancang itu, Thian-te Lo-mo lalu mengulurkan tangan kirinya dan mencengkeram jenggot Im-yang Po-san Bu Kam yang panjang sambil berkata, "Bu Kam, jenggotmu ini terlampau panjang, tidak pantas untukmu!"
Sambil berkata demikian, ia melakukan tarikan tiba-tiba yang keras dan "Brett!" jenggot yang panjang itu telah putus dan berada di tangannya! Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal dan melompat mundur sambil melepaskan libatan ujung cambuknya pada dua kipas lawannya yang berdiri kebingungan dengan wajah pucat!
Thian-te Lo-mo melompat ke sana sini dan pada tiap meja yang masih penuh makanan, akan tetapi yang telah ditinggalkan oleh para tamu yang tadi duduk mengelilinginya, ia melemparkan beberapa helai jenggot itu sambil berkata,
"Pangeran Ong, hidanganmu buruk dan busuk! Kurang bumbu, kalau ditambah beberapa helai jenggot ini sebagai pengganti misoa, tentu lebih mendingan rasanya!" sebentar saja jenggot sekepal di tangannya itu habis beterbangan dan masuk ke dalam mangkok-mangkok yang penuh masakan di atas beberapa meja itu! Masih saja kakek itu tertawa-tawa senang, lalu berkata kepada muridnya yang masih bertempur seru melawan Bu Tong Cu dan Lee Siat,
"Anak gendeng, kau masih saja bergembira dan bermain-main" Ayo kita pergi, lebih baik kita mencari makanan di dapur kaisar, tentu banyak hidangan lezat!" Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dan tahu-tahu ia telah menarik tangan Tiong San diajak melompat keluar dan terus melayang ke atas genteng!
Semua perwira, terutama Bu Tong Cu, Lee Siat, dan Bu Kam sebagai perwira-perwira yang berpangkat si-wi atau pengawal istana, merasa terkejut sekali mendengar ucapan ini karena mereka menduga bahwa kakek gila itu tentu akan mengacau di istana!
Dan hal ini adalah tanggung jawab mereka, di samping perwira-perwira lain di istana. Maka mereka tidak mau memperdulikan lagi urusan di gedung pangeran Ong itu dan segera melompat keluar pula untuk secepat mungkin kembali ke istana membuat persiapan untuk menjaga istana kaisar dari gangguan orang-orang gila itu!
Sementara itu, setelah berada di atas genteng bersama suhunya, Tiong San merasa puas akan apa yang telah ia lakukan. Dengan memberi hukuman potong telinga, ia merasa yakin bahwa pangeran Ong Tai Kun akan merasa kapok untuk mengganggu anak bini orang lain dan ia merasa puas melihat betapa pelajaran yang telah dipelajari dan dilatihnya dengan tekun dan susah payah ternyata tidak mengecewakan.
Akan tetapi, hatinya masih berdebar kalau ia teringat kepada Khu Sin dan Thio Swie, kedua sahabat karibnya itu. Tadi pangeran Lu Goan Ong menyebut nama mereka, maka ia menduga bahwa kedua kawannya itu pasti masih berada di kota raja, dan menurut percakapan mereka dahulu setelah bertemu dengan pangeran Lu, banyak kemungkinan kedua sahabatnya itu kini mempunyai hubungan dengan pangeran itu!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
94 Ia teringat pula betapa Thio Swie dulu tergila-gila kepada seorang gadis cantik bernama Siu Eng yang dulu berada pula di perahu pangeran Lu! Timbul keras keinginan hatinya untuk mencari dan menjumpai kawan-kawannya yang telah lama tidak dilihatnya itu.
"Suhu, kita sekarang akan ke mana?"
"Bodoh, perutku lapar sekali! Aku hendak makan di dapur kaisar!"
Akan tetapi Tiong San tidak mempunyai nafsu untuk makan besar pada saat itu. "Suhu, teecu tidak ingin makan hidangan yang lezat-lezat! Melihat masakan sekian banyaknya di gedung tadi, teecu sudah merasa kenyang!"
Suhunya tertawa geli dan berkata, "Kalau begitu, biar aku sendiri yang makan di sana."
"Teecu ingin sekali mencari dua orang kawan teecu yang berada di kota raja. Suhu tentu masih ingat kedua kawan teecu yang dulu kipas dan syairnya juga suhu ambil!"
"Huh! Pelajar-pelajar dan pelamun-pelamun itu! Syair-syairnya aku tidak suka! Mereka membuat syair seperti orang mimpi atau seperti seorang wanita yang merengek-rengek mengagumi pakaian indah! Anak-anak muda seperti itu tidak ada gunanya, aku tidak mau bertemu dengan mereka!" suhunya mencela.
"Akan tetapi mereka adalah sahabat-sahabat karib teecu semenjak kecil, teecu merasa rindu kepada mereka."
"Huh!" Suhunya mencela pula. "kau benar-benar sudah gila lagi seperti mereka. Baik, kau carilah, kemudian setelah gilamu sembuh, kau boleh menyusul aku ke dapur istana kaisar!"
Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa senang Thian-te Lo-mo lalu melompat pergi dengan cepat meninggalkan muridnya.
**** Khu Sin dan Thio Swie, dua orang pemuda sekampung yang menjadi sahabat karib Tiong San semenjak mereka bertiga masih kecil, dengan rajin dan giat melanjutkan pelajaran mereka di kota raja. Kedua pemuda ini sama-sama mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi pembesar yang menduduki pangkat mulia, sesuai dengan cita-cita dan pengharapan orang tua mereka.
Akan tetapi pada masa itu, kepandaian tidak menjadi ukuran bagi orang yang hendak memperoleh kedudukan tinggi. Betapapun pandai seseorang, tanpa perantara yang cukup berpengaruh, kuat dan berkedudukan tinggi, ia takkan berdaya untuk mmperoleh pangkat yang kecilpun. Dan untuk dapat mendekati seorang perantara yang berpengaruh, amat dibutuhkan harta benda sebagai syarat terutama.
Oleh karena itu pada masa itu, banyak sekali kaum cerdik pandai dan cendekiawan, pada pergi mengasingkan diri oleh karena selain kecil sekali harapan mereka untuk dapat bekerja pada pemerintah sebagai seorang pembesar sipil, juga mereka merasa muak melihat keadaan pemerintah yang amat buruk itu. Dan dengan adanya gejala-gejala penyuapan dan penyogokan yang merajalela di kalangan para pembesar, maka jabatan-jabatan jatuh ke dalam Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
95 tangan orang-orang yang tidak cakap sama sekali sehingga akibatnya, kemerosotan akhlak makin menjalar luas di kalangan para pejabat.
Untuk mendapatkan pangkatnya, seorang pejabat telah mengeluarkan banyak uang guna menyuap para atasan, maka setelah akhirnya berhasil mendapatkan pangkat itu, tentu saja ia berusaha sekuatnya untuk dapat menarik kembali "modal" yang telah dikeluarkan tadi dengan jalan korupsi besar-besaran dan pemerasan kepada rakyat sekehendak hatinya!
Khu Sin dan Thio Swie bukanlah anak orang kaya. Orang tua Khu Sin hanyalah seorang kepala kampung yang jujur dan tidak korup, sedangkan Thio Swie bahkan hanya seorang putera seorang guru kampung yang miskin. Mereka berdua dapat melanjutkan pelajarannya di kota raja oleh karena kebetulan sekali mereka mempunyai keluarga di kota raja yang suka membantu.
Khu Sin ditolong oleh pamannya yang memiliki sebuah rumah makan kecil di kota raja, sedangkan Thio Swie ikut pada bibinya yang kawin dengan seorang pemilik toko obat di kota raja pula. Berkat pembiayaan dan pertolongan keluarga inilah, maka mereka berhasil meneruskan pelajaran di kota raja. Tentu saja kedua orang pemuda ini dengan rajinnya pula membantu pekerjaan paman dan bibi mereka sebagai pembalasan jasa.
Ketika pada hari libur keduanya kembali ke dusun Kui-ma-chung, yakni dusun tempat kelahiran mereka dan berpesiar dengan Tiong San ke telaga Tai-hu sehingga mereka bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong, Khu Sin dan Thio Swie merasa girang sekali. Setelah kembali ke kota raja, mereka tidak membuang waktu lagi dan segera mengadakan kunjungan kehormatan kepada pangeran itu.
Tidak mudah bagi mereka untuk dapat bertemu dengan pangeran itu, karena selain pangeran Lu jarang berada di rumah, juga apabila ia ada, sukar untuk dapat menjumpainya. Para penjaga yang diberitahu bahwa kedatangan mereka itu sekedar memberi penghormatan, bahwa ada tanda-tanda bahwa kedua orang pemuda itu datang untuk minta tolong, mempersulit pertemuan itu dan berbulan-bulan telah lewat tanpa kedua pemuda mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pangeran Lu Goan Ong.
Pada suatu hari, beberapa bulan kemudian, ketika Khu Sin dan Thio Swie pulang dari tempat belajar, mereka melihat seorang gadis cantik jelita menunggang kuda putih dengan gagahnya.
Gadis yang menjalankan kudanya perlahan-lahan itu mengerling ke arah mereka dan tiba-tiba Thio Swie dan Khu Sin mengenali gadis ini sebagai gadis yang dulu berada di perahu pangeran Lu.
"Siocia!" Thio Swie berteriak girang dan segera menghampiri gadis di atas kudanya itu dan menjura dengan hormat sekali, ditiru pula oleh Khu Sin.
Gadis cantik yang ternyata adalah Gui Siu Eng, anak keponakan pangeran Lu Goan Ong itu, mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk bulan sabit. Ia nampak tidak senang sekali bahwa di tengah jalan ada dua orang pemuda tak dikenal yang berani menegurnya.
"Siapakah kalian" Aku tidak kenal kepadamu dan jangan kalian berani kurang ajar!" ia menegur dengan suara kurang senang.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
96 Melihat kesombongan gadis ini, Thio Swie tidak menjadi marah, bahkan sambil tersenyum girang ia berkata, "Maafkan kami, siocia. Tentu saja siocia sudah lupa lagi, akan tetapi kami tak dapat melupakan siocia. Kita pernah bertemu di atas perahu Lu-taijin ketika perahu kami bertubrukan dengan perahu Lu-taijin di telaga Tai-hu!"
Nona itu mengingat-ingat dan bibirnya yang indah dan merah itu lalu membayangkan senyum yang membuat hati Thio Swie berdetak-detak tidak keruan!
"Ah, ji-wi Kongcu!" katanya perlahan, "Hampir aku lupa. Akan tetapi, dulu ada seorang lagi, yang berpakaian hijau ..." Sebetulnya yang masih teringat oleh Siu Eng adalah pemuda baju hijau ialah Tiong San.
"Siocia maksudkan sahabat kami Tiong San" Ya, memang pada waktu itu kami bertiga, akan tetapi ..... sahabat kami Tiong San itu tak dapat meneruskan pelajaran di kota raja."
"Kasihan ...." Nona itu berkata dan ia mulai menggerakkan kudanya hendak melanjutkan perjalanan. Akan tetapi Thio Swie mengikutinya dan berkata cepat-cepat.
"Siocia, sukakah kau menolong kami?" Sebelum nona itu menjawab, ia melanjutkan, "Telah berbulan-bulan kami berdua hendak menghadap Lu-taijin menghaturkan terima kasih dan hormat kami, akan tetapi selalu tak berhasil. Para penjaga melarang kami menghadap!"
Siu Eng tersenyum manis. "Memang pamanku tak mudah dijumpai, akan tetapi kalau kalian mau datang pada besok pagi, tentu kalian akan diterima." Sambil berkata demikian, gadis itu melarikan kudanya.
"Siocia! Aku adalah Thio Swie dan kawanku ini Khu Sin!" Thio Swie masih berteriak kepada nona itu yang menengok sebentar sambil tersenyum, lalu kudanya berlari cepat. Thio Swie berdiri bengong, seakan-akan semangatnya terbawa pergi oleh senyum di bibir nona manis itu!
Khu Sin sambil tertawa menepuk pundak kawannya sambil berkata,
"Thio Swie, dia sudah pergi jauh!"
Thio Swie menarik napas panjang. "Alangkah manisnya ......, alangkah merdu suaranya ....
dan senyum itu ... ah, Khu Sin, bukankah senyum itu ditujukan kepadaku semata?"
"Kau ....., kau sudah gila!" Khu Sin berkata sambil tertawa geli. Sungguhpun ia merasa tertarik juga pada nona yang cantik jelita itu, akan tetapi kegirangan Khu Sin lebih banyak disebabkan karena mereka akan mendapat kesempatan karena ia dapat bertemu dengan dengan paman gadis itu.
Dalam perjalanan pulang, tiada hentinya Thio Swie membicarakan kecantikan gadis itu, dan tanpa malu-malu lagi ia mengaku kepada kawannya bahwa ia telah jatuh cinta! Khu Sin hanya tersenyum dan berkata,
"Jangan mengimpi, kawan! Siu Eng adalah keponakan dari pangeran Lu, sedangkan kau ini siapa" Jangan menjadi anjing yang merindukan bulan!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
97 "Siapa tahu, Khu Sin" Siapa tahu kelak aku akan menduduki pangkat dan dapat mengulurkan tangan kepada bidadari itu ....."
Melihat kesungguhan hati kawannya, diam-diam Khu Sin merasa kasihan dan ikut memuji semoga kerinduan hati kawannya itu takkan menemui kegagalan dan kekecewaan.
Benar saja, ketika pada keesokan harinya mereka kembali datang ke gedung pangeran Lu Goan Ong dan disambut oleh para penjaga, sikap para penjaga itu berbeda dengan yang sudah-sudah.
"Ji-wi kongcu mengapa tadinya tidak menyatakan bahwa ji-wi adalah sahabat-sahabat baik dari Lu-taijin" Baiknya kemaren Gui-siocia memberi tahu kepada kami. Kalau tidak sukarlah bagi ji-wi untuk dapat bertemu dengan Lu-taijin. Harap maafkan kami!"
"Ah, tidak apa, tidak apa!" kata Khu Sin dengan girang. Apakah sekarang Lu-taijin ada di dalam rumah dan dapatkah kami menghadap?"
"Tentu saja dapat, harap ji-wi kongcu menanti sebentar." Mereka dipersilahkan duduk menanti di kamar tamu dan tak lama kemudian seorang pelayan mengundang mereka untuk masuk ke dalam karena pangeran Lu Goan Ong telah siap menerima mereka menghadap.
Pangeran Lu Goan Ong menerima mereka dengan acuh tak acuh, akan tetapi oleh karena pangeran ini telah mendapat pemberitahuan dari keponakannya, maka secara singkat ia lalu menanyakan maksud kedatangan mereka.
Dengan amat hormat Khu Sin lalu mengajukan permohonan agar supaya mereka memperoleh kedudukan oleh karena mereka telah lulus dalam ujian.
"Tidak mudah, tidak mudah!" kata pangeran Lu Goan Ong sambil menggoyang-goyang kedua kedua tangannya. "Untuk menjadi seorang pembesar, tidak saja kalian harus pandai, akan tetapi juga harus mempunyai banyak pengalaman."
"Hambah bedua mohon diberi pekerjaan, apa saja pekerjaan itu asalkan dapat menambah pengalaman hamba," kata Thio Swie.
Setelah berpikir sejenak, pangeran itu lalu berkata, "Biarlah kalian membantu pekerjaanku di sini. Khu Sin, kau kuberi tugas mengurus pembukuan untuk mencatat pembagian gaji para perwira, tentara dan pelayan! Dan kau, Thio Swie, kau harus mencatat semua keperluan rumah tanggaku agar dapat diketahui dengan baik segala pengeluaran uang!"
Biarpun pekerjaan itu bukan merupakan sesuatu pangkat, akan tetapi mereka menerima dengan amat gembira, karena setidaknya mereka akan memperoleh pengalaman dan karena mereka membantu seorang pangeran yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi, maka jalan untuk mencari kenaikan pangkat dan kemajuan akan lebih mudah bagi mereka. Apalagi Thio Swie, ingin rasanya ia bersorak-sorak dan berjingkrak-jingkrak kegirangan karena dengan mendapat pekerjaan di dalam gedung pangeran itu, berarti bahwa setiap hari ia akan dapat bertemu dengan Siu Eng gadis yang telah merebut hatinya!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
98 Dan kebahagiaan Thio Swie mencapai puncaknya ketika mendapat kenyataan bahwa setelah bekerja beberapa bulan lamanya di dalam gedung pangeran Lu Goan Ong, gadis yang cantik jelita itu bersikap manis sekali kepadanya. Bahkan begitu mesra dan manisnya sehingga setelah ia bekerja hampir dua tahun, gadis ini telah berani masuk ke dalam kamarnya di waktu malam dan bersenda gurau dengannya. Tentu saja Thio Swie merasa bahagia sekali dan menyangka bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya! Ia menganggap gadis itu sebagai seorang bidadari pembawa bahagia dan cintanya makin mendalam.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa gadis yang disangkanya bidadari pembawa bahagia itu tidak lain adalah seorang iblis wanita pembawa sengsara! Ia tidak pernah mengira bahwa Gui Siu Eng adalah seorang anak yatim piatu keponakan pangeran Lu Goan Ong yang amat dimanja dan kurang pendidikan budi pekerti sehingga memiliki watak yang amat buruk! Gadis itu keras kepala, tinggi hati dan mempunyai sifat cabul! Wajah cantik jelita itu hanya merupakan kedok indah yang menutup dan menyelimuti seluruh watak-wataknya yang kurang baik.
Semenjak kecil Gui Siu Eng mendapat pendidikan ilmu silat dari seorang guru silat yang tadinya menjadi perampok sehingga gadis itu memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga watak yang kurang bersih. Kemudian gadis itu bahkan menjadi murid dari Kiu-hwa-san Toanio, seorang wanita cabul yang gagah perkasa dan yang bertapa di bukit Kiu-hwa-san setelah tua. Dari gurunya ini ia mendapat warisan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga wataknya yang cabul itu adalah warisan dari Kiu-hwa-san Toanio.
Setelah kembali dari Kiu-hwa-san, kepandaiannya amat tinggi dan ia makin disayang oleh pamannya oleh karena dengan kepandaiannya itu, ia seolah-olah menjadi pengawal pribadi pamannya sendiri. Pangeran Lu Goan Ong benar-benar mencintai keponakannya ini karena dia sendiri tidak mempunyai keturunan, maka ia amat memanjakan Siu Eng.
Beberapa kali ia hendak menjodohkan Siu Eng dengan seorang pemuda yang baik, akan tetapi gadis itu selalu menolak dan menyatakan bahwa ia hanya mau dijodohkan dengan seorang pemuda tampan, pandai ilmu kesusasteraan dan pandai silat melebihi kepandaiannya sendiri!
Di manakah dapat mencari seorang pemuda seperti itu" Pemuda yang tampan dan tinggi pelajaran ilmu silatnya memang banyak terdapat di kota raja, akan tetapi yang berkepandaian silatnya melebihi kepandaian Siu Eng, sukar sekali terdapat! Ilmu silat gadis ini belum tentu lebih rendah dari ilmu kepandaian Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong sendiri!
Bab 11 ... SEMUA keburukan ini tidak terlihat oleh Thio Swie yang telah tergila-gila itu. Siu Eng hanya mempermainkannya saja, karena gadis ini memang suka sekali bergaul dan bercinta-cintaan dengan pemuda-pemuda cakap seperti Thio Swie, Selama perhubungan mereka itu, apabila Thio Swie mengemukakan tentang perjodohan, gadis itu hanya tersenyum dan menjawab dengan senyum manis dan kerling memikat,
"Kawin" Ah, koko yang baik, hal itu tak perlu dibicarakan sekarang!"
"Mengapa Eng-moi" Bukankah kita saling mencinta" Bukankah ....., bukankah kau juga cinta padaku seperti aku mencinta padamu?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
99 Dengan gaya manja dan menarik hati, Siu Eng lalu menyandarkan kepalanya dengan rambutnya yang harum itu pada dada pemuda itu dan berkata, "Tentu saja aku mencinta padamu!"
Ia meraba pipi Thio Swie yang halus. "Akan tetapi, kau harus ingat akan kedudukanmu.
Gajimu belum cukup besar untuk dapat memelihara rumah tangga, mengapa bicara tentang kawin" Kelak kalau kau sudah memperoleh kedudukan tinggi, barulah kita bicara lagi tentang hal itu!"
Setelah berkata demikian, gadis itu lalu berlari-lari keluar dari kamar Thio Swie dan tertawa berkikikan yang membuat Thio Swie makin tergila-gila!
"Memang dia benar!" pikirnya. "Siu Eng kekasihku itu selamanya berpikir tepat dan benar!
Aku harus mencari kemajuan dan kedudukan tinggi lebih dulu, barulah aku dapat meminangnya dan kita hidup berbahagia!"
Lamunan-lamunan seperti ini membuat Thio Swie sering tak dapat tidur, dan hatinya penuh kebahagiaan dan cita-cita muluk. Memang patut dikasihani pemuda yang dimabuk cinta ini!
Karena Siu Eng seorang bangsawan, keponakan seorang Pangeran dan hidup dalam keadaan mewah dan kaya raya, maka tidak ada sedikitpun kecurigaan dalam hatinya!
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Khu Sin. Pemuda ini merasa terkejut dan kuatir sekali ketika pada suatu malam Siu Eng memasuki kamarnya dan bersikap tak kenal malu sekali! Ia memang selalu menaruh curiga dan tidak senang terhadap sikap Siu Eng yang agaknya terlalu manis kepadanya, karena dia tahu betul bahwa gadis ini saling mencinta dengan kawannya.
Thio Swie seringkali menceritakan kepadanya betapa sikap gadis itu amat manis terhadap Thio Swie, bahkan mereka telah bermain cinta! Tadinya dia merasa girang untuk nasib baik sahabatnya ini. Akan tetapi, tidak disangka-sangkanya bahwa gadis itu berani pula masuk ke dalam kamarnya! Memang kedua pemuda itu mendapat kamar di bangunan sebelah kiri gedung besar Pangeran Lu Goan Ong.
Sikap Siu Eng yang memikat-mikat hatinya dan dengan cara tak sopan memperlihatkan sikap cabul terhadapnya, membuat Khu Sin menjadi marah dan sedih sekali.
"Gui-siocia," katanya dengan halus karena betapapun marahnya, dia tidak berani berlaku kasar terhadap keponakan Pangeran Lu yang dia tahu pandai ilmu Silat pula. "Harap kau jangan masuk ke dalam kamarku dan kalau kiranya ada keperluan, baiklah besok pagi aku menghadap padamu."
Siu Eng memandang sambil tersenyum karena mengira bahwa pemuda ini tentu malu-malu.
"Khu Sin," katanya sambil mencibirkan bibirnya yang merah dan menggairahkan itu. "Kau ternyata seorang pemuda yang kurang terima! Kalau tidak ada aku Siu Eng yang menjadi perantara, apakah kau ada harapan untuk bekerja di sini?"
Khu Sin menjadi terkejut dan buru-buru ia menjura di hadapan gadis itu. "Maaf, Gui-siocia, memang aku merasa amat berterima kasih kepadamu. Kalau ada sesuatu yang dapat Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
100 kulakukan untuk membantumu, katakanlah. Aku Khu Sin bukanlah seorang yang tidak tahu terima kasih akan budi orang!"
Siu Eng tersenyum lagi dan tiba-tiba ia melangkah maju lalu duduk di dekat pemuda itu.
"Kalau begitu, mengapa kau tidak berlaku manis kepadaku" Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik?" tangannya memegang lengan Khu Sin dengan mesra sekali.
Makin terkejutlah pemuda itu melihat hal ini. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Siu Eng adalah kekasih kawannya, dan kalau saja ia sendiri belum menjatuhkan hatinya kepada seorang gadis pelayan di gedung itu, tentu ia akan jatuh dan tidak kuat menghadapi godaan gadis cantik jelita ini. Ia bangkit berdiri dan berkata,
"Maaf, siocia, harap kau suka ingat bahwa kalau ada orang lain melihat siocia berada di kamarku, akan mendatangkan omongan yang kurang enak. Pula, bagaimana kalau Thio Swie mendengarnya" Dia adalah kawan baikku dan ... dan ... bukankah dia dan siocia sudah saling mencinta?"
"Siapa mencinta dia?" tiba-tiba Siu Eng menjadi marah. "Aku suka kepada siapapun juga, tak boleh kau turut campur! Apakah .... kau tidak suka kepadaku, Khu Sin?"
"Aku berhutang budi kepada siocia dan aku menghormat siocia setulus hatiku!" jawab Khu Sin.
"Dan ..... kau tidak suka kepadaku?" tanya gadis itu sambil memandang tajam.
"Hal ini ....." Khu Sin menundukkan muka dengan hati berdebar, "Aku .... aku tidak berani menyatakan tidak suka ...."
"Hm, kau mengecewakan hatiku, Khu Sin. Kaukira untuk apakah aku menolongmu sehingga bisa diterima bekerja di sini" Ah, aku mulai menyesal dan kecewa telah menolongmu?"
Sambil berkata demikian, Siu Eng lalu keluar dari kamar itu dan menutup pintu kamar Khu Sin keras-keras. Untuk beberapa lama pemuda itu berdiri kebingungan dengan hati berdebar-debar.
Apakah artinya ini" Sungguhpun ia tidak tahu akan riwayat dan keadaan gadis itu, akan tetapi ia mulai merasa khawatir dan tidak suka kepada gadis itu. Ia menganggap bahwa gadis itu telah berlaku tidak setia terhadap Thio Swie dan dari kata-kata gadis itu, ia dapat menduga bahwa gadis itu bukanlah seorang berhati mulia dan ia merasa amat kasihan dan menyesal kepada Thio Swie, sahabat karibnya.
Ia segera langsung menjumpai sahabatnya untuk memberi peringatan bahwa Siu Eng bukanlah gadis yang patut untuk dijadikan calon isteri. Bukan main marahnya Thio Swie mendengar ini dan dengan mengepal tinju dan mata memancarkan cahaya berapi-api, ia membentak sahabatnya itu.
"Khu Sin! Kalau kau bukan sahabatku sejak kecil, tentu akan kupukul mukamu! Mengapa kau tidak menahan lidahmu dan apakah yang meracuni bibirmu sehingga kau mengeluarkan ucapan-ucapan yang amat keji itu?" katanya marah. "Kalau kau tidak bisa menceritakan dasar-dasar dan alasan-alasanmu mengapa kau berkata sekeji itu, mulai sekarang lebih baik hubungan kita sebagai sahabat diputuskan saja!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
101 "Thio Swie," kata Khu Sin dengan muka sedih, "Kita telah menjadi sahabat karib bertahun-tahun semenjak kita kecil. Ingatkah kau betapa kau, aku dan Tiong San pernah menyatakan bahwa kita bertiga akan tinggal setia selama hidup" Nah, karena itu, apakah kau masih meragukan kesetiaanku sebagai kawan baikmu" Aku memang mempunyai dasar alasan kuat mengapa aku berani menyatakan bahwa Siu Eng bukanlah seorang gadis yang patut kau idam-idamkan! Akan tetapi, perlukah aku harus menceritakan alasan yang hanya akan menyakitkan hatimu saja?"
Thio Swie menjadi pucat dan ia memegang lengan Khu Sin dengan tangan gemetar.
"Sahabatku, ceritakanlah! Ceritakanlah demi persahabatan kita dan jangan membuat aku mati karena bimbang ragu!"
Dengan hati terharu karena diliputi rasa kasihan, terpaksa Khu Sin menceritakan semua pengalamannya malam tadi dan tentang sikap tidak sopan dan cabul dari Siu Eng.
Thio Swie mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka makin pucat. Ia lalau bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak ia telah menampar muka Khu Sin, hingga Khu Sin menjadi terhuyung-huyung!
"Keluar...! Pergilah kau dari hadapanku! Kau bohong .....! Kau memfitnah .....! Kau mengeluarkan kata-kata beracun karena kau ... hendak memisahkan aku dari kekasihku. Kau
.... ha ha, kau iri hati, bangsat! Kau sendiri tergila-gila kepada Siu Eng dan karena kekasihku itu tidak menghiraukan bujukanmu, kau lalu mengeluarkan siasat ini! Ya ...... kau bangsat rendah, kau memfitnah! Ayo lekas keluar, kalau tidak ..... demi Tuhan, akan kubunuh kau
.....!!" Khu Sin dengan tenang dan sambil mengusap bibirnya yang berdarah, melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu sambil berkata perlahan,
"Betapapun juga, Thio Swie, aku tidak membencimu karena ini. Aku bahkan makin kasihan kepadamu ....."
"Tutup mulutmu yang berbisa, lekas keluar!"
Demikianlah, terjadi perpecahan di antara dua orang sahabat karib yang tadinya saling mencinta seperti dua orang saudara kandung itu. Semenjak saat itu, Thio Swie tak pernah mau bicara kepada Khu Sin dan apabila mereka bertemu muka, Thio Swie selalu membuang muka dan tidak mau memandangnya. Khu Sin tak dapat berbuat apa-apa melainkan menarik napas dengan hati amat berduka.
Khu Sin telah jatuh hati dan mencinta seorang gadis pelayan di dalam gedung itu, seorang gadis dari keluarga tani yang cukup manis dan lincah, bernama Man Kwei. Dengan diam-diam keduanya telah saling menyatakan cinta dan saling berjanji akan hidup sebagai suami isteri.
"Tunggulah sampai aku mendapat kedudukan yang pantas, aku akan meminangmu dan minta izin kepada Lu-taijin untuk mengawinimu!" kata Khu Sin dalam sebuah pertemuan yang mereka lakukan di dalam taman bunga istana Pangeran Lu Goan Ong.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
102 "Kalau kau sudah mendapat kedudukan tinggi, tentu kau takkan ingat kepada Man Kwei gadis dusun yang bodoh dan buruk ini," kata Man Kwei dengan sikap manja.
"Tak mungkin! Aku adalah seorang yang telah banyak mempelajari budi pekerti, tahu akan arti kesetiaan, kepercayaan dan pribudi," jawab Khu Sin.
Di dalam hubungan yang amat sederhana dengan gadis yang sederhana pula itu, ia menemukan kebahagiaan yang besar.
Akan tetapi, ia tidak mengira bahwa kebahagiaan hanya merupakan cahaya bulan yang mudah tertutup oleh mega-mega mendung yang hitam mengerikan. Dan kini yang merupakan awan penutup dan penghalang kebahagiaannya adalah Gui Siu Eng, gadis cantik jelita dan gagah perkasa itu!
Ternyata bahwa Siu Eng merasa penasaran sekali melihat betapa Khu Sin menolak cintanya, bahkan tidak memperdulikannya. Hal ini baru sekarang ia alami. Seorang pemuda menolak permainan cintanya! Makin ditolak, makin bernafsulah dia dan makin penasaran.
Demikianlah sifat Siu Eng yang amat rendah. Kalau dituruti kehendaknya, maka sebentar saja ia akan merasa bosan kepada pemuda kekasihnya. Akan tetapi kalau ditolak, ia akan berusaha selalu dan sekuatnya untuk dapat memiliki pemuda itu, atau untuk melampiaskan marahnya dan mencelakakan orang yang berani menampiknya!
Siu Eng telah merasa bosan kepada Thio Swie dan kini tak pernah pula ia datang menjumpai Thio Swie, bahkan bertemu, ia selalu menarik muka dan seperti orang marah-marah! Hal ini tentu saja menyusahkan hati Thio Swie yang kembali menyangka bahwa perubahan ini tentu gara-gara Khu Sin!
Sebaliknya, ketika mendengar dari para pelayan bahwa Khu Sin mempunyai seorang kekasih, yakni Man Kwei, kegusaran Siu Eng memuncak! Dengan pengaruhnya yang besar terhadap pamannya, Siu Eng lalu mengusir Man Kwei, bahkan dengan kejamnya ia lalu mencari jalan dan menjual gadis itu kepada rumah pelacur!
Memang, nasib para anak gadis di masa itu amat buruk dan sengsara, teristimewa anak-anak orang miskin. Anak-anak ini dapat diperjualbelikan, yakni seorang petani yang miskin dapat menjual anaknya kepada rumah seorang kaya atau berpangkat untuk menjadi pelayan dan selanjutnya kehidupan anak ini seluruhnya berada di dalam kekuasaan majikannya!
Biarpun Pangeran Lu Goan Ong tidak terlalu kejam untuk melakukan penjualan macam itu, akan tetapi karena ia berada di bawah pengaruh Siu Eng yang amat dimanjakannya, akhirnya Man Kwei terjual juga kepada rumah pelacuran! Dalam hal ini masih belum memuaskan hati Siu Eng yang kejam, karena Khu Sin masih juga belum mau memperlihatkan sikap manis kepadanya.
Bahkan ketika Khu Sin melihat betapa Siu Eng mengubah sikapnya kepada Thio Swie sehingga pemuda itu kini selalu mengeram diri di dalam kamar bagaikan seorang menderita penyakit gila, Khu Sin lalu menjumpai Siu Eng dan dengan suara memohon ia berkata,
"Siocia, kasihanilah kawanku Thio Swie itu! Dia telah tergila-gila kepadamu, dia telah mencintaimu sepenuh jiwa dan raganya, mengapa kini siocia berbalik membenci dan tidak Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
103 mau pemperdulikannya" Siocia, kau berlakulah bijaksana dan jangan membikin ia sengsara serupa itu!"
Akan tetapi Siu Eng bahkan menjadi marah sekali. "Khu Sin, kau anggap aku ini siapa maka kau berani berkata demikian kepadaku" Apakah kau anggap aku ini seperti Man Kwei kekasihmu yang ternyata bukan lain hanya seorang pelacur?"
Tiba-tiba dendam di hati Khu Sin yang ditahan-tahannya itu berkobar ketika mendengar ini.
"Siocia! Man Kwei adalah seorang sesuci-sucinya, seorang gadis yang betul-betul berbatin bersih! Ia telah menjadi korban keganasan orang, akan tetapi, betapapun juga, aku tetap mencintainya dan akan menjadikan dia sebagai isteriku yang tercinta!"
"Kau katakan! Keganasan siapakah yang kau maksud itu" Baru dua hari Man Kwei melarikan diri dari gedung ini sambil membawa barang perhiasan dan tahu-tahu ia kini berada di rumah pelacuran!"
Makin marahlah Khu Sin mendengar ini. Ia telah tahu akan segala yang menimpa diri Man Kwei, akan tetapi ia tinggal diam saja. Hanya dengan bantuan kawan-kawannya, ia dapat mengirim uang kepada kepala rumah pelacuran itu untuk menjaga Man Kwei baik-baik dan jangan mengganggunya. Ia telah mengambil keputusan untuk berhenti bekerja dan menggunakan uang simpanannya untuk membawa Man Kwei pulang ke desanya.
Akan tetapi, oleh karena tidak tega meninggalkan sahabatnya yang berada dalam keadaan sengsara itu, ia telah berlaku nekat dan menjumpai Siu Eng untuk mengajukan permohonan bagi sahabatnya yang dulu pernah menamparnya itu. Dapat dibayangkan betapa setia kawan dan mulia hati pemuda ini! Akan tetapi, sesabar-sabarnya seorang laki-laki, apabila orang yang dicintai dihina dan dimaki orang, ia takkan dapat bertahan, maka kini dengan marah ia berkata kepada Siu Eng,
"Gui-siocia! Jangan kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu yang kejam itu. Karena Man Kwei menjadi kekasihku dan calon isteriku, kau sengaja berlaku kejam dan mencoba untuk menjerumuskan dia ke jurang kehinaan. Akan tetapi dengarlah, wahai puteri bangsawan yang kurang pikir! Aku adalah seorang terpelajar yang tak sudi berbuat melanggar kesusilaan dan kesopanan, dan sekarang juga aku hendak menghadap kepada Lu-taijin untuk minta berhenti dari pekerjaan ini. Aku akan membawa calon isteriku pulang ke kampung dan hidup dengan aman dan damai di sana, jauh dari gedung ini, dan jauh dari kau!"
"Bangsat, tutup mulutmu!" tiba-tiba Siu Eng menampar dan Khu Sin roboh terguling. "Kau hendak pulang" Hendak mengawini Man Kwei" Hm, jangan harap, bangsat! Kau akan kubunuh dulu dan Man Kwei akan menjadi pelacur yang sebesar-besarnya, sehina-hinanya!"
Sambil berkata demikian, ia maju untuk mengirim tendangan maut kepada Khu Sin. Pemuda ini maklum akan kelihaian Siu Eng dan tamparan tadipun telah membuat kepalanya pening dan pandangan matanya berkunang, maka kini ia hanya dapat memeramkan mata menanti datangnya tendangan maut itu!
Akan tetapi sebelum tendangan itu mengenai tubuh Khu Sin, tiba-tiba Siu Eng berseru heran karena mendadak saja tubuh Khu Sin itu lenyap dari depannya! Dan ketika ia memutar tubuh, ternyata di belakangnya telah berdiri seorang pemuda cakap sekali dengan pakaian warna Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
104 hijau, sedangkan Khu Sin telah pula berdiri di sampingnya sambil memandang kepada pemuda baju hijau itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!
"Tiong San .....!" Khu Sin berseru, hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Akan tetapi Tiong San hanya tersenyum kepadanya, lalu melangkah maju dan berkata kepada Siu Eng,
"Mau bunuh kawanku" Tidak boleh, tidak boleh! Perempuan jahat, jangan kau ganggu sahabat karibku!"
Siu Eng dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah pemuda yang dulu dilihatnya di dalam perahu, karena sesungguhnya telah lama ia mengagumi ketampanan pemuda ini. Akan tetapi melihat dia sekarang tiba-tiba datang di tempat itu dan dapat menolong Khu Sin, ia tahu bahwa pemuda ini tentu memiliki ilmu kepandaian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan membentak,
"Kau kira aku takut kepadamu?"
Tiong San tertawa sinis dan berkata, "Wanita kejam memegang pedang, sungguh berbahaya!"
dan ia meloloskan cambuknya.
Dengan marah sekali Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya dan gerakannya benar-benar cepat bagaikan menyambarnya burung walet. Akan tetapi Tiong San segera mengayun cambuknya dan ujung cambuknya menyambar ke arah pergelangan tangan Siu Eng!
Gadis itu terkejut sekali melihat lawan menyambut serangannya dengan serangan yang mendahului, maka terpaksa ia mengelak, kemudian meloncat dengan gesitnya mendekati Tiong San untuk menyerang dari dekat. Pemuda itu kagum melihat kegesitan tubuh Siu Eng, maka lalu melayaninya dengan sungguh-sungguh. Ia sengaja memperpendek cambuknya sehingga mereka dapat bertarung dengan seru dan ramainya.
Biarpun Siu Eng diam-diam merasa terkejut dan kagum sekali melihat pemuda ini, yang paling terkejut dan terheran-heran adalah Khu Sin. Benarkah pemuda ini Tiong San" Tak salah lagi, ia dapat mengenal wajah kawannya ini di antara ribuan orang.
Akan tetapi kalau ia benar-benar Tiong San, mengapa ia dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya" Kini ia tidak dapat melihat bayangan kedua orang itu lagi, karena mereka telah bertempur dengan amat cepatnya sehingga bayangan mereka seakan-akan bergulung-gulung menjadi satu!
"Tiong San .... Tiong San ..... bukan main hebatnya ..." demikian Khu Sin berkali-kali berbisik seorang diri.
Sementara itu, di dalam dada Siu Eng timbul perasaan yang amat aneh baginya dan yang selama hidupnya belum pernah ia rasakan. Telah lama ia sering teringat kepada pemuda ini yang dulu pernah bertemu dengan pamannya di dalam perahu. Ia dulu mengagumi ketampanan wajah pemuda itu dan sikapnya yang tenang dan sopan santun. Akan tetapi setelah kini ia bertempur dengan pemuda ini dan mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini sangat tinggi, diam-diam ia menjadi sangat tertarik.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
105 "Ah, inilah pemuda yang tepat dan sesuai menjadi suamiku ....." demikian pikirnya dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan dan mengukur tingkat ilmu silat Tiong San. Akan tetapi, betapapun juga ia menyerang, ia tak dapat berhasil melukai pemuda itu karena kemana saja pedangnya berkelebat, cambuk lawannya tentu menghadang dan menangkis! Ilmu pedang yang dimainkan oleh Siu Eng adalah ilmu pedang Kiu-hwa Kiam-hoat yang amat hebat dan belum pernah ia menemui tandingan seperti itu.
Juga Tiong San merasa kagum dan diam-diam memuji ilmu pedang gadis yang hampir saja membunuh sahabatnya itu, karena iapun tak dapat mendesak Siu Eng. Tiba-tiba Tiong San berseru keras dan tubuhnya melompat ke belakang, dua tombak jauhnya. Ketika tangannya bergerak, cambuknya menyambar dan menjadi panjang, terus menyerang dengan gerakan hebat bagaikan naga melayang-layang ke arah tubuh Siu Eng.
Gadis ini cepat menangkis, akan tetapi kini ia tidak berdaya membalas, karena cambuk yang melayang dari tempat jauh itu terus mengurung dan mendesaknya dengan hebat. Ia makin kagum saja, akan tetapi sebagai murid terkasih dari Kiu-hwa-san Toanio, ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia berseru keras dan tangan kirinya cepat bergerak melempar senjata rahasianya yang amat diandalkan, yakni kiu-hwa-ciam, semacam jarum-jarum halus yang terbuat dari perak.
Dengan mengeluarkan cahaya terang, jarum-jarum itu menyambar ke arah Tiong San yang segera mengelakkan dengan cepat! Berkali-kali Siu Eng menghujani Tiong San dengan jarum-jarumnya, akan tetapi selalu senjata-senjata rahasia itu dapat dielakkan oleh Tiong San.
Bahkan Tiong San lalu menggunakan tangan kirinya menyaut jarum-jarum itu dari samping, lalu melontarkan kembali ke arah Siu Eng sambil tertawa mengejek.
"Jarum-jarum memang permainan wanita, tapi untuk menjahit, bukan untuk membunuh orang! Terimalah kembali jarum-jarummu untuk menjahit pakaian suamimu!"
Digoda seperti itu, Siu Eng merasa gemas sekali, akan tetapi rasa kagumnya terhadap Tiong San meningkat. Kini ia betul-betul terdesak dan serangan cambuk Tiong San dari jarak jauh itu mengurung dirinya membuat ia sibuk dan bingung sekali.
Akan tetapi diam-diam Siu Eng merasa girang sekali karena biarpun dirinya dikurung, ujung cambuk itu agaknya tidak mau melukainya, buktinya beberapa kali ujung cambuk itu telah meluncur dan akan dapat merobohkannya, tiba-tiba ditarik kembali! Ia mengira bahwa Tiong San merasa sayang dan tidak mau melukainya dan menganggap bahwa pemuda itu suka kepadanya! Padahal sebenarnya Tiong San memang tidak mau melukainya karena tidak ingin bermusuhan kepada siapapun juga.
Tiba-tiba cambuk itu berkelebat dan tahu-tahu telah membelit pedang di tangan Siu Eng.
Kalau ia mau, gadis ini dapat mempertahankan pedangnya dan mengerahkan lweekang untuk bertahan agar pedangnya jangan sampai terampas. Akan tetapi dengan sengaja ia melepaskan pedangnya itu sambil melompat ke belakang dan berseru dengan suara nyaring dan merdu,
"Aku menyerah! Harap taihiap suka memberitahukan nama yang mulia!" Setelah berkata demikian, gadis itu menjura dan kemudian berdiri dengan sikap kemalu-maluan dan matanya mengerling serta bibirnya tersenyum manis!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
106 Khu Sin memandang heran dan kagum, karena belum pernah ia melihat gadis itu semanis ini dan matanya mengeluarkan cahaya sehalus itu. Akan tetapi Tiong San hanya tertawa saja dan ketika ia menggerakkan tangan, cambuknya menyambar dan pedang itu telah dilepas dari libatan dan kini diayunkan kembali ke arah Siu Eng yang menyambarnya dengan senyum di bibir!
Pada saat itu, terdengar suara ketawa girang dan muncullah Pangeran Lu Goan Ong sendiri!
Pangeran ini menjura kepada Tiong San dan berkata kepada Siu Eng, "jangan sebut taihiap, dia adalah Shan-tung Koay-hiap, pendekar aneh yang gagah perkasa! Shan-tung Koay-hiap, tepat sekali dugaanku bahwa kau adalah pemuda yang dulu berjumpa dengan aku di perahuku dan menjadi kawan dari Khu Sin dan Thio Swie! Tak terduga sama sekali bahwa kau ternyata adalah seorang pendekar muda yang gagah perkasa!"
Tiong San membalas penghormatan itu dan berkata, "Maaf, taijin, aku datang hanya hendak bertemu dengan dua orang sahabat karibku!"
"Boleh saja!" kata Lu Goan Ong sambil tersenyum. Khu Sin dan Thio Swie seringkali menyebut-nyebut namamu dan karena mereka berdua adalah pembantu-pembantuku yang baik dan rajin, kau juga menjadi tamuku pula! Shan-tung Koay-hiap, harap kau maklum bahwa aku orang she Lu tidak ikut campur dalam urusan dengan Ong-taijin tadi!"
Tiong San tersenyum. "Perkara itu sudah lewat, taijin."
"Marilah masuk ke dalam dan aku harus menjamu tamuku yang gagah," katanya dengan ramah tamah. Akan tetapi Tiong San menggoyang tangannya dan berkata,
"Terima kasih, taijin. Tak perlu repot-repot. Aku hanya ingin bicara dengan kedua sahabatku!"
Pangeran itu menarik napas panjang. "Tentu kau takkan dapat menikmati hidanganku yang jauh lebih buruk dari pada hidangan di rumah Pangeran Ong Tai Kun. Baiklah, kalau kau hanya hendak bercakap-cakap dengan kedua orang sahabatmu yang menjadi pembantu-pembantuku, aku akan menyuruh orang menyediakan kamar untukmu. Akan tetapi, aku mengharap agar supaya besok pagi kau suka bercakap-cakap dengan aku sebagai kawan-kawan baik!"
Pangeran itu lalu mengajak pergi keponakannya yang melepas kerling tajam ke arah Tiong San sambil berkata, "Shan-tung Koay-hiap benar-benar lihai, siauwmoi (menyebut diri sendiri yang berarti adik perempuan muda) benar-benar merasa takluk!"
Setelah kedua orang itu pergi, Khu Sin menubruk kawannya itu dan mengucurkan air mata.
"Tiong San ... Tiong San, apakah yang telah terjadi dengan kau" Mengapa kau bisa menjadi seorang pendekar yang begini hebat" Ah .... Tiong San ...." kemudian pemuda ini teringat akan nasibnya sendiri dan nasib Thio Swie, maka ia lalu menangis seperti anak kecil.
"Eh, anak gila!" Tiong San menghibur kawannya dan sebutan "gila" ini baginya merupakan sebutan mesra sebagaimana suhunya selalu menyebutnya. "Jangan menangis seperti perempuan saja!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
107 Khu Sin sadar dan segera menyusut air matanya, lalu ia menarik tangan Tiong San menuju ke bangunan di sebelah kiri dan berkata,
"Bagus kau datang, Tiong San. Agaknya hanya kau yang dapat mengobati penyakit Thio Swie!"
"Thio Swie sakit!"
"Semacam penyakit yang sukar diobati," kata Khu Sin dan ia tidak memberi kesempatan kepada Tiong San untuk bertanya lagi, akan tetapi langsung membawa Tiong San ke kamar Thio Swie.
Begitu Khu Sin membuka daun pintu dan melangkah masuk, ia disambut oleh maki-makian nyaring oleh Thio Swie,
"Bangsat, pengkhianat berhati rendah! Kau berani masuk ke sini! Setelah kau mencuri Siu Eng, kau .... kau ...." tiba-tiba ia terbelalak memandang kepada wajah Tiong San yang berdiri tersenyum memandangnya.
"Thio Swie, kau lebih gila dari pada yang kuduga semula!" kata Tiong San sambil memandang dengan penuh kasih sayang kepada sahabat karibnya yang dulu selalu bergembira dan berseri, akan tetapi yang sekarang nampak kusut dan pucat itu.
"Kau .... kau ... Tiong San ... !" seperti Khu Sin, pemuda ini menubruk Tiong San, memeluk dan menciuminya sambil mengucurkan air mata.
"Eh, eh, kalian berdua memang benar-benar gila! Gila dan cengeng! Kenapa bertangis-tangisan tidak keruan?"
"Tiong San ....." kata Thio Swie sambil menangis, "Betapa aku takkan menangis" Semenjak kau pergi, sahabat karibku hanyalah Khu Sin seorang, dialah orang satu-satunya yang menjadi curahan hatiku, yang menjadi penasehat dan teman berunding! Akan tetapi bagaimana kenyataannya ...." Ia, kawanku ini ..... ia telah merampas kekasih hatiku, telah membujuk dan mencuri hati Siu Eng dengan cara yang amat rendah .... ia ... ia ....."
"Ssst, diam, Thio Swie!" tiba-tiba suara Tiong San terdengar berpengaruh sekali. "Kau tersesat dan buta! Tahukah kau, baru saja Siu Engmu itu hampir membunuh Khu Sin kalau tidak aku kebetulan datang!"
"Apa ...."!! Thio Swie memandang dengan mata terbelalak.
"Ya, kau boleh merasa heran. Aku mendengar dengan telingaku sendiri betapa Khu Sin telah minta dengan beraninya kepada Siu Eng agar tidak mengganggumu, agar suka kembali kepadamu dan jangan bermain curang dan melanggar kesetiaan terhadapmu! Dan untuk pembelaannya itu, Khu Sin telah kau benci, bahkan hampir terbunuh oleh Siu Eng gadis kejam itu!" kata pula Tiong San.
Khu Sin lalu melangkah maju dan memeluk pundak Thio Swie. "Thio Swie, memang kau sedang dimabok cinta. Kau tidak tahu betapa besar kasih ku kepadamu. Kita sahabat-sahabat karib semenjak kecil, bukan" Kita kawan-kawan sekampung, bukan" Tak pernah aku berlaku Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
Pendekar Riang 4 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Romantika Sebilah Pedang 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama