Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Tidak demikian halnya dengan suhengnya, ketua Jeng-hwa-pang. Dia ini sudah lupa kepada dua orang pemuda remaja itu, biarpun keduanya pernah dia jumpai. Melihat betapa seorang anggautanya tewas, dia sudah marah sekali.
"Siapakah kalian dan mengapa kalian datang membunuh seorang anggauta kami" bentaknya sambil melangkah maju.
Han Houw tersenyum mengejek dan mengacungkan anak panah di tangannya yang tadi dipergunakan untuk membunuh Si Kumis Tebal itu. "Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau" Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini" Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus dan ini, anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, harus kautukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini" Han Houw menoleh kepada Sin Liong.
"Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!" kata Sin Liong.
Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu makin merah. Kini Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak. "Pasukan Api, maju!" teriaknya.
Tiba-tiba nampak sinar terang dan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, namun bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat dipergunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek. Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama makin menyempit dan mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur pula dan berbareng sehingga nampak indah karena mereka itu seolah-olah sedang mainkan tari obor.
"Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!" kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.
Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka diapun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur dan berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bilamana keadaan memerlukannya.
Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membuat pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya dua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.
"Sam-kak-tin...!" terdengar seorang di antara mereka membentak. Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak dan terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!
Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu amat teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah ada lautan api bergelombang hendak menelan Sin Liong!
Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi bagaikan seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya dan pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut. Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali. Dengan penuh kewaspadaan dia menghadapi semua serangan itu dan cepat mempergunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran sinar api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuahpun obor mengenai tubuhnya!
Gak Song Kam dan sutenya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam merasa panasaran sekali.
"Ngo-heng-tin...!" Dia berseru nyaring dan dua belas orang itu bergerak otomatis, empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung dan membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang berjumlah sepuluh orang dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada musing-masing pasukan.
Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng dan merupakan kerja sama yang amat baik dan rapi.
"Ehhh..." Sin Liong terkejut sekali karena biarpun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang. Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Di antara kepungan obor-obor itu yang menyambar-nyambar, dia berloncatan dan kini mengerahkan gin-kang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang mainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.
Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Biarpun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.
"Pat-kwa-tin...!" Gak Song Kam berteriak marah. Kini pasukan itu membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) dan menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya siap menggantikan anggauta pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai daripada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!
"Celaka...!" pikir pemuda itu. Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar. Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak. Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena dia amat terdesak tadi. Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka kembali dia lalu menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain. Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong dapat merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya dua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!
"Ha-ha-ha, hanya begitu sajakah barisanmu" Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang" Dengan kepandaian serendah itu sudah berani menentang kami" Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, mundurlah!" kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.
Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jerih terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, dan yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi. Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan. Lebih baik melawan pangeran ini daripada menghadapi pemuda perkasa yang luar biasa itu. Memang sesungguhnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suhengnya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.
"Wuuuut, ting-tinggg...!" Senjata rantainya bergerak mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini, Ceng Han Houw tersenyum dan dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.
"Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga anggauta Jeng-hwa-pang" tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggauta Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.
Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong segera berkata, "Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!"
"Pemuda sombong, lihat senjata!" Bouw Song Khi membentak karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat daripada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.
"Wuuuttt!" Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah dan sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.
Bouw Song Khi menyondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan sudah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu. Gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.
Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka diapun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Cring...!"
Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu seperti ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw! Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju dan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai. Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya dan keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.
Namun Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai daripada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat. Kini, Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, sudah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantainya berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya. Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak karena dia hanya berloncatan ke sana-sini dan menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh. Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. Kakak angkatnya itu kembali telah memperilhatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, namun semua sambaran rantai itu luput dan mengenai tempat kosong selalu.
Makin lama makin penasaran rasa hati Bouw Song Khi karena semua serangannya tak pernah berhasil, juga mulai dia merasa ngeri karena dia dapat menduga bahwa pangeran ini benar-benar amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek dari pangeran itu dan dia telah menggerakkan tangan kirinya menangkis rantai yang datang menyambar! Dengan tangan kosong dia berani menangkis rantai! Hal ini mengejutkan hati Sin Liong dan menggirangkan hati Bouw Song Khi. Rantai itu terbuat daripada baja murni dan digerakkan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Batu karangpun akan hancur terkena hantaman ujung rantai, apalagi tangan yang terdiri dari kulit daging dan tulang, pasti akan hancur berantakan!
"Plakk!" Tangan itu menangkis ujung rantai dan rantai itu membalik, hampir menghantam muka Bouw Song Khi sendiri! Dan tangan kiri pemuda bangsawan itu sama sekali tidak terluka, lecet sedikitpun tidak! Bouw Song Khi menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa pemuda ini memiliki kekebalan yang sehebat itu. Dan Sin Liong kagum bukan main. Dia sendiri tidak tahu bahwa kakak angkatnya itu telah mewarisi ilmu kekebalan yang hebat dari Hek-hiat Mo-li! Nenek iblis ini, bersama mendiang Pek-hiat Mo-ko, telah menciptakan ilmu kekebalan yang ajaib, yang membuat seluruh tubuh mereka kebal terhadap senjata yang bagaimana ampuhnya, bahkan kedua tangan mereka mampu menangkis senjata-senjata pusaka. Dalam cerita Dewi Maut, para pendekarpun sampai kewalahan menghadapi kekebalan Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, sampai kemudian sepasang pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong mengetahui rahasia kelemahan mereka yang dibuka oleh Khamila, ratu dari Raja Sabutai, yaitu kelemahan kakek dan nenek iblis itu berada pada telapak kaki mereka den akhirnya sepasang pendekar itu berhasil menewaskan Pek-hiat Mo-ko dan melukai Hek-hiat Mo-li. Kini, ternyata ilmu yang luar biasa itu telah diturunkan pula kepada Ceng Han Houw den hanya pangeran ini sendiri yang tahu rahasia kelemahannya sendiri!
Setelah menguji kekebalannya sendiri, Han Houw tertawa dan kini seenaknya saja dia menghadapi scrangan rantai itu, bahkan kadang-kadang dia menerima gebukan rantai itu dengan tubuhnya! Makin pucat wajah Bouw Song Khi dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Uap hitam menyambar ke arah muka Han Houw dan itu adalah bubuk beracun yang mengandung obat bius, yang biasa dipergunakan oleh jai-hwa-cat ini untuk membius wanita yang diculiknya.
Akan tetapi, perbuatannya inilah yang mendatangkan malapetaka baginya. Kalau tadinya Han Houw masih ragu-ragu untuk membunuh orang yang dianggap tidak ada sangkut-pautnya dengan Jeng-hwa-pang, kini melihat orang itu mempergunakan racun, pangeran muda ini menjadi marah. Dia meloncat untuk menghindari dan tiba-tiba dari mulutnya menyambar sinar putih sedemikian cepat dan tidak terduga sehingga biarpun Bouw Song Khi berusaha menghindar, tetap saja mata kirinya menerima sambaran pek-ciam (jarum putih) yang tersebar dari mulut pangeran itu. Bouw Song Khi menjerit keras, rantainya terlepas dan kedua tangannya mendekap matanya karena terasa kenyerian yang sampai menyusup ke dalam jantungnya. Han Houw menggerakkan pedangnya yang sejak tadi hanya dipakai menangkis saja. Pedang itu menembus dada dan ketika dicabutnya, darah muncrat dari tubuh lawan yang terjengkang dan tewaslah Bouw Song Khi.
Melihat ini, Gak Song Kam menjadi kaget bukan main, juga amat marah. Dia berteriak mengeluarkan aba-aba bagi semua anak buahnya untuk maju mengeroyok, sedangkan dia sendiri lalu mengerakkan pedangnya yang ampuh, pedang yang mengandung racun amat jahat, menerjang ke depan, disambut oleh Sin Liong! Han Houw mengeluarkan suara tertawa mengejek dan pangeran ini lalu menggerakkan pedangnya mengamuk, dikeroyok oleh puluhan orang anak buah Jeng-hwa-pang.
"Ha-ha-ha, kalian orang-orang Jeng-hwa-pang sungguh tak tahu diri dan sudah selayaknya mampus! Kami adalah sepasang pendekar Lembah Naga! Kami adalah Harimau Sakti dan Naga Sakti dari Lembah Naga, dan hari ini Jeng-hwa-pang akan terbasmi habis oleh kami!" Diam-diam Sin Liong terkejut mendengar suara yang amat congkak ini, dan dia merasa ngeri melihat betapa Han Houw mengamuk dengan pedangnya, merobohkan para anggauta Jeng-hwa-pang seperti orang membabat rumput saja. Tentu saja para anggauta Jeng-hwa-pang itu bukan lawan pangeran yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Han Houw merobohkan mereka seorang demi seorang. Darah muncrat-muncrat membasahi bumi dan teriakan-teriakan mengerikan terdengar susul-menyusul.
MELIHAT keadaan yang tidak menguntungkan ini, Gak Song Kam merasa khawatir sekali. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan betapa semua gerakan pedangnya yang ditujukan untuk menyerang pemuda remaja itu tak pernah berhasil mengenai sasaran, dia makin gelisah dan maklum bahwa keadaannya amat berhahaya. Ketua Jeng-hwa-pang ini memang seorang pengecut. Dahulupun ketika Jeng-hwa-pang diserbu oleh Kim Hong Liu-nio dan dia tahu bahwa baginya tidak ada harapan untuk menang, diam-diam dia lalu melarikan diri sambil membawa pergi Sin Liong. Kini, ternyata dua orang pemuda remaja itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan wanita iblis itu, bahkan sutenya telah tewas dan anak buahnya banyak yang tewas dan kini sedang dihajar habis-habisan oleh pemuda yang berpakaian indah dan memakai sorban berhiaskan batu permata itu!
"Heiiiiikkkkk!" Tiba-tiba ketua Jeng-hwa-pang itu mengeluarkan teriakan nyaring dan begitu kedua tangannya bergerak, dari tangan kirinya meluncur paku-paku hitam dan dari pangkal pedang dekat gagang juga meluncur jarum-jarum hitam. Baik paku-paku dan jarum-jarum itu semua mengandung racun yang amat ampuh dan menyambar dengan cepat sekali ke arah Sin Liong!
Untung bahwa pemuda remaja ini pernah digembleng oleh orang-orang sakti seperti Cia Keng Hong dan Ouwyang Bu Sek, sehingga dia telah memiliki kematangan dan ketenangan batin yang luar biasa. Penyerangan jarum-jarum dan paku-paku itu amat tiba-tiba dan sama sekali tidak tersangka-sangka, juga dilakukan dari jarak dekat. Kalau dia gugup dan menangkis, sedikit lecet saja pada lengannya akan cukup membahayakan karena senjata-senjata rahasia itu direndam racun yang amat jahat. Namun Sin Liong sudah tahu bahwa ketua Jeng-hwa-pang itu adalah ahli racun, maka diapun secara otomatis melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari sambaran senjata-senjata gelap yang beracun ini. Akan tetapi, kesempatan itu dipergunakan oleh Gak Song Kam untuk melempar-lemparkan alat peledak yang mengeluarkan asap hitam tebal. Sambil tersenyum lega dia lalu meloncat melalui asap hitam yang beracun itu dan yang tidak mengganggu dirinya untuk melarikan diri seperti yang telah dilakukannya ketika Kim Hong Liu-nio menyerbu Jeng-hwa-pang dahulu.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda remaja yang menjadi lawannya tadi sudah berdiri di depannya, menghalanginya sambil tersenyum mengejek dan tidak kurang suatu apa. Dia tidak tahu bahwa Sin Liong masih ingat akan lihainya alat-alat peledak itu, maka melihat lawannya tadi melontar-lontarkan benda-benda itu, Sin Liong mempergunakan gin-kangnya untuk menghindar jauh ke tempat gelap, kemudian dia berkelebat menghadang ketika melihat ketua Jeng-hwa-pang itu hendak melarikan diri.
"Jangan harap akan dapat lari lagi seperti dulu, pangcu!" Sin Liong berkata dan dia merasa muak akan kecurangan ketua yang pengecut ini, yang selalu hendak meninggalkan anak buahnya dan menyelamatkan diri sendiri secara curang apabila keadaan berbahaya baginya, sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang ketua yang tidak memperdulikan keadaan anak buahnya.
Akan tetapi melihat pemuda yang luar biasa itu sudah menghadangnya, Gak Song Kam yang semakin panik itu menubruk dengan pedangnya, mengirim serangan maut dan nekat karena dia maklum bahwa kalau dia tidak dapat segera melarikan diri dan pangeran yang sedang mengamuk itu turun tangan pula, tak mungkin lagi dia menyelamatkan diri.
Melihat serangan yang dilakukan dengan nekat ini, Sin Liong lalu merendahkan tubuhnya dan dari samping lengannya mengibas. Serangkum hawa yang luar biasa kuatnya menyambar dan langsung menyerbu dada ketua Jeng-hwa-pang itu. Gak Song Kam mengeluh, pedangnya terlepas dan dia terpelanting, roboh pingsan! Kiranya Sin Liong telah menggunakan lagi sebuah jurus Cap-sha-ciang yang ampuh itu, dan akibatnya, baru terkena angin pukulannya saja lawan telah terpelanting dan roboh pingsan. Memang sama sekali tidak terkandung niat di hati Sin Liong untuk membunuh orang, maka diapun tidak melanjutkan serangan dan hanya memandang kepada tubuh lawan yang tak bergerak itu.
"Ha-ha, bagus. Liong-te, engkati telah berhasil merobohkannya!" Terdengar soara Han Houw bersorak dan Sin Liong melibat tubuh kakak angkatnya itu berkelebat, lalu sinar pedang menyambar ke arah leher ketua Jeng-hwa-pang yang masih pingsan.
"Houw-ko, jangan...!" teriaknya, akan tetapi dia memejamkan mata melihat darah muncrat-muncrat dan kakak angkatnya itu telah memegang kepala yang buntung itu pada rambutnya, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil tertawa-tawa!
Semenjak tadi, para anak buah Jeng-hwa-pang memang sudah gentar dan panik. Melihat betapa pasukan obor roboh semua oleh Sin Liong, disusul robohnya sute dari ketua mereka oleh Han Houw yang kemudian mengamuk dan merobohkan banyak kawan mereka, para anak buah Jeng-hwa-pang itu sudah menjadi ketakutan. Hanya karena ketua mereka masih melawan Sin Liong mati-matian sajalah mereka masih mempunyai harapan untuk mengalahkan dua orang muda perkasa itu. Akan tetapi, begitu Gak Song Kam roboh dan tewas, kepalanya dijambak dan diangkat oleh pangeran itu, nyali mereka terbang dan dengan ketakutan sisa anak buah Jeng-hwa-pang itu lalu melarikan diri dari tempat itu!
Han Houw tertawa bergelak dan menyambitkan kepala yang buntung lehernya itu ke arah anak buah yang melarikan diri.
"Trakkkk!" Dengan tepat kepala dari Gak Song Kam itu menimpa kepala anak buah yang sedang lari, maka robohlah orang itu dengan kepala retak!
Ceng Han Houw lalu mengambil obor yang banyak dilempar di atas tanah oleh para anak buah Jeng-hwa-pang, kemudian dia membakari rumah-rumah yang berada di situ. Dalam waktu singkat saja, sarang Jeng-hwa-pang menjadi lautan api! Para wanita yang tadinya bersembunyi di dalam, kini berlari-larian keluar dalam keadaan panik, ditertawakan oleh Han Houw yang menganggap keributan itu sebagai tontonan yang lucu.
"Tolooooonggg...! Ayah... ibu... tolonggg...!"
Suara jerit wanita yang keluar dari sebuah diantara bangunan itu menarik perhatian Sin Liong dan dia cepat mendekati rumah terbakar dati mana terdengar jerit wanita itu. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan kiranya dia telah didahului oleh Han Houw yang sudah menerjang daun pintu rumah itu dan melompat ke sebelah dalam.
Hati Sin Liong merasa kagum dan girang. Betapapun garang dan ganasnya sikap pangeran itu terhadep musuh-musuhnya, namum di dalam dadanya terdapat watak pendekar juga yang siap menolong orang yang patut ditolong, seperti wanita yang menjerit-jerit itu.
Tak lama kemudian, di antara berkobarnya api yang mulai memakan daun pintu rumah itu, nampak Han Houw meloncat keluar sambil memondong tubuh seorang wanita muda yang manis dan kelihatan ketakutan.
Sambil tersenyum Han Houw berhenti di depan Sin Liong, menggunakan jari tangan kiri mencolek dagu gadis manis itu sambil berkata, "Dia ini perawan dusun yang diculik Bouw Song Khi dan belum sumpat diganggu! Liong-te, tugas kita sudah selesai dan aku mau bersenang-senang. Banyak wanita cantik berlarian di sana, kau boleh pilih sesukamu. Aku cukup dengan perawan dusun ini, ha-ha!" Pangeran itu lalu lari sambil memondong gadis itu.
Sin Liong bardiri dengan alis berkerut. Dilihatnya gadis itu meronta-ronta, menangis dalam pondongan Han Houw, namun tentu saja tidak berdaya dalam pondongan lengan pangeran yang kuat itu.
"Houw-ko..., lepaskan dia...!" Tiba-tiba Sin Liong berseru dan berlari mengejar. Dia tidak ingin melihat kakak angkatnya melakukan hal yang amat jahat itu! Kalau gadis itu mau melayani kakak angkatnya, dia tidak perduli, seperti yang dilihatnya ketika kakak angkatnya dilayani oleh wanita-wanita cantik dalam rumah-rumah pembesar yang mereka lewati dahulu. Akan tetapi, gadis dusun itu meronta dan menangis, dan dia tidak ingin melihat kakak angkatnya itu menjadi seorang penjahat yang memaksa wanita.
Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa dan pangeran itu berlari terus memasuki hutan di mana mereka meninggalkan kuda mereka. Sin Liong mengejar terus, dan ketika dia melihat pangeran itu melanjutkan larinya dengan naik kuda sambil memeluk tubuh perawan dusun yang ditelungkupkan melintang di atas punggung kuda, diapun lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar. Terjadilah kejar-kejaran di malam hari itu dan Han Houw tertawa-tawa sambil membalapkan kudanya, terus dikejar oleh Sin Liong.
"Houw-ko, lepaskanlah gadis itu. Banyak wanita yang mau dengan suka rela melayanimu, mengapa engkau memaksa seorang gadis yang tidak mau" berkali-kali Sin Liong berteriak dan membujuk. Melihat ada orang mengejar dan agaknya hendak menolongnya, gadis, itu berteriak minta tolong, akan tetapi Han Houw terus melarikannya sambil tertawa-tawa. Agaknya pangeran itu merasa gembira dengan permainan ini dan karena kudanya memang jauh lebih baik daripada kuda yang ditunggangi Sin Liong, maka adik angkatnya itu belum juga mampu menyusulnya.
Kejar-kejaran itu berlangsung sampai pagi! Tentu saja gadis dusun itu tersiksa bukan main harus menelungkup di atas pangkuan Han Houw dan terguncang-guncang. Dia sudah setengah pingsan dan tidak mampu berteriak lagi. Dan kini timbul kemarahan di dalam hati Han Houw. Tadinya dia menganggap adik angkatnya itu main-main saja, akan tetapi setelah melihat betapa Sin Liong mengejar terus, dia mulai merasa terganggu dan marah.
Setelah tiba di lapangan rumput yang terbuka, Han Houw memperlambat larinya kuda yang sudah megap-megap kelelahan itu.
"Houw-ko, berhentilah dulu, aku mau bicara...!" Terdengar teriakan Sin Liong di belakangnya, Han Houw menoleh dan melihat adik angkatnya itu sudah mengejar dekat, dia mengerutkan alisnya dan tiba-tiba dia menghentikan kudanya, lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas rumput. Gadis itu mengeluh dan terguling di atas rumput, hanya merintih dan menangis karena seluruh tubuhnya terasa lelah dan sakit-sakit, tidak mampu bangkit.
Han Houw melompat turun dari kudanya. Melihat ini, Sin Liong juga meloncat turun dari atas punggung kudanya dan membiarkan kuda yang sudah kelelahan itu beristirahat. Dua orang kakak beradik angkat itu kini berdiri saling berhadapan, dua pasang mata saling menentang pandang dan saling menyelidik.
"Sin Liong, kalau engkau menghendaki gadis itu, nah, kauambillah dia! Kauminta baik-baikpun tentu akan kuberikan, tidak perlu kau mengejar-ngejarku semalam suntuk!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Houw-ko, maafkanlah aku kalau aku mengganggu kesenanganmu. Akan tetapi engkau tahu bahwa aku mengejar-ngejar sama sekali bukan bermaksud mendapatkan wanita itu, melainkan aku ingin mencegah agar Houw-ko tidak melakukan perbuatan jahat terhadap wanita itu."
"Melakukan perbuatan jahat" Apa maksudmu" Ceng Han Houw bertanya, suaranya kaku dAn sinar matanya memancarkan kemarahan.
Sin Liong memandang tajam. Marahlah dia. Apakah Han Houw hendak mempermainkannya dan masih berpura-pura bertanya lagi padahal sudah jelas betapa pemuda itu melarikan dan hendak memaksa seorang gadis yang tidak mau menuruti kehendaknya"
"Houw-ko, jelas bahwa engkau melarikan gadis itu dan hendak memperkosanya, memaksanya, dan engkau masih bertanya apa maksudku" dia berkata dengan suara bernada teguran.
Kini Han Houw memandang dengan sinar mata berapi dan mukanya yang tampan gagah itu menjadi merah sekali, matanya yang lebar itu terbelalak dan dia menggerakkan kedua tangannya bertolak pinggang. "Cia Sin Liong! Kau berani menuduhku demikian" Kaukira aku ini laki-laki macam apa" Sungguh engkau menghinaku dan tak mungkin aku membiarkan saja penghinaan itu!" Tiba-tiba tubuhnya menerjang ke depan dan pangeran ini sudah menyerang Sin Liong dengan hebatnya!
"Ehhh...!" Sin Liong terkejut bukan main dan cepat dia mengelak lalu meloncat ke belakang. Akan tetapi, Han Houw yang sudah melanjutkan serangannya dengan tendangan berantai, tendangan Soan-hong-twi yang bertubi-tubi karena kedua kakinya bergerak seperti angin puyuh, bergantian menyambar dengan amat kuat dan cepatnya.
"Plak-plakk!" Sin Liong mengelak dan terpaksa menangkis karena mengelak terus akan berbahaya. Akan tetapi dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya karena dia tidak ingin berkelahi dengan kakak angkatnya ini. "Houw-ko, jangan...!"
"Sin Liong, apakah engkau akan menjadi pengecut" Sudah berani menghina tidak berani menanggung akibatnya" bentak Han Houw dan dia terus menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaiannya karena memang dia ingin "menguji" adik angkatnya ini.
Serangan demi serangan yang amat hebat dilancarkan oleh Han Houw, bahkan pemuda bangsawan ini juga mengerahkan sin-kangnya yang membuat tubuhnya kebal, maka Sin Liong terdesak hebat sekali. Ketika dia mengelak dan mengatur langkah untuk menghindarkan diri tanpa membalas, tetap saja pundaknya kena sambaran pukulan Han Houw.
"Desss...!" Tubuh Sin Liong terguling. Pukulan tadi keras bukan main dan hanya karena ada tenaga Sin-ciang saja maka pundaknya terlindung dan tidak sampai terluka atau patah tulangnya. Namun Sin Liong menderita kenyerian yang membuat dia meringis. Han Houw gembira dapat merobohkan Sin Liong, maka dia lalu menubruknya dengan susulan pukulan yang amat keras.
Dalam keadaan bergulingan itu, Sin Liong melihat datangnya pukulan keras, maka diapun mengerahkan tenaganya dan menangkis dari bawah.
"Dukkk...!" Tubuh Han Houw terpental sampai dua meter, akan tetapi dia dapat cepat berjungkir balik sehingga tidak sampai terbanting jatuh. Diam-diam Han Houw kagum sekali dan juga penasaran. Pemuda ini semenjak kecil bukan saja digembleng dengan ilmu-ilmu silat tinggi oleh sucinya dan juga oleh subonya, akan tetapi selain ilmu silat juga dia memiliki kepandaian seperti sucinya, yaitu waspada dan mengenal ilmu-ilmu silat orang lain, mudah menangkap dan mencatat ilmu-ilmu asing.
Maka ketika dia menyerang Sin Liong, dia sudah memasang mata untuk mencatat semua gerakan adik angkatnya itu. Seperti biasa, seperti yang diajarkan oleh sucinya pula, dia ingin "mencuri" ilmu silat lawan yang tinggi. Akan tetapi sekali ini dia kecele. Ketika dia menyerang sambil memperhatikan gerakan Sin Liong, adik angkatnya itu hanya mengelak atau menangkis saja, sama sekali tidak membalas menyerang sehingga dia tidak dapat mengenal perkembangan setiap gerakan. Apalagi, gerakan Sin Liong terlalu sederhana, seperti bukan gerakan silat lagi, melainkan gerak otomatis melindungi diri dari bahaya.
Memang demikianlah. Makin tinggi dan makin matang ilmu silat yang dimiliki seseorang, makin lenyap pula kembangan-kembangan yang tidak ada gunanya, yang hanya bertugas sebagai hiasan belaka. Sin Liong yang digembleng orang-orang sakti telah membuat ilmu-ilmu yang tinggi itu mendarah daging dan menjadi satu dengan syaraf tubuhnya sehingga setiap gerakannya, biar tidak sedang berkelahi sekalipun, telah mengandung unsur-unsur melindungi diri ini. Oleh karena itu, begitu dia diserang, dia sudah bergerak tanpa hafalan ilmu silat lagi, melainkan secara otomatis dan gerakannya tidak lagi dibatasi oleh gerak hafalan. Setiap jurus yang dimainkannya hanya "keluar" intinya belaka, yang disesuaikan dan dimanfaatkan dengan datangnya setiap bahaya. Oleh karena itu, maka Han Houw yang memperhatikan dan hendak mempelajarinya, hanya melihat gerakan sederhana tanpa tahu ujung pangkalnya. Padahal, untuk menghindarkan diri dari semua serangan Han Houw yang amat berbahaya tadi, Sin Liong telah mempergunakan ilmu silat yang tinggi, di antaranya jurus-jurus dari San-in-kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, dan dia menggerakkan pula hawa sakti dari tubuhnya yang diwarisi dari Kok Beng Lama, yaitu Thian-te Sin-ciang.
Tidaklah aneh bahwa semua serangan Han Houw dapat dihindarkan oleh Sin Liong karena anak itu mempergunakan inti dari ilmu-ilmu yang amat tinggi itu. Akan tetapi Han Houw menjadi makin penasaran.
"Sin Liong, coba kausambut serangan pedangku!" Dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang.
"Houw-ko... mengapa kau... hendak membunuhku" Sin Liong berseru kaget, akan tetapi pedang itu sudah meluncur ke arah lehernya.
Tentu saja Sin Liong tidak mau dibunuh begitu saja. Melihat pedang meluncur dengan cepat ke lehernya, dia mulai merasa marah. Bagaimanakah kakak angkatnya ini" Sudah gilakah" Karena serangan pedang itu tidak boleh dipandang ringan setelah dia mengenal kekuatan kakak angkatnya yang lihai, Sin Liong secara otomatis menggerakkan tangan kanan dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang yang membuat lengan dan tangannya menjadi kebal, menangkis ke arah pedang lalu mencengkeramnya.
"Plakk!" Pedang itu kena dicengkeram dan tangan kirinya lalu menangkap pergelangan tangan Han Houw.
"Ihhhhh...!" Han Houw berseru dan kaget bukan main karena merasa betapa tenaga sin-kangnya memberobot keluar dari lengannya yang terpegang adik angkatnya itu. Tahulah dia bahwa Sin Liong telah mempergunakan Thi-khi-i-beng yang mujijat, dan dia juga kagum melihat betapa adik angkatnya itu berani menyambut pedang dengan tangan kosong dan memiliki kekebalan yang tidak kalah ampuhnya dengan ilmu kekebalan yang dimilikinya sendiri.
Han Houw tidak mau menerima kalah begitu saja. Dalam kagetnya karena tenaga sin-kangnya tersedot keluar, tangan kirinya bergerak dan jari-jari tangan itu menusuk ke arah mata Sin Liong! Mata merupakan bagian tubuh yang tentu saja tidak mungkin dibikin kebal, maka serangan ini amat mengejutkan Sin Liong yang terpaksa melepaskan pedang dan lengan lawan, melangkah mundur sambil mengelak dengan miringkan kepalanya.
Akan tetapi Han Houw benar-benar hebat. Baru saja pedang dan tangannya terlepas, dia menyusuli tusukan jari tangan ke arah mata tadi dengan tusukan pedang ke arah pusar dan tangan kirinya mencengkeram dengan ganas sambil mengerahkan tangan sehingga dari telapak tangan kiri itu mengepul uap hitam. Itulah pukulan beracun semacam Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang mengeluarkan uap hitam. Bau uapnya itu saja sudah cukup untuk merobohkan atau membuat pening lawan, apalagi pukulannya sendiri! Diserang seperti itu, Sin Liong kembali terkejut dan dia harus mengakui bahwa Han Houw merupakan lawan yang luar biasa lihainya dan kalau dia tidak segera mengeluarkan ilmu simpanannya, jangan-jangan dia akan celaka di tangan kakak angkatnya. Maka dia meloncat ke belakang dan ketika kakaknya mendesak, dia merendahkan tubuhnya, kedua tangannya bergerak aneh, mendorong ke depan.
"Eihhh... brukkkk!" Tubuh Han Houw terbanting cukup keras sehingga dia menjadi pening! Dia hanya dapat bangkit duduk dan memejamkan mata sambil mengguncang-guncang kepalanya karena bumi seperti terputar di sekelilingnya.
"Houw-ko, maafkan aku...!" Sin Liong cepat menghampiri.
Han Houw mengangkat muka memandang dan menarik napas panjang. Dia tidak membantah ketika adik angkatnya mengulurkan tangan dan membantunya bangkit berdiri. Disimpannya pedangnya dan dia bertanya dengan pandang mata penuh kagum, "Liong-te, bukankah pukulanmu yang terakhir tadi merupakan jurus dari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bu Beng Hud-couw"
Sin Liong mengangguk. "Dari kitabnya karena aku belum diajar secara langsung." Sin Liong mengingatkan.
"Ah, bukan main! Baru belajar tidak langsung saja sudah begitu hebat. Apalagi kalau diajar oleh manusia sakti itu sendiri. Ah, aku harus menemuinya dan berguru kepadanya! Liong-te, engkau hebat sekali."
"Maafkan aku, Houw-ko. Akan tetapi mengapakah engkau menyerangku seperti itu" Sin Liong bertanya, nadanya menegur.
Han Houw memandangnya lalu tersenyum. "Aku ingin mengujimu, adikku. Dan pula, mengapa engkau menghinaku dan menuduhku yang bukan-bukan" Kau menuduhku hendak memaksa dan memperkosa wanita!"
Sin Liong menengok dan melihat gadis itu sudah duduk dengan muka pucat, mata terbelalak dan kelihatan takut sekali. Sejak tadi dia tidak berani bergerak, hanya duduk dan melihat perkelahian itu.
"Akan tetapi... mengapa engkau melarikan gadis itu"
Han Houw menoleh ke arah gadis itu dan tersenyum lebar. "Kaukira aku ini orang apa" Aku adalah Pangeran Oguthai, lupakah engkau, adikku" Memperkosa wanita" Ah, apa perlunya" Semua wanita akan suka sekali melayaniku, mengapa harus memperkosa" Betapa hina dan rendahnya!"
"Tapi... tapi dia itu tidak mau dan berteriak-teriak..." Sin Liong berkata bingung.
"Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kaulihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita atau bukan" Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput. Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian tampan dan gagahnya! Sama sekali tidak disangkanya hal ini maka dia terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.
Han Houw tersenyum manis dan memang wajah panggran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia menggunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu. "Nona, aku telah menolongmu dari rumah terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menarigis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan" Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.
"Maafkan saya... saya tidak tahu dan mengira... kawanan penjahat yang melarikan saya..."
"Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat" Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau tidak pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai"
Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub.
"Pangeran... pangeran..."
"Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!"
"Ahhh... ampunkan hamba, pangeran..." Dan gadis dusun itu segera menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu. Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian. "Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu."
Gadis itu bangun dan masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis. "Ah, terima kasih, pangeran..." Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!
"Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak"
Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggeleng kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.
"Bagus!" kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu. Ketika berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis. "Sekarang, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu..." Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.
Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong! Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin keras ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.
"Ha-ha, adikku yang baik, kautunggulah di situ sebentar!" kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!
Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi dan dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya.
Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan" Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga! Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu berahinya sendiri! Betapapun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadipun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu" Ataukah seharusnya dia cepat meninggalkannya"
Kesenangan atau kenikmatan, yaitu perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apapun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga. Akan tetapi kalau pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kegenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.
Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan mendatangkan kebahagiaan hidup. Seorang saterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam kehidupan. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.
Semua pengejaran itu, biar diselimuti dengan nama apapun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar! Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung dari keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanyalah merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap! Si pengejar uang, biarpun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Demikianlah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati! Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang takkan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidakpuasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apapun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang amat penting bagi kita semua, yaitu : Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apapun" Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak perdulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya! Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayal dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada! Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan. Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apapun" Kalau sudah begitu, mungkin akan nampak oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyum seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam sinar matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!
"Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita"
Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan.
Sin Liong sebentar memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.
"Manis, kaupulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu," terdengar Han Houw berkata.
Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dari sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tunduk. Dan tak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.
"Ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!"
"Aku juga akan kembali ke selatan!" Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.
"Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita akan mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita telah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi."
Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tidak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan tentang daerah yang mereka lewati. Sebagai putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar dan dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai sudah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar. Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik dan sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya. Pangeran ini memang mata keranjang dan suka bermain gila dengan wanita, pikirnya, akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa biarpun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, namun si wanita sendirilah yang salah. Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan wanita seperti itu, dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya!
Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seolah-olah pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!
"Houw-ko..."
"Ada apakah, Liong-te" Han Houw menoleh dan tersenyum.
"Siapakah nama perempuan tadi"
Han Houw terbelalak, senyumnya melebar. "Ahhh..." Mana aku tahu"
Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar. "Tidak tahu namanya" Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!
"Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya" Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat."
"Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kaujanjikan dia suruh menanti di dusunnya..."
Kembali pangeran itu tertawa bergelak. "Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Eh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita"
Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita sedemikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya dan kembali wajahnya menjadi merah.
"Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tidak akan melakukan perbuatan seperti yang kaulakukan itu, Houw-ko!" katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.
Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di tepi Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan kota ini pernah diduduki pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biarpun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa inipun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang amat kuat dan yang merupakah bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu daripada bahaya yang datang dari tembok besar.
Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong tiba di kota Ceng-lun, dan para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apalagi ketika Ceng Han Houw membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat memperlihatkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!
Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah kelihatan senang dan menjilat-jilat! Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik. Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak. Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana namun kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka kini, keadaan yang mewah dan dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.
Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan merepotkan malah, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu. Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu "demi kesopanan". Sopankah sikap yang dibuat-buat itu" Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu "disesuaikan" dalam pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, dengan keluarga kita dan sebagainya! Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita" Beginikah peradaban kita" Betapa menyedihkan kalau kita namakan kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu! Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka! Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali! Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.
Ketika Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi tergopoh-gopoh dia lalu mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara. Barulah para pembesar itu tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu"
Malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Biarpun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.
"Houw-ko, akupun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kaulanjutkan sendiri pesta ini," katanya sambil bangkit sendiri.
Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak. "Ha-ha-ha, engkau sudah ingin tidur" Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!"
Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka diapun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk. Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya. Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau, saling pandang, tersenyum lalu merekapun membayanginya dari jauh. Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas. Tiba-tiba dia terkejut karena biarpun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali dan sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh. Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap amat genit.
"Hee! Mau apa kalian masuk ke sini..." Sin Liong sudah bangkit duduk dan menegur dengan gugup. Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu amat genit dan tadi ketika melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.
Empat orang itu tertawa cekikikan mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Seorang di antara mereka berkata dengan sikap genit. "Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa" Hik-hik, apapun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu..."
Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.
"Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko..."
"Ahhh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu..."
"Eh, mengapa" Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya daripada melayani Han Houw.
"Hik-hik, karena... semua orangpun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen..."
Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar keras ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.
"Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas..."
"Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah..."
"Kongcu hendak minum apa"
"Aku yang akan mengipasimu, kongcu..."
Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka. "Aku... aku... mau mencari hawa sejuk..." katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.
Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini amat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlumba untuk mencari pemuda itu.
Tiba-tiba muncullah Han Houw dan dia lalu berbisik-bisik dengan mereka, seperti orang yang mengatur siasat dan disambut oleh empat orang pelayan itu dengan tertawa geli.
Sementara itu, Sin Liong melarikan diri ke dalam taman dengan jantung berdebar tegang. Tubuhnya penuh keringat karena pengalaman tadi membuat dia menjadi tegang sekali, Dia sudah mengenal taman ini siang tadi dan tahu bahwa di situ terdapat sebuah telaga buatan kecil yang airnya jernih. Taman itu sunyi, dan di bagian telaga kecil itu amat indahnya. Bulan malam itu bersinar terang dan cahayanya membuat permukaan air telaga kuning keemasan. Air sedemikian heningnya sehingga bulan seperti tenggelam di dasarnya, tersenyum kepadanya. Ketika Sin Liong berdiri di tepi telaga memandang, bulan yang bundar itu membentuk wajah. Wajah yang berubah-ubah, wajah keempat orang pelayan wanita tadi yang kini tersenyum memikat kepadanya. Dia bergidik, biarpun tubuhnya terasa gerah. Sin Liong mengusir semua bayangan itu dengan duduk di tepi telaga yang sunyi dan menujukan pikirannya kepada pelajaran ilmu yang pernah dilatihnya di bawah bimbingan dan petunjuk Ouwyang Bu Sek. Di antara ilmu yang didapatinya di dalam kitab pemberian guru mereka yang pernah dilihatnya, yaitu Bu Beng Hud-couw, terdapat ilmu samadhi untuk menghimpun tenaga Im-kang dan waktunya tepat sekali pada saat itu. Ilmu itu harus dilakukan dengan cara merendam diri dalam air, di bawah sinar bulan purnama. Dan saat itu bulan purnama, dan di depannya terdapat air telaga yang bening dan jernih. Dia akan dapat melakukan ilmu "menyedot dan menghimpun hawa Im" dengan sebaiknya. Apalagi dia memang sedang merasa panas, dan latihan itu dapat mengusir gangguan bayangan empat orang wanita tadi yang telah mengejarnya!
Karena taman itu sunyi dan tidak kelihatan ada seorangpun kecuali dirinya, Sin Liong tidak ragu-ragu lagi lalu menanggalkan semua pakaiannya, dan dengan hati-hati dia lalu turun ke dalam air telaga. Air yang sejuk sekali menyambutnya dan dia merasa segar sekali. Dia terus melangkah ke tengah telaga di mana airnya mencapai perutnya dan ketika dia duduk bersila, air merendam tubuhnya sampai ke leher. Mulailah Sin Liong bersamadhi dan mengatur napas menurut pelajaran dalam kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw dan mulailah dia menghimpun tenaga dari hawa Im yang berlimpahan bersama dengan sinar bulan purnama memenuhi telaga itu! Dia segera merasa betapa hawa yang amat dingin itu meresap ke dalam tubuhnya, bergerak-gerak di dalam pusar karena hawa di dalam tubuhnya siap menolak hawa Im yang amat kuat itu. Namun dengan menurutkan petunjuk pelajaran itu dia tidak menolak, melainkan menghimpun dan menerima. Mula-mula memang tubuhnya menggigil, akan tetapi makin lama hawa dingin itu makin berkurang dan dia mulai merasa nyaman sehingga kalau dia tidak waspada, dia dapat tertidur dan akibatnya tentu akan berbahaya sekali baginya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan dia terbelalak memandang ke tepi telaga di mana empat orang pelayan cantik tadi telah berdiri sambil tertawa-tawa dan mereka itu mulai menanggalkan pakaian mereka dengan cepat! Kini bukan hanya pakaian luar yang mereka tanggalkan, melainkan berikut pula pakaian dalam sehingga mereka itu semua berbugil!
"Aihhh, kongcu mandi mengapa tidak mengajak kami"
"Mari kugosokkan punggungmu, kongcu."
"Kongcu, kauajari aku renang, hi-hik!"
Tiga orang sudah terjun dan sambil tertawa-tawa, menghampiri dan mengurung Sin Liong, bersiram-siraman air dengan tangan mereka sambil tertawa-tawa. Orang ke empat sudah tergesa-gesa menanggalkan pakaian untuk terjun pula.
Empat orang wanita itu makin geli tertawa ketika melihat keadaan Sin Liong. Memang lucu sekali keadaan pemuda ini. Dia bengong dan tetap mendekam dalam air, tidak berani bergerak sama sekali! Dia bertelanjang bulat, bagaimana dia berani bergerak" Kalau dia melarikan diri, tentu ketelanjangannya akan terlihat orang! Akan tetapi berdiam saja di situ juga tidak mungkin. Empat orang wanita itu telah mendekatinya, bahkan mulai meraba-raba sambil tertawa-tawa.
"Jangan... pergilah kalian... pergilah..." Dia berkata gagap, akan tetapi empat orang itu makin geli tertawa-tawa, memperlihatkan dada mereka yang terbuka dan melakukan gerakan-gerakan memikat di depan Sin Liong sehingga pemuda ini memejamkan mata agar tidak melihat semua pemandangan itu.
"Aihh, kongcu, mengapa malu-malu"
"Malu-malu kucing, hi-hik..."
"Kongcu, berilah cium padaku..."
Sin Liong tidak dapat bertahan lagi. Dia membuka kedua matanya dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Air terpercik ke sekelilingnya.
"Aduhhh...!"
"Ah, mataku..."
Empat orang wanita itu menjerit dan menggunakan kedua tangan menutupi muka dan mereka memejamkan mata karena percikan air itu seperti jarum-jarum saja menusuki muka mereka! Mereka hanya merasakan air bergerak kuat kemudian sunyi. Ketika akhirnya mereka berani membuka mata, ternyata pemuda yang tadi merendam diri bertelanjang di antara mereka itu telah lenyap. Demikian pula tumpukan pakaian pemuda itu di tepi telaga telah lenyap pula!
Dengan kecewa dan juga terheran-heran empat orang gadis cantik itu keluar dari dalam telaga. Muncullah Han Houw dan dengan kecewa pula dia berkata, "Ah, kalian sungguh bodoh! Mengapa kalian tidak memeganginya dan tidak berhasil menundukkannya" Tolol!" Dan dengan gemas pangeran inipun pergi dari situ, kembali ke dalam kamarnya. Dia merasa amat penasaran karena belum juga dapat berhasil menggoda adik angkatnya itu. Selama adik angkatnya itu dapat bertahan dan tinggal menjadi seorang perjaka, dia akan selalu merasa "kalah" dan hal ini amat tidak enak baginya. Dia tidak mau kalah, dalam hal apapun juga. Dan kalau dia sudah berhasil menemukan guru adik angkatnya itu, diapun tidak akan mau kalah dalam hal ilmu silat. Akan tetapi sekarang, dia tidak saja kalah dalam ilmu silat, bahkan kalah pula dalam keteguhan hati mempertahankan kemurnian dirinya. Dia hanya menang dalam kedudukan dan pangeran ini mulai merasa menyesal dan kecewa.
Sementara itu, ketika tadi dia menggunakan akal membuat empat orang wanita itu terpaksa menutupi muka mereka, Sin Liong berhasil melarikan diri tanpa mereka lihat dan pada saat dia melarlkan diri, dia melihat Han Houw mengintai dari balik sebatang pohon, tidak jauh dari telaga buatan itu! Hatinya merasa penasaran sekali karena dia dapat menduga bahwa kembali kakak angkatnya itulah yang berusaha untuk menyeret dan menjatuhkannya dalam pelukan wanita-wanita itu! Mulailah Sin Liong merasa betapa berbahayanya kalau dia melanjutkan perjalanan bersama kakak angkatnya itu. Ada ketidakcocokan dalam banyak hal di antara mereka, biarpun harus diakuinya bahwa dia merasa suka kepada Han Houw dan mengagumi pangeran itu. Karena dia merasa marah oleh perbuatan Han Houw yang jelas hendak menyeretnya jatuh ke dalam permainan cinta kotor dengan wanita-wanita itu. Sin Liong tidak kembali ke dalam kamarnya, melainkan terus melarikan diri pergi dari kota Ceng-lun. Bahkan kuda tunggangnya tidak diambilnya dan dia melanjutkan perjalanan seorang diri, menggunakan ilmunya berlari cepat melintasi padang pasir dan menyeberangi tembok besar, memasuki daerah selatan. Dia meninggalkan Han Houw begitu saja!
*** Sin Liong melakukan perjalanan jauh yang susah payah menuju ke selatan. Alangkah jauh bedanya dengan ketika dia melakukan perjalanan bersama Han Houw. Ketika dia melakukan perjalanan bersama pangeran dari selatan, jauh sekali dari selatan, dia dan Han Houw menunggang kuda dan selalu berhenti di kota-kota besar, disambut dengan penuh kehormatan oleh para pembesar, dijamu dengan hidangan-hidangan lezat, dilayani dan diberi tempat penginapan di kamar istimewa yang bersih dan mewah. Kini, setelah dia meninggalkan Han Houw di Ceng-lun dan melakukan perjalanan dengan jalan kaki ke selatan, dia melakukan perjalanan seorang diri yang melelahkan, bahkan sering kali kurang makan dan terpaksa dia makan seadanya, malah pernah dia terpaksa minta makan pada keluarga petani yang miskin!
Akhirnya dia tiba di kota raja, tempat yang memang ditujunya. Dia ingin mencari Kim Hong Liu-nio, wanita yang bukan saja telah membunuh ibu kandungnya, akan tetapi juga yang menyebabkan kematian kakeknya. Akan tetapi, setelah dia tiba di kota raja, kota yang besar dan ramai itu, mulailah dia merasa bingung. Ke mana dia harus mencari Kim Hong Liu-nio di tempat ramai dan besar ini" Dan mulai pula dia bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mencari makan! Kalau dia berada di dalam hutan, mudah baginya untuk menangkap binatang hutan atau tetumbuhan untuk dimakan, akan tetapi di kota besar seperti kota raja ini, bagaimana dia bisa mendapatkan makan" Mengemis" Dia tidak sampai hati untuk mengemis makanan. Jalan satu-satunya hanyalah bekerja. Akan tetapi bekerja apakah"
Sin Liong merasa bingung sekali. Sudah dua hari dia tidak makan dan pagi hari itu, dia berdiri di depan sebuah restoran yang baru saja membuka pintu pintunya. Dia berdiri di situ karena asap dan uap masakan yang keluar dari rumah makan itu sungguh amat sedap tercium hidungnya, membuat perutnya terasa makin lapar, hampir tak tertahankan lagi.
Sin Liong adalah seorang pemuda yang berwajah tampan. Pakaiannyapun adalah pakaian yang tadinya amat indah dan mahal, pemberian dari pembesar-pembesar yang menyambut Han Houw. Biarpun sudah beberapa lama pakaian itu tidak dicuci atau diganti, sudah nampak kotor, namun masih mudah dikenal bahwa pakaian itu tadinya merupakan pakaian mahal. Oleh karena itu, melihat pemuda ini berdiri bengong di depan rumah makan, majikan rumah makan itu menjadi tertarik. Dia memandang penuh perhatian dan keheranan. Kalau pemuda itu seorang kongcu, tentu sudah masuk restoran dan pesan makanan untuk sarapan pagi, akan tetapi kalau seorang tuan muda, biar pakaian dan sepatunya menunjukkan demikian, pakaian itu sudah terlalu kotor. Sebaliknya, kalau pengemis, tidak pantas pula. Wajah dan pakaian pemuda itu, juga sikapnya, sama sekali tidak memberi tanda bahwa pemuda itu seorang pengemis.
"Engkau... ada apakah berdiri di situ, orang muda" Akhirnya majikan rumah makan itu berdiri di depan pintunya dan bertanya.
Ditegur orang, Sin Liong gelagapan dan dia menelan ludahnya, "Ah, aku... lapar sekali..."
Hemm, bukan pengemis, pikir majikan rumah makan itu. Kalau pengemis tentu sudah minta-minta.
"Kalau lapar, boleh membeli makanan," pancingnya.
Sin Liong makin gelisah. "Aku... aku tidak punya uang..."
Majikan rumah makan itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan teliti dari atas sampai ke bawah. "Lalu dengan apa engkau akan membayar makanan kalau tidak punya uang"
Pertanyaan ini seolah-olah membuka kesempatan bagi Sin Liong. "Lopek, kalau engkau sudi memberi makanan kepadaku, aku dapat membayarnya dengan tenagaku. Aku mau bekerja apa saja untukmu!"
Majikan rumah makan itu mengelus jenggotnya yang jarang dan pendek. Hemm, orang muda ini tidak kelihatan jahat, sikapnya halus dan tubuhnya kelihatan kuat.
"Kau mau menjadi pelayan"
"Aku mau!"
"Apakah engkau bisa"
"Aku dapat mempelajarinya."
"Siapa narnamu, orang muda"
"Namaku... panggil saja A-sin!"
"Di mana rumahmu"
"Lopek, harap percaya kepadaku, aku bukan orang jahat. Akan tetapi aku tidak punya rumah, dan akupun tidak mau mengemis. Aku ingin bekerja untuk mendapatkan makan."
Sikap tegas dan gagah ini meenarik hati majikan rumah makan itu. "Sudah berapa hari engkau tidak makan"
"Sudah dua hari dua malam, dan aku telah melakukan perjalanan jauh sekali."
"Masuklah!"
Sin Liong masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Setelah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang, "Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!"
Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula, dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya. Karena pemuda itu rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan. Wajahnya yang tampan dan usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang dan dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan luar dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak tentang dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.
Sampai berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran. Selama itu, dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorangpun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu dan dia selalu menjauhkan diri dari urusan yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.
Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, biarpun yang dilakukan tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekalipun. Dengan jalan inilah dia mendengar pula tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah! Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapapun juga, seorang diantara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu memasuki benaknya sungguhpun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah seorang yang tidak baik, yang menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!
Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pek-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada hari tanggal itu orang-orang melakukan sembabyang Tiong-ciu. Seperti biasa, banyak penduduk di luar kota raja pada hari besar itu berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kue tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun. Restoran di mana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri ikut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu meramaikan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tidak sedikit.
Empat orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Kausambutlah tamu-tamu kita ini!" teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.
Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya dan dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya. Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andaikata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan seorang diantara pemudanya, akan tetapi tidak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu. Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya" Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Dan pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu" Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis. Jantung di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!
"Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah" Dan minum apa" dia bertanya dengan sikap hormat dan biasa seperti kalau dia melayani para tamu lainnya.
Empat pasang mata memandangnya dan Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.
"Eh, aku pernah melihatmu!" Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong. Sin Liong terkejut dan cepat memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya. "Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barangkali kongcu pernah makan di sini, tentu saja pernah melihat saya."
"Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini," kata Beng Sin. "Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!"
"Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas," kata Lan Lan.
"Aku juga," sambung Lin Lin.
"Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!" Siong Bu mencela sambil tertawa.
"Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat akan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, sedangkan berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, baru belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu"
Lan Lan dan Lin Lin tertawa. "Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau takkan menang!"
Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masak anak-kanak, ketika dia masih berada disamping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!
Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur dan diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan sejak kapan mereka pindah dari utara" Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.
Akan tetapi, setelah empat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh dan terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.
"Eh, kau kenapa, A-sin" tanyanya, akan tetapi melihat A-sin menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya. A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak suruhan orang memanggil tabib, Sin Liong "siuman" kembali dan berkata lemah.
"Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin... asal saya diperbolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh..."
Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya mempergunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapapun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.
Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itupun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka inipun "berpesta" karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang. Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, diapun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan. Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan betas kasihan orang. Dia kadang-kadang bergidik membayangkan dirinya sampai terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.
Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet! Dan dia melihat betapa para pengemis yang menjadi "langganan" restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah! Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu! Biarpun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat dan tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk "mengerjakan" Beng Sin dan tiga orang temannya!
Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba di rombongan Beng Sin, tiba-tiba saja gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!
"Eh, eh... hati-hatilah, nona..."
Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguhpun keranjang sayurannya terlempar dan sayurnya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.
Sin Liong terkejut sekali ketika melihat betapa gadis yang terjatuh tadi, bersama beberapa orang pengemis mempergunakan kesempatan itu untuk menjambret beberapa buntalan barang belanjaan empat orang muda itu, bahkan gadis baju biru yang mukanya berlepotan lumpur dan yang tadi membawa keranjang dan terjatuh, dengan gerakan lihai bukan main, cepat seperti kilat menyambar telah berhasil menyambar kantung uang dari pinggang Beng Sin! Sin Liong melihat betapa cepatnya gadis itu menyambar kantung, menggunakan sebatang pisau kecil yang amat tajam memotong tali kantong dari gantungannya dan dalam sekejap mata saja kantung itu telah lenyap ke balik bajunya! Sin Liong dapat melihat hal ini dengan jelas, dan dia sudah menggerakkan kaki hendak maju dan menangkap para pencopet itu. Akan tetapi ketika gadis itu menoleh kepadanya dan memandangnya dengan sepasang mata yang bening dan bersinar-sinar, seolah-olah sepasang mata itu bicara kepadanya, mohon agar dia jangan mencampurinya, dan terutama sekali karena teringat bahwa mereka adalah para pengemis yang hidupnya kekurangan, ada sesuatu yang menahan Sin Liong dan membuat dia tidak jadi bergerak. Apalagi karena diapun tidak ingin memperkenaikan diri kepada empat orang muda itu. Maka dia hanya memandang dan menahan senyum ketika gadis itu pergi menyelinap di antara orang banyak dalam pasar bersama teman-temannya dan tak lama kemudian terdengar ribut-ribut ketika Beng Sin dan saudara-saudaranya merasa kehilangan.
"Keparat! Berani benar mengganggu kami" Beng Sin mencak-mencak dan mengepal tinju, akan tetapi dia hanya menjadi tontonan orang karena dia sendiri tidak tahu kepada siapa dia harus marah-marah. Akhirnya empat orang muda itu meninggalkan pasar dan kembali ke tempat tinggal mereka. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi Sin Liong membayangi mereka sampai mereka tiba di sebuah dusun yang terletak tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja.
Setelah mengetahui di mana tempat tinggal mereka, yaitu di sebuah rumah besar di dusun itu, Sin Liong lalu mencari keterangan di dusun itu, dan mendengar bahwa Kui-wangwe (hartawan Kui) telah beberapa tahun tinggal di tempat itu, memiliki banyak sawah dan menjadi tuan tanah paling kaya di dusun itu!
Setelah merasa puas karena dapat menemukan tempat tinggal keluarga Kui itu, Sin Liong lalu cepat kembali ke rumah makan dan siang hari itu juga dia sudah dapat membantu lagi pekerjaan di rumah makan, sehingga majikannya merasa senang.
Beberapa hari kemudian, ketika pada suatu sore Sin Liong sedang mencuci mangkok piring di bagian belakang restoran itu, dan membuangi sisa makanan ke dalam keranjang sampah, terdengar seruan orang dari luar pintu belakang. "Heh, bung A-sin, kenapa kau buangi sisa makanan itu" Berikan kepada kami...!"
Mendengar suara ini, Sin Liong menengok dan dia melihat tiga orang pengemis muda berlarian mendatangi sambil membawa kaleng mereka yang biasanya mereka pergunakan untuk menampung sisa-sisa makanan yang masih baik. Akan tetapi sekali ini, tidak seperti biasanya, Sin Liong dengan gerakan marah lalu membuang sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sampah sehingga tiga orang pengemis muda itu tertegun dan memandang heran.
"Bung A-sin, kenapa kaubuang" Mereka terkejut karena biasanya, A-sin ini merupakan seorang di antara pelayan yang bersikap paling ramah dan baik kepada mereka.
Sin Liong mengerutkan alisnya dan memandang mereka dengah sikap marah, "Perlu apa kalian mencari sisa makanan" Bukankah sekarang kalian mampu membeli masakan-masakan yang mahal"
Tiga orang pengemis muda itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka bertanya, "Eh, saudara A-sin, apa maksudmu dengan kata-kata itu" Kami tidak mengerti."
"Hemm, perlukah kalian berpura-pura lagi" Atau apakah kalian begitu royal membuang hasil kalian seperti pasir sehingga dalam waktu empat hari saja harus mengemis lagi"
Tiga orang itu mengerutkan alis. "Saudara A-sin, apa maksudmu"
Kini Sin Liong menjadi makin marah dan membentak. "Sudahlah! Kaukira tidak ada yang tahu ketika kalian melakukan pencopetan-pencopetan di pasar" Tak tahu malu!"
Tiga orang itu saling pandang dan wajah mereka berubah, kelihatan ketakutan dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu. Sin Liong juga diam saja, di dalam hatinya merasa menyesal sekali. Biasanya dia merasa kasihan kepada pengemis-pengemis muda itu, merasa senasib dengan mereka. Akan tetapi melihat mereka menjadi pencopet-pencopet di pasar, perasaan kasihan di hatinya kini berubah menjadi sebal dan tak senang. Keadaan lahir tidak selalu mencerminkan batin, pikirnya. Pengemis-pengemis muda yang menimbulkan rasa iba itu ternyata hanyalah penjahat-penjahat kecil yang tidak patut dikasihani!
Malam hari itu setelah restoran tutup, Sin Liong rebah di dalam kamarnya dan melamun. Sudah lama juga dia bekerja di restoran itu, sudah hampir setengah tahun! Selama itu, tidak pernah dia lalai utnuk melatih ilmu-ilmunya dan dia kini merasa sudah cukup kuat untuk menghadapi orang yang selama ini dicari-carinya, yaitu Kim Hong Liu-nio! Selama ini dia sudah menyelidiki dan mendengar-dengar berita di antara para tamu restoran dan dia tahu bahwa Kim Hong Liu-nio, sebagai utusan atau wakil dari Raja Sabutai, merupakan orang penting juga di kota raja bahkan kabarnya merupakan orang kepercayaan dalam istana. Jelaslah bahwa dia akan dapat mencari wanita pembunuh ibunya itu di kota raja ini, dan agaknya di dalam istana. Kalau perlu dia akan mencari ke dalam istana!
Tiba-tiba Sin Liong bangkit duduk. Pendengarannya yang amat tajam dan terlatih itu menangkap gerakan kaki manusia di atas genteng rumah! Gerakan kaki yang ringan terlatih, akan tetapi tidak cukup ringan baginya sehingga masih menimbulkan suara yang terdengar olehnya. Sekali tiup, lilin di atas mejanya padam dan dengan hati-hati sekali Sin Liong lalu keluar dari dalam kamarnya melalui jendela. Setelah menyelinap dengan gerakan cepat akhirnya Sin Liong meloncat naik ke atas genteng dan mengintai gerak-gerik bayangan orang yang berada di atas genteng. Ketika sinar bulan menerangi wajah bayangan yang bertubuh langsing itu, dia terkejut. Kiranya bayangan itu adalah gadis berbaju biru, pemimpin para tukang copet di pasar! Atau lebih tepat lagi, gadis yang memimpin para pengemis muda menjadi pencopet! Mau apa dia berkeliaran di sini" Apakah selain mencopet, gadis ini juga biasa melakukan pekerjaan sebagai maling" Akan tetapi, gadis itu tidak kelihatan membawa senjata tajam dan dia kagum juga menyaksikan gerakan yang tetap dan ringan itu, tanda bahwa gadis itu telah mempelajari ilmu silat yang lumayan tingginya. Dia melihat gadis remaja itu ragu-ragu dan tiba-tiba gadis itu mendekam.
Sin Liong juga menoleh karena pada saat itu terdengar suara orang bernyanyi dengan suara serak, lalu nampak seorang laki-laki gendut berjalan sempoyongan di belakang rumah makan yang sudah tertutup itu. Sin Liong mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah A-tong, pembantu tukang masak yang perutnya gendut. Selain ahli masak dan gembul makan sehingga perutnya gendut, A-tong terkenal sebagai seorang laki-laki yang suka berpacaran dan minum sampai mabuk, pikir Sin Liong yang merasa geli melihat gadis itu terkejut mendengar nyanyian serak itu.
Akan tetapi Sin Liong menjadi terkejut ketika melihat gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, kemudian melayang turun dengan gerakan seperti seekor burung kenari saja ringannya. Sin Liong cepat membayanginya dan siap untuk menolong si gendut karena agaknya gadis itu hendak menyerang si gendut! Namun, dengan waspada Sin Liong melihat bahwa serangan gadis itu hanya untuk menotok saja, bukan untuk mencelakai, maka diapun diam saja, hanya mengamati dari balik pohon, dia turun tangan kalau gadis aneh itu berniat jahat.
"Uhhh...!" A-tong tertotok pundaknya dari belakang dan roboh dengan lemas, akan tetapi sebelum roboh, gadis itu sudah mencengkeram pundaknya dan menghardik dengan suara dibesar-besarkan, seperti suara laki-laki akan tetapi kedengarannya lucu sekali.
Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemmm... aku adalah setan penunggu kebun ini...!" hardiknya dengan suara menggeram, Sin Liong yang mendengarkan ini, menjadi geli. Apa maunya dara itu bermain-main seperti itu" Apakah gadis itu miring otaknya" Dan dia makin geli melihat tubuh gendut yang lemas dan tidak dapat menengok ke belakang itu menggigil ketakutan.
"Ampun... ampunkan saya... Pek-kong...!" A-tong mengeluh, dalam keadaan setengah mabuk dia percaya bahwa dia telah dicengkeram oleh setan!
"Hemm... aku dapat ampunkan kau akan tetapi beri tahu di mana kamarnya si A-sin pelayan itu"
Diam-diam Sin Liong makin geli akan tetapi juga terkejut dan heran. Kiranya gadis itu mencari dia!
"Ehh... A-sin... A-sin... kamarnya di ujung kanan itu... harap ampun..."
"Plak!" Gadis itu mengetuk tengkuk A-tong yang mengeluh dan terguling roboh. Sin Liong makin geli karena dia tahu bahwa tamparan itu tidak melukai, akan tetapi saking takutnya A-tong sudah jatuh pingsan. Cepat dia meloncat dan di lain saat dia sudah memasuki kamarnya melalui jendela, kemudian dia melepas sepatunya dan rebah di atas pembaringan, terdengar suara dengkurnya tanda bahwa dia sudah tidur pulas!
Dengan menahan geli hatinya, Sin Liong mendengar betapa jendela kamarnya yang tadinya dipalangnya dari dalam itu perlahan-lahan digerayangi dan dibuka orang! Kagum juga dia karena agaknya tidak makan waktu terlalu lama bagi gadis itu untuk dapat membuka daun jendelanya. Agaknya gadis inipun ahli dalam ilmu membuka-buka daun pintu dan jendela rumah orang dari luar! Hening sejenak setelah daun jendela terbuka, kemudian sesosok bayangan yang gesit meloncat masuk. Kakinya hanya menimbulkan sedikit suara saja ketika menyentuh tanah, seperti lompatan seekor kucing!
Gadis ini mau apa setelah menemukan kamarnya, pikir Sin Liong. Mau membunuhnya" Agaknya tidak, karena selain gadis itu tidak kelihatan jahat seperti terbukti ketika memaksa A-tong mengaku, juga tidak membawa senjata. Lalu mau apa" Jantung dalam dada Sin Liong berdebar dan tiba-tiba dia memejamkan matanya ketika melihat sinar api. Gadis itu menyalakan lilin di atas meja! Dan tiba-tiba, dengan gerakan cepat juga, gadis itu sudah meloncat ke dekat pembaringannya dan dengan tangannya siap untuk menotoknya seperti yang dilakukannya tadi kepada A-tong! Akan tetapi dia diam saja, pura-pura tidur.
"Heh, A-sin bangun kau!" terdengar gadis itu membentak halus dan jari-jari tangan yang kecil halus itu mencengkeram pundak Sin Liong dan mengguncangnya!
Sin Liong pura-pura kaget, akan tetapi tiba-tiba dia kelihatan ketakutan ketika pundaknya dicengkeram makin kuat.
"Diam jangan bergerak atau bersuara! Kalau berteriak, kubunuh kau!" bentak gadis itu.
"Eh... ehhh... kabarnya Giam-lo-ong itu pria, akan tetapi... kenapa ada Giam-lo-ong wanita..." Sin Liong pura-pura gugup dan terheran-heran, terbelalak memandang wajah yang kini tidak lagi berlepotan lumpur dan kelihatan manis nampak remang-remang di bawah sinar lilin yang lemah.
"Kau ngaco-belo apa" Siapa Giam-lo-ong" Gadis itu juga menjadi heran dan membentak lirih.
"Kau bukan Giam-lo-ong" Mengapa mau mencabut nyawaku" Sin Liong bersikap ketolol-tololan.
"Huh, ceriwis kau! Cerewet kau! Awas, kaulihat baik-baik ini!" Setelah berkata demikian, gadis itu menengok ke kanan kiri dalam kamar. Melihat sebuah sapu dengan gagang kayu sebesar lengan orang, dia lalu mengambil dan dengan sekali tekuk menggunakan kedua tangannya, gagang sapu itupun patah dan dilemparkannya ke atas lantai. Sin Liong terbelalak dan bersikap ketololan.
"Eh, eh... apa dosanya sapu itu" Kenapa kaupatahkan gagangnya" Wah, celaka, kaubikin aku susah, harus membuatkan gagang baru...!"
Gadis itu kelihatan gemas. Dia mendemonstrasikan kekuatannya untuk membikin takut pemuda tolol ini, si pemuda bukannya takut akan kekuatannya, malah mengomel karena gagang sapunya patah!
"Goblok! Kau bernama A-sin"
"Benar, dan kau siapa, kenapa masuk kamarku" Apa kau babu baru di sini"
"Cerewet! Aku datang untuk memperingatkanmu, mengerti" Dan kau harus taat kepadaku, kalau tidak, lehermu akan kupatahkan seperti gagang sapu tadi!"
"Wahhh... kau galak... mengerikan..." Sin Liong bangkit duduk dan meraba lehernya.
"Nah, kau takut padaku, bukan"
Sin Liong menggeleng kepala.
"Apa" Gadis itu mengerutkan alisnya dan menarik muka serem, akan tetapi akibatnya menjadi tambah manis dan jauh daripada mengerikan. "Kau tidak takut padaku"
Sin Liong menggeleng kepala. "Ketiapa mesti takut"
"Karena aku menakutkan!"
"Tidak, kau tidak menakutkan sama sekali..."
"Aku ingin kau takut!"
"Wah, kau ini aneh. Eh, nona cilik..."
"Aku tidak cilik lagi!"
"Baiklah, nona gede, dengarkan. Apa kau suka menggigit"
"Ehhh" Menggigit..." Wah, kau mau kurang ajar, ya" Porno, ya"
"Lhoh! Mengapa kurang ajar" Aku tanya apakah kau suka menggigit maka kau ingin aku takut padamu. Kau tidak suka menggigit, bukan"
"Gila kau! Aku anak perempuan masa menggigit, menggigit apamu" bentak gadis itu jengkel.
"Ya menggigit apaku, boleh kaupilih, akan tetapi aku tidak takut padamu. Habis, kau tidak menakutkan, sih!"
Gadis itu kini menyambar paku yang menancap di dinding, paku yang dipergunakan oleh Sin Liong untuk menggantungkan pakaiannya. Dicabutnya paku itu dengan jari tangannya, kemudian didepan mata Sin Liong, dia menggunakan jari-jari tangannya untuk menekuk-nekuk paku itu! Sin Liong memandang dan membelalakkan matanya penuh keheranan.
Dengan puas dan bangga, sedikit membusungkan dadanya yang masih belum terlalu besar itu, gadis itu mendengus, "Huh, sekarang kau takut padaku" Lihat kekuatan tanganku!"
"Eh, apakah kau main sulap" Wah, kalau kau bermain sulap seperti itu besok siang di depan restoran, tentu banyak orang suka membayar..."
"Sulap hidungmu!" Gadis itu makin marah. Kiranya tolol benar orang yang namanya A-sin ini!
Sin Liong yang sudah bangkit duduk itupun pura-pura marah. "Dengar kau,nona cilik... eh, gede! Mau apa kau memasuki kamarku" Anak perempuan masuk kamar anak laki-laki! Cih, tak tahu malu!"
"Dengarkan kau, bocah tolol! Buka telinga keledaimu lebar-lebar! Aku adalah pimpinan anak-anak miskin di kota raja dan kalau kau banyak membantah, sekali tampar aku akan dapat membikin nyawamu melayang! Sore tadi engkau telah menghina anak buahku, mengatakan mereka mencopet! Awas, kalau kau berani berkata kepada siapapun tentang itu, kalau sampai ada anak buahku yang ditangkap polisi, aku akan datang lagi dan akan kupatahkan batang lehermu. Atau akan kubuat kepalamu seperti ini... crokkk!" Gadis itu menggunakan tiga jari tangannya menusuk meja dan... papan kayu meja itu tembus berlubang oleh tiga jari yang kecil mungil itu!
Sin Liong pura-pura terkejut dan membelalakkan matanya, di dalam hatinya dia memang kagum juga, bukan hanya kagum akan kelihaian gadis ini, melainkan akan keberaniannya dan juga sikapnya yang membela kawan.
Golok Sakti 8 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Kemelut Di Majapahit 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama