Ceritasilat Novel Online

Pendekar Lembah Naga 30

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 30


Sering kali mereka membicarakan tentang Sin Liong. "Bocah setan itu benar-benar lihai sekali," kata Yap In Hong. "Sungguh luar biasa bocah seperti itu memiliki semua ilmu-ilmu Cin-ling-pai sedemikian sempurnanya. Dia telah mewarisi semua kepandaian mendiang suhu Kok Beng Lama!"
"Dan juga kepandaian mendiang ayah!" kata Bun Houw sambil menarik napas panjang. "Aku sendiri sebagai putera tunggal ayah tidak mewarisi Thi-khi-i-beng, juga enci Giok Keng sebagai puteri tunggalnyapun tidak. Yang mewarisi hanyalah kakanda Yap Kun Liong seorang. Akan tetapi siapa kira, bocah setan itu kini mewarisinya, dan dapat mempergunakannya dengan mahir sekali!"
"Dia telah menggabung ilmu-ilmu dua orang guru besar secara hebat. Dia akan merupakan lawan yang tangguh sekali!"
"MEMANG benar. Sungguh aku tidak mengerti mengapa suhu Kok Beng Lama dan ayahku menurunkan semua ilmu mereka kepada becah tak berbudi itu sehingga kini semua ilmu kita sendiri dipergunakan untuk melawan kita dan membela pangeran pemberontak. Sungguh penasaran sekali, dan kalau saja mendiang ayah dan mendiang suhu Kok Beng Lama dapat melihat hal ini, tentu mereka berdua akan merasa menyesal sekali."
"Sudahlah, tidak perlu kita gelisah dan khawatir. Bagaimanapun juga, dia masih amat muda dan belum berpengalaman. Mungkin saja dia kena terbujuk oleh pangeran itu, siapa tahu" Kita belum melihat benar bagaimana isi hati anak yang aneh dan keras hati itu. Agaknya tidak mungkin kalau kedua orang tua yang bijaksana itu sampai salah mengenal orang. Kita lihat saja bagaimana perkembangan selanjutnya di Lembah Naga."
Cia Bun Houw menyetujui pendapat isterinya ini dan mereka menanti sambil memasang mata dengan waspada, menanti perkembangan dan datangnya hari pertemuan para tokoh kang-ouw di Lembah Naga yang undangannya telah disebar oleh kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw beberapa bulan sebelumnya. Semua tokoh kang-ouw yang "merasa berkepandaian" diundang, tanpa menentukan siapa orangnya. Dalam undangan yang disebar itu dikemukakan bahwa dalam pertemuan itu akan dipilih seorang bengcu yang akan memimpin seluruh dunia kang-ouw sebagai jagoan nomor satu di dunia ini! Suami isteri ini maklum bahwa tentu semua tokoh kang-ouw akan tertarik oleh undangan istimewa ini dan Lembah Naga akan menjadi ramai bukan main. Akan tetapi merekapun tahu bahwa akan terjadi keramaian lain yang sama sekali tidak akan terduga-duga oleh Pangeran Ceng Hen Houw si pemberontak itu. Mereka menanti saat penentuan itu dengan tenang dan waspada.
*** Telah terlalu lama kita menginggalkan keadaan Tee Beng Sin si pemuda gemuk yang gagah perkasa itu. Setelah kita mengetahui bahwa yang memiliki she (nama keturunan) Tee adalah ibu kandungnya yang telah menjadi nikouw, sedangkan ayah kandungnya sesungguhnya adalah Kui Hok Boan, maka nama lengkapnya tentu saja bukan Tee Beng Sin melainkan Kui Beng Sin! Hal ini merupakan kenyataan pahit bagi Beng Sin karena sesungguhnya dia mulai merasa tidak suka kepada orang yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu!
Dengan hati perih sekali setelah dia bertemu dengan ibu kandungnya yang telah menjadi seorang nikouw dalam kuil dan tidak mau mengakui lagi sebagai Tee Cui Hwa dan mengatakan bahwa Tee Cui Hwa telah mati dan bahwa dia adalah Thian Sin Nikouw, ibunya menceritakan tentang riwayat ayah kandungnya yang busuk! Akan tetapi ada juga sedikit hiburan di dalam hatinya, yaitu bahwa ibunya itu melalui kata-kata Thian Sin Nikouw, telah menyetujui perjodohannya dengan puteri Ciok-piauwsu yang baik budi dan gagah itu. Dia tidak lagi mengharapkan ayah kandungnya yang sudah ditinggalkannya. Dia tidak lagi dapat mengharapkan perjodohan dengan seorang di antara dua puteri kembar ayah kandungnya itu, karena Lan dan Lin ternyata adalah adik-adik tirinya sendiri, seayah berlainan ibu! Maka dengan besar hati dia meninggalkan ibunya dan berangkatlah pemuda gemuk yang berwatak gembira ini menuju ke Su-couw di Ho-nan, di mana dia tahu keluarga Ciok, terutama sekali Ciok Siu Lan dara yang manis itu, telah menantinya dengan penuh harapan.
Dan apa yang dibayangkannya itu memang benar. Ketika dia tiba di rumah calon mertuanya itu, dia disambut dengan gembira dan meriah sekali. Siu Lan, dara itu, tidak mengeluarkan sepatahpun kata, akan tetapi wajah yang manis itu menjadi cerah sekali, sepasang matanya yang bening itu berkaca-kaca, basah dan berkilauan, mulutnya yang mungil itu mengulum senyum dan setelah mengerling dan tersenyum malu-malu kepada Beng Sin, memberi hormat, dia lalu melarikan diri dengan langkah-langkah kecil ke dalam rumah, membanting dirinya di atas pembaringan dalam kamarnya dan... menangis karena girang!
Ciok-piauwsu dan isterinya, calon ayah dan ibu mertua Beng Sin, menyambut pemuda itu dengan girang, dan mereka mendengarkan dengan wajah serius ketika Beng Sin menceritakan segala yang telah dialaminya. Pemuda ini merasa bahwa kalau dia mau menjadi keluarga mereka ini, dia harus menceritakan segala keadaannya. Tentu saja dia tidak mau menceritakan keburukan ayah kandung sendiri.
Yang mula-mula sekali dikatakannya adalah, "Saya telah membunuh kakak tiri saya sendiri..."
Tentu saja pengakuan ini mengejutkan Ciok-piauwsu dan isterinya. Akan tetapi setelah Beng Sin menceritakan segalanya, tentang perbuatan Siong Bu yang mencelakakan Lan Lan dan Lin Lin, tentang pertempuran yang terjadi di antara mereka karena marah, kemudian tentang kematian Siong Bu dalam perkelahian itu, Ciok-piauwsu menarik napas panjang dan berkata, "Engkau tidak bersalah dalam hal itu. Tewas dalam perkelahian memperebutkan kebenaran adalah sudah jamak."
Besar hatinya mendengar pendapat calon ayah mertuanya ini, Beng Sin lalu menceritakan segala-galanya. Betapa ayah dan ibunya telah berpisah, dan ibunya kini menjadi nikouw dan tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi. Betapa dia sendiri menjadi bentrok dengan ayahnya karena peristiwa kematian kakak tirinya itu dan dia sendiri tidak ingin kembali kepada ayah kandungnya. Betapa ibunya, sebagai nikouw, merestui perjodohan yang diusulkan oleh keluarga Ciok.
Semua itu didengarkan oleh suami isteri dengan penuh kesungguhan hati dan juga kagum. Pemuda calon mantunya ini benar-benar seorang yang amat jujur, tidak mau menutupi segala keburukan keluarganya sendiri. Jauh lebih baik mempunyai seorang mantu yang jujur seperti ini daripada kalau menyembunyikan dan merahasiakan segala kebusukan keluarganya. Dengan sikap jujur seperti itu, Beng Sin sudah membuktikan bahwa dia tidaklah busuk seperti kakak tirinya atau ayah kandungnya sendiri!
"Saya sendiri sungguh mati tidak pernah dapat mengerti mengapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!" Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. "Kalau saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu"
"Tenangkan hatimu, Beng Sin," kata calon ayah mertuanya. "Kedua orang adikmu itu telah selamat."
"Eh" Bagaimana... eh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu..." Biarpun agak malu-malu, dia tidak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciok-piauwsu.
"Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka."
Muka yang gemuk itu memandang dengan melongo, terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.
"Ah, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini" Bersama ayah" Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.
"Benar, dan mereka kini telah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu dan adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan."
Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala. "Saya tidak akan mengunjungi ayah..."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciok-piauwsu berkata, nada suaranya bersungguh-sungguh, "Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi dan bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan tidak ada gunanya kalau engkau sekarang hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri."
"Akan tetapi, gak-hu..., hanya sayalah yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ah, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiripun hendak diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih..."
"Cukup, Beng Sin!" Tiba-tiba Ciok-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. "Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau memaafkannya" Dia sekarang... ah, sakit parah..."
"Ahhh..." Beng Sin terkejut.
"Benar, Beng Sin," sambung ibu mertuanya. "Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit."
Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.
"Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka."
Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu. Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok, untuk "dijalankan" sehingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan dan tidak akan habis dimakan menganggur begitu saja.
Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.
"Sin-ko...!" Kui Lan terisak.
"Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul" Kui Lin juga menangis.
Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang disayangnya ini. "Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat..." katanya berulang-ulang.
Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!
"Kami diselamatkan oleh Liong-koko," kata Kui Lan.
"Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini," sambung Kui Lin.
Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahukah dua orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka" Dan sudah dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu" Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata, "Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko..."
Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata, "Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko," kata Kui Lan.
"Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah..."
"Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia..." Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri.
Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka. "Bagaimana... ayah..." tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. "Aku mendengar dari keluarga Ciok bahwa dia sakit payah"
Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan, tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi..."
"Tetapi bagaimana" Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.
"Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia..."
"Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko," Kui Lan menyambung.
Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.
Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan biarpun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.
"Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk," kata Kui Lan.
"Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya" Kui Lin mengingatkan.
"Beng Sin... Beng Sin... anakku..." kata orang tua itu lirih seperti berbisik.
Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu sambil menitikkah air mata. "Ayah...!" Dia tidak dapat bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah"
"Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian" Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh..." dan orang tua itupun menangis seperti anak kecil!
Beng Sin terkejut dan momandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terdengar.
"Dia selalu begitu..." kata Kui Lin berbisik. "Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur."
Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu..."
"Itukah hukum karma" Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya" kata Kui Lin meragu.
"Betapapun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat," kata Kui Lan.
Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.
Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat" Apakah gunanya penyesalan" Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian" Ataukah penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sendiri" Betapa seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya. Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Baru setelah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu" Tentu saja tidak! Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehar-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini"
Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat. Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai di situ saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!
Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu" Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi! Akan tetapi, apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya!
Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!
*** Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu. Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri. Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.
Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula partai-partai kecil.
Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasang suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.
Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga! Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu memisahkan mereka satu dari yang lain.
"Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh..." keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali. Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu. Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie Ciauw Si.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng" Cia Bun Houw bertanya kepada encinya, "Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi ternyata pangeran itu telah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!"
Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata lantang, "Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!"
Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia berkata dengan suara yang halus, "Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan."
Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggalkan keluarga Cin-ling-pai karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu. Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si! Dan justeru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat di antara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan kemungkinan seperti ini.
Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu. Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang! Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.
Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan. Dengan demikian, maka di antara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya. Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup di antara banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.
Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak. Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.
Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya. "Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku," katanya "Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku dapat menghadapnya di sini saja"
Ceng Han Houw menggelengkan kepalanya. "Kurasa hal itu kurang biiaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung di antara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita rundingkan bersama sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu." Pangeran itu memandang isterinya yang sudah berpakaian indah. "Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja."
Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan mengangguk. "Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, kuharap saja tidak demikian," katanya melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum. Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk.
"Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian."
Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi peristiwa besar itu, di mana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.
Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum. Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikitpun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa. Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.
Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir.
Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan di samping sang pangeran pula. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pandangan yang luas itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama" Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah" Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri, dan wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini"
Dari tempat duduk para tamu, semua orang dapat melihat pangeran dan dua orang pendampingnya itu, karena memang tempat itu lebih tinggi dan ketika pangeran dan Ciauw Si dan Sin Liong telah mengangguk ke arah tamu, mereka lalu duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan, yaitu di bagian dalam ruangan dan kurang lebih satu meter lebih tinggi daripada tempat duduk para tamu. Dari tempat duduknya pangeran menyapu semua tamu dengan sinar matanya dan dia dapat melihat keluarga Cin-ling-pai di sebelah luar, akan tetapi dia pura-pura tidak melihat mereka, sungguhpun hatinya merasa girang sekali. Kalau saja dia mampu membujuk mereka itu membantunya, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Selain itu, andaikata tidak berhasil sekalipun, dia akan dapat membuktikan bahwa dia lebih lihai daripada mereka sehingga julukan jago nomor satu di dunia patut dia miliki! Akan tetapi, Ciauw Si yang memang merasa ngeri untuk bertemu pandang dengan ibu kandungnya di tempat penuh orang itu, lebih banyak menunduk dan membatasi pandang matanya agar jangan sampai bentrok dengan pandang mata ibu kandungnya. Sebaliknya, dengan berani Sin Liong juga menyapukan pandang matanya ke arah semua tamu, dan dia melihat betapa empat pasang sinar mata keluarga Cin-ling-pai memandangnya dengan marah.
Diapun mengerti akan isi hati mereka, akan tetapi, dia tidak peduli. Kalian akan melihat bahwa aku bukan membantu pangeran ini, melainkan melindungi Bi Cu, pikirnya.
Kini semua tamu sudah berkumpul semua dan ternyata jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang! Namun ruangan yang luas itu sama sekali tidak kelihatan penuh, bahkan masih tampak kursi yang kosong di sebelah luar. Semua tamu merasa tegang dan juga gembira. Ruangan itu selain luas dan sejuk karena memperoleh angin dari luar yang terbuka, juga dihias indah dan megah. Pilar-pilarnya yang besar itu dicat putih, dan dihias kertas-kertas kembang. Langit-langitnya juga penuh dengan kertas-kertas berwarna dan lampu-lampu yang bermacam-macam bentuk dan warna. Kain-kain sutera warna-warni menghias pula tempat yang luas itu. Kursi-kursinya terbuat dari kayu terukir halus, demikian pula meja-mejanya. Guci-guci kuno terdapat di sudut-sudut dengan ukiran arca-arca binatang yang seperti hidup.
Ketika para pelayan datang menyuguhkan arak yang amat baik dengan guci-guci perak, para tamu menjadi semakin gembira. Setiap orang tamu menerima sebuah cawan perak yang terukir indah, dan mulailah mereka minum arak sehingga ruangan itu penuh bau arak yang sedap.
Setelah melihat semua tamu sudah menerima hidangan arak, Pangeran Ceng Han Houw lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi sedang itu nampak tegak lurus dan nampak wajahnya yang tampan berseri-seri. Tiba-tiba terdengar suara mengguntur dari komandan jaga yang juga bertugas sebagai pengatur tata tertib, "Silakan cu-wi menaruh perhatian, sang pangeran hendak bicara!"
Sebetulnya tidak perlu komandan ini berteriak karena semua tamu sudah memandang ke arah pangeran itu, dan semua suara berisik telah berhenti. Suasana menjadi sunyi sekali, semua mata ditujukan kepada orang yang telah berani mengundang seluruh kaum kang-ouw tanpa pilih bulu itu. Biasanya pertemuan orang kang-ouw hanyalah memillh golongan mereka sendiri. Andaikata partai Siauw-lim-pai yang mengadakan pertemuan untuk membicarakan keadaan masyarakat, atau juga membicarakan soal persilatan, tentu yang diundang oleh partai itu hanyalah partai-partai bersih lainnya atau tokoh-tokoh golongan bersih, sama sekali tidak akan mengundang tokoh-tokoh sesat. Sebaliknya, kaum sesatpun kalau mengadakan pertemuan tidak akan mengundang golongan bersih yang dianggap sebagai orang-orang sombong dan selalu menentang mereka. Akan tetapi sekali ini, Pangeran Ceng Han Houw mengundang semua golongan, pendeknya dunia persilatan tanpa membedakan antara yang manapun juga! Tentu saja hal ini amat menarik, apalagi ketika di undangan itu disebutkan bahwa pertemuan itu dimaksudkan untuk memilih jago silat nomor satu di dunia! Mereka sudah mendengar pula akan sepak terjang pangeran itu yang sudah menundukkan tidak sedikit tokoh-tokoh persilatan, bahkan telah berani menantang ketua Siauw-lim-pai dan mengalahkan tokoh-tokohnya! Mereka mendengar berita bahwa pangeran ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa!
"Cu-wi yang mulia," terdengar suara pangeran itu, suaranya halus dan diucapkan perlahan saja akan tetapi dapat terdengar sampai jauh di luar ruangan itu karena dia mengerahkan tenaga khi-kangnya sehingga pidato itu sekaligus merupakan demonstrasi kekuatan khi-kangnya yang mengagumkan semua orang, "Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran cu-wi. Seperti telah kami sebutkan dalam surat selebaran atau undangan, pertemuan ini dimaksudkan untuk mengadakan pemilihan bengcu. Mengapa kita harus memilih seorang bengcu yang memimpin pergerakan seluruh rakyat jelata" Cu-wi tentu telah mendengar akan tindakan-tindakan pemerintah yang kurang bijaksana! Semua orang tahu belaka betapa kaisar telah melakukan tindakan lalim, dengan menjatuhkan tuduhan memberontak kepada orang-orang gagah perkasa! Akhir-akhir ini banyak pejabat tinggi yang bijaksana telah ditangkapi, dah banyak perkumpulan-perkumpulan orang gagah di selatan telah diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah! Oleh karena itu, kita orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, haruslah bertindak, menghimpun kekuatan untuk menentang kelaliman. Dan hal ini baru dapat dilaksanakan dengan baik apabila kita mempunyai seorang bengcu yang bijaksana dan tangguh! Maka dari itu, kita berkumpul semua ini untuk lebih dulu memilih seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat paling tinggi, merupakan seorang yang paling lihai dan paling tangguh sehingga boleh disebut jago silat nomor satu di dunia dan dialah yang patut kita angkat menjadi seorang bengcu!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring berseru, "Kami tidak setuju...!" Dan seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah seperti tokoh Si Jin Kui, berpakaian sederhana telah bangkit dari kursinya dan mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. Semua orang tentu saja terkejut dan menoleh kepadanya. Kiranya pemuda itu berdiri di antara kelompok yang membawa bendera Siauw-lim-pai.
Pangeran Ceng Han Houw memandang dan tersenyum tenang. "Setiap orang tamu berhak untuk bicara. Harap enghiong (orang gagah) yang bicara memperkenalkan diri sebelum mengemukakan alasannya tidak setuju!"
Pemuda Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu memandang kepada pangeran yang masih berdiri dengan sinar mata berapi-api, sedikitpun tidak nampak gentar oleh wibawa pangeran itu, dan terdengar dia menjawab lantang. "Saya bernama Ciu Khai Sun sebagai murid dan utusan Siauw-lim-pai. Atas nama Siauw-lim-pai saya menyatakan tidak setuju dengan apa yang dikemukakan oleh pangeran tadi. Memilih seorang bengcu tidaklah disamakan dengan memilih seorang kepala tukang pukul. Seorang bengcu adalah pemimpin rakyat, yang harus dipilih berdasarkan kebijaksanaannya dan cinta kasihnya terhadap rakyat, bukan diukur dari kepandaiannya bersilat. Kalau memilih kepala tukang pukul tentu saja dipilih yang paling kuat."
Terdengar suara ketawa di sana-sini yang disambut oleh tepuk tangan menyambut ucapan lantang dari pemuda Siauw-lim-pai ini. Pangeran Ceng Han Houw juga tersenyum lebar dan mengangkat kedua tangan ke atas minta agar suasana menjadi tenang kembali.
"Harap Ciu-enghiong suka melanjutkan," katanya tenang.
"Kami fihak Siauw-lim-pai juga tidak setuju kalau memilih bencu mengingat akan keadaan negara, apalagi kalau dipergunakan untuk menentang pemerintah! Itu namanya berbau pemberontakan. Bengcu di kalangan persilatan adalah seorang bijaksana yang akan mencegah bentrokan-bentrokan, mengambil kebijaksanaan dengan musyawarah apabila terjadi kesalahlahaman, bukan sekali-kali untuk menuntun kita semua dalam pemberontakan terhadap pemerintah." Setelah berkata demikian, pemuda gagah itu berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri kemudian berkata lagi. "Hanya itulah pernyataan kami yang tidak setuju." Suasana menjadi berisik kembali karena para tamu berbisik-bisik dan saling bicara sendiri.
"Cu-wi harap tenang!" tiba-tiba terdengar suara pangeran itu yang mengatasi semua suara berisik. Semua orang memandang dan suasana menjadi tenang lagi. Ceng Han Houw masih tersenyum ramah dan dia segera menyambung kata-katanya, "Terima kasih atas sambutan Cui Khai Sun enghiong wakil dari Siauw-lim-pai. Memang setiap orang atau golongan boleh saja mempunyai pendapat masing-masing. Akan tetapi kita berkumpul di sini bukan untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing. Kita berkumpul untuk melakukan pemilihan bengcu! Dan apa yang akan diperbuat oleh bengcu yang kita pilih kemudian, itu adalah urusan bengcu itu, dan setuju atau tidak setuju di antara kita boleh diajukan kepada bengcu. Mengatur apa yang akan dan tidak akan dilakukan oleh seorang bengcu, sedangkan bengcu itu sendiri belum dipilih, merupakan hal yang sia-sia saja, bukan" Kita akan memilih bengcu berdasarkan suara. Akan tetapi karena kita adalah orang-orang yang semenjak kecil belajar silat, maka pertemuan ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Dan untuk itu, akan meriah dan menarik sekali kalau kita mengadakan pemilihan jagoan nomor satu di dunia. Siapapun boleh boleh mengajukan diri sebagai calon dan aku sendiri sebagai fihak tuan rumah juga mengajukan diri, bersama jago pilihan kami, yaitu adik angkatku sendiri yang bernama Cia Sin Liong!"
Sin Liong terkejut bukan main. Pertama dia terkejut karena namanya disebut-sebut sebagai calon jago pilihan pangeran dan sebagai adik angkat, ke dua dia terkejut karena she-nya disebut sebagai she Cia. Rahasianya telah dibongkar oleh pangeran itu di tempat itu, di mana hadir pula keluarga Cip-ling-pai, bahkan hadir pula di situ ayah kandungnya!
"Houw-ko," bisiknya. "Aku tidak dapat menerima ini!" Sin Liong bangkit berdiri dan di antara para tamu ada yang bertepuk dan bersorak menyambut jago muda pilihan pangeran ini, akan tetapi Sin Liong segera berseru nyaring, "Cu-wi, maafkan. Akan tetapi aku tidak berniat menjadi jago apapun, tidak ingin ikut-ikut memperebutkan pilihan jago silat. Pangeran hanya berkelakar saja!" Dan diapun duduk kembali.
Ceng Han Houw tertawa dan berkata lagi dengan lantang, "Cu-wi, lihat betapa sederhana dan pemalunya adik angkatku ini. Akan tetapi tentang ilmu silat... kiranya aku sendiri masih harus banyak belajar dari dia! Dia tidak mau menjadi calon jagoan, tidak mengapalah, akan tetapi aku mengangkat dia menjadi penguji! Calon-calon yang hendak memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia harus dapat melawan dan menandingi kepandaian adik angkatku ini lebih dulu!"
Kembali semua orang bertepuk tangan dan bersorak.
"Houw-ko, aku tidak mau!" Sin Liong berbisik. Han Houw mundur dan mendekati Sin Liong, menghardik dalam bisikan pula.
"Liong-te, mengapa engkau hendak mengacau aku" Ingat, Bi Cu berada di tanganku, dia kusuruh jaga subo dan suci. Engkau harus membantuku kalau tidak..."
Lie Ciauw Si mendengar bisikan-bisikan ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Sedangkan Sin Liong sudah menjadi kaget setengah mati mendengar ucapan itu. Tak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu pangeran ini masih hendak bersikap curang dan ternyata bahwa dia sengaja dipisahkan dari Bi Cu agar pangeran itu dapat menguasai Bi Cu untuk memaksanya! Akan tetapi dia melihat betapa amat berbahayanya paksaan yang dilakukan oleh pangeran itu. Dia tidak mungkin mau memenuhi permintaan gila itu, dan lebih baik dia dan Bi Cu mati daripada dia harus membantu pangeran dengan rencana gilanya.
"Aku tidak sudi!" katanya dan diapun sudah meloncat dan pergi dari situ, menuju ke dalam untuk mencari Bi Cu. Para tamu yang sedang berbisik itu hanya melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam dan hal ini menambah kuat pernyataan sang pangeran tadi betapa pemuda perkasa itu wataknya sederhana dan amat pemalu. Agaknya saking malunya pemuda itu telah melarikan diri ke dalam maka merekapun makin keras tertawa dan bersorak.
Sementara itu, Ciauw Si berbisik kepada suaminya, "Apa yang telah kaulakukan ini, pangeran"
"Sstt, Si-moi, tanpa siasat tidak mungkin kita akan berhasil." Pangeran itu berbisik kembali dan dia sudah mengangkat tangan memberi tanda agar para tamu tidak berisik.
"Cu-wi yang mulia! Adik angkatku itu memang pemalu sekali. Akan tetapi jangan cu-wi khawatir. Setiap orang boleh mengajukan diri sebagai calon dan selain adik angkatku itu, aku masih mempunyai seorang penguji lain, yaitu isteriku sendiri! Jangan cu-wi memandang rendah kepada isteriku yang tercinta ini, karena kepandaian silatnya tidak berselisih jauh dari kepandaianku sendiri. Nah, siapa yang mampu menandingi isteri saya dalam lima puluh jurus, dia berhak menjadi calon jago nomor satu di dunia! Inilah isteri saya, Lie Ciauw Si!"
Di bawah tepuk tangan dan sorak-sorai, terpaksa Ciauw Si bangkit berdiri dan menjura ke arah penonton yang menjadi semakin riuh bertepuk tangan memuji karena memang Ciauw Si nampak cantik jelita dan menarik sekali. Wajah Ciauw Si agak pucat, apalagi ketika dia bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api, sepasang mata ibu kandungnya! Dia menjadi lemas dan cepat duduk kembali ke kursinya. Betapapun juga, dia harus membela suaminya yang tercinta, pikirnya sambil mengepal tinju kirinya.
Sementara itu, keluarga Cin-ling-pai, empat orang pendekar itu sejak tadi sudah berbisik-bisik saling bicara dengan serius dan juga penuh keheranan.
"Pangeran gila, kenapa dia menyebut she Sin Liong sebagai she Cia" kata Bun Houw dengan marah. "Apa dia sengaja hendak menghina keluarga Cia kami"
"Mungkin dia hehdak memancing agar kita turun tangan membantah," bisik Cia Giok Keng. "Akan tetapi dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Ciauw Si."
Mereka berempat merasa bingung dan tidak mengerti, apalagi ketika melihat Sin Liong melarikan diri ke dalam. Apakah yang sedang terjadi" Permainan apakah yang dilakukan oleh Pangeran itu"
Ketika pangeran itu mengangkat Ciauw Si yang diperkenalkan sebagai isterinya sebagai penguji, Giok Keng dengan gemas memandang kepada puterinya yang menerima pujian para tamu itu dan dia berbisik dengan suara mendesis, "Biar aku maju sebagai calon menghadapinya!"
"Ah, jangan begitu, enci Keng!" adiknya menyela.
"Ingat, kita menghadapi banyak orang, jangan menimbulkan keributan yang hanya akan mendatangkan aib bagi nama keluarga." kata Yap Kun Liong menyabarkan isterinya.
Para tamu menjadi semakin berisik ketika mereka melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bermuka merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya kasar, meloncat dengan gerakan yang cukup lincah ke depan dan tiba di tengah-tengah ruangan yang tinggi itu, tersenyum dan memberi hormat ke arah pangeran. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun, tubuhnya yang tinggi besar itu membayangkan kekuatan dahsyat, sikap dan pakaiannya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang petualang di dunia kang-ouw. Wajahnya lebar dan matanya, hidungnya serta mulutnya juga serba besar. "Pangeran, saya Loa Khi berjuluk Tiat-pi-ang-wan (Lutung Merah Berlengan Besi) sama sekali tidak berani mengajukan diri sebagai calon jago nomor satu di dunia, akan tetapi saya mempunyai semacam penyakit, yaitu di mana terdapat pertandingan pibu, tangan saya menjadi gatal-gatal. Biarlah saya memelopori para enghiong di sini agar pertemuan ini menjadi lebih gembira." Sambil berkata demikian, matanya yang lebar itu melirik ke arah Ciauw Si. Mengertilah Pangeran Ceng Han Houw bahwa yang mendorong laki-laki kasar ini untuk maju adalah karena pengujinya adalah isterinya yang cantik jelita. Atau kasarnya, pria itu ingin bersilat menandingi Ciauw Si yang cantik! Akan tetapi Han Houw hanya tersenyum dan dia berkata kepada isterinya dengan suara halus.
"Isteriku, harap kau suka melayani Loa-eng-hiong."
Sebetulnya di dalam hatinya Ciauw Si merasa mendongkol sekali. Dia harus melayani segala macam orang kasar seperti itu! Akan tetapi karena dia maklum bahwa suaminya itu sedang berusaha untuk menentang kelaliman kaisar, dan karena betapapun juga dia harus membela suaminya yang tercinta, dia tidak berkata sesuatu melainkan bangkit berdiri dan menghampiri orang yang berjuluk Lutung Merah Berlengan Besi itu.
Jantung di dalam dada yang bidang itu terguncang dan berdebar-debar penuh kegirangan. Loa Khi adalah seorang kang-ouw golongan sesat dan merupakan seorang yang kasar, gila akan kecantikan wanita. Tadi dari jauh dia melihat betapa cantiknya isteri pangeran itu, dan kini setelah berhadapan, dia terpesona. Belum pernah rasanya dia berhadapan dengan wanita secantik ini! Sungguh tidak rugi sekali ini, pikirnya. Dapat bersentuhan lengan dan tangan dengan wanita seperti ini sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan, apalagi kalau diingat bahwa wanita ini bukanlah sembarangan wanita, melainkan isteri seorang pangeran dan tentu saja merupakan seorang puteri bangsawan simpanan! Maka diapun menyeringai dan mematut-matut diri agar kelihatan tampan dan gagah.
"Orang she Loa, kau mulailah!" Ciauw Si berkata, membuyarkan lamunannya itu.
"Eh... oh... mana saya berani mendahului" kata Loa Khi yang meringis seperti seekor lutung aseli. Bicara demikian, selain meringis Loa Khi juga memainkan matanya yang bundar besar dan menggerak-gerakkan alisnya. Melihat lagak ini hati Ciauw Si menjadi muak dan panas, dan kalau dia tidak mengingat bahwa suaminya sedang berusaha mengambil hati dunia kang-ouw, tentu dia sudah menjatuhkan tangan maut menyerang orang ini.
"Hemm, kalau begitu sambutlah seranganku!" kata Ciauw Si. Dia memberi kesempatan kepada orang itu untuk memasang kuda-kuda dan memang Loa Khi dengan mulut masih menyeringai telah memasang kuda-kuda dengan gaya yang gagah. Kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk rendah dan kedua lengan disilangkan, tangannya dibuka membentuk cakar naga, tubuh atasnya tegak lurus dan matanya mengerling ke arah lawan yang berada di samping kanan. Semua tamu menyambut pasangan kuda-kuda ini dengan berbagai macam sikap. Mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi memandang dengan senyum mengejek, karena mereka tahu bahwa kuda-kuda seperti itu hanya indah dipandang saja akan tetapi sesungguhnya tidak memiliki inti yang kuat. Sebaliknya, mereka yang belum begitu tinggi tingkatnya, merasa kagum karena memang Loa Khi kelihatan gagah dan kokoh kuat dengan kuda-kudanya itu.
Ciauw Si yang sudah tidak sabar lagi melihat lagak orang, mengeluarkan seruan lembut dan mulai menyerang dengan kedua tangannya, menyambar dari kanan kiri, yang kiri menampar ke arah pelipis lawan sedangkan yang kanan menotok ke arah lambung. Serangan ini sebetulnya hanya merupakan pancingan saja karena pendekar wanita itu tidak mau sembarangan mengeluarkan ilmunya yang tinggi hanya untuk menghadapi seorang seperti laki-laki sombong ini. Dan melihat serangan yang cukup cepat dan dahsyat ini, Loa Khi cepat menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap pergelangan tangan lawan. Memang yang mendorongnya maju adalah untuk dapat menyentuh tubuh atau memegang lengan wanita cantik itu, maka melihat serangan lawan, dia berusaha secepatnya untuk menangkap pergelangan tangan lawan dan akan memegangnya dengan kuat dan mesra! Namun Ciauw Si tentu saja maklum akan hal ini dan diapun tidak sudi membiarkan kedua lengannya dipegang. Dengan cepat dia sudah menarik kembali kedua tangannya dan kini kaki kirinya bergerak menendang dengan cepat. Akan tetapi, sambil tersenyum lebar lawannya menggerakkan tangan ke bawah dengan maksud menangkis atau kalau mungkin menangkap kaki yang kecil itu! Sedangkan tangan kiri Loa Khi sudah menyelonong ke depan, ke arah dada Ciauw Si!
"Hemmm...!" Ciauw Si mendengus marah dan tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, kedua tangannya bergerak mendorong ke depan. Itulah pukulan sakti yang merupakan jurus ke tiga dari Ilmu San-in-kun-hoat, ilmu ampuh dari Cin-ling-pai! Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan. Loa Khi terkejut bukan main dan cepat dia berusaha menangkis sambil mengerahkan tenaga kepada kedua kakinya dan tubuhnya untuk menjaga diri.
"Desss...!" Betapapun kuatnya dia menangkis, tetap saja kedua tangan Ciauw Si dapat menerobos di antara lengan lawan yang menangkis dan terus menghantam dada. Untung bagi Loa Khi bahwa Ciauw Si masih ingat bahwa dia hanya bertugas menguji kepandaian lawan, maka dia tidak mempergunakan seluruh tenaga sin-kangnya. Akan tetapi biarpun demikian, tetap saja tubuh Loa Khi yang tinggi besar itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai. Dia terengah-engah, merasa dadanya sesak dan sukar bernapas!
Karena Loa Khi tidak datang bersama teman-teman dan tidak mempunyai rombongan, maka tidak ada yang menolongnya dan Han Houw memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya. Dua orang pengawal cepat maju membantu Loa Khi berdiri dan membawa orang yang masih terengah-engah itu ke tempat duduknya yang agak di belakang. Loa Khi tidak berani banyak cakap lagi dan membiarkan dirinya dituntun kembali ke kursinya, mukanya pucat sekali. Dia telah dirobohkan kurang dari lima jurus!
Berisiklah para tamu melihat kehebatan Ciauw Si. Mereka yang tadinya berminat untuk memasuki pemilihan jagoan itu, menjadi kecil nyalinya dan mengurungkan niat hati mereka. Tentu saja tidak demikian dengan mereka yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seorang tosu sudah mengeluarkan seruan dan tubuhnya melayang ke tengah ruangan itu. Tosu ini tinggi kurus, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, jubahnya kuning dan matanya sipit seperti orang mengantuk. Setelah dia menjura ke arah pangeran, dia melangkah maju tiga langkah dan terkejutlah pangeran itu melihat betapa di atas lantai itu nampak jejak kaki tosu itu sedalam dua senti! Tahulah dia bahwa tosu ini amat lihai dan telah mendemonstrasikan kelihaiannya dengan mengerahkan tenaga pada kedua kakinya yang melesak ke dalam lantai ketika dia melangkah perlahan-lahan.
Kalau tadi Han Houw menyebutkan nama isterinya, memperkenalkannya sebagai pembantunya untuk menguji calon jagoan, maksudnya hanyalah untuk memperlihatkan kepada para tokoh kang-ouw, khususnya kepada keluarga Cin-ling-pai bahwa Lie Ciauw Si selain telah menjadi isterinya juga membantunya untuk menghimpun tenaga dan menentang kaisar lalim! Akan tetapi tentu saja bukan maksud hati Han Houw untuk membiarkan isterinya menghadapi semua orang yang ingin mencoba kepandaian. Dia hanya mengajukan isterinya untuk menghadapi kalau-kalau ada di antara tokoh Cin-ling-pai yang maju, maka kini melihat kelihaian tosu itu, tentu saja Han Houw merasa khawatir dan tidak membiarkan isterinya menghadapi bahaya.
Tosu itu setelah menjura dan memperlihatkan tenaganya melalui injakan kaki yang meninggalkan jejak dalam di atas batu, lalu berkata kepada Ceng Han Houw, suaranya seperti suara ular mendesis namun dapat terdengar satu-satu sampai di bagian luar tempat itu, "Pangeran, harap maafkan kelancangan pinto. Sesungguhnya pinto datang bukan sekali-kali untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jagoan nomor satu, melainkan karena telah lama pinto mendengar nama besar pangeran sebagai seorang ahli silat yang pandai dan pinto ingin sekali menguji kebodohan sendiri untuk membuktikan sampai di mana kelihaian pangeran."
Ini merupakan tantangan langsung! Semua orang kang-ouw memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua maklum bahwa ucapan itu merupakan tantangan yang tentu didasari urusan pribadi antara tosu itu dan Pangeran Ceng Han Houw! Han Houw sendiri mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum ramah ketika dia berkata halus dan lantang, "Dalam menghadapi urusan besar ini, kami terpaksa melupakan urusan pribadi. Akan tetapi kalau totiang ingin saling menguji kepandaian dengan aku, dapat saja totiang memasuki pemilihan jago menurut yang telah ditentukan. Akan tetapi lebih dulu hendaknya totiang memperkenalkan diri."
"Pinto bernama Ciu Hek Lam dan banyak orang menyebut pinto dengan julukan yang amat buruk, yaitu Tok-ciang Sian-jin (Manusia Dewa Bertangan Racun). Tentu pangeran tidak mengenal nama pinto akan tetapi perlu kiranya diketahui bahwa mendiang Gak Song Kam ketua Jeng-hwa-pang adalah sute dari pinto."
Mendengar ini, sebagaian besar di antara para tokoh kang-ouw terkejut. Memang nama tosu ini tidak terkenal dan hanya beberapa orang saja di antara mereka yang banyak melakukan perjalanan ke utara melewati Tembok Besar mengenal namanya, akan tetapi nama Jeng-hwa-pang tentu saja dikenal mereka. Kiranya tosu yang lihai ini adalah saudara tua dari mendiang ketua Jeng-hwa-pang, maka tentu saja ilmu kepandaiannya amat tinggi.
Diam-diam Ceng Han Houw mengerti sekarang, Gak Song Kam, ketua Jeng-hwa-pang itu tewas di tangan dia dan Sin Liong, maka agaknya tosu ini datang dengan maksud untuk membalas dendam atas kematian ketua Jeng-hwa-pang itu! Dia sama sekali tidak merasa takut menghadapi tosu ini, akan tetapi untuk menjaga kewibawaannya, dia tidak mau begitu saja terjun ke dalam urusan pribadi di tempat itu, apalagi karena dia sedang menghadapi urusan besar.
"AH, kiranya totiang ingin menguji kepandaianku. Baiklah, akan tetapi kita tidak boleh melewati peraturan. Cu-wi yang mulia, kami sekarang menunjuk bengcu dari selatan, yaitu locianpwe Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun untuk menjadi penguji. Siapa dapat mengalahkan mereka berdua berarti cukup berharga untuk menjadi calon jago nomor satu di dunia!"
Mendengar ini, Phang Tek dan Phang Sun lalu melangkah maju. Sementara itu, Han Houw sendiri bangkit dari kursinya, menghampiri Ciauw Si yang masih berdiri memandang ke arah ibunya seperti orang terpesona, dan menggandeng tangan Ciauw Si untuk kembali ke tempat duduknya. Dengan sikap mesra Han Houw berbisik, "Terima kasih atas bantuanmu, Si-moi."
Mendengar dua orang ini, tahulah tosu dia berhadapan dengan orang-orang pandai. Dia telah mendengar tentang Lam-hai Sam-lo yang kabarnya kini tinggal dua orang kakak beradik ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar melainkan merasa mendongkol karena pangeran itu ternyata tidak mau langsung menghadapinya melainkan menyuruh dua orang ini dengan alasan untuk mengujinya! Hal ini dianggapnya sebagai tanda bahwa pangeran itu jerih kepadanya, maka diapun menghadapi dua orang kakek itu dan memandang dengan sinar mata tajam dari kedua matanya yang sipit.
"Pinto telah mendengar tentang nama besar Lam-hai Sam-lo," katanya dengan nada suara mengejek, "Pangeran telah memerintahkan kalian maju, apakah ji-wi (kalian berdua) hendak maju berbareng dan mengeroyok pinto"
Ucapan ini biarpun hanya merupakan sebuah pertanyaan, namun bernada mengejek dan merendahkan, maka kedua orang datuk dari selatan itu tentu saja menjadi marah sekali. Mereka tadi maju hanya untuk memperkenalkan diri kepada para tamu setelah nama mereka disebut-sebut oleh pangeran, bukan sekali-kali hendak mengeroyok tosu itu.
Kim-liong-ong Phang Sun, kakek berkepala gundul lonjong yang bertubuh kecil pendek seperti kanak-kanak, yang hanya memakai celana tanpa baju dan kakinyapun telanjang, sudah meloncat ke depan. Dengan lengan kiri yang dihias gelang emas tebal dia berkata, suaranya sungguh mengejutkan, karena lantang besar tidak seperti bentuk tubuhnya, "Tosu bulukan! Tekebur sekali ucapanmu! Menghadapi seorang tosu bulukan macam engkau, cucukupun akan berani. Sayang aku tidak pernah punya cucu! Maka biarlah aku mencoba, hendak kulihat apakah kepandaianmu seluas mulutmu! Twako, mundurlah, biarkan aku yang menghajar manusia sombong ini!"
Hai-liong-ong Phang Tek mengerutkan alisnya, lalu mundur sambil berkata, "Hati-hati, jangan pandang rendah dia." Hai-liong-ong yang tahu akan kemarahan adiknya merasa khawatir karena menghadapi seorang lawan tangguh seperti tosu ini, kemarahan merupakan hal yang amat merugikan dan mengurangi kewaspadaan.
Kini dua orang itu sudah saling berhadapan. Keduanya sama kurusnya, hanya yang seorang tinggi dan yang lainnya pendek kecil. Semua orang kang-ouw yang hadir di situ memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang karena mereka semua mengenal siapa adanya Kim-liong-ong, sedangkan tosu tua itu kurang begitu dikenal karena memang jarang muncul di dunia kang-ouw. Dan oleh karena yang hadir dalam pertemuan besar ini merupakan tokoh-tokoh campuran, banyak pula yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat, maka di antara mereka ini sudah ramai mengadakan pertaruhan! Dan rata-rata menurut anggapan mereka, Kim-liong-ong menduduki tempat unggul, bahkan ada yang mempertaruhkan uang sejumlah dua kali lipat menjagoi kakek pendek kecil itu.
Tok-ciang Sian-jin memandang dengan alis berkerut kepada calon lawannya, kemudian berkata, suaranya halus dan penuh penyesalan, "Kim-liong-ong, engkau adalah seorang tokoh jauh di selatan sana, sedangkan pinto selamanya berada di utara. Kiranya sampai kita dua orang tua mati oleh usiapun kita tidak akan dapat saling berjumpa, apalagi harus saling berkelahi seperti lawan. Oleh karena itu, pinto menyesal sekali harus berhadapan denganmu, karena sesungguhnya kedatangan pinto ini hanya ingin menghadapi pangeran..."
"Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Kalau engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk mengundurkan diri!" Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang telah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan.
Marahlah tosu itu. Mukanya menjadi merah kini tidak pucat seperti biasanya, dan biarpun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi. "Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran" Bagus, majulah, orang sombong!" bentaknya dan diapun sudah menggerakkan jari-jari tangannya dan terdengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan. Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan kalau sudah begitu, kedua tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya daripada sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun).
Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah seorang ahli tentang racun, maka biarpun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar.
"Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!" dia mengejek.
Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Ketika menerima peringatan kakaknya tadi, diapun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan dan membakar hati lawan. Dia berhasil, karena tosu itu menjadi semakin marah kini dan dengan gerengan dahsyat dia telah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya.
Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu tiba, hawa pukulannya yang mengandung hawa beracun itu telah menyambar lebih dulu dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis. Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawan menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.
"Dukkk!" Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terbuyung. Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Maka diapun lalu menerjang lagi dengan memperlipatgandakan kecepetan gerakannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.
Kim-liong-ong Phang Sun telah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Setelah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang mempergunakan gelang emas untuk melindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan.
Memang tidak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya memang hebat sekali, gerakannya aneh dan cepat, dan biarpun kaki tangan kecil-kecil, namun setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga.
Banyak di antara mereka yang bertaruh menjagoi Kim-liong-ong kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat sekali! Dia dapat mengimbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan setelah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesakpun tidak, sungguhpun dia sendiri tidak mampu mendesak kakek kecil itu.
Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur keluar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, "Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri..."
Baru sampai di situ dia bicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis.
"Plakkk... desss!" Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biarpun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset dan mengenai punggungnya. Tosu itu bangkit duduk dan memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan ini dadanya yang terguncang hebat. Biarpun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran.
"Sungguh curang!" bentak Cui Kai Sun dengan lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali.
Kim-liong-ong hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tidak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.
"Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!"
"Siapa bilang tidak curang" Aku tidak hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!" Ciu Kai Sun berteriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, teruatama sekali dari golongan bersih, mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu.
Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan..."
"Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!" Terdengar suata orang lain membenarkan.
Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus, "Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentu tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang dapat menandingi isteri saya selama lima puluh jurus, dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjjan maka pibu melawan merekapun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang maupun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi"
Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tidak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walaupun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.
"Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah." Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya. Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan kini tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah!
Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju.
Setelah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa penasaran. Tidak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apalagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu.
"Siapakah lagi yang akan maju mencoba kemampuannya" Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi, para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju.
Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. "Cu-wi, mengapa cu-wi merasa sungkan" Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw" Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!"
Ucapan itu halus, namun juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi Cia Giok Keng sudah merah sekali wajahnya dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, "Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu."
"Biar!" Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis sehingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok.
"Aku tidak takut. Kalau kalah, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!" Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain menjadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu.
"Enci, itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dan puterimu sendiri" Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!"
Sebelum Cia Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan, Lam-hai Sam-lo itu memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan. Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang pria yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran, banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu" Akan tetapi, banyak alis dikerutkan dengan heran dan menduga-duga. Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini" Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka akan terjadilah pertandingan yang amat hebat di tempat itu dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.
Wajah Lie Ciauw Si seketika menjadi pucat ketika dia melihat pamannya telah maju di tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-crang pandai, juga untuk menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw juga ingin memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai. Kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si telah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengaruhi mereka, dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu tidak ada yang mampu menandinginya! Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dulu dua orang pembantunya itu "menguji" sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.
Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, dan seolah-olah mereka berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang-kadang diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.
Akan tetapi suasana yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sesungguhnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.
"Enghiong dari manakah yang kini maju" Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan" Harap suka memperkenalkan diri."
Baru setelah mendengar teguran ini, Bun Houw membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap keren, kemudian terdengarlah suara yang lantang dan jelas.
"Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia berkata sampai di sini terdengar suara berbisik di antara para tamu yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguhpun semua telah mendengar nama besarnya, apalagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal setelah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, bahkan menjadi pelarian-pelarian pemerintah. Setelah suara berbisik mereda, Bun Houw melanjutkan kata-katanya.
"Kami dari Cin-ling-pal tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Oleh karena itu, kedatanganku di sinipun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justeru untuk menguji sampai di mana hebatnya orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"
Terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka itu menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari kedudukan, harta benda, atau nama besar.
Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, melihat sikap pendekar itu yang keren, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu mengerutkan alis dan merekapun menjadi bingung. Akan tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang.
"Cia Bun Houw, ucapanmu itu sungguh menyimpang daripada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Lalu dengan siapa engkau hendak bertanding, kalau jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa"
Bun Houw yang tadipun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo terkenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"
Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena terdengar suara tertawa menyambut ucapannya yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi amat marah. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!
Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu terlalu besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, maka..."
"Cukup!" Bun Houw membentak demikian nyaringnya sehingga mengejutkan semua orang karena dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang amat hebat, terbawa khi-kang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. "Tidak ada hubungannya keluarga dengan urusan ini...! Aku tidak datang membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semua ini!" Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.
"Paman...!" Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah membuka mulut, akan tetapi suaranya itu hanya merupakan bisikan dan keburu lengannya disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja.
"Tenang, Si-moi dan kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali. Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali.
"Cia Bun How, benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu" Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!" kata Phang Tek yang marah sekali, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.
"Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet" Jangankan kini tinggal kalian berdua, biar masih lengkap tiga orangpun aku tidak akan takut melawan kalian. Majulah!" Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga, tanda bahwa pada saat itu tenaga sin-kangnya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.
Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri" Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata, "Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini."
Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lalu berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap telah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak mempertihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, mengapa kalian berdua ragu-ragu lagi"
Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai sedemikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biarpun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula! Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dia melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu. Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama mengeroyoknya.
Sementara itu, dua orang kakek menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang sudah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang menjadi calon lawan majikan mereka.
"Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Setelah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani menyebut lain. "Kami akan maju bersama menghadapimu."
"Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.
Dua orang kakek itu lalu memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka. Akhirnya dua orang kakek itu mengambil sudut yang mereka anggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!
"Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!"
Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia telah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung!
Kembali Bun Houw berdiri tegak dan kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak karena pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat. Dan hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai di puncaknya! Dan kini, biarpun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya karena ketajaman pendengarannya dapat menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya.
Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka amat dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek! Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sesungguhnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya biarpun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!
Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka diapun tidak berani memandang rendah dan untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya. Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang amat kuat sehingga seolah-olah dengan ilmu ini dia dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apalagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada di puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih. Maka dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambah dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu.
Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun dua orang pengeroyok itu sama sekali belum pernah dapat menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelatak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah. Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik tiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tidak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andaikata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka. Lie Ciauw Si yang biarpun amat lihai namun juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan dua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Tak dapat dia membayangkan apa yang akan dilakukan kalau dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamannya yang sakti itu! Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang, maka mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Kenapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ" Kalau ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya dan "menguji" pendekar dari Cin-ling-pai itu! Biarpun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu, dan seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itulah, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.
Ke manakah perginya Sin Liong" Apa yang terjadi dengan dia" Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu. Setelah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengawasan dan kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, tahulah Sin Liong bahwa kembali kakak angkatnya itu bertindak curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga orang-orang kang-ouw dan membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar! Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari masuk meninggalkan tempat itu.
Dengar cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya itu segera pergi dari tempat itu sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong menghampiri daun pintu ini dan mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali dalam rumah ini. Agaknya semua pelayan dan pengawal sudah berkumpul di depan, nonton keramaian di luar.
"Bi Cu...!" Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan menuju ke dalam, membukai setiap daun pintu kamar dan ruangang mencari-cari. Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang den ketika dia memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu, tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata tombak, pedang dan golok di tangan! Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di mulut lorong, masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan senjata mereka. Dia seolah-olah seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan terjebak.
Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah. "Kembalikan Bi Cu!" bentaknya. "Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, takkan ada seorangpun yang akan lolos dari tanganku!" Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu berada di tangan mereka. Dia maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak menggunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran itu. Biarpun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan menyerah lagi. Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, dia akan mengamuk dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu!
Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti ketika dia memandang kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, "Kembalikan Bi Cu!"
Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di situ adalah pasukan pengawal pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini, sebagai pasukan pilihan, seolah-olah telah menjadi manusia-manusia robot yang tidak mempunyai keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan. Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka! Maka, mendengar bentakan-bentakan Sin Liong, mereka itu seolah-olah tidak mendengarnya dan kini para pengawal yang menghadang di depan telah mengangkat senjata mereka dengan muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong kini sudah bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari depan dan belakang.
Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah dan tahulah dia bahwa sekali ini Pangeran Ceng Han Houw benar-benar memperlihatkan kedoknya dan hendak menentangnya mati-matian, maka diapun lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa memperdulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang mendorong ke depan.
"Bresssss...!" Hebat bukan main tenaga sin-kang yang menyambar keluar dari gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri seperti setumpuk daun kering diamuk badai! Sin Liong terus meloncat keluar dari lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sudah bangkit kembali dan yang lima orang tak dapat bangun. Ditambah oleh lima belas orang lagi, yaitu para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai menerjang dan mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata menyerang tubuh Sin Liong!
Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sampai ke puncak, menyambar-nyambar dan setiap orang pengeroyok yang terkena sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan lengannya tentu patah-patah atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya. Bagaikan sekelompok nyamuk menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju terpelanting roboh dan setelah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang mengejar mustika di antara awan-awan hitam, semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka malang-melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan mengaduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat melihat seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka diapun cepat berkelebat dan menuju ke tempat itu.
"Brakkkk!" Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itupun pecah berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia terbelalak berdiri di ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam. Gudang itu besar, dan agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama dipergunakan hanya untuk menyiksa para tawanan ketika Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya, setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu! Agaknya pengawal yang terluka dan tadi lari masuk untuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah meringkuk di sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang ketika dia selesai melapor bahwa semua pengawal tidak mampu menahan pemuda itu, Hek-hiat Mo-li telah "menghadiahi" dengan sebuah tendangan yang membuat tulang iga orang itu remuk-remuk!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu dan di sekeliling tiang itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala, siap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu! Dara itu juga memandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Sin Liong...!"
Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu tangan yang kini bergantung di lehernya, tentu sudah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Dan agaknya wanita ini sudah mempersiapkan diri baik-baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan sarung tangannya yang dapat menahan senjata tajam, di atas punggungnya yang menggendong kayu palang salib itu nampak mengepul hio-hio yang terbakar, dan kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek muka hitam yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya.
"Heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi lagi. "Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini"
Pahlawan Harapan 4 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Kesatria Baju Putih 9

Cari Blog Ini