Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 2
Segera ia menanja pula: Darimana Kam-heng mengetahui aku akan datang kesini"
Hm, djengek Djin-ho. Perembukan kau bersama nona Tjiong terhadap Sin-long-pang sudah Tjayhe dengar dan lihat semua. Bu-liang-kiam tiada dendam permusuhan apa2 dengan kau, pasti kau takkan dibikin susah. Jang diharap sukalah kau mampir barang beberapa hari ketempat kami, kemudian kau akan dibebaskan.
Mampir buat beberapa hari" Toan Ki menegas. Kan bisa tjelaka, padahal aku telah minum Toan-djiong-san pihak Sin-long-pang, kalau ratjunnja bekerdja bagaimana"
Boleh djadi minum sedikit obat urus2, perutmu lantas takkan sakit, kata Kam Djin-ho tertawa.
Diam2 Toan Ki kuatir, seketika iapun tiada akal untuk meloloskan diri.
Kalau ikut pergi ke Kiam-oh-kiong, mungkin dirinja akan mendjadi korban, bahkan Tjiong Ling, Sikong Hian dan lain2 akan terbinasa.
Dalam pada itu udjung pedang Kam Djin-ho sudah mengantjam didada Toan Ki hingga terasa sakit. Hajo, ikut! Mau atau tidak mau tetap kau harus ikut kesana! kata murid Bu-liang-kiam itu.
Dengan demikian, bukankah kau sengadja hendak membunuh aku" kata Toan Ki.
Djika sudah berani berkelana dikangouw, djiwamu harus berani dibuat taruhan, udjar Djin-ho tertawa. Orang pengetjut matjammu ini, sungguh terlalu. Habis berkata, sret, mendadak pedangnja terus mengiris kebawah hingga badju Toan Ki terobek sepandjang puluhan senti.
Kam Djin-ho ini tidak malu sebagai murid pilihan Bu-liang-kiam, biarpun badju Toan Ki terobek disajat, namun badannja sedikitpun tidak luka. Maka tertampaklah perut Toan Ki jang putih itu, tjepatan pemuda itu memegangi badjunja jang kedodoran itu.
Eh, putih djuga, seperti perempuan, goda Djin-ho tertawa. Mendadak ia berubah bengis, bentaknja: Hajo, lekas djalan, djangan bikin tuanmu kehilangan sabar, sekaligus bisa kusajat mukamu hingga berpuluh djalur merah!
Terpaksa, Toan Ki harus menurut, ia pikir nanti ditengah djalan harus mentjari akal untuk meloloskan diri. Segera ia betulkan badjunja, lalu katanja: Djika sebelumnja kutahu Bu-liang-kiam kalian begini djahat, tentu aku tidak sudi ikut tjampur urusan kalian ini, biar kalian sekaligus diratjun mampus semua oleh Sin-long-pang.
Kau mengomel apa segala" bentak Djin-ho. Bu-liang-kiam kami adalah Enghiong-ho-han (kesatria dan gagah) semua, masakan djeri terhadap kawanan Sin-long-pang jang tak kenal malu itu. Sret, kembali pedangnja menggores badju dipunggung Toan Ki, ketika sampai pinggang, terdengar suara krek, goresan pedang itu terhalang sesuatu.
Mendadak barulah Toan Ki ingat bahwa dipinggangnja terlilit Djing-lengtju, ia merasa dirinja terlalu geblek, kenapa sedjak tadi tidak minta bantuan binatang itu" Segera ia ber-suit2 menirukan Tjiong Ling.
Begitu kepala Djing-leng-tju menegak, terus sadja ia memagut kemuka Kam Djin-ho. Karuan djago Bu-liang-kiam itu kaget, tjepat ia melangkah mundur. Sekali pagut tidak kena, Djing-leng-tju membalik kebawah hendak melilit lengan Djin-ho.
Betapa lihaynja ular hidjau ini sudah dikenal Djin-ho, bahkan pedang gurunja pernah dililit patah. Maka tjepat ia melompat berkelit pula.
Untung baginja, sebab Toan Ki belum pandai menggunakan Djing-leng-tju, ia tidauntuk menjerang musuh, maka sebagian besar badan Djing-leng-tju masih melilit dipinggang, sebab itulah serangan2nja terbatas hingga dua kali pagut dapat dihindarkan Kam Djin-ho.
Melihat Kam Djin-ho melompat mundur, Toan Ki pikir inilah kesempatan baik, tjepatan sadja ia angkat langkah seribu, ia ber-lari2 kearah barat.
Hai, berhenti! bentak Djin-ho sambil menguber. Aku membawa obat anti ular, ular hidjau itu tidak berani menggigit aku, tak mungkin kau bisa lolos! Walaupun begitu katanja, namun iapun tidak berani mendesak terlalu dekat.
Dasar Toan Ki, belum sampai satu li djauhnja, napasnja sudah megap2
Senin-kemis. Sebaliknja Kam Djin-ho sangat tjekatan larinja, ia mendapatkan sepotong tangkai pohon pula sambil me-njabet2 kepunggung Toan Ki.
Dalam gugupnja, eh, timbul djuga ketjerdasan Toan Ki, tjepat ia lepaskan Djing-leng-tju dari pinggang sambil bersuit, sekuatnja ia ajun ular itu kebelakang. Dengan demikian Kam Djin-ho mendjadi djeri dan ketinggalan lebih djauh. Pikir djago Bu-liang-kiam itu: Kau anak sekolahan ini sedikitpun takbisa ilmu silat, asal aku terus mengintil dibelakangmu, tiada sedjam, tentu kau akan mati lelah.
Maka uber-menguber itu masih berlangsung terus menudju kearah barat.
Tiada lama kemudian, napas Toan Ki benar2 terasa hampir putus, djantungnja memukul keras se-akan2 meledak. Pikirnja: Djika aku tertawan dia, djiwa nona Tjiong pasti akan ikut mendjadi korban. Itulah sangat tidak enak terhadap dia. Karena gugupnja, ia takbisa pilih djalan lagi, jang dia tudju selalu rimba lebat hutan belukar, kesanalah dia menjusup terus.
Setelah menguber sebentar pula, mendadak Djin-ho dengar suara gemerudjuknja air jang gemuruh. Tergerak pikirannja, waktu mendongak, ia lihat diarah barat-laut sana terdapat sebuah air terdjun raksasa dengan airnja jang dituang kebawah bagai sungai gantung.
Tjepat Djin-ho berhenti sambil berteriak: He, didepan adalah tempat larangan golongan kami, djika kau berani madju lagi hingga melanggar larangan, pasti kau akan mati tak terkubur! Bukannja Toan Ki berhenti, sebaliknja ia sangat girang dan berlari kedepan malah, pikirnja: Djika disana adalah tempat larangan Bu-liang-kiam, tentu dia sendiri tidak berani mengedjar pula. Saat ini djiwaku memang lagi terantjam, takut apa"
Hai, lekas berhenti! kembali Djin-ho berteriak. Apa kau tidak ingin njawamu lagi"
Aku djusteru ingin njawaku, maka aku lari... baru sekian djawaban Toan Ki, se-konjong2 kakinja terasa mengindjak kosong. Ia tidak bisa ilmu silat, pula sedang berlari,tentu sadja ia tidak bisa menahan diri, terus sadja tubuhnja andjlok kebawah.
Haja! teriak Toan Ki kaget, namun badannja sudah terdjerumus kebawah berpuluh tombak dalamnja.
Waktu Djin-ho memburu sampai ditepi djurang, jang terlihat hanja kabut tebal, apa jang terdjadi dibawah djurang sedikitpun tidak terang. Ia menduga Toan Ki pasti akan terbanting hantjur-lebur, sedangkan tempat dimana dia berdiri adalah tempat larangan golongan sendiri, maka ia tidak berani lama2 disitu, tjepat ia putar balik melaporkan pada sang guru.
Sementara itu tubuh Toan Ki jang terapung diudara itu, kedua tangannja me-raup2 kesana-kemari dengan harapan bisa menangkap sesuatu untuk menahan turunnja badan.
Kebetulan djuga, mendadak Djin-leng-tju jang masih dipegang olehnja itu dapat melilit pada suatu dahan pohon Siong jang tumbuh didinding djurang.
Beberapa kali badan ular itu membelit, dengan kentjang dan kuat dapatlah melilit diatas dahan itu.
Ketika mendadak Toan Ki merasa daja turunnja berhenti, hampir2 ia tidak kuat memegang Djing-leng-tju dan hampir2 memberosot kebawah. Untung Djing-leng-tju tjukup tjerdik, tjepat ekornja segera melilit beberapa kali dipergelangan tangan Toan Ki. Maka mendjeritlah mendadak pemuda itu kesakitan.
Kiranja daja turunnja tadi sangat keras, sekali ditahan oleh ekor Djin-leng-tju setjara mendadak, seketika lengan kanannja keseleo.
Badan Djing-leng-tju ternjata keras dan kuat luar biasa, meski dibuat gantungan Toan Ki jang bobotnja ratusan kati itu sambil mem-buai2, namun masih bisa bertahan dengan baik.
Waktu Toan Ki memandang kebawah, ia lihat awan terapung mengambang diudara djurang, betapa dalamnja djurang itu tidak kelihatan. Untuk mendaki keatas, terang tiada mungkin, apalagi tangannja keseleo, tenaga habis. Pada saat itulah, badannja jang terajun terasa mendempel dinding djurang, tjepat ia ulur tangan kiri untuk menarik pangkal kaju jang berada didinding djurang itu, kemudian kakinja mendapatkan tempat berpidjak pula, barulah dia merasa lega dan tenang. Ketika djurang itu di-amat2i, ia lihat ditengah djurang melekah sebuah tjelah pandjang, ditengah tjelah banjak terdapat sebangsa batu pasir, kalau mau mungkin djuga bisa dibuat djalan turun kebawah dengan pelahan2.
Setelah mengaso sebentar, Toan Ki merasa serba runjam kalau tinggal disitu, kalau tidak bisa naik keatas, terpaksa turun kebawah djurang untuk mentjari djalan keluar lain.
Meski dia hanja seorang sekolahan, namun mempunjai semangat banteng. Ia pikir djiwanja toh bolehnja temu, kalau achirnja mesti melajang lagi, biarlah sudah. Mati ja mati, seorang laki2 kenapa mesti takut"
Segera ia bersuit pula, lalu men-desis2 sebagai tanda mengembalikan Djing-leng-tju.
Mendengar suara suitan, Djing-leng-tju lantas melepaskan lilitannja diatas dahan dan kembali ketangan Toan Ki. Maka badan binatang itu diikatnja pula diatas dahan tempat kakinja berpidjak, kemudian sambil memegangi badan ular, ia terus merosot kebawah. Setelah dekat udjung ekor ular, kakinja memperoleh tempat berpidjak lagi, lalu menarik kembali Djing-leng-tju untuk dipakai tali memberosot kebawah pula dan begitu seterusnja. Untung bagian bawah djurang itu tidak terlalu tjuram, achirnja ia tidak perlu bantuan Djing-leng-tju sudah dapat turun kebawah.
Ia dengar suara gemuruh air makin lama makin keras, ia mendjadi kuatir lagi: Djika dibawah sana adalah arus air jang lihay, tjelakalah aku. ~ Ia merasa butiran2 air sudah berhamburan mentjiprat kemukanju, begitu besar butiran2 air itu hingga menimbulkan rasa sakit pedas.
Achirnja sampailah dia didasar djurang. Waktu memandang kedepan, tanpa tertahan 'I'oan Ki bersorak memudji. Ternjata ditebing kiri sana ada sebuah air terdjun raksasa menuangkan airnja jang djernih kesebuah danau besar, begitu luas danau itu hingga tidak kelihatan tepi jang sebelah sana.
Walaupun dituangi air terdjun sekeras itu, namun air danau itu tidak mendjadi penuh, tentunja ada saluran jang membuang air itu kelain tempat.
Tempat dimana air terdjun menggerudjuk, airnja bergulung-gulung, tapi belasan tombak diluar air terdjun itu, air danau tenang bening bagai katja.
Toan Ki terkesima oleh pemandangan alam jang aneh itu. Karena itu, ia mendjadi lupa sakit lengannja jang keseleo itu. Ketika kemudian ia sadar akan rasa sakit itu, segera ia gulung lengan badju dan berkata pada ruas tulang jang keseleo itu: Wahai, ruas tulang, djika kudapat membetulkan kau, tentu takkan sakit lagi. Tapi kalau salah sambung biarlah terserah nasib, lebih kesakitan djuga sjukur. ~ Ia kertak gigi dan menarik sekuatnja lengan jang keseleo itu. Krek, eh, tulang jang keseleo itu dapat disambungnja kembali. Walaupun rasa sakitnja tidak kepalang, tapi lengan itu kini dapat bergerak dengan bebas lagi.
Toan Ki sangat girang, walaupun sudah menderita setengah harian, namun dasar semangat banteng, ia merasa tjukup bersemangat. Ia me-raba2 Djing-leng,tju dan berkata: Wahai, Djing-leng-tju, hari ini kalau kau tidak menjelamatkan djiwaku, tentu sedjak tadi tuanmu ini sudah naik kesurga.
Maka kelak aku pasti akan suruh tuan puterimu memiara kau lebih baik.
Ia mendekati tepi danau dan meraup air untuk diminum, terasa airnja segar dan rada2 manis pula.
Setelah tenangkan diri, Toan Ki pikir: Urusan hari ini sudah sangat mendesak, aku harus lekas mentjari djalan keluar, djangan2 Kam Djin-ho itu sebentar menjusul kesini, kan bisa tjelaka. ~ Segera ia menjusur tepi danau untuk mentjari djalan.
Danau itu ternjata berbentuk bundar londjong, sebagian besar ter-aling2
oleh semak2 tumbuh2an. Toan Ki mengitar kira2 tiga li djauhnja, ia lihat tebing djurang disekeliling sana lebih2 tjuram, hanja tebing jang dia turun tadi ada lebih mendingan, terang tiada djalan buat mendaki keatas.
Ia lihat suasana ditengah lembah itu sunji senjap, djangankan djedjak manusia, djedjak binatangpun tidak nampak, hanja kitjauan burung terkadang terdengar.
Karena itu, Toan Ki bersedih lagi, ia pikir tak djadi soal dirinja mati kelaparan disitu, tapi djiwa nona Tjiong bagaimana djadinja" Ia duduk ditepi sungai dengan rasa tjemas gelisah, sedikitpun tidak berdaja.
Kemudian ia pikir: Boleh djadi djalanku tadi terlalu buru2 hingga tidak memperhatikan kalau ada sesuatu djalan ketjil jang teraling dibalik semak2 atau tertutup batu2 gunung" ~ Karena itu, ia berbangkit pula, dengan riang gembira sambil bernjanji2 ketjil ia menjusuri tepi danau untuk mentjari djalan keluar.
Kali ini ia telah periksa setiap semak2 pohon ditepi danau, namun dibalik semak2 itu. setiap tempat adalah batu2 padas melulu jang menempel didinding djurang jang mendjulang tinggi kelangit. Djangankan djalan keluar, bahkan liang ular atau lubang djangkrik djuga tidak nampak sesuatu.
Makin lama makin pelahan njanji2 Toan Ki itu, perasaannja pun semakin lama semakin tertekan. Ketika kembali sampai didepan air terdjun tadi, kakinja sudah lemas, dengan lesu ia mendoprok ketanah.
Dalam putus asa, timbulah chajalannja: Pabila aku bisa mendjadi seekor ikan, aku akan menjusur air terdjun itu dan berenang keatas djurang sana.
Sambil berpikir sinar matanja terus mengikuti djalannja air terdjun itu dari bawah keatas. Ia lihat disebelah kanan air terdjun itu ada sepotong dinding batu jang putih gilap bagai kemala. Melihat gelagatnja, boleh djadi air terdjun itu dimasa dahulu djauh lebih besar lagi daripada sekarang ini, Entah sudah mengalami gerudjukan berapa lama hingga dinding batu itu kena digosok sampai rata litjin bagai katja. Kemudian air terdjun berubah ketjil dan dinding batu sehalus katja itupun kelihatan.
Tiba2 Toan Ki ingat kata2 Sin Siang-djing ketika sehabis bertanding di Kiam-oh-kiong, ia telah menjindir ketua sekte Timur Bu-liang-kiam, Tjo Tju-bok, menanjakan selama lima tahun itu apakah sudah banjak mejakinkan peladjaran dinding kemala. Karena itu, Tjo Tju-bok rada gusar dan menegur apakah sang Sumoay sudah lupa pada pantangan golongan sendiri, hingga achirnja Siang-djinq terbungkam.
Teringat pula olehnja sebabnja Bu-liang-kiam bermusuhan dengan Sin-long-pang, adalah karena Sin-long-pang minta mentjari obat kebelakang gunung ini. Lereng gunung Bu-liang-san ini penuh dengan bukit hutan belukar, kalau tjuma mentjari sedikit bahan ohat sadja, apa halangannja"
Dasar otak Toan Ki sangat tjerdas, mendadak timbul rasa tjuriganja sekarang. Segera ia menjelami setiap pembitjaraaa jang pernah didengarnja setelah datang di Kiam-oh-kiong itu, maka teringatlah ketika Tjiong Ling menanjakan tentang Bu-liang-giok-bik apa segala pada Tjo Tju-bok, seketika ketua Bu-liang-kiam itu tertjengang dan pura2 tidak tahu, sebaliknja Tjiong Ling terus menjindir atas sikap orang itu. Tampaknja apa jang dimaksudkan Giok-bik itu adalah dinding gunung kemala dan bukan Giok-bik dari batu kemala. Sekarang dihadapannja terdapat suatu dinding gunung jang putih gilap bagai kemala, pula terletak dibelakang gunung Bu-liang-san, terang dinding tebing gunung ini banjak hubungannja dengan apa jang terdjadi hari ini.
Menjusul teringat pula ketika dirinja terdjerumus kedalam djurang tadi, ber-ulang2 Kam Djin-ho membentaknja agar berhenti, katanja tempat itu adalah tempat Bu-liang-kiam jang terlarang didatangi siapapun djuga. Maka pikirnja pula: Ketika aku ikut Be Ngo-tek ke Kiam-oh-kiong, pernah kutanja sebab apa ketiga sekte Bu-liang-kiam itu setiap lima tahun harus saling bertanding sekali dan jang menang berhak menghuni Kiam-oh-kiong selama lima tahun" Namun djago tua she Be itu hanja garuk2 kepala dan menjatakan itu adalah rahasia golongan Bu-liang-kiam, orang luar susah mengetahuinja.
Ia tjoba menganalisa apa jang telah dilihat dan didengarnja itu, ia menduga diatas Giok-bik itu tentu terukir sematjam rahasia peladjaran ilmu pedang jang ditetapkan oleh leluhur Bu-liang-kiam bahwa sekte mana jang menang dalam pertandingan, lantas boleh tinggal disitu untuk memperdalam ilmu pedang itu selama lima tahun. Berpikir sampai disini, ia bertambah jakin akan dugaannja itu.
Sedjak ketjil Toak Ki sangat dipengaruhi oleh adjaran Budha, ia bentji terhadap ilmu silat. Sebabnja melarikan diri dari rumah djuga disebabkan tidak mau beladjar silat. Tapi setelah ber-runtun2 dianiaja, dihina dan diratjun orang, jang berbuat itu semuanja adalah orang persilatan pula, maka bentjinja terhadap ilmu silat makin mendalam. Maka demi ingat dinding kemala itu ada sangkut-pautnja dengan ilmu silat, segera ia melengos tidak sudi memandangnja lagi. Pikirnja: Sebabnja orang suka berkelahi dan bunuh-membunuh didunia ini, semuanja gara2 ilmu silat masing2 (untuk djaman ini dengan sendirinja karena persendjataan modern, atoom, nuklir dls. Pen.). Pabila diatas dinding kemala itu terukir ilmu silat jang tiada tandingannja di seluruh kolong langit, itu berarti akan membawa bentjana lebih hebat bagi manusia, akibatnja djauh lebih tjelaka daripada Kim-leng-tju, Toan-djiong-san dan sebagainja.
Ia berpikir sambil berdjalan terus, namun achirnja rasa ingin tahunja lebih kuat daripada segala pikiran lain, ia pikir: Rahasia ilmu silat jang tertera diatas dinding kemala itu pasti sangat susah dijakinkan, bila tidak, rasanja Tjo Tju-bok dan kambrat2-nja tidak perlu susah2
mempeladjarinja selama lima tahun dan toh tidak banjak hasilnja. Aku djusteru ingin lihat matjam apakah ilmu jang aneh itu"
Segera ia menengadah pula, ia lihat dinding itu halus gilap seperti katja, darimana bisa terukir sesuatu rahasia adjaran ilmu pedang atau ilmu silat lain" Ia tjoba mengintjar2 dari samping dan mengamat-amati dari depan pula, namun tetap tiada sesuatu jang menarik, pikirnja pula: Apa jang dikatakan orang kuno belum tentu sungguh2. Boleh djadi leluhur Bu-liang-kiam sengadja membohongi anak murid mereka agar bisa lebih giat melatih diri. Atau mungkin djuga dugaanku jang salah.
Setelah memandang sekian lama pula, ia merasa letih dan lapar. Tanpa pikir lagi ia rebahkan diri ditanah dan tertidur. Ketika mendusin esok paginja, perutnja semakin kerontjongan, tapi ditengah lembah itu tiada sesuatu makanan, buah2an pun tidak nampak. Sampai lohor, saking lapar Toan Ki terus petik beberapa bunga hutan sekedar tangsal perut. Walaupun phit getir rasanja bunga itu, terpaksa ia telan mentah2.
Setelah beberapa djam lagi, sang surja sudah menjerong ke barat, ia lihat diangkasa danau timbul selarik bianglala jang indah permai. Ia tahu dimana ada air terdjun, repleksi jang tersorot sinar matahari sering menimbulkan bajangan bianglala jang warna-warni. Menghadapi pemandangan permai itu, Toan Ki merasa tidak penasaran biarpun harus terkubur dilembah gunung itu. Setelah ter-menung2 agak lama, achirnja ia merebah dan terpulas lagi.
Tidurnja itu njenjak benar, ketika mendusin, waktunja sudah tengah malam. Ia lihat sang dewi malam sedang memantjar sinarnja jang tenang halus. Ketika mendongak memandang kedinding batu sana, ia lihat diatas dinding itu djelas terlukis dua benda.
Toan Ki terkesiap, ia kutjek2 mata sendiri dan memandangnja lebih djelas, kiranja kedua benda itu hanja bajangan sadja. Jang satu berbentuk melengkung, mirip pelangi jang dilihatnja siang tadi, jang lain adalah bajangan sebatang pedang.
Bajangan pedang itu sangat terang, baik batang pedang, garannja, udjungnja, semuanja mirip benar.
Setelah memikir sedjenak, segera Toan Ki tahu didepan dinding batu itu pasti ada sebatang pedang, karena sinar bulan jang menjorot miring itu, maka bajangannja tertjetak diatas dinding itu. Ia lihat udjung bajangan pedang itu menundjuk keputjuk bajangan benda melengkung itu. Waktu ditegasi, Toan Ki merasa bajangan itu makin mirip pelangi. Tidak lama, awan tipis jang menutupi sang dewi malam itu tertiup bujar oleh angin hingga bajangan hitam itu tampak lebih tandas lagi. Dar bajangan hitam benda melengkung itu ternjata timbul djalur2 aneka-warna persis seperti warna-warni bianglala.
Toan Ki semakin heran, pikirnja: Kenapa ditengah bajangan bisa timbul warna-warni" Ketika pandangannja beralih ke arah berlawanan dengan dinding batu itu, ia lihat didinding tebing tjuram sana lapat2 ada sinar berwarna jang ber-gojang2. Seketika ia mendjadi sadar, kiranja didinding situ ada terdjepit sebatang pedang, disamping itu ada sepotong batu mestika jang mengeluarkan sinar pelangi. Batu permata memangnja mempunjai tudjuh warna, maka sinar bulan telah memindahkan replek warna-warni itu kedinding bati sana. Pantas begitu indah menarik. Tjuma sajang, tempat dimana terdapat benda2 mestika itu berpuluh tombak tingginja, betapapun tidak mungkin ditjapai untuk dilihat dari dekat.
Belum lama ia menikmati pemandangan indah itu, sang bulan sudah berpindah hingga bajangan itu mulai menipis dan achirnja lenjap tinggal dinding batu jang tetap halus litjin itu.
Tanpa sengadja Toan Ki dapat menemukan rahasia itu, ia pikir, Kiranja rahasia diatas dinding kemala Bu-liang-san ini beginilah adanja. Kalau tidak kebetulan aku tergelintjir kesini, belum tentu aku bisa melihat bajangan tadi, sedangkan sinar bulan untuk bisa menjorot keatas dinding itu, dalam setahun hanja ada kesempatan beberapa hari sadja. Sebaliknja orang2 Bu-liang-kiam jang sengadja hendak mentjari rahasia itu, kebanjakan pasti datang diwaktu siang hari untuk memandangi dinding batu itu setjara tolol, boleh djadi mereka malah menggali dan membongkar batu pegunungan diatas sana untuk mentjari rahasia jang tidak pernah diketemukan itu. Sudah tentu, hasil mereka tetap nihil.
Berpikir sampai disini, ia tertawa geli sendiri: Hihi, seumpama aku memperoleh pedang serta benda mestika jang mengeluarkan sinar warna-warni itu, bagiku paling2 hanja mendapatkan dua matjam mainan jang menarik sadja, perlu apa mesti banjak pikiran buat itu" Bukankah aku terlalu goblok" Setelah ter-mangu2 sedjenak, kemudian ia tertidur lagi.
Dalam tidurnja itu, se-konjong2 ia melondjak bangun, katanja dalam hati: He, udjung pedang itu menundjuk keputjuk pelangi jang bawah, djangan2 dibalik itu ada rahasianja lagi" Padahal untuk mendjepit pedang dan batu mestika itu kedinding tebing tidaklah mudah dilakukan, bukan sadja diperlukan ilmu silat jang tinggi, bahkan harus ada orang mengereknja dengan tali jang pandjang. Dan kalau setjara susah pajah berbuat begitu, didalamnja pasti mengandung maksud tertentu, apakah diartikan: Rahasianja terletak diudjung pelangi! Kalau dilihat dari kedua bajangan itu, ketjuali kesimpulan ini, terang tiada arti lain lagi. Tapi udjung pelangi itu jang satu mendjulang kelangit, udjung jang lain sebaliknja menundjuk ketengah danau, biarpun didalamnja terkandung rahasia maha besar djuga susah untuk memperolehnja.
Begitulah Toan Ki ter-mangu2 sampai lama, achirnja ia berpendapat: Perubahan pelangi setiap waktu ber-beda2, mungkin tempat jang ditundjuk bajangan pedang itu, besok akan berlainan.
Besok paginja, karena memikirkan muntjulnja pelangi, ia mendjadi lupa akan kelaparan. Dengan susah pajah achirnja tiba djuga sang malam.
Selondjor pelangi pandjang tampak tergantung dilangit pula. Tapi begitu melihat, Toan Ki mendjadi ketjewa. Ternjata kedua udjung pelangi itu sedikit pun tiada ubahnja seperti kemarin, jang sebelah mendjulang kelangit, udjung lain djatuh ketengah danau.
Toan Ki tjoba mendekati pinggir danau, suara gemuruh air terdjun itu membuat telinganja se-akan2 pekak, sekedjap sadja badjunja sudah basah kujup oleh tjipratan air terdjun. Ia lihat ditengah danau terdapat suatu pusaran air jang sangat besar dan sedang berputar dengan keras sekali.
Karena didekati, pelangi tadi lantas tidak kelihatan lagi.
Waktu Toan Ki hitung2, hari itu sudah hari ketiga sedjak dia djatuh kedalam djurang. Lewat empat hari lagi, seumpama tidak mati kelaparan, kalau ratjun Toan-djiong-san didalam perut mulai bekerdja, sekalipun dia tidak sampai mati, tentu kawanan Sin-long-pang akan membunuh Tjiong Ling.
Kesana-kesini djuga mati, tidakkah lebih baik terdjun ketengah pusaran air sadja untuk melihat apakah ada sesuatu didasar danau itu. Pertama sudah menghadapi djalan buntu, terpaksa mati2an mentjari selamat; kedua, dia memang bersemangat banteng, sekali ingin berbuat, segera dilaksanakannja.
Karena itu, tanpa pikir2 lagi terus sadja ia terdjun ketengah pusaran air itu. Seketika tubuhnja digulung oleh suatu tenaga maha besar terus berputar kebawah. Lekas2 ia tutup pernapasannja, sebaliknja pasang mata membelalak. Ia lihat sekitarnja hanja air jang buram belaka, ia terhanjut kedasar danau oleh arus air jang keras berasal dari air terdjun diatas itu.
Toan Ki hanja sekedar bisa berenang sadja. Tapi terhanjut ditengah arus air jang keras itu, ia takbisa menguasai diri lagi, tubuhnja ter-putar2
dan sebentar sadja ia sudah megap2 kemasukan air, seketika pikirannja remang2, hanja merasa terhanjut terus oleh arus air dan entah sudah berapa djauhnja.
Se-konjong2 tubuhnja terasa dilemparkan oleh tenaga pusaran keatas permukaan air. Ketika Toan Ki menggeraki tangannja serabutan, untung dapat menangkap seutas tangkai rotan, tjepat sadja ia pegang kentjang2.
Setelah tenangkan diri sedjenak, ia membuka mata dan melihat sekitarnja gelap gelita. Ia tjoba ulur kaki kanan kedepan dan terasa masih mengindjak ditanah, segera kaki jang lain ikut melangkah madju, tapi kedua tangannja masih tidak berani melepaskan pegangannja dirotan tadi.
Setelah belasan tindak djauhnja, ia merasa air hanja sebatas betis kaki, arus airpun tidak terlalu keras lagi, segera ia lepaskan rotan tadi berdiri menegak. Tapi mendadak blang, batok kepalanja kebentur sesuatu jang keras, saking kesakitan, hampir2 ia djatuh kelengar. Diam2 ia memaki dirinja sendiri jang terlalu kurang hati2.
Waktu meraba keatas, benda itu terasa dingin keras, kiranja adalah batu padas semua.
Setelah berpikir sedjenak, Toan Ki tahu dirinja tadi telah dibawa kedasar danau oleh pusaran air jang keras, tapi arus air itu ada djalan buangannja, maka dirinja kena terbawa pula sampai didalam djalan buangan air itu. Meski keadaannja sekarang banjak tjelaka daripada selamatnja, namun selama masih ada harapan, ia pantang menjerah, segera ia merangkak madju mengikuti lorong buangan air itu. Ia dengar ada suara gemerudjuknja air, terkadang tjepat dan terkadang lambat mengalir dikanan-kirinja.
Setelah merangkak sebentar, lorong itu makin melebar hingga achirnja dapatlah ia berdiri sambil membungkuk. Ia berdjalan terus, achirnja dapatlah ia berdjalan dengan tegak.
Tjuma sering ia mengindjak lubang dibawah air hingga mendadak badannja terendam air sampai dipinggang. Lain saat diatas kepala tiba2 menondjol batu padas hingga hampir2 kepalanja bendjut lagi kebentur. Untung kedua tangannja mengulur kedepan sebagai pembuka djalan, kalau tidak, entah berapa kali kepalanja akan bertambah telur ajam.
Setelah berdjalan lagi, tiba2 Toan Ki teringat pada Djing-leng-tju, ia tjoba meraba pinggang, sjukurlah binatang itu masih melilit disitu tanpa kurang apa2. Ia merasa pengalamannja hari ini benar2 merupakan pengalaman aneh selama hidupnja jang susah diperoleh orang lain. Sudah turun-temurun ahliwaris Bu-liang-kiam suka ter-mangu2 memandangi dinding batu itu, tapi sekali2 tidak mereka sangka bahwa orangnja harus terdjun kedalam djurang, disitulah mereka akan menemukan apa jang diharapkan itu dimalam hari dibawah sinar bulan purnama.
Namun seumpama sudah melihat bajangan pedang dan batu mestika diatas dinding itu, kalau tiada punja tjita2 berkorban, rasanja djuga takkan berani melompat ketengah pusaran air jang berarus besar itu.
Semakin dipikir, semakin senang hati Toan Ki. Tanpa tertahan lagi ia ter-bahak2, lalu ia menggumam sendiri: Wahai, Toan Ki! Djika hari ini djiwamu djadi melajang, itu berarti tamatlah riwajatmu. Tapi kalau beruntung bisa keluar dengan selamat, rasanja kau harus pergi mengedjek Tjo Tju-bok dan murid2nja jang sombong tapi tak betjus itu. Habis berkata, ia ter-bahak2 pula dengan keras.
Tak tersangka, mendadak disebelah kanan sana djuga ada orang menirukan tertawanja jang ter-bahak2 itu. Karuan Toan Ki kaget, ia berhenti tertawa, segera suara tawa itupun lenjap. Siapa kau" seru Toan Ki.
Siapa kau" terdengar pula suara serupa disana menanja.
Kau setan atau manusia" teriak Toan Ki lagi.
Kau setan atau manusia" tetap suara sana menirukannja.
Setelah tertegun sekedjap, segera Toan Ki sadar hingga tertawa geli sendiri, gerutunja: Kurang adjar, kiranja adalah kumandang suaraku sendiri. Tapi segera timbul tjuriganja lagi: Hanja lembah gunung atau suatu ruangan besar jang bisa menimbulkan suara kumandang. Djika begitu, disebelah kanan sana tentunja ada suatu tempat jang luas. Haha, djika bukannja aku kegirangan hingga ter-bahak2 tawa, tentunja aku takkan tahu disini masih ada tempat lain lagi.
Segera ia gembar-gembor serabutan sambil menudju ketempat datangnja suara kumandang itu. Tiada lama, ia merasa berada disuatu tempat jang luang, tangannja takbisa meraba sesuatu lagi. Tiba2 kehilangan sandaran, Toan Ki merasa takut malah. Setindak demi setindak ia madju terus, kakinja merasa tidak mendapat rintangan apa2 lagi, se-konjong2 tangannja menjentuh sesuatu jang dingin. Begitu kesenggol, benda itu terus menerbitkan suara njaring tjreng, ketika diraba lagi lebih teliti, kiranja adalah sebuah gembok besar.
Kalau ada gembok, dengan sendirinja ada pintunja.
Maka tjepat Toan Ki me-raba2 pula, benar djuga dari atas kebawah ada belasan paku pintu jang besar2. Dalam kedjut dan girangnja, ia heran pula kenapa ditempat seperti itu ada penghuninja"
Segera ia angkat gembok tadi mengetok pintu beberapa kali. Tapi sampai lama tiada ada djawaban apa2 dari dalam. Kembali ia ketok2 dan tetap tiada suara sahutan. Maka ia tjoba dorong pintu itu.
Pintu itu sangat antap, seperti terbuat dari badja. Tapi tidak dipalang dari dalam, maka pelahan Toan Ki mendorong, segera pintu itu terbuka.
Dengan suara lantang Toan Ki lantas berkata: Tjayhe Toan Ki setjara sembrono telah masuk kesini, mohon tuan rumah suka memaafkan. Ia berhenti sedjenak dan tidak mendengar sesuatu suara didalam, lalu ia melangkah masuk.
Meski waktu itu ia sudah berada didalam pintu, tapi biar matanja melotot, hampir2 bidji matanja mentjelat keluar, toh tetap tidak melihat sesuatu benda, hanja hidungnja merasa bau disitu sudah tidak selembab seperti dilorong air tadi. Ia berdjalan terus kedepan, mendadak blang, sungguh sial, kembali batok kepalanja kebentur sesuatu.
Sjukur ia berdjalan sangat pelahan, maka benturan itu tidak terlalu sakit. Waktu diraba, kiranja disitu ada sebuah pintu pula. Pelahan2 Toan Ki mendorong itu hingga terbuka, tapi didalam situ tetap gelap gelita.
Setjara singkat, be-runtun2 Toan Ki telah melalui enam buah pintu.
Ketika memasuki pintu keenam itu, memdadak matanja terbeliak terang, kontan djantung Toan Ki ikut memukul. Serunja dalam hati: Achirnja dapatlah aku keluar dengan selamat!
Waktu ia perhatikan, kiranja tempat itu adalah sebuah kamar batu jang bundar, sinar terang itu tembus dari sudut kiri sana, tjuma agak remang2, seperti bukan tjahaja matahari. Ia tjoba mendekati lubang jang tembus sinar itu, tiba2 dilihatnja ada seekor udang besar berenang lewat. Ia sangat heran, ia madju lebih dekat, terlihat pula beberapa ekor ikan warna-warni berenang diluar sana dengan bebasnja. Ketika ditegaskan, kiranja lubang djendela itu terbuat dari sepotong batu katja jang dipasang didinding batu itu, besarnja kira2 sama dengan baskom dan sinar tembus dari batu katja itu jang berdjumlah tiga buah.
Toan Ki tjoba mengintip keluar melalui batu katja itu, ia lihat diluar sana warna air hidjau-biru ber-gerak2 tak pernah berhenti, banjak sebangsa ikan dan udang berenang kian kemari dengan bebasnja. Maka pahamlah Toan Ki bahwa tempat dirinja berada itu pasti berada didasar air, kalau bukan didasar danau, tentu didasar sungai. Rupanja pembangun rumah ini dahulu telah banjak mengorbankan djerih-pajahnja barulah dapat menarik tjahaja air itu kedalam, dan ketiga potong batu katja itu terang adalah batu mestika jang tiada tara nilainja.
Ketika berpaling, Toan Ki melihat ditengah kamar batu itu terdapat sebuah medja batu, didepan medja ada bangku, diatas medja berdiri sebuah tjermin perunggu. Disamping tjermin terdapat sebangsa sisir, tusuk-konde dan sebagainja. Agaknja bekas kamar seorang wanita. Tjermin perunggu itu tepinja sudah berlumut, diatas medja djuga banjak debunja, entah sudah berapa lama tiada orang mengindjak kamar ini.
Melihat keadaan itu, seketika Toan Ki terkesima malah, pikirnja: Lama berselang, tentu ada seorang wanita tinggal kesepian disini. Entah sebab apa hingga dia begitu sedih meninggalkan pergaulan ramai untuk mengasingkan diri disini.
Setelah ter-mangu2 sedjenak pula, ia periksa pula kamar itu, ia lihat di sekitar dinding kamar penuh terpasang tjermin2 perunggu, sekedar dihitung sadja sudah lebih dari 30 buah banjaknja. Toan Ki makin heran, pikirnja: Tampaknja wanita jang tinggal disini ini pasti tjantik tiada bandingannja, maka setiap hari melulu mengatja dirinja sendiri, suasana begini sungguh membuat orang terpesona.
Ia mondar-mandir didalam kamar itu, sebentar ketjek2 kagum, lain saat menghela napas gegetun, ia kasihan pada wanita tjantik jang belum pernah dikenalnja itu.
Selang agak lama, mendadak ia teringat: Haja, tjelaka! Aku hanja pikirkan urusan orang lain, tapi lupa pada kepentingan sendiri. Kalau disini djuga tiada djalan keluar, lalu bagaimana baiknja"
Waktu ia periksa sekitar kamar, terang sekali tiada djalan tembusan lain lagi, dalam keadaan lesu putus asa, ia berduduk diatas bangku batu sambil mengomel sendiri: Aku Toan Ki hanja seorang lelaki geblek, kalau mati disini, hanja bikin kotor tempat sitjantik sadja. Kalau mau mati, pantasnja mati dilorong sana. Ai, sebelum adjal, biarlah kulihat tjorakku sendiri ini matjam apa" Segera ia gunakan lengan badju untuk menggosok tjermin perunggu diatas medja itu hingga gilap, lalu ia duduk diatas bangku untuk mengatja, tapi letak tjermin agak djauh hingga mukanja kurang djelas, maka ia bermaksud menggeser tjermin itu lebih dekat.
Tak tersangka tjermin itu ternjata menempel kentjang diatas medja batu, sekali tjermin itu dia tarik, seketika bangku jang diduduki itu terasa bergojang sedikit. Dalam kagetnja segera Toan Ki sangat girang, tjepat ia berbangkit dan menarik tjermin itu lebih kuat, maka terdengarlah suara keriat-keriut, bangku batu mulai menggeser hingga tertampak sebuah lubang dibawahnja. Ketika dipandang, dibawah lubang itu terdapat undak2an batu jang menurun kebawah.
Banjak terima kasih pada langit dan bumi, achirnja aku Toan Ki mendapatkan djalan keluar, seru Toan Ki kegirangan. Terus sadja ia turun kebawah mengikuti undak2an itu.
Kira2 belasan undak2an, kemudian membiluk keatas, lalu ber-lingkar2, makin djauh makin tinggi, setelah menikung beberapa kali lagi, achirnja pandangan Toan Ki terbeliak terang, se-konjong2 ia mendjerit kaget pula ketika tahu2 dihadapannja berdiri seorang wanita tjantik berpakaian istana sambil menghunus pedang lagi mengantjam kedadanja.
Sekilas Toan Ki merasa wanita ini tjantiknja luar biasa dan susah dilukiskan, selama hidupnja belum pernah dilihat ada wanita aju seperti ini. Saking kedjutnja sampai mulut Toan Ki ternganga.
Selang agak lama, ia lihat wanita itu tetap tidak bergerak sedikitpun, ketika ditegaskan, ia lihat wanita itu meski tjantik dan agung, tapi bukan manusia hidup. Waktu diperhatikan lagi, barulah ia tahu wanita itu hanja sebuah patung jade putih sadja. Tjuma patung itu besarnja seperti manusia biasa, badju sutera putih jang dipakai bisa ber-gerak2, jang lebih aneh adalah sepasang bidji matanja se-akan2 bersinar hidup. Saking terpesona Toan Ki sendiri tidak insaf sudah berapa lama ia memandangi patung itu, achirnja iapun tahu bidji mata patung itu adalah buatan dari batu permata hitam. Dan sebabnja patung itu mirip benar dengan manusia hidup adalah karena bidji matanja jang bersinar jang terbuat dari batu permata itu. Bahkan muka patung djelita jang terukir dari batu kemala putih itupun bersemu merah djambu hingga tiada ubahnja seperti manusia umumnja.
Ketika Toan Ki miringkan kepala memandang patung itu, ia lihat sorot mata patung itupun ikut mengerling kesana se-akan2 hidup. Toan Ki terkedjut, ia tjoba memandangnja dari arah lain lagi, dan sorot mata patung itu tetap mengerling mengikuti arahnja, dari sudut mana dia memandang, selalu sorot mata patung djuga memandang kepadanja, perasaan jang terkandung dalam sinar mata patung itupun susah diraba, seperti girang, se-akan2 sedih, entah suka entah marah, seperti ke-malu2an, tapi djuga seperti lagi muram.
Toan Ki terkesima sedjenak, kemudian ia membungkukan tubuh memberi hormat, katanja: Entji Dewi, hari ini Toan Ki beruntung dapat bertemu dengan wadjah engkau, sungguh matipun aku tidak menjesal. Entji Dewi tinggal seorang diri disini, apakah tidak merasa kesepian"
Aneh bin adjaib, sorot mata patung itu se-akan2 berubah lain, agaknja dapat menerima apa jang diutjapkan Toan Ki itu. Sebaliknja pemuda itu sendiri se-akan2 keselurupan setan sadja, pandangannja tidak pernah lagi meninggalkan patung kemala itu. Katanja pula: Entji Dewi, entah siapakah namamu"
Segera ia pikir barangkali disekitar situ dapat diketemukan sesuatu tjatatan. Ia tjoba memandang seputarnja, tapi baru beberapa kedjap, tak tahan lagi, ia memandang patung itu lagi. Kini barulah ia mengetahui bahwa rambut patung itu adalah rambut manusia tulen, sebuah gelungan jang terikat agak kendor kebawah se-akan2 semampir dipundak, diatas gelungan terdapat sebuah tusuk-konde kemala berhiaskan dua butir mutiara mestika sebesar djari jang bersinar mengkilap. Ia lihat disekitar dinding ruangan penuh terhias matjam2 batu permata hingga menjilaukan pandangan mata.
Didinding sebelah barat sana djelas tertampak ada delapan huruf jang dibentuk dari batu2 intan ketjil. Arti daripada kedelapan huruf itu adalah: Rahasia Bu-liang, dapat diketemukan dengan membuka badju.
Toan Ki terperandjat, katanja sendiri: Harus membuka badju Entji Dewi"
Mana boleh djadi!
Walaupun patung itu bukan manusia hidup, tapi sekali melihat Toan Ki sudah kesengsem, sedikitpun ia tidak berani berlaku kurangadjar.
Pikirnja: Memangnja aku tidak pingin tahu segala rahasia apa, sekalipun ingin, djuga tidak berani berbuat semberono terhadap Entji Dewi. Untung sebelum aku tiada orang lain mendatangi tempat ini lebih dulu, kalau tidak, wanita tjantik tiada bandingannja ini bukankah akan dibikin kotor oleh segala manusia rendah" Ehm, paling baik aku harus hilangkan huruf2
itu, agar kelak bila ada orang lain datang kesini, tidak bikin kotor patung tjantik ini.
Ia lihat dipodjok kamar sana banjak tertumpuk tjermin2 perunggu, sedikitnja ada ratusan buah. Segera ia mengambilnja sebuah dipakai menggempur batu permata jang membentuk kedelapan huruf tadi. Kuatir kalau masih ada bekasnja, Toan Ki gosok2 pula lubang2 ketjil bekas gigitan batu permata itu hingga rata benar2.
Selesai itu, Toan Ki merasa sudah berdjasa bagi patung Dewi itu, betapa senangnja susah dikatakan. Kembali didepan patung itu, ia ter-mangu2 lagi seperti orang gendeng, bahkan hidungnja se-akan2 mentjium bau wangi.
Njata dari suka timbul rasa hormatnja, dari hormat ia mendjadi gendeng.
Mendadak ia berteriak: Entji Dewi, djikalau kau bisa hidup dan bitjarakan sepatah kata sadja padaku, biarpun aku harus mati seratus kali, bahkan seribu kali, bagimu, akupun merasa rela dan puas, senang tak terhingga.
Tiba2 ia berlutut dan menjembah kehadapan patung Dewi. Dan karena berlututnja inilah baru ia ketahui bahwa didepan patung itu memang terdapat dua buah kasur tikar seperti disediakan untuk orang bersembajang. Tikar jang dipakai berlutut Toan Ki itu agak besar, didepan kaki patung masih ada sebuah kasur tikar jang lebih ketjil, agaknja disediakan kalau jang sembajang mendjura dengan manggutkan kepala kelantai.
Ketika Toan Ki mulai mendjura, ia lihat ditepi kedua sepatu patung itu seperti tersulam beberapa tulisan. Ketika diperhatikan, ia dapat membatja tulisan ditepi sepatu kiri berbunji: Mendjura seribu kali, turut segala perintahku. Dan ditepi sepatu kanan tertulis: Pasti mengalami malapetaka, badan tjelaka nama runtuh.
Tulisan2 jang masing2 terdiri dari delapan huruf itu ketjil bagai lalat, sepatu patung itu berwarna hidjau muda sebaliknja tulisan itu berwarna hidjau tua, kalau tidak mendjura, pasti tak mengetahui dibawah situ ada tulisannja. Sekalipun dapat melihatnja, orang biasa bila membatja kata2: Mendjura seribu kali, turut segala perintahku, tentu merasa enggan, bagi jang wataknja keras dan tinggi hati, boleh djadi patung itu akan didepak. Apalagi kalau membatja pula tulisan jang berbunji: Pasti mengalami malapetaka, badan mati nama runtuh, lebih2
membikin siapapun marah bila membatjanja.
Tapi kini Toan Ki sudah kesengsem benar2 terhadap patung Dewi itu, ia merasa mendjura seribu kali masih djauh lebih dari pantas. Kalau bisa djadi pesuruh sang Dewi, itulah melebihi harapannja. Sedang mengenai bakal mengalami malapetaka, badan mati, nama runtuh, demi sang djuwita, betapapun ia rela.
Sebenarnja kalau orang biasa, melihat tulisan2 itu, andaikan tidak marah, paling2 djuga mentertawai dan anggap sepele sadja. Tapi dasar Toan Ki sudah kesengsem bagai orang gendeng, ia benar2 terus mendjura, sekali, dua kali, tiga kali.... empatbelas, limabelas..... duapuluh...
tigapuluh... sambil mulutnja menghitung, dengan sangat menghormat ia mendjura tiada hentinja.
Kira2 mendjura lebih 500 kali, Toan Ki merasa kaki sakit, botjok pegal, leher tjengeng. Tapi demi sang Dewi, betapapun harus bertahan sampai titik penghabisan, ia sudah bertekad mendjura selesai sampai 1000 kali.
Sampai lebih 800 kali, tiba2 kasur ketjil jang dibuat gandjal anggukan kepalanja itu pelahan2 ambles kebawah. Setiap kali kepalanja mengangguk, kasur ketjil itu lantas ambles lagi sedikit.
Setelah berpuluh kali mendjura pula, tiba2 dilihatnja tempat jang ambles itu menongol tiga buah udjung paah jang mengarah miring keatas dan tepat mengintjar batok kepalanja. Lapat2 tampak udjung panah itu ber-kelip2, dibatang panah penuh terpasang pergas.
Setelah berpikir sedjenak, segera Toan Ki paham persoalannja. Katanja dalam hati: Wah, hampir tjelaka! Kiranja dibawah situ ada perangkapnja berupa panah beratjun. Untung aku mendjura dengan menghormat sungguh2
hingga kasur itu ambles pelahan2 dan panah berbisa itu tidak mendjeplak keluar. Djika aku berlaku kasar dan men-depak2 kasuran itu, sekali alat perangkap terguntjang, banah berbisa itu mungkin sudah menantjap diperutku. Baiklah aku habiskan mendjura seribu kali, ingin kulihat ada perubahan apa lagi.
Segera ia mendjura pula dan bikin habis djumlah 1000 kali itu. Ketika mendongak, ia lihat tempat jang ambles tadi terdapat sepotong pelat badja, diatasnja ada ukiran tulisan, segera Toan Ki mengambil pelat badja itu dan membatjanja: Karena kau sudah mendjura seribu kali, kini kau telah mendjadi muridku. Nasibmu selandjutnja akan sangat pajah mengenaskan. Ilmu silat golongan kita jang tiada bandingannja dikolong langit berada semua didalam kamar batu, harap mempeladjarinja dengan tenang.
Sungguh ketjewa rasanja Toan Ki. Djusteru karena tak mau beladjar silat, maka ia telah minggat dari rumah. Dengan sendirinja ia pun tidak ingin mempeladjari ilmu silat tiada bandingan dikolong langit apa segala.
Dengan hati2 kemudian ia kembalikan pelat badja tadi ketempatnja.
Ketika berdiri, ia merasa kakinja kaku seluruhnja, hampir2 ia djatuh terguling.
Setelah ter-mangu2 sedjenak, kemudian ia memberi hormat pula dengan membungkuk dan berkata: Entji Dewi, aku tidak mau mendjadi muridmu, ilmu silatmu jang tiada bandingan dikolong langit pun aku tidak mau beladjar.
Hari ini aku masih ada urusan penting, sementara ini aku mohon diri.
Kelak kalau nona Tjiong sudah kuselamatkan, tentu aku akan datang kemari untuk berkumpul lagi dengan Entji Dewi.
Dengan perasaan berat, segera ia melangkah keluar kamar batu itu. Ia lihat undak2-an batu diluar kamar mulai miring keatas, terus sadja ia melangkah naik dengan ragu2, beberapa kali ia ingin menoleh kebelakang untuk memandang patung tjantik itu, sjukur imannja tjukup teguh, achirnja ia bisa mengekang diri.
Kira2 ratusan undakkan keatas, ia sudah membiluk tiga kali, lapat2
terdengar suara gemuruhnja air. Setelah beratus undakan lagi, suara air semakin keras se-akan2 memekak telinga, lalu tampak ada tjahaja menembus masuk didepan sana.
Toan Ki pertjepat langkahnja hingga tibalah diudjung terachir undak2an batu itu. Ternjata disitu ada sebuah gua jang tiba tjukup untuk dilalui tubuh manusia. Ia tjoba mendongak keluar dengan kepalanja menongol lebih dulu, tapi ia mendjadi kaget.
Diluar sana arus air men-debur2, gulung-gemulung dengan hebatnja, ternjata adalah sebuah sungai besar. Melihat kedua tepi sungai penuh tebing tjuram, batu padas sungsang timbul di-mana2, Toan Ki jakin pasti adalah lembah sungai Landjong.
Kedjut dan girang rasa hati Toan Ki. Tjepatan sadja ia merangkak keluar dari lubang itu. Ternjata tempat dimana dirinja berada kira2 belasan tombak tingginja diatas permukaan sungai, biarpun air sungai naik pasang melanda djuga takkan mentjapai mulut gua itu. Tapi untuk bisa mentjapai dataran, ia perlu djuga merajap melalui tebing2 tjuram. Namun berkat bantuan Djing-leng-tju, walaupun dengan susah pajah, achirnja dapatlah Toan Ki tiba sampai ditempat jang selamat. Ia ingat baik2 keadaan disekitar situ, agar kelak bila urusannja sudah beres, ia ingin datang pula ketempat jang maha rahasia ini.
Ia melandjutkan perdjalanan dengan menjusur tepi sungai jang penuh batu padas, setelah beberapa li djauhnja, Toan Ki melihat sebuah pohon Tho jang lagi berbuah, memangnja sudah terlalu lapar, segera Toan Ki pandjat keatas pohon dan petik buah Tho itu untuk tangsal perut. Habis makan, semangatnja dapatlah dipulihkan.
Setelah belasan li lagi, achirnja sampailah disuatu djalanan ketjil. Ia madju terus mengikuti djalan ketjil itu. Ketika hampir magrib, baru dapatlah ia menemukan, djembatan rantai besi jang melintang terapung diantara kedua tepi sungai. Ia lihat diatas batu diudjung djembatan terapung itu ada terukir tiga huruf: Sian-djin-toh Atau djembatan orang badjik.
Melihat nama djembatan itu, kembali Toan Ki bergirang. Memang itulah djembatan jang ditjari sesuai dengan petundjuk Tjion Ling. Terus sadja ia menjeberang keatas djembatan.
Djembatan itu terdiri dari empat utas rantai besi jang sambung-menjambung, dua utas bagian bawah diberi papan kaju untuk djalan, dua utas jang lain dipakai pegangan orang menjeberang.
Begitu Toan Ki mengindjak keatas djembatan terapung itu, segera rantai djembatan ber-gontai2. Sampai ditengah sungai, gontjangan djembatan itu semakin hebat. Sekilas memandang kebawah, air sungai tampak mengombak mendebur dengan hebatnja, pabila terpeleset djatuh kebawah, betapapun pandai berenang rasanja djuga takkan mampu melawan ombak jang luar biasa itu.
Toan Ki tak berani menengok lagi kebawah, ia pandang lurus kedepan, dengan ber-debar2 setindak-demi-setindak ia merambat keudjung sana.
Ia duduk mengaso sedjenak ditepi djembatan, kemudian barulah melandjutkan perdjalanan menurut petundjuk jang diberikan Tjiong Ling itu.
Menurut Tjiong Ling, lembah pegunungan kediamannja itu bernama Ban-djiat-kok atau lembah berlaksa maut. Djalan masuknja adalah sebuah kuburan.
Setelah ber-liku2 melintasi bukit dan menjusur rimba, ketika sampai ditempat kuburan jang ditjari itu, hari sudah remang2 gelap. Ia menghitung dari kiri kekanan dan mendapatkan kuburan nomor tudjuh, ia lihat didepan kuburan itu terdapat sepotong batu nisan jang bertuliskan: Kuburan Ban Siu Toan.
Toan Ki tertjengang, pikirnja: Aneh benar nama ini" Kenapa bernama Siu Toan (dendam pada Toan)"
Waktu Tjiong Ling memberitahukan tempat tinggalnja, gadis itu djelaskan kalau mesti mentjari kuburan ketudjuh dihitung dari kiri, tapi tidak menerangkan apa jang tertulis diatas batu nisan. Kini melihat nama Ban Siu Toan jang aneh itu, diam2 Toan Ki mendjadi ragu2. Ia lihat sekitarnja sunji senjap penuh kuburan, hanja terkadang terdengar suara keresekan daun pohon jang bergerak terhembus angin sendja.
Toan Ki tak berani ajal, segera ia menurut petundjuk Tjiong Ling dan menarik batu nisan tadi kekiri, menjusul menarik lagi dua kali kekanan dan kembali sekali pula kekiri. Habis itu ia mendepak tiga kali ke-tengah2 tulisan diatas batu nisan itu. Tulisan jang tepat didepaknja itu adalah huruf Toan, jaitu nama keluarganja Toan Ki djuga. Diam2 ia geli sendiri, pabila orang lain, tidak mungkin sudi mendepak diatas huruf jang mendjadi nama keluarganja itu.
Dalam pada itu, tiba2 dua potong batu disamping kuburan itu mendadak robah hingga tertampak suatu lubang masuk. Toan Ki tjoba melongok kedalam, tapi keadaan gelap-gelita, segera ia tabahkan diri dan membiluk suatu tikungan, achirnja ia melihat didepan sana ada setitik sinar pelita. Segera ia mendekatinja, tapi ia mendjadi kaget, ternjata disamping pelita itu terdapat sebuah peti mati.
Sesuai petundjuk Tjiong Ling, Toan Ki lantas tiup padam pelita itu hingga keadaan mendjadi gelap pekat. Selang tak lama terdengar suara keriut2 beberapa kali, tutup peti mati tadi terbuka sendiri, lalu terdengar suara seorang wanita sedang menanja: Apakah Siotjia jang telah pulang"
Tjayhe bernama Toan Ki, tjepat Toan Ki menjahut, atas permintaan nona Tjiong, Tjayhe ingin bertemu dengan Koktju (pemilik lembah).
Terdengar wanita itu bersuara heran, rupanja agak terkedjut atas kedatangan Toan Ki, maka katanja pula: Dja ....... djadi kau adalah orang luar" Dan dimanakah Siotjia kami"
Nona Tjiong sedang terantjam bahaja, maka Tjayhe membawa berita kemari, sahut Toan Ki.
Tunggulah sebentar, biar kulaporkan pada Hudjin (njonja), kata wanita itu.
Toan Ki menjatakan baik, ia pikir kebetulan, memangnja nona Tjiong suruh aku menemui ibunja lebih dulu, tampaknja urusan ini memberi harapan bagus.
Setelah agak lama berdiri menunggu dalam kegelapan, achirnja Toan Ki mendengar suara tindakan orang mendatangi, terdengar suara wanita tadi berkata padanja: Hudjin menjilahkan tuan tamu masuk!
Aku tidak bisa melihat, kata Toan Ki, terlalu gelap!
Tiba2 terasa sebuah tangan mengulur menarik tangan kanannja dan melangkah masuk kedalam peti mati, lalu menurun melalui undak2an batu.
Setelah beberapa ratus tindak, mendadak pandangannja mendjadi terang.
Toan Ki telah dibawa kesuatu tempat jang penuh tumbuh2an bunga. Wanita itu lepaskan tangan Toan Ki jang digandengnja tadi dan berkata: Tuan tamu silahkan ikut padaku.
Dibawah sinar bulan, Toan Ki melihat wanita itu berusia antara 14-15
tahun, berdandan setjara pelajan, mungkin adalah dajang jang melajani Tjiong Ling. Maka Toan Ki tjoba menanja: Siapakah nama Tjitji"
Ssssst! pelajan itu mendesis sambil menoleh dan gojang2 tangan tanda djangan bersuara.
Melihat wadjah pelajan itu menampilkan rasa takut, maka Toan Ki tidak menanja lebih djauh.
Dajang itu membawa Toan Ki menjusur sebuah rimba dan menudju kekiri melalui suatu djalanan ketjil. Sampai didepan sebuah rumah genteng, pelahan2 pelajan itu mengetok pintu tiga kali, dengan pelahan daun pintu lantas terpentang. Pelajan itu memberi tanda agar Toan Ki disilahkan masuk dahulu, ia sendiri lantas berdiri kesamping pintu.
Waktu Toan Ki melangkah kedalam, ia lihat disitu adalah sebuah ruangan tamu, diatas medja tersulut sebatang lilin besar hingga djelas kelihatan perabotan dalam ruangan itu sangat indah, diatas dinding tergantung beberapa lukisan, dekorasi dalam ruangan tamu jang tidak terlalu luas itu ternjata sangat pandai dan serasi.
Sesudah Toan Ki ambil tempat duduk, pelajan tadi lantas menjuguhkan teh, katanja: Silahkan Kongtju minum, sebentar Hudjin akan keluar!
Sehabis Toan Ki minum, terdengarlah suara tindakan orang jang perlahan, dari dalam muntjul seorang njonja berbadju sutera hidjau muda, usianja sekira 40-an tahun, wadjahnja putih aju dan rada mirip dengan Tjiong Ling.
Menduga tentu inilah ibunja Tjiong Ling, tjepat Toan Ki berbangkit dan memberi hormat, katanja: Wansing (saja jang muda) Toan Ki menjampaikan salam pada Pekbo (bibi).
Mendengar itu, njonja Tjiong rada tertjengang, dengan sikapnja jang agung ia membalas hormat orang. Ketika Toan Ki mendongak hingga mukanja kelihatan djelas, tak tertahan lagi wadjah Tjiong-hudjin berubah hebat sambil ter-hujung2 mundur dua tindak, katanja dengan napas memburu: Kau
...... kau ........
Kenapa Pekbo" tanja Toan Ki kedjut.
Kau ........ kau djuga she Toan"Tjiong-hudjin menegas.
Barulah sekarang Toan Ki ingat pada pesan Tjiong Ling jang pernah minta agar pemuda itu djangan mengaku she Toan. Tapi ia pikir orang she Toan didunia ini terlalu banjak, melulu daerah Hunlam sadja tidak kurang beratus ribu lelaki jang she Toan, belum tentu bahwa setiap orang she Toan mahir ilmu It-yang-tji, sebab itulah ia tidak perhatikan usul sigadis itu. Kini demi menampak wadjah Tjiong-hudjin jang terkedjut itu, baru Toan Ki paham apa jang diusulkan Tjiong Ling itu sebenarnja mengandung maksud mendalam. Untuk membohong sudah terlambat, terpaksa ia mendjawab: Ja, Wansing she Toan.
Kongtju berasal darimana" Dan siapakah nama orang tua Kongtju" tanja njonja Tjiong lagi.
Toan Ki pikir sekarang harus mendusta agar asal-usulku tak diketahui, maka djawabnja: Wansing berasal dari Lim-an-hu didaerah Kanglam, ajah bernama Toan Liong.
Tjiong-hudjin menghela napas lega oleh djawaban itu, setelah tenangkan diri, katanja pula: Silahkan Kongtju duduk.
Setelah kedua orang sama2 ambil tempat duduk, njonja Tjiong tidak membuka suara lagi, tapi terus mengamat-amati Toan Ki dari kanan-kekiri dan dari kiri kekanan. Karuan Toan Ki mendjadi likat, achirnja ia bitjara lebih dulu: Puteri njonja sedang terantjam bahaja, Wansing sengadja datang memberi kabar.
Ah! Kenapakah puteriku" seru Tjiong-hudjin tersadar dari lamunannja.
Segera Toan Ki melepaskan Djing-leng-tju dari pinggangnja dan dipersembahkan pada njonja rumah, katanja: Harap Pekbo periksa, ini adalah benda pengenal puterimu jang dibawakan Wansing.
Melihat ular hidjau itu, Tjiong-hudjin mengerut kening dan mengundjuk rasa djemu, ia sedikit menghindar kebelakang sambil berkata: Kiranja Kongtju djuga tidak takut pada binatang berbisa ini. Harap kau letakkan dipodjok rumah sana sadja.
Diam2 Toan Ki heran melihat njonja rumah itu djeri pada ular. Ia taruh Djing-leng-tju kesudut ruangan jang ditundjuk itu. Lalu mentjeritakan pertemuannja dengan Tjiong Ling di Kiam-oh-kiong diatas Bu-liang-san dan tjara bagaimana dirinja telah tjari gara2 hingga bikin marah kawanan Sin-long-pang, dimana terpaksa Tjiong Ling melepaskan Kim-leng-tju, tapi achirnja gadis itu tertawan serta dirinja dipaksa datang minta pertolongan. Semuanja Toan Ki tjeritakan, hanja pengalamannja melihat patung kemala didasar danau itu tak di-sebut2.
Sambil mendengarkan, Tjiong-hudjin berdiam sadja, wadjahnja makin lama makin menampilkan rasa sedih. Setelah Toan Ki menutur, dengan menghela napas barulah ia berkata: Anak perempuan ini memang terlalu nakal, begitu keluar rumah sudah bikin onar.
Peristiwa ini adalah gara2 perbuatanku, tak bisa menjalahkan nona Tjiong, udjar Toan Ki.
Dengan ter-mangu2 Tjiong-hudjin memandangi pemuda itu, sahutnja dengan lirih: Ja, memangnja djuga takbisa menjalahkan dia. Dahulu.........
dahulu akupun demikian.........
Apa itu" tanja Toan Ki.
Tjiong-hudjin terkesiap hingga wadjah bersemu merah, meski usianja sudah setengah umur, tapi sikap malu2-kutjingnja itu ternjata tiada ubahnja seperti gadis remadja. Dengan likat ia mendjawab: O, aku.......
aku hanja teringat pada sesuatu kedjadian. ~ Dan karena berkata suatu kedjadian itu, wadjahnja tampak semakin merah djengah, maka tjepat ia membilukan pokok pembitjaraan: Kukira urusan............ urusan ini agak sulit diselesaikan.
Melihat sikap njonja rumah jang ke-malu2an itu, diam2 Toan Ki pikir sang ibu masih lebih kaku daripada puterinja jang lintjah itu menghadapi orang luar.
Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara seorang berkata diluar sana dengan nada dingin: Hm, apakah kau tidak pernah mendengar peraturan di Ban-djiat-kok kami ini"
Tjong-hudjin terkedjut mendengar suara itu, dengan perlahan katanja pada Toan Ki: Suamiku sudah datang, dia ........ dia suka tjurigai orang, sementara harap Toan-kongtju suka bersembunji dahulu.
Tapi achirnja Wansing toh harus mendjumpai Tjiong-tjianpwe, lebih baik
........ belum selesai utjapan Toan Ki, tjepat tangan Tjiong-hudjin sudah menekap mulutnja, lalu menjeretnja kesuatu kamar disebelah timur sana.
Kau bersembunji disini, sekali2 djangan bersuara, pesan njonja rumah.
Watak suamiku sangat keras, sedikit tjeroboh, djiwamu akan terantjam dan akupun tak bisa menolongmu.
Djangan menjangka njonja rumah itu tampaknja lemah lembut, ilmu silatnja ternjata sangat lihay, sedikitpun Toan Ki takbisa berkutik kena dipegang dan diseret tadi, terpaksa ia menurut sadja. Sedang dalam hati diam2 pemuda itu mendongkol: Djauh2 aku datang memberi kabar, djelek2 aku adalah tamu, kenapa mesti disuruh main sembunji2 seperti pentjuri sadja"
Dalam pada itu terdengar pula suara seorang wanita dibalik dinding papan sana sedang berkata: Sutjiku ini kena pagutan ular berbisa, djiwanja sangat berbahaja, maka mohon Lotjianpwe suka memberi pertolongan
........... ~ sembari berkata, terdengar suara tindakan tiga orang memasuki ruangan disebelah.
Waktu Toan Ki mengintip melalui selah2 dinding, ia lihat seorang wanita berbadju hidjau, menggembol pedang dipunggung, tangannja memondong seorang wanita lain sembari tiada hentinja minta tolong. Disamping itu adalah seorang laki2 berbadju hitam jg tinggi kurus, muka menghadap keluar, maka wadjahnja tidak kelihatan, tjuma dari sepasang tangannja jang lebar mendjulur kebawah itu, terang bentuknja sangat aneh luar biasa.
Kemudian terdengar suara Tjiong-hudjin lagi menanja: Siapakah kedua tamu ini" Ada perlu apakah datang kelembah sini"
Wanita badju hidjau tadi meletakkan kawan jang dipondongnja itu kelantai, lalu menanja: Njonja tentunja Tjiong-hudjin"
Tjiong-hudjin mengangguk.
Siaulitju (aku jang muda) bernama Hoan He, anak murid Hoa-san-pay dari Siamsay, terimalah hormatku ini, kata wanita badju hidjau sambil memberi hormat.
Ah, nona Hoan tak perlu banjak adat, tjepat Tjiong-hudjin membalas hormat sembari membangunkan orang.
Toan Ki melihat Hoan He itu kira2 berusia 27-28 tahun, beralis tebal dan bermata besar, gagah mirip kaum pria. Kedengaran ia berkata lagi: Siaulitju bersama Sutji, Si Hun, oleh karena ada keperluan datang kedaerah Hunlam sini, ketika lewat Bu-liang-san, Sutji jang kurang hati2
mendadak dipagut oleh seekor ular emas ketjil .......
Mendengar kata2 ular emas ketjil, hati Toan Ki tergerak, pikirnja: Djangan2 jang dimaksudkan itu adalah Kim-leng-tjunja nona Tjiong"
Sebab apakah sampai dipagut oleh ular emas itu" tanja njonja Tjiong.
Waktu itu kami merasa lelah dan duduk mengaso ditepi djalan, demikian tutur Hoan He. Tiba2 tampak seekor ular emas jang ketjil merajap keluar dari semak2 rumput, karena tertarik oleh warna emas gemilapan ular itu.
Sutji telah mentjukitnja dengan pedang. Tak tersangka ular ketjil itu terus meledjit keatas dan menggigit sekali dipergelangan tangan Sutji.
Seketika itu djuga Sutji terus djatuh semaput.
Tiba2 laki2 berbadju hitam tadi menjela: Asal kau bunuh ular emas itu dan telan empedunja, djiwanja lantas dapat tertolong.
Namun sahut Hoan He: Pergi-datang ular emas itu teramat tjepat, sekali meledjit lagi lantas menghilang ketengah semak2 rumput, pula Siaulitju sibuk menolong Sutji, tiada pikiran bahwa ular itu harus dibunuh.
Bagus bila kau sudah tahu bahwa pergi-datang Kim-leng-tju itu setjepat kilat, kata laki2 badju hitam itu dengan ter-bahak2. Memangnja orang jang berilmu silat sepuluh kali lebih tinggi dari kau djuga takkan mampu mengatasi binatang itu. Dasar tjari penjakit, tiada apa2, kenapa mesti meng-kutik2 ular itu dengan pedang" Ha, mampus djuga sjukur.
Sudah, orang toh sudah terluka dan djauh2 datang kesini minta tolong padamu, buat apa kau menjakiti perasaan orang malah" udjar sang isteri.
Mendengar nada utjapan Tjiong-hudjin itu, barulah Toan Ki tahu bahwa laki2 berbadju hitam itu tak-lain-tak-bukan adalah ajah Tjiong Ling, pemilik dari Ban-djiat-kok ini.
Dalam pada itu laki2 badju hitam itu telah ter-bahak2 pula sambil berpaling. Melihat mukanja, Toan Ki mendjadi kaget. Ternjata orang itu bermuka kuda, kedua matanja tumbuh terlalu tinggi, hidungnja jang besar sebaliknja hampir ber-desak2an dengan mulutnja jang lebar, hingga ditengah muka terluang suatu bagian jang polos kosong. Wadjah Tjiong Ling tjantik molek, sungguh tak njana bahwa ajah kelahirannja itu sebaliknja begini djelek mukanja.
Tadinja wadjah Tjiong-koktju itu penuh senjum edjekan, tapi demi berpaling kearah sang isteri, wadjahnja jang djelek itu tampak berubah lemah-lembut, katanja dengan tertawa: Baiklah, apa jang Niotju (isteriku) katakan, aku hanja menurut sadja.
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diam2 Toan Ki heran pula, pikirnja: Aneh! Tadi ketika mendengar sang suami datang, Tjiong-hudjin tampak sangat takut, tapi kalau melihat sikap Tjiong-koktju sekarang, ia djusteru sangat tjinta dan menghormat pula kepada sang isteri.
Rupanja Hoan He djuga sudah dapat melihat akan gelagat itu, segera ia berlutut dan berkata pula: Mohon Tjiong-koktju dan Tjiong-hudjin sudi menolong djiwa Sutjiku, bukan sadja kami berdua akan sangat berterima kasih, sekalipun guruku djuga merasa hutang budi.
Gurumu tentunja sibopeng Pho Pek-ki, bukan" tanja Tjiong-koktju. Hm, dia adalah angkatan muda, perlu apa aku ingin dia utang budi segala padaku. Dahulu ketika aku meninggal, kenapa dia tidak datang melawat" Apa dia kira aku tidak tahu" Aku djusteru tahu2 dengan djelas biarpun didalam peti mati ini.
Utjapannja itu tidak hanja membikin Toan Ki tertjengang, sekalipun Hoan He djuga dibuatnja bingung. Pikirnja: Kau masih hidup baik2 seperti ini, kenapa bitjara tentang melawat dan peti mati segala"
Tiba2 Tjiong-koktju menanja lagi dengan suara keras: Sudah sekian tahun aku meninggal dunia, orang luar tiada jang tahu bahwa aku masih hidup.
Lalu siapakah jang telah tundjukkan padamu untuk mentjari aku kesini dan darimana kau kenal djalan masuk Ban-djiat-kok" ~ Pertanjaan ini dilakukan dengan nada bengis, alisnja menekuk kebawah dan mulut merot, sikapnja sangat menakutkan.
Maka djawablah Hoan He: Waktu Siaulitju lagi bingung ingin menolong djiwa Sutji dengan maksud lekas2 berlari kekota untuk mentjari tabib, tiba2 melihat ditepi djalan ada seorang nona berbadju hitam sedang mengulur tangan hendak menangkap seekor ular ketjil. Ular itu berwarna emas mengkilap, terang itu ular berbisa jang memagut Sutji. Maka tjepat Siaulitju berseru memperingatkan nona badju hitam itu agar djangan main2
dengan ular berbisa djahat itu. Tak tersangka nona itu sama sekali tidak gubris pada peringatanku, ia malah menangkap ular emas itu terus dimasukan kedalam badjunja. Melihat itu, Siaulitju mendjadi girang, sebab kupikir orang jang dapat mengatasi ular itu, tentu dapat pula mengobati pagutan sang ular. Segera Siaulitju memohon dengan sangat, namun nona itu mendjawab bahwa dirinja takbisa mengobati bisa ular itu. Diseluruh djagat hanja ada seorang jang mampu menjembuhkan pagutan ular emas itu, maka aku diberi petundjuk untuk datang kemari memohon pertolongan Tjiong-koktju.
Ketika Siaulitju minta tanja nama nona badju hitam itu, namun dia takmau memberitahu.
Mendengar uraian itu, Tjiong-koktju dan sang isteri saling pandang sekedjap, lalu katanja dengan mendjengek: Ha, ternjata adalah dia. Orang ini tidak bermaksud baik, selalu ia ingin memaksa aku keluar dari lembah ini. Ja, semuanja gara2 Ling-dji, sembarangan membawa Kim-leng-tju keluar lembah hingga menimbulkan onar sadja. ~ Lalu ia berpaling dan tanja Hoan He: Lalu, apa jang dikatakan lagi oleh perempuan itu"
Tidak ada lagi, sahut Hoan He.
Betul tidak ada lagi" Tjiong-koktju menegas dengan dingin.
Terpaksa Hoan He menjahut dengn gelagapan: Nona .......... nona itu seperti berkata pula bahwa: Djalan hanja melulu satu ini, tjuma, sekali kau sudah masuk kesana, belum tentu dapat keluar lagi dengan badan selamat. Maka kau harus pikir masak2 sebelumnja.
Benarlah! udjar Tjiong-koktju. Dan kau sudah pikirkan tidak"
Tjepat Hoan He berlutut mendjura pula sambil memohon: Mohon belas-kasihan Tjiong-koktju dan Hudjin.
Bangunlah kau, sahut Tjiong-koktju. Aku mempunjai dua djalan, kau boleh pilih manasuka. Pertama, kau dan Sutjimu selama hidup tinggal dilembah ini melajani isteriku. Djalan kedua, tangan kalian berdua harus dipotong, lidah diiris, agar kalau sudah keluar dari sini tidak membotjorkan rahasiaku.
Ta ......... tapi Siaulitju ditugaskan Suhu untuk menjelesaikan suatu urusan penting di Hunlam sini, sahut Hoan He meratap, sebelum tugas itu terlaksana, bukankah berarti melanggar perintah guru bila terus tinggal dilembah sini .........
Djadi kau akan memilih djalan kedua sadja, ja" kata Tjiong-koktju.
Tiba2 Hoan He merangkak madju dan merangkul kedua kaki Tjiong-hudjin sambil meratap: Mohon belas-kasihan Hudjin, Siaulitju berdjandji sesudah keluar lembah ini pasti akan tutup mulut se-rapat2nja, kalau berani bitjara satu-patah-kata sadja, biarlah aku mati tertjingtjang tak terkubur.
Hm, aku Tjiong Ban-siu kalau bukan terlalu pertjaja pada sumpah orang, rasanja harini takkan mengumpet dilembah maut ini sebagai orang mati, mengkeret sebagai kura2, tiba2 Tjiong-koktju tertawa mendjenggek dan sekali tangan kiri mengulur, tahu2 leher badju Hoan He kena ditjengkeramnja terus diangkat keatas.
Perawakan tubuh Hoan He dikalangan wanita sudah tergolong tinggi, tapi kena diangkat oleh Tjiong Ban-siu, kakinja lantas ter-katung2 setingggi hampir satu meter. Saking kaget dan takutnja Hoan He mendjerit, berbareng kaki kanan terus melajang menendang kedada Tjiong Ban-siu.
Namun sama sekali Tjiong Ban-siu tak menghindar, ia membiarkan dada ditendang orang. Maka terdengarlah suara krak sekali, tahu2 tulang kaki Hoan He jang patah malah. Menjusul tampak Tjiong Ban-siu gerakan tangan kanan, sinar tadjam berkelebat agaknja tangannja itu telah menjiapkan sematjam sendjata pendek sebangsa belati, maka terdengarlah suara tjret-tjret dua kali, kedua tangan Hoan He sudah terkutung semua sebatas pergelangan.
Tjiong-hudjin hanja mendengus sekali menjaksikan itu. Sedangkan Tjiong Ban-siu telah masukan djarinja pula kemulut Hoan He terdengar wanita itu berseru tertahan sekali, darah lantas mengutjur dari mulutnja, tentu lidahnja telah kena diiris putus djuga.
Ber-debar2 perasaan Toan Ki menjaksikan adegan mengerikan itu, ia tekap mulut sendiri, sedikitpun tak berani bersuara, sebaliknja berpikir: Meski kau telah kutungi kedua tangan dan iris lidahnja, dia masih punja sebelah kaki jang dapat dipakai menggores tulisan diatas tanah, achirnja dia bisa djuga membotjorkan rahasia Ban-djiat-kok ini.
Ia lihat Tjiong Ban-siu telah melemparkan tubuh Hoan He jang sudah pingsan saking kesakitan, lalu Si Hun jang menggeletak ditanah tak sadarkan diri itu diseretnja dan diperlakukan seperti Hoan He, kedua tangannja dikutung dan lidahnja disajat.
Melihat kekedjaman orang, Toan Ki mendjadi naik darah, tak terpikir lagi olehnja akibat apa jang bakal menimpa dirinja, mendadak ia membentak: Pengetjut jang rendah tak kenal malu, kau benar2 terlalu kedji!
Karena bentakan Toan Ki ini, Tjiong Ban-siu mendjadi kaget, lebih2
Tjiong-hudjin, ia ketakutan hingga putjat bagai kertas.
Dengan langkah lebar terus sadja Toan Ki keluar dari balik dinding papan itu, ia tuding Tjiong Ban-siu dan mendamperat: Tjiong siangsing, njalimu terlalu ketjil, tjaramu ini bukanlah perbuatan seorang laki2
sedjati! Melihat wadjah Toan Ki, air muka Tjiong Ban-siu berubah hebat dan kesiap, katanja: Apakah kau ...... kau ......ah, tak mungkin ........
Tjayhe bernama Toan Ki, segera pemuda itu perkenalkan diri, sedikitpun aku tidak paham ilmu silat, maka hendak kau korek atau bunuh, boleh kau lakukan sesukamu. Tapi kalau kau lepaskan aku dari sini, perbuatanmu jang kedjam tak berprikemanusiaan ini, pasti akan kusiarkan diseluruh Kangouw, biar setiap orang mengenal manusia matjam apakah Tjiong Ban-siu itu"
Ha-ha-ha! tidak gusar malah Tjiong Ban-siu tertawa. Manusia matjam apa Tjiong Ban-siu, masakah orang Kangouw tidak tahu" Kau botjah ini apa tidak kenal djulukanku dahulu dikangouw"
Tidak tahu, sahut Toan Ki.
Aku Tjiong Ban-siu, berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat (melihat orang lantas membunuh)! kata Tjiong Ban-siu dengan sikap sangat bangga.
Toan Ki rada tertjengang oleh gelar orang itu, tapi dadanja segera bergolak pula oleh semangat banteng, dengan lantang katanja pula: Djadi membunuh setjara kedjam orang tak berdosa memang dasar watakmu. Tjuma umumnja kalau orang suka membunuh, biasanja orang itu pasti tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, masakan pengetjut matjam kau, takut kepala takut buntut, djeri dimuka kuatir dibelakang.
Rupanja utjapan Toan Ki itu tepat menusuk lubuk hati Tjiong Ban-siu hingga seketika ia malah tidak gusar.
Memangnja Toan Ki sudah tidak pikirkan mati-hidupnja sendiri lagi, segera ia berkata pula: Kulihat ilmu silatmu sangat tinggi, kusangka kau tentu seorang laki2 berdjiwa badja, bila takbisa menangkan orang, seharusnja kau labrak dia mati2an sekalipun achirnja gugur bersama. Tapi kau djusteru main sembunji2, kuatir orang membotjorkan tempat mengumpetmu, lantas kau menjiksa dan menganiaja seorang wanita jang tak mampu melawan kau, apakah ...... apakah perbuatan demikian ini adalah kelakuan seorang djantan tulen"
Wadjah Tjiong Ban-siu tampak sebentar putjat sebentar merah padam, seakan2 apa jang dikatakan Toan Ki itu setiap kalimatnja kena benar2
menusuk lubuk hatinja, tiba2 sinar matanja jang bengis menjorot tadjam, tampaknja segera akan membunuh orang. Tapi setelah tertegun sedjenak, mendadak ia menggebrak medja, blang-blang, medja disebelahnja sempal separoh, menjusul sebelah kakinja melajang, dinding papan djebol berwudjut sebuah lubang. Ia tutup mukanja dengan kedua tangan sendiri sambil berseru: Ja, aku adalah pengetjut, aku adalah pengetjut! ~
Mendadak ia lari tjepat keluar.
Dalam keadaan demikian, saking ketakutan Tjiong-hudjin sampai gemetaran bersandar didinding, sama sekali tak tersangka olehnja sekali ini sang suami tidak membunuh Toan Ki. Ia menoleh dan menanja: Toan-kongtju, apa be ..... benar kau tidak bisa ilmu silat" ~ sembari berkata, dengan perlahan tangannja terus menabok kepunggung pemuda itu.
Tempat jang ditabok itu adalah tempat mematikan ditubuh manusia, asal sedikit dia gunakan Lwekang, tidak mati pasti Toan Ki akan terluka djuga.
Namun pemuda itu memang benar2 takbisa ilmu silat, maka sedikitpun ia tidak kenal bahaja, dengan djudjur ia mendjawab: Wansing memang tidak pernah beladjar silat, kepandaian jang gunanja melulu dipakai mentjelakai orang ini, tiada harganja untuk dipeladjari.
Be ....... besar amat njalimu, ternjata se ........ serupa benar dengan dia, kata Tjiong-hudjin.
Serupa dengan siapa" Toan Ki menegas.
Kembali wadjah Tjiong-hudjin bersemu merah, ia tidak mendjawab pertanjaaan orang, sebaliknja ia tepuk tangan dua kali, maka keluarlah pelajan tadi.
Kau bubuhi obat luka pada kedua nona itu, untuk mentjegah darah mereka mengutjur terlalu banjak, pesan njonja rumah itu.
Pelajan itu mengia dan memondong Si Hun dan Hoan He kedalam kamar, melihat sikapnja jang sedikitpun tidak heran atau kaget, agaknja soal membunuh dan menganiaja orang sudah biasa dilihatnja.
Sambil bertopang-dagu, diam2 Tjiong-hudji lagi terombang-ambing dalam lamunannja, seperti ada sesuatu kesulitan jang maha besar jang susah diputuskan.
Tadi Toan Ki hanja terdorong oleh darah panas jang timbul seketika, maka berani mendamperat Tjiong Ban-siu, tatkala itu ia sudah nekad.Tapi kini demi melihat darah berlumuran dilantai, hatinja mendjadi takut lagi.
Pikirnja: Aku harus lekas2 berusaha melarikan diri, kalau tidak, bukan sadja djiwa akan melajang, bahkan akan mati dengn mengenaskan.
Segera ia menghampiri ambang pintu sambil memberi hormat pada njonja rumah dan berkata: Wansing sudah menunaikan tugas menjampaikan berita, kini mohon Hudjin lekas berdaja untuk menolong puterimu.
Nanti dulu, Kongtju, sahut Tjiong-hudjin.
Karena itu Toan Ki tidak djadi tinggal pergi.
Mungkin Kongtju tidak tahu bahwa suamiku pernah bersumpah selama hidupnja takkan keluar dari lembah ini, kata njonja rumah kemudian. Sebab itulah, meski puteriku itu tertawan musuh, rasanja suamiku pasti takkan pergi menolongnja ...... Ah, urusan sudah begini, terpaksa aku sadja jang ikut pergi bersama Kongtju.
Kedjut dan girang Toan Ki, sahutnja: Bila Tjiong-hudjin sudi pergi bersama aku, itulah paling baik. ~ Tiba2 ia teringat pada apa jang dikatakan Tjiong Ling bahwa satu2nja orang jang bisa menjembuhkan ratjun Kim-leng-tju hanja ajahnja sadja, maka tjepat ia tanja pula njonja rumah apakah djuga bisa mengobati ratjun Kim-leng-tju itu.
Namun Tjiong-hudjin geleng2 kepala, sahutnja: Aku tak bisa mengobati.
Djika ... djika begitu ...... namun belum selesai Toan Ki berkata, njonja rumah itu sudah tinggal masuk kekamarnja.
Setelah tinggalkan setjarik surat singkat dan bebenah pakaian seperlunja, segera Tjiong-hudjin keluar lagi dan berkata: Marilah kita berangkat! ~ Terus sadja ia mendahului djalan didepan.
Ter-sipu2 Toan Ki mengikut dibelakang njonja rumah itu, namun dia masih sempat mendjemput pula Djing-leng-tju untuk diubet dipinggang.
Djangan menjangka Tjiong-hudjin tampaknja lemah gemulai, tetapi djalannja ternjata djauh lebih tjepat daripada Toan Ki.Karena mengetahui njonja rumah itu tak bisa mengobati ratjun Kim-leng-tju, betapapun Toan Ki masih merasa kuatir. Maka tanjanja lagi: Djika Hudjin tak bisa menjembuhkan ratjun ular, mungkin Sin-long-pang tidak mau membebaskan puterimu itu.
Siapa jang ingin minta mereka lepaskan Ling-dji" sahut Tjiong-hudji adem2 sadja. Kalau Sin-long-pang berani menahan puteriku untuk mengantjam aku, itu berarti mereka sudah bosan hidup. Kalau menolong orang takbisa, masakan membunuh orang djuga tak bisa"
Tak tertahan Toan Ki bergidik, ia merasa kata2 Tjiong-hudjin jang sepele dan sederhana itu sesungguhnja maksud membunuh orang jang terkandung didalamnja tidak dibawah perbuatan Tjiong Ban-siu jang bengis dan kedjam itu. Namun lahirnja Tjiong-hudjin lemah lembut, kalau dibandingkan, rasanya akan lebih menakutkan orang.
Sambil bitjara, kedua orang sudah berlari beberapa li djauhnja. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dibelakang: Hudjin, kau... Kau hendak kemana"
Waktu Toan Ki menoleh, siapa lagi dia kalau bukan Tjiong Ban-siu jang sedang mengedjar mereka setjepat terbang datangnja.
Sekonjong-konjong Tjiong-hudjin ulur tangannja keketiak Toan Ki sambil membentak: Lekas! terus sadja ia angkat tubuh pemuda itu dan melesat kedepan.
Seketika Toan Ki merasa kedua kakinja terapung diatas tanah, ia sudah dikempit oleh Tjiong-hudjin dan tak bisa berkutik. Maka kedjar-mengedjar itu segera berlangsung dengan tjepat, dalam sekedjap sadja mereka sudah berlari berpuluh tombak djauhnja.
Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuh Tjiong-hudjin ternjata lebih tinggi setingkat daripada sang suami, tjuma betapapun ia membawa beban seorang, jaitu Toan Ki, maka lambat laun dapatlah disusul oleh Tjiong Ban-siu.
Diam-diam Toan Ki ikut kuatir dan kerupukan, ia tahu asal bisa keluar mulut lembah, Tjiong Ban-siu sudah bersumpah, tentu tak akan mengudak lebih djauh. Dalam saat demikian, terkilas suatu pikiran dalam benaknja: Meski ilmu silat adalah kepandaian jang bikin tjelaka orang, tapi kalau aku mahir Ginkang, rasanja ada paedahnja djuga.
Njata, dalam keadaan kepepet begini, ia benar-benar ingin bisa berlari lebih tjepat.
Sementara itu tampak tinggal belasan tombak lagi, sudah bisa keluar dari lembah itu. Toan Ki merasa suara napas Tjiong Ban-siu sudah terdengar dibelakangnja. Mendadak, bret, Toan Ki merasa punggungnja silir-silir dingin, badjunja telah kena didjambret sobek sebagian oleh Tjiong Ban-siu.
Tiba-tiba Tjiong-hudjin angkat tubuh Toan Ki dan dilemparkan sekuatnja kedepan sambil membentak: Lekas lari!, menjusul tangannja jang lain sudah lantas lolos pedang terus menusuk kebelakang dengan maksud merintangi kedjaran sang suami.
Hakikatnja Tjiong-hudjin tiada maksud hendak mentjelakai suami sendiri.
Tak terduga tusukannja itu benar-benar telah mengenai dada sang suami.
Ternjata sama sekaii Tjiong Ban-siu tidak menghindar atau berkelit, tapi rela ditusuk oleh sang isteri.
Karuan Tjiong-hudjin terkedjut, tjepat ia menoleh, seketika ia tidak berani tarik kembali pedangnja, ia lihat wadjah sang suami penuh rasa sesal dan dongkol, kelopak matanja mengembeng air, dadanja berlumuran darah dan lagi berkata: Wan-djing, djadi achir.... achirnja kau akan meninggalkan daku"
Melihat tusukannja itu tepat mengenai tengah-tengah dada sang suami, meski tidak mengenai ulu hati, tapi udjung pedang djuga amblas beberapa senti dalamnja, karena kuatir akan djiwa sang suami, tjepat Tjiong-hudjin mentjabut pedangnja terus menubruk madju untuk menutupi luka tusukan itu, ia lihat darah lantas menjembur keluar melalui sela-sela djarinja.
Kenapa kau tidak menghindar" tegur Tjiong-hudjin dengan gusar.
Djika kau toh akan tinggalkan diriku, adalah lebih baik aku mati sadja, sahut Tjiong Ban-siu tersenjum getir.
Siapa bilang aku hendak tinggalkan kau" kata Tjiong-hudjin.
Aku hanja pergi buat beberapa hari sadja lantas kembali.Kepergianku adalah untuk menolong puteri kita.~ Segera ia tjeritakan setjara singkat tentang tertawannja Tjiong Ling oleh orang-orang Sin-long-pang.
Menjaksikan itu, Toan Ki, sampai kesima, ia tidak djadi melarikan diri, tapi sesudah tenangkan diri, tjepat ia sobek lengan badju sendiri dan sibuk hendak membalut luka Tjiong Ban-siu.
Tak terduga mendadak sebelah kaki Tjiong Ban-siu melajanq hingga Toan Ki kena ditendang terdjungkal, sambil membentak: Anak haram, aku tidak sudi melihat tjetjongormu! ~ Lalu ia berpaling kepada sang isteri dan berkata: Aku... aku tidak pertjaja, tentu kau berdusta, sudah terang dia.........dia datang kesini mengundang kau. Anak djadah ini sekalipun mendjadi abu djuga aku mengenalnja, malah dia....dia tadi telah menghina aku.
Habis berkata, ia terbatuk-batuk dengan hebat, dan karena batuk, darah jang mengutjur dari lukanja itu bertambah hebat. Mendadak ia teringat sesuatu, katanja kepada Toan Ki: Hajolah madju, kenapa kau tidak madju"
Meskipun aku terluka parah, belum tentu aku djeri pada kau punja It-yang-tji! Hajolah madju!
Karena tendangan tadi, djidat Toan Ki telah membentur sepotong batu ketjil jang tadjam hingga terluka, tjepatan ia merangkak bangun sambil memegangi djidatnja jang bendjol itu, lalu mendjawab: Tjayhe Toan Ki dari daerah Kanglam, sesungguhnja tidak paham tentang It-yang-tji atau Dji-yang-tji segala!
Kembali Tjiong Ban-siu terbatuk-batuk, bentaknja dengan gusar: Anak djadah, apa kau berlagak dungu" Pergilah kau me.......memanggil bapakmu kemari!
Dan karena gusarnja itu, batuknja makin mendjadi-djadi.
Dalam keadaan demikian, penjakitmu suka tjuriga tetap tidak mau berubah, kata Tjiong-hudjin.Kalau kau toh tak pertjaja padaku, lebih baik biarlah aku mati dihadapanmu sadja.
Terus sadja ia djemput kembali pedangnja dan menggorok keleher sendiri.
Tjepat Tjiong Ban-siu merebut pedang itu, wadjahnja berubah girang, katanja: Niotju, djadi sungguh-sungguh kau bukan hendak ikut minggat dengan anak djadah ini"
Orang adalah Toan-kongtju jang terhormat, kau maki orang anak djadah apa segala" omel Tjiong-hudjin. Kepergianku ikut Toan-kongtju adalah hendak membunuh habis Sin-long-pang untuk menolong puteri mestika kita.
Walaupun terluka parah, namun demi nampak sikap sang isteri jang mengomel dan marah ketjil, rasa tjinta-kasih Tjiong Ban-siu semakin berkobar, dengan mengiring senjum ia menjahut: Djika demikian halnja, ja, anggaplah aku jang salah.
Ketika Tjiong-hudjin periksa luka sang suami, ia lihat darah masih merembes keluar dengan deras.Ba......... bagaimana baiknja, ini" ratapnja kuatir.
Girang Tjiong Ban-siu tidak kepalang, terus sadja ia rangkul pinggang sang isteri dan berkata: Wan-djing, kau begini memperhatikan diriku, biarpun aku mati seketika, djuga puas aku.
Muka Tjiong-hudjin mendjadi merah, pelahan-lahan ia kesampingkan tangan sang suami dan menjahut: Toan-kongtju berada disini, kenapa kau pegang-pegang begini, ~ Dan karena melihat keadaan sang suami pelahan-lahan bertambah pajah dan wadjah putjat, ia mendjadi kuatir, katanja pula: Sudahlah aku tak pergi menolong Ling-dji, onar jang dia perbuat sendiri, biar dia terima nasib sadja. ~ Lalu ia bangunkan sang suami dan berkata pada Toan Ki: Toan-kongtju, harap kau sampaikan pada Sikong Hian bahwa suamiku sudah.... sudah mati. Djika dia berani mengganggu seudjung rambut puteriku itu, suruh dia djangan lupa pada keganasan Hiang-yok-djeh Bok-Wan-djing!
Melihat keadaan demikian, Toan Ki pikir Tjiong Ban-sin terang tak mungkin pergi, Tjiong-hudjin djuga tidak tega meninggalkan sang suami untuk menolong puterinja, melulu mengandalkan kata-kata Hiang-yok-djeh Bok-Wan-djing (si kuntilanak harum) apakah dapat menggertak Sikong Hian, sungguh masih harus disangsikan. Tampaknja ratjun Toan-djiong-san jang masih mengeram didalam perut sendiri ini sudahlah pasti tak bisa diobati lagi.
Untuk sedjenak ia tertegun, ia pikir urusan toh sudah demikian, banjak omong djuga pertjuma, maka sahutnja lantas: Djika begitu, baiklah Wansing lantas berangkat menjampaikan pesan Hudjin itu.
Melihat ketegasan pemuda itu, sekali bilang berangkat lantas berangkat, sedikitpun tidak ragu-ragu. Hal ini membuat Tjiong-hudjin teringat pula pada seseorang. Segera serunja: Nanti dulu, Toan-kongtju, masih ada jang hendak kukatatan!
Pelahan-lahan ia letakkan sang suami ketanah, lalu memburu kedekat Toan Ki, ia mengeluarkan sepotong barang dan diserahkan pada pemuda itu, lalu bisiknja: Lekas bawalah benda ini kepada Toan Tjing-bing........
Mendengar nama Toan Tjing-bing, tak tertahan lagi wadjah Toan Ki berubah.
Dasar njonja Tjiong alias Bok Wan-djing memang orangnja sangat tjermat, ketika mengutjapkan Toan Tjing-bing tadi, memangnja dia ingin mengetahui perubahan wadjah Toan Ki. Karena itu, pelahan-lahan ia menghela napas, katanja pula: Apakah sekarang kau masih hendak membohongi aku" Lekaslah kau pergi dan semoga bisa tiba disana tepat pada waktunja, agar djiwa Ling-dji dan kau sendiri tertolong. Dan tanpa menunggu djawaban Toan Ki, segera ia putar balik kesamping sang suami serta memajangnja pergi.
Waktu Toan Ki periksa barang jang diterimanja dari Tjiong-hudjin, ia lihat benda itu adalah sebuah kotak ketjil bersepuh emas jang sangat indah. Ketika tutup kotak ia buka, tertampak isinja hanja setjarik kertas melulu jang warnanja sudah menguning, terang karena disimpan terlalu lama, malahan diatas kertas lapat-lapat masih kelihatan ada bekas noda tetesan darah. Diatas kertas tertulis: Tahun Kui-hay, bulan dua, tanggal lima, waktu niu. Gaja tulisannja halus halus, seperti ditulis oleh kaum wanita. Lebih dari itu tiada barang lain lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin: Ini adalah surat lahir (pek-dji) seseorang, Tjiong-hudjin suruh aku menjerahkannja pada ajah, entah apakah maksud tudjuannja. Masakah setjarik surat lahir begini bisa menolong djiwa nona Tjiong dan njawaku" Tampaknja Tjiong-hudjin sudah dapat menerka bahwa aku adalah puteranja ajah, sebaliknya Tjiong Ban-siu berulang-ulang memaki aku, agaknja dia pun kenal wadjahku jang mirip ajah. Apakah barangkali dia ada permusuhan dengan ajah"
Sedang Toan Ki melamun sambil herdjalan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seruan seorang tua: Tunggu dulu, Toan-kongtju!
Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat seorang tua berbadju pendek kasar lagi menjusulnja dengan tjepat. Sesudah dekat, orang tua itu memberi hormat dan berkata: Hamba bersama Tjiong Hok. Atas perintah Hudjin agar menghantarkan Kongtju keluar lembah ini.
Baik, sahut Toan Ki mengangguk.
Segera Tjiong Hok berdjalan didepan, achirnja mereka tiba dimulut lembah, jaitu melalui peti mati dan kuburan jang pernah dimasuki Toan Ki itu. Tapi Tjiong Hok membawa Toan Ki melalui suatu djalan ketjil lain hingga 6-7 li pula djauhnja, achirnja sampailah didepan sebuah gedung besar.
Harap Kongtju menunggu sebentar, kata Tjiong Hok. Tanpa mengetok pintu lagi, terus sadja hamba itu melompat kedalam gedung itu melintasi pagar tembok.
Sementara itu hari sudah gelap, memandangi sinar-sinar bintang jang berkelip-kelip ditengah djakrawala, tiba-tiba Toan Ki terkenang pada patung dewi tjantik jang didjumpainja didasar danau itu.
Tengah pikiran Toan Ki melajang-lajang djauh, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda didaiam pekarangan gedung, mendengar suara binatang jang njaring pandjang itu, tak tertahan Toan Ki berseru memudji: Kuda bagus!
Kemudian tampak pintu gedung dibuka hingga menongol satu kepala kuda, ditengah malam gelap, sepasang mata binatang itu tampak bersinar, hanja sekali pandang sadja sudah kelihatan kalau kuda itu memang lain dari jang lain.
Prak, prak dua kali, seekor kuda hitam mulus tampak melangkah keluar.
Pelahan sekali suara jang didjangkitkan derapan binatang itu, agaknja seekor kuda ketjil. Tapi kalau melihat perawakan kuda itu, ternjata keempat kakinja pandjang merit, tangkas gagah. Jang menuntun kuda adalah seorang pelajan ketjil, dalam kegelapan tidak djelas mukanja, usianja kira2 belasan tahun dan tentunja wadjahnja djuga lumajan.
Tjiong Hok ikut dibekakang kuda itu, katanja kemudian: Toan-Kongtju, Hudjin kuatir kalau kau tak bisa tepat waktunja sampai di Tayli, maka sengadja pindjam kuda bagus ini pada tuan rumah disini untuk tunggangan Kongtju.
Sudah banjak djuga kuda bagus jang pernah dilihat Toan Ki, tapi tjukup mendengar suara ringkikan kuda ini tadi, ia sudah tahu pasti seekor kuda bagus pilihan jang djarang terdapat. Maka sahutnja: Banjak terima kasih!
Segera ia ulur tangan hendak menarik tali kendali.
Pelahan-lahan dajang tjilik tadi mengelus-elus leher kuda itu, katanja dengan suara halus: Oh-bi-kui, Oh-bi-kui! Siotja memindjamkan kau kepada Kongtjuya ini, kau harus menurut perintahnja, lekas pergi, tjepat kambali!
Kuda hitam jang diberi nama Oh-bi-kui atau mawar hitam itu berpaling dan menggosok-gosokkan lehernja kelengan sipelajan, sikapnja sangat aleman. Lalu pelajan itu menjerahkan tali kendali kepada Toan Ki dan memesan: Kuda ini djangan dipetjut, semakin baik padanja, semakin tjepat larinja.
Baiklah, sahut Toan Ki.
Nah, Siotjia mawar hitam, terimalah hormatku ini! sembari berikata, ia benar2-benar membungkukkan tubuh pada binatang itu.
Pelajan ketjil itu mengikik geli, katanja: Lutju djuga kau ini. Eh, hati-hati, ja! Djangan merosot djatuh!
Namun soal menunggang kuda tidaklah asing bagi Toan Ki, sedjak ketjil ia sudah biasa. Maka dengan enteng sadja ia mentjemplak keatas kuda hitam itu dan berkata pada sipelajan: Sampaikanlah terima kasihku kepada Sotjiamu!
Dan tidak terima kasih padaku, ja" udjar sipelajan tertawa.
Toan Ki memberi Kiongtjhiu, katanja: Terima kasih pada Tjitji, Nanti kalau datang lagi aku akan membawakan banjak permen untukmu.
Sudahlah, djiwamu sendiri perlu didjaga baik-baik, bisa datang lagi atau tidak masih harus disangsikan, siapa pingin pada permen segala"
sahut sipelajan tertawa manis.
Tjiong Hok ikut berkata djuga: Harap Kongtju mendjaga diri baik-baik, dari sini lurus keutara akan sampai didjalan raja jang menudju ke Tayli, maafkan hamba tidak menghantar lebih djauh.
Toan Ki melambaikan tangan sebagai tanda berpisah, lalu larilah, kudanja kedepan.
Oh-bi-kui alias mawar hitam itu ternjata tidak perlu diperintah, ditengah.malam buta larinja setjepat terbang. Toan Ki hanja merasa tumbuh-tumbuhan di sekitarnja tiada hentinja melesat lewat di sampingnja.
Jang paling hebat adalah anteng sekali menunggang diatas kuda itu, sedikit sekali terasa guntjangan-guntjangan, pikir Toan Ki: Demikian tjepat lari kuda ini, rasanja lewat lohor besok sudah bisa sampai di Tayli. Tapi ajah belum tentu sudi ikut tjampur urusan tetek-bengek dikangouw ini, apakah aku terpaksa harus pergi memohon Toapek (paman tertua)" Ai, urusan sudah ketelandjur begini, terpaksa aku harus menjerah pada Toapek dan ajah.
Tiada sedjam lamanja, sudah puluhan li djauhnja, dalan malam gelap terasa angin silir-silir disertai hawa malam jang njaman. Selagi Toan Ki merasa senang-senang, sekonjong-konjong ada seorang membentak di depan: Perempuan keparat, lekas berhenti! ~ menjusul sinar tadjam berkelebat, sebatang golok lantas membatjok .
Namun kuda hitam itu benar-benar teramat tjepat, baru golok itu diajunkan, binatang itu sudah melompat lewat sedjauh setombak lebih.
Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat dua laki-laki bersendjata golok dan tombak lagi mengedjar dari belakang dengan tjepat sambil memaki kalang kabut: Perempuan keparat! Pakai menjamar segala, apa kira Lotju dapat kau kelabui demikian sadja"
Dan hanja sekedjap sadja mawar hitam sudah djauh meninggalkan kedua pengedjar itu. Tapi kedua laki-laki itu masih belum kapok, mereka masih memburu terus hingga tidak selang lama, suara teriakan dan makian merekapun tidak terdengar lagi.
Diam-diam Toan Ki membatin: Kedua orang memaki aku sebagai perempuan keparat segala dan menuduh aku menjamar sebagai lelaki. Ja, tentu mereka akan tjari setori pada madjikan si mawar hitam ini. Kenal kuda tak kenal orangnja sungguh tolol henar!
Setelah lebih satu li lagi, tiba-tiba Toan Ki teringat: Haja, tjelaka!
Berkat ketjepatan kuda ini aku telah bisa lolos dari sergapan kedua orang tadi. Tampaknja ilmu silat kedua orang itupun tidak lemah, djikalau Siotjia jang memberi pindjam kuda ini tidak tahu kedjadianku tadi dan djalan-djalan keluar, mungkin dia akan kena bokongan musuh. Rasanja aku harus kembali kesana dulu untuk memberitahu padanja.
Segera ia kendalikan kuda dan berhenti, katanja pada binatang itu: Oh-bi-kui, ada orang hendak membokong Siotjiamu, kita harus lekas kembali memberitahu padanja agar dia berdjaga-djaga dan djangan keluar dari rumah.
Terus sadja ia putar kuda dan lari kembali kearah tadi. Ketika dekat tempat sergapan kedua laki-laki itu, ia desak si mawar hitam: Lekas, lekas lari!
Binatang itu ternjata bisa terima maksud orang, dibawah desakan lekas lari itu, ia benar-benar mentjongklang terlebih pesat. Namun kedua laki-laki tadi ternjata sudah tidak disitu lagi, karena itu, Toan Ki mendjadi lebih kuatir malah, pikirnja: Jika mereka berdua sudah menjerbu masuk kerumah Siotjia itu, hal ini pasti lebih tjialat lagi. ~ segera ia membentak-bentak si mawar hitam agar lebih tjepat.
Seketika lari si mawar hitam bagai kaki terapung diatas tanah, setjepat terbang ia lari pulang. Ketika hampir sampai didepan gedung besar itu, mendadak dari samping dua batang pentung menjerampang kaki kuda. Namun tidak sampai Toan Ki memberi perintah, kontan si mawar hitam sudah melompat menghindarkan diri, menjusul kaki belakang terus mendepak, bluk, salah seorang penjerang gelap itu telah kena ditendang mentjelat.
Dan sekali melompat lagi, si mawar hitam sudah sampai didepan pintu gedung itu. Dalam kegelapan mendadak tampak 4-5 orang undjukkan diri serentak hendak menarik tali kendali Oh-bi-kui menjusul Toan Ki merasa lengan sendiri kena ditjengkeram orang terus diseret orang ketanah.
Segera seorang diantaranja membentak: Siautju, untuk apa kau datang kesini"
Diam-diam Toan Ki mengeluh: Tjelaka, rumah ini ternjata sudah dikepung musuh, entah tuan rumahnja sudah mengalami nasib malang atau belum"
Ia merasa lengan, kanan jang ditjengkeram orang itu seakan-akan terdjepit tanggam, separoh tubuhnja merasa kaku, maka tjepat katanja: Ada urusan jang hendak kutjari tuan rumah disini, kenapa kau berbuat begini kasar"
Lalu terdengar suara seorang tua jang lain berkata: Siautju ini menunggang kuda hitam milik perempuan hina itu, boleh djadi adalah kawan karibnja, biar kita lepaskan dia kedalam, babat rumput harus sampai akar-akarnja, nanti kita bereskan sekalian.
Hati Toan Ki berdebar-debar tak karuan, pikirnja: Aku ini benar-benar ular mentjari gebuk, ikan masuk djala sendiri. Sudah enak-enak pergi, datang kembali tjari penjakit. Sekarang sudah kadung begini, hendak lari djuga tidak mungkin lagi, terpaksa masuk melihat gelagat nanti.
Ia merasa tjengkeram orang telah dikendorkan, segera ia betulkan badjunja, lalu melangkah masuk dengan membusung dada.
Didalam pekarangan ada suatu djalanan batu, kedua samping penuh tanaman bunga mawar jang menjiarkan bau harum. Djalanan batu itu berliku-liku, setelah menembus sebuah pintu bundar, djalanan itu lurus kedepan. Toan Ki melihat disekitarnja disana-sini penuh berdiri orang. Ketika mendengar ada suara mendehem ditempat tinggi, ia mendongak dan melihat diatas pagar tembok sana djuga berdiri 7-8 orang dengan sendjata terhunus. Dimalam gelap, sinar sendjata jang gemilapan itu tjukup membuat djeri siapa jang melihatnja. Diam-diam Toan Ki membatin: Gedung ini meski sekian besarnja, tapi belum tentu dapat dihuni orang sekian banjaknja. Tentu mereka ini adalah musuh tuan rumah, apa benar-benar mereka akan membunuh seisi rumah ini habis-habisan"
Didalam gelap remang-remang Toan Ki melihat orang-orang itu sama melototi dirinja, ada jang pegang-pegang sendjatanja tanda menggertak.
Tapi Toan Ki bisa tenangkan diri, achirnja ia sampai disuatu ruangan besar jang berdjendela pandjang, didalam ruangan tampak sinar lampu terang-benderang.
Toan Ki mendekati deretan djendela pandjang itu, lalu berseru lantang: Tjayhe Toan Ki, ada urusan mohon bertemu tuan rumah!
Siapa" Gujur masuk! suara seorang tua jang serak membentaknja.
Toan Ki mendjadi dongkol, ia dorong daun djende]a pandjang itu dan melangkah masuk. Tapi ia mendjadi kaget melihat didalam ruangan penuh dengan orang pula, ada jang berdiri, ada jang berduduk, sedikitnja 17-18
orang. Di tengah-tengah seorang wanita badju hitam berduduk mungkur, muka menghadap kedalam, maka wadjahnja tidak kelihatan. Tapi dari perawakannja jang tampak langsing, rambutnja hitam gelap berkonde tjiodah, terang dandanan seorang gadis remadja. Ketjuali itu, disana-sini ada lagi belasan orang laki-laki dan perempuan, ada pula dua Hwesio dan tiga Tosu.
Diantara orang-orang itu ketjuali seorang kakek jang berduduk diatas kursi malas disudut timur sana dan seorang nenek serta kedua Hwesio, jang bertangan kosong, selebihnja setiap orang bersendjata semua. Didepan nenek itu menggeletak seseorang, lehernja luka terbatjok, dan sudah mati.
Segera Toan Ki dapat mengenali sebagai Tjiong Hok, itu hamba tua jang membawanja kesini untuk pindjam kuda itu.
Meski Toan Ki baru kenal orang tua itu, tapi ia merasa orang sangat sopan dan menghormat pada dirinya. Ia mendjadi sedih dan gusar melihat nasib hamba tua jang malang itu, terutama bila mengingat dirinja jang menjebabkan kematiannja itu.
Untuk apa kau datang kesini" dengan suara serak si kakek tadi membentak pula. Meski antero rambut kakek ini sudah beruban, tapi djanggutnja ternjata halus kelimis tiada seudjung djenggotpun.
Sedari melangkah masuk tadi, Toan Ki sudah ambil keputusan: Sekali sudah masuk sarang harimau, kalau bisa loloskan diri, itulah paling baik.
Kalau tak bisa, tiada gunanja djuga banjak bitjara dengan manusia-manusia jang tampak bengis dan djahat ini. Tapi sesudah melihat majat Tjiong Hok menggeletak disitu, seketika malah menimbulkan djiwa kesatrianja jang bersemangat banteng, dengan bersitegang segera ia mendjawab: Aku bernama Toan Ki. Rasanja Lotiang (bapak tua) ada seorang jang terhormat, hanja karena kau lebih lama hidup beberapa tahun, kenapa kau panggil orang Siautju segala setjara tak sopan"
Kedua alis kakek itu menegak, sinar matanja menjorot tadjam, sikapnja keren, tapi tak mendjawab. Sebaliknja seorang laki-laki jang berdiri disebelahnja lantas membentak: Bangsat ketjil, apa kau sudah bosan hidup, berani sembarang mengotjeh! Loyatju ini sudi bitjara dengan kau, hal ini sudah untung bagimu, apa kau kenal siapa Loyatju ini" Hm, matamu benar-benar buta!
Melihat lagak kakek ltu benar-benar lain dari jang lain, betapapun timbul djuga sedikit rasa hormat Toan Ki, maka sahutnja: Akupun tahu Lotiang ini pasti bukan orang sembarangan. Bolehkah mohon tanja siapakah nama Lotiang jang terhormat"
Belum lagi si kakek mendjawab, lelaki tadi sudah berkata pula: Baiklah, supaja kau bisa mati dengan meram, dengarlah jang djelas. Loyatju ini adalah No-kang-ong, San-tjiang-tjoat-beng Tjin-loyatju!
San-tjiang-tjoat-beng" Toan Ki menegas, Seorang tua baik-baik, kenapa pakai gelaran jang tak enak didengar itu" Dan kenapa di sebut No-kang-ong pula, Tjin-loyatju.
Kiranja No-kang-ong, siradja sungai mengamuk, San-tjiang-tjoat-beng atau tiga kali pukulan melenjapkan njawa, nama lengkapnja adalah Tjin Goan-tjun. Tidak sadja namanja mengguntjangkan daerah selatan, terhitung tokoh terkemuka dalam dunia persilatan diwilajah Hunlam, bahkan disekitar lembah Hongho dan kedua tepi sungai Yangtju, setiap djago silat djuga segan pada namanja.
Tak terduga, sesudah mendengar nama dan gelar itu, Toan Ki anggap sepele sadja, sedikitpun tidak heran.
Tentu sadja No-kang-ong, Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun sangat gusar. Sedjak namanja terkenal, djarang ia mendapat tandingan, sekalipun lawan jang berilmu silat lebih tinggi kalau mendengar namanja djuga akan tergetar, sedikitpun tidak berani memandang enteng.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa hakikatnja Toan Ki tidak pernah merantau Kangouw, mengenai seluk-beluk kedjadian dunia persilatan, sedikitpun tak diketahuinja, Djangankan nama Sam-tjiang-tjoat-beng Tjin Goan-tjun, sekalipun gelar Sam-sian-su-ok, jaitu tokoh-tokoh tiga orang badjik dan empat manusia djahat jang diagungkan dunia persilatan, djuga takkan membuatnja djeri.
Umumnja djago silat manapun djuga, dalam hal nama dipandangnja sangat penting. Maka Tjin Goan-tjun menjangka perbuatan Toan Ki ini sengadja hendak menghina dirinja, meski dalam hati sangat gusar, namun melihat sikap Toan Ki jang atjuh-tak-atjuh, kalau bukan memiliki ilmu silat jang diandalkan, rasanja pasti tidak berani begitu kurangadjar.
Karena menjangka Toan Ki pasti seorang djago sangat lihay, maka Tjin Goan-tjun tjepat mentjegah dua orangnja jang hendak madju melabrak pemuda itu, lalu tanjanja: Saudara dari golongan dan aliran mana" Siapa gurumu"
Untuk beladjar, kenapa rewel tentang golongan segala" sahut Toan Ki.Tjayhe tidak masuk golongan dan aliran mana-mana, guruku khusus mejakinkan Kong-yang-tji-hak, namanja kalau kukatakan djuga kau tidak kenal.
Meski ilmu silat Tjin Goan-tjun sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu sastra tentang Kong-yang-tji-hak segala, selama hidupnja tak pernah mendengar, maka ia menjangka apa jang dikatakan Toan Ki itu tentunja sematjam ilmu sakti jang belum pernah dilihatnja. Diam-diam ia merasa sjukur dirinja tidak gegabah bertindak, maka ia bertambah hati-hati lagi menghadapi pemuda itu, tanjanja pula: Lalu kedatangan saudara ini ada urusan apa"
Melihat Tjin Goan-tjun makin sungkan pada Toan Ki, semua orang jang hadir disitu mendjangka djuga pemuda itu pasti seorang tokoh silat pendaman.
Maka terdengar Toan Ki mendjawab: Kedatangan Tjayhe kesini adalah ingin menjampaikan sesuatu kabar pada tuan rumah.
Kabar apa" tanja Tjin Goan-tjun.
Toan Ki menghela napas dulu, lalu sahutnja: Kedatanganku sudah terlambat, kukatakan atau tidak kabar itu, sama sadja.
Menyampaikan kabar apa" Lekas katakan! desak Tjin Goan-tjun lagi Nadanja makin bengis.
Kalau sudah berhadapan dengan tuan rumah, dengan sendirinja akan kukatakan, apa gunanja bitjara padamu" sahut Toan Ki.
Tjin Goan-tjun tertawa dingin, selang sedjenak, ia berkata pula: Kau ingin bitjara berhadapan dengan tuan rumah" Baiklah, tak usah kau katakan, biar sebentar lagi kalian berdua boleh bertemu sadja diacherat.
Jang manakah adalah tuan rumah" tanja Toan Ki.Tjayhe ingin menjampaikan terima kasih telah diberi pindjam kuda.
Karena pertanjaan itu, sorot mata semua orang disitu lantas beralih kepada nona badju hitam jang duduk mungkar tadi.
Toan Ki terkesiap: Apakah nona inilah pemilik rumah ini" Seorang gadis lemah seperti dia telah kena dikepung musuh sebanjak ini, tampaknja djiwanya susah diselamatkan.
Dalam pada itu terdengarlah wanita badju hitam telah berkata: Kau diberi pindjam kuda adalah karena aku memandang muka orang lain, perlu apa terima kasih segala" Kau tidak lekas2 pergi menolong orang, buat apa kembali kesini" Sembari bitjara mukanja tetap menghadap kedalam tanpa menoleh.
Maka Toan Ki mendjawab: Tjayhe menunggang simawar hitam, sampai ditengah djalan telah disergap musuh jang salah sangka Tjayhe sebagai nona serta ditjatji-maki. Tjayhe merasa kurang enak, maka sengadja balik kesini untuk memberi kabar pada nona.
Kabar apa" tanja wanita itu, nadanja njaring merdu, tapi sedikitpun tidak membawa rasa simpatik, hingga bagi jang mendengarkan, rasanja tidak enak, se-akan2 wanita ini sudah terasing dari dunia ramai, sedikitpun tidak perduli terhadap segala apa didunia ini, seperti orang adalah musuh besarnja, kalau bisa setiap orang akan dibunuhnja habis.
Tentu sadja Toan Ki rada mendongkol oleh nada djawaban orang. Tapi lantas teringat olehnja bahwa wanita itu sudah djatuh ditengah kepungan musuh, keadaannja sangat berbahaja, kalau pikirannja mendjadi gopoh, takbisa djuga salahkan dia. Karena itu, timbul djuga rasa solider Toan Ki.
Maka dengan ramah ia mendjawab: Tjayhe pikir kedua orang djahat itu akan bikin susah nona, untuk mana tentunja nona belum tahu, maka sengadja memburu kembali untuk memberi kabar agar sebelumnja nona menjingkir. Tak terduga toh tetap terlambat, musuh sudah tiba lebih dulu, sungguh aku menjesal.
Begini baik kau sengadja mendjilat aku, sebenarnja apa maksud tudjuanmu" tanja wanita itu dingin.
Toan Ki mendjadi naik darah, sahutnja keras: Tjayhe selamanja tidak kenal nona, tjuma mengetahui ada orang hendak bikin susah padamu, masakan aku bisa berpeluk tangan diam sadja" Kata2 mendjilat itu entah darimana bisa nona katakan"
Apakah kau kenal siapa aku" tanja wanita itu.
Tidak sahut Toan Ki.
Kudengar tjerita Tjiong Hok, katanja sama sekali kau tidak bisa ilmu silat, tapi berani mendamperat terang2an dihadapan Tjiong-koktju. njalimu benar2 tidak ketjil, tapi kau djusteru sudah terlibat dalam kedjadian ini, apa kehendakmu sekarang"
Sebenarnja sehabis menjampaikan berita ini, segera akan pulang kerumah setjepatnja, sahut Toan Ki. Ia menghela napas, lalu menjambung: Tapi tampaknja nona bakal tjelaka dan akupun tak terhindar dari malapetaka.
Tjuma entah tjara bagaimana nona bisa bermusuhan dengan orang2 ini"
Berdasarkan apa kau berani tanja padaku" sahut wanita itu mendjengek.
Kembali Toan Ki tertjengang, tapi segera katanja: Urusan pribadi orang, memangnja aku tidak pantas menanja. Baiklah, aku sudah menjampaikan kabar padamu, selesailah kewadjibanku.
Tentunja kau tidak menduga djiwamu bakal melajang disini, bukan" Apa kau menjesal" tanja siwanita.
Mendengar kata2 orang itu bernada menjindir, kontan Toan Ki mendjawab: Perbuatan seorang Taytianghu (laki2 sedjati), asal demi kebaikan sesamanja, kenapa mesti menjesal"
Hm, hanja matjam kau ini djuga berani mengaku sebagai laki2 sedjati"
djengek wanita badju hitam itu.
Gagah kesatria atau bukan, masakan ditentukan dalam hal tinggi-rendahnja ilmu silat" sahut Toan Ki aseran. Sekalipun ilmu silatnja tiada tandingan dikolong langit, kalau kelakuannja rendah memalukan djuga takbisa disebut sebagai Taytianghu!
Tjin-losiangsing, tiba2 wanita badju hitam itu berpaling pada Tjin Goan-tjun, kau dengar tidak utjapan Toan-ya ini" Kelakukan kalian ini rasanja tidak bisa dikatakan terang2an, bukan"
Perempuan hina, mendadak nenek jang duduk disamping Tjin Goan-tjun itu memaki: apa kau hendak mengulur tempo terus" Bangkitlah untuk bertempur
...... Usiamu sudah landjut begini, ingin mampus djuga tidak perlu buru2, sahut siwanita badju hitam dengan tadjam. Djing-siong Todjin, kaupun datang mentjari perkara padaku, apa orang Ban-djiat-kok djuga tahu"
Wadjah seorang imam berdjenggot ubanan rada berubah, sahutnja: Tudjuanku adalah membalas dendam murid, apa sangkut-pautnja dengan Ban-djiat-kok"
Ingin kutanja, sebelumnja kau telah minta bantuan Hiang-yok-djeh atau tidak" tanja siwanita.
Pukulan Naga Sakti 20 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Latah 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama